PENERAPAN UANG PAKSA DWANGSOM DALAM PERKARA...
-
Upload
vuongkhuong -
Category
Documents
-
view
242 -
download
9
Transcript of PENERAPAN UANG PAKSA DWANGSOM DALAM PERKARA...
PENERAPAN UANG PAKSA (DWANGSOM)
DALAM PERKARA HADHANAH
(Analisis Putusan Perkara Nomor : 2/Pdt.G/2013/PTA.MKS)
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk
Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh :
MUHAMMAD AKBAR ALFATHTAA
NIM : 108044100080
KONSENTRASI PERADILAN AGAMA PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A 1436 H / 2015 M
iv
ABSTRAKSI
MUHAMMAD AKBAR ALFATHTAA, 108044100080, Penerapan
Hukuman Dwangsom (Uang Paksa) Dalam Perkara Hadhanah (Analisis
Putusan Nomor 2/Pdt.G/2013/PTA.MKS).
Pada perkara di Pengadilan Agama pada dasarnya semua perkara bisa
dikenakan uang paksa/dwangsom (perkawinan, harta bersama, waris, wasiat,
hadhanah, hibah, wakaf, maupun di bidang ekonomi syariah) kecuali terhadap
putusan hakim dalam perkara-perkara tersebut yang hukuman pokoknya berupa
pembayaran sejumlah uang.
Dalam perkara mengenai boleh atau tidaknya menerapkan dwangsom dalam
putusan hadhanah masih diperselisihkan oleh para praktisi hukum. Sebagian praktisi
hukum berpendapat bahwa dwangsom ini tidak boleh diterapkan dalam putusan
hadhanah karena konteksnya berbeda, sebagian yang lain berpendapat bahwa
lembaga dwangsom dapat juga diterapkan dalam putusan hadhanah karena dengan
mencamtumkan dwangsom, pihak tergugat akan memenuhi isi putusan hakim jika ia
mengetahui ada kewajiban yang harus dipenuhi apabila ia tidak melaksanakan
hukuman pokok yang dibebankan kepadanya. Namun demikian, dalam putusan
Pengadilan Tinggi Agama Makassar Nomor: 2/Pdt.G/2013/PTA.Mks hakim
menyertakan dwangsom dalam perkara Hadhanah.
Metode yang dilakukan dalam penelitian ini adalah Yuridis Normatif yaitu
penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma-
norma dalam hukum positif, dalam hal ini data bahan hukum primer yaitu Kompilasi
Hukum Islam, dan Burgelijk Wetbok. Dari hasil penelitian diperoleh kesimpulan,
bahwa dalam putusan Pengadilan Tinggi Agama Makassar Nomor:
2/Pdt.G/2013/PTA Mks) yang menyertakan dwangsom dalam perkara hadhanah,
sudah memenuhi unsur dibolehkannya tuntutan tambahan uang paksa/dwangsom.
Yang mana legal opinion hakim masuk dalam kriteria dwangsom yaitu: (1)
dwangsom diminta secara tegas oleh pihak berperkara; (2) dwangsom diajukan
bersama-sama dengan hukuman pokok; (3) hukuman pokok yang diminta bukan
berupa pembayaran sejumlah uang; (4) terhukum dalam keadaan mampu dan
memungkinkan untuk melaksanakan hukuman pokok; (5) dwangsom menjadi solusi
efektif bagi penyelesaian perkara bersangkutan.
Kata kunci: Uang paksa (Dwangsom), Hadhanah, Pengadilan Tinggi Agama Agama
Makasar.
Pembimbing: Hj. Rosdiana, M.A/Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam
Negeri Sysarif Hidayatullah Jakarta.
v
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, akhirnya penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini
dengan izin dan karunia Dzat yang selalu memberikan kekuatan kepada penulis;
Allah SWT. Shalawat teriring salam kepada Baginda Nabi Muhammad SAW,
semoga syafaatnya senantiasa tercurah kepada kaum muslimin.
Skripsi ini disusun untuk memenuhi persyaratan dalam meraih gelar
Sarjana Syariah (S.Sy) pada Konsentrasi Peradilan Agama, Universitas Islam Negeri.
Dalam penyusunan skripsi ini, penulis memperoleh banyak dukungan dan saran dari
berbagai pihak, sehingga ucapan terima kasih penulis sampaikan dengan tulus dan
sebesar-besarnya kepada:
1. Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Bapak Prof. Dr. Dede Rosyada, MA.
2. Bapak Dr. Asep Saepuddin Jahar, S.Ag, MA selaku Dekan Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3. Bapak H. Kamarusdiana, S.Ag, MH, Dan Ibu Sri Hidayati, M.Ag, selaku Ketua
dan Sekretaris Program Studi Ahwal Syakhsiyah Fakultas Syariah dan Hukum.
4. Bapak JM. Muslimin, Ph.D selaku Dosen Pembimbing Akademik Penulis yang
telah banyak memberikan saran dan nasehat dalam perkuliahan.
5. Ibu Hj. Rosdiana, MA selaku Dosen Pembimbing Skripsi yang saya cintai.
6. Ayahanda tercinta Drs. Hambali Sahak dan Ibunda tersayang Sulismiani sujud
baktiku kepada kalian atas segala do’a dan pengorbanan kalian selama ini,
vi
“Robbighfirlii Waliwaalidayya Warhamhumaa Kamaa Robbayaanii Shoghiiroo”.
Saudaraku tercinta kanda dr. M. Hafiizh Alfarisii, Nenekku tersayang Hj.
Sukarmi yang selalu memberi doa.
7. Sahabat-sahabatku: Rusdi Nurridho, S.Sy, S.H, M Athoilah, S.Sy, S.H, IBM
Andhika, S.Sy, Ali Seto, S.Sy, Udi Wahyudi, S.Sy, Ade Taufik, S.Sy, Fahrur
Rodzy, S.Sy, Mawardi, S.Sy, Monica Lauren, S.Par, Bramantyo Faga, S.Ds, Aby
Respati, S.Kom, canda tawa kalian akan menjadi kenangan terindah dan tak
terlupakan.
8. Teman-teman Mahasiswa PA.B Angkatan 2008 dan teman-teman KKN Malfath
2011 terima kasih untuk kalian semua semoga sukses selalu.
9. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam penyusunan skripsi ini.
Penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat dan dapat digunakan sebagai rujukan
penyusunan skripsi lainnya di masa mendatang. Penulis pun menyadari bahwa skripsi
ini masih jauh dari kesempurnaan. Karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik
demi kesempurnaan skripsi ini selanjutnya.
Jakarta, 19 Maret 2015
Pesilun
aiaMaaMl raMk laMhahMM
DAFTAR ISI
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................. i
LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................. ii
LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................. iii
ABSTRAK ............................................................................................................ iv
KATA PENGANTAR ........................................................................................... v
DAFTAR ISI ......................................................................................................... vii
BAB I PENDAHULUAN ......................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ........................................................... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ....................................... 6
C. Tujuan Penelitian ..................................................................... 7
D. Study Review............................................................... ............. 7
E. Manfaat Penelitian ................................................................... 8
F. Metode Penelitian ..................................................................... 9
G. Teknik Penulisan ...................................................................... 11
H. Sistematika Penulisan .............................................................. . 11
BAB II UANG PAKSA (DWANGSOM) DALAM PERKARA
HADHANAH ................................................................................ 13
A. Pengertian Uang Paksa (dwangsom) ...................................... 13
B. Kegunaan Uang Paksa (dwangsom) ........................................ 15
C. Eksistensi Hadhanah Dalam Hukum Islam dan
Hukum Positif .......................................................................... 18
BAB III PROFIL PENGADILAN TINGGI AGAMA MAKASAR ....... 33
A. Histori Pengadilan Tinggi Agama Makassar ........................... 33
B. Struktur Organisasi Pengadilan .............................................. 36
C. Kedudukan dan Kewenangan Pengadilan Tinggi Agama
Makassar .................................................................................. 37
BAB IV PENERAPAN UANG PAKSA (DWANGSOM) PADA
PERKARA HADHONAH
(analisis putusan nomor 2/Pdt.G/2013/PTA MKS) ...................... 43
A. Dasar Hukum Implementasi Uang Paksa (dwangsom) ........... 43
B. Kategori Perkara Yang Dapat Dijatuhi
Uang Paksa (Dwangsom) ........................................................ 52
C. Tata Cara Pengajuan Dwangsom Dalam Gugatan ................... 56
D. Analisis Penulis Terhadap Pertimbangan Hakim
Dalam Menjatuhkan Uang Paksa (Dwangsom)
(Putusan Nomor 2/Pdt.G/2013/PTA MKS) ............................ 57
BAB V PENUTUP ..................................................................................... 66
A. Kesimpulan .............................................................................. 66
B. Saran-saran .............................................................................. 68
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 69
LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Satu di antara persoalan penting yang direkomendasikan dalam Rapat
Kerja Nasional (Rakernas) Mahkamah Agung R.I di Manado tanggal 31 Oktober
2012 yang lalu adalah mengenai penerapan lembaga dwangsom dalam perkara
pengasuhan anak (hadhanah), di mana berdasarkan hasil Rakernas tersebut dalam
perkara pemeliharaan anak (hadhanah) hakim dapat menghukum tergugat untuk
membayar dwangsom. Hal ini dimaksudkan antara lain untuk mengantisipasi
berbagai kesulitan pelaksanaan eksekusi anak yang selama ini kerap terjadi.1
Berbagai masalah dan kesulitan dalam penyelesaian baik pada tahapan
pemeriksaan apalagi saat pelaksanaan eksekusi, karena sampai saat masalah
eksekusi putusan anak masih ada perselisihan dimana ada ahli hukum yang
berpendapat anak tidak dapat di eksekusi sedangkan ahli hukum yang lain putusan
hadhanah dapat di eksekusi. Para ahli hukum yang berpendapat putusan hadhanah
tidak dapat di eksekusi beralasan bahwa selama ini Yurisprudensi yang ada
tentang eksekusi semuanya hanya bidang hukum kebendaan, bukan terhadap
orang. Oleh karena itu eksekusi terhadap anak sesuai dengan kelaziman yang ada
1 Cik Basir, Hakim pada Pengadilan Agama Lubuk Linggau (Sum-Sel) hal ini Rumusan hasil
Rakernas dimaksud selengkapnya menyatakan bahwa pada dasarnya putusan perkara hadhanah dapat dieksekusi, akan tetapi dalam pelaksanaannya harus memperhatikan kepentingan dan psikologis anak. Untuk menghindari kesulitan pelaksanaan eksekusi, hakim dapat menghukum tergugat untuk membayar dwangsom. Lihat Rumusan Hasil Diskusi Kelompok Bidang Peradilan Agama (Komisi II), (Manado, tanggal 31 Oktober 2012), h.2-3.
2
maka tidak ada eksekusinya, apalagi putusan bersifat deklatoir, karena kenyataan
sekarang eksekusi terhadap anak hanya bersifat sukarela. Sedang ahli hukum yang
memperbolehkan eksekusi terhadap anak dapat dijalankan bahwa perkembangan
hukum yang dianut akhir-akhir ini menetapkan bahwa masalah penguasaan anak
yang putusannya bersifat comdennatoir.
Sejauh ini di Pengadilan Agama menerima permohonan dwangsom itu
justru lebih banyak diajukan dalam perkara-perkara sengketa kebendaan,
sedangkan dalam perkara pengasuhan anak (hadhanah) dapat dikatakan masih
sangat jarang yang disertai dengan tuntutan dwangsom.2
Dari sekian banyak permohonan dwangsom yang diajukan di Pengadilan
Agama selama ini khususnya dalam perkara-perkara sengketa kebendaan
(zakenrecht) ternyata masih sangat jarang yang sampai dikabulkan hakim. Hal ini
tidak dipungkiri disebabkan antara lain karena masih terbatasnya pemahaman
sebagian hakim Pengadilan Agama terhadap eksistensi dan urgensi lembaga
dwangsom itu sendiri di satu sisi dan penerapannya di Pengadilan Agama di sisi
lain.3
Dalam aspek teori dan praktik tuntutan uang paksa (dwangsom) lazim
dijumpai dalam setiap gugatan. Kongkritnya, tuntutan uang paksa merupakan hal
2 Retnowulan dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan
Praktek. (Bandung: Mandar Maju, 2002), h. 34
3 Harifin Tumpa, Memahami Eksistensi Uang Paksa (Dwangsom) dan Inplementasinya di
Indonesia. (Jakarta: Prenada Media Group, 2010), h. 9.
3
wajar dan semestinya diminta oleh pihak penggugat atau para penggugat kepada
pihak tergugat atau para tergugat sebagai upaya tekanan agar nantinya pihak
tergugat atau para tergugat mematuhi, memenuhi dan melaksanakan tuntutan atau
hukuman pokok.4
Uang paksa (Dwangsom) diartikan sebagai hukuman tambahan yang
dibebankan hakim kepada pihak tergugat (terhukum) untuk membayar sejumlah
uang kepada pihak penggugat dengan tujuan agar tergugat (terhukum) bersedia
memenuhi hukuman pokok yang dijatuhkan hakim secara sukarela dalam waktu
yang telah ditentukan.
Sedangkan dari ketentuan Pasal 606a dan 606b Rv setidaknya ada tiga hal
yang perlu dipahami yang merupakan sifat sekaligus sebagai prinsif dasar dari
dwangsom sebagaimana diuraikan oleh Harifin Tumpa:5
Pertama, dwangsom itu bersifat pelengkap (accessoir). Oleh karena
bersifat accessoir maka gugatan mengenai dwangsom hanya dapat dikabulkan
oleh hakim apabila diajukan bersama-sama dengan gugatan pokok. Dengan
perkataan lain gugatan mengenai dwangsom tidak bisa diajukan secara tersendiri
atau terpisah dengan gugatan pokok, ia selalu harus mengikuti gugatan pokok.
Dengan demikian dwangsom tidak mungkin dijatuhkan hakim jika gugatan pokok
4 Lilik Mulyadi, Kompilasi Hukum Perdata Perspektif Teoritis dan Praktik Peradilan; Hukum
Acara Perdata, Hukum Perdata Materiil, Peradilan Hubungan Industrial, Peradilan Perkara Perdata (Bandung: P.T Alumni, 2009), h. 71.
5 Harifin Tumpa, Memahami Eksistensi Uang Paksa (Dwangsom) dan Inplementasinya di
Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2010), h. 18-19.
4
tidak dikabulkan. Gugatan mengenai dwangsom hanya dapat dijatuhkan hakim
apabila bersama-sama dengan dijatuhkannya hukuman pokok.
Kedua, dwangsom merupakan hukuman tambahan. Dalam hal ini
dwangsom yang dijatuhkan hakim bersama-sama dengan hukuman pokok hanya
akan diberlakukan terhadap tergugat (terhukum) manakala ia tidak memenuhi
hukuman pokok dalam putusan tersebut. Apabila hukuman pokok dalam putusan
tersebut telah dilaksanakan dan dipenuhi oleh tergugat (terhukum) sebagaimana
mestinya maka dengan sendirinya dwangsom tidak mempunyai kekuatan hukum
lagi sehingga tidak perlu dilaksanakan lagi oleh tergugat. Sebaliknya, manakala
tergugat lalai melaksanakan hukuman pokok, lalu ia hanya memenuhi dwangsom
sebagaimana yang dijatuhkan hakim dalam putusan, pelaksanaan dwangsom
tersebut sama sekali tidak menghapuskan hukuman pokok. Keharusan tergugat
melaksanakan hukum pokok tetap tidak gugur dengan dilaksanakannya
dwangsom.
Ketiga, dwangsom merupakan media untuk memberikan tekanan psychis
(dwaang middelen) kepada terhukum. Hal ini berarti bahwa dwangsom
dimaksudkan untuk memberikan tekanan secara psikis kepada pihak tergugat agar
yang bersangkutan mau melaksanakan putusan hakim secara sukarela. Di sini
kedudukan dwangsom jelas fungsi utamanya adalah sebagai alat untuk menekan
pihak tergugat agar ia mau memenuhi hukuman pokok secara sukarela.6
6 Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta:
Kencana Prenada Madia Group, 2008), h. 439.
5
Inilah tiga hal yang merupakan sifat sekaligus prinsif lembaga dwangsom
yang penting untuk diketahui dan dipahami guna memudahkan dalam memahami
eksistensi dan urgensinya dalam praktik Peradilan di Indonesia.
Disisi lain, persoalan mengenai boleh atau tidaknya menerapkan dwangsom
dalam putusan hadhanah masih diperselisihkan oleh para praktisi hukum.
Sebagian praktisi hukum berpendapat bahwa dwangsom ini tidak boleh diterapkan
dalam putusan hadhanah karena konteksnya berbeda, sebagian praktisi hukum
yang lain berpendapat bahwa lembaga dwangsom dapat juga diterapkan dalam
putusan hadhanah karena dengan mencamtumkan dwangsom itu pihak tergugat
akan memenuhi isi putusan hakim jika ia mengetahui ada kewajiban yang harus
dipenuhi apabila ia tidak melaksanakan hukuman pokok yang dibebankan
kepadanya. Hipotesa atas persoalan ini tampaknya pendapat yang terakhir
menginginkan diterapkan lembaga dwangsom dalam putusan hadhanah apabila
dilihat dari doolmattigheit-nya, lebih-lebih lagi apabila penerapan itu dengan
tujuan kemaslahatan.7
Berdasarkan uraian di atas yang telah dijelaskan, maka penulis tertarik
untuk mengkaji lebih jauh bagaimana penerapan atau implementasi uang paksa
dalam perkara hadhanah. Berangkat dari keingintahuan penulis inilah, penulis
ingin mencoba meneliti dan menguraikan bentuk penulisan skripsi dengan judul:
“Penerapan Uang Paksa (Dwangsom) Dalam Perkara Hadhanah (Analisis
Putusan Nomor 2/Pdt.G/2013/PTA Mks)”
7 Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Pengadilan Agama, h.
438.
6
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Pembahasan mengenai penerapan atau implementasi uang paksa dalam
perkara hadhanah banyak perbedaan antara para ahli hukum, karena masih
banyak ahli hukum yang berbeda pendapat akan hal ini, maka dari
permasalahan ini penulis ingin mengkaji lebih dalam dan memberikan batasan
pada Penerapan Uang Paksa (Dwangsom) Pada Pelaksanaan Putusan hanya
pada Perkara Hadhanah saja (Putusan Nomor 2/Pdt.G/2013/PTA Mks) di
Pengadilan Tinggi Agama Makassar.
2. Perumusan Masalah
Perkara Hadhanah yang sering kita temui dalam praktek yang terkadang
kasusnya sangat komplek dan cukup luas jangkauannya dikarenakan
banyaknya pihak tergugat atau yang kalah jarang sekali yang melaksanakan
putusan dari pengadilan, sehingga proses eksekusi terhadap anak sering terjadi
tarik-ulur. Sehingga banyak ahli hukum berpendapat untuk memasukkan
unsur uang paksa (dwangsom) pada perkara hadhanah ini agar memberikan
efek jera pada tergugat, akan tetapi hal psikis anak harus juga diliat berkaitan
eksekusinya, dalam skripsi ini penulis mencoba untuk menganalisis juga
terkait putusan Pengadilan Tinggi Agama Makassar (Putusan Nomor
2/Pdt.G/2013/PTA Mks) yang menyertakan dwangsom dalam perkara
hadhanah. Hal ini lah yang masih menjadi perdebatan para ahli. Berdasarkan
uraian pokok permasalahan di atas, maka penulis mencoba memformulasikan
7
dalam rumusan penelitian ini dengan mengajukan beberapa pertanyaan
penelitian sebagai berikut:
a. Bagaimana Dasar Hukum implementasi uang paksa (dwangsom)?
b. Apa saja Kategori Perkara yang dapat dijatuhi uang paksa (dwangsom)?
c. Bagaimana pertimbangan hakim dalam menjatuhkan uang paksa
(dwangsom) terhadap tergugat dalam perkara hadhanah Analisis Putusan
Nomor 2/Pdt.G/2013/PTA Mks.
C. Tujuan Penelitian
Penelitian yang dilakukan penulis bertujuan:
1. Untuk mengetahui Dasar Hukum implementasi uang paksa (dwangsom).
2. Untuk mengetahui Apa saja Perkara yang dapat dijatuhi uang paksa
(dwangsom).
3. Untuk mengetahui pertimbangan hakim dalam menjatuhkan uang paksa
(dwangsom) terhadap tergugat dalam perkara hadhanah Analisis Putusan
Nomor 2/Pdt.G/2013/PTA Mks.
D. Review Study
1. Pelaksanaan Eksekusi Sengketa Hadhanah di Pengadilan agama Cikarang,
oleh: RA Didin Dlliyauddin, (109044200003) Tahun 2014.
2. Hak Asuh Anak Akibat Istri Nusuz (Analisis Putusan Pengadilan Agama
Jakarta Timur (Putusan Nomor: 377/Pdt.G/2006/PAJT) oleh: Hadi
Zulkarnain, (106044201462) Tahun 2011.
8
3. Hadhanah Perspektif Madzhab Hanafi dan Madzhab Syafi’i dan Prakteknya di
Pengadilan Agama Jakarta Selatan (Studi Putusan Pengadilan Agama Jakarta
Selatan No. 1185/Pdt.G/2006/PAJS) oleh: Sabaruddin (204044103057) Tahun
2009.
E. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian ini adalah:
1. Manfaat Teoritis
a. Diharapkan memberikan manfaat bagi pihak terkait, yang dalam hal ini
para pihak khususnya yang konsen mengkaji Hukum Acara Perdata.
b. Untuk menambah serta memperdalam ilmu pengetahuan penulis akan hal
Hukum Acara Perdata.
c. Sebagai bahan pertimbangan untuk dijadikan acuan terhadap pembuatan
penelitian yang serupa di masa mendatang.
2. Manfaat Praktis
a. Dapat memberikan wawasan dan pengetahuan bagi masyarakat luas
mengenai hak asuh anak (hadhanah) dan uang paksa (dwangsom).
b. Untuk meningkatkan penalaran dan membentuk pola pikir dinamis serta
mengaplikasikan ilmu yang diperoleh penulis selama studi di Fakultas
Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
9
F. Metode Penelitian
Untuk memperoleh data yang akan dibutuhkan untuk menyusun skripsi
ini, maka Penulis menggunakan metode:
1. Jenis Penelitian dan Pendekatan
Jenis penelitian yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah
a. Penelitian yuridis normatif yaitu penelitian yang difokuskan untuk
mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum
positif.8
b. Penelitian kepustakaan (library research) yaitu penelitian yang dilakukan
dengan cara mengkaji, menganalisa serta merumuskan buku-buku,
literatur dan yang lainnya yang ada relevansinya dengan judul skripsi ini.
Sedangkan pendekatan yang dilakukan dalam penyusunan skripsi ini
menggunakan pendekatan konseptual (Conseptual Approach).9 Pendekatan ini
beranjak dari pandangan-pandang dan doktrin-doktrin yang berkembang
didalam ilmu hukum. Dengan mempelajari pandangan-pandangan dan
dokrtin-doktrin didalam ilmu hukum, peneliti akan menemukan ide-ide yang
melahirkan pengertian-pengertian hukum, konsep-konsep hukum, dan asas-
asas hukum yang relevan dengan isu yang dihadapi.
8 Johnny Ibrahim, Teori dan Metodelogi Penelitian Hukum Normatif, (Malang: Bayumedia
Publishing, 2008), h. 294.
9 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta, Kencana, 2011), cet. 7, h. 137.
10
2. Sumber Hukum
Sumber Hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah data
bahan hukum primer yaitu bahan-bahan mengikat yakni, Kompilasi Hukum
Islam, dan Burgelijk Wetbok. Dan sumber data sekunder yaitu bahan-bahan
hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan primer yang terdiri dari
buku-buku (textbooks) yang ditulis para ahli hukum yang berpengaruh (de
herseende leer), jurnal-jurnal hukum, pendapat para sarjana, kasus-kasus
hukum, yurisprudensi.10 Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang
memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan
bahan hukum sekunder seperti kamus hukum, encyclopedia, dan lain-lain.11
3. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Dalam upaya mengumpulkan data yang diperlukan, digunakan metode
dokumentasi adalah mencari hal-hal atau variabel berupa catatan, transkrip,
buku, surat kabar, media online, majalah, prasasti, notulen, rapat, agenda, dan
sebagainya.12
4. Teknik Analisis Bahan Hukum
Analisis bahan hukum merupakan langkah-langkah yang berkaitan
dengan pengelolahan terhadap bahan-bahan hukum yang telah dikumpulkan
10
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif suatu tinjauan singkat, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), h. 13.
11 Johnny Ibrahim, Teori dan Metodelogi Penelitian Hukum Normatif, h. 29.
12 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif suatu tinjauan singkat, h.
201.
11
untuk menjawab isu hukum yang telah dirumuskan dalam rumusan masalah.
Pada penelitian hukum normatif, pengelolahan bahan hukum hakikatnya
merupakan kegiatan untuk mengadakan sistematisasi terhadap bahan-bahan
hukum tertulis. Sistematisasi berarti membuat klasifikasi terhadap bahan-
bahan hukum tertulis tersebut untuk memudahkan pekerjaan analisis dan
konstruksi.
Dalam analisis Bahan Hukum ini kegiatan yang dilakukan antara lain
a. Memilih pasal-pasal yang berisi kaidah-kaidah hukum yang mengatur
tentang hukum hak asuh anak serta tentang uang paksa dalam peraturan
perundang-undangan.
b. Membuat sistematik dari pasal-pasal atau kaidah-kaidah hukum tersebut
sehingga menghasilkan klasifikasi tertentu.
G. Teknik Penulisan
Dalam penulisan dan penyusunan skripsi ini, penulis berpedoman pada
prinsip-prinsip yang telah diatur dan dibukukan dalam buku pedoman penulisan
skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta tahun 2012.
H. Sistematika Penulisan
Pendahuluan dalam sub bab ini berisikan tentang latar belakang masalah,
pembatasan dan perumusan masalah, tujuan penelitian, Studi review terdahulu,
manfaat penelitian, metode penelitian, teknik penulisan dan sistematika penulisan.
12
Kedua dalam Bab ini menjelaskan tentang Pengertian Uang Paksa
(dwangsom) kemudian tentang Kegunaan Dwangsom dan yang terakhir tentang
Eksistensi Hadhanah dalam Hukum Islam dan Hukum Positif.
Ketiga dalam bab ini penulis menjelaskan tentang Histori Pengadilan
Tinggi Agama Makassar kemudian menjelaskan tentang Struktur Organisasi
Pengadilan Tinggi Agama Makassar dan yang terakhir menjelaskan tentang
Kedudukan dan Kewenangan Pengadilan Tinggi Agama Makassar.
Keempat dalam bab terakhir ini berisikan tentang Dasar Hukum
Implementasi Uang Paksa (dwangsom) kemudian menjelaskan tentang Kategori
Perkara Yang Dapat Dijatuhi Uang Paksa (dwangsom) kemudian menjelaskan
tentang Tata Cara Pengajuan Dwangsom Dalam Gugatan dan yang terakhir
tentang Analisis Penulis Terhadap Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan
Uang Paksa (dwangsom) (putusan nomor 2/Pdt.G/2013/PTA.MKS).
Kelima dalam bab terakhir ini berisikan tentang kesimpulan dari penulis
beserta saran-saran penulis dan penutup.
13
BAB II
UANG PAKSA (DWANGSOM) DAN PELAKSANAAN PUTUSAN (EXECUTIE
VERKOOP) HADHANAH
A. Pengertian Uang Paksa (dwangsom)
Hukuman adalah resiko yang ditanggung oleh siapa saja yang melakukan
kesalahan akibat perbuatannya. Hukuman tidak selamanya berbentuk penjara
untuk mengekang dalam arti fisik agar orang itu terasing dari komunitas sosial
dalam pembinaan diri untuk menjadi lebih baik. Hukuman menjadi sebuah sarana
pengendalian sosial (social control) yang efektif dalam pembinaan terhadap orang
yang melakukan kesalahan.
Dalam ranah hukum privat/perdata terdapat hukuman yang disebut “uang
paksa” sebagai uang hukuman bagi seseorang tergugat (orang yang menimbulkan
kerugian bagi orang lain) yang ditetapkan dalam putusan hakim yang sifatnya
komdemnatoir.1
Qudelaar menjelaskan sebagaimana dikutip oleh Lilik Mulyadi, tuntutan
uang paksa (dwangsom) adalah sejumlah uang yang ditetapkan dalam putusan
1 Ditinjau dari segi sifatnya, terdapat beberapa jenis putusan yang dapat dijatuhkan hakim:
Putusan declatoir atau deklarator adalah yang berisi pernyataan atau penegasan tentang suatu keadaan
atau kedudukan hukum semata-mata, Misalnya putusan yang menyatakan ikatan perkawinan sah,
perjanjian jual beli sah. Putusan Constitutief atau konstitutif (constitutief vonnis) adalah putusan yang
memastikan suatu keadaan hukum, baik yang bersifat meniadakan suatu keadaan hukum maupun yang
menimbulkan hubungan hukum baru, misalnya putusan perceraian. Putusan Condemnatoir atau
kondemnator adalah putusan yang memuat amar menghukum salah satu pihak yang berperkara.
Putusan yang bersifat kondemnator merupakan bagian yang tidak terpisah dari amar deklaratif atau
konstitutif. Lihat M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), h. 872-
874.
14
hakim yang harus dibayar oleh si Terhukum untuk kepentingan pihak lawan
apabila ia tidak memenuhi hukuman pokok.2
Dasar hukum dwangsom dijelaskan dalam Pasal 606a Rv. menentukan:
Sepanjang suatu keputusan hakim mengandung hukuman untuk sesuatu yang lain
dari pada pembayar sejumlah uang, maka dapat ditentukan,bahwa sepanjang
atau setiap kali terhukum tidak memenuhi hukuman tersebut, olehnya harus
diserahkan sejumlah uang yang besarnya ditetapkan dalam keputusan hakim, dan
uang tersebut dinamakan uang paksa.3
Tuntutan uang paksa dalam praktik peradilan perkara perdata di Indonesia
lazim disebut dengan terminology "Dwangsom". Terminology "dwangsom" ini
berasal dari bahasa Belanda, yang merupakan kata absorptie dari bahasa Perancis
yaitu kata "astreinte". Dalam aspek teori dan praktik tuntutan uang paksa
(dwangsom) lazim dijumpai dalam setiap gugatan. Konkritnya, tuntutan uang
paksa merupakan hal wajar dan semestinya diminta oleh pihak Penggugat atau
para Penggugat kepada pihak Tergugat atau para Tergugat sebagai upaya tekanan
agar nantinya pihak Tergugat atau para Tergugat mematuhi, memenuhi dan
melaksanakan tuntutan atau hukuman pokok.4
Penerapan dwangsom (uang paksa) dalam hukum acara perdata berkaitan
dengan amar putusan yang mesti dilaksanakan oleh pihak yang kalah dalam
2 Lilik Mulyadi, Putusan Hakim dalam Hukum Acara Perdata Indonesia: Teori, Praktik,
Teknik Membuat dan Permasalahannya (Bandung: PT. Citra Aditya Abadi, 2009), h. 70.
3 Harifin A.Tumpa, Memahami Eksistensi Uang Paksa (dwangsom) dan Implementasinya di
Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2010), h. 17.
4 Lilik Mulyadi, Kompilasi Hukum Perdata Perspektif Teoritis dan Praktik Peradilan;
HukumAcara Perdata, Hukum Perdata Materiil, Peradilan Hubungan Industrial, Peradilan Perkara
Perdata (Bandung: P.T Alumni,2009), h. 71.
.
15
sengketa perdata terhadap putusan yang sudah mempunyai kekuatan hukum
tetap.
Berdasarkan pengertian ini dapat diketahui bahwa sifat dwangsom adalah
sebagai berikut:5
1. merupakan accecoir, tidak ada dwangsom apabila tidak ada hukuman pokok,
apabila hukuman pokok telah dilaksanakan maka dwangsom yang ditetapkan
bersama hukuman pokok tersebut menjadi tidak mempunyai kekuatan lagi;
2. merupakan hukuman tambahan, apabila hukuman pokok yang ditetapkan oleh
hakim tidak dipenuhi oleh Tergugat, maka dwangsom tersebut dapat
dijalankan eksekusi;
3. merupakan tekanan pcychis, dengan adanya hukuman dwangsom yang
ditetapkan oleh putusan hakim dalam putusannya, maka orang yang dihukum
tersebut ditekan secara pcychis agar ia dengan sukarela menjalankan hukuman
pokok yang telah ditentukan oleh hakim.
B. Kegunaan Uang Paksa (dwangsom)
Sebagaimana diketahui bahwa yang menjadi dasar pemeriksaan perkara
perdata adalah gugatan. Oleh karena itu, apabila di dalam gugatan diminta adanya
suatu dwangsom, hakim dapat saja mengabulkannya. Kewenangan ada pada
hakim tingkat pertama, banding maupun kasasi.6 Tentang seberapa jauh hakim
5 Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, Cet ke-
5, (Jakarta: Kencana Prenada Madia Group, 2008), h.230. 6 Harifin Tumpa, Memahami Eksistensi Uang Paksa (Dwangsom) dan Implementasinya di
Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2010), h. 51.
16
agar dapat mengabulkan suatu dwangsom, itu sangat tergantung pada
kebijaksanaan (diskresioner) dari hakim. Tidak harus setiap permintaan
dwangsom yang memenuhi rumusan ketentuan pasal 611a Rv harus dikabulkan
oleh hakim. Hakim pulalah yang mempunyai kewenangan untuk
mempertimbangkan fakta-fakta dan menentukan suatu jumlah uang paksa
(dwangsom).
Adalah suatu sifat yang sangat bijaksana bila hakim mempertimbangkan
kemampuan dr si terhukum (tergugat) didalam menjatuhkan dwangsom. Di
samping itu, dalam menetapkan besarnya uang paksa (dwangsom) hakim
hendaknya juga mempertimbangkan apkah jumlah uang paksa (dwangsom) yang
dijatuhkan itu dapat bekerja secara efektif sesuai dengan tujuannya, artinya
apakah hukuman dwangsom itu akan sungguh-sungguh merupakan tekanan
psychis bagi terhukum, sehingga si terhukum ini akan dengan sukarela memenuhi
hukuman pokoknya.7
Pembayaran suatu jumlah uang secara paksa (setidak-tidaknya ancaman
untuk melakukan itu) digunakan sebagai alat pemaksa, maka alat pemaksa ini
tidak diperlakukan di dalam hal keputusan itu berupa pembayaran sejumlah uang.
Dengan melihat maksud dan tujuan dari dwangsom tersebut, maka dapat
disimpulkan bahwa dalam eksekusi riil hanya mempunyai 2 unsur, yaitu:8
7 Harifin Tumpa, Memahami Eksistensi Uang Paksa (Dwangsom) dan Implementasinya di
Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2010), h. 51.
8 Harifin Tumpa, Memahami Eksistensi Uang Paksa (Dwangsom) dan Implementasinya di
Indonesia, h. 21.
17
1. Adanya suatu ancaman (de bedreiging) yang bekerja secara psychis; dan
2. Pelaksanaan secara paksa (de uitvoering geweld).
Sedangkan dwangsom mempunyai unsur yang lebih luas, yaitu:
1. Ancaman yang berasal dari penerapan dwangsom;
2. Berlakunya dwangsom;
3. Tuntutan pelaksanaan dwangsom.
Dengan adanya ancaman dari suatu kemungkinan penerapan dwangsom
yang kemudian diterapkan dan dilaksanakan secara paksa, si berutang diharapkan
melaksanakan secara sukarela apa yang ditentukan dalam hukuman pokok,
sebelum dwangsom betul-betul dilaksanakan.
Dalam rumusan ketentuan pasal 61d Ayat 1 menetukan bahwa hakim yang
telah menjatuhkan dwangsom, dapat menghapuskan, atau menunda untuk suatu
jangka waktu atau mengurangi dwangsom baik mengenai jumlahnya maupun
jangka waktunya, di dalam hal si terhukum tidak mungkin melaksanakan
hukuman pokok. Kemudian Ayat 2 menegaskan bahwa hakim tidak boleh
mengubah suatu dwangsom yang telah berkekuatan hukum, sebelum ternyata
adanya ketidak-mungkinan tersebut.9 Ternyata undang-undang tidak
menjelaskannya. Hal ini tentunya diserahkan sepenuhnya kepada kearifan dari
hakim dan para ahli hukum. Menurut yurisprudensi dan literatur ditemukan dua
kemungkinan sebagai dasar “ketidakmungkinan” tersebut yaitu:
9 Harifin Tumpa, Memahami Eksistensi Uang Paksa (Dwangsom) dan Implementasinya di
Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2010), h. 39.
18
1. Tidak mungkin melaksanakan prestasi pokok secara materiil/fisik;
2. Tidak mungkin melaksanakan prestasi pokok secara psychis.
C. Eksistensi Hadhanah Dalam Hukum Islam Dan Hukum Positif
1. Menurut Fiqh
Dalam islam pemeliharaan anak disebut hadhanah. Secara etimologis,
hadhanah jamaknya ahdhan atau hudhun terambil dari kata hidhn yaitu
anggota badan yang terletak di bawah ketiak hingga al-kayh (bagian badan
sekitar pinggul antara pusat hingga pinggang). Burung dikatakan hadhanat-
tha’ir baydhahu, manakala burung tidak mengerami telurnya karena dia
mengumpulkan (mengempit) telurnya itu kedalam dirinya di bawah (himpitan
sayapnya).10
Demikian pula sebutan hadhanah diberikan kepada seorang
perempuan (ibu) manakala mendekap (mengemban) anaknya di bawah ketiak,
dada, serta pinggulnya.11
Hadhanah menurut bahasa berarti meletakan sesuatu dekat tulang
rusuk atau di pangkuan.12
Hadhanah juga berarti “di samping” atau berada “di
bawah ketiak”. Sedangkan secara terminologis, hadhanah adalah merawat dan
mendidik seseorang yang belum mumayiz atau yang kehilangan
10
Ahmad Warson, kamus Al-Munawir Arab – Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progresif,
1997), h. 296.
11
Sayyid Sabiq, Fiqhus-Sunnah Jilid 2, (Beirut-Lubhan : Dar al-Fikr, 1973), h. 339.
12
DEPAG RI, Ilmu Fiqh, Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Proyek
Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama IAIN Jakarta, 1984/1985. Jilid II, h. 206.
19
kecerdasannya, karena mereka tidak bisa memenuhi keperluannya sendiri.13
Dalam kajian fiqh, pemeliharaan anak biasa disebut dengan hadhanah yang
berarti memelihara seorang anak yang belum mampu hidup mandiri yang
meliputi pendidikan segala sesuatu yang diperlukannya baik dalam bentuk
melaksanakan maupun dalam bentuk menghindari sesuatu yang dapat
merusaknya.14
Para ulama fiqh mendefinisikan hadhanah yaitu melakukan
pemeliharaan anak-anak yang masih kecil, baik laki-laki maupun perempuan,
atau yang sudah besar tetapi belum tamyiz, menyediakan sesuatu yang
menjadi kebaikannya, menjaganya dari sesuatu yang menyakiti dan
merusaknya, mendidik jasmani, rohani, akhlaknya agar mampu berdiri sendiri
menghadapi hidup dan memikul tanggung jawab.15
Dalam kitab Subulussalam disebutkan bahwa hadhanah adalah
pemeliharaan anak yang belum mampu berdiri sendiri mengurus dirinya,
pendidikannya serta pemeliharaannya dari segala sesuatu yang
membinasakannya atau membahayakannya.16
Dalam literatur fiqh, hadhanah didefinisikan dalam beberapa
terminologis diantaranya:
13
Amiur Nuruddin, dkk, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta : Kencana, 2006), h.
293. 14
Ali Zainuddin, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta : Sinar Grafika, 2007), h. 67.
15
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah Jilid II, (Beirut : Dar Fikr, 1983), h. 287.
16
Imam Muhammad Ibnu Ismail As-Shan‟ani, Subulussalam Juz III, (Kairo: Dar Ihya Al-
Turas Al-Araby, 1960), h. 227.
20
a. Menurut Sayyid Sabiq:17
Artinya: “Suatu sikap pemeliharaan terhadap anak kecil baik laki-laki
maupun perempuan atau yang kurang akal, belum dapat
membedakan antara baik dan buruk, belum mampu dengan
bebas mengurus diri sendiri dan belum tahu mengerjakan
sesuatu untuk kebaikan, dan memeliharanya dari sesuatu yang
menyakiti dan membahayakannya, mendidik serta
mengasuhnya baik fisik maupun mental atau akal, supaya
menegakkan kehidupan sempurna dan bertanggung jawab”.
b. Menurut Qalyubi Dan Umairah:18
Artinya : “Hadhanah ialah menjaga anak yang tidak dapat mengurus
urusannya dan mendidiknya dengan hal-hal yang baik”.
Dari beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa yang
dimaksud dengan hadhanah adalah mengasuh atau memelihara anak yang
belum mumayiz supaya menjadi manusia yang hidup sempurna dan
tanggung jawab. Hadhanah diartikan dengan pemeliharaan dan
pendidikan. Yang dimaksud mendidik dan memelihara disini adalah
17
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah Jilid II, (Beirut: Dar Fikr, 1983), h. 289.
18
Syeikh Al-syihab Al-Din Al-Qalyubi Wa Al-„Umairah, Al-Mahalli Juz IV, (Kairo: Dar
Wahya Al-Kutub, 1971), h. 88.
21
menjaga, memimpin, dan mengatur segala hal yang anak-anak itu belum
sanggup mengatur sendiri.19
Menurut Wahbah Al-Zuhaili, hadhanah merupakan hak
bersama antara kedua orang tua serta anak-anak, sehingga apabila
nantinya timbul permasalahan dalam hadhanah, maka yang diutamakan
adalah hak anak.20
Dalam meniti kehidupannya di dunia seorang anak memiliki hak
mutlak yang tidak dapat diganggu gugat. Orang tua tidak boleh begitu saja
mengabaikan lantaran hak-hak anak tersebut termasuk ke dalam salah satu
kewajiban orang tua terhadap anak yang telah digariskan dalam islam,
yakni hadhanah memelihara anak sebagai amanah Allah yang harus
dilaksanakan dengan baik.21
Kewajiban orang tua merupakan hak anak. Menurut Abdul Rozak,
anak mempunyai hak-hak sebagai berikut:22
1) Hak anak sebelum dan sesudah melahirkan.
2) Hak anak dalam kesucian keturunannya.
3) Hak anak dalam pemberian nama yang baik.
4) Hak anak dalam menerima susuan.
19
Syaikh Hasan Ayyub, Fiqh Keluarga, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2004), h. 391.
20
Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh Islam Wa Adillatuhu Juz VII, (damaskus: Dar Al-fikr, 1984), h. 279.
21
Abdur Rozak Kusein, Hak Anak Dalam Islam, (Jakarta: Fikahati Aneska, 1995), h. 49.
22
Neng Djubaedah, dkk, Hukum Perkawinan Islam DI Indonesia, (Jakarta: PT. Hecca Utama,
2005), h. 177.
22
5) Hak anak dalam mendapatkan asuhan, perawatan dan pemeliharaan.
6) Hak anak dalam kepemilikan harta benda atau hak warisan demi
kelangsungan hidupnya.
7) Hak anak dalam bidang pendidikan dan pengajaran.
Undang-undang perkawinan saat ini belum mengatur secara
khusus tentang pengawasan anak sehingga pada waktu sebelum tahun
1989, para hakim masih menggunakan kitab-kitab fiqh. Barulah setelah
diberlakukannya Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama dan Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang penyebarluasan KHI,
masalah hadhanah menjadi hukum positif di Indonesia dan Peradilan
Agama diberi wewenang untuk memeriksa dan menyelesaikan.23
2. Menurut Hukum Perdata
Pemeliharaan anak terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata Buku Kesatu hal Orang pada Bab X, XI, dan XIV, Pada pasal 289 bab
XIV Tentang Kekuasaan Orang Tua bagian 1 Akibat-akibat Kekuasaan Orang
Tua Terhadap Pribadi Anak dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
menyatakan bahwa setiap anak, berapapun juga umurnya wajib menghormati
dan menghargai kedua orang tuanya. Dalam tinjauan hukum perdata mengenai
siapa yang paling berhak memelihara atau mengasuh anak yang masih di
bawah umur, akibat dari perceraian suami istri adalah kewajiban orang tuanya.
23
Amiur Nuruddin dkk, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006). h.
298-299.
23
Orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka yang masih di
bawah umur. Kehilangan kekuasaan orang tua atau kekuasaan wali tidak
membebaskan mereka dari kewajiban untuk memberi tunjangan menurut
besarnya pendapatan mereka guna membiayai pemeliharaan dan pendidikan
anak-anak mereka itu.24
Kemudian juga dijelaskan pada pasal 299 bab XIV Tentang
Kekuasaan Orang Tua bagian 1 Akibat-akibat Kekuasaan Orang Tua
Terhadap Pribadi Anak dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata bahwa
selama perkawinan orang tuanya, sejauh kedua orang tua tersebut tidak
dilepaskan atau dipecat dari kekuasaan itu. Kecuali jika terjadi pelepasan atau
pemecatan dan berlaku ketentuan-ketentuan mengenai pisah meja dan ranjang,
bapak sendiri yang melakukan kekuasaan itu. Bila bapak berada dalam
keadaan tidak mungkin untuk melakukan kekuasaan orang tua, kecuali dalam
hal adanya pisah meja atau ranjang. Bila ibu juga tidak dapat atau tidak
berwenang, maka oleh Pengadilan Negeri diangkat seorang wali sesuai
dengan pasal 359. Hal ini terdapat dalam pasal 300 bab XIV Tentang
Kekuasaan Orang Tua Terhadap Pribadi Anak dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata.25
Dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan
Anak, orang tua (bapak ataupun ibu) memiliki hak yang setara dan sama
24
Soedharyo Soimin, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: sinar Grafika, 2007), h. 72.
25
Soedharyo Soimin, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, h.76.
24
sebagai orang tua untuk mengasuh, memelihara dan merawat serta melindungi
hak-hak anak. Yang terpenting, kemampuan orang tua untuk mengasuh dan
memelihara anak.26
Mengenai pemeliharaan anak yang masih dibawah umur, diatur dalam
pasal 229 bab X Tentang Pembubaran Perkawinan pada umumnya dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang berisikan: “Setelah memutuskan
perceraian, dan setelah mendengar atau memanggil dengan sah para orang tua
atau keluarga sedarah atau semenda dari anak-anak yang dibawah umur,
Pengadilan Negeri akan menetapkan siapa dari kedua orang tua akan
melakukan perwalian atas tiap-tiap anak, kecuali jika kedua orang tua itu
dipecat atau dilepaskan dari kekuasaan orang tua, dengan mengindahkan
putusan-putusan hakim terdahulu yang mungkin memecat atau melepas
mereka dari kekuasaan orang tua.27
Dari uraian tersebut di atas, bahwa setelah adanya kekuasaan orang tua
atau para wali atau yang ditetapkan oleh Pengadilan, kecuali keduanya telah
dipecat dari kekuasaannya, dikarenakan telah melalaikan tugasnya atau
berperilaku tidak baik. Jadi, menurut hukum perdata, bahwa hak memelihara
atau mengasuh anak yang masih kecil tetap berada dalam tanggungan orang
tua baik dari ibu maupun ayah.
26
Rika Saraswati, Hukum Perlindungan Anak Di Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti, 2009), h. 211.
27
Soedharyo soimin, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007),
h. 72.
25
Sebagaimana dijelaskan juga dalam pasal 231 bab X Tentang
Pembubaran Perkawinan pada umumnya dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata,
“Bubarnya perkawinan karena perceraian tidak akan menyebabkan anak-anak
yang lahir dari perkawinan itu kehilangan keuntungan-keuntungan yang telah
dijamin bagi mereka oleh undang-undang atau oleh perjanjian perkawinan
orang tua mereka”.
Menurut pasal tersebut di atas, bahwa hak mengasuh terhadap anak kecil
meskipun orang tua telah terjadi perceraian, tetap berada dalam
tanggungannya, dengan syarat anak tersebut adalah yang dilahirkan atas
perkawinan yang sah.28
3. Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Dan
KHI
Dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan telah
disebutkan tentang hukum penguasaan anak secara tegas yang merupakan
rangkaian dari hukum perkawinan di Indonesia, akan tetapi hukum
pengauasaan anak itu belum diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9
Tahun 1975 secara luas dan rinci. Oleh karena itu, masalah penguasaan anak
(hadhanah) ini belum dapat diberlakukan secara efektif sehingga pada hakim
di lingkungan Peradilan Agama pada waktu itu masih mempergunakan
hukum hadhanah yang tersebut dalam Kitab-Kitab Fiqh ketika memutus
perkara yang berhubungan dengan hadhanah itu. Setelah diberlakukan
28
Soedharyo Soimin, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007),
h. 55-56.
26
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, dan Inpres
Nomor 1 Tahun 1991 tentang penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam,
masalah hadhanah menjadi hukum positif di Indonesia dan Peradilan Agama
diberi wewenang untuk menjadi dan menyelesaikannya.29
Kompilasi Hukum Islam juga melakukan antisipasi jika kemungkinan
seorang bayi disusukan kepada perempuan yang bukan ibunya sebagaimana
dikemukakan dalam pasal 104 yaitu:
(1) Semua biaya penyusuan anak dipertanggungjawabkan kepada ayah.
Apabila ayahnya meninggal dunia, maka biaya penyusuan dibebankan
kepada orang yang berkewajiban memberi nafkah kepada ayahnya
atau walinya;
(2) Penyusuan dilakukan paling lama dua tahun dan dilakukan penyapihan
dalam masa kurang dua tahun dengan persetujuan ayahnya.30
Antisipasi ini sangat positif sebab meskipun ibu yang harus menyusui
anaknya tetapi dapat diganti dengan susu kaleng atau anak disusukan oleh
seorang ibu yang bukan ibunya sendiri. Ketentuan ini juga relavan dengan hal
yang terdapat dalam ayat 233 surat Al-Baqarah yang menjadi acuan dalam hal
pemeliharaan anak.
Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Pasal 41, dapat dipahami bahwa ada perbedaan antara tanggung jawab
pemeliharaan yang bersifat material dengan tanggung jawab pengasuhan.
Pasal 41 ini lebih memfokuskan kepada kewajiban dan tanggung jawab
29
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Agama,
(Jakarta: Kencana, 2008), h. 428-429.
30
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta: UI Press, 1986), h. 149.
27
material yang menjadi beban suami atau bekas suami jika ia mampu, dan
sekiranya tidak mampu Pengadilan Agama dapat menentukan lain sesuai
dengan keyakinannya.31
Dalam kaitan ini, Kompilasi Hukum Islam Pasal 105
menjelaskan secara lebih rinci dalam hal suami istri terjadi perceraian yaitu
(1) pemeliharaan anak yang belum mumayiz atau belum berumur 12 tahun
adalah hak ibunya; (2) pemeliharaan anak yang sudah mumayiz diserahkan
diserahkan kepada anak untuk memilih di antara ayah atau ibunya sebagai
pemegang hak pemeliharaannya; (3) biaya pemeliharaan ditanggung oleh
ayahnya.32
Pada pasal 48 bab X mengenai Hak dan Kewajiban antara Orang Tua
dan Anak Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
menyatakan orang tua juga tidak diperbolehkan memindahkan hak atau
menggadaikan barang-barang tetap yang dimiliki anaknya yang berumur 18
tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, kecuali apabila
kepentingan anak itu menghendakinya.33
Dalam Kompilasi Hukum Islam pada pasal 98 menyatakan pada ayat:
1) Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah usia
21 tahun, sepanjang anak tersebut tidak tercatat fisik maupun mental
atau belum pernah melangsungkan perkawinan.
31
Sajuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta: UI Press, 1986) h. 149.
32
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta: Akademika Pressindo,
2007), h. 138.
33
Undang-Undang Pokok Perkawinan Beserta Peraturan Perkawinan Khusus untuk Anggota
ABRI, POLRI, Pegawai Kejaksaan dan Pegawai Negara Sipil, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h. 14-15.
28
2) Orang tuanya mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan
hukum di dalam dan diluar pengadilan.
3) Pengadilan Agama dapat menunjuk salah seorang kerabat terdekat
yang mampu menunaikan kewajiban tersebut apabila kedua orang
tuanya tidak mampu.34
Jadi, dengan adanya perceraian, hadhanah bagi anak yang belum
mumayiz dilaksanakan oleh ibunya, sedangkan biaya pemeliharaan tersebut
tetap dipikulkan kepada ayahnya. Tanggung jawab ini tidak hilang meskipun
mereka bercerai. Hal ini sejalan dengan bunyi pasal 34 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, dimana dijelaskan bahwa
suami mempunyai kewajiban untuk memenuhi dan memberi segala
kepentingan biaya yang diperlukan dalam kehidupan rumah tangganya.
Apabila suami ingkar terhadap tanggung jawabnya, bekas istri yang diberi
beban untuk melaksanakan, maka Pengadilan Agama setempat agar
menghukum bekas suaminya untuk membayar biaya hadhanah sebanyak yang
dianggap patut jumlahnya oleh Pengadilan Agama. Jadi, pembayaran itu dapat
dipaksakan melalui hukum berdasarkan putusan Pengadilan Agama.35
Jika orang tua dalam melaksanakan kekuasaannya tidak cakap atau
tidak mampu melaksanakan kewajibannya memelihara dan mendidik anak-
anaknya, maka kekuasaan orang tua dapat dicabut dengan putusan Pengadilan
Agama. Adapun alasan pencabutan tersebut karena: (1) orang tua itu sangat
34
Cik Hasan Bisri, Kompilasi Hukum Islam Dan Peradilan agama (Dalam Sistem Hukum
Nasional), (Jakarta: Logos, 1999), h. 189.
35
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Bandung: Citra Umbara, 2007), h. 13.
29
melalaikan kewajiban terhadap anaknya; (2) orang tua berkelakuan buruk
sekali, M. Yahya Harahap (1975:216) menjelaskan bahwa orang yang
melalaikan kewajiban terhadap anaknya yaitu meliputi ketidak becusan si
orang tua itu atau sama sekali tidak mungkin melaksanakannya sama sekali,
boleh jadi disebabkan karena dijatuhi hukuman penjara yang memerlukan
waktu lama, sakit uzur atau gila dan berpergian dalam suatu jangka waktu
yang tidak diketahui kembalinya. Sedangkan berkelakuan buruk meliputi
segala tingkah laku yang tidak senonoh sebagai pengasuh dan pendidik yang
seharusnya memberikan contoh yang baik.36
Akibat pencabutan kekuasaan dari orang tua sebagaimana tersebut di
atas, maka terhentinya kekuasaan orang tua itu untuk melakukan penguasaan
kepada anaknya. Jika yang dicabut kekuasaan terhadap anaknya hanya
ayahnya saja, maka dia tidak berhak lagi mengurusi urusan pengasuhan,
pemeliharaan dan mendidik anaknya, tidak berhak lagi untuk mewakili anak
di dalam dan di luar pengadilan.37
Dengan demikian, ibunyalah yang berhak
melakukan pengasuhan terhadap anak tersebut, ibunyalah yang
mengendalikan pemeliharaan dan pendidikan anak tersebut. Berdasarkan
Pasal 49 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan,
36
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Agama,
(Jakarta: Kencana, 2008), h. 431.
37
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Agama, h. 431.
30
biaya pemeliharaan ini tetap melekat secara permanen meskipun
kekuasaannya terhadap anaknya dicabut.38
4. Dasar Hukum Hadhanah
Islam telah mewajibkan pemeliharaan atas anak sampai anak tersebut
telah mampu berdiri dengan sendirinya tanpa mengharapkan bantuan orang
lain. Oleh karena itu mengasuh anak yang masih kecil adalah wajib karena
apabila anak yang masih dibawah umur dibiarkan begitu saja akan
mendapatkan bahaya jika tidak mendapatkan pengasuhan dan perawatan,
sehingga anak harus dijaga agar tidak sampai membahayakan. Selain itu, ia
juga harus tetap diberi nafkah dan diselamatkan dari segala hal yang dapat
merusaknya. Dasar hukum hadhanah yaitu:
a. Al-Qur‟an
Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Al-Baqarah ayat 223:
Artinya: “ Para ibu hendaklah menyusunkan anak-anaknya selama dua
tahun penuh, yaitu memberi makan dan Pakaian kepada para ibu
38
Soedharyo Soimin, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: Sianar Grafika, 2007),
h. 15.
31
dengan cara ma‟ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan
menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu
menderita kesengsaraan Karena anaknya dan seorang ayah
Karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila
keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan
keduanya dan permusyawaratan, Maka tidak ada dosa atas
keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang
lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan
pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada
Allah dan Ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang
kamu kerjakan”.
Pada ayat ini, Allah SWT mewajibkan kepada orang tua untuk memelihara
anak mereka, ibu berkewajiban menyusuinya sampai umur dua tahun. Dan
bapak berkewajiban memberikan nafkah kepada ibu. Dibolehkan
mengadakan penyapihan (menghentikan penyusuan) sebelum dua tahun
apabila ada kesepakatan antara kedua orang tua dan mereka boleh
mengambil perempuan lain untuk menyusukan anak tersebut dengan
syarat memberikan upah yang pantas. Hal ini demi keselamatan anak itu
sendiri.39
b. As-Sunnah
Sebagaimana sabda Rasulullah SAW :40
39
Syaikh Hasan Ayyub, Fiqh Keluarga, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2006), h. 392-393.
40
Abu Daud Sulaiman bin Al-Sajastani, Sunan Abu Daud Juz I, (Beirut: Daar Fikr, 2003), h.
525.
32
.
Artinya: “Dari hadis yang diriwayatkan oleh Amr bin Syuaib dari
ayahnya, dari kakeknya, Abdullah bin Amr bahwa seorang
perempuan berkata kepada Rasulullah SAW, “Wahai Rasulullah,
sesungguhnya anakku ini telah menjadikan perutku sebagai
tempat (naungan)-nya, air susuku menjadi minumannya, dan
pangkuanku sebagai tempat berteduhnya. Sedangkan ayahnya
telah mentalakku seraya menginginkan untuk mengambilnya
dariku”. Maka Rasulullah SAW bersabda, “Kamu lebih berhak
terhadapnya selama belum menikah”.
Hadis ini menjelaskan bahwa ibu lebih berhak dari pada bapak
selama ibunya belum menikah lagi. Ibu lebih diutamakan karena
mempunyai kelayakan mengasuh dan menyusui, mengingat ibu lebih
mengerti dan mampu mendidik anak. Kesabaran ibu dalam hal ini lebih
besar dari pada bapak. Waktu yang dimiliki ibu lebih lapang dari pada
bapak. Karena itu, ibu lebih diutamakan demi menjaga kemaslahatan
anak. Jika si ibu telah menikah dengan laki-laki lain, maka hak hadhanah
menjadi hilang.41
41
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah Sayyid Sabiq jilid 2, (Jakarta: Al-I‟tishom, 2008), h. 528.
33
BAB III
PROFIL PENGADILAN TINGGI AGAMA MAKASSAR
A. Histori Pembentukan Pengadilan
1. Masa Sebelum Penjajahan
Pada pemerintahan Raja Gowa III (1637-1653) yang bernama Sultan
Malikus Saleh dibentuk semacam Pengadilan Tinggi Agama, dimana
kepalanya diberi gelar Parewa Syara’ (Pejabat Syari’at) dan bawahannya
disebut IMAM dan dibantu oleh seorang Khatib dan seorang Bilal.1
Pada tahun 1611 Kerajaan Bone menerima agama Islam sebagai
agama resmi dan Raja adalah penghulu tertinggi (Syaikhul Islam). Parewa
Syara’ bertugas sebagai aparat pelayanan bagi masyarakat Islam, seperti
pelaksanaan ibadat, upacara keagamaan, pembinaan dan perawatan bangunan
keagamaan, melayani upacara pernikahan, kematian dan menyelesaikan
perkara-perkara kewarisan.
Parewa Syara’ mendapat nafkah dari zakat fitrah, zakat harta, sedekah Iedul
Fitri dan Iedul Adha, penyelenggaraan mayat, kenduri kerajaan dan
pernikahan.
2. Masa Penjajahan Belanda dan Jepang
Pada masa penjajahan Belanda dan Jepang Parewa Syara’ tidak
mengalami perubahan sekalipun Kerajaan Bone dan Gowa telah ditaklukkan
1 Diakses dari website www.pta-makassar.co.id pada tanggal 24 November 2013
pkl. 16.15 wib
34
oleh Belanda dan Jepang, penyelesaian masalah perceraian dan kewarisan
tetap ditangani oleh Parewa Syara’.
3. Masa Kemerdekaan
Pada tahun 1957 Pemerintah RI mengeluarkan Peraturan Pemerintah
No. 45 tahun 1957 Lembaran Negara No. 99 tentang Pembentukan Mahkamah
Syari’ah di luar Jawa dan Madura, Kalimantan serta sebagian Kalimantan
Timur. Pada tahun 1958 Menteri Agama menetapkan Penetapan Menteri
Agama Nomor : 5 tahun 1958 tentang pembentukan beberapa Mahkamah
Syari’ah antara lain Mahkamah Syari’ah Propinsi di Makassar yang wilayah
hukumnya meliputi Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara
Timur, Maluku dan Irian Jaya.2
4. Masa berlakunya Undang-undang No. 1 tahun 1974
Setelah Undang-undang Nomor: 1 tahun 1974 berlaku secara efektif
pada tanggal 1 Oktober 1975 berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor: 9
tahun 1975, maka Mahkamah Syari’ah Propinsi di Makassar berangsur-angsur
dikurangi wilayah hukumnya hanya meliputi Sulawesi-Selatan dan Tenggara
saja, dan namanya berubah menjadi Pengadilan Tinggi Agama Ujungpandang.
5. Masa Berlakunya Undang-undang Nomor 7 tahun 1989
Pengadilan Tinggi Agama Ujungpandang dikembangkan lagi menjadi
dua Pengadilan Tinggi Agama, yakni Pengadilan Tinggi Agama
Ujungpandang dan Pengadilan Tinggi Agama Kendari berdasarkan Undang-
2Diakses dari website www.pta-makassar.co.id pada tanggal 26 maret 2015 pkl. 09.18 wib
35
undang Nomor: 3 tahun 1995, jadi Pengadilan Tinggi Agama Ujung Pandang
hanya mewilayahi Sulawesi Selatan saja dan Pengadilan Tinggi Agama
Kendari mewilayahi Sulawesi Tenggara.
6. Masa Sekarang
Dengan berubahnya nama Kota Ujungpandang menjadi Kota
Makassar pada tahun 2000, maka secara otomatis Pengadilan Tinggi Agama
Ujungpandang berubah menjadi Pengadilan Tinggi Agama Makassar. Dan
pada tanggal 30 Juni 2004 Pengadilan Tinggi Agama Makassar berada di
bawah naungan Mahkamah Agung RI berdasarkan Keputusan Presiden RI
Nomor 21 Tahun 2004 tentang Pengalihan Organisasi, Administrasi, dan
Finansial di Lingkungan Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara,
dan Peradilan Agama ke Mahkamah Agung yang ditetapkan pada tanggal 23
Maret 2004 yang sebelumnya berada di bawah naungan Departemen Agama
RI.3
Berdasarkan Undang-undang nomor 26 tahun 2004 telah terbentuk
propinsi baru di Sulawesi yakni Sulawesi Barat yang memiliki 5 wilyah
kabupaten. Dengan terbentuknya propinsi baru tersebut, maka Pengadilan
Agama yakni : PA Polewali, PA Mamuju, dan PA Majene masuk menjadi
wilayah Sulawesi Barat. Dengan belum terbentuknya Pengadilan.
3 Diakses dari website www.pta-makassar.co.id pada tanggal 26 Maret 2015 Pkl. 09.20 wib.
36
B. Struktur Organisasi Pengadilan Tinggi Agama Makassar
37
C. Kedudukan Dan Kewenangan Pengadilan Tinggi Agama Makassar
Pengadilan Tinggi Agama bertugas dan berwenang mengadili perkara
yang menjadi kewenangan Pengadilan Agama dalam tingkat banding.
Sebagaimana telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 jo.
Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006, tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 7 tahun 1989 tentang Pengadilan Agama yakni menyangkut perkara-
perkara:4
1. Perkawinan;
2. Waris;
3. Wasiat;
4. Hibah;
5. Wakaf;
6. Zakat;
7. Infaq;
8. Shadaqah; dan
9. Ekonomi Syari’ah.
Di samping itu, Pengadilan TInggi Agama juga bertugas dan berwenang
mengadili di tingkat pertama dan terakhir sengketa kewenangan mengadili antar
Pengadilan.
4 Diakses dari website www.pta-makassar.co.id pada tanggal 26 Maret 2015 pkl. 09.20 wib
38
Fungsi:
Untuk melaksanakan tugas pokok tersebut, Pengadilan Tinggi Agama mempunyai
fungsi sebagai berikut :5
1. Memberikan pelayanan teknis yustisial bagi perkara banding.
2. Memberikan pelayanan di bidang administrasi perkara banding dan
administrasi peradilan lainnya.
3. Memberikan keterangan, pertimbangan dan nasehat tentang Hukum Islam
pada instansi pemerintah di daerah hukumnya, apabila diminta sebagaimana
diatur dalam pasal 52 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang
perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama.
4. Mengadakan pengawasan atas pelaksanaan tugas dan perilaku Hakim,
Panitera, Sekretaris dan Jurusita di daerah hukumnya.
5. Mengadakan pengawasan terhadap jalannya peradilan di tingkat Pengadilan
Agama dan menjaga agar peradilan diselenggarakan dengan seksama dan
sewajarnya.
6. Memberikan pelayanan administrasi umum kepada semua unsur di lingkungan
Pengadilan Tinggi Agama dan Penagdilan Agama.
7. Melaksanakan tugas-tugas pelayanan lainnya seperti hisab rukyat dan
sebagainya.
Pengadilan Agama Merupakan Pengadilan Tingkat Pertama yang bertugas
dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di
5 Diakses dari website www.pta-makassar.co.id pada tanggal 26 Maret 2015 Pkl. 09.22 wib
39
tingkat pertama antara orang–orang yang beragama Islam di bidang perkawinan,
kewarisan, wasiat dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam serta
waqaf, zakat, infaq dan shadaqah serta ekonomi Syari’ah sebagaimana di atur
dalam Pasal 49 UU Nomor 50 Tahun 2009.
Pengadilan Agama mempunyai dua kewenangan yaitu :
1. Kewenangan relatif
Kewenangan relatif berhubungan dengan daerah hukum suatu
pengadilan, baik pengadilan tingkat pertama maupun pengadilan tingkat
banding. Artinya, cakupan dan batasan kewenangan relatif pengadilan ialah
meliputi daerah hukumnya berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Kewenangan relatif diartikan sebagai kewenangan pengadilan yang
satu jenis dan satu tingkatan, dalam perbedaannya dengan kewenangan
pengadilan yang sama jenis dan sama tingkatan lainnya, misalnya antara
Pengadilan Negeri Magelang dengan Pengadilan Negeri Purworejo, antara
Pengadilan Agama Muara Enim dengan Pengadilan Agama Baturaja.
Pengadilan Negeri Magelang dan Pengadilan Negeri Purworejo satu jenis,
sama-sama lingkungan peradilan umum dan sama-sama pengadilan tingkat
pertama. Pengadilan Agama Jakarta Pusat, Pengadilan Agama Jakarta Selatan,
Pengadilan Agama Jakarta Utara satu jenis, yaitu sama-sama lingkungan
peradilan agama dan satu tingkatan, sama-sama tingkat pertama.6
6 Chatib Rasyid dkk, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktik Pada Peradilan Agama,
Yogyakarta : UII Press 2009 h. 26
40
2. Kewenangan absolut
Kewenangan absolut artinya kewenangan pengadilan agama yang
berhubungan dengan jenis perkara atau jenis pengadilan atau tingkatan
pengadilan, dalam perbedaannya dengan jenis perkara atau jenis pengadilan
atau tingkatan pengadilan. Dalam perbedannya dengan jenis perkara atau
jenis pengadilan atau tingkatan pengadilan lainnya, misalnya : Pengadilan
agama berkuasa atas perkara perkawinan bagi mereka yang beragama Islam
sedangkan bagi yang selain Islam menjadi kewenangan peradilan umum.
Pengadilan agamalah yang berkuasa memeriksa dan mengadili perkara dalam
tingkat pertama, tidak boleh langsung berperkara di pengadilan tinggi agama
atau mahkamah agung. Banding dari pengadilan agama diajukan ke
pengadilan tinggi agama, tidak boleh diajukan ke pengadilan tinggi.7
Untuk melaksanakan tugas pokok tersebut, Pengadilan Agama mempunyai fungsi
sebagai berikut :
1. Fungsi mengadili (judicial power), yakni menerima, memeriksa, mengadili
dan menyelesaikan perkara-perkara yang menjadi kewenangan Pengadilan
Agama dalam tingkat pertama (vide : Pasal 49 Undang-undang Nomor 3
Tahun 2006).
2. Fungsi pembinaan, yakni memberikan pengarahan, bimbingan, dan petunjuk
kepada pejabat struktural dan fungsional di bawah jajarannya, baik
7 Ibid, h. 27-28
41
menyangkut teknis yudicial, administrasi peradilan, maupun administrasi
umum/perlengkapan, keuangan, kepegawaian, dan pembangunan. (vide :
Pasal 53 ayat (3) Undang-undang Nomor No. 3 Tahun 2006 jo. KMA Nomor
KMA/080/VIII/2006).
3. Fungsi pengawasan, yakni mengadakan pengawasan melekat atas
pelaksanaan tugas dan tingkah laku Hakim, Panitera, Sekretaris, Panitera
Pengganti, dan Jurusita/ Jurusita Pengganti di bawah jajarannya agar
peradilan diselenggarakan dengan seksama dan sewajarnya (vide : Pasal 53
ayat (1) dan (2) Undang-undang Nomor No. 3 Tahun 2006) dan terhadap
pelaksanaan administrasi umum kesekretariatan serta pembangunan. (vide:
KMA Nomor KMA/080/VIII/2006).
4. Fungsi nasehat, yakni memberikan pertimbangan dan nasehat tentang hukum
Islam kepada instansi pemerintah di daerah hukumnya, apabila diminta. (vide
: Pasal 52 ayat (1) Undang-undang Nomor No. 3 Tahun 2006).
5. Fungsi administratif, yakni menyelenggarakan administrasi peradilan (teknis
dan persidangan), dan administrasi umum (kepegawaian, keuangan, dan
umum/perlengakapan) (vide : KMA Nomor KMA/080/ VIII/2006).
6. Fungsi Lainnya :
a. Melakukan koordinasi dalam pelaksanaan tugas hisab dan rukyat dengan
instansi lain yang terkait, seperti DEPAG, MUI, Ormas Islam dan lain-lain
(vide: Pasal 52 A Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006).
42
b. Pelayanan penyuluhan hukum, pelayanan riset/penelitian dan sebagainya
serta memberi akses yang seluas-luasnya bagi masyarakat dalam era
keterbukaan dan transparansi informasi peradilan, sepanjang diatur dalam
Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor KMA/144/SK/VIII/2007
tentang Keterbukaan Informasi di Pengadilan.8
8 Diakses dari website www.pta-makassar.co.id pada tanggal 24 November 2013
pkl.16.15wib
43
BAB IV
PENERAPAN UANG PAKSA (DWANGSOM)
PADA PERKARA HADHANAH
A. Dasar Hukum Implementasi Uang Paksa (Dwangsom)
1. Dasar Hukum Dwangsom Sebagai Salah Satu Instrumen Pelaksanaan
Putusan Hakim
Ketentuan mengenai lembaga dwangsom ini diatur dalam Reglemen
Acara Perdata (Reglement op de Rechtsvordering) atau yang lebih dikenal
dengan singkatan Rv. Keberadaan lembaga dwangsom itu sendiri diatur dalam
Bab V Bagian 3 Rv yakni dalam Pasal 606a dan 606b. Rumusan pasal
tersebut (yang aslinya berbahasa Belanda) menurut Harifin Tumpa sama
bunyinya dengan ketentuan Pasal 611a dan 611b Rv lama Belanda.1 Namun
sebelum membahas lebih jauh rumusan kedua pasal tersebut ada baiknya
dibicarakan terlebih dahulu bagaimana dan mengapa lembaga dwangsom
yang diatur dalam Rv tersebut ternyata masih diberlakukan dan diterapkan
dalam praktik peradilan di Indonesia selama ini khususnya di lingkungan
peradilan umum. Bukankah Rv itu sendiri seperti dinyatakan Supomo sudah
tidak berlaku lagi di Indonesia dengan dihapuskannya Raad Van Justitie dan
Hooggerechtshof, sejak itu yang berlaku sebagai hukum acara perdata di
1 Harifin Tumpa, Memahami Eksistensi Uang Paksa (Dwangsom) dan Inplementasinya di
Indonesia, ( Jakarta: Prenada Media Group, 2010). h.52.
44
Indonesia hanya HIR (Het Herziene Indonesisch Reglement) dan R.Bg
(Rechts Reglement Buitengewesten) saja.2
Sementara Mertokusumo menyatakan bahwa Rv itu sudah tidak berlaku
lagi di Indonesia sejak adanya Undang-Undang Darurat No.1 Tahun 1951
karena Pasal 5 ayat 1 Undang-Undang tersebut dengan tegas menyatakan
berlakunya HIR dan RBg, dalam hal ini hukum acara perdata yang dinyatakan
resmi berlaku hanya HIR untuk daerah Jawa dan Madura dan R.Bg untuk
daerah lainnya di Indonesia3.
Hal ini dipertegas pula dengan ketentuan dalam SEMA Nomor:
19/1964 dan SEMA Nomor 3/1965 yang menegaskan tentang berlakukannya
HIR dan RBg. Sedangkan Pasal 393 ayat (1) HIR4 jo. Pasal 721 R.Bg dengan
tegas melarang segala bentuk hukum acara selain yang diatur dalam HIR dan
RBg tersebut. Atas dasar ketentuan pasal dalam HIR dan R.Bg tersebut maka
seharusnya semua ketentuan yang terdapat dalam Rv itu dan termasuk aturan
mengenai lembaga dwangsom tersebut sama sekali sudah tidak berlaku dan
tidak boleh diterapkan lagi. Dengan demikian mengenai lembaga dwangsom
ini sebenarnya dapat dikatakan telah terjadi kekosongan (kevakuman) hukum.
Lalu bagaimana dan mengapa lembaga dwangsom yang diatur dalam Rv
tersebut ternyata hingga saat ini masih diterapkan dan diberlakukan
2 Supomo, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri., (Jakarta: Fasco 1958), h. 11.
3 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia. (Yogyakarta: Liberty,1999), h.38.
45
sedemikian rupa dalam praktik peradilan di Indonesia selama ini Untuk
menjawab pertanyaan tersebut perlu kiranya terlebih dahulu dikemukakan
beberapa pendapat pakar hukum dan juga yurisprudensi Mahkamah Agung
berkaitan dengan hal ini.
Menurut beberapa pakar hukum antara lain Mertokusumo bahwa
meskipun HIR dan R.Bg tidak mengatur mengenai lembaga dwangsom, tetapi
karena dwangsom ini penting bagi penggugat untuk memaksa tergugat
melaksanakan putusan maka tuntutan itu patut dikabulkan sepanjang diminta
oleh penggugat.4 Hal ini sejalan dengan yang dinyatakan oleh Sutanto dan
Oeripkartawinata bahwa walaupun Pasal 393 ayat (1) HIR jo. Pasal 721 R.Bg
melarang segala bentuk hukum acara selain HIR dan R.Bg, tetapi apabila
benar-benar dirasakan perlu dalam perkara perdata dapat digunakan peraturan
lain seperti Rv.5
Demikian juga menurut Harifin Tumpa (Mantan Ketua Mahkamah
Agung) bahwa meskipun Rv sudah tidak berlaku lagi sebagai pedoman
hukum acara perdata di Indonesia, namun karena kebutuhan pada keadaan
tertentu, di mana peraturan-peraturan yang ada tidak memadai maka praktik
peradilan kita masih kadang-kadang harus memakai ketentuan-ketentuan
hukum acara dalam Rv sebagai pedoman termasuk dalam hal lembaga
4 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia. h.50
5 Retnowulan dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan
Praktek. (Mandar Maju, Bandung, 2002), h 8
46
dwangsom ini.6 Pendapat para pakar tersebut dipertegas pula dengan
yurisprudensi Mahkamah Agung tanggal 7 Mei 1967 Nomor: 38 K/SIP/1967
dalam perkara Frederika Melane Hilverdink von Ginkel berlawanan dengan
Leon Johannes, di mana majelis hakim dalam putusan tersebut antara lain
mempertimbangkan sebagai berikut: “Lembaga uang paksa, sekalipun tidak
secara khusus diatur di dalam HIR haruslah dianggap tidak bertentangan
dengan sistem HIR dan berdasarkan penafsiran yang lazim dari pada Pasal
393 HIR dapat diterapkan di pengadilan-pengadilan”.
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa diterapkannya lembaga
dwangsom yang diatur dalam Rv tersebut dalam praktik peradilan di
Indonesia selama ini khususnya di lingkungan peradilan umum ternyata
memang dapat dibenarkan karena tuntutan kebutuhan dalam praktik dan hal
itu dianggap tidak bertentangan dengan sistem HIR maupun R.Bg. Adapun
yang menjadi dasar penerapan lembaga dwangsom tersebut selain
yurisprudensi Mahkamah Agung juga pendapat para pakar hukum (doktrin)
sebagaimana yang telah diuraikan di atas.
2. Dasar Penerapan Lembaga Dwangsom di Pengadilan Agama
Suatu persoalan yang sering dimunculkan pada beberapa diskusi dalam
penerapan Hukum Acara di Lingkungan Peradilan Agama, adalah dapat atau
tidaknya lembaga dwangsom diterapkan dalam putusan hadhanah oleh hakim.
6Harifin Tumpa, Memahami Eksistensi Uang Paksa (Dwangsom) dan Inplementasinya di
Indonesia, ,( Jakarta: Prenada Media Group, 2010). h.50.
47
Sebagian praktisi hukum berpendapat bahwa lembaga dwangsom ini tidak
boleh diterapkan dalam putusan hadhanah karena konteksnya berbeda,
sebagian praktisi hukum antara lain berpendapat bahwa lembaga dwangsom
dapat juga diterapkan dalam putusan hadhanah karena dengan mencantumkan
dwangsom itu pihak tergugat akan mematuhi isi putusan hakim jika ia
mengetahui ada kewajiban yang harus dipenuhi apabila ia tidak melaksanakan
hukuman pokok yang dibebankan padanya. Hipotesa atas persoalan ini,
tampaknya pendapat yang terakhir menginginkan diterapkan lembaga
dwangsom dalam putusan hadhanah apabila dilihat dari doolmattigheit-nya,
lebih-lebih lagi apabila penerapan itu dengan tujuan kemaslahatan.7
Dwangsom merupakan upaya optimalisasi kebijakan hakim dalam
memutus Perkara, telah dipahami bahwa Peradilan Agama ialah salah satu
pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama
Islam mengenai perkara tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat
(1) Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-
undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.8 Pasal ini menjelaskan
para hakim di Pengadilan Agama berkewajiban untuk memutus dan
menuntaskan setiap perkara yang masuk sesuai dengan peraturan perundang-
undangan tanpa terkecuali dalam bentuk penetapan dan putusan.
7 Kamarusdiana, Buku Daras Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta: Fakultas Syariah Dan
Hukum UIN, 2013), h. 319-320.
8 Pasal 2 Ayat (1) Undang-undang No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-undang
No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
48
Dalam menjalankan fungsi peradilan ini, para hakim Peradilan Agama
harus menyadari sepenuhnya bahwa tugas pokok hakim adalah menegakan
hukum dan keadilan. Sehubungan dengan hal tersebut, dalam setiap putusan
yang hendak dijatuhkan oleh hakim dalam mengakhiri dan menyelesaikan
suatu perkara, perlu diperhatikan tiga hal yang sangat esensial, yaitu keadilan,
kemanfatan dan kepastian. Ketiga hal ini harus mendapatkan perhatian yang
seimbang dan profesional, meskipun dalam praktik sangat sulit
mewujudkannya.9
Seperti telah diuraikan di atas bahwa lembaga dwangsom telah
diterapkan sedemikian rupa dalam praktik peradilan di Indonesia selama ini.
Diterapkannya lembaga dwangsom yang diatur dalam Rv tersebut dalam
praktik peradilan di Indonesia selama ini khususnya di lingkungan peradilan
umum memang dapat dibenarkan dan dianggap tidak bertentangan dengan
sistem HIR maupun R.Bg. Hal ini selain didasarkan beberapa yurisprudensi
Mahkamah Agung juga sejalan dengan pendapat para pakar hukum berkenaan
dengan hal itu. Namun yang menjadi pertanyaan bagaimana halnya dengan di
lingkungan peradilan agama. Apakah peradilan agama juga berwenang
menerapkan, mengabulkan atau menjatuhkan hukuman dwangsom tersebut
sebagaimana peradilan umum, dan kalau peradilan agama berwenang, apa saja
dasar penerapannya.
9 Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, Cet ke-5
(Jakarta: Kencana Prenada Madia Group, 2008), h.230
49
Pertanyaan di atas menjadi penting untuk dijawab karena masih banyak
di antara para hakim yang belum cukup memahami eksistensi dan urgensi
lembaga dwangsom itu sendiri dalam konteksnya dengan kompetensi
peradilan, juga disebabkan karena masih banyak di antara para hakim
peradilan agama yang belum cukup yakin bahwa permohonan dwangsom itu
termasuk kewenanganan lingkungan peradilan agama. Bahkan hingga saat ini
masih ada di antara para hakim peradilan agama yang berpendirian bahwa
permohonan dwangsom itu bukan kewenangan peradilan agama. Sehingga
terhadap permohonan dwangsom yang diajukan di pengadilan agama harus
ditolak atau dinyatakan tidak diterima (Niet Ontvankelijke verklaard).10
Untuk mengetahui apakah pengadilan agama berwenang atau tidak
dalam mengabulkan atau menjatuhkan hukuman dwangsom yang diajukan
kepadanya, tentunya harus merujuk pada landasan utama penerapan hukum
acara yang berlaku bagi lingkungan peradilan agama yaitu ketentuan Pasal 54
Undang-Undang Nomor: 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor: 3 Tahun 2006 dan terakhir diubah
dengan Undang-Undang Nomor: 50 Tahun 2009, yang selengkapnya
menyatakan bahwa: “Hukum acara yang berlaku pada pengadilan dalam
lingkungan peradilan agama adalah hukum acara perdata yang berlaku pada
pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, kecuali yang telah diatur
secara khusus dalam Undang-Undang ini”
10
Cik Basir, Penerapan Lembaga Dwangsom Di Pengadilan Agama, (Makalah Rumusan
Hasil Diskusi Kelompok Bidang Peradilan Agama Komisi II), Manado, tanggal 31 Oktober 2012, h.
17.
50
Berdasarkan ketentuan Pasal 54 Undang-Undang tersebut dapat
dipahami bahwa hukum acara yang berlaku bagi lingkungan peradilan agama
paling tidak terdiri dari dua bagian yaitu: 11
Pertama, Hukum Acara Perdata sebagaimana yang berlaku di
lingkungan peradilan umum. Dalam hal ini baik yang diatur dalam R.Bg
(Rechts Reglement Buitengewesten), HIR (Het Herziene Inlandsche
Reglement), termasuk beberapa ketentuan yang diatur dalam Rv (Reglement
of de Rechtsvordering), KUH Perdata (BW), UU No.48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman, serta beberapa peraturan lain yang berkenaan,
termasuk dalam hal ini ketentuan-ketentuan hukum acara yang bersumber dari
yurisprudensi dan juga diatur dalam beberapa Peraturan Mahkamah Agung
(PERMA) dan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) yang berlaku bagi
peradilan umum dengan sendirinya berlaku juga bagi peradilan agama.
Ketentuan-ketentuan hukum acara tersebut harus dipedomani khususnya
dalam menangani perkara-perkara di luar bidang perkawinan.
Kedua, Hukum Acara yang diatur secara khusus dalam Undang-Undang
Peradilan Agama itu sendiri. Dalam hal ini khususnya yang menyangkut
pemeriksaan perkara di bidang perkawinan12
sebagaimana dimaksud dalam
11
Cik Basir, Penyelesaikan Sengketa Perbankan Syariah di Pengadilan Agama dan
Mahkamah Syar’iyah, cet.2, (Jakarta: Prenada Media 2012), h.135-142.
12
Yang dimaksud dengan perkara-perkara di bidang perkawinan adalah perkara-perkara
sebagaimana disebutkan dalam penjelasan Pasal 49 huruf ( a) UU No.3 Tahun 2006 tetang Perubahan
Atas UU No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
51
Undang-Undang Perkawinan Dalam menangani perkara-perkara di bidang
perkawinan tersebut bagi pengadilan agama tidak cukup hanya berpedoman
pada ketentuan hukum acara yang diatur dalam HIR/R.Bg, Rv dan KUH
Perdata saja. Bahkan dalam beberapa hal menyangkut kompetensi relatif
pengadilan agama misalnya, masalah pemanggilan para pihak, pemeriksaan di
persidangan, pembuktian serta pelaksanaan putusan, pengadilan agama
sepenuhnya harus tunduk dan berpedoman pada ketentuan-ketentuan yang
terdapat dalam Pasal 54 sampai dengan Pasal 91 UU Peradilan Agama serta
ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam UU No.1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan berikut penjelasannya, PP No.9 Tahun 1975 termasuk beberapa
ketentuan yang terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI). Dengan
demikian khusus dalam menangani perkara-perkara dalam bidang perkawinan
pengadilan agama tidak boleh hanya berpedoman pada hukum acara yang
terdapat dalam HIR/R.Bg, Rv dan atau KUH Perdata saja misalnya,
melainkan harus berpedoman pada ketentuan hukum acara yang telah diatur
secara khusus dalam undang-undang peradilan agama itu sendiri.
Berdasarkan cakupan ketentuan Pasal 54 Undang-Undang Peradilan
Agama yang diuraikan di atas dapat dipahami bahwa oleh karena lembaga
dwangsom tersebut merupakan salah satu lembaga yang diatur dalam Rv yang
berlaku dan diterapkan sedemikian rupa pada pangadilan dalam lingkungan
peradilan umum maka atas dasar ketentuan Pasal 54 Undang-Undang
Peradilan Agama tersebut dengan sendirinya lembaga dwangsom tersebut
52
juga dapat diterapkan dan diberlakukan pada pengadilan dalam lingkungan
peradilan agama.
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa penerapan lembaga
dwangsom di lingkungan peradilan agama secara yuridis mempunyai landasan
hukum yang jelas sehingga dapat ditegaskan bahwa lingkungan peradilan
agama secara yuridis berwenang menerapkan, menerima dan mengabulkan
permohonan dwangsom yang diajukan kepadanya. Dengan demikian hakim
peradilan agama dalam hal ini tidak perlu ragu untuk menerapkan atau
memberlakukannya, dalam hal ini menerima dan mengabulkan permohonan
dwangsom sepanjang hal itu memang diminta oleh para pihak dalam
gugatannya dan secara yuridis, sosiologis atau filosofis permohonan tersebut
memang beralasan serta bermanfaat bagi penyelesaian perkara bersangkutan.
B. Kategori Perkara Yang Dapat Dijatuhi Uang Paksa (Dwangsom)
Setelah memahami dasar hukum penerapan lembaga dwangsom di
lingkungan peradilan agama, lalu yang perlu diketahui pula dalam hal ini adalah
mengenai putusan hakim dalam perkara apa saja di lingkungan peradilan agama
yang dapat dijatuhkan dwangsom. Apakah setiap putusan pengadilan agama dapat
dijatuhkan dwangsom, ataukah hanya terhadap putusan tertentu saja.
Selama ini ada kesan seolah-olah penerapan dwangsom di pengadilan
agama hanya terbatas pada putusan hakim dalam perkara pengasuhan anak
(hadhanah) saja, karena hal inilah yang paling sering dibicarakan dalam berbagai
53
kesempatan diskusi atau pelatihan-pelatihan bimbingan tehnis para hakim
peradilan agama selama ini. Padahal tentu sama sekali tidak demikian halnya.
Untuk mengetahui putusan dalam perkara apa saja di lingkungan peradilan
agama yang dapat dijatuhkan dwangsom dapat merujuk pada ketentuan Pasal
606a Rv. Untuk memudahkan memahaminya berikut diketengahkan kembali
ketentuan Pasal 606a Rv tersebut yang terjemahannya berbunyi sebagai berikut:
“Sepanjang suatu keputusan hakim mengandung hukuman untuk sesuatu
yang lain dari pada membayar sejumlah uang maka dapat ditentukan bahwa
sepanjang atau setiap kali terhukum tidak memenuhi hukuman tersebut, olehnya
harus diserahkan sejumlah uang yang besarnya ditetapkan dalam keputusan
hakim dan uang tersebut dinamakan uang paksa (dwangsom).”
Dari ketentuan pasal tersebut jelas bahwa yang dikecualikan dalam
menjatuhkan dwangsom hanya terhadap putusan hakim yang hukuman pokoknya
berupa pembayaran sejumlah uang saja. Artinya, terhadap semua putusan hakim
dalam perkara apapun yang mengandung hukuman dapat dijatuhkan dwangsom,
kecuali hukuman dimaksud berupa pembayaran sejumlah uang. Bahkan dalam hal
ini termasuk kemungkinan eksekusi riil atas suatu putusan sama sekali tidak
menjadi halangan untuk menjatuhkan dwangsom sebagaimana yurisprudensi
Mahkamah Agung Nomor: 244 K/Pdt/2008 tanggal 29 Desember 2008 yang
menegaskan bahwa “kemungkinan eksekusi riil tidak menjadi halangan untuk
menjatuhkan dwangsom. Satu-satunya halangan untuk menjatuhkan dwangsom
54
adalah hukuman pembayaran sejumlah uang”.13 Dengan demikian dalam hal ini
dapat ditegaskan bahwa hanya putusan hakim yang hukuman pokoknya berupa
pembayaran sejumlah uang saja yang tidak dapat dijatuhkan dwangsom, di luar
itu, semua putusan hakim dalam perkara apapun di bidang perdata yang
mengandung hukuman dapat dijatuhkan dwangsom.
Dengan berpedoman pada ketentuan Pasal 606a Rv tersebut dapat dipahami
bahwa di pengadilan agama semua putusan hakim dalam perkara contentious
yang mengandung hukuman dapat dijatuhkan dwangsom, kecuali terhadap
putusan hakim yang hukuman pokoknya berupa pembayaran sejumlah uang.
Dengan demikian di pengadilan agama bukan hanya terhadap putusan hakim
dalam perkara pengasuhan anak (hadhanah) saja yang dapat dijatuhkan
dwangsom seperti yang selama ini sering diwacanakan, tetapi semua putusan
hakim yang mengandung hukuman dapat dijatuhkan dwangsom, baik di bidang
perkawinan, harta bersama, waris, wasiat, hadhanah, hibah, wakaf, maupun di
bidang ekonomi syariah, semuanya dapat dijatuhkan dwangsom, kecuali terhadap
putusan hakim dalam perkara-perkara tersebut yang hukuman pokoknya berupa
pembayaran sejumlah uang.14
Lalu apa yang dimaksud dengan hukuman pokok berupa pembayaran
sejumlah uang dalam konteksnya dengan putusan pengadilan agama, dan
mengapa terhadap hukuman tersebut tidak boleh dijatuhkan dwangsom.
13
Harifin Tumpa, Memahami Eksistensi Uang Paksa (Dwangsom) dan Inplementasinya di Indonesia, ( Jakarta: Prenada Media Group, 2010), h.25-26
14
Cik Basir, Penerapan Lembaga Dwangsom Di Pengadilan Agama, (Makalah Rumusan Hasil Diskusi Kelompok Bidang Peradilan Agama Komisi II), Manado, tanggal 31 Oktober 2012, h. 22
55
Seperti diketahui unsur penghukuman dalam amar atau diktum putusan
hakim dapat berupa: Menyerahkan sesuatu; Mengosongkan suatu tempat;
Melakukan suatu perbuatan; Tidak melakukan suatu perbuatan; Menghentikan
suatu perbuatan, atau Membayar sejumlah uang. Terhadap putusan yang amar
atau diktumnya yang mengandung unsur penghukuman yang disebut terakhir
inilah yang tidak boleh dijatuhkan dwangsom, yakni apabila hukuman pokok yang
dijatuhkan hakim dalam amar atau diktum putusan tersebut memerintahkan
terhukum (tergugat) agar membayar sejumlah uang kepada pihak yang menang
(penggugat).
Dalam konteksnya dengan putusan hakim di lingkungan peradilan agama
misalnya dalam perkara gugatan isteri atas nafkah yang dilalaikan suaminya atau
nafkah anak atau bisa juga dalam hal gugatan harta bersama dalam bentuk uang.
Misalnya dalam amar putusan hakim menyatakan: Menghukum Tergugat (mantan
suami) untuk membayar nafkah yang dilalaikannya (madhiyah) kepada Penggugat
(mantan isteri) sebesar Rp.100.000.0000,- (seratus juta rupiah); Atau,
Menghukum Tergugat (mantan suami) untuk membayar nafkah anak sebesar
Rp.1.000.000,- (satu juta rupiah) per bulan hingga anak tersebut dewasa. Atau,
Menghukum Tergugat (mantan suami) untuk menyerahkan bagian harta bersama
berupa uang sebesar Rp.100.000.000,- (sertatus juta rupiah) kepada Penggugat
(mantan isteri). Hukuman semacam inilah yang dimaksud dengan hukuman
berupa pembayaran sejumlah uang yang tidak boleh dijatuhkan dwangsom.
56
C. Tata Cara Pengajuan Dwangsom Dalam Gugatan
Penggugat dalam gugatannya dapat mengajukan tuntutan dwangsom
sebagaimana diatur dalam Pasal 606 a Rv dengan ketentuan:
a) tuntutan tentang dwangsom tersebut diajukan bersama-sama dalam
bentuk satu kesatuan dengan gugatan pokok perkara;
b) tuntutan dwangsom tersebut didasarkan kepada posita yang jelas
c) besarnya dwangsom tidak berkenaan dengan gugatan pembayaran
sejumlah uang;
d) tuntutan dwangsom tersebut dicantumkan secara jelas dan tegas secara
petitum.
Apabila tuntutan dwangsom diajukan dalam gugatan hadhanah, maka petitum
gugatan dirumuskan sebagai berikut:
a) mengabulkan gugatan tergugat;
b) menetapkan secara hukum anak atas nama ............... bin/binti
............... berada dibawah asuhan dan pemeliharaan penggugat;
c) menghubungkan tergugat untuk menyerahkan anak atas nama
...............bin/binti kepada penggugat;
d) menghukum tergugat untuk membayar kepada penggugat sebesar Rp
...............(................) setiap hari keterlambatannya melaksanakan
putusan ini terhitung sejak putusan ini berkekuatan hukum tetap;
e) biaya perkara menurut ketentuan yang berlaku.15
15
Kamarusdiana, Buku Daras Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta: Fakultas Syariah
Dan Hukum UIN, 2013), h. 322.
57
D. Analisis Penulis Terhadap Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Uang
Paksa (Dwangsom) (Putusan Nomor 2/Pdt.G/2013/PTA Mks)
1. Pertimbangan Hukum Hakim
Menimbang, bahwa penetapan hak hadhanah (pemeliharaan anak)
terhadap dua orang anak tersebut kepada penggugat/terbanding, tidak
mengurangi hak anak untuk tetap bertemu langsung dan berhubungan pribadi
secara tetap dengan tergugat/pembanding selaku orang tuanya sebagaimana
diatur dalam Pasal 59 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia, demikian juga tidak menghapus kewajiban Tergugat selaku
ayah dalam menanggung biaya pemeliharaan dan pendidikan kedua orang
anaknya tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 41 huruf b Undang-
undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan jo. Pasal 105 huruf c
Kompilasi Hukum Islam;
Menimbang, bahwa sesuai Yurisprudensi Mahkamah Agung RI No. 791
K/Sip/1972, tanggal 26 Februari 1973 dan No. 307 K/Sip/1976, tanggal 7
Desember 1976 yang mengandung abstrak hukum, bahwa “uang paksa
(dwangsom) tidak berlaku terhadap tindakan untuk membayar uang dan
harus ditolak dalam hal putusan dapat dilaksanakan dengan eksekusi riil bila
keputusan yang bersangkutan mempunyai kekuatan yang pasti”, maka
Pengadilan Tinggi Agama berpendapat bahwa mengenai tuntutan
penggugat/terbanding agar menghukum tergugat/pembanding membayar
uang paksa (dwangsom) sebesar Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah) setiap
58
hari apabila tergugat/pembanding lalai melaksanakan isi putusan, adalah hal
yang dapat dibenarkan dan beralasan mengingat eksekusi anak berbeda
dengan eksekusi riil dan eksekusi pembayaran sejumlah uang yang di
lapangan kadang mendapatkan kendala, diantaranya melalui uang paksa
(dwangsom), oleh karena itu tuntutan penggugat/terbanding a quo dapat
dikabulkan.
Menurut penulis sebagaimana disebutkan Harifin Tumpa dalam
bukunya dalam pertimbangan hukum hakim di atas pada Putusan (Nomor
2/Pdt.G/2013/PTA Mks), hakim dalam menjatuhkan suatu hukuman
dwangsom terhadap tergugat (terhukum) di samping hukuman pokok maka
sebelum menjatuhkan hukuman dwangsom tersebut paling tidak ada 5 (lima)
hal pokok yang perlu diperhatikan, yaitu:
a. Dwangsom Diminta Secara Tegas oleh Pihak Berperkara: Inilah hal
yang pertama-tama harus diperhatikan sebelum menjatuhkan suatu
hukuman dwangsom, bahwa hukuman dwangsom tersebut memang
diminta oleh pihak penggugat secara tegas dalam petitum surat
gugatannya. Hal ini perlu diperhatikan karena hakim tidak dibenarkan
menjatuhkan hukuman dwangsom secara ex officio atau karena
jabatannya (ambtshalve) tanpa diminta melainkan harus atas dasar
permohonan dari para pihak berperkara itu sendiri yang dicantumkan
secara tegas dalam petitum surat gugatannya.16 Jika hakim menjatuhkan
16
Harifin Tumpa, Memahami Eksistensi Uang Paksa (Dwangsom) dan Inplementasinya di
Indonesia, ( Jakarta: Prenada Media Group, 2010), h.81
59
hukuman dwangsom tanpa diminta para pihak berperkara jelas hal ini
melanggar asas ultra petita17
yang tentunya tidak dibenarkan dalam
hukum acara perdata.
b. Dwangsom Diajukan Bersama-sama dengan Hukuman Pokok:
Adapun hal kedua yang harus diperhatikan sebelum mengabulkan
permohonan dwangsom, bahwa hukuman dwangsom yang diajukan oleh
penggugat dalam petitum gugatannya bersama-sama dengan gugatan
pokok. Hal ini penting diperhatikan terlebih dahulu karena hukuman
dwangsom hanya mungkin dikabulkan apabila diajukan dalam petitum
gugatan bersama-sama dengan hukuman pokok. Tanpa hukuman pokok
permohonan dwangsom tidak mungkin dan tidak boleh dikabulkan karena
seperti telah dikemukakan di atas bahwa salah satu sifat dwangsom adalah
accessoir, dalam pengertian bahwa keberadaan dwangsom tergantung dan
mengikuti keberadaan hukuman pokok, tidak ada dwangsom tanpa
hukuman pokok.
c. Hukuman Pokok Yang Diminta Bukan Berupa Pembayaran
Sejumlah Uang: Hal ketiga yang harus diperhatikan terlebih dahulu
sebelum mengabulkan permohonan dwangsom, bahwa hukuman pokok
yang diminta dalam perkara tersebut harus bukan berupa pembayaran
17
Ultra Petita dalam hukum acara perdata adalah memutus hal yang tidak diminta atau tidak
dituntut atau memutus lebih dari yang diminta/dituntut, di mana menurut ketentuan Pasal 189 ayat (2)
R.Bg jis. Pasal 178 ayat (3) HIR dan Pasal 50 ayat (3) serta Psl 385 ayat (2) dan (3) RV hakim perdata
dilarang memberi putusan tentang hal-hal yang tidak dituntut atau mengabulkan lebih dari yang
dituntut.
60
sejumlah uang. Hal ini sesuai dengan Penerapan ketentuan Pasal 606a
Rv, di mana dwangsom hanya dapat dijatuhkan terhadap putusan hakim
yang hukuman pokoknya bukan berupa pembayaran sejumlah uang.
Terhadap putusan hakim yang hukuman pokoknya berupa pembayaran
sejumlah uang tidak boleh dan tidak perlu dijatuhkan dwangsom karena
pemenuhan hukumannya dapat diperoleh dengan suatu upaya hukum
biasa dengan melalui executorial beslag kemudian dilakukan penjualan
dengan cara pelelangan sehingga tidak perlu hukuman dwangsom.18
d. Terhukum Dalam Keadaan Mampu dan Memungkinkan untuk
Melaksanakan Hukuman Pokok: Hal selanjutnya yang harus
diperhatikan terlebih dahulu sebelum mengabulkan permohonan
dwangsom adalah bahwa terhukum (tergugat) dalam keadaan mampu dan
memungkinkan untuk memenuhi dan melaksanakan hukum pokok.
Dwangsom tidak boleh dijatuhkan apabila sebelumnya menurut penilaian
hakim debitur atau terhukum (tergugat) tidak akan mampu memenuhi
hukuman pokok misalnya, seorang terhukum (tergugat) dalam amar
putusan ia dihukum untuk mengembalikan suatu barang tidak bergerak
kepada penggugat. Padahal barang dimaksud sudah nyata tidak lagi
berada di bawah penguasaan terhukum (tergugat) tersebut. Dalam
keadaan demikian tentu tidak ada manfaatnya menjatuhkan hukuman
18
Harifin Tumpa, Memahami Eksistensi Uang Paksa (Dwangsom) dan Inplementasinya di
Indonesia, h.29.
61
dwangsom karena terhukum (tergugat) sudah nyata tidak akan mampu
atau tidak memungkinkan untuk memenuhi hukuman pokok tersebut.19
e. Dwangsom Menjadi Solusi Efektif bagi Penyelesaian Perkara
bersangkutan: Seperti telah diketahui bahwa tujuan utama dijatuhkannya
hukuman dwangsom tidak lain dimaksudkan untuk menjadi solusi yang
efektif bagi penyelesaian perkara bersangkutan manakala pihak terhukum
(tergugat) tidak bersedia memenuhi hukuman pokok secara sukarela
dalam batas waktu yang telah ditentukan. Oleh karena itu sebelum
menjatuhkan hukuman dwangsom hakim perlu memastikan terlebih
dahulu bahwa hukuman dwangsom tersebut benar-benar akan menjadi
solusi yang efektif bagi penyelesaian perkara bersangkutan jika sekiranya
pihak terhukum tidak mau memenuhi hukuman pokok. Dalam hal jumlah
uang paksa (dwangsom) misalnya, seperti dinyatakan Harifin Tumpa
hakim harus memastikan terlebih dahulu bahwa jumlah uang paksa yang
dijatuhkan itu dapat bekerja secara efektif sesuai dengan tujuannya, di
mana dengan hukuman uang paksa sejumlah itu benar-benar akan
menjadi tekanan psikis bagi terhukum (tergugat) sehingga ia akan dengan
sukarela memenuhi hukuman pokok.20
19
Harifin Tumpa, Memahami Eksistensi Uang Paksa (Dwangsom) dan Inplementasinya di
Indonesia, h. 79
20
Harifin Tumpa, Memahami Eksistensi Uang Paksa (Dwangsom) dan Inplementasinya di
Indonesia, h. 51
62
Dengan adanya syarat-syarat ini menurut penulis maka tuntutan
dwangsom penggugat/terbanding terhadap tergugat/pembanding telah
memenuhi unsur sebagai berikut :
a. Dalam hal poin pertama, dikarenakan selama ini tergugat/pembanding
belum pernah menyerahkan kedua anak ke penggugat/terbanding dalam
pengadilan tingkat pertama. Sehingga dwangsom masuk dalam tuntutan
tegas.
b. Dalam hal poin dua, penggugat/terbanding telah memenuhi unsur karena
dwangsom ini hanya tuntutan penggugat/terbanding karena sudah
memenuhi unsur sebagai tutuntan tambahan dalam pokok perkara
hadhanah.
c. Dalam hal poin tiga, diperhatikan terlebih dahulu sebelum mengabulkan
permohonan dwangsom, bahwa hukuman pokok yang diminta dalam
perkara tersebut harus bukan berupa pembayaran sejumlah uang. Karena
dwangsom merupakan tuntutan tambahan bukan tuntutan pokok sejumlah
uang.
d. Dalam hal poin empat, dikarenakan secara financial dan ekonomi
tergugat/pembanding mampu.
e. Dwangsom merupakan salah satu solusi efektif karena
penggugat/terbanding belum menerima penyerehan hak asuh anak dari
tergugat/pembanding padahal di amar putusan pada tingkat pertama hak
asuh ada pada penggugat/terbanding.
63
2. Amar Putusan Hakim
M E N G A D I L I
Menyatakan permohonan banding pembanding dapat diterima;
DALAM EKSEPSI
Menyatakan tuntutan provisi dari penggugat/terbanding tidak dapat
diterima;
DALAM PROVISI
Menolak eksepsi tergugat/pembanding;
DALAM POKOK PERKARA
Menguatkan putusan Pengadilan Agama Makassar Nomor
1138/Pdt.G/2012/PA Mks., tanggal 28 November 2012 M., bertetapan
tanggal 14 Muharam 1434 H., yang dimohonkan banding, dengan
perbaikan dan penambahan amar sehingga selengkapnya berbunyi sebagai
berikut :
1. Mengabulkan gugatan penggugat/terbanding ;
2. Menetapkan anak yang bernama Ahmad Farel bin Wawan, umur 5
tahun 7 bulan dan Hilwa Nuratifah binti wawan, umur 4 tahun 6
bulan, berada di bawah hadhanah penggugat/terbanding, Sri Derajat
Tenriola binti A. Abd. Kadir sampai dengan anak tersebut berumur 12
tahun (mumayyiz);
64
3. Menghukum tergugat/pembanding untuk menyerahkan kedua orang
anak tersebut pada petitum angka 2 di atas kepada
penggugat/terbanding ;
4. Menghukum tergugat/pembanding untuk membayar uang paksa
(dwangsom) kepada penggugat/terbanding, sebesar Rp 5.000.000,00
(lima juta rupiah) setiap hari apabila ia lalai melaksanakan isi
putusan tersebut terhitung sejak putusan ini berkekuatan hukum tetap ;
5. Menghukum penggugat/terbanding untuk membayar biaya perkara di
tingkat pertama sebesar Rp 211.000,00 (dua ratus sebelas ribu
rupiah);
6. Menghukum tergugat/pembanding untuk membayar biaya perkara
ditingkat banding sebesar Rp 150.000,- (seratus lima puluh ribu
rupiah).
Menurut penulis dengan diajukan tuntutan dwangsom dalam gugatan
penggugat maka hakim yang memeriksa perkara tersebut dalam memutus
pokok perkara harus pula memberikan putusan terhadap dwangsom ini dengan
mengabulkan atau menolak permohonan tersebut. Majelis hakim dalam
memeriksa tuntutan dwangsom ini harus betul-betul memerhatikan hal-hal
sebagai berikut: (1) beralasan hukum atau tidaknya tuntutan dwangsom itu;
(2) boleh atau tidaknya dwangsom itu ditetapkan dalam perkara tersebut; (3)
kondisional ekonomi melaksanakan tuntutan dwangsom itu. Jika
65
pertimbangan yang dikemukakan ini tidak terpenuhi secara utuh dan
menyeluruh, sebaiknya tuntutan dwangsom tersebut ditolak atau
dikesampingkan. Jadi, putusan hadhanah itu harus tegas dan jelas dengan
amar bersifat declatoir dan comdemnatoir.21
Dari pertimbangan hukum dan amar putusan hakim, penulis melihat
hakim telah memenuhi unsur-unsur dalam penerapan uang paksa (dwangsom)
terhadap tergugat/pembanding. Tentu masih banyak hal lain yang dapat
dijadikan pertimbangan hakim untuk menilai sejauh mana urgensi
dijatuhkannya dwangsom bagi perkara bersangkutan. Hal-hal yang
dikemukakan di atas merupakan beberapa di antaranya yang sudah lazim di
temukan dalam praktik peradilan selama ini. Adapun yang terpenting untuk
dipahami dalam hal ini baik untuk mengabulkan atau menolak suatu
permohonan dwangsom haruslah dipertimbangkan sebagaimana mestinya
sehingga kepentingan hukum yang ingin dicapai dari penerapan dwangsom
bagi perkara bersangkutan benar-benar terwujud dan hukuman dwangsom itu
sendiri memang bermanfaat bagi pihak yang mimintanya, bukan justeru
menimbulkan permasalahan baru bagi penyelesaian perkara bersangkutan.
Semoga dengan adanya dwangsom ini memberi tekanan psikis kepada
tergugat/pembanding agar menjalankan putusan hakim.
21
Kamarusdiana, Buku Daras Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta: Fakultas Syariah
Dan Hukum UIN, 2013), h. 323.
66
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis penulis pada bab sebelumnya, kesimpulan yang
dapat diambil yaitu :
1. Dasar implementasi dwangsom adalah 606a Rv yang mana dwangsom
merupakan tuntutan uang paksa tambahan terhadap tuntutan pokok perkara
kepada pihak yang kalah apabila lalai dalam menjalankan amar putusan
pengadilan. Dwangsom dalam perkara hadhanah di Peradilan Agama serta
hukum acaranya mengikuti hukum acara Peradilan Umum sebagaimana yang
disebutkan pasal 54 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989.
2. Dwangsom sebagai upaya memaksimalkan isi putusan hakim dijalankan
dengan sukarela seyogyanya diterapkan dalam putusan hakim, karena dengan
keberadaan dwangsom tersebut dapat menekan secara kejiwaan dan
meminimalisir putusan yang sia-sia (illusoir). Terlebih lagi bila penerapan
dwangsom tersebut didasarkan dengan tujuan kemaslahatan, yaitu mencegah
kemudaratan dan membuka selebar mungkin kemaslahatan-kemaslahatan
yang terdapat dalam putusan hakim, dalam artian mencegah kemungkinan
Tergugat tidak menjalankan isi putusan hakim sebagaimana mestinya. Pada
perkara di Pengadilan Agama pada dasarnya semua perkara bisa dikenakan
uang paksa/dwangsom (Perkawinan, Harta Bersama, Waris, Wasiat,
67
Hadhanah, Hibah, Wakaf, maupun di Bidang Ekonomi Syari’ah) kecuali
terhadap putusan hakim dalam perkara-perkara tersebut yang hukuman
pokoknya berupa pembayaran sejumlah uang.
3. Penerapan dwangsom dalam perkara cerai gugat hanya sebatas pada gugatan
isteri yang bersifat kumulatif (penggabungan gugatan), karena pada dasarnya
dalam gugatan ini isteri tidak sekedar menuntut perceraian semata melainkan
tuntutan hak asuh anak juga (Hadhanah) dalam satu surat gugatan. Meskipun
dwangsom dapat diterapkan dalam gugatan kumulatif, namun tidak sertamerta
dapat diterapkan pada seluruh tuntutan hukum, melainkan sebatas pada
tuntutan hukum hak asuh anak . Dwangsom tidak dapat diterapkan bersamaan
dengan penyerahan sejumlah uang, seperti pembayaran nafkah mad’iyah
(nafkah terhutang) atau nafkah anak. Dalam pertimbangan hakim putusan
Nomor 2/Pdt.G/2013/PTA MKS sudah memenuhi unsur dibolehkannya
tuntutan tambahan uang paksa/dwangsom, yang mana legal opinion hakim
masuk dalam kriteria dwangsom yaitu: (1) dwangsom diminta secara tegas
oleh pihak berperkara; (2) dwangsom diajukan bersama-sama dengan
hukuman pokok; (3) hukuman pokok yang diminta bukan berupa pembayaran
sejumlah uang; (4) terhukum dalam keadaan mampu dan memungkinkan
untuk melaksanakan hukuman pokok; (5) dwangsom menjadi solusi efektif
bagi penyelesaian perkara bersangkutan.
68
B. Saran-Saran
Setelah menelaah dari permasalahan yang terdapat dalam penulisan ini,
maka ada beberapa hal yang penulis rekomendasikan antara lain:
1. Dwangsom merupakan solusi antisipasi terhadap pihak yang lalai dalam
menjalankan putusan pengadilan, maka dwangsom bisa menjadi alternatif bagi
pihak yang berperkara khususnya di pengadilan agama.
2. Selama ini dwangsom lebih banyak dipakai di perkara Pengadilan Negeri,
maka sudah saatnya hakim di Pengadilan Agama memberikan terobosan
hukum dwangsom, agar putusan di Pengadilan Agama lebih bertaring.
3. Dengan adanya Dwangsom diharapkan menjaga kwalitas perkara yang
diajukan di Pengadilan Agama khusunya, sehingga penerapan dwangsom
dalam putusan menjadi suatu tuntutan tekanan (psikis) terhadap pihak yang
kalah.
69
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qalyubi, Al-syihab Al-Din, Al-Mahalli Juz IV, Kairo : Dar Wahya Al-Kutub, 1971
Amirudin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta : Raja
Grafindo Persada, 2006
Aripin, Jaenal, Pengadilan Agama Dalam Bingkai Reformasi Hukum Islam, Jakarta :
Kencana, 2008
Arto, Mukti, Praktik Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, Yogyakarta :
Pustaka Pelajar, 2003
Ashofa, Burhan, Metode Penelitian Hukum, Jakarta : Rajawali Press, 1996
Ayyub, Hasan, Fiqh Keluarga, Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, 2004
Ayyub, Syaikh Hasan, Fiqh keluarga, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2006
Bisri, Cik Hasan, Kompilasi Hukum Islam Dan Peradilan agama (Dalam Sistem
Hukum Nasional), Jakarta : Logos, 1999
Djohansyah, J, Mahkamah Agung Menuju Independensi Kekuasaan Kehakiman,
Jakarta : Kesain Blanc, 2008
Djubaedah, Neng, Hukum Perkawinan Islam DI Indonesia, Jakarta : PT. Hecca
Utama, 2005
Hamza, Andi, Kamus Hukum, Jakarta : Ghalia, Indonesia, 1986
Hanitijo Soemitro, Ronny, Metodologi Penelitian Hukum dan Jumetri, Jakarta :
Ghalia Indonesia, 1990
Harahap, Yahya, Hukum Acara Perdata, Jakarta : Sinar Grafika, 2010
70
Tumpa, Harifin A, Memahami Eksistensi Uang Paksa (Dwangsom) dan Inplementasinya di
Indonesia, Jakarta : Prenada Media Group, 2010
Ibrahim, Johnny, Teori dan Metodelogi Penelitian Hukum Normatif, Malang :
Bayumedia Publishing, 2008
Ismail, Muhammad Ibnu, Subulussalam Juz III, Kairo : Dar Ihya Al-Turas Al-Araby,
1960
Kamarusdiana, Buku Daras Hukum Acara Peradilan Agama, Jakarta: Fakultas Syariah Dan
Hukum UIN, 2013
Kusein, Abdur Rozak, Hak Anak Dalam Islam, Jakarta : Fikahati Aneska, 1995
Mahmud Marzuki, Peter, Penelitian Hukum, Jakarta : Kencana, 2011
Manan, Abdul, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, Jakarta :
Kencana Prenada Media Group, 2005
--------------, Beberapa Permasalahan Hukum Acara Perdata Pada Peradilan Agama,
Jakarta : Al-Hikmah, 1997
--------------, Beberapa Tinjauan Mengenai sistem Peradilan dan Penyelsaian
Sengketa, Bandung : Citra Aditya Bakti, 1992
--------------, Hukum Acara Perdata Peradilan Indonesia, Medan : Zakir, 2001
--------------, Kedudukan kewenangan dan Acara Peradilan Agama, Jakarta : Pustaka
Kartini, 1993
--------------, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, Jakarta : Sinar
Grafika, 2007
Mujahidin, Ahmad, Pembaharuan Hukum Acara Perdata, Peradilan Agama dan
Mahkamah Syariyah Di Indonesia, Jakarta : IKAHI, 2008
Nuruddin, Amiur, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, Jakarta : Kencana, 2006
71
Pangaribuan, Luhut MP., Menuju Sistem Peradilan Pengayoman, (suatu catat awal ),
Jakarta : Ghalia Indonesia, 1995
Rasjidi, Lili, Hukum Sebagai Sistem, Jakarta : PT. Remaja Rosdakarya, 1993
Retnowulan dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan
Praktek, Bandung : Mandar Maju, 2002
Romy H, Soemitro. Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1990
Sabiq, Sayyid, Fiqh Sunnah Jilid 2, Beirut-Lubhan : Dar al-Fikr, 1973
Saraswati, Rika, Hukum Perlindungan Anak Di Indonesia, Bandung : PT. Citra
Aditya Bakti, 2009
Setiawan, Aneka Masalah Hukum dan Hukum Acara Perdata, Bandung : Alumni,
1992
Simorangkir, Kamus Hukum, Jakarta : Sinar Grafika, 2007
Soekanto, Soejono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta : Pustaka Pelajar, 1992
Soimin, Soedharyo, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta : sinar Grafika,
2007
Sulaiman, Abu Daud bin Al-Sajastani, Sunan Abu Daud Juz I, Beirut: Daar Fikr,
2003
Warson, Ahmad, kamus Al-Munawir Arab – Indonesia, Surabaya : Pustaka Progresif,
1997
Zainuddin, Ali, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, Jakarta : Sinar Grafika, 2007
Zuhaili, Wahbah, Al-Fiqh Islam Wa Adillatuhu Juz VII, damaskus : Dar Al-fikr, 1984
Hlm. 1 dari 15 / Pts .No.2/Pdt.G/2013/PTA Mks.
P U T U S A N
Nomor 2/Pdt.G/2013/PTA Mks.
BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM
DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA
Pengadilan Tinggi Agama Makassar yang memeriksa dan mengadili
perkara tertentu pada tingkat banding dalam sidang musyawarah majelis telah
menjatuhkan putusan atas perkara yang diajukan oleh :
PEMBANDING, umur 27 tahun, agama Islam, pekerjaan karyawan swasta,
pendidikan terakhir SMA, tempat tinggal di Kota Makassar, dalam
hal ini memberi kuasa kepada kuasa hukumnya, Sri Wahyuningsih,
S.H., Advokat / Penasehat Hukum pada Kontor Hukum Sri
Wahyuningsih,S.H. & Rekan, berkantor di Jalan Topaz Raya Ruko
Zamrud I Blok G No.15, Kelurahan Masale, Kecamatan
Panakkukang, Kota Makassar, berdasarkan surat kuasa khusus
tanggal 4 September 2012, yang telah terdaftar di kepaniteraan
Pengadilan Agama Makassar dengan register
No.464/SK/IX/2012/PA Mks., tanggal 5 September 2012, tergugat /
pembanding;
m e l a w a n
TERBANDING, umur 32 tahun, agama Islam, pekerjaan wiraswasta, tempat
tinggal di Kota Makassar, dalam hal ini memberi kuasa kepada
kuasa hukumnya, Hamka Jarod, S.H., Advokat / Penasehat Hukum
pada Law Offices Advokat dan Penasehat Hukum Hamka Jarod,
S.H., berkantor di Jalan Arif Rahman Hakim No.40 di Makassar,
berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 8 Agustus 2012, yang telah
terdaftar di kepaniteraan Pengadilan Agama Makassar dengan
register No.432/SK/VIII/2012/PA Mks., tanggal 13 Agustus 2012,
penggugat / terbanding;
Pengadilan Tinggi Agama tersebut ,
Telah membaca dan mempelajari berkas perkara dan semua surat yang
berhubungan dengan perkara ini.
Hlm. 2 dari 15 | Pts.No.2/Pdt.G/2013/PTA Mks.
TENTANG DUDUK PERKARANYA
Mengutip segala uraian sebagaimana termuat dalam putusan Pengadilan
Agama Makassar Nomor 1138/Pdt.G/2012/PA Mks., tanggal 28 November 2012
M., bertepatan tanggal 14 Muharam 1434 H., yang amarnya sebagai berikut;
Dalam Eksepsi
- Mengabulkan eksepsi tergugat;
Dalam Provisi
- Menyatakan tidak menerima permohonan provisi penggugat;
Dalam Pokok Perkara
1. Mengabulkan gugatan penggugat ;
2. Menetapkan anak bernama Ahmad Farel bin Wawan, umur 5 tahun dan Hilwa
Nuratifah binti Wawan, umur 4 tahun berada di bawah hadhanah penggugat,
Sri Derajat Tenriola binti A. Abd. Kahar ;
3. Membebankan kepada penggugat untuk membayar biaya perkara, sejumlah
Rp 211.000,00 (dua ratus sebelas ribu rupiah) ;
Membaca Akta Permohonan Banding Nomor 1138/Pdt.G/2012/PA Mks.
yang dibuat oleh Panitera Pengadilan Agama Makassar, tanggal 11 Desember
2012, yang menyatakan bahwa tergugat / pembanding telah mengajukan
permohonan banding terhadap putusan Pengadilan Agama Makassar tersebut dan
permohonan banding tersebut telah diberitahukan kepada pihak lawannya secara
seksama pada tanggal 13 Desember 2012 ;
Bahwa tergugat / pembanding telah mengajukan memori banding
bertanggal 26 Desember 2012 yang diterima oleh Panitera Pengadilan Agama
Makassar pada tanggal 3 Januari 2013, dan telah disampaikan kepada penggugat
/ terbanding melalui kuasanya pada tanggal 7 Januari 2013, kemudian terhadap
memori banding tersebut penggugat / terbanding telah mengajukan kontra memori
banding bertanggal 7 Januari 2013 dan telah disampaikan pula kepada tergugat /
pembanding pada tanggal 9 Januari 2013;
Bahwa terhadap kedua pihak telah diberitahukan untuk memeriksa berkas
(inzage), sesuai surat pemberitahuan tanggal 8 Junuari 2013 kepada kuasa hukum
masing-masing pihak, dan berdasarkan Berita Acara Pemeriksaan Berkas Nomor
1138/Pdt.G/2012/PA Mks. , tanggal 9 Januari 2013, tergugat / pembanding telah
datang memeriksa berkas perkara banding (inzage), sedangkan penggugat /
terbanding telah datang memeriksa berkas perkara banding (inzage) berdasarkan
Hlm. 3 dari 15 | Pts.No.2/Pdt.G/2013/PTA Mks.
Berita Acara Pemeriksaan Berkas Nomor 1138/Pdt.G/2012/PA Mks. , tanggal 10
Januari 2013 ;
TENTANG HUKUMNYA
Menimbang, bahwa oleh karena permohonan banding pembanding
diajukan dalam tenggang waktu dan dengan cara-cara serta memenuhi syarat
menurut ketentuan perundang-undangan, maka permohonan banding tersebut
formal harus dinyatakan dapat diterima;
Menimbang, bahwa Pengadilan Tinggi Agama setelah membaca, meneliti,
mempelajari dengan seksama berkas perkara banding yang terdiri dari berita acara
persidangan, surat-surat bukti dan surat-surat lainnya yang berhubungan dengan
perkara ini serta keterangan saksi-saksi yang diajukan oleh para pihak berperkara,
salinan resmi putusan Pengadilan Agama, dan setelah pula memperhatikan
pertimbangan hukum Pengadilan Agama, maka Pengadilan Tinggi Agama
menyatakan tidak seluruhnya sependapat dengan pertimbangan Pengadilan
Agama tersebut, oleh karena itu Pengadilan Tinggi Agama akan memberikan
pertimbangan sebagai berikut :
DALAM EKSEPSI
Menimbang, bahwa eksepsi tergugat / pembanding sebagaimana yang
diuraikan dalam jawabannya adalah berupa bantahan atas tuntutan provisi
penggugat / terbanding yang bertujuan agar hak asuh kedua orang anak dari
perkawinan penggugat / terbanding dengan tergugat / pembanding diserahkan
kepada penggugat / terbanding sambil menunggu keputusan yang berkekuatan
hukum tetap. Oleh karena tuntutan provisi sudah menyentuh pokok perkara dan
bertentangan dengan tujuan provisi yang hanya berkenaan dengan tindakan
sementara yang tidak termasuk pokok perkara, maka tuntutan penggugat /
terbanding tersebut harus ditolak (vide Putusan Mahkamah Agung No. 1967
K/Pdt/1995, tanggal 4 Juni 1998);
Menimbang, bahwa putusan Pengadilan Agama atas dasar apa yang
dipertimbangkan sepanjang mengenai eksepsi dalam putusannya telah
mempertimbangkan bahwa eksepsi tersebut sudah membahas pokok perkara maka
pada dasarnya eksepsi tergugat / pembanding tersebut beralasan dan tidak
melawan hukum, sehingga eksepsi tersebut patut dikabulkan, namun Pengadilan
Tinggi Agama dalam hal ini tidak sependapat dengan pertimbangan hukum
Pengadilan Agama tersebut dengan pertimbangan sebagai berikut :
Hlm. 4 dari 15 | Pts.No.2/Pdt.G/2013/PTA Mks.
Menimbang, bahwa Pengadilan Tinggi Agama menilai eksepsi tergugat /
pembanding tersebut adalah jawaban yang berupa bantahan tergugat / pembanding
atas tuntutan provisi penggugat / terbanding yang bertujuan agar hak asuh kedua
orang anak dari perkawinan penggugat / terbanding dengan tergugat / pembanding
diserahkan kepada penggugat / terbanding sambil menunggu keputusan yang
berkekuatan hukum tetap dan lagi pula akan dipertimbangkan dalam provisi maka
eksepsi tergugat / pembanding a quo harus ditolak, sesuai Yurisprudensi
Mahkamah Agung No. 361 K/Sip/1973, tanggal 30 Desember 1975, yang
mengandung abstrak hukum bahwa “karena tangkisan tergugat / terbanding
tanggal 28 Oktober 1968 bukan merupakan tangkisan dalam arti eksepsi, tetapi
jawaban (verweer), sedang menurut pasal 162 RBg. yang diputus bersama-sama
dengan pokok perkara adalah tangkisan dalam arti kata eksepsi, putusan Hakim
pertama terhadap tangkisan tergugat / terbanding tersebut adalah keliru maka
harus dibatalkan“ ;
Menimbang, bahwa atas dasar pertimbangan di atas maka Pengadilan Tinggi
Agama tidak dapat menyetujui dan menilai pertimbangan hukum sebagai mana
terurai dalam putusan Pengadilan Agama (hlm. 14 alinea kedua dan ketiga) serta
amar putusan dalam eksepsi adalah tidak tepat dan tidak benar, oleh karenanya
tidak dapat dipertahankan dan selanjutnya Pengadilan Tinggi Agama menyatakan
menolak eksepsi tergugat / pembanding,
DALAM PROVISI
Menimbang, bahwa penggugat dalam tuntutan provisinya menuntut agar
memerintahkan kepada tergugat / pembanding untuk menyerahkan kedua anak
penggugat / terbanding dan tergugat / pembanding kepada penggugat / terbanding
sambil menunggu putusan berkekuatan hukum tetap, dan menghukum tergugat /
pembanding membayar uang paksa (dwangsom), sebesar Rp 5.000.000,00 (lima
juta rupiah) setiap hari apabila lalai melaksanakan putusan provisi ini;
Menimbang, bahwa tuntutan provisi penggugat menyangkut dua hal yaitu
pertama menuntut menyerahkan kedua anak penggugat / terbanding dan tergugat /
pembanding kepada penggugat / terbanding sambil menunggu putusan
berkekuatan hukum tetap, dan kedua menuntut tergugat / pembanding membayar
uang paksa ( dwangsom ), apabila lalai melaksanakan putusan provisi ini :
Menimbang, bahwa terhadap tuntutan yang pertama sudah masuk pokok
perkara karena memerlukan pembuktian, sedangkan terhadap tuntutan kedua
menyangkut pelaksanaan putusan yang akan dipertimbangkan dalam pokok
Hlm. 5 dari 15 | Pts.No.2/Pdt.G/2013/PTA Mks.
perkara, karena itu putusan Pengadilan Agama dalam provisi dapat dikuatkan
dengan menyatakan tuntutan provisi penggugat / terbanding tidak dapat diterima :
DALAM POKOK PERKARA
Menimbang, bahwa Pengadilan Tinggi Agama setelah pula
memperhatikan pertimbangan hukum Pengadilan Agama, maupun memori
banding pembanding dan kontra memori para terbanding, maka Pengadilan Tinggi
Agama akan memberikan tanggapan terlebih dahulu atas keberatan pembanding
tersebut sebagai berikut ;
Menimbang, bahwa keberatan pembanding pada angka 1 s.d. 5
sebagaimana terurai dalam memori banding a quo, pada dasarnya hanyalah
merupakan pengulangan atas jawaban yang disampaikannya pada waktu
pemeriksaan perkara, dan telah dipertimbangkan dengan cermat oleh hakim
tingkat pertama, sehingga tidak perlu dipertimbangkan lagi oleh Pengadilan
Tinggi Agama, dengan demikian keberatan pembanding a quo tidak dapat
dibenarkan dan harus ditolak ;
Menimbang, bahwa terlepas dari keberatan-keberatan tergugat /
pembanding yang terurai dalam memori bandingnya, maka atas dasar apa yang
telah dipertimbangkan oleh Pengadilan Agama dalam putusannya adalah telah
tepat dan benar, oleh karenanya Pengadilan Tinggi Agama menyatakan
sependapat dan dapat menyetujui pertimbangan hukum Pengadilan Agama
tersebut dan kemudian diambil alih sebagai pertimbangan hukum sendiri dalam
putusan ini, namun demikian Pengadilan Tinggi Agama memandang perlu untuk
menambah pertimbangan hukum sendiri sebagai berikut ;
Menimbang, bahwa gugatan tentang hadhanah dalam perkara ini pada
pokoknya didasarkan atas dalil bahwa penggugat / terbanding dan tergugat /
pembanding telah bercerai, dimana dua orang anak dari perkawinannya belum
mumayyiz dan belum ditetapkan pemegang hak hadhanahnya, anak pertama
bernama Ahmad Farel bin Wawan berumur 5 (lima) tahun dan anak kedua
bernama Hilwa Nuratifah binti Wawan berumur 4 (empat) tahun, tergugat telah
membatasi dan menghalangi hak penggugat untuk pemeliharaan kedua anak
tersebut, anak pertama hanya ikut bersama penggugat / terbanding pada setiap hari
Senin dan Selasa, sedangkan terhadap anak kedua, tidak pernah lagi diizinkan
oleh tergugat / pembanding untuk bertemu dengan penggugat / terbanding, dan
bahkan saat ini kedua anak tersebut dirahasiakan tempat tinggalnya oleh tergugat /
pembanding ;
Hlm. 6 dari 15 | Pts.No.2/Pdt.G/2013/PTA Mks.
Menimbang, bahwa sesuai pengakuan tergugat / pembanding di depan
sidang dan didukung bukti P.1, P.2 dan P.3 maka ditemukan fakta bahwa
penggugat / terbanding dan tergugat / pembanding pernah menikah pada tanggal 4
September 2006 kemudian bercerai pada tanggal 24 Juli 2012, selama
perkawinannya dikarunai dua orang anak, yaitu Ahmad Farel bin Wawan, lahir
tanggal 20 Juli 2007 atau masih berusia 5 tahun 7 bulan dan anak kedua bernama
Hilwa Nuratifah binti Wawan, lahir tanggal 6 Agustus 2008 atau masih berusia 4
tahun 6 bulan (belum mencapai umur 12 (dua belas) tahun atau belum mumayyiz),
yang berada dalam penguasaan tergugat / pembanding hingga pada saat putusan
perkara ini diputus di Pengadilan Agama Makassar tanggal 28 November 2012 ;
Menimbang, bahwa berdasarkan Pasal 66 ayat (5) Undang undang Nomor
7 Tahun 1989 yang telah dirubah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006
dan perubahan kedua dengan Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009 dinyatakan
bahwa permohonan soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah isteri, dan harta
bersama suami isteri dapat diajukan bersama-sama dengan permohonan cerai talak
atau pun sesudah ikrar talak diucapkan, jo. Pasal 86 Undang-undang yang sama
dinyatakan bahwa gugatan soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah isteri, dan
harta bersama suami isteri dapat diajukan bersama-sama dengan gugatan
perceraian atau pun sesudah keputusan perceraian memperoleh kekuatan hukum
tetap maka gugatan penggugat / terbanding tersebut berdasarkan hukum dan
karenanya patut dipertimbangkan;
Menimbang, bahwa berdasarkan fakta di persidangan Penggugat menuntut
hak pengasuhan dan pemeliharaan anak (hadhanah), karena secara hukum sejak
penggugat / terbanding bercerai dengan tergugat / pembanding, ternyata dua orang
anak penggugat / terbanding dengan tergugat / pembanding belum mencapai umur
12 (dua belas) tahun atau belum mumayyiz), dan hingga saat ini belum ditetapkan
siapa yang berhak mengasuh dan memeliharanya (belum ditetapkan/diputuskan
siapa pemegang hak hadlonahnya) ;
Menimbang, bahwa sejak terjadinya perceraian tersebut ditemukan pula
fakta bahwa anak pertama yang bernama Ahmad Farel bin Wawan berada dalam
pemeliharaan penggugat / terbanding hanya pada setiap hari Senin dan Selasa,
sedangkan anak kedua yang bernama Hilwa Nuratifah binti Wawan tidak lagi
berada dalam pemeliharaan penggugat / terbanding dan bahkan tidak pernah
dipertemukan dengan penggugat / terbanding sebagai ibu kandungnya, sehingga
secara de fakto kedua anak tersebut hingga kini berada dalam penguasaan tergugat
Hlm. 7 dari 15 | Pts.No.2/Pdt.G/2013/PTA Mks.
/ pembanding sebagai ayah kandungnya, sesuai Pasal 41 huruf a UU No.1 Tahun
1974 yang menyatakan bahwa ”akibat putusnya perkawinan karena perceraian
bahwa baik ibu atau ayah tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-
anaknya semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan
mengenai penguasaan anak-anak, pengadilan memberikan keputusannya”, maka
dengan demikian harus ada kepastian hukum siapa yang berhak menjadi hadhin
(pengasuh dan pemelihara) demi kelangsungan hidup dan kepentingan terbaik
bagi kedua anak tersebut;
Menimbang, bahwa sesuai Pasal 45 ayat (1) dan (2) yang menentukan
bahwa : ”kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka
sebaik-baiknya sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri dan kewajiban
itu berlaku terus meski perkawinan kedua orang tua putus”, maka dengan
ketentuan ini mempertegas dan memperjelas bahwa kewajiban dan kasih sayang
orang tua terhadap anak-anaknya tidak boleh diputus dan dihalang-halangi meski
pun kedua orang tuanya bercerai dan tidak tinggal satu rumah lagi, dan
penguasaan anak kepada salah satu orang tuanya tidaklah berarti menghalang-
halangi atau memutus hubungannya dengan orang tua yang lainnya dan atau
menjadikan orang tua yang lainnya akan kesulitan untuk bertemu dengan anak,
lagi pula untuk mengakhiri konflik yang berkepanjangan dalam sengketa
hadhanah ini yang jika berlarut-larut akan menimbulkan kemudlaratan bagi
perkembangan kehidupan mental dan psikologi anak ;
Menimbang, bahwa berdasarkan fakta-fakta tersebut di atas, ternyata
keinginan penggugat / terbanding untuk mendidik dan mencurahkan kasih
sayangnya terhadap anak-anaknya yang sekarang ini dibatasi dan bahkan
dihalang-halangi oleh tergugat / pembanding dengan alasan adanya Surat
Pernyataan yang dibuat pada tanggal 21 Juni 2012 sebagai kesepakatan bersama
tentang hak pemeliharaan anak antara penggugat / terbanding dengan tergugat /
pembanding yang dibuat tanpa ada paksaan dari pihak siapa pun yang selama ini
kesepakatan itu sudah dijalankan sebagai mana mestinya, meskipun ada aturan
yang menyatakan bahwa anak yang belum mumayyiz berada dalam pemeliharaan
ibunya, sedangkan penggugat / terbanding menilai kesepakatan tersebut hanyalah
bersifat sementara kemudian harus mengacu pada aturan yang berlaku mengenai
siapa yang berhak untuk melakukan hak hadhanah atas anak, hal mana oleh
Pengadilan Agama dalam putusannya tidak dipertimbangkan lebih lanjut
Hlm. 8 dari 15 | Pts.No.2/Pdt.G/2013/PTA Mks.
mengenai kesepakatan dimaksud, maka Pengadilan Tinggi Agama akan
memberikan pertimbangannya sebagai berikut ;
Menimbang, bahwa dalam Pasal 1320 ayat (4) jo 1337 dan 1338 KUH
Perdata mengandung “asas kebebasan berkontrak”, bahwa para pihak yang
berjanji bebas membuat perjanjian selama tidak melanggar kesusilaan, ketertiban
umum dan undang-undang, maka dapat disimpulkan bahwa “asas kebebasan
berkontrak” tersebut meliputi :
1) kebebasan membuat perjanjian, memilih dan menentukan causa perjanjian,
menentukan obyek perjanjian, menentukan bentuk suatu perjanjian;
2) kebebasan membuat perjanjian tidak bersifat mutlak atau tidak tak terbatas
tetapi memiliki batasan-batasan yang menyangkut kesepakatan, kecakapan,
i’tikad baik, obyek yang tidak dilarang oleh syara’, dan menegakkan keadilan
dan menghindari kezhaliman;
3) asas keseimbangan para pihak yang membuat perjanjian sehingga tidak
merugikan salah satu pihak dikarenakan salah satu pihak memiliki posisi yang
kuat dan posisi yang lemah pada pihak lain;
4) klausul-klausul yang terdapat dalam perjanjian harus didasarkan dan
dilaksanakan dengan itikad baik;
Menimbang, bahwa sesuai Putusan Mahkamah Agung RI No. 169
PK/Pdt/2008 tanggal 5 Desember 2008 jo. Putusan No. 442 PK/Pdt/2008, tanggal
23 Desember 2008, kesepakatan kedua pihak yang bersengketa, sehingga tidak
mungkin lagi diatur dengan cara lain, sepanjang kedua belah pihak tidak
menentukan lain, atau kesepakatan itu tidak seimbang/memberatkan salah satu
pihak, dan pada hakekatnya rasa keadilan tidak saja ditinjau dan dilihat dari segi
formal legalistic yang bisa dimungkinkan melalui rekayasa, tetapi harus juga
ditinjau dan dilihat dari segi keadilan substantif dengan mempertimbangkan segi-
segi kondisional yang mempengaruhinya;
Menimbang, bahwa ditemukan fakta, pembuatan surat kesepakatan
bersama berupa Surat Pernyataan yang dibuat tanggal 21 Juni 2012 sebagai
kesepakatan bersama tentang hak pemeliharaan anak antara penggugat /
terbanding dengan tergugat / pembanding ketika penggugat / terbanding
melaporkan tergugat / pembanding ke pihak kepolisian, patut diduga sangat
dipengaruhi oleh kondisi keretakan rumah tangga yang telah mencapai puncaknya
dengan terjadinya perceraian antara keduanya, sehingga suasana batin penggugat /
terbanding berada dalam posisi yang tertekan dan lemah serta tidak bebas
Hlm. 9 dari 15 | Pts.No.2/Pdt.G/2013/PTA Mks.
menyatakan kehendaknya mengenai isi dan substansi dari perjanjian tersebut, dan
perjanjian yang dibuat dibawah tekanan dan dalam keadaan terpaksa adalah
merupakan “misbruik van omstandigheiden”, yang mengakibatkan perjanjian
dapat dibatalkan, karena tidak lagi memenuhi unsur-unsur Pasal 1320
KUH.Perdata, yaitu tidak adanya kehendak yang bebas dari salah satu pihak ( vide
Putusan Mahkamah Agung RI. No. 2356 K/Pdt/2008, Tanggal 18 Februari 2009) ;
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas,
ditemukan fakta bahwa causa atau klausul perjanjian yang terdapat dalam Surat
Pernyataan a quo, bertentangan undang-undang dan hukum yang berlaku
sebagaimana diatur dalam Pasal 4 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak jo. Pasal 45 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan jo. Pasal 149 huruf d, pasal 156 huruf (d) dan (f) Kompilasi
Hukum Islam, serta melanggar asas kebebasan berkontrak sebagaimana ketentuan
Pasal 1320 ayat (4) jo 1337 dan 1338 KUH Perdata, dan pula merupakan
penyalahgunaan kesempatan atau penyalahgunaan keadaan (misbruik van
omstandigheden) oleh tergugat / pembanding yang menempatkan posisi dan
kedudukan penggugat / terbanding sebagai pihak yang lemah dalam perjanjian
tersebut ;
Menimbang, bahwa atas dasar pertimbangan di atas, maka majelis hakim
menilai bahwa Surat Pernyatan a quo adalah tidak sah menurut hukum sehingga
tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat bagi penggugat / terbanding
dengan tergugat / pembanding, oleh karena itu dalil-dalil bantahan tergugat /
pembanding aquo tidak beralasan menurut hukum sehingga harus
dikesampingkan, dan selanjutnya Pengadilan Tinggi Agama akan
mempertimbangkan ada tidaknya alasan atau halangan menurut hukum bagi
penggugat / terbanding dalam penguasaan kedua anak tersebut ;
Menimbang, bahwa pada saat perkara ini diputus, ternyata kedua anak
tersebut berada dalam pemeliharaan tergugat / pembanding dan pula tergugat /
pembanding telah membatasi dan bahkan melarang anaknya tersebut untuk
tinggal bersama atau pun bertemu dengan penggugat / terbanding, maka dengan
sikap tergugat / pembanding tersebut telah mengabaikan dan menghalangi hak-
hak penggugat / terbanding sebagai ibu kandungnya untuk memelihara dan
memberikan kasih sayang sepenuhnya kepada kedua anak tersebut;
Menimbang, bahwa sesuai Pasal 3 Undang-undang Nomor 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak, bahwa Perlindungan anak bertujuan untuk
Hlm. 10 dari 15 | Pts.No.2/Pdt.G/2013/PTA Mks.
menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan
berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan,
serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya
anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera, kemudian dalam
Pasal 1 ayat (1) huruf (a) dan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun
1979 tentang Kesejahteraan Anak, bahwa kesejahteraan anak adalah suatu tata
kehidupan dan penghidupan anak yang dapat menjamin pertumbuhan dan
perkembangannya dengan wajar, baik secara rohani, jasmani maupun sosial, dan
anak berhak atas pelayanan untuk mengembangkan kemampuan dan kehidupan
sosialnya, sesuai dengan kebudayaan dan kepribadian bangsa, untuk menjadi
warganegara yang baik dan berguna ;
Menimbang, bahwa sesuai ketentuan Pasal 105 huruf a Kompilasi Hukum
Islam dinyatakan bahwa apabila terjadi perceraian, maka pemeliharaan anak yang
belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya, karena sesuai
kodratnya seorang ibu yang telah mengandung dan melahirkan mempunyai
kelebihan dalam memberikan kasih sayang kepada anak-anaknya, demikian juga
sebaliknya bagi anak-anak yang belum dewasa terlebih lagi anak perempuan yang
masih balita sangat memerlukan kedekatan psikologis, emosional dan kedekatan
fisik dengan ibu kandungnya, hal mana sejalan dengan pendapat pakar Hukum
Islam dalam Kitab Al Bajuri juz II hal 195 yang selanjutnya diambil alih sebagai
pendapat Pengadilan Tinggi Agama, sebagai berikut :
Artinya : “Apabila seorang laki-laki bercerai dengan isterinya, dan dia mempunyai
anak dari perkawinannya dengan isterinya itu, maka isterinya lebih
berhak untuk memeliharanya” ;
Menimbang, bahwa berdasarkan fakta di persidangan, penggugat /
terbanding sebagai ibu kandung kedua anak tersebut tidak/belum menikah dengan
seorang lelaki lain (belum bersuami) dan pula telah menetap tempat tinggalnya
bersama dengan ibu kandung penggugat / terbanding di Jalan Landak Baru No.94
I, RT.006, RW.003, Kelurahan Banta-bantaeng, Kecamatan Rappocini, Kota
Makassar, sehingga penggugat / terbanding sebagai ibu kandung kedua anak
tersebut telah memenuhi syarat untuk menjadi pengasuh dan pemelihara anaknya,
dalam hal ini Pengadilan Tinggi Agama sependapat dengan Hadits Nabi Riwayat
Hlm. 11 dari 15 | Pts.No.2/Pdt.G/2013/PTA Mks.
Abu Daud yang diambil alih sebagai pendapat Pengadilan Tinggi Agama, sebagai
berikut :
Artinya : “Dari Abdullah bin Amru: Ada seorang wanita bertanya kepada
Rasulullah, "Wahai Rasul, anakku ini dulu keluar dari perutku, susuku
sebagai siraman baginya, dan kuda betina ini baginya sebagai barang
milik. Ayahnya sekarang telah menthalak serta ingin meminta anak ini
dariku." Rasulullah kemudian bersabda kepada sang wanita, "Kamu
lebih berhak atas anakmu selama kamu belum menikah "; Menimbang, bahwa Pengadilan Tinggi Agama mempertimbangkan pula
bahwa ternyata pada diri penggugat / terbanding tidak terbukti adanya ketidak
cakapan untuk menerima hak sebagai pemegang hak hadlanah terhadap anaknya
tersebut, atau dengan kata lain penggugat / terbanding dipandang layak dan
memenuhi syarat untuk ditetapkan sebagai pemegang hak hadlanah sebagaimana
dimaksud dalam kitab Kifayatul Ahyar juz II halaman 94 sebagai berikut :
Artinya : “Syarat-syarat hadlanah itu ada tujuh, berakal, merdeka, beragama
Islam, menjaga kehormatan, amanah (dapat dipercaya) tinggal di
tempat yang dipilih dan belum menikah dengan laki-laki lain. Jika
tidak terpenuhi salah satu diantara syarat –syarat tersebut maka
gugurlah hak si ibu untuk memelihara anaknya”.
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di
atas, telah nyata dalil-dalil gugatan penggugat / terbanding terbukti dan dalam
pemeriksaan perkara ini tidak ternyata terdapat alasan dan atau halangan menurut
hukum bagi penggugat / terbanding sebagai pemegang hak hadhanah terhadap
kedua orang anaknya yang belum mumayyiz tersebut, dan dengan memperhatikan
kepentingan anak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi
secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi sesuai Pasal 4 Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak, maka gugatan penggugat /
terbanding tersebut patut dikabulkan, oleh karenanya pertimbangan Pengadilan
Hlm. 12 dari 15 | Pts.No.2/Pdt.G/2013/PTA Mks.
Agama dalam putusannya dan amar putusan dalam pokok perkara dapat
dipertahankan ;
Menimbang, bahwa penetapan hak hadhanah (pemeliharaan anak)
terhadap dua orang anak tersebut kepada penggugat / terbanding, tidak
mengurangi hak anak untuk tetap bertemu langsung dan berhubungan pribadi
secara tetap dengan tergugat / pembanding selaku orang tuanya sebagaimana
diatur dalam Pasal 59 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia, demikian juga tidak menghapus kewajiban Tergugat selaku ayah dalam
menanggung biaya pemeliharaan dan pendidikan kedua orang anaknya tersebut
sebagaimana diatur dalam Pasal 41 huruf b Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan jo. Pasal 105 huruf c Kompilasi Hukum Islam;
Menimbang, bahwa oleh karena kedua anak penggugat / terbanding
dengan tergugat / pembanding tersebut berada dalam penguasaan tergugat /
pembanding, dan agar jaminan penyelesaian perkara a quo dapat dijalankan sesuai
ketentuan hukum yang berlaku, maka Pengadilan Tinggi Agama secara ex officio
dalam putusan perkara a quo perlu mencamtumkan diktum amar menghukum
tergugat / pembanding untuk menyerahkan kedua anak tersebut kepada penggugat
/ terbanding, meski pun tidak diminta dalam petitum primair, akan tetapi sesuai
dengan petitum subsidair yang meminta putusan seadil-adilnya, berdasarkan
Yurisprudensi Mahkamah Agung RI Nomor 499 K/Sip/1970 tanggal 4 Februari
1970 yang menyatakan “bahwa pengadilan boleh memberi putusan yang melebihi
apa yang diminta dalam hal adanya hubungan yang erat satu sama lainnya”, dalam
hal ini Pasal 189 ayat (3) Rbg. tidak berlaku secara mutlak, sebab Hakim dalam
menjalankan tugas harus bertindak aktif dan selalu berusaha agar memberikan
putusan yang benar-benar menyelesaikan perkara ;
Menimbang, bahwa sesuai Yurisprudensi Mahkamah Agung RI No. 791
K/Sip/1972, tanggal 26 Februari 1973 dan No. 307 K/Sip/1976, tanggal 7
Desember 1976 yang mengandung abstrak hukum, bahwa “uang paksa
(dwangsom) tidak berlaku terhadap tindakan untuk membayar uang dan harus
ditolak dalam hal putusan dapat dilaksanakan dengan eksekusi riil bila keputusan
yang bersangkutan mempunyai kekuatan yang pasti “, maka Pengadilan Tinggi
Agama berpendapat bahwa mengenai tuntutan penggugat / terbanding agar
menghukum tergugat / pembanding membayar uang paksa (dwangsom) sebesar
Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah) setiap hari apabila tergugat / pembanding lalai
melaksanakan isi putusan, adalah hal yang dapat dibenarkan dan beralasan
Hlm. 13 dari 15 | Pts.No.2/Pdt.G/2013/PTA Mks.
mengingat eksekusi anak berbeda dengan eksekusi riil dan eksekusi pembayaran
sejumlah uang yang di lapangan kadang mendapatkan kendala, sehingga
diperlukan cara khusus untuk memudahkan pelaksanaan eksekusi, diantaranya
melalui uang paksa (dwangsom), oleh karena itu tuntutan penggugat / terbanding
a quo dapat dikabulkan ;
Menimbang, bahwa segala hal yang telah dipertimbangkan oleh
Pengadilan Agama dalam pertimbangannya dan tidak dipertimbangkan lagi oleh
Pengadilan Tinggi Agama atau tidak bertentangan dengan pertimbangan
Pengadilan Tinggi Agama, oleh Pengadilan Tinggi Agama dapat disetujui dan
diambil alih sebagai pertimbangan sendiri;
Menimbang, bahwa dengan tambahan dan perbaikan pertimbangan
tersebut di atas, maka putusan Pengadilan Agama Makassar Nomor
1138/Pdt.G/2012/PA Mks. tanggal 28 November 2012 M., bertepatan tanggal
14 Muharam 1434 H., dapat dikuatkan dengan perbaikan dan penambahan amar
putusan yang bunyi lengkapnya akan dituangkan dalam diktum putusan ini;
Menimbang, bahwa oleh karena perkara ini termasuk dalam bidang
perkawinan, maka berdasarkan Pasal 89 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1989 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan
terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009, maka biaya
perkara ini dalam tingkat pertama dibebankan kepada Penggugat, dan dalam
tingkat banding dibebankan kepada Pembanding;
Mengingat segala ketentuan peraturan perudang-undangan yang berlaku
dan hukum syara, yang berkaitan dengan perkara ini ;
M E N G A D I L I
- Menyatakan permohonan banding pembanding dapat diterima;
DALAM EKSEPSI
- Menyatakan tuntutan provisi dari penggugat / terbanding tidak dapat diterima ;
DALAM PROVISI
- Menolak eksepsi tergugat / pembanding ;
DALAM POKOK PERKARA
- Menguatkan putusan Pengadilan Agama Makassar Nomor
1138/Pdt.G/2012/PA Mks., tanggal 28 November 2012 M., bertepatan tanggal
Hlm. 14 dari 15 | Pts.No.2/Pdt.G/2013/PTA Mks.
14 Muharam 1434 H., yang dimohonkan banding, dengan perbaikan dan
penambahan amar sehingga selengkapnya berbunyi sebagai berikut :
1. Mengabulkan gugatan penggugat / terbanding ;
2. Menetapkan anak yang bernama Ahmad Farel bin Wawan, umur 5 tahun 7
bulan dan Hilwa Nuratifah binti Wawan, umur 4 tahun 6 bulan, berada di
bawah hadhanah penggugat / terbanding, Sri Derajat Tenriola binti A.
Abd. Kadir sampai dengan anak tersebut berumur 12 tahun (mumayyiz);
3. Menghukum tergugat / pembanding untuk menyerahkan kedua orang anak
tersebut pada petitum angka 2 di atas kepada penggugat / terbanding ;
4. Menghukum tergugat / pembanding untuk membayar uang paksa
(dwangsom) kepada penggugat / terbanding, sebesar Rp 5.000.000,00
(lima juta rupiah) setiap hari apabila ia lalai melaksanakan isi putusan
tersebut terhitung sejak putusan ini berkekuatan hukum tetap ;
5. Menghukum penggugat / terbanding untuk membayar biaya perkara di
tingkat pertama sebesar Rp 211.000,00 (dua ratus sebelas ribu rupiah) ;
6. Menghukum tergugat / pembanding untuk membayar biaya perkara di
tingkat banding sebesar Rp. 150.000.- (seratus lima puluh ribu rupiah).
Demikian diputuskan dalam sidang musyawarah majelis hakim
Pengadilan Tinggi Agama Makassar pada hari Senin tanggal 4 Februari 2013 M.,
bertepatan tanggal 23 Rabiulawal 1434 H. yang diucapkan dalam sidang terbuka
untuk umum pada hari itu juga oleh Drs. Bahrussam Yunus, S.H., M.H., sebagai
Ketua Majelis, Drs. H. Wakhidun A.R., S.H., M.H., dan Drs. Masrur, S.H.,
M.H., masing-masing sebagai Hakim Anggota, dibantu oleh Drs. H. Zainudin
Zain, S.H., Panitera Pengganti, tanpa dihadiri oleh para pihak yang berperkara;
Hakim Anggota, Ketua Majelis
ttd ttd
Drs. H. Wakhidun A.R., S.H., M.H Drs. Bahrussam Yunus, S.H., M.H.
ttd
Drs. Masrur, S.H., M.H. Panitera Pengganti,
ttd
Drs. H. Zainudin Zain, S.H.
Hlm. 15 dari 15 | Pts.No.2/Pdt.G/2013/PTA Mks.
Perincian biaya :
1. Materai : Rp. 6.000,00
2. Redaksi : Rp. 5.000,00
3. Proses penyelesaian perkara : Rp.139.000,00
Jumlah : Rp.150.000,00
Untuk Salinan,
Panitera Pengadilan Tinggi Agama Makassar
Drs.H.Agus Zainal Mutaqien,S.H.