Pbl Sk 2 Lepra Mudita

32
Morbus Hansen Anastasia Mudita Linanda 102013366 [email protected] Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Alamat Korespondensi Jl. Arjuna Utara No. 6, Jakarta Barat 11510 Pendahuluan Morbus hansen banyak dikenal di masyarakat dengan nama Kusta/Lepra. Kusta/lepra termasuk penyakit tertua. Kata kusta berasal dari bahasa india kustha, dikenal sejak 1400 tahun sebelum masehi. Morbus hansen/kusta merupakan penyakit infeksi yang kronik, dan disebabkan oleh Myobacterium leprae yang bersifat intraseluler obligat. Pada penyakit morbus hansen/kusta, yang paling penting ditanya saat anamnesis adalah apakah disekitar lingkungannya ada yang mengidap morbus hansen/kusta karena morbus hansen/kusta dapat menular melalui kontak langsung erat dan lama dengan penderita kusta lainnya, dapat juga ditularkan melalui tempat tidur, pakaian. Kelainan pada kulit, berupa bercak yang berwarna putih (hipopigmentasi) yang tak berasa atau kemerahan (eritematosus) yang mati rasa. Pada kulit terjadi benjol-benjol kecil berwarna merah muda atau ungu. Benjolan kecil ini menyebar berkelompok dan biasanya terdapat pada mata dan mungkin juga timbul di hidung hingga menyebabkan perdarahan. Penebalan syaraf tepi sehingga menyebabkan berkurangnya perasaan pada

description

mklah

Transcript of Pbl Sk 2 Lepra Mudita

Morbus HansenAnastasia Mudita [email protected] Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Alamat Korespondensi Jl. Arjuna Utara No. 6, Jakarta Barat 11510

PendahuluanMorbus hansen banyak dikenal di masyarakat dengan nama Kusta/Lepra. Kusta/lepra termasuk penyakit tertua. Kata kusta berasal dari bahasa india kustha, dikenal sejak 1400 tahun sebelum masehi. Morbus hansen/kusta merupakan penyakit infeksi yang kronik, dan disebabkan oleh Myobacterium leprae yang bersifat intraseluler obligat. Pada penyakit morbus hansen/kusta, yang paling penting ditanya saat anamnesis adalah apakah disekitar lingkungannya ada yang mengidap morbus hansen/kusta karena morbus hansen/kusta dapat menular melalui kontak langsung erat dan lama dengan penderita kusta lainnya, dapat juga ditularkan melalui tempat tidur, pakaian. Kelainan pada kulit, berupa bercak yang berwarna putih (hipopigmentasi)yang tak berasa atau kemerahan (eritematosus) yang mati rasa.Pada kulit terjadi benjol-benjol kecil berwarna merah muda atau ungu. Benjolan kecil ini menyebar berkelompok dan biasanya terdapat pada mata dan mungkin juga timbul di hidung hingga menyebabkan perdarahan. Penebalan syaraf tepi sehingga menyebabkan berkurangnya perasaan pada anggota badan atau bagian tubuh yang terkena. Kadang-kadang terdapat radang syaraf yang nyeri. Adakalanya kaki dan tangan berubah bentuknya. Jari kaki sering hilang akibat serangan penyakit ini. Penderita merasa demam akibat reaksi penyakit tersebut. Morbus hansen diklasifikasikan menjadi 6 jenis, dan pada makalah ini selain akan dibahas tentang klasifikasi dari mobus hansen, akan dibahas juga mengenai pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjan, diagnosis banding, etiologi, epidemiologi, patofisiologi, gejala klinis, penatalaksanaan, pencegahan, komplikasi, prognosis dari morbus hansen/lepra.

PembahasanAnamnesisAnamnesis mencakup identitas penderita, keluhan utama, dan perjalanan pennyakit/ riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit dahulu, riwayat keluarga, riwayat sosial dan kebiasaan.1 Yang perlu ditanyakan pada keluhan utama ialah keluhan yang mendorong penderita untuk meminta pertolongan medisPerjalanan penyakit mencakup: Sejak kapan mulai sakit (berapa hari, minggu, bulan) Bagaimana dan berupa apa kelainan pada awalnya (merah-merah, bintik-bintik, luka, dan sebagainya).1 Dimana kelainan pertama kali timbul (kaki, kepala, wajah, anggota gerak) Apakah menjalar/tidak, atau hilang timbul Apakah gatal, sakit, atau bagaimana Apakah keluar cairan/kering Obat yang telah digunakan, bagaimana pengaruh obat tersebut, apakah penyakit membaik, memburuk atau menetapMengenai keluarga harus ditanyakan: Sosio-ekonomi keluarga, jumlah keluarga, cara hidup, dan penyakit dalam keluarga atau pada individu di sekitarnya Apakah timbulnya penyakit berkaitan dengan suatu sebab, misalnya akibat pekerjaan, luka-luka akibat benda tertentu, hubungan dengan musim, atau akibat suatu faktor dalam lingkungan.1Pada penyakit morbus hansen/kusta, yang paling penting ditanya adalah lingkungan sosial, dimana tempat tinggalnya, apakah disekitar lingkungannya ada yang mengidap morbus hansen/kusta, apakah pasien pernah bersentuhan dengan orang yang terkena lepra karena morbus hansen/kusta dapat menular melalui kontak langsung erat dan lama dengan penderita kusta lainnya, dapat juga ditularkan melalui tempat tidur, pakaianPemeriksaan FisikPemeriksaan yang perlu dilakukan untuk penyakit lepra adalah inspeksi, tes anestesi, tes potlot gunawan. Inspeksi harus dilakukan dengan cermat, sehingga dapat kita temukan lesi-lesi kulit atau efloresensi apa saja yang terdapat pada penderita lepra. Selain itu, penyebaran lesi pada tubuh penderita (tempat predileksi) juga perlu diperhatikan karena dapat menjadi ciri khas penyakit tertentu. Tes anestesi adalah tes spesifik yang dilakukan bagi penyakit lepra untuk mengetahui adanya gangguan sensibilitas pada penderita lepra. Tes anestesi dapat dilakukan dengan menggunakan jarum untuk sensibilitas tajam, kapas untuk sensibilitas rabaan halus, dan air panas maupun dingin untuk sensibilitas suhu. tes potlot gunawan untuk melihat adanya dehidrasi di daerah lesi tersebut. Hasil pemeriksaan dermatologi didapatkan makula hipopigmentasi, ada rasa baal.2Pemeriksaan PenunjangPemeriksaan penunjang yang perlu dilakukann untuk penyakit lepra adalah pemeriksaan bakterioskopik, histopatologi, serologi, lepromin.31. Pemeriksaan bakterioskopikPemeriksaan bakterioskopik berfungsi untuk menegakkan diagnosis dan menentukan rencana pengobatan. Sediaan dibuat dari kerokan jaringan kulit atau usapan dan kerokan jaringan mukosa hidung yang diwarnai dengan pewarnaan basil tahan asam (BTA), yaitu Ziehl-Neelsen. M. leprae tergolong BTA, akan tampak merah pada sediaan. Debedakan bentuk batang utuh (solid), batang terputus (fragmented), dan butiran (granular). Bentuk solid adalah kuman hidup, sedangkan fragmented dan granular merupakan bentuk mati. Secara teori penting untuk membedakan antara bentuk solid dan nonsolid, berarti membedakan antara yang hidup dan mati sebab benruk yang hidup itulah yang berbahaya karena dapat berkembang biak dan dapat menularkan ke orang lain.3 Kepadatan BTA tanpa membedakan solid dan nonsolid pada sebuah sediaan dinyatakan dengan indeks bakteri (IB) dengan nilai 0 sampai 6+ menurut ridley. 0 bila tidak ada BTA dalam 100 lapang pandang1+ bila 1-10 BTA dalam 100 lapang pandang2+ bila 1-10 BTA dalam 10 lapang pandang3+ bila 1-10 BTA rata-rata dalam 1 lapang pandang4+ bila 11-100 BTA rata-rata dalam 1 lapang pandang5+ bila 101-1000 BTA rata-rata dalam 1 lapang pandang6+ bila >1000 BTA rata-rata dalam 1 lapang pandangIndeks Morfologi (IM) adalah persentase bentuk solid dibandingkan dengan solid dan nonsolid. Seharusnya IM turun selama terapi. Bila IM tidak turun selama terapi kemungkinan penderita tidak patuh minum obat dan timbulnya kuman resisten.32. Pemeriksaan histopatologikMakrofag dalam jaringan yang berasal dari monosit di dalam darah ada yang mempunyai nama khusus, antara lainn sel kupffer dari hati, sel alveolar dari paru,sel glia dari otak, dan yang dari kulit disebut histiosit. Salah satu tugas makrofag adalah melakukan fagositosis. Kalau ada kuman (M. leprae) masuk, akibatya akan bergantung pada Sistem Imunitas Selular (SIS) orang itu. Apabila SIS-nya tinggi, makrofag akan mampu memfagosit M. leprae.3 Datangnya histiosit ke tempat keberadaan bakteri disebabkan karena proses imunologik dengan adanya faktor kemotaktik. Kalau datangnya berlebihan dan tidak ada lagi yang harus difagosit, makrofag akan berubah menjadi sel epiteloid yang tidak dapat bergerak dan kemudian akan dapat berubah menjadi sel datia Langhans. Adanya massa epiteloid yang berlebihan dikelilingi oleh limfosit yang disebut tuberkel akan menjadi penyebab utama kerusakan jaringan dan cacat. Pada penderita dengan SIS rendah atau lumpuh, histiosit tidak dapat menghancurkan M. leprae yang sudah ada didalamnya, bahkan dijadikan tempat berkembang biak dan disebut sel Virchow atau sel lepra atau sel busa dan sebagai alat pengangkut penyebarluasaan. Granuloma adalah akumulasi makrofag dan atau derivat-derivatnya.3 Gambaran histopatologik tipe tuberkel dan kerusakan saraf yang lebih nyata, tidak ada kuman atau hanya sedikit dan non-solid. Pada tipe lepromatosa terdapat subepidermal clear zone, yaitu suatu daerah langsung di bawah epidermis yang jaringannnya tidak patologik. Didapati sel Virchow dengan banyak kuman. Pada tipe borderline, terdapat campuran unsur-unsur tersebut.3. Pemeriksaan serologiPemeriksaan serologik kusta didasarkan atas terbentuknya antibodi pada tubuh seseorang yang terinfeksi M leprae. Antibodi yang terbentuk dapat bersifat spesifik terhadap M. leprae yaitu antibodi anti phenolic glycolipid (PGL-1) dan antibodi antiprotein 16 kD serta 35 kD. Sedangkan antibodi yang tidak spesifik antara lain antibodi anti-lipoarabinomanan (LAM) yang juga dihasilkan oleh kuman M. tuberculosis.3 Kegunaan pemeriksaan serologik ini ialah dapat membantu diagnosis kusta yang meragukan karena tanda klinis dan bakteriologik tidak jelas. Disamping itu dapat membantu menentukan kusta subklinis, karena tidak didapati lesi kulit misalnya pada kontak serumah. Macam-macam pemeriksaan serologik kusta lainnya adalah:- Uji MLPA (mycobacterium leprae particle aglutination)-Uji ELISA (Enzyme Linked Immuno-sorbent assay)-ML dipstick test (Mycobacterium leprae dipstick)- ML flow test (Mycobacterium leprae flow test)4.leprominTes lepromin adalah tes non spesifik untuk klasifikasi dan prognosis lepra, tapi tidak untuk diagnosis, berguna untuk menunjukkan sistem imun penderita terhadap M. leprae. Tes ini ditujukan untuk mengetahui imunitas seluler pasien. Apabila hasil tes lepromin negatif,maka pasien tersebut dapat diduga menderita lepra karena imunitasnya menurun (tipe L). Apabila tes lepromin positif, maka imunitas pasien tersebut masih baik (tipe T).3Differential DiagnosisPtiriasis VersikolorLesi pada leprae kadang bisa sangat mirip dengan kelainan pitiriasis versikolor. Tapi pada pitiriasis versikolor akan memberikan flouresensi bila diberikan cahaya dengan woods light yaitu akan bewarna kuning keemasan. Tes sensibilitas saraf sensoris juga dapat dilakukan untuk membedakannya, juga dari pemeriksaan kerokan kulit.1Tinea KorporisKelainan kulit yang dapat dilihat dari klinik merupakan lesi bulat atau lonjong, berbatas tegas terdiri dari eritema, skuama, kadang-kadang dengan vesikel dan papul di tepi lesi. Daerah tengahnya cendrung lebih tenang. Gambaran kelainan pada dermatofitosis ini mirip dengan lesi kulit yang terjadi pada leprae terutama dalam bentuk TT. Untuk membedakannya kerokan dapat dilakukan baik dengan KOH. Cara yang paling mudah yaitu dengan menguji keadaan saraf sensoris pada kulit.1LeukodermaSementara pada kusta kita hanya melihat hilangnya sebagian pigmen kulit, dalam kondisi ini, ada kehilangan total pigmen (kulit putih). Walapun pada tahap awal leukoderma, patch yang hipopigmentasi sangat mirip dengan kusta, tetapi t idak ada defisit sensorik di patch.1Ptiriasis AlbaSuatu kondisi dermatitis ringan yang meninggalkan sedikit scale makula hipopigmentasi dengan batas tidak jelas. Kondisi ini umum pada wajah anak-anak selama musim panas.1VitiligoManifestasi klinis dari vitiligo yang membedakannya dengan lepra adalah terdapatnya patch yang mengalami depigmentasi dengan keberadaan rambut putih di lesi tersebut.1Hipopigmentasi post inflamasiBerbagai proses inflamasi pada penyakit kulit dapat pula menyebabkan hipopigmentasi misalnya lupus eritematosus diskoid, dermatitis atopik, psoriasis, parapsoriasis gutata kronis, dan lain-lain. Predileksi dan bentuk kelainan hipopigmentasi yang terjadi sesuai dengan lesi primernya. Hipomelanosis terjadi segera setelah resolusi penyakit primer dan mulai menghilang setelah beberapa minggu hingga beberapa bulan terutama pada area yang terpapar matahari. Patogenesis proses ini dianggap sebagai hasil dari gangguan transfer melanosom dari melanosit ke keratinosit. Pada dermatitis hipopigmentasi mungkin merupakan akibat dari edema sedangkan pada psoriasis mungkin akibat meningkatnya epidermal turnover. Diagnosis ditegakkan berdasarkan riwayat penyakit yang berhubungan sebelumnya . Jika diagnosis belum berhasil ditegakkan maka biopsi pada lesi hipomelanosis akan menunjukkan gambaran penyakit kulit primernya.1

Morbus hansenLesi dengan bercak putih bersisik halus pad abagian tubuh, tidak gatal, kemudian melebar dan meluas. Jika sudah terkena saraf perifer, penderita akan mengeluh kesemutan dan baal pada bagian tertentu, ataupun kesukaran menggerakan anggota badan yang berlanjut dengan kaku sendi. Rambut alis pun dapat rontok.1Working DiagnosisUntuk mendiagnosis seseorang terkena lepra/morbus hansen dapat dilihat dari gejala klinis yang terlihat. Ada beberapa tanda-tanda atau gejala-gejala utama pada penyakit lepra, yaitu : Kelainan pada kulit, berupa bercak yang berwarna putih (hipopigmentasi)yang tak berasa atau kemerahan (eritematosus) yang mati rasa.Pada kulit terjadi benjol-benjol kecil berwarna merah muda atau ungu. Benjolan kecil ini menyebar berkelompok dan biasanya terdapat pada mata dan mungkin juga timbul di hidung hingga menyebabkan perdarahan.4 Penebalan syaraf tepi sehingga menyebabkan berkurangnya perasaan pada anggota badan atau bagian tubuh yang terkena. Kadang-kadang terdapat radang syaraf yang nyeri. Adakalanya kaki dan tangan berubah bentuknya. Jari kaki sering hilang akibat serangan penyakit ini. Penderita merasa demam akibat reaksi penyakit tersebut. Penyakit kusta terdapat dalam bermacam-macam bentuk. Bentuk leproma mempunyai kelainan kulit yang tersebar secara simetris pada tubuh. Bentuk ini menular karena kelainan kulitnya mengandung banyak kuman.Ada juga bentuk tuberkuloid yang mempunyai kelainan pada jaringan syaraf yang mengakibatkan cacat pada tubuh. Bentuk ini tidak menular karena kelainan kulitnya mengandung sedikit kuman. Di antara bentuk leproma dan tuberkuloid ada bentuk peralihan yang bersifat stabil dan mudah berubah-ubah Penyakit ini ditularkan melalui kontak erat dari kulit ke kulit dalam waktu yang cukup lama. Namun ada dugaan bahwa penyakit ini juga dapat ditularkan melalui udara pernapasan dari penderita yang selaput hidungnya terkena. Tidak semua orang yang berkontak dengan kuman penyebab akan menderita penyakit kusta. Hanya sedikit saja yang kemudian tertulari, sementara yang lain mempunyai kekebalan alami Masa inkubasi penyakit ini dapat sampai belasan tahun. Gejala awal penyakit ini biasanya berupa kelainan kulit seperti panu yang disertai hilangnya rasa raba pada kelainan kulit tersebut.4 Jika dilihat dari kasus, laki-laki usia 40 tahun datang ke poliklinik dengan keluhan berupa bercak putih pada lengan kiri sejak 1 bulan dan tidak ada rasa gatal. Gejala yang dialami laki-laki tersebut adalah gejala utama dari lepra/morbus hansenEtiologiKuman penyebab adalah Mycobacterium leprae ditemukan oleh G.A Hansen pada tahun 1874 di Norwegia. Secara morfologi kuman ini berbentuk pleomorf lurus dengan kedua ujung bulat dengan ukuran panjang 1-8 mikron dan lebar 0,2 - 0,5 mikron, bersifat tahan asam, berbentuk batang dan gram positif, aerob, tidak ada kapsul dan tidak bisa bergerak, dapsobiasanya berkelompok dan ada yang tersebar satu-satu, hidup dalam sel terutama jaringan yang bersuhu dingin seperti kulit, mukosa hidung, saraf tepi (terutama sel Schwann).5 Dengan pewamaan Ziehl Neelsen termasuk golongan Basil Tahan Asam.5 Mycobacterium leprae tidak dapat dikultur dalam media buatan. Kuman ini tumbuh lambat dan untuk membelah dirinya memerlukan waktu sekitar 20-30 hari.

EpidemiologiMasalah epidemiologi masih belum terpecahkan, cara penularan belum diketahui pasti hanya berdasarkan aggapan klasik yaitu melalui kontak langsung antarkulit yang lama dan erat. Anggapan kedua ialah secara inhalasi, sebab M. leprae masih dapat hidup beberapa hari dalam droplet. Masa tunasnya sangat bervariasi, antara 40 hari sampai 40 tahun, umumnya beberapa tahun, rata-rata 3-5 tahun. Penyebaran penyakit kusta dari suatu tempat ke tempat lain sampai tersebar di seluruh dunia, tampaknya disebabkan oleh perpindahan penduduk yang terinfeksi oleh penyakit tersebut. Masuknya kusta ke pulau-pulau Melanesia termasuk Indonesia, diperkirakan terbawa oleh orang-orang Cina. Distribusi penyakit ini tiap-tiap negara maupun dalam satu negara sendiri ternyata berbeda-beda. Demikian pula penyebab penyakit kusta menurun atau menghilang pada suatu negara sampai pada saat ini belum jelas benar.3Kusta bukan penyakit keturunan. Kuman dapat ditemukan di kulit, folikel rambut, kelenjar keringat dan ASI, dan jarang terdapat di dalam urin. Sputum dapat mengandung banyak M. leprae yang berasal dari traktus respiratorius atas. Tempat implantasi tidak selalu menjadi tempat lesi pertama. Dapat menyerang semua umur, anak-anak lebih rentan daripada orang dewasa. Di Indonesia penderita anak-anak di bawah umur 14 tahun didapatkan kurang lebih 12%, tetapi anak di bawah umur 1 tahun jarang sekali. Saat ini usaha pencatatan penderita di bawah usia 1 tahun penting dilakukan untuk dicari kemungkinan ada tidaknya kusta kongenital. Frekuensi tertinggi terdapat pada kelompok umur antara 25-35 tahun.Kusta merupakan penyakit yang menyeramkan dan ditakuti oleh karena dapat terjadi ulserasi, mutilasi, dan deformitas. Penderita kusta bukan menderita karena penyakitnya saja, tetapi juga karena dikucilkan masyarakat sekitarnya. Hal ini akibat kerusakan saraf besar yang ireversibel di wajah dan ekstremitas, motorik dan sensorik, serta dengan adanya kerusakan yang berulang-ulang pada daerah anestetik disertai paralisis dan atrofi otot.3

PatogenesisM. leprae mempunyai patogenitas dan daya invasi yang rendah, sebab penderita yang mengandung kuman lebih banyak belum tentu memberikan gejala yang lebih berat, bahkan dapat sebaliknya. Ketidakseimbangan antara derajat infeksi dengan derajat penyakit, tidak lain disebabkan oleh respons imun yang berbeda, yang menggugah timbulnya reaksi granuloma setempat atau menyeluruh yang dapat sembuh sendiri atau progresif. Oleh karena itu penyakit kusta dapat disebut sebagai penyakit imunologik. Gejala klinisnya lebih sebanding dengan tingkat reaksi selularnya daripada intensitas infeksinya.3 Bila kuman M.leprae masuk kedalam tubuh seseorang, dapat timbul gejala subklinis sesuai dengan kerentanan orang tersebut. Bentuk tipe subklinis bergantung pada Sistem Imunitas Seluler (SIS) penderita. Bila SIS baik akan tampak gambaran klinis ke arah tuberkuloid, sebaliknya SIS rendah memberikan gambaran lepramatosa.

Gejala KlinisKeluhan utama biasanya sebagai akibat kelainan saraf tepi, yang dalam hal ini dapat berupa bercak pada kulit yang mati rasa, rasa tebal, kesemutan, kelemahan otot-otot dan kulit kering akibat gangguan pengeluaran kelenjar keringat. Gejala klinis yang terjadi dapat berupa kelainan pada saraf tepi, kulit, rambut, otot, tulang, mata, dan testis.1,4 Gejala morbus hansen dapat disebut sebagai 5A : Achromia (tidak ada pigmen atau hipopigmentasi), anestesia (tanpa rasa atau baal, tidak nisa membedakan tajam atau tumpul), atrofi (kulit agak mencekung), alopesia (tanpa rambut), anhridrosis (tidak berkeringat, tidak bisa merasakan suhu)Ridley menciptakan 6 pembagian dalam penyakit lepra. Dimulai dari yang resistensi tinggi sampai resistensi rendah yaitu TT (polar tuberculoid), BT (borderline tuberculoid), BB (borderline), BL ( borderline lepromatous), LLs (subpolar lepromatous), dan LLp (polar lepromatouse). 1,4Intermediate leprosyMerupakan lesi mula-mula, muncul sebelum host menciptakan reaksi imunologis untuk menyembuhkan diri ataupun mempertahankan dirinya. Terdapat makula hipopigmentasi berbatas tegas, ada anestesi dan anhidrasi. Dan jika bakteri tahan asam berhasil ditemukan, jumlahnya hanya sedikit. Bukan termasuk penggolongan Ridley, tetapi diterima luas oleh para ahli sebagai salah satu tipe kusta. 1,4

Polar tuberculoid leprosy (TT) Pada TT, imunitas terhadap lepra termasuk kuat, sesuai dengan manifestasinya berupa penyembuhan spontan dan sedikitnya kerusakan postur pada host. Lesi primer pada TT adalah adanya makula eritematosa, terkadang dengan bentuk anular dengan bagian tengah terhiperpigmentasi atau tampak bersih. Batas dari makula eritematosa tampak jelas dan tegas. Khasnya, lesi mengalami indurasi, elevasi, bersisik, kering, Karakteristik lesi itu sendiri adalah hypestetic dan anhidrotik, dengan diameter yang bisa mencapai 10 cm. biasanya lesi yang muncul hanya satu, terutama pada pasien TT de novo, berbeda dengan TT yang naik tingkat menjadi BT yang biasanya memiliki lesi lebih dari 1 seperti pada gambar dibawah ini. Pada spektrum ini, imunitas yang kuat akan cukup untuk menyembuhan penderita, namun terapi antibiotik tetap direkomendasikan. 1,4

Gambar 1. Lepra tipe TT (Tuberculoid Leprosy)6Secara histologis, pada lesi de novo ditemukan tuberkel kecil dengan selubung limfositik yang besar. Lesi yang mengalami peningkatan spektrum biasanya memiliki banyak sel Langhans dan eksositosis menuju epidermis. 1,4

Borderline tuberculoid leprosy (BT)Dalam BT, kekuatan imunitas pasien cukup untuk mempertahankan diri dari serangan bakteri dan membatasi pertumbuhan bakteri tersebut, namun tidak cukup untuk menyembuhkan dirinya sendiri. Pasien dengan BT biasanya tidak stabil, imunitas bisa menguat sehingga tipe lepranya membaik menjadi TT atau bisa juga memburuk dan tipe lepranya menjadi BL seperti pada gambar di bawah ini. 1,3

Gambar 2. Lepra tipe BT ( Borderline Tuberculoid Leprosy)6Lesi primer untuk lepra tipe BT ini adalah makula eritematosa. Seperti pada TT, konfigurasi anular umum ditemukan, dan sama-sama berbatas tegas serta jelas, tetapi pada BT terdapat papul satelit di sekitar kongurasi anular tersebut. Pada pasien dengan kulit gelap, biasanya hipopigmentasi tampak jelas. Berbeda dengan TT, lesi pada BT hanya memiliki sedikit sisik atau bahkan tidak ada sama sekali, eritem, indurasi, dan elevasi yang lebih ringan daripada TT, namun diameter lesi bisa lebih besar dari lesi TT. Lesi BT bisa mencakup seluruh ekstremitas sekaligus. Meskipun lebih banyak ditemukan lesi yang multipel, tidak jarang ditemukan lesi soliter pada BT. Hilangnya sensasi pada kulit, kelumpuhan, pembengkakan saraf biasanya asimetris dan melibatkan tidak lebih dari dua saraf. Abses saraf biasanya terjadi pada pasien pria. 1,4Secara histologis, mantel limfositik tidak terbentuk sebesar pada TT, sel Langhans juga lebih jarang atau bahkan tidak ada sama sekali. 1,3

Borderline leprosy (BB)BB adalah titik tengah dalam spektrum yang dibuat Ridley. Tipe ini adalah tipe yang paling tidak stabil, pasien bisa mengalami perbaikan dan berubah menjadi tipe BT atau mengalami penurunan dan menjadi tipe BL tanpa mengalami gejala klinis yang signifikan. Karakteristik perubahan kulit adalah lesi anular dengan batas interior dan eksterior yang tegas, makula eritematosa, menonjol, bentuk tidak teratur, kasar, ada lesi satelit. Karena tidak stabil, bentuk BB hanya ada dalam waktu singkat dan jarang ditemukan pasien dengan lepra tipe ini. 1,3

Borderline Lepromatous Leprosy (BL)Pada BL, imunitas pasien tidak kuat untuk mencegah proliferasi bakteri, namun masih bisa untuk mengurangi kerusakan jaringan, terutama jaringan saraf. BL merupakan tipe dengan gejala klinis yang sangat variatif. Walaupun hanya ditemukan pada dua per tiga pasien BL, lesi dimorfik klasik merupakan karakteristik yang paling umum, dengan konfigurasi anular yang memiliki batas eksterior tidak jelas (seperti tipe lepromatosa) dan batas interior yang tegas (seperti tuberkuloid). Makula, plakat, papul juga merupakan karakteristik BL. Lesi anular dengan batas tegas baik interior atau eksterior sangat tidak biasa. Jika muncul juga lepromatous-like, papul yang tidak tegas, namun pasti diikuti dengan lesi berbatas tegas di tempat lain seperti pada gambar di bawah in.4

Rentang jumlah lesi bisa soliter, multipel, dan meluas. Secara umum, jika lesinya adalah lesi anular dan plaque, meskipun banyak, biasanya asimetris. Namun jika lesinya adalah lepromatous-like, jika banyak, biasanya simetris. Kelumpuhan saraf banyak dijumpai pada tipe BL, mulai dari BL dengan defisit rendah sampai tinggi, baik motorik ataupun sensorik di keempat ekstremitas. Keikutsertaan nervus ulnaris dan medianus yang terkadang simetris, juga merupakan karakteristik BL. 1,3Secara histologis, terdapat infiltrat limfositik yang pekat, dikelilingi banyak makrofag. Respon klasik lainnya adalah laminasi perineurium dengan infiltrat limfositik. Pada tipe ini, bakteri tahan asam dapat mudah ditemukan. 1,3

Lepromatous Leprosy (LL)Pada LL, lemahnya sistim imun terhadap Mycobacterium lepra mengakibatkan mudahnya proliferasi bakteri dan sirkulasi bakteri ke seluruh organ. Infiltrasi dermal difus selalu muncul sebagai gejala preklinik nya. Non noduler LL yang difus juga banyak dimanifestasikan sebagai pembesaran cuping telinga dan pembengkakan fusiformis pada jari-jari, yang nantinya akan menyerupai penyakit rematik. Lesi yang paling umum adalah nodul dengan batas yang tidak tegas dan jelas, diameter lebih dari 2 cm, dan tersebar simetris. Kulit mungkin akan terlipat, membentuk tampilan fascia leonina, kadang berhubungan dengan lesi nodulernya. Lesi histoid, biasanya multipel, dengan batas sangat tegas, papul atau nodul yang eritem, kadang bersatu menjadi plaque. Bentuk lesi yang lebih jarang adalah lesi eritem dengan indurasi, kadang diikuti dengan makula yang hipopigmentasi. 1,3 Alopecia pada alis adalah gejala umum, akan muncul cepat atau lambat. Kulit kepala jarang terlibat, karena suhu yang lebih tinggi. Deformitas sering terjadi. 1,3Secara histologis, ada kesamaan dalam LLs dan LLp yaitu :1. Lesi noduler memiliki makrofag dan sejumlah limfosit.1. Mudah ditemukan bakteri tahan asam pada sel endotelial dan sel Schwann.1. Sel plasma dan sel mast meningkat tidak konstan.1. Giant-cells asing mungkin ditemukan dalam lesi tua. Pada LLs biasa ditemukan laminasi pada perineureum sedangkan pada LLp perineureum tidak terusik.

Insensitivitas pada kornea merupakan bentuk wajar dari lepra. Pada BL dan LL, sejumlah gangguan pada kornea dan ruang anterior sering terjadi, dan iritis adalah yang paling umum. Pada LL juga sering ditemukan bentuk manik-manik pada saraf kornea, dapat menjadi tanda yang mendukung diagnostik. 1,3Pada semua pasien LL dan BL dengan infeksi yang menyebar, gejala yang ekstensif dapat ditemukan. Pada saluran nafas atas, seringkali terjadi rhinitis, perforasi septik, hidung tersumbat, dan pengerasan pita suara. Pada pria seringkali dijumpai keluhan impotensi dan infertilitas, terutama pada tipe LL dan BL. 1,3Pada wanita hamil, sering terjadi perubahan pada imunitasnya. Pada masa kehamilan, pasien LL dan BL biasanya membentuk Eritema Nodusum Leprosum, namun setelah melahirkan, mereka mengalami delayed-type hypersensitivity , yang bertujuan untuk mengurangi imunitas sebelumnya dan mengembalikan imunitas tersebut belakangan. Akibatnya, pasien BL dan LL yang menyusui memiliki Mycobacterium lepra yang aktif dalam susunya, namun tidak ada risiko yang terdeteksi bagi bayi yang mengonsumsinya. Justru jika sang ibu diberi dapson, dapat mengakibatkasn hemolisis pada bayinya. 1,3Pasien multibasiler yang tidak menyelesaikan pengobatan ataupun yang menjadi resisten dengan obat tersebut biasanya akan mengalami relaps dengan sejumlah manifestasi yaitu yang serupa dengan gejala pertama kali mereka terjangkit lepra, terbentuk lesi histoid, ataupun menjadi lebih imun daripada kondisi sebelumnya. Lesi histioid, merupakan variasi lesi pada tipe lepromatous yang ditandai dengan adanya nodus yang berbatas tegas, dapat juga berbentuk nodus yang berbatas tidak tegas, dapat juga berbentuk plak. Bakterioskopik positif tinggi. 1,3Deformitas dapat terjadi pada kusta. Pada kusta sesuai patofisiologinya ada dua yaitu primer dan sekunder. Deformitas primer sebagai akibat langsung oleh granuloma yang terbentuk sebagai reaksi terhadap Mycobacterium leprae, yang mendesak dan merusak jaringan disekitarnya, yaitu kulit, mukosa traktus respiratorius atas, tulang tulang jari, dan wajah. Deformitas sekunder terjadi sebagai akibat kerusakan saraf, umumnya deformitas diakibatkan keduanya, tetapi terutama karena kerusakan saraf.1,3Gejala kerusakan saraf pada nervus ulnaris adalah anestesia pada ujung jari anterior kelingking dan jari manis, clawing kelingking dan jari manis, dan atrofi hipotenar dan otot interoseus serta kedua otot lumbrikalis medial. Pada N.medianus adalah anestesia pada ujung jari bagian anterior ibu jari, telunjuk, dan jari tengah, tidak mampu aduksi ibu jari, clawing ibu jari, telunjuk, dan jari tengah, ibu jari kontraktur, dan juga atrofi otot tenar dan kedua otot lumbrikalis lateral. Pada N.radialis adalah anestesi dorsum manus, serta ujung proksimal jari telunjuk, tangan gantung (wrist drop) dan tak mampu ekstensi jari jari atau pergelangan tangan. Pada N. Poplitea lateralis adalah anestesi tungkai bawah, bagian lateral dan dorsum pedis, kaki gantung (foot drop) dan kelemahan otot peroneus. Pada N.tibialis posterior adalah anestesi telapak kaki, claw toes , dan paralisis otot intrinsik kaki dan kolaps arkus pedis. Pada N. Fasialis adalah cabang temporal dan zigomatik menyebabkan lagoftalmus dan cabang bukal, mandibular serta servikal menyebabkan kehilangan ekspresi wajah dan kegagalan mengatupkan bibir. Pada N.trigeminus adalah anestesi kulit wajah, kornea dan konjungtiva mata.1,3Kerusakan mata pada kusta dapat primer dan sekunder. Primer mengakibatkan alopesia pada alis mata dan bulu mata, juga dapat mendesak jaringan mata lainnya. Sekunder disebabkan oleh rusaknya N.fasialis yang dapat membuat paralisis N.orbitkularis palpebrarum sebagian atau seluruhnya, mengakibatkan lagoftalmus yang selanjutnya, menyebabkan kerusakan bagian bagian mata lainnya. Secara sendirian atau bersama sama akan menyebabkan kebutaan. 1,3Infiltrasi granuloma ke dalam adneksa kulit yang terdiri atas jaringan keringat, kelenjar palit, dan folikel rambut dapat mengakibatkan kulit kering dan alopesia. Pada tipe lepromatous dapat timbul ginekomastia akibat gangguan keseimbangan hormonal dan oleh karena infiltrasi granuloma pada tubulus seminiferus testis. 1,3Gejala pada reaksi kusta tipe I adalah perubahan lesi kulit, demam yang tidak begitu tinggi, gangguan konstitusi, gangguan saraf tepi, multiple small satellite skin makulopapular skin lesion dan nyeri pada tekan saraf. Reaksi kusta tipe I dapat dibedakan atas reaksi ringan dan berat. 1,3Pada reaksi kusta tipe II adalah neuritis, gangguan konstitusi, dan komplikasi organ tubuh. Reaksi kusta tipe II juga dapat dibedakan atas reaksi ringan dan berat. 1,3Fenomena lucio berupa plak atau infiltrat difus, merah muda, bentuk tidak teratur, dan nyeri. Lesi lebih berat tampak lebih eritematosa, purpura, bula, terjadi nekrosis dan ulserasi yang nyeri. Lesi lambat sembuh dan terbentuk jaringan parut. Dari hasil histopatologi ditemukan nekrosis epidermal iskemik, odem, proliferasi endotelial pembuluh darah dan banyak basil Mycobacterium leprae di endotel kapiler. 1,3Eritema nodosum lepromatous (ENL), timbul nodul subkutan yang nyeri tekann dan meradang, biasanya dalam kumpulan. Setiap nodul bertahan selama satua atau dua minggu tetapi bisa timbul kumpulan nodul baru. Dapat terjadi demam, limfadenopati, dan athralgia.1,3Menurut WHO pada tahun 1981, kusta dibagi menjadi multibasilar dan pausibasilar.3 Multibasilar berarti mengandung banyak kuman yaitu tipe LL, BL, dan BB. Sedangkan pausibasilar berarti mengandung sedikit kuman, yakni tipe TT, BT, dan I. Karena pemeriksaan kerokan jaringan kulit tidak selalu tersedia di lapangan, pada tahun 1995 WHO lebih menyederhanakan klasifikasi klinis kusta berdasarkan hitung lesi kulit dan saraf yang terkena. Hal ini tercantum pada tabel bagan diagnosis klinis menurut WHO dibawah iniTabel 1. Bagan Diagnosis Klinis Menurut WHO (1995)3PausibasilerMultibasiler

1. Lesi kulit(macula datar, papul yang meninggi, nodus) 1-5 lesi Hipopigmentasi/eritema Distribusi tidak simetris Hilangnya sensai yang jelas >5 lesi

Distribusi lebih simetris Hilangnya sensasi yang kurang jelas

2. Kerusakan saraf(menyebabkan hilangnya sensasi/kelemahan otot yang dipersarafi oleh saraf yang terkena Hanya satu cabang saraf Banyak cabang saraf

Tabel 2. Gambaran Klinis, bakteriologik, dan imunologik kusta multibasiler3SifatLLBLBB

Lesi-Bentuk

-Jumlah

-Distribusi-Permukaan-Batas-AnestesiaMakulaInfiltrat DifusPapulNodusTidak terhitung, praktis tidak ada kulit sehatSimetrisHalus berkilatTidak jelasTidak ada sampai tidak jelasMakulaPlakatPapul

Sukar dihitung, masih ada kulit sehat

Hamper simetrisHalus berkilatAgak jelasTidak jelasPlakatDome-shaped (kuban)Punched out

Dapat dihitung, kulit sehat jelas ada

AsimetrisAgak kasar , agak berkilatAgak jelasLebih jelas

BTA-Lesi kulit-Sekret hidungBanyak (ada globus)Banyak (ada globus)BanyakBiasanya negativeAgak banyakNegative

Tes LeprominNegativeNegativeBiasanya negatif

Tabel 3. Gambaran Klinis, bakteriologik, dan imunologik kusta pausibasiler3SifatTTBT

Lesi-Bentuk

-Jumlah

-Distribusi-Permukaan-Batas-AnestesiaMakula saja; macula dibatasi infiltrateSatu, dapat beberapa

AsimetrisKering bersisikJelasJelasMacula dibatasi infiltrateBeberapa, atau satu dengan satelitMasih asimetrisKering bersisikJelasJelas

BTA-Lesi kulitHampir sealu negativeNegative atau hanya +1

Tes LeprominPositif kuat (3+)Positif lemah

Terapi Medika MentosaDalam terapi penyakit lepra/kusta saat ini yang masih sering digunakan adalah golongan Sulfon yaiut derivate diamino difenil sulfon (DDS, dapson). Tetapi WHO menganjurkan penggunaan 3 obat sekaligus yaitu dapson, rifampicin dan klofazimin.71. Dapson memiliki aktivitas menghambat pertumbuhan basil pada kadar 10 mikrogram/ml. penelitian pada hewan menunjukkan bahwa dapson bersifat bakteriostatik dengan KHM sebesar 0,02 mikrogram/mL, tetapi tidak menutup kemungkinan akan terjadi resistensi. Memiliki kadar puncak 1-3 jam yaitu 10-15 mikrogram/mL setelah pemberian dosis yang dianjurkan. Waktu paruh eliminasi berkisar antara 10-50 jam dengan rata-rata 28 jam. Pada dosis berulang, sejumlah kecil obat masih ditemukan sampai 35 hari setelah pemberian obat dihentikan. Obat ini terikat pada protein plasma sebesar 50-70% dan mengalami daur enterohepatik dan dieksresi melewati urin sebanyak 70-80% terutama dalam bentuk metabolitnya. Tetapi sayangnya obat ini memiliki efek samping hemolisis yang berkaitan dengan jumlah dosisnya. Selain itu anoreksia dan mual dapat terjadi dalam pemberian sulfon, ada juga reaksi Jarisch-Herxheimer dengan nama lain sindrom sulfon yang timbul 5-6 minggu setelah awal terapi dan pada pasien akan terlihat gejala berupa demam, malaise, dermatitis eksoliatif, nekrosis hati, anemia. Sindrom ini hanya terjadi pada pasien dengan status gizi buruk.72. Rifampisin yang biasanya digunakan sebagai antituberkulosis, obat ini memiliki sifat bakterisid dan mampu menembus sel dan saraf. Tetapi setelah 3-4 tahun penggunaan akan muncul sifat resistensi terhadap obat ini, karena itulah obat ini digunakan bersamaan dengan obat lain.3. Klofazimin adalah turunan fenazin yang efektif terhadap basil lepra, obat ini merupakan kombinasi dengan rifampisin jika pasien sudah resisten terhadap dapson. Obat ini tidak hanya sebagai anti lepra tetapi sebagai antiradang sehingga dapat mencegah timbulnya eritema nodosum dan pada dewasa ini, rifampizin juga dapat menekan eksaserbasi lepromatosis. Efek obat ini baru terlihat setelah 50 hari terapi4. Alternatif obat lainnya, antara lain: Protionamid, dosis 5-10 mg/kgBB per hari, namun obat ini tidak digunakan di Indonesia.7 Ofloksasin, dosis optimal adalah 400 mg/hari. Efek sampign berupa gangguan gastrointestinal, insomnia, nyeri kepala, halusinansi dan pusing Minosiklin. Dosis dtandar adalah 100 mg/hari. Efek sampgn yang dapat timbul pada anak adalah pewarnaan gigi dan terkadang dapat menyebabkan hiperpigmentasi kulit dan mukosa,, gangguan gastrointestinal dan susunan saraf pusat. Pengguanaan obat ini tidak dianjurkan pada anak-anak atau pada masa kehamilan.7Pengobatan kombinasi DSS dan rifampisin.1 Tipe I, TT dan BTDDS 100mg/hari dan rifampisin 600 mg setiap bulan. Keduanya diberikan 6-9 bulan. Pemeriksaan bakteriologi dilakukan setelah 6 bulan pengobatan. Pengawasan dilakukan selama 2 tahun. Jika tidak ada aktivasi secara klinis dan bakteriologi tetap negatif dinyatakan relief from control (RFC) (bebas dari pengamatan).1 Tipe BB, BL, LLKombinasi DDS, rifampisin dan lampren. DDS 100 mg/hari; rifampisin 600 mg setiap bulan; dan lampren 300 mg setiap bulan, dteruskan dengan 50 mg setiap hari atau 100 mg selang sehari, atau 3x100 mg setiap minggu. Pengobatan dilakukam=n selama n2-3 tahun. Pemeriksaan bakteriologi setiap 3 bulan. Jika setelah 2-3 tahun bakteriologi tetap negatif, pemberian obat dihentikan. Jika setelah pengawasan tidak ada aktivitas klinis dan pemeriksaan bakteriologi selalu negatif, dinyatakan bebas dari pengawasan.1Terapi non medika mentosaHingga saat ini tidak ada vaksinasi untuk penyakit kusta. Dari hasil penelitian dibuktikan bahwa kuman kusta yang masih utuh bentuknya, jauh lebih besar kemungkinan menimbulkan penularan dibandingkan dengan yang tidak utuh. Jadi faktor pengobatan adalah amat penting dimana kusta dapat dihancurkan, sehingga penularan dapat dicegah. Disini letak salah satu peranan penyuluhan kesehatan kepada penderita untuk menganjurkan kepada penderita untuk berobat secara teratur.4 Pengobatan kepada penderita kusta adalah merupakan salah satu cara pemutusan mata rantai penularan. Kuman kusta diluar tubuh manusia dapat hidup 24-48 jam, ini tergantung dari suhu dan cuaca diluar tubuh manusia tersebut. Makin panas cuaca makin cepatlah kuman kusta mati. Jadi dalam hal ini pentingnya sinar matahari masuk ke dalam rumah dan hindarkan terjadinya tempat-tempat yang lembab.Penderita kusta yang terlambat didiagnosis dan tidak mendapat multi drug treatment mempunyai risiko tinggi untuk terjadinya kerusakan saraf. Kerusakan saraf terutama berbetuk nyeri, insensibilitas, dan otot melemah. Semakin lama penderita akan terganggu dalam kehidupan sehari-hari misalnya memasang kancing baju, memegang pulpen atau kegiatan kecil lainnya. Cara terbaik untuk mencegah hal ini adalh dengan diagnosa sedini mungkin ketika ditemukan adanya rasa baal pada lesi kulit penderita. Lesi tersebut bisa ditutupi, misalnya dengan memakai sarung tangan agar tidak langsung terkena suhu panas atau dingin dan kulit yang terkena dibersihkan secara berkala dengan cara direndam atau diminyaki dan disikat.4Komplikasi Neuropati, mencakup penurunan fungsi sensorik, motorik, atau otonom saraf perifer Ulkus atau fisura yang dapat mengakibatkan osteomielitis hingga amputasi digiti Pembentukan kalus, akibat penurunan aktivitas kelenjar keringat Kontraktur sendi, akibat paralisis otot.. latihan fisis secara aktif maupun pasif diperlukan untuk mencegah komplikasi ini.4 Kelainan oftalmologis: penurunan sensoris kornea (trigeminal neuropati), lagoftalmus (neuropati fasialis) Pada reaksi ENL dapat ditemukan uveitis, daktilis, artritis, limfadenitis, neuritis, miositis, maupun orchitis.4PrognosisUmumnya baik apabila dilakukan pengobatan yang tepat. Akan tetapi, perlu dilakukan upaaya pencegahan serta deteksi dini terhadap komplikasi yang mungkin terjadi.4

PenutupBerdasarkan hasil pemeriksaan fisik dan gejala yang dialami oleh pasien, dapat disimpulkan pasien mengidap penyakit morbus hansen karena keluhan pasien yang mirip dengan gejala utama morbus hansen yaitu sejak 1 bulan lalu terdapat bercak putih di lengan kirinya dan tidak ada rasa gatal serta hasil pemeriksaan fisik didapatkan makula hipopigmentasi dan ada rasa baal. Untuk terapinya, WHO menganjurkan penggunaan 3 obat sekaligus yaitu dapson, rifampicin dan klofazimin.

Daftar Pustaka1. Siregar, R.S. Atlas berwarna saripati penyakit kulit. Edisi kedua. Cetakan pertama. Jakarta: EGC; 2005.h. 1, 17-8, 156-62, 254-56.2. Dacre, Jane dan Kopelman, Peter. Buku saku keterampilan klinis. Cetakan pertama. Jakarta: EGC; 2005.h.258-593. Djuanda A, Hamzah M, Aisah S. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi ke-6. Jakarta: FKUI; 2011.h.73-884. Tanto C, Liwang F, Hanifati S, Pradipta E. Kusta dalam buku kapita selekta kedokteran jilid I. Edisi ke-4. Jakarta : Media Aesculapius; 2014.h.312-5.5. Brooks GF, Butel JS, Morse SA. Mikrobiologi kedokteran. Buku-1. Jakarta: Salemba Medika;2005.h.467-86. Williams L, Wilkins. Teks-atlas kedokteran kedaruratan Greenberg . Jilid.2. Jakarta: Erlangga; 2012.h.404-25.7. Gunawan SG, Setiabudy R, Nafrialdi. Farmakologi dan terapi. Edisi ke-5. Jakarta: FKUI; 2011.h.633-5