Pembangunan dalam bidang ekonomi harus diarahkan kepada...
Transcript of Pembangunan dalam bidang ekonomi harus diarahkan kepada...
v
ABSTRAK
DWI ANGGOROWATI, NIM 11150480000101. PENGGUNAAN ALAT
BUKTI TIDAK LANGSUNG (INDIRECT EVIDENCE) OLEH KOMISI
PENGAWAS PERSAINGAN USAHA DALAM PERKARA KARTEL DI
INDONESIA ( STUDI PUTUSAN NOMOR 294 K/ PDT.SUS/2012 DAN
163/PDT.G/KPPU2017). Program Studi Ilmu Hukum. Konsentrasi Hukum
Bisnis, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta,1440 H/2019 M.vii + 69 halaman + 4 halaman daftar
pustaka + lampiran.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan
menggunakan metode pendekatan undang-undang dan pendekatan kasus. Pada
pendekatan perundang-undangan mengacu kepada Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1999 dan Peraturan pelaksaannya yaitu peraturan Komisi Pengawas
Persaingan Usaha Nomor 4 Tahun 2010 Tentang Kartel, sedangkan untuk
pendekatan kasus berdasarkan Putusan Komisi Pengawas persaingan Usaha,
Pengadilan Negeri, dan Mahkamah Agung dengan tujuan menggali dan
memahami pemaknaan akan kebenaran yang berbeda-beda dalam kasus yang
telah diputuskan oleh Mahkamah Agung terhadap Putusan Komisi Pengawas
Persaingan Usaha yang berkekuatan hukum tetap.
Hasil dari analisis dan penelitian ini mengungkapkan bahwa kekuatan
pembuktian dengan menggunakan Indirect Evidence masih menuai pro dan
kontra, dimana dalam penggunaan Indirect Evidence dalam setiap kasus kekuatan
pembuktiannya berbeda -beda. Indirect Evidence digunakan untuk mengungkap
adanya kartel karena memang sulit untuk membuktikan adanya unsur perjanjian
sedangkan dalam Undang-Undang Hukum Persaingan Usaha belum ada
penegasan dan pengaturan secara spesifik terkait penggunaan Indirect Evidence.
Kata kunci : Bukti tidak langsung, Kartel, KPPU, Mahkamah Agung
Pembimbing Skripsi : Indra Rahmatullah, S.H.I.,M.H.
Daftar Pustaka : Tahun 1986 – Tahun 2017
vi
KATA PENGANTAR
بسم اهلل الرحمن الرحيم
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Segala puji dan syukur peneliti panjatkan ke hadirat Allah S.W.T, karena
berkat rahmat, nikmat serta karunia dari Allah SWT peneliti dapat menyelesaikan
skripsi dengan judul “ Penggunaan Alat Bukti Tidak Langsung (Indirect
Evidence) Oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha dalam perkara kartel di
Indonesia (Studi Putusan Studi Putusan Nomor 294 K/ PDT.SUS/2012 dan
163/PDT.G/KPPU2017)”. Sholawat serta salam peneliti panjatkan kepada Nabi
Muhammad Shallallahu’Alayhi wa Sallam, yang telah membawa umat manusia
dari zaman kegelapan ke zaman yang terang benderang ini. Selanjutnya, dalam
penelitian skripsi ini, peneliti banyak mendapatkan bimbingan, arahan, dan serta
bantuan dari berbagai pihak, sehingga dalam kesempatan ini peneliti
mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat:
1. Bapak Dr. Ahmad Tholabi Kharlie S.H., M.H., M.A. Dekan Fakultas Syariah
dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Dr. M. Ali Hanafiah Selian, S.H., M.H. Ketua Program Studi Ilmu
Hukum dan Drs. Abu Tamrin, S.H., M.Hum. Sekretaris Program Studi Ilmu
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah berkontribusi dalam
pembuatan skripsi ini.
3. Terkhusus Indra Rahmatullah, S.H.I., M.H., Pembimbing Skripsi yang telah
bersedia meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran serta kesabaran dalam
memberikan bimbingan, motivasi, arahan, dan saran-saran yang sangat
berharga kepada peneliti dalam menyusun skripsi ini. Alhamdulillah berkat
beliau peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini dengan lancar. Terimakasih
banyak Pak Indra.
4. Kepala Pusat Perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah
membantu dalam menyediakan fasilitas yang memadai untuk peneliti
mengadakan studi kepustakaan guna menyelesaikan skripsi ini.
vii
5. Teristimewa untuk kedua orangtuaku dan yang menjadi orang tua terhebat
dalam hidupku, yang tiada henti memberikan dukungan moril maupun materil
juga memberikan kasih sayang, nasihat, semangat, dan doa yang tak pernah
putus untuk kebahagiaan dan kesusuksesan ku.
6. Untuk kakak ku Prihatin Suyatiningsih S.Pd., terimakasih selalu
memberikan doa dan motivasi untuk selalu semangat meraih kesuksesaan.
7. Sahabat-sahabat dan teman teman seperjuangan Siti Romlah S.H. Ajeng
Arumsari S.Pd., Erdi Purnomo S.H., Maricha Nasution, Adelia Nawakartika,
Nurul Miftahul Jannah, Siti Nurhalimah, Eli Widiastuti, Dian Novianna,
Widya Nur Alifah, Khoirunnisa, Anggi Ristiana, Jejen Jaelani. Terimakasih
untuk persahabatan selama ini yang senantiasa memberikan nasihat,
semangat, dan dukungannya, kalian sudah seperti keluarga bagi ku.
8. Teman-teman KKN Mentari, Tiara, Ratna, Diyah, Enggar dan teman teman
lain. Terimakasih atas kebersamaan kalian untuk selalu saling memotivasi
dan mengingatkan untuk segera menyelesaikan skripsi.
9. Keluarga Besar MCC UIN Jakarta dan Keluarga Besar DPC Permahi
Tangerang yang telah menjadi wadah untuk berproses bagi peneliti.
10. Semua pihak yang tidak dapat di sebutkan satu persatu yang telah membantu
dalam penyelesaian skripsi ini, terimakasih atas semua bantuan dan
dukungannya.
Peneliti menyadari dalam penelitian skripsi ini banyak terdapat
kekurangan dan perbaikan. Namun, peneliti tetap berharap agar karya ilmiah ini
memberikan manfaat bagi pembaca. Kritik dan saran sangat diharapkan untuk
perbaikan dan penyempurnaan karya ilmiah ini di masa mendatang. Sekian dan
terima kasih.
Jakarta, Oktober 2019
Dwi Anggorowati
viii
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING .............................................. ii
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI ........................... iii
LEMBAR PERNYATAAN ........................................................................... iv
ABSTRAK .................................................................................................. v
KATA PENGANTAR .................................................................................... vi
DAFTAR ISI .................................................................................................. viii
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ......................................................... 1
B. Identifikasi, Pembatasan dan Rumusan Masalah .................. 5
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .............................................. 6
D. Metode Penelitian................................................................... 7
E. Sistematika Penelitian ........................................................... 9
BAB II : TINJAUAN UMUM SISTEM PEMBUKTIAN DI INDONESIA
A. Kerangka Konseptual ............................................................. 11
B. Kerangka Teoritis ................................................................... 22
C. Pembuktian Dalam Kartel di Amerika Serikat dan Indonesia 25
D. Tinjauan (review) Kajian Terdahulu ...................................... 33
BAB III : PENERAPAN ALAT BUKTI TIDAK LANGSUNG (INDIRECT
EVIDENCE) DI INDONESIA
A. Alat Bukti dalam Hukum Persaingan Usaha .......................... 35
B. Bukti Langsung (Direct Evidence dan Indirect Evidence dalam
Hukum Persaingan Usaha di Indonesia.................................. 36
C. Kelebihan dan kekurangan Indirect Evidence dalam Hukum
Persaingan Usaha ................................................................... 39
D. Kronologis Kasus Perkara Nomor 294 K/ PDT.SUS/2012 dan
163/PDT.G/KPPU/2017 ......................................................... 43
ix
BAB IV : PENGGUNAAN ALAT BUKTI TIDAK LANGSUNG
(INDIRECT EVIDENCE ) DALAM PUTUSAN OLEH
MAHKAMAH AGUNG BERKAITAN DENGAN PERKARA
KARTEL NOMOR 294 K/PDT.SUS/2012 DAN PERKARA
NOMOR 163/PDT.G/KPPU/2017
A. Pertimbangan Hakim Menolak Bukti Tidak Langsung (Indirect
Evidence) dalam Putusan Perkara Nomor 294 K/PDT.SUS/2012
................................................................................................ 51
B. Pertimbangan Hakim Menerima Bukti Tidak Langsung (Indirect
Evidence) dalam Putusan Perkara Nomor
163/PDT.G/KPPU/2017 ......................................................... 53
C. Analisis Peneliti Terkait Penggunaan Indirect Evidence dalam
Pembuktian Hukum Persaingan Usaha di Indonesia ............ 55
BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................ 65
B. Rekomendasi .......................................................................... 66
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 67
LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pembangunan dalam bidang ekonomi harus diarahkan kepada terwujudnya
kesejahteraan rakyat, dalam hal ini sebagaimana tertuang dalam Pasal 33
Undang-Undang Dasar 1945 mengenai Perekonomian Nasional dan
Kesejahteraan Sosial. Perekonomian nasional diselenggarakan berdasarkan atas
dasar demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan,
berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga
keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Hal ini pun sesuai
dengan Pasal 2 mengenai Asas dan Tujuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1999 Tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat,
yang mana pelaku usaha di Indonesia dalam menjalankan kegiatan usahanya
berasaskan demokrasi ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antara
kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum.
Persaingan usaha merupakan suatu hal yang penting untuk mendorong
roda pertumbuhan ekonomi dalam suatu negara khususnya di Indonesia,
karena dengan adanya persaingan usaha menjadikan para pelaku usaha agar
selalu berinovatif untuk selalu mengembangkan usahanya sehingga
memunculkan produk atau jasa yang bervariasi dengan harga yang bervariasi
pula. Namun pesatnya perkembangan dunia usaha, adakalanya menjadikan
persaingan usaha menjadi tidak sehat karena beberapa faktor.
Seringkali suatu industri hanya mempunyai beberapa pemain yang
mendominasi pasar. Keadaan demikian dapat mendorong mereka untuk
mengambil tindakan bersama dengan tujuan memperkuat ekonomi mereka dan
mempertinggi keuntungan. Ini akan membatasi tingkat produksi maupun
tingkat harga melalui kesepakatan bersama diantara mereka. Kesemuanya
dimaksudkan untuk menghindarkan terjadinya persaingan yang merugikan
mereka sendiri. Apabila berpegang pada teori monopoli, maka suatu kelompok
2
industri yang mempunyai kedudukan oligopolis akan mendapatkan keuntungan
yang maksimal bila mereka secara bersama berlaku sebagai monopolis. Dalam
praktiknya kedudukan oligopolis ini diwujudkan melalui apa yang disebut
asosiasi-asosiasi. Melalui asosiasi ini mereka dapat mengadakan kesepakatan
bersama mengenai tingkat produksi, tingkat harga, wilayah pemasaran, dan
sebagainya, kemudian kesepakatan tersebut melahirkan kartel, yang dapat
mengakibatkan terciptanya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak
sehat. Selain itu, kartel akan menyebabkan kerugian bagi konsumen karena
terbatasnya barang atau jasa di pasar.1
Apabila kita melihat praktik-praktik monopoli di masa lalu, krisis moneter
yang berlanjut pada krisis ekonomi yang melanda Indonesia Tahun 1997,
menyadarkan pemerintah pada waktu itu akan betapa lemahnya dasar ekonomi
Indonesia. Hal ini karena pemerintah Indonesia di era Orde Baru mengeluarkan
berbagai kebijakan yang kurang tepat pada sektor ekonomi sehingga
menyebabkan pasar menjadi terdistorsi. Kedudukan monopoli yang ada lahir
karena adanya fasilitas yang diberikan oleh pemerintah serta ditempuh melalui
praktik bisnis tidak sehat, seperti persekongkolan penetapan harga melalui
kartel menetapkan mekanisme yang menghalangi terbentuknya kompetisi,
menciptakan barier to entry, dan juga terbentuknya integrasi horizontal dan
vertikal. Perpanjangan kondisi yang demikian secara terus menerus
mengakibatkan saat terjadinya krisis moneter, nilai tukar rupiah terhadap mata
uang asing khususnya terhadap dollar Amerika menjadi terpuruk dan membuka
tabir ketidakberesan dunia usaha di Indonesia.2
Berdasarkan praktik monopoli di masa lalu, hal ini lah yang menjadikan
peneliti ingin meneliti mengenai masalah dalam penanganan kartel, karena
kartel merupakan salah satu yang mengakibatkan terjadinya krisis moneter
yang berlanjut pada krisis ekonomi pada masa itu. Kita bisa lihat bahwasannya
1 Rachmadi Usman, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h., 282.
2 Susanti Adi Nugraha, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, dalam Teori dan Praktik
Serta Penerapan Hukumnya, (Jakarta: Kencana,2012), h.,702.
3
sepanjang sepuluh tahun terakhir ini yakni dari Tahun 2009 sampai 2019 telah
terjadi tujuh kasus perkara mengenai kartel, berarti artinya dalam kurun waktu
sepuluh terakhir telah terjadi kartel secara terus menerus. Apabila hal ini terjadi
secara berkelanjutan dan kurangnya penanganan kartel, dapat mengakibatkan
persaingan usaha tidak sehat, dan tidak menutup kemungkinan Indonesia akan
mengalami krisis ekonomi kembali.
Dalam menentukan apakah suatu pelaku usaha melakukan praktek
monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat, Komisi Pengawas Persaingan
Usaha memerlukan alat-alat bukti yang mana tertuang dalam Pasal 42 Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Praktek Monopoli dan atau Persaingan
Usaha Tidak Sehat Jo. Pasal 72 Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha
Nomor 1 Tahun 2010 Tentang Tata Cara Penanganan Perkara. Alat-alat bukti
tersebut adalah: Keterangan saksi, keterangan ahli, surat atau dokumen,
petunjuk, keterangan pelaku usaha, termasuk keterangan pelapor dan terlapor3
Adanya alat bukti yang tertuang dalam Pasal 42 Undang- Undang Nomor
5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktik Monopoli dan atau Persaingan Usaha
tidak sehat Jo. Pasal 72 Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Tidak
sehat Tentang Tata Cara Penanganan Perkara, dalam hal penanganan kartel
membuat Komisi Pengawas Persaingan Usaha menjadi sulit untuk
mengungkap adanya suatu kartel yang dilakukan oleh para pelaku usaha. Hal
ini dapat kita lihat bahwasannya banyak putusan yang berkaitan dengan kartel
dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir ini yakni dari Tahun 2009 sampai
2019, menggunakan Indirect Evidence ( bukti tidak langsung).
Dalam penggunaan Indirect Evidence oleh Komisi Pengawas Persaingan
Usaha ini pun menjadi problematika antar instansi pemerintah baik pengadilan
negeri, maupun Mahkamah Agung yang mempunyai fungsi pengawasan
tertinggi dalam hal penyelenggaraan peradilan di semua lingkungan peradilan
3 Susanti Adi Nugraha, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, Dalam Teori dan Praktik
Serta Penerapan Hukumnya, ... h.,190.
4
dalam menjalankan kekuasaan kehakiman.4 Berdasarkan Peraturan Komisi
Pengawas Persaingan Usaha Tahun 2010 Tentang Kartel, karakteristik kartel
yang semakin kompleksnya sehingga keberadaan lembaga persaingan usaha
telah disiasati oleh pelaku usaha untuk menghindarkan diri dari bukti-bukti
kartel seperti pertemuan rutin, perjanjian untuk melakukan pengaturan dan hal-
hal yang cenderung menjadi bukti bagi penegak hukum persaingan. Dalam hal
ini berkembang model pembuktian kartel dengan menggunakan Indirect
Evidence, yang antara lain dilakukan melalui penggunaan berbagai analisis
ekonomi yang bisa membuktikan adanya korelasi antara satu fakta dengan
fakta ekonomi lainnya, sehingga akhirnya menjadi sebuah kartel yang utuh
dengan identifikasi sejumlah kerugian bagi masyarakat di dalamnya.
Menjadi permasalahan adalah ketika dalam Pasal 42 Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan
Usaha Tidak Sehat Jo. Pasal 72 Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha
Tentang Tata Cara Penanganan Perkara, belum secara tegas dan spesifik
menyatakan bahwa Indirect Evidence merupakan suatu alat bukti yang sah atau
tidak. Maka, hal tersebut mengakibatkan lemahnya penanganan perkara dalam
Komisi Pengawas Persaingan Usaha sebagai lembaga yang paling terdepan
untuk mengawasi persaingan usaha tidak sehat di Indonesia serta Mahkamah
Agung sebagai lembaga peradilan tertinggi di Indonesia. Hal ini terlihat adanya
perbedaan putusan hakim dalam memutus perkara yang menggunakan Indirect
Evidence ada yang menerima dan ada yang menolak, sebagaimana dalam
putusan perkara Nomor 294 K/ PDT.SUS/2012 dan putusan perkara Nomor.
163/PDT.G/KPPU/2017)
Berdasarkan uraian di atas peneliti tertarik untuk meneliti mengenai
Penggunaan Alat Bukti Tidak Langsung (Indirect Evidence) Oleh
Mahkamah Agung dalam Perkara Kartel di Indonesia (studi kasus 294 K/
PDT.SUS/2012 dan Putusan Nomor. 163/PDT.G/KPPU/2017).
4 Harun M. Husein, Kasasi Sebagai Upaya Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 1992), h.,195.
5
B. Identifikasi, Pembatasan dan Rumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Berangkat dari latar belakang yang telah peneliti paparkan
sebelumnya, peneliti mengidentifikasi masalah antara lain:
a. Kurangnya penegasan alat bukti yaitu Indirect Evidence dalam
Hukum Persaingan di Indonesia sehingga mengakibatkan sulitnya
penegakkan hukum persaingan usaha tidak sehat yang berkaitan
dengan kartel.
b. Kurangnya kerjasama yang baik antara KPPU dan instansi
Pemerintah serta pelaku usaha dalam hal penyelidikan terhadap
dugaan persaingan usaha tidak sehat, sehingga KPPU sering kali
mengalami kesulitan dalam melaksanakan tugasnya karena kurang
data pendukung.
c. Kurangnya perkuatan kelembagaan persaingan usaha antara lain
yang mencakup pengembangan sumber daya manusia, sarana dan
prasarana pendukung sehingga mengakibatkan disharmonisasi dalam
menentukan kebijakan dan peraturan yang berkaitan dengan
persaingan tidak sehat.
d. Kurangnya publikasi terhadap peraturan yang dibuat oleh Komisi
Pengawas Persaingan Usaha dan terbatasnya ruang gerak KPPU.
e. Kurangnya internalisasi nilai-nilai persaingan usaha sehat dalam
pendidikan baik formal maupun informal.
2. Pembatasan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah yang telah
dipaparkan, banyak permasalahan-permasalahan penting yang perlu
dijawab, akan tetapi untuk mempermudah penelitian ini, perlu diadakan
pembatasan masalah, agar pembahasan dari penelitian ini hanya
berfokus untuk menjawab satu permasalahan yaitu berkaitan dengan
Penggunaan Indirect Evidence oleh Mahkamah Agung, yang mana
berkaitan dengan Putusan Mahkamah Agung Nomor 294 K/
PDT.SUS/2012 dan Putusan Nomor. 163/PDT.G/KPPU/2017 sebagai
6
putusan yang diterima dan ditolak oleh Mahkamah Agung berkaitan
dengan adanya penggunaan Indirect Evidence.
3. Perumusan Masalah
Perumusan masalah pada penelitian ini adalah adanya
ketidaksesuaian antara Putusan Mahkamah Agung dengan Komisi
Pengawas Persaingan Usaha dalam penggunaan Indirect Evidence
dalam menangani perkara Kartel.
Adapun pertanyaan penelitian dari permasalahan di atas adalah sebagai
berikut:
a. Bagaimana penggunaan alat bukti tidak langsung (Indirect Evidence)
pada Putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha, Perkara Nomor
294 K/ PDT.SUS/2012 dan 163/PDT.G/KPPU/2017?
b. Bagaimana Penggunaan Indirect Evidence dalam Sistem Pembuktian
dalam Hukum Persaingan Usaha di Indonesia?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari adanya penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Untuk mengetahui penggunaan alat bukti tidak langsung (Indirect
Evidence) pada Putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha,
Perkara Nomor 294 K/ PDT.SUS/2012 dan
163/PDT.G/KPPU/2017.
b. Untuk mengetahui posisi penggunaan Indirect Evidence dalam
Sistem Pembuktian di Indonesia.
2. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari adanya penelitian ini adalah:
a. Manfaat bagi peneliti adalah untuk melatih kemampuan dan
menerapkan teori- teori yang telah didapatkan dari bangku kuliah
kedalam sebuah penelitian terhadap fenomena yang terjadi di
lapangan dan merumuskan kedalam sebuah tulisan ilmiah sebagai
7
syarat mendapat gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Syariah dan
Hukum di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
b. Manfaat bagi pemerintah, yaitu sebagai kajian lebih lanjut terhadap
pembuktian dalam penanganan perkara kartel di Komisi Pengawas
Persaingan Usaha serta Mahkamah Agung.
D. Metode Penelitian
1. Pendekatan Penelitian
Pendekatan penelitian dalam penelitian ini adalah normatif, yang
mana penelitian normatif adalah penelitian hukum yang dilakukan
dengan cara meneliti bahan kepustakaan yang mencakup penelitian
terhadap asas-asas hukum, sistematika hukum, sinkronisasi vertikal dan
horizontal, perbandingan hukum antar negara, ataupun dari
perkembangan hukum positif dari kurun waktu tertentu.5
2. Jenis Penelitian
Dalam penelitian ini, digunakan penelitian hukum kualitatif, yaitu
penelitian yang mencoba memahami fenomena dalam seting dan
konteks naturalnya (bukan di dalam labolatorium) dimana peneliti
tidak berusaha untuk memanipulasi fenomena yang diamati. Serta
penelitian kualitatif berusaha menggali dan memahami pemaknaan akan
kebenaran yang berbeda-beda oleh orang yang berbeda.6
3. Data Penelitian
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer, data
sekunder dan data tersier:
a. Data Primer, data yang berupa putusan yang berkaitan dalam
penggunaan Indirect Evidence dalam kartel di Indonesia yaitu
Putusan perkara Nomor 294 K/ PDT.SUS/2012 dan 163/Pdt.
G/KPPU/2017.
5 Mukti Fajar dan Yulianto achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan
Empiris, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015), h.,44.
6 Samiaji Sarosso, Penelitian Kualitatif Dasar-dasar, (Jakarta: PT Indeks, 2012), h.,7.
8
b. Data Sekunder, adalah data yang berasal dari studi kepustakaan
melalui literatur ilmiah berupa buku, jurnal, artikel, dan lain
sebagainya yang berkaitan.
c. Data tersier, adalah data yang berupa ensiklopedia atau kamus
ataupun internet.
4. Metode dan Teknik Pengumpulan Data
Metode dan teknik pengumpulan data adalah berbagai cara yang
digunakan untuk mengumpulkan data, menghimpun, mengambil, atau
menjaring data penelitian. Adapun metode dan teknik pengumpulan
data yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi dokumen yaitu
pengkajian informasi tertulis mengenai hukum yang tidak
dipublikasikan secara umum tetapi boleh diketahui oleh pihak
tertentu. Studi dokumen dilakukan dengan mengkaji putusan yang
mana berkaitan dengan Putusan Mahkamah Agung Nomor 294 K/
PDT.SUS/2012 dan Putusan Nomor. 163/PDT.G/KPPU/2017. 7
5. Metode Analisis Data
Analisis data adalah sebuah kegiatan untuk mengatur,
mengelompokkan, memberi kode/tanda, dan mengkategorikan
sehingga diperoleh suatu temuan berdasarkan fokus masalah yang
ingin dijawab.8
Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian adalah
metode analisis data deskriptif dan analisis data naratif.
a. Analisis data deskriptif adalah pencarian fakta dengan interpretasi
yang tepat. Penelitian deskriptif mempelajari masalah-masalah
dalam masyarakat serta tata cara yang berlaku dalam masyarakat
dan situasi-situasi tertentu, termasuk tentang hubungan, kegiatan-
kegiatan, sikap-sikap, pandangan-pandangan, serta proses-proses
7 Abdul Khadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, (Bandung: PT Citra
Aditya Bakti,2004), h.,81-83.
8 Imam Gunawan, Metode Penelitian Kualitatif Teori dan Praktik, ...h.,209.
9
yang sedang berlangsung dan pengaruh-pengaruh dari suatu
fenomena. Dalam metode deskriptif, peneliti bisa saja
membandingkan fenomena-fenomena tertentu sehingga merupakan
suatu studi komparatif.9
b. Analisis Naratif, dimana peneliti akan menganalisis informasi yang
berisi rangakaian peristiwa dari waktu kewaktu yang dijabarkan
dengan urutan awal, tengah dan akhir.10
6. Metode Penulisan
Dalam penyusunan penelitian ini peneliti menggunakan metode
penulisan sesuai dengan sistematika penulisan yang ada pada “Buku
Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta Tahun 2017.”
E. Sistematika Penelitian
Sistematika ini merupakan gambaran dari penelitian agar memudahkan
dalam mempelajari seluruh isinya. Penelitian ini dibahas dan diuraikan
menjadi 5 (lima ) bab, adapun bab-bab yang dimaksud adalah sebagai
berikut:
BAB 1 : Pendahuluan memuat secara keseluruhan mengenai latar
belakang masalah, identifikasi, pembatasan dan perumusan
masalah, tujuan danmanfaat penelitian, metode penelitian, dan
sistematika penulisan.
BAB II : Merupakan kajian pustaka yang bersumber pada bahan hukum
mengenai persoalan yang berkaitan dengan permasalahan yang
diteliti. Kajian pustaka tersebut terdiri dari kerangka teori dan
kerangka konseptual dan juga tinjauan (review) terdahulu.
BAB III : Berisi data penelitian yaitu rangkuman Putusan Perkara 294 K/
9 Moh. Nazir, Metode Penelitian, (Jakarta: Gahlia Indonesia, 2014), h.,144.
10Samiaji Sarosso, Penelitian Kualitatif Dasar-Dasar,...h.,84.
10
PDT.SUS/2012 dan Putusan Nomor. 163/PDT.G/KPPU/2017
serta peraturan yang berkaitan.
BAB IV : Bab ini membahas mengenai analisis putusan 294 K/
PDT.SUS/2012 dan Putusan Nomor. 163/PDT.G/KPPU/2017
berkaitan dengan pertimbangan Hakim Mahkamah Agung
dalam menerima maupun menolak Putusan Komisi Pengawas
Persaingan Usaha yang berhubungan dengan posisi Indirect
Evidence dalam pembuktian di Indonesia.
BAB V : Penutup berisi kesimpulan yang merupakan jawaban atas
permasalahan yang diteliti dan juga direkomendasikan dari
hasil penelitian.
11
BAB II
TINJAUAN UMUM SISTEM PEMBUKTIAN DI INDONESIA
A. Kerangka Konseptual
1. Arti Pembuktian
Praktik peradilan selalu menjadi harapan masyarakat yang mencari
keadilan, dalam menyuguhkan pembuktian dalam berbagai rangkaian
kegiatannya. Pembuktian selalu memberikan arti yang sangat
bermanfaat untuk pencarian kebenaran yang hakiki, dalam
memperjuangkan hak-hak hukum masyarakat. Arti penting pembuktian
ini sangat bersifat menyeluruh dan universal, serta merupakan suatu
basis utama dalam tata kelola hukum atas suatu peristiwa dan keadaan
hukum, yang tentunya telah mengakibatkan hukum dalam artian yang
konkret.1 Dengan demikian perhatian mengenai pembuktian mesti
mendapat perhatian lebih oleh negara, agar setiap warga negara menjadi
tenang dan berbahagia, dalam meraih impian dan cita-cita, menjadi
masyarakat yang berkeadilan, berkesejahteraan dan berbahagia.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “bukti” terjemahan
dari Bahasa Belanda, bewijs diartikan sebagai sesuatu yang menyatakan
kebenaran suatu peristiwa. Dalam kamus hukum, bewijs diartikan
sebagai segala sesuatu yang memperlihatkan kebenaran fakta tertentu
atau ketidakbenaran fakta lain oleh para pihak dalam perkara
pengadilan, guna memberi bahan kepada hakim bagi penilaiannya.
Sementara itu, membuktikan berarti memperlihatkan bukti dan
pembuktian diartikan sebagai proses, perbuatan, atau cara
membuktikan.2
R. Soepomo berpendapat bahwa pembuktian mempunyai dua arti.
Pertama dalam arti luas, pembuktian membenarkan hubungan hukum.
1 Syaiful Bakhri, Dinamika Hukum Pembuktian Dalam Pencapain Keadilan, (Depok: PT
RajaGrafido Persada, 2018), h.,24.
2 Eddy O.S. Hiariej, Teori dan Hukum Pembuktian, (Jakarta: Erlangga, 2012), h.,3.
12
Misalnya jika hakim mengabulkan gugatan penggugat. Gugatan
penggugat yang dikabulkan mengandung arti hakim telah menarik
kesimpulan bahwa hal yang dikemukakan oleh penggugat sebagai
hubungan hukum antara penggugat dan tergugat adalah benar, oleh
karena itu membuktikan dalam arti yang luas berarti memperkuat
kesimpulan hakim dengan syarat-syarat bukti yang sah. Kedua, dalam
arti terbatas, pembuktian hanya diperlukan apabila hal yang
dikemukakan oleh penggugat itu dibantah oleh tergugat.3
Menurut Sudikmo Mertokusumo, membuktikan mempunyai
beberapa pengertian yaitu arti logis, konvensional, dan yuridis.
Pertama, membuktikan dalam arti logis ialah memberikan kepastian
yang bersifat mutlak karena berlaku bagi setiap orang dan tidak
memungkinkan adanya bukti lawan. Kedua, pembuktian dalam arti
konvensional inilah memberikan kepastian yang bersifat nisbi atau
relatif, yang sifatnya mempunyai tingkatan-tingkatan. Memberikan
kepastian yang bersifat nisbi atau relatif ini dibagi menjadi dua, yakni
kepastian yang didasarkan atas perasaan belaka, atau kepastian yang
bersifaf intuitif yang biasa disebut conviction intime dan kepastian yang
didasarkan atas pertimbangan akal yang biasa disebut conviction
rasionance. Ketiga, membuktikan dalam arti yuridis ialah memberi
dasar-dasar yang cukup kepada hakim yang memeriksa perkara yang
bersangkutan guna memberi kepastian tentang kebenaran peristiwa
yang diajukan.4
Selanjutnya adalah mengenai pengertian hukum pembuktian, M.
Yahya Harahap tidak mendifinisikan hukum pembuktian, melainkan
memberi definisi pembuktian sebagai ketentuan-ketentuan yang berisi
penggarisan dan pedoman tentang tata cara yang dibenarkan undang-
undang membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa.
3 R. Subekti, Hukum Pembuktian Cetakan ke 1, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2008), h.,1.
4 Sudikmo Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 1982), h., 101.
13
Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur mengenai alat
bukti yang boleh digunakan hakim guna membuktikan kesalahan
terdakwa.5
2. Parameter Pembuktian
Perjuangan Keadilan untuk sejatinya, memenuhi hasrat berhukum
yang baik dan benar, haruslah taat pada kaidah-kaidah ataupun hal-hal
yang fundamental adanya pembuktian yang bertujuan mulia yaitu
mendapatkan dan memberikan keyakinan penyidikan, penuntutan
hingga hakim dalam memutuskan dan mengakhiri pergolakan di
peradilan. Adapun karakter atau parameter pembuktian sebagai hal
fundamental terkait suatu pembuktian adalah 6
Pertama, suatu bukti haruslah relevan dengan sengketa atau
perkara yang sedang di proses, Artinya, bukti tersebut berkaitan dengan
fakta-fakta yang menunjuk pada suatu kebenaran suatu peristiwa.
Kedua, suatu bukti haruslah dapat diterima atau admissible. Biasanya
suatu bukti yang diterima dengan sendirinya dengan relevan.
Sebaliknya, suatu bukti yang tidak relevan, tidak dapat diterima.
Kendatipun demikian, dapat saja suatu bukti relevan, tetapi tidak dapat
diterima. Misalnya adalah testimoni de auditu atau kearsay, yakni
mendengar kesaksian dari orang lain. Tegasnya, suatu bukti yang dapat
diterima pasti relevan, namun tidak sebaliknya, suatu bukti yang
relevan belum tentu dapat diterima. Dengan kata lain, primacie dari
bukti yang diterima adalah bukti yang relevan.
Ketiga, adalah exclusionary rules. Dalam beberapa literatur dikenal
dengan exclusionary discretion. Phyllis B. Gerstenfeld memberi definisi
istilah exclusionary rules sebagai prinsip hukum yang mensyaratkan
tidak diakuinya bukti yang diperoleh secara melawan hukum.
5 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapann KUHAP Pemeriksaan
Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), h., 252.
6 Eddy O.S. Hiariej, Teori dan Hukum Pembuktian, (Jakarta: Erlangga, 2012), h., 10-13.
14
Tegasnya, peraturan yang mensyaratkan bahwa bukti yang diperoleh
secara ilegal tidak dapat diterima di pengadilan. Terlebih dalam konteks
pidana, kendatipun suatu bukti relevan dan dapat diterima dari sudut
pandang penuntut umum, bukti tersebut dapat dikesampingkan oleh
hakim bilamana perolehan bukti tersebut dilakukan tidak sesuai dengan
aturan. Keempat, dalam konteks pengadilan, setiap bukti yang relevan
dan dapat diterima harus dapat dievaluasi oleh hakim. Dalam konteks
yang demikian, kita memasuki kekuatan pembuktian atau
bewijsskracht. Di sini hakim akan menilai setiap bukti yang satu dengan
yang bukti lain, kemudian akan menjadikan bukti-bukti tersebut sebagai
dasar pertimbangan hakim dalam mengambil keputusan.
Selanjutnya adalah empat karakter hukum pembuktian yang
dikenal dalam hukum pembuktian modern7:
a. Hukum pembuktian meliputi hal yang sangat luas. Di sini Hukum
pembuktian meliputi segala sesuatu yang berkaitan dengan
pembuktian itu sendiri, dimulai dari tahap pengumpulan bukti,
penyampaian bukti sampai ke pengadilan, penilaian terhadap setiap
bukti sampai pada beban di pengadilan.
b. Perkembangan hukum pembuktian sangat berpengaruh bagi
perkara yang sedang ditangani dan bukti yang dimiliki. Di sini,
perkembangan zaman, termasuk perkembangan teknologi dan ilmu
pengetahuan, akan sangat berpengaruh pada hukum pembuktian.
c. Hukum pembuktian bukanlah sistem yang teratur. Kuat atau
lemahnya pembuktian tergantung pada kesesuaian antara fakta
yang satu dengan fakta yang lain yang dapat dibuktikan dan
diyakinkan kepada hakim. Ada kalanya material facts atau fakta-
fakta pokok yang harus dibuktikan pada kenyataannya tidak bisa
meyakinkan hakim, dengan sendirinya pembuktian atas fakta
tersebut dianggap lemah. Dapat juga fakta yang satu yang harus
7 Eddy O.S. Hiariej, Teori dan Hukum Pembuktian,...h., 13.
15
membuktikan fakta yang lain (Factum probandum) terdapat
ketidaksesuaian sehingga pembuktian yang demikian juga
dianggap lemah.
d. Tidak ada satu kesatuan hukum pembuktian yang dapat diterapkan
untuk semua proses hukum. Dalam konteks hukum pembuktian di
Indonesia, masing-masing lapangan hukum memiliki hukum
pembuktian sendiri. Ada hukum pembuktian pidana dan ada
pembuktian perdata, bahkan seiring perkembangan berbagai
kejahatan, hukum pembuktian tergantung pada kejahatan yang
dihadapi. Misalkan saja hukum pembuktian pidana memiliki
berbagai macam pembuktian tergantung pada kejahatan yang
dihadapi. Tindak Pidana umum yang ada dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana (KUHP), Pembuktiannya mengikuti apa
yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP), sedangkan tindak pidana khusus, masing-masing
memiliki hukum pembuktian tersendiri seperti tindak pidana
korupsi, tindak pidana terorisme dan tindak pidana pencucian uang.
Hal-hal di atas merupakan hal fundamental dalam hal
pembuktian adapun parameter lebih lanjutnya mengenai pembuktian
adalah sebagai berikut:8
a. Bewijstheorie
Bewijstheorie adalah teori pembuktian yang dipakai sebagai
dasar pembuktian oleh hakim di pengadilan. Ada empat teori
pembuktian. Pertama, Positief wettelijk beweijstheorie yang mana
hakim terikat secara positif kepada alat bukti menurut undang-
undang. Artinya, jika dalam pertimbangan, hakim telah
menganggap terbukti suatu perbuatan sesuai dengan alat-alat bukti
yang disebut dalam undang-undang tanpa di perlukan keyakinan,
hakim, dapat menjatuhkan putusan. Kedua, conviction intime, yang
8 Ansori Sabuan, Syariffuddin Petanasse dkk, Hukum Acara Pidana, (Bandung: Angkasa Bandung, 1990), h., 189.
16
berarti keyakinan semata. Artinya, dalam menjatuhkan putusan,
dasar pembuktiannya semata-mata diserahkan kepada keyakinan
hakim. Dia tidak terikat kepada alat bukti, namun atas dasar
keyakinan yang timbul dari hati nurani dan sifat bijaksana seorang
hakim, ia dapat menjatuhkan putusan. Ketiga, conviction raisonee,
Artinya, dasar pembuktian menurut keyakinan hakim dalam batas-
batas tertentu atas alasan yang logis. Disini, hakim diberi
kebebasan untuk memakai alat-alat bukti disertai dengan alasan
yang logis. Keempat, negatief wettelijk bewijstheorie. Dasar
pembuktian menurut keyakinan hakim yang timbul dari alat-alat
bukti dalam undang-undang secara negatif.9
b. Bewijsmiddelen
Bewijsmiddelen adalah alat-alat bukti yang digunakan untuk
membuktikan telah terjadinya suatu peristiwa hukum. Mengenai
apa saja yang menjadi alat bukti, akan diatur dalam hukum acara.
Dalam buku IV Kitab Undang-undang Hukum Acara Perdata yang
mengatur tentang pembuktian dan daluwarsa, alat bukti terdiri atas:
bukti tulisan, bukti dengan saksi-saksi, persangkaan, pengakuan,
sumpah dan segala sesuatu dengan mengindahkan aturan-aturan
yang ditetapkan dalam bab-bab yang berikut.
Dalam hukum acara pidana di Indonesia, alat bukti yang diakui
di pengadilan sama dengan alat bukti yang digunakan di banyak
negara. Berdasarkan Pasal 184 KUHAP, alat bukti yang sah dalam
hukum acara pidana adalah keterangan saksi, keterangan ahli,
surat, petunjuk dan keterangan terdakwa.
Dalam perkembangan di Indonesia masing-masing hukum
acara memuat ketentuan mengenai alat bukti yang berbeda antara
satu dengan yang lainnya. Misalnya hukum acara Mahkamah
Konstitusi menyebutkan bahwa alat bukti dalam persidangan
9 Eddy O.S. Hiariej, Teori dan Hukum Pembuktian, (Jakarta: Erlangga, 2012), h., 15.
17
Mahkamah Konstitusi adalah surat atau tulisan, keterangan saksi,
keterangan ahli, keterangan para pihak, petunjuk dan alat bukti lain
berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau
disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa
dengan itu.10
Dalam konteks hukum Pidana, untuk menanggulangi
kejahatan-kejahatan luar biasa seperti terorisme dan korupsi, alat
bukti yang dapat digunakan di depan sidang pengadilan tidak
sebatas yang termaktub dalam Pasal 184 KUHAP semata, tetapi
juga alat bukti lainnya. Dalam Undang-undang Pemberantasan
Tindak Pidana Terorisme, dikenal alat bukti lain berupa informasi
yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara
elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu. Demikian
pula alat bukti lain berupa data, rekaman, atau informasi yang
dapat dilihat, dibaca, dan atau didengar, yang dapat dikeluarkan
dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas
kertas, benda fisik apapun selain kertas atau yang terekam secara
elektronik termasuk, tetapi tidak terbatas pada, tulisan, suara atau
gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda angka
simbol atau perforasi yang memiliki makna atau dapat dipahami
oleh orang yang mampu membaca atau memahaminya.
Perluasan alat bukti seperti dalam undang-undang
pemberantasan tindak pidana terorisme, yaitu segala sesuatu yang
dapat membuktikan telah terjadi tindak pidana terorisme dapat
digunakan dalam sidang pegadilan. Artinya, sudah tidak ada
pembatasan yang tegas antara alat bukti dan barang bukti.
Demikian halnya dalam menghadapi perkembangan teknologi
informasi, data elektronik adalah alat bukti yang sah dan dapat
10
Eddy O.S. Hiariej, Teori dan Hukum Pembuktian,...h., 19.
18
digunakan dalam sidang pengadilan sebagaimana dimaksud dalam
undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik.11
c. Bewijsvoering
Secara harfiah Bewijsvoering diartikan sebagai penguraian cara
bagaimana menyampaikan alat-alat bukti kepada hakim di
pengadilan bagi negara-negara yang cenderung menggunakan due
process model dalam sistem peradilan pidananya, perihal
Bewijsvoering ini cukup menjadi perhatian. Dalam Due Process
Model, negara begitu menjunjung tinggi hak asasi manusianya
(Hak-hak tersangka) sehingga acap kali seorang tersangka
dibebaskan oleh pengadilan dalam pemeriksaan praperadilan
lantaran bukti di peroleh dengan cara tidak sah yang biasa disebut
unlawful legal evidence.
d. Bewijslast
Bewijslast adalah pembagian beban pembuktian yang
diwajibkan oleh undang-undang untuk membuktikan suatu
peristiwa hukum. Dalam hukum positif, asas pembagian beban
pembuktian tercantum dalam Pasal 163 Herzine Indische
Reglement, Pasal 283 Reglement Op de Burgelijke dan Pasal 1865
Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang menyebutkan bahwa
yang diembani kewajiban untuk membuktikan adalah pihak yang
mendalihkan bahwa ia mempunyai suatu hak orang lain yang
menunjuk pada suatu peristiwa. Hal ini berdasarkan asas actori
incumbit Probatio yang berarti siapa yang menggugat, dialah yang
wajib membuktikan.
11 Eddy O.S. Hiariej, Teori dan Hukum Pembuktian, (Jakarta: Erlangga, 2012), h., 15-26.
19
3. Asas Terkait Pembuktian
Pemahaman terhadap asas dalam pendekatan ilmu hukum
merupakan landasan utama yang menjadi dasar atau acuan bagi lahirnya
suatu aturan. Pemahaman terhadap asas hukum perlu sebagai tuntutan
etis dalam mendalami peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Asas hukum mengandung tuntutan etis. Dapat dikatakan, melalui asas
hukum, peraturan hukum berubah sifatnya menjadi bagian dari suatu
aturan etis.12
Adapun beberapa asas yang terkait dengan hukum acara termasuk
pembuktian adalah sebagai berikut:
a. Due Process of Law
Due Process of Law diartikan sebagai seperangkat prosedur
yang diisyaratkan oleh hukum sebagai standar beracara yang
berlaku universal. Dalam kaitannya dengan pembuktian, due
process of law memiliki hubungan yang erat dengan masalah
bewijsvoering yaitu cara memperoleh, mengumpulkan, dan
menyampaikan bukti sampai ke pengadilan. Tidak jarang hal-hal
yang bersifat formalistik mengesampingkan kebenaran materiil. Di
negara-negara yang menjunjung tinggi due process of law, dalam
hukum acaranya, perlindungan terhadap individu dari tindakan
sewenang-wenang aparat negara mendapat perhatian khusus.13
b. Presumption of Innocent
Presumption of Innocent diartikan sebagai asas praduga tidak
bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan
bersalah dan telah mempunyai kekuatan hukum. Di sisi lain dikenal
juga asas Presumption of Guilt yang artinya, seseorang sudah
12
Frence M. Wantu DKK, Cara Cepat Belajar Hukum Acara Perdata, (Yogyakarta: Reviva Cendekia, 2010), h., 13.
13 Donny W. Tobbing, Tinjauan Hukum Terhadap Hukum Acara Persaingan Usaha
dalam perspektif Due Process of Law, v.1 No. 1 November 2017, h., 3.
20
dianggap bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang
menyatakan dia bersalah.
Asas praduga tidak bersalah adalah pengarahan bagi aparat
penegak hukum tentang bagaimana mereka harus bertindak lebih
lanjut dan mengesampingkan asas praduga tak bersalah dalam
tingkah laku mereka terhadap tersangka. Intinya, praduga tidak
bersalah berifat legal normative dan tidak berorientasi pada hasil
akhir. Sementara itu asas praduga bersalah bersifat deskriptif
faktual. Artinya, berdasarkan fakta-fakta yang ada, si tersangka
pada akhirnya akan dinyatakan bersalah. Oleh sebab itu
terhadapnya harus dilakukan proses hukum mulai dari tahap
penyelidikan, penyidikan, penuntutan, sampai pada tahap
pengadilan.
c. Legalitas
Nullum delictum nulla poena sine pravia lege poenali yang
berarti tidak ada perbuatan pidana atau tidak ada suatu pidana tanpa
undang-undang pidana sebelumnya adalah salah satu prinsipat
dalam hukum pidana dikenal dengan asas legalitas.14
d. Adversary system
Adversary system diartikan sebagai sistem peradilan dimana
pihak-pihak yang bersebrangan mengajukan bukti-bukti yang
saling berlawanan dalam usahanya memenangkan putusan yang
menguntungkan pihaknya. Persidangan di Amerika Serikat adalah
proses adversial karena para pengacara (yang bersebrangan)
berusaha memenangkan putusan yang menguntungkan pihaknya
masing-masing. Sistem Hukum Amerika berasumsi bahwa
kebenaran akan muncul melalui pertentangan di antara kedua belah
pihak yang bersebrangan yang memberikan interpretasi berlawanan
terhadap bukti-bukti yang dikemukakan kepada pencari fakta.
14 Eddy O.S. Hiariej, Teori dan Hukum Pembuktian, (Jakarta: Erlangga, 2012), h., 34-35.
21
e. Actori in cumbit Probatio dan Actori Incumbit Onus Probandi
Asas Actori in cumbit Probatio secara harfiah berarti siapa
yang menggugat dialah yang wajib membuktikan. Kalau dalam
Hukum Acara Perdata dikenal asas actori in cumbit probatio
sebagaimana diutarakan di atas, dalam hukum acara pidana dikenal
asas actori incumbit onus probandi. Dalam konteks hukum pidana,
yang melakukan penuntutan adalah jaksa penuntut umum sehingga
jaksa penuntut umumlah yang diwajibkan membuktikan kesalahan
terdakwa.15
f. Secundum Allegat Iudicare
Asas Secudum Allegat Iudicare, asas ini dikenal dalam hukum
acara perdata yang menandakan bahwa hakim dalam perkara
perdata bersifat pasif. Dalam kaitannya dengan hukum
pembuktian, sangat terkait asas pembagian beban pembuktian.
Berdasarkan peristiwa-peristiwa yang diajukan oleh para pihak
kemudian ditentukan peristiwa mana yang harus dibuktikan.
Tidak selamanya penggugat yang harus membuktikan suatu
peristiwa yang diajukan dalam persidangan. Dapat saja
berdasarkan peristiwa yang diajukan kemudian ditentukan yang
harus membuktikan adalah tergugat. Intinya siapa yang
membuktikan atas peristiwa yang diajukan di persidangan adalah
pihak yang mengaku mempunyai suatu hak atau mengukuhkan hak
sendiri atau membantah hak orang lain.
g. Negative Non Sunt Probanda
Negative Non Sunt Probanda, diartikan sebagai membuktikan
sesuatu yang negatif sangatlah sulit. Asas ini berkaitan dengan
beban pembuktian. Misalnya, ketika si A dituduh melakukan suatu
kejahatan, yang harus membuktikan adalah jaksa penuntut umum.
Tidak sebaliknya, si A yang harus membuktikan bahwa dia tidak
15 Https://jurnal.kpk.go.id. Kearah Pergeseran Beban Pembuktian, h.,89 diunduh tanggal
25 Apr. 19
22
melakukan kejahatan yang dituduh. Hal ini dianggap lebih sulit
karena si A harus membuktikan sesuatu yang negatif, dalam
pengertian sesuatu yang tidak dilakukannya.16
h. Unus Testis Nullus Testis
Secara harfiah Unus Testis Nullus Testis berarti seorang saksi
bukanlah saksi.17 Tegasnya untuk membuktikan suatu peristiwa
hukum, baik dalam konteks pidana maupun perdata, dibutuhkan
minimal dua orang saksi.
e. Audi Et Alteram Partem
Audi Et Alteram Partem berarti dalam mengadili hakim harus
mendengar kedua belah pihak, hal ini berarti hakim tidak boleh
menerima keterangan dari salah satu pihak saja.18Hal ini dimaksud
agar ada keseimbangan antara penggugat dengan tergugat atau
antara jaksa penuntut umum dengan terdakwa demi terciptanya
suatu peradilan yang objektif.19
B. Kerangka Teoritis
1. Teori Rule of the Reason
Rule of the reason adalah suatu doktrin yang dibangun berdasarkan
penafsiran atas ketentuan Sherman Antitrust Act oleh Mahkamah
Agung Amerika Serikat. Pendekatan ini merupakan kebalikan dari
pendekatan per se Ilegal. Pendekatan Rule of the reason adalah suatu
pendekatan yang menentukan meskipun suatu perbuatan telah
memenuhi rumusan undang-undang, namun jika ada alasan objektif
16Achmad Ali dan Wiwie Heryani, Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata, (Jakarta:
Prenamedia Group, 2012), h., 118.
17Pangabean, Hukum Pembuktian Teori-Praktik dan Yurisprudensi Indonesia, (Bandung: PT. Alumni, 2012), h., 81.
18Bambang Sugeng, dan Suyadi, Pengantar Hukum Acara Perdata dan Contoh Dokumen
Litigasi, (Jakarta: Kencana group, 2012), h., 5.
19Achmad Ali dan Wiwie Heryani, Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata, (Jakarta: Prenamedia Group, 2012), h., 62.
23
yang dapat membenarkan perbuatan tersebut maka perbuatan itu bukan
merupakan suatu pelanggaran. Artinya, penerapan hukumnya
tergantung pada akibat yang ditimbulkannya, apakah perbuatan itu
telah menimbulkan praktik monopoli atau persaingan usaha tidak
sehat, karena titik beratnya adalah unsur materil dari perbuatannya.
Jadi penerapan hukum dalam pendekatan rule of the reason
mempertimbangkan alasan-alasan mengapa dilakukannya suatu
tindakan/suatu perbuatan oleh pelaku usaha.
Untuk menerapkan prinsip ini, tidak hanya diperlukan pengetahuan
ilmu hukum, tetapi penguasaan terhadap ilmu ekonomi. Dengan
perkataan lain, melalui pendekatan rule of the reason, apabila suatu
perbuatan yang dituduhkan melanggar hukum persaingan, maka
pencari fakta harus mempertimbangkan dan menentukan apakah
perbuatan tersebut menghambat persaingan, dan apakah perbuatan itu
tidak adil atau mempunyai pertimbangan lainnya. Dapat dikatakan
bahwa rule of the reason lebih memfokuskan kepada melihat apakah
akibat yang dimunculkan dari suatu perbuatan yang dilakukan.
Pertimbangan argumentasi yang perlu dipertimbangkan antara lain
pada aspek ekonomi, keadilan, efisiensi, perlindungan terhadap
golongan ekonomi tertentu dan fairness.20
2. Teori Kemanfaatan
Hukum adalah semua aturan yang mengatur tingkah laku
bermasyarakat yang dituangkan dalam bentuk aturan-aturan yang
berlaku umum dan mengikat. Secara Proporsional harus ada tiga unsur
hukum (Idee des recht), yaitu kepastian hukum (rechtssicherkeit),
Keadilan (gerechtigkeit), dan kemanfaatan (Zweckmasigkeit). Jika
dikaitkan dengan teori penegakan hukum sebagaimana disampaikan
20
Susanti Adi Nugraha, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, dalam Teori dan
Praktik Serta Penerapan Hukumnya, (Jakarta: Kencana, 2012), h.,711.
24
oleh Gustav Radbruch dalam idee des recht yaitu penegakan hukum
harus memenuhi ketiga asas tersebut.21
Berkaitan dengan adanya konsep “The greatest happines of the
greatest number” yang digagas oleh Jeremy Bentham (Teori utilitas),
kemanfaatan hukum kemudian berevolusi dan relevansi kemanfaatan
saat ini sejalan dengan paradigma hukum progesif yang digagas oleh
Satjipto Rahardjo.22 Yang menyatakan, “Hukum adalah untuk manusia
dan bukan sebaliknya,.. dan hukum itu tidak ada untuk dirinya sendiri
melainkan untuk sesuatu yang lebih luas, yaitu untuk harga diri
manusia, kebahagiaan, kesejahteraan dan kemuliaan manusia”.
Satjipto menyatakan bahwa “hukum itu bukan hanya bangunan
peraturan, melainkan juga bangunan ide, kultur, dan cita-cita. Kritikan
ini ditunjukan pada pencapaian tujuan pembangunan (ekonomi) versi
negara, yang bagi Satjipto tidak mencerminkan bangunan ide, kultur,
dan cita-cita dari manusia yang menjadi objek dari pemikiran hukum
dan pembangunan. Oleh karena itu, manusia (individu) dianggap
sebagai penentu dan menjadi orientasi hukum. Hukum bertugas
melayani manusia, bukan sebaliknya. Mutu hukum ditentukan oleh
kemampuannya mengabdi pada kesejahteraan manusia. Itulah
sebabnya hukum progresif menganut ideologi: Hukum Pro-rakyat dan
hukum pro-keadilan.23
Teori dari Jermy Bentham merupakan individualisme ulitarian, “
alam telah menempatkan umat manusia di bawah pemerintahan dua
penguasa yaitu “suka dan duka”. Apa yang harus kita lakukan dan apa
21
Fence M Wantu, Antinomi Dalam Penegakan Hukum Oleh Hakim, Jurnal Berkala
Mimbar Hukum, Vol.19 No.3Oktober 2007, Yogyakarta, Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, h., 395.
22 Satjipto Raharjo, Hukum Progresif, Sebuah Sistem Hukum Indonesia, (Yogyakarta: Genta Publising, 2009), h., 28.
23 Satjipto Raharjo, Liberalisme, Kapitalisme, dan Hukum Indonesia, Dalam Karolus
Kopong Medan, Frans J Rangkas (eds), 2003, Liberalisme, Kapitalisme, dan Hukum Indonesia:
sisi-sisi lain dari Hukum Indonesia, Jakarta, Kompas, h., 22.
25
apa yang akan kita perbuat, semua ditunjukkan dan ditetapkan dalam
ranngka kedua hal itu. Keduanya memandu kita dalam segala yang kita
perbuat, dalam segala yang kita katakan dan pikirkan. Segala usaha
yang dapat dilakukan untuk menolak ketaklukkan kita terhadap dua
kekuasaan itu, hanya akan membuktikan dan menegaskan kebenaran
itu.24
Jeremy Bentham adalah untuk menghasilkan kebahagiaan bagi
masyarakat, untuk itu perundang-undangan harus berusaha untuk
mencapai empat tujuan yaitu:
1. Untuk memberi nafkah
2. Untuk memberi nafkah yang berlimpah
3. Untuk memberikan perlindungan
4. Untuk mencapai persamaan
Masyarakat mengharapkan manfaat dalam pelaksanaan atas
penegakan hukum. Hukum itu untuk manusia, maka pelaksanaan
hukum atau penegakan hukum harus memberi manfaat atau kegunaan
bagi masyarakat. Jangan sampai justru karena hukumnya dilaksanakan
atau ditegakkan malah akan timbul keresahan di dalam masyarakat itu
sendiri. Menurut Jeremy Bentham sebagaimana dikutip oleh
Mohamad Aunurrohim mengatakan “ Hukum barulah dapat diakui
sebagai hukum, jika ia memberikan kemanfatan yang sebesar-
besarnya terhadap sebanyak-banyaknya orang.25
C. Pembuktian Dalam Kartel di Amerika Serikat dan Indonesia
Dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, Perjanjian
Kartel dilarang, Kartel “ Pelaku Usaha dilarang membuat perjanjian,
dengan pelaku usaha pesaingnya, yang bermaksud untuk mempengaruhi
24
Frederickus Fios, Keadilan Hukum Jeremy Bhentham dan Relevansinya Bagi Praktik
Hukum Kontemporer, Binus University, 2005, h., 303.
25 Frederickus Fios, Keadilan Hukum Jeremy Bhentham dan Relevansinya Bagi Praktik
Hukum Kontemporer, ...h., 302.
26
harga dengan mengatur produksi dan/atau pemasaran suatu barang dan/
atau jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau
persaingan usaha tidak sehat”. Dengan demikian, kartel merupakan salah
satu bentuk jenis monopoli, dimana beberapa pelaku usaha atau produsen
yang secara yuridis ekonomis masing-masing berdiri sendiri, bersatu untuk
mengontrol produksi, menentukan harga, dan/atau wilayah pemasaran atas
suatu barang dan/atau jasa, sehingga di antara mereka tidak ada lagi
persaingan. Kartel biasanya diprakasai oleh asosiasi dagang (trade
assosiations) bersama para anggotanya.26
Terjadinya praktik kartel dilatarbelakangi oleh persaingan yang
cukup sengit di pasar. Untuk menghindari persaingan fatal ini, anggota
kartel setuju menentukan harga bersama, mengatur produksi bahkan
menentukan secara bersama-sama potongan harga, promosi, dan syarat-
syarat penjualan. Biasanya harga dipasang kartel lebih tinggi dari harga
yang terjadi di pasar kalau tidak ada kartel. Kartel juga bisa melindungi
perusahaan yang tidak efisien, yang bisa hancur bila masuk kartel, dengan
kata lain kartel menjadi pelindung bagi pelaku usaha yang lemah.27
Bentuk kartel bermacam-macam dalam dunia usaha dapat dijumpai
dan dapat dibedakan ke dalam beberapa tipe sebagai berkut:
1. Kartel Kondisi, Kartel ini diwujudkan dalam bentuk syarat-syarat
penjual yang sama dengan syarat penyerahan barang dan pembayaran.
Kartel ini membatasi persaingan dalam hal memberikan pelayanan
kepada para konsumen di luar yang disepakati, dan para anggota kartel
bebas dalam bidang-bidang lainnya.
2. Kartel Harga, Dalam kartel ini persaingan harga antara anggota kartel
ditiadakan, karena para anggota kartel tidak boleh menjual di bawah
26Susanti Adi Nugraha, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, dalam Teori dan Praktik
Serta Penerapan Hukumnya, (Jakarta: Kencana, 2012), h., 176.
27Suhasril dan mohammad Taufik Makarao, Hukum larangan praktik monopoli dan
Pesaingan Usaha Tidak Sehat di Indonesia, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), h., 57.
27
harga yang telah ditentukan kecuali harga minimum, juga disepakati
harga tertentu buat para anggota kartel.
3. Kartel kalkulasi, Kartel ini dibedakan antara skema kalkulasi yang
terbuka dan tertutup. Untuk yang terbuka kartel hanya menyepakati
harga jual harus terdiri atas unsur-unsur apa saja. Untuk yang tertutup
disepakati jumlah uangnya yang boleh dimasukan sebagai unsur-unsur
perhitungan. Kartel Kalkulasi dengan skema kalkulasi tertutup
mempunyai dampak yang sama dengan kartel harga. Untuk yang
terbuka harga dari berbagai anggota kartel bisa berbeda-beda, sehingga
masih ada persaingan dalam harga.
4. Kartel Produksi dan penjualan, Di sini para anggota kartel hanya boleh
memproduksi atau menjual jumlah tertentu saja dalam periode tertentu.
Penentuan jumlah tertentu saja dalam periode tertentu. Penentuan
jumlah masing-masing (kuota) dapat dengan berbagai cara. Kuotanya
bisa dinyatakan dalam jumlah satuan tertentu, tetapi juga bisa dalam
bentuk % (persen) tertentu dari keseluruhan produksi dan penjualan.
Sistem pertama tidak mempunyai keleluasaan, sedangkan sistem
terakhir penawaran dapat disesuaikan dengan perkembangan
permintaann.
5. Kartel Pembagian Pasar. Kartel ini membatasi persaingan dengan
membagi pasar di antara para anggota kartel. Pembagian ini bisa atas
dasar wilayah dan atas jenis barang dan sebagainya.
6. Kartel pembagian laba, kartel ini adalah kartel dengan jangkauan kerja
sama yang sangat luas. Kartel menentukan bahwa semua laba
disetorkan kepada kas pusat (pool), yang kemudian dibagi atas dasar
formula tertentu. Dengan demikian persaingannya sangat dibatasi,
dengan kartel ini lalu timbul kepentingann bersama antara para anggota
kartel. Kartel pembagian laba terdapat antara lain dalam bidang jasa
pelayaran yang sifatnya internasional.
7. Kartel sindikat, kartel tipe ini sindikat penjualannya dipusatkan pada
suatu pasar penjualan. Penggabungannya bisa sedemikian jauh,
28
sehingga sama sekali tidak ada kontak lagi antara perusahaan dengan
para langganannya.28
Dalam hubungannya dengan penegakkan hukum (Law
enforccement) terhadap kartel, berdasarkan Pedoman Pasal 11 Peraturan
Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 4 Tahun 2010 Tentang
Kartel, setelah memperoleh bukti-bukti yang cukup adanya suatu kartel,
maka selanjutnya adalah melakukan pembuktian apakah benar-benar
telah terjadi kartel yang dapat dipersalahkan antara para pelaku usaha.
Sesuai dengan perumusan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1999 yang bersifat rule of the reason, maka dalam rangka membuktikan
apakah telah terjadi kartel yang dilarang perlu dilakukan pemeriksaan
secara mendalam mengenai alasan-alasan pelaku usaha melakukan kartel.
Penegak hukum persaingan usaha harus memeriksa apakah alasan-alasan
para pelaku usaha melakukan kartel ini dapat diterima (reasonable
restrait).
Pedoman Pasal 11 Tentang Kartel merupakan petunjuk
pelaksanaan untuk membuktikan dan menentukan unsur-unsur adanya
kartel, yang digunakan KPPU untuk membuktikan unsur-unsur yang
terdapat dalam Kartel berdasar Pasal 11 Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1999, yaitu:
1. Pelaku Usaha, setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang
berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan
dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum
republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui
perjanjian, menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang
ekonomi.
2. Perjanjian, pada dasarnya kartel merupakan salah satu perjanjian
yang dilarang dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Bentuk
perjanjian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 7 Undang-
28 Susanti Adi Nugraha, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, dalam Teori dan Praktik
Serta Penerapan Hukumnya, (Jakarta: Kencana, 2012), h.,180.
29
Undang Nomor 5 Tahun 1999 dapat berbentuk tertulis maupun tidak
tertulis. Pembuktian perjanjian tidak tertulis dapat dilakukan melalui
bukti kesepakatan yang tertuang dalam agenda rapat dalam bentuk
catatan maupun notula. Namun, untuk membuktikan adanya
perjanjian tertulis, KPPU sering kali mengalami kesulitan
memperoleh data tersebut karena pelaku usaha tidak kooperatif dan
menolak memberikan data, selain itu KPPU tidak mempunyai
kewenangan untuk menggeledah dan menyita dokumen yang
diperlukan sebagai pembuktian.
3. Pelaku Usaha Pesaingnya, unsur pelaku usaha pesaingnya adalah
pelaku usaha dalam pasar bersangkutan, di mana konsep dan
pengertian pasar bersangkutan diatur berdasarkan Peraturan Komisi
Pengawas Persaingan Usaha Nomor 3 Tahun 2009 mengenai
Pedoman Pasal 1 Angka 10 Tentang Pasar Bersangkutan.
4. Bermaksud mempengaruhi harga dan mengatur produksi dan/atau
pemasaran barang atau jasa. Perilaku para anggota kartel untuk
mempengaruhi harga merupakan salah satu unsur yang penting yang
dijadikan indikasi awal adanya kartel. Hal ini mengingat tujuan akhir
pembentukkan kartel adalah maksimalisasi profit dengan
menetapkan harga eksesif melalui berbagai cara, misalnya saja
membatasi kapasitas produksi dan pasokan barang.
5. Mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan persaingan usaha
tidak sehat, unsur terakhir ini diartikan sebagai pemusatan kekuatan
ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha, yang mengakibatkan
dikuasainya produksi dan/atau pemasaran barang atau jasa tertentu
sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat. Sementara
unsur dapat mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat adalah
persaingan antara pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan
30
produksi dan/atau pemasaran barang atau jasa dengan cara tidak
jujur.29
Dalam teori persaingan usaha, alat-alat bukti dalam investigasi kartel
dapat diklasifikasikan menjadi dua jenis. Pertama, bukti langsung yaitu
bukti yang dapat menjelaskan adanya perjanjian atau kesepakatan tertulis
atau tidak tertulis yang secara jelas menerangkan materi kesepakatan,
contohnya adalah adanya perjanjian tertulis. Misalnya untuk menyepakati
harga, mengatur produksi dan mengatur pasar, membagi wilayah
pemasaran, menyepakati tingkat keuntungan masing-masing . Rekaman
Komunikasi antar pelaku usaha kartel yang menyepakati mengenai
adanya suatu kolusi kartel. Kedua, bukti tidak langsung yaitu bukti yang
tidak dapat menjelaskan secara terang dan spesifik mengenai materi
kesepakatan antara pelaku usaha yang terdiri dari bukti ekonomi dan
bukti komunikasi. 30
Bukti komunikasi yang membuktikan adanya komunikasi dan/atau
pertemuan antar pelaku kartel, namun tidak menjelaskan mengenai
substansi yang dibicarakan, contohnya adalah rekaman komunikasi antar
pesaing dan bukti perjalanan menuju suatu tempat yang sama antar
pesaing, selain itu, notulen rapat yang menunjukkan pembicaraan
mengenai harga, permintan atau kitas terpasang untuk bukti ekonomi,
contohnya antara lain perilaku pelaku usaha di dalam pasar atau industri
secara keseluruhan, dan bukti perilaku yang memfasilitasi kartel seperti
pertukaran informasi dan adanya signal harga. Namun, ketentuan
perundang-undangan Pasal 42 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999
Juncto Pasal 64 Ayat 1 Peraturan KPPU Nomor 1 Tahun 2006 secara
tegas mempersyaratkan dalam menilai terjadi atau tidaknya pelanggaran
29 Susanti Adi Nugraha, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, Dalam Teori dan Praktik
Serta Penerapan Hukumnya, (Jakarta: Kencana, 2012), h.,176.
30 Susanti Adi Nugraha, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, Dalam Teori dan Praktik
Serta Penerapan Hukumnya,...h.,190.
31
alat bukti yang digunakan adalah keterangan saksi, keterangan ahli, surat
atau dokumen, petunjuk, serta keterangan terlapor.31
Dengan demikian, apabila Indirect Evidence hendak digunakan,
kedudukannya hanyalah sebagai pendukung atau penguat dari salah satu
alat bukti yang dimaksud. Di samping itu, dalam menggunakan Indirect
Evidence harus terdapat kesesuaian fakta secara utuh yang diperoleh
melalui metode keilmuan. Hal inilah yang menjadi tantangan tersendiri
bagi KPPU untuk membuktikan adanya pelanggaran kartel. Hal ini
dimungkinkan karena institusi ini harus dapat menunjukkan adanya bukti
langsung dan bukti tidak langsung.
Dalam hal penegakan hukumnya terhadap kartel, hampir disemua
negara menggunakan secara per se ilegal32contohnya saja Amerika
serikat, yang mana kartel dianggap sebagai per se ilegal di negara-negara
barat sebab pada kenyataan bahwa price fixing dan perbuatan-perbuatan
kartel mempunyai dampak negatif terhadap harga dan output jika
dibandingkan dengan dampak pasar yang kompetitif. Adapun kartel
jarang sekali menghasikan efisiensi karena yang dihasilkan sangat kecil
dibandingkan dengan dampak negatif tindakan-tindakannya. Kartel
diakui sebagai kolaborasi bisnis yang paling merugikan, dengan cara
pengontrol pasar untuk keuntungan mereka. Oleh karena itu secara
normal, kartel dinilai per se ilegal. Adanya keharusan untuk melakukan
penyidikkan yang perinci hanya akan menghindarkan kelumpuhan dari
hukum. hal ini tentu berbeda dengan penegakkan hukum di Indonesia
yang menggunakan rule of the reason dalam menganalisis kartel, yang
mana larangan berkaitan dengan kartel ini hanya berlaku apabila
perjanjian kartel tersebut dapat mengakibatkan terjadinya monopoli dan
atau persaingan usaha tidak sehat.
31http://www.kppu.go.id/id/blog/2010/07/Sulitnya Membuktikan Praktik Kartel/diunduh
tanggal 25 Apr. 19
32 Rachmadi Usman, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h., 286.
32
Berikut perbedaan antara penegakan hukum di Amerika Serikat
dengan Indonesia berkaitan dengan pembuktian kartel, pembuktian
dalam penanganan kartel di Amerika Serikat dapat menggunakan bukti
langsung (direct evidence) seperti rekaman kesaksian, maupun juga
bukti tidak langsung (Indirect evidence atau circumstantial evidence)
seperti tawaran yang mencurigakan, catatan perjalanan dan biaya
perjalanan, catatan telepon, dan catatan harian. Sedangkan untuk
circumstantial evidence terbagi menjadi dua yakni jenis bukti yang
tergolong comunication dan economic evidence. Terdapat dua jenis
economic evidence yaitu struktur pasar yang sedemikian rupa sehingga
layak untuk membuat adanya kartel, dan pasar berperilaku dalam cara
yang non-kompetitif.33
Selanjutnya dikenal dengan “Harga Paralelisme” Penerapan
terhadap economic evidence dan Harga Paralelisme ini dapat ditemukan
dalam kasus Theatre Enterprices, inc. V. Paramount Film Distrubing
Corp.346 U.S.537,540-1 (1954) yang menggunakan perilaku bisnis, dan
Belt Atlantic Corp Twombly yang menggunakan harga paralelisme.
Selain itu di Amerika juga menggunakan Plus Factor dari evidence.Hal
ini yang menjadikan penanganan perkara kartel di Amerika Serikat
berjalan lebih efektif ketimbang yang dilakukan oleh KPPU, karena di
Indonesia hanya dapat diterima penggunaan Direct Evidence berupa
petunjuk, keterangan saksi, keterangan ahli, surat atau dokumen, dan
keterangan pelaku usaha. Meskipun KPPU pernah menggunakan Indirect
Evidence, namun hal tersebut tidak diterima saat diajukan upaya
keberatan di pengadilan negeri maupun di Mahkamah Agung, maka
putusan KPPU tersebut dibatalkan.34
33 Nur Ana Wijayanti dan Ditha Wiradputra , Perbandingan Penanganan Perkara Kartel
Dalam Hukum Persaingan Usaha di Indonesia dan Antitrust Law di Amerika Serikat, ( Depok:FH UI, 2014), h.,13.
34 Nur Ana Wijayanti dan Ditha Wiradputra , Perbandingan Penanganan Perkara Kartel
Dalam Hukum Persaingan Usaha di Indonesia dan Antitrust Law di Amerika Serikat, ..., h., 14.
33
D. Tinjauan (review) Kajian Terdahulu
Untuk membuktikan orginilitas dari penelitian ini, peneliti perlu
untuk melakukan tinjauan kajian studi terdahulu. Berikut ini beberapa
persamaan dan perbedaan dari penelitian sebelumnya:
1. Skripsi oleh Gelza Sectine Putri, dari Universitas Airlangga dengan
judul Indirect Evidence dalam Kartel (Sebuah Perbandingan antara
United States Antitrust Law dengan Hukum Persaingan Usaha di
Indonesia. Persamaan dari penelitian sebelumnya adalah objek
penelitiannya sama-sama mengenai Indirect Evidence dan perbedaan
dari penelitian yang akan peneliti lakukan yaitu dalam penelitian
sebelumnya ini membahas mengenai penerapan Indirect Evidence
dalam kasus yang terjadi di Amerika Serikat dan Indonesia. Sedangkan
peneliti akan meneliti mengenai alasan hukum Mahkamah Agung
membatalkan Putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Dalam
Perkara Kartel, yang mengabulkan dan menerima adanya penggunaan
Indirect Evidence, berkaitan dengan Putusan perkara Mahkamah
Agung Nomor 294 K/ PDT.SUS/2012 dan Putusan Nomor.
163/PDT.G/KPPU/2017.
2. Buku teks edisi kedua, yang diterbitkan oleh Komisi Pengawas
Persaingan Usaha yang berjudul Hukum Persaingan Usaha, dimana
dalam buku ini persamaan dengan peneliti di dalam Hukum Persaingan
Usaha membahas mengenai perjanjian yang dilarang termasuk kartel
sedangkan perbedaannya adalah jika dalam buku ini membahas secara
keseluruhan Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, peneliti lebih
spesifik terhadap pembuktian dalam kartel dengan adanya Indirect
Evidence dalam suatu putusan perkara Mahkamah Agung Nomor 294
K/ PDT.SUS/2012 dan Putusan Nomor. 163/PDT.G/KPPU/2017.
3. Jurnal oleh VERI ANTONI dan SA’IDA RUSDIANA dari
Universitas Gajah Mada yang berjudul Penggunaan Indirect Evidence
sebagai alat bukti dalam Perkara Kartel dari Perspektif Hukum Acara
Perdata dan Acara Persaingan Usaha, yang menjadi persamaan adalah
34
sama-sama meneliti penggunaan Indirect Evidence. Adapun
perbedaannya adalah bahwa peneliti terdahulu melihat Indirect
Evidence dari Hukum Acara Perdata dan Acara Persaingan Usaha
sedangkan peneliti akan meneliti penggunaan Indirect Evidence,
berkaitan dengan Putusan Perkara Mahkamah Agung Nomor 294
K/PDT.SUS/2012 dan perkara Nomor. 163/PDT.G/KPPU/2017.
35
BAB III
PENERAPAN ALAT BUKTI TIDAK LANGSUNG
DALAM HUKUM PERSAINGAN USAHA DI INDONESIA
A. Alat Bukti dalam Hukum Persaingan Usaha
Alat bukti dapat didefinisikan sebagai segala hal yang dapat
digunakan untuk membuktikan perihal kebenaran suatu peristiwa di
pengadilan.1 Mengenai apa saja yang termasuk alat bukti, masing-masing
hukum acara suatu peradilan akan mengaturnya secara rinci. Alat bukti
dalam hukum acara pidana berbeda dengan alat bukti dalam hukum acara
perdata, demikian pula dengan alat bukti yang berlaku bagi acara
persidangan dalam perkara-perkara tertentu.
Untuk sampai kepada suatu keputusan apakah seseorang atau suatu
badan hukum telah melakukan pelanggaran persaingan usaha, maka KPPU
dalam proses pemeriksaan dan/atau penyelidikan, harus pula melakukan
pembuktian. Pembuktian disini, selain diperoleh dari keterangan yang
diberikan pelapor dan pelaku beserta dengan dokumen-dokumen, KPPU
juga memperoleh dari alat-alat bukti yang dipergunakan dalam
pemeriksaan perkara persaingan usaha.2
Dalam proses pemeriksaan, KPPU memerlukan bukti-bukti bahwa
pelaku usaha yang bersangkutan melanggar Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1999 dan peraturan pelaksanaannya. Adapun alat-alat bukti yang
digunakan oleh KPPU berbeda dengan alat-alat bukti yang digunakan
dalam hukum acara perdata, tetapi mirip dengan alat-alat bukti yang
tercantum di dalam KUHAP. Dalam Pasal 42 Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1999 Jo. Pasal 72 Peraturan Komisi Nomor 1 Tahun 2010, alat-alat
bukti pemeriksaan KPPU terdiri dari:
1 Eddy O.S. Hiariej, Teori dan Hukum Pembuktian, (Jakarta: Erlangga, 2012), h., 52.
2 Rachmadi Usman, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013),
h., 159.
36
1. Keterangan saksi
2. Keterangan ahli,
3. Surat/dokumen,
4. Petunjuk,
5. dan keterangan pelaku usaha.
Kekhasan yang menonjol dari hukum persaingan usaha dalam
kerangka hukum ekonomi adalah kondisi karakteristik substantialnya yang
meliputi seluruh aspek dari bidang-bidang hukum yang selama ini kita
kenal (hukum perdata dan hukum publik) di dalam sistem hukum nasional.
Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa memang hukum persaingan
usaha memliki dimensi hukum publik dan hukum perdata. Dibanyak kasus
persaingan usaha terdapat unsur peristiwa hukum perdata didalamnya,
seperti adanya perjanjian dan kesepakatan diantara pelaku usaha yang
bersaing namun sebenarnya jika dipahami, maka hubungan perdata
tersebut adalah bagian dari suatu persekongkolan jahat yang merugikan
publik atau pelaku usaha lain, sehingga sebenarnya peristiwa perdata
tersebut telah masuk dalam ranah hukum pidana atau setidaknya suatu
tindakan perdata yang merugikan pihak perdata lainnya.3
B. Bukti langsung (Direct evidence) dan bukti tidak langsung (Indirect
evidence) dalam Hukum Persaingan Usaha
KPPU dalam pembuktian kartel dengan berbagai tantangannya
harus dapat menunjukan adanya bukti langsung dan bukti tidak langsung .
Dalam teori hukum persaingan usaha. Alat-alat bukti dalam proses
investigasi kartel dapat diklasifikasikan menjadi dua jenis, yaitu:
1. Bukti langsung, Bukti langsung adalah bukti yang dapat diamati
(observable elements) dan menunjukkan adanya suatu perjanjian
penetapan harga atas barang dan atau jasa oleh pelaku usaha yang
3 Susanti Adi Nugraha, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, Dalam Teori dan Praktik
Serta Penerapan Hukumnya, (Jakarta: Kencana, 2012), h.,601.
37
bersaing. Di dalam bukti langsung tersebut terdapat kesepakatan dan
substansi dari kesepakatan tersebut. Bukti langsung dapat berupa:
a. Perjanjian tertulis, untuk menyepakati harga, mengatur produksi,
mengatur pasar, membagi wilayah pemasaran, menyepakati tingkat
keuntungan masing-masing.
b. Rekaman Komunikasi (baik tertulis maupun dalam bentuk
elektronik) antara pelaku kartel yang menyepakati mengenai
adanya suatu kolusi kartel
c. Pernyataan lisan dan/atau tulisan yang dilakukan oleh pelaku
kartel yang menyepakati kartel dibuktikan dengan rekaman,
catatan, atau kesaksian yang memenuhi syarat.
2. Bukti tidak langsung atau Indirect Evidence adalah suatu bukti yang
secara tidak langsung menyatakan adanya kesepakatan penetapan harga.
Bukti tidak langsung dapat digunakan sebagai pembuktian terhadap
terjadinya suatu keadaan/kondisi yang dapat dijadikan dugaan atas
pemberlakuan suatu perjanjian yang tertulis.4 Bukti tidak langsung
dapat berupa:
a. Bukti komunikasi, yang membuktikan adanya komunikasi dan atau
pertemuan antara pelaku kartel namun tidak menjelaskan mengenai
substansi yang dibicarakan. Contohnya, rekaman komunikasi antar
pesaing. Bukti perjalanan menuju suatu tempat yang sama dan
dalam waktu yang bersamaan antar pesaing, namun tidak
menjelaskan topik yang dibicarakan. Notula rapat yang
menunjukkan pembicaraan mengenai harga, permintaan, atau
kapasitas terpasang. Dokumen internal yang menjelaskan mengenai
strategi harga pesaing.
b. Bukti ekonomi yang contohnya adalah Perilaku pelaku usaha di
dalam pasar atau industri secara keseluruhan, antara lain harga
yang paralel, keuntungan yang tinggi, pangsa pasar yang stabil,
4 Susanti Adi Nugraha, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, Dalam Teori dan Praktik
Serta Penerapan Hukumnya, (Jakarta: Kencana, 2012), h.,141.
38
catatan pelanggaran hukum persaingan usaha yang pernah
dilakukan oleh pelaku usaha. Bukti perilaku yang memfasilitasi
kartel, antara lain pertukaran informasi, adnaya signal harga,
ongkos angkut yang sama, perlindungan harga. Bukti ekonomi
struktural antara lain tingkat konsentrasi industri yang tinggi,
tingginya hambatan masuk, banyaknya integrasi vertikal, produk
yang homogen.
Dalam persoalan penggunaan alat bukti, KPPU bukan saja
menggunakan keberadaan bukti langsung (direct evidence) sebagai satu
satunya jalur tempuh dan jalan masuk untuk mengungkap kegiatan usaha
yang melanggar rambu-rambu yang diatur dalam Undnag-Undang Nomor
5 Tahun 1999, melainkan lembaga ini juga menggunakan bukti tidak
langsung (Indirect Evidence) dengan mendasarkan pada Pasal 42 Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1999, selain itu juga menggunakan peraturan
KPPU Nomor 1 Tahun 2010 Tentang Tata Cara Penanganan Perkara di
KPPU. 5
Munculnya bukti tidak langsung agaknya dijadikan dasar oleh
KPPU, disebabkan karena pembuktian dengan menggunakan perjanjian
atau kesepakatan tertulis sangat sulit untuk dilakukan, atas dasar inilah
merupakan suatu tantangan cukup berat bagi KPPU untuk membuktikan
adanya pelanggaran kartel. Hal ini dimungkinkan karena institusi ini harus
dapat menunjukkan adanya bukti langsung dan bukti tidak langsung.
Ketiadaan wewenang KPPU untuk melakukan penggeledahan dan menyita
surat-surat dan dokumen perusahaan menjadi salah satu penyebab sulitnya
pembuktian dalam perkara-perkara persaingan usaha, maka dianggap
hukum persaingan usaha memiliki ciri khas sendiri dalam proses
pembuktian di KPPU dengan di pengadilan harus mengikuti sifat dan ciri
khas tersendiri dalam pembuktian dalam penyelesaian kasus-kasus
persaingan usaha.
5 Susanti Adi Nugraha, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, Dalam Teori dan Praktik
Serta Penerapan Hukumnya, (Jakarta: Kencana, 2012), h.,192.
39
C. Kelebihan dan Kekurangan Indirect Evidence Dalam Hukum
Persaingan Usaha
1. Kelebihan Indirect Evidence dalam Hukum Persaingan Usaha
Secara umum dapat dikatakan bahwa hukum persaingan usaha
adalah hukum yang mengatur segala sesuatu yang berkaitan dengan
persaingan usaha, istilah hukum persaingan usaha telah diatur dan
sesuai dengan substansi ketentuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1999 Tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak
Sehat yang mencakup pengaturan anti monopoli dan persaingan usaha
dengan segala aspek-aspeknya yang terkait. Adanya undang-undang
ini diharapkan dapat menjamin adanya persaingan usaha sehat di
Indonesia.
Bagaimanapun juga hukum sangat dibutuhkan untuk mengatur
kehidupan bermasyarakat di dalam segala aspeknya, apakah itu
kehidupan sosial, politik dan budaya, apalagi yang tidak kalah
pentingnya adalah fungsinya atau peranannya dalam pembangunan
ekonomi. Dalam kegiatan ekonomi inilah justru hukum sangat
diperlukan, karena sumber-sumber ekonomi yang terbatas disatu pihak
dan terbatasnya permintaan atau kebutuhan sumber ekonomi di lain
pihak, agar dapat mencegah timbulnya konflik antara sesama warga
dapat memperebutkan sumber-sumber ekonomi tersebut. Beranjak dari
apa yang dikemukakan, jelas bahwa hukum mempunyai peranan
penting dalam pembangunan ekonomi, terutama berkaitan dengan
terciptanya efisiensi ekonomi untuk mewujudkan kesejahteraan sosial,
lebih lanjut, dapat dikatakan bahwa Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1999 Tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak
Sehat itu merupakan instrumen penting dalam mendorong terciptanya
efisiensi ekonomi, dan menciptakan iklim kesempatan berusaha yang
sama bagi semua pelaku usaha. Eksistensi Undang-Undang Nomor 5
40
Tahun 1999 perlu didorong agar mampu merealisasikan Konsep Law
as a Tool encourage Economic Efficiency.6
Suasana yang kompetitif adalah syarat mutlak bagi negara-
negara berkembang seperti Indonesia untuk mencapai pertumbuhan
ekonomi yang efisien, termasuk proses industrialisasinya. Dalam pasar
yang kompetitif perusahaan-perusahaan akan saling bersaing untuk
menarik lebih banyak konsumen dengan menjual produk mereka
dengan harga yang serendah mungkin, meningkatkan mutu produk,
dan memperbaiki pelayanan mereka kepada konsumen. Untuk berhasil
dalam suatu pasar yang kompetitif, maka perusahaan-perusahaan harus
berusaha untuk mengembangkan produk baru dengan desain baru yang
inovatif. Untuk hal ini, maka perusahaan-perusahaan perlu
mengembangkan dan meningkatkan kemampuan teknologi mereka,
baik teknologi proses produksi maupun teknologi produk. Hal ini akan
mendorong kemajuan teknologi dan diharapkan juga pertumbuhan
ekonomi yang pesat.
Perkembangan teknologi yang diharapkan untuk mencapai
pertumbuhan ekonomi yang pesat, tidak dapat dipungkiri pula bahwa
perkembangan tersebut mempengaruhi tatanan aktivitas manusia
termasuk penerapan hukum sendiri. Penggunaan berbagai macam
peralatan teknis oleh manusia memungkinkan mereka melakukan
beragam berbagai aktivitas secara virtual (maya) termasuk dalam hal
ini dalam bidang perdagangan. Adanya perkembangan teknologi pun
berpengaruh terhadap pembuktian dalam sistem peradilan di Indonesia,
salah satu bukti perkembangan teknologi yang berpengaruh terhadap
pembuktian dalam sistem peradilan di Indonesia adalah adanya
pengakuan alat bukti secara elektonik berawal dari perintisan oleh
United Nation Commision On Internasional Trade (UNCITRAL) yang
mencantumkan dalam e-commerce model law ketentuan mengenai
6Hermansayah, Pokok-Pokok Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, (Jakarta:Kencana, 2009), h., 7.
41
transaksi elektronik di akui sederajat “ tulisan” di atas kertas sehingga
tidak dapat ditolak sebagai bukti pengadilan.7 Di Indonesia pun
berkaitan dengan pembuktian elektronik dapat dilihat dari Undang-
Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi
elektronik yang menyatakan bahwa informasi elektronik dan/atau
dokumen elektonik dan/atau hasil cetakannya merupakan alat bukti
yang sah.
2. Kekurangan Penggunaan Indirect Evidence dalam Hukum Persaingan
Usaha
Berkaitan dengan perkembangan teknologi yang semakin pesat,
dan perkembangan dunia usaha yang begitu ketatnya dalam
penanganan kartel pun menjadikan sebuah tantangan tersendiri bagi
peradilan di Indonesia. Pembuktian kartel dalam penegakkan hukum
persaingan usaha menjadi sulit dilakukan mengingat kartel dilakukan
oleh para pelaku usaha dengan para pesaingnya yang sepakat
melakukan konspirasi mengenai hal-hal yang sangat pokok dalam
suatu transaksi bisnis yang meliputi harga, wilayah, dan konsumen.
Adanya konspirasi yang dilakukan para pelaku melalui berbagai
perjanjian menjadikan lembaga penegak hukum seperti KPPU dalam
menangani perkara kartel tidak jarang menggunakan Indirect Evidence
dalam menjerat pelaku usaha yang melakukan praktik kartel di
Indonesia.
Penggunaan Indirect Evidence tidak serta merta diajukan oleh
KPPU dari proses penelitian panjang KPPU dilandaskan pada metode
penelitian yang dapat dipertanggungjawabkan kevalidan atau
kesahihan analisisnya. Metode pembuktian praktek kartel dengan
menggunakan Indirect Evidence menitik beratkan kepada bagaimana
menentukan substitusi dari suatu produk dengan menggunakan : data-
7 Didik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom. Cyber Law Aspek Hukum Teknologi. ( Bandung: refika Aditama, 2009), h., 110.
42
data ekonomi, market research, pendefinisian pasar melalui direct
interview dengan melakukan wawancara langsung dengan konsumen
dan pelaku usaha dan indirect interview dengan consumer survey
menggunakan kuisioner.
Adanya Indirect Evidence yang diberikan oleh biro investigasi
KPPU, dapat dianalisis adanya indikasi kartel. Dengan berbekal
potensi kartel ini, biro penindakan KPPU dapat menggunakan Indirect
Evidence sebagai senjata awal mengungkap kasus kartel. Efeknya,
praktik kartel dapat ditindak secara lebih dini, tanpa harus
mendapatkan dahulu bukti langsung ataupun laporan dari pelaku usaha
pesaing. Dengan adanya pembuktian terlebih dahulu dengan adanya
Indirect Evidence akan menjamin kepastian hukum terhadap pihak
yang diduga melakukan praktik kartel, selain memberikan keadilan
karena telah ada suatu prosedur hukum yang melindungi hak-hak
pelaku usaha.
Indonesia menganut teori pembuktian bebas dan selain
pembuktian secara materil, namun juga pembuktian secara formil.
Yakni selain memenuhi unsur-unsur substantifnya, juga harus
memenuhi unsur ketentuan hukum acaranya. Berkaitan dengan
penggunaan Indirect Evidence. Peraturan Komisi Pengawas
Persaingan Usaha Nomor 4 Tahun 2010 telah menerangkan bahwa
dalam hal berkembang model pembuktian kartel dengan penggunaan
Indirect Evidence yang antara lain dilakukan melalui penggunaan
berbagai hasil analisis ekonomi yang bisa membuktikan adanya
korelasi antar satu fakta ekonomi dengan fakta ekonomi lainnya,
sehingga akhirnya menjadi sebuah bukti kartel yang utuh dengan
identifikasi sejumlah kerugian bagi masyarakat di dalamnya. Namun
dalam peraturan komisi tersebut masih mengatur Indirect Evidence
secara umum, belum adanya pengaturan secara tegas dan spesifik
terkait pengggunaan Indirect Evidence dalam mengungkap adanya
praktek kartel di Indonesia sehingga dalam hal ini hakim dalam
43
memutus adanya perkara kartel dengan menggunakan bukti tidak
langsung (Indirect Evidence) masih terdapat perbedaan dimana ada
yang menolak dan ada pula yang menerima adanya pembuktian
dengan Indirect Evidence, hal ini dapat dilihat dengan adanya putusan
perkara Nomor 294 K/PDT.Sus/2012 yang dalam pertimbangan
putusannya menolak adanya Indirect Evidence dan Putusan Perkara
Nomor 163/PDT.G/KPPU/2017 yang dikuatkan oleh Putusan
Mahkamah Agung Nomor 217K/PDT.SUS/KPPU/2019 sebagai
putusan yang menerima adanya pembuktian dengan Indirect Evidence.
D. Kronologis Kasus Perkara Nomor 294 K/ PDT.SUS/2012 dan
163/PDT.G/KPPU/2017
1. Kronologis Kasus Perkara Nomor 294 K/ PDT.SUS/2012
Kasus Obat hipertensi antara PT. Pfizer Indonesia dengan PT.
Dexa Medica sampai pada proses Kasasi, yang mana dalam kasasinya
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) berkedudukan sebagai
pemohon kasasi dan PT. Pfizer Indonesia Serta PT. Dexa Medica
berkedudukan sebagai termohon kasasi.
Sebelum kasasi, dalam kasus perkara PT. Pfizer Indonesia
dengan PT. Dexa Medica telah melalui proses hukum di Komisi
Pengawas Persaingan Usaha yang mana jelas tertuang dalam Putusan
KPPU No. 17/KPPU-1/2010, dalam putusan tersebut menyatakan
bahwasannya para terlapor yaitu PT. Pfizer Indonesia, Pfizer Inc,
Pfizer Overseas LLC, Pfizer Global Trading dan PT. Pfizer
Corporation Panama terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar
Pasal 5, Pasal 16, Pasal 25 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1999 yang ditetapkan melalui musyawarah dalam sidang
majelis komisi pada hari Senin tanggal 27 September 2010 dan
dibacakan di muka persidangan yang dinyatakan terbuka untuk umum
pada hari dan tanggal yang sama oleh Majelis Komisi yang terdiri dari
Prof. Dr. Ir. H. Ahmad Ramadhan Siregar, M.S., sebagai Ketua
44
Majelis Komisi, Erwin Syahril, S.H. dan Ir. H. Tadjuddin Noer Said
masing-masing sebagai Anggota Majelis, dengan dibantu oleh Akbar
Hariyadi, S.H. dan Yossi Yusnidar, S.H. masing-masing sebagai
Panitera.
Terhadap Putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor
17/KPPU-1/2010, PT. Pfizer Indonesia beserta Terlapor lainnya
mengajukan permohonan keberatan pada Senin tanggal 18 Oktober
2010 di Pengadilan Jakarta Pusat, hal ini karena PT. Pfizer Indonesia
mempunyai domisili di Jakarta Pusat. Adapun Permohonan keberatan
dari PT. Pfizer Indonesia beserta terlapor lainnya adalah salah satunya
berkaitan dengan adanya pembuktian yaitu adanya doktrin single
economic entity atau entitas ekonomi tunggal untuk menentukan
kesatuan kelompok ekonomi Pfizer dan adanya supply agreement dan
distribution agreement dalam hal menentukan perjanjian kerjasama
produksi dan penetapan harga, serta adanya Paralel Pricing
(Pergerakan harga) antara harga obat Norvask dan Tensivask.
Berkaitan dengan upaya keberatan yang diajukan tersebut Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat telah menjatuhkan Putusan No.
05/Pdt.KPPU/2010/PN.Jkt.Pst., tanggal 7 September 2011 yang
amarnya adalah mengabulkan keberatan yang diajukan oleh pemohon
keberatan untuk seluruhnya dan membatalkan Putusan KPPU Nomor
17/KPPU-I/2010 tertanggal 27 September 2010 untuk seluruhnya serta
menghukum termohon keberatan untuk membayar biaya perkara
sebesar Rp 1.271.000,00 (satu juta dua ratus tujuh puluh satu ribu
rupiah).
Bahwa setelah Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No.
05/Pdt.KPPU/2010/PN.Jkt.Pst., tersebut diajukan permohonan kasasi
secara lisan pada tanggal 20 September 2011 sebagaimana ternyata
dari akte permohonan kasasi No.76/Srt.Pdt.Kas/2011/PN.Jkt.Pst. jo.
No.05/KPPU/2010/PN.Jkt.Pst., yang dibuat oleh Panitera pada
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, permohonan mana diikuti dengan
45
memori kasasi yang memuat alasan-alasan yang diterima di
Kepaniteraan Pengadilan Negeri tersebut pada tanggal 03 Oktober
2011 dimana dalam memori kasasi tersebut dijelaskan bahwasannya
Pfizer Inc merupakan Pihak yang diberikan hak paten atas zat Aktif
Amlodipine Besylate oleh Edward Davidson dan Dr. James Ingram
Well yang memiliki hak paten no 10.0000 321, 10 November 1995
berlaku 20 Tahun yaitu mulai 3 April 1987 sampai 2 April 2007. Pfizer
Inc memberikan hak paten kepada PT. Pfizer Indonesia antara Tahun
1990 sampai 2007 tanpa adanya perjanjian lisensi, yang mana
sebelumnya berniat membuat perjanjian lisensi Amlodipine Besylate
tetapi ditolak /tidak dapat dilaksanakan oleh Dirjen HKI karena
permohonan lissensi diajukan setelah masa perlindungan paten
berakhir.
PT. Dexa Medica, mempunyai izin edar obat yang mengandung
zat aktif Amlodipine Besylate dengan merek Tensivask dengan nomor
pendaftaran DKL9405014110A1 yang dipergunakan untuk
memproduksi Tensivask yang di dapatkan dari Eropa. Dengan hal
tersebut karena zat aktif yang digunakan sama Antara PT. Pfizer
Indonesia dan PT. Dexa Medica maka PT. Pfizer Indonesia melakukan
somasi kepada PT. Dexa Medica dengan alasan telah melakukan
pelanggaran paten atas penggunaan zat aktif Amlodipine Besylate.
Adapun isi somasi tersebut yaitu menarik produk dari pasar dan
berhenti memproduksi Tensivask atau menemui pihak Pfizer Inc serta
menawarkan kerjasama dan menanyakan kemungkinan membeli bahan
baku dari Pfizer Indonesia. Berkaitan dengan hal tersebut PT. Dexa
Medica melakukan negosiasi dengan pihak Pfizer Inc melalui
perantara PT. Pfizer Indonesia untuk menyelesaikan pelanggaran atas
paten tersebut dalam perjanjian jual beli antara pemasok dan pembeli
(Supply Agreement) yang mengatur pembelian bahan baku oleh PT.
Dexa Medica dengan Pfizer Overseas LLC selaku Pemasok. Kegiatan
Pemasokan bahan baku tersebut Bukan dilakukan oleh Pfizer
46
Overseas LLC melainkan oleh Pfizer Global Trading sebagai afiliasi
(pengembangan bisnis) Pfizer Overseas LLC. Adapun isi dari Supply
Agreement tersebut adalah adanya ketentuan bahwa komunikasi yang
dilakukan oleh PT. Dexa Medica dengan Pfizer Overseas LLC harus
menyampaikan tembusan (tembusan email)/Copynya kepada PT.
Pfizer Indonesia.
Berkaitan dengan perjanjian distribusi antara PT. Pfizer
Indonesia dan PT. Dexa Medica menggunakan PT. Anugrah Argon
Medica selaku distributor utama produk Norvask dan Tensivask.
Dalam hal ini PT. Dexa Medica merupakan pemegang saham dominan
di PT Anugrah Argon Medica dan dalam Distribution Agreement
terdapat klausul tentang pemutusan hubungan PT. Anugrah Argon
Medica sebagai distributor PT .Pfizer Indonesia apabila perusahaan
tersebut mengalami perubahan kepemilikan saham.
Dalam kasus perkara Nomor 294 K/ PDT.SUS/2012
diputuskan dalam rapat permusyawaratan Mahkamah Agung pada hari
Kamis tanggal 28 Juni 2012 oleh Prof. Dr. Valerine J.L. Kriekhoff,
SH. MA. Hakim Agung yang ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung
sebagai Ketua Majelis, Prof. Dr. Takdir Rahmadi, SH. LLM. dan Dr.
Nurul Elmiyah, SH. MH., Hakim-Hakim Agung pada Mahkamah
Agung sebagai Hakim Anggota dan diucapkan dalam sidang terbuka
untuk umum pada hari itu juga oleh Ketua Majelis beserta Hakim-
Hakim Anggota tersebut dan dibantu oleh Reza Fauzi, SH.CN.,
Panitera Pengganti dengan tidak dihadiri oleh kedua belah pihak
memutuskan bahwa menolak permohonan kasasi dari Pemohon
Kasasi/Termohon Keberatan : Komisi Pengawas Persaingan Usaha RI
(KPPU) tersebut ; Menghukum Pemohon Kasasi untuk membayar
biaya perkara dalam tingkat kasasi ini sebesar Rp 500.000,00 (lima
ratus ribu Rupiah) dengan pertimbangan sebagai berikut:
Pertama, alasan-alasan tersebut tidak dapat dibenarkan, Judex
Facti (Pengadilan Negeri) tidak salah dalam menerapkan hukum
47
berkaitan dengan bukti-bukti yang telah diperiksa, dan penilaian hasil
pembuktian merupakan wewenang Judex Facti (Pengadilan Negeri)
terkait ;
Kedua, Pelanggaran Pasal 5 Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1999 terkait dengan telah terjadi praktek kartel oleh para pelaku usaha.
Bukti tidak langsung tidak sama dengan alat bukti dalam Pasal 42
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dan tidak dikenal dalam
undang- undang di Indonesia. Bukti tidak langsung tidak sama dengan
alat bukti petunjuk sebagaimana diatur dalam Pasal 188 Ayat 2
KUHAP, mengingat perkara persaingan usaha menganut prinsip-
prinsip hukum pidana ;
Ketiga, bukti perintah untuk melakukan komunikasi di antara
para pesaing dalam Supply Agreement dan Distribution Agreement,
menurut pendapat para ahli, hal tersebut diperlukan dalam tujuan
bisnis, dalam proses bisnis melakukan pertukaran informasi adalah
diperbolehkan. Kemudian penggunaan bahan baku yang sama untuk
membuat suatu produk yang saling bersaing dan juga penggunaan
distributor yang sama dalam memasarkan suatu produk yang saling
bersaing bukan merupakan bukti adanya pelanggaran Pasal 11
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999.
Terakhir, termohon kasasi melanggar Pasal 16, terhadap hal ini
dalam pertimbangan Termohon Keberatan menguraikan tentang obyek
perjanjian adalah masalah sengketa paten, maka menurut Judex Facti
(Pengadilan Negeri), hal tersebut menyangkut masalah HKI, yang
dikecualikan menurut Pasal 50 huruf b Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1999. Namun demikian setelah Majelis Hakim mencermatinya,
perjanjian a quo hanya berlaku bagi para pihak yang menanda
tanganinya, bukan untuk pihak yang lain. Perjanjian a quo tidak
terbukti memenuhi unsur yang terdapat dalam Pasal 16 Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1999. Adanya posisi dominan Termohon
Kasasi : Pasal 25 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, terkait
48
dengan hal ini program HCCP bukan suatu keharusan bagi dokter
untuk ikut serta.
2. Kronologis Kasus Perkara Nomor. 163/PDT.G/KPPU/2017 Kasus perkara dalam Industri Sepeda Motor Jenis Skuter Matik 110-
125 CC di Indonesia antara PT Yamaha Indonesia Motor Manufacturing
yang beralamat kantor di Jalan Dr. KRT. Radjiman Widyodiningrat
Jakarta 13920 dan PT. Astra Honda Motor yang beralamat kantor di
Jalan Laksda Yos Sudarso Sunter I Jakarta 14350 sampai pada proses
hukum kasasi, yang mana sebelumnya dalam proses hukum di
Komisi Pengawas Persaingan Usaha melalui Putusan
Nomor:04/KPPU-I/2016, baik PT Yamaha Indonesia Motor
Manufacturing sebagai terlapor 1 (satu) ataupun PT Astra Honda
Motor sebagai terlapor 2 (dua) dinyatakan bersalah dan terbukti secara
sah meyakinkan melanggar Pasal 5 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1999, sehingga terlapor 1 diharuskan membayar denda sebesar
Rp.25.000.000.000 (dua Puluh Lima Miliar Rupiah) dan disetor ke kas
negara sedangakan terlapor 2 (dua) harus membayar denda sebesar
Rp.22.500.000.000 (Dua Puluh Dua Miliar Lima Ratus Juta Rupiah)
dan disetor ke kas negara.
Terhadap Putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha
Nomor:04/KPPU-I/2016, para telapor mengajukan upaya keberatan
Pengadilan Negeri Jakarta Utara dengan Nomor
163/PDT.G/2017/PN.JKT.Utr, dengan berbagai alasan yang salah
satunya berkaitan dengan alat bukti yang dijadikan pembuktian yaitu
dengan adanya Concerted Practices yang didalilkan oleh termohon
keberatan yang pada pokoknya hanya mendasarkan pada fakta adanya
kegiatan golf, surat elektronik internal pemohon keberatan, dan
analisis ekonomi kointegrasi untuk menunjukkan telah terjadi
pergerakan harga yang sama (price parallelism) antara pemohon
keberatan dan turut termohon keberatan.
49
Putusan dari upaya keberatan tersebut dalam sidang
permusyawaratan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara,
pada hari Selasa tanggal 28 Nopember 2017, oleh Titus Tandi, S.H.,
M.H. sebagai Hakim Ketua Majelis, Maringan Sitompul, S.H., M.H.
dan I Wayan Wirjana, S.H., M.H. masing-masing sebagai hakim
anggota, yang ditunjuk berdasarkan Surat Penetapan Ketua Pengadilan
Negeri Jakarta Utara Nomor 163/Pdt.G/KPPU/2017/PN Jkt.Utr.,
tanggal 11 September 2017, putusan tersebut diucapkan dalam sidang
yang terbuka untuk umum pada hari Selasa, tanggal 5 Desember 2017,
oleh Hakim Ketua dengan dihadiri oleh Para Hakim Anggota tersebut,
dibantu Syahmisar, S.H., M.H. Panitera Pengganti Pengadilan Negeri
Jakarta Utara, dihadiri kuasa pemohon keberatan I, kuasa pemohon
keberatan II dan kuasa termohon keberatan menyatakan bahwasannya
menolak eksepsi termohon keberatan dan menguatkan putusan KPPU
Nomor 04/KPPU-I/2016 tanggal 20 Februari 2017 serta menghukum
pemohon keberatan I dan pemohon keberatan II untuk membayar
biaya perkara sebesar Rp726.000,00 (tujuh ratus dua puluh enam ribu
rupiah) dengan berbagai pertimbangan sebagai berikut:
Berkaitan dengan saksi Yutaka Terada yang tidak dihadirkan di
muka persidangan menurut Majelis Hakim oleh karena saksi Yutaka
Terada telah diperiksa pada tahap penyelidikan dan dibuatkan berita
acara oleh tim penyelidik sesuai berita acara penyelidikan masing-
masing tanggal 16 Januari 2015, tanggal 22 Januari 2015 dan tanggal
25 Februari 2015, maka Berita Acara Penyelidikan saksi Yutaka
Terada tersebut yang diberi kode B1, B2 dan B9 karena dibuat oleh
Pejabat yang berwenang, maka berita acara tersebut termasuk alat
bukti dokumen sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 42 Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan
Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara Nomor
163/Pdt.G/KPPU/2017/PN Jkt.Utr, para pemohon keberatan ( PT Astra
50
Honda Motor (AHM) dan Yamaha Indonesia Motor Manufacturing
(YIMM) kepada Mahkamah Agung (MA) atas Komisi Pengawas
Persaingan Usaha (KPPU) masih mengajukan upaya kasasi pada 28
Desember 2017, namun berdasarkan amar putusan pengajuan register
217 K/Pdt.Sus-KPPU/2019 dinyatakan 'Tolak' pada 23 April 2019
serta menguatkan Putusan KPPU yang sebelumnya Pengadilan Negeri
Jakarta Utara juga sudah menolak terlebih dahulu upaya keberatan
yang diajukan oleh PT Astra Honda Motor (AHM) dan Yamaha
Indonesia Motor Manufacturing (YIMM).
51
BAB IV
PENGGUNAAN ALAT BUKTI TIDAK LANGSUNG (INDIRECT
EVIDENCE) OLEH KPPU DALAM PERKARA KARTEL
PERKARA NOMOR 294 K/PDT.SUS/2012 dan 163/PDT.G/KPPU/2017.
A. Pertimbangan Hakim Menolak Bukti Tidak Langsung (Indirect
Evidence) dalam Putusan Perkara Nomor 294 K/PDT.SUS/2012
Pertimbangan hakim menolak adanya pengggunaan bukti tidak
langsung (Indirect Evidence) dalam Putusan Perkara Nomor 294
K/PDT.SUS/2012 dapat dilihat dari penggunaan adanya bukti komunikasi
yaitu adanya Supplay Agreement yang mengarah kepada pengaturan produksi.
Hal ini didasari dengan adanya penyampaian rencana pemesanan (Forecast)
pembelian bahan baku serta prosedur pemesanan bahan baku oleh PT. Dexa
Medica, kewenangan inspeksi kelompok usaha Pfizer, pencantuman kalimat
dibuat aktif dari Pfizer dalam setiap kemasan Tensivask, adanya opsi bagi
kelompok usaha Pfizer untuk menghentikkan perjanjian secara sepihak apabila
dijumpai produk Tensivask yang beredar dipasar melebihi dari kuantitas yang
dapat di produksi dengan bahan baku yang dibeli dari kelompok usaha Pfizer,
serta pemberitahuan, persetujuan dan berbagai bentuk komunikasi sebagai
pelaksanaan dari supplay Agreement yang melibatkan PT. Dexa Medica
dengan supplier (Pfizer Overseas LLC) yang juga harus disampaikan
tembusan kepada PT. Pfizer Indonesia dalam jangka waktu yang telah
ditentukan.
Selain Supplay agreement yang menjadi bukti komunikasi antara PT.
Pfizer Indonesia dengan PT Dexa Medica terdapat pula perjanjian distribution
(Distribution agreement), dimana dalam perjanjian ini dibuat oleh PT. Pfizer
Indonesia dengan PT. Anugrah Argon Medica yang mana PT Dexa Medica
Merupakan pemegang saham dominan PT. Anugrah Argon Medica. Dalam
perjanjian tersebut terdapat ketentuan yang mengatur mengenai penghentian
kerjasama dengan distributor apabila terjadi perubahan kepemilikan dan
pemegang saham.
52
Penggunaan Indirect Evidence dalam putusan ini pun dapat dilihat
dengan adanya bukti ekonomi yaitu adanya single economy entity dimana
antara PT. Pfizer Indonesia dengan PT. Dexa Medica, Pfizer Inc, Pfizer
Overseas LLC, dan Pfizer golobal trading merupakan suatu kelompok usaha
Pfizer. Bukti ekonomi yang lain yaitu berupa adanya price paralelisme,
dimana pergerakan harga antara Norvask dan tensivask memiliki trend sama
(naik dalam periode tertentu).
Menanggapi hal di atas hakim dalam pertimbangannya menimbang
terkait dengan telah terjadinya praktek kartel oleh para pelaku usaha. Bukti
tidak langsung tidak sama dengan alat bukti dalam Pasal 42 Undang- Udang
Nomor 5 Tahun 1999 dan tidak dikenal dalam undang- undang di Indonesia.
Bukti tidak langsung tidak sama dengan alat bukti petunjuk persaingan usaha
menganut prinsip-prinsip hukum pidana.
Bukti perintah untuk melakukan komunikasi diantara para pesaing
dalam Supplay Agreement dan distribution Agreement, dimana menurut para
ahli hal tersebut diperlukan dalam tujuan bisnis, dalam proses bisnis
melakukan pertukaran informasi adalah diperbolehkan. Kemudian
penggunaan bahan baku yang sama untuk membuat suatu produk yang saling
bersaing dan juga penggunaan distributor yang sama dalam memasarkan suatu
produk yang saling bersaing bukan merupakan bukti adanya pelanggaran
Pasal 11 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999.
Berkaitan dengan adanya Single economy entity atau entitas ekonomi
tunggal dan adanya Price Paralisme, dalam hukum perusahaan, khususnya
hukum perseroan, di Indonesia tidak mengakui adanya doktrin kesatuan
ekonomi (Single economi entity) karena setiap perusahaan secara hukum harus
dipandang sebagai entitas atau subyek hukum yang terpisah dan mandiri.
Price Paralisme pun dalam hukum persaingan usaha menurut ahli tidak dapat
dijadikan dasar bahwa telah terjadi pelanggaran Undang-Undang Nomor 5
Tahun1999, karena persamaan harga dapat terjadi karena banyak faktor.
Bahkan kesamaan harga juga dapat terjadi pada pasar yang sangat kompetitif
53
dimana harga yang sama merupakan harga pasar (Benchmark) sebagai hasil
dari adanya persaingan yang ketat.
B. Pertimbangan Hakim Menerima Bukti Tidak Langsung (Indirect
Evidence) dalam Putusan Perkara Nomor 163/PDT.G/KPPU/2017
Pertimbangan hakim menerima bukti tidak langsung (Indirect
Evidence) dalam Putusan Perkara Nomor 163/PDT.G/KPPU/2017 dilihat
dengan adanya bukti komunikasi yaitu adanya pertemuan yang dilakukan
oleh Presiden Direktur PT. Yamaha Indonesia Motor Manufacturing
dengan Presiden Direktur PT. Astra Honda Motor, dimana dengan adanya
pertemuan tersebut minumbulkan adanya Concerted Action antara mereka.
Concerted action adalah suatu tindakan yang direncanakan, diatur,
dan disepakati oleh para pihak secara bersama-sama dengan tujuan yang
sama. Pelaku Concerted Action akan dipertanggungjawabkan atas
tindaakan bersama walaupun sekalipun dia tidak mengikatkan diri. Adanya
Concerted Action tidak dipersyaratkan bahwa ada suatu perjanjian tertulis
yang mensyaratkan pihak-pihak yang melakukan concerted action tidak
perlu dibuktikan seperti itu karena dalam concerted action yang terpenting
adalah komunikasi.1
Selanjutnya tindakan diatas diperkuat dengan bukti ekonomi
adanya implementasi penetapan harga sebagaimana adanya kesesuaian
antara fakta pertemuan di lapangan golf oleh Presiden Direktur PT.
Yamaha dengan Presiden Direktur PT. Astra Honda Motor serta
kesesuaiannya komunikasi diantara mereka melalui surat elektronik yang
berisi untuk mengikuti harga serta bukti analisis penetapan harga.
Menanggapi hal di atas hakim dalam pertimbangannya menyatakan
bahwa terkait dengan adanya penggunaan bukti tidak langsung (Indirect
Evidence) adalah sesuatu yang lazim dan dapat diterima dalam hukum
persaingan usaha. Bukti tidak langsung (Indirect Evidence) adalah
termasuk kategori bukti petunjuk sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 42
1 Putusan Perkara Nomor 163/PDT.G/KPPU/2017,h., 412-419.
54
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Jo. Pasal 72 Perkom Nomor 1
Tahun 2010 yang meliputi keterangan saksi, keterangan ahli, surat dan
atau dokumen, petunjuk dan keterangan pelaku usaha.
Dalam pertimbangan hakim pun terkait dengan adanya bukti
komunikasi dan bukti ekonomi telah menjadi bagian yang
dipertimbangkan dan dikuatkan dalam putusan KPPU di tingkat
Mahkamah Agung hal ini dibuktikan dengan adanya;
1. Putusan Aahkamah Agung Nomor 582 K/PDT.SUS/2009 (Keberatan
Terhadap Putusan KPPU Nomor 09/KPPU-L/2008 tentang pelanggaran
Pada Tender Give Away Haji Garuda Indonesia 2007). Dimana dalam
putusannnya berkaitan dengan bukti tidak langsung menyatakan bahwa
dalam praktek di dunia bisnis kesepakatan mengenai harga, produksi,
wilayah (cartel) maupun kesepakatan anti persaingan lainnya sering
dilakukan secara tidak terang (Tacit) sehingga dalam hukum persaingan
bukti-bukti yang bersifat tidak langsug diterima sebagai bukti yang sah
sepanjang bukti-bukti tersebut adalah bukti yang cukup dan logis, serta
tidak ada bukti lain yang lebih kuat yang dapat melemahkan bukti-bukti
yang bersifat tidak langsung tersebut. Standar mana telah terpenuhi
dalam perkara a Quo sehingga putusan termohon kasasi yang dikuatkan
oleh Judix Factie sudah benar sehingga layak untuk dipertahankan.
2. Putusan KPPU Nomor 12/KPPU-L/2009 Jo Putusan Pengadilan
Tanjung Pinang Nomor 05/PDT.Bt/2010/PN.TPI tertanggal 19 Mei
2010 Jo Putusan Mahkamah Agung Nomor 906 K/PDT. Sus-
KPPU/2013 tentang Tender Paket Pekerjaan Pembangunan Jaringan Air
Bersih Kabupaten Lingga, yang dalam pertimbangannya menyatakan
bahwa dalam Hukum Persaingan Usaha, Bukti ditemukan beberapa
terjadinya persekongkolan tender dianggap cukup apabila ditemukan
beberapa petunjuk atau bukti tidak langsung (Indirect Evidence) yang
bersesuaian dengan peristiwa lainnya (Plus Factor).
Dalam tambahan pertimbangan Putusan Perkara Nomor
163/Pdt.G/KPPU /2017/PN.Jkt.Utr. berkaitan dengan saksi Yutaka
55
terada yang tidak dihadirkan dimuka, persidangan menurut majelis
hakim karena saksi Yutaka terada telah diperiksa pada tahap
penyelidikan dan dibuatkan Berita Acara oleh Tim Penyelidik sesuai
Berita Acara Penyelidikan masing-masing tanggal 16 Januari 2015,
tanggal 22 Januari 2015 dan Tanggal 25 Februari 2015, maka Berita
Acara Penyelidikan saksi Yutaka Terada tersebut yang diberi Kode B1,
B2 dan B9 karena dibuat oleh pejabat yang berwenang, maka Berita
Acara tersebut termasuk alat bukti dokumen sebagaimana yang
disebutkan dalam Pasal 42 Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat.
C. Analisis Peneliti Terkait Penggunaan Indirect Evidence dalam
Pembuktian Hukum Persaingan Usaha di Indonesia
1. Landasan Filososfis
Secara filosofi, apabila kita melihat krisis ekonomi yang melanda
Indonesia di pertengahan Tahun 1997, menyadarkan pemerintah pada
waktu itu akan betapa lemahnya dasar ekonomi Indonesia. Hal ini
karena pemerintah Indonesia di era Orde Baru mengeluarkan berbagai
kebijakan yang kurang tepat pada sektor ekonomi sehingga
menyebabkan pasar menjadi terdistorsi, dimana pembentukan harga
dilakukan secara sepihak oleh pengusaha atau produsen. Yang mana ini
merupakan perwujudan dari kondisi persaingan usaha tidak sehat.
Kedudukan monopoli yang ada lahir karena adanya fasilitas yang
diberikan oleh pemerintah serta ditempuh melalui praktik bisnis yang
tidak sehat, dimana salah satunya adalah praktik bisnis persekongkolan
penetapan harga melalui kartel, menetapkan mekanisme yang
menghalangi terbentuknya kompetisi, menciptakan barier to entry, dan
juga terbentuknya integrasi horizontal dan vertikal. Perpanjangan
kondisi yang demikian mengakibatkan saat terjadinya krisis moneter,
nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing khususnya terhadap dollar
56
Amerika menjadi terpuruk dan membuka tabir ketidakberesan dunia
usaha di Indonesia.2
Bertolak dengan hal di atas yang pada dasarnya pembangunan
dalam bidang ekonomi harus diarahkan kepada terwujudnya
kesejahteraan rakyat, dalam hal ini sebagaimana tertuang dalam Pasal
33 Undang-Undang Dasar 1945 mengenai Perekonomian Nasional dan
Kesejahteraan Sosial, maka dengan di Undangkannya Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktik Monopoli dan
Persaingan Usaha tidak sehat merupakan langkah awal dalam rangka
membawa bisnis dan perdagangan kearah yang lebih adil dan
berlandaskan kepada prinsip-prinsip persaingan pasar secara sehat.
Seiring perkembangan teknologi dan perkembangan usaha yang begitu
pesat dengan segudang kompleksitasnya, salah satunya permasalahan
berkaitan dengan adanya kartel menimbulkan polemik. Dimana dalam
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 untuk dapat membuktikan
pelaku usaha melakukan kartel dengan menggunakan prinsip Rule of
the reason yang menitik beratkan pedekatan pada evaluasi akibat
adanya perjanjian, sehingga lembaga yang mengawasi persaingan usaha
tidak sehat harus menemukan terlebih dahulu suatu pola monopoli atau
persaingan usaha tidak sehat ditimbulkan dari adanya perjanjian kartel
sebelum memutuskan bahwa praktek akan mengakibatkan gangguan
terhadap perekonomian secara signifikan karena mengguncang
stabilitas pasar, sedangkan secara fakta untuk dapat menemukan
perjanjian atau kesepakatan tertulis sangat sulit dilakukan karena kartel
dibuat bersama-sama oleh para pelaku usaha dengan para pesaingnya
untuk memperoleh keuntungan yang lebih besar dengan melanggar
kesepakatan tersebut selalu menjadi lahan terbentuk dan langgengnya
keberadaan kartel. Sukarnya membentuk kartel yang rapi
mengakibatkan pula kesukaran dalam membuktikan eksistensinya.
2 Ditha wiradhiputra, Pengantar Hukum Persaingan Usaha, Modal Untuk Retolling
Program Under Employee Graduates at Priority Disciplines Under TPSDP, Tahun 2006, h., 4.
57
Oleh karena itu terlalu berat jika pengawas persaingan usaha bila harus
terbebani dengan adanya keharusan pembuktian.
Kartel di berbagai belahan dunia seperti Amerika Serikat, yang
memiliki seperangkat aturan hukum yang modern dan menjadi acuan
hukum persaingan banyak negara di dunia. Amerika sendiri merupakan
negara kedua di dunia yang memiliki undang-undang yang mengatur
persaingan setelah Kanada. Pengadilan-pengadilan di Amerika Serikat
selalu berusaha untuk mencegah praktik-praktik bisnis yang
bertentangan dengan kepentingan umum. Sehingga di Amerika Serikat
menghukum kartel dengan Per se ilegal, karena kartel dianggap
mempunyai dampak negatif terhadap harga atau output jika
dibandingkan dengan dampak pasar yang kompetitif. Adapun kartel
jarang sekali menghasilkan efisiensi karena yang dihasilkan sangat
kecil dibandingkan dengan dampak negatif tindakan-tindakannya.
Kartel diakui sebagai kolaborasi bisnis yang paling merugikan.3
Peneliti berpendapat berdasarkan hal di atas, penegakan hukum
atau enforcement merupakan salah satu aspek penting dari keberhasilan
dari undang-undang persaingan ini, dan bukan masalah yang mudah
bagi lembaga peradilan maupun otoritas persaingan, dan lembaga
pelaksana lainnya, karena berhubungan dengan dunia usaha dan
perekonomian. Untuk itu Kriteria-kriteria pembuktian untuk menjerat
para pelaku usaha yang melakukan kartel harus benar-benar
diperhitungkan dan dipertegas sehingga tidak menimbulkan
kesimpangsiuran, mengingat Indonesia bukan menganut sistem
Common law sehingga hakim harus menguasai pengetahuan yang
cukup dalam mengadili masalah-masalah persaingan dan menampung
kebutuhan dari masyarakat dari dunia usaha yang terus mendesak.
Disamping itu, untuk mengikis adanya praktik persaingan usaha yang
3 Susanti Adi Nugraha, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, dalam Teori dan Praktik
Serta Penerapan Hukumnya, (Jakarta: Kencana,2012), h., 195.
58
tidak sehat di Indonesia, perlu adanya pembaharuan hukum dimana
pemerintah harus aktif untuk mengeluarkan peraturan-peraturan.
2. Landasan Yuridis
Penerapan Pasal 11 Tentang kartel berdasarkan Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Parktek Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat. Kartel pada dasarnya adalah perjanjian
satu pelaku usaha dengan pelaku usaha pesaingnya untuk
menghilangkan persaingan diantara keduanya. Secara klasik, kartel
dapat dilakukan melalui tiga hal4: harga, produksi, dan wilayah
pemasaran, akibat yang ditimbulkan adalah terciptanya praktek
monopoli oleh para pelaku kartel sehingga secara perekonomian makro
mengakibatkan inefisiensi alokasi sumber daya yang dicerminkan
dengan timbulnya deadwigh loss. Dari sisi konsumen, konsumen akan
kehilangan pilihan harga, kualitas barang yang bersaing, dan layanan
purna jual yang baik, oleh karena dampak yang ditimbulkan demikian
besar, KPPU sebagai lembaga yang terdepan dalam mengawasi Hukum
Persaingan Usaha di Indonesia menyusun Pedoman Peraturan Komisi
Pengawas Persaingan Usaha Nomor 4 Tahun 2010 Tentang Kartel
sehingga diharapkan dapat membantu melaksanakan fungsi
pengawasan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 secara
tepat.
Dengan adanya Indirect Evidence menjadi polemik tersendiri
dalam peradilan di Indonesia dalam menangani permasalahan
persaingan usaha khususnya berkaitan dengan kartel, hal ini karena
berdasarkan Pasal 42 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Jo. Pasal
72 Perarturan Komisi Nomor 1 Tahun 2010 Tentang Tata Cara
Penanganan Perkara di KPPU tidak mengatur adanya Indirect
Evidence, begitu pula Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha
4 Susanti Adi Nugraha, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, Dalam Teori dan Praktik
Serta Penerapan Hukumnya, (Jakarta: Kencana, 2012), h.,176.
59
Nomor 4 Tahun 2010 yang hanya mencantumkan Indirect Evidence
secara umum saja, tidak menjelaskan dan menegaskan secara detail
adanya penggunaan Indirect Evidence dalam penanganan perkara
kartel, selain itu juga karena sistem pembuktian di Indonesia
menggunakan civil law, pembuktian menggunakan Indirect Evidence
sangat sulit dilakukan karena paham hukum dan sistem hukum
peradilan hakim atau majelis hakim bersifat aktif dalam persidangan
dan memutus berdasarkan undang-undang yang berlaku.
Permasalahan yang terjadi seputar penggunaan Indirect Evidence
ini dapat dilihat dalam hal penggunaan alat bukti petunjuk. Dimana
dalam putusan Perkara Nomor 294 K/PDT.SUS/2012 bukti tidak
langsung tidak sama dengan alat bukti dalam Pasal 42 Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1999 dan tidak dikenal dalam undang-undang di
Indonesia, sedangkan dalam Putusan Perkara Nomor
163/PDT.G/KPPU/2017 yang telah dikuatkan oleh Putusan Mahkamah
agung Nomor 217 K/Pdt.sus-KPPU/2019 yang menyatakan terkait
dengan adanya alat bukti tidak langsung (Indirect Evidence) adalah
sesuatu yang lazim dan dapat diterima dalam hukum persaingan usaha.
Bukti tidak langsung (Indirect Evidence) termasuk kategori bukti
petunjuk sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 42 Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1999 Jo. Pasal 72 Perkom Nomor 1 Tahun 2010 yang
meliputi: keterangan saksi, keterangan ahli, surat, dan atau dokumen
petunjuk damn keterangan pelaku usaha.
Berkaitan dengan hal di atas dimana terdapat dua putusan yang
berbeda dengan adanya putusan yang menolak adanya bukti tidak
langsung dan ada pula yang menerima bukti tidak langsung, hal ini
membuktikkan bahwa penggunaan Indirect Evidence masih menuai pro
dan kontra dalam penanganan kartel. Dimana pro kontra terkait
penggunaan Indirect Evidence ini pun dipengaruhi oleh perkembangan
dunia usaha yang berkembang begitu cepat dengan semakin
60
kompleksnya permasalahan kartel yang dihadapi, sehingga berkembang
pembuktian dengan menggunakan Indirect Evidence.
Menurut peneliti menanggapi hal di atas didasarkan pada
pemikiran paradigma hukum progresif yang digagas oleh Satjipto
Raharjo yang menyatakan “Hukum adalah untuk manusia dan bukan
sebaliknya ... dan hukum itu tidak ada untuk dirinya sendiri melainkan
untuk sesuatu yang lebih luas yaitu untuk harga diri, manusia,
kebahagiaan, kesejahteraan, dan kemuliaan manusia. Oleh karena itu,
manusia dianggap sebagai penentu dan menjadi orientasi hukum.
Hukum bertugas melayani manusia, bukan sebaliknya. Mutu hukum
ditentukan oleh kemampuannya mengabdi pada kesejahteraan manusia.
Berkaitan dengan hal tersebut menurut penulis penggunaan
Indirect evidence dalam penanganan kartel dengan didasari atas dasar
kemanfaatan yang begitu besar karena dengan adanya indirect evidence
ini karena sulitnya untuk membuktikan perjanjian atau kesepakatan
dalam kartel sudah seharusnya dibuat suatu aturan yang spesifik dalam
hukum persaingan usaha. Dengan adanya kemanfaatan dalam
penanganan kartel dengan menggunakan Indirect Evidence diharapkan
dapat mengisi celah-celah kosong antara keadilan dan kepastian hukum
sehingga lebih memudahkan Komisi Pengawas persaingan Usaha untuk
lebih dini dalam menangani persoalan kartel di Indonesia.
3. Landasan Sosiologis
Menurut Jermy Bentham, tujuan hukum adalah memberikan
kemanfaatan dan kebahagiaan terbesar kepada sebanyak-banyaknya
warga masyarakat. Begitu pun hadirnya Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan
Usaha Tidak Sehat, tujuan adanya pembentukan undang-undang ini
adalah untuk:5
5 Susanti Adi Nugraha, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, Dalam Teori dan Praktik
Serta Penerapan Hukumnya, (Jakarta: Kencana, 2012), h., 4.
61
1. Menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi
nasional sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan
kesejahteraan rakyat
2. Mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan
persaingan usaha yang sehat sehingga menjamin adanya kepastian
kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku usaha besar, pelaku
usaha menengah dan pelaku usaha kecil
3. Mencegah praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat
yang ditimbulkan oleh pelaku usaha
4. Terciptanya efektifitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha.
Suatu undang-undang larangan praktik monopoli dan persaingan
usaha tidak sehat merupakan kelengkapan hukum yang diperlukan
dalam suatu perekonomian yang menganut mekanisme pasar. Di satu
pihak undang-undang ini diperlukan untuk menjamin agar kebebasan
bersaing dalam perekonomian dapat berlangsung tanpa hambatan, dan
di lain pihak undang- undang ini juga berfungsi sebagai rambu-rambu
untuk memagari agar tidak terjadi praktik-praktik ekonomi yang tidak
sehat dan tidak wajar. Memilih sistem ekonomi pasar dengan tanpa
membiarkan ekonomi berjalan berdasarkan hukum siapa yang kuat
boleh menghabiskan yang lemah, karena merupakan sifat dari dunia
usaha untuk mengejar laba sebesar-besarnya, yang kalau perlu di
tempuh dengan cara apapun dan karena itu dibutuhkan aturan untuk
mengendalikannya.6
Penggunaan Indirect Evidence, di negara yang menganut sistem
hukum yang berbeda dengan Indonesia penggunaan Indirect Evidence
telah wajar digunakan, berbeda dengan Indonesia yang menganut civil
law, pembuktian secara tidak langsung sangat sulit diterima dibeberapa
kalangan karena paham hukum dan sistem hukum dalam peradilan.
Penggunaan Indirect Evidence di negara lain seperti halnya Amerika
6 Susanti Adi Nugraha, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, Dalam Teori dan Praktik
Serta Penerapan Hukumnya,...h., 2.
62
serikat, Australia dan sebagainya kartel dianggap sebagai per se ilegal
sehingga tidak membutuhkan pembuktian karena perbuatan kartel
benar-benar mempunyai dampak negatif terhadap harga dan output jika
dibandingkan dengan dampak negatif yang kompetitif. Adapun kartel
jarang sekali menghasilkan efisiensi, atau efiseiensi yang dihasilkan
sangat kecil dibandingkan dengan dengan dampak negatif tindakan-
tindakannya.
Berkaitan dengan penggunaan Indirect Evidence hal ini pun tidak
terlepas dari perkembangan dan kemajuan teknologi informasi yang
demikian pesat yang telah menyebabkan perubahan kegiatan
kehidupan manusia dalam berbagai bidang yang secara langsung telah
mempengaruhi lahirnya bentuk-bentuk perbuatan hukum baru.
Termasuk dalam hal yang berkaitan dengan hukum persaingan usaha.
Dimana dengan adanya perkembangan dan teknologi mempunyai
peranan yang penting dalam perdagangan dan pertumbuhan
perekonomian nasional dengan mewujudkan kesejahteraan masyarakat.
Dalam peraturan perundang-undangan pun terkait dengan
penggunaan Indirect Evidence telah banyak yang menggunakannya
misalkan saja Undang- Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang
perubahan Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi
dan Transaksi Elektronik, dimana dalam Pasal 5 Undang-Undang ITE
bahwa informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil
cetakannya merupakan alat bukti hukum yang sah.
Pengalihan data tertulis ke dalam bentuk elektronik telah diatur
pula sebelumnya dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1997 Tentang
Dokumen perusahaan, pada bagian menimbang huruf f dinyatakan
bahwa “kemajuan teknologi telah memungkinkan catatan dan dokumen
yang dibuat diatas kertas dialihkan kedalam media elektronik atau
dibuat secara langsung dalam media elektronik”, selanjutnya dipertegas
“dokumen perusahaan dapat dialihkan kedalam mikro film atau media
lainnya dan merupakan alat bukti yang sah”. Hal ini berarti dokumen
63
elektronik khususnya mengenai dokumen perusahaan merupakan alat
bukri yang sah jauh sebelum ditetapkannya Undang-Undang ITE.
Tidak hanya bukti komunikasi berupa elektronik perkembangan
pembuktian di Indonesia terkait bukti ekonomi pun telah mengalami
perkembangan, dimana adanya single economy entity yang menyatakan
bahwa setiap perusahaan secara hukum harus dipandang sebagai entitas
atau subyek hukum yang terpisah dan mandiri, namun apabila kita
melihat secaara historis bahwa memang doktrin single economy entity
tidaklah berasal dari Indonesia, melainkan dari negara yang menganut
sistem hukum Common law dengan Stare decisinya. Asolf Berle yang
di Tahun 1947 memilliki ide untuk mengesampingkan fiksi hukum atas
badan hukum terpisah sebagai wujud dari pendekatan yang realistis
terhadap corporate enterprise. Ide berle tersebut menginisiasi
perkembangan enterprise liability, yang Tahun 1984 untuk petama
kalinya digunakan doktrin single economi entity yang
mengesampingkan doktrin intra enterprise conspiracy. Doktrin Single
economy entity dapat digunakan untuk membebankan tanggung jawab
kepada pelanggar dalam berbagai konteks di Hukum Persaingan Usaha.
Hal ini pun didasari oleh perkembangan perusahaan grup yang secara
global mempengaruhi perekonomian khususnya di Indoensia.
Menanggapi hal di atas menurut peneliti penggunaan Indirect
Evidence sudah seharusnya menjadi pertimbangan dalam peradilan di
Indonesia dalam menangani suatu perkara khususnya kartel, karena
sulitnya mendapat bukti tertulis perjanjian atau kesepakatan dan
terbatasnya kewenangan KPPU. Penggunaan Indirect evidence ini
telah memberikan kemudahan bagi KPPU bahkan peradilan peradilan
lainnya, hal ini terlihat dari banyaknya undang-undang yang telah
menggunakan adanya bukti tidak langsung. Dimana hal ini memang
didasarkan pada perkembangan dunia usaha yang begitu pesat dan
perkembangan dalam teknologi informasi yang terus maju dan
berkembang. Oleh karena itu hadirnya Indirect Evidence dalam
64
perundang undangan penanganan kartel di Indonesia diharapkan dapat
mempermudah dan sedini mungkin dalam menjerat pelaku usaha yang
melakukan kartel di Indoensia.
65
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, maka diperoleh
kesimpulan sebagai berikut:
1. Penggunaan alat bukti tidak langsung terhadap Putusan Komisi
Pengawas Persaingan Usaha Perkara Nomor 294K/PDT.SUS/2012 dan
Perkara Nomor 163/PDT.G/KPPU/2017 berbeda, karena kekuatan
pembuktian masing masing Indirect evidence berbeda. Bukti Tidak
Langsung (Indirect Evidence) ditolak karena bukti tidak langsung tidak
sama dengan alat bukti dalam Pasal 42 Undang-undang Nomor 5 Tahun
1999 serta adanya doktrin single economy entity sebagai bukti ekonomi
yang belum diakui dalam Hukum di Indonesia dan Supplay Agremeent
dan Distribution Agreement di perlukan untuk tujuan bisnis, sebaliknya
dalam kasus Perkara Nomor 163/PDT.G/KPPU/2017 menerima adanya
pengunaan bukti tidak langsung dengan alasan bahwa adanya Indirect
evidence adalah sesuatu yang lazim dan dapat diterima dalam Hukum
Persaingan Usaha. Bukti tidak langsunng (Indirect Evidence) adalah
termasuk kategori bukti petunjuk, selain itu bukti tidak langsung
adanya tindakan bersama (concerted action) merupakan unsur
terpenuhinya suatu perjanjian.
2. Adapun penggunaan Indirect Evidence di Indonesia masih memicu
perdebatan yang tak kunjung usai antara kalangan pakar dan praktisi
hukum, dimana disisi satu untuk mengungkap adanya kartel dengan
adanya perjanjian atau kesepakatan tertulis yang menjadi unsur utama
sangat sulit dilakukan, disisi lain juga hukum di Indonesia belum
mengatur adanya Indirect Evidence sehingga hakim dalam memutus
perkara kartel ada yang menolak adanya penggunaan Indirect evidence
seperti adanya Putusan Nomor 294 K/PDT.SUS/2012 dan ada juga
66
yang menerima Indirect evidence seperti dengan adanya Putusan
Nomor 163/PDT.G/KPPU/2017 yang dikuatkan dengan Putusan
Mahkamah Agung Nomor 217 K/PDT.SUS-KPPU/2019.
B. Rekomendasi
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dalam penulisan
skripsi ini maka saya sebagai peneliti ingin memberikan beberapa saran
yang dianggap peneliti perlu untuk dilakukan yaitu:
1. Perlu adanya pembaharuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999
Tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak
Sehat beserta peraturan pelaksananya. Perlunya penegasan secara
spesifik dan detail terkait penggunaan pembuktian dengan
menggunakan bukti tidak langsung ( Indirect evidence) dalam Hukum
Persaingan Usaha khususnya dalam penaganan kartel.
2. Perlu adanya perkuatan kelembagaan persaingan usaha antara lain
mencakup pengembangan sumber daya manusia, sarana dan prasarana
pendukung untuk menentukan kebijakan yang berkaitan dengan
persaingan usaha di Indonesia.
3. Perlu adanya sosialisasi berkaitan dengan adanya penggunaan Indirect
Evidence dalam hal penanganan perkara oleh KPPU.
67
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
A. Kusumayati. Materi Ajar Metode Peneitian.Kerangka Teori, Kerangka Konsep
dan Hipotesis. Depok Universitas Indonesia: 2009.
Ali, Achmad dan Wiwie Heryani, Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata, Jakarta: Prenamedia Group, 2012.
Alfitra, Hukum Pembuktian Dalam Beracara Pidana, Perdata dan Korupsi di
Indonesia Edisi Revisi, Bogor: Raih Asa Sukses, 2011.
Bakhri, Syaiful, Dinamika Hukum Pembuktian Dalam Pencapain Keadilan, Depok, PT RajaGrafido Persada, 2018.
Bogdan, Michael, Pengantar Perbandingan Sistem Hukum, Jakarta: Nusa Media, 2010.
Yuti Witanto, Darmoko dan Arya Putra Negara Kutawaringin, Diskresi Hakim,
Sebuah Instrumen Menegakkan Keadilan Substantif dalam Perkara-
Perkara Pidana, Bandung , 2013. De Cruz,Peter, Perbandingan Sistem Hukum; Common Law, Civil Law dan
Socialist Law, Jakarta:Nusa Media, 2010.
Ditha wiradhiputra, Pengantar Hukum Persaingan Usaha, Modal untuk Retolling
Program Under Employee Graduates at Priority Disciplines Under
TPSDP, Tahun 2006.
Dimas Eko dan Teddy anggoro, Analisis Yuridis Mengenai Penyalahgunaan
Posisi Dominan Melalui Kepemilikan Saham. Depok: Universitas Indonesia, 2013.
Fajar, Mukti dan Yulianto achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan
Empiris, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015.
Gunawan, Imam, Metode Penelitian Kualitatif Teori dan Praktik, Jakarta: PT Bumi Aksara, 2013.
Hasan, M. Iqbal, Pokok-Pokok Materi Metodelogi Penelitian dan Aplikasinya. Bogor : Ghalia, 2002.
68
Hermansayah, Pokok-Pokok Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, Jakarta:Kencana, 2009.
Lebacqz, Karen , Teori-teori Keadilan. Penerjemah Yudi santoso, Bandung: Nusa Media, 1986.
Lincol, Guba (1981;88) dalam Melleong, J Lexy, Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remjaja Rosdakarya, 2008.
Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2008.
M.A. Pangaribuan, Aristo dkk, Pengantar Hukum Acara Pidana Di Indonesia, Depok, PT Rajagrafindo Persada, 2017.
Mertokusumo, Sudikmo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta: Liberty, 1982.
Muhammad Sofyan, Andi dan Abd. Asis, Hukum Acara Pidana suatu Pengantar, Jakarta: PT Balebat Dedikasi Prima, 2017.
M. Husein, Harun, Kasasi sebagai Upaya Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 1992.
Nazir, Moh Metode Penelitian, Jakarta: Gahlia Indonesia, 2014.
Nugraha, Susanti Adi, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, Dalam Teori dan
Praktik Serta Penerapan Hukumnya, Jakarta: Kencana, 2012.
O.S. Hiariej, Eddy, Teori dan Hukum Pembuktian, Jakarta: Erlangga, 2012.
Pangabean, HP, Hukum Pembuktian Teori –Praktik dan Yurisprudensi Indonesia,
Bandung: PT Alumni, 2012.
Panggabean, H.P, Hukum Pembuktian Teori-Praktik dan Yurisprudensi Indonesia. Bandung:: P.T. Alumni, 2014.
R Gultom, Elfrida, Hukum Acara Perdata, Jakarta: Literata, 2010.
R. Subekti, Hukum Pembuktian Cetakan ke 17, Jakarta:Pradnya Paramita, 2008.
Rokan, Mustafa Kamal, Hukum Persaingan Usaha, Teori dan Praktiknya di
Indonesia. Jakarta; PT Raja Grafindo Persada, 2012.
Sabuan, Ansori, Syariffuddin Petanasse dkk, Hukum Acara Pidana, Bandung: Angkasa Bandung, 1990.
69
Raharjo, Satjipto, Hukum Progresif, Sebuah Sistem Hukum Indonesia,
Yogyakarta: Genta Publising, 2009.
Sarosso, Samiaji, Penelitian Kualitatif Dasar-Dasar, Jakarta: PT Indeks, 2012.
Simanjutak, P .N.H, Hukum Perdata Indonesia, Jakarta:Prenamedia Group,2015.
Soekanto, Soerjono, Pengantar Peneitian Hukum, Jakarta: UI Press, 1986.
Sugeng, Bambang dan Suyadi, Pengantar Hukum Acara Perdata dan contoh
dokumen litigasi, Jakarta: Kencana group, 2012.
Suhasril dan mohammad Taufik Makarao, Hukum larangan praktik monopoli dan
Pesaingan Usaha Tidak Sehat di Indonesia, Bogor: Ghalia Indonesia, 2010.
Usman, Rachmadi, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia. Jakarta: Sinar
Grafika, 2013.
JURNAL
Remy Sjahdeini dan Tjip Ismail, Bukti Tidak Langsung (Indirect Evidence) dan
Penerapannya Dalam Hukum Persaingan Usaha, Yayasan Pengembang Hukum Bisnis, Volume 32, 2013.
Donny W. Tobbing, Tinjauan Hukum Terhadap Hukum Acara Persaingan Usaha
dalam perspektif Due ProcessOf Law, v.1 No. 1November 2017.
Nur Ana Wijayanti dan Ditha Wiradputra, Perbandingan Penanganan Perkara
Kartel Dalam Hukum Persaingan Usaha di Indonesia dan Antitrust Law
di Amerika Serikat, Depok:FH UI, 2014.
Https://jurnal.kpk.go.id Kearah Pergeseran Beban Pembuktian diunduh tanggal 25 Apr. 19
http://www.kppu.go.id/id/blog/2010/07, Sulitnya Membuktikan Praktik Kartel
diunduh tanggal 25 Apr. 19
Ivan satrio Lalamentik, Ditha Wiradhiputra dkk, Tanggung Jawab Pelaku Usaha
Berbentuk Badan Hukum Dalam Hukum Persaingan Usaha Ditinjau dari
Doktrin Separate Legal Entity dan Doktrin Single Economic Entity. FH UI 2014.
70
Frederickus Fios, Keadilan Hukum Jeremy Bhentham dan Relevansinya bagi
Praktik Hukum Kontemporer, Binus University, 2005.
Fence M Wantu, Antinomi Dalam Penegakan Hukum Oleh Hakim, Jurnal Berkala
Mimbar Hukum, Vol.19 No.3Oktober 2007, Yogyakarta, Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada
Udin Silalahi, Single economy entity : Kajian Hukum Persaingan Usaha, Jurnal
Hukum dan Syariah vol 9 No 1 Tahun 2018 , Universitas Pelita Harapan
Satjipto Raharjo, Liberalisme, Kapitalisme, dan Hukum Indonesia, Dalam Karolus Kopong Medan , Frans J Rangkas (eds), 2003, Liberalisme, Kapitalisme,
dan Hukum Indonesia: Sisi-sisi Lain dari Hukum Indonesia, Jakarta: Kompas
Veri antoni, Penegakan Hukum atas Perkara Kartel Di Luar Persekongkolan
Tender Di Indonesia, vol 31, Nomor 1 Februari 2019, Universitas Gajah Mada