pbl modul 1 kel. 1a.docx

41
MODUL I SESAK NAPAS BLOK EMERGENCY DAN TRAUMATOLOGI TUTOR : dr. ARINA F ARIFIN KELOMPOK 1 PRATIWI AMIRUDDIN 1102060060 USMAN UMAR 1102070083 NAHLAZAIMAH JAINUDDIN 1102100001 NURINDAH SARI TOATUBUN 1102100026 FITRIANI 1102100027 ULIMA RAHMA 1102100048 SARTIKA STIEFANY PUTRI 1102100067 NUR ZULZILATUN M. 1102100075 A. AYU ANDJANI 1102100093 SUMARDIN 1102100094 MUKHRAENI 1102100111 MUHAMMAD JAYADI H. 1102100112 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA MAKASSAR

Transcript of pbl modul 1 kel. 1a.docx

Page 1: pbl modul 1 kel. 1a.docx

MODUL I

SESAK NAPAS

BLOK EMERGENCY DAN TRAUMATOLOGI

TUTOR : dr. ARINA F ARIFIN

KELOMPOK 1

PRATIWI AMIRUDDIN 1102060060USMAN UMAR 1102070083NAHLAZAIMAH JAINUDDIN 1102100001NURINDAH SARI TOATUBUN 1102100026FITRIANI 1102100027ULIMA RAHMA 1102100048SARTIKA STIEFANY PUTRI 1102100067NUR ZULZILATUN M. 1102100075A. AYU ANDJANI 1102100093SUMARDIN 1102100094MUKHRAENI 1102100111MUHAMMAD JAYADI H. 1102100112

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

MAKASSAR

2013

Page 2: pbl modul 1 kel. 1a.docx

Sesak Napas

A.    Kasus

Skenario

Seorang laki-laki usia 25 tahun dibawa ke puskesmas dengan keluhan sesak nafas,

penderita terlihat pucat dan kebiruan. Nadi teraba cepat dan lemah.

B.     Kata Kunci

1. Laki-laki, 25 tahun

2. Sesak napas

3. Pucat dan kebiruan (sianosis)

4. Nadi cepat dan lemah

C.    Pertanyaan

1. Bagaimana penanganan awal pada scenario ?

2. Sebutkan penyebab sesak napas ?

3. Jelaskan patomekanisme gejala yang terdapat dalam scenario ?

4. Secondary survey ?

5. Komplikasi yang terjadi saat tindakan primary survey tidak berhasil ?

6. Obat-obat darurat yang diberikan ?

7. Syarat- syarat transportasi dan rujukan pasien ?

D.    Jawaban

1. Apa penanganan awal pada pasien?

Proses penanganan awal ini bertujuan untuk mengenali keadaaan yang mengancam nyawa

terlebih dahulu, dengan menilai berdasarkan tindakan berikut:

A. AIRWAY: dengan menjaga airway dengan control servikal (cervical spine control).

Look :

a. melihat adanya obstruksi jalan napas oleh benda asing/cairan.

b. melihat adanya kelainan servikalis didasarkan pada riwayat perlukaan.

c. Menilai GCS (Glasgow Coma Scale)

Page 3: pbl modul 1 kel. 1a.docx

Listen : mendengar ada tidaknya suara pernapasan.

Feel : merasakan adanya hembusan napas pasien

Gambar 1.1 Look-Listen-Feel (LLF) dilakukan secara simultan.1

Gangguan pada Airway

a. Obstruksi total akibat benda asing

1. Bila pasien masih sadar

Pada penderita yang dapat berbicara, dapat dianggap bawah jalan napas bersih,

walaupun demikian penilaian ulang terhadap airway harus tetap dilakukan.

Kemungkinan pasien datang dengan keadaan sadar tetapi korban memegang leher

dan dalam keadaan sangat gelisah, ini menunjukkan kesan masih bernapas walaupun

tidak ada ventilasi. Penanganan pada pasien seperti ini dengan melakukan heimlich

maneuver/Abdominal Trust, penanganan ini tidak dilakukan pada pasien bayi, ibu

hamil dan pasien gemuk.

2. Bila pasien mengalami gangguan kesadaran

Menentukan dengan cepat adanya obstruksi total dengan sapuan jari (finger sweep)

ke dalam faring sampai belakang epiglottis. Jika tidak berhasil, lakukan Heimlich

maneuver/Abdominal Trust dalam keadaan penderita berbaring.

b. Obstruksi Parsial

Obstruksi parsial bisa disebabkan berbagai hal. Biasanya pasien masih bisa bernapas

sehingga timbul berbagai macam suara pada pemeriksaan listen, tergantung penyebabnya:

1. Cairan (Darah/secret)

Terdengar suara seperti berkumur (Gargling), kondisi ini terjadi karena ada

kebuntuan yang disebabkan oleh cairan, Pada pasien ini dilakukan cross-finger, lalu

Page 4: pbl modul 1 kel. 1a.docx

lakukan finger-sweep dengan menggunakan 2 jari yang sudah dibalut dengan kain

untuk “menyapu” rongga mulut dari cairan-cairan. Pada pasien seperti ini bisa juga

dilakukan pengambilan cairan menggunakan alat Suction (orofaring atau nasofaring)

atau melakukan pemasangan ETT (endotracheal tube). 1

Gambar 1.2. tindakan finger sweep.1

2. Lidah jatuh kebelakang

Pada pasien yang mengalami lidah jatuh kebelakang terdengar suara seperti ngorok

(snoring), kondisi ini menandakan adanya kebuntuan jalan napas bagian atas oleh

benda padat. Penanganan awal yang dapat dilakukan adalah melakukan head tilt,

chin lift ataupun jaw trust, kemudian lakukan pengecekan langsung dengan cara

cross-finger untuk membuka mulut (menggunakan 2 jari, yaitu ibu jari dan jari

telunjuk tangan yang digunakan untuk chin lift tadi, ibu jari mendorong rahang atas

ke atas, telunjuk menekan rahang bawah ke bawah).metode pembebasan jalan napas

Setelah jalan napas bersih dan tidak ada lagi obstruksi, dilakukan pemasangan pipa

oropharing untuk mempertahankan patensi jalan napas. 1

3. Penyempitan di laring/trakea

Penyempitan ini bisa terjadi akibat edema pita suara yang biasanya disebabkan oleh

keracunan ataupun luka bakar. Pada keadaan ini terdengar suara dengan nada tinggi

(crowing) atau terdengar stridor suara yang kontinu (tidak terputus-putus), bernada

tinggi yang terjadi baik pada saat inspirasi maupun pada saat ekspirasi. untuk

pertolongan pertama tetap lakukan maneuver head tilt and chin lift atau jaw thrust.

Kemudian lakukan trakheostomi. 1

B. BREATHING: Menjaga pernapasan dengan ventilasi. 1

Page 5: pbl modul 1 kel. 1a.docx

Airway (jalan napas) yang baik tidak menjamin breathing (ventilasi) yang baik. Breathing

artinya pernapasan atau proses pertukaran oksigen dan karbon dioksida. Airway yang

baik tidak menjamin ventiasi yang baik. Ventilasi yang baik menggambarkan fungsi baik

dari paru, dinding toraks dan diafragma. Pada saat pemeriksaan breathing dada korban

harus dibebaskan dari pakean untuk melihat pernapasaan yang baik. Dalam pemerikasaan

berpedoman pada:

a. Inspeksi

Inspeksi breathing berupa observasi dada, yang dinilai:

1. Mehitung frekwensi napas dan irama pernapasaan pasien.

2. Keadaan umum pasien tampak sesak dengan tangan menopang pada tempat tidur

dengan maksud supaya otot-otot bantu pernapasan dapat membantu ekspirasi,

pernapasan cuping hidung takipneu dan sianosis. Selain itu juga mungkin dapat

didengar wheezing (ekspirasi yang memanjang) dan bentuk dada barrel chest

(terjadi pemanjangan diameter antero-posterior disertai sela iga yang melebar dan

sudut epigastrium yang tumpul). Keadaan ini bisa dijumpai pada keadaan saluran

napas yang menyempit seperti asma. Yang dapat dilakukan memposisikan pasien

pada posisi senyaman mungkin, biasanya posisi setengah duduk dan diberi

oksigen pada asma ringan. Sedangkan asma berat diberi bronchodilator. Pada

kasus trauma stabilisasi penderita dilakukan pada posisi stabil dengan

menggunakan bantuan oksigen baik itu dengan endotracheal tube ataupun dengan

bentilator. Indikasi pemberian oksigen pada saat RJP, trauma berat, nyeri

prekardial, gangguan asma dan sebagainya. 1

3. Pergerakan dada apakah simetris antara dinding thoraks kiri dan kanan pada saat

inspirasi dan ekspirasi. saat terlihat retraksi otot-otot pernapasan tapi kedua gerak

dada simetris, penanganan yang dapat kita berikan adalah pemberiab terapi

oksigen . Namun apabila terlihat gerak dada yang tidak simetris, dapat kita curigai

terjadi pneumothorax, untuk itu dapat kita lakukan thoracotomi agar udara yang

terjebak dalam rongga pleura dapat dikeluarkan. 1

b. Palpasi

Page 6: pbl modul 1 kel. 1a.docx

Palpasi dilakukan untuk memperlihatkan kelainan dinding dada yang mungkin

mengganggu ventilasi berupa adanya ekspansi dada dan posisi apex jantung. Apex

jantung berubah dapat disebabkan dorongan oleh kelainan mediastinum, efusi pleura

dan lain-lain yang dinilai pada palpasi:

1. Nyeri tekan dan krepitasi: hal ini mungkin terjadi pada fraktur kosta. Nyeri timbul

akibat penekanan kosta ke pleura parieralis sedang krepitasi adalah bunyi tulang

kosta yang patah.

2. Vocal fremitus: ini dilakukan untuk mengetahui permbatan suara ke dinding dada

yang dirasakan oleh kedua tangan yang dirapatkan. Interpretasi:

a) Peningkatan : adanya konsolidasi paru misalnya pneumonia (akibat kelainan

infiltrat).

b) Penurunan : disebabkan oleh kelainan non infiltrat (peneumothorax).

3. Deviasi trakea: terjadi penyimpangan trakea akibat pendorongan di dalam

mediastinum. Pada pneumothorax misalnya: deviasi trakea akan mengarah kea rah

sehat hal ini akan membantu dalam melakukan NTS (needle thoracocintesis).

4. Desakan vena sentralis: biasa disebabkan oleh kelainan jantung.

c. Perkusi

Perkusi dilakukan untuk menilai adanya udara atau darah dalam rongga pleura. Suara

perkusi normalnya adalah sonor, suara perkusi hipersonor ditemukan pada

pneumotoraks karena berisi udara, sedangkan hemotoraks hasil perkusinya didengar

pekak. Dalam keadaan emergensi yang di fokuskan dalam perkusi adalah suara

pekak untuk mengeluarkan cairan yang ada di dalamnya dan mengeluarkannya

dengan segera.

Sebaiknya dalam melakukan perkusi hendaknya selalu membandingkan tempat yang

sehat dan lesi (dari atas ke bawah/ dari medial ke lateral).

d. Auskultasi

Auskultasi dilakukan untuk memastikan masuknya udara ke dalam paru. Pada

keadaan normal didapatkan napas bronchial pada tracheam napas bronchovasikyler

di daerah intraclaviculer, suprasternal dan interscapular. Sedangkan suara vesikuler

di luar lokasi diatas. Bila didapatkan suara napas bronchial/ bronchovesikuler pada

Page 7: pbl modul 1 kel. 1a.docx

lokasi yang seharusnya vesikuer, menandakan adanya suatu kelainan pada tempat

tersebut.

1. Suara napas vesikuler yang melemah menandakan adanya halangan hantaran

suara ke dinding dada misalnya efusi pleura, pneumotoraks dan hematoraks.

2. Suara wheezing pada penderita asma

3. Ronchi halus dan sedang menunjukkan adanya cairan misalnya pneumonia dan

edema paru.

4. Bunyi berkurang-menghilang menunjukkan adanya cairan/ udara dalam rongga

pleura/ kolaps paru.

5. Bunyi napas bernada tinggi misalnya di tension pneumothoraks

Setelah evaluasi breathing dan hasilnya baik, harus periksa kembali airway sebelum

melanjutkan ke circulation. Bila tiba-tiba pasien henti napas maka pernaoasan buatan bisa

dengan:

Jenis peralatan dan konsentrasi oksigen

JENIS ALAT KONSENTRASI OKSIGEN ALIRAN OKSIGEN

Nasal kanula 24-32% 2-4 LPM

Simple Face Mask 35-60% 6-8 LPM

Partial Rebreather 35-80% 8-12 LPM

Non Rebrether 50-95/100% 8-12 LPM

Venturi 24-50% 4-10 LPM

Bag-Valve-Mask (Ambubag)

Tanpa oksigen 21% (udara)

Dengan oksigen 40-60% 8-10 LPM

Dengan reservoir 100% 8-10 LPM

Page 8: pbl modul 1 kel. 1a.docx

Gambar 1.3 Bag-valve-mask ventilation dan Mouth to mask .1

C. CIRCULATION: dengan kontrol pendarahan. 2

Yang dinilai pada pemeriksaan sirkulasi adalah status hemodinamik dari pasien.

Pemeriksaan tersebut dilakukan dengan melihat ada tidak perdarahan, pemeriksaan

tekanan dan nadi (tanda vital). Juga memperhatikan ada tidaknya tanda syok seperti

hipotermi, pucat, berkeringat, akral dingin, dan perubahan status mental.

Bila ada tanda syok tersebut maka segera posisikan pasien dengan posisi Trendelenberg

untuk menjamin sirkulasi ke otak. Kemudian segera pasang infus untuk memasukkan

cairan intravena sesuai dengan indikasi. Bila ada perdarahan eksterna yang nyata maka

segera hentikan pendarahan tersebut dengan menekan langsung tempat pendarahan atau

bebat tekan. Kontrol penderahan ini diperlukan agar status hemodinamik pasien tidak

semakin memburuk. 2

Setelah tindakan tersebut dilakukan maka evaluasi kembali keadaan pasien mulai dari

tindakan yang pertama yaitu airway, breathing, dan circulation. Selalu melakukan

evaluasi setiap tindakan yang telah kita lakukan.

Pada scenario kasus tampak nadi pasien melemah dan pucat, keadaa ini menunjukkan

bahwa pasien mengalami gejala awal dari syok. Untuk itu tindakan sirkulasi perlu kita

lakukan, yaitu dengan trendelenberg kemudian masukkan cairan infus kristalloid.

D. DISABILITY & DRUGS: status neurologis

Cara pemakaian obat-obtan darurat adalah dengan kanulasi vena perifer, yaitu melakukan

penusukan pada vena yang terletak pada superfisial di lengan, tungkai, leher atau kepala

dengan infus. Selain untuk media masuknya obat-obatan darurar, infus juga diindikasikan

untuk pemberia cairan dan elektrolit, sebagai bagian dari resusitasi, sebelum dilakukan

Page 9: pbl modul 1 kel. 1a.docx

tindakan operasi dan untuk pemberian nutrisi perenteral perifer. Contoh obat-obatan

resusitasi antara lain: adrenalin/efineprin, naloxon, Na bikarbonat, dsb.

Disability adalah penilaian status neurologis meliputi:

a. GCS (glasglow coma scale)

b. refleks pupil yang dinilai yaitu apakah pupil bisa miosis dan midriasis secara normal.

Anosokor adalah jika perbedaan diameter kedua pupil lebih dari 1mm, sedangkan

isokor adalah jika perbedaan diameterkedua pupil kurang dari 1 mm.

c. Lateralisasi adalah ketidak mampuan sebagian fungsi sensorik dan motorik

berdasrkan ada tidaknya jejas atau massa pada intrakranial.

d. Tetapi penggunaan GCS pada kasus trauma dianggap membutuhkan waktu yang

banyak, sehingga ditetapkan menggunakan AVPU. 2

Penilaian Cepat : AVPU

- A: Alert = sadar penuh

- V: Verbal = memberikan respon hanya dengan rangsangan suara

- P: Pain = memberikan respon hanya dengan ransangan nyeri

- U: unresponsive = tidak memberikan respon dengan rangsangan nyeri

2. Penyebab sesak napas

a. diakibatkan oleh trauma

1. Hematoraks

Hemothorax adalah kumpulan darah di dalam ruang antara dinding dada dan paru-

paru (rongga pleura). Penyebab paling umum dari hemothorax adalah trauma

dada.Trauma misalnya :

a. Luka tembus paru-paru, jantung, pembuluh darah besar, atau dinding dada.

b. Trauma tumpul dada kadang-kadang dapat mengakibatkan lecet hemothorax

oleh pembuluh internal.

Diathesis perdarahan seperti penyakit hemoragik bayi baru lahir atau purpura

Henoch-Schönlein dapat menyebabkan spontan hemotoraks. Adenomatoid

Page 10: pbl modul 1 kel. 1a.docx

malformasi kongenital kistik: malformasi ini kadang-kadang mengalami

komplikasi, seperti hemothorax. 3

Etiologi

1. Traumatik

a. Trauma tumpul.

b. Trauma tembus (termasuk iatrogenik)

2. Nontraumatik / spontan

a. Neoplasma.

b. komplikasi antikoagulan.

c. emboli paru dengan infark

d. robekan adesi pleura yang berhubungan dengan pneumotoraks spontan.

e. Bullous emphysema.

f. Nekrosis akibat infeksi.

g. Tuberculosis.

h. fistula arteri atau vena pulmonal.

i. telangiectasia hemoragik herediter.

j. kelainan vaskular intratoraks nonpulmoner (aneurisma aorta pars

thoraxica, aneurisma arteri mamaria interna).

k. sekuestrasi intralobar dan ekstralobar.

l. patologi abdomen ( pancreatic pseudocyst, splenic artery aneurysm,

hemoperitoneum).

m. Catamenial

Tanda dan gejala Hemotoraks

a. Denyut jantung yang cepat

b. Kecemasan

c. Kegelisahan

d. Kelelahan

e. Kulit yang dingin dan berkeringat

f. Kulit yang pucat

g. Rasa sakit di dada

h. Sesak nafas

Page 11: pbl modul 1 kel. 1a.docx

Penanganan

1. Resusitasi cairan. Terapi awal hemotoraks adalah dengan penggantian

volume darah yang dilakukan bersamaan dengan dekompresi rongga pleura.

Dimulai dengan infus cairan kristaloid secara cepat dengan jarum besar dan

kemudian pemnberian darah dengan golongan spesifik secepatnya. Darah

dari rongga pleura dapat dikumpulkan dalam penampungan yang cocok

untuk autotranfusi bersamaan dengan pemberian infus dipasang pula chest

tube ( WSD ).

2. Pemasangan chest tube ( WSD ) ukuran besar agar darah pada toraks

tersebut dapat cepat keluar sehingga tidak membeku didalam pleura.

Hemotoraks akut yang cukup banyak sehingga terlihat pada foto toraks

sebaiknya di terapi dengan chest tube kaliber besar. Chest tube tersebut akan

mengeluarkan darah dari rongga pleura mengurangi resiko terbentuknya

bekuan darah di dalam rongga pleura, dan dapat dipakai dalam memonitor

kehilangan darah selanjutnya. Evakuasi darah / cairan juga memungkinkan

dilakukannya penilaian terhadap kemungkinan terjadinya ruptur diafragma

traumatik. WSD adalah suatu sistem drainase yang menggunakan air.

Fungsi WSD sendiri adalah untuk mempertahankan tekanan negatif

intrapleural / cavum pleura.

2.Flail chest. 3

Flail chest adalah gerakan abnormal dari dinding dada yang terjadi akibat fraktur dari

dua costa atau lebih dari costa yang berurutan dan tiap-tiap costa terdapat fraktur

segmental . atau fraktur pada 2 tempat atau lebih pada 1 iga dimana terjadi pada 3 iga

atau lebih, baik anterio maupun posterior.

Gejala – gejala :

1. Sesak nafas, sianosis

2. Takhikardi

Penanganan

1. Nafas paradoksal. Intubasi dan ventilator

2. Penggunaan WSD

3. Pemasangan Fiksasi Interna

Page 12: pbl modul 1 kel. 1a.docx

3. Pneumothoraks. 3

Adalah keadaan terdapatnya udara atau gas dalam rongga pleura, dalam keadaan

normal rongga pleura tidak berisi udara.

Klasifikasi dan Etiology

Pneumothoraks spontan adalah pneumothoraks yang terjadi secara tiba-tiba tanpa

diketahui penyebabnya

Pneumothoraks spontan primer Terjadi tanpa adanya suatu riwayat penyakit paru

yang mendasarinya

Pneumothoraks spontan sekunder karena ada penyakit paru yang mendasarinya

Pneumothoraks traumatik adalah pneumothoraks yang terjadi akibat trauma, baik

trauma penetrasi (luka tusuk, tembak) maupun bukan yang mnyebabkan robeknya

rongga pleura.

Pneumothoraks traumatik Iatrogenik terjadi akibat komplikasi tindakan medis

Pneumothoraks traumatik Iatrogenik aksidental karena tindakan medis kesalahan

atau komplikasi tindakan tersebut

Pneumothoraks traumatik Iatrogenik artifisial karena tindakan medis itu sengaja

dilakukan dengan cara mnegisi udara ke dalam rongga pleura melalui jarum

Pneumothoraks traumatik bukan Iatrogenik terjadi karena jejas kecelakaan,

misalnya jejas pada dinding dada baik terbuka maupun tertutup

Pneumothoraks tertutup adalah pneumothoraks yang tekanan udara d rongga pleura

lebih tinggi dibandingkan pada sisi hemithoraks kontralateral tetapi tekanannya masih

lebih rendah dari tekanan atmosfer

Pneumothoraks terbuka disebabkan karena luka terbuka pada dinding dada sehingga

saat inspirasi udara dapat keluar melalui luka tersebut

Pneumothoraks tension karena mekanisme check valve yaitu saat inspirasi udara

masuk ke dalam rongga pleura namun saat ekspirasi udara tidak dapat keluar . dapat

menimbulkan gagal nafas.

Manifestasi klinis

Keluhan subyektif

Page 13: pbl modul 1 kel. 1a.docx

a)  Sesak nafas

b)  Nyeri dada

c)  Batuk-batuk

d)  Tidak menunjukkan gejala-5-10%

Pemeriksaan fisis

a) Suara nafas melemah sampai menghilang

b) Fremitus melemah sampai menghilang

c) Resonansi perkusi dapat normal atau meningkat/hipersonor

d) tachykardi

Penanganan

1. Observasi dan pemberian tambahan oksigen

a)Tindakan ini dilakukan apabila luas pneumothoraks < 15% dari hemithoraks.

b)Apabila fistula dari alveoli ke rongga pleura teah menutup, udara dalam rongga

pleura perlahan – lahan di resorbsi,laju resorbsi kira-kira 1,25%dari sisi

pneumothoraks perhari, laju resorbsi akan meningkat jika diberi tambahan

oksigen .

c)Pemberian oksigen 100% pada kelinci percobaan yang mengalami pneumothoraks

ternyata meningkatkankan laju resorbsi 6x lipat.

2.Aspirasi dengan jarum dan tube thoracostomi

Tindakan inidilakukan seawalmungkin pada pasien pneumothoraks > 15%.

Tindakan ini dilakukan untuk mengeluarkan udara dari rongga pleura (dekompresi).

3.Thoracoscopy

Adalah suatu tindakan untuk melihat langsung ke dalam rongga thoraks dengan

alat bantu thoracoscop.

Page 14: pbl modul 1 kel. 1a.docx

SESAK NAPAS AKIBAT NONTRAUMA.

1. ARD

          ARDS terjadi jika paru-paru terkena cedera baik secara langsung maupun tidak

langsung.Berdasarkan mekanisme patogenesisnya maka penyakit dasar yang menyebabkan

sindrom ini dapat dibagi menjadi 2 kelompok : 4

1. Penyakit yang langsung mengenai paru-paru

a) Aspirasi asam lambung

b) Tenggelam

c) Kontusio paru

d) Infeksi paru yang difus

e) Inhalasi  gas toksik

f) Keracunan oksigen

2. Penyakit yang tidak langsung mengenai paru-paru

a) Sepsis

b) Pankreatitis akut

c) Trauma multipel

d) Penyalahgunaan obat

e) Renjatan hipovolemik

f) Transfusi berlebihan

g)  Pasca transplantasi paru

h)  Pasca operasi pintas jantung-paru. 

3. Patomekanisme gejala pada scenario

A. Patomekanisme sesak napas (dispneu)

Terdapat beberapa patofisiologi daripada dispneu :

1) Kekurangan oksigen ( O2 )

a. Gangguan konduksi maupun difusi gas keparu-paru

1. Obstruksi dari jalan nafas, misalnya pada bronchospasme & adanya benda asing

Page 15: pbl modul 1 kel. 1a.docx

2. Berkurangnya alveoli ventilasi, misalnya pada edema paru, radang paru, emfisema

dsb

3. Fungsi restriksi yang berkurang, misalnya pada. pneumotoraks, efusi pleura dan

barrel chest.

4. Penekanan pada pusat respirasi

b. Gangguan pertukaran gas dan hipoventilasi

c. Gangguan neuro muskular

1. Gangguan pusat respirasi, misal karena pengaruh sedatif

2. Gangguan medulla spinalis misalnya sindrom guillain-barre

3. Gangguan saraf prenikus, misalnya pada poliomielitis

4. Gangguan diafragma, misalnya tetanus

5. Gangguan rongga dada, misalnya kifiskoliosis

d. Gangguan obstruksi jalan nafas

1.Obstruksi jalan nafas atas, misal laringitis/udem laring

2.Obstruksi jalan nafas bawah, misal asma brochiale dalam hal ini status asmatikus

sebagai kasus emergency

e. Gangguan pada parenkim paru, misalnya emfisema dan pneumonia

f. Gangguan yang sirkulasi oksigen dalam darah, misalnya pada keadaan ARDS dan

keadaan kurang darah.

2) Pertukaran gas di paru-paru normal tapi kadar oksigen di dalam paru-paru berkurang.

Kejadian ini oleh karena 3 hal, yaitu :

a. Kadar Hb yang berkura

b. Kadar Hb yang tinggi, tapi mengikat gas yang afinitasnya lebih tinggi misalnya

CO ( pada kasus keracunan ketika inhalasi gas)

c. Perubahan pada inti Hb, misalnya terbentuknya met-Hb yang mempunyai inti Fe

3+.

1) Stagnasi dari aliran darah, dapat dibagi atas :

b. Sentral, yang disebabkan oleh karena kelemahan jantung.

c. Gangguan aliran darah perifer yang disebabkan oleh renjatan (shock), contoh syok

hipovolemik akibat hemototaks.

d. Lokal, disebabkan oleh karena terdapat vasokontriksi lokal

Page 16: pbl modul 1 kel. 1a.docx

e. Dapat pula disebabkan oleh karena jaringan tidak dapat mengikat O¬2 , terdapat

contohnya pada intoksikasi sianida.

3) Kelebihan carbon dioksida ( CO2 )

Karena terdapatnya shunting pada COPD sehingga menyebabkan terjadinya aliran dari

kanan ke kiri ( right to the left ).

4) Hiperaktivasi refleks pernafasan

Pada beberapa keadaan refleks Hearing-Breuer dapat menjadi aktif. Hal ini disebabkan

olek karena refleks pulmonary stretch.

5) Emosi

6) Asidosis

Banyak hubungannya dengan kadar CO¬2 dalam darah dan juga karena kompensasi

metabolik.

7) Penambahan kecepatan metabolisme

Pada umumnya tidak menyebabkan dispneu kecuali bila terdapat penyakit penyerta

seperti COPD dan payah jantung (dekomensasi kordis). 4

B. Patomekanisme sianosis

Sianosis merupakan indikasi dari kurangnya oksigen di aliran darah yang disebabkan oleh

kelainan jantung kongenital atau racun (seperti CO). Penyebab sianosis adalah Hb yang

tidak mengandung O¬2 , jumlahnya berlebihan dalam dalam pembuluh darah kulit,

terutama dalam kapiler. Hb yang tidak mengandung O¬2¬ memiliki warna biru gelap yang

terlihat melalui kulit. Pada umumnya sianosis muncul apabila darah arteri berisi lebih dari

5 gram Hb yang tidak mengandung O¬2¬ dalam setiap desiliter darah. 5

C. Patomekanisme takikardi. 5

Takikardi : nadi > 100 x/menit.

Penyebab umum :

1) Sistem saraf otonom & endokrin

a. Stress (Fight or flight)

b. Stimulant (caffeine)

c. Penyakit endokrin (pneucromocytoma)

2) Haemodinamik

a. Dehidrasi

Page 17: pbl modul 1 kel. 1a.docx

b. Perdarahan

c. Hipotensi ortostatik

d. Postural ortostatic tachycardia syndrome (POTS)

3) Cardiac Aritmia

a. Supraventrikular takikardi

b. Ventrikular takikardiai

4.Secondary survey2

A. Anamnesis

Anamnesis yang harus diingat :

A : Alergi

M : Mekanisme dan sebab trauma

M : Medikasi ( obat yang sedang diminum saat ini)

P : Past illness

L : Last meal (makan minum terakhir)

E : Event/Environtment yang berhubungan dengan kejadian perlukaan.

B. PemeriksaanFisik

1. Kepala dan Maksilofasial

A. Penilaian

1. Inspeksi dan palpasi seluruh kepala dan wajah untuk adanya laserasi, kontusi,

fraktur dan luka termal

Re-evaluasi pupil

2. Re-evaluasi tingkat kesadaran dengan skor GCS

3. Penilaian mata untuk perdarahan, luka tembus, ketajaman penglihatan, dislokasi

lensa, dan adanya lensa kontak

4. Evaluasi syaraf kranial

5. Periksa telinga dan hidung akan adanya kebocoran cairan serebro-spinal

Page 18: pbl modul 1 kel. 1a.docx

6. Periksa mulut untuk adanya perdarahan dan kebocoran cairan serebro-spinal,

perlukaan jaringan lunak dan gigi goyang.

B. Pengelolaan

1. Jaga airway, pernafasan dan oksigenasi

2. Cegah kerusakan otak sekunder

3. Vertebra servikalis dan leher

A. Penilaian

1. Periksa adanya cedera tumpul atau tajam, deviasi trakea, dan pemakaian otot

pernafasan tambahan

2. Palpasi untuk adanya nyeri, deformitas, pembengkakan, emfisema subkutan,

deviasi trakea, simetri pulsasi.

4. Toraks

A. Penilaian

1. Penilaian dinding dada bagian depan, samping dan belakang untuk adanya trauma

tumpul ataupun tajam, pemakaian otot pernafasan tambahan dan ekspansi toraks

bilateral.

2. Auskultasi pada bagian depan dan basal untuk bising nafas (bilateral) dan bising

jantung.

3. Palpasi seluruh dinding dada untuk adanya trauma tajam/tumpul, emfisema

subkutan, nyeri tekan dan krepitasi.

4. Perkusi untuk adanya hipersonor atau keredupan.

5. Abdomen

Penilaian :

a. Inspeksi abdomen bagian depan dan belakang untuk adanya trauma tajam/tumpul

dan adanya perdarahan internal.

b. Auskultasi bising usus

c. Perkusi abdomen untuk menemukan nyeri lepas (ringan)

d. Palpasi abdomen untuk nyeri tekan.

6. Perineum/rectum/penis

Penilaian :

a. Penilaian perineum : perdarahan uretra, laserasi, dsb

Page 19: pbl modul 1 kel. 1a.docx

b. Penilaian rektum : perdarahan rektum

7. Tonus sfinkter ani

8. Utuhnya dinding rectum

9. Fragmen tulang

10. Posisi prostat

11. Muskuloskeletal

Penilaian :

a. Inspeksi lengan dan tungkai akan adanya trauma tumpul/tajam, termasuk adanya

laserasi kontusio dan deformitas

b. Palpasi lengan dan tungkai akan adanya nyeri tekan, krepitasi, pergerakan abnormal,

dan sensorik

c. Palpasi semua arteri perifer untuk kuatnya pulsasi dan ekualitas

d. Nilai pelvis untuk adanya fraktur dan perdarahan

e. Inspeksi dan palpasi vertebra torakalis dan lumbalis untuk adanya trauma tajam/ tumpul,

termasuk adanya kontusio, laserasi, nyeri tekan, deformitas, dan sensorik

12. Neurologis

Penilaian :

a. Re-evaluasi pupil dan tingkat kesadaran

b. Tentukan skor GCS

c. Evaluasi motoric dan sensorik dari keempat ekstremitas

d. Tentukan adanya tanda lateralisasi

Tambahan pada secondary survey

Dalam melakukan secondary survey, mungkin akan dilakukan pemeriksaan diagnostik yang

lebih spesifik yaitu pemeriksaan radiologi dan laboratorium.Seringkali ini membutuhkan

transportasi penderita ke ruangan yang lain harus tersedia perlengkapan untuk resusitasi.Dengan

demikian semua prosedur di atas jangan dilakukan sebelum hemodinamik penderita stabil dan

telah diperiksa secara teliti. 6

5. Komplikasi

1. Oropharyngeal tube : tidak dipakai apabila refleks muntah (+) --> obstruksi. 7

Page 20: pbl modul 1 kel. 1a.docx

2. Nasopharyngeal tube : hati-hati pada fraktur basis cranii

3. Resiko intubasi :

a.hipoksia

b. tekanan darah naik

4. Airway : intubasi endotrakeal dapat menyebabkan obstruksi total karean tidak tahu

adanya fraktur laring. 7

5. Breathing :

a. penderita dalam keadaan takipneu dan dispneu berat yang disebabkan tension

pneumothorax --> airway tidak adekuat bila dilakukan intubasi endotrakeal dengan

nafas tambahan memakai bag akan memperburuk keadaan

b. pada penderita tidak sadar dilakukan intubasi endotrakeal di sertai ventilasi

tambahan --> pneumothorax

6. Komplikasi intubasi endotrakeal :

a.nyeri tenggorok

b. suara sesak

6.Obat-obat pada penanganan sesak

Obat-Obat Bronkodilator

Tipe utama bronkodilator :

1. Adrenergik

2. Antikolinergik

3. Xanthin

1. Adrenergika

Yang digunakan adalah b2-simpatomimetika (singkatnya b2-mimetika) yang berikut :

salbutamol, terbulatin, tretoquinol, fenoterol, rimiterol, prokaterol (Meptin), dan

klenbuterol (Spriropent). Lagi pula, obat long-acting yang agak baru, yaitu salmoterol

dan formoterol (dorudil). Zat-zat ini bekerja lebih kurang selektif terhadap reseptor

b2 adrenergis dan praktis tidak terhadap reseptor- b1 (stimulasi jantung). Obat dengan

efek terhadap kedua reseptor sebaiknya jangan digunakan lagi berhubung efeknya

Page 21: pbl modul 1 kel. 1a.docx

terhadap jantung, seperti efedrin, inprenalin, orsiprenalin dan heksoprenalin.

Pengecualian adalah adrenalin (reseptor dan b) yang sangat efektif pada keadaan

kemelut.8

a. Mekanisme kerjanya adalah melalui stimulasi reseptor b2 di trachea (batang

tenggorok) dan bronchi, yang menyebabkan aktivasi dari adenilsiklase. Enzim ini

memperkuat pengubahan adenosintrifosat (ATP) yang kaya energi menjadi cyclic-

adenosin monophosphat (cAMP) dengan pembebasan energi yang digunakan untuk

proses-proses dalam sel. Meningkatnya kadar cAMP di dalam sel menghasilkan

beberapa efek bronchodilatasi dan penghambatan pelepasan mediator oleh mast

cells.

b. Penggunaannya semula sebagai monoterapi kontinu, yang ternyata secara berangsur

meningkatkan HRB dan akhirnya memperburuk fungsi paru, karena tidak

menanggulangi peradangan dan peningkatan kepekaan bagi alergen pada pasien

alergis. Oleh karena itu, sejak beberapa tahun hanya digunakan untuk melawan

serangan atau sebagai pemeliharaan dalam kombinasi dengan obat pencegah,

seperti kortikosteroid dan kromoglikat.

c. Kehamilan dan laktasi. Salbutamol dan terbutalin dapat digunakan oleh wanita

hamil, begitu pula fenoterol dan heksoprenalin setelah minggu ke-16. salbutamol.

Terbutalin, dan salmeterol mencapai air susu ibu. Dari obat lainnya belum terdapat

cukup data untuk menilai keamanannya; pada binatang percobaan, salmoterol

ternyata merugikan janin.

Obat-obat adrenergik yang sering digunakan sebagai bronchodilator : 8

a. Adrenalin epinefrin Lidonest 2%

Zat adrenergik ini dengan efek alfa + beta adalah bronchodilator terkuat dengan kerja cepat

tetapi singkat dan digunakan untuk serangan asma yang hebat. Sering kali senyawa ini

dikombinasi dengan tranquillizer peroral guna melawan rasa takut dan cemas yang

menyertai serangan. Secara oral, adrenalin tidak aktif. Efek samping berupa efek sentral

(gelisah, tremor, nyeri kepala) dan terhadap jantung palpitasi, aritmia), terutama pada dosis

lebih tinggi. Timbul pula hyperglikemia, karena efek antidiabetika oral diperlemah. Dosis

Page 22: pbl modul 1 kel. 1a.docx

pada serangan asma i.v. 0,3 ml dari larutan 1 : 1.000 yang dapat diulang dua kali setiap 20

meter (tartrat). 8

b. Efedrin : *Asmadex, * Asmasolon, * Bronchicum”

Derivat – adrenalin ini memiliki efek sentral lebih kuat dengan efek bronchodilatasi lebih

ringan dan bertahan lebih lama (4 jam). Efedrin dapat diberikan secara oral maka banyak

digunakan sebagai obat asma (bebas berbatas tanpa resep) dalam berbagai sediaan populer,

walaupun efek sampingnya dapat membahayakan. Reasorbsinya baik dan dalam waktu ¼ –

1 jam sudah terjadi bronchodilatasi. Di dalam hati, sebagian zat dirombak ekskresinya

terutama lewat urin secara utuh. Plasma ½-nya 3-6 jam. Efek samping, pada orang yang

peka, efedrin dalam dosis rendah sudah dapat menimbulkan kesulitan tidur, tremor, gelisah

dan gangguan berkemih. Pada overdose, timbul efek berbahaya terhadap SSP dan jantung

(palpitasi). 8

c. Isoprenalin : Isuprel Aleudrin

Derivat ini mempunyai efek b1 + b2 adrenergis dan memiliki daya bronchodilatasi baik tetapi

resorpsinya di usus buruk dan tidak teratur. Resorpsinya dari mulut (oromukosal sebagai

tablet atau larutan agak lebih baik dan cepat, dan efeknya sudah timbul setelah beberapa

menit dan bertahan sampai 1 jamn. Penggunaannya sebagai obat asma sudah terdesak oleh

adrenergika dengan khasiat spesifik tanpa efek beta-1 (jantung), sehingga lebih jarang

menimbulkan efek samping. Begitu pula turunnya, seperti yang tersebut di bawah ini,

sebaiknya jangan digunakan lagi. 8

d. Orsiprenalin (Metaproterenol, Alupent, Silomat comp)

Adalah isomer isoprenalin dengan resorpsi lebih baik, yang efeknya dimulai lebih lambat

(oral sesudah 15-20 menit tetapi bertahan lebih lama, sampai 4 jam. Mulai kerjanya melalui

inhalasi atau injeksi adalah setelah 10 menit. Dosis 4 dd 20 mg (sulfat), i.m. atau s.c. 0,5 mg

yang dapat diulang setelah ½ jam, inhalasi 3 – 4 dd 2 semprotan. 8

e. Salbutamol: ventolin, salbuven

Derivat isoprenalin ini merupakan adrenergikan pertama (1986) yang pada dosis biasa

memiliki daya kerja yang lebih kurang spesifik terhadap reseptor b2. selain berdaya

bronchodilatasi baik, salbutamol juga memiliki efek lemah terhadap stabilisasi mastcell,

maka sangat efektif mencegah maupun meniadakan serangan asma. Dewasa ini obat ini

sudah lazim digunakan dalam bentuk dosis-aerosol berhubung efeknya pesat dengan efek

Page 23: pbl modul 1 kel. 1a.docx

samping yang lebih ringan daripada penggunaan per oral. Pada saat inhalasi seruk halsu atau

larutan, kira-kira 80% mencapai trachea, tetapi hanya 7 -8% dari bagian terhalus (1-5

mikron) tiba di bronchioli dan paru-paru. 8

Efek samping jarang terjadi dan biasanya berupa nyeri kepala, pusing-pusing, mual, dan

tremor tangan. Pada overdose dapat terjadi stimulasi reseptor b-1 dengan efek

kardiovaskuler: tachycardia, palpitasi, aritmia, dan hipotensi. Oleh karena itu sangat penting

untuk memberikan instruksi yang cermat agar jangan mengulang inhalasi dalam waktu yang

terlalu singkat, karena dapat terjadi tachyfylaxis (efek obat menurun dengan pesat pada

penggunaan yang terlalu sering). 8

Dosis 3-4 dd 2-4 mg (sulfat) inhalasi 3-4 dd 2 semprotan dari 100 mcg, pada serangan akut 2

puff yang dapat diulang sesudah 15 menit. Pada serangan hebat i.m. atau s.c. 250-500 mcg,

yang dapat diulang sesudah 4 jam.

f. Terbutalin : Bricasma, Bricanyl

Derivat metil dari orsiprenalin (1970) ini juga berkhasiat b2 selektif. Secara oral, mulai

kerjanya sesudah 1-2 jam, sedangkan lama kerjnya ca 6 jam. Lebih sering mengakibatkan

tachycardia. Dosis 2-3 dd 2,5-5 mg (sulfat) inhalasi 3-4 dd 1-2 semprotan dari 250 mcg,

maksimum 16 puff sehari, s.c. 250 mcg, maksimum 4 kali sehari .

g. Fenoterol (berotec)

Adalah derivat terbutalin dengan daya kerja dan penggunaan yang sama. Efeknya lebih kuat

dan bertahan ca 6 jam, lebih lama daripada salbutamol (ca 4 jam).Dosis : 3 dd 2,5-5 mg

(bromida), suppositoria malam hari 15 mg, dan inhalasi 3-4 dd 1-2 semprotan dari 200 mcg.

2. Antikolinergika

Di dalam sel-sel otot polos terdapat keseimbangan antara sistem adrenergis dan sistem

kolinergis. Bila karena sesuatu sebab reseptor b2 dari sistem adrenergis terhambat, maka

sistem kolinergis akan berkuasa dengan akibat bronchokonstriksi. Antikolimengika memblok

reseptor muskarin dari saraf-saraf kolinergis di otot polos bronchi, hingga aktivitas saraf

adrenergis menjadi dominan dengan efek bronchodilatasi. Penggunaan terutama untuk terapi

pemeliharaan HRB, tetapi juga berguna untuk meniadakan serangan asma akut (melalui

inhalasi dengan efek pesat). 8

Efek samping yang tidak dikehendaki adalah sifatnya yang mengentalkan dahak dan

tachycardia, yang tidak jarang mengganggu terapi. Yang terkenal pula adalah efek atropin,

Page 24: pbl modul 1 kel. 1a.docx

seperti mulut kering, obstipasi, sukar berkemih, dan penglihatan buram akibat gangguan

akomodasi. Penggunaanya sebagai inhalasi meringankan efek samping ini. 8

Contoh obat antikolinergik yang sering digunakan sebagai bronchodilator :

Ipratropium : Atrovent

Derivat-N-propil dari atropin ini (1974) berkhasiat bronchodilatasi, karena melawan

pembentukan cGMP yang menimbulkan konstriksi. Ipratropin berdaya mengurangi

hipersekresi di bronchi, yakni efek mengeringkan dari obat antikolinergika, maka amat

efektif pada pasien yang mengeluarkan banyak dahak. Khususnya digunakan sebaga inhalasi,

efeknya dimulai lebih lambat (15 menit) dari pada b2-mimetika. Efek maksimalnya dicapai

setelah 1-2 jam dan bertahan rata-rata 6 jam. Sangat efektif sebagai obat pencegah dan

pemeliharaan, terutama pada bronchitis kronis. Kini, zat ini tidak digunakan (lagi) sebagai

monoterapi (pemeliharaan), melainkan selalu bersama kortikosteroida-inhalasi.

Kombinasinya dengan b2-mimetika memperkuat efeknya (adisi).

Resorpsinya secara oral buruk (seperti semua senyawa amonium kwaterner). Secara tracheal

hanya bekerja setempat dan praktis tidak diserap. Keuntungannya ialah zat ini juga dapat

digunakan oleh pasien jantung yang tidak tahan terhadap adrenergika. Efek sampingnya

jarang terjadi dan biasanya berupa mulut kering, mual, nyeri kepala, dan pusing.

Dosis inhalasi 3-4 dd 2 semprotan dari 20 mcg (bromida).

4. Derivat Xanthin: teofilin, aminofilin

Daya bronchorelaksasinya diperkirakan berdasarkan blokade reseptor adenosin. Selain itu,

teofilin seperti kromoglikat mencegah meningkatnya hiperektivitas dan berdasarkan ini

bekerja profilaksi. Resorpsi dari turunan teofilin amat berbeda-beda, yang terbaik adalah

teofilin microfine (particle size 1-5 micron) dan garam-garamnya aminofilin dan

kolinteofilinat. Penggunaanya secara terus-menerus pada terapi pemeliharaan ternyata

efektif mengurangi frekuensi serta hebatnya serangan. Pada keadaan akut (infeksi

aminofilin) dapat dikombinasi dengan obat asam lainnya, tetapi kombinasi dengan b2-

mimetika hendaknya digunakan dengan hati-hati berhubungan kedua jenis obat saling

memperkuat efek terhadap jantung. Kombinasinya dengan efedrin (Asmadex, Asmasolon)

praktis tidak memperbesar efek bronchodilatasi, sedangkan efeknya terhadap jantung dan

efek sentralnya amat diperkuat. Oleh karena ini, sediaan kombinasi demikian tidak

dianjurkan, terutama bagi para manula.

Page 25: pbl modul 1 kel. 1a.docx

Tablet sustanined release (Euphyllin retard 125-250 mg) adalah efketif untuk memperoleh

kadar darah yang konstan, khususnya pada waktu tidur dan dengan demikian mencegah

serangan tengah malam dan morning dip. Untuk kehamilan dan laktasi, Teofilin aman bagi

wanita hamil. Karena dapat mencapai air susu ibu, sebaiknya ibu menyusui bayinya sebelum

menelan obat ini.

Obat-obat golongan xanthin yang sering digunakan sebagai bronchodilator :

Teofilin : 1,3 dimryilkdsnyin, Quibron-T/SR Theobron

Alkaloida ini (1908) terdapat bersama kofein (trimetilksantin) pada daun teh (Yuntheos =

Allah, phykllon = daun) dan memiliki sejumlah khasiat antara lain berdaya spasmolitis

terhadap otot polos, khususnya otot bronchi, menstimulasi jantung (efek inotrop positif) dan

mendilatasinya. Teofilin juga menstimulasi SSP dan pernafasan, serta bekerja diuretis lemah

dan singat. Kofein juga memiliki semua khasiat ini meski lebih lemah, kecuali efek stimulasi

sentralnya yang lebih kuat. Kini, obat ini banyak digunakan sebagai obat prevensi dan terapi

serangan asma.

Efek bronchodilatasinya tidak berkorelasi baik dengan dosis, tetapi memperlihatkan

hubungan jelas dengan kadar darahnya dan kadar di air liur. Luas terapeutisnya sempit,

artinya dosis efektifnya terletak berdekatan dengan dosis toksisnya. Untuk efek optimal

diperlukan kadar dalam darah dari 10-15 mcg/ml, sedangkan pada 20 mcg/ml sudah terjadi

efek toksis. Oleh karena itu, dianjurkan untuk menetapkan dosis secara individual

berdasarkan tuntutan kadar dalam darah. Hal ini terutama perlu pada anak-anak di bawah

usia 2 tahun dan pada manula diatas 60 tahun, yang sangat peka terhadap overdose, juga

pada pasien gangguan hati dan ginjal. Terapi dengan teofilin harus dipandu dengan

penentuan kadar dalam darah. 7

Resorpsinya di usus buruk dan tidak teratur. Itulah sebabnya mengapa bronchodilator tua ini

(1935) dahulu jarang digunakan. Baru pada tahun 1970-an, diketahui bahwa resorpsi dapat

menjadi lengkap bila digunakan dalam bentuk seruk microfine. (besarnya partikel 5-10

mikron) begitu juga pada penggunaan sebagai larutan, yang seperlunya ditambahkan alkohol

20%. Plasma-t ½ nya 3-7 jam, ekskresinya berlangsung sebagai asam metilurat lewat kemih

dan hanya 10% dalam keadaan utuh. Teofilin sebaiknya digunakan sebagai sediaan

Page 26: pbl modul 1 kel. 1a.docx

‘sutanined release’ yang memberikan resorpsi konstan dan kadar dalam darah yang lebih

teratur. 8

Efek sampingnya yang terpenting berupa mual dan muntah, baik pada penggunaan oral

maupun rektal atau parenteral. Pada overdose terjadi efek sentral (gelisah, sukar tidur,

tremor, dan konvulsi) serta gangguan pernafasan, juga efek kardiovaskuler, seperti

tachycardia, aritmia, dan hipotensi. Anak kecil sangat peka terhadap efek samping teofilin.

Dosis 3-4 dd 125 – 250 mg microfine (retard). 1 mg teofilin 0 aq = 1,1 g teofilin 1 aq = 1,17

g aminofilin 0 aq = 1,23 g aminofilin 1 aq. 8

 Aminofilin (teofilin-etilendiamin, Phyllocomtin continus, Euphylllin)

Adalah garam yang dalam darah membebaskan teofilin kembali. Garam ini bersifat basa dan

sangat merangsang selaput lendir, sehingga secara oral sering mengakibatkan gangguan

lambung (mual, muntah), juga pada penggunaan dalam suppositoria dan injeksi

intramuskuler (nyeri). Pada serangan asma, obat ini digunakan sebagai injeksi i.v.

7.TRANSPORTASI DAN STABILISASI

1. Pengertian transportasi dan stabilisasi: Upaya untuk memolisasi paien dengan aman dan

tanpa menimbulkan perlukaan tambahan ataupun syok.7

2. Tujuan dari penggunaan transportasi gawat darurat adalah pengangkutan penderita gawat

darurat yang sudah distabilkan ke tempat defenitif rumah sakit. 7

3. Persyaratan

a. Syarat transportasi penderita

Seorang penderita gawat darurat di transportasi bila penderita tersebut siap untuk di

transportasi yaitu:

1. Telah di tanggulangi gangguan pernafasan dan kardiovascular

2. Perdarahan sudah di hentikan

3. Luka telah di tutup

4. Patah tulang di fiksasi

b. Syarat alat transportasi

1. Penderita terlentang

2. Petugas dapat bergerak bebas

Page 27: pbl modul 1 kel. 1a.docx

3. Cukup tinggi sehingga petugas dapat bersiri dan cairan infuse dapat mengalir

4. Identitas ambulance jelas

Page 28: pbl modul 1 kel. 1a.docx

Daftar Pustaka

1. American College of Surgeons, 2006, Advanced Trauma Life Support, Ed.8. First

Impression United States of America

2. RSHS, Tim PPGD, 2009. Penanganan Penderita Gawat Darurat (PPGD Basic 2). RSHS

Bandung.

3. Sherwood L. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. 2 ed. Pendit BU, editor. Jakarta:

Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2001.

4. Josep Varon,MD, F.A.C.A, F.A.C.P, Oliver C Wenker,MD, D.E.A.A. 1997, The Acute

Respiratory Distress Syndrome : Myths and Controversies

.http://www.ispub.com/ostia/index.php?xmlPrinter=true&xmlFilePath=journals/

ijeicm/vol1n1/ards.xml

5. Sylia A. Price dan Lorraine M. Wilson, 1995, Patofisiologi Konsep Klinik Proses-Proses

Penyakit Edisi 4, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Hal : 739-740

6. R. Sjamsuhidajat, Wim de Jong. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah 2. Jakarta : EGC

7. ATLS Advance Trauma Life Support Edisi ke tujuh

8. Farmakologi dan Terapi FK-UI. Edisi 5. 2010. Jakarta. Hal : 77-95