PBL 3 DMS

39
BAB II PEMBAHASAN 1. Identifikasi masalah a. Anak laki-laki b. Umur : 13 tahun c. KU : gatal d. Onset : 3 bulan yang lalu 2. Hipotesa penyakit a. Scabies Pada kasus anak laki-laki merasa gatal di sela- sela jari tangan dan kaki, ketiak, perut, dan seputar kelamin. Biasanya scabies terjadi pada tempat dengan stratum korneum yang tipis, yaitu sela-sela jari tangan, pergelangan tangan bagian volar, siku bagian luar, lipat ketiak bagian depan, areola mammae (wanita), umbilicus, bokong, genitalia eksterna (pria), dan perut bagian bawah. (Djuanda, 2009). b. Gigitan serangga Biasanya jelas timbul sesudah ada gigitan, efloresensinya urtikaria papuler. Juga terdapat pustul miliar dikelilingi daerah yang eritema (Maxine, 2007). Efloresensinya sama seperti scabies, yaitu berupa eritema morbiliformis atau bula yang dikelilingi eritema dan iskemia, kemudian terjadi nekrosis

description

pbl dms 2010

Transcript of PBL 3 DMS

Page 1: PBL 3 DMS

BAB II

PEMBAHASAN

1. Identifikasi masalah

a. Anak laki-laki

b. Umur : 13 tahun

c. KU : gatal

d. Onset : 3 bulan yang lalu

2. Hipotesa penyakit

a. Scabies

Pada kasus anak laki-laki merasa gatal di sela-sela jari tangan dan kaki,

ketiak, perut, dan seputar kelamin. Biasanya scabies terjadi pada tempat

dengan stratum korneum yang tipis, yaitu sela-sela jari tangan,

pergelangan tangan bagian volar, siku bagian luar, lipat ketiak bagian

depan, areola mammae (wanita), umbilicus, bokong, genitalia eksterna

(pria), dan perut bagian bawah. (Djuanda, 2009).

b. Gigitan serangga

Biasanya jelas timbul sesudah ada gigitan, efloresensinya urtikaria

papuler. Juga terdapat pustul miliar dikelilingi daerah yang eritema

(Maxine, 2007).

Efloresensinya sama seperti scabies, yaitu berupa eritema morbiliformis

atau bula yang dikelilingi eritema dan iskemia, kemudian terjadi nekrosis

luas dan gangrene. Kadang-kadang berupa pustule miliar sampai

lentikular menyeluruh atau pada sebagian tubuh (Siregar, 2004).

c. Pediculosis corporis

Infeksi yang disebabkan oleh Pediculus humanus var. corporis. Penyakit

ini biasanya menyerang orang dewasa terutama pada orang dengan

higiene buruk. Kutu tidak melekat pada kulit, tetapi pada serat kapas di

sela-sela lipatan pakaian dan hanya transien ke kulit untuk menghisap

darah. Penyebaran penyakit ini bersifat kosmopolit, lebih sering pada

daerah beriklim dingin karena orang memakai baju yang tebal serta

jarang dicuci (Djuanda, 2009).

Page 2: PBL 3 DMS

Kelainan kulit yang timbul disebabkan oleh garukan untuk

menghilangkan rasa gatal. Rasa gatal ini disebabkan oleh pengaruh liur

dan ekskreta dari kutu pada waktu menghisap darah. Umumnya hanya

ditemukan kelainan berupa bekas-bekas garukan pada badan, karena

gatal baru berkurang dengan garukan yang lebih intensif. Kadang-kadang

timbul infeksi sekunder dengan pembesaran kelenjar getah bening

regional. Untuk mendiagnosis, perlu penemuan kutu dan telur pada serat

kapas pakaian (Djuanda, 2009).

Efloresensinya terlihat popular-popular miliar disertai bekas garukan

yang menyeluruh (Siregar, 2004).

d. Ptirus pubis

Kutu-kutu pubis ini tidak berpindah-pindah namun menetap, pada

penelitian selanjutnya diketahui bahwa pada saat penderita tidur, kutu

pubis menjadi sangat aktif. Hal ini diinterpreasikan saat malam hari

karena penderita tidur pada malam hari. Pria yang memiliki banyak

daerah berambut tebal seperti aksila, jenggot, pubis, dan bulu mata

menjadi habitat utama kutu pubis (Graham, 2005).

Tempat predileksi bisa meluas hingga abdomen serta dada. Hal ini

diinterpretasikan bahwa sesuai dengan keluhan penderita yang gatal di

sekitar aksila, kemaluan, serta abdomen (Handoko, 2009).

UKK: bercak abu-abu atau kebiruan yg disebut makula serulae di daerah

yang gatal, gejala infeksi sekunder pembesaran kelenjar getah bening

regional (Handoko, 2009).

e. Kaligata/ urtikaria

Suatu erupsi pada kulit berupa hiperpigmentasi yang berlangsung

sementara, kadang-kadang disertai pembengkakan dan rasa gatal.

Kebanyakan pada anak-anak. Efloresensi terlihat makula coklat-

kemerahan atau papula-papula kehitaman tersebar pada seluruh tubuh,

dapat juga berupa nodula-nodula atau bahkan vesikel (Siregar, 2004).

f. Creeping eruption

Larva cacing yang masuk ke dalam kulit biasanya disetrai gatal dan

panas. Pada awal masuknya larva akan timbul papul yang diikuti bentuk

Page 3: PBL 3 DMS

khas berupa lesi berbentuk linier atau berkelok-kelok, menimbul dengan

diameter 2-3 mm, dan berwarna kemerahan. Perkembangan selanjutnya

papul merah ini menjalar seperti benang berkelok-kelok, polisiklik,

serpiginosa, menimbul, dan membentuk terowongan, mencapai panjang

beberapa cm. Rasa gatal biasanya lebih hebat pada malam hari (Djuanda,

2009).

3. Kejelasan hipotesa penyakit

a. Scabies

Pasien dengan skabies mempunyai gejala yang sangat khas. Ini berbeda

dengan penyakit kulit yang lain. Gejala tersebut antara lain:

1. Pruritus nokturna, artinya gatal pada malam hari yang disebabkan

karena aktivitas tungau ini lebih tinggi pada suhu yang lebih lembab

dan panas.

2. Penyakit ini menyerang manusia secara berkelompok, misalnya

dalam sebuah keluarga biasanya seluruh anggota keluarga terkena

infeksi. Begitu pula dalam sebuah perkampungan yang padat

penduduknya, sebagian besar tetangga yang berdekatan akan

diserang oleh tungau tersebut. Dikenal keadaan hiposensitisasi, yang

seluruh anggota keluarganya terkena, walaupun mengalami infestasi

tungau, tetapi tidak memberikan gejala. Penderita ini bersifat sebagai

pembawa (carrier).

3. Adanya terowongan (kunikulus) pada tempat-tempat predileksi yang

berwarna putih atau keabu-abuan, berbentuk garis lurus atau

berkelok, rata-rata panjang 1 cm, pada ujung terowongan ini

ditemukan papul atau vesikel. Jika timbul infeksi sekunder ruam

kulitnya menjadi polimarf (pustule, ekskoriasi dan lain-lain). Tempat

predileksinya biasanya merupakan tempat dengan stratum korneum

yang tipis, yaitu sela-sela jari tangan, pergelangan tangan bagian

volar, siku bagian luar, lipat ketiak bagian depan, areola mammae

(wanita), umbilicus, bokong, genitalia eksterna (pria) dan perut

bagian bawah. Pada bayi dapat menyerang telapak tangan dan

telapak kaki.

Page 4: PBL 3 DMS

4. Menemukan tungau, merupakan hal yang paling diagnostik. Dapat

ditemukan satu atau lebih stadium hidup tungau ini (Djuanda, 2009).

Sarcoptes skabiei membuat lorong-lorong di dalam kulit, kemudian

mengeluarkan telur di dalam lorong tersebut. Telur menetas menjadi larva

yang tetap tinggal di dalam lorong-lorong kulit atau migrasi ke

permukaan kulit, kemuian tubuh menjadi tungau dewasa dalam waktu

sekitar 17 hari setelah telur dikeluarkan (Soeharsono, 2002).

b. Pediculosis corporis

Efloresensinya terlihat popular-popular miliar disertai bekas garukan yang

menyeluruh (Siregar, 2004).

c. Ptirus pubis

UKK: bercak abu-abu atau kebiruan yg disebut makula serulae di daerah

yang gatal, gejala infeksi sekunder pembesaran kelenjar getah bening

regional (Handoko, 2009).

d. Kaligata/ urtikaria

Urtikaria Papular ( Prurigo Simpleks )

Definisi : suatu prurigo yang sering kali terjadi pada bayi. Kelainan khas

nya yaitu papul – papul berwarna kemerahan.

Predileksi : pada bagian ekstensor lengan dan tungkai

Efloresensi : urtikaria berbentuk papula berwarna kemerahan, tersebar

diskrit dan tidak teratur.

Gambaran histopatologi : pada epidermis terlihat sedikit akantosis,

parakeratosis dan terdapat vesikel yang ditimbulkan edema interselular.

Pada dermis terdapat sebukan sel – sel radang kronik (Siregar, 2004).

urtikaria dermogravisme

Urtikaria dapat dibedakan menjadi urtikaria akut, kronis dan fisik.

Penyebab terjadinya urtikaria fisik disebabkan oleh 3 hal, yaitu

1. Urtikaria demorgravisme

2. Merupakan urtikaria yang disebabkan oelh adanya garukan atau

adanya penekanan

3. Penekanan

Page 5: PBL 3 DMS

4. Bilur-bilur disini timbul setelah 24 jam pasca penekanan

5. Urtikaria kolinergik

6. Urtikaria disini terjadi pada laki-laki muda dengan kulit yang

berkeringat disertai adanya bilur-bilur kecil putih dan lingkaran kecil

berwarna merah (Graham, 2005)

e. Creeping eruption

Etiologi :

Penyakit ini disebabkan oleh larva cacing tambang seperti Anclyostoma

braziliense dan Anclyostoma caninum (Djuanda, 2009).

Gejala klinis :

Larva yang masuk kedalam kulit biasanya disetrai gatal dan panas. Pada

awal masuknya larva akan timbul papul yang diikuti bentuk khas berupa

lesi berbentuk linier atau berkelok-kelok, menimbul dengan diameter 2-3

mm, dan berwarna kemerahan. Perkembangan selanjutnya papul merah

ini menjalar seperti benang berkelok-kelok, polisiklik, serpiginosa,

menimbul, dan membentuk terowongan, mencapai panjang beberapa cm.

rasa gatal biasanya lebih hebat pada malam hari (Djuanda, 2009).

Predileksi:

a. Tungkai

b. Plantar

c. Tangan

d. Anus

e. Bokong

f. Paha

g. Bagian-bagian yang sering berkontak dengan tempat larva.

Epidemiologi Creeping eruption

Terdapat di daerah tropik dan subtropik, terutama daerah panas dan

lembap. Penyebarannya kosmopolit di daerah tempat anjing dan kucing

hidup bebas berkeliaran. Creeping eruption sering terjadi pada anak-anak

terutama yang sering berjalan tanpa alas kaki atau berhubungan dengan

tanah atau pasir. Demikian pula para petani atau tentara sering mengalami

hal yang sama. Nematoda hidup pada hospes, ovum terdapat pada kotoran

Page 6: PBL 3 DMS

binatang dan karena kelembaban berubah menjadi larva yang mampu

mengadakan penetrasi ke kulit (Natadisastra, 2009).

Perbedaan Scabies dan Creeping eruption

Scabies Creeping eruption Etiologi Sarcoptes scabiei Anchylostoma caninum

dan Anchylostoma brazilience

Predileksi Daerah lipatan tubuh EkstremitasBentuk kanalikuli Tidak terlihat jelas Terlihat jelasSumber: (Djuanda, 2009)

Berdasarkan informasi 1 dan informasi 2 yang didapat dapat dipastikan bahwa anak laki-laki tersebut menderita scabies. Hal ini dibuktikan bahwa gatal terutama dirasa pada malam hari, tempat predileksi dirasakan di sela-sela jari tangan dan kaki, ketiak, perut, dan seputar kelamin yang merupakan daerah lapisan kulit yang tipis dan mudah lembab, serta ditemukannya penderita lain di dalam satu wilayah yang sama

4. Sasaran belajar

1. Bagaimana pengaruh hormonal untuk wanita terutama untuk mencetuskan

prurigo?

2. Definisi scabies

3. epidemiologi

4. Etiologi scabies

5. Klasifikasi scabies

6. Cara penularan scabies

7. Morfologi dan daur hidup Sarcoptes scabiei

8. Faktor predisposisi

9. Patofisiologi scabies

10. Diagnosa klinis

11. Penegakan diagnosis

12. Penatalaksanaan scabies secara medika mentosa dan non medika mentosa

13. Komplikasi scabies

14. Prognosis scabies

Page 7: PBL 3 DMS

5. Pembahasan sasaran belajar

1. Bagaimana pengaruh hormonal untuk wanita terutama untuk

mencetuskan prurigo?

Prurigo lebih banyak diderita oleh wanita disini dikarenakan faktor

pencetusnya yang meliputi stress, pengguanaan obat kontrasepsi oral,

serta penurunan hormon esterogen saat menopause (Kroshinsky, 2009).

Hormon esterogen ini berfungsi sebagai pengatur kestabilan jadi ketika

wanita telah memasuki umur pertengahan hingga lanjut sangat rentan

untuk terjadi prurigo (Liu, 2007).

2. Definisi scabies

a. Penyakit kulit akibat infestasi dan sensitisasi tungau Sarcoptes scabiei

jenis manusia dan produknya dalam tubuh (Siregar, 2004).

b. Penyakit kulit yang disebabkan oleh infestasi dan sensitisasi terhadap

Sarcoptes scabiei var. hominis dan produknya (Djuanda, 2009).

c. Kasus infestasi yang serng ditemukan dan diakibatkan oleh sejenis

tungau Sarcoptes scabiei dan ditularkan oleh kontak jarak dekat antara

manusia dengan manusia. Periode inkubasi bervariasi antara 3 hari

sampai 3 minggu (Price, 2006).

3. Epidemiologi

Skabies ditemukan di semua negara dengan prevalensi yang

bervariasi. Daerah endemik skabies adalah di daerah tropis dan subtropis

seperti Afrika, Mesir, Amerika Tengah, Amerika Selatan, Amerika Utara,

Australia, Kepulauan Karibia, India, dan Asia Tenggara (Walton, 2007).

Diperkirakan bahwa terdapat lebih dari 300 juta orang di seluruh

dunia terjangkit tungau skabies. Studi epidemiologi memperlihatkan

bahwa prevalensi skabies cenderung tinggi pada anak-anak serta remaja

dan tidak dipengaruhi oleh jenis kelamin, ras, umur, ataupun kondisi

sosial ekonomi. Faktor primer yang berkontribusi adalah kemiskinan dan

kondisi hidup di daerah yang padat, sehingga penyakit ini lebih sering di

daerah perkotaan (Freddberg, 2008).

Terdapat bukti menunjukkan insiden kejadian berpengaruh terhadap

musim dimana kasus skabies lebih banyak didiagnosis pada musim

Page 8: PBL 3 DMS

dingin dibanding musim panas. Insiden skabies semakin meningkat sejak

dua dekade ini dan telah memberikan pengaruh besar terhadap wabah di

rumah-rumah sakit, penjara, panti asuhan, dan panti jompo (Freddberg,

2008).

Ada dugaan bahwa setiap siklus 30 tahun terjadi epidemi skabies.

Banyak faktor yang menunjang perkembangan penyakit ini, antara lain:

higiene yang buruk, kesalahan diagnosis, dan perkembangan dermografik

serta ekologi (Djuanda, 2009).

4. Etiologi scabies

Sarcoptes scabiei jenis manusia

Tergolong family arthropoda kelas arachnida, ordo akarina, famili

sarcoptes (Siregar, 2004).

5. Klasifikasi scabies

Adapun bentuk-bentuk khusus skabies yang sering terjadi pada manusia

adalah sebagai berikut:

1. Skabies pada orang bersih yang merupakan skabies pada orang

dengan tingkat kebersihannya cukup, bisa salah didiagnosis karena

kutu biasanya hilang akibat mandi secara teratur.

2. Skabies neonatorum pada bayi dan anak lesi skabies yang mengenai

seluruh tubuh, termasuk seluruh kepala, leher, telapak tangan, telapak

kaki, dan sering terjadi infeksi sekunder berupa impetigo, ektima

sehingga terowongan jarang ditemukan. Pada bayi, lesi terdapat di

muka.

3. Skabies yang ditularkan oleh hewan dapat menyerang manusia yang

pekerjaannya berhubungan erat dengan hewan tersebut. Misalnya

peternak dan gembala. Gejalanya ringan, rasa gatal kurang, tidak timbul

terowongan, lesi terutama terdapat pada tempat-tempat kontak, dan akan

sembuh sendiri bila menjauhi hewan tersebut dan mandi bersih-bersih

4. Skabies nodular terjadi akibat reaksi hipersensitivitas. Tempat yang

sering dikenai adalah genitalia pria, lipatan paha, dan aksila. Lesi ini

Page 9: PBL 3 DMS

dapat menetap beberapa minggu hingga beberapa bulan, bahkan hingga

satu tahun walaupun telah mendapat pengobatan anti scabies.

5. Skabies inkognito, obat steroid topikal atau sistemik dapat menyamarkan

gejala dan tanda scabies, sementara infestasi tetap ada. Sebaliknya,

pengobatan dengan steroid topikal yang lama dapat pula menyebabkan

lesi bertambah hebat. Hal ini mungkin disebabkan oleh karena penurunan

respons imun selular.

6. Skabies terbaring di tempat tidur merupakan penderita penyakit kronis

dan orang tua yang terpaksa harus tinggal di tempat tidur dapat menderita

skabies yang lesinya terbatas.

7. Skabies krustosa (Norwegian Scabies), lesinya berupa gambaran

eritodermi, yang disertai skuama generalisata, eritema, dan distrofi kuku.

Krusta terdapat banyak sekali, dimana krusta ini melindungi Sarcoptes

scabiei di bawahnya. Bentuk ini mudah menular karena populasi

Sarcoptes scabiei sangat tinggi dan gatal tidak menonjol. Bentuk ini

sering salah didiagnosis, malahan kadang diagnosisnya baru dapat

ditegakkan setelah penderita menularkan penyakitnya ke orang banyak.

Sering terdapat pada orang tua dan orang yang menderita retardasi mental

(Down’s syndrome), sensasi kulit yang rendah (lepra, syringomelia dan

tabes dorsalis), penderita penyakit sistemik yang berat (leukemia dan

diabetes), dan penderita imunosupresif.

8. Skabies nosokomial timbul akibat tertular pasien lain yang dirawat di RS.

9. Skabies impetiginisata disebabkan oleh karena infeksi sekunder dengan

ditandai dengan adanya pustule, erosi, ekskoriasi, krusta.

6. Cara penularan scabies

Cara penularan (transmisi) skabies dapat terjadi melalui kontak

langsung (kontak kulit dengan kulit), misalnya berjabat tangan, tidur

bersama dan hubungan seksual. Transmisi dapat juga melalui kontak

tidak langsung (melalui benda), misalnya pakaian, handuk, sprei, bantal

(Djuanda, 2007).

Page 10: PBL 3 DMS

Tungau tidak dapat terbang atau loncat, tetapi dapat merayap dengan

kecepatan 2,5 cm per menit. Tungau dapat bertahan selama 24 – 36 jam

pada suhu ruangan dan rata – rata kelembapan dan mampu menginfestasi

dan membuat terowongan pada epidermis. Semakin banyak parasit pada

seseorang, maka semakin mudah transmisi tungau terjadi, baik secara

langsung (kulit ke kulit) ataupun tidak langsung (melalui tempat tidur,

pakaian) (Chosidow, 2006).

Penularannya biasanya oleh Sarcoptes scabiei betina yang sudah

dibuahi atau kadang-kadang oleh bentuk larva. Dikenal pula Sarcoptes

scabiei var. animalis yang kadang-kadang dapat menulari manusia,

terutama pada mereka yang banyak memelihara binatang peliharaan

misalnya anjing (Djuanda, 2007).

7. Morfologi dan daur hidup Sarcoptes scabiei

Sarcoptes scabiei betina

Sarcoptes scabiei jantan

Page 11: PBL 3 DMS

Tungau betina membuat liang di epidermis dan meletakkan telurnya di

dalam liang yang ditinggalkannya. Mulanya hospes tidak menyadari

adanya aktivitas penggalian terowongan dalam epidermis, tetapi setelah 4-

6 minggu terjadi reaksi hipersensitivitas terhadap tungau atau bahan-bahan

yang dikeluarkannya dan mulailah timbul rasa gatal. Pruritus disebabkan

oleh reaksi tubuh terhadap tinja atau ekskresi sisa metabolisme tungau.

Adanya periode asimptomatis ini bermanfaat sehingga mereka mempunyai

waktu untuk membangun dirinya sebelum hospes membuat respon

imunitas. Setelahnya, hidup mereka akan bahaya karena terowongannya

digaruk dan tungau serta telurnya hancur (Graham, 2005).

Scabei emiliki siklus hidup setelah kopulasi, si jantan mati kemudian

betina menetaskan telurnya di dalam perut dan mengeluarkannya di hospes

dalam bentuk nimfa. jadi kemungkinan terbesar pada pemeriksaan

penunjang yaitu gosokan vesikel di ujung kanalikuli akan ditemukan

scabiei dalam bentuk nimfa dengan tidak menutup kemungkinan dalam

bentuk dewasa juga (Gandahusada, 2006).

8. Faktor predisposisi

Berdasarkan segitiga epidemiologi, terjadinya kejadian sakit

dipengaruhi manusia itu sendiri (host), agen penyebab penyakit (agent),

dan lingkungan (environment). Faktor host termasuk faktor intrinsik yang

sangat dipengaruhi oleh sifat genetik manusia. Terjangkitnya seseorang

oleh skabies dipengaruhi sistem imun orang tersebut. Semakin rendah

imunitas orang tersebut, maka semakin besar resiko orang tersebut

tertular skabies. Sedangkan faktor agent atau penyebab penyakit biasanya

berlokasi pada lingkungan tertentu. S. scabiei sebagai penyebab skabies

berhubungan dengan terjadinya skabies. Apabila agen penyebab penyakit

jumlahnya semakin banyak maka resiko terjadinya penyakit juga

semakin besar. Faktor lingkungan yang dibagi menjadi lingkungan fisik,

biologi, dan sosial dapat menyebabkan penyakit. Lingkungan dengan

Page 12: PBL 3 DMS

sanitasi buruk merupakan faktor resiko terjadinya scabies (Mukono,

2000).

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan para ahli, terdapat

berbagai macam faktor yang dapat mempengaruhi timbulnya penyakit

skabies, antara lain:

1. Tingkat pengetahuan

Pada penelitian yang dilakukan di Afyon, Turki mengenai

prevalensi skabies pada anak-anak yang belum sekolah, dinyatakan

bahwa tingkat pendidikan berpengaruh terhadap kejadian skabies.

Pada penelitian ini 1.134 anak yang berusia diantara empat sampai

enam tahun dievaluasi; 607 (53,5%) dari subjek merupakan laki-laki

dan 527 (46,5%) adalah perempuan. Infestasi skabies ditemukan di 14

(1,2%) dari 1.134 anak; sembilan (0,8%) anak menderita pediculosis

capitis dan lima (0,4%) anak menderita scabies.

Selain itu, tingkat pendidikan ibu juga berhubungan dengan

kejadian pediculosis dan skabies. Ibu dari anak yang terjangkit

penyakit tersebut sebagian besar dengan latar belakang SMP,

sedangkan ibu dengan latar belakang SMU atau S1 mempunyai

jumlah yang lebih sedikit. Penemuan ini didukung oleh beberapa

penelitian dengan metodologi yang serupa, yang dilakukan di Sekolah

Dasar, Turki.

2. Higiene perorangan

Higiene adalah ilmu yang berkenaan dengan masalah kesehatan

dan berbagai usaha untuk mempertahankan atau memperbaiki

kesehatan. Skabies hampir selalu ditularkan dari satu orang ke orang

yang lain melalui kontak yang dekat. Penularan dapat terjadi pada dan

dari siapa saja, misalnya anak-anak, teman, ataupun anggota keluarga

yang lain. Setiap orang rentan terkena skabies. Skabies adalah suatu

penyakit yang tidak hanya dapat terjadi pada keluarga dengan tingkat

ekonomi rendah, ataupun pada anak jalanan, meskipun demikian,

skabies lebih sering terjadi pada kondisi tempat tinggal yang padat

dengan higienitas yang buruk (Djuanda, 2009).

Page 13: PBL 3 DMS

Hubungan antara prevalensi skabies dengan higiene perorangan

merupakan sesuatu yang kompleks. Pada penelitian yang dilakukan di

Institut Pendidikan Islam, Dhaka, Bangladesh menyatakan bahwa

kejadian skabies dipengaruhi oleh higiene perorangan yang buruk,

yaitu 21% memakai handuk bersama, 8% melakukan pinjam

meminjam pakaian dalam, 30% tidur dalam 1 tempat tidur yang sama,

dan 81% menyimpan pakaian yang sudah digunakan di dalam rak.

Begitu juga dengan penelitian yang dilakukan di pondok pesantren

Kabupaten Lamongan. Sebagian besar santri (213 orang) mempunyai

higiene perorangan yang jelek dengan prevalensi penyakit skabies

73,70%. Sedangkan santri dengan higiene perorangan baik (121

orang) mempunyai prevalensi penyakit skabies 48,00%. Tampak

sekali peran higiene perorangan dalam penularan penyakit skabies.

3. Sanitasi lingkungan

Sanitasi lingkungan adalah pengawasan lingkungan fisik, biologis,

sosial, dan ekonomi yang mempengaruhi kesehatan manusia.

Pengawasan dilakukan dengan cara lingkungan yang berguna

ditingkatkan dan diperbanyak sedangkan yang merugikan diperbaiki

atau dihilangkan (Entjang, 2000).

Pentingnya lingkungan yang sehat ini telah dibuktikan WHO

dengan penelitiian di seluruh dunia dimana didapatkan hasil bahwa

angka kematian (mortality), angka perbandingan orang sakit

(morbidity) yang tinggi serta seringnya terjadi epidemic, terdapat di

tempat-tempat dimana higiene dan sanitasi lingkungannya buruk,

yaitu di tempat-tempat dimana terdapat benyak nyamuk, lalat,

pembuangan kotoran, dan sampah yang tak teratur, air rumah tangga

yang buruk, perumahan yang terlalu sesak dan keadaan sosio ekonomi

yang buruk. Ternyata pula bahwa di tempat-tempat dimana higiene

dan sanitasi lingkungan diperbaiki, mortality dan morbidity menurun,

dan wabah berkurang dengan sendirinya (Entjang, 2000).

Skabies didapat terutama di daerah kumuh dengan keadaan sanitasi

yang sangat jelek. Reservoir scabies adalah manusia; penularan terjadi

Page 14: PBL 3 DMS

secara langsung dari orang ke orang ataupun lewat peralatan seperti

pakaian. Hal ini dipermudah oleh keadaan penyediaan air bersih yang

kurang jumlahnya. Oleh karenanya skabies banyak didapat juga

sewaktu terjadi peperangan.

4. Kepadatan tempat tinggal (Overcrowding)

Tingkat kepadatan yang tinggi mempunyai efek dalam penyebaran

skabies. Penyebaran skabies dapat dilihat berdasarkan cara penularan

penyakit ini yaitu melalui kontak antara seseorang dengan orang yang

lain (Walton, 2007).

Pada komunitas aborigin, Australia, faktor status ekonomi yang

rendah, fasilitas kesehatan yang tidak adekuat, dan overcrowding,

turut menyumbang kepada tingginya endemik skabies. Baru - baru ini

adanya laporan yang mendokumentasikan bahwa adanya hubungan

yang

signifikan antara kepadatan yang tinggi (30 orang per rumah

tangga) dengan prevalensi skabies mencapai 50%.. penelitian yang

dilakukan di India juga menunjukkan tingkat endemik skabies yang

sama. Tingginya insidensi skabies pada kelompok individual

mengindikasikan bahwa transmisi penyakit diperantarai oleh

hubungan personal yang dekat, misalnya seperti tidur bersana.

Hubungan seksual memiliki arti yang penting dalam transmisi diantara

orang dewasa.

5. Status gizi

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan di negara dengan

pendapatan rendah, sub-Sahara Afrika, penyakit skabies teridentifikasi

positif pada orang yang mendapatkan upah kerja kurang dari 2 dollar

perharinya. Penyakit ini terutama muncul di daerah pedesaan dan pada

pemukiman dengan status ekonomi yang rendah.

Status ekonomi yang rendah dihubungkan dengan buruknya status

gizi. Status gizi yang buruk dapat menyebabkan tingkat imunitas

individu dan juga pada akhirnya dapat meningkatkan kejadian

penyakit dalam suatu komunitas. Status gizi sudah dilaporkan sebagai

Page 15: PBL 3 DMS

suatu faktor resiko yang signifikan dalam outbreak skabies di

pedesaan Indian, dan malnutrisi merupakan faktor predisposisi suatu

individu menderita crusted skabies (Walton, 2007).

6. Faktor usia

Kejadian skabies dapat muncul pada semua usia, tetapi lebih sering

muncul pada anak-anak. Penyakit ini merupakan permasalahan

kesehatan umum pada komunitas dengan tingkat ekonomi yang

rendah dan pada negara berkembang (Johnston, 2005).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Mumbai, prevalensi dari

penyakit skabies pada kelompok usia 8-14 tahun adalah 80%,

sedangkan pada usia 15-20 tahun 35%. Semakin muda usia seseorang

maka semakin besar kemungkinannya untuk terinfeksi scabies.

7. Faktor sosial ekonomi

Kebersihan diri memerlukan alat dan bahan seperti sabun, pasta gigi,

sikat gigi, sampo, alat mandi yang semuanya memerlukan uang untuk

menyediakannya. Yang menjadi penghambat saat pencegahan

penyakit skabies adalah keterlambatan atau kurangnya uang

kebutuhan yang dikirim orang tua untuk para santri selama di asrama

tiap bulannya. Dan banyak para santri yang saling tukar alat mandi

sampai kiriman tiba. Sebagian dari santri apabila belum mendapatkan

kiriman dari orang tuanya mereka mandi tanpa menggunakan sabun

atau sampo. Apabila saat mandi kurang bersih maka penyakit skabies

akan semakin mudah menyerang tubuh para santri

9. Patofisiologi

Page 16: PBL 3 DMS

Sumber : (Gandahusada, 2006); (Corwin, 2009).

Patomekanisme terjadinya demam

Page 17: PBL 3 DMS

Sumber : (Corwin, 2009)

Berdasarkan dari patofisiologi yang ada, skabies biasanya ditandai dengan

adanya gejala awal berupe demam yang disertai dengan adanya pruritus

nokturnal, selanjutnya timbulnya papul, vesikel atau bula yang nantinya

akan membentuk kanalikuli yang merupakan tanda khas pada skabies.

Pada lesi sekunder biasanya akan dijumpai adanya pustul yang bersifat

lentikular (Djuanda, 2009).

10. Diagnosa klinis

1. Pruritus nocturna, yakni gatal pada malam hari. Ini terjadi karena

aktivitas tungau lebih tinggi pada suhu yang lebih lembab dan panas,

dan pada saat hospes dalam keadaan tenang atau tidak beraktivitas.

2. Penyakit ini menyerang manusia secara kelompok. Misalnya dalam

sebuah keluarga, biasanya seluruh anggota keluarga dapat terkena

infeksi. Begitu pula dalam sebuah perkampungan yang padat

penduduknya, misalnya asrama, pesantren dan penjara.

3. Adanya lesi yang khas, berupa terowongan (kanalikuli) pada tempat-

tempat predileksi; berwarna putih atau keabu-abuan, berbentuk garis

lurus atau berkelok-kelok, rata-rata panjang 1cm. pada ujung

terowongan ditemukan papul dan vesikel. Tempat predileksinya

adalah kulit dengan stratum korneum yang tipis yaitu sela-sela jari

tangan, pergelangan tangan, siku bagian luar, lipatan ketiak bagian

depan, areola mammae (wanita), umbilicus, bokong, genetalia

eksterna (pria), dan perut bagian bawah. Pada bayi dapat mengenai

telapak tangan dan kaki.

4. Ditemukannya tungau merupakan penentu utama diagnosis.

Diagnosis penyakit skabies dapat dibuat jika ditemukan 2 dari 4

tanda kardinal di atas (Rahariyani, 2007).

11. Penegakkan diagnosis

1. Teknik winkle picker.

Page 18: PBL 3 DMS

Bila vesikel pada ujung terowongan dibuka dengan jarum, ujung

jarum dengan hati-hati digerakan berputar, sehingga tungau bisa

terangkat pada ujung jarum (Graham, 2005).

2. Uji KOH-kerokan kulit

Uji KOH kerokan kulit (diambil di bagian yang ada terowongan),

diletakkan di atas object glass dan ditetesi larutan KOH 10%

kemudian dipanasi sebentar, ditutup dengan cover glass dan dilihat

di mikropskop. Larutan KOH digunakan untuk melarutkan kerokan

kulit dan sisa-sisa jaringan sehingga yang terlihat adalah tungau

dewasa atau telurnya yang tidak larut KOH (Natadisastra, 2009).

3. Uji tinta-terowongan

Dapat dilihat jelas jika permukaan kulit ditetesi dengan tinta hitam

dan sedikit ditekan sehingga cairan tinta masuk ke dalam

terowongan. Sehingga terlihat liku-liku terowongan yang berwarna

kehitaman (Natadisastra, 2009).

4. Biopsi kulit

Cara menemukan tungau:

Biopsi irisan: Jepit lesi dengan dua jari, iris tipis dengan pisau,

letakkan di kaca objek lalu tutup dan amati dengan mikroskop

cahaya.

Biopsi eksisional: Pemeriksaan dengan pewarnaan hematoksilin

eosin (Djuanda, 2009).

Agar pemeriksaan laboratorium memberikan hasil yang baik, faktor-

faktor yang harus diperhatikan:

1. Papul yang baik untuk dikerok adalah papul yang baru dibentuk.

2. Pemeriksaan jangan dilakukan pada lesi ekskoriasi dan lesi

dengan infeksi sekunder.

3. Kerokan kulit harus superficial dan tidak boleh berdarah.

4. Jangan mengerok dari satu lesi tetapi dari beberapa lesi. Tungau

paling sering ditemukan pada sela jari tangan sehingga perhatian

terutama diberikan pada daerah itu.

Page 19: PBL 3 DMS

5. Sebelum mengerok, teteskan minyak mineral pada scalpel dan

lesi yang akan dkerok (Staf Pengajar Departemen Parasitologi,

2008).

12. Penatalaksanaan scabies secara medika mentosa dan non medika

mentosa

a. Medika mentosa

1. Benzyl benzoate

Benzil benzoate adalah ester asam benzoat dan alkohol benzil yang

bersifat neurotoksik pada tungau skabies. Digunakan sebagai 25%

emulsi dengan periode kontak 24 jam dan pada usia dewasa muda

atau anak-anak, dosis dapat dikurangi menjadi 12,5%. Benzil

benzoate sangat efektif bila digunakan dengan baik dan diduga dapat

membunuh tungau skabies dalam waktu 5 menit. Efek samping dari

benzil benzoate dapat menyebabkan dermatitis iritan pada wajah dan

skrotum, karena itu penderita harus diingatkan untuk tidak

menggunakan secara berlebihan. Penggunaan berulang dapat

menyebabkan dermatitis alergi. Terapi ini dikontraindikasikan pada

wanita hamil dan menyusui, bayi, dan anak-anak kurang dari 2 tahun.

Tapi benzil benzoate lebih efektif dalam pengelolaan resistant crusted

scabies. Di negara-negara berkembang dimana sumber daya yang

terbatas, benzil benzoate digunakan dalam pengelolaan skabies

sebagai alternatif yang lebih murah (Karthikeyan, 2005).

2. Gamma benzene heksaklorida (Lindane)

Lindane juga dikenal sebagai hexaklorida gamma benzena, adalah

sebuah insektisida yang bekerja pada sistem saraf pusat (SSP) tungau.

Lindane diserap masuk ke mukosa paru-paru, mukosa usus, dan

selaput lendir kemudian ke seluruh bagian tubuh tungau dengan

konsentrasi tinggi pada jaringan yang kaya lipid dan kulit yang

menyebabkan eksitasi, konvulsi, dan kematian tungau. Lindane

dimetabolisme dan diekskresikan melalui urin dan feses

(Karthikeyan, 2005)

Page 20: PBL 3 DMS

Lindane tersedia dalam bentuk krim, lotion, gel, tidak berbau dan

tidak berwarna. Pemakaian secara tunggal dengan mengoleskan ke

seluruh tubuh dari leher ke bawah selama 12-24 jam dalam bentuk

1% krim atau lotion. Setelah pemakaian dicuci bersih dan dapat

diaplikasikan lagi setelah 1 minggu. Hal ini untuk memusnahkan

larva-larva yang menetas dan tidak musnah oleh pengobatan

sebelumnya. Dianjurkan untuk tidak mengulangi pengobatan dalam 7

hari, serta tidak menggunakan konsentrasi lain selain 1% (Amiruddin,

2003).

Efek samping lindane antara lain menyebabkan toksisitas SSP,

kejang, dan bahkan kematian pada anak atau bayi walaupun jarang

terjadi. Tanda-tanda klinis toksisitas SSP setelah keracunan lindane

yaitu sakit kepala, mual, pusing, muntah, gelisah, tremor, disorientasi,

kelemahan, berkedut dari kelopak mata, kejang, kegagalan

pernapasan, koma, dan kematian. Beberapa bukti menunjukkan

lindane dapat mempengaruhi perjalanan fisiologis kelainan darah

seperti anemia aplastik, trombositopenia, dan pancytopenia (Hicks,

2009).

3. Permethrin

Merupakan sintesa dari pyrethroid dan bekerja dengan cara

mengganggu polarisasi dinding sel saraf parasit yaitu melalui ikatan

dengan natrium. Hal ini memperlambat repolarisasi dinding sel dan

akhirnya terjadi paralise parasit. Obat ini merupakan pilihan pertama

dalam pengobatan scabies karena efek toksisitasnya terhadap

mamalia sangat rendah dan kecenderungan keracunan akibat

kesalahan dalam penggunaannya sangat kecil. Hal ini disebabkan

karena hanya sedikit yang terabsorpsi di kulit dan cepat

dimetabolisme yang kemudian dikeluarkan kembali melalui keringat

dan sebum, dan juga melalui urin. Belum pernah dilaporkan

resistensi setelah penggunaan obat ini.

Page 21: PBL 3 DMS

Permethrin tersedia dalam bentuk krim 5%, yang diaplikasikan

selama 8-12 jam dan setelah itu dicuci bersih. Apabila belum

sembuh bisa dilanjutkan dengan pemberian kedua setelah 1 minggu.

Permethrin jarang diberikan pada bayi-bayi yang berumur kurang

dari 2 bulan, wanita hamil dan ibu menyusui.Wanita hamil dapat

diberikan dengan aplikasi yang tidak lama sekitar 2 jam. Efek

samping jarang ditemukan, berupa rasa terbakar, perih dan gatal,

namun mungkin hal tersebut dikarenakan kulit yang sebelumnya

memang sensitive dan terekskoriasi (Maxine, 2007).

4. Crotamiton krim (Crotonyl-N-Ethyl-O-Toluidine)

Crotamion (crotonyl-N-etil-o-toluidin) digunakan sebagai krim 10%

atau lotion. Tingkat keberhasilan bervariasi antara 50% dan 70%.

Hasil terbaik telah diperoleh bila diaplikasikan dua kali sehari

selama lima hari berturut-turut setelah mandi dan mengganti pakaian

dari leher ke bawah selama 2 malam kemudian dicuci setelah

aplikasi kedua. Efek samping yang ditimbulkan berupa iritasi bila

digunakan jangka panjang. Beberapa ahli beranggapan bahwa

crotamiton krim ini tidak memiliki efektivitas yang tinggi terhadap

skabies. Crotamiton 10% dalam krim atau losion, tidak mempunyai

efek sistemik dan aman digunakan pada wanita hamil, bayi dan anak

kecil (Dollery, 1999).

b. Non medika mentosa

1. Meningkatkan kebersihan perorangan dan lingkungan

2. Menghindari orang- orang yang terkena

3. Mencuci atau menjemur alat- alat tidur

4. Tidak memakai pakaian atau handuk bersama- sama.

5. Menjelaskan kepada pasien mengenai penyakit dan cara

penularannya

6. Menjelaskan bahwa skabies adalah penyakit menular

7. Menerangkan pentingnya menjaga kebersihan perseorangan dan

lingkungan tempat tinggal

Page 22: PBL 3 DMS

8. Mencuci piring, selimut, handuk, dan pakaian dengan bilasan

terakhir dengan menggunakan air panas

9. Bila gatal sebaiknya jangan menggaruk terlalu keras karena

dapat menyebabkan luka dan resiko infeksi

10. Menjelaskan pentingnya mengobati anggota keluarga yang

menderita keluhan yang sama

11. Memberi penjelasan bahwa pengobatan dengan penggunaan

krim yang dioleskan pada seluruh badan tidak boleh terkena air,

jika terkena air harus diulang kembali. Krim dioleskan ke

seluruh tubuh saat malam hari menjelang tidur dan didiamkan

selama 8 jam hingga keesokan harinya. Obat digunakan 1 x

seminggu dan dapat diulang seminggu kemudian (Siregar,

2004).

13. Komplikasi scabies

1. Infeksi Sekunder oleh lesi Skabies dengan Streptococcus Nefrogenik

dikaitkan dengan terjadinya glomerulonefritis sesudah terjadinya

infeksi Streptococcus pada kulit.

2. Bila scabies tidak diobati selama beberapa minggu atau bulan, dapat

timbul dermatitis akibat garukan. Erupsi dapat berbentuk Impetigo,

Ektima, Selulitis, dan furunkel. Infeksi bakteri pada bayi dan anak-

anak yang diserang Skabies dapat menimbulkan komplikasi pada

ginjal yaitu glomerulonefritis.

3. Dermatitis iritan dapat timbul karena penggunaan preparat anti

scabies yang berlebihan, baik pada terapi awal atau dari pemakaian

yang terlalu sering. Salep sulfur dengan konsentrasi 15% dapat

menyebabkan dermatitis bila digunakan terus menerus selama

beberapa hari pada kulit yang tipis.

4. Impetiginisasi sekunder adalah komplikasi yang lazim ditemui dan

umumnya berespon baik terhadap pemberian antibiotic oral maupun

topical, tergantung pada tingkat pioderma (Wardhana, 2006).

14. Prognosis scabies

Page 23: PBL 3 DMS

Prognosis umumnya baik.

BAB III

KESIMPULAN

1. Scabies merupakan penyakit kulit akibat infestasi Sarcoptes scabiei.

2. Gejala klinis scabies antara lain pruritus nocturnal (gatal malam hari),

menyerang manusia secara kelompok, terdapat terowongan atau kunikulus

pada tempat predileksi yang berwarna putih ke abu-abuan, serta

ditemukannya tugau scabies.

3. Penegakan diagnosis scabies menggunakan teknik winkle picker, uji KOH-

kerokan kulit, uji tinta – terowongan, biposi kulit.

4. Penatalaksanaan scabies mencakup medika mentosa yaitu menggunakan obat

benzyl benzoate, lindane, permethrin, chrotamiton sedangakan untuk non

medika mentosa dapat dengan selalu menjaga kebersihan.

5. Prognosis scabies pada umumnya baik.

Page 24: PBL 3 DMS

DAFTAR PUSTAKA

Amiruddin MD. 2003. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Makassar: Fakultas

Kedokteran Universitas Hasanuddin.

Corwin, E.J. 2009. Patofisiologi. Jakarta: EGC.

Djuanda, Adhi. 2009. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta: Balai Penerbit

FKUI.

Dollery, C. 1999. Therapeutic Drug. Toronto: Harcourt Brace Company.

Entjang, Indan. 2000. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Bandung: PT. Citra Aditya

Bakti.

Freddberg, IM., Elsen, AZ., Wolff, K., et al. 2008. Fitzpatrick’s Dermatology

General Medicine 7th edition. USA: McGraw-Hill.

Gandahusada, S., Ilahude, H.D. & Pribadi, W. 2006. Parasitologi Kedokteran.

Jakarta: FKUI.

Graham, Brown. 2005. Lecture Notes on Dermatologi. Jakarta: Erlangga Medical

Series.

Page 25: PBL 3 DMS

Handoko, Ronny P. 2009. Ilmu Penyakit Kulit Kelamin Edisi Ke-5. Jakarta: Balai

Penerbit FKUI.

Hicks MI, and Elston DM. 2009. Scabies. Dermatologic Therapy. Willey 22: 269-

270. Diakses tanggal 29 November 2011.

Johnston, G., Sladden, M. 2005. Scabies: Diagnosis and Treatment. British Med J

17: 619-622. Diakses tanggal 29 November 2011.

Karthikeyan K. 2005. Treatment of Scabies: Newer Perspectives. Postgraduate

Med J 81:7-11. Diakses tanggal 29 November 2011.

Kroshinsky, Daniela. 2009. A 46-Year-Old Woman with Chronic Renal Failure,

Leg Swelling, and Skin Changes. N Engl J Med 361: 2166-2176. Diakses

tanggal 29 November 2011.

Liu, Vinchent. 2007. A 44-Year-Old Woman with Generalized, Painful, Ulcerated

Skin Lesions. N Engl J Med 357: 2496-2505. Diakses tanggal 29 November

2011.

Maxine, Papadakis A. 2007. Current Medical Diagnosis and Treatment. United

State: Mc Graw-Hill.

Mukono, H. J. 2000. Prinsip Dasar Kesehatan Lingkungan. Surabaya: Airlangga

University Press.

Natadisastra, Djaenudin. 2009. Parasitologi Kedokteran: Ditinjau dari Organ

Tubuh yang Diserang. Jakarta: EGC.

Price, Sylvia. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta:

EGC.

Rahariyani, L., Dwi. 2007. Buku Ajar Asuhan keperawatan Klien gangguan

Sistem Integumen. Jakarta: EGC.

Siregar, R.S. 2004. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Jakarta: EGC.

Soeharsono. 2002. Zoonosis Penyakit Menular dari Hewan ke Manusia Volume 1.

Yogyakarta: Kanisius.

Walton, SF., Currie, B. J. 2007. Problems in Diagnosing Scabies, A Global

Disease in Human and Animal Populations. Clin Microbiol Rev 20: 268-279.

Diakses tanggal 29 November 2011.

Wardhana, April H. 2006. Skabies: Tantangan Penyakit Zoonosis Masa Kini dan

Masa Datang. Wartazoa 16: 40-52. Diakses tanggal 29 November 2011.

Page 26: PBL 3 DMS