Patofisiologi Reaksi Sensitisasi

8
ASMA Asma merupakan salah satu contoh reaksi hipersensitivitas (tipe I) yang termediasi ileh Ig-E. Ig-E memegang peranan penting dalam reaksi asma. Berawal dari allergen yang terhirup dikenali oleh antigen presenting cell (APC). Setelah dikenali, allergen diproses dan dipresentasikan menuju sel T. sel T membrikan respom berupa interleukin yang menstimulasi sel B untuk memproduksi Ig-E. antibody ini mengikat mast cell dan basofil pada reseptor berafinitas tinggi di permukaan mast cell dan basofil. Ikatan Ig-E menginduksi degranulasi mast cell dan basofil sehingga melepaskan mediator inflamasi (seperti histamin). Penggunaan rekombinan monoclonal anti-IgE adalah satu contoh imunoterapi asma. Rekombinan monoclonal anti-IgE menghambat ikatan langsing IgE pada permukaan mast cell dan basofil. Karena IgE tidak dapat berinteraksi dengan sel inflamasi (seperti mast cell , basofil), sehingga reaksi hipersensitivitas dan dikurangi (direduksi). Asma bronchial merupakan salah satu reaksi contoh reaksi allergy berupa peradangan (inflamasi) pada saluran pernafasan. Secara imunologi, asma termasuk dalam reaksi hipersensitivitas tipe I yang termediasi oleh Ig-E. Berbagai macam penelitian tentang allergy asma bronchial telah dilakukan. Namun penelitian tersebut masih harus diperbaiki terkait dengan peningkatan keakuratan dalam medikasi. Contoh penelitian tersebut antara lain penekanan jumlah eosinofil dengan penggunaan adjuvant (interleukin-12). Penelitian ini didasarkan pada penemuan jumlah eosinofil pada

Transcript of Patofisiologi Reaksi Sensitisasi

Page 1: Patofisiologi Reaksi Sensitisasi

ASMA

Asma merupakan salah satu contoh reaksi hipersensitivitas (tipe I) yang termediasi ileh Ig-E. Ig-

E memegang peranan penting dalam reaksi asma. Berawal dari allergen yang terhirup dikenali

oleh antigen presenting cell (APC). Setelah dikenali, allergen diproses dan dipresentasikan

menuju sel T. sel T membrikan respom berupa interleukin yang menstimulasi sel B untuk

memproduksi Ig-E. antibody ini mengikat mast cell dan basofil pada reseptor berafinitas tinggi di

permukaan mast cell dan basofil. Ikatan Ig-E menginduksi degranulasi mast cell dan basofil

sehingga melepaskan mediator inflamasi (seperti histamin). Penggunaan rekombinan monoclonal

anti-IgE adalah satu contoh imunoterapi asma. Rekombinan monoclonal anti-IgE menghambat

ikatan langsing IgE pada permukaan mast cell dan basofil. Karena IgE tidak dapat berinteraksi

dengan sel inflamasi (seperti mast cell , basofil), sehingga reaksi hipersensitivitas dan dikurangi

(direduksi).

Asma bronchial merupakan salah satu reaksi contoh reaksi allergy berupa peradangan (inflamasi)

pada saluran pernafasan. Secara imunologi, asma termasuk dalam reaksi hipersensitivitas tipe I

yang termediasi oleh Ig-E. Berbagai macam penelitian tentang allergy asma bronchial telah

dilakukan. Namun penelitian tersebut masih harus diperbaiki terkait dengan peningkatan

keakuratan dalam medikasi. Contoh penelitian tersebut antara lain penekanan jumlah eosinofil

dengan penggunaan adjuvant (interleukin-12). Penelitian ini didasarkan pada penemuan jumlah

eosinofil pada penderita asma. Namun meskipun dengan eliminasi eosinofil oleh IL-12 berhasil,

hal ini tidak menurunkan hiperreaktivitas saluran pernafasan pada penderita asma.

Reaksi hipersensitivitas

System imun merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam perlindungan terhadap

penyakit, tapi kadang terjadi reaksi yang berlebihan di dalam tubuh dalam rangka melakukan

fungsi proteksi tersebut yang disebut reaksi hipersensitivitas. Gell dan coombs membagi reaksi

hipersensitivitas emnjadi 4 :

Tipe I : reaksi hipersensitivitas terjadi dengan mediator antobodi IgE, yang berikatan

dengan mast cell. Ketika berikatan dengan antigen, IgE memacu pecahnya mast cell yang

Page 2: Patofisiologi Reaksi Sensitisasi

mengeluarkan mediator yang bertanggung jawab terhadap gejala anafilaksis. Reaksi

bersifat cepat, Nampak beberapa menit setelah terpapar antigen.

Tipe II : sitolitik atau reaksi sitoklasik terjadi saat antibody IgM atau IgG berikatan dengan

antigen pada permukaan sel dan mengaktifkan komplemen yang menyebabkan kerusakan

sel.

Tipe III : reaksi imun komplek terjadi, ketika komplek antigen dan antibody IgM atau IgG

terakumulasi di sirkulasi atau pada jaringan yang mengaktifkan komplemen. Granulosit

ikut dalam reaksi dan menyebabkan kerusakan pada sel dari terlepasnya enzim lisis dari

granulosit. Reaksi Nampak dalam beberapa jam setelah terpapar dengan antigen.

Tipe IV : reaksi cell mediated immunity (CMI) atau hipersensitivitas tipe lambat (delayed

type hipersensitivity) atau reaksi tuberculin yang terjadi dengan mediator sel T. Aktivitas

sel T menyebabkan terlepasnya limfokin yang menyebabkan kerusakan local. Reaksi tipe

ini memiliki onset yang lambat dan Nampak setelah 1-2 hari terpapar antigen.3

Pathogenesis Asma bronchial

Asma merupakan gangguan inflamasi kronik saluran napas yang berhubungan dengan

peningkatan kepekaan saluran napas sehingga memicu episode mengi berulang, sesak napas dan

batuk terutama pada malam atau dini hari. Gejala ini berhubungan dengan luas inflamasi,

menyebabkan obstruksi saluran napas yang bervariasi derajatnya dan bersifat reversibel secara

spontan maupun dengan pengobatan. Pada asma khas ditandai dengan peningkatan eosinofil,

mast cell, makrofag serta limfosit-T di lumen dan mukosa saluran napas. Proses ini dapat terjadi

pada asma yang asimptomatik dan bertambah berat sesuai dengan berat klinis penyakit.4

Antigen-presenting cells / APC (seperti makrofag, sel dendritik) pada saluran pernafasan

menangkap, memproses dan mempresentasikan antigen menuju sel T helper, sehingga sel T

helper teraktivasi dan menskresikan sitokin. Sel T helper dapat terinduksi dan berkembang

(berdeferensiasi) menjadi Th1 (contoh sekresi : , interferon-gamma, interleukin [IL]–2) atau TH2

(contoh sekresi : IL-4, IL-5, IL-9, IL-13). Sekresi sitokin tersebut mengakibatkan sel B

memproduksi antibody Ig E (yang spesifik terhadap allergen3) dan pengerahan eosinofil.5

Page 3: Patofisiologi Reaksi Sensitisasi

Dalam keadaan normal, IgE dalam serum kadarnya berkisar antara 0,1-0,4 ug/ml, apabila

tubuh tersensitisasi oleh allergen lua, maka kadar IgE meningkat lebih dari 1mg/ml dan disebut

IgE yang tersensitasi. IgE yang tersensitasi memiliki dua reseptor spesifik Fc-epsilon-RI dan Fc-

epsilon-RII. Fc-epsilon-RI IgE akan berikatan dengan Fc-R pada permukaan mast-cell dan sel

basofil.6

Ikatan antara Fc-epsilon-RI IgE dengan dinding mast cell, akan meningkatkan cairan

membrane sehingga terbentuk peningkatan kanal kalsium (Ca++). Peningkatan kanal Ca++ akan

meningkatkan uptake Ca++ ke dalam intrasel. Peningkatan Ca++ intrasel akan merangsang

reticulum endoplasma untuk membentuk granulasi.6

Degranulasi mast cell akan mengeluarkan mediator mast cell seperti histamine dan

protease sehingga berakibat respon allergy berupa asma.5

Histamin berasal dari sintesis histidin dalam aparatus Golgi di mast cell dan basofil.

Histamin mempengaruhi saluran napas melalui tiga jenis reseptor. Rangsangan pada reseptor H-1

akan menyebabkan bronkokonstriksi, aktivasi refleks sensorik dan meningkatkan permeabilitas

vaskular serta epitel. Rangsangan reseptor H-2 akan meningkatkan sekresi mukus glikoprotein.

Rangsangan reseptor H-3 akan merangsang saraf sensorik dan kolinergik serta menghambat

reseptor yang menyebabkan sekresi histamin dari mast cell.

Imunoterapi anti Ig-E terhadap penderita asma bronchial

Omalizumab (xolair, genentech) merupakan IgG1 manusia rekombinan monoclonal (anti

IgE) yang berikatan dengan molekul IgE di epitop yang sama pada bagian Fc yang berikatan

dengan Fc-epsilon RI. Desain ini menunjukan bahwa omalizumab bukan anafilaktogenik, karena

omalizumab tidak berinteraksi dengan IgE, yang bersiap untuk berikatan dengan permukaan sel

dan tidak menginduksi degranulasi pada mast cell atau basofil. Selain itu, omalizumab mengikat

sirkulasi IgE dengan mengabaikan allergen spesifik, secara biologi ikatan komplek IgE- anti IgE

tanpa mengaktifkan komplemen. 7

Rekombinan antibody manusia monoclonal (rhuMAb-E-25) telah dikembangkan dengan

mengimunisasi tikus dengan IgE. Antibody monoclonal terpilih dengan mengenal IgE pada

Page 4: Patofisiologi Reaksi Sensitisasi

tempat yang sama yaitu reseptor berafinitas tinggi untuk IgE (Fc-epsilon-RI). Antibody

monoclonal ini membentuk ikatan kompleks dengan IgE bebas (tak berikat) selain IgG atau IgA.

Antibody monoclonal ini memblok ikatan IgE ke cell membrane receptor , sehingga

menghambat pelepasan mediator, tetapi tidak mengikat ikatan sel IgE. 8

Penggunaan antibody monoclonal (rhuMAb-E-25) menurunkan konsentrasi serum IgE

segera setelah penyuntikan pertama, rangkaian terapy, memperpendek reaksi fase awal dan akhir

terhadap allergen yang terhisap.8

Saat ini anti IgE disetujui oleh FDA dan tersedia di Amerika untuk terapi asma. Telah

ditunjukan sangat efektif dalam mengeblok respon hipersensitivitas tipe segera dengan jalan

mengeblok degranulasi mast cell, yang mana ini merupakan masalah yang sangat besar dalam

fase ekskalasi dari imunoterapi allergen konvensional. Bila anti-IgE mAb diberikan sebelum

dimulainya imunoterapi konvensional, fase ekskalasi imunoterapi dapat diperpendek tetapi

allergen tetap dapat menginduksi pengaturan sel T.6

Kesimpulan

1. Asma merupakan salah satu contoh reaksi hipersensitivitas tipe I yang termediasi oleh Ig-E

2. Ig-E memegang peranan penting dalam patofisiologi asma

3. Ig-E yang berikatan dengan permukaan mast cell dan basofil melalui reseptor Fc-epsilon-RI

dan Fc akan menstimulasi pelepasan mediator inflamasi (seperti histamin) yang berakibat

reaksi hipersensitivitas tipe I berupa asma allergy.

4. Rekombinan monoclonal anti-IgE dapat mereduksi ikatan Ig-E dengan sel Inflamasi (seperti

mast cell dan basofil) sehingga menghambat terjadinya reaksi asma allergy.

5. Antibody monoclonal manusia secara langsung melawan IgE sebagai pengobatan pada

allergy asma.8

Page 5: Patofisiologi Reaksi Sensitisasi

Daftar Pustaka

1. Baratawidjaja, K Garna. 2004. IMUNOLOGI DASAR. Balai Penerbit Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia : Jakarta. Hal.1

2. Bagian Farmakologi FKUI. 1998. FARMAKOLOGI DAN TERAPI. Gaya Baru :

Jakarta. Hal.702

3. Anan, MK. 2004. HYPERSENSITIVITY REACTION, IMMEDIATE. Emedicine

Specialties. Http://www.emedicine.com/emedicinespecialties/allergy/pathogenesis.htm

4. Indah Rahmawati dkk. 2003. Patogenesis dan Patofisiologi Asma. Cermin Dunia

Kedokteran. Http://kalbe.co.id

5. Kelly, William. 2006. Allergic and Environmental Asthma. Emedicine Specialties.

http://www.emedicine.com/med/allergAsthma.htm

6. Guntur, AH. 2004. One airway one disease. Perspektif Masa Depan Imunologi-

infeksi. Edisi I. editor: Reviono. Sebelas Maret University Press : Surakarta

7. Strunk, Robert C dkk. 2006. Omalizumab for Asthma. www.nejm.org

8. Milgrom, Henry dkk. 1999. Treatment of Allergic Asthma with Monoclonal Anti-IgE

Antibody. www.nejm.org