PBL Andri T. Ciakra
-
Upload
andri-t-ciakra -
Category
Documents
-
view
238 -
download
7
description
Transcript of PBL Andri T. Ciakra
Skleritis Oculi Dekstra
Andri T. Ciakra
102011126
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Jakarta.e-mail: [email protected]
Pendahuluan
Mata merupakan salah satu panca indera yang pentingg bagi setiap manusia. Bola
mata dipandang sebagai organ akhir dari nervus optikus yang merupakan saraf sensoris.
Mata menerima rangsang sinar dan mengubahnya menjadi impuls saraf yang berjalan
sepanjang lintaasan visual yang terdiri dari retina, nervus optikus, khiasma optikus, traktus
optikus dan radiassio optika, yang akhirnya akan mencapai korteks visual di fisura
kalkarina sehingga terjadi sensasi melihat.1 Penyakit untuk mata juga sangat beragam mulai
dari yang hanya merah hingga yang mengganggu ketajaman penglihatan. Skeleritis
merupakan salah satu penyakit mata merah dengan ketajaman yang normal yang akan
dibahas lebih jauh dalam makalah ini. Diharapkan melalui makalah ini, pembaca dapat
labih memahami mengenai penyakit mata merah dengan visus normal khususnya skleritis
mulai dari gejala hingga tatalaksana yang dapat dilakukan.
Pembahasan
Anatomi Sklera
Sklera yang juga dikenal sebagai bagian putih bola mata, merupakan kelanjutan
dari kornea. Sklera berwarna putih buram dan tidak tembus cahaya, kecuali di bagian
depan bersifat transparan yang disebut kornea. Sklera merupakan dinding bola mata yang
paling keras dengan jaringan pengikat yang tebal, yang tersusun oleh serat kolagen,
jaringan fibrosa dan proteoglikan dengan berbagai ukuran. Pada anak-anak, sklera lebih
tipis dan menunjukkan sejumlah pigmen, yang tampak sebagai warna biru. Sedangkan
pada dewasa karena terdapatnya deposit lemak, sklera tampak sebagai garis kuning.1,2
Sklera dimulai dari limbus, dimana berlanjut dengan kornea dan berakhir pada
kanalis optikus yang berlanjut dengan dura. Enam otot ekstraokular disisipkan ke
dalam sklera. Jaringan sklera menerima rangsangan sensoris dari nervus siliaris
1
posterior. Sklera merupakan organ tanpa vaskularisasi, menerima rangsangan tersebut
dari jaringan pembuluh darah yang berdekatan. Pleksus koroidalis terdapat di bawah
sklera dan pleksus episkleral di atasnya. Episklera mempunyai dua cabang, yang
pertama pada permukaan dimana pembuluh darah tersusun melingkar, dan yang satunya
lagi yang lebih di dalam, terdapat pembuluh darah yang melekat pada sklera.1,2
Sklera membentuk 5/6 bagian dari pembungkus jaringan pengikat pada bola
mata posterior. Sklera kemudian dilanjutkan oleh duramater dan kornea, untuk
menentukan bentuk bola mata, penahan terhadap tekanan dari luar dan menyediakan
kebutuhan bagi penempatan otot-otot ekstra okular. Sklera ditembus oleh banyak saraf
dan pembuluh darah yang melewati foramen skleralis posterior. Pada cakram optikus,
2/3 bagian sklera berlanjut menjadi sarung dural, sedangkan 1/3 lainnya berlanjut
dengan beberapa jaringan koroidalis yang membentuk suatu penampang yakni lamina
kribrosa yang melewati nervus optikus yang keluar melalui serat optikus atau fasikulus.
Kedalaman sklera bervariasi mulai dari 1 mm pada kutub posterior hingga 0,3 mm
pada penyisipan muskulus rektus atau akuator. Sklera mempunyai 2 lubang utama
yaitu:1,2
1) Foramen sklerasis anterior, yang berdekatan dengan kornea dan merupakan
tempat meletaknya kornea pada sklera.
2) Foramen sklerasis posterior atau kanalis sklerasis, merupakan pintu keluar
nervus optikus. Pada foramen ini terdapat lamina kribosa yang terdiri dari
sejumlah membran seperti saringan yang tersusun transversal melintas foramen
sklerasis posterior. Serabut saraf optikus lewat lubang ini untuk menuju ke
otak.
Secara histologis, sklera terdiri dari banyak pita padat yang sejajar dan berkas-
berkas jaringan fibrosa yang teranyam, yang masing-masing mempunyai tebal 10-16
µm dan lebar 100-140 µm, yakni episklera, stroma, lamina fuska dan endotelium.
Struktur histologis sklera sangat mirip dengan struktur kornea.1,2
Fisiologi SkleraSklera berfungsi untuk menyediakan perlindungan terhadap komponen intra
okular. Pembungkus okular yang bersifat viskoelastis ini memungkinkan pergerakan bola
mata tanpa menimbulkan deformitas otot-otot penggeraknya. Pendukung dasar dari sklera
2
adalah adanya aktifitas sklera yang rendah dan vaskularisasi yang baik pada sklera dan
koroid. Hidrasi yang terlalu tinggi pada sclera menyebabkan kekeruhan pada jaringan
sklera. Jaringan kolagen sklera dan jaringan pendukungnya berperan seperti cairan
sinovial yang memungkinkan perbandingan yang normal sehingga terjadi hubungan
antara bola mata dan socket. Perbandingan ini sering terganggu sehingga menyebabkan
beberapa penyakit yang mengenai struktur artikular sampai pembungkus sklera dan
episklera.2
Anamnesis
Anamnesis merupakan wawancara yang dilakukan oleh dokter kepada pasiennya
atau keluarga dekatnya menggenai masalah yang menyebabkan pasien mendatangi pusat
pelayanan kesehatan.Anamnesis harus dilakukan secara tenang, ramah dan sabar, dalam
suasana yang rahasia dengan menggunakan bahasa yang mudaah dipahami pasien.Saat
anamnesis, perlu dibuat status pasien yang merupakan catatan medik pasien yang memuat
mengenai penyakit pasien dan perjalanan penyakit pasien.Anamnesis dapat langsung
dilakukan terhadap pasien (auto-anamnesis) atau terhadap keluarganya atau pengantasrnya
(alo-anamnesis) bila keadaan pasien tidak memungkinkan untuk diwawancarai. Anamnesis
yang baik akan terdiri dari :3
1. Identitas : meliputi nama lengkap pasien, umur atau tanggal lahir, jenis
kelamin, alamat, pendidikan, pekerjaan, status, agama, dan suku bangsa.
2. Keluhan utama : keluhan yanng dirasakan pasien yangg membawa pasien
ergi ke dokter atau mencari pertolongan. Dalam menuliskan keluhan utama,
harus disertai dengan indikator waktu.
3. Riwayat penyakit sekarang : riwayat perjalanan penyakit yang berupa cerita
kronologis, terinci dan jelas mengenai keadaan kesehatan pasien sejak
sebelum keluhan utama sampai pasien datang berobat.
4. Riwayat penyakit dahulu : untuk mengetahui kemungkinan – kemungkinan
adanya hubungan antara penyakit yang pernah diderita dengan penyakitnya
sekarang.
5. Riwayat obstetri dan ginekologi : ditanyakan hanya pada pasien wanita
6. Riwayat penyakit keluarga : untuk mencari kemungkinan penyakit herediter,
familial atau penyakit infeksi atau riwayat atopik.
3
7. Anamnesis susunan sistem : bertujuan mengumpulkan data – data positif dan
negatif yang berhubungan dengan penyakit yang diderita pasien berdasarkan
alat tubuh yang sakit.
8. Riwayat pribadi : meliputi data sosial, ekonomi, pendidikan dan kebiasaan.
Pada saat anamnesis perlu ditanyakan keluhan utama pasien, perjalanan
penyakit, riwayat penyakit dahulu termasuk riwayat infeksi, trauma ataupun
riwayat pembedahan juga perlu pemeriksaan dari semua sistem pada tubuh.
Gejala-gejala dapat meliputi rasa nyeri, mata berair, fotofobia, spasme, dan tanpa
penurunan ketajaman penglihatan. Tanda primernya adalah mata merah. Nyeri adalah
gejala yang paling sering dan merupakan indikator terjadinya inflamasi yang aktif..
Nyeri timbul dari stimulasi langsung dan peregangan ujung saraf akibat adanya
inflamasi. Karakteristik nyeri pada skleritis yaitu nyeri terasa berat, nyeri tajam
menyebar ke dahi, alis, rahang dan sinus, pasien terbangun sepanjang malam, kambuh
akibat sentuhan. Nyeri dapat hilang sementara dengan penggunaan obat analgetik.
Mata berair atau fotofobia pada skleritis tanpa disertai sekret mukopurulen. Penurunan
ketajaman penglihatan biasa disebabkan oleh perluasan dari skleritis ke struktur
yang berdekatan yaitu dapat berkembang menjadi keratitis, uveitis, glaucoma, katarak
dan fundus yang abnormal.4,5
Riwayat penyakit dahulu dan riwayat pada mata menjelaskan adanya
penyakit sistemik, trauma, obat-obatan atau prosedur pembedahan dapat
menyebabkan skleritis seperti :4,5
i. Penyakit vaskular atau penyakit jaringan ikat
ii. Penyakit infeksi
iii. Penyakit miscellanous ( atopi,gout, trauma kimia, rosasea)
iv. Trauma tumpul atau trauma tajam pada mata
v. Obat-obatan seperti pamidronate, alendronate, risedronate, zoledronic
acid dan ibandronate.
vi. Post pembedahan pada mata
Riwayat penyakit dahulu seperti ulserasi gaster, diabetes, penyaki hati,
penyakit ginjal, hipertensi dimana mempengaruhi pengobatan selanjutnya. Pengobatan
yang sudah didapat dan pengobatan yang sedang berlangsung dan responnya terhadap
pengobatan.4,5
4
Pemeriksaan Fisik
Permeriksaan tanda – tanda vital juga mengandung ukuran – ukuran klinis kuatitatif
yang sangat besar nilainya.Tanda – tanda vital adalah nadi, pernapasan, suhu dan tekanan
darah.Semuanya harus diukur dalam pemeriksaan yang lengkap dan dalam banyak
pertemuan singkat. Hal teserbut dapat memberikan bantuan yang tidak ternilai dalam
penilaian global terhadap seorang penderita dan dapat memperoleh diagnnosis spesifik.6
Seperti semua keluhan pada mata, pemeriksaan diawali dengan pemeriksaan tajam
penglihatan.Visus dapat berada dalam keadaan normal atau menurun.Gangguan visus lebih
jelas pada skleritis posterior. Pemeriksaan umum pada kulit, sendi, jantung dan paru – paru
dapat dilakukan apabila dicurigai adanya penyakit sistemik. 4,5
General Inspeksi
Seperti yang telah dijelaskan diatas, bahwa skleritis sering kali disebabkan ataupun
disertai dengan penyakit sistemik ( penyakit jaringan ikat, pasca herpes, sifilis, dan gout ).
Kadang-kadang disebabkan tuberculosis, bakteri ( pseudomonas ), sarkoidosis, hipertensi,
dan masih banyak penyakit lain, sehingga dari pemeriksaan umum pasien, akan muncul
berbagai kelainan tergantung penyakit sistemik yang menyertai penderita. Penderita sering
kali mengeluhkan adanya rasa nyeri pada dahi, dagu dan alis yang merupakan penjalaran
nyeri dari mata akibat skleritis. Penderita skleritis tanpa penyakit penyerta atau penyakit
sistemik akan tampak sehat tanpa ada kelainan fisik selain pada mata. 4,7
General Inspeksi pada Mata
Pasien skleritis hampir selalu mengeluhkan adanya nyeri, yang biasanya bersifat
konstan sehingga sulit tidur. Ketajaman penglihatan sedikit berkurang jika dilakukan
pemeriksaan visus dengan menggunakan Snellen chart, terutama bila timbul peradangan
pada kamera anterior, skleritis akibat invasi mokroba langsung, dan pada skleritis posterior.
Bola mata terasa nyeri. Tanda klinis kunci adalah bola mata berwarna ungu gelap akibat
dilatasi pleksus vaskular di sklera dan episklera. 4,7
Pada skleritis anterior nekrotikans tipe difus atau Non-necrotizing anterior diffuse
scleritis, merupakan jenis skleritis yang paling umum terjadi, ditandai dengan adanya
peradangan yang luas melibatkan satu atau lebih bagian pada sklera. Bagian anterior yang
terlibat akan terlihat berwarna seperti ikan salmon mengarah ke warna ungu. 8
5
Gambar 1. Gambaran sklera pada Non-necrotizing anterior diffuse scleritis.8
Pada skleritis anterior non nekrotikans tipe nodular atau non-necrotising anterior
nodular scleritis, dikarakteristikkan dengan terdapatnya satu atau dua bagian yang keras
pada sklera, dimana warna ungu terlihat lebih terang pada nodule sklera, dan sering kali
nodul terletak di daerah dekat limbus. Kadang kadang, nodul tersusun seperti cincin
disekitar limbus ( annular scleritis ). 4,5,6
Gambar 2 . Gambaran sklera pada
Non-necrotising anterior nodular scleritis.8
Anterior skleritis nekrotikans dengan inflamasi (anterior necrotizing scleritis with
inflammation), merupakan skleritis akut yang berat dengan karakteristik lokasi terjadinya
inflamasi berhubungan dengan tempat terjadinya infark sesuai dengan vaskulitis. Akibat
tempat yang nekrosis adalah sklera menjadi tipis dan transparan. Hal ini sering terkait
dengan uveitis pada bagian anterior.. Necrotizing scleritis anterior dengan peradangan
kornea juga dikenal sebagai sclerokeratitis.8
6
Gambar 3. Gambaran sklera anterior necrotizing scleritis with inflammation.8
Skleritis anterior nekrotikans tanpa inflamasi (Anterior necrotizing scleritis without
inflammation). Tipe ini paling sering terjadi pada pasien dengan rheumatoid arthritis lama,
itu adalah karena pembentukan nodul rheumatoid di sklera dan dan sering tidak ditemukan
adanya gejala. Scleritis anterior nekrotikans tanpa peradangan juga dikenal sebagai
perforans scleromalacia. Tipe skleritis ini sering kali terjadi pada wanita akibat dari
penyakit rheumatoid arthritis yang berkepanjangan. Tipe ini dikarakteristikkan dengan
perubahan sklera berwarna putih susu menjadi sklera yang tampak kekuningan dan tidak
jarang mengenai episklera dan konjungtiva lepas atau memisah dari dari sklera yang
normal. Perforasi yang berlangsung secara spontan sering kali terjadi. 8
Gambar 4. Gambaran sklera pada
Anterior necrotizing scleritis without inflammation.8
Tanda-tanda pada skleritis posterior adalah viritis, pembengkakan diskus, edema
makula, dan pelepasan retina eksudatif . Kadang-kadang tidak ada kelainan yang bisa
dideteksi pada mata bagian anterior, nyeri mata merupakan gejala satu-satunya. Inflamasi
dapat menyebabkan proptosis ( eksopthalmus) dan perbaikan yang terjadi tergantung
tergantung proses mitosis pada otot-otot okular. 8
7
Pemeriksaan Penunjang
Tergantung kepada kecurigaan klinis, studi laboratorium dapat dilakukan. Uji
laboratorium meliputi : 7
Hitung darah lengkap (CBC) dan elektrolit
Komplemen serum (C3)
Laju endap darah
Kompleks imun serum
Faktor rheumatoid serum
Urinalisis
Sedimen eritrosit (ESR)
Asam urat
Antinuclear antibody (ANA)
B-scan ultrasonografi juga dapat membantu dalam mendeteksi skleritis posterior.
MRI atau CT scan mungkin memainkan peran yang baik. Foto thoraks dapat diindikasikan
untuk mencari keterlibatan paru yang mendasari timbulnya penyakit sistemik. Foto sendi
sakroiliaka dapat dilakukan atau dipertimbangkan jika adanya spondilitis dicurigai. 7
Diagnosis Banding
Pterygium
Pterygium adalah penebalan dan lipatan konjungtiva bulbi yang berbentuk segitiga
dengan banyak pembuluh darah. Puncaknya terletak di kornea dan dasarnya dibagian
perifer. Biasanya terletak di celah kelopak mata dan sering meluas ke daerah pupil.
Keadaan ini sering timbul oleh rangsangan debu, cahaya matahari dan angina pada
konjungtiva bulbi. Konjungtiva pada daerah selaput akan tampak kemerahan serta adanya
pelebaran pembuluh darah dengan edema pada jaringan tersebut. Gejala kliniknya pasien
akan mengalami kemunduran dalam penglihatan akibat astigmat kornea atau karena
pterygium telah meluas melewati zona optic. Therapynya dapat diberikan tetes mata
inflamasi baik steroid maupun non steroid dan terapi bedah dilakukan apabila usia lebih
dari 40 tahun.1,4
8
Pesudopterygium
Memberikan gejala yang serupa dengan pterygium, hanya asal tumbuhnya oleh
karena kerusakan pada kornea(ulkus kornea), sehingga tempatnya tidak harus pada celah
kelopak mata. Baik gejala dan therapynya sama dengan pterygium. 1,4
Pinguekula
Pinguekula adalah pertumbuhan jaringan hialin pada konjungtiva. Penyebabnya
sama dengan pterygium yaitu karena iritasi angina dan ultraviolet. Peradangan
mengakibatkan pelebaran pembuluh darah sekitar. Pada pinguekula tidak perlu diberikan
pengobatan, akan tetapi apabila terlihat adanya tanda peradangan ( pinguekulitis ), dapat
diberikan obat-obat antiradang.1,4
Diagnosis
Skleritis
Skleritis merupakan peradangan pada sklera berupa gangguan granulomatosa kronik
yang ditandai oleh destruksi kolagen, sebukan sel, dan kelainan vaskular yang
mengisyaratkan adanya vaskulitis. Kelainan ini murni diperantarai oleh proses imunologik,
yakni reaksi tipe IV ( hipersensitivitas tipe lambat ) dan tipe III ( kompleks imun ) dan
disertai atau disebabkan oleh penyakit sistemik ( penyakit jaringan ikat, pasca herpes,
sifilis, dan gout ). Kadang-kadang disebabkan tuberculosis, bakteri ( pseudomonas ),
sarkoidosis, hipertensi, benda asing dan pasca bedah.4,7
Skleritis adalah penyakit yang jarang dijumpai. Penyakit ini bersifat unilateral atau
bilateral, dengan onset perlahan atau kambuh. Wanita lebih sering terkena daripada pria.
Dari hasil anamnese, pasien skleritis hampir selalu mengeluhkan adanya nyeri. Nyeri
biasanya bersifat konstan, meyebar ke dahi, alis dan dagu sehingga pasien sering
mengeluhkan sulit tidur. Mata merah berair dan fotofobia. Selain nyeri, pasien juga
mengeluhkan adanya penurunan ketajaman penglihatan. Skleritis tidak mengeluarkan
kotoran. Sklera yang terkena tampak membengkak. Bola mata sering terasa nyeri dan tanda
9
klinis yang penting adalah bola mata berwarna ungu gelap akibat dilatasi pleksus vaskular
dalam di sklera dan episklera.7,9
Etiologi
Pada banyak kasus, kelainan-kelainan skelritis murni diperantarai oleh proses
imunologi yakni terjadi reaksi tipe IV (hipersensitifitas tipe lambat) dan tipe III
(kompleks imun) dan disertai penyakit sistemik. Pada beberapa kasus, mungkin terjad
invasi mikroba langsung, dan pada sejumlah kasus proses imunologisnya tampaknya
dicetuskan oleh proses-proses lokal, misalnya bedah katarak.9
Tabel 1. Penyebab Skleritis.9
Penyakit Autoimun Spondilitis ankylosing, Artritis rheumatoid,
Poliartritis nodosa, Polikondritis berulang,
Granulomatosis Wegener, Lupus eritematosus
sistemik, Pioderma gangrenosum, Kolitis
ulserativa, Nefropati IgA, Artritis psoriatik
Penyakit Granulomatosa Tuberkulosis, Sifilis, Sarkoidosis, Lepra, Sindrom Vogt-Koyanagi-Harada (jarang)
Gangguan metabolik Gout, Tirotoksikosis, Penyakit jantung rematik aktif
Infeksi Onkoserkiasis, Toksoplasmosis, Herpes Zoster,Herpes Simpleks, Infeksi oleh Pseudomonas,
Aspergillus, Streptococcus, Staphylococcus
Lain-lain Fisik (radiasi, luka bakar termal), Kimia (luka bakar asam atau basa), Mekanis (cedera tembus), Limfoma, Rosasea, Pasca ekstraksi katarak
Tidak diketahui
Patogenesis
Degradasi enzim dari serat kolagen dan invasi dari sel-sel radang meliputi sel T
dan makrofag pada sklera memegang peranan penting terjadinya skleritis. Inflamasi
dari sklera bisa berkembang menjadi iskemia dan nekrosis yang akan menyebabkan
10
penipisan pada sklera dan perforasi dari bola mata.4,5
Inflamasi yang mempengaruhi sklera berhubungan erat dengan penyakit imun
sistemik dan penyakit kolagen pada vaskular. Disregulasi pada penyakit auto imun
secara umum merupakan faktor predisposisi dari skleritis. Proses inflamasi bisa
disebabkan oleh kompleks imun yang berhubungan dengan kerusakan vascular (reaksi
hipersensitivitas tipe III ) dan respon kronik granulomatous (reaksi hipersensitivitas
tipe IV). Interaksi tersebut adalah bagian dari sistem imun aktif dimana dapat
menyebabkan kerusakan sklera akibat deposisi kompleks imun pada pembuluh di
episklera dan sklera yang menyebabkan perforasi kapiler dan venula post kapiler dan
respon imun sel perantara.4,5
Klasifikasi
Skleritis dapat diklasifikasikan menjadi anterior atau posterior. Empat tipe dari
skleritis anterior adalah:5
1. Diffuse anterior scleritis. Ditandai dengan peradangan yang meluas pada seluruh
permukaan sklera. Merupakan skleritis yang paling umum terjadi.
2. Nodular anterior scleritis. Ditandai dengan adanya satu atau lebih nodul radang
yang eritem, tidak dapat digerakkan, dan nyeri pada sklera anterior. Sekitar 20%
kasus berkembang menjadi skleritis nekrosis.
3. Necrotizing anterior scleritis with inflammation. Biasa mengikuti penyakit
sistemik seperti rheumatoid arthtitis. Nyeri sangat berat dan kerusakan pada sklera
terlihat jelas. Apabila disertai dengan inflamasi kornea, dikenal sebagai
sklerokeratitis.
4. Necrotizing anterior scleritis without inflammation. Biasa terjadi pada pasien yang
sudah lama menderita rheumatoid arthritis. Diakibatkan oleh pembentukan nodul
rematoid dan absennya gejala. Juga dikenal sebagai skleromalasia perforans.
Di samping skleritis anterior, ada pula skleritis posterior. Skleritis posterior ini jarang
terjadi dan ditandai dengan adanya nyeri tekan bulbus okuli dan proptosis. Terdapat
perataan dari bagian posterior bola mata, penebalan lapisan posterior mata (koroid dan
sklera), dan edema retrobulbar. Pada skleritis posterior dapat dijumpai penglepasan retina
eksudatif, edema makular, dan papiledema.5
11
Gejala Klinis
Gejala skleritis nyeri mata yang hebat. Rasa nyeri dirasakan bersifat dalam
seringkali sampai membuat penderita tidak bisa tidur dan menurunkan nafgsu makan.
Muncul kemerahan pada sebagian mata atau seluruh mata, penglihatan kadang ada yang
kabur da nada yang tidak, mata menjadi sensitive terhadap cahaya terang, mata berair,
mempunyai secret yang bening, nyeri waktu ditekan dan adanya benjolan disertai dengan
hiperemis.4
Epidemiologi
Skleritis adalah penyakit yang jarang dijumpai. Di Amerika Serikat insidensi
kejadian diperkirakan 6 kasus per 10.000 populasi. Dari pasien-pasien yang ditemukan,
didapatkan 94% adalah skleritis anterior, sedangkan 6%nya adalah skleritis posterior. Di
Indonesia belum ada penelitian mengenai penyakit ini. Penyakit ini dapat terjadi
unilateral atau bilateral, dengan onset perlahan atau mendadak, dan dapat berlangsung
sekali atau kambuh-kambuhan.5
Peningkatan insiden skleritis tidak bergantung pada geografi maupun ras.
Wanita lebih banyak terkena daripada pria dengan perbandingan 1,6 : 1. Insiden
skleritis terutama terjadi antara 11-87 tahun, dengan usia rata-rata 52 tahun.5
Penatalaksanaan
Terapi skleritis disesuaikan dengan penyebabnya. Terapi awal skleritis adalah
obat anti inflamasi non-steroid sistemik. Obat pilihan adalah indometasin 100 mg perhari
atau ibuprofen 300 mg perhari. Pada sebagian besar kasus, nyeri cepat mereda diikuti oleh
pengurangan peradangan. Apabila tidak timbul respon dalam 1-2 minggu atau segera
setelah tampak penyumbatan vaskular harus segera dimulai terapi steroid sistemik dosis
tinggi. Steroid ini biasanya diberikan peroral yaitu prednison 80 mg perhari yang ditirunkan
dengan cepat dalam 2 minggu sampai dosis pemeliharaan sekitar 10 mg perhari.
Kadangkala, penyakit yang berat mengharuskan terapi intravena berdenyut dengan metil
prednisolon 1 g setiap minggu. 4,7,9
Obat-obat imunosupresif lain juga dapat digunakan. Siklofosfamid sangat
bermanfaat apabila terdapat banyak kompleks imun dalam darah. Tetapi steroid topikal saja
tidak bermanfaat tetapi dapat dapat menjadi terapi tambahan untuk terapi sistemik. Apabila
12
dapat diidentifikasi adanya infeksi, harus diberikan terapi spesifik. Peran terapi steroid
sistemik kemudian akan ditentukan oleh sifat proses penyakitnya, yakni apakah
penyakitnya merupakan suatu respon hipersensitif atau efek dari invasi langsung
mikroba.4,7,9
Tindakan bedah jarang dilakukan kecuali untuk memperbaiki perforasi sklera
atau kornea. Tindakan ini kemungkinan besar diperlukan apabila terjadi kerusakan hebat
akibat invasi langsung mikroba, atau pada granulomatosis Wegener atau poliarteritis
nodosa yang disertai penyulit perforasi kornea. 4,7,9
Komplikasi
Skleritis dapat mengakibatkan terjadinya beberapa komplikasi. Makular edema
dapat terjadi karena perluasan peradangan di sklera bagian posterior sampai koroid, retina,
dan saraf optik. Makular edema dapat mengakibatkan penurunan penglihatan. Komplikasi
lainnya yaitu perforasi dari sklera yang mengakibatkan hilangnya kemampuan mata untuk
melihat. Skleromalasia juga dapat terjadi, terutama pada skleritis dengan rheumatoid
arthritis. Obat kortikosteroid juga dapat memicu terjadinya perforasi serta meningkatkan
tekanan intraokular sehingga beresiko merusak saraf optik akibat glaukoma. Tanpa
pengobatan segera dapat terjadi kondisi seperti katarak, ablasio retina, keratitis, uveitis, atau
atrofi optik. Uveitis anterior terjadi pada sekitar 30% kasus skleritis. Sedangkan uveitis
posterior terjadi pada hampir seluruh kasus skleritis posterior, namun tak jarang juga
dijumpai pada kasus skleritis anterior. Skleritis dapat berulang dan berpindah ke posisi
sklera yang berbeda.5
Prognosis
Prognosis skleritis tergantung pada penyakit penyebabnya. Skleritis pada
spondiloartropati atau pada SLE biasanya relatif jinak dan sembuh sendiri dimana termasuk
tipe skleritis difus atau skleritis nodular tanpa komplikasi pada mata Skleritis pada penyakit
Wagener adalah penyakit berat yang dapat menyebabkan buta permanen dimana termasuk
tipe skleritis nekrotik dengan komplikasi pada mata. 7,9
Skleritis pada rematoid artritis atau polikondritis adalah tipe skleritis difus, nodular
atau nekrotik dengan atau tanpa komplikasi pada mata. Skleritis pada penyakit sistemik
selalu lebih jinak daripada skleritis dengan penyakit infeksi atau autoimun. Pada kasus
13
skleritis idiopatik dapat ringan, durasi yang pendek, dan lebih respon terhadap tetes mata
steroid. Skleritis tipe nekrotik merupakan tipe yang paling destruktif dan skleritis dengan
penipisan sklera yang luas atau yang telah mengalami perforasi mempunyai prognosis yang
lebih buruk. 7,9
Kesimpulan
Skleritis adalah peradangan pada lapisan sklera yang ditandai dengan adanya
infiltrasi seluler, kerusakan kolagen, dan perubahan vaskuler. Skleritis merupakan penyakit
yang jarang terjadi. Skleritis biasanya terjadi bersama dengan penyakit sistemik, yaitu
penyakit autoimun dan infeksi, namun bisa juga terjadi secara idiopatik. Adapun gejala-
gejala umum yang biasa terjadi pada skleritis yaitu rasa nyeri berat yang dapat menyebar ke
dahi, alis, dan dagu. Selain itu terdapat pula mata merah berair, fotofobia, dan tanpa
penurunan tajam penglihatan.
Tatalaksana skleritis membutuhkan pengobatan sistemik. Obat-obatan yang biasa
dipakai yaitu NSAIDs, kortikosteroid, agen imunosupresan, dan imunomodulator. Apabila
terdapat penyakit penyerta, harus dikonsultasikan ke bagian terkait. Komplikasi yang dapat
terjadi pada penyakit skleritis yaitu edema makular, perforasi sklera, glaukoma, uveitis,
katarak, dan keratitis. Prognosis skleritis seringkali tergantung pada penyakit sistemik yang
menyertainya.
Daftar Pustaka
1. Morosidi SA, Paliyama MF. Ilmu Penyakit Mata. Jakarta: FK UKRIDA; 2011. hal
2,4,38-44
2. Foulks GN, Langston DP. Cornea and External Disease. In: Manual of Ocular
Diagnosis and Therapy. Second Edition. United States of America: Library of
Congress Catalog; 1988. pg 111-6
3. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku ajar ilmu
penyakit dalam. Jilid I. Edisi V. Jakarta: interna Publishing; 2010. hal 5-7
4. Ilyas S,Yulianti SR. Ilmu penyakit mata Edisi ke-4. Jakarta: Balai Penerbit FKUI,
2012. hal 116-20
5. Gaeta, Theodore J. Scleritis in Emergency Medicine [online]. 2008. Tersedia pada
http://emedicine.medscape.com/article/809166-overview. Diunduh 17 Maret 2014.
14
6. Willms JL, Schneiderman H, Algranati PS. Diagnosis fisik. Edisi 22. Jakarta :
EGC; 2005. hal 62-5
7. James B., Oftalmologi ed 9 : Jakarta: Erlangga ; 2003 : hal 74-75
8. Khurana A.K., Comprehensive Ophthalmology, 4th ed. New Delhi: New Age
International (P) Ltd; 2007 : pg 127-132
9. Eva PR. Sklera. Dalam:Vaughan DG, Asbury T, Riordan-Eva P, Suyono J, Editor.
Oftalmologi Umum Edisi 14. Jakarta: EGC;2000. hal 169-73
15