pembuatan mol

download pembuatan mol

of 30

Transcript of pembuatan mol

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 5.1 Kondisi Umum, Geografis dan Iklim Kota Depok Kota Depok resmi berdiri menjadi suatu daerah otonom yang memiliki pemerintahan sendiri dengan kewenangan otonomi daerah beserta dengan perangkat kelengkapannya sejak penerbitan UU Republik Indonesia No. 15 tahun 1999 tentang Pembentukan Kotamadya Daerah Tingkat II Depok dan Kotamadya Daerah Tingkat II Cilegon. Secara geografis Kota Depok terletak pada koordinat 6,19 - 6,28 Lintang Selatan dan 106,43 - 106,55 Bujur Timur. Kondisi iklim di daerah Depok relatif sama. Kota Depok beriklim tropis dengan perbedaan curah hujan cukup kecil yang dipengaruhi oleh angin muson. Musim kemarau jatuh pada periode April September dan musim penghujan jatuh pada periode Oktober Maret. Temperatur rata-rata adalah 24,3 33 0C, kelembaban udara rata-rata 82 persen, penguapan udara rata-rata 3,9 mm/th, kecepatan angin rata-rata 3,3 knot dan penyinaran matahari rata-rata 49,8 persen. Tingkat keasaman (pH) tanah rata-rata 6 dan jenis tanahnya merupakan campuran lempung dan tanah liat. Curah hujan rata-rata bulanan di Kota Depok sebesar 327 milimeter dan banyaknya hari hujan dalam satu bulan berkisar 10 sampai 20 hari. Kondisi iklim Depok yang tropis dan kadar hujan yang kontinu sepanjang tahun, mendukung pemanfaatan lahan di Kota Depok sebagai lahan pertanian. Secara umum topografi wilayah Kota Depok di bagian utara merupakan dataran rendah dengan elevasi antara 40 80 m, meliputi kelurahan-kelurahan yang ada di bagian tengah dan utara, sedangkan di bagian selatan perbukitan bergelombang lemah dengan elevasi 80 140 m meliputi kelurahan-kelurahan yang berada dalam wilayah Kecamatan Sawangan, Pancoran Mas, Sukmajaya dan Cimanggis. Kota Depok mempunyai luas wilayah sekitar 200,29 km2 atau 20.029 Ha dengan luas penggunaan lahan sawah tahun 2010 adalah 932 Ha dan luas penggunaan lahan bukan sawah adalah 19.097 Ha. Kota Depok beribukota di Kecamatan Pancoran Mas. Pada akhir tahun 2009, Kota Depok melakukan pemekaran wilayah kecamatan yang semula enam kecamatan menjadi sebelas kecamatan. Adapun pemekaran ini dituangkan dalam Perda Kota Depok No. 8 Tahun 2007 dengan implementasi mulai dilaksanakan tahun 2009. Wilayah yang

66

mengalami pemekaran ada lima kecamatan, terdiri atas Kecamatan Tapos merupakan pemekaran dari Kecamatan Cimanggis, Kecamatan Bojongsari pemekaran dari Kecamatan Sawangan, Kecamatan Cilodong pemekaran dari Kecamatan Sukmajaya, Kecamatan Cipayung pemekaran dari kecamatan Pancoran Mas dan Kecamatan Cinere pemekaran dari kecamatan Limo. Berdasarkan hasil Sensus Penduduk tahun 2010, jumlah penduduk Kota Depok mencapai 1.736.565 jiwa, yang terdiri dari penduduk laki-laki 879.325 jiwa dan penduduk perempuan 857.240 jiwa, dengan kepadatan penduduk mencapai 10.101 jiwa/km. Berdasarkan hasil survei Angkatan Kerja Nasional tahun 2009, sebanyak 18.008 orang penduduk Kota Depok bekerja di bidang pertanian, kehutanan, perburuan, dan perikanan. Sektor pertanian memberikan kontribusi terhadap PDRB Kota Depok sebesar Rp 310.313,22 atau 2,21 persen dari total PDRB Kota Depok tahun 2009. Meskipun angka ini tergolong kecil, namun sektor pertanian masih memegang peranan yang cukup penting dalam rangka pemerataan kesejahteraan rakyat/penduduk Kota Depok, mengingat masih ada banyak penduduk Kota Depok yang bermata pencaharian sebagai petani. Oleh karena itu, pemerintah masih harus memberikan perhatian yang cukup untuk sektor ini agar kesejahteraan penduduk di Kota Depok dapat dirasakan oleh seluruh golongan. Data mengenai PDRB Kota Depok atas harga berlaku tahun 2009 dapat dilihat pada Tabel 20. Tabel 20. Produk Domestik Regional Daerah (PDRB) Kota Depok Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha Tahun 2009 Nilai Persentase No Lapangan Usaha (Rp) (%) 1 Pertanian 310.313,22 2,21 2 Pertambangan dan Penggalian 0,00 0,00 3 Industri Pengolahan 5.101.036,02 36,27 4 Listrik,Gas dan Air Minum 582.438,11 4,14 5 Bangunan/Konstruksi 647.930,14 4,61 6 Perdagangan, Hotel dan Restoran 4.999.830,68 35,55 7 Angkutan dan Komunikas 921.390,36 6,55 8 Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya 465.101,09 3,31 9 Jasa-Jasa 1.035.876,50 7,31 Produk Domestik Regional Bruto 14.063.916,12 100,00 Sumber : Badan Pusat Statistik Kota Depok (2011)

67

Beberapa komoditas unggulan Kota Depok yang potensial untuk dikembangkan antara lain adalah : 1) Subsektor tanaman pangan dan perkebunan : belimbing dan tanaman hias 2) Subsektor perikanan : ikan hias dan ikan patin 3) Subsektor peternakan : ayam ras pedaging dan kambing 5.1.1 Kondisi Umum Kecamatan Pancoran Mas Kecamatan Pancoran Mas merupakan salah satu sentra produksi belimbing dewa di Kota Depok. Kecamatan ini juga merupakan Ibukota Depok. Luas wilayah Kecamatan Pancoran Mas adalah 18,17 km2 yang terdiri dari 6 kelurahan, 104 Rukun Warga (RW) dan 608 Rukun Tetangga (RT). Jumlah penduduk Kecamatan Pancoran Mas pada tahun 2010 mencapai 210.204 jiwa, yang terdiri dari 106.322 penduduk laki-laki dan 103.882 penduduk perempuan. Kepadatan penduduknya sebanyak 11.568 jiwa/km. Pada tahun 2009, sebagian besar penduduk Kecamatan Pancoran Mas bermata pencaharian utama di bidang industri yaitu sebanyak 9.756 orang atau 28,43 persen dari total angkatan kerja di Kecamatan Pancoran Mas yang bekerja. Penduduk yang memiliki mata pencaharian utama di bidang pertanian sebanyak 1.107 orang atau 3,23 persen dari total angkatan kerja di Kecamatan Pancoran Mas yang bekerja. Sebaran penduduk Kecamatan Pancoran Mas berdasarkan jenis usahanya dapat dilihat pada Tabel 21. Tabel 21. Sebaran Penduduk Kecamatan Pancoran Mas Berdasarkan Jenis Usahanya Tahun 2009 No. Jenis Usaha Jumlah (Orang) Persentase (%) 1 Pertanian 1.107 3,23 2 Pertambangan dan penggalian 346 1,01 3 Industri 9.756 28,43 4 Listrik, gas dan air 1.158 3,37 5 Konstrusi/bangunan 972 2,83 6 Perdagangan, hotel dan restoran 5.561 16,21 7 Angkutan 1.463 4,26 8 Lembaga keuangan 1.297 3,78 9 Jasa-jasa 4.268 12,44 10 Lainnya 8.385 24,44 Jumlah 34.313 100,00 Sumber : Badan Pusat Statistik Kota Depok (2011)

68

Berdasarkan tingkat pendidikan pada tahun 2009, terdapat 20.526 orang yang menamatkan pendidikan sekolah dasarnya, sedangkan 918 dan 2.194 orang lainnya tidak tamat SD dan belum sekolah. Selain itu, terdapat 10.554 dan 14.019 orang tamat pendidikan SMP dan SMA, 3.430 orang tamat Akademi, serta 1.662 orang tamat Perguruan Tinggi. 5.1.2 Kondisi Umum Kecamatan Cipayung Kecamatan Cipayung merupakan pemekaran Kecamatan Pancoran Mas, dimana sebelum terjadi pemekaran wilayah kecamatan, wilayah ini merupakan bagian dari Kecamatan Pancoran Mas yang merupakan salah satu sentra produksi belimbing dewa di Kota Depok. Luas wilayah Kecamatan Cipayung adalah 11,66 km2. Kecamatan Cipayung terdiri dari 5 kelurahan, 52 RW dan 321 RT. Jumlah penduduk Kecamatan Cipayung pada tahun 2010 mencapai 127.707 jiwa yang terdiri dari 65.160 penduduk laki-laki dan 62.547 penduduk perempuan. Kepadatan penduduknya sebanyak 10.953 jiwa/km. Pada tahun 2009 sebagian besar penduduk Kecamatan Cipayung bermata pencaharian di bidang jasa yaitu sebanyak 3.680 orang. Penduduk yang memiliki mata pencaharian utama di bidang pertanian sebanyak 1.173 orang atau 7,21 persen dari total penduduk Kecamatan Cipayung. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah petani di Kecamatan Cipayung lebih banyak dibandingkan di Kecamatan Pancoran Mas. Sebaran penduduk Kecamatan Cipayung berdasarkan jenis usahanya di sektor pertanian dapat dilihat pada Tabel 22. Tabel 22. Jumlah Penduduk Kecamatan Cipayung Berdasarkan Jenis Usahanya Tahun 2009 No. Jenis Usaha Jumlah (Orang) Persentase (%) 1. Pertanian 1.173 7,21 2. Pertambangan dan penggalian 258 1,59 3. Industri 3.307 20,33 4. Listrik, gas dan air 325 2,00 5. Konstrusi/bangunan 495 3,04 6. Perdagangan, hotel dan restoran 2.635 16,20 7. Angkutan 434 2,67 8. Lembaga keuangan 392 2,41 9. Jasa-jasa 3.680 22,62 10. Lainnya 3.567 21,93 Jumlah 16.266 100,00 Sumber : Badan Pusat Statistik Kota Depok (2011) 69

Berdasarkan tingkat pendidikan pada tahun 2009, terdapat 8.626 orang yang menamatkan pendidikan sekolah dasarnya. Sedangkan 842 dan 2.130 orang lainnya tidak tamat SD dan belum sekolah. Selain itu, terdapat 8.424 dan 8.094 orang yang tamat pendidikan SMP dan SMA, 1.444 orang tamat Akademi, dan 497 orang tamat Perguruan Tinggi. 5.2 Karakteristik Petani Responden Karakteristik petani responden yang dianggap penting dalam penelitian ini meliputi usia, tingkat pendidikan, luas lahan, keikutsertaan dalam

pelatihan/penyuluhan, perlakuan pascapanen, lembaga pemasaran, dan sumber modal. Karakteristik tersebut dianggap penting karena memengaruhi produktivitas serta efisiensi usahatani belimbing dewa di lokasi penelitian. 1) Aspek Usia Usia seringkali memengaruhi tingkat produktivitas dan semangat seseorang untuk mengembangkan usaha. Biasanya pada usia muda tingkat produktivitas serta semangat seseorang relatif lebih tinggi dibandingkan ketika usianya telah tua. Hal ini terjadi dikarenakan pada usia muda, fisik seseorang/petani cenderung masih kuat dan sehat serta memiliki dorongan yang kuat untuk berprestasi serta memenuhi kebutuhan keluarga. Berdasarkan data di lapangan diketahui bahwa sebagian besar petani responden di lokasi penelitian berusia 25-34 tahun (36,67 persen) serta berusia 4554 tahun (33,33 persen). Sebanyak 16,67 dan 10 persen berusia 35-44 tahun dan 65-74 tahun. Selain itu, terdapat 3,33 persen petani responden berusia muda 15-24 tahun, sedangkan petani yang berusia tua (55-64 tahun) dan sangat tua (lebih dari 75 tahun) berjumlah 0 persen. Kondisi ini menggambarkan bahwa generasi muda di lokasi penelitian cukup tertarik terhadap usahatani belimbing dewa. Berdasarkan Tabel 23, usia petani responden yang paling dominan di Kecamatan Pancoran Mas adalah 25-34 tahun (66,66 persen), sedangkan di Kecamatan Cipayung lebih didominasi oleh petani responden yang berusia 45-54 tahun (53,33 persen). Data ini mengindikasikan bahwa usahatani belimbing dewa di Kecamatan Pancoran Mas umumnya di usahakan oleh petani yang relatif lebih muda dibandingkan di Kecamatan Cipayung.

70

Tabel 23

Usia (Tahun) 15-24 25-34 35-44 45-54 55-64 65-74 75 Total 2)

Sebaran Responden Berdasarkan Usia di Kecamatan Pancoran Mas dan Kecamatan Cipayung Kecamatan Kecamatan Total Responden Pancoran Mas Cipayung (n=30) Jumlah Jumlah Jumlah petani % petani % petani % (Orang) (Orang) (Orang) 1 6,67 0 0,00 1 3,33 10 66,66 1 6,67 11 36,67 1 6,67 4 26,67 5 16,67 2 13,33 8 53,33 10 33,33 0 0,00 0 0,00 0 0,00 1 6,67 2 13,33 3 10,00 0 0,00 0 0,00 0 0,00 15 100,00 15 100,00 30 100,00

Tingkat Pendidikan Tingkat pendidikan responden akan berpengaruh terhadap tingkat

penyerapan teknologi baru dan ilmu pengetahuan. Seluruh petani yang menjadi responden pernah mengikuti pendidikan formal. Tingkat pendidikan responden rata-rata masih rendah. Tabel 24 menunjukkan bahwa sebanyak 40 persen petani responden merupakan lulusan Sekolah Dasar atau sederajat, 23,33 persen lulusan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) atau sederajat, 33,34 persen lulusan Sekolah Menengah Lanjutan Atas (SLTA) atau sederajat, dan 3,33 persen lulusan Sarjana. Sebaran responden berdasarkan tingkat pendidikan di Kecamatan Pancoran Mas dan Cipayung dapat dilihat pada Tabel 24. Tabel 24. Sebaran Responden Berdasarkan Tingkat Kecamatan Pancoran Mas dan Cipayung Kecamatan Kecamatan Pancoran Mas Cipayung Tingkat Pendidikan Jumlah Jumlah petani % petani % (Orang) (Orang) SD atau sederajat 4 26,67 8 53,33 SLTP atau sederajat 2 13,33 5 33,34 SLTA atau sederajat 8 53,33 2 13,33 S1 1 6,67 0 0,00 Total 15 100,00 15 100,00 Pendidikan di

Total Responden (n=30) Jumlah petani % (Orang) 12 40,00 7 23,33 10 33,34 1 3,33 30 100,00

Tabel 24 menunjukkan bahwa persentase petani responden terbesar di Kecamatan Pancoran Mas merupakan lulusan SLTA atau sederajat (53,33 persen)

71

sedangkan di Kecamatan Cipayung merupakan lulusan SD (40 persen). Hal ini mengindikasikan bahwa tingkat pendidikan petani di Kecamatan Pancoran Mas relatif lebih tinggi dibandingkan di Kecamatan Cipayung. Oleh sebab itu, petani belimbing di Kecamatan Pancoran Mas diduga lebih mampu mengaplikasikan teknologi baru dan ilmu pengetahuan yang telah diperolehnya dalam pelatihan/penyuluhan. 3) Luas Lahan Luas lahan dapat menjadi indikator terhadap jumlah tanaman belimbing yang diusahakan yang pada akhirnya memengaruhi hasil penerimaan petani. Semakin luas lahan yang dimiliki oleh petani, maka kemungkinan akan semakin banyak jumlah pohon belimbing yang dapat ditanam sehingga memungkinkan petani untuk menghasilkan buah belimbing yang lebih banyak. Luas lahan yang dimiliki juga menggambarkan besarnya skala usahatani yang dijalankan. Petani responden di lokasi penelitian sebagian besar memiliki lahan yang sempit yaitu kurang dari 0,5 hektar (90 persen). Terdapat 10 persen petani responden yang berlahan sedang yaitu sebesar 0,5 2,0 hektar dan tidak ada petani responden yang memiliki lahan yang luas yaitu lebih dari 2 hektar. Kondisi ini menggambarkan bahwa sebagian besar petani responden melakukan usahatani belimbing dewa pada lahan yang masih relatif sempit. Hal ini mungkin dikarenakan adanya alih fungsi lahan pertanian menjadi wilayah perumahan, gedung-gedung bertingkat, jalan raya, jalan tol, dan lain-lain yang menyebabkan lahan pertanian menjadi berkurang. Data sebaran petani responden berdasarkan luas lahan dapat dilihat pada Tabel 25. Tabel 25. Sebaran Responden di Kecamatan Pancoran Mas dan Cipayung Berdasarkan Luas Lahan Kecamatan Kecamatan Total Responden Pancoran Mas Cipayung (n=30) Luas Lahan Jumlah Jumlah Jumlah (Ha) petani % petani % petani % (Orang) (Orang) (Orang) < 0,5 13 86,67 14 93,33 27 90,00 0,5 2,0 2 13,33 1 6,67 3 10,00 > 2,0 0 0,00 0 0,00 0 0,00 Total 15 100,00 15 100,00 30 100,00

72

Tabel 25 menunjukkan bahwa petani responden di Kecamatan Pancoran Mas maupun Cipayung, sama-sama mengusahakan belimbing pada lahan yang relatif sempit yaitu kurang dari 0,5 hektar. Data tersebut mengindikasikan bahwa dalam hal penguasaan lahan, petani belimbing di Kecamatan Pancoran Mas maupun Cipayung memiliki karakter yang sama yaitu rata-rata pengusahaan belimbing masih berskala kecil. 4) Keikutsertaan dalam Pelatihan/Penyuluhan Pelatihan/penyuluhan merupakan sarana bagi para petani untuk

memperoleh informasi khususnya mengenai cara budidaya belimbing dewa yang baik. Berdasarkan data responden diketahui bahwa 83,33 persen petani responden sudah mengikuti pelatihan/penyuluhan yang dikenal pula dengan istilah Sekolah Lapang (SL). Topik Sekolah Lapang yang telah diikuti oleh para petani antara lain mengenai SOP (Standard Operasional Procedure) belimbing dewa pada tahun 2007 serta SOP GAP (Standard Operasional Procedure and Good Agriculture Practise) belimbing dewa tahun 2010. Selain itu, petani juga telah mengikuti pelatihan mengenai kewirausahaan serta mengikuti penyuluhan rutin hampir setiap satu bulan sekali dengan para penyuluh pertanian Dinas Pertanian Kota Depok. Sebaran responden berdasarkan keikutsertaannya dalam

pelatihan/penyuluhan dapat dilihat pada Tabel 26. Tabel 26. Sebaran Responden di Kecamatan Pancoran Mas dan Cipayung Berdasarkan Keikutsertaan dalam Pelatihan/Penyuluhan Kecamatan Kecamatan Total Responden Keikutsertaan Pancoran Mas Cipayung (n=30) dalam Jumlah Jumlah Jumlah Pelatihan/ petani % petani % petani % Penyuluhan (Orang) (Orang) (Orang) Sudah 12 80,00 13 86,67 25 83,33 Belum 3 20,00 2 13,33 5 16,67 Total 15 100,00 15 100,00 30 100,00 Tabel 26 menunjukkan bahwa jumlah petani yang sudah mengikuti pelatihan/penyuluhan dari Kecamatan Cipayung (86,67 persen) lebih banyak dibandingkan petani dari Kecamatan Pancoran Mas (80 persen). Hal ini mengindikasikan bahwa petani di Kecamatan Cipayung yang memiliki pemahaman yang cukup baik mengenai teknis budidaya lebih banyak jika

73

dibandingkan dengan petani di Kecamatan Pancoran Mas. Berdasarkan data yang diperoleh di lapangan diketahui pula bahwa dua orang petani dari Kecamatan Pancoran Mas (13,33 persen) mendapatkan beasiswa untuk pelatihan/magang ke Jepang dari Departemen Pertanian Republik Indonesia selama satu tahun. Satu orang memperoleh beasiswa tersebut pada tahun 1999-2000 dan satu orang lagi memperoleh beasiswa tersebut pada tahun 2009-2010. 5) Perlakuan Pascapanen Perlakuan pascapanen produk belimbing dewa terdiri dari sortasi, grading dan pengolahan buah. Pengolahan yang dimaksud dalam tulisan ini adalah melakukan pengolahan terhadap buah belimbing yang dihasilkan menjadi suatu produk turunan tertentu. Sedangkan belimbing dewa yang tidak diolah artinya buah belimbing dijual dalam bentuk buah segar (tidak ada proses pengolahan), hanya mendapat penanganan pada kemasan serta kontrol pada mutu dan bobot buah (sortasi dan grading). Berdasarkan data responden diketahui bahwa sebanyak 96,67 persen petani responden tidak melakukan proses pengolahan terhadap buah belimbing yang dihasilkan. Mereka menjual langsung buah belimbing dalam bentuk buah segar. Hanya 3,33 persen yang melakukan pengolahan buah belimbing. Sebagian besar alasan petani responden tidak melakukan pengolahan belimbing adalah waktu yang tidak mencukupi untuk melakukan proses pengolahan karena sudah sibuk dan lelah dengan proses produksi belimbing di kebun. Selain itu, para petani juga memiliki alasan karena tidak memiliki alat-alat proses pengolahan, tidak mengetahui cara membuat produk turunan belimbing serta adanya tambahan biaya jika melakukan proses pengolahan sedangkan petani memiliki keterbatasan modal. Data mengenai sebaran petani responden berdasarkan perlakukan pascapanen dapat dilihat pada Tabel 27. Tabel 27 memperlihatkan bahwa seluruh petani di Kecamatan Cipayung tidak melakukan proses pengolahan buah belimbing. Selain alasan yang telah disebutkan di atas, hal ini juga dikarenakan proses pengolahan buah belimbing di Kecamatan Cipayung dikerjakan oleh Kelompok Wanita Tani (KWT) dibawah bimbingan penyuluh Dinas Pertanian Kota Depok. Sedangkan di Kecamatan

74

Pancoran Mas, ada satu orang petani (6,67 persen) yang melakukan proses pengolahan buah belimbing menjadi dodol belimbing. Tabel 27. Sebaran Responden Berdasarkan Perlakuan Pascapanen di Kecamatan Pancoran Mas dan Cipayung Kecamatan Kecamatan Total Responden Pancoran Mas Cipayung (n=30) Perlakuan Jumlah Jumlah Jumlah Pascapanen petani % petani % petani % (Orang) (Orang) (Orang) Melakukan Pengolahan (Menjadi 1 6,67 0 0,00 1 3,33 Produk Turunan) Tidak Melakukan 14 93,33 15 100,00 29 96,67 Pengolahan (Buah Segar) Total 15 100,00 15 100,00 30 100,00 Lembaga Pemasaran Petani Responden Lembaga pemasaran merupakan salah satu faktor yang memengaruhi tingkat penerimaan petani responden. Hal ini terjadi karena tingkat harga yang berlaku pada masing-masing lembaga relatif berbeda. Berdasarkan penelusuran informasi di lapangan, ada lima lembaga pemasaran belimbing yang umumnya digunakan oleh para petani responden. Hampir setiap petani responden menyalurkan belimbing yang dihasilkannya ke lebih dari satu lembaga pemasaran. Tabel 28 menunjukkan banyaknya penggunaan lembaga pemasaran yang digunakan oleh petani belimbing di lokasi penelitian. Tabel 28. Sebaran Responden di Kecamatan Pancoran Mas dan Cipayung Berdasarkan Penggunaan Lembaga Pemasaran Belimbing Dewa Kecamatan Kecamatan Total Pancoran Mas Cipayung Lembaga Pemasaran Jumlah Jumlah JumlahPemakai (Orang) % Pemakai (Orang) % Pemakai (Orang) %

6)

Puskop Pengumpul/Tengkulak Pedagang Besar Pedagang Pengecer Konsumen

4 19 1 1 1

15,38 73,07 3,85 3,85 3,85

11 10 0 3 2

42,31 38,46 0 11,54 7,69

15 29 1 4 3

28,85 55,77 1,92 7,69 5,77

75

Berdasarkan informasi yang tertera pada Tabel 28 terlihat bahwa sebanyak 55,77 persen petani responden di lokasi penelitian menjual hasil panennya melalui pengumpul/tengkulak. Hal ini terjadi dikarenakan adanya ikatan emosional (persaudaraan, pertemanan dan kekerabatan lainnya) ataupun karena adanya hutang budi karena petani mendapatkan pinjaman modal dari

pengumpul/tengkulak sehingga mengikat petani untuk menjual hasil panennya kepada pengumpul/tengkulak tersebut. Selain itu, alasan petani responden menjual hasil panennya kepada pengumpul/tengkulak adalah karena sistem

pembayarannya cash (lebih cepat) meskipun harga yang diberikan tidak terlalu bagus. Sebanyak 28,85 persen petani responden menjual hasil panennya melalui Pusat Koperasi Pemasaran Buah dan Olahan Belimbing Dewa Depok (Puskop), 7,92 persen melalui pedagang pengecer (toko buah dan pasar tradisional), 5,77 persen langsung menjualnya kepada konsumen akhir serta 1,92 persen menjualnya kepada pedagang besar (supermarket, pasar induk dan swalayan). Lembaga pemasaran yang dominan di Kecamatan Pancoran Mas adalah melalui pengumpul/tengkulak. Alasan petani responden menjual belimbingnya kepada pengumpul/tengkulak adalah karena jaraknya lebih dekat dan

pembayarannya lebih cepat (cash). Selain itu, pengumpul/tengkulak juga telah banyak membantu petani dalam peminjaman modal dan saprodi serta petani merasa lebih nyaman karena sudah kenal sehingga mengurangi risiko penipuan. Sedangkan lembaga pemasaran yang lebih dominan di Kecamatan Cipayung adalah melalui Puskop. Alasan petani responden menjual hasil panennya kepada Puskop di antaranya karena memiliki ikatan emosional atau rasa tanggung jawab moral (karena yang menginisiasi pembentukan Puskop adalah mereka/para petani belimbing), harga yang diberikan Puskop lebih baik dan karena petani memiliki hutang dengan Puskop (PKBL Bank Mandiri). 7) Sumber Modal Modal merupakan salah satu faktor produksi yang cukup penting. Modal seringkali menjadi kendala bagi petani responden di lokasi penelitian sehingga membuat para petani melakukan peminjaman untuk mengatasi kendala tersebut. Tabel 29 memperlihatkan sumber modal usahatani belimbing dewa yang dijalankan oleh para petani responden di lokasi penelitian.

76

Tabel 29. Sebaran Responden di Kecamatan Pancoran Mas dan Cipayung Berdasarkan Sumber Modal Usahatani Belimbing Dewa Kecamatan Kecamatan Total Responden Pancoran Mas Cipayung (n=30) Sumber Modal Jumlah Jumlah Jumlah petani % petani % petani % (Orang) (Orang) (Orang) Sendiri 5 33,33 1 6,67 6 20,00 Pinjaman 0 0,00 0 0,00 0 0,00 Sendiri dan 10 66,67 14 93,33 24 80,00 Pinjaman Total 15 100,00 15 100,00 30 100,00 Tabel 29 menunjukkan bahwa sumber modal dominan yang digunakan oleh petani belimbing di lokasi penelitian adalah kombinasi dari modal pribadi dan pinjaman (80 persen). Kondisi ini mengindikasikan bahwa petani kekurangan modal dalam menjalankan usahatani belimbingnya sehingga untuk mengatasi kekurangan modal tersebut ataupun dalam rangka meningkatkan skala usahanya, petani melakukan pinjaman. Ada pula petani yang hanya mengandalkan modal pribadinya (20 persen) dalam menjalankan usahatani belimbing yang dimilikinya. Hal tersebut bukan dikarenakan petani telah memiliki modal yang cukup tetapi lebih dikarenakan petani merasa takut untuk berhutang. Tidak ada satupun petani responden yang menjalankan usahatani belimbing dengan hanya mengandalkan pinjaman dari pihak lain. 5.3 Gambaran Umum Usahatani Belimbing Dewa di Lokasi Penelitian Budidaya belimbing di Kota Depok telah dilakukan sejak tahun 1970 hingga sekarang. Belimbing Depok dikenal dengan belimbing dewa, hasil buah karya petani penangkar Depok Bapak H. Usman Mubin. Buah berwarna kuningorange keemasan, mengandung vitamin A dan C yang cukup tinggi (lihat Lampiran 6), besar buah dapat mencapai 0,8 kg per buah. Keragaan kebun belimbing di Kota Depok tersebar di sebelas kecamatan. Selain ditanam di lahan sendiri, tanaman belimbing juga ditanam di pekarangan rumah. Keberadaan lahan untuk tanaman belimbing di lokasi penelitian terletak tidak jauh dari pemukiman penduduk. Usahatani belimbing pada awalnya dilakukan secara tradisional dengan pemeliharaan seadanya. Namun, seiring dengan berkembangnya potensi usahatani belimbing dan besarnya keuntungan yang diperoleh, usahatani belimbing mulai

77

mendapat perhatian. Terbukanya potensi dari usahatani belimbing ini, mendorong pemerintah Kota Depok untuk menjadikan belimbing dengan varietas unggul Dewa sebagai icon Kota Depok. Kegiatan usahatani dan teknik budidaya belimbing yang dilakukan oleh petani belimbing di Kota Depok sebenarnya hampir sama antara petani belimbing satu dengan lainnya. Hal ini dikarenakan hampir sebagian besar petani belimbing di Kota Depok telah menerapkan Standar Operasional Prosedur (SOP) belimbing dewa yang disusun oleh Dinas Pertanian Kota Depok tahun 2007. SOP belimbing ini merupakan panduan teknik budidaya belimbing yang dilakukan untuk meningkatkan mutu buah belimbing yang dihasilkan petani. Teknik budidaya belimbing sesuai SOP telah tersosialisasikan kepada para petani belimbing di Kota Depok termasuk di wilayah Kecamatan Pancoran Mas dan Cipayung melalui fasilitas Sekolah Lapang (SL) SOP belimbing dewa pada tahun 2007 yang diikuti oleh para petani responden. Di lokasi penelitian, ada petani yang telah menerapkan semua kegiatan budidayanya sesuai dengan SOP dan ada pula petani yang tidak sepenuhnya menjalankan budidaya belimbing sesuai SOP bahkan ada pula yang belum. Namun, sebagian besar telah melakukan budidaya belimbing sesuai dengan SOP. 5.3.1 Penanaman Tanaman Belimbing Dewa Berdasarkan pengamatan di lokasi penelitian, kegiatan penanaman diawali dengan kegiatan penyiapan lahan yaitu pembersihan lahan dan pembuatan lubang tanam. Pembersihan lahan dilakukan dengan maksud untuk memperoleh lahan yang siap ditanami dan terbebas dari gangguan fisik seperti batu-batuan besar dan gangguan biologis seperti gulma atau sisa-sisa tanaman. Kegiatan pembersihan lahan yang dilakukan antara lain adalah membersihkan semak, pohon kecil, cabang dan ranting pohon besar yang menghalangi pertumbuhan tanaman muda. Persiapan lahan yang harus dilakukan setelah melakukan pembersihan lahan adalah pembuatan lubang tanam. Jarak tanam yang digunakan pada kebun belimbing yang sesuai dengan SOP adalah (7 x 7) meter. Namun, sebagian besar petani responden yang ada di lokasi penelitian menggunakan jarak tanam yang lebih rapat yaitu (5 x 5) meter sebanyak 36,37 persen dari total petani responden. Hanya sekitar 6,67 persen 78

petani responden yang menggunakan jarak tanam yang sesuai dengan SOP. Selain itu, ada pula yang menggunakan jarak tanam sebesar (3 x 3) dan (4 x 5) meter sebanyak 3,33 persen, (4 x 4) dan (6 x 6) meter sebanyak 10 persen, (5 x 6) meter sebanyak 6,67 persen dan (6 x 7) meter sebanyak 23,33 persen. Hal ini dikarenakan tanaman belimbing sudah tertanam sejak lama sebelum

diterbitkannya SOP oleh Dinas Pertanian Kota Depok. Para petani ingin mengoptimalkan lahan yang dimilikinya dengan menanam pohon belimbing dengan jarak tanam yang lebih rapat, padahal semakin jauh jarak tanam belimbing akan menyebabkan cabang-cabang semakin menyamping dan menghasilkan buah yang lebih banyak. 5.3.2 Pemupukan Tanaman Belimbing Dewa Pemupukan dilakukan guna untuk menyediakan kebutuhan hara (nutrisi) yang dibutuhkan untuk pertumbuhan dan perkembangan tanaman belimbing. Pupuk yang diberikan pada tanaman belimbing adalah pupuk organik (pupuk kandang), pupuk anorganik (pupuk NPK) dan pupuk daun (pupuk cair). Pupuk kandang dan NPK digunakan untuk menambah dan memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah. Pupuk daun digunakan untuk merangsang pembungaan dan mendukung pertumbuhan daun. Curacron dan Dusban digunakan sebagai pestisida serta Gandasil B sebagai perangsang bunga. Kegiatan pemupukan dengan menggunakan pupuk kandang dan NPK dilakukan setiap empat bulan sekali. Dosis pupuk kandang dan NPK per pohon belimbing berdasarkan SOP dapat dilihat pada Tabel 30. Tabel 30. Dosis Pupuk Per Pohon pada Usahatani Belimbing Dewa di Kota Depok Jenis dan Dosis Pupuk Waktu Pemupukan Pupuk Kandang NPK (15:15:15) (Kg) (Kg) 3 12 bulan setelah tanam 20-30 0,2-0,3 1 3 tahun setelah tanam 30-40 0,4-0,6 > 3 tahun setelah tanam 40-60 0,7-1,0 3 4 minggu sekali pada Pupuk Daun Sesuai Dosis Anjuran tanaman produktif Sumber : Dinas Pertanian Kota Depok (2007)

79

Prosedur pelaksanaan pemberian pupuk di antaranya yaitu (1) Menyiapkan alur lubang pupuk di bawah lingkaran tajuk sedalam 20 sentimeter dan selebar cangkul; (2) Menyiapkan pupuk sesuai jenis dan dosis yang akan digunakan; dan (3) Memasukkan pupuk ke dalam lubang tanam kemudian menutupnya. Apabila pupuk daun yang akan diberikan, maka harus membuat larutan pupuk terlebih dahulu, kemudian pupuk disemprotkan ke tanaman dengan menggunakan hand sprayer atau power sprayer. Dari hasil wawancara dengan petani responden di lokasi penelitian, pemberian pupuk pada tanaman belimbing ada kalanya tidak mengikuti dosis anjuran yang terdapat pada SOP belimbing dewa. Petani responden biasanya mendapatkan pupuk kandang dengan membeli di rumah potong hewan (RPH), ada pula yang memelihara ternak sendiri untuk kemudian diambil kotorannya dan ada pula yang memfermentasi sendiri pupuk kandang yang akan digunakan (mol). Cara membuat mol yaitu dengan menggiling buah belimbing busuk dan mencampurnya dengan gula merah, air kelapa dan air beras kemudian difermentasi selama 2 minggu. Air ekstraknyalah yang akan menjadi pupuk. 5.3.3 Pengairan Tanaman Belimbing Dewa Pengairan dilakukan untuk menyediakan kebutuhan air bagi pertumbuhan dan perkembangan tanaman belimbing. Sebelum kegiatan pengairan dilakukan, hal yang harus diperhatikan adalah melihat kondisi tanaman dan buah. Pengairan harus dihentikan jika kondisi tanah telah cukup lembab. Selain air hujan, air yang digunakan sebagai sumber pengairan oleh para petani responden berasal dari irigasi teknis (70 persen) dan air sumur (26,67 persen). Ada satu orang petani (3,33 persen) yang hanya mengandalkan air hujan sebagai sumber pengairan untuk tanaman belimbing yang dimilikinya. Pada umumnya petani responden melakukan kegiatan pengairan hanya pada musim panas/kemarau. Peralatan yang diperlukan saat pengairan antara lain adalah air, ember/selang air/pompa pantek/power sprayer dan cangkul.

80

Gambar 7. Mesin Diesel (kiri), Power Sprayer (tengah) dan Selang air (kanan) yang Digunakan Petani Responden di Lokasi Penelitian Tahun 2011 5.3.4 Pemangkasan Tanaman Belimbing Dewa Berdasarkan pengamatan di lokasi penelitian, kegiatan pemangkasan tanaman belimbing dibagi menjadi dua jenis yaitu kegiatan pemangkasan bentuk dan kegiatan pemangkasan pemeliharaan. Kegiatan pemangkasan bentuk adalah kegiatan membentuk cabang atau ranting tanaman agar mempunyai tajuk yang diharapkan dan dengan tujuan agar lebih memudahkan petani dalam melakukan kegiatan pengelolaan, perawatan dan pemanenan. Sedangkan pemangkasan pemeliharaan adalah memotong cabang atau ranting tanaman yang tidak produktif dan tidak dikehendaki. Hal ini bertujuan untuk merangsang pembungaan, membuang ranting atau cabang yang mati, tunas air maupun cabang yang tidak produktif serta untuk memudahkan sinar matahari masuk sampai cabang-cabang terbawah. Kegiatan pemangkasan dilakukan pada saat setelah panen. Peralatan yang dibutuhkan saat pemangkasan antara lain adalah gunting, karung/keranjang, tali, dan patok. 5.3.5 Sanitasi Kebun serta Pengendalian Organisme Pengganggu Tanaman Belimbing Dewa Petani responden umumnya melakukan kegiatan sanitasi kebun pada awal musim atau setelah musim panen sebelumnya selesai. Sanitasi kebun merupakan kegiatan menjaga kebersihan dan kesehatan lingkungan kebun. Sanitasi kebun dilakukan untuk memberikan lingkungn tumbuh yang baik bagi pertumbuhan tanaman serta memutus siklus hidup organisme pengganggu tanaman (OPT). Kegiatan ini antara lain membersihkan gulma yang tumbuh di sekitar tanaman dan

81

membuang buah yang rontok pada saat proses pembesaran buah, pembungkusan maupun pada saat pemanenan serta buah rontok yang tersangkut di pohon. Peralatan yang digunakan dalam kegiatan ini antara lain adalah sabit, cangkul, pengki/karung sampah, dan sapu lidi. Pengendalian OPT adalah tindakan yang dilakukan untuk mencegah kerugian pada budidaya tanaman belimbing seperti penurunan mutu dan produksi buah belimbing yang diakibatkan oleh organisme pengganggu tanaman, dengan cara memadukan satu atau lebih teknik pengendalian yang dikembangkan dalam satu kesatuan. Sebelum melakukan kegiatan pengendalian OPT, petani harus melakukan pengamatan terhadap OPT di kebun secara teratur dan berkala guna mengenali OPT yang menyerang dan gejala serangannya agar petani dapat melakukan tindakan atau cara yang tepat untuk mengatasinya. Organisme pengganggu tanaman yang sering menyerang pohon belimbing di lokasi penelitian antara lain adalah : 1) Lalat Buah (Batrocero carambolae atau Batrocero dorsalis) Lalat buah dewasa bertelur di dalam buah, kemudian larva yang menetas akan memakan isi buah dan akhirnya membuat buah menjadi busuk dan gugur. Untuk menghindari serangan lalat buah, petani dianjurkan agar membungkus buah pada saat tiga sampai empat minggu setelah buah terbentuk. Buah yang terserang OPT jenis ini harus dikumpulkan dan dimasukkan ke dalam kantung plastik, lalu dibenamkan ke dalam tanah sedalam 30 sentimeter atau dibakar. Pengendalian OPT jenis ini juga dapat dilakukan dengan menggunakan insektisida. Insektisida yang digunakan adalah insektisida sistemik atau kontak dengan bahan aktif dimethoate, malathion, fenthion atau maldison. Selain itu, pengendalian juga dapat dilakukan dengan menggunakan perangkap lalat buah dengan memakai zat yang disebut feromon yaitu methyl eugenol yang biasa ditemukan dengan merk dagang Petrogenol 800 L. Gambar 8 memperlihatkan alat perangkap lalat buah di lokasi penelitian. Seluruh petani responden di lokasi penelitian telah menggunakan perangkap lalat buah untuk mengatasi serangan lalat buah yang dapat menurunkan kualitas dan kuantitas buah belimbing yang dihasilkan.

82

Gambar 8. Perangkap Lalat Buah Milik Petani yang Belum Dipakai (kiri) dan Perangkap Lalat Buah yang Telah Terpasang di Kebun Belimbing (kanan) di Lokasi Penelitian Tahun 2011 2) Jamur Upas (Upasita salminicolor, Corticium salminicolor, Pellicularia salminicolor) Penyakit ini menyerang bagian batang atau cabang tanaman. Jika serangan sudah berat maka dapat mengakibatkan batang mengering dan lapuk. Pengendaliannya dapat dilakukan dengan cara menyemprot atau mengoleskan cabang yang sakit dengan fungisida Bubur Bordeaux satu persen atau Calixin lima persen. Selain itu dapat pula menggunakan Topsin dengan Kapur maupun fungisida Benlate. Gambar 9 menunjukkan tanaman belimbing yang terserang penyakit jamur upas di lokasi penelitian.

Gambar 9. Tanaman Belimbing yang Terkena Serangan Penyakit Jamur Upas (kiri), Batang Belimbing yang Terserang Penyakit Jamur Upas Diolesi Kapur (tengah) dan Bagian Bawah Tanaman Belimbing yang Terserang Penyakit Jamur Upas Telah Dikerok oleh Petani (kanan) di Lokasi Penelitian Tahun 2011 83

3) Bercak Daun Cercospora Bercak daun ini disebabkan oleh jamur Cercospora averrhoae. Penyakit ini menyerang daun, tangkai daun dan batang muda. Penyakit ini menyebabkan terjadinya bercak-bercak pada daun dengan tepi daun berwarna cokelat tua atau ungu. Serangan yang hebat dapat menyebabkan daun kuning hingga rontok. Pengendalian dapat dilakukan dengan menyemprotkan fungisida Kaptafol atau fungisida Difolatan. 4) Ulat Penggerek Buah Ulat penggerek buah merupakan organisme pengganggu tanaman belimbing yang masih sulit untuk diberantas/dikendalikan oleh para petani belimbing di lokasi penelitian. Petani masih belum menemukan cara yang tepat untuk mengatasi OPT jenis ini, oleh karena itu bantuan dari pihak-pihak yang mengetahui dan mengerti cara penanganan OPT jenis ini sangat diperlukan petani belimbing dewa di Kota Depok guna meningkatkan mutu dan produktivitas belimbing yang mereka usahakan. Gambar 10

memperlihatkan buah belimbing di kebun petani responden yang terserang hama ulat penggerek buah ketika belimbing belum dibungkus. Karena telah terserang hama ulat penggerek buah maka belimbing tidak dapat dibungkus dan harus dibuang.

Gambar 10. Belimbing yang Terkena Hama Ulat Penggerek Buah di Lokasi Penelitian Tahun 2011 5.3.6 Penjarangan dan Pembungkusan Buah Belimbing Dewa Penjarangan buah merupakan kegiatan mengurangi jumlah buah pada tanaman belimbing guna meningkatkan ukuran dan mutu buah yang akan dihasilkan. Kegiatan ini dilakukan pada saat buah berukuran 2-3 cm atau saat

84

buah berumur 15-20 hari sejak bunga mekar. Buah yang dibuang adalah buah yang bentuk dan ukurannya tidak normal, buah yang terserang OPT, buah yang terdapat diujung ranting/cabang serta buah yang memiliki tangkai buah kurus. Buah yang tidak sesuai dengan kriteria akan dibuang dan dilakukan penjarangan. Buah hasil penjarangan ditimbun ke dalam tanah atau sebagai pakan ternak.

Gambar 11.

Penjarangan Buah Belimbing (kiri) dan Pembungkusan Buah Belimbing (kanan) di Lokasi Penelitian Tahun 2011

Pembungkusan buah dilakukan pada buah muda yang telah berukuran tiga sentimeter (buah yang telah dijarangkan kemudian dibungkus) guna mencegah buah dari gangguan organisme pengganggu tanaman, menghindari buah dari pencemaran pestisida serta meningkatkan mutu buah yaitu buah cepat besar, bersih dan berpenampilan menarik. Bahan pembungkus buah yang digunakan oleh petani responden di lokasi penelitian adalah karbon dan plastik hitam perak. Namun, karena keberadaan karbon yang mulai langka di pasaran maka petani lebih beralih ke pembungkus berbahan plastik hitam perak. Kegiatan penjarangan dan pembungkusan buah ini biasanya dilakukan dalam satu waktu yang bersamaan.

Gambar 12. Kegiatan Penjarangan dan Pembungkusan Buah Belimbing Dilakukan dalam Waktu yang Bersamaan 85

5.3.7 Panen Sebelum melakukan kegiatan pemanenan, sebaiknya dilakukan terlebih dahulu pengamatan pada buah yang akan dipanen. Hal ini dilakukan untuk memperoleh buah yang sesuai tingkat kematangan dan waktu pemetikan yang tepat. Pemanenan buah di lokasi penelitian, biasanya dilakukan oleh para petani setelah 30-45 hari dari masa pembungkusan buah. Buah sudah bisa dipanen saat telah memasuki indeks kematangan buah IV. Indeks kematangan IV dipilih dengan tujuan agar buah tidak cepat busuk dalam proses penyimpanan. Ciri indeks kematangan buah dapat dilhat pada Tabel 31. Hasil panen buah belimbing dibagi menjadi tiga kelas (grade). Tabel 31. Ciri-ciri Indeks Kematangan Buah Belimbing Dewa di Kota Depok Indeks Ciri-Ciri Buah Belimbing Dewa Kematangan Buah Indeks I Buah berwarna hijau keputihan Indeks II Buah berwarna putih kekuningan Indeks III Buah berwarna kuning kehijauan Indeks IV Buah berwarna kuning tua kehijauan Indeks V Buah berwarna kuning kemerahan Indeks VI Buah berwarna oranye kemerahan Indeks VII Buah berwarna oranye kemerahan, buah terlalu matang Sumber : Dinas Pertanian Kota Depok (2007) Target hasil panen buah belimbing yang diharapkan dicapai dari penerapan SOP belimbing dewa Kota Depok menyangkut tiga aspek yaitu (1) Produktivitas setiap pohon per tahun (tiga kali panen), untuk tanaman yang berumur 2 4 tahun memiliki 500 buah/pohon/tahun, tanaman berumur 5 9 tahun sebanyak 500 1.200 buah/pohon/tahun dan tanaman yang berumur > 15 tahun sebanyak 2.000 buah/pohon/tahun; (2) Mutu buah hasil panen yaitu tidak cacat, bebas cemaran fisik (burik, kotoran dan tanah), ukuran buah seragam sesuai kelas/grade, tidak memar atau bonyok, bebas cemaran organisme pengganggu tanaman dan pestisida, dan warna serta bentuk buah seragam (sesuai dengan umur panen dan varietas); dan (3) Proporsi kelas buah hasil panen berdasarkan berat buah atau jumlah buah per kilogram dari setiap pohon yaitu grade A (berat buah lebih dari 250 gram/buah) sebanyak 40 persen, grade B (berat buah di antara 200 sampai

86

250 gram/buah) sebanyak 50 persen dan grade C (berat buah kurang dari 200 gram/buah) sebanyak 10 persen. Pemetikan buah pada saat panen dilakukan dengan menggunakan gunting stek dan alat bantu berupa tangga yang bertujuan untuk menjangkau buah belimbing yang terdapat pada ujung cabang. Buah yang telah dipetik, kemudian diletakkan diatas keranjang bambu atau keranjang plastik. Kertas karbon yang digunakan sebagai pembungkus buah tersebut kemudian dikumpulkan pada kantong plastik untuk digunakan pada periode selanjutnya.

Gambar 13. Hasil Panen Belimbing Petani di Lokasi Penelitian Tahun 2011 5.4 Gambaran Umum Pemasaran Komoditas Belimbing Dewa di Lokasi Penelitian Berdasarkan penelusuran informasi di lokasi penelitian, petani responden menjual hasil panen belimbingnya kepada Puskop, pengumpul (tengkulak), pedagang besar, pedagang pengecer, dan konsumen langsung. Namun sebagian besar petani responden menjualnya ke Puskop (28,85 persen) dan

pengumpul/tengkulak (55,77 persen). 5.4.1 Pusat Koperasi Pemasaran Buah dan Olahan Belimbing Dewa Depok Dari segi pemasaran, pemerintah Kota Depok melalui Dinas Pertanian Kota Depok telah memfasilitasi terbentuknya Pusat Koperasi Pemasaran Buah dan Olahan Belimbing Dewa Depok (Puskop) yang bertugas untuk memasarkan hasil buah dan olahan belimbing dari para petani Kota Depok. Sesungguhnya, Puskop dibentuk berdasarkan inisiasi dan kesepakatan bersama para petani belimbing di Kota Depok serta seluruh stakeholders lainnya (Dinas Pertanian Kota Depok,

87

KTNA, APEBEDE, dan lain-lain). Puskop resmi didirikan pada tanggal 30 Oktober 2007 dan mulai beroperasi pada Januari 2008. Selama bulan NovemberDesember 2007, Puskop melakukan persiapan manajerial yaitu dengan mengadakan recruitment sumberdaya manusia (tenaga kerja). Pengoperasian Puskop dilakukan pada saat yang sangat tepat karena pada saat itu merupakan masa panen raya belimbing Kota Depok yang hanya terjadi setiap 2-3 tahun sekali. Sehingga pada saat itu Puskop dapat langsung berperan dalam upaya mengakomodasi pemasaran hasil panen petani belimbing, yang sebelumnya sangat bergantung kepada para tengkulak.

Gambar 14. Gedung Puskop (kiri) dan Papan Nama Puskop (kanan) Puskop dibentuk guna membuat pemasaran belimbing di Kota Depok menjadi satu pintu. Hal ini dilakukan dalam rangka meningkatkan pendapatan petani belimbing sekaligus menjadikan Kota Depok sebagai sentra produksi belimbing sehingga belimbing dapat menjadi icon Kota Depok. Namun, petani responden di lokasi penelitian yang menjual hasil panennya kepada Puskop hanya sebanyak 28,85 persen. Sebagian besar petani responden masih menjual hasil panennya kepada para tengkulak (55,77 persen). Hal ini menunjukkan bahwa tujuan dari pembentukan Puskop untuk menjadikan pemasaran belimbing di Kota Depok menjadi satu pintu masih belum tercapai. Sebagian besar alasan petani menjual hasil panennya kepada pihak selain Puskop adalah karena sistem pembayaran yang lebih cepat atau kontan (cash). Sistem pembayaran yang dilakukan oleh Puskop yaitu dengan menyerahkan faktur pembayaran kepada petani dan faktur tersebut dicairkan setelah 3 7 hari kemudian. Kondisi ini dapat menjadi bahan pertimbangan bagi Puskop agar memperbaiki sistem

pembayarannya. Jika Puskop tidak dapat melakukan pembayaran kontan secara 88

langsung, sebaiknya Puskop dapat memberikan down payment (DP) sebesar 15-25 persen pada saat petani menyerahkan hasil panennya dan melunasinya sesuai dengan sistem yang telah diterapkan oleh Puskop yaitu melunasi setelah 3 7 hari kemudian. Puskop merupakan mitra binaan bagi petani. Puskop tidak hanya membeli belimbing dari petani tetapi juga memperhatikan kebutuhan usahatani belimbing petani di antaranya yaitu dengan memberikan bantuan berupa alat-alat produksi (bekerjasama dengan Dinas Pertanian Kota Depok), membantu pemasaran serta membantu permodalan bagi petani (bekerjasama dengan Bank Mandiri). Selain itu, Puskop juga berfungsi untuk menguatkan bargaining position petani belimbing, khususnya dalam menghadapi pasar. Saat ini, Puskop memiliki anggota sebanyak 300 petani belimbing, namun petani yang loyal dan mendapat bantuan pinjaman Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL) Bank Mandiri hanya sebanyak 150 orang dari semua kecamatan di Kota Depok. Ratarata hasil panen petani sebanyak 2-3 ton per minggu. Pada saat hasil produksi belimbing petani lemah/sedikit, Puskop tidak memberi batasan pemetikan atau pengiriman belimbing dari petani ke Puskop. Tetapi jika sedang panen raya/produksi melimpah, Puskop membatasi pemetikan/pengiriman belimbing maksimal 3 ton per hari. Perlakuan lanjutan yang dilakukan Puskop terhadap belimbing yang dihasilkan petani adalah sortasi, grading, pelabelan, dan packaging. Kemudian, Puskop menjualnya kepada Carefour, Makro (Lottemart), Alfa Retailindo, Total Buah, Yogya Bandung, outlet buah (Greenfield Cibubur, All Fresh, Frutterry, Papaho) dan Pasar-pasar Tradisional. Namun, saat ini Puskop hanya memiliki tiga pelanggan tetap yaitu carefour, toko total buah dan pasar induk Kramat Jati. Harga belimbing yang dijual oleh petani dihargai oleh Puskop dengan kisaran harga untuk masing-masing grade yaitu grade A adalah Rp 6.000-7.000 per kg, grade B Rp 5.000-5.500 per kg, dan grade C Rp 1.500-2.000 per kg. Harga ini jauh lebih baik/tinggi dibandingkan dengan harga yang diberikan oleh tengkulak. Tengkulak biasanya membeli belimbing kepada petani dengan sistem borongan (membeli per keranjang dan tidak diklasifikasikan), dimana untuk grade A dan B dihargai sama yaitu Rp 3.500 Rp 5.000 per kg dan untuk grade C

89

merupakan bonus (dibawa saja oleh tengkulak atau jika dihargai sangat murah, misal Rp 50.000 per keranjang). Sehingga harga yang diberikan oleh Puskop lebih tinggi dibandingkan oleh tengkulak, dengan perbedaan harga berkisar antara Rp 1.500 Rp 3.500 per kg. Sedangkan untuk grade C, tengkulak tidak menghargai sama sekali (dianggap bonus) sedangkan Puskop masih mau menghargai Rp 1.500 Rp 2.000 per kg. Puskop memiliki kendala dalam permodalan dan pengembalian pinjaman PKBL Bank Mandiri yang diberikan kepada petani melalui Puskop (sebagai penjamin) karena adanya kredit macet petani. Hal ini terjadi karena adanya moral hazard yang dilakukan salah satu oknum pada saat pendataan petani yang mendapatkan bantuan pinjaman, sehingga banyak data petani fiktif. Oleh karena itu, pada saat pembayaran pinjaman banyak petani yang tidak membayar pinjaman dikarenakan fiktif. Oknum tersebut kini sudah tidak menjadi bagian dari Puskop. Saldo Puskop yang telah tertarik ke rekening Bank Mandiri untuk membayar kredit macet petani adalah sebanyak Rp 160 juta selama dua tahun terakhir ini. Selain itu, pembayaran cicilan kredit ke Bank Mandiri adalah setiap bulan, sedangkan Puskop menerima pembayaran dari petani (menggunakan belimbing yang diserahkan kepada Puskop) setiap tiga bulan sekali sehingga Puskop juga sering menalangi terlebih dahulu cicilan tersebut setiap bulannya. Sehingga lamakelamaan modal Puskop menjadi berkurang dan menyebabkan kondisi keuangan Puskop melemah. Adapun solusi yang diharapkan dari pemerintah untuk mengatasi kendala yang dihadapi oleh Puskop tersebut antara lain adalah (1) Pemerintah membantu membuatkan surat sakti pemasaran untuk semua pasar retail di Kota Depok agar bersedia membeli belimbing dari Puskop; (2) Melakukan penyuluhan yang intensif kepada petani agar dapat memproduksi belimbing yang baik; (3) Mendorong masyarakat Depok untuk lebih mengerti, mengenal dan

mengkonsumsi belimbing; (4) Membuat Belimbing Center; (5) Memberikan bantuan kredit modal kepada Puskop untuk kelancaran proses produksi; dan (6) Mendorong seluruh jajaran pemerintahan untuk turut mendukung belimbing sebagai icon kota, tidak hanya Dinas Pertanian tetapi seluruh dinas yang ada di

90

Kota Depok saling bahu-membahu membantu penguatan citra belimbing sebagai icon Kota Depok. 5.4.2 Pengumpul (Tengkulak) Berdasarkan hasil pengamatan di lokasi penelitian, sebanyak 55,77 persen petani responden menjual hasil panennya kepada para pengumpul/tengkulak. Ada banyak pengumpul/tengkulak yang menjadi tempat penyaluran belimbing yang dihasilkan oleh para petani di Kota Depok. Namun, hanya ada enam orang yang termasuk pengumpul/tengkulak besar yaitu berasal dari Kecamatan Pancoran Mas sebanyak tiga orang, Kecamatan Sawangan sebanyak satu orang, Kecamatan Beji sebanyak satu orang dan Kelurahan Kelapa dua sebanyak satu orang. Para pengumpul/tengkulak besar ini biasanya menjual kembali belimbing yang telah dibelinya kepada para pedagang besar, pedagang pengecer maupun langsung kepada konsumen akhir. Umumnya harga yang diberikan oleh

pengumpul/tengkulak kepada petani tidak terlalu tinggi sehingga petani cukup dirugikan. Namun petani masih sering dan suka menjual belimbing yang dihasilkannnya kepada pengumpul/tengkulak karena sistem pembayaran yang dilakukan oleh pengumpul/tengkulak lebih cepat (cash). Selain itu, jika petani kesulitan dalam hal permodalan untuk usahataninya, petani dapat meminjam dengan cepat kepada para pengumpul/tengkulak langganannya. Petani responden di Kecamatan Cipayung yang menjual hasil panennya kepada pengumpul/tengkulak sebanyak 38,46 persen. Biasanya mereka menjual kepada pengumpul/tengkulak yang berasal dari berbagai wilayah yang berada di Kota Depok yang telah menjadi langganan mereka sebelum didirikannya Puskop. Sedangkan, petani responden dari Kecamatan Pancoran Mas yang menjual belimbingnya kepada pengumpul/tengkulak adalah sebanyak 73,07 persen. Petani responden tersebut sebagian besar menjualnya kepada satu orang

pengumpul/tengkulak besar yang berasal dari wilayah yang sama yaitu Kecamatan Pancoran Mas. Pengumpul ini memiliki branding Star Fresh untuk belimbing yang dijualnya ke pasaran. Biasanya pengumpul tersebut akan mendistribusikan kembali belimbing yang diperolehnya kepada pedagang besar (Carefour dan pasar induk) dan pedagang pengecer (pasar-pasar tradisional serta toko-toko buah yang berada di wilayah jabodetabek). Hal ini menunjukkan pengumpul tersebut telah

91

memiliki manajemen yang cukup baik karena telah memiliki branding dan saluran pemasaran yang kontinu serta petani yang cukup loyal. 5.4.3 Kegiatan Ekspor Belimbing Dewa di Lokasi Penelitian Kegiatan ekspor belimbing di Kota Depok sejauh ini masih dalam bentuk penjajakan ke Arab Saudi dan Singapura. Puskop sendiri pernah mendapatkan tawaran dari Negara Jepang untuk mengekspor belimbingnya, namun Puskop menolaknya mengingat belum adanya kontinuitas belimbing dari para petani serta belum siapnya perlengkapan logistik yang dibutuhkan untuk melakukan kegiatan ekspor seperti mobil kontainer dan lain-lain. Dinas Pertanian Kota Depok juga mengemukakan bahwa saat ini Dinas Pertanian sedang melakukan persiapan untuk membuat SOP Ekspor belimbing dewa Kota Depok. Selama di lokasi penelitian, dirasakan pula bahwa para petani belimbing pun belum memiliki kesiapan penuh. Hal ini terlihat dari sertifikasi kebun yang belum dimiliki petani serta penggunaan pestisida kimia yang masih cukup tinggi (akan memengaruhi kadar residu pada buah belimbing yang akan diekspor). Keterangan dari penyuluh pertanian di Kota Depok, dari 320 orang petani belimbing di Kota Depok baru sekitar 18 orang petani yang mulai menerapkan sistem organik dalam usahatani belimbing yang dijalankannya. Berdasarkan informasi yang diperoleh di lokasi penelitian, dapat disimpulkan kegiatan Ekspor belimbing dewa di Kota Depok sejauh ini masih belum berjalan. Namun, ke depannya seluruh stakeholders agribisnis belimbing dewa di Kota Depok (petani, pemerintah, koperasi, pengusaha dan lain-lain) berharap dapat melakukan kegiatan tersebut. Oleh karena itu, saat ini seluruh stakeholders masih dalam masa persiapan dan pembenahan diri. Penelitian ini pun diharapkan dapat membantu persiapan kegiatan ekspor tersebut dengan menunjukkan gambaran mengenai dayasaing belimbing dewa di Kota Depok. Sehingga kita dapat mengetahui sejauh mana tingkat dayasaing belimbing dewa di Kota Depok, mampukah bersaing jika dilakukan kegiatan ekspor serta mengetahui apakah kebijakan pemerintah selama ini telah memberikan dukungan atau justru menghambat dayasaing komoditas belimbing dewa di Kota Depok.

92

5.5

Kebijakan Pemerintah terhadap Komoditas Belimbing Dewa di Kota Depok Perkembangan dan pembangunan agribisnis belimbing dewa di Kota

Depok tidak terlepas dari sentuhan peran pemerintah. Kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah diindikasi dapat memengaruhi kondisi dayasaing komoditas belimbing dewa di Kota Depok. Kebijakan pemerintah yang diindikasi dapat memengaruhi kondisi dayasaing sistem komoditas belimbing dewa di Kota Depok, di antaranya adalah sebagai berikut : a) Intervensi Pemerintah Daerah Kota Depok Sebelum diluncurkannya program belimbing sebagai icon Kota Depok, pemerintah daerah Kota Depok telah lama melakukan persiapan agar belimbing dapat menjadi icon kota. Beberapa kegiatan yang telah dilakukan oleh pemerintah sejak tahun 2007 dalam upaya mempersiapkan belimbing sebagai icon kota adalah memfasilitasi pembuatan Standard Operational Procedure (SOP) dan Good Agriculture Practice (GAP) belimbing dewa Depok serta melakukan pembinaan dan pelatihan kepada petani dalam menerapkan SOP dan GAP tersebut guna mendorong peningkatan produktivitas dan kualitas belimbing yang dihasilkan oleh petani, melakukan pengembangan pasar dan pemasaran belimbing dengan mendukung dan memfasilitasi pendirian Pusat Koperasi Pemasaran Buah dan Olahan Belimbing Dewa Depok (Puskop) serta membantu pengembangan industri olahan belimbing dalam rangka meningkatkan nilai tambah yaitu dengan melakukan pelatihan-pelatihan mengenai produk-produk turunan (pengolahan) dari belimbing kepada masyarakat serta memfasilitasi pendirian pabrik pengolahan belimbing. Pemerintah Kota Depok secara resmi mengumumkan bahwa belimbing ditetapkan menjadi icon Kota Depok pada tanggal 21 Juli 2009. Pencanangan tersebut dilakukan bertepatan pada diselenggarakannya Peringatan Hari Krida Pertanian ke-37 Tingkat Provinsi Jawa Barat, dimana Kota Depok menjadi tuan rumah pada saat itu. Dalam perjalanannya, pemerintah Kota Depok juga telah memberikan insentif input produksi kepada para petani belimbing di Kota Depok berupa pemberian bibit tanaman belimbing dewa, pupuk, pestisida, pembungkus buah belimbing, pompa air serta menyalurkan dana bantuan program Peningkatan Usaha Agribisnis Pedesaan (PUAP) yang dikelola oleh kelompok tani. 93

b) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 241/PMK.011/2010 Pada tanggal 22 Desember 2010, pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.241/PMK.011/2010 yang menjadi dasar kebijakan kenaikan bea masuk atas impor barang. PMK No.241/PMK.011/2010 merupakan perubahan keempat dari PMK Nomor 110/2006 tentang penetapan sistem klasifikasi barang dan pembebanan tarif bea masuk atas barang impor. Perubahan ini terjadi dalam rangka melaksanakan program harmonisasi tarif bea masuk Indonesia tahun 2005-2010 sebagaimana ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 591/KMK.010/2004 tentang program harmonisasi Tarif bea masuk 2005-2010 untuk produk-produk pertanian, perikanan, pertambangan, farmasi, keramik, dan besi baja. Berdasarkan peraturan tersebut, produk bahan baku yang diimpor seperti pupuk dan obat-obatan mengalami kenaikan bea masuk (pajak impor) sehingga akan berdampak terhadap naiknya harga pupuk dan obat-obatan. Adanya peningkatan harga pupuk dan obat-obatan akan meningkatkan biaya produksi pengusahaan belimbing dewa di Kota Depok, yang akhirnya akan memengaruhi tingkat keuntungan yang diperoleh petani. c) Peraturan Pemerintah nomor 7 tahun 2007 Produk primer pertanian yang merupakan kebutuhan pokok seperti beras, gabah, jagung, sagu, kedelai, dan garam bukan merupakan Barang Kena Pajak (non BKP) sehingga tidak pernah dan tidak akan dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Produk primer pertanian selain itu termasuk dalam pengertian Barang Kena Pajak (BKP) yang atas penyerahan dan atau impornya terutang PPN. Apabila produk primer pertanian seperti buah-buahan tidak dikenakan PPN maka atas impor produk yang sama juga tidak dapat dikenakan PPN. Hal ini sesuai dengan aturan internasional, dalam hal suatu negara tidak mengenakan PPN atas suatu komoditas, maka ketentuan tersebut harus diberlakukan sama terhadap komoditas dalam negeri maupun impornya. Menurut pemerintah kondisi seperti itu akan melemahkan dayasaing produk primer pertanian dalam negeri, karena atas produk primer pertanian yang diimpor tidak dikenakan PPN, sedangkan produk primer pertanian dalam negeri masih terdapat unsur PPN yaitu yang dibayar pada saat membeli pupuk dan atau peralatan pertanian.

94

Dengan

demikian,

input-input

produksi

yang

dibutuhkan

dalam

pengusahaan belimbing dewa di Kota Depok seperti peralatan pertanian, pupuk dan obat-obatan yang digunakan oleh petani diindikasi terkena PPN. Hal tersebut akan berdampak pada harga-harga input produksi ditingkat petani menjadi lebih tinggi dari kondisi tanpa adanya kebijakan tersebut (pada saat kondisi pasar persaingan sempurna atau tanpa adanya intervensi pemerintah maupun distorsi pasar). Hal ini akan menyebabkan biaya produksi menjadi lebih tinggi dan akan memengaruhi tingkat keuntungan yang diterima petani.

95