PARADIGMA POSITIVISME HUKUM

24
1. Aspek Paradigma Umum a. Ontologis Pada dasarnya Penelitian Kuantitatif merupakan penerapan dari paham positivisme. Ontologi secara ringkas membahas realitas atau suatu entitas dengan apa adanya. Pembahasan mengenai ontologi berarti membahas kebenaran suatu fakta. Untuk mendapatkan kebenaran itu, ontologi memerlukan proses bagaimana realitas tersebut dapat diakui kebenarannya. Sebuah ontologi memberikan pengertian untuk penjelasan secara eksplisit dari konsep terhadap representasi pengetahuan pada sebuah knowledge base. Dengan demikian, ontologi merupakan suatu teori tentang makna dari suatu objek, property dari suatu objek, serta relasi objek tersebut yang mungkin terjadi pada suatu domain pengetahuan. Ringkasnya, pada tinjauan filsafat, ontologi adalah studi tentang sesuatu yang ada. Positivisme merupakan paradigma ilmu pengetahuan yang paling awal muncul dalam dunia ilmu pengetahuan. Keyakinan dasar aliran ini berakar dari paham ontologi realisme yang menyatakan bahwa realitas ada (exist) dalam kenyataan yang berjalan sesuai dengan hukum alam (natural laws). Dengan kata lain, Positivisme merupakan suatu aliran filsafat yang menolak aktifitas yang berkenaan dengan metafisik. Tidak mengenal adanya spekulasi, semua didasarkan pada data empiris. Sesungguhnya aliran ini menolak adanya spekulasi teoritis sebagai suatu sarana untuk memperoleh pengetahuan. Pendekatan positivis memenekankan bahwa ilmu pengetahuan lahir dan berkembang melalui pengamatan objek

description

Kajian ontologis,epistimologis,metodologis

Transcript of PARADIGMA POSITIVISME HUKUM

1. Aspek Paradigma Umum

a. OntologisPada dasarnya Penelitian Kuantitatif merupakan penerapan dari paham positivisme. Ontologi secara ringkas membahas realitas atau suatu entitas dengan apa adanya. Pembahasan mengenai ontologi berarti membahas kebenaran suatu fakta. Untuk mendapatkan kebenaran itu, ontologi memerlukan proses bagaimana realitas tersebut dapat diakui kebenarannya. Sebuah ontologi memberikan pengertian untuk penjelasan secara eksplisit dari konsep terhadap representasi pengetahuan pada sebuah knowledge base. Dengan demikian, ontologi merupakan suatu teori tentang makna dari suatu objek, property dari suatu objek, serta relasi objek tersebut yang mungkin terjadi pada suatu domain pengetahuan. Ringkasnya, pada tinjauan filsafat, ontologi adalah studi tentang sesuatu yang ada.Positivisme merupakan paradigma ilmu pengetahuan yang paling awal muncul dalam dunia ilmu pengetahuan. Keyakinan dasar aliran ini berakar dari paham ontologi realisme yang menyatakan bahwa realitas ada (exist) dalam kenyataan yang berjalan sesuai dengan hukum alam (natural laws). Dengan kata lain, Positivisme merupakan suatu aliran filsafat yang menolak aktifitas yang berkenaan dengan metafisik. Tidak mengenal adanya spekulasi, semua didasarkan pada data empiris. Sesungguhnya aliran ini menolak adanya spekulasi teoritis sebagai suatu sarana untuk memperoleh pengetahuan. Pendekatan positivis memenekankan bahwa ilmu pengetahuan lahir dan berkembang melalui pengamatan objek yangpositif,artinyaobjektersebutdapatditangkapdengan panca indramanusia.[footnoteRef:1] Menurut Comte,prosespencariankebenaranharusdilakukan melaluipenelitianyang didasarkanpada fakta-faktayangada Hal tersebut tidak hanya berlaku dalam ilmu alam saja, tetapi juga pada ilmu sosial. Dalam ilmu alam, paham positivistik tersebut tidak banyak menemui kendala karena objeknya adalah materi atau benda. Tetapi ketika diterapkan pada ilmu sosial, maka bukan saja sulit dilakukan, tetapi juga banyak ditentang oleh ilmuwan-ilmuwan sosial. Penganut paham positivistik tersebut berpendapat bahwa segala sesuatu itu tidak boleh melebihi fakta.[footnoteRef:2] [1: Umar Aziz, Positivis dan Non Positivis, diakses melalui : http://www.academia.edu/3510573/Positivis_dan_non_Positivis pada tanggal 16 Desember 2014.] [2: Aman, METODOLOGI PENELITIAN KUALITATIF, Disampaikan dalam acara Diklat Penulisan Skripsi Mahasiswa Pendidikan Sosiologi yang diselenggarakan oleh HIMA Pendidikan Sejarah FISE UNY pada tanggal 23 Mei 2007, hlm 1, diunduh pada staff.uny.ac.id/system/files/...aman.../c-1pelatihan.pdf. ]

b. EpistemologiParadigma Positivisme meyakini adanya realitas yang objektif. Hal ini terjadi karena antara subjek (pengamat) dan objek (yang diamati) selalu ada jarak. Distansi ini meyebabkan objek ini dapat dikaji oleh siapapun dengan hasil (kesimpulan) yang sama sepanjang metodologi yang digunakan juga sama. Realitas itu, dengan demikian, selalu tunggal. Pada Abad Pertengahan, realitas objektif juga sangat dipentingkan. Namun, realitas objektif itu dipahami secara spekulatif, bukan dengan logiko-empirisme. Periode transisi dari logiko-spekulatif ke logiko-empirisme itu sempat mendekatkan kutub subjek dengan objek. Namun, kecenderungan ilmu-ilmu alam untuk mendominasi metodologi ilmu akhirnya melepaskan lagi subjek dari objek. F. Budi Hardiman menyatakan, dalam kata positif bukan hanya termuat prinsip normatif bahwa pengetahuan kita hendaknya tidak melampaui fakta objektif, melainkan juga tampak usaha penghancuran subjek yang berpikir dengan prinsip keras bahwa pengetahuan kita dipeoleh dengan menyalin fakta objektif. Dengan demikian, menurutnya, dalam Positivisme pendulum epistemologis bergerak ke pihak objek lagi, namun objek yang sekarang muncul dari kegiatan pengetahuan ini adalah objek inderawi, bukan objek spekulatif sebagaimana tampil dalam Abad Pertengahan.[footnoteRef:3] [3: Sidharta, 2013. Misnomer Dalam Nomenklatur dan Penalaran Positivisme Hukum dalam, Metode Penelitian Hukum Konstelasi dan Refleksi (Editor : Sulistyowati Irianto dan Sidharta), Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, hal. 45-46.]

Realitas yang benar adalah realitas yang berasal dari objek telaah (apa adanya, objektif, tanpa prasangka, berbasis hal yang tampak kasat mata). Realitas selalu dinilai sebagai apa adanya karena antara subjek (peneliti) dengan objek (yang diteliti) selalu ada jarak atau terpisah. Adanya jarak ini menyebabkan objek dapat dikaji oleh siapapun dengan kesimpulan yang sama. Jadi paradigma positivisme ini akan melihat hukum sebagai realitas.[footnoteRef:4] Hal ini mengakibatkan hubungan epistemologi positivisme, harus menempatkan peneliti dibelakang layar untuk mengobservasi hakekat realitas apa adanya untuk menjaga objektivitas temuan.[footnoteRef:5] Maka secara epistimologi paradigma positivisme mengkonsepsikan peneliti mendudukan diri secara impersonal, terpisah dengan objek penelitian. Posisi peneliti dengan demikian netral, tidak berpihak terhadap objek penelitian.[footnoteRef:6] [4: FX. Adji Samekto, 2012. Ilmu Hukum Dalam Perkembangan Pemikiran Menuju Post-Modernisme. Bandar Lampung: Indepth Publishing, hal. 66.] [5: Mohammad Muslih, 2006. Filsafat Ilmu: Kajian Atas Asumsi Dasar, Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta: Belukar, hal. 78.] [6: FX. Adji Samekto, 2012. Op.Cit. hal. 69.]

c. MetodologisSecara metodologis, seorang periset dituntut untuk menggunakan metodologi eksperimen empirik atau metode lain yang setara. Hal itu dimaksudkan untuk menjamin agar temuan yang diperoleh betul-betul objektif dalam menggambarkan keadaan yang sebenarnya, mencari derajat pesisi yang tinggi, melakukan pengukuran yang akurat, dan juga menguji hipotesis melalui analisa atas angka-angka yang berasal dari pengukuran. Penelitian kuantitatif adalah penelitian ilmiah yang sistematis terhadap bagian-bagian dan fenomena serta hubungan hubunganya. Tujuan penelitian kuantitatif adalah mengembangkan dan menggunakan model-model matematis, teori teori atau hipotesis yang berkaitan dengan fenomena alam. Proses pengukuran adalah bagian yang sentral dalam penelitian kuantitatif karena hal ini memberikan hubungan yang fundamental antara pengamatan empiris dan ekspresi matematis dari hubungan-hubungan kuantitatif[footnoteRef:7] [7: http://ipahipeh.blog.fisip.uns.ac.id/2012/03/03/hubungan-positivisme-dengan-penelitian-kuantitatif/ Diakses 22.30 (16/12/14)]

Satu-satunya cara untuk mengatahui benarnya pernyataan tersebut adalah melalui verifikasi. Ayer juga memberikan batas-batas pada prinsip verifikasi yang diberlakukannya sebagai tolak ukur. Baginya suatu pernyataan tidak hanya bisa dibuktikan secara langsung, akan tetapi ada cara pula secara tidak langsung untuk memverifikasi pernyataan, yakni kami contohkan dengan fakta sejarah, bahwa fakta sejarah tidak bisa kita verifikasi secara langsung, akan tetapi kita bisa mengetahui fakta sejarah melalui orang yang bersaksi dan jujur atas apa yang disaksikannya[footnoteRef:8] [8: https://af008.wordpress.com/2009/01/02/positivisme-logis-alfred-jules-ayer/ diakses 23.29 (16/12/14) ]

Alat penelitian yang pertama menurut Comte adalah observasi, tindak mengamati sekaligus menghubungkan dengan sesuatu hukum yang hipothetik diperbolehkan oleh Comte. Itu merupakan kreasi simultan observasi dengan hukum dan merupakan lingkaran yang tak berujung. Eksperimentasi menjadi metode yang kedua menurut Comte yaitu suatu proses reguler phenomena dapat diintervensi dengan sesuatu yang lain. Komparasi dipakai untuk hal hal yang lebih kompleks seperti biologi dan sosiologi. Bersifat eksperimental/manipulatif: pertanyaan-pertanyaan dan/atau hipotesis-hipotesis dinyatakan dalam bentuk proposisi sebelum penelitian dilakukan dan diuji secara empiris (falsifikasi) dengan kondisi yang terkontrol secara cermat[footnoteRef:9] [9: http://yusufrina.files.wordpress.com/2013/12/makalah-postivism-dan-postpositivism.pdf diakses 1.34 (17/12/14)]

d. AksiologiDalam dunia Kepustakaan, Filsafat Positivisme dikenal malalui karya filsuf Prancis yang bernama Auguste Comte. Secara garis besar filsafat Positivisme Comte berisi pandangan filsafatnya tentang teori mengenal perkembangan ilmu pengetahuan, perkembangan sejarah masyarakat barat dan dasar dasar untuk memperbaiki keadaan masyarakat pada zamannya[footnoteRef:10]. Aksiologi merupakan cabangfilsafat ilmuyang mempertanyakan bagaimana manusia menggunakan ilmunya. Aksiologi adalah istilah yang berasal dari kata Yunani yaitu; axios yang berarti sesuai atau wajar. Sedangkan logos yang berarti ilmu. Aksiologi dipahami sebagai teori nilai. Jujun S.Suriasumantri mengartika aksiologi sebagai teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh[footnoteRef:11] [10: Teguh Prasetyo & Abdul Halim,2012, Filsafat, Teori, dan Ilmu Hukum,Jakarta, PT RajaGrafindo Persada, hal.177] [11: http://historia-rockgill.blogspot.com/2011/12/definisi-aksiologiontologi-dan.html, di akses tgl 17 Desember 2014]

Aksiologi adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakikat nilai. Pada paradigma positvisme hal-hal yang berhubungan dengan nilai etika dan pemilhan moral harus berada di luar proses penelitan. Dengan kata lain bahwa paradigma ini menyatakan bahwa ilmu pengetahuan adalah ilmu yang bebas nilai, artinya bahwa nilai etika dan pilhan moral harus berada di luar proses penelitan-penelitan. Ini merupakan konsekwensi logis dari pemahaman manusia yang deterministik, realitas sosial yang obyektif dan metode yang alamiah. Penelitan berperan sebagai disinterested scientist, dan tujuan penelitan adalah aksplanasi prediksi dan kontrol. Positvism paradigm mengklaim bahwa ilmu pengetahuan harus netral dan bebas dari nilai, ini merupakan bentuk pola pikir yang mengklaim bahwa ilmu-ilmu yang tidak mengikuti metode ilmiah (scientifc method) yang telah diformat/diatur dengan aturan tertentu adalah ilmu-ilmu yang tidak ilmiah dengan kata lain yaitu ilmu yang tidak sahih dan tidak layak untuk hidup, dikembangkan apalagi dipraktekan. Capra (197) menyatakan bahwa ilmu pengetahuan yang bebas nilai adalah tidak mungkin, karena kenyatanya bahwa penelit sendiri tidak akan bisa bebas nilai sebab nilai selalu melekat pada dirinya secara inhren dan realitas yang ditelit tidak bebas dengan nilai pula[footnoteRef:12]. [12: Wahidahwati, Jurnal Akuntansi, Manajemen Bisnis Isn 1829 9857 Dan Sektor Publik (Jambsp), Kritik Terhadap Paradigma Positivisme, hal.245]

2. Set Basic (Empat) Paradigma Utama Beberapa Aliran dan/atau Paradigma Dalam Ilmu Hukuma. OntologiTokoh tokoh filusuf yang menganut aliran ini diantaranya john dewey dan max scheler. Realisme naif adalah aliran pemikiran realisme yang berpegang pada realoitas eksternal. Menurut paham ini, objek fisik bukan hanya mempunyai keberadaan sendiri lepas dari kegiatan pengindraan kita, tetapi adanya pada dirinya sendiri adalah persis sama dengan objek yang secara langsung saya alami, secara indrawi pada saat dan tempat tertentu. Maksudnya : warna, bau, rasa, bentuk, ukuran, dan sebagainya, dari benda tersebut pada dirinya memang sama persis dengan apa yang secara langsung saya tangkap dengan indra saya.Aliran realisme ini sering dikatakan mempertahankan pendapat bahwa kualitas kualitas yang kita rasakan adalah secara formal lepas dari sensasi, cara subjek menerimanya[footnoteRef:13]. Suatu benda bagi bagi penganut realitas naif adalah sebuah pusat terpadu dari tindakan yang berhadapan dengan tindakan manusia. Benda ini adalah objek tindakan manusia, dan yang bereaksi terhadap manusia. Benda disini sekaligus juga merupakan syarat rintangan bagi tindakan manusia. Para filusuf aliran ini menganggap objektivitas berasal dari perasaan resistensi dunia sehingga tidak ada kehendak bebas, inilah yang dikatakan sebagai benda sebagai rintangan bagi tindakan manusia. Aliran ini beranggapan bahwa tindakan tidak mempunyai sasaran kualitas. Bagi tindakan, bentuk bentuk terpisah di dunia tidak ditanggapi sebagai bentuk bentuk yang terpisah, menyatu dan lebih tepat juga dikatakan direduksi menjadi satu kesatuan eksistensi. Kenaifan dari paham ini ialah ia membedakan mana saya dan mana yang lain. dan bentuk dari kesatuan yang saya maksudkan diatas inilah yang lain. dan yang menentukan realitas dari yang lain itu adalah diri saya. [13: Protasius hardono hadi, kenneth T gallagher, epistemologi, filsafat pengetahuan, penerbit kanisisus; yogyakarta, 1994.]

Berbagai pendapat muncul yang menentang Paham realisme naif yang jelas tidak memadai, sebab mengabaikan perbedaan antara apa yang tampak pada si pengamat dan apa yang ada dalam kenyataan sesungguhnya. Paham ini mengabaikan kenyataan bahwa bisa terjadi ketidakcocokan antara keduanya, dan bahwa dalam banyak hal ciri-ciri yang kita tangkap dengan indra kita tidak melekat pada benda itu sendiri, tetapi tergantung keadaan kita dan lingkungan di sekitar kita. Misalnya bagi orang yang sedang sakit demam dan badannya panas, air yang sebenarnya biasa saja akan menjadi dingin. Daun yang kelihatan hijau di siang hari, akan kelihatan hitam di malam hari. Untuk mengatasi kelemahan realisme naif, beberapa filsuf menganut paham yang disebut realisme kritis. Paham yang berpendapat bahwa kualitas indrawi, baik yang primer maupun yang sekunder, secara formal (sebagaimana dipersepsikan) ada dalam objek fisik yang dicirikan oleh kualitas tersebut. Sedangkan realisme kritis yang bersifat virtual berpendapat bahwa sekurang-kurangnya kualitas sekunder (seperti warna, bau, bunyi, halus-kasar dan panas-dinginnya ssuatu tidak secara formal dalam objek fisik yang dcirikan olehnya, tetapi hanya secara virtual. Maksudnya, objek fisik itu mempunyai daya dalam dirinya untuk menyebabkan dalam diri kita (tentu saja dibawah persyaratan yang sesuai) pengalaman akan objek fisik sebagai yang memiliki kualitas sekunder tersebut.b. EpistimologiEpistemologis merupakan sifat hubungan atau relasi antar individu atau kelompok masyarakat dengan lingkungan atau segala yang ada di luar dirinya, termasuk apa yang dapat diketahui tentang hal ini. Berdasarkan epistemologisnya Paradigma Positivisme dalam Ilmu hukum bersifat dualis / objektivis. Penganut atau pemegang Paradigma positivisme mendalami objek observasi atau investigasi adalah dua entity independen; bebas nilai dan bebas bias; prosedur ketat; temuan berulang berarti benar.Berdasarkan epistemologi nya tersebut kami membaginya menjadi 5 asumsi dasar positivisme yaitu sebagai berikut: 1) Logika empirisme, yang mempolakan logika pada kebenaran melalui pembuktian empiris2) Realitas objektif, yang menggambarkan bahwa terhadap suatu realitas dapat digeneralisasi da tidak ada interpretasi subjektif3) Reduksionisme, yang menganggap setiap objek dapat diamati dalam satuan kecil, jika itu tidak dapat dilakukan maka dapat dikatakan bukan realitas4) Determinisme, terdapat keteraturan yang linear5) Bebas nilai, yang berarti tidak ada tempat untuk subjektivitas, sehingga nilai-nilai tidak relevan.

Sesuai dengan ontologinya juga paradigma positivisme mengasumsikan adanya external world, epistemologi paradigma positivisme berasumsi bahwa penganut atau pemegang dapat meneliti objek observasinya dengan tetap mengambil jarak dan tanpa mempengaruhi atau dipengaruhi olehobjek observasi tersebut (bebas bias). Kondisi ini, oleh karena itu, mengharuskan penerapan prosedur ketat. Aliran natural law sejalan dengan epistemologi paradigma positivisme ini. Oleh karena aliran ini secara ontologi berasumsi bahwa terdapat prinsip-prinsip moral, ideal, dan universalyang terlepas/independen dari human mind dan inheren dalam sistem hukum alam, maka untuk menemukannya diperlukan suatu hubungan yang dualis atau objektivis. Manusia tidak bisa diperkenankan mempengaruhi prinsip-prinsip hukum alam tersebut.c. MetodologiMetodologi ini memiliki makna agar masyarakat melakukan penelitian guna menemukan jawaban di balik penelitian tersebut. Metodologi ini melakukan uji empiris, verifikasi research question serta manipulasi dan kontrol terhadap kondisi yang berlawanan. Metode yang digunakan adalah kuantitatif. Metodologi ini biasanya digunakan oleh aliran Natural Law dan Legal Positivism. Aliran Legal Positivism merupakan aliran yang dibangun dari bukti empirik atau penelitian sebelumnya sehingga metode kuantitatif sangat cocok dalam aliran ini. Acuan filosofik dasar metodologi penelitian positivistik kuantitatif adalah sebagai berikut: 1) Acuan hasil penelitian terdahuluSesuai dengan filsafat ilmunya, positivisme tunduk kepada bukti kebenaran empirik, maka sumber pustaka yang perlu dicari adalah bukti empirik hasil-hasil penelitian terdahulu.2) Analisis, sintesis dan refleksiMetodologi positivistik menuntut dipilahnya analisis dari sintesis. Menuntut data dikumpulkan, dianalisis, barulah dibuat kesimpulan atau sintesis.3) Fakta objektif a) Variabel Dalam penelitian positivistik kebenaran dicari dengan mencari hubungan relevan antara unit terkecil jenis satu dengan unit terkecil jenis lain.b) Eliminasi dataCara berfikir positivistik adalah meneliti sejumlah variabel dan mengeliminasi variabel yang tidak teliti.c) Uji reliabilitas, validitas instrument dan validitas butir Penelitian positivistik menuntut data obyektif. 0byektif dalam paradigma kuantitatif diwujudkan dalm uji kualitas instrumennya yang disebut uji reliabilitas dan validitas instrumennya. Dari uji validitas instrumen tersebut berarti instrumen tersebut dapat dipakai untuk mengumpulkan data yang obyektif. Kualitas instrumen lebih tinggi lagi dapat diuji lebih lanjut lewat uji validitas setiap soalnya atau uji validitas butirnya. Uji validitas butir diuji daya diskriminasi dan tingkat kesukarannya.4) Argumentasia) Fungsi parameter Sejumlah variabel diuji pengaruhnya dengan teknik uji relevansi atau korespondensi antar sejumlah variabel. Uji korespondensi hanya membuktikan hubungan paralel antar banyak variabel (bukan sebab akibat).b) PopulasiSubyek penelitian adalah subyek pendukung data, subyek yang memiliki data yang diteliti.c) Wilayah atau penelitianMembahas lingkungan yang memberi gambaran latar belakang atau suatu lingkungan khusus yang dapat memberi warna lain pada populasi yang sama. 5) Realitasa) Desain standar Kerangka berfikir hubungan variabel-variabelnya harus jelas, dirancang hipotesis yang dibuktikan termasuk dirancang instrumen pengumpulan datanya yang teruji validitas instrumennya dan juga validitas butir soalnya dan dirancang teknik analisis.b) Uji kebenaran Realitas dalam paradigma kuantitatif obyektif adalah kebenaran sesuai signifikansi statistik dan pemaknaannya juga sebatas teknik uji yang digunakan. Unsur-unsur data untuk uji kebenaran menyangkut melihat antara lain jumlah subyeknya, jenis datanya, distribusi datanya, mean, simpangan bakunya dan teknik uji korelasinya. Realitas atau kebenaran yang diakui dalam positivistik sebatas obyek yang diteliti dan seluas populasi penelitiannya dan dijamin oleh teknik pengumpulan data, teknik analisis, dan penetapan populasi.3. Paradigma dan Beberapa Isu Praktisa. Nilai dan EtikaDalam tataran positivisme, paradigma/isu praktis nilai dan etika dikaitkan dengan kenyataan, dalam arti nilai dan etika harus dilihat dari sisi empiris yang menolak aktifitas yang berkenaan dengan metafisik. Pertimbangan nilai ditentukan oleh faktor-faktor emosional, oleh sebab itu bersifat subjektif, hanya sah bagi orang yang membuat pertimbangan dan karenanya hanya bersifat relatif. Pertimbangan nilai subjektif dan relatif sebagai penegasan terhadap suatu nilai obyektif dan absolut, yakni suatu norma yang pada umumnya sah. Kekhasan pada diri manusia ialah bahwa dirinya mempunyai kebutuhan mendalam untuk menerkam perbuatannya, ungkapan emosinya, harapan dan keinginannya, melalui fungsi intelek, pemikiran dan pengetahuannya. Pembenaran ini dimungkinkan, paling tidak pada prinsipnya bila hasrat dan keinginannya itu berkaitan dengan sarana untuk mencapai tujuan yang satu atau yang lain, karena hubungan antara sarana dan tujuan merupakan hubungan sebab dan akibat dan hubungan ini dapat ditentukan atas dasar pengalaman, yakni secara rasional.Pertimbangan yang menyatakan sesuatu sebagai cara yang tepat untuk mencapai sesuatu yang dianggap sebagai tujuan bukanlah pertimbangan nilai yang sebenarnya, melainkan merupakan pertimbangan tentang hubungan antara sebab dan akibat dan yang demikian itu merupakan pertimbangan realitas. Pertimbangan nilai merupakan pernyataan tentang suatu tujuan akhir yang dengan sendirinya bukan merupakan sarana untuk mencapai tujuan selanjutnya. Pertimbangan yang demikian selalu ditentukan oleh faktor-faktor emosional. Sementara itu, Etika dalam tataran empiris mencakup analisis dan penerapan konsep seperti benar, salah, baik, buruk dan tanggung jawab. Etika dimulai bila manusia merefleksikan unsur-unsur etis dalam pendapat-pendapat spontan kita. Dalam perspektif/paradigma positivisme, bahwa etika bersumber pada akal pikiran atau filsafat. Etika dipengaruhi oleh unsur ekstrinsik, yakni ethical behavior yang dipengaruhi oleh adanya desepsi oleh faktor-faktor eksternal sehingga mempengaruhi hasil/produk pemikiran akal. desepsi oleh faktor-faktor eksternal dapat berupa kepentingan golongan atau segelintir kelompok tertentu. Desepsi inilah yang kemudian menentukan eksistensi etika yang dapat dilihat dalam bentuk keputusan.

b. Peran Penganut / Pemegang dan PelatihanParadigma Positivisme bertujuan untuk memberikan prediksi dan mengendalikan fenomena, yg seharusnya berkembang dari waktu ke waktu. Pada posisi ini reduksi dan determinasi yang diisyaratkan perlu dicermati karena dapat membawa peneliti terseret ke peran sebagai ahli yang menempatkan peneliti pada posisi dengan hak yang istimewa, namun pada kenyataannya posisi itu justru tidak layak bagi seorang peneliti. Penganut/ pemegang paradigma positivism menetapkan akal (rasio) pada tempat yang sangat penting dalam usaha untuk memecahkan suatu masalah yang ada dalam masyarakat. Mereka mengetahui (lewat pemikiran) penyebab terjadinya masalah tersebut untuk selanjutnya diusahakan penyelesaiannya dengan azaz positivism. Positivisme mengatakan suara peneliti adalah suara ilmuwan yang tak memihak yang memberi masukan bagi pengambil keputusan, pembuat kebijakan dan pelaku perubahan. Positivisme para peneliti baru dilatih tentang pengetahuan teknis pengukuran desain dan berbagai model kuantitatif dengan penekanan penting atas teori formal tentang fenomena dalam kekhususan substantif. Sebagi contoh di negara-negara yang melakukan kodifikasi, sumber yang digunakan Hakim dalam menjalankan tugasnya untuk mengadili adalah hukum positif (undang-undang). Dalam pengertian ini, tugas hakim bukanlah menciptakan hukum (rechtsvorming) melainkan menerapkan hukum. Pasal 21 Al-gemene Bepalingen van Wetveging, misalnya, menyatakan: Tiada seorang hakimpun atas dasar peraturan umum atau penetapan berhak memuus dalam perkara-perkara yang tunduk pada putusannya. Artinya, hakim tidak boleh menempatkan diri sebagai pembentuk undang-undang. Penganut positivisme percaya apabila system logika tertutup diikuti maka hanya akan ditemukan satu kebenaran (objektif). Oleh karenanya hanya ada kebenaran tunggal, maka pemaknaan undang-undang juga harus monotafsir, terutama yang paling mungkin dilakukan adalah penafsiran gramatikal dan otentik.c. Keterkaitan (Commersuable) Paradigma Positivisme Dalam Penegakkan Hukum di IndonesiaParadigma positivism dalam ilmu hukum menekankan pada metode yang lebih melihat pada rumusan teks pasal-pasal peraturan yang dipandang netral, objektif dan imparsial, bebas konteks dan menekankan pada realitas empiric yang berupa perilaku yang bisa ditangkap panca indra dan dipandang bebas nilai. Dalam sejarah Hukum Indonesia melalui asas konkordasi, sistem kontinental oleh Kolonial Belanda kemudian ditanamkan ke dalam hukum di Hindia Belanda (Indonesia) mengantikan sistem hukum terdahulu yang berdasarkan tradisi-tradisi lokal . corak tradisi hukum kontinental ini lalu berkembang dalam waktu yang cukup lama sehingga membuat bangsa Indonesia terbiasa dengan sistem hukum tertulis dan terpengaruh oleh ajaran positivisme hukum sehingga ajaran positivisme hukum menaungi sistem hukum Indonesia sampai sekarang . Ajaran Positivisme ini memberi pemahaman kepada Hakim bahwa Hukum semata-mata hanya berurusan dengan norma-norma dengan tidak memperhatikan apakah substansinya adil atau tidak dan implikasi sosioyuridisnya. Ajaran positivisme menelaah permasalahan hukum secara hitam putih sebagaimana dalam teks Undang-undang padahal perkembangan masyarakat terlalu besar untuk dimasukkan dan dimuat kedalam Pasal-pasal peraturan Perundang-undangan. Sebagai contoh bahwa Negara kita dalam aliran hukum positivisme adalah kasus hukum yang sempat menarik perhatian masyarakat yaitu kasus tindak pidana pencurian 3 buah kakao milik perkebunan PT Rumpun Sari Antan yang dilakukan oleh seorang nenek bernama Minah . Dalam kasus tindak pidana pencurian tersebut Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Purwokerto menjatuhkan putusan pidana penjara 1(Satu) satu bulan dan 15 (lima belas) hari dengan masa percobaan selama 3 (tiga) bulan dan menyatakan Minah terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar pasal 362 KUHP tentang pencurian. P erbuatan yang dilakukan nenek Minah menurut hukum Pidana termasuk kepada perbuatan pidana yakni tindak pidana pencurian. Menurut Aliran Positivisme bagaimana pun hukum harus ditegakkan tanpa melihat baik atau buruknya serta adil atau tidak adilnya. Hukum harus dilepaskan dari unsur-unsur sosial, karena tujuan dari aliran ini adalah kepastian hukum. Padahal jika dilihat kasus tersebut dan memaknai hukum sebagai konteks untuk mencari keadilan maka akan melukai rasa keadilan dalam masyarakat dengan diberlakukan Hukum positive. Hal itu juga dikarenakan Hukum Pidana di Indonesia masih menganut aliran Positivisme, hal ini secara eksplisit tertuang didalam pasal 1 ayat (1) KUHP, bahwa tidak dapat di pidana seseorang sebelum ada undang-undang yang mengaturnya, ini disebut dengan azas legalitas.

4. Teori Hukum Murni Hans KelsenPendekatan Hans kelsen dikenal dengan The Pure Theory of Law.[footnoteRef:14] dengan mempehatikan meliputi dua aspek penting, yaitu aspek statis (nomostatics), dan aspek dinamis (nomodinamic). Pendekat dimaksud menghasilkan teori dengan nama serupa yakni The pure theory of law yang menekankan hukum bukan merupakan manifestasi dari otoritas super-human, tetapi merupakan suatu teknik sosial yang spesifik berdasarkan pengalaman manusia. Positivisme Hukum, dalam definisinya adalah hakikat hukum sebagai norma-norma positif dalam sistem perundang-undangan.[footnoteRef:15] Positivisme hukum dijabarkan sebagai berikut : (i) Ontologinya adalah Realisme naif , (ii) Epistemologi adalah Dualis / objektivis; dan (iii) Metodologi adalah Eksperimental / manipulative. Penjelasan mengenai hal tersebut dapat mengacu pada Teori Hukum Murni (The Pure Norm Theory of Law) dari Hans Kelsen. [14: Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H dan M. Ali Safaat, S.H., M.H. 2006. Teori Hans Kelsen Tentang Hukum. Jakarata pusat : Sekretariat Jenderal & Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, hal. 11] [15: Sidarta.2004. Misnomer Dalam Nomenklatur Positivisme Hukum.Era Hukum,Tarumanegara Jurnal : Era Hukum Vol 2, No 11 (2004) hal. 29]

Ontologi Positivisme Hukum adalah Realisme naif artinya Realitas eksternal dan real, Obyek The Pure Theory of Law adalah norma hukum yang di dalamnya mengatur perbuatan manusia, baik sebagai kondisi atau sebagai konsekuensi dari kondisi tersebut..[footnoteRef:16] Epistemologi Positivisme Hukum adalah Dualis / objektivis); bebas nilai dan bebas bias; The Pure Theory of Law menyatakan suatu sistem aturan-aturan tentang perilaku manusia. Hukum tidak merupakan aturan tunggal, tetapi seperangkat aturan yang memiliki suatu kesatuan sehingga menjadi sistem nyata dan bebas nilai.[footnoteRef:17] Metodologi Positivisme Hukum adalah Eksperimental / manipulative Uji empiris dan verifikasi research question, Hukum mengatur kreterianya sendiri sepanjang suatu norma hukum menentukan cara norma lain dibuat, dan juga isi dari norma tersebut sehingga valid tersebu ditentukan oleh norma lebih tinggi menjadi alasan utama validitas keseluruhan tata hukum yang membentuk kesatuan dalam hubungan super dan sub-ordinasi [footnoteRef:18]. [16: Op.cit.] [17: Kelsen, Hans. 1967. Pure Theory Of Law. London: University of California Press.] [18: Ibid. Hal. 124]

Sehingga, Hans Kelsen relatif berhasil menjelaskan Positivisme Hukum melaui sistem hirarkis dari norma-norma positif yang disebut nama Grundnorm (norma dasar). Norma dasar ini hadir secara apriori dan relatif permanen.

Daftar PustakaBukuFX. Adji Samekto, 2012. Ilmu Hukum Dalam Perkembangan Pemikiran Menuju Post-Modernisme. Bandar Lampung: Indepth Publishing.Kelsen, Hans. 1967. Pure Theory Of Law. London: University of California Press.Mohammad Muslih, 2006. Filsafat Ilmu: Kajian Atas Asumsi Dasar, Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta: Belukar.Protasius hardono hadi, kenneth T gallagher, 1994, epistemologi, filsafat pengetahuan, Yogyakarta, penerbit kanisisus.Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H dan M. Ali Safaat, S.H., M.H. 2006. Teori Hans Kelsen Tentang Hukum. Jakarata pusat : Sekretariat Jenderal & Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI.Sulistiyowati Irianto, Shidarta, 2013, Metode Penelitian Hukum Konstelas dan Refleksi, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.JurnalSidarta.2004. Misnomer Dalam Nomenklatur Positivisme Hukum.Era Hukum,Tarumanegara Jurnal : Era Hukum Vol 2, No 11 (2004).Wahidahwati, Jurnal Akuntansi, Manajemen Bisnis Isn 1829 9857 Dan Sektor Publik (Jambsp), Kritik Terhadap Paradigma PositivismeArtikel OnlineAman, METODOLOGI PENELITIAN KUALITATIF, Disampaikan dalam acara Diklat Penulisan Skripsi Mahasiswa Pendidikan Sosiologi yang diselenggarakan oleh HIMA Pendidikan Sejarah FISE UNY pada tanggal 23 Mei 2007, hlm 1, diunduh pada staff.uny.ac.id/system/files/...aman.../c-1pelatihan.pdf.Blog Fisip UNS, Hubungan Positivisme Dengan Penelitian Kuantitatif diakses melalui http://ipahipeh.blog.fisip.uns.ac.id/2012/03/03/hubungan-positivisme-dengan-penelitian-kuantitatif/ Diakses pada tanggal 16 Desember 2014

Bona Pablo, Positivisme Logis ALFRED JULESAYER, diakses melalui https://af008.wordpress.com/2009/01/02/positivisme-logis-alfred-jules-ayer/ diakses pada tanggal 16 Desember 2014. Umar Aziz, Positivis dan Non Positivis, diakses melalui : http://www.academia.edu/3510573/Positivis_dan_non_Positivis pada tanggal 16 Desember 2014.http://historia-rockgill.blogspot.com/2011/12/definisi-aksiologiontologi-dan.html, di akses tgl 17 Desember 2014

PARADIGMA POSITIVISMETugas Mata Kuliah Teori HukumKELAS HET-HKIProf. Dr. Esmi Warrasih Puji Rahayu, S.H.,M.S.Rara Amalia Cendhayanie 11010114410030Nenny Dwi Ariani 11010114410048Navira Araya Tueka 11010114410063Zulkifli Mukhtar 11010114410065Yosa Jeremia Lumbantoruan 11010114410097Toebagus Galang WP 11010114410077Franz Andi Purba 11010114410102Charlyna S. Purba 11010114410104Farrach Erningrum 11010114410105Maranata Nansy Nadeak 11010114410107Putri Purbasari 11010114410108

Magister Ilmu HukumUniversitas DiponegoroSemarang2014