penatalaksanaan Atresia dan Hisprung
-
Upload
rahmi-nurrosyid-p -
Category
Documents
-
view
110 -
download
6
description
Transcript of penatalaksanaan Atresia dan Hisprung
a. Atresia ani :
Penatalaksanaan dalam tindakan atresia ani yaitu :
1. Pembuatan kolostomi.
Kolostomi adalah sebuah lubang buatan yang dibuat oleh dokter ahli bedah
pada dinding abdomen untuk mengeluarkan feses. Pembuatan lubang biasanya
sementara atau permanen dari usus besar atau colon iliaka. Untuk anomali tinggi,
dilakukan kolostomi beberapa hari setelah lahir.
2. PSARP (Posterio Sagital Ano Rectal Plasty)
Bedah definitifnya yaitu anoplasty dan umumnya ditunda 9 sampai 12 bulan.
Penundaan ini dimaksudkan untuk memberi waktu pelvis untuk membesar dan pada
otot-otot untuk berkembang. Tindakan ini juga memungkinkan bayi untuk
menambah berat badannya dan bertambah baik status nutrisinya. Tindakan definitif
dapat menunggu sampai beberapa minggu – bulan (Bisset 1977 ; Splitz 1990),
sedangkan Goligher cit Amri & Soedarno (1988 ) menyatakan tindakan definitif
dilakukan setelah penderita berumur 6 bulan – 2 tahun atau berat badan minimal 10
kg. Tindakan definitive dilakukan dengan prosedur “Pull Through” sakroperineal dan
abdomino perineal, serta posterior sagital anorektoplasti (PSARP) (De Lorimer,
1981 ; Spitz, 1990). Jorge et al (1987) menyatakan bahwa PSARP dapat digunakan
untuk penderita dewasa terpilih untuk mendapatkan kontinensia fekal terbaik
sesudah operasi. Sedangkan Iwai et al (1988) mendapatkan kontinensia fekal dan
fungsi seksual yang baik dengan tindakan abdominoperineal rektoplasti.
(http://jtrr.poltekkes-smg.ac.id/wp-content/uploads/2012/11/MODUL-ATRESIA-
ANI.pdf)
3. Tutup kolostomi
Tindakan yang terakhir dari atresia ani. Biasanya beberapa hari setelah
operasi, anak akan mulai BAB melalui anus. Pertama, BAB akan sering tetapi
seminggu setelah operasi BAB berkurang frekuensinya dan agak padat.
(http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/109/jtptunimus-gdl-heldanilag-5416-2-
babii.pdf)
Menurut Leape (1987) yang dikutip oleh Faradilla menganjurkan pada :
a. Atresia ani letak tinggi dan intermediet dilakukan sigmoid kolostomi atau
TCD dahulu untuk dekompresi dan diversi, Operasi definitive (PSARP) setelah 4 –
8 minggu. Saat ini teknik yang paling banyak dipakai adalah posterosagital
anorektoplasti, baik minimal, limited atau full postero sagital anorektoplasti
(Faradilla, 2009). Pada kelainan anorektal letak tinggi atau intermediet, setelah
diagnosis ditegakkan, segera dilakukan kolostomi selanjutnya dibuatkan lopogram
untuk mengetahui macam fistula. Menurut De Lorimer (1981) dan Spitz (1990)
kolostomi dilakukan pada kolon sigmoid, sedangkan Spitz (1990) mengatakan
kolostomi dilakukan pada kolon tranversum dekstra dengan keuntungan kolon kiri
bebas, sehingga tidak terkontaminasi bila dilakukan “Pull Trough”.
b. Atresia ani letak rendah dilakukan perineal anoplasti, dimana sebelumnya
dilakukan tes provokasi dengan stimulator otot untuk identifikasi batas otot sfingter
ani ekternus. Pada kelainan anorektal letak rendah, penderita laki-laki dilakukan
anoplasti perineal dengan prosedur V- Y plasti, sedang untuk wanita dilakukan “cut
back” atau prosedur V-Y seperti laki-laki. Bila fistula cukup adekuat maka tindakan
anoplasti dapat ditunda menurut keinginan (Bisset 1977 ; Filston 1986 ; Spitz 1990).
c. Bila terdapat fistula dilakukan cut back incicion.
d. Pada stenosis ani cukup dilakukan dilatasi rutin, berbeda dengan Pena
dimana dikerjakan minimal PSARP tanpa kolostomi. (Faradilla, 2009).
(http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/23480/3/Chapter%20II.pdf)
Hisprung :
Tindakan Bedah.
a. Tindakan Bedah Sementara
Tindakan bedah sementara pada penderita penyakit Hirschsprung adalah
berupa kolostomi pada usus yang memiliki ganglion normal paling distal. Tindakan
ini dimaksudkan guna menghilangkan obstruksi usus dan mencegah enterokolitis
sebagai salah satu komplikasi yang berbahaya. Manfaat lain dari kolostomi adalah
menurunkan angka kematian pada saat dilakukan tindakan bedah definitif dan
mengecilkan kaliber usus pada penderita Hirschsprung yang telah besar sehingga
memungkinkan dilakukan anastomose (Fonkalsrud dkk,1997; Swenson dkk,1990).
b. Tindakan Bedah Definitif
1. Prosedur Swenson
Orvar Swenson dan Bill (1948) adalah yang mula-mula memperkenalkan
operasi tarik terobos (pull-through) sebagai tindakan bedah definitif pada penyakit
Hirschsprung. Pada dasarnya, operasi yang dilakukan adalah rektosigmoidektomi
dengan preservasi spinkter ani. Dengan meninggalkan 2-3 cm rektum distal dari
linea dentata, sebenarnya adalah meninggalkan daerah aganglionik, sehingga
dalam pengamatan pasca operasi masih sering dijumpai spasme rektum yang
ditinggalkan. Oleh sebab itu Swenson memperbaiki metode operasinya (tahun 1964)
dengan melakukan spinkterektomi posterior, yaitu dengan hanya menyisakan 2 cm
rektum bagian anterior dan 0,5-1 cm rektum posterior (Kartono,1993; Swenson
dkk,1990; Corcassone,1996; Swenson,2002).
Prosedur Swenson dimulai dengan approach ke intra abdomen, melakukan
biopsi eksisi otot rektum, diseksi rektum ke bawah hingga dasar pelvik dengan cara
diseksi serapat mungkin ke dinding rektum, kemudian bagian distal rektum
diprolapskan melewati saluran anal ke dunia luar sehingga saluran anal menjadi
terbalik, selanjutnya menarik terobos bagian kolon proksimal (yang tentunya telah
direseksi bagian kolon yang aganglionik) keluar melalui saluran anal. Dilakukan
pemotongan rektum distal pada 2 cm dari anal verge untuk bagian anterior dan 0,5-
1 cm pada bagian posterior, selanjunya dilakukan anastomose end to end dengan
kolon proksimal yang telah ditarik terobos tadi. Anastomose dilakukan dengan 2
lapis jahitan, mukosa dan sero-muskuler. Setelah anastomose selesai, usus
dikembalikan ke kavum pelvik / abdomen. Selanjutnya dilakukan reperitonealisasi,
dan kavum abdomen ditutup (Kartono,1993; Swenson dkk,1990).
2. Prosedur Duhamel
Prosedur ini diperkenalkan Duhamel tahun 1956 untuk mengatasi kesulitan
diseksi pelvik pada prosedur Swenson. Prinsip dasar prosedur ini adalah menarik
kolon proksimal yang ganglionik ke arah anal melalui bagian posterior rektum yang
aganglionik, menyatukan dinding posterior rektum yang aganglionik dengan dinding
anterior kolon proksimal yang ganglionik sehingga membentuk rongga baru dengan
anastomose end to side (Fonkalsrud dkk,1997).
Prosedur Duhamel asli memiliki beberapa kelemahan, diantaranya sering
terjadi stenosis, inkontinensia dan pembentukan fekaloma di dalam puntung rektum
yang ditinggalkan apabila terlalu panjang. Oleh sebab itu dilakukan beberapa
modifikasi prosedur Duhamel, diantaranya :
a. Modifikasi Grob (1959) : Anastomose dengan pemasangan 2 buah klem
melalui sayatan endoanal setinggi 1,5-2,5 cm, untuk mencegah
inkontinensia
b. Modifikasi Talbert dan Ravitch: Modifikasi berupa pemakaian stapler untuk
melakukan anastomose side to side yang panjang
c. Modifikasi Ikeda: Ikeda membuat klem khusus untuk melakukan
anastomose, yang terjadi setelah 6-8 hari kemudian
d. Modifikasi Adang: Pada modifikasi ini, kolon yang ditarik transanal
dibiarkan prolaps sementara. Anastomose dikerjakan secara tidak
langsung, yakni pada hari ke-7-14 pasca bedah dengan memotong kolon
yang prolaps dan pemasangan 2 buah klem; kedua klem dilepas 5 hari
berikutnya. Pemasangan klem disini lebih dititik beratkan pada fungsi
hemostasis (Kartono,1993).
3. Prosedur Soave
Prosedur ini sebenarnya pertama sekali diperkenalkan Rehbein tahun 1959
untuk tindakan bedah pada malformasi anorektal letak tinggi. Namun oleh Soave
tahun 1966 diperkenalkan untuk tindakan bedah definitif Hirschsprung.
Tujuan utama dari prosedur Soave ini adalah membuang mukosa rektum
yang aganglionik, kemudian menarik terobos kolon proksimal yang ganglionik
masuk kedalam lumen rektum yang telah dikupas tersebut (Reding dkk,1997;
Swenson dkk,1990).
4. Prosedur Rehbein
Prosedur ini tidak lain berupa deep anterior resection, dimana dilakukan
anastomose end to end antara usus aganglionik dengan rektum pada level otot
levator ani (2-3 cm diatas anal verge), menggunakan jahitan 1 lapis yang dikerjakan
intraabdominal ekstraperitoneal. Pasca operasi, sangat penting melakukan businasi
secara rutin guna mencegah stenosis (Swenson dkk,1990).
Gambar 11. Foto prosedur Duhamel modifikasi (searah jarum jam ). Tampak
usus ganglionik diprolapskan melalui rektumposterior, keluar dari saluran anal. 10 –
14 hari kemudian,usus yang diprolapskan tadi dipotong dan di anastomose end to
side dengan rektum, kemudian dilakukan pemotongan septum dengan klem Ikeda.
(http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/6218/1/bedah-budi
%20irawan.pdf)