Pbl Blok 29

29
Diagnosis Klinis dan Kriteria Kematian Otak Rudy Hermawan Cokro Handoyo 102010097-B2 Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Jalan Terusan Arjuna Utara no. 6, Jakarta 11510 Email: [email protected] Pendahuluan Sampai tiga-empat dekade yang lalu, penentuan saat kematian relatif sederhana. Seseorang yang sudah berhenti bernafas, tidak teraba denyut jantungnya, dinyatakan mati. Namun dengan kemajuan teknologi medis sejak beberapa puluh tahun terakhir ini, saat ini fungsi vital dapat dipertahankan secara “buatan”, meskipun fungsi otak telah berhenti. Hal tersebut pada akhirnya berimplikasi terhadap definisi kematian secara medis, yang kemudian memunculkan suatu konsep kematian batang otak sebagai penanda kematian. Kematian didefinisikan sebagai hilangnya fungsi otak. Brain death, atau dalam bahasa Indonesia disebut mati otak atau mati batang otak, meliputi hingga sekitar 50% dari semua kasus di Hongkong, dan 60% dari mati otak diakibatkan oleh perdarahan intrakranial. Sisanya disebabkan oleh tumor dan infeksi. Di Amerika, penyebab utama brain death adalah cedera 1

description

kkkkkkkkkkkkkkkkkkk

Transcript of Pbl Blok 29

Page 1: Pbl Blok 29

Diagnosis Klinis dan Kriteria Kematian Otak

Rudy Hermawan Cokro Handoyo

102010097-B2

Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen

Krida Wacana

Jalan Terusan Arjuna Utara no. 6, Jakarta 11510

Email: [email protected]

Pendahuluan

Sampai tiga-empat dekade yang lalu, penentuan saat kematian relatif sederhana.

Seseorang yang sudah berhenti bernafas, tidak teraba denyut jantungnya, dinyatakan mati.

Namun dengan kemajuan teknologi medis sejak beberapa puluh tahun terakhir ini, saat ini

fungsi vital dapat dipertahankan secara “buatan”, meskipun fungsi otak telah berhenti. Hal

tersebut pada akhirnya berimplikasi terhadap definisi kematian secara medis, yang kemudian

memunculkan suatu konsep kematian batang otak sebagai penanda kematian. Kematian

didefinisikan sebagai hilangnya fungsi otak.

Brain death, atau dalam bahasa Indonesia disebut mati otak atau mati batang otak,

meliputi hingga sekitar 50% dari semua kasus di Hongkong, dan 60% dari mati otak

diakibatkan oleh perdarahan intrakranial. Sisanya disebabkan oleh tumor dan infeksi. Di

Amerika, penyebab utama brain death adalah cedera kepala dan perdarahan subarachnoid.

Batang otak dapat mengalami cedera oleh lesi primer ataupun karena peningkatan tekanan

pada kompartemen supratentorial atau infratentorial yang mempengaruhi suplai darah atau

integritas struktur otak. Cedera hipoksia lebih mempengaruhi korteks dari pada batang otak.

Kriteria untuk Brain death atau mati otak sendiri berevolusi seiring waktu. Pada tahun

1979, Mollaret dan Goulon memperkenalkan istilah “irreversible coma” , untuk

mendeskripsikan keadaan dari 23 orang pasien yang berada dalam kondisi koma, kehilangan

kesadaran, refleks batang otak, respirasi, serta menunjukkan hasil elektroensefalogram yang

datar. Pada tahun 1988, komite ad hoc di Harvard Medical School meninjau ulang definisi

Brain death dan mendefinisikan koma ireversibel atau kematian otak, sebagai tidak adanya

respon dan reseptivitas, pergerakan dan pernapasan, reflex batang otak, serta adanya koma

yang penyebabnya telah diidentifikasi. Pada tahun 1991, President’s Commission for the

Study of Ethical Problems in Medicine and Biomedical and Behavioral Research

1

Page 2: Pbl Blok 29

mempublikasikan panduan berkaitan dengan Brain death. Pada tahun 1996, The Conference

of Medical Royal Colleges di Inggris menyatakan bahwa Brain death adalah hilangnya fungsi

batang otak yang komplet dan ireversibel

Menurut Peraturan Pemerintah RI no 18 tahun 1991 tentang bedah mayat klinis dan

bedah mayat anatomis serta transplantasi alat atau organ tubuh manusia, meninggal dunia

adalah keadaan insani yang diyakini oleh ahli-ahli kedokteran yang berwenang bahwa fungsi

otak, pernapasan dan denyut jantung seseorang telah berhenti. Diagnosis mati batang otak

(MBO) dan petunjuknya dapat dilihat pada pernyataan IDI tentang MBO. Diagnosa MBO

mempunyai 2 komponen utama. Komponen pertama terdiri dari pemenuhan prasyarat-

prasyarat dan komponen kedua adalah tes klinis fungsi batang otak.

Konsep kematian batang otak akan menimbulkan implikasi yang sangat kompleks,

baik dari aspek bioetik, formulasi sosial, filosofi kultural dan religius, maupun aspek hukum.

Karena itulah diperlukan telaah yang baik mengenai definisi dan penegakan diagnosis mati

otak bagi seorang dokter.1

Definisi Mati

Thomas Furlow menyebutkan kematian sebagai suatu proses, yaitu proses penarikan

diri (process of withdrawl). Pada proses itu, manusia dianggapnya menarik diri, berturut-turut

dari kehidupan sosial, kemudian dari kehidupan intelektual, dan terakhir dari kehidupan

biologis. Sesuai dengan hipotesisnya, maka kematian pun dbedakan menjadi kematian sosial,

kematian intelektual dan kematian biologis.

Mati klinis adalah henti napas (tidak ada gerakan napas spontan) ditambah henti

sirkulasi (jantung) total dengan semua aktivitas otak terhenti, tetapi tidak ireversibel. Pada

masa dini kematian inilah, permulaan resusitasi dapat diikuti dengan pemulihan semua fungsi

organ vital termasuk fungsi otak nomal, asal diberikan terapi yang optimal.

Mati seluler (mati molekuler) atau mati biologis ialah suatu kematian organ atau

jaringan tubuh yang timbul beberapa saat setelah kematian somatis. Mati biologis (kematian

semua organ) selalu mengikuti mati klinis bila tidak dilakukan resusitasi jantung paru (RJP)

atau bila upaya resusitasi dihentikan. Mati biologis merupakan proses nekrotisasi semua

jaringan. Daya tahan hidup masing-masing organ atau jaringan berbeda-beda, sehingga

terjadinya kematian seluler pada tiap organ tidak bersamaan. Mati biologis dimulai dengan

neuron otak yang menjadi nekrotik setelah kira-kira 1 jam tanpa sikulasi, diikuti oleh jantung,

ginjal, paru, dan hati yang menjadi nekrotik selama beberapa jam atau hari.

2

Page 3: Pbl Blok 29

Mati serebral (kematian kortek) adalah kematian akibat kerusakan kedua hemisfer

otak yang irreversible kecuali batang otak dan serebelum, sedangkan kedua sistem lainnya

yaitu sistem pernapasan dan kardiovaskuler masih berfungsi dengan bantuan alat.

Mati sosial (status vegetatif yang menetatap/ Persistent Vegetative States) merupakan

kerusakan berat ireversibel pada pasien yang tetap tidak sadar dan tidak responsif, tetapi

mempunyai elektroensefalogram (EEG) aktif dan beberapa reflek yang utuh. Pada keadaan

vegetatif mungkin terdapat daur sadar-tidur.

Brain death atau mati otak (MO, kematian otak total) adalah mati serebral ditambah

dengan nekrosis sisa otak lainnya, termasuk serebelum, otak tengah, dan batang otak.

Walaupun mudah dimengerti sebagai suatu konsep, namun mendefinisikan kematian

otak dalam kata-kata adalah sulit. Sampai saat ini, terdapat beberapa definisi dari mati batang

otak.

Definisi mati otak yang pertama adalah dari komite ad hoc Harvard tahun 1968.

Kematian otak didefinisikan oleh beberapa hal. Definisi pertama, adanya otak yang tidak

berfungsi lagi secara permanen, yang ditentukan dengan tidak adanya resepsi dan respon

terhadap rangsang, tidak adanya pergerakan napas, dan tidak adanya refleks-refleks, yakni

respon pupil terhadap cahaya terang, pergerakan okuler pada uji penggelengan kepala dan uji

kalori, refleks berkedip, aktivitas postural (misalnya deserebrasi), refleks menelan, menguap,

dan bersuara, refleks kornea, refleks faring, refleks tendon dalam, dan respon terhadap

rangsang plantar. Definisi yang kedua adalah data konfirmasi yakni EEG yang iselektris.

Kedua tes tersebut dilakukan ulang 24 jam setelah tes pertama, tanpa adanya hipotermia

(suhu kurang dari 32,2o C) atau depresan sistem saraf pusat seperti barbiturat. Penentuan

tersebut harus dilakukan oleh seorang dokter.

Pada panduan Australian and New Zealand Intensive Care Society (ANZICS) yang

dipublikasikan pada tahun 1993, mati otak didefinisikan sebagai berhentinya semua fungsi

otak secara ireversibel. Kematian otak terjadi saat terjadi hilangnya kesadaran yang

ireversibel, dan hilangnya respon refleks batang otak dan fungsi pernapasan pusat secara

ireversibel, atau berhentinya aliran darah intrakranial secara ireversibel.

Menurut Uniform Determination of Death Act, yang dikembangkan oleh National

Conference of Commissioners on Uniform State Laws, President’s Commission for the Study

of Ethical Problems in Medicine and Biomedical and Behavioral Research, seseorang

dinyatakan mati otak apabila mengalami (1) terhentinya fungsi sirkulasi dan respirasi secara

ireversibel, dan (2) terhentinya semua fungsi otak secara keseluruhan, termasuk batang otak,

3

Page 4: Pbl Blok 29

secara ireversibel. Terhentinya fungsi sirkulasi dan respirasi dinilai dari tidak adanya denyut

jantung dan usaha napas, serta pemeriksaan EKG dan uji apnea. Terhentinya fungsi otak

dinilai dari adanya keadaan koma serta hilangnya fungsi batang otak berupa absennya

refleks-refleks.

Definisi mati otak di Amerika (New York State De Department of Health, 2005).

kematian otak didefinisikan sebagai hilangnya semua fungsi otak secara ireversibel, termasuk

batang otak. Tiga temuan penting dalam kematian otak adalah koma, hilangnya refleks

batang otak, dan apnea.

Di Indonesia, seorang pasien yang telah ditetapkan mengalami kematian batang otak

berarti secara klinis dan legal-formal telah meninggal dunia. Hal ini seperti dituangkan dalam

pernyataan IDI tentang mati, yaitu dalam Surat Keputusan PB IDI No.336/PB IDI/a.4

tertanggal 15 Maret 1988 yang disusulkan dengan Surat Keputusan PB IDI

No.231/PB.A.4/07/90. Dalam fatwa tersebut dinyatakan bahwa seorang dikatakan mati, bila

fungsi pernafasan dan jantung telah berhenti secara pasti atau irreversible, atau terbukti telah

terjadi kematian batang otak.2

Etiologi

Penyebab kematian otak yang utama adalah cedera kepala traumatik, cerebrovascular

accidents, dan cedera hipoksik iskemi setelah henti jantung. Waktu antara cedera ke

diagnosis mati otak bervariasi dari jam samapai beberapa hari, tergantung tingkat keparahan

dan respon terhadap terapi.

Penyebab umum kematian otak lainnya termasuk, overdosis obat, tenggelam, tumor

otak primer, meningitis, pembunuhan dan bunuh diri. Dalam kepustakaan lain, hipoglikemia

jangka panjang disebut sebagai penyebab kematian otak.2

Patofisiologi

Patofisiologi penting terjadinya kematian otak adalah peningkatan hebat tekanan

intrakranial (TIK) yang disebabkan perdarahan atau edema otak. Jika TIK meningkat

mendekati tekanan darah arterial, kemudian tekanan perfusi serebral (TPS) mendekati nol,

maka perfusi serebral akan terhenti dan kematian otak terjadi.

Aliran darah normal yang melalui jaringan otak pada orang dewasa rata-rata sekitar

50 sampai 60 mililiter per 100 gram otak per menit. Untuk seluruh otak, yang kira-kira

beratnya 1200 – 1400 gram terdapat 700 sampai 840 ml/menit. Penghentian aliran darah ke

otak secara total akan menyebabkan hilangnya kesadaran dalam waktu 5 sampai 10 detik. Hal

4

Page 5: Pbl Blok 29

ini dapat terjadi karena tidak ada pengiriman oksigen ke sel-sel otak yang kemudian langsung

menghentikan sebagian metabolismenya. Aliran darah ke otak yang terhenti untuk tiga menit

dapat menimbulkan perubahan-perubahan yang bersifat irreversibel.

Sedikitnya terdapat tiga faktor metabolik yang memberi pengaruh kuat terhadap

pengaturan aliran darah serebral. Ketiga faktor tersebut adalah konsentrasi karbon dioksida,

konsentrasi ion hidrogen dan konsentrasi oksigen. Peningkatan konsentrasi karbon dioksida

maupun ion hidrogen akan meningkatkan aliran darah serebral, sedangkan penurunan

konsentrasi oksigen akan meningkatkan aliran.

Faktor-faktor iskemia dan nekrotik pada otak oleh karena kurangnya aliran oksigen ke

otak menyebabkan terganggunya fungsi dan struktur otak, baik itu secara reversible dan

ireversibel. Percobaan pada binatang menunjukkan aliran darah otak dikatakan kritis apabila

aliran darah otak 23/ml/100mg/menit (Normal 55 ml/100mg/menit). Jika dalam waktu

singkat aliran darah otak ditambahkan di atas 23 ml, maka kerusakan fungsi otak dapat

diperbaiki. Pengurangan aliran darah otak di bawah 8-9 ml/100 mg/menit akan menyebabkan

infark, tergantung lamanya. Dikatakan hipoperfusi jika aliran darah otak di antara 8 dan 23

ml/100 mg/menit.

Jika jumlah darah yang mengalir ke dalam otak regional tersumbat secara parsial,

maka daerah yang bersangkutan langsung menderita karena kekurangan oksigen. Daerah

tersebut dinamakan daerah iskemik. Di wilayah itu didapati: 1) tekanan perfusi yang rendah,

2) PO2 turun, 3) CO2 dan asam laktat tertimbun. Autoregulasi dan kelola vasomotor dalam

daerah tersebut bekerja sama untuk menanggulangi keadaan iskemik itu dengan mengadakan

vasodilatasi maksimal.

Pada umumnya, hanya pada perbatasan daerah iskemik saja bisa dihasilkan

vasodilatasi kolateral, sehingga daerah perbatasan tersebut dapat diselamatkan dari kematian.

Tetapi pusat dari daerah iskemik tersebut tidak dapat teratasi oleh mekanisme autoregulasi

dan kelola vasomotor. Di situ akan berkembang proses degenerasi yang ireversibel. Semua

pembuluh darah dibagian pusat daerah iskemik itu kehilangan tonus, sehinga berada dalam

keadaan vasoparalisis. Keadaan ini masih bisa diperbaiki, oleh karena sel-sel otot polos

pembuluh darah bisa bertahan dalam keadaan anoksik yang cukup lama. Tetapi sel-sel saraf

daerah iskemik itu tidak bisa tahan lama. Pembengkakan sel dengan pembengkakan serabut

saraf dan selubung mielinnya (udem serebri) merupakan reaksi degeneratif dini. Kemudian

disusul dengan diapedesis eritosit dan leukosit. Akhirnya sel-sel saraf akan musnah. Yang

5

Page 6: Pbl Blok 29

pertama adalah gambaran yang sesuai dengan keadaan iskemik dan yang terakhir adalah

gambaran infark.

Adapun pada hipoglikemia, mekanisme yang terjadi sifatnya umum. Hipoglikemia

jangka panjang menyebabkan kegagalan fungsi otak. Berbagai mekanisme dikatakan terlibat

dalam patogenesisnya, termasuk pelepasan glutamat dan aktivasi reseptor glutamat neuron,

produksi spesies oksigen reaktif, pelepasan Zinc neuron, aktivasi poli (ADP-ribose)

polymerase dan transisi permeabilitas mitokondria.2,3

Kriteria Brain Death

Pada tahun 1979 Mollaret dan Goulon memperkenalkan istilah coma de passé (koma

irreversibel) dalam menggambarkan 23 pasien koma dengan hilangnya kesadaran, refleks

batang otak, respirasi dan dengan hasil elektroensefalogram yang mendatar. Pada tahun 1968,

sebuah komite Ad hoc pada Fakultas Kedokteran Harvard meninjau kembali defenisi

kematian otak dan kemudian diartikan sebagai koma ireversibel atau kematian otak adalah

tidak adanya respon terhadap stimulus, tidak ada gerakan napas, tidak adanya refleks batang

otak dan koma yang penyebabnya sudah diketahui, kondisi tersebut menetap sekurang-

kurangnya 6 sampai 24 jam.

Pada tahun 1991 Mohandas dan Chou menggambarkan kerusakan batang otak sebagai

komponen penting dari kerusakan otak yang berat. Konferensi perguruan tinggi Medical

Royal dan fakultas-fakultas yang ada di dalamnya di Kerajaan Inggris pada tahun 1996,

menerbitkan sebuah pernyataan mengenai diagnosis kematian otak dimana kematian otak

diartikan sebagai hilangnya fungsi batang otak secara lengkap dan ireversibel.

Pernyataan ini memberikan pedoman yang termasuk di dalamnya perbaikan dalam uji

apnea dan memusatkan perhatian pada batang otak sebagai pusat dari fungsi otak. Tanpa

batang otak ini, tidak ada kehidupan. Pada tahun 1981 komisi presiden untuk studi masalah

etik dalam kedokteran biomedis juga penelitian tentang perilaku menerbitkan pedomannya.

Dokumen tersebut merekomendasikan kegunaan tes konfirmasi untuk mengurangi durasi

waktu yang dibutuhkan untuk observasi dan merekomendasikan periode 24 jam bagi pasien

dengan gangguan anoksia dan kemudian menyingkirkan syok sebagai syarat untuk

menentukan kematian otak.

Akhir-akhir ini Akademi Neurologi Amerika memberikan kasus berdasarkan bukti

dan menyarankan adanya pemeriksaan-pemeriksaan dalam praktek. Laporan ini secara

spesifik mengarah kepada adanya peralatan-peralatan pemeriksaan klinis dan tes konfirmasi

validitas serta adanya deskripsi tentang uji apnea dalam praktek. Sehubungan dengan

6

Page 7: Pbl Blok 29

dibutuhkannya konsep kematian otak, maupun metode terstruktur suatu diagnosis, beragam

kriteria telah diterbitkan. Beberapa diantaranya:

1. Kriteria Harvard

Kunci perkembangan diagnosis kematian otak diterbitkan “Kriteria Harvard”, kunci

diagnosis tersebut adalah:

a. Tidak bereaksi terhadap stimulus noksius yang intensif (unresponsive coma).

b. Hilangnya kemampuan bernapas spontan.

c. Hilangnya refleks batang otakdan spinal.

d. Hilangnya aktivitas postural seperti deserebrasi.

e. EEG datar.

Hipotermia dan pemakaian depresan seperti barbiturat harus disingkirkan. Kemudian,

temuan klinis dan EEG harus tetap saat evaluasi sekurang-kurangnya 24 jam

kemudian.

2. Kriteria Minnesota

Pengalaman klinis dengan menggunakan kriteria Harvard yang disarankan mungkin

sangat terbatas. Hal ini menyebabkan Mohandes dan Chou mengusulkan “Kriteria

Minnesota” untuk kematian otak. Yang dihilangkan dari kriteria ini adalah tidak

dimasukkannya refleks spinalis dan aktivitas EEG (elektroensefalograf dan masih

dipandang sebagai sebuah pilihan pemeriksaan untuk konfirmasi), elemen kunci

kriteria Minnesota adalah

a. Hilangnya respirasi spontan setelah masa 4 menit pemeriksaan.

b. Hilangnya refleks otak yang ditandai dengan: pupil dilatasi, hilangnya refleks

batuk, refleks kornea dan siliospinalis, hilangnya doll’s eye movement, hilangnya

respon terhadap stimulus kalori dan hilangnya refleks tonus leher.

c. Status penderita tidak berubah sekurang-kurangnya dalam 12 jam, dan

d. Proses patologis yang berperan dan dianggap tidak dapat diperbaiki

Pertimbangan utama dalam mendiagnosis kematian otak adalah sebagai berikut: 1)

Hilangnya fungsi serebral, 2) hilangnya fungsi batang otak termasuk respirasi spontan, dan 3)

bersifat ireversibel. Hilangnya fungsi serebral ditandai dengan berkurangnya pergerakan

spontan dan berkurangnya respon motorik dan vokal terhadap seluruh rangsang visual,

pendengaran dan kutaneus. Refleks-refleks spinalis mungkin saja ada.

7

Page 8: Pbl Blok 29

EEG merupakan indikator berharga dalam kematian serebral dan banyak lembaga

kesehatan yang memerlukan pembuktian Electro Cerebral Silence (ECS), yang juga disebut

EEG datar atau isoelektrik. Dikatakan EEG datar apabila tidak ada perubahan potensial listrik

melebihi 2 mikroVolt selama dua kali 30 menit yang direkam setiap 6 jam. Perlu ditekankan

bahwa tidak adanya respon serebral dan EEG datar tidak selalu berarti kematian otak. Akan

tetapi, keduanya dapat terjadi dan bersifat reversible pada keadaan hipotermia dan intoksikasi

obat-obatan hipnotik-sedatif.

Fungsi-fungsi batang otak dianggap tidak ada jika tidak terdapat reaksi pupil terhadap

cahaya, tidak terdapat refleks kornea, vertibulo-ocular, orofaringeal atau trakea. Tidak ada

respon deserebrasi terhadap stimulus noksius dan tidak ada pernapasan spontan. Untuk

kepentingan dalam praktek, apnea absolut dikatakan terjadi pada pasien, jika pasien tersebut

tidak melakukan usaha untuk menolak penggunaan alat respirasi setidaknya selama 15 menit.

Sebagai tes akhir, pasien dapat dilepaskan dari respirator lebih lama (beberapa menit) untuk

memastikan bahwa PCO2 arteri meningkat di atas ambang untuk merangsang pernapasan

spontan.

Jika hasil pemeriksaan memperlihatkan bahwa semua fungsi otak hilang, maka

pemeriksaan harus diulang dalam waktu 6 jam untuk memastikan bahwa keadaan pasien

bersifat ireversibel. Jika riwayat dan pengamatan komprehensif yang sesuai terhadap

prosedur penggunaan obat-obatan tidak ada, maka observasi selama periode 72 jam mungkin

dibutuhkan untuk memperoleh reversibilitas walaupun jarang terjadi dalam praktek, studi

perfusi serebral menunjukkan terhentinya sirkulasi intrakranial secara sempurna

menyebabkan terjadinya kematian otak.1,3

Penetapan Diagnosis Brain Death

Diagnosis kematian batang otak merupakan diagnosis klinis. Tidak diperlukan

pemeriksaan lain apabila pemeriksaan klinis (termasuk pemeriksaan refleks batang otak dan

tes apnea) dapat dilaksanakan secara adekuat. Apabila temuan klinis yang sesuai dengan

kriteria kematian batang otak atau pemeriksaan konfirmatif yang mendukung diagnosis

kematian batang otak tidak dapat diperoleh, diagnosis kematian batang otak tidak dapat

ditegakkan.

8

Page 9: Pbl Blok 29

Menegakkan diagnosis mati matang otak, meliputi tiga langkah, yaitu (1) evaluasi

etiologi dari cedera kepala berat dan mengekslusi penyebab reversible; (2) penemuan 3

temuan klinis mati otak; (3) konfirmasi test.

Tiga temuan klinis dalam kematian otak adalah koma atau tidak adanya respon,

absennya refleks batang otak, dan apnea.

1. Koma atau tidak adanya respon.

Tidak ada respon pada rangsangan nyeri, dengan stimulasi nyeri pada penekanan daerah

supraorbita, sternum dan dasar kuku.1,2

2. Absennya refleks batang otak.

a. Pupil

Pengujian terhadap refleks pupil dilakukan dengan menguji respon terhadap cahaya

yang terang. Kematian otak akan menunjukkan pupil yang berbentuk bulat, oval,

ataupun ireguler. Kebanyakan pupil pada pasien yang mengalami kematian otak akan

berada pada ukuran 4 hingga 6 mm, namun ukuran dapat bervariasi dari 4 hingga 9

mm. Yang harus diperhatikan dalam pengujian ini adalah bahwa banyak obat dapat

mempengaruhi ukuran pupil. Pemberian obat topikal di mata dan trauma kornea atau

bulbus okuli dapat menyebabkan abnormalitas ukuran pupil dan menyebabkannya

menjadi non reaktif.2,4

b. Pergerakan okuler

Gerakan okuler akan absen setelah dilakukan gerakan memutar kepala dan tes

kalorik. Pengujian ini hanya dilaksanakan setelah dipastikan tidak ada fraktur atau

instabilitas dari servikal atau pada pasien dengan cedera kepala. Pergerakan okuler

dilihat dari dua reflex, yaitu reflex okulosefalik dan tes kalori.

Reflex okulosefalik dirangsang dengan menggerakkan kepala secara cepat dan

tegas dari posisi tengah ke posisi 90 derajat kiri dan kanan, pada orang normal akan

menghasilkan deviasi mata ke arah berlawanan dengan gerakan kepala. Pergerakan

mata vertikal juga diuji dengan melakukan fleksi leher. Pada kematian otak, tidak

akan ditemukan adanya pembukaan kelopak mata dan pergerakan mata vertikal dan

horizontal.2,4

Rangsangan kalori adalah suatu tes yang menggunakan perbedaan temperatur

untuk mendiagnosa adanya kerusakan saraf ke delapan. Jika terjadi kematian batang

otak, maka tidak akan muncul deviasi tonus dari mata sebagai resfleks terhadap

9

Page 10: Pbl Blok 29

rangsangan yang diberikan. Posisi pasien tidur terlentang, dengan kepala fleksi 30º,

atau duduk dengan kepala ekstensi 60º. Tes ini terdiri dari dua cara, yaitu tes kalori

cara Kobrak dan tes kalori bitermal. Untuk penegakan diagnosis mati otak, yang

direkomendasikan adalah tes kalori kobrak.

Tes kalori cara kobrak menggunakan spuit 5 atau 10 mL, ujung jarum

disambung dengan kateter. Perangsangan dilakukan dengan mengalirkan air es (0ºC),

sebanyak 5 mL selama 20 detik ke dalam liang telinga.Sebagai akibatnya terjadi

transfer panas dari telinga dalam yang menimbulkan suatu arus konveksi dalam

endolimfe. Hal ini menyebabkan defleksi kupula dalam kanalis yang sebanding

dengan gravitasi, dan rangsangan serabut-serabut aferennya.Suatu cairan dingin yang

dialirkan ke liang telinga kanan akan menimbulkan nistagmus dengan fase lambat ke

kanan.1,3,5

Tes kalori bitermal ditemukan oleh Dick & Hallpike. Pada cara ini dipakai 2

macam air, dingin dan panas. Suhu air dingin adalah 30ºC, sedangkan suhu air panas

adalah 44ºC. Volume air yang dialirkan ke dalam liang telinga masing-masing 250

mL, dalam waktu 40 detik .Setelah air dialirkan, dicatat lama nistagmus yang timbul.

Setelah liang telinga kiri diperiksa dengan air dingin, diperiksa telinga kanan dengan

air dingin juga kemudian telinga kiri dialirkan air panas, lalu telinga kanan. Pada

tiap-tiap selesai pemeriksaan (telinga kiri atau kanan atau air dingin atau air panas)

pasien diistirahatkan selama 5 menit. Tes kalori bitermal ini untuk melihat dan

membandingkan fungsi vestibuler.

Hal-hal yang harus diperhatikan dalam pemeriksaan tes kalori adalah adanya

obat yang dapat mengurangi atau menghilangkan respon kalorik, yakni sedatif,

aminoglikosida, antidepresan trisiklik, antikolinergik, obat antiepilepsi, dan agen

kemoterapi. Setelah cedera kepala atau trauma fasial, edema kelopak mata atau

kemosis konjungtiva dapat menghambat pergerakan bola mata. Bekuan darah atau

serumen dapat juga mengurangi respon kalorik, dan uji dilakukan ulang setelah

pemeriksaan inspeksi langsung tympanum. Fraktur basal dari tulang petrosus dapat

menghilangkan respon kalorik secara unilateral dan dapat diidentifikasi dengan

prosesus mastoideus yang ekimosis.

c. Sensasi fasial dan respon motor fasial

Refleks kornea harus diuji dengan swab tenggorok. Refleks kornea dan refleks

rahang harus negatif. Wajah yang mengernyit saat diberikan rangsang nyeri dapat

10

Page 11: Pbl Blok 29

diuji dengan memberikan tekanan dalam dengan obyek tumpul pada dasar kuku,

tekanan pada daerah supraorbita, atau tekanan yang dalam pada kedua kondilus

setinggi sendi temporomandibuler.Yang harus diperhatikan dalam pemeriksaan ini

adalah adanya trauma fasial yang berat sehingga dapat mengganggu interpretasi

refleks batang otak.

d. Refleks faring dan trakhea

Respon tersedak, yang diuji dengan merangsang faring posterior dengan laringoskop,

harus absen. Tidak adanya refleks batuk pada suction bronkhial juga harus tampak.

Dalam pemeriksaan ini, harus diperhatikan bahwa pada apsien yang diintubasi secara

oral, respon tersedak mungkin sulit untuk diamati.

Gambar 1. Pemeriksaan reflex batang otak.1

Manifestasi berikut terkadang tampak dan tidak boleh diinterpretasikan sebagai bukti fungsi

batang otak:

Gerakan spontan ekstremitas selain dari respon fleksi atau ekstensi patologis

Gerakan mirip bernafas (elevasi dan aduksi bahu, lengkungan punggung, ekspansi

interkosta tanpa volume tidal yang bermakna)

Berkeringat, kemerahan, takikardi

Tekanan darah normal tanpa dukungan farmakologis, atau peningkatan mendadak

tekanan darah

Tidak-adanya diabetes insipidus

11

Page 12: Pbl Blok 29

Refleks tendo dalam, refleks abdominal superfisial, respon fleksi triple

Refleks babinski

3. Apnea

Pada uji apnea, harus diperhatikan beberapa kondisi sebelum dilakukannya pengujian.

Persyaratan-persyaratan berikut ini harus diperhatikan:

a. suhu inti ≥ 36,5o C

b. tekanan darah sistolik ≥ 90 mm Hg,

c. euvolemia (atau lebih baik apabila balans cairan positif selama 6 jam sebelum

pemeriksaan),

d. eukapnea (atau apabila PCO2 arteri ≥ 40 mm Hg), dan

e. normoksemia (atau apabila PO2 arteri ≥ 200 mm Hg).

Tahapan-tahapan dalam melakukan tes apnea adalah sebagai berikut:

a. Kondisi awal pasien adalah menggunakan ventilator, maka pasang oksimetri, pre-

oksigenasi dan observasi hingga syarat-syarat terpenuhi

Pre-oksigenasi bertujuan untuk mencapai PO2 arteri ≥ 200 mm Hg

Pre-oksigenasi bertujuan untuk mengeliminasi tumpukan nitrogen, akselerasi

transport oksigen, dan mengurangi resiko hipoksik akibat dilakukannya tes

apnea.

Pre-oksigenasi dilakukan selama 30 menit atau sampai saat syarat terpenuhi (PO2

arteri arteri ≥ 200 mm Hg)

b. Lepas ventilator

c. Pasang nasal kanul setinggi karina dan berikan O2 100% 6-8lpm

d. Selama proses pemberian O2 6-8lpm melalui nasal kanul, amati dengan seksama

pergerakan respirasi.

e. Setelah pemberian O2 6-8 lpm melalui nasal kanul selama 8-10 menit, pasang

kembali oxymetri untuk mengukur PO2 dan PCO2. Lalu hubungkan kembali dengan

ventilator.

f. Bila saat tes apnea tekanan darah sistolik menjadi ≤90 mm Hg, atau oksimeter pulsa

menunjukkan desaturasi, atau terjadi aritmia kardia, segera ambil sampel darah, dan

lakukan analisa gas darah arteri. Pasien pun segera di hubungkan kembali dengan

ventilator tanpa harus menunggu 8-10 menit untuk meminimalisir terjadinya

komplikasi tes apnea.

Interpretasi hasil tes apnea adalah:

12

Page 13: Pbl Blok 29

Tes apnea disebut positif jika tidak ada pergerakan respirasi dan kadar PCO2

arteri ≥60mmHg (atau terjadi peningkatan PCO2 ≥20mmHg dari PCO2 awal

untuk penderita dengan riwayat hiperkarbia).

Tes apnea disebut negatif bila teramati adanya gerakan respirasi.

Tes apnea disebut indeterminan apabila saat proses pemberian O2 kanul terjadi

aritmia atau hipotensi dan hasil BGA menunjukkan PCO2 < 60 mm Hg, atau

peningkatannya < 20 mm Hg. Pada hasil ini diperlukan tes konfirmasi untuk

diagnosis mati batang otak.

Bila tidak ada pergerakan respirasi, PCO2 kurang dari 60 mm Hg, dan tidak ada

aritmia kardia atau hipotensi signifikan, tes dapat diulang 10 menit kemudian

Komplikasi yang dapat terjadi setelah dilakukannya tes apnea adalah:

Asidosis (63%)

Hipotensi (24%)

Aritmia kardiak (3%).1

Gambar 2. Tes Apnea.1

Tes Konfirmasi

Diagnosis kematian batang otak merupakan diagnosis klinis. Tidak diperlukan

pemeriksaan lain apabila pemeriksaan klinis (termasuk pemeriksaan refleks batang otak dan

tes apnea) dapat dilaksanakan secara adekuat. Beberapa pasien dengan kondisi tertentu

13

Page 14: Pbl Blok 29

seperti cedera servikal atau kranium, instabilitas kardiovaskular, atau faktor lain yang

menyulitkan dilakukannya pemeriksaan klinis untuk menegakkan diagnosis kematian batang

otak, perlu dilakukan tes konfirmatif.

Tes tambahan untuk konfirmasi kematian otak harus memenuhi kriteria berikut:

a. Tidak boleh ada positif palsu, sehingga saat tes mengkonfirmasi adanya kematian

otak, maka tidak boleh ada pasien yang sembuh atau memiliki potensi untuk

sembuh.

b. Tes harus dapat berdiri sendiri dalam menegakkan apakah kematian otak benar-

benar terjadi atau tidak.

c. Tes tidak boleh dipengaruhi faktor yang dapat menyesatkan seperti efek obat atau

gangguan metabolik.

d. Tes harus distandarisasi dalam hal teknologi, teknik, dan klasifikasi hasilnya.

e. Tes harus dapat diperoleh secara umum, aman, dan dengan mudah dilakukan.

Kondisi-kondisi berikut dapat mempengaruhi diagnosis klinis kematian batang otak,

sedemikian rupa sehingga hasil diagnosis tidak dapat dibuat dengan pasti hanya berdasarkan

pada alasan klinis sendiri. Pada keadaan ini pemeriksaan konfirmatif direkomendasikan:

a. Trauma spinal servikal berat atau trauma fasial berat

b. Kelainan pupil sebelumnya

c. Level toksis beberapa obat sedatif, aminoglikosida, antidepresan trisiklik,

antikolinergik, obat antiepilepsi, agen kemoterapi, atau agen blokade

neuromuskular

d. Sleep apnea atau penyakit paru berat yang mengakibatkan retensi kronis CO2

Pemilihan tes konfirmatif yang akan dilakukan sangat tergantung pada pertimbangan

praktis, mencakup ketersediaan, kemanfaatan, dan kerugian yang mungkin terjadi. Beberapa

tes konfirmatif yang biasa dilakukan antara lain:

a. Tes-tes tambahan yang ada saat ini terutama meliputi tes elektrofisiologis

(elektroensefalografi, potensial pacuan somatosensorik dan potensial pacuan

pendengaran batang otak, dan respon pacuan motorik),

b. Tes aliran darah otak (angiografi serebri empat vasa, tes kedokteran nuklir aliran

darah otak, Doppler transkranial, MRI, angiografi resonansi magnetik, dan

pemeriksaan CT),

14

Page 15: Pbl Blok 29

c. Pemeriksaan lainnya seperti pemeriksaan metabolisme, pemeriksaan oksigen vena

jugularis, dan tes atropin.

Saat dilakukan secara kontinyu, pemantauan elektroensefalografi dapat menunjukkan

supresi tegangan secara umum, yang dapat menunjukkan pada klinisi adanya kematian otak.

Namun, EEG telalu anatomis, dan terbatas secara fisilogis. EEG merekam aktivitas hanya

dari lapisan korteks yan berada tepat di bawah kulit kepala dan tidak merekam dari struktur

subkorteks, seperti batang otak atau thalamus, dan hanya memberikan cakupan yang terbatas

dari permukaan cembung otak besar. Lebih jauh lagi, tidak semua frekuensi EEG tertangkap

sehingga dapat memberikan hasil datar atau isoelektrik saat ada neuron yang masih hidup di

batang otak atau tempat lain. Hanya ada sedikit penelitian yang menguji validitas dari EEG

dalam kaitannya dengan kematian otak. EEG juga memiliki kelemahan, dimana dapat terjadi

gangguan dari faktor-faktor yang dapat menyesatkan, seperti terjadinya gambaran yang datar

atau isoelektris saat terjadi overdosis barbiturat atau anestesi yang dalam, dimana keduanya

merupakan kondisi yang reversibel. Sehingga, pada tes EEG dapat terjadi positif palsu

maupun negatif palsu, membuat EEG menjadi suatu tes yang jauh dari ideal untuk penentuan

kematian otak.

Saat diperlukan konfirmasi untuk penentuan kematian otak, tes aliran darah ke otak

dianggap lebih tepat. Tes yang menunjukkan absennya aliran darah ke otak umumnya

diterima sebagai penegakan kematian otak yang memiliki kepastian, karena konsep bahwa

apabila otak tidak mendapatkan suplai darah selama periode waktu tertentu akan mati sudah

diyakini secara luas. Tentunya kondisi hipotermia dan hipotensi transien yang reversibel

harus disingkirkan. Kematian otak dapat disertai dengan baik edema jaringan ataupun efek

massa yang menyebabkan tekanan intrakranial menjadi sama atau lebih dari tekanan darah

sistolik dan tekanan darah arteri rata-rata. Konsekuensinya, darah tidak memasuki

kompartemen intrakranial, atau hanya memasuki selama sistol, mengakibatkan tidak

terjadinya perfusi ke jaringan otak, sehingga menyebabkan kematian sel neuron dan glia otak,

tes aliran darah otak memberikan metode yang dapat diterima dan dapat berdiri sendiri dalam

menegakkan kematian otak. Tes tersebut tidak disesatkan oleh obat, gangguan metabolik,

atau hipotermia. Syarat sebelumnya adalah bahwa tekanan darah sistemik harus adekuat,

dimana pasien tidak dalam kondisi syok. Tes aliran darah otak meliputi angiografi empat vasa

(karotis dan vertebral), TCD, MRI, dan MRA, angiografi CT, dan tes kedokteran nuklir. Tes

yang lebih akurat untuk perfusi lebih dipilih, yakni angiografi dan CT emisi foton tunggal

(SPECT), dibandingkan dengan pencitraan sirkulasi otak dua dimensi.

15

Page 16: Pbl Blok 29

Tes perfusi jarang memberikan hasil negatif palsu, dimana ditemukan perfusi struktur

arteri atau vena pada pasien yang telah dikonfirmasi mengalami kematian otak secara

patologis dan klinis. Ini terutama terjadi pada kondisi dimana tekanan intrakranial menurun

akibat mekanisme dekompresi, seperti kraniektomi dekompresif, fraktur tengkorak, pintasan

ventrikuler atau anak dengan tengkorak yang masih rapuh. Negatif palsu tersebut jarang

terjadi. Harus diingat bahwa adanya aliran darah tidak serta merta mengeksklusi

kemungkinan kematian otak. Harus diingat bahwa dalam melakukan tes konfirmasi kematian

otak, negatif palsu tidak lebih bermasalah daripada positif palsu, karena lebih berbahaya

apabila seseorang secara keliru dinyatakan mengalami kematian otak daripada bila seseorang

dinyatakan tidak mati otak padahal sesungguhnya telah terjadi kematian otak.1,2

Tes yang menjadi standar emas tes konfirmasi kematian otak adalah angiografi

serebral empat vasa. Tes ini invasive dan harus dilakukan dengan memndahkan pasien ke

departemen radiologi. Absennya pengisian darah intrakranial dari arteri karotis interna atau

vertebra harus didahului oleh tekanan intrakranial yang melebihi tekanan darah arteri rata-

rata.1,2

New York State Department of Health (2005) menyebutkan langkah-langkah yang

diperlukan dalam penetapan kematian batang otak adalah sebagai berikut:

a. Evaluasi kasus koma

b. Memberikan penjelasan kepada keluarga mengenai kondisi terkini pasien

c. Penilaian klinis awal refleks batang otak

d. Periode interval observasi

1. sampai dengan usia 2 bulan, periode interval observasi 48 jam

2. usia lebih dari 2 bulan sampai dengan 1 tahun, periode interval observasi 24 jam

3. usia lebih dari 1 tahun sampai dengan kurang dari 18 tahun, periode interval

observasi 12 jam

4. usia 18 tahun ke atas, periode interval observasi berkisar 6 jam

e. Penilaian klinis ulang refleks batang otak

f. Tes apnea

g. Pemeriksaan konfirmatif bila ada indikasi

h. Persiapan akomodasi yang sesuai

i. Sertifikasi kematian batang otak

j. Penghentian penyokong kardiorespirasi

16

Page 17: Pbl Blok 29

Diferensial Diagnosis

Status vegetative menetap ( Persistent Vegetative States ) . Keadaan ini berbeda dengan

mati otak. Fungsi batang otak masih baik. Pada PVS yang diperkirakan hilang adalah fungsi

neokortikal dari otak. Pasien masih dapat bernafas spontan dan reflex-reflex masih ada.

Pasien tidak sadarkan diri dengan mata terbuka dan pupil melebar. Pada PVS kriteria

Harvard tidak terpenuhi. Pasien PVS masih hidup secara biologis, tetapi secara intelektual

dan sosial sudah mati. Kemungkinan pulih ke keadaan normal sangat sulit, hanya satu

banding seribu.3

Tindakan terhadap Pasien Mati Otak

Tidak ada lagi yang dapat dilakukan pada pasien dengan mati otak. Pasien dengan

mati otak adalah manusia yang sudah mati, Brain death is death. Mati adalah kematian

batang otak, sekalipun elektrokardiografi masih menunjukkan ritme normal. Jika semua

kriteria mati otak sudah terpenuhi, maka ventilator dan alat pendukung hidup lainnya dapat

dilepas. Dengan begitu, dokter dan rumah sakit tidak dituntut melakukan pembunuhan. Untuk

negara dengan tindakan transpalntasi yang telah berkembang pesat, diagnosis mati otak

diusahakan secepat mungkin agar organ yang ada pada pasien tersebut dapat digunakan untuk

keperluan transplantasi calon resepien.3

Kesimpulan

Berbagai teknik yang ditemukan untuk mempertahankan detak jantung dan pernapasan

walaupun pasien telah mati telah memunculkan persepsi baru tentang definisi kematian

sebagai hilangnya fungsi otak dan bukan fungsi jantung dan paru, dimana kematian dapat

ditentukan berdasarkan kriteria neurologis.

Kriteria untuk kematian otak sendiri berevolusi seiring waktu. Kematian otak

didefinisikan sebagai hilangnya semua fungsi otak secara ireversibel, termasuk batang otak.

Tiga temuan penting dalam kematian otak adalah koma, hilangnya refleks batang otak, dan

apnea. Pada pasien, perlu diperiksa kondisi-kondisi serta kriteria eksklusi. Karena umumnya

mati otak disebabkan oleh cedera kepala berat, maka perlu ditemukan kondisi cedera otak

berat yang konsisten dengan proses terjadinya kematian otak, tidak bernafas secara spontan,

dan hasil yang negatif pada pemeriksaan refleks-refleks batang otak. Saat ini masih banyak

kontroversi berkaitan dengan penentuan kematian otak, karena masih kurangnya literatur atau

panduan yang berbasis bukti.

17

Page 18: Pbl Blok 29

Daftar Pustaka

1. Satyanegara, Hasan RY, Abubakar S, Maulana AJ, Sufarnap E, Benhadi I, et al. Kematian

otak. Dalam: Satyanegara, Hasan RY, Abubakar S, Maulana AJ, Sufarnap E, Benhadi I, et al .

Ilmu bedah saraf satyanegara. Edisi ke-4. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama; 2010.h.183-238.

2. Adams RD, Victor M. Brain death. Dalam: Adams RD, Victor M. Principles of neurology.

Edisi ke-3. New York: McGraw-Hill Book Company; 2003.h.258-9.

3. Brust JC. Brain death. Dalam: Brust JC. Current diagnosis & treatment in neurology. New

York : Mc-GrawHill; 2007.h.29-34.

4. Clarke C, et al. Neurology : a queen squre textbook. Edisi ke-1. United Kingdom: Blackwell-

Publishing Ltd, 2009.h.735.

5. Baehr M, Frotscher M. Diagnosis topik neurologi DUUS anatomi, fisiologi, tanda, gejala.

Edisi ke-4. Jakarta: EGC, 2010.h.362-9.

18