pemberdayaan

21
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pemberdayaan Masyarakat Pemberdayaan masyarakat sebagai sebuah strategi, sekarang telah banyak diterima, bahkan telah berkembang dalam berbagai literatur di dunia barat. Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Pembangunan Sosial di Kopenhagen tahun 1992 juga telah memuatnya dalam berbagai kesepakatannya. Namun, upaya mewujudkannya dalam praktik pembangunan tidak selalu berjalan mulus. Banyak pemikir dan praktisi yang belum memahami dan mungkin tidak meyakini bahwa konsep pemberdayaan merupakan alternatif pemecahan terhadap dilema-dilema pembangunan yang dihadapi. Mereka yang berpegang pada teori-teori pembangunan model lama juga tidak mudah untuk menyesuaikan diri dengan pandangan-pandangan dan tuntutan-tuntutan keadilan. Mereka yang tidak nyaman terhadap konsep partisipasi dan demokrasi dalam pembangunan tidak akan merasa tentram dengan konsep pemberdayaan ini. Lebih lanjut, disadari pula adanya berbagai bias terhadap pemberdayaan masyarakat sebagai suatu paradigma baru pembangunan. Pemberdayaan masyarakat adalah sebuah konsep pembangunan ekonomi yang merangkum nilai-nilai sosial. Konsep ini mencerminkan paradigma baru pembangunan, yakni yang bersifat “partisipasi (participatory), pemberdayaan (empowering), dan berkelanjutan (sustainable)” (Chambers, 1995 dalam Kartasasmita, 1996). Universitas Sumatera Utara

Transcript of pemberdayaan

Page 1: pemberdayaan

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pemberdayaan Masyarakat

Pemberdayaan masyarakat sebagai sebuah strategi, sekarang telah banyak

diterima, bahkan telah berkembang dalam berbagai literatur di dunia barat.

Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Pembangunan Sosial di Kopenhagen tahun 1992

juga telah memuatnya dalam berbagai kesepakatannya. Namun, upaya

mewujudkannya dalam praktik pembangunan tidak selalu berjalan mulus.

Banyak pemikir dan praktisi yang belum memahami dan mungkin tidak

meyakini bahwa konsep pemberdayaan merupakan alternatif pemecahan terhadap

dilema-dilema pembangunan yang dihadapi. Mereka yang berpegang pada teori-teori

pembangunan model lama juga tidak mudah untuk menyesuaikan diri dengan

pandangan-pandangan dan tuntutan-tuntutan keadilan. Mereka yang tidak nyaman

terhadap konsep partisipasi dan demokrasi dalam pembangunan tidak akan merasa

tentram dengan konsep pemberdayaan ini. Lebih lanjut, disadari pula adanya berbagai

bias terhadap pemberdayaan masyarakat sebagai suatu paradigma baru pembangunan.

Pemberdayaan masyarakat adalah sebuah konsep pembangunan ekonomi yang

merangkum nilai-nilai sosial. Konsep ini mencerminkan paradigma baru

pembangunan, yakni yang bersifat “partisipasi (participatory), pemberdayaan

(empowering), dan berkelanjutan (sustainable)” (Chambers, 1995 dalam

Kartasasmita, 1996).

Universitas Sumatera Utara

Page 2: pemberdayaan

Konsep ini lebih luas dari hanya semata-mata memenuhi kebutuhan dasar

(basic needs) atau menyediakan mekanisme untuk mencegah proses pemiskinan lebih

lanjut (safety net), yang pemikirannya belakangan ini banyak dikembangkan sebagai

upaya mencari alternatif terhadap konsep-konsep pertumbuhan dimasa yang lalu.

Lahirnya konsep pemberdayaan sebagai antitesa terhadap model

pembangunan yang kurang memihak pada rakyat mayoritas. Konsep ini dibangun

dari kerangka logik sebagai berikut: (1) bahwa proses pemusatan kekuasaan

terbangun dari pemusatan kekuasaan faktor produksi; (2) pemusatan kekuasaan faktor

produksi akan melahirkan masyarakat pekerja dan masyarakat pengusaha pinggiran;

(3) kekuasaan akan membangun bangunan atas atau system pengetahuan, sistem

politik, sistem hukum dan sistem ideologi yang manipulative untuk memperkuat

legitimasi; dan (4) pelaksanaan sistem pengetahuan, system politik, sistem hukum

dan ideologi secara sistematik akan menciptakan dua kelompok masyarakat, yaitu

masyarakat berdaya dan masyarakat tunadaya (Prijono dan Pranarka, 1996). Akhirnya

yang terjadi ialah dikotomi, yaitu masyarakat yang berkuasa dan manusia yang

dikuasai. Untuk membebaskan situasi menguasai dan dikuasai, maka harus dilakukan

pembebasan melalui proses pemberdayaan bagi yang lemah (empowerment of the

powerless).

Alur pikir di atas sejalan dengan terminologi pemberdayaan itu sendiri atau

yang dikenal dengan istilah empowerment yang berawal dari kata daya (power). Daya

dalam arti kekuatan yang berasal dari dalam tetapi dapat diperkuat dengan unsur–

unsur penguatan yang diserap dari luar. Ia merupakan sebuah konsep untuk

Universitas Sumatera Utara

Page 3: pemberdayaan

memotong lingkaran setan yang menghubungkan power dengan pembagian

kesejahteraan. Keterbelakangan dan kemiskinan yang muncul dalam proses

pembangunan disebabkan oleh ketidakseimbangan dalam pemilikan atau akses pada

sumber–sumber power. Proses historis yang panjang menyebabkan terjadinya power

dis powerment, yakni peniadaan power pada sebagian besar masyarakat, akibatnya

masyarakat tidak memiliki akses yang memadai terhadap akses produktif yang

umumnya dikuasai oleh mereka yang memiliki power. Pada gilirannya

keterbelakangan secara ekonomi menyebabkan mereka makin jauh dari kekuasaan.

Begitulah lingkaran setan itu berputar terus. Oleh karena itu, pemberdayaan bertujuan

dua arah. Pertama, melepaskan belenggu kemiskinan, dan keterbelakangan. Kedua,

memperkuat posisi lapisan masyarakat dalam struktur ekonomi dan kekuasaan.

Secara konseptual, pemberdayaan masyarakat adalah upaya untuk

meningkatkan harkat dan martabat lapisan masyarakat yang dalam kondisi sekarang

tidak mampu untuk melepaskan diri dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan.

Dengan kata lain memberdayakan adalah memampukan dan memandirikan

masyarakat.

Menurut Prijono dan Pranarka (1996), dalam konsep pemberdayaan, manusia

adalah subyek dari dirinya sendiri. Proses pemberdayaan yang menekankan pada

proses memberikan kemampuan kepada masyarakat agar menjadi berdaya,

mendorong atau memotivasi individu agar mempunyai kemampuan atau keberdayaan

untuk menentukan pilihan hidupnya. Lebih lanjut dikatakan bahwa pemberdayaan

harus ditujukan pada kelompok atau lapisan masyarakat yang tertinggal.

Universitas Sumatera Utara

Page 4: pemberdayaan

Menurut Sumodiningrat (1999), bahwa pemberdayaan masyarakat merupakan

upaya untuk memandirikan masyarakat lewat perwujudan potensi kemampuan yang

mereka miliki. Adapun pemberdayaan masyarakat senantiasa menyangkut dua

kelompok yang saling terkait, yaitu masyarakat sebagai pihak yang diberdayakan dan

pihak yang menaruh kepedulian sebagai pihak yang memberdayakan.

Mubyarto (1998) menekankan bahwa terkait erat dengan pemberdayaan

ekonomi rakyat. Dalam proses pemberdayaan masyarakat diarahkan pada

pengembangan sumberdaya manusia (di pedesaan), penciptaan peluang berusaha

yang sesuai dengan keinginan masyarakat. Masyarakat menentukan jenis usaha,

kondisi wilayah yang pada gilirannya dapat menciptakan lembaga dan system

pelayanan dari, oleh dan untuk masyarakat setempat. Upaya pemberdayaan

masyarakat ini kemudian pada pemberdayaan ekonomi rakyat.

Keberdayaan dalam konteks masyarakat adalah kemampuan individu yang

bersenyawa dalam masyarakat dan membangun keberdayaan masyarakat yang

bersangkutan. Suatu masyarakat yang sebagian besar anggotanya sehat fisik dan

mental, terdidik dan kuat, tentunya memiliki keberdayaan yang tinggi.

Keberdayaan masyarakat merupakan unsur dasar yang memungkinkan suatu

masyarakat bertahan, dan dalam pengertian yang dinamis mengembangkan diri dan

mencapai kemajuan. Keberdayaan masyarakat itu sendiri menjadi sumber dari apa

yang di dalam wawasan politik disebut sebagai ketahanan nasional. Artinya bahwa

apabila masyarakat memiliki kemampuan ekonomi yang tinggi, maka hal tersebut

merupakan bagian dari ketahanan ekonomi nasional.

Universitas Sumatera Utara

Page 5: pemberdayaan

Dalam kerangka pikir inilah upaya memberdayakan masyarakat pertama-tama

haruslah dimulai dengan menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan

potensi masyarakat berkembang. Di sini titik tolaknya adalah pengenalan bahwa

setiap manusia, setiap masyarakat, memiliki potensi yang dapat dikembangkan.

Artinya, bahwa tidak ada masyarakat yang sama sekali tanpa daya, karena kalau

demikian akan punah. Pemberdayaan adalah upaya untuk membangun daya itu

sendiri, dengan mendorong, memotivasi dan membangkitkan kesadaran akan potensi

yang dimilikinya serta berupaya untuk mengembangkannya.

Selanjutnya, upaya tersebut diikuti dengan memperkuat potensi atau daya

yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Dalam konteks ini diperlukan langkah-

langkah lebih positif, selain dari hanya menciptakan iklim dan suasana yang kondusif.

Perkuatan ini meliputi langkah-langkah nyata, dan menyangkut penyediaan berbagai

masukan (input), serta pembukaan akses kepada berbagai peluang (opportunities)

yang akan membuat masyarakat menjadi makin berdaya (Kartasasmita, 1996).

Dengan demikian, pemberdayaan bukan hanya meliputi penguatan individu

anggota masyarakat, tetapi juga pranata-pranatanya. Menanamkan nilai-nilai budaya

modern seperti kerja keras, hemat, keterbukaan, kebertanggungjawaban dan lain-lain

yang merupakan bagian pokok dari upaya pemberdayaan itu sendiri.

Pemberdayaan yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah pemberdayaan

sektor informal, khususnya kelompok pedagang kaki lima sebagai bagian dari

masyarakat yang membutuhkan penanganan/pengelolaan tersendiri dari pihak

pemerintah yang berkaitan dengan upaya peningkatan kualitas sumberdaya yang

Universitas Sumatera Utara

Page 6: pemberdayaan

mereka miliki yang pada gilirannya akan mendorong peningkatan pendapatan/profit

usaha sehingga mampu memberikan kontribusi terhadap penerimaan pendapatan

daerah dari sektor retribusi daerah.

2.2. Pedagang Kreatif Lapangan (PKL) dalam Sektor Informal

Pedagang Kreatif Lapangan (PKL) atau yang sebelumnya disebut Pedagang

Kaki Lima.

Istilah pedagang kaki lima sebenarnya telah ada dari jaman Raffles yaitu

berasal dari istilah 5 feet yang berarti jalur dipinggir jalan selebar lima kaki. Di

Amerika, pedagang semacam ini disebut dengan Hawkers yang memiliki pengertian

orang-orang yang menawarkan barang dan jasa untuk dijual di tempat umum,

terutama di pinggir jalan dan trotoar (McGee dan Yeung dalam Surya, 2006).

Perubahan istilah Pedagang Kreatif Lapangan berdasarkan keputusan tiga

kementerian yakni Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Kementerian

Perdagangan, serta Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM).

Memakai konsep informalitas perkotaan dalam mencermati fenomena PKL di

perkotaan mengubah perspektif terhadap keberadaan mereka di perkotaan. PKL

bukanlah kelompok yang gagal masuk dalam sistem ekonomi perkotaan. PKL

bukanlah komponen ekonomi perkotaan yang menjadi beban bagi perkembangan

perkotaan. PKL adalah salah satu moda dalam transformasi perkotaan yang tidak

terpisahkan dari sistem ekonomi perkotaan. Masalah yang muncul berkenaan dengan

PKL ini adalah banyak disebabkan oleh kurangnya ruang untuk mewadahi kegiatan

PKL di perkotaan. Konsep perencanaan ruang perkotaan yang tidak didasari oleh

Universitas Sumatera Utara

Page 7: pemberdayaan

pemahaman informalitas perkotaan sebagai bagian yang menyatu dengan sistem

perkotaan akan cenderung mengabaikan tuntutan ruang untuk sektor informal

termasuk PKL (Rukmana, 2005).

2.2.1. Karakteristik PKL

Pedagang kreatif lapangan bermula tumbuh dan semakin berkembang dari

adanya krisis moneter yang melanda secara berkepanjangan yang menimpa Indonesia

pada tahun sekitar 1998 dimana salah satunya mengakibatkan terpuruknya kegiatan

ekonomi. Kebutuhan untuk tetap bertahan hidup dengan menciptakan lapangan

pekerjaan sendiri, menuntut masyarakat dengan modal dan ketrampilan terbatas

menjadi pedagang kaki lima. Fenomena tersebut tidak disertai dengan ketersediaan

wadah yang menaunginya dan seolah kurang memberi perhatian terhadap PKL.

Salah satu karakteristik sektor informal adalah cenderung menggunakan

sumber daya lokal dan tidak memiliki ijin resmi sehingga usaha sektor informal

sangat beraneka ragam seperti pedagang kaki lima, pedagang keliling, pedagang

eceran, tukang warung, tukang cukur, tukang becak, tukang sepatu, tukang loak,

buruh harian, serta usaha-usaha rumah tangga seperti pembuat tempe, tukang jahit,

tukang tenun, dan lain-lain (Herlianto, 1986).

Karakteristik aktivitas PKL dapat ditinjau baik dari sarana fisik, pola

penyebaran dan pola pelayanan dalam ruang perkotaan. Karakteristik dari PKL

dijabarkan oleh Simanjutak (1989) sebagai berikut:

1. Aktivitas usaha yang relatif sederhana dan tidak memiliki sistem kerjasama yang

rumit dan pembagian kerja yang fleksibel.

Universitas Sumatera Utara

Page 8: pemberdayaan

2. Skala usaha relatif kecil dengan modal usaha, modal kerja dan pendapatan yang

umumnya relatif kecil.

3. Aktivitas yang tidak memiliki izin usaha

Berikut ini akan dijabarkan mengenai karakteristik aktivitas PKL yang dilihat

dari segi sarana fisik dan pola pelayanan, yaitu sebagai berikut.

a. Sarana Fisik Berdagang PKL

Menurut McGee dan Yeung (Surya, 2006) bahwa di kota-kota Asia Tenggara

mempunyai bentuk dan sarana fisik dagangan PKL umumnya sangat sederhana

dan biasanya mudah untuk dipindah-pindah atau mudah dibawa dari satu tempat

ke tempat lainnya. Jenis sarana dagangan yang digunakan PKL sesuai dengan jenis

dagangan yang dijajakan. Sarana fisik PKL ini terbagi lagi menjadi jenis barang

dagangan dan jenis sarana usaha. Secara detail mengenai jenis dagangan dan

sarana usaha dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Jenis Dagangan

Menurut McGee dan Yeung (Surya, 2006), jenis dagangan PKL sangat

dipengaruhi oleh aktivitas yang ada di sekitar kawasan dimana PKL tersebut

beraktivitas. Sebagai contoh di kawasan perdagangan, maka jenis dagangannya

beraneka ragam seperti makanan atau minuman, kelontong, pakaian dan lain-

lain. Adapun jenis dagangan yang dijual oleh PKL secara umum dapat dibagi

menjadi:

a) Bahan mentah makanan dan makanan setengah jadi (Unprocessed and

semiprocessed foods). Termasuk pada jenis dagangan ini adalah bahan

Universitas Sumatera Utara

Page 9: pemberdayaan

mentah makanan seperti daging, buah dan sayuran. Selain itu juga dapat

berupa barang-barang setengah jadi seperti beras.

b) Makanan siap saji (Prepared food). Termasuk dalam jenis dagangan ini

berupa makanan atau minuman yang telah dimasak dan langsung disajikan

ditempat maupun dibawa pulang. Penyebaran fisik PKL ini biasanya

cenderung mengelompok dan homogen dengan kelompok mereka.

c) Non makanan (Non foods). Termasuk jenis barang dagangan yang tidak

berupa makanan contohnya adalah mulai dari tekstil sampai dengan obat-

obatan.

d) Jasa pelayanan (Services). Jasa pelayanan yang diperdagangkan adalah jasa

perorangan, seperti tukang membuat kunci, tukang membuat pigura,

reparasi jam dan lain-lain. Pola penyebarannya pada lokasi pusat pertokoan

dan pola pengelompokkannya membaur dengan jenis lainnya.

2. Sarana Usaha

PKL adalah pedagang yang didalam usahanya mempergunakan sarana yang

mudah dibongkar pasang/dipindahkan. Berdasarkan pengertian tersebut, berarti

bentuk fisik dagangan bagi PKL bukan merupakan bangunan permanen tetapi

bangunan yang mudah untuk dibongkar pasang dan dipindahkan.

Menurut Waworoentoe (Widjajanti, 2000), sarana fisik pedagang PKL dapat

dikelompokkan sebagai berikut:

Universitas Sumatera Utara

Page 10: pemberdayaan

1. Kios

Pedagang yang menggunakan bentuk sarana ini dikategorikan pedagang

yang menetap, karena secara fisik jenis ini tidak dapat dipindahkan.

Biasanya merupakan bangunan semi permanen yang dibuat dari papan.

2. Warung semi permanen

Terdiri dari beberapa gerobak yang diatur berderet yang dilengkapi dengan

meja dan bangkubangku panjang. Bentuk sarana ini beratap dari bahan terpal

atau plastik yang tidak tembus air. PKL dengan bentuk sarana ini

dikategorikan PKL menetap dan biasanya berjualan makanan dan minuman.

3. Gerobak/Kereta dorong

Bentuk sarana berdagang ini ada 2 jenis, yaitu gerobak/kereta dorong yang

beratap sebagai pelindungan untuk barang dagangan dari pengaruh panas,

debu, hujan dan sebagaianya serta gerobak/kereta dorong yang tidak beratap.

Sarana ini dikategorikan jenis PKL yang menetap dan tidak menetap.

Biasanya untuk menjajakan makanan, minuman serta rokok.

4. Jongkok/Meja

Bentuk sarana berdagang seperti ini dapat beratap atau tidak beratap. Sarana

seperti ini dikategorikan jenis PKL yang menetap.

5. Gelaran/Alas

Pedagang menjajakan barang dagangannya diatas kain, tikar dan lainnya

untuk menjajakan barang dagangannya. Bentuk sarana ini dikategorikan

Universitas Sumatera Utara

Page 11: pemberdayaan

PKL yang semi menetap dan umumnya sering dijumpai pada jenis barang

kelontong.

6. Pikulan/Keranjang

Sarana ini digunakan oleh para pedagang yang keliling (mobile hawkers)

atau semi menetap dengan menggunakan satu atau dua buah keranjang

dengan cara dipikul. Bentuk ini dimaksudkan agar barang dagangan mudah

untuk dibawa berpindah-pindah tempat.

b. Pola Pelayanan Kegiatan PKL

Pola pelayanan PKL erat kaitannya dengan sarana fisik dagangan PKL yang

digunakan dan jenis usahanya. Adapun menurut Hanarti (1999), pengelompokan

aktivitas perdagangan sektor informal berdasarkan pola pelayanan kegiatannya

dikategorikan atas fungsi pelayanan, golongan pengguna jasa, skala pelayanan dan

waktu pelayanan. Untuk lebih jelas terkait dengan pengkategorian tersebut dapat

diuraikan sebagai berikut.

1. Fungsi Pelayanan

Penentuan jenis fungsi pelayanan dari suatu aktivitas pedagang sektor informal

(PKL) dapat ditentukan dari dominasi kuantitatif jenis barang dan jasa yang

diperdagangkannya. Suatu lokasi aktivitas PKL dapat memiliki lebih dari satu

fungsi secara sekaligus. Peran dan fungsi yang dimiliki oleh aktivitas PKL

dalam kehidupan perkotaan secara umum dibagi menjadi tiga fungsi yang akan

diuraikan sebagai berikut:

Universitas Sumatera Utara

Page 12: pemberdayaan

a) Fungsi pelayanan perdagangan dan jasa

Aktivitas pedagang kaki lima merupakan bagian dari sistem perdagangan

kota khususnya dalam bidang pedagang eceran. PKL dalam hal ini berfungsi

memasarkan hasil produksi suatu barang dan jasa dari produsen sampai ke

konsumen akhir.

b) Fungsi pelayanan rekreasi

Aktivitas PKL memiliki fungsi sebagai hiburan yang bersifat rekreatif yaitu

hiburan sebagai selingan dari kesibukan dan rutinitas kegiatan perkotaan.

Fungsi rekreatif ini didapatkan dari suasana pelayanan yang diberikan

misalnya lokasi di alam terbuka dapat dipakai sebagai tempat santai, jalan-

jalan cuci mata, dan sebagainya.

c) Fungsi pelayanan sosial ekonomi

Aktivitas PKL secara umum telah dikemukakan memiliki fungsi sosial

ekonomi yang sangat luas bila dikelola dengan baik. Aktivitas PKL memiliki

fungsi sosial ekonomi yang dilihat berdasarkan pandangan masing-masing

pelaku yang terlibat didalamnya.

Berdasarkan pandangan penjaja maka aktivitasnya merupakan sumber

pendapatan bagi peningkatan kesejahteraan hidupnya. Bagi para pengguna

maka aktivitas PKL sangat membantu dalam penyediaan barang dan jasa

yang harganya relatif lebih murah daripada di toko atau supermaket.

Sedangkan bagi pemerintah kota maka aktivitas jasa sektor informal ini

Universitas Sumatera Utara

Page 13: pemberdayaan

sedikit banyak dapat membantu pemecahan masalah penyerapan tenaga

kerja dan pemerataan kesejahteraan masyarakat.

2. Golongan Pengguna Jasa

Golongan pengguna jasa yang dilayani oleh aktivitas pedagang sektor informal

pada umumnya terdiri dari golongan pendapatan menengah ke bawah. Hal ini

dapat dilihat dari tarif harga aktivitas perdagangan tersebut yang relatif rendah

sehingga terjangkau bagi golongan pendapatan rendah sekalipun. Sedangkan

bagi golongan penduduk berpendapatan tinggi cenderung tidak pergi ke

aktivitas perdagangan tersebut.

Pertimbangannya adalah kualitas barang yang lebih rendah, kemungkinan

adanya penipuan dalam keaslian barang, dan sebagainya sehingga mereka lebih

memilih berbelanja di toko-toko atau supermaket walaupun tingkat harganya

lebih tinggi. Pertimbangan lainnya adalah faktor psikologis yaitu gaya hidup

masyarakat kota yang ingin menjaga `gengsi' sehingga mereka merasa lebih

percaya diri apabila berbelanja di tempat-tempat yang dapat dianggap sebagai

simbol status mereka. Walaupun tidak tertutup kemungkinan bahwa mereka

juga berbelanja ke lokasi aktivitas pedagang sektor informal, tetapi hal ini

hanya terjadi sekali waktu jadi sifatnya insidentil sehingga masih terlihat jelas

adanya pembatasan bahwa pedagang sektor informal lebih diperuntukkan bagi

golongan pendapatan menengah ke bawah.

Universitas Sumatera Utara

Page 14: pemberdayaan

3. Skala Pelayanan

Skala pelayanan suatu aktivitas PKL dapat diketahui dari asal pengguna

aktivitasnya. Besar kecilnya skala pelayanan tergantung dari jauh dekatnya asal

penggunanya. Semakin dekat asal penggunanya maka skala pelayanan semakin

kecil, sebaliknya semakin jauh asal penggunanya maka skala pelayanannya

semakin besar.

4. Waktu Pelayanan

Pola aktivitas PKL menyesuaikan terhadap irama dari ciri kehidupan

masyarakat sehari-hari. Penentuan periode waktu kegiatan PKL didasarkan pula

atau sesuai dengan perilaku kegiatan formal atau kondisi yang ada. Terdapat

juga perbedaan pada setiap periode waktu pelayanan, baik dari segi jumlah PKL

maupun jumlah pengguna jasanya (McGee dan Yeung dalam Surya, 2006).

Saat-saat teramai pada suatu waktu pelayanan dipengaruhi oleh orientasi

aktivitas jasa tersebut terhadap pusat-pusat kegiatan di sekitarnya. Saat-saat

teramai tersebut bagi aktivitas pedagang sektor informal di dekat pusat-pusat

perbelanjaan akan berbeda dengan saat-saat teramai di dekat kawasan rekreasi,

kawasan permukiman, kawasan perkantoran, dan sebagainya.

Bagi aktivitas pedagang sektor informal di dekat suatu kawasan perbelanjaan

seperti pasar, maka saat-saat teramai adalah pada waktu pagi hari sampai siang

hari mengingat kegiatan masyarakat pergi ke pasar cenderung dilakukan pada

pagi sampai siang hari. Demikian pula bagi aktivitas pedagang sektor informal

Universitas Sumatera Utara

Page 15: pemberdayaan

di suatu kawasan pusat kota maka saat-saat teramai adalah pada jam istirahat

kantor dan sebagainya. (Bromley dalam Manning dan Noer Effendi, 1996).

5. Sifat Layanan

Berdasarkan sifat pelayanannya (McGee dan Yeung dalam Surya, 2006),

pedagang sektor informal dibedakan atas pedagang menetap (static), pedagang

semi menetap (semi static), dan pedagang keliling (mobile). Pengertian tentang

ketiga sifat tersebut dapat diuraikan sebagai berikut.

a) Pedagang menetap (static hawkers units)

Pedagang menetap adalah suatu bentuk layanan yang mempunyai cara atau

sifat menetap pada suatu lokasi tertentu. Dalam hal ini setiap pembeli atau

konsumen harus dating sendiri ke tempat pedagang itu berada.

b) Pedagang semi menetap (semistatic hawkers units)

Merupakan suatu bentuk layanan pedagang yang mempunyai sifat menetap

yang sementara, yaitu hanya pada saat-saat tertentu saja dengan jangka

waktu lama (ada batas waktu tertentu). Dalam hal ini dia akan menetap bila

ada kemungkinan datangnya pembeli yang cukup besar. Biasanya pada saat

bubaran bioskop, pada saat para pegawai mau masuk/pulang kantor, atau

pada saat-saat ramainya pengunjung ke pusat kota. Apabila kemungkinan

pembeli yang cukup besar tersebut tidak dijumpai, maka pedagang tersebut

akan berkeliling, demikian seterusnya.

Universitas Sumatera Utara

Page 16: pemberdayaan

c) Pedagang keliling (mobile hawkers units)

Pedagang keliling adalah suatu bentuk layanan pedagang yang dalam

melayani konsumennya mempunyai sifat untuk selalu berusaha mendatangi

atau "mengejar" konsumen dengan bergerak atau berpindah-pindah tempat.

Biasanya pedagang yang mempunyai sifat ini adalah pedagang yang

mempunyai volume dagangan yang kecil.

2.3. Pengembangan Wilayah

Pengembangan dapat diartikan sebagai suatu kegiatan menambah,

meningkatkan, memperbaiki atau memperluas. Konsep pengembangan wilayah di

Indonesia lahir dari suatu proses yang menggabungkan dasar-dasar pemahaman

teoritis dengan pengalaman-pengalaman praktis sebagai bentuk penerapannya yang

bersifat dinamis (Sirojuzilam dan Mahalli, 2010).

Menurut Undang-undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Tata Ruang, wilayah

adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait yang

batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan/atau aspek

fungsional.

Miraza (2005) di dalam sebuah wilayah terdapat berbagai unsur pembangunan yang dapat digerakkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Unusr dimaksud seperti natural resources, human resources, infrastructure, technology dan culture.

Dengan memahami konsep wilayah diharapkan para perencana dalam

melakukan pendekatan lebih memperhatikan komponen-komponen penyusunan

wilayah tersebut yang saling berinteraksi dan mengkombinasikan potensi dari

Universitas Sumatera Utara

Page 17: pemberdayaan

masing-masing komponen sehingga tercipta suatu strategi pembangunan dan

pengembangan wilayah yang baik dan terarah.

Nasution (2009) pengembangan wilayah merupakan proses pemberdayaan

masyarakat dengan segala potensinya dan meliputi seluruh aktivitas masyarakat di

dalam suatu wilayah, baik aspek ekonomi, sosial dan budaya, maupun aspek-aspek

lainnya. Sedangkan Sirojuzilam (2005) pengembangan wilayah pada dasarnya

mempunyai arti peningkatan nilai manfaat wilayah bagi masyarakat suatu wilayah

tertentu mampu menampung lebih banyak penghuni, dengan tingkat kesejahteraan

masyarakat yang rata-rata banyak sarana/prasarana, barang atau jasa yang tersedia

dan kegiatan usaha-usaha masyarakat yang meningkat, baik dalam arti jenis,

intensitas, pelayanan maupun kualitasnya.

Mulyanto (2008) pengembangan wilayah yaitu setiap tindakan pemerintah

yang akan dilakukan bersama-sama dengan para pelakunya dengan maksud untuk

mencapai suatu tujuan yang menguntungkan bagi wilayah itu sendiri maupun bagi

kesatuan administratif di mana wilayah itu menjadi bagiannya, dalam hal ini Negara

Kesatuan Republik Indonesia.

Salah satu sasaran utama dari pengembangan wilayah adalah mengurangi

kesenjangan regional dan spasial (tata ruang). Kesenjangan antara perkotaan dan

pedesaan dalam lingkup suatu wilayah, kesenjangan antara pusat pertumbuhan

dengan wilayah pengaruh cenderung bertambah besar, hal ini berarti implementasi

dari segi strategi kebijakan kutub pertumbuhan dianggap gagal (Adisasmita, 2010).

Peranan kutub pertumbuhan dalam pengembangan wilayah adalah sebagai penggerak

Universitas Sumatera Utara

Page 18: pemberdayaan

utama atau lokomotif pertumbuhan yang selanjutnya menyebarkan hasil

pembangunan dan dampak pertumbuhan ke wilayah pengaruhnya.

Dalam pengembangan wilayah sering menghadapi kenyataan bahwa dana

yang tersedia adalah terbatas sedangkan usulan dari masing-masing sektor cukup

banyak (Tarigan, 2006). Di sisi lain pembangunan yang berkesinambungan harus

dapat memberi tekanan pada mekanisme ekonomi, sosial, politik, dan kelembagaan,

baik dari sektor swsasta maupun pemerintah, demi terciptanya suatu perbaikan

standar hidup masyarakat secara cepat (Mahalli, 2005).

2. 4. Penelitian Sebelumnya

Adapun penelitian yang telah dilakukan mengenai pemberdayaan pedagang

kreatif lapangan dalam konteks pengembangan wilayah sebelumnya antara lain:

1. Tohar (2003) dalam penelitiannya “Profil dan Strategi Pengembangan Sektor

Informal di Kota Medan (Studi Kasus Pedagang Makanan dan Minuman)”,

menyimpulkan bahwa pendapatan pedagang sektor informal dipengaruhi secara

signifikan oleh variable modal investasi, jam kerja, tenaga kerja, dan modal kerja

yang dikeluarkan.

2. Putra (2005) “Analisisi Peran Pedagang Kaki Lima terhadap Pengembangan

Wilayah di Kecamatan Medan Kota”, menyimpulkan bahwa pedagang kaki lima

yang terdapat di Kecamatan Medan Kota umumnya adalah kaum urban yang

tinggal di sepanjang kota Medan dan rata-rata mampu menampung tiga orang

tenaga kerja. Faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan pedagang kaki lima

Universitas Sumatera Utara

Page 19: pemberdayaan

di Kecamatan Medan Kota adalah modal, jam kerja, lama kerja, lokasi usaha dan

tingkat pendidikan.

3. Fransiska (2006) dalam penelitiannya “Pemberdayaan Sektor Informal, yang

berkaitan dengan studi tentang pengelolaan kelompok pedagang kaki lima dan

konstribusinya terhadap penerimaan PAD di Kota Manado, menyimpulkan bahwa

Faktor-faktor pemberian pelatihan, bantuan modal usaha, cara-cara pengelolaan

usaha dan tingkat pendapatan/profit usaha PKL, secara parsial memberi

kontribusi positif dan signifikan terhadap penerimaan pendapatan asli daerah

(PAD) dari sisi retribusi daerah dan keempat faktor tersebut juga secara simultan

memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap penerimaan PAD dari sisi

retribusi daerah. Hal ini berarti bahwa pemberdayaan sektor informal, khususnya

pedagang kaki lima (PKL) berperan positif dalam meningkatkan peneriman

pendapatan pemerintah kota Manado untuk membiayai pembangunan kota.

4. Suharyanto (2007) dalam penelitiannya “Dampak Keberadaan IPB Terhadap

Ekonomi Masyarakat Sekitar Kampus dan Kontribusinya Terhadap Perekonomian

Kabupaten Bogor”, menyimpulkan bahwa ekonomi masyarakat sekitar Kampus

mempunyai keterkaitan dengan keberadaan IPB. Faktor-faktor yang

mempengaruhi perekonomian masyarakat sekitar Kampus IPB Darmaga adalah

faktor pendidikan dan lokasi usaha di dalam kampus IPB. Tingkat pendidikan

berpengaruh nyata terhadap pendapatan pelaku usaha, artinya pendidikan

mempunyai pengaruh positif terhadap pendapatan pelaku usaha sektor informal.

Jika tingkat pendidikan pelaku usaha sektor informal meningkat 1 tahun maka

Universitas Sumatera Utara

Page 20: pemberdayaan

pendapatan akan bertambah sebesar Rp.1.199.797. Sedangkan lokasi dalam IPB

yang berarti lokasi usaha sektor informal dilakukan di dalam kampus IPB dan

berkaitan langsung dengan aktivitas IPB berpeluang lebih besar untuk meraih

keuntungan yang besar dari pada pelaku usaha yang usahanya atas alasan yang

berasal dari faktor lain.

2.5. Kerangka Pemikiran

Adapun kerangka pemikiran dalam penelitian ini, digambarkan sebagai

berikut:

Gambar 2.1. Kerangka Pemikiran Penelitian

Pembangunan Kota Medan

Modal

Manajemen Usaha

Lokasi Usaha

Pedagang Kreatif Lapangan

Faktor-faktor yang Mempengaruhi pendapatan

Jam berdagang

Pemko Medan

Pemberdayaan

Pemgembangan Wilayah

Universitas Sumatera Utara

Page 21: pemberdayaan

2.6. Hipotesis

Bertitik tolak dari tujuan penelitian yang telah ditetapkan, maka dapat

dirumuskan hipotesis sebagai berikut: Modal, manajemen usaha, lokasi usaha dan

jam berdagang berpengaruh positif terhadap pendapatan pedagang kreatif lapangan

(PKL).

Universitas Sumatera Utara