Pemb Hukum dan Konflik UU Bid Sektoral_UNSRI

183
PEMBANGUNAN HUKUM DAN KONFLIK UNDANG-UNDANG BIDANG SEKTORAL Oleh: Pusat Studi Kebijakan Hubungan Pusat dan Daerah Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya Kerjasama Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Palembang 2009

Transcript of Pemb Hukum dan Konflik UU Bid Sektoral_UNSRI

Page 1: Pemb Hukum dan Konflik UU Bid Sektoral_UNSRI

PEMBANGUNAN HUKUM DAN

KONFLIK UNDANG-UNDANG BIDANG SEKTORAL

Oleh:

Pusat Studi Kebijakan Hubungan Pusat dan Daerah Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya

Kerjasama Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia

Palembang 2009

Page 2: Pemb Hukum dan Konflik UU Bid Sektoral_UNSRI

IDENTITAS PENELITIAN

1. Judul Penelitian : Pembangunan Hukum dan Konflik

Undang-Undang Sektoral 2. Aspek : Integrasi Bangsa dan Harmoni Aturan

Hukum 3. Peneliti Utama : Dr. Febrian, S.H. MS. 4. Jenis Kelamin : Laki-laki 5. Unit Kerja : Fakultas Hukum 6. Alamat Unit Kerja : Fakultas Hukum Universitas

Sriwijaya, Jl. Jl. Raya Palembang - Prabumulih, Inderalaya Ogan Ilir

7. Telepon /Fax : Telp. (0711) 442001 Fax. (0711) 353373

8. Alamat e-mail : [email protected] 9. Telepon Seluler/HP : 081 63285762

Anggota Penelitian

No. Nama Kedudukan 1 Ridwan, SH., M.Hum. Wakil Ketua/ Anggota 2 Indah Febriani, SH., M.Hum. Sekretaris/Anggota 3 Dr. M. Syaefuddin, SH., M.Hum. Anggota 4 Drs. Murzal, SH., M.Hum. Anggota 5 Firman Muntaqo, SH., M.Hum. Anggota 6 Zulhidayat, SH. Anggota 7 Mada Apriandi Zuhir, SH., MCL. Anggota

Tenaga Pendukung:

1. Mardiana, SH. 2. Mariana, SE. 3. Mardani, S. Kom.

Page 3: Pemb Hukum dan Konflik UU Bid Sektoral_UNSRI

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur peneliti haturkan ke hadirat Allah yang Maha Mengetahui yang telah memberi ilmu dan hikmah, sehingga proses penelitian dan penulisan laporan akhir penelitian yang berjudull “Pembangunan Hukum dan Konflik Undang-Undang Bidang Sektoral, dalam rangka studi hubungan pusat dan daerah, dapat diselesaikan dengan baik.

Salah satu aspek mendasar dalam otonomi daerah adalah hubungan antara pusat dan daerah, di antaranya mengenai pembagian urusan dan pembagian wewenang pemerintahan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Pembagian urusan pemerintahan terdiri atas; urusan yang sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah pusat; urusan yang dibagi antar tingkatan dan/atau susunan pemerintahan, yang selanjutnya dikenal adanya urusan pemerintah daerah terdiri dari urusan wajib dan urusan pilihan. Hal inilah yang akan menentukan sejauhmana pemerintah pusat dan pemerintah daerah memiliki wewenang untuk menyelenggarakan urusan-urusan pemerintahan. Lebih lanjut, objek urusan pemerintahan bisa sama, tetapi wewenang atau ruang lingkupnya berbeda.

Pembagian wewenang pemerintahan tersebut di atas, secara umum ditaur dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Secara khusus juga diatur dalam berbagai UU sektoral, namun seringkali menimbulkan persoalan karena kurang tepat dalam pembagian wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Terjadi tumpang tindih dan tarik menarik wewenang, misalnya masalah pertanahan di daerah, pengelolaan hutan, dan pertambangan. Di tengah-tengah sumber daya alam yang melimpah, kehadiran otonomi daerah yang luas belum memberikan manfaat (positif) bagi masyarakat di daerah termasuk masyarakat adat, bahkan sebaliknya banyak menimbulkan dampak negatif. Pembagian wilayah Indonesia ke dalam daerah-daerah otonom, tidak menjadikan masyarakat adat sebagai salah satu faktor penentu. Bahkan, pembagian daerah-daerah otonom tersebut mengakibatkan struktur masyarakat adat dan budayanya menjadi terpecah-pecah dalam (fragmented) dalam beberapa daerah otonom.

Penelitian ini merupakan kerjasama DPD RI dengan Pusat kajian Hubungan Pusat dan Daerah Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya melalui Surat Perintah Kerja, Penelitian Pusat Studi Kebijakan Hukum Pusat-Daerah Tentang Pembangunan Hukum Dan Pengawasan Terhadap Produk Hukum Daerah Nomor: HM. 320/440/DPD/VI/2009, tanggal: 22 Juni 2009.

Untuk dapat mencapai tujuan penelitian yang diharapkan, penelitian ini disusun dalam beberapa kajian yang bermuara pada pembangunan hukum terkait

iv

Page 4: Pemb Hukum dan Konflik UU Bid Sektoral_UNSRI

dengan berbagai konflik substansial dari sejumlah UU sektoral. Dalam pelaksanaannya, topik-topik kajian tersebut disusun sebagai berikut; kajian tentang konflik aturan hukum di bidang pertanahan, kajian tentang konflik aturan hukum di bidang lingkungan hidup, kajian tentang konflik aturan hukum di bidang pengelolaan kesehatan, kajian tentang konflik aturan hukum di bidang kehutanan, kajian tentang konflik aturan hukum di bidang pengelolaan sumber daya alam kelautan, kajian tentang konflik aturan hukum di bidang pengelolaan sumber keuangan negara, dan bidang hukum lainnya, yaitu hukum bidang kesehatan, hukum bidang pendidikan, dan hukum bidang pertambangan. Topik-topik tersebut kemudian dijabarkan menjadi deskripsi lebih lanjut hubungan pusat dan daerah yang lebih selaras dengan cita-cita UUD 45, Peraturan-peraturan yang berkaitan dengan hubungan pusat dan daerah, terutama bidang-bidang sektoral, pembagian wewenang antara pusat dan daerah, baik dalam UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 33 Tahun 2004 maupun dalam berbagai UU sektoral, review sejumlah peraturan yang tidak sesuai dengan prinsip pembagian wewenang yang selaras dan adil, dampak pembagian wewenang yang tidak seimbang antara pusat dan daerah, Konsep dan prinsip yang adil dan selaras dengan prinsip otonomi yang luas dan hak-hak masyarakat adat dan pengaturannya terkait dengan masing-masing topik.

Dalam kesempatan ini, peneliti menghaturkan terima kasih yang tulus kepada semua pihak yang telah banyak membantu selama proses penelitian dan penulisan laporan akhir, yaitu:

1. Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia, atas kepercayaan dan kerjasamanya, semoga dapat berlanjut dimasa-masa yang akan datang;

2. Prof. Dr. Badia Perizade, M.B.A, selaku Rektor Universitas Sriwijaya, lembaga tempat peneliti bernaung,;

3. Prof. Amzulian Rifai, S.H., LLM., PhD, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya; dan

4. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang dengan tulus ikhlas telah membantu peneliti dalam proses penelitian ini.

Peneliti menyadari sepenuhnya bahwa tiada gading yang tak retak. Untuk itu, saran dan kritik membangun dari para pembaca guna perbaikan di masa mendatang sangat penulis harapkan.

Palembang, 2009

Peneliti

v

Page 5: Pemb Hukum dan Konflik UU Bid Sektoral_UNSRI

DAFTAR ISI

Halaman Judul ........................................................................................... iIdentitas Penelitian ..................................................................................... iiKata Pengantar ........................................................................................... iiiDaftar Isi .................................................................................................... ivDaftar Tabel ............................................................................................... viii

BAB I PENDAHULUAN 1 A. Latar Belakang ................................................................... 1 B. Permasalahan ..................................................................... 3 C. Deskripsi Penelitian/Ruang Lingkup .................................. 3 D. Tujuan Penelitian ................................................................ 6 E. Metode Penelitian .............................................................. 6 F. Out Put/Hasil Penelitian ..................................................... 7

BAB II LANDASAN PEMIKIRAN TEORITIS 8 A. Urgensi Pemerintahan Daerah ........................................... 8 B. Otonomi Daerah dan Desentralisasi .................................. 10 C. Pembangunan Hukum ...................................................... 14 D. Perubahan Masyarakat dan Perubahan Hukum .................. 15 E. Politik Hukum .................................................................... 17 F. Aspek Teoritis Peraturan Perundang-undangan ................ 19 1. Istilah dan Jenis Peraturan Perundang-undangan ......... 19 2. jenis dan Hirarki Peraturan Perundang-undangan

Menurut UU No. 10 Tahun 2004 ....................................... 24 3. Asas-asas Peraturan Perundang-undangan .................. 25 4. Landasan Peraturan Perundang-undangan ................... 27 5. Sinkronisasi dan Konsistensi (Konflik) Aturan Hukum

Sektoral ....................................................................... 30

BAB III ANALISIS ATURAN HUKUM SEKTOR PERTANAHAN 31 A. Quo Vadis Ideologi Populis Agraria .................................... 31 B. Tanah Menjadi Komoditas dan Sarat Sengketa .................. 36 C. Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945: Politik Agraria dan Landasan

Konstitusional Pengelolaan Tanah ...................................... 43 D. Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945: Politik Agraria dan Landasan

Konstitusional Pengelolaan Tanah ....................................... 43 E. Desentralisasi atau Sentralisasi Urusan Bidang Pertanahan.. 49

vi

Page 6: Pemb Hukum dan Konflik UU Bid Sektoral_UNSRI

F. Hakikat Ketentuan Pasal 33 UUD 1945 .............................. 53 1. Aspek Historis ................................................................ 53 2. Asas Kekeluargaan .......................................................... 56 3. Dikuasai oleh Negara atau Hak Menguasai Negara ........ 58 G. Konflik Aturan Hukum Sektor Pertanahan Terhadap Pasal

33 Ayat (3) UUD 1945 ........................................................ 65 1. Pergeseran Nilai dan Asas dari Pasal 33 Ayat (3) UUD

1945 ................................................................................ 65 2. Produk Aturan Hukum Pertanahan Orde Baru (1967-

1998) .............................................................................. 70 3. Produk Aturan Hukum Pertanahan Era Reformasi (1998-

2006) ............................................................................... 81

BAB IV ANALISIS ATURAN HUKUM SEKTOR KESEHATAN 95 A. Aturan Hukum Sektor Pertanahan ...................................... 95 B. Konflik Aturan Hukum Sektor Kesehatan .......................... 100 C. Isu Hukum Aktual dala Konflik Aturan Hukum Sektor

Kesehatan ............................................................................ 103 1. Ketidakjelasan dan Ketidakkonsistenan Aturan Hukum

dan Kebijakan Tarif Pelayanan Kesehatan .................... 104 2. Ketikonsistenan dan Keterlambatan Aturan Hukum dan

Kebijakan Pengendalian Mutu dan Biaya Pelayanan Kesehatan ....................................................................... 104

3. Keterlambatan Aturan Hukum dan Kebijakan Fungsi Sosial Pelayanan Kesehatan .......................................... 105

4. Keterlambatan dan Ketidakkonsistenan Aturan Hukum dan Kebijakan Perizinan ............................................... 106

5. Ketidakkonsistenan Aturan Hukum dan Kebijakan Akreditasi ........................................................................ 106

6. Ketidakjelasan dan Keteterlambatan Aturan Hukum dan Kebijakan Audit Medis Rumah Sakit ............................. 107

7. Ketidakjelasan dan Ketidakkonsistenan Aturan Hukum dan Kebijakan Sanksi Administrasi ............................... 107

8. Keterlambatan Penjabaran Fungsi dan Wewenang Pemerintah Daerah Sektor Kesehatan dan Peraturan Daerah ............................................................................. 109

9. Kelemahan Struktur dan Kapasitas Kelembagaan Hukum (Pemerintah) Sektor Kesehatan ......................... 109

D. Asas-asas Hukum yang Mendasari Fungsi dan Wewenang Pemerintah dala Otonomi Daerah Sektor Kesehatan ......... 112

E. Pembagian Fungsi dan Wewenang Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam Otonomi Daerah Sektor Kesehatan ........................................................................... 114

F. Penjabaran Fungsi dan Wewenang Pemerintah Daerah Sektor Kesehatan Kesehatan dalam Peraturan Daerah ........ 121

vii

Page 7: Pemb Hukum dan Konflik UU Bid Sektoral_UNSRI

G. Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam Otonomi Sektor Kesehatan ........ 121

H. Penguatan Asas Konsistensi dan Kejelasan Aturan Hukum dan Kebijakan Tarif Pelayanan Kesehatan ......................... 123

I. Penguatan Asas Konsisten dan Kesegeraan Aturan Hukum dan Kebijakan Pengendalian Mutu dan Biaya Pelayanan Kesehatan ........................................................................... 124

J. Penguatan Asas Kejelasan dan Kesegeraan Aturan Hukum dan Kebijakan Fungsi Sosial Pelayanan Kesehatan ............ 124

K. Penguatan Asas Konsistensi dan Kejelasan Aturan Hukum dan Kebijakan Pengelolaan Perbekalan Kesehatan ............ 125

L. Penguatan Asas Konsistensi, Sinkronisasi, dan Kesegeraan Aturan Hukum dan Kebijakan Perizinan ............................. 126

M. Penguatan Asas Konsistensi Aturan Hukum dan Kebijakan Akreditasi ............................................................................ 126

N. Penguatan Asas Kejelasan dan Kesegeraan Aturan Hukum Audit Medis ....................................................................... 127

O. Penguatan Asas Kejelasan dan Konsistensi Aturan Hukum dan Kebijakan Sanksi Administrasi .................................... 127

P. Percepatan Penjabaran Fungsi dan Wewenang Pemerintah Daerah Sektor Kesehatan dalam Peraturan Daerah ............. 128

Q. Penataan Struktur dan Kapasitas Kelembagaan (Pemerintah) Sektor Kesehatan Mengacu Konsep Good Governance ....................................................................... 128

1. Pengkaitan Sistem Pelayanan Kesehatan Nasional dan Daerah .......................................................................... 131

2. Perubahan Struktur dan Fungsi Kementerian Kesehatan di Pusat dan Dinas Kesehatan di Daerah ... 131

3. Penguatan Kapasitas Kelembagaan Kementerian Kesehatan di Pusat dan Dinas Kesehatan di Daerah ... 132

R. Pengembangan Potensi Sumber Pembiayaan dari Pemerintah Pusat dan Alokasi “Subsidi” dari Pemerintah Pusat di Sektor Kesehatan ................................................. 133

BAB V ANALISIS ATURAN HUKUM PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM SEKTOR KELAUTAN 136

A. Sektor Kelautan Aset yang Melimpah ................................ 136 B. Wilayah Pesisir yang Tak Terpisahkan ............................. 137 C. Tata Kelola Wilayah Pesisir dan laut oleh Daerah ............. 140 D. Penegakan Hukum dan kebijakan Sektor Kelautan Multi

Dimensi ............................................................................... 141

viii

Page 8: Pemb Hukum dan Konflik UU Bid Sektoral_UNSRI

BAB VI ANALISIS ATURAN HUKUM HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PUSAT DAN DAERAH 143

A. Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah ........... 143 1. Desentralisasi Fiskal .................................................... 144 2. Dana Perimbangan ...................................................... 145 3. Dekonsentrasi ............................................................... 146 4. Tugas Pembantuan ........................................................ 146 5. Pinjaman Daerah .......................................................... 147 B Konflik Aturan Hukum dan Disharmoni Tata Kelola Sektor

Keuangan Pusat dan Daerah ........................................... 147 C Isu Mendasar dan Aktual dalam Pengaturan Keuangan

Pusat dan Daerah ............................................................... 148 D Langkah Penyempurnaan Hubungan Keuangan Antara

Pusat dan Daerah ................................................................. 150

BAB VII

PROBLEM DAN LANDASAN PIJAK PENATAAN HUBUNGAN PUSAT DAN DAERAH DAN PERAN MASYARAKAT ADAT 153

A. Pembagian Wewenang yang Timpang Antara Pusat dan Daerah ................................................................................. 153

B. Masyarakat Adat Beserta Hak Komunalnya dalam Perspektif Desentralisasi ..................................................... 156

C. Titik Tolak Penyelarasan Hubungan Pusat dan Daerah Berdasarkan Prinsip Otonomi yang Luas ............................. 159

BAB VIII PENUTUP 162 A. Umum ................................................................................ 162

B. Khusus ............................................................................... 163 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 169

ix

Page 9: Pemb Hukum dan Konflik UU Bid Sektoral_UNSRI

DAFTAR TABEL

No Judul Hlm 1 Sifat Kebijakan Pemerintah Berdasarkan Kondisi Struktural

dan Corak Penguasa 18

2 Karakteristik Sengketa Tanah di Indonesia Tahun 1970-2001 37 3 Jenis Sengketa yang Objeknya Tanah 38 4 Perusahaan Besar Pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH) 39 5 Distribusi Rumah Tangga Petani (RTP) Pengguna Lahan dan

Luas Lahan yang Dikuasai (1983-1993) 40

6 Penduduk Miskin di Pedesaan dan Perkotaan Tahun1990-2003 (Juta Orang)

41

7 Pembagian Wewewnang Pemerintah Sektor Kesehatan Berdasarkan Fungsi Mengatur, Mengarahkan dan Melaksanakan

117

8 Fungsi dan Wewenang Pengawasan Pemerintah Terhadap Pelayanan Kesehatan Rumah Sakit

120

x

Page 10: Pemb Hukum dan Konflik UU Bid Sektoral_UNSRI

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam sistem negara kesatuan (unitary state, eenheidsstaat) Indonesia,

diselenggarakan untuk sebagian urusan secara sentralisasi, dan diselenggarakan pula

pemencaran kekuasaan kepada organ-organ yang menjalankan sebagian wewenang

pemerintah pusat di daerah yang dikenal sebagai dekosentrasi. Di samping itu,

diselenggarakan pula sebagian urusan pemerintahan secara desentralisasi, yakni

wewenang mengatur dan mengurus penyelenggaraan pemerintahan oleh satuan-

satuan pemerintahan di tingkat yang lebih rendah dan bersifat otonom. Dalam rangka

otonomi tersebut, perlu dijalankan sistem mekanisme yang baik tentang hubungan

antara pusat dan daerah dalam kerangka negara kesatuan.

Dalam Pasal 18 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dan perubahannya,

diletakkan dasar konstitusional tentang hubungan antara pusat dan daerah, yaitu

berupa prinsip-prinsip, antara lain:

1. Daerah mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas

otoonmi dan tugas pembantuan (Pasal 18 ayat (2));

2. Otonomi yang seluas-luasnya (Pasal 18 ayat (5));

3. Kekhususan dan keragaman daerah (Pasal 18A ayat (1));

4. Pengakuan dan penghormatan atas kesatuan masyarakat hukum adat dan

hak tradisionalnya (Pasal 18B ayat (2));

5. Pengakuan dan penghormatan atas pemerintahan daerah yang bersifat

khusus dan istimewa (Pasal 18B ayat (1));

6. Badan perwakilan dipilih langsung melalui suatu pemilu (Pasal 18 ayat

(3));

7. Hubungan pusat dan daerah harus dilaksanakan secara selaras dan adil

(Pasal 18A ayat (2));

8. Wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah harus

memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah (Pasal 18A ayat (1));

1

Page 11: Pemb Hukum dan Konflik UU Bid Sektoral_UNSRI

9. Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam

dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah

dilaksanakan secara adil dan selaras (Pasal 18A ayat (2)).

Prinsip-prinsip tersebut di atas menjadi dasar dalam penyusunan undang-

undang terkait dengan otonomi, terutama undang-undang tentang pemerintahan

daerah dan undang-undang tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat

dan pemerintah daerah, sebagai lex generalis dan undang sektoral sebagai lex

specialis.

Salah satu aspek mendasar dalam otonomi daerah adalah hubungan antara

pusat dan daerah, di antaranya mengenai pembagian urusan dan pembagian

wewenang pemerintahan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Pembagian

urusan pemerintahan terdiri atas:

- urusan yang sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah pusat;

- urusan yang dibagi antar tingkatan dan/atau susunan pemerintahan, yang

selanjutnya dikenal adanya urusan Pemerintah daerah terdiri dari urusan

wajib dan urusan pilihan.

Adapun pembagian kewenangan untuk menyelenggarakan urusan-urusan

pemerintah tersebut di atas. Dalam hal inilah akan menentukan sejauhmana

pemerintah pusat dan pemerintah daerah memiliki wewenang untuk

menyelenggarakan urusan-urusan pemerintahan. Objek urusan pemerintahan bisa

sama, tetapi wewenang atau ruang lingkupnya berbeda.

Pembagian wewenang pemerintahan tersebut di atas, secara umum ditaur

dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah (serta perubahannya) dan

UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan

Pemerintah Daerah. Pembagian urusan pemerintahan tersebut, secara khusus juga

diatur dalam berbagai UU sektoral, namun pengaturan tersebut seringkali

menimbulkan persoalan karena kurang tepat dalam pembagian wewenang antara

pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Terjadi tumpang tindih dan tarik menarik

wewenang, misalnya masalah pertanahan di daerah, pengelolaan hutan, dan

pertambangan. Di tengah-tengah sumber daya alam yang melimpah, kehadiran

otonomi daerah yang luas belum memberikan manfaat (positif) bagi masyarakat di

daerah termasuk masyarakat adat, bahkan sebaliknya banyak menimbulkan dampak

2

Page 12: Pemb Hukum dan Konflik UU Bid Sektoral_UNSRI

negatif. Pembagian wilayah Indonesia ke dalam daerah-daerah otonom, tidak

menjadikan masyarakat adat sebagai salah satu faktor penentu. Bahkan, pembagian

daerah-daerah otonom tersebut mengakibatkan struktur masyarakat adat dan

budayanya menjadi terpecah-pecah dalam (fragmented) dalam beberapa daerah

otonom.

Tujuan dari desentralisasi yang digariskan prinsip-prinsipnya dalam UUD

1945 adalah untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui

peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat. Disamping itu

sebagai perwujudan demokratisasi di daerah, pemerataan, dan keadilan, serta

memperhatikan keragaman daerah. Idealnya, aplikasi desentralisasi dalam undang-

undang terkait dengan otonomi, antara lex generalis dan undang sektoral (lex

specialis) tersusun dalam bingkai yang sinkron.

B. Permasalahan

Beranjak dari tujuan desentralisasi tersebut, maka dalam hubungan antara

pemerintah pusat dan pemerintah daerah, terdapat permasalahan pokok adalah

bagaimana mensikronkan hubungan kewenangan dalam menyelenggarakan urusan

antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, baik urusan yang diatur dalam UU

Pemerintahan daerah dan UU Perimbangan Keuangan, maupun urusan-urusan yang

diatur dalam berbagai UU sektoral, sehingga selaras dengan prinsip otonomi yang

luas.

C. Deskripsi Penelitian/Ruang Lingkup

Beranjak dari tujuan penelitian tersebut di atas, maka penelitian ini disusun

dalam beberapa kajian yang kesemuanya bermuara pada pembangunan hukum yang

bagaimana terkait dengan berbagai konflik substansial dari sejumlah UU sektoral.

Sebagai pemetaan, UU yang diterbitkan sebelum tahun 1999, sangat potensial terjadi

ketidaksinkronan. Tidak berarti dengan sendirinya, bahwa UU yang diterbit setelah

itu sudah pasti sinkron, belum tentu. Topik-topik kajian disusun sebagai berikut:

3

Page 13: Pemb Hukum dan Konflik UU Bid Sektoral_UNSRI

1. Analisis aturan hukum di sektor pertanahan.

Mengkaji:

- Deskripsi lebih lanjut hubungan pusat dan daerah yang lebih selaras

dengan cita-cita UUD 45.

- Peraturan-peraturan yang berkaitan dengan hubungan pusat dan daerah,

khususnya sektor pertanahan.

- Pembagian wewenang antara pusat dan daerah, baik dalam UU No. 32

Tahun 2004 maupun dalam berbagai UU sektoral lainnya terkait dengan

urusan pertanahan.

- Review sejumlah peraturan yang tidak sesuai dengan prinsip pembagian

wewenang yang selaras dan adil di bidang pertanahan.

- Dampak pembagian wewenang yang tidak seimbang antara pusat dan

daerah.

- Konsep dan prinsip yang adil dan selaras dengan prinsip otonomi yang

luas.

- Hak masyarakat adat dan pengaturannya terkait dengan pertanahan.

2. Analisis aturan hukum di sektor kesehatan.

- Deskripsi lebih lanjut hubungan pusat dan daerah yang lebih selaras

dengan cita-cita UUD 45.

- Peraturan-peraturan yang berkaitan dengan hubungan pusat dan daerah,

terutama bidang/sektora kesehatan.

- Pembagian wewenang antara pusat dan daerah, baik dalam UU No. 32

Tahun 2004 dan UU No. 33 Tahun 2004 maupun dalam berbagai UU

sektoral terkaitan dengan pelayanan kesehatan.

- Review sejumlah peraturan yang tidak sesuai dengan prinsip pembagian

wewenang yang selaras dan adil, khususnya bidang kesehatan.

- Dampak pembagian wewenang yang tidak seimbang antara pusat dan

daerah dalam urusan kesehatan.

- Konsep dan prinsip yang adil dan selaras dengan prinsip otonomi yang

luas.

4

Page 14: Pemb Hukum dan Konflik UU Bid Sektoral_UNSRI

3. Analisis aturan hukum di bidang pengelolaan sumber daya alam kelautan.

- Deskripsi lebih lanjut hubungan pusat dan daerah yang lebih selaras

dengan cita-cita UUD 45.

- Peraturan-peraturan yang berkaitan dengan hubungan pusat dan daerah,

terutama di bidang pengelolaan sumber daya kelautan.

- Pembagian wewenang antara pusat dan daerah, baik dalam UU No. 32

Tahun 2004 maupun dalam berbagai UU sektoral terkait pengelolaan

sumber daya kelautan.

- Review sejumlah peraturan yang tidak sesuai dengan prinsip pembagian

wewenang yang selaras dan adil, khususnya bidang kelautan.

- Dampak pembagian wewenang yang tidak seimbang antara pusat dan

daerah.

- Konsep dan prinsip yang adil dan selaras dengan prinsip otonomi yang

luas.

- Hak masyarakat adat (masyarakat pesisir) dan pengaturannya terkait

dengan sumber daya kelautan.

4. Analisis aturan hukum di bidang pengelolaan sumber keuangan Negara.

- Deskripsi lanjut hubungan pusat dan daerah yang lebih selaras dengan

cita-cita UUD 45.

- Peraturan-peraturan yang berkaitan dengan hubungan pusat dan daerah,

terutama bidang keuangan.

- Pembagian wewenang antara pusat dan daerah, baik dalam UU No. 32

Tahun 2004 dan UU No. 33 Tahun 2004 maupun dalam berbagai UU

sektoral terkait bidang keuangan.

- Review sejumlah peraturan yang tidak sesuai dengan prinsip pembagian

wewenang yang selaras dan adil.

- Dampak pembagian wewenang yang tidak seimbang antara pusat dan

daerah.

- Konsep dan prinsip yang adil dan selaras dengan prinsip otonomi yang

luas.

5

Page 15: Pemb Hukum dan Konflik UU Bid Sektoral_UNSRI

D. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Mendeskripsikan lebih lanjut hubungan pusat dan daerah yang lebih selaras

dengan cita-cita UUD 45.

2. Mendefinisikan ulang peraturan-peraturan yang berkaitan dengan hubungan

pusat dan daerah, terutama bidang-bidang sektoral.

3. Mendeskripsikan pembagian wewenang antara pusat dan daerah, baik dalam

UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 33 Tahun 2004 maupun dalam berbagai

UU sektoral.

4. Me-review sejumlah peraturan yang tidak sesuai dengan prinsip pembagian

wewenang yang selaras dan adil.

5. Memaparkan dampak yang terjadi sehubungan dengan permasalahan yang

timbul akibat pembagian wewenang yang tidak seimbang antara pusat dan

daerah.

6. Merumuskan konsep dan prinsip yang adil dan selaras dengan prinsip

otonomi yang luas.

7. Mendeskripsikan hak masyarakat adat dan pengaturannya.

E. Metode Penelitian

1. Pendekatan Penelitian

Kajian penelitian ini didekati dari sisi ilmu hukum, baik pada tataran

dogmatik, teori hukum, maupun filasafat hukum. Selain menggunakan penelitian

hukum, dalam studi ini juga digunakan pendekatan hukum normatif atau penelitian

hukum kepustakaan, yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti

bahan pustaka atau data sekunder. Penelitian hukum normatif atau kepustkaan

tersebut mencakup penelitian terhadap asas-asas hukum, penelitian terhadap

semantik hukum, penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal,

perbandingan hukum, dan sejarah hukum.

Penelitian terhadap asas-asas hukum dilakukan dengan cara menafsirkan

kaidah-kaidah hukum yang dirumuskan di dalam peraturan perundangn-undangan

6

Page 16: Pemb Hukum dan Konflik UU Bid Sektoral_UNSRI

yang terkait dengan Pemerintahan Daerah, dimulai sejak jaman colonial sampai

sekarang termasuk UU Otonomi Khusus Papua (UU Nomor 21 Tahun 2001), dan

UU Pemerintahan Aceh (UU Nomor 11 Tahun 2006).

Penelitian terhadap sistematik hukum bertujuan untuk menelaah pengertian-

pengertian pokok atau dasar dari sistem hukum yang terdapat di dalam UU yang

berkaitan dengan Hubungan Pusat dan dan Daerah, tujuannya adalah untuk menelaah

indikasi kebijakan hubungan pusat dan daerah terutama terhadap undang-undang

bidang sektoral yang tidak sejalan dengan asas-asas desentralisasi dan demokratisasi.

Penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal dilakukan untuk

menelaah sampai sejauh manakah hukum positif tertulis yang ada serasi. Penelitian

terhadap taraf sinkronisasi vertikal bertujuan untuk menelaah keserasian peraturan

perundang-undangan secara hirarki peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Metode ini tidak terlepas dari penetapan obyek material dan obyek formal penelitian.

Penelitian terhadap taraf sinkronisasi horizontal bertujuan untuk menelaah kesrasian

peraturan perundang-undangan yang sederajat yang mengatur substansi materi yang

sama.

Penelitian sejarah hukum mengkaji latar belakang tujuan pembentukan

peraturan perundang-undangan tentang pemerintahan daerah yang menjadi obyek

materiil dari studi ini, yaitu UU bidang sektoral dan UU tentang Pemerntahan

Daerah, juga untuk mengetahui perkembangan muatan desentralisasi dalam setiap

kebijakan pemerintahan daerah yang pernah berlaku di Indonesia.

2. Bahan Penelitian

Bahan hukum yang digunakan terdiri dari bahan hukum primer, bahan

hukum sekunder, dan bahan hukum tertier.

F. Output/Hasil Penelitian

Penelitian ini akan menghasilkan rekomendasi kebijakan yang ditujukan

kepada pihak-pihak terkait, khususnya bagi Dewan Perwakilan Daerah Republik

Indonesia untuk dijadikan sebagai dasar dalam merumuskan kebijakan.

7

Page 17: Pemb Hukum dan Konflik UU Bid Sektoral_UNSRI

BAB II

LANDASAN PEMIKIRAN TEORITIS

A. Urgensi Pemerintahan Daerah Keberadaan pemerintah dalam suatu negara adalah suatu yang urgen (penting)

bagi proses kehidupan masyarakat. Sekecil apapun kelompok masyarakat, bahkan

individu sekalipun membutuhkan pelayanan pemerintah. Jika tidak ada pemerintah,

maka masyarakat akan hidup dalam ketidakteraturan1, karena tidak ada institusi yang

memberikan perlindungan hukum bagi warga beserta harta benda milik mereka.

Hukum rimbalah yang akan terjadi, siapa yang kuat dialah yang akan menang dan

mampu mempertahankan kehidupan dan miliknya.

Negara, melalui pemerintahnya menyelenggarakan tertib hukum dalam rangka

memberikan perlindungan hukum bagi warga, aparatur pemerintah, dan aset negara.

Dikatakan oleh Hans Kelsen:

“The state is,…, a legal order. It is element, territory and people, are the territorial and personal spheres of validity of that legal order… The “power” of the state is validity and efficacy of legal order,…”2

Negara adalah tertib hukum. Elemen negara, wilayah dan rakyat, adalah lingkungan

wilayah dan pribadi keberlakuan dari tertib hukum. Kekuasaan negara adalah

keberlakuan dan kemanfaatan dari tertib hukum. Sebaliknya, para penulis kontitusi

Amerika, seperti dikemukakan Alan Norton:

“The separation of territorial powers could be seen as a check on the power of central state: ...the American stress on the division of powers between levels of government could be extended to some extent to local government as mitigating the dominant of the sovereign”3.

1 Ridwan. “Pemerintahan Daerah Setelah Perubahan Kedua UUD 1945”. Makalah pada

Seminar Bagian Hukum Tata Negara, kerjasama Fakultas Hukum Universitas Sriwiijaya dengan Program HEDS. Inderalaya, 8 Desember 2006, hlm. 1.

2 Hans Kelsen. 1973. General Theory of Law and State. Russell & Russell, New York, hlm. 303

3 Alan Norton. 1997. International Handbook of Local and Regional Government: a comparative analysis of advanced democracies. Reprinted, The Ipswich Book Company, Suffolk, Great Britain, hlm. 26-27

8

Page 18: Pemb Hukum dan Konflik UU Bid Sektoral_UNSRI

Dari kutipan di atas, disarikan bahwa pemisahan kekuasaan teritorial dapat

dilihat sebagai pengawasan terhadap kekuasaan negara, bagi Amerika pembagian

kekuasaan tersebut adalah sebagai pengurangan dominasi kedaulatan.

Apapun bentuknya suatu negara dan seberapa pun luas wilayahnya, tidak akan

mampu menyelenggarakan pemerintahan secara sentral terus-menerus. Keterbatasan

kemampuan pemerintah, menimbulkan konsekwensi logis bagi distribusi urusan-

urusan pemerintahan negara kepada pemerintah daerah.4 Pemencaran atau distribusi

urusan-urusan pemerintahan kepada satuan-satuan dan unit-unit pemerintahan yang

lebih kecil, memunculkan sistem-sistem pemerintahan daerah yang merupakan

bagian dari sistem pemerintahan nasional negara yang bersangkutan.

Bagi negara Indonesia, terdapat beberapa alasan mengenai perlu atau

pentingnya pemerintahan daerah, yaitu alasan sejarah, alasan situasi dan kondisi

wilayah, alasan keterbatasan pemerintah, dan alasan politis dan psikologis:5

1. Alasan sejarah Secara historis, ekssistensi pemerintahan daerah telah dikenal sejak masa pemerintahan kerajaan-kerajaan nenek moyang dahulu, sampai pada sistem pemerintahan yang diberlakukan oleh pemerintah penjajah.

2. Alasan Situasi dan Kondisi Wilayah

Secara geografis, Indonesia merupakan gugusan kepulauan yang terdiri dari ribuan pulau besar dan kecil, satu sama lain dihubungkan oleh sela dan laut, dan dikelilingi oleh lautan yang luas. Kondisi wilayah yang demikian, mempunyai konsekwensi logis terhadap lahirnya berbagai suku dengan adat istiadat, kebiasaan, kebudayaan dan ragam bahasa daerahnya masing-masing. Demikian pula keadaan dan kekayaan alam dan potensi permasalahan yang satu sama lain memiliki kekhususan tersendiri. Oleh karena itu, dipandang akan lebih efisien dan efektif apabila pengelolaan berbagai urusan pemerintahan ditangani oleh unit atau perangkat pemerintah yang berada di wilayah masing-masing.

3. Alasan Keterbatasan Pemerintah Tidak semua urusan pemerintah dapat dilaksanakan sendiri oleh pemerintah pusat, karena keterbatasan kemampuan pemerintah, maka pendelegasian kewenangan kepada unit pemerintahan di daerah-daerah suatu keniscayaan. Tidak mungkin pemerintah dapat menangani semua urusan pemerintahan yang menyangkur\t kepentingan masyarakat yang mendiami ribuan pulau yang tersebar dari Sabang sampai Merauke.

4 S.H. Sarundajang, 2000. Arus Balik Kekuasaan Pusat ke Daerah. Pustaka Sinar Harapan,

Jakarta, hlm. 16. 5 Ibid., hlm. 21-25.

9

Page 19: Pemb Hukum dan Konflik UU Bid Sektoral_UNSRI

4. Alasan Politis dan Psikologis Ketika UUD 1945 dalam masa penyusunan, terdapat pandangan yang menonjol pada saat itu adalah wawasan integralistis, demokratis, dan semangat persatuan dan kesatuan nasional. Sejarah membuktikan, bahwa sekian lamanya bangsa Indonesia hidup di bawah pemerintah penjajah, disebabkan faktor utama, yaitu lemahnya persatuan dan kesatuan bangsa pada waktu itu. Pembentukan dan pembinaan pemerintahan daerah adalah sarana efektif yang memungkinkan semangat persatuan dan kesatuan tetap terpelihara dalam ikatan negara kesatuan Republik Indonesia. Negara Republik Indonesia yang menganut faham negara kesatuan, memikul

beban yang berat dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada

masyarakat, hal ini mengingat wilayah yang luas, bersifat nusantara, dan

heterogenitas sosial budaya penduduk, maka pilihan menggunakan asas

desentralisasi adalah keniscayaan.6 Dengan desentralisasi, pemerintah pusat dapat

menyerahkan sebagian urusan atau kekuasaannya kepada daerah menjadi urusan

rumah tangganya.7 Berdasarkan asas desentralisasi yang dianut, dikenalnya adanya

pemerintahan daerah otonom yaitu daerah yang diberi wewenang untuk mengatur

dan mengurus rumah tangganya sendiri.

B. Otonomi Daerah dan Desentralisasi

Desentralisasi dan otonomi Daerah adalah instrumen untuk mencapai tujuan

dan bukan tujuan itu sendiri. Permasalahannya, terletak bagaimana

menyelenggarakan pemerintahan Daerah dalam negara kesatuan sehingga tujuan

akhir, yaitu kesejahteraan masyarakat akan meningkat. Karena itu, masalah

pengaturan tentang pemerintahan daerah dan pelaksanaannya, terus menjadi bahan

perbincangan sejak masa penyusunan UUD 1945 sampai sekarang. Persoalan

otonomi daerah (yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah) bukan persoalan yang

berdiri sendiri, bukan hanya masalah ketatanegaraan, tetapi banyak segi dan

berkaitan dengan aspek kehidupan manusia.

6 Otonomi sudah menjadi suatu keniscayaan, karena pelaksanaan otonomi daerah memberikan

eksistensi bagi keberagaman sosial, budaya, dan adat isitiadat. Lihat J. Kaloh. 2002. Mencari Bentuk Otonomi Daerah. Rineka Cipta, Jakarta, hlm. 69.

7 Talizuduhu Ndraha. “Sebuah Catatan tentang Otonomi dalam Penyelenggaraan Negara”. Makalah pada Seminar Gagasan Otonomi Daerah dalam Konteks Negara Kesatuan RI. Sekretariat Tim P-7, Jakarta, 20-21 Maret 1992. hlm 4.

10

Page 20: Pemb Hukum dan Konflik UU Bid Sektoral_UNSRI

Silih berganti diundangkan undang-undang pemerintahan daerah sejak tahun

1945, bahkan untuk itu dilakukan perubahan terhadap ketentuan UUD 1945, adalah

dalam rangka menginterpretasikan dan menemukan solusi terbaik atas permasalahan

tersebut di atas.

Pada mulanya makna “otonomi” (otonomi daerah) adalah pengundangan

sendiri, yang dalam perkembangan selanjutnya diartikan juga pemerintahan.

Otonomi daerah, selanjutnya disingkat otonomi, merupakan satu sistem dalam

kerangka desentralisasi penyelenggaraan pemerintahan. Istilah desentralisasi dan

otonomi sering dipakai untuk makna yang sama secara bergantian, padahal secara

teoritis pengertian kedua istilah itu dapat dibedakan, namun dalam praktek

penyelenggaraan pemerintahan antara keduannya tidak dapat dipisahkan.

Rondinelli, sebagaimana dikutip Gustam Idris8, mengemukakan tiga bentuk

desentralisasi:

1. Dekonsentrasi (deconcentration); bersifat field (lapangan) dan local administration (integrated local administration dan unintegrated local administration) Dekonsentrasi adalah pembagian kewenangan dan tanggung jawab administrastif antara departemen pusat di lapangan. Pada tipe field administration, pejabat lapangan diberi keleluasaan untuk mengambil keputusan, namun para pejabatnya tetap pegawai departemen pusat. Pada integrated local administration tenaga staf departemen pusat yang ditempatkan di daerah berada langsung dibawah perintah dan pengawasan dari kepala eksekutif di daerah yang diangkat oleh dan bertanggung jawab kepada pemerintah pusat, secara teknis bertanggung jawab kepada Pemda. Sedangkan pada unintegrated local administration, pejabat pusat dan pemda berdiri sendiri, mereka bertanggung jawab kepada departemen masing-masing. Kordinasi dilakukan secara informal.

2. Delegasi wewenang kepada badan semi otonomi.

Merupakan pelimpahan pengambilan keputusan dan kewenangan manajerial untuk melakukan tugas khusus kepada suatu organisasi yang tidak secara langsung dibawah pengawasan pemerintah pusat (ingat BUMN di Indonesia).

3. Devolusi kepada pemerintahan lokal. Pemerintah pusat membentuk unit-unit pemerintahan di luar pemerintah pusat dengan menyerahkan sebagian fungsi-fungsi tertentu untuk dilaksanakan secara mandiri. Ciri-ciri khususnya yaitu: bersifat otonom

8 Gustam Idris. “Otonomi dan Hubungan Luar Negeri”. Makalah pada Diskusi Panel tentang

Hubungan Luar Negeri oleh Pemerintah Daerah, kerjasama Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya, Pemerintah Propinsi Sumatera Selatan dan Departemen Luar Negeri Republik Indonesia cq. Badan Diklat Provinsi Sumatera Selatan, Auditorium Pemda Prop. Sumatera Selatan. Palembang, 4 Agustus 2001, hlm. 2- 4.

11

Page 21: Pemb Hukum dan Konflik UU Bid Sektoral_UNSRI

dan mandiri, tidak diawasi secara langsung pemerintahan pusat; wilayah jelas dan legal, wewenang untuk melakukan tugas umum pemerintahan; unit pemerintahan daerah berstatus sebagai badan hukum berwenang mengelola sumber daya;

4. Alih fungsi pemerintahan kepada badan non pemerintah (privatisasi).

Penyerahan kewenangan perencanaan, pengambilan keputusan serta administrasi kepada badan non pemerintah atau pemindahan fungsi-fungsi pemerintahan kepada lembaga-lembaga non pemerintah”.

Uraian di atas menegaskan bahwa konsep desentralisasi timbul karena adanya

perhatian yang makin besar untuk memberikan keleluasaan dalam perencanaan dan

administrasi, yang dilatarbelakangi oleh: pertama, kurang memuaskannya hasil

perencanaan pembangunan dan kontrol administrasi yang terpusat; kedua, perlunya

dikembangkan cara-cara baru dalam pengelolaan program dan proyek serta

administrasi pembangunan; ketiga, adanya kenyataan bahwa kebutuhan masyarakat

makin kompleks diikuti makin luasnya kegiatan pemerintahan sehingga makin sulit

tercapainya efisiensi dan efektivitas fungsi pemerintahan.

Menurut teori center-peripheral relationships, dalam pendekatan formulasi

wewenang pusat dan daerah, pusat adalah bagian dari masyarakat yang

kewenangannya dikontrol.9 Sedangkan pinggiran/ daerah adalah lokasi di mana

wewenang digunakan/ dioperasionalkan. Pusat adalah fenomena dari dunia nilai-

nilai dan kepercayaan belaka (phenomenon of the realm of values and beliefs). Pusat

adalah sistem nilai karena didukung oleh kewenangan-kewenangan berkuasa dari

masyarakat. Sistem nilai tersebut adalah konsensus bersama tetapi juga berarti

melemahkan daerah yang bisa dianggap agak beragam dan bercabang dalam sistem

nilai-nilai tersebut.10

Menurut M. Nasroen, daerah otonom adalah suatu bentuk pergaulan hidup juga

dan oleh sebab itu antara rakyat yang merupakan penduduk daerah otonom itu harus

pula ada ikatan, diantaranya sekepentingan bersama.11 Pembentukan daerah otonom

tentu tidak dapat diadakan dengan menarik garis-garis di atas peta saja dan hanya

9 Arend Lijphart. 1980. Democracy In Plural Societies. New Haven and London Yale

University Press, hlm. 20-21. 10 Ibid. 11.M. Nasroen. 1954. Soal Pembentukan Daerah Otonom Dan Tingkatan Daerah Otonom.

EndaNG, Jakarta. hlm. 4

12

Page 22: Pemb Hukum dan Konflik UU Bid Sektoral_UNSRI

memperhitungkan syarat-syarat obyektif saja. Syarat obyektif tentu perlu, tetapi

syarat subyektif tidak kalah pentingnya. Syarat subyektif itu adalah dasar

kepentingan bersama dan dasar seperasaan anatara anggota pergaulan hidup itu

(daerah).12 Syarat yang dikehendaki oleh hukum, menurut Nasroen, adalah daerah

otonom tidak boleh bertentangan atau merusakkan dasar kesatuan dari Negara

Kesatuan RI; Daerah otom harus berada dalam lingkungan negara sebagai negara

yang berbentuk kesatuan.13

Bagaimana kebijaksanaan yang harus dijalankan dalam pembentukan daerah

otonom? Menurut Nasroen, harus lebih dahulu diadakan analisis mengenai keadaan

masyarakat dan bangsa Indonesia. Masyarakat Indonesia yang terdiri atas bermacam

suku bangsa mempunyai corak hidup dan pendirian sendiri-sendiri, sungguh

demikian ke semua suku bangsa itu mempunyai dasar yang sama dan satu, yaitu

dasar keindonesiaan.14

R. Tresna15, menggolongkan desentralisasi menjadi ambtelijke decentralisatie

(dekonsentrasi) dan staatskundige decentralisatie (desentralisasi ketatanegaraan).

Desentralisasi ketatanegaraan dapat berbentuk “desentralisasi territorial” dan

“desentralisasi fungsional”. Desentralisasi jabatan (dekonsentrasi) adalah pemberian

kekuasaan dari atas ke bawah di dalam rangka kepegawaian, guna kelancaran

pekerjaan semata-mata. Desentralisasi ketatanegaraan merupakan pemberian

kekuasaan untuk mengatur bagi daerah di dalam lingkungannya guna mewujudkan

asas demokrasi pemerintahan. Lebih lanjut R. Tresna mengemukakan, desentralisasi

dapat pula berbentuk “otonomi” dan medebewind. Otonomi mengandung makna

regeling dan bestuur, sedangkan medebewind merupakan tugas pembantuan.

Di Belanda,16 medebewind dipahamkan sebagai pembantu penyelenggaraan

kepentingan-kepentingan dari Pusat atau daerah yang tingkatnya lebih atas oleh alat

perlengkapan pemerintahan daerah yang lebih rendah tingkatannya. Urusan itu tidak

beralih, tetapi tetap urusan pusat atau daerah atasan. Pertanggungan jawab tetap

kepada kepala daerah setempat, namun cara kebijakan dan pengaturannya berada

sepenuhnya pada daerah yang memberi bantuan.

12.Ibid., hlm. 4 13.Ibid., hlm. 9 14.Ibid., hlm. 4 15.Ibid. 16.Ibid. .

13

Page 23: Pemb Hukum dan Konflik UU Bid Sektoral_UNSRI

C. Pembangunan Hukum Pembangunan hukum secara tepat memerlukan desain pembangunan hukum

secara tepat pula, yaitu pemahaman yang tepat terhadap karakteristik objek

pembangunan tersebut. Hingga saat ini masih berkembang berbagai pandangan

tentang ruang lingkup ilmu hukum. Sebab utamanya adalah besarnya pengaruh dari

perkembangan ilmu pengetahuan (abad 17 sd 19) terhadap ilmu hukum. Akibat

yang harus diterima oleh hukum sebagai akibat perkembangan itu yaitu terjadinya

reduksi hukum sebagai objek ilmu hukum dan terhadap hukum sebagai suatu

keutuhan. Pendefinisian hukum secara sempit oleh berbagai ahli, misalnya oleh ahli

politik dan ahli ilmu sosial, telah mengakibatkan makna hukum tercabut dari

keutuhan sistemnya dan menjadi sebagai norma yang sangat sempit.

Di kalangan ahli hukum sendiri masih sangat kuat cara pandang yang sempit

terhadap hukum tersebut, hal ini tak lepas dari kuatnya pengaruh perkembangan ilmu

pengetahuan secara keseluruhan terhadap ilmu hukum. Pendekatan mekanis-analitis

yang dikembangkan dalam ilmu fisika, yang meneliti suatu objek yang dipisahkan

dari aspek aksiologisnya, dimanfaatkan pula dalam pengembangan ilmu hukum pada

abad ke-18. Hukum dipandang hanya sebagai norma belaka dan terpisah dari

keutuhuan sistem hukum sebagai suatu keseluruhan (utuh).

Hukum yang dikonsepkan sebagai norma belaka, akan berpengaruh buruk

terhadap pembangunan hukum di Indonesia. Jika hukum dikonsepkan sebagai norma

belaka, maka pembangunan juga akan berorientasi pada pembangunan komponen-

komponen hukum yang hanya terbatas pada sistem pembentukan norma dan

penerapan norma itu. Dengan cara seperti itu akan menghasilkan pembangunan

hukum yang berlangsung dalam proses yang tidak dapat ditentukan efektivitasnya.

Hanya dengan desain sistem hukum yang tepatlah dapat diciptakan desain

pembangunan hukum secara tepat pula. Untuk itu diperlukan pendekatan yang

mampu mengkonstruksi keseluruhan komponden sistem hukum dan menggambarkan

hukum sebagai suatu keutuhan, yaitu pendekatan sistem.

Suatu sistem hukum itu bermula dari masyarakat dan berakhir pada masyarakat

pembentuknya, tempat dimana hukum itu akana diterapkan. Konstruksi sistem

hukum memiliki susunan sebagai berikut: masyarakat hukum-- budaya hukum --

filsafat hukum -- pendidikan hukum (ilmu hukum) -- konsep (desain) hukum --

pembentukan hukum (lembaga pembentuk hukum)-- bentuk hukum (tertulis/tidak

14

Page 24: Pemb Hukum dan Konflik UU Bid Sektoral_UNSRI

tertulis) -- penerapan hukum (lembaga penyelenggara hukum)-- evaluasi hukum --

masyarakat hukum --.

Konstruksi sistem hukum tersebut di atas, selaras dengan kenyataan hukum,

baik pada sistem masyarakat yang sangat sederhana maupun sampai pada

masyarakat bangsa (negara) dan masyarakat global. Masing-masing komponen

sistem tersebut bersifat otonom yang integralis.

Komponen bentuk perundang-undangan di Indonesia tersusun atas UUD,

UU/Perpu, PP, Perpres, Perda, dan seterusnya. Komponen pembentuk hukum,

misalnya dalam pembentukan UU, maka lembaga pembentuknya terdiri atas DPR,

Presiden, dan (DPD).

Pembentukan hukum merupakan masalah yang menonjol dalam peta

permasalahan hukum. Dalam perspektif permasalahan ini, maka profesionalisme

dalam bidang legal drafting memegang peranan penting. Penelitian hukum juga

memainkan peranan penting sebagai proses awal yang mendahului pembentukan

hukum. Penelitian hukum merupakan proses pembentukan hukum dalam kerangka

desain sistem.

Kualitas hukum yang dibentuk sangat ditentukan oleh komponen pendidikan

hukum yang bersinergis dengan komponen pembentukan hukum. Komponen

pendidikan hukum membawahi sub-sistem pendidikan hukum dan sub-sistem

penelitian hukum, masing-masing menentukan kualitas profesionalisme ahli hukum,

kualitas pembentuk hukum, dan penerapan hukum. Komponen pembentukan hukum

membawahi sub-sistem pembentukan hukum yang akan mempengaruhi kualitas

hukum yang akan dibentuk dan diterapkan.

D. Perubahan Masyarakat dan Perubahan Hukum

Masyarakat senantiasa mengalami perubahan. Perbedaan perubahan yang

satu dengan yang lain ditentukan pada sifat atau tingkat perubahan itu sendiri, begitu

juga halnya dengan perubahan hukum. Perubahan hukum terjadi apabila dua

unsurnya telah bertemu pada satu titik singgung, yaitu: (1) keadaan baru yang timbul

dan (2) kesadaran akan perlunya perubahan pada masyarakat yang bersangkutan itu

sendiri. Menurut Sinzheimer:

“Syarat-syarat bagi terjadinya perubahan pada hukum itu baru ada, manakala dengan terjadinya perubahan-perubahan (timbulnya hal-hal yang baru) itu

15

Page 25: Pemb Hukum dan Konflik UU Bid Sektoral_UNSRI

timbul emosi-emosi pada pihak-pihak yang terkena, yang dengan demikian akan mengadakan langkah-langkah menghadapi keadaan itu serta menuju kepada bentuk-bentuk kehidupan yang baru.”17

Selain itu, Arnold M. Rose mengemukakan adanya tiga teori umum perihal

perubahan-perubahan sosial, yang kemudian dihubungkan dengan hukum, yaitu: (1)

kumulasi yang progresif daripada penemuan-penemuan di bidang teknologi, (2)

kontak atau konflik antara kebudayaan, dan (3) gerakan sosial (social movement).18

Menurut ketiga teori tersebut, maka hukum lebih merupakan akibat daripada faktor

penyebab terjadinya perubahan-perubahan sosial.

Lahirnya perubahan hukum biasanya diawali dengan perubahan ditingkat

pemikiran hukum itu sendiri. Salah satu faktor eksternal yang menimbulkan

perubahan pemikiran hukum tersebut ialah munculnya fenomena negara modern.

Kelahiran negara modern pada abad ke-19 dengan atmosfer politik liberalisme,

berimplikasi di bidang teknologi dan industri. Hal inilah yang kemudian mendorong

sistem perekonomian menjadi kapitalistik dan sangat agresif, dengan ciri kehausan

dimana-mana, salah satunya adalah “industrialisasi yang lapar lahan” 19

Di bidang hukum nilai-nilai liberal terpusat pada jaminan atas kemerdekaan

individu yang menjadi paradigma dalam sistem hukum. Sistem hukum liberal

dirancang untuk memberikan perlindungan terhadap kemerdekaan individu, ia tidak

dirancang untuk memikirkan dan memberikan keadilan yang luas kepada

masyarakat, melainkan untuk melindungi kemerdekaan individu.

Tidak dapat dipungkiri bahwa hukum merupakan konstruksi manusia, apakah

itu kontruksi sosial, politik atau kultural, puncak dari kontruksi tersebut (abad ke-19)

adalah lahirnya konsep Rule of Law.20 Sistem hukum modern yang dilambangkan

dengan doktrin “Rule of Law”, adalah suatu perkembangan yang bermuatan nilai

atau budaya yang khas. Hukum modern melembagakan perkembangan idiologi

pembebasan individu. Hal ini dapat dilihat dari periodesasi sejarah Eropa, dari abad

kegelapan, feodal, pertengahan, pencerahan, dan modern. Periodeisasi itu

menunjukkan adanya akselerasi menuju pembebasan individu. Dengan demikian

17 Satjipto Rahardjo. 1986. Hukum dan Masyarakat. Angkasa Bandung, Bandung, hlm. 101. 18

Soerjono Soekanto. 2004. Pokok-Pokok Sosiologi Hukum. Raja Grafindo Persada, Jakarta,

hlm. 108. 19 Khudzaifah Dimyati. 2004. Teorisasi Hukum, Studi Tentang Perkembangan Pemikiran

Hukum di Indonesia 1945-1990. Muhammadiyah University Press, Surakarta, hlm. 91-92. 20 Satjipto Rahardjo. Hukum Kita Liberal (Apa Yang Dapat Kita Lakukan). Harian Umum

Kompas, tanggal 3 Januari 2001.

16

Page 26: Pemb Hukum dan Konflik UU Bid Sektoral_UNSRI

dapat dikatakan bahwa perkembangan menuju doktrin “Rule of Law” adalah sisi lain

dari perkembangan individu menuju pembebasannya.21

E. Politik Hukum Politik hukum sebagai kerangka umum yang akan membentuk hukum (legal

frame work), mempunyai peranan penting. Melalui politik hukum, dikaji hukum

yang berlaku (ius constitutum), maupun yang memberikan arah pada pembangunan

hukum yang dicita-citakan (ius constituendum), karena politik hukum merupakan

disiplin yang mendasari aktifitas memilih dan menyerasikan berbagai nilai, cara, atau

model yang akan digunakan dalam melaksanakan pembangunan hukum dalam

rangka mencapai tujuan maupun untuk kepentingan terhadap perubahan hukum yang

direncanakan.22

Abdul Hakim G Nusantara dan Arief Budiman mengemukakan konsep yang

dapat digunakan untuk memahami perspektif pemikiran politik hukum. Menurut

Abdul Hakim G Nusantara, politik hukum nasional secara harfiah diartikan sebagai

kebijakan hukum (legal policy) yang hendak diterapkan atau dilaksanakan secara

nasional oleh suatu pemerintahan negara tertentu. Politik hukum nasional bisa

meliputi:

1. Pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada secara konsisten; 2. Pembangunan hukum yang intinya adalah pembaruan terhadap ketentuan

hukum yang telah ada dan yang dianggap usang, dan penciptaan ketentuan hukum baru yang diperlukan untuk memenuhi tuntutan perkembangan yang terjadi dalam masyarakat;

3. Penegasan fungsi lembaga penegak atau pelaksana hukum dan pembinaan anggotanya;

4. Meningkatkan kesadaran hukum masyarakat menurut persepsi kelompok elit pengambil kebijakaan.23

Keempat faktor tersebut menjelaskan secara gamblang wilayah kerja politik

hukum yang mencakup teritorial berlakunya politik hukum dan proses pembaruan

21 Satjipto Rahardjo. 2002. Sosiologi Hukum Perkembangan Metode dan Pilihan Masalah.

Muhammadiyah University Press, Surakarta, hlm. 45-46. 22 Sudarto. “Perkembangan Ilmu Hukum dan Politik Hukum”. Dalam Majalah Hukum dan

Keadilan No. 5 Tahun ke VII Januari-Februari, hlm. 14-17, dalam: Firman Muntaqo, “Harmonisasi Hukum Investasi di Bidang Perkebunan”, Usulan Penelitian untuk Disertasi, Universitas Diponegoro, Semarang, 2006, hlm. 37.

23 Abdul Hakim G Nusantara, “Politik Hukum Nasional”, Makalah pada Karya Latihan Bantuan Hukum (Kalabahu), YLBHI & LBH Surabaya, September 1985, dalam: Imam Syaukani & A. Ahsin Thohari, “Dasar-Dasar Politik Hukum” Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006, hlm. 30-31.

17

Page 27: Pemb Hukum dan Konflik UU Bid Sektoral_UNSRI

dan pembuatan hukum, dengan sikap kritis terhadap hukum yang berdimensi ius

constitutum dan menciptakan hukum yang berdimensi isu constituendum.24

Mengacu pada pendapat Arief Budiman, pemerintah dalam mengeluarkan

kebijakan tidak semata-mata ditentukan oleh pemerintah secara mandiri, tetapi tetap

ditentukan oleh “kondisi struktural”25 dari pemerintahan sendiri. Kebijakan juga

ditentukan oleh rezim yang ada. Jadi kebijakan dalam sebuah rezim yang otoriter

akan mengalami perubahan dibawah rezim yang demokrasi, namun apakah

perubahan itu bersifat substansial atau tidak itu persoalan lain.

Tabel 1. Sifat Kebijakan Pemerintah Berdasarkan Kondisi Struktural dan Corak Penguasa

Aspek Uraian Sifat

Konteks

Kondisi Struktural; Pakta Dominasi, Pengaturan Kekayaan, Hubungan Sosial, Ekonomi dan Politik dari Kekuatan Produksi, baik secara Nasional maupun Internasional.

Feodalisme, Kapitalisme, Sosialisme, dan sebagainya.

Pemerintah; Aparat Politik & Birokrasi, Aspek Personel dari Negara

Pra-Birokratik, Birokratik, Post Birokratik26 Pelaksana

Rezim; Sistem Politik, cara Penyelenggaraan Kekuasaan

Totaliter, Otoriter, Semi-Demokrasi, Demokrasi

Hasil Kebijakan Publik Represif, Otonom, Responsif27

Sumber: Arief Budiman, 1997.

Unsur dominan dalam suatu perubahan kebijakan adalah kondisi struktural,

karena kebijakan publik merupakan hasil interaksi dari kondisi struktural (proses

politik antara pemerintah yang berkuasa dengan dan proses politik yang ditempuh)

24 Ibid, hlm. 31 25 Kondisi Struktural dari negara; meliputi pakta dominasi dari kekuatan-kekuatan masyarakat

yang ada dengan negara di mana pengaturan kekayaan—yakni siapa yang mendapat apa dan berapa banyak, serta cara-cara mendapatkan kekayaan itu diatur. Dengan lain perkataan, kondisi struktural meliputi aspek-aspek hubungan sosial, politik dan ekonomi. Perlu dicatat juga bahwa dalam konsep kondisi struktural ini, termasuk jugakekuatan-kekuatan internasional yang berpengaruh pada pengaturan kekayaan dan pakta dominasi di sebuah negara tertentu. Bantuan ekonomi dan militer dari negara-negara adidaya dan lembaga-lembaga keuangan internasional untuk mendukung sebuah negara tentunya merupakan kondisi yang memperkokoh kekuasaan negara yang dibantu. Lihat dalam: Arief Budiman. 1997. Teori Negara; Negara, Kekuasaan dan Ideologi. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hlm. 90-93.

26. Tambahan dari penulis, dikutip dari; Philippe Nonet & Philip Selznick. 1978. Law &

Society in Transition: Toward Responsive Law. Harper & Row, Publishers New York, Hagerstown, San Francisco, London, hlm. 22.

27 Ibid. hlm. 16.

18

Page 28: Pemb Hukum dan Konflik UU Bid Sektoral_UNSRI

yang ada. Faktor dominan dari kondisi struktural yang mempengaruhi kebijakan

tergantung pula dengan jenis kebijakannya. Untuk kebijakan tertentu mungkin

kondisi struktural yang paling dominan, tetapi untuk lain kebijakan mungkin unsur

pemerintah atau proses politiknya yang menjadi faktor dominan.

F. Aspek Teoritis Peraturan Perundang-undangan

1. Istilah dan Jenis Peraturan Perundangan-Undangan

Di kalangan awam, sering terjadi kekeliruan dalam mengartikan istilah-istilah

“peraturan perundang-undangan“, “undang-undang“ dan “hukum“28. Kekeliruan

terjadi karena terbentuknya konsep berpikir yang menyamakan peraturan perundang-

undangan dengan undang-undang, atau sama dengan hokum. Padahal, undang-

undang adalah bagian dari peraturan perundang-undangan, ia terdiri dari undang-

undang dan berbagai peraturan perundang-undangan lainnya seperti, Peraturan

Pemerintah dan Peraturan Daerah. Undang-undang adalah hukum, tetapi hukum

tidak sama dengan undang-undang, sebab undang-undang adalah salah satu bentuk

dari kaidah hukum, disamping kaidah hukum lainnya seperti hukum adat, hukum

kebiasaan, dan hukum yurisprudensi.

Istilah peraturan perundang-undangan dalam praktik dan wacana akademik

kadang digunakan dengan memaknainya tidak secara tepat. Febrian, dalam Disertasi-

nya menggunakan istilah “aturan hukum” untuk istilah “peraturan perundang-

undangan”. Dari kata dasar “atur“, mendapat akhiran “an“ yang bermakna kata

benda, ditambah kata hukum, menjadi “aturan hukum“. Hal ini sekali lagi didasarkan

kepada permasalahan hirarki adalah permasalahan bentuk hukum yang membentuk

pola jenjang aturan hukum (UUD - UU/Perpu - PP - Perda) dan wewenang aturan

hukum, yaitu wewenang untuk mengatur yang langsung mengikat umum29. Oleh

karena itu, makna aturan hukum yang dimaksud, yaitu dari segi bentuk adalah

tertulis dan dari segi substansi dan sifat adalah mengikat umum atau keluar.30 Di

28 Bagir Manan. 1992. Dasar-dasar Perundang-undangan Indonesia. Ind-Hill.Co, Jakarta,

hlm. 1, dalam: H. Abdul Latief. 2005. Hukum dan Peraturan Kebijaksanaan (Beleidsregel) pada Pemerintahan Daerah. UII Press, Jogjakarta, hlm. 35-36.

29 Febrian. 2004. Hirarki Aturan Hukum di Indonesia. Disertasi, Program Studi Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Airlangga, Surabaya, hlm. 59.

30 Ibid, hlm. 65.

19

Page 29: Pemb Hukum dan Konflik UU Bid Sektoral_UNSRI

dalam uraian selanjutnya, kedua istilah peraturan perundang-undangan dan aturan

hukum, digunakan secara bersamaan atau secara bergantian.

Dalam Undang-Undang Dasar 1945 tidak ditemukan istilah “Peraturan

Perundang-undangan”, yang ada hanyalah jenis atau bentuk dari ”Peraturan

Perundangan-undangan”, yaitu: Ketetapan MPR, Undang-Undang, Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-Undang, dan Peraturan Pemerintah.31

Pada Konstitusi Republik Indonesia Serikat 1949, istilah “perundang-

undangan” dapat ditemukan pada Pasal 127 Bagian II judul Perundang-undangan,

dengan menyebutkan kekuasaan perundang-undangan federal. Selain itu terdapat

juga istilah “Peraturan-peraturan Undang-undang”, “Aturan-aturan Undang-undang”,

“Aturan-aturan hukum (yang tak tertulis)”, “Perundang-undangan federal”. Jika

merujuk pada jenisnya terdapat: Undang-undang federal; Undang-undang daerah-

daerah bagian; Undang-undang; Undang-Undang Darurat; Peraturan Pemerintah;

dan Keputusan Presiden32.

Dalam Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia 1950, istilah

“perundang-undangan” ditemukan pada Bagian II judul Perundang-undangan, lain

halnya dengan apa yang diatur dalam Konstitusi RIS 1949, kekuasaan perundang-

undangan dalam UUDS 1950 dilakukan pemerintah bersama-sama dengan Dewan

Perwakilan Rakyat33. Istilah-istilah lainnya tidak jauh berbeda dengan yang diatur

dalam Konstitusi RIS 1949, seperti: “Aturan-aturan hukum”, ”Peraturan-peraturan

Undang-undang”, Aturan-aturan Undang-undang”, “Peraturan Undang-undang”.

Yang membedakan dengan Konstitusi RIS 1949 ialah jenis atau bentuk dari

peraturan-peraturan tersebut, yaitu: “Undang- undang”, “Keputusan Presiden”,

“Undang-undang darurat”, “Peraturan Pemerintah”34.

Pada masa berlakunya UUDS 1950, jenis peraturan perundang-undangan yang

ada meliputi: Undang-Undang Dasar, Undang-undang, Undang-undang Darurat,

Peraturan Pemerintah, Penetapan Presiden yaitu: peraturan untuk melaksanakan

Dekrit Presiden, Peraturan Presiden yaitu peraturan untuk melaksanakan Penetapan

31 Pasal 3, 5 ayat (1), 22 ayat (1), 5 ayat (2), UUD 1945 (sebelum amandemen). 32 Pasal 20, 26, 31, 51 ayat (3), 32 ayat (2), 41 ayat (2), 139, 141, 119 Konstitusi RIS 1949 33 Pasal 89 UUDS 1950: kecuali apa yang ditentukan dalam pasal 140 maka kekuasaan

perundang-undangan, sesuai dengan ketentuan-ketentuan bagian ini, dilakukan oleh Pemerintah bersama-sama Dewan Perwakilan Rakyat.

34 Pasal 13 ayat (2), 17 ayat (2), 27 ayat (1), 30 ayat (3), 31, 5, 21, 90, 91, 51 ayat (4), 84, 96

ayat (1), 97, 98 UUDS 1950.

20

Page 30: Pemb Hukum dan Konflik UU Bid Sektoral_UNSRI

Presiden, Keputusan Presiden, Peraturan Perdana Menteri, Peraturan Menteri,

Keputusan Menteri, Peraturan Daerah Tingkat I dan II. Jenis-jenis peraturan

Perundang-undangan selain yang telah disebutkan dalam UUDS keberadaanya

didasarkan pada Surat Presiden No. 2262/HK/1959 tanggal 20 Agustus 1959, No.

2775/HK/1959 tanggal 22 September 1959, dan surat No. 3639/HK/1959 tanggal 26

Nopember 1959.33

Pada masa berlakunya UUDS 1950, terjadi kesemerawutan dalam tata urutan

peraturan perundang-perundangan. Terjadi kerancuan menyangkut jenis dan

substansi peraturan perundang-undangan, seperti, Penetapan Presiden dan Peraturan

Presiden mengatur materi Undang-undang dan Peraturan Pemerintah. Terdapat

Peraturan Pemerintah yang ternyata sebagai peraturan pelaksanaan dari Peraturan

Presiden. Jadi, dalam hal ini terjadi berbagai kerancuan dan tumpang tindih

mengenai materi muatan maupun tata urutan peraturan perundang-undangan.

Memasuki tahun 1966 “kesemerawutan” jenis dan tata urutan peraturan

perundang-undangan mulai dibenahi, diawali dengan Ketetapan MPRS No.

XIX/MPRS/1966 tentang Peninjauan Kembali Produk-Produk Legislatif Negara di

luar produk MPRS yang tidak sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945.

Peninjauan kembali terhadap produk-produk hukum tersebut, didasarkan atas alasan

adanya jenis peraturan perundang-undangan yang tidak mempunyai dasar hukum

dalam UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan yang isinya tidak sesuai atau

bertentangan dengan isi UUD 1945.

Munculnya Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 tentang Memorandum

DPR-GR mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan

Peraturan Perundangan Republik Indonesia, relatif membuka ruang untuk

menyelesaikan kesemerawutan tersebut. Ketetapan ini meliputi tiga bagian, yaitu:

I . Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia.

II. Tata Urutan Peraturan Perundangan Republik Indonesia, dan

III. Bagan atau Skema Susunan Kekuasaan di dalam Negara Republik

Indonesia.

Bagian II Tata Urutan Peraturan Perundangan Republik Indonesia dari

Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 berisikan bentuk-bentuk atau jenis-jenis

peraturan perundang-undangan Republik Indonesia secara hirarki:

21

Page 31: Pemb Hukum dan Konflik UU Bid Sektoral_UNSRI

1. Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945,

2. Ketetapan MPR,

3. Undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang,

4. Peraturan Pemerintah,

5. Keputusan Pemerintah,

6. Peraturan-peraturan pelaksanaan lainnya, seperti:

a. Peraturan Menteri,

b. Instruksi Menteri.

Selanjutnya tata urutan dan jenis-jenis Peraturan Perundang-undangan, di

tetapkan dengan TAP MPR No. V/MPR/1973 diulangi dengan TAP MPR No.

IX/MPR/1978 dan TAP MPR No. IV/MPR/2000. Kemudian pada tahun 2004 lahir

undang-undang yang khusus mengatur tentang Pembentukan Peraturan Perundang-

undangan, yaitu Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004. Berdasarkan Pasal 1 angka

2 undang-undang tersebut, pengertian Peraturan Perundang-undangan adalah

peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang

dan mengikat secara umum.

Menurut Abdul Latief, jenis-jenis peraturan perundang-undangan yang

ditetapkan mulai dari TAP MPR No. XX/MPR/1966 sampai dengan UU No. 10

Tahun 2004 mengandung kerancuan bahkan kesalahan yang perlu diperbaiki dan

disempurnakan, karena menempatkan UUD 1945 dalam pengertian Peraturan

Perundang-undangan yang tertinggi, dan disisi lain UUD 1945 juga sebagai Hukum

Dasar Negara35 .

Berkenaan dengan pendapat Abdul Latief di atas, jika kita cermati

Memorandum DPR-GR tertanggal 9 Juni 1966 Bagian I, diterangkan lebih lanjut

bahwa sebagai perwujudan cita-cita Pancasila yang merupakan Sumber Segala

Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia berturut-turut ialah:

1. Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, merupakan

tindakan pertama dari Tata Hukum Indonesia,

2. Dekrit Presiden 5 Juli 1959,

3. Undang-Undang Dasar 1945, dan

4. Surat Perintah 11 Maret 1966.

35 Abdul Latief. 2005. Hukum dan Peraturan Kebijaksanaan (Beleidsregel) pada

Pemerintahan Daerah. UII Press, Yogyakarta, hlm. 45.

22

Page 32: Pemb Hukum dan Konflik UU Bid Sektoral_UNSRI

Berdasarkan urutan tersebut di atas, Proklamasi Kemerdekaan Indonesia

tanggal 17 Agustus 1945 merupakan perwujudan pertama untuk merealisasikan cita-

cita Pancasila sebagai Sumber Segala Sumber Tertib Hukum Indonesia. Tata Hukum

Indonesia merupakan dasar penyelenggaraan Tertib Hukum Indonesia, Proklamasi

berfungsi sebagai keputusan bangsa Indonesia secara menyeluruh untuk tidak lagi

mengakui adanya ikatan dengan tata hukum yang sebelumnya, yaitu tata hukum

kolonialisme.

Sejak Proklamasi, berdirilah tata hukum baru, yaitu tata hukum Indonesia

dengan Proklamasi sebagai “tindakan pertama” atau “ketentuan pertama” atau

“norma pertama” atau dapat juga disebut sebagai “ketentuan pangkalnya”. Oleh

karena itu, Proklamasi tidak dapat dicari dasar hukumnya, dasar wewenangnya

kepada aturan-aturan lainnya secara konstitusionil. Selama sesuatu ketentuan secara

konstitusionil masih dapat dicari dasar hukumnya kepada sesuatu aturan atau

ketentuan yang telah ada sebelumnya, maka itu bukan ketentuan pertama atau

ketentuan pangkal.36

Penempatan UUD 1945 dalam pengertian Peraturan Perundang-undangan yang

tertinggi dan UUD 1945 sebagai Hukum Dasar Negara, mengandung kerancuan

bahkan kesalahan, sebagaimana pendapat Abdul Latief di atas. Struktur yang

demikian sangat tidak beralasan, karena justru penempatan UUD 1945 pada urutan

tertinggi pada Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan sudah tepat. UUD 1945

haruslah dipahami sebagai hukum dasar yang tertulis dan merupakan sebagian dari

hukum dasar, yang berisikan aturan-aturan pokok atau dasar-dasar mengenai

ketatanegaraan dari suatu negara. Artinya UUD 1945 dibentuk dengan sengaja oleh

lembaga yang berwenang, oleh karena itu UUD 1945 dilihat dari bentuk dan proses

pembentukannya merupakan Peraturan Perundang-undangan.

Dilihat dari proses sejarah, UUD 1945 bukan merupakan pangkal atau

ketentuan pertama yang melegitimasi berdirinya Republik Indonesia, dalam hal ini

penulis sepakat dengan pendapat Joeniarto. Hal ini di dasarkan pada Proklamasi

tanggal 17 Agustus 1945 yang merupakan titik kulminasi dari amanat penderitaan

rakyat, untuk merealisasikan tujuan perjuangannya dengan membentuk negara

nasional yang bebas merdeka dan berdaulat. Konsekuensinya ialah menjebol tertib

36

Joeniarto. 1983. Selayang Pandang Tentang Sumber-Sumber Hukum Tata Negara Di

Indonesia. Liberty, Yogyakarta, hlm. 19-20.

23

Page 33: Pemb Hukum dan Konflik UU Bid Sektoral_UNSRI

hukum kolonial dan membangun tertib hukum yang baru. Dengan demikian, sudah

tepat jika UUD 1945 ditempatkan pada posisi Peraturan Perundang-undangan yang

tertinggi di dalam Tata Hukum Indonesia, dan sekaligus juga menjadi Hukum Dasar

Negara (yang tertulis).

2. Jenis dan Hirarki Peraturan Perundang-Undangan Menurut UU No. 10

Tahun 2004

Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia, telah

ditetapkan lewat Pasal 7 ayat (1) UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan, yautu:

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

b. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang.

c. Peraturan Pemerintah.

d. Peraturan Presiden.

e. Peraturan Daerah.

Pada Pasal 7 ayat (4) disebutkan bahwa “Jenis Peraturan Perundang-undangan

selain sebagaimana dimaksud ayat (1), diakui keberadaannya dan mempunyai

kekuatan hukum sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang

lebih tinggi. Adapun jenis-jenis Peraturan Perundang-undangan selain yang

ditentukan oleh Pasal 7 (1) dimaksud, merujuk ke Penjelasan Pasal 7 ayat (4) UU

No. 10 Tahun 2004:

“Jenis Peraturan Perundang-undangan selain dalam ketentuan ini, antara lain, peraturan yang dikeluarkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Bank Indonesia, Menteri, kepala badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentak oleh undang-undang atau pemerintah atas perintah undang-undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat”.

Sekilas ketentuan dari penjelasan tersebut (Pasal 7 ayat (4)) dan dikaitkan

dengan Pasal 7 (1), seakan-akan kedudukan Peraturan MPR, Mahkamah Agung dan

organ negara lainnya secara hierarkis berada dibawah Peraturan Daerah. Akan tetapi

bila dicermati secara seksama ketentuan Pasal 7 ayat (4), terlihat bahwa pengaturan

yang dibuat oleh organ negara tersebut tidak lebih rendah dari Peraturan Daerah. Hal

24

Page 34: Pemb Hukum dan Konflik UU Bid Sektoral_UNSRI

itu bergantung kepada diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang

mana, jika diperintahkan oleh Undang-Undang, Peraturan Bank Indonesia, misalnya

dapat dikatakan setingkat dengan Peraturan Pemerintah karena sama-sama

diperintahkan oleh Undang-Undang (regulation); sebaliknya, apabila diperintahkan

oleh Peraturan Pemerintah, Peraturan Bank Indonesia berada dibawah Peraturan

Pemerintah (delegated regulation).37

Dengan demikian, bukan lembaga yang menerbitkan peraturan perundangan

itu yang menentukan kedudukannya, melainkan peraturan perundang-undangan yang

mana yang memerintahkan, yang menentukan kedudukan peraturan perundang-

undangan dalam hierarki peraturan perundang undangan Republik Indonesia. Hal ini

sangat berbeda dengan yang pernah ditentukan di dalam Ketetapan MPRS No.

XX/MPRS/1966 dan Ketetapan MPR-RI No. III tahun 2000.38

3. Asas-Asas Peraturan Perundang-Undangan

a. Undang-Undang tidak berlaku surut

Asas yang menyatakan bahwa ”undang-undang tidak berlaku surut“,

mensyaratkan peraturan perundang-undangan hanya berlaku bagi peristiwa atau

perbuatan yang dilakukan sejak peraturan perundang-undangan tersebut dinyatakan

berlaku atau berlaku atas peristiwa sebelum peraturan perundang-undangan itu

diberlakukan. Jika suatu peraturan perundang-undangan akan diberlakukan surut,

maka harus diambil ketentuan yang paling menguntungkan pihak yang terkena.

Sebagaimana dalam ketentuan Pasal 1 ayat (1) KUH Pidana yang menyatakan, “tiada

peristiwa dapat dipidana, kecuali atas dasar kekuatan suatu aturan perundang-

undangan pidana yang mendahulukan“ (Geen feit is strafbaar dan uit kracht van

eene daaraan voorafgegane wettelijke strafbepaling).39

b. Lex superior derogat legi inferiori

Asas ini berlaku apabila terjadi pertentangan antara peraturan perundang-

undangan yang secara hierarkis berbeda (yang lebih rendah dengan yang lebih

37

Peter Mahmud Marzuki. 2005. Penelitian Hukum. Prenada Media, Jakarta, hlm. 98. 38

Ibid. 39 Purnadi Purbacaraka & Soerjono Soekanto. 1979. Perundang-Undangan & Yurisprudensi.

Alumni, Bandung, hlm. 16, dalam: Rosjidi Ranggawidjaja, Opcit, hlm. 48.

25

Page 35: Pemb Hukum dan Konflik UU Bid Sektoral_UNSRI

tinggi), maka dengan demikian peraturan perundang-undangan yang hierarkinya

lebih rendah harus disisihkan. Dalam penerapan asas ini perlu dirujuk Pasal 7 ayat

(1) jo ayat (4) UU No. 10 Tahun 2004, sebagaimana yang telah dijelaskan

sebelumnya.

c. Lex specialis derogat legi generali

Berbeda dengan asas lex superiori derogat legi inferiori, asas lex specialis

derogat legi generali ini mengatur tentang dua peraturan perundang-undangan yang

secara hierarkis mempunyai kedudukan yang sama, misalnya Undang-undang

dengan Undang-undang. Perbedaannya hanya pada ruang lingkup materi muatannya

yang tidak sama, yaitu yang satu merupakan pengaturan secara khusus dari yang

lain. Misalnya antara UU No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas dengan UU

No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, sebagaimana dirumuskan pada Pasal 127

UU No. 1 Tahun 199540, “Bagi perseroan yang melakukan kegiatan tertentu dibidang

pasar modal berlaku ketentuan Undang-undang ini, sepanjang tidak diatur lain dalam

perundang-undangan di bidang pasar modal“. Akan tetapi, tidak semua peraturan

perundang-undangan menyebutkan posisinya sebagaimana ketentuan-ketentuan

transitor tersebut. Dalam hal demikian, harus di identifikasi ruang lingkup materi

muatan kedua peraturan perundang-undangan.

d. Lex posterior derogat legi priori

Peraturan Perundang-undangan yang lahir kemudian menyisihkan Peraturan

Perundang-undangan yang lahir sebelumnya. Asas ini berkaitan dengan dua

Peraturan Perundang-undangan yang mengatur masalah yang sama, misalnya UU

No. 14 Tahun 1970 dengan UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasan Kehakiman.

Sebagaimana yang terjadi pada asas lex specialis derogat legi generali, penggunaan

asas ini mensyaratkan bahwa yang diperhadapkan adalah dua Peraturan Perundang-

undangan dalam hierarki yang sama.

Asas ini dapat dipahami bahwa, peraturan perundang-undangan yang baru

lebih mencerminkan kebutuhan dan situasi yang sedang berlangsung. Jika

sebaliknya, peraturan perundang-undangan yang baru tidak memuat ketentuan yang

dibutuhkan untuk situasi yang sedang dihadapi, dan ketentuan itu justru termuat

40 Peter Mahmud Marzuki, Op.cit, hlm. 99.

26

Page 36: Pemb Hukum dan Konflik UU Bid Sektoral_UNSRI

dalam peraturan perundang-undangan yang telah digantikan, maka harus dilihat

dahulu apakah ketentuan yang termuat di dalam peraturan perundang-undangan yang

lama tersebut tidak bertentangan dengan landasan filosofis peraturan perundang-

undangan yang baru. Jika tidak, maka harus dinyatakan bahwa ketentuan itu tetap

berlaku melalui aturan peralihan peraturan perundang-undangan yang baru. Dalam

hal ini perlu dipelajari landasan filosofis dari setiap Peraturan Perundang-undangan

yang diacunya.

4. Landasan Peraturan Perundang-Undangan

Secara umum suatu peraturan perundang-undangan yang baik sekurang-

kurangnya harus memiliki landasan filosofis, landasan sosiologis, dan landasan

yuridis.

a. Landasan Filosofis (Filosofische grondslag)

Filsafat atau pandangan hidup suatu bangsa berisi nilai-nilai moral dan etika

dari suatu bangsa tersebut, yang di dalamnya terdiri dari nilai-nilai kebenaran,

keadilan, kesusilaan dan nilai-nilai lainnya yang dianggap baik oleh suatu bangsa.

Filsafat hidup suatu bangsa harus menjadi landasan di dalam pembentukan hukum

dalam kehidupan bernegaranya. Oleh karena itu kaidah hukum yang dibentuk harus

mencerminkan filsafat hidup bangsa itu atau sekurang-kurangnya tidak bertentangan

dengan nilai-nilai moral bangsa.

Landasan filosofis adalah dasar filsafat atau pandangan atau idee yang menjadi

dasar cita-cita sewaktu menuangkan hasrat dan kebijaksanaan (pemerintahan) ke

dalam suatu rencana atau draft peraturan negara. Misalnya, di Negara Republik

Indonesia ialah Pancasila, ia menjadi dasar filsafat dalam pembentukan perundang-

undangannya. Undang-undang harus mencerminkan gagasan yang ada di

belakangnya, yaitu keadilan. Undang-undang bukan sekedar produk tawar menawar

politik dan jika undang-undang yang dihasilkan cuma merupakan legitimasi dari

tawar menawar politik dan tidak memuat nilai-nilai keadilan, maka undang-undang

itu memang diundangkan dan sah, walaupun secara hukum sebenarnya ia tidak

pernah ada, sebagaimana dalam bahasa latin disebutkan: “Est autem just a justitia,

27

Page 37: Pemb Hukum dan Konflik UU Bid Sektoral_UNSRI

sicut a matre sua, ergo prius fruit justitia quam jus“ (tetapi hukum timbul dari

keadilan sebagai ibunya sehingga telah ada keadilan sebelum adanya hukum).41

b. Landasan Sosiologis (Sociologische grondslag)

Suatu peraturan perundang-undangan dikatakan mempunyai landasan

sosiologis, apabila ketentuan-ketentuannya sesuai dengan keyakinan umum atau

kesadaran hukum masyarakat. Hal ini penting agar perundang-undangan yang dibuat

di taati oleh masyarakat, tidak menjadi huruf-huruf mati belaka42. Oleh karena itu,

peraturan perundang-undangan yang dibuat harus sesuai dengan kenyataan hidup

masyarakat atau hukum yang hidup (living law) dimana peraturan itu diterapkan.

Namun, tidak berarti bahwa apa yang ada pada suatu saat pada suatu masyarakat,

akan menjadi nilai kehidupan selanjutnya. Produk perundang-undangan tidak

sekedar merekam keadaan seketika (moment opname).43 Karena masyarakat

berubah, nilai-nilai pun terus berubah, untuk itulah kecendrungan dan harapan

masyarakat harus dapat diprediksi dan diakomodir dalam peraturan perundang-

undangan yang berorientasi masa depan.

c. Landasan Yuridis (Juridische grondslag)

Landasan yuridis adalah landasan hukum (yuridische gelding) yang menjadi

dasar kewenangan (bevoegdheid, compententie) pembuatan Peraturan Perundang-

undangan. Selain menentukan dasar kewenangan pembentukannya, landasan hukum

juga merupakan dasar keberadaan dari suatu jenis Peraturan Perundang-undangan.44

Landasan hukum kewenangan membentuk dan keberadaan suatu Peraturan

Perundang-undangan sangat diperlukan. Tanpa dasar hukum tersebut pembentukan

dan keberadaan suatu peraturan perundang-undangan menjadi tidak sah secara

hukum.

Landasan yuridis meliputi segi formil dan segi materil. Landasan yuridis

formil, yakni landasan yuridis yang memberikan wewenang (bevoegdheid) kepada

badan tertentu untuk membentuk peraturan tertentu. Misalnya Pasal 20 ayat (1) UUD

41 Peter Mahmud Marzuki. Op.cit, hlm. 104. 42 Amiroeddin Syarif. Perundang-undangan: Dasar, Jenis dan Teknik Membuatnya. Penerbit

Bina Ak ara, hlm. 92, dalam: H. Rosdjidi Ranggawidjaya, Op.cit, hlm 44. s43

Bagir Manan. 1992. Dasar-dasar Perundang-undangan Indonesia. IND-HILL.CO, Jakarta, hlm 15. dalam: H. Rosjidi Ranggawidjaja, Ibid.

44 Ibid.

28

Page 38: Pemb Hukum dan Konflik UU Bid Sektoral_UNSRI

1945 (perubahan pertama) menjadi landasan yuridis bagi DPR untuk membentuk

undang-undang. Sedangkan landasan yuridis dari segi materil, yaitu landasan yuridis

yang merujuk kepada materi muatan tertentu yang harus dimuat dalam suatu

peraturan perundang-undangan. Misalnya Pasal untuk segi isi (materi) yakni dasar

hukum untuk mengatur hal-hal tertentu, misalnya Pasal 25 UUD 1945 adalah

landasan yuridis materil dalam menyusun materi muatan peraturan perundang-

undangan yang berkenaan dengan syarat-syarat menjadi hakim dan

pemberhentiannya.

d. Landasan Politis

Menurut Solly Lubis, landasan politis dalam pembentukan peraturan

perundang-undangan adalah garis kebijaksanaan politik yang menjadi dasar

selanjutnya bagi kebijaksanaan-kebijaksanaan dan pengarahan ketatalaksanaan

pemerintahan negara. Selanjutnya ia mencontohkan garis politik otonomi yang

tercantum dalam TAP MPR No. IV Tahun 1973 (GBHN) menjadi landasan politis

pembuatan UU No. 5 Tahun 1974 yang mengatur pokok-pokok pemerintahan di

daerah. 45

Pada tahun 1999 garis politik otonomi kembali ditegaskan dalam TAP MPR

Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah, Pengaturan,

Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan, serta

Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah dalam Kerangka Negara Kesatuan

Republik Indonesia. Tap MPR tersebut menjadi landasan politis pembentukan UU

No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah.

Pada tahun 2001, terdapat TAP MPR Nomor IX/MPR/2001 tentang

Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Pada Pasal 1 ketentuan ini

ditegaskan bahwa: “Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat tentang Pembaruan

Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam merupakan landasan peraturan

perundang-undangan mengenai pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya

alam”. Namun ketentuan ini tidak melahirkan peraturan perundang-undangan

sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1 ketentuan tersebut. Hal ini seiring

dengan perubahan UUD 1945 yang berimplikasi terhadap perubahan ketatanegaraan

Republik Indonesia, dan makin nyata sejak adanya UU No. 10 Tahun 2004, dimana

45 M. Solly Lubis, Op.cit, hlm. 20.

29

Page 39: Pemb Hukum dan Konflik UU Bid Sektoral_UNSRI

pada ketentuan Pasal 7 ayat (1) mengenai jenis dan hierarki Peraturan Perundang-

undangan tidak lagi memasukkan TAP MPR.

5. Sinkronisasi dan Konsistensi (Konflik) Aturan Hukum Sektoral

Jika hukum dimaknakan sebagai tata hukum (sistem peraturan perundang-

undangan, aturan hukum), maka konflik norma hukum antar aturan hukum yang

lebih rendah atau antara aturan hukum yang lebih rendah terhadap aturan hukum

yang lebih tinggi, tidak terlepas dari konflik yang terjadi pada tataran hukum yang

lebih tinggi (konflik antar nilai, dan antar asas). Nilai dan asas yang dimaksud

berkedudukan sebagai norma hukum yang lebih tinggi dan menjadi dasar

pembentukan aturan hukum yang lebih rendah.

Oleh karena pembentukan aturan hukum pada kenyataannya dipengaruhi oleh

berbagai kekuatan dan kepentingan pada lembaga pembentuk aturan hukum

(legislatif dan eksekutif), maka konflik aturan hukum juga dapat diakibatkan oleh

karena aturan hukum yang lebih rendah dibuat atau dirumuskan tidak selaras

dengan aturan hukum yang lebih tinggi yang seharusnya menjadi dasar perumusan

aturan hukum tersebut. Terlebih bila pemerintahan demokratis tidak dilaksanakan

berdasarkan makna hakikinya sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan

untuk rakyat, namun dimaknakan sebagai pemerintah yang didasarkan pada suara

terbanyak (pemegang kekuasaan politik terbesar).

Berdasarkan uraian di atas, maka konflik aturan hukum (sinkronisasi dan

konsistensi aturan hokum, peraturan perundang-undangan) merupakan

lanjutan/turunan konflik nilai-nilai dan asas-asas yang terkandung pada sumber

hukum tertinggi, yaitu UUD 1945 yang telah mengalami perubahan sebanyak 4

(empat) kali. Oleh karena itu, analisis terhadap konflik aturan hukum (peraturan

perundang-undangan) hanya dapat dilakukan apabila; konflik pada level nilai dan

asas yang terkandung dalam hukum dasar tertulis (konstitusi tertulis), dikaji terlebih

dahulu dan dijadikan patokan dalam pengkajian sinkronisasi dan konsistensi aturan

hukum (peraturan perundang-undangan) yang lebih rendah.

30

Page 40: Pemb Hukum dan Konflik UU Bid Sektoral_UNSRI

BAB III

ANALISIS ATURAN HUKUM SEKTOR PERTANAHAN

A. Quo Vadis Idelogi Populis Agraria Berlakunya aturan hukum suatu negara paling tidak ditentukan oleh dua faktor:

Pertama, kesadaran atau keyakinan anggota-anggota masyarakat terhadap hukum

dalam makna nilai-nilai keadilan. Kedua, politik hukum yang ditetapkan oleh

penguasa negara. Orientasi politik hukum penguasa bersifat progresif, antisipatif

terhadap perkembangan kedepan dan berwawasan nasional. Orientasi politik

penguasa seringkali tidak berjalan paralel dengan kesadaran hukum (orientasi

hukum) masyarakat yang cenderung tradisional, konservatif, berorientasi historis

dengan lingkup wilayah budaya terbatas (budaya lokal)46. Secara formal selalu

diupayakan untuk menyerasikan kedua orientasi tersebut, namun secara subtansi

yang tercermin dari berbagai rumusan pasal dalam peraturan perundang-undangan

belum tentu demikian.

Di bidang pertanahan, secara substansial pertarungan orientasi politik hukum

antara pemerintah dan masyarakat tercermin dari adanya konflik di antara norma

tertulis (peraturan perundang-undangan). Pada akhirnya akan menimbulkan ekses

dalam penerapan peraturan perundang-undangan, yaitu dalam bentuk sengketa

pertanahan. Idealnya pemerintah mampu mengakomodir orientasi politik

hukum/kesadaran hukum masyarakat - yang bersifat pluralis - dan mengharmonisasi-

kannya dengan kebutuhan pemerintah dan dunia internasional, dengan tetap

berpegang pada tujuan nasional, yaitu masyarakat adil dan makmur.

Kenyataan yang terjadi hingga saat ini mengindikasikan, bahwa pemerintah

mempunyai orientasi sendiri, dan yang terlalu maju (bervisi global), sedangkan

masyarakat sebagian besar belum siap dengan visi tersebut. Akibatnya, banyak

peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan pemerintah dinilai tidak memihak

kepentingan rakyat, namun lebih memihak pada dunia perdagangan yang bersifat

global/perdagangan bebas, dan para investor. Padahal, seyogyanya pemerintah

sangat memperhatikan kondisi senyatanya masyarakat Indonesia yang sangat

46 Maria R Ruwiastuti. 2000. Sesat Pikir Politik Hukum Agraria, Membongkar Alas Penguasaan Negara Atas Hak-Hak Adat. Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hlm. 109-110.

31

Page 41: Pemb Hukum dan Konflik UU Bid Sektoral_UNSRI

bervariasi tingkat perkembangannya, mulai dari yang sangat maju sampai yang

masih sangat sederhana, bahkan masih ada yang hidup di “alam bebas”.

Pertarungan orientasi yang menjadi dasar politik pertanahan antara pemerintah

dengan masyarakat (rakyat) tersebut di atas, bermuara pada makin meningkatnya

sengketa pertanahan di Indonesia yang melibatkan rakyat, pemerintah dan swasta.

Sejarah membuktikan bahwa, pemerintah mempunyai orientasi politik tersendiri

yang terkesan dipaksakan keberlakuannya pada masyarakat sebagaimana tercatat

dalam sejarah pertanahan di Indonesia pada masa penjajahan, baik oleh Inggris

maupun Belanda.47

Berangkat dari kenyataan pada zaman kolonial, dan perbedaan antar wilayah,

tingkat kepadatan penduduk, budaya agraris, sistem produksi, penguasaan teknologi,

dan konsep hak atas tanah, maka setelah kemerdekaan pemerintah mencoba untuk

merumuskan orientasi baru sebagai dasar politik hukum agraria/pertanahan

Indonesia. Landasan politik hukum agraria Indonesia tersebut secara tegas

dituangkan pada rumusan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, bahwa “bumi dan air dan

kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan

dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.

Dari ketentuan tersebut di atas, timbul pertanyaan yaitu bagaimana kekuasaan

Negara itu dilaksanakan, sedangkan konstitusi tidak menjelaskan secara spesifik?.

Konsekwensi vulgar yang dapat ditarik adalah penguasa Negara/pemerintah

mendapat kesempatan luas untuk merumuskan Peraturan Perundang-undangan yang

rinci mengenai pelaksanaan kekuasaan tersebut. Dengan kata lain, penguasa negara

berwenang menetapkannya melalui politik hukum dalam sejumlah undang-undang

maupun peraturan pelaksana undang-undang 48. Yang terpenting dalam hal

ditetapkannya suatu peraturan ialah implikasi-implikasi atau ekses negatif yang

muncul dari penerapan tersebut. Pertanyaannya ialah siapa yang paling diuntungkan

dengan ditetapkannya suatu peraturan?. Pertanyaan ini menjadi penting mengingat

proses pembentukan peraturan sangat tergantung dengan orientasi pemerintah,

47 Banyak hal yang dapat diidentifikasi sebagai permasalahan politik pertanahan sejak zaman

Hindia Belanda, misalnya penerapan sistem Landrente, Cultuurstelsel atau tanam paksa dan asas Domeinverklaring. Pada intinya politik pertanahan tersebut tidak ditujukan untuk kemakmuran rakyat (Indonesia), melainkan untuk pemerintah Belanda dan kaum modal asing lainnya.

48 Maria R Ruwiastuti. Op.cit, hlm. 111.

32

Page 42: Pemb Hukum dan Konflik UU Bid Sektoral_UNSRI

tingkat partisipasi politik masyarakat, pertarungan kepentingan, dan konfigurasi

politik nasional maupun global.

Perkembangan politik hukum agraria di Indonesia, ditandai dengan

disahkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-

Pokok Agraria pada tanggal 24 September 1960. Peraturan ini lebih dikenal dengan

sebutan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), yang diundangkan dalam

Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 104 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor

2043.

UUPA memuat perubahan-perubahan yang revolusioner, dalam arti perubahan

yang terkandung di dalam materi muatannya bersifat mendasar dan fundamental

terhadap stelsel hukum agraria warisan kolonial. Misalnya, penyatuan hukum agraria

dengan jalan unifikasi, yang dilatarbelakangi oleh sifat dualisme hukum agraria yang

berlaku sebelumnya sebagai warisan zaman kolonialisme. Namun, karena sebagian

besar rakyat Indonesia masih dipengaruhi hukum adat, maka hukum agraria yang

baru tersebut didasarkan pula pada ketentuan-ketentuan hukum adat dan bersandar

pada hukum agama, yang disempurnakan dan disesuaikan dengan kepentingan

masyarakat dalam negara yang modern dan hubungannya dengan dunia

internasional, serta disesuaikan dengan Sosialisme Indonesia.49

Pilihan ideologi politik sosialisme daripada UUPA dapat ditemukan dalam

Pasal 5 dan Pasal 14 ayat (1) UUPA, sebagai berikut:

“Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam Undang-undang ini dan dengan peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama”. “Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 2 ayat (2) dan (3) , pasal 9 ayat (2) serta pasal 10 ayat (1) dan (2) Pemerintah dalam rangka sosialisme Indonesia, membuat suatu rencana umum mengenai persediaan, peruntukan dan penggunaan bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya:”.

Kata-kata Sosialisme Indonesia juga ditemukan di dalam Penjelasan Umum

UUPA. Penjelasan otentik Sosialisme Indonesia terdapat dalam Ketetapan MPRS

No. II/MPRS/1960 tentang Garis-Garis Besar Pola Pembangunan Nasional Semesta

Berentjana Tahapan Pertama 1961-1969, yang dirumuskan dengan:

49 Lihat Konsiderans UUPA, Berpendapat huruf a, (cetak miring dari pen).

33

Page 43: Pemb Hukum dan Konflik UU Bid Sektoral_UNSRI

Bahwa Pembangunan Nasional Semesta Berentjana adalah suatu pembangunan dalam masa peralihan, jang bersifat menjeluruh untuk menudju tertjapainja masjarakat – adil – dan – makmur – berdasarkan – Pantjasila atau Masjarakat Sosialis Indonesia dimana tidak terdapat penindasan atau penghisapan atas manusia oleh manusia, guna memenuhi Amanat Penderitaan Rakjat:50

Berdasarkan uraian di atas, jelas bahwa ideologi politik dari UUPA adalah

Sosialisme Indonesia yang artinya disamakan dengan tatanan masyarakat yang adil

dan makmur berdasarkan Pancasila. Sosialisme Indonesia tidak sama dengan

sosialisme di negara-negara sosialis Barat, ia bersendikan pada keadilan, kerakyatan

dan kesejahteraan. Ideologi politik sosialisme Indonesia selanjutnya direalisasikan

menjadi konsepsi politik hukum politik hukum (politico-legal concept) berupa Hak

Menguasai Negara (HMN).51 Di bidang agraria, dalam Hukum Agraria Nasional,

Hak Menguasai Negara merupakan hak tertinggi yang dikenakan terhadap tanah

melebihi hak apapun juga, seperti yang dirumuskan dalam Pasal 2 ayat (1) UUPA,

sebagai berikut:

Atas dasar ketentuan dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam Pasal 1, bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.

Disimak dari ruh atau semangatnya, maka UUPA mengusung semangat

reformasi agraria dengan strategi (Neo) populis, sebagaimana dirumuskan dalam

tujuan UUPA, yaitu:

(a) Meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional, sebagai alat untuk membawakan kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi negara dan rakyat, terutama rakyat tani, dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur;

(b) Meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan, dan;

(c) Meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya.52

50.Konsiderans Menimbang, angka 2, Ketetapan MPRS No. II/MPRS/1960. Pada

perkembangannya kemudian Ketetapan ini dicabut lewat TAP MPRS No. XXXVIII/MPRS/1968. Lihat pada: “Ringkasan Ketetapan MPRS Republik Indonesia No. I dan II/MPRS/1960, M.P.R.S, dan Departemen Penerangan, Bandung, 1961, hlm. 51

51 Dianto Bachriadi & Noer Fauzi, “Sistem dan Konflik Tenurial, Lagi-Lagi Negara versus Rakyat”, Jurnal Suara JAGAT No. I/th. I/1998, Yayasan Pikul, hlm. 18.

52 Penjelasan Umum, angka I, UUPA

34

Page 44: Pemb Hukum dan Konflik UU Bid Sektoral_UNSRI

Watak (Neo) populis dari UUPA juga dapat dibaca pada Pasal 13 UUPA yang

pada intinya menyatakan, bahwa pengaturan dalam lapangan agraria merupakan

usaha pemerintah untuk meninggikan produksi, kemakmuran rakyat, dan penerapan

asas keadilan sosial yang berprikemanusiaan dalam bidang agraria. Selain itu,

pemerintah wajib mencegah adanya monopoli dari pihak swasta maupun usaha

pemerintah atas penguasaan tanah, dengan batasan bahwa usaha-usaha pemerintah

yang bersifat monopoli hanya dapat diselenggarakan dengan undang-undang.

Menurut Noer Fauzi, strategi (Neo) populis menekankan pada satuan usaha

keluarga, untuk itu penguasaan tanah dan sarana produksi lainnya tersebar pada

masyoritas keluarga tani, tenaga kerjanya adalah tenaga kerja keluarga. Dengan

demikian produksi secara keseluruhan merupakan pekerjaan keluarga tani tersebut,

walaupun tanggung jawab atas akumulasi biasanya diatur oleh negara. Hal inilah

yang membedakannya dengan strategi kapitalis.53

Seiring dengan munculnya liberalisasi dalam bidang perdagangan yang

ditandai dengan diberlakukannya secara global (globalisation)54 kebijakan

perdagangan bebas lewat suatu perjanjian perdagangan internasional. Tanah yang

pada mulanya merupakan faktor yang sangat penting bagi kehidupan rakyat

Indonesia, saat ini hanya ditempatkan sebagai komoditas semata, padahal tanah tidak

hanya mempunyai arti secara ekonomis (komoditas), tetapi juga mempunyai makna

kultural, sosial, politis dan religius.

53 Dalam strategi kapitalis, sarana produksi yang utama (tanah) dikuasai oleh individu-individu

non-penggarap. Penggarap yang langsung mengerjakan tanah adalah pekerja upahan “bebas”, diupah oleh penguasa/pemilik tanah. Hubungan antara penguasaan/pemilikan tanah dan pekerjaan sifatnya terpisah. Tenaga kerja adalah barang dagangan (komoditi). Tanggung jawab, pengambilan keputusan produksi sepenuhnya ditangan pemilik/penguasa tanah. Lihat dalam: Dianto Bachriadi, (editor, et-al), “Reformasi Agraria, Perubahan Politik, Sengketa, dan Agenda Pembaruan Agraria di Indonesia”, Lembaga Penerbit FE-UI, Jakarta,1997, hlm. 68.

54Globalisation, adalah pasar yang meng-global atau kapitalisme global. Dulu bernama kapitalisme internasional, sekarang berubah menjadi kapitalisme global, karena secara kuantitatif telah membesar secara luar biasa. Kalau dulu sekitar tahun 1980-an, transaksi keuangan dunia hanya sekitar 300 juta dollar sehari, di tahun 1990-an meningkat tajam menjadi 1 trilyun dollar sehari! Kalau dulu transaksi memerlukan waktu berhari-hari, sekarang cukup dalam hitungan per-detik, maka milyaran dollar bisa berpindah dari satu tempat ke tempat lain, berkat electronic mail. Dengan demikian istilah “Globalisation” secara sederhana dapat dipahami sebagai suatu proses pengintegrasian ekonomi nasional bangsa-bangsa ke dalam suatu sistem ekonomi global. Globalisasi merupakan kelanjutan dari kolonialisme. Lihat dalam: Bonnie.S, “AT THE END OF GLOBALISATION, WE ARE ALL DEAD”, www.globaljust.org,[email protected]/, hlm. 2.

35

Page 45: Pemb Hukum dan Konflik UU Bid Sektoral_UNSRI

B. Tanah Menjadi Komoditas dan Sarat Sengketa

Di era Orde Baru perubahan fungsi tanah terjadi sangat cepat, terutama alih

fungsi lahan pertanian ke non-pertanian. Lebih dari 60% total produksi pangan

nasional Indonesia (khususnya beras) dihasilkan dari pulau Jawa, disisi lain sampai

tahun 1995 sekitar 22.000 (dua puluh dua ribu) hektar per tahun tanah pertanian di

Pulau Jawa beralih fungsi. Hal itu pula yang menjadi salah satu penyebab mengapa

akhirnya kita terpaksa mengimpor beras. Memang pada dasarnya, alih fungsi lahan

tak mungkin dielakkan, namun perlu diatur dengan mempertimbangkan keadilan

dalam hal akses rakyat tani terhadap tanah garapan.55

Pada prakteknya, tanah hasil alih fungsi tersebut sebagian besar justru menjadi

obyek spekulasi, karena tanah diperlakukan sebagai komoditi (barang dagangan).

Artinya, tanah-tanah yang sudah digusur (“dibebaskan”) ternyata tidak dimanfaatkan

sesuai dengan “peruntukannya”. Berdasarkan catatan Majalah Informasi No. 224

Tahun XVIII/1998, pada tahun 1998 tanah-tanah yang sudah dialokasikan untuk

sektor-sektor tertentu, sebagian besar diterlantarkan. Tanah terlantar untuk

perumahan sebesar 85%, industri 88%, jasa/pariwisata 86%, dan untuk perkebunan

74%, sebagian besar motifnya adalah spekulasi.56

Ketertindasan rakyat karena tidak mampu bertarung secara finansial apabila

berhadapan dengan swasta, ataupun pemerintah, memunculkan berbagai sengketa

pertanahan. Pada data base Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), tercatat bahwa

dalam kurun waktu tahun 1970 sampai tahun 2001 telah terjadi 1.753 kasus konflik

tanah di Indonesia. Cakupan luas lahan sengketa tersebut sebesar 10.892.203 hektar

dan jumlah korban akibat sengketa ini sebanyak 1.189.482 keluarga. Dilihat dari

intensitas konflik, sampai dengan Desember 2001, intensitas tertinggi terjadi di

Provinsi Jawa Barat dengan jumlah 484 kasus, setelah itu Provinsi DKI dengan

jumlah 175 kasus yang meliputi luas tanah 60.615 hektar, Jawa Timur 169 kasus,

Sumatera Selatan 157 kasus, Sumatera Utara 121 kasus. Paling sedikit jumlah kasus

sengketa pertanahan adalah Provinsi Papua hanya berjumlah 28 kasus, namun

55 Gunawan Wiradi, “Tantangan dan Agenda Kerja bagi Pemerintahan Baru 2004-2009”,

makalah Semiloka Reforma Agraria, YLBHI, Jakarta, September 2004, hlm. 2. 56 Ibid, hlm. 2-3.

36

Page 46: Pemb Hukum dan Konflik UU Bid Sektoral_UNSRI

dengan luas lahan sengketa paling luas yaitu 4.012.224 hektar.57 Untuk lebih jelas

tentang konfigurasi konflik pertanahan di Indonesia dapat dilihat pada table 2.

Tabel 2. Karakteristik Sengketa Tanah di Indonesia Tahun 1970 - 2001

Pihak yang Terlibat Sengketa

Perusahaan Provinsi Daerah

Jumlah Kasus

Luas Lahan Sengketa

Jumlah Korban Peme-

rintah Militer

Negara Swasta JABAR 484 184.484 237.482 197 12 60 225

JAKARTA 175 60.615 117.194 96 5 9 66

JATIM 169 390.296 187.428 77 9 31 59

SUMSEL 157 305.323 71.830 27 1 18 116

SUMUT 121 509.100 89.548 39 8 26 57

JATENG 99 32.417 72.494 57 1 23 25

SULTENG 58 1.036.589 51.955 21 1 4 34

LAMPUNG 54 320.716 120.840 23 3 4 25

SULSEL 48 54.555 16.994 25 3 4 17

ACEH 47 362.027 61.059 11 1 9 26

NTT 44 472.571 2.955 28 2 4 22

RIAU 33 134.170 14.056 8 0 2 23

KALTIM 33 1.676.614 22.684 13 1 5 16

SUMBAR 32 266.597 29.134 14 1 4 15

PAPUA 28 4.012.224 35.943 15 2 0 12

LAINNYA 171 1.073.904 57.885 68 9 16 95

JUMLAH 1.753 10.892.202 1.189.481 719 59 219 833

Sumber: Data Base KPA, 2001.

Sepanjang tahun 1980-an eskalasi sengketa pertanahan terus meningkat di

daerah pedesaan maupun perkotaan. Dari 1.753 kasus yang terekam, sebanyak

27,1% akibat pengembangan sarana perumahan, kota baru dan fasilitas perkotaan,

dan 19% merupakan pengembangan areal perkebunan besar. Sebanyak 10, 5%

berkenaan dengan konflik pemanfaatan hutan yang diklaim sebagai kawasan hutan

negara oleh pemerintah yang kemudian menjadi kawasan hutan produksi maupun

kawasan hutan lindung/konservasi, dan sebanyak 6,6% merupakan pengembangan

kawasan industri dan pabrik.

57 Forum Keadilan, Nomor 27, Edisi 20 Oktober 2002, hlm. 54.

37

Page 47: Pemb Hukum dan Konflik UU Bid Sektoral_UNSRI

Tabel 3. Jenis Sengketa yang Objeknya Tanah No Jenis Sengketa Jumlah Dalam %

1 Perkebunan 344 19,6

2 Sarana Umum/Fasiltas Perkotaan 243 13,9

3 Perumahan/Kota Baru 232 13,2

4 Kehutan Produksi 141 8,0

5 Kawasan Industri/Pabrik 115 6,6

6 Bendungan/Pengairan 77 4,4

7 Turisme/Hotel/Resort 73 4,2

8 Pertambangan 59 3,4

9 Sarana Militer 47 2,7

10 Kehutanan Konservasi/Lindung 44 2,5

11 Pertambakan 36 2,1

12 Sarana Pemerintahan 33 1,9

13 Perairan 20 1,1

14 Transmigrasi 11 0,6

15 Lain-lain 278 15,9

16 Jumlah 1.753 100

Sumber: Data Base KPA, 2001.

Masalah besar yang dihadapi bangsa Indonesia, adalah sengketa tanah skala

besar dengan karakter yang rumit. Konflik yang terjadi bukanlah konflik kelas di

pedesaan, tetapi konflik antara sektor pertanian dan sektor industri sebagai akibat

dari transformasi agraria, berupa dominasi sektor industri atas sektor pertanian dan

perkebunan58. Dominasi tersebut dilegitimasi oleh kebijakan-kebijakan pertanahan

yang secara substansi menguntungkan orang yang melakukan kegiatan usaha di luar

pertanian. Kondisi demikian akhirnya menimbulkan polarisasi struktur penguasaan

tanah yang timpang, sebagaimana terlihat Tabel 4.

58

Untoro Hariadi & Masruchah (Editor), “Tanah, Rakyat Dan Demokrasi”, Forum LSM –

LPSM DIY, Yogyakarta, 1995. hlm. 66.

38

Page 48: Pemb Hukum dan Konflik UU Bid Sektoral_UNSRI

Tabel 4. Perusahaan Besar Pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH)

No Nama Perusahaan Pemilik Jumlah Anak Perusahaan

Luas Lahan (ha)

1 Barito Pacifik Timber Prajogo Pangestu 39 Perusahaan 3.536.800

2 Kayu Lapis Indonesia Andi Sutanto 17 Perusahaan 3.142.800

3 Djayanti Burhan Uray 20 Perusahaan 2.805.500

4 Alas Kusuma Suwandi 15 Perusahaan 2.189.000

5 Korindo In Yong Sun 8 Perusahaan 1.493.500

6 Kalimanis Bob Hasan 6 Perusahaan 1.353.000

7 Budhi Nusa Burhan Uray 7 Perusahaan 1.190.700

8 Satya Djaja Asbert Lyman 7 Perusahaan 1.026.000

9 Surya Dumai Martias 8 Perusahaan 1.108.000

10 Kalamur Anthony Salim 8 Perusahaan 969.500

11 Panca Eka Bina Pywood Supendi 8 Perusahaan 835.000

12 Sumalindo Winarto Oetomo 6 Perusahaan 796.300

13 Daya Sakti Widya Rachman 7 Perusahaan 672.000

14 Raja Garuda Mas Sukanto Tanoto 8 Perusahaan 659.500

15 Hutrindo Wanabangun Alex Karampis 6 Perusahaan 649.000

16 Bumi Raya Utama Pintarso Adiyanto 6 Perusahaan 609.455

17 Sumber Mas Yos Sutomo 5 Perusahaan 597.000

18 Benua Indah Budiono 5 Perusahaan 563.000

19 Dayak Besar Yusuf Hamka 6 Perusahaan 544.000

20 Kayu Mas Tekman 6 Perusahaan 519.000

21 Tanjung Raya H.A. Bakrie 6 Perusahaan 476.000

22 Bumi Indah Raya Soenaryo 4 Perusahaan 427.000

23 Hutrindo Prajen Akie Setiawan 5 Perusahaan 438.000

24 Bhara Induk Much. Jamal 5 Perusahaan 345.000

25 Siak Raya Sumarta 4 Perusahaan 329.000

26 Rante Mario Hutomo Mandala P Perorangan 114.000

27 Wahana Sari Bakti Sigit Harjojudanto Perorangan 100.000

Sumber: Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI), 1998.

Tabel 4 menggambarkan struktur penguasaan tanah dan sumber daya alam

oleh segelintir orang dengan cakupan lahan yang sangat luas. Bayangkan tanah

seluas 27,4 juta hektare hanya dikuasai oleh 25 kelompok perusahaan dan dua

perusahaan perorangan.

Badan Pengurus Konsorsium Pembaruan Agraria (BP-KPA) mempunyai data

yang berbeda. Menurut BP-KPA, sampai tahun 1999 terdapat 620 unit produksi

39

Page 49: Pemb Hukum dan Konflik UU Bid Sektoral_UNSRI

yang mempunyai Hak Penguasaan Hutan atau Hak Penguasaan Hutan Tanaman

Industri (HPH/HPHTI) seluas 48 juta hektare, termasuk Perhutani (perusahaan

negara) yang menguasai tanah di pulau Jawa seluas 2,6 juta hektare dan di klaim

sebagai Hutan Negara. Dari keseluruhan (10 konsesi) yang dikuasai sebanyak 16, 7

juta hektare atau 34, 8% dikuasai hanya oleh 12 konglomerat.59 Jumlah ini sangat

kontras jika dibandingkan dengan luas lahan yang dikuasai Rumah Tangga Petani

(RTP), sebagaimana yang disajikan pada tabel 5.

Tabel 5. Distribusi Rumah Tangga Petani (RTP) Pengguna Lahan dan Luas Lahan yang Dikuasai (1983-1993)

Golongan Luas Tanah yang Dikuasai

< 0.5 Ha > 0,5 hA Pulau Tahun

RTP % RTP %

JUMLAH

1983 1063.6 28.74 2637.0 71.26 3700.6 1990 1483.9 41.58 2085.0 58.42 3568.9

Sumatera

1993 1383.0 29.02 3382.0 70.98 4765 1983 6983.2 63.13 4078.5 36.87 11061.7 1990 7183.0 69.32 3178.5 30.68 10361.5

Jawa

1993 8070.0 69.79 3494.0 30.21 11564 1983 565.7 37.75 932.9 62.25 1498.6 1990 449.1 40.78 652.3 59.22 1101.4

Bali & NTT

1993 557.0 42.10 766.0 57.90 1323 1983 191.2 0.25 905.0 99.75 906.2 1990 231.2 28.49 580.3 71.51 811.5

Kalimantan

1993 241.0 19.98 965.0 80.02 1206 1983 368.4 27.08 991.9 72.92 1360.3 1990 463.9 35.05 859.5 64.95 1323.4

Sulawesi

1993 425.0 25.53 1240.0 74.47 1665 1983 104.0 30.23 240.0 69.77 344.0 1990 147.6 48.99 153.7 51.01 301.3

Maluku & Irian Jaya

1993 203.0 39.80 307.0 60.20 510.0 Sumber : BPS Tahun 2003. Pendapatan yang diperoleh RTP adalah keseluruhan penjumlahan dari total

pendapatan angkatan kerja yang dimiliki dalam berbagai kegiatan produktif yang

dilakukan terutama oleh anggota keluarga yang sudah dewasa. Kemampuan petani

mencari nafkah sangat dipengaruhi oleh aspek penguasaan tanah, persediaan,

pemanfaatan, dan produktifitas tenaga kerjanya. Oleh karena itu, tanah pertanian

yang dikuasai RTP-lah yang paling menentukan tingkat pendapatan yang diperoleh

dari kegiatan usaha tani. Makin luas lahan pertanian yang dikuasai, makin tinggi

59 Dianto Bachriadi. “Ketimpangan Penguasaan Tanah, Konflik Agraria, dan Mal Adminitrasi: Hasil Perkawinan Dominasi Negara dan Modal”. Makalah pada pertemuan: Konsultasi dan Konsolidasi Organisasi Rakyat di Sumatera Selatan dalam Rangka Promosi Nasional untuk Penyelesaian Konflik Agraria, Palembang, Juni 2004, hlm. 3.

40

Page 50: Pemb Hukum dan Konflik UU Bid Sektoral_UNSRI

total pendapatan yang akan diperolehnya. Dalam beberapa hal, penguasaan tanah

seorang petani itu biasanya sejajar dengan tingkat kecukupan keluarganya.60 Hal ini

didukung dengan kenyataan bahwa sejumlah besar kemiskinan (kemiskinan

struktural)61 terdapat pada strata penguasaan tanah, paling rendah yaitu petani gurem

dan buruh tani.

Tabel 6. Penduduk Miskin di Pedesaan dan Perkotaan Tahun 1990 – 2003 (Juta Orang)

Perkotaan Pedesaan Tahun Jumlah Persentase Jumlah Persentase

Kota + Desa

1990 9,4 34,56 17,8 65,44 27,2

1993 8,7 33,59 17,2 66,41 25,9

1996 9,6 27,83 24,9 72,17 34,5

1998 17,6 35,56 31,9 64,44 49,5

1999 15,6 32,57 32,3 67,43 47,9

2000 12,3 31,78 26,4 68,22 38,7

2001 8,6 22,69 29,3 77,31 37,9

2002 13,3 34,64 25,1 65,36 38,4

2003 12,3 32,89 25,1 67,11 37,3

Sumber : Indikator Kesejahteraan Rakyat, BPS, 2003.

Berdasarkan fakta-fakta yang diuraikan, perlu dikaji kembali politik agraria

sebagaimana yang dirumuskan dalam Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 dan bagaimana

implementasinya dalam UUPA dan Peraturan Perundang-undangan lainnya. Dengan

melakukan kajian demikian, akan diperoleh gambaran mengenai konflik penormaan

pada berbagai peraturan perundang-undangan (sinkronisasi). Berdasarkan kenyataan

yang ada (tataran penerapan) diindikasikan, bahwa salah satu faktor penyebab

terjadinya penguasaan tanah yang timpang, dan munculnya berbagai sengketa

60 Ali S Husein. 1995. Ekonomi Politik Penguasaan Tanah. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta,

hlm. 55. 61

Kemiskinan Struktural berarti kemiskinan yang melekat pada kelas-kelas sosial tertentu.

Mereka menjadi miskin bukan karena kelemahan atau nasib malang individual yang buruk, melainkan karena menjadi bagian dari golongan masyarakat itu. Jelaslah bahwa problem utama kemiskinan petani bukan karena kemiskinan yang ada dengan sendirinya, tetapi akibat dari struktur sosial yang menentukan kehidupan golongan mereka. Problem kemiskinan petani merupakan masalah moral dan keadilan juga. Lihat dalam: G. Soetomo. 1997. Kekalahan Manusia Petani Dimensi Manusia dalam Pembangunan Pertanian. Kanisius, Yogyakarta, hlm. 9.

41

Page 51: Pemb Hukum dan Konflik UU Bid Sektoral_UNSRI

pertanahan adalah ketidaksinkronan pengaturan mengenai penguasaan tanah. Kajian

demikian mendesak dan penting dilakukan karena, sudah menjadi rahasia umum

bahwa saat ini kita mendapat “waris” dari rejim Orde Baru, berupa ribuan sengketa

pertanahan dalam bentuk sifat, pola, sumber, dan skala konflik yang sangat beragam.

Orde Baru dalam merumuskan dan melaksanakan peraturan kebijakan

pertanahannya menerapkan paradigma “Pembangunanisme” (developmentalism),62

bahwa pembangunan akan berjalan hampir secara otomatis melalui akumulasi modal

lewat bantuan dan investasi dengan motor utamanya ada pada elite swasta. Untuk

mengawal proses akumulasi modal ini Orde Baru menerapkan kebijakan stabilitas

politik dan keamanan, dan strategi ekonomi “Tricle Down Effect” lewat paket

undang-undang politiknya, dan diperparah oleh mekanisme globalisasi yang

memungkinkan modal asing masuk ke sektor-sektor perkebunan dan pertanian tanpa

batas.

Menurut, Demitrius Chirstodoulou (mantan pakar FAO), akar konflik agraria

yang paling dasar adalah adanya sejumlah ketidakserasian. Di Indonesia, sedikitnya

ada empat ketidakserasian atau ketimpangan, yaitu:

1. Ketidakserasian dalam hal “peruntukan” sumber-sumber agraria, khususnya tanah, yang berkaitan dengan tata guna tanah;

2. Ketimpangan dalam hal pemilikian dan penguasaan tanah; 3. Ketidakserasian antara persepsi dan konsepsi mengenai agraria; 4. Ketidakserasian antara berbagai produk hukum, sebagai akibat kebijakan

sektoral.63

Dengan memahami karakteristik peraturan perundang-undangan di bidang

pertanahan, dapat ditemukan konflik penormaan (taraf sinkronisasi) peraturan

perundang-undangan penguasaan tanah terhadap politik agraria nasional.

62

Developmentalism adalah paradigma yang bertujuan membendung pengaruh dan semangat

anti kapitalisme di negara dunia ketiga, dengan ciri-ciri melakukan penaklukan ideologi dan teoritis terhadap negara-negara dunia ketiga. Developmentalism dilontarkan dalam era perang dingin untuk membendung sosialisme, ia merupakan bungkus baru dari kapitalisme. Awal kemunculannya dapat dilacak dari pertemuan para ilmuawan sosial dalam suatu lokakarya tentang “The implementation of Title IX of the foreign Assistance Act of 1961. Tugas utama mereka adalah melakukan studi tentang bagaimana kebijakan pemerintah Amerika dalam era ‘perang dingin’. Pada akhir pertemuan mereka berhasil melahirkan the Foreign Assitance Act of 1966, yang mencerminkan dominasi interpretasi ilmuwan liberal terhadap kongsep pembangunan. Lihat dalam: Mansour Fakih. 2001. Sesat Pikir Teori Pembangunan dan Globalisasi. Insist Press & Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hlm. 201.

63 Demitrius Christodoulou. 1990. The Unpromised Land. Agraria Reform and Conflict

Worldwide. Zed Books, London and New Jersey, hlm. 61, dalam: Gunawan Wiradi. Op cit., hlm. 2.

42

Page 52: Pemb Hukum dan Konflik UU Bid Sektoral_UNSRI

C. Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945: Politik Agraria dan Landasan

Konstitusional Pengelolaan Tanah Politiknya agraria Indonesia dikonsepsikan dalam Pasal 33 Ayat (3) UUD

1945: Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya di kuasai oleh

negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Menurut

Lemaire, Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 adalah suatu “deze bepalingen geven vorm

aan eigen Indonesisch”64 atau ketentuan yang bersifat khas Indonesia, yaitu sebagai

ketentuan yang hanya dijumpai di Indonesia yang memberikan kewenangan yang

begitu besar kepada Negara.

Di dalam UUD 1945, ketentuan Pasal 33 tersebut di atasi ditempatkan dalam

Bab XIV tentang Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial. Hal tersebut

menunjukkan adanya hubungan erat dengan usaha menciptakan kesejahteraan sosial

bagi masyarakat Indonesia. Sejalan dengan itu, Mohammad Hatta memaknai Pasal

33 Ayat (3) UUD 1945, sebagai berikut:

Apabila kita pelajari pasal 33 UUD 1945, nyata-nyata bahwa masalah yang diurusnya ialah politik perkonomian Republik Indonesia”. Dalam bagian kedua dan ketiga daripada pasal 33 UUD disebut dikuasai oleh negara. Dikuasai oleh negara tidak berarti negara sendiri menjadi penguasa, usahawan atau “ondernemer”. Lebih tepat dikatakan, bahwa kekuasaan negara terdapat pada membuat peraturan guna kelancaran jalan ekonomi, peraturan yang melarang pula “penghisapan” orang yang lemah oleh orang yang bermodal. Negara mempunyai kewajiban pula supaya penetapan UUD 1945, pasal 27 ayat 2 terlaksana, yaitu tiap-tiap Warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”65

Sehubungan dengan itu juga Mohammad Hatta dalam “Dasar Pre-advis kepada

Panitia Penyelidik Adat Istiadat dan Tata-usaha lama” di tahun 1943, juga

mengungkapkan bahwa:

Indonesia dimasa datang mau menjadi negeri yang makmur, supaya rakyatnya dapat serta pada kebudayaan dunia dan ikut serta mempertinggi peradaban. Untuk mencapai kemakmuran rakyat di masa datang, politik perekonomian mestilah disusun di atas dasar yang ternyata sekarang, yaitu Indonesia sebagai negeri agraria. Oleh karena tanah faktor produksi yang terutama, maka hendaklah peraturan milik tanah memperkuat kedudukan tanah sebagai sumber kemakmuran bagi rakyat umumnya”.66

64 W.L.G. Lemaire. 1995. Het Recht in Indonesia. NV Uitgeverij, Bandung, hlm. 120, dalam:

Abdurrah an. 1985. Tebaran Pikiran Mengenai Hukum Agraria. Alumni, Bandung, hlm. 36 m65

Ibid, hlm. 37.

66 Noer Fauzi. Penghancuran Populisme dan Pembangunan Kapitalisme: Dinamika Politik Agraria Indonesia Pasca Kolonial, dalam: Dianto Bachriadi, et.al. (ed). 1997. Reformasi Agraria,

43

Page 53: Pemb Hukum dan Konflik UU Bid Sektoral_UNSRI

Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menjadi landasan, sekaligus merupakan arah dan

tujuan kebijakan pengelolaan tanah di Indonesia. “Ruh” dari Pasal 33 ayat (3)

tersebut didasarkan pada semangat menciptakan keadilan sosial, yang meletakkan

penguasaan sumber daya alam untuk kepentingan publik pada negara. Ketentuan ini

berdasarkan anggapan bahwa pemerintah adalah pemegang mandat yang

melaksanakan kehidupan bernegara di Indonesia. Maka dari itu dapat ditarik

kesimpulan, bahwa mandat yang diberikan kepada pemerintah itu melahirkan

konsekuensi berupa kewajiban untuk mengatur segala hal yang berkaitan tanah,

sehingga semua tanah yang berada diseluruh wilayah Indonesia dipergunakan untuk

sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, atas dasar konsep pemberian kuasa/mandat.

Pada awal kemerdekaan, rumusan Pasal 33 ayat (3) tersebut kemudian

diimplementasikan melalui beberapa Peraturan Perundang-Undangan agraria yang

bersifat ”parsial”, antara lain: UU No. 13 Tahun 1946 tentang Penghapusan Desa

Perdikan, UU No. 13 Tahun 1948 tentang Penghapusan Hak-Hak Konversi, UU No.

1 Tahun 1958 tentang Penghapusan Tanah-Tanah Partikelir, dan sebagainya. Intinya

peraturan-peraturan tersebut dibuat dengan tujuan jangka pendek yaitu

menghapuskan secara cepat lembaga-lembaga feodal dan lembaga-lembaga kolonial

yang masih ada.

Barulah pada akhir tahun 1960 tepatnya tanggal 24 September 1960,

pemerintah berhasil menetapkan suatu undang-undang Agraria Nasional, yaitu

Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria

atau yang lebih dikenal dengan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA).

UUPA memuat azas-azas dan ketentuan-ketentuan pokok Hukum Agraria

Nasional yang sekaligus merupakan manifestasi cita-cita bangsa Indonesia untuk

menghentikan hukum agraria kolonial, yang disusun berdasarkan sendi-sendi

pemerintahan jajahan. Karena, perjuangan merombak struktur hukum agraria

kolonial dan menyusun hukum agraria nasional tidak dapat dilepaskan dari

perjuangan bangsa Indonesia yang ingin melepaskan diri dari cengkraman dan

pengaruh sisa-sisa sistem feodalisme dan kolonialisme.67

Perubahan Politik, Sengketa, dan Agenda Pembaruan Agraria di Indonesia. Lembaga Penerbit FE-UI, Jakarta, hlm. 67.

67 Pidato Pengantar Menteri Agraria Sadjarwo sewaktu mengajukan RUU Pokok Agraria di

DPRGR tahun 1960.

44

Page 54: Pemb Hukum dan Konflik UU Bid Sektoral_UNSRI

Kebulatan tekad tersebut dicantumkan dalam konsiderans menimbang UUPA,

yang menyatakan bahwa hukum agraria yang masih berlaku sekarang ini sebagian

tersusun berdasarkan tujuan dan sendi-sendi dari pemerintahan jajahan dan sebagian

dipengaruhi olehnya, sehingga bertentangan dengan kepentingan rakyat dan negara

di dalam menyelesaikan revolusi nasional sekarang ini serta pembangunan semesta.68

Pasal 33 ayat (3) UUD 45 yang menjadi landasan konstitusional penguasaan

tanah ini (Pasal 33 ayat 3) diadopsi UUPA dan dimuat pada Pasal 2 ayat (1): “Atas

dasar ketentuan dalam pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar dan hal-hal

sebagai yang dimaksud dalam pasal 1, bumi, air dan ruang angkasa, termasuk

kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai

oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat”. Adanya penambahan

kata-kata “ruang angkasa” pada Pasal 2 (1) UUPA, tidak berarti penambahan

terhadap rumusan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, penambahan tersebut hanya bersifat

deklaratif, dan bukan konstitutif.69 Penambahan yang bersifat deklaratif merupakan

penegasan bahwa ruang angkasa adalah bagian yang integral dari bumi dan air

tersebut dan jika dikaitkan dengan doktrin wawasan nusantara maka Pasal 2 ayat (1)

dari UUPA memberikan kejelasan yang mendalam tentang doktrin wawasan

nusantara itu70.

Selanjutnya mengenai hak menguasai negara yang merupakan politik hukum

dari Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. UUPA juga memberikan penjelasan bahwa untuk

mencapai apa yang ditentukan dalam Pasal 33 ayat 3 UUD 1945, tidak perlu negara

bertindak sebagai pemilik tanah dan lebih tepat jika negara, sebagai organisasi

kekuasaan dari seluruh rakyat (bangsa) bertindak selaku Badan Penguasa. Sesuai

dengan pangkal pendirian tersebut diatas perkataan “dikuasai” dalam pasal ini

bukanlah berarti “dimiliki”, akan tetapi pengertiannya adalah memberi wewenang

kepada negara, sebagai organisasi kekuasaan dari bangsa Indonesia untuk pada

tingkatan yang tertinggi: (a) mengatur dan menyelenggarakan peruntukan,

penggunaan, persediaan dan pemeliharaannya; (b) menentukan dan mengatur hak-

hak yang dapat dipunyai atas (bagian dari) bumi, air dan ruang angkasa itu; (c)

68 Konsiderans Menimbang, huruf b, UUPA. 69 A.P. Parlindungan (b). 1983. Aneka Hukum Agraria. Alumni, Bandung, hlm. 2. 70 Penjelasan Umum, angka II (2), UUPA.

45

Page 55: Pemb Hukum dan Konflik UU Bid Sektoral_UNSRI

menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan

perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa71.

Dengan demikian negara sebagai organisasi kekuasaan “mengatur” sehingga

membuat peraturan, kemudian “menyelenggarakan” artinya melaksanakan

(execution) atas penggunaan/peruntukan (use), persediaan (reservation) dan

pemeliharaannya (maintenance) dari bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam

yang terkandung di dalamnya. Juga untuk menentukan dan mengatur (menetapkan

dan membuat peraturan-peraturan) hak-hak apa saja yang dapat dikembangkan dari

Hak Menguasai dari Negara tersebut72.

Landasan ideal ini, memandang tanah sebagai karunia Tuhan mempunyai sifat

magis-religius harus dipergunakan sesuai dengan fungsinya untuk meningkatkan

kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Tanah mempunyai makna yang sangat

strategis karena di dalamnya terkandung tidak saja aspek fisik akan tetapi juga aspek

sosial, ekonomi, budaya, bahkan politik serta pertahanan-keamanan dan aspek

hukum. Secara teoritis sumber daya tanah memiliki 6 (enam) jenis nilai, yaitu:

1. nilai produksi,

2. nilai lokasi

3. nilai lingkungan

4. nilai social;

5. nilai politik; dan

6. nilai hukum.

Sumber daya alam berupa tanah mempunyai nilai sempurna apabila formasi nilai

tanah mencakup ke-enam jenis nilai tersebut di atas.

Konsep “Negara menguasai bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di

dalamnya” merupakan cita-cita ideal yang menempatkan negara sebagai sentral

yang mengatur pemanfaatan kekayaan negeri untuk kemakmuran rakyat. Untuk

mencapai cita-cita ini prasyaratnya adalah adanya sebuah negara yang kuat, karena

akan menjadi pusat dari segala hal, paling tidak dalam hal ini persoalan

keagrariaan.73

71A.P. Parlindungan (a). 1991. Komentar atas Undang-Undang Pokok Agraria.Mandar Maju,

Bandung, hlm. 37. 72 .P. Parlindungan (a), hlm. 39. A73

Noer Fauzi & Dianto Bachriadi. Hak Menguasai dari Negara (HMN) Persoalan Sejarah

yang Harus Diselesaikan, dalam: “Usulan Revisi UUPA 1960; ”Menuju Penegakan Hak-Hak Rakyat atas Sumber-Sumber Agraria”, KRHN & KPA, Jakarta, 1998, hlm. 214.

46

Page 56: Pemb Hukum dan Konflik UU Bid Sektoral_UNSRI

Ide politik hukum hak menguasai daripada negara di dalam UUPA, beranjak

dari Prasaran Seksi Agraria Universitas Gadjah Mada pada Seminar Agraria dari

Kementrian Agraria di Tretes bulan November tahun 1958, intinya Badan Pembuat

undang-undang meminta saran dari akademisi mengenai dasar-dasar filosofis yang

membenarkan kekuasaan negara atas sumber-sumber agraria di seluruh wilayah

negeri ini, yang dirumuskan dalam Bagian B angka 32:

Dalam mengadakan hubungan langsung antara negara dengan tanah, dapat dipilih tiga kemungkinan: 1. Negara sebagai subyek, yang kita persamakan dengan perseorangan,

sehingga dengan demikian hubungan antara negara dan tanah itu mempunyai sifat privaat rechtelijk, negara sebagai pemilik. Hak negara adalah hak dominium.

2. Negara sebagai subyek, diberi kedudukan tidak sebagai perseorangan, tetapi sebagai negara, jadi sebagai badan kenegaraan, sebagai badan yang publiek rechtelijk. Hak negara adalah hak dominium juga dan disamping itu dapat juga digunakan istilah hak publique.

3. Negara sebagai subyek, dalam arti tidak sebagai perseorangan dan tidak sebagai badan kenegaraan, akan tetapi negara sebagai personafikasi rakyat seluruhnya, sehingga dalam konsepsi ini negara tidak lepas dari rakyat, negara hanya menjadi pendiri, menjadi pendukung daripada kesatuan-kesatuan rakyat.

Apabila demikian, maka hak negara dapat berupa; a. hak kommunes, kalau negara sebagai personafikasi yang memegang

kekuasaan atas tanah, dan; b. hak emperium, apabila memegang kekuasaan tentang pemakaiannya

tanah saja. Hubungan yang tersebut pada no. 3, negara sebagai personafikasi rakyat bersama, kiranya yang paling tepat karena kalau ditinjau dari sudut perikemanusiaan, sesuai dengan sifat makhluk sosial juga dengan sifat perseorangan yang merupakan kesatuan daripada individu-individunya74.

Konsep yang tersebut pada angka 2 di atas menjadi prinsip dari politik hukum

UUPA. Jika ditelaah lebih mendalam, konsepsi negara menguasai ini,

mengasumsikan “negara berdiri di atas kepentingan semua golongan”75 atau dalam

istilah Kuntowijoyo “Negara Budiman”. Padahal, pada kenyataannya tidak

74 Iman Soetiknjo. 1987. Proses Terjadinya UUPA, Peran Serta Seksi Agraria Universitas

Gadjah Mada. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, hlm. 37-38. 75

Paham ini sangat dipengaruhi oleh teori integralistik, yang diajarkan oleh Spinoza, Adam Muller, Hegel dan lain-lain yang berpendapat bahwa negara bukan dimaksudkan untuk menjamin kepentingan seseorang atau golongan, akan tetapi menjamin kepentingan masyarakat seluruhnya sebagai satu kesatuan. Lebih lanjut: “Negara ialah suatu susunan masyarakat yang integral, segala golongan, segala bagian, segala anggotanya berhubungan erat satu sama lain dan merupakan persatuan masyarakat yang organis. Yang terpenting ialah dalam negara yang berdasar aliran pikiran integral ialah penghidupan bangsa seluruhnya (dalam: Moh. Mahfud MD, 2001. Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia. Penerbit Rineka Cipta, Jakarta, hlm. 34-5.

47

Page 57: Pemb Hukum dan Konflik UU Bid Sektoral_UNSRI

demikian, karena negara merupakan organisasi kekuasaan yang sarat dengan

sejumlah kepentingan kelompok atau individu yang mengatasnamakan kepentingan

rakyat atau kepentingan negara.

Berangkat dari tujuan pokok UUPA yang dirumuskan dalam penjelasannya,

bahwa UUPA merupakan dasar berpijak bagi penyusunan hukum agraria nasional

sebagai alat untuk membawakan kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi

negara dan rakyat, terutama rakyat tani, dalam rangka masyarakat yang adil dan

makmur.

Politik hukum sebagai kerangka umum yang akan membentuk hukum (legal

frame work), mempunyai peranan penting. Konflik peraturan perundang-undangan

yang pada akhirnya secara signifikan, dapat menjadi pemicu timbulnya sengketa-

sengketa tanah, tidak dapat dipisahkan dari pilihan terhadap politik hukum agraria.

Sementara politik hukum agraria tidak bisa dilepaskan dari ideologi dan paradigma

yang menopang struktur dan sistem sosial yang dianut negara tersebut.

Melalui politik hukum, dikaji hukum yang berlaku (ius constitutum), maupun

yang memberikan arah pada pembangunan hukum yang dicita-citakan (ius

constituendum), karena politik hukum merupakan disiplin yang mendasari aktifitas

memilih dan menyerasikan berbagai nilai, cara, atau model yang akan digunakan

dalam melaksanakan pembangunan hukum dalam rangka mencapai tujuan maupun

untuk kepentingan terhadap perubahan hukum yang direncanakan.76

Menurut Abdul Hakim G Nusantara, politik hukum nasional, secara harfiah

diartikan sebagai kebijakan hukum (legal policy) yang hendak diterapkan atau

dilaksanakan secara nasional oleh suatu pemerintahan negara tertentu. Politik hukum

nasional bisa meliputi:

1. Pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada secara konsisten; 2. Pembangunan hukum yang intinya adalah pembaruan terhadap ketentuan

hukum yang telah ada dan yang dianggap usang, dan penciptaan ketentuan hukum baru yang diperlukan untuk memenuhi tuntutan perkembangan yang terjadi dalam masyarakat;

3. Penegasan fungsi lembaga penegak atau pelaksana hukum dan pembinaan anggotanya;

76

Sudarto. “Perkembangan Ilmu Hukum dan Politik Hukum”, Majalah Hukum dan Keadilan

No. 5 Tahun ke VII Januari-Februari, hlm. 14-17, dalam: Firman Muntaqo, “Harmonisasi Hukum Investasi di Bidang Perkebunan”. Usulan Penelitian Disertasi, Universitas Diponegoro, Semarang, 2006, hlm. 37.

48

Page 58: Pemb Hukum dan Konflik UU Bid Sektoral_UNSRI

4. Meningkatkan kesadaran hukum masyarakat menurut persepsi kelompok elit pengambil kebijakaan77.

Keempat faktor tersebut di atas menjelaskan secara gamblang wilayah kerja

politik hukum yang mencakup teritorial berlakunya politik hukum dan proses

pembaruan dan pembuatan hukum, dengan sikap kritis terhadap hukum yang

berdimensi ius constitutum dan menciptakan hukum yang berdimensi isu

constituendum.78

Konsepsi hukum tanah nasional dan ketentuan UUPA masih relevan untuk

meluruskan pembangunan, karena ketentuan-ketentuan dalam UUPA merupakan

penjabaran sila-sila Pancasila di bidang pertanahan. Demikian juga politik

pertanahan nasional yang digariskan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 tetap

relevan digunakan sebagai landasan untuk meluruskan pembangunan hukum

agraria/pertanahan. Oleh karena itu, semangat dan visi dari Pasal 33 ayat (3) UUD

1945, dapat dan harus digunakan juga untuk melindungi kepentingan nasional dalam

menghadapi akibat arus globalisasi, terutama di bidang ekonomi yang berkarakter

liberal-individualistik. Karakter yang liberal-individualistik tersebut tidak selaras

dengan konsepsi Pancasila yang telah mendasari dan menjiwai pembangunan bangsa

dan negara. Di bidang agraria, melalui UUPA sebenarnya sudah menyediakan

rambu-rambu, agar perjalanan bangsa Indonesia bisa sampai pada tujuan yang kita

cita-citakan79.

D. Desentralisasi atau Sentralisasi Wewenang Bidang Pertanahan

Legal issu yang dominan di bidang pertanahan adalah apakah urusan

pemerintahan di bidang pertanahan wajib dilaksanakan oleh pemerintah daerah

dalam bentuk desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan (medebewind).80

Ketentuan Pasal 2 UUPA yang merupakan turunan langsung dari Pasal 33 ayat

(3) UUD 1945, merumuskan:

77

Abdul Hakim G Nusantara. “Politik Hukum Nasional”. Makalah pada Karya Latihan Bantuan Hukum (Kalabahu), YLBHI & LBH Surabaya, September 1985, dalam: Imam Syaukani & A. Ahsin Thohari. 2006. Dasar-Dasar Politik Hukum. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 30-31.

78 Ibid, hlm. 31.

79 Boedi Harsono, ”Hukum Agraria Indonesia, sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Peaksanaannya”, Jilid 1 Hukum Tanah Nasional, Penerbit Djambatan, Jakarta, Edisi Revisi 20 5, hlm. 237. 0

80 Penjelasan Umum, (II angka 2), UUPA.

49

Page 59: Pemb Hukum dan Konflik UU Bid Sektoral_UNSRI

(1) Atas dasar ketentuan dalam pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam pasal 1, bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.

(2) Hak menguasai dari Negara termaksud dalam ayat (1) pasal ini memberi wewenang untuk: a. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan

dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut; b. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-

orang dengan bumi, air dan ruang angkasa; c. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-

orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.

(3) Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari Negara tersebut pada ayat (2) pasal ini digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat, dalam arti kebahagiaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara hukum Indonesia yang merdeka berdaulat, adil dan makmur.

(4) Hak menguasai dari Negara tersebut di atas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah Swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah.

Pasal 2 Ayat (1) tersebut di atas menegaskan sikap, bahwa untuk mencapai

ketentuan di dalam Pasal 33 ayat (3) UUUD 1945, negara tidak perlu bertindak

sebagai pemilik tanah dan yang lebih tepat adalah bertindak selaku badan penguasa.

Sejalan dengan Penjelasan Umum angka II (2) UUPA; ”adalah lebih tepat jika

negara sebagai organisasi kekuasaan dari seluruh rakyat (bangsa) bertindak selaku

Badan Penguasa”. Perkataan ”dikuasai” dalam ayat (2) pasal ini bukanlah berarti

dimiliki. ”Dikuasai” berarti memberi wewenang kepada negara, sebagai organisasi

kekuasaan dari Bangsa Indonesia, untuk pada tingkatan yang tertinggi:

a. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaannya.

b. menentukan dan mengatur hak-hak yang dapat dipunyai atas (bagian dari) bumi, air dan ruang angkasa itu.

c. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.

Dengan demikian kewenangan negara sebagai organisasi kekuasaan adalah

”mengatur” artinya membuat peraturan, dan ”menyelenggarakan” yang artinya

melaksanakan (execution) penggunaan/peruntukkan (use), persediaan (reservation)

dan pemeliharaan (maintenance) bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang

50

Page 60: Pemb Hukum dan Konflik UU Bid Sektoral_UNSRI

terkandung di dalamnya. Selain itu, arti dari ”menentukan dan mengatur” (huruf b)

yaitu: menetapkan dan membuat peraturan-peraturan mengenai hak-hak apa saja

yang dapat dikembangkan dari hak menguasai negara tersebut.81 Sedangkan,

penjelasan dari Pasal 2 ayat (4) berkaitan dengan asas ekonomi dan medebewind

dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.

Jika argumentasi didasarkan pada Pasal 2 ayat (4), maka persoalan agraria

merupakan tugas pemerintah pusat. Dengan demikian, pelimpahan wewenang untuk

melaksanakan hak penguasaan negara atas tanah merupakan medebewind.

Berdasarkan penafsiran otentik (authentieke atau officiele interpretatie) atau sesuai

dengan tafsir yang dinyatakan dalam undang-undang itu sendiri, maka Pasal 2 ayat

(4) UUPA menegaskan; bahwa wewenang agraria dalam sistem UUPA ada pada

pemerintahan pusat, dan pemerintahan daerah tidak boleh melakukan tindakan-

tindakan di bidang agraria jika tidak ditunjuk ataupun dilimpahkan kewenangannya

oleh pemerintah pusat (asas medebewind).

Namun, jika argumentasinya didasarkan pada Pasal 14 UUPA, maka

pengertian pelimpahan wewenang untuk melaksanakan hak penguasaan negara atas

tanah menurut Pasal 2 ayat (4) di atas menjadi berbeda, karena Pasal 14 secara

eksplisit memerintahkan otonomisasi di bidang agraria. Berdasarkan Pasal 14

UUPA, pemerintah pusat mempunyai kewenangan membuat suatu rencana umum

mengenai persediaan, peruntukan dan penggunaan bumi, air dan ruang angkasa serta

kekayaan alam yang terkandung didalamnya. Sedangkan pemerintah daerah,

berdasarkan rencana umum tersebut berwenang mengatur persediaan, peruntukan,

dan penggunaan bumi, air serta ruang angkasa untuk daerahnya, sesuai dengan

keadaan daerah masing-masing.82

Berdasarkan memori penjelasan UUPA, disebutkan bahwa perlu adanya suatu

rencana ("planning") yang dimulai dari rencana umum ("national planning") yang

kemudian dirinci menjadi rencana-rencana khusus ("regional planning") dari tiap-

tiap daerah mengenai peruntukan, penggunaan dan persediaan bumi, air dan ruang

angkasa. Selanjutnya, mengingat akan corak perekonomian negara di kemudian hari

dimana industri dan pertambangan menjadi penting, maka di samping perencanaan

pertanian, industri dan pertambangan perlu diperhatikan. Sedangkan yang berkaitan

81 A.P. Parlindungan. 1991. Komentar atas Undang-Undang Pokok Agraria. Mandar Maju, Bandung hlm. 39. ,

82 Periksa Pasal 14 ayat (1) dan (2) UUPA.

51

Page 61: Pemb Hukum dan Konflik UU Bid Sektoral_UNSRI

dengan ayat (3) di atas mengenai pemerintah daerah dapat membentuk peraturan

daerah, pengesahannya harus dilakukan dalam rangka rencana umum yang dibuat

oleh pemerintah pusat.83

Jika ditafsirkan secara gramatikal atau interpretasi bahasa yang menekankan

pada makna teks yang dinyatakan di dalam kaidah hukum, maka Pasal 14 UUPA

tersebut memerintahkan, bahwa urusan-urusan bidang pertanahan yang berkaitan

dengan regional planning yang meliputi persediaan, peruntukan dan penggunaan

bumi, air serta ruang angkasa untuk daerah, dapat dilaksanakan dengan asas

desentralisasi sesuai dengan keadaan daerahnya masing-masing. Untuk selanjutnya

ditindaklanjuti dengan menetapkan dan membuat peraturan-peraturan daerah yang

mengacu pada rencana umum (national planning) yang dibuat oleh pemerintah.

Artinya pembuat undang-undang sadar bahwa perencanaan peruntukan dan

penggunaan akan bumi, air serta ruang angkasa harus pula disesuaikan dengan

kondisi geografis atau keadaan tertentu dari daerah masing-masing, untuk itulah

pengaturannya di desentralisasikan kepada daerah. Hal ini sejalan dengan salah satu

alasan utama dari desentralisasi yang dikemukakan oleh Hans Kelsen, dalam

bukunya ”General Theory of Law and State”, yang dinyatakan bahwa:

“…desentralisasi memberi kemungkinan pengaturan masalah yang sama secara berbeda untuk daerah-daerah yang berbeda. Pertimbangan yang membuat perbedaan tata hukum nasional semacam itu lebih dikehendaki mungkin karena pertimbangan-pertimbangan geografis, nasional atau keagamaan. Semakin besar teritorial negara, dan semakin bervariasi kondisi-kondisi sosial, maka akan semakin diharuskan desentralisasi melalui pembagian teritorial.84

Berdasarkan uraian di atas, bahwa penyelenggaraan kewenangan di bidang

pertanahan dapat dilaksanakan secara dekonsentrasi (yang merupakan penghalusan

dari sentralisasi), medebewind atau asas pembantuan dan secara desentralisasi.

Kewenangan pertanahan yang dilaksanakan secara sentralisasi oleh

pemerintahan pusat adalah mengenai hal-hal yang berkaitan dengan rencana umum

(national planning) seperti pengaturan dan penetapan hukum tanah nasional yang

meliputi perencanaan dan peruntukan tanah, penguasaan dan perbuatan-perbuatan

hukum mengenai tanah serta pendaftaran tanah. Kalaupun ada pelimpahan

83 Memori Penjelasan Umum Angka II (8), dan Penjelasan Pasal 14 UUPA. 84

Hans Kelsen. 2007. General Theory of Law and State. Alih Bahasa oleh Somardi. Teori

Umum Hukum dan Negara (Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif Sebagai Ilmu Hukum Deskriptif-Empirik). Bee Media Indonesia, Jakarta, hlm. 370.

52

Page 62: Pemb Hukum dan Konflik UU Bid Sektoral_UNSRI

kewenangan dalam pelaksanaannya, pelimpahan itu dalam rangka dekonsentrasi

kepada pejabat-pejabat Pemerintah Pusat yang ada di Daerah ataupun kepada

Pemerintah Daerah dalam rangka medebewind bukan otonomi.85 Sedangkan

desentralisasi kewenangan di bidang pertanahan memerlukan suatu ketentuan

perudang-undangan yang secara jelas mengatur pembagian kewenangan antara

Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, yang mana pelaksanaan kebijakannya

dapat dituangkan dalam bentuk Peraturan Daerah maupun Keputusan Kepala

Daerah.

Jika kita menengok kembali kepada UU No. 22 Tahun 1999 (sudah tidak

berlaku lagi) dengan merujuk pada Pasal 2 dan 14 UUPA, sebenarnya telah selaras

dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Hal ini didasarkan pada Pasal 11 UU 22/1999

yang mengatur masalah desentralisasi, salah satunya bidang pertanahan kepada

Pemerintah Kabupaten/Kota. Untuk pengaturan penjabarannya berdasarkan Pasal 12,

ditetapkan dengan peraturan pemerintah (PP), dalam hal ini PP No. 25 Tahun 2000.

Meskipun demikian, dalam PP tersebut masih menyisahkan persoalan, dikarenakan

dalam materi muatannya tidak menegaskan bentuk kewenangan yang

didesentralisasikan tersebut. Inilah yang menjadi pangkal tolak kerancuan peraturan

perundang-undangan bidang pertanahan yang dikeluarkan setelah tahun 2000.

E. Hakikat Ketentuan Pasal 33 UUD 1945

1. Aspek Historis

Sejak dilakukannya amandemen terhadap UUD 45 sebanyak 4 (empat) kali,

serta penempatan Penjelasan UUD 1945 tidak lagi sebagai penjelasan otentik dari

UUD 1945, sedangkan UUD 45 setelah amandemen tidak dilengkapi dengan

penjelasan, sulit untuk menemukan dan menentukan dasar filosofi hukum, nilai-nilai,

asas-asas, konsep-konsep yang dapat menjadi pegangan untuk melakukan analisis

sinkronoisasi dan konsistensi suatu peraturan perundang-undangan dalam rangka

menentukan ada tidaknya konflik peraturan perundang-undangan, teramasuk

peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan, karena setiap pasal dari

peraturan perundang-undangan yang akan dianalisis menjadi sangat terbuka

penafsirannya.

85 Arie S.Hutagalung. Op.cit, hlm. 40.

53

Page 63: Pemb Hukum dan Konflik UU Bid Sektoral_UNSRI

Walaupun penjelasan UUD 45 tidak lagi berkedudukan sebagai penafsiran

otentik UUD 45, namun masih berperan signifikan untuk menggali hakikat Pasal 33

UUD 1945 yang menjadi landasan konstitusionil pengaturan hukum di bidang

agraria, termasuk di bidang pertanahan. Bukankah pemahaman atas Pasal 33 UUD

1945 itu tidak cukup dilakukan hanya dengan membaca teks maupun penjelasan

suatu peraturan perundang-undangan.

Untuk menelaah hakikat dalam rangka memperoleh pengertian maksud dari

Undang-Undang Dasar suatu negara, maka suasana dan realitas objektif pada waktu

Undang-Undang Dasar itu dirumuskan, termasuk aspek ideologi dari perancangnya

yang tentunnya sedikit banyak mempengaruhi proses perumusannya, harus

dimengerti terlebih dahulu.

Secara histories, perumusan Rancangan UUD 1945 dilakukan oleh Panitia

Perancang Undang-undang Dasar yang ditetapkan pada rapat Badan Penyelidik

Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) bulan Juli 1945. Tetapi, materi-

materi pokok (dasar-dasar negara) dari rancangan UUD itu telah dibahas sejak

tanggal 29 Mei 1945 dalam sidang-sidang pertama BPUPKI, sampai kemudian

ditetapkan menjadi UUD 1945 pada tanggal 18 Agustus 1945 pada Rapat Panitia

Persiapan Kemedekaan Indonesia (PPKI).

Di dalam Rancangan Undang-Undang Dasar yang dibahas dalam Rapat Panitia

Hukum Dasar tanggal 11 Juli 1945, BAB mengenai kesejahteraan sosial ditempatkan

pada BAB XIII Tentang Kesedjahteraan Sosial, dengan nomor Pasal 32, dan

dirumuskan sebagai berikut:

(1) Perékonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas kekeluargaan. (2) Tjabang-tjabang produksi jang penting bagi negara dan jang menguasai

hadjat hidup orang banjak dikuasai oléh Pemerintah. (3) Bumi dan air dan kekajaan alam jang terkandung didalamnja dikuasai oléh

negara dan harus dipergunakan untuk sebesar-besarnja kemakmuran rakjat.86

Rumusan Pasal 32 Rancangan UUD tersebut mencakup nilai-nilai yang

terkandung di dalam dasar negara yaitu sistem kekeluargaan, yaitu suatu aliran

pikiran yang menyatukan negara dengan seluruh rakyat, sesuai dengan pengertian

negara sebagai suatu keluarga besar, yang mengatasi segala faham golongan dan

86 Risalah Rapat Panitia Perantjang Undang-undang Dasar tanggal 11 Juli 1945, Lihat dalam: Muhammad Yamin. 1959. Kitab Naskah Undang-undang Dasar Républik Indonésia. Djilid Pertama, Jajasan Prapantja, Jakarta, hlm. 268.

54

Page 64: Pemb Hukum dan Konflik UU Bid Sektoral_UNSRI

faham perseorangan (kollektivisme) sebagaimana pikiran Soepomo (negara

integralistik).

Selanjutnya Soekarno pada sidang pertama Dokuritu Zyunbi Tyoosakai juga

membicarakan dasar kekeluargaan atau yang disebutnya gotong-royong yang

merupakan dasar sistem, dan falsafah yang terkadung dalam Rancangan UUD.

Setelah Rancangan UUD ini dibagikan dikalangan anggota, panitia penyusun

Rancangan UUD ini banyak mendapat pertanyaan seputar dasar dan falsafah dari

rancangan UUD tesebut. Misalnya, pertanyan-pertanyaan apa sebab undang-undang

dasar yang kita rancang tidak memasukkan hak-hak asasi manusia dan hak-hak

warga-negara, bahwa kitapun menghendaki di dalam UUD itu apa yang dinamakan

“droits de l’homme et du citoyen” atau “rights of the citizen”.87 Hal ini kemudian

dijawab oleh Soekarno dalam Rapat Besar tanggal 15 Juli 1945, lewat pidatonya

yang menerangkan dan menjelaskan pertanyaan-pertanyaan itu sebagai berikut:

“…Undang-undang Dasar dari pada negara-negara (Eropa dan Amérika) didasarkan atas dasar falsafah pikiran jang dikemukakan oléh revolutie Perantjis, jaitu individualisme dan liberalisme... Inilah jang mendjadi sumber malapetaka-malapetaka didunia ini…Tuan-tuan dan njonja-njonja jang terhormat! Kita semua mengetahui bahwa faham atau dasar individulisme telah mendjadi sumber économisch liberalisme Adam Smith…jang sebenarnja tidak lain tidak bukan mendjalankan téori-téori ékonomi diatas dasar-dasar falsafah jang individualistis…Dengan adanja ékonomisch liberalisme, jang bersembojan: “laissez faire, laissez fasser”…, timbullah kapitalisme jang sehébat-hébatnja di negeri-negeri jang merdéka. Timbulah itu oléh karena ékonomisch liberalisme itu sistim jang memberi hak sepenuh-penuhnja kepada beberapa orang manusia sadja, untuk menghisap, memeras, menindas sesama manusia jang lain. Inilah sebabnja suburnja kapitalisme dan imperialisme di Eropa dan Amérika itu”.…Dengan adanja imperialisme itulah, tuan-tuan dan njonja-njonja jang terhormat, kita 350 tahun tidak merdéka…Nyata tuan-tuan njonja-njonja jang terhormat, bahwa dasar falsafah negara-negara Eropa dan Amérika itu adalah benar falsafah jang salah. Apakah kita hendak menuliskan dasar jang demikian itu dalam Undang-undang Dasar kita?88.

Setelah Rancangan Undang-Undang Dasar di atas ditetapkan menjadi Undang-

Undang Dasar 1945 (18 Agustus 1945), terdapat beberapa perubahan dan

penambahan. Misalnya, Pasal 33 ayat (2), semula dirumuskan “Tjabang-tjabang

produksi jang penting bagi negara dan jang menguasai hadjat hidup orang banjak

87 isalah Rapat Besar tanggal 15 Juli 1945. Muhammad Yamin. Ibid., hlm. 287. R88

Ibid, hlm. 287-294.

55

Page 65: Pemb Hukum dan Konflik UU Bid Sektoral_UNSRI

dikuasai oléh Pemerintah”, kata “dikuasai oleh Pemerintah” kemudian dirubah

dengan “dikuasai oleh Negara”.

Pasca Proklamasi Kemerdekaan, banyak bermunculan pendapat-pendapat yang

berupaya memaknai rumusan dari Pasal 33. Misalnya, Lemaire dalam bukunya“Het

Recht in Indonesia”, memberikan makna bahwa Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 adalah

suatu “deze bepalingen geven vorm aan eigen Indonesisch” atau ketentuan yang

bersifat khas Indonesia, yaitu sebagai ketentuan yang hanya dijumpai di Indonesia

yang memberikan kewenangan yang begitu besar kepada Negara. Dikaji dari

tempatnya di dalam UUD ketentuan ini ditempatkan dalam Bab XIV tentang

Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial, artinya persoalan ini erat

hubungannya dengan usaha menciptakan kesejahteraan sosial bagi masyarakat

Indonesia89.

Berdasarkan uraian di atas, jelaslah bahwa di dalam rumusan Pasal 33 UUD

1945 terkandung nilai-nilai dan falsafah Negara. Jika dikonversikan dengan konsep-

konsep yang diutarakan di atas, terdapat tiga kata kunci yang merupakan sari dari

tiga ayat yang dinaungi oleh Pasal 33. Pertama, yaitu; Kollektivitas atau dasar

kesatuan dalam sebuah keluarga besar, konsep ini dirumuskan pada ayat (1) yaitu:

“Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan”.

Kedua adalah Sosialisme yang merupakan turunan dari sistem ekonomi kekeluargaan

dan antitesa daripada kapitalisme, dirumuskan dalam ayat (2) “cabang-cabang

produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak

dikuasai oleh Negara”, dan Ketiga adalah Politik Agraria Nasional yang bertujuan

menciptakan keadilan sosial lewat jalan meningkatkan sebesar-besarnya

kemakmuran rakyat. Hal ini adalah sintesa dari ayat (1) dan (2), yang dirumuskan

sebagai berikut: ayat (3) “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di

dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya

kemakmuran rakyat”.

2. Asas Kekeluargaan

Asas kekeluargaan yang tercantum dalam Pasal 33 ayat (1), secara umum erat

sekali hubungannya dengan teori “integralistik” atau “negara integralistik” yang

89

Lemaire, W.L.G. 1955. Het Recht in Indonesia. NV Uitgeverij W. Van Hoeve, S’Gravenhage, Bandung, hlm. 120, dalam: Abdurrahman,1985. Tebaran Pikiran Mengenai Hukum Agraria. Alumni, Bandung, hlm. 36.

56

Page 66: Pemb Hukum dan Konflik UU Bid Sektoral_UNSRI

dilontarkan oleh Soepomo dalam pidatonya pada sidang-sidang BPUPKI antara

bulan Mei–Juni 1945 yang padat dengan agenda sidang BPUPKI untuk membahas

dasar-dasar (falsafah) dan tujuan pembentukan negara.

Menurut Soepomo staatside dari UUD 1945 tidak didasarkan pada teori Trias Politica yang dikemukakan oleh Motesquieu. Soepomo tidak mau terjebak antara staatside yang didasarkan pada “Teori Individualistik” dan “Teori Golongan”. Pilihan Soepomo jatuh pada “Teori Integralistik”,90 sebagaimana dikemukakan oleh Spinoza, Adam Muller, dan Hegel (filsuf abad 18 dan 19). Menurut Spinoza,91 negara (the state) mestilah dibayangkan sebagai sebuah individu. Lebih tepatnya lagi, individu dari individu-individu (individual of indivduals) yang memiliki “tubuh” dan “jiwa” atau pikiran. Sebagaimana ditekankan olehnya, “in the political order the whole body of citizens must be thoughts of as equivalent or an individual in the state of nature”. Jadi, keseluruhan warga negara haruslah dilihat sebagai satu individu yang tidak terpisah, tetapi satu kesatuan yang bersatu jiwa, sebagaimana yang dinyatakan oleh Soepomo:

“…struktur kerochanian dari bangsa Indonesia bersifat dan bercita-cita persatuan hidup, persatuan kawulo dan gusti yaitu persatuan antara dunia luar dan dunia batin, antara mikrokosmos dan makrokosmos, antara rakjat dan pemimpin-pemimpinnya…Inilah ide totaliter, ide integralistik dari bangsa Indonesia, yang berwujud dalam susunan tatanegaranya jang asli”92.

Dengan demikian, inti dari teori integralistik adalah, negara bukan

dimaksudkan untuk menjamin kepentingan orang perorang atau golongan tertentu,

akan tetapi negara harus menjamin kepentingan masyarakat secara keseluruhan

sebagai satu kesatuan. Dengan demikian, menurut teori integralistik negara diartikan

sebagai susunan masyarakat yang integral, segala golongan, segala bagian, segala

anggotanya berhubungan erat satu sama lain dan merupakan persatuan masyarakat

organis yang harmonis.

Secara khusus makna dari kalimat “usaha bersama berdasar atas asas

kekeluargaan” adalah sebuah bangunan perusahaan yang berbentuk “koperasi”,

90

Teori Individualistik, mendasarkan pendirian negara pada teori perseorangan yang diajarkan

oleh Hobbes, Spencer, dan H.J. Laski. Inti dari teori ini menyatakan bahwa negara merupakan masyarakat hukum yang disusun atas kontrak antara seluruh orang dalam masyarakat dengan susunan hukum negara yang berdasar individualisme, teori ini dipraktekkan di Eropa Barat dan Amerika. Sedangkan Teori Golongan (teori kelas), teori ini menganggap bahwa negara sebagai alat dari sesuatu golongan (kelas) untuk menindas kelas lainnya. Negara adalah alat dari golongan yang kuat secara ekonomis, untuk menghisap golongan yang lemah secara ekonomi. Untuk itulah negara dijadikan alat bagi kaum kapitalis untuk menindas kaum buruh. Ajaran ini mennganjurkan revolusi politik dari kaum buruh untuk merebut kekuasaan. Ajaran ini berasal dari Karl Marx, F. Engels, dan V. Lenin, dan ajarannya disebut “Marxisme”. Lihat dalam: Pidato Soepomo dalam Rapat BPUPKI tanggal 31 Mei 1945, dalam: Ibid, Muhammad Yamin, hlm. 110-111.

91 Spinoza yang dikutip oleh Etienne Balibar, “Spinoza and Politics”, (London: Verso, 1998), hlm. 64, dalam: Daniel Hutagalung. “Menapaki Jejak Pemikiran Soepomo Tentang Negara Indonesia”, Jentera (Jurnal Hukum), Edisi 10 – tahun III, Oktober 2005, PSHK, Jakarta, hlm. 129.

92 Muhammad Yamin. Op.cit, khususnya hlm. 109-121.

57

Page 67: Pemb Hukum dan Konflik UU Bid Sektoral_UNSRI

sebagaimana yang disebutkan juga dalam Penjelasan Pasal 33 paragraf pertama.

Dalam Musyawarah Nasional Pembangunan yang dilaksanakan di Jakarta pada

tahun 1957, hal ini ditegaskan kembali oleh Mohammad Hatta, bahwa “buah pikiran

yang tertanam di dalam Pasal 33 UUD 1945 sekarang ini berasal dari saya sendiri,

Sebab itu terimalah pernyataan saya, bahwa memang koperasilah yang dimaksud

dengan usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan”.93

Dalam ilmu pengetahuan hukum terdapat penafsiran “limitatief” dan

penafsiran “enunciative”. Penafsiran limitatief, menganggap hal-hal yang

disebutkan sebagai “gelimiteerd” atau terbatas pada hal itu saja, sedangkan

penafsiran enunciative menganggap hal-hal yang disebutkan sebagai “enunciated”

atau sekedar menerangkan, bahwa hal itulah yang dimaksudkan.

Dengan demikian, berdasarkan penafsiran limitatief, bahwa yang sesuai

dengan azas kekeluargaan ialah hanya koperasi saja. Sedangkan menurut penafsiran

enunciative, bahwa yang sesuai dengan azas kekeluargaan paling utama adalah

koperasi, artinya koperasi hanya sebagai contoh tetapi sebagai contoh sebagai utama.

Dengan demikian berdasarkan penafsiran enunciative, tetap dimungkinkan bangunan

perusahaan selain koperasi yang juga sesuai dengan azas kekeluargaan ini.94

Berkaitan dengan penafsiran terhadap azas kekeluargaan sebagaimana yang

telah diuraikan di atas, Asikin Kusuma Atmadja memaknai azas kekeluargaan dalam

kehidupan masyarakat Indonesia yang sesuai dengan Pasal 33 ayat (1), adalah:

“menolak faham liberalisme mutlak, tetapi juga tidak menginginkan totaliterisme”.

Menurutnya, jika liberalisme tidak dikendalikan, maka akan menjurus kepada

anarchie, dan jika kekuasaan Pemerintah terlalu besar maka akan melahirkan

totaliterisme95.

3. Dikuasai oleh Negara atau Hak Menguasai Negara

Pasal 33 UUD 1945 dikenal sebagai ideologi politik ekonomi Indonesia [ayat

(1) dan (2)], dengan “hak menguasai negara” sebagai konsep politik hukumnya

93 Abdurrahman. Op.cit, hlm 94 Wirjono Prodjodikoro 1983. Azas-Azas Hukum Tata Negara Indonesia. Dian Rakyat,

Jakarta, hlm. 195. 95

Z. Asikin Kusuna Atmadja. Politik Hukum Nasional. Dalam: A. G. Hakim Nusantara & Nasroen Yasabari. 1980. Beberapa Pemikiran Pembangunan Hukum di Indonesia. Alumni, Bandung, hlm. 38.

58

Page 68: Pemb Hukum dan Konflik UU Bid Sektoral_UNSRI

(political legal concept). Sedangkan rumusan ayat (3)-nya merupakan arah dan

tujuan politik ekonomi Indonesia yaitu untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Pasal 33 ayat (3) terkandung konsep politik agraria dirumuskan: “bumi dan air

dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara”. Rumusan

kalimat “dikuasai oleh negara” inilah yang kemudian dikenal sebagai konsep “Hak

Menguasai Negara” (HMN) yang berarti penguasaan, dan pemanfaatan sumber-

sumber agraria terpusat pada kekuasaan yang begitu besar daripada negara.

Secara teoritik kekuasaan negara atas sumber-sumber agraria bersumber dari

rakyat yang dikenal dengan hak bangsa. Dalam hal ini negara dipandang sebagai

yang memiliki karakter lembaga masyarakat umum, sehingga kepadanya diberikan

wewenang atau kekuasaan untuk mengatur, mengurus, memelihara dan mengawasi

pemanfaatan seluruh potensi sumber daya agraria yang ada dalam wilayahnya secara

intensif, namun tidak sebagai pemilik, karena pemiliknya adalah Bangsa Indonesia.

Adapun kaitan hak penguasaan negara dengan tujuan sebesar-besarnya kemakmuran

rakyat, melahirkan kewajiban Negara untuk mengatur:

1. Segala bentuk pemanfaatan (bumi dan air) serta hasil yang didapat (kekayaan alam), harus secara nyata meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat.

2. Melindungi dan menjamin segala hak-hak rakyat yang terdapat di dalam atau di atas bumi, air dan berbagai kekayaan alam tertentu yang dapat dihasilkan secara langsung atau dinikmati langsung oleh rakyat.

3. Mencegah segala tindakan dari pihak manapun yang akan menyebabkan rakyat tidak mempunyai kesempatan atau akan kehilangan haknya dalam menikmati kekayaan alam.96

Ketiga kewajiban di atas menjelaskan segala jaminan bagi tujuan hak

penguasaan negara atas sumber daya alam yang sekaligus memberikan pemahaman

bahwa dalam hak penguasaan itu, negara hanya melakukan pengurusan

(bestuursdaad) dan pengolahan (beheersdaad), tidak untuk melakukannya sendiri

(eigensdaad).

Pembahasan mengenai makna kata-kata “dikuasai oleh negara” secara lebih

mendalam dapat didekati dengan memahami pengertian-pengertian yang diberikan

para ahli, antara lain:

96 Pan Mohamad Faiz. Penafsiran Konasep Penguasaan Negara Berdasarkan Pasal 33 UUD

1945 dan Putusan Mahkamah Konstitusi. http://www.jurnalhukum.blogspot.com/.

59

Page 69: Pemb Hukum dan Konflik UU Bid Sektoral_UNSRI

a. Mohammad Hatta, dalam bukunya “Pelaksanaan Undang-undang Dasar 1945

Pasal 33” memaknai dikuasai oleh negara tidak berarti negara sendiri menjadi

penguasa, usahawan atau “ondernemer”. Lebih tepat dikatakan, bahwa

kekuasaan negara terdapat pada membuat peraturan guna kelancaran jalan

ekonomi, peraturan yang melarang pula “penghisapan” orang yang lemah oleh

orang yang bermodal.97

b. Muhammad Yamin, baginya perkataan “dikuasai oleh negara” tidaklah berarti

dimiliki, diselenggarakan, atau diawasi, melainkan berarti diperlakukan dengan

tindakan-tindakan yang berdasarkan pada kekuasaan tertinggi dalam tangan

negara. Selain itu, menurutnya Pasal 33 ayat (3) melarang organisasi-organisasi

yang bersifat monopoli partikelir yang merugikan ekonomi nasional. Walaupun

“Sosialisme Indonesia” mengenal milik swasta perseorangan (privaatbezit;

privaat eigendom) karena sesuai dengan kepribadian Indonesia dan tidak

dilarang Pasal 33.98

c. Notonagoro, adalah salah seorang konseptor dari Undang-Undang Nomor 5

tahun 1960 tentang Peraturan Pokok Agraria (UUPA), dan UUPA merupakan

aturan pelaksana dari Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Notonagoro menyatakan

pendapatnya tentang kata-kata “dikuasai oleh negara” dalam tema pokok “hak

menguasai daripada negara” sebagai dasar baru hukum agraria di Indonesia.

Menurut Notonagoro “untuk menentukan hakekat sifat hak menguasai tanah, kita

harus mendasarkan diri menurut kedudukan hak menguasai tanah oleh negara itu

dalam rangkaian kekuasaan negara pada umumnya”. Ia mendasarkan

argumentasinya ini pada pandangan Van Vollenhoven yang menyatakan bahwa,

sebenarnya hak negara terhadap tanah ialah untuk mengatur dan sebagainya itu,

tidak lain daripada kekuasaan negara terhadap segala sesuatu. Tanah merupakan

suatu spesmen (hal khusus), jika dalam hal ini perlu diberi bentuk lain, maka

sudah tentu tidak boleh mengurangi dan mengubah kedudukan negara terhadap

segala sesuatu itu. Selanjutnya, ia menyatakan bahwa untuk menentukan hakikat

sifat hak menguasai tanah, kita melihat kepada kekuasaan negara, yang tidak lain

ialah membangun, mengusahakan memelihara dan mengatur hidup bersama.

Khusus mengenai tanah berarti membangun mengusahakan, memelihara dan

97

Abdurrahman, Op.cit, hlm. 37

98 Ibid, hlm. 38.

60

Page 70: Pemb Hukum dan Konflik UU Bid Sektoral_UNSRI

mengatur segala sesuatu mengenai tanah. Dengan demikian dapatlah kita

rumuskan hakikat dan sifat hak menguasai tanah itu, ialah: “dalam membangun,

mengusahakan, memelihara dan mengatur tanah untuk kepentingan negara

kepentingan umum, kepentingan rakyat sama dan membantu kepentingan

perseorangan”.99

d. Sudargo Gautama, dalam menafsirkan hak menguasai negara mendasarkan

argumentasinya pada pandangan yang melihat negara sebagai organisasi

kekuasaan dari seluruh rakyat (bangsa). Oleh karenanya berdasarkan kwalitasnya

itu, negara bertindak selaku Badan Penguasa. Pikirannya ini dipararelkan dengan

susunan kata-kata dalam Pasal 33 ayat (3), yang diadopsi dalam Pasal 2 ayat (1)

UUPA “bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung

didalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai

organisasi kekuasaan seluruh rakyat”. Dengan adanya pendirian semacam ini

tidaklah diperlukan bagi negara untuk bekerja dengan pengertian milik, seperti

halnya dengan teori domein. Artinya istilah “dikuasai” dalam ayat ini bukan

berarti “dimiliki”. Istilah dikuasai ini berarti bahwa negara sebagai organisasi

kekuasaan daripada bangsa Indonesia, diberikan wewenang untuk mengatur

sesuatu yang berkenaan dengan tanah.100

Pada perkembangan selanjutnya, perubahan ke empat UUD 1945 (2002)

khususnya mengenai Pasal 33 telah mengalami pengembangan makna dari yang

sebelumnya, walaupun tidak merubah tiga ayat yang asli, penambahan dua ayat

terakhir pada Pasal 33 berimplikasi pada perubahan makna Pasal 33 secara

keseluruhan. Belum lagi masalah Penjelasan dari UUD 1945 yang tidak lagi menjadi

Penjelasan Otentik.

Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga negara yang berfungsi menangani

perkara tertentu di bidang ketatanegaraan, juga berfungsi mengawal konstitusi (the

guardian of costitution) agar dilaksanakan secara bertanggung jawab sesuai dengan

kehendak rakyat dan cita-cita demokrasi. Keberadaan Mahkamah Konstitusi di

samping untuk menjaga terselenggaranya pemerintahan negara yang stabil, juga

99

Notonagoro. 1984. Politik Hukum dan Pembangunan Agraria di Indonesia. Bina Aksara,

Jakarta, hlm. 117-119. 100 Sudargo Gautama. 1973. Tafsiran Undang-Undang Pokok Agraria. Alumni, Bandung,

hlm. 47-48.

61

Page 71: Pemb Hukum dan Konflik UU Bid Sektoral_UNSRI

merupakan koreksi terhadap pengalaman kehidupan ketatanegaraan di masa lalu

yang ditimbulkan oleh tafsir ganda terhadap konstitusi.

Dengan tidak adanya lagi penjelasan otentik terhadap UUD 1945,

mengharuskan Mahkamah Konstitusi berperan untuk menafsirkan UUD 1945

apabila munculnya pertentangan norma antara undang-undang dengan UUD 1945.

Dalam salah satu putusannya Mahkamah Konstitusi telah memberikan pengertian

atau makna dari kalimat “dikuasai oleh negara”, sebagai berikut:

“Pengertian “dikuasai oleh negara” dalam Pasal 33 UUD 1945 mengandung pengertian yang lebih tinggi atau lebih luas daripada pemilikan dalam konsepsi hukum perdata. Konsepsi penguasaan oleh negara merupakan konsepsi hukum publik yang berkaitan dengan prinsip kedaulatan rakyat yang dianut dalam UUD 1945, baik di bidang politik (demokrasi politik) maupun ekonomi (demokrasi ekonomi). Dalam paham kedaulatan rakyat itu, rakyatlah yang diakui sebagai sumber, pemilik dan sekaligus pemegang kekuasaan tertinggi dalam kehidupan bernegara, sesuai dengan doktrin “dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat”. Dalam pengertian kekuasaan tertinggi tersebut, tercakup pula pengertian kepemilikan publik oleh rakyat secara kolektif. …Rakyat secara kolektif itu dikonstruksikan oleh UUD 1945 memberikan mandat kepada negara untuk mengadakan kebijakan (beleid) dan tindakan pengurusan (bestuursdaad), pengaturan (regelendaad), pengelolaan (beheersdaad) dan pengawasan (toezichthoudensdaad) untuk tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Fungsi pengurusan (bestuursdaad) oleh negara dilakukan oleh pemerintah dengan kewenangannya untuk mengeluarkan dan mencabut fasilitas perizinan (vergunning), lisensi (licentie), dan konsesi (concessie). Fungsi pengaturan oleh negara (regelendaad) dilakukan melalui kewenangan legislasi oleh DPR bersama dengan Pemerintah, dan regulasi oleh Pemerintah (eksekutif). Fungsi pengelolaan (beheersdaad) dilakukan melalui mekanisme pemilikan saham (share-holding) dan/atau melalui keterlibatan langsung dalam manajemen Badan Usaha Milik Negara atau Badan Hukum Milik Negara sebagai instrumen kelembagaan melalui mana negara c.q. Pemerintah mendayagunakan penguasaannya atas sumber-sumber kekayaan itu untuk digunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Demikian pula fungsi pengawasan oleh negara (toezichthoudensdaad) dilakukan oleh negara c.q. Pemerintah dalam rangka mengawasi dan mengendalikan agar pelaksanaan penguasaan oleh negara atas cabang produksi yang penting dan/atau yang menguasai hajat hidup orang banyak dimaksud benar-benar dilakukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran seluruh rakyat101.

Perlu dicermati kembali dari putusan Mahkamah Konstitusi tersebut di atas

yang menyatakan, bahwa pengertian “dikuasai oleh negara” dalam Pasal 33 UUD

1945 mengandung pengertian yang lebih tinggi atau lebih luas daripada pemilikan

101

Mahkamah Konstitusi, Pertimbangan Hukum, Putusan Perkara Nomor 001-021-022/PUU-

I/2003, hlm. 332-334.

62

Page 72: Pemb Hukum dan Konflik UU Bid Sektoral_UNSRI

dalam konsepsi hukum perdata (konsepsi eigendom-pen), …”. Pendapat dari

Mahkamah Konstitusi tersebut, telah mempersamakan pengertian negara dengan

bangsa. Pemaknaan yang demikian merupakan pemaknaan yang keliru, karena

pengertian negara tidak sama dengan pengertian bangsa. Negara itu sendiri adalah

organisasi kekuasaan yang dibentuk oleh bangsa agar tujuan berbangsa dapat

dicapai. Selain itu, konsep eigendom tidak lahir dari struktur masyarakat yang

komunalis, tetapi lahir dari masyarakat dengan tatatan individualis, liberalis, dan

materialis.

Dilihat dari sudut sejarah, negara adalah produk dari budaya dari bangsa,

dengan demikian, tidak secara otomatis hak-hak bangsa beralih menjadi hak negara.

Dalam teori kenegaraan dikenal teori kontrak sosial yang terdiri dari perjanjian

umum (volente de generalle) dan perjanjian khusus (volente de tour). Pada volente

de generalle, perjanjian dibuat berbentuk perjanjian antar sesama (rakyat) untuk

membentuk negara, sedangkan pada volente de tour adalah perjanjian yang

berisikan seberapa besar kedaulatan/kekuasaan yang ada pada rakyat akan

diserahkan kepada negara agar pemerintah sebagai organ negara dapat

menyelenggarakan kewajibannya untuk mencapai tujuan berbangsa dan bernegara.

Karakter bangsa Indonesia yang pluralis, secara sosio-yuridis tidaklah hapus

akibat dibentuknya negara dan pemerintah yang bernama Indonesia102. Dengan

demikian, konsepsi yang berhubungan dengan hak-hak agraria, termasuk hak atas

tanah bersumber pada hukum yang hidup sebagai ciri khas tatanan kerakyatan

Indonesia (sebagai peculiar form of social life). Tatanan tersebut tidak mengenal

konsepsi eigendom, namun mengenal konsepsi komunal yang dikenal dengan hak

ulayat/hak ulaya, atau dengan sebutan lain.

Namun demikian, secara normatif tidak pernah ada kontrak sosial yang berisi

penyerahan kekuasaan atas agraria/tanah dari rakyat kepada negara/pemerintah, yang

sekarang dengan hak menguasai negara. Dalam praktiknya, hak menguasai negara

cenderung ditafsirkan sebagai hak milik negara. Bahkan apabila dikaji dari sudut

Pancasila, terutama sila ketiga: Persatuan Indonesia; dan semboyan Bhinnika

102 Ketentuan Pasal 18B UUD 1945: (1) Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan

pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang. (2) Negara mengakkui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.

63

Page 73: Pemb Hukum dan Konflik UU Bid Sektoral_UNSRI

Tunggal Ika, dapat ditafsirkan bahwa konsep kesatuan adalah konsep politik,

sedangkan konsep pelaksanaan pemerintahan adalah konsep persatuan. Dengan

demikian, konsep eigendom yang dijadikan dasar dari hak menguasai negara oleh

Mahkamah Konstitusi tidak dapat diterima. Hal tersebut dikarenakan dalam konsepsi

masyarakat (hak menguasai masyarakat adat), penguasa adat yang dapat disamakan

dengan negara/pemerintah, tidak berkedudukan sebagai sebagai pemilik agraria.

Penguasa adat adalah sebagai pemegang mandat untuk memanfaatkan agraria untuk

sebesar-besar kemakmuran rakyat. Seangkan secara abstrak umum, pemilikan

agraria tersebut tetap menjadi hak rakyat.

Benar bahwa negara adalah organisasi seluruh rakyat Indonesia, namun tidak

berarti bahwa negara memperoleh seluruh asset yang dimiliki Bangsa Indonesia,

karena negara hanya merupakan salah satu unsur dari bangsa. Dengan demikian,

konsep hak ulayat lebih tepat digunakan untuk menjadi acuan penafsiran bagi Hak

Menguasai Negara, dibandingkan dengan hak eigendom. Faham individualis yang

menghasilkan konsep eigendom menempatkan negara dan rakyat pada dua posisi

yang berhadapan dengan kedudukan yang sama, oleh karena itu lahir konsep

“Staatdomein” untuk eigendom yang dimiliki oleh negara, dan konsep “eigendom”

untuk hak yang dapat dimiliki oleh individu/rakyat. Dengan demikian, menggunakan

konsep eigendom sebagai acuan untuk menafsirkan makna Hak Menguasai Negara

adalah tidak tepat, dengan alasan:

a. Dasar filosofis dan sosiologis lahirnya eigendom yaitu faham individualis,

liberalis, dan materialis, tidak sesuai dengan faham yang dianut Bangsa

Indonesia, yaitu manusia sebagai mahkluk mono-dualis, komunal, dan gotong

royong, serta magisch religius.

b. (Perlu ada ditegaskan) negara hanya berkedudukan sebagai lembaga yang

memperoleh mandat untuk menguasai pada tingkatan tertinggi, namun tidak

berkedudukan sebagai pemilik. Oleh karena itu, pemberian suatu hak atas

agraria oleh negara/pemerintah kepada subjek hukum tertentu, harus

dimaknakan sebagai pelaksanaan peran negara/pemerintah sebagai

penerima/pemegang kuasa dari bangsa sebagai pemilik agraria, untuk

memberikan suatu hak kepada subjek hukum tertentu.

c. Menafsirkan Menguasai Negara sebagai lembaga hukum yang lebih tinggi dari

eigendom adalah bersifat destruktif, terlebih apabila yang berkuasa adalah

64

Page 74: Pemb Hukum dan Konflik UU Bid Sektoral_UNSRI

rezim kapitalis. Pemaknaan “Hak Menguasai Negara” bukan berarti “Negara

adalah pemilik agraria” saja sebagaimana pengertian-pengertian yang

diberikan para ahli dapat memberikan dampak destruktif apabila pemerintah

dikuasai oleh rezim kapitalis. Tentu akan lebih merusak lagi apabila “Hak

Menguasai Negara” dimaknakan sebagai hak yang lebih tinggi dari eigendom.

Walaupun harus diakui, bahwa konsep “Hak Menguasai Negara” mengacu

pada pemikiran bahwa negara/pemerintahan diselenggarakan oleh rezim yang

populis, atau dalam bahasa Kuntowijoyo “negara budiman”. Namun, tidak pernah

dapat dipastikan bahwa rezim yang muncul dan berkuasa untuk melaksanakan

pemerintahan adalah rezim populis. Jika konsep HMN diterapkan dibawah rezim

yang populis, maka penguasaan negara atas bumi dan air dan kekayaan alam yang

terkandung di dalamnya ditujukan pada sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Tetapi jika penyelenggara pemerintah dibawah rezim yang kapitalistik, maka

penguasaan oleh negara akan didistribusikan kepada segelintir orang yang kuat

secara ekonomi maupun politik, sehingga sangat potensial mempengaruhi rumusan

berbagai peraturan perundang-undangan. Kondisi demikian dapat mengakibatkan

berbagai peraturan perundang-undangan yang merupakan penjabaran lebih lanjut

dari Konstitusi, dalam hal ini Pasal 33 UUD 45, terutama peraturan perundang-

undangan di bidang agraria/pertanahan, bertentangan dengan Pasal 33 UUD 45.

F. Konflik Peraturan Perundang-undangan Bidang Pertanahan

Terhadap Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945

1. Pergeseran Nilai dan Asas dari Pasal 33 UUD 1945

Pengkajian terhadap konflik peraturan perundang-undangan (aturan hukum) di

bidang pertanahan, mengharuskan terlebih dahulu melakukan kajian terhadap nilai-

nilai dan asas-asas yang terkandung dalam konstitusi, yaitu UUD 45. Kajian atas

nilai dan asas-asas tersebut bertujuan untuk menemukan hakikat konsep hukum yang

menjadi dasar pembangunan ekonomi di Indonesia, termasuk di bidang agraria,

khususnya di bidang pertanahan.

Pengkajian nilai-nilai dan asas-asas tersebut di atas diperlukan mengingat

konflik peraturan perundang-undangan di bidang agraria, diyakini akibat adanya

65

Page 75: Pemb Hukum dan Konflik UU Bid Sektoral_UNSRI

perubahan nilai dan asas dari amandemen UUD 1945. Perubahan nilai dan asas

tersebut tidak sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung pada Pancasila sebagai

sumber dari segala sumber hukum di Indonesia. Nilai-nilai Pancasila tersebut,

terutama kemanusiaan yang adil dan beradab, dan keadilan sosial bagi seluruh

rakyat Indonesia. Asumsi tersebut di atas didasarkan banyaknya kritik yang diajukan,

bahwa peraturan perundang-undangan di bidang agraria, khususnya di bidang

pertanahan, lebih banyak melindungi penanam modal, dan melemahkan rakyat untuk

dapat mengakses hak atas tanah.

a. Sebelum Amandemen UUD 1945

Pada alenia keempat Pembukaan UUD 1945 dirumuskan tujuan pembentukan

Negara Indonesia dan prinsip-prinsip dasar untuk mencapai tujuan tersebut, yaitu:

(1) Melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia;

(2) Memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa;

dan

(3) Ikut serta memelihara ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,

perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

Tanah adalah modal dasar yang strategis dan vital dalam rangka menciptakan

masyarakat yang sejahtera dan berkeadilan (mayarakat adil dan makmur), oleh

karena itu pembahasan terhadap pengaturan hukum di bidang pertanahan dalam

rangka menentukan taraf sinkronisasi dan konsistensinya tidak dapat lepas dari

pembahasan karena politik agraria/pertanahan yang secara konkrit dituangkan dalam

berbagai peraturan perundang-undangan di bawah UUD 1945 merupakan bagian dari

pengembanan politik kesejahteraan dan keadilan sosial.

Dalam Penjelasan Umum UUD 1945, masalah kesejahteraan umum dan

keadilan sosial tidak dijelaskan secara panjang lebar, hanya dinyatakan bahwa:

“Negara hendak mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat”. Solly Lubis

menafsirkan, bahwa aspirasi akan terciptanya kesejahteraan umum, berarti aspirasi

akan terciptanya suatu tata bina negara dan tata pemerintahannya yang mampu

mencerminkan, mengemban dan mengejewantah suatu negara kesejahteraan (welfare

state), yang sekaligus merupakan suatu tekad perlawanan terhadap tata kehidupan

kolonial dan tekad bulat (ekaprasetia) untuk menata pemerintahan dan masyarakat

66

Page 76: Pemb Hukum dan Konflik UU Bid Sektoral_UNSRI

yang merdeka, berdaulat, berhak menetukan nasib sendiri (self determination), dan

membina kemakmuran yang merata adil dan makmur.103

Sebagai negara yang bertujuan memberikan kesejahteraan bagi rakyat, maka

bidang ekonomi menjadi faktor utama dalam kehidupan bernegara. Oleh karena itu,

bidang ekonomi diatur dalam bab tersendiri dalam UUD 1945, yaitu pada Bab XIV

yang sebelum perubahan berjudul Kesejahteraan Sosial. Di bawah Bab XIV tersebut

tercantum Pasal 33 yang sebelum perubahan terdiri dari ayat (1), (2), dan (3).

Rumusan Pasal tersebut berdasarkan ejaan lama, sebagai berikut:

(1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan.

(2) Tjabang-tjabang produksi yang penting bagi Negara dan jang menguasai hadjat hidup orang banjak dikuasai oleh Negara.

(3) Bumi dan air dan kekajaan alam jang terkandung di dalamnja dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnja kemakmuran rakjat”.

Penjelasan Pasal 33:

Dalam pasal 33 tertjantum dasar demokrasi ekonomi, produksi dikerdjakan oleh semua, untuk semua dibawah pimpinan atau penilikan anggauta-anggauta masjarakat. Kemakmuran masjarakatlah jang diutamakan bukan kemakmuran orang seorang. Sebab itu, perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas usaha kekeluargaan. Bangun perusahaan jang sesuai dengan itu ialah koperasi. Perekonomian berdasar atas demokrasi ekonomi, kemakmuran bagi segala orang. Sebab itu tjabang-tjabang produksi jang penting bagi Negara dan jang menguasai hidup orang banjak harus dikuasai oleh Negara. Kalau tidak, tampuk produksi djatuh ketangan orang seorang jang berkuasa dan rakjat jang banjak ditindasnja. Hanja perusahaan jang tidak menguasai hadjat hidup orang banjak boleh ditangan orang seorang. Bumi dan air dan kekajaan alam jang terkandung dalam bumi adalah pokok-pokok kemakmuran rakjat. Sebab itu harus dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakjat.

Makna kata-kata produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua...yang

diutamakan bukan kemakmuran orang perorang, adalah lawan daripada sistem

ekonomi kapitalisme yang mengutamakan perseorangan/individu (individualism).

Sistem ekonomi kapitalisme hanya akan melahirkan ketimpangan sosial yang sangat

tajam atau hanya memakmurkan segelintir orang saja, oleh karena itu, secara tegas

Pasal 33 UUD 1945, melarang adanya penguasaan cabang-cabang produksi yang

103

M. Solly Lubis. 1985. Pembahasan UUD 1945.Alumni, Bandung, hlm. 25 dan 63.

67

Page 77: Pemb Hukum dan Konflik UU Bid Sektoral_UNSRI

penting bagi negara oleh orang perorang (individu) secara terpusat (monopoli dan

oligopoli) maupun praktek-praktek cartel dalam hal pengelolannya. Dan bentuk

perusahaan yang sesuai bagi prinsip-prinsip demokrasi ekonomi sebagaimana yang

dimaksud dalam Pasal 33 adalah koperasi.

b. Setelah Amandemen UUD 1945

UUD 1945 mengalami perubahan sebagaimana tuntutan reformasi tahun 1998.

Pembahasan rancangan peruabahannya dilakukan oleh Badan Pekerja Majelis

Permusyawaratan Rakyat (BP-MPR), mulai dari tahun 1999 sampai tahun 2002 yang

menghasilkan empat kali perubahan.

Setelah perubahan, judul BAB XIV dirubah dari Kesejahteraan Sosial, menjadi

Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial, dengan pasal yang diliputinya

yaitu: Pasal 33, Pasal 34 danPasal 37. Pasal 33 yang semula terdiri dari tiga ayat

diubah menjadi 5 (lima) ayat.

(1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.

(2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.

(3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

(4) Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang.

Perubahan penting lainnya adalah Penjelasan UUD 1945 tidak lagi ditempatkan

sebagai penjelasan otentik dari UUD 1945. Rumusan Pasal 33 UUD 1945 setelah

diamandemen selengkapnya adalah:

Secara umum amandemen UUD 1945 perubahan pertama sampai dengan

perubahan ke empat menimbulkan ‘kontroversi’ di kalangan cendekiawan

(intellectual) maupun dari masyarakat sipil lainnya, yaitu berkisar pada materi

perubahan (substansial) maupun dari segi proses amandemen. Ridwan Saidi,104

menyatakan, adanya keinginan sebagian masyarakat untuk kembali ke UUD 1945,

104

Berpengalaman sebagai legal drafter mewakili F-PPP di DPR Rl pada Badan Pekerja MPR

Rl dan Pansus pelbagai RUU dalam periode DPR/MPR Rl periode 1977-1982 dan 1982-1987.

68

Page 78: Pemb Hukum dan Konflik UU Bid Sektoral_UNSRI

terutama tdisebabkan, masyarakat menyakini bahwa UUD 1945 hasil amandemen

MPR tahun 1999–2002 membawa semangat ‘(Neo) Liberalisme’ dalam kehidupan

kenegaraan.

Pendapat lain yang muncul berkaitan dengan penambahan ayat pada Pasal 28,

yaitu Pasal 28E ayat (2), Pasal 28F dan, Pasal 33, yaitu penambahan Pasal 33 ayat

(4).105 Perubahan Pasal 28 mengakibatkan aspek ideologi dan keamanan nasional

menjadi tidak jelas kedudukannya (vide: pasal 28E ayat (4) dan pasal 28F).

Konsekwensi penambahan ayat pada Pasal 28 tersebut adalah, faham ekonomi

kekeluargaan yang dianut bangsa Indonesia juga menjadi tidak jelas kedudukannya.

Sedangkan penambahan ayat pada Pasal 33 dengan Pasal 33 ayat (4) yang intinya

mengedepankan prinsip demokrasi ekonomi, menimbulkan pertanyaan: demokrasi

ekonomi yang bagaimana yang menjadi faham ekonomi Indonesia sekarang setelah

terjadi penambahan ayat tersebut?.

Jika merujuk pada pengertian asasi demokrasi politik, esensinya adalah

mayoritas suara yang menentukan. Jika makna demikian dijadikan patokan untuk

memahami makna demokrasi ekonomi, maka tafsir yang didapat adalah mayoritas

(kekuatan) kapital yang menentukan. Hal ini berarti, Indonesia Pasca Reformasi

menganut sistem ekonomi kapitalis.

Mubyarto menyatakan, perubahan Judul BAB XIV UUD 1945 tentang

“Kesejahteraan Sosial” menjadi “Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial”

adalah perubahan yang menyesatkan. Mubyarto menyatakan, perubahan tersebut

terjadi karena (anggota MPR) menganggap bahwa perekonomian nasional bisa

dilepaskan kaitannya dengan kesejahteraan sosial, oleh karena itu perubahan BAB

XIV dirumuskan dalam 2 (dua) variable, yaitu “Perekonomian Nasional” dan

“Kesejahteraan Sosial”. Perumusan demikian bertentangan dengan pendirian

founding fathers, karena pada saat disahkannya UUD 1945, para pendiri negara tidak

pernah ragu dalam pendiriannya, bahwa baik buruknya perekonomian nasional akan

ikut menentukan tinggi rendahnya kesejahteraan sosial.

105

Pasal 28E ayat (2): “Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya”. Pasal 28F: “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”.

69

Page 79: Pemb Hukum dan Konflik UU Bid Sektoral_UNSRI

Lebih jauh Mubyarto menyatakan, amandemen Pasal 33 dengan menambahkan

ayat (4) tentang “penyelenggaraan perekonomian nasional” yang dibedakan dari

“penyusunan perekonomian” pada ayat (1) adalah sekedar mencari kompromi antara

mereka yang ingin mempertahankan dan yang ingin menggusur asas kekeluargaan

pada ayat (1). Mereka yang ingin menggusur asas kekeluargaan mengira asas

kekeluargaan menolak sistem ekonomi pasar yang berprinsip efisiensi. Padahal,

perekonomian yang berasaskan kekeluargaan (ekonomi Pancasila) tidak berarti

sistem ekonomi “bukan pasar”. Berkaitan dengan penghapusan Penjelasan UUD

1945, Mubyarto berpendapat sebagai kekeliruan fatal dan dapat dianggap sebagai

“pengkhianatan” terhadap ikrar para pendiri negara. Penghapusan penjelasan Pasal

33, berarti hilangnya pengertian ‘demokrasi ekonomi’ dan hilangnya kata ‘koperasi’

sebagai bangunan perusahaan yang sesuai dengan demokrasi ekonomi.106

2. Produk Aturan Hukum Pertanahan Orde Baru (1967 – 1998)

Peraturan Perundang-undangan yang dikaji pada era Orde Baru terdiri: (i)

Undang-Undang, (ii) Peraturan Pemerintah, (iii) Keputusan Presiden, (iv) Instruksi

Presiden, dan (v) Peraturan Menteri Dalam Negeri. Terdapat 12 (dua belas)

Peraturan Perundang-undangan yang diterbitkan, yaitu:

(1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 Tentang Penanaman Modal

Asing.

(2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Kehutanan.

(3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 Tentang Ketentuan Pokok

Pertambangan.

(4) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1970 Tentang Penghapusan Pengadilan

Landreform.

(5) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1972 Tentang Ketentuan Pokok

Transmigrasi

106

Mubyarto adalah salah satu pakar ekonomi yang awalnya terlibat dalam perumusan

perubahan Pasal 33 UUD 1945, yang kemudian mengundurkan diri karena ada perbedaan pandangan dengan anggota tim pakar ekonomi lainnya. Argumentasinya mengenai Perubahan BAB IXV UUD 1945 secara lengkap dapat dilihat dalam:Mubyarto,“Paradigma Kesejahteraan Rakyat dalam Ekonomi Pancasila“, Jurnal Ekonomi Rakyat, Artikel–Th.II–No.4–Juli 2003, www.ekonomirakyat.org.

70

Page 80: Pemb Hukum dan Konflik UU Bid Sektoral_UNSRI

(6) Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 1973 Tentang Acara Penetapan

Ganti Kerugian Oleh Pengadilan Tinggi Sehubungan Dengan Pencabutan

Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-Benda yang ada di Atasnya.

(7) Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 1973 Tentang Pelaksanaan

Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-Benda yang ada di Atasnya.

(8) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 1975 Tentang

Ketentuan-Ketentuan Mengenai Tata Cara Pembebasan Tanah.

(9) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun 1976 Tentang

Penggunaan Acara Pembebasan Tanah Untuk Kepentingan Pemerintah

Bagi Pembebasan Tanah Oleh Pihak Swasta.

(10) Keputusan Pesiden Nomor 26 Tahun 1988 Tentang Badan Pertanahan

Nasional.

(11) Keputusan Pesiden Nomor 53 Tahun 1989 Tentang Kawasan Industri.

(12) Keputusan Pesiden Nomor 55 Tahun 1993 Tentang Pengadaan Tanah

Untuk Kepentingan Umum.

Kajian terhadap kedua belas peraturan perundang-undangan tersebut akan

dibagi menjadi 3 (tiga) periodesasi, yaitu:

(1) Periode stabilitas politik dan pertumbuhan ekonomi

(2) Periode produktivitas dengan sistem modernisasi dan

(3) Periode deregulasi pertanahan.

Untuk menjawab pertanyaan apakah terdapat konflik peraturan perundang-

undangan di bidang pertanahan pada era Pemerintahan Orde Baru dalam rangka

menentukan keselarasannya dengan Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945, pendekatan yang

dipakai ialah dengan cara mengukur taraf sinkronisasi dan konsistensi Peraturan

Perundang-undangan yang dimaksud dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dengan

mendalami karakteristiknya berdasarkan periodesasi diterbitkannya aturan hukum

tersebut, yaitu:

a. Periode Stabilitas Politik Demi Pertumbuhan Ekonomi (1967 – 1973)

Produk hukum mengenai penguasaan tanah yang dikaji pada periode stabilitas

politik dan pertumbuhan ekonomi adalah:

71

Page 81: Pemb Hukum dan Konflik UU Bid Sektoral_UNSRI

(1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 Tentang Penanaman Modal

Asing,

(2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Kehutanan

(UUPK),

(3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok

Pertambangan,

(4) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1970 tentang Penghapusan Pengadilan

Landreform, dan,

(5) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1972 tentang Ketentuan Pokok

Transmigrasi.

Peraturan Perundang-Undangan yang dikaji pada bagian ini seluruhnya

berkaitan erat dengan sumber-sumber agraria, tetapi di dalam konsiderans mengingat

masing-masing peraturan-peraturan ini tidak sama sekali mencantumkan UUPA.

Padahal di dalam Penjelasan Umum UUPA telah ditetapkan bahwa UUPA

merupakan dasar bagi penyusunan peraturan-peraturan lainnya yang berkaitan

dengan dengan agraria. Mengingat akan sifatnya (UUPA) sebagai peraturan dasar

bagi hukum agraria yang baru, maka yang dimuat hanyalah azas-azas serta soal-soal

garis besarnya saja, oleh karenanya disebut Undang-Undang Pokok Agraria. Adapun

pelaksanaannya akan diatur didalam berbagai undang-undang, peraturan-peraturan

Pemerintah dan peraturan-perundangan lainnya.

Beranjak dari hal ini, artinya Peraturan Perundang-undangan yang berkaitan

dengan agraria yang ditetapkan setelah lahirnya UUPA berlaku asas “lex specialis

derogat legi generali”. Asas ini merujuk kepada dua peraturan perundang-undangan

yang secara hierarkis mempunyai kedudukan yang sama, akan tetapi ruang lingkup

materi muatan antara kedua peraturan perundang-undangan itu tidak sama, yaitu

yang satu merupakan pengaturan secara khusus dari yang lain.

Dengan demikian, peraturan-peraturan yang tersebut di atas materi muatannya

merupakan pengaturan secara khusus dari UUPA, untuk itulah materi muatan yang

diaturnya tidak boleh bertentangan dengan asas-asas yang telah ditetapkan oleh

UUPA. Oleh karena itu, pertanyaannya adalah, bagaimanakah jika peraturan-

peraturan yang dimaksud di atas bertentangan dengan asas-asas yang tecantum

dalam UUPA, apakah dapat disimpulkan bahwa peraturan perundangan-undangan

tersebut tidak selaras dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 ?

72

Page 82: Pemb Hukum dan Konflik UU Bid Sektoral_UNSRI

Untuk menjawab pertanyaan di atas, pertama-pertama harus dilihat apakah

UUPA merupakan delegasi dari Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, jika disimak dari

Konsiderans Berpendapat huruf d dari UUPA dinyatakan secara tegas bahwa UUPA

merupakan pelaksanaan dari ketentuan dalam Pasal 33 Undang-undang Dasar dan

Manifesto Politik Republik Indonesia, yang mewajibkan Negara untuk mengatur

pemilikan tanah dan memimpin penggunaannya, hingga semua tanah diseluruh

wilayah kedaulatan bangsa dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat,

baik secara perseorangan maupun secara gotong-royong.

Kemudian Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 di adopsi oleh Pasal 2 ayat (1) UUPA,

artinya peraturan-peraturan yang berkaitan dengan agraria yang ditetapkan setelah

lahirnya UUPA harus sejalan dengan asas-asas yang tercantum dalam UUPA.

Namun, jika peraturan-peraturan tersebut tidak di dasarkan pada asas-asas yang ada

di dalam UUPA maka peraturan tersebut akan tidak selaras dengan UUPA yang

otomatis juga tidak selaras dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.

Bagaimanakah karakteristik dari kedua belas aturan hukum tersebut. Jika

dilihat dari muatannnya, dapat ditarik pengertian bahwa, kedua belas aturan hukum

tersebut berkarakter:

(1) Sangat eksploitatif terhadap sumber daya alam.

(2) Sangat berpihak pada sistem ekonomi kapitalis (akumulasi modal), baik

modal asing maupun dalam negeri.

(3) Konservatif/Ortodoks, hukum menjadi alat yang ampuh bagi pelaksanaan

ideologi dan program negara (Positivis Instrumentalis) yang dalam hal

ini diposisikan sebagai alat peningkatan pendapatan dan devisa negara

demi tercapainya pertumbuhan ekonomi.

Sedangkan jika kita merujuk pada karakteristik dari Pasal 33 ayat (3), Pertama,

berkaitan dengan ayat (1) menekankan pada asas kollektivitas atau dasar

kekeluargaan yang dimaksudkan bahwa corak perusahaan yang nantinya akan

menguasai cabang-cabang produksi yang penting bagi negara yang sesuai adalah

koperasi. Kedua, sistem sosialisme yang merupakan turunan dari asas kekeluargaan

di atas merupakan antitesis dari sistem perekonomian kapitalistik. Ketiga, seluruh

asas tersebut bermuara pada peningkatan kemakmuran rakyat.

Jadi jelaslah bahwa semangat yang terkandung dalam Pasal 33 ayat (3) adalah

sosialisme Indonesia (populisme) yang mementingkan dan memperjuangkan rakyat

73

Page 83: Pemb Hukum dan Konflik UU Bid Sektoral_UNSRI

kecil yang lemah. Politik populis berarti menonjolkan prinsip-prinsip partisipasi atau

mengikutsertakan kekuatan-kekuatan politik yang ada di masyarakat dalam

melaksanakan program-program agraria. Hal ini terlihat jelas pada saat pemerintahan

Orde Lama melaksanakan program landreform (1960-1965), yang mana seluruh

ormas petani diikut sertakan untuk mengontrol program tersebut. Dengan demikian

dapat disimpulkan Peraturan Perundang-undangan yang dikaji pada periode ini tidak

selaras dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.

b. Periode Produktivitas dengan Sistem Modernisasi (1973 – 1984)

Pada periode ini Peraturan Perundangan-undangan yang dikaji ada empat,

yaitu:

1. Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 1973 tentang Acara Penetapan

Ganti Kerugian Oleh Pengadilan Tinggi Sehubungan Dengan Pencabutan

Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-Benda yang ada di Atasnya,

2. Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 1973 tentang Pelaksanaan Pencabutan

Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-Benda yang ada di Atasnya,

3. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 1975 tentang

Ketentuan-Ketentuan Mengenai Tata Cara Pembebasan Tanah, dan;

4. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun 1976 tentang

Penggunaan Acara Pembebasan Tanah Untuk Kepentingan Pemerintah

Bagi Pembebasan Tanah oleh Pihak Swasta.

Seluruh Peraturan Perundang-undangan di atas berkaitan erat pada Undang-

Undang Nomor 20 tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-

Benda yang ada di Atasnya. Undang-undang ini merupakan peraturan pelaksana dari

Pasal 18 UUPA107 sebagaimana yang rumusan dari Konsiderans Menimbang huruf a

peraturan tersebut: 197

“bahwa perlu diadakan peraturan baru mengenai pencabutan hak-hak atas tanah dan benda-benda yang ada diatasnya sebagai yang dimaksud dalam pasal 18 Undang-undang Pokok Agraria (Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960; Lembaran-Negara Tahun 1966 Nomor 104), terutama dalam rangka melaksanakan usaha-usaha pembangunan Negara”.

107 Pasal 18, UUPA: “Pasal ini merupakan jaminan bagi rakyat mengenai hak-haknya atas tanah. Pencabutan hak dimungkinkan, tetapi diikat dengan syarat-syarat, misalnya harus disertai pemberian ganti-kerugian yang layak”.

74

Page 84: Pemb Hukum dan Konflik UU Bid Sektoral_UNSRI

Rumusan Pasal 18 UUPA dan materi muatan UU No. 20 Tahun 1961, memuat

prinsip, apabila pihak lain, penguasa maupun pengusaha, memerlukan tanah untuk

keperluan pembangunan, maka cara untuk memperoleh tanah yang diperlukan harus

ditempuh musyawarah dengan pemegang hak atas tanah hingga tercapai kata

mufakat yang benar-benar keluar dari maksud baik antara kedua belah pihak.

Artinya proses pelepasan hak atas tanah untuk kepentingan umum, hanya dapat

dilakukan melalui pencabutan hak berdasarkan ketentuan yang dituangkan ke dalam

undang-undang. Argumentasi ini didasari pada prinsip bahwa peraturan yang sangat

menyentuh kehidupan vital dimasyarakat (tanah) pembuatannya harus dilakukan

secara partisipatif dengan melibatkan DPR, atau tidak secara sepihak ditetapkan oleh

pemerintah.

Jika disimak dari penjelasan Pasal 6 UU No. 20 tahun 1961, secara tegas

dinyatakan bahwa “Pasal ini memuat ketentuan mengenai acara pencabutan hak

yang khusus sebagai yang telah diuraikan di dalam Penjelasan Umum…”. Artinya

prosedur pencabutan hak itu telah pula diatur dalam peraturan ini. Namun pada era

pemerintahan Orde Baru, Pasal 5 dan 6 UU No. 20 Tahun 1961 dibuatkan peraturan

pelaksananya lewat PP No. 39 tahun 1973 yang kemudian diatur lebih lanjut dengan

Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 1973, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15

Tahun 1975 dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun 1976, yang pada

intinya mereduksi prosedur pencabutan hak atas tanah untuk kepentingan

pembangunan pada saat itu.

Menurut Ali Sofwan Husein, tercium itikad yang kurang baik dalam

pembentukan peraturan-peraturan pelaksana itu, karena terlihat hanya sekedar ingin

melegalisasi perbuatannya agar kelihatan konstitusional dan tidak melanggar hukum.

Peraturan-peraturan yang lebih operasional ini sebenarnya hanya dimaksudkan untuk

merekayasa atau melicinkan program-program pembangunan yang telah ditargetkan

pemerintah. Berkaitan dengan alasan-alasan inilah, pemerintah Orde Baru

menganggap undang-undang pencabutan hak atas tanah dirasakan bertele-tele—tidak

efisien, dan tidak menguntungkan pihak “pencabut” hak yang ingin menguasai tanah

dengan cepat dan murah. Oleh karena itulah dibuat deregulasi dalam hal pencabutan

hak atas tanah.108 Hal ini sejalan dengan semangat pemerintah pada periode tahun

108

Kontroversi masalah ini telah diangkat oleh kalangan pakar hukum, ketika diadakan Seminar Nasional di Ambon tahun 1977 oleh BPHN. Mereka menilai Permendagri No. 15 tahun 1975

75

Page 85: Pemb Hukum dan Konflik UU Bid Sektoral_UNSRI

1973-1983 yaitu memacu produktivitas di pedesaan dengan proyek-proyek

pembangunan yang dipicu dengan meningkatnya penerimaan negara dari sektor

migas (oil boom). Semangat inilah yang mendorong pemerintah mengeluarkan

peraturan pelaksana (yang dilepaskan kaitannya) dari UU No. 20 tahun 1961 tentang

Pencabutan Hak Atas Tanah dalam upaya memfasilitasi proyek-proyek

pembangunan yang akan dilaksanakannya.

Berdasarkan uraian di atas dapat ditemukan karakteristik Peraturan Perundang-

undangan pada periode ini adalah sebagai berikut:

1. Konservatif/Ortodoks, dengan ciri pemerintah sangat dominan dalam

pembentukkan hukum dan menentukan arah perkembangan hukum

masyarakat.

2. Represif, terutama terhadap rakyat miskin di pedesaan maupun di

perkotaan.

3. Pragmatis dan sangat akomodatif terhadap kekuatan modal (capitalism),

terutama kekuatan modal asing lewat negara donor maupun lembaga-

lembaga keuangan Internasional.

Dampak yang sangat terasa dari karakter hukum yang refresif ialah “ketidak

adilan yang tegas” atau keberadaan hukum tidak menjamin keadilan, apalagi

keadilan substantif. Karena tatanan hukum refresif sangat terikat pada status quo

dengan otoritas yang sangat kuat kepada penguasa, sehingga membuat kekuasaan

semakin efektif.

Pada periode orde baru tingkat refresifitas hukum diperlihatkan secara

mencolok, misalnya penggunaan kekerasan dengan melibatkan aparat keamanan

(tentara) dalam melakukan pembebasan tanah. Tetapi adakalanya represi diterapkan

dengan sangat halus dan dilakukan secara tidak langsung, misalnya dengan

mendorong dan mengorganisir persetujuan pasif dalam rangka musyawarah

penetapan ganti rugi dalam hal pencabutan hak atas tanah.

Secara umum potensi represif dimunculkan ketika tugas yang mendesak harus

dihadapi dengan kondisi adanya kekuasaan yang cukup namun kekurangan sumber

daya, sebagaimana argumentasi Hannah Arendt yang dikutip Philippe Nonet; “In

general, a repressive potential is generated when urgent task must be met under sebagai peraturan yang cacat yuridis dan menyalahi jenjang hierarkis peraturan perundang-undangan sebagaimana yang diatur oleh TAP MPR. Dalam: Ali Sofwan Husein. 1997. Konflik Pertanahan (Dimensi Keadilan dan Kepentingan Ekonomi). Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, hlm. 38-40.

76

Page 86: Pemb Hukum dan Konflik UU Bid Sektoral_UNSRI

conditions of adequate power but scarce resources”109. Argumentasi ini menjadi

sejalan dengan alasan ditetapkannya peraturan perundang-undangan di atas.

Sebagaimana yang dinyatakan di dalam penjelasan maupun konsideransnya, sebagai

berikut:

a. Penjelasan Umum PP No. 39 tahun 1973: “tujuan utama dari acara ini

adalah untuk mendapatkan putusan secara cepat, karena semua pihak

berkepentingan terhadap putusan yang cepat tersebut”.

b. Konsiderans Menimbang huruf a, Permendagri No. 15 tahun 1975:

“bahwa untuk memenuhi kebutuhan akan tanah dalam usaha-usaha

Pembangunan…dirasakan perlu adanya ketentuan mengenai pembebasan

tanah dan sekaligus menentukan besarnya ganti rugi atas tanah yang

diperlukan secara teratur, tertib dan seragam”.

c. Konsiderans Menimang huruf b Permendagri No. 2 tahun 1976:

“bahwa untuk merangsang pihak swasta dalam pelaksanaan

pembangunan dipandang perlu adanya bantuan fasilitas dari Pemerintah

yang berbentuk jasa-jasa dalam pembebasan tanah rakyat dalam rangka

penyediaan tanah, untuk pembangunan proyek-proyek yang bersifat

menunjang kepentingan umum…”.

Berdasarkan paparan di atas, maka tidak mengherankan jika pada periode ini

(1974-1983) atau katakanlah selama 32 tahun masa pemerintahan orde baru

bermunculan sengketa tanah disetiap proses pembebasannya, antara rakyat dengan

pemerintah atau rakyat dengan investor yang diwakili oleh pemerintah. Dan hampir

disetiap konflik tanah yang ada, peran pemerintah lebih mengutamakan kepentingan

investor demi mensukseskan program pembangunannya, hal ini makin diperparah

dengan peranan pemerintah (daerah) sebagai negosiator dan penyedia tanah murah

bagi investor. Sengketa-sengketa yang timbul ini, apabila dicermati secara apriori

orang awam pun akan menuding pada masalah besaran ganti kerugian yang tidak

disepakati. Sedangkan dari tinjauan yang lebih mendalam akan bermuara pada

109 Hannah Arendt. 1972. “On Violence” in Crisis of Republic (New York: Harcourt Brace

Jovanovich, 1972), hlm. 134-155. Philippe Nonet & Philip Selznick. 1978. Law and Society in Transition-Toward Responsive Law. Harper Colophon Books, Harper & Row, New York, Hagerstown, San Fransisco, London, hlm.36.

77

Page 87: Pemb Hukum dan Konflik UU Bid Sektoral_UNSRI

kondisi dimana warganegara/rakyat dihadapkan pada pilihan menerima ganti

kerugian (diganti tapi rugi) yang ditetapkan oleh penguasa.110

Dengan demikian dapatlah ditarik kesimpulan bahwa produk hukum yang

berkaitan dengan penguasaan tanah pada era pemerintahan orde baru periode tahun

1974–1983 cenderung berkarakter represif dan bersifat positivis-instrumentalis.

Artinya hukum hanya menjadi alat (instrumen) untuk memaksakan program-program

pemerintah, dan menentukan arah perkembangan hukum dimasyarakat. Sifat dan

karakter represif produk hukum pada periode ini merupakan konsekuensi logis dari

paradigma “modernisasi/pembangunanisme” (ekonomi) yang dianut pemerintah orde

baru.

Kesimpulan di atas membawa impliksi bahwa produk hukum mengenai

penguasaan tanah pada periode ini, nyata-nyata telah bertentangan dengan semangat

dan makna yang terkandung di dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 junto Undang-

Undang Pokok Agraria (UU No. 5 tahun 1960), yang mana justru sangat melindungi

keberadaan petani kecil dan petani tak bertanah dari penghisapan yang sangat

potensial dilakukan oleh kelompok berekonomi kuat (investor).

c. Periode Derugulasi Pertanahan (1984 – 1990-an)

Pada periode ini Peraturan Perundangan-undangan yang dikaji ada tiga, yaitu:

1. Keputusan Pesiden Nomor 26 Tahun 1988 tentang Badan Pertanahan

Nasional,

2. Keputusan Pesiden Nomor 53 Tahun 1989 tentang Kawasan Industri, dan;

3. Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah

Untuk Kepentingan Umum.

Kebijakan-kebijakan pada periode ini sebenarnya lebih kepada upaya-upaya

menanggulangi dan meminimalisasi dampak, dari kebijakan masa sebelumnya.

Karena pemerintahan Orde Baru pada masa ini, banyak mendapat pelajaran dari

akibat yang ditimbulkan kebijakan-kebijakan yang telah dikeluarkannya. Misalnya,

merebaknya konflik pertanahan yang memicu aksi-aksi protes petani pada tahun

1980-an hingga tahun 1990-an dan menjadi salah satu issu politik nasional yang

paling menonjol pada saat itu.

110

Arie S.Hutagalung. 2005. Tebaran Pemikiran Seputar Masalah Hukum Tanah. Lembaga Pemberdayaan Hukum Indonesia, Jakarta, hlm. 174.

78

Page 88: Pemb Hukum dan Konflik UU Bid Sektoral_UNSRI

Munculnya konflik-konflik pertanahan pada periode ini, selain disebabkan

karena meningkatnya pertumbuhan penduduk, terjadi juga pergeseran fokus

pembangunan ke sektor agro-industri khususnya ekspor non migas. Pembiayaan

pembangunan pada sektor agro-industri ini ternyata tidak mampu ditopang oleh

RAPBN pada masa itu (1986/1987) karena turunnya harga minyak di pasaran

Internasional. Pada sisi lain, pemerintah tetap ingin mempertahankan pertumbuhan

ekonomi, maka salah satu jalannya adalah mendorong pihak swasta untuk

menanamkan modalnya disektor agro-industri. Upaya untuk meningkatkan

penanaman modal ini tentunya harus disertai dengan deregulasi beberapa paket

kebijakan untuk melancarkan jalan pihak swasta dalam menanamkan modalnya.

Kaitannya dengan bidang agro-industri adalah masalah pengadaan tanah harus

menjadi prioritas utama. Oleh karena itu, kebijakan-kebijakan mengenai penguasaan

tanah pada periode ini tujuannya semata-mata untuk mempermudah perusahaan-

perusahaan swasta asing (PMA) maupun dalam negeri (PMDN) untuk mendapatkan

hak atas tanah.

Mula-mula dikeluarkan kebijakan untuk meningkatkan kedudukan dan fungsi

Derektorat Jenderal Agraria Departemen Dalam Negeri menjadi Badan Pertanahan

Nasional lewat Keppres No. 26 Tahun 1988 tentang Badan Pertanahan Nasional.

Setelah itu, untuk merangsang investasi dalam kaitannya dengan pembiayaan

pembangunan, pemerintah perlu menyediakan kawasan industri dengan berbagai

kemudahannya lewat Keppres No. 53 Tahun 1989 tentang Kawasan Industri. Pada

perkembangan selanjutnya penyediaan kawasan industri ini menemui hambatan-

hambatan terutama mengenai penyediaan lahan sebagai kawasan industri. Selain itu

peraturan-peraturan yang ada mengenai pembebasan hak atas tanah111 memunculkan

reaksi dari berbagai pihak sehingga dapat menghambat proses pembangunan. Untuk

menjawab permasalahan tersebut pemerintah mengeluarkan Keppres No. 55 Tahun

1993 tentang Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum.

Ketiga keputusan presiden di atas mewakili kebijakan mengenai penguasaan

tanah pada periode tahun 1984-1990-an. Adapun karateristik atau watak dari ketiga

111

Permendagri No. 15 Tahun 1975 tentang Ketentuan-Ketentuan Mengenai Tata Cara

Pembebasan Tanah, Permendagri No. 2 Tahun 1976 tentang Pengunaan Acara Pembebasan Tanah Untuk Kepentingan Pemerintah Bagi Pembebasan Tanah oleh Pihak Swasta, dan Permendagri No. 2 Tahun 1985 tentang Tata Cara Pengadaaan Tanah untuk Keperluan Proyek Pembangunan di Wilayah Kecamatan.

79

Page 89: Pemb Hukum dan Konflik UU Bid Sektoral_UNSRI

aturan hukum ini, dipetakan menjadi dua karakter, yaitu: Pertama, bersifat defensif-

reaktif, artinya peraturan yang dikeluarkan bersifat reaksioner terhadap berbagai

sengketa agraria yang muncul. Kasus-kasus pertanahan semata-mata hanya dianggap

sebagai persoalan administratif belaka. Kedua, sebagaimana periode sebelumnya,

pada periode ini sifat pragmatis dan sangat akomodatif terhadap kepentingan modal

tetap bertahan.

Karateristik tersebut terlihat jelas dari rumusan-rumusan di dalam konsiderans

maupun materi muatannya. Misalnya, di dalam Konsiderans Menimbang Keppres

No. 26 Tahun 1988 disebutkan: ”bahwa dalam pelaksanaan pembangunan nasional,

adanya kebutuhan, penguasaan, dan penggunaan tanah...dirasakan makin

meningkat; bahwa dengan meningkatnya kebutuhan, penguasaan, dan penggunaan

tanah...meningkat pula permasalahan yang timbul di bidang pertanahan. Dalam

Konsiderans Menimbang Keppres No. 53 Tahun 1989 disebutkan: ”bahwa dalam

rangka mempercepat pertumbuhan industri, baik untuk memenuhi kebutuhan dalam

negeri maupun untuk ekspor, dipandang perlu untuk mengatur pengusahaan

kawasan industri secara produktif dan efisien, kemudian dalam Pasal 2 disebutkan

tujuan dari pembangunan kawasan industri, yaitu: (a) mempercepat pertumbuhan

industri, (b) memberikan kemudahan bagi kegiatan industri, (c) mendorong kegiatan

industri untuk berlokasi di Kawasan Industri, dan (c) menyediakan fasilitas lokasi

industri yang berwawasan lingkungan.

Sedangkan di dalam Keppres No. 55 tahun 1993, rumusan mengenai

kepentingan umum tetap menjadi issu krusial. Menurut Michail G. Kitay, dalam

bukunya ”Land Acquisition in Developing Countries”, pada umumnya terdapat dua

cara untuk mengungkapkan tentang doktrin kepentingan umum itu, yaitu: Pertama,

pedoman umum, yang secara umum menyebutkan bahwa pengadaan tanah harus

berdasarkan kepentingan umum. Istilah kepentingan umum yang dipakai dapat

bervariasi, dan sesuai dengan sifatnya sebagai pedoman, maka hal ini mudah

menyebabkan kebebasan eksekutif untuk menyatakan suatu proyek memenuhi

kepentingan umum dimasyarakat dengan menafsirkan pedoman tersebut. Kedua,

penyebutan kepentingan umum dalam suatu daftar kegiatan yang secara jelas

mengidentifikasikan tujuannya (list provitions).112

112 Michael G Kitay. Land Acquisition In Developing Countries. Lincoln Institute of Land

Policy, Boston, dikutip oleh Maria S.W. Sumardjono. Anatomi Keppres 55 Tahun 1993

80

Page 90: Pemb Hukum dan Konflik UU Bid Sektoral_UNSRI

Pada Pasal 1 angka 3 kepentingan umum didefinisikan sebagai kepentingan

seluruh lapisan masyarakat, sedangkan pembangunan untuk kepentingan umum di

dibatasi pada: (i) kegiatan pembangunan yang dilakukan dan (ii) selanjutnya dimiliki

Pemerintah serta (iii) tidak digunakan untuk mencari keuntungan. Selanjutnya

batasan ini disertai dengan penyebutan kepentingan umum dalam suatu daftar

kegiatan (list provision).113 Tetapi rumusan norma ini menjadi kabur dengan

dirumuskannya Pasal 5 ayat (2) yang menyatakan bahwa kegiatan pembangunan

untuk kepentingan umum selain yang dimaksud dalam daftar kegiatan sebagaimana

diatur pada ayat (1) dapat ditetapkan dengan Keputusan Presiden.

Dengan demikian, semua Peraturan Perundang-undangan yang dikeluarkan

mengenai penguasaan tanah pada periode ini ditujukan untuk mempermudah

perolehan tanah dalam hal penanaman modal demi mengejar pertumbuhan ekonomi.

Hal ini tidak selaras dengan semangat yang terkandung dalam Pasal 33 ayat (3) UUD

1945 yang menolak faham liberalisme mutlak, tetapi juga tidak menginginkan

totaliterisme.

3. Produk Aturan Hukum Pertanahan Era Reformasi (1998–2006)

Peraturan Perundang-undangan yang dikaji pada era Reformasi berjumlah 6

peraturan, yang dibagi dalam dua periodesasi, yaitu: (1) Periode desentralisasi

kewenangan pertanahan, dan (2) Periode resentralisasi kewenangan pertanahan.

Adapun Peraturan Perundang-Undangan yang dikaji adalah sebagai berikut:

1. Keputusan Pesiden Nomor 48 Tahun 1999 tentang Tim Pengkajian

Kebijaksanaan Peraturan Perundang-undangan dalam Rangka Pelaksanaan

Landreform.

TentangPengadaan Tanah. Dalam Untoro Hariadi & Masruchah (editor). 1995. Tanah, Rakyat dan Dmokrasi. Forum LSM-LPSM DIY, Yogyakarta, hlm. 105.

113 Daftar kegiatan kepentingan umum tersebut adalah: (a) Jalan umum, saluran pembuangan air; (b) Waduk, bendungan dan bangunan pengairan lainnya termasuk saluran irigasi; (c) Rumah Sakit Umum dan Pusat-pusat Kesehatan Masyarakat; (d) Pelabuhan atau bandar udara atau terminal; (e) Peribadatan; (f) Pendidikan atau sekolahan; (g) Pasar Umum atau Pasar INPRES; (h) Fasilitas pemakaman umum; (i) Fasilitas Keselamatan Umum seperti antara lain tanggul penanggulangan bahaya banjir, lahar lain-lain bencana; (j) Pos dan Telekomunikasi; (k) Sarana Olah Raga; (l) Stasiun penyiaran radio, televisi beserta sarana pendukungnya; (m) Kantor Pemerintah; (n) Fasilitas Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. Lihat Pasal 1 angka 3, dan Pasal 5 ayat (1) Keppres No. 55 tahun 1993.

81

Page 91: Pemb Hukum dan Konflik UU Bid Sektoral_UNSRI

2. Keputusan Presiden Nomor 10 Tahun 2001 tentang Pelaksanaan Otonomi

Daerah di Bidang Pertanahan.

3. Keputusan Pesiden Nomor 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional di

Bidang Pertanahan.

4. Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi

Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum.

5. Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 tentang Perubahan atas

Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi

Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum;

6. Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan

Nasional.

Peraturan Perundang-undangan mengenai penguasaan tanah pada era

Reformasi dibagi atas dua periodesasi yaitu periode tahun 1998–2003 dan periode

tahun 2004–2006, namun analisisnya akan ditulis dalam satu kerangka, mengingat

issu yang muncul pada era pemerintahan reformasi masih dalam satu issu pokok

yaitu apakah desentralisasi atau sentralisasi di bidang pertanahan selaras dengan

Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.

a. Periode Desentralisasi Kewenangan Pertanahan (1998 – 2003)

Pada periode ini Peraturan Perundang-undangan yang dikaji adalah,

1. Keputusan Pesiden Nomor 48 Tahun 1999 tentang Tim Pengkajian

Kebijaksanaan Peraturan Perundang-Undangan dalam Rangka

Pelaksanaan Landreform,

2. Keputusan Presiden Nomor 10 Tahun 2001 tentang Pelaksanaan

Otonomi Daerah dibidang Pertanahan, dan;

3. Keputusan Pesiden Nomor 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional di

Bidang Pertanahan.

Satu tahun setelah Reformasi Mei 1998, tepatnya tanggal 7 Mei 1999

ditetapkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah

yang menganut asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan, dengan

memberikan kesempatan kepada daerah untuk menyelenggarakan otonomi daerah.

Aturan hukum ini sangat berbeda dengan aturan hukum sebelumnya tentang

pemerintahan daerah. Perubahan dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan ini

82

Page 92: Pemb Hukum dan Konflik UU Bid Sektoral_UNSRI

membawa implikasi pada perubahan pranata dan struktur pemerintahan daerah, yang

salah satunya adalah perubahan-perubahan kewenangan di bidang pertanahan. Hal

ini merupakan konsekuensi dari rumusan Pasal 11 UU No. 22 Tahun 1999, sebagai

berikut:

a. Kewenangan Daerah Kabupaten dan Daerah Kota mencakup semua

kewenangan pemerintahan selain kewenangan yang dikecualikan dalam

Pasal 7 dan yang diatur dalam Pasal 9.

b. Bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh Daerah Kabupaten

dan Daerah Kota meliputi pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan dan

kebudayaan, pertanian, perhubungan, industri dan perdagangan,

penanaman modal, lingkungan hidup, pertanahan, koperasi, dan tenaga

kerja.

Dalam rangka merespon perubahan-perubahan yang menjadi tuntuan reformasi

di bidang pertanahan, pemerintah mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres)

Nomor 48 Tahun 1999 yang mengamanatkan pembentukan Tim Pengkajian

Kebijaksanaan dan Peraturan Perundang-undangan dalam Rangka Pelaksanaan

Landreform. Keppres ini di dasari pada kondisi Peraturan Perundang-undangan di

bidang pertanahan yang berlaku belum sepenuhnya sejalan dengan UUPA dan belum

mendukung terciptanya penguasaan dan pemanfaatan tanah yang sesuai dengan

nilai-nilai kerakyatan dan norma-norma yang berkeadilan sosial. Tim ini selanjutnya

disebut Tim Landreform dengan tugas-tugasnya sebagaimana yang dirumuskan

dalam Pasal 3 Keppres tersebut, yakni:

a. Melakukan pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan di bidang

pertanahan;

b. Melakukan pengkajian dan penelaahan terhadap pelaksanaan

kebijaksanaan dan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan

landreform;

c. Menyusun dan merumuskan kebijaksanaan dan rancangan peraturan

perundang-undangan yang diperlukan untuk terlaksananya Landreform.

Secara tersirat Keppres tersebut di atas menginginkan dilaksanakannya

landreform dengan terlebih dahulu melakukan sinkronisasi seluruh peraturan

perundang-undangan bidang pertanahan dengan UUPA, sekaligus merumuskan

83

Page 93: Pemb Hukum dan Konflik UU Bid Sektoral_UNSRI

kebijaksanaan dan rancangan peraturan yang diperlukan untuk melaksanakan

landreform.

Pada level kelembagaan penyesuaian dilakukan dengan merubah Keppres No.

26 Tahun 1988 tentang BPN dengan Keppres No. 154 Tahun 1999 tentang

Perubahan Keppres No. 26 Tahun 1988. Perubahan ini berkaitan dengan Pasal 11

UU No. 22 tahun 1999, yang menetapkan kewenangan di bidang pertanahan ada

pada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Maka dari itulah materi muatan pasal

perubahan dari Keppres No. 154 adalah mengembalikan pimpinan Badan Pertanahan

kepada Menteri Dalam Negeri, seperti yang dirumuskan dalam Pasal I dan Pasal II.

Pasal I Beberapa ketentuan dalam Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1988 tentang Badan Pertanahan Nasional diubah sebagai berikut: Ketentuan Pasal 1 diubah, sehingga Pasal 1 seluruhnya berbunyi sebagai berikut: (1) Badan Pertanahan Nasional dalam Keputusan Presiden ini selanjutnya

disebut Badan Pertanahan adalah Lembaga Pemerintah Non-departemen yang berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden.

(2) Badan Pertanahan dipimpin oleh seorang Kepala, yang dijabat oleh Menteri Dalam Negeri.

(3) Dalam melaksanakan tugasnya, Kepala dibantu oleh seorang Wakil Kepala."

Pasal II Dengan berlakunya Keputusan Presiden ini, Menteri Dalam Negeri selaku Kepala Badan Pertanahan segera mengambil langkah-langkah penyesuaian tugas dan fungsi Badan Pertanahan Nasional dalam kaitannya dengan pelaksanaan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.

Seharusnya berdasarkan Peraturan Perundang-undangan yang telah diuraikan

di atas, penyerahan dan peralihan kewenangan di bidang pertanahan dari pemerintah

kepada daerah Kabupaten/Kota sudah dapat dilaksanakan, apalagi jika merujuk pada

penjelasan Pasal 11 ayat (1) UU No. 22 tahun 1999 yang menyatakan bahwa:

“Dengan diberlakukannya undang-undang ini, pada dasarnya seluruh kewenangan

sudah berada pada Daerah Kabupaten dan Daerah Kota. Oleh karena itu,

penyerahan kewenangan tidak perlu dilakukan secara aktif, tetapi dilakukan melalui

pengakuan oleh Pemerintah”. Selanjutnya penjelasan ayat (2) menegaskan pula

bahwa: “…untuk menghindarkan terjadinya kekosongan penyelenggaraan

84

Page 94: Pemb Hukum dan Konflik UU Bid Sektoral_UNSRI

pelayanan dasar kepada masyarakat, Daerah Kabupaten dan Daerah Kota wajib

melaksanakan kewenangan dalam Bidang pemerintahan tertentu menurut pasal ini,

sesuai dengan kondisi Daerah masing-masing…”.

Arti dari kata-kata “melalui pengakuan oleh pemerintah” menurut hemat

penulis merupakan syarat terjadinya peralihan kewenangan, jadi tidak adanya

pengakuan berarti tidak adanya penyerahan atau peralihan kewenangan, dan wujud

pengakuan tersebut berkaitan erat dengan norma hukum pada Pasal 8 ayat (1) yang

menyatakan bahwa: “Kewenangan Pemerintahan yang diserahkan kepada Daerah

dalam rangka desentralisasi harus disertai dengan penyerahan dan pengalihan

pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia sesuai dengan

kewenangan yang diserahkan tersebut”. Dengan demikian, penyerahan dan peralihan

kewenangan pemerintah kepada daerah melalui pengakuan yang dilakksanakan

dalam bentuk penyerahan dan pengalihan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta

sumber daya manusia sesuai dengan kewenangan yang diserahkan.114

Persoalan lain muncul ketika pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah

Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi

sebagai Daerah Otonom yang secara tidak langsung justru mengaburkan pelaksanaan

otonomi daerah khususnya kewenangan di bidang pertanahan yang menjadi tidak

jelas oleh rumusan Pasal 2 ayat (3) angka 14 PP No. 25 Tahun 2000. Pasal 2 ayat (3)

angka 14 PP No.25 Tahun 2000 yang mengatur tentang kewenangan pemerintah

pusat dibidang pertanahan, meliputi:

1. Penetapan persyaratan pemberian hak atas tanah

2. Penetapan persyaratan landreform

3. Penetapan standar administrasi pertanahan

4. Penetapan pedoman biaya pelayanan pertanahan

5. Penetapan Kerangka Dasar Kadastral Nasional dan pelaksanaan

pengukuran Kerangka Dasar Kadastral Orde I dan II

114 .

Pada kenyataannya, pengakuan dalam bentuk pengalihan pembiayaan, sarana dan prasarana serta sumber daya manusia tidak pernah dilaksanakan oleh Kepala BPN. Fakta tersebut mengandung kenyataan bahwa penyerahan kewenangan di bidang pertanahan kepada Daerah Kabupaten dan Daerah Kota tidak ada pengakuan dari pemerintah. Artinya kewenangan di bidang pertanahan masih tetap ada pada pemerintah, yang dilaksanakan oleh BPN baik dipusat maupun di daerah, dengan kantor wilayah ditiap Propinsi dan ditingkat Kabupaten/Kota. Hal ini semakin rancu dengan munculnya pembentukan Dinas Agraria/Pertanahan ditingkat Kabupaten/Kota. Lihat dalam: Boedi Harsono. 2006. Hukum Agraria Indonesia-Himpunan Peraturan-Peraturan Hukum Tanah. Djambatan, Jakarta, hlm. XXXVI–XXXVIII.

85

Page 95: Pemb Hukum dan Konflik UU Bid Sektoral_UNSRI

PP No. 25 Tahun 2000 tersebut kemudian ditindaklanjuti dengan Keputusan

Presiden Nomor 10 Tahun 2001 tentang Pelaksanaan Otonomi Daerah dibidang

Pertanahan. Keppres ini hanya terdiri dari dua pasal yaitu Pasal 1 dan 2, adapun

materi inti dari Keppres ini dirumuskan pada Pasal 1 sebagai berikut:

Sebelum ditetapkan peraturan yang baru berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom, pelaksanaan otonomi daerah di bidang pertanahan, berlaku Peraturan, Keputusan, Instruksi, dan Surat Edaran Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional yang telah ada.

Keppres ini sebenarnya diposisikan sebagai jawaban pemerintah atas sikap

pesimistik yang ditunjukkan beberapa kalangan dalam kaitannya dengan

desentralisasi kewenangan di bidang pertanahan. Karena proses otonomi daerah yang

telah berjalan dua tahun dan telah melahirkan landasan hukum yang penting bagi

penyelenggaraan otonomi di bidang pertanahan ternyata belum mampu memenuhi

tuntutan masyarakat, terutama tuntutan-tuntutan penyelesaian sengketa pertanahan.

Hal ini diakibatkan karena masih adanya tarik ulur kewenangan pertanahan

(inconsistence).

Tidak konsistennya pemerintah dalam upaya penyerahan kewenangan

pertanahan kepada daerah semakin jelas dengan diterbitkannya Keputusan Presiden

Nomor 62 Tahun 2001, yang mana salah satu ketentuannya menyatakan bahwa:

”Sebagian tugas pemerintahan yang dilaksanakan oleh BPN di daerah tetap

dilaksanakan oleh Pemerintah sampai dengan ditetapkannya seluruh peraturan

perundang-undangan di bidang pertanahan, selambat-lambatnya 2 (dua) tahun”.115

Dengan demikian sampai pada titik ini terjadi ambivalensi kebijakan mengenai

kewenangan bidang pertanahan yang berpangkal tolak pada UU No. 22 Tahun 1999,

yang mengakibatkan instabilitas pelayanan di bidang pertanahan. Kesimpulannya,

apa yang ditetapkan dalam UU No. 22 Tahun 1999 mengenai penyerahan

kewenangan di bidang pertanahan kepada Daerah Kabupaten/Kota belum terlaksana

terlaksana namun telah keluar peraturan perundang-undangan baru yang muatannya

bertentangan dengan semangat otonomi daerah di bidang pertanahan yang

diamanatkan oleh UU No.22/99.

115

Pasal I "Pasal 109 Ayat (6).

86

Page 96: Pemb Hukum dan Konflik UU Bid Sektoral_UNSRI

Kebekuan terhadap aturan hukum mengenai penyerahan kewenangan

pertanahan, dipecahkan dengan kemunculan Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun

2003 Tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan. Keppres ini merupakan

pelaksanaan dari TAP MPR Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan

Pengelolaan Sumber Daya Alam.

Jika kita hubungkan dengan ketentuan Pasal I jo “Pasal 109 ayat (6) Keppres

No. 62 Tahun 2001, maka terkesan bahwa lahirnya Keppres No. 34 Tahun 2003

merupakan jawaban dari pelaksanaan penyerahan kewenangan bidang pertanahan

kepada daerah, hal ini dapat disimak dari Pasal 2 ayat (1) dan (2) Kepres No. 34

Tahun 2003:

(1) Sebagian kewenangan Pemerintah di bidang pertanahan dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten /Kota.

(2) Kewenangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah: a. pemberian ijin lokasi; b. penyelenggaraan pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan; c. penyelesaian sengketa tanah garapan; d. penyelesaian masalah ganti kerugian dan santunan tanah untuk

pembangunan; e. penetapan subyek dan obyek redistribusi tanah, serta ganti kerugian

tanah kelebihan maksimum dan tanah absentee; f. penetapan dan penyelesaian masalah tanah ulayat; g. pemanfaatan dan penyelesaian masalah tanah kosong; h. pemberian ijin membuka tanah; dan i. perencanaan penggunaan tanah wilayah Kabupaten/Kota.

Meskipun demikian, Keppres No. 34 Tahun 2003 tetap menyisakan pekerjaan

rumah, yaitu mengamanatkan kepada BPN untuk melakukan langkah-langkah

percepatan dalam hal penyusunan Rancangan Undang-Undang Penyempurnaan

UUPA dan Rancangan Undang-Undang tentang Hak Atas Tanah serta Peraturan

Perundang-undangan lainnya di bidang pertanahan dan pelaksanaan paling lambat

tanggal 1 Agustus 2004 (Pasal 1 dan 4 Keppres No. 34 tahun 2003). Seharusnya

pekerjaan rumah ini sudah dapat diselesaikan oleh pemerintah dalam kurun waktu

dua tahun (2001-2003), sebagaimana yang telah ditentukan dalam Pasal I jo ”Pasal

109 ayat (6) Keppres No. 62 Tahun 2001. Artinya, pemerintah dalam hal ini BPN

telah gagal menyusun seluruh Peraturan Perundang-undangan di bidang pertanahan

dalam rangka desentralisasi di bidang pertanahan.

Berdasarkan uraian di atas, bahwa karateristik Peraturan Perundang-undangan

pada periode tahun 1998–2003 bersifat pragmatis-reaktif, dan parsial. Artinya

87

Page 97: Pemb Hukum dan Konflik UU Bid Sektoral_UNSRI

peraturan-peraturan yang dikeluarkan tidak didasarkan pada suatu format tertentu

yang secara integral berkesinambungan dan sistematis.

Dampak dari karakter hukum sebagaimana diuraikan di atas, melahirkan

tatanan hukum yang disharmoni atau tidak ada kesinkronan diantara produk hukum

yang dihasilkan. Hal tersebut mencerminkan tidak adanya konsistensi (ambivalence)

pemerintah, sehingga terkesan pembentukannya sarat dengan kepentingan jangka

pendek. Dalam bidang pertanahan hal ini menjadi faktor yang menghambat proses

penyelesaian sengketa pertanahan karena prosedurnya dan kewenangannya menjadi

tidak jelas.

b. Periode Resentralisasi Kewenangan Pertanahan (2004 – 2006)

Pada periodesasi Resentralisme Kewenangan Pertanahan (2004 – 2006),

Peraturan Perundang-undangan yang dikaji adalah:

1. Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi

Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum,

2. Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas

Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi

Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum,

3. Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan

Nasional.

Kajian Peraturan Perundang-undangan pada periode ini meliputi dua issu

pokok yang dominan pada saat itu, yaitu, Pertama, mengenai ditetapkannya

Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan

Pembangunan untuk Kepentingan Umum yang mendapat sorotan tajam dan ditolak

dari berbagai kalangan melalui aksi unjuk rasa hampir diseluruh kota di Indoensia,

bahkan Komisi II DPR dalam rapat dengar pendapat dengan Sekretaris Kabinet

meminta pemerintah mencabut ketentuan tersebut. Peraturan ini kemudian dirubah

dengan Peraturan Presiden No. 65 Tahun 2005. Kedua, mengenai ditetapkannya

Peraturan Presiden No. 10 Tahun 2006 tentang BPN yang aromanya sangat kental

sekali ingin mengembalikan kewenangan bidang pertanahan secara sentralisme,

berkaitan dengan perubahan UU No. 22 Tahun 1999 ke UU No. 32 Tahun 2004.

Peraturan Presiden (Perpres) No. 36 Tahun 2005 merupakan peraturan

pengganti dari Keputusan Presiden (Keppres) No. 55 Tahun 1993. Jika ditelusuri

88

Page 98: Pemb Hukum dan Konflik UU Bid Sektoral_UNSRI

secara vertikal Perpres No. 36 Tahun 2005 merupakan turunan dari UU No. 20

Tahun 1961 tentang Pecabutan Hak-Hak atas Tanah dan Benda-Benda yang ada di

atasnya yang merupakan peraturan pelaksana dari Pasal 18 UUPA. Dilihat dari

semangatnya Perpres No. 36 Tahun 2005 sebenarnya hanya merupakan kelanjutan

dari Keppres No. 55 Tahun 1993 yang tujuannya semata-mata untuk mempermudah

dan melancarkan para investor dalam mendapatkan hak atas tanah. Apalagi disinyalir

keluarnya Perpres ini adalah sebagai komitmen pemerintah untuk memfasilitasi hasil

infrastructure summit (Januari 2005). Pada pertemuan tersebut, pemerintah

mengundang investor luar negeri untuk mencari sumber pembiayaan yang dapat

menutupi kebutuhan dana pembangunan infrastruktur di Indonesia.

Pada Konsiderans Perpres No. 36 Tahun 2005 dinyatakan bahwa,

penetapannya (Perpres No. 36 Tahun 2005-pen) didasarkan pada realitas

meningkatnya pembangunan untuk kepentingan umum yang berjalan pararel dengan

kebutuhan akan tanah, maka dari itu pengadaan akan tanah perlu dilakukan secara

cepat dan transparan. Juga dinyatakan, bahwa Keppres No. 55 Tahun 1993 sudah

tidak sesuai lagi sebagai landasan hukum dalam rangka melaksanakan pembangunan

untuk kepentingan umum.

Beberapa kalangan menganggap bahwa, alasan penggantian Keppres No.

55/1993 sebagaimana yang dinyatakan dalam pertimbangan Perpres No. 36/2005,

adalah karena Keppres No. 55/1993 terlalu lunak, alias kurang represif ditengah

kondisi masyarakat yang mulai kritis akan hak-haknya. Hal ini diprediksi akan

menjadi hambatan dalam pelaksanaan pembangunan kedepan, oleh karena itu

Keppres tersebut perlu diganti dengan peraturan yang lebih represif.116 Hal ini dapat

dibaca pada Pasal 2 ayat (1) Keppres tersebut :”...semata-mata hanya digunakan

untuk pemenuhan kebutuhan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk

kepentingan umum”. Namun, batasan pengadaan tanah yang di atur dalam Perpres

sangat luas sekali, serta tidak jelas batasannya. Hal ini dapat dibaca pada Pasal 1

angka 3 Perpres, yaitu;

Pengadaan tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan

cara memberikan ganti rugi kepada yang melepaskan atau menyerahkan tanah,

116

Fajrimei A Gofar. ”Perpres No. 36 Tahun 2005 Melegalkan Penggusuran Paksa?”. Harian Kompas, tanggal 25 Juni 2005.

89

Page 99: Pemb Hukum dan Konflik UU Bid Sektoral_UNSRI

bangunan, tanaman, dan .benda-benda yang berkaitan dengan tanah atau

dengan pencabutan hak atas tanah”.

Makna kata ”pengadaan tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan

tanah” dapat ditasirkan pengadaan tanah tidak semata-mata untuk pembangunan,

tetapi juga untuk hal lain yang dianggap pemerintah sebagai kepentingan umum.

Selain itu, watak represif dari Perpres ini juga dapat dilihat dari cara

merumuskan ketentuan yang mengatur tata cara pengadaan tanah. Tata cara

pengadaan tanah diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Perpres, dirumuskan sebagai berikut:

“”Pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum oleh

Pemerintah atau pemerintah daerah dilaksanakan dengan cara: a. pelepasan atau

penyerahan hak atas tanah, atau; b. pencabutan hak atas tanah.

Khusus mengenai tata cara pencabutan hak atas tanah (Pasal 2 ayat (1) huruf b)

dilakukan berdasarkan UU No. 20 tahun 1961.117 Dalam hal ini, rumusan di dalam

Keppres sedikit lebih lunak, yaitu: ”pengadan tanah bagi pelaksanaan

pembangunan untuk kepentingan umum oleh pemerintah dilaksanakan dengan cara

pelepasan atau penyerahan hak atas tanah”.118 Walaupun kemudian Keppres juga

mengadopsi cara pencabutan hak atas tanah yang dirumuskan pada Pasal 21. Tetapi

menurut hemat penulis ada semangat yang berbeda dilihat dari strategi (seni)

perumusannya. Perpres lebih menonjolkan semangat represif, hal ini dapat telihat

dari penempatan ketentuan tersebut pada pasal awal (Pasal 2). Sedangkan Keppres

menempatkan ketentuan tersebut dipasal akhir (Pasal 21), ini dapat diartikan bahwa

pelaksanaan pengadaan tanah dengan cara pencabutan hak atas tanah merupakan

pilihan terakhir dan dalam kondisi yang sangat terpaksa, sesuai dengan peraturan

induknya yaitu UU No. 20 Tahun 1961 yang merumuskan syarat pencabutan hak

atas tanah pada Pasal 1, dengan rumusan sebagai berikut:

Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan Bangsa dan Negara serta kepentingan bersama dari rakyat, sedemikian pula kepentingan pembangunan, maka Presiden dalam keadaan yang memaksa setelah mendengar Menteri Agraria, Menteri Kehakiman dan Menteri yang bersangkutan dapat mencabut hak-hak atas tanah dan benda-benda yang ada diatasnya.

Inilah yang disebut dengan seni membuat peraturan, sebagaimana yang pernah

diungkapkan oleh Opzoomer (Nederland) di tahun 1873:”Er is geen kunst, die ment

117

Lihat: Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 18 Perpres No. 36 Tahun 2005.

118 Lihat: Pasal 2 ayat (2) Keppres No. 55 Tahun 1993.

90

Page 100: Pemb Hukum dan Konflik UU Bid Sektoral_UNSRI

bij ons minder veerstaat dan den kunst van wetgeving” (di negara kita tidak ada

suatu kesenian yang kurang kita pahami selain seni membuat undang-undang).119

Selanjutnya jika diperhatikan benar-benar apa yang diuraikan di atas ini, maka

merancang undang-undang itu tidak hanya merupakan soal pengetahuan saja, akan

tetapi ada pula soal seninya. Disamping harus mengetahui secara mendalam masalah

yang akan diatur (soal pengetahuan), kecakapan menguraikan bagian-bagian yang

essensiil adalah soal seni meng-ikhtisarkan (samenvatten), sehingga peraturan itu

tidak hanya cukup memberi kepastian, tetapi juga membuka peluang bagi

perkembangan dimasa yang akan datang, sebagaimana yang diinginkan oleh

praktek.120

Materi lainnya yang menjadi issu krusial dalam Perpres ini adalah masalah

rumusan kepentingan umum.121 Keppres 55/1993 membatasi arti kegiatan

pembangunan untuk kepentingan umum yang boleh dilakukan adalah yang

selanjutnya dimiliki oleh pemerintah serta tidak digunakan untuk mencari

keuntungan. Sedangkan Perpres 36/2005 pada Pasal 5, hanya menyebutkan

pembangunan untuk kepentingan umum yang dilaksanakan oleh pemerintah, tidak

disebutkan apakah bangunan yang dibangun tersebut untuk selanjutnya akan dimiliki

oleh pemerintah atau tidak, serta digunakan untuk mencari keuntungan. Artinya bisa

saja pembangunan yang dimaksud selanjutnya tidak dimiliki oleh pemerintah

(swasta) dan digunakan untuk mencari keuntungan.122

Selain itu, masalah ganti rugi yang diselesaikan melalui musyawarah yang

dibatasi waktunya paling lama 90 hari jelas akan berbenturan dengan rasa keadilan

yang ada dimasyarakat. Karena jika lewat dari jangka waktu ini, maka panitia

pengadaan tanah akan menetapkan besaran ganti rugi dan dititipkan kepada

pengadilan negeri sementara pelepasan atau pencabutan hak akan tanah akan terus

berlangsung. Penitipan ganti kerugian di pengadilan sebelum adanya kesepakatan

119 Irawan Soejito. 1988. Teknik Membuat Undang-Undang. Pradnya Paramita, Jakarta, hlm.

13. 120

Ibid., hlm. 17. 121 Rumusan Kepentingan Umum dalam Keppres maupun Perpres disertai dengan penyebutan

kepentingan umum dalam suatu daftar kegiatan yang secara jelas mengidentifikasikan tujuannya (list provitions). Keppres menyebutkan 14 (empat belas) kegiatan, sedangkan Perpres mengidentifikasi 21 (dua puuh satu) kegiatan. Untuk lebih jelasnya dapat dibandingkan dengan melihat Pasal 5 Keppres No. 55 Tahun 1993 dan Pasal 5 Perpres No. 36 Tahun 20065.

122 Fajrimei A Gofar. Op.cit.

91

Page 101: Pemb Hukum dan Konflik UU Bid Sektoral_UNSRI

kedua belah pihak nyata-nyata merupakan bentuk pemaksaan oleh pemerintah

terhadap warganegaranya.123

Pada perkembangan selanjutnya, setelah ditolak dari berbagai kalangan melalui

aksi unjuk rasa hampir diseluruh kota di Indonesia, Perpres Nomor 36 Tahun 2005

diubah dengan Perpres Nomor 65 Tahun 2006. Perubahan-perubahan Perpres

36/2005 yang dituangkan ke dalam Perpres 65/2006 mencakup 11 (sebelas) poin

dengan dua pasal penambahan yaitu Pasal 7A dan Pasal 18A. Perubahan-perubahan

di maksud langsung mendapat respon dari berbagai pihak, dan sebagian besar

memandang Perpres 65/2006 secara substansi tetap berpihak pada kepentingan

modal (capital), khususnya bidang infrastruktur.

Sebagai contoh, perubahan pada ”Pasal 1 angka 3 yang sebenarnya hanya

mengembalikan ketentuan yang diatur sebelumnya dalam Keppres 55/1993. Secara

umum perubahan-perubahan pada Perpres 65/2006 sebatas pada tampilannya saja

(appearance), dibuat terkesan agak lunak atau terlihat tidak se-represif dari

sebelumnya. Namun, pasal-pasal yang bermasalah masih tetap dipertahankan, seperti

pembatasan waktu musyawarah hanya diubah kuantitasnya dari 90 (sembilan puluh)

hari menjadi 120 (seratus dua puluh) hari. Jika dalam waktu yang telah ditentukan

tersebut tidak tercapai kesepakatan, maka panitia pengadaan tanah tetap dapat

langsung menetapkan besarnya ganti rugi dan menitipkan ganti rugi uang kepada

pengadilan negeri yang wilayah hukumnya lokasi tanah yang bersangkutan.124 Selain

itu, secara kualitas proses musyawarahnya sendiri tetap tidak seimbang, walaupun

pasal yang mengatur tentang panitia pengadaan tanah telah diubah. Perubahan pasal

ini hanya menambahkan unsur Badan Pertanahan Nasional ke dalam panitia

pengadaan tanah, artinya peserta musyawarah tetap didominasi oleh pihak yang

menginginkan tanah, yaitu: (i) pemegang hak atas tanah, (ii) pihak yang

menginginkan tanah (pemerintah) dan (iii) mediator yaitu panitia pengadaan tanah

yang terdiri dari perangkat daerah terkait dan unsur Badan Pertanahan Nasional

(Pemerintah).125 Prakteknya, proses musyawarah dengan kondisi di atas menjadi bias

dan cenderung manipulatif, dikarenakan lemahnya posisi tawar rakyat (pemegang

hak atas tanah) yang tanahnya terkena proyek pengadaan tanah untuk pembangunan

terhadap keinginan pemerintah.

123 Pasal 10 Perpres No. 36 Tahun 2005.

124 Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) Perpres No. 36 Tahun 2006. 125

Pasal 6 ayat (5) Perpres No. 65 Tahun 2006.

92

Page 102: Pemb Hukum dan Konflik UU Bid Sektoral_UNSRI

Pembahasan mengenai Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006 tentang

Badan Pertanahan Nasional, merujuk pada UU No. 32 Tahun 2004. Uraian

selanjutnya berkaitan erat dengan peralihan UU No. 22 Tahun 1999 ke UU No. 32

Tahun 2004. Sebagaimana yang telah diuraikan, bahwa periode tahun 1998– 2003

telah terjadi inkonsistensi terhadap aturan hukum yang mengatur desentralisasi

kewenangan di bidang pertahanan sebagaimana yang diamanatkan oleh UU No. 22

Tahun 1999. Inkonsistensi ini relatif dapat dicairkan dengan ditetapkannya

Keputusan Presiden Nomor 34 tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang

Pertanahan pada bulan Mei 2003, yang memberikan sembilan kewenangan

pemerintah di bidang pertanahan yang dapat dilaksanakan oleh pemerintah

Kabupaten/Kota.126

Pada periode 2004–2006 muncul permasalahan, yaitu ditetapkannya Perpres

No. 10 Tahun 2006 yang mengembalikan kewenangan di bidang pertanahan

sepenuhnya menjadi urusan pemerintahan pusat (resentralisme). Berdasarkan

ketentuan Pasal 2 Perpres tersebut: ”Badan Pertanahan Nasional mempunyai tugas

melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pertanahan secara nasional, regional dan

sektoral”. Pasal tersebut mengindikasikan bahwa daerah tidak mempunyai

kewenangan lagi atas bidang pertanahan, karena semua tugas yang berhubungan

dengan bidang pertanahan diatur dari pusat lewat Badan Pertanahan Nasional secara

nasional, regional maupun sektoral. Dari sisi lain, peraturan perundang-undangan

mengenai penguasaan tanah pada periode tahun 2004–2006 berkarakter represif.

Terdapat perbedaan dalam pengaturan penyerahan kewenangan di bidang

pertanahan kepada pemerintah daerah berdasarkan UU No. 22 Tahun 1999 dan UU

No. 32 Tahun 2004. Dalam UU No. 32 Tahun 2004, kewenangan yang menjadi

urusan wajib Pemerintahan Propinsi dalam skala Propinsi meliputi: ”k. pelayanan

pertanahan termasuk lintas kabupaten/kota”.127 kewenangan yang menjadi urusan

wajib Pemerintahan Kabupaten/Kota yang berskala Kabupaten/Kota meliputi: ”k.

pelayanan pertanahan”.128 Sedangkan UU No. 22 tahun 1999 menyatakan, bahwa

bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh Daerah Kabupaten dan Daerah

Kota meliputi: ”...pertanahan..”, tanpa disertai dengan kata pelayanan.129 Ketentuan

126

Pasal 2 ayat (2) Keppres No. 34 Tahun 2003. 127 Pasal 13 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004 128 Pasal 14 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004. 129 Pasal 11 ayat (2) UU No. 22 Tahun 1999.

93

Page 103: Pemb Hukum dan Konflik UU Bid Sektoral_UNSRI

ini diberikan penjelasan bahwa: ”Tanpa mengurangi arti dan pentingnya prakarsa

Daerah dalam penyelenggaraan otonominya, untuk menghindarkan terjadinya

kekosongan penyelenggaraan pelayanan dasar kepada masyarakat, Daerah

Kabupaten dan Daerah Kota wajib melaksanakan kewenangan dalam bidang

pemerintahan tertentu menurut pasal ini, sesuai dengan kondisi Daerah masing-

masing. Kewenangan yang wajib dilaksanakan oleh Kabupaten dan Kota tidak dapat

dialihkan ke Propinsi.”

Pemberian otonomi di bidang pertanahan kepada Kabupaten dan Kota

berdasarkan UU No. 22 Tahun 1999, dipandang sebagai suatu perubahan yang besar

dalam pelaksanaan hukum tanah nasional dan menjadi bagian dari urusan

pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh Kabupaten/Kota. Meskipun demikian,

perubahan yang diusung oleh UU No. 22 Tahun 1999 tersebut masih bersifat

kedaerahan, tidak bersifat nasional secara utuh. Dari segi lingkup kewenangan,

sebenarnya UU No. 22 Tahun 1999 dalam hal penyerahan kewenangan di bidang

pertanahan kepada pemerintah daerah (Pemerintah Kabupaten/ Kota), lebih luas jika

dibandingkan dengan UU No. 32 Tahun 2004. Sebaliknya, UU No. 32 Tahun 2004

telah mereduksi kewenangan bidang pertanahan menjadi sebatas pelayanan

pertanahan.

94

Page 104: Pemb Hukum dan Konflik UU Bid Sektoral_UNSRI

BAB IV ANALISIS ATURAN HUKUM SEKTOR KESEHATAN

A. Aturan Hukum Sektor Kesehatan

Aturan pokok bidang kesehatan saat ini adalah Undang-Undang Nomor 23

Tahun 1992 tentang Kesehatan (LNRI Tahun 1992 Nomor 100), mulai berlaku pada

17 September 1992, selanjutnya disingkat UU No. 23/1992. UU kesehatan ini

menyempurnakan dan mengintegrasikan perangkat hukum yang sudah ada, yang

pengaturan hukumnya mencakup:

1. Asas dan tujuan yang menjadi landasan dan memberi arah pembangunan kesehatan yang dilaksanakan melalui upaya kesehatan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi orang, sehingga terwujud derajat kesehatan masyarakat yang optimal tanpa membedakan status sosialnya;

2. Hak dan kewajiban setiap orang untuk memperoleh derajat kesehatan yang optimal serta wajib untuk ikut serta di dalam memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan;

3. Tugas dan tanggung jawab Pemerintah pada dasarnya adalah mengatur, membina, dan mengawasai penyelenggaraan upaya kesehatan serta menggerakkan peran serta masyarakat;

4. Upaya kesehatan dilaksanakan secara menyeluruh, terpadu, dan berkesinambungan melalui pendekatan peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit, penyembuhan penyakit, dan pemulihan kesehatan;

5. Sumber daya kesehatan sebagai pendukung penyelenggaran upaya kesehatan, harus tetap melaksanakan fungsi dan tanggung jawab sosialnya, dengan pengertian bahwa sarana pelayanan kesehatan harus tetap memperhatikan golongan masyarakat yang kurang mampu dan tidak semata-mata mencari keuntungan;

6. Ketentuan pidana untuk melindungi pemberi dan penerima jasa pelayanan kesehatan bila terjadi pelanggaran terhadap Undang-Undang ini.

Berdasarkan Penjelasan Umum, UU No. 23/1992 hanya mengatur hal-hal yang

bersifat pokok, sedangkan yang bersifat teknis operasional diatur dalam Peraturan

Pemerintah dan peraturan pelaksanaan lainnya. Sejumlah pasal memerlukan

Aturan pelaksanaan dengan Peraturan Pemerintah, yaitu:

1. Pasal 15, mengenai tindakan medis tertentu yang boleh dilakukan dalam keadaan darurat sebagai upaya menyelamatkan jiwa ibu hamil atau janinnya.

2. Pasal 16, mengenai persyaratan penyelenggaraan kehamilan di luar cara alami sebagai upaya terakhir untuk membantu suami istri mendapat keturunan.

95

Page 105: Pemb Hukum dan Konflik UU Bid Sektoral_UNSRI

3. Pasal 21, mengenai pengamanan makanan dan minuman untuk melindungi masyarakat dari manakan dan minuman yang tidak memenuhi ketentuan mengenai standar dan atau persyaratan kesehatan.

4. Pasal 22, mengenai penyelenggaraan kesehatan lingkungan untuk mewujudkan kualitas hidup yang sehat.

5. Pasal 23, mengenai penyelenggaraan kesehatan kerja untuk mewujudkan produktivitas kerja yang optimal;

6. Pasal 27, mengenai kesehatan jiwa dan upaya penanggulangannya untuk mewujudkan jiwa yang sehat secara optimal, baik intelektual maupun emosional.

7. Pasal 34, mengenai syarat dan tata cara penyelenggaraan transplantasi organ atau jaringan tubuh oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu dan dilakukan di sarana kesehatan tertentu.

8. Pasal 35, mengenai syarat dan tata cara transfusi darah oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu dan dilakukan di sarana kesehatan tertentu.

9. Pasal 36, mengenai syarat dan tata cara penyelenggaran implan obat atau alat kesehatan ke dalam tubuh manusia oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu dan dilakukan di sarana kesehatan tertentu.

10. Pasal 37, mengenai syarat dan tata cara bedah plastik dan rekonstruksi oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu dan dilakukan di sarana kesehatan tertentu.

11. Pasal 38, mengenai penyuluhan kesehatan masyarakat guna meningkatkan pengetahuan, kesadaran, kemauan, dan kemampuan masyarakat untuk hidup sehat dan aktif berperan serta dalam upaya kesehatan.

12. Pasal 43, mengenai pengamanan sediaan farmasi dan alat kesehatan untuk melindungi masyarakat dari bahaya yang disebabkan oleh penggunaan sediaan farmasi dan alat kesehatan yang tidak memenuhi persyaratan mutu dan atau keamanan dan atau kemanfaatan.

13. Pasal 44, mengenai pengamanan bahan yang mengandung zat adiktif agar tidak mengganggu dan membahayakan kesehatan perorangan, keluarga, masyarakat, dan lingkungannya.

14. Pasal 45, mengenai kesehatan sekolah untuk meningkatkan kemampuan hidup sehat peserta didik dalam lingkungan hidup sehat, sehingga peserta didik dapat belajar, tumbuh, dan berkembang secara optimal menjadi sumber daya manusia yang lebih berkualitas.

15. Pasal 46, mengenai kesehatan olah raga untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan melalui kegiatan olah raga.

16. Pasal 47, mengenai pengobatan tradisional sebagai upaya pengobatan dan atau perawatan cara lain di luar ilmu kedokteran dan atau ilmu keperawatan.

17. Pasal 48, mengenai kesehatan matra sebagai bentuk khusus upaya kesehatan untuk mewujudkan derajat kesehatan yang optimal dalam lingkungan matra yang selalu berubah.

18. Pasal 50, mengenai kategori, jenis, dan kualifikasi tenaga kesehatan yang bertugas menyelenggarakan atau melakukan kegiatan kesehatan sesuai

96

Page 106: Pemb Hukum dan Konflik UU Bid Sektoral_UNSRI

dengan bidang keahlian dan atau kewenangan tenaga kesehatan yang bersangkutan.

19. Pasal 52, mengenai penempatan tenaga kesehatan dalam rangka pemerataan pelayanan kesehatan.

20. Pasal 53, mengenai standar profesi tenaga kesehatan dan hak-hak pasien sebagai bentuk perlindungan hukum tenaga kesehatan dan pasien.

21. Pasal 58, mengenai sarana kesehatan tertentu yang diselenggarakan oleh masyarakat yang harus berbentuk badan hukum.

22. Pasal 59, mengenai syarat dan tata cara memperoleh izin penyelenggaraan sarana kesehatan.

23. Pasal 63, mengenai pelaksanaan pekerjaan kefarmasian dalam pengadaan, produksi, distribusi, dan pelayanan sediaan farmasi yang harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu.

24. Pasal 64, mengenai perbekalan kesehatan yang dilakukan agar dapat terpenuhinya kebutuhan sediaan farmasi dan alat kesehatan serta perbekalan lainnya terjangkau oleh masyarakat.

25. Pasal 66, mengenai penyelenggaraan jaminan pemeliharaan kesehatan masyarakat yang dilaksanakan secara praupaya, berasaskan usaha bersama dan kekeluargaan.

26. Pasal 69, mengenai penelitian, pengembangan, dan penerapan hasil penelitian yang harus dilakukan dengan memperhatikan kesehatan dan keselamatan serta norma yang berlaku dalam masyarakat dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.

27. Pasal 70, mengenai pelaksanaan penelitian dan pengembangan yang dilakukan dengan bedah mayat untuk penyelidikan sebab penyakit dan atau sebab kematian serta pendidikan tenaga kesehatan.

28. Pasal 71, mengenai syarat dan tata cara peran serta masyarakat di bidang kesehatan.

29. Pasal 75, mengenai kewenangan Pemerintah dalam pembinaan terhadap semua kegiatan yang berkaitan dengan penyelenggaraan upaya kesehatan.

30. Pasal 78, mengenai kewenangan Pemerintah melakukan pengawasan terhadap semua kegiatan yang berkaitan dengan penyelenggaraan upaya kesehatan, baik yang dilakukan oleh Pemerintah maupun swasta.

Selain Peraturan Pemerintah, UU No. 23/1992 juga memerintahkan pengaturan

di bidang kesehatan lebih lanjut dalam bentuk Keputusan Presiden, yaitu:

1. Pasal 55, mengenai pembentukan, tugas, fungsi, dan tata kerja Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan yang berwenang menentukan ada tidaknya kesalahan atau kelalaian tenaga kesehatan dalam melaksanakan profesinya;

2. Pasal 72, mengenai pembentukan, tugas pokok, fungsi, dan tata kerja Badan Pertimbangan Kesehatan Nasional.

Selanjutnya, UU No. 23/1992 juga merujuk pengaturan di bidang kesehatan

kepada aturan hukum positif lainnya, yaitu:

97

Page 107: Pemb Hukum dan Konflik UU Bid Sektoral_UNSRI

1. Pasal 31, mengenai pemberantasan penyakit menular dengan upaya penyuluhan, penyelidikan, pengebalan, penghilangan sumber dan perantara penyakit, tindakan karantina, dan upaya lain yang diperlukan.

2. Pasal 41, mengenai penyitaan dan pemusnahan sediaan farmasi dan alat kesehatan yang telah memperoleh izin edar, yang kemudian terbukti tidak memenuhi persyaratan mutu dan atau keamanan dan atau kemanfaatan.

3. Pasal 51, mengenai penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan tenaga kesehatan yang dilaksanakan oleh Pemerintah dan atau masyarakat.

4. Pasal 55, mengenai ganti rugi kepada setiap orang akibat kesalahan atau kelalaian yang dilakukan tenaga kesehatan.

Dalam melakukan inventarisasi terhadap aturan hukum positif di bidang

kesehatan, perlu mengacu kepada Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (selanjutnya disingkat UU No.

10/2004). Berdasarkan hasil inventarisasi, ditemukan aturan hukum positif di bidang

kesehatan, antara lain:

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 1. Pembukaan alinea keempat, yaitu:

”...melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa,...keadilan sosial...”.

2. Pasal 28 H ayat (1), yaitu: “Setiap orang berhak memperoleh pelayanan kesehatan”.

3. Pasal 34 ayat (3), yaitu: “Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas kesehatan untuk setiap orang yang berhak memperoleh pelayanan kesehatan tersebut”.

Undang-Undang, meliputi: 1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan; 2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen; 3. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran; 4. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah; 5. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan

antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah; 6. Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-

Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah;

7. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional;

Peraturan Pemerintah, meliputi: 1. Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 1960 tentang Lafal Sumpah

Dokter Indonesia; 2. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1966 tentang Wajib Simpan

Rahasia Kedokteran; 3. Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan;

98

Page 108: Pemb Hukum dan Konflik UU Bid Sektoral_UNSRI

4. Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1998 tentang Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan;

5. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota;

6. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah.

Peraturan Menteri, meliputi: 1. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 920/ MENKES/PER/XII/1986

tentang Upaya Pelayanan Kesehatan Swasta di Bidang Medik; 2. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 159b/ MENKES/PER/II/1988

tentang Rumah Sakit; 3. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 585/ Men.Kes/Per/IX/1989 tentang

Persetujuan Tindakan Medis; 4. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 84/ MenKes/II/Per/1990 tentang

Legalisasi Keberadaan Rumah Sakit Swasta Pemodal; 5. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 378/ MENKES/PER/V/1993 tentang

Pelaksanaan Fungsi Sosial Rumah Sakit Swasta; 6. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 363/ MENKES/PER/IV/1993

tentang Pengujian dan Kalibrasi Alat-alat Kesehatan; 7. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1173/ MENKES/PER/X/2004

tentang Rumah Sakit Gigi dan Mulut; 8. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1575/ MENKES/PER/XI/2005

tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Kesehatan; 9. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 512/ MENKES/PER/IV/2007

tentang Izin Praktik dan Pelaksanaan Kedokteran; 10. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 269/ MENKES/PER/III/2008 tentang

Rekam Medis.

Keputusan Menteri, meliputi: 1. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 806b/ MenKes/SK/XII/1987

tentang Klasifikasi Rumah Sakit Umum Swasta; 2. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 983/ MenKes/SK/XI/1992 tentang

Pedoman Organisasi Rumah Sakit Umum; 3. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 282/ MENKES/SK/III/1993 tentang

Pola Tarif Rumah Sakit Swasta; 4. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 595/ MenKes/SK/VII/1993 tentang

Standar Pelayanan Kesehatan. 5. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1333/ Menkes/SK/XII/1999 tentang

Standar Pelayanan Rumah Sakit; 6. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 772/ MENKES/SK/VI/2002 tentang

Pedoman Peraturan Internal Rumah Sakit (Hospital Bylaw); 7. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 004/ MENKES/SK/I/2003 tentang

Kebijakan dan Strategi Desentralisasi Bidang Kesehatan; 8. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 131/ Menkes/SK/II/2004 tentang

Sistem Kesehatan Nasional; 9. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 756/ MENKES/SK/VI/2004 tentang

Tim Persiapan Liberalisasi Perdagangan Jasa di Bidang Kesehatan;

99

Page 109: Pemb Hukum dan Konflik UU Bid Sektoral_UNSRI

10. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1165A/ MENKES/SK/X/2004 tentang Komisi Akreditasi Rumah Sakit;

11. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1197/ MENKES/SK/X/2004 tentang Standar Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit;

12. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 631/ MENKES/IV/2005 tentang Pengorganisasian Staf Medis dan Komite Medis;

13. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1202/ Men.Kes/SK/VIII/2005 tentang Pedoman Pelaksanaan Pelayanan Kesehatan di Puskesmas, Rujukan Rawat Jalan dan Rawat Inap Kelas III di Rumah Sakit yang Dijamin Pemerintah;

14. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 069/ Menkes/SK/II/2006 tentang Pencantuman Harga Eceran Tertinggi pada Label Obat;

15. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 332/ Men.Kes/SK/V/2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat Miskin;

16. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 496/ MENKES/SK/IV/2006 tentang Pedoman Audit Medis di Rumah Sakit;

17. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 720/ MENKES/SK/IX/2006 tentang Harga Obat Generik;

18. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 125/ Menkes/SK/II/2008 tentang Pedoman Pelaksanaan Jaminan Kesehatan Masyarakat Tahun 2008.

B. Konflik Aturan Hukum Sektor Kesehatan

Secara leksikografi, desentralisasi adalah pembalikan dari konsekuensi

administrasi pada satu pusat sekaligus ”pemberian” kekuasaan kepada daerah. Oleh

karena itu, desentralisasi menunjuk pada distribusi kekuasaan secara teritorial

(spatial), yang umumnya menjadi fokus dalam suatu negara kesatuan. Konsekuensi

hukum desentralisasi, pelaksanaannya dapat dilakukan dengan penyerahan

kewenangan dan/atau urusan kepada Pemerintah Daerah yang lebih rendah

tingkatannya. Pada sisi hukum positif, Pasal 1 UU No. 32/2004 memaknai

desentralisasi kesehatan sebagai penyerahan kewenangan pemerintahan oleh

Pemerintah (Pusat) kepada daerah otonom dalam rangka Negara Kesatuan Republik

Indonesia (NKRI).

Berdasarkan hukumk positif, NKRI telah ”memilih” untuk menyerahkan

sebagian kewenangannya kepada daerah otonom. Kewenangan yang didelegasikan

tersebut sangat luas, sebab UU No. 32/2004 menggunakan sistem residu ketika

menentukan apa saja yang menjadi kewenangan daerah. Dengan sistem residu,

kewenangan-kewenangan pusat telah ditentukan secara jelas terlebih dahulu,

sedangkan sisanya merupakan kewenangan daerah otonom. Oleh sebab itu,

100

Page 110: Pemb Hukum dan Konflik UU Bid Sektoral_UNSRI

kewenangan di bidang kesehatan telah dijadikan kewenangan pemerintah daerah

otonom karena kewenangan itu tidak ditentukan sebgai kewenangan pemerintah

pusat. Hal ini pada satu sisi menguntungkan pemerintah daerah sebab dengan

menggunakan kewenangannya, pemerintah daerah dapat mengatur bidang kesehatan

sesuai aspirasi dan kemampuan yang dimilikinnya. Namun, di sisi lain pemberian

kewenangan yang didasarkan pada teritori ini telah mengakibatkan ”pengkotak-

kotakan” wilayah yang dilakukan oleh pemerintah daerah. Akibatnya,

pelaksanaannya cenderung parsial dan hanya dilakukan pada teritori yang menjadi

wilayah kerja pemerintah daerah yang bersangkutan. Padahal pelaksanaan pelayanan

dibidang kesehatan tidak mengenal batas wilayah (borderless), sehingga perlu

dilakukan secara komprehensif dan lintas batas wilayah. Satu contoh yang

menunjukkan borderless-nya kewenangan di bidang kesehatan adalah masalah

polusi, baik air, suara, maupun limbah. Ketika suara suatu industri yang terletak di

salah satu daerah mengeluarkan limbah yang mempengaruhi kondisi kesehatan di

daerah-daerah lain, pihak pemerintah daerah yang terkena dampak tidak mempunyai

kewenangan untuk menindak industri tersebut karena industri tersebut berkedudukan

di luar yurisdiksinya.130

Selain konflik dalam pengendalian dampak polusi industri lintas batas daerah

sebagaimana ditengarai di atas, ternyata juga terjadi konflik dalam pengawasan

rumah sakit di daerah sebagaimana diungkapkan oleh Laksono Trisnantono merujuk

hasil penelitian mengenai reformasi sistem kesehatan yang dilakukan oleh Pusat

Manajemen Pelayanan Kesehatan FK-UGM, sebagai berikut:

Kasus 1:

Di Kota S, seorang staf di dinas kesehatan kota mengeluh karena puskesmas meminta otonomi. Dalam kenyataan memang sudah terjadi adanya pemberian dana langsung dari pemerintah kota ke puskesma tanpa melalui dinas kesehatan kota. Staf dinas kesehatan Kota S tersebut dengan nada pesimistis menyatakan bahwa apa jadinya dinas kesehatan kota apabila puskesmas menjadi otonom? Apa tugas dinas kesehatan kota di masa depan?

130 Andi Sandi dan Vivi Lignawati. “Desentralisasi dan Perkembangan Peraturan Perundang-

undangan di Bidang Kesehatan: Sebuah Evaluasi Normatif”. Makalah, Disampaikan dalam Seminar Desentralisasi Kesehatan di Indonesia: Apa yang Sudah Dicapai dan Apa yang Belum? Apakah lebih baik Resentralisasi? Tanggal 17-19 Maret 2004 di Fakultas Kedokteran, Universitas Gajah Mada.

101

Page 111: Pemb Hukum dan Konflik UU Bid Sektoral_UNSRI

Kasus 2:

Dalam suatu kegiatan penelitian ke Kabupaten X, ditemukan kepala dinas kesehatan dan direktur rumah sakit daerah dalam rangka berdiskusi mengenai perkembangan rumah sakit sebagai Lembaga Teknis Daerah. Berikut ini kutipan pernyataan dari kepala dinas kesehatan Kabupaten X tentang perkembangan rumah sakit sebagai Lembaga Teknis Daerah: ”Setelah rumah sakit menjadi Lembaga Teknis Daerah, kami sulit masuk ke rumah sakit. Sepertinya direject. Jadi, kami jalan sendiri-sendiri. Seksi rumah sakit di Dinas sulit memeriksa rumah sakit dan kaim tidak tahu memeriksanya dengan dasar apa?”

Adapun kutipan pernyataan dari Direktur rumah sakit daerah Kabupaten X tentang perkembangan rumah sakit sebagai Lembaga Teknis Daerah, sebagai berikut: ”Setelah kami menjadi Lembaga Teknis Daerah, Kepala Dinas mengacuhkan kami. Proyek-proyek pengembangan kelembagaan tidak pernah masuk ke rumah sakit. Peralatan radiologi Puskesmas saat ini malah lebih canggih dibanding rumah sakit karena ada dana dari pusat. Kami tidak kebagian. Rumah sakit seperti tempat pembuangan sampah tenaga kerja manusia. Ya kami sama-sama tahu diri, jangan sampai konflik. Tetap menjaga perasaan masing-masing”. Kasus 3:

Dalam suatu pertemuan antar direktur rumah sakit swasta di Kota M, ada pertanyaan menggelitik mengenai fungsi dinas kesehatan kota dan propinsi. Sebenarnya apa fungsi mereka? Pada intinya direktur rumah sakit swasta berharap bahwa dinas kesehatan dapat membantu mereka dalam pengembangan sumber daya manusia, memberi subsidi, dan meningkatkan mutu pelayanan. Akan tetapi harapan ini terlihat sulit dipenuhi. Salah satu tandanya adalah perhatian dinas kesehatan terhadap rumah sakit tidaklah besar. Hal ini dapat dilihat pada kenyataan bahwa sudah 4 bulan ini seksi pelayanan di dinas kesehatan kosong karena pejabat lama, seorang perawat senior, pensiun dan belum ada orang yang siap menggantikan”131.

Selain itu, berdasarkan laporan hasil Seminar Nasional Desentralisasi

Kesehatan di Indonesia” yang diselenggarakan oleh Universitas Hasanuddin,

Universitas Gajah Mada, Unit Desentralisasi Departemen Kesehatan RI, dan World

Health Organization, di Makassar, pada 2005, dijelaskan ada beberapa hambatan

pelaksanaan desentralisasi kesehatan di Indonesia, yaitu:

131 Laksono Trisnantoro. 2005. Aspek Strategis dalam Manajemen Rumah Sakit. ANDI,

Yogyakarta, hlm. 176.

102

Page 112: Pemb Hukum dan Konflik UU Bid Sektoral_UNSRI

1. Ada problem serius dalam kemampuan dan keterlambatan DEPKES dan DINKES untuk menyusun peraturan yang mendukung desentralisasi;

2. Komitmen pemerintah pusat untuk mengembangkan peraturan dan standar yang mendukung desentralisasi terlihat lemah;

3. Belum dilakukan pembagian urusan secara jelas dalam hubungan pemerintah pusat dan propinsi/kabupaten/kota.

4. Kebijakan kesehatan di Indonesia cenderung menganggap semua daerah sama. 132

Memperhatikan adanya kasus-kasus sebagaimana diungkapkan oleh Laksono

Trisnantoro dan adanya hambatan-hambatan pelaksanaan desentralisasi kesehatan di

Indonesia sebagaimana dijelaskan oleh laporan hasil ”Seminar Nasional

Desentralisasi Kesehatan di Indonesia” di atas, maka dapat disimpulkan bahwa ada

banyak konflik yang terjadi di dinas kesehatan dan rumah sakit di daerah yang perlu

segera diatasi agar pelaksanaan desentralisasi di bidang kesehatan dapat terwujud

sesuai arahan normatif UU No. 32/2004 dan UU No. 33/2004.

C. Isu Hukum Aktual dalam Konflik Aturan Hukum Sektor Kesehatan

Pelaksanaan desentralisasi di bidang kesehatan berdasarkan UU No. 32/2004

dan UU No. 33/2004 hanyalah suatu konsep yang sangat ideal. Idealnya, konsep ini

disebabkan tidak adanya kesiapan Pemerintah Pusat c.q. Departemen Kesehatan

maupun Pemerintah Daerah untuk melaksanakan ”hasil kesepakatan nasional” dalam

pelaksanaan desentralisasi di bidang kesehatan. Pada tingkat nasional, Pemerintah

Pusat c.q. Departemen Kesehatan terlihat telah berupaya untuk mempertahankan

watak sentralisasi dalam pelaksanaan desentralisasi di bidang kesehatan.

Memperhatikan PP yang menjabarkan desentralisasi, dapat diuraikan bahwa

dalam kurun waktu lebih dari 2 (dua) tahun, terhitung sejak pembentukan UU No.

32/2004 sampai dengan tahun 2007 desentralisasi kesehatan masih mendasarkan

pada PP No. 25/2000 dan PP No. 8/2003 yang pembentukannya masih mengacu

kepada UU No. 22/1999, yang sudah tidak sesuai dengan perkembangan

ketatanegaraan dan otonomi daerah. Saat ini, pascatahun 2007, ternyata Menkes

132 Tim Perumus. “Perubahan Fungsi Pemerintah dalam Sektor Kesehatan di Berbagai Tingkat

Setelah Penetapan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004”, Laporan, “Seminar Nasional 4 Tahun Desentralisasi Kesehatan di Indonesia”, Diselenggarakan oleh UNHAS, UGM, Unit Desentralisasi DEPKES RI, dan WHO, Makassar, 7-8-9 Juni 2005, hlm. 5-6.

103

Page 113: Pemb Hukum dan Konflik UU Bid Sektoral_UNSRI

belum juga menerapkan kebijakan dalam bentuk norma, standar, prosedur, dan

kriteria perizinan, standarisasi, akreditasi, dan sertifikasi di bidang kesehatan yang

diperintahkan oleh Pasal 1 UU No. 32/2004 jo. Pasal 2 ayat (4) huruf b dan Pasal 11

PP No. 38/2007 jo. Pasal 4 PERMENKES No. 1575/2005,133 sehingga menjadi

hambatan normatif bagi pemerintahan daerah Propinsi/Kabupaten/Kota dalam

menyusun Perda dan Kepkada yang substansinya secara teknis (untuk Perda

Propinsi) dan sangat teknis (untuk Perda Kota) menjabarkan fungsi dan

wewenangnya di bidang kesehatan.

Upaya Pemerintah Pusat c.q. Departemen Kesehatan mempertahankan watak

sentralisasi dalam pelaksanaan desentralisasi di bidang kesehatan itu dilakukan

melalui beberapa aturan kebijakan sebagai aturan pelaksana desentralisasi di bidang

kesehatan yang secara tidak langsung mengurangi kewenangan Pemerintah Daerah,

antara lain, yaitu:

1. Ketidakjelasan dan Ketidakkonsistenan Aturan Hukum dan Kebijakan

Pola Tarif Pelayanan Kesehatan

Pasal 2 angka 3 Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 282/

MENKES/SK/III/1993 tentang Pola Tarif Rumah Sakit Swasta yang mengharuskan

fungsi sosial dalam bentuk pemberian keringanan/pembebasan biaya pelayanan

rumah sakit diatur oleh direktur rumah sakit swasta sampai saat ini ketentuan atau

pedomannya ternyata belum ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pelayanan Medik

Departemen Kesehatan RI.

2. Ketidakkonsistenan dan Keterlambatan Aturan Hukum dan Kebijakan

Pengendalian Mutu dan Biaya Pelayanan Kesehatan

Terdapat ketidakkonsistenan aturan kebijakan sebagai peraturan pelaksana

pengendalian mutu dan biaya pelayanan kesehatan, karena Pasal 71 UU No. 29/2004

jo. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 496/ MENKES/SK/IV/2006 tentang

Pedoman Audit Medis di Rumah Sakit tidak memuat sanksi hukum yang tegas

terhadap rumah sakit yang tidak mengendalikan mutu dan biaya pelayanan

133 Keharusan bagi PEMPUS untuk menetapkan kebijakan pengawasan dalam bentuk NSPK perizinan, standarisasi, akreditasi dan sertifikasi pelayanan kesehatan RSS-BHPT sebenarnya sudah diperintahkan oleh PP yang lama, yaitu Pasal 9 ayat (2) PP No. 25/2000, yang seharusnya sudah ditetapkan selambat-lambatnya dalam waktu 6 (enam) bulan sejak pembentukan PP No. 25/2000 tersebut.

104

Page 114: Pemb Hukum dan Konflik UU Bid Sektoral_UNSRI

kesehatan. Selain itu, belum ada pedoman berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan

yang menjabarkan Pasal 71 UU No. 29/2004 jo. Keputusan Menteri Kesehatan

Nomor 496/ MENKES/SK/IV/2006 tentang Pedoman Audit Medis di Rumah Sakit

sebagai acuan bagi aparatur hukum pada Direktur Jenderal Pelayanan Medik

Departemen Kesehatan RI dan Dinas Kesehatan Propinsi/Kota/Kabupaten, serta

Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI) setempat

dalam melakukan audit medis eksternal terhadap rumah sakit.

3. Keterlambatan Aturan Hukum dan Kebijakan Fungsi Sosial Pelayanan

Kesehatan

Bentuk-bentuk fungsi sosial pelayanan kesehatan rumah sakit swasta yang

dijabarkan dalam Pasal 4 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 378/

MENKES/PER/V/1993 tentang Pelaksanaan Fungsi Sosial Rumah Sakit Swasta,

ternyata mengandung kelemahan normatif jo. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor

1173/ MENKES/PER/X/2004 tentang Rumah Sakit Gigi dan Mulut jis. Peraturan

Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara

Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota jis. UU No.

32/2004 telah memberikan wewenang kepada Kepala Dinas Kesehtan Propinsi

setempat untuk menetapkan ketentuan besaran tarif pelayanan kelas III/kelas

terendah bagi masyarakat kurang dan tidak mampu, setelah berkonsultasi dengan

Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI) setempat, tetapi dalam

praktiknya tidak pernah direalisasikan.

Selanjutnya, terkait dengan Pasal 5 angka 2 Peraturan Menteri Kesehatan

Nomor 378/ MENKES/PER/V/1993 tentang Pelaksanaan Fungsi Sosial Rumah Sakit

Swasta yang mengharuskan RSS, termasuk RSS-BHPT, dalam melaksanakan

pembebasan atau keringanan biaya pelayanan kesehatan dalam rangka fungsi

sosialnya berdasarkan Surat Keterangan Kurang dan Tidak Mampu (SKTM) atau

bukti lain yang mendukung, juga terdapat kelemahan normatif, karena tidak ada

pedoman berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan yang menjabarkan pejabat/badan

berwenang dan mekanisme pemberian dan penggunaan SKTM atau bukti lain yang

mendukung tersebut.

105

Page 115: Pemb Hukum dan Konflik UU Bid Sektoral_UNSRI

4. Keterlambatan dan Ketidakkonsistenan Aturan Hukum dan Kebijakan

Perizinan

Berdasarkan Pasal 4 huruf g Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1575/

MENKES/PER/XI/2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Kesehatan,

yang diperkuat oleh Pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang

Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan

Pemerintah Kabupaten/Kota, Menteri Kesehatan mempunyai wewenang

menetapkan standar perizinan rumah sakit yang dilaksanakan oleh Pemerintah

Daerah. Namun, standar perizinan rumah sakit, ternyata belum ditetapkan oleh

Menteri Kesehatan.

Menteri Kesehatan justru menerbitkan Surat Edaran Nomor

725/MENKES/E/VI/2004 yang isi pokoknya menyatakan bahwa sambil menunggu

proses penyelesaian Revisi, Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 920/

MENKES/PER/XII/1986 tentang Upaya Pelayanan Kesehatan Swasta di Bidang

Medik, maka perizinan rumah sakit ditentukan sebagai berikut: izin mendirikan

adalah wewenang Pemerintah Kabupaten/Kota, izin penyelenggaraan sementara

adalah wewenang Pemerintah Propinsi, dan izin penyelenggaraan adalah wewenang

Pemerintah Pusat. “Semangat resentralisasi” dalam Surat Edaran Menteri Kesehatan

ini mengandung ketidakkonsistenan, ketidaksinkronan, dan menimbulkan konflik

kewenangan, karena menyimpangi asas desentralisasi kesehatan dalam UU No.

32/2004.

5. Ketidakkonsistenan Aturan Hukum dan Kebijakan Akreditasi

Secara yuridis pembentukan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1165A/

MENKES/SK/X/2004 tentang Komisi Akreditasi Rumah Sakit (selanjutnya

disingkat KEPMENKES No. 1165A/2004) tidak mengacu kepada UU No. 22/1999

dan PP No. 25/2000 (yang masih berlaku saat itu). Ini berarti bahwa Komisi

Akreditasi Rumah Sakit (KARS) yang dibentuk berdasarkan KEPMENKES No.

1165A/2004, memang mengabaikan ”semangat desentralisasi”, yang menghendaki

agar wewenang melaksanakan akreditasi rumah sakit diserahkan kepada Pemerintah

Kabupaten/Kota.

106

Page 116: Pemb Hukum dan Konflik UU Bid Sektoral_UNSRI

Menurut buku Pedoman Akreditasi Rumah Sakit (PARSI),134 keterlibatan

Dinas Kesehatan Propinsi dalam pembinaan praakreditasi rumah sakit hanya bersifat

”fakultatif”, sedangkan keterlibatan Dinas Kesehatan Propinsi dan Dinas Kesehatan

Kabupaten/Kota dalam pembinaan pascaakreditasi rumah sakit meskipun bersifat

”imperatif” tetapi fungsinya hanya ”asistensi” saja terhadap tugas pokok KARS.

Selain itu, pelibatan Dinas Kesehatan Propinsi/Kabupaten/Kota dalam pembinaan

pra dan pascaakreditasi rumah sakit tidak berdasar hukum yang kuat, tetapi hanya

berdasarkan buku PARSI.

6. Ketidakjelasan dan Keterlambatan Aturan Hukum dan Kebijakan Audit

Medis Rumah Sakit

Ketidakjelasan ruang lingkup dan rincian fungsi dan tugas Pemerintah Pusat,

Pemerintah Daerah, Konsil Kedokteran Indonesia (KKI), Ikatan Dokter Indonesia

(IDI) dan Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), dalam pelaksanaan audit medis

eksternal di rumah sakit yang diatur dalam Pasal 71, Pasal 72 dan Pasal 74 UU No.

29/2004, ternyata tidak dijelaskan dengan Peraturan Menteri Kesehatan. Selain itu,

audit medis eksternal sifatnya hanya ”fakultatif”, yang pelaksanaannya tergantung

kepada sikap normatif Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, KKI, IDI dan PDGI.

Selanjutnya, monitoring dan evaluasi pelaksanaan audit medis eksternal yang

diintegrasikan dengan akreditasi rumah sakit oleh KARS berdasarkan Keputusan

Menteri Kesehatan Nomor 496/ MENKES/SK/IV/2006 tentang Pedoman Audit

Medis di Rumah Sakit, telah menyimpangi ”asas desentralisasi” dalam UU No.

32/2004, yang menghendaki agar wewenang melaksanakan akreditasi rumah sakit

diserahkan kepada Pemerintah Kabupaten/Pemerintah Kota.

7. Ketidakjelasan dan Ketidakkonsistenan Aturan Hukum dan Kebijakan

Sanksi Administrasi

Menurut Pasal 22 jis Pasal 23 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 512/

MENKES/PER/IV/2007 tentang Izin Praktik dan Pelaksanaan Kedokteran jo. Pasal

134 Tim Perumus. 2007. Pedoman Akreditasi Rumah Sakit di Indonesia, Komisi Akreditasi

Rumah Sakit, DITJEN YANMEDIK-DEPKES R.I. Jakarta, hlm. 4, 5 dan 29.

107

Page 117: Pemb Hukum dan Konflik UU Bid Sektoral_UNSRI

77 UU No. 23/1992 jo. Pasal 71 UU No. 29/2004, Kepala Dinas Kesehatan

Kabupaten/Kota baru dapat mencabut Surat Izin Praktik (SIP) dokter jika

pelanggaran kewajiban-kewajiban hukumnya dalam UU No. 23/1992 dan UU No.

29/2004 berikut aturan kebijakan sebagai peraturan pelaksananya, telah terbukti

berdasarkan putusan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI).

Artinya, pencabutan SIP dokter oleh Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota hanya

bersifat ”deklaratif”, tidak konstitutif.

Jika MKDKI belum terbentuk baik di tingkat pusat maupun di tingkat propinsi,

atau MKDKI telah terbentuk di tingkat pusat tetapi belum terbentuk di tingkat

propinsi, maka berdasarkan Pasal 83 UU No. 29/2004, Kepala Dinas Kesehatan

Propinsi di Tingkat Pertama dan Menteri Kesehatan di Tingkat Banding berwenang

memeriksa dan memutus kasus pelanggaran kewajiban hukum oleh dokter

berdasarkan pertimbangan Tim yang terdiri dari unsur-unsur profesi yang dibentuk

oleh Kepala Dinas Kesehatan Propinsi dan Menteri Kesehatan. Namun, kelemahan

normatif timbul, karena: pertama, terdapat ketidakjelasan fungsi dan tugas para

pihak dalam proses pembuktian pelanggaran kewajiban hukum oleh dokter dan

pengenaan sanksi administrasinya; kedua, Tim yang terdiri dari unsur-unsur profesi

itu sifatnya ”aksidental”, dan ”pasif”, yang hanya (akan) dibentuk oleh Kepala Dinas

Kesehatan Propinsi dan Menteri Kesehatan jika ada pengaduan dari setiap orang

yang mengetahui atau kepentingannya dirugikan karena pelanggaran kewajiban

hukum oleh dokter.

Selanjutnya, terhadap rumah sakit yang melanggar kewajiban-kewajiban

hukum dalam UU No. 23/1992 dan UU No. 29/2004 berikut aturan kebijakan

sebagai peraturan pelaksananya, maka berdasarkan Pasal 77 UU No. 23/1992, dapat

dikenakan sanksi administrasi oleh Pemerintah. Namun, sanksi administrasi yang

diatur dalam menurut Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 282/

MENKES/SK/III/1993 tentang Pola Tarif Rumah Sakit Swasta, Keputusan Menteri

Kesehatan Nomor 496/ MENKES/SK/IV/2006 tentang Pedoman Audit Medis di

Rumah Sakit, Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 378/ MENKES/PER/V/1993

tentang Pelaksanaan Fungsi Sosial Rumah Sakit Swasta, dan Keputusan Menteri

Kesehatan Nomor 1197/ MENKES/SK/X/2004 tentang Standar Pelayanan Farmasi

di Rumah Sakit, adalah wewenang Menteri Kesehatan c.q. Direktur Jenderal

108

Page 118: Pemb Hukum dan Konflik UU Bid Sektoral_UNSRI

Pelayanan Medik untuk mengenakannya, mengandung ketidakkonsistenan dengan

”asas desentralisasi” dalam UU No. 32/2004 yang menghendaki agar wewenang

melaksanakan pengawasan berikut pengenaan sanksi administrasinya diserahkan

kepada Pemerintah Kabupaten/Kota.

8. Keterlambatan Penjabaran Fungsi dan Wewenang Pemerintah Daerah

Sektor Kesehatan dalam Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah

Terdapat keterlambatan Pemerintah Daerah Propinsi/Kota/Kabupaten

membentuk Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah yang menjabarkan

fungsi dan wewenangnya di bidang kesehatan dikarenakan norma, standar, prosedur

dan kriteria perizinan, standarisasi, akreditasi dan sertifikasi di bidang kesehatan

yang menjadi acuan hukumnya ternyata belum ditetapkan oleh Pemerintah Pusat c.q.

Menteri Kesehatan, disebabkan oleh ketidakkonsistenan Pemerintah Pusat

menegakkan ”asas desentralisasi” dalam UU No. 32/2004 dan Peraturan Menteri

Kesehatan Nomor 1575/ MENKES/PER/XI/2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja

Departemen Kesehatan PERMENKES No. 1575/2005, yang kemudian diperkuat

oleh Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan

Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah

Kabupaten/Pemerintah Kota.

9. Kelemahan Struktur dan Kapasitas Kelembagaan Hukum (Pemerintah)

Sektor Kesehatan

Fungsi steering dan regulating Depkes, dalam arti mengarahkan dan

menetapkan kebijakan kesehatan dalam bentuk NSPK mengacu asas desentralisasi,

dalam UU No. 32/2004 ternyata belum tercermin dalam struktur organisasi Depkes

yang ditetapkan dalam Pasal 5 Permenkes No. 1575/2005. Meskipun ada Staf Ahli

Menteri Bidang Peningkatan Kapasitas Kelembagaan dan Desentralisasi, namun

perubahan yang bermakna belum terjadi. Hingga kini, direktorat jenderal khusus

yang berwenang dan bertanggung jawab atas kebijakan dan strategi desentralisasi

kesehatan belum dibentuk dalam struktur organisasi Depkes. Padahal, ada 2 (dua)

fungsi penting Depkes yang memerlukan perubahan struktur Depkes terkait dengan

109

Page 119: Pemb Hukum dan Konflik UU Bid Sektoral_UNSRI

kebijakan dan strategi desentralisasi kesehatan, yaitu: 1) pembinaan dan pengawasan

atas penyelenggaraan OTODA yang meliputi pemberian pedoman, bimbingan,

pelatihan, arahan, dan supervisi di bidang kesehatan; dan 2) penyelesaian

perselisihan antar Propinsi di bidang kesehatan.

Azrul Azwar, dalam kapasitasnya sebagai Dirjen Kesmas Depkes-RI,

menjelaskan bahwa sebenarnya sudah ada wacana mengubah struktur Depkes terkait

dengan desentralisasi kesehatan, namun hingga kini belum ada action yang nyata.

Satu-satunya perubahan struktur Depkes terkait dengan desentralisasi kesehatan,

adalah pembentukan Unit Desentralisasi untuk mendukung keberhasilan

desentralisasi kesehatan di tingkat Propinsi dan Kabupaten/Kota.135 Namun,

kelemahannya, kedudukan Unit Desentralisasi hanya sebagai unit nonstruktural dan

bersifat ad-hoc (untuk periode 1 tahun saja), yang dibentuk berdasarkan

KEPMENKES, sehingga perlu terus dipantau dan dievaluasi oleh Menkes, guna

ditetapkan tindak lanjut untuk tahun berikutnya.

Selain itu, terdapat temuan beberapa kelemahan struktur dan kapasitas (daya

dukung) kelembagaan hukum (pemerintah) di bidang kesehatan dalam rangka

otonomi daerah, di Indonesia, yaitu:

1. Terjadi perubahan radikal di propinsi dan kabupaten/kota dengan ditandai merger Kanwil dan DINKES Propinsi, serta Kandep dan Dinkes Kabupaten-Kota. Namun, tidak ada perubahan bermakna dalam struktur DEPKES, sehingga tidak mendukung pelaksanaan kebijakan desentralisasi.

2. Kapasitas DepKes RI untuk mengelola anggaran pusat menjadi terbatas karena sudah tidak ada lagi Kanwil.

3. Belum ada pembinaan sistematis, pemberdayaan dan pelatihan staf DINKES propinsi dan Kab/Kota agar mampu menjalankan urusannya dalam konteks desentralisasi. Yang terjadi adalah situasi saling curiga, komunikasi yang sedikit mengenai masalah pembagian urusan, bahkan kompetisi yang menimbulkan konflik.

4. Ada pihak dan individu yang mendukung kebijakan desentralisasi, ada yang netral, dan ada yang menentang kebijakan ini.136

Sampai kini, struktur pemerintahan yang sangat sentralistik masih tercermin di

sektor kesehatan yang masih didominasi oleh Badan Perencanaan Pembangunan

Nasional, Departemen Kesehatan, Departemen Keuangan, dan Departemen Dalam

135 Azrul Azwar. “Peran DEPKES di Era Desentralisasi Kesehatan”, Manajemen, Volume III/02/2005, hlm. 7, dalam www.desentralisasi-kesehatan.net/buletin.php., diakses tanggal 15 Januari 2005.

136 Tim Perumus. Op. cit.

110

Page 120: Pemb Hukum dan Konflik UU Bid Sektoral_UNSRI

Negeri. Selain itu, sistem pelayanan kesehatan nasional, dengan segala keterbatasan

sumber dayanya, tidak ada saling keterkaitan antarprogram dan unit dalam

Departemen Kesehatan sendiri, dan antarunit di pusat dan daerah, sehingga tidak

berkerja sebagai suatu sistem, tetapi justru saling berkompetisi untuk mempengaruhi

daerah.137

Struktur organisasi dinas kesehatan-dinas kesehatan ternyata memiliki

kelemahan supratruktural, yaitu tidak/belum dibentuknya Bagian atau Subbagian

Hukum, yang tentunya dapat menghambat upaya hukum Pemerintah Daerah dalam

merancang, membentuk, mengawasi dan mengevaluasi Peraturan Daerah dan

Keputusan Kepala Daerah di bidang kesehatan. Kelemahan supratruktural itu, juga

terkait dengan keterbatasan jumlah dan kualifikasi sumber daya manusia di bidang

hukum kesehatan serta ilmu dan teknologi kesehatan, termasuk segi-segi teknis

perumahsakitan, sehingga menemui kesulitan dalam menetapkan persyaratan teknis

dalam Peraturan Daerah apalagi Keputusan Kepala Daerah yang menjabarkan fungsi

dan wewenang pengawasan Pemerintah Daerah Propinsi/Kabupaten/Kota di bidang

perizinan, standarisasi, akreditasi dan sertifikasi di bidang kesehatan.138

Dwidjo Susono, dalam kapasitasnya sebagai Staf Ahli Menkes Bidang

Peningkatan Kapasitas Kelembagaan dan Desentralisasi, menegaskan bahwa

hambatan dan tantangan dalam penerapan kebijakan dan strategi desentralisasi

kesehatan, adalah:

1. Komitmen dari semua pihak terkait; 2. Kelangsungan dan keselarasan pembangunan kesehatan; 3. Ketersediaan dan pemerataan SDM yang berkualitas; 4. Kecukupan pembiayaan kesehatan; 5. Kelengkapan sarana dan prasarana kesehatan; 6. Kejelasan pembagian kewenangan dan pengaturan kelembagaan; 7. Kemampuan manajemen kesehatan dalam penerapan desentralisasi.139

Selain itu, Dwidjo Susono menjelaskan bahwa rendahnya wewenang antara

pusat dan daerah, rendahnya kerja sama antara pusat dan daerah, rendahnya

137 Soedarmono Soejitno, Ali Alkatiri, Emil Ibrahim. 2002. Reformasi Perumahsakitan

Indonesia. PT. Grasindo, Jakarta, hlm. 191. 138 Muhammad Syaifuddin. 2009. Menggagas Hukum Humanistis-Komersial: Upaya

Perlindungan Hak Masyarakat Kurang dan Tidak Mampu atas Pelayanan Kesehatan Rumah Sakit Swasta Berbadan Hukum Perseroan Terbatas. Bayu Media, Malang, hlm. 197.

139 Dwidjo Susono (Staf Ahli MENKES Bidang Peningkatan Kapasitas Kelembagaan dan Desentralisasi), “Kebijakan & Strategi Desentralisasi Kesehatan dan KW/SPM”, Makalah, Disampaikan dalam Rapat Koordinasi Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Timur, pada 21 Juni 2007, di Surabaya, hlm. 32.

111

Page 121: Pemb Hukum dan Konflik UU Bid Sektoral_UNSRI

kapasitas aparatur pemerintah, terbatasnya keuangan, dan otonomi menjadi masalah

yang harus dihadapi oleh desentralisasi di Indonesia.140

Penjelasan yang sama juga dikemukakan oleh Bachtiar Oesman, dalam

kapasitasnya sebagai Direktur Usaha dan Pemasaran Lembaga Asosiasi Dinkes

Indonesia, yang menjelaskan bahwa perubahan dari sentralistik ke desentralistik

membawa perubahan yang mendasar kepada Dinkes. Untuk itu, perlu adanya

peningkatan pengetahuan, keterampilan dan kompetensi kepada kepala Dinkes dan

staf agar dapat meningkatkan kinerja Dinkes.141

Jadi, perubahan fungsi dan wewenang pemerintah pusat dan pemerintah daerah

belum ditindaklanjuti dengan perubahan dan penguatan struktur, SDM, dana, sarana

dan prasarana pada Depkes di pusat dan Dinkes Propinsi/Kabupaten/Kota di daerah,

sehingga menjadi kendala strultur dan kapasitas kelembagaan hukum (pemerintah) di

bidang kesehatan, yang dapat menghambat upaya hukum melindungi hak setiap

warga negara atas derajat kesehatan yang optimal.

D. Asas-asas Hukum yang Mendasari Fungsi dan Wewenang Pemerintah

dalam Otonomi Daerah Sektor Kesehatan

Fungsi dan wewenang pemerintah dalam otonomi daerah di bidang kesehatan

terikat pada asas-asas hukum dalam UU No. 32/2004 yang memberikan otonomi

daerah seluas-luasnya sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 18 ayat (2) dan ayat (5)

UUD NRI Tahun 1945.

Pemberian otonomi seluas-luasnya pada daerah, menurut Penjelasan Umum

angka 1 huruf a UU No. 32/2004 didasarkan alasan fundamental, yaitu:

”...mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat....daerah diharapkan mampu meningkatkan daya saing dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan, dan kekhususan serta potensi dan keanekaragaman dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia”.

140 Ibid. 141 Bachtiar Oesman. “Pengembangan Eksekutif Kepala Dinas Kesehatan dalam Upaya

Peningkatan Kinerja Dinas Kesehatan Daerah di Era Desentralisasi”. Makalah, Disampaikan pada Seminar Desentralisasi Bidang Kesehatan: ”Reformasi Sektor Kesehatan dalam Desentralisasi di Indonesia”, Bandung, 6 Juni 2006.

112

Page 122: Pemb Hukum dan Konflik UU Bid Sektoral_UNSRI

Asas otonomi daerah dalam UU No, 32/2004, menurut Penjelasan Umumnya,

adalah ”prinsip otonomi seluas-luasnya”, dalam arti daerah diberikan kewenangan

mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan di luar yang menjadi urusan

Pemerintah Pusat yang ditetapkan dalam UU No. 32/2004.

Berdasarkan Pasal 2 ayat (2) jo. Pasal 10 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU

No. 32/2004, ditentukan bahwa kecuali politik luar negeri, pertahanan, keamanan,

yustisi, moneter dan fiskal nasional. serta agama sebagai urusan pemerintahan yang

menjadi urusan Pemerintah Pusat, maka Pemerintah Daerah mengatur dan mengurus

sendiri urusan pemerintahan menurut “asas otonomi dan tugas pembantuan”,

sehingga ada keseimbangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dan

mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat berdasarkan keadilan. Adapun

makna “asas otonomi dan tugas pembantuan” menurut Pasal 2 ayat (2) UU No.

32/2004 adalah “pelaksanaan urusan pemerintahan oleh daerah dapat

diselenggarakan secara langsung oleh pemerintahan daerah itu sendiri dan dapat pula

penugasan oleh Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Kabupaten dan Pemerintah

Kota dan Desa atau penugasan dari Pemerintah Kabupaten dan Pemerintah Kota ke

Desa”.

Selanjutnya, sesuai dengan Pasal 12 ayat (1) jis. Pasal 11 ayat (3) UU No.

32/2004, maka penyelenggaraan urusan pemerintahan berdasarkan “asas

desentralisasi”, yang maknanya menurut pasal 1 angka 7 UU No. 32/2004, yaitu

“penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah Pusat kepada daerah otonom

untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan

Republik Indonesia”.

Kini, desentralisasi, khususnya desentralisasi di bidang kesehatan, secara tegas

telah dinyatakan dalam Pasal 13 ayat (1) huruf e UU No. 32/2004 yang menetapkan

“penanganan bidang kesehatan” sebagai 1 (satu) di antara 16 (enam belas) urusan

wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah propinsi, dan Pasal 14 ayat

(2) huruf e UU No. 32/2004 yang menetapkan “penanganan bidang kesehatan”

sebagai 1 (satu) di antara 16 (enam belas) urusan wajib yang menjadi kewenangan

pemerintahan daerah kabupaten/kota.

Kemudian, sesuai dengan Pasal 14 ayat (1) huruf e UU No. 32/2004

penyelenggaraan penanganan bidang kesehatan oleh Pemerintah Daerah didasarkan

113

Page 123: Pemb Hukum dan Konflik UU Bid Sektoral_UNSRI

pada asas desentralisasi dengan peletakan titik berat otonomi di daerah

kabupaten/kota.

Penanganan bidang kesehatan sebagai urusan wajib pemerintahan yang

menjadi kewenangan pemerintahan daerah propinsi/kabupaten/kota, menurut Pasal

11 ayat (1) UU No. 32/2004 dan Penjelasannya, harus memperhatikan “keserasian

hubungan antar susunan pemerintahan”, dalam arti keserasian hubungan antar

propinsi dengan propinsi, kabupaten/kota dengan kabupaten/kota, atau propinsi

dengan kabupaten/kota.

Jadi, asas otonomi, asas desentralisasi, dan asas keserasian, adalah asas-asas

hukum yang menjadi landasan filosofis fungsi dan wewenang pemerintah dalam

otonomi daerah di bidang kesehatan.

E. Pembagian Fungsi dan Wewenang Pemerintah Pusat dan Pemerintah

Daerah dalam Otonomi Daerah Sektor Kesehatan

Berdasarkan Pasal 76 dan Pasal 78 UU No. 23/1992, “Pemerintah” berwenang

melakukan pengawasan dan pembinaan di bidang kesehatan. “Pemerintah” yang

dimaksud dalam Pasal 76 dan Pasal 78 UU No. 23/1992, adalah “Pemerintah Pusat”

menurut Pasal 1 angka 1 jo. Pasal 238 (yang memuat asas hukum peralihan) UU No.

32/2004 jis. Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang

Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Propinsi,

dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota (selanjutnya disingkat PP No. 38/2007),

yaitu “Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara

Republik Indonesia beserta para Menteri sebagaimana dimaksud dalam UUD NRI

Tahun 1945”.

Khusus di bidang kesehatan, Menteri Kesehatan sebagai unsur pelaksana

Pemerintah Pusat di bidang kesehatan, berdasarkan Pasal 2 ayat (4) huruf b jo. Pasal

5 ayat (3) PP No. 38/2007, mempunyai wewenang berdasarkan fungsi mengatur

(regulating) dan mengarahkan (steering), dalam arti menetapkan kebijakan di bidang

kesehatan dalam bentuk norma, standar, prosedur, dan kriteria (selanjutnya disingkat

NSPK) yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan, yang antara lain,

mencakup:

114

Page 124: Pemb Hukum dan Konflik UU Bid Sektoral_UNSRI

1. registrasi, akreditasi, sertifikasi sarana kesehatan;

2. pemberian izin sarana kesehatan tertentu;

3. registrasi, akreditasi, dan sertifikasi tenaga kesehatan skala nasional;

4. pemberian izin tenaga kesehatan asing;

5. registrasi, akreditasi, dan sertifikasi komoditi kesehatan; dan

6. pembinaan, monitoring, evaluasi dan pengawasan skala nasional.

Sesuai dengan Pasal 4 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor

1575/MENKES/PER/XI/2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen

Kesehatan (selanjutnya disingkat Permenkes No. 1575/2005) Departemen Kesehatan

tidak memiliki wewenang di bidang kesehatan yang bersifat operasional, dalam arti

Departemen Kesehatan tidak berfungsi sebagai pelaksana (operating), tetapi

berfungsi sebagai pengatur dan pengarah, sehingga Depertemen Kesehatan hanya

memiliki wewenang menetapkan:

1. persyaratan sertifikasi tenaga profesional/ahli serta persyaratan jabatan di

bidang kesehatan;

2. standar pemberian izin oleh daerah di bidang kesehatan;

3. persyaratan kualifikasi usaha jasa di bidang kesehatan;

4. pedoman standar pendidikan dan pendayagunaan tenaga kesehatan;

5. pedoman pembiayaan pelayanan kesehatan;

6. pedoman penapisan, pengembangan dan penerapan teknologi kesehatan;

7. pedoman sertifikasi teknologi kesehatan dan gizi; dan

8. standar akreditasi sarana dan prasarana kesehatan.

Selanjutnya, Pemerintah Propinsi sebagai daerah otonom menurut Pasal 2 ayat

(4) huruf b, ayat (5) dan ayat (6) jo. Pasal 11 PP No. 38/2007, memiliki wewenang di

bidang kesehatan berdasarkan fungsi melaksanakan sesuai dengan kebijakan

kesehatan dalam bentuk NSPK yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat, antara lain,

yaitu:

5. registrasi, akreditasi, sertifikasi sarana kesehatan sesuai peraturan

perundang-undangan;

6. pemberian rekomendasi izin sarana kesehatan tertentu yang diberikan oleh

Pemerintah Pusat;

115

Page 125: Pemb Hukum dan Konflik UU Bid Sektoral_UNSRI

7. pemberian izin sarana kesehatan rumah sakit swasta khusus dan rumah

sakit swasta yang setara dengan rumah sakit pemerintah Kelas B

nonpendidikan;

8. registrasi, akreditasi, sertifikasi tenaga kesehatan tertentu skala propinsi

sesuai peraturan perundang-undangan;

9. pemberian rekomendasi izin tenaga kesehatan asing;

10. sertifikasi sarana produksi dan distribusi alat kesehatan; dan

11. pembinaan, monitoring, evaluasi dan pengawasan skala propinsi.

Kemudian, Pemerintah Kabupaten/Pemerintah Kota sebagai daerah otonom

menurut Pasal 2 ayat (4) huruf b, ayat (5) dan ayat (6) jo. Pasal 11 PP No. 38/2007,

memiliki wewenang di bidang kesehatan berdasarkan fungsi melaksanakan sesuai

dengan kebijakan di bidang kesehatan dalam bentuk NSPK yang ditetapkan oleh

Pemerintah Pusat, antara lain, yaitu: 1) registrasi, akreditasi, sertifikasi sarana

kesehatan sesuai peraturan perundang-undangan; 2) pemberian rekomendasi izin

sarana kesehatan tertentu yang diberikan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah

Propinsi; 3) pemberian izin sarana kesehatan meliputi rumah sakit swasta yang setara

dengan rumah sakit pemerintah Kelas C dan Kelas D; 4) registrasi, akreditasi,

sertifikasi tenaga kesehatan tertentu skala kabupaten/kota sesuai peraturan

perundang-undangan; 5) pemberian izin praktik tenaga kesehatan tertentu; 6)

sertifikasi alat kesehatan; dan 7) pembinaan, monitoring, evaluasi dan pengawasan

skala kabupaten/kota.

Jika rumusan Pasal 7 dan Pasal 14 Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun

2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah (selanjutnya disingkat PP No. 41/2007)

dikaji dalam hubungannya dengan fungsi dan wewenang Pemerintah Daerah di

bidang kesehatan, maka Dinas Kesehatan Propinsi dan Dinas Kesehatan

Kabupaten/Kota sebagai organisasi perangkat daerah Propinsi dan Kabupaten/Kota

di bidang kesehatan, mempunyai wewenang di bidang kesehatan berdasarkan fungsi

melaksanakan saja yang berpedoman kepada NSPK yang ditetapkan oleh Menteri

Kesehatan selaku unsur pelaksana Pemerintah Pusat di bidang kesehatan, sesuai

dengan PP No. 38/2007 dan Permenkes No. 1575/2005. Dinas Kesehatan Propinsi

dan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota juga memiliki wewenang di bidang kesehatan

berdasarkan fungsi mengatur tetapi “terbatas”, dalam arti hanya merumuskan

116

Page 126: Pemb Hukum dan Konflik UU Bid Sektoral_UNSRI

kebijakan yang bersifat teknis sebagai penjabaran dari kebijakan di bidang kesehatan

yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan.

Pembagian wewenang Pemerintah di bidang kesehatan berdasarkan fungsi

mengatur, mengarahkan, dan melaksanakan, sebagaimana dijelaskan di atas, dapat

ditabulasikan dalam tabel 7.

Tabel 7. Pembagian Wewenang Pemerintah Sektor Kesehatan Berdasarkan Fungsi Mengatur, Mengarahkan dan Melaksanakan

No. Pemerintah Fungsi dan Wewenang di Bidang Kesehatan 1. Pusat

Pada dasarnya memiliki wewenang di bidang kesehatan berdasarkan fungsi mengatur dan mengarahkan, yaitu hanya menetapkan kebijakan di bidang kesehatan saja dalam bentuk NSPK. Pada dasarnya hanya memiliki wewenang di bidang kesehatan berdasarkan fungsi melaksanakan saja, dalam arti melaksanakan wewenang di bidang kesehatan sesuai dengan kebijakan di bidang kesehatan dalam bentuk NSPK yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.

2. Propinsi

Juga memiliki wewenang di bidang berdasarkan fungsi mengatur, tetapi terbatas pada perumusan kebijakan di bidang kesehatan yang bersifat “teknis” sebagai penjabaran lebih lanjut dari kebijakan di bidang kesehatan dalam bentuk NSPK yang ditetapkan Pemerintah Pusat. Pada dasarnya memiliki wewenang di bidang kesehatan berdasarkan fungsi melaksanakan saja, dalam arti melaksanakan wewenang di bidang kesehatan sesuai dengan kebijakan di kesehatan dalam bentuk NSPK yang ditetapkan Pemerintah Pusat, kecuali perizinan rumah sakit swasta khusus dan rumah sakit swasta yang (kelasnya) setara dengan rumah sakit pemerintah Kelas B nonpendidikan.

3. Kabupaten/ Kota

Juga memiliki wewenang di bidang kesehatan berdasarkan fungsi mengatur, tetapi hanya terbatas pada perumusan kebijakan di bidang kesehatan yang bersifat “teknis” sebagai penjabaran lebih lanjut dari kebijakan di bidang kesehatan dalam bentuk NSPK yang ditetapkan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Propinsi.

Sumber: Bahan hukum primer, diolah.

Pemerintah Pusat, Pemerintah Propinsi dan Pemerintah Kabupaten/Pemerintah

Kota juga memiliki wewenang di bidang kesehatan yang dijabarkan dalam beberapa

Permenkes dan Kepmenkes sebagai aturan pelaksana dari UU No. 23/1992 dan UU

No. 29/2004 yang secara yuridis, sesuai dengan asas hukum peralihan, masih

117

Page 127: Pemb Hukum dan Konflik UU Bid Sektoral_UNSRI

berlaku, karena belum atau tidak direvisi (dalam arti belum dicabut, diganti, dan

dinyatakan tidak berlaku).

Berdasarkan Pasal 77 UU No. 23/1992 jo. Pasal 71 UU No. 29/2004 jo.

Permenkes No. 512/2007, maka Dinas Kesehatan Kabupaten/Dinas Kesehatan Kota

setempat sebagai unsur pelaksana otonomi daerah Pemerintah

Kabupetan/Pemerintah Kota di bidang kesehatan, memiliki fungsi dan wewenang

pengawasan terhadap pelaksanaan praktik kedokteran, yang merupakan inti dari

pelayanan kesehatan, dalam bentuk-bentuk sebagai berikut:

1) Penanganan penderita gawat darurat medik atas dasar perikemanusiaan

sebagaimana diharuskan dalam Pasal 51 huruf a, huruf c, dan huruf d UU No.

29/2004 dan PP No. 26/1960, khususnya alinea 5 dan 6;

2) Penyelenggaraan pelayanan kesehatan kepada pasien secara bermutu dan

manusiawi, yang meliputi:

a. penggunaan standar pelayanan kedokteran dan standar pelayanan rumah sakit

yang berorientasi hak pasien sebagaimana diharuskan dalam Pasal 32 ayat (4)

UU No. 23/1992, Pasal 44 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU No. 29/2004, dan

Kepmenkes No. 1333/1999;

b. persetujuan tindsakan kedokteran berdasarkan hak pasien menentukan nasib

sendiri dan memperoleh informasi sebagaimana diharuskan dalam Pasal 45

ayat (1), ayat (2), ayat (4) dan ayat (6) UU No. 29/2004, dan Permenkes No.

585/1989;

c. penggunaan rekam medis untuk kepentingan pengobatan dan perawatan pasien

sebagaimana diharuskan dalam Pasal 46 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) dan

Pasal 47 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU No. 29/2004, dan Permenkes No.

269/2008;

d. penyimpanan rahasia kedokteran berdasarkan kepercayaan pasien sebagaimana

diharuskan dalam Pasal 48 UU No. 29/2004, dan PP No. 10/1960;

Khusus terhadap penetapan pola tarif pelayanan kesehatan rumah sakit swasta

sesuai kemampuan membayar masyarakat setempat sebagaimana diharuskan dalam

Pasal 8 UU No. 23/1992, Kepmenkes No. 282/1993, dan Permenkes No. 1173/2004

jis. PP 38/2007 jis. UUPD No. 32/2004, jika merujuk kepada Pasal 77 UU No.

23/1992 jo. Pasal 13 dan Pasal 14 Kepmenkes No. 282/1993 jo. UU No. 32/2004,

maka Dinas Kesehatan Propinsi setempat yang berwenang melakukan pengawasan,

118

Page 128: Pemb Hukum dan Konflik UU Bid Sektoral_UNSRI

sedangkan Menteri Kesehatan c.q. Direktur Jenderal Pelayanan Medik hanya

berwenang melakukan pembinaan.

Kemudian, khusus terhadap pengendalian mutu dan biaya pelayanan

kesehatan rumah sakit sesuai kebutuhan medis pasien sebagaimana diharuskan

dalam Pasal 49 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) UU No. 29/2004, Pasal 57 ayat (2) UU

No. 23/1992, Pasal 58 jis. Pasal 43 Kepmenkes No. 983/1992, dan Kepmenkes No.

631/2005, jika merujuk kepada Pasal 71 UU No. 29/2004 dan Kepmenkes No.

426/2006, maka Menteri Kesehatan c.q. Direktur Jenderal Pelayanan Medik, Danas

Kesehatan Propinsi dan Dinas Kesehatan Kabupaten/Dinas Kesehatan Kota setempat

yang berwenang melakukan pengawasan, dengan/tanpa mengikutsertakan IDI dan

PDGI setempat.

Berikutnya, khusus terhadap penjabaran dan pelaksanaan bentuk fungsi sosial

pelayanan kesehatan rumah sakit swasta sebagaimana diharuskan dalam Pasal 57

ayat (2) UU No. 23/1992, Pasal 25 Permenkes No. 159b/1988, Permenkes No.

378/1993, Permenkes No. 1173/2004 jis. PP No. 38/2007 jis. UU No. 32/2004, jika

merujuk kepada Pasal 77 UU No. 23/1992 jo. Pasal 8 dan Pasal 9 Permenkes No.

378/1993 jis. UU No. 32/2004, maka Menteri Kesehatan c.q. Direktur Jenderal

Pelayanan Medik yang berwenang melakukan pengawasan, dengan

mengikutsertakan Kepala Dinas Kesehatan Propinsi setempat dan unit-unit lain

dalam satu Tim Pembina.

Selanjutnya, khusus terhadap pengelolaan perbekalan kesehatan rumah sakit

yang bermutu, merata dan terjangkau oleh masyarakat sebagaimana diharuskan

dalam Pasal 61 UU No. 23/1992, Pasal 2 s.d. Pasal 16 PP No. 72/1998, Kepmenkes

No. 363/1998, Kepmenkes No. 1197/2004, dan Kepmenkes No. 720/2006, jika

merujuk kepada Pasal 77 UU No. 23/1992 jo. Permenkes No. 363/1998 dan

Kepmenkes No. 1197/2004, maka Menteri Kesehatan c.q. Direktur Jenderal

Pelayanan Medik, Danas Kesehatan Propinsi dan Dinas Kesehatan Kabupaten/Dinas

Kesehatan Kota yang berwenang melakukan pengawasan.

Secara lebih konkrit, fungsi dan wewenang pengawasan Pemerintah Pusat,

Pemerintah Propinsi dan Pemerintah Kabupaten/Pemerintah Kota terhadap

pelayanan kesehatan rumah sakit sebagaimana diuraikan diatas, dapat ditabulasikan

pada tabel 8.

119

Page 129: Pemb Hukum dan Konflik UU Bid Sektoral_UNSRI

Tabel 8. Fungsi dan Wewenang Pengawasan Pemerintah Terhadap Pelayanan Kesehatan Rumah Sakit

No. Bentuk Pelayanan Kesehatan Rumah Sakit

Pengawas

1. Penanganan penderita gawat darurat medik atas dasar perikemanusiaan.

2. Penggunaan standar pelayanan kedokteran dan standar pelayanan rumah sakit yang berorientasi hak pasien.

3. Persetujuan tindakan kedokteran berdasarkan hak pasien menentukan nasib sendiri dan memperoleh informasi.

4. Penggunaan rekam medis untuk kepentingan pengobatan dan perawatan pasien.

5. Penyimpanan rahasia kedokteran berdasarkan kepercayaan pasien.

Menkes cq. Dirjen Yanmedik, Dinkes Propinsi/Kabupaten/ Kota setempat.

6. Penetapan pola tarif pelayanan kesehatan sesuai kemampuan membayar masyarakat setempat.

Dinkes Propinsi setempat (khusus pengawasan) dan Menkes c.q. Dirjen Yanmedik (khusus pembinaan).

7. Pengendalian mutu dan biaya pelayanan kesehatan sesuai kebutuhan medis pasien.

Menkes c.q. Dirjen Yanmedik, Dinkes Propinsi/Kabupaten/Kota dengan/ tanpa IDI dan PDGI setempat.

8. Penjabaran dan pelaksanaan bentuk fungsi sosial pelayanan kesehatan.

Menkes c.q. Dirjen Yanmedik mengikutsertakan Kepala Dinkes Propinsi setempat dan unit terkait dalam satu Tim Pembina.

9. Pengelolaan perbekalan kesehatan yang bermutu, merata dan terjangkau oleh masyarakat.

Menkes c.q. Dirjen Yanmedik, Dinkes Propinsi/Kabupaten/Kota.

Sumber: Bahan hukum primer, diolah.

120

Page 130: Pemb Hukum dan Konflik UU Bid Sektoral_UNSRI

F. Penjabaran Fungsi dan Wewenang Pemerintah Daerah Sektor Kesehatan

dalam Peraturan Daerah

Fungsi dan wewenang Pemerintah Daerah di bidang kesehatan yang diatur

dalam UU No. 32/2004, PP No. 38/2007, PP No. 41/2007, dan Pemenkes No.

1575/2005, serta UU No. 23/1992, UU No. 29/2004, dan sejumlah Permenkes dan

Kepmenkes, sebagaimana telah diuraikan di atas, harus dijabarkan di tingkat daerah

propinsi/kabupaten/kota dalam bentuk Peraturan Daerah (selanjutnya disingkat

PERDA), sesuai dengan Pasal 136 ayat (2) UU No. 32/2004, yang secara

konstitusional mengacu kepada Pasal 18 ayat (6) UUD NRI Tahun 1945.

Pasal 7 UU No. 10/2004, dengan tegas menyatakan bahwa PERDA adalah

bagian integral dari peraturan perundangan-undangan Republik Indonesia.

Keberadaan PERDA, menurut Suko Wiyono, adalah conditio sine quanon dalam

rangka melaksanakan kewenangan OTODA. Atas dasar itu, PERDA harus dapat

memberikan perlindungan hukum bagi rakyat di daerah,142 termasuk perlindungan

hukum di bidang kesehatan.

G. Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah

dalam Otonomi Sektor Kesehatan

UU No. 33/2004 pada hakikatnya mengatur tentang keuangan antara

pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Isu mengenai perimbangan keuangan

antara antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah sehubungan pembiayaan

kebijakan kesehatan dan implementasinya di daerah adalah berkenaan dengan

apakah kebijakan kesehatan dan implementasinya tersebut termasuk ranah otonomi

daerah atau kewenangan pemerintah pusat yang didekonsentrasi atau tugas

pembantuan.

Yang dimaksud dengan perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan

pemerintah daerah adalah suatu sistem pembagian keuangan yang adil, proporsional,

demokratis, transparan dan efisien dalam rangka pendanaan penyelenggaraan

desentralisasi, dengan mempertimbangkan potensi, kondisi dan kebutuhan daerah

142 Suko Wiyono. 2006. Otonomi Daerah dalam Negara Hukum Indonesia: Pembentukan

Peraturan Daerah Partisipatif. Faza Media, Jakarta, hlm. 80.

121

Page 131: Pemb Hukum dan Konflik UU Bid Sektoral_UNSRI

serta besaran pendanaan penyelenggaraan dekonsentrasi dan tugas pembantuan (vide

Pasal 1 angka 3 UU No. 33/2004). Sedasar dengan itu, undang-undang menetapkan

suatu dana perimbangan. Yang dimaksud dengan dana perimbangan adalah dana

yang bersumber dari pendapatan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN)

yang dialokasikan kepada daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka

pelaksanaan desentralisasi (vide Pasal 1 angka 19) UU No. 33/2004).

Sehubungan perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah

daerah ini terdapat beberapa konsep penting dalam UU No. 33/2004, yaitu:

1) Dana Bagi Hasil adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah berdasarkan angka persentase untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi (vide Pasal 1 angka 20).

2) Dana Alokasi Umum adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan antardaerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi (Pasal 1 angka 21).

3) Dana Alokasi Khusus adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai prioritas nasional (Pasal 1 angka 23)

4) Dana Dekonsentrasi adalah dana yang berasal dari APBN yang dilaksanakan oleh gubernur sebagai wakil pemerintah yang mencakup semua penerimaan dan pengeluaran dalam rangka pelaksanaan dekonsentrasi, tidak termasuk dana yang dialokasikan untuk instansi vertikal pusat dan daerah (Pasal 1 angka 26).

5) Dana Tugas Pembantuan adalah dana yang berasal dari APBN yang dilaksanakan oleh daerah yang mencakup semua penerimaan dan pengeluaran dalam rangka pelaksanaan tugas pembantuan (Pasal 1 angka 27).

6) Dana Darurat adalah dana yang berasal dari APBN yang dialokasikan kepada daerah yang mengalami bencana nasional, peristiwa luar biasa dan/atau krisis solvabilitas (Pasal 1nagka 29).

Sehubungan isu desentralisasi dan perimbangan keuangan pusat-daerah, maka

dapat dijelaskan bahwa tugas pemerintah pusat yang utama adalah melakukan

pengaturan dalam rangka melindungi kesehatan seluruh rakyat Indonesia. Tugas

pemerintah daerah, baik di tingkat propinsi maupun kabupaten/kota yang utama

adalah melakukan tugas-tugas mengurus sehubungan asas otonomi daerah dan dalam

rangka tugas mengatur melakukan pengawasan/penegakan hukum sesuai

kewenangannya (vide Surat Edaran Menkes No. 1107/Menkes/E/VII/2000). Untuk

daerah yang secara keuangan masih belum dapat melaksanakan otonominya secara

122

Page 132: Pemb Hukum dan Konflik UU Bid Sektoral_UNSRI

memadai, pemerintah menyediakan sejumlah dana yang dapat digunakan oleh

pemerintah daerah dalam rangka memenuhi kewajiban mewujdkan hak setiap warga

negara atas derajat kesehatan yang optimal.

H. Penguatan Asas Konsistensi dan Kejelasan Aturan Hukum dan Kebijakan

Tarif Pelayanan Kesehatan

Penguatan asas konsistensi dan kejelasan pengaturan hukum dan kebijakan

pola tarif pelayanan kesehatan harus terkonseptualisasi dalam Kepmenkes No.

282/1993 yang perlu segera direvisi, yang mencakup:

(1) “Kemampuan membayar masyarakat setempat”, yang menurut Pasal 2 angka

1 Kepmenkes No. 282/1993 harus diperhatikan dalam menetapkan pola tarif

pelayanan kesehatan rumah sakit swasta, seharusnya parameternya ditentukan

dengan jelas.

(2) “Tingkat kecanggihan teknologi”, yang menurut Pasal 2 angka 1

Kepmenkes No. 282/1993 merupakan dasar penetapan tarif pelayanan

kesehatan rumah sakit swasta, seharusnya kriterianya juga dijabarkan dengan

jelas.

(3) Pemberian keringanan/pembebasan biaya pelayanan kesehatan bagi pasien

kurang/tidak mampu, yang menurut Pasal 2 angka 3 Kepmenkes No.

282/1993 harus diatur oleh direktur RSS, seharusnya pedomannya ditetapkan

oleh Dirjen Yanmedik Depkes-RI segera setelah dilakukannya revisi

Kepmenkes No. 282/1993.

(4) “Tarif khusus” bagi masyarakat kurang/tidak mampu, yang menurut Pasal 3,

Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 10 dan Pasal 11 Kepmenkes No. 282/1993 harus

ditetapkan oleh direktur rumah sakit swasta, seharusnya tidak hanya terbatas

pada tarif tempat tidur pasien rawat inap kelas III, tetapi juga tarif untuk jenis

pelayanan kesehatan lainnya, termasuk jasa dokter, agar konsisten dengan “spirit

hukum” Pasal 57 ayat (2) UU No. 23/1992.

123

Page 133: Pemb Hukum dan Konflik UU Bid Sektoral_UNSRI

I. Penguatan Asas Konsistensi dan Kesegeraan Aturan Hukum dan Kebijakan

Pengendalian Mutu dan Biaya Pelayanan Kesehatan

Penguatan asas konsistensi dan kesegeraan pengaturan hukum dan kebijakan

pengendalian mutu dan biaya pelayanan kesehatan harus terkonseptualisasi dalam

hal-hal, sebagai berikut:

(1) Pembentukan Permenkes yang menjabarkan wewenang IDI dan PDGI dalam

membina dan mengawasi dokter dalam melakukan praktik kedokteran di rumah

sakit sebagai tindaklanjut dari Pasal 49 ayat (3) UU No. 29/2004. Mengingat

audit medis bersifat konfidensial, maka substansi hukumnya seharusnya juga

memuat sanksi bagi IDI dan PDGI (sebagai pihak eksternal rumah sakit) yang

mempubikasikan audit medis tanpa persetujuan dari pihak internal rumah sakit.

(2) Hasil audit medis internal yang dilakukan Komite Medis Rumah Sakit menurut

Kepmenkes No. 496/2006 seharusnya bersifat mengikat, sehingga tindak

lanjutnya tidak hanya tergantung kepada kehendak dan sikap normatif direktur

rumah sakit saja.

(3) Pembentukan Permenkes yang menjabarkan wewenang Menkes cq. Dirjen

Yanmedik dan Dinas Kesehatan Propinsi/Kota/Kabupaten untuk mengawasi dan

mengaudit medis eksternal rumah sakit, mengikutsertakan IDI dan PDGI

setempat, sebagai tindak lanjut dari Pasal 71 jis. Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2)

UU No. 29/2004 jo. Kepmenkes No. 496/2006. Permenkes ini seharusnya juga

memuat sanksi administratif yang jelas dan dan tegas kepada rumah sakit, yang

terbukti tidak mengendalikan mutu dan biaya pelayanan kesehatan sesuai

kebutuhan medis pasien.

J. Penguatan Asas Kejelasan dan Kesegeraan Aturan Hukum dan Kebijakan

Fungsi Sosial Pelayanan Kesehatan

Penguatan asas kejelasan dan kesegeraan pengaturan hukum dan kebijkan

fungsi sosial pelayanan kesehatan harus tercermin dalam Permenkes No. 159b/1988

dan Permenkes No. 378/1993 yang perlu segera direvisi, agar substansi hukumnya

jelas, mencakup:

124

Page 134: Pemb Hukum dan Konflik UU Bid Sektoral_UNSRI

(1) Pembebasan/keringanan biaya pelayanan kesehatan bagi masyarakat kurang dan

tidak mampu, yang menurut Pasal 5 angka 5 Permenkes No. 378/1993 harus

dilaksanakan oleh rumah sakit swasta dalam rangka fungsi sosialnya, seharusnya

juga didukung oleh adanya pedoman yang jelas dalam Permenkes mengenai

pejabat/badan yang berwenang dan mekanisme hukum pemberian dan

penggunaan SKTM atau bukti lain yang mendukung sebagai syarat untuk

memperoleh pembebasan/keringanan biaya pelayanan kesehatan.

(2) Penetapan ketentuan besaran tarif pelayanan kesehatan kelas III/kelas

terendah bagi masyarakat kurang dan tidak mampu, yang menurut Pasal 4

Permenkes No. 378/1993 jo. Permenkes No. 1173/2004 jis. PP No. 38/2007 jis.

UU No. 32/2004 merupakan wewenang Kepala Dinas Kesehatan Propinsi

setempat (setelah berkonsultasi dengan PERSI setempat), harus dilaksanakan

dengan konsisten segera setelah (sesuai dengan) revisi Permenkes No.

159b/1988 dan Permenkes No. 378/1993.

K. Penguatan Asas Konsistensi dan Kejelasan Aturan Hukum dan Kebijakan

Pengelolaan Perbekalan Kesehatan

Penguatan asas konsistensi pengaturn hukum dan kebijakan pengelolaan

perbekalan kesehatan harus terkonseptualisasi dalam hal-hal, sebagai berikut:

(1) Permenkes No. 085/1989 perlu segera direvisi, agar substansi hukumnya dengan

jelas membebankan kewajiban menulis resep dan/atau menggunakan obat

generik yang harganya terjangkau masyarakat kurang dan tidak mampu tidak

hanya kepada fasilitas pelayanan kesehatan pemerintah, tetapi juga fasilitas

pelayanan kesehatan swasta, sehingga konsisten dengan Pasal 61 UUK No.

23/1992 dan Pasal 49 ayat (1) UU No. 29/2004 yang telah mengharuskan ”setiap

rumah sakit dan dokternya” mengendalikan mutu dan biaya pelayanan kesehatan

agar dapat terjangkau oleh masyarakat kurang dan tidak mampu.

(2) Permenkes No. 363/1998 perlu segera direvisi, agar substansi hukumnya tidak

hanya mengatur penggunaan alat kesehatan yang harus memenuhi persyaratan

mutu, keamanan dan kemanfaatan, tetapi juga mengatur persyaratan

keterjangkauan biayanya untuk mengendalikan overutilisasi alat kesehatan di

125

Page 135: Pemb Hukum dan Konflik UU Bid Sektoral_UNSRI

rumah sakit, yang harus didukung oleh adanya sanksi dan diperkuat oleh

struktur kelembagaan hukum kesehatan dengan wewenang pengawasan yang

jelas, sehingga konsisten dengan spirit hukum Pasal 61 UU No. 23/1992 jo. PP

No. 72/1998.

L. Penguatan Asas Konsistensi, Sinkronisasi, dan Kesegeraan Aturan Hukum

dan Kebijakan Perizinan

Perlu pembentukan aturan hukum dan kebijakan perizinan di bidang kesehatan

dalam bentuk PP sebagai penjabaran dari Pasal 59 UU No. 23/1992, yang harus

segera ditindaklanjuti dengan pembentukan Permenkes yang substansi hukumnya

mengatur tentang standar perizinan di bidang kesehatan sebagai penjabaran yang

konsisten dan sinkron dari Pasal 4 huruf g Permenkes No. 1575/2005 dan diperkuat

oleh Pasal 9 PP No. 38/2007, yang secara formal mencabut/menggantikan

Permenkes No. 920/1986 dan Surat Edaran Menkes No. 725/2004, sesuai dengan

asas desentralisasi kesehatan dalam rangka otoda berdasarkan UU No. 32/2004, yang

menghendaki agar perizinan di bidang kesehatan didasarkan atas asas desentralisasi

dengan peletakan titik berat otonomi di daerah kota/kabupaten.

M. Penguatan Asas Konsistensi Aturan Hukum dan Kebijakan Akreditasi

Konsistensi aturan hukum dan kebijakan akreditasi di bidang kesehatan harus

diwujudkan dengan pembentukan PP yang substansi hukumnya antara lain mengatur

akreditasi rumah sakit, yang harus segera diikuti dengan upaya merevisi Kepmenkes

No. 1165A/2004 yang mengatur tentang akreditasi rumah sakit sesuai dengan asas

desentralisasi kesehatan dalam rangka otoda berdasarkan UU No. 32/2004 dan

Permenkes No. 1575/2005 yang diperkuat PP No. 38/2007, agar secara substantif

memberikan wewenang mengakreditasi rumah sakit kepada Pemkab/Pemkot, yang

sifatnya imperatif bukan fakultatif, dan fungsinya sebagai tugas pokoknya sendiri

bukan ”asistensi” terhadap tugas pokok KARS.

126

Page 136: Pemb Hukum dan Konflik UU Bid Sektoral_UNSRI

N. Penguatan Asas Kejelasan dan Kesegeraan Peraturan Hukum Audit Medis

Pembentukan Permenkes yang mengatur tentang audit medis eksternal sebagai

penjabaran yang jelas dari Pasal 71 jo. Pasal 72 UU No. 29/2004, perlu segera

diwujudkan, agar secara substantif:

(1) Memberikan wewenang mengaudit medis eksternals rumah sakit kepada

pemerintah pusat dan pemerintah daerah bersama dengan KKI, IDI dan PDGI

setempat, yang sifatnya imperatif bukan fakultatif, yang jelas ruang lingkup dan

rincian fungsi dan tugas masing-masing.

(2) Konsisten dan sinkron dengan asas desentralisasi kesehatan dalam rangka otoda

berdasarkan UU No. 32/2004 dan Permenkes No. 1575/2005 yang diperkuat

oleh PP No. 38/2007, yang menghendaki agar audit medis eksternal rumah sakit

oleh pemerintah didasarkan atas asas desentralisasi dengan peletakan titik berat

otonomi di daerah kota/kabupaten.

O. Penguatan Asas Kejelasan dan Konsistensi Aturan Hukum dan Kebijakan

Sanksi Administrasi

Aturan hukum dan kebijakan yang substansi hukumnya mengatur tentang

sanksi administrasi, perlu segera diwujudkan, dengan cara:

a) Pembentukan MKDKI di tingkat propinsi dan penyusunan pedoman tata cara

penanganan kasus pelanggaran disiplin dokter oleh KKI, mengingat pencabutan

SIP oleh Kepala Dinkes Kabupaten/Kota terhadap dokter yang melanggar

kewajiban hukumnya harus didasarkan atas putusan MKDKI.

b) Pembentukan Permenkes yang menjabarkan bentuk-bentuk sanksi administrasi

terhadap rumah sakit yang melanggar kewajiban hukumnya dan menegaskan

badan/pejabat pemerintah berwenang serta mekanisme pengenaan sanksi

administrasinya, yang konsisten dengan asas desentralisasi dalam rangka otoda

berdasarkan UU No. 32/2004 dan Permenkes No. 1575/2005 yang diperkuat PP

No. 38/2007.

127

Page 137: Pemb Hukum dan Konflik UU Bid Sektoral_UNSRI

P. Percepatan Penjabaran Fungsi dan Wewenang Pemerintah Daerah Sektor

Kesehatan dalam Peraturan Daerah

Percepatan penjabaran fungsi dan wewenang pemerintah daerah di bidang

kesehatan, yang mencakup perizinan, akreditasi, audit medis, dan sanksi

administrasi, harus ditata dalam Perda dan Kepkada, yang jelas, segera, sinkron dan

konsisten dengan asas otonomi daerah.

Secara konkrit, perlu penataan (normatif), berupa pembentukan Perda dan

Kepkada yang menjabarkan secara “teknis” (untuk tingkat propinsi) dan ”sangat

teknis” (untuk tingkat kabupaten/kota) perizinan, standarisasi, akreditasi dan

sertifikasi di bidang kesehatan, segera setelah Menkes selaku unsur pelaksana

wewenang pemerintah pusat di bidang kesehatan menetapkan kebijakan dalam

bentuk norma, standar, prosedur, dan kriteria sebagai acuan hukumnya (dalam

bentuk Permenkes). Secara formil, pembentukan Perda dan Kepkada itu harus

mengacu kepada UU No. 32/2004 dan Permenkes No. 1575/2005 yang diperkuat

oleh PP No. 38/2007 dan secara substantif harus menjadikan perizinan, standarisasi,

akreditasi dan sertifikasi sebagai instrumen hukum melindungi hak setiap warga

negara atas derajat kesehatan yang optimal, bukan sebagai sarana hukum

memperoleh retribusi daerah.

Q. Penataan Struktur dan Kapasitas Kelembagaan Hukum (Pemerintah)

Sektor Kesehatan Mengacu Konsep Good Governance

Lembaga Administrasi Negara (LAN) menjelaskan bahwa good governance

(selanjutnya disingkat GG) adalah penyelenggaraan pemerintahan yang solid dan

bertanggung jawab secara efektif dan efisien, dengan menjaga “kesinergian”

interaksi yang konstruktif di antara domain-domain negara, sektor swasta dan

masyarakat (society). GG pada umumnya diartikan sebagai pengelolaan

pemerintahan yang baik, dalam arti mengikuti kaidah-kaidah tertentu sesuai dengan

prinsip-prinsip dasar GG.143

Asas-asas GG yang dikemukakan UNDP sebagaimana dikutip oleh LAN,

yaitu:

143 Lembaga Administrasi Negara, dalam Joko Widodo. 2001. Good Governance: Telaah dari Dimensi Akuntabilitas dan Kontrol pada Era Desentralisasi dan Otonomi Daerah. Ihsan Cendikia, Surabaya, hlm. 24.

128

Page 138: Pemb Hukum dan Konflik UU Bid Sektoral_UNSRI

1. Partisipasi: Setiap warganegara berpartisipsi dalam pengambilan keputusan, baik secara langsung maupun melalui institusi yang mewakili kepentingannya, atas dasar kebebasan berasosiasi dan berbicara secara konstruktif.

2. Taat hukum (rule of law): kerangka hukum yang adil dan dilaksanakan tanpa diskriminasi, terutama untuk perlindungan HAM.

3. Transparansi: Dibangun atas dasar kebebasan arus informasi mengenai proses pengambilan keputusan dan pelaksanaan kerja lembaga-lembaga dapat diterima oleh mereka yang membutuhkan.

4. Responsif: Lembaga-lembaga negara/badan usaha harus berusaha untuk melayani stakeholdersnya. Responsif terhadap aspirasi masyarakat.

5. Berorientasi kesepakatan (consessus orientation): GG menjadi perantara kepentingan yang berbeda untuk mendapatkan pilihan terbaik bagi kepentingan yang lebih luas, dalam hal kebijakan-kebijakan maupun prosedur-prosedur kerja.

6. Kesetaraan (equity): Semua warga negara mempunyai kesempatan yang sama untuk meningkatkan atau mempertahankan kesejahteraan.

7. Effektif dan efisien: proses-proses dan lembaga-lembaga menghasilkan sesuai dengan apa yang telah digariskan dengan menggunakan sumber-sumber yang tersedia.

8. Akuntabilitas (accountability): Para pembuat keputusan dalam pemerintahan, sektor swasta dan masyarakat (civil society) bertanggung jawab kepada publik dan lembaga-lembaga stakeholders.

9. Visi strategis (strategic vision): Para pemimpin dan publik harus mempunyai perspektif GG dan pengembangan SDM yang luas dan jauh ke depan sejalan dengan apa yang diperlukan untuk pembangunan.144

Secara umum ada konsensus tentang faktor-faktor kunci GG, yaitu:

kemampuan teknis dan manajerial, kapasitas organisasi, kepastian hukum,

pertanggungjawaban, transparansi dan sistem informasi yang terbuka, dan

partisipasi.145

G.H. Addink memaknai asas-asas GG sama dengan asas-asas good

administration (selanjutnya disingkat GA) dan merumuskan secara detail menjadi

delapan asas yang mencakup karakter positif maupun negatif, yaitu: asas larangan

bertindak sewenang-wenang, asas keadilan atau asas kewajaran, asas kepastian

hukum, asas kepercayaan, asas kesamaan, asas proporsionalitas atau asas

keseimbangan, asas kehati-hatian, dan asas pertimbangan.146

144 Bintaro Tjokroamidjojo. 2002. Reformasi Nasional Penyelenggaraan Good Governance

dan Perwujudan Masyarakat Madani. Lembaga Administrasi Negara, Jakarta, hlm. 133-136. 145 Jurnal Transparansi Indonesia. 2006. “Good Governance”, dalam

http://www.goodlocalgovernance.multiply.com/journal/item/, diakses tanggal 12 Januari 2008. 146 G.H. Addink, dalam Sadjijono. 2008. Memahami Beberapa Bab Pokok Hukum

Administrasi. LaksBang PRESSindo, Yogyakarta, hlm. 173 dan 176.

129

Page 139: Pemb Hukum dan Konflik UU Bid Sektoral_UNSRI

Pemberian makna yang sama antara asas-asas GG dan asas-asas GA, menurut

Sadjijono, merupakan suatu suatu pemikiran dan onovasi baru dalam hukum

administrasi. Walaupun Kuntjoro Purbopranoto pernah menulis ”asas-asas umum

untuk pemerintahan yang baik”,147 akan tetapi tidak diberi penjelasan persamaan

makna dari asas dimaksud. Selanjutnya, Sadjijono mendukung pendapat G.H.

Addink dengan argumentasi bahwa istilah GG berarti penggunaan atau pelaksanaan

kewenangan bidang administrasi oleh organ pemerintah dan menimbulkan akibat-

akibat hukum bidang administrasi negara, sehingga indikasi suatu pemerintahan

yang baik apabila administrasinya baik.148

Jadi, GG pada dasarnya adalah penyelenggaraan pemerintahan yang bersih,

teratur, tertib, tanpa cacat dan berwibawa, oleh karena itu tindak lanjut untuk

menjadikan pemerintahan yang baik dan bersih dengan mengaktualisasikan secara

efektif ”asas-asas umum pemerintahan yang baik”, yang digunakan sebagai hukum

tidak tertulis dengan melalui pelaksanaan hukum dan penerapan hukum serta

pembentukan hukum.149

Dengan mengacu konsep good governance GG, maka dapat dipahami bahwa

struktur kelembagaan hukum (pemerintah) secara internal dan eksternal harus

mempunyai keterkaitan sistemik dan didukung oleh kapasitas atau daya dukung

kelembagaan (SDM, dana, sarana dan prasarana) yang kuat, serta ada konsistensi

struktur dan fungsinya dengan asas hukum yang mendasari pembentukannya,

sehingga dapat mengkonkritisasi asas-asas hukum ke dalam wujud norma-norma

hukum dalam aturan hukum dan kebijakan, agar pemerintah dapat melakukan

tindakan pemerintahan yang baik tentang perizinan, akreditasi, audit medis, dan

sanksi administrasi d bidang kesehatan yang memadai (adekuat), guna melindungi

hak setiap warga negara atas derajat kesehatan yang optimal.

Kemudian, kelemahan struktur dan kapasitas kelembagaan hukum

(pemerintah) di bidang kesehatan, sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, maka

perlu penataan (normatif), sebagai berikut:

147 Kuntjoro Purbopranoto. 1981. Beberapa Catatan Hukum Tata Pemerintahan dan Peradilan

Administrasi Negara. Alumni, Bandung, hlm. 28. 148 Sadjijono. Op. Cit., hlm. 173-174. 149 S.F. Marbun. ”Eksistensi Asas-asas Umum Penyelenggaraan Pemerintahan yang Layak

dalam Menjelmakan Pemerintahan yang Baik dan Bersih”. Ringkasan Disertasi, UNPAD, Bandung, 2001, hlm. 13.

130

Page 140: Pemb Hukum dan Konflik UU Bid Sektoral_UNSRI

1. Pengkaitan Sistem Pelayanan Kesehatan Nasional dan Daerah

Sistem pelayanan kesehatan nasional yang terwujud dalam SKN harus

mempunyai keterkaitan secara internal dan eksternal, baik antarprogram dan unit

dalam Depkes pusat maupun antarunit dalam Depkes di pusat dengan Dinkes

Propinsi/Kota/Kabupaten di daerah.

Selanjutnya, pengkaitan sistem pelayanan kesehatan nasional dan daerah perlu

didukung dengan pengaturan wewenang yang jelas, peningkatan kerjasama, dan

penguatan kapasitas aparatur hukum antara pemerintah pusat (Depkes) dan Pemda

(Dinkes Propinsi/Kota/Kabupaten), termasuk penggalian sumber keuangannya,

dengan mengacu kepada asas desentralisasi kesehatan dalam rangka otoda

berdasarkan UU No. 32/2004 dan Permenkes No. 1575/2005 yang diperkuat oleh PP

No. 38/2007.

2. Perubahan Struktur dan Fungsi Departemen Kesehatan di Pusat dan

Dinas Kesehatan di Daerah

Perubahan struktur organisasi Depkes perlu diwujudkan, dengan mengacu

kepada fungsi pengarahan dan fungsi pengaturan yang konsisten dengan asas

desentralisasi dalam rangka otoda berdasarkan UU No. 32/2004 dan Permenkes No.

1575/2005 yang diperkuat oleh PP No. 41/2007. Selain itu, perubahan struktur

pemerintahan yang lebih desentralistik, juga perlu dilakukan, guna mengurangi

dominasi Depkes, Bappenas, Depkeu, dan Depdagri di sektor kesehatan.

Kemudian, pesnegasan komitmen pemerintah pusat melaksanakan fungsi

regulatif di bidang kesehatan diperlukan guna mendukung Pemda dalam membentuk

Perda dan Kepkada yang tidak hanya terfokus pada tugas pokok dan fungsi

organisasi perangkat daerah di bidang kesehatan, tetapi juga menekankan pada

perlindungan hak setiap warga negara atas derajat kesehatan yang optimal.

Berikutnya, implementasi fungsi Depkes dalam membentuk aturan hukum dan

kebijakan tentang perizinan, standarisasi, akreditasi dan sertifikasi di bidang

kesehatan, harus segera direalisasikan, guna menjadi rujukan bagi PEMDA dalam

membentuk Perda dan Kepkada.

131

Page 141: Pemb Hukum dan Konflik UU Bid Sektoral_UNSRI

Guna mendukung upaya perancangan, pembentukan, pengawasan dan evaluasi

Perda dan Kepkada di bidang kesehatan, maka perlu segera pembentukan

bagian/subbagian hukum dalam struktur organisasi Dinkes Propinsi/Kota/Kabupaten

di daerah, disertai peningkatan jumlah dan kualifikasi SDM. Selain itu, tidak kalah

pentingnya adalah peningkatan jumlah dan kualifikasi SDM pada Dinkes

Propinsi/Kota/Kabupaten di daerah yang menguasai IPTEK kesehatan, termasuk

segi-segi teknis perumahsakitan, guna mendukung upaya perumusan persyaratan

teknis dalam Perda dan Kepkada tentang perizinan, standarisasi, akreditasi dan

sertifikasi di bidang kesehatan.

3. Penguatan Kapasitas Kelembagaan Kementerian Kesehatan di Pusat dan

Dinas Kesehatan di Daerah

Penguatan kapasitas kelembagaan Kementerian Kesehatan di pusat dan Dinkes

Propinsi/Kota/Kabupaten di daerah harus dilakukan dalam rangka pembenahan

birokrasi sebagai langkah strategis dalam pengembangan GG, dengan merujuk

kepada pandangan Agus Dwiyanto, bahwa keberhasilan menyelesaikan masalah

mendasar dalam birokrasi pemerintah seperti inefisiensi, rigiditas dan daya tanggap

yang buruk, kuatnya budaya KKN serta akuntabilitas birokrasi yang rendah dapat

menuntaskan sebagian besar masalah dalam pengembangan GG. Karena itu,

keberhasilan dalam mereformasi birokrasi dapat mempercepat terwujudnya GG.150

Penguatan kapasitas kelembagaan Depkes dan Dinkes Propinsi/Kota/

Kabupaten perlu dilakukan dalam bentuk peningkatan jumlah dan kualifikasi SDM

disertai pembinaan sistematis, pemberdayaan dan pelatihan dalam konteks

desentralisasi dalam semangat otoda, guna menghilangkan situasi saling curiga,

meningkatkan komunikasi yang intens dan transparan, bahkan mencegah dan

menyelesaikan konflik, misalnya kasus perizinan.

Pembinaan sistematis, pemberdayaan dan pelatihan staf Depkes di pusat dan

staf Dinkes Propinsi/Kota/Kabupaten di daerah harus bertujuan menyeimbangkan

150 Agus Dwiyanto. “Mewujudkan Good Governance Melalui Reformasi Pelayanan Publik”,

dalam Suparto Wijoyo. 2006. Pelayanan Publik dari Dominasi ke Partisipasi. Airlangga University Press, Surabaya, hlm. 52.

132

Page 142: Pemb Hukum dan Konflik UU Bid Sektoral_UNSRI

kebutuhan SDM secara materil dan spiritual, dengan dua orientasi dasar dan dua

dimensi kemampuan, yaitu:

1. Kualitas kinerja staf atau aparatur pemerintah atau pegawai yang erat kaitannya

dengan upaya pencapaian produktivitas dan kinerja birokrasi;

2. Kesiapan kondisi mental dan fisik staf atau aparatur pemerintah atau pegawai

yang erat kaitannya dengan tingkat penghargaan secara utuh terhadap harkat dan

martabat kemanusiaannya.

Selain itu, pembinaan sistematis, pemberdayaan dan pelatihan aparatur

pemerintah Depkes di pusat dan staf Dinkes Propinsi/Kota/Kabupaten di daerah,

juga harus dapat mengembangkan dua dimensi kemampuan, yaitu:

1. Dimensi teknis, yakni keahlian yang harus dimiliki aparatur pemerintah untuk

menjalankan wewenang dan tugas mereka dengan baik;

2. Dimensi budaya, yakni seperangkat nilai yang harus menjadi pegangan setiap

aparatur pemerintah dalam menjalankan wewenang dan tugasnya, sehingga

kemampuan teknisnya dapat dimanfaatkan secara maksimal.

R. Pengembangan Potensi Sumber Pembiayaan dari Pemerintah Daerah dan

Alokasi Subsidi dari Pemerintah Pusat di Bidang Kesehatan

Pemerintah daerah pascadesentralisasi mempunyai sumber-sumber

pembiayaan yang juga telah diatur dalam UU No. 33/2004, antara lain: 1)

Pendapatan Asli Daerah yang mencakup pajak setempat, retribusi lokal, perusahaan

pemerintah daerah dan aset manajemen lainnya, giral dan aset penjualan; 2) Dana

perimbangan yang merupakan dana desentralisasi, terdiri dari Dana Bagi Hasil

beberapa sektor seperti Pajak Bumi dan Bangunan, minyak dan gas, hutan, tambang

dan periknan, Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus; 3) Pinjaman; dan 4)

Penerimaan lain (sumbangan Dana Darurat). Memperhatikan hal ini, terdapat

kemungkinan beberapa pemerintah daerah di Indonesia menjadi kaya, seperti di

Kabupaten Kutai di Kalimantan Timur, Kabupaten Aceh Utara di Nangroe Aceh

Darussalam, dan Kabupaten Bengkalis di Riau. Akan tetapi, sebagian besar

kabupaten di Indonesia tidak mendapat manfaat berarti dari desentralisasi.

Desentralisasi memicu perkembangan daerah menjadi beberapa lingkungan

ekonomi yang mempengaruhi potensi pembiayaan daerah di bidang kesehatan. Ada

133

Page 143: Pemb Hukum dan Konflik UU Bid Sektoral_UNSRI

dua faktor penting yang mempengaruhi bidang kesehatan, yaitu kekuatan ekonomi

pemerintah daerah dan kekuatan ekonomi masyarakat. Dengan menggunakan dua

variabel ini, menurut Laksono Trisnantoro, ada 4 tipe daerah yang mungkin terjadi

dengan prospek sumber pembiayaannya sebagai berikut:

1) Daerah mempunyai kekuatan ekonomi pemerintah daerah yang besar dan kekuatan ekonomi masyarakat yang besar pula.

Daerah ini merupakan daerah di mana sebagian pembiayaan kesehatan dapat diserahkan ke mekanisme pasar. Sumber pembiayaan dari masyarakat perlu ditingkatkan. Peran pemerintah daerah yang kuat dapat difokuskan kepada penyediaan pelayanan kesehatan dan pembiayaan kesehatan keluarga miskin serta pelayanan yang bersifat public good (khususnya promotif dan preventif kesehatan). Bagi masyarakat yang berada dalam garis kemiskinan, pemerintah daerah dapat memberikan jaminan pelayanan kesehatan melalui asuransi kesehatan (misalnya kontrak ke PT. Asuransi Kesehatan).

2) Daerah yang mempunyai kekuatan ekonomi pemerintah kecil, namun

kekuatan ekonomi masyarakat besar. Ada kemungkinan di daerah ini peran pemerintah daerah lebih banyak

pada regulator. Dalam hal pembiayaan, peran pemerintah daerah tidak begitu kuat. Peran pemerintah (diharapkan pemerintah pusat) pada pembiayaan diharapkan untuk menjamin akses pelayanan kesehatan, khususnya bagi masyarakat tidak mampu. Bagi masyarakat miskin, peran pemerintah pusat untuk membiayai pelayanan kesehatan menjadi penting.

3) Daerah mempunyai kekuatan ekonomi pemerintah daerah yang kuat,

namun kekuatan ekonomi masyarakat kecil. Di daerah ini peran pemerintah daerah sangat kuat dalam pembiayaan

kesehatan, mengigat kemampuan masyarakat di daerah ini rendah. Dalam kondisi ini, peran pemerintah pusat dalam pembiayaan kesehatan tetap diperlukan, walaupun dari sisi ”jumlah dana” yang dialokasikan dapat diminimalkan. Sebaliknya, pemerintah daerah dituntut lebih kuat peranannya. Pemerintah daerah dapat mengkontrak lembaga penyelenggaraan pelayanan kesehatan swasta dan asuransi kesehatan untuk menjamin pelayanan bagi masyarakat miskin, atau seluruh masyarakat di wilayahnya.

4) Daerah mempunyai kekuatan ekonomi pemerintah daerah yang kecil

dan kekuatan ekonomi masyarakat yang kecil pula. Daerah ini sangat membutuhkan dana dan subsidi dari pemerintah pusat.

Daerah ini membutuhkan perhatian besar dari pemerintah pusat dan bantuan asing (block grant, hibah, dll) dan dana kemanusiaan lain untuk pembiayaan kesehatan di daerah tersebut.151

151 Laksono Trisnantoro. Op. cit., hlm. 257-268.

134

Page 144: Pemb Hukum dan Konflik UU Bid Sektoral_UNSRI

Dalam konsep desentralisasi, pemerintah pusat masih mempunyai peran

sebagai pemberi anggaran malalui anggaran dekonsentrasi yang akan diterima

propinsi (vide Pasal 1 angka 26 UU No. 33/2004). Akan tetapi, dana dekonsentrasi

ini akan semakin menurun seiring semakin meningkatnya dana desentralisasi.

Berkaitan dengan anggaran kesehatan pemerintah pusat yang masih tinggi,

timbul pertanyaan penting, bagaimanakah teknik alokasi anggarannya? Apakah

aspek keadilan perlu diperhatikan untuk daerah-daerah yang relatif miskin? Teknik

alokasi anggaran menjadi hal penting karena pengaliran dana dari pusat ke daerah

untuk masyarakat atau daerah yang tidak berhak mendapatkannya jangan sampai

terjadi kesalahan. Sebagai catatan, bidang kesehatan, konsep alokasi dann

perimbangan melalui Dana Alokasi Umum adalah cara baru untuk membiayai

pelayanan kesehatan di daerah. Karena merupakan hal baru, dikhawatirkan kriteria

transfer keuangan dari pusat ke daerah belum baik.

Sehubungan dengan transfer keuangan dari pusat ke daerah, terdapat berbagai

kriteria yang dapat digunakan mengacu kepada pendapat Shah A., yaitu:

1) Otonomi (Authonomy), artinya pemerintah daerah dapat fleksibel dan otonom menetapkan prioritas kegiatan yang diberi dana. Kriteria ini menunjukkan bahwa dana ditransfer ke daerah dalam bentuk block grant yang dan tidak dibatasi dengan kategori-kategori setta ketidakpastian dari pemerintah pusat. Agar pemerintah daerah mempunyai sumber biaya cukup, sehingga mampu mengerjakan tugas yang diberikan, pemerintah daerah perlu diberi kriteria yang disebut revenue adequacy. Dengn demikian, semakin banyak junmlah penduduk, maka akan semakin besar pula transfer dana yang diberikan.

2) Adil dan Merata (Equity), artinya dana yang dialokasikan pemerintah pusat harus adil bagi mereka yang membutuhkan dan berhubungan terbalik dengan kemampuan ekonomi propinsi. Dengan demikian, semakin besar pendapatan asli daerah, kemungkinan transfer dana dari pusat akan lebih kecil.

3) Dapat Diprediksi (Predictablitiy), artinya bantuan yang diterima oleh daerah diharapkan dapat dijamin kelanggengannya, misalnya dalam kurun waktu lima tahun.

4) Efisiensi (Efficiency), artinya berusaha menjamin agar alokasi dana bersifat netral terhadap pilihan berbagai sektor.

5) Kesederhanaan (Simplicity), artinya perlu kesederhanaan untuk menyusun formula.

6) Insentif (Incentive), artinya upaya mendorong mengurangi praktik-praktik inefisiensi dalam penganggaran daerah.152

152 Shah A. 1994. The Reform of Intergovenrmental Fiscal Relations in Developing and

Emerging Market Economies, Policy and Research Series 2. World Bank, Washington DC.

135

Page 145: Pemb Hukum dan Konflik UU Bid Sektoral_UNSRI

BAB V

ANALISIS ATURAN HUKUM

PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM SEKTOR KELAUTAN

A. Sektor Kelautan Aset yang Melimpah

Sumber daya alam di darat makin terbatas sedangkan tuntutan kebutuhan

pembangunan nasional sudah mendesak, maka pemanfaatan sumber daya alam di

laut menjadi alternatif yang harus dipilih. Sudah saatnya pembangunan nasional di

sektor kelautan mendapat perhatian besar pula, sebagaimana di wilayah darat. Di laut

tersedia berbagai potensi untuk membawa bangsa dan negara ini menjadi makmur,

adil dan sejahtera, termasuk pesisirnya yang melimpah sumber daya. Semuanya

memiliki arti penting bagi pembangunan nasional, baik dari aspek ekonomi, ekologi,

pertahanan dan keamanan, sosiologis maupun pendidikan dengan segala hasil yang

dirasakan manfaatnya oleh masyarakat.

Sebagai negara bahari, Indonesia memiliki potensi sumber daya kelautan

yang jauh lebih besar daripada sumber daya alam yang ada di darat. Namun, potensi

tersebut belum mampu dimanfaatkan secara optimal. Hal ini terjadi antara lain

karena masih kuatnya paradigma pembangunan Indonesia yang masih berorientasi di

darat. Akibatnya produktivitas nelayan Indonesia hingga saat ini masih tergolong

rendah. 153

Sumber daya kelautan meliputi juga berbagai macam jasa lingkungan lautan

yang dapat dikembangkan untuk pembangunan kelautan dan perikanan, seperti

pariwisata bahari, industri maritim, dan jasa angkutan, serta penelitian kelautan.

Wilayah pesisir Indonesia memiliki berbagai fungsi, seperti transportasi dan

pelabuhan, kawasan industri, agribisnis dan agroindustri, jasa lingkungan, rekreasi

dan pariwisata, serta kawasan permukiman dan tempat pembuangan limbah. Dalam

hal ini termasuk pula sebagai kekuatan pertahanan dan keamanan nasional untuk

153 Ganjar Kurnia, Rektor Unpad, sambutan tertulis pada Seminar Nasional “Strategi

Peningkatan Keunggulan dan Komparatif Komoditas dan Kelautan Dalam Rangka Perkuatan Posisi Sektor Perikanan dan Kelautan Sebagai Pilar Penting Pembangunan Nasional”. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) Universitas Padjajaran, Jatinangor, 11 Maret 2009. Ratih Anbarini. Sumber Daya Kelautan Indonesia Belum Optimal Dimanfaatkan. http://www.unpad.ac.id/berita/sumber-daya-kelautan-indonesia-belum-optimal-dimanfaatkan/ Diakses tanggal 30 Juli 2009.

136

Page 146: Pemb Hukum dan Konflik UU Bid Sektoral_UNSRI

melindungi pesisir pulau-pulau terdepan wilayah NKRI.

Memang upaya membangun sektor kelauatan memerlukan penguasaan

teknologi rekayasa maritim yang sarat dengan high-tech dan high-cost. Untuk

mengadopsi dan mengaplikasikan teknologi yang dimaksud, dibutuhkan sumber

daya manusia yang cerdas, profesional dan berdedikasi tinggi serta memiliki disiplin

ilmu berbasis kemaritiman yang dibarengi kerjasama transfer of knowledge melalui

peran aktif semua komponen bangsa. Tidak cukup hanya dengan tekad dan semangat

saja, tetapi juga adanya komitmen yang kuat serta keseriusan dari berbagai pihak

untuk melakukan percepatan penguasaan rekayasa teknologi maritim, diantaranya

melalui penerbitan aturan hukum dan ditindaklanjuti dengan kerjasama di bidang

pendidikan dan pelatihan serta penelitian.154

B. Wilayah Pesisir yang Tak Terpisahkan

Tata kelola sumberdaya laut harus dalam konteks keterkaitan dengan

ekosistem wilaya pesisir secara terpadu dan berkelanjutan. Ketentuan mengenai

pengelolaan wilayah pesisir dan laut secara terpadu, dapat merujuk kepada hasil

United Nations Conference on Environment and Development (UNCED) di Rio de

Janeiro tahun 1992155. UNCED merumuskan tentang pengelolaan wilayah pesisir

dan laut secara terpadu (integrated coastal management) dalam Agenda 21 Chapter

17, sebagai rencana aksi di Abad 21 dengan judul: “Protection of Oceans, All Kinds

of Seas, including Enclosed and Semi-enclosed Seas, and Coastal Areas, and the

Protection, Rational use and Development of Their Living Resources”.

Salah satu program dalam Chapter 17, yaitu pada program (a) dirumuskan:

“Integrated management and sustainable development of coastal areas, including

exclusive economic zones”. Bagi negara-negara yang mempunyai wilayah laut yang

luas, maka program Integrated management tersebut harus menjadi fokus utama

perhatian. Pengelolaan pesisir dan laut secara integral dan berkelanjutan, tidak hanya

mengelola pesisir dan laut dengan sebagian lautnya, melainkan juga mengelola

154 Tejo Edhy Purdijatno, Laksamana TNI, Kepala Staf Angkatan Laut, pada Seminar

Nasional Maritim Tahun 2009 di Sekolah Tinggi Teknologi Angkatan Laut Surabaya. http://www.tnial.mil.id/tabid/61/articleType/ArticleView/articleId/1258/Default.aspx. Diakses tanggal 22 Agustus 2009.

155 UNCED dikenal juga dengan nama Earth Summit, menghasilkan: a) Convention on Biological Diversity; b) Convention on Climate Change; c) Agenda 21; d) The Forrest principles; dan e) Rio Declaration on Environment and Development.

137

Page 147: Pemb Hukum dan Konflik UU Bid Sektoral_UNSRI

wilayah laut secara keseluruhan, mulai dari perairan pedalaman, laut teritorial, zona

tambahan, zona ekonomi eksklusif, landas kontinen, kawasan dan laut bebas.

Dalam pengelolaan wilayah pesisir dan laut secara terpadu (integrated

coastal management), lingkungan laut (The Marine Environment) merupakan

komponen penting sistem penyangga kehidupan global156.

Perlunya pengaturan mengenai wilayah pesisir dan laut secara terpadu oleh

Indonesia, muncul setelah ditungkannya Agenda 21 dalam Agenda 21 Indonesia

Tahun 1996. Diakui bahwa, di satu sisi wilayah pesisir dan laut Indonesia, memiliki

makna yang penting bagi pembangunan ekonomi, namun di sisi lain wilayah pesisir

dan laut juga memiliki sejumlah persoalan yang terkait dengan ekologi, sosial-

ekonomi, dan kelembagaan. Pembangunan sumberdaya pesisir dan laut selama ini

tidak optimal dan berkelanjutan, salah satu penyebabnya adalah perencanaan dan

pelaksanaannya dijalankan secara sektoral dan tidak tertata sesuai dengan penataan

ruang yang baik. Sesuai dengan karakteristik dan dinamika alamiah ekosistem pesisir

dan laut, secara ekologis terkait satu sama lain, maka pengelolaan secara optimal

hanya dapat diwujudkan dengan pendekatan holistik dan teritegrasi.

Integrated coastal management, berhubungan dengan integrasi undang-

undang terkait dan integrasi antar sektor. Tata kelola kelautan dibangun secara

sistemik melalui pembangunan dan pemahaman keterpaduan antar pengelola di

wilayah pesisir dan laut dengan pihak-pihak terkait, adanya tujuan dan sasaran, nilai

dan etika dalam pembangunan, serta upaya penyelesaian sengketa dan kerjasama di

antara masyarakat pesisir, pemerintah, dan stakehlders.157 Tata kelola wilayah pesisir

dan laut bertumpu pada prinsip integrated coastal management, dirumuskan dalam

bentuk aturan hukum.

Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir

dan Pulau-pulau Kecil, harus menjadi acuan bagi pembentukan aturan hukum

pelaksanaan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut yang terintegrasi. Pengelolaan

wilayah pesisir dan laut membutuhkan perangkat aturan hukum, sehingga memiliki

dan menjamin terbangunnya suatu kondisi bermuatan ketertiban, kepastian, dan

156 J.C. Sorensen and McCreary. “Coast, Institutional Arrangement for Managing Coastal

Resources”, Rokhmin Dahuri, et. al. 2001. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Laut Secara Terpadu. Jakarta, Pradnya Paramita, hlm. 5.

157 Jacub Rai, et al. 1997. Integrated Coastal and Marine Resources Management. Proceeding of International Symposium. Malang, hlm. 17.

138

Page 148: Pemb Hukum dan Konflik UU Bid Sektoral_UNSRI

keadilan. Untuk itu, prinsip-prinsip integrated coastal management perlu dituangkan

ke dalam produk aturan hukum nasional dan daerah secara sinkron yang mengatur

mengenai pengelolaan wilayah pesisir dan laut.

Menuju tata kelola kelautan yang baik (good ocean governance), maka

kebijakan kelautan Indonesia hendaklah mengakomodasi kepentingan nasional

terhadap wilayah kedaulatan dan yurisdiksi, serta kepentingan dan keterkaitan

Indonesia terhadap aturan global di perairan laut internasional. Untuk itu diperlukan

pula suatu instrumen kebijakan kelautan berupa tata ruang laut beserta sumberdaya

yang terdapat di dalamnya.

Salah satu elemen penting dalam program integrated coastal management

adalah penyusunan suatu rencana zonasi yang merujuk pada penetapan wilayah

administratif. Penetapan zonasi wilayah administratif tersebut dapat merujuk kepada

Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-

pulau Kecil, Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah,

Undang-Undang No. 26 Tahun 2004 tentang Penataan Ruang, Undang-Undang No.

5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, dan

Undang-Undang No. 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia.

Penetapan zonasi laut lebih sulit untuk dilakukan karena kurangnya data

ruang yang konsisten, sifat multi dimensional lingkungan laut, dan kurangnya data

sumberdaya laut yang akurat, lengkap dan terkini. Jacub Rais, mengemukakan tiga

konsep penataan ruang laut:158

1. keterpaduan menata ruang laut dan daratan melalui pendekatan Daerah

Aliran Sungai (DAS);

2. keterpaduan menata ruang pulau-pulau kecil dan laut dengan pendekatan

bioregionism yang mengkaitkan karakter fisik oseanografi, atmosfer,

perubahan iklim dengan karakter demografi, sosial, ekonomi, budaya

yang hidup di pulau-pulau kecil; dan

3. Zona Ekonomi Eksklusif.

Pada hakikatnya penataan ruang laut adalah suatu kebijakan publik yang

bermaksud untuk mengoptimalkan pemanfaatan ruang laut bagi semua kepentingan

158 Jacub Rais. “Harmonisasi Pengelolaan Wilayah Pesisir Melalui Penatan Ruang Laut- Darat

Terpadu”, Inisiatif Harmonisasi Sistem Hukum Pengelolaan Wilayah Pesisir Indonesia. 2005. Kerjasama Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional. Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia dan Coastal Resources Management Project. Jakarta, hlm. 113.

139

Page 149: Pemb Hukum dan Konflik UU Bid Sektoral_UNSRI

para pelaku pembangunan secara terpadu, berdaya guna, berhasil guna, selaras,

seimbang, dan berkelanjutan. Undang-undang penataan ruang (UU No. 26 Tahun

2007), baru terfokus pada tata ruang daratan, oleh karena itu penataan dan

pengelolaan ruang laut dan udara diatur dengan undang-undang tersendiri (Pasal 6

ayat (5)). Secara aktual penataan ruang laut dan ruang udara hampir tidak pernah

dilakukan.

C. Tata Kelola Wilayah Pesisir dan Laut oleh Daerah

Berdasarkan ketentuan Pasal 18 ayat (3) dan (4) Undang-Undang No. 32

Tahun 2004, kewenangan daerah untuk mengelola sumberdaya di wilayah laut

(paling jauh 12 mil laut diukur dari garis pantai dan sepertiga (1/3) dari wilayah

kewenangan provinsi untuk kabupaten/kota, antara lain pengaturan tata ruang. Oleh

karena itu, Pemerintah daerah harus pula melakukan pembangunan di daerah dan

kelautan secara seimbang. Peran pemerintah daerah dapat menggerakkan potensi

masyarakat di daerahnya untuk menggali potensi laut, baik melalui eksploitasi yang

bertanggung jawab maupun budidaya dengan tetap memelihara kearifan lokal,

sehingga ketersediaan pangan yang bersumber pada laut tetap lestari.

Dengan kewenangan di wilayah laut tersebut, Daerah berkewajiban dan

bertanggungjawab untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya melalui

pengelolaan dan pemanfaatan wilayah laut tersebut. Konsekwensi dari kewenangan

tersebut, Daerah berkewajiban pula untuk ikut melindungi dan mengamankan

wilayah laut dan segala aktivitas yang berkaitan dengan pemanfaatan wilayah laut

dan sumber daya alamnya. Sebagai contoh, selama ini nelayan tradisional seringkali

kehilangan lahan untuk penangkapan ikan karena sudah dikuasai oleh nelayan asing

yang menggunakan perlengkapan modern, maka sekarang Daerah mempunyai

kewenangan untuk melindungi nelayan setempat.

Memang sempat terjadi konflik horizontal di masyarakat dan mengarah pada

ego-kedaerahan sehubungan dengan implementasi kewenangan daerah di wilayah

laut, seperti pelarangan bagi nelayan dari Daerah lain untuk melaut dalam suatu

Daerah. Hal tersebut bukanlah disebabkan oleh kesalahan kebijakan Otonomi

Daerah, namun lebih merupakan dinamika transisi implementasi Otonomi Daerah.

Pada tahap awal suatu undang-undang sangat mungkin timbul keragaman

pemahaman dan interpretasi dari banyak kalangan terhadap suatu ketentuan aturan,

140

Page 150: Pemb Hukum dan Konflik UU Bid Sektoral_UNSRI

dalam hal ini otonomi Daerah di wilayah laut. Oleh karena itu, antara pemerintah

Pusat, pemerintah Daerah, masyarakat dan pelaku ekonomi dibutuhkan pemahaman

dan persepsi yang sama terhadap kewenangan Daerah di wilayah laut, antara lain

sehubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya laut.

Pengaturan wewenang dan hubungan antara Pemerintah dan pemerintah

daerah dalam tata kelola sumber daya alam sektor kelauatan (wilayah pesisir dan

laut), tidak sekedar difokuskan pada pengaturan terhadap objeknya saja (sumberdaya

alam), tapi ditekankan pula kewajiban dan tanggung jawab pemerintah (pusat dan

daerah) dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

D. Penegakan Hukum dan Kebijakan Sektor Kelautan Multi Dimensi

Dalam hal penegakan hukum di laut, Indonesia sangat dirugikan akibat

sumberdaya perikanan banyak “dicuri’ (illegal fishing) oleh nelayan-nelayan (kapal-

kapal) asing. Akibat “pencurian” tersebut Indonesia justru dituduh oleh banyak

negara sebagai 'pelaku' “pencurian” ikan terbesar di dunia.159 Sungguh ironis,

nelayan Indonesia dituduh telah menangkap ikan tuna sirip biru yang jumlahnya

melebihi kuota (ditetapkan sepihak oleh negara-negara tertentu), sehingga dituduh

sebagai pencuri ikan terbesar. Padahal penangkapan jenis ikan tersebut dilakukan

oleh nelayan Indonesia di wilayah perairan sendiri.

Sebagai perbandingan tentang manajemen dan penegakan hukum

sehubungan dengan pengelolaan sumber daya laut (hidup), dapat merujuk kepada

upaya-upaya yang dilakukan secara baik oleh negara lain, misalnya Negara

Norwegia (Norway).160 Bagi Norwegia, industri perikanan merupakan tulang

punggung daerah pesisir pantai dan menempatkannya sebagai salah satu sektor

ekspor terbesar Norwegia. Oleh karena itu sangat penting bagi Norwegia untuk

menerapkan manajemen sumber daya laut hidup yang sangat baik. Tujuan

pengelolaan sumber daya laut hidup Norwegia adalah memastikan penggunaan yang

berkelanjutan, sebagai contoh, untuk memastikan bahwa panen disesuaikan dengan

kapasitas ternak untuk berkembang biak.

159 Mustopa, http://www.p2sdkpkendari.com/cetak.php?id=668. Diakses tanggal 20 Juli 2009. 160 Manajemen Norwegia untuk sumber daya laut hidup. http://www.norwegia.or.id/policy/trade/marine/marine.htm Diakses tanggal 20 Juli 2009.

141

Page 151: Pemb Hukum dan Konflik UU Bid Sektoral_UNSRI

Di Norwegia, aturan hukum bidang perikanan ditegakkan baik di laut dan

ketika ikan ditangkap. Di laut, penjaga pantai bertanggung jawab untuk memeriksa

kapal yang memancing dan tangkapannya. Kapal asing yang memancing di perairan

di bawah kekuasaan Norwegia juga diperiksa. Direktorat Perikanan bertanggung

jawab untuk mengkontrol jumlah ikan yang ditangkap dan menjaga statistik

perikanan. Kasus pemalsuan laporan atau ketidaksamaan dirujuk ke pengadilan.

Sejak 1 Juli 2000, pemerintah Norwegia mengharuskan kapal yang berlayar

di laut untuk memasang dan menggunakan peralatan berbasis satelit, sehingga

memungkinkan para pejabat memonitor kegiatan mereka secara berkala. Norwegia

juga memiliki perjanjian tentang penelusuran jejak melalui satelit dengan beberapa

negara dimana sumber ikan mereka berada di bawah daerah hukum perikanan

Norwegia.

Dari aspek kebijakan, Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) telah

merumuskan rencana pembangunan jangka panjang di bidang kelautan, diarahkan

untuk mengelola wilayah laut dalam rangka mempertahankan kedaulatan dan

kemakmuran negara. Secara spesifik, juga membangun ekonomi kelautan secara

terpadu dengan mengoptimalkan pemanfaatan sumber kekayaan laut secara

berkelanjutan. Namun proyek besar pembangunan kelautan tersebut tidak semata

milik DKP, melainkan kait-mengkait secara integral dari seluruh komponen bangsa.

Perlu keterkaitan secara sinergis dengan berbagai instansi, termasuk pemerintah

daerah yang memiliki wilayah pantai dan laut.

Pembangunan sektor kelautan dan perikanan serta wilayah pesisir di masa

datang, akan menghadapi sejumlah tantangan. Perubahan iklim dan kerusakan

lingkungan juga dapat menganggu kelestarian sumber daya kelautan dan perikanan.

Selain itu, tuntutan terhadap pembangunan kelautan dan perikanan secara efisien,

efektif, dan dengan pelayanan prima, menjadikan tantangan tersebut makin berat.

Namun seberat apapun tantangan itu, pembangunan tetap harus berjalan dengan

menggunakan berbagai sumberdaya dan memanfaatkan peluang yang ada.

142

Page 152: Pemb Hukum dan Konflik UU Bid Sektoral_UNSRI

BAB VI

ANALISIS ATURAN HUKUM

HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PUSAT DAN DAERAH

A. Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah

Dalam rangka menjalankan organisasi negara melalui sistem pemerintahan

sampai ke daerah-daerah, disamping tetap mendasarkan pada asas sentralisasi untuk

sebagian urusan pemerintahan, dapat dilakukan dalam pelbagai bentuk desentralisasi.

Implikasi langsung dari pelaksanaan urusan pemerintahan tersebut adalah kebutuhan

dana (keuangan) yang cukup besar, baik untuk pembiayaan urusan pemerintah pusat

(nasional) maupun untuk menjalankan urusan pemerintahan pada tingkat lokal

(daerah). Oleh karena itu diadakan pengaturan mengenai keuangan negara dan

keuangan daerah dalam bentuk aturan hukum, yaitu undang-undang dan aturan

hukum penjabarannya. Sebagaimana diamanatkan konstitusi (Pasal 18 A ayat (2)

UUD 1945), hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah

diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang161.

mempunyai

Beberapa aturan hukum mengenai keuangan negara dan hubungan keuangan

antara pusat dan daerah, yaitu:

1. Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara

2. Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara

3. Undang-Undang No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan

dan Tanggung Jawab Keuangan Negara

4. Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan

Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah

5. Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2003 tentang Pengendalian Jumlah

Kumulatif Defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, dan

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, serta Jumlah Kumulatif

Pinjaman Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah

161 Periksa teks lengkap ketentuan Pasal 18A ayat (2) UUD 1945.

143

Page 153: Pemb Hukum dan Konflik UU Bid Sektoral_UNSRI

6. Peraturan Pemerintah No. 54 Tahun 2005 tentang Pinjaman Daerah

7. Peraturan Pemerintah No. 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan

8. Peraturan Pemerintah No. 56 Tahun 2005 tentang Sistem Informasi

Keuangan Daerah

9. Peraturan Pemerintah No. 57 Tahun 2005 tentang Hibah Kepada Daerah

10. Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan

Daerah

11. Peraturan Pemerintah No. 39 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Uang

Negara/Daerah

12. Peraturan Presiden No. 104 Tahun 2006 tentang Penetapan Alokasi Dana

Alokasi Umum.

Hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, dapat dilakukan

secara desentralisasi fiskal, dekonsentrasi dan tugas pembantuan, dan pinjaman

daerah.

1. Desentralisasi Fiskal

Salah satu wujud dari desentralisasi fiskal adalah penyerahan oleh pemerintah

pusat atas sumber penerimaan tertentu kepada daerah dari sektor pajak dan retribusi,

yaitu dengan nama pajak daerah dan retribusi daerah. Dari kedua sumber

penerimaan yang diserahkan kepada daerah tersebut, daerah dapat menggali dan

menggunakan sendiri sesuai dengan potensinya masing-masing.

Terdapat sejumlah jenis pajak daerah dan jenis retribusi daerah yang menjadi

lapangan masing-masing dari propinsi dan kabupaten/kota. Hal tersebut dapat

ditelusuri dari aturan dasarnya, terutama dalam undang-undang pemerintahan daerah,

undang-undang pajak daerah dan retribusi daerah, dan undang-undang perimbangan

keuangan, serta undang-undang keuangan negara.

Secara substansial terjadi ketimpangan wewenang di bidang pajak dan retribusi

antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, hal tersebut tercermin dari sumber-

sumber pajak dan retribusi daerah yang sangat terbatas lapangan dan potensinya.

Pajak dan retribusi daerah menjadi andalan dalam kontribusi pendapatan asli daerah,

namun masih relatif kecil persentasenya dari total keseluruhan penerimaan daerah.

144

Page 154: Pemb Hukum dan Konflik UU Bid Sektoral_UNSRI

2. Dana Perimbangan

Dalam konteks desentralisasi fiskal dikenal pula dana perimbangan keuangan

antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, yaitu dana bagi hasil, Dana Alokasi

Umum, dan Dana Alokasi Khusus. Perimbangan adalah suatu sistem pembagian

keuangan dalam rangka pendanaan penyelenggaraan desentralisasi, dengan

mempertimbangkan potensi, kondisi, dan kebutuhan daerah, serta besaran pendanaan

penyelenggaraan dekonsentrasi dan tugas pembantuan.

Bagi hasil penerimaan (revenue sharing) berasal dari penerimaan pajak dan

penerimaan dari sumber daya alam (SDA). Dari dana bagi hasil penerimaan negara

tersebut, dapat mengurangi sebagian ketimpangan hubungan keuangan antara pusat

daerah, khususnya dari aspek fiskal.

Bagi hasil penerimaan tersebut di atas dilakukan dengan persentase tertentu

yang didasarkan atas daerah penghasil. Bagi hasil penerimaan negara tersebut

meliputi bagi hasil Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Perolahan Hak atas Tanah

dan Bangunan (BPHTB), dan bagi hasil sumber daya alam (SDA) yang terdiri dari

sektor kehutanan, pertambangan umum, minyak bumi dan gas alam, dan perikanan.

Di samping itu, berdasarkan UU Nomor 17 Tahun 2000, yaitu UU Pajak Penghasilan

(PPh) sebagai perubahan UU sebelumnya, Daerah memperoleh bagi hasil dari PPh

orang pribadi yaitu PPh Karyawan (Pasal 21) serta PPh Pasal 25 dan PPh Pasal 29

Orang Pribadi.

Sistem bagi hasil tersebut di atas, baik dari sektor pajak maupun SDA dapat

menimbulkan ketimpangan horizontal antar daerah sejenis. Hal ini disebabkan potensi

subjek dan objek pajak yang tidak sama antar daerah, di samping itu, hanya beberapa

daerah yang memiliki potensi SDA secara signifikan, seperti minyak bumi dan gas

alam (migas), pertambangan, dan kehutanan. Terhadap lapangan pajak yang sudah

menjadi lapangan pajak pemerintah pusat tidak dapat dikenakan pajak lagi oleh

daerah. Meskipun demikian, dimungkinkan dilakukan opsen atau penetapan

tambahan atas pajak pusat, misalnya terhdap PPh Orang Pribadi.

145

Page 155: Pemb Hukum dan Konflik UU Bid Sektoral_UNSRI

3. Dekonsentrasi

Dekonsentrasi merupakan pelimpahan wewenang pemerintah pusat kepada

Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di propinsi. Sifat urusan yang dilimpahkan

tersebut tetap sebagai urusan pemerintah pusat, namun pelaksanaannya di daerah

dilakukan oleh dinas Daerah dan instansi vertikal di daerah. Pendanaan atas

pelaksanaan urusan dekonsentrasi tersebut merupakan tanggungjawab pemerintah

pusat dan dengan sendirinya bersumber dari APBN. Apabila dari pelaksanaan urusan

dekonsentrasi tersebut menghasilkan pendapatan, maka pendapatan itu menjadi

penerimaan pemerintah pusat.

Urusan dekonsentrasi antara lain fasilitasi kerja sama dan penyelesaian

perselisihan antar daerah dalam wilayah kerjanya, penciptaan dan pemeliharaan

ketentraman dan ketertiban umum, pembinaan penyelenggaraan tugas-tugas umum

Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.

4. Tugas Pembantuan

Tugas pembantuan juga diadakan dalam rangka memperlancar pelaksanaan

urusan pemerintah pusat di daerah. Perbedaan dengan dekonsentrasi, pada tugas

pembantuan dalam pelaksanaannya dapat ditugaskan kepada propinsi, kabupaten,

kota, dan desa. Disamping itu, pihak yang memberikan tugas pembantuan tidak

terbatas dari Pemerintah Pusat saja, tapi juga dapat berasal dari pemerintah propinsi

kepada kabupaten/kota, atau dari kabupaten/kota ke desa.

Dalam hal urusan yang dilaksanakan berdasarkan tugas pembantuan tersebut

berasal dari pemerintah pusat, maka dana yang digunakan untuk membiayai kegiatan

dimaksud berasal dari APBN. Dalam hubungan ini, apabila kegiatan tersebut

menghasilkan pendapatan, maka pendapatan tersebut menjadi penerimaan negara

(pemerintah pusat).

146

Page 156: Pemb Hukum dan Konflik UU Bid Sektoral_UNSRI

5. Pinjaman Daerah

Untuk membiayai kebutuhan daerah berkaitan dengan penyediaan prasarana

yang dapat menghasilkan (pengeluaran modal), maka daerah dapat melakukan

pinjaman baik dari dalam negeri (Pemerintah Pusat dan Lembaga Keuangan)

maupun dari luar negeri dengan persetujuan dan melalui pemerintah pusat. Dengan

demikian sumber pinjaman daerah dapat berasal dari sumber di luar keuangan

negara, yaitu pinjaman yang berasal dari lembaga swasta atau masyarakat langsung.

Pinjaman daerah yang bersifat jangka panjang, digunakan untuk membiayai

pembangunan prasarana yang akan menjadi aset daerah. Selain memberikan manfaat

bagi pelayanan umum, diharapkan dari pengelolaan aset tersebut nantinya dapat

menghasilkan penerimaan untuk pembayaran pinjaman. Adapun pinjaman daerah

yang bersifat jangka pendek, hanya dapat dilakukan dalam rangka pengelolaan kas

daerah yang sifatnya hanya untuk membantu likuiditas.

Kebijakan Pemerintah terhadap pinjaman luar negeri (penerusan pinjaman)

dalam kerangka desentralisasi fiscal, belum diikuti dengan aturan hukum yang jelas

dari segi mekanisme penyaluran, mekanisme pembayaran kembali, jaminan dan

akuntabilitas. Akibat dari semua itu, sebagian besar perjanjian pinjaman luar negeri

untuk pemerintah paerah telah ditandatangani, namun belum dapat disalurkan karena

persoalan aturan hukum yang disebutkan tadi tidak jelas.

B. Konflik Aturan Hukum dan Disharmoni Tata Kelola Sektor Keuangan Pusat

dan Daerah

Konflik aturan hukum dan disharmoni mengenai tata kelola sektor keuangan

antara pusat dan daerah diidentifikasikan sebagai berikut:

1. Kurang efektifnya koordinasi antara Departemen Keuangan, Departemen

Teknis, dan Pemerintah Daerah dalam menentukan besarnya realisasi

Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam (SDA) sehingga penyalurannya

terlambat.

147

Page 157: Pemb Hukum dan Konflik UU Bid Sektoral_UNSRI

2. Peluang terjadinya penyalahgunaan kebijakan Pemerintah Pusat yang

memberikan perintah untuk segera mencairkan Dana Alokasi Khusus

tanpa melihat kesiapan Pemerintah Daerah untuk merealisasikannya.

3. Tidak adanya harmonisasi dan konsistensi antara ketentuan Pasal 4 ayat 3

Peraturan Presiden Nomor 104 Tahun 2006 tentang Penetapan Alokasi

DAU dengan peraturan yang lebih tinggi sehingga beberapa daerah

mendapat alokasi DAU lebih daripada seharusnya.

4. Penghitungan alokasi DAK tidak mengikuti kriteria umum, kriteria

khusus, dan kriteria teknis yang ditetapkan sehingga alokasi DAK tersebut

tidak mempunyai dasar.

5. Penerimaan Dana Perimbangan oleh banyak Pemerintah Daerah

dilakukan tanpa melalui kas daerah, di antaranya digunakan secara

langsung tanpa melalui mekanisme APBD dan ada yang belum disetorkan

ke daerah.

C. Isu Hukum Mendasar dan Aktual dalam Pengaturan Keuangan Pusat dan

Daerah Serta Solusinya

Lemahnya koordinasi antara Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat dalam

mengimplementasikan ketentuan Dana Perimbangan (Undang-Undang No. 33 Tahun

2004 dan Peraturan Pemerintah No. 55 Tahun 2005) berakibat pada adanya

pertentangan pada kedua ketentuan tersebut dalam hal penetapan Dana Perimbangan

sehingga berpotensi pada ketidakadilan dan ketidakselarasan dalam pengalokasian

dana tersebut.

Pasal 18A ayat (2) UUD 1945 menentukan bahwa hubungan keuangan antara

pemerintah pusat dan pemerintahan daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan

selaras. Ketentuan tersebut mempunyai arti bahwa pengaturan hubungan keuangan

tersebut harus memberikan kemanfaatan bagi seluruh rakyat Indonesia, meskipun

proses pendistribusian tidak secara merata atau sama besarnya antara daerah yang

satu dengan daerah yang lainnya.

Pengaturan hubungan keuangan tersebut harus memberikan jaminan

terciptanya kesesuaian antara besarnya kewenangan yang diserahkan kepada daerah

148

Page 158: Pemb Hukum dan Konflik UU Bid Sektoral_UNSRI

dengan sumber-sumber keuangan yang dapat dikelola oleh daerah, serta sesuai

dengan tujuan negara sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945.

Penggunaan istilah ”perimbangan keuangan” dalam UU Nomor 33 Tahun 2004,

dapat dikatakan merupakan upaya untuk memenuhi jiwa dan semangat Pasal 18A

ayat (2) UUD 1945 , khususnya kata-kata adil dan selaras.

Hubungan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah itu dapat

berlangsung dengan adil dan selaras jika dipenuhi beberapa aspek:

1. Apakah Pemerintah Pusat telah menyerahkan sumber-sumber keuangan yang

cukup terutama yang berhubungan dengan pajak daerah, retribusi daerah, dan

bagi hasil pajak dan SDA. Pemberian sumber-sumber penerimaan tersebut

akan mencerminkan kemampuan atau potensi di bidang keuangan dari suatu

daerah. Hal ini dikarenakan kemampuan keuangan daerah sangat ditentukan

oleh ketersediaan sumber-sumber pajak dan dan retribusi serta hasil dari

objek pajak dan retribusi tersebut. Adapun tingkat hasil sangat dipengaruhi

oleh sejauh mana sumber pajak responsif terhadap kekuatan-kekuatan yang

mempengaruhi objek pengeluaran seperti inflasi, pertambahan penduduk dan

pertumbuhan ekonomi. Sumber-sumber pendapatan potensial yang dimiliki

Daerah akan menentukan juga tingkat kemampuan keuangannya. Setiap

daerah mempunyai potensi pendapatan yang berbeda karena perbedaan

kondisi ekonomi, sumber daya alam, besaran wilayah, tingkat pengangguran,

dan besaran penduduk.

2. Sejauh mana pemerintah daerah mempunyai kemampuan untuk

menentukan secara objektif kebutuhan akan keuangan yang diperlukan untuk

menyediakan pelayanan yang diperlukan masyarakat daerah.

3. Sejauh mana pemerintah pusat memberikan subsidi yang adil dan terukur

kepada masing-masing daerah untuk membiayai kekurangan dana.

Penyerahan sumber-sumber keuangan kepada daerah oleh pemerintah pusat

sangat erat kaitannya dengan penyerahan urusan pemerintahan kepada daerah

sebagai konsekuensi dianutnya asas desentralisasi. Oleh karena itu, sumber-sumber

keuangan yang diserahkan kepada daerah mestinya sebanding dengan tugas dan

tanggung jawab yang diserahkan kepada daerah untuk mengatur dan mengurus

urusan pemerintahan. Dengan perkataan lain, perimbangan keuangan harus

menunjukkan, bahwa penyerahan urusan pemerintahan kepada daerah

149

Page 159: Pemb Hukum dan Konflik UU Bid Sektoral_UNSRI

mencerminkan adanya keseimbangan dengan penyerahan pengelolaan dan

pemanfaatan sumber-sumber keuangan yang ada di daerah.

Penyerahan sumber-sumber keuangan oleh Pemerintah Pusat kepada

Pemerintah Daerah belum mencerminkan besarnya urusan pemerintahan yang

diserahkan kepada Daerah. Luasnya urusan pemerintah daerah, tidak dibarengi

dengan penyerahan sumber-sumber keuangan potensial yang berada di wilayah

daerah otonom sebagai pemasok utama PAD, khususnya yang berkaitan dengan

pajak dan retribusi daerah.

Masih ada keengganan pemerintah pusat untuk memberikan dana bagi hasil

yang lebih besar kepada daerah, khususnya dari sektor pertambangan minyak dan

gas bumi. Hasil sektor pertambangan minyak bumi 84,5% untuk pemerintah pusat

dan sisanya dibagi antara provinsi dan kabupaten/kota, dan hasil sektor

pertambangan gas bumi 69,5% untuk pemerintah pusat dan sisanya untuk daerah.

Memang perimbangan keuangan tidak berarti pemberian sumber-sumber keuangan

dibagi secara secara sama rata (sama besar) antara pemerintah pusat dan pemerintah

daerah, karena perimbangan keuangan hakikatnya merupakan subsidi dari pusat

kepada daerah.

Pemerintah daerah harus mempunyai kemampuan untuk menentukan secara

objektif kebutuhan akan keuangan yang diperlukan untuk membiayai

penyelenggaraan pelayanan yang diperlukan masyarakat daerah. Pemerintah daerah

juga harus dapat melakukan perhitungan secara matang dan rasional mengenai

rencana kegiatan yang akan dilaksanakan sehubungan dengan penyerahan urusan

pemerintahan kepada daerah. Berdasarkan rencana kegiatan itu, akan dapat diketahui

kebutuhan keuangan yang diperlukan dalam satu tahun anggaran.

D. Langkah Penyempurnaan Hubungan Keuangan Antara Pusat dan Daerah

Beberapa hal yang harus dicermati dan dijadikan sebagai langkah

penyempurnaan dalam pelaksanaan perimbangan keuangan antara Pusat dan Daerah,

adalah:

1. Dalam pelaksanaan desentralisasi fiskal perlu dipikirkan adanya semacam

pedoman dari pemerintah pusat sebagai sarana pengawasan.

150

Page 160: Pemb Hukum dan Konflik UU Bid Sektoral_UNSRI

2. Prinsip money follow function harus dilaksanakan secara konsisten sehingga

kewenangan harus ditetapkan lebih dahulu baru kemudian ditetapkan dan

ditransfer dana yang dibutuhkan.

3. Dalam pelaksanaan desentralisasi fiskal, agar pemerintah pusat senantiasa

mengadakan koreksi atas ketimpangan antar daerah, antara lain dengan DAK.

4. Dari gambaran consolidated revenues (APBD Kabupaten/Kota + Provinsi +

Penerimaan Dana Dalam Negeri dalam APBN), porsi PAD hanya sekitar

3,45% tergolong sangat sentaralistis. Untuk itu perlu peningkatan taxing

powers Daerah, antara lain melalui penyerahan beberapa pajak Pusat dan

Daerah, dan penyerahan sebagian PNBP kepada Daerah. Kebijakan ini

sekaligus untuk menghilangkan upaya Daerah untuk menggali sumber-

sumber PAD yang berdampak distortif terhadap perekonomian dan

lingkungan.

5. Terdapat keseimbangan antara akuntabilitas dan kewenangan dalam

pengelolaan pajak dan retribusi Daerah, sehingga penyimpangan penggunaan

anggaran daerah dapat diperkecil atau bahkan ditiadakan.

Berdasarkan uraian di atas maka beberapa hal perlu ditegaskan:

1. Hubungan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah di Indonesia

diwujudkan dengan memberikan kewenangan yang lebih besar kepada

Daerah untuk mengatur dan mengurus sumber-sumber pendapatan Daerah

dalam rangka membiayai penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan.

2. Hubungan Keuangan antara Pusat dan Daerah yang menyangkut dana

perimbangan belum memberikan peran kepada Daerah untuk terlibat

langsung dalam menentukan kriteria, variabel, maupun jumlah prosentase

pembagian antara Pusat dan Daerah.

3. Hubungan keuangan antara Pusat dan Daerah terutama yang berkaitan

dengan pencairan DAU dan DAK dalam pelaksanaannya kurang transparan.

4. Agar diperoleh suatu pemahaman yang sama, maka dalam menentukan

besaran persentase yang akan dicantumkan dalam peraturan yang mengatur

tentang perimbangan keuangan antara Pusat dan Daerah, harus dilibatkan

masyarakat Daerah baik yang berasal dari LSM, perguruan tinggi, dan

151

Page 161: Pemb Hukum dan Konflik UU Bid Sektoral_UNSRI

Dewan Perwakilan Daerah (DPD) agar terjamin keadilan, transparansi dan

akuntabilitas.

5. Untuk meningkatkan kemampuan Daerah dalam membiayai atau

membelanjai kegiatan pemerintahan, maka objek pajak yang potensial

hendaknya diserahkan hak pemungutan dan pengelolaannya kepada Daerah.

6. Pemberian subsidi atau bantuan hendaknya tetap dapat menjamin

kemandirian Daerah dalam mengatur dan mengurus rumah tangga Daerah

sesuai dengan aspirasi dan kepentingan masyarakat daerah.

152

Page 162: Pemb Hukum dan Konflik UU Bid Sektoral_UNSRI

BAB VII

PROBLEM DAN LANDASAN PIJAK PENATAAN HUBUNGAN

PUSAT DAN DAERAH DAN PERAN MASYARAKAT ADAT

A. Pembagian Wewenang yang Timpang Antara Pusat dan Daerah

Penyusunan daerah otonom ke tingkatan propinsi-propinsi (atau sejenisnya)

dan dibagi lagi dalam kabupaten-kabupaten dan kota-kota, menimbulkan persoalan

pembagian urusan pemerintahan dan ruang lingkup kewenangannya. Urusan-urusan

pemerintahan yang dapat dibagi dan diselenggarakan bersama-sama antara

pemerintah pusat dan pemerintah daerah, hingga sekarang belum terselesaikan

dengan tuntas, terutama tentang ruang lingkup masing-masing urusan tersebut dan

mengintegrasikan secara sinergis dalam tataran normatif dan pelaksanaannya.

Sebagian pihak bersikukuh agar propinsi tetap sebagai daerah yang memiliki

urusan otonom, baik jenis maupun ruang lingkup yang besar. Pada sisi lain,

kabupaten atau kota, sebagai daerah otonom yang berbasis langsung pada rakyat,

juga memiliki urusan sebagai daerah otonom. Namun urusan kabupaten dan kota

lebih merupakan urusan residu (sisa), karena terlebih dahulu ditentukan dan diatur

apa saja lingkup urusan Pemerintah pusat dan urusan propinsi.

Pembagian pengelolaan sumber daya yang ada di daerah, terutama sumber

daya yang bernilai ekonomi tinggi (banyak menghasilkan uang), kabupaten atau kota

hanya mendapat sisa. Pengelolaan sumber-sumber keuangan daerah berkisar pada

sumber-sumber yang sangat terbatas dibandingkan dengan sumber-sumber yang

ditetapkan untuk pemerintah pusat. Apakah itu dari sumber daya alam, sumber daya

pajak dan retribusi, maupun sumber daya dari bukan pajak dan bukan retribusi yang

bernilai uang.

Padahal, penyelenggaraan otonomi yang berbasis langsung dengan rakyat,

menuntut tanggung jawab yang lebih besar dalam pelayanan dan peningkatan

kesejahteraan masyarakat. Akibat keterbatasan sumber daya keuangan pada

kabupaten dan kota, menunjukkan realitas bahwa otonomi pada dua jenis daerah

tersebut belum berarti banyak bagi kesejahteraan masyarakat. Relatif kecilnya

153

Page 163: Pemb Hukum dan Konflik UU Bid Sektoral_UNSRI

pendapat asli daerah bila dibandingkan dengan penerimaan APBD, mencerminkan

bahwa otonomi itu masih jauh dari yang diharapkan. Faktor kunci ukuran

keberhasilan otonomi daerah ditentukan oleh kekuatan pendapatan asli daerah yang

bersangkutan untuk membiayai penyelenggaraan urusan pemerintahan dan

pembangunan. Kenyataan sekarang, Daerah masih sangat bergantung kepada dana

alokasi dan bagi hasil penerimaan dari Pemerintah Pusat. Sutau kebijakan yang tidak

populer di masyarakat. Terdapat banyak kecendeungan bahwa upaya peningkatan

penerimaan daerah lebih banyak bersifat beban bagi masyarakat, hal tersebut

diwujudkan dalam bentuk pungutan (pajak, retribusi, iuran, sumbangan) dan

eksploitasi sumber daya alam.

Bagi daerah-daerah yang memiliki potensi kekayaan sumber daya alam yang

besar, menjadi andalan utama dalam menggali sumber-sumber keuangan daerah.

Berbagai eksploitasi sumber daya alam yang dilakukan, seperti penebangan hutan,

kegiatan pertambangan, dan perkebunan oleh berbagai perusahaan baik dalam skala

kecil maupun skala besar, telah menimbulkan dampak kemerosotan daya dukung dan

keberlanjutan fungsinya bagi lingkungan hidup. Kemerosotan fungsi lingkungan,

bahkan terjadinya kerusakan lingkungan sangat mengancam bagi kehidupan

masyarakat setempat dan sekitarnya, bagi dari aspek kesehatan, keberlanjutan mata

pencarian, dan tatanan sosial kemasyarakatan.

Sisi lain dari eksploitasi sumber daya alam di daerah adalah makin terdesaknya

hak-hak masyarakat setempat atas akses terhadap hutan dan hasilnya serta akses hak

atas tanah. Untuk keperlukan lahan yang luas bagi usaha perkebunan besar, banyak

tanah-tanah warga masyarakat yang diambil alih, baik dengan proses pembebasan

yang sesuai prosedur maupun dengan proses yang tidak sesuai dengan prosedur.

Itulah sebabnya dapat dikatakan sengketa pertanahan antara warga dengan pihak

perusahaan, termasuk pemerintah, terjadi di tiap propinsi. Penetapan luas wilayah

atau areal lahan secara sepihak oleh pemerintah bagi suatu perusahaan yang

membutuh lahan yang luas, bahkan tidak diikuti dengan pengecekan secara objektif

di lapangan, sangat rawan terjadinya tumpang tindih dan sengkta kepemilikan lahan.

Berlarutnya penyelesaian dan tidak jelas akhir penyelesaian sengketa pertanahan,

rawan terjadinya tindak kekerasan yang dilakukan oleh warga, baik dalam bentuk

154

Page 164: Pemb Hukum dan Konflik UU Bid Sektoral_UNSRI

pengrusakan, pembakaran terhadap asset, maupun kekerasan fisik lainnya, termasuk

terhadap fisik manusia.

Konflik batas lahan dan kepemilikan lahan, tidak hanya terjadi pada tataran

sesama warga masyarakat, antar warga dengan perusahaan, dan antar warga dengan

pemerintah, melainkan juga terjadi antar sesama pemerintah daerah. Pada tataran

antar sesama pemerintah daerah dikenal dengan sengketa wilayah administrasi yaitu

mengenai batas wilayah administratif masing-masing daerah yang berbatasan

langsung. Sengketa batas wilayah dapat terjadi antar provinsi, antar kabupaten, dan

antar kabupaten dan kota, serta kemungkinan dengan negara lain yang berbatasan

langsung terutama wilayah daratan, seperti dengan Malaysia di Pulau Kalimantan

dan di Propinsi Papua dengan Papua New Guinea (Papua Nugini).

Sengketa wilayah perbatasan antar pemerintah daerah di Indonesia tidak akan

menimbulkan kekerasan atau bentrokan di masyarakat, namun dapat menyebabkan

macet atau terabaikan pelayanan kepada masyarakat yang berada di daerah

perbatasan tersebut. Konflik (administrasi) perbatasan antar pemerintah daerah akan

makin mencuat jika di wilayah tersebut dan sekitarnya kaya sumber daya alam,

misalnya bahan tambang dan mineral, serta terdapatnya perusahaan yang

menanamkaan modal di kawasan tersebut, misalnya di bidang pertambangan dan

perkebunan. Persoalan menjadi bertambah krusial oleh karena kawasan potensi

sumber daya tambang dan mineral, tidak persis sama batas wilayahnya dengan

wilayah administratif daerah yang ditentukan berdasarkan peta tertulis, sebagai

miniatur dari permukaan bumi.

Potensi sumber daya tambang dan mineral, demikian juga sumber daya biotik

lainnya mempunyai karakter ekologik, oleh karena itu secara ekologik dapat meliputi

sejumlah wilayah atau daerah yang berbatasan langsung. Karakter ekologik dari

sumber daya alam tersebut, baik yang bersifat biotik maupun non biotik, tidak cukup

dipandang dan dipaksa diselesaikan secara pemetaan wilayah administratif,

melainkan juga harus didekati dari sisi bio-region dan nature region. Seperti halnya

bahan tambang (mineral, batubara, atau jenis lainnya), memiliki kawasan tersendiri

secara alami yang kadangkala tidak mudah ditentukan dari atas permukaan bumi.

Jika sumber daya alam yang terdapat di kawasan perbatasan wilayah daerah

tersebut potensial dan bernilai tinggi, maka persoalan kepentingan ekonomi menjadi

155

Page 165: Pemb Hukum dan Konflik UU Bid Sektoral_UNSRI

motif pertarungan dari daerah masing-masing yang perbatasannya persis di kawasan

tersebut. Kedua daerah atau lebih, saling klaim dan menyatakan diri sebagai pihak

yang berhak dan berwenang mengambil keputusan, termasuk terhadap pihak ketiga

yang akan melakukan investasi atas sumber daya alam tersebut.

B. Masyarakat Adat Beserta Hak Komunalnya dalam Perspektif

Desentralisasi

Secara singkat dapat dideskripsikan pemaknaan tentang masyarakat adat itu

sebagai berikut:

1. Masyarakat adat yang memiliki ikatan atas wilayah adat sebagai tanah

leluhur dan secara fisik berdomisili dan menggunakannya;

2. Masyarakat adat yang memiliki ikatan atas wilayah adat sebagai wilayah

leluhurnya tetapi tidak berdomisili di sana secara fisik serta tidak

memanfaatkan tanah adat tersebut karena suatu kesukarelaan atau suatu

keterpaksaan;

3. Masyarakat heterogen (campuran antara masyarakat adat dan pendatang).

Ada pula masyarakat hukum adat yang bersifat genealogis (berdasarkan asas

keturunan), ialah masyarakat hukum adat yang para anggotanya terikat berdasarkan

keyakinan bahwa mereka berasal dari keturunan yang sama. Dalam masyarakat

hukum adat yang genealogis dikenal tiga pertalian keturunan, yaitu:

1. keturunan menurut garis laki-laki, seperti terdapat dalam masyarakat hukum

adat orang Batak, Bali, dan Ambon.

2. keturunan menurut garis perempuan, seperti terdapat dalam masyarakat

hukum adat orang Minangkabau (Sumatera Barat), Kerinci (Jambi), dan

Semendo (Sumatera Selatan).

3. keturunan menurut garis ibu dan bapak, seperti pada masyarakat hukum adat

orang Bugis (Sulawesi), Dayak (Kalimantan), dan Jawa.

Masyarakat adat (masyarakat hukum adat) yang dimaksud di sini lebih

ditekankan pada masyarakat adat yang secara fisik berdomisili dan memanfaatkan

tanah dalam ikatan wilayah adat mereka. Tidak dipersoalkan apakah anggota

masyarakat tersebut mengikatkan diri secara sukarela atau karena terpaksa. Tentu

saja dalam ikatan yang demikian bercampur pula ikatan yang bersifat genealogis dan

156

Page 166: Pemb Hukum dan Konflik UU Bid Sektoral_UNSRI

ikatan yang bersifat kewilayahan. Di samping hukum adat yang mereka gunakan

dalam kehidupan bermasyarakat, juga berlaku hukum (aturan hukum tertulis) yang

dibuat oleh negara, baik aturan hukum yang dibuat oleh pemerintah pusat maupun

yang dibuat oleh pemerintah daerah.

Karakter hukum yang dibentuk oleh negara cenderung dirumuskan dalam

aturan hukum dan norma hukum yang bersifat general (umum), tidak didasarkan

pada kekhasan dan kearifan lokal. Ketika hukum yang dibuat oleh negara itu

diterapkan di masyarakat (termasuk masyarakat adat) sering kali menimbulkan

goncangan terhadap tertib hukum dan budaya lokal, oleh hukum negara (nasional)

tidak selalu compatible dengan budaya lokal. Padahal, manusia tidak bisa hidup di

luar ketertiban, sebaliknya manusia tetap bisa hidup tanpa harus menggunakan

hukum modern (negara) dan tiap komunitas sesuai dengan kearifannya, akan

membangun ketertibannya sendiri.

Dalam kebijakan otonomi daerah, seperti pembentukan daerah, pemekaran

daerah, dan pembagian urusan pemerintahan, ternyata masyarakat adat beserta hak

komunalnya, tidak dijadi komponen yang menentukan dalam pembentukan daerah

dan pembagian urusan pemerintahan, juga dalam pembagian wilayah administratif

daerah. Kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat dan hak-hak tradisionalnya,

lambat-laun akan terpinggirkan, sebab pengakuan dan penghormatan atas kesatuan

masyarakat adat dan hak tradisionalnya harus menyesuaikan dengan perkembangan

masyarakat. Pembagian wilayah-wilayah daerah otonom, mengakibatkan struktur

masyarakat adat dan budayanya menjadi terpecah-pecah (fragmented) dalam

beberapa daerah otonom.

Komunitas masyarakat adat dalam perjalanannya lambat laun akan berinteraksi

dengan masyarakat lain (luar), hal ini terjadi karena kehidupan masyarakat luar yang

dinamis dan terus mengembangkan aktivitas kehidupan, sekalipun harus menjelajah

jauh ke daerah pelosok. Dengan demikian, proses terjadinya interaksi antara

masyarakat hukum adat dengan segala tatanan kemasyarakatan dan hak-hak

komunalnya dengan penduduk atau masyarakat lain, terjadi karena masuknya orang

luar tersebut ke dalam wilayah atau kesatuan masyarakat adat tersebut. Berbagai

alasan alasan atau kepentingan yang melatarbelakangi kedatangan orang luar

sehingga memasuki komunitas dan wilayah masyarakat adat, terutama:

157

Page 167: Pemb Hukum dan Konflik UU Bid Sektoral_UNSRI

- perpindahan penduduk dari daerah lain ke dalam wilayah suatu masyarakat

hukum;

- melakukan aktivitas perdagangan antar daerah;

- kegiatan sosial;

- kegiatan politik;

- pembukaan jalan;

- pembukaan area pertanian (oleh pemerintah); dan

- eksploitasi kekayaan sumber daya alam oleh korporasi, seperti kegiatan

penebangan kayu melalui hak penguhaan hutan (HPH), pertambangan, dan

perkebunan, serta pengusahaan tanaman industri untuk bahan kertas

misalnya.

Cikal bakal persoalan (konflik) pertanahan berskala besar dan berkepanjangan

yang menyangkut hak-hak masyarakat adat atas tanah dan hak atas tanah masyarakat

lokal lainnya, yakni karena adanya aktivitas yang langsung berhubungan dengan

tanah, seperti pembukaan lahan untuk perkebunan besar, pertambangan, penebangan

hutan secara besar-besaran untuk kebutuhan industri pengolahan kayu, dan

pembukaan ruas jalan untuk kelancaran mobilitas kegiatan investasi perusahan-

perusahaan besar.

Konflik tersebut di atas diakibatkan oleh perampasan hak atas tanah (teritori)

tanah adat baik oleh negara (pemerintah) dengan dalih “untuk kepentingan umum”

maupun oleh swasta (perusahaan). Perampasan teritori (territory violence) terhadap

masyarakat adat dengan mengatasnamakan undang-undang, peraturan atau kebijakan

pemerintah, seringkali menimbulkan friksi antara pihak yang diuntungkan (the

winner) dengan pihak yang kalah (the looser). Pihak yang diuntungkan biasanya

adalah pemerintah atau pihak lain yang mendapat “legitimasi” negara untuk

menguasai kawasan tertentu, sedangkan masyarakat adat (pemilik asli) hampir selalu

menjadi pihak yang dipinggirkan. Hal inilah yang menjadi benih konflik ketika

masyarakat sebagai pemilik awal melakukan tindakan penguasaan kembali atas

haknya yang dirampas.

Dampak eksploitasi sumber daya alam yang tidak selaras dengan prinsif Pasal

33 UUD 1945, tidak hanya membuat masyarakat adat dan masyarakat lokal

sekitarnya yang terdesak dan terjepit, melainkan berdampak secara kawasan,

158

Page 168: Pemb Hukum dan Konflik UU Bid Sektoral_UNSRI

regional bahkan global. Berbagai dampak terhadap lingkungan telah terjadi, sepertin

penurunan kualitas sumberdaya air, perubahan iklim secara ekstrem, menurunnya

fungsi dan daya dukung lingkungan dalam mendukung kualitas kehidupan sosial dan

ekonomi secara serasi, seimbang dan lestari. Terancamnya kelestarian keragaman

jenis dan kekhasan sumberdaya alam untuk mewujudkan nilai tambah, daya saing

serta modal bagi pembangunan nasional.

Pemanfaatan hutan sebagai modal pembangunan ekonomi nasional telah

melebihi kemampuannya sebagai sumber daya alam yang dapat diperbaharui.

Berbagai kebijakan yang telah dilaksanakan masih belum mampu menyelesaikan

permasalahan di bidang kehutanan. Sementara itu, nilai tambah dari produk hutan

nonkayu seperti air, udara bersih, keanekaragaman hayati, dan keindahan alam

belum berkembang seperti yang diharapkan untuk mendukung sektor ekonomi.

Praktik penebangan liar dan konversi lahan juga telah menimbulkan dampak

yang luas, yaitu kerusakan ekosistem di kawasan tersebut dan merambah ke dalam

tatanan daerah aliran sungai (DAS). Kerusakan pada DAS makin parah disebabkan

oleh lemahnya kapasitas kelembagaan pengelolaan DAS dan kurangnya koordinasi

antara kegiatan di hulu dan hilir, telah menyebabkan banjir pada musim hujan,

sebaliknya terjadi kekeringan pada musim kemarau di beberapa daerah.

C. Titik Tolak Penyelarasan Hubungan Pusat dan Daerah Berdasarkan Prinsip

Otonomi yang Luas

Tidak ada sistem yang sempurna, melainkan ada banyak inkonsistensi dan

inkoherensi (ketidaksesuaian) antara aturan yang satu dengan yang lainnya.

Inkonsistensi menunjukkan adanya kontraksi dalam sistem aturan hukum, sehingga

temuan adanya inkonsistensi mengindikasikan adanya kelemahan suatu sistem aturan

hukum. Terdapat ketidaksesuaian antara berbagai aturan hukum yang bersifat

sektoral dan aturan hukum yang bersifat sentralistik, dan antara aturan hukum yang

bersifat payung dengan aturan hukum yang bersifat implementing regulations.

Terbentuknya suatu UU baru tanpa diikuti pembentukan aturan penjabaran,

menyebabkan tetap memberlakukan aturan hukum yang bersifat implementing

regulations yang dibentuk berdasarkan UU yang lama. Cara demikian dapat

159

Page 169: Pemb Hukum dan Konflik UU Bid Sektoral_UNSRI

mencegah kevakuman hukum, namun di sisi lain, perubahan yang ingin dicapai oleh

UU baru, sulit dicapai.

Adanya UU sentralistik dan UU sektoral, seperti UU No. 23 Tahun 1997

tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan UU No. 11 Tahun 1967 tentang Pokok-

pokok Pertambangan (telah dicabut dan diganti dengan UU No. 4 Tahun 2009

tentang Pertambangan Mineral dan Batubara), serta aturan hukum penjabarannya,

seperti PP, dan Perpres, tidak dapat berjalan secara bersamaan dengan UU

desentralisasi, dalam hal ini UU pemerintahan daerah (UU No. 32 Tahun 2004 dan

perubahannya).

Ketentuan Pasal 237 UU No. 32 Tahun 2004 menjadi titik tolak sinkronisiasi

aturan hukum sektoral dan sentralistik dengan pelaksanaan otonomi daerah. Pasal

237 tersebut menegaskan, semua peraturan perundang-undangan (aturan hukum –

pen) yang berkaitan secara langsung dengan daerah otonom, wajib didasarkan dan

disesuaikan pengaturannya pada UU ini.

Asas desentralisasi, asas dekonsentrasi, dan asas medebewind tidak dinyatakan

secara proporsional dalam UU No. 32 Tahun 2004, sehingga susbstansi Negara

Kesatuan yang terkandung di dalamnya menjadi bias. Bahkan ada pula asas otonomi

daerah, padahal sesungguhnya otonomi daerah adalah penjelmaan konkrit dari asas

desentralisasi. Juga asas pembantuan yang sesungguhnya wujud dari asas

medebewind, sedangkan asas dekonsentrasi tidak disebut secara tegas. Hal ini

menyebabkan ketidakkonsistenan dan ketidakharmonisan antara semangat negara

kesatuan dengan praktek pengaturan wewenang pemerintahan.

Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah, hanya

dirumuskan terdiri atas urusan wajib dan urusan pilihan. Pada hal, masih ada lagi

urusan pembantuan sebagai konsekwensi digunakan asas medebewind. Seharusnya

dirumuskan “Urusan pemerintahan pemerintahan daerah terdiri atas urusan wajib,

urusan pilihan, serta urusan pembantuan”.

Sesungguhnya, penyelenggaraan urusan pemerintahan itu selalu dilakukan

secara bersamaan antara sentralisasi dan desentralisasi. Negara sebagai suatu

organisasi yang besar dan rumit, pasti menerapkan desentralisasi, baik secara penuh

maupun secara tidak penuh. Desentralisasi secara penuh, melahirkan suatu otonomi

bagi suatu pemerintahan lokal. Desentralisasi secara tidak penuh memiliki varian-

160

Page 170: Pemb Hukum dan Konflik UU Bid Sektoral_UNSRI

varian yaitu dekonsentrasi, medebewind, dan delegasi seperti BUMN dan otorita.

Sentralisasi dan desentralisasi selama ini dibangun atas dasar kemampuan pusat

memaksakan kepentingan dengan justifikasi-justifikasi yuridis yang cenderung

sepihak dan sulit dikontrol, dalam pengertian diverifikasi dan diarahkan pada upaya

pencapaian tujuan bernegara.

161

Page 171: Pemb Hukum dan Konflik UU Bid Sektoral_UNSRI

BAB VIII

PENUTUP

A. Umum

Di masa mendatang, penataan wewenang pemerintahan, terutama

penyelenggaraan sentralisasi dan desentralisasi dalam sistem pemerintahan negara,

haruslah berdasarkan dan diarahkan pada:

1. Semangat negara kesatuan RI harus menjadi pengikat penataan substansi

yang mengatur wewenang antara pemerintah pusat dengan pemerintah

daerah.

2. Asas desentralisasi diletakkan secara proporsional sehingga, pembentukan

organ-organ pemerintahan daerah berikut wewenangnya dapat efektif dan

efisien selaras dengan pemerintahan tingkat atasnya.

3. Pemeliharaan dan pengembangan prinsip-prinsip pemerintahan asli, oleh

karena itu tidak seharusnya membongkar susunan dan struktur asli

pemerintahan adat, tapi sebaliknya dikembangkan agar tetap aktual dalam

penyelenggaraan negara moderen.

4. Kebhinikaan (heterogenitas); menghormati, mengakui, dan mengembangkan

susunan asli pemerintahan Bangsa Indonesia. Di samping itu, akses yang

paling kokoh atau secara tradisional dengan memberi pengakuan terhadap

eksistensi budaya.

5. Pengaturan sumber-sumber pendapatan daerah ditata berdasarkan asas-asas

desentralisasi sedemikian rupa, baik dalam bentuk kuantitas maupun kualitas

secara seimbang, sinergis, dan harmonis.

6. Pengaturan wewenang dan hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah

daerah dalam tata kelola sumber daya alam, tidak sekedar difokuskan pada

pengaturan terhadap objeknya saja, tapi ditekankan pula kewajiban dan

tanggung jawab pemerintah (pusat dan daerah) dalam rangka meningkatkan

kesejahteraan masyarakat.

7. Pada akhirnya, sejumlah undang-undang sektoral yang ada, perlu dilakukan

revisi.

162

Page 172: Pemb Hukum dan Konflik UU Bid Sektoral_UNSRI

B. Khusus

1. Sudah disepakati bahwa penguasaan sumber daya alam di Indonesia ditujukan

kepada sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Oleh karena itu prinsif-prinsif

konstitusional pengelolaan sumber daya alam harus dijabarkan secara normatif

dalam aturan hukum sebagai dasar pelaksanaannya. Problematik yang terjadi

pada tataran normatif yaitu terdapat persoalan sinkronisasi dan konsistensi

berbagai aturan hukum di bidang pertanahan dalam kaitannya dengan Pasal 33

ayat (3) UUD 1945. Hal ini telah berlangsung secara periodik dan memiliki

variasi karakter hukumnya.

2. Selama Orde Baru (1967 – 1998), aturan hukum mengenai sumber daya alam,

khususnya di bidang pertanahan diterbitkan dikeluarkan secara sektoral dengan

melepaskan kaitannya dengan UUPA sebagai aturan hukum pokok (“payung”)

dari semua aturan hukum agraria. Karakteristik aturan hukum dan taraf

kesinkronannya dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, sebagai berikut:

a. Pada periode 1967–1973, aturan hukum mengenai pertanahan tidak sinkron

dan tidak konsisten dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan berkarakter:

eksploitatif terhadap sumber daya alam; berpihak pada sistem ekonomi

kapitalis (akumulasi modal); dan konservatif/ortodoks, yaitu hukum

menjadi alat bagi pelaksanaan ideologi dan program negara (positivis

instrumentalis).

b. Pada periode tahun 1973–1984, aturan hukum mengenai penguasaan tanah

memiliki karakter: Konservatif/ortodoks, dengan ciri pemerintah sangat

dominan dalam pembentukkan hukum dan menentukan arah perkembangan

hukum masyarakat; Represif; dan Pragmatis dan sangat akomodatif

terhadap kekuatan modal (capitalism), terutama kekuatan modal asing lewat

negara donor maupun lembaga-lembaga keuangan Internasional. Dengan

demikian, aturan hukum pada periode ini juga tidak selaras (tidak sinkron

dan tidak konsisten) dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.

c. Pada periode tahun 1984–1990-an, aturan hukum mengenai penguasaan

tanah berorientasi untuk memudahkan perolehan tanah bagi investasi, oleh

karena itu karakter peraturannya bersifat pragmatis dan sangat akomodatif

163

Page 173: Pemb Hukum dan Konflik UU Bid Sektoral_UNSRI

terhadap kepentingan modal. Disamping itu, bersifat defensif-reaktif,

artinya sangat reaksioner terhadap berbagai sengketa agraria yang muncul

pada saat itu dan melihatnya sebagai persoalan administratif belaka. Aturan

hukum pada periode ini juga tidak sinkron dan tidak konsisten dengan

semangat yang terkandung dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.

3. Pada Era Pemerintahan Reformasi (1998 – 2006), secara periodik juga memiliki

karakteristik:

a. Periode Desentralisasi (1998–2003), peraturan perundang-undangan di

bidang pertanahan yang mencerminkan ketidakpastian hukum

(ambivalence), akibatnya terjadi ketidaksinkronan dan ketidakkonsistenan

aturan hukum di bidang pertanahan. Karakter Peraturan Perundang-

undangan pada periode ini bersifat pragmatism-reaktif, dan parsial. Artinya

peraturan-peraturan yang dikeluarkan tidak didasarkan pada suatu format

tertentu yang secara integral berkesinambungan dan sistematis. Meskipun

peraturan tersebut berkarakter pragmatism-reaktif, tetapi materi muatannya

lebih selaras (sinkron dan konsisten) dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945

junto Pasal 2 dan 14 UUPA junto Pasal 11 dan 12 UU No. 22 Tahun 1999.

b. Periode Resentralisasi (2004–2006), terjadi arus penarikan kembali

kewenangan daerah di bidang agrarian oleh pemerintah pusat, sehingga

wewenang agraria/pertanahan menjadi tersentralisasi lagi pada pemerintah

(pusat). Hal ini ditandai dengan diberlakukannya Perpres No. 36 Tahun

2005 yang kemudian diubah dengan Perpres No. 65 Tahun 2006 dan

Perpres No. 10 Tahun 2006. Substansi ketiga Perpres tersebut berkarakter

represif dan berorientasi meningkatkan devisa negara lewat pembangunan

dengan keberpihakan penuh pada pemilik modal (capital). Selain itu,

menempatkan otoritas/kewenangan yang begitu besar kepada BPN (institusi

pemerintah (pusat). Dengan demikian, Peraturan Perundang-undangan pada

periode ini tidak selaras (tidak sinkron dan tidak konsisten) dengan Pasal 33

ayat (3) UUD 1945.

4. Berkenaan dengan hal itu, beberapa saran yang digunakan sebagai rekomendasi

dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut:

164

Page 174: Pemb Hukum dan Konflik UU Bid Sektoral_UNSRI

a. Penyempurnaan peraturan di bidang agraria hendaklah didasarkan pada

prinsip-prinsip yang terkandung di dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945

sebagai aturan dasar dan pangkal tolak pembentukan aturan hukum di

bidang agraria. Prinsip yang dimaksud adalah menempatkan rakyat sebagai

arus utama, bukan aspek ekonomi atau modal (capital) sebagaimana yang

pernah diterapkan oleh pemerintahan Orde Baru.

b. Dalam rangka penyempurnaan UUPA, pengkajian pada tahap awal minimal

dapat merumuskan tentang kedudukan UUPA di dalam peraturan

perundang-undangan agraria Indonesia. Upaya tersebut agar UUUPA betul-

betul ditempatkan sebagai aturan payung bidang pertanahan, sehingga

kebijakan-kebijakan operasionalnya tidak saling tumpang tindih satu sama

lain.

c. Setelah UUPA telah disempurnakan, dilakukan sinkronisasi dan harmonisasi

seluruh peraturan yang berkaitan dengan agraria, yaitu menyelaraskan dan

menyesuaikan seluruh peraturan perundang-undangan yang bersangkutan

dengan UUPA.

5. Dari segi aturan hukum dan kebijakan, serta lingkup wewenang pemerintah

daerah yang mendukung otonomi daerah di bidang kesehatan, terdapat

ketidakjelasan, ketidakkonsistenan, dan ketidaksinkronan. Akibat lebih lanjut,

keterlambatan penjabaran fungsi dan wewenang pemerintah daerah di bidang

kesehatan dalam peraturan daerah.

6. Di samping itu, belum adanya perubahan dan penguatan struktur, SDM, dana,

sarana dan prasarana pada Departemen Kesehatan di pusat dan daerah, termasuk

dinas kesehatan Propinsi/Kabupaten/Kota. Keadaan demikian telah menghambat

upaya hukum melindungi hak warga negara atas derajat kesehatan yang optimal.

Pada akhirnya, berbagai persoalan hukum bidang kesehatan, kelembagaan, dan

birokrasi Depkes dan Dinkes Propinsi/Kota/Kabupaten, telah menghambat

pencapaian good governance di bidang kesehatan.

7. Memperhatikan kelemahan normatif dan kendala struktural dalam pelaksanaan

otonomi daerah di bidang kesehatan, maka perlu pengembangan hukum secara

normatif dan penataan struktur kelembagaan, dengan mengacu kepada

desentralsiasi urusan pemerintahan, sebagai berikut:

165

Page 175: Pemb Hukum dan Konflik UU Bid Sektoral_UNSRI

a. Secara folosofis, perlu konsistensi menegakkan asas otonomi, asas

desentralisasi, dan asas keserasian sebagai landasan filosofis fungsi dan

wewenang pemerintah dalam otonomi daerah di bidang kesehatan.

b. Secara normatif, perlu kejelasan, konsistensi, sinkronisasi, dan kesegeraan

aturan hukum dan kebijakan, termasuk norma, standar, prosedur, dan

kriteria tentang pola tarif pelayanan kesehatan, pengendalian mutu dan

biaya pelayanan kesehatan, fungsi sosial pelayanan kesehatan, pengelolaan

perbekalan kesehatan, perizinan, akreditasi, audit medis, dan sanksi

administrasi. Selain itu, juga perlu percepatan penjabaran fungsi dan

wewenang pemerintah daerah di bidang kesehatan dalam peraturan daerah

dan keputusan kepala daerah.

c. Secara kelembagaan, perlu penataan struktur dan kapasitas kelembagaan

hukum (pemerintah pusat dan pemerintah daerah) di bidang kesehatan,

supaya dapat mengembangkan struktur kelembagaan hukum secara internal

dan eksternal yang mempunyai keterkaitan sistemik. Memiliki daya dukung

kelembagaan (SDM, dana, sarana dan prasarana) yang kuat, serta ada

konsistensi struktur dan fungsinya dengan asas hukum yang mendasari

pembentukannya.

d. Penataan fungsi dan struktur organisasi Depkes dengan mengacu kepada

fungsi pengarahan dan fungsi pengaturan yang konsisten dengan asas

desentralisasi dalam rangka otonomi daerah di sektor kesehatan.

e. Komitmen pemerintah pusat untuk melaksanakan fungsi regulatif di bidang

kesehatan, guna mendukung pemerintah daerah dalam membentuk

peraturan daerah yang lebih berorientasi pada pemenuhan hak warga negara

atas derajat kesehatan yang optimal.

f. Guna mendukung upaya perancangan, pembentukan, pengawasan dan

evaluasi peraturan daerah di bidang kesehatan, maka perlu segera

pembentukan bagian/subbagian hukum dalam struktur organisasi Dinas

Kesehatan Propinsi/Kota/Kabupaten, disertai peningkatan jumlah dan

kualifikasi SDM.

8. Dari segi aset dan potensi kelautan, Indonesia memiliki luas laut lebih kurang

5,8 juta kilometer persegi dengan panjang garis pantai 95.181 kilometer, namun

dari segi penataan hukum dan penegakan hukum banyak mengandung

166

Page 176: Pemb Hukum dan Konflik UU Bid Sektoral_UNSRI

kelemahan dan permasalahan. Kesemua itu sekaligus menjadi tantangan dan

memerlukan penanganan segera mungkin guna mendapatkan solusi terbaik.

Terdapat sejumlah aktivitas yang banyak merugikan negara dan bangsa

Indonesia, baik yang berdampak dalam jangka pendek maupun dalam jangka

panjang, yaitu:

a. praktek illegal fishing terutama di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE).

b. penambangan pasir laut secara illegal.

c. Kegiatan industri yang mengakibatkan kerusakan lingkungan pada ekosistem

pesisir dan laut, berupa kerusakan fisik dan pencemaran di beberapa

kawasan pesisir dan laut.

d. terjadinya deforestrasi hutan mangrove dan degradasi terumbu karang di

kawasan pesisir dan laut, mengakibatkan erosi pantai dan berkurangnya

keanekaragaman hayati laut.

e. Penataan ruang dan pengembangan wilayah pesisir dan laut belum

diupayakan secara tepat.

f. Belum terselesaikannya batas wilayah laut dengan negara tetangga, terutama

dengan Singapura, Malaysia, Timor Leste, Papua New Guinea, dan Filipina.

g. Pengelolaan terhadap pulau-pulau kecil di wilayah perbatasan (+92 buah)

belum dilakukan secara optimal.

h. Pengembangan sumber daya di wilayah laut dalam, terkendala permodalan

dan teknologi, yang jika diatasi dapat menjadi salah satu keunggulan

komparatif sumber daya kelautan.

i. Di wilayah laut Indonesia masih banyak barang muatan kapal tenggelam

yang belum diupayakan pemanfaatannya secara optimal. Pengelolaan aset

tersebut dapat didayagunakan sebagai tambahan modal dalam

pengembangan sumber daya kelautan.

9. Berlakunya UU sektoral dan UU sentralistik di satu sisi, dan di sisi lain berlaku

pula secara bersamaan UU yang bersifat desentralisasi, tidak bisa berjalan secara

bersamaan, jika tidak disusun secara sinergis. Pengaturan wewenang

167

Page 177: Pemb Hukum dan Konflik UU Bid Sektoral_UNSRI

pengelolaan sumber daya kelautan masih tersebar dalam sejumlah UU sektoral.

Wewenang pemerintah pusat didasarkan pada aturan hukum sektoral dan

sentralistik, sedangkan wewenang daerah didasarkan pada aturan hukum yang

desentralistik. Oleh karena itu, diperlukan sinkronisasi aturan hukum sebagai

landasan wewenang pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam pengelolaan

sumber daya kelautan.

168

Page 178: Pemb Hukum dan Konflik UU Bid Sektoral_UNSRI

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Hakim G Nusantara dan Nasroen Yasabari. 1980. Beberapa Pemikiran Pembangunan Hukum di Indonesia. Alumni, Bandung.

---------------------------------. 1988. Politik Hukum Indonesia. YLBHI, Jakarta. Abdul Latief. 2005. Hukum dan Peraturan Kebijaksanaan (Beleidsregel) pada

Pemerintahan Daerah. UII Press, Jogjakarta. Abdurrahman,1985. Tebaran Pikiran Mengenai Hukum Agraria. Alumni, Bandung. Alan Norton. 1997. International Handbook of Local and Regional Government: a

comparative analysis of advanced democracies. Reprinted, The Ipswich Book Company, Suffolk, Great Britain.

Ali S Husein. 1995. Ekonomi Politik Penguasaan Tanah. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta. Ali Sofwan Husein. 1997. Konflik Pertanahan (Dimensi Keadilan dan Kepentingan

Ekonomi. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta. Amiroeddin Syarif. Perundang-undangan: Dasar, Jenis dan Teknik Membuatnya.

Penerbit Bina Aksara. Andi Sandi dan Vivi Lignawati. “Desentralisasi dan Perkembangan Peraturan

Perundang-undangan di Bidang Kesehatan: Sebuah Evaluasi Normatif”. Makalah, Disampaikan dalam Seminar Desentralisasi Kesehatan di Indonesia: Apa yang Sudah Dicapai dan Apa yang Belum? Apakah lebih baik Resentralisasi? Tanggal 17-19 Maret 2004 di Fakultas Kedokteran, Universitas Gajah Mada.

Arendt, Hannah. 1972. On Violence” in Crisis of Republic. Harcourt Brace Jovanovich. New York.

Arief Budiman. 1997. Teori Negara; Negara, Kekuasaan dan Ideologi. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Azrul Azwar. “Peran DEPKES di Era Desentralisasi Kesehatan”, Manajemen, Volume III/02/2005, hlm. 7, dalam www.desentralisasi-kesehatan.net/buletin.php., diakses tanggal 15 Januari 2005.

Bachtiar Oesman. “Pengembangan Eksekutif Kepala Dinas Kesehatan dalam Upaya Peningkatan Kinerja Dinas Kesehatan Daerah di Era Desentralisasi”. Makalah, Disampaikan pada Seminar Desentralisasi Bidang Kesehatan: ”Reformasi Sektor Kesehatan dalam Desentralisasi di Indonesia”, Bandung, 6 Juni 2006.

Bagir Manan. 1992. Dasar-dasar Perundang-undangan Indonesia. Ind-Hill.Co, Jakarta. Bintaro Tjokroamidjojo. 2002. Reformasi Nasional Penyelenggaraan Good Governance

dan Perwujudan Masyarakat Madani. Lembaga Administrasi Negara, Jakarta.

Page 179: Pemb Hukum dan Konflik UU Bid Sektoral_UNSRI

Boedi Harsono. 2005. Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Peaksanaannya. Jilid 1 Hukum Tanah Nasional. Djambatan, Jakarta.

--------------------. 2006. Hukum Agraria Indonesia-Himpunan Peraturan-Peraturan Hukum Tanah. Djambatan, Jakarta.

Bonnie Setiawan. At The End of Globalisation, We are All Dead. http://www.globaljust.org/file-global/GLOBALISASI%20lengkap.pdf. Diakses tanggal 5 Desember 2009.

Christodoulou, Demitrius. 1990. The Unpromised Land. Agraria Reform and Conflict Worldwide. Zed Books, London and New Jersey.

Dianto Bachriadi, et.al (ed).1997. Reformasi Agraria, Perubahan Politik, Sengketa, dan Agenda Pembaruan Agraria di Indonesia. Lembaga Penerbit FE-UI, Jakarta.

Dianto Bachriadi & Noer Fauzi, “Sistem dan Konflik Tenurial, Lagi-Lagi Negara versus Rakyat”, Jurnal Suara JAGAT No. I/th. I/1998, Yayasan Pikul.

----------------------. “Ketimpangan Penguasaan Tanah, Konflik Agraria, dan Mal Adminitrasi: Hasil Perkawinan Dominasi Negara dan Modal”. Makalah pada pertemuan: Konsultasi dan Konsolidasi Organisasi Rakyat di Sumatera Selatan dalam Rangka Promosi Nasional untuk Penyelesaian Konflik Agraria, Palembang, Juni 2004.

Dwidjo Susono (Staf Ahli MENKES Bidang Peningkatan Kapasitas Kelembagaan dan Desentralisasi). “Kebijakan & Strategi Desentralisasi Kesehatan dan KW/SPM”. Makalah, Disampaikan dalam Rapat Koordinasi Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Timur, pada 21 Juni 2007, di Surabaya.

Fajrimei A Gofar. ”Perpres No. 36 Tahun 2005 Melegalkan Penggusuran Paksa?”. Harian Kompas, tanggal 25 Juni 2005.

Febrian. 2004. Hirarki Aturan Hukum di Indonesia. Disertasi, Program Studi Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Airlangga, Surabaya.

Firman Muntaqo. 2006. “Harmonisasi Hukum Investasi di Bidang Perkebunan”. Usulan Penelitian Disertasi. Universitas Diponegoro, Semarang.

Forum Keadilan, Nomor 27, Edisi 20 Oktober 2002. G. Soetomo. 1997. Kekalahan Manusia Petani Dimensi Manusia dalam Pembangunan

Pertanian. Kanisius, Yogyakarta. Gunawan Wiradi. Tantangan dan Agenda Kerja bagi Pemerintahan Baru 2004-2009.

Makalah Semiloka Reforma Agraria. YLBHI, Jakarta, September 2004. Gustam Idris. Otonomi dan Hubungan Luar Negeri”. Makalah pada Diskusi Panel

tentang Hubungan Luar Negeri oleh Pemerintah Daerah, kerjasama Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya, Pemerintah Propinsi Sumatera Selatan dan Departemen Luar Negeri Republik Indonesia cq. Badan Diklat Provinsi Sumatera Selatan, Auditorium Pemda Prop. Sumatera Selatan. Palembang, 4 Agustus 2001.

Page 180: Pemb Hukum dan Konflik UU Bid Sektoral_UNSRI

Hutagalung, Daniel. Menapaki Jejak Pemikiran Soepomo Tentang Negara Indonesia. Jentera (Jurnal Hukum), Edisi 10 – tahun III, Oktober 2005, PSHK, Jakarta.

Imam Syaukani & A. Ahsin Thohari. 2006. Dasar-Dasar Politik Hukum. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Iman Soetiknjo. 1987. Proses Terjadinya UUPA, Peran Serta Seksi Agraria Universitas Gadjah Mada. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

J. Kaloh. 2002. Mencari Bentuk Otonomi Daerah. Rineka Cipta, Jakarta. Jacub Rai, et al. 1997. Integrated Coastal and Marine Resources Management.

Proceeding of International Symposium. Malang. Jacub Rais. “Harmonisasi Pengelolaan Wilayah Pesisir Melalui Penatan Ruang Laut-

Darat Terpadu”, Inisiatif Harmonisasi Sistem Hukum Pengelolaan Wilayah Pesisir Indonesia. 2005. Kerjasama Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional. Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia dan Coastal Resources Management Project. Jakarta.

Joeniarto. 1983. Selayang Pandang Tentang Sumber-Sumber Hukum Tata Negara Di Indonesia. Liberty, Yogyakarta.

Joko Widodo. 2001. Good Governance: Telaah dari Dimensi Akuntabilitas dan Kontrol pada Era Desentralisasi dan Otonomi Daerah. Ihsan Cendikia, Surabaya.

Jurnal Transparansi Indonesia. 2006. “Good Governance”, dalam http://www.goodlocalgovernance.multiply.com/journal/item/, diakses tanggal 12 Januari 2008.

Kelsen, Hans. 1973. General Theory of Law and State. Russell & Russell, New York. -----------------. 2007. General Theory of Law and State. Alih Bahasa oleh Somardi. Teori

Umum Hukum dan Negara (Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif Sebagai Ilmu Hukum Deskriptif-Empirik). Bee Media Indonesia, Jakarta.

Khudzaifah Dimyati. 2004. Teorisasi Hukum, Studi Tentang Perkembangan Pemikiran Hukum di Indonesia 1945-1990. Muhammadiyah University Press, Surakarta.

Kuntjoro Purbopranoto. 1981. Beberapa Catatan Hukum Tata Pemerintahan dan Peradilan Administrasi Negara. Alumni, Bandung.

Laksono Trisnantoro. 2005. Aspek Strategis dalam Manajemen Rumah Sakit. ANDI, Yogyakarta.

Lemaire, W.L.G. 1955. Het Recht in Indonesia. NV Uitgeverij W. Van Hoeve, S’Gravenhage, Bandung.

Lijphart, Arend. 1980. Democracy In Plural Societies. New Haven and London Yale University Press.

Lubis, M. Solly. 1985. Pembahasan UUD 1945.Alumni, Bandung. M. Nasroen. 1954. Soal Pembentukan Daerah Otonom Dan Tingkatan Daerah Otonom.

EndaNG, Jakarta.

Page 181: Pemb Hukum dan Konflik UU Bid Sektoral_UNSRI

Mahkamah Konstitusi. Pertimbangan Hukum, Putusan Perkara Nomor 001-021-022/PUU-I/2003.

Manajemen Norwegia untuk sumber daya laut hidup. http://www.norwegia.or.id/policy/trade/marine/marine.htm Diakses tanggal 20 Juli 2009.

Mansour Fakih. 2001. Sesat Pikir Teori Pembangunan dan Globalisasi. Insist Press & Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Maria R Ruwiastuti. 2000. Sesat Pikir Politik Hukum Agraria, Membongkar Alas Penguasaan Negara Atas Hak-Hak Adat. Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hlm. 109-110.

Moh. Mahfud MD, 2001. Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia. Penerbit Rineka Cipta, Jakarta.

Mubyarto. Paradigma Kesejahteraan Rakyat dalam Ekonomi Pancasila. Jurnal Ekonomi Rakyat, Artikel–Th.II–No.4–Juli 2003, www.ekonomirakyat.org.

Muhammad Syaifuddin. 2009. Menggagas Hukum Humanistis-Komersial: Upaya Perlindungan Hak Masyarakat Kurang dan Tidak Mampu atas Pelayanan Kesehatan Rumah Sakit Swasta Berbadan Hukum Perseroan Terbatas. Bayu Media, Malang.

Muhammad Yamin. 1959. Kitab Naskah Undang-undang Dasar Républik Indonésia. Djilid Pertama, Jajasan Prapantja, Jakarta.

Mustopa. Merebut` Hak Indonesia atas Tuna Sirip Biru, http://www.p2sdkpkendari.com/cetak.php?id=668. Diakses tanggal 20 Juli 2009.

Noer Fauzi & Dianto Bachriadi. 1998. Hak Menguasai dari Negara (HMN) Persoalan Sejarah yang Harus Diselesaikan, dalam: Usulan Revisi UUPA 1960: Menuju Penegakan Hak-Hak Rakyat atas Sumber-Sumber Agraria. KRHN & KPA, Jakarta.

Nonet, Philippe & Selznick, Philip. 1978. Law and Society in Transition-Toward Responsive Law. Harper Colophon Books, Harper & Row, New York, Hagerstown, San Fransisco, London.

Notonagoro. 1984. Politik Hukum dan Pembangunan Agraria di Indonesia. Bina Aksara, Jakarta.

Pan Mohamad Faiz. Penafsiran Konsep Penguasaan Negara Berdasarkan Pasal 33 UUD 1945 dan Putusan Mahkamah Konstitusi. http://www.jurnalhukum.blogspot.com/. Diakses tanggal 26 Nopember 2009.

Parlindungan, A.P. 1983. Aneka Hukum Agraria. Alumni, Bandung. ------------------------. 1991. Komentar atas Undang-Undang Pokok Agraria.Mandar

Maju, Bandung. Peter Mahmud Marzuki. 2005. Penelitian Hukum. Prenada Media, Jakarta. Pidato Pengantar Menteri Agraria Sadjarwo sewaktu mengajukan RUU Pokok Agraria di

DPRGR tahun 1960.

Page 182: Pemb Hukum dan Konflik UU Bid Sektoral_UNSRI

Purnadi Purbacaraka & Soerjono Soekanto. 1979. Perundang-Undangan & Yurisprudensi. Alumni, Bandung, hlm. 16, dalam: Rosjidi Ranggawidjaja, Opcit, hlm. 48.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 058-059-060-063/PUU-II/2004 dan Nomor 008/PUU-III/2005 mengenai pengujian undang-undang Sumber Daya Air.

Ratih Anbarini. Sumber Daya Kelautan Indonesia Belum Optimal Dimanfaatkan. http://www.unpad.ac.id/berita/sumber-daya-kelautan-indonesia-belum-optimal-dimanfaatkan/ Diakses tanggal 30 Juli 2009.

Ridwan.. Makalah pada Seminar Bagian “Pemerintahan Daerah Setelah Perubahan Kedua UUD 1945”Hukum Tata Negara, kerjasama Fakultas Hukum Universitas Sriwiijaya dengan Program HEDS. Inderalaya, 8 Desember 2006.

Ringkasan Ketetapan MPRS Republik Indonesia No. I dan II/MPRS/1960, M.P.R.S, dan Departemen Penerangan, Bandung.

Rokhmin Dahuri, et. al. 2001. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Laut Secara Terpadu. Jakarta, Pradnya Paramita.

S.F. Marbun. ”Eksistensi Asas-asas Umum Penyelenggaraan Pemerintahan yang Layak dalam Menjelmakan Pemerintahan yang Baik dan Bersih”. Ringkasan Disertasi, UNPAD, Bandung.

S.Hutagalung, Arie. 2005. Tebaran Pemikiran Seputar Masalah Hukum Tanah. Lembaga Pemberdayaan Hukum Indonesia, Jakarta.

Sadjijono. 2008. Memahami Beberapa Bab Pokok Hukum Administrasi. LaksBang PRESSindo, Yogyakarta.

Satjipto Rahardjo. 1986. Hukum dan Masyarakat. Angkasa Bandung, Bandung. ----------------------. 2002. Sosiologi Hukum Perkembangan Metode dan Pilihan Masalah.

Muhammadiyah University Press, Surakarta. -----------------------. Hukum Kita Liberal (Apa Yang Dapat Kita Lakukan). Harian

Kompas, tanggal 3 Januari 2001. S.H. Sarundajang, 2000. Arus Balik Kekuasaan Pusat ke Daerah. Pustaka Sinar Harapan,

Jakarta. Shah A. 1994. The Reform of Intergovenrmental Fiscal Relations in Developing and

Emerging Market Economies, Policy and Research Series 2. World Bank, Washington DC.

Soedarmono Soejitno, et al.2002. Reformasi Perumahsakitan Indonesia. PT. Grasindo, Jakarta.

Soerjono Soekanto. 2004. Pokok-Pokok Sosiologi Hukum. Raja Grafindo Persada, Jakart. Sudargo Gautama. 1973. Tafsiran Undang-Undang Pokok Agraria. Alumni, Bandung. Sudarto. “Perkembangan Ilmu Hukum dan Politik Hukum”. Dalam Majalah Hukum dan

Keadilan No. 5 Tahun ke VII Januari-Februari.

Page 183: Pemb Hukum dan Konflik UU Bid Sektoral_UNSRI

Suko Wiyono. 2006. Otonomi Daerah dalam Negara Hukum Indonesia: Pembentukan Peraturan Daerah Partisipatif. Faza Media, Jakarta.

Talizuduhu Ndraha. “Sebuah Catatan tentang Otonomi dalam Penyelenggaraan Negara”. Makalah pada Seminar Gagasan Otonomi Daerah dalam Konteks Negara Kesatuan RI. Sekretariat Tim P-7, Jakarta, 20-21 Maret 1992.

Tejo Edhy Purdijatno, Laksamana TNI, Kepala Staf Angkatan Laut, pada Seminar Nasional Maritim Tahun 2009 di Sekolah Tinggi Teknologi Angkatan Laut Surabaya. http://www.tnial.mil.id/tabid/61/articleType/ArticleView/articleId/1258/Default.aspx. Diakses tanggal 22 Agustus 2009.

Tim Perumus. “Perubahan Fungsi Pemerintah dalam Sektor Kesehatan di Berbagai Tingkat Setelah Penetapan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004”. Laporan, “Seminar Nasional 4 Tahun Desentralisasi Kesehatan di Indonesia”. Diselenggarakan oleh UNHAS, UGM, Unit Desentralisasi DEPKES RI, dan WHO, Makassar, 7-8-9 Juni 2005.

Tim Perumus. 2007. Pedoman Akreditasi Rumah Sakit di Indonesia, Komisi Akreditasi Rumah Sakit, DITJEN YANMEDIK-DEPKES R.I. Jakarta.

Untoro Hariadi & Masruchah, (ed). 1995. Tanah, Rakyat dan Dmokrasi. Forum LSM-LPSM DIY, Yogyakarta.

Wijoyo. 2006. Pelayanan Publik dari Dominasi ke Partisipasi. Airlangga University Press, Surabaya.

Wirjono Prodjodikoro 1983. Azas-Azas Hukum Tata Negara Indonesia. Dian Rakyat, Jakarta.

Z. Asikin Kusuna Atmadja. Politik Hukum Nasional. Dalam: A. G. Hakim Nusantara & Nasroen Yasabari. 1980. Beberapa Pemikiran Pembangunan Hukum di Indonesia. Alumni, Bandung.