Pbl 30 Part 3 Lengkap
-
Upload
melania-taolin -
Category
Documents
-
view
269 -
download
16
description
Transcript of Pbl 30 Part 3 Lengkap
ETIKA DOKTER KEPOLISI
Henrikus Sejahtera – 10.2008.217
Mahasiswa Fakultas Kedokteran UKRIDA
Jl. Terusan Arjuna No.6, Jakarta Barat
email : [email protected]
Skenario Pbl 3
Anda kebetulan menjadi dokter polisi yang ditempatkan di daerah yang rawan
terorisme. Pada suatu hari Anda dipanggil oleh Kasat Serse untuk menemani dia memeriksa
seseorang tersangka. Tersangka adalah seorang laki-laki muda yang diduga telah meletakkan
sebuah bom di pasar. Bom diduga akan diletakkan pada siang hari pada saat pasar sedang
ramai-ramainya, tetapi saat ini polisi belum mengetahui dimana diletakkannya bom tersebut.
Oleh karena itu, polisi akan melakukan interogasi si tersangka dengan cara “agak keras” agar
dapat memperoleh pengakuan tentang letak bom tersebut. pada acara tersebut Anda diminta
menjadi penasihat petugas reserse yang akan “menjaga” kesehatan tersangka.
Pendahuluan
Rangkaian peristiwa pemboman yang terjadi di wilayah Negara Republik Indonesia
telah menimbulkan rasa takut masyarakat secara luas, mengakibatkan hilangnya nyawa serta
kerugian harta benda, sehingga menimbulkan pengaruh yang tidak menguntungkan pada
kehidupan sosial, ekonomi, politik, dan hubungan Indonesia dengan dunia internasional.
Peledakan bom tersebut merupakan salah satu modus pelaku terorisme yang telah
menjadi fenomena umum di beberapa negara. Terorisme merupakan kejahatan lintas negara,
terorganisasi, dan bahkan merupakan tindak pidana internasional yang mempunyai jaringan
luas, yang mengancam perdamaian dan keamanan nasional maupun internasional.
Pemerintah Indonesia sejalan dengan amanat sebagaimana ditentukan dalam
Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yakni
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut serta dalam memelihara
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan dan perdamaian abadi dan keadilan sosial,
berkewajiban untuk melindungi warganya dari setiap ancaman kejahatan baik bersifat
nasional, transnasional, maupun bersifat internasional. Pemerintah juga berkewajiban untuk
mempertahankan kedaulatan serta memelihara keutuhan dan integritas nasional dari setiap
PBL 3 BLOK 30 Page 1
bentuk ancaman baik yang datang dari luar maupun dari dalam. Untuk itu, maka mutlak
diperlukan penegakan hukum dan ketertiban secara konsisten dan berkesinambungan.
Untuk menciptakan suasana tertib dan aman, maka peran dokter polisi sebagai
pengemban tugas dan fungsi teknis kepolisian harus dapat berperan dalam penyelenggaraan
tugas-tugas pokok kepolisian sebagaimana yang diamanatkan dalam UU No.2 Tahun 2002
tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia tersebut.
Pembahasan
1. Hak Asasi Manusia1
Hak Asasi Manusia (HAM) adalah hak-hak yang telah dipunyai seseorang sejak ia
dalam kandungan. HAM berlaku secara universal. Dasar-dasar HAM tercantum dalam UUD
1945 Republik Indonesia seperti pada pasal 27 (ayat 1), pasal 28, pasal 29 (ayat 2), pasal 31
(ayat 1), dan 33 (ayat 1).
Contoh:
Hak untuk hidup
Hak untuk memperoleh pendidikan
Hak untuk hidup bersama-sama seperti orang lain
Hak untuk mendapatkan perlakuan yang sama
Hak untuk mendapatkan pekerjaan
Pasal 27
(1) Segala warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan dan
wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.
Pasal 28
Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan
sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.
Pasal 29
(2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya
masingmasing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Pasal 31
(1) Tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran.
PBL 3 BLOK 30 Page 2
Pasal 33
(1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.
Berdasarkan Pasal 1 angka 1-4 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM
adalah:
1. HAM adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia
sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib
dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap
orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
2. Kewajiban dasar manusia adalah seperangkat kewajiban yang apabila hak dilaksanakan,
tidak memungkinkan terlaksana dan tegaknya hak asasi manusia.
3. Diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung
ataupun tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras,
etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekomomi, jenis kelamin, bahasa,
keyakinan politik. Yang berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan
pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam
kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi.hukum, sosial,
budaya. Dan aspek kehidupan lainnya.
Penyiksaan adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, sehingga
menimbulkan rasa sakit atau penderitaan yang hebat, baik jasmani maupun rohani, pada
seseorang untuk memperoleh pengakuan atau keterangan dari seseorang atau dari orang
ketiga, dengan menghukumnya atas suatu perbuatan yang lelah dilakukan atau diduga telah
dilakukan oleh seseorang atau orang ketiga, atau mengancam atau memaksa seseorang atau
orang ketiga. atau untuk suatu alasan yang didasarkan pada setiap bentuk diskriminasi,
apabila rasa sakit atau penderitaan tersebut ditimbulkan oleh, atas hasutan dari, dengan
persetujuan, atau sepengetahuan siapapun dan atau pejabat publik.
2. Hak dan Kewajiban Dokter
2.1 Kewajiban Moral Dokter2
Etika adalah disiplin ilmu yang mempelajari baik buruk atau benar salahnya suatu
sikap dan atau perbuatan seseorang individu atau institusi dilihat dari moralitas. Beauchamp
and childress (1994) menguraikan bahwa untuk mencapai suatu keputusan etis diperlukan
empat kaedah dasar moral dan beberapa rules dibawahnya, yaitu:
PBL 3 BLOK 30 Page 3
1. Prinsip Otonomi, yaitu prinsip moral yang menghormati hak-hak pasien, terutama
hak otonomi pasien (the right to self determination). Prinsip moral inilah yang
kemudian melahirkan doktrin inform consent.
Tindakan konkrit dari autonomi meliputi:
Menghargai hak menentukan nasibnya sendiri
Tidak mengintervensi pasien dalam membuat keputusan (pada kondisi elektif)
Berterus terang
Menghargai privasi
Menjaga rahasi pasien
Menghargai rasionalitas pasien
Melaksanakan informed consent
Membiarkan pasien dewasa dan kompeten mengambil keputusan sendiri
Tidak mengintervensi atau menghalangi autonomi pasien
Mencegah pihak lain ,emgintervensi pasien dalam membuat keputusan, termasuk
keluarga pasien sendiri
Sabar menunggu keputusan yang akan diambil pasien pada kasus non emergensi
Tidak berbohong kepada pasien meskipun demi kebaikan pasien
Menjaga hubungan
2. Prinsip Beneficience, yaitu prinsip moral yang mengutamakan tindakan yang
ditujukan ke kebaikan pasien. Dalam beneficience tidak hanya dikenal perbuatan
untuk kebaikan saja melainkan juga perbuatan yang sisi baiknya lebih besar dari sisi
buruk.
Tindakan konkrit dari beneficience meliputi:
Mengutamakan altruisme (menolong tanpa pamrih, rela berkorban untuk
kepentingan orang lain)
Menjamin nilai pokok harkat dan martabat manusia
Memandang pasien/keluarga/sesuatu tidak hanya sejauh menguntungkan dokter
Mengusahakan agar kebaikan/manfaatnya lebih banyak dibandingkan dengan
keburukannya
Paternalisme bertanggung jawab/berkasih sayang
Menjamin kehidupan baik
Pembatasan “goal based”
Maksimalisasi pemuasan kebahagiaan / preferensi pasien
PBL 3 BLOK 30 Page 4
Minimalisasi akibat buruk
Kewajiban menolong pasien gawat darurat
Menghargai hak-hak pasien secara keseluruhan
Tidak menarik honorarium di luar kepantasan
Maksimalisasi kepuasan tertinggi secara keseluruhan
Mengembangkan profesi secara terus-menerus
Memberikan obat berkhasiat namun murah
Menerapkan Golden Rule Principle, dimana kita harus memperlakukan orang lain
seperti kita ingin diperlakukan oleh orang lain
3. Prinsip Non-Maleficence, yaitu prinsip moral yang melarang tindakan yang
memperburuk keadaan pasien. Prinsip ini dikenal sebagai “primum non nocere” atau
“above all do no harm”
Tindakan konkrit dari non-maleficence meliputi:
Menolong pasien emergensi
Kondisi untuk menggambarkan criteria ini adalah:
Mengobati pasien yang luka
Tidak membunuh pasien (tidak melakukan euthanasia)
Tidak menghina/mencaci maki/memanfaatkan pasien
Tidak memandang pasien hanya sebagai objek
Mengobati secara tidak proporsional
Mencegah pasien dari bahaya
Menghindari misinterpretasi dari pasien
Tidak membahayakan kehidupan pasien karena kelalaian
Memberiksan semangat hidup
Melindungi pasien dari serangan
Tidak melakukan white collar crime dalam bidang kesehatan/ kerumah-sakitan yang
merugikan pihak pasien/ keluarganya
4. Prinsip Justice, yaitu prinsip moral yang mementingkan fairness dan keadilan dalam
bersikap maupun dalam mendistribusikan sumber daya (distribusi justice).
Tindakan konkrit yang termasuk justice meliputi:
Memberlakukan segala sesuatu secara universal
Mengambil porsi terakhir dari proses membagi yang telah ia lakukan
PBL 3 BLOK 30 Page 5
Memberi kesempatan yang sama terhadap pribadi dalam posisi yang sama
Menghargai hak sehat pasien (affordability, equality, accessibility, availability,
quality)
Menghargai hak hukum pasien
Menghargai hak orang lain
Menjaga kelompok yang rentan (yang paling merugikan)
Tidak membedakan pelayanan pasien atas dasar SARA, status social, dll
Tidak melakukan penyalahgunaan
Memberikan kontribusi yang relative sama dengan kebutuhan pasien
Meminta partisipasi pasien sesuai kemampuannya
Kewajiban mendistribusi keuntungan dan kerugian (biaya, beban, sanksi) secara adil
Mengembalikan hak kepada pemiliknya pada saat yang tepat dan kompeten
Tidak memberi beban berat secara tidak merata tanpa alasan sah/tepat
Menghormati hak populasi yang sama-sama rentan penyakit/gangguan kesehatan
Bijak dalam makroalokasi
Sedangkan rules derivatnya adalah veracity (berbicara benar, jujur, dan terbuka)
privacy (menghormati hak privasi pasien), confidentiality (menjaga kerahasiaan pasien) dan
fidelity (loyalitas dan promise keeping).
Selain prinsip atau kaedah moral diatas yang harus dijadikan pedoman dalam
mengambil keputusan klinis, professional kedokteran juga mengenal etika profesi sebagai
panduan dalam bersikap dan berperilaku. Baik sumpah dokter maupun kode etik kedokteran
berisikan sejumlah kewajiban moral yang melekat kepada para dokter. Meskipun kewajiban
tersebut bukanlah kewajiban hukum sehingga tidak dapat dilaksanakan secara hukum namun
kewajiban moral tersebut haruslah menjadi pemimpin dari kewajiban dalam hukum
kedokteran. Hukum kedokteran yang baik haruslah hukum yang etis.
2.2 Kewajiban Sosial Dokter3
Manusia hidup sebagai makluk social dan berinteraksi satu dengan yang lainnya. Hal
ini pun terjadi dalam tenaga medis. Tanggung jawab keluarga besar tenaga medis termasuk
dokter terhadap kesejahteraan keseluruhan masyarakat tidak hanya besifat kuratif, yakni
menyembuhkan penyakit yang sudah ada, melainkan juga bersifat preventif, menghindarkan
masyarakat dari penyakit yang dapat menyerang para anggotanya. Segala sesuatu yang
diketahui dokter tentang seorang penderita merupakan rahasia yang tidak boleh diungkapkan
kepada siapapun. Pandangan yang beritikad baik ini sering dihadapkan pada tantangan,
PBL 3 BLOK 30 Page 6
terutama sejak ditemukannya kuman-kuman penyebab penyakit menular. Jika tidak
diungkapkan bagaimana kalau kemudian ia menulari sesama masyarakat dalam lingkungan
sosial.
Pandangan ini mau tidak mau menghadapkan dokter pada dilemma, antara kewajiban
merahasiakan penyakit pasien dan kewajibannya kepada masyarakat, karena itu meskipun
kode etik kedokteran yang ditetapkan World Medical Association tidak menjelaskan
penyelesaiannya, British Medical Association, misalnya telah mencoba menguraikan
beberapa pengecualian dari kewajiban memegang rahasia tersebut. Dalam Handbook of
Medical Ethics yang diterbitkan persatuan dokter Inggris terdapat lima pengecualian, yaitu:
1. Jika penderita sendiri mengizinkan pengungkapan rahasia tersebut.
2. Jika ada alas an medis yang kuat untuk mengungkapkannya tanpa izin pasien.
3. Jika kewajiban terhadap masyarakat mengharuskan pengungkapan rahasia seorang
penderita .
4. Jika pengungkapan rahasia diperlukan untuk kepentingan penelitian yang sudah
disetujui (approved purposes of medical research).
5. Jika peradilan menghendakinya.
Kesehatan seluruh masyarakat hanya dapat dicapai apabila ada hubungan baik antara
pemerintah, tenaga medis dan masyarakat.Karena itu , komunikasi harus di kembangkan agar
masyarakat semakin memahami apa yang perlu mereka lakukan supaya anggota nya dapat
sehat dan sejahtera. Jadi, tenaga medis tidak boleh menyimpan pengetahuan tentang penyakit
dan penyembuhannya bagi lingkungan mereka sendiri semata-mata, tetapi harus membagikan
pengetahuan itu pada masyarakat luas.Hal ini berlaku baik dalam menghindarkan penyakit
maupun dalam menyembuhkan penyakit yang sudah ada.
Dokter yang membaktikan hidupnya untuk perikemanusian akan selalu
mengutamakan kewajiban di atas hak-hak. Kewajiban dokter terdiri dari kewajiban umum,
kewajiban terhadap pasien, kewajiban terhadap teman sejawat, dan kewajiban terhadap diri
sendiri. 6
PBL 3 BLOK 30 Page 7
Kewajiban umum yang berkaitan dengan aspek social, antara lain:
Pasal 6
Setiap dokter harus senantiasa berhati-hati dalam mengumumkan dan menerapkan setiap
penemuan teknik atau pengobatan baru yang belum diuji kebenarannya dan hal-hal yang
menimbulkan keresahan masyarakat.
Pasal 7d
Setiap dokter harus senantiasa mengingat kewajiban melindungi hidup makhluk insani.
Pasal 8
Dalam melakukan pekerjaannya seorang dokter harus memperhatikan kepentingan
masyarakat dan memperhatikan semua aspek pelayanan kesehatan yang menyeluruh
(promotif, preventif, kuratif, rehabilitative) baik fisik maupun psikososial, serta berusaha
menjadi pendidik dan pengabdi masyarakat yang sebenar-benarnya.
Pasal 9
Setiap dokter dalam bekerja sama dengan para pejabat di bidang kesehatan dan di bidang
lainnya serta masyarakat, harus saling menghormati.
Menurut Fred Ameln, kewajiban seorang dokter dalam profesi medic dapat
dikelompokkan menjadi 3 kategori, yakni:
1. Kewajiban yang berkaitan dengan fungsi social pemeliharaan kesehatan (health care).
Kategori ini menekankan kepentingan masyarakat luas, bukan hanya kepentingan
pasien saja.
2. Kewajiban yang berkaitan dengan hak-hak pasien.
3. Kewajiban yang berkaitan dengan Standar Profesi Medik dan yang timbul dari SPM
tersebut.
2.3 Hak Publik
Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia pada bagian Keenam menyangkut tentang Hak warga Masyarakat untuk
memperoleh Rasa Aman.
Pasal 29
(1) Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan
hak miliknya.
(2) Setiap orang berhak atas pengakuan di depan hukum sebagai manusia pribadi di mana
saja ia berada.
PBL 3 BLOK 30 Page 8
Pasal 30
Setiap orang berhak atas rasa aman dan tenteram serta perlindungan terhadap ancaman
ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu.
Pasal 31
(1) Tempat kediaman siapapun tidak boleh diganggu.
(2) Menginjak atau memasuki suatu pekarangan tempat kediaman atau memasuki suatu
rumah bertentangan dengan kehendak orang yang mendiaminya, hanya diperbolehkan
dalam hal-hal yang telah ditetapkan oleh undang-undang.
Pasal 32
Kemerdekaan dan rahasia dalam hubungan surat-menyurat termasuk hubungan komunikasi
melalui sarana elektronika tidak boleh diganggu, kecuali atas perintah hakim atau kakuasaan
lain yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 33
(1) Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan yang
kejam, tidak manusiawi, merendahkan derajat dan martabat kemanusiaannya.
(2) Setiap orang berhak untuk bebas dari penghilangan paksa dan penghilangan nyawa.
Pasal 34
Setiap orang tidak boleh ditangkap, ditahan, disiksa, dikucilkan, diasingkan, atau dibuang
secara sewenang-wenang.
Pasal 35
Setiap orang berhak hidup di dalam tatanan masyarakat dan kenegaraan yang damai, aman,
dan tenteram, yang menghormati, melindungi dan melaksanakan sepenuhnya hak asasi
manusia dan kewajiban dasar manusia sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini
Pasal 90
(1) Setiap orang dan atau sekelompok orang yang memiliki alasan kuat bahwa hak asasinya
telah dilanggar dapat mengajukan laporan dan pengaduan lisan atau tertulis pada Komnas
HAM.
(2) Pengaduan hanya akan mendapatkan pelayanan apabila disertai dengan identitas pengadu
yang benar dan keterangan atau bukti awal yang jelas tentang materi yang diadukan.
(3) Dalam hal pengaduan dilakukan oleh pihak lain, maka pengaduan harus disertai dengan
persetujuan dari pihak yang hak asasinya dilanggar sebagai korban. Kecuali untuk
pelanggaran hak asasi manusia tertentu berdasarkan pertimbangan Komnas HAM.
PBL 3 BLOK 30 Page 9
(4) Pengaduan pelanggaran hak asasi manusia sebagaimana dimaksud dalam ayat (3)
meliputi pula pengaduan melalui perwakilkan mengenai pelanggaran hak asasi manusia
yang dialami oleh kelompok masyarakat.
3. Proses Interogasi Tersangka
Kata Teroris (pelaku) dan Terorisme (aksi) berasal dari kata latin “TERRERE” yang
kurang lebih berarti membuat gemetar atau menggetarkan. Kata ‘Teror’ juga dapat
menimbulkan kengerian dihati dan pikiran korbannya. Hingga saat ini tidak ada definisi
Terorisme yang dapat diterima secara universal. Pada dasarnya, istilah Terorisme merupakan
sebuah konsep yang memiliki konotasi yang sangat sensitive karena menyebabkan terjadinya
pembunuhan dan kesengsaraan terhadap orang-orang yang tidak berdosa. Proses interogasi
dilakukan untuk mengungkapkan pembuktian dimana bom tersebut diletakkan oleh
tersangka, bukan pengakuan. Karena tersangka teroris biasanya sudah didoktrin untuk tidak
mengaku. Saat melaksanakan proses interogasi tersebut, petugas kepolisian tidak ada boleh
melakukan tindakan penyiksaan baik ringan, sedang, ataupun berat. Selain itu, petugas
reserse juga dapat menggunakan teknik pendekatan psikologi dalam proses interogasi untuk
mengetahui status mental tersangka. Peran dokter polisi dalam hal ini sebagai penasehat
petugas reserse, mengontrol serta menjaga kesehatan tersangka pelaku kejahatan jangan
sampai tersangka bunuh diri dan tidak jujur mengenai kesehatannya.
Interogasi merupakan suatu proses pemeriksaan terhadap seseorang melalui
pertanyaan lisan yang bersistem. (Kamus Besar Bahasa Indonesia)
Dalam hal ini interogasi dilakukan terhadap tersangka terorisme. Saat dilakukan
interogasi, hal terpenting yang ditanyakan pertama kali adalah apakah tersangka pelaku
kejahatan itu dalam keadaan sehat atau tidak sehat secara jasmani. Jika tersangka tersebut
dalam keadaan tidak sehat, maka harus dilakukan perawatan medis hingga keadaannya pulih
dan dilanjutkan kembali proses interogasi. Hal-hal yang ditanyakan adalah: identitas lengkap
tersangka (alamat, pekerjaan, status pernikahan), alasan dia membuat bahan peledakan (bom)
tersebut, apakah dia melakukan tindakan criminal tersebut seorang diri atau berkelompok.
Jika kejahatan tersebut dilakukan seorang diri, petugas mencari informasi dari keterangan
saksi dari anggota keluarga atau masyarakat sekitar tempat tinggal tersangka terhadap
perilakunya selama ini. Sedangkan, jika teroris ini berkelompok maka perlu dikumpulkan
anggota kelompok yang lain untuk mencari informasi keterlibatan terhadap pemboman di
pasar itu. Pelaku kejahatan teroris tersebut diambil sidik jari, foto untuk kepentingan data
kepolisian apabila orang tersebut melakukan tindakan criminal di daerah lain.
PBL 3 BLOK 30 Page 10
Proses Interogasi merupakan bagian dari penyidikan atau pemeriksaan pendahuluan.
Interogasi merupakan suatu teknik yang digunakan oleh pemeriksa atau penyidik untuk
mendapatkan keterangan dari saksi atau tersangka yang berkenaan dengan suatu perkara
tindak pidana guna untuk perngembangan penyidikan sehingga suatu tindak pidana dapat
terungkap. (R.Soesilo, 1974: 52)
Teknik interogasi adalah teknik atau bagaimana cara menghadapi saksi-saksi yang
berbohong, membangkang dan sebagainya, sehingga diperlukan suatu teknik pemeriksaan
agar seorang pemeriksa akan memiliki suatu keyakinan bahwa pengakuan yang didapat dari
saksi atau tersangka yang diperiksa dapat menyingkapkan kebenaran. (G.W. Bawengan,
1974:11)
4. Hak dan Kewajiban Tersangka
Dalam penelitian ini, istilah tersangka berdasarkan Pasal 1 angka 14 Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, yaitu:
“Tersangka adalah seseorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan
bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana.”
Sedangkan istilah terdakwa berdasarkan Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, yaitu:
“Terdakwa adalah seorang tersangka yang dituntut, diperiksa dan diadili di sidang
pengadilan.”
KUHAP menempatkan tersangka dalam posisi sebagai individu seutuhnya dan
bermartabat yang harus diperlakukan sesuai dengan nilai luhur kemanusiaan. Dalam
pelaksanaan penegakan hukum, HAM yang melekat pada diri manusia tidak boleh dikurangi
hak-hak tersebut adalah sebagai berikut:
a) Persamaan hak dan kedudukan serta kewajiban dihadapan hukum
b) Praduga tak bersalah
c) Hak mempersiapkan pembelaan secara dini
d) Penangkapan atau penahanan harus didasarkan bukti permulaan yang cukup.
Berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia pada bagian keempat menyangkut tentang Hak seorang Tersangka
memperoleh Keadilan.
PBL 3 BLOK 30 Page 11
Pasal 17
Setiap orang, tanpa diskiriminasi, berhak untuk memperoleh keadilan dengan mengajukan
permohonan, pengaduan, dan gugatan, baik dalam perkara pidana, perdata, maupun
administrasi serta diadili melalui proses peradilan yang bebas dan tidak memihak, sesuai
dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan yang objektif oleh hakim yang jujur dan
adil untuk memperoleh putusan yang adil dan benar.
Pasal 18
(1) Setiap orang yang ditangkap, ditahan, dan dituntut karena disangka melakukan sesuatu
tindak pidana berhak dianggap tidak bersalah, sampai dibuktikan kesalahannya secara
sah dalam suatu sidang pengadilan dan diberikan segala jaminan hukum yang diperlukan
untuk pembelaannya, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Setiap orang tidak boleh dituntut untuk dihukum atau dijatuhi pidana, kecuali
berdasarkan suatu peraturan perundang-undangan yang sudah ada sebelum tindak pidana
itu dilakukannya.
(3) Setiap ada perubahan dalam peraturan perundang-undangan, maka berlaku ketentuan
yang paling menguntungkan bagi tersangka.
(4) Setiap orang yang diperiksa berhak mendapatkan bantuan hukum sejak saat penyidikan
sampai adanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
(5) Setiap orang tidak dapat dituntut untuk kedua kalinya dalam perkara yang sama atas
suatu perbuatan yang telah memperoleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum
tetap.
Pasal 19
(1) Tiada suatu pelanggaran atau kejahatan apapun diancam dengan hukuman berupa
perampasan seluruh harta kekayaan milik yang bersalah.
(2) Tidak seorangpun atas putusan pengadilan boleh dipidana penjara atau kurungan
berdasarkan atas alasan ketidakmampuan untuk memenuhi suatu kewajiban dalam
perjanjian utang-iutang.
5. KETERLIBATAN DOKTER & TENAGA KERJA LAIN3
Peran Dokter Polisi
Kedokteran Kepolisian atau lebih dikenal sebagai 'DOKPOL' adalah penerapan ilmu
pengetahuan dan teknologi kedokteran untuk kepentingan tugas kepolisian. Adapun dasar
PBL 3 BLOK 30 Page 12
hukum bahwa DOKPOL berperan dalam tugas kepolisan adalah tercantum dalam Bab III
Pasal 14 ayat 1 butir (h) UU No. 2 Tahun 2001 tentang Kepolisian Negara Republik
Indonesia yang berbunyi "menyelenggarakan identifikasi kepolisian, kedokteran kepolisian,
laboratorium forensik dan psikologi kepolisian untuk kepentingan tugas kepolisian". Hal ini
berarti bahwa DOKPOL merupakan salah satu pengemban tugas atau fungsi teknis kepolisian
harus dapat berperan dalam penyelenggaraan tugas-tugas pokok kepolisian sebagaimana yang
diamanatkan dalam UU No.2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia
tersebut.4,5
UU Republik Indonesia No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia:
Pasal 2
Fungsi Kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara dibidang pemeliharaan
keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hokum, perlindungan, pengayoman, dan
pelayanan terhadap masyarakat.
Seringkali tenaga medis bekerja sama dengan penguasa politik dalam tindakan yang
immoral, yang berupa penyiksaan terhadap orang-orang yang menentang penguasa. Para
dokter sedunia sudah merumuskan sikap mereka dengan “pernyataan Tokyo” di tahun 1975.
Isi pernyataan tersebut adalah sebagai berikut (terjemahan bahasa Indonesia ini diambil dari
Ensiklopedi Etika Medis, Cipta Loka Caraka, Jakarta 1979, hlm. 252-253):
“ adalah hak mulia dokter untuk mempraktikan ilmu kedokteran demi mengabdi untuk
manusia, demi mempertahankan dan memulihkan kesehatan jasmani maupun mental tanpa
membedakan orang, demi mengurangi dan meringankan penderitaan pasiennya. Hormat
setinggi-tingginya kepada hidup manusia harus tetap dijunjung tinggi, bahkan dibawah
ancaman sekalipun. Dan pengetahuan medis apapun tidak boleh secara bertentangan dengan
hukum-hukum perikemanusiaan”.
Demi maksud pernyataan tersebut, maka “penyiksaan” dibatasi pada penggunaan penderitaan
fisik atau mental secara sengaja, sistematis atau sewenang-wenang oleh satu orang atau lebih
yang bertindak sendiri atau atas perintah suatu autoritas, untuk memaksa seseorang
memberikan informasi, membuat pengakuan atau alasan apa pun yang lain.
Pernyataan:
1. Dokter tidak akan menyetujui, membiarkan atau mengambil bagian dalam tindakan
penyiksaan atau bentuk-bentuk lain prosedur yang kejam, tidak berperikemanusiaan
PBL 3 BLOK 30 Page 13
dan merendahkan martabat manusia, apa pun juga pelanggaran yang disangkakan,
dituduhkan atau dipersalahkan pada korban, dan apapun kepercayaan atau motif si
korban itu. Hal ini berlaku dalam segala situasi, termasuk bentrokan senjata dan
perang saudara.
2. Dokter tidak akan memberikan instalasi, alat, bahan dan pengetahuan untuk
mempermudah tindakan penganiyayaan atau bentuk lain perlakuan yang kejam, tak
beperikemanusiaan atau merendahkan martabat atau membantu/ mengurangi
kemampuan korban untuk menentang perlakuan semacam itu.
3. Dokter tidak akan hadir dalam prosedur apapun, bila penganiayaan atau bentuk lain
perlakuan kejam dan tak beperikemanusiaan serta merendahkan martabat itu
digunakan atau dicamkan terhadap korban.
4. Seorang dokter harus mempunyai kebebasan klinis yang penuh dalam memutuskan
tentang pengobatan terhadap seseorang yang menjadi tanggungjawabnya secara
medis. Peran pokok dokter ialah meringankan penderitaan sesama manusia, dan tiada
motif baik pribadi maupun kolektif atau politis apaun yang boleh mengalahkan tujuan
yang lebih luhur ini.
5. Kalau seorang tahanan mogok makan, dan oleh dokter dianggap mampu menyusun
pendapatnya dengan tenang dan wajar mengenai akibat-akibat penolakan makanan
secara sukarela itu, maka tahanan itu tidak akan diberi makanan buatan. Keputusan
mengenai kemampuan tahanan untuk merangkai pendapat hendaklah dikuatkan
sekurang-kurangnya oleh satu dokter lain yang bebas. Akibat-akibat yang akan terjadi
karena menolak makanan itu akan dijelaskan oleh dokter kepada tahanan itu.
6. World Medical Association akan membantu dan seharusnya mendorong komunitas
internasional, ikatan-ikatan medis internasional dan teman-teman dokter untuk
membantu dokter dan keluarganya dalam menghadapi ancaman atau tekanan akibat
pendaulatannya membiarkan penggunaan penyiksaan atau bentuk perlakuan lain yang
kejam, tak berperikemanusiaan dan merendahkan martabat.
Etos tenaga medis diuji secara terang-terangan dalam keadaan terancam penguasa
sering kali membutuhkan pengetahuan dan keahlian tenaga medis, untuk memaksa para
tersangka mengakui perbuatan mereka, dengan perlakuan yang kejam, menentang
perikemanusiaan. Bila tenaga medis mudah menyerah pada ancaman serupa itu, etos mereka
akan melemah, dan kepercayan umum terhadap tenaga medispun akan menurun karenanya.
Hormat terhadap manusia paling terlihat terhadap tenaga medis menghadapi para tahanan
PBL 3 BLOK 30 Page 14
yang sudah berbuat kejahatan. Bila tenaga medis berhasil menghormati martabat
kemanusiaan pada umumnya.
Walaupun masyarakat umum dapat dirugikan kalau para tahanan tidak mengakui
kesalahan mereka sehingga seringkali dihukum tidak semestinya, tenaga medis tidak boleh
bekerja sama dengan penguasa untuk memaksa mereka itu mengakui kejahatan mereka.
Bahkan tenaga medis wajib menyimpan rahasia yang barang kali secara tidak langsung
mereka dengar dari tahanan itu selama memeriksa kesehatan mereka atau mengobati penyakit
mereka. Maka, bila penguasa atau petugas hukum merasa harus sedikit memaksakan
pengakuan semacam itu dari para tahanan, tidak boleh mereka menggunakan tenaga medis.
Mereka sendiri yang harus menjalankannya, dan bertanggungjawab sendiri atas tindakan
mereka yang kurang menghargai martabat manusia itu. Dengan begitu, kepercayaan umum
pada tenaga medis tetap dipelihara dengan baik.
Daftar Pustaka
1. Undang-Undang HAM Cetakan 1. Visimedia, Jakarta. 2007
2. Sampurna Budi, et all. Etika klinik. Dalam : Bioetik dan hukum kedokteran. Jakarta:
Pustaka Dwipar; 2007 .h.30-2.
3. Purwa Hadiwardoyo. Etika Medis. Kanisius, Jogjakarta. 1989
4. Dokter Polisi. Diunduh dari www.biddokpol.dokkes.polri.go.id. 10 Januari 2012.
5. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian
Negara Republik Indonesia dan Penjelasannya- cetakan 1. Visimedia, Jakarta. 2007.
6. Hanafiah jusuf, Amir amri. Etika kedokteran dan hokum kesehatan. Ed IV. Jakarta:
EGC, 2008.
7. Undang-Undang & Peraturan Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Visimedia, Jakarta. 2007
8. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian
Negara Republik Indonesia dan Penjelasannya- cetakan 1. Visimedia, Jakarta. 2007
9. Budi Sampurna, et all. Etika klinik. Pustaka Dwipar, Jakarta. 2007
PBL 3 BLOK 30 Page 15