patologi-sosial

120
PATOLOGI DAN KESEHATAN SOSIAL 1.Pendahuluan Zaman pertemuan banyak kebudayaan sebagai hasil dari semakin padatnya jaringan komunikasi daerah, nasional, dan internasional. Amalgamasi antara bermacam-macam kebudayaan itu kadangkala bisa berlangsung lancar dan lembut. Tetapi, tidak jarang pula sebagiannya berlangsung melalui konflik- konflik hebat. Terjadilah konflik-konflik budaya dengan kemunculan situasi sosial yang khaotis dan kelompok- kelompok sosial yang tidak bisa dirukunkan sehingga mengakibatkan banyak kecemasan, ketegangan dan ketakutan dikalangan rakyat banyak, yang semuanya tidak bisa dicernakan dan diintegrasikan oleh individu. Situasi sosial seperti ini pada akhirnya mudah mengembangkan tingkah laku patologis/sosiopatik yang menyimpang dari pola-pola umum. Timbullah kelompok-kelompok dan fraksi- fraksi ditengah masyarakat yang terpecah-pecah, masing- masing menaati norma-norma dan peraturannya sendiri, dan bertingkah semau sendiri. Maka muncullah banyak masalah sosial, tingkahlaku sosiopatik, deviasi sosial, disorganisasi sosial, disintegrasi sosial, dan diferensiasi sosial. Lambat laun, hal itu menjadi meluas dalam masyarakat. Maka dengan tidak mengabaikan faktor- faktor manusia dan psikologisnya, kita akan sedikit 1

Transcript of patologi-sosial

Page 1: patologi-sosial

PATOLOGI DAN KESEHATAN SOSIAL

1. Pendahuluan

Zaman pertemuan banyak kebudayaan sebagai hasil dari semakin padatnya

jaringan komunikasi daerah, nasional, dan internasional. Amalgamasi antara

bermacam-macam kebudayaan itu kadangkala bisa berlangsung lancar dan lembut.

Tetapi, tidak jarang pula sebagiannya berlangsung melalui konflik-konflik hebat.

Terjadilah konflik-konflik budaya dengan kemunculan situasi sosial yang khaotis dan

kelompok-kelompok sosial yang tidak bisa dirukunkan sehingga mengakibatkan

banyak kecemasan, ketegangan dan ketakutan dikalangan rakyat banyak, yang

semuanya tidak bisa dicernakan dan diintegrasikan oleh individu. Situasi sosial seperti

ini pada akhirnya mudah mengembangkan tingkah laku patologis/sosiopatik yang

menyimpang dari pola-pola umum. Timbullah kelompok-kelompok dan fraksi-fraksi

ditengah masyarakat yang terpecah-pecah, masing-masing menaati norma-norma dan

peraturannya sendiri, dan bertingkah semau sendiri. Maka muncullah banyak masalah

sosial, tingkahlaku sosiopatik, deviasi sosial, disorganisasi sosial, disintegrasi sosial,

dan diferensiasi sosial. Lambat laun, hal itu menjadi meluas dalam masyarakat. Maka

dengan tidak mengabaikan faktor-faktor manusia dan psikologisnya, kita akan sedikit

mencoba menganalisis terlebih dahulu pengertian, latar belakang dan sejarah patologi

sosial yang diharapkan kita mendapatkan gambaran tentang maksud dari konsep

patologi sosial itu sendiri.

A. Pengertian Patologi Sosial

Pada awal ke-19 dan awal abad 20-an, para sosilog mendefinisikan patologi

sosial sebagai semua tingkah laku yang bertentangan dengan norma kebaikan, stabilitas

local, pola kesederhanaan, moral, hak milik, solidaritas kekeluargaan, hidup rukun

bertetangga, disiplin, kebaikan, dan hukum formal.

Secara etimologis, kata patologi berasal dari kata Pathos yang berarti

disease/penderitaan/penyakit dan Logos yang berarti berbicara tentang/ilmu. Jadi,

1

Page 2: patologi-sosial

patologi adalah ilmu yang membicarakan tentang penyakit atau ilmu tentang penyakit.

Maksud dari pengertian diatas bahwa patologi adalah ilmu yang membicarakan tentang

asal usul dan sifat-sifatnya penyakit. Konsep ini bermula dari pengertian penyakit di

bidang ilmu kedokteran dan biologi yang kemudian diberlakukan pula untuk

masyarakat karena menurut penulis google bahwa masyarakat itu tidak ada bedanya

dengan organisme atau biologi sehingga dalam masyarakatpun dikenal dengan konsep

penyakit.

Sedangkan kata sosial adalah tempat atau wadah pergaulan hidup antar manusia

yang perwujudannya berupa kelompok manusia atau organisasi yakni individu atau

manusia yang berinteraksi / berhubungan secara timbal balik bukan manusia atau

manusia dalam arti fisik. Tetapi, dalam arti yang lebih luas yaitu comunity atau

masyarakat.

Maka pengertian dari patologi sosial adalah ilmu tentang gejala-gejala sosial

yang dianggap “sakit” disebabkan oleh faktor-faktor sosial atau Ilmu tentang asal usul

dan sifat-sifatnya, penyakit yang berhubungan dengan hakekat adanya mnusia dalam

hidup masyarakat.

Sementara itu menurut teri anomi bahwa patologi sosial adalah suatu gejala

dimana tidak ada persesuaian antara berbagai unsur dari suatu keseluruhan, sehingga

dapat membahayakan kehidupan kelompok, atau yang sangat merintangi pemuasan

keinginan fundamental dari anggota anggotanya, akibatnya pengikatan sosial patah

sama sekali. ( Koe soe khiam. 1963 ).

B. Sejarah dan latar belakang Patologi Sosial

Manusia sebagai makhluk yang cenderung selalu ingin memenuhi kebutuhan

hidupnya telah menghasilkan teknologi yang berkembang sangat pesat sehingga

melahirkan masyarakat modern yang serba kompleks, sebagai produk dari kemajuan

teknologi, mekanisasi, industrialisasi, dan urbanisasi, dll. Hal ini disamping mampu

memberikan berbagai alternative kemudahan bagi kehidupan manusia juga dapat

menimbulkan hal-hal yang berakibat negatif kepada manusia dan kemanusiaan itu

sendiri yang biasa disebut masalah sosial. Adanya revolusi industri Menunjukan betapa

cepatnya perkembangan ilmu-ilmu alam dan eksakta yang tidak seimbang dengan

berkembangnya ilmu-ilmu sosial telah menimbulkan berbagai kesulitan yang nyaris

2

Page 3: patologi-sosial

dapat menghancurkan umat manusia. Misalnya, Pemkaian mesin-mesin industri di

pabrik-pabrik, mengubah cara bekerja manusia yang dulu memakai banyak tenaga

manusia sekarang diperkecil, terjadinya pemecatan buruh sehingga pengangguran

meningkat (terutama tenaga kerja yang tidak terampil), dengan timbulnya kota-kota

industri cenderung melahirkan terjadinya urbanisasi besar-besaran. Penduduk desa

yang tidak terampil dibidang industri mengalir ke kota-kota industri, jumlah

pengangguran di kota semakin besar, adanya kecenderungan pengusaha lebih menyukai

tenaga kerja wanita dan anak-anak (lebih murah dan lebih rendah upahnya). Pada

akhirnya, keadaan ini semakin menambah banyaknya masalah kemasyarakatan (sosial

problem) terutama pada buruh rendah yang berkaitan dengan kebutuhan sandang

pangannya seperti, perumahan, pendidikan, perlindungan hukum, kesejahteraan sosial,

dll. Kesulitan mengadakan adaptasi dan adjustment menyebabkan kebingungan,

kecemasan, dan konflik-konflik. Baik yang bersifat internal dalam batinnya sendiri

maupun bersifat terbuka atau eksternalnya sehingga manusia cenderung banyak

melakukan pola tingkah laku yang menyimpang dari pola yang umum dan melkuikan

sesuatu apapun demukepentingannya sendiri bahkan cenderung dapat merugikan orang

lain.

Sejarah mencatat bahwa orang menyebut suatu peristiwa sebagai penyakit sosial

murni dengan ukuran moralistic. Sehiongga apa yang dinamakan dengan kemiskinan,

pelacuran, alkoholisme, perjudian, dsb adalah sebagai gejala penyuakit sosial yang

harus segera dihilangkan dimuka bumi. Kemudian pada awal abad 19-an sampai awal

abad 20-an, para sosiolog mendefinisikan yang sedikit berbeda antara patologi sosial

dan masalah sosial.

Masalahnya adalah kapan kita berhak menyebutkan peristiwa itu sebagai gejala

patologis atau sebagai masalah sosial? Menurut kartini dalam bukunya “patologi sosial”

menyatakan bahwa orang yang dianggap kompeten dalam menilai tingkah laku orang

lain adalah pejabat, politisi, pengacara, hakim, polisi, dokter, rohaniawan, dan kaum

ilmuan dibidang sosial. Sekalipun adakalanya mereka membuat kekeliruan dalam

membuat analisis dan penilaian tehadap gejala sosial, tetapi pada umumnya mereka

dianggap mempunyai peranan menentukan dalam memastikan baik buruknya pola

tingkah laku masyarakat. Mereka juga berhak menunjuk aspek-aspek kehidupan sosial

yang harus atau perlu diubah dan diperbaiki.

3

Page 4: patologi-sosial

Ada orang yang berpendapat bahwa pertmbangan nilai (value, judgement,

mengenai baik dan buruk) sebenarnya bertentangan dengan ilmu pengetahuan yang

objektif sebab penilaian itu sifatnya sangat subjektif. Larena itu, ilmu pengetahuan

murni harus meninggalkan generalisasi-generalisasi etis dan penilaian etis (susila, baik

dan buruk). Sebaliknya kelompok lain berpendapat bahwa dalam kehidupan sehari-hari,

manusia dan kaum ilmuan tidak mungkin tidak menggunakan pertimbnagan nilai sebab

opini mereka selalu saja merupakan keputusan yang dimuati dengan penilaian-penilaian

tertentu.

Untuk menjawab dua pendirian yang kontroversial tersebut, kita dapat meninjau

kembali masalah ini secara mendalam dari beberapa point yang disebutkan oleh Kartini

Kartono dalam bukunya yang berjuduk Patologi sosial, sebagai berikut:

1. ilmu pongetahuan itu sendiri selalu mengandung nilai-nilai tertentu. Hal ini

dikarenakan ilmu pengetahuan menyangkut masalah mempertanyakan dan

memecahkan lesulitan hidup secara sistematis selalu dengan jalan menggunakan

metode dan teknik-teknik yang berguna dan bernilai. Disebut bernilai karena

dapat memenuhi kebutuhan manusiawi yang universal ini, baik yang individual

maupun sosial sifatnya, selalu diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang

bernilai.

2. ada keyakinan etis pada diri manusia bahwa penggunaan teknologi dan ilmu

pengetahuan modern untuk menguasai alam (kosmos,jagad) sangatlah

diperlukan demi kesejahteraan dan pemuasan kebutuhan hidup pada umumnya.

Jadi ilmu pengetahuan dengan sendirinya memiliki system nilai. Lagi pula

kaum ilmuan selalu saja memilih dan mengembangkan usaha/aktivitas yang

menyangkut kepentingan orang banyak. jadi memilih masalah dan usaha yang

mempunyai nilai praktis.

3. falsafah yuang demokratis sebagaimana tercantum dalam pancasila menyatakan

bahwa baik individu maupun kelompok dalam masyarakat Indonesia, pasti

mampu memformulasikan serta menentukan system nilai masing-masing dan

sanggup menentukan tujuan serta sasaran yang bernilai bagi hidupnya.

Seperti apa yang dikatakan george lundberg salah seorang tokoh sosiolog yang

dianggap dominan terhadap aliran neo-positivisme dalam sosiologi menyatakan bahwa

ilmu peneteahuan itu bersifat otoriter, karena itu ilmu pengetahuan mengandung dan

harus memilki moralitas ilmiah atau hukum moral yang conform dan seimbang dengan

4

Page 5: patologi-sosial

hukum alam. Dan diperkuat oleh C.C. North, seorang sosiolog lain dalam bukunya

Soial Problems and Sosial Planning, menyatakan bahwa dalam usaha pencapaian tujuan

dan sasaran hidup yang bernilai bagi satu kebudayaan atau satu masyarakat, harus

disertakan etik sosial guna menentukan cara pencapaian sasaran tadi. Jadi, cara atau

metode pencapaian itu secara etis-susila harus bisa dipertanggungjawabkan sebab

manusia normal dibekali alam dengan budi daya dan hati nurani sehingga ia dianggap

mampu menilai baik dan buruknya setiap peristiwa.

Adapun Istilah / konsep lain untuk patologi sosial adalah, Masalah sosial,

disorganisasi sosial / sosial disorganization / disintegrasi sosial, sosial maladjustment,

Sociopathic, Abnormal, Sociatri.

Tingkah laku sosiopatik jika diselidiki melalui pendekatan (approach), sebagai

berikut:

1) Approach Biologis

Pendekatan biologis tentang tingkahlaku sosiopatik dalam biologi biasanya terfokus

pada bagian genetik.

1. Patologi itu menurun melalui gen/plasma pembawa sifat di dalam keturunan,

kombinasi dari gen-gen atau tidak adanya gen-gen tersebut

2. Ada pewaris umum melalui keturenan yang menunjukkan tendesi untuk

berkembang kearah pathologis (tipe kecenderungan yang luaar biasa abnormal)

3. Melaui pewarisan dalam bentuk konstitusi yang lemah, yang akan berkembang

kearah tingkahlaku sosiopatik.

Bentuk tingkahlaku yang menyimpang secara sosial yang disebabkan oleh ketiga hal

tersebut diatas dan ditolak oleh umum seperti: homoseksualitas, alkoholistik, gangguan

mental, dll.

2) Approach Psychologist dan Psychiatris

a) Pendekatan Psikologis

Menerangkan tingkahlaku sosiopatik berdasarkan teori intelegensi, sehingga

individu melanggar norma-norma sosial yang ada antara lain karena faktor-faktor:

intelegensi, sifat-sifat kepribadian, proses berfikir, motivasi, sifat hidup yang keliru,

internalisasi yang salah.

b) Pendekatan Psychiatris

Berdasarkan teori konflik emosional dan kecenderungan psikopatologi yang ada di

balik tingkahlaku menyimpang

5

Page 6: patologi-sosial

c) Approach Sosiologis

Penyebab tingkahlaku sosiopatik adalah murni sosiologis yaitu tingkahlaku yang

berbeda dan menyimpang dari kebiasaan suatu norma umum yang pada suatu tempat

dan waktu tertentu sangat ditentang atau menimbulkan akibat reaksi sosial “tidak

setuju”. Reaksi dari masyarakat antara lain berupa, hukuman, segregrasi

(pengucilan / pengasingan), pengucilan, Contoh: mafia (komunitas mafia dengan

perilaku pengedar narkoba)

Menurut St. Yembiarto (1981) bahwa studi patologi sosial memilki fase-fase

tersendiri. Adapun perkembangan patologi sosial ada melalui tiga fase,

Fase masalah sosial (sosial problem). Pada fase ini menjadi penyelidikan

patisos action masalah-masalah sosial seperti pengangguran, pelacuran,

kejahatan, masalah penduduk, dst

Fase disorganisasi sosial. Pada fase ini menjadi objek penyelidikan peksos

adalah disorganisasi sosial, fase ini merupakan koreksi dan perkembangan

dan fase masalah sosial

Fase sistematik. Fase ini merupakan perkembangan dari dua fase

sebelumnya. Pada fase ini patsos berkembang menjadi ilmu pengetahuan

yang memiliki sistem yang bulat.

C. Fase Perubahan Sosial (Patologi Sosial)

Dalam menganalisa sebuah kasus yang berkaitan dengan patologi sosial atau

penyakit masyarakat, maka ada beberapa teori yang digunakan, diantaranya :

1. Teori Perubahan Sosial

Yang dimaksud dengan perubahan sosial ini adalah perubahan struktur dan fungsi

dalam masyarakat. Apabila suatu aspek kehidupan pada masyarakat telah

mengalami perubahan (baik secara cepat atau lambat), maka akan terjadi masalah

sosial.

2. Teori Culture Lag (ketertinggalan kebudayaan)

Satu budaya terdiri dari beberapa aspek. Jika ada slah satu aspek dari budaya itu

yang tertinggal, maka akan terjadi Culture Lag (Ketertinggalan Kebudayaan).

Culture Lag ini dapat menimbulkan masalah sosial.

6

Page 7: patologi-sosial

3. Teori Konflik Sosial

Situasi yang menimbulkan pertentangan sebagian besar penduduk bisa disebut

sebagai konflik sosial. Konflik sosial bisa menimbulkan masalah sosial.

Contohnya seperti perang, pertentangan buruh dan majikan, dan lain-lain.

4. Teori Disorganisasi Sosial

Disorganisasi sosial terjadi ketika seseorang tidak melaksanakan fungsinya dalam

sebuah organisasi. Disorganisasi sosial dapat menimbulkan keretakan organisasi

sosial yang berkelanjutan dan dapat menimbulkan masalah sosial. Disorganisasi

Sosial dapat terjadi karena adanya perubahan sosial yang ada.

5. Teori Patologi

Menurut teori patologi, masyarakat selalu dalam keadaan sakit atau masyarakat

yang tidak berfungsi secara sebagian atau keseluruhan. Masyarakat bisa dikatakan

sehat jika selurung anggota masyarakat berfungsi dengan sempurna. Jika

dipandang dari luar, masyarakat memang terlihat menjalankan fungsinya dengan

sempurna. Namun jika dilihat dari dalam, pada kenyataannya masyarakat tidak

menjalankan fungsinya dengan baik. Misalnya, masyarakat yang makmur.

Masyarakat ini memang terlihat makmur, namun didalamnya banyak masalah

yang dihadapi.

Kasus Terorisme

Belakang ini negara Indonesia dihebohkan kembali dengan kasus teroris.

Pasalnya beberapa hari yang lalu, Tim Detasemen Khusus 88 telah menyergap seorang

teroris yang diduga kuat sebagai otak teroris terbesar, selain Noordin M. Top yang telah

tewas terlebih dahulu pada tanggal 17 Sepetember 2009 silam, yaitu Dulmatin.

Tertangkapnya Dulmatin di daerah Pamulang, Tanggerang, Banten, beberapa

hari yang lalu makin menambah daftar panjang jumlah teroris yang berkeliaran di

Indonesia. Aksi teror di Indonesia dimulai pada tahun 2000 dengan terjadinya Bom

Bursa Efek Jakarta, yang cukup merenggut banyak korban jiwa.

Kemudian terjadi kembali bom yang paling mematikan yaiut Bom Bali tahun

2002. Mayoritas korban dari bom Bali 1 ini adalah warga asing, khususnya warga

Australia. Namun tak sedikit pula warga Indonesia yang menjadi korban. Selang 3

tahun kemudian, terjadi kembali bom Bali 2 yang menghacurkan kawasan Bali. Tidak

7

Page 8: patologi-sosial

berbeda dengan bom Bali 1, mayoritas korban bom Bali 2 adalah warga asing yang

sedang berlibur di pulau Dewata ini.

Dilihat dari beberapa kasus bom yang terjadi di Indonesia, dapat disimpulkan

bahwa sebenarnya para pelaku pemboman atau yang biasa dikenal dengan sebutan

teroris ini mempunyai misi utama yaitu menjaga bangsa Indonesia dari pengaruh

bangsa barat atau bangsa luar yang dapat membuat bangsa ini menjadi “rusak”.

Hal ini memang perlu di acungkan jempol, namun ada yang salah dari ini

semua yaitu cara mereka menjaga bangsa ini agar tidak terpengaruh oleh bangsa luar.

Hal ini bisa dibuktikan dengan beberapa kasus pemboman yang terjadi di Indonesia.

Banyak warga Indonesia yang meninggal akibat ledakan bom tersebut. Padahal yang

menjadi sasaran teroris adalah warga negara asing atau para pendatang.

Selain itu, alasan mereka melakukan penteroran adalah sebagai Jihad. Hampir

dari semua teroris yang ada ada adalah berasal dari agama Islam. Padahal, Islam tidak

pernah mengajarkan kekerasan antara sesama umat beragama. Lebih tepat jika

dikatakan terorisme merupakan sebuah tindak kriminal yang merugikan banyak pihak,

bukan berlandaskan Agama Islam. Jadi salah besar jika seorang teroris mengatakan

perbuatan yang dilakukannya adalah sebuah kepatuhan terhadap agama.

D. Tinjauan Sosiologi

Berdasarkan teori-teori yang ada, kasus teroris ini termasuk kedalam dua teori,

yaitu :

a. Teori Perubahan Sosial

Selain itu, teroris sangat identik dengan sikap yang sangat tertutup

dengan masyarakat sekitar. Hal ini dapat terjadi karena adanya perubahan sosial

yang terjadi di dalam masyarakat. Perubahan struktur dan fungsi dalam

masyarakat membuat para teroris sulit untuk terungkap. Sebenarnya bukan

hanya para teroris saja yang bersifat tertutup, namun lingkungan masyarakat

tempat berdiamnya teroris juga kurang peka terhadap apa yang ada di

lingkungan sekitarnya. Sebut saja Noordin M. Top, salah satu gembong teroris

terbesar yang telah tertangkap di daerah Mojosongo, Solo, Jawa Tengah tahun

2009 lalu. Warga di sekitar tempat bersembunyi Noordin tidak ada yang

8

Page 9: patologi-sosial

mengenal siapa dirinya dan keluarganya. Yang mereka tahu hanyalah keluarga

pidahan yang tinggal di suatu rumah di daerah tersebut.

Jika saja para warga mau berinisiatif untuk mencari tahu siapa

sebenarnya yang tinggal di rumah itu, pastilah Noordin sudah tertangkap sejak

lama. Sama halnya dengan kasus Dulmatin, banyak warga yang tidak

mengetahui akan kehadirannya. Ironisnya, keluarga Dulmatin sendiripun tidak

mengetahui bahwa salah satu dari anggota keluarga mereka adalah teroris yang

menjadi target operasi TIM DENSUS 88.

Hal ini terjadi karena kurangnya rasa kepedulian antar sesama anggota

masyarakat. Perubahan sosial yang sedemikian cepat, membuat para warga

sibuk atau asyik dengan pekerjaan mereka sendiri tanpa memikirkan apa yang

sebenarnya terjadi di lingkungan sekitarnya. Perubahan sosial yang dialami

masyarakat ini merupakan akibat dari perubahan fungsi dari masyarakat itu

sendiri.

Masyarakat dikatakan berfungsi dengan baik jika mereka telah mampu

bersosialisasi terhadap masyarakat sekitar secara berkelanjutan (kontinuitas)

atau Sustainable. Proses sosialisasi ini secara tidak langsung dapat merekatkan

atau meningkatkan rasa kebersamaan dan rasa saling memiliki antara warga.

Namun, yang terjadi sekarang ini sangat berbanding terbalik dengan apa yang

seharusnya ada. Sikap acuh tak acuh antara warga mulai tumbuh pada

masyarakat sekarang.

Untuk dapat mencegah atau mengurangi hal ini, diperlukan kesadaran

sosial yang kuat terhadap pentingnya proses sosialisasi di masyarakat agar

masyarakat dapat menjalankan fungsinya kembali dan kasus-kasus seperti

Dulmatin dan Noordin tidak akan terjadi lagi.

b. Teori Culture Lag (Ketertinggalan kebudayan)

Kondisi yang terjadi pada masyarakat kita sekarang ini adalah

kurangnya penyaringan budaya-budaya asing yang seharusnya tidak diterapkan

di Indonesia. Dalam Sosiologi, yang dimaksud dengan ketertinggalan

kebudayaan atau Culture Lag adalah jika suatu kebudayaan memiliki beberapa

aspek dan salah satu aspek dari kebudayaan itu tertinggal.

Kita sudah mengetahui bahwa tingkat pendidikan yang dimiliki para

teroris itu sangat tinggi bahkan tidak sedikit dari mereka merupakan lulusan dari

9

Page 10: patologi-sosial

universitas-universitas ternama di Indonesia. Namun dengan tingginya tingkat

pendidikan dan ilmu yang mereka punya, mereka tidak dapat mengontrol diri

mereka sehingga dengan segala ilmu dan pengetahuan yang mereka miliki,

mereka mampu merakit bom, misalnya, hingga menewaskan ratusan orang

bahkan ribuan orang.

Jadi ketertinggalan kebudayaan yang melekat pada teroris ini adalah

ketidakmampuan para teroris menggunakan ilmu dan pengetahuan yang mereka

miliki. Andai saja mereka mengerti apa yang seharusnya dilakukan dengan ilmu

yang mereka ketahui, pasti mereka akan membuat suatu hal yang bermanfaat

untuk masyarakat Indonesia

Sejarah mencatat tentang masyarakat modern yang serba kompleks, sebagai

produk dari kemajuan teknologi, mekanisasi, industrialisasi, dan urbanisasi, dll. Hal ini

disamping mampu memberikan berbagai alternative kemudahan bagi kehidupan

manusia juga dapat menimbulkan Kesulitan mengadakan adaptasi dan adjustment

menyebabkan kebingungan, kecemasan, dan konflik-konflik. Baik yang bersifat

internal dalam batinnya sendiri maupun bersifat terbuka atau eksternalnya sehingga

manusia cenderung banyak melakukan pola tingkah laku yang menyimpang dari pola

yang umum dan banyak melakukan sesuatu apapun demi kepentingannya sendiri

bahkan masyarakat cenderung merugikan orang lain. Hal ini sebagai pertautan tali yang

melahiorkan apa yang dinamakan dengan patologi sosial. Patologi sosial adalah ilmu

tentang gejala-gejala sosial yang dianggap “sakit” yang disebabkan oleh faktor-faktor

sosial. Jadi ilmu tentang “penyakit masyarakat”. Maka penyakit masyarakat itu adalah

segenap tingkah laku manusia yang dianggap tidak sesuai, melanggar norma-norma

umum dan adat istiadat, atau tidak integrasinya dengan tingkah laku umum.

2. Patologi Sebuah Revolusi

Anthony Reid adalah salah seorang Indonesianis terkemuka. Namun sejajar

dengan Ben Anderson, Herber Feith, Lance Castle, Wiliam Liddie, ataupun mClifford

Geertz. Di antaranya-mungkin dia yang paling produktif menulis perjalanan bangsa ini.

Studinya yang banyak merangkai perjalanan revolusi Indonesia, mendapat tempat

tersendiri dalam perjalanan intekletual orang-orang Indonesia dalam mencari dan

menulis

10

Page 11: patologi-sosial

Buku Anthony Reid, Perjuangan Rakyat: Revolusi dan Hancurnya Kerajaan

Sumatera memberikan gambaran cukup komprehensif tentang revolusi sosial di

Sumatera Timur. Pada bukunya, Reid memberikan uraian yang cukup mendetail

tentang kondisi Sumatera Timur mulai dari dibukanya perkebunan sampai meletusnya

revolusi sosial. Walaupun penjelaan mengenai kondisi masyarakat yang mengalami

krisis, yang kekacauan tidak begitu jelas ditampilkan dan juga dengan peranan

pemimpin baik di kota maupun di desa, cara memobilisasi pengikut, tetapi studi sangat

penting dalam perkembangan historiografi Indonesia.

Dalam uraiannya Anthony Reid sangat jeli memformulasikan berbagai kondisi

yang inheren dalam masyarakat Sumatera Timur. Dalam lembar Indonesia, masa

antara 1945-1947, adalah masa yang labil. Negara yang masih bayi ini harus diterpa

berbagai cobaan. Pada masa ini wilayah-wilayah Indonesia sedang berlangsung proses

formasi kekuatan sehingga belum ada lembaga yang mantap. Dari sini akan dihasilkan

situasi yang labil dan mengambang. Serta yang paling krusial adalah terjadinya

ketegangan antar golongan. Situasi sangat eksplosif, sedikit saja provokasi akan

berakhir dengan bentrokan. Preseden dari semua ini adalah munculnya fenomena

masyarakat yang suka bergejolak (robellious society).

Kondisi seperti inilah yang terjadi di Sumatera Timur pada awal kemerdekaan,

hingga puncaknya pada peristiwa Maret 1946. Sumatera Timur adalah kampong

halamannya etnis Melayu, Batak Karo, Batak Simalungun. Wilayahnya terbentang dari

perbatasan Aceh (Tamiang) sampai Siak. Ekonomi perkebunan benar-benar telah

mengubah wilayah ini. Tiga kesultanan penting yaitu Deli, Serdang, dan Langkat

benar-benar sedang mengalami masa kejayaannya. Perkebunan tembakau telah

mengubah wajah Sumatera Timur dan juga berarti mengubah kondisi ekonomi, sosial,

politik, dan budaya. ‘Tanah penuh harapan’ ini didatangi berbagai suku yang ada di

Indonesia, dan juga didatangi berbagai bangsa yang ada di dunia. Migrasi paling besar

adalah pemasukan kuli-kuli perkebunan untuk menunjang lancarnya ekonomi

perkebunan. Kaum-kaum pendatang inilah yang menjadi objek eksploitasi pada masa

kolonial. Sampai pada pertengahan abad ke-19, penduduk Sumatera Timur lebih

separuhnya adalah pendatang. Heterogenitas penduduk nantinya akan bermuara ke

terjadinya konflik karena adanya perbedaan kepentingan. Para pendatang mempunyai

kepentingan ekonomi dan politis yang berbeda dari penduduk asli.

11

Page 12: patologi-sosial

A. Gerakan Sosial Maret 1946

Gerakan menurut kamus antropologi adalah aktivitas dan terencana dan

berulang-ulang yang dilancarkan berbagai macam organisasi untuk mewujudkan cita-

cita atau tujuan. Sedangkan gerakan sosial, adalah suatu gerakan dari kelompok sosial

untuk kepentingan sosial dan tujuan sosial, sehingga dapat mempertahankan,

mengubah, dan mengganti atau menghapus hal-hal yang

kurang sesuai dari suatu masyarakat.

Sedangkan menurut kamus sosiologi, gerakan sosial adalah suatu organisasi

informal yang mungkin mencakup unit-unit yang terorganisasi secara formal yang

bertujuan mencapai tujuan-tujuan tertentu. Definisi gerakan di atas sangat sesuai untuk

manggambarkan dan menganalisis peristiwa Maret 1946 di Sumatera Timur.

Gerakan sosial di Sumatera Timur merupakan gerakan dari kelompok sosial

yang bertujuan untuk mengubah, mengganti dan menghapus hal-hal yang kurang sesuai

dengan tata sosial suatu masyarakat. Peristiwa Maret digerakkan oleh Persatuan

Perjuangan atau volksfront yang merupakan aliansi berbagai macam organisasi

perjuangan di Sumatera Timur- di mana pejabat terasnya adalah pimpinan-pimpinan

Gerindo, PKI, dan PNI atau golongan pemuda radikal yang pro republik. Masa antara

1945-1947 adalah masa–masa revolusi fisik di mana jargon-jargon nasionalisme, anti

feodalisme dan imperialisme merupakan senjata untuk mencegah kembalinya

kekuasaan penjajah.

Masuknya Jepang ditandai dengan kemerosotan kewibawaan kaum bangsawan.

Segala hak istimewa mereka dicabut. Semua tanah menjadi milik Jepang dan areal

perkebunan ditanami padi dan jagung. Kondisi ini sangat menguntungkan buruh

perkebunan. Sebagian orang Jawa, Toba dan Karo bahkan Cina mengambil lahan

perkebunan dan menganggap miliknya sendiri. Pada masa Jepang pemahaman

nasionalisme sudah semakin dewasa, walaupun kegiatan politik dilarang, namun

toleransi Jepang kepada sesuatu yang bersifat Indonesia sangat membantu penyebaran

nasionalisme.

Setelah hengkangnya Jepang, terjadi kekosongan kekuasaan. Berita proklamasi,

baru Oktober terdengar di Sumatera Timur. Keadaan yang mengambang ini menjadi

celah terjadinya pergolakan. Tidak adanya pemimpin tunggal, karena baik para sultan

maupun para pemimpin organisasi politik dan juga sebagian masyarakat merasa berhak

memegang kendali. Para pemimpin organisasi dan sebagian masyarakat memandang

12

Page 13: patologi-sosial

kekuasaan feodal sebagai penghalang revolusi nasional Indonesia yang mengandung

nilainilai anti kolonialisme, antifeodalisme, nasionalisme, patriotisme, dan demokrasi

merupakan gejolak-gejolak yang mendorong revolusi sosial. Golongan bawah yang

merupakan objek eksploitasi kolonial yang dihasilkan oleh kolaborasi pemerintah

Hindia Belanda, planters, dan kaum bangsawan menganggap saat ini adalah waktu

yang tepat untuk melampiaskan dendamnya. Golongan ini sangat mudah memobilisasi.

Pergolakan politik ditandai dengan banyaknya penerbitan bahasa Indonesia.

Namun yang paling penting adalah berdirinya cabang-cabang organisasi politik di

daerah ini. Serikat Islam pada 1918, PKI pada 1952, dan Gerindo pada 1937 serta

organisasi politik dan keagamaan lainnya yang berdiri pada waktu hampir bersamaan.

Hampir semua organisasi politik mendirikan cabangnya di sini. Nantinya organisasi–

organisasi politik ini mempunyai peranan yang signifikan pada revolusi sosial.

B. Sumatera Timur Pasca-Proklamasi

Kondisi sosial politik sangat mempengaruhi terjadinya goncangangoncangan

dalam masyarakat. Ketimpanganketimpangan dan kecemburuan sosial adalah pemicu

rakyat untuk bergerak. Setelah Jepang menyerah terjadi kekosongan kekuasaan di

Sumatera Timur. Terdapat polarisasi pendapat mengenai nasib Sumatera Timur

selanjutnya. Opini yang berkembang saat itu bahwa Belanda akan kembali. Ditambah

lagi dengan pasukan terjun payung sekutu dan pamflet-pamflet propaganda menambah

keyakinan akan asumsi ini, dan yang paling hangat adalah isu tentang adanya panitia

penyambutan kembali Belanda yang diprakarsai oleh beberapa Sultan.

Datangnya sekutu menambah panas suasana dan suhu politik di Sumatera

Timur. Hal ini karena keberpihakkan sebagai aristocrat Melayu kepada sekutu. Mereka

memandang bahwa jatuhnya Jepang merupakan celah untuk kembali menjalankan

pemerintah feodal-serta hak milik dan penghasilan perkebunan yang mereka terima

sebelum perang. Hal ini membuat aristokrat Melayu semakin menjauhkan diri dari

republik. Di pihak lain, dalam kubu pendukung republic terjadi perpecahan. Pihak

moderat lebih mengutamakan pendekatan kooperatif untuk bisa membujuk aristokrat

Melayu. Sedangkan pihak radikal lebih mengutamakan jalan kekerasan untuk

menyelesaikan persoalan tersebut. Pihak radikal banyak didukung oleh sebagian besar

golongan pemuda.

13

Page 14: patologi-sosial

Adapun para kuli telah menyelesaikan kontraknya telah menjadi masyarakat

Sumatera Timur. Peranan mereka dalam revolusi dapat dibilang cukup besar.

Kebencian mereka terhadap kaum bangsawan yang berkolaborasi dengan para

pengusaha perkebunan pada masa Belanda adalah benih balas dendam mereka kepada

Sultan. Kompleksitas kepentingan dan pandangan terjadi di Sumatera Timur yaitu

kepentingan pihak republik (golongan radikal), pandangan Melayu dan keberpihakan

mereka terhadap sekutu serta benih dendam yang ada pada kuli perkebunan merupakan

alasan kuat terjadinya gerakan sosial di Sumatera Timur.

C. Sumatera Timur Maret 1946

Tanjung Balai, Asahan 3 Maret 1946 sejak pagi ribuan masa telah berkumpul.

Mereka mendengar bahwa Belanda akan mendarat di Tanjung Balai. Namun

kerumunan itu berubah haluan mengepung istana Sultan Asahan. Awalnya gerakan

massa ini dihadang TRI namun karena jumlahnya sedikit, massa berhasil menyerbu

istana sultan-revolusi telah dimulai. Kepincangan sistem yang ada, sakit hati, balas

dendam, kebencian terhadap feodalisme dan imperialisme telah berbaur ke dalam

bentuk pelampiasan yang bersifat vandalistik seperti pembunuhan, penculikan, dan

tindak kekerasan yang lainnya. Besoknya, semua bangsawan Melayu pria di Sumatera

Timur ditangkap dan dibunuh. Hanya dalam beberapa hari, 140 orang kedapatan mati,

termasuk para penghulu, pegawai didikan Belanda, dan sebagian besar kelas tengku.

Hari itu 3 Maret 1946, seluruh Sumatera Timur bergejolak. Sebuah gerakan

sosial melawan orang yang dianggap feodal telah dimulai. Di Tanjung Balai dan di

Tanjung Pasir hampir semua kelas bangsawan mati terbunuh. Sedangkan di

Simalungun, Barisan Harimau Liar membunuh Raja Pane. Gerakan ini juga memakan

korban yang terjadi di Tanah Karo. Di daerah kesultanan besar, Deli, Serdang, dan

Langkat Persatuan Perjuangan mendapat perlawanan. Serdang yang memang dalam

sejarahnya anti-Belanda tidak terlalu dibenci masyarakat dan juga terlindung karena

ada markas pasukan TRI di Perbaungan. Sedangkan istana Sultan Deli terlindung

karena adanya benteng pertahanan tentara sekutu di Medan sedangkan istana Langkat

juga terlalu kuat untuk diserbu.

Pergolakan sosial berlanjut pada 8 Maret. Sultan Bilah dan Sultan kota Langkat

di tangkap lalu dibunuh. Berita yang paling ironis adalah pemerkosaan dua orang putri

Sultan Langkat, pada malam jatuhnya istana tersebut, 9 Maret 1946 dan dieksekusinya

14

Page 15: patologi-sosial

penyair terkemuka Tengku Amir Hamzah. Meskipun pemerkosa ditangkap dan

dibunuh namun revolusi telah melenceng jauh.

Pasca Kemerdekaan 1945, tidak dapat dipungkiri terjadinya krisis di segala

bidang. Republik yang masih muda ini diterpa berbagai terpaan dan cobaan.

Kekosongan kekuasaan setelah hengkangnya Jepang menimbulkan banyak konflik

sosial. Ada empat skenario revolusi sosial, yang terjadi di Sumatera Timur, antara lain:

pemusatan kekuatan sosial dalam satu badan perjuangan, ada tiga ideologi yang

mendominasi kekuatan sosial, yaitu kanan, tengah, dan kiri, terjadinya polarisasi antar

golongan dan yang terakhir pendominasian golongan radikal pada tahap awal revolusi.

Empat kondisi inilah yang membingkai jalannya revolusi sosial.

Perebutan kekuasaan, penumpasan lawan dengan kekerasan ditambah lagi

dengan golongan-golongan yang saling bertikai mengakibatkan rakyat mengambil

inisiatif untuk mengambil kekuasaan sendiri. Hal ini menimbulkan kekacauan politik

dan rusaknya orde sosial. Kondisi seperti inilah yang merupakan cikal-bakal atau

embrio terjadinya gerakan sosial di Sumatera Timur. Saat itu proses formasi kekuatan

sosial sedang berlangsung sehingga tidak ada pelembagaan yang mantap. Keadaan ini

menciptakan situasi yang sangat eksplosif karena ketegangan antar golongan suatu saat

dapat meledak. Sedikit saja provokasi yang mengatasnamakan nasionalismeyang anti

feodalisme, kolonialisme dan imperialisme dengan segera akan bermuara ke suatu

bentrokan yang diisi dengan tindakan-tindakan vandalistik- dan masyarakat menjadi

“suka bergejolak”.

3. Kenakalan Remaja.

Negara yang maju adalah negara yang memberikan perhatian serius terhadap

anak, sebagai wujud kepedulian akan generasi bangsa. Anak adalah karunia Tuhan

yang harus dihargai dengan melindungi dan membimbing mereka menjadi pribadi yang

mengagumkan. Namun dalam kenyataannya, perhatian terhadap anak seringkali

terabaikan oleh orang dewasa, dianggap sepele atau sebelah mata karena yang dihadapi

hanya seorang anak kecil. Padahal sebenarnya, perhatian terhadap anak sejak dini

sangat mempengaruhi masa depannya kelak.

Dalam proses pertumbuhan dan pencarian jati dirinya, tidak jarang kita jumpai

adanya penyimpangan sikap perilaku di kalangan anak yang sangat dipengaruhi oleh

nilai-nilai dalam masyarakat dan pola pikir mereka yang masih labil. Bahkan lebih jauh

15

Page 16: patologi-sosial

lagi, terdapat anak yang melanggar hukum yang melakukan tindak pidana yang

merugikan orang lain bahkan dirinya sendiri. Perilaku buruk anak juga bisa jadi

merupakan cerminan kelalaian serta ketidakmampuan orang dewasa dalam mendidik

anak. Hal tersebut tentunya harus mendorong kita untuk lebih banyak memberikan

perhatian akan penanggulangan serta penanganan atas masalah perilaku buruk anak.

Anak-anak nakal perlu ditangani melalui suatu Lembaga Peradilan khusus karena

mereka tidak mungkin diperlakukan sebagaimana orang dewasa. Perhatian terhadap

anakpun dari hari ke hari semakin serius dimana untuk menjamin perlindungan

terhadap hak anak yang berkonflik dengan hukum, maka dikeluarkanalah Undang-

Undang Nomor 3

Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Meskipun dalam implementasinya masih

memiliki banyak kelemahan, namun kehadiran UU ini merupakan suatu langkah maju

bagi perlindungan hak-hak anak dalam Peradilan Anak di Indonesia.

Ide tentang lahirnya Peradilan Anak di Indonesia sendiri sudah ada sejak tahun

1970, seperti dimaksud dalam Penjelasan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 14 Tahun

1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman. Kemudian dilanjutkan dengan

Peraturan Menteri Kehakiman RI. No.: M.06-UM.01 Tahun 1983 dan Surat Edaran

Mahkamah Agung RI tanggal 17 November 1987 No.: MA/KUMDIL/10348/XI/87.

Untuk merealisir lahirnya Undang-Undang Peradilan Anak, maka pada tanggal 10

November 1995 pemerintah dengan Amanat Presiden No.: R.12/PU/XII/1995

mengajukan Rancangan Undang-Undang Peradilan Anak kepada Dewan Perwakilan

Rakyat untuk mendapat pembahasan dan persetujuannya. Malahan dalam RUU

Peradilan Anak ini tadinya ada rencana untuk mengatur Hukum Anak pada umumnya,

mulai dari : Sidang Anak Nakal, Sidang Anak Terlantar, Sidang Perkara Perwalian dan

Perkara Anak Sipil. Akan tetapi, hal ini kemudian berubah menjadi UU Pengadilan

Anak yang hanya mengatur tentang sidang Anak Nakal saja. Ini sangat disayangkan,

sebab masalah-masalah tersebut masih hidup dalam praktek hukum negara kita.

“Pemerintah dan Lembaga Negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab

untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak dalam situasi darurat,

Perlindungan terhadap hak anak yang berkonflik dengan hukum ini juga ditegaskan

dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak,

sebagaimana disebutkan pada Pasal 65 :anak yang berhadapan dengan hukum

16

Page 17: patologi-sosial

Berbicara mengenai Hakim Anak, maka tidak dapat dilepaskan dari peranan

hakim pada umumnya. Hakim mempunyai peranan yang sangat penting dalam

menciptakan keadilan dan ketertiban dalam dan bagi masyarakat, terlebih lagi

menyangkut putusan yang dijatuhkannya yang akan mempunyai akibat begitu besar

terhadap kepentingan publik khususnya terhadap pihak yang berperkara atau terkena

perkara. Begitu banyak hal yang menjadi dasar pertimbangan bagi hakim dalam

menjatuhkan putusan. Putusan tersebut harus memperhatikan tujuan pemidanaan,

dimana agar orang yang telah dipidana menjadi seorang yang baik dan dapat kembali

serta diterima di tengah-tengah masyarakat. Apabila seorang hakim keliru dalam

menentukan suatu putusan maka keadilan hukum yang diharapkan oleh masyarakat

justu berbalik menjadi ketidakadilan. Yang lebih memprihatinkan, ternyata hal ini

terjadi pada praktik peradilan di negara kita.

Menurut Bagir Manan, usaha menghadapi sulitnya akses publik atas putusan

hakim dapat terjadi karena hakim menyadari putusannya dibuat asal-asalan, tidak

bermutu, sehingga ada rasa takut atau rendah diri kalau menjadi wacana publik. , anak

dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak tereksploitasi secara ekonomi dan/atau

seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan

narkoba, alkohol, psikotropika, zat adiktif lainnya (NAPZA), anak korban penculikan,

penjualan dan perdagangan, anak yang menyandang cacat dan anak korban perlakuan

salah dan penelantaran.” Pada proses Persidangan Anak terdapat ketentuan-ketentuan

khusus yang berbeda dengan layaknya persidangan biasa bagi orang dewasa, dalam

rangka menjamin pertumbuhan fisik serta mental anak. Hakim, Jaksa Penuntut Umum,

Penasihat Hukum, serta petugas lainnya dalam Sidang Anak tidak memakai toga atau

pakaian dinas (Pasal 6 UU No. 3 Tahun 1997).

Putusan hakim itu bisa asal-asalan karena tidak mengetahui, meskipun mestinya

hal itu seharusnya tidak terjadi karena Majelis Hakim berjumlah tiga orang. Akan

tetapi, yang lebih berbahaya adalah putusan itu asal-asalan karena hakim kehilangan

independensinya.

Demikian halnya dengan hakim anak, ternyata mempunyai tanggung jawab

yang lebih besar karena disamping tugasnya sebagai hakim biasa juga dibebani tugas

khusus memeriksa perkara-perkara pidana dimana terdakwanya adalah anak-anak.

Putusan hakim anak, disamping tindakan dan sikap perilaku hakim anak tersebut dalam

17

Page 18: patologi-sosial

menghadapi anak selama proses persidangan mempunyai pengaruh baik terhadap

psikologi anak maupun masa depan anak yang bersangkutan.

Oleh karena itu, dengan kebebasannya seorang hakim harus berani menjatuhkan

putusan secara cermat, adil, penuh kearifan dan bermanfaat bagi anak. Oleh karena itu

pula, persyaratan menjadi Hakim Anak haruslah khusus dan ketat. Apakah dalam

realitas pelaksanaan persidangan anak seorang Hakim Anak menjatuhkan putusan telah

benar-benar mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku

tanpa mengabaikan jaminan perlindungan terhadap anak.

A. Pengertian Anak dan Kejahatan Anak

Pengertian Anak Dalam Aspek Hukum Di Indonesia terdapat pengertian yang

beraneka ragam tentang anak, dimana dalam berbagai perangkat hukum yang berlaku

menentukan batasan usia anak yang berbeda-beda. Hal ini sering membingungkan

masyarakat awam mengenai pengertian anak itu sendiri secara hukum. Untuk itu

digunakan asas “lex specialis derogat lex generalis”, artinya bahwa hukum yang

bersifat khusus mengesampingkan hukum yang bersifat umum. Batas usia anak

merupakan pengelompokan usia maksimum sebagai wujud kemampuan anak dalam

status hukum, sehuingga anak tersebut beralih status menjadi usia dewasa atau menjadi

seorang subjek hukum yang dapat bertanggung jawab secara mandiri terhadap

perbuatan-perbuatan dan tindakan-tindakan hukum yang dilakukannya. Berikut ini

dapat dilihat beberapa pengertian anak dari berbagai peraturan perundang-undangan

yang berlaku di Indonesia

Pengertian Anak Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

(KUHPerdata). Diatur pada Pasal 330 KUHPerdata yang menentukan: “Belum dewasa

adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 tahun dan tidak lebih dahulu telah

kawin. Apabila perkawinan itu dibubarkan sebelum umur mereka genap 21 tahun,

maka mereka tidak kembali lagi dalam kedudukan belum dewasa.”

Pengertian Anak Menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang

Kesejahteraan Anak Diatur pada Pasal 1 angka 2 yang menentukan: “Anak adalah

seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun dan belum pernah kawin.”. Pengertian

Anak Menurut Undang-Undang No.3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak. Diatur

pada Pasal 1 yang menentukan: “Anak adalah orang yang dalam perkara Anak Nakal

18

Page 19: patologi-sosial

telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur delapan belas

tahun dan belum pernah kawin.”

Pengertian Anak Menurut Undang-Undang No.39 Tahun 1999 Tentang Hak

Asasi Manusia. Diatur pada Pasal 1 huruf 5 yang menentukan: “Anak adalah setiap

manusia yang berusia di bawah delapan belas tahun dan belum menikah, termasuk anak

yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya.”

Pengertian Anak Menurut Undang-Undang No.23 Tahun 2002 Tentang

Perlindungan Anak. Diatur pada Pasal 1 yang menentukan: “Anak adalah seseorang

yang belum berusia delapan belas tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.”

Pengertian Anak Menurut Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of the

Child) yang telah diratifikasi berdasarkan Keputusan Presiden No. 36 Tahun 1990.

Diatur pada Pasal 1 bagian 1 yang menentukan: “Seorang anak adalah setiap manusia

yang berusia 18 tahun kecuali berdasarkan Undang-Undang yang berlaku bagi anak-

anak kedewasaan dicapai lebih cepat.”

Pengertian Anak Menurut Hukum Adat. Menurut Hukum Adat tidak ada

ketentuan yang pasti kapan seseorang dapat dianggap dewasa atau mempunyai

wewenang untuk bertindak. Hasil penelitian Mr. Soepomo tentang Hukum Perdata

Jawa Barat menjelaskan bahwa ukuran kedewasaan seseorang diukur dari segi:

dapat bekerja sendiri;

cakap untuk melakukan apa yang disyaratkan dalam kehidupan bermasyarakat

dan bertanggung jawab;

dapat mengurus harta kekayaan sendiri;

telah menikah.

Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa dalam Hukum Adat ukuran kedewasaan tidak

berdasarkan hitungan usia tetapi ciri tertentu yang nyata. Pengelompokan usia anak ini

dimaksud untuk mengenal secara pasti faktor-faktor yang menjadi penyebab terjadinya

tanggung jawab anak dalam hal-hal berikut:

1. Kewenangan bertanggung jawab kepada anak;

2. Kemampuan untuk melakukan peristiwa hukum;

3. Pelayanan ukum terhadap anak yang melakukan tindak pidana;

4. Pengelompokan proses pemeliharaan;

5. Pembinaan yang efektif.

19

Page 20: patologi-sosial

Kejahatan anak sering dinyatakan dengan istilah Juvenile delinquency. Istilah

tersebut pertama kali ditampilkan pada Badan Peradilan Amerika Serikat dalam rangka

usaha membentuk suatu Undang-Undang Peradilan bagi anak di negara tersebut. Dalam

pembahasannya, ada kelompok yang menekankan pada sifat tindakan anak apakah

sudah menyimpang dari norma yang berlaku atau belum melanggar hukum. Namun

semua sepakat bahwa dasar pengertian kejahatan anak adalah perbuatan atau tingkah

laku yang bersifat anti sosial.

Terdapat beberapa definisi yang dikemukakan oleh para ilmuwan tentang

Juvenile delinquency. Menurut Kartini Kartono, yang dikatakan Juvenile delinquency

adalah perilaku jahat atau kejahatan/kenakalan anak-anak muda yang merupakan gejala

sakit (patologi) secara sosial pada anak-anak dan remaja yang disebabkan oleh suatu

bentuk pengabaian sosial, sehingga mereka itu mengembangkan bentuk pengabaian

tingkah laku yang menyimpang.

Menurut Fuad Hasan, Juvenile delinquency adalah perbuatan anti sosial yang

dilakukan oleh remaja yang apabila dilakukan oleh orang dewasa maka dikualifikasikan

sebagai kejahatan. a Semua perbuatan yang dari orang-orang dewasa merupakan suatu

kejahatan, bagi anak-anak merupakan delinquency. Jadi semua tindakan yang dilarang

oleh hukum pidana seperti mencuri, menganiaya, membunuh, dan sebagainya; b.

Semua perbuatan penyelewengan dari norma kelompok tertentu yang menimbulkan

keonaran dalam masyarakat, misalnya: memakai celana jangki tidak sopan, mode you

can see, dan sebagainya; c. Semua perbuatan yang menunjukkan kebutuhan

perlindungan bagi sosial, termasuk gelandangan, pengemis, dan lain-lain.

“Seorang anak digolongkan anak delinkuen apabila tampak adanya

kecenderungan-kecenderungan anti sosial yang demikian memuncaknya sehingga yang

berwajib terpaksa atau bhendaknya mengambil tindakan terhadapnya, dalam arti

menahannya atau mengasingkannya.” Menurut A. Merril, merumuskan Juvenile

delinquency sebagai berikut:

Tim Proyek Juvenile delinquency Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran

pada bulan Desember 1967 memberikan perumusan mengenai Juvenile delinquency,

yaitu suatu tindakan atau perbuatan yang dilakukan oleh seorang anak dianggap

bertentangan dengan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku di suatu negara dan oleh

masyarakat itu sendiri dirasakan serta ditafsirkan sebagai perbuatan yang tercela.

20

Page 21: patologi-sosial

Romli Atmasasmita menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan Juvenile

delinquency adalah setiap perbuatan atau tingkah laku seorang anak di bawah umur 18

tahun dan belum kawin yang merupakan pelanggaran terhadap norma-norma hukum

yang berlaku serta dapat membahayakan perkembangan pribadi si anak yang

bersangkutan.

Juvenile delinquency tersebut cenderung untuk dikatakan sebagai kenakalan

anak daripada kejahatan anak. Terlalu ekstrim rasanya apabila seorang anak yang

melakukan tindak pidana disebut sebagai penjahat. Sementara setiap manusia pasti

pernah mengalami kegoncangan semasa menjelang kedewasaanya diman tindakannya

merupakan manifestasi dari kepuberan remaja. Oleh karena itu, diperlukan pengawasan

dan pembinaan yang tepat terhadap anak sehingga masa transisinya dapat dilewati

dengan baik tanpa tindakan-tindakan yang menjurus kepada perbuatan kriminal. Dalam

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak, istilah “Anak Nakal”

digunakan untuk anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak,

baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain

yang hidup dan berlaku dalam masyarakat (Pasal 1)

Peradilan Anak pertama kali ada di Amerika Serikat yang diawali pada tahun

1899 di Chicago. Pengadilan itu sendiri dinamakan Juvennile Court of Cook Country,

yang kemudian diikuti oleh negara bagian lainnya. Di Belanda sendiri sudah terdapat

Undang-Undang Anak (kinderwetten) sejak tahun 1901 dimana mengenai anak-anak ini

yang penting untuk diperhatikan bukanlah mengenai masalah pemidanaan bagi mereka,

melainkan masalah pendidikan yang perlu diberikan kepada mereka.

Di Indonesia sendiri, Peradilan Anak terbentuk sejak lahirnya Undang-Undang

No.3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak. Dengan berlakunya undang-undang

tersebut mulai tanggal 03 Januari 1998, maka tata cara persidangan maupun penjatuhan

hukuman dilaksanakan berlandaskan undang-undang tersebut. Memang jauh sebelum

dibentuknya Undang-Undang Pengadilan Anak tersebut, pengadilan negeri telah

menyidangkan berbagai perkara pidana yang terdakwanya anak-anak dengan

menerapkan ketentuan-ketentuan yang ada dalam KUHP dan KUHAP.

Secara harafiah, Peradilan Anak terdiri dari dua kata yaitu kata peradilan dan

anak. Menurut kamus Bahasa Indonesia, peradilan berarti segala sesuatu mengenai

pengadilan. Jadi peradilan merupakan peristiwa atau kejadian/hal-hal yang terjadi

mengenai perkara di pengadilan. Secara sempit, peradilan adalah hal-hal yang

21

Page 22: patologi-sosial

menyangkut hukum acara yang hendak mempertahankan materiilnya. Sedangkan

secara luas adalah kejadian-kejadian/hal-hal yang terjadi dengan suatu perkara

termasuk proses penerapan hukum acara dalam mempertahankan materiilnya.

Secara juridis, peradilan merupakan kekuasaan kehakiman yang berbentuk

Badan Peradilan, dan dalam kegiatannya melibatkan lembaga Pengadilan, Kejaksaan,

Kepolisian, Bantuan Hukum, untuk memberikan perlindungan dan keadilan bagi setiap

warga Indonesia. Menurut Sudikno Mertokusumo, peradilan adalah suatu pelaksanaan

hukum dalam hal konkrit adanya tuntutan hak, yang fungsinya dijalankan oleh suatu

badan yang berdiri sendiri dan diadakan oleh negara serta bebas dari pengaruh apapun

atau siapapun dengan cara memberikan putusan yang bersifat mengikat dan bertujuan

mencegah “eigenrichting”

Penempatan kata “anak” dalam Peradilan Anak menunjukkan batasan atas

perkara yang ditangani yaitu perkara anak. Dengan demikian, proses memberi keadilan

berupa rangkaian tindakan yang dilakukan oleh Badan Peradilan tersebut juga harus

disesuaikan dengan kebutuhan anak. Adapun anak yang dapat disidangkan dalam

Peradilan Anak ditentukan secara limitatif, yaitu berumur minimum 8 (delapan) tahun

dan maksimum 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin. Apabila anak

melakukan tindak pidana pada batas umur tersebut, namun diajukan ke sidang

pengadilan setelah anak yang bersangkutan melampaui batas umur tersebut namun

belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun, maka tetap diajukan ke Sidang Anak

(Pasal 4 Undang-Undang no. 3 Tahun 1997). Petugas harus teliti dengan meminta

surat-surat yang ada hubungannya dengan kelahiran anak, seperti Akta Kelahiran.

Kalau tidak ada, dapat dilihat pada surat-surat yang lain, misalnya Surat Tanda Tamat

Belajar, Kartu Pelajar, Surat Keterangan Kelahiran.

Bentuk Peradilan Anak jika didasarkan pada tolok ukur uraian tentang

pengertian dari peradilan dan anak, serta motivasi tetuju demi kepentingan anak untuk

mewujudkan kesejahteraannya maka tidak ada bentuk yang cocok bagi Peradilan Anak

kecuali sebagai peradilan khusus. Demikianlah kenyataan yang terjadi di negara-negara

yang telah mempunyai lembaga Peradilan Anak. Mereka menempatkan bentuk dan

kedudukan secara khusus di dalam sistem peradilan negara masing-masing walaupun

istilah yang dipakai berbeda-beda.

22

Page 23: patologi-sosial

B. Fungsi dan Tujuan Peradilan Anak

Fungsi Peradilan Anak pada umumnya adalah tidak berbeda dengan peradilan

lainnya yaitu menerima, memeriksa, dan mengadili serta menyelesaikan perkara yang

diajukan kepadanya. Namun untuk Peradilan Anak perkara yang ditangani khusus

menyangkut perkara anak. Diberikan perlakuan khusus dalam rangka menjamin

pertumbuhan fisik serta mental anak sebagai generasi penerus yang harus diperhatikan

masa depannya.

Untuk memberikan suatu keadilan, hakim melakukan berbagai tindakan dengan

menelaah terlebih dahulu tentang kebenaran peristiwa yang diajukan kepadanya. Dalam

mengadili, hakim berusaha menegakkan kembali hukum yang dilanggar oleh karena itu

biasa dikatakan bahwa hakim atau pengadilan adalah penegak hukum. Pengadilan

dalam mengadili harus berdasarkan hukum yang berlaku meliputi hukum yang tertulis

dan hukum yang tidak tertulis. Dalam pelaksanaanya, fungsi tersebut dijalankan oleh

pejabat-pejabat khusus Peradilan Anak. Dengan kata lain, fungsi tersebut tidak akan

tercapai tanpa adanya pemegang peran yaitu pejabat-pejabat peradilan.

Demikian pula dengan tujuan Peradilan Anak, bukanlah semata-mata

mengutamakan pidananya saja sebagai unsur utama, melainkan perlindungan bagi masa

depan anak adalah sasaran yang hendak dicapai oleh Peradilan Anak.

Tujuan peradilan bukan hanya menyatakan terbukti tidaknya suatu peristiwa

konkrit dan kemudian menjatuhkan putusan saja, melainkan menyelesaikan perkara.

Putusan itu harus menuntaskan perkara, jangan sampai putusan itu tidak dapat

dilaksanakan atau bahkan menimbulkan perkara atau masalah baru. Mengingat bahwa

anak harus mendapat perlindungan dan oleh karena itu perlu mendapat perhatian dan

perlakuan khusus pula, maka dalam Peradilan Anak ini janganlah hendaknya

ditititkberatkan kepada terbukti tidaknya perbuatan atau pelanggaran yang dilakukan si

anak semata-mata tetapi harus lebih diperhatikan dan dipertimbangkan latar belakang

dan sebab-sebab serta motivasi pelanggaran atau perbuatan yang dilakukan oleh si anak

dan apa kemungkinan akibat putusan itu bagi si anak demi masa depan si anak.

Dengan demikian, melalui Peradilan Anak diharapkan adanya suatu perbaikan

kondisi, pemeliharaan dan perlindungan anak serta pencegahan terjadinya pengulangan

kejahatan anak melalui tindakan pengadilan yang konstruktif. Tindakan yang dapat

dijatuhkan ialah:

23

Page 24: patologi-sosial

1) Mengembalikan kepada orang tua, wali, atau orang tua asuh; Meskipun anak

dikembalikan kepada orang tua, wali, atau orang tua asuh, anak tersebut tetap

berada di bawah pengawasan dan bimbingan Pembimbing Kemasyarakatan

antara lain mengikuti kegiatan kepramukaan.

2) Menyerahkan kepada negara untuk mengikut pendidikan, pembinaan dan

latihan kerja;Apabila hakim berpendapat bahwa orang tua, wali, atau orang tua

asuh tidak dapat memberikan pendidikan dan pembinaan yang lebih baik, maka

hakim dapat menetapkan anak tersebut ditempatkan di Lembaga

Pemasyarakatan Anak untuk mengikuti pendidikan, pembinaan dan latihan

kerja. Sehubungan dengan hal tersebut, demi kepentingan anak Undang-Undang

memberi wewenang kepada Kepala Lembaga Pemasyarakatan Anak dapat

mengajukan izin kepada Menteri Kehakiman RI agar anak negara yang

bersangkutan ditempatkan di lembaga pendidikan anak yang diselenggarakan

oleh pemerintah atau swasta (Pasal 31 ayat (2)). Kewenangan tersebut diberikan

karena kepala instansi ini dipandang mengetahui dengan baik mengenai

perkembangan anak selama menjalani pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan

Anak, serta pembinaan anak negara selanjutnya. Setelah mendapat izin dari

Menteri Kehakiman, anak negara tersebut dipindahkan dari Lembaga

Pemasyarakatan Anak ke lembaga pendidikan anak. Lembaga inilah yang

menyelenggarakan kegiatan dalam rangka memberikan pendidikan bagi anak

baik jasmani, rohani maupun sosial anak.

3) Menyerahkan kepada Departemen Sosial, atau Organisasi Sosial

Kemasyarakatan yang bergerak di bidang pendidikan, pembinaan dan latihan

kerja seperti: pesantren, panti sosial, dan lembaga sosial lainnya dengan

memperhatikan agama anak yang bersangkutan.

Tindakan sebagaimana dimaksud di atas dapat disertai dengan teguran dan

syarat tambahan yang ditetapkan oleh hakim. Teguran dapat dilakukan secara langsung

oleh akim atau tidak langsung oleh orang tua atau wali atau orang tua asuh. Teguran itu

berupa peringatan kepada anak untuk tidak melakukan tindak pidana lagi. Terhadap

anak yang melakukan tindak pidana apabila belum mencapai umur 12 (dua belas) tahun

melakukan tindak pidana yang diancam pidana mati atau pidana penjara seumur hidup,

maka terhadap anak tersebut hanya dapat dijatuhi tindakan: menyerahkan kepada

negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan dan latihan kerja (Pasal 26 ayat (3))

24

Page 25: patologi-sosial

Apabila anak belum mencapai umur 12 (dua belas tahun) melakukan tindak pidana

yang tidak diancam pidana mati atau tidak diancam pidana penjara seumur hidup, maka

terhadap anak tersebut dijatuhkan salah satu tindakan (Pasal 26 ayat (4)).

Terhadap sanksi hukum di atas, hakim tidak boleh menjatuhkan kumulasi

hukuman kepada terdakwa artinya hukuman pidana dan hukuman tindakan tidak boleh

dijatuhkan sekaligus. Apabila hukuman pidana tidak dijatuhkan, hakim hanya dapat

menjatuhkan hukuman tindakan saja (Pasal 22). Demikian juga semua putusan hakim

dalam perkara apapun wajib diucapkan dalam sidang “terbuka untuk umum” (Pasal 59

ayat (3)).

C. Faktor-Faktor Penyebab Anak Melakukan Kejahatan

Berbicara tentang pola tingkah laku anak sangat erat kaitannya dengan fase-fase

atau tahap perkembangan yang merupakan pembabakan rentang perjalanan kehidupan

individu yang diwarnai ciri-ciri khusus atau pola-pola tingkah laku tertentu. Sebab pada

umumnya bahwa dalam fase perkembangan ini individu mengalami masa-masa

kegoncangan. Kegoncangan psikis hampir dialami oleh semua orang, dimana selama

masa perkembangan pada umumnya individu mengalami masa kegoncangan dua kali,

yaitu pada kira-kira tahun ketiga atau keempat, dan permulaan masa pubertas.

Berdasarkan kedua masa kegoncangan tersebut, perkembangan individu dapat

digambarkan melewati tiga periode atau masa, yaitu:

1. Dari lahir sampai masa kegoncangan pertama (tahun ketiga atau keempat yang biasa

disebut “masa kanak-kanak”;

2. Dari masa kegoncangan pertama sampai pada masa kegoncangan kedua yang biasa

disebut “masa keserasian bersekolah”;

3. Dari masa kegoncangan kedua sampai akhir masa remaja yang biasa disebut “masa

kematangan”.

Untuk mencapai kematangannya, maka mereka memerlukan bimbingan karena

mereka masih kurang memiliki pemahaman atau wawasan tentang dirinya dan

lingkungannya, juga pengalaman dalam menentukan arah kehidupannya. Anak-anak

yang beresiko tinggi sejak awal dapat diketahui atau diidentifikasi oleh orangtua, guru,

petugas panti asuhan, pelatih bermain anak, dan pekerja-pekerja lain yang dekat dengan

anak. Berdasarkan hasil penelitian, ada tujuh latar belakang dan karakteristik pribadi

25

Page 26: patologi-sosial

untuk memprediksikan perilaku anak yang beresiko tinggi melakukan tindak pidana

yaitu:

1. Umur, anak yang lebih muda jika masuk ke suatu sistem tertentu akan mempunyai

resiko lebih tinggi;

2. Pscyhological variables, yaitu sifat pembantah, susah diatur, merasa kurang

dihargai;

3. School performance, yaitu anak yang bermasalah di sekolah dengan tingkah lakunya,

pembolos;

4. Home adjustment, yaitu kurang interaksi dengan orangtua dan saudara, kurang

disiplin dan pengawasan, minggat dari rumah;

5. Drugs and alcohol use, yaitu penggunaan alkohol dan obat, anak yang sudah mulai

memakai alkohol apabila orangtuanya punya riwayat pemakai alkohol;

6. Neighbourood (lingkungan tetangga), dimana lingkungan mudah mempengaruhi

anak seperti kemelaratan, masalah sosial dan perilaku;

7. Sosial adjustment of peers (pengaruh kekuatan teman sebaya), pertemanan

mempengarui perilaku termasuk delinquency, obat-obatan, bolos dan kekacauan di

sekolah (onar), geng, sex, dan lain-lain.

Remaja seringkali menempatkan posisi teman sebaya dalam posisi prioritas

apabila dibandingkan dengan orangtua, atau guru dalam memyatakan kesetiaanya.

Kathleen Salle dalam hasil penelitiannya menyatakan ada beberapa faktor sosial yang

menyebabkan terjadinya tindak pidana yaitu:

1. Jenis kelamin dan perilaku delinquency. Anak perempuan lebih sedikit

keterlibatannya dengan delinquency dan lebih jarang dalam kejahatan dibandingkan

dengan anak laki-laki. Hal ini dapat dilihat dari jumlah anak-anak yang dilaporkan

melakukan tindak pidana di kepolisian, jumlah kasus perkara pidana yang masuk

dan diselesaikan di Pengadilan Negeri Medan dan jumlah anak yang berada di

Lembaga Pemasyarakatan Anak;

2. Adanya pengaruh teman bermain anak, dimana anak yang bergaul dengan anak yang

tidak sekolah dan kurang perhatian dari orangtuanya maka anak tersebut besar

kemungkinan melakukan delinquency;

3. Kebanyakan anak yang melakukan kejahatan adalah anak-anak dari kelas ekonomi

rendah/lemah. Perilaku kriminil ini disebabkan oleh kekurangan fasilitas untuk

bermain dan belajar yang sesuai dengan masa perkembangan kejiwaan anak.

26

Page 27: patologi-sosial

Disamping itu, orangtua mereka kurang memperhatikan kebutuhan anak-anaknya

dikarenakan keterbatasan ekonomi. Sehingga pada akhirnya, anak-anak tersebut

harus melakukan kegiatan-kegiatan yang menurutnya adalah sesuatu yang

menyenangkan. Disamping itu, dikarenakan kekurangan uang menyebabkan anak-

anak mengambil barang orang lain untuk dimilikinya atau untuk memenuhi

kebutuhan pribadinya seperti: anak melakukan pencurian sandal dan pakaian,

mengambil mainan temannya, mengambil tape mobil, dan sebagainya;

4. Disamping kekurangan ekonomi, kebanyakan anak yang terlibat dalam delinquency

adalah anak-anak yang berasal dari keluarga broken home. Adanya pengaruh

keluarga yang berantakan (broken home) dengan perilaku nakal anak, pernah

dilakukan penelitian oleh para peneliti dari Amerika Serikat. Banyak hasil penelitian

memberikan dukungan bahwa delinquency disebabkan oleh suatu keadaan broken

home. Diantaranya George B. Mangold, menyatakan bahwa broken home

diperkirakan sebagai salah satu penyebab delinquency yang paling sering .

Selanjutnya L. Edward Wells dan H. Rankin mempelajari hubungan broken

home dan delinquency, dari hasil penelitian yang dilakukan Edward didapat kesimpulan

bahwa:

1. Kemungkinan broken home menyebabkan delinquency 10-15 % lebih tinggi daripada

tidak broken home;

2. Hubungan di antara broken home dan delinquency lebih kuat pada bentuk-bentuk

kriminal ringan pada anak pelaku dan tidak begitu mempengaruhi pada kriminal

serius seperti pencurian, dan kekerasan kepada seseorang;

3. Bentuk dari broken home menentukan apakah dapat menyebabkan delinquency atau

tidak. Contoh: broken home karena perceraian orangtua lebih kuat daripada karena

orangtua meninggal;

4. Umur anak pada saat broken home tidak mempengaruhi delinquency;

5. Tidak ada beda pengaruh broken home pada anak laki-laki atau perempuan.

Menurut Elizabet Hurlock, Alexander Schneiders, dan Lore terdapat beberapa

pola sikap atau perlakuan orangtua terhadap anak yang masing-masing mempunyai

pengaruh tersendiri teradap kepribadian anak. Pola-pola tersebut dapat disimak pada

tabel berikut:

27

Page 28: patologi-sosial

POLA PERLAKUAN

ORANG TUA

PERILAKU ORANGTUA PROFIL TINGKAH LAKU

ANAK

1. Overprotection

(terlalu melindungi)

1. Kontak yang berlebihan

dengan anak;

2. Perawatan/ pemberian

bantuan kepada anak yang

terus-menerus, meskipun

anak yang sudah mapu

merawat dirinya sendiri;

3. Mengawasi kegiatan anak

secara berlebihan;

4. Memecahkan masalah anak.

1. Perasaan tidak aman;

2. Agresif dan dengki;

3. Mudah merasa gugup;

4. Melarikan diri dari kenyataan;

5. Sangat tergantung;

6. Bersikap menyerah;

7. Ingin menjadi pusat perhatian;

8. Lemah dalam “ego strenght”.

Aspiratif dan toleransi teradap

frustasi;

9. Kurang mampu mengendalikan

emosi;

10. Menolak tanggung jawab;

11. Kurang percaya diri;

12. Mudah terpengaruh;

13. Peka terhadap kritik;

14. Bersikap “yes men”;

15. Egois/selfish;

16. Suka bertengkar;

17. Troublemaker (pembuat onar);

18. Sulit dalam bergaul;

19. Mengalami “homesick”

2. Permissiveness

(Pembolehan)

1. Memberikan kebebasan

untuk berpikir atau

berusaha;

2. Menerima gagasan/

pendapat;

3. Membuat anak merasa

diterima dan merasa kuat;

4. Toleran dan memahami

kelemahan anak;

5. Cenderung lebih suka

memberi yang diminta anak

1. Pandai mencari jalan keluar;

2. Dapat bekerjasama;

3. Percaya diri;

4. Penuntut dan tidak sabaran.

28

Page 29: patologi-sosial

daripada menerima.

3. Rejection

(Penolakan)

1. Bersikap masa bodoh;

2. Bersikap kaku;

3.Kurang memperdulikan

kesejahteraan anak;

4. Menampilkan sikap

permusuhan atau dominasi

terhadap anak.

1. Agresif (mudah marah, gelisah,

tidak patuh/keras kepala, suka

bertengkar dan nakal);

2. Submissive (kurang dapat

mengerjakan tugas, pemalu, suka

mengasingkan diri, mudah

tersinggung dan penakut);

3. Sulit bergaul;

4. Pendiam;

5. Sadis.

4. Acceptance

(Penerimaan)

1. Memberikan perhatian dan

cinta kasih yang tulus

kepada anak;

2. Menempatkan anak dalam

posisi penting di dalam

rumah;

3. Mengembangkan hubungan

yang hangat dengan anak;

4. Bersikap respek terhadap

anak;

5. Mendorong anak untuk

menyatakan perasaan atau

pendapatnya;

6. Berkomunikasi dengan

anak secara terbuka dan

mau mendengarkan

masalahnya yang jelas

untuk mencapai masa

depan;

1. Mau bekerjasama (kooperatif);

2. Bersahabat (friendly);

3. Loyal;

4. Emosinya stabil;

5. Ceria dan bersikap optimis;

6. Mau menerima tanggung jawab;

7. Jujur;

8. Dapat dipercaya;

9. Memiliki perencanaan

10. Bersikap realistik (memahami

kekuatan dan kelemahan

dirinya secara objektif).

5. Domination

(Dominasi)

Mendominasi anak 1. Bersikap sopan dan sangat

berhati-hati;

2. Pemalu, penurut, inferior dan

mudah bingung;

3. Tidak dapat bekerjasama.

6. Submission 1.Senantiasa memberikan 1. Tidak patuh;

29

Page 30: patologi-sosial

(Penyerahan) sesuatu yang diminta anak;

2.Membiarkan anak

berperilaku semaunya di

rumah.

2. Tidak bertanggung jawab;

3. Agresif dan teledor/lalai;

4. Bersikap otoriter;

5. Terlalu percaya diri.

7. Punitiveness/

Overdicipline (Terlalu

disiplin)

1.Mudah memberikan

hukuman;

2.Menanamkan kedisiplinan

secara keras.

1. Impulsif;

2. Tidak dapat mengambil

keputusan;

3. Nakal;

4. Sikap bermusuhan dan agresif.

Iklim keluarga yang sehat atau perhatian orangtua yang penuh kasih sayang

merupakan faktor esensial yang memfasilitasi perkembangan perkembangan psikologis

anak tersebut. Keluarga yang hubungan antar anggotanya tidak harmonis, penuh

konflik, atau gap communication dapat mengembangkan masalah-masalah kesehatan

mental (mental illness) bagi anak. Dalam kondisi seperti inilah banyak remaja yang

meresponinya dengan sikap dan perilaku yang kurang wajar bahkan amoral, seperti:

kriminalitas, meminum minuman keras, penyalahguanaan obat terlarang, tawuran dan

pergaulan bebas. Syamsu Yusuf mengemukakan beberapa faktor-faktor yang

mempengaruhi perilaku menyimpang pada anak/remaja:

1. Kelalaian orangtua dalam mendidik anak (memberikan ajaran dan bimbingan tentang

nilai-nilai agama);

2. Perselisihan atau konflik orangtua (antar anggota keluarga);

3. Sikap perlakuan orangtua yang buruk terhadap anak;

4. Perceraian orangtua;

5. Kehidupan ekonomi keluarga yang morat marit (miskin/fakir);

6. Penjualan alat-alat kontrasepsi yang kurang terkontrol;

7. Diperjualbelikannya minuman keras atau obat-obatan terlarang secara bebas;

8. Hidup menganggur;

9. Kehidupan moralitas masyarakat yang bobrok;

10. Kurang dapat memanfaatkan waktu luang;

11. Beredarnya film-film atau bacaan-bacaan porno;

12.Pergaulan negatif (teman bergaul yang sikap dan perilakunya kurang

memperhatikan nilai-nilai moral).

30

Page 31: patologi-sosial

Sementara itu, Muhidin mengkategorikan sebab-sebab kenakalan anak-anak

menjadi tiga kelompok, yaitu faktor individu, faktor keluarga, faktor masyarakat:

1. Faktor individu. Di antara faktor individu ini adalah kondisi biologis seperti cacat

fisik, kelemahan biologis yang mengakibatkan pertumbuhan dan tingkah laku

abnormal. Anak-anak yang mengalami kemunduran mental (mentally retarded) dan

pertumbuhan intelegensi di bawah normal, psychopathic, neorosa memungkinkan

anak-anak melakukan tindakan sosial. Bentuk-bentuk lain yang mengakibatkan

tingkah laku kenakalan anak termasuk ketidakstabilan emosi yang disebabkan oleh

rasa rendah diri, temperamen yang tidak terkontrol dan konflik-konflik dalam diri.

Sebab-sebab lain dari kenakalan yang termasuk faktor individu adalah kebiasaan

pada waktu kecil yang selalu dalam keadaan ketakutan dan penyalahgunaan alkohol

dan narkotika;

2. Faktor keluarga. Pengaruh-pengaruh negatif dari kehidupan keluarga seperti

perceraian, rumah tangga yang mengalami perpecahan sehingga anak-anak menjadi

terlantar. Anak-anak yang tanpa mendapatkan kasih sayang dan perawatan yang

wajar, keluarga yang selalu bertengkar, tanpa disiplin serta kondisi perumahan yang

tidak memadai, kurangnya waktu luang dan rekreasi serta kurangnya pendidikan

moral dan agama dalam keluarga juga menyebabkan kenakalan;

3. Faktor masyarakat. Pengaruh dari gangster dan street corner association (kelompok

anak jalanan) yang disebabkan oleh kurangnya rekreasi yang sehat dan community

centre atau youth centers yang mendorong anak untuk berkumpul dan berkenalan

dengan peminum, penjudi, dan prostitut. Juga pengaruh negatif dari film, majalah,

buku, dan surat kabar.

4. Dampak Korupsi Terhadap Kehancuran Negara dan Upaya

Penanggulangannya.

A. Pendahuluan

Kemajuan suatu negara sangat ditentukan oleh kemampuan dan keberhasilannya

dalam melaksanakan pembangunan. Pembangunan sebagai suatu proses perubahan

yang direncanakan mencakup semua aspek kehidupan masyarakat. Efektifitas dan

31

Page 32: patologi-sosial

keberhasilan pembangunan terutama ditentukan oleh dua faktor, yaitu sumberdaya

manusia, yakni (orang-orang yang terlibat sejak dari perencanaan samapai pada

pelaksanaan) dan pembiayaan. Diantara dua faktor tersebut yang paling dominan

adalah faktor manusianya.

Indonesia merupakan salah satu negara terkaya di Asia dilihat dari

keanekaragaman kekayaan sumber daya alamnya. Tetapi ironisnya, negara tercinta ini

dibandingkan dengannegara lain di kawasan Asia bukanlah merupakan sebuah negara

yang kaya malahan termasuk negara yang miskin. Mengapa demikian? Salah satu

penyebabnya adalah rendahnya kualitas sumber daya manusianya. Kualitas tersebut

bukan hanya dari segi pengetahuan atau intelektualnya tetapi juga menyangkut kualitas

moral dan kepribadiannya. Rapuhnya moral dan rendahnya tingkat kejujuran dari

aparat penyelenggara negara menyebabkan terjadinya korupsi.

Korupsi di Indonesia dewasa ini sudah merupakan patologi sosial (penyakit

sosial) yang sangat berbahaya yang mengancam semua aspek kehidupan

bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Korupsi telah mengakibatkan kerugian

materiil keuangan negara yang sangat besar. Berdasarkan laporan pemberantasan

korupsi Kwik Kian Gie yang dimuat diharian Kompas 25 Oktober 2003 jumlahnya

mencapai Rp 444 triliun.

Namun yang lebih memprihatinkan lagi adalah terjadinya perampasan dan

pengurasan keuangan negara yang dilakukan secara kolektif oleh kalangan anggota

legislatif dengan dalih studi banding, THR, uang pesangon dan lain sebagainya di luar

batas kewajaran. Bentuk perampasan dan pengurasan keuangan negara demikian terjadi

hampir di seluruh wilayah tanah air. Hal itu merupakan cerminan rendahnya moralitas

dan rasa malu, sehingga yang menonjol adalah sikap kerakusan dan aji mumpung.

Persoalannya adalah dapatkah korupsi diberantas?

Tidak ada jawaban lain kalau kita ingin maju, adalah korupsi harus diberantas.

Jika kita tidak berhasil memberantas korupsi, atau paling tidak mengurangi sampai

pada titik nadir yang paling rendah maka jangan harap Negara ini akan mampu

mengejar ketertinggalannya dibandingkan negara lain untuk menjadi sebuah negara

yang maju. Karena korupsi membawa dampak negatif yang cukup luas dan dapat

membawa negara ke jurang kehancuran. Korupsi merupakan suatu bentuk patologi

sosial yang sangat berbahaya yang mengancam semua aspek kehidupan bermasyarakat,

berbangsa dan bernegara. Masalah korupsi bukan hanya disebabkan oleh kemiskinan

32

Page 33: patologi-sosial

dan moral. Karena banyak pelaku tindak korupsi justru orang kaya bukan orang miskin.

Begitu juga kalau dilihat dari sisi agama, ada pelaku korupsi yang merupakan tokoh

agama. Oleh karena itu masalah korupsi adalah masalah yang kompleks dan pengaruhi

oleh banyak faktor. Berbagai faktor yang diidentifikasi berpengaruh terhadap terjadinya

tindakan korupsi dapat digambarkan pada bagan analisis pohon masalah sebagai berikut

:

Dari berbagai faktor penyebab terjadinya korupsi tersebut maka yang menjadi focus

masalah dalam tulisan ini adalah bagaimana meningkatkan kesadaran masyarakat untuk

anti korupsi dan malu melakukan korupsi?

Tujuan yang ingin dicapai melalui penulisan ini untuk menggugah kesadaran

masyarakat khususnya kelangan birokrasi untuk berperilaku anti korupsi sehingga

tercipta apparatur Negara yang bersih dari korupsi. Dengan demikian maka

pelaksanaan pembangunan bisa berjalan baik, pelayanan publik meningkat dan

kemiskinan berkurang. Selain itu, dengan pelaksanaan pembangunan yang meningkat

maka kesejahteraan masyarakat dapat meningkat, serta martabat negara di mata dunia

internasional akan lebih baik dan pembangunan pun dapat berkelanjutan. Analisis

pohon tujuan dapat digambarkan pada bagan berikut ini.

33

Page 34: patologi-sosial

B. Korupsi, Bentuk dan Prakteknya di Indonesia

Secara epistemologis, korupsi merupakan perbuatan tercela yang bertentangan

dengan tata nilai, norma, hukum dan agama. Korupsi merupakan suatu bentuk

perbuatan tercela yang merugikan negara, orang atau pihak lain. The Lexicon 1978

dalam Andi Hamzah (1984) Aparatur Bersih Negara Bersih dari Korupsi mengartikan

korupsi sebagai sesuatu perbuatan yang busuk, buruk, bejat, tidak jujur, dapat disuap,

dan tidak bermoral,.. Dari sisi hukum, Baharudin Lopa dan Moh. Yamin mengartikan

korupsi sebagai suatu tindak pidana yang berhubungan dengan perbuatan penyuapan

dan manipulasi serta perbuatan-perbuatan lain yang merugikan atau dapat merugikan

keuangan atau perekonomian negara, merugikan kesejahteraan dan kepentingan rakyat.

Konsep yang lebih sederhana tentang korupsi dikemukakan oleh Senturia (1993) dalam

Jeremy Pope (2003) korupsi adalah penyalahgunaan kekuasaan, kepercayaan untuk

keuntungan pribadi. Kartini Kartono (2002) memberi pengertian yang hampir sama

dengan Senturia, bahwa korupsi adalah tingkah laku individu yang menggunakan

wewenang dan jabatan guna mengeruk keuntungan pribadi, merugikan kepentingan

umum dan negara.

Gerald E. Caiden (1998) yang dikutif Jeremy Pope (2003) memaparkan secara

rinci bentuk-bentuk korupsi yang umum di kenal dalam kehidupan bermasyarakat,

berbangsa dan bernegara antara lain adalah:

34

Page 35: patologi-sosial

(1) berkhianat, transaksi luar negeri illegal dan penyelundupan,

(2) menggelapkan barang milik lembaga, negara , swastanisasi anggaran

pemerintah, menipu dan mencuri,

(3) menggunakan uang negara/lembaga yang tidak tepat, memalsukan dokumen

dan menggelapkan uang, mengalirkan uang lembaga ke rekening pribadi,

menggelapkan pajak dan menyalagunakan dana,

(4) menyalagunakan wewenang, menipu, mengecoh, mencurangi, memperdaya

dan memeras,

(5) penyuapan dan penyogokan, mengutip pungutan dan meminta komisi,

(6) menjual tanpa izin jabatan pemerintah, barang milik pemerintah/negara, dan

surat izin pemerintah,

(7) manipulasi peraturan, pembelian barang persediaan, kontrak dan pinjaman

uang,

(8) menghindari pajak, meraih laba berlebih-lebihan,

(9) menerima hadiah, uang pelican dan hiburan dan perjalanan yang tidak pada

tempatnya, dan

(10) menyalagunakan stempel dan kertas surat kantor, rumah jabatan dan hak

istimewa jabatan.

Di Indonesia jenis praktek korupsi sudah merambah hampir ke semua sektor

yang menyangkut kepentingan publik. Hasil survei yang dilakukan Transparency

Internastional Indonesia tentang jenis paraktek korupsi yang terjadi di Indonesia dapat

dilihat pada tabel

berikut.

Jenis/Praktek Korupsi di Indonesia

Jenis Korupsi Sektor dan AlokasiManipulasi uang negara • Pengadaan barang dan jasa konstruksi

• Pekerjaan umum• Pengadaan dan jasa militer• Pengadaan barang dan jasa pemerintah

Suap dan pemerasan • Polisi dan peradilan• Pajak dan bea cukai• Perizinan

Politik uang * Partai politik dan DPRKolusi bisnis • Militer dan polisi via koperasi dan

yayasan• Yayasan koperasi pegawai pemerintahan

Sumber : Transparency International Indonesia, 2003

35

Page 36: patologi-sosial

Hasil survei itu menunjukkan bahwa korupsi dalam bentuk manipulasi uang

negara, sektor yang paling korup adalah sektor pengadaan barang dan jasa konstruksi ,

pekerjaan umum, perlengkapan militer dan pengadaan barang dan jasa pemerintah.

Jenis korupsi yang berupa suap dan pemerasan yang paling korup terjadi di lembaga

penegak hukum, yaitu kepolisian dan peradilan. Sedangkan untuk jenis kolusi bisnis,

korupsi terbesar terjadi pada tubuh militer, kepolisian dan pegwai pemerintah yang

dilakukan melalui koperasi dan yayasan.

Hasil survei tersebut membuat kita semakin prihatin terhadap upaya penegakan

hukum dalam memberantas korupsi dan tidakan kejahatan lainnya, seperti narkoba,

pencurian kendaraan bermotor, pemerkosaan dan sebagainya karena kepolisian dan

peradilan sebagai aparat penegak hukum sudah menjadi sarang suap yang bisa dibeli

oleh orang-orang yang melakukan kejahatan. Kalau para penegak hukum sudah bisa

disuap atau dibeli untuk memutar balikkan fakta atau untuk menutup mata dan telinga

atas kebenaran dan keadilan maka jangan harap para koruptor dan penjahat akan takut

melakukan kejahatannya. Tetapi justru bisa membuat mereka semakin nekat. Karena

mereka bisa mengkalkulasi antara kejahatan yang dilakukan dan kemungkinan uang

suap yang harus disediakan andaikata tertangkap atau ketahuan.

Korupsi di Indonesia dewasa ini sudah merupakan suatu bentuk patologi sosial

(penyakit sosial) yang sangat berbahaya yang mengancam semua aspek kehidupan

bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, baik yang dilakukan secara perorangan

maupun secara kolektif. Pada era Orde Baru, korupsi masih dilakukan secara

tersembunyi. Tetapi pada era reformasi, di samping yang dilakukan secara sembunyi

muncul korupsi gaya baru dalam bentuk perampasan atau pengurasan keuangan negara

yang dilakukan secara kolektif oleh kalangan legislatif dengan dalih studi banding,

THR, uang pesangon dan sebagainya di luar batas kewajaran secara lebih terbuka.

Korupsi jenis ini hampir terjadi di seluruh pelosok tanah air. Dan ini lebih

menyedihkan, karena pelakunya adalah lembaga yang menyebut diri sebagai wakil

rakyat yang mestinya merupakan lembaga yang paling konsern dan paling gigih dalam

memperjuangkan kepentingan rakyat bukan menjadi perampok atau perampas uang

rakyat, seperti yang dilakukan oleh 43 orang anggota DPRD Sumatera Barat.

Dilihat dari Indeks Persepsi Korupsi (IPK) yang dikeluarkan oleh lembaga

Transparency Internasional (TI) Indonesia tahun 2003 menempatkan Indonesia sebagai

36

Page 37: patologi-sosial

Negara yang terkorup di kawasan Asia Tenggara dan urutan 6 terkorup di antara 133

negara di dunia. Lahirnya era reformasi merupakan tonggak yang diharapkan mampu

memberantas korupsi dan dapat melaksanakan pembangunan secara lebih baik serta

lebih berpihak kepada kepentingan rakyat. Tetapi harapan itu tidak kunjung tiba dan

bahkan praktek korupsipun semakin menjadi.

C. Dampak Korupsi Terhadap Kehancuran Negara

Korupsi yang telah merajalela tersebut mempunyai dampak yang merugikan

dan merusak

tatanan dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara. Dampak langsung

yang paling terasa adalah kerugian negara secara material yang sangat besar seperti

terlihat pada table 3 berikut ini.

Tabel : Perkiraan kekayaan negara yang dikorup pertahun

Sumber : Lamporan pemberantasan korupsi oleh Kwik Kian Gie, kompas, 25 Oktober

2003

Mencermati komponen kekayaan negara yang dikorup di atas, masih banyak

sektor lain yang belum tercakup, seperti sektor pertambangan, perkebunan serta

kebocoran-kebocoran yang terjadi pada APBD di hampir semua daerah yang

melibatkan kalangan legislatif dan eksekutif, maka jumlah kerugian negara riil jauh

lebih besar.

Kekayaan negara yang dikorup tersebut jauh lebih besar dibandingkan dengan

APBN tahun 2003 yang berjumlah Rp 370 triliun. Hal ini berarti, jika tidak terjadi

korupsi terhadap kekayaan negara maka kemampuan pembiayaan pembangunan

melalui APBN dapat meningkat.

37

Page 38: patologi-sosial

Dan itu berarti bahwa pelaksanaan pembangunan di berbagai sektor dapat lebih

ditingkatkan terutama yang berkaitan dengan pemberantasan kemiskinan dan

pembiayaan sektor yang bersfat strategis, seperti sektor pendidikan dan kesehatan.

Dengan demikian akan dapat mendongkrak peningkatan kualitas sumberdaya manusia

pada masa depan dan diharapkan dapat berimbas pada peningkatan produktivitas secara

nasional.

Di samping kerugian material juga terjadi kerugian yang bersifat

immaterial,yaitu citra dan martabat bangsa kita di dunia internasional. Predikat kita

sebagai negara yang terkorup di nkawasan Asia Tenggara merupakan citra yang sangat

mamalukan. Tetapi anehnya para pemimpin di negeri ini masih adem ayem, tebal muka

dan tidak memiliki rasa malu sehingga membiarkan praktek korupsi semakin menjadi-

jadi.

Di samping kerugian material dan immaterial, korupsi juga membawa dampak

pada penciptaan ekonomi biaya tinggi. Karena korupsi menyebabkan inefisiensi dan

pemborosan dalam ekonomi. Uang pelicin, sogok/suap, pungutan dan sejenisnya akan

membebani komponen biaya produksi. Pemerintah yang korup akan membebani sektor

swasta dengan urusan-urusan yang luar biasa berat. Ditunjukan oleh Jeremy Pope

(2003) bahwa di Ukraina pada tahun 1994 perusahaan-perusahaan yang disurvai

melaporkan bahwa mereka menghabiskan rata-rata 28 % dari waktu kerja semata-mata

untuk berurusan dengan pemerintah dan pada tahun 1996 meningkat menjadi 37 %.

Jika tidak ada langkah-langkah dan tindakan nyata pemerintah dalam memberantas

korupsi, maka upaya pemerintah untuk menarik investor asing menanamkan

investasinya di Indonesia dengan melakukan kunjungan ke berbagai negara

menghabiskan uang miliaran rupiah hanya akan merupakan tindakan yang merugi.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Prof. Shang-Jin-Wei , guru besar pada

Kennedy School of Government, Harvard University yang dikutip oleh Jeremy Pope

(2003) menunjukkan bahwa kenaikan satu angka tingkat korupsi berkorelasi dengan

turunnya total investasi asing sebesar 16 persen. Karena memburuknya korupsi di suatu

negara penerima investasi akan menyebabkan kenaikan tingkat pajak marginal

perusahaan asing.

Di samping dampak tersebut, S.H. Alatas (1987) mengemukakan enam

pengaruh buruk yang dapat ditimbulkan dari korupsi, yaitu: (1) timbulnya berbagai

bentuk ketidak adilan, (2) menimbulkan ketidakefisienan, (3) menyuburkan jenis

38

Page 39: patologi-sosial

kejahatan lain, (4) melemahkan semangat perangkat birokrasi dan mereka yang menjadi

korban, (5) mengurangi kemampuan negara dalam memberikan pelayanan publik, dan

(6) menaikkan biaya pelayanan.

Dari berbagai dampak dan pengaruh yang ditimbulkan korupsi tersebut tidak

dapat disangkal bahwa korupsi membawa dampak yang merugikan dan menghambat

pelaksanaan pembangunan di segala bidang. Karena uang yang semestinya dapat

digunakan untuk membiayai pelaksanaan pembangunan raib menjadi milik pribadi dan

memperkaya segelintir orang.

Kemampuan memberikan pelayanan publik yang berkualitas dan manusiawi

menjadi berkurang . Sementara puluhan juta rakyat menjerit kesusahan dan

mengharapkan uluran tangan dari pemerintah. Dengan demikian korupsi secara

langsung atau tidak langsung menghambat kemajuan bangsa dan negara serta semakin

memperparah kemiskinan.

Membiarkan korupsi merajalela berarti membiarkan kejahatan menggerogoti

dan menguras kekayaan negara untuk kepentingan pribadi, kelompok atau golongan

dengan mengabaikan kepentingan umum atau kepentingan rakyat banyak dan hal ini

bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Dengan membiarkan korupsi berarti

pula kita membiarkan negara menuju kehancuran, keterbelakangan dan pemeliharaan

kemiskinan.

Bertekat mengurangi dan memberantas korupsi berarti bertekat untuk maju.

Karena keberhasilan dalam memerangi dan memberantas korupsi akan mampu

meningkatkan kemampuan dalam melaksanakan pembangunan nasional di segala

bidang. Dengan demikian berarti akan mempercepat gerak kemajuan bangsa menuju

sebuah negara yang maju, berbudaya dan bebas dari kemiskinan.

D. Uapaya Penanggulangan Korupsi

Korupsi merupakan masalah yang kompleks. Penanggulangannya pun bersifat

kompleks dan memerlukan keterpaduan. Upaya penanggulangan terhadap korupsi

dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu pencegahan dan penindakan. Kedua upaya

tersebut sama pentingnya. Upaya pencegahan mencakup semua usaha yang dapat

dilakukan untuk mencegah agar tidak terjadi tindak korupsi pada semua spek

kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Sedangkan upaya penindakan

39

Page 40: patologi-sosial

adalah usaha yang dilakukan untuk menyelamatkan uang atau kerugian negara akibat

korupsi dan menindak/mengadili pelaku sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.

Pemberantasan korupsi yang dilakukan selama ini masih terfokus pada upaya

penindakan dan itupun belum dilakukan dengan sungguh-sungguh. Upaya

pemberantasan korupsi melalui pembentukan badan atau komisi yang secara khusus

bertugas menyelidiki dugaan-dugaan korupsi telah banyak dilakukan. Sejarah mencatat

hal ini telah dipraktekkan sejak awal Orde Baru. Untuk meredam kritik terhadap

maraknya korupsi di jajaran birokrasi. Presiden Soeharto membentuk sebuah badan

dengan nama Pengatur Keuangan Negara (Pakuneg) pada tahun 1966. Setahun

kemudian dibentuk Tim Pemberantas Korupsi dan pada tahun 1970 dibentuk lagi apa

yang disebut dengan Komisi Empat. Persoalannya, selama bertugas badan-badan

tersebut tidak memberikan hasil cemerlang (Prabowo, 2003).

Setelah Soeharto lengser, pemerintahan baru kembali menunjukkan komitmen

untuk memberantas korupsi. Secara eksplisit komitmen tersebut ditunjukkan lewat

pemberian mandate kepada penyelenggara negara untuk mewujudkan pemerintahan

yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme/KKN ( Tap MPR No.

XI/MPR/1998, UU No. 28/1999, dan UU No. 31/1999 tentang pemberantasan korupsi.

Kepada presiden diberikan mandat untuk membentuk komisi pemeriksa yang berfungsi

mencegah praktik KKN. Komisi ini mempunyai tugas dan wewenang melakukan

pemantauan dan klarifikasi terhadap harta kekayaan penyelenggara negara, meneliti

laporan dan pengaduan masyarakat, LSM maupun instansi pemerintah.

Pada masa pemerintahan Presiden K.H. Abdurrahman Wahid diterbitkan

Keppres No. 127/1999 tentang Pembentukan Komisi Pemeriksa Kekayaan

Penyelenggara Negara (KPKPN). Pada tahun 2002 kembali diterbitkan UU No.

30/2002 tentang Komisi Pemberantas Tindak Pidana Korupsi (KPTPK). Dengan

pembentukan sederetan badan atau komisi tersebut belum menunjukkan tanda-tanda

keberhasilan dalam memberantas korupsi di tanah air ini. Bahkan akhir-akhir ini tidak

korupsi justru semakin menjadi-jadi. Mengapa demikian ? Karena badan atau komisi

tersebut belum bekerja sungguh-sungguh dan upaya yang dilakukan cenderung hanya

penindakan belum banyak melakukan upaya pencegahan melalui penyadaran kepada

masyarakat khususnya aparatur negara untuk berperilaku anti korupsi dan malu

melakukan korupsi. Akibatnya dukungan masyarakat secara luas sangat kurang.

40

Page 41: patologi-sosial

Jeremy Pope (2003) menawarkan enam bidang pokok perubahan yang dapat

mendukung pelaksanaan strategi anti korupsi yang menyeluruh, yaitu: kepemimpinan,

program publik, perbaikan organisasi pemerintah, penegakan hukum, kesadaran

masyarakat dan pembentukan lembaga pencegah korupsi. Apa yang dikemukakan oleh

Jeremy Pope tersebut masih masih terlalu luas dan sulit dilaksanakan. Untuk kasus

pemberantasan korupsi di Indonesia menurut hemat penulis harus dilakukan terutama

melalui dua cara, yaitu upaya pencegahan dan penindakan. Upaya pencegahan atau

preventif harus dilakukan secara terprogram dan berkesinambungan. Upaya yang

bersifat preventif yang paling utama adalah upaya untuk meningkatkan kesadaran

masyarakat terutama para penyelenggara negara (birokrasi) melalui pendidikan

(penataran, penyuluhan, seminar, lokakarya dsb,) agar dapat berperilaku anti korupsi

dan malu melakukan korupsi dan kedua adalah melakukan pengawasan yang lebih

tersistematis dengan menerapkan teknologi canggih seperti yang diterapkan di negara-

negara maju. Sedangkan upaya penindakan dilakukan melalui penegakan hukum yakni

dengan memberikan hukuman yang seberat-beratnya.

Upaya pemberantasan korupsi skala nasional dalam jangka panjang

membutuhkan dukungan dari masyarakat secara luas. Tanpa dukungan masyarakat

niscaya upaya untuk memberantas korupsi di bumi tercinta ini akan mengalami

kegagalan Jeremy Pope (2003) mengemukakan bahwa upaya pemberantasan korupsi

memerlukan dukungan masyarakat secara luas dan tanpa dukungan masyarakat secara

luas niscaya akan mengalami kegagalan.

Komponen masyarakat yang memegang peranan penting dalam upaya

pemberantasan korupsi tersebut terutama adalah kalangan birokrasi sebagai aparatur

negara. Kemudian organisasi kepemudaan dan keagamaan agar dapat memberikan

contoh dan tekanan-tekanan terhadap upaya pemberantasan korupsi.

Upaya peningkatan kesadaran aparatur negara, kalangan pemuda dan tokoh

agama terhadap perubahan perilaku anti korupsi dapat dilakukan melalui berbagai cara

atau forum, seperti penataran, seminar, lokakarya dan sebagainya. Melalui forum

tersebut dapat disampaikan pesan-pesan pembangunan yang diharapkan dapat merubah

perilaku ke arah anti korupsi dan malu melakukan korupsi.

Berikut ini disajikan identifikasi pesan-pesan pembangunan yang dapat

disampaikan melalui pelaksanaan penataran untuk meningkatkan kesadaran aparatur

negara (birokrasi), kalangan organisasi pemuda dan organisasi keagamaan untuk

41

Page 42: patologi-sosial

berperilaku anti korupsi dan malu melakukan korupsi dengan meningkatkan

pengetahuan dan pemahaman terhadap konsep, bentuk, dampak serta hukuman bagi

pelaku korupsi, baik dilihat dari sisi moral, norma, hukum agama maupun hukum

negara.

Tabel : Identifikasi pesan pembangunan untuk meningkatkan kesadaran anti

korupsi

Upaya meningkatkan kesadaran masyarakat, khususnya kalangan birokrasi

untuk berprilaku anti korupsi tersebut hendaknya dilakukan secara terprogram di

seluruh departemen maupun lembaga-lemabaga negara non departemen. Sehingga

seluruh pegawai atau staf yang ada secara bertahap harus ikut dalam program

pembinaan. Selain itu, materi pembinaan untuk berprilaku anti korupsi tersebut juga

harus dimasukkan dalam program pendidikan prajabatan bagi calon-calon pegawai baru

yang akan diterima.

42

Page 43: patologi-sosial

Di samping upaya pencegahan yang dilakukan secara terprogram pada masing-

masing departemen atau lemaga tersebut maka upaya pengawasan dan penindakan juga

pelu dilakukan secara sungguh-sungguh dan professional. Mekanisme, pelaksanaan dan

hasil pengawasan/ pemeriksaan terhadap penggunaan keuangan negara harus dilakukan

secara transparan.

Pengawasan dan pemiksaan hendaknya tidak hanya dilakukan oleh lembaga

negara, tetapi juga mengikutsertakan lembaga independen (LSM/NGO). Selama ini

pengawasan terhadap keuangan dan pembangunan hanya dilakukan oleh pemerintah

melalui lembaga pemeriksaan keuangan dan pembangunan (BPK). Ketua BPK

diusulkan oleh DPR dan diangkat oleh Presiden. Akibatnya pemeriksaan terhadap

keuangan negara terutama terhadap lembaga-lembaga negara termasuk lembaga

kepresidenan tidak optimal dan cenderung hanya bersifat formalitas.

Kondisi tersebut diperparah lagi dengan lemahnya penegakan hukum, sehingga

korupsi semakin menjadi-jadi termasuk juga tindak kejahatan lainnya, seperti narkoba.

Kelemahan dalam penanganan kasus korupsi selama ini disamping masih lemahnya

kualitas aparat penegak hukum (personil : kepolisian, kejaksaan dan hakim) juga masih

kuatnya intervensi pemerintah dalam proses peradilan terutama dalam kasus-kasus

yang melibatkan pejabat negara. Selain itu dalam penyelesaian kasus-kasus korupsi

selama ini masih kurang mengedepankan penyelamatan keuangan negara. Denda yang

diberikan kepada koruptor sangat kecil jika dibandingkan dengan uang yang

dikorupsinya. Sehingga jika dikalkulasi secara ekonomis terlepas dari masalah moral

maka para koruptor masih diuntungkan. Misalnya seorang korupsi sepuluhan milyar

rupiah, hanya didenda oleh pengadilan ratusan juta rupiah ( kurang dari Rp 1 milyar)

dan dihukum 2 tahun penjara. Secara matematis berarti yang bersangkutan masih

mempunyai pendapatan Rp 9 milyar. Kondisi ini jelas tidak akan membuat jerah para

koruptor. Untuk itu dalam penanganan kasus korupsi hendaknya seluruh uang yang

terbukti dikorupsi harus dikembalikan secara utuh, kemudian diberikan hukuman denda

dan hukuman kurungan (penjara). Dengan demikian diharapkan akan membuat takut

setiap orang untuk melakukan korupsi.

Korupsi merupakan suatu bentuk patologi sosial yang bertentangan dengan

etika moral, hukum dan agama. Korupsi dapat membawa dampak negatif yang cukup

luas dalam kehidupan masyarakat, bangsa dan negara. Dampak yang dapat ditimbulkan

dari korupsi tersebut antara lain adalah:

43

Page 44: patologi-sosial

(1) merugikan keuangan negara,

(2) menciptakan ekonomi biaya tinggi,

(3) merendahkan martabat manusia, bangsa dan negara,

(4) menghambat pelaksanaan pembangunan,

(5)menimbulkan kemiskinan,

(6) merusak tatanan sosial, dan

(7) melemahkan birokrasi pemerintah.

Upaya penanggulangan atau pemberantasan terhadap korupsi dapat dilakukan

melalui dua cara, yaitu pencegahan dan penindakan. Upaya pencegahan adalah

mencakup keseluruhan usaha yang dilakukan untuk mencegah terjadinya korupsi, baik

dilakukan melalui pendidikan maupun pengawasan. Sedangkan upaya penindakan

adalah usaha yang dilakukan untuk menindak pelaku korupsi sesuai ketentuan hukum

yang berlaku serta menyelamatkan keuangan negara. Dalam menindak para pelaku

korupsi, yang harus diutamakan adalah agar seluruh uang yang dikorupsi harus

dikembalikan serta ditambah dengan hukuman denda serta hukuman kurungan atau

penjarah yang seberat-beratnya.

Upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan selama ini masih cenderung

kearah penindakan dan masih kurang pada upaya pencegahan melalui upaya

meningkatkan kesadaran masyarakat khususnya aparatur negara untuk berperilaku anti

korupsi dan malu melakukan korupsi. Akibatnya dukungan masyarakat secara luas

sangat kurang. Untuk itu, maka upaya pemberantasan korupsi hendaknya lebih banyak

diarahkan pada upaya meningkatkan kesadaran masyarakat khususnya kalangan

pegawai negeri sipil, organisasi kepemudaan dan keagamaan untuk berperilaku anti

korupsi dan malu melakukan korupsi. Sehingga dapat tercipta masyarakat (aparatur

negara) yang bebas korupsi. Upaya tersebut dapat dilakukan melalui penataran atau

penyuluhan, seminar, loka karya dan sebagainya. Untuk itu maka dukungan pemerintah

dan semua pihak sangat diperlukan.

5. Penanganan Konflik Sosial

Pengalaman umum, yang diperkuat oleh kesaksian sejarah menunjukkan bahwa

relasi sosial yang ditandai dengan kompetisi yang tidak terkendali dapat berkembang

menjadi penentangan; dan jika penentangan ini menegang tajam akan memunculkan

44

Page 45: patologi-sosial

konflik. Kata konflik, berasal dari bahasa Latin confligere, yang berarti saling

memukul. Dalam pengertian sosiologis, konflik dapat difahami sebagai suatu “proses

sosial” di mana dua orang atau dua kelompok orang berusaha menyingkirkan pihak lain

dengan cara menghancurkan atau membuatnya tidak berdaya. Wujud konflik yang

paling jelas adalah perang bersenjata, dimana dua atau lebih bangsa atau suku bangsa

saling tempur dengan maksud menghancurkan atau membuat pihak lawan tidak

berdaya.

Pihak-pihak yang terlibat konflik, dikuasai oleh suatu keinginan untuk

mencapai suatu hasil yang dipersengketakan. Fokus perhatian masing-masing pihak

terarah pada dua hal, pertama adanya lawan yang menghalangi, dan ke dua adanya nilai

lain yang hendak dicapai. Sejarah memberikan kesaksian kepada kita, bahwa

peperangan yang terjadi di masa lalu ditemukan adanya nilai sebagai motif

perjuangannya; misalnya nilai demokrasi untuk neraih kebebasan dan persamaan hak,

perbaikan nasih kaum buruh, ekspansi wilayah/daerah; nilai keagamaan (perang Salib);

nilai kemerdekaan & kedaulatan bangsa.

Teori Konflik

Conflict theories: Explanations about the nature, progress, and consequences of

sosial conflict. The most prominent theories have been developed by Karl Marx, Georg

Simmel, Lewis Coser, and others. Marx hypothesized that conflict would eventually

lead to an overthrow of the power group, leading to a classless, conflict-free society.

Simmel and Coser sugest that conflict is not inherently bad and serves such important

functions as solidifying the in-group, increasing group cohesiveness, and mobilizing

the energies of group members. (Barker, 1987, p. 31)

Beberapa ahli berpendapat bahwa konflik memiliki fungsi yang positif, bahkan

para penganut Marxisme membela pendiriannya yang cukup ekstrim, yaitu bahwa

konflik merupakan satu-satunya syarat mutlak dan eksklusif untuk mencapai kemajuan

masyarakat. Pendirian ini didukung oleh filsafat Karl Marx, yaitu filsafat materialisme

dialektik dan materialisme historis. Namun, hal ini tidak dapat diterima oleh sarjana-

sarjana non-Marxis; yang menyatakan bahwa konflik mempunyai fungsi positif (di

samping fungsi negatif), namun bukan dalam arti yang absolut.

Konflik sosial yang menjadi obyek ilmu-ilmu sosial adalah konflik sosial

sebagai suatu fakta sosial, artinya sungguh terjadi dan dapat diobservasi. Dalam konflik

45

Page 46: patologi-sosial

sosial ini melibatkan dua pihak, dan masing-masing pihak berusaha membuat pihak

lain tidak berdaya. Teori Konflik dibangun atas dasar “paradigma fakta sosial”, tidak

berbeda dengan teori fungsional struktural. Namun demikian, pola pikir teori konflik

bertentangan dengan teori fungsional struktural.

Tokoh teori konflik yang hasil pemikirannya secara ekstrim berseberangan

dengan teori fungsional struktural adalah Ralp Dahrendorf, diantaranya (Ritzer,1980 :

52):

(1) Menurut teori fungsional struktural, masyarakat berada dalam kondisi statis atau

lebih tepatnya bergerak dalam kondisi keseimbangan; sedang menurut teori

konflik justru sebaliknya, masyarakat senantiasa berada dalam proses perubahan

yang ditandai oleh pertentangan yang terus menerus diantara unsur-unsurnya.

(2) Dalam teori fungsional struktural setiap elemen dianggap memberikan dukungan

terhadap stabilitas, sedang teori konflik melihat bahwa setiap elemen memberikan

sumbangan terhadap disintegrasi sosial.

(3) Teori fungsional struktural melihat anggota masyarakat terikat secara informal oleh

norma-norma, nilai-nilai dan moralitas umum, sedang teori konflik menilai

keteraturan yang terdapat dalam masyarakat itu hanyalah disebabkan adanya

tekanan atau pemaksaan kekuasaan dari atas oleh golongan yang berkuasa.

Selain para pengikut teori konflik yang pemikirannya cukup kontras terhadap teori

fungsional struktural, ada juga ahli teori konflik yang lebih bersifat moderat dalam

hubungannya dengan teori fungsional struktural tersebut, diantaranya adalah Lewis A

Coser.

Menurut Coser, konflik dapat bersifat fungsional secara positif maupun negatif.

Fungsional secara positif apabila konflik tersebut berdampak memperkuat kelompok,

sebaliknya bersifat negatif apabila bergerak melawan struktur. Dalam kaitannya dengan

sistem nilai yang ada dalam masyarakat, konflik bersifat fungsional negatif apabila

menyerang suatu nilai inti. Dalam hal konflik antara suatu kelompok dengan kelompok

lain, konflik dapat bersifat fungsional positif karena akan membantu pemantapan batas-

batas struktural dan mempertinggi integrasi dalam kelompok. Ahli lain adalah Piere

Van den Berghe (Ritzer, 1980: 63). Berghe mencoba mempertemukan kedua perspektif

tersebut. Dia menunjukkan beberapa persamaan analisis antara kedua pendekatan itu,

yaitu sama-sama bersifat holistik karena sama-sama melihat masyarakat sebagai terdiri

atas bagian-bagian yang saling berkaitan satu dengan yang lain, serta perhatian pokok

46

Page 47: patologi-sosial

ditujukan kepada antar hubungan bagian-bagian itu. Teori fungsional struktural

maupun teori konflik, keduanya cenderung sama-sama memusatkan perhatian terhadap

variabel-variabel mereka sendiri dan mengabaikan variabel yang menjadi perhatian

teori lain. Sebagai upaya untuk mempertemukan kedua teori tersebut, Berghe

beranggapan bahwa konflik dapat memberikan sumbangan terhadap integrasi dan

sebaliknya integrasi dapat pula melahirkan konflik.

Konflik Nilai

Pandangan konflik nilai muncul setelah Perang Dunia II. Pandangan ini

memberikan kritik terhadap pandangan patologi sosial dan perilaku menyimpang.

Menurut pandangan konflik nilai, konsep sickness atau pun sosial expectation

merupakan konsep yang subjektif, sehingga sulit untuk dijadikan acuan dalam

memahami masalah sosial. Dengan demikian, maka dapat difahami bahwa

penyimpangan terhadap peraturan tidak selalu sama dengan kegagalan dari peraturan

tersebut dalam mengendalikan kehidupan bermasyarakat.

Masyarakat adalah dinamik, serta terus berkembang semakin kompleks,

sehingga tidak menutup kemungkinan terjadinya suatu penyimpangan peraturan, karena

si pelaku terbiasa hidup dalam kelompok lain yang nilainya berbeda, bahkan saling

bertentangan. Pola pikir ini menjelaskan, bahwa masalah sosial terjadi apabila dua

kelompok atau lebih dengan nilai yang berbeda saling bertemu dan berkompetisi

(Julian, 1986, 13). Untuk menjelaskan pengertian tersebut dapat diambil contoh kasus

pemilik rumah dengan penyewa rumah. Pemilik rumah menghendaki sewa rumah

dinaikkan, sementara itu penyewa rumah mengharapkan sewa rumah yang rendah.

Situasi semacam ini dapat mendatangkan konflik, dan konflik tersebut disebabkan oleh

karena nilai dan kepentingan berbeda.

Konsekuensi lebih lanjut, dalam masyarakat dapat timbul polarisasi. Masalah

sosial mungkin tidak akan terjadi jika yang kuat bersedia berkorban untuk yang lemah

(kompromi). Masalah sosial justru akan timbul ketika yang kuat menggunakan

kekuatannya untuk membela kepentingannya. Dalam kenyataannya, situasi konflik

tersebut dapat berkembang menjadi tiga kemungkinan yaitu konsensus, trading dan

power. Dalam hal hubungan pemilik rumah dan penyewa rumah yang dijadikan sebagai

contoh kasus, maka alternatif konsensus terjadi apabila pemilik rumah dan penyewa

rumah sepakat bahwa kenaikan sewa rumah dalam jumlah yang tidak terlalu besar

47

Page 48: patologi-sosial

masih dapat dipahami bersama. Trading, apabila pemilik rumah bersedia menekan

kenaikan sewa rumah dengan kompensasi tertentu. Power, apabila pemilik rumah

mengusir penyewa rumah yang tidak memenuhi tuntutan kenaikan sewa.

Dalam format yang berbeda, situasi konflik sebagaimana digambarkan dalam

kasus antara pemilik rumah dan penyewa rumah tersebut, juga dapat terjadi dalam

bentuk kehidupan sosial yang lain. Konflik antar generasi misalnya, dapat terjadi

karena perbedaan orientasi nilai antara generasi tua dengan generasi muda. Di satu

pihak, generasi tua masih berpegang pada nilai-nilai lama sehingga memandang apa

yang dilakukan oleh generasi muda sebagai penyimpangan nilai. Dilain pihak, generasi

muda dengan menggunakan orientasi nilai yang baru, memandang generasi tua

bersikap kolot. Situasi semacam ini banyak dijumpai dalam masyarakat yang sedang

berada pada proses transformasi dan proses perubahan sosial yang pesat. Pada

umumnya generasi tua karena proses sosialisasinya telah lebih lama, mengakibatkan

nilai-nilai lama telah terinternalisasi dan mengakar dalam kehidupannya. Di lain pihak,

generasi muda karena usianya, belum cukup mapan dalam mengadopsi nilai lama serta

berkenaan dengan perkembangan kejiwaannya yang masih labil, menyebabkan lebih

mudah menerima anasir baru termasuk nilai-nilai baru.

Masalah sosial yang berasal dari konflik nilai juga dapat dijumpai dalam

masyarakat yang kompleks yang mengenal adanya isu minoritas dan mayoritas.

Minoritas adalah sekelompok orang yang tidak menerima perlakuan yang sama

dibandingkan dengan kelompok orang yang lain dalam masyarakat yang sama (Julian,

1986: 233). Sehubungan dengan pembahasan tentang masalah ini dikenal tiga

terminologi yaitu minoritas rasial, minoritas etnik dan asimilasi. Minoritas rasial terdiri

dari sekelompok orang yang mempunyai karakteristik yang merupakan pembawaan

biologis seperti warna kulit. Minoritas etnik terdiri dari sekelompok orang yang

mempunyai penampilan budaya yang berbeda dengan yang digunakan oleh sebagian

besar anggota masyarakat. Aspek kultural yang dapat membentuk minoritas tipe ini

adalah bahasa, agama, asal kebangsaan, kesamaan sejarah dan sebagainya. Apabila

anggota dari kelompok minoritas baik dari latar belakang ras maupun etnik,

menggunakan atau mengadopsi karakteristik dari budaya yang merupakan arus utama

dalam lingkungan masyarakat yang luas, melalui adaptasi pola kultural mereka yang

"unik" kedalam pola kultur kelompok mayoritas, atau melalui perkawinan silang, maka

terjadilah proses asimilasi.

48

Page 49: patologi-sosial

Sudah barang tentu diantara ketiga fenomena tersebut yang potensial

menumbuhkan konflik adalah minoritas rasial dan minoritas etnik, sedang asimilasi

cenderung fungsional terhadap struktur karena mendorong integrasi.

Akibat Konflik Sosial

Terlepas dari teori konflik yang menganggap konflik memiliki nilai positif,

sejarah jaman maupun kenyataan hingga kini membuktikan bahwa konflik sosial secara

langsung selalu menimbulkan akibat negatif. Bentrokan, kekejaman maupun kerusuhan

yang terjadi antara individu dengan individu, suku dengan suku, bangsa dengan bangsa,

golongan penganut agama yang satu dengan golongan penganut agama yang lain.

Kesemuanya itu secara langsung mengakibatkan korban jiwa, materiil, dan juga

spiritual, serta berkobarnya rasa kebencian dan dendam kesumat. Misalnya Perang

Amerika dan Irak,

Konflik Etnis (=Kerusuhan Sosial) di Kalimantan Barat. Akibat lanjutannya

adalah terhentinya kerjasama antara kedua belah pihak yang terlibat konflik, terjadi rasa

permusuhan, terjadi hambatan, bahkan kemandegan perkembangan kemajuan

masyarakat; dan akhirnya dapat memunculkan kondisi dan situasi disintegrasi sosial

maupun disintegrasi nasional yang menghambat pembangunan.

Penyelesaian Konflik

Secara sosiologis, proses sosial dapat berbentuk proses sosial yang bersifat

menggabungkan (associative processes) dan proses sosial yang menceraikan

(dissociative processes). Proses sosial yang bersifat asosiatif diarahkan pada

terwujudnya nilai-nilai seperti keadilan sosial, cinta kasih, kerukunan, solidaritas.

Sebaliknya proses sosial yang bersifat dissosiatif mengarah pada terciptanya nilai-nilai

negatif atau asosial, seperti kebencian, permusuhan, egoisme, kesombongan,

pertentangan, perpecahan dan sebagainya. Jadi proses sosial asosiatif dapat dikatakan

proses positif. Proses sosial yang dissosiatif disebut proses negatif. Sehubungan dengan

hal ini, maka proses sosial yang asosiatif dapat digunakan sebagai usaha menyelesaikan

konflik. Adapun bentuk penyelesaian konflik yang lazim dipakai, yakni konsiliasi,

mediasi, arbitrasi, koersi (paksaan), detente. Urutan ini berdasarkan kebiasaan orang

mencari penyelesaian suatu masalah, yakni cara yang tidak formal lebih dahulu,

kemudian cara yang formal, jika cara pertama tidak membawa hasil.

49

Page 50: patologi-sosial

a. Konsiliasi

Konsiliasi berasal dari kata Latin conciliatio atau perdamaian yaitu suatu cara

untuk mempertemukan pihak-pihak yang berselisih guna mencapai persetujuan

bersama untuk berdamai. Dalam proses pihakpihak yang berkepentingan dapat

meminta bantuan pihak ke tiga. Namun dalam hal ini pihak ketiga tidak bertugas secara

menyeluruh dan tuntas. Ia hanya memberikan pertimbangan-pertimbangan yang

dianggapnya baik kepada kedua pihak yang berselisih untuk menghentikan

sengketanya. Contoh yang lazim terjadi misalnya pendamaian antara serikat buruh dan

majikan. Yang hadir dalam pertemuan konsiliasi ialah wakil dari serikat buruh, wakil

dari majikan/perusahaan serta ketiga yaitu juru damai dari pemerintah, dalam hal ini

Departemen Tenaga. Kerja. Langkah-langkah untuk berdamai diberikan oleh pihak

ketiga, tetapi yang harus mengambil keputusan untuk berdamai adalah pihak serikat

buruh dan pihak majikan sendiri.

b. Mediasi

Mediasi berasal dari kata Latin mediatio, yaitu suatu cara menyelesaikan

pertikaian dengan menggunakan seorang pengantara (mediator). Dalam hal ini fungsi

seorang mediator hampir sama dengan seorang konsiliator. Seorang mediator juga tidak

mempunyai wewenang untuk memberikan keputusan yang mengikat; keputusannya

hanya bersifat konsultatif. Pihak-pihak yang bersengketa sendirilah yang harus

mengambil keputusan untuk menghentikan perselisihan.

c. Arbitrasi

Arbitrasi berasal dari kata Latin arbitrium, artinya melalui pengadilan, dengan

seorang hakim (arbiter) sebagai pengambil keputusan. Arbitrasi berbeda dengan

konsiliasi dan mediasi. Seorang arbiter memberi keputusan yang mengikat kedua pihak

yang bersengketa, artinya keputusan seorang hakim harus ditaati. Apabila salah satu

pihak tidak menerima keputusan itu, ia dapat naik banding kepada pengadilan yang

lebih tinggi sampai instansi pengadilan nasional yang tertinggi. Dalam hal

persengketaan antara dua negara dapat ditunjuk negara ketiga sebagai arbiter, atau

instansi internasional lain seperti PBB. Orang-orang yang bersengketa tidak selalu

perlu mencari keputusan secara formal melalui pengadilan. Dalam masalah biasa dan

pada lingkup yang sempit pihak-pihak yang bersengketa mencari seseorang atau suatu

instansi swasta sebagai arbiter. Cara yang tidak formal itu sering diambil dalam

50

Page 51: patologi-sosial

perlombaan dan pertandingan. Dalam. hal ini yang bertindak sebagai arbiter adalah

wasit.

d. Koersi

Koersi ialah suatu cara menyelesaikan pertikaian dengan menggunakan paksaan

fisik atau pun psikologis. Bila paksaan psikologis tidak berhasil, dipakailah paksaan

fisik. Pihak yang biasa

menggunakan paksaan adalah pihak yang kuat, pihak yang merasa yakin menang,

bahkan sanggup menghancurkan pihak musuh. Pihak inilah yang menentukan syarat-

syarat untuk menyerah dan berdamai yang harus diterima pihak yang lemah. Misalnya,

dalam perang dunia II Amerika memaksa Jepang untuk menghentikan perang dan

menerima syarat-syarat damai.

e. Detente

Detente berasal dari kata Perancis yang berarti mengendorkan. Pengertian yang

diambil dari dunia diplomasi ini berarti mengurangi hubungan tegang antara dua pihak

yang bertikai. Cara ini hanya merupakan persiapan untuk mengadakan pendekatan

dalam rangka pembicaraan tentang langkahlangkah mencapai perdamaian. Jadi hal ini

belum ada penyelesaian definitif, belum ada pihak yang dinyatakan kalah atau menang.

Dalam praktek, detente sering dipakai sebagai peluang untuk memperkuat diri masing-

masing; perang fisik diganti dengan perang saraf. Lama masa "istirahat" itu. tidak

tertentu; jika masing-masing pihak merasa diri lebih kuat, biasanya mereka tidak

melangkah ke meja perundingan, melainkan ke medan perang lagi.

6. Memecahkan Masalah Pengangguran Di Indonesia

Kwik Kian Gie1, Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala

Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Ketua Bappenas) mengemukakan bahwa

tantangan utama yang dihadapi oleh Pemerintah adalah terus membesarnya jumlah

pengangguran. Data tahun 2002 menunjukkan jumlah pengangguran terbuka mencapai

9,13 juta orang atau 9,06 persen dari keseluruhan angkatan kerja. Jumlah ini dua kali

lipat lebih dari jumlah pengangguran terbuka sebesar 4,3 juta jiwa atau 4,86 persen

tahun 1996, atau setahun sebelum krisis moneter melanda Indonesia. Data itu, menurut

Kwik, belum termasuk setengah penganggur yakni orang yang bekerja kurang dari 35

51

Page 52: patologi-sosial

jam per minggu yang jumlahnya mencapai 28, 9 juta orang pada tahun 2002. Data

pengangguran yang mengacu pada Data yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik

(BPS) ini sangat boleh jadi masih lebih rendah daripada kenyataan riil yang ada di

lapangan. Bisa saja dalam kenyataannya angka pengangguran di Indonesia masih lebih

tinggi dari data dan angka resmi itu.

Keraguan terhadap data BPS itu dikemukakan oleh Faisal Basri2, ahli ekonomi

dari Universitas Indonesia dengan mengacu pada ‘rumus’ standar yang sudah lama

dijadikan acuan untuk menghitung jumlah pengangguran terbuka (open

unemployment), yakni setiap pertumbuhan ekonomi satu persen akan menghasilkan

penyerapan tenaga kerja 400.00 orang. Hal itu berarti, jika tahun 1997 jumlah

penganggur sebesar 4,2 juta orang, dengan pertumbuhan ekonomi kumulatif tahun

1998-2003 yang hanya 2,4 %, berarti daya serapnya hanya 960.000 pekerja baru.

Sementara itu, tambahan pekerja baru setiap tahunnya mencapai 2,5 juta orang,

sehingga selama periode 1998-2003, jumlah penganggur adalah 15 juta orang.

Sehingga menurut Basri, jumlah pengangguran terbuka pada tahun 2003 adalah 18,2

juta orang( 4,2 juta ditambah 15 juta dikurangi 960.000). Ada suatu pertanyaan yang

menarik dari ahli ekonomi UI ini yang sekaligus dijawabnya sendiri, yakni mengapa

kita peduli terhadap angka-angka tersebut?

Pertama, angka yang kurang akurat tidak akan menghasilkan perumusan

kebijakan yang tajam dan langkah-langkah penanganan yang saksama. Kedua, masalah

pengangguran berdampak luas terhadap kehidupan sosial dan politik yang pada

gilirannya akan memukul balik kestabilan makro-ekonomi3 yang telah dicapai dengan

susah payah.

Apa yang dikhawatirkan oleh Faisal Basri terutama jawabannya yang kedua

dimana masalah pengangguran berdampak luas terhadap kehidupan sosial dan politik,

merupakan kekhwatiran kita bersama. Dampak negatip dari masalah pengangguran

seperti beragamnya tindakan kriminal, anak jalanan, pengemis, prostitusi, perdagangan

anak, aborsi, pengamen dan sebagainya sudah menjadi patologi sosial atau kuman

penyakit sosial yang menyebar bagaikan virus kanker yang sulit diberantas.

Penyakit sosial ini sangat berbahaya dan menghasilkan korban-korban sosial

yang tidak ternilai. Menurunnya kualitas sumber daya manusia, tidak dihargainya

martabat dan harga diri manusia yang merupakan korban sosial dari penyakit sosial ini

sudah sangat merusak sendi-sendi kehidupan kemanusiaan yang beradab. Karena itu

52

Page 53: patologi-sosial

persoalah pengangguran ini harus secepatnya dipecahkan dan dicarikan jalan keluarnya

yang terbaik. Tentunya menghilangkan pengangguran dalam situasi kehidupan

ekonomi Bangsa yang sedang morat-marit ini adalah sesuatu yang tidak mungkin.

Tetapi upaya mengurangi pengangguran bukanlah hal yang mustahil. Cara yang

realistis dalam jangka pendek mengurangi pengangguran adalah memberdayakan sektor

informal, padat karya dll disamping strategi jangka panjang seperti pemerataan wilayah

pertumbuhan ekonomi melalui kebijakan desentralisasi.

A. Gambaran Pengangguran di Indonesia (analisis pohon masalah)

Sebelum kita menganalisis masalah pengangguran di Indonesia dengan

menggunakan analisis pohon masalah terlebih dahulu dikemukakan gambaran Analisis

Ekonomi Faisal Basri, Kompas, 21 Juli 2003, halaman 1 dan 11. Kestabilan makro

ekonomi terwujud dalam beberapa indikator seperti adanya stabilitas moneter,

menurunnya inflasi dan menurunnya bunga Bank. Tentu masih ada indikator lain

seperti daya saing, hidunya sektor riil, arus ekspor impor yang normal dan lancar dan

sebagainya. pengangguran di Indonesia. Bappenas memperkirakan pada tahun 2004

jumlah angkatan kerja akan mencapai 102, 88 juta orang termasuk angkatan kerja baru

2,10 juta orang. Tambahan lapangan kerja yang tercipta hanya 10,83 juta orang.

Penciptaan lapangan kerja yang tak mampu mengimbangi pertumbuhan

angkatan kerja baru itu menyebabkan angka pengangguran terbuka tahun 2004

meningkat menjadi 10,83 juta orang (10,32 % dari angkatan kerja), dari tahun

sebelumnya 10,13 juta orang(9,85 % dari angkatan kerja). Peningkatan pengangguran

terbuka ini akan terus berlanjut tahun 2005 dimana angka pengangguran terbuka

diproyeksikan menjadi 11,19 juta orang atau 10,45 % dari angkatan kerja. Proyeksi ini

dibuat dengan asumsi pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2004 dan 2005

masingmasing 4,49 % dan 5,03%. Menurut Kwik Kian Gie, pertumbuhan ekonomi

yang diperkirakan 4,49% (tahun 2004) dan 5,03% (tahun 2005) samasekali tidak

menjamin terbukanya lapangan kerja. Tantangan utama pemerintah sekaligus bangsa

Indoensia adalah terus menerusnya jumlah pengangguran seperti terlihat pada tabel

berikut:

53

Page 54: patologi-sosial

Tabel. Struktur Angkatan Kerja, pekerja dan pengangguran terbuka menurut

pendidikan tertinggi yang ditamatkan tahun 2002

Sumber : Sakernas BPS, 2002

Data tahun 2002 yang terlihat dari tabel di atas menunjukkan jumlah

pengangguran terbuka mencapai 9,13 juta orang atau 9,06% dari keseluruhan angkatan

kerja. Jumlah ini dua kali lipat lebih dari jumlah pengangguran terbuka sebesar 4,3 juta

jiwa atau 4,86 persen tahun 1996 setahun sebelum krisis moneter melanda Indonesia.

Data di atas belum termasuk setengah penganggur, yakni orang yang bekerja kurang

dari 35 jam per minggu yang jumlahnya 28,9 juta orang pada tahun 2002. Krisis

ekonomi ditambah dengan krisis moral para penyelenggara Negara dengan maraknya

Korupsi, Kolusi dan Nepotisme menghambat pertumbuhan ekonomi yang justru akan

memungkinkan terciptanya lapangan kerja. Supaya bisa menambah lapangan kerja,

pertumbuhan ekonomi harus bisa mencapai enam atau tujuh persen yang bisa diperoleh

dari investasi baru terutama dari investor asing. Untuk mencapai sangka enam atau

tujuh persen sangat sulit karena kebanyakan investor asing tidak mau menanamkan

modalnya di Indonesia karena biaya ekonominya sangat tinggi akibat masih kuatnya

praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Kompas, 10 September 2003. Menteri

Negara /Ketua Badan Perencanaan Nasional mengemukakan pada Seminar “Pasar

Kerja yang Ramah Pasar”, Kompas 10 September 2003.

Data Tabel di atas juga menunjukkan struktur angkatan kerja, pekerja dan

pengangguran terbuka menurut tingkat pendidikan masih didominasi oleh tamatan

sekolah Dasar(SD) ke bawah. Untuk angkatan kerja tahun 2002 yang berpendidikan SD

ke bawah mencapai 59,05 juta orang atau sekitar 58,6 % dari angkatan kerja, diikuti

SMTP 17,49 juta orang, SMU 12,21 juta orang dan seterusnya (lihat tabel). Strukur

angkatan kerja, pekerja dan pengangguran terbuka yang didominasi oleh manusia

Indonesia yang berpendidikan rendah ini sangat rentan terhadap konflik sosial.

54

Page 55: patologi-sosial

Keterbatasan mereka di dalam pendidikan sangat mudah dijadikan alat komoditas

politik untuk melakukan berbagai konflik sosial6 di tengah masyarakat

Pengangguran erat kaitannya dengan kemiskinan dan kemelaratan.

Ketidakmampuan memenuhi kebutuhan dasar seperti sandang, pangan dan papan

menjerumuskan sebagaian besar manusia Indonesia ke jurang kemelaratan. Tidak

tercapainya pemenuhan kebutuhan ekonomi ini akan menciptakan masalah-masalah

sosial yang lain seperti tindakan kejahatan( perampokan, pencurian, penodongan dll),

prostitusi, jual beli anak, anak jalanan, anak putus sekolah dan sebagainya.

Berbagai masalah sosial ini akan menjadi patologi sosial (penyakit masyarakat)

yang merusak sendi-sendi kehidupan sosial, moralitas dan pada akhirnya menciptakan

dehumanisasi dan penghinaan terhadap martabat manusia (human dignity).

Setelah kita melihat sepintas gambaran pengangguran di Indonesia dengan

sajian data yang riil, kita akan menganalisisnya dengan menggunakan pohon masalah

(problem tree analysis) seperti yang tergambar berikut ini.

Analisis Pohon Masalah (Problem Tree Analysis)

55

Page 56: patologi-sosial

Note : Indirect causes masih bisa ditelusuri lebih lanjut sampai ke struktur yang

lebih makro baik yang bersifat sosial, ekonomi maupun politik. Semua

variabel dalam analisis pohon masalah bersifat negatip

Berbagai konflik sosial dan konflik horisontal di Indonesia selama ini biasanya

memobilisasi para penganggur dan pelaku kejahatan yang minim pendidikan. Mereka

mudah dihasut, dipengaruhi dan dijadikan alat politik apalagi dengan mengeksploitasi

agama atau etnik, atau kesenjangan sosial dan ekonomi. .

Dari analisis pohon masalah di atas memperlihatkan bahwa core problem(inti

persoalan) yang menjadi isu utama Bangsa Indonesia adalah pengangguran. Ada

beberapa sebab langsung (direct causes) terjadinya pengangguran besar-besaran di

Indonesia yakni : 1) terjadinya Pemutusan Hubungan Kerja, 2) Kelangkaan Lapangan

Kerja, 3) Pemulangan TKI ke Indonesia, 4) Rasionalisasi karyawan dll. Sebab langsung

ini pada saat yang sama menjadi akibat dari sebab-sebab yang lain. PHK disebabkan

oleh perusahaan bangkrut. Perusahaan bangkrut disebabkan oleh karena kredit

macet/tidak mampu mengangsur pinjaman Bank. Kredit macet disebabkan oleh krisis

ekonomi yang melanda bangsa ini sejak tahun 1997. Krisis ekonomi disebabkan oleh

krisis moneter(melemahnya nilai rupiah terhadap dolar AS). Krisis moneter disebabkan

oleh rusaknya ekonomi Indonesia.

Kerusakan ekonomi ini disebabkan oleh adanya mental korup, kolusi dan

nepotisme (KKN) yang menggurita dan sistematik pada semua lembaga negara dan

swasta. Budaya KKN ini disebabkan oleh pemerintahan yang kotor(tidak bersih).

Masih bisa dicari lagi sebab-sebabnya misalnya dekadensi (kemerosotan moral), tidak

dihayatinya nilai-nilai agama, lemahnya penegakan hukum dll. Hal yang sama pada

fenomena kelangkaan lapangan kerja sebagai penyebab langsung(direct cause)

pengangguran. Kelangkaan lapangan kerja disebabkan oleh pertumbuhan ekonomi

yang rendah. Secara teoritik(perhitungan standar dalam ekonomi), setiap pertumbuhan

ekonomi 1% akan menghasilkan penyerapan tenaga kerja baru 400.000 orang.

Pertumbuhan ekonomi yang rendah disebabkan oleh lumpuhnya aktivitas ekonomi

(bubarnya pabrik-pabrik/perusahaan, lumpuhnya kegiatan eksporimpor, melemahnya

daya saing, kehilangan devisa, larinya investor dll).

Lumpuhnya aktivitas ekonomi disebabkan oleh terjadinya krisis moneter, dan

krisis moneter disebabkan oleh krisis ekonomi (ditambah lagi dengan krisis politik,

56

Page 57: patologi-sosial

moral, sosial ). Krisis ekonomi disebabkan oleh mengguritanya KKN. Mengapa ada

KKN? Karena pemerintahan yang kotor, tidak adanya penegakan hukum, melemahnya

nilai-nilai moral dan agama dsb. Fenomena pemulangan TKI sebagai penyebab

langsung dari pengangguran juga mengikuti logika sebab-akibat yang ada pada pohon

masalah di atas. Ribuan TKI dari Malaysia yang beberapa waktu lalu dipulangkan ke

Indonesia menambah jumlah pengangguran yang ada(direct cause/sebab langsung).

Ada beberapa sebab yang tak langsung misalnya karena mereka masuk secara illegal

dan tidak terdaftar di Kedutaan atau Konsulat RI di negara-negara tujuan TKI, atau

keberadaan mereka dirasakan sebagai beban dan ancaman bagi tenaga kerja dalam

negeri dll. Pertanyaan lanjut mengapa mereka masuk secara ilegal? Ada banyak

jawaban misalnya karena persyaratan menjadi TKI sangat ketat, sulit memasuki negara

tujuan karena itu mereka mengambil jalan pintas. Sebab-sebab ini bisa ditelusuri lagi.

Mengapa mengambil jalan pintas? Sebabnya bisa karena terdesak oleh kondisi atau

mental bangsa kita yang suka merentas dan cari gampang dan sebagainya.

Setelah melihat core problem atau inti masalah dan mencari sebab-sebabnya

baik yang langsung maupun tidak langsung, kita mengkaji berbagai efek atau dampak

dari pengangguran sebagai masalah utama itu yakni timbulnya berbagai persoalan

sosial seperti prostitusi, pengemis, anak jalanan, anak/bayi terlantar, gelandangan,

kejahatan-kejahatan sosial/berbagai tindakan kriminal dan sebaginya. Data riil di bawah

ini menunjukkan bagaimana side effect pengangguran dalam kehidupan bangsa

Indonesia.

Tabel Rekapitulasi Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial di Indonesia

Tahun 2000 dan 2002

57

Page 58: patologi-sosial

Sumber : Departemen Sosial RI . Data dan Informasi Kesejahteraan Sosial. Pusat Data

dan Informasi Kesejahteraan Sosial. Jakarta, 2002.

B. Upaya Memecahkan Masalah Pengangguran

Analisis Pohon Tujuan (objective tree analysis) sebagai keadaan yang

diinginkan (new/expected status) Setiap orang merindukan pekerjaan karena pekerjaan

adalah nafkah atau sumber hidup. Manusia pada hakekatnya tidak sekedar ingin

memenuhi kebutuhan dasar seperti sandang, pangan atau papan (kebutuhan fisiologis),

tetapi juga kebutuhan-kebutuhan yang lain seperti kebutuhan sosial dan psikologis.

Bekerja(memiliki pekerjaan) tidak sekedar sebagai sumber nafkah tetapi secara

psikologis merupakan lambang status seseorang dalam sebuah masyarakat. Dengan

memiliki pekerjaan seseorang merasa memiliki harga diri baik di depan istri dan anak-

anak atau keluarga besar maupun di masyarakat. Kalau setiap orang memiliki pekerjaan

maka masyarakat akan menjadi kuat baik secara ekonomi maupun sosial .

Jika masyarakat menjadi makmur maka ekonomi dan kehidupannya

terberdayakan dan pada gilirannya akan menopang negara sehingga menjadi kuat.baik

secara sosial, ekonomi maupun politik seperti yang tergambar pada analisis pohon

tujuan (objective tree analysis) berikut ini : Abraham Maslow menyebut 5 kebutuhan

manusia dalam 5 tingkatan hierarkis yaitu 1) kebutuhan akan makan, minum dan

pakaian, 2)kebutuhan akan keselamatan,keamanan, 3) kebutuhan akan rasa memiliki

atau sosial, 4) kebutuhan akan penhargaan dan 5) kebutuhan akan aktualisasi diri.

Alderfer memformulsikannya menjadi tiga dan disebutnya ERG 1) kebutuhan akan

58

Page 59: patologi-sosial

Eksistensi,2)kebutuhan akan Relatedness (hubungan) dan 3) kebutuhan akan Growth

(pertumbuhan) meliputi penghargaan, aktualisasi diri

Seperti terlihat pada pohon tujuan di atas, ada sejumlah elemen yang menjadi

faktor penentu ada tidaknya pekerjaan baik yang bersifat langsung maupun tidak

langsung seperti 1) tersedianya lapangan kerja, 2) dibutuhkannya Tenaga Kerja

Indonesia(TKI) di luar negeri, 3) adanya ekspansi usaha, 4) adanya jaminan bahwa

tidak ada pemutusan hubungan kerja dan sebagainya. Keempat elemn itu dikaji satu per

satu sebagai berikut :

1) Ada atau tersedianya lapangan kerja disebabkan oleh adanya pertumbuhan

ekonomi karena setiap pertumbuhan ekonomi satu persen(1%) akan memicu

terserapnya 400.000 orang tenaga kerja. Untuk mencapai pertumbuhan ekonomi maka

harus ada kegiatan atau aktivitas ekonomi seperti adanya investasi baik yang berasal

dari dalam negeri maupun asing, lancarnya distribusi barang dan jasa, majunya

59

Page 60: patologi-sosial

perdagangan luar negeri baik ekspor maupun import dll. Segala aktivitas ekonomi itu

bisa berjalan manakala kondisi perekonomian dan politik

Bangsa kita berada dalam keadaan yang normal. Secara politik harus aman

karena ketidakamanan adalah suatu hal yang sensitif bagi investor terutama investor

asing. Supaya roda perekonomian tetap berjalan, keseluruhan kondisi perekonomian

bangsa baik makro maupun mikro harus terjamin. Dengan kata lain, membaiknya

keadaan ekonomi baik Nasional, Regional maupun Internasional akan memberikan

dukungan terhadap lancarnya kegiatan usaha. Perekonomian yang baik itu ditentukan

oleh berbagai indikator seperti adanya stabilitas moneter, terkendalinya inflasi,

rendahnya bunga bank dll. Semua itu tercipta apabila negara ini bersih dari korupsi,

kolusi dan nepotisme yang menjadi biang kerok hilangnya ribuan triliun uang negara.

Dan pemerintahan yang bersih(clean government), adanya law inforcement(penegakan

hukum) adalah penentu utama dari keseluruhan kondisi itu.

2) Dibutuhkannya Tenaga Kerja Indonesia di luar negeri adalah kesempatan

emas terciptanya peluang untuk bekerja. Apakah negara tujuan begitu saja

membutuhkan tenaka kerja kita? Tentu tidak. Adanya permintaan yang tinggi terhadap

TKI kita tentu terkait dengan profesionalisme, ketrampilan, sikap dan mental dan

sebagainya. Semua elemen itulah yang kita harapkan dimiliki oleh TKI kita sehingga

mereka mampu bersaing dengan tenaga kerja dari negara lain.

3) Ekspansi usaha. Ekspansi usaha tidak dilakukan begitu saja. Salah satu

penyebabnya adalah adanya efisiensi dan efektivitas usaha yang tinggi. Tatkala

pengusaha melihat peluang yang positip secara ekonomis dari pembukaan usahausaha

baru, maka mereka melebarkan sayapnya dengan memperluas usaha-usaha ekonomis

produktifnya. Perluasan dan pembukaan usaha ini tentu akan membutuhkan diserapnya

tenaga kerja baru, maka lahirlah kesempatan untuk bekerja/adanya pekerjaan bagi para

penganggur. Perluasan usaha itu tidak timbul begitu saja tetapi didorong oleh kondisi

ekonomi(dan politik) yang memungkinkan dibukanya usaha-usaha baru itu. Seperti

dijelaskan sebelumnya membaiknya

kehidupan ekonomi sebuah bangsa ditentukan oleh sejauh mana pemerintahan bangsa

itu bersih(clean government) dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme, adanya

penegakan hukum, adanya sikap jujur, menghargai nilai-nilai keadilan, kebenaran dan

sebagainya.

60

Page 61: patologi-sosial

4) Adanya jaminan tidak ada Pemutusan Hubungan Kerja. PHK adalah suatu

tindakan terakhir dari sebuah perusahaan tatkala ia dihadapkan pada tanda-tanda

kemunduran. Sudah menjadi prinsip ekonomi perusahaan dimanapun di dunia ini

bahwa tindakan pemutusan hubungan kerja adalah salah satu tindakan penyelamat yang

tidak menyenangkan demi tetap bertahannya sebuah perusahaan. Sebaliknya, apabila

sebuah perusahaan itu maju, produktivitas lancar, pelanggan puas dll, maka Pemutusan

Hubungan Kerja bisa dihindari. Memiliki modal yang kuat atau meminjam dari Bank

tetapi mampu mengembalikannya secara teratur sudah pasti menjadi faktor penentu

lancarnya sebuah usaha. Seperti dijelaskan sebelumnya, semua kondisi itu dapat

tercipta jika kehidupan ekonomi suatu bangsa berada dalam keadaan yang baik dengan

didukung oleh sistem pemerintahannya yang bersih, jujur, tidak bermental KKN dan

sebagainya.

C. Upaya-upaya mencapai kondisi baru (new expected condition)

Seperti disampaikan sebelumnya angka pengangguran terbuka tahun 2004

meningkat menjadi 10,83 juta orang (10,32 % dari angkatan kerja).Peningkatan

pengangguran terbuka ini akan terus berlanjut tahun 2005 dimana angka pengangguran

terbuka diproyeksikan menjadi 11,19 juta orang atau 10,45 % dari angkatan kerja. yang

diperkirakan 4,49% (tahun 2004) dan 5,03% (tahun 2005) Data tahun 2002 yang

terlihat dari tabel di halaman 2 di atas menunjukkan jumlah pengangguran terbuka

mencapai 9,13 juta orang atau 9,06% dari keseluruhan angkatan kerja. Data di atas

belum termasuk setengah penganggur, yakni orang

yang bekerja kurang dari 35 jam per minggu yang jumlahnya 28,9 juta orang pada

tahun 2002.

Data Tabel di atas juga menunjukkan struktur angkatan kerja, pekerja dan

pengangguran terbuka menurut tingkat pendidikan masih didominasi oleh tamatan

sekolah Dasar(SD) ke bawah. Untuk angkatan kerja tahun 2002 yang berpendidikan SD

ke bawah mencapai 59,05 juta orang atau sekitar 58,6 % dari angkatan kerja, diikuti

SMTP 17,49 juta orang, SMU 12,21 juta orang dan seterusnya (lihat tabel). Strukur

angkatan kerja, pekerja dan pengangguran terbuka yang didominasi oleh manusia

Indonesia yang berpendidikan rendah ini sangat rentan terhadap konflik sosial.

61

Page 62: patologi-sosial

Keterbatasan mereka di dalam pendidikan sangat mudah dijadikan alat komoditas

politik untuk melakukan berbagai konflik sosial8 di tengah masyarakat

Dari data statistik yang ada, hal yang juga memprihatinkan adalah terus

menurunnya kesempatan kerja formal baik di perdesaan maupun di perkotaan. Jumlah

pekerja formal di perdesaan yang mempunyai upah tetap (waged worker) tahun 2201

berkurang sebanyak 3,3 juta orang. Tahun 2002 jumlah pekerja formal di perkotaan

berkurang 469.000 orang dan di perdesaan berkurang 1,1 juta orang. Indikator ini

menunjukkan kesempatan kerja yang tercipta selama tahun 2001 dan 2002 memiliki

kualitas rendah karena lebih banyak kesempatan kerja tecipta di sektor informal seperti

terlihat dari gambaran tabel berikut :

Tabel . Status Pekerja Formal dan Informal (juta orang)

Sumber : Sakernas BPS, 2002.

Setelah melihat berbagai data tentang pengangguran di atas, apa yang harus

dibuat untuk meminimalisasi angka pengagguran dan berbagai dampak negatipnya

dalam kehidupan sosial dan politik kita di Indonesia?? Bagaimana menjembatani.

Berbagai konflik sosial dan konflik horisontal di Indonesia selama ini biasanya

memobilisasi para penganggur dan pelaku kejahatan yang minim pendidikan. Mereka

mudah dihasut, dipengaruhi dan dijadikan alat politik apalagi dengan mengeksploitasi

agama atau etnik, atau kesenjangan sosial dan ekonomi (bridging the gap) antara

keadaan sekarang (yakni pengangguran) dengan keadaan yang diinginkan ( memiliki

pekerjaan sehingga tidak menganggur)? Ada beberapa cara :

1. Membuat Kebijakan Jangka Pendek yang Realistis

Dengan melihat data bahwa pengangguran di Indonesia pada tahun 2002 ini

didominasi oleh tamatan SD ke bawah(59,05 juta orang), maka perlu secepatnya

diciptakan tindakan dini dalam rangka mengurangi kemungkinan terjadinya berbagai

62

Page 63: patologi-sosial

masalah sosial apalagi menjelang Pemilu 2004 yang rentan terhadap konflik di

tingkat masyarakat. Pengangguran yang didominasi oleh masyarakat kurang terdidik

ini sangat rentan dimanfaatkan oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab untuk

mencapai tujuan politiknya. Ada beberapa kebijakan yang bisa ditempuh :

a. Tindakan Penyadaran(conscient action).

Pemberian kesadaran ini dilakukan secara terpadu oleh berbagai pihak

(pemerintah, LSM, Akademisi/mahasiswa, Lembaga-Lembaga Agama dll.

Upaya member kesadaran ini dilakukan agar kita bisa mengetahui what they

think?(apa yang mereka pikirkan), what they feel?(apa yang mereka rasakan)

dan what they do? (apa yang mereka buat). Upaya penyadaran dilakukan

dengan berbagai cara seperti sosialization(sosialisasi) di Masjid-masjid, gereja-

gereja, pers dan sebagainya. Dalam rangka menciptakan efektivitas penyadaran

ini, semua elemen masyarakat dilibatkan seperti Tokoh Agama, tokoh LSM,

tokoh masyarakat, tokoh Pemuda, Psikolog, Akademisi, tokoh politik/tokoh

partai, toko adat, orang tua dan lain-lain.

Proses sosialisasi ini bisa lebih efektif dilakukan juga melalui extension

education dimana di setiap Kelurahan/Desa/RT/RW dibentuk kelompok-

kelompok pembinaan dan penyadaran bagi para penganggur. Media kelompok

seperti remaja masjid atau kelompok umat basis di gereja-gereja amat strategis

untuk melakukan extension education ini. Extension education ini harus juga

didulung oleh capacity building(penguatan kelembagaan). Lembaga-lembaga

yang selama ini masih eksis di kelurahan/desa/RW/RT seperti Lembaga

Pemberdayaan Masyarakat, lembaga Pemberdayaan Desa, Karang Taruna dll

harus diperkuat fungsi dan peranannya. Lembaga-lembaga ini harus dibina

secara terpadu dalam rangka mendukung keseluruhan kegiatan ‘pendidikan’

bagi para penganggur yang ada. Fungsionalisasi peranan lembaga-lembaga ini

didukung oleh lembaga-lembaga agama, lembaga adat dan sebagainya akan

sangat membantu efektivitas pelaksanaan proses penyadaran kepada ‘grassroot’

ini.

Upaya ini harus dilakukan secara sungguh-sungguh dan harus menjadi

suatu gerakan sosial (sosial movement) yang berlaku secara Nasional. Baik

pemerintah Pusat maupun daerah harus memberikan dukungan yang serius

terhadap upaya penyadaran yang bersifat edukatif, psikologis dan sosial ini.

63

Page 64: patologi-sosial

Dengan mengetahui apa yang mereka pikirkan, ikut merasakan apa yang

mereka alami dan rasakan serta menyelami apa yang mereka lakukan, para

penganggur ini bisa dibangkitkan harga dirinya bahwa masih ada orang yang

mempedulikan mereka. Sebagai pihak yang netral, kaum akademisi/intelektual

atau LSM harus menciptakan modelmodel penyadaran ini sebagai cara

menjembatani(bridging the gap) keadaan yang sekarang dengan keadaan yang

diinginkan. Usaha mengkomunikasikan segala hal yang bertujuan agar

terbentuk pola pikir, pola sikap dan pola tindak yang positip dalam rangka

menciptakan kehidupan sosial yang baik di kalangan para penganggur kurang

terdidik ini harus dibangun dalam konteks penghormatan terhadap martabat

manusia(human dignity) itu sendiri.

Berbagai cara penyadaran dengan penggunaan audio visual, slide, film,

sangat membantu di dalam prosesnya sehingga tidak menimbulkan kebosanan.

Metode-metode ceramah dan bersifat menggurui harus dihindari mengingat

pesertanya adalah para penganggur yang kehilangan matamepencaharian. Harus

lebih banyak diskusi dan sharing pengalaman untuk membangkitkan gairah

mereka di dalam situasi-situasi sulit menghadapi kerasnya kehidupan sebagai

penganggur.

Kondisi menganggur adalah kondisi dimana segala-galanya hilang dan

tercabut dari seseorang, bukan saja sumber nafkah, tetapi juga

recognition(pengakuan) dan harga diri. Kehilangan jati diri inilah yang

membuat orang yang menganggur akan mengalami stress yang tinggi dan

apabila tidak mampu dikendalikan maka akan menjadi depresi yang mengarah

kepada sakit mental atau gila. Karena pertimbangan itulah maka proses

penyadaran ini harus melibatkan banyak pihak termasuk para psikolog dan

psikiater. Bisa saja usaha penyadaran ini bagi sebagian besar penganggur

dirasakan membuang-buang waktu karena mereka harus mencari kerja untuk

bisa menghidupi anak istrinya atau keluarganya. Untuk mengatasi masalah

ini,maka upaya pertama(penyadaran) diikuti dengan upaya yang kedua yang

lebih konkret dan realistis yakni

b. Pemberdayaan secara ekonomis dan sosial

Penyadaran melalui pembentukan sikap dan mental yang dilakukan pada

tahap pertama di atas harus diikuti dengan pemberdayaan tahap kedua yang

64

Page 65: patologi-sosial

lebih bersifat ekonomis dan konkret. Kebutuhan para penganggur dan

keluarganya dalam jangka pendek adalah kebutuhan akan makan dan minum

Pemenuhan kebutuhan dasar ini harus didahulukan dan menjadi perhatian

utama. Karena para penganggur berpendidikan rendah ini sangat banyak maka

mereka bisa disalurkan dalam kegiatan-kegiatan padat karya yang bias

mendatangkan upah bagi mereka. Bahkan menurut Bambang Widianto,

Direktur Ketenagakerjaan dan Analisis Ekonomi Bappenas, lima tahun ke

depan negara ini masih harus mengembangkan industri padat pekerja dan sangat

tidak mungkin beralih ke teknologi modern karena struktur angkatan kerja,

pekerja dan pengangguran terbuka menurut pendidikan masih didominasi oleh

tamatan Sekolah Dasar (SD) ke bawah.

Tenaga-tenaga para penganggur kurang terdidik ini bisa dimanfaatkan di

kegiatan-kegiatan padat karya sehingga mereka bisa mendapatkan kembali

harga dirinya yang telah hilang oleh karena terkena pemutusan hubungan kerja

atau karena tidak adanya ketrampilan di dalam bekerja. Pada pemberdayaan

ekonomi ini semua elemen masyarakat juga harus ikut mendampingi mereka

seperti halnya pada tahap pertama. Mereka tidak boleh dilepaskan begitu saja

seolah-olah ketika mereka sudah terserap dalam kegiatan/proyek yang bersifat

padat karya, masalahnya telah selesai.

Perlu ada pendampingan psikologis dan yang bersifat agamais serta

permanen agar ketahanan mental para penganggur ini tetap baik.Community

group discussion bisa digunakan sebagai sarana atau media untuk

memperkenalkan mereka satu sama lain sehingga terjalin suatu komunikasi

sosial di antara mereka. Dengan mereka saling mengenal satu sama lain mereka

bisa saling mengontrol kelakuannya masing-masing baik di tengah lingkungan

mereka sendiri maupun lingkungan masyarakat pada umummnya. Jadi proses

penyadaran mental dan pemberdayaan sosial dan ekonomi harus berjalan

bersama-sama dalam satu kesatuan kegiatan yang saling isi mengisi dan

melengkapi serta berorientasi pada perubahan-perubahan sosial dan ekonomi

dan berdampak pada peningkatan martabat manusia.

c. Memberikan dukungan modal kepada pekerja sektor informal

Kwik Kian Gie, Menteri Negara Perencanaan dan Pembangunan

Nasional/ Ketua Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas)

65

Page 66: patologi-sosial

mengatakan bahwa dengan kondisi ekonomi Indonesia sekarang ini, investasi

yang diutamakan adalah sektor yang tidak terlalu modern dan tanpa

menggunakan mesin canggih. Selama ini sector informal dinilai sangat

membantu menyerap orang-orang yang menganggur tetapi kreatif dan menjadi

peredam di tengah pasar global. Namun bukan berarti sektor formal diabaikan.

Jika ternyata sektor informal ternyata dapat menjawabi sebagian dari masalah

pengangguran yang dihadapi Bangsa kita, maka sudah waktunya sektor

informal ini didukung oleh pemerintah dengan menyiapkan anggaran. Anggaran

ini bisa digunakan untuk dijadikan modal pengembangan usaha ekonomis

produktif bagi pekerja-pekerja informal.

Kenaikan jumlah pekerja informal dari 53,7 juta orang tahun 1997

menjadi 62,4 tahun 2002 (lihat tabel di atas) merupakan indikasi bahwa untuk

mengatasi masalah pengangguran di Indonesia tidak bisa lagi bertumpu pada

sektor formal. Apalagi dengan kondisi ekonomi Indonesia yang belum

sepenuhnya normal ini sangat tidak mungkin menciptakan lapangan kerja baru

di sektor formal. Banyaknya perusahaan/pabrik yang gulung tikar akibat krisis

ekonomi yang belum pulih kurang memungkinkan terciptanya sektor formal.

Kalaupun ada lapangan kerja baru untuk pekerja formal, persediaannya sangat

terbatas dan kesempatan itu hanya bisa diraih oleh pekerja yang trampil,

memiliki pendidikan yang memadai dan professional serta berdaya saing tinggi.

Para pekerja informal ini harus terwadah dalam kelompok-kelompok

usaha ekonomis produktif dan proses kegiatannya musti terkontrol secara rapi.

Karena itu sebelum disediakannya suntikan modal baik yang berasal dari APBN

maupun APBD di Daerah-daerah, fungsionalisasi peranan kelembagaan melalui

penguatan kelembagaan (capacity building) mutlak perlu. Berbagai

stakeholders seperti Lembaga Swadaya Masyarakat, akademisi, pekerja sosial,

aparat Pemerintahan, tokoh-tokoh adat, tokohtokoh agama, tokoh-tokoh

masyarakat perlu duduk bersama untuk menyerap berbagai aspirasi guna

menyusun rencana sekaligus melaksanakan pemberdayaan usaha ekonomis

produktif masyarakat dalam wadah kelompok yang kuat. Penguatan

kelembagaan dan peranan kelembagaan itu dalam mewadahi berbagai kegiatan

itu akan sangat membantu terpadu dan teraturnya proses pemberdayaan

ekonomi pekerja-pekerja informal.

66

Page 67: patologi-sosial

Sebagaimana yang dialami selama ini, ada banyak masalah yang timbul

dari kegiatan seperti ini seperti penyelewengan dana, korupsi, kolusi dan

nepotisme, terutama di tingkat pelaksana operasional. Penyelewengan itu bisa

diminimalisasi apabila program ini menjadi gerakan sosial (sosial movement)

dan gerakan ekonomi(economic movement) yang bersifat terbuka dan

transparan. Seluruh masyarakat harus memantau pelaksanaannya dengan

dukungan pers yang terbuka. Keterlibatan berbagai stakeholders seperti

lembaga swadaya masyarakat, anggota legislatif, para akademisi dan pekerja

sosial, tokoh-tokoh adat dan agama, pers, baik cetak maupun elektronik

diharapkan akan memperkecil kemungkinan terjadinya penyelewengan.

d.Memberantas budaya Korupsi, Kolusi dan Nepotisme yang faktanya telah

menghancurkan ekonomi Negara

Pengangguran di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari fenomena

Korupsi, Kolusi dan Nepotisme yang telah menghancurkan sendi-sendi

perekonomian Bangsa kita secara sistematik dan menggurita terutama terjadi

pada zaman Pemerintahan Orde Baru. Soeharto dipaksa turun dari kursi

Kepresidenannya karena ternyata telah meluluhlantahkan Bangsa ini ke dalam

jurang krisis moneter dan ekonomi. Setelah Soeharto berhasil ditumbangkan

melalui gerakan ‘people power’ yang tak terbendungkan dan digantikan oleh

Habibie dan kemudian Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarno Putri,

fenomena korupsi ini ternyata terus berlanjut. Bahkan korupsi di masa Orde

Reformasi ini tidak hanya berada di Pemerintahan Pusat sebagaimana dahulu di

zaman Soeharto tetapi sudah menjangkau seluruh elemen kenegaraan di

Daerah-daerah. Hasil Survey Transparency International menjelang tutup tahun

2003 pada 133 Negara, Indonesia berada pada urutan ke 122 dari 133 Negara

yang paling korup. Di dunia Indonesia tercatat sebagai negara terkorup ke

enam. Di Asia Tenggara Indonesia menempati urutan pertama sebagai

negara terkorup. Tabel berikut menunjukkan Indeks Persepsi Korupsi(IPK)

Indonesia tahun 1998-2003:

67

Page 68: patologi-sosial

Tabel Indeks Persepsi Korupsi Indonesia tahun 1998-2003

Untuk gambaran perbandingan11 lima negara tetangga seperti Malaysia

mendapat IPK 5,2, Philipina 2,5, Vietnam 2,4 dan Papua Nugini 2,1. Dari

tabel di atas memperlihatkan bahwa IPK Indonesia tetap tidak berubah sejak

tahun 2001. Itu berarti pemerintah tidak mampu mengurangi fenomena korupsi

ini. Menurut Laporan ini pula, Indonesia hanya sedikit lebih baik dari

Bangladesh, Myanmar, Nigeria dan Kamerun. Jenis-jenis korupsi yang

dijadikan hasil survey meliputi manipulasi uang negara, praktek suap dan

pemerasan, politik uang dan kolusi bisnis. Di Indonesia, untuk kategori

manipulasi uang negara sektor yang paling korup berada di pengadaan

barang dan jasa, meliputi konstruksi pekerjaan umum, perlengkapan militer

dan barang jasa pemerintah. Untuk kasus suap dan pemerasan, korupsi

terbesar terjadi di kepolisian, sektor peradilan, pajak dan bea cukai, serta

sektor perizinan. Korupsi juga terjadi di kalangan politisi (anggota DPR) dan

Partai Politik, serta dalam praktek kolusi dalam bisnis. Untuk jenis kolusi

bisnis, korupsi terbesar terjadi di tubuh militer, kepolisian dan pegawai

pemerintah lewat Koperasi dan Yayasan.

Dari gambaran di atas, nyata bahwa tidak ada lagi suatu kebanggaan

terhadap negara ini karena semua lembaga formal yang diharapkan menjadi

penyelenggara negara menjadi lokomotif terdepan di dalam kejahatan yang luar

biasa ini (extra ordinary crime). Korupsi terjadi di mana-mana ibarat virus

kanker yang sulit diberantas dan menghancurkan sendi-sendi utama penopang

keberlangsungan sebuah bangsa seperti moralitas, ekonomi, sosial, politik dan

keamananan. Ahli etika sosial, Prof.Dr. Magnis Suseno mengatakan bahwa

Bangsa Indonesia kini tinggal menunggu waktu masuk ke jurang karena korupsi

bukan hanya dilakukan pejabat di tingkat pusat melainkan merata di seluruh

daerah dan semua tingkatan. “Kerusakan bangsa ini hampir sempurna, hal itu

68

Page 69: patologi-sosial

antara lain karena politik uang benarbenar riil dan hampir merata dalam dunia

perpolitikan di negeri ini”. Apa yang disampaikan oleh kedua tokoh agama

yang terkemuka di atas terkait secara signifikant dengan dilaksanakannya

Otonomi Daerah di Negara Asia yang dinilai paling rendah IPKnya adalah

Singapura dengan nilai 9,4. Sedangkan negara paling bersih dari 133 Negara

yang disurvey adalah Finlandia dengan IPK 9,7. IPK ini biasanya diukur pada

rentangan 0 –10. Makin mendekati angka 10 berarti makin sebuah negara bersih

dari korupsi, demikian sebaliknya. Berbicara dalam Seminar bertemakan

‘Meluruskan Jalan Reformasi’ yang diprakarsai oleh Universitas Gajah Mada,

Jumat 26 September 2003 di Yogyakarta(Kompas, 27 September 2003, hal.1).

Penegasan ini disampaikan oleh Prof.Ahmad Syafii Maarif, Ketua

Pimpinan Pusat Muhammadiyah pada kesempatan Seminar yang sama sehari

sebelumnya, Kamis 25 September 2003 ( Kompas,idem.) Kabupaten/Kota.

Pelaksanaan Otonomi Daerah di satu pihak membawa angin segar dalam

kehidupan demokrasi di Indonesia. Otonomi Daerah yang memberikan

kewenangan yang luas kepada daerah khususnya Kabupaten dan Kota melalui

desentralisasi kewenangan dan keuangan menyebabkan terbangunnya

partisipasi aktif masyarakat dalam membangun daerahnya. Kewenangan dan

keuangan yang sebelumnya terpusat di Jakarta telah beralih kepada daerah

sehingga memungkinkan tercapainya pelayanan publik yang lebih dekat dan

pendek. Akan tetapi dampak-dampak posititip dari pelaksanaan Otonomi

Daerah ini justru dirusak dengan kecenderungan para pejabat di daerah untuk

melakukan korupsi uang negara secara besarbesaran dan dilakukan secara

sistematik baik melalui peraturan-peraturan daerah yang formal maupun non

formal melalui Korupsi, Kolusi dan Nepotisme di antara para pelaku. Adalah

sebuah fakta bahwa hampir semua pejabat di Propinsi dan Kabupaten/kota di

seluruh Indonesia terlibat dalam Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN).

Laporan Harian Kompas, 25 Oktober 2003 secara gambling

membeberkan fakta korupsi yang dilakukan legislatif dan eksekutif di berbagai

daerah di Indonesia, dan laporan itu hanyalah sebagian kecil dari fakta yang

jauh lebih luas. APBD Propinsi Sumatra Barat tahun 2002 yang diindikasikan

berbau korupsi, kolusi dan nepotisme telah menyebabkan 53 anggota DPRDnya

69

Page 70: patologi-sosial

diperiksa di pengadilan Padang; sementara itu 45 orang anggota DPRD Kota

Padang sedang diusut oleh Kejaksaan Negeri.

Sementara itu menurut Kemas Yahya Rahman, Kapuspenkum

Kejaksaan Agung, sekitar 269 anggota DPRD provinsi dan kabupaten/kota di

Indonesia terkait dengan kasus korupsi dan Presiden Megawati sudah

memberikan izin pemeriksaan kepada 68 orang dari jumlah yang ada.

Sementara itu Kejaksaan Tinggi di tujuh Propinsi sudah melakukan penyidikan

atas kasus korupsi yang terkait dengan anggota DPRD tersebut yaitu Sumatra

Barat 53 tersangka, Sumatra Selatan 85 tersangka, Lampung 75 tersangka, Jawa

Barat 41 tersangka, DI Yogyakarta 11 tersangka, Sulut 1 tersangka dan NTB 3

tersangka. Selain itu di NTT15 1 tersangka terkait dengan kasus korupsi

(bekerja sama dengan eksekutif), Sawahlunto Sijunjung 35 orang memasuki

tahap pemeriksaan. Masih segar juga ingatan kita akan kasus korupsi yang

dilakukan oleh ketua dan wakil ketua DPRD Jawa Timur beberapa waktu lalu.

Dengan fungsi legislasi yang sangat kuat berada pada anggota DPRD ini,

mereka menggunakan segala macam cara untuk melakukan korupsi baik

langsung melalui manipulasi Peraturan Daerah yang terkait dengan Anggaran

seperti yang terjadi di Propinsi Sumatra Barat maupun tidak langsung dalam

bentuk ‘mengancam’ menolak Laporan

Di zaman Soeharto, korupsi lebih dominant ada pada pusat-pusat

kekuasaan eksekutif. Di zaman Orde reformasi ini justru lebih dominant ada

pada legislatif. Fungsi legislasi yang menonjol membuat mereka merasa berada

di atas angin. Ahli politik seperti Kaplan menegaskan bahwa ada masanya

sebuah negara dikendalikan oleh para bandit yang rakus, dan sebelum mereka

mengakhiri jabatannya mereka akan berusaha menguras uang negara sebanyak-

banyaknya. laporan Pos Kupang, 20 Juni 2003.

Pertanggungjawaban Jabatan (LPJ) Bupati atau Gubernur jika tidak

‘meloloskan ‘ sesuatu yang berindikasi korupsi. Belum lagi para anggota DPRD

itu masing-masing memiliki proyek pribadi16 dengan memanfaatkan nama

kerabat, keluarga dan sebagainya seperti yang terjadi hampir di semua wilayah

di Indonesia.

Korupsi yang telah berlangsung secara sistematik ini telah

mengakibatkan ketidakadilan sosial dan ekonomi, kemiskinan dan kemelaratan

70

Page 71: patologi-sosial

pada sebagian besar masyarakat Indonesia, ketidakberdayaan, pengangguran,

kejahatan, konflik sosial, melebarnya gap antara orang kaya dengan orang

miskin dan sebagainya yang pada gilirannya merendahkan martabat manusia.

Pengangguran di Indonesia semakin tahun semakin bertambah sebagai dampak

langsung kerusakan ekonomi bangsa yang salah satu sebab utamanya adalah

maraknya praktek korupsi.

Apa yang harus dibuat untuk menciptakan kondisi baru yang lebih

baik untuk menyelamatkan Bangsa ini ? Ada sejumlah program jangka

pendek yang harus segera dibuat, antara lain:

1. Melakukan perang terhadap Korupsi. Seluruh elemen bangsa harus

menyatakan tekad yang sama untuk melakukan perang terhadap korupsi.

Korupsi harus dianggap sebagai kejahatan yang luar biasa (extra ordinary

crime) terhadap kemanusiaan karena korupsi telah menghancurkan sendi-

sendi fundamental bangsa baik secara ekonomi, sosial, politik, moral dan

agama maupun keamanan. Korupsi telah melahirkan ketidakadilan,

merendahkan martabat manusia, menciptakan kejahatan-kejahatan sosial dan

sebagainya. Gerakan melawan korupsi ini harus dikampanyekan secara terus

menerus oleh berbagai elemen Bangsa melalui sosialization (sosialisasi)

kepada seluruh masyarakat dengan menggunakan berbagai media baik cetak

maupun elektronik, melalui gerakan sosial (sosial movement) dengan

melibatkan lembaga-lembaga swadaya masyarakat, lembaga-lembaga

pemantau kekayaan pejabat negara, lembaga-lembaga pengawas non

pemerintah, dan sebagainya. Juga dilakukan dengan sosial

mobilization(mobilisasi sosial). Seluruh elemen masyarakat harus memantau

semua gerak gerik para pejabat negara baik di eksekutif, legislatif maupun

yudikatif. Masyarakat harus termobilisasi baik secara spontan maupun

terencana melakukan demonstrasi, melakukan kontrol dan pengawasan

terhadap kinerja para penyelenggara negara dari waktu ke waktu dll.

2. Menciptakan pemerintahan yang bersih dengan memilih wakil rakyat baik di

DPR maupun DPRD yang teruji mental, kejujuran dan komitmennya dalam

membangun Bangsa. Sistem Pemilu 2004 yang Di Kabupaten Manggarai

Flores Barat NTT, tempat penulis berasal, para anggota DPRD masing2

memiliki proyek. Modus operandinya, mereka mengancam kepala

71

Page 72: patologi-sosial

dinas/kepala kantor untuk meloloskan proyek-proyek tertentu. Mereka

menggunakan nama kerabat, keluarga untuk mengerjakannya. Mereka

mendapat sebagian dari fee proyek. Fenomena ini saya yakin juga terjadi di

daerah-daerah lain apalagi menjelang Pemilu dimana partai2 politik

membutuhkan uang untuk kampanye. memilih wakil-wakil rakyat, Presiden

dan Wakilnya dan kemudian Gubernur dan Bupati secara langsung adalah

kesempatan kita menciptakan pemerintahan yang bersih. Seluruh rakyat

harus diberi penyadaran untuk memilih wakil-wakilnya yang bersih dari

tindakantindakan tak terpuji itu. Cara yang mungkin mengkomunikasikan

program ini adalah melalui campaign(kampanye), Seminar, diskusi,

simposium, community group discussion, publikasi baik melalui pers cetak

maupun elektronik dan sebagainya.

3. Membuat Kebijakan Jangka Panjang melalui desentralisasi sentra-sentra

pertumbuhan ekonomi ke daerah-daerah Sejalan dengan Otonomi Daerah,

desentralisasi pertumbuhan ekonomi harus dipindahkan dari Pusat ke Daerah,

dari Jawa ke luar Jawa, dari daerah/wilayah yang padat industri ke daerah

yang tidak padat industry sehingga bisa menekan angka urbanisasi dari Desa

ke Kota, atau dari daerah yang ‘tidak bergula’ ke daerah atau wilayah yang

‘bergula’. Selama ini sentra-sentra pertumbuhan ekonomi hanya berpusat di

Jakarta sehingga orang dari seluruh wilayah di Indonesia ini ramai-ramai

mengais rejeki di Jakarta. Jika pabrik-pabrik, industri, perusahaan-

perusahaan berskala nasional atau Internasional dibangun juga di daerah-

daerah, maka pertumbuhan ekonomi akan terjadi di daerah/wilayah itu.

Begitu terjadi pertumbuhan ekonomi, maka akan menciptakan penambahan

tenaga kerja baru. Agar investor menanamkan modalnya di daerah-daerah,

berbagai infrastruktur, komunikasi, transportasi harus dibangun sebagaimana

halnya di Jawa atau daerah-daerah/wilayah yang memiliki peluang

pertumbuhan ekonomi tinggi. Cara mengkomunikasikan program ini adalah

melalui workshop, seminar, simposium yang bisa mempengaruhi pengambil

keputusan di tingkat atas; juga melalui wakil-wakil rakyat di DPR dengan

menyalurkan aspirasi ini kepada mereka. Atau melalui pembentukan opini

publik di media massa secara terus menerus, melalui loby, bargaining dan

sebagainya.

72

Page 73: patologi-sosial

Pengangguran di Indonesia yang telah mencapai puluhan juta orang merupakan

suatu masalah yang mendesak yang harus segera dipecahkan karena dampak

pengangguran itu akan sangat berbahaya bagi tatanan kehidupan sosial. Adalah fakta

bahwa berbagai kejahatan sosial seperti pencurian/penodongan/perampokan, pelacuran,

jula beli anak, anak jalanan dan lain-lain merupakan dampak dari pengangguran.

Dilihat dari dampaknya yang luas terhadap tatanan kehidupan sosial, pengangguran

telah menjadi kuman penyakit sosial yang relatif cepat menyebar, berbahaya dan

beresiko tinggi menghasilkan korban sosial yang pada gilirannya menurunkan kualitas

sumber daya manusia, martabat dan harga diri manusia. Karena itulah maka melalui

strategi komunikasi pembangunan, kebijakan-kebijakan jangka pendek dan jangka

panjang yang realistis mutlak dilakukan agar angka pengangguran dapat

ditekan/dikurangi. Dengan kebijakan yang langsung menyentuh permasalahan

pengangguran, maka penyebab dari berbagai patologi sosial yang dialami masyarakat

saat ini dapat dikurangi. Berbagai masalah sosial perkotaan yang meresahkan

masyarakat saat ini berakar dari kesulitan hidup atau kesulitan ekonomi yang

disebabkan oleh ketiadaan sumber hidup (pekerjaan).

73

Page 74: patologi-sosial

DAFTAR PUSTAKA

Agung Wahyono & Ny. Siti Rahayu, Tinjauan Tentang Peradilan Anak di Indonesia,

Sinar Grafika, 1993, Jakarta

Alatas, S. H., 1987. Korupsi Sifat, Sebab dan Fungsi. Jakarta; LP3ES.

Atmasasmita, R. 2002. Korupsi, Good Governance dan Komisi Anti Korupsi di

Indonesia. Jakarta; Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen

Kehakiman dan HAM RI.

Clemens Bartollas, Juvenile Delinquency, University of Northern Iowa USA, Allyn and

Bacon Fourth Edition, 1985

Conyer Diana, 1994. Perencanaan Sosial di Dunia Ketiga. Yogyakarta : Gajah Mada

University Press.

D. Hendropuspito OC., Drs., 1989, Sosiologi Sistematik, Kanisius, Yogyakarta

Darwan Prinst, Hukum Anak Indonesia, P.T. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003,

Gatot Supramono, Hukum Acara Pengadilan Anak, Djambatan, Jakarta, 2005

Ian Craib, 1992, Teori-Teori Sosial Modern, Rajawali, Jakarta.

Irma Setyowati Soemitro, Aspek Hukum Perlindungan Anak, Bumi Aksara, Jakarta,

1990,

Jelamu Ardu Marius. Dilema Pembauran Golongan Minoritas Cina. Studi Kasus di

Kupang NTT. Tesis, Pascasarjana UI, 1999.

John Naisbit dan Patricia A. Delapan Jalan Menuju Perubahan. Gramedia, 1993.

Judistira K. Garna, Prof., Ph.D., 1992, Teori-Teori Perubahan Sosial, Program

Pascasarjana UNPAD, Bandung.

Judistira K. Garna, Prof., Ph.D., 1996, Ilmu-Ilmu Sosial; Dasar-Konsep-Posisi,

Program Pascasarjana UNPAD,Bandung.

Kartini Kartono, Wagiati Soetodjo, Hukum Pidana Anak, Refika Aditama, Bandung,

2006

Kartono, K. 2002. Patologi Sosial, Jilid I, Divisi Buku Perguruan Tinggi. Jakarta; PT

Raja Gravindo Persada.

----------------Patologi Sosial dan Kenakalan Remaja, PT.Raja Grafindo Grafika,

Jakarta, 1998,

74

Page 75: patologi-sosial

Kwik Kian Gie. 2003. Laporan Pemberantasan Korupsi. Jakarta; Harian Kompas 25

Oktober 2003.

L. Edward Well dan Joseph H. Rankin, Families and Delinquency : A Metamorphosis

of the Impact of Broken Homes Sosial Problems, London, 1991,

Harian Kompas, 25 Oktober 2003 - 10 September 2003 - 27 September 2003.

Harian Pos Kupang, 20 Juni 2003.

Muhidin Syarif, Pengantar Kesejahteraan Sosial, Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial,

Bandung, 1997

P.A.F.Lamintang, Hukum Penitensir Indonesia, CV Armico, Bandung, 1988,

Pope, Jeremy. 2003. Strategi Memberantas Korupsi Elemen Sistem Integritas Nasional.

Jakarta; Kerjasama antara Transparency Internastional Indonesia dan

Yayasan Obor Indonesia.

Robert L. Barker, 1987, The Sosial Work Dictionary, NASW, Silver Spring, Maryland.

Rozi, Syafuan. 2003. Menjinakkan Korupsi di Indonesia. Email: syafuan @

indonet.com.

Soelidarmi, Kumpulan Putusan Kontroversial Dari Hakim/Majelis Hakim

Kontroversial Beserta Polemik Yang Diberitakan Atau Ditulis Media

Cetak, UII Press, Yogyakarta, 2002, hlm.x-xi.

Sri Widoyati Wiratmo Soekito, Anak dan Wanita Dalam Hukum, LP3S, Jakarta, 1989,

hlm.10-11. 5Maulana Hassan Wadong, Advokasi dan Hukum Perlindungan

Anak, Gramedia Wirasarana Indonesia, Jakarta, 2000,

Syamsu Yusuf, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, P.T. Remaja Rosdakarya,

Bandung, 2004

.Soetomo, Drs., 1995, Masalah Sosial dan Pembangunan, PT. Dunia Pustaka Jaya,

Jakarta.

Suarapublika, Novermber 2003.

Tamin, Faisal. 2003. Bersih KKN, Indonesia Singa Asia. Jakarta; Kompas 25 Oktober

2003.

Undang-Undang Otonomi Daerah No. 22 tahun 1999

_____________, 2003. Pemberantasan Korupsi Untuk Meraih Kemandirian,

Kemakmuran, Kesejahteraan dan Keadilan . (draft, Internet).

75