Pemberantasan Korupsi Di Jepang
-
Upload
usyuluddin -
Category
Documents
-
view
82 -
download
5
Transcript of Pemberantasan Korupsi Di Jepang
PEMBERANTASAN KORUPSI DI JEPANG
Ade Rintaka, Limpat Luhung Pangarso, Langgeng Pamungkas, Rosaria Endah
Meitasari, Safitriani, Usyuluddin
Kelas VII-C Program DIV Akuntansi Kurikulum Khusus,
STAN, Tangerang Selatan
Abstrak- Pemberantasan korupsi di jepang sangat dipengarui kultur budaya yang berkembang di
masyarakatnya disamping sistem dan juga penegakan hukum berperan tak kalah penting. Kesadaran
masyarakatnya untuk mawas diri dan budaya malu masih tetap dipertahankan dan dijaga hingga saat ini oleh
masyarakat Jepang. Tidak adanya Undang-Undang dan badan khusus pemberantasan korupsi senantiasa tidak
menjadi hambatan yang berarti dalam proses pemberantasan korupsi di Jepang.
Kata kunci: antikorupsi jepang, korupsi jepang, pemberantasan korupsi di jepang.
1. PENDAHULUAN
Sebelum mengenal praktek dan pencegahan
korupsi di Jepang, perlu diketahui mengenai profil,
sistem politik dan sistem hukum dari Negara Jepang.
1. Profil Negara Jepang
Profil singkat negara Jepang adalah sebagai
berikut :
Nama Resmi : Japan
Bentuk Pemerintahan : Constitutional Monarchy with
Bentuk Pemerintahan : Parliamentary Government
Ibu Kota : Tokyo
Populasi : 127,103,388
Bahasa Resmi : Japanese
Mata Uang : Japanese yen
Luas Area : 145,883 square miles (377,835
Luas Area : square kilometers)
2. Sistem Politik Negara Jepang
Jepang merupakan sebuah negara yang dipimpin
oleh seorang kaisar namun tanpa memiliki kekuatan
untuk memerintah. Kekaisaran hanya sebagai sebuah
simbol akan adat istiadat dan simbol pemersatu
bangsa.
Perang Dunia II menghancurkan kegiatan
perekonomian Jepang. Akan tetapi, masyarakat
Jepang bekerja keras dan pintar untuk melakukan
inovasi sehingga mampu membalikkan keadaan yang
pada akhirnya membuat Jepang menjadi salah satu
kekuatan ekonomi terbesar dunia. Industri teknologi di
Jepang membuat beberapa produk elektronik yang
terkenal di seluruh dunia.
3. Praktik Korupsi di Jepang
Dilihat dari sudut ekonomi, Jepang merupakan
salah satu negara yang paling maju di dunia. GDP
(produk domestik bruto, yaitu nilai semua barang dan
jasa yang dihasilkan di Jepang dalam setahun) adalah
kedua tertinggi di dunia, dan merk-merk Jepang
seperti Toyota, Sony, Fujifilm, dan Panasonic terkenal
di seluruh dunia. Namun, hasil yang dinikmati oleh
Jepang saat ini sesunggunhya melalui proses
perjuangan dan perubahan yang sangat panjang.
Sempat berada pada era pemerintahan yang korup,
negara yang luluh lantak pasca perang dunia II, Jepang
mampu bangkit menjadi negara yang disegani di dunia
baik dari sudut pandang ekonomi maupun kekuatan
militernya.
Sebagai salah satu kekuatan ekonomi dunia,
praktik korupsi di Jepang pun tetap tidak dapat
terhindarkan. Paling tidak, korupsi di Jepang mulai
1
dilakukan di zaman feodal yaitu pada abad 12 hingga
sekarang dan mungkin akan terus berlanjut.
Pembahasan mengenai praktik korupsi di Jepang akan
sangat erat kaitannya dengan pembahasan tentang
Semangat Bushido, Filosofi Samurai dan Restorasi
Meiji, dimana ketiganya merupakan sejarah, budaya
serta adat-istiadat yang sesungguhnya akan sangat
berpengaruh pada pola sikap perilaku masyarakat
Jepang, sistem pemerintahan yang dijalankan serta
pencegahan dan penanganan dari korupsi yang terjadi.
A. Semangat Bushido dan Filosofi Samurai
Bushido terdiri dari kata bushi (ksatria atau
prajurit) dan do (jalan). Bushido atau ’jalan ksatria’
merupakan sebuah sistem etika atau aturan moral
keksatriaan yang berlaku di kalangan samurai
khususnya di zaman feodal Jepang (Abad 12-19).
Makna bushido secara umum adalah sikap rela mati
negara/kerajaan dan kaisar. Pada zaman feodal itu,
pengelompokan dalam masyarakat amat ketat
dijalankan, dimana bushi/samurai menempati posisi
tertinggi. Mereka sangat disegani dan ditakuti oleh
masyarakat, terlebih pada zaman Tokugawa, saat
diterapkannya politik sakoku (penutupan diri) dari
dunia luar. Saat itulah secara resmi Bushido disusun
dalam bentuk etika, diterapkan dengan ketat, dan
diajarkan pada masyarakat.
Kode etik Bushido mengendalikan setiap aspek
kehidupan para samurai. Petunjuk utama para samurai
dalam hukum tersebut adalah mereka harus
mengembangkan keahlian olah pedang dan berbagai
senjata lain, berpakaian dan berperilaku secara khusus,
dan mempersiapkan kematian yang bisa terjadi
sewaktu-waktu ketika melayani tuannya. Mereka
mengabdikan kesetiaan itu sebagai standar moral
tinggi untuk semua tindakan dalam kehidupan.
Bushido tercermin pada saat perang dunia II, yaitu
menjadi prajurit berani mati. Semangat bushido terus
menyertai perjalanan bangsa Jepang dari masa ke
masa sehingga akhirnya Jepang berhasil bangkit dari
keterpurukan Perang Dunia II dan kemudian muncul
sebagai raksasa ekonomi. Meski perubahan besar-
besaran terjadi pada masa Meiji ketika begitu banyak
generasi Jepang dikirim ke Amerika dan Eropa, nilai-
nilai ini tetap dianut sebagian besar orang Jepang
karena sudah terinternalisasi dalam masyarakat secara
kuat melalui proses selama ratusan tahun.
Dalam Bushido Shoshinsu atau ’Bushido bagi
Pemula (buku berusia 300 tahun yang ditulis oleh
Taira Shigesuke), nilai-nilai Semangat Bushido adalah
:
mengingat kematian;
jika seseorang bisa selalu ingat kematian di
sepanjang waktu, maka akan siap mengemban
tugas dan juga akan menghindari setan dan
kejahatan;
mengingat kematian juga membuat karakter
kepribadian akan lebih meningkat dan kebaikan
diri akan tumbuh;
kode samurai mengatakan bahwa semua
permasalahan bersumber dari kelalaian saat kita
tidak lagi mengingat kematian;
tidak mengingat kematian akan menyebabkan
berbagai nafsu dan keinginan akan bermunculan
sehingga kita menjadi tamak dan rakus;
cara mengingat kematian adalah melakukan
kewajiban publik maupun pribadi siang dan
malam;
mengingat kematian senantiasa menjadi tema
sentral para samurai spiritual;
kaum samurai menjadi tidak takut mati demi
menjalankan tugas dan perjuangan;
kaum samurai menjadi orang-orang yang
mencintai tugas dan kewajibannya melebihi
kecintaaan mereka pada diri mereka sendiri;
kaum samurai yang tidak berhasil menunaikan
tugas, atau demi menanggung rasa malu karena
kekalahan mereka rela melakukan bunuh diri
atau lebih dikenal dengan seppuku (pengeluaran
isi perut) atau harakiri (penyobekan perut);
2
seiring perjalanan waktu di zaman modern tradisi
bunuh diri berubah menjadi sikap lebih baik
mengakhiri atau mundur dari jabatan secara
terhormat daripada menanggung malu karena tak
mampu menunaikan tugas
Adapun yang menjadi kode etik samurai adalah :
menjaga kejujuran;
berani dalam menghadapi kesulitan;
memiliki sifat kasih sayang;
hormat kepada orang lain;
bersikap tulus dan ikhlas;
menjaga kehormatan diri;
menjaga kesetiaan pada satu kepemimpinan dan
guru;
menghormati orang tua dan rendah hati.
B. Restorasi Meiji (Meiji Ishin)
Restorasi Meiji adalah serangkaian kejadian
“reformasi” di Jepang yang praktis terjadi hanya
dalam 3 tahun (1866-1868), tumbangnya
pemerintahan feodal-korup keshogunan Tokugawa
sebagai akhir zaman Edo dan berpuncak pada
pengembalian kekuasaan di Jepang kepada Kaisar
pada tahun 1868, sebagai awal zaman Meiji. Kata
Meiji sendiri berarti kekuasaan pencerahan dan
pemerintah waktu itu bertujuan menggabungkan
“kemajuan Barat” dengan nilai-nilai “Timur”
tradisional.
Dalam sejarah Jepang, babak pertama
pemerintahan diktator militer feodalisme korup
dimulai dengan kudeta Tokugawa Ieyasu atas
kekuasaan kaisar sebagai pemerintahan yang sah
setelah melewati pertempuran Sekihara tahun 1600.
Karena terhalang garis keturunan untuk menjadi
jenderal, Tokugawa Ieyasu memalsukan silsilah
keturunan. Inilah babak pertama pemerintahan
diktator militer feodalisme di Jepang. Keshogunan
Tokugawa berkuasa turun-temurun 15 generasi selama
265 tahun sejak 24 Maret 1603 dengan pengangkatan
Tokugawa Ieyasu sebagai Sei-i Taishōgun dan
berakhir pada 9 November 1867 ketika Tokugawa
Yoshinobu (Keiki), Shogun generasi terakhir
mengembalikan kekuasaan ke tangan kaisar (Taisei
Hōkan).
Di masa ini, oleh Toyotomi Hideyoshi rakyat
Jepang dibagi-bagi menurut sistem kelas. Kelas
samurai berada di hirarki paling atas, diikuti petani,
pengrajin dan pedagang. Tak ayal, pemberontakan
sering terjadi akibat kekuasaan yang korup, kakunya
pembagian sistem kelas dan tidak memungkinkan
orang untuk berpindah kelas. Pajak semena-mena
yang dikenakan terhadap petani selalu berjumlah tetap
tanpa memperhitungkan inflasi.
Seiring waktu berjalan, kelompok anti
keshogunan Tokugawa justru semakin bertambah
kuat. Gelombang pembaharuan menggelora. Spirit
perlawanan terhadap penguasa korup dan sentimen
anti barat menjadi dua kekuatan yang mengobarkan
perlawanan terhadap feodalisme keshogunan.
Dengan slogan politik “Sonnō jōi!” (Dukung
kaisar, usir barbar!), perjuangan aliansi pro-kaisar
membuahkan hasil. Pada 9 November 1867 Tokugawa
Yoshinibu menyerahkan kekuasaan ke tangan kaisar
(Taisei Hōkan), kaisar Komei. Pada 3 Februari 1867,
Kaisar Meiji naik tahta menggantikan ayahnya, Kaisar
Kōmei yang wafat pada 30 Januari 1867. Peristiwa ini
merupakan titik awal “restorasi” kaisar Meiji,
meskipun Yoshinobu masih tetap memiliki kekuasaan
yang signifikan.
Semasa Restorasi Meiji, feodalisme Jepang secara
perlahan-lahan digantikan oleh ekonomi pasar dan
menjadikan Jepang sebagai negara yang dipengaruhi
negara-negara Barat hingga kini. Restorasi Meiji
menekankan pendidikan sebagai mata tombak
reformasi dan modernisasi. Pendidikan menjadi hak
dan kewajiban semua warga. Inilah salah satu kunci
keberhasilan restorasi Jepang, yang menjadikan
negara ini cepat beradaptasi dengan perkembangan
sains dan teknologi Barat di masa selanjutnya,
3
disamping administrasi pemerintahan yang sangat rapi
warisan dari rezim Tokugawa.
Restorasi Meiji, dengan semangat bushido
samurai khas ksatria Jepang, negara ini mampu
merevolusi feodalisme korup yang telah berlangsung
265 tahun dan kini menjadi negara maju dalam
industri dan perkasa dalam ekonomi di arena dunia.
Jika dihitung dari awal tercetusnya tahun 1853 berarti
kini telah memasuki tahun ke-161. Lebih dari satu
setengah abad dalam sejarah perjuangan bangsa
Jepang untuk bisa berjaya.
C. Korupsi di Jepang
Berikut ini beberapa praktik korupsi yang terjadi
di Jepang :
Skandal Lockheed yang terbongkar pada tahun
1976, melibatkan seorang mantan perdana
menteri, Kakeui Tanaka, dimana perusahaan
pesawat jet Amerika mengaku di depan Kongres
AS soal suap kepada sejumlah pejabat tinggi di
berbagai negara termasuk salah satunya Jepang
untuk dapat menjual produknya.
Takeshita Noboru, perdana menteri dari
partai demokratik liberal mengundurkan diri
pada 1989, sebagai tanda bahwa ia menarik
tanggung jawab semua pejabat partainya kepada
dirinya. Sebelas anggota parlemen dari partainya
diusut, seorang staf Takeshita bunuh diri.
Skandal korupsi pada masa Perdana Menteri Abe
Shinzo (2006-2007). Sejumlah pejabat terlibat.
Seorang Direktur Japan Green Resources,
Shinichi Yamazaki, terjun dari lantai 10
apartemen. Japan Green diduga menyogok para
politisi untuk melicinkan nasionalisasi
perusahaan itu.
Pada tanggal 28 Mei 2007, beberapa jam
sebelum memberikan keterangan di panitia
parlemen atas skandal dana poltik dan
manipulasi kontrak bisnis, Menteri Pertanian
Jepang Toshikatsu Mastuoka (62 tahun) bunuh
diri di apartemennya. Ia dituduh menerima suap
lebih dari 28 juta yen atas skandal dana poltik
dan manipulasi kontrak bisnis;
Pada bulan Juli tahun 2013, pimpinan federasi
judo Jepang, Haruki Uemura, akan
mengumumkan pengunduran dirinya sebagai
bentuk pertanggungjawaban terhadap terjadinya
serangkaian skandal korupsi keuangan yaitu
beberapa pengurus dituduh menerima secara
ilegal subsidi kepelatihan dari Pemerintah
Jepang.
Pada bulan Juli tahun 2014, Pejabat prefektur
Hyogo, Jepang, Ryutaro Nonomura menangis
saat menjelaskan penggunaan uang negara untuk
sejumlah kunjungan ke pemandian air panas
sebanyak 106 kali di tahun 2013. Tidak kuat
menahan tekanan publik, Nonomura lalu
mengundurkan diri.
Menteri Perindustrian Jepang, Yuko Obuchi,
mengundurkan diri dari jabatannya setelah
muncul tudingan bahwa ia menggunakan dana
sumbangan politik untuk membeli kosmetik
sebesar lebih dari 10 Juta yen.
Menteri Luar Negeri Jepang, Seiji Maehara,
mengundurkan diri dari jabatannya karena
terbukti menerima donasi dari warga Korea
Selatan yang bermukim di Tokyo. Total nilai
donasinya hanya 250.000 Yen.
2. PEMBERANTASAN KORUPSI DI
JEPANG
A. Langkah Pemberantasan Korupsi
B. Pencegahan Korupsi di Jepang
C. Penegakan Hukum di Jepang
Di Jepang tidak ada Undang-Undang tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi seperti di
Indonesia. Yang kita namakan sebagai “korupsi” di
4
Indonesia, mereka hanya golongkan sebagai salah satu
di antara tindak pidana umum: Penyuapan,
Penggelapan Uang Negara, dan Penipuan. Hukuman
maksimalnya pun hanya tujuh tahun, bukan hukuman
mati seperti dalam undang-undang korupsi kita di
Indonesia.
Undang-undang dan peraturan di negara Jepang
yang didalamnya mengatur delik tindakan kriminal
terkait korupsi antara lain:
1. The Unfair Competition Prevention Act (Act
no 47 of 1993) mengatur mengenai tindakan kriminal
penyuapan pegawai negeri asing.
2. The Penal Code (Act no 45 of 1907)
mengatur mengenai tindakan kriminal penyuapan
pegawai negeri daerah.
3. National Public Service Ethics Act (Act No
129 of 1999) (Ethics Act) merupakan peraturan dasar
pelayanan pegawai negeri Jepang. Salah satu isinya
adalah kewajiban pegawai negeri untuk melaporkan
setiap hadiah atau kompensasi yang diterimanya, salah
satu larangannya adalah pegawai pemerintah dilarang
menerima suap dari petugas yang berada di
wilayahnya.
4. National Public Service Ethics Code (Gov.
Ordinance No 101 of 2000) merupakan peraturan
turunan dari Ethics Act, peraturan ini mengatur
pelarangan menerima hadiah atau hiburan dari partai
yang berkaitan dengan tugas dari pegawai negeri.
5. The Act Prohibiting Acceptance of Profits for
Intermediation by those Engaged in Public Service
(Act No 130 of 2000) (Profits for Intermediation Act),
mengatur mengenai penawaran yang dilakukan oleh
Diet atau Kokkai atau Parlemen Jepang.
6. The Act on Prevention of Transfer of
Criminal Proceeds (Act no 22 of 2007) mengatur
mengenai tindak kriminal pencucian uang.
Peraturan ini memberi kewajiban kepada lembaga
kuangan untuk mematuhi prosedur yang benar untuk
mengidentifikasi pelanggan (seperti meminta kartu
identitas yang valid) dan bertugas melaporkan
transaksi yang mencurigakan. Kewajiban tersebut juga
berlaku bagi lembaga non finansial.
7. The Whistleblowing Legislation Act (Act no
122 of 2004) mengatur mengenai perlindungan kepada
seseorang yang menjadi whistleblower. Perlindungan
yang diberikan mencakup:
• Perlindungan atas pemecatan
• Perlindungan atas pembatalan kontrak kerja
• Perlindungan dari perlakuan tidak
menyenangkan, misalnya penurunan jabatan,
pemotongan gaji, dan sebagainya.
Kewenangan untuk melakukan penangkapan,
penggeledahan, penyitaan, dan penuntutan dalam
menangani kasus korupsi di Jepang, disamakan
dengan tindakan kriminal lainnya, yaitu ditangani oleh
Kepolisian Jepang (National Police Agency) atau
Kejaksaan Jepang (the Public Prosecutor’s Office).
1) Kepolisian
Kepolisian berperan dalam melakukan
penyelidikan awal atas semua kasus pidana, kemudian
berkas hasil penyelidikan kepolisian tersebut
diserahkan kepada kejaksaan untuk dilakukan
investigasi/penyidikan sebagai bahan pertimbangan
apakah kasus tersebut layak untuk dilakukan
penuntutan atau tidak. Kepolisian dan Kejaksaan
merupakan lembaga dengan independensi yang kuat
dan saling bekerja sama. Kepolisian dan Kejaksaan
sering mengadakan rapat untuk membahas kasus
tertentu secara rinci sebelum dilakukan penuntutan.
2) Kejaksaan
Lembaga Kejaksaan/Prosekutor Jepang
berwenang melakukan penyidikan kriminal baik atas
dasar penyelidikan kepolisian maupun hasil
identifikasi kejaksaan sendiri. Jika penyelidikan awal
kasus oleh Kepolisian sebagian besar merupakan
kriminal umum, maka penyelidikan yang dilakukan
oleh Jaksa sebagian besar terkait kasus penyuapan.
Kantor Kejaksaan berisikan jaksa-jaksa dengan latar
belakang pendidikan yang beragam, sehingga dengan
wawasannya yang lebih luas dari aparat kepolisian
5
menjadikan aparat kejaksaan lebih terampil dalam
menafsirkan hukum dan melakukan teknik investigasi.
Berdasarkan peraturan yang berlaku, bahwa jaksa
tidak dapat sembarangan dimutasi tanpa alasan yang
jelas bahkan oleh Menteri Kehakiman.
3) Departemen Pidana Khusus Kejaksaan
Dalam struktur organisasinya, Kejaksaan
memiliki Departemen Pidana Khusus yang bertugas
menyelidiki kasus suap dan kejahatan ekonomi yang
dilakukan oleh pejabat pemerintah. Departemen
Pidana Khusus ini didirikan di Kantor Kejaksaan
Tokyo, Osaka, dan Nagoya serta pada 10 Kota lain di
Jepang. Tidak semua kantor kejaksaan memiliki
departemen pidana khusus ini.
Cara kerja dari departemen ini antara lain:
a) Melakukan identifikasi dari liputan berita,
hak angket legislatif, dan sebagainya;
b) Melakukan kajian atas keluhan dan aduan
masyarakat;
c) Mencari tanda-tanda aktivitas yang
mencurigakan selama penyelidikan kejahatan tersebut,
sehingga menambah bobot pada kecurigaan bahwa
beberapa kejahatan lain telah dilakukan. Dalam kasus
penggelapan pajak, menyita buku rekening diperiksa
untuk mengidentifikasi aliran dana, sehingga
mengungkapkan apakah suap yang ditawarkan kepada
pejabat pemerintah yang kemudian bisa dituduh suap.
Ketika seorang tersangka yang diidentifikasi atau
saksi dipertanyakan sehubungan dengan kasus
penggelapan atau pelanggaran kepercayaan oleh
direksi eksekutif korporasi, laporan yang diperoleh
secara tak terduga untuk mendeteksi praktik korupsi,
sehingga mengarah ke penuntutan.
Selain Kepolisian dan Kejaksaan, terdapat
lembaga-lembaga lain yang terkait dengan pencegahan
dan pemberantasan korupsi di Jepang, yaitu:
a. The Japan Financial Intelligence Center
(“JAFIC”);
JAFIC adalah lembaga yang bertanggung jawab
untuk mencegah pencucian uang dan pendanaan
teroris di Jepang. Semua badan atau lembaga baik
publik maupun swasta, diminta untuk mengirimkan
laporan pada JAFIC. Jika JAFIC menemukan adanya
kegiatan yang mencurigakan, maka JAFIC harus
melaporkannya kepada aparat penegak hukum terkait,
seperti Kepolisian, Kantor Kejaksaan Umum atau
Securities and Exchange Surveillance Commission,
yang kemudian dapat menjatuhkan sanksi administrasi
atau bahkan investigasi kriminal.
b. The Japan Fair Trade Commission
(“JFTC”);
JFTC memberlakukan Japan’s Act on Prohibition
of Private Monopolisation and Maintenance of Fair
Trade (Undang-Undang Anti Monopoli) dengan
maksud untuk menjaga persaingan yang adil dan
bebas di pasar. Amandemen terakhir dengan Undang-
Undang Antimonopoli memberikan kekuasaan
investigasi kriminal ke JFTC. Jika penyelidikan
dimulai, JFTC dimungkinkan mengajukan proses
pidana
dengan Kejaksaan di bawah ketentuan UU
Antimonopoli. Hukuman untuk mengganggu
penyelidikan yaitu sanksi administrasi termasuk
penjara maksimal satu tahun atau denda paling banyak
JPY 3 juta.
c. The National Public Service Ethics Board
(“Ethics Board”);
Dewan ini bertugas memastikan agar National
Public Service Ethics Act ("Etika Act") dilaksanakan
dengan baik oleh pemerintah. Dewan ini dapat
melakukan investigasi bersama-sama dengan orang
yang ditunjuk pejabat publik atau bertindak sendiri
jika merasa temuannya materiil berkaitan dengan
tugas-tugas pejabat, melakukan on-site investigasi
untuk mengklarifikasi dugaan pelanggaran. Selain itu,
dewan ini dapat memanggil saksi dan saksi diminta
menyampaikan laporan yang diperlukan atau bahan
yang relevan dan dianggap perlu untuk menjaga
kepercayaan publik. Ketidakpatuhan dengan
investigasi (seperti laporan palsu atau penyembunyian
6
fakta) akan mengakibatkan sanksi disipliner seperti
suspensi dari kantor, pengurangan gaji atau teguran.
Wewenang dan tanggung jawab National Public
Service Ethics Board antara lain:
(1) penyampaian pendapat kepada Kabinet
mengenai berlakunya, perubahan dan pencabutan
National Public Service Ethics Act;
(2) persiapan dan revisi dari standar tindakan
disiplin diterapkan untuk pelanggaran atas National
Public Service Ethics Law;
(3) penelitian, studi dan perencanaan mengenai
isu-isu etika pejabat publik;
(4) perencanaan yang komprehensif dan
koordinasi program pelatihan tentang etika bagi
pejabat publik;
(5) bimbingan dan nasihat kepada kementerian
dan lembaga untuk menjalankan National Public
Service Ethics Act;
(6) pemeriksaan laporan hadiah, transaksi saham
dan pendapatan;
(7) Mengajukan pertanyaan pada setiap pejabat
publik yang diduga melanggar National Public Service
Ethics Act; melakukan investigasi di tempat untuk
mengklarifikasi dugaan pelanggaran tersebut,
memanggil saksi-saksi, dan meminta saksi untuk
menyampaikan laporan yang diperlukan atau bahan
yang relevan;
(8) melakukan penyelidikan, jika perlu, meminta
setiap kepala kementerian atau lembaga untuk
mengambil tindakan yang diperlukan untuk
mengawasinya/pejabatnya, dan
(9) melakukan penyelidikan, jika perlu,
mengambil tindakan disipliner terhadap setiap pejabat
publik yang telah melanggar National Public Service
Ethics Law.
d. The Board of Audit of Japan (Dewan Audit).
The Board of Audit memiliki tugas untuk
melakukan audit atas rekening negara dan rekening
sebuah perusahaan jika pemerintah Jepang memiliki
50% atau lebih dari saham perusahaan tersebut. Jika
ditemukan adanya indikasi korupsi apapun selama
audit ini, maka The Board of Audit diharuskan untuk
melaporkan pada Kejaksaan untuk selanjutnya
dilakukan investigasi atau penyelidikan.
D. Faktor Budaya dalam Pemberantasan
Korupsi di Jepang
Masyarakat Jepang merasa telah kehilangan
kehormatan jika melakukan kejahatan, aib, dan/atau
mengalami kegagalan dalam menjalankan kewajiban.
Bagi mereka, tidak ada gunanya lagi melanjutkan
hidup bila sudah kehilangan kehormatan. Mereka
lebih memilih untuk mengakhiri hidupnya, dari pada
hidup menanggung malu. Budaya ini sering disebut
dengan seppuku atau lebih dikenal dengan harakiri.
Harakiri biasa digunakan sebagai metafora seseorang
melakukan self punishment sebagai tanggung jawab
bila melakukan kesalahan. Ritual ini telah membudaya
di Jepang, sehingga apabila seseorang melakukan
kesalahan dan melakukan bunuh diri, maka hal itu
sah-sah saja dan dianggap sabagai upaya menebus
kesalahan. Harakiri sebagai hukuman telah resmi
dihapuskan pada tahun 1873, segera setelah restorasi
Meiji, tetapi harakiri secara sukarela belum
sepenuhnya dihapuskan. Ratusan orang diketahui
masih melakukan harakiri walaupun telah dihapuskan.
Walaupun Jepang tidak memiliki Undang-Undang
khusus yang mengatur tentang pemberantasan korupsi
serta hukuman bagi koruptor maksimal hanya 7
(tujuh) tahun penjara, hukuman menanggung malu
sudah dirasa sebagai hukuman yang paling berat. Hal
tersebut didukung oleh media yang aktif dalam
memberitakan suatu tindakan korupsi. Sehingga
menimbulkan rasa malu yang sangat besar bagi para
koruptor. Bahkan terdapat beberapa pejabat yang
melakukan bunuh diri setelah diketahui melakukan
korupsi, antara lain Toshikatsi Matsuoka (Agriculture,
Forestry and Fisheries Minister) melakukan bunuh diri
ketika ia tidak dapat menjelaskan penggunaan dana
7
sebesar $240,000 yang dikatakan untuk “sejenis air
yang dioksidasi” padahal air disediakan gratis
sehingga diindikasikan terjadi korupsi, Yoichi Otsuki
dan Shokei Arai serta beberapa politisi lainnya. Selain
bunuh diri, pejabat yang masih diindikasikan
melakukan suatu tindak pidana, umumnya langsung
mengundurkan diri dari jabatannya, sekalipun tidak
diminta oleh masyarakat (apalagi jika sudah dituntut
mundur oleh masyarakatnya). Contohnya adalah kasus
Gubernur Tokushima yang didakwa mendapat suap
dari seorang konglomerat Jepang, dan dalam kasus
lain juga menahan Wali Kota Shimozuma, Ibaraki.
Kedua pejabat itu secara sukarela langsung
mengundurkan diri dari jabatannya sebagai gubernur
dan wali kota.
Namun, budaya malu juga memiliki dampak
negatif, karena membuat sistem whistleblower tidak
efektif. Karena melaporkan rekan kerja atau atasan
dapat mempermalukan institusi. Bahkan, sang pelapor
dapat dikucilkan. Oleh karena itu dibentuklah The
Whistleblowing Legislation Act(Act no 122 of 2004)
yang memberikan kerahasiaan dan perlindungan
kepada seseorang yang menjadi whistleblower.
Selain budaya malu, juga terdapat nilai kejujuran
yang masih melekat pada budaya masyarakat Jepang.
Pengacara di Jepang jarang ditemukan yang
memutarbalikkan fakta dan merubah yang salah
menjadi benar, bahkan jika diketahui kliennya
memang bersalah, mereka akan mendorong kliennya
untuk mengakui kejahatannya dan mengembalikan
hasil korupsinya. Di dalam praktik hukum di Jepang,
seorang tersangka yang tidak mengaku, pasti akan
ditahan. Sebaliknya seorang tersangka yang mengakui
kesalahannya, tidak ditahan, kecuali jika kasusnya
tergolong kasus "kelas kakap" yang nilai kejahatannya
300 juta Yen atau lebih.
E. Hal-Hal yang dapat Diadopsi oleh Lembaga Penegak Hukum di Indonesia
Meskipun di Indonesia telah memiliki Undang-
Undang dan lembaga khusus memberantas korupsi
(KPK), tingkat korupsi di Indonesai jauh lebih buruk
dengan menduduki peringkat Indeks persepsi korupsi
(IPK) tahun 2014 berdasarkan hasil survey Lembaga
Transparansi Internasional ada pada peringkat ke-107
dunia. Sebaliknya, Jepang tergolong negara yang
cukup bersih dari tindak pidana yang di Indonesia kita
namakan "korupsi" itu dengan berada di peringkat ke-
15.
Fenomena itulah yang membuktikan bahwa
penegakan hukum yang baik tidak sekadar ditentukan
oleh "substansi perundang-undangan"-nya, melainkan
lebih banyak ditentukan oleh "kultur hukum" warga
masyarakat maupun para penegak hukum dan
penguasanya. Kultur hukum mencakup opini-opini,
kebiasaan-kebiasaan, cara bertindak dan cara berpikir
dari seseorang yang bertalian dengan segala hal yang
berbau hukum. Adanya kultur hukum baik dari warga
masyarakat Jepang maupun dari para penegak hukum
Jepang yang lebih efektif dari pada ancaman hukuman
mati dalam undang-undang pemberantasan korupsi
kita di Indonesia. Kultur hukum "malu" yang masih
besar dari masyarakat Jepang sangat efektif sebagai
alat preventif maupun penindak terhadap perilaku
tercela, termasuk korupsi. Kultur hukum yang masih
sangat bermoral di kalangan pengacara Jepang,
menyebabkan hampir tidak ada kebiasaan pengacara
Jepang untuk memutarbalikkan yang salah menjadi
benar, dan yang benar menjadi salah.
Selain tidak terdapatnya lembaga anti korupsi di
jepang, kewenangan untuk melakukan
penangkapan, penggeledahan, penyitaan, dan
penuntutan dalam menangani kasus korupsi di jepang
ada pada kepolisian atau kejaksaan jepang. Semua itu
di Indonesia dilakukan oleh lembaga yang biasa kita
sebut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
3. KESIMPULAN
8
Kesuksesan pemberantasan korupsi di Jepang
dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain,
Dibentuknya jigyoushiwake pada saat perdana menteri
hatoyama memerintah, jigyoushiwake merupakan tim
yang ditunjuk untuk memeriksa semua lembaga
pemerintah yang memanfaatkan uang pajak
masyarakat Jepang, dan memastikan apakah uang
tersebut sudah digunakan sebagaimana mestinya.
Selain itu di Jepang terdapat faktor budaya yang
sangat berpengaruh pada pemberantasan korupsi
antara lain etos kerja yang tinggi, budaya malu yang
begitu kental yang menyebabkan adanya budaya
bunuh diri atau lebih dikenal sebagai harakiri.Banyak
pejabat yang mundur secara sukarela akibat budaya
malu karena melakukan praktek korupsi, hampir tak
pernah terdengar adanya pengacara jepang yang
menuntut “asas praduga tak bersalah”.Bahkan
pengacara Jepang pun senantiasa berusaha membujuk
klien-nya untuk mengakui kesalahannya, mundur dari
jabatan kemudian mengembalikan hasil kejahatannya.
Terlebih lagi pengacara di Jepang hampir tidak
terbiasa untuk memutarbalikkan fakta sehingga yang
salah menjadi benar.
Laporan kerja, Laporan tahunan yang memuat
setiap pemasukan dan pengeluaran dibuat secara rinci
dan transparan tiap yen nya, dan dipublikasikan
melalui internet, sehingga masyarakat dengan mudah
mengakses oleh siapa saja masyarakat Jepang. Hal ini
membuat adanya pengawasan langsung dari
masyarakat melalui media-media yang transparan.
Jika terjadi kasus korupsi akan menyebabkan
kemarahan massa, sehingga pelaku korupsi akan
menjadi bulan-bulanan media dan publik.
Berdasarkan data dari cpi.transparency.org
menyebutkan bahwa Jepang pada tahun 2014
memperoleh posisi ke posisi ke-15 dari 175 negara
dengan perolehan nilai 76 dimana merupakan nilai
yang lebih tinggi jika dibandingkan pada tahun
sebelumnya (74). Jepang merupakan negara asia
kedua tertinggi dibawah Singapura (di posisi 7). Hal
ini menunjukkan bahwa Jepang dapat dikatakan
berhasil dalam memberantas korupsi dinegaranya.
Keberhasilan jepang memberantas korupsi di
negaranya dapat dilihat dengan Jepang merupakan
salah satu negara maju jika dilihat dari Indeks
Pembangunan Manusia, Indeks Pembangunan
Manusia merupakan pengukuran perbandingan dari
harapan hidup, melek huruf, pendidikan dan standar
hidup untuk semua negara di seluruh dunia. Indeks
Pembangunan Manusia digunakan untuk
megklasifikasikan apakah suatu negara adalah negara
maju, negara berkembang atau negara terbelakang dan
juga untuk mengukur pengaruh dari kebijaksanaan
ekonomi terhadap kualitas hidup. Tahun 2013 Jepang
menduduki peringkat 10 di seluruh dunia dan jepang
dikategorikan sebagai negara maju. Sangat jauh jika
dibandingkan Indonesia yang berada di peringkat 111
dan dikategorikan sebagai negara berkembang.
4. DAFTAR REFERENSI
[1] Budaya Malu Orang Jepanghttp://summysmile.wordpress.com/2012/02/08/budaya-malu-orang-jepang/
[2] Corruption Perception Index http://www.transparency.org/cpi2014
[3] Memberantas Korupsi ala Jepang : Jigyou shiwakehttp://murniramli.wordpress.com/2010/05/23/memberantas-korupsi-ala-jepang-jigyou-shiwake/
[4] http://bansai-dojo.com/bushido/ (International Battodo Federation)
[5] http://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_negara_menurut_Indeks_Pembangunan_Manusia
[6] http://id.wikipedia.org/wiki/Indeks_Pembangunan_Manusia
[7] http://sihiteezra.wordpress.com/2010/11/29/jepang-dari-korupsi-ke-korupsi/
[8] http://sejarah.kompasiana.com/2012/07/09/reformasi-ala-restorasi-meiji-476356.html
9