Pengantar Ekonomi Kelembagaan

21
PENGANTAR EKONOMI KELEMBAGAAN Topik : IDENTIFIKASI PERAN KELEMBAGAAN LOKAL PERTANIAN DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN DAN PENYESELESAIAN KONFLIK NELAYAN (Studi Kasus: Kabupaten Maros) Kelompok 25 Widya Amaliah (I34120016) Dikna D Distiantini (I34120037) Nensi F Melda Siahaan (I34120096) Yunita Wini Damayanti (I34120138) Efriska Ginasti M (I34120172) DEPARTEMEN EKONOMI SUMBER DAYA LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

description

pengantar ekonomu kelembagaan

Transcript of Pengantar Ekonomi Kelembagaan

Page 1: Pengantar Ekonomi Kelembagaan

PENGANTAR EKONOMI KELEMBAGAAN

Topik :

IDENTIFIKASI PERAN KELEMBAGAAN LOKAL PERTANIAN DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN DAN

PENYESELESAIAN KONFLIK NELAYAN(Studi Kasus: Kabupaten Maros)

Kelompok 25

Widya Amaliah (I34120016)

Dikna D Distiantini (I34120037)

Nensi F Melda Siahaan (I34120096)

Yunita Wini Damayanti (I34120138)

Efriska Ginasti M (I34120172)

DEPARTEMEN EKONOMI SUMBER DAYA LINGKUNGAN

FAKULTAS EKONOMI MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2014

Page 2: Pengantar Ekonomi Kelembagaan

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI.............................................................................................................i

PENDAHULUAN...................................................................................................1

1.1 Latar Belakang.............................................................................................1

1.2 Rumusan Masalah........................................................................................1

1.3 Tujuan..........................................................................................................2

TINJAUAN PUSTAKA..........................................................................................2

Konsep-Konsep Kelembagaan Menurut Para Ahli.............................................2

PEMBAHASAN......................................................................................................4

3.1 Prinsip Dasar Kelembagaan Lokal Pertanian dan Bentuk-Bentuk Kelembagaan Lokal di Kabupaten Maros....................................................4

3.2 Peran Kelembagaan Lokal dalam Pengelolaan Sumberdaya Perikanan dan Penyelesaian Konflik Nelayan di Kabupaten Maros....................................6

KESIMPULAN......................................................................................................10

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................11

i

Page 3: Pengantar Ekonomi Kelembagaan

PENDAHULUAN

1.1 Latar BelakangIndonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar di dunia

dengan luas wilayah mencapai 7,7 juta km2 yang dihubungkan oleh garis pantai sepanjang 104.000 km2 dengan 17.504 pulau yang berada di dalamnya. Indonesia juga memiliki sumber daya alam yang melimpah dengan beraneka ragam flora dan fauna, hasil tambang, serta biodiversitas laut. Sumber daya alam yang banyak dapat dipadukan dengan sumber daya manusia yang handal dan didukung oleh kemajuan IPTEK serta kebijakan dalam pemanfaatannya yang tepat akan menjadi modal sebuah pembangunan nasional yang besar. Namun, semua ini akan menjadi tantangan yang sulit bagi Indonesia apabila tidak dimanfaatkan dengan bijak serta adanya eksploitasi besar-besaran.

Pembangunan pertanian nasional mencatat bahwa dalam upaya pemberdayaan masyarakat terutama petani kecil, pemerintah telah menerapkan berbagai sistem kelembagaan dan kemitraan dikarenakan tingkat kesejahteraan petani terus menurun sejalan dengan persoalan-persoalan klasik yang dialaminya, sekaligus menjadi bagian dan dilema dari sebuah kegiatan usaha tani di tingkat produsen pertanian. Tingkat keuntungan kegiatan usahatani selama ini lebih banyak dinikmati oleh para pedagang dan pelaku usahatani lainnya di hilir. Oleh karena itu, diperlukan kelembagaan pertanian yang mampu memberikan kekuatan bagi petani. Kelembagaan pertanian dalam hal ini mampu memberikan jawaban atas permasalahan yang dihadapi oleh sebagian besar penduduk yang megandalkan sumber mata pencahariannya di sektorpertanian.

Penguatan posisi tawar petani melalui kelembagaan merupakan suatu kebutuhan yang sangat mendesak dan mutlak diperlukan oleh petani, agar mereka dapat bersaing dalam melaksanakan kegiatan usahatani dan dapat meningkatkan kesejahteraan hidupnya. Lembaga yang dibuat dan telah diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari, mulai dari yang dibiayai dan dibina secara penuh oleh pemerintah, lembaga kerjasama pemerintah dan pihak swasta, sampai pada lembaga yang didanai oleh pihak swasta sesuai dengan keberadaannya, tujuan pembentukannya, kemampuan personal pengelolanya, maupun manfaatnya pada masyarakat.

1.2 Rumusan MasalahRumusan masalah yang terurai dalam makalah ini yakni :

1. Bagaimana prinsip dasar kelembagaan lokal pertanian dan bentuk-bentuk kelembagaan lokal di Kabupaten Maros?

1

Page 4: Pengantar Ekonomi Kelembagaan

2. Bagaimana peran kelembagaan lokal dalam pengelolaan sumberdaya perikanan dan penyelesaian konflik nelayan di Kabupaten Maros?

1.3 TujuanTujuan dalam pembahasan makalah ini yakni untuk menjawab rumusan

masalah yang meliputi :1. Menjelaskan prinsip dasar kelembagaan lokal pertanian dan bentuk-bentuk

kelembagaan lokal di Kabupaten Maros2. Mengidentifikasi peran kelembagaan lokal dalam pengelolaan sumberdaya

perikanan dan penyelesaian konflik nelayan di Kabupaten Maros

TINJAUAN PUSTAKA

Konsep-Konsep Kelembagaan Menurut Para AhliSalah satu arti lembaga dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah :

"pola perilaku manusia yang mapan terdiri atas interaksi sosial berstruktur di suatu kerangka nilai yang relevan Sedangkan kelembagaan adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan lembaga. Terdapat tiga kata kunci yakni sosial, nilai (norms), dan perilaku (behaviours). Suatu institusi atau kelembagaan dapat berbentuk organisasi atau sebaliknya. Bidang kelembagaan kurang memiliki popularitas seperti bidang keilmuan yang mampu menggugah perhatian seluruh lapisan masyarakat .

Pengertian kelembagaan menurut para ahli dari berbagai bidang yakni :a) Lembaga adalah aturan di dalam suatu kelompok masyarakat atau

organisasi yang menfasilitasi koordinasi antar anggotanya untuk membantu mereka dengan harapan di mana setiap orang dapat bekerjasama atau berhubungan satu dengan yang lain untuk mencapai tujuan bersama yang diinginkan (Ruttan dan Hayami, 1984)

b) Lembaga aturan dan rambu-rambu sebagai panduan yang dipakai oleh para anggota suatu kelompok masyarakat untuk mengatur hubungan yang saling mengikat atau saling tergantung satu sama lain. Penataan institusi (institutional arrangements) dapat ditentukan oleh beberapa unsur: aturan operasional untuk pengaturan pemanfaatan sumber daya, aturan kolektif untuk menentukan, menegakan hokum atau aturan itu sendiri dan untuk merubah aturan operasional serta mengatur hubungan kewenangan organisasi (Ostrom, 1985; 1986)

c) Lembaga adalah suatu himpunan atau tatanan norma–norma dan tingkah laku yang bisa berlaku dalam suatu periode tertentu untuk melayani tujuan kolektif yang akan menjadi nilai bersama. Institusi ditekankan pada norma-norma prilaku, nilai budaya dan adat istiadat (Uphoff, 1986).

d) Lembaga adalah sekumpulan batasan atau faktor pengendali yang mengatur hubungan perilaku antar anggota atau antar kelompok. Dengan

2

Page 5: Pengantar Ekonomi Kelembagaan

definisi ini kebanyakan organisasi umumnya adalah institusi karena organisasi umumnya mempunyai aturan yang mengatur hubungan antar anggota maupuna dengan orang lain di luar organisasi itu (Nabli dan Nugent, 1989).

e) Lembaga adalah aturan main di dalam suatu kelompok sosial dan sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor ekonomi, sosial dan politik. Institusi dapat berupa aturan formal atau dalam bentuk kode etik informal yang disepakati bersama. North membedakan antara institusi dari organisasi dan mengatakan bahwa institusi adalah aturan main sedangkan organisasi adalah pemainnya (North, 1990).

f) Lembaga mencakup penataan institusi (institutional arrangement) untuk memadukan organisasi dan institusi. Penataan institusi adalah suatu penataan hubungan antara unit-unit ekonomi yang mengatur cara unit-unit ini apakah dapat bekerjasama dan atau berkompetisi. Dalam pendekatan ini organisasi adalah suatu pertanyaan mengenai aktor atau pelaku ekonomi di mana ada kontrak atau transaski yang dilakukan dan tujuan utama kontrak adalah mengurangi biaya transaksi (Williamson, 1985).

Maka yang dimaksud dengan kelembagaan adalah suatu tatanan dan pola hubungan antara anggota masyarakat atau organisasi yang saling mengikat yang dapat menentukan bentuk hubungan antar manusia atau antara organisasi yang diwadahi dalam suatu organisasi atau jaringan dan ditentukan oleh faktor-faktor pembatas dan pengikat berupa norma, kode etik aturan formal maupun informal untuk pengendalian prilaku sosial serta insentif untuk bekerjasama dan mencapai tujuan bersama.

Berdasarkan atas bentuknya (tertulis/tidak tertulis) North (1990) membagi kelembagaan menjadi dua: informal dan formal. Kelembagaan informal adalah kelembagaan yang keberadaannya di masyarakat umumnya tidak tertulis. Adat istiadat, tradisi, pamali, kesepakatan, konvensi dan sejenisnya dengan beragam nama dan sebutan dikelompokan sebagai kelembagaan informal. Sedangkan kelembagaan formal adalah peraturan tertulis seperti perundang-undangan, kesepakatan (agreements), perjanjian kontrak, peraturan bidang ekonomi, bisniss, politik dan lain-lain. Kesepakatan-kesepakatn yang berlaku baik pada level international, nasional, regional maupun lokal termasuk ke dalam kelembagaan formal.

Kelembagaan lokal merupakan pranata sosial tingkat lokal yang berdiri diantara individu dalam kehidupan peribadinya dengan lingkungannya, yangternyata tidak hanya berperan mengatur tata kehidupan masyarakat saja, akantetapi juga mempunyai peranan yang sangat penting bagi pertumbuhan ekonomisuatu masyarakat.

3

Page 6: Pengantar Ekonomi Kelembagaan

PEMBAHASAN

3.1 Prinsip Dasar Kelembagaan Lokal Pertanian dan Bentuk-Bentuk Kelembagaan Lokal di Kabupaten Maros

Lembaga di pedesaan lahir untuk memenuhi kebutuhan sosial masyarakatnya. Sifatnya tidak linier, namun cenderung merupakan kebutuhan individu anggotanya berupa : kebutuhan fisik, kebutuhan rasa aman, kebutuhan hubungan sosial, pengakuan, dan pengembangan pengakuan. Manfaat utama lembaga yakni mewadahi kebutuhan salah satu sisi kehidupan sosial masyarakat, dan sebagai kontrol sosial, sehingga setiap orang dapat mengatur perilakunya menurut kehendak masyarakat. Prinsip-prinsip yang dipenuhi oleh suatu kelembagaan lokal pertanian di kabuaten jayapura agar tetap eksis dan berkelanjutan adalah :a) Prinsip otonomi

Otonomi desa (spesifik lokal)Pengembangan kelembagaan di pedesaan disesuaikan dengan

potensi desa itu sendiri. Beberapa hal yang menjadi landasan terbentuknya kelembagaan tersebut yakni variasi dalam kemajemukan sistem, nilai dan budaya, latar belakang sejarah, termasuk organisasi, dan perangkat-perangkat aturan dan hukum.

Otonomi IndividuKebebasan inilah yang memungkinkan individu-individu menjadi

otonom sehingga mereka dapat mengaktualisasikan segala potensi terbaik yang ada di dalam dirinya secara optimal. Individu-individu yang otonom ini selanjutnya akan membentuk komunitas yang otonom dan mandiri.

b) Prinsip pemberdayaanPemberdayaan mengupayakan bagaiamana individu, kelompok,

atau komunitas berusaha mengontrol kehidupan mereka sendiri dan mengusahakan untuk membentuk masa depan sesuai dengan keinginan mereka. Inti utama pemberdayaan adalah tercapainya kemandirian.Pemberdayaan dan pengembangan kelembagaan di Kabupaten Maros meliputi : Pola pengembangan pertanian berdasarkan luas dan intensifikasi lahan,

perluasan kesempatan kerja dan berusaha yang dapat memperluas penghasilan.

Perbaikan dan penyempurnaan keterbatasan pelayanan sosial (pendidikan, gizi, kesehatan, dan lain-lain).

Program memperkuat prasarana kelembagaan dan keterampilan mengelola kebutuhan pedesaan.

4

Page 7: Pengantar Ekonomi Kelembagaan

c) Prinsip kemandirian lokalCiri kelembagaan pada masyarakat tradisional di Kabupaten Maros

adalah kecenderungan aktivitas ekonomi yang melekat pada kelembagaan kekerabatan dan komunitas. Pemenuhan ekonomi merupakan tanggungjawab kelompok-kelompok komunal genealogis. Ciri utama kelembagaan tradisional adalah sedikit kelembagaan, namun banyak fungsi. Berbeda halnya dengan pada masyarakat modern yang dicirikan oleh munculnya banyak kelembagaan dengan fungsi-fungsi yang spesifik.

Bentuk-bentuk kelembagaan lokal di Kabupaten Maros yakni : a) Kelembagaan punggawa-sawi

Kelembagaan punggawa-sawi pada masyarakat nelayan di Kabupaten Maros pada awalnya merupakan kelompok kerja yang sepenuhnya atau hampir sepenuhnya berimpit dengan kelompok keluarga rumah tangga, dalam artian semua pekerjaan dilakukan oleh tenaga kerja keluarga rumah tangga nelayan itu sendiri. Kepala keluarga berperan sebagai punggawa dalam kegiatan operasional penangkapan ikan di laut, sedangkan anggota keluarga berperan sebagai sawi. Hal tersebut dapat dijumpai pada kelompok-kelompok nelayan tradisional, seperti nelayan pengguna jaring klitik, bubu (rakkang), jaring insang, bagan tancap, dan sebagainya.

Punggawa berstatus pemimpin pelayaran dan aktifitas produksi dan berbagai pemilik alat-alat produksi. Mereka memiliki pengetahuan kelautan, pengetahuan dan keterampilan manejerial, sementara sawi hanya memiliki pengetahuan kelautan dan keterampilan kerja/produksi semata. Bentuk struktural lain terjadi ketika suatu usaha perikanan mengalami perkembangan jumlah unit perahu dan alat-alat produksi yang dikuasai oleh punggawa laut/juragan tadi sebagai akibat dari pengaruh kapitalisme.

Dalam mengembangkan dan mempertahankan eksistensi usaha, maka punggawa laut/juragan tidak ikut lagi mengikuti pelayaran melainkan tetap tingggal di darat/pulau mengusahakan perolehan pinjaman modal dari pihak lain, mengurus biaya-biaya anggotanya yang beroperasi di laut dan lain-lain. Di sinilah pada awalnya muncul satu status baru pada strata tertinggi dalam kelompok kerja nelayan yang disebut punggawa darat.

b) Kelembagaan nakasa’ Suatu kelembagaan lokal masyarakat Maros dalam bentuk pesan

kultural, yang berarti pantangan, larangan, tabu atau pemali’ (dalam bahasa Bugis), atau kapalli’ (dalam bahasa Selayar). Nakasa’ sebagai suatu sistem sosial berangkat dari sebuah pertimbangan dan asumsi bahwa pesan kultural ini berkaitan erat dengan sistem sosial masyarakat yang saling terangkai antara satu bagian dengan bagian yang lainnya. Dapat juga dikatakan sebagai hal yang mengandung arti untuk menjauhkan hal-

5

Page 8: Pengantar Ekonomi Kelembagaan

hal yang mengganggu atau merusak, sehingga perolehan hasil menjadi menurun atau justru meningkatkan hasil melalui serangkaian tindakan sosial yang dilakukan berdasarkan kadar kepercayaan dan keyakinan nelayan.

Keberadaan nakasa’ sebagai suatu institusi sekaligus sistem sosial mempunyai fungsi untuk mengatur atau mengontrol dan menentukan perilaku maupun kecenderungan setiap individu dalam menjalankan aktivitas kehidupan.

c) Kelembagaan POKMASWAS (Kelompok Masyarakat Pengawas) PesisirPeran kelembagaan POKMASWAS dalam konteks pengelolaan

sumberdaya perikanan tangkap di wilayah pesisir Desa Pajjukukang adalah pengawasan pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap dan pelestarian sumberdaya perikanan tangkap. Keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya perikanan dan kelautan, termasuk perumusan kebijakan, pengendalian dan pengawasan sumberdaya perikanan dan lingkungannya dalam satu ekosistem, dirumuskan dalam bentuk Sistem Pengawasan Masyarakat (SISWASMAS). SISWASMAS ini mengandung makna pengawasan dengan melibatkan peran serta masyarakat setempat sebagai pelaku pengawasan agar pelaksanaan pengawasan dapat berjalan secara efektif dan efisien, dan memiliki nilai mobilitas tinggi, serta implementasi jaringan informasi yang lebih akurat.

Pengawasan di bidang kelautan dan perikanan menghadapi tantangan yang cukup besar. Permasalahan yang muncul secara umum disebabkan oleh perubahan alam dan aktivitas manusia. Diantara penyebab kerusakan alam tersebut, hal yang menjadi utamanya ialah akibat dari aktivitas manusia seperti kerusakan ekosistem yang sering terjadi di daerah pesisir. Jumlah pelaku perusakan semakin meningkat dari waktu ke waktu baik dari dalam maupun luar negeri, sedangkan pengawas atau pengelola daerah setempatjumlahnya amat terbatas. Sehingga, dibutuhkan alternatif lain untuk pemenuhan perlindungan wilayah dari pengrusakan yang semakin merajalela, salah satunya ialah pembentukan Poswasmas (kelompok masyarakat pengawas) yang diharapkan mampu membantu pelaksanaan pengawasan sumber daya kelautan dan perikanan di Maros dan juga berbagai wilayah Indonesia lainnya.

3.2 Peran Kelembagaan Lokal dalam Pengelolaan Sumberdaya Perikanan dan Penyelesaian Konflik Nelayan di Kabupaten Maros

a. Kelembagaan punggawa-sawi Peran kelembagaan punggawa-sawi dalam upaya penyelesaian

konflik nelayan dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap di wilayah pesisir Desa Pajjukukang, yaitu sebagai (1) peserta pertemuan

6

Page 9: Pengantar Ekonomi Kelembagaan

penyelesaian Konflik nelayan; (2) penandatangan perjanjian kesepakatan penyelesaian konflik; (3) menjadi inisiator dan fasilitator pembentukan POKMASWAS; dan (4) berperan dalam mengendalikan anggotanya (sawinya) apabila terjadi konflik nelayan di wilayah pesisir.

Dalam struktur ekonomi masyarakat nelayan dikenal adanya Punggawa dan Sawi. Punggawa merupakan pemilik modal dan sawi adalah peminjam atau pekerja atau juga dapat disebut buruh atau bahasa undang-undangnya nelayan kecil. Pemilik modal berhak membeli hasil tangkapan sawi yang diberi modal dan sawi berkewajiban menjual hasil tangkapannya kepada punggawa yang memodalinya. Kewajiban ini merupakan ketentuan yang harus dilaksanakan. Modal yang diberikan oleh Punggawa tidak terbatas pada modal materi berupa uang, namun juga kepada peralatan seperti kapal, mesin kapal, jaring, pancing, pukat, dan sebagainya.Begitu kuatnya peran punggawa dalam mengatur pengelolaan usaha perikanan laut ini ditandai dari hulu hingga hilir. Sejak membutuhkan modal awal untuk kerja di laut menangkap ikan, hingga pemasaran hasil tangkapan ikannya, semuanya harus dilakukan atas kendali Punggawa, baik punggawa darat maupun punggawa laut .

Komunitas nelayan Tempat Pelelangan Ikan Paotere, Makassar, Sulawesi Selatan terbebas dari ketergantungan kepada punggawa, sebutan untuk tengkulak di Makassar, sepuluh tahun silam. Tumpukan utang nelayan kepada punggawa merupakan masalah klasik. Kita tahu bagaimana nelayan meminjam uang kepada punggawa meski bunganya tinggi karena proses mendapatkannya tak sulit. Dengan utang itu, nelayan bisa memenuhi kebutuhan hidup yang mendesak.Konsekuensinya, mereka harus menjual hasil tangkapan kepada punggawa dengan harga yang diatur sepihak.Harga ikan sering merugikan nelayan karena di bawah harga pasar.Akhirnya, nelayan tak bisa melunasi utangnya.Malah, utang mereka kian besar karena bunganya tinggi.Boleh dibilang, para punggawa pula yang menguasai geliat perekonomian di TPI Paotere.Semua yang hendak berjualan ikan di TPI, termasuk istri para nelayan yang hendak membantu suaminya, harus bekerja kepada salah seorang punggawa.

Dalam perikanan laut pada umumnya, baik yang modern maupun tradisional, diterapkan sistem aturan bagi hasil, sebaliknya hanya sebagian kecil di antara perikanan modern berskala besar yang kapitalistik menerapkan sistem pengupahan. Untuk perikanan tradisional berskala kecil, secara umum aturan bagi hasil menetapkan bahwa setiap anggotanya memperoleh satu bagian pendapatan dari jumlah keseluruhan pendapatan per aktifitas yang dilakukan.

7

Page 10: Pengantar Ekonomi Kelembagaan

Pembagian hasil dilakukan setiap kali setelah pemasaran ikan dilakukan diluar biaya operasional, seperti bahan bakar. Namun, pembagian hasil bukan dilihat dari peran dan status, tetapi karena bantuan jasa transportasi dan tenaga saat memasarkan ikan ke Makassar.

b. Kelembagaan nakasa’Peran kelembagaan nakasa’ sebagai wujud kearifan lokal

dalam masyarakat Desa Pajjukukang (termasuk masyarakat nelayan), memiliki berperan sebagai alat (fungsi) kontrol masyarakat dalam berperilaku dan bertindak dalam menjalankan segala aktivitas kehidupannya. Jadi peran nakasa’ dalam upaya penyelesaian konflik nelayan tidak secara langsung, hanya sebagai alat (fungsi) kontrol sosial masyarakat dalam berperilaku dan beraktivitas.

Beberapa contoh yang tergolong nakasa’ dalam hal ungkapan ataupun tindakan nelayan yang dipantangkan atau ditabukan termaknai dapat meningkatkan hasil produksi tangkapan ikan nelayan, sebagai berikut:1. Nelayan tidak diperbolehkan bertengkar di atas perahu. Aturan ini

menunjukan kepada nelayan agar bertingkah laku hati-hati karena bekerja sebagai nelayan memiliki resiko yg besar. Jika seorang nelayan tidak hati-hati, maka dapat berpengaruh besar pada hasil tangkapan mereka.

2. Nelayan dilarang melaut pada hari Jumat dan pada setiap hari dengan tanggal 1 Muharram. Peraturan ini memiliki 2 (dua) makna. Selain dikarenakan persoalan agama, dimana kebanyakan nelayan berjenis kelamin laki-laki dan akan menjalankan Shalat Jumat, peraturan ini juga mengajak nelayan untuk ‘memberi kesempatan biota laut untuk kembali berkembang biak agar tidak punah jika diambil secara terus menerus.

Berdasarkan fenomena tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa nakasa’ merupakan salah satu kelembagaan lokal dalam wujud kearifan lokal masyarakat Maros, dalam konteks pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap di wilayah pesisir Desa Pajjukukang dapat berperan sebagai pendorong bagi masyarakat nelayan dalam meningkatkan hasil produksinya (peran eksploitasi sumberdaya) dan alat (fungsi) kontrol bagi masyarakat dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap, sehingga kelestarian sumberdaya pesisir dan laut dapat dipertahankan (peran pelestarian sumberdaya).

Hal ini dapat terjadi karena proses pemaknaan terhadap nilai pesan kultural tersebut telah berlangsung dalam jangka waktu yang cukup lama, sehingga tindakan sosial yang telah terpola itu menjadi

8

Page 11: Pengantar Ekonomi Kelembagaan

sebuah persamaan kepercayaan, identifikasi, dan asal-usul yang mengakibatkan nilai nakasa’ dapat terintegrasi dalam suatu kelompok, komunitas, dan masyarakat. Nilai-nilai kelembagaan lokal dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan tergambarkan dalam pranata hubungan sosial kekerabatan, pranata Agama dan Kepercayaan (Mitos, Ritus, Fetis, Kultus, dan Magis) serta pranata larangan/pantangan (nakasa’). Sedangkan nilai-nilai kelembagaan lokal dipersepsikan masyarakat sangat menunjang dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap karena mengandung motif keselamatan (perlindungan dari Sang Pencipta) dan motif rezeki (ekonomi).

c. Kelembagaan POKMASWAS (Kelompok Masyarakat Pengawas) Pesisir

Pembentukan POKMASWAS Sipakatau Desa Pajjukukang, bertujuan untuk melakukan beberapa kegiatan, antara lain; (1) melakukan kegiatan pengawasan dan melaporkan semuan kegiatan pengawasan yang telah dilakukan kepada aparat pemerintah, terutama yang berkaitan dengan sistem pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap yang bertentangan dengan peraturan; dan (2) melakukan koordinasi dengan pihak DPKP Maros dan kepolisian dalam menangani masalah yang berhubungan dengan pengelolaan sumberdaya perikanan dan laut di wilayah pesisir Kecamatan Bontoa.

Menurut Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor : KEP.58/MEN/2001 tentang Tata Cara Pelaksanaan Sistem Pengawasan Masyarakat dalam Pengelolaan dan Pemanfaatan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan, sasaran dibentuknya Pokmaswas adalah :1. Terbentuknya mekanisme pengawasan berbasis masyarakat, yang

secara integratif dilakukan oleh pemerintah, masyarakat, dan organisasi non pemerintah serta dunia usaha dengan tetap mengacu kepada peraturan dan perundangan yang ada/ berlaku.

2. Meningkatnya partisipasi masyarakat dalam pengawasan sumberdaya kelautan dan perikanan.

3. Terlaksananya kerjasama pengawasan sumberdaya kelautan dan perikanan oleh aparat keamanan dan penegak hukum serta masyarakat.

Adapun pembentukan POKMASWAS adalah :1.   Kelompok masyarakat pengawas (POKMASWAS) merupakan

pelaksana pengawasan di tingkat lapangan yang terdiri dari unsur tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh adat, LSM, nelayan, petani ikan serta masyarakat maritim lainnya.

9

Page 12: Pengantar Ekonomi Kelembagaan

2.   Pokmaswas dibentuk atas inisiatif masyarakat yang difasilitasi oleh unsur pemerintah daerah, dan dikoordinir oleh seorang anggota masyarakat dalam Pokmaswas, yang berfungsi sekaligus sebagai mediator antara masyarakat dengan pemerintah atau petugas.

3.   Para nelayan yang menjadi ABK kapal-kapal penangkap ikan dan nelayan-nelayan kecil serta masyarakat maritim lainnya, dapat merupakan anggota kelompok masyarakat pengawas.

4.   Kepengurusan Pokmaswas dipilih oleh masyarakat dan terdaftar sebagai anggota.

Pembentukan POKMASWAS Sipakatau Desa Pajjukukang tumbuh dan berkembang berdasarkan kebudayaan tradisional di wilayah tersebut yang menjadi kekuatan dan mengedepankan pendekatan adat serta kearifan lokal. Mereka memiliki pengaruh dalam memberikan dan menentukan hukum atau peraturan kepada pihak yang melanggar. Para anggota POKMASWAS juga diberikan pelatihan oleh pemerintah daerah tentang pelestarian mangrove, terumbu karang dan masalah alat tangkap. Pembinaan mampu menjadi kunci utama agar POKMASWAS dapat berjalan secara maksimal sesuai harapan dan tujuan awal yang telah ditentukan. Selain itu, Pokmaswas juga memberikan kontribusinya terhadap pertumbuhan ekonomi di suatu wilayah dan menjadi modal yang sangat berharga bagi pembangunan di daerah pesisir dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat kelautan dan perikanan.

KESIMPULAN

1. Peran kelembagaan lokal yang dianggap cukup efektif sebagai katalisator peredam konflik. Ini menjadi penting, karena dalam komunitas di pedesaan kelembagaan lokal merupakan entitas yang telah menjadi tatanan yang melembaga dalam masyarakat yang terbangun dari unsur-unsurnya serta aturan-aturan sebagai nilai dan norma yang mengatur kelembagaan tradisional (asli) tersebut.

2. Pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap dan upaya penyelesaian konflik nelayan yaitu : kelembagaan lokal yang muncul secara tradisional (asli), seperti punggawa-sawi dan nakasa’ dan kelembagaan lokal bentukan berdasarkan kebutuhan, seperti POKMASWAS pesisir.

3. Kelembagaan lokal tersebut memiliki tiga peran yakni: (a) peran pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap, (b) peran pencegahan konflik nelayan, dan (c) peran penyelesaian konflik nelayan.

4. Dalam penyelesaian konflik nelayan, kelembagaan lokal berperan sebagai : (a) peserta pertemuan-pertemuan penyelesaian konflik, (b) penandatangan

10

Page 13: Pengantar Ekonomi Kelembagaan

perjanjian penyelesaian konflik, dan (c) mengendalikan anggotanya (sawi) apabila terjadi konflik nelayan.

5. Kelembagaan lokal dibatasi pada organisasi pemerintah lokal dan organisasi kemasyarakatan yang terdapat di Kabupaten Maros, keberadaannya mampu melakukan pemecahan kemiskinan melalui pemberdayaan keluarga miskin di perdesaan. Keterlibatan kelembagaan lokal dibutuhkan, karena senantiasa berinteraksi dengan keluarga miskin di perdesaan khususnya dalam bidang pertanian serta pengelolaan dan penyelesaian konflik nelayan.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmadin dan Jumadi, 2009. Kapalli’ Kearifan Lokal Orang Selayar. Makassar [ID]: Rayhan Intermedia.

Cahyono, Sandy. [tidak ada tahun]. Peran Kelembagaan Petani Dalam Mendukung Keberlanjutan Pertanian Sebagai Basis Pengembangan Ekonomi Lokal. Bandung [ID]: ITB

Daris, Lukman dkk,. 2012. Dinamika Konflik dan Peran Kelembagaan Lokal Dalam Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Tangkap di Sulawesi Selatan. [jurnal]. Gowa [ID]: STPP

Fauzi, A. 2004. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Theori dan Aplikasi. Jakarta [ID]: Pt. Gramedia Pustaka Utama.

Karim. 2005. Problem Kemiskinan Nelayan. [internet]. [diunduh tanggal 18 Mei 2014]. Dapat diunduh dari : h ttp://www.google.com/search?ie=UTF- 8&oe=UTF & sourceid=navclient&gfns=1&q=benang+kusut+kemiskinan+nelayan .

Lampe, Munsi. 2000. Dimensi Sosial Budaya Pesisir Ditinjau dari Pendekatan Sejarah Antropologi Maritim: Kasus Teluk Bone. Makassar [ID]: Universitas Hasanuddin.

Mardijono. 2008. Persepsi dan Partisipasi Nelayan terhadap Pengelolaan Kawasan Konservasi Laut Kota Batam [tesis]. [Internet]. [diunduh tanggal 17 Mei 2014]. Dapat diunduh dari: http://eprints.undip.ac.id/18092/1/Mardi-jono.pdf.

Suwarso, Didik A. 2012. Strategi Pemberdayaan Pokmaswas dalam Menunjang Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan. [Internet]. [diunduh tanggal 17 Mei 2014]. Dapat diunduh dari: http://psdkpbelawan.com/-detail_berita.php?id=365.

Sufira. 2002. Peran punggawa dan sawi. [internet]. [diunduh tanggal 18 Mei 2014]. Dapat diunduh dari : http://www.google.com/search?ie=UTF-8&oe=UTF8&sourceid=navclient&gfns=1&q=dr-andiadriariefkelembaga-anmasyarakatpesisir http://www.google.com/search?

11