PATOLOGI NIFAS

29
PATOLOGI NIFAS A. INFEKSI NIFAS (INFEKSI PUERPURALIS) 1. DEFINISI Menurut Krisnadi (2005), infeksi nifas adalah infeksi jalan lahir pascapersalinan, biasanya dari endometrium bekas insersi plasenta. Demam nifas juga disebut morbiditas nifas dan merupakan indeks kejadian infeksi nifas. Demam dalam nifas selain oleh infeksi nifas juga dapat disebabkan oleh pielitis, infeksi jalan pernafasan, malaria, dan tifus. Dalam Manuaba (1998) dijelaskan bahwa setelah persalinan, terjadi beberapa perubahan penting diantaranya makin meningkatnya pembentukan urin untuk mengurangi hemodilusi darah, terjadi penyerapan beberapa bahan tertentu melalui pembuluh darah vena sehingga terjadi peningktan suhu badan sekitar 0,5°C yang bukan merupakan keadaan patologis atau menyimpang pada hari pertama. Perlukaan karena persalinan merupakan tempat masuknya kuman ke dalam tubuh sehingga menimbulkan infeksi pada kala nifas. Oleh karena itu, infeksi kala nifas adalah infeksi peradangan pada semua alat genetalia pada masa nifas oleh sebab apapun dengan ketentuan meningkatnya suhu badan melebihi 38°C tanpa menghitung hari pertama dan berturut-turut selama 2 hari. Joseph dan Nugroho (2010) dan Prawirohardjo (2006) juga memberikan definisi yang sama mengenai infeksi nifas yaitu infeksi bakteri pada dan melalui traktus genitalia

Transcript of PATOLOGI NIFAS

Page 1: PATOLOGI NIFAS

PATOLOGI NIFAS

A. INFEKSI NIFAS (INFEKSI PUERPURALIS)

1. DEFINISI

Menurut Krisnadi (2005), infeksi nifas adalah infeksi jalan lahir pascapersalinan,

biasanya dari endometrium bekas insersi plasenta. Demam nifas juga disebut

morbiditas nifas dan merupakan indeks kejadian infeksi nifas. Demam dalam nifas

selain oleh infeksi nifas juga dapat disebabkan oleh pielitis, infeksi jalan pernafasan,

malaria, dan tifus.

Dalam Manuaba (1998) dijelaskan bahwa setelah persalinan, terjadi beberapa

perubahan penting diantaranya makin meningkatnya pembentukan urin untuk

mengurangi hemodilusi darah, terjadi penyerapan beberapa bahan tertentu melalui

pembuluh darah vena sehingga terjadi peningktan suhu badan sekitar 0,5°C yang

bukan merupakan keadaan patologis atau menyimpang pada hari pertama. Perlukaan

karena persalinan merupakan tempat masuknya kuman ke dalam tubuh sehingga

menimbulkan infeksi pada kala nifas. Oleh karena itu, infeksi kala nifas adalah infeksi

peradangan pada semua alat genetalia pada masa nifas oleh sebab apapun dengan

ketentuan meningkatnya suhu badan melebihi 38°C tanpa menghitung hari pertama

dan berturut-turut selama 2 hari.

Joseph dan Nugroho (2010) dan Prawirohardjo (2006) juga memberikan definisi

yang sama mengenai infeksi nifas yaitu infeksi bakteri pada dan melalui traktus

genitalia yang terjadi sesudah melahirkan , ditandai kenaikan suhu sampai 38°C atau

lebih selama 2 hari dalam 10 hari pertama pasca persalinan, dengan mengecualikan

24 jam pertama. Kenaikan suhu tubuh yang terjadi di dalam masa nifas, dianggap

sebagai infeksi nifas jika tidak ditemukan sebab-sebab ekstragenital (Prawirohardjo,

2006).

2. EPIDEMIOLOGI

CARI DULU TERBARU

3. ETIOLOGI DAN FAKTOR PREDISPOSISI

Page 2: PATOLOGI NIFAS

Menurut Krisnadi (2005) mikroorganisme penyebab infeksi puerpuralis dapat

berasal dari luar (eksogen) atau dari jalan lahir penderita sendiri (endogen).

Mikroorganisme endogen lebih sering menyebabkan infeksi.

a. Mikroorganisme endogen: golongan Streptococcus, basil koli, dan Stafilococcus

b. Mikroorganisme eksogen: Clostridium welchii, gonococcus, Salmonella typhii, atau

Clostridium tetani.

Faktor predisposisi infeksi nifas menurut Manuaba (1998), Joseph & Nugroho (2010)

antara lain:

a. Persalinan berlangsung lama

b. Tindakan operasi persalinan

c. Tertinggalnya placenta, selaput ketuban, dan bekuan darah

d. Ketuban pecah dini atau pembukaan masih kecil melebihi 6 jam

e. Keadaan yang dapat menurunkan keadaan umum, yaitu perdarahan antepartum

dan post partum, anemia pada saat kehamilan, malnutrisi, kelelahan, hygiene, dan

ibu hamil dengan penyakit infeksi.

Dalam Prawirohardjo (2006) juga disebutkan faktor predisposisi lain, yaitu:

a. Karioamnionitis

b. Kurang baiknya proses pencegahan infeksi

c. Manipulasi yang berlebihan

Perdarahan menurunkan daya tahan tubuh ibu, sedangkan trauma persalinan

memberikan port d’entrée dan jaringan nekrotis merupakan media yang subur bagi

mikroorganisme. Demikian juga partus lama, retensio placenta sebgaian atau

seluruhnya memudahkan terjadinya infeksi (Krisnadi, 2005).

4. MEKANISME TERJADINYA INFEKSI

Terjadinya infeksi kala nifas dalam Manuaba (1998) adalah sebagai berikut:

1. Manipulasi penolong: terlalu sering melakukan pemeriksaan dalam, alat yang

dipakai kurang suci hama

Kemungkinan besar penolong persalinan membawa kuman ke dalam rahim

penderita, yakni dengan membawa mikroorganisme yang telah ada dalam vagina

ke atas, misalnya dengan pemeriksaan dalam. Mungkin juga tangan penolong atau

alat-alatnya masuk membawa kuman-kuman dari luar dan dengan infeksi tetes.

Page 3: PATOLOGI NIFAS

Oleh karena itu sebaiknya penolong persalinan memakai masker dalam kamar

bersalin dan pegawai dengan infeksi jalan nafas bagian atas hendaknya ditolak

bekerja di kamar bersalin (Krisnadi, 2005).

2. Infeksi yang didapat di rumah sakit (nosokomial)

Kadang-kadang sumber infeksi berasal dari penolong sendiri misalnya, jika

ada luka pada tangannya yang kotor atau dari pasien lain seperti pasien dengan

infeksi puerpuralis, luka operasi yang meradang, karsinoma uteri, atau dari bayi

dengan infeksi tali pusat (Krisnadi, 2005).

3. Hubungan seks menjelang persalinan

4. Sudah terdapat infeksi intrapartum: persalinan lama terlantar, ketuban pecah

lebih dari 6 jam, terdapat pusat infeksi dalam tubuh (fokal infeksi)

5. BENTUK INFEKSI

Bentuk infeksi kala nifas bervariasi dari yang bersifat lokal sampai terjadi sepsis dan

kematian puerperium. Bentuk infeksi dalam Manuaba (1998), Krisnadi (2005), dan

Joseph & Nugroho (2010) dapat dijabarkan sebagai berikut:

a. Bentuk infeksi lokal

1) Infeksi pada luka episiotomi

2) Infeksi pada vagina

3) Infeksi pada serviks yang luka

4) Infeksi pada endometrium

b. Bentuk infeksi general (menyebar)

1) Parametritis

2) Peritonitis

3) Septikekemia dan piemia

4) Tromboflebitis

5) Salpingitis

Penyebaran infeksi kala nifas menurut Manuaba (1998) dan Joseph & Nugroho

(2010) dapat meliputi:

a. Berkelanjutan-perkontinuitatum

b. Melalui pembuluh darah

c. Melalui pembuluh limfa

Page 4: PATOLOGI NIFAS

d. Penyebaran melalui bekas implantasi plasenta

Sedangkan dalam Krisnadi (2005), secara ikhtisar cara penjalaran infeksi alat

kandungan sebagai berikut:

a. Penjalaran pada permukaan

1) Endometritis

2) Salpingitis

3) Pelveoperitonitis

4) Peritonitis umum

b. Penjalaran ke lapisan yang lebih dalam

1) Endometritis

2) Miometritis

3) Perimetritis

4) Peritonitis

c. Penjalaran melalui pembuluh getah bening

1) Limfangitis

2) Perlimfangitis

3) Parametritis

4) Perimetritis

d. Penjalaran melalui pembuluh darah balik

1) Flebitis sepsis

2) Perifleblitis

3) Parametritis

6. PATOLOGI, MANIFESTASI KLINIS, DAN PENATALAKSANAAN

Gambaran klinis infeksi nifas dalam Manuaba (1998) dapat dalam bentuk:

a. Infeksi lokal

1) Pembengkakan luka episiotomy

2) Terjadi penanahan

3) Perubahan warna lokal

4) Pengeluaran lokea bercampur nanah

5) Mobilitas terbatas karena rasa nyeri

6) Temperatur badan dapat meningkat

Page 5: PATOLOGI NIFAS

b. Infeksi umum

1) Tampak sakit dan lemah

2) Temperature meningkat di atas 39°C

3) Tekanan darah dapat menurun dan nadi meningkat

4) Pernafasan dapat meningkta dan terasa sesak

5) Kesadaran gelisah sampai menurun dan koma

6) Terjadi gangguan involusi uterus

7) Lokea berbau dan bernanah serta kotor

Penanganan umum menurut Prawirohardjo (2006) antara lain:

a. Antisipasi setiap kondisi (faktor predisposisi, dan masalah dalam proses persalinan

yang dapat berlanjut menjadi penyulit atau komplikasi dalam masa nifas.

b. Berikan pengobatan yang rasional dan efektif bagi ibu yang mengalami infeksi nifas

c. Lanjutkan pengamatan dan pengobatan terhadap masalah atau infeksi yang

dikenali pada saat kehamilan taupun persalinan

d. Jangan pulangkan penderita apabila masa kritis belum terlampaui

e. Beri acatan atau instruksi tertulis untuk asuhan mandiri di rumah dan gejala-gejala

yang harus diwaspadai dan harus mendapat pertolongan dengan segera.

f. Lakukan tindakan dan perawatan yang sesuai bagi bayi baru lahir, dari ibu yang

mengalami infeksi pada saat persalinan

g. Berikan hidrasi oral/IV secukupnya.

h. Beri infus heparin, obati dengan antibiotika dan berikan terapi suportif dan

observasi

i. Berikan terapi suportif (hepatoprotektor) dan observasi

INFEKSI LUKA PERINEUM (VULVA, VAGINA, SERVIKS) DAN LUKA ABDOMINAL

a. Etiologi

Disebabkan oleh keadaan yang kurang bersih dan tindakan pencegahan infeksi

kurang baik (Prawirohardjo, 2006).

b. Manifestasi Klinis

Menurut Krisnadi (2005), manifestasi klinis infeksi luka perineum dan

abdominal yaitu:

Page 6: PATOLOGI NIFAS

1) Luka perineum menjadi nyeri, merah, dan bengkak akhirnya luka terbuka dan

mengeluarkan getah bernanah. Perasaan nyeri dan panas timbul pada luka

yang terinfeksi dan jika terjadi pernanahan dapat disertai dengan dengan suhu

yang tinggi dan menggigil.

2) Infeksi luka serviks jika lukanya dalam sampai ke parametrium, dapat

menimbulkan parametritis

c. Penanganan

Penanganan spesifik pada infeksi luka perineum dan luka abdominal

menurut Prawirohardjo (2006) yaitu:

1) Bedakan antara wound abcess, wound seroma, wound hematoma, dan wound

cellulitis.

a) Wound abcess, wound seroma, dan wound hematomaI suatu pengerasan

yang tidak biasa dengan mengeluarkan cairan serousatau kemerahan dan

tidak ada / sedikit erithema sekitar luka.

b) Wound cellulitis didapatkan eritema dan edema meuluas mulai dari tempat

insisi dan melebar.

2) Bila didapatkan pus dan cairan pada luka, buka, dan lakukan pengeluaran.

3) Daerah jahitan yang terinfeksi dihilangkan dan lakukan debridement

4) Bila infeksi sedikit tidak perlu antibiotika

5) Bila infeksi relative superficial, berikan ampisilin 500 mg per oral setiap 6 jam

dan metronidazol 500 mg per oral 3x/hari selama 5 hari

6) Bila infeksi dalam dan melibatkan otot dan menyebabkan nekrosis, beri

penisilin G 2 juta U IV setiap 4 jam (atau ampisilin inj 1 g 4x/hari) ditambah

dengan gentamisisn 5 mg/kg berat badan perhari IV sekali ditambah dengan

metronidazol 500 mg IV setiap 8 jam, sampai bebas panas selama 24 jam. bila

ada jaringan nekrotik harus dibuang. Lakukan jahitan sekunder 2-4 minggu

setelah infeksi membaik.

7) Berikan nasehat kebersihan dan pemakaian pembalut yang bersih dan sering

diganti.

ENDOMETRITIS/METRITIS

Page 7: PATOLOGI NIFAS

Metritis adalah infeksi uterus setelah persalinan yang merupakan salah satu

penyebab terbesar kematian ibu. Bila pengobatan terlambat atau kuirang adekuat

dapat menjadi abses pelvic, peritonitis, syok septic, thrombosis vena yang dalam,

emboli pulmonal, infeksi pelvic yang menahun, dispareunia, penyumbatan tuba, dan

infertilitas (Prawirohardjo, 2006).

a. Patologi

Infeksi puerperalis paling sering menjelma sebagai endometritis. Setelah

masa inkubasi, kuman-kuman menyerbu ke dalam luka endometriumm, biasanya

pada bekas perlekatan plasenta. Leukosit-leukosit segera membuat pagar

pertahanan dan keluarlah serum yang mengndung zat anti, sedangkan otot-otot

berkontraksi dengan kuat, rupanya dengan maksud menutup aliran darah dan

limfe. Ada kalanya endometritis menghalangi involusi (Krisnadi, 2005).

b. Manifestasi Klinis

Menurut Krisnadi (2005), manifestasi klinis infeksi luka perineum dan

abdominal yaitu:

1) Gambaran klinik endometritis berbeda-beda bergantung virulensi kuman

penyebabnya. Biasanya demam mulai 48 jam pascapersalinan dan bersifat naik

turun (remitten).

2) His royan lebih nyeri dari biasa dan lebih lama dirasakan. Lokea bertambah

banyak, berwarna merah atau coklat, dan berbau. Lokea yang berbau tidak

selalu menyertai endometritis sebagai gejala. Sering ada subinvolusi. Leukosit

naik antara 15000-30000/mm3.

3) Sakit kepala, kurang tidur, dan kurang nafsu makan dapat mengganggu

penderita. Jika infeksi tidak meluas, suhu turun berangsur-angsur dan normal

pada hari ke-7-10.

c. Penanganan

Penanganan spesifik pada infeksi luka perineum dan luka abdominal

menurut Prawirohardjo (2006) yaitu:

1) Berikan transfuse jika dibutuhkan. Berikan Packed Red Cell.

2) Berikan antibiotika broadspektrum dalam dosis yang tinggi. Ampisilin 2 g IV,

kemudian 1 g setiap 6 jam ditambah gentamisisn 5 mg/kg berat badan IV dosis

Page 8: PATOLOGI NIFAS

tunggal/hari dan metronidazol 500 mg IV setiap 8 jam. Lanjutkan antobiotika ini

sampai ibu tidak panas dalam 24 jam.

3) Pertimbangkan pemberian antitetanus profilaksis

4) Bila dicurigai adanya sisa placenta, lakukan pengeluaran (digital atau dengan

kuretase yang lebar)

5) Bila ada pus lakukan drainase (kalau perlu kolpotomi), ibu dalam posisi semi

fowler.

6) Bila tidak ada perbaikan dengan pengobatan konservatif dan ada tanda

peritonitis generalisata lakukan laparatomi dan keluarkan pus. Bila pada

evaluasi uterus nekrotik dans septic lakukan histerektomi subtotal.

TROMBOFLEBITIS

Perluasan infeksi nifas yang paling sering ialah perluasan invasi mikroorganisme

pathogen yang mengikuti aliran darah vena di sepanjang vena dan cabang-cabangnya

sehingga terjadi tromboflebitis (Praworohardjo, 2006). Penjalaran infeksi melalui vena

sering terjadi dan merupakan penyebab terpenting dari kematian karena infeksi

puerperalis (Krisnadi, 2005).

Klasifikasi menurut Prawirohardjo (2006) dan Krisnadi (2005) tromboflebitis dibagi

menjadi dua golongan berdasar jenis vena yang terkena yaitu:

a. Pelviotromboflebitis

Mengenai vena-vena dinding rahim dan ligament latum (vena ovarika, vena uterin,

dan vena hipogastrik). Vena yang paling sering terken aialah vena ovarika dextra

karena infeksi pada tempat omplantasi plasenta terletak di bagian tas uterus,

proses biasanya unilateral. perluasan infeksi dari vena ovarika sinistra ialah vena

renalis, sedangkan perluasan infeksi dari vena ovarika dektra adalah ke vena kava

inferior. Peritoneum, yang menutupi vena ovarika dektra mengalami inflamasi

dank an menyebabkan perisalpingo-ooforitis dan periapendisitis. perluasan infeksi

vena uterine adalah ke vena iliaka komunis (Prawihardjo, 2006).

b. Tromboplebitis femoralis

Mengenai vena-vena tungkai (vena femoralis, poplitea, dan safena).

Tromboflebitis Pelvika/Pelviotromboflebitis

Page 9: PATOLOGI NIFAS

a. Patologi

Yang paling sering meradang ialah vena ovarika karena mengalirkan darah

dan luka bekas plasenta di daerah fundus uteri.Penjalaran tromboflebitis pada

vena ovarika kiri ialah ke vena renalis dan vena ovarika kanan ke vena kava

inferior. Trombosis yang terjadi setelah peradangan bermaksud untuk

menghambat perjalanan mikroorganisme. Dengan proses ini, infeksi dapat

sembuh, tetapi jika daya tahan tubuh kurang, thrombus dapat menjadi nanah

(Krisnadi, 2005).

Bagian-bagian kecil thrombus terlepas dan terjadilah emboli atau sepsis dan

karena embolus ini mengandung pus disebut juga pyaemia. Embolus ini biasanya

tersangkut pada paru, ginjal, atau katub jantung. Pada paru dapat menimbulkan

infark,. Jika derah yang mengalami infark meluas, pasien meninggal dengan

mendadak dan jika pasien tidak meninggal, dapat timbul abses paru (Krisnadi,

2005).

b. Manifestasi Klinis

Biasanya terjadi pada minggu ke-2 seperti demam menggigil, biasanya pasien

sudah memperlihatkan suhu yang tidak tenang seperti pada endometritis

sebelumnya. Jika membuat kultur darah, sebaiknya diambil waktu pasien

menggigil atau sesaat sebelumnya. Penyulit adalah abses paru, pleuritis,

pneumoni, dan abses ginjal. Kematian biasanya karena penyulit paru (Krisnadi,

2005).

Manifestasi klinis lain dalam (Prawihardjo, 2006) antara lain:

1) Nyeri yang terdapat pada perut bagian bawah dan atau perut bagian samping,

timbul pada hari ke 2-3 masa nifas dengan atau tanpa panas.

2) Penderita tampak sakit berat

3) Menggigil berulang kali. Menggigil inisial terjdi sangat berat (30-40 menit)

dengan interval hanya beberapa jam saja dan kadang-kadang 3 hari. Pada

waktu menggigil penderita hampir tidak panas.

4) Suhu badan naik secara tajam (36°C menjadi 40°C), yang diikuti dengan

penurunan suhu dalam 1 jam (biasanya subfebris seperti pada endometritis)

5) Penyakit dapat berlangsung 1-3 bulan.

Page 10: PATOLOGI NIFAS

6) Cenderung terbentuk pus yang menjalar kemana-mana terutama ke paru-paru.

7) Pada pemeriksaan dalam hampir tidak ditemukan apa-apa karena yang paling

banyak terkena adalah vena ovarika, yang sukar dicapai pada pemeriksaan

dalam.

8) Gambaran darah:

a) Terdapat leukositosis (meskipun setelah endotoksin menyebar ke sirkulasi,

dapat segera terjadi leucopenia)

b) Untuk membuat kultur darah, darah diambil pada saat yang tepat sebelum

mulainya menggigil. Meskipun bakteri ditemukan di dalam darah selama

menggigil, kultur darah sangat sukar dibuat karena bakterinya anaerob.

c. Penanganan

Dalam (Prawihardjo, 2006) dijelaskan penanganan tromboflebitis pelvic

sebagai berikut:

1) Rawat inap: penderita tirah baring untuk pemantauan gejala penyakitnya dan

mencegah terjadinya emboli pulmonal.

2) Terapi medik: pemberian antibiotika (lihat antibiotika kombinasi dan alternatif,

seperti pada penatalaksaan korioamnionitis), heparin jika terdapat tanda atau

dugaan adanya emboli pulmonum

3) Terapi operatif: pengikatan vena kava inferior dan vena ovarika jika emboli

septic terus berlangsung sampai mencapai paru-paru, meskipun sedang

dilakukan heparinasi.

d. Komplikasi

Komplikasi-komplikasi yang dapat timbul dalam (Prawihardjo, 2006) antara

lain:

1) Komplikasi pada paru-paru: infark, abses, penuemonia

2) Komplikasi pada ginjal sinistra, nyeri mendadak, yang diikuti dengan proteinuria

dan hematuri

3) Komplikasi pada persendian, mata, dan jaringan subkutan

Tromboflebitis Femoralis

a. Patologi

Page 11: PATOLOGI NIFAS

Dapat terjadi tromboflebitis vena safena magna atau peradangan vena

femoralis sendiri, penjalaran tromboflebitis vena uterine (vena uterine, vena

hipogastrika, vena iliaka eksterna, vena femoralis), dan akibat parametritis.

Tromboflebitis vena femoralis mungkin terjadi karena aliran darah lambat di

daerah lipat paha karena vena tersebut, yang tertekan oleh ligament inguinale,

juga karena dalam masa nifas kadar fibrinogen meninggi (Krisnadi, 2005).

Pada tromboflebitis femoralis terjadi edema tungkai yang mulai pada jari

kaki, naik ke kaki, betis, dan paha, bila tromboflebitis itu mulai pada vena safena

atau vena femoralis. Sebaliknya bila terjadi sebagai lanjutan dari tromboflebitis

pelvika, edema mulai terjadi pada paha dan kemudian turun ke betis (Krisnadi,

2005).

Biasanya hanya satu kaki yang bengkak, tetapi kadang-kadang keduanya.

Tromboflebitis femoralis jarang menimbulkan emboli. Penyakit ini juga terkenal

dengan nama phlegmasia alba dolens (radang yang putih dan nyeri) (Krisnadi,

2005).

b. Manifestasi Klinis

Dalam Krisnadi (2005) dan Prawihardjo (2006) manifestasi klinis dari

tromboflebitis femoralis antara lain:

1) Keadaan umum tetap baik, suhu badan subfebris selama 7-10 hari, kemudian

mendadak naik kira-kira pada hari ke 10-20, yang disertai dengan menggigil

nyeri sekali pada tungkai, biasanya yang kiri.

2) Kaki yang sakit biasanya lebih panas dari kaki yang sehat.

3) Kaki sedikit dalam keadaan fleksi dan rotasi ke luar serta sukar bergerak.

4) Palpasi menunjukkan adanya nyeri hebat (pada lipat paha dan daerah paha)

sepanjang salah satu vena kaki yang teraba sebagai alur yang keras dan tegang

biasanya pada paha.

5) Timbul edema yang jelas sebelum atau setelah nyeri, yang biasanya mulai pada

ujung kaki atau pada paha dan kemudian naik ke atas. Edema ini lambat sekali

hilang. Keadaan umum pasien tetap baik. Kadang-kadang terjadi tromboflebitis

pada kedua tungkai.

Page 12: PATOLOGI NIFAS

6) Reflektorik akan terjadi spasmus srteria sehingga kaki menjadi bengka , tegang,

putih, nyeri dan dingin, dan penurunan pulsasi.

7) Nyeri pada betis yang dapat terjadi spontan atau dengan memijit betis atau

dengan meregangkan tendon achiles (tanda Hoffman)

c. Penanganan

Penangan tromboflebitis femoralis dalam Prawihardjo (2006) antara lain:

1) Perawatan: kaki ditinggikan untuk mengurangi edema, lakukan kompresi pada

kaki. Setelah mobilisasi kaki hendaknya tetap dibalut elastik atau memakai kaos

kaki panjang yang elastik selama mungkin.

2) Mengingat kondidi ibu yang sangat jelek, sebaiknya jangan menyusui.

3) Terapi medik: pemberian antibiotic dan analgesia

Sepsis Puerperalis

a. Patologi

Terjadi kalau setelah persalinan ada sarang sepsis dalam badan yang secara

terus-menerus atau periodic melepaskan mikroorganisme pathogen ke dalam

peredaran darah (Krisnadi, 2005).

Pada sepsis ini dibedakan menjadi:

1) Port d’entrée: biasanya bekas insersi placenta

2) Sarang sepsis primer: tomboplebitis pada vena uterine atau vena ovarika

3) Sarang sepsis sekunder (metastasis): misalnya di paru sebagai abses paru atau

pada katup jantung sebagai endokarditis ulserosa septika. dasamping itu, dapat

terjadi abses di ginjal, di hati, limpa, dan otak (Krisnadi, 2005).

b. Manifestasi Klinis

Suhu tinggi (40°C atau lebih, biasanya remittens), menggigil, keadaan umum

memburuk (nadi kecil dan tinggi, nafas cepat, dan gelisah), dan Hb menurun

karena hemolisis dan lekositosis (Krisnadi, 2005).

Peritonitis

a. Patologi

Infeksi puerpuralis melalui saluran getah bening dapat menjalar ke

peritoneum hingga terjadi peritonitis atau ke parametrium menyebabkan

Page 13: PATOLOGI NIFAS

parametritis. Jika peritonitis ini terbatas pada rongga panggul disebut pelveo

peritonitis, sedangkan jika seluruh peritoneum meradang kita mengahadapi

peritonitis umum. Prognosis peritonitis umum jauh lebih buruk dari pelveo

peritonitis (Krisnadi, 2005).

b. Manifestasi Klinis

Nyeri seluruh perut spontan maupun pada palpasi, demam menggigil, nadi

tinggi dan kecil, perut kembung (kadang-kadang ada diare), muntah, pasien gelisah

dan mata cekung dan sebelum mati ada delirium dan koma (Krisnadi, 2005).

c. Penanganan

Dalam Prawihardjo (2006) penanganan dibedakan berdasarkan penyebaran

atau keparahan akibat peritonitis dijelaskan sebagai berikut:

Abses pelvis

1) Bila pelvic abses ada tanda cairan fluktuasi pada daerah cul-de-sac, lakukan

kolpotomi atau dengan laparotomi. Ibu posisi Fowler.

2) Berikan antibiotika broadspektrum dalam dosis yang tinggi.

Ampisilin 2 gr IV, kemudian 1 gr setiap 6 jam, ditambah gentamisin 5mg/kg

berat badan IV dosis tunggal/hari dan metronidazol 500 mg IV setiap 8 jam.

lanjutkan antibiotika ini sampai ibu tidak panas selama 24 jam

Peritonitis

1) Lakukan nasogastric sunction

2) Berikan infus (NaCl atau Ringer Laktat)

3) Berikan antibiotika sehingga bebas panas selama 24 jam. Ampisilin 2 gr IV,

kemudian 1 gr selama 6 jam, ditambah gentamisisn 5mg/kg berat badan IV

dosis tunggal/hari dan metronidazol 500 mg IV setiap 8 jam.

4) Laparatomi diperlukan untuk pembersihan perut (peritoneal lavage)

Parametritis (cellulitis pelvic)

a. Patologi

Menurut Mochtar (1998) parametritis dapat terjadi dengan 3 cara yaitu:

a. Melalui robekan serviks yang dalam

Page 14: PATOLOGI NIFAS

b. Penjalaran endometritis atau luka serviks yang terinfeksi melalui saluran getah

bening

c. Sebagai lanjutan tromboflebitis pelvika

Jika terjadi infeksi parametrium, timbulah pembengkakan yang mula-mula

lunak, tetapi kemudian menjadi keras sekali. Infiltrat ini dapat terjdi hanya pada

dasar ligament latum, tetapi dapat juga bersifat luas, misalnya dapat menempati

seluruh parametrium sampai dinding panggul dan dinding perut perut depan di

atas ligament inguinale. Jika infiltrate menjalar ke belakang dapat menimbulkan

pembengkakan di belakang serviks (Krisnadi, 2005).

Eksudat ini lambat laun diresorpsi atau menjadi abmemecah di daerah lipat

paha di atas ligament inguinale atau ke dalam cavem Douglas. Parametritis

biasanya unilateral dan karena biasanya sebagai akibat luka serviks, lebih sering

terdapat pada primipara daripada multipara (Krisnadi, 2005).

b. Manifestasi Klinis

Parametritis harus dicurigai bila suhu pasca persalinan tetap tinggi lebih dari

1 minggu. Gejala berupa nyeri pada sebelah atau kedua belah perut bagian bawah

sering memancar pada kai. Setelah beberapa waktu pada pemeriksaan dalam,

dapat teraba infiltrate dalam parametrium yang kadang-kadang mencapai dinding

panggul. Infiltrat ini dapat diresorpsi kembali, tetapi lambat sekali, menjadi keras,

dan tidak dapat digerakkan. Kadang-kadang infiltrate ini menjadi abses (Krisnadi,

2005).

Salpingitis (salfingo-ooforitis)

Salpingitis adalah peradangan pada adnekssa. Terdiri atas akut dan kronik. Diagnosis

dan gejala klinis hampir sama dengan parametritis. Bila infeksi berlanjut dapat terjadi

piosalfing (Mochtar, 1998). Sering disebabkan oleh gonore, biasanya terjadi pada

minggu ke-2. Pasien demam menggigil dan nyeri pada perut bagian bawah biasanya

kiri dan kanan. Salpingitis dapat sembuh dalam 2 minggu, tetapi dapat mengakibatkan

kemandulan (Krisnadi, 2005).

B. INFEKSI SALURAN KEMIH

Page 15: PATOLOGI NIFAS

Kejadian infeksi saluran kemih pada masa nifas relative tinggi dan hal ini

dihubungkan dengan hipotoni kandung kemih akibat trauma kandung kemih waktu

persalinan, pemeriksaan dalam yang sering, kontaminasi kuman dari perineum, atau

katerisasi yang sering (Krisnadi, 2005).

Sistitis biasanya memberikan gejala berupa nyeri berkemih (dysuri) sering berkemih,

dan tak dapat ditahan. Demam biasanya jarang terjadi. Adanya retensi urine

pascapersalinan umumnya merupakan tanda adanya infeksi. Pielonefritis memberikan

gejala yang lebih berat, demam, menggigil, perasaan mual dan muntah. Selain disuri,

dapat juga terjadi piuri dan hematuri (Krisnadi, 2005).

Pengobatan antibiotic yang terpilih meliputi golongan nitrofurantoin, sulfonamide,

trimetroprim, sulfametoksazol, atau sefalosporin. Banyak penelitian yang melaporkan

resistensi microbial terhadap golongan penisilin (Krisnadi, 2005).

C. PERDARAHAN DALAM NIFAS

Menurut Krisnadi (2005) penyebab perdarahan dalam nifas yaitu sisa placenta dan

polip placenta, endometritis puerpuralis, sebab-sebab fungsional, dan perdarahan luka.

1. Sisa Plasenta dan Polip Plasenta

Sisa placenta dalam nifas menyebabkan perdarahan dan infeksi. Perdarahan yang

banyak dalam nifas hampir selalu disebabkan oleh sisa placenta. Terapinya dengan

perlindungan antibiotic sisa placenta dikeluarkan secara digital atau dengan kuret

besar. Jika ada demam ditunggu dulu sampai suhu turun dengan pemberian antibiotic

dan 3-4 hari kemudian rahim dibersihkan, tetapi jika perdarahan banyak, rahim

segera dibersihakan walaupun demam.

2. Endometritis Puerpuralis: perdarahan biasanya tidak banyak

3. Perdarahan Fungsional

Dalam golongan ini termasuk:

a. Perdarahan karena hyperplasia glandularis yang dapat terjadi akibat siklus yang

anovulatoir dalam nifas

b. Perubahan dinding pembuluh darah: pada golongan ini tidak ditemukan sisa

placenta, endometritis, ataupun luka.

4. Perdarahan karena luka

Page 16: PATOLOGI NIFAS

Kadang-kadang robekan serviks atau robekan rahim tidak didiagnosis sewaktu

persalinan karena perdarahan pada waktu itu tidak menonjol, beberapa hari

pascapersalinan dapat terjadi perdarahan yang banyak.

D. PATOLOGI MENYUSU

Masalah menyusu pada umumnya terjadi dalam dua minggu pertama masa nifas

(Krisnadi, 2005). Payudara telah dipersiapkan sejak mulai terlambat datang bulan

sehingga pada waktunya pada memberikan ASI dengan sempurna. Untuk dapat

melancarkan pengeluaran ASI dilakukan persiapan sejak awal hamil dengan melakukan

masase, menghilangkan kerak pada puting susu sehingga duktusnya tidak tersumbat.

Puting susu saat mandi perlu ditarik-tarik sehingga menonjol untuk memudahkan

mengisap ASI (Manuaba, 1998).

Berbagai variasi puting susu dapat terjadi diantaranya terlalu kecil, puting susu

mendatar dan puting susu masuk ke dalam. Pengeluaran ASI pun dapat bervariasi seperti

tidak keluar sama sekali (agalaksia), ASI sedikit (oligolaksia), terlalu banyak

(poligolaksia), dan pengeluaran berkepanjangan (galaktorea) (Manuaba, 1998).

1. Payudara bengkak (Engorgement)

Bendungan payudara dalah peningkatan aliran vena dan limfe pada payudara dalam

rangka mempersiapkan diri untuk laktasi (Prawirohardjo, 2006). Payudara terasa lebih

penuh, tegang dan nyeri. Terjadi pada hari ketiga atau keempat pasca persalinan.

Disebabkan oleh bendungan vena dan pembuluh getah bening. Hal ini merupakan

tanda bahwa ASI mulai banyak disekresi, namun pengeluaran belum lancar. Bila

karena nyeri ibu tidak mau menyusui, keadaan ini akan berlanjut. ASI yang disekresi

akan menumpuk sehingga payudara bertambah tegang, gelanggang susu menonjol,

dan puting menjadi lebih datar. Bayi menjadi lebih sulit menyusu (Krisnadi 2005).

Pencegahan dan penanganannya dalam Krisnadi (2005) dijelaskan sebagai berikut:

Pencegahan:

a. Menyusui dini, susui bayi sesegera mungkin (sebelum 30 menit) setelah dilahirkan

b. Susui bayi tanpa dijadwal

c. Keluarkan ASI dengan tangan atau pompa, bila produksi melebihi kebutuhan bayi

d. Perawatan payudara pasca persalinan

Page 17: PATOLOGI NIFAS

Penanganan :

a. Kompres hangat agar payudara menjadi lebih lembek

b. Keluarkan sedikit ASI sebelum menyusui sehingga puting lebih mudah ditangkap

dan diisap oleh bayi

c. Sesudah bayi kenyang, keluarkan sisa ASI

d. Untuk mengurangi rasa sakit pada payudara, berikan kompres dingin

e. Untuk mengurangi stasis di vena dan pembuluh getah bening, lakukan pengurutan

(masase) payudara yang dimulai dari puting ke arah korpus.

2. Kelainan puting

Kelainan puting ditemukan lebih dini pada saat pemeriksaan kehamilan agar segera

dapat dikoreksi sebelum menyusui. Kelainan puting yang dapat mengganggu proses

menyusui adalah puting susu datar dan puting susu tenggelam (inverted).

Penanggulangan puting datar dan tenggelam dapat diperbaiki denganperasat

Hoffman, yaitu dengan meletakkan kedua jari telunjuk atau ibu jari di daerah

gelanggang susu, kemudian dilakukan urutan menuju ke arah berlawanan.Pada true

inverted nipple perasat Hoffman tidak dapat memperbaiki keadaan, harus dilakukan

tindakan operatif. Pada keadaan ini, ASI harus dikeluarkan secara manual atau dengan

pompa susu dan diberikan pada bayi dengan sendok, gelas atau pipet (Krisnadi, 2005).

3. Puting nyeri (sore nipple) dan Puting lecet (cracked nipple)

Puting susu nyeri terjadi karena posis bayi saat menyusui salah, karena puting tidak

masuk ke dalam mulut bayi sampai gelanggang susu sehingga bayi hanya mengisap

pada puting susu saja. Tekanan terus-menerus hanya pada tempat tertentu akan

menimbulkan puting nyeri waktu diisap, meskipun kulitnya masih utuh (Krisnadi,

2005).

Penyebab lain yang dapat menimbulkan puting nyeri adalah penggunaan sabun,

cairan, krim, alcohol untuk membersihkan puting susu sehingga terjadi iritasi. Iritasi

pada puting susu juga dapat terjadi pada bayi dengan tali lidah (frenulum linguae)

yang pendek sehingga bayi tidak dapat mengisap sampai gelanggang susu dan

lidahnya menggeser ke puting. Puting akan nyeri bila terus disusukan lama-lama dan

akan menjjadi lecet atau luka (Krisnadi, 2005).

Page 18: PATOLOGI NIFAS

Penanggulangannya adalah dengan memberikan teknik menyusui yang benar,

khususnya letak puting dalam mulut bayi, yaitu:

a. Bibir bayi menutup areola sehingga tidak tampak

b. Puting diatas lidah bayi

c. Areola diantara gusi atas dan bawah

4. Saluran susu tersumbat (Obstructive Duct)

Sumbatan pada saluran susu disebabkan oleh tekanan yang terus-menerus. Tekanan

dapat berasal dari pemakaian bra yang terlalu ketat, tekanan jari pada tempat yang

sama setiap menyusui, atau kelanjutan dari payudara bengkak. Pencegahan dapat

dilakukan dengan memakai bra dengan ukuran memadai dan menopang payudara

dengan baik, pengurutan payudara yang teratur dan dengan teknik menyusui yang

baik (Krisnadi, 2005).

Pengobatan dapat dilakukan dengan memberikan kompres hangat sebelum

menyusui, pengurutan payudara, mengeluarkan sisa ASI setelah menyusui dan

kompres dingin setelah menyusui untuk mengurangi rasa sakit.

Saluran susu yang tersumbat bila tidak ditangani sebagaimana mestinya dapat

menjadi mastitis (radang payudara) (Krisnadi, 2005).

5. Radang payudara (Mastitis)

Proses infeksi pada payudara menimbulkan pembengkakan lokal atau seluruh

payudara, merah dan nyeri. Peradangan mengenai stroma payudara yang terdiri dari

jaringan ikat, lemak, pembuluh darah, dan getah bening. Biasanya terjadi pada

minggu kedua, ibu merasa demam umum seperti influenza (Krisnadi, 2005).

Biasanya didahului oleh putting lecet, payudara bengkak atau sumbatan saluran

susu. Ibu dengan anemi, gizi buruk, kelelahan dan stress juga merupakan factor

predisposisi. Penanggulangannya adalah sebagai berikut:

a. Ibu harus terus menyusui agar payudara

b. Kompres hangat dan dingin seperti pada payudara bengkak

c. Memperbaiki posisi menyusui, terutama bila terdapat putting lecet

d. Istirahat cukup, makanan yang bergizi

e. Minum sekitar 2 liter per hari

f. Antibiotic

Page 19: PATOLOGI NIFAS

g. Analgesic

Dalam Prawirohardjo (2006), penanganan untuk ibu yang menusui bayinya dan

tidak menyusui dibedakan.

Bila ibu menyusui bayinya:

a. Susukan sesering mungkin

b. Kedua payudara disusukan

c. Kompres hangat payudara sebelum disusukan

d. Bantu dengan memijat payudara untuk permulaan menyusui

e. Sangga payudara

f. Kompres dingin pada payudara di antara waktu menyusui

g. Bila diperlukan berikan parasetamol 500 mg per oral setiap 4 jam

h. Lakukan evaluasi setelah 3 hari untuk mengevaluasi hasil

Bila ibu tidak menyusui bayinya:

a. Sangga payudara

b. Kompres dingin pada payudara untuk mengurangi pembengkakan dan rasa sakit

c. Bila diperlukan berikan parasetamol 500 mg per oral selama 4 jam

d. Jangan dipijat atau memakai kompres hangat pada payudara.

6. Abses payudara

Berbeda dengan mastitis, pada abses payudara :

a. Infeksi mengenai jaringan parenkim dan besar nanah

b. Payudara yang sakit tidak boleh disusukan, sedangkan payudara yang sehat tetap

disusukan

c. Terjadi sebagai komplikasi dari mastitis

d. Pemberian antibiotic dan analgesic

e. Bila perlu lakukan insisi abses

Payudara yang sakit sementara tidak disusukan, namun ASI tetap dikeluarkan

manual atau dengan pompa agar produksi ASI tetap baik. Dalam beberapa hari dapat

disusukan kembali (Krisnadi, 2005).

DAFTAR PUSTAKA

Page 20: PATOLOGI NIFAS

Mochtar, Rustam. 1998. Sinopsis Obstetri Jilid 1 Obstetri fisiologi, Obstetri Patologi. Jakarta:

EGC.

Krisnadi, Sofie. 2005. Obstetri Patologi ilmu kesehatan Reproduksi Edisi 2 FK Universitas

Padjadjaran. Jakarta: EGC.

Manuaba, Ida. 1998. Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan dan Keluarga Berencana untuk

Pendidikan Bidan. Jakarta: EGC.

Prawirohardjo, Sarwono. 2006. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan

Neonatal. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka sarwono Prawirohardjo.

Joseph, H. K dan Nugroho. 2010. Catatan Kuliah Ginekologi dan Obstetri (Obsgyn).

Yogayakarta: Nuha Medika.