Paradigma Positivisme 1.2 (2 Oktober 2011)
-
Author
ikaedriantika -
Category
Documents
-
view
78 -
download
7
Embed Size (px)
Transcript of Paradigma Positivisme 1.2 (2 Oktober 2011)
POSITIVISME: KARAKTERISTIK DAN PERKEMBANGANNYA
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Filsafat Ilmu
Disusun Oleh: 1. Faiza Tiara Hapsari, S.H. 2. Fitria Yudhiana, S.H. 3. Ghandis Clarinda Tiara Hanum, S.H. 4. Ika Edriantika, S.H. 5. Jusi Raninora Gussuthaw, S.H.
MAGISTER ILMU HUKUM HET HAKI UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 2011
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG Filsafat adalah pengetahuan tentang cara berpikir radikal dan universal, yaitu model berpikir yang mempertanyakan sesuatu sampai tuntas. Cara kerja filsafat tiada lain merupakan cara kerja berpikir manusia dalam memenuhi hasratnya untuk mengetahui segala sesuatu dan menganalisis segala permasalahan yang dialami dan yang akan dialami baik dalam kehidupannya di dunia bahkan dalam menembus batas metafisika setelah kehidupannya kelak.1 Filsafat adalah induk dari ilmu. Kelahiran suatu ilmu tidak dapat dipisahkan dari peranan filsafat, sebaliknya perkembangan ilmu memperkuat keberadaan filsafat. Dengan mengetahui filsafat ilmu berarti akan memahami seluk beluk ilmu yang paling dasar sehingga dapat diupayakan kemungkinan pengembangannya serta mengerti keterjalinan antar ilmu yang satu dengan lainnya. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa filsafat ilmu adalah dasar yang menjiwai dinamika proses kegiatan memperoleh pengetahuan secara ilmiah. Ini berarti bahwa terdapat pengetahuan yang ilmiah dan tak-ilmiah. Adapun yang tergolong ilmiah ialah yang disebut ilmu pengetahuan atau singkatnya ilmu saja, yaitu akumulasi pengetahuan yang telah disistematisasi dan diorganisasi sedemikian rupa; sehingga memenuhi asas pengaturan secara prosedural, metologis, teknis, dan normatif akademis. Dengan demikian teruji kebenaran ilmiahnya sehingga memenuhi kesahihan atau validitas ilmu, atau secara ilmiah dapat dipertanggungjawabkan. Secara historis perkembangan filsafat dapat dilihat dari pembagian zamannya, yaitu Filsafat Zaman Kuno, Filsafat Abad Pertengahan, Filsafat Zaman Modern, dan Filsafat Posmodernisme. Dari keempat pembagian zaman tersebut, kami akan membahas mengenai paradigma ilmu pada zaman modern. Periode sejarah yang lazim disebut modern mempunyai banyak perbedaan pandangan tentang jiwa dengan periode pertengahan. Ada dua halMaman Rachman,dkk Filsafat Ilmu 2006 UPT MKU Universitas Negeri Semarang:Semarang hal 1291
penting yang menandai sejarah modern, yakni runtuhnya otoritas gereja dan menguatnya otoritas sains.2 Ciri-ciri yang menonjol yang terjadi pada zaman modern ini adalah penolakan terhadap otoritas gereja dan sebaliknya penerimaan besar-besaran terhadap otoritas sains. Otoritas sains yang oleh kebanyakan filosof dipandang sebagai epos modern, sangat berbeda dengan otoritas gereja, karena otoritas sains bersifat intelektual, bukan politis. Tidak ada hukuman bagi yang menolak otoritas sains, juga tidak ada nasihat-nasihat bijak yang membujuk mereka untuk menerimanya. Otoritas sains diakui semata-mata karena daya tarik intrisiknya bagi akal. Otoritas sains hanya mengungkapkan segala sesuatu yang pada saat itu telah dipastikan kebenarannya secara ilmiah. Hal ini sangat berbeda dengan otoritas gereja yang berupa sekumpulan dogma Katolik lengkap dari sejarah masa lalu dan masa mendatang yang ketentuan-ketentuannya berupa kepastian absolut dan tidak bisa diubah selamanya. Zaman modern dengan otoritas sainsnya membukakan mata beberapa orang untuk tidak terpuruk dalam kebodohan yang tunduk pada dogma Katolik yang absolut. Zaman modern diawali dengan Renaissance yang berarti kelahiran kembali. Lahir kembali disini untuk menghidupkan kembali kebudayaan klasik Yunani-Romawi Kuno yang telah lama mati karena otoritas gereja. Yang selanjutnya pada zaman modern ini mulai muncul kembali beberapa aliran pemikiran, seperti Rasionalisme, Empirisme, Realisme, Positivisme, Romantisme dan lain lain. Pada makalah ini kelompok kami hanya akan membahas mengenai aliran pemikiran positivisme. Pertama, kami akan mencoba mencari tahu dan menjabarkan mengenai latar belakang aliran pemikiran postivisme meliputi kapan berlangsungnya , dimana dan siapa pencetusnya serta hal-hal apa yang mempengaruhi pemikiran tentang positivisme. Kedua, kami akan mencoba menggali mengenai perkembangan aliran pemikiran positivisme pada zaman modern, di dalamnya meliputi klasifikasi aliran postivisme dan beberapa kritikBertrand Russel Sejarah Filsafat Barat dan kaitannya dengan kondisi sosio-politik dari zaman kuno hingga sekarang diterjemahkan oleh Sigit Jatmiko, dkk. 2002 (Pustaka Pelajar : Yogyakarta) hal 6452
tentang aliran positivisme serta aliran ilmu lain yang lahir dari kritik terhadap paradigma positivisme.
B. IDENTIFIKASI PERMASALAHAN Dari latar belakang diatas kelompok kami mencoba mengidentifikasikan permasalahan mengenai paradigma positivisme: 1. Apa itu paradigma positivisme dan hal apa yang melatarbelakangi lahirnya paradigma positivisme ini ? 2. Bagaimanakah perkembangan dan kritik terhadap paradigma positivisme pada zaman modern ?
BAB II PEMBAHASAN
A. Paradigma Positivisme Sejarah merupakan konstruksi dari bangunan yang disusun oleh manusia di masa lampau. Sejarah bekerja atas dokumen, dan tidak ada dokumen berarti tidak ada sejarah. Begitulah realita historis sejarah. Oleh karena itu, tidak setiap peristiwa di masa lampau bisa dikatakan sebagai sejarah dalam artian yang sesungguhnya, tetapi ketersediaan dokumenlah yang menjadikan sejarah sebagai sebuah kejadian (actually event) di masa silam. Teori digunakan sebagai key for understanging atau kunci untuk mengerti. Dalam sejarah, kajian mengenai teori dan metodologi adalah wajib hukumnya dan suatu keharusan yang tidak bisa dihindari. Setiap teori memformulasikan sejarawan.3 Sejarah telah melukiskan bahwa masalah perolehan pengetahuan menjadi problem aktual yang melahirkan aliran Rasionalisme dan Empirisme yang pada gilirannya telah melahirkan aliran Kritisisme sebagai alternatif dan solusi terhadap pertikaian dua aliran besar tersebut. Di sinilah arti penting dari kemunculan Positivisme yang merupakan representasi jawaban berikutnya terhadap problemproblem mendasar tersebut. Filsafat positivisme merupakan salah satu aliran filsafat modern yang lahir pada abad ke-19. Dasar-dasar filsafat ini diletakkan oleh Henry de Saint Simon. Menurut Simon untuk memahami sejarah orang harus mencari hubungan sebab akibat hukum-hukum yang menguasai proses perubahan.4Positivisme sendiri kemudian dikembangkan pertama kali oleh Auguste Comte (1798-1857 M).Tokoh ini dikenal sebagai pencetus Hukum Tiga Tahap (Law of Three Stages).Dian Kurnia, Aliran Positivisme dalam Teori Sejarah, , diakses pada bulan September Tahun 2011 4 Ibid.3
yang digunakan oleh seorang sejarawan akan menjadi sebuah approachment atau pendekatan.
dirinya
Optimalisasi pendekatan inilah yang harus dikejar dan dikuasai oleh seorang
Pemikiran Auguste Comte ini diklaim sebagai jembatan antara Rasionalisme Descartes dan Empirisme Bacon.5 Dalam Hukum Tiga Tahap, Comte menyebutkan bahwa manusia berkembang ke arah kemajuan, tidak saja pada proses sejarah kehidupannya, melainkan juga pada proses perkembangan jiwanya secara individual.6 Hukum Tiga Tahap terdiri dari :7 Pertama, zaman teologis (fiktif), zaman di mana manusia percaya bahwa di belakang gejala-gejala alam, terdapat kuasa-kuasa adikodrati yang mengatur fungsi dan gerak gejala-gejala tersebut. Zaman teologis ini dibagi lagi atas tiga periode. Periode pertama di mana benda-benda dianggap berjiwa (animisme). Periode kedua manusia percaya pada dewa-dewa (politesime). Periode ketiga manusia percaya pada satu Allah sebagai Yang Maha Kuasa (monoteisme). Kedua, zaman metafisis (abstrak), kekuatan yang adikodrati diganti dengan ketentuan-ketentuan abstrak. Ketiga, zaman positif (riil), yaitu ketika orang tidak lagi berusaha mencapai pengetahuan tentang yang mutlak, baik teologis maupun metafisis. Sekarang orang berusaha mendapatkan hukum-hukum dari fakta-fakta yang didapatinya dengan pengamatan dan akalnya. Tujuan tertinggi dari zaman ini akan tercapai bilamana gejala-gejala telah dapat disusun dan diatur di bawah satu fakta yang umum saja. Hukum tiga tahap ini tidak hanya berlaku bagi perkembangan rohani seluruh umat manusia, tetapi juga berlaku bagi tiap perseorangan. Umpamanya sebagai kanak-kanak adalah seorang teolog, sebagai pemuda menjadi metafisis, dan sebagai orang dewasa ia adalah seorang fisikus. Positif adalah kata yang dipakai dalam bahasa Perancis untuk pengalaman. Adapun yang menjadi titik tolak dari pemikiran positivis ini adalah, apa yang telah diketahui adalah yang faktual dan positif, sehingga metafisika ditolaknya. Aliran ini meyakini bahwa pengetahuan manusia bersifat objektif, yang diperoleh melalui penyelidikan empirik dan rasional.
Koento Wibisono Siswomihardjo dalam Shidarta, Karakteristik Penalaran Hukum dalam Konteks Keindonesiaan, (Bandung: CV.Utomo, 2006), hlm. 84. 6 Ibid, hlm. 86. 7 Ihsan, Drs. H.A. Fuad. Filsafat Ilmu. 2010. Jakarta: Rineka Cipta, hlm. 184.
5
Di sini, yang dimaksud dengan positif adalah segala gejala yang tampak seperti apa adanya, sebatas pengalaman-pengalaman obyektif. Jadi, setelah fakta diperoleh, fakta-fakta tersebut diatur sedemikian rupa agar dapat memberikan semacam asumsi (proyeksi) ke masa depan.8 Sedangkan menurut Comte pengertian positif terdiri dari beberapa kemungkinan : 9 1. Sebagai lawan atau kebalikan sesuatu yang bersifat khayal, maka pengertian positif pertama-tama diartikan sebagai sesuatu yang nyata. 2. Sebagai lawan atau kebalikan sesuatu yang bermanfaat, maka pengertian positif diartikan sebagai pensifatan sesuatu yang bermanfaat. 3. Sebagai lawan atau kebalikan sesuatu yang meragukan, maka pengertian positif diartikan sebagai pensifatan sesuatu yang sudah pasti. 4. Sebagai lawan atau kebalikan sesuatu yang kabur, maka pengertian positif diartikan sebagai pensifatan sesuatu yang jelas atau tepat. 5. Sebagai lawan atau kebalikan sesuatu yang negatif, maka pengertian positif dipergunakan untuk menunjukkan sifat-sifat pandangan filsafatnya, yang selalu menuju ke arah penataan atau penertiban. Comte berpendapat bahwa indra itu amat penting dalam memperoleh pengetahuan, tetapi harus dipertajam dengan alat bantu dan diperkuat dengan eksperimen. Kekeliruan indra akan dapat dikoreksi lewat eksperimen. Eksperimen memerlukan ukuran-ukuran yang jelas. Panas yang diukur dengan derajat panas, jauh diukur dengan meteran, berat dengan kiloan, dan sebagainya. Kita tidak cukup mengatakan api panas, matahari panas, kopi panas ketika panas. Kita juga tidak dapat mengatakan panas sekali, panas, tidak panas. Kita memerlukan ukuran yang teliti. Di sinilah kemajuan sains benar-benar dimulai. Filsafat Positivisme mengajarkan beberapan ajaran, yaitu :10 1. Filsafat Positivisme dalam menyelidiki objek sasarannya didasarkan pada kemampuan akal, sedang hal-hal yang tidak dapat dijangkau oleh akal tidak dijadikan sasaran penyelidikan.Asmoro Akhmadi, Filsafat Umum,(Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2001), hlm. 116. Koento Wibisono Siswomihardjo dalam Shidarta, Karakteristik Penalaran Hukum dalam Konteks Keindonesiaan, Op.Cit. 10 Sidharta, Op.Cit., halaman 85.9 8
2.
Dalam filsafat Positivisme segala sesuatu harus diarahkan pada pencapaian kemajuan. Filsafat tidaklah hanya berhenti sampai pada pemenuhan keinginan manusia untuk memperoleh pengetahuan atau pengertian mengenai barang sesuatu saja.
3.
Filsafat Positivisme mengajarkan bahwa filsafat harus sampai pada suatu keseimbangan yang logis yang membawa kebaikan bagi setiap individu dan masyarakat.
4.
Filsafat positivisme mengajarkan bahwa kita harus dapat memberikan pengertian yang jelas atau tepat, baik mengenai gejala-gejala yang tampak maupun mengenai apa yang sebenarnya kita butuhkan, sebab cara berfilsafat yang lama hanya memberikan pedoman yang tidak jelas, dan hanya mempertahankan disiplin yang diperlukan dengan mendasarkan diri pada kekuatan adikodrati. Pemikiran Comte banyak dipengaruhi oleh Charles Lyell dan Charles
Darwin. Comte juga menuangkan gagasan positivisnya dalam bukunya, the Course of Positivie Philosoph, yang merupakan sebuah ensiklopedi mengenai evolusi filosofis dari semua ilmu dan merupakan suatu pernyataan yang sistematis yang semuanya itu tewujud dalam tahap akhir perkembangan. Perkembangan ini diletakkan dalam hubungan statika dan dinamika, dimana statika yang dimaksud adalah kaitan organis antara gejala-gejala (diinspirasi dari de Bonald), sedangkan dinamika adalah urutan gejala-gejala (diinspirasi dari filsafat sejarah Condorcet). Positivisme menggunakan metode deduksi-induksi. Hal ini dikarenakan positivisme merupakan perpaduan antara rasionalisme dengan metode deduksi dan empirisme dengan metode induksi.Induksi menganggap hakikat ilmu adalah gabungan dari pengetahuan, percobaan, penyusunan fakta, dan hukum umum. Dan berangkat dari khusus-umum, sedangkan pola penalaran deduksi berarti dimulai dari umum ke khusus. Positivisme lebih didominasi pola penalaran induksi. Induksi adalah dasar perumusan hipotesis. Pernyataan-pernyataan spesifik yang diperoleh dari observasi fakta-fakta tersebut, kemudian dicarikan pola-polanya dengan meletakkan asumsi-asumsi tertentu. Artinya, pernyataan-pernyataan spesifik itu
ditarik menjadi suatu pernyataan umum. Pernyataan umum ini adalah rumusan hipotesis tersebut, yang dilakukan dengan menggunakan bahasa yang logis, sehingga dari rumusan itu nantinya memungkinkan dibuat suatu ramalan konkret yang dapat diselidiki kebenarannya. Tahap kedua (kemudian diperkuat sampai dengan kegiatan tahap ketiga) menghasilkan susunan pengetahuan ilmiah tingkat kedua, berupa hipotesis atau dalil (hukum-hukum).11 Deduksi meliputi kegiatan pembuatan ramalan konkret berdasarkan rumusan hipotesis pada tahap sebelumnya. De Groot membedakan dua pengandaran (operations) yang dilakukan dalam tahap ini. Pertama, penagandaran logis, yaitu menurunkan pernyataan spesifik dari pernyataan yang lebih umum. Kedua, pengandaran metodologis, yaitu mengembangkan prosedur pemakaian konsep beserta penyusunan prosedur pengujian pernyataan umum bersangkutan. Deduksi dimaksudkan sebagai persiapan untuk kegiatan penelitian berikutnya. 12 Metode positivisme juga mempunyai sarana-sarana bantu yaitu
pengamatan, perbandingan, eksperimen dan metode historis. Tiga yang pertama itu biasa dilakukandalam ilmu-ilmu alam, tetapi metode historis khusus berlaku bagi masyarakat yaitu untuk mengungkapkan hukum-hukum yang menguasai perkembangan gagasan-gagasan. Lima asumsi dasar Positivisme :13 1. Logiko Empirisme Kebenaran dapat dikatakan sebagai kebenaran bila dapat dibuktikan lewat empiri (selama bisa dieksperimenkan) 2. Realitas Objektif Satu realitas saja. Subjek-Objek terpisah (tiada tempat untuk interpretasi subjektif). 3. Reduksionisme
11 12
Sidharta, Op.Cit., halaman 131. Ibid. 13 Materi Perkuliahan Filsafat Ilmu Dr. Sidharta, S.H.,M.Hum.
Setiap objek dapat diamati dalam satuan kecil. Jika tidak, itu bukan realitas (misal Tuhan). Reduksionisme pada zaman modern diarahkan ke hukumhukum fisika (menuju unified science). 4. Determinisme Keteraturan dunia karena hukum kausalitas yang linear. Tanpa kausalitas ilmu tidak bisa berkembang dan tidak dapat diramalkan. Dengan ilmu dunia dapat dikendalikan. 5. Asumsi bebas nilai Tak ada tempat untuk subjektivitas, sehingga nilai-nilai tak relevan. Ilmu selalu bebas nilai. Jadi, pada dasarnya positivisme bukanlah suatu aliran yang khas. Ia menyempurnakan Empirisme dan Rasionalisme yang bekerja sama. Dengan kata lain, ia menyempurnakan metode ilmiah (scientific method) dengan memasukkan perlunya eksperimen dan ukuran-ukuran. Jadi, pada dasarnya positivisme itu sama dengan Empirisme plus Rasionalisme. Hanya saja pada Empirisme menerima pengalaman batiniah, sedangkan pada positivisme membatasi pada perjalanan objektif saja.14
B. Perkembangan Positivisme Terdapat tiga tahap dalam perkembangan positivisme, yaitu:15 1. Tempat utama dalam positivisme pertama diberikan pada Sosiologi, walaupun perhatiannya juga diberikan pada teori pengetahuan yang diungkapkan oleh Comte dan tentang Logika yang dikemukakan oleh Mill. Tokoh-tokohnya Auguste Comte, E. Littre, P. Laffitte, JS. Mill dan Spencer. Pada dasarnya penggolongan ilmu pengetahuan vang dikemukakan Auguste Comte sejalan dengan sejarah ilmu pengetahuan itu sendiri, vang menunjukkan bahwa gejala-gejala dalam ilmu pengetahuan vang paling umum akan tampil terlebih dahulu. Kemudian disusul dengan gejala-gejala14 15
Ihsan, Op. Cit. , hlm. 183 Ankersmit, F.R.dalam Arif Wibowo Positivisme www.wordpess.com/arifwibowo/html.,diakses pada September 2011.
dan
Perkembangannya,
pengetahuan vang semakin lama semakin rumitatau kompleks dan semakin konkret. Oleh karena dalam mengemukakan penggolongan ilmu pengetahuan, Auguste Comte memulai dengan mengamati gejala-gejala vang paling sederhana, yaitu gejala-gejala yang letaknya paling jauh dari suasana kehidupan sehari-hari.16 2. Munculnya tahap kedua dalam positivisme empirio-positivisme berawal pada tahun 1870-1890-an dan berpautan dengan Mach dan Avenarius. Keduanya meninggalkan pengetahuan formal tentang obyek-obyek nyata obyektif, yang merupakan suatu ciri positivisme awal. Dalam Machisme, masalah-masalah pengenalan ditafsirkan dari sudut pandang psikologisme ekstrim, yang bergabung dengan subyektivisme. 3. Perkembangan positivisme tahap terakhir berkaitan dengan Lingkaran Wina (Vienna Circle atau Der wiener Kries) dengan tokoh-tokohnya Ernst Mach, Moritz Schlick, dan Rudolf Carnap. Serta kelompok yang turut berpengaruh pada perkembangan tahap ketiga ini adalah Masyarakat Filsafat Ilmiah Berlin. Kedua kelompok ini menggabungkan sejumlah aliran seperti atomisme logis, positivisme logis, serta semantika. Pokok bahasan positivisme tahap ketiga ini diantaranya tentang bahasa, logika simbolis, struktur penyelidikan ilmiah dan lain-lain. Positivisme dapat dibagi menjadi dua, yaitu positivisme logis dan moral. 1. Positivisme Logis Pemikiran ini dibawa oleh suatu aliran filsafat yang muncul pada Tahun 1924 di Austria, yang dikenal dengan nama Lingkaran Wina, yaitu antara lain lahir dari buku A.J. Ayer Language, Truth, dan Logic (1936). Lingkaran Wina dikenal luas sebagai gerakan yang berupaya keras
melahirkan filsafat yang ilmiah dengan menghapus semua proposisi yang kabur, terutama proposisi-proposisi metafisis. Teori Relativitas dari Albert Einstein, adalah salah satu teori yang menjadi inspirasi dari Positivisme Logis. Teori yang dibawa aliran
16
Rizal Mustansyir dan Misnal Munir, Filsafat Ilmu, Yogyakarta: 2010, Pustaka Belajar,
hlm. 148.
Positivisme Logis berpegang pada empat asasyakni (1) Empirisme; (2) Positivisme; (3) Logika; dan (4) Kritik Ilmu.17 Positivisme Logis adalah aliran pemikiran dalam filsafat yang membatasi pikirannya pada segala hal yang dapat dibuktikan dengan pengamatan atau pada analisis definisi dan relasi antara istilah-istilah. Fungsi analisis ini mengurangi metafisika dan meneliti struktur logis pengetahuan ilmiah. Tujuan dari pembahasan ini adalah menentukan isi konsep-konsep dan pernyataan-pernyataan ilmiah yang dapat diverifikasi secara empiris. Positivisme Logis lebih mendudukan subjek di atas segalanya dengan kepastian yang tinggi. Positivisme Logis berangkat dari anggapan bahwa pengalaman subjektif elementer sperti terungkap dalam kalimat Saya mengalami merah merupakan dasar pengetahuan ilmiah. Kelebihan Positivisme Logis adalah bahwa pengetahuan tidak mungkin lebih pasti daripada itu, sedangkan kekurangannya adalah bahwa sepenuhnya pengamatan itu bersifat subjektif. 18 Fokus utama aliran ini adalah menemukan batas (demarkasi) antara pernyataan yang bermakna (sense) dan pernyataan tak bermakna (non-sense). Jadi, setiap pernyataan bermakna harus bisa diverifikasi, jika tidak bisa diverifikasi maka pernyataan tersebut adalah non-sense (metafisika). Kaum positivisme logis berpendapat bahwa pembangunan masyarakat perlu ditangani secara ilmiah. Karena itulah masalah metodologi ilmu menjadi penting sebagai prinsip bagi pengembangan individu atau masyarakat yang diidamkan. Kemudian dikembangkanlah apa yang disebut dengan The spirit of scientific conception of the world, yakni semangat dunia ilmiah yang berorientasi pada ilmu ilmu alam dan ilmu pasti yang telah mencapai tingkat perkembangan yang tinggi dan keberhasilan yang sangat dikagumi. Beberapa Ajaran Pokok Positivisme Logis : a. Penerimaan prinsip verifiabilitas, yang merupakan kriteria untuk menentukan bahwa suatu pernyataan mempunyai arti kognitif. Arti17 18
Sidharta, Op. Cit., halaman 97-98. Ibid, halaman 102.
kognitif suatu pernyataan tergantung pada apakah pernyataan itu dapat diverifikasi atau tidak. b. Semua pernyataan dalam matematika dan logika bersifat analitis ( tautologi) dan benar per-definisi. Konsep-konsep matematika dan logika tidak diverifikasi tetapi merupakan kesepakatan defisional yang diterapkan pada realitas. c. Metode ilmiah merupakan sumber pengetahuan satu-satunya yang tepat tentang realitas. d. Filafat merupakan analisis dan klarifikasi makna dengan logika dan metode ilmiah. (beberapa ahli positivisme logis berupaya untuk menghilangkan semua filsafat yang tidak tersusun segabai ilmu-ilmu logika-matematik) e. Bahasa pada hakikatnya merupakan suatu kalkulus. Dengan formalisasi bahasa dapat ditangani sebagai suatu kalkulus, yaitu dalam memecahkan masalah-masalah filosofis (atau memperlihatkan yang mana dari masalah-masalah itu merupakan yang semu) dan dalam hal menjelaskan dasar-dasar ilmu. f. Pernyataan-pernyataan metafisik tidak bermakna. Pernyataan-pernyataan itu tidak dapat diverifikasi secara empiris dan bukan tautologi yang berguna. Tidak ada cara yang mungkin untuk menentukan kebenarannya atau kesalahannyadengan mengacu pada pengalaman, seperti ucapan Yang tiada itu sendiri tiada, yang dipelopori oleh martin Heidegger, yang mutlak mengatasi waktu , Allah adalah sempurna, ada murni tidak mempunyai cirri , pernyataan-pernyataan metafisik adalah pernyataan semu. g. Dalam bentuk positivisme ekstrim, pernyataan-pernyataan tentang eksisitensi dunia luar dan pikiran luar yang bebas dari pikiran kita sendiri, dianggap tidak bermakna, karena tidak ada cara empiris untuk mengadakan verifikasi terhadapnya
h.
Penerimaan terhadap teori emotif dalam aksiologi. Nilai-nilai tidak ada apabila tidak bergantung pada kemampuan manusia untuk menetapkan nilai-nilai. Nilai-nilai tidak merupakan objek-objek di dunia, tidak dapat ditemukan dengan percccobaan, dan tidak dapat diperiksa, atau dialami sebagaimana kita mengalami atau mengadakan verifikasi terhadap eksistensi objek-objek. Akan tetapi terdapat problem epistemologis yang sangat mendasar di dalam inti pemikiran poitivisme logis tersebut. Karl Popper juga bersikap kritis terhadap tesis tesis dasar positivisme logis, serta menunjukkan pentingnya peran proses falsifikasi di dalam perumusan dan perubahan suatu teori. Hal yang dikritik Popper pada positivisme logis adalah tentang metode induksi, ia berpendapat bahwa induksi tidak lain hanya khayalan belaka, dan mustahil dapat menghasilkan pengetahuan ilmiah melalui induksi. Tujuan ilmu pengetahuan adalah mengembangkan pengetahuan ilmiah yang berlaku dan benar, untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan logika, namun jenis penalaran yang dipakai oleh positivisme logis adalah induksi dirasakan tidak tepat sebab jenis penalaran ini tidak mungkin menghasilkan pengetahuan ilmiah yang benar dan berlaku, karena kelemahan yang bisa terjadi adalah kesalahan dalam penarikan kesimpulan, di mana dari premis yang dikumpulkan kemungkinan tidak lengkap sehingga kesimpulan atau generalisasi yang dihasilkan tidak mewakili fakta yang ada. Dan menurutnya, agar pengetahuan itu dapat berlaku dan bernilai benar maka penalaran yang harus dipakai adalah penalaran deduktif. Pendapat yang lebih signifikan seperti dikatakan oleh Thomas Kuhn, yang melihat bahwa teori ilmu pengetahuan selalu berada di dalam sebuah pandangan dunia tertentu. Oleh sebab itu, perubahan radikal di dalam ilmu pengetahuan hanya dapat terjadi jika seluruh pandangan dunia yang ada ternyata sudah tidak lagi memadai dan diganti dengan yang lain.
Para pengkritik positivisme logis berpendapat bahwa landasan dasar yang digunakan oleh positivisme logis sendiri tidak dinyatakan dalam bentuk yang konsisten. Misalnya prinip tentang teori tentang makna yang dapat dibuktikan seperti yang dinyatakan di atas itu sendiri tidak dapat dibuktikan secara empiris. Masalah lain yang muncul adalah dalam hal pembuktian teori. Masalah yang dinyatakan dalam bentuk eksistensi positif (misalnya ada burung berwarna hitam) atau dalam bentuk universal negatif (misalnya tidak semua burung berwarna hitam) mungkin akan mudah dibuktikan kebenarannya, namun masalah yang dinyatakan sebaliknya, yaitu dalam bentuk eksistensi negatif (misalnya tidak ada burung berwarna hitam) atau universal positif (misalnya semua burung berwarna hitam) akan sulit atau bahkan tidak mungkin dibuktikan.
2.
Positivisme Moral Positivisme moral menegaskan bahwa nilai-nilai didasarkan pada kebudayaan dan perkambangannya sesuai dengan variasi-variasi waktu dan tempat. Oleh karenaitu, kebaikan atau nilai moral kegiatan manusia tidak terikat secara niscaya dan secara tidak berubah dengan hakikat pribadi manusia, tetapi sama sekali tunduk kepada semua variasi yang mungkin. Bukti utama bagi positivisme moral adalah kesaksian sejarah. Setiap bangsa dan setiap kebudayaan mengembangakan nilai moralnya sendiri dan nilainilai sering ditemukan bertentangan. Apa yang sebelumnya diperbolehkan seakan-akan pada suatu generasi kemudian kurang mendapat penghargaan dari manusia atau bahkan malah bersifat tidak sopan.
C. Kritik Terhadap Positivisme Positivisme dikritik karena generalisasi yang dilakukannya terhadap segala sesuatu dengan menyatakan bahwa semua proses dapat direduksi menjadi peristiwa-peristiwa fisiologis, fisika, atau kimia dan bahwa proses-proses sosial dapat direduksi ke dalam hubungan antar tindakan-tindakan individu dan bahwa organisme biologis dapat direduksi kedalam sistem fisika.
Kritik juga dilancarkan oleh Max Horkheimer dan teoritisi kritis lain. Kritik ini didasarkan atas dua hal, ketidaktepatan positivisme memahami aksi sosial dan realitas sosial yang digambarkan positivisme terlalu konservatif dan mendukung status quo. Kritik-kritik terhadap positivisme diantaranya disebabkan karena: 1. Positivisme secara sistematis gagal memahami bahwa apa yang mereka sebut sebagai fakta-fakta sosial tidak benar-benar ada dalam realitas objektif, tapi lebih merupakan produk dari kesadaran manusia yang dimediasi secara sosial. Positivisme mengabaikan pengaruh peneliti dalam memahami realitas sosial dan secara salah menggambarkan objek studinya dengan menjadikan realitas sosial sebagai objek yang eksis secara objektif dan tidak dipengaruhi oleh orang-orang yang tindakannya berpengaruh pada kondisi yang diteliti. 2. Positivisme tidak memiliki elemen refleksif yang mendorongnya berkarakter konservatif. Karakter konservatif ini membuatnya populer di lingkaran politik tertentu. Aliran Positivisme juga mendapatkan respon dari beberapa tokoh Muslim seperti Ismail Al-Faruqi, Seyyed Hossein Nasr, Ziauddin Sardar, Naquib Al-Attas, Fazlurrahman, Maurice Bucaile, bahkan tokoh-tokoh Muslim Indonesia seperti A. Mukti Ali, Nurcholish Madjid dan Kuntowijoyo. Mereka memberikan kritiknya, sebab tidak satupun jenis ilmu pengetahuan di dunia ini yang dapat membebaskan diri dari nilai-nilai. Para pengkritik positivisme berargumentasi dengan menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan jenis apapun sarat dengan nilai (value loaded). Oleh karena itu dilandasi kekecewaan terhadap modernisme yang berupaya memisahkan agama dengan berbagai bidang kehidupan (differentiation), antara objek dan subjek, antara teori dan praksis serta ilmu dengan kepentingan, dan sikap optimis terhadap post-modernisme yang tidak secara tegas memisahkan/menggabungkan agama dan dunia, ilmu dan kepentingan (dedifferentiation), maka mereka mencoba membangun argumentasi bahwa ilmu pengetahuan selayaknya dibangun atas dasar nilai, meskipun penelitian ini tidak ditujukan secara langsung kepada tokoh-tokoh tersebut akan tetapi percikan dari pemikirannya dicoba untuk dirangkai.
D. Aliran Yang Muncul Dari Kritik Terhadap Positivisme 1. Rasionalisme Kritis Aliran positivisme mengandung beberapa kelemahan sehingga memunculkan aliran post-positivisme antara lain aliran rasionalisme, interpretive social science, critical social science, feminisme, dan postmodernism. Positivisme dinilai lemah dalam hal membangun konsep teoritik sebab positivisme yang mengandalkan kebenaran pada empirik inderawi saja. Pada positivisme, ilmu yang valid adalah ilmu yang dibangun dari empiri, sedangkan aliran lain seperti menurut rasionalisme ilmu yang valid merupakan abstraksi, simplifikasi, atau idealisasi dari realitas dan terbukti koheren dengan sistem logikanya. Positivisme yang mengandalkan kebenaran pada empirik inderawi saja juga disangkal oleh aliran Rasionalisme bahwa kemampuan manusia untuk menggunakan daya pikir dan nalar (empiric logik) bisa memberikan arti yang lebih berarti daripada empirik inderawi.
2.
Interpretive Social Science Pendekatan positivistik dan rasionalisme juga mengandung
kelemahan, sehingga memunculkan aliran interpretive social science yang mengoreksi kelemahan tersebut. Kelemahan dalam rasionalisme adalah terlalu percaya pada empirik logik serta mengabaikan phenomena berupa persepsi dan keyakinan subyek tentang sesuatu di luar subyek yang bersifat transenden. Tokoh interpretive social science antara lain Max Weber (18641920), Wilhem Dilthey (1833-1914) dengan bukunya Einleitung in die Geisteswissenshaften (Introduction to the Human Science) 1883, Glaser & Strauss, dan Guba & Lincoln. Pendekatan positivisme dan rasionalisme hanya mengakui kebenaran apabila dapat dibuktikan melalui empirik inderawi dan empirik logik. Sementara itu, pendekatan interpretive social science mengakui adanya kebenaran empirik etik yang memerlukan akal budi untuk melacak kebenaran, menjelaskan fenomena, dan berargumentasi. Jadi kriterianya bukan sekedar benar dan salah, akan tetapi mencakup nilai moral. Asumsi dasarnya adalah bahwa manusia dalam berilmu pengetahuan tidak dapat lepas
dari pandangan moralnya, baik dalam tahap mengamati, menghimpun data, menganalisis, maupun dalam membuat kesimpulan. Pendekatan interpretive mengajak untuk menggunakan logika reflektif di samping logika induktif dan deduktif, serta logika materiil dan logika probabilistik. Pendekatan interpretive bukan hendak menampilkan teori dan konsep yang bersifat normatif atau imperatif, namun mengangkat makna etika dalam berteori dan berkonsep. Menurut Glaser & Strauss teori dihasilkan dari observasi empiris, dan teori yang dikembangkan dari investigasi empiris tersebut dipandang sebagai grand theory.
3.
Critical Social Science Critical social science menggabungkan antara pendekatan monothetik dengan ideografik. Pada hal tertentu critical social science sejalan dengan interpretive sosial science dalam hal kritik terhadap positivisme. Namun di sisi lain, critical social science mengkritik pendekatan interpretive karena pendekatan interpretive dinilai terlalu terpaku pada realitas subyektif dan cenderung relativis. Pendekatan interpretive menempatkan ide manusia lebih penting daripada kondisi aktualnya dan berfokus pada level mikro yang bersifat lokal, jangka pendek dan mengabaikan konteks yang lebih luas dan jangka panjang. Critical social science seringkali diasosiasikan dengan teori konflik, dialektika materialisme, pertentangan kelas, dan strukturalis. Tokoh critical social science antara lain Karl Max (1818-1883), Sigmund Freud (1856-1939), Theodor Adorno (1903-1969), Erich Fromm (1900-1980), Herbert Marcuse (1898-1979), Antonio Gramsci, Paulo Freire, dan Juergen Habermas. Termasuk dalam pendekatan critical social science adalah penelitian-penelitian model feminisme.
4.
Post Modernisme Pendekatan post-positivisme yang keempat adalah post moderism (posmo). Penelitian model posmo menolak semua ideologi, sistem keyakinan yang terorganisasi (doktrin), termasuk menolak semua teori sosial. Penelitian model posmo memberikan kedudukan yang penting terhadap intuisi,
imajinasi, pengalaman pribadi, subyektivitas yang ekstrim yang mana tidak ada pemisahan antara mental dengan dunia luar. Peneliti Posmo meyakini bahwa kausalitas tidak dapat dipelajari karena kehidupan itu terlalu kompleks dan cepat berubah. Posmo menyatakan bahwa riset tidak akan pernah benarbenar bisa merepresentasikan apa yang terjadi dalam dunia sosial. Tokoh posmo antara lain Nietzsche, Sartre, Alvin Toffler, dan John Naisbitt. Peneliti model posmo mulai menunjukkan ketertarikan pada riset-riset empiris dan metode penelitian kualitatif meskipun hal ini berbeda dengan model penelitian kualitatif pada studi histori.
BAB III PENUTUP
Penulis mencoba untuk menyimpulkan isi dari makalah ini yaitu : 1. Pandangan Positivisme dalam kebenaran ilmu pengetahuan adalah baik, karena mampu menyajikan kebenaran yang kongkrit, pasti, akurat dan bermanfaat, tetapi bahayanya positivisme bersikap positivistis, yaitu yang berpikir bahwa kebenaran harus kongkrit, eksak, tepat dan bermanfaat. 2. Secara ontologis, positivisme berpandangan bahwa realitas dapat dipecahpecah dan dapat dipelajari secara independen, dieliminasi dari obyek lain, dan dapat dikontrol. Secara epistemologi, positivisme menuntut dipisahkannya subyek peneliti dengan obyek penelitian. Tujuan pemisahan ini adalah agar dapat diperoleh hasil yang obyektif. Tujuan penelitian yang berlandaskan filsafat positivisme adalah menyusun bangunan ilmu nomothetik, yaitu ilmu yang berupaya membuat hukum dan generalisasinya. Kebenaran dicari melalui hubungan kausal-linear.Secara aksiologis, positivisme menuntut agar penelitian itu bebas nilai (value free). Positivisme mengejar obyektivitas agar dapat ditampilkan prediksi atau hukum yang keberlakuannya bebas waktu dan tempat. 3. Positivisme dinilai lemah dalam hal membangun konsep teoritik. Ilmu-ilmu yang dikembangkan dengan metodologi yang berlandaskan positivisme menjadi miskin konseptualisasi teoritiknya. Tidak ada teori-teori baru yang mendasar yang muncul, sehingga banyak ilmu sosial yang mengalami stagnasi.
DAFTAR PUSTAKA1. Buku Akhmadi, Asmoro, 2001. Filsafat Umum, Jakarta, RajaGrafindo Persada. Ihsan, Drs. H. A. Fuad, 2010. Filsafat Umum, Jakarta, Rineka Cipta. Mustansyir, Rizal & Misnal Munir, 2010. Filsafat Ilmu, Yogyakarta, Pustaka Belajar. Rachman, Maman, 2006. Filsafat Ilmu, Semarang, UPT MKU Universitas Negeri Semarang. Russel, Bertrand, 2002, Sejarah Filsafat Barat: Dan Kaitannya dengan Kondisi Sosio-Politik dari Zaman Kuno Hingga Sekarang,
diterjemahkan oleh Sigit Jatmiko, dkk, Yogyakarta, Pustaka Pelajar. Shidarta, Karakteristik Penalaran Hukum dalam Konteks Keindonesiaan, 2006. Bandung, CV Utomo. Suriasumantri, Jujun. S., Ilmu dalam Perspektif, 2003. Jakarta, Yayasan Obor Indonesia.
2.
Jurnal/Diktat/Laporan Setiardja, Prof. Dr. Drs. A. Gunawan, 2009. Buku Kuliah: Manusia dan Ilmu: Telaah Filsafat Atas Manusia yang Menekuni Ilmu Pengetahuan, Cetakan V, Semarang, Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro. Sidharta, Dr. S.H., M.Hum., Materi Perkuliahan: Filsafat Ilmu, 2011. Semarang, Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro.
3.
Internet Ankersmit, F.R.dalam Arif Wibowo Positivisme dan Perkembangannya, www.wordpess.com/arifwibowo/html.,diakses pada September 2011. Dian Kurnia, Aliran Positivisme dalam Teori Sejarah,
, diakses pada bulanSeptember Tahun 2011