PENERAPAN DESAIN INTERIOR RITEL PADA PEMBENTUKAN …
Transcript of PENERAPAN DESAIN INTERIOR RITEL PADA PEMBENTUKAN …
PENERAPAN DESAIN INTERIOR RITEL PADA PEMBENTUKAN
BRANDING SECARA VISUAL
(Studi Kasus: The Goods Dept)
Audy Daniaguitrianda Mutiarani, Achmad Hery Fuad
Program Studi Arsitektur Interior, Fakultas Teknik, Universitas Indonesia
Email: [email protected]
Abstrak
Dalam bidang ritel, inovasi branding merek dilakukan dengan sensory branding yang
memanfaatkan indra manusia dalam memberi pengalaman emosional pada pengunjung.
Sensori visual merupakan sensori yang merespon pertama, sehingga penting bagi toko ritel
mementingkan branding secara visual. Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana
toko ritel menampilkan branding dalam desain interior secara visual dan bagaimana respon
pengunjung terhadap hal tersebut. Material, skema warna, pencahayaan, window display, dan
product display pada toko merupakan bentuk usaha visual archetypes pada merek. Maka
dalam menampilkan citra dari branding interior toko, diperlukan gaya desain, elemen interior,
dan visual merchandising. Studi kasus dilakukan pada toko The Goods Dept.
Kata kunci : branding; sensori visual; gaya desain; visual merchandising
The Application of Retail Interior Design in Creating Branding Visually
(Case Study: The Goods Dept)
Abstract
In the field of retail, innovation in branding the brand conducted with sensory branding,
which takes advantage of the senses of human beings in give emotional experience to
consumers. Sensory visual is sensory that gives the first respond, so it is important in retail
store to concern about branding visually. This thesis is aimed to find out how retail store
shows its branding visually in interior design and how consumers response it. The materials,
color schemes, lightings, window display and product display in store are visual efforts of
archetypes brand. Therefore in showing image from store interior branding, it takes design
style, interior element and visual merchandising. Case study is conducted at The Goods Dept.
Keywords : branding; sensory visual; design style; visual merchandising
1. Pendahuluan
Konsumerisme telah menjadi bagian dari kehidupan modern. Konsumerisme dapat
dikatakan sebagai sebuah ekspresi kultural dan perwujudan dari kegiatan konsumsi yang
dimana-mana. Kegiatan konsumsi itu sendiri hadir dari tuntutan kebutuhan seorang individu.
Penerapan desain..., Audy Daniaguitrianda Mutiarani, FT UI, 2013
Konsumsi akan kebutuhan yang berlebih dapat merujuk menjadi gaya hidup konsumerisme.
Tempat yang dipilih untuk berbelanja mengatakan sesuatu tentang budaya gaya hidup dan
daya tarik. Desain toko adalah sebuah siklus yang selalu berubah, mengikuti jaman dan
aspirasi konsumen. Persaingan pasar yang semakin kompetitif membuat semakin banyak toko
yang beralih ke metode baru untuk menjangkau konsumen melalui pembangunan merek
secara sensory branding. Dengan menggunakan visual, aroma, suara, dan material tekstur
untuk mendalami pengalaman konsumen, pemasar menemukan cara baru untuk membangun
hubungan yang lebih kuat untuk konsumen mereka dan mendorong merek mereka.
Arsitektur dapat menjadi agen dari konsumen yang tampaknya bertindak atas nama
masyarakat dalam memperkuat ortodoksi pasar. Klingmann (2007) berpendapat bahwa
arsitektur harus terlibat dengan konsumerisme bukan sebagai proses memiskinkan tetapi
sebagai peluang kesempatan untuk mencari inspirasi dan menggairahkan kreativitas. Ruang-
ruang ritel menawarkan kegembiraan dan bentuk pelarian yang menantang gagasan tentang
seberapa aktif konsumen dapat bernegosiasi dan berhubungan dengan tempat atau ruang.
Pusat perbelanjaan menjadi bukti dominasi konsumsi atas susunan perkotaan dalam bentuk
fisik utama dimana konsumen memasuki dunia konsumsi.
Bagi para konsumen, tampilan dan gaya hidup menjadi penting dan dalam titik ini
bagaimana sebuah produk menjadi berarti untuk memberikan citra gaya dan status sosial.
Desain itu sendiri merupakan hal yang fundamental untuk kesuksesan produk dan juga sangat
penting untuk reproduksi konsumerisme sebagai sebuah pencitraan gaya hidup. Menjadi
pertanyaan, bagaimanakah peran desain interior ritel dalam pembentukan branding khususnya
secara visual? Bagaimanakah penerapan sensory branding pada desain interior ritel dalam
menunjang pencitraan merek? Bagaimanakah respon pengunjung terhadap suatu desain
interior ritel berkaitan dengan branding yang disampaikan? Tujuan penulisan adalah mencari
pemahaman akan penerapan branding secara visual dalam pengembangan desain, khususnya
desain ritel, dan bagaimana respon dari manusia dan untuk manusia itu sendiri sebagai
pengguna utama ruang ritel tersebut.
2. Landasan Teori
2.1 Branding, Sensory Branding, dan Sensori Visual
Branding memberi beberapa hal berguna dan semua itu membantu untuk memastikan
keberhasilan sebuah produk atau jasa. Hal tersebut yaitu memperkuat reputasi yang baik,
Penerapan desain..., Audy Daniaguitrianda Mutiarani, FT UI, 2013
mendorong loyalitas, menjamin kualitas, menyampaikan persepsi nilai yang lebih besar, dan
memberi konsumen sebuah rasa yang memasuki imajinasi komunitas (Healey, 2008).
Terdapat beberapa prinsip branding (Mesher, 2010), yaitu prinsip esensi, prinsip nilai, prinsip
citra yang penting untuk pengembangan merek dan menunjukkan esensi dan nilai-nilai
organisasi kepada dunia melalui sarana visual, prinsip ide, prinsip cash generator, prinsip
strange attractor, dan prinsip budaya. Sebuah merek dapat melakukan branding dengan
menciptakan dan mengekspresikan archetype atau „jiwa‟ merek tersebut. Terdapat beberapa
tipe archetypes brand menurut Margaret Mark dan Carol S. Pearson (2001), yaitu The
Innocent, The Explorer, The Sage, The Hero, The Outlaw, The Magician, The Regular
Guy/Gal, The Lover, The Jetser, The Caregiver, The Creator, dan The Ruler.
Lindstrom memperkenalkan konsep sensory branding yang merangsang dan
meningkatkan imajinasi konsumen dan persepsi, dan menciptakan ikatan emosional antara
merek dan konsumen. Gibson (1966) mendefinisikan istilah indra sebagai sistem untuk
persepsi manusia yang memberikan berbagai sensasi. Ia menjelaskan bahwa indera dapat
memperoleh informasi tentang benda-benda di dunia tanpa campur tangan dari proses
intelektual. Diantara sistem sensorik yang berbeda, informasi visual mempengaruhi
bagaimana menganalisis hal-hal di sekitar. Menurut Millward Brown and Martin Lindstorm
(2005), terdapat urutan kepentingan dari indra-indra manusia dengan urutan sebagai berikut,
Diagram Tingkat Kepentingan Indra Manusia
Sumber: Martin Lindstorm, Brand Sense, 2005
Sistem visual manusia dimulai dengan mata, dimana merupakan tempat cahaya
masuk. Mata dipertimbangkan sebagai indra manusia terkaya. Mata adalah organ yang
Penerapan desain..., Audy Daniaguitrianda Mutiarani, FT UI, 2013
mengumpulkan cahaya dan mengirimkannya ke otak. Otak mengubah cahaya dari mata ke
dalam gambar yang memungkinkan manusia untuk melihat.
When our eyes receive light from surrounding objects and translate it into nerve
impulses that are interpreted by the brain, we experience a vast array of shapes,
colors, textures, and movements. (Wortman, Loftus & Weaver, 1999, p.112)
Tujuan dari sensory branding antara lain keterlibatan emosional yang memberikan
potensi untuk membangun hubungan yang baik dan loyal antara konsumen dan merek,
optimalisasi antara persepsi dan realitas yang dapat menjadi kontrol kualitas sejak dipasarkan
hingga berada di tangan konsumen, membuat peron pada merek sebagai pengembangan
produk dan cap dagang atau trademark yang merupakan sebuah tantangan untuk menjaga
identitas merek dari kompetitor (Lindstorm, 2005).
2.2 Desain Ritel, Gaya Desain, dan Visual Merchandising
Ritel adalah suatu bagian dari kehidupan sehari-hari yang sering hanya diterima begitu
saja. Padahal ada beberapa hal yang pihak ritel lakukan agar lebih efisien dalam melakukan
kegiatan yang meningkatkan nilai produk dan jasa bagi konsumen, seperti menawarkan
berbagai macam jenis yang memungkinkan pelanggan mereka untuk memilih dari berbagai
pilihan produk, merek, ukuran, dan harga di satu lokasi (Levy & Weitz, 2012). Konfigurasi
gaya pada ruang ritel berdampak pada skema desain interior, struktur interior, dan unsur-
unsur dari skema desain yang bekerja di dalamnya dalam bentuk dinding, langit-langit dan
lantai, perlengkapan, peralatan, dan komponen tambahan.
Gaya desain membantu untuk membuat keputusan dalam pengembangan desain.
Terdapat beberapa jenis gaya dalam desain interior menurut Hazel Yule (2012), seorang
dosen dan praktisi internasional bidang desain interior, seperti American Southwestern yang
menggabungkan palet warna berani dan kayu berwarna terang dan Industrial yang merupakan
gaya desain dengan kombinasi dari seni dengan teknik untuk membuat hidup mudah,
sederhana, praktis, dan berteknologi tinggi.
Visual merchandiser dapat membuat sebuah display yang menstimulasi, menggoda,
dan membangkitkan keingintahuan kosumen untuk masuk ke sebuah toko, meskipun
konsumen awalnya tidak tertarik pada produknya. Merupakan sebuah keberhasilan apabila
konsumen berubah dari “walk-by” menjadi “walk-in” (Pegler, 2012). Visual merchandising
berperan untuk mempromosikan gambaran kesan toko melalui display, sehingga konsumen
Penerapan desain..., Audy Daniaguitrianda Mutiarani, FT UI, 2013
mengetahui tentang toko tersebut, dimana posisinya dalam fesyen, apa isi dari toko, untuk
siapa toko tersebut, dan perkiraan harganya. Tujuan dari display itu sendiri adalah untuk
tampilan dan promosi. Tipe-tipe display menurut Pegler, yaitu one-item display yang
menunjukan hanya sebuah produk dalam suatu display, line-of-goods display yang
menampilkan hanya satu macam tipe produk, seperti baju-baju saja, rok-rok saja, atau celana-
celana saja, related merchandise display yang menampilkan produk berbeda-beda disatukan
karena cocok digunakan bersama, kecocokan itu dapat terjadi karena warna yang senada, gaya
atau tema yang sama, dan variety, or assortment display yang menyatukan semua dan
segalanya, produk-produk yang ditampilkan tidak berhubungan. Menurut Pegler (2012)
terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam visual merchandising, seperti contohnya:
Color
Warna merupakan hal besar dalam menarik konsumen. Warna adalah hal pertama yang
kita lihat dalam sebuah produk. Warna dapat merubah suasana hati seseorang, sehingga
psikologi warna merupakan hal penting dalam visual merchandising. Beberapa contoh
psikologi warna, yaitu:
- Kuning mengesankan kesenangan, terang, ceria, dan hidup.
- Merah mengesankan semangat, kuat, dan penuh gairah.
- Merah muda mengesankan manis, kasih sayang, dan kecantikan.
- Hijau mengesankan kehidupan, dingin, dan pertumbuhan.
- Biru mengesankan dingin, tenang, dan kelembutan.
- Abu-abu mengesankan depresi, tetapi dapat hadir sebagai keanggunan.
- Coklat mengesankan bumi, rumah, keluarga, dan rumah tangga.
- Putih mengesankan bersih, kuat, dan mendukung warna lain terlihat lebih jelas.
- Hitam mengesankan misteri, kematian, dan kecanggihan.
Warna-warna dapat dikelompokan menjadi merah, jingga, kuning, merah muda, dan
coklat sebagai warna hangat. Warna biru, hijau, dan ungu lebih mengarah pada warna
dingin. Kemudian warna putih, abu-abu, dan hitam sebagai warna netral.
Lighting
Terdapat dua macam sistem pencahayaan buatan menurut “Lighting Manual” (Philips
Lighting, 1993), yaitu:
- Sistem pencahayaan buatan primer, terbagi menjadi general untuk menerangi
keseluruhan dengan intensitas sama, localized untuk menerangi keseluruhan dengan
sumber cahaya diletakan di area yang memerlukan, dan general and localized adalah
peletakan sumber cahaya di area dengan intensitas sama pada pencahayaan umum.
Penerapan desain..., Audy Daniaguitrianda Mutiarani, FT UI, 2013
- Sistem pencahayaan buatan sekunder, terbagi menjadi aksen untuk menerangi spot
tertentu, efek untuk menonjolkan sesuatu, dekoratif untuk estetika, dan arsitektur
untuk menonjolkan elemen arsitektur.
Cahaya berfungsi mengarahkan konsumen masuk dan mengitari toko dengan
mengarahkan perhatian dari satu fitur ke fitur lainya melalui pemberhentian untuk
melihat fokus yang disorot. Cahaya dapat memisahkan satu area dengan lainnya.
2.3 Branding dalam Interior Ruang
Istilah yang digunakan untuk mengubah merek menjadi sebuah pengalaman spasial
tiga dimensi disebut brandscaping. Skema interior dimulai dari pedoman grafis yang
dikembangkan melalui pemahaman aspirasi pengguna dan analisa kompetisi. Informasi ini
digambarkan melalui penelitian visual yang disebut mood boards. Brandscaping dilakukan
dengan menggunakan hasil penelitian visual yang diekstraksi ke dalam cerita yang mengarah
pada ide-ide eksplisit tentang skema desain interior dan bagaimana identitas grafis akan
berdampak pada ruang. Dari proses tersebut, konsep interior lahir. Konsep ini kemudian
diterjemahkan menjadi storyboard visual ruang interior yang berisi rencana sirkulasi, sketsa
visual, dan contoh-contoh material (Mesher, 2010).
Desain interior ritel terlibat dengan visual merchandising, dimana secara khusus
memiliki tugas mengganti tampilan toko. Dalam jurnal yang berjudul Visual Merchandising
an Impulsive Reinforcer of Purchases Leading to Social Imbalance, Mopidevi dan Lolla
(2013) berpendapat bahwa visual merchandising membantu menyampaikan citra merek dan
mencerminkan kepribadian dari target pasar yang diinginkan. Maka dapat dikatakan, visual
merchandising adalah alat atau media yang digunakan sebuah merek untuk menampilkan
branding dalam sebuah ruang interior. Hal ini ditunjang juga dengan pendapat Dian Hasan
(2011) dalam presentasinya dengan judul The Psychology of Visual Merchandising pada
IISCM Retail Innovation Seminar yang diselenggarakan di Jakarta. Dian Hasan berpendapat
bahwa pengalaman konsumen terhadap merek berhubungan dengan seberapa baik visual
merchandising bercerita. Dengan menciptakan display yang menstimulasi dan menggugah
dapat membantu pemahaman konsumen terhadap bentuk dari produk dan jasa sebuah merek.
2.4 Kebutuhan dan Perilaku Manusia
Berdasarkan pendapat Deasy dan Lasswell (1985) dalam buku Designing Places for
People, konsumen dapat dikatagorikan dengan empat tujuan, salah satunya adalah konsumen
yang menganggap berbelanja adalah kegiatan rekreasi dan sosial. Dalam kasus ini keunikan
Penerapan desain..., Audy Daniaguitrianda Mutiarani, FT UI, 2013
kualitas barang dan lingkungan belanja menjadi sangat penting. Ketika konsumen berbelanja
dengan perbedaan prioritas diwaktu yang sama, hal tersebut tidak berarti mereka
mengabaikan pilihan belanjaan mereka. Toko yang memiliki suasana yang lebih atraktif
dibanding yang lain dan memiliki kenyamanan bagi konsumen akan menyediakan faktor
dasar yang menjadi alasan untuk dipilih.
Di daerah dimana pasar yang kompetitif, desain toko dan usaha untuk menyediakan
kenyaman konsumen menjadi hal yang penting. Popularitas belanja sebagai aktivitas rekreasi
muncul melalui fenomena department store dimana tersedia berbagai macam produk di
bawah satu atap (Mesher, 2010). Department store dapat disebut juga sebagai toko multi-
brand. Sebelumnya, toko-toko bersifat khusus dan mahal dengan omset rendah. Interior
department store dikendalikan oleh tim desainer in-house yang bertugas menampilkan
window display, desain tata letak toko, mengatur penanda dan grafis lainnya, dan
mempertahankan skema yang padu.
Segmentasi pasar dapat membantu mendefinisikan kebutuhan dan keinginan
konsumen dengan lebih tepat. Masing-masing segmen pasar menunjukkan kebiasaan berbeda
pada pembelian karena berbagai pengalaman hidup, peningkatan pengetahuan teknologi baru,
dan harapan atau ketidakpastian masa depan. Segmen pasar adalah kelompok orang atau
organisasi yang berbagi satu atau lebih karakteristik kemudian menyebabkan mereka
memiliki kebutuhan yang serupa. Segmentasi pasar adalah proses membagi pasar lebih
mendalam, relatif sama, dan dapat diidentifikasi segmen atau kelompok yang berarti (Lamb,
Hair & McDaniel, 2011). Kotler menyatakan bahwa variabel demografis merupakan dasar
yang paling popular untuk membedakan kelompok konsumen. Segementasi demografi adalah
segmentasi pasar berdasarkan umur, jenis kelamin, kelompok sosial-ekonomi, keluarga, siklus
hidup, pendapatan, pekerjaan, pendidikan, dan lain-lain (Tynan & Drayton, 1987).
Umur telah sering digunakan sebagai dasar segmentasi keinginan konsumen dan
kapasitas perubahan seiring bertambahnya usia. Terdapat katagori perilaku konsumen
berdasarkan umur pada tahun 2006 menurut artikel-artikel dalam koran mengenai periklanan
dan pemasaran bernama Advertising Age. Katagori konsumen berdasarkan umur tersebut,
seperti contohnya pada umur 18 – 34 Tahun, tanggung jawab sosial memainkan peran penting
dalam menjual produk untuk kelompok usia ini. Mereka sangat peduli dengan nilai produk.
Dengan membeli sebuah jenis produk, mereka dapat merasa bertanggung jawab secara sosial.
Kelompok usia ini yang begitu beragam, sehingga sulit untuk memasarkan secara
keseluruhan. Bagi kelompok ini dibutuhkan penawaran produk dengan desain yang baik, nilai
Penerapan desain..., Audy Daniaguitrianda Mutiarani, FT UI, 2013
yang baik, sebaiknya mewah, setidaknya munculnya beberapa tanggung jawab sosial, dan
kampanye pemasaran yang menjual (Hanas, 2006).
Merek-merek menerapkan branding dalam interior ritelnya dengan memanfaatkan
sensori manusia. Sensory branding secara visual menggunakan indera mata yang merupakan
indera paling cepat dalam merespon sekitar, sehingga kehadirannya sangat penting dan
potensial untuk menerima branding dari sebuah merek dalam ruang ritel. Branding secara
visual pada toko ritel dapat dicapai apabila desain interior dari toko tersebut mampu
menampilkan citra yang sesuai dengan branding merek. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya,
citra merupakan prinsip dari branding yang dapat menampilkan nilai dan esensi merek secara
visual. Citra dapat diaplikasikan melalui gaya desain, elemen-elemen interior, dan visual
merchandising toko. Aplikasi citra melalui elemen interior dapat ditinjau melalui pemilihan
material, skema warna, dan teknik pencahayaan pada toko ritel. Aspek interior tersebut
merupakan hal utama yang menunjang konsep desain dalam membentuk citra. Hal ini
dikarenakan aspek-aspek tersebut adalah penggambaran visual yang dapat ditangkap oleh
indera mata pengunjung ketika berada di toko ritel. Selain tampilan citra, penggambaran
visual dari branding juga dapat menampilkan „jiwa‟ atau archetypes merek.
Tujuan konsumen yang melakukan konsumsi sebagai rekreasi memiliki
pertimbangan yang dapat dipengaruhi oleh lingkungan ritel. Pertimbangan yang menuntun
konsumen membeli suatu barang dibanding yang lain dipengaruhi oleh karakteristik fisik
display terhadap publik, dimana hal tersebut merupakan bagian dari visual merchandising.
Desain ritel yang berhasil dalam menampilkan branding tokonya secara visual dapat dilihat
apabila pengunjung yang datang sesuai dengan segmentasi yang diharapkan. Pengunjung
tersebut juga dapat menangkap nilai dan esensi merek yang di tampilkan citra secara visual.
Dengan pembahasan teori-teori yang sebelumnya sudah dijelaskan, maka teori
tersebut kemudian akan dikaji menggunakan studi kasus terhadap toko multi-brand untuk
anak muda di Jakarta. Metode yang dilakukan adalah pendekatan pada beberapa studi, yaitu
studi literatur, dengan teori yang dipelajari adalah teori mengenai branding, sensori visual,
desain ritel, visual merchandising, kebutuhan dan perilaku manusia. Kemudian Studi kasus,
yaitu analisis dan kuesioner dengan kasus yang dipilih adalah toko ritel yang disebut sebagai
ikon gaya hidup anak muda di Jakarta, yaitu The Goods Dept.
Penerapan desain..., Audy Daniaguitrianda Mutiarani, FT UI, 2013
3. Studi Kasus
3.1 Profil, Segementasi, dan Branding The Goods Dept
The Goods Department yang dikenal dengan sebutan The Goods Dept adalah
department store yang berbasis di Jakarta, Indonesia. Dikembangkan pada tahun 2010 oleh
para pendiri Brightspot Market dibawah naungan PT. Cipta Retail Prakarsa yang dipimpin
oleh Anton Wirjono. The Goods Dept sendiri dipimpin oleh Cynthia K. W. Wirjono selaku
direktur divisi ritel fesyen pada PT. Cipta Retail Prakarsa dan didampingi dan dibantu oleh
Chris Kerrigen.
The Goods Dept memiliki segementasi target pasar yang dipengaruhi oleh lokasi,
harga, dan produk-produknya itu sendiri. Lokasi The Goods Dept berada di Pacific Place dan
Pondok Indah Mall 2. Dari segi lokasi, The Goods Dept memiliki target market pengunjung
mall-mall besar di Jakarta, seperti yang dikutip dari situs Jakarta Fashion Week yang berjudul
Bringing The Goods, “...We are giving them access to mall-goers and from there they can
build a more progressive industry. We want our society to appreciate local designs and
products.” (Cynthia Wirjono, 2011).
Segmentasi The Goods Dept adalah pria dan wanita yang up to date dan peduli
dengan fesyen masa kini dengan kisaran umur 18-34 tahun. Disesuaikan berdasarkan katagori
perilaku konsumen dari artikel di Advertising Age oleh Hanas, segmen pasar dengan umur
18-34 tahun memiliki kepedulian atas nilai produk. Kelompok ini membutuhkan penawaran
produk dengan desain yang baik, nilai yang baik, sebaiknya mewah, beberapa tanggung jawab
sosial, dan kampanye pemasaran yang menjual.
The Goods Dept adalah toko di Jakarta yang sudah cukup terkenal di kalangan anak
muda Jakarta. Pengaruhnya dalam dunia fesyen Indonesia sangat besar. Nama The Goods
Dept itu sendiri yang memiliki kepanjangan nama The Goods Department, apabila diartikan
secara harafiah ke Bahasa Indonesia berarti „departemen bagus‟. Dari nama merek yang
seperti itu, dapat disimpulkan The Goods Dept seperti memberi jaminan bahwa tokonya
hanya akan menjual produk-produk „bagus‟. Dengan penjualan produk yang bagus-bagus,
The Goods Dept turut memperkenalkan gaya hidup masa kini kepada konsumennya, seperti
yang di kutip dari artikel Delivering The Goods di situs Sea Globe,“...We are a lifestyles
brand, we try to curate the best and we want to be everywhere.” (Anton Wirjono, 2012).
The Goods Dept memiliki logo yang sederhana dan mudah diingat. Warna yang
digunakan adalah kelompok warna netral, dimana memberi kesan tidak adanya
pengelompokan, seperti pria, wanita, remaja, dewasa, dan sebagainya. Penggunaan warna
netral putih dan hitam dalam logo ini memberi kesan kuat, tegas, dan kecanggihan,
Penerapan desain..., Audy Daniaguitrianda Mutiarani, FT UI, 2013
disesuaikan dengan teori psikologi warna menurut Pegler. Kotak dalam kata goods memberi
penekanan pada branding toko yang hanya menjual produk-produk yang „bagus‟.
Logo The Goods Dept
Sumber: Arsip The Goods Dept
Apabila ditelaah dengan tipe archetypes brand, The Hero dirasa adalah yang paling
tepat. The Hero memilki karakteristik memicu keberanian dan kekuatan untuk dunia yang
lebih baik. Branding yang dimiliki The Goods Dept merupakan sebuah adaptasi dari kekinian
di dunia, khususnya negara-negara barat. The Goods Dept merupakan „penyelamat‟ gaya
hidup dan fesyen anak muda Indonesia khususnya Jakarta, agar dapat berkembang, tidak
ketinggalan jaman, mampu bersaing, dan tidak kalah dari negara-negara barat. Branding dari
The Goods Dept bukanlah hal baru, namun merupakan pionir di Indonesia.
The Goods Dept adalah inovator sekaligus trendsetter yang mengubah fesyen
Indonesia menjadi lebih terdepan. The Goods Dept juga menginspirasi pengusaha dan
perancang muda untuk berkarya. Citra dari branding yang menjual produk „bagus‟ memberi
keyakinan dan keberanian terhadap merek ini, sehingga konsumen percaya bahwa apapun
produk yang dijual adalah benar dan kekinian dalam dunia fesyen.
3.2 Analisa Kasus
3.2.1 Floor Plan
Perbedaan The Goods Dept Pacific Place dan Pondok Indah Mall 2 ada pada
perbedaan luasan dan jumlah lantai. The Goods Dept Pondok Indah Mall 2 memiliki luasan
yang lebih besar karena toko terdiri dari dua tingkat, sedangkan The Goods Dept Pacific Place
hanya terdiri dari satu tingkat. Pembagian area pada toko tidak dibatasi oleh partisi yang solid,
Penerapan desain..., Audy Daniaguitrianda Mutiarani, FT UI, 2013
melainkan hanya berupa pengelompokan produk penjualan. Penataan display produk-produk
disebar di ruang-ruang kosong pada sekitaran toko.
The Goods Dept membagi area toko berdasarkan kelompok produk yang dijual.
Pembagian area kedua toko diawali oleh produk gaya hidup, perabot rumah, aksesoris, dan
kemudian produk sepatu. Semakin masuk kedalam, dimana area yang lebih luas, toko diisi
oleh produk-produk pakaian. Meskipun pembagian area yang jelas, tetapi tidak ada alur yang
menuntun ketika berada di toko. Ketika sudah berada di dalam, pengunjung bebas untuk
mengitari toko mengikuti ketertarikannya pada produk-produk yang dijual. Layout pada toko
dirasa tidak berhubungan dengan branding yang ingin disampaikan. Layout toko diatur
berdasarkan pemanfaatan ruang secara maksimal.
3.2.2 Window Display
Pada periode Maret – April 2013, The Goods Dept mengangkat tema musim semi
melalui kegiatan piknik untuk window display. Konsep yang sama diterapkan untuk kedua
lokasi Pacific Place dan Pondok Indah Mall 2. Window display menampilkan pakaian dan
barang-barang yang biasanya dipakai atau diperlukan saat piknik, seperti tikar, keranjang
makanan, makanan dan minuman, kacamata hitam, headset, tas besar, bantal, topi, pakaian
santai, dan sepatu santai. Seluruh barang-barang tersebut ditata di atas karpet rumput dan
untuk pakaian dikenakan oleh manekin. Namun dalam window display ini ada hal berbeda
dari window display pada umumnya. Orientasi bidang alas diangkat ke bidang latar, sehingga
menjadikan yang seharusnya berada pada bidang alas menjadi berada di bidang latar.
Penataan tersebut memberi kesan ketika melihat bidang latar seakan sedang melihat bidang
alas. Untuk menghasilkan kesan tersebut, dilakukan teknik menggantung pada setiap barang
yang dipajang.
Warna-warna cerah yang digunakan adalah kuning, biru muda, merah muda, jingga,
dan hijau muda. Peninjauan berdasarkan psikologis warna, yaitu kuning mengesankan
kesenangan dan ceria, jingga mengesankan ramah dan bersahabat, merah muda mengesankan
kasih sayang dan kecantikan, hijau mengesankan kehidupan dan pertumbuhan, dan biru
mengesankan tenang dan kelembutan. Warna-warna tersebut dianggap mewakili gambaran
musim semi. Konsep tersebut diangkat untuk mengikuti kondisi musim saat itu di negara-
negara besar empat musim. Konsep yang mengikuti keadaan dunia dengan kegiatan piknik
yang kerap dilakukan anak muda, membuat window display ini menunjang citra merek yang
kekinian dan berjiwa muda. Inovasi yang dilakukan dengan merubah orientasi bidang
merupakan keberanian dan inspiratif, sesuai dengan „jiwa‟ merek The Hero.
Penerapan desain..., Audy Daniaguitrianda Mutiarani, FT UI, 2013
3.2.3 Konsep Interior
Konsep interior The Goods Dept diklarifikasi masuk dalam gaya desain industrial,
yang mengarah pada sederhana, praktis, dan teknologi. Nuansa maskulin, minim finishing
pada elemen interior, sudut tajam, dan warna-warna netral dari material merupakan
karakteristik gaya desain industrial. The Goods Dept memiliki nuansa warna netral, langit-
langit ekspos, lantai semen yang tidak dilapisi, dan lainnya, sehingga gaya desain industrial
adalah gaya desain yang sesuai dengan The Goods Dept. Kesederhanaan dan nilai praktikal
terasa dalam interior dengan terlihatnya kabel-kabel yang menempel di dinding, tidak ditanam
dalam dinding. Hal tersebut seakan dijadikan bagian dari dekorasi gaya desain industrial.
Apabila ditelaah secara seksama, selain gaya desain industrial terdapat juga
sentuhan gaya desain American Southwestern, dengan ciri khas pencampuran warna berani
dengan warna kayu, disesuaikan dengan teori gaya desain. Gaya ini hadir sebagai aksen dari
konsep utama industrial yang sederhana agar suasana interior lebih hidup. Hadir dalam bentuk
nuansa warna tambahan, material perabot berupa rak-rak kayu, dan motif karpet yang
digunakan di beberapa area di kedua toko. Gaya American Southwestern dikenal dengan
motif tribal atau aztec. Unsur-unsur motif tribal dan aztec hadir pada karpet-karpet di
beberapa area toko The Goods Dept. Dapat disimpulkan secara keseluruhan konsep interior
The Goods Dept adalah pencampuran gaya desain industrial dengan sentuhan aksen gaya
desain American Southwestern.
3.2.4 Elemen Interior
Material pada sebagian besar toko ini, baik lantai dan dinding, adalah semen yang
tidak dilapisi oleh keramik, cat, atau sebagainya. Namun untuk beberapa bagian tertentu,
dilakukan variasi material, seperti dinding dicat dan lantai dilapisi parket. Untuk langit-langit,
keseluruhan langit-langit ekspos dicat dengan warna hitam. Warna dominan pada ruang untuk
menunjang konsep industri yang berjiwa muda, yaitu putih, hitam, dan abu-abu, memberi
kesan kuat dan berteknologi tinggi. Dipadukan dengan dominasi warna kayu, yaitu coklat
yang memberi kesan keramahan dan kekeluargaan. Kesan yang ditimbulkan pada warna-
warna tersebut merata di setiap ruang, karena tidak adanya perbedaan yang mecolok dalam
aplikasi warna dari satu area ke area lainnya. Aksen-aksen warna lain ditampilkan melalui
karpet dan produk-produk yang dijual.
Pencahayaan buatan pada The Goods Dept dibagi atas dua macam, yaitu
pencahayaan primer secara keseluruhan dan pencahayaan sekunder secara aksen.
Penerapan desain..., Audy Daniaguitrianda Mutiarani, FT UI, 2013
Pencahayaan primer pada toko ini, disesuaikan dengan teori pencahayaan, merupakan tipe
localized lighting. Localized lighting yang merupakan teknik pencahayaan secara keseleruhan
dengan meletakan sumber cahaya pada suatu area diterapkan pada toko ini dengan
penggunaan lampu-lampu sorot yang tersebar di seluruh area. Lampu-lampu sorot tersebut
digantung yang kemudian diarahkan ke seluruh penjuru toko disesuaikan dengan keperluan
display produk. Pencahayaan sekunder hadir dengan penggunaan lampu TL yang diselipkan
pada rak display, sehingga memberi aksen berbeda dibandingkan keseluruhan pencahayaan.
Pada dasarnya elemen interior di kedua toko tidak berbeda. Dari segi material yang
dipilih, pemilihan skema warna, teknik pencahayaan semua mengarah pada persamaan.
Sedikit perbedaan muncul dikarenakan penyesuaian denah dengan luasan berbeda dan juga
variasi dalam visualisasi konsep ke dalam ruang. Elemen-elemen interior yang digunakan
kedua toko mencerminkan konsep gaya desain yang mengacu pada „jiwa‟ The Hero, seperti
pada pemilihan material yang sederhana berkesan berani dan inovatif. Kemudian warna-
warna netral yang kuat dan tegas. Pencahayaan dengan lampu sorot juga menunjukan
kepercayaan diri pada produk yang di display. Citra jiwa muda dan kekinian yang timbul dari
kesederhanaan dan kepraktisan terasa di seluruh penjuru toko.
3.2.5 Product Display
The Goods Dept melakukan variasi dalam menata produk-produknya. Pada satu meja
dan sekitarnya terdapat beberapa jenis produk. Terdapat produk pakaian, tas, aksesoris, dan
sebagainya. Display seperti itu tergolong dalam related merchandise display, dimana
menggabungkan beberapa produk berbeda dalam satu display. Produk-produk tersebut
Bagian Aksesoris The Goods Dept
Pondok Indah Mall 2
Sumber: Dokumentasi Penulis
Bagian Pakaian The Goods Dept
Pacific Place
Sumber: Dokumentasi Penulis
Penerapan desain..., Audy Daniaguitrianda Mutiarani, FT UI, 2013
memiliki hubungan satu dengan lainnya. semuanya adalah produk-produk pria yang dapat
menjadi referensi untuk digunakan bersamaan.
Keseluruhan display yang interaktif dan santai, merupakan inovasi di lingkungan
ritel Jakarta dalam membuat display yang lebih baik dan menarik. Hal tersebut merupakan
aplikasi dari karakteristik archetypes tipe The Hero. Merupakan sebuah rekreasi ketika
memasuki dan mengitari toko The Goods Dept, karena desain interior toko yang berbeda dari
toko-toko ritel pada umumnya. Branding toko yang menampilkan citra dari nilai merek yang
berjiwa muda dan kekinian terasa pada keseluruhan interior toko, baik dari tampilan toko,
konsep interior, elemen-elemen interior toko, dan penataan produk-produknya.
The Goods Dept memiliki branding kekinian dan good product yang menjadi
panutan fesyen dan gaya hidup anak muda. Citra kekinian dan „jiwa‟ The Hero dari The
Goods Dept berdasarkan hasil kuesioner dapat disimpulkan telah sampai ke pengunjung.
Selain dikarenakan dari produk yang dijual, interior toko The Goods Dept merupakan salah
satu hal penting dalam menarik pengunjung dan menyampaikan branding The Goods Dept
secara visual. Dari studi kasus yang telah dilakukan dalam menampilkan citra dari branding
kedalam tokonya, The Goods Dept memiliki konsep gaya desain industrial yang
mencerminkan kesederhanaan, kepraktisan, dan teknologi tinggi. Namun konsep yang
sederhana tersebut diberi sentuhan estetika melalui gaya desain American Southwestern dan
display produk yang menarik. Karakteristik The Hero muncul dalam material, warna, dan
teknik pencahayaan yang digunakan. Window display dan product display yang inovatif dan
inspiratif juga mengacu pada The Hero. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dari tabel berikut,
Display Sepatu The Goods Dept
Pondok Indah Mall 2
Sumber: Dokumentasi Penulis
Meja Pakaian The Goods Dept
Pacific Place
Sumber: Dokumentasi Penulis
Penerapan desain..., Audy Daniaguitrianda Mutiarani, FT UI, 2013
Kesimpulan Studi Kasus The Goods Dept
Prinsip Citra Archetypes
Window Display
Konsep mengikuti keadaan
dunia dengan kegiatan piknik
menunjang citra merek yang
kekinian dan berjiwa muda
Merubah orientasi bidang
adalah keberanian dan inspiratif,
sesuai dengan „jiwa‟ The Hero
Konsep Interior
Aksen American Southwestern
mengacu pada citra kekinian
dengan motif tren masa kini di
dunia fesyen
Gaya industrial mengarah pada
The Hero yang berkesan kuat,
berani, dan percaya diri
Elemen
Interior
Material
Material yang minim finishing
memberi citra muda yang
praktis dan teknis
Pemilihan material sederhana
berkesan berani dan inovatif
mengarah pada The Hero
Warna
Citra kekinian dengan kesan
teknologi tinggi dari psikologi
warna-warna netral
Warna-warna netral yang kuat
dan tegas menampilan
keberanian 'jiwa' The Hero
Cahaya
Cahaya redup memberi citra
untuk yang muda, karena untuk
penglihatan orang tua dapat
terasa terlalu gelap
Cahaya dengan lampu sorot
menunjukan kepercayaan diri
'jiwa' The Hero pada produk
Product Display
Display yang playful, variatif,
dan tidak monoton adalah citra
muda aktif dan produktif
Display interaktif dan santai
adalah inovasi yang merupakan
aplikasi The Hero
3.3 Analisa Kuesioner
Analisa melalui kuesioner dilakukan pada 12 responden yang merupakan pengunjung
dari The Goods Dept. Pengunjung yang datang ke The Goods Dept berdasarkan hasil
kuesioner berada pada kisaran umur 18 – 30 tahun, yang berdomisili Jakarta dan sekitarnya,
pada hasil kuesioner dua responden berdomisili Bekasi. Pekerjaannya adalah pelajar,
mahasiswa, pegawai swasta, dan wiraswasta yang rata-rata memiliki pengeluaran per-bulan
sekitar Rp.1.000.000 – Rp. 5.000.000. Dari hasil kuesioner atas data diri responden,
pengunjung yang datang sesuai dengan segmentasi yang diharapkan The Goods Dept.
Penerapan desain..., Audy Daniaguitrianda Mutiarani, FT UI, 2013
Pengunjung berada pada masa produktif dan merupakan kelas sosial menengah
keatas. Kisaran umur 18 – 34 tahun merupakan pasar yang sangat beragam sehingga sulit
untuk dikelompokan, tetapi penawaran produk dengan desain dan nilai yang baik merupakan
daya tarik tersendiri bagi mereka. The Goods Dept memiliki daya tarik tersebut, yaitu dari
desain dan nilai yang baik atas tujuannya yang ingin memajukan pengusaha dan perancang
muda Indonesia. Pengunjung mengetahui The Goods Dept sebagai toko berisi produk lokal
dan internasional untuk anak muda dengan fesyen kekinian. The Goods Dept memiliki citra
ikon „gaul‟, „keren‟, dan kekinian.
Tujuan Pengunjung The Goods Dept
Sumber: Olahan Penulis
Ketertarikan Pengunjung The Goods Dept
Sumber: Olahan Penulis
Pengunjung The Goods Dept sebagian besar datang setiap bulan atau tidak menentu
sesuai dengan kebutuhan. Pengunjung sangat menyukai untuk melihat-lihat isi sekitar The
Goods Dept, berbelanja, dan bertemu kerabat. Selain dari produk yang dijual, faktor yang
dapat memicu dan mendukung kegiatan tersebut salah satunya yang terpenting adalah interior
toko. Dari segi interior, berdasarkan hasil kuesioner, gaya atau konsep interior merupakan hal
yang paling menarik bagi pengunjung.
Penerapan desain..., Audy Daniaguitrianda Mutiarani, FT UI, 2013
Ketertarikan Terhadap Interior The Goods Dept
Sumber: Olahan Penulis
Dari hasil kuesioner, dapat disimpulkan pengunjung The Goods Dept menangkap
kesan sederhana dari konsep industrial. Pengunjung merasakan keunikan, kekinian, dan
kreativitas interior toko. Meskipun karena kesederhanaan tersebut, beberapa pengunjung
melihat interior toko suatu hal biasa tidak ada yang istimewa. Pengunjung melihat display
produk toko menarik, cukup rapih, bagus, dan unik. Interior The Goods Dept secara
keseluruhan, berdasarkan hasil kuesioner, dirasa baik dan menunjang tujuan pengunjung
datang ke toko.
Dengan citra yang „gaul‟ dan „keren‟, dapat disimpulkan bahwa pengunjung The
Goods Dept memiliki keberanian dan kepercayaan diri saat menggunakan produk-produknya.
Branding merek yang berjiwa The Hero dirasa sampai ke pengunjung. Disimpukan juga
bahwa tampilan interior The Goods Dept menunjang citra yang ditangkap pengunjung, karena
interior toko adalah hal yang menarik bagi pengunjung setelah produk yang dijual.
4. Kesimpulan
Branding memiliki prinsip-prinsip dasar dan archetypes atau „jiwa‟ dari mereknya.
Sensory branding adalah salah satu cara dalam melakukan branding. Sensory branding dapat
merangsang imajinasi konsumen yang dapat menciptakan hubungan antara konsumen dengan
merek. Prinsip citra dari branding merupakan penggambaran esensi dan nilai sebuah merek
secara visual. Diantara beberapa sistem sensori, visual adalah sensori pertama yang memberi
respon sekitar. Gaya desain, elemen interior, dan visual merchandising dapat menampilkan
branding merek melalui citra yang dibangun secara visual. Hal ini dikarenakan, gaya desain
akan mempengaruhi pemilihan material, skema warna, pencahayaan, dan elemen pendukung
Penerapan desain..., Audy Daniaguitrianda Mutiarani, FT UI, 2013
lainnya. Selain dari elemen interior, branding juga dipengaruhi oleh bagaimana display pada
toko, baik window display dan product display. Karakteristik-karakteristik yang ditampilkan
sebagai citra dari branding turut menggambarkan „jiwa‟ merek tersebut.
Toko The Goods Dept memiliki konsep interior yang menampilkan branding dari
mereknya, yaitu kekinian dan jiwa muda. Pengalaman visual yang tercipta dari tampilan
suasana ruang, membantu The Goods Dept dalam menampilkan nilai merek melalui aspek
yang dapat ditangkap oleh organ mata. Gaya desain indutrial dengan sentuhan American
Southwestern dirasa menampilkan citra kekinian. Elemen interior turut menunjang konsep
gaya desain tersebut, seperti material sederhana, warna netral, dan teknik pencahayaan sorot.
Ditunjang juga dengan kreativitas inovasi penataan produk yang membuat branding The
Goods Dept sesuai dengan segmentasinya, yaitu para jiwa muda yang modern dan kekinian.
Gaya desain, elemen interior, dan visual merchandising membuat konsep interior toko
semakin terasa dan mengacu pada „jiwa‟ atau archetypes merek The Goods Dept, yaitu The
Hero. Berdasarkan hasil kuesioner pada pengunjung The Goods Dept, konsumen disimpulkan
menangkap branding dari merek tersebut. Secara garis besar pengunjung menangkap citra
kekinian dan jiwa muda. Konsumen menganggap The Goods Dept adalah ikon kekinian
dalam fesyen dan gaya hidup. Selain dari produk, interior toko turut menunjang pembentukan
citra karena merupakan hal menarik bagi pengunjung.
Desain interior ritel The Goods Dept memiliki peran dalam keberhasilan merek
menyampaikan branding mereknya secara visual kepada konsumen. Hal tersebut dilakukan
dengan cara menampilkan citra dari branding melalui penggambaran visual, seperti visual
merchandising dan gaya desain yang hadir melalui elemen interior. Maka dapat dilihat
diagram berikut,
Branding menampilkan identitasnya dengan penggambaran visual melalui desain
interior yang kemudian ditangkap pengunjung. Kemudian pengunjung yang menangkap
penggambaran visual dari desain interior dapat mengetahui branding dari merek. Dengan
contoh kasus yang seperti itu, dapat disimpulkan bahwa desain interior ritel adalah aspek
penting dalam pembentukan branding secara visual terhadap sebuah merek.
PENGUNJUNG
Segmen menangkap visualisasi merek
INTERIOR
Penggambaran secara visual
BRANDING
Identitas prinsip citra dan archetypes
Penerapan desain..., Audy Daniaguitrianda Mutiarani, FT UI, 2013
Daftar Referensi
Deasy, C. M., & Lasswell, Thomas E. (1985). Designing Places for People. New York:
Whitney Library of Design.
Healey, Matthew. (2008). What is Branding. Swiss: RotoVision SA.
Lamb, Charles W., Joseph F. Hair, & Carl McDaniel. (2011). Marketing. USA: South-
Western Cengage Learning.
Levy, Michael., & Weitz, Barton A. (2012). Retailing Management. New York: McGraw-
Hill.
Lindstorm, Martin. (2005). Brand Sense. New York: Free Press.
Mark, Margaret., & Pearson, Carol S. (2001). The Hero and The Outlaw: Building
Extraordinary Brands Through the Power of Archetypes. USA: McGraw-Hill.
Mesher, Lynne. (2010). Basic Interior Design: Retail Design. Swiss: AVA Publishing SA.
Miles, Steven. (1998). Consumerism as A Way of Life. London: Sage Publications Ltd.
Miles, Steven. (2010). Spaces for Consumption. London: Sage Publications Ltd.
Parsons, Elizabeth., & Maclaran, Pauline. (2009). Contemporary Issues in Marketing and
Consumer Behavior. Oxford: Elsevier Ltd.
Pegler, Martin M. (2012). Visual Merchandising and Displays. Canada: Fairchild Books.
Philips Lighting. (1993). Lighting Manual. Netherlands: Philips Lighting.
Piliang, Yasraf Amir. (1999). Hiper-realitas Kebudayaan. Yogyakarta: LkiS.
Wortman, Camille., Elizabeth Loftus, & Charles Weaver. (1999). Psychology. USA:
McGraw-Hill.
Media Elektronik:
Hanas, Jim. (2006). Bling is The Thing. Tersedia: http://adage.com (diakses pada 8 Mei 2013)
Hasan, Dian. (2011). Retail Branding: The Pschology of Visual Merchandising. Tersedia:
http://www.slideshare.net/dianhasan/iiscm-retail-innovation-seminar-jakarta-april-8-
2011 (diakses pada 20 Mei 2013)
Larry, Dobrow. (2006). A Walk on The Mild Side. Tersedia: http://adage.com (diakses pada 8
Mei 2013)
Larry, Dobrow. (2006). Teen Angel? Kinda. Tersedia: http://adage.com (diakses pada 8 Mei
2013)
Mopidevi, RamaRao., & Lola, Sree Rama. (2013). Visual merchandising an impulsive
reinforcer of purchases leading to social imbalance: a case study on middle class
Penerapan desain..., Audy Daniaguitrianda Mutiarani, FT UI, 2013
families in Hyderabad. Tersedia: http://iosrjournals.org/iosr-jbm/papers/Vol9-
issue6/P096111122.pdf (diakses pada 20 Mei 2013)
Song, Jihung. (2010). Retail Design and Sensory Experience. Tersedia:
http://www.designresearchsociety.org/docs-procs/DRS2010/PDF/111.pdf (diakses
pada 16 Maret 2013)
Stone, Randall. Engaging Customers through Sensory Branding Tersedia:
http://www.lippincott.com/files/documents/news/SensoryBranding.pdf (diakses
pada 9 April 2013)
Tenser, James. (2006). Ageless Aging of Boom-X. Tersedia: http://adage.com (diakses pada 8
Mei 2013)
Tenser, James. (2006). New Old Won’t Go Quietly. Tersedia: http://adage.com (diakses pada
8 Mei 2013)
Tynan, A. Caroline., & Drayton, Jenifer. (1987). Market Segmentation. Tersedia:
http://itu.dk/people/petermeldgaard/B12/lektion%204/Market%20Segementation.pdf
(diakses pada 8 Mei 2013)
Ward, David., & Lasen, Marta. (2009). An Overview of Needs Theories behind Consumerism.
Tersedia: http://mpra.ub.uni-muenchen.de/13090/ (diakses pada 12 Maret 2013)
Yule, Hazel. (2012). Interior Design Styles. Tersedia:
http://www.interiordesignipedia.com/interior-design-styles.html (diakses pada 21
Mei 2013)
Situs:
http://thegoodsdept.com
http://www.jakartafashionweek.co.id
http://sea-globe.com
Penerapan desain..., Audy Daniaguitrianda Mutiarani, FT UI, 2013