PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU -...

247

Click here to load reader

Transcript of PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU -...

Page 1: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU

PADA ZAMAN AL MA’MUN (813-833 M)

TESIS

DiajukankepadaPengelola Magister FakultasIlmuTarbiyahdanKeguruan

(FITK) untukmengikutiUjianPromosiTesispada Program MagisterPendidikan

Agama Islam

Oleh:

Ahmad Khumaidi Al Anshori

NIM: 2113011000011

PROGRAM MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2015 M/1436 H

Page 2: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang
Page 3: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

i

PEDOMAN TRANSLITERASI

A. PADANAN AKSARA

Huruf Arab Huruf Latin Keterangan

Tidak dilambangkan ا

B Be ب

T Te خ

Ts Te dan es ز

J Je ض

H Ha dengan garis bawah غ

Kh Ka dan Ha خ

D De ز

Dz De dan Zet ش

R Er ض

Z Zet ظ

S Es غ

Sy Es dan Ye ش

S Es dengan garis bawah ص

D De dengan garis bawah ع

T Te dengan garis bawah ط

Z Zet dengan garis bawah ػ

Koma terbalik di atas hadap „ ع

kanan

Gh Ge dan Ha ؽ

F Ef ف

Q Ki ق

K Ka ن

L El ل

M Em و

N En

H Ha

W We

A Apostrof ء

Y Ye ي

Page 4: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

ii

B. VOKAL

Tanda Vokal

Arab

Tanda Vokal

Latin Keterangan

-- A Fathah

-- I Kasrah

-- U Dammah

ي-- Ai A dan i

و-- Au A dan u

C. VOKAL PANJANG

Tanda Vokal

Arab

Tanda Vokal

Latin Keterangan

ا-- Â A dengan Topi di atas

ي-- Î I dengan Topi di atas

و-- Û U dengan Topi di atas

D. KATA SANDANG

Kata sandang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan huruf

dialihaksarakan menjadi huruf (l), baik diikuti huruf syamsiyyah ,ال

maupun qamariyah. Contoh: al-syamsu bukan asy-syamsu dan al-jannah

E. SYADDAH/TASYDID

Syaddah/tasydîd dalam tulisan Arab dilambangkan dengan , dalam

alih aksara dilambangkan dengan menggandakan huruf yang diberi tanda

syiddah. Akan tetapi, hal ini tidak berlaku pada huruf-huruf syamsiyyah

yang didahului kata sandang. Misalnya kata انو tidak ditulis an-naum

melainkan al-naum

F. TA MARBÛTAH

Ta marbûtah jika berdiri sendiri dan diikuti oleh kata sifat (na’at)

dialihaksarakan menjadi huruf (h). Namun, jika huruf tersebut diikuti kata

benda (ism), maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf (t).

Contoh:

No Kata Arab Alih Aksara

Madrasah هذرست 1

-Al-jâmi‟ah al الجاهعت اإلسالهيت 2

islâmiyyah

Wihdat al-wujud وحذة الىجىد 3

Page 5: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

iii

Page 6: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

iv

Page 7: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

v

Page 8: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

vi

Page 9: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

vii

Page 10: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

viii

Page 11: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

ix

Page 12: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

x

Page 13: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

xi

Page 14: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

xii

ABSTRAK

Ahmad Khumaidi Al Anshori. NIM: 2113011000011; “Paradigma

Pengembangan Ilmu pada Zaman Al-Ma’mun (813-833 M)”. Tesis Program

Magister Pendidikan Agama Islam (PAI) Fakultas Ilmu Tarbiyah dan

Keguruan (FITK) UIN SYarif Hidayatullah Jakarta. 2015

Paradigma dapat dipahami sebagai sekumpulan keyakinan dasar yang

mengarahkan pada tindakan penelitian ilmiah. Paradigma seseorang tentang

ilmu, akan menentukan sikap dan perilakunya terhadap ilmu tersebut.

Khalifah al-Ma‟mun merupakan salah satu Kholifah Daulah Abbasiyah yang

termasuk kedalam The Golden Age (Zaman Keemasan). Selama

pemerintahan al-Ma‟mun banyak hal yang ia lakukan, khususnya dalam

mengembangkan ilmu pengetahuan. Kecintaannya terhadap ilmu

pengetahuan mempengaruhi pemikiran al-Ma‟mun. Masalah utama dalam

penelitian ini adalah: “Paradigma Pengembangan ilmu bagaimanakah yang di

kembangkan pada zaman al-Ma‟mun? Penelitian ini bertujuan: Mengungkap

fakta tentang paradigma pengembangan terhadap ilmu dalam sejarah

pendidikan Islam pada zaman al-Ma‟mun (813-833M). Penelitian ini

bermanfaat untuk memberikan informasi tentang sejarah paradigma

pengembangan ilmu pengetahuan (sains) dalam pendidikan Islam di zaman

klasik dan masih relevan pada masa kini. Data primer dalam penelitian ini

adalah dari Kitab Al-Kamil fi Tarikh oleh Ibn Atsir dan Kitab Wa’fiyat Al-

A’yan wa Anba Al-Zaman oleh Ibn Khalikan dan Mukadimah Ibn Khaldun

oleh Ibnu Khaldun yang menjelaskan tentang pertumbuhan ilmu dan

perkembanganya pada zaman al-Ma‟mun Dinasti Abbasiyah (813-833).

Adapun data sekundernya adalah karya tulis Tarikh Al-Tarbiyah al-Islamiyah

oleh Ahmad Syalabi, The History of Arabic oleh Philip K. Hitti dan Science

Civilization in Islam oleh Syyed Hoesen Nasr dan para ilmuwan yang telah

menulis sejarah ilmu. Oleh karena itu penelitian ini sepenuhnya adalah studi

pustaka. Hasil yang dicapai dalam penelitian ini menyimpulkan bahwa

Paradigma pengembangan ilmu pada zaman al-Ma‟mun merupakan

pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang melihat ilmu

pengetahuan (sains) dari aspek ontologis yang membahas alam jagat raya

yang disusun sebagai ilmu pengetahuan (sains), epistemologis dengan

metode ijbari atau eksperimen dan observasi yang dilakukan di laboratorium,

dan aksiologis dimana Islam menganjurkan dan mendorong manusia untuk

mengembangkan ilmu pengetahuan alam (sains) yang merupakan satu

kesatuan dari Allah. Paradigma pengembangan ilmu di zaman al-Ma‟mun

terpusatkan pada ilmu-ilmu alam (Natural Sciences) dengan Pola gerakan

intelektual yang integrated pada zamannya.

Kata Kunci: Paradigma, Pengembangaan, Ilmu, Zaman, Al-Ma‟mun

Page 15: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

xiii

ABSTRACT

Ahmad Khumaidi Al Anshori. NIM: 2113011000011; "Paradigm

Development of Science in the Al-Ma'mun". The Master degree program

thesis Islamic Religion teaching Faculty of Education and educations in

teaching and care (FITK) UIN Syarif Hidayatullah State Islamic University

in Jakarta . 2015

Paradigm can be understood as a set of basic beliefs that direct the

actions of scientific research. Paradigm someone about science, will

determine the attitude and behavior towards the art. Caliph al-Ma'mun was

one Kholifah Daula Abbasid included into The Golden Age (Golden Age).

During the reign of al-Ma'mun many things he did, especially in developing

science. His passion for science influence the thinking of al-Ma'mun. The

main problem in this research is: "The paradigm of how science

Development that was developed at the time of al-Ma'mun? This study aims:

Revealing the facts about the development paradigm for the science

education in the history of Islam in the time of al-Ma'mun (813-833M). This

research is useful to provide information about the history of the

development paradigm of science (science) in Islamic education in antiquity

and is still relevant today. Primary data in this study is from the Book of Al-

Kamil fi Tarikh by Ibn Atsir and Book Wa'fiyat wa Al-Anba A'yan Al-Zaman

by Ibn Khalikan and Ibn Khaldun Preamble by Ibn Khaldun, explaining the

growth of science and its development in the time Abbasid al-Ma'mun (813-

833). The secondary data is writing Tarbiyah Tarikh al-Ahmad al-Islamiyah

by Syalabi, The History of Arabic by Philip K. Hitti Science and Civilization

in Islam by Nasr Hoesen Syyed and scientists who have written the history of

science. Therefore this research entirely is literature. The results achieved in

this study concluded that the paradigm of development of science in the time

of al-Ma'mun an integrated development based on monotheism who see

science (science) of natural discuss ontological aspects of the universe that is

structured as a science (science), epistemological ijbari method or

experiments and observations made in the laboratory, and axiological where

Islam advocate and encourage people to develop the natural sciences

(science) which is a unity of God. Paradigm development of science in the

age of al-Ma'mun concentrated in natural sciences (Natural Sciences) with

integrated movement pattern intellectual of his time.

Keywords: Paradigm, Deveplopment, Knowledge, The Time, Al Ma‟mun

Page 16: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

xiv

هلخص البحث

نوىرج تنويت " ؛ 2113011000011 خويذي األنصاري. رقن الطالب: أحوذ

رسالت هاجستير برناهج التربيت اإلسالهيت بكليت التربيت . ىى "وأهـالعلن في عهذ ال

5102اإلسالهيت الحكىهيت بجاكرتا عام بجاهعت شريف هذايت اهلل (FITK)والتعلين

هـ.

شض كعػح ي انؼرمساخ األساسح انر ذظ ذظطفاخ انثحس ك فى ان

انؼه. شرض يا ف انشض ػ انؼهى، ذحسس انالف انسهن ذعا انف. كا

انرهفح انأي شهد احسج زاال انرهفح انؼثاس إنى انؼظط انصث )انؼظط

غط انؼهو. شغف نهؼهى انصث(. ف ػس انأي أشاء كصطج فؼه، ذظطا ف ذ

ذؤشط ػهى ذفكط انأي. انشكهح انطئسح ف صا انثحس: "إ شض نكفح ػهو

انرح انر ذى ذغطا ف لد انأي؟ ذسف ص انسضاسح: انكشف ػ انحمائك

-318حل شض انرح نرؼهى انؼهو ف ذاضد اإلسالو ف ػس انرهفح انأي )

388M صا انثحس يفس نرفط انؼهياخ ػ ذاضد شض انرح ف انؼهو .)

)ػهو( ف انرطتح اإلساليح ف انؼظض انمسح، ال ذعال طانحح انو. انثااخ

wa'fiyatاألنح ف ص انسضاسح ي كراب آل كم فاي انراضد الت األشط كراب

A'yan ثا ت انعيا انسثاظح ا آل األثا انر كرKhalikan ات ذهس ات ذهس

Ma'mun-ي ذالل شطغ ان انؼهى ذغض ف ػس انرهفح انرالفح انؼثاسح

االحس االساليح ي لثم Tarikh(. انثااخ انصاي كراتح عطت 813-833)

Syalabiضاضج ف اإلسالو ظط ، ذاضد انهغح انؼطتح ي لثم فهة ن حر انؼهى انح

Hoesen Syyed انؼهاء انص كرثا ف ذاضد انؼهى. تانران صا انثحس األزب

ذايا. انرائط انر ذحممد ف ص انسضاسح ذهظد إنى أ شض ذغض انؼهى ف ظي

انأي انرح انركايهح انمائح ػهى انرحس انص ط انؼهى )انؼهى( ي انغثؼ

أ ijbariيالشح انعاة انظزح نهك انصي رشكم كؼهى )انؼهى(، انؼطف عطمح

انرعاضب انالحظاخ انر أتسد ف انررثط، انم حس زاػح اإلسالو ذشعغ

اناغ ػهى ذغط انؼهو انغثؼح )انؼهو( حسج ي اهلل. ذغط شض انؼهى ف

انؼهو انغثؼح )انؼهو انغثؼح( يغ يركايم انفكطح ظ ػظط انأي ذرطكع ف

ي لر.انحطكح

وأهىىـ، العهذكلواث البحث: النوىرج والتنويت، والعلىم،

Page 17: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

xv

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena

atas segala karunia, rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan

penulisan tesis ini. Shalawat dan salam dihaturkan kepada pendidik pertama,

Nabi Besar Muhammad SAW yang telah menggariskan rambu-rambu

Pengembangan sehingga dapat mengangkat derajat dan martabat manusia

sebagaimana mestinya.

Dalam kesempatan ini, penulisan menyadari bahwa selama penulisan

tesis ini, sejujurnya penulis banyak sekali mengalami berbagai kesulitan dan

kendala baik dalam literatur, dan waktu dalam penyelesaiannya, terutama

dalam menganalisis dan memahami berbagai bahan bacaan. Namun berkat

bantuan dan dorongan moril dari berbagai pihak, akhirnya kesulitan-kesulitan

selama penulisan tesis ini dapat diatasi. Oleh karena itu, pada kesempatan ini

penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tidak terhingga terutama

kepada yang terhormat:

1. Prof. Dr. Dede Rosyada, MA selaku Rektor Universitas Islam Negeri

(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, MA. selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah

dan Keguruan (FITK) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

Hidayatullah Jakarta.

3. Dr. Fachriany, M.Pd. selaku Ketua, Dr. Jejen Musfah, M.A. selaku

Sekretaris dan Azkia Muharom Albantan, M.Pd.I. selaku Staf Program

Magister Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) Universitas

Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Prof. Dr. H. Murodi, M.A., selaku pembimbing, tesis ini. Terima kasih

atas perhatian dan kesabarannya dalam mengarahkan dan membimbing

penulis dalam menyelesaikan karya ilmiah ini.

5. Dr. Khalimi, M.A., selaku penguji proposal dalam tesis ini. Terima kasih

atas bimbingan, perhatian dan kesabarannya pada saat menguji proposal

tesis ini.

6. Prof. Dr. H. Abuddin Nata, M.A., Dr. Jejen Musfah, M.A., dan Dr.

Khalimi,M.A., selaku penguji Work In Progress (WIP) I-II (Pra Tesis I-

II). Terima kasih atas bimbingan, perhatian, dan kesabarannya pada saat

menguji WIP I dalam tesis ini.

7. Seluruh Dosen Program Magister Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

(FITK) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta yang

telah mencurahkan ilmunya kepada penulis selama masa perkuliahan,

Page 18: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

xvi

Page 19: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

xvii

Page 20: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

xviii

DAFTAR ISI

PEDOMAN TRANSLITERASI ................................................................. i

SURAT PERNYATAAN KARYA SENDIRI ............................................ iii

SURAT PERNYATAAN JURUSAN ......................................................... iv

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI WIP I ............................................. v

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI WIP II ........................................... vi

LEMBAR PENGESAHAN PENGUSJI PROMOSI TESIS ....................... vii

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................. viii

ABSTRAK .................................................................................................. ix

KATA PENGANTAR ................................................................................. xii

DAFTAR ISI ............................................................................................... xiv

DAFTAR GAMBAR DAN TABEL ........................................................... xvi

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................. 1

A. Latar Belakang Masalah ................................................................... 1

B. Permasalahan .................................................................................... 14

C. Tujuan Penelitian ............................................................................... 15

D. Manfaat dan Kegunaan Penelitian .................................................... 15

E. Kajian Pustaka .................................................................................. 16

F. Metodologi Penelitian ........................................................................ 18

BAB II PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU DALAM

PENDIDIKAN ISLAM ....................................................................... 23

A. Paradigma Keilmuan .......................................................................... 23

B. Konsep Ilmu dalam Islam ................................................................. 27

C. Pandangan Islam terhadap Alam ....................................................... 49

D. Pandangan Islam tentang Dikotomi Ilmu ......................................... 58

E. Dualisme Keilmuan dalam Pendidikan Islam ………………………63

BAB III SEJARAH PERTUMBUHAN ILMU PENGETAHUAN DAN

PERKEMBANGAN DALAM ISLAM .............................................. 69

A. Ilmu Pengetahuan Islam di Era Rasulullah SAW. ............................ 69

B. Ilmu Pengetahuan Islam di Era Khulafa‟ al-Rasyidin ..................... 71

C. Ilmu Pengetahuan Islam di Era Bani Umayyah ............................... 73

D. Ilmu Pengetahuan Islam di Era Daulah Abbasiyah .......................... 78 E. E.

E. Pertumbuhan Ilmu Pengetahuan dan

Perkembangannya dalam Islam ......................................................... 81

Page 21: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

xix

BAB IV PARADIGMA PENGEMBANGAN SAINS DAN

PENDIDIKAN ISLAM PADA ZAMAN AL MA’MUN .................. 97

A. Biografi Al Ma‟mun ........................................................................ 97

B. Paradigma Pengembangan Sains dalam Islam ................................. 102

C. Langkah-langkah Kholifah Al-Ma‟mun dalam Mengembangkan

Sains ................................................................................................. 105

D. Hasil Pencapaian Al-Ma‟mun dalam Mengembangkan

Sains …………………………………………………………...…. 122

E. Pengembangan Ilmu Pengetahuan (Sains) dan Pengaruhnya

terhadap Sistem Kemajuan Masyarakat Islam…….………….….. 166

F. Pola Gerakan Intelektual yang Integrated Zaman Al Ma‟mun ..… 172

G. Model Pengembangan Ilmu-Ilmu Alam (Sains)

di Zaman Al-Ma‟mun ……………………………………………. 177

H. Paradigma Pengembangan Sains Integrated yang Berbasis pada

Tauhid dari Aspek Aksiologis, Epistemologis, dan Ontologis …. 184

BAB V PENUTUP ..................................................................................... 203 A. Kesimpulan ..................................................................................... 203

B. Saran ................................................................................................ 206

Daftar Pustaka

Lampiran

Page 22: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

xx

DAFTAR GAMBAR DAN TABEL

Tabel. 2.1 : Pandangan Integral Holistik ……………………………… 25

Gambar 2.2: Konseptual Islam Tentang Ilmu dan Penelitian ………….. 49

Gambar 3.1: Silsilah Kholifah Abbasiyah Zaman Integrasi Ilmu ……… 81

Gambar 4.1: Konsep dasar pendidikan Multikultural pada Institusi

Baitul Hikmah ……………………………………………. 127

Tabel 4.2: Kronologi Riwayat Hidup Ulama dan Ilmuwan serta

Keahliannya pada Zaman al-Ma‟mun …………………… 166

Gambar 4.3: Pola Bangunan Sains (Natural Sciences) Integratif ……… 189

Tabel. 4.4: Paradigma Pengembangan Ilmu pada zaman Al-Mansyur,

Harun Al-Rasyid dan Al Ma‟mun ………………………. 200

Gambar 4.5: Pola Gerakan Intelektual Integratif zaman Al-Ma‟mun.…. 204

Page 23: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Katakanlah: “Kalau sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis)

kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis)

kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu

(pula) (Al-Qur‟an, al-Kahf: 109). Ayat ini menggambarkan betapa luas

kandungan ilmu-ilmu yang diturunkan Allah baik yang terdapat dalam ayat-

ayat Qur‟aniah maupun dalam ayat-ayat kauniah. Oleh karena itu, tidak heran

jika para ulama dan para filosof muslim sejak zaman dahulu menjadikan al-

Qur‟an sebagai sumber ilmu pengetahuan.

Tidak dapat dielakkan lagi bahwa penerjemahan karya-karya

pemikiran Yunani ke dalam bahasa Arab, menyebabkan maraknya

pengembangan filsafat dan ilmu pengetahuan di dunia Islam, termasuk

pengembangan pendidikan Islam di masa klasik (Nasution,1985: 56), (Nata,

2010: 159), (Sarton, 1972: 523-24). Pemikran filsof masuk ke dalam Islam

melalui falsafat Yunani yang dijumpai ahli-ahli fikir Islam di Syria,

Mesopotamia, Persia dan Mesir. Walaupun pendidikan di masa klasik tidak

sekompleks pendidikan modern. Pendidikan Islam di masa klasik dapat

dikatakan maju, bahkan dianggap telah mencapai masa keemasan dalam

sepanjang sejarah. Sejak permulaan penterjemahan karya-karya pemikiran

Yunani, pendidikan Islam mengalami kemajuan pesat baik dalam materi

pengajarannya (kurikulum) maupun ilmu pengetahuan dan kebudayaan

(Nasution, 1985: 46).

Agar tidak salah persepsi, maka penulis sedikit mendeskripsikan,

bahwa ketika al-Qur‟an diturunkan, ilmu pengetahuan telah berkembang di

Mesir, Syiria, Babilonia, Yunani, Romawi, India, Cina dan Persia, akan tetapi

ilmu pengetahuan tersebut banyak yang di tinggalkan, seperti Filsafat oleh

Yunani atau bahkan Romawi memandang hal tersebut tidak bernilai (Nata,

2003: 68-69). Baik al-Qur‟an dan Hadits sesungguhnya tidak

mempertentangkan ilmu. Akan tetapi jika ada pembagian ilmu agama dengan

ilmu umum hanyalah paradigma manusia yang mengidentifikasi ilmu

berdasarkan pada sumber objek kajiannya saja. Misalnya jika objek

ontologisnya yang dibahas wahyu al-Qur‟an atau penjelasannya pada hadits

dengan menggunakan metode ijtihad maka yang dihasilkannya adalah ilmu-

ilmu agama seperti: Tafsir, Hadits, Tasawuf, Fiqih, Teologi dan lain

sebagainya. Kemudian jika objek ontologisnya yang di bahas fenomena sosial

dengan menggunakan metode observasi, wawancara, maka yang dihasilkannya

adalah ilmu sosial seperti: Geografi, Ekonomi, Sosiologi, Sejarah, Antropologi

dan lain sebagainya. Kemudian jika objek ontologinya yang dibahas alam jagat

Page 24: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

2

raya seperti langit, bumi, tumbuh-tumbuhan, bulan, bintang, binatang, air, api,

udara, batu-batuan dan lain sebagainya dengan menggunakan penelitian

eksperimen di laboratorium, maka yang dihasilkannya adalah ilmu alam

(Natural Sciencis) seperti: Ilmu Kimia, Biologi, Astronomi, Fisika dan lain

sebagainnya (Nata, 2003: 69-70).

Jika di atas objek ontologisnya masing-masing menggunakan metode

yang berbeda seperti, metode ijtihad, eksperimen (ijbari), observasi, maka

untuk objek kajiannya menggunakan metode mujadalah atau logika terbimbing

maka yang dihasilkannya adalah Filsafat dan ilmu-ilmu Humaniora. Dan jika

objek ontologinya menggunakan intuisi dengan metode penyucian batin

(tazkiyah al-nafs), maka ilmu yang dihasilkan adalah ilmu ma‟rifah.

Jika menyesuaikan pada judul penelitian ini, Paradigma secara

sederhana dapat diartikan sebagai kerangka berpikir untuk melihat suatu

permasalahan. Pengertian paradigma selanjutnya berkembang dari definisi

paradigma pengetahuan yang dikembangkan oleh Kuhn dalam rangka

menjelaskan cara kerja dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Paradigma

pengetahuan merupakan perspektif intelektual yang dalam kondisi normal

memberikan pedoman kerja terhadap ilmuwan yang membentuk „masyarakat

ilmiah‟ dalam disiplin tertentu. Pengertian lain dari paradigma ilmiah adalah

sebagai gambaran intelektual yang daripadanya dapat ditentukan suatu subjek

kajian. Perspektif intelektual inilah yang kemudian akan membentuk ilmu

pengetahuan normal (normal science) yang mendasari pembentukan kerangka

teoritis terhadap kajian-kajian ilmiah. Pengertian paradigma juga menjadi

gambaran fundamental mengenai subjek ilmu pengetahuan. Paradigma

memberikan batasan mengenai apa yang harus dikaji, pertanyaan yang harus

diajukan, bagaimana harus dijawab dan aturan-aturan yang harus diikuti dalam

memahami jawaban yang diperoleh (Bachtiar, 2006: 45).

Dalam mengembangkan suatu paradigma ilmu, harus dapat melihat

cara pandang yang menjadi aspek filosofis dan metodologis dalam menemukan

ilmu pengetahuan, yaitu: dimensi ontologis (dimensi yang membicarakan

hakikat ilmu), dimensi epistemologis (dimensi yang membicarakan bagaimana

memperoleh ilmu), dimensi aksiologis (dimensi yang membicarakan nilai

ssebuah ilmu), dimensi retorik (dimensi yang membicarakan tentang bahasa

yang dipakai dalam pemikiran ilmu), dan dimensi metodologis (dimensi yang

membicarakan metode-metode memperoleh ilmu). Sebagai contoh: Jika kita

berhadapan dengan seorang musuh, maka sudut padang kita adalah bagaimana

caranya agar dapat menjatuhkan (mengalahkan) musuh tersebut, dan

begitupula sebaliknya, jika kita melihat seorang teman, maka bagaimana

caranya agar kita dapat mengambil kebaikan dari teman tersebut.

Sejak penterjemahan buku-buku Yunani, kurikulum dalam pendidikan

Islam mengalami kemajuan pesat. Lembaga-lembaga pendidikan yang

sebelumnya hanya mengajarkan ilmu agama, seperti zawwiyah, hanqoh,

Page 25: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

3

pendidikan yang bersifat non-formal atau halaqah yang dilaksanakan di

masjid-mesjid, mulai mengajarkan ilmu pengetahuan, seperti matematika,

filsafat, dll. Misalnya di Kuttab, yaitu salah satu dari lembaga pendidikan

tingkat dasar, pada abad pertama masa Islam hanya mengajarkan pelajaran

membaca dan menulis ilmu agama (Stanton,1994: 35). Sebagaimana Ahmad

Shalabi berpandangan bahwa kuttab lebih fokus pada pendidikan anal-anak

tentang al-Qur‟an dan isinya. Namun sejak abad 8 M, kuttab mulai

mengajarkan ilmu non-agama (Syalabi, 1954: 16-17).

Dikarenakan lembaga pendidikan belum menghasilkan sarjana-sarjana

di berbagai bidang yang Islami, maka muncul gagasan, bahwa madrasah-

madrasah yang diselenggarakan oleh swasta atau pemerintah ingin

memasukkan mata pelajaran ilmu pengetahuan umum dalam lembaga

pendidikan yang didirikannya. Gagasan semacam ini juga dilatarbelakangi

sejarah umat Islam sejak abad ke-2 Hijriah sampai akhir abad ke-4 telah

didirikan lembaga-lembaga pendidikan yang di bangun Darul Hikmah di Kairo

dan Baghdad, disampaing ilmu agama, sastra, dan sejarah, dipelajari pula

aljabar, fisika, kedokteran, filsafat dan ilmu-ilmu lainnya (Tamsir, 2006: 47-

48).

Dalam Integrasi Ilmu, Abuddin Nata dkk. menyatakan bahwa masa

awal dari Dinasti Abbasiyah pada tahun 133-766 H / 750-1258 M. masa awal

abad pertengahan umat Islam memiliki kekayaan ilmu dan pengetahuan (Nata,

2003: 16). Akan tetapi, memasuki abad pertengahan sampai akhir abad ke-19

M. Umat Islam mengalami kemunduran, khususnya dalam bidang pendidikan

Islam (Rahman, 2000: 103). Faktor penyebabnya yakni: hancurnya sarana

pengembangan ilmu pengetahuan dan perpustakaan, karena serangan tentara

Mongol yang mengancurkan kota Bagdad, hilangnya budaya berfikir rasional

dikalangan umat Islam, dan Serangan Al-Ghazali pun turut membuat hilangya

budaya berpikir ilmiah di kalangan umat Islam, karena Imam Al Ghazali

mengkritik para filsuf dan tokoh rasionalis seperti Al-Farabi dan Ibnu Sina

yang dikemukakannya dalam buku Tahafut al-Falasifah (Nizar, 2008: 233-

234, Zuhairini, 2006: 109).

Adapun faktor penyebab kemunduran lainnya yang terjadi di atas

akibat dikotomi adalah. Pertama, pihak kaum pendukung ilmu-ilmu agama

menganggap ilmu-ilmu umum itu bid‟ah atau haram dipelajari karena berasal

dari orang-orang kafir, sementara para pendukung ilmu-ilmu umum

menganggap ilmu-ilmu agama sebagai mitologi yang tidak akan mencapai

tingkat ilmiah, karena tidak bersifat empiris (Kartanegara, 2003: 2). Kedua,

adanya kesenjangan tentang sumber ilmu antara ilmu-ilmu agama dan ilmu-

ilmu umum yakni, munculnya perbedaan antara ilmu-ilmu agama dan ilmu-

ilmu umum. Pada umumnya pendukung ilmu-ilmu agama hanya akan

menganggap valid sumber Ilahiah dalam bentuk kitab suci yakni Al-Qur‟an

dan Hadis dan menolak sumber-sumber non-skripual sebagai sumber otoritatif

Page 26: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

4

untuk menjelaskan kebenaran sejati atau akidah. Di pihak lain ilmuwan-

ilmuwan sekuler hanya menganggap valid informasi yang diperoleh melalui

pengamatan inderawi atau dapat dibuktikan secara ilmiah (Kartanegara, 2005:

22-23). Ketiga, berkenaan dengan objek-objek ilmu yang dianggap “sah”, bagi

kaum sains modern segala objek yang bisa di observasi dianggap sah.

Sedangkan, para pendukung ilmu-ilmu agama justru sebaliknya, objek-objek

yang non-fisik (metafisik) seperti Tuhan, malaikat sebagai objek-objek yang

mulia, yang mana bagi yang mempelajarinya akan menemukan kebahagiaan.

Keempat, munculnya disintegrasi pada tatanan klasifikasi ilmu. Kelima,

menyangkut metode ilmiah. Sains modern seperti dikatakan oleh Zainuddin

Sardar, pada dasarnya hanya mengenal satu metode ilmiah yang disebut

metode observasi atau eksperimen. Sedangkan kaum agamis, mengembangkan

metode-metode yang menjauhkan umatnya dari menggunakan pengamatan

indra dan juga penalaran akal dalam ilmu-ilmu agama (Kartanegara, 2005: 8-

9). Keenam, sulitnya mengintegrasikan berbagai pengalaman manusia,

khususnya indera, intelektual, dan intiusi sebagai pengalaman-pengalaman

legitimate dan real dari manusia. Sains modern dengan bias positivistisnya

yang kuat sering menganggap tidak objektif seluruh pengalaman manusia

selain pengalaman indrawi. Sedangkan kaum agamis dengan penekanannya

yang kuat terhadap pengalaman mistik dan religious, yang memuncak pada

kenabian dan pewahyuan, para ulama sering mengabaikan pentingnya

pengalaman inderawi dan rasional, sebagaimana yang digeluti dalam bidang-

bidang filsafat dan ilmiah, sehingga terjadi ketimpangan yang akut dalam

memberikan penekanan terhadap pengalaman indrawi (Kartanegara, 2005: 8-

9).

Kebenaran di atas, penulis maksudkan adalah dalam hal akidah, satu-

satunya sumber yang otoritatif untuk mencapai kebenaran melalui al-Qur‟an

dan al-Hadits, sedangkan akal tidak mampu mengetahui mana yang baik atau

yang buruk, karena informasi tentang itu hanya bisa dicapai melalui kitab suci

bukan dalam hal ilmu pengetahuan.

Bahwasanya sains modern Barat sering menganggap rendah setatus

keilmuan dari ilmu-ilmu keagamaan, bahkan ketika yang terakhir berbicara

tentang hal-hal ghaib maka ilmu agama tidak bisa dipandang ilmiah. Karena

ilmu-ilmu tersebut dikatakan ilmiah apabila objek-objeknya bersifat empiris,

padahal ilmu-ilmu agama pasti akan berbicara ihwal yang gaib, seperti Tuhan,

Malaikat dan sebagainya sebagai pembicaraan yang pokok mereka.

Bahkan dalam pandangan Syafi‟i Ma‟arif yang dikutip oleh Moh.

Sofwan mengatakan bahwa:

Pendidikan Islam telah melahirkan dua pola pemikiran yang

kontradiktif. Keduanya mengambil bentuk yang berbeda, baik pada

aspek materi, sistem pendidikan atau dalam bentuk kelembagaan

sekalipun. Dua model yang dimaksud adalah pendidikan Islam yang

Page 27: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

5

bercorak tradisionalis (ketimuran), yang dalam perkembangannya lebih

menekankan aspek doktriner-normatif yang cendrung eksklusif-

apologestis. Adapun model yang kedua adalah pendidikan Islam yang

modernis (ala barat) yang pada perkembangannya ditenggarai mulai

kehilangan ruh-ruh mendasarnya (trasendental)” (Sofwan, 2004: 6).

Implikasi dari anggapan ini terhadap paradigma umat Islam, ternyata

menimbulkan konsekuensi yang tidak baik. Tidak sedikit umat Islam

berlomba-lomba untuk menjadi beriman atau orang alim dengan mempelajari

ilmu agama saja, dengan alasan untuk tujuan akhirat dan mengabaikan ilmu

umum. Dampak yang terjadi yakni sedikit sekali umat Islam yang mempelajari

perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), padahal hal tersebut

adalah cerminan dari budaya yang maju pada sebuah bangsa atau negara.

Pada akhirnya perkembangan iptek dikuasai oleh orang-orang Barat,

dimana sebelumnya Barat pernah di tutupi kegelapan atau disebut The Dark

Age, akibat dari otoriter gereja, yang menjadikan agama Kristen menjadi

agama resmi Negara dan berkuasa (Burn, 1964: 37), (Paus dan pemuka-

pemuka agama Kristen kala itu menetapkan beberapa teori ilmu pengetahuan

dan mensucikannya sehingga menjadi teori yang tidak terbantahkan. Siapa pun

yang menentang otoriter gereja akan menghadapi pengadilan di mahkamah

gereja (inkuisisi) (Burn, 1964: 246-247).

Akhirnya, masa kejayaan yang pernah terjadi, sebutan untuk umat

Islam tidak lebih dari sekedar kaum tradisional, atau sebutan lain yang terkesan

ortodok. Sementara umat Islam sedang mencapai puncak kejayaannya. Hampir

semua disiplin ilmu pengetahuan sudah dikembangkan. Mulai dari ilmu eksak

seperti matematika, fisika, kimia, astronomi, optik, teknik, hingga ilmu-ilmu

non-eksak seperti politik, ekonomi, sosial dan budaya. Lebih dari sepuluh abad

(dari abad 6 M hingga 16 M) umat Islam menguasai kemajuan iptek dan

menjadi penghulu bagi dunia saat itu (Titus, 1985: 36).

Kejadian di atas, demikian jelas sangat bertolak belakang dengan

keadaan yang pernah terjadi pada pada zaman Nabi Muhammad SAW dan para

sahabatnya. Mereka sangat menghargai dan mencintai ilmu pengetahuan,

sebagaimana ilmuan Muslim pada masa tabi‟in atau sesudahnya.

Al-Qur‟an dan al-Sunah sesungguhnya tidak membedakan antara ilmu

agama Islam dan ilmu-ilmu umum. Yang ada dalam al-Qur‟an adalah ilmu.

Sedangkan pembagian adanya ilmu agama dan ilmu umum sejatinya

merupakan hasil dari kesimpulan manusia yang mengidentifikasikan

berdasarkan objek kajiannya. Tergantung ontologisnya yang dibahas

berdasarkan pada wahyu seperti; Fiqih, Tafsir, Tasawuf dsb. ataukah pada

alam jagat raya atau berdarkan pada pengamatan dan eksperimen seperti;

fisika, biologi, kimia, astronomi dsb (Kartanegara, 2005: 16). Dengan

demikian para ulama, baik di era klasik maupun kontemporer, selama mereka

Page 28: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

6

berpedoman kepada al-Qur‟an dan al-Sunah yang mendorong mengembangkan

ilmu pengetahuan, tradisi ilmiah yang kuat, dukungan dari penguasa, stabilitas

politik, struktur sosial dan pendidikan yang turut mewarnainya, baik formal,

nonformal dan informal.

Sejarah telah membuktikan bahwa umat Islam mampu menguasai ilmu

pengetahuan, sains dan teknologi melebihi atau melampaui kemampuan umat

sebelumnya dan umat yang lain sezamannya. Umat Islam mampu menguasai

ilmu kedokteran, ilmu perbintangan, ilmu pasti, ilmu alam, ilmu hitung dan

berbagai disiplin ilmu lainnya. Semua hal itu tidak terlepas dari peran dan

aktivitas para ilmuwan muslim yang selalu menggali, mendalami, memahami

serta mencari berbagai rahasia alam dan ilmu pengetahuan yang tersimpan

dalam al-Qur‟an. Para ilmuwan muslim menempatkan al-Qur‟an sebagai

sumber juga sebagai paradigma kerangka berpikir dalam mengembangkan

ilmu pengetahuan dan teknologi. Banyak berbagai penemuan para ilmuwan

muslim yang sangat mengagumkan dalam dunia sains dan teknologi.

Dalam tradisi intelektual Islam, pendidikan telah lama dikenal yaitu

sejak awal Islam. Pada masa awal, pendidikan identik dengan upaya da‟wah

Islamiyah, karena itu pendidikan berkembang sejalan dengan perkembangan

agama itu sendiri. Fazlur Rahman, menyatakan kedatangan Islam membawa

untuk pertama kalinya suatu instrumen pendidikan tertentu yang berbudayakan

agama, yaitu al-Qur‟an dan ajaran ajaran nabi Muhammad sendiri

(Rahman,2000: 263). Tetapi, perlu digaris bawahi pula, bahwa pada masa awal

perkembangan Islam, tentu saja pendidikan formal yang sistematis belum

terselenggara (Syalabi, 1954: 1). Bahkan keadaan pada saat umat Islam

mengalami puncak kejayaan yang sangat luar biasa, di zaman dinasti

Abbasiyah. Umat Islam menoreh prestasi yang gemilang di mata dunia.

Perubahan tersebut terjadi setelah tahun 750 M.

Konesp paradigma mengembangkan ilmu pengetahauan dalam Islam,

sebagaimana yang dipraktikan para ulama dan ilmuan Islam di zamna klasik

(Nata, 2012: 4-5). Gerakkan membangun ilmu secara besar-besaran dirintis

oleh khalifah Ja‟far al-Mansur dinasti Abbasiyah. Setelah ia mendirikan kota

Baghdad (144 H/762 M) dan menjadikannya sebagai ibu kota Negara. Ia

menarik banyak ulama dan para ahli dari berbagai daerah untuk datang dan

tinggal di Baghdad. Ia merangsang usaha pembukuan ilmu agama, seperti

fiqih, tafsir, tauhid, sejarah. Akan tetapi yang lebih mendapat perhatian adalah

penerjemahan buku ilmu yang berasal dari luar (al-Gurabi, 1954: 137). Strategi

penguasa daulah Abbasiyah, oleh karenanya banyak memperkerjakan kaum

terpelajar sebagai staff pemerintahan (Jenggis, 2011: 51).

Di sisi lain masa puncak kejayaannya, umat Islam menguasai

peradaban dunia, di mana pada saat itu negara-negara barat masih berada

dalam kegelapan (the dark age) atau lebih tepatnya hampir mendekati pada

kehancuran (Dawson, 1962: 151). Negara-negara Barat umumnya masih dalam

Page 29: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

7

cengkeraman pengaruh dogma-dogma gereja yang amat sangat otoriter, jika

dilihat secara politis sebenarnya dalam rangka melindungi kekuasaan kerajaan.

Semua orang yang berpikir kritis, meskipun hasil pemikiran ilmiah, yang

berguna untuk ilmu pengetahuan dan kemajuan, tetapi berbeda dengan paham

yang dianut gereja selama ini, diberantas, bahkan tidak sedikit yang akhirnya

dihukum mati karenanya karena tidak sepaham oleh peraturan yang dibuat oleh

gereja (Jenggis,2011: 55). Pertentangan gereja ini mencapai puncaknya di

tahun 1616 (Hart, 1982: 56).

Hal tersebut pernah terjadi pada ilmuwan Barat yang bernama Galileo

Galilei pada tahun1042 M, saat itu Galileo dipaksa merubah keyakinannya

tentang Heliocentris karena bertentangan dengan paham gereja yang menganut

paham Geocentris. Paham Heliocentris adalah paham yang menyatakan bahwa

dalam tata surya, bumi mengelilingi matahari, yakni matahari sebagai pusat

peredaran. Sedangkan Geosentris meyatakan bahwa bumi sebagai pusat

peredaran, planet-planet lain termasuk matahari mengelilingi bumi (Ahmed,

1997: 5). Galileo Galilei merupakan tokoh utama selain Descartes yang

melakukan matematisasi alam. Ia mentransformasikan buku tentang alam, yang

telah dianggap oleh umat Islam, Kristen, Yahudi berabad-abad lamanya

sebagai tanda-tanda Allah (sign of god), kedalam sebuah buku matematika

yang dipahami oleh pengetahuan matematis-bawaan pikiran manusia. Di satu

sisi juga mengidentifikasi bahwa paradigma dikotomis yang nondiskriminatif

dapat membawa pada penyatuan ilmu (Nasr, 1996: 136). Pemikiran Galileo

ternyata sejalan dengan perkembangan zaman dan sesuai dengan apa yang

terdapat dalam kitab suci Al-Qur‟an (Ahmed, 2000: 7).

Dalam masa rezim dan kekuasaan Islam di kala kejayaannya, pada

masa dinasti Abbasiyah, pemerintahan Islam justru memfasilitiasi transformasi

ilmu pengetahuan. Perkembangan ilmu pengetahuan sangat pesat.

Penterjemahan terhadap karya-karya ilmu pengetahuan Yunani dilakukan

besar-besaran. Di mana Yunani sudah memiliki banyak kemajuan dalam kajian

teori, namun belum dapat dikembangkan. Tokoh-tokoh besar yang memajukan

ilmu pengetahuan, baik di bidang ilmu-ilmu kedokteran, sosial dan ilmu pasti

muncul dari kalangan umat Islam. Merekalah yang menjadi pelopor ilmu

kedokteran, astronomi, sastra, aljabar, kimia, seni, sosial dan sebagainya.

Maka sudah sepantasnya umat Islam dapat menjadi pusat perhatian dunia,

karena peradaban yang sangat maju dan berkembang (Rahman, 2000: 104).

Para Cendikiawan muslim bukan hanya menguasai ilmu pengetahuan

dan filsafat yang mereka pelajari dari buku-buku Yunani, tetapi menambahkan

ke dalamnya hasil-hasil penyelidikan yang mereka lakukan sendiri dalam

lapangan falsafat. Dengan demikian timbulah ahli-ahli ilmu pengetahuan dan

filosof-filosof Islam. Filsof-filsof Islam, sebagaimana halnya dengan filosof-

filosof Yunani, bukan hanya mempunyai sifat filsof, tetapi juga sifat ahli ilmu

pengetahuan. Karangan-karangan mereka bukan hanya terbatas dalam lapangan

Page 30: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

8

falsafat, tetapi juga lapangan ilmu pengetahuan (Nasution, 1985: 71).

Penerjemahan buku-buku Yunani merupakan salah satu faktor dalam gerak

intelektual yang dibangkitkan dalam dunia Islam abad ke-9 dan terus berlanjut

sampai abad ke-12 (Saefuddin, 2002: 8).

Ironisnya ketika dalam puncak kejayaannya, umat Islam justru terbawa

derasnya arus kebudayaan, yaitu proses dari akibat akulturasi atau mungkin

juga diakibatkan karena kekurang kehati-hatian umat muslimin itu sendiri

terhadapnya. Mereka telah memasukkan ke dalam ilmu-ilmu yang mereka kaji,

teori-teori yang bertentangan dengan ajaran Islam, sepertiyang telah diuraikan

oleh Al-Ghazali dalam bukunya Tahâfut al-Falâsifah (Kehancuran para

Filsuf). Buku tersebut dibuat karena berkecamuk pemikiran bebas yang

membuat banyak orang meninggalkan ibadah (Majid (ed), 1984: 33).

Akhirnya, terjadi pulalah pertentangan yang hebat di kalangan ilmuwan Islam

dan tokoh agama Islam (Zaini, 1989: 9).

Menurut Fuad al-Ahwani dalam bukunya berjudul Filsafat Islam,

mengatakan:

Pertentangan sebenarnya berawal sejak terjadinya percampur adukan

antara ilmu filsafat dan ilmu kalam setelah abad 6 H. Ilmu kalam

menelan mentah-mentah kaidah-kaidah ilmufi lsafat yang kemudian

dituangkan ke dalam berbagai buku dengan nama ilmu tauhîd, yakni

pembahasan problem ilmu kalam dengan menekankan penggunaan

semantik (logika) Aristoteles sebagai metode, sama dengan metode

yang ditempuh kaum filosof (Ahwani , 1985: 22).

Sejak saat itu, sampai berabad-abad lamanya umat Islam tidak mau

mendekati ilmu filsafat yang dianggap dapat membawa kepada kekafiran dan

atheisme. Hal ini juga semakin diperparah oleh beberapa ulama yang kemudian

mengeluarkan fatwa-fatwa yang mengharamkan ilmu pengetahuan, terutama

ilmu filsafat, serta mengkafirkan orang yang mempelajari dan mengajarkannya.

Lebih parahnya lagi, orang-orang yang mempelajari dan mengajarkannya

ditangkap lalu dipenjarakan dan disiksa, serta buku-bukunya dibumi

hanguskan, seperti yang dialami oleh Al-Rukn dan Ibn Rusyd. Meskipun Ibnu

Rusyd sangat berhati-hati agar buku fiqih dan filsafatnya tidak menyinggung

orang lain, dengan mengemukakan pendapatnya secara tidak langsung, akan

tetapi tetap saja masih mendapat serangan yangbelum pernah di terima pemikir

sebelumnya. Ia dianggap kafir dan bukunya pun di bakar (Amin, 1995: 192).

Bahwasanya pemilahan (bukan pemisahan) antara ilmu agama dan ilmu

umum, meskipun dengan maksud dan arah yang mungkin tidak persis sama,

penulis juga mendapati cendikiawan muslim, seperti Al-Ghazali, Ibn Taimiyah,

Ibn Jama‟ah, Syafi‟i, Ibnu Khaldun al-Qabisi, dan al-Zarnuji, karena

kecenderungannya terhadap agama, perioritas terhadap ilmu umum dengan

Page 31: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

9

ilmu agama, sehingga memiliki implikasi pada tatanan paradigma keilmuan

masyarakat (Sopyan, 2010: 120-121).

Al-Ghazali dalam bukunya, Ihya „Ulûm al-Dîn, juga

mengklasifikasikan ilmu pengetahuan kepada dua macam ilmu, yakni (1) ilmu

syar‟iyyah, dan (2) ilmu ghairu syar‟iyyah. Ia memandang bahwa ilmu

syar‟iyyah adalah ilmu wajib yang tidak diragukan lagi dampak bagi

penuntutnya, sedangkan ilmu ghairu syar‟iyyah termasuk ilmu yang

diserahkan pencapaiannya kepada manusia melalui penangkapan

pancainderanya, penalaran hatinya dan penghayatan hatinya (al-Ghazali, t.t: 5).

Berbeda dengan ilmu syar‟iyyah yang bersifat wajib dan sudah jelas

kebenarannya, kebenaran ilmu-ilmu ini bersifat relatif yang tingkat

validitasnya masih sangat terbatas karena perbedaan pemaknaan dan penafsiran

setiap individu, sehingga tidak wajib mempelajarinya dan tergantung kepada

minat masing-masing individu. Sedangkan dalam kitab al-Mustashfa miliknya,

dalam kitab ini menjelaskan bahwa Ghazali mengkalisifikasikan hukum agama

harus diambil dari ajaran-ajaran wahyu bukan dari akal manusia. Pemikiran ini

merupakan bentuk antisipatif terhadap pemikiran Mu‟tazilah yang menyatakan

bahwa akal manusia termasuk sumber syari‟at Islam.

Dalam sejarah Islam memang didapati bahwa dalam perjalanan rezim

dan politik Islam telah mengalami suatu kejadian yang memicu resistensi umat

Islam terhadap ilmu-ilmu non-agama. Ketika al-Ma‟mun berkuasa, ia

meneruskan jejak ayahnya (Harun al-Rasyid) dengan mendirikan Baitul al

Hikmah (Yunus, 1992: 62-63). suatu lembaga perguruan tinggi dan memiliki

perpustakaan rasional untuk kegiatan penelitian dan penterjemahan pada 830

M. (Asrorah, 1992: 30), (Nasution, 1985: 68). Kejadian-kejadian politis yang

bisa diketengahkan di antaranya adalah pada masa pemerintahan khalifahaAl-

Ma‟mun zaman dinasti Abbasiyah yang menerapkan Mihnah (ujian) bagi

orang-orang yang menempati posisi penting di pemerintahan, termasuk juga

para pemuka masyarakat. Hal ini terjadi karena khalifah Al-Ma‟mun yang

berpaham Mu‟tazilah kemudian menjadikan paham tersebut sebagai paham

resmi negara. Pada waktu itu, yang sedang hangat diperdebatkan adalah isu

tentang mempersoalkan apakah Al-Qur‟an itu bersifat qodim atau tidak. Istilah

lainnya adalah apakah Al-Qur‟an itu makhluk atau bukan? (Zahra, 1996: 176).

Yang tergolong persoalan yang memunculkan mahkamah pemeriksaan yang

pertama dalam sejarah Islam. Dalam kondisi tersebut, jika keadaan Negara

(daulah) lemah, maka akan muncul banyak fitnah dan mihnah, sehingga

hilanglah persaudaraan dan persatuan di kalangan umat Islam dan sebalinya

menjadi permusuhan (Al-Sayyis, t.t: 111).

Fenomena politik khalifah al-Ma‟mun dalam pemaksaan paham

Muta‟zilah dalam persepektif teori analisis diskursus kemunculan sebuah

institusi, praktik dan konsep hangat terkait dengan empat hal: will (keinginan),

power (kekuasaan), discipline (disiplin) dan regime (pemerintahan) (Zahrah,

Page 32: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

10

1996: 175). Hal tersebut dikenal dengan sebutan formasi diskursif (discursive

formations), bangunan yang mendasar adanya sebuah diskursus. Analisis

diskursus ini memberikan pemahaman, bahwa khalifah al-Ma‟mun

menginginkan ilmu pengetahuan yang berkembang tetap terkontrol dan

dibatasi oleh pemerintah dan paham Mu‟tazillah sebagai tamengnya (Al-

Sayyis, t.t: 509).

Akan tetapi akibat peristiwa Mihnah tersebut, banyak pemuka-pemuka

Islam dari ahli fiqh dan hadits yang disiksa karena tidak sejalan dengan paham

al-Ma‟mun yang menyatakan bahwa al-Qur‟an tidak qadim atau al-Qur‟an

adalah makhluk (Zahrah, 1996: 176).

Hal ini jelas menyulut kemarahan umat Islam kala itu. Implementasi

ajaran Mu‟tazilah yang dipengaruhi filsafat dan bersifat rasional, telah

menimbulkan peristiwa yang menyakitkan mayoritas umat Islam, sehingga

mereka membenci dan menentang ilmu-ilmu yang bersifat rasional. Puncaknya

atau klimaksnya, umat Islam kemudian menjauhi dan membenci semua ilmu

non-agama kecuali sebagian kecil saja seperti ilmu hitung (hisab) karena

diperlukan dalam ilmu faraidh (ilmu pembagian pusaka atau waris) (Hanafi,

1996:19). Akan tetapi umat Islam yang eksis pada era kontemporer ini

berhutang kepada khalifah al-Ma‟mun karena dia adalah khalifah yang paling

banyak perhatiannya pada perkembangan ilmu pengetahuan, maka layak jika

kahlifah al-Ma‟mun disebut sebagai khalifah sains. Bahkan ia yang pertama

kali mendirikan gerakan pemikiran dalam sejarah, sekaligus pemakarsa paling

besar dalam penerjemahan buku-buku berbahasa Yunani dan Suryani (Masood,

2009: 46).

Al-Ma‟mun ingin umat Islam maju dalam segala hal, terutama dalam

ilmu pengetahuan. Ia mengajak umat Islam agar selalu menggunakan akal

berfikir. Oleh karena itu dengan adanya Mihnah, al-Ma‟mun agak keras

terhadap umat Islam, terutama masalah qodariyah. Akan tetapi yang

mendikotomi ilmu bukanlah al-Ma‟mun, karena sudah jelas arah dan tujuannya

agar umat Islam maju dengan menggunakan akal berfikir rasional, dan orang

yang membuat menjauhi ilmu adalah orang-orang setelah al-Ma‟mun yang

tidak suka dengan cara al-Ma‟mun.

Seorang pakar sejarah sains dari universitas Harvad, Abdel Hamid

Sabra pernah menuturkan dalam Ahmad P. Jengis :

Gerakan penterjemahan karya-karya ilmiah dari bahasa Yunani dan

Suryani ke dalam bahasa Arab mewakili fase pertama dari tiga tahap Islamisasi

sains. Beliau menyebutkan:

Pertama. Sebagai fase peralihan atau akuisisi, di zaman sains Yunani

memasuki wilayah peradaban Islam bukan sebagai kekuatan penjajah,

melainkan sebagai tamu yang diundang. Kedua. Adalah fase

penerimaan atau adopsi, dimana Umat Islam mulai mengambil dan

menikmati karya-karya ilmiah yang dibawa sang tamu. Lahirlah orang-

Page 33: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

11

orang seperti Jabir ibn Hayyan, al-Kindi, dan Abu Ma‟asyar. Ketiga.

Tahap selanjutnya, fase asimilasi dan naturalisasi. Pada tahap ini umat

Islam bukan hanya sekedar menerima dan menikmati, tetapi juga mulai

mampu meramu dan mengolah karya-karya ilmiah sendiri, menciptakan

karya-karya baru, bahkan menyebarkan ke masyarakat luas. Inilah yang

ditunjukkan oleh al-Khawarizmi dan Umar al Khayyam dalam

Matematika, Ibnu Sina dan Ibn an Nafis dalam kedokteran, Ibn

Haytsam dan Ibn al Syatir dalam Astronomi, al Biruni dan al Idris

dalam Geografi, dan masih banyak lagi sederetan ilmuwan-ilmuwan

muslim lainnya (Jenggis P., 2011: 51-52).

Di samping itu, kejadian lainnya yang bisa dianggap besar pengaruhnya

adalah fatwa yang sangat keras dari peranan al-Asy‟ari dengan kapasitas

intelektualnya tentang hukum mempelajari ilmu filsafat, yang kemudian

menjadi pegangan penting bagi golongan Ahl al-Sunnah. Dengan meminjami

metode Mu‟tazilah, berhasil merumuskan paham Suni (Majid, 2000: 34).

Sebelumnya, memang beberapa tokoh sudah menghujat dan menentang ilmu

filsafat seperti Ibn Hazm, Al-Ghazali, Ibn Taimiyah dan Ibn Al-Qayyim, tetapi

pengaruhnya tidak sehebat pengaruh fatwa al-Asy‟ari (Zaini, 1989: 9).

Munculnya fatwa di atas secara otomatis pendidikan Islam kehilangan

dimensi dialektikal konkret kemanusiaan dan memunculkan dimensi vertikal

keabadian. Seharusnya antara kedua dimensi tersebut menjadi karakteristik

utama pendidikan Islam. Artinya, secara filosofis pendidikan Islam tidak hanya

menyentuh persoalan hidup yang multidimensional di dunia, tetapi juga

menyangkut dimensi transendental. Akan tetapi sejarah mencatat tidak

demikian.

Menurut Abuddin Nata, sejarah Islam mencatat bahwa sejak abad

pertengahan (13 M) sampai dengan awal abad modern (18M) perhatian umat

Islam lebih banyak tertuju pada ilmu-ilmu agama, moral, tasawuf sebagaimana

yang dikemukakan di atas. (Nata, 2012: 2). Sedangkan al Ghazali dan Ibn

Taimiyah, mengajak umat Islam untuk membangun kerangka berfikir

memahmai Islam secara benar. Al Ghazali dan Ibn Taimiyah mengemukakan

kesalahan terbesar ulama Islam adalah terseretnya pemikiran mereka dalam

arus pemikiran filsafat Yunani, dimana filsafat mengajarkan kemerdekaan

untuk berfikir bebas yang telah merusak pola berfikir umat Islam di bidang

kalam dan tidak mustahil akan merembet pula dalam pemikiran hukum Islam.

Bagi al-Ghazali pemikiran semacam itu akan berbahaya terhadap subtansi

ajaran Islam dan harus ditolak. Karena akan mengakibatkan budaya sekuler,

seperti, mempercayaai sepenuhnya akal dibandingkan dengan wahyu (Nata,

2012: 2). Kejadian ini terus berlanjut berabad-abad lamanya, hingga memasuki

abad ke-20 M. umat Islam baru menyadari adanya sesuatu yang telah hilang

dari mereka, yakni budaya mengeksplorasi ilmu pengetahuan.

Page 34: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

12

Munculnya Islam sebagai sebuah agama yang membawahi suatu tujuan

untuk memberikan kedamaian dan kesejahteraan bagi seluruh umat manusia.

Islam merupakan salah satu agama yang menekankan pentingnya ilmu

pengetahuan. Al-Qur‟an sebagai sebuah kitab suci telah memancarkan sinar

cahaya ilmu pengetahuan bagi para ilmuwan Muslim. Al-Qur‟an dijadikan

sebagai sumber dan kerangka berpikir dalam merenungkan kekuasaan Allah

dan mengembangkan ilmu pengetahuan, sains dan teknologi bagi para ilmuwan

Muslim.

Alam jagat raya adalah salah satu sumber ilmu pengetahuan, dengan

memahami dan mengkaji alam jagat raya maka para ahli akan menemukan

berbagai teori yang disusun menjadi ilmu pengetahuan alam (sains), seperti

ilmu tumbuh-tumbuhan (flora), makhluk hidup (biologi), binatang (fauna),

perbintangan dan planet (astronomi), benda cair dan keras (fisika), melalui

ilmu-ilmu murni ini lahir ilmu botani, kimia, kedokteran dan lain sebagainya.

Dengan menyadari alam sebagai ciptaan dan ayat Allah, maka manusia

semakin memahami alam dengan segala hukum, hikmah, dan rahasia yang

terkandung di dalamnya, maka manusia akan menyadari kelemahan dirinya

sekaligus bersyukur kepada-Nya. Dengan cara demikian seorang ilmuan

dengan ilmunya yang luas dapat digunakan, mengenal, mendekati, dan

mencintai Allah Swt. sebagaimana Ian Babour dikatakan dengan ungkapan

menemukan Tuhan dalam sains (Babour, 1997: 87).

Terjadinya perkembangan ilmu yang selanjutnya melahirkan paradigma

budaya dan peradaban, karena adanya faktor internal dan eksternal. Faktor

internal adalah faktor yang berasal dari ajaran Islam itu sendiri, yaitu al-Qur‟an

dan Sunah yang memerintahkan manusia menggunakan daya cipta (pikiran),

rasa (potensi batin), karsa (potensi fisik), yang digunakan untuk membaca,

menulis, dan meneliti baik yang bersifat bayani, burhani, ijbari, jadali maupun

irfani. Faktor yang bersifat internal ini dapat pula disebut faktor yang

disengaja, yakni Allah Swt. dan Rasul-Nya secara sengaja menjadikan Islam

sebagai agama ilmu pengetahuan, pendidikan, kebudayaan dan peradaban.

Adapun faktor eksternal adalah faktor yang berasal dari luar ajaran Islam,

yakni faktor yang sudah ada sebelum datangnya ajaran Islam yang dibawa oleh

Nabi Muhammad Saw. namuan demikian, dari segi pemanfaatnnya berbagai

faktor tersebut ada juga dilakukan secara sengaja, yakni dilakukan atau usaha,

dorongan dan dukungan dari khalifah yang berkuasa pada waktu itu.

Ketika para ilmuwan Muslim atau umat Islam mulai mengabaikan,

meninggalkan serta menjauhkan kajian al-Qur‟an yang mendalam dari aktivitas

keilmuan dan aktivitas kehidupan, maka di situlah titik awal kemunduran umat

Islam. Dan jika hal itu terus berlangsung sampai saat ini, dan kalau ada kajian-

kajian al-Qur‟an itu hanya sebatas kajian biasa bukan kajian yang mendalam.

Suatu kajian untuk menemukan rahasia alam dalam al-Qur‟an. Al-Qur‟an dan

hadits telah dijadikan sebagai dasar bagi semua aktivitas ilmiah dalam sejarah

Page 35: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

13

Islam.

Paradigma atau sudut pandang yang paling dominan dalam mendukung

pengembangan ilmu adalah faktor yang bersifat nonfisik, seperti faktor

motivasi dan niat yang tulus, kesungguhan dalam meneliti, orientasi kehidupan

yang lebih mengutamakan segi-segi yang bersifat inteletual, moral, dan

spiritual, serta penghargaan terhadap orang-orang yang mendalami ilmu

agama dan umum. Keadaan ini semakin diperkuat lagi oleh adanya dominasi

kekuasan dan pengaruh para ulama dan ilmuwan di masyarakat. Menurut

Abbuddin Nata, di masa sekarang saat dimana para ulama dan ilmuwan kurang

dihargai dan tergeser peran dan kedudukannya oleh kekuasaan para penguasa,

menyebabkan ukuran ketinggian suatu bangsa bukan lagi ilmu, moral dan

spiritual, melainkan hal-hal yang bersifat materialistic, hedonistik, kapitalistik,

dan skularistik yang di sertai dengan terjadinya kehancuran di bidang moral

dan akhlak mulia. Faktor-faktor yang bersifat nonfisik inilah yang saat ini

dapat dikatakan mengalami krisis, sehingga walaupun secara ekonomi,

teknologi dan keamanan sudah meningkat, namun tidak memiliki hubungan

yang signifikan dengan perkembangan gerakan intelektual (Nata, 2012: 18-19).

Paradigma sangat penting perannya dalam mempengaruhi teori, analisis

mau pun tindak perilaku seseorang (Sitanggang, Rinto, 2010:

“http://www.docstoc.com.). Karena paradigma sangat menentukan apa yang

tidak kita pilih, tidak ingin kita lihat, dan tidak ingin kita ketahui. Paradigma

pulalah yang mempengaruhi pandangan seseorang apa yang baik dan buruk,

adil dan yang tidak adil. Oleh karena itu, jika ada dua orang yang melihat

sesuatu realitas sosial yang sama, akan menghasilkan pandangan, penilaian,

sikap dan perilaku yang berbeda pula. Perbedaan ini semuanya dikarenakan

perbedaan paradigma yang dimiliki, yang secara otomatis memengaruhi

persepsi dan tindak komunikasi seseorang.

Berdasarkan dari latar belakang di atas, penulis sekiranya memandang

bahwa persoalan pengembangan terhadap ilmu dalam pendidikan Islam adalah

kunci permasalahannya terhadap kemajuan atau kemundurannya umat Islam,

karena pandangan seseorang terhadap ilmu pengetahuan akan menentukan

sikapnya ke depan, apakah ia akan mengutamakan, akan menganggap biasa-

biasa saja, atau bahkan akan sangat tidak peduli dan meninggalkannya. Itu

semua menjadi semacam spirit kehidupan bagi berkembanganya budaya

eksplorasi ilmu pengetahuan untuk masyarakat Islam.

Jika melihat daripada paradigma dengan meninjau ulang sejarah

keilmuan abad pertengahan (antara abad 8-12), maka dapat didapati bahwa

ilmu pengetahuan berkembang dibangun oleh ilmuwan Islam dengan sangat

pesat, bahkan mewarnai dunia saat itu. Tradisi keilmuan berkembang hingga

mampu melahirkan karya-karya besar dan monumental. Padahal jika diukur

dengan kondisi infra struktur yang ada saat itu belum cukum memadai dan

kurang mendukung bagi perkembangan keilmuan tersebut. Akan tetapi, meski

Page 36: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

14

demikian bagaimana itu dapat terwujud? Apa sebetulnya yang mendorong

perkembangan ilmu sejak saat itu? Apakah karena epistemologinya, ontology

atau aksiologi yang benar? Oleh karena itu, dengan segala keterbatasan yang

ada, penulis mencoba meneliti tentang Paradigma pengembangan ilmu pada

zaman al-Ma‟mun priode klasik melalui adanya pengembangan dari fenomena-

fenomena alam jagat raya yang menghasilkan ilmu alam (natural sciencis).

Penulis mencoba memaparkannya melalui pendekatan perspektif sejarah Islam

(Islamic historical perspective), dimana perkembangan ilmu pengetahuan

dalam Islam pada puncaknya dengan mengetengahkan judul “Paradigma

Pengembangan Ilmu Zaman Al-Ma‟mun (813 -833 M)”.

B. Permasalahan

1. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas dapat di identifikasi permasalahan

sesuai dengan judul penelitian ini, maka dapat di identifikasikan beberapa hal,

diantaranya:

a. Siapakah sebenarnya al-Ma‟mun itu?

b. Paradigma atau sudut pandang bagaimanakah pengembangan ilmu

pengetahuan yang ada pada zaman al-Ma‟mun itu?

c. Apakah yang dimaksud dengan paradigma pengembangan ilmu?

d. Bagaimana peranan atau langkah-langkah apa saja yang dilakukan al-

Ma‟mun dalam mengembangkan peradaban Islam di era klasik?

e. Tradisi intelektual yang berkembang bagaimanakah di zaman al-Ma‟mun?

f. Ilmu pada fenomena apa saja yang berkembang pada masa kepemimpinan

al-Ma‟mun?

g. Institusi-institusi apa saja yang berkembang pada kepemimpinan al-

Ma‟mun?

h. Bagaimanakah peranan ulama dan ilmuan dalam mengintegrasikan ilmu

pengtahuan?

2. Pembatasan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah yang didapatkan, agar tidak

meluasnya pembahasan dalam penelitian ini, maka akan dibatasi hanya pada :

a. Biografi al-Ma‟mun

b. Paradigma Pengembangan sains

c. Pengembangan institusi-institusi pendidikan Islam pada zaman al-Ma‟mun

d. Tokoh-tokoh yang berperan dalam pengembangan ilmu pada pemerintahan

zaman al-Ma‟mun

e. Tradisi intelektual yang berkembang

f. Langkah-langkah al-Ma‟mun dalam mengembangkan sains

g. Hasil pencapaian al-Ma‟mun dalam mengembangkan ilmu pengetahauan

Page 37: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

15

h. Pengembangan sains dan pengaruhnya terhadap kemajuan Masyarakat

Islam

i. Ilmu-ilmu yang integrated (Tauhid) berdasarkan pada fenomena alam

3. Perumusan Masalah

Setelah membatasi permasalahan di atas main research question pada

penelitian ini adalah “Paradigma Pengembangan Ilmu bagaimanakah yang di

kembangkan atau digunakan pada zaman al-Ma‟mun? maka sub dari

permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan dalam pertanyaan-

pertanyaan sebagai berikut:

a. Siapakah al-Ma‟mun itu?

b. Apa yang dimaksud paradigma pengembangan sains?

c. Langkah-langkah apa saja yang dilakukan al-Ma‟mun dalam

mengembangkan sains?

d. Hasil bagaimanakah, yang dapat dicapai al-Ma‟mun dalam mengembangkan

sains ?

C. Tujuan Penelitian

Sejalan dengan rumusan permasalahan dalam penelitian ini, maka

tujuan yang diharapkan dari penelitian ini adalah:

1. Mengungkap fakta tentang pengaruh paradigma pengembangan terhadap

sains dalam sejarah pendidikan Islam pada zaman al-Ma‟mun.

2. Menganalisis secara kritis fakta sejarah tentang Paradigma pengembangan

ilmu pengatahuan dan pengaruhnya dalam pendidikan Islam, kemudian

menjadikannya sebagai pelajaran yang berharga bagi umat Islam terutama

dalam mengelola sistem pendidikannya.

3. Menemukan akar-akar sejarah tentang proses terjadinya pengembangan

sains pengetahuan dalam pendidikan Islam pada priode klasik khususnya

pada zaman al-Ma‟mun.

D. Manfaat dan Kegunaan Penelitian

Manfaat atau signifikansi penelitian ini, seiring dengan semangat yang

diharapkan dari tujuan penelitian,maka manfaat yang diharapkan dari

penelitian ini diantaranya:

1. Menjelaskan sejarah tentang paradigma pengembangan ilmu dan

pengaruhnya dalam pendidikan Islam, serta kontribusinya yang sangat

berharga bagi Masyarakat Islam terutama dalam sistem pendidikan Islam.

2. Memberikan informasi tentang sejarah atau proses pengambangan sains

pengetahaun dalam pendidikan Islam zaman klasik.

3. Mengetengahkan informasi tentang fakta pengaruh paradigma

pengembanagn terhadap ilmu dalam sejarah pendidikan Islam.

Page 38: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

16

4. Wacana dan pelajaran yang berharga bagi perkembangan dan kemajuan

pendidikan Islam, khususnya pendidikan Islam di Indonesia.

E. Kajian Pustaka

Ada Beberapa tulisan yang membahas tentang tema, yaitu “Upaya-

upaya integrasi ilmu, seperti tulisan dari karya ilmiah “Asnawi dalam Integrasi

Ilmu Agama dan Ilmu Umum (Studi Komparasi Pola Pembelajaran antara

Pesantren Tradisional Plus dan Pesantren Modern)”dan tulisan “Abuddin

Nata” dalam Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum. Dalam tulisan ini memuat

hal ihwal Paradigma pengembangan Ilmu berdasarkan pada objek ontologis

yang dibahas adalah wahyu (al-Qur‟an) dan hadits, dengan menggunakan

metode ijtihad, maka akan menhasilkan ilmu-ilmu agama. (Asnawi, Tesis,

2010: tidak dipublikasikan, Nata, 2003).

Selanjutnya tulisan Affandi Mochtar, dkk dalam “Paradigma Baru

Pendidikan Islam”. (Mochtar, dkk., 2008). Dalam tulisan tersebut

membicarakan pola pengembangan baru dalam pendidkan Islam di Indonesia

melalui pengalaman yang berharga yang pantas untuk di implementasikan

secara komperhensif dan intensif di perguruan tinggi khususnya. Lalu tulisan M. Zainuddin, dalam “Paradigma Pengembangan

Pendidikan Islam: Menyiapkan Generasi Ulul Albab”. Dalam tulisan tersebut

berbicara tentang konsep integrasi ilmu dan agama dalam pendidikan Islam,

dengan menyiapkan generasi ulul albab yang dapat bermanfaat bagi

pengembangan ilmu pengetahuan dan memiliki kontribusi bagi lembaga

pendidikan Islam. (Zainuddin, 2008).

Selanjutnya tulisan Latifudin, dalam “Paradigma Pendidikan

Multikultural dalam Pendidikan Islam”. Tesis karya Latifudin mengungkapkan

Pola pendidikan multicultural berbasis agama akan mendorong terciptanya

budaya toleransi dengan memadukan model-model pengembangan ilmu sains

dan agama di sekolah maupun di masyarakat. (Latifudin, Tesis, 2008. tidak

dipublikasikan)

Kalau sekiranya juga hendak dipaksakan untuk dipersamakan secara

obyek dan waktu penelitian, yakni penelitian sejarah tentang paradigma

pengembangan ilmu terhadap umat Islam terhadap ilmu adalah kejadian atau

peristiwa Mihnah di zaman pemerintahan Dinasti Abbasiyah pada masa

pemerintahan khalifah al-Ma‟mun. Tentang bahasan peristiwa Mihnah secara

khusus dan mendalam, penulis dapati satu tulisan, yakni tesis karya Didin

Izzuddin dengan judul “Mihnah dan Politisasi Teologi: Studi Sejarah dan

Politik”. (Izzuddin, Tesis, 2000:. tidak dipublikasikan. Kesimpulannya, Didin

Izzuddin mengungkapkan bahwa peristiwa Mihnah adalah lebih sebagai

peristiwa politis daripada teologis yang diterapkan oleh al-Ma‟mun. Dimana

al-Ma‟mun berkeinginan umat Islam maju dengan menggunakan akal dan

dengan hal tersebut dapat mengembangkan ilmu pengetahuan.

Page 39: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

17

Kemudian dalam tulisan lainnya, penulis menemukan satu karya yang

membahas khusus tentang pengembangan ilmu adalah tulisan singkat Ahmad

Choirul Rofiq, Jurnal Studi Keislaman, “Ulumuna”, Signifikansi Teori-teori

Popper, Khun, Lakatos terhadap Pengembanagn Ilmu-Ilmu Keislaman”.

Dalam tulisan tersbut ia menjelaskan bahwa pada waktu masyarakat

Barat memasuki zaman kegelapan (dark age) dan berada pada titik nadir,

ironisnya pendulum ilmu pengetahuan berpindah kepada umat Islam yang

mampu meraih masa keemasan. (the golden age). Pada waktu itu peradaban

Islam mencapai puncaknya kejayaannya. Gerakan penerjemah karya-karya

filsafat dan ilmu pengetahuan berharga dari bahasa Yunani, Syiria, Sanskrit,

Pahlavi, kedalam bahasa Arab. terutama yang paling impresif adalah pada

,masa pemerintahan khalifah al-Ma‟mun (813-833 M) dengan Bayt al-Hikmah

yang pada mulanya adalah pusat penerjemahan dan penelitian yang kemudian

menjadi sebuah akademi yang sangat besar. (Rofiq, 2010: Jurnal Studi

Keislaman,Vol.IXV,No.1). Kegiatan penerjemahan itu sangat intensif.

Aktifitas ilmiah dikonsentrasikan dipusat-pusat kota metopolitan, misalnya

Baghdad, Damaskus, Aleppo, Qayrawan, Fez, dan Kairo di bawah naungan

dan sepenuhnya di dukung oleh pemerintahan Islam, sehingga berhasil

mentransfer ilmu dan peradaban lain serta selanjutnyaya mengembangkannya

dengan penuh kegemilangan. Kesuksesannya terbukti dengan penuh dan

banyaknya ilmuan yang hasil pemikirannya kemudian dimanfaatkan oleh Barat

sejak abad XII. (Nakosteen, 1964:144-5).

Dalam tulisan tersebut menjelaskan bahwa al-Ma‟mun memusatkan

perhatian terhadap pengembangan ilmu pengetahuan melalui penterjemahan

sampai menemukan dan mengembangkan ilmu pengetahuan dari pusat

peradaban di kota-kota taklukkan Abbasiyah.

Dalam penelitian ini memiliki distingsi atau perbedaan terhadap

penelitian-penelitian sebelumnya, jika penelitian sebelumnya membicarakan

politik pemerintahan al-Ma‟mun dengan menerapkan Mihnah, lalu ada juga

yang membicarakan pengembangan ilmu antara ilmu pengetahuan agama dan

umum, lalu ada juga yang membicarakan tentang Paradigma Baru Pendidikan

Islam, dan ada juga yang membicarakan tentang paradigma pengembangan

ilmu melalui metode Ijtihad dari wahyu dan hadits dan Integrasi ilmu agama

dan umum, maka kelebihan daripada penelitian ini lebih memfokuskan pada

“Paradigma atau Pola Pengembangan yang bersifat Integrated yang berbasis

pada tauhid di zaman al-Ma‟mun dengan focus penelitian pada fenomena-

fenomena ilmu alam jagat raya”. Dibawah ini adalah sumber-sumber dari kitab-kitab sejarah dalam

penelitian ini diantaranya adalah sebagai berikut:

1. “Al-Kâmil fi al-Târîkh” oleh Ibn Atsir.

2. “Târîkh Al-Umam wa al-Mulk” oleh Al-Thabari

Page 40: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

18

3. “Dhuhâ al-Islam”oleh Ahmad Amin.

4. “Al-Maushu‟ah al-Târîkh al-Islâmî wa al-Hadharah al-Islâmiyyah”

oleh Ahmad Syalabi

5. “Târîkh al-Madzâhib al-Islâmiyyah”oleh Abu Zahrah.

6. Fajar Islam oleh Ahmad Amin

Jenis kitab-kitab diatas ini pun sama-sama menampilkan persoalan

Pengembangan ilmu dalam bentuk uraian tentang madzhab dan aliran teologis.

Meskipun demikian, semua referensi tersebut adalah referensi yang berharga

bagi penulis untuk lebih akurat dalam melacak sumber data sejarah tentang

Paradigma Pengembangan ilmu pada zaman al-Ma‟mun.

F. Metodologi Penelitian

Dalam penulisan ini mengikuti sedikitnya empat langkah pokok dalam

metodologi penelitian sejarah, yakni dengan:

1. Heuristic,yaitu mencari dan mengumpulkan obyek atau gambaran dari

suatu zaman secara menyeluruh tentang data, fakta dan peristiwa yang

sebenarnya mengenai obyek penelitian.

2. Kritik atau verifikasi, yakni menyingkirkan bahan-bahan (atau bagian-

bagian daripadanya) yang tidak otentik.

3. Interpretasi atau menyimpulkan kesaksian yang dapat dipercaya

berdasarkan bahan-bahan yang otentik.

4. Historiografi, yaitu penyusunan atau penulisan kesaksian sejarah itu

menjadi suatu kisah atau penyajian yang berarti

Data, fakta dan peristiwa tersebut diperoleh dari sumber-sumber yang

dapat dipertanggung jawabkan berdasarkan metodologi sejarah. (Nata, 2011:

365). Karena itu, sumber-sumber yang ditulis oleh penulis sezaman, orang

yang terlibat atau menyaksikan peristiwa yang menjadi obyek penelitian ini

merupakan faktor yang menentukan. (Kuntowijiyo, 1994: 33) Adapun pendekatan politik lebih bermakna secara umum, yakni kajian

tentang jalannya sejarah yang ditentukan oleh kejadian politik, perang

diplomasi dan tindakan tokoh-tokoh politiknya. Sedangkan pendekatan sejarah

pendidikan digunakan untuk membahas segala aspek yang berhubungan

dengan pendidikan berdasarkan peninggalan atau dokumen sejarah yangada.

Dengan pendekatan historis-kritis diharapkan dapat lebih mengungkap dan

mengkritisi kenyataan sejarah yang didapat dari dokumen sejarah itu untuk

menemukan esensi dasarnya.

Adapun hasil akhir yang diharapkan dari tulisan ini lebih bersifat

deskriptif, yakni memberikan gambaran umum dan menyeluruh tentang

kejadian sejarah masa lalu dengan menarik ke masa kini.

Page 41: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

19

a. Obyek penelitian Berdasarkan pembatasan dan perumusan masalah yang telah disebutkan

sebelumnya, maka sasaran atau obyek penelitian hanya diarahkan pada:

1) Paradigma pengembangan sains

2) Biografi Kholifah al-Ma‟mun

3) Langkah-langkah al-Ma‟mun dalam mengembangkan sains

pengetahuan dalam memajukan peradaban Islam di zaman klasik

4) Hasil yang dapat dicapai al-Ma‟mun dalam mengembangkan ilmu

pengetahuan

5) Sumbangan al-Ma‟mun terhadap kemajuan Islam di zaman klasik dan

juga tokoh-tokoh lain yang ikut berperan dalam mengembangkan ilmu.

6) Fenomena-fenomena alam yang berlandaskan pada penelitian ijbari

atau eksperimen di zaman al-Ma‟mun

b. Sumber data

1) Data tertulis (library research) atau Data dokumentasi. Melalui

sumber ini, penulis mencari dan menelusuri bahan-bahan yang ada

hubungannya dengan teori paradigma pengembangan ilmu dalam

sejarah pendidikan Islam. dan Melalui sumber ini, penulis mencari dan

menelusuri bahan-bahan atau tulisan-tulisan penting tentang al-

Ma‟mun pada dinasti Abbasiyah tahun 813-833 M.

Sumber data primer dalam penelitian ini secara eksplisit agak

sulit penulis dapatkan. Akan tetapi setelah beberapa konsultasi dengan

para pakar sejarah pendidikan di kampus UIN Jakarta, secara umum

didapati buku-buku sejarah dan pendidikan Islam yang mendukung

atau menjelaskan tentang pemikiran dan kronologis terjadinya

paradigma pengambangan terhadap ilmu dalam sejarah pendidikan

Islam. Buku-buku tersebut diantaranya adalah sebagai berikut:

1. “Târîkh Al-Umam wa al-Mulk‟ oleh At-Thabari.

2. “Dhuhâ al-Islâm” dan “Fajar Isla” oleh Ahmad Amin.

3. “Al-Maushu‟ah al-Târîkh al-Islâmi wa al-Hadharah al-Islâmiyyah”

oleh Ahmad Syalabi.

4. “Ihya‟ „Ulûm al-Dîn”, oleh Al-Ghazali.

5. “Tarikh al-Firaq al Islamiyah”, oleh Ali Mustafa al Gurabi

6. “The Histoy of Arab” oleh Philip K. Hitty

7. “Muqodimah Ibnu Khladun” oleh Ibnu Khaldun

8. “Tarikh al-Baghdadi” oleh Ahmad al-Baghdadi

9. “Religion and the Order of Nature” oleh Sayyed Hosein Nasr

10. “The Making of Europe” oleh Christhoper Dawson

11. Al-Biruni oleh Al-Biruni

12. Al-Kamil fii Tarikh, oleh Ibn Atsir

13. Wafiyat Al-A‟yan wa Anba Al-Zaman, oleh Ibn Khalikan

Page 42: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

20

Data sekunder dalam penelitian ini diambil dari karya tulis

parailmuwan yang telah menulis teori-teori sejarah pendidikan yang

digunakan sebagai pembanding dalam menganalisis permasalahan

dalam penelitian ini. Karya tulis tersebut diantaranya:

1. “Al-Tarbiyyah fial-Islâm” karya Al-Ahwani.

2. “Al-Tarbiyyah al-Islâmiyyah” karya Muhammad Athiyah al-Abrasy.

3. “Al-Tarbiyyah al-Islâmiyyah fi al-Qarnal-Râbi” karya Hasan Abd

al-„Ali.

4. “ Tarik at-Tarbiyyah al-Islâmiyyah” karya Ahmad Syalabi.

5. “Science Civilization in Islam” oleh Syyed Hossein Nasr

Setelah data dikumpulkan kemudian dikaji, dianalisis dan

diinterpretasi, untuk selanjutnya dengan analisis deskriptif dituangkan

secara apa adanya dengan sedikit interpretasi dan pengambilan

substansi dengan analisis yang cermat ke dalam konstruksi

pembahasan yang logis, sistematis dan komprehensif. Kemudian

dilakukan analisis komparatif, tidak saja terhadap pernyataan yang

sama, tetapi juga yang berbeda selagi masih dalam permasalahan yang

sama. Selanjutnya, agar tidak terjebak kepada pembahasan yang

bersifat naratif dan konvensional, penelitian ini juga akan berusaha

mencari penyebab mengapa suatu keadaan atau peristiwa terjadi

dengan analisis kritis sehingga data tersajikan secara seimbang, yakni

secara objektif-deskriptif sekaligus menyajikan pandangan kritis

subjektif penulis.

c. Teknik Pengumpulan Data

1) Dokumentasi

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode

dokumentasi untuk mendapatkan bahan-bahan dokumenter. Hal ini di

dasarkan bahwa pendidikan Islam menyimpan bahan-bahan

dokumenter berupa: hasil-hasil penelitian yang ada hubungannya

dengan penelitian ini.

Selanjtnya penelusuran referensi yang dimaksudkan di sini

adalah penulis melakukan pencarian dan penelaahan buku-buku dan

karya tulis ilmiah lainnya yang ada keterkaitannya dengan masalah

yang di teliti. Juga melalui metode ini, penulis berusaha mencari

kajian-kajian teori yang berkaitan dengan masalah yang diteliti untuk

digunakan dalam penulisan tesis ini.

Metode penelusuran referensi ini tentu saja berkaitan erat

dengan data tertulis berupa buku-buku dan sumber tertulis lainnya

yang biasa terseimpan di perpustakaan. Oleh karena itu, penulis

mempergunakan kartu kutipan yang lazim dipakai untuk kegiatan ini.

Kartu tersebut digunakan untuk mencatat kutipan hasil bacaan. Pada

Page 43: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

21

kartu kutipan ditulis nama pengarang, nama buku, penerbit, tempat

terbit, tahun terbit, dan halam yang dikutip, termasuk di dalamnya

informasi jilid dan cetakan. Selanjutnya, penulis mengorganisir nama

pengarangnya berdasarkan abjad. Hal ini dilakukan untuk

memudahkan mengklasifikasi dan mentabulasi data.

d. Teknik Pengolahan dan Analisa Data

Dalam uraian terdahulu disebutkan bahwa data penelitian ini ada yang

tertulis, yaitu data pustaka atau dokumentasi. Oleh karena itu, berdasarkan

pemetaan tersebut, maka data tertulis yang diperoleh akan diperlakukan

dengan cara ditelaah, dibandingkan, dikategorisasikan, kemudian dilakukan

analisis deskriptif. Penelitian ini menggunakan lebih dari satu jenis data,

(Bryman, 1988: 131) dan menggunakan metode ganda (triangulasi) (Brannen,

1997: 20) Terkait triangulasi, Meleong menjelaskan bahwa metode ini

digunakan sebagai tekhnik pemeriksaan keabsahan data dengan

memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu untuk keperluan pengecekan

atau sebagai pembanding terhadap data itu. Dalam hal ini, teknik triangulasi

yang paling banyak digunakan ialah pemeriksaan melalui sumber lainnya

(Moleong, 1995: 85).

e. Pendektan Penelitian

Pendekatan yang akan digunakan dalam tulisan ini, karena menyangkut

paradigma berpikir umat di suatu zaman dan beberapa intrik politik yang

terjadi sebagai pemicunya, maka pendekatan yang akan digunakan adalah

pendekatan sosisologis dan historis.

Dapat dikatakan bahwa jenis penelitian dalam tesis ini, penelitian

kualitatif. Hal ini logis karena penelitian ini merupakan paradigma

pengembangan terhadap ilmu dalam sejarah pendidikan Islam yang terjadi

pada zaman Kholifah al-Ma‟mun (813-833 M) dan sesudahnya. Selanjutnya

penelitian yang bersifat kualitatif ini tidak dapat dipisahkan dari pendekatan

grouded research atau grouded theory yang intinya adalah semua analisa harus

berdasarkan data yang ada dan bukan beradasrkan ide yang ditetapkan

sebelumnya.

Selanjutnya dari sisi pendekatan studi, penelitian ini menggunakan

pendekatan sosiologi-historis. Kedua pendekatan ini digunakan karena obyek

yang diteliti membutuhkan jasa ilmu-ilmu tersebut. Pendekatan sosiologis

digunakan untuk memahami arti subyektif dari perilaku sosial, bukan semata-

mata menyelidiki arti obyektifnya (Abdurrahman, 2003: 11). Penelitian ini menggunakan pendekatan historis dengan asumsi bahwa

kajian Paradigam pengembangan terhadap ilmu dalam sejarah pendidikan

Islam pada zaman pemerintahan Kholifah al-Ma‟mun di tahun 813-833 M. dan

perkembangan pada sesudahnya, sebagai wadah berlangsungnya proses

Page 44: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

22

tersebut dengan dimensi sejarah. Artinya, dengan pendekatan historis,

penelitian ini mencoba mengupayakan agar pemikiran, gagasan, dan konsep

dapat dibuktikan melalui data-data yang dapat dilacak dalam dokumen sejarah

(Nata, 2005:.8) atau secara empirik dapat dilakukan konfirmasi silang terhadap

keakuratan data yang diperoleh melalui wawancara. Hal ini memungkinkan

karena melalui pendekatan historis diasumsikan bahwa segala pristiwa dapat

dilacak dengan melihat kapan pristiwa itu terjadi, dimana, dan siapa yang

terlibat dalam pristiwa tersebut. Jadi, melalui pendekatan ini seseorang diajak

menukik dari alam idelis ke alam yang bersifat empiris dan mendunia (Nata,

2008: l 39).

Page 45: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

23

BAB II

PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU

DALAM PENDIDIKAN ISLAM

A. Paradigma Keilmuan

1. Pengertian Paradigma

Paradigma dapat berarti model, pola atau contoh (Echols dan Shadily,

1996: 143). Paradigma menjadi istilah kunci dalam pembicaraan tentang

filsafat ilmu. Sejak tahun 1960-an istilah ini popular di tangan Thomas S.

Kuhn. Menurutnya, paradigma berarti mode of thought atau mode of inquiry.

Kuhn menegaskan bahwa pada dasarnya relitas sosial itu dikonstruksi oleh

mode of though atau mode inquiry yang akan menghasilkan mode knowing.

Sementara Immanuel Kant menyebutnya sebagai skema konseptual, sedangkan

Marx menyebutnya dengan ideology (Kuntowijoyo, 2004: 11). Jadi, dapat

dikatakan bahwasanya paradigma itu bisa dimaknai sebagai sekumpulan

asumsi-asumsi, konsep-konsep yang secara logis dianut bersama dan dapat

mengarahkan cara berpikir, mengkaji dan meneliti. Oleh sebab itu, paradima

adalah a set of scientific and metaphysical beliefs that make up a theoretical

frame work whithin which scientific theories can be tested, evaluated, and if

necessary, revised (sekumpulan kepercayaan ilmiah dan metafisik yang

membuat suatu kerangka teoritis dalam mana teori-teori ilmiah dapat diuji,

dievaluasi dan kalau perlu direvisi) (Bidin, dkk., 2003: 34).

Paradigma sebagaimana di atas adalah sebuah kerangka berpikir

terhadap suatu hal, dalam memecahkan persoalan. Misalnnya, ketika melihat

musuh, maka yang terpikirkan adalah perasaan yang tidak mengenakkan dalam

hati, lalu terpikirkan bagaimana caranya untuk menjatuhkan musuh tersebut

atau mengalahkannya?. Atau sebaliknya, ketika melihat teman suasana hati

terasa senang, lalu yang terpikirkan adalah bagaimana caranya agar

mendapatkan sisi baik dari pertemanan tersebut?. Jadi dapat dikatakan bahwa

paradigma itu merupakan contoh, model atau sudut pandang manusia terhadap

obyek yang dilihat atau di hadapinya.

Paradigma dapat dipahami sebagai sekumpulan keyakinan dasar yang

mengarahkan penelitian tindakan penelitian ilmiah. Sebagai kumpulan sistem

keyakinan dasar atau asumsi-asumsi dasar, paradigma memuat permasalahan

asumsi dasar yang berkaitan dengan asumsi ontologis, epistemologis dan

aksiologis (Adian, 2002: 141). Asumsi atau sistem keyakinan dasar suatu

paradigma menentukan bagaimana kita melihat semesta atau sifat dasar dari

23

Page 46: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

24

keyakinan yang diketahui, bagaimana antara subyek dengan obyek yang

diketahui serta metode apa yang digunakan untuk mengetahuinya.

2. Paradigma Integrasi Ilmu

Integrasi berasal dari bahasa Inggris “integration” yang berarti

kesempurnaan atau keseluruhan. Integrasi ilmu dimaknai sebagai sebuah

proses penyempurnaan atau menyatukan selama ini di anggap dikotomis

sehingga menghasilkan satu pola pemahaman integrative tentang konsep ilmu

pengetahuan (Rifa‟i, dkk., 2004: 14). Integrasi adalah menjadikan al-Qur‟an

dan Sunnah sebagai grand theory pengetahuan, sehingga ayat-ayat qauliyah

dan kauniyah dapat dipakai (Bagir, 2005: 49-50).

Paradigma integrasi ilmu adalah cara pandang ilmu yang menyatukan

semua pengetahuan ke dalam kotak tertentu dengan mengasumsikan sumber

pengetahuan dalam satu sumber tunggal (Tuhan). Semesta sumber lain, seperti

indra, pikir, dan intuisi dipandang sebagai sumber penunjang sumber inti.

Dengan demikian sumber wahyu menjadi inspirasi estis, estetis, sekaligus logis

dari ilmu. Bagaimana proses peleburan itu dilakukan, paradigma ini

menempatkan wahyu sebagai hirarki tertinggi dari sumber-sumber ilmu

lainnya, dan gerakan seperti Islamisasi ilmu sebenarnya dapat dikategorisasikan

sebagai upaya mengintegrasikan ilmu ke dalam satu pohon ilmu, yaitu ilmu

pengetahuan yang integrative.

Dalam “Integrasi Ilmu dalam Persepektif Filsafat Islam”, Mulyadi

Kartanegara, menjelaskan bahwa sumber basis ilmu-ilmu agama dan umum

berasal dari sumber yang sama, yaitu dari Tuhan. Ilmu bertugas untuk mencari

kebenaran sejati, sehingga dapat disimpulkan bahwa karena Tuhan adalah

kebenaran sejati tentunya merupakan sumber bagi kebenaran-kebenaran yang

lain, termasuk kebenaran yang dihasilkan dari analisa ilmu-ilmu umum.

Menurut Mulyadi Kartanegara, mengartikan dikotomi bukan pemisahan

tapi penjenisan, dan dikotomi ilmu ke dalam ilmu agama dan non agama dalam

makna penjenisan sebenarnya bukan hal yang baru. Dalam sejarah, Islam telah

mempunyai tradisi dikotomi lebih dari seribu tahun. Menariknya dikotomi

tersebut tidak berdampak banyak pada sistem pendidikan Islam. Situasi ini

malah berlanjut sampai sitem pendidikan sekuler Barat masuk mempengaruhi

sistem pendidikan Islam lewat jalur gerakan imperealisme. Misalnya,

penjenisan yang dilakukan oleh al-Ghazali (w1111) dan Ibn Khaldun (w1105)

tidak mengingkari validitas dan status ilmiah masing-masing jenis keilmuan

tersebut. Al-Ghazali dalam kitab Ihya „Ulumu din menyebut dua jenis

ilmu(„ilm Syariyyah dan Ghair Syariyyah). Sedangkan Ibn Khaldun membagi

Page 47: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

25

ilmu ke dalam al-Ulum al Naqliyah dan al-Ulum al-Aqliyah. Meskipun al-

Ghazali mengelompokkan ilmu-ilmu agama ke dalam kelompok Fardhu‟ „Ain

dan Fardhu Kifayah, menurutnya, ia mengakui validitas ilmiah masing-masing.

Bahkan sebaliknya, mempelajari ilmu logika dan matematika perlu dipelajari

(Kartanegara, 2005: 25-26).

Kekayaan khazanah Islam klasik yang merupakan kontitusi peradaban

Islam itu dapat dilihat pada tradisi keilmuan yang diwariskan kepada umat

Islam. Terdapat tujuh tradisi keilmuan yang patut di apresiasi dan di

kembangkan dalam konteks kekinian, yaitu: (1) Ilmu-ilmu al-Qur‟an; (2) Ilmu-

ilmu hadits; (3) Ilmu-ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih; (4) Ilmu Kalam (Teologi);

(5) Filsafat (Hikmah); (6) Sains (astronomi, kimia, fisika, kedokteran,

geometri); (7) Tasawuf (Heriyanto, 2011: 45).

Ketujuh tradisi keilmuan Islam itu harus dibaca dalam helaan nafas

dalam atmosfer wahyu yang menginspirasi para sarjana muslim membangunn

tonggak-tonggak ilmiah peradaban Islam. Kesaling terkaitan ilmu-ilmu itu

ibarat sebuah pohon. Wahyu al-Qur‟an dan Hadits seperti akar dan batang dari

pohon tradisi keilmuan Islam. Sedangkan ilmu-ilmu budaya, sains, dan

institusi-institusi sosial seperti cabang-cabang pohon, di antaranya ada yang

lebih dekat kepada batang dan yang lainnya lebih jauh. Namun semuanya

merupakan bagian dari sebuah oragnisme yang tumbuh dari akar.

Terintegrasinya ilmu-ilmu dalam Islam merupakan manifestasi dari

pandangan Tauhid yang melihat seluruh objek telaah berbagai ilmu itu sebagai

ayat-ayat Tuhan. Tidak mungkin berbagai tradisi keilmuan itu, jika dilacak

sampai ke akar-akar kebenarannya, saling bertolak belakang atau kontradiktif

lantaran sesama ayat Tuhan, sudah pasti saling mendukung.

Tabel 2.1: Pandangan Integral-holistik

Menurut al-Faruqi, intisari peradaban Islam, Tauhid mempunyai dua

dimensi: metodologis dan konseptual. Dalam dimensi konseptual yang

menentukan isi peradaban Islam, Tauhid adalah metafisika, etika, estetika dan

masyarakat. Sedangkan dimensi metodologis yang menentukan peradaban

Metodologis:

Kesatuan,

rasionalisme,

toleransi

Konseptual:

Metafisika,

etika, estetika,

masyarakat

TAUHID

Page 48: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

26

Islam meliputi: kesatuan, rasionalisme dan toleransi. Prinsip kesatuan

menegaskan bahwa tidak ada peradaban tanpa kesatuan. Seorang sarjana

muslim dapat merengkuk dan menguasai berbagai cabang ilmu. Ibnu Sina

misalnya, merupakan ahli kedokteran dan fisika, namun sekaligus seorang

filsuf, hafidz al-Qur‟an dan sufi.

Berdasarkan Tabel diatas adalah kata kunci konsepsi integrasi keilmuan

berangkat dari premis bahwa semua pengetahuan yang benar berasal dari Allah.

3. Paradigma Islamisasi Ilmu

Pembahasan tentang epistemology Islam secara garis besar dapat dibagi

menjadi dua macam. Pertama, berkaitan dengan epistemology Islam dalam

versi filosof Muslim. Kedua, mencari epistemologi Islam yang secara spesifik

berasal dari pandangan al-Qur‟an, dimana harus dibiarkan al-Qur‟an berbicara

sendiri.

Pada pembahasan pertama, yaitu epistemologi Islam dalam pandangan

Islam kaum filosof Muslim, terlebh dahulu harus benar-benar dipahami bahwa

pengetahuan adalah ilmu yang tidak hanya membahas tentang objek fisik,

karena realitas memiliki objek fisik dan non-fisik sekaligus. Islam mengakui

objek non-fisik seperti Tuhan, Malaikat, dan jiwa. Inilah yang paling

membedakan dengan paradigma sekuler, karena mereka membatasi objek

pengetahuan hanya pada objek-objek fisik sejauh bisa di indrai.

Meskipun terdapat perbedaan mengenai asal-usul ilmu pengetahuan di

kalangan filsof, tetapi mereka sepakat bahwa selain indra, akal memegang

peranan penting dalam memperoleh ilmu pengetahuan. Ibnu Bajjah misalnya,

percaya bahwa pengetahuan yang benar dapat diperoleh melalui akal yang

merupakan satu-satunya instrument, dengannya manusia akan mampu

mencapai kemakmuran (Syarif (ed), 1992: 12).

Sedangkan Ibnu Sina membedakan antar akal potensi yang ada dalam

diri manusia dan akal aktif yang ada di luar manusia. Menurutnya, bahwa

pengalaman yang diterima oleh indra langsung muncul dari akal aktif. Akan

tetapi, tidaklah sempurna jikalau tidak membicarakan Ibn Khaldun, yang

menempatkan pembahasan epistemologi pada bagian akhir dari Muqaddimah-

nya. Menurutnya kekuatan manusia terletak pada kemampuannya dalam

berpikir, yang merupakan penjamahan bayang-bayang di balik perasaan yang

berhasil ditangkap oleh indra dan aplikasi akal di dalamnya untuk membuat

analisa dan sintesa (Khaldun, t.t.: 236).

Selanjutnya pada pembahasan kedua, epistemologi al-Qur‟an. Pada

pendekatan analitik, al-Qur‟an lebih dahulu diperlakukan sebagain data tentang

Page 49: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

27

pedoman kehidupan dari Tuhan yang harus dianalisa untuk diterjemahkan pada

level objektif (bukan subyektif). Dalil-dalil yang melahirkan ide-ide keilmuan

(Scientific ideas) al-Qur‟an dan sunah adalah rujukkan ilmu-ilmu Islam. Al-

Qur‟an adalah himpunan wahyu yang merupakan dalil ilmu-ilmu. Dalil di sini

mengandung arti petunjuk adanya ilmu-ilmu, bukan ilmu itu sendiri. Oleh

karena itu , sejarah membuktikan adanya fakta al-Qur‟an mendorong umatnya

untuk menciptakan ide-ide sains yang menjadi dasar perkembangan ilmu di

kemudian hari. Adapun penjelasan ilmu dalam persepektif Islam (al-Qur‟an

dan sunah) ada pembahsannya tersendiri.

B. Konsep Ilmu dalam Islam

1. Pengertian Ilmu

Kata „ilm yang dalam bahasa Arab biasa diterjemahkan sebagai

“pengetahuan atau ilmu”, merupakan derifasi dari kata kerja „alima yang

berarti “mengetahui”. Jadi „ilm adalah sebuah kata benda abstrak sebagai lawan

kata dari Jahl atau ketidaktahuan (Mandzur, t.t: 3083). Orang yang mengetahui

(„alima) disebut („aalim) yang jamaknya „ulama. Menurut Imam Sibaweih, kata

„alim atau „ulama itu menunjukkan “seseorang yang tidak berkata kecuali dia

tahu”. Dengan kata lain pengetahuannya didasarkan pada ilmu. Sedangkan

menurut esiklopedia Islam, kata „alima digunakan dalam al-Qur‟an secara

perfek, imperfek maupun dalam bentuk imperatif berarti “untuk mengetahui”.

Tetapi dalam bentuk imperative dan perfek mempunyai arti “untuk belajar”.

Dengan demikian, „ilm merupakan hasil dari upaya-upaya tersebut.( The

Encyclopedia of Islam, 1979: 1133). Dari kata „ilm terkandung pula makna-

makna sebagai berikut: al-Ma‟rifah (pengertian), al-syu‟ur (kesadaran), al-

idrak (persepsi), at-tashawwur (daya tangkap), al-hifd (pemeliharaan,

penjagaan, pengingat), al-tazakur (pengingat), al-fahm dan al-fiqh (pengertian

dan pemahaman), al dirayah dan al-Riwayah (perkenalan, pengetahuan,

narasi), al-hikmah (kearifan), al-badihah (intuisi), al farasah(kecerdasan), al-

khibrah (pengalaman), al-ra‟yu (pemikiran dan opini), dan al-nazar

(pengamatan). Juga muncul makna, al-„alamah (lambing) dan al-simah

(tanda), pemisah antara dua tempat, sesuatu yang dirancang di jalan (rambu-

rambu) untuk menuntun orang. Atas dasar pemahamn ini, al-khalaq (ciptaan)

disebut dengan nama alam (alam semesta), karena hal tersebut adalah bagian

dari sifat Allah atau sebuah tanda atau bukti dari eksistensi-Nya (al-Kurdi, t.t:

33, Mandzur, t.t: 3083-3086).

Akan tetapi, dibandingkan istilah-istilah yang berkorelasi lainnya tidak

ada yang sama dengan „ilm dari sisi kedalaman makna dan kekuasaan

Page 50: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

28

penggunaanya. Tentu saja ide yang terkandung dalam istilah al-„ilm adalah

yang paling dalam dan signifikan dalam pandangan dunia Islam. Seperti

diungkapkan oleh Wan Daud,‟ilm dalam pandangan Islam adalah paling

penting, karena ia merupakan salah satu dari atribut Tuhan. Dengan demikian,

julukan-julukan yang sesuai bagi Tuhan adalah al‟Alim, al-Alim, al-Allam,

semuanya berarti Mahatahu, tetapi Tuhan tidak pernah disebut al‟Arif (Wan,

1989: 63). Walaupun keduanya dapat digunakan dalam makna yang sinonim

(mutarodif), akan tetapi juga memiliki perbedaan yang hampir tidak kentara.

Pemahaman Islam tentang „ilm lebih komperhensif dan canggih dari

istilah yang biasa diterjemahkan sebagai “pengetahuan”. Sebab istilah „ilm

terkait erat dengan konsep-konsep, unsur-unsur dan nilai-nilai dalam Islam.

Unsur-unsur tersebut misalnya: „ibadah, khalifah, „adl, (keadilan), din (agama),

hikmah, adab, takwa, amanah, akhirat, yang semuanya itu terpadu menjadi

satu kesatuan dalam tauhid (al-Atas, 1991: 27). Kenyatanya „ilm menentukan

dan membentuk karakteristik khusus pada peradaban ketika Eropa berada

dalam zaman kegelapan (the dark age). Dengan demikian, secara konseptual,

menerjemahan kata „ilm sebagai pengetahuan adalah kurang tepat dan kurang

cocok (Imron, 2007: 52).

Di antara syarat membahas Islamisasi ilmu pengetahuan yaitu menerima

sifat bahwa ilmu itu tidak netral atau tidak bebas nilai (value free). Ilmu terkait

dengan nilai-nilai tertentu yang berupa ideology, paradigma, atau pemahaman

seseorang. Suatu kenyataan yang janggal seseorang membahas Islamisasi ilmu

pengetahuan namun ia berpendapat bahwa ilmu itu bebas nilai (Hadiyanto,

2010: 41).

Menurut Endang Saifuddin Anshari dalam bukunya Ilmu Filsafat dan

Agama mengatakan:

Salah satu corak pengetahuan adalah pengetahuan yang ilmiah, yang

lazim disebut ilmu pengetahuan, atau singkatnya ilmu, yang di

ekuivalen artinya dengan science dalam bahasa Prancis, wissenschaft

(Jerman) dan wetenschap (Belanda). Sebagaimana juga science berasal

dari kata scio, scire (Bahasa latin) yang berarti “tahu”. Begitu juga ilmu

berasal dari kata „alima (Bahasa Arab) yang juga berarti tahu. Jadi, baik

ilmu maupun science secara etimologis berarti pengetahuan. Namun

secara terminology ilmu dan science itu semacam pengetahuan yang

mempunyai ciri-ciri tanda-tanda dan syarat-syarat yang khas (Anshari,

1987: 47).

Menurut Harsono, seorang guru besar antropologi dari Universitas

Pajajaran sebagaimana dikutip oleh Endang Saifuddin menerangkan bahwa

Page 51: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

29

ilmu itu memiliki 3 pengertian: Pertama, Merupakan akumulasi pengetahuan

yang disistematisasi. Kedua, Suatu pendekatan atau suatu metode pendekatan

terhadap seluruh dunia empiris, yaitu dunia yang terikat oleh faktor ruang dan

waktu, dunia yang pada prinsipnya dapat diamati oleh panca indra manusia.

Ketiga, Suatu cara menganalisa, yang mengijinkan kepada ahli-ahlinya untuk

menyatakan sesuatu proporsisi dalam bentuk “jika…. Maka….” (Anshari,

1987: 49).

Sementara dalam Ensiklopedia Indonesia didapati mengenai keterangan

ilmu sebagai berikut: “Ilmu pengetahuan adalah sistem dari pelbagai

pengetahuan yang masing-masing mengenai suatu lapangan pengalaman

tertentu, yang disusun demikian rupa menurut asas-asas tertentu, sehinga

menjadi kesatuan yang didapatkan sebagai hasil pemeriksaan-pemeriksaan

yang dilakukan secara teliti dengan memakai metode-metode tertentu

(induksi-deduksi)” (Hidding,. t.t: 647).

Sedangkan Save M. Dagun dalam Kamus Besar Ilmu Pengetahuan,

mengatakan Ilmu (Science) yaitu pengetahuan yang bersifat pasti diperoleh

dari pengalaman dan pemahaman diri. Ide-ide yang mengacu ke obyek atau

alam obyek yang sama dan saling berkaitan secara logis. Dan ia

menambahkan bahwa, ilmu bersifat koherensi sistemik dan obyektivitas,

memiliki metodologi dengan langkah-langkah observasi, klasifikasi, analisis

data menarik kesimpulan induktif dan deduktif dari data yang diproleh

(Degun, 1997: 87).

Sementara itu B.J. Habibie dalam pidatonya tatkala menerima gelar

Doktor Honoris Causa dari Universitas Hasanuddin, Makasar mendefinisikan

tentang ilmu pengetahuan sebagai berikut:

Ilmu pengetahuan adalah suatu proses pemikiran dan analisis yang

rasional, sistemik, logika, dan konsistensi. Hasil dari ilmu pengetahuan

dapat dibuktikan dengan percobaan yang transparan dan objektif. Ilmu

pengetahuan memiliki spektrum analisis amat luas mencakup persoalan

yang bersifat supermakro, makro dan mikro. Hal ini jelas terlihat,

misalnya pada ilmu-ilmu; fisika, kimia, kedokteran, pertanian, rekayasa

bioteknologi dan sebagainya. Berbeda dengan filsafat-yang seperti ilmu

pengetahuan juga dapat secara rasional, sistemik, logika dan konsisten,

namun hasil pemikiran dan analisis filsafat sementara sukar dibuktikan.

Spectrum analisis filsafat bersifat supermakro dan makro saja. Sebagai

contoh misalnya filsafat tentang; fisika, rekayasa, kehidupan dan

sebagaimana. Sementara agama atau kepercayaan harus diyakini karena

tidak dapat dibuktikan kebenarannya. Keyakinan itu menjadi titik tolak

Page 52: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

30

dan pemikiran dan analisis yang juga berlangsung secara rasional,

sistemik, logis, dan konsisten. Spectrum analisis biasanya hanya bersifat

supermakro saja. Sebagai contoh: moral, etika, prilaku dan pandangan

hidup seseorang (Habibie, 2006: 2).

Dari semua pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa definisi ilmu

yang mereka sampaikan sedikit banyak telah dipengaruhi oleh pandangan

Barat. Ciri-ciri pengaruh pandangan Barat dalam definisi tersebut yaitu bahwa

ilmu merupakan suatu hal yang empiris, rasional dan logis. Selain itu, para ahli

mendefinisikan ilmu dengan objek yang bersifat fisik. Mereka tidak mengakui

sesuatu yang sifatnya metafisik. Bahkan B.J. Habibie sekalipun, dalam

pendefinisian di atas menyatakan bahwa agama tidak dapat dibuktikan

kebenarannya.

Penjelasan yang lebih filosofis menurut penulis datang dari Jujun S.

Suriasumantri dalam bukunya yang berjudul Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar.

Menurut Jujun, penjelasan sebuah ilmu harus memenuhi tiga syarat yaitu objek

ontologis (pengalaman manusia yakni segenap wujud yang dapat dijangkau

lewat panca indra atau alat yang membantu kemampuan panca indra), landasan

epistemologis (metode ilmiah yang berupa gabungan logika deduktif dan logika

induktif dengan pengajuan hipotesis atau yang disebut dengan

logicohyphotetico-verifikasi) dan landasan aksiologis (kemaslahatan manusia

artinya segenap wujud pengetahuan ini secara moral ditunjukkan untuk

kebaikan hidup manusia) (Suriasumantri, 1990: 294). Jujun mengartikan

penggunaan kata ilmu pengetahuan untuk science dan kata pengetahuan untuk

knowledge (Suriasumantri, 1990: 294).

Definisi ilmu menurut ilmuan muslim tentu berbeda dengan yang

pernah disebutkan di atas. Salah satunya pendapat yang berkembang adalah

pendapat Ibn Taimiyah tentang ilmu. Dalam konteks ini Ibn Taimiyah

mendefenisikan ilmu sebagai sebuah pengetahuan yang berdasar pada dalil atau

bukti. Dalil yang dimaksudkannya bisa berupa penukilan wahyu dengan

metode yang benar (al-nqal al-mushaddaq), bisa juga berupa penelitian ilmiah

(al-baths al-muhaqqaq). Sedang yang dimaksud dengan “ilmu yang

bermanfaat” adalah yang bersumber dari Rasulullah : إى العلن ها لا م عليه الدليل والا فع هه ها جاء به الر سىل فا لشأ ى فى أى مى ل

علوا وهى المل الوصد ق والحث الوحمك Sesunguhnya ilmu itu adalah yang bersandar pada dalil, dan yang

bermanfaat darinya adalah apa yang dibawa oleh Rasul. Maka

sesuatu yang bisa kita katakan yang akurat.

Page 53: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

31

Selanjutnya Ibn Taimiyah menegaskan, apabila sesuatu yang dikatakan

ilmu itu pada kenyataannya tidak berdasarkan pada dalil seperti disebutkan

diatas, maka ilmu ibarat sebuah tembikar yang terlihat bagus dari luarnya saja.

Maksudnya, kelihatan sebuah ilmu yang bagus tapi sebenarnya ia bukan ilmu.

Atau kalau tidak, menurut Ibn Taimiyah, yang disangka ilmu tersebut adalah

sesuatu yang jelas-jelas batal, yakni bukan ilmu sama sekali (Taimiyah, t.t:

388).

Bahwa jelaslah dalam Islam, wahyu merupakan sumber ilmu.

Sedangkan dalam pandangan Barat, wahyu tidak termasuk ilmu karena tidak

dapat dibuktikan kebenarannya secara empiris, rasionalis atau logis. Di sinilah

salah satu letak perbedaan yang terlihat antara definisi ilmu dalam Islam

dengan ilmu dalam pandangan Barat.

Sedangkan menurut Mulyadhi Kartanegara, menjelaskan mengenai

ilmu yakni sebagai berikut:

Istilah ilmu dalam epistemologi Islam mempunyai kemiripan dengan

istilah Science dalam epistemology Barat. Sebagaimana sains dalam

epistemologi Barat dibedakan dengan knowledge, ilmu dalam

epitemologi Islam dibedakan dengan opini (ra‟yu). Sementara sains

dipandang sebagai any organized knowledge, ilmu didefinisikan sebagai

“pengetahuan tentang sesuatu bagaimana adanya”. Dengan demikian,

ilmu bukan sembarang pengetahuan atau sekedar opini, melainkan

pengetahuan yang telah teruji kebenarannya. Pengertian ilmu

sebenarnya tidak jauh berbeda dengan sains, hanya sementara sains

dibatasi pada bidang-bidang fisik atau indrawi, ilmu melampauinya

pada bidang-bidang nonfisik, seperti metafisika. Penyetaraan ini dapat

diperkuat oleh pernyatan Karier, pengarang buku The Scientists of the

Mind, bahwa pada masa-masa awal abad ke-19, sains dipahami sebagai

any organized knowledge, atau “sembarang pengetahuan yang

terorganisasi”, termasuk teknologi. Dengan pengertian yang disebut

terakhir ini, kata ilmu seharusnya dipahami (Kartanegara, 2003: 2).

Sedangkan menurut Budi Handayanto, “Ilmu dalam pandangan Islam

berbeda dengan pandangan sains dalam pandangan Barat. Sains Barat hanya

dibatasi pada bidang-bidang empiris-positivis sedangkan ilmu dalam

pandangan Islam melampauinya dengan melakukan tidak hanya pada bidang-

bidang empiris, tetapi juga non-empiris, seperti matematika dan metafisika”

(Handayanto, 2010: 27).

Page 54: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

32

Jadi kesimpulannya, bahwa ilmu dalam pandangan Islam mempunyai

ruang lingkup yang lebih luas daripada sains dalam istilah peradaban Barat.

Jika sains membatasi dirinya pada hal-hal yang bersifat fisik, maka ilmu dalam

pandangan Islam masih tetap meliputi tidak hanya fisik, akan tetapi juga

metafisik.

Banyak cendikiawan muslim yang merasa perlu mendefinisikan ilmu.

Namun, tidak semua dari mereka sepakat tentang kemungkinan

pendefinisiannya, karena artinya sudah jelas dan nyata. Upaya untuk membuat

definisi hasilnya hanya malah justru akan membingungkan dan memperumit

dalam pemahamannya. Ibn al‟Arabi sangat menentang upaya-upaya seperti

dalam paragraph berikut ini: “Ilmu adalah konsep yang sangat jelas, tidak perlu

penjelasan, tetapi ahli Bid‟ah berhasrat untuk membuat pemahaman istilah

“ilmu” serta konsep-konsep agama dan intelektual yang lainnya menjadi rumit.

Tujuan mereka adalah menyesatkan dan memberi kesan yang salah bahwa

tidak ada konsep atau makna yang dapat diketahui. Bagaimanapun juga klaim

tersebut tidak beralasan dan merupakan cara berfikir yang menyesatkan”

(„Arabi,. t.t: 114). .

Namun, berbagai upaya mendefinisikan ilmu terus dilakukan oleh

banyak cendikiawan Muslim, aktifitas ilmiah seputar itu tidak pernah terhenti.

Hasilnya, banyak definisi yang muncul dengan beberapa variasinya, karena

latar belakang mereka yang berbeda-beda, sehingga penekanannya pun

berbeda-beda pula. Misalnya, menurut Ikhwanu al-Safa, “Ilmu adalah

repsentasi (Surah) sesuatu yang diketahui kedalam jiwa ilmuwan dan

merupakan lawan dari ketidaktahuan (jahl), yang merupakan ketiadaan

representasi (Chejen, 1982: 86).

Sejak awal para pemikir muslim memberikan beberapa definisi tentang

ilmu. Rosenthal menjelaskan delapan ratus definisi ilmu yang dihasilkan oleh

pemikir-pemikir Muslim. Definisi terbaik menurut A.Madi dikemukakan oleh

Fakhr al-Din al-Razi. Al-Attas mengungkapkan kembali dan mengelaborasi

definisi ilmu datang atau berasal dari Allah dan diinterpretasikan oleh jiwa

melalui fakultas-fakultas spiritual dan fisik. Al-Attas mengartikulasikan

definisi ilmu melalui konteks. Pertama, mengacu kepada Allah sebagai sumber

dari semua ilmu. Kedua, mengacu kepada jiwa sebagai penafsirnya. Dalam

konteks tersebut, maka definisi epistemologis yang paling tepat ialah dengan

mengacu pada konteks yang pertama, bahwa ilmu merupakan kehadiran (husul)

makna sesuatu hal atau objek ilmu ke dalam jiwa. Apabila mengacu pada

konteks kedua, maka ilmu adalah datangnya (wusul) jiwa kepada makna

sesuatu hal atau objek ilmu (al-Attas, 1987: 154).

Page 55: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

33

2. Ilmu dalam Perspektif Islam

Secara umum, selama ini orang membedakan ilmu umum dengan ilmu

agama, seperti “umum” untuk keduniawian dan”Agama” untuk keakhiratan.

Seakan-akan muncul berbagai partikel istilah seperti sekolah umum dan

sekolah agama. Kata “umum” untuk kehidupan dunia dan “Agama” untuk

persiapan hidup sesudah mati

Ilmu dalam persepektif Islam tidak berarti hanya mengkaji persoalan

tentang syari‟at agama. Oleh karena itu, pemaknaan al-Ghazali terhadap ilmu

semestinya tidak terbatas pada studi teologi dan hukum Islam, melainkan juga

mencakup semua kekayaan intelektual, warisan ulama Islam sejak abad

pertama Hijriyah. Para ahli sejarah mencatat, bahwa selama beberapa abad para

ilmuwan Muslim telah menerangi dunia dengan ilmu pengetahuan dan karya-

karya mereka merupakan referensi sangat berharga bagi kemajuan Eropa. Bagi

para ilmuwan Muslim era itu, dikotomi tidak perlu terjadi karena memang

mereka tidak melihat adanya suatu konflik antara tujuan ilmu dan agama, dan

menyakini bahwa agama maupun ilmu sama-sama mengantarkan manusia pada

pemahaman tentang kesatuan alam yang menjadi cermin keesaan dan

keagungan penciptaan-Nya (Farrukh, 1989: 36).

Sebagaimana dijelaskan diatas dalam Islam, sejak awal tidak pernah ada

distingsi atau perbedaan atau bahkan pengkotak-kotakkan demikian, hal ini

terjadi sejak daerah-daerah muslim dijajah, dan kaum penjajah mengarahkan

agar umat Islam, mengurangi kegiatan duniawi dan memberi porsi lebih bagi

persiapan hidup sesudah mati (Rohan, 2009: 317-318).

Islam menempatkan dan memberikan penghargaan yang sangat

istimewa terhadap ilmu, dengan tanpa melakukan diskriminasi dan membatasi

jenis ilmu pengetahuan itu sendiri. Dari hal tersebut, jelaslah bahwa segala ilmu

pengetahuan itu sendiri berasal dari zat Yang Maha Mengetahui Ilmu yakni

Allah Swt. Karena pada hakikatnya sumber-sumber ilmu tersebut berupa

wahyu, akal pikiran, intuisi adalah anugrah Allah yang indah dan tak ternilai

harganya yang diberikan kepada manusia (Nata, 2003: 70).

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya mengenai ilmu, Menurut M.

Quraish Shihab, kata „ilm dari segi bahasa berarti kejelasan, karena itu segala

yang terbentuk dari akar katanya mempunyai ciri kejelasan, selanjutnya bahwa

kata ilmu dengan berbagai bentuknya terulang sebanyak 854 kali (Shihab,

1997: 434). Sementara itu menurut Abdus Salam, dalam kitab suci al-Qur‟an

terdapat 750 ayat berbicara tentang ilmu atau setidaknya berbicara mencari

ilmu (Fathudin, 2000: 51). Selanjutnya dalam “Ensiklopedi al-Qur‟an Kajian

Page 56: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

34

Kosakata dan Tafsirannya” ditemukan pula bahwa di dalam al-Qur‟an kata

ilmu dan turunannya (tidak termasuk al-a‟lam) (gunung-gunung), al‟alam

(bendera), ala‟mat (alamat)yang disebut sebanyak 76 kali) disebut sebanyak

778 kali (Ensiklopedi Al-Qur‟an, 1997: 150).

Mengingat bahwa segala ilmu atau pengetahuan yang dimiliki atau

didapatkan manusia hakikatnya adalah ilmu yang diberikan oleh Allah Swt.

Dan lebih dari itu ilmu yang diberikan adalah sebagai sarana untuk

kemaslahatan dan penuntun hidup manusia, baik di dunia maupun di akhirat,

maka penulis meyakini, bahwa tidak ada pembagian ilmu dunia dan ilmu

akhirat yang terkesan membedakan secara diameterial antara dua kepentingan

yang berbeda. Dengan demikian, yang ada hanyalah pembagian atau klasifikasi

atau jenis-jenis ilmunya saja.

Membicarakan tentang berbagai ilmu pengetahuan dan teknologi

dengan berbagai cabangnya mengharuskan adanya pembicaraan tentang

ontology, epistemologi, aksiologi. Ketiga macam yang berkaitan dengan ilmu

pengetahuan dan teknologi adalah sebagai berikut:

a. Sumber dan Metode Memperoleh Ilmu (Ontologi)

Dalam persepektif ontology, manusia tiada henti-hentinya terpesona

menatap dunia. Dengan demikian, sesorang akan terpanggil untuk brefikir

terhadap hal-hal yang bersifat metafisik, berasumsi, mencari peluang,

menginterpretasi beberapa asumsi dalam ilmu dan melakukan batas-batas

penjelajahan ilmu (Bidin, 2003: 66).

Bahwasanya sumber dari berbagai ilmu adalah Allah, karena Dia yang

membekali manusia dengan wahyu dan aqal, intusi dan pengalaman sebagai

sumber pengetahuannya (Imron, 2007: 55). Nampaklah sudah bahwa yang

dikatakan ilmu adalah segala sesuatu yang diketahui oleh manusia, yang

hakikat berasal dari Allah Swt. Dan dari pertama yang Allah turunkan tersebut,

diperoleh isyarat bahwa ada dua cara perolehan dan mengembangan ilmu, yaitu

bahwasanya Allah mengajarkan manusia tanpa pena yang belum diketahuinya.

Cara pertama adalah mengajar dengan alat atau atas dasar usaha manusia. Dan

cara kedua dengan mengajar tanpa alat dan tanpa adanya usaha dari manusia.

Walaupun berbeda, namun keduanya berasal dari satu sumber, yaitu Allah Swt.

(Shihab, 1997: 434). Allah yang memberi manusia akal budi (‟aql) sebagai

sarana untuk memperoleh ilmu agar dapat mengenal dan mengetahui realitas.

Manusia memperoleh ilmu dari berbagai macam sumber dan melaui jalan atau

cara. Tetapi semua ilmu pada akhirnya berasal dari Allah Yang Maha

Mengetahui. Al-Qur‟an dan Sunah merekomendasikan penggunaan berbagai

sumber atau cara untuk mendapatkan ilmu seperti: observasi dan eksperimen,

Page 57: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

35

intuisi, penalaran, serta wahyu (Imron, 2007: 55). Dalam buku, Arguments for

Islamic Science, Ziauddin Sardar menyatakan bahwa konsep „ilm mencakup

hampir semua bentuk pengetahuan yang dihasilkan dari observasi murni hingga

pengetahuan metafisika yang paling tinggi. Dengan demikian, „ilm dapat

diperoleh melalui wahyu maupun akal pikiran, observasi maupun intuisi,

hingga melalui hadis maupun teori spekulasi (Sadar, 1984: 44).

Rosnani Hasim dalam Education Dualism, menekankan pandangan

dalam sumber ilmu sebagai berikut: “Secara singkat, Islam mengakui beberapa

sumber ilmu. Pertama, wahyu, adalah sumber tertinggi dan ilmu yang

diperoleh melalui sumber ini adalah pasti, tanpa sedikitpun keraguan-keraguan.

Kedua, intuisi, merupakan keutamaan bagi mereka yang secara sungguh-

sungguh mendalami suatu masalah atau isu-isu. Ketiga, akal pikiran atau

penalaran rasional, dan yang terakhir adalah pengalaman inderawi atau

observasi empiris” (Rosnani, 1996: 79). Sedangkan Abbudin Nata menekankan

bahwa pada umumnya sumber ilmu ada lima, yaitu alam semesta (ayat

kauniyah), perilaku manusia (ayat insaniyah), akal (al-ra‟yu), intuisi dan

wahyu (ayat qauliyah) (Nata, 2011: 211). Adapun sumber kelima sebagaimana

di atas adalah sebagai berikut:

1) Alam Semesta (ayat qauliyah)

Di dalam al-Qur‟an Allah Swt menyatakan:

Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya

malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.

(Q.S. Ali „Imran: 190)

Pada ayat di atas memberi petunjuk yang berkenaan dengan berbagai

hal yang termasuk alam sebagai objek kajian ilmu pengetahuan, yaitu proses

penciptaan langit dan bumi dan peredaran waktu siang dan malam.

Dalam segi bahasa alam semesta (jagat raya) adalah segala sesuatu yang

selain Allah. Kajian terhadap berbagai benda jagat raya ini mengahasilkan sains

yang antara lain fisika, kimia, biologi astronomi, kedokteran, rafmakologi dan

berbagai cabang sains lainnya. Menurut pandangan Abbudin Nata, alam jagat

raya ini tak ubahnya sebagai buku raksasa yang harus dibaca, dan dengan

dibaca dalam arti diamati, diidentifikasi, diverifikasi, disimpulkan dan

dirumuskan menjadi teori ilmu pengetahuan (sains). Itulah sebabnya dalam

Page 58: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

36

berbagai ayat al-Qur‟an, manusia diperintahkan untuk meneliti berbagai

fenomena alam jagat raya seperti fenomena peredaran matahari dan bulan,

siang dan malam, peredaran udara, cahaya, benda-benda ruang angkasa

lainnya, fenomena turun hujan, aneka macam tumbuh-tumbuhan dan tanaman,

aneka binatang ternak, buas, melata, fenomena laut dengan segala isinya,

fenomena gunung yang menjulang tinggi (Nata, 2011: 211). Sedangkan

menurut Murthada Muthahari, bahwa alam semesta merupakan salah satu

sumber pengetahuan. Dimaksud dengan alam adalah alam materi, alam ruang

dan waktu, alam gerakan, alam yang kini manusia hidup di dalamnya, dan

manusia memiliki hubungan dengan alam ini dengan menggunakan berbagai

indra manusia (Muthahhari, 2010: 72).

Jika para ilmuwan menyepakati bahwa alam sebagai sumber ilmu

pengetahuan, hal tersebut berbeda dengan Plato, yang tidak mengakui alam

sebagai sumber ilmu pengetahuan, karena hubungan manusia dengan alam

lewat perantara indra, dan sifat dan sifatnya particular, Karena ia mengakui

bahwa particular termasuk hakikat. Pada dasarnya ia memiliki ratio sebagai

sumber ilmu pengetahuan, dan dengan menggunakan metode argumentasi,

Plato menanamkan metode tersebut dengan nama dialektika (Muthahhari,

2010: 72.

Dalam pandangan Islam, berbagai fenomena alam adalam sebagai

ciptaan Tuhan, dan bukti keagungan-Nya, mengandung jiwa dan ruh walaupun

berbeda dengan jiwa dan ruh manusia, senantiasa berubah dan gerak secara

terus-menerus sesuai dengan hukum Allah (sunatullah), terikat dengan hukum

sebab dan akibat, sebagai teman dan sarana terbaik manusia atau dimanfaatkan

untuk kebutuhan hidup manusia dan rahasia yang menggambarkan keagungan

Allah Swt. (Langgulung, 1979: 55).

2) Fenomena Perilaku Manusia (ayat insaniyah)

Dalam al-Qur‟an, manusia disebutkan sebagai makhluk yang memiliki

kelengkapan fisik, panca indra, akal pikiran, intusi, dan dapat menerima ilham.

Selain daripada itu, disebutkan pula tentang proses dan asal-usul kejadiannya,

kedudukan fungsi dan tanggung jawabnya, akhir tujuan hidupnya, sifat dan

karakternya secra utuh. Manusia juga makhluk termulia dibandingkan hewan,

memiliki perbedaan dan persamaan antara satu dengan lainnya, memiliki

keluwesan sifat dan selalu dapat berubah-ubah.

Keadaan manusia yang demikian ini selanjutnya menjadi bahan kajian

yang menghasilkan ilmu-ilmu sosial seperti: keadaan tempat tinggal,

lingkungan, adat istiadat, kebudayaan, pola komunikasi, struktur sosial, pola

Page 59: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

37

komunikasi dan interaksi, maju mundurnya, tingkat ekonomi, pendidikan,

kesehatan, dan masih banyak lagi. Dari hal tersebut maka munculah berbagai

ilmu sosial seperti: ilmu politik yang mempelajari gagasan, pemikiran, dan

praktik politik yang pernah dilakukan oleh manusia, ilmu antropologi, yakni

ilmu yang mempelajari asal-usul manusia, ilmu sejarah, yakni ilmu yang

mempelajari masa lalu manusia, ilmu pendidikan, yakni ilmu yang mempelajari

berbagai usaha yang dilakukan manusia dalam bidang pendidikan, ilmu

psikologi, yakni ilmu yang mempelajari gejala-gejala jiwa manusia (Nata,

2011: 213).

3) Akal (Ratio)

Para filosof pada umumnya banyak mengemukakan akal atau rasio

sebagai sumber ilmu pengetahuan. Plato misalnya meyakini sebagai sumber

pengetahuan, dan dengan menggunakan metode argumentasi, Plato menamakan

metode dan cara tersebut dengan nama dialektika (Muthahari, 2007: 73).

Akal dengan daya kemampuan yang dimilikinya dalam melakukan

renungan, repleksi, berspekulasi tentang sesuatu, untuk menemukan gagsan,

konsep, pemikiran, inti tentang sesuatu yang selanjutnya digunakan dasar untuk

membangun berbagi konsep yang terdapat dalam ilmu pengetahuan. Misalnya,

pemikiran atau gagsan tentang pemerintah dan bentuk negara misalnya dapat

digunakan untuk membangun konsep ilmu politik. Lalu hasil dari kerja akal

inilah yang nantinya kan melahirkan hikmah atau filsafat. Karena objek kajian

filsafat adalah bukan sesuatu yang bersifat empiris, atau beradasarkan pada

wahyu, maka filsafat berada dalam gray area (raung yang abu-abu) antara ilmu

pengetahuan dan agama. Ia juga tidak dapat disebut ilmu, karena ia tidak

memiliki syarat-syarat sebagai sebuah ilmu yang bersifat empiris, dan tidak

dapat pula sebagai agama.

Oleh sebab itulah dalam pengantar filsafat, Jujun S. Sumantri,

memberikan analogi tentang filsafat seperti pasukan mariner yang tugasnya

adalah hanya membuka wilayah untuk dimasuki pasukan lainnya, sedangkan

marinir itu sendiri tidak ikut masuk di dalamnya. Pada kesimpulanya,

filsafatlah yang melahirkan ilmu pengetahuan, tetapi filsafat bukanlah ilmu

pengetahuan berbagai ilmu yang dilahirkan oleh filsafat itu sendiri selanjutnya

bergerak dan berjalan terlepas dari filsafat dan dikendalikan berbagai

kepentingan seperti: ekonomi, politik, ideology, dan lain sebagainya. Berbagai

ilmu tersebut kemudian lupa dengan asal-usul dan tujuan kelahirannya

sebagaimana yang ditetapkan oleh filsafat. Ilmu yang demikian tak ubahnya

seperti kacang yang lupa pada kulitnya.

Page 60: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

38

Dengan demikian, dapat diketahui, bahwa keberadaan akal sebagai

sumber pengetahuan masih dalam perdebatan antara yang menerima dan yang

menolak. Sebagian ada yang menerima akal selain sebagai alat, juga sebagai

sumber ilmu pengetahuan, bahkan akal inilah yang yang sesungguhnya dapat

melahirkan ilmu pengetahuan, dan bukan alam jagat raya. Pendapat ini antara

lain dipegang oleh Plato dan para pengikutnya. Namun ada juga yang didak

sependapat bahwa akal adalah sumber ilmu pengetahuan, melainkan akal hanya

sebatas alat saja.

4) Intuisi (Ilham)

Para ulama mengakui intusi sebagai sumber ilmu pengetahuan. Akan

tetapi keberadaan sumber ini ditolak oleh aliran Materialisme, karena

berpendapat bahwa: jika manusia meyakini hati sebagai suatu sumber

pengetahuan sedangkan manusia pada awalnya dilahirkan ia tidak memiliki

suatu pengetahuan apa pun, dan di dalam hatinya tidak terdapat suatu apapun,

manusia juga meyakini bahwa hati dapat menerima berbagai ilham dan

merupakan peringkat ilham yang paling sempurna, maka sama saja mengakui

adanya alam selain alam materi, karena materi tidak dapat memberikan

berbagai ilham seperti kepada manusia. Unsur ilham adalah unsur metafisika

(Muthahari, 2007: 78).

5) Wahyu (Ayat qauliyah)

Sejak awal diturunkannya al-Qur‟an, wahyu menyatakan dirinya

sebagai petunjuk (hudan), bukti kebenaran (burhan), obat penyakit jiwa (syifa).

Ayat-ayat dalam al-Qur‟an digunakan sebagai sumber bagi lahirnya ilmu

agama Islam, seperti tafsir, fikih, kalam, dalan lain sebagainya.

Selain itu, dengan sifat yang universal dan integrated, al-Qur‟an tidak

hanya mendorong bagi lahirnya ilmu agama Islam, melainkan juga ilmu-ilmu

lainya, sperti sains, ilmu sosial, filsafat, dan tasawuf atau hikmah. Namun

keterkaitan al-Qur‟an dengan berbagai macam ilmu nonkeagamaan isi sifatnya

hanya memberikan isyarat, arah, pedoman, dan prinsip-prinsip umum tentang

bagaimana ilmu-ilmu nonkeagamaan itu dikembangkan. Dengan kata lain,

bahwa jika dalam ilmu-ilmu keagamaan berisi uraian tentang berbagai masalah

yang berkaitan dengan keagamaan, seperti akidah, ibadah dan akhlak, maka

dalam ilmu umum muatan kajian ilmu agama Islam itu tidak didapati, akan

tetapi dikembangkannya ilmu umum agar tidak bertentangan dengan ilmu

agama. Oleh sebab itu antara ilmu umum maupun agama harus saling

melengkapi satu sama lainnya. Tujuannya daripada itu, agar membawa manusia

Page 61: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

39

semakin meningkatkan akidahnya, makin tekun ibadahnya, makin mulia

akhlaknya, dan makin sejahtera hidupnya secara seimbang antara dunia dan

akhirat (Muthahari, 2007: 80).

b. Manfaat Ilmu (Aksiologi)

Menurut al-Qur‟an dan Hadits untuk menggunakan ilmu secara benar

dan memberi manfaat (aksiologi), maka ilmu itu harus disandingkan dengan

iman serta digunakan untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada

Allah dalam bentuk mengarahkan penggunaan ilmu tersebut, demi hal-hal yang

bermanfaat bagi manusia dan untuk mendukung hal-hal yang berdampak positif

bagi umat manusia.

Pada dasarnya ilmu-ilmu sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya,

lahir dalam rangka mensejahterakan kehidupan umat manusia. Misalnya, ilmu

alam bermanfaat bagi pemanfaatan sumber daya alam, sehingga alam tersebut

dapat dimanfaatkan dengan efisien dan efektif. Sedangkan ilmu sosial berguna

untuk menyusun berbagai rencana pengembangan sosial, ekonomi, budaya, dan

lain sebagainya untuk manusia (Nata, 2011: 219). Filsafat berguna untuk

menghaluskan jiwa manusia, dan ilmu agama berguna untuk membina moral

dan akhlak mulia. Lalu filsafat bermanfaat untuk memberikan landasan

pemikiran yang kokoh guna membangun berbagai kehidupan. Dengan adanya

implementasi semua ilmu ini, maka akan dihasilkan kesejahteraan yang

seimbang yang demikian itu dijumpai dalam sejarah Islam di zaman klasik

(Nata, 2011: 220).

Untuk mengetahui kegunaan filfasat ilmu atau untuk apa filsafat itu

digunakan, dapat dimulai dengan melihat filsafat sebagai tiga hal: Pertama,

filsafat ilmu sebagai kumpulan teori digunakan untuk memahami dan mereaksi

dunia pemikiran. Jika seseorang hendak ikut membentuk dunia atau ikut

mendukung suatu ide yang membentuk suatu dunia atau hendak menentang

suatu sistem kebudayaan atau ekonomi atau sistem politik, maka sebaiknya

mempelajari teori-teori filsafatnya (Bidin, 2003: 75-76). Kedua, filsafat sebagai

pandangan hidup. Dalam posisi ini, filsafat menjadi jalan kehidupan. Filsafat

dalam posisi yang kedua ini, semua teori ajarannya diterima kebenarannya dan

dilaksanakan dalam kehidupan. Singkatnya filsafat ilmu sebagai pandangan

hidupnya gunanya ialah untuk petunjuk dalam menjalani kehidupan. Ketiga,

filsafat sebagai metodologi dalam pemecahan masalah. Karakter dan sifat

filsafat, ia menyelesaikan masalah secara mendalam dan universal. Penyelesain

masalah secara mendalam artinya ia menyelesaikan masalah dengan cara

Page 62: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

40

pertama-tama mencari penyebab yang paling awal munculnya masalah (Bidin,

2003: 78).

Dalam Wawasan al-Qur‟an, disebutkan dari wahyu yang pertama

diturunkan, sebenarnya sudah ditemukan petunjuk tentang pemanfaatan ilmu.

Melalui kalimat Iqra Bismi Rabbika, bahwas titik tolak atau motivasi daripada

pencarian ilmu dan tujuan akhir adalah haruslah karena Allah (Shihab, 1997:

439).

Sebagaimana Quraish Shihab mengutip pendapat Syaikh Abdul Halim

Mahmud, dalam memahami Bacalah demi Allah dengan arti untuk

kemaslahatan makhluknya. Bukanlah Allah yang membutuhkan sesuatu, tetapi

makhluklah yang membutuhkan Allah terhadap sesuatu (Shihab, 439-440).

Kemudian, dapat dikatakan karena pada hakikatnya Allah tidak membutuhkan

manusia, justru sebaliknya, manusia yang membutuhkan Allah, maka berarti

motivasi karena ada untuk Allah adalah motivasi dan upaya yang dapat

mendatangkan manfaat dan kemaslahatan untuk makhluk-Nya. Semboyan ilmu

untuk ilmu tidak dikenal dan tidak dibenarkan dalam Islam. Apapun ilmunya,

materi pembahasannya haruslah selalu bismi rabbika, atau dengan kata lain

harus bernilai rabbani. Sehingga, ilmu yang dalam kenyataan dewasa ini

terkesan rabbani.

Dengan demikian ilmuwan Muslim hanya akan mengeksplorasi ilmu

yang jelas-jelas memberikan manfaat dan kemaslahatan untuk umat manusia.

Mereka akan menghindari cara berfikir tentang bidang-bidang yang tidak

menghasilkan manfaat, apalagi hanya menghabiskan energy (Shihab, 1997:

439). Dalam kaitan ini, Rasulullah SAW sering berdoa: اللهن اي اعىذ بك هي علن ال يفع

“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak

bermanfaat”.

Atas dasar inilah, berpikir atau menggunakan akal untuk

mengungkapkan rahasia metafisika, tidak boleh dilakukan. Jika ditinjau dari

sisi manfaat atas penerapan dan orientasinyanya, maka ilmu dibedakan menjadi

dua, yaitu: pertama, Ilmu yang diterapkan dan bermanfaat langsung untuk

kehidupan manusia di dunia. Ilmu dalam kelompok ini adalah yang jelas-jelas

langsung dirasakan dan dibutuhkan oleh manusia di dunia atau dibutuhkan

dalam masa hidupnya. Seluruh ilmu sains mencakup politik, ekonomi, sosial,

budaya dan kejiwaan adalah termasuk dalam kategori kelompok ilmu ini.

Kedua, Ilmu yang bermanfaat secara tidak langsung untuk kehidupan manusia

di dunia, tetapi untuk akhirat dan dimensi spiritual.

Page 63: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

41

Ilmu dalam kelompok ini dikategorikan dengan ilmu-ilmu yang bersifat

non-materi dan hasil yang dirasakan tidak langsung untuk kehidupan manusia

di dunia atau semasa hidupnya. Ilmu ini lebih banyak berkaitan dengan agama

dan keimanan seseorang, seperti bagaimana dan mengapa manusia harus

beragama, harus percaya kepada Tuhan, percaya bahwa sesudah kematian akan

ada kehidupan dan pertanggung jawaban, percaya bahwa ruh itu ada dan akan

kekal setelah kematian serta akan kembali kepada Tuhan Yang Maha Pencipta,

dan lain-lain.

Islam memandang wahyu sebagai sumber ilmu yang primer, karena ia

berkaitan dengan kebenaran absolut. Hal tersebut bertolak belakang dengan

pandangan Barat yang menganggap bahwa semua ilmu diperoleh melaui indera

secara empiris. Ironinya, hal tersebut dianggap sebagai satu-satunya metode

dan sumber yang absah untuk memperoleh ilmu. Para ilmuwan Barat menolak

untuk menerima wahyu sebagai sumber ilmu dan menganggap sebagai “tidak

ilmiah” bahkan merendahkannya ketingkat mitologi atau takhayul.

Sebagaimana diungkapkan oleh Hossein Nasr, pandangan dunia Barat

modern, menolak untuk menganggap setiap pendapat ilmiah yang menjadi

pertimbangan serius, sepanjang menyangkut ilmu dan menolak untuk

menerima kemungkinan dari cara lain dalam memperoleh ilmu, seperti yang

diterima melalui wahyu (Nasr, 1993: 186). Sedangkan Osman Bakar

berpendapat bahwa metode ilmiah modern harus menggugurkan klaimnya yang

menjadikan satu-satunya jalan untuk mengetahui sesuatu. Kemungkinan cara-

cara lain memperoleh ilmu tentang alam semesta patut diakui (Bakar, 1988:

75). Oleh sebab itu, tidak terlalu berlebihan untuk menyimpulkan bahwa

sumber dan metode ilmu dalam Islam lebih konferhensif dari pendekatan Barat.

c. Mengembangkan Ilmu (Epistemologi)

Epistemologi membicarakan mengembangkan dan bagaimana cara

memperoleh pengetahuan sangat beragam. Aristoteles mengemukakan

pengertian epistemologi sebagai: suatu kumpulan yang sistematis dari

pengetahuan rasional denga obyeknya diri sendiri yang tepat”. Sedangkan

Milton D. Hunnez menyatkan bahwa epsitemologi adalah cabang filsafat yang

membahas tentang sifat dasar, sumber dan validitas pengetahuan. Jadi

epistemologi pada dasarnya merupakan wilayah evaluatif dan kritis tentang

pengetahuan (knowledge) manusia, sedangkan filsafat ilmu adalah kritis atas

ilmu pengetahuan (science). Pengetahuan manusia ada tiga macama, yaitu

pengetahuan sains, pengetahuan filsafat, dan pengetahuan mistik (Yusuf, diktat

mata kuliah Filsafat Ilmu, 2000: 3).

Page 64: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

42

1) Metode Penelitian Ilmu Pengetahuan

Uraian sebagaimana pada pembahasan sebelumnya, menyatakan bahwa

dengan bersumber pada alam jagat raya akan dihasilkan sains (natural

sciences); dengan bersumber pada prilaku manusia akan dihasilkan ilmu-ilmu

sosial (social sciences); dengan bersumber pada akal, akan menghasilkan

filsafat, dan dengan bersumber pada hati (indra batin) akan menghasilkan

tasawuf, dan dengan bersumber pada wahyu akan dihasilkan ilmu agama.

Berbagai macam ilmu ini lahir karena menggunakan metode penelitian sebagai

berikut:

a) Penelitian Empiris dan Eksperimen

Penelitian empiris adalah penelitian yang bersifat induktif, yaitu dimulai

dari mengupulkan data-data melalui pengamatan, pencatatan, dan percobaan

terhadap berbagai fenomena alam raya, seperti: sistem tata surya, matahari,

bulan, bintang, benda-benda padat, benda-benda cair, ruang waktu, tumbuh-

tumbuhan, binatang, dan lain sebagainya, dapat diperoleh informasi tentang

hukum-hukum yang serba tetap yang ada di dalamnya. Hukum-hukum tersebut

kemudian diberi kode, identitas, symbol, dan logo, dituangkan dalam sebuah

rumus, dan direkonstruksi menjadi sebuah teori yang siap dibuktikan

kebenarannya. Teori-teori tersebut kemudian disusun secara sistemik,

komperhensif dan konsisten, sehingga dilahirkan ilmu-ilmu murni. Ilmu-ilmu

murni ini kemudian diaplikasikan ke dalam praktik atau kegiatan yang

melibatkan penggunaan alam jagat raya, dan diujicobakan di laboratorium, dari

peroses ini selanjtnya dihasilkan ilmu terapan, seperti ilmu kedokteran, ilmu

kesehatan, ilmu farmasi, ilmu astronomi, dan berbagai macam ilmu terapan

lainnya (applied sciences). Ilmu terapan ini kemudian dipadukan dengan

teknik, maka lahirlah teknologi. Yaitu penerapan teori-teori ilmu dalam praktik.

Penelitian empiris dan eksperimen ini dikenal dengan riset burhani dan

riset ijbari. Riset burhani adalah riset yang di dasarkan pada bukti-bukti

empiris yang dapat dilihat, diamati, dipegang, disentuh, diukur, ditakar,

ditimbang, dan sebagainya. Hasil riset burhani ini adalah ilmu-ilmu murni.

Sedangkan riset ijbari adalah riset yang bersifat uji coba, yakni menguji coba

kebeneran sebuah teori yang dihasilkan melalui riset burhani. Hasil riset ijbari

ini adalah ilmu terapan. Dalam riset ijbari terlebih dahulu harus didasarkan

pada hipotesis yang ingin dibuktikan.

b) Penelitian Sosial

Penelitian sosial adalah penelitian yang bersifat induktif, yakni di mulai

dengan mengumpulkan data-data fenomena kehidupan manusia dan

Page 65: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

43

masyarakat, yakni fenomena kehidupan sosial, ekonomi, politik, budaya,

hukum, dan lain sebagainaya. Data-data tersebut dikumpulkan melalui

observasi, wawancara, angket, diskusi, dan sebagainya. Dalam penelitian ini

seorang peneliti tidak menetapkan hipotesis atau prakonsepsi lainnya. Data-

data yang dikumpulkan melalui berbagai cara tersebut dikumpulkan

sedemikian rupa, secara utuh dan komperhensif, kemudian didialogkan antara

satu data dengan data lainnya, kemudian dianalis dengan menggunakan

berbagai pendekatan ilmu-ilmu tersebut, atau berdasarkan kebijakkan,

kecenderungan, dan berbagai kepentingan lainnya. Dalam penelitian ini

terkadang dapat pula digunakan data-data yang bersifat kuantitatif dan

kualitatif.

Dalam tradisi Islam, penelitian sosial yang menghasilkan ilmu-ilmu

sosial ini dikenal dengan istilah riset istiqra‟ yaitu penelitian yang sifatnya

menetapkan atau menentukan atau merumuskan sebuah temuan berdasarkan

informasi yang dapat dikumpulkan dari lapangan (Nata, 2011: 218).

c) Penelitian Falsafi

Penelitian falsafi adalah penelitian yang dilakukan dengan cara

menggunakan akal (ratio) yang berkerja secara sistemik, radikal, universal,

mendalam, komperhensif, dan spekulatif, dalam rangka menemukan hakikat

atau inti tentang segala sesuatu. Untuk dapat berpikir secara sistemik ini, maka

digunakan bantuan ilmu logika, yaitu ilmu yang mengatur cara berpikir agar

terhindar dari kesimpulan yang keliru. Melalui penelitian ini dapat dihasilkan

filsafat tentang berbagai hal sebagaimana tersebut di atas.

Untuk mendapatkan ilmu filsafat harus menggunakan penelitian falsafi

atau nama lainnya adalah metode penelitian jaddali yang dilakukan dengan

cara berpikir sebagaiman di atas.

Secara harfiyah jaddali artinya perdebatan atau bantahan. Di kalangan

para ahli ada yang mengatakan bahwa filsafat berada pada gray area, yaitu

antara ilmu dan filsafat. Ia tidak dapat disebut ilmu karena kurang memenuhi

ciri-ciri ilmu. Yang sebenarnya adalah filsafat yang telah melahirkan ilmu.

Seperti pasukan marinir yang membuka jalan atau wilayah agar pasukan yang

lain dapat dimasuki. Akan tetapi setelah jalan terbuka dan pasukan lain pun

memasuki wilayah yang telah terbuka, marinir tidak ikut ke wilayah tersebut.

Filsafat adalah induk ilmu, namun setelah ilmu dilahirkan dan tumbuh besar,

ilmu melupakan filsafat, sebagaimana kacang melupakan kulitnya.

Page 66: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

44

d) Penelitian Intuitif

Penelitian intiusi adalah penelitian yang dilakukan dengan cara

menggunakan indra batin, yakni an-nafs, ar-ruh, al-qalb, al-fuad, al-lub, as-sir,

al-zauq dan sebagainya yang dilakukan dengan cara membersihkannya dari

segala dosa dan maksiat, serta menyertainnya dengan akidah yang kokoh,

ibadah yang intensif baik yang wajib maupun yang sunah, wirid, zikir,

muhasab, muraqabah, mujahadah (tazkiyah al-nafs), sebagaimana yang

dialami Zunun al-Misri dan al-Gahazali, almahabbah sebagaimana yang dialam

Rabi‟ah al-Adawiyah.

Penelitian ini disebut juga metode penelitian irfani untuk mendapatkan

ilmu makrifat, yang dilakukan dengan melakukan riyadah dan mujahadah

disertai dengan pembersiahan diri dari dosa serta maksiat. Adapun penelitian

ini berupaya memproleh makrifat, isyrakiyah, muhubbah, ladunni, futuh, atau

wangsit yang dilakuakn dengan riyadah atau melatih diri dan

mengendalikannya dari perbuatan dosa. Untuk hanya mengingat, medekati,

mencintai Allah . Penelitian ini dilakukan oleh para ahli tasawuf yang hasilnya

ia sampaikan dalam ungkapan-ungkapan batin dalam bentuk syair yang mereka

susun berdasarkan pengalaman batin mereka.

e) Penelitian Penjelasan

Penelitian penjelasan adalah penelitian yang dilakukan dengan cara

memahami kandungan ayat al-Qur‟an dengan bantuan ilmu-ilmu al-Qur‟an,

ilmu bahasa Arab dengan berbagai cabang, ilmu istimbat, hukum, ilmu-ilmu

bantu yang relevan, ilmu sejarah dan sebagainya. Penelitian ini antara lain

dapat dilihat pada cara yang dilakukan para puqaha dalam menetapkan sebuah

hukum berdasrkan al-Qur‟an dan al-Sunah, para mufasir dengan metode

penafsirannya.

Paham determinisme, dikembangkan oleh William Hamilton dari doktrin

Thomas Hobbes, yang menyimpulkan bahwa pengetahuan adalah bersifat

empiris yang dicerminkan oleh zat dan gerak yang bersifat universal (Bidin,

2003: 68). Aliran flsafat ilmu ini merupakan lawan dari paham fatalism yang

berpendapat bahwa segala kejadian ditentukan oleh nasib yang telah ditetapkan

lebih dulu (Suriasumantri, 1990: 75).

Ilmu memberikan pengetahuan sebagai dasar bagi seseorang untuk

mengambil keputusan, dimana keputusan itu didasarkan kepada penafsiran

kesimpulan ilmiah yang bersifat realtif. Dengan demikian, maka kata akhir dari

suatu keputusan terletak pada ilmuan yang didukung teori-teori keilmuan.

Keputusan yang didasarkan pada penafsiran ini memerlukan asumsi terhadap

Page 67: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

45

ilmu dan interpretasi yang mendalam. Untuk mengembangkan asumsi ini, maka

harus diperhatikan beberapa hal, yaitu: Pertama, asumsi ini harus relevan

dengan bidang dan tujuan pengkajian disiplin keilmuan. Kedua, asumsi ini

harus disimpulkan dari keadaan sebagaimana adanya, bukan bagaimana

keadaan seharusnya. Asumsi dalam kajian filsafat ilmu membantu batasan-

batasan penjelajahan. Ilmu memulai penjelajahannya pada pengalaman

manusia dan berhenti di batas pengalaman manusia. Ilmu diharapkan

membantu manusia, dan persoalan mengenai hari kemudian tidak akan

ditanyakan kepada ilmu, melainkan pada agama. Sebab agamalah pengetahuan

yang mengkaji masalah-masalah seperti itu (Anshari, 1987: 57). Oleh sebab itu,

ilmu tanpa (bimbingan moral) agama adalah buta, sedangkan agama tanpa ilmu

adalah pincang.

Tujuan pencarian ilmu dalam Islam adalah untuk memperoleh

kebahagiaan di dunia dan di akhirat (fi al-dunya hasanah wa fil akhirati

hasanah). Oleh sebab itu, tujuan pencarian ilmu tidak sekedar untuk

memperoleh manfaat materi atau memenuhi kebutuhan fisik saja, tetapi juga

untuk memenuhi kebutuhan moral dan spiritual yang bersifat ruhani.Tujuan

dari pencarian ilmu selaras dengan tujuan penciptaan manusia, yaitu untuk

mengetahui, ibadah dan untuk mencapai ridhla dan kedekatan dengan-Nya

(taqarrub). Seperti disimpulkan oleh Hazm, bahwa tujuan ilmu adalah untuk

memperoleh ridhla untuk mendekatkan diri kepada-Nya, serta untuk

memperoleh kesejahteraan di dunia yang meliputi manusia secara keseluurhan

(Chenje, 1982: 80).

Dengan demikian, tujuan dari pencarian ilmu adalah untuk membawa

manusia kepada fitrahnya yang asal, yakni menjadi manusia yang baik. Seperti

dinyatakan oleh Sayed M. Naquib al- Attas, bahwa tujuan dari pencarian ilmu

adalah untuk menanamkan kebaikan atau keadilan pada manusia sebagai

manusia dan diri pribadi, dan bukan hanya pada manusia sebagi warga Negara

atau bagian integral dari masyarakat (al-Attas: 1978: 141).

Berbagai faktor di atas mendorong kemajuan umat Islam dalam bidang

ilmu pengetahuan antara satu dan lainnya saling melengkapi. Berbagai faktor

ini, terutama yang berkaitan dengan tradisi ilmiah perlu ditumbuhkan kembali

dalam dunia Islam. Berbagai pandangan yang menganggap bahwa mempelajari

ilmu pengetahuan umum sebagai yang terlarang, haram dan mengikuti budaya

Barat, sama sekali tidak sesuai atau bertentangan dengan ajaran Al-Qur‟an dan

hadits serta peraktik kehidupan ulama shalih di zaman klasik. Pandangan

bahwa mempelajari ilmu pengetahuan sebagai terlarang dan mengikuti budaya

Barat sepintas dapat dimaklumi, karena yang menguasai ilmu pengetahuan dan

Page 68: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

46

teknologi di masa sekarang adalah orang-orang Eropa dan Barat yang

mendasarkan ilmunya pada pandangan sekularistik dan antroposentris, yakni

hanya berdasarkan pada penalaran umat Islam semata, serta tidak melibatkan

landasan nilai moral, spiritual dan akhalak mulia (Nata, 2011: 373).

Lahirnya pandangan yang diharapkan, menganggap bahwa ilmu agama

dan ilmu umum adalah berasal dari Allah Swt. Oleh sebab itu, antara satu objek

dan kajiannya saja yang berbeda, sedangkan hakikatnya adalah ayat-ayat Allah

yang harus disandingkan. Hanya dengan pandangan integralistiklah umat Islam

akan mencapai kejayaan kembali sebagaimana yang terjadi di zaman klasik

dan dapat merebut kembali supermasi sebagai pemandu perkembangan

kebudayaan dan peradaban dunia. Inilah yang dijanjikan Allah Swt dalam Q.S

al-Mujadalah ayat 11.1

d. Faktor-faktor yang Mendorong Pengembangan Ilmu Pengetahuan

Terdapat sejumlah faktor yang mendorong umat Islam melakukan

pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai berikut: Pertama,

Faktor ajaran Islam. Ayat yang pertama kali turun, yakni surat al-„Alaq ayat 1-

5 berisi perintah membaca dalam arti yang seluas-luasnya yakni membaca yang

tertulis dan yang tidak tertulis (al-Qur‟an), fenomena alam jagat raya dan

Fenomena sosial, dengan cara mengobservasi, mengenali, mencari unsur-unsur

persamaan dan perbedaan, menganalisis dan menyimpulkannya yang

selanjutnya menjadi teori dan dari teori dapat dirumuskan menjadi ilmu

pengetahuan. Selanjutnya di dalam hadis Rasulullah Saw. terdapat perintah

untuk menuntut ilmu.

طلب العلم فريضة على كلى مسلم وإن طالب العلم يستغفر له كل شيء حتى

)رواه ابن عبدالبر عن أنس(البحر الحيتا ن في Menuntut ilmu itu adalah wajib bagi setiap orang Islam, dan orang-

orang yang menuntut ilmu akan diampuni dosanya oleh segala

sesuatu, hingga binatang laut (Majah, 1995; 81, al-Albani, t.t; 7360).

Dengan tradisi membaca dan menulis ini, masyarakat Arab mengambil

alih pemandu kebudayaan dan peradaban dunia yang semula berpusat di

1 “Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu: "Berlapang-

lapanglah dalam majlis", Maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan

untukmu. dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", Maka berdirilah, niscaya Allah akan

meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu

pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (Q.S.

al-Mujadillah:11).

Page 69: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

47

Mesopotamia, Yunani, Cina, India, Persia, Romawi dan Arkadia. Dunia Arab

khususnya dan dunia Islam dengan pusatnya Makkah, Madinah, Baghdad,

Spanyol dan Mesir, mengambil alih pemandu peradaban dunia yang

berdasarkan nilai-nilai al-Qur‟an dan Hadits (Nata, 2011: 370). Maka dari

sinilah lingkungan dan budaya yang ada di berbagai daerah di mana Islam

terus berkembang. Sebagaimana diketahui, bahwa Islam lahir di Makkah dan

berkembang di luar Makkah dan Madinah, seperti di Baghdad, Mesir dan

Persia, yang mana dimasa lalu pernah mengalami kemajuan dalam bidang ilmu

pengetahuan dan kebudayaan serta peradaban.

Adanya tradisi ilmiah yang sangat kuat, yaitu tradisi mencintai ilmu

pengetahuan, membaca, dan menulis, meneliti, membangun lembaga

pendidikan, mengoleksi buku, manuskrip dan membangun perpustakaan,

menerjemahkan manuskrip, mewakafkan tanah, dan segala sesuatu untuk

pendidikan, melakukan perjalanan ilmiah ke berbagai daerah yang jauh,

memberikan bantuan dan penghargaan kepada para penulis buku dan ilmuan,

menyebarkan ilmu keseluruh penjuru dunia, berdebat, berdiskusi, dan

berpendapat. Dengan tradisi ilmiah inilah yang demikian kuat, maka umat

Islam mencapai kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan, kebudayaan, dan

peradaban Islam (Nata, 2011: 210-214). Selanjutnya dalam ajaran Islam

mewajibkan pada seluruh penganutnya agar melakukan berbagai kegiatan

dalam bidang apa saja dengan berbasis pada ilmu pengetahuan yang dihasilkan

melalui bacaan, riset, dsb. Islam melarang penganutnya bersikap taqlid, yakni

mengikuti kebiasaan orang lain tanpa mengetahui dasar pengetahuan dan

menganggap bahwa setiap amal perbuatan yang tidak disertai ilmu pengetahuan

akan tertolak (Nata, 2010: 211-214).

Maka secara historis timbulnya dorongan untuk mengembangkan ilmu

pengetahuan karena hal-hal yang besifat pragmatis, yakni bahwa dalam rangka

membangun dan memakmurkan dunia Islam yang sudah demikian luas,

diperlukan sejumlah tenaga ahli dalam berbagai bidang untuk keperluan

membangun infrastruktur, sarana prasarana, sistem pemerintah, sistem

ekonomi, dan lain sebaginya. Untuk itu diperlukan tenaga ahli untuk

menterjemahkan karya-karya tulis dsb. Dengan kata lain, bahwa kemajuan

dalam bidang ilmu pengetahuan yang pernah dicapai dunia Islam di zaman

klasik adalah karena sikap keterbukaan, akomodatif, dan responsive terhadap

warisan dan ilmu pengetahuan dari luar dengan tetap berpegang dalam nilai-

nilai al-Qur‟an dan hadis.

Kedua, Adanya pandangan yang bersifat integrated, komperhensif, dan

holistis dalam memandang ilmu pengetahuan dengan agama. Umat Islam pada

Page 70: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

48

waktu itu memandang bahwa mengembangkan ilmu pengetahuan merupakan

perihal agama yang bersifat ibadah dan amal shaleh. Mengembangkan ilmu

matematika, fisika, biologi, kedokteran, sosilogi, ekonomi dsb. Sebagaimana

perintah Tuhan yang bernilai ibadah. Mengembangkan ilmu pengetahuan

dengan mempelajari berbagai fenomena alam dan sosial adalah sama halnya

membaca ayat-ayat Allah yang bersifat kosmologis atau ayat-ayat yang bersifat

kauniah. (Al Mujam al-Mfaras li Alfadz Al-Qur‟an , t.t: 421-248).

Berbagai faktor di atas mendorong kemajuan umat Islam dalam bidang

ilmu pengetahuan antara satu dan lainnya saling melengkapi. Berbagai faktor

ini, terutama yang berkaitan dengan tradisi ilmiah perlu ditumbuhkan kembali

dalam dunia Islam. Berbagai pandangan yang menganggap bahwa mempelajari

ilmu pengetahuan umum sebagai yang terlarang, haram dan mengikuti budaya

Barat, sama sekali tidak sesuai atau bertentangan dengan ajaran Al-Qur‟an dan

hadits serta peraktik kehidupan ulama shalih di zaman klasik. Pandangan

bahwa mempelajari ilmu pengetahuan sebagai terlarang dan mengikuti budaya

Barat sepintas dapat dimaklumi, karena yang menguasai ilmu pengetahuan dan

teknologi di masa sekarang adalah orang-orang Eropa dan Barat yang

mendasarkan ilmunya pada pandangan sekularistik dan antroposentris, yakni

hanya berdasarkan pada penalaran umat Islam semata, serta tidak melibatkan

landasan nilai moral, spiritual dan akhalak mulia (Nata, 2011: 373).

Yang diharapkan ialah lahirnya pandangan yang menganggap bahwa

ilmu agama dan ilmu umum adalah berasal dari Allah Swt. Dan antara satu

objek dan kajiannya saja yang berbeda, sedangkan hakikatnya adalah ayat-ayat

Allah yang harus disandingkan. Hanya dengan pandangan integralistiklah umat

Islam akan mencapai kejayaan kembali sebagaimana yang terjadi di zaman

klasik dan dapat merebut kembali supermasi sebagai pemandu perkembangan

kebudayaan dan peradaban dunia.

Page 71: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

49

Bagan 2.2: Konseptual Islam tentang Ilmu dan Penelitian

C. Pandangan Islam tentang Alam

Islam melihat alam bertasbih, saling terkait satu sama lain dengan

manusia. Alam juga berjiwa, ia akan merasa sedih jika ada manusia yang

merusak alam, sebagai contoh: ketika manusia menginjak rumput atau pohon

Tuhan

Al-Qur’an dan Hadits

Akal Wahyu I

l

m

u

Ilmu sains, alam,fisika

Tumbuh-tumbuhan

Hewan

Manusia

Makhluk ghaib Malaik

Jin

Syaitan

Metafisik (No-material)

Bulan

Matarahari

Bintang

Fisik (material)

Alam semsta yang terilmukan

Ilmu Pasti: Matematika

Ilmu Alam:

Fisika,Biologi,Astronomi,

Kedokteran, Kimia

Ilmu Sosial: Sosiologi,

Sejarah,

geografi,Antropologi Ilmu

Terapan:

Ekonomi

Metode

Ijbari

(Eksperie

men)

Hari akhir

Page 72: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

50

apabila di tebang, ia akan mengeluarkan getah, hal tersebut sebagai respsentasi

bahwa pohon memiliki jiwa dan merasa sedih (mengeluarkan air mata) jika di

tebang rusak kelestariannya. Akan tetapi alam juga akan menjadi sahabat bagi

manusia, apabila ia di lestarikan, di manfaatkan dan di rawat, maka pohon akan

mengeluarkan bunga dan juga buah yang dapat dimakan oleh manusia, hal

tersebut adalah sebagai tanda trimakasih alam kepada manusia sebagai kholifah

di Bumi.

Alam mengandung ayat-ayat Allah (kauniyah) sebagai tanda

bahwasanya alam merupakan kebesaran Tuhan Yang Maha Kuasa, Menurut

Islam pandangan terhadap alam semesta bukan hanya berdasarkan akal semata.

Alam semesta difungsikan untuk menggerakkan emosi dan prasaan manusia

terhadap keagungan al-Khaliq, kekerdilan manusia di hadapan-Nya, dan

pentingnya ketundukan kepada-Nya. artinya, alam semesta dipandang sebagai

dalil qath‟i yang menunjukkan keesaan dan ketuhanan Allah.

1. Alam semesta adalah diciptakan untuk satu tujuan

Alam semesta ini tidak diciptakan berdasarkan permainan atau senda

gurau. Firman Allah:

Dan Kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di

antara keduanya dengan bermain-main. Kami tidak menciptakan

keduanya melainkan dengan haq, tetapi kebanyakan mereka tidak

mengetahui.”(Q.S.ad-Dukhaan:38-39)

2. Tunduknya semesta adalah takdir Allah.

Pandangan Islam terhadap alam semesta menimbulkan berbagai

dampak dalam bidang pendidikan, diantaranya adalah Firman Allah:

Page 73: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

51

Dan suatu tanda (kekuasaan Allah yang besar) bagi mereka adalah

malam; Kami tanggalkan siang dari malam itu, Maka dengan serta

merta mereka berada dalam kegelapan. Dan matahari berjalan

ditempat peredarannya. Demikianlah ketetapan yang Maha Perkasa

lagi Maha mengetahui. Dan telah Kami tetapkan bagi bulan manzilah-

manzilah, sehingga (setelah Dia sampai ke manzilah yang terakhir)

Kembalilah Dia sebagai bentuk tandan yang tua. Tidaklah mungkin

bagi matahari mendapatkan bulan dan malampun tidak dapat

mendahului siang. dan masing-masing beredar pada garis edarnya.

(Q.S. Yaasiin: 37-40)

Peredaran matahari dan bulan pada garis edarnya tidak akan

menyimpang dan tidak akan berbeda musimnya. Masing-masing berjalan

menurut sunah kauniyah yang telah diciptakan Allah dan selaras dengan

ketetapan Allah. Demikian pula dengan gerak kehidupan di bumi, Allah telah

memberikan penghidupan yang sesuai dengan kadar dan ketentuan. Dia telah

menurunkan sesuatu, hujan misalnya, kecuali menurut kadarnya. Kepada

manusia, Allah telah mengajarkan ihwal perhitungan melalui pergantian siang

dan malam, pergantian musim, dan bulan-bulan Komariyah.

Dan Kami jadikan malam dan siang sebagai dua tanda, lalu Kami

hapuskan tanda malam dan Kami jadikan tanda siang itu terang, agar

kamu mencari kurnia dari Tuhanmu, dan supaya kamu mengetahui

Page 74: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

52

bilangan tahun-tahun dan perhitungan. dan segala sesuatu telah Kami

terangkan dengan jelas. (Q.S. Al-Israa‟: 12)

Dari ayat-ayat di atas dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya, seluruh

ilmu hitung bertumpu pada pengulangan satuan bilangan yang sama dan

penambahan bilangan yang satu ke bilangan yang lainnya. Konsep tersebut

berlaku pada sistem penjumlahan, yang menambahkan berbagai kelompok

bilangan yang berbeda; sistem perkalian yang mengulang kelompok bilangan

yang sama; sistem pengurangan yang membuang salah satu satuan bilangan;

serta sistem pembagian yang membagian perkalian satuan bilangan sejenis dan

sama. Konsep tersebut melahirkan manusia-manusia yang pakar dalam bidang

aritmatika, aljabar, kalkulus, diferensial, atau kalkulus integral. Dengan

demikian konsep dasar bidang-bidang ilmu hitung itu lahir dari perhitungan

hari, bulan, dan tahun yang semuanya itu berkaitan erat dengan kekuasaan

Allah untuk menentukan rotasi bumi, bulan dan musim.

Dari gambaran di atas kita menemukan bahwa dalam mendidik

manusia, al-Qur‟an memiliki dua prinsip ilmiah yang melengkapi aspek

pasivisme, finalitas dan logika. Dua prinsip itu adalah: Pertama, Berulangnya

berbagai kejadian semesta melalui sunnah yang ditetapkan Allah. Dia yang

Mahaagung dan Mahatinggi berkuasa mengubah sunnah itu jika Dia kehendaki.

Prinsip itu merupakan landasan dalam berfikir ilmiah, dengan landasan itu,

manusia bereksploitasi dan berkreasi dalam segala fenomena peradaban.

Sesungguhnya sunnah-sunnah semesta dengan segala kejadian,

fenomena dan wujudnya, mulai dari yang berupa atom hingga yang terbesar,

merupakan ciptaan Allah yang diturunkan sesuai dengan kadarnya, tidak lebih

dan tidak kurang. Tidak ada satupun perkara yang melampaui batasan-Nya dan

merusak keseimbangan atau sistem lain yang berdekatan, baik dengan

mempengaruhi maupun dipengaruhi. Prinsip tersebut telah diambil oleh

ilmuwan Muslim dari al-Qur‟an dan dikembangkan dalam sains. Dalam

perkembangannya, ilmu-ilmu itu dikuasai oleh ilmuwan Eropa, terutama untuk

hal-hal yang berhubungan dengan metode berfikir ilmiah, kaidah ilmu modern,

dan logika. Prinsip inilah yang menunjukkan logika yang ilmiah, yaitu

melakukan observasi ilmiah berdasarkan analogi kuantitatif, bukan berdasarkan

deskripsi kualitatif. Dengan demikian, kita dapat mengembangkan akal secara

cermat dan mengambil segala sesuatu berdasarkan analogi.

Page 75: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

53

3. Keteraturan semesta adalah kekuasaan Allah

Allah adalah penata sunnah semesta yang dengan topangan kekuasaan-

Nya, Dia menjalankan dan mengatur semesta sebagaimana ditegaskan dalam

firman-Nya:

Dan Dia menahan [benda-benda] langit jatuh ke bumi, melainkan

dengan izin-Nya…” (Q.S. al-Hajj: 65)

Manusia merupakan bagian dari alam semesta ini. Karenanya dalam

segala persoalan hidup dan matinya, manusia harus tunduk pada ketentuan

Allah, Penguasa tertinggi dan sunnah-sunnah ciptaan-Nya.

4. Alam semesta tunduk kepada Allah

Dari bahasan terdahulu, kita dapat menyimpulkan bahwa seluruh

semesta ini tunduk pada pengaturan, perintah, iradat dan kehendak Allah. Allah

menjelaskan hal itu dalam berbagai ayat:

Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih

kepada Allah. Dan tidak ada satupun melainkan bertasbih dengan

memujinya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka.

sesungguhnya Dia adalah Mahapenyantun lagi Mahapengampun.

(Q.S. al-Israa‟: 16-17)

Ketaatan dan ketundukan alam semesta membuktikan keagungan dan

kesucian Allah. Maka manusia yang berfikir dan berakal, lebih layak lagi untuk

mengakui nikmat dan karunia Allah, merasakan kebesaran-Nya, atau memuji

dan menyucikan-Nya dengan bertasbih. Inilah pendidikan manusia yang paling

mendasar.

5. Alam semesta ditaklukkan untuk manusia.

Agama Islam adalah agama yang istimewa. Melalui pengarahan bahwa

manusia telah diberi kekuasaan oleh Allah untuk memanfaatkan segala potensi

alam semesta ini. Yang jelas, Allah telah menaklukkan alam semesta bagi

Page 76: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

54

manusia, mulai dari yang pengaruhnya besar, seperti matahari, hingga yang

pengaruhnya kecil, seperti atom dan lebah. Firman Allah:

Allah-lah yang telah menciptakan langit dan bumi dan menurunkan air

hujan dari langit, kemudian Dia mengeluarkan dengan air hujan itu

berbagai buah-buahan menjadi rezki untukmu; dan Dia telah

menundukkan bahtera bagimu supaya bahtera itu, berlayar di lautan

dengan kehendak-Nya, dan Dia telah menundukkan (pula) bagimu

sungai-sungai. Dan Dia telah menundukkan (pula) bagimu matahari

dan bulan yang terus menerus beredar (dalam orbitnya); dan telah

menundukkan bagimu malam dan siang. Dan Dia telah memberikan

kepadamu (keperluanmu) dan segala apa yang kamu mohonkan

kepadanya. dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat

kamu menghinggakannya. Sesungguhnya manusia itu, sangat zalim dan

sangat mengingkari (nikmat Allah). (Q.S. Ibrahim: 32-34)

Page 77: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

55

Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu

dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh

langit. dan Dia Maha mengetahui segala sesuatu. (Q.S. al-Baqarah: 29)

Dan Dia menundukkan malam dan siang, matahari dan bulan untukmu.

dan bintang-bintang itu ditundukkan (untukmu) dengan perintah-Nya.

Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda-tanda

(kekuasaan Allah) bagi kaum yang memahami (Nya), Dan Dia

(menundukkan pula) apa yang Dia ciptakan untuk kamu di bumi ini

dengan berlain-lainan macamnya. Sesungguhnya pada yang demikian

itu benar-benar terdapat tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang

mengambil pelajaran. Dan Dia-lah, Allah yang menundukkan lautan

(untukmu), agar kamu dapat memakan daripadanya daging yang segar

(ikan), dan kamu mengeluarkan dari lautan itu perhiasan yang kamu

Page 78: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

56

pakai; dan kamu melihat bahtera berlayar padanya, dan supaya kamu

mencari (keuntungan) dari karunia-Nya, dan supaya kamu bersyukur.

Dan Dia menancapkan gunung-gunung di bumi supaya bumi itu tidak

goncang bersama kamu, (dan Dia menciptakan) sungai-sungai dan

jalan-jalan agar kamu mendapat petunjuk, dan (dia ciptakan) tanda-

tanda (penunjuk jalan). dan dengan bintang-bintang Itulah mereka

mendapat petunjuk. Maka Apakah (Allah) yang menciptakan itu sama

dengan yang tidak dapat menciptakan (apa-apa) ?. Maka mengapa

kamu tidak mengambil pelajaran. Dan jika kamu menghitung-hitung

nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya.

Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi Maha

Penyayang. (Q.S an-Nahl: 12-18)

Sebagaimana ayat di atas dapat juga dikatakan bahwa alam dapat

membawa manfaat bagi manusia, Allah telah menundukkan malam dan siang,

matahari dan bulan, bintang-bintang untuk manusia dengan perintah-Nya. Hal

tersebut sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda-tanda

(kekuasaan Allah). Dan Allah jugalah menundukkan lautan untuk umat

manusia agar dapat memakan daripadanya ikan, dan mengeluarkan dari lautan

itu perhiasan yang dapat dipakai manusia dalam berhias. Oleh karena itu sudah

sepantasnya manusia supaya dapat bersyukur.

Dan Allah menancapkan gunung-gunung di bumi supaya bumi itu tidak

bergoncang, lalu Allah menciptakan sungai-sungai dan jalan-jalan agar

manusia mendapat petunjuk, dan juga menciptakan tanda-tanda penunjuk jalan

dengan bintang-bintang. Setiap ayat yang diturunkan sejak 14 abad silam,

menuturkan pemanfaatan sinar matahari, cahaya bulan, tenaga angin, cahaya

bintang, gunung-gunung, lautan, dan segala perkara yang telah ditundukkan

Allah bagi manusia dan Allah pun telah memberikan kunci-kuncinya kepada

manusia. Dan jika dilihat dari segi pendidikan, al-Qur‟an telah mendidik

manusia dalam pemanfaatan alam semesta melalui cara yang tidak

menyesatkan atau melampaui batas. Dengan demikian pemanfaatan tersebut

mengotori air sungai, tidak berlebihan dalam memanfaatkan satwa lautan, serta

tidak mendhalimi saudaranya lewat permusuhan atau dusta.

Sebagaimana ayat-ayat Allah di atas terlihat jelas, bahwa alam di

tundukkan kepada manusia agar mereka dapat berpikir dengan akal sehatnya,

terdapat keagungan Allah. Oleh karena itu manusia harus dapat memanfaatkan

alam sebaik mungkin dan tidak boleh di ekploitasi untuk kepentingan pribadi,

agar alam senantiasa dapat terus membrikan manfaatnya untuk kelangsungan

Page 79: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

57

hidup manusia. Jika tidak, maka alam jugalah yang akan memberikan dampak

yang tidak baik untuk manusia, seperti pemanasan global yang sudah

meresahkan masyarakat.

Ayat-ayat di atas dan juga ayat lain yang sejenis mendorong manusia

untuk melembutkan hati, memuji Allah, menyukuri nikmat Allah, bertasbih

kepada Allah, dan bertauhid kepada Allah, serta mampu mendidik daya afeksi

dan emosional manusia untuk tunduk kepada Allah. Selain itu melalui ayat

tersebut, akal manusia terdidik untuk terbiasa dalam kondisi ilmiah. Artinya

kita menggunakan prinsip praktis dan penggunaan kaidah-kaidah ilmiah dalam

mengolah potensi alam untuk kesejahteraan manusia.

Ketika manusia melihat alam begitu mengagumkan, maka alam pun

disembah sebagaimana pada masyarakat Mesir kuno misalnya, dengan sifat

keprimitifannya, jika sungai Nil menjadi kering maka mereka berupaya

memberikan pengorbanan berupa wanita-wanita cantik untuk diberikan kepada

alam untuk dikorbankan, agar alam kembali memberikan manfaat pada

masyarakat Mesir kuno lewat sungai Nil tersebut.

Akan tetapi jika melihat sisi Tauhid, sangat bertentangan sekali dengan

Islam, bahwasanya Islam tidak mengajarkan sebagaimana pada masyarakat

Mesir. Tetapi pada prinsipnya sama, bahwa alam dapat di manfaatkan guna

kelangsungan hidup orang banyak.

Ilmu adalah hasil usaha manusia dalam menentukan kebenaran, akan

tetapi ilmu sifatnya tidak mutlak, karena ia adalah hasil pemikiran manusia,

oleh sebabi itu ilmu dapat juga salah. Jadi dapat disimpulkan bahwa ilmu

mengandung kebenaran dan juga kesalahan.

Ilmu menggunakan bahan-bahan yang diciptakan oleh Tuhan, agar

manusia dapat menggunakannya dengan bijak untuk memashlahatan umat

manusia dimuka Bumi. Ilmu alat untuk bisa dekat dengan Tuhan, untuk bisa

berbuat baik pada manusia. Oleh karenanya ilmu saling terkait antara, manusia,

alam dan Tuhan.

Ilmu alam adalam bersifat empiris dan juga rasional, sebagai contoh

ilmu alam yang bersifat empiris: apabila ada tanaman yang ditanam, yang

ditanam dengan perawatan menggunakan pupuk dan air yang cukup, maka

tanaman tersebut akan tumbuh subur, dan akan menghasilkan buah yang

banyak hal tersebut dapat diterima oleh akal, lalu ada tanaman yang diberi

pupuk dengan yang tidak dapat diketahui perbedaannya sangat jelas. Oleh

karenanya ilmu alam dapat memperkuat sendi-sendi keilmuan yang

berdasarkan pada Tauhid.

Page 80: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

58

D. Pandangan Islam tentang Dikotomi Ilmu

Jika dilihat dalam pesepektif Islam, adakalanya persepektif tersebut

ditinjau dari perspektif al-Qur‟an dan hadits, karena dua hal tersebut

merupakan sumber hukum utama umat Islam. Oleh karenanya, jika melihat hal

tersebut yakni dikotomi ilmu dari tinjauan perspektif Islam, berarti sama halnya

menyoroti dari tinjauan al-Qur‟an dan hadits.

Al-Qur‟an dan al-Hadits sesungguhnya tidak membedakan antar ilmu

Agama dan Islam dan Ilmu-ilmu Umum.Yang ada dalam al-Qur‟an adalah

ilmu. Pembagian adanya ilmu agama Islam dan Ilmu-ilmu Umum adalah

merupakan hasil kesimpulan manusia yang mengidentifikasi ilmu berdasarkan

sumber objek kajiannya (Nata, 2003: 69).

Dalam Islam, sejak dahulu tidak pernah ada perbedaan atau

pengkotakan demikian, hal ini terjadi sejak daerah-daerah muslim di jajah oleh

kaum penjajah Belanda dengan mengarahkan agar umat muslim mengurangi

kegiatan duniawi dan memberi persiapan lebih bagi persiapan hidup sesudah

mati (Rohan, 2009: 317-318).

Sedangkan dalam ajaran Islam sendiri, sikap dikotomis terhadap ilmu

dalam arti yang berlebihan, bahkan diskriminatif, bukan saja tidak didapati

justru dalam al-Qur‟an dan Hadits, akan tetapi yang didapati justru sebaliknya,

yakni bertentangan dengan pesan suci Tuhan yang memunculkan konsep ilmu

yang integral dari al-Qur‟an dan Hadits itu sendiri. Bahkan al-Qur‟an dan

Hadits sama sekali tidak melakukan diskriminasi dalam menyebut dan

menganjurkan pendalaman ilmu pengetahuan ke dalam sebutan ilmu agama

dan ilmu umum (ilmu non-agama).

Sedangkan menurut Husni Rahim mengatakan tentang masalah

dikotomi dalam pendidikan agama dan pendidikan umum sebagai berikut:

Munculnya masalah ini berawal dari keyakinan bahwa agama adalah

langsung dari Tuhan, sedangkan ilmu adalah hasil pemikiran manusia.

Keyakinan ini berkesimpulan bahwa agama adalah bersifat mutlak

nisbi. Agama bertitik tolak dari keyakinan atau keimanan, sedangkan

ilmu justru dimulai dengan keraguan dan ketidak percayaan. Seluruh

ayat al-Qur‟an merupakan sumber ajaran utama agama Islam. Secara

harfiyah diyakini datangnya dari Tuhan Yang mempunyai kebenaran

mutlak. Akan tetapi terjemahan atau penafsirannya oleh manusia

bersifat nisbi, yang dapat berkembang sesuai dengan perkembangan,

kondisi dan situasi kehidupan manusia, termasuk di dalamnya berbagai

ilmu agama yang meliputi ilmu tafsir, ilmu hadits, fiqih, ilmu tauhid dan

sebagainya (Rahim, 2005: 29).

Page 81: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

59

Menurutnya pula, berdasarkan pengamatannya bahwa sebagian besar

materi pendidikan agama Islam terdiri dari ilmu-ilmu ciptaan ulama Islam,

maka dapat dinyatakan bahwa yang jelas–jelas merupakan ibadah mahdoh atau

ibadah wajib, serta ayat-ayat al-Qur‟an (Qath‟i), berdasarkan ajaran agama

terutama yang menyangkut kehidupan masyarakat (Mu‟amalah) dapat

dikembangkan sesuai zaman (Rahim, 2005: 30).

Segala ilmu pengetahuan seluruhnya pada hakikatnya berasal dari

Allah, karena sumber-sumber ilmu tersebut berupa wahyu, atau pun alam jagat

raya, manusia sebagai makhluk yang diberikan akal pikiran dengan segala

intuisi batin yang diberikan oleh Allah. Dengan demikian para ilmuwan dalam

berbagai bidang pun sebenarnya bukan pencipta, melainkan hanya penemu

saja, sedangkan penciptanya tetap Allah. Atas dasar pandangan tauhid tersebut

maka seluruh ilmu hanya dibedakan dalam nama dan istilahnya saja, sedangkan

hakikatnya dan subtansi ilmu tersebut sebenarnya satu dan berasal dari zat

Allah SWT. Atas pandangan ini, maka tidak ada pandangan dikotomis yang

mengistimewakan antara satu ilmu atas pelbagai ilmu yang lainnya.2

Selanjutnya, bukti bahwa al-Qur‟an dan Hadis tidak mengenal adanya

pemisahan antara ilmu agama dan ilmu umum. Hal ini dapat dipahami dari

uraian sebagai berikut:

Pertama, di dalam ajaran Islam setiap penganutnya dianjurkan agar

meraih kebahagiaan hidup yang seimbang antara akhirat dan dunia. Hal ini

misalnya dapat di pahami dari ayat al-Qur‟an dan hadis sebagai berikut:

“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu

(kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan

2 Pandangan dikotomis ilmu pengetahuan sebenrnya tidak dikenal oleh Islam .sejak

dahulu Islam tidak memberikan merek atau label nama terhadap ilmu yang dihasilkan dengan

sebutan Islam. Islam hanya memberikan nama pada objek yang sesuai dengan subtansi, seperti

Teologi, Fiqih, Tasawuf dsb. Sedangkan dikotomi yang ada di Indonesia adalah buah tangan

dari colonial Belanda yang berpandangan skularistik, yaitu pandangan yang memisahkan antara

urusan agama dengan urusan keduniaan.

Page 82: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

60

bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada

orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan

janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya

Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”

(Departemen Agama R.I, 2005: 385).

Islam adalah rahmatanlil‟alamin (rahmat untuk semua alam), tuntunan

hidup bagi manusia secara universal. Dengan diturunkanya agama Islam

kepada umat Islam, tidak lain adalah untuk kesejahteran hidup umat Islam itu

sendiri, bukan saja di peruntukkan di dunia, akan tetapi diperuntukan di alam

keabadian yakni akhirat kelak. Untuk mendaptkan ksejahteraan hidup, tentunya

dengan sebuah ajaran agama Islam, dan dalam sebuah ajaran agama tentunya

terdapat ilmu, dan ilmu merupakan esensi atau nilai yang berharga bagi

kehidupan manusia.

Dengan adanya konsep diatas, jelas sekali bahwa Islam mendasarkan

ajaranya kepada semua ilmu yang dapat memberikan kebaikan dan

kesejahteraan untuk dunia dan akhirat. Bahkan jika di runtutkan bahwasanya

sikap dikotomis terhadap ilmu merupakan sikap kontradiktif dengan ajaran

agama Islam itu sendiri. Tujuan diturunkan agama kepada manusia pun adalah

untuk kesejahteraan hidup manusia sebagai khalifah (pemimpin), sekaligus

hamba Allah di muka bumi ini dalam menumbuhkan diri manusia sesuai

dengan fitrahnya. Hal tersebut memberi isyarat bahwa manusia berkewajiban

menumbuhkan kesadaran akan kedudukannya sebagai makhluk yang mulia dan

yang terbaik. Dengan konsep ini pula sangat jelas bahwa Islam mendasarkan

ajarannya pada integrasi ilmu yang dapat memberikan kebaikan dan

kesejahteraan untuk dunia dan akhirat.

Dalam Islam juga ada nilai-nilai dualisme ontologik ilmu pengetahuan

yaitu qauliyah dan kauniyah bermuara pada kemaslahatan umat manusia dalam

membangaun peradaban semangat tauhid. Akan tetapi, dualisme ontologik

dalam doktrin Islam tersebut tidak sampai memunculkan dikotomi ilmu

pengetahuan atau bahakan menempatkan dua varian ilmu pengetahuan pada

suksesi supertioritas dan inferioritas yang akhirnya pada pelabelan hukum ilmu

itu sendir (Soebahar, 2009: 36).

Kemudian, jika ditelusuri didalam al-Qur‟an dan hadits tentang ilmu,

justru akan didapati betapa Allah dan Rasul-Nya sangat menghargai ilmu dan

orang yang mempelajari serta memiliki ilmu pengetahuan dengan tidak

Page 83: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

61

membedakan dan membatasi jenis ilmunya. Bahkan, Allah memberikan

kedudukan terhormat kepada mereka yang beriman dan berilmu.3

Rasulullah juga sangat menghargai ilmu pengetahuan melalui beberapa

ungkapan penghargaan, juga dengan tidak membedakan dan membatasi jenis

ilmu pengetahuannya. Rasulullah bersabda sebagai berikut:

طلب العلن فر يضة على كل هسلن و هسلوة “Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim, laki-laki

maupunperempuan (al-Hasyimy Bek, 1948: 206).

ة جه علوا سهل اهلل به طريما الى الهي سلك طر يما يلتوس في Barangsiapa merintis suatu jalan untuk mencari ilmu, maka

Allahakan memudahkan baginya jalan menuju surga. (al-Hasyimy Bek,

2005: 301).

Para ulama-ulama Islam tidak hanya membahas masalah-masalah

keagamaan dengan berpegang pada wahyu saja, akan tetapi melalui akal.

Menurut Azumardi Azra, fungsi akal yang besar dipergunakan dalam

pembahasan masalah-masalah keagamaan dijumpai bukan hanya dalam bidang

filsafat, tauhid atau teologi dan fiqih. Bahkan dalam pengembangan peradaban

Islam sendiri, akal sangat memainkan peran penting. Salah satu contohnya

adalah kontak pemikiran Islam dengan pemikiran-pemikiran lainnya, seperti

pemikiran Yunani, Persia, Cina, dan India, membawa pada pengembangan

kebudayaan Islam menjadi lebih maju, Islam mengambil bagian-bagian tertentu

dari pemikiran tersebut, kemudian disesuaikan dengan ajaran agama Islam,

sehingga menyatu dengan kebudayaan Islam secara keseluruhan (Azra, 1998:

50-52).

Berdasarkan uraian tersebut di atas terlihat dengan jelas bahwa al-

Qur‟an dan hadits memiliki pandangan yang integrated, baik pada dataran

ontologis, epistemologis, maupun aksiologis. Pandangan ini jauh lebih unggul

dibandingkan dengan pandangan pengembangan ilmu-ilmu pengetahuan yang

dikembangkan di Barat yang bersifat pasial, tidak utuh dan tidak kokoh,

sehingga mudah sekali ilmu-ilmu tersebut digunakan untuk tujuan-tujuan yang

dapat menghancurkan harkat dan martabat manusia (Mujieb, 2009: 39-43). Jika

diitinjau dari sisi materi obyeknya, maka ilmu dibagi menjadi dua, yaitu:

3Departemen Agama R.I, Al-Qur‟an Madinah Terjemah dan Tajwid Tafsir Ibnu

Katsir, Surah al-Mujadilah : 11. Lihat juga, Q.S al-Fathir (35) ayat 28, Q.S, al-Zumar (39) ayat

9, Q.S. al-Ra‟du (13) ayat 16 dan Q.S. Hud (11) ayat 24.

Page 84: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

62

1. Obyek ilmu yang bersifat materi

Obyek ilmu materi adalah obyek ilmu yang dapat didengar, dilihat

atau dirasakan. Contohnya adalah ilmu-ilmu dalam kategori alam nasut

(alam materi). Artinya alam dunia, yakni alam yang dihuni oleh manusia

yang disebut alam al-Mulk, “alam kekuasaan”. Alam nasut merupakan

alam kasat mata atau alam syahadah. Dan alam malakut (alam kejiwaan)

yaitualam kegaiban, merupakan alam jin, yang sebagian menjelma dari

intelek. Oleh karena itu, jin berpotensi mencapai pengetahuan Allah Swt.

Wahyu yang disampaikan ke alam manusia (alam Nasut), juga

disampaikan ke alam Malakut, seperti sains yang ada sekarang, mencakup

ilmu eksak (ilmu pasti) dan non eksak (seperti politik, ekonomi, sosial

budaya dll).

2. Obyek Ilmu yang bersifat non-materi

Obyek ilmu non-materi adalah obyek ilmu yang tidak dapat

didengar, dilihat, ataupun dirasakan. Hasil akhir dari obyek ilmu non-

materi biasanya lebih dirsakan sebagai kepuasan spiritual berupa

ketenangan jiwa, perasaan nyaman, motivasi keyakinan, dan

sejenisnya.Contoh obyek ilmu non-materi misalnya obyek yang

membicarakan tentang ruh (alam jabarut) (Mujieb, 2009: 42)4, sifat-sifat

ketuhanan (alam lauhut)5 dan wujud Tuhan (alam hahut).

Adapun terjadinya dikotomi antara ilmu agama Islam dengan ilmu

umum antara lain karena adanya perbedaan pada dataran ontology,

4 Alam Jabarut adalah alam kekuasaan Allah Swt. Alam ini juga merupakan realitas

yang disebut “singgasana” (al-Arsy). Hal ini merupakan bagian supraformal atau manifestasi

kemalaikatan, yang diliputi dan terdiri dari ciptaan formal, sedang ia sendiri di liputi oleh

being, dan being di balik being. Alam Jabarut telah menjadi bagian dari ciptaan, namun masih

belum menggambarkan alam nyata. Alam Jabarut merupakan kehidupan surgawi setelah

kehidupan ini, namun bukan sebagai Jannah al-Zat, “surga tertinggi”, atau surga esensi. 5 Lahut berasal dari kata al-llah atau “Ketuhanan”. Lahut adalah being dan “pribadi

Tuhan”. Alam ini terkadang disebut pula dengan alam „Izzah (alam keagungan). Sebagai

bagian dari nama-nama sifat Allah Swt. Ia merupakan al-Khaliq (pencipta) dalam kaitannya

dengan dunia, dan sebagai “Tuhan Pribadi” , yang mendengarkan permohonan, yang

mematikan, yang menghidupkan, yang mencipta, yang menerima tobat. Ia mestilah

memperkukuh apa yang diakui dalam Islam sebagai yang Absolut atau Hatut, dan bahkan

memperkokoh keunikkan-Nya. Bahkan tanpa keberadaan Tuhan sebagai pencipta, mustahil

wujud dunia, dan tanpa keberadaan Tuhan sebagai pemberi wahyu niscaya tidak ada

pengetahuan. Sebagimana tersirat dalam Q.S.al_Qalam, “Allah berfirman kepada qalam.

“Tulislah!” Pena lalu bertanya, “Apa yang mesti saya tulis?” Allah Swt. Menjawab, Tulislah

pengetahuan Ku mengenai ciptaan-Ku, hingga datang hari kebangkitan.”.

Page 85: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

63

epistemology, dan aksiologi kedua bidang ilmu pengetahuan tersebut.

Sebagaimana diketahui bahwa Ilmu agama Islam bertolak dari wahyu yang

mutlak benar dan dibantu dengan penalaran yang dalam proses penggunaannya

tidak boleh bertentangan dengan wahyu. Sementara itu ilmu pengetahuan

umum yang ada selama ini berasal dari Barat dan berdasarkan pada pandangan

filsafat yang ateistik, materialistic, skularistik, empiristik, rasionalistik, bahkan

hedonistic. Dua hal yang menjadi dasar kedua bidang ilmu ini jelas amat

berbeda, dan sulit dipertemukan (Nata, 2003: 4).

E. Dualisme Keilmuan dalam Pendidikan Islam

Pendidikan adalah suatu usaha sadar dan teratur serta sistematis, yang

dilakukan oleh orang-orang yang bertanggung jawab, untuk mempengaruhi

anak agar mempunyai sifat dan tabiat sesuai dengan cita-cita pendidikan.

Agama Islam adalah agama yang bersumber pada wahyu Allah Swt. yang

diturunkan kepada seluruh umat manusia melalui Nabi Muhammmad SAW

untuk mengatur tata hidup manusia, baik hubungan dengan.

Ahmad Tafsir dalam bukunya lmu pendidikan dalam persepektif Islam,

menyebutkan bahwa:“pendidikan Islam adalah bimbingan yang diberikan oleh

seseorang kepada orang lain agar ia berkembang maksimal sesuai dengan

ajaran Islam” (Tafsir, 1994: 32).

Muhammad Isa Ibrahim menyatakan bahwa: “pendidikan Islam pada

hakekatnya merupakan sistem pendidikan yang memungkinkan seseorang yang

dapat mengarahkan kehidupannya sesuai dengan cita-cita Islam, sehingga

dengan mudah ia dapat membentuk hidupnya sesuai dengan ajaran Islam”

(Arifin, 1993: 3).

Sedangkan menurut Ahmad D. Marimba: “pendidikan Islam adalah

bimbingan jasmani, rohani berdasarkan hukum-hukum agama Islam menuju

kepada terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran-ukuran Islam”

(Uhbiyati, 1988: 9).

Pendidikan Islam adalah pendidikan yang bertujuan untuk membentuk

pribadi muslim seutuhnya, mengembangkan seluruh potensi manusia baik yang

berbentuk jasmaniah maupun rohaniyah, menumbuh suburkan hubungan

harmonis setiap pribadi kepada Allah, manusia dan alam semesta. Dengan

demikian, pendidikan Islam itu berupaya unuk memahami hakikat pendidikan

Islam itu bertolak dari pemahaman terhadap konsep manusia menurut Islam.

Serta sifat-sifat atau hal-hal yang melekat pada pendidikan Islam yang

digunakan sebagai dasar manusia untuk mencapai tujuan hidup manusia yang

selalu mengabdi kepada Allah Swt. (Aziz, 2012: http : //www.pdf.finder.com.)

Page 86: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

64

Bila disimpulkan pendidikan Islam akan mempunyai pengertian yaitu

bahwa pendidikan Islam merupakan proses transformasi ilmu pengetahuan dan

internalisasi nilai-nilai ajaran Islam pada peserta didik melalui pertumbuhan

dan pengembangan potensi guna keselarasan hidup dalam semua aspek.

Menurut Armai „Arif dalam Athiyah al Abrasyi, dalam lintas sejarah

umat Islam, pada masa-masa awal kehadiran Islam di dataran Makkah, dengan

tokoh utamanya adalah Nabi Muhammad Saw, persoalan di dunia

kependidikan Islam masih amat bersahaja. Nabi Muhammad Saw., misalnya

mengajarkan Islam kepada para sahabatnya tidak dalam forum khusus dan

formal, seperti ketika dilangsungkannya pengajaran tentang Islam di rumah al-

Aqra. Pengajaran yang diberikan oleh Nabi Muhammad Saw. pada masa itu

lebih bersifat pendidikan individual atau personal yang menekankan pada

aspek kognitif. Materi yang diajarkan terfokus pada persoalan-persoalan

keagamaan murni sesuai dengan yang diterima dari Allah Swt. (al-Abrasy ,

1975: 90).

1. Paradigma Signifikansi Integrasi Keilmuan

Maraknya kajian dan pemikiran integraisi keilmuan (Islamisasi ilmu

pengetahuan) sangat kental di bicaran oleh kalangan intelektual muslim, seperti

Naquib al-Attas dan Ismail Raji‟ al-faruqi, tidak terlepas dari kesadaran

berislam di tengah kemajuan ilmu teknologi. Mereka berpendapat bahwa umat

Islam akan maju dan dapat menyusul Barat, manakala mampu

mentransformasikan ilmu pengetahuan dalam memahami wahyu, atau

sebaliknya, mampu memahami wahyu untuk mengembangkan ilmu

pengetahuan (Djakfar, 2002: 235-4).

Integrasi keilmuan al-Farabi dimanifestasikan dalam hierarki keilmuan

yang dibuatnya. Ia menyebut ada tiga kriteria dalam penyusunan hierarki ilmu:

Pertama, berdasarkan kemuliaan subjek ilmu. Dari sini al-Farabi memandang

bahwa astronomi memenuhi criteria materi subjek yang mulia karena dengan

benda-benda yang paling sempurna, yaitu benda-benda langit atau benda-benda

angkas. Kedua, kedalaman bukti-bukti yang didasarkan bukti-bukti yang

didasarkan atas pandangan tentang sistematika pernyataan kebenaran dalam

berbagai ilmu yang ditandai oleh perbedaan drajat kejelasan dan keyakinan.

Menurut kriteria ini, metode penemuan dan pembuktian kebenaran beberapa

ilmu lebih sempurna dan lebih hebat ketimbang ilmu-ilmu lainnya. Ketiga,

berdasarkan besarnya manfaat suatu ilmu. Klasifikasi ilmu Al-Farabi, karena

bukan didasarkan atas ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum tetapi

berdasarkan ketiga faktor diatas, maka yang terjadi adalah upaya

pengintegralkan (Islamisasi) ilmu pengetahuan. Berbeda dengan Al-Farabi, Al-

Page 87: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

65

Ghazali, bisa dikatakan tidak mencetuskan ide-ide kesatuan ilmu pengetahuan.

Ia justru sibuk dengan usahanya mengkasifikasikan ilmu pengetahuan

berdasarkan “asas-asas dikhotomi keilmuan”, dimana ia secara sadar

memisahkan antara ilmu-ilmu agama (religious/ukhrawi/fardhlu„ain) dan ilmu-

ilmu umum (intelek/duniawi/fardhu kifayah).6

Usaha Natsir untuk mengintegralkan sistem pendidikan Islam

direalisasikan dengan mendirikan sistem pendidikan Islam, yang menyatukan

dua kurikulum, antara kurikulum yang dipakai sekolah-sekolah tradisional yang

lebih banyak memuat pelajaran agama dengan sekolah Barat yang memuat

pelajaran umum (Arief, 2002: ii).

Begitu juga pembaharuan sistem pendidikan Islam yang dilakukan oleh

Mukti Ali dalam usahanya memformulasasikan lembaga madrasah dan

pesantren dengan cara memasukkan materi pelajaran umum ke dalam lembaga-

lembaga yang pendiriannya diorientasikan untuk tafaqquh fi al-din.

Begitu juga tidak jauh berbeda gagasan yang dikembangkan harun

Nasution dalam upayanya menyatukan (menghilangkan) dikotomi antara ilmu-

ilmu agama Islam dan ilmu-ilmu umum di lembaga pendidikan tinggi Islam,

khususnya IAIN Jakarta dengan cara pendekatan kelembagaan dan kurikulum.

Pendekatan kelembagaan telah”memaksa” IAIN Jakarta merubah statusnya

menjadi UIN Jakarta yang berimplikasi pada perubahan kurikulum.

Menurut Armai Arief, berbagai dikotomi antara ilmu-ilmu agama dan

ilmu-ilmu umum pada kenyataannya tidak mampu diselesaikan dengan

pendekatan modernisasi sebagaimana yang pernah dilakuka Abduh, Ahmad

Khan, Mukti Ali dan Harun Nasution, maka Ismail Raji al-Faruqi dan Naquib

al-Attas melakkan pendekatan berbeda dalam rangka Islamisasi pengetahuan,

yakni pendekatan purifikasi atau penyucian (Arief, 2002: 38).

Al-Faruq menyatakan bahwa sistem pendidika Islam telah dicetak

dalam karikatur Barat sehingga dipandang sebagai inti malaise atau penderitaan

yang dialami umat. Ia juga menambahkan sistem pendidikan yang kini berjalan

di dunia Islam terbelah atas dua cabang “modern” yang sekuler dan sistem

“tradisional”

6Ilmu religius meliputi ilmu tentang prinsip-prinsip dasar (al-ushul); ilmu tentang ke-

esaan Tuhan (al-ilm al-tauhid); ilmu tentang kenabian, termasuk di dalamnya tentang para

sahabt; ilmu tentang akherat atau eksatologi; ilmu tentang sumber pengetahuan religious.

Sedangkan keriteria ilmu-ilmu intelektual didominasi oleh ilmu-ilmu umum seperti:

matematika, aritmatika, geometri, astronomi, music, logika, fisika, atau ilmu alam,

meteorology, kedokteran, dan lain sebagainya. ia terjebak pada proses dikhotomi, dengan

maksud membahas perbedaan antara ilmu fadhlu kifayah dan ilmu fardlu „ain.

Page 88: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

66

Pendikotomian ini menurutnya merupakan symbol kejatuhan peradaban

umat Islam. Karena sesungguhnya setiap aspek harus dapat mengungkapkan

relevansi Islam dalam ketiga sumbu tauhid. Pertama, kesatuan pengetahuan,

Kedua, kesatuan hidup, Ketiga, kesatuan sejarah (al-Faruqi, 1984: ix-xii).

Sementara itu, menurut al-Attas, tantangan terbesar yang tengah

dihadapi umat Islam dewasa ini adalah berupa tantangan pengetahuan, bukan

dalam bentuk sebagai kebodohan tetapi pengetahuan yang dipahamkan dan

disebarkan ke seluruh dunia oleh peradaban Barat.

Dikotomi ilmu-ilmu agama Islam dan ilmu-ilmu umum juga disebabkan

karena adanya kolonialisme Barat atas dunia Islam sejak abad ke-18 hingga

abad ke-19, dimana Negara-negara Islam tidak mampu menolak upaya-upaya

yang dilakkan Barat, terutama injeksi budaya dan peradaban. Karena itu,

budaya Barat mendominasi budaya tradisional setempat yang telah dibangun

sejak lama.

Dikotomi ini pada kelajutannya, berdampak negative terhadap

kemajuan Islam. Setidaknya ada empat masalah akibat dikotomi ilmu-ilmu

umum dan ilmu-ilmu agama. Pertama, munculnya ambivalensi dalam sistem

pendidikan Islam, dimana selama ini, lembaga-lembaga semacam pesantren

dan madrasah mencitrakan dirinya sebagai lembaga pendidikan Islam yang

bercorak tafaqquh fi al-din yang menganggap persoalan mu‟amalah bukan

garapan mereka; sementara itu, modernisasi sistem pendidikan dengan

memasukkan kurikulum pendidikan umum ke lembaga tersebut telah

mengubah citra pesantren dan madrasah sebagai lembaga tafaqquh al-din

tersebut. Akibatnya telah terjadi pergeseran makna bahwa mata pelajaran hanya

menjadi stempel yang dicapkan untuk mencapai tujuan sistem pendidikan

modern yang sekuler (Arief, 2002: 132).

Kedua, munculnya kesenjangan antra sistem pendidikan Islam dan

ajaran Islam. Sistem pendidikan yang ambivalen mencerminkan pandangan

dikotomis yang memisahkan antara ilmu-ilmu angama dan ilmu-ilmu umum.

Pandangan ini jelas bertentangan dengan konsep ajaran Islam sendiri yang

bersifat integral, dimana Islam mengajarkan keharusan adanya keseimbangan

antara urusan dunia (umum) dengan urusan akhirat (agama).

Ketiga, terjadinya distintegrasi pendidikan Islam, diman masing-masing

sistem (modern/umum) Barat dan agama (Islam) tetap bersikukuh

mempertahankan pendiriannya. Meski jalan kompromi semisal modernisasi

telah diusahakan, tetapi Karena adanya hegemoni sistem umum atas sistem

agama, maka tetap memunculkan dikotomi sistem keilmuan.

Page 89: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

67

Keempat, munculnya inferioritas pengelola lembaga pendidikan Islam.

Hal ini disebabkan karena sistem pendidikan Barat yang pada kenyataannya

kurang menghargai nilai-nilai kultural dan moral telah dijanjikan tolak ukur

kemajuan dan keberhasilan sistem pendidikan bangasa kita (Ikhrom, 2001: 87-

89).

Dengan demikian, paradigma integrasi ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu

umum muncul sebagai bentuk kekhawatiran sebagian pemikir muslim terhadap

ancaman yang sangat dominan terhadap pandangan non-muslim, khususnya

pandangan ilmuan Barat sehingga umat Islam harus menyelamatkan identitas

dan otoritas ajaran agamanya.

Integrasi antara ilmu-ilmu agama Islam dan ilmu-ilmu umum berarti

usaha mengislamkan atau melakukan purifikasi terhadap ilmu pengetahuan

produk Barat yang selama ini dikembangkan dan dijadikan acuan dalam

wacana pengembangan sistem pendidikan Islam, agar diperoleh ilmu

pengetahuan yang bercorak “khas Islami”.

Watak intelektual keislaman IAIN / UIN yang moderat, rasional dan

terbuka seperti inilah yang sekali lagi, menjadi faktor penting terhadap

tingginya akseptabilitas masyarakat dan bangsa terhadap alumni IAIN/ UIN

Jakarta. Hampir tidak ada kesulitan yang sangat berarti untuk menentukan

alumni IAIN / UIN di LSM / NGO, Ormas Islam, lembaga pendidikan, majelis

ta‟lim, pengurus masjid, partai politik, birokrasi, dunia usaha, lembaga-

lembaga advokasi/konsultan rasional maupun internasional. Berdasarkan

kepada realitas seperti ini maka berpikir integrative menjadi penting untuk

terus diperkuat dan dikembangkan. Itulah sebabnya, secara akademik UIN

Jakarta mengembangkan apa yang disebut dengan prinsip “integrasi keilmuan;”

UIN menolak adanya dikotomi Islam dan Ilmu Pengetahuan karena disamping

memang tidak sesuai dengan prinsip yang diajarkan dalam al-Qur‟an juga

preseden historisnya menunjukkan bahwa masa kejayaan Islam (The golden

age of Islamic History ) era pertengahan dulu terwujud karena semangat

integrative. Terlepas dari tema Ismail al-Faruqi tentang “Islamaztion of

Knowledge”, UIN hingga sekarang terus berupaya memperkokoh bangunan

ilmu pengetahuan yang integrative agar alamuninya memiliki bekal dan alat-

alat keilmuan yang cukup untuk memahami, mengerti dan mengurusi

kehidupan lebih tepat (Halim, 2012: 103-105).

Melalui integrasi keilmuan ini akan membuka peluang semakin luas

bagi alumni UIN untuk berkiprah. Teori-teori ilmu sosial dan ekonomi modern

misalnya, melalui sekema integrasi ini akan mendapatkan atau diperkaya

dengan persepektif baru yaitu “keindonesiaan dan keislaman” dan tentu saja ini

Page 90: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

68

akan jauh lebih produktif karena UIN tidak menjadi konsumen intelektual

teori-teori Barat. Riset-riset akan terus dikembangkan melalui persepektif atau

sudut pandang baru ini dengan hasil yang bisa lebih memberikan manfaat

kemaslahatan bagi umat Islam dan bangsa. Ini memang peluang besar UIN dan

para almuninya pada saat teori-teori ilmu konvensional saat ini mulai

mendapatkan kritikkan tajam karena dinilai telah gagal untuk menyelesaikan

berbagai persoalan. Memang harus diakui bahwa gagasan integrasi tentu

bukanlah sulapan yang dalam waktu singkat berubah. Hal ini membutuhkan

proses serius, panjang dan melibatkan banyak pihak. Tahun 2006, masa

Azumardi Azra menjadi rector. Sudarnoto Abdul Halim terlibat mnjadi salah

satu anggota tim integrasi keilmuan. Setelah melakukan serangkaian diskusi

yang melibatkan banyak pihak, tim berhasil menyusun sebuah buku penting “

Integrasi Keilmuan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta menuju Universitas riset”.

Diantara pakar yang ikut memberikan catatan, komentar dan kritik

terhadap konsep yang kemudian dibukukan ialah Mulyadi Kartanegara. Tentu

saja buku ini sifatnya lebih kongkrit dan praktis agar integrasi ini benar-benar

terwujud. Mulyadi Kartanegara tentu sudah mendahului menulis soal integrasi

ini. banyak gagasan yang sangat bermanfaat dalam rangka integrasi ini.

Sudanoto pun sangat sependapat misalnya dengan komentar Quraish Shihab

bahwa “Intgerasi belum berjalan; yang ada adalah penyandingan Islam dan

Ilmu.” Trendnya sudah benar, akan tetapi butuh kerja keras agar bangunan ilmu

di UIN ini benar-benar tegak kokoh dan berdampak konstruktif bagi banyak

orang. Konsep integrasi keilmuan yang dikembangkan di UIN se-Indonesia,

secara subtansial sesungguhnya pada muara yang sama, yakni peniadaan

dikotomi antara kebenaran wahyu dan kebenaran sains. Dengan kata lain,

integrasi keilmuan sesngguhnya ingin memadukan kebenaran wahyu (agama)

dengan kebenaran sains yang diimplementasikan dalam konsep pendidikan

(Rifa‟i, 2014: 27).

Page 91: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

69

BAB III

SEJARAH PERTUMBUHAN DAN PENGEMBANGAN

ILMU PENGETAHUAN DALAM ISLAM

A. Ilmu Pengetahuan Islam di Era Rasulullah SAW. Ketika Islam diturunkan, bangsa Arab dikenal dengan sebutan kaum

Jahili. Ahmad Amin, Guru Besar Sastra Universitas Al Qahirah mengemukakan

bahwa pada awal kemunculan Islam Kaum Quraisy penduduk Makkah sebagai

bangsawan di kalangan bangsa Arab hanya memiliki 17 orang yang pandai baca

dan tulis. Nabi Muhammad Saw. menganjurkan pengikut-pengikutnya belajar

membaca dan menulis. Suku Aus dan Kharaz penduduk Yatsrib (Madinah)

hanya memiliki 11 orang yang pandai membaca (Amin, 1965; 141, Arief, 2005:

56).1 Hal tersebut menyebabkan bangsa Arab masih sedikit sekali yang mengenal

ilmu pengetahuan dan kepandaiaan lain. Kehidupan mereka mengikuti hawa

nafsu, berpecah belah, saling berperang atau dengan yang lain karena sebab yang

sepele, yang kuat menguasai yang lemah, wanita tidak ada harganya,

berkelakuan hukum rimba, yakni siapa yang kuat maka ialah yang berkuasa.

Keistimewaan orang Arab hanyalah ketinggian dalam bidang syair-syair jahili

yang disebarkan secara hafalan. Agama warisan Nabi Ibrahim As. Dan Nabi

Islamil as.hanya tinggal bekas-bekasnya yang telah diselewengkan.

Di lain pihak bangsa-bangsa lain di dunia pada saat yang bersamaan.

Bangsa Byzantium, Persia, dan India yang lebih maju menjelang Islam lahir, tak

kurang-kurangnya kebejatan moral dan kerusakan aqidah mereka. Para raja-raja

mereka berlaku aniaya dan agama mereka telah jatuh pada kemusyrikan.

Menghadapi kenyataan itulah Nabi Muhammad diutus oleh Allah dengan

tujuan untuk memperbaiki akhlak, baik akhlak untuk berhubungan dengan Tuhan

maupun dengan sesama manusia. Pada masa Nabi gerakan ilmu hanya tertuju

pada telaah agama, maka kemudian berkembang menjadi luas (Poeradisastra,

2008: 12).

Dalam masalah ilmu pengetahuan perhatian Rasul sangatlah besar.

Rasulullah Saw. memberi contoh revolusioner bagaimana seharusnya

mengembangkan ilmu. Rasulullah mendapatkan hal-hal yang akan menjadi

1 Umat Islam pada masa awal membutuhkan pemahaman al-Qur‟an sebagaimana adanya,

begitu juga dalam keterampilan (membaca dan menulis). Dalam tulisannya, dikatakan bahwa Siti

Aisyah (Istri Nabi), Zaid bin Tsabit disuruh belajar tulisan Ibrani dan Suryani. Budak-budak belian

dibebaskan apabila mereka telah mengajar sepuluh orang Muslim membaca dan menulis.

Sebagaimana Maksum dalam tulisan Armai Arief, mengemukakan bahwa Ibnu Khaldun mencatat

bahwa pada awal kedatangan Islam orang-orang Quraisy yang pandai membaca dan menulis

hanya berjumlah 17 orang dan kesemuanya adalah laki-laki.

Page 92: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

70

landasan dasar dalam usahanya yaitu: Pertama, Wahyu pertama yang diterima

Rasul berbunti Iqra (bacalah). Perintah ini sebetulnya adalah perancangan dan

juga pemberantasan buta huruf, atau membebaskan manusia bebas dari ketidak

tahuan. Kedua, Bangsa Arab adalah bangsa yang kuat hafalannya. Hal tersebut

merupakan salah satu alat untuk pengembangan ilmu pengetahuan. Oleh

karenanya umat Islam diperintahkan untuk menghafal Al Qur‟an dengan

sungguh-sungguh. Ketiga. Adanya budaya menulis dan juga mencatat dari Nabi.

Semua para sahabat yang dapat membaca dan menulis diangkat oleh beliau

menjadi juru tulis, baik mecatat wahyu yang turun di berbagai lembaran, seperti

pelepah kurma, kayu, kulit hewan, batu dsb. Ada dua sumber pokok ajaran Islam

yaitu al-Qur‟an dan al-Hadits yang harus ditulis dan di hafal secara utuh untuk

mendorong kaum Muslimin awal untuk bersungguh-sungguh mementingkan

kepandaian tulis baca (Yunus, 1996: 42). Dengan semangat yang tinggi dari Nabi

Muhammad dan juga dorongan yang kuat untuk belajar pada permulaan wahyu,

maka saat itu munculah tempat atau lembaga untuk belajar menulis, membaca

dan menghafal Al-Qur‟an. Keempat. Al Qur‟an merupakan sumber ilmu

pengetahuan, yang memuat kisah-kisah terdahulu, segala macam hukum dasar

dalam Islam, sifat-sifat Allah.2

Dengan landasan diatas Rasulullah mulai membangun jiwa umat Islam.

Rasul membimbing sahabt-sahabat untuk beriman dan juga berilmu. Berawal

dari rumah Rasulullah sendiri digunakan untuk berdakwah, kemudian Nabi

membuat satu tempat pertemuan di rumah sahabat yang bernama Abu al-Arqam,

di luar kota Makkah. Tempat itulah yang dikenal Dar al-Arqam.

Lembaga Dar al Arqam merupakan pusat kegiatan ummat Islam awal.

Mula-mula secara sembunyi-sembunyi karena khawatir terhadap tindakan suku

Quraisy yang tidak menyukai Rasul. Dalam perkembangannya menjadi tempat

yang terbuka untuk umum. Kegiatannya pun bertambah banyak.

Bangsa Arab sebelum Islam, secara struktural kelihatannya tidak

mementingkan lembaga pendidikan formal. Hal tersebut berkaitan dengan

budaya mereka yang bertumpu pada tradisi lisan. Pendidikan mereka didasrakan

pada ikutan atau taqlid. Anak-anak berkembang atas dasar mengikuti dan

mencontoh perilaku orang dewasa. Sebagaimana kabilah dan suku memang telah

mengajarkan prinsip-prinsip hidup yang dibanggakan, seperti sya’ir-sya’ir.

Beberapa ilmu yang berkembang sebelum Islam adalah: Ilmu nasab, sejarah, dan

agama. Abu Bakar ahli di bidang tersebut dan ia juga ahli dalam ilmu cuaca

(Fanani, 2006: 41-42).

2 Q.S. Ali Imron:191. “(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau

duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi

(seraya berkata): "Ya Tuhan Kami, Tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci

Engkau, Maka peliharalah Kami dari siksa neraka.”

Page 93: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

71

B. Ilmu Pengetahuan Islam di Era Khulaur ar-Rasyidin. Setelah kelanjutan perkembangan ilmu dan juga pendidikan Islam di era

Rasulullah, lalu dilanjutkan oleh para khalifah Khulafaur ar-Rasyidin yaitu: Abu

Bakar al-Shidiq berkuasa selama kurang lebih dua tahun (632-634 M),

dilanjutkan oleh Umar bin Khatab, berkuasa selama 10 tahun (634-644 M),

Usman bin Affan, berkuasa selama 12 tahun (644-656 M), Ali bin Abi Thalib,

berkuasa selama kurang lebih lima tahun (656-661 M). dengan demikian, masa

kekhalifahan Khulaur ar-Rasyidin berlangsung 29 tahun (Yatim, 1994; 35-36,

Nasution, 1977; 22-23, al-Usairy, 2003; 139-177).

Kelanjutan dari meluasnya kekuasaan Islam ada dua gerakan perpindahan

manusia, orang Arab Muslim keluar jazirah Arab, orang Arab datang ke jazirah

Arab. Dua gerakan perpindahan ini membawa dampak tersendiri, baik positif

maupun negatife.Orang Ajam yang berasal dari luar Arab adalah bangsa yang

pernah mewarisi kebudayaan yang lebih tinggi dibandingkan dengan bangsa

Arab. Walaupun nyala api ilmu pengetahuan mereka hampir padam, namun

bekasnya masih nyata. Hal ini terlihat pada adanya kota-kota tempat

perkembangan kebudayaan Yunani seperti Iskandariyah, Antioka, Yonde, Harran

dan Shapur. Kedatangan mereka ke jazirah Arab, dimana kemudian mereka

masuk Islam dan berbahasa dengan bahasa Islam (Arab) serta berkeyakinan

dengan keyakinan Islam. Mendorong penguasa waktu itu yakni Umar bin

Kahatab, memerintahkan untuk membuat tata bahasa Arab agar mereka terhindar

dalam membaca Al-Qur‟an dan Hadits Nabi.

Menurut Musyrifah Sunanto, Ali bin Abi Thalib-lah pembuatan pertama

dasar-dasar ilmu nahwu yang selanjutnya disempurnakan oleh Abu al-Aswad al

Duwaly. Selain itu perlu menafsirkan ayat Al-Qur‟an sehingga mereka terhindar

dari kesalahan dalam memahami. Maka bertindaklah beberapa sahabat dalam

menafsirkan al-Qur‟an seperti yang didengan oleh Nabi dan dari pemahaman

mereka sendiri sebagai ahli bahasa. Mereka adalah Ali bin Abi Thalib, Abdullah

bin Ibn Abbas, Abdullah bin Mas‟ud, Ubay bin Kaab. Merekalah yang dianggap

sebagai mufasir pertama dalam Islam.

Untuk kepentingan pengajaran di luar jazirah Arab, dikirim guru-guru

yang terdiri dari sahabat-sahabat ahli ilmu, yaitu, Abdullah bin Mas‟ud pergi ke

Kuffah, Abu Musa Al-Asy‟ari dan Anas bin Malik pergi ke Bashrah, Muadz,

Ubadah, Abu Darda dikirim ke negri Syam, Abudllah bin Amr bin Ash dikirim

ke negri Mesir. Melalui tangan-tangan merekalah berkembang ilmu pengetahuan

keIslaman dinegeri-negeri tersebut dan menghasilkan banyak ulama (ahli ilmu).

Selanjutnya umat Islam mulai bergerak untuk mempelajari adat istiadat

mereka, kaedah-kaedah orang Yahudi, Nasrani, ilmu-ilmu yang berkembang di

kalangan mereka. Hanya saja usaha-usaha mulia khalifah Umar itu tidak

berlangsung lama, karena Umar terbunuh oleh orang yang sakit hati padanya.

Namun umar tetap diakui oleh sarjana muslim dan bukan muslim bahwa ia

Page 94: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

72

adalah orang kedua sesudah Nabi yang paling menentukan jalannya kebudayaan

Islam.

Kedudukan khalifah selanjutnya diganti oleh Usman bin Affan, seorang

yang lemah lembut. Walaupun ia mempunyai beberapa kelebihan, tetapi dalam

hal pemikiran kreatif Usman tidak muncul. Justru kelemah-lembutannya

dipergunakan oleh keluarga bani Ummayah yang pernah memegang kekuatan

politik sebelum Islam untuk meningkatkan dan mengembalikan kedudukannya

sebagai pemimpin kaum Quraisy pada masa Islam. Peluang yang dimanfaatkan

oleh keluarga bani Ummayah untuk menduduki jabatan penting menyebabkan

timbulnya berbagai protes dan sikap oposisi yang datang hampir dari seluruh

daerah. Gerakan itu berakhir dengan pembunuhan terhadap kholifah ketiga,

Usman bin Affan.

Diduga terjadinya pembunuhan Usman merupakan malapetaka besar yang

menimpa umat Islam. Dikalangan umat Islam terjadi benturan antara ajaran

islam yang diturunkan melaui Nabi Muhammad yang berbangsa Arab dengan

alam pemikiran yang dipengaruhi kebudayaan Helenesia dan Persia. Perbenturan

itu membawa kegoncangan-kegoncangan dan kericuhan dalam beberapa bidang

sebagai berikut:

a. Bidang bahasa Arab

Pada masa Jahiliyah, ketika bangsa Arab belum bergaul luas dengan

bangsa lain, bahasa mereka msih murni sehingga bangsawan Quraisy yang

ingin anak-anaknya fasih berbahasa Arab selalu mengirim anak-anak mereka

ke dusun. Namun sesudah perluasan Islam keluar Jazirah Arab dan bangsa

Arab bergaul luas dengan bangsa Persi, Mesir, Syam, maka beraburlah

bahasa-bahasa ini sehingga menimbulkan kekacauan dalam tata bahasa.

b. Bidang Akidah

Di luar Jazirah Arab terdapat agama-agama Yahudi, Nasrani,

Zoroaster, Kafir Yunani dan Romawi, Manes, Hindu. Yang akidahnya jauh

berbeda dengan akidah Islam.Ditambah lagi agama Nasrani sangat

dipengaruhi oleh filsafat Helenesia. Bertemunya akidah Islam dengan

akidah-akidah lain di luar Islam menimbulkan aliran-aliran, antar lain aliran,

antara lain aliran Mujassimah yang meyakini bahwa Allah memiliki jisim

seperti jisim (wujud fisik) manusia. Oleh karena itu sejarahnya mesti

dipelajari untuk dapat menjalankan nasiti (policy) ketatanagaraan, hukum,

serta penyebaran agama Islam secara jitu (Poeradisastra, 2008: 14).

c. Bidang Politik

Politik Islam yang diajarkan Nabi adalah system musyawarah. Segala

sesuatu berdasarkan musyawayah termasuk dalam pemilihan kepala negara.

Di luar Jazirah Arab berlaku system monarki absolut, yaitu segala sesuatu

dalam kekuasaan mutlak raja termasuk dalam penentuan calon pengganti

Page 95: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

73

raja. Bergumullah dua system itu beberapa tahun sesudah pertemuannya.

Pergumulan itu menyebabkan umat Islam pecah menjadi beberapa firqah

(kelompok). Persoalan pertama kali timbul pada saat wafatnya Rasulullah

adalah persoalan politik. Dalam perkembangan selanjutnya dari persoalan

politik kemudian berkembangan menjadi persoalan teologi. Hal ini berarti

bahwa masalah politik menjadi faktor pendorong perkembangan pemikiran

dalam Islam, dan faktor tersebut sangat mempengaruhi perkembangan

pendidikan dan ilmu pengetahuan dalam Islam (Nasution, 1996: 1).

Dalam suasana yang demikian timbul suatu kelompok yang netral

yang bersikap moderat dan toleran karena mempunyai tujuan untuk tetap

menggalang solidaritas dan kesatuan umat. Untuk keperluan tersebut mereka

meninggalkan politik dan menyibukkan diri dalam pendalaman ilmu

terutama untuk mengkaji sunah Nabi Muhammad Saw.dan menggunakannya

untuk memahami dan mendalami agama secara lebih luas. Diantara mereka

adalah Abdullah bin Umar dan Abdullah bin Abbas. Kelompok ini karena

pengalamannya dalam mengahadapi berbagai golongan yang mempunyai

pandangan yang berbeda akhirnya dianggap sebagai kelompok yang banyak

dianut oleh mayoritas ummat (Sunanto, 2007: 34).

Disamping itu ketekunan mereka terhadap kajian as-Sunah

menyebabkan as-Sunah mendapat perhatian umat Islam dan pada akhirnya

as-Sunah menjadi terpelihara. Tak diragukan lagi bahwa usaha bagi

pertumbuhan ilmu pengetahuan Islam pada khususnya dan agama Islam pada

umumnya karena as-Sunah merupakan sumber agama Islam yang kedua

sesudah al-Qur‟an. Hanya saja usaha ini masih bersifat hafalan dan belum

dibukukan, as-Sunah baru dibukukan oleh al-Zuhri atas perintas khlaifah

Umar bin Abdul Aziz pada masa Daulah Bani Umayyah I. Meskipun

demikian usaha mereka ini merupakan rintisan bagi kajian baru dalam

sejarah pemikiran secara rasional dalam as-Sunah.

C. Ilmu Pengetahuan Islam di Era Bani Umayyah

Setelah berakhirnya kekholifaan Ali bin Abi Thalib. Setelah Ali bin Abi

Thalib meninggal dunia, pemerintahan Islam sempat di pegang oleh Hasan bin

Ali, putra Ali bin Abi Thalib selama 6 bulan, lalu pemerintahn di serahkan oleh

Mu‟awiyah dikarenakan Hasan menginginkan kedamaian dan agar tidak terjadi

perselisihan dalam umat Islam (Hamka, 1978: 47). maka pemerintahan Islam

dilanjutkan dengan berdirinya dinasti Umayyah adalah Mu‟awiyah ibn Abi

Sufyan, berkuasa selama kurang lebih selama Sembilan belas tahun (661-680 M).

Abdul al Malik Ibn Marwan, berkuasa berkuasa selama kurang lebih dua puluh

tahun (685-705 M).al-Walid bin Abd. Al Malik, berkuasa selama sepuluh tahun

(705-715 M). Umar ibn Abd.Aziz, berkuasa selama kurang lebih tiga tahun (717-

720 M).dan Hisyam bin Abd. Malik, berkuasa selama kurang lebih selama

Page 96: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

74

Sembilan belas tahun (724-743 M) (Nasution, 1977; 78-91, Yatim, 1994; 41-42,

Usairy, 2003; 179-211). Benturan kelompok-kelompok di kalangan umat Islam, khususnya dalam

bidang politik, berakhir dengan kemenangan Muawiyah bin Abi Sufyan, yang

memproklamirkan Bani Umayyah, sebagai pemimpin daulah Islamiyah.

Muawiyyah menjadi kholifah dengan berbagai cara, dan telah mengubah sistem

musyawarah, menjadi sistem monarki. Hal tersebut banyak di dukung oleh

kondisi umat Islam pada waktu itu. Sistem musyawarah dapat berjalan hanya

pada satu generasi saja, yakni pada generasi didikan Nabi sendiri. Mu‟awiyah

termasuk orang yang berhasil memadukan sistem musyawarah dengan sistem

monarki dan daulat Islamiyah dapat dikuasai karena dia banyak memperhatikan

riwayat dan kisah-kisah raja besar sebelumnya, baik dari kalangan Arab ataupun

bukan Arab, untuk meniru serta meneladani siasat dan politik mereka dalam

menghadapi pergolakan yang terdapat didalamnya (Amin, 1965: 166). Menurut Musyrifah, Salah satu aspek dari kebudayaan adalah

mengembangkan ilmu pengetahuan. Jikalau pada masa Nabi dan masa Khulafaur

ar-Rasyidin perhatian ilmu pengatahuan pendidikan terpusat pada usaha

memperdalam pengajaran Aqidah, akhlak, ibadah, mua’amalah dan kisah-kisah

al-Qur‟an, maka perhatian sesudah itu, sesuai dengan kebutuhan zaman, yakni

tertuju ada ilmu-ilmu yang diwariskan oleh bangsa-bangsa sebelum munculnya

Islam (Sunanto, 2007: 38). Dalam daerah kekuasan Bani Umayyah, Ibu kota Daulah Umayyah

terletak di Dasmaskus, suatu kota tua dinegri Syam yang berpenilnggalan

kebudayaan maju. selain meneruskan wilayah taklukan pada masa Nabi dan

Khulafaur ar-Rasyidin, bani Umayyah memperluas wilayah kekuasaannya di

Andalus, Afrika Utara, Syam, Irak, Iran, Khurosan sampai benteng Tiongkok.

terdapat kota-kota pusat kebudayaan seperti: Yunani, Iskandariyah, Antiokia,

Marran, Yunde dan Sahpur, yang dikembangkan ilmuwan-ilmuwan beragama

Yahudi, Nashrani dari Zoroaster. Setelah masuk Islam para Ilmuwan itu tetap

memelihara ilmu-ilmu peninggalan Yunani, bahkan mendapatkan perlindungan.

Sedikit banyaknya, perkembangan ilmu pengetahuan diluputi oleh para ilmuwan

yang mendapatkan jabatan tinggi di istana khalifah. Seperti ada yang menjadi

dokter pribadi, bendaharawan atau wajir (Sunanto, 2007: 38).

Oleh karena itu, berbagai bahasa, sistem tata Negara, kebudayaan, dan

sejarahnya mesti dipelajari untuk menjalankan ketatanegaraan, hukum, serta

penyebaran agama Islam secara jitu. Dalam perjumpaan dan percakapan dengan

agama dan kepercayaan lain untuk membela agama Islam terhadap sisa-sisa

agama dan kepercayaan lain itu, kaum Muslimin mulai mempelajari dan

mempergunakan filsafat Yunani, tetapi dengan membersihkannya dari kekafiran.

Oleh karena itu, mereka menerjemahkan karya-karya filsafat Yunani dan

pengetahuan Yunani melalui bahasa Suryani karena aslinya telah musnah

terbakar di perpustakaan-perpustakaan Iskandariyah ketika penyerbuan Julius

Page 97: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

75

Kaisar pada tahun 48 pra-Masehi, kemudian dibakar oleh Kaisar Lucius

Domitius Aurelianus pada tahun 272 M, dan terakhir oleh Jendral Theodosius

pada tahun 371 M. ketika itu bahasa Suryani merupakan bahasa ilmu dan

kesusastraan yang kaya dan banyak menerjemahkan karya filsafat dan

pengetahuan dari bahasa Yunani. Dan keuntungan bagi para penerjemah adalah

bahwa bahasa Suryani ini masih serumpun dengan bahasa Arab dan banyak

kaum Muslimin yang pandai bahasa itu (Poeradisastra, 2008: 14-15).

Sebagaimana dalam Dhuha al-Islam, Ahmad Amin mengatakan “ diantara

para kholifah bani Umayyah, Kholid bin Yazid sangat tertaik pada ilmu kimia

dan ilmu kedokteran. Ia menyediakan sejumlah harta dan memerintahkan para

sarjana Yunani yang bermukim di Mesir untuk menerjemahkan buku-buku kimia

dan kedokteran ke dalam bahasa Arab. Usaha ini menjadi terjemahan pertama

dalam sejarah umat Islam” (Amin, 1972: 225).

Al-Walid bin Abdul Malik, memberikan perhatian kepada Bismaristan. Ia

mendirikan Bimaristan di Damaskus pada tahun 884. Selanjutnya, pada masa

Kholifah Umar bin Abdul Aziz memerintah, ia memerintahkan kepada para

ulama secara resmi untuk membukukan hadits-hadits Nabi (secara tidak resmi

sebenarnya sudah ada sejak zaman sahabat telah membukukan). Kholifah Umar

bin Abdul Aziz memilih Ibn Abjar, seorang dokter yang berada di Iskandariyah

yang kemudian menjadi dokter peribadinya. Sehingga mempengaruhi pandangan

kholifah terhadap ilmu kedokteran dan ilmu-ilmu lainnya yang berasal dari

Yunani (Susanto, 2007: 45).

Terlepas dari ilmuwan-ilmuwan yang kemudian memeluk Islam. Namun

ada juga ilmuwan yang tetap pada keyakinan mereka, di antaranya Yahya al

Dimasyqi. Ia adalah seorang pejabat di masa khlaifah Abdul Malik bin Marwan,

seorang penganut Kristen fanatik yang berusaha mempertahankan akidahnya.

Yahya al-Dimasyqi, menggunakan metode logika untuk. Dengan sikap dan cara

sudut pandang Yahya al-Dimasyqi, mendorong umat Islam menyelidiki dan

memepelajari logika mereka untuk mempertahankan Islam sekaligus untuk

mematahkan hujjah mereka (Amin, t.t: 264). Pembicaraan mereka kemudian

berkembang sampai menyinggung soal qadar dan sifat-sifat Tuhan. Kelompok

yang banyak mempersoalkan masalah-masalah ini kemudian dikenal sebagai

kelompok Mu‟tazilah. Kelompok ini dikenal sebagai golongan rasionalis Islam

yang banyak mempergunakan akal dalam pembahasannya.

Dalam Sejarah Islam Klasik, Musyrifah Sunanto berpendapat bahwa

penyusunan ilmu pengetahuan secara sistematis sebagai berikut:

Pengaruh lain dari ilmuwan-ilmuwan yang beragama Kristen adalah

penyusunan ilmu pengetahuan secara lebih sistematis. Didikan ulama-

ulama yang dikirim oleh khalifah Umar pada masa pemerintahannya

menghasilkan ulama ahli ilmu dan sejumlah yang lebih besar dan lebih

menjurus sesuai dengan lingkungan di mana mereka berada. Selain itu

berubah pula dari sistem hafalan kepada sistem tulisan menurut aturan-

Page 98: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

76

aturan ilmu pengetahuan yang berlaku. Pendukung ilmu tidak lagi

berbangsa Arab asli tapi didukung pula oleh golongan non-Arab

(Susanto, 2007: 41).

Dengan demikian, golongan diataslah yang mengubah sistem ilmu

pengetahuan terjadi pada umat Islam. Sehingga hal tersebut meluas dan terjadi

pembidangan ilmu pengetahuan sebagai berikut : Pertama, Ilmu pengetahuan

bidang agama yaitu, segala ilmu yang bersumber dari Al-Qur‟an dan Hadits.

Kedua, Ilmu pengetahuan bidang sejarah yaitu, segala ilmu yang membahas

tentang perjalanan hidup, kisah dan riwayat. Ketiga, Ilmu pengetahuan bidang

bahasa yaitu, segala ilmu yang mempelajari bahasa nahwu, sharaf, dan lain-lain.

Keempat, Ilmu pengetahuan bidang filsafat yaitu, segala ilmu yang pada

umumnya berasal dari bangsa asing seperti ilmu mantiq, kedokteran, kimia,

astronomi, ilmu hitung dan ilmu yang berhubungan dengan ilmu tersebut. Pada

masa Umawiyah Masyarakat Muslim telah banyak memperhatikan al ilmu al-

naqliyah, yaitu ilmu-ilmu yang berkaitan dengan Al-Qur‟an al Karim yang

meliputi Tafsir, Qiraat, al-Hadits dan Ushul Fiqhi, serta Lisaniyah seperti ilmu

al-Lughah, ilmu Nahwu, ilmu al-Bayan dan al-Adab (Maksum, 1999: 53-54.

Empat bidang diatas saling bahu-membahu. Ahli ilmu agama dalam

ajarannya memerlukan filsafat dan sejarah, ahli tafsir, ahli hadits dan ahli fiqih

memerlukan sya’ir-sya’ir dan adab dalam memahami ayat Al-Qur‟an dan Hadits,

ahli sejarah dan tukang kisah memerlukan bahan yang terdapat dalam al-Qur‟an

dan Hadits, demikian juga ahli filsafat memerlukan Al-Qur‟an, Hadits dan

sejarah.

Dengan demikian ilmu pengetahuan sudah merupakan suatu keahlian,

masuk ke dalam bidang pemahaman dan pemikiran yang memerlukan

sistematika dan penyusunan. Golongan yang sudah biasa dengan keahlian ini

adalah golongan non-Arab yang disebut Mawali.3 Karena kefanatikan kepada

bangsa Arab, khalifah Abdul Malik bin Marwan mewajibkan bahasa Arab

menjadi bahasa resmi negara, sehingga semua perintah dan peraturan serta

komunikasi secara resmi memakai bahasa Arab. Akibatnya bahasa Arab

dipelajari orang. Maka tumbuhlah ilmu qowaid dan ilmu lain untuk mempelajari

bahasa Arab.4

Kemajuan dalam bidang Administrasi dan bahasa, yakni dari bahasa

Yunani dan Pahlawi ke bahasa Arab juga masih pada masa Abdul Malik. Orang-

3Mawali berasal dari kata “Maula” artinya budak tawanan perang yang sudah

dimerdekakan. Mereka mula-mula berasal dari bangsa Pesia atau keturunananya. Dalam

perkembangan selanjutnya kata Mawali diperuntukan pula untuk bangsa lain selain Arab. Istilah

ini muncul Karena bani Umayyah berusaha untuk mempertahankan kemusnian bangsa Arab.

4 Dengan menjadi bahasa resmi Negara pada masa bani Umayyah, maka bahasa Arab

banyak digunakan di berbagai Negara sampai saat ini, seperti: Irak, Syiria, Mesir, Lebanon, Libia,

Tunisia, Aljazair, Maroko, di samping Saudi Arabia, Yaman, Emirat Arab, dsb.

Page 99: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

77

orang bukan arab pada waktu itu telah mulai pandai bahasa Arab. Untuk

menyempurnakan pengetahuan mereka tentang bahasa Arab, terutama

pengetahuan pemeluk Islam baru dari bangsa-bangsa bukan Arab, perhatian

kepada bahasa Arab, terutama tata bahasanya, mulai diperhatikan. Inilah yang

mendorong Sibaweih untuk pertama kali menyususn ilmu nahwu yang

selanjutnya menjadi pegangan dalam soal tata bahasa Arab. Guna mendukung

upaya ini, Abdul Malik juga membangun lembaga pendidikan yang dikenal

dengan al-Badiah, yakni lembaga pengajaran bahasa Arab klasik, dengan tujuan

selain untuk memasyarakatkan penggunaan bahasa Arab secara internasional,

juga dalam rangka menjaga kemurnian bahasa Arab dari pengaruh bahasa non-

Arab( Nasution,1985; 63, Syahlabi, 1968; 34).

Penduduk daerah Islam terdiri dari dua unsur, Arab dan Ajam. Masa

sahabat kebanyakan yang berilmu adalah unsur Arab. Setelah ulama kalangan

sahabat menyebarkan ilmunya ke daerah yang dikuasai, maka di sana unsur Arab

dan Ajam bersama mengambil ilmu sehingga pada generasi berikutnya

pemegang peranan dalam bidang ilmu pengetahuan adalah unsur Ajam. Adapun

sebabya, seperti yang disimpulkan oleh Ibn Khaldun, bahwa agama pada

mulanya belum memerlukan ilmu dan kecerdasan sesuai dengan kesederhanaan

dan kebaduian bangsa Arab, agama masih merupakan hukum syari‟ah yang

berupa perintah dan larangan Allah. Kebanyakan orang Islam hafal akan hukum

tersebut dan mereka pun mengetahui sumbernya dari Al-Qur‟an dan Hadits, yang

dapat mereka proleh dari Rasul dan sahabat. Pada waktu itu kaum Muslimin

masih terdiri dari bangsa Arab yang belum kenal kepada pengajaran, karang-

mengarang dan pembukuan ilmu, serta belum ada keinginan untuk itu karena

memamng belum diperlukan. Kemudian ilmu-ilmu itu menjadi suatu kecakapan

yang perlu dipelajari. Mulailah ilmu masuk ke dalam lapangan kepandaian dan

kerajinan. Yang memiliki kerajinan dan kepandaian adalah orang Arab dan Ajam

atau Mawali karena mereka mewarisi dari ibunya (Amin, 1972: 191).

Kemajuan dalam bidang ilmu agama Islam, dinasti bani Umayyah juga

memiliki perhatian yang cukup besar terhadap pengembangan ilmu agama Islam,

seperti tafsir, hadits, fiqih, dan ilmu kalam. Pada zaman inilah timbul beberapa

nama seperti Hasan al-Bisri, Ibn Shihab al-Zuhri, dan Washil ibn „Ata yang

merupakan para pakar dalam ilmu kalam. Yang menjadi pusat dari kegiatan

ilmiah ini adalah Kufah dan Bashrah di Irak (Nasution, 1985: 34).

Jadi, bisa dikatakan bahwa peradaban Islam pada masa itu sudah bersifat

internasional, meliputi tiga benua; sebagian Eropa, sebagaian Afrika, sebagian

Asia. Penduduknya meliputi puluhan bangsa menganut bermacam-macam

agama, bermacam-macam kebudayaan, bermacam-macam bahasa.Semua itu

disatukan dengan bahasa Arab sebagai bahasa pemersatu dan agama Islam

menjadi agama resmi negara. Sedangkan berbagai kemajuan yang terjadi pada

zaman dinasti Umayyah tersebut terjadi disebabkan oleh beberapa faktor yaitu.

Pertama, Adanya daerah yang luas yang memiliki berbagai kekayaan sumber

Page 100: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

78

alam, adat istiadat, budaya, tradisi ilmiah dan lain sebagainya, keadaan alam ini

setelah dikelola dengan baik dapat membawa kemajuan. Kedua, Adanya

kebutuhan terhadap berbagai ilmu agama dan ilmu umum, serta lainnya bagi

pembangunan wilayah yang luas itu. Ketiga, Adanya semangat dan motivasi

yang kuat untuk membangun kejayaan Islam dan memberi manfaat bagi

kehidupan umat manusia.

D. Ilmu Pengetahuan Islam di Era Abbasiyah

Apa yang telah dirintis oleh Daulah Umayyah di Damaskus (660-750 M.)

dilanjutkan oleh Daulah Abbasiyah (750-1258 M.) Selanjutnya para khalifah

bani Abbas yang terkenal antara lain: Abu al-Abbas, berkuasa Selama empat

tahun (750-754 M.), al-Mansur, berkuasa selama dua puluh satu tahun (754-775

M.), al-Mahdi, berkuasa selama sepuluh tahun (775-785 M), Harun al-Rasyid,

berkuasa selama kurang lebih dua puluh empat tahun (785-809 M), al-Ma‟mun,

berkuasa selama dua puluh tahun (813-833 M.), al-Mu‟tasim, berkuasa selama

kurang lebih Sembilan tahun (833-842 M), al-Wathiq, berkuasa selama lima

tahun (842-847 M.), al-Mutawakil, berkuasa selama enam belas tahun (847-861

M), dan Mu‟tasim, berkuasa selama enam belas tahun (1242-1258 M.) (Yatim,

1994;49-60, al-Usairy, 2003; 213-236, Mahmudunnasir, 1991: 246-282).

Sejarah mencatat, bahwa di zaman khalifah Abbasiyah ini, Islam pernah

mencapai puncak kedidak jayaan. Diantara kemajuan tersebut sebagai berikut:

Pertama, kemajuan dalam bidang administrasi pemerintahan. Khalifah al-

Mansur, mengadakan tradisi baru dengan mengangkat wazir yang membawahi

kepala-kepala departemen. Untuk memegang jabatan wazir ini, al-Mansur pilih

Khalid Ibn Barmak, seorang yang berasal dari Balkh di Persia. Khalifah Abu

Ja‟far Abdullah al-Mansur, telah memperkerjakan para penerjemah yang

menerjemahkan buku-buku kedokteran, ilmu pasti dan filsafat dari bahasa

Yunani, Parsi dan Sanskrit (Poeradisastra, 2008: 15).

Kedua, kemajuan dalam bidang ekonomi. Khalifah al-Mahdi, melakukan

perbaikan dan peningkatan dalam bidang ekonomi. Pertanian ditingkatkan

dengan mengadakan irigasi, penghasilan gandum, kurma dll., bertambah.

Demikian pula hasil pertambangan seperti perak, emas, tembaga, dan besi

berkembang dengan pesat. Kegiatan dagang transit antara Timur dan Barat juga

berkembang dengan pesat. Berkenaan dengan ini, Bashrah menjadi pelabuhan

yang penting.

Ketiga, kemajuan dalam bidang kesehatan. Di zaman Harun al-Rasyid

kehidupan yang makmur, kecukupan, dan kemewahan sebagaimana yang

dilukisan dalam cerita 1001 malam telah mewarnai kehidupan masyarakat.

Kekayaan yang banyak, digunakan olehnya untuk keperluan sosial. Untuk itu ia

mendirikan rumah sakit, menyelenggarakan pendidikan kedokteran, dan farmasi.

Sejarah mencatat, bahwa pada masa itu, Baghdad terdapat 800 dokter.

Page 101: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

79

Keempat, kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan. Di zaman khlaifah

al-Ma‟mun perhatian terhadap pembangunan dan pengembangan di bidang ilmu

pengetahuan mengalami peningkatan. Upaya ini antara lain dilakukan dengan

melakukan penterjemahan buku-buku, kebudayaan Yunani dengan cara menggaji

melakukan penterjemah dari penganut agama lain. Untuk kegiatan ilmiah ini, al-

Ma‟mun juga mendirikan Bait al-Hikmah dan berbagai lembaga pendidikan,

berupa sekolah atau lembaga atau madrasah. Selain itu, al-Ma‟mun juga

mendatangkan buku-buku ilmu pengetahuan dan filsafat dari Bizantium yang

selanjutnya diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Kegiatan penterjemahan ini

berjalan kira-kira satu abad lamanya. Bait al-Hikmah didirikan oleh al-Makmun,

bukan hanya merupakan pusat penerjemahan, tetapi juga berperan sebagai

akademik yang mempunyai perpustakaan. Di antara cabang-cabang ilmu

pengetahuan yang diutamakan di Bait al-Hikmah adalah ilmu kedokteran,

astronomi, matematika, optic, geografi, fisika, sejarah, filsafat dan agama

(Yatim, 1994: 49-60, Al-Usairy, 2003: 139-177, Mahmudunnasir, 2003: 266-

272).

Kelima, kemajuan dalam bidang pendidikan. Pada zaman ini antara lain

didirikan Bait al Hikmah di Baghdad dan al-Azhar di Kairo yang hingga kini

masih harum namanya sebagai Universitas Islam yang tertua dan termuka

usianya di seluruh dunia.

Keenam, kemajuan dalam bidang peradaban dan kebudayaan. Di zaman

Harun al-Rasyid, didirikan pemandian-pemandian umum, berbagai gedung-

gedung, masjid, istana raja, jembatan, irigasi, pertambangan, industry logam,

kerajina, perhiasan, lukisan yang indah dsb.

Semenjak dunia Islam pada waktu itu dalam keadaan maju, jaya makmur,

sebaliknya dunia Barat masih dalam keadaan gelap, bodoh dan primitive. Dunia

Islam sudah sibuk mengadakan penyelidikan di laboratorium dan observatorium.

Dunia Barat masih asik dengan jampi-jampi dan dewa-dewa. Hal ini disebabkan

agama yang dibawa Nabi Muhammad telah menimbulkan dorongan untuk

menumbuhkan suatu kebudayaan baru yaitu kebudayaan Islam. Dorongan itu

mula-mula menggerakkan teciptanya ilmu-ilmu pengetahuan dalam lapangan

agama (ilmu naqli), bermunculanlah ilmu-ilmu agama dalam berbagai bidang.

Kemudian, ketika umat Islam keluar dari Jazirah Arab, mereka menemukkan

perbendaharaan Yunani. Dorongan dari agama ditambah pengaruh dari

perbendaharaan Yunani menimbulkan dorongan untuk munculnya berbagai ilmu

pengetahuan untuk muncul berbagai ilmu pengetahuan di bidang akal (ilmu aqli)

(Sunanto,2007: 54, Poeradisastra, 2008: 15).5

5 Al-Ma‟mun ibn Harun Al-Rasyid pada tahun 830 M .mendirikan Darul Hikmah atau

akademi Ilmu pengetahuan pertama di dunia, terdiri dari perpustakaan pusat pemerintahan,

observatorium bintang dan universitas (darul‟l ulum). Bahkan fakultas kedokteran telah didirikan

pada tahun 765 M oleh Jurjis Ibn Naubakht. Al-Ma‟mun mengirimkan serombongan penerjemah

ke Konstatinopel, Roma, dll.yang antara lain terdiri dari Abu Yahya Ibn al-Batriq (w.815 M),

Page 102: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

80

Oemar Amin, menegaskan bahwa pebendaharaan Yunani karena pada

waktu Islam datang, ilmu Yunani sudah mati yang ada tinggal hanyalah buku-

bukunya saja. Ketika Islam sampai ke Binzatium, Persia, dan lain-lain, mereka

tidak lagi menjumpai ilmu Yunani dipelajari orang, yang didapati hanyalah

beberapa tabib Yunani, perkembangan baru tidak diperoleh lagi (Hoesen,1975:

24, Ali, 1967: 234, De Boer, 1970: 14, Hasyim, 1979: 35).6

Prestasi luar biasa umat Islam pada masa bani Umayyah yang dapat

menaklukkan wilayah-wilayah kerajaan Romawi dan Persia, segera disusul

dengan prestasi yang lebih hebat lagi dalam penaklukkan bidang ilmu pada abad

berikutnya. Penelaahan ilmu yang dimulai sejakbani Umayyah menjadi usaha

besar-besaran pada masa bani Abbasiyah.

Gerakkan membangun ilmu secara besar-besaran dirintis oleh khalifah

Ja‟far al-Mansur (al-Gurabi, 1959: 137). Setelah ia mendirikan kota Baghdad

(144 H/762 M) dan menjadikannya sebagai ibu kota Negara. Ia menarik banyak

ulama dan para ahli dari berbagai daerah untuk datang dan tinggal di Baghdad. Ia

merangsang usaha pembukuan ilmu agama, seperti fiqih, tafsir, tauhid, sejarah.

Akan tetapi yang lebih mendapat perhatian adalah penerjemahan buku ilmu yang

berasal dari luar (Amin,1965: 272).

Muhammad ibn Sallam (777-839 M.), pemimpin darul hikmah Hajjaj Ibn Hunayn ibn Ishak (809-

847 M).

6 Diceritakan asal muasal kedatangan kebudayaan Yunani adalah filosof-filosof Yunani

yang lari dinegaranya Karena dikejar-kejar oleh rajanya, akibat perbedaan mazhab (pandangan).

Sebenarnya merekalah penyusun ilmu secara sistematis, namuan ketika Yunani dijajah oleh

bangsa Romawi, raja-rajanya yang beragama Kristen tidak mentolerir. Masa raja Konstantin

Agung (wafat 366 M), pepustakaan, yang diidrikan oleh raja Perbeku yang bersifat Liberal,

dibubarkan atau dimusnahkan, pengetahuan dianggap sebagai sihir yang dikutuk, filsafat dan ilmu

dibasmi.Kaisar Yustinius pada tahun 529 M menutup sekolah filsafat yang masih ada pengajarnya

dan mereka diusir.para sarjana itu kemudian lari ke Paris dan mendapatkan kedudukan terhormat

di Islatana Kisra An usirwan (531-578 M) dan aliran filsafat Neo Plato yang mereka bawa

diterima baik. Didirikanlah di Yunde Sahpur sebuah perguruan tinggi, di mana sarjana itu

mengajar bermacam ilmu, antara lain kedokteran dan filsafat. Sekolah ini berurat akar di kota ini

sampai berdirinya bani Abbasiyah, seperti di Harran menjadi pusat kegiatan Yunani di Irak,

dimana penduduknya berbicara dengan bahasa Arab.

Page 103: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

81

Hasyim

Abdul Muthalib

Al Abbas Abdullah Abu

Thalib

Abdullah Nabi Muhammad SAW. Ali

„Ali

Muhammad Abdullah Daud Sulayman

Ibrahim 1. Abul Abbas (749-754) 2. Al Manshur (754-775)

Musa

3. Al-Mahdi (775-785)

4. Al-Hadi (785-786) 5. Harun Al Rasyid (786-809)

Ibrahim

6. Al- Amin (809-813) 7. Al Ma’mun (813-833) 8. Al

Mutaksim (833-842)

Tabel 3.1: Silsilah Kholifah Abbasiyah zaman Integrasi Ilmu

E. Pertumbuhan Ilmu Pengetahuan dan Perkembangannya dalam Islam

1. Pertumbuhan Ilmu Naqli (Ilmu Agama Islam)

Ilmu naqli adalah ilmu yang bersumber dari naqli (Al-Qur‟an dan Hadis),

yaitu ilmu yang berhubungan dengan agama Islam. Ilmu ini mulai disusun dasar

perumusannya pada sekitar 200 tahun setelah hijrah Nabi sehingga menjadi ilmu

yangkita kenal sekarang.

Page 104: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

82

Agama Islam di samping sebagi ajaran juga sebagi ilmu. Sebagai ajaran,

agama mengandung unsur masalah yang gaib, adanya hubungan baik dengan

kekuatan yang gaib tersebut. adapun agama sebagai ilmu disebut dengan ilmu

agama. Ilmu agama dapat dimakanai sebagai prosedur, proses dan produk. Ilmu

agama sebagai proses merupakan aktivitas penelitian tentang fenomena dan

ajaran agama secara rasional, kognitif dan teologis. Ilmu agama sebagai

prosedur adalah aktifitas kajian atau penelitian tentang fenomena dan ajaran

agama dengan metode-metode ilmiah. Makna ilmu agama sebagai produk

adalah berisi tentang kumpulan fenomena dan ajaran agama secara sistematis

merupakan hasil aktivitas kajian atau penelitian dengan menggunakan metode

ilmiah (Mulyadi, 2010:159). Ilmu-ilmu yang termasuk ilmu naqli adalah sebagai

berikut:

a. Ilmu Tafsir

Untuk menggunakan al-Qur‟an sebagai sumber ajaran Islam secara

langsung tidak semua orang memiliki kemampuan. Sejarah mencatat, bahwa

pada priode pertama dari masa pertumbuhan Islam, ternyata yang memiliki

kemampuan memahami Al-Qur‟an sangat terbatas.

Dilihat dari segi pertumbuhan dan perkembangan, Ulum al-Qur’an atau

Ulum at-Tafsir, sama dengan pertumbuhan ilmu-ilmu lainnya, yakni tumbuh dan

berkembang dari keadaan yang sederhana dan bercampur dengan pembahasan

ilmu lainnya hingga menjadi sebuah ilmu yang berdiri sendiri.

Pada masa Rasulullah Saw. serta masa Khulafaur Rasyidin, Ulum at-Tafsir

masih diriwayatkan melalui penuturan secara lisan. Al-Qur‟an diturunkan dalam

bahasa Arab menurut uslub-uslubnya yang diwahyukan kepada seorang yang

ummy. Penafsiran al-Qur‟an telah tumbuh pada masa Nabi dan beliaulah

sebagai al-Mufassir al-Awwal dari kitab Allah untuk menerangkan maksud-

maksud wahyu yang diturunkan padanya. Tafsir yang diterima Nabi sedikit

sekali dan sahabat-sahabat Rasul tidak ada yang berani menafsirkan al-Qur‟an

ketika masih hidup.Rasul sendirilah yang memikul tugas menafsirkan al-Qur‟an

(Al Munawar, 2002: 63-64).

Ketika zaman kekhalifahan Utsman ra. Dimana orang Arab mulai bergaul

dengan orang-orang non-Arab, pada saat itu Utsman memerintahkan supaya

kaum Muslimin berpegang pada mushaf induk dan membuat reproduksi menjadi

beberapa buah naskah untuk dikirim ke daerah-daerah. Bersamaan dengan itu ia

memerintahkan supaya membakar semua mushaf-mushaf lainnya yang ditulis

orang menurut caranya masing-masing.

Dengan perintah reproduksi naskah al-Qur‟an ini berarti Ustman

meletakkan dasar yang di kemudian hari dikenal dengan nama ilmu Rasmi al-

Utsmani (ilmu tentang penulisan al-Qur‟an) yang merupakan bagian dari

pembahasan Ilmu al-Qur‟an. Selain itu terdapat nama lain yang juga

berpengaruh terhadap perkembangan ilmu ini, yakni Ali bin Abi Thalib r.a,

dengan perintahnya kepada Abul Aswadi al-Duali, agar meletakkan kaidah

Page 105: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

83

pramasastra bahasa Arab guna menjaga corak keasliannya. Dengan perintah ini

berarti Ali bin Abi Thalib adalah orang yang meletakkan dasar ilmu I’rabAl-

Qur’an yang juga merupakan bagian dari Ulum Al-Qur’an. selain itu ada nama

lain seperti, Ibn Abbas, Aibn Mas‟ud, Zaid bin Tsabit, Ubai bin Ka‟ab, Abu

Musa al-Asy‟ari, Abdullah bin Zubair.

Menurut Abuddin Nata, pada pengkodifikasi al-Qur‟an, ilmu tafsir berada

di atas segala ilmu yang lain, karena ia dipandang sebagai induk ilmu Al-

Qur‟an, atau ilmu yang utama dari Ulum al-Qur’an. Dalam pertumbuhan dan

perkembangan Ilmu Tafsir yang terjadi pada abad pertama hingga, abad ke lima

belas, terdapat hal-hal yang menarik untuk di pahami sebagai berikut:

Ilmu tafsir mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang luar biasa

jika dibandingkan dengan ilmu Keislaman lainya. Hal ini antara lain dapat

dilihat bahwa pada setiap abad selalu terdapat ulama yang menulis kitab-

kitab yang sekaligus berkaitan dengan berbagai cabang ilmu tersebut. Ilmu

tafsir memiliki cabang yang sangat luas itu, memperhatikan luasnya

isyarat yang terkandung di dalam al-Qur‟an. Kitab-kitab yang membahas

ilmu tafsir yang demikian banyak itu boleh jadi masih berserakan di

berbagai perpustakaan baik di Barat dan di Timur, dan sebagaian mungkin

sudah ada yang hilang mengingat kitab itu di tulis dalam kondisi industry

kertas masih belum tumbuh seperti sekarang.

Keberadaan berbagai cabang ilmu tafsir tersebut tujuan utamanya adalah

agar setiap orang yang membaca, memahami, menghayati, dan mengamalkan

kandungan al-Qur‟an atau menafsirkannya tidak terjerumus ke dalam kesalahan

yang sesat dan menyesatkan. Munculnya berbagai cabang ilmu tafsir tersebut

menggambarkan kesungguhan, ketekunan, motivasi, keikhlasan para ulama yang

tinggi dalam mengembangkan khazanah studi Islam, khususnya dalam bidang

ilmu tafsir yang pada gilirannya dapat meningkatkan mutu kehidupan

masyarakat (Nata, 2011: 166-167).

Pemahaman ayat-ayat al-Qur‟an melalui penafsiran-penafsirannya

mempunyai peranan yang sangat besar bagi maju mundurnya umat sekaligus

dapat mencerminkan perkembangan serta corak pemikiran mereka

(Shihab,2003: 83). Dari segi tatacara kerjanya, penafsiran al-Qur‟an yang telah

dilakukan para ulama di masa lalu dan juga masa sekarang menggunakan yang

bermacam-macam. Quraish Shihab menyebutkan dalam “Membumikan Al-

Qur‟an” bahwa metode penalaran; pendekatan dan corak-corak penafsiran Al-

Qur‟an meliputi metode tahlily, maudhu’iy, muqaran (komparasi) dan analisis.

Pada masa bani Abbasiyah, para penafsir yang termasyur dari golongan ini

seperti: (1) Ibn Jarir al-Thabary, (2) Ibn Athiyah al-Andalusi, (3) As-Suda yang

mendasarkan penafsirannya pada Ibn Abbas, Ibn Mas‟ud dll. Sedangkan tafsir bi

al-Ra’yi adalah penafsiran al-Qur‟an dengan menggunakan akal dengan

mempergunakan akal dengan memperluas pemahaman yang terkandung

Page 106: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

84

didalamnya. Ulama yang termashur dari golongan ini seperti; (1) Abu Bakar

Asma dari golongan Mu‟tazilah dan Abu Muslim Muhammad al-Isfahany dari

golongan Mu‟tazilah (Shiddiwqy, 2000: 245).

b. Ilmu Hadis

Hadis merupakan sumber kedua ajaran Islam, setelah al-Qur‟an al-Karim.

Dalam Ushul al-Hadist, Allah Swt. mengakhiri risalah alsamawiyah-Nya

melalui ajaran Islam, dan ia mengutus Nabi Muhammad Saw.sebagai rasul yang

memberikan petunjuk, dan Allah menurunkan al-Qur‟an kepadanya sebagai

mukjizat terbesar, bukti yang agung serta Nabi Muhammad Saw. diperintahkan

untuk menyampaikan dan menjelaskannya kepada manusia (al-Khatib, 1989:

34).

Karena kedudukan itulah maka umat Islam berusaha menjaga dan

melestarikannya di setiap kurun waktu.

Pertumbuhan dan perkembangan Ilmu hadits tersebut sangat terkait

dengan permasalahn yang timbul dalam perjalanan hadis itu sendiri. Para ahli

pada umumnya membagi hadis pada dua priode besar, yaitu masa mutaqaddimin

dan masa muta’akhirin. Masa mutaqadimin terbagi melaui lima tahap priode:

1) Masa turunnya wahyu (13 SH/609M-11 H/632 M)

Pada masa ini menerima hadis dari Nabi Muhammad Saw. secara lisan,

kemudian disebarluaskan secara lisan juga. Selain khawatir jarang orang yang

dapat menulis, juga Nabi Muhammad sesudah kekhawatiran itu hilang dan para

sahabat sudah cukup memahami dan mendalami serta menghafal al-Qur‟an,

maka diperbolehkanlah Abdullah ibn Amr bin Ash. Karakteristik priode ini ialah

bahwa wahyu merupakan focus segala kegiatan ilmiah, baik hafalan maupun

tulisan. Adapun hadis lebih banyak berupa hafalan dan ingatan para sahabat

yang mendengar atau melihat Nabi Muhammad melakukan suatu perbutan

(Abdurrahman, 2002: 64-65). .

2) Masa Khulafa al-Rasyidin (12 H/634 M – 40 H/661 M)

Pada masa khulafaur al-Rasyidin, para sahabat tidak lagi berpusat di

Madinah tetapi mulai menyebar ke berbagai penjuru wilayah Islam untuk

menyampaikan ajara Islam, termasuk Hadits, sehingga penyebaran Hadits sudah

mulai berkembang. Untuk menjaga segala kemungkinan, maka Abu Bakar dan

Umar ibn Khathatab memerintahkan penjagaan ketat dalam periwayatan Hadits.

Periwayatan hadits dilakukan hanya jika diperlu saja dan harus dengan

kesaksian lain dan berhati-hati dalam penelitiannya (Ash Shiddieqy, 2000: 245).

Pada masa itu dikenal dengan aqallu al-riwayah, yakni menyedikitkan

(memperkuat) dalam periwayatan hadits. Adanya usaha dalam memperketat

penyebaran hadits yang digunakan oleh para sahabat merupakan indicator

terhadap seseorang bahwa tidak mudah menerima dan menyebarluaskan segala

sesuatu yang dinisbahkan kepada nabi Muhammad Saw.

Page 107: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

85

3) Masa sahabat kecil dan Tabi‟in (40 H/661 M – Akhir abad ke-1 H)

Pada masa sahabat kecil dan Tabi‟in,7 kekuasaan Islam yang sudah

dirintis masa khulafa al-Rasyidin sudah semakin meluas, sehingga menyebabkan

terjadinya perlawatan para sahabat ke kota-kota lain. Di kota-kota yang baru

banyak berkumpul orang-orang Arab dan „Ajam (non-Arab) untuk mendapatkan

ilmu dari kalangan sahabat.Kegiatan itu menghasilkan banyak ilmuwan di

kalangan Tabi‟in.

Namun, pada masa itu mulai terjadi pertemuan atau pergumulan antara

berbagai agama dan budaya, antara agama dan budaya Islam dengan agama dan

budaya-budaya lainnya. Pertemuan itu menimbulkan perbedaan pendapat yang

membawa kepada pertentangan antar golongan. Disamping itu, mulai juga

terjadi pertentangan antar berbagai kepentingan politik. Masing-masing

golongan berusaha untuk menguatkan dan memenangkan hujjah politik dan

golongannya masing-masing. Jika mereka tidak mendapatkan hujjah yang

didukung Al-Qur‟an da Hadis, sebagian mereka tidak segan-segan membuatnya

sendiri. Disisi lain pertentanga politik Ali dan Mu‟awiyah, permusuhan Ali,

Aisyah, dan Mu‟awiyyah, pertentangan antara Arab dan non-Arab, juga menjadi

pemicu lahirnya hadits-hadits palsu. Keadaan pertentangan yang membawa

terjadinya banyak pemalsuan hadits seperti itu, akhirnya mendorong para sarjana

muslim untuk mempelajari hadits dengan telitii sehingga dapat membedakan

hadis yang shahih atau yang palsu. Kegiatan terhadap rangkaian dan

kesinambungan perawi hadis melahirkan ilmu Rijal al Hadits yang mempelajari

masing-masing perawi hadits, sehingga dapat diketahui perawi yang jujur dan

yang berbohong. Penelitian lain dari kesesuian hadits dengan prinsip-prinsip

agama melahirkan ilmu Dirawah al-Hadits.

4) Masa Pembukuan Hadis secara resmi (Abad ke-2 H)

Pada masa Rasulullah dan Tabi‟in periwayatan hadis masih lebih banyak

mendasarkan pada kekuatan hafalan. Sedangkan sahabat kemudian banyak yang

wafat. Hal ini akhirnya mendorong khalifah Umar ibn Abdul al-Aziz dari daulah

Bani Umayyah untuk membukukan Hadis. Khalifah Umar meminta gubernur

Madinah Muhammad ibn Amr ibn Hazm. Untuk menuliskan hadis-hadis Rasul.

Ternyata, Ibn Hazm menuliskan hadis-hadis yang didapati dari Amrah binti

Rahman al-Anshariyah dan Qasim ibn Muhammad ibn Abi Bakar. Pada masa

ini, seorang ulama besar di bidang Hadis pada masanya, juga membukukan

7Disebut sahabat kecil, karena mereka masih kanak-kana pada saat hidupnya Nabi

Muhammad dan tidak jauh usiannya dengan mereka yang lahir sesudah priode sahabat ini.dan

generasi berikutnya sesudah sahabat ini, yakni generasi yang tidak bertemu langsung dengan nabi

Muhammad, hanya bertemu dengan sahabat yang masih hidup, mereka disebut dengan tabi‟in.

generasi yang paling utama, terkadang sering disebut denga tabi;in besar.

Page 108: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

86

Hadis yang ada di Madinah. Sesudah itu, para ulama berlomba-lomba untuk

membukukan Hadis.

Para ulama di abad ke-2 H. ini membukukan Hadis secara keseluruhan

tanpa penyaringan, mana yang dari Nabi, Sahabat dan Tabi‟in, sehingga, kitab-

kitab Hadis susunan ulama pada masa ini masih terdapat Hadis marfu yang

mauquf dan maqthu’.8Di antara kitab-kitab hadis dihasilkan diabad ke-2 H. ini,

yang termashur adalah kitab al-Muwaththa susunan Imam Malik, yang

mengandung 1726 hadis. Selain itu juga kitab Musnad susunan as-Syafi‟i,

Musnad Abu Hanifah dan al-Jami susunan Imam Abd al-Razzaq ibn Hammam.

5) Masa Pentashihah dan Penyaringan Hadis (Abad ke-3 H)

Masa pembukuan hadis di abad ke-2 H. masih bercampur, baik yang

datang dari Nabi Muhammad, sahabat maupun Tabi‟in. Begitu juga, masih

bercampurnya antara Hadis-hadis yang shahih, hasan, dan dha‟if. Hal tersebut

membuat ulama Hadis pada abad ke-3 H. tergugah untuk meneliti hadis secara

lebih seksama, memisahkan hadis yang shahih dari hadis yang tidak shahih,

serta hadis yang kuat dari hadis yang lemah. Untuk itu, mereka mempelajari

sejarah rawi dan perjalanan hidupnya, mempelajari sifat-sifat rawi yang baik dan

yang cacat, lalu memberitahukannya kepada umum dan membukukannya.

Berkenaan dengan hal ini, para ulama membuat ketentuan untuk menetapkan

mana rawi yang boleh diterima hadisnya dan mana yang tidak. Ketentuan hal ini

disebut dalam ilmu Jarh wa Ta’dil yang membahas tentang cacat dan keadilan

perawi hadis (Yunus, 1955: 11).

Ulama yang mula-mula menulis hadis dengan menyaring hadis-hadis

yang shahih adalah Imam al-Bukhary (w. 256 h) yang hadis terkenal dengan

kitab al-Jami al-Shahih, kemudian diikuti oleh muridnya yaitu Imam Muslim

(W. 261 H) dengan kitab hasil karyanya Shahih Muslim. Dengan usaha yang

dilakukan oleh keduannya, maka terbentuklah sumber hadis yang bersih.

Sesudah itu, muncul beberapa imam ahli hadis yang menyaring hadis-hadis yang

belum disaring oleh kedua imam tersebut, Imam Abu Daud (w. 275 H) al-

Turmudzi (w.279 H), al-Nasai (w 303 H), Ibn Majah (w 273 H), yang masing-

masing menyusun kitab hadis denagn sebutan Sunan.Kitab-kitab tersebutlah

yang disebut kitab induk yang enam (kutub al-Sittah). Sesudah itu muncul Imam

Ahmad ibn Hanbal (w. 241 H) yang kitabnya disebut Musnad Ash-Shiddieqy,

2000, 63). Usaha pelestarian Hadis di masa mutaakhirin (jika dibandingkan

dengan masa mutaqaddimin), dibagi menjadi beberapa tahap dengan ciri

tersendiri, baik sistemnya maupun pen-tadwin-an (pembukuan). Para

mutaqaddimin mengumpulkan hadisnya dengan cara menemui sendiri para

8Istilah Marfu‟ dalam ilmu hadis adalah hadis riwayatnya sampai kepada nabi

Muhammad.Istilah hadis Mauquf adalah perkataan sahabat Nabi, sehingga riwayatnya pun hanya

sampai kepada sahabat dan hadis Maqthuf adalah hadis yang sanadnya hanya sampai kepada

Tabi‟in atau generasi di bawahnya.

Page 109: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

87

penghafalnya yang tersebar di seluruh pelosok tanah Arab, Persia, dan lain-

lainnya, kemudian memilih dan menyaring, maka ulama muta’akhirin melalui

cara mutaqaddimin.

Masa ini ulama mempergunakan sistem istidrak dan istikhraj.9 Kitab-

kitab istidrakini disebut Mussirak, misalnya tiga Mu‟jam yaitu Mu’jam Kabir,

Mu’jam Ausath, Mu’jam Shaghir susunan Imam Sulaiman ibn Ahmad al-Tabani

(w. 360 H) Mustadrak susunan al-Hakim Naisaburi (w. 405 H), shahih ibn

Huzaimah (w. 311 H), Mustadrak al-Taqsim wa al-Anwa susunan Abi Hakim

Muhammad ibn Hiban (w. 354 H) dan lain-lain. di antara kitab-kitab mustakhraj

adalah Mustakhraj Shahih al-Bukhari karangan al-Hafidz Abu Bakar al-Barkoni

(w. 425 H), dan lain-lain. dengan demikian pada akahir abad ke-4 dapat

dikatakan pembinaan dan pelestarian Hadis yang diterima dari Nabi Muhammad

Saw. telah selesai.

Pada abad ke-5 sampai abad ke-7, para ulama hanya berusaha untuk

memperbaiki susunan kitab, mengumpulkan Hadis al-Bukahari dan Muslim

dalam kitab, mempermudah jalan pengambilannya, mengumpulkan Hadis

hukum dalam satu kitab, mengumpulkan Hadis taghrib dan tarhib dalam satu

kitab, memberikan syarat terhadap susunan Hadis yang ada, menyusun kitab

atraf dan lain-lain, dalam abad ini timbulah istilah al-jami, al-jawami, al-takhrij

(Ash-Shiddqiey, 2000: 93-94).10

c. Ilmu Kalam

Ilmu kalam adalah ilmu yang membicarakan tentang wujud Tuhan

(Allah), sifat-sifat yang mesti ada pada-Nya, sifat-sifat yang tidak boleh ada

pada-Nya dan sifat-sifat yang mungkin ada pada-Nya, serta membicarakan

tentang Rasul-rasul Tuhan, untuk menetapkan kerasulannya dan mengetahui

sifat-sifat yang mesiti ada padanya, sifat-sifat yang tidak boleh ada padanya, dan

sifat-sifat yang mungkin ada padanya (Hanafi, 1986: 3).

9Yang dimaksud dengan sistem Istidrak adalah mengumpulakn hadis yang diriwayatkan

oleh al-Bukaharai dan Muslaim atau tidak oleh salah satu dari keduannya tetapi memenuhi syarat-

syarat yang dipergunakan oleh al-Bukahari dan Muslim atau salah satu dari keduannya.

Sedangkan yang dimaksud dengan Istikhraj adalah mengambil hadits dari al-Bukhari dan Muslim,

lalu meriwayatkandengan cara sendiri, bukan dari sanad al-Bukhari atau Muslim, lalu

meriwayatkan dengan cara sendiri, bukan dari sanad al-Bukhari atau Muslim.

10Yang dimaksud dengan takhrij adalah menerangkan derajat, tempat pengambilan dan

pemberian penilaian terhadap hadis-hadis yang terdapat pada kitab fiqih, kitab tafsir dan kitab-

kitab ilmiah lainnya yang belum diterangkan perawi pentakhrijnya maupun penilaiannya.Taghrib

dan tarhib adalah menerengkan keutamaan amal, menggemarkan agar orang suka beramal, dan

keutamaan agar orang menjauhkan diri dari perbuatan yang terlarang.Kitab atraf ialah kitab yang

hanya menyebut sebagian hadis, kemudian mengumpulkan seluruh sanad baik sanad suatu kitab

maupun sanad dari beberapa kitab.Sedangkan yang dimaksud syarah ialah menerangkan arti dari

hadits-hadis yang bersangkutan.

Page 110: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

88

Sebagaimana Ibn Khaldun dikutip oleh Ahmad Hanafi berpendapat,

bahwa ilmu kalam ialah ilmu yang berisi alasan-alasan mempertahankan

kepercayaan iman dengan menggunakan dalil-dalil pikiran dan berisi bantahan

terhadap orang-orang yang menyeleweng dari kepercayaan-kepercayaan aliran

golongan salaf dan ahli sunah (Hanafi, 1986: 3).

Ilmu kalam adalah salah satu dari empat disiplin keilmuan yang telah

tumbuh dan menjadi bagian tradisi kajian tentang agama Islam.Tiga lainnya

ialah disiplin-disiplin keilmuan fiqih, tasawuf, dan falsafah. Ilmu kalam erat

kaitannya dengan ilmu mantiq atau logika, dan pada kerangka ini, Nurcholish

Madjid secara lugas mendeskripsikan bahwa ilmu kalam tumbuh dalam

kerangka logika dan seiring dengan falsafah secara keseluruhan yang mulai

dikenal bergaul dengan bangsa-bangsa yang berlatar belakang peradaban Yunani

(Hellenisme) (As-Shiddqiey, 2000: 93).

Akan tetapi pada dasarnya ketika logika sebagai dasar menyusun

argument dan menguji silogisme, masuk dalam Islam, para teolog tidak

menggunakannya, sebab logika erat kaitannya denga filsafat. Dan banyak para

kalangan yang berpendapat bahwa lahirnya ilmu kalam beberapa abad pasca

wafatnya Nabi Muhammad dan dilatarbelakangi oleh sosial politik umat Islam

pada masa awal pertumbuhannya. Akan tetapi, secara umum latar belakang

lahirnnya ilmu kalam oleh dua faktor sebagai berikut:

Pertama, teori politik. Teori ini antara lain digunakan oleh Harun

Nasution. Misalnya ia mengatakan bahwa, peroalan politik yang terjadi antara Ali

bin Abi Thalib dan Mu‟awiyyah tentang perebutan kekuasaan yang diselesaikan

dengan jalan abitrase oleh kaum Khawarij dipandang bertentangan dengan ajaran

Islam. Disamping itu mengutip pendapat Musyrifah Susanto yakni ”untuk

membela Islam dengan bersenjatakan filsafat, seperti halnya musuh yang

menyerang dan menjelek-jelekkan Islam dengan memakai senjata”. Kedua,

karena semua masalah termasuk masalah agama telah bergeser dari pola rasa

kepada pola akal dan ilmu. Kaum Mu‟tazilah berjasa dalam menciptakan ilmu

kalam, karena mereka adalah pembela gigih berani terhadap Islam dari serangan

Yahudi, Nashrani, dan Wasani. Menurut riwayat, mereka mengirim juru-juru

dakwah ke segenap penjuru untuk menolak serangan musuh. Diantara pelopor dan

ahli ilmu Kalam yang terbesar yaitu Washil bin Atha, Abu Huzail al-Allaf, Au

Hasan al-Asya‟ari dan Imam Al-Ghazali (Amin, 1967: 364).

Dalam perkembangan selanjutnya, ilmu kalam tidak lagi memonopoli

kaum Mu‟tazilah. Adalah seorang sarjana dari kota Basrah di Irak, bernama Abu

al Hasan al-Asy‟ari (260-324 H./873-935 M. ) yang terdidik dalam alam

Mu‟tazilah. Tetapi kemudian pada usia 40 tahun ia meninggalkan paham

Mu‟tazilah dan justru mempelopori suatu jenis ilmu kalam yang anti Mu‟tazilah.

Ilmu kalam Asy‟ari itu, yang juga sering disebut Asy‟ariyyah, kemudian tumbuh

dan berkembang menjadi ilmu kalam yang paling berpengaruh dalam Islam

sekarang, Karena dianggap paling sah menurut pandangan sebagian besar kaum

Page 111: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

89

Sunni. Kebanyakan mereka ini kemudian menegaskan bahwa “jalan keselamatan”

hanya didapat seseorang yang dalam masalah kalam menganut Asy‟ari (Madjid,

2000: 209).

d. Ilmu Tasawuf

Secara bahasa kalimat tasawuf masuk dalam “babut-taful” dengan wazan,

tasawwuffa,yatasawwuf, tasawwufan. Tasawwufal-rajulu yakni, seorang laki-laki

telah berpindah halnya daripada kehidupan biasa pada kehidupan sufi. Sedangkan

Asmaran AS. mengatakan bahwa tasawuf berasal dari kata “saf” yang artinya

suci, bersih atau murni; atau kata “saf” yang artinya sah atau baris dari kata

“suffah” yang berarti serambi masjid; dan juga “shuf” yaitu bulu domba.

Asmaran 1996:42). Sedangkan Karen Amstrong diartikan dengan pakainan

bersahaja yang terbuat dari wol kasar yang diduga merupakan pakaiaan

kegemaran Nabi Muhammad Saw. (Zuhri, 1995: 45).

Ilmu Tasawuf adalah salah satu ilmu yang tumbuh dan matang pada

zaman Abbasiyah. Inti ajarannya tekun beribadah dengan menyerahkan diri

sepenuhnya kepada Allah, meninggalkan kesenangan dan perhiasan dunia, serta

bersunyi diri beribadah. Dalam sejarah sebelum timbul aliran tasawuf terlebih

dahulu muncul aliran zuhud. Aliran zuhud ini timbul pada akhir abad ke-1 dan

permulaan abad ke-2 H. terdapat sejumlah terori yang berkaitan dengan

pengertian tasawuf. Harun Nasution mislanya, mengatakan bahwa, teori yang

diterima adalah istilah itu berasal dari kata “suf” yang berarti wol. Kemunculan

Tasawuf adalah sebagai reaksi terhadap hidup mewah dari kahlifah dan keluarga

serta pembesar-pembesar negara sebagai akibat dari kekayaan yang diperoleh

setelah Islam meluas ke Syiria, Mesir, Mesopotamia, Persia. Aliran zuhud ini

mulai nyata kelihatan di Kufah dan Basrah di Irak. Para Zahid Khufahlah yang

pertama sekali memakai wol kasar sebagai reaksi terhadap pakaian sutra yang

dipakai golongan bani Umayyah seperti Sufyan al-Tsauri (w.235 H). Orang sufi ingin hidup sederhana dan menjauhi hidup keduniawian dan

kesenangan jasmani, dan untuk itu mereka hidup sebagai orang miskin dengan

wol kasar tersebut (Nasution, 1985: 72, Rachman, 1994: 42). Basrah sebagai kota

tenggelam dalam kemewahan, aliran zuhud mengambil corak lebih ekstrim

sehingga akhirnya meningkat kepada ajaran mistik. Zahid-zahid yang terkenal di

sini adalah Hasan al-Bashri (w. 110 H), dan Rabi‟ah al-Adawiyah (w. 185 H.).

(Nasution, 1978: 64). Dalam memperhatikan kemewahan hidup dan maksiat yang dilakukan

khalifah dan pembesar-pembesar orang yang zahid ini teringat kepada ancaman

yang terdapat dalam al-Qur‟an terhadap orang yang tidak patuh kepada Allah, tak

perduli pada larangan dan tak menjalankan perintah-perintah-Nya. Karena itu

mereka melarikan diri dari masyarakat mewah dan tak patuh. Mereka teringat

kepada dosa mereka, maka mereka bertaubat (Nasution, 1978: 66).

Page 112: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

90

e. Ilmu Bahasa

Pada zaman daulah Abbasiyah, ilmu bahasa (lughah) tumbuh dan

berkembang dengan pesat, karena bahsa Arab menjadi bahasa internasional.

Adapun yang dimaksud dengan ilmu bahasa dalam hal ini adalah ilmu yang

tidak berdiri sendiri, akan tetapi menyeluruh meliputi ilmu Nahwu, Sharaf,

Ma’ani, Bayan, Bad’, Arudh, Qamus, dan Insya. Kota Bashrah dan Kuffah

merupakan pusat pertumbuhan dan kegiatan ilmu bahasa, keduanya berlomba-

lomba dalam bidang tersebut, sehingga terkenal sebuah aliran Basrah dan aliran

Kuffah yang para pendukungnya merasa bangga dengan alirannya masing-

masing. Aliran Basrah lebih banyak terpengaruh dengan mantiq

dibandingkandengan Kuffah. Dalam era ini banyak dihasilkan kitab-kitab yang

bernilai tinggi dalam bidang bahasa.

Yang menarik pada masa ini diantara empat tokoh tersebut adalah salah

satu tokoh yaitu Sibawaih (761-793 M.) yang merupakan seorang ahli

gramatikal yang paling terkenal dalam sejarah Arab, meskipun dia bangsa Persia

yang kurang bagus bahasa Arab. Walaupun Sibawaih meninggal dunia dalam

usia yang masih sangat muda, tiga puluh dua tahun, selama hayatnya dia telah

menghasilkan buku karangan yang sangat besar dan sangat bermanfaat.

Karangannya dikenal dengan nama Kitab al-Sibawayh, yang dikomentari

bahwasanya buku ini mengalahkan buku yang telah ada sebelumnya dan

memuaskan orang yang datang sesudah masanya (Amin, 1995: 55).

f. Ilmu Fiqih

Mazhab hukum Islam telah ada sejak masa sahabat, seperti mazhab

Aisyah, mazhab Abdullah bin Umar dan mazhab Abdullah bin Mas‟ud.

Kemudian hari banyak para cendikiawan yang bermunculan dari masa kemasa

atau dari tempat ke tempat lainnya. Bahkan pada abad ke-2 H. hingga

pertengahan abad ke-4 H. yang merupakan priode emas perkembangan ijtihad

yang melahirkan tiga belas mujtahid yang mengkodifikasi mazhabnya dan alur

pemikirannya kemudian diikuti oleh banyak orang.

Sedangkan ketika pada zaman Abbasiyah, merupakan zaman keemasan

tamadun Islam telah banyak melahirkan ahli-ahli hukum (fuqaha) yang terkenal

dalam sejarah Islam dengan kitab-kitab fiqihnya yang terkenal hingga sampai

sekarang. Para fuqaha yang lahir di zaman ini terbagi dalam dua aliran: ahli

Hadis dan ahli Ra’yi. Ahli Hadis adalah aliran yang mengarang fiqih

berdasarkan Hadis. Pemuka aliran ini adalah imam Malik dengan pengikut-

pengikutnya seperti Imam al-Syafi‟i, pengikut Syufyan dan pengikut Imam

Hanbali.

Karena polemik yang demikian, akhirnya para ulama‟ sibuk membuat apa

yang mereka namakan ushul fiqih, yaitu kaidah-kaidah yang harus diikuti oleh

mujtahid dalam mengambil hukum. Maka lahirlah dan bekembang istilah-istilah

hukum seperti wajib, sunnah, mandub dan mustahil. Selanjutnya lahir pula para

Page 113: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

91

fuqaha ternama yang memiliki banyak murid dan pengikut yang

mengembangkan buah pikirannya. Bahkan, sampai sekarang pedoman bagi para

qadhi dalam menetapkan perkara pengadilan. Imam-imam fuqaha yang akhirnya

menukik menjadi salah satu mazhab itu antara lain sebagai berikut: Pertama.

Imam Abu Hanifah, yaitu Nu‟man bin Tsabit ibn Zauthi, dilahirkan di Kufa

pada tahun 80 H. ia banyak memiliki murid, diantaranya Abu Yusuf Ya‟qub al-

Anshary, Ja‟far ibn Hudzail bin Qais al-Kaufy dan Muhammad ibn Hasan al-

Aibany. Kedua. Imam Malik, yaitu Malik ibn Anas ibn Malik ibn Abi Amir

dilahirkan di Madinah pada tahun 93 H. ia adalah seorang ahli hukum yang

mempunyai banyak pengetahuan luas dalam Hadis. Murid-muridnya banyak

berdatangan dari Mesir, Afrika utara, Andalusia yang kemudian

mengembangkan madzhab Maliki di negrinya masing-masing. Diantara murid-

muridnya dari Mesir adalah Abu Muhammad Abdullah ibn Muslim al-Quraisy,

Abu Abdullah Abdurrahman ibn Kasirra al-Ataqy dan Asyhab ibn Abd. al- Aziz

al-Qaisy al-Amiry. Sedangkan murid-muridnya yang datang dari Afrika Utara

dan Andalusia adalah: Abu Abdullah Zaiyad ibn Abdurrahman al-Qurthuby, Isa

ibn Dariar al-Andalusy dan Yahya ibn Yahya ibn Katsir al-Lisy. Adapun di

antara pendukung-pendukungnya yang berasal dari belahan timur terdiri dari

fuqaha yang tidak pernah bertemu dengan Imam Malik akan tetapi mempelajari

dan menyetujui pemikirannya. Di antara mereka adalah; Ahmad Ibn Ma‟mal ibn

Khailan al-Abdi, Abu Ishaq Ismail al-Qadhy dan Abu Marwan Abdul Malik al-

Majisun. Ketiga. Imam Syafi‟i, yaitu Abu Abdullah Muhammad ibn Idris ibn

Askalan, merupakan seorang yang sangat cerdas dan pernah berguru kepada

Imam Malik. Pendukung-pendukungnya dari dan Hasan ibn Muhammad ibn

Shahab al-Baghdady. Pendukung-pendukungnya dari Hasan Irak di antaranya

Abu Thur al-Baghdady. Pendukung-pendukungnya dari Mesir di antaranya

Yusuf ibn Yahya Mazny al-Mishry dan Rabbi Sulaiman ibn Abdul Jabar al-

Murady. Keempat. Imam Ahmad, yaitu Ahmad ibn Hanbal ibn Hilal az-Zahily

sy-Syaibany yang lahir pada tahun 164 H. pahamnya hampir mirip dengan Imam

Syafi‟i. ia adalah ahli hadis yang banyak meriwayatkan hadis semasa hidupnya.

1. Pertumbuhan Ilmu Aqli (Rasio) Ilmu aqli adalah ilmu yang berdasarkan pada pemikiran rasio. Ilmu yang

tergolong ilmu aqli ini kebanyakan dikenal umat Islam berasala dari buku

terjemahan asing seperti, Yunani, Persia atau India. Menurut Baharuddin,

memang dalam Al-Qur‟an ada dasar-dasar ilmu ini, tetapi umat Islam mengenal

ilmu ini setelah mempelajarinya dari luar.

Dengan akalnya manusia mencapai kebenaran empiris dan rasional setelah

melakukan telaah terhadap fenomena-fenomena yang ada disekitarnya. Dari

sinilah ilmu pengetahuan terus berkembang sehingga ber-implikasi kepada

munculnya perkembangan dalam kehidupan sosial. Hal terpenting yang perlu

diketahui dalam perubahan sosial telah begitu signifikan mempengaruhi segenap

Page 114: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

92

sektor kehidupan manusia, baik ekonomi, politik, sosial, dan budaya.

Demikianlahnya dengan pendidikan sebagai bagian terpenting dari peradaban

manusia tentunya tidak terlepas dari pengaruh sosial (Ahmad, 2005: 57).

Sumbangan-sumbangan kaum Muslimin kepada ilmu pengetahuan

demikian besarnya. Yang termasuk kedalam ilmu ini antara lain ilmu kimia,

fisika, tatanegara, music, astronomi dan ilmu hitung. Umat Islam mengenal ilmu

ini ketika keluar dari jazirah Arab. Mereka mendapatkan tata caranya di kota-

kota pusat pengembangannya, buku-bukunya, dan sarjana-sarjananya. Ketika

umat Islam menguasainya, mereka tetap memelihara dan memanfaatkannya,

terutama pada masa daulah Abbasiyah. Khalifah-khalifahnya mencintai ilmu.

Mereka mengadakan asimilasi ilmu-ilmu itu dengan agama Islam. Usaha yang

pertama adalah mengadakan penerjemahan secara besar-besaran. Ilmu yang

pertama kali menjadi daya tarik umat Islam dan khalifahnya adalah ilmu

kedokteran.

Menurut hemat penulis, hubungan antara agama dan ilmu tidaklah

berlawanan atau bertentangan satu sama lainnya. Sebagaimana penulis jelaskan

pada bab sebelumnya terdapat dalil al-Qur‟an dan Hadits yang mendukung

keduanya, dan mendorong umat Muslim untuk menuntut ilmu. Jadi dapat di

katakan, bahwa Islam tidak pernah ada sarjana-sarjana muslim yang dibunuh

seperti yang dialami Giordano Bruno yang dibunuh pada tahun 1600 M. dan

Galileo Galilei yang mati di penjara pada tahun 1642 M. dibawah pengadilan

iman (inkuisisi) gereja Roma, atau Miguel Sarvetto (penemu peredaran darah

dengan menukil dari Abu al-Hasan „Ali ibn an-Nafs, dibakar pada tahun 1553

M. dibawah reformator Jean Calvin (Poeradisastra, 2008: 16).

Sarjana-sarjana Muslim yang bertolak ukur dari tauhid menganggap

hukum-hukum alam sebagai sunatullah yang obyektif, tertib, dan teratur.

Mereka tidak merancukan kepercayaan dengan metode pembahasan ilmiah atau

memutarbalikkan fakta, sedangkan kurafat memang dilarang oleh Islam. Mereka

tidak dibelenggu oleh kedunguan-kedunguan gambaran alam semesta yang

dipunyai Ptoleimaios dan dilindungi oleh gereja berdasarkan nash-nash Bible

perjanjian lama. Segala kesimpulan objektif telaah mereka tidak pernah

sekalipun berlawanan dengan Al-Qur‟an dan Hadits. Bahkan Al-Qur‟an

dianggap selalu memperkuat hasil-hasil penelitian ilmiah mereka.

Sebagaimana Sayyed Hossein Nasr, Ph.D. Guru Besar Sejarah Ilmu

Pengetahuan Universitas Teheran, mengemukakan pendapatnya sebagai berikut:

Ilmu pengetahuan Islam menjadi ada dari suatu perkawinan antara

semangat yang memancar dari wahyu al-Qur‟an dan ilmu-ilmu yang ada

dari berbagai peradaban yang diwarisi Islam dan yang telah diubah

melalui daya tenaga rohaniyah menjadi sebuah zat baru yang sekaligus

berbeda dari dan kesinambungan dengan apa yang ada sebelumnya. Sifat

internasional dan cosmopolitan peradaban Islam berasal dari watak

internasional peradaban Islam berasal dari watak internasional wahyu

Page 115: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

93

Islam dan terpantul dalam peredaran keilmubumian dunia Islam (dar al

Islam). Sehingga memungkinkan Islam menciptakan ilmu pengetahuan

pertama yang benar-benar bersifat internasional dalam sejarah umat

manusia.

Islam menjadi ahli waris pustaka kecendikiawan semua peradaban besar

sebelumnya, kecuali peradaban besar Timur Jauh. Islam menjadi sebuah tempat

berlindung di sebuah jagat rohani baru. Pasal ini haruslah diulangi, khususnya

karena sekian banyak orang di Barat keliru mengira bahwa Islam hanya bertindak

sebagai sebuah jembatan yang dilalui oleh gagasan-gagasan, teori atau ajaran

memasuki benteng pikiran Islam kalau tidak lebih dahulu dimuslimkan dan dituh-

padukan ke dalam pandangan dunia Islam yang menyeluruh. Apa pun yang tidak

dapat mengikat perdamaian (salam) dengan Islam, lambat laun akan terusir dari

kehidupan cendikia Islam atau sepenuhnya dibuang ke tepi pemandian warna-

warni ilmu pengetahuan Islam.” (Nasr, 1976: 21)

a. Abad penerjemahan (750-900 M. )

Usaha penerjemahan dari bahsa Yunani ke bahasa Arab sebenarnya sudah

dimulai sejak zaman Umayah, tetapi usaha besar-besaran dimulai sejak khalifah

al-Mansyur di masa daulah Abbasiyah. Pusat penting tempat penerjemahan

adalah Yunde Sahpur. Kota Baghdad menjadi kota yang besar dan menjadi

ibukota Daulah Abbasiyah, akan tetapi Yonde Sahpur tetap menjadi sebagai kota

ilmu pengetahuan pertama dalam Islam. Pada zaman al-Ma‟mun kemauan usaha

penerjemahan mencapai puncaknya dengan didirikannya sekolah tinggi terjemah

di Baghdad, dilengkapi dengan,lembaga ilmu yang disebut Bait al-Hikmah, suatu

lembaga yang dilengkapi observatorium, perpustakaan, dan badan penerjemah

(al-Ghurabi,1959: 132). Akibat penerjemahan buku Yunani kedalam bahasa Arab

dan masuknya kebudayaan Hellenesia ke dalam kebudayaan Islam telah

menciptakan suasana subur di kalangan kaum Muslimin tertentu dengan

pemikiran yang rasional.

Pada tahun 856 M., khalifah al-Mutawakil mendirikan sekolah tinggi

terjemah di Baghdad yang dilengkapi dengan museum buku-buku. Sekolah ini

didirikan menurut model Hunain (Hoesen, 1975: 30).11

Pada sekolah ini semangat

sosok Hunain tetap dihidupkan. Khalifah mengumpulkan sebanyak-banyaknya

orang Kristen yang siap berjalan kelilng benua atas biaya pemerintah. Tugas

11 Hunain ibn Ishaq (809-877 M.) penerjemah buku kedokteran Yunani, termasuk buku

dengan nama “ Materia Medika”. Hunain juga menerjemahkan buku Galen dalam lapangan ilmu

pengobatan dan filsafat sebanyak 100 buah ke dalam bahsa Syria 39 buah kedalam bahasa Arab.

Selain menerjemah ia juga mengarang bukunya sendiri. Buku karangannya dalam bahsa Arab dan

juga Persia, banyak dijumpai, misalnya “ Soal Pengobat” disusun dalam bentuk soal jawab.

Bukunya yang terkenal adalah “ Sepuluh Soal Tentang Mata”. Buku ini sampai dipelajari dan di

susun oleh pelajar-pelajar ilmu mata (Opthalmologi).

Page 116: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

94

mereka hanyalah mengumpulkan buku Yunani sebanyak-banyaknya kemudian

dibawa ke Baghdad untuk diterjemahkan kedalam bahasa Arab.

1) Abad Penerjemahan Ilmu Aqli

Muhammad Jamil Khayyat sebagaimana dikutip oleh Maksum

berpendapat bahwa “ pendidikan Islam dalam perjalannya sangat dipengaruhi

oleh arus pergumulan, yaitu politik dan pemikiran, salah satu pengaruh dari

adanya pergumulan bidang politik dan pemikiran adalah ditemukan tempat-

tempat pendidikan yang kshusus dan sekaligus merupakan aliran pemikiran

tertentu. Seperti Darul Hikmah pada masa bani Abbasiyah lebih menunjukan

kepada pola pendidikan filsafat dan pengikut Syi‟ah”.

Dengan kegiatan penerjemahan, sebagian besar karangan Aristoteles,

bagian tertentu dari kalangan Plato, karangan mengenai Neo Platonisme,

sebagian besar karangan Glen, serta karangan dalam ilmu kedokteran lainnya

dan juga karangan ilmu pengetahuan Yunani lainnya dapat dibaca oleh alim

ulama‟ Islam (Nasution, 1978: 11).

Bertolak dari buku yang diterjemahkan itu, para ahli di kalangan kaum

muslim mengembangkan penelitian dan pemikiran mereka, menguasai semua

ilmu dan pemikiran filsafat yang pernah berkembang di masa itu serta

melakukan penelitian secara empiris dengan mengadakan pemikiran spekulatif

dalam batas-batas yang tidak bertentangan dengan kebenaran wahyu. Semenjak

itulah masa pembentukan ilmu-ilmu Islam dalam bidang aqli, yang sering

dinamakan abad keemasan yang berlangsung antara 900-1100 M. (Baharuddin,

2011: 176).

Dinamakan zaman keemasan, oleh karena itu adalah masa begitu

memuncaknya kebudayaan Islam di segala bidang ilmu aqli. Memuncaknya

kebudayaan Islam terlihat pada lahirnya ilmuan yang mampu menciptakan ilmu

dengan kemampuan diri sendiri, bahkan sering membantah dan membatalkan

teori menerjemahkan, mempelajari dan meneliti secara teliti kemudian berusaha

untuk mempraktekkannya.

Suatu keadaan, masa keemasan bidang ilmu ini terjadi justru tatkala politik

Abbasiyah mulai merosot. Kemunduran kekuasaan Abbasiyah menyebabkan

situasi politik tidak menentu karena kekuasan telah terbagi-bagi oleh timbulnya

daula-daulah (Negara-negara) kecil di daerah pinggiran. Ditambah lagi

timbulnya pertentangan idiologi antara paham sunnah dan paham Syiah, seperti

daulah Ghaznawiyah di Afghanistan dan bani Saljuk mempergunakan paham

sunnah sedangkan daulah Fathimiyah di Mesir pendiri kota Kairo dan

Universitas al-Azhar penganut paham Syiah. Namun dunia Islam dalam

keporak-poranda justru kegiatan intelektual dan ilmiah semakin

berkembang.Adapun sebabnya adalah kehidupan politik sangat tergantung pada

terlaksananya keadilan dan terjaminnya keamanan. Sedangkan kezhaliman

Page 117: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

95

sering menyebbakan para sarjana dan ahli pengetahuan meninggalkan praktek

politik dan lari kelapangan teori dan ilmu pengetahuan.

Praktek politik menyeret mereka ke lembah kesukaran sedangkan ilmu

hanya dapat dikembangkan dalam suasana tenang. Lagi pula jiwa para khalifah

dan pembesar lainnya tetap menghormati ahli ilmu dengan syarat tidak

mencampuri persoalan politik praktis. Hal tersebut membuka kemungkinan bagi

mereka untuk melakukan penyelidikkan ilmiah dengan aman dan tentram

(Baharuddin, 2011: 177).

Disamping itu, seiring dengan perkembangan masyarakat dan sebagai

hasil persentuhan asimilasi dan alkulturasi, dalam Islam berkembang pula hasil

pemikiran di bidang fiqih, hadits, filsafat, serta tasawuf. Namun demikian,

tampaknya persoalan politik tetap mempengaruhi dinamika dan pergumulan

pemikiran tersebut. Sejarah Islam telah mencatat bahwa antar aliran pemikiran

dan kekuasaan saling mengambil keuntungan (Nasution, 1985: 61-63).

Jika dilihat perkembangan yang di akibatkan dari akulturasi dan asimilasi

antar bangsa dan kebudayaan, telah mengambil keuntungan masing-masing di

tiap disiplin ilmu yang bermunculan. Karena antar bangsa dan budaya di setiap

daerah atau Negara mengungkinkan tidak persis sama, dengan menggabungkan

perbedaan tersebut maka terlahirlah sebuah peradaban yang manju dari segala

bidang, salah satunya ilmu pengetahuan. Oleh karenanya wajar jika Rasulullah

pernah bersadba, “ikhtilafurrahmah” (perbedaan itu adalah rahmat).

Sungguhpun Rasul sejak berabad-abad yang lalu sudah dapat menjelaskan

dengan baik dari keuntungan atau manfaat “perbedaan”, namun agaknya

sebagain umat muslim kurang memperhatikan nilai-nilai yang terkandung dari

setiap yang ada dalam al-Qur‟an dan Hadits.

Page 118: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

96

Page 119: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

97

BAB IV

PARADIGMA PENGEMEBANGAN SAINS DAN

PENDIDIKAN ISLAM PADA ZAMAN AL MA’MUN

A. Biografi Al-Ma’mun (786-833 M./199-218 H.)

1. Masa Kecil Al-Ma’mun

Nama lengkap khalifah ini adalah Abdullah Abbas al-Ma‟mun.

Abdullah al-Ma‟mun dilahirkan di Baghdad pada tanggal 15 Rabi‟ul Awal

170 H/ 786 M. Bertepatan dengan wafat kakeknya Musa al-Hadi dan naik

tahta ayahnya, Harun al-Rasyid. Al-Ma‟mun termasuk putra yang jenius,

sebelum usia 5 tahun ia dididik agama dan membaca Al-Qur‟an oleh dua

orang ahli yang terkenal bernama Kasai Nahvi dan Yazidi.

Al-Ma‟mun beribukan seorang bekas hamba sahaya bernama

Marajil dari Persia. Selain belajar al-Qur‟an, ia juga belajar Hadits dari

Imam Malik di Madinah. Kitab yang digunakan adalah karya Imam Malik

sendiri, yaitu kitab Al-muwatha. Disamping ilmu-ilmu itu, ia juga pandai

Ilmu Sastra, belajar Ilmu Tata negara, hukum, filsafat, astronomi, dan lain

sebagainya. Sehingga ia dikenal sebagai pemuda yang pandai. Setelah

berhasil mengatasi berbagai konflik internal, terutama dengan saudaranya

bernama al-Amin, akhirnya al-Ma‟mun menggapai cita-citanya menjadi

khalifah pada tahun 198 H/ 813 H.

Al-Ma‟mun adalah seorang khalifah termasyhur sepanjang sejarah

dinasti Bani Abbasiyah. Selain seorang pejuang pemberani, juga seorang

penguasa yang bijaksana. Pemerintahannya menandai kemajuan yang

sangat hebat dalam sejarah Islam. Selama kurang lebih 20 tahun masa

kepemimpinannya mampu meninggalkan warisan kemajuan intelektual

Islam yang sangat berharga. Kemajuan itu meliputi berbagai aspek ilmu

pengetahuan, seperti matematika, kedokteran, astronomi, dan filsafat.

Kholifah Harun al-Rasyid mempercayakan anak-anaknya pada

guru pribadi. Al-Ma‟mun dipercayakan dibawah bimbingan Ja‟far Ibn

Yahya seorang yang bijaksana dalam berpikir dan juga pemaaf. Ja‟far juga

yang mengusulkan kepada Harun al-Rasyid untuk menjadikannya seorang

khalifah, yang kemudian disambut baik oleh Harun al-Rasyid (Saefuddin,

2002: 41).

Al-Ma‟mun adalah pribadi yang jarang bermain. Selama dua puluh

bulan tinggal di Baghdad beliau tidak sembarangan mendengarkan

nyayian yang bisa menghibur di dalam istana, karena menurutnya nyayian

itu dapat mengganggu konsentrasinya dalam mengkaji berbagai buku.

Semua itu dilakukan untuk mengembalikan keutuhan kerajaan yang

hampir runtuh dan juga karena kecintaan al-Ma‟mun terhadap ilmu

pengetahuan (Syalabi, 1982: 121-122).

Page 120: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

98

2. Masa Remaja dan Dewasa Al-Ma’mun

Al-Ma‟mun merupakan salah satu kholifah Abbasiyah yang paling

terkemuka. Banyak para ahli sejarah berpendapat tanpa ketokohan dan

kemampuan al-Ma‟mun niscaya pristiwa-pristiwa yang terjadi pada

zamanya itu pasti dapat meruntuhkan kerajaan dan kebudayaan Islam.

Al-Mamun dinilai sebagai salah satu kholifah terbesar sepanjang

sejarah Abbasiyah karena ia mampu mempromosikan berbagai bidang

studi seni, filsafat dan ilmu pengetahuan. Ia mendorong dan menyukai

diadakannya berbagai diskusi dan untuk mempromosikan ilmu

pengetahuan ia mendirikan perpustakaan dan observatorium serta lembaga

lainnya. Banyak sarjana yang berprestasi yang dibawah perlindungannya

(Hasan, 1992: 219).

Pemaaf adalah salah satu sifat al-Ma‟mun yang paling nyata. Ia

pernah memaafkan al-Fahdl ar-Rabi‟ yang telah menghasut berbagai

pihak untuk menentang beliau. Beliau memaafkan Ibrahmi al-Mahdi yang

telah melantik dirinya di Baghdad pada saat al-Ma‟mun berada di Merw,

meskipun al-Mu‟tashim dan al-Abbas ibn al-Ma‟mun menyarankan untuk

membunuhnya.

Pemerintahan al-Ma‟mun menandai pemisahan antara priode awal

dan priode kedua Dinasti Abbasiyah. Kelompok yang semula membantu

kekholifahan pada tahun-tahun pertama, turun dari panggung kekuasaan.

Diantara yang paling penting dari kelompok ini adalah para abna‟

(keturunan veteran revolusi Abbasiyah yang berasal dari Khurasan. Klan

Abbasiyah sendiri yang telah memainkan peranan penting selama ini,

setelah periode ini, peran mereka tidak begitu menentukan lagi. Sama

halnya juga pad keluarga-keluarga Arab seperti al-Muhalabi dan Syaibani,

mereka menghilang dari istana. Selama pemerintahan al-Ma‟mun,

kelompok-kelompok tersebut digantikan dengan oleh orang-orang baru

yang memiliki idiologi baru, yang ingin menerapkan metode

pemerintahan baru pula. Klompok yang paling penting dan berpengaruh

adalah yang dipimpin oleh saudara al-Ma‟mun sendiri yang bernama Abu

Ishaq (Perpustakaan Nasional RI, 1997: 96).

Tak salah kiranya jika sejarah menyatakan masa kegemilangan

Daulah Abbasiyah salah satu masa adalah masa pemerintahan al-Ma‟mun.

Sejak belia, ia sudah menunjukan sikap dan sifat yang baik, guna sebagai

bekal untuk menjadi seorang pemimpin. Dari bekal yang didapatnya

itulah, yang menjadi landasan beliau dapat menjalankan pemerintahannya

dan perduli terhadap ilmu pengetahuan dan perkembangannya.

Perhatian yang sangat besar beliau tunjukan pada pengembangan

ilmu pengetahuan karena cintanya yang demikian besar terhadap ilmu

pengetahuan. Tidak heran banyak upaya yang al-Ma‟mun lakukan untuk

Page 121: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

99

mewujudkan kecintaan dan perhatian terhadap ilmu pengetahaun yang

bukan saja bermanfaat bagi dirinya, tetapi berguna untuk sumber terbesar

dalam mewujudkan pemerintahan yang baik dikemudian hari karena

mampu menguasai berbagai aspek ilmu pengetahuan yang dapat

menyeimbangkan segala aspek penting dalam kehidupan. Selanjutnya al-

Ma‟mun wafat pada tahun 218 H/833 M di Tarsus, pada usia 48 tahun

(Syalabi, 1973: 144).

Al-Ma‟mun selain merupakan seorang kholifah, ia juga merupakan

seorang ilmuwan Muslim, penyair, khatib, muhaddits, serta mahir dalam

bidang filsafat dan perbintangan. Ia juga dapat menguasai empat bahasa

selain bahasa Arab, yaitu bahasa Yunani, Ibrani, Persia, India. Berkat

perhatiaannya terhadap ilmu perbintangan, akhirnya ia membangun dua

tempat pemantauan peredaran bintang, salah satunya terdapat di Syamsiah

Baghdad dan yang satunya lagi dikenal dengan Mirshad al-Makmuni

terdapat di puncak gunung Qasyiun Damaskus.

Pada tahun 215 H (830 M), al-Ma‟mun mendirikan Baitul Hikmah

di kota Baghdad, yang ia jadikan sebagai pusat ilmu dan ilmuan serta

sekretariat tim terjemah. Dalam upayanya penterjemahan tersebut, buku-

buku karya ilmuwan Barat dalam berbagai disiplin ilmu pengetahuan

berhasil diterjemahkan. Begitu juga dengan buku-buku yang berbahasa

Persia dan India. Buku-buku yang telah diterjemahkan sebelum masa al-

Ma‟mun pun kembali di tinjau kembali sehingga lebih mengarah kepada

kesempurnaan ( Gaudah, 2007: 330).

Namun sebelum di dirikan Baitul- Hikmah, pada zaman Harun al-

Rasyid telah berdiri Dar al-Hikmah di Baghdad. Perpustakaan dihampiri

dengan hamparan karpet yang bagus, di hiasi dengan prabot yang mahal-

mahal. Di himpun dalam buku dari berbagai sumber. Dilengkapi dengan

alat tulis, pegawai-pegawai dan pesuruh-pesuruh untuk berkhidmat pada

perpustakaan ini. Dan juga dilengkapi berbagai guru-guru dari berbagai

bidang, seperti: ahli baca al-Qur‟an, fuqaha, astrolog, tata bahasa, filogi

dan dokter (Syalabi, 1973: 149).

Semenjak awal pemerintahan Harun al-Rasyid (786-809 M)

problem sukesi sangatlah sengit. Harun telah mewasiatkan tahata

kekhalifahan kepada putra tertuanya al-Amin dan kepada putra keduanya

yang bernama al-Ma‟mun, seorang gubernur Khurasan dan orang yang

berhak menaiki tahta kekholifaan setelah kakaknya. Setelah kematian

Harun al-Rasyid, al-Amin berusaha mengkhianati hak adiknya dan

menunjuk anak laki-lakinya yang akan menjadi penggantinya kelak.

Akibatnya pecalah perang sipil. Al-Amin didukung oleh militer

Abbasiyah di Baghdad, sementara al-Ma‟mun harus berjuang untuk

memerdekakan Khurasan dalam rangka untuk mendapatkan dukungan

dari pasukan perang Khurasan. Al-Ma‟mun berhasil mengalahkan saudara

Page 122: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

100

tuannya, dan memploklamirkan kekhalifahaan pada tahun 813 M, namun

peperangan sengit tersebut tidak hanya melemahkan kekuatan militer

Abbasiyah, akan tetapi melemahkan warga Irak dan sejumlah provinsi

lainnya (Lapidus, 2000: 193-194).

Kecakapan dan kepemimpinannya yang kuat membuatnya berhasil

mengatasi banyak tantangan yang timbul, mulai dari tantangan untuk

merebut kursi khalifah yang hendak diserahkan oleh khalifah al-Amin

kepada putranya, sampai kepada tantangan pemberontakan-

pemberontakan yang timbul di masa pemerintahannya dan permusushan

dari kerajaan Romawi timur. Ia berhasil mengalahkan al-Amin,

memadamkan pemberontakan Abu as-Saraya dan Muhammad Ibnu

Ibrahim al Alawi (815), pemberontakan Babek al-Khirmiy (816 M), dan

lain-lain dan Romawi timur untuk berdamai dengannya.

Keberhasilan menjaga stabilitas kerajaan memungkinkannya untuk

melaksanakan ambisinya yang besar untuk memajukan ilmu pengetahuan.

Ia mendirikan lembaga ilmiah, Bait al-Hikmah, lembaga terjemah yang

dilengkapi oleh perpustakaan yang besar dan observatorium. Ia

menyediakan dana besar, baik untuk menggaji ilmuwan-ilmuwan yang

berkerja menterjemahkan buku-buku asing atau berkerja bagi

pengembangannya, maupun untuk biaya pengiriman orang-orang ke

Konstaninopel dan lain-lain dalam rangka mencari dan membeli

manuskrip-manuskrip ilmu dan filsafat agar dapat dibawa ke Baghdad dan

diterjemahkan. Aktivitas pengembangan ilmiah sangat memuncak

dimasanya. Karena teologi Mu‟tazilah sangat mendorong bagi kemajuan

ilmu dan falsafat, maka al-Ma‟mun menjadikan Mu‟tazilah sebagai

mazhab resmi Kerajaan Abbasiyah (Nasution,1992: 612).

Al-Ma‟mun kholifah yang pertama kali membuat sistem putra

mahkota, ia mengambil pelajaran dari peristiwa-peristiwa sejarah. Dia

melihat bahwa pemerintahan (khalifah) bukanlah miliknya secara khusus

yang kemudian diwariskan kepada anak-anaknya. Pemerintahan dalam

pandangannya bertujuan untuk kemaslahatan umum. Karenanya harus

diperhatikan kebaikan dan juga kemaslahatan manusia.

Al-Ma‟mun tidak menjadikan anaknya, al-Abbas untuk

menggantikan dirinya. Padahal, anaknya ini meski dikenal sebagai salah

seorang panglima perang yang sangat terkenal. Al-Ma‟mun mengangkat

saudaranya al-Mu‟tashim. Karena ia melihat bahwa al-Mu‟tashim lebih

memiliki kelebihan dari anaknnya sendiri baik dari sisi keberanian

maupun kapabiltas (Al-Usairy, 2010: 233).

. Perkembangan intelektual dimulai dengan diterjemahkan

khazanah intelektual Yunani klasik seperti filsafat Aristitoles. Khalifah

sendiri yang mengalokasikan anggaran khusus untuk menggaji para

penterjemah dari golongan Kristen, kaum salabi, dan bahkan juga para

Page 123: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

101

penyembah bintang. Untuk melengkapi kehausan terhadap berbagai

cabang ilmu (Saefudin, : 2002: 7-8).

Harun al Rasyid ayah dari al-Ma‟mun, oleh para sejarahwan

dianggap sebagai khalifah paling besar dan cemerlang yang membawa

Dinasti Abbasiyah ke zaman keemasannya. Jika al-Ma‟mun berkuasa

selama 20 tahun, maka Harun al-Rasyid memerintah selama 23 tahun dan

membuat dinasti ini mencapai kemajuan dan kejayaan di bidang politik,

ekonomi, perdagangan, ilmu pengetahuan dan peradaban Islam (Clot,

1989: 46).

Kekuasaan Harun al-Rasyid amat luas, yang terbentang dari

daerah-daerah Laut Tengah di sebelah Barat sampai India di sebelah

Timur. Puncak kejayaan pemerintahan Bani Abbas berada pada masa

Khalifah Harun al Rasyid dan putranya, al-Ma‟mun, yang disebut “ Masa

Keemasan Islam” (The Golden Age of Islam). Pada tahun 800 M/184 H

Baghdad telah menjadi kota metropolitan dan kota bagi dunia Islam, yakni

sebagai pusat pendidikan, ilmu pengetahuan, pemikiran, peradaban Islam,

serta pusat perdagangan, ekonomi dan polotik (al Masudi, t.t: 396).

Al-Ma‟mun sendiri menjabat sebagai khalifah pada tahun 813 M

dan berusia 28 tahun. Masa pemerintahannya dipandang sebagai masa

keemasan yang melanjutkan kebesaran yang dicapai ayahnya, Harun al-

Rasyid. Ia jauh berbeda dengan saudaranya Kholifah al Amin. Al Ma‟mun

memiliki sifat pemaaf, tidak suka terhadap hiburan dan perminan. Suyuthi

menyatakan: “Al-Ma‟mun adalah tokoh Bani Abbas yang paling utama

keilmuannnya, keberaniannya, kehebatannya, kesabarannya, dan

kecerdasannya”. Ia berkonsentrasi penuh pada pengembalian keutuhan

kerajaan yang hampir runtuh, yang diakibatkan masalah politis kekuasaan

sebelumnya antara al-Ma‟mun dengan al-Amin. Dan ia juga

berkonsentrasi ada ilmu pengetahuan dan buku-buku yang ia baca

(Saefuddin, 2002: 44). Ia dikenal karena keintelektualannya dan kecintaan

terhadap ilmu pengetahuan, serta jasa-jasa dalam mengembangkan ilmu

pengetahuan. Ia banyak mengumpulkan buku-buku untuk disimpan di

perpustakaan Bait Al-Hikmah. Ia juga banyak mengundang banyak

penterjemah untuk menterjemahkan buku-buku sains dan filsafat Yunani

ke dalam bahasa Arab dengan imbalan gaji yang besar dan memuaskan.

Kehausan akan ilmu pengetahuan mendorongnya untuk menyibukkan diri

dalam mempelajari berbagai pemikiran sains dan filsafat (al-Mas‟udi, t.t:

5, Atsir, t.t: 383).

Al-Ma‟mun pernah meninggalkan istana selama delapan tahun

guna untuk mempelajari Filsafat dari orang-orang Yunani, yang kemudian

mengembangkannya dengan menterjemahkan karya-karya Yunani ke

dalam bahsa Arab. Pada masa al-Ma‟mun, paham Mutazilah dijadikan

paham Negara. Ia mewajibkan seluruh penduduk untuk mengikuti paham

Page 124: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

102

ini, bagi yang tidak mau mentaati maka ia akan dihukum. Untuk menguji

paham seseorang apakah Mutazilah atau bukan ia memberlakukan Mihnah

(inquisition), semacam lembaga penyelidikan untuk meneliti paham

seseorang (Atsir, t.t: 383).

Salah satu pertanyaan yang diajukan dalam Mihnah adalah tentang

kemakhlukkan al-Qur‟an. Bagi yang menentang paham bahwa al-Qur‟an

bukan makhluk maka ia akan diberi hukuman. Salah satu ulama yang

terkenal yang menjadi korban Mihnah adalah Ahmad Ibn Hanbal. Ia

disiksa dan dipenjara selama bertahun-tahun karena bertahan dengan

pendapatnya bahwa al-Qur‟an bukan makhluk (Khalikan, t.t: 24).

Keberpihakan al-Ma‟mun terhadap paham Mutazilah tempaknnya

tidak dapat dipisahkan dari kehausannya akan pengetahuan yang rasional.

Kecintaan terhadap filsafat mendorongnnya untuk menyetujui paham

Mutazilah yang rasional dan filosofis daripada paham yang lain.

Mutazilah menganut paham Qodariyah, kebebasan manusia dalam berbuat

kehendak, dan paham sunatullah, yakni paham yang memandang bahwa

alam ini diatur oleh Tuhan melalui hukum penciptaan-Nya, sedangkan

Asy‟ariyah menganut paham Fatalisme dan menolak adanya sunatullah

yang mengatur alam semesta (Nasution, 1995:115).

B. Paradigma Pengembangan Sains dalam Islam

Paradigma dalam bangunan ilmu pengetahuan dapat diibaratkan

sebagai landasan dalam kerangka berpikir hingga terbentuk sebuah model

dalam sebuah teori ilmu pengetahuan. Berangkat dari paradigma ini pula

kemudian dibangun teori-teori berikutnya. Selanjutnya, jika ilmuwan

telah menerima suatu paradigma tertentu, maka riset-risetnya akan

ditunjukkan untuk menjawab masalah-masalah yang muncul dari

paradigma tersebut. Sampai suatu saat paradigma tadi berhenti

mengajukan pertanyaan-pertanyaan atau muncul semakin banyak

keganjilan yang tak dapat masuk dalam kerangka paradigma dimaksud.

Ilmuwan akan mempertanyakan paradigma baru yang lain. Sebuah

paradigma baru akan menghasilkan teori baru yang lain (Jalaluddin, 2013:

148).

Umumnya paradigma pengembangan ilmu tak lepas dari nilai-nilai

filsafat yang melandasinya. Manusia berhubungan dengan realitas bukan

sesuatu yang telah ada (given) tanpa interpretasi, melainkan dirantai dan

dibangun oleh skema konseptual. Haidar Baqir mengatakan, “bahwa

paradigma-paradigma itu bisa saja dipilih berdasarkan keyakinan dan

selera intelektual masing-masing kelompok ilmuwan.” Dengan demikian

paradigma pengembangan ilmu sepenuhnya tergantung kepada para

ilmuwan itu sendiri (Jalaluddin, 2013: 250).

Page 125: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

103

Dalam pandangan Jhon Ziman, pembentukan paradigma ini sangat

mendasar sifatnya bagi ilmu pengetahuan. Tanpa komitmen dari masing-

masing individu ilmuwan pada “gambar dunia” (world picture) yang

sama, tak akan tercipta komunikasi. Dalam keilmuan Barat paradigma

bersumber dari hasil pemikiran manusia berupa komitmen para ilmuwan

yang kemudian terbentuk sebagai world picture dari latar belakang filsafat

masing-masing (Jalaluddin, 2013: 250).

Dalam pandangan Islam, world picture yang terbetuk berdasarkan

komitmen para ilmuwan tersebut, semuanya berpangkal dari sumber

tunggal, yakni pesan-pesan kitab suci al-Qur‟an. Setidaknya Harun

Nasution mengatakan bahwa al-Qur‟an adalah kitab yang komplet,

sempurna, dan mencakup segala-galanya termasuk sistem

kemasyarakatan, ilmu pengetahuan dan teknologi modern (Nasution,

1983: 25). Pendapat ini didasarkan pada pernyataan-pernyatan ayat al-

Qur‟an itu sendiri, antara lain Firman Allah Swt.:

Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan

telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai

Islam itu Jadi agama bagimu. (Q.S. Al-Maidah:3)

Ayat tersebut diatas dapat diartikan bahwa al-Qur‟an adalah kitab

yang sempurna isinya dalam arti suatu pun tidak dilupakan di dalamnya.

Segala-galanya dijelaskan di dalamnya (Nasution, 1983: 30).

Ayat-ayat al-Qur‟an yang termasuk ayat-ayat kauniyah memang

tidak memberi penjelasan rinci mengenai proses fenomena alam berupa

teori-teori tertentu. Proses tersebut harus dipikirkan manusia. Pada

dasarnya ayat-ayat kauniyah mengandung dorongan kepada manusia

untuk memperhatikan dan memikirkan alam sekitar. Kandungan-

kandungan ayat-ayat ini sekaligus menunjukkan bahwa al-Qur‟an juga

mengungkapkan fenomena alam yang menjadi pembahasan ilmu

pengetahuan modern.

Dalam ilmu pengetahuan kealaman (natural science), orang

mengumpulkan pengetahuan dengan mengadakan pengamatan atau

observasi, pengukuran atau pengumpulan data pada alam sekitar. Baik

yang hidup seperti manusia, binatang, dan tumbuh-tumbuhan, maupun

yang tak tak bernyawa seperti binatang, matahari, gunung, lautan, dan

benda-benda yang mengelilingi manusia (Baiquni, 1983: 1).

Dengan memperhatikan gejala dan peristiwa alam ini manusia

sampai pada kesimpulan, bahwa kejadian-kejadian seperti itu tidaklah

timbul begitu saja. Semuanya itu mesti diciptakan dan digerakkan oleh

Page 126: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

104

Allah Swt. Maha Pencipta dan Penggerak alam semseta (Nasution, 1983:

68).

Dalam hubungan dengan paradigma pengembangan ilmu ini, Syed

Hossein Nasr menjelaskan, bahwa ilmuwan (ulama) Islam di masa klasik,

mempelajari alam, buka semata-mata karena jiwa ilmiah yang terdapat

dalam diri mereka. Lebih dari itu adalah “untuk menyatakan hikmat

Pencipta dalam ciptaan-Nya,” dan “untuk memperhatikan ayat-ayat Tuhan

dalam alam sesuai dengan ajaran al-Qur‟an (Nasution, 1983: 68). Secara

paradigmatis, dalam Islam terlihat adanya hubungan antara ilmu,

ilmuwan, kajian keilmuan dan niali-nilai ajaran agama. Ilmu bersumber

dari Tuhan.1 Ilmuwan (ulama) mereka yang memiliki pengetahuan tentang

fenomena alam yang memiliki sifat khasyah (takut, kagum kepada Allah).

Berangkat dari landasan prinsip-prinsip al-Qur‟an ini pula

paradigma pengembangan ilmu dalam Islam disusun. Tak mengherankan

bila tujuh abad sebelum Charles Darwin mengemukakan teori evolusi,

ilmuwan Muslim telah mengemukakan hal itu. Mereka mengemukakan

bahwa penciptaan berlaku melalui evolusi. Selain itu berdasarkan al-

Qur‟an pula mereka berpendapat bahwa airlah yang menimbulkan

kehidupan (Nasution, 1983: 66). Sedangkan dalam pandangan

Kuntowijoyo, pengembangan eksperimen-eksperimen ilmu pengetahuan

yang berdasarkan paradigma al-Qur‟an jelas akan memperkaya khazanah

ilmu pengetahuan manusia (Kuntowijoyo, 1991: 335). Harun Yahya

dalam Menyingkap Rahasia Alam, menunjukkan bahwa bukti tentang

tanda-tanda kekuasaan Allah dalam kehidupan di alam raya ini. Ia ingin

menunjukkan bukti kebenaran mutlak ayat-ayat al-Qur‟an dalam telah

ilmiah dan cakupan yang luas. Pernyataan ayat-ayat al-Qur‟an tidak hanya

harus dipahami secara normative. Di balik semuanya itu, ayat-ayat al-

Qur‟an juga mengandung pesan-pesan yang berhubungan dengan prinsip-

prinsip ilmu pengetahuan (Yahya, 2004: 164-165). Selanjutnya

dikemukakan oleh al-Qardlawi, aspek material adalah ilmu yang

berhubungan dengan pembahasan mengenai alam jagat raya, baik yang di

atas maupun yang di bawah. Ilmu ini mencakup anta lain ilmu alam,

kimia, astronomi, kedokteran, teknik, ilmu biologi, botani, fisika dan lain

1 (30) Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat:

"Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka

berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan

membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, Padahal Kami Senantiasa

bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman:

"Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui." (31) Dan Dia

mengajarkan kepada Adam Nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian

mengemukakannya kepada Para Malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama

benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar!"

Page 127: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

105

sebagainya. Jelasnya, ilmu dibangun atas dasar observasi dan eksperimen

(al-Qardlawi, 2001: 35). Berangkat dari paradigma seperti ini pula, maka

dalam perjalanannya, Islam mampu mengemban “hegemoni” peradaban

dunia, yang oleh Eward Mortimer disebut-sebut sebagai “peradaban

sepuluh abad” (Mortimer, 1986: 32).

C. Langkah-langkah Kholifah al-Ma’mun dalam Mengembangkan

Ilmu Pengetahuan

1. Gerakan Penerjemahan Ilmu zaman al-Ma’mun

a. Faktor Penyebab Gerakan Penerjemah

Jika di telaah secara historisitas sosial pendidikan pada umat Islam

baru menemukan pemekarannnya ketika komunitas Islam telah tersebar ke

berbagai penjuru dan belahan bumi di luar Jazirah Arab. (Arief, 2005:

104). Tersebarnya “ilmu-ilmu non agama” ke dalam tubuh Islam pada

masa Abbasiyah memegang tampuk kekuasannya tepanya di masa

Khalifah al-Mansur sampai masa al-Ma‟mun hingga masa-masa

sesudahnya sampai abad X M. dengan penerjemahan buku-buku asing

secara besar-besaran telah tampil begitu mengesankan sehingga dunia

ilmu pengetahuan semakin berkembanglah dan meluas di tangan kaum

muslimin. Ilmu-ilmu “non-agama” atau disebut dengan ilmu „aqliyah.

Ilmu „aqliyah dikenal dengan ilmu-ilmu klasik („ulum al-Qudama atau

awail). Yang dimaksud dengan ilmu jenis ini adalah filsafat, kedokteran,

olahraga, arsitekstur, aljabar, mantiq, ilmu falaq, ilmu alam, kimia, music,

sejarah, geografi dsb. (al-Mursyi, 1986: 193) diadopsi oleh komunitas

Muslim dengan antusias dengan sikap apresiatif. Menurut Nakosten,

tersebarnya ilmu-ilmu asing yang masuk pada kubu umat Islam, ada

beberapa faktor penting yang patut diketahui yaitu:

Pertama, Penganiayaan dan pengusiran yang dilakukan oleh

orang-orang Kristen Ortodoks yang mewakili penguasa Byzantium, atas

sekte-sekte Kristen. Sekte-sekte ini mencari tempat yang lebih kondusif

dan aman ke daerah-daerah yang berada di bawah penguasaan kerajaan

Sasania dan mereka yang juga menyebar ke semenanjung Arabia. Mereka

yang menyebar ini membawa tradisi ilmiah Yunani dan Helenisme,

terutama di bidang kedokteran, matematika, astronomi, filsafat, dan

teknologi, lalu mengembangkannya di suatu tempat baru yang mereka

huni. Ketika umat Islam menaklukkan kerajaan Romawi dan Sasania,

penganiayaan Kristen Ortodoks mendorong kelompok-kelompok

minoritas untuk menyambut gembira kedatangan pasukan Muslim yang

dikenal toleran terhadap orang yang berbeda agama, budaya, dan

kehidupan sosial. Kelompok-kelompok ini menjalin persahabatan yang

baik dengan komunitas Muslim dan membuka jalur transmisi pengetahuan

yang mereka bawa.

Page 128: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

106

Selain itu penaklukan Alexander Agung terhadap Mesir, Persia

dan India yang secara otomatis disertai dengan transmisi ilmu

pengetahuan Yunani ke daerah-daerah tersebut. Pada babakan sejarah

berikutnya ilmu pengetahuan ini dikembangkan dan diperkaya dengan

polesan tradisi lokal sebelum pada akhirnya ditransmisi ke dalam

peradaban Islam. Kedua, Nakosten menambahkan bahwa peranan

Akademi Jundi Syapur yang berhasil memadukan tradisi ilmiah dari

berbagai kawasan budaya India, Yunani, Helenisme, Syiria, Hebrew, dan

Persia. Di tempat ini pula penterjemahan ilmu pengetahuan kuno

menyebarkannya kepada kaum muslim sampai tugas ini diambil alih oleh

Baghdad di Timur dan Sisilia serta Cordova di Barat. Kegiatan ilmiah

bangsa Yahudi yang menerjemahkan karya-karya Yunani ke dalam bahasa

Ibrani dan Arab pada masa pra-Islam (Nakosteen, 1968: 18-20).

Masuk dan berkembangnya ilmu-ilmu asing ini memaksa umat

Islam untuk merekonstruksi sistem pendidikan yang masih berlangsung

dengan dominasi “Ilmu-ilmu agama” dalam kurikulum pengajarannya.

Terjadi proses tarik menarik dalam merespon keadaan ini. Institusi-

institusi pendidikan Islam hingga masa ini berada dalam otoritas ulama

yang menguasai al-„ulum al dinniyah.

Menurut data sejarah, ternyata ilmu-ilmu non agama, berhasil

bukan hanya diadopsi, akan tetapi berhasil dikembangkan sedemikian

rupa hingga masa-masa itu Islam disebut-sebut oleh sejarahwan sedang

menguasai panggung peradaban dunia di saat Eropa dan belahan dunia

lain berada dalam kegelapan (the dark age). Hal tersebut pada akhirnya

dimaksudkan untuk dapat mengungkap pengalaman historis sosiologis

umat Islam dalam memperkenalkan dan memposisikan ilmu di masa

klasik (Arief, 2005:106-107).

Para ilmuwan diutus untuk mencari naskah-naskah Yunani ke

Bizantium dalam berbagai bidang ilmu seperti “filsafat dan kedokteran”.

Perburuan dalam menemukan manuskrip-manuskrip di dunia Timur

(Persia) seperti dalam bidang Tata Negara dan sastra, juga dilakukan.

Bahkan al-Ma‟mun sendiri mewajibkan kepada seluruh pejabat

pemerintahan untuk menguasai dua bahasa, agar menambah tenaga

penerjemah buku tersebut. Haran sebuah kota yang berada di

Mesopotamia adalah salah satu jalur yang sering dilalui dan banyak

penduduknya yang berbahsa Yunani.

b. Munculnya Gerakan Penerjemah

Pengembangan ilmu pengetahuan telah dimulai pada zaman klasik,

hal ini terjadi dikarenakan faktor yang dominan dari al-Qur‟an dan Sunah

yang mendorong mengembangkan ilmu pengetahuan dan memanfaatkan

serta mempelajari warisan berbagai budaya dan ilmu pengetahuan di

Page 129: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

107

sekitar daerah tersebut, dengan cara menerjemahkannya. Upaya ini

sebetulnya sudah di mulai pada zaman Kholifah Umar bin Abdul Aziz

(Dinasti Umayah), akan tetapi berkembang pesat pada zaman Kholifah al-

Ma‟mun (Dinasti Abbasiyah). Melalui Baitul Hikmah, yang didirikannya,

al-Ma‟mun berusaha mencari dan mengumpulkan berbagai manuskrip

peninggalan ilmu pengetahuan tersebut dan menterjemahkannya ke dalam

bahasa Arab. Melalui tradisi penterjemahan inilah, maka lahirlah para

ilmuwan dari umat Islam yang mencapai prestasi yang melewati para

ilmuawn sebelumnya. Mereka itu seperti: al-Khawarizmi dalam bidang

fisika, Abd. al-Jabar dalam bidang matimatika, al-Kindi, al-Farabi, Ibn

Sina, Ibn Rusyd, al-Razi dan al-Zahrawi dalam bidang fisika, matematika,

seni, pemerintahan, farmakologi dan kedokteran, al-Farabi dalam bidang

tasawuf.

Pada zaman pemerintahan al-Ma‟mun (Dinasti Abbasiyah),

bangsa-bangsa non-Arab banyak yang masuk Islam. Terjadinya asimilasi

berlangsung secara efektif dan bernilai guna. Bangsa-bangsa itu

memberikan sumbangan dalam pengembangan ilmu pengetahuan dalam

Islam. Misalnya, al-Ma‟mun yang juga memiliki darah Persia dari Ibu

(Istri ke dua Harun al-Rasyd), yang sangat kuat di bidang pemerintahan

dan banyak berjasa dalam perkembangan ilmu filsafat dan sastra (Amin,

t.t: 207)

Zaman al-Ma‟mun merupakan fase kedua dari zaman al-Mansur

sampai Harun al-Rasyd. Pada saat pemerintahan berkuasa itu sangat

memberikan dukungan baik politik, ekonomi, fasilitas dalam

mengembangkan ilmu pengetahuan, terlebih lagi adanya gerakan

penterjemahan yang berlangsung sampai zaman al-Ma‟mun. hingga tahun

300 H. buku-buku yang diterjemahkan pada masa al-Ma‟mun adalah

tentang filsafat dan kedokteran. Pada zaman al-Ma‟mun juga telah ada

pembuatan kertas, yang sangat membantu dalam pengembangan ilmu.

Melalui gerakan penerjemahan inilah, maka para ulama Islam yang bukan

hanya menguasai ilmu agama saja, melainkan lebih dari itu, para ulama

dapat menguasai ilmu-ilmu umum, seperti: astronomi, fisika, matematika,

pemerintahan, filsafat, kedokteran, geografi, biologi, sastra, dan lain

sebagainya.

Kentalnya dengan adanya tradisi ilmiah membuat umat Islam pada

zaman al-Ma‟mun bak seperti waktu yang bernilaikan emas permata,

selanjutnya menimbulkan kebanggaan dan rasa motivasi untuk

menggerakkan intelektual Islam. Tradisi yang dimaksud antara lain

seperti: 1) Tradisi meneliti secara bayani selanjutnya mengasilkan ilmu

agama (tafsir, fiqih, ilmu al-Qur‟an, ilmu Hadits dsb), burhani yang

mengasilkan ilmu sosial (sosiologi, sejarah, geografi, dsb.), ijbari yang

mengasilkan sains dan terapan (kimia, fisika, matematika, astronomi,

Page 130: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

108

biologi dsb), jadali yang menghasilkan filsafat dan irfani yang

menghasilkan tasawuf. 2) Tradisi rihlah ilmiah atau perajalanan jauh

selama berpuluh-puluh tahun guna memperoleh ilmu pengetahuan

sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Imam Syafi‟i, Imam Bukhori,

Imam al-Ghazali, Ibn Khaldun, dsb. 3) tradisi menulis, yang dilakukan

kebiasaan para ulama klasik saat menumpahkan ilmunya untuk di pelajari

oleh para muridnya. 4) tradisi berdebat, dengan tujuan untuk

mendapatkan pendapat baru (Nata, 2011: 38).

Dapat dipahami dengan jelas bahwa pada zaman al-Ma‟mun

betapa kecintaanya terhadap ilmu pengetahuan membuat ia melanjutkan

dan juga mengembangkan kegiatan yang telah dilakukan oleh

pendahulunya bahkan al-Ma‟mun dalam hal ras atau pun suku, ia tidak

membeda-bedakan mana yang bangsa Arab dan mana yang bukan, mana

yang Muslim dan non-Muslim sebagai penghalang dalam meningkatkan

pengembangan ilmu pengetahuan melalui geraka penerjemahan.

Al-Ma‟mun memahami bahwa ilmu pengetahuan bukanlah

dimiliki oleh kaum Muslimin saja, akan tetapi ia mencari cara bagaimana

agar ilmu yang dimiliki oleh Barat yang mayoritas non-Muslim juga bisa

dikuasai oleh umat Muslim. Melalui gerakan penerjemahan inilah yang ia

galakkan agar menimbah kecintaan kaum Muslimin terhadap ilmu

pengetahuan yang menghantarkan mereka kebahagian di dunia dan akhirat

sebagaimana diajarkan dalam Islam.

2. Optimalisasi Institusi Pendidikan pada zaman al- Ma’mun

Khalifah al-Ma‟mun adalah seorang kholifah Islam yang arif dan

bijaksana, cerdas, baik akhlaknya, mengedepankan kemerdekaan berpikir

dan berdiskusi. Menurut tinjauan dan pendapatnya sesungguhnya

pertikaian dalam beberapa masalah agama menyebabkan umat Islam

terpecah belah, terbagi beberapa golongan. Untuk menghindari hal

tersebut diadakan majelis Munazarah tempat diskusi persoalan agama

yang pelik, majelis ini berlangsung di hadapan al-Ma‟mun sendiri serta

dihadiri para ulama ternama. Hasil pembahasan diumumkan kepada rakyat

agar mereka dapat beramal menurut hukum yang sama berdasarkan

pendapat-pendapat yang telah disatukan supaya tidak terjadi perselisihan.

Selain majelis, awal sejarah pendidikan Islam tidak bisa

dipisahkan peranannya dari masjid akan fungsinya. Disamping masjid

digunakan untuk ibadah seperti shalat, masjid dapat digunakan untuk

menyebarkan ilmu pengetahuan. Di setiap masjid para ulama mengajarkan

berbagai ilmu, dan disana pula telah disiapkan pula ruangan baca atau

perpustakaan untuk membaca buku.

Institusi pendidikan Islam zaman al-Ma‟mun, termasuk kategori

lembaga pendidikan Islam di era klasik. Dalam Typology of Institution of

Page 131: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

109

Learning, George Makdisi membagi institusi pendidikan Islam klasik

berdasarkan kriteria mata pelajaran yang diajarkan di sekolah-sekolah

Islam, menjadi dua jenis, yaitu: institusi pendidikan inklusif atau terbuka

terhadap pengetahuan umum dan institusi pendidikan eksklusif atau

tertutup terhadap pengetahuan umum.

Sedangkan menurut Charles Michael Stanton, berdasarkan kriteria

hubungan institusi pendidikan dengan Negara yang berbentuk teokrasi,

setidaknya ada dua macam, yaitu: institusi pendidikan Islam formal dan

institusi pendidikan informal (Stanton, 1994:122). Jadi dapat dikatakan

bahwa institusi pendidikan diatas mengandung pengertian bahwa pada

zaman al-Ma‟mun sudah terbentuk dalam sistem pendidikan Islam yang

bersifat umum dan khusus.

a. Institusi Pendidikan Islam Multikultural zaman al-Ma’mun.

Berdasarkan penggolongannya George Makdisi, institusi

pendidikan Islam zaman al-Ma‟mun dapat dikelompokkan sebagai

berikut:

Pertama, Maktab atau Kuttab, yaitu institusi pendidikan dasar.

Mata pelajaran yang diajarkan di kuttab adalah khat atau kaligrafi, al-

Qur‟an, akidah dan syair. Dan menurut jenisnya, kuttab dapat

diklasifikasikan menjadi dua, yaitu kuttab yang tertutup terhadap ilmu

pengatahuan umum dan yang terbuka terhadap pengetahuan umum.

Kuttab atau maktab berasal dari kata kataba yang berarti menulis atau

tempat menulis. Jadi katab adalah tempat belajar untuk menulis. Sebelum

datang Islam Kuttab telah adadi negri Arab, walaupun waktu itu belum

dikenal banyak ( Zuhairini, dkk. 1997: 89).

Sewaktu agama Islam diturunkan Allah sudah ada di antara para

sahabat yang pandai baca dan tulis. Kemudian adanya tempat dan

dorongan yang kuat dalam Islam, sehingga berkembanglah di kalangan

umat Islam. Ayat al-Qur‟an yang pertama diturunkan, telah

memerintahkan untuk membaca dan memberikan gambaran bahwa

kepandaian dan menulis merupakan saran utama dalam pengembangan

ilmu pengetahuan dalam pandangan Islam. (Zuhairini, dkk. 1997: 89).

Pada mulanya, awal perkembangan Islam, Kuttab dilaksanakan di rumah-

rumah guru-guru yang bersangkutan dan diajarkan adalah semata-mata

menulis dan membaca. Sedangkan dalam hal ini, Ahmad Syalabi dalam

Sejarah Pendidikan Islam, mengungkapkan penjelasan sebagai berikut:

….bahwa mengajarkan menulis dan membaca dewasa ini adalah

salah satu dari pekerjaan kaum zimmi dan tawanan-tawanan

perang Badar. Orang-orang tersebut tentu saja tidak ada

hubungannnya dalam al-Qur‟an al-Karim, juga dengan agama

Islam. Zaman ini disambung lagi dengan zaman yang datang

Page 132: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

110

kemudian yang juga di masa itu pekerjaan mengajarkan menulis

dan membaca itu adalah dikenal sebagai pekerjaan kaum Zimmi.

Adapun kaum Muslimin yang telah belajar menulis dan membaca,

banyak pekerjaan-pekerjaan yang lebih penting memerlukan

tenaga mereka (Syalabi, 1973: 37).

Kemudian pada akhir abad pertama Hijriyah, mulai timbul jenis

kuttab, yang disamping memberikan pelajaran menulis dan membaca,

juga mengajarkan membaca al-Qur‟an dan pokok-pokok ajaran agama.

Namun pada mulanya, kuttab jenis ini merupakan pindahan dari

pengajaran al-Qur‟an yang berlangsung di Masjid, yang sifatnya umum

(anak-anak dan dewasa). Anak-anak ikut pengajian di dalamnya tetapi

karena mereka tidak dapat menjaga kesucian dan kebersihan masjid, lalu

diadakan tempat khusus disamping masjid untuk anak-anak belajar al-

Qur‟an dan pokok-pokok ajaran agama. Selanjutnya berkembanglah

tempat-tempat khusus untuk pengajaran anak-anak dan berkembanglah

kuttab-kuttab yang bukan hanya mengajarkan al-Qur‟an tetapi juga

pengetahuan-pengetahuan dasar lainnya. Dengan demikian kuttab menjadi

lembaga pendidikan dasar yang bersifat formal (Zuhairini, dkk. 1997: 91).

. Kedua, Halaqah. artinya lingkaran. Proses belajar mengajar yang

berkembang dalam halaqah sangat sederhana, yaitu seorang syekh sambil

duduk di sebuah kursi memimpin sebuah pertemuan dan menerima murid-

murid yang duduk di lantai setengah lingkaran di sekitarnya. Murid-murid

tersebut mendengarkan dengan baik, terhadap apa yang di baca dari

tulisannya maupun komentar-komentar terhadap catatan-catatan orang

lain.

Sebagai ilustrasi dapat dilihat bahwa Ibn Sina menyelenggarakan

halaqah mulai saat fajar di pagi hari, ia membacakan materi yang

diajarkan dan berdiskusi sampai pertengahan waktu pagi (Stanton, 1994:

156). Ahmad Syalabi juga menjelaskan bahwa al-Ghazali sebagai seorang

yang telah mengasingkan dari kehidupan masyarakat umum, mendirikan

sebuah lingkaran para ilmuan-ilmuan di rumahnya yang memperoleh

perhatian secara pribadi ditentukan oleh kemampuannya yang menarik

para murid dan popularitas intelektual di halaqahnya sendiri (Syalabi,

1945: 31).

Masa keterkaitan seorang murid terhadap halaqah tergantung

ketekunan dan target yang ingin dicapainya. Apabila ia telah sampai pada

titik maksimal dalam belajar pada seorang syeikh, maka ia dapat beralih

ke syeikh yang lain. Kurikulum yang dipergunakan dalam institusi

halaqah tergantung pada minat dan pengetahuan seorang syekh,

berdasarkan dari pengalaman dan keahliannya.(Arief, 2002:110).

Ketiga, Majelis adalah institusi pendidikan yang digunakan untuk

kegiatan transmisi dari berbagai disiplin ilmu, sehingga majlis banyak

Page 133: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

111

jenisnya. Setidaknya ada tujuh macam majelis, yaitu: 1) majlis al-Hadis,

2) majelis at-Tadris, 3) majelis al-Munazarah, 4) majelis al-Muzakarah,

5) majelis as-Syu‟ara, 6) majelis al-Adab, 7) majelis al-Fatwa. Al-

Ma‟mun sering mengadakan majelis pertemuan para ulama di istana, ia

sering mengundang berbagai ulama diseluruh negeri dalam berbagai

keahlian, yang dibahas adalah seputar permasalah agama. Ia sendiri yang

memadu jalannya acara, disamping ada tata tertib majelis yang di

adakannya, antar lain tidak boleh saling menjatuhkan, menjunjung tinggi

profesionalitas kebenaran.

Keempat, Masjid yang berfungsi sebagai sarana pengajaran telah

dikenal sejak zaman Nabi Muhammad Saw. sebagai otoritas penafsir

wahyu Allah (al-Qur‟an). Seringkali kepada beliau, baik di dalam maupun

di luar masjid, masyarakat menanyakan tentang berbagai hal menyangkut

aqidah dan akhlak. Maka Nabi pun memberikan penjelasan-penjelasan,

sementara pendengarnya membentuk lingkaran (halaqah) di depan beliau.

Sepeninggalan Nabi, tradisi ini diteruskan oleh para sahabat. Pada masa

ini materi pengajaran bertambah dengan pembicaraan tentang hadits-

hadist Nabi. Dengan demikian, nisbat sebutan ahlu al „ilmi yang

berkembang ketika itu adalah mereka yang menguasai dan menghafal

banyak hadits. Pada masa selanjutnya, materi-materi pengajaran di dalam

masjid semakin bervariasi, dari fiqih, bahasa sampai syair-syair Arab

(Lewis, et.al (eds). tt1123-1124). Disamping itu, bahwa penyelenggara

pendidikan tidak hanya terbatas pada masjid utama, tetapi juga di masjid-

masjid biasa. Di Mesir, selain di masjid „Amr bin Ash (sebagai masjid

utama), pengajaran juga dilakukan di masjid Ibn Tulun dan masjid al-

Azhar (yang dibangun belakangan. Bahkan lebih dari itu, khalifah al-

„Aziz dari dinasti Fathimiyah dan wazirnya, Ya‟qub ibn Kilis, pada tahun

988 M. telah menyelenggarakan 35 perkuliahan di masjid al-Azhar, dan

masing-masing pengajar diberi rumah pada seperempat dari seluruh areal

kompleks masjid. (Arief, 2002: 109-110).

Kelima, Ribath adalah tempat kegiatan kaum sufi yang ingin

menjauhkan diri dari kehidupan duniawi dan berkonsentrasi sepenuhnya

untuk ibadah. Ribath pada asalnya adalah kamp, yaitu tempat tentara yang

dibangunkan di perbatasan negri untuk mempertahankan Negara dari

serangan musuh. Ribath banyak ditemukan pada masa Bani Umayah dan

Abbasiyah, didirikan di antar Negara Islam dan Negara musuh (Yunus,

1992: 95).

Seiring dengan berjalannya waktu, kemudian ribath tidak lagi

menjadi tempat tentara yang berjuang untuk mempertahankan Negara,

melainkan tempat orang-orang yang berjuang melawan hawa nafsunya,

yaitu orang-orang Sufi. Mereka tinggal di ribath beribadah siang dan

malam hari. Dengan demikian maka arti ribath ialah tempat tinggal

Page 134: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

112

oaring-orang sufi. Selain daripada beribadat dan membaca zikir mereka

juga belajar agama di sana dari syekh kepala ribath. Dengan demikian

ribath itu salah satu tempat belajar juga di samping masjid dll (Yunus,

1992: 96).

Keenam, Al-Manazil al-Ulama (rumah-rumah ulama) adalah

tempat tinggal seorang guru yang digunakan untuk mentransmisi ilmu

agama dan ilmu umum dan kemungkinan lain perdebatan ilmiah. Ulama

yang tidak diberi kesempatan mengajar di institusi pendidikan formal akan

mengajar di rumah-rumah mereka.

Mengutip pendapat Abuddin Nata, menjelaskan bahwa sebaik-

baiknya tempat untuk belajar adalah di masjid, karena duduk di masjid

untuk keperluan pendidikan dan pengajaran membutuhkan faedah guna

menumbuhkan tradisi yang baik dan menghilangkan kebiasaan yang

buruk (Nata,2010: 155). Hal tersebut kiranya berbeda dengan rumah yang

privasinya selalu terjaga, tidak sembarangan orang dapat memasukinya,

kecuali atas izin dari empunya. Oleh karenanya rumah hanya dapat

dijadikan tempat belajar manakala ketika darurat saja.

Ketujuh, Toko buku, berperan sebagai tempat transmisi ilmu dan

Islam. Dalam sejarah tercatat, bahwa selama kejayaan khlaifah Abbasiyah,

toko buku berkembang pesat di wilayah Timur Tengah, dan peran

pentingnya menyebar di seluruh wilayah Islam, khususnya melalui Afrika

Utara dan semenanjung Siberia. Sebelum perpustakaan oleh bangsa

Mongol, Baghdad memiliki lebih dari 100 penjual buku. Para pembeli dan

penjual manuskrip besar bagi kehidupan intelektual dalam sebuah

masyarakat melalui karya-karya pilihan mereka yang diterjemahkan dari

bahasa Yunani, Persia, atau bahasa-bahasa bangsa Timur, dan karya-karya

bahasa Arab yang disalin dan di sediakan untuk umum (Stanton, 1994:

160).

Disamping sebagai tempat menjual buku-buku dan manuskrip,

toko buku juga sering dijadikan sebagai tempat halaqah untuk membahas

dan mengkaji berbagai macam disiplin ilmu. Pemilik toko buku biasa

berfungsi sebagai tuan rumah dan pemimpin halaqah tersebut. Ia

mengundang para ilmuan yang ada di sekitarnya untuk melakukan diskusi

tentang masalah-masalah intelektual dan keagamaan. Bahkan tidak jarang

ulama yang diundang untuk menyampaikan materi keagamaan dan

berdiskusi dengan ilmuan setempat. Proses pendidikan yang dilakukan

oleh ulama dalam institusi informal toko buku memiliki tujuan yang amat

berguna dalam menyebarkan ilmu pengetahuan dan menyediakan karya

tulis, khususnya karya-karya filsafat dan sains Yunani klasik bagi

masyarakat umum (Arief, 2002: 111).

Kedelapan, Observatorium adalah tempat kajian ilmu pengetahuan

dan filsafat Yunani. Guna mengembangkan ilmu pengetahuan yang terjadi

Page 135: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

113

di masa Abbasiyah berkuasa, dibangun tempat untuk penelitian dan kajian

ilmiah lainnya. Di zaman al-Ma‟mun tempat ini digunakan sebagai tempat

belajar mengajar, dimana siswa akan selalu aktif, seperti belajar

memecahkan masalah, eksperimen, learning by doing, serta belajar

menemukan sesuatu yang sifatnya ilmiah. Oleh sebab itu, kegiatan ini

bukan hanya ada di kelas-kelas saja melainkan di lembaga pusat kajian

ilmiah.

Kesembilan, Perpustakaan yaitu tempat koleksi buku dan tempat

riset. Pada awalnya perpustakaan cenderung didirikan di rumah orang-

orang kaya, bangsawan dan istana-istana para penguasa. Karena ajaran-

ajaran al-Qur‟an memerintahkan individu-individu untuk mengajarkan

ilmu pengetahuan dan menyediakan kekayaan yang dimilikinya bagi

orang lain yang kurang beruntung, maka para hartawan Muslim

membiayai perpustakaan dan seringkali membukanya untuk para

ilmuwan, juga untuk umum.

Diantara peran ulama yang sangat berjasa dalam kajian

keperpustakaan adalah Ibn Ishaq al-Naqdim, pengarang kitab al-Fihrist.

Kitab al-Fihrist merupakan karya bibliografi yang paling komperhenshif

tentang manuskrip-manuskrip yang ditulis atau diterjemahkan oleh

sarjana-sarjana Muslim sampai abad kesepuluh. Disamping mendaftar

buku-buku, Ibn Ishaq al-Naqdim juga mencatat identitas kebangsaan,

tanggal kelahiran dan kematian dan mengomentari sifat, perhatian, studi

dan pristiwa-pristiwa yang terjadi pada diri si pengarang (Azra, 1994: 13).

Dari uraian di atas dapat menjelaskan bahwa posisi ulama di dalam

lembaga pendidikan informal sangat besar kontribusinya dalam

mengembangkan kehidupan intelektual Islam. Ulama tidak hanya

menyampaikan materi pelajarannya pada halaqah yang ada di rumahnya,

tetapi mereka juga ikut berpartisipasi aktif dalam mengunjungi toko-toko

buku, perpustakaan sanggar sastra dan bahkan institusi-institusi formal

dan informal lainnya, guna menumbuh kembangkan ilmu pengetahuan

kepada masyarakat, juga menanamkan rasa kepedulian ilmu pengetahuan

kepada para penguasa dan hartawan, pada realitasnya tidak sedikit

perpustakaan yang dibangun oleh para penguasa dan hartawan (Arief,

2002: 11-12). Di sisi lain, para ulama juga memberikan kontribusi

intelektual yang sangat berharga dalam melacak bibilografi dan indeks

terhadap tokoh-tokoh sebelumnya, seperti yang dilakukan oleh Ibn Ishaq

al-Nadim.

Kesepuluh. Zawiyah, yaitu tempat yang hampir menyerupai ribath,

yaitu tempat untuk belajar, tetapi lebih kecil bangunannya dari ribath.

Biasanya didirikan di padang sahara di tempat-tempat yang sunyi senyap,

terjauh dari pada penduduk yang ramai (Yunus, 1992: 96). Berbeda

pandangan dengan Mahmud Yunus, sebagaimana Abuddin Nata

Page 136: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

114

mengatakan “ zawiyah adalah tempat yang berada di pinggiran masjid

yang digunakan sebagai tempat untuk melakukan bimbingan spiritual,

wirid, dzikir, mujahadah, muhasabah, dan istighasah untuk menyucikan

diri dan memperoleh penghayatan dan pengalaman batin, serta merasakan

kehadiran Tuhan dalam dirinya, yang selanjutnya memancar dalam sikap

dan perbuatan terpuji berupa akhlak mulia” (Nata, 2010: 206). Jadi

zawiyah merupakan tempat yang kecil di pinggiran masjid dan digunakan

untuk bertahanus atau menyendiri agar dapat menemukan pengalaman

spiritual batin.

Jika ditelaah lebih jauh lagi pada institusi pendidikan Islam,

ternyata ditemukan konsep dasar pendidikan multikultural pada masa

kejayaan Islam yaitu ketika al-Ma‟mun menjadi kholifah (813-833 M)

dari bani Abbas di Baitul Hikmah, yaitu institusi pendidikan tinggi Islam

pertama yang dibangun pada tahun 830 M oleh khalifah al-Ma‟mun (Asar,

1992: 109). Bahwasanya institusi tersebut telah mengukir sejarah baru

dalam peradaban umat manusia, di mana bangsa Barat belum mengenal

konsep pendidikan multicultural. Dimana subyek toleransi, perbedaan

etnik kutural, dan agama sudah dikenal dan merupakan hal yang biasa.

Konsep demokrasi dan pluralitas sudah begitu kental dalam kehidupan

sehari-hari termasuk dalam kegiatan pendidikan di intitusi ini.

Pendidikan multikultural masih diartikan sangat ragam, dan belum

ada kesepakatan, apakah pendidikan multicultural tersebut beragam

budaya atau pendidikan untuk membentuk sikap agar menghargai

keragaman budaya (Rosyada, 2008: 3). Pendidikan multikultural bisa

diartikan sebagai pendidikan keragaman budaya dalam masyarakat dan

terkadang juga menawarkan ragam model untuk keragaman budaya dalam

masyarakat dan terkadang juga diartikan sebagai pendidikan untuk

membina siswa agar menghargai keragaman budaya masyaakat.

Berdasarkan apa yang telah dikemukakan diatas, seluruh lembaga

pendidikan Islam pada masa Abbasiyah, dapat diklasifikasikan menjadi

tiga tingkatan, yaitu: Pertama, Pendidikan dasar (rendah) yang terdiri dari

kuttab, rumah, toko buku, dan istana. Kurikulum pendidikan dasar

meliputi materi pelajaran : 1) Membaca dan menghafal al-Qur‟an, 2)

Pokok-pokok agama Islam: wudhu, shalat, puasa, 3) Menulis, 4) Tarikh,

5) Membaca dan menghafal syair, 6) Berhitung, 7) Dasar-dasar nahwu

dan sharaf. Kurikulum diatas ini tidak seragam di seluruh daerah,

mengingat situasi kondisi setempat yang berbeda-beda. Kedua,

Pendidikan menengah yang mencakup masjid dan sanggar seni. Adapun

kurikulum yang diajarkan sebagai berikut: 1) Al-Qur‟an, 2) Bahasa dan

sastra Arab, 3) Fiqih, 4)Tafsir, 5) Hadits, 6) Nahwu/sharaf, 7) Ilmu-ilmu

eksakta, 8) Mantiq, 9) Falaq. 10) Tarikh, 11) Ilmu-ilmu kealaman, 12)

Kedokteran, 13)Musik. Ketiga, Pendidikan tinggi yang meliputi masjid,

Page 137: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

115

madrasah, dan perpustakaan seperti Bait al Hikamh dan Dar Hikmah di

Kairo. Kurikulum pendidikan tinggi lebih menunjukkan adanya

keberagaman, akan tetapi pendidikan tinggi meliputi dua fakultas.

Pertama, fakultas ilmu agama dan sastra. Fakultas ini mempelajari: 1)

Tafsir, 2) Hadits, 3) Fiqih/Ushul fiqih, 4) Nahwu/sharaf, 5) Balaghah, 6)

Bahasa dan sastra arab, Kedua, fakultas ilmu filsafat (hikmah). Fakultas

ini mempelajari : 1) Mantiq, 2) Ilmu alam dan kimia, 3) Music, 4) Ilmu-

ilmu eksakta, 5) Ilmu ukur, 6) Ilmu falaq, 7) Ilmu teologi, 8)Ilmu hewan,

9) Ilmu nabati, 10) Ilmu kedokteran (Arief, 2005: 139-140).

Menurut beberapa para ahli menilai bahwasanya pembagian

tingkatan diatas masih terbuka untuk diperdebatkan, hal ini terlihat dalam

fungsi lembaga masjid yang kadang-kadang dianggap lembaga pendidikan

yang memberikan materi pelajaran tingkat menengah dan kadang-kadang

pendidikan yang memberikan materi pelajaran di tingkat menengah,

kadang-kadang di tingkat tinggi.

Hafalan adalah ciri utama pendidikan Islam pada masa klasik dan

pertengahan. Hal ini bisa dimaklumi karena kekuatan hafalan sangat

dibutuhkan untuk menjaga al-Qur‟an dan keotentikan hadits layak untuk

dipercaya kalau pembawa hadits itu orang yang kuat hafalannya.

Madrasah yang mengkonstruksikan kajian pada ilmu-ilmu keagamaan

juga menggunakan kekuatan hafalan menjadi sebuah keharusan (Anwar,

2006: 23). Cara menghafal adalah selalu mengulang-ulang pelajaran. Al-

Shirazi, syeikh pertama Nizhamiyah Baghdad, biasa mengulangi

pelajarannya sampai 100 kali agar memperoleh kepastian bahwa

hafalannya itu betul-betul tertancap di memori hafalannya (Al-Jauzi, t.t:

7).

Mengandalkan kekuatan hafalan saja, menurut ahli pendidikan

Islam klasik adalah tidak banyak manfaatnya. Oleh karena itu,

pemahaman menjadi keharusan (Anwar, 2006: 10-11).‟Abdul al-Latif al-

Bagdadi memberi nasehat kepada murid-muridnya untuk berusaha keras

mengahafal dan memahami buku yang dibacanya. Seandainya buku itu

hilang, maka tidak terpengaruh sedikitpun buat murid-muridnya (Makdisi,

1981: 103). Hafalan, mengulang-ulang, memahami dan mudhakarah saja

belumlah cukup, karena secara fitrah manusia bisa lupa. Oleh karena itu,

mencatat hasil belajar diatas tidak dapat di sepeleka. Al-Zarnuji

memberikan nasehat bagi setiap siswa untuk selalau membawa secarik

kertas dan alat tulis untuk merekam sesuatu yang berguna bagi

perkembangan ilmiahnya (Burhan, t.t: 8). Sehubung dengan ini, sistem

pendidikan Islam, mestinya memberikan materi pendidikan sosial yang

Islami, pendidikan ekonomi yang Islami, pendidikan politik yang lslami,

yang selanjutnya dijabarkan dalam berbagai mata pelajaran (bidang studi)

seperti sekarang ini yang semuannya sudah bersifat Islami atau dengan

Page 138: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

116

kata lain,semua mata pelajaran yang diajarkan di sekolah sudah bernuansa

Islami (Tamsir., 2006: .45).

3. Tokoh-tokoh Pengembang Ilmu dan Pendidikan Islam

Multikultural Zaman Al-Ma’mun

a. Kholifah Al-Ma’mun (813-833 M)

Sebagaimana mengenai biografi al-Ma‟mun sudah dibahas di atas,

ia adalah kholifah Daulah Abbasiyah, putra dari mendiang Kholifah

Harun al-Rasyid. Ia memprakarsai kegiatan keilmuan-keilmuan dan

penerjemahan karya-karya ilmuwan Yunani ke dalam bahasa Arab. Ia

mendirikan sebuah akademi di Baghdad yang bernama Baitul Hikmah

(gedung kebijaksanaan) yang didalamnya terdapat observatorium yang

diperintahkan untuk pengembangan ilmu pengetahuan. Naskah-naskah

Yunani diburu dari Konstantinopel untuk memperkaya perpustakaan

akademi ini dan untuk diterjemahkan kedalam bahasa Arab. Selain itu

sebuah akademi kedokteran di dirikan pada masa pemerintahannya.

Al-Ma‟mun dikenal sebagai tokoh pengembang ilmu pengatahuan

sekaligus pendidik multicultural. Ia sangat toleran sekali terhadap

rakyatnya atau orang-orang yang berbeda agama, seperti agama Kristen,

serta ia lebih familiar terhadap peradaban-peradaban yang berbeda dengan

bangsa Arab, misalnya peradaban Rusia, Pagan dan lain-lain. Ia dikenal

juga karena kejeniusannya dalam memajukan intelektual Islam dan

memperbanyak membangun intitusi pendidikan Islam yang membuatnya

satu di antara kholifah sekaligus intelektual besar sepanjang sejarah

Sebagaimana uraian di atas, menjelaskan bahwa al-Ma‟mun selain

ia adalah kholifah besar, ia juga seorang intelektual yang jenius sepanjang

sejarah. Ia adalah tokoh yang memiliki visi dan misi pengembangan ilmu

dan pendidikan multicultural, baik dalam mengelola peradaban Islam

maju dibandingkan dengan peradaban sebelumnya, selain itu kepribadian

yang dimiliki al-Ma‟mun sepertinya sangat diperlukan dalam

melaksanakan pengembangan ilmu dan pendidikan sebagai pemimpin

yang semestinya diteladani. Jadi dapat disimpulkan bahwa al-Ma‟mun

adalah tokoh yang memiliki visi dan misi multicultural dalam mengelola

institusi pendidikan Islam, dimana sosok intelek dan berkepribadian yang

amat sangat luhur itulah yang sangat di perlukan dalam melaksanakan

pendidikan multicultural sebagai kholifah yang patut diteladani akan sifat

baiknya.

b. Abu Ja’far Muhammad Ibn Musa al-Khawarizmi (780-850 M)

Page 139: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

117

Beliau ahli di bidang al-Jabar dan astronomi, direktur

perpustakaan Baitul Hikmah atau pusat studi dan riset astronomi dan

matematika. Ia adalah seorang nasionalis dan ahli Pahlevi, dan sebagai

tokoh pengembangan ilmu zaman al-Ma‟mun sekaligus pendidik

multikultural, selain al-Ma‟mun ia juga menciptakan suasana bebas,

terbuka, toleran dan sederajat dalam mengelola Baitul Hikmah dan ikut

andil dalam menerjemahkan buku-buku warisan Hellenisme dari Yunani

ke dalam bahsa Arab (Siwito, Fauzan, 2003: 33). Al-Khawarizmi berkerja

dalam obsevatorium tempat dia menekuni telaah matematika dan

astronomi.

Berikut disebutkan beberapa sumbangan orisinal al-Khwarizmi

pada zaman al-Ma‟mun dalam al-jabar dan matematika pada umumnya.

Pertama, ia memperkenalkan perhitungan sistem decimal (persepuluhan)

yang menggantikan sistem seksagesimal (perenam puluhan), suatu sistem

perhitungan kuno dari Babilonia. Sistem seksagesimal itu sampai

sekarang masih tersisa dalam perhitungan waktu: jam (60 menit), (60

detik), dan perhitungan busur drajat. Kedua, ia meletakkan dasar-dasar

ilmu hitung dan aljabar. Untuk pertama kalinya al-Khawarizmi

menggunakan simbol-simbol dan variable-variable, mendahului sarjana-

sarjana Eropa, dan menggunakan simbol-simbol itulah yang mendorong

kemajuan pesat matematika. Ketiga, ia menerapkan bilangan “nol” untuk

pertama kalinya dalam perhitungan sistem decimal (aritmatika) dan (al

jabar). Keempat, ia menemukan nilai (phi) yang menyatakan

perbandingan keliling sebuah lingkaran terhadap garis tengahnya, yaitu

sebesar 22/7 = 3,1428571 (bandingkan dengan modern yang bernilai =

3,1415926). Al-Khawarizmi menemukan bahwa perbandingan keliling

terhadap garis tengah lingkaran bernilai tetap (konstanta) tanpa

tergantung kepada ukuran lingkarannya. Penemuan konstanta (phi)

tersebut sangat berguna untuk perhitungan-perhitungan yang berkaitan

dengan lingkaran dan bola seperti luas dan volume. Kelima, Ia berjasa

menyusun daftar logaritma. Istilah logaritma (algoritma) berasal dari nama

al-Khawarizmi sendiri. Istilah algoritma sendiri sekarang digunakan

dalam pengertian sebagai suatu tata cara sistematis untuk menemukan

jawaban dari sebuah soal di mana tiap langkah harus jelas letaknya.

Keenam, ia juga menemukan metode aljabarik untuk menghitung tinggi

segitiga. Dengan metode tersebut, tinggi sembarang segitiga dapat

dihitung dengan metode penjabaran sisi-sisi segitiga yang diketahui.

Ketujuh, ia merumuskan penyelesain persamaan kuadrat dengan

memperkenalkan konsep variable, parameter, akar kuadrat, dan bersama

ilmuan muslim lainnya memecahkan persamaan kuadrat ax2 +

bx + c = 0

dengan rumus yang sekarang dikenal ABC: X1,2 = [-b (b2

– 4 ac) ] /

2a. x disebut sebagai akar-akar persamaan kuadrat (variable yang dicari) ;

Page 140: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

118

sedangkan a, b, dan c disebut sebagai parameter. Selain rumus tersebut al-

Khawarizmi juga memperkenalkan metode “pelengkap kuadrat” untuk

menyelsaikan persamaan kuadrat dan kubik, suatu metode yang sampai

sekarang dipelajari oleh siswa SMU (Heriyanto, 2011: 13-14).

c. Al Kindi (806-866 M).

Di kalangan kaum Muslimin, orang yang pertama memberikan

pengertian filsafat dan lapanganya adalah al-Kindi. Ia adalah Abu Yusuf

ibn Ishaq bin Ash-Shabah bin Imran bin Al-Asy‟ats bin Qais dan terkenal

dengan sebutan “Filosuf Arab” keturunan Arab asli. Berasal dari Kindah

di Yaman, tetapi lahir di Kufah (Irak) di tahun 804 M. Orang tuanya

adalah gubernur Di Basrah (Jaudah, 2010: 113-116). Setelah dewasa, ia

pergi ke Baghdad dan mendapat perlindungan dari Khalifah al-Ma‟mun

(813-833 M) dan Khalifah al-Mu‟tashim (833-842 M).

Al-Kindi menganut aliran Mu‟tazilah dan kemudian belajar

filsafat. Zaman itu adalah zaman penerjemahan buku-buku Yunani dan

Suryani dan al-Kindi turut aktif dalam kegiatan penerjemahan ini, akan

tetapi usahanya lebih banyak dalam memberi kesimpulan daripada

menerjemahkan, karena ia termasuk orang yang berada sehingga ia dapat

membayar orang lain untuk menerjemahkan buku-buku yang ia perlukan

(Nasution, 1978: 14, Jaudah, 2010: 115).

Al-Kindi mendapat kedudukan yang tinggi dari al-Ma‟mun, al-

Mu‟tashim, dan anaknya yaitu Ahmad, bahkan menjadi gurunya. Dalam

risalahnya yang ditunjukan kepada al-Mu‟tashim, ia menyatakan bahwa

filsafat adalah ilmu yang terkemuka serta terbaik. Ia membagi filsafat

menjadi tiga bagian: ilmu Fisika (ilmu thibbiyat) sebagai tingkatan yang

paling bawah, ilmu matematika (al-ilmu al-riyadhi) sebagai tingkatan

menengah, dan ilmu ketuhanan (ilmu al-rububiyah) sebagai tingkatan

paling tinggi. Alasan pembagian tersebut ialah karena ilmu ada kalanya

berhubungan dengan sesuatu yang dapat diindera, yaitu benda atau fisika,

adakalanya berhubungan dengan benda tetapi mempunyai wujud sendiri

yaitu ilmu matematika yang terdiri dari ilmu hitung, teknik, astronomi,

dan musik atau tidak berhubungan dengan benda sama sekali yaitu ilmu

ketuhanan (Hanafi, 1986: 17). Al-Kindi banyak mengarang buku tetapi

berapa banyak jumlahnya tidak ada kesepakatan para penulis biografi. Al-

Nadim dan Al-Qafthi menyebut 238 buah (karangan pendek) dan sebagian

dari karangannya itu telah musnah.2 Isi karangannya meliputi filsafat,

2Yakub Al-Kindi memiliki lebih dari 200 buku yang di rangnya. Bahkan Dr.

Abdul Halim Muntashir mengatakan alam bukunya “ Tarikh Al-Ilm wa Daur Al Arab fi

Taqaddumihi” bahwa buku karangan Al-Kindi lebih dari 230 buku. Akan tetapi yang

sangat disayangkan, kebanyakan dari buku-buku ini hilang dan tidak sampai ke tangan

kita kecuali judul-judulnya saja yang diberitahukan oleh penerjemahnya kepada kita.

Page 141: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

119

logika, ilmu hitung, astronomi, kedokteran, ilmu jiwa, politik, optik,

musik, fisika dan ilmu alam, tekhnik mesin, matematika dan sebagainya

(Nasution, 1987: 15). Bukunya tentang optik diterjemahkan ke dalam

bahasa latin yang banyak mempengaruhi Roger Bacon.3Apa yang

dilakukan Bacon tidaklah seperti yang dilakukan oleh kaum Muslimin

dengan menterjemahkan karya-karya Phytagoras ( 530-495 pra-Masehi),

Plato (425-347 pra-Masehi), Aristoteles (388-322 pra-masehi),

Aristarchos (310-230 pra-masehi) Euclides (330-260 pra-masehi),

Claudius Ptolemaios (87-168 M.) (Poeradisastra, 2008: 18-19).

Menurut sejarah, al-Kindi adalah filsuf Muslim pertama. Ia amat

sangat mahir dan sangat terkenal namanya sebagai ilmuwan. Ia

dikelompokkan sebagai tokoh-tokoh pengembang ilmu pengetahuan

sekaligus pendidik multicultural, karena ia dikenal sebagai tokoh yang

humanis dan al-Kindi adalah orang yang pertama kali mengajak kaum

muslimin untuk hidup saling memahami dan menyelaraskan pemikiran-

pemikiran yang berbeda-beda.

d. Al- Farghani

Ahli astronomi yang terkemuka lainnya pada zaman al-Ma‟mun

dalam periode ini adalah Abu al-Abbas Ahmad al-Farghani (al-Farganus),

ia lahir dan besar di Faghanah, Asia Tengah yang hidup pada abad ketiga

Hijriyah atau kesembilan masehi. Ia termasuk seorang tokoh astronom

yang terkemuka pada zaman kholifah al-Ma‟mun. Al-Faraghani aktif

memulai observasi astronominya ketika al-Ma‟mun membangun sebuah

observatorium astronomi di Baghdad pada tahun 830 M (Heriyanto, 2011:

128-129). Melalui Observasi yang terus menerus dilakukannya, ia

berhasil menentukan jarak dan ukuran planet atau benda langit (Bulan

Merkurius, Venus, Matahari, Mars, Jupiter, dan Saturnus). Dalam

menentukan jarak planet, ia mengikuti teori, bahwa “tak ada ruang yang

terbuang”, sesuai dengan falsafah “tak ada ruang kosong” di alam raya,

3Bermodalkan bahasa Arab, Bacon kemudian mempelajari bahasa Ilmu

Pengetahuan pasti dan ilmu pengetahuan alam seperti juga beberapa orang sarjana

Kristen lainya pada masa itu. Antara tahun 1250-1257 ia pulang dan melanjutkan

pelajaran bahasa Arabnya di Universitas Oxford dengan membawa sejumlah besar buku-

buku Ilmiah Islam dari Paris. Beberapa karya sarjana-sarjana Muslim, diantaranya al-

Munazhier karya Ali al-Hasan ibn Haitsam (965-1038 M), di terjemahkan oleh Bacon

kedalam bahasa Latin, bahasa Ilmiah Eropa pada masa itu.Dalam naskah-naskah tersebut

terdapat keterangan-keterangan tentang mesiu dan mikroskop.Bacon secara tidak jujur

telah mencantumkan namanya sendiri pada terjmahan-terjemahan itu dan melakukan

palgiat secara terang-terangan.

Page 142: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

120

sehingga dia menetapkan apogium suatu pelanet bersinggungan dengan

perigium planet berikutnya.4

Al-Farghani, pada tahun 861 M diangkat oleh al-Mutawakkil

menjadi pengawas dalam pembangunan kilometer di Fusthath. Karyanya

yang utama adalah “Al-Mudkhi Ila ilmi Hayai al-Aflal” yang pada tahun

1135 M diterjemahkan ke dalam bahasa Latin oleh John dari Sevilla dan

Gerard dari Cremona. Di samping obsevatorium al-Ma‟mun, ada juga

obsevatorium swasta yang dikelola oleh tiga bersaudara anak-anak Musa

ibn Syakir (850-870 M). Tiga bersaudara ini meninggalkan banyak

karangan berharga, di antaranya ilmu untuk mengukur permukaan datar

dan bulat. Buku ini disalin oleh Gerard cremona ke dalam bahasa Latin

dengan nama “LiberTrium Fratrum” Hoesen,1975:99-104).

Al-Faraghani, pada tahun 247 H. atau 861 M. diutus oleh khalifah

Al-Mutawakil ke Mesir untuk mengawasi pembangunan alat ukur sungai

Nil. Pada tahun 246 H./860 M., dia menulis sebuah buku yang berjudul

“Jawani‟ Ilmi An-Nujum Wa Al-Harakat As-Samawiyyah.” Buku ini telah

di terjemahkan kedalam bahasa Latin, dan sangat besar pengaruhnya

dalam perjalanan ilmu perbintangan di Eropa pada abad kelima belas dan

keenam belas Masehi (Jaudah, 2002: 527-528).

e. Al-Fazari

Namanya adalah Abu Ishak Ibrahim bin Habib Al-Fazari. Dalam

lapangan ilmu astronomi, penulisannya dimulai sejak diterjemahkannya

buku “Maha Sidhanta” dari bahasa India kebahasa Arab oleh al-Fazari di

Baghdad tahun 771 M. selanjutnya dilakukan penerjemahan dari daftar-

daftar Pahlevi yang disusun sejak periode Sasania. Sesudah itu barulah

diterjemahkan buku Yunani Almagest karangan Ptolomeus. Dua buku

karangan Ptolomeus yang lain masing-masing diterjemahkan oleh al-

Hajjaj ibn Mathar pada tahun 212 H/887 M dan oleh Hunain ibn Ishaq

yang kemudian direvisi oleh Tsabit ibn Qurra. Pada awal abad IX M.

tempat observatorium dengan alat-alat yang lebih akurat dibangun di

Yunde Shapur. Oleh al-Ma‟mun, sehubungan dengan kepentingan

lembaga ilmu pengetahuan Bait al-Hikmah, dibangun sebuah

observatorium astronomi dekat gerbang Syamsiyah di bawah pimpinan

Sindi bin Ali dan Yahya ibn Abi Mansur (830 M). Para ahli astronomi dan

lembaga ini tidak hanya membuat observatorium sistematis terhadap

gerakan benda-bendalangit di jagat raya, tetapi juga membuktikan secara

tepat elemen-elemen yang fundametal yang terdapat dalam almagest, yaitu

4Apegium dan pergium adalah masing-masing titik terjauh dan titik terdekkat

lintasan orbit pelanet dengan bumi. Semakin lonjong suatu lintasan maka semakin besar

perbedaan antar apogium dan pergium

Page 143: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

121

garis gerak yang tidak beraturan dan garis edar matahari, panjang tahun

syamsiyah dan sebagainya. Al-Ma‟mun segera membangun sebuah

cabang dan observatorium ini yang didirikan di gunung Qosayun di

luarkota Damaskus. Alat perlengkapan obsevatori pada waktu itu antara

lain terdiri atas quadrant, astrolobe (alat pengukur letak tinggi tempat

yang dipergunakan pada masa pertengahan), dial (alat pengukur waktu,

kecepatan, suhu) dan bola dunia (Jaudah, 2002: 527-529).

Al-Fazari adalah orang pertama yang mengajarkan astrolobe

(nama Arab-nya Asthurtab). Model astrolobe ini mungkin diambildari

Yunani. Buku-buku terbitan yang ditulis mengenai astrolobe di masa itu

ialah yang ditulis oleh Ali ibn Isa al-Asthurlabi, hidup di Baghdad dan

Damaskus sebelum tahun 830 M. Para ahli astronomi al-Ma‟mun

memperlihatkan ketelitian yang tinggi dalam hal operasi giodotik

(pengukuran panjang dari busur derajat letak tinggi tempat dari

permukaan air laut). Tujuan dari operasi ini adalah untuk menentukan

ukuran bumi dan jarak lingkar bumi dengan satu asumsi bahwa bumi ini

adalah bundar.5 Dalam kalendernya yang bernama “As-Sindhind Al-

Kabir” ia memadukan antara pengetahuan Iran, India dan Barat. Pada

tahun 174 H (790 M), ia menulis sebuah buku yang berjudul “ Zaij Ala

Sunni Al-Arab.” Buku ini merupakan kumpulan jadwal bintang pertama

yang mempergunakan kalender Hijriyah. Artinya, ia telah merubah

kalender India yang berdasarkan peredaran bintang menjadi kalender

berdasarkan Hijriyah. Ia juga menulis buku yang berjudul “Al‟Amal Fi Al-

Astharlab Al-Musthuh.”

Pengukuran-pengukuran ini dilakukan di dataran Sinjar di antara

sungai Furat dan juga dekat Palmira yang menghasilkan 56 2/3 mil Arab

sebagai panjang busur dari satu derajat meridian yang merupakan hasil

yang akurat yang secara ekstrim dapat menentukan panjang sesungguhnya

dari busur derajat tempat itu yaitu ±2877 kaki. Berdasarkan hasil hitungan

ini diperhitungkan bahwa jarak lingkaran bumi adalah 20.400 mil dan

garis tengahnya adalah 6.500 mil. Di antara orang-orang yang mengambil

bagian dalam operasi ini adalah putra dari Musaibn Syakir dan barangkali

juga al-Khawarizmi, yang daftarnya satu setengah abad kemudian direvisi

oleh Maslamah al- Majrithi dari Andalusia (w.1007 M) dan ditejemahkan

kedalam bahasa Latin pada tahun 1126 M. oleh Adelard dari Bath yang

menjadi dasar penulisan ilmu bumi pada masa selanjutnya baik di Timur

5Dalam kalendernya yang bernama “As-Sindhind Al-Kabir” ia memadukan

antara pengetahuan Iran, India dan Barat. Pada tahun 174 H (790 M), ia menulis sebuah

buku yang berjudul “ Zaij Ala Sunni Al-Arab.” Buku ini merupakan kumpulan jadwal

bintang pertama yang mempergunakan kalender Hijriyah. Artinya, ia telah merubah

kalender India yang berdasarkan peredaran bintang menjadi kalender berdasarkan

Hijriyah. Ia juga menulis buku yang berjudul “Al‟Amal Fi Al-Astharlab Al-Musthuh.”

Page 144: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

122

maupun di Barat. Daftar astronomi dari Arab ini dapat menggeser dan

menggantikan daftar-daftar yang pernah dibuat oleh India dan Yunani,

dan bahkandaftar Arab ini dipakai oleh orang Cina (Hoesen, 1975: 98).

Al-Biruni, selain seorang yang ahli dalam astronomi, ia juga ahli

di bidang Geografi, matematika dan fisika. Ia ahli dalam Mineralogi yang

menulis Kitab Al Jamahir, ia adalah orang yang mempersoalkan

perputaran bumi mengelilingi sumbunya, dan menyatakan universitas

hukum alam dengan mengatakan gravitasi di bumi sama dengan gravitasi

di langit. Kecuali itu ia juga menulis Kitab As Saidana yang berisi segala

informasi yang ada tentang pengobatan pada zaman itu (Baiquni, 1996:

70).

Berkembangnya ilmu pengetahuan dan peradaban yang menjadi

tonggak puncak peradaban Islam di zaman keemasan dalam Islam di

sebabkan, karena institusi pendidikan Islam yang telah menerapkan

konsep pendidikan berbasis multicultural. Nilai-nilai multicultural yang

actual dikembangkan saat itu adalah toleransi, keterbukaan, kesedrajatan,

kebebasan, kedailan, keragaman dan demokrasi. Majunya peradaban dan

perkembangan ilmu pengetahuan juga didukung oleh tokoh-tokoh

pendidik yang memiliki visi dan misi berbasis kultural.

D. Hasil Pencapaian Al-Ma’mun dalam Mengembangkan Sains

1. Berdirinya Baitul Hikmah Zaman al-Ma’mun

Lembaga pengetahuan ini menjelma menjadi tempat ilmuan

muslim guna melakukan penelitian dan menimba ilmu pengetahuan. Pada

zaman al-Ma‟mun Baitul Hikmah dilengkapi dengan observatorium.

Sejarah mencatat, pada saat itu belum ada dibelahan bagian dunia lainnya

yang mampu menandingi dan menyaingi Baitul Hikmah (Syuyuti, t.t: 34).

Lembaga ini adalah kelanjutan dari Dar Hikmah, perpustakaan yang

pernah di bangun oleh Kholifah Harun al-Rasyid. Seperti pepatah

mengatakan “Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya”, kiranya tepat jika al-

Ma‟mun mengikuti jejak ayahnya sebagai Ilmuwan, ulama, sekaligus

kholifah.

Sebagaimana Syuyuti mengatakan, “Keberadaan Baitul Hikmah

yang semakin berkembang menunjukkan betapa besar kecintaan al-

Ma‟mun terhadap ilmu pengetahuan. Bukan saja sebagai salah satu bentuk

jasa beliau dalam mengembangkan ilmu pengetahaun, Baitul Hikamah

telah menjadi surga bagi para ilmuan dan para penuntut ilmu pada zaman

tersebut.”

Para ilmuwan dan penuntut ilmu merasakan begitu besar

manfaatnya yang di dapat sejak berdirinya Baitul Hikmah dibangun

hingga mengalami perkembangan yang begitu pesat, baik di bidang

keilmuwan, maupun semakin banyak karya-karya yang dihasilkan dari

Page 145: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

123

proses penerjemahan dan perburuan manuskrip lainnya. Al-Ma‟mun juga

mengisi Baitul Hikmah dengan berbagai manuskrip berharga yang didapat

dari berbagai daerah di antaranya adalah daerah pemerintah Byzantium

(Amin, 2001: 72).

Di Baitul Hikmah, segala ilmu pengetahuan dikaji, diteliti, dan

dikembangkan oleh para ilmuan. Studi yang berkembang pesat di lembaga

tersebut antara lain: matematika, astronomi, kedokteran, zoology serta

geografi. Sebagai kholifah yang punya intelektual tinggi, juga inovatif, al-

Ma‟mun meminta para ilmuan tidak hanya menguasai pengetahuan hasil

transfer dari peradaban lain saja. Ia juga mendorong para ilmuwan Muslim

untuk melahirkan inovasi dan mengembangkan ilmu pengetahuan yang

dikuasainya. (Syuyuti, t.t: 56). Upaya tersebut akhirnya tercapai, hingga

Baghdad menjelma menjadi kota yang kaya raya di dunia dan menjadi

pusat intelekual pada saat itu. Penduduk Baghdad mencapai satu juta jiwa

populasi terbesar saat itu dan selama kepemimpinannya, telah melahirkan

sederet ilmuwan yang terkemuka di dunia yang pernah dimiliki oleh umat

Muslim.

Sebagaimana pada pembahasan sebelumnya, di Baghdad telah

didirikan peneropong bintang-bintang oleh al-Ma‟mun, yang langsung

berhubungan dengan Baitul Hikmah. Lalu al-Ma‟mun menyuruh para

ulama untuk mempelajari kitab al-Majisthi yang berisi ilmu falaq.

Kemudian al-Ma‟mun menyuruh para ulama untuk membuat alat

peneropong, untuk mempelajari hal ihwal tentang perbintangan

sebagaimana yang dibuat oleh Bathlimus pengarang kitab al-Majisthi.

Alat peneropong tersebut kemudian mereka namai sebagai “Peneropong

al-Ma‟muni” (Yunus, 1992:62-65).

Jika melihat keharmonisan al-Ma‟mun terhadap para ulama, tidak

mungkin al-Ma‟mun atau para ulama saling memusuhi satu sama lain

sebagaimana pendapat para penulis lainnya yang mengatakan bahwa al-

Ma‟mun adalah orang yang kejam dengan sering menghukum para ulama

sebagaima pada peristiwa Mihnah. Sebagaimana yang pernah

dikemukakan oleh Tamim Ansary sebagai berikut:

ia dibawa ke istana dan diminta berdebat dengan teolog terkemuka

tentang pertanyaan apakah al-Qur‟an itu makhluk ciptaan atau

bukan. Filsuf menyerang Ibn Hanbal dengan logika, ulama itu

memukul balik dengan kitab suci. Filsuf mengikatnya dalam

buhul-bukul argument, Ibn Hanbal berkelit lepas dengan doa

kepada Allah. Jelas, tidak ada seorang pun yang bisa benar-benar

“menang” dalam debat semacam ini karena para pendebat tidak

sepakat pada hal-hal yang mendasar. Ketika Ibn Hanbal menolak

untuk mengingkari pandangannya, ia dipukul secara fisik, tapi

tidak mengubah pikirannya. Ia dikurung dalam penjara. Ia tetap

Page 146: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

124

saja berpegangan pada prinsip-prinsipnya: tidak akan pernah

membiarkan nalar menginjak-injak wahyu, tidak pernah! (Ansary,

2010: 184-185).

Oleh karena itu, bukti fisk yang berkembang adalah al-Ma‟mun

dengan para ulama saling bersinergi dalam mengembangkan ilmu.

Dimana al-Ma‟mun memiliki sikap pemaaf, berjiwa besar sebagai

pemimpin, dan bijaksana. Tidak mungkin jikalau ia melakukan resistensi

terhadap para ulama, akan tetapi justru sebaliknya. Jika tidak ada kiprah

al-Ma‟mun dengan upaya-upaya yang menyelamatkan kerajaan dan

peradaban yang diwariskan oleh pendahulunya (Kholifah al-Mansur dan

Harun al-Rasyid), maka bisa dipastikan umat Islam belum mencapai titik

puncak kejayaan (the golden age).

Karya ilmuan yang di terjemahkan antara lain seperti: karya

Aristoteles, Plato, Galen, Hippocrates, Dioscorides, Ptolemy dan

Alexander dari Aphrodisias (Nakosten, 1995: 15). Dan buku-buku Yunani

yang dibawa dari Ankara dan Amuriyah, terdapat buku-buku lain yang

dibawa dari pulau Cyprus, Ibnu Nubatah al-Masari telah menyebutkan

masalah ini. Al-Ma‟mun telah melantik Sahal bin Harun sebagai penulis

harta simpanan Darul Hikmah yang berupa buku-buku karangan para ahli

filsafat yang dibawa dari pulau Cyprus, yaitu sesudah kholifah berdamai

dengan pemerintahan pulau Cyprus dan meminta pemerintahan tersebut

untuk mengirim buku-buku Yunani. Perintah tersebut berunding dengan

orang-orangnya dan meminta pendapat mereka tentang rancangannya

untuk mengirim buku-buku tersebut kepada al-Ma‟mun. Akan tetapi

semua yang berunding telah menolak rancangannya, kecuali seorang

padre yang mendukung dengan alasan-alasan buku yang mengandung

ilmu-ilmu aqli akan merusak pemerintahan Abbasiyah dan

menjerumuskan para ulama ke jurang kesalahan. Dengan itu ia

mencadangkan supaya buku-buku tersebut diserahkan kepada kholifah al-

Ma‟mun secepatnya. Pendapat tersebut akhirnya diterima, dan buku-buku

itu pun segera dikirim kepada al-Ma‟mun yang merasa amat gembira dan

disana terdapat buku yang dibawa dari Konstantinopel (Syalabi,

1997:201).

Buku-buku Yunani merupakan buku yang paling banyak

diterjemahkan oleh pemerintahan al-Ma‟mun akan tetapi buku-buku yang

diterjemahkan, merupakan buku-buku yang terlebih dahulu disingkirkan

dari hal-hal yang berbau musyrik, seperti adanya kepercayaan pada

mitologi para dewa, artinya al-Ma‟mun maupun umat Muslim tetap

berhati-hati terhadap kemusyrikan, meski hanya sebatas penerjemahan

karya non-Muslim. Tidak hanya memanfaatkan dan menerjemahkan

buku-buku yang memberi manfaat langsung dari perkembangan umat

Page 147: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

125

Islam pada masa itu, tetapi memang juga buku-buku yang penting untuk

diterjemahkan dan sudah tidak terdapat lagi di daerah lain, meskipun

muncul rencana untuk meyesatkan umat Islam melalui buku yang

dipinjam. Namun al-Ma‟mun, tetap dengan senang hati dan

menerjemahkan karya tersebut, karena pasti akan ada manfaat lain selain

daripada kemudharatannya saja.

Mengenai hal ini, Ibnu as Nadim telah menyebut bahwa kholifah

al-Ma‟mun mempunyai perutusan dengan raja Roma, dan pada suatu hari

al-Ma‟mun mengirim surat kepada raja Roma untuk meminta izin

menyelamatkan ilmu-ilmu purba yang tersimpan di negeri Roma.

Permintaan al-Ma‟mun akhirnya disetujui oleh raja Roma. Dengan hal itu

al-Ma‟mun melantik serombongan tokoh-tokoh, di antarnya seperti al-

Hajajj bin Matar, Ibnu al-Batriq, Salam.

Mereka pun telah kembali dengan membawa buku-buku yang telah

mereka pilih. Kholifah al-Ma‟mun pun mengarahkan mereka supaya

menerjemahkannya. Dikatakan juga bahwa Yuhana bin Masuwaih adalah

termasuk kedalam rombongan yang dikirim ke negeri Roma tersebut.

Kholifah al-Ma‟mun pun mendapat tenaga Hunain bin Ishaq yang masih

berusia muda dan memintanya menyalin buku-buku tersebut kedalam

bahasa Arab, dan ia pun diberikan upah oleh al-Ma‟mun dengan emas

seberat buku yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab (Syalabi, 1997:

202-203).

Karya terbesar yang terpenting dalam zaman al-Ma‟mun adalah

karena ia telah membangun Baitul Hikmah yang membuat Baghdad

menjadi pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan yang berkembang pesat

pada saat itu dan secara tidak langsung telah melahirkan berbagai

ilmuwan penting yang telah berkontribusi lewat karyanya yang sangat

bermanfaat bagi perkembangan umat Islam.

a. Munculnya Konsep Dasar Mutikultural pada Baitul Hikmah dan

Pengaruhnya.

Intitusi di zaman al-Ma‟mun telah mengukir sejarah baru dalam

peradaban manusia di mana bangsa Barat sekalipun belum mengenalnya,

apa yang disebut dengan konsep multicultural dalam pendidikan. Konsep

demokrasi dan pluralitas sudah begitu kental dalam kehidupan sehari-hari

termasuk dalam ke (Syalabi, 1995giatan ilmiah ini.

Berikut dapat digambarkan dengan jelas adanya konsep dasar

multicultural pada institusi Baitul Hikmah adalah sebagai berikut:

Pertama, nilai-nilai kebebasan berekspresi, keterbukaan, toleransi dan

kesetaraan dapat dijumpai pada proses pengumpulan manuskrip dan

penerjemahan buku-buku sains dari Yunani guna melengkapi intitusi-

intisuti pendidikan Islam pada zaman al-Ma‟mun. Ia memberikan

Page 148: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

126

kebebasan berekspresi, keterbukaan dan kesetaraan sarjana Muslim dan

non-Muslim.

Al-Ma‟mun telah memberikan penghargaan dengan memberikan

emas kepada para sarjana baik yang Muslim dan non-Muslim yang telah

menterjemahkan buku-buku Yunani ke dalam bahasa Arab. Suasana

kebebasan intelektual di institusi ini merupakan peletakan dasar-dasar

konsep multicultural dalam pendidikan Islam. Nilai-nilai toleransi

merupakan nilai strategis dalam membangun dasar yang kuat dalam

perdamaian (Ta‟cub, 2002:200).

Sebagaimana pendapat Nurcholish Majid, menyatakan bahwa

interaksi positif antara masyarakat Arab Muslim dengan kalangan non-

Muslim haya dapat terjadi pada suasan kebebasan, keterbukaan dan

adanya toleransi (Majid, 2000: 222). Sependapat dengan Ya‟qub, bahwa

nilai-nilai toleransi merupakan nilai strategis dalam membangun dasar

yang kuat dalam perdamaian. Oleh sebab itulah berdampak pada

meningkatnya semangat para penerjemah dalam melaksanakan tugas. Hal

semacam inilah yang di inginkan oleh al-Ma‟mun yang terpenting dalam

bentuk nyata.

Kedua, perbedaan entik kultural dan agama bukan hambatan atau

rintangan dalam melakukan suatu kemajuan, terutama dalam hal kemajuan

penerjemahan. Para penerjemah yang memiliki perbedaan kultur, suku,

ras, bangsa dan agama seperti : 1) Abu Sahl Fazhl bin Nawbakht yang

berkebangsaan Persia. 2) Yuhanah bin Masuya yang berkebangsaan Syria.

3) Hunayn bin Ishaq yang beragamakan Kristen Neestorian dari Hiriah.

4). Alan al-Syu‟bi yang berkebangsaan Persia. 5) Qutha bin Luqa yang

beragamakan Kristen dari Yacobite. 6) Abu Bisr Matta ibn Yunus yang

beragamakan Kristen Nestorian. 7). Ishaq bin Hunayin beragamakan

Kristen Nestorian. 8) Hubaish beragamakan Kristen yang sama.

Konsep dasar pendidikan multicultural di Baitul Hikmah lebih

bersifat internal dan khusus yang lebih menekankan pada aspek

keragaman dan kesedrajatan peserta didik dala proses pendidikan. Oleh

karena itu, subyek-subyek multicultural yang dapat dilihat pada halaqah,

kuttab, masjid, ribath, dan majelis mengenai keadilan, kemiskinan, dan

latar belakang kelompok-kelompok minoritas dalam bidang sosial dan

budaya, ekonomi dan pendidikan yang bertujuan untuk mencapai

pemberdayaan kelompok-kelompok minoritas tersebut.

Kebudayaan bangsa, kondisi-kondisi sosial-politik, ekonomi dan

pendidikan yang berbasis multicultural pada zaman al-Ma‟mun membawa

pengaruh yang luar biasa terhadap kemajuan peradaban bangsa seperti:

Pertama, Terjalinnya asimilasi antara bangsa Arab dengan mawali (non

Arab) atau bangsa-bangsa lain yang lebih dulu mengalami perkembangan

di bidang ilmu pengatahuan dan teknologi. Kedua, Gerakkan

Page 149: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

127

penerjemahan yang dikelola dalam suasan keberagaman, kesedrajatan,

perbedaan-perbedaan kebudayaan toleransi terhadap semua kelompok dan

agama khususnya agama Kristen membawa pengaruh pada kemajuan ilmu

pengetahuan dan juga ilmu pengetahuan agama. Ketiga, Kebebasan dalam

memilih materi dan guru dalam belajar mengajar dan hubungan yang

harmonis antar guru dan murid dan nilai-nilai toleransi antara keduanya

keduanya berkembangnya ilmu pengatahuan dan lahirnya imam-imam

mazhab seperti, Imam Syafi‟i yang merupakan mazhab ketiga dan Imam

Hanbali yang merupakan mazhab keempat.

Gambar: 4.1 Konsep dasar pendidikan Multikultural pada Institusi Baitul

Hikmah

2. Berkembangnya Cabang-cabang Ilmu Pengetahuan

Ilmu-ilmu yang tumbuh dan juga berkembang pada zaman al-

Ma‟mun tersebut adalah sebagai berikut:

a. Ilmu-ilmu Agama

Ilmu Agama yang dimaksud penulis disini adalah ilmu-ilmu yang

muncul di tengah-tengah suasan Keislaman, berkaitan dengan agama dan

bahasa al-Qur‟an. Syalabi menyebutkannya “ilmu-ilmu Islam” dan

sebagian cendikiawan yang lain menyebutkannya “lmu-ilmu naqli”.

Memang ilmu pengetahuan telah berkembang sejak Dinasti Umayyah.

Akan tetapi pada zaman Dinasti Abbasiyah, ilmu pengetahuan mengalami

perkembangan yang sangat pesat. Adapun cabang ilmu pengetahuan

agama antara lain sebgai berikut:

1) Ilmu Tafsir

Pada masa Abbassiyah ilmu tafsir mengalami perkembangan yang

sangat pesat dengan melakukan penafsiran secara sistematis, menyeluruh

serta terpisah dari hadits. Menurut Ibn Nadim, orang yang pertama

Nilai-nilai kebebasan

Keterbukaan

Toleransi Kesetaraan

Beda etnik, agama, ras

Page 150: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

128

melakukan penafsiran secara sistematis berdasarkan tertib mushab adalah

al-Fara (Fa‟al, 2008: 69). Dan pada zaman Abbasiyah, muncul berbagai

aliran seperti Sunni, Syi‟ah, dan Muktazilah yang mempengaruhi

penafsiran al-Qur‟an (S.J, 2008:61).

Dari berbagai tafsir yang ada, terdapat dua kategori tafsir, yaitu:

Pertama. Tafsir bil al-Matsur, yaitu penafsiran al-Qur‟an berdasarkan

pada sanad dan periwayatannya, meliputi tafsir al-Qur‟an dengan al-

Qur‟an, al-Qur‟an dengan Hadits dan al-Qur‟an dengan perkataan para

sahabat. Kedua, Tafsir bil al-Ra‟yi, yaitu penafsiran al-Qur‟an dengan

ijtihad (Fa‟al, .2008: 69).

Tafsir al-Qur‟an ini belum dikodifikasikan sebelum masa

Abbasiyah, pertama. Ketika terjadi kebangkitan ilmu pengetahuan pada

zaman itu, tafsir secara sistematis sesuai susunan al-Qur‟an dibukukan.

Orang yang pertama membukukan tafsirnya ialah al-Farra atau Umar ibn

Bukhair, karena ia sering sekali di tanya oleh gubernur Irak di zaman

Kholifah al-Ma‟mun mengenai tafsiran ayat-ayat tertentu, maka Umar ibn

Bukhair meminta kepada al-Farra untuk menulis tafsir al-Qur‟an

(Mammur, t.t: 229).

2) Ilmu Hadits

Pada zaman Daulah Abbasiyah, kegiatan pengkodifikasian Hadits

dilakukan dengan giat, sebagai kelanjutan dari usaha para „ulama

sebelumnya. Perlu diketahui, pengkodifikasian Hadits pada masa

Umayyah dilakukan, akan tetapi tidak melakukan penyeleksian atau

penyaringan terlebih dahulu, dan dampaknya adalah hadis Rasulullah

dengan Hadits palsu bercampur.

Hadis dan Ilmu Hadits berbeda pengertian, Jika Hadis adalah

segala sesuatu perkataan, perbuatan, atau persetujuan yang di sandarkan

kepada Nabi Muhammad SAW terhadap sesuatu yang ia lihat atau yang

diceritakan kepadanya. Sedangkan Ilmu Hadits adalah ilmu tentang

kaidah-kaidah untuk mengetahui tentang keshahihan atau kelemahan

Hadits, cara mendapatkannya dan menyampaikannya pada orang lain.

(Atthabari, 1968: 39). Oleh karena itu berkenaan dengan keutamaan

Hadits sebagai hukum Islam yang kedua setelah al-Qur‟an maka para

ulama Islam di zaman Abbasiyah, berusaha semaksimal mungkin

menyaring Hadits Rasulullah agar dapat diteima sebagai sumber hukum

yang sah dalam Islam. Penyeleksian Hadits dilakukan dengan cara

mengkritik terhadap sanad, maupun matan Hadits (Atthabari, 1968: 42).

3) Ilmu Kalam

Ilmu ini lahir karena dorongan untuk membela agama Islam dari

pemikiran orang-orang Yahudi dan Nasrani yang menggunakan filsafat

Page 151: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

129

sebagai senjata, dan juga untuk memecahkan pelbagai permasalahan

agama dengan menggunakan akal pikiran dan ilmu pengetahauan. Pada

zaman Abbasiyah kaum Mutazilah berjasa dalam mengembangkan ilmu

kalam, karena kegigihan mereka membela umat Islam dari serangan-

serangan pikiran dari Yahudi dan Nasrani. Menurut riwayat mereka

mengirim para juru dakwah kesegala penjuru, untuk menolak serangan-

serangan musuh Islam.

4) Ilmu Fikih

Salah satu kebanggaan umat Islam pada zaman Abbasiyah pada

pemerintahan pertama adalah memiliki empat imam mazhab yang ulung

dengan segala kapasitasnya sebagai seorang ulama besar. Mereka adalah

Imam Malik, Imam Abu Hanifah, Imam Syafi‟i dan Imam Ahmad bin

Hanbali. Kempat ulama fiqih tersebut adalah harta yang berharga umat

Islam.

Metode pengambilan (istimbath) hukum yang dipergunakan oleh

para fuqoha pada masa itu dibedakan menjadi ahl ra‟yi dan ahl hadits.

Aliran pertama mengistimbatkan hukum Islam berdasarkan pada sejumlah

nash-nash yang jelas (matsur) jika tidak terdapat nash yang jelas, serta

banyak mendasarkan pada pemikiran hukumnya pada kemampuan akal

pikiran dan pengalaman. Aliran ini terdapat di Kuffah dan tokohnya yang

paling terkenal adalah Imam Abu Hanifah. Selanjutnya, aliran kedua

adalah yang mengistimbathkan hukum berdasarkan Hadis-hadis Rasul.

Aliran ini banyak terdapat di Madinah dan tokoh yang paling terkenal

adalah Imam Malik. Di antara ahl ra‟yi dan ahl hadis, terdapat ulama

yang cenderung menggabungkan kedua metode tersebut yang liberal dan

konservatif adalah Imam Syafi‟i dan Imam Hanbali.

Keempat imam tersebut dalam penetapan hukum memiliki metode

tersendiri dari masing-masing ulama tersebut diatas. Akan tetapi

menariknya ulama tersebut (Imam Maliki, Hanafi, Syafi‟i dan Hanbali)

sama-sama menggunakan hukum logika yang diadopsi dari Arsitoteles

(Saefudin2002: 62).

Pertentangan antara ulama hukum Islam (fiqih) memberikan

gamabaran baru bahwa betaapa luasnya hukum Islam. Oleh karena itu,

agar dapat menghindari pelbagai pertentangan yang lebih luas lagi dan

membawa akibat negatif, maka ulama fiqih berusaha menyusun ilmu

ushul fiqih yang dapat menjadikan sebagai pegangan umum bagi semua

para ahli hukum Islam (S.J, 2008: 173). Keempat pemikir hukum Islam

tersebut dalam wacana pemikiran Islam kemudian dikenal dengan istilah

empat imam mazhab fiqih. Akan tetapi keempat imam mazhab tersebut

dalam menentukan hukum Islam, hanya dianut oleh masyarakat Sunni,

Page 152: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

130

sedangkan untuk Syi‟ah, yang dianut adalah Imam Ja‟fari (Saefudin2002:

62).

5) Ilmu Tasawuf

Ilmu Tasawuf adalah ilmu yang tumbuh dan berkembang pada

zaman Abbasiyah, ilmu tasawuf adalah ilmu syari‟at yang baru

diciptakannya. Inti ajarannya adalah tekun beribadah dengan

menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah, meninggalkan perhiasan dan

kesenangan dunia dan bersunyi diri dalam ibadah.

6) Nahwu

Ilmu Nahwu adalah ilmu yang berkembang pada masa Abbasiyah

(132 H) di Baghdad, Kuffah, dan Basrah, kemudian dua aliran Nahwu

yaitu mazhab Basrah dengan tokohnya Ibn Ahmad dan Sibaweh dan

Mazhab Kufah dengan tokohnya al-Kisaaiy dan al-Farra (Hammur,

t.t:267). Pada masa Kholifah Umar bin Khotob, wilayah Islam

berkembang ke berbagai penjuru dunia, maka banyak orang-orang yang

bukan Arab masuk Islam. Mereka membaca al-Qur‟an dan meriwayatkan

Hadits dengan bahasa Arab, namun diantar mereka tidak bisa menguasai

bahasa Arab dengan baik, akibatnya terjadilah kesalahan dalam membaca

dan mengartikannya. Lalu pada masa Ali bin Abi Thalib,

menginstruksikan kepada Aswad ad-Duali untuk menyusun kaidah Ilmu

Nahwu (Syuyuti, 1968: .121).

b. Ilmu-ilmu Umum

1) Humaniora

Kemajuan peradaban Islam pada masa kejayaan Islam juga

mencakup bidang Humaniora. Dalam bidang ini peradaban Islam

tercermin dalam bidang ilmu Bahasa dan Sastra.

Ilmu Bahasa dan Sastra tumbuh dan berkembang, karena Bahasa

Arab semakin berkembang dewasa, memerlukan suatu ilmu bahasa yang

menyeluruh dan yang dimaksud ilmu bahasa (al-lughah) yaitu: Nahwu,

Sharaf, Ma‟ani, Bayan, Badi‟, Arudh, Qamus dan Insya. Kota Basrah dan

Kuffah merupakan pusat pertumbuhan ilmu bahasa (ulum al-lughah),

kedua kota tersebut saling berlomba dalam bidang tersebut, sehingga

muncul “Aliran Bashrah” dan “Aliran Kuffah” yang masing-masing

pendukung bangga terhadap alirannya. Akan tetapi aliran Bashrah lebih

banyak terpengaruh dengan “Mantiq” (logika) dibandingkan dengan

aliran Kuffah, sehingga mereka dikenal sebagai aliran ahli Mantiq (S.J,

2008:64-67).

2) Filsafat

Page 153: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

131

Filsafat muncul sebagai hasil integrasi antara ajaran Islam dan

kebudayaan klasik Yunani yang terdapat di Suri‟ah, Mesir, Mesopotamia,

Persia dan India. dan mulai berkembang pada masa Kholifah Harun al-

Rasyid serta Kolifah al-Ma‟mun. Para filsuf Muslim yang menjadi tokoh

dunia adalah Ya‟qubbin Ishaq al-Kindi. Ia adalah seorang filsub Arab

yang pernah menulis 50 buku, yang sebagiannya adalah di bidang filsafat.

Gelombang penerjemahan sangat berpengaruh terhadap

meluasnya tradisi helenistik ke dunia Islam. Umat muslim banyak

menekuni tradisi intelektual Yunani, termasuk filsafat, sehingga terjadilah

apa yang disebut dengan Azra sebagai “helenisasi pemikiran Islam dan

Islamisasi pemikiran helenistik”. Wajar kiranya tradisi helenistik

kemudian membanjiri khazanah keilmuan kaum Muslim karena pada

awalnya filsafat berkaitan erat dengan ilmu-ilmu eksanta yang dipelajari

kaum Muslimin dengan tekun. Kenyataannya banyak sekali, orang yang

menjadi ahli dalam berbagai bidang, seperti ahli kedokteran, fisika,

kimia,dan filsafat (Saefuddin, 2002: 186).

3) Kedokteran

Pada masa Dinasti Abbasiyah kedokteran telah mencapai

puncaknya dan telah melahirkan dokter yang terkenal Yuhanah bin

Musawih (w.242 H) dengan karyanya al „ashr almaqolat fi al‟ain (tentang

pengobatan penyakit mata). Perkembangan ilmu kedokteran sejalan

dengan perkembangan ilmu filsafat. Pada awalnya Kholifah al-Mansur

mengundang dokter dari Jundishapur kemudian mengundang dokter

ternama dari Syiria, India, Mesir, dan Bizantium untuk berkumpul di

Baghdad. Buku-buku Yunani diterjemahkan kedalam bahasa Arab. Buku-

buku Yunani yang menjadi standar ialah karya Hipocrates, Galen, Pail,

Alexander, Thales, Dicerides dan lain sebagainnya (S.J., 2002: 180).

4) Astronomi

Astronomi membantu umat Islam dalam menentukan letak Ka‟bah.

Di sisi lainnya astronomi juga memiliki kelebihan untuk meramal, seperti

garis politik para kholifah dan amir berdasarkan perhitungan kerjanya

kepada peredaran bintang. Pada awal abad kesembilan sudah ada

dilakukan observasi-observasi pertama dan teratur di sebelah Barat Daya

Parsi dengan mengunakan alat-alat yang sudah sempurna; dan sebelum

pertengahan abad tersebut berlalu maka Kholiafh al-Ma‟mun telah

mendirikan pos-pos observasi astronomi di Baghdad dan di luar kota

Damaskus. Alat-alat yang digunakan pada saat itu berupa kwadrat,

astrolabium, jarum matahari dan bulatan dunia.

Dengan cara demikian para ahli astronomi kholifah

menyelenggarakan salah satu pekerjaan pengukuran tanah yang paling

Page 154: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

132

sulit, yaitu pengukuran derajat busur. Maksud pekerjaan itu adalah untuk

mengetahui dan menetapkan ukuran kebesarn lingkaran bumi,

berdasarkan pada teori bahwa bumi itu bulat bentuknya. Hasil pengukuran

yang dilangsungkan di daratan sebelah Utara sungai Eufrot dan disekitar

Palmyra menyatakan, bahwa panjang derajat sebuah busur ialah 56 2/3

mil Arab. Ketelitian ukuran tersebut sangatlah mengagumkan karena

ukuran drajat busur yang sebenarnya pada saat itu sepanjang 28877 kaki

lebih pendek (Hitti, t.t: 145).

5) Matematika

Ilmu ini pada awalnya di bawa oleh Kholifah al-Mansur dari India

melalui bukunya Sind qwa Hind. Dari terjemahan buku ini oleh al-Fazari,

dikenal sistem angka Arab dan angka “nol” yang mempermudah

perhitungan. Selanjutnya, ilmu ini dikembangkan lagi oleh Khwarizmi

dan Habash al-Hasib dengan membuat table angka (Fa‟al, 2008: 78). Ilmu

matematika (hitung) adalah ilmu yang berkembang pesat di kalangan umat

Islam, karena hukum-hukum syari‟at tentang zakat dan waris menuntut

perhitungan aritmatika.

6) Geografi

Pada masa Dinasti Abbasiyah, daerah perdagangan semakin luas.

Sebagai ibukota Negara, hubungan Baghdad dengan kota-kota yang lain,

baik melalui darat maupun laut, berkembang pesat dan lalu lintasnya

ramai sekali. Hal itu menimbulkan usaha untuk memudahkan perjalanan,

diantaranya dengan membuka jalan-jalan baru. Ilmuwan-ilmuwan Muslim

juga sangat perduli dengan Bumi dan segala isinya. Ilmu tentang bumi

pada zaman modern dibagi menjadi beberapa disiplin ilmu, Geografi,

Geologi, Geofisika, dan Meteorologi.

Perkembangan berbagai macam cabang ilmu pengetahuan diatas

menunjukan begitu pesatnya transformasi ilmu pengetahuan pada masa

itu. Kholifah al-Ma‟mun yang memang menjunjung tinggi akal dan

memberi kebebasan dalam berpikir memuat berbagai cabang ilmu

pengetahuan dapat berkembang pesat pada masa itu.

Jika disandingkan pada Indonesia di era kepemimpinan Sueharto,

dimana kebebasan dalam berpikir dan pendapat sangat dibatasi sekali oleh

pemerintah. Tak ada satupun yang berani dalam mengeskporasi

pikirannya untuk kepentingan umum atau perkembangan Indonesia. Bagi

yang mencoba untuk melawan pemerintah, maka tidak segan-segan untuk

di masukkan ke dalam penjara dan ada juga yang sampai di asingkan atau

di bunuh. Oleh karenanya al-Ma‟mun cukup jenius dengan memberikan

Page 155: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

133

kebebasan berpikir dan pendapat, agar semua ilmu pengatahuan dapat

berkembangan dan menjadi maslahat umat manusia.

Ilmu Fiqih dan Filsafat misalnya mencapai puncaknya pada masa

ini dikarenakan ada keterkaitan satu sama lainnya atau lebih tepatnya

metode yang digunakan oleh imam mazhab dalam menetapkan hukum

Islam sama-sama menggunakan logika yang diadopsi dari Aristoteles.

Pada masa itu pula masyarakat memiliki kebebasan untuk

mengikuti mazhab yang diyakininya, sehingga setiap mazhab memiliki

pengikut yang menyakini ajaran yang telah diajarkan oleh imam mazhab.

Kebebasan berpikir dan berpendapat para mujahid semakin giat berijtihad

sehingga memperluas hukum Islam, karena itu untuk menghindari

pertentangan maka dari itu diperluakn pedoman umum berupa ushul fiqih

yang menjadi pedoman umum bagi para ahli hukum. Sedangkan dalam

bidang filsafat dapa masa itu benar-benar pada puncaknya. Kaum

Muslimin banyak mengadopsi pemikiran Aristoteles, Plato dan Plotinus.

Kaum Muslimin sangat asik mendalami pemikiran-pemikiran filsafat

Yunani. Ilmuwan Muslim berpendapat, bahwa filsafat Yunani telah

banyak membantu mereka dengan alat-alat yang sangat bermanfaat, sperti

dialektika, silogisme, dan logika deduktif untuk memecahkan masalah

teoritis pengetahuan dan ilmu-ilmu agama yang merupakan poros

kehidupan di dunia Islam. Selanjutnya kegiatan penerjemahan yang begitu

banyak dan memakan waktu yang cukup lama dari karya-karya Yunani

juga turut andil dalam berkembangnya filsafat di kalangan kaum

Muslimin pada saat itu.

3. Munculnya Tokoh-tokoh Penting dalam Berbagai Ilmu

Pengetahuan

Hadirnya berbagai cabang ilmu pengatahuan tidak terlepas dari

kemunculan tokoh-tokoh penting dalam berbagai bidang ilmu

pengetahuan tersebut tidak hanya sebagai tokoh utama lahirnya ilmu-ilmu

tersebut, tetapi juga sebagai penggerak terhadap kemajuan-kemajuan

daripada ilmu-ilmu tersebut sehingga terdengar begitu hebatnya sampai

saat ini. Dikarenakan jasa kerja keras mereka dan buah pikirannyalah

umat Islam dapat maju daripada kemajuan yang pernah ada sebelumnya,

khususnya pada penulisan ini adalah Kholifah al-Ma‟mun dari Dinasti

Abbasiyah yang cenderung amat perduli terhadap ilmu pengetahuan.

Berikut ini adalah dampak yang terjadi akibat dari perkembangan

ilmu pengetahuan yang mengakibatkan bermunculan para tokoh-tokoh

penting dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan yaitu: Pertama, Tokoh-

tokoh dalam bidang ilmu agama:

a. Dalam Bidang Ilmu Tafsir

Page 156: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

134

1) As-Suda (w.127 H/ 810 M.) tafsirannya mendasarkan pada Ibnu

Abbas dan Ibn Mas‟ud dan para sahabat lainnya.

b. Dalam Bidang Hadits

1) Imam Bukhari yaitu Abu Abdullah Muhammad bin Abi Hasan al

Bukhari, lahir di Bukhara 194 H dan wafat di Baghdad 256 H.

Kitabnya: al Jami‟al-Musnad al-Mukhtashar min al-Hadits

Rasulullah Saw wa Sunanih wa Ayyamin, dan terkenal dengan

sebutan Shahih Bukhari.

2) Imam Muslim yaitu Abu Husain Muslim bin al-Hajajj Ibn

Muslim Ward Ibn Qusyairi, wafat di Naishabur tahun 261 H.

Kitabnya a-Jami‟al-Shahih, atau sering disebut dengan Shahih

Muslim.

3) Muhammad Ibn Umar al-Waqidi (748-823 M) lahir di Madinah

dan wafat di Baghdad (Amin, 1965: 68).

c. Dalam Bidang Ilmu Kalam

1) Abu al-Huzail Al‟Allaf (135-235 H). termasuk kedalam golongan

Mu‟tazilah yang banyak menggunakan akal pikiran.

d. Dalam Bidang Ilmu Fiqih

1) Malik bin Malik lahir di Madinah (713-795 H) dengan karyanya

al-Mu‟watha (Razak, 1977: 110).

2) Muhammad Ibn Idris as-Syafi‟i lahir di Ghazza (767- 820 H)

dengan karyanya al-Umm, al-Risalah, dan al-Mabsut.

3) Muhammad Ibn Umar al-Waqidi (748-823 M) lahir di Madinah

dan wafat di Baghdad.

4) Ahmad bin Hambal lahir di Baghdad (780-855 H) dengan

karyanya al-Kharraj (Nasution, 1985: 18).

e. Dalam Bidang Ilmu Tasawuf

1) Zunnun al-Misri lahir di Mesir (w.859 M) ia adalah orang yang

membawa paham al-Ma‟rifah (Nasution, 1978:76-77)

Kedua. Tokoh-Tokoh Dalam Bidang Ilmu Umum;

a. Dalam Bidang Ilmu Humaniora

1) Al-Farra, yaitu Abu Zakariya Yahya bin Zaiyad al Farra (w.208

H), Kitab Nawhu karangannya terdiri dari 6000 halaman.

b. Dalam Bidang Ilmu Filsafat

1) Al-Kindi (804 M. – 874 M.)

Di kalangan kaum Muslimin, orang yang pertama memberikan

pengertian filsafat dan lapanganya adalah al-Kindi. Ia adalah Abu

Yusuf ibn Ishaq bin Ash-Shabah bin Imran bin Al-Asy‟ats bin Qais

dan terkenal dengan sebutan “Filosuf Arab” keturunan Arab asli.

Page 157: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

135

Berasal dari Kindah di Yaman, tetapi lahir di Kufah (Irak) di tahun

804 M. Orang tuanya adalah gubernur di Basrah (Jaudah, 2002:113-

116). Setelah dewasa, ia pergi ke Baghdad dan mendapat

perlindungan dari Khalifah al-Ma‟mun (813-833 M) dan Khalifah al-

Mu‟tashim (833-842 M).

Al-Kindi menganut aliran mu‟tazilah dan kemudian belajar

filsafat. Zaman itu adalah zaman penerjemahan buku-buku Yunani

dan Suryani dan al-Kindi turut aktif dalam kegiatan penerjemahan ini,

akan tetapi usahanya lebih banyak dalam memberi kesimpulan

daripada menerjemahkan, karena ia termasuk orang yang berada

sehingga ia dapat membayar orang lain untuk menerjemahkan buku-

buku yang ia perlukan (Nasution, 1978: 14, Jaudah, 2002: 115). Al-

Kindi mendapat kedudukan yang tinggi dari al-Ma‟mun, al-

Mu‟tashim, dan anaknya yaitu Ahmad, bahkan menjadi gurunya.

Dalam risalahnya yang ditunjukan kepada al-Mu‟tashim, ia

menyatakan bahwa filsafat adalah ilmu yang terkemuka serta terbaik.

Ia membagi filsafat menjadi tiga bagian: ilmu Fisika (ilmu thibbiyat)

sebagai tingkatan yang paling bawah, ilmu matematika (al-ilmu al-

riyadhi) sebagai tingkatan menengah, dan ilmu ketuhanan (ilmu al-

rububiyah)sebagai tingkatan paling tinggi. Alasan pembagian tersebut

ialah karena ilmu ada kalanya berhubungan dengan sesuatu yang

dapat diindera, yaitu benda atau fisika, adakalanya berhubungan

dengan benda tetapi mempunyai wujud sendiri yaitu ilmu matematika

yang terdiri dari ilmu hitung, teknik, astronomi, dan musik atau tidak

berhubungan dengan benda sama sekali yaitu ilmu ketuhanan (Hanafi,

1986: 17). Al-Kindi banyak mengarang buku tetapi berapa banyak

jumlahnya tidak ada kesepakatan para penulis biografi. Al-Nadim dan

al-Qafthi menyebut 238 buah (karangan pendek) dan sebagian dari

karangannya itu telah musnah.6 Isi karangannya meliputi filsafat,

logika, ilmu hitung, astronomi, kedokteran, ilmu jiwa, politik, optik,

musik, fisika dan ilmu alam, tekhnik mesin, matematika dan

sebagainya (Nasution, 1978:15). Bukunya tentang optik

diterjemahkan ke dalam bahasa Latin yang banyak mempengaruhi

Roger Bacon.7Apa yang dilakukan Bacon tidaklah seperti yang

6Yakub Al-Kindi memiliki lebih dari 200 buku yang di rangnya. Bahkan Dr.

Abdul Halim Muntashir mengatakan alam bukunya “ Tarikh Al-Ilm wa Daur Al Arab fi

Taqaddumihi” bahwa buku karangan Al-Kindi lebih dari 230 buku. Akan tetapi yang

sangat disayangkan, kebanyakan dari buku-buku ini hilang dan tidak sampai ke tangan

kita kecuali judul-judulnya saja yang diberitahukan oleh penerjemahnya kepada kita.

7Bermodalkan bahasa Arab, Bacon kemudian mempelajari bahasa Ilmu

Pengetahuan pasti dan ilmu pengetahuan alam seperti juga beberapa orang sarjana

Kristen lainya pada masa itu. Antara tahun 1250-1257 ia pulang dan melanjutkan

Page 158: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

136

dilakukan oleh kaum Muslimin dengan menterjemahkan karya-karya

Phytagoras (530-495 pra-Masehi), Plato (425-347 pra-Masehi),

Aristoteles (388-322 pra-masehi), Aristarchos (310-230 pra-masehi)

Euclides (330-260 pra-masehi), Claudius Ptolemaios (87-168 M.)

(Poeradisastra, 2008:18-19).

2) Al-Farabi (872 M- 950 M)

Ia adalah Abu Nasr ibn Muhammad ibn Muhammad

Thankhan al- Farabi. Sebutan al-Farabi diambil dari nama kota Farab

tempat lahirnya tahun 259 H/872 M dan wafat di Damaskus

339H/950 M. Ayahnya berasal dari Iran, ibunya seorang wanita

Turkistan. Ia pernah menjadi perwira Turkistan. Sejak kecil al-Farabi

suka belajar dan mempunyai kecakapan luar biasa dalam bidang

bahasa. Bahasa-bahasa yang dikuasai adalah Iran, Turkistan, dan

Kurdistan, tetapi tampaknya ia tidak mengenal bahasa Yunani dan

Syria yang menjadi bahasa ilmu kedokteran dan filsafat waktu itu. Di

Barat al-Farobi dikenal sebagai Alpharabius (Baiquni, 1996: 68).

Setelah ia besar, ia menuju Baghdad untuk belajar antara lain

kepada Abu Bisri ibn Mathius. Selama di Baghdad ia memusatkan

perhatiannya kepada logika. Baghdad adalah pusat pemerintahan dan

ilmu, tetapi karena waktu pertama kali ia datang belum menguasai

bahasa Arab, maka ia belajar bahasa Arab dan ilmu Nahwu kepada

Abu Bakar al-Sarraj. Sesudah itu pindah ke Harran untuk berguru

kepada Yuhana ibn Jilan, kemudian kembali lagi ke Baghdad untuk

mendalami filsafat. Di Baghdad, ia tinggal selama 30 tahun. Selama

waktu itu ia mempergunakan waktunya untuk mengarang, mengajar,

dan mengulas buku filsafat. Muridnya yang terkenal pada masa itu

antara lain Yahya ibn „Ady. Pada tahun 330 H/941 M, ia pindah ke

Damsyik. Di sini ia mendapat kedudukan yang baik dari Saifullah

Amir dari Dinasti Hamdan di Habab (Alepo) sehingga ia diajak turut

serta dalam suatu pertempuran untuk merebut Damsyik, lalu menetap

di kota itu sampai wafat tahun 337 H/950 M pada usia 80 tahun

(Jaudah, 2002: 526-527). Ketika menetap di Baghdad, Al-Farabi

berkenalan dengan para filsuf dan ilmuan senior, diantarnya Al-Kindi

dan Ar-Razi.Ia seorang yang gigih dalam mengajak orang untuk

pelajaran bahasa Arabnya di Universitas Oxford dengan membawa sejumlah besar buku-

buku Ilmiah Islam dari Paris. Beberapa karya sarjana-sarjana Muslim, diantaranya al-

Munazhier karya Ali al-Hasan ibn Haitsam (965-1038 M), di terjemahkan oleh Bacon

kedalam bahasa Latin, bahasa Ilmiah Eropa pada masa itu.Dalam naskah-naskah tersebut

terdapat keterangan-keterangan tentang mesiu dan mikroskop.Bacon secara tidak jujur

telah mencantumkan namanya sendiri pada terjmahan-terjemahan itu dan melakukan

palgiat secara terang-terangan.

Page 159: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

137

menuntut ilmu dan mengadakan eksperimen. Ia juga menghimbau

agar kurafat dan sebagainya di musnahkan.

Al-Farabi luas pengetahuannya, mendalami ilmu-ilmu yang

ada pada zamannya, serta mengarang buku-buku dalam ilmu tersebut.

Buku-bukunya menunjukan bahwa ia mendalami ilmu-ilmu bahasa,

matematika, kimia, astronomi, kemiliteran, musik, ilmu alam,

ketuhanan, fisika, dan mantik. Menurut Massignon, ahli ketimuran

Perancis, al-Farabi adalah seorang filosof Islam yang pertama dengan

sepenuharti kata. Sebelumnya memang ada al-Kindi yang membuka

pintu filsafat Yunani bagi dunia Islam, tetapi al-Kindi tidak

menciptakan sistem (mahdzab) filsafat tertentu dan persoalan

persoalan yang dibicarakannya masih belumdipecahkan secara

memuaskan. Sebaliknya al- Farabi telah dapat memecahkan satu

sistem filsafat yang lengkap dan telah memainkan peranan penting

dalam dunia Islam seperti peranan yang dimiliki Platinus bagi dunia

Barat. Al-Farabi juga menjadi guru bagi Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, dan

filosof-filosof Islam yang datang sesudahnya. Oleh karena itu, ia

mendapat gelar “Guru Kedua” (al-mu ‟allimu al-tsani) sebagai

kelanjutan dari Aristoteles yang mendapat gelar “Guru Pertama” (al-

mu „allimu Al-awwal). Banyak karyanya yang dikarang olehnya,

namun telah hilang dan tidak bisa ditemukan sampai sekarang.

Meskipun Al-Farabi seorang ilmuan terkenal, tapi ia adalah orang

yang zuhud dan sangan moderat. Karanganya antara lain: “Al Musiqi

Al-Kabir”, Ihsha‟u Al-Iqa”, Kalam Fi Al-Musiqi”, Ihsha‟u Al-Ulum

Wa At Ta‟arif Bi Aghradhiha”, “Ara‟Ahlu Al-Madinah Al-Fadhilah”,

Jawami‟ As-Syahsah”, Nuhus Al-Hukmi” (Baharuddin, 2011: 181)

Banyak karangan al-Farabi tetapi banyak yang tak dikenal

sebagaimana karangan Ibnu Sina. Hal ini mungkin karena karangan

al-Farabi hanya berupa risalah (karangan pendek), sedikit sekali yang

merupakan buku besar yang mendalam pembicaraannya. Kebanyakan

karangannya telah hilang dan yang masih ada kurang lebih 30 buah

saja yang ditulis dalam bahasa Arab.

Pada abad pertengahan, al-Farabi menjadi sangat terkenal

sehingga orang Yahudi banyak yang mempelajari karangannya dan

disalin kedalam bahasa Ibrani (sampai sekarang salinan tersebut

masih tersimpan di perpustakaan Eropa) di samping salinan dalam

bahasa Latin, baik yangdisalin langsung dari bahasa Arab atau dari

bahasa Ibrani. Sebagian besar karangan al-Farabi terdiri dari ulasan

dan penjelasan terhadap filsafat Aristoteles, Plato, dan Galinus dalam

bidang logika, fisika, etika, dan matematika. Meskipun banyak tokoh

filsafat yang diulas fikirannya, tetapi ia lebih banyak terkenal sebagai

pengulas Aristoteles. Ibnu Sina pernah mempelajari buku ilmu

Page 160: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

138

Metafisika karangan Aristoteles lebih dari 40 kali tetapi belum juga

mengerti maksudnya. Setelah ia membaca buku karangan al-Farabi

yang berjudul “Intisari Buku Metafisika” (aghradh kitab maba‟da al-

thabi‟ah) barulah ia mengerti.

Dalam buku terakhirnya, al-Farabi membicarakan macam-

macam ilmu dan bagian-bagiannya, yaitu ilmu bahasa, ilmu mantik,

ilmu kekotaan (al-ilmu al-madani), ilmu fiqh dan ilmu kalam. Filsafat

al-Farabi merupakan campuran antara filsafat Atistoteles dan Neo

Platonis dengan fikiran keislaman yang jelas dan corak aliran Syi‟ah

Imamiyah. Misalnya, dalam soalmantik dan filsafat fisika ia

mengikuti aristoteles, dalam soal etika dan politik ia mengikuti Plato,

dan dalam matefisika ia mengikuti plotinus. Selain itu al-Farabi

adalah seorang filosof sinkretisme (paduan) yang percaya akan

kesatuan (ketunggalan) filsafat (Hanafi, 1996: 118-121).

3) Ibnu Sina (980-1037 M)

Nama lengkapnya adalah Abu Ali bin Sina, lahir di Afsyana

daerah dekat Bukhara tahun 980 M. dan meninggal pada tahun 1037

M dengan usia 57 tahun. Ia dari keluarga Persia yang gemar belajar

(Nata, 2011: 99). Ia dikenal selain sebagai dokter yang mendapat

julukan “Bapak Dokter” oleh penulis Barat karena pengaruhnya

terhadap ilmu kedokteran Barat berkat bukunya al-Qanun fial-Thib

yang sampai penghujung tahun 1500 M masih tetap menjadi buku

standar untuk universitas universitas Eropa, juga dikenal dalam

bidang filsafat dengan julukannya al-Syaikh al-Rais (kyai utama)

(Majid, 2000: 33). Sebenarnya, hidup Ibnu Sina tidak pernah

mengalami ketenangan dan usianya pun tidak panjang. Meskipun

banyak kesibukan-kesibukan dalam urusan politik sehingga ia tidak

banyak mempunyai kesempatan untuk mengarang, namun ia telah

berhasil meninggalkan berpuluh-puluh karangannya.

Diantara pemikiran-pemikiran Ibnu Sina yang dalam bentuk

buku banyak yang dimunculkan. Akan tetapi, karangan Ibnu Sina

yang terkenal adalah: Pertama, Asy-Syifa. Buku ini buku filsafat yang

terpenting dan terbesar dari Ibnu Sina, terdiri dari empat bagian, yaitu

logika, fisika, matematika, dan metafisika (ketuhanan). Buku tersebut

mempunyai beberapa naskah yang tersebar di berbagai perpustakaan

Barat dan Timur. Bagian ketuhanan dan fisika pernah dicetak dengan

cetakan batu di Teheran. Pada tahun 1956 M lembaga keilmuan

Cekoslowakia di Praha menerbitkan pasal keenam dari bagian fisika

yang khusus mengenai ilmu jiwa dengan terjemahannya ke dalam

bahasa Perancis di bawah asuhan Jean Pacuch. Bagian logika

Page 161: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

139

diterbitkan di Kairo pada tahun 1954 M dengan nama Al-Burhan di

bawah asuhan Dr. Abdurrahman Badawi.

Kedua, An-Najat. Buku ini merupakan ringkasan buku asy-

Syifa dan pernah diterbitkan bersama buku Al-Qanun dalam ilmu

kedokteran pada tahun 1331 M diMesir. Ketiga,Al-Isyarat wa

Tanbihat. Buku ini adalah buku terakhir dan yang paling baik. Pernah

diterbitkan di Leiden pada tahun 1892 M, sebagian diterjemahkan ke

dalam bahasa Perancis,kemudian diterbitkan di Kairo lagi pada tahun

1947 M di bawah asuhan Dr. Sulaiman Dunia. Keempat, Al-Hikmat

al-Masyriqiyyah. Buku ini banyak dibicarakan orang karena

ketidakjelasan maksud judul buku dan naskah.Naskahnya yang masih

ada memuat bagian logika. Ada yang mengatakan bahwa isi buku

tersebut mengenai tasawuf, tetapi menurut Charles Nailino berisi

filsafat Timur sebagai imbangan dari filsafat Barat. Kelima, Al-

Qanun, atau canon of medicine menurut penyebutan orang-orang

Barat buku ini pernah diterjemahkan kedalam bahasa Latin dan

pernah menjadi buku standar untuk universitas-universitas di Eropa

sampai akhir abad XVII M. buku ini pernah diterbitkan di Roma

tahun 1593 M dan di India tahun 1323 M. Risalah-risalah lain yang

banyak jumlahnya dalam lapangan filsafat etika, logika, dan psikologi

(Baharuddin, 2011: 184).

4) Ibnu Rusyd

Nama lengkap Ibn Rusyd adalah Abu al-Walid Muhammad

ibn Muhammad ibn Rusyd. Ia lahir di Cordova tahun 1126 M, berasal

dari keluarga hakim-hakim Andalusia. Ia sendiri pernah menjadi

hakim di Sevilla dan beberapa kota lain di Spanyol. Pernah pula ia

menjadi dokter istana dan sebagai filosof serta ahli dalam hukum. Ia

mempunyai pengaruh besar di kalangan istana, terutama di zaman

Sultan Abu Yusuf Ya‟kub al-Mansyur (Bani Muwahidari). Sebagai

seorang filosof ia tidak disenangi oleh kaum ulama dan kaum fuqaha

(ulama ortodok). Ia dituduh membawa filsafat yang menyeleweng

dari ajaran-ajaran Islam dan dengan demikian ditangkap dan

diasingkan. Buku-bukunya dibakar kecuali yang murni bersifat ilmu

pengetahuan (science) seperti kedokteran, matematika dan astronomi.

Ibnu Rusyd sendiri kemudian dipindahkan ke Maroko dan meninggal

di sana dalam usia 72 tahun pada tahun 1198 M (Majid, 2000: 37,

Jaudah, 2002: 484).

Page 162: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

140

Pada masa Daulah Muwahidari inilah Andalusia kembali

mencapai masa gemilang dalam lapangan ilmu pengetahuan.8Pada

waktu itu pula masa lahirnya Ibnu Rusyd (Averroes). Ibnu Rusyd

dikatakan sebagai orang besar dalam ilmu Filsafat. Ia telah

membangun Eropa dengan fikiran-fikiran Islam dan mengantarkan

dunia Barat ke pintu gerbang renaisance. Dalam bidang kedokteran,

terdapat 16 jilid karangannya, buku itu bernama “Kulliyat fi al-Thib”

(aturan umum kedokteran). Buku ini disalin kedalam bahasa Latin

oleh Bonacosa tahun 1255 M. kemudian buku Ibnu Rusyd ini disalin

kedalam bahasa Inggris dan dicetak berulang-ulang di Eropa (Hoesen,

1975:484-485).

Ibnu Rusyd juga meninggalkan karangan-karangnnya dalam

ilmu hukum misalnya Bidayat al-ujtahid. Karangannya tentang

Aristoteles banyak diterjemahkan ke dalam bahasa latin sehingga ia

terkenal dengan nama “Commentator”. Perbedaan Ibnu Rusyd

dengan filosof-filosof Islam lain seperti al-Kindi, al-Farabi, dan Ibnu

Sina, bahwa Ibnu Rusyd selain seorang filosof juga ahli fiqh. Kalau

ibnu Rusyd di Eropa dikenal dengan komentator dari Aristoteles, di

Timur atau dunia Islam ia dikenal sebagai orang yang membela kaum

filosof dari serangan-serangan Al-Ghazali dengan buku karangannya

yang berjudul Tahaful al-Tahafut (Nasution, 1978: .48). Averoes

adalah nama lain Ibnu Rusyd selain memiliki karya ilmiah di dalam

bidang kedokteran, astronomi, fisika, ia juga membela para ahli

filsafat yang dikeritik dari kitab Tahafut al Falasifa, karangan Imam

Al Ghazali. Ia menulis Tahafut At-Tahafut. Di Eropa aliran

rasionalisme Ibn Rusyd di ajarkan di Uneversitas dan ia memiliki

banyak pengikut (Baiquni, 1996: 72).

Dari segi lain Ibnu Rusyd ianggap sebagai filosof yang berusaha

untuk menggabungkan agama dan filsafat dengan argumentasinya

yang menyatakan bahwa kebenaran agama dan kebenaran filsafat itu

satu meskipun dinyatakan dalam lambang yang berbeda

Di dalam beberapa bukunya, Ibnu Rusyd telah menjelaskan

susunan mata. Dia juga menyebutkan suatu realita ilmiah yang

8 Tak dapat di ragukan lagi, bahwa peradaban Islma maju pada waktu daulah

Abbasiyah, juga dipengaruhi cara pendidikan dan pengajaran filsafat Hellenisme. Dari

perkembangan filsafat Hellenisme ini yang memiliki makna yang bersejarah dalam masa

renainsance. Hasil pemikiran Hellenisme yang sudah mendapat corak dari Islam, seperti

teknologi, filsafat, pendidikan, dan sebagainya lalu dipelajari oleh orang Eropa, lalu

karya ilmiah ini diterjemahkan dalam bahasa Latin dan Eropa Selatan. Dan kemudian

peradaban Islam yang keemasan berubah, dan mulailah bangsa-bangsa Barat membuat

kebudayaan dan teknologi. Setelah karya ilmiah ilmuwan Muslim klasik dapat di transfer

dalam bahasa asing lainnya, ilmu orang Islam banyak mempengaruhi ilmuwan-ilmuwan

Barat, seperti karanga buku al-Kindi tentang optic sangat mempengaruhi Bacon.

Page 163: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

141

berisikan bahwa manusia hanya akan terkena penyakit cacar sekali

dalam seumur hidup. Dia pernah berkomentar tentang anatomi,

“Siapa yang mempelajari tentang anatomi, keimanannya kepada

Allah akan bertambah” (Jaudah, 2002: 485).

Sesungguhnya Ibnu Rusyd juga membela pandangan bahwa

kebenaran tertinggi selalu bersifat filosofis, dan bagi yang mampu,

agama haruslah di interpretasikan secara demikian. Konsekuensinya

Ibnu Rusyd dengan kuat sekali berpegang kepada pendiriannya

bahwa ada pemahaman agama menurut kaum al-khawas, terutama

para filosof dan ada yang menurut kaum al-awwam. Pemahaman

khawas sama sekali tidak boleh diberikan kepada seseorangyang

kemampuannya hanyalah menangkap pengertian awwam sebab akan

membawa kepada kekafiran; sebaliknya orang yang mampu

berfikiran filosofis tetapi tidak menafsirkan kebenaran agama secara

demikian adalah juga kafir (Majid, 2000: 48).

c. Dalam Bidang Kedokteran

1) Muhammad Al-Razi (854-975 M)

Dia bernama Abu Bakar Muhammad bin Zakariya Al-Razi

terkenal di dunia Barat dengan sebutan Rozes. Ia dilahirkan di

propinsi Rayy, Iran pada tahun 240 H. (854 M.) dan Ibnu Katsir

dalam Bidayah mengatakan bahwa dia wafat pada tahun 311 H. (923

M.) sebagian berpendapat ia wafat pada tahun 364 H / 975 M.

(Jaudah, 2007: 139).

Ia adalah murid Hunain ibn Ishaq. Sewaktu masih muda, Al-

Razi hidup sebagai dokter kimia selanjutnya sebagai guru dokter

medicine. Ia dianggap sebagai dokter paling besar dalam Islam dan

telah memperkenalkan usus-usus binatang sebagai benang penjahit

operasi dan penggunaan air raksa sebagai obat salap dalam

pengobatan penyakit kulit (Arief, 2005: 104-105). Penemuan ilmiah

terbesar dalam bidang kedokteran dan kimia. Dia memiliki hasil studi

penting dan bernilai dalam bidang filsafat. Kebanyakan dari buku-

buku ini ditulis dalam bidang kedokteran, farmasi, kimia, dan filsafat,

astronomi, fisika, matematika, music, dan ilmu-ilmu keagamaan

(Jaudah, 2002: 139-140. Ia unggul dalam bidang kedokteran

dan oprasi mata. Kitab-kitab karangannya tidak kurang dari 200 buku

yang kebanyakan berisi ilmu kedokteran. Salah satu karangan al-Razi

yang termasyhur adalah “Campak dan Cacar”. Buku ini disalin ke

dalam bahasa Inggris sudah 40 kali cetak. Sebuah bukunya yang

masyhur ialah “al-Hawi”. Buku ini merupakan sari ilmu pengetahuan

kedokteran Yunani, Syria, India, dan Arab. Dia menulis buku ini

dengan sangat istimewa sehingga menjadi buku rujukkan terpenting

Page 164: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

142

bagi dunia kedokteran sampai abad ke-18. Buku ini sangat menarik

perhatian Kristen Eropa. Raja Charles I dari Anjau memerintahkan

agar buku ini diterjemahkan ke dalam bahasa Latin yang menjadi

bahasa resmi ilmu pengetahuan Eropa. Penerjemahan ini dilakukan

tahun 1279 M oleh seorang dokter Sisilia bernama Faraj Ibn Salim

dan Girgenti. Di samping ilmu kedokteran, al-Razi juga mengarang

ilmu agama Islam, filsafat, matematika, astronomi dan ilmu alam.

Muhammad al-Razi dianggap sebagai orang kedua setelah Ibn Sina

dalam hal pengetahuan dan tulisannya mengenai masalah-masalah

medis.

2) Yuhanah

Yuhanah bin Musawih (w.242 H) ia adalah dokter yang ada

pada puncak kejayaan Abbasiyah. Yuhanah menulis karya berjudul

al-„ashr almaqolat fi al-„ain (tentang pengobatan penyakit mata).

3) Ibnu Sina (890 M-1037 M.)

Nama aslinya adalah Abu Ali Husein ibn Abdullah ibn Sina,

lahir di Afsyana, suatu tempat yang terletak di dekat Bukhara. Daerah

tersebut sekarang Uzbekistan, Persia dan ia wafat di Hamdzan

(sekarang Iran) (Jaudah, 2002:276-277). Orang tuanya berkedudukan

sebagai pegawai tinggi di pemerintahan dinasti Samani. Menurut

sejarah hidup yang disusun oleh muridnya, Jurjani, dan semenjak

kecil Ibnu Sina telah banyak mempelajari ilmu pengetahuan yang ada

di zamannya seperti fisika, matematika, kedokteran, hukum, dan lain-

lain. Sewaktu masih berumur 17 tahun ia telah dikenal sebagai dokter

dan atas panggilan istana pernah mengobati Pangeran Nuh Ibn

Mansyur sehingga pulih kembali kesehatannya. Setelah orang tuanya

meninggal, ia pindah ke Jurjan, suatu kota di dekat laut Kaspia. Di

sanalah ia mulai menulis ensiklopedianya tentang ilmu kedokteran

yang kemudian terkenal dengan nama al-Qanun fi al-Thib. Kemudian

ia pindah ke Rayy, suatu kota di sebelah selatan Teheran dan bekerja

untuk Ratu Sayyidah dan anaknya Majid al-Daulah. Kemudian Sultan

Syams al-Daulah yang berkuasa di Hamdan mengangkat Ibnu Sina

menjadi menterinya. Kemudian ia pindah ke Isfahan dan meninggal

tahun 1037 M. Pengaruh ilmunya pada peradaban dan kebudayaan

Eropa tidaklah terbatas. Bukunya “al-Qanun fi al-Thib” dianggap

orang sebagai himpunan perbendaharaan ilmu kedokteran. Ilmu

ketabiban modern mendapat pelajaran dari Ibnu Sina. Dalam abad XII

M Gerard Cremona menyalin buku Ibnu Sina ke dalam bahasa Latin.

Permintaan atas buku itu sangat besar, selama 100 tahun tidak putus-

Page 165: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

143

putusnya. Sampai ke penghujung tahun 1500 M pengaruh Ibnu Sina

terhadap ilmu kedokteran sangat terasa (Baiquni, 1997: 70).

d. Dalam Bidang Ilmu Astronomi

1) Al-Fazari.

Namanya adalah Abu Ishak Ibrahim bin Habib al-Fazari. Dalam

lapangan ilmu astronomi, penulisannya dimulai sejak

diterjemahkannya buku “Maha Sidhanta” dari bahasa India kebahasa

Arab oleh al-Fazari di Baghdad tahun 771 M. selanjutnya dilakukan

penerjemahan dari daftar-daftar Pahlevi yang disusun sejak periode

Sasania. Sesudah itu barulah diterjemahkan buku Yunani Almagest

karangan Ptolomeus. Dua buku karangan Ptolomeus yang lain

masing-masing diterjemahkan oleh al-Hajjaj ibn Mathar pada tahun

212 H/887 M dan oleh Hunain ibn Ishaq yang kemudian direvisi oleh

Tsabit ibn Qurra. Pada awal abad IX M. tempat observatorium

dengan alat-alat yang lebih akurat dibangun di Yunde Shapur. Oleh

al-Ma‟mun, sehubungan dengan kepentingan lembaga ilmu

pengetahuan Bait al-Hikmah, dibangun sebuah observatorium

astronomi dekat gerbang Syamsiyah di bawah pimpinan Sind ibn Ali

dan Yahya ibn Abi Mansur (830 M). Para ahli astronomi dan lembaga

ini tidak hanya membuat observatorium sistematis terhadap gerakan

benda-benda langit di jagat raya, tetapi juga membuktikan secara

tepat elemen-elemen yang fundametal yang terdapat dalam Almagest,

yaitu garis gerak yang tidak beraturan dan garis edar matahari,

panjang tahun Syamsiyah dan sebagainya. Al-Ma‟mun segera

membangun sebuah cabang dan observatorium ini yang didirikan di

gunung Qosayun di luarkota Damaskus. Alat perlengkapan obsevatori

pada waktu itu antara lain terdiri atas quadrant, astrolobe (alat

pengukur letak tinggi tempat yang dipergunakan pada masa

pertengahan), dial (alat pengukur waktu, kecepatan, suhu) dan bola

dunia (Jaudah, 2002: 528-529).

Al-Fazari adalah orang pertama yang mengajarkan astrolobe

(nama Arab-nya Asthurtab). Model astrolobe ini mungkin diambil

dari Yunani. Buku-buku terbitan yang ditulis mengenai astrolobe di

masa itu ialah yang ditulis oleh Ali ibn Isa al-Asthurlabi, hidup di

Baghdad dan Damaskus sebelum tahun 830 M. Para ahli astronomi

al-Ma‟mun memperlihatkan ketelitian yang tinggi dalam hal operasi

giodotik (pengukuran panjang dari busur derajat letak tinggi tempat

dari permukaan air laut). Tujuan dari operasi ini adalah untuk

menentukan ukuran bumi dan jarak lingkar bumi dengan satu asumsi

bahwa bumi ini adalah bundar. Dalam kalendernya yang bernama “As-

Sindhind Al-Kabir” ia memadukan antara pengetahuan Iran, India dan Barat.

Page 166: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

144

Pada tahun 174 H (790 M), ia menulis sebuah buku yang berjudul “ Zaij

„ala Sunni al-Arab.” Buku ini merupakan kumpulan jadwal bintang pertama

yang mempergunakan kalender Hijriyah. Artinya, ia telah merubah kalender

India yang berdasarkan peredaran bintang menjadi kalender berdasarkan

Hijriyah. Ia juga menulis buku yang berjudul “Al‟Amal Fi al-Astharlab al-

Musthuh. Dalam kalendernya yang bernama “As-Sindhind al-Kabir” ia

memadukan antara pengetahuan Iran, India dan Barat. Pada tahun 174

H (790 M), ia menulis sebuah buku yang berjudul “Zaij Ala Sunni Al-

Arab.” Buku ini merupakan kumpulan jadwal bintang pertama yang

mempergunakan kalender Hijriyah. Artinya, ia telah merubah

kalender India yang berdasarkan peredaran bintang menjadi kalender

berdasarkan Hijriyah. Ia jiga menulis buku yang berjudul “Al‟Amal Fi

al-Astharlab al-Musthuh.”

Pengukuran-pengukuran ini dilakukan di dataran Sinjar di

antara sungai Furat dan juga dekat Palmira yang menghasilkan 56 2/3

mil Arab sebagai panjang busur dari satu derajat meridian yang

merupakan hasil yang akurat yang secara ekstrim dapat menentukan

panjang sesungguhnya dari busur derajat tempat itu yaitu ±2877 kaki.

Berdasarkan hasil hitungan ini diperhitungkan bahwa jarak lingkaran

bumi adalah 20.400 mil dan garis tengahnya adalah 6.500 mil. Di

antara orang-orang yang mengambil bagian dalam operasi ini adalah

putra dari Musaibn Syakir dan barangkali juga al-Khawarizmi, yang

daftarnya satu setengah abad kemudian direvisi oleh Maslamah al-

Majrithi dari Andalusia (w.1007 M) dan ditejemahkan kedalam

bahasa Latin pada tahun 1126 M. oleh Adelard dari Bath yang

menjadi dasar penulisan ilmu bumi pada masa selanjutnya baik di

Timur maupun di Barat. Daftar astronomi dari Arab ini dapat

menggeser dan menggantikan daftar-daftar yang pernah dibuat oleh

India dan Yunani, dan bahkan daftar Arab ini dipakai oleh orang Cina

(Hoesen, 1978: 98, Baiquni, 1994:70).

2) Al-Farghani. Ahli astronomi yang terkemuka lainnya dalam periode ini

adalah Abu al-Abbas Ahmad al-Farghani (Al-Farganus), ia lahir dan

besar di Faghanah, Asia Tengah yang hidup pada abad ketiga Hijriyah

atau kesembilan Masehi. Al-Faraghani, pada tahun 861 M diangkat

oleh al-Mutawakkil menjadi pengawas dalam pembangunan

kilometer di Fusthath. Karyanya yang utama adalah “Al-Mudkhi Ila

ilmi Hayai al-Aflal” yang pada tahun 1135 M diterjemahkan ke dalam

bahasa Latin oleh John dari Sevilla dan Gerard dari Cremona. Di

samping obsevatorium al-Ma‟mun, ada juga obsevatorium swasta

yang dikelola oleh tiga bersaudara anak-anak Musaibn Syakir (850-

Page 167: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

145

870 M). Tiga bersaudara ini meninggalkan banyak karangan

berharga, di antaranya ilmu untuk mengukur permukaan datar dan

bulat. Buku ini disalin oleh Gerard Cremona ke dalam bahasa Latin

dengan nama “LiberTrium Fratrum” (Hoesen, 1978: 99-104). Al-

Faraghani, pada tahun 247 H./861 M). diutus oleh khalifah al-

Mutawakil ke Mesir untuk mengawasi pembangunan alat ukur sungai

Nil. Pada tahun 246 H./860 M., dia menulis sebuah buku yang

berjudul “Jawani‟Ilmi An-Nujum Wa Al-Harakat As-Samawiyyah.”

Buku ini telah di terjemahkan kedalam bahasa Latin, dan sangat besar

pengaruhnya dalam perjalanan ilmu perbintangan di Eropa pada abad

kelima belas dan keenam belas Masehi.

3) Al-Battani (Albategnius) (854 M-929 M)

Nama aslinya adalah Abu Abdullah Al-Battani dilahirkan

sekitar tahun 240 H (854 M) di daerah Battan, Harran dan ia wafat

pada tahun 317 H./929 M. Ia adalah seorang ilmuwan Muslim

terkemuka dalam bidang astronomi dan matematika. Bahkan para

ilmuwan Barat menganggapnya sebagai salah satu dari orang yang

paling jenius dalam ilmu astronomi dan ia ahli perbandingan terbesar

dan penyelidikan yang tekun (Jaudah, 2002: 158-159). Antara tahun

887-918 M ia mengadakan observasi di Rakkah. Ia mengoreksi

beberapa pendapat Ptoleomaeus, termasuk melakukan perhitungan

yang benar terhadap orbit bulan dan planet-planet tertentu. Ia

membuktikan tentang kemungkinan gerhana matahari yang berbentuk

cincin, serta berhasil menentukan dengan tepat sekali garis edar

matahari (Hoesen, 1978: 104). Copernicus sangat terpengaruh pada

teori yang dikemukakan oleh al-Battani. Bukunya yang bernama “De

Revolusionibus Orbium Coelistium” dikarang atas dasar pendapat al-

Battani (Hoesen, 1978: 106).

Al-Battani telah menciptakan berbagai penemuan ilmiah dalam

ilmu astronomi, dismping juga penemuannya dalam bidang

matematika (trigonometri bebentuk pola, aljabar, geometri), dan

geografi (Jaudah, 2002: 160). Ia banyak mengarang buku yang berisi

tentang hasil pengamatan bintang-bintang, perbandingan antara

berbagai kalender yang digunakan di berbagai suku bangsa (Hijriyah,

Persia, Masehi, dan Qibti), dan peralatan yang digunakan dalam

mengamati bintang-bintang serta cara membuatnya. Kitab yang

paling terkenal adalah “Az-Zaij Ash-Shabi.” Buku ini di tulis pada

tahun 287 H (900 M) berdasarkan pengalamannya dalam mengamati

bintang-bintang di Ar-Raqqah (daerah timur Syiria). Battani berasal

dari kelompok Ash-Shabi di Harran yang di anggap Rasulullah

Saw.sebagai dari ahlul kitab. Dan buku ini telah di terjemahkan

Page 168: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

146

kedalam bahasa Latin dan dipelajari oleh para ilmuwan di bidang

astronomi di Eropa.

Dalam pengantar bukunya tersebut, Al-Battani menjelaskan

tentang mengapa ia dan semua pakar astronomi Arab memperhatikan

ilmu perbintangan (ilmu astronomi). Lebih lanjut ia mengatakan,

“Ilmu yang paling mulia kedudukannya adalah ilmu perbintangan.

Sebab, dengan ilmu itu dapat diketahui lama bulan dan tahun, waktu,

musim, pertambahan dan pengurangan siang dan malam, letak

matahari dan bulan serta gerhananya, serta jalannya pelanet ketika

berangkat dan kembali” (Jaudah, 2002:165).

Al-Battani di mata ilmuwan Barat mendapat tempat yang sangat

di kagumi, sebagaimana di tegaskan oleh pakar sejarah George Sarton

bahwa dia merasa sangat kagum kepada Al-Battani yang di anggap

sebagai salah satu astronomi Arab yang terkemuka. Para ilmuwan

Barat sampai meletakkan nama Albategnius atau Al-Battani sebagai

salah satu nama lembah di bulan.

4) Al-Biruni

Nama lengkapnya adalah Abu Ar-Raihan al-Biruni (973-1050

M) asli Persia, tinggal di Ghaznah Afghanistan. Ia adalah seorang

sarjana yang terkemuka dibidang ilmu pasti. Ia menguasai selain

bahasa Arab, Sanadkrit, Persia, juga bahasa Hibrew, Syria dan Turki.

Pada tahun 1030 M beliau menulis sebuah buku yang berjudul“Al-

Qamun al-Mas‟udi fi al-Nujum” yang dipersembahkan kepada

Mas‟ud putra Mahmud al-Ghaznah. Mas‟ud adalah penunjangnya

dalam melakukan penyelidikan-penyelidikan. Tahun itu juga ia

menyusun buku soal-jawab singkat tentang geometri, aritmatika,

astronomi dan astrologi yang berjudul“Al-Tafhim li Awail Shina‟at al-

Tanjum” (Hoesen, 1978: 112).

e. Dalam Bidang Matematika

1) Al-Khawarizmi (780 M.-850 M.)

Sumbangan Islam yang terbesar kepada ilmu pengetahuan di

seluruh dunia adalah di bidang ilmu hitung berupa angka-angka yang

hingga kini di Barat masih disebut angka-angka Arab. Dengan angka-

ngka Romawi, pemangkatan demikian tidak mungkin dinyatakan. Ini

adalah sumbangan Islam kepada Ilmu pasti, sedangkan ilmu

pengetahuan (pasti) adalah landasan ilmu pengetahuan alam dan

teknologi, bahkan dipergunakan pula oleh ilmu-ilmu sosial, seperti

ekonomi, ekonometri, sosiometri (Poeradisastra, 2008: 32). Dalam

perjalanan ilmu Aljabar, muncul seorang yang bernama al-

Khawarizmi. Namanya dikenal di Eropa sebagai Algorism. Nama

Page 169: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

147

aslinya adalah Muhammad ibn Musa al-Khawarizmi dilahirkan di

Khawarizmi, Uzbekistan pada tahun 194 H/780 M.-266 H./850 M.

bukunya al-Jabar wal-Muqabala (pengutuhan kembali dan

perbandingan) dalam terjemahan latinnya merupakan rangsangan

kepada ilmu pasti Eropa abad pertengahan (Baiquni, 1994: 23).

Aljabar ciptaannya lebih tinggi lagi dan kemudian bernama

aritmatika. Nama ini muncul ketika penyalin-penyalin Barat

menamakannya aritmatika, bahasa Yunani, yang berarti ilmu hitung.

Dari kata arithmos inilah muncul kata aritmatika. Aljabar yang

kemudian bernama arimatika karangan al-Khawarizmi itu sangat

terang dan disusun rapi. Setelah ia menerangkan persamaan tingkat

dua, diterangkannya pula cara memperbanyak dan membagi.

Kemudian diterangkannya pula soal-soal yang bersangkutan dengan

ukuran luas muka. Ia mengarang buku “Hisab Al-Jabr wa al-

muqabalah” (perhitungan tentang integrasi dan persamaan) yang

diterjemahkan kedalam bahasa Latin oleh Gerard Cremona pada abad

XII M dan digunakan sebagai buku pegangan universitas-universitas

di Barat sampai abad XVI M. Buku inilah yang memperkenalkan

ilmu Aljabar kedunia yang diberi nama al-Qarism, dari nama al-

Khawarizmi. Dalam perjalannya kembali ke istana al-Makmun. ia

mensitesiskan matimatika yang diketahuinya dan menyajikannya

dalam satu seri berjudul “al-Jabr wa al-Muqabalah”. Teks latin al-

Jabr digunakan sebagai teks dasar pelajaran matematika di Eropa

sampai abad ke-16 (Hoesen, 1978: 104).

Al-Khawarizmi penemu lqarisme (logaritme) dalam ilmu

matematika. Dia pula yang menjembatani antara ilmu matematika

klasik (Yunani, India) menjadi metematika modern. Dia mampu

menggunakan sistem matematika yang tinggi yaitu integrasi dan

persamaan, yang dalam matematika disebut integral dan differensial,

yang dalam matematika modern kedua macam teori itu bisa

digabungkan dan dinamakan “kalkulus”. Selain itu ia juga ahli

geografi dan ia membuat table astronomi. Sehingga kini “Algorithm”

diartikan sebagai urutan langkah yang harus diambil dalam proses

menghitung (Baiquni, 1994: 68).

2) Umar al-Khayyam

Di antara ilmuwan aljabar yang dipengaruhi oleh al-

Khawarizmi adalah Umar al-Khayyam yang mengembangkan ilmu

aljabar lebih lanjut sehingga ilmu ini dinamai al-Khayyam. Kalau al-

Khawarizmi lebih banyak menumpahkan perhatiannya pada

quadratic (lipat empat), maka Umar al-Khayyam mengutamakan

persamaan kubik dan persamaanderajat misalnya:

Page 170: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

148

a. x3+bx2 = cx+d

b. x2+cx = bx+ d

c. x3+d = bx2 +cx

Cara demikian ini dinamakan analisis ilmu ukur. Dalam dunia

Islam, sarjana yang sejalan dengan Umar al-Khayyam di antaranya

Sijmi dan Ibn Laith. Selain itu Ibn al-Haitham dapat menyelesaikan

soal yang belum digarap al-Khayyam. Kemajuan yang diperoleh Ibn

al-Haitham dilanjutkan oleh al-Kuhi. Demikianlah segala ilmu hitung

telah diselesaikan oleh kalangan Islam.

f. Dalam Bidang Kimia

1) Jabir Ibn Hayyan (731-815 M.)

Bapak ilmu Kimia adalah Jabir Ibn Hayyan yang berkembang

di Kufah pada tahun 776 M. setelah al-Razi (925 M), nama Jabir Ibn

Hayyan adalah nama yang terbesar dalam bidang kimia pada abad

pertengahan ini. Seperti para pendahulunya orang Mesir dan Yunani,

Jabir bertolak dari satu asumsi bahwa metal dasar seperti timah, timah

hitam, besi dan tembaga dapat ditransfusikan menjadi emas atau

perak karena adanya satu substansi yang misterius. Dia mencurahkan

segenap tenaganya untuk membuktikan dugaannya itu. Dalam segi

praktek, Jabir dapat memberi petunjuk lanjutan pengetahuan modern

tentang evaporation penguapan), filtration (penyaringan), sublimation

(penghalusan), melting (pencairan), distilation (penya-ringan) dan

crystalisation (pengkristalan). Praktek Jabir ini telah diuji

kebenarannya, Di Eropa Ibn Hayyan di kenal sebagai Gaber. Selain ahli

dalam kimiya, ia seorang filosof dan ilmu logika yang berkerja di bidang

kedokteran dan fisika. Namun karya utamanya tetap pada bidang kimiya. Ia

juga mahir dalam kristalisasi, sublimasi, distilasi, kalsinasi dan sebagainnya,

ia juga pernah berhasil membuat berbagai jenis asam. Ia adalah seorang sufi

pengikut Ja‟far Ash Shodiq (Hoesen, 1978: 38, Baiquni, 1994: 68).

2) Muhammad Ar-Razi (865-925 M.)

Sarjana lain yang mashyur namanya dalam ilmu kimia adalah

Ar-Razi, nama latinya adalah Rhazes, hanya saja dia lebih banyak

dikenal dalam lapanganilmu kedokteran, ditambah lagi dengan

bukunya yang berjudul “Al-Kimia” baru saja didapati orang di istana

seorang Pangeran India, maka pekerjaannya yang telah dilakukan Ar-

Razi dalam ilmu kimia baru saja diketahui orang. Kalau dibanding

dengan ahli kimia Islam lainnya, Al-Razi mempunyai jalan

penyelidikan sendiri. Jabir misalnya, membagi benda-benda atas

tubuh, nyawa dan akal. Yang termasuk bagian tubuh adalah emas,

perak.Yang termasuk bagian nyawa ialah sulphur, arsenik. Yang

Page 171: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

149

termasuk bagian akal ialah mercury, dan sal-amoniak (batu bara dan

sari minyak). Sedangkan Al-Razi membagi benda-benda menjadi

sayur-sayuran, hewan, dan logam. Bahasa kimia modern sekarang

ternyata banyak diambil dari konsep Al-Razi ini (Baiquni, 1994: 69).

g. Dalam bidang Sejarah

1) Ibn Hisyam (w.834 M) adalah seorang murid Ibn Ishaq yang

berjasa meneruskan karya gurunya tersebut dalam penulisan

sejarah Nabi (sirah nabawiyah) (Amin, 1995: 64).

2) Muhammad Ibn Sa‟ad (w. 830 M) Karyanya yaitu kitab at-

Thabaqat al-Kubra dan at-Thabaqat as-Sughra.

3) Ibn Sa‟id (w.845 M) karyanya Thabaqat al-Kubra.

h. Sastra

1) Abu Nawas (747-815 M) lahir di kota al-Hawaz Persia, dan

tumbuh besar di Bashrah karyanya adalah al-Qashidah

2) Al-Jahiz (776-869 M)

i. Musik

1) Ishaq al-Mawshil (767-850 M) seorang penyanyi terkenal zaman

al-Ma‟mun.

4. Berkembangnya Tradisi Intelektual Zaman al-Ma’mun

Lahirnya gerakan intelektual, berarti lahirnya para ulama dan

ilmua yang kemudian membangun kebudayaan dan peradaban terjadi

karena didukung oleh tradisi intelektual pada saat itu. Yakni nilai-nilai

Keislaman dan spirit keilmuan yang diterapkan dalam kehidupan mereka

yang telah berubah menjadi atmosfer berkembangnya intelektual yang

mengalami puncaknya pada zaman Abbasiyah di Baghdad (Hamur, 1997:

35).

. Berbagai kebiasaan yang melekat dan mendarah daging di

kalangan umat Islam yang selanjutnya menimbulkan kebagaan serta

mendorong gerakan intelektual Islam. Hal semacam inilah yang penulis

yakini dari optimalisasi pengembangan institusi-intitusi pendidikan Islam

pada zaman Abbasiyah, terutama zaman al-Ma‟mun dapat berkembang

tradisi-tradisi intelektual pada umat muslim. Dimana seorang menuntut

ilmu baik di instansi pendidikan (kuttab, majlis, halaqah, perpustakaan,

masjid, dst), atau dimanapun tempatnya akan melahirkan budaya ilmiah

yang intelektual. Adapun tradisi intelektual tersebut dapat dikemukakan

dibawah ini adalah sebagai berikut:

a. Tardisi Belajar Langsung dengan Guru

Pada zaman al-Ma‟mun, pengajaran diberikan secara langsung

kepada murid-murid, seorang demi seorang. Pelajaran diberikan dengan

Page 172: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

150

cara dibacakan oleh guru dan diulang-ulang membacanya oleh murid, atau

di ditekan oleh guru lalu ditulis oleh murid atau murid disuruh menyalin

dari buku yang ditulis oleh guru dengan tangan (Watt, 1997: 97). Pada

akhir pelajaran, guru mengulang membaca pelajaran dan disuruhnya

seorang murid membacakannya untuk membetulkan jika ada murid yang

salah menuliskannya. Kegiatan semacam ini memungkin diktat-diktat

yang di tulis, maka lahirlah kitab-kitab tulisan tangan yang pada akhirnya

dicetak menjadi naskah, dan dari naskah tersebut menjadi kitab yang

termasyhur pada zamannya (Yunus, 1992: 60).

Seorang pelajar di zaman klasik tidak memilih sekolah yang baik

melainkan memilih guru atau syekh yang termashur kealimannya dan

keshalehannya. Murid bebas memilih guru, jikalau pengajaran guur tidak

dapat memuaskan baginya, boleh pindah ke halaqah dengan guru yang

berbeda dari sebelumnya.

Kalau guru mengajarkan ilmu dan kitab yang telah dituliskan

dengan tangan, maka tiap-tiap pelajar harus memiliki satu naskah kitab

itu. Mula-mula guru membaca satu pasal dari kitab itu sebelum

mengajarkannya kepada pelajar sebagai persiapan. Kemudian guru mulai

membacakan kitab dan pelajar mendengarkan dengan penuh perhatian

serta melihat ke naskah kitab yang di tangan mereka masing-masing.

Keterangan guru itu amatlah penting terutama keterangan dari ulama besar

(Yunus, 1992: 61). Hal semacaman ini masih ditemukan diberbagai

pondok pesantern salafi, dimana metode belajarnya sama persis, yakni

guru membacakan satu pasal kemudian menjelaskan dan murid

mendengarkan.

Banyak ulama-ulama yang berkontribusi mengembangkan ilmu,

terutama pada zaman al-Ma‟mun, antara lain sebagai berikut: Pertama,

Muhammad Ibn Sa‟ad (168-230 H/784-845 M) yang lahir di Bashrah dan

wafat di kota Baghdad adalah seorang ulama ahli Hadits dan Sejarah. Ia

belajar berbagail ilmu pengetahuan keagamaan kepada belajar khusus

pada al-Waqidi (Yatim, 1997: 88). Ia seorang yang kuat hafalan,

menguasai banyak ilmu Hadis dan Sejarah.

Kedua, Imam Syafi‟i, ia memiliki nama asli Muhammad Abu

Abdillah ibn Idris ibn Usman ibn Syafi‟i. Ia masih satu keturunan dengan

Nabi Muhammad Saw. dari nenek moyang Abdi Manaf, sementara ibunya

bernama Fatimah dari keturunan Ali ibn Abi Thalib. Syafi‟i lahir dalam

keadaan yatim, karena ayahnya meninggal dunia pada saat ia masih

kandungan ibunya (Marwan, 1999: 33). Meskipun dalam keadaan yang

sangat sedarhana, penuh dengan kesulitan hidup, akan tetapi semnagat

belajarnya dan kecerdasannya sungguh amat luar biasa, karena pada usia

sembilan tahun ia sudah hafal al-Qur‟an 30 juz di luar kepala dan lancar.

Ia belajar sastra Arab sampai mahir dan banyak menghafal syair-syair dari

Page 173: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

151

Imru‟u al-Qais, Zuhair dan Jarir selama kurang lebih sepuluh tahun.

Sampai akhirnya ia terdorong untuk memahami kandungan al-Qur‟an.

Selanjutnya Syafi‟i belajar fiqih kepada Muslim ibn Khalid al

Zanjy seorang Mufti Makkah dan belajar Hadits pada Sufyan ibn

“Uyainah di Makkah. Kemudian ia pergi ke Madinah dan menjadi murid

imam Malik serta mempelajarai al-Muwathatha‟ yang telah dihafalnya.

Syafi‟i berguru pada imam Malik sampai Imam Malik meninggal dunia,

hingga akhirnya ia pindah ke Yaman. Di Yamani pernah mendapatkan

tuduhan dari khalifah Abbasiyah, bahwa al-Syafi‟i telah membai‟at Alawy

atau dituduh sebagai Syi‟i. Karena tuduhan itulah ia pernah dihadapkan

kepada Harun al Rasyid, kholifah Abbasiyah. Akan tetapi Harun al Rasyid

membebaskannya dari tuduhan tersebut. Imam Syafi‟i wafat pada tanggal

28 Rajab tahun 204 H, dalam usia 54 tahun akibat penyakit yang

dideritanya (Abdullah, 2001: 39).9

Syafi‟i dilahirkan pada tahun 150 H. (akhir masa pemerintahan al

Mansur) dan meninggal dunia pada masa pemerintahan Al-Ma‟mum.

Masa hidupnya relative singkat. Namun demikian masa itu sedang maju-

majunya ilmu fiqih dan Syari‟at Islam, bahkan kemajuan di hampi segala

bidang, seperti politik, sosial budaya, sastra ekonomi dan berbagai ilmu

pengetahuan. Pada waktu itu muncul tiga mazhab fiqih yang besar dan

memiliki peranan yang penting yang menonjol di dunia Islam dan

kehidupan kaum Muslimin sampai saat ini, yaitu Mazhab imam Maliki,

Hanafi, dan Syafi‟i (Zahra, 1948: 134).10

Ketika gemilangnnya

pemerintahan Abbasiyah dalam segala bidang adalah faktor yang

mendominasi secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi

pemikiran Syafi‟i. Dimasa inilah timbul prakarsa dan usaha

pengembangan beragam ilmu, yang mendapat dukungan dan usaha dari

pemerintah.

Syafi‟i seperti yang dideskripsikan oleh Suwito dan Fauzan,

Muhammad ibn Idris al-Syafi‟i membagi ilmu menjadi dua macam:

9 Guru-guru Imam Syafi‟I terdiri dari ulama Mekkah, Madinah, Irak dan

Yaman. Guru dari Mekkah antara lain: Sufyan bin Uyainah, Muslim bin Khalid al-Zinji,

Sa‟ad bin Salim al-Kadda, Daud bin Abdul al-Rahman, Abd. Hamid al-„Aziz bin Abi

Zuwad. Guru dari Madinah: Malik ibn Anas, Ibrahim bin Sa‟ad al-Anshari, Abd. „Aziz

ibn Mhammad ibn Sa‟id ibn Abi Fudaik, Abdullah ibn Nafi‟. Guru Ulama Irak: Waki ibn

Jarrah, Abu Usamah, Hammad ibn Usamah, Isma‟il Ulaiyah, dan Abd al Wahab ibn al-

Majid, Guru dari Yaman: Muttaraf ibn Hazim, Hisyam ibn Yusuf, Umar ibn Salamah dan

Yahya ibn Hasan.

10Ketika kepopuleran fiqih di Madinah tertuju pada Imam Malik, Syafi‟I pergi

ke Madinah untuk belajar padanya, dan ketika kepopuleran fiqih di Irak tertuju pada

imam Abu Hanifah, Syafi‟ pun belajar pada muridnya yang bernama Muhammad Ibn al-

Hasan al-Syaibany. Oleh Karena itu, Syafi‟i memiliki pengetahuan fiqih Ashhab al-

Hadits (Imam Malik) dan fiqih Asshab ar-Ra‟yi (Abu Hanifah).

Page 174: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

152

pertama, ilmu fiqh untuk agama. Dan kedua ilmu Thib untuk keperluan

tubuh, selain dua macam itu laksana perhiasan di dalam persidangan

(Nata, 2003: 53, Suwito dan Fauzan (eds.), 2003: 42). Al-Syafi‟i dikenal

sebagai penyusun pertama ilmu ushul fiqh dengan kitabnya yang berjudul

al-Risalah untuk memahami hukum Islam. Bagi Syafi‟i peranan akal

dibatasi pada wilayah analogi (qiyas) untuk menggali hukum istinbath

atau hanya mencari dan menetukan hukum-hukum yang benar-benar

terdapat secara implisit dan tersembunyi. Maka Syafi‟i pun menolak

dengan adanya menggunakan akal secara bebas dalam menetukan hukum.

Maka dari itu, Syafi‟i juga membedakan antara Istihsan dengan qiyas

dalam menentukan hukum (Kamal, 2013: 2, Zaid, 2003: 45). 11

Ketiga, Ahmad bin Hanbal (780-855 M). Ia berguru pada Imam

Syafi‟i secara langsung. Ahmad ibn Hanbal merupakan murid dari imam

Syafi‟i yang paling termasyhur dikalangan murid-murid yang lain. Namun

guru utamanya adalah Sufyan bin Uyainah, seorang tokoh ahli Mazhab

Hejaz (Ahmad, 2003: 110).

Para guru Ahmad ibn Hanbal selengkapnya yaitu: Imam Ismail ibn

Aliyah, Hasyim bin Basyir, Muhammad bin Khalid, Mansur bin Salamah,

Mudlafar bin Mudrik, Utsman bin Umar, Masyim bin Qasim, Abu Said

Maulana Banu Hasyim, Muhammad ibn Yazid, Muhammad bin Ady,

Yazid bin Harun, Muhammad bin Jafar, Ghundur, Yahya bin Said al-

Qathathan, Abdurrahman bin Mahdy, Basyar bin Fadl, Muhammad bin

Bakar, Abu Daud ath-Thayalisi, Ruh bin Ubaidah, Waki bin al-Jahrah,

Mu‟awiyah al-Aziz, Abdullah bin Nuwaimir, Abu Usamah, Sufyan bin

Uyainah, Yaya bin Salim, Muhammad ibn Idris al-Syafi‟I, Ibraahim bin

Said, Abdurrazak bin Human, Musa bin Thariq, Walid bin Muslim, Abi

11

Karena tidak ada pengembangan akal di luar teks, maka al-Syafi‟i menolak

prinsip-prinsip istihsan yang diakuai oleh Imam Abu Hanifah (W.150 H). Istihasan itu

sendri berarti : sesuatu yang baik menurut Ijtihad akal. Baik secara Indrawi atau bahkan

secara maknawi. Kita boleh meninggalkan hasil hukum analogi tertentu dan mengambil

hukum lain sesuai bagi manusia berdasarkan kemaslahatan atau ke adilan atau darurat,

misalnya boleh minum khamar dengan tujuan untuk obat, atau kebutuhan. Sesuatu yang

pada dasarnya tidak diperbolehkan oleh hukum qiyas diperbolehkan oleh hukum istihsan.

Tujuannya adalah untuk memberikan kemudahan dan keluasan serta keringanan kepada

manusia dalam bidang hukum. Plihan-pilihan terbaik menurut akal adalah perintah Allah

dan nabiNya kepada kita: “Orang-orang yang mendengarkan pendapat-pendapat,

kemudian mereka pilih dan ikuti yang terbaik” (Q.S. Al-Zumar: 39). Dan Hadis dari

Abdullah ibn Mas‟ud dari Rasulullah bersabda : “Apa yang baik dalam pandangan kaum

Muslimin adalah baik di sisi Allah”. Sebagaimana al-Syafi‟i telah membatasi kebebasan

akal dan mereduksinya dalam bid. Hukum fiqih, kemudian datang Abul Hasan al-

Asy‟ariy melawan kaum rasionalis Mu‟tazilah dalam bid. Akidah dan Ushul al-din dan

menggantinya dengan otoritas naql. Baik Syafi‟i maupun al-Asy‟ari membangun otoritas

teks dalam mengahadapi atau melawan akal.

Page 175: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

153

Mahsar al-Dimasyiqy, Ibnu Yaman, Mutamar bin Sulaiaman, Yahya bin

Zaidah dan Abu Yusuf al-Qadhaly (Chalil, 2000: 254).

b. Tradisi Berdebat (Munazarah) sebagai Latihan Intelektual

Tradisi ini dilakukan dalam upaya saling menguji tingkat

kedalaman, keluasan, ketajaman dan daya analisis serta kecerdasan

seorang ulama, serta dalam rangka saling tukar-menukar informasi dan

memecahkan berbagai macam persoalan. Adanya terdaisi ini akibat dari

saling ingin tahu, ingin memperluas pemahaman atau wawasan dengan

menjunjung tinggi saling menghormati dan menghargai perbedaan yang

ada, serta perasaan ilmu pengetahuan yang dimiliki masih sangat kurang.

Pada zaman al-Ma‟mun tradisi ini sengaja dipersiapkan oleh

pemerintahanya, baik di pusat (Baghdad) atau di daerah dan dilaksanakan

di suatu forum yang sering disebut al-Salon, al-Adabiyah (sanggar sastra).

Dalam tekhnik pelaksanaannya, setiap peserta diundang dalam forum

tersebut dan harus mematuhi etika serta tata tertib yang ditentukan, mulai

dari susunan acara, tempat duduk, tatacara mengemukakan pendapat atau

saran, pakaian yang harus digunakan, pengaturan suara, adab dan lain

sebagainya (Syalabi, 1983: 88-89, Zaid, 1999: 45). Tokoh-tokoh yang

muncul dalam sejarah adalah mereka yang berani dan tegas dalam ilmu

yang diyakininya benar. Meraka yang menjalani pendidikan tinggi di

institusi-intitusi formal melakukan hal tersebut karena kecintaan terhadap

kehidupan intelektual. Kehidupan inteletual yang benar-benar tekun dan

telah berhasil menguasai ilmunya, terbuka peluang untuk maju menjadi

mufti.

c. Tradisi Rihlah Ilmiah

Perjalanan untuk menuntut ilmu, telah menjadi tradisi yang amat

snagat kuat pada zaman al-Ma‟mun bagi para ulama, ilmuwan. Berkaitan

dengan hal tersebut, Abdurahman Mas‟ud pernah mengatakan sebagai

berikut:

Nabi Menjamin bahwa berjuang dalam angka menuntut ilmu akan

diberikan banyak kemudahan oleh Tuhan menuju surga. Para

pengikut atau murid Muhammad Saw. telah berhasil meneruskan

dan menerapkan ajaran tentang semnagat mencari ilmu. Motivasi

religious ini juga bisa ditemukan dalam tradisi rihlah ilmiah

(mengembara). Tradisi utama yang disebut dengan ar-rihlah fi

thalab al‟ilmu (pengembaraan dalam rangka mencari ilmu) atau

dalam istilah modern disebut the spirit of inquiry merupakan bukti

sedemikian besarnya rasa keingintahuan di dalam para ulama

(Mas‟ud, 2004: 34). Islamlah yang secara sungguh-sungguh

Page 176: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

154

mendorong pengikutnya untuk menuntut ilmu sejauh mungkin

hingga ke negeri Cina.

Tradisi rihlah ilmiah tampaknya sudah berjalan cukup lama.

Menurut Hasan, tradisi rihlah ini sudah berjalan sejak, khalifah Harun al-

Rasyid, misalnya pelajar Muslim mengadakan perjalanan ke India,

Srilanka, Malaysia, dan Cina, bahkan sejauh Korea melalu laut (Hasan,

1992: 135). Pelajar banyak yang melakukan rihlah sampai keluar negeri

untuk menuntut ilmu pengatahuan.

Imam Bukhari (w. 870) adalah sorang perawi Hadis termasyhur

untuk mengumpulkan Hadits-Hadits yang shahih, mula-mula ia akan

mengumpulkan terlebih dahulu yang berada di negerinya, setelah itu ia

pergi Balkh, Marw, Naisapur, al-Rai, Baghdad, Basrah, Kufah, Mekkah,

Madinah, Mesir, Damaskus, Qisariyah, „Asqalan dan Hims. Pada setiap

negeri yang dikunjunginya ia kumpulkan Hadis-hadis yang didapat

kemudian ia kembali lagi ke negerinya setelah memakan waktu selama 16

tahun di Turkistan (Khalifah, t.t: 541). Meskipun ia menolak ribuan

Hadits yang ia dengar, namun pada akhirnya ia menyususn 7.397 Hadits

sebagaimana yang tertuang dalam karyanya Shahih Bukhori (Bukhsh,

1927: l.449-450, Al-Bukhari, 1960: 1296-1297).

Pada tahun 198 H/813 M, Imam Syafi‟i pindah ke Mesir karena

pemerintahan dipegang oleh kholifah al-Ma‟mun, yang cenderung

berpihak kepada Mu‟tazillah, yang justru di jauhi oleh Imam Syafi‟i yang

kurang menyukai Mu‟tazillah karena menganut paham bahwa al-Qur‟an

itu makhluk. Hal ini tampaknya jelas terjadi pada peristiwa mihnah yang

menimpa Ahmad ibn Hanbal sebagai ahli fiqih.

Selain Imam Syafi‟i yang cenderung melakukan rihlah ilmiah,

Ahamd ibn Hanbal juga demikian. Ketika masih kecil ia belajar kepada

guru-guru yang ada di Baghdad. Setelah berusia 16 tahun, ia baru

berangkat menuntut ilmu keluar kota maupun negeri seperti Kuffah,

Bashrah, Syam, Yaman, Mekkah, dan Madinah (Bukhari, Abdullah

Superwarior). Pada setiap kota ataupun negeri yang disinggahinya ia tak

segan-segan berguru kepada syekh, terutama dalam bidang Hadits. Setiap

mendengar pada suatu kota tempat ada ulama yang ahli dalam ilmu

Hadits, beliau langsung berangkat ke kota tersebut.

Imam Syafi‟i (150-204 H) dinilai sebagai tokoh yang mampu

memiliki aliran pemikiran hukum Islam. Pertama, aliran ahl-al-ra‟y yang

berkmbang di lembah Mesopotamia, yang menjadi pusat pemerintahan

dan peradaban Islam di Baghdad dengan pemimpin imam Abu Hanifah,

Kedua. aliran ahl al-hadits di Hijaz dengan tampilannya seorang sarjana

Madinah. Ia pernah belajar dan berguru dengan Imam Malik dan al-

Page 177: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

155

Syaybani pengikut mazhab Hanafi (Bukhsh, 1927: 449-450, Robson,

1960: 296-1297).

Ia berpendapat bahwa mencari ilmu lebih utama dari menjalankan

shalat sunah. Bahkan orang yang memuntut ilmu pun lebih uatama dari

orang yang berjihad di jalan Allah. Dalam pandangannya, bahwa sorang

mujahid yang berjuang dijalan Allah. Selama seorang pelajar memiliki

niat yang bersih dan betul-betul mencari ilmu untuk kemashlahatan diri

dan masyarakat, maka ia akan senantiasa mendapatkan bimbingan dari

Tuhan.

Orang yang tidak mencintai ilmu, menurut Syafi‟i tidak memiliki

kebaikan sama sekali. Sehingga tidak ada antara pembatas pengetahuan

dan kebenaran. Sudah tentu demikian, sebab pengetahuan diperoleh

dengan ilmu. Kebenaran pun akan sulit diperoleh tanpa bekal ilmu. Ilmu

menjadi pelita bagi pemiliknya yang meneranginya di kala kesulitan. Ilmu

bisa menjadi salju yang bisa menyejukkan di kala kepayahan; ilmu juga

mampu menjadi petunjuk dalam mencapai tangga kebenaran (Musfah,

206: 313-314).

Ishaq al-Mawshili (767-850 M) seorang penyanyi yang paling

terkenal pada masa al-Ma‟mun, suatu ketika menghadiri majelis Yahya

ibn Aktsam dan mendebatnya. Sedangkan dalam pertemuan di istana, ia

sering duduk bersama para ulama dan sastra. Al-Ma‟mun pernah berkata

padanya, “Jika Ishaq al-Mawshili belum terlanjur terkenal sebagai

penyanyi yang ulung di kalangan manusia, maka aku akan

mengangkatnya menjadi seorang qadhi” (Amin, 1995: 80). Kiranya pantas

al-Ma‟mun mengatakan demikian, karena kehidupannya adalah dengan

cara membeli budak yang sangat murah, lalu di ajari bernyanyi, sastra,

musik, bahasa, kemudian dijual dengan harga yang sangat mahal. Hal

tersebut membuktikan bahwa al-Ma‟mun tidak sembarangan mengangkat

seseorang menjadi pejabat pemerintahan. Oleh karena itu wajar ia

menganut paham Muta‟zilah yang mengandalkan akal. Selain itu adanya

kejadian Mihnah adalah sebab ia seorang yang begitu teliti dalam memilih

seseorang yang akan memegang jabatan pemerintahan.

Yahya bin Yahya al-Laithy seorang ahli Hadits, pergi ke Timur

dalam berusia 28 tahun. Ia pergi ke Madinah untuk mendengarkan al-

Muwaththa dari Imam Malik. Kemudian berangkat ke Mekkah untuk

mendengarkan ilmu Sufyan bin „Uyainnah. Kemudian pergi ke Mesir

untuk mendengarkan ilmu dari al-Laith bin Sa‟ad dan Abdullah bin

Wahab. Setelah itu ia pun kembali ke Andalus, tempat dimana ia tinggal

(Amin, 1995: 1003).

Aktivitas keilmuan pada zaman al-Ma‟mun mencapai puncak

keemasan dalam sejarah kemajuan Islam, karena al-Ma‟mun sendiri

adalah seorang ulama besar. Majelis al-Ma‟mun penuh dengan para ahli

Page 178: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

156

ilmu, seperti ahli sastra, ahli kedokteran, dan ahli filsafat. Mereka

diundang oleh al-Ma‟mun dari segala penjuru negeri yang telah maju.

Terkadang ia sendiri yang berperan aktif dalam berdiskusi dan juga

berdebat dengan para ahli tersebut (Yunus, 1992: 172). Baitul Hikmah,

tempat berkumpulnya buku-buku berbagai ilmu pengetahuan dalam

bermacam-macam bahasa. Demikian pula di sana tempat berkumpulnya

ulama-ulama besar.

Para pelajar melakukan rihlah ilmiah bukan semata-mata

mendengarkan ilmu pengetahuan saja dari guru-guru, melainkan juga ada

yang hendak mengadakan penyelidikannya sendiri. Mereka

mengumpulkan bahan-bahan ilmu dari hasil penyelidikan. Mereka

mencatat apa yang di alami dan dilihat sendiri kemudian dibuktikan apa

yang telah diselidikinya. Kemudian, buku itu menjadi sumber yang asli

yang dapat dipertanggung jawabkan ke otentikannya.

d. Tradisi Menerjemahkan Buku dan Manuskrip

Pengembangan ilmu lainya pada zaman al-Ma‟mun adalah

menerjemahkan karya orang lain. Misalnya, Hunayn ibn Ishaq (194-259

H/809-873 M) adalah seorang beragamakan Kristen keturunan Nestoria,

yang akrab dengan ilmu kedokteran dan ia pernah menajdi dokter istana

khalifah sekaligus guru kedokteran di Baghdad. Ia keliling wilayah

Imperium Byzantium untuk mengumpulkan manuskrip-manuskrip dari

karya ilmuwan dan filsafat. Setelah memproleh manuskrip tersebut

kemudian ia menerjemahkan hasil karya ilmuan orang lain dengan

melibatkan tim termasuk anaknya Ishaq, kemenakannya Hubaish.

Demikian dengan Jabir ibn Hayyan (721-815 M), dari Tarsus memusatkan

diri dalam ilmu kimia dengan cara menerjemahkan buku-buku Persia dan

Yunani.

Aktivitas menerjemahkan ilmu pengetahuan berlangsung di antar

penuntut ilmu jyang berbeda agama. Mereka sepenuhnya melibatkan diri

dalam pengembangan ilmu, baik dalam pengambangan filsafat dan ilmu

umum (Watt, t.t: 97). Adanya asimilasi antara orang yang beragama Islam

dan Kristen, terjadi di pusat belajar Kolose Kristen Nestorian di

Gondeshapur yang mengembangkan bidang kedokteran. Faktor-faktor

yang menyebabkan munculnya gerakan penerjemahan.

Gerakan penerjemahan yang dimulai berkembang pesat pada masa

Daulah Abbasiyah dan puncaknya pada zaman al-Ma‟mun. Faktor-faktor

yang menyebabkan gerakan penerjemahan di antaranya adalah: Pertama,

Tersebarnya ilmu pengetahuan Yunani, hellenistik dan hellenisme ke

penjuru dunia Islam yang disebabkan faktor-faktor historis yang luar

biasa. Menurut Mehdi Nakosten, faktor-faktor yang terpenting adalah

sebagai berikut: Pertama, peran orang-orang Kristen ortodok sebagai

Page 179: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

157

Nestorian. Meraka adalah sekte-sekte yang dikucilkan oleh gereja induk

mereka. Pada saat penaklukan kaum Muslimin di Persia dan Romawi,

mereka menyambut baik, karena umat Muslim telah bertindak toleran dan

bagi mereka, kaum Muslimin sebagai kaum pembebas. Kedua,

Penaklukkan yang dilakukan oleh Alexander yang agung dan para

penggantinya telah menyebarkan ilmu pengetahun dan filsafat ke Persia

dan India, tempat ilmu pengatahuan dan filsafat Yunani diperkaya dengan

pemikiran-pemikiran yang asli. Ketiga, Peran akademi Jundishapur di

Persia yang mengembangkan kurikulum studi yang disusun setelah

universitas Alexanderia, dan selama abad keenam disamakan dengan ilmu

pengetahuan India, Grecian, Syiria, Hellenestik, Hebrew dan Zoroastrian

(Saefuddin, 2002: 151). Para ilmuwan di utus ke daerah Bizantium untuk

mencari naskah-naskah Yunani dalam berbagai ilmu terutama filsafat dan

kedokteran. Perburuan manuskrip-manuskrip di daerah Timur, seperti di

Persia terutama di bidang tata Negara dan sastra (Abdurrahman, 2003:

124).

e. Tradisi Menulis, Mensyarah dan Mentahqiq

Gerakan intelektual, kebudayaan dan peradaban sesungguhnya

dimulai dari gerakan membaca dan menulis yang sudah di ajarkan oleh

Allah Swt dalam peristiwa turunya wahyu pertama kepada Nabi

Muhammad Saw. dalam surah al-„Alaq ayat 1-5: “Bacalah dengan

menyebut nama Tuhanmu Yang Menciptakan. Dia telah Menciptakan

manusia dari segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmu yang paling

pemurah. Yang Mengajar (manusia) dengan perantara kalam. Dia

mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. Dampaknya

yang terjadi muncullah tradisi untuk meneliti dan lebih lanjut munculnya

tradisi membaca dan menulis. Oleh sebab itu tradisi meneliti, membaca

dan menulis saling erat kaitannya. Melalui tradisi membaca dan menulis

inilah maka lahir berbagai karya tulis, mulai dari manuskrip kemudian

dicetak menjadi buku yang membahas berbagai ilmu agama dan ilmu

umum, bahasa, sastra dan lain sebagainya. Aktivitas para pelajar yang

tidak kalah menariknya adalah menulis buku sebagai karya yang menjadi

penguasaan ilmu yang diperoleh dari guru (syekh). Mereka bukan hanya

belajar saja, namun mereka juga sambil menulis. Walaupun pada awalnya

tulisan berupa manuskrip-manuskrip, namun berikutnya menjadi buku

yang dicetak dan memiliki kualitas yang dapat di pahami oleh banyak

orang..

Al-Jahiz (776-869 M) adalah seorang sastrawan yang terkenal

pada zaman al-Ma‟mun, ketika sedang menulis berani melepaskan diri

dari ikatan tradisi. Sejak kecil ia gemar membaca dan belajar tanpa ada

batasnya. Ia pernah menginap di sebuah toko buku untuk membaca. Ia

Page 180: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

158

juga pernah belajar bahsa dan kemudian belajar fiqih dari al-Nazhzham,

dan belajar filsafat. Meskipun demikian ia banyak belajar kepada tokoh-

tokoh Mu‟tazilah, akan tetapi keluasan ilmu dan kecerdasan akalnya

menghasilkan banyak perbedaan dengan gurunya.

Ketika al-Jahijz mulai mengarang, mula-mula mengesampingkan

gaya lama yang dipakai oleh para ahli bahasa. Dia memakai gaya bahasa

yang mampu mengungkapkan kenyataan dan hal-hal yang bersifat ilmiah

dena teliti. Karya yang paling penting adalah Kitab al-Hayawan terdiri

dari tujuh jilid, dan pembahasannya seputar hewan-hewan.

Begitupun juga Imam al-Bukhari oleh gurunya, Ishaq bin

Rahawaih, di dorong dan disarankan agar menulis kitab yang singkat yang

hanya memuat Hadits-hadits shahih. Saran tersebut telah mendorong ia

untuk menulis kitab al-Jami‟ al-Shahih (Al-Asqalani, t.t.: 6).

Ibn Sa‟id (w. 845 M) mengarang sebuah buku tentang

kemenangan umat Islam dalam peperangan yang berjudul “Thabaqat al-

Kubra”, sebanyak 8 jilid (Hasan, t.t: 135) Banyak para murid mengadakan

perjalanan dan menulis buku yang menerangkan apa yang mereka

saksikan dan alami. Abu Nawas (747-815 M) lahir di kota al-Hawaz,

Persia, akan tetapi dibesarkan di kota Bashrah. Setelah berbaur dengan

orang Arab asli, ia dapat berbicara dengan bahsa Arab dengan sangat

fasih. Ia menulis qasidah yang amat sangat elok tentang al-Mahdi ketika ia

sudah bertaubat dari kebiasaan buruknya. Qasidah itu ia susun bertahun-

tahun lamanya. Karya Abu Nawas dipengaruhi oleh unsur budaya Arab

dan budaya Iran (Amin, 1995: 64).

Muhammad ibn Musa al-Khawarizmi (780-848 M) adalah ahli al

Jabar, astronomi, dan geografi yang handal. Bahkan orang Eropa

mengenal al-Khawarizmi dengan sebutan algorismus. Al-Khawarizmi

menulis buku al-Muktashar fi Hisab al-Jabr wa al-Muqabalah. Dalam

ilmu hitung ia yang pertama menggunakan bilangan puluhan yang sampai

sekarang dipakai seluruh dunia yang orang Barat menyebutnya “angka

Arab”.

Muhammad ibn Sa‟ad, seperti gurunya, al-Waqidi dikenal sebagai

sejarahwan produktif. Di antara karyanya, yaitu Kitab at-Thabaqat al-

Kabir dan at-Thabaqat al-Shaghir. Dalam menulis ia mengumpulkan

sanad-sanad dilengkapi dengan riwayat-riwayat. Ia juga mengikuti

gurunya al-Waqidi dalam memperhatikan geografis kota-kota (Yatim,

1994: 88).

Muhammad Ibn „Umar Al-Waqidi (130-207 H/748-823 M) lahir di

Madinah dan wafat di Baghdad. Ia adalah seorang ahli hadits, fiqih, dan

sejarahwan Arab yang terkenal. Semasa hidupnya ia senang mengembara

keberbagai negeri. Pengembaraanya berkisar di kota Hijaz (Makkah,

Madinah, Ta‟if, dan Jeddah), termasuk kota Syiria dan Baghdad.

Page 181: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

159

Kepustakaan pribadinya penuh dengan berbagai buku. Ia juga seorang

murid yang produktif. Karyanya yang masih dapat di baca adalah Kitab

Maghazi. Sejak masa muda ia telah berhasil mengumpulkan berbagai

informasi tentang al-Maghazi dan al-Sirah. Selama hidupnya ia terus

bertanya pada orang yang ia angap tentang sejarah yang diperlukan.

Dalam Husayn Ahmad Amin, Ia pernah berkata: “Aku belum pernah tahu

anak sahabat atau anak yang mati syahid, atau budak belian kecuali aku

bertanya kepadanya, “Apakah anda pernah mendengar salah satu orang

anggota keluargamu yang memberi tahu kepadamu tentang kesyahidan si

fulan, dan di mana dia terbunuh? jika dia memberi informasi kepadaku,

aku akan menuju tempat itu untuk menyelidikinya” (Amin, 1995: 68).

Keunggulan karyanya yang ditulisnya terletak pada penulisan

metodologi sejarah secara ilmiah dengan meberikan urutan dan rincian

berbagai peristiwa secara logis. Ia memiliki dua orang anak laki-laki yang

membantu siang dan malam menuliskan buku-bukunya. Ia meninggalkan

30 judul buku dalam berbagai ilmu. Akan tetapi sebagian bukunya

membahas peristiwa sejarah. Muridnya yaitu Ibn Sa‟ad dan Abu Ja‟far

Muhammad ibn Jarir al-Thabari, ketika berbicara dan menulis pasti

merujuk pada apa yang didengaar dari gurunya. Karya yang pernah

ditulis, antara lain seperti: 1)Kabilah-kabilah Arab pra Islam, 2) Sejarah

Dakwah Nabi, 3) Wafatnya Nabi, 4) Peristiwa Tsaqifah dan Bay‟at Abu

Bakar as-Shidiq sebagai khalifah, 5)Perang Riddah, 6) Ekspansi Islam ke

Suriah dan Iraq (Yatim, 1995: 85).Ahmad bin Hanbal menulis kitab al-

Musnad, yang berisi Hadits-hadits Nabi sebanyak 40.000 Hadits. Di

antara sekian banyak, terdapat 10.000 Hadits yang berulang-ulang,

sedangkan sisanya 30.000 yang tidak berulang-ulang. Jumlah tersebut

merupakan Hadits Shahih dan Hasan yang sudah dihimpun dan dipilih

dari apa yang ia terima sebanyak lebih dari 750.000 Hadits. Ahmad ibn

Hanbal memiliki murid yang sangat banyak sekali, antara lain seperti:

Imam Bukhari, Imam Muslim, Abu Dawud, Abu Zur‟ah, Imam Hanbal

bin Ishaq al-Syaibany. Kerena banyaknya murid beliau, maka al-Musnad

diriwyatkan oleh mereka, sehinga harumlah nama dari penyusun tersebut.

Membaca, menulis, mensyarah dan mentahqiq merupakan budaya

intelektual yang mesti ditularkan kepada generasi muda, misalnya

membaca atau “Kitab Kuning” sebagai khazanah klasik disamping

banyak memuat ilmu agama tetapi juga dapat di gali ilmu umum seperti

kedokteran, filsafat, ekonomi, astronomi yang menjadi karya kebanggaan

umat Islam seperti yang dilakukan oleh Ibnu Sina, Ibn Rusyd dan lain

sebagainya (Aripin, 2014: 177).

Page 182: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

160

f. Tradisi Kehidupan Ilmiah

Kehidpupan ilmiah pada masa al-Ma‟mun mengalami kemajuan

pesat. Seperti dalam deskripsi pada pembahsan sebelumnya, kehidupan

ilmiah telah melahirkan sosok intelektual Muslim yang cerdas dan sukses

dalam mengembangkan ilmu, sehingga menjadi ilmuwan besar pada

zamannya, termasuk sekarang pun orang mengenalnya. Ada beberapa hal

yang secara de facto mendorong tumbuh dan berkembang kehidupan

ilmiah tresebut, yaitu : pertama, khalifah al-Ma;mun secara aktif terlibat

penuh dalam mengembangkan ilmu pengetahuan. Khalifah al-Ma‟mun

adalah Pemimpin yang mencintai dan mengutamakan ilmu dengan

kekuasaannya secara efektif dapat mendorong orang-orang yang hidup

pada masa tersebut untuk mengikuti sesuai dengan kehendak pemimpin.

Secara politik, struktur pemerintahan al-Ma‟mun digerakkan oleh

orang-orang Persia yang telah menguasai filsafat dan ilmu pengetahuan.

Kehendak politik (political will) membuka pintu lebar untuk masuknya

berbagai macam ilmu pengetahuan dengan menembus batas agama dan

Negara. Khalifah menjadikan kota Baghdad sebagai pusat pemerintahan

sekaligus pusat ilmu pengetahuan, sehingga orang-orang yang ahli dalam

ilmu masing-masing diundang datang ke Baghdad, bahkan ke istana untuk

berdiskusi.

Secara sosial kemasyarakatan, al-Ma‟mun telah mengubah kondisi

percampuran bangsa keturunan Arab dan non-Arab (Mawali) sehingga

terjadi asimilasi peradaban. Para penduduk datang dari berbagai Negara

dengan membawa watak dan karakter masing-masing, sehingga terjadi

proses kompetitif yang memberikan inspirasi pada semua pihak akan

kemajuan yang telah dicapai oleh bangsa-bangsa lain. Hal ini juga telah

memudahkan terjalinnya kontak sosial untuk mendapatkan informasi

penting yang ada di daerah masing-masing.

Dukungan khalifah terhadap ilmu pengetahuan ini didukung oleh

keseriusan para pengkaji ilmu. Mereka tidak hanya puas dengan membaca

karya seorang ulama besar, namun juga secara langsung mendatang

ulamanya untuk belajar. Walaupun jarak memisahkan Negara, para pelajar

tetap berusaha untuk bertemu dengan ulama besar tersebut. Kedua,

penghargaan terhadap orang berilmu (ulama) tinggi. Fakta yang

mendukung pelajar dan ulama pergi melakukan rihlah ilmiah yaitu karena

pada tiap-tiap negri Islam ada wakaf yang tidak sedikit untuk ulama dan

pelajar terutama yang datang dari negeri lain. Sebab itu mereka senang

merantau menuntut ilmu yang telah tersedia wakaf untuk makan, minum,

kediaman, pakaian dan obat-obatan.

Menurut riwayat Ibn Jabir, pelajar-pelajar yang miskin mendapat

bantuan untuk segala kebutuhannya seperti, makanan, pakaian, kediaman

serta obat-obatan (Yunus, 1992: 126). Oleh karena itu, tidak

Page 183: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

161

mengherankan jikalau banyak para pelajar dari berbagai penjuru dunia

untuk menuntut ilmu dan mencari guru yang termasyhur, „alim dan

sholeh. Misalnya, Imam Syafi‟i. Walaupun ia sudah menguasai dan

menghafal al-Muwaththa, ia pergi langsung ke Madinah untuk mepelajari

kitab itu secara langsung dari mulut imam Malik. Selanjutnya tatkala

Imam Syafi‟i datang ke Mesir disambut oleh Ibnu Abdul Hakam dengan

sambutan kehormatan yang luar biasa serta dimuliakannya dan

dihormatinya sebagai ulama yang besar. Kemudian dianugrakannya Imam

Syafi‟i 1.000 dinar dari harta bendanya sendiri, 1000 dinar dari Ibnu

„Isamah dan 1000 dinar dari saudagar (Yunus, 1992: 132).

Lain halnya dengan Imam Syafi‟i, al-Jahiz pada mulanya adalah

seorang penjual roti dan ikan di sahan dan kehidupannya amat sangat

sederhana. Tetapi kehidupannya berubah cepat ketika ia dikenal sebagai

orang yang memiliki ilmu yang luas dan dalam, sehingga dari buah

pikiran dan kerjakerasnya melimpah kekayaan. Ia pernah menghadiahkan

buku karangannya sendiri Kitab al-Hayawan, kepada Muhammad bin

Abdul Malik, lalu dianugrahinya uang sebesar 5000 dinar, dan ia

menghadiahkan Kitab al-Bayan wa al-Tabyin kepada Ibnu Abu Dawud,

lalu dianugrahinya 5000 dinar dan ia hadiahkan Kitab al-Zar‟uwan Nahl

kepada Ibrahim bin Abbas al-Suhly, lalu diberikannya uang 5000 dinar.

Kemudian ia keluar dari Bashrah dan seolah-olah ia memiliki kebun yang

amat sangat luas (Yunus, 1992: 132). Wajar kiranya jika sejak zaman

dahulu sampai sekarang tradisi menulis membuahkan hasil yang tak

terkira, dari hasil pikiran dan kerja keras dalam mengembangkan ilmu,

sehingga dapat merubah konsisi sosial menjadi lebih maju, baik dalam hal

finansial sampai kepada kehormatan.

Ketiga, Komitmen murid untuk mewariskan hasil-hasil pemikiran

para guru. Jika ditelusuri dalam proses kesejarahan seorang tokoh, ia

menjadi besar setelah ilmunya secara khusus dikembangkan oleh para

muridnya. Para murid tidak mengembangkan ilmu orang lain, kecuali

ilmu yang diperoleh dari gurunya secara langsung. Karena memang setiap

pelajar yang sudah menguasai satu disiplin ilmu dari guru (syekh) lalu di

berikan ijazah oleh syekh tersebut sebagai tanda boleh mengajarkan ilmu

tersebut kepada orang lain, bukan oleh lembaga tempat ia belajar. Ibn

Hisyam (w.834 M) adalah seorang murid dari Ibn Ishaq (w. 768 M) yang

berjasa meneruskan karya gurunya tersebut dalam penulisan sejarah nabi

(sirat Rasul Allah) pada zaman al-Ma‟mun (Hasan, .t.t. 135).

Sejatinya, komitmen dari seorang murid terhadap gurunya yaitu

yang dianggap cocok dengan pemahaman murid tersebut. Sebab,

adakalanya murid melakukan modifikasi ilmu yang berbeda dari gurunya.

Hal ini wajar, karena murid tidaklah belajar pada satu guru saja, akan

tetapi kepada banyak guru yang di temuinya

Page 184: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

162

g. Tradisi Mengoleksi Buku dan Membangun Perpustakaan

Dinasti Abbasiyah terutama pada fase pertama yang di pimpin oleh

Khalifah Abu Ja‟far al-Mansur, Khaolifah Harun al-Rasyid dan Abdullah

al-Ma‟mun, merupakan kholifah-kholifah yang sangat cinta sekali pada

ilmu pengetahuan, yang dengan kecintaan itulah kholifah sangat menjaga

dan memelihara buku-buku, baik yang bernuansakan agama atau umum,

baik hasil karya ilmuwan Muslim atau sebaliknya dan baik karya-karya

ilmuwan yang semasanya atau sebelumnya. Hal semacam ini kiranya

menjadi wajar, jika Kholifah Harun al-Rasyid pernah berpesan kepada

para tentaranya untuk tidak merusak kitab apa pun yang ditemukan dalam

medan perang (Umma, dkk. 1995: 67). Begitupun juga dengan Kholifah

al-Ma‟mun, dengan cara menggaji para penerjemah-penerjemah dari

golongan agama apa saja, baik Muslim maupun non Muslim untuk

menerjemahkan buku-buku Yunani, sampai akhirnya masih pada

pemerintahan atau zaman al-Ma‟mun berkuasa, kota Baghdad menjadi

pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan (Yatim, 1994: 53).

Jika melihat fenomena diatas, bahwasanya seiring dengan lahirnya

tradisi meneliti, membaca, menulis mensyarah atau mentahqiq, timbul

tradisi mengoleksi buku dan membangun perpustakaan sebagaimana pada

zaman al-Ma‟mun yang membangun Baitul Hikmah. Saking kecintaanya,

tidak sedikit para kholifah Abbasiyah diatas, tidak segan-segan memburu,

mendapatkan buku, memberikan upah yang tinggi pada penulis buku,

melakukan pengembaraan, memfasilitasi ilmuwan dan ulama agar mau

menulis buku. Budaya semacam ini yang jarang sekali ada di belahan

dunia, termasuk Indonesia pada saat ini. Buku-buku yang telah ditulis

mereka simpan di perpustakaan, mulai dari perpustakaan pemerintahan

pusat, pemerintah daearh, hingga perpustakaan pribadi. Banyaknya buku

yang mereka simpan dan miliki pada perpustakaan, sebetulnya akan

menjadi symbol kejayaan, keunggulan, dan perkembangan pusat

pemerintahan. Mayoritas akan mengatakan bahwasanya perpustakaan

adalah jantung yang menggerakan urat nadi dan pergerakan kebudayaan

dan peradaban Islam. Sungguh elok kiranya mengapa zaman al-Ma‟mun

disebut-sebut sebagai zaman puncak kejayaan Umat Islam, adalah ia

sangat perduli sekali dengan keberadaan perpustakaan pada

pemerintahannya.

h. Tradisi Meneliti

Menurut al-Qur‟an dan Hadis, bahwa cara mendapatkan

pengembangan ilmu (epistemologis) sangat beragam. Untuk mendapatkan

ilmu agama yang berdasar pada wahyu harus menggunakan metode

Page 185: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

163

penelitian bayani12

dengan menggunakan langkah-langkah sebagaimana

yang dilakukan para mujtahid dengan berbagai syarat yang harus

dimilikinya. Selanjtnya, untuk mendapatkan ilmu alam yang berdasar

pada alam jagat raya harus menggunakan metode ijbari,13

yakni observasi

dan eksperimen yang dilakukan di laboratorium. Untuk mendapatkan ilmu

sosial yang berdasar pada perilku manusia harus menggunakan metode

penelitian burhani,14

yang dilakukan dengan mengumpulkan data dan fakta

di lapangan. Untuk mendapatkan ilmu filsafat harus menggunakan metode

penelitian ijbali15

yang dilakukan dengan menggunakan cara berfikir

sistematik, radikal, universal, mendalam, dan spekulatif. Untuk

mendapatkan ilmu makrifat harus menggunakan metode penelitian irfani16

12

Penelitian bayani adalah penelitian yang berupaya menjelaskan kandungan

ayat-ayat al-Qur‟an dan as-Sunah, menjelaskan berbagai aspek ajaran yang terdapat di

dalamnya, baik yang berkenaan dengan akidah (ilmu Aqaid), ibadah dan hukum Islam

(fikih), akhlak (tentang etika dan sopan santun). Untuk dapat memahami dan menarik

hukum yang terdapat di dalam al-Qur‟an tersebut para ahli misalnya berusaha berijtijad

dengan menggunakan berbagai kaidah ushul fiqih, ilmu bahasa, ilmu al-Qur‟an, ilmu

Hadis dsb. Melalui penelitian bayyani dengan menggunakan metode ijtihad dan ini

lahirlah para ulama mujtahid dalam bidang fiqih, tafsir dan sebagainya. 13

Secara harfiyah, ijbari artinya memaksa atau mencoba. Adapun dalam

penelitian, ijbari maksudnya mengadakan percobaan atau eksperimen di laboratorium

berkenaan dengan benda-benda alam, baik yang padat, cair atau gas, binatang atau

manusia secara fisik. Caranya antara lain membandingkan antara satu benda dengan

benda lain, memasukkannya ke dalam tabung, mencampurkannya dengan unsur benda

lainnya, mengamati, dan mencari reaksi yang ditimbulkannya yang dilakukan secara

berulang-ulang dan selanjtnya menarik kesimpulan sebagai teori. Selanjutnya teori yang

sudah ada dipadukan dengan cara teknik pembuktiannya, maka melalui penelitian dan

percobaan serta penerapan teori ini, maka lahirlah teknologi. 14

Secara harfiyah, burhani artinya fakta atau bukti-bukti. Adapun dalam

penelitian, burhani artinya mengumpulkan data-data melalui penyebaran angket,

observasi, wawancara, keterlibatan secara langsung dsb. maka dapat di ketahui tentang

sifat dan karakter tentang fenomena sosial yang kemudin disimpulkan dalam sebuah

pernyataan atau pendapat yang diperkuat dengan data-data. Penelitian burhani bisa

digunakan untuk ilmu-ilmu sosial, ekonomi, politik, budaya dan agama. 15

Secara harfiyah ijbali adalah perdebatan atau bantahan. Namun dalam

penelitian, jadali artinya mengerahkan segenap kemampuan akal untuk memikirkan

segala sesuatu secara mendalam, sietemik, radikal, universal, spekulatif, dialektif dan

komperhensif lalu dihasilkan sebuah pemikiran yang matang dan mendalam sehingga

secara logs dapat diterima oleh akal orang laindan sulit terbantahkan, kemudian

digunakan untuk menjelaskan tentang sesuatu. Misalnya, filsafat tentang kejadian alam

dsb. Filsafat tidak bisa di katakan ilmu karena kurang memenuhi ciri-ciri ilmu. Akan

tetapi filsafat adalah induk ilmu dan yang melahirkan ilmu . 16

Secara harfiyah irfani adrtinya tentang pengetahuan Tuhan secara mendalam.

Adapun dalam penelitian irfani adalah berupaya memperoleh makrifat, laduni, futu,

mauhubah yang dilakukan dengan cara melatih diri (riyadhah) dan mengendalikan diri

dari dosa (mujahadah) untuk hanya mengingat, mendekati dan mencintai Allah Swt.

Penelitian irfani menggunakan berbagai potensi rohani yang dimiliki manusia, yaitu

Page 186: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

164

yang dilakukan dengan melakukan riyadah dan mujahadah disertai upaya

pembersihan diri dari dosa dan maksiat (Nata, 2011: 382).

i. Tradisi Berijtihad

Tradisi ini merupakan penopang risalah Islam yang abadi. Hal

tersebut menjadi bukti bagi manusia, bahwa Islam selalu memberikan

pintu terbuka bagi akal pikiran manusia yang selalu mencar-cari, Ijtihad

ini bukan saja diperkenankan, melainkan diperintahkan. Hal ini antara lain

didasarkan para Hadis yang berisi dialog Rasulullah Saw. dengan Mu‟adz

bin Jabal ketika Nabi mengangkat ia menajadi gubernur Yaman. Nabi

bertanya, bagaimana kalau dalam memutuskan perkara yang terjadi di

Yaman tidak dijumpai dasar hukummya di dalam al-Qur‟an dan Sunah,

maka Mu‟adz pun menjawab bahwa ia akan memutuskannya dengan

berijtihad menggunakan akal pikiran.

Di zaman pemerintahan khalifah al-Ma‟mun (Dinasti Abbasiyah),

Islam dalam kejayaannya di masa khalifah al-Ma‟mun, pada masa itu

pemerintahan banyak didominasi oleh kaum yang berpaham Mu‟tazilah,

bahkan khalifah al-Ma‟mun sendiri pun berpaham Mu‟tazilah. Ia

menerapkan madzhab Mu‟tazilah resmi sebagai madzhab yang dianut

negara pada tahun 827 M. (Ia dikenal karena intelektualitasnya dan

kecintaan terhadap ilmu pengetahuan, serta jasa-jasa dalam

mengembangkan ilmu pengetahuan. Ia banyak mengumpulkan buku-buku

untuk disimpan di perpustakaan Baitul Al-Hikmah yang merupakan

sebuah pusat pengkajian dan kejayaan ilmu yang tak tertandingi, sebagai

“Centre for Excellence” (Muthahari, 2011: 207). Ia juga banyak

mengundang banyak penterjemah untuk menterjemahkan buku-buku sains

dan filsafat Yunani ke dalam bahasa Arab dengan imbalan gaji yang besar

dan memuaskan. Kehausan akan ilmu pengetahuan mendorongnya untuk

menyibukkan diri dalam mempelajari berbagai pemikiran sains dan

filsafat. Hajar Al-Asqalani, Hady al-Sari, Riasah Idarat al-Buhuts al-

„Ilmiyah wa al-Ifta wa al-Da‟wah wa al-Irsyad (Ritadh,t.t, 6-7).

Di masa pemerintahannya, al-Ma‟mun menerapkan sistem politik

Mihnah. Mihna yang berarti ujian, semacam lembaga penyelidikan

paham seseorang, (al-Atsir, t.t:3). Bagi seluruh orang yang akan dan sudah

terlibat dalam pemerintahan, termasuk para ulama yang banyak

memberikan informasi atau fatwa kepada masyarakat. Bagi al-Ma‟mun,

orang-orang yang berpaham syirik tidak boleh menduduki jabatan dalam

pemerintahan. Kaum Mu‟tazilah, termasuk juga al-Ma‟mun, dalam

qalbu (hati) dll. Semua potensi rohani ini dibersihkan dengan cara riyadhah atau

mujahadah lalu ia memperoleh pengetahuan. Penelitian ini antara lain dilakukan oleh

para ahli tasawuf yang haasilnya ia sampaikan dalam bentuk ungkapan-ungkapan batin

dalam bentuk syair yang mereka susun berdasarkan pada pengalaman batinnya.

Page 187: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

165

menyebarkan pahamnya cenderung menggunakan kekerasan. Orang-orang

yang sewaktu diuji ternyata didapati berbeda atau menentang terhadap

keyakinan Mu‟tazilah, maka mereka akan dihukum, bahkan tidak sedikit

yang kemudian dibunuh. Kaum Mu‟tazilah adalah golongan yang

membawa persoalan teologi secara mendalam dan bersifat filosofis.

Dalam pembahasannya mereka lebih banyak menggunakan akal, sehingga

sering dijuluki kaum rasionalis Islam. Paham ini diawali dan

dikembangkan oleh Washil ibn Atha.

Al-Ma‟mun memanfaatkan kekuasaan pemerintahan Islam untuk

mengajak rakyatnya menganut paham bahwa al-Qur‟an itu adalah

makhluk (Zahra,1996:178). Pada saat itu yang dijadikan bahan perdebatan

dan bahan ujian dalam pemerintahan al-Ma‟mun adalah tentang al-Qur‟an

itu adalah makhluk Allah dan dia tidak bersifat qadim. Bagi yang

berpaham al-Qur‟an itu qadim dan bukan makhluk, berarti dianggap telah

menduakan Allah atau syirik yang berdosa besar, bahkan dosanya tidak

akan diampuni (Masood, 2009: 46). Setelah wafatnya al-Ma‟mun, paham

Mutazillah diteruskan oleh adiknya yakni al-Muta‟sim, ulama yang tidak

sejalan dengan dasar resmi Negara banyak di jebloskan kepenjara dan

disiksa bertahun-tahun, diantaranya ulama yang terkenal “Ahamad Ibn

Hambal”. Karena pertentangan bahwa al-Qur‟an bukan makhluk. Pada

masa al Ma‟mun, sempat dibebaskan. Namun dipenjarakan kembali pada

masa Muta‟sim (Khalikan, t.t: 217).

Akan tetapi tradisi ini meskipun pada masa al-Ma‟mun di

dominasi Muta‟zilah, tetap saja tradisi berijtihad menyebabkan lahirnya

para fuqoha bidang hukum, para teolog dalam bidang kalam, para

muhaddits dalam bidang hadits, para mufasirin dala bidang tafsir, dan

seterusnya. Sikap Ijtihad demikian pada zaman al-Mansur, hingga zaman

al-Ma‟mun misalnya ditunjukkan oleh Abu Hanifah (699-767 M), Imam

Malik (714-798 M), Imam Syafi‟i (767-854 M) dan Ahmad ibn Hanbal

(780-855 M). Abu Hanifah misalnya, pernah berkata: “Tidak halal bagi

seseorang berpendapat dengan pendapat kami sehingga ia mengetahui

dari mana sumber pendapat itu. Selanjutnya Imam Malik berkata: “Aku

ini hanya seorang manusia yang salah dan mungkin benar, maka

koreksilah pendapatku. Segala yang sesuai dengan al-Qur‟an dan Sunah

ambilah ia, dan segala yang tidak sesuai dengan al-Qur‟an dan Sunah

tinggalkanlah ia. Imam Syafi‟i juga pernah berkata: “Apa yang telah

kukatakan padahal bertentangan dengan perkataan Nabi, maka apa yang

shahih dari Nabi itulah yang lebih patut kamu ikuti. Janganlah kamu taklid

kepadaku. Selanjutnya Imam Ahmad bin Hanbal, pernah berkata:

“Janganlah kamu bertaklid kepadaku! Ambilah dari sumber mana mereka

itu mengambil”(Razak, 1997:111, Daftari, (terj.) Jabali dan Thalib,

2001:63).

Page 188: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

166

Kualiatas intelektual sesorang tidak semestinya sama antar satu

dengan yang lainnya, meski dalam jenis dan jenjang pendidikan yang

sama. Tergantung pada sejauh mana masing-masing orang menyerap

beragam ilmu pengetahuan yang diterimanya dan berupaya

menerapkannya di tengah kehidupan bermasyarakat (Lisa‟diyah, 2006:

101).

Dengan tradisi inilah, para ulama dan ilmuwan Muslim di zaman

dahulu dapat memiliki keleluasaan dalam mengeksplorasi gagasan dan

pemikirannya dan dengan demikian mereka dapat menghasilkan karya-

karya originalitas yang diperlukan bagi masyarakat Muslim di dunia.

Tabel 4.1: Kronologi Riwayat Hidup Ulama dan Ilmuwan serta

Keahlianya dalam segi Ilmu Pengetahuan Zaman al- Ma‟mun.

N0 Nama Ulama / Ilmuwan Riwayat

hidup

Keahlian ilmu

1 Jabir ibn Hayyan (721-815 M) Kimia

2 Abu Nawas (747-815 M) Syair

3 Imam Syafi‟i (767-820 M) Fikih

4 Muhammad ibn „Umar

al-Waqidi

(748-823 M) Sejarah, Fikih

dan Hadis

5 Ibn Hisya (w.834 M) Sejarah

6 Al-Nazaam (801-835 M) Teologi

7 Ahmad Ibn Hanbal (780-855 M) Fikih

8 Ibn Sa‟id (w.834 M) Sejarah

9 Muhammad ibn Sa‟id (784-845 M) Sejarah, Hadis

10 Al-Khawarizmi (780-874 M) Astronomi

11 Abu Huzail al-„Allaf (752-849 M) Teologi

MUta‟zilah

12 Ishaq al-Mawshili 767-850 M) Sya‟ir dan

penyanyi

13 Al-Jahizh (776-869 M) Sastrawan

14 Imam al Bukhari (810-870 M) Hadis

15 Hunayn ibn Ishaq (809-873 M) Fisikan dan

kedokteran

E. Pengembangan Ilmu Pengetahuan (Sains) dan Pengaruhnya

terhadap Sistem Kemajuan Masyarakat Islam

Secara prinsip dan konseptual bahwa pemahaman dan konsep

Islam sebagai konsep universal, segala ilmu pengetahuan hakikatnya

adalah bersumber dari satu, yakni Allah SWT sebagai sumber segala ilmu.

Page 189: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

167

Perhatian orang-orang Muslim terhadap menuntut ilmu,

dikarenakan adanya dukungan oleh ajaran yang menganjurkan umatnya

untuk menuntut ilmu. Ketika dipuncak kejayaan dalam dunia Islam

bersikap terbuka dalam bidang keilmuan, sehingga jika ada satu buah

kitab ilmu pengetahuan di ujung negeri Cina sekalipun, niscaya akan

diburu untuk diterjemahkan (Muthahari, 2011: 226). Hal demikian itu

tidak lain sebagai implementasi dari al-Qur‟an dan Hadist Nabi

Muhammad Saw. Allah mengungkapkan penghargaan yang begitu tinggi

kepada orang-orang beriman yang berilmu dengan tanpa membatasi jenis

ilmu tersebut. Penghargaan Allah tersebut telah diabadikan dalam firman-

Nya:

“.... niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman

di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu

pengetahuan beberapa derajat ....”.(QS. Al-Mujadilah [58]: 11)

(Departemen Agama R.I, 2005:543).

Ditambah lagi Rasulullah Saw. juga sangat mencintai ilmu

pengetahuan melalui beberapa sabdanya dengan tanpa memisahkan jenis-

jenis ilmunya.

طلب العلم فريضة على كل مسلم ومسلمة“Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim, laki-laki maupun

perempuan”. (Hadits Shahih Riwayat Ibn „Adiy, Baihaqi, Thobroni, dan

Khatib, Bek, 1948:107).

يلتمس فيه علما سهل اهلل به طريقا الى الجنة من سلك طريقا “Barangsiapa merintis jalan untuk mencari ilmu, maka Allah

akan memudahkan baginya jalan menuju surga” (H.R. Muslim)

(Al-Ghazali,1983:33).

Dengan dasar konsep dan pemahaman inilah akhirnya umat Islam

mencapai puncak kejayaannya. Dikarenakan para pemimpin umat Islam

sangat menghargai ilmu pengetahuan. Sehingga, meskipun mereka tahu

bahwa Yunani adalah bukan Islam, dan juga bukan pemerintahan Islam

dan ilmu pengetahuannya pun cenderung hellenis, tetapi pemerintahan

Islam di kala itu menerjemahkan secara besar-besaran hasil karya ilmu

pengetahuan yang sudah dikembangkan Yunani, tentu dengan terlebih

dahulu melakukan seleksi terhadap ilmu-ilmu tersebut dan melakukan

penyesuaian dengan semangat agama Islam (Burns Ralp, 1963: 246-247).

Page 190: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

168

Karya-karya ilmu filososfis dan rasional mendapat perhatian

khusus dalam penerjemahan. Dengan paradigma seperti itu, umat Islam

benar-benar mencapai puncak kejayaan gemilang yang belum pernah

dicapai oleh bangsa-bangsa yang ada di dunia ini sebelumnya, karena

memang ilmu-ilmu filosofis sangat menekankan tentang eksplorasi

berpikir, sedangkan kajian ilmu rasional menekankan pada konsep dasar

pola pikirnya. Ilmu filosofis dan rasional itu juga yang kemudian lebih

banyak menemukan ilmu pengetahuan dan teknologi terapan yang sangat

dibutuhkan manusia.

Hampir sebagian besar disiplin ilmu pengetahuan, baik yang

berbasis politik, ekonomi, sosial, budaya, eksak dan agama itu sendiri

adalah muncul dan dihasilkan oleh para pemikir umat Islam. Sehingga,

banyak ilmuwan Muslim yang cukup dikenal, di dunia Barat sekalipun.

Al-Khawarizmi (Algorismus) dan Ibn al-Haitam (Al-Hazen) dikenal

sebagai ahli matematika dan astronomi; Ibn Rusyd (Averroes) dan Ibn

Sina (Avicena) sangat dikenal sebagai ahli kedokteran; al-Khazini, al-

Khurasani, al-Razi dan Ibn Sina adalah penyumbang terbesar terhadap

ilmu fisika dan teknologi; dan lain-lain. Akan tetapi, sejarah

membuktikan, setelah efek samping pengembangan ilmu pengetahuan

yang berkembang tanpa kontrol, ditambah dengan kekisruhan politik

pemerintahan Islam di masa itu, maka justru umat Islam kemudian

menutup diri dari eksplorasi ilmu pengetahuan umum (Nasution, 1985:

54).

Padahal selama 500 tahun (the dark ages), rentang antara

Aristoteles (367-322 S.M) sampai St.Thomas Aquinas (1225-1274 M)

(ilmuwan Barat), suatu masa panjang, Priode inilah sebenarnya masa

kejayaan Islam terjadi, dan para Mahasiswa Eropa berbondong-bondong

belajar ke negeri Muslim. Mereka menjadi inspirator dan pelopor

pencerahan Eropa setelah mencuri ide-ode dari negeri Muslim. Adapun

pencurian terjadi dalam berbagai bentuk. Pada abad ke-11 dan ke-12

sejumlah pemikir Barat seperti Constantine The African, Adelard of Barth

melakukan perjalanan ke Timur Tengah dan mereka belajar Bahasa Arab

dan melakukan studi serta membawa ilmu baru ke Eropa. Leonardo of

Pisa belajar di Bougie, Aljazair pada abad ke-12, ia juga belajar

matematika dan aritmatika al-Khawarizmi (Setiawan dan Hendriarjo,

2005: 21-22).

Sementara itu, ilmu-ilmu Keislaman juga berkembang pesat.

Dalam bidang hadits tercatat nama-nama seperti Bukhari dan Muslim,

dalam Hukum Islam terkenal seperti Malik ibn Anas, Idris al-Syafi‟i, Abu

Hanifah, Ahmad Ibn Hambal. Dalam ilmu tafsir seperti al-Tabari, dalam

ilmu kalam seperti Wasail ibn Atha, Abu Al-Huzail, Abu Hasan Al-

Asy‟ari dan Al-Maturidi, dalam bidang tasawuf seperti Abu Yazid Al-

Page 191: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

169

Bustami dan Husain Ibn Mnasur Al-Hallaj. Nama-nama tokoh

pentingdalam sejarah Islam baik dalam bidang politik, keilmuan, seniman,

dll. Dapat dilihat dalam kitab Tabaqat Al-Kubra karya Ibn Sa‟ad dan

Wafiyat Al-A‟yan wa Anba Al-Zaman karya Ibn Khalikan.

Kekisruhan politik pemerintahan Islam di saat Islam masih di

posisi puncak kejayaannya, adalah karena banyaknya terjadi perebutan

kekuasaan, bahkan secara ekstrim dapat dikatakan bahwa sebagaian besar

pergantian kepemimpinan umat Islam adalah selalu terjadi pertumpahan

darah. Belum lagi, pertentangan yang sangat sengit pada setiap pergantian

pemerintahan hanya karena perbedaan paham fikih keagamaan dan haluan

politiknya. Sebagaimana diungkap sebelumnya, di masa Islam dalam

kejayaannya di masa khalifah al-Ma‟mun zaman dinasti Abbasiyah, ada

suatu peristiwa tragis yang pernah terjadi, yakni peristiwa Mihnah (ujian)

(Nasution, 1985: 60).

Akibat peristiwa Minah bagi orang-orang yang akan menduduki

posisi penting di pemerintahan, yang berkonsekuensi penyiksaan terhadap

ulama-ulama Islam yang tidak sejalan dengan akidah pemerintahan yang

berpaham Mu‟tazilah yang beraliran dan berpola pikir filosofis dan

rasional di kala itu, maka membuat apriori yang dalam pada umat Islam,

yang pada akhirnya melakukan resistensi dan perlawanan.

Sesudah masa itu, untuk tujuan politis, khalifah al-Mutawakkil

kemudian membatalkan madzhab Mu‟tazilah sebagai madzhab negara dan

mendukung madzhab Ahlussunnah wa al-jama‟ah. Lebih dari itu,

kemudian akademi-akademi yang mengajarkan ilmu-ilmu filosofis dan

ilmu-ilmu rasional ditutup. Bahkan, banyak tokoh-tokoh Mu‟tazilah yang

diusir dari Baghdad (Nasution, 1985: 61-62).

Sejak kejadian perubahan inilah kemudian secara tidak sadar umat

Islam kemudian seolah membuat batas terhadap ilmu-ilmu filosofis dan

rasional, pada dasarnya adalah ilmu-ilmu umum yang menjadi dasar

pengembangan iptek di masa-masa berikutnya. Hal itu terjadi terus

menerus selama berabad-abad mewarnai paradigma berpikir sebagian

besar umat Islam, hina akhirnya dipahami seolah sebagai doktrin agama

yang sudah mutlak dan dianggap sebagai suatu kebenaran.

Terhambatnya perkembangan ilmu filosofis dan rasional pada

kalangan umat Islam di satu sisi, tetapi di sisi lain umat non Islam, yakni

masyarakat Barat, justru mendapat imbas dari perkembangan kemajuan

iptek umat Islam yang pernah ditempuh. Perkembangan eksplorasi ilmu-

ilmu filosofis dan rasional yang dilakukan bangsa Barat akhirnya

mengantar mereka menguasai perkembangan iptek dunia, di saat umat

Islam sudah mulai tenggelam dijerat paradigma dikotomisnya terhadap

ilmu pengetahuan.

Page 192: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

170

Tak dapat di pungkiri lagi, akhirnya umat Islam terpuruk dan

terkurung dengan sikap statis atau diam ditempat yang membawa mereka

kepada kemunduran yang berkepanjangan. Sedangkan bangsa Barat

akhirnya menjadi pengawal perkembangan iptek, bahkan sampai bisa

menjelajah dan menjajah negara-negara di wilayah dunia Islam.

Mulnculnya kesadaran bahwa paradigma ilmu pengetahuan yang

telah terpengaruh oleh skulerisme dan materialisme telah menjadikan

pengetahuan modern menjadi kering dan kehilangan kesakralannya

(terpisah dari nilai-nilai tauhid dan teologis) (Sholeh,t.t: 5).

Menurut Murtadha Muthahari tidak sependat dengan klasifikasi

ilmu model al-Ghazali, bahkan menolak adanya dikotomi ilmu agama dan

ilmu non-agama. Menurutnya, pembedaan ilmu semacam itu dapat

melahirkan kesalahan konsepsi, bahwa ilmu non-agama terpisah dari

Islam dan tidak sesuai keuniversalan Islam. Penolakkan Murthadi atas

dikotomi ini berdasarkan pada pandangan bahwa ilmu dalam al-Qur‟an

dan Hadits hadir dalam maknanya yang umum. Demi menjaga identitas

Keislaman dalam persainagan budaya global, para ilmuwan Muslim

bersikap defensive dengan mengambil posisi konservatif-statis, yakni

dengan melarang segala mebentuk inovasi dan mengedepankan ketaatan

fanatic terhadap syari‟ah, salah satunya adalan fiqih produk pertengahan

yang dianggap telah final. Mereka melupakan sumber kreatifitas, yakni

ijtihad, bahkan mencanangkan ketertutupannya. Pada ranah inilah tanpa

sadar umat Islam telah menumbuhkan embrio dikotomi ilmu (Enginer,

2003: 20-21).

Menurut Ziauddin Sardar mengatakan bahwa salah satu faktor

penyebab dikotomi sistem pendidikan Islam adalah diterimanya budaya

Barat secara total bersamaan denagan adopsi ilmu pengetahuan dan

teknologi. Sebab mereka yang menganut pandangan tersebut

berkeyakinan, bahwa kemajuanlah yang terpenting bukan agama. Oleh,

sebab itu, kajian agama dibatasi bidangnya. Agama hanya membicarakan

hubungan individu dengan Tuhannya, lainnya bukan urusan agama (Hadi

& Imron, 2000: 73).

Hilangnya aspek kesakralan dari konsep ilmu Barat serta sikap

keilmuwan Muslim yang menyebabkan terjadinya stagnasi setelah

memisahkan wahyu dari akal, dan memisahkan pemikiran aksi dan kultur

dipandang sama bahayanya bagi perkembangan keilmuan Islam. Karena

itu muncul sebuah gagasan untuk mempertemukan kelebihan-kelebihan di

antara keduanya, sehingga lahirlah keilmuan baru yang modern tetapi

tetap bersifat religious dan bernafaskan tauhid, gagasan ini kemudian di

kenal dengan Islamisasi Ilmu pengetahuan atau Integrasi ilmu (Tabroni,

2000: 93).

Page 193: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

171

Dalam menghilangkan dikotomi ilmu dengan proyek Islamisasi

ilmu pengetahuan atau Integrasi ilmu pengetahuan, Ziauddin Sardar

memberikan solusi yaitu dengan cara peletakkan epistemology dan teori

sistem pendidikan yang bersifat mendasar, lebih lanjut Ziauddin Sardar

mengatakan untuk menghilangkan perlu dilakukan usaha-usaha yaitu:

pertama, dari segi epistemology, umat Islam harus berani

mengembangkan kerangka masa kini yang terartikulasi sepenuhnya.

Kerangka pengetahuan di maksud setidaknya dapat menggambarkan

metode-metode dan pendekatan yang tepat yang nantinya dapat membantu

pakar Muslim dalam mengatasi masalah-masalah moral dan etika yang

sangat dominan di masa sekarang. Kedua, perlu adanya teoritis ilmu dan

teknologi yang menggambarkan gaya-gaya dan metode-metode aktifitas

ilmiah dan teknologi yang sesuai tinjauan dunia dan mencermeinkan nilai

dan norma budaya muslim. Ketiga, perlu diciptakan teori-teori sistem

pendidikan yang memadukan ciri-ciri terbaik sistem tradisional dan sistem

modern. Sistem pendidikan integralistik itu secara sentral harus mengacu

kepada konsep ajaran Islam, mislanya konsep tazkiyah al-nafs, tauhid dsb.

Disamping itu sistem tersebut juga harus mampu memenuhi kebutuhan-

kebutuhan masyarakat Muslim secara multidimensional masa depan. Dan

yang terpenting, pemaknaan pendidikan, mencari ilmu, sebagai

pengalaman belajar sepanjang masa (Sardar, 1984: 280-281).

Dalam Islam sebetulnya tidak dikenal pemisahan esensial ilmu

agama dan ilmu umum. Berbagai disiplin ilmu dan pespektif intelektual

yang dikembangkan dalam Islam memang mengandung hierarki tertentu

yang bertujuan kepada pengetahuan tentang hakikat Tauhid, yang

merupakn subtansial dari segenap ilmu. Inilah yang menjadi alasan

kenapa para ulama dan ilmuwan Muslim berusaha mengintegrasikan ilmu-

ilmu yang dikembangkan peradaban-peradaban non-Muslim ke dalam

hirarki ilmu pengetahuan menurut Islam. Dengan demikian, pendidikan

dalam Islam tidak menganal dikotomi dalam pengertian yang berlebihan,

akan tetapi hanya membedakan jenis-jenis atau klasifikasi, seesuai dengan

bidang (manfaat, metode dan cara memperolehnya, obyek), seperti yang

tampak pada table dibawah ini:

No Bidang Pembagian

1. Sisi Manfaat Ilmu

(Aksiologi)

a. Ilmu yang langsung bermanfaat untuk kehidupan

Dunia Ilmu yang langsung bermanfaat untuk

kehidupan Akhirat

2. Sisi Perolehan Ilmu

(Epistemologi)

a. Ilmu Kasbi atau Ilmu Mubasyarah

b. Ilmu Laduni atau Ilmu Mukhasayafah

3. Sisi Objek Ilmu

(Ontologi)

a. Ilmu yang bersifat Material

b. Ilmu yang bersifat Non-Material

Page 194: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

172

Tabel 4.2: Paradigma Pembagian Ilmu dalam Persepektif Islam

Jika melihat daripada table diatas, kiranya sering orang

berpandangan bahwa adanya dikotomi itu teletak pada sisi manfaat ilmu

atau aksiologi, yang secara pembagian diameteral membagi ilmu kepada

ilmu untuk kepentingan dunia dan ilmu untuk kepentingan akhirat.

Sebagaimana al-Ghazali membagi ilmu kepada ilmu syari‟ah dan ghoiru

syari‟ah atau Al-Syafi‟i seperti yang dideskripsikan oleh Suwito dan

Fauzan, membagi ilmu menjadi dua macam: pertama, ilmu fiqh untuk

agama. Dan kedua ilmu Thib untuk keperluan tubuh, hal tersebut adalah

merupakan hanya hirarki atau tingkatan saja ilmu saja, bukan pemisahan

dua jenis yang berlainan.

Oleh karenanya, apa yang yang dimulai sejak Rasulullah, lalu

berkembang pada masa sahabat dan diteruskan pada genarasi selanjutnya

(Dinasti Umayah dan Abbasiyah), termasuk pada zaman al-Ma‟mun

adalah upaya Islam dalam mensinregikan atau dengan kata lain

mengintegrasikan ilmu, baik ilmu agama atau ilmu umum, baik yang

dikembangkan oleh ulama atau ilmuwan Muslim yang bertujuan pada

sumbu “Tauhid” atau pengetahuan tentang “Hakikat Yang Maha

Tunggal”.

Paradigma pengembangan ilmu pengetahuan pada era klasik,

adalah obor kehidupan yang akan terus mengiringi umat Islam dalam

peradaban dunia, bahwa konsep Islam yang di bawa oleh Rasulullah

adalah ramatan lil‟alamin (rahmat untuk seluruh alam), itu artinya

meskipun panggung dunia telah berubah pada masa kini, dimana ilmu

pengtahaun dan juga teknologi didominasi oleh Barat, akan tetapi tetap

saja Islam yang menjadi porosnya.

F. Pola Gerakan Intelektual yang Integrated Zaman Al-Ma’mun

Kemajuan umat Islam pada zaman klasik (abad ke-7-13 M) dalam

bidang kebudayaan dan peradaban yang didukung bukan saja dalam

bidang ilmu agama Islam: tafsir, fiqih, hadis, teologi dan tafsir, akan tetapi

juga dalam bidang ilmu pengetahuan di bidang sosial, politik, astronomi,

fisika, kimia, kedokteran, farmasi, arsitektur, seni, filsafat, teknik, biologi,

pemerintahan, geografi, seni, dan lain sebagainya. Berbagai kemajuan

dalam bidang ilmu inilah yang selanjutnya digunakan untuk membangun

kebudayaan dan peradaban Islam.

Sejarah mencatat, bahwa selain para ulama yang menguasai ilmu

agama Islam, seperti tafsir, hadis, fiqih, tasawuf, juga terdapat para ulama

yang menguasai ilmu-ilmu filsafat, seni dan sains dengan berbagai

cabangnya sebagaimana yang dikemukana diatas. Al-Ma‟mun adalah

salah satu dari yang penulis maksudkan, ia selain sebagai seorang

Page 195: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

173

penguasa di zamannya, akan tetapi ia juga merupakan seorang ilmuwan

Muslim, penyair, khatib, muhaddits, serta mahir dalam bidang filsafat dan

perbintangan (astronomi). Ia juga dapat menguasai empat bahasa Arab,

yaitu bahasa Yunani, Ibrani, Persia, India (Jaudah, 2007: 330).

Hal senada pun terjadi pada ulama dan ilmuwan Muslim lainya

seperti: Al-Farabi (872-890 M), misalnya selain dikenal sebagai ahli

filsafat, ia juga dikenal sebagai ahli politik, kedokteran, ilmu kalam,

akidah, fiqih dan sejarah. Begitupun juga dengan Ibn Sina selain dikenal

sebagai ahli filsafat, sebagaimana terdapat pada bukunya Asy-Syifa, ia

juga dikenal sebagai ahli ilmu jiwa lalu dalam bukunya an-Najah, lalu ahli

kedokteran sebagaimana dalam bukunya al-Qonun fi at-Thibb, ahli

astronomi, kimia, fisika bahkan juga ahli tasawuf sebagaiman dalam kitab

al-Qanun fi at-Thibb (Nata, 2011: 31, As-SIrjani, 2011: 375, Majid, 2000:

225).

Nurcholis Majid menambahkan dalam Khazanah Intelektual Islam

bahwa, pada zaman klasik memiliki ilmuan yang ensiklopedik, seperti Ibn

Rusyd (w.595 H/1198 M), selain dikenal sebagai filosof Islam,

sebagaimana terdapat dalam kitab Fadhlu al-Maqal fima Baina al-Hikmah

wa Syari‟ah Min al-Ittihsal, juga dikenal sebagai ahli kedokteran

sebagaimana dalam kitab al-Kulliat, dan ahli fiqih sebagaimana dalam

kitab Bidayah al-Mujtahid. Mereka itulah sebagain ulama, sekaligus

ilmuwan yang pernah dimiliki oleh Islam yang memperhatikan masalah

agama, akhirat, spiritual dan juga masalah dunia (Majid, 1987: 5).

Meskipun zaman kontemporer saat ini tidak selengkap zaman klasik, akan

tetapi saat ini masih ada yang ulama yang karakternya seperti intelektual

pada zaman klasik, meskipun jarang ditemui dan tidak begitu banyak

jumlanya.

Melihat adanya fenomena ilmuwan yang demikian, maka

muncullah pemikiran dari beberapa ilmuwan untuk mencari sebab-

sebabnya. Ada yang berpendapat, bahwa hal tersebut diatas karena

perkembangan ilmu pengetahuan pada zaman al-Ma‟mun masih

sederhana, berada dalam taraf pertumbuhan, belum khusus seperti saat ini,

sehingga setiap orang dapat mengembangkan hasrat intelektualnya sesuai

dengan kehendaknya. Selanjutnya ada juga yang berpendapat, bahwa hal

demikian itu pernah terjadi, karena belum adanya pemahaman yang

dikotomik antara ilmu agama dengan ilmu umum. Dan mungkin saja pada

zaman al-Ma‟mun adalah masih zaman yang terbaik (tabi‟in),

sebagaimana Rasul pernah bersabda “Sebaik-baiknya zaman adalah

zamanku, lalu zaman para sahabat, dan zaman setelahnya (tabi‟in).”

Akan tetapi, yang menyebabkan lahirnya ilmuwan Muslim yang

multilatented atau ensiklopedik tersebut adalah karena adanya pola dan

model pendidikan dan model yang integrated. Pola atau model pendidikan

Page 196: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

174

Islam di zaman al-Ma‟mun, selain masih dipengaruhi oleh semangat

Hellenis yang berbasis pada penelitian dan pemikiran, juga masih kental

dipengaruhi oleh semangat keagamaan yang berbasis pada wahyu. Hal ini

tentu berbeda dengan pola pendidikan yang berkembang di Barat.

Sebagaimana A. Malik Fadjar mengatakan: di Barat saat ini yang bersifat

dikotomis, yakni di satu pihak ada yang mengambil model Universitas

Studisorum berbasis Hellenis yang menekankan aspek kebutuhan pasar

dan memenuhi kebutuhan lapangan kerja, sebagaimana yang digunakan di

Inggris dan Amerika Serikat, yang selanjutnya dikenal sebagai Anglo

System, sedangkan di sisi yang lain ada yang mengambil model universite

Magistorum berbasis Semitis yang menekankan kepentingan kaum gereja

yang berorientasi doktriner keagamaan” (Nata, 2011:132, Kamaluddin,

2010: 172).

Jadi, jika di sandingkan pada zaman al-Ma‟mun atau klasik dengan

saat ini yang ada di Barat tentu saja tidak dapat disamakan dan amat

sangat jelas sekali perbedaanya.

Pola gerakan intelektual dan pengembangan ilmu yang

dikembangkan oleh umat Islam di zaman al-Ma‟mun atau klasik adalah

pola gerakan yang bersifat integrated. Yaitu pola yang didasarkan pada

integrasi antara dimensi fisik dan metafisik, dimensi lahir dan batin,

dimensi fisik dan tasawuf, dimensi fisik, panca indra, intuisi, akal, dan

wahyu, dunia dan akhirat, jasamni dan rohani, dan material spiritual. Hal

tersebut berpandangan pada dasar sifat dan krakteristik ajaran al-Qur‟an

dan Sunah yang tidak mengenal pemisahan antara berbagai urusan

tersebut dan tidak di temukan dikotomik dalam segala hal.

Keimanan kepada Tuhan yang bersifat batin dan menggunakan

indra batiniah, berupa an-nafs, ar-ruh, as-sir, al-qalb, al-fuad, al-lub, al-

zauq dan berbagai potensi batiniayh lainnya dalah sebuah realitas objektif

dan menjadi bagian integral dari kebutuhan manusia. Indra batin itulah

yang digunakan untuk memahami dan menghayati nilai-nilai spiritual dan

ajaran tentang keimanan. Indra batin inilah yang diberikan Tuhan untuk

membantu indra, fisik, dan akal manusia dalam memahami berbagai hal

yang berada di luar jangkauannya. Keimanan itulah yang selajutnya

menjadi energi positif yang menggerakkan orang untuk semakin meyakini

adanya hal-hal yang metafisis dengan cara memahami hukum-hukum

Tuhan yang bersifat metafisik yang terdapat berbagai fenomena sosial,

fenomena alam, dan berbagai hal lainnya. Ketika kajian empiris,

observasi, dan eksperimen yang dilakukan fisik, panca indra dan akal di

laboratorium misalnya menemukan teori tentang segala sesuatu yang

terdapat pada benda tersebut, dan teori tentang segala sesuatu yang

terdapat dalam benda tersebut, dan teori tersebut disusun dalam bentuk

ilmu pengetahuan (sains), maka sesungguhnya ilmuwan hanyalah

Page 197: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

175

penemu, bukan pencipta. Yang menciptakan semua itu adalah Yang

Maha Pencipta (Tuhan). Para ilmuwan Muslim di zaman al-Ma‟mun atau

klasik menggunakan pola gerakan intelektualnya itu bertolak dari

pemahaman yang utuh tentang manusia dengan segenap potensi yang

dimilikinya, pemahaman yang utuh menjadi objek penelitian baik bersifat

fisik maupun nonfisik. Mereka memadukan antara empiris, spekulatif,

metafisis, dan bathiniah secara bersamaan. Itulah mengapa ketika dengan

meyakini adanya Tuhan, dalam waktu yang bersamaan para ilmuan atau

ulama di zaman al-Ma‟mun (klasik) dapat menjadi seorang sufi, seorang

ilmuwan yang menguasai anatomi manusia, karakteristik, benda-benda

fisik, sebagaimana terlihat dalam ilmu astronomi, fisika, biologi, kimia,

kedokteran, sosiologi, geografi, matematika, optic, farmasi, pemerintahan

dan lain sebagainya secara bersamaan (Nata, 2011: 33).

Secara historis dan sosiologis gerakan intelektual di zaman al-

Ma‟mun belum ada pola atau model yang khusus. Hal tersebut terjadi,

karena pada zaman tersbut belum ada gangguan atau bahkan pemaksaan

dari luar maupun dalam atau kekuatan secara politis yang mengharuskan

menggunkan model atau pola tertentu. Pada zaman al-Ma‟mun setiap

ulama dapat saling menghormati dan menghargai gagasan dan

pemikirannya masing-masing. Oleh karena itu, sejarah mencatat bahwa di

zaman tersebut yang ada memiliki persamaan dan model gerakan

intelektualnya dan ada juga memiliki perbedaan antar satu sama lain. Di

kalangan para ilmuwan bidang sosial dan ilmu alam (sains) pada ilmuwan

yang lebih banyak berkonsentrasi pada bidang teoritis, seperti al-Biruni

dalam bidang fisika dan ada juga yng berkonestrasi pada praktik, seperti

al-Razi dalam bidang fisika, ada juga yang berkonetrasi pada teoritis dan

praktis secara bersamaan, seperti Ibn Sina dalam bidang kedokteran, dan

Ibn Rusyd dalam bidang kedikteran dan hukum Islam (Nata, 2011: 134).

Jadi dapat dikatakan, pola gerakan integrasi keilmuan yang terjadi

pada zaman klasik sangat variatif, dinamis, proresif, inovatif dan holistic.

Hal ini sejalan dengan adanya kebebasan dan kemerdekaan yang tumbuh

dan berkembang di kalang ulama, belum ada tekanan politik dan berbagai

kepentingan dan pesanan yang diletakkan pada ilmuan. Dan model

intelktual yang di kembangkan di Yunani, India, dan Cina yang berbasi

pada budaya, tradisi tidak sepenuhnya digunakan oleh ulama. Dengan

demikian model gerakan intelktual pada zaman klasik memiliki ciri,

bahwa para ulama langsung mengakses al-Qur‟an dan Sunah, tanpa

mengikuti petunjuk ulama sebelumnya dan para ulama dapat menjadi

ulama ilmu agama serta juga dapat menjadi ilmuwan di berbagai bidang

seperti: ilmu alam, ilmu sosial, ilmu kedokteran, filsafat dan lain

sebagaianya.

Page 198: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

176

Hal yang terjadi di atas berbeda pada zaman setelah zaman klasik,

dimana pemahaman keagamaan pada zaman pertengahan (abad ke-14 s/d

18 M), malah cenderung lebih mengutamakan ilmu agama, dan kurang

menghargai ilmu-ilmu umum, seperti ilmu sosial, alam, filsafat dan ilmu

lainya sudah mulai ditinggalkan dan tidak lagi ada pengembangan ilmu

umum oleh umat Islam, akan tetapi pengembangan ilmu umum justru

diambil alih oleh Barat. Secara politis umat Islam malah terpecah

menjadi dua kubu, Syi‟ah dan Sunni, hal tersebut hingga saat ini masih

terus berlangsung. Pada akhirnya di zaman pertengahan inilah telah terjadi

pandangan dikotomis antara ilmu agama dengan ilmu umum, yang mana

sudah tidak telihat jelas ingtergatif dari keduanya. Sampai munculnya

paradigma bahwa ilmu umum adalah sesuatu yang tidak wajib harus

dipelaari oleh umat Islam, karena kedudukannya hanya fardhu kifayah.

Pada abad pertengahanlah, dimana perhatian umat Islam lebih

banyak tertuju pada ilmu-ilmu agama yang membicarakan tentang moral,

tasawuf, atau tarekat dibandingkan ilmu umum, hal semacam ini menjadi

tumpang tindih. Karena meninggalkan ilmu-ilmu umum, maka terjadilah

apa yang saat ini dinamakan “dikhotomis” yaitu memisahkan antara ilmu-

ilmu agama dan ilmu-ilmu umum, serta meyakini bahwa mempelajari

ilmu umum sebagai bukan dari bagian perintah ajaran Islam. Keadaan

umat Islam yang terpinggirkan dan ketidakmampuan untuk mengakses

berbagai peluang atau informasi dalam bidang sosial, ekonomi, politik,

dan lain sebagainya.

Jika di telusuri terjadinya sikap dikotomis ilmu antara agama

dengan umum, tidak ditemukan pada zaman al-Ma‟mun akan tetapi pada

saat kholifah al-Mutawakil pada tahun 847-861 M. yang membatalkan

madzhab Mu‟tazilah sebagai madzhab negara dan mendukung madzhab

Ahl al-Sunnah wa al-Jama‟ah. Lebih dari itu, kemudian akademi-akademi

yang mengajarkan ilmu-ilmu filosofis dan ilmu-ilmu rasional ditutup.

Bahkan, banyak tokoh-tokoh Mu‟tazilah yang diusir dari Bagdad.

Agaknya wajar jika kemudian Ahl al-Sunnah wa al-Jama‟ah menutup

akademi-akademi yang mengajarkan ilmu-ilmu filosofis dan rasional,

karena golongan ini sebagian besar lebih berpaham Jabariyyah, yang

menganut Fatalisme, yakni segala hal yang ada dan terjadi pada manusia

lebih ditentukan oleh Tuhan. Dalam paham ini, manusia tidak punya daya

dan upaya untuk dirinya sendiri sekalipun (Nasution, Rasional: 1995:

115). Sejak saat itu, perkembangan dan eksplorasi keilmuan di bidang

filosofis dan rasional menjadi terhenti. Semua lembaga-lembaga yang

mengajarkan filsafat ditutup. Secara perlahan dan tanpa disadari oleh umat

Islam, mereka akhirnya seperti konservatif terhadap dirinya dengan ilmu-

ilmu filosofis dan rasional yang justru sebagai dasar perkembangan iptek.

Perkembangan iptek yang sebelumnya pernah mencapai puncak

Page 199: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

177

kemajuannya pun akhirnya nyaris terhenti secara total. Sebagian umat

Islam seolah mengklaim, bahkan menganggap menghianati dan memusuhi

agama kepada orang-orang yang mempelajari ilmu umum, dan akan

dipandang mulia orang-orang yang mempelajari ilmu agama atau ilmu-

ilmu yang bernuansa akhirat.

Dengan demikan, pola gerakan yang terjadi di zaman al-Ma‟mun

(klasik) sangat variatif, dinamis, progresif, inovatif dan integrated serta

holistik. Hal ini sejalan dengan adanya kebebasan dan kemerdekaan yang

tumbuh dan berkembang di kalangan para ulama, belum ada tekanan

politik dan berbagai kepentingan dan pesan yang diletakkan kepada para

ilmuwan, dan sebagai pemula, atau printis. Tidak semuanya model atau

pola gerakan yang dikembangkan di India, Yunani di pakai oleh para

ulama Islam.

Jadi dapat dikatakan bahwa, pola gerakan integrated yang

digunakan dalam zaman al-Ma‟mun atau klasik memiliki ciri-ciri yaitu

setiap ulama dapat menjadi seorang ulama ilmu agama, juga dapat

menjadi ilmuwan dibidang misalnya, ilmu sosial, ilmu alam, filsafat, seni

dan lain sebagainya.

G. Model Pengembangan Ilmu Zaman Al-Ma’mun Terpusatkan

pada Ilmu-ilmu Alam (Sains)

Sebagaimana pada pembahahasan sebelumnya bahwasanya ilmu

pengetahuan oleh para ahli dibedakan menjadi dua, ada ilmu yang

berbasis pada fenomena alam atau dikenal dengan istilah natural science

dan ada juga yang berbasis pada fenomena sosial atau dikenal dengan

istilah social science. Oleh karenanya pada bab ini hanya terfokus pada

ilmu-ilmu alam (sains) yang dapat dikembangkan pada zaman al-Ma‟mun

atau priode kasik. Di dalam al-Qur‟an Allah Swt menyatakan:

Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih

bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut

membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah

Page 200: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

178

turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan

bumi sesudah mati (kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu

segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang

dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-

tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan.

(Q.S. Al-Baqarah: 164).

Pada ayat di atas memberi petunjuk tentang hal-hal sebagai

berikut: Pertama, petunjuk yang berkenaan dengan berbagai hal yang

termasuk alam sebagai objek kajian ilmu pengetahuan, yakni proses

penciptaan langit dan bumi, peredaran waktu siang dan malam, bahtera

atau kapal yang berlayar di lautan dan diambil manfaatnya untuk manusia,

tentang air hujan, tumbuh-tumbuhan, peredaran angin dan awan. Kedua,

petunjuk yang berkenaan dengan perintah kepada manusia untuk

memikirkan dan memahami hukum-hukum yang terdapat di dalamnya.

Ketiga, petunjuk yang berkenaan dengan keyakinan, bahwa alam jagat

raya ini tidak terjadi dengan sendirinya, melainkan tercipta dengan

kehendak Allah.

Dengan memahami dan mengkaji alam jagat raya ini, maka para

ahli akan menemukan berbagai teori yang disusun menjadi ilmu

pengetahuan alam atau yang lebih dikenal sekarang ini dengan sebutan

sains, seperti ilmu tumbuh-tumbuhan (flora), ilmu tentang makhluk hidup

(biologi) baik yang berkenaan dengan binatang (fauna) maupun manusia,

berkenaan dengan planet dan perbintangan ruang angkasa (astronomi),

benda-benda keras dan cair (fisika), yang dengan menggunakan ilmu-ilmu

murni ini para ahli di zaman klasik dapat melahirlkan ilmu farmologi,

botani, kedokteran, kimia.

Kajian tentang ayat-ayat kauniyah dengan menggunakan isyarat

ayat al-Qur‟an yang didukung dengan riset empiris berupa observasi

(burhani) dan eksperimen (Ijbari) telah banyak dilakukan oleh para

ilmuwan Muslim pada zaman klasik, seperti al-Khawarizmi tentang

astronomi, Ibn Hayyan tentang fisika, Ibnu Sina tentang kedokteran (Nata,

2011: 376-377). Di zaman sekarang ada orang yang bernama Zaghloul,

yang telah menulis 45 buku tentang ayat-ayat kosmologi. Ia mengatakan,

bahwa kehebatan kekuasaan Tuhan dan bukti nyata atas keesaan Allah

Swt. tanpa sekutu, kemiripan, dan tandingan adalah bertemunya alam

semesta yang sangat besar kesatuannya dengan alam yang sangat akurat

sekali, lalu bertemunya ilmu kosmologi modern dengan ilmu fisika

partikel. Hasil penelitian fisika partikel dasar pada neklus atom mulai

memberikan dimensi-dimensi konkret untuk memahami proses penciptaan

alam semesta dan fase-fasenya (El-Nagger, 2010: 18)

Dengan memperhatikan ayat-ayat tersebut serta penjelasannya,

Page 201: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

179

dapat diketahui bahwa alam jagat raya adalah sumber ilmu pengetahuan,

khususnya ilmu pengetahuan alam (sains) ternyata tanda-tanda kekuasaan

Allah. Alam jagat raya tidak terjadi dengan sendirinya, karena akal tidak

mungkin dapat menerima adanya alam tanpa penciptanya. Namun akal

juga tidak bisa menerima jikalau pendapat, bahwa adanya Tuhan karena

adanya yang menciptakan, oleh karena itu, jika Tuhan diciptakan, maka

dirinya bukan lagi disebut Tuhan, melainkan sebagai makhluk. Dan

dengan menyadari alam sebagai ciptaan dan ayat Allah Swt, maka

manusia semakin memahami alam dengan segala hukum, hikmah dan

rahasia yang terkandung di dalamnya, maka manusia akan semakin

mengagungkan kebesaran Allah. Sebagaiman Allah berfirman :

Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata

dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam

warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah

di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya

Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun. (Q.S. Faathir: 28).

Pada ayat tersebut terdapat kata ulama, yaitu orang-orang yang

mengetahui kebesaran dan kekuasan Allah Swt. yang dihasilkan dari studi

dan penelitiannya terhadap berbagai ciptaan-Nya, seperti binatang yang

melata dan binatang ternak yang beraneka macam jenisnya, air hujan yang

turun dari langit, tanah subur yang terkena air hujan selanjutnya

menghasilkan ragam tumbuh-tumbuhan berupa sayur-mayur, buah-

buahan, dan bahan makanan lainya, gunung-gunung yang memiliki garis

putih, hitam pekat dan merah dan lain sebagainaya. Dengan cara

demikian, seorang ilmuwan dengan ilmunya yang luas dapat digunakan

untuk mengenal, mendekati, dan mencintai Allah, lebih dari apapun di

dunia ini. Sebagaimana Ian Barbour pernah mengungkapkan dengan

ungkapan menemukan Tuhan melalui sains (Babour. 2000: 87).

Al-Qur‟an sangat mendorong dikembangkannya ilmu

pengetahuan. Hal ini terlihat dari banyaknya ayat al-Qur‟an yang

menyuruh manusia agar menggunakan akal pikiran dan segenap potensi

yang dimilikinya untuk memperhatikan segala ciptaan Allah Swt.

Dorongan al-Qur‟an terhadap pengembangan ilmu pengetahuan tersebut

terlihat pula dari banyaknnya ayat al-Qur‟an (lebih dari 700 ayat) yang

berkaitan dengan ilmu pengetahuan, pujian dan dukungan yang tinggi bagi

Page 202: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

180

orang-orang yang berilmu serta pahala bagi yang menuntut ilmu.

Sungguhpun banyak temuan di bidang ilmu pengetahuan yang sejalan

dengan ilmu pengetahuan (Nata, 2010:167).

Berdasarkan ayat-ayat tersebut diatas, jelaslah sudah bahwa al-

Qur‟an al-Karim amat banyak berbicara tentang berbagai ilmu

pengetahuan, karena berbagai isyarat ayat al-Qur‟an tersebut belum

disusun berdasarkan metodologi ilmu pengetahuan serta yang

dikemukakan dalam al-Qur‟an lebih pada prinsip-prinsip, spirit serta

kaidah dalam mengembangkan berbagai macam ilmu pengetahuan

tersebut. Dengan pengertian tersebut, maka Mulyadi Kartanegara, dapat

memberi kesimpulan bahwa ilmu adalah pengetahuan tentang segala

sesuatu sebagaimana adanya (Karanegara, 2003: 3). Pengertian tersebut

mengambarkan begitu luasnya ruang lingkup ilmu, baik dari segi sumber,

obyek, epistemology, bahkan aksiologinya (Suriasumantri, 1990: 294).

Ilmu tidak bisa dipandang secara parsial ataupun juga marjinal, tetapi

justru sebagai satu kesatuan sumber dan kesatuan eksistensi.

Sumber segala ilmu adalah Allah Swt. sedangkan segala eksistensi

pada hakikatnya juga berasal dari Allah. Pengistilahan ini mungkin lebih

tepat jika dipandang sebagai tauhid atau integritas dalam keilmuan.

Sehingga, obyek ilmu pun akhirnya harus diyakini tidak hanya yang

indrawi (fisik), tetapi juga non-indrawi atau non-fisik( metafisik) (Nata,

dkk, 2003: 170).

Begitu juga sarana akal, dalam ayat tersebut hanya disebutkan

secara implisit saja, akan tetapi jika dicermati dalam ayat tersebut Allah

menyebutkan “agar kamu bersyukur” , hal ini manusia tidak mungkin bisa

bersyukur atas apa yang telah dianugrahkan Allah kepadanya, kecuali

mereka yang menggunakan akalnya dengan baik. Dengan demikian, dapat

disimpulkan bahwa dalam mendapatkan pengetahuan, manusia dapat

memperolehnya dengan cara mendengar, melihat maupun merasakan

sesuatu yang baru, sehingga menjadi pengetahuan yang baru bagi dirinya.

Begitu juga dengan akal, seseorang mungkin hanya dengan kemampuan

akalnya, melalui trial and error ( coba-coba), pengamatan, percobaan, uji

kemungkinan (probabilitas), ia mampu mendapatkan pengetahuan baru

yang belum didapatkan sebelumnya (Shihab, 1997: 437).

Tuhanlah yang menciptakan jagat raya ini sebagaimana dalam al-

Qur‟an dan Hadits. Tuhan menciptakan bumi, bulan, matahari dan bintang

yang masing-msing berputar pada porosnya. Matahari mengelilingi bumi,

bulan dan bintang mengelilingi matahari. Semua berputar pada orbitnya.

Disamping itu, al-Qur‟an juga berbicara tentang air yang dinyatakan

sebagai sumber kehidupan, berbicara tentang tanah, gunung, lautan, langit,

api, binatang, tumbuh-tumbuhan dengan berbagai prilaku dan sifat-

sifatnya. Meskipun sudah banyak yang berhasil dikaji dan diketahui oleh

Page 203: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

181

manusia lewat penelitian-penelitian ilmiah, akan tetapi rahasia yang

dibuka oleh Tuhan masih sedikit. Al-Qur‟an menyebut bahwa langit

berlapis tujuh, gunung diciptakan untuk memperkokoh kehidupan

manusia. Hal tersebut dijelaskan dalam al-Qur‟an karena mengandung

pelajaran dan makna yang mendalam bagi kehidupan manusia.

1. Prinsip-Prinsip Pengembangan Sains dalam Islam zaman Al-

Ma’mun

Agar ilmu pengetahuan tidak tersesat baik dalam

pengembangannya maupun dalam memanfaatkannya, maka Islam

menetapkan prinsip-prinsip sebagai berikut: Pertama. Prinsip Tauhid.

Menurut Islam bahwa sumber ilmu pengetahuan dapat berupaya wahyu

(ayat Qauliyah) alam jagat raya (ayat kauniyah), fenomena sosial (ayat

insaniyah) akal pikiran dan intuisi atau ilham yang semuanya berasal dari

Allah Swt. Sumber-sumber ilmu pengatahuan ini antara lain satu dan

lainnya berasal dari Tuhan, dan harus saling melengkapi antara satu dan

lainnya. Ilmu yang dibangun, di samping mengakui keabsahan

pengamalan indrawi (yang mendapat tekanan dari kaum empiris dan

positivis), juga pengalaman-pengalaman mental, mistik, religious,

intelektual, dan spiritual, yang di samping subjektivitasnya ternyata juga

memiliki basis-basis objektivitasnya di dunia non empirs (Kartanegara,

2005:43).

Kedua. Prinsip Integrated. Bahwa seluruh sumber ilmu

pengetahuan serta pengetahuan yang dihasilkan melalui sumber tersebut

saling membutuhkan antara satu dan lainnya. Ilmu agama membutuhkan

ilmu pengetahuan alam atau sains, dalam rangka melaksanakan dan

memperaktikkan ilmu agama agar ilmu pengetahuan alam tersebut tidak

disalahgunakan untuk tujuan-tujuan yang merugikan manusia dan

melanggar Allah Swt. Lebih dari itu, bahwa integrasi ilmu ini meliputi

integrasi bidang ilmu, sumber ilmu, pengalaman manusia, metode ilmiah,

penjelasan ilmiah, teoritis dan praktis (Nata, 2003, 58-177).

Ketiga. Prinsip pengamalan dan berpegang pada kebenaran.

Menurut Abuddin Nata, ilmu pengetahuan dalam Islam bukan hanya

kepuasan ilmu itu sendiri, melainkan ilmu tersebut harus diamalkan dan

dimanfaatkan baik untuk kepentingan sendiri, maupun kepentingan

masyarakat, bangsa dan Negara. Sebagaimana pepatah Arab mengatakan

bahwa: “Ilmu yang tidak diamalkan tak ubahnya seperti pohon yang tidak

berbuah”. Islam mengajarkan bahwa yang dituju oleh ilmu bukanlah

mencari pembenaran, melainkan mencari kebenaran. Orang yang mencari

pembenaran bisa saja mengatakan sesuatu yang tidak benar, namun dicar-

cari berbagaai alsana agar yang tidak benar itu dibenarkan. Prinsip ilmu

Page 204: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

182

pengetahuan berbeda dengan prinsip politik yang bertumpu pada mencari

pembenaran” (Nata, 2011: 383-384).

Keempat. Prinsip kesesuaian dengan agama. Sebagaimana

dikemukakan dalam prinsp tauhid tersebut, bahwa semua sumber ilmu

dalam Islam pada hakikatnya berasal dari Allah, maka dari itu ilmu

pengetahuan yang bersumber pada kajian alam jagat raya pasti akan

sejalan dengan pengetahuan yang berasal dari wahyu. Dengan demikian,

antara ilmu agama dan ilmu umum tidak boleh bertentangan. Jika ada

pertentangan antara ilmu agama dan ilmu umum, maka harus diperbaiaki

adalah pendapat ilmu.

Kelima. Prinsip terbuka dan manfaat. Dalam Islam bahwa ilmu

yang dihasilkan oleh seseorang ilmuwan bersifat terbuka dan menjadi

milik bersama. Dengan sifatnya yang demikian, maka tidak oleh seorang

pun melarang membaca hasil temuan seorang ulama. Dengan sifat yang

terbuka, maka ilmu tersebut juga boleh dikritik atau dibatalkan oleh

ilmuwan lain. Dengan prinsipnya yang demikian itu, maka ilmu

pengetahuan akan berkembang dari waktu ke waktu. Dalam Islam bahwa

ilmu yang dihasilkan oleh seorang ilmuwan harus bermanfaat atau

berguna bagi peningkatan kesejahteran umat manusia, baik secara jasmani

maupun rohani. Dalam Islam, ilmu bukanlah tujuan, melainkan hanya

sebagai alat dan ilmu bukan hanya untuk ilmu, melainkan ilmu untuk

kemaslahatan umat manusia. Dengan cara demikian, setiap orang yang

mengembangkan ilmu pengetahuan akan memiliki kontribusi bagi

kesejahteraan umat manusia (Nata, 2011: 38-385).

Didalam ajaran agama Islam, bahwasanya segala ilmu itu

hakikatnya adalah bersumber dari satu zat, yakni Allah Swt. Sebagai

sumber daripada segala ilmu. Hal tersebut dilansir dan ditegaskan oleh

Allah dalam firmannya Q.S. al-An‟am ayat 73 sebagai berikut:

“Dan Dialah yang menciptakan langit dan bumi dengan benar.

Dan benarlah perkataan-Nya di waktu Dia mengatakan:

“Jadilah” lalu terjadilah, dan di tangan Nyalah segala kekuasaan

di waktu sangkakala ditiup. Dia Mengetahui yang ghaib dan yang

Page 205: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

183

nampak. Dan Dialah yang Maha Bijaksana lagi Maha

Mengetahui. (Dep. Agama R.I, t.t: 136).

Dari interpretasi ayat diatas, menegaskan bahwasanya Allah yang

Maha Mengatahui yang ghaib dan yang nampak sebagai dimensi dari

seluruh benda di alam raya ini, ghaib yang non fisik atau immaterial dan

fisik atau material, karena memang aspek ontologis dan epistemologis

ilmu dalam Islam meliputi keduanya, yakni yang material (fisik) dan

immaterial (non-fisik). Dalam hal ini, Ibn „Abbas menyebut yang ghaib

sebagai apa yang tersembunyi pada manusia dan yang nampak sebagai

aktivitas manusia (al-Fairuzabadi, t.t: 90). Disamping itu juga Allah

menegaskan dalam dialognya dengan para malaikat di awal penciptaan

Nabi Adam yang akan didaulat menjadi kholifah di bumi. Disaat para

malaikat menolak dan mempertanyakan alasan Allah memilih Nabi Adam,

maka Allah kemudian mengungkapkan kelebihan Adam yang telah

diberikan semua nama, yakni ilmu. Dalam ayat ini bahwasanya manusia

diberikan potensi untuk mengetahui nama atau fungsi dan karakteristik

benda-benda. Ia juga dianugrahi potensi untuk berbahasa (Shihab, 2002:

143). Bahkan juga sering dikaitkan dengan pandangan Islam secara umum

mengenai ilmu ini adanya perintah Tuhan, langsung maupun tidak

langsung, kepada manusia untuk berfikir, merenung, menalar, dan lain

sebagainaya. Banyak sekali seruan dalam kitab suci kepada manusia untuk

mencari dan menemukan kebenaran dikaitkan dengan peringatan, gugatan,

atau perintah supaya berfikir, merenung dan menalar.17

Berdasarkan uraian tersebut di atas terlihat dengan jelas bahwa al-

Qur‟an dan Hadits memiliki pandangan yang integrated, baik pada

dataran ontologis, epistemologis, maupun aksiologis. Pandangan ini jauh

lebih unggul dibandingkan dengan pandangan pengembangan ilmu-ilmu

17 Nurcholis Majid dalam kerangka ini memetakan bahwa perkataan „aql (akal),

dalam kitab suci tersebutkan sebanyak 49 kali, sekali dalam bentuk kata kerja lampau,

dan 48 kali dalam bentuk kata kerja sekarang. Salah satunya adalah dalam surah al-Anfal

ayat 22, “Sesungguhnya seburuk-buruknya makhluk melata di sisi Allah ialah mereka

(manusia) yang tuli dan bisu, yang tidak menggunakan akalnya(la ya‟qilun). Perkataan

fikr (pikir) tersebut sebanyak 18 kali, dalam bentuk kata kerja lampau , dan 17 kali dalam

bentuk kata kerja sekarang. Salah satunya adalah Q.S Ali Imran (3) ayat 191; “… Mereka

yang selalu mengingat Allah pada saat berdiri, duduk maupun diatas lambung

(berbaring), serta memikirkan kejadian langit dan bumi”. Yang sama maknanya dengan

aqal dan fikir ialah tadabbur (merenungkan), yang dua kali tersebutkan dalam kitab suci,

kedua-duanya tentang sikap yang diharapkan dari manusia terhadap Al-Qur‟an. salah

satunya ialah Q.S. Muhammad (47) ayat 24, “Apakah mereka tidak merenungkan Al-

Qur‟an, ataukan pada hati dan jiwa mereka ada yang menyumbatnya ?”, Juga perkataan

Ibrah (bahkan renungkan atau pelajaran), yang tersebutkan dalam kitab suci sebanyak 6

kali, antara lain dalam Q.S. Yusuf (12) ayat 111; "Dalam kisah-kisah mereka itu sungguh

terdapat bahan pelajaran bagi orang yang berpengertian mendalam…”.

Page 206: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

184

pengetahuan yang dikembangkan di Barat yang bersifat pasial, tidak utuh

dan tidak kokoh, sehingga mudah sekali ilmu-ilmu tersebut digunakan

untuk tujuan-tujuan yang dapat menghancurkan harkat dan martabat

manusia.

H. Paradigma Pengembangan Sains Integrated yang Berbasis pada

Tauhid di Zaman Al-Ma’mun Berikut ini adalah pengembangan ilmu pada aspek ontologis,

epistemologis dan aksiologis yang digunakan oleh para ulama atau

ilmuwa pada zaman klasik sebagai berikut:

1. Pengembangan Sains Berdasarkan Ontologis

Menurut Al-Qur‟an dan hadis bahwa sumber ilmu (ontology)

pengetahuan bukan hanya alam jagat raya (fenomena alam), perilaku

sosial (fenomena sosial) dan kekuatan daya pikir (ratio) sebagaimana yang

dianut dalam masyarakat Barat, melainkan juga ayat-ayat al-Qur‟an dan

matan Hadis Rasulullah, serta intuisi atau ilham. Dengan demikian,

sumber ilmu pengetahuan dalam pandangan Islam jauh lebih lengkap dan

lengkap jika dibandingkan dengan sumber ilmu pengetahuan menurut

pandangan Barat. Jika Objeknya ontologis yang dibahas wahyu (al-

Qur‟an) termasuk penjelasan atas wahyu yang dilakukan oleh Nabi

Muhammad Saw., berupa Hadits, dengan menggunakan metode ijtihad,

maka yang dihasilkannya adalah ilmu-ilmu agama seperti: Teologi, Fiqih,

Tafsir, Hadits, Tasawuf, dsb. Al-Qur‟an sebagai sumber ilmu

pengetahuan, bisa dijelaskan oleh Q.S. Yusuf ayat 1-2 dan Q.S. An-Nahl

ayat 44.18

Kemudian jika objeknya ontologis yang dibahasnya alam jagat

raya, maka para ahli akan menemukan berbagai teori yang disusun

menjadi ilmu pengetahuan alam atau yang lebih dikenal dengan sains,

seperti langit, bumi, serta segala isi yang ada di antara keduannya, yakni

matahari, bulan bintang, tumbuhan-tumbuhan, bintang, api, udara dsb

dengan menggunakan metode penelitian eksperimen di laboratorium

pengukuran, pertimbangan dsb., maka ilmu yang dihasilkan adalah Ilmu

alam (Natural Sciencis) seperti biologi, fisika, kimia, astronomi, dsb.

(Nata, 2011: 337). Dengan memperhatikan ayat-ayat al-Qur‟an dan

penjelasannya, dapat diketahui bahwa alam jagat merupakan sumber ilmu

18 (1). Alif, laam, raa. Ini adalah ayat-ayat kitab (Al Quran) yang nyata (dari

Allah). (2). Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al Quran dengan berbahasa

Arab, agar kamu memahaminya. (Q.S. Yusuf : 1-2). 44. Dengan Keterangan-keterangan

(mukjizat) dan kitab-kitab. dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu

menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya

mereka memikirkan, (q.S. An-Nahl ayat 44).

Page 207: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

185

pengetahuan, khususnya ilmu pengetahuan alam (sains) ternyata

merupakan tanda-tanda kekuasaan Allah Swt.

Ilmu pengetahuan alam seluruhnya pada hakikatnya berasal dari

Allah, karena sumber ilmu tersebut berupa wahyu, alam jagat raya,

manusia dengan prilakunya, akal pikiran dan intuisi batin seluruhnya

ciptaan dan anugrah Allah yang diberikan kepada manusia. Dengan

demikian para ilmuwan di zaman al-Ma‟mun atau klasik dalam berbagai

bidang ilmu: fisika, astronomi, kimia, kedokteran, biologi, botani,

perkebunan, dan lain sebagainya), sebenarnya bukan pencipta ilmu tapi

penemu ilmu, penciptanya adalah Tuhan. Atas dasar pandangan integrated

yang berbasis pada Tauhid tersebut maka seluruh ilmu hanya dapat

dibedakan dalam nama dan istilahnya saja, sedangkan hakikat dan

subtansi ilmu tersebut sebenarnya satu dan berasal dari Tuhan.

2. Pengembangan Sains Berdasarkan Epitemologis

Menurut Al-Qur‟an dan Hadis, bahwa cara mendapatkan

pengembangan ilmu (epistemologis) sangat beragam. Untuk mendapatkan

ilmu alam yang berdasar pada alam jagat raya harus menggunakan metode

ijbari,19

yakni observasi dan eksperimen yang dilakukan di laboratorium.

Dalam pandangan epistemologis, al-Qur‟an tentang bagaimana

mengembangkan ilmu pengetahuan tersebut berbeda dengan yang

dikemngkan di Barat. Jika di Barat pengembangan ilmu hanya

menggunakan pancaindra berdasarkan empiris, rasionalis, akal, dan

intuisi, maka dalam Islam semua alat untuk mencapai ilmu tersebut harus

disertai dengan penyucian batin (Shihab, 1997: 438).20

Petunjuk al-Qur‟an yang menginformasikan tentang pentingnya

mengintegrasikan kesucian batin dalam rangka pengembangan ilmu

pengetahuan ini sudah dipraktekkan oleh para ulama di masa lalu. Imam

Syafi‟i yang dikenal fuqoha yang besar pengaruhnya selalu memelihara

kesucian batin. Dalam kesempatan ia pernah mengadu kepada gurunya,

19 Secara harfiyah, ijbari artinya memaksa atau mencoba. Adapun dalam

penelitian, ijbari masdunya mengadakan percobaan atau eksperimen di laboratorium

berkenaan dengan benda-benda alam, baik yang padat, cair atau gas, binatang atau

manusia secara fisik. Caranya antara lain membandingkan antara satu benda dengan

benda lain, memasukkannya ke dalam tabung, mencampurkannya dengan unsur benda

lainnya, mengamati, dan mencari reaksi yang ditimbulkannya yang dilakukan secara

berulang-ulang dan selanjtnya menarik kesimpulan sebagai teori. Selanjutnya teori yang

sudah ada dipadukan dengan cara teknik pembuktiannya, maka melalui penelitian dan

percobaan serta penerapan teori ini, maka lahirlah teknologi.

20 M. Quraish Shihab,Wawasan Al-Qur‟an Tafsir Maudhu‟i atas Pelbagai

Persoalan Umat, … hal. 438.

Page 208: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

186

Waqi‟, karena sulitnya mendapatkan ilmu pengetahuan. Gurunya itu

mengingatkan agar mensucikan batin.21

3. Pengembangan Sains Berdasarkan Aksiologis Selanjutnya dalam bidang aksiologi ilmu pengetahuan,

bahwasanya al-Qur‟an mengingatkan selain ilmu pengetahuan agama dan

umum sebagai milik Allah Swt. Dan harus diabadikan dalam rangka

beribadah kepada Allah, juga harus disertai dengan memiliki sifat dan ciri-

ciri tertentu pula. Antara lain yang paling menonjol adalah sifat khasyah

(tekun dan kagum kepada Allah) sebagaimana ditegaskan dalam Firman

Allah Swt:

Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih

bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-

orang yang berakal. (Q.S. Ali „Imran: 190)

Dalam konteks ayat tersebut diatas, ulama adalah mereka yang

memiliki pengetahuan tentang fenomena alam yaitu proses penciptaan

langit dan bumi, serta peredaran waktu siang dan malam. Timbulnya akan

sikap takut dan penuh kagum kepada Allah tersebut diatas disebabkan

karena setelah para ulama atau ilmuwan mendalami ilmu pengetahuan

tersebut di atas, mereka merasa bahwa kekuasaan Allah itu demikian luas,

dan manusia merasa kecil dihadapannya, serta tidak mungkin untuk

21 Dalam teks Arabnya berbunyi: Syakautu ila waqi‟in suahifdzi fa arsyadani

ila tarki al-ma‟ashi wa „allamani bi anna al-ilm nurun wa nur Allah la yuda lil ashi.

Artinya : Aku mengadu kepada guruku waqi, karena sulitnya mengahafal, guru

mengajarkan agar aku meninggalkan perbuatan maksiat. Guru memberitahukan bahwa

ilmu itu adalah cahaya, dan cahaya itu tidak akan ddiberikan kepada orang-orang yang

berdosa. Hal yang sama juga dilakukan oleh Imam Bukhori yang dikenal sebagai ulama

besar dalam bidang hadits.menurut riwayat bahwa Imam Bukhori mennetukan metode

dan kriteria dalam penetapan hadits yang shahih dalam kitabnya Shahih Bukhari.

Menurutnya hadis shahih adalah hadis yang diriwayatkan oleh prawi yang adil, sempurna

ingatannya, bersambung sanadnya, tidak cacat, dan tidak bertentangan dengan nas yang

lebih tinggi. Ia mencoba pergi berkelana mencari hadis dari satu negri-ke negri lain,

kemudian menyeleksinya dengan kreteria tersebut. Dari 300.000 hadis yang ia dapat

kemudian ia teliti dengan cermat dan sampai pada kesimpulan bahwa hadis yang shahih

itu hanya setengah persennya saja,yakni 1500 hadis. Namuan yang sisanya itu terlebih

dahulu ia mintakan petunjuk kepada Allah dengan terlebih dahulu shalat Istiqharah.

Page 209: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

187

menandingi-Nya (Ibrahim, 2000: 88-90).

Renungan manusia terhadap Allah adalah perenungan yang kontinyu

dalam segala segi kegiatanya sehari-hari. Perenungan ini merupakan landasan

yang tetap bagi kebijaksanaan yang akan lahir dari berpikir dan berbuat.

Kegiatan berpikir manusia adalah suatu kerja universal dan integral. Liputan

berpikirnya tidak saja mengenai keadaan langit dan bumi , akan tetapi termasuk

di dalamnya peristiwa-peristiwa dan sejarahnya. Kajian yang paling radikal dari

pengunungan misteri alam semesta ini ialah usaha membuka tabir sejarah

penciptaanya. Formulasi pengetahuan manusia tentang alam semesta disajikan

lewat rumusan yang sistemik dan rasional, untuk kemudian disebut sains.

Tafakur melahirkan sains. Makin dalam tafakur manusia, makin banyak kesan

yang terlintas dari pengamatannya.

Penghargaan yang tinggi diberikan oleh Allah kepada manusia yang

berhasil mensintesis kegiatan berpikir dan berzikirnya menjadi suatu rumusan

yang mencermikan keterkaitan hubungan antara keduanya. Allah Swt

menggambarkan hubungan itu dengan ungkapan: “…Tuhan kami, tidaklah

Engkau ciptakan semua ini dengan sia-sia. Mahasuci Engkau, maka lindungilah

kami dari azab neraka” (Saefuddin, 2010: 280-281).

Perasaan yang demikian, membawa manusia untuk mensyukuri

ilmu pengetahuan yang diberikan oleh Allah Swt itu dengan cara

menggunakannya untuk tujuan-tujuan yang mulia. Dengan kerangka

berfikir aksiologi keilmuan yang demikian itu, maka Islam menganjurkan

dan mendorong agar ummat manusia mengembangkan ilmu pengetahuan

apa saja, sehingga ia menjadi ahli agama, ahli ekonomi, ahli politik, ahli

pendidikan, ahli, biologi, ahli, fisika, ahli kedokteran dan sebagainya,

dengan ketentuan ilmu-ilmu tersebut diabadikan dalam rangka beribadah

kepada Allah melalui pemanfaatannya untuk tujuan-tujuan kemanusiaan,

peningkatan harkat dan martabat manusia, menciptakan kesejahteraan

sosial, pengembangan ilmu pengetahuan terutama dalam sains serta

pembinaan akhlak yang mulia (Nata, 2003: 78-79). Karena penting ilmu

pengetahuan itu harus diimbangi dengan akhlak yang mulia, sebagaima

Albert Enstein pernah berkata “Ilmu tanpa agama (akhlak) adalah buta”.

Hal demikian di atas perlu ditegaskan, karena dalam rangka

membangun peradaban manusia dan kesejahteraannya tidak hanya cukup

dilakukan oleh ahli ilmu agama saja, atau ahli umum saja. Melainkan

harus dilakukan bersama-sama. Untuk menciptakan masyarakat yang

beriman, bertaqwa, dan berakhlak mulia. Menurut Abuddin Nata dalam

Studi Islam Komperhensif, pengembangan ilmu pengetahuan secara

aksiologi adalah sebagai berikut: “Menurut al-Qur‟an dan Sunah untuk

menggunakan ilmu secara benar dan memberikan manfaat (aksiologi),

maka ilmu itu harus disandarkan dengan iman dan digunakan untuk

meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah dalam bentuk

mengarahkan penggunaan ilmu tersebut untuk hal-hal yang bermanfaat

Page 210: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

188

bagi manusia dan untuk mendukung hal-hal yang berdampak positif bagi

umat manusia dan lingkungan hidup” (Nata, 2011: 383).

Dalam Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum, pandangan

integralistik tentang ilmu pengetahuan sebagaimana tercermin dalam

konsep ontology, epistemology, dan aksiologi sebagaimana tersebut tidak

berarti bahwa bahwa setiap manusia dapat menguasai seluruh

pengetahuan. Ilmu pengetahuan demikian luas, dan setiap jenis ilmu

pengetahuan memiliki cabang yang amat banyak, dan untuk mengetahui

satu cabang ilmu saja, tidak mungkin dilakukan oleh manusia,

dikarenakan memiliki keterbatasn waktu, usia manusia. Baik waktu, usia

manusia dan segenap kemampuan yang dimiliki manusia tidak mungkin

cukup untuk mendalami satu cabang saja dari ilmu pengetahuan (Shalah,

1978: 76).

Sikap demikian itu perlu dimiliki selain agar tidak menimbulkan

sikap sombong, juga agar ilmu yang dimilikinya tidak mandeg yang

disebabkan karena berhenti belajar. Orang yang merasa sudah cukup

ilmunya, lalui ia berhenti belajar, maka sesungguhnya ia telah menjadi

orang yang bodoh.

Bangunan ilmu yang bersifat integrative dengan memposisikan al-

Qur‟an dan hadits sebagai sumber utama selain sumber lainya

sebagaimana digambarkan berikut:

Page 211: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

189

Gambar. 4.3 : Pola Bangunan Sains (Natural Sciences) Integratif

Gambaran tentang pengembangan ilmu dan berbagai cabang serta

sumbernya dalam ayat-ayat kauniyah dan ayat-ayat qauliyah, kiranya

dapat dijadikan sebagai salah satu alternative untuk membangun keilmuan

yang integrated. Ilmu diatas terdiri atas rumpun ilmu alam atau fenomena

alam (natural sciences). Pada umumnya ilmuwan pada zaman klasik

dalam menggali rumpun ilmu tersebut di atas bersumberkan pada ayat-

ayat qauliyah dan juga kauniyah. Oleh sebab itu cara yang ampuh

ditempuh oleh para ilmuwan klasik sebagaimana di zaman al-Ma‟mun

dengan menggalinya menggunakan metode eksperimen atau ijbari.

Berdasarkan uraian tersebut di atas terlihat dengan jelas bahwa

Kedokteran

Geologi

Matematika

Pengairan

Perikanan

Teknik

Geografi

Astronomi

Arsitektur

Pertanian

Kelautan

Farmasi

Peternakan

Biologi Kimia Fisika

ILMU ALAM

HASIL ESKPERIMEN

(IJBARI)

Al-Qur’an

Hadits

Ayat-ayat

Kauniyah

ALAM JAGAT RAYA

Teknologi

TAUHID

Ayat-ayat

qauliyah

PARADIGMA

PENGEMBANGAN

ILMU INTEGRATED

Page 212: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

190

paradigma pengembangan ilmu pada zaman al-Ma‟mun merupakan

pengembangan integrated yang berbasis pada Tauhid yang melihat, baik

pada dataran ontology, epistemology, maupun aksiologi yang merupakan

kesatuan dari Allah. Paradigma atau Pandangan ini jauh lebih unggul

dibandingkan dengan pandangan pengembangan ilmu-ilmu pengetahuan

yang dikembangkannya di Barat yang bercorak parsial, tidak utuh dan

tidak kokoh sehingga mudah sekali ilmu-ilmu tersebut digunakan untuk

tujuan-tujuan yang menghancurkan martabat manusia, termasuk manusia

yang menciptakan ilmu pengtahuan itu sendiri.

Berpijak pada konsep Tauhid, tergambar bahwa paradigma

pengembangan ilmu dalam Islam telah memadukan unsur duniawiyah dan

ukhrowiyah. Pengembangan ilmu merupakan suatu proses membina

seluruh potensi manusia sebagai makhluk yang beriman dan bertakwa,

berpikir, dan berkarya untuk kemaslahatan diri dan lingkungannya untuk

merealisasikan fungsi kehambaan kepada Allah dan misi kekhalifahaan di

muka bumi sebagai makhluk yang memakmurkan kehidupan bersama

dengan aman, damai dan sejahtera.

Melalui landasan filosofis seperti itulah, dalam sejarah Islam telah

membuktikan sebagai umat yang memiliki peradaban gemilang dengan

kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, bahkan mengungguli kejayaan

Barat pada zamannya. Dengan paradigma pengembangan yang integrated,

Islam telah melahirkan ilmuwan-ilmuwan besar dari berbagai disiplin

ilmu, seperti Jabir, al-Razi, al-Khawarizmi, al-Biruni, Ibnu Sina, Ibn

Rusyd, al-Farabi, al-Kindi, dan puluhan ilmuwan Muslim lainnya yang

diakui oleh dunia.

Selanjutnya sebagaimana diatas, berbagai teori dalam ilmu alam

ini dapat dipadukan dengan teknik, maka lahirlah teknologi, yang secara

harfiyah ilmu tentang teknologi, atau hasil sintesis dan perkawinan antara

ilmu alam dan teknik. Teknologi pada hakikatnya merupakan penerapan

teori-teori ilmu alam dengan teknik tertentu. Contoh, penerapan teori

tentang air yang dipanaskan mendidih, dan didinginkan membeku. Teori

ini melahirkan lemari kulkas yang dapat mendinginkan air, atau dispenser

yang dapat memanaskan dan mendinginkan air. Kemudian ketika

teknologi inilah yang akan menjadi sebuah peradaban yang maju dalam

hal intelektual dan lain sebagainya, sehinga tak salah kalau pada abad

klasik dan awal pertenghan Islam berada pada puncak kejayaan (the

golden age) dalam hal ilmu aqli. Islam mampu memegang kendali

peradaban dunia dimana Barat masih terkungkung dengan dogma-dogma

gereja yang mementingkan kepentingan politik sehingga Barat berada

dalam masa kegelapan (the dark age).

Teknologi merupakan totalitas cara-cara yang diciptakan manusia

untuk menyuguhkan benda-benda, mateil, peralatan dan kendaraan demi

Page 213: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

191

kenyamanan, kelestarian, dan peningkatan kualitas kehidupannya.

Teknologi lahir sebagai penerapan yang cerdas dan bijaksana dari sains

dasar, yaitu fisika, kimia, geologi, biologi dan farmasi dengan dukungan

tak ternilai dari matematika dan dikelola dengan bantuan sains terapan dan

ilmu teknik (rekayasa) serta berpotensi melibatkan diri sebagai penjaga

gawang terjaganya misi manusia sebagai rahmatan lil „alamin (Bagir,

2005: 169).

Upaya yang dilakukan adalah dengan mengembalikan Sains

pengetahuan pada pusatnya yaitu tauhid. Hal ini dimaksudkan agar ada

koherensi antara ilmu pengetahuan dengan iman. Upaya yang lainnya,

yang merupakan antitesis dari usul yang pertama, adalah ilmuisasi Islam.

Upaya ini diusung oleh Kuntowijoyo. Dia mengusulkan agar melakukan

perumusan teori sains yang didasarkan kepada al-Qur‟an, menjadikan al-

Qur‟an sebagai suatu paradigma. Upaya yang dilakukan adalah

objektifikasi. Islam dijadikan sebagai suatu ilmu yang objektif, sehingga

ajaran Islam yang terkandung dalam al-Qur‟an dapat dirasakan oleh

seluruh alam (rahmatan lil „alamin), tidak hanya untuk umat Islam tapi

non-Muslim juga bisa merasakan hasil dari objektivikasi ajaran Islam.

Dari uraian di atas, dapat diambil suatu kesimpulan bahwa dalam

mengintegrasikan ilmu-ilmu sains sebaiknya mengacu kepada perspektif

ontologis, epistemologis dan aksiologis.

Dari perspektif ontologis, bahwa ilmu pengetahuan (sains) itu pada

hakekatnya, adalah merupakan pemahaman yang timbul dari hasil studi

yang mendalam, sistematis, obyektif dan menyeluruh tentang ayat-ayat

Allah swt. baik berupa ayat-ayat qauliyyah yang terhimpun di dalam al-

Quran maupun ayat-ayat kauniyah yang terhampar dijagat alam raya ini.

Karena keterbatasan kemampuan manusia untuk mengkaji ayat-ayat

tersebut, maka hasil kajian atau pemikiran manusia tersebut harus

dipahami atau diterima sebagai pengetahuan yang relatif kebenarannya,

dan pengetahuan yang memiliki kebenaran mutlak hanya dimiliki oleh

Allah Swt.

Dari perspektif Epistemologi, adalah bahwa ilmu pengetahuan dan

teknologi diperoleh melalui usaha yang sungguh-sungguh dengan

menggunakan instrumen penglihatan, pendengaran dan hati yang

diciptakan Allah swt. terhadap hukum-hukum alam dan sosial

(sunnatullah). Karena itu tidak menafikan Tuhan sebagai sumber dari

segala realitas termasuk ilmu pengetahuan dan teknologi.

Dari perspektif aksiologi, bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi

harus diarahkan kepada pemberian manfaat dan pemenuhan kebutuhan

hidup umat manusia. Bukan sebaliknya, ilmu pengetahuan dan teknologi

digunakan untuk menghancurkan kehidupan manusia. Perlu disadari

bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi adalah bagian dari ayat-ayat Allah

Page 214: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

192

dan merupakan amanat bagi pemiliknya yang nantinya akan dimintai

pertanggung jawaban di sisi-Nya.

Ilmu pengetahuan alam (sains) adalah anugerah yang Tuhan

berikan kepada hamba-Nya untuk dapat mengenali-Nya. Jika ada sesuatu

yang disebut “ilmu”, namun tidak membawa seseorang mengenali-Nya

pastinya adalah kesia-siaan. Mengacu kepada Hadits, “buahnya ilmu

adalah ibadah”.

Spektrum ilmu seperti yang dimaksud diatas sejatinya amatlah

luas. Bukan sekedar ilmu agama saja, namun juga melingkupi semua

pengetahuan (sains) yang dapat mendekatkan seseorang kepada Tuhan-

Nya. Kalaupun ada yang disebut ilmu agama, dan sains itu semata

hanyalah persoalan pembagian ilmu. Sebagaimana sebuah mata uang,

dimana satu dengan yang lainnya saling melengkapi. Keduanya berusaha

menangkap tanda ilahi yang dalam istilah Syed Hossein Nasr sebagai

jejak ilahi (Vestigia Dei). Cara pandang seperti inilah yang membuat

muslim pada beberapa abad yang lalu menjadi mercusuar kemajuan sains.

1. Paradigma Islam terhadap Alam (Sains)

Islam melihat alam bertasbih, saling terkait satu sama lain dengan

manusia. Alam juga berjiwa, ia akan merasa sedih jika ada manusia yang

merusak alam, sebagai contoh: ketika manusia menginjak rumput atau

pohon apabila di tebang, ia akan mengeluarkan getah, hal tersebut sebagai

respsentasi bahwa pohon memiliki jiwa dan merasa sedih (mengeluarkan

air mata) jika di tebang rusak kelestariaanya. Akan tetapi alam juga akan

menjadi sahabat bagi manusia, apabila ia di lestarikan, di manfaatkan dan

di rawat, maka pohon akan mengeluarkan bunga dan juga buah yang dapat

dimakan oleh manusia, hal tersebut adalah sebagai tanda trimakasih alam

kepada manusia sebagai kholifah di Bumi.

Alam mengandung ayat-ayat Allah (kauniyah) sebagai tanda

bahwasanya alam merupakan kebesaran Tuhan Yang Maha Kuasa,

Menurut Islam pandangan terhadap alam semesta bukan hanya

berdasarkan akal semata. Alam semesta difungsikan untuk menggerakkan

emosi dan prasaan manusia terhadap keagungan al-Khaliq, kekerdilan

manusia di hadapan-Nya, dan pentingnya ketundukan kepada-Nya.

artinya, alam semesta dipandang sebagai dalil qath‟i yang menunjukkan

keesaan dan ketuhanan Allah.

a. Keteraturan Semesta adalah kekuasaan Allah

Allah adalah penata sunnah semesta yang dengan topangan

kekuasaan-Nya, Dia menjalankan dan mengatur semesta sebagaimana

ditegaskan dalam firman-Nya:

Page 215: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

193

Dan Dia menahan [benda-benda] langit jatuh ke bumi, melainkan

denganizin-Nya…” (Q.S. al-Hajj: 65)

Manusia merupakan bagian dari alam semesta ini. Karenanya

dalam segala persoalan hidup dan matinya, manusia harus tunduk pada

ketentuan Allah, Penguasa tertinggi dan sunnah-sunnah ciptaan-Nya.

b. Alam Semesta Tunduk kepada Allah

Dari bahasan terdahulu, kita dapat menyimpulkan bahwa seluruh

semesta ini tunduk pada pengaturan, perintah, iradat dan kehendak Allah.

Allah menjelaskan hal itu dalam berbagai ayat:

Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya

bertasbih kepada Allah. Dan tidak ada satupun melainkan

bertasbih dengan memujinya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti

tasbih mereka. sesungguhnya Dia adalah Mahapenyantun lagi

Mahapengampun. (Q.S. al-Israa‟: 16-17)

Ketaatan dan ketundukan alam semesta membuktikan keagungan

dan kesucian Allah. Maka manusia yang berfikir dan berakal, lebih layak

lagi untuk mengakui nikmat dan karunia Allah, merasakan kebesaran-

Nya, atau memuji dan menyucikan-Nya dengan bertasbih. Inilah

pendidikan manusia yang paling mendasar.

c. Alam Semesta ditaklukkan untuk manusia.

Agama Islam adalah agama yang istimewa. Melalui pengarahan

bahwa manusia telah diberi kekuasaan oleh Allah untuk memanfaatkan

segala potensi alam semesta ini. Yang jelas, Allah telah menaklukkan

alam semesta bagi manusia, mulai dari yang pengaruhnya besar, seperti

matahari, hingga yang pengaruhnya kecil, seperti atom dan lebah. Firman

Allah:

Page 216: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

194

Allah-lah yang telah menciptakan langit dan bumi dan

menurunkan air hujan dari langit, kemudian Dia mengeluarkan

dengan air hujan itu berbagai buah-buahan menjadi rezki

untukmu; dan Dia telah menundukkan bahtera bagimu supaya

bahtera itu, berlayar di lautan dengan kehendak-Nya, dan Dia

telah menundukkan (pula) bagimu sungai-sungai. Dan Dia telah

menundukkan (pula) bagimu matahari dan bulan yang terus

menerus beredar (dalam orbitnya); dan telah menundukkan

bagimu malam dan siang. Dan Dia telah memberikan kepadamu

(keperluanmu) dan segala apa yang kamu mohonkan kepadanya.

dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu

menghinggakannya. Sesungguhnya manusia itu, sangat zalim dan

sangat mengingkari (nikmat Allah). (Q.S. Ibrahim: 32-34)

Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk

kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-

Nya tujuh langit. dan Dia Maha mengetahui segala sesuatu. (Q.S.

al-Baqarah: 29)

Page 217: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

195

Dan Dia menundukkan malam dan siang, matahari dan bulan

untukmu. dan bintang-bintang itu ditundukkan (untukmu) dengan

perintah-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar

ada tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang memahami

(Nya), Dan Dia (menundukkan pula) apa yang Dia ciptakan untuk

kamu di bumi ini dengan berlain-lainan macamnya. Sesungguhnya

pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kekuasaan

Allah) bagi kaum yang mengambil pelajaran. Dan Dia-lah, Allah

yang menundukkan lautan (untukmu), agar kamu dapat memakan

daripadanya daging yang segar (ikan), dan kamu mengeluarkan

dari lautan itu perhiasan yang kamu pakai; dan kamu melihat

bahtera berlayar padanya, dan supaya kamu mencari

(keuntungan) dari karunia-Nya, dan supaya kamu bersyukur. Dan

Dia menancapkan gunung-gunung di bumi supaya bumi itu tidak

goncang bersama kamu, (dan Dia menciptakan) sungai-sungai

dan jalan-jalan agar kamu mendapat petunjuk, dan (dia ciptakan)

tanda-tanda (penunjuk jalan). dan dengan bintang-bintang Itulah

mereka mendapat petunjuk. Maka Apakah (Allah) yang

menciptakan itu sama dengan yang tidak dapat menciptakan (apa-

apa) ?. Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran. Dan jika

kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat

menentukan jumlahnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha

Pengampun lagi Maha Penyayang. (Q.S an-Nahl: 12-18)

Page 218: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

196

Sebagaimana ayat di atas dapat juga dikatakan bahwa alam dapat

membawa manfaat bagi manusia, Allah telah menundukkan malam dan

siang, matahari dan bulan, bintang-bintang untuk manusia dengan

perintah-Nya. Hal tersebut sesungguhnya pada yang demikian itu benar-

benar ada tanda-tanda (kekuasaan Allah). Dan Allah jugalah

menundukkan lautan untuk umat manusia agar dapat memakan

daripadanya ikan, dan mengeluarkan dari lautan itu perhiasan yang dapat

dipakai manusia dalam berhias. Oleh karena itu sudah sepantasnya

manusia supaya dapat bersyukur.

Dan Allah menancapkan gunung-gunung di bumi supaya bumi itu

tidak bergoncang, lalu Allah menciptakan sungai-sungai dan jalan-jalan

agar manusia mendapat petunjuk, dan juga menciptakan tanda-tanda

penunjuk jalan dengan bintang-bintang. Setiap ayat yang diturunkan sejak

14 abad silam, menuturkan pemanfaatan sinar matahari, cahaya bulan,

tenaga angin, cahaya bintang, gunung-gunung, lautan, dan segala perkara

yang telah ditundukkan Allah bagi manusia dan Allah pun telah

memberikan kunci-kuncinya kepada manusia. Dan jika dilihat dari segi

pendidikan, al-Qur‟an telah mendidik manusia dalam pemanfaatan alam

semesta melalui cara yang tidak menyesatkan atau melampaui batas.

Dengan demikian pemanfaatan tersebut mengotori air sungai, tidak

berlebihan dalam memanfaatkan satwa lautan, serta tidak mendhalimi

saudaranya lewat permusuhan atau dusta.

Sebagaimana ayat-ayat Allah di atas terlihat jelas, bahwa alam di

tundukkan kepda manusia agar mereka dapat berpikir dengan akal

sehatnya, terdapat keagungan Allah. Oleh karena itu manusia harus dapat

memanfaatkan alam sebaik mungkin dan tidak boleh di ekploitasi untuk

kepentingan pribadi, agar alam senantiasa dapat terus membrikan

manfaatnya untuk kelangsungan hidup manusia. Jika tidak, maka alam

jugalah yang akan memberikan dampak yang tidak baik untuk manusia,

seperti pemanasan global yang sudah meresahkan masyarakat.

Ayat-ayat di atas dan juga ayat lain yang sejenis mendorong

manusia untuk melembutkan hati, memuji Allah, menyukuri nikmat

Allah, bertasbih kepada Allah, dan bertauhid kepada Allah, serta mampu

mendidik daya afeksi dan emosional manusia untuk tunduk kepada Allah.

Selain itu melalui ayat tersebut, akal manusia terdidik untuk terbiasa

dalam kondisi ilmiah. Artinya kita menggunakan prinsip praktis dan

penggunaan kaidah-kaidah ilmiah dalam mengolah potensi alam untuk

kesejahteraan manusia.

Ketika manusia melihat alam begitu mengagumkan, maka alam

pun disembah sebagaimana pada masyarakat Mesir kuno misalnya,

dengan sifat keprimitifannya, jika sungai Nil menjadi kering maka mereka

berupaya memberikan pengorbanan berupa wanita-wanita cantik untuk

Page 219: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

197

diberikan kepada alam untuk dikorbankan, agar alam kembali

memberikan manfaat pada masyarakat Mesir kuno lewat sungai Nil

tersebut.

Jika melihat sisi Tauhid, sangat bertentangan sekali dengan Islam,

bahwasanya Islam tidak mengajarkan sebagaimana pada masyarakat

Mesir. Tetapi pada prinsipnya sama, bahwa alam dapat di manfaatkan

guna kelangsungan hidup orang banyak. Ilmu adalah hasil usaha manusia

dalam menentukan kebenaran, akan tetapi ilmu sifatnya tidak mutlak,

karena ia adalah hasil pemikiran manusia, oleh sebab itu ilmu dapat juga

salah. Jadi dapat disimpulkan bahwa ilmu mengandung kebenaran dan

juga kesalahan. Ilmu menggunakan bahan-bahan yang diciptakan oleh

Tuhan, agar manusia dapat menggunakannya dengan bijak untuk

memashlahatan umat manusia dimuka Bumi. Ilmu alat untuk bisa dekat

dengan Tuhan, untuk bisa berbuat baik pada manusia. Oleh karenanya

ilmu saling terkait antara, manusia, alam dan Tuhan.

Ilmu alam dalam bersifat empiris dan juga rasional, sebagai contoh

ilmu alam yang bersifat empiri: apabila ada tanaman yang ditanam, yang

ditanam dengan perawatan menggunakan pupuk dan air yang cukup, maka

tanaman tersebut akan tumbuh subur, dan akan menghasilkan buah yang

banyak hal tersebut dapat diterima oleh akal, lalu ada tanaman yang diberi

pupuk dengan yang tidak dapat diketahui perbedaannya sangat jelas. Oleh

karena itu paradigma keilmuan merupakan kacamata yang mempersepsi

alam berlandaskan Tauhid.

2. Al-Qur’an sebagai Sumber Ilmu Pengetahuan (Sains) Semua yang berasal dari Tuhan, termasuk pengetahuan (Sains)

karena Dia-lah Tuhan yang Maha Mengetahui Segala Sesuatu. Semua

persoalan ilmu pengetahuan yang telah mantap dan meyakinkan,

merupakan perwujudan atau manifestasi dari pemikiran yang sungguh-

sungguh dan mendalam yang dianjurkan oleh al-Qur‟an, tidak ada sedikit

pun yang bertentangan dengannya. Ilmu pengetahuan yang telah maju dan

telah banyak pula masalah-masalahnya yang muncul, meskipun demikian,

apa yang telah tetap dan mantap daripadanya tidaklah bertentangan sedikit

pun dengan salah satu dari ayat-ayat al-Qur‟an. Ini saja menurut al-Qattan

sudah merupakan kemukjizatan dari al-Qur‟an (al-Qatatan, t.t: 383).

Memang pada prinsipnya al-Qur‟an merupakan informasi ilmiah

yang banyak memperhatikan ilustrasi-ilustrasi tentang ilmu pengetahuan

dan teknologi, yang sedikit demi sedikit dan setahap demi setahap dapat

terungkap rahasianya melalui penelitian yang mendalam dan penyelidikan

yang serius, baik di laboratorium-laboratorium, di daratan, di lautan

maupun di angkasa raya. Padahal untul mengetahui bahwa al-Qur‟an

diturunkan di tengah-tengah masyarakat yang masih primitif yang

Page 220: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

198

kebanyakan dari mereka buta huruf. Sehingga keberadaan ilmu

pengetahun pada waktu itu masih belum dapat menjamin terbongkarnya

informasi-informasi ilmiah yang dapat dijadikan sebagai fakta-fakta di

dalam mengungkapkan ilustrasi-ilustrasi ilmu pengetahuan yang

terkandung di dalam al-Qur‟an al-Karim (Charisma, 1991: 213). Dimana

al-Qur‟an hanya menyajikan garis besarnya saja, dan akal diperintah

untuk mencari perinciannya dengan memperhatikan rumus, isyarat atau

contoh-contoh yang ada, khususnya dalam hal ini mengenai sains (Azhim,

1989: 76). Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat al-„Ankabût ayat

43.

Al-Qur‟an sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, adalah

merupakan peletak dasar kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi

(IPTEK). Dalam kaitan ini, Syamsul Arifin menyatakan bahwa al-Qur‟an

merupakan sumber ilmu pengetahuan yang utama, dan ia telah banyak

memberikan informasi, di samping sebagai petunjuk kepada manusia cara

memperoleh ilmu pengetahuan. Hal ini dapat dipahami secara lafzhi dari

beberapa ayat yang mengisyaratkan agar al-Qur‟an dijadikan sebagai

sumber ilmu. Ayat-ayat tersebut selalu memakai kata-kata seperti

ya‟qilûn, yudabbirûn, yatafakkarûn, dan lain sebagainya. Begitu pula

ketika al-Qur‟an mengisyaratkan untuk menjadikan alam semesta, diri

manusia maupun sejarah, dipakai kata-kata seperti yanzhuru, yafqahu,

yatadzakkaru, dan sebagainya. Di samping itu, cara memperoleh

pengetahuan al-Qur‟an juga dapat dipahami melalui konteks ayatnya.

Dalam kaitan ini Sayid Sabiq menjelaskan bahwa manusia pada

awal mula kelahirannya tidak tahu apa-apa, walaupun ia dibekali dengan

alat-alat persiapan yang memungkinkan dia tahu (QS. al-Nahl: 78). Alat-

alat tersebut adalah pendengaran, penglihatan dan akal; dimana dengana

alat-alat ini manusia dapat memperoleh pengetahuan, dapat mengamati

seluk beluk alam semesta, sehingga pada akhirnya ia mengetahui rahasia-

rahasia alam dan memanfaatkannya sesuai dengan perintah Allah, sebagai

rasa syukur atas pemberian-Nya yang begitu banyak. Oleh karena itu,

siapa saja yang tidak mendayagunakan alat-alat pemberian Allah Swt. itu,

berarti ia telah melepaskan diri dari sifat-sifat kemanusiaannya. Mereka

tidak berbeda dengan binatang, karena mereka tidak memiliki

pengetahuan sebagai benteng kepribadiannya, dan bahkan mereka lebih

sesat lagi (Sabiq, 1981: 71). Sebagaimana dalam surat al-A‟râf ayat 179.

Pengetahuan indera ini masih ada pengetahuan yang lebih tinggi

yaitu pengetahuan akal. Pengetahuan ini dapat dipahami dari term-term

yang ada dalam al-Qur‟an, yaitu: tafakkur (merenungkan), ta‟aqqul

(memikirkan), tafaqquh (memahami), dan tadzakkur (mengambil

pelajaran); dimana term-term ini diungkapkan dala bentuk kata kerja

(fi‟il). Hal ini menunjukkan bahwa term-term ini merupakan dasar

Page 221: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

199

metodologi yang perlu dan bisa dikembangkan. Selain itu, pengetahuan

wahyu/ilham juga merupakan cara memperoleh pengetahuan atau

kebenaran. Pengetahuan ini merupakan pengetahuan yang langsung

diberikan oleh Allah Swt. kepada hamba-Nya yang dikehendaki, tanpa

adanya proses berpikir dan pengamatan empiris. Term-term yang

digunakan dalam pengetahuan ini adalah seperti „allamahu (Dia

mengajarinya) atau „allamanahu (Kami telah mengajarinya). Demikian

penjelasan Syamsul Arifin mengenai pengetahuan indera, akal dan wahyu

(Rakhmat, 1991: 207-210).

Al-Qur‟an (dalam kaitannya dengan akal manusia) mengarahkan

manusia untuk mempergunakan akal pikirannya dalam seluruh sikap,

gerak dan tindak. Ia menyuruh manusia untuk mempergunakan akal

pikirannya dalam mengamati dan meneliti alam semesta ini. Dimana alam

semesta ini merupakan laboratorium yang Allah ciptakan untuk manusia.

Al-Qur‟an juga mengajak untuk mengadakan perjalanan di dunia,

memikirkan peninggalan-peninggalan orang-orag atau umat terdahulu

serta meneliti keadaan bangsa-bangsa, kelompok-kelompok manusia,

kisah-kisah, sejarah dan pelajaran-pelajaran yang dapat diambil dari

mereka. Secara khusus, al-Qur‟an mengajak manusia untuk mempelajari

ilmu-ilmu kealaman, matematika, filsafat, sastra dan semua ilmu

pengetahuan yang dapat dicapai oleh pemikiran manusia. Al-Qur‟an

menganjurkan manusia untuk mempelajari ilmu-ilmu itu adalah semata-

mata untuk kesejahteraan dan kebahagiaan manusia itu sendiri, baik di

dunia maupun di akhirat. Dari sini, al-Qur‟an sebagai kitab yang

mendorong manusia untuk mempelajari berbagai ilmu, mengajarkan suatu

konsep yang utuh tentang ilmu ke-Tuhanan, prinsip-prinsip umum akhlak

dan hukum Islam.

Dalam hal ini, perlu dicatat dan diingat bahwa ilmu pengetahuan

(sains) dalam perspektif al-Qur‟an atau hakikat-hakikat ilmiah yang

disinggung al-Qur‟an sebagaimana yang dikemukakan oleh Quraish

Shihab, dikemukakan dalam redaksi yang singkat dan sarat makna,

sekaligus tidak terlepas dari ciri umum redaksinya yakni memuaskan

orang umum dan para pemikir. Orang umum (awam) memahami redaksi

tersebut ala kadarnya (sesuai kemampuannya), sedangkan para pemikir

melalui pemikiran, renungan dan analisis mendapatkan makna-makna

yang tidak terjangkau oleh orang umum itu ( Shihab, 1998: 166; al-

Ghazali, 1997: 174-193).

Lebih lanjut Achmad Baiquni menjelaskan bahwa untuk dapat

memahami ayat-ayat al-Qur‟an yang menyangkut alam semesta ini serta

proses alamiah yang terjadi di dalamnya, tidak lain harus dengan cara

meneliti alam, al-kaun itu sendiri dengan melakukan serangkaian

kegiatan. Dengan kegiatan dan penelitian itu, kita telah membaca ayat-

Page 222: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

200

ayat Allah dan pada akhirnya akan dapat mengetahui dan memahami

rahasia-rahasia ayat-ayat Allah tersebut (Baiquni, 1996: 233-234).

Al-Qur‟an menuntut supaya manusia berpikir, merenung, melihat

dan bertanya diri, menarik dan menyimpulkan. Al-Qur‟an tidak hanya

membuka kesempatan untuk mengadakan penelitian saja, tetapi

memuaskan dan menarik naluri akal manusia, bahkan mendorong dan

mengharuskannya menjalankan fungsi serta tugas-tugasnya dengan

memperhatikan berbagai contoh yang telah dikemukakan dalam ayat-ayat

al-Qur‟an.

Posisi al-Qur‟an terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi itu juga

dapat dijelaskan dengan jalan mencari sumber ilmu dan sumber cara

mengembangkan ilmu menjadi teknologi. Al-Qur‟an sebagai sumber ilmu

memberikan benih-benih dasar yang paling esensi untuk dapat

dikembangkan oleh manusia menjadi ilmu dan teknologi yang tidak

terhingga ragamnya dan tidak terhingga arah pencapaiannya. Selain itu,

al-Qur‟an akan menjamin kebenaran ilmu yang bersumber darinya,

kebenaran arah pengembangannya, karena semuanya bersumber pada

sunnah Allah, dan jiwa ketaqwaan dan keimanan dari manusia sebagai

subyek yang melakukannya. Kisi-kisi batas kewenangan manusia untuk

menggapai ilmu juga telah ditetapkan di daam al-Qur‟an (al-Aqqad, 1986:

16).

Jelaslah bahwa al-Qur‟an demikian menghormati kedudukan ilmu

dengan penghormatan yang tidak ditemukan batasannya atau

bandingannya dengan kitab-kitab suci yang lain. Sebagai bukti, al-Qur‟an

mensifati masa Arab sebelum datangnya Islam dengan jahiliyah

(kebodohan). Al-Qur‟an memberikan kepada manusia kunci ilmu

pengetahuan (sains) tentang dunia dan akhirat serta menyediakan

peralatan untuk mencari dan meneliti segala sesuatu agar dapat

mengungkap dan mengetahui keajaiban dari kedua dunia itu. Al-Qur‟an

juga mendorong manusia mendapatkan sesuatu yang mungkin ia dapat di

dunia ini, kemudian memanfaatkannya untuk kesejahteraannya, baik

kesejahteraan dunia maupun akhirat. Dorongan-dorongan yang ada dalam

al-qur‟an bagi manusia untuk menggunakan akalnya, berpikir dan berpikir

tentang segala sesuatu yang ada di alam semesta ini, sekaligus merupakan

kemukjizatan al-Qur‟an ditinjau dari segi isyarat ilmiah.

Teknologi mengandung arti cara dan masukan yang dipergunakan

dalam usaha produksi. Kegiatan tafakur yang menghasilkan rumusan-

rumusan sains dimanfaatkan sepenuhnya oleh manusia untuk memenuhi

beberapa hajat kebutuhannya. Dengan berbekal pengetahuan tentang

watak tanaman, para petani berikhtiar mencari metode bercocok tanam

untuk mempertinggi produksi tanamannya.

Page 223: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

201

Tabel. 4.4 : Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Peradaban Ilmiah

zaman Keemasan (The Golden Age) pada Masa Al-Mansur,

Harun Al-Rasyid, Al-Ma‟mun Dinasti Abbasiyah.

Bidang ilmu

pengetahuan

Perkembangan

Al-Mansur Harun al-

Rasyid

Al-Ma‟mun Tokoh Utama

Matematika Pertama

kali

dibawa

dari India

melalui

buku yang

berjudul

“Sind qwa

Hind

Dimanfaatkan

untuk hukum

syari‟at Islam

(zakat dan

waris)

Digunakan

untuk

perhitungan

waktu, busur

derajat,

bilangan Nol

(hitungan),

mengukur

ruang dsb.

Al-Khawarizmi

(780-850 M)

Kedokteran Kholifah

sering

mengunda

ng dokter

dari India,

Mesir,

Syiria,

untuk

menerjema

hkan buku

kedokteran

Yunani

-

Mengembangk

an ilmu

kesehatan, dan

pengobatan,

membangun

pendidikan

kedokteran

-

mengembangk

an ilmu

kesehatan

untuk

menyembuhka

n penyakit,

Hunain bin

Ishaq (809-873

M)

Filsafat Sudah ada

pada

zaman

mu‟awiyah

, tapi

belum

dikembang

kan.

Sebagai

integrasi

Penterjemahan

karya-karya

Yunani

Berkembang

kajian Filsafat,

yang berpikir

rasional,

sebagai induk

ilmu

pengetahua,

mazhab

mu‟tazilah

dasar Negara

Al-Kindi(804-

874 M)

Page 224: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

202

antara

Islam dan

Kebudayaa

n klasik

Astronomi Sebagai

penentu

letak kiblat

atau

ka‟bah

Digunakan

untuk

meramal,

seperti garis

politik para

kholifah

Observatorium

sistem gerakan

benda-benda

angkasa dan

pengukuran

lingkaran bumi

Al-Khawarizmi,

(780-850 M)

Kimia -Penemuan

istilah buat

benda-

benda cair

dan padat

Sebagai ilmu

tentang benda

cair, padat dan

gas

-sebagai

pembeda

benda padat.

logam, asam

sulfur, dll

Jabir bin

Hayyan (731-

815 M)

Sejarah -sebagai

pencatat

sebuah

pristiwa di

istana

-sebagai

pencatat

sebuah

pristiwa

penting di

istana

Sebagai

penulisan

metodologi

secara ilmiah

berdasarkan

urutan dan

rincian

pristiwa secata

logis

Ibn Sa‟id

(w.845), Ibn

Hisyam (w.380

M)

Sastra Keindahan

dalam

berbicara

Seni dalam

berbicara

Seni dalam

berbicara

Al-Jahiz (776-

869 M)

Musik Menghibur

kholifah

Menghibur

kholifah,

perayaan

kerajaan

Menghibur

kholifah dan

tamu kerajaan

Ishaq al-Washili

(767-850 M)

Tafsir - - Pengkodifikasi

an tafsir secara

sistematis

As-Suda

(w.810 M)

Kalam

/Teologi

Penyelama

t dari

budaya

Helenestik

Sebagai

perkuat atau

lawan teologi

orang-orang

Kristen

-Aliran

Mu‟tazilah

sebagai

mazhab resmi

Negara

Berpikir

dengan

akal/rasio

Abu Huzail al-

„Alaf (w. 820

M)

Page 225: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

203

Nahwu Penguasan

bahasa

Arab

Penguasaan

Bahasa Arab

Penguasaan

Bahasa Arab

dalam

membaca dan

mengaratikan

al-Qur‟an

Al-Fara (w. 845

M)

Fikih Menjawab

pelbagai

permaslala

han,

mengatasi

perbedaan

kondisi

sosial,

politik,

adat

istiadat,

tradisi

Menjawab

pelbagai

permaslalahan,

mengatasi

perbedaan

kondisi sosial,

politik, adat

istiadat, tradisi

Menjawab

pelbagai

permaslalahan,

mengatasi

perbedaan

kondisi sosial,

politik, adat

istiadat, tradisi

Syafi‟i, (w.320

M) Ahmad Ibn

Hanbali (w.885

M)

Tasawuf Penyucian

diri

Penyucian diri Penyucian diri Zunnun al-Misri

(w.869 M)

Page 226: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

AR

BAITUL HIKMAH

ULAMA

TRADISI INTELEKTUAL

RIHLAH ILMIAH IJTIHAD

KUTTAB

RIBATH MAJELIS

MENULIS

MEMBACA ILMU

HALAQOH PENGETAHUAN HANQAH

PEMERINTAH ILMUAN

RUMAH ULAMA MASJID MENELITI

MUNAZARAH

INSTITUSI PENDIDIKAN ISLAM

PEND. MULTIKULTURAL

PERPUSTAKAAN MEWAKAFKAN BUKU

BELAJAR DENGAN GURU (SYEKH)

INTEGRASI ILMU AGAMA DAN UMUM

Gambar 4.5 :Pola Gerakan Intelektual Integratif zaman al-Ma’mun

PENTERJEMAHAN

Page 227: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

167

BAB V

PENUTUP

Berdasarkan uraian dan analisa sebagaimana terdapat pada bab sebelumnya diatas dapat

ditarik kesimpulan dan beberapa saran yang perlu dikemukakan dalam penulisan tesis ini adalah

sebagai berikut:

A. Kesimpulan

1. Abbdullah Abbas al-Ma‟mun Ibn Harun al-Rasyid adalah seorang khalifah termasyhur

sepanjang sejarah Dinasti Abbasiyah. Selama 20 tahun masa kepemimpinannya mampu

meninggalkan warisan kemajuan intelektual Islam yang sangat berharga. Perhatian yang

besar, beliau tunjukkan pada pengembangan ilmu, karena cintanya yang demikian besar

terhadap ilmu pengetahuan. Tak heran jika langkah-langkah al-Ma‟mun untuk

mewujudkan kecintaan dan perhatian terhadap ilmu pengetahuan dapat berguna dalam

mewujudkan pemerintahan yang baik dikemudian hari karena mampu menguasai

berbagai aspek ilmu pengetahuan yang dapat menyeimbangkan segala aspek kehidupan.

Keberhasilannya menjaga stabilitas kerajaan memungkinnya untuk melaksanakan ambisi

besarnya untuk memajukan ilmu pengetahuan. Ia mendirikan Baitul Hikmah, lembaga

terjemah yang dilengkapi oleh perpustakaan yang besar dan observatorium.

2. Paradigma pengembangan ilmu pengetahuan (sains) dalam Islam merupakan pola

bangunan ilmu pengetahuan yang diibaratkan sebagai landasan kerangka berpikir

sehingga terbentuk sebuah model dakam suatu teori ilmu pengetahuan. Dalam pandangan

Islam, world picture yang terbentuk berdasarkan komitment para ilmuwan, semuanya

berpangkal dari sumber tungal, yakni pesan-pesan kitab suci al-Qur‟an. Pada dasarnya

ayat-ayat kauniyah mengandung dorongan kepada manusia untuk memperhatikan dan

memikirkan alam sekitar. Dengan memperhatikan gejala dan pristiwa alam ini manusia

sampai pada kesimpulan, bahwa kejadian-kejadian seperti itu tidaklah timbul begitu saja.

Semuanya itu mesti diciptakan dan digerakan oleh Allah Swt. Maha Pencipta dan

penggerak alam semesta. Berangkat pada prinsip-prinsip al-Qur‟an inilah pula paradigma

pengembangan ilmu pengetahuan (sains) dalam Islam disusun.

3. Langkah-langkah al-Ma‟mun dalam mengembangkan ilmu pengetahuan pada masa

pemerintahanya

a. Merupakan gerakan penerjemahan

b. Mengoptimalisasikan Institusi pendidikan Islam, serta Mengembangkan institusi

pendidikan.

c. Kehidupan tradisi intelektual pada masa al-Ma‟mun ditandai dengan integrasi

dimensi ilmiah dan rohaniah. Kemajuan intelektual didorong oleh kehidupan yang

tekun, kritis, kreatif, dan imajinatif. Tradisi ilmiah yang terjadi pada masa al-

Ma‟mun sampai sekarang masih ada yang berjalan terus. Walaupun dalam beberapa

hal sudah ada yang terputus. Model pembelajaran halaqah misalnya, masih dapat

ditemukan di pedesaan-pedesaan. Namun yang hilang adalah seorang guru tidak lagi

membuat diktat sendiri, lagi-lagi buku atau kitab yang diajarkan sebagai ilmu

khasnya. Semangat mencari ilmu sampai keluar negeri juga masih berjalan, namun

sekarang masih sangat terbatas bagi mereka beruntung lulus seleksi. Dengan

demikian, penelusuran hukum kemajuan yang diperoleh dari sejarah ini untuk

membangun kembali tradisi keilmuan perlu dilakukan secara sinergi antra ulama dan

ilmuan dan juga lingkungan hidup. Mengingat semakin luasnya bidang disiplin

203

Page 228: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

204

keilmuan di masa sekarang ini, maka masih relevan model pembelajaran penguasaan

ilmu yang satu sebelum ilmu lainnya.

4. Hasil yang dicapai dalam mengembangkan ilmu pengetahuan:

a. Berdirinya Baitul Hikmah dan munculnya konsep dasar pendidikan multicultural di

instansi pendidikan Islam, (kuttab, halaqah, majelis dst). Konsep dasar pendidikan

multicultural telah dikenal sejak zaman al-Ma‟mun melalui institusi pendidikan

Islam, Kuttab, Halaqah, Ribath, Majelis, Rumah Ulama, Masjid, Zawiyah dan Baitul

Hikmah. Berkembangnya ilmu pengetahuan dan peradaban yang menjadi tonggak

puncak peradaban Islam pada zaman keemasan dalam Islam disebabkan karena

institusi pendidikan Islam yang telah menerapkan konsep pendidikan berbasis

multicultural. Adapun nilai-nilai kultural yang actual dikembangkan zaman al-

Ma‟mun adalah antara lain seperti: toleransi, keterbukaan, kesedrajatan, kebebasa,

keadilan, kemiskinan, keragaman, dan demikrasi. Selanjutnya dibalik pesatnya

peradaban ada sederet tokoh-tokoh pendidik yang memiliki world view berbasis

kultural, antara lain: al-Ma‟mun, al-Kindi, al-Khawarizmi, Imam Syafi‟i, Hunayin bin

Ishaq, Imam Ahmad bin Hanbal, Jabir bin Hayyan, al-Jahiz dll.

b. Seiringnya berdirinya Baitul Hikmah mulai banyak bermunculan berbagai cabang

ilmu pengetahuan yang penting untuk dikembangkan dan juga dipelajari seperti

pertumbuhan ilmu-ilmu agama (IlmuTafsir, Ilmu Hadis, Ilmu Fiqih, Ilmu Kalam,

Ilmu Tasawuf, Ilmu Akhlak) dan ilmu-ilmu umum (Ilmu Filsafat, Ilmu Kedokteran,

Ilmu Astronomi, Ilmu Matematika, Humaniora, dan Geografi).

c. Munculnya tokoh-tokoh penting dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan

memajukan peradaban dunia Islam yang sezaman dengan al-Ma‟mun. Seperti dalam

bidang Agama; Imam Syafi‟i, Imam Hanbali, Muhammad ibn Sa‟ad, Abu Huzail al-

„Alaf, Imam Bukhori) dan bidang umum; Jabir bin Hayyan, Muhammad ibn „Umar

al-Waqidi, Ibn Sa‟ad, al-Khawarizmi, al-Jahiz, Hunayn bin Ishaq).

d. Munculnya tradisi intelektual zaman al-Ma‟mun, secara historis umat Islam adalah

pelopor kebangkitan ilmu pengatahuan, kebudayaan, dan juga peradaban. Umat

Islamlah yang merintis dan bertindak sebagai pioner yang mengembangkan ilmu

pengetahuan agama dan juga umum secara komperhensif sebagaimana pada zaman

Kholifah al-Ma‟mun, yang telah mengembalikan situasi politik, ekonomi, sosial dan

lain sebagainya sehingga menjadi stabil, hal tersebut sampai saat ini tidak bisa

terpisahkan oleh sejarah dan masih banyak ditemui diberbagai perpustakaan di

belahan dunia. Terjadinya kondisi semacam ini, antar lain disebabkan karena pada

zaman al-Ma‟mun telah mengembangkan, menghidupkan lahirnya tradisi intelektual

yang amat beragam, yaitu: rihlah ilmiah, meneliti, membaca, menulis, munazarah,

membangun perpustakaan, membangun institusi pendidikan Islam, mewakafkan buku

dan belajar langsung dengan syekh atau guru.

e. Pengembangan Ilmu dan Pengaruhnya terhadap Sistem Kemajuan Masyarakat Islam,

secara sosio kultural, munculnya tradisi intelektual tersebut terkait dengan tradisi

menghargai dan menghormati para ulama dan ilmuwan. Sebagaimana al-Ma‟mun

menghargai dan menghormati kebebasan berpikir dan mengeksplorasi ilmu

pengetahuan yang di kembangkan oleh ulama dan ilmuwan secara beriringan satu

sama lain (integrated), serta adanya kebijakan pemerintah terhadap pengembangan

ilmu, baik dari sektor ekonomi, keamanan, kenyamanan, sosial, politik dan lain

sebagainya. Pada zaman al-Ma‟mun tidak ada disintegrasi atau paham dikotomis

Page 229: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

205

terhadap pemisahan ilmu agama dan ilmu umum, semuanaya terkendali dengan baik.

Akan tetapi munculnya paham dikotomis terjadi pada pemerintahan Kholifah al-

Mutawakil yang cenderung kepada Asy‟ariyah dan meninggalkan paham Mutazilah

serta ilmu-ilmu umum. Ilmu pengatahuan berkembang begitu pesat berikut

kebudayaan Islam juga. Para ulama dan ilmuwan seolah-olah berlomba untuk

menimba ilmu pengatahuan dan melakukan penelitian untuk menghasilkan

penemuan-penemuan baru, misalnya Ibn Sina adalah seorang Filsuf, ia juga ahli

Tasawuf dan juga ahli kedokteran.

5. Paradigma pengembangan sains pada zaman al-Ma‟mun adalah pengembangan

integrated yang berbasis pada tauhid yang melihat ilmu dari :

a. Aspek ontologis yang dibahasnya alam jagat raya, maka para ahli akan menemukan

berbagai teori yang disusun menjadi ilmu pengetahuan alam atau yang lebih dikenal

dengan sains, seperti langit, bumi, serta segala isi yang ada di antara keduannya,

yakni matahari, bulan bintang, tumbuhan-tumbuhan, bintang, api, udara dsb dengan

menggunakan metode penelitian eksperimen di laboratorium pengukuran,

pertimbangan dsb., maka ilmu yang dihasilkan adalah Ilmu alam (Natural Sciencis)

seperti biologi, fisika, kimia, astronomi. Dengan memperhatikan ayat-ayat al-Qur‟an

dan penjelasannya, dapat diketahui bahwa alam jagat merupakan sumber ilmu

pengetahuan, khususnya ilmu pengetahuan alam (sains) ternyata merupakan tanda-

tanda kekuasaan Allah Swt.

b. Aspek epistemologis yaitu untuk mendapatkan ilmu alam yang berdasakanr pada

alam jagat raya harus menggunakan metode ijbari, yakni observasi dan eksperimen

yang dilakukan di laboratorium, maksudnya mengadakan percobaan atau eksperimen

di laboratorium berkenaan dengan benda-benda alam, baik yang padat, cair atau gas,

binatang atau manusia secara fisik. Teori yang sudah ada dipadukan dengan cara

teknik pembuktiannya, maka melalui penelitian dan percobaan serta penerapan teori

ini, maka lahirlah teknologi.

c. Aspek aksiologis yaitu untuk mensyukuri ilmu pengetahuan yang diberikan oleh

Allah Swt itu dengan cara menggunakannya untuk tujuan-tujuan yang mulia. Dengan

kerangka berfikir aksiologi keilmuan yang demikian itu, maka Islam menganjurkan

dan mendorong agar ummat manusia mengembangkan ilmu pengetahuan apa saja,

sehingga ia menjadi ahli agama, ahli ekonomi, ahli politik, ahli pendidikan, ahli,

biologi, ahli, fisika, ahli kedokteran dan sebagainya, dengan ketentuan ilmu-ilmu

tersebut diabadikan dalam rangka beribadah kepada Allah melalui pemanfaatannya

untuk tujuan-tujuan kemanusiaan, peningkatan harkat dan martabat manusia,

menciptakan kesejahteraan sosial, pengembangan ilmu pengetahuan terutama dalam

sains serta pembinaan akhlak yang mulia yang merupakan satu kesatuan dari Allah.

dan dengan Model pengembangan ilmu di zaman al-Ma‟mun terpusatkan pada ilmu-

ilmu alam (sains).

d. Integrasi ilmu pada zaman al-Ma‟mun adalam masa keemasan dalam hal ilmu

pengetahuan (ilmu-ilmu aqli) yang masih menyatukan ilmu agama dengan ilmu

umum yang berlandaskan pada aspek tauhid. Hal tersebut menandakan tidak ada

dikotomis terhadap ilmu, dengan pola gerakan yang Integrated pada pada zaman al-

Ma‟mun menciptakan suasan ilmiah, dimana para ilmuwan esiklopedik yaitu (ilmuan

yang dapat menguasai lebih dari satu disiplin ilmu) atau dapat menguasai berbagai

cabang ilmu pengetahuan.

Page 230: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

206

B. Saran 1. Konteksualisasi pengembangan pada zaman al Ma‟mun merupakan Pengembangan Ilmu

pengetahuan yang maju pada zaman klasik dan pertengahan. Dimana peradaban saat ini

terlihat belum mengimbangi daripada kemajuan ilmu pengetahuan dan pengembangan.

Ilmu di zaman al Ma‟mun lebih maju dibandingkan dengan masa sekarang adalah di

masa al-Ma‟mun pengembangan ilmu masih berbasis pada Tauhid dan atau integrasi

keilmuan masih kental dengan nilai-nilai Keislaman, dibandingkan dengan masa sekarang

dimana ilmu masih belum tercerahkan dari sekularisasi ilmu pengetahuan.

2. Kemajuan peradaban ilmu pengetahuan di zaman al-Ma‟mun, adalah zaman keemasan

(The Golden Age) akan pertumbuhan dan perkembangan ilmu pengetahuan (ilmu aqli)

oleh karenanya budaya ilmiah saat ini harus bisa lebih maju dibandingkan pengembangan

ilmu pada zaman al-Ma‟mun, dengan semangat menuntut ilmu dan terus

mengembangkannya, lalu meregenerasikannya adalah hal yang mesti lakukan bagi setiap

umat Muslim di dunia.

3. Bagi setiap Muslim diajnurkan untuk bisa memahami dan mensosialisasikan secara

intensif dan simultan tentang hal mendasar dan utama dalam konsep keilmuan yang dapat

membawa kemajuan umat Islam, yaitu pandangan bahwa ilmu itu sumbernya dari ayat-

ayat qauliyah dan kauniyah Allah, yang baik dan manfaatnya untuk kepentingan umat

manusia.

4. Bagi IlmuWan dan ulama atau tokoh-tokoh Islam hendaknya mengkampanyekan secara

sistemik, simultan dan kontinyu tentang pentingnya pengembangan ilmu pengetahuan

(sains) di kalangan umat Islam. Agar dapat memberikan sentuhan warna kehidupan yang

lebih baik dari masa sebelumnya.

5. Ilmuwan dan ulama atau tokoh-tokoh Islam harus memelopori penyusunan dan

penjelasan “integrasi ilmu”. Agar sama-sama dapat memecahkan pebagai permasalahan

dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

6. Zaman yang maju adalah zaman dimana ada dukungan dan perhatian penuh dari

pemerintahan (ulil amri), baik dari segi politik, ekonomi atau bahkan sosial. Setiap

muslim harus belajar akan sejarah kepemimpinan dan pemerintahan al-Ma‟mun dalam

membangun peradaban intelektual yang tinggi, agar tatanan eksplorasi ilmu pengetahuan

dan teknologi dapat terus dikembangkan oleh umat Islam.

7. Bagi pemerintah dan penyelengara institusi pendidikan, terutama pemerintah di

Indonesia, dengan jumlah penduduk Muslim terbesar, sebaiknya membuat sebuah sistem

pendidikan Islam yang integrated dan professional, dengan meibatkan seluruh komponen

yang terlibat, sehingga tercipta geberasi Muslim yang berkualitas tinggi dalam iman dan

takwa (imtak) dan professional dalam iptek.

Page 231: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

211

Daftar Pustaka

Abid Al Jabiri, Muhammed. (2003.). Kritik Pemikiran Islam :

Wacana Baru Filsafat Islam. Cet. I.Yogyakarta: Fajar

Pustaka Baru.

Abdullah, Sulaiman. (2001). Dinamika Qiyas dalam Pembaharuan

Hukum Islam, Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya.

Abdurrahman,Dudung. (2003).Sejarah Peradaban Islam dari Masa

Klasik Hingga Modern. Cet. II .Yogyakarta: LESFI.

Abdurrahman,Dudung. (1999). Metode Penelitian Sejarah. Cet. II.

Jakarta: Logos Wacana Ilmu.

Abdurrahman,M. (2002). Ilmu Hadits Sebagai Sumber Pemikiran,

dalam Taufik Abdullah.dkk (ed), Ensiklopedi Tematis Dunia

Islam: Pemikiran dan Peradaban. Jilid IV. Jakarta: PT. Ichtiar

Baru Van Hoeve.

Abu Zahrah,Muhammad. (1948). As-Syafi‟I Hayatuh wa‟ Ashuru

Arnuh wa Fiqih, edisi II. Kairo: Dar al-Fikr al-Arabi.

________.(1996). Aliran Politik dan „Aqidah dalam Islam.Cet. I.

Jakarta: Logos.

„Ady Baihaqi Thabrani, Ibn. dan Khatib . Al Sayyid Ahmad al-

Hasyimy Bek, (1948). Mukhtar al-Hadis an-Nabawiyah wal

Hikam al Muhammadiyah, Cet. III. Surabaya: al Hidayah.

Adian,Donny Gahral. (2002). Menyoal Objektivisme Ilmu

Pengetahuan. Jakarta: Teraju.

Ahmad,Jamil. (2003). Seratus Muslim Terkemuka. Bandung: Pustaka

Firdaus.

Ahmed,Munirrudin. (1968). Islam Education and Scholar‟s Social

Status upto te 5th

Century Muslim Era 11th Century Christian Era)

in the Light of Tarikh Bagdad, Verlag: Der Islam Zurich.

Ahmed,Shaber, dkk., (1997). Islam dan Ilmu pengetahuan, penterj,:

Zetira Nadia Rahma, Bangil, Islamic Cultural Workshop.

Al-Abrasy, Muhammad Athiyah. (1975). Al-Tarbiyah al-

Islamiyah.Kairo: Maktabah Isa al-Babi al-Halabi.

Al-Asqalani,Ibn Hajar. Hady al-Sari. Riasah Idarat al-Buhuts al-

„Ilmiyah wa al-Ifta wa al-Da‟wah wa al-Irsyad. Ritadh,t.t.

Al-Atas, Sayed Muhammad Naquib. (1991). The Concept of

Education in Islam. Kuala Lumpur: International Islamic

Thought and Civilization.

Page 232: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

212

_______. (1978). Islam and Scularism. Kuala Lumpur: Muslim Youth

Movement of Malaysia.

_______. (1995). .Islam dan Filsafat Sains. Terj. Saiful Muzzani.

Bandung: Mizan.

Ali,R.Moh. (2005). Pengantar Ilmu Sejarah Indonesia. Cet. I

.Yogyakarta: LKIS.

Ali,Abd. Hasa.(t.t.).al-Tarbiyah al-Islamiyah fi al-Qarn al-Rabi‟ al-

Hijryi.TT: Dar al-Fikr, al-Arabiy.

Ali, Syed Amir. (1967). Api Islam. Jakarta: Bulan Bintang.

Al-Albani,Syaikh. dalam kitab “Shahih wa Da‟if al-Jami‟ al-

Shaghir.”No. 7360.Maktabah al-Syamilah.

Al-Faruqi,Ismail Raji. (1984). Islamisasi Pengetahuan.terj. Oleh

Anas Mahyuddin dari Islamization of Knowledge. Bandung:

Pustaka.

Al-Fairuzabadi, Abi Thahir Muhammad ibn Ya‟qub. (t.t.). Tanwir al-

Maqbas Min Tafsir Ibn „Abbas. Indonesia: Dar Ihya‟ al-Kutub

al-„Arabiyyah.

Al-Kurdi,Abdul Hamid Rajih. (t.t.). Nazariah al-Marifah bain al-

Qur‟an wa al-Falsafah. Riyadh: Maktab Muayyad wa al-

Ma‟had al-„Ali li al-Islami, al-Mamlakah al-„Arabiyyah al-

Su‟udiyyah.

Al-Khatib,Muhammad Ajjaj.(1989. Ushul al-Hadits. Beirut: Dar al-

Fikr..

Al-Ghazali.Ihya‟ „Ulum al-Din. Jilid I. Semarang: Maktabah wa

Mathba‟ah Toha Putera, tt.

al-Qardlawi, Yusuf. (2001). Umat Islam Menyongsong Abad Ke-21,

terj.Yogi Prana Izza dan Ahsan Taqwim. Solo: Era

Intermedia,

_______. (1995). Jawahirul Qur‟an: Permata Ayat-ayat Suci.terj.

Muhammad Luqman Hakim. Cet.III. Surabaya: Risalah Gusti.

Al-Gurabi,Ali Mustafa. (1959). Tarikh al-Firaq al-Islamiyah. Kairo:

Mathba‟ah Ali Shahih.

Al-Ahwani,Ahmad Fuad. (1985). Al-Kindi Failusuf al-Arab.

Mesir:al-Matbaah al Hai‟at al-Misriyah.

Al-Mursyi,Ahmad Munir. (1986). .al-Tarbiyah al-Islamiyah, ushulu

wa Tathawwuruhu. Kairo: Maktabah Dar al-A‟lam.

Al Mas‟udi, Muruj, Jilid IV.

Page 233: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

213

Al Munawar,Said Aqil Husin. (2002). Al-Qur‟an Membangun

Tradisi Kesalehan Hakiki, (ed). Abdul Halim. Cet.I.Jakarta:

Ciputat Press.

Al-Suyuti.(1968). Tarikh Al-Khulafa. Kairo: Al-Halaby.

Al-Usairy.(2003). Sejarah Islam Sejak Zaman Nabi Adam Hingga

Abad XX.Cet. II. Jakarta: Akbar.

Al-Zarnuji, Burhan ad-Din, Ta‟lim al-Muta‟alim Tariq al-Ta‟allum.

Indonesia: Dar Ihya al Kutub al-„Arabiyah,t.t.

Amin,Ahmad. (1965). Fajar al-Islam. Kairo: Maktabah al-Nahdah.

_______.(1972).Dhuhah al-Islam. Jilid I. Kairo: Maktabah al-

Nahdah..

Amin,Husayn Ahmad. (1995).Seratus Tokoh Dalam Sejarah

Islam.Cet.II. Peterj.: Bahruddin Fannani. Bandung: PT. Remaja

Rosdakarya.

Amstrong,Karen. (2009). Sejarah Tuhan: Kisah Pencarian Tuhan

yang dilakukan oleh Orang-orang Yahudi, Kristen dan Islam

selama 4000 tahun. Cet.III. Bandung: Mizan Pustaka.

Ansary, Tamim. (2010). Dari Puncak Baghdad Sejarah Dunia Versi

Islam. Jakarta: Zaman.

Anshari, Endang Saifuddin. (1987). Ilmu, Filsafat dan Agama.

Surabaya: Bina Ilmu.

„Arabi, Ibnu. „Aridat al-Ahwadhi. JuzX.

_______. (2005). Reformulasi Pendidikan Islam. Cet.I.Jakarta:

CRSD.

Arifin,M. (1993). Kapita Selekta Pendidikan Islam dan Umum,.

Jakarta: Bumi Aksara.

Asari, Hasan.(1994.). Menyingkap Zaman Keemasan Islam.Bandung:

Mizan.

Asar. (1994). Pendidikan Tinggi Islam, (Jakarta: Bulan Bintang.

As-Sirjani,Raghib. (2011). Sumbangan Peradaban Islam pada

Dunia. Cet.I Jakarta: Pustaka Al-Kautsarm.

Asnawi,Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum (Studi Komparasi

Pola Pembelajaran antara Pesantren Tradisional Plus dan

Pesantren Modern), Tesis pada Sekolah Pascasarjana UIN

Jakarta: 2010, tidak dipublikasikan.

Asrorah,Harun. (1999). Sejarah Pendidikan Islam.Cet. I . Jakarta:

Logos.

Page 234: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

214

Ash Shiddieqy,Tengku Muhammad Hasbi. (2000). Sejarah dan

Pengantar Ilmu Al-Qur‟an dan Tafsir.Semarang: Pustaka

Rizki Putra.

AS,Asmaran. (1996), Pengantar Studi Tasawuf. Jakarta: Rajawali

Press.

Atsir,Ibn. Al-Kamilfii Tarikh. Juz VI. Beirut: Darul Ma‟arif.

At-Thabari.(1968). Tafsir At-Thabari.Kairo: El Habaly.

Azra,Azumardi. (1998).Esei-esei, Intelektual Muslim dan Pendidikan

Islam. Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu.

_______. (1999). dalam “ Hijaz Antara Sejarah Politik dan Sejarah

Sosial” Kata Pengantar dalam Badri Yatim. Sejarah Sosial

Tanah Suci 1800-1925. Jakarta: Logos.

_______. (1994). Pendidikan Tinggi Islam dan Kemajuan Sains.

dalam Charles Michael Stanton. Pendidikan Tinggi dalam Islam.

Jakarta: Logos.

_______. (2002). Paradigma Baru Pendidikan Nasional:

rekonstruksi dan Demokratisasi. Cet. I. Jakarta: Buku Kompas,

Audi,Robert (Ed), Berent Enc, (1995) “Paradigm”, dalam The

Cambridge Dictionary of Philosophy. Cambridge:

University Press.

Aziz,Abdul. (2012). Nilai-Nilai Pendidikan Islam. http :

//www.pdf.finder.com.

Bacharudin Jusuf Habibie. (2006). “Beberapa catatan Mengenai

Ilmu Pengetahuan, Teknologi, Budaya, dan Peradaban”,

Makalah disampaikan pada Rapat Senat Terbuka Luar Biasa

dalam Rangka Penganugrahan Doktor Honoris Causa dalam

Teknologi dan Peradaban di Universitas Hasanuddin, Makasar

pada tanggal 9 September.

Baboar,Ian. (1997). Menemukan Tuhan Melalui sains.Cet. I. Jakarta:

Gramedia.

Baharuddin, dkk. (2011). Dikotomi Pendidikan Islam.Cet.I. Bandung:

Rosda Karya.

Baiquni,Achmad. (1996).Al-Qur‟an dan Ilmu Pengetahuan

Kealamaman. Yogyakarta: PT. Dana Bakhti Prima Yasa.

_______. (1983). Islam dan Ilmu Pengetahuan Modrn. Jakarta:

Pustaka.

Bakar,Osman. (1988). Hierarki Ilmu: Membangun Rangka Pikir

Islamisasi Ilmu. Bandung: Mizan.

Page 235: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

215

Bastaman,Hanah Djumhana (2003). Intergrasi Psikologi dengan

Islam: Menuju Psikologi Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Bidin, Masri Elmashar, dkk. (2003). Integrasi Ilmu Agama dan

Umum. Jakarta: UIN Jakarta Press.

Bek, Al-Sayyid Ahmad al-Hasyimiy. (1948).Mukhtar al-Ahadits al-

Nabawiyah wa al-Hikam al-Muhammadiya. Cet. III . Surabaya:

al-Hidayah.

Bryman,A. (1988). Quantity and Quality in Social Recearch.

London: UnwinHyman.

Brannen,Junia. (1997). Memandu Metode Penelitian Kualitatif dan

Kuantitatif, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Bukhsh,Khuda. ((1927). The Education System of the Muslim in the

Moddle Age”, Islamic Culture,I

Burn,Edwar McNall.(1964).World Civilization, Their History and

Culture.New York: WWNorton.

Burns,Edward Mc Nall dan Philip Lee Ralp. (1963). Civilization from

Ancient to Contemporary. Vol. I. Newyork: W.W Norton and

Company, Inc.

Charisma,M. Chariq. (1991). Tiga Aspek Kemukjizatan Al-

Qur‟an.Surabaya: PT. Bina Ilmu.

Chejen,A.G. (1982).Ibn Hazm. Chicago: Kazi Publication INC.

Cholil,Moenawar. (1969). Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad

Saw. Jakarta: Bulan Bintang.

_______. (2000) Biografi Empat Serangkai Imam Mazhab. Jakarta:

Bulan Bintang

Clot,Andre (1989). Harun Al-Rasyid and The World of The Thousand

and One Nights, London: Saqi Books.

Echols,John M. dan Hassan Shadily. (2000).Kamus Inggris-

Indonesia: An English- Indonesian Dictionary. , Cet. Ke-24.

Jakarta: Gramedia.

Daftari, Farhad. (2001).Tradisi-tradisi Intelektual Islam. (terj.) Fuad

Jabali dan Ujang Thalib, dari judul asli, Intellectual Tradition

in Islam.Cet.I. Jakarta: Erlanga.

Dawson, Christhoper. (1962).The Making of Europe.Vol. II. Meridian

books,

Jhon Mc Neill.The Rise of the West.tt.p, Mentor Books.

Degun,Save M. (1997). Kamus Besar Ilmu Pengetahuan. Cet.I.

Jakarta: LPKN.

Page 236: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

216

Departemen Agama Republik Indonesia.(2005) Al-Qur‟an dan

Terjamahnya. Bandung: Syaamil Cipta Media.

Djakfar, Muhammad. (2002)..Islamisasi Pengembangan dari Tataran

Ide ke Praktis, dalam buku Quo Vadis Pendidikan Islam. (ed.).

Mudjia Rahardjo. Malang: Cendikia Paramulya.

El-Nagger, Zaghloul.( 2010). Selekta dari Tafsir-Tafsir Ayat-ayat

Kosmos dalam Al-Qur‟an. Cet.I. Jakarta: Shorouk International

Bookshop.

Engineer,Ashghar Ali. (2003). Pembebasan Perempuan, Penterj.:

Agus Nuryanto. Yogyakarta: LkiS.

Ensiklopedi Al-Qur‟an. (1997). Jilid I.Jakarta: Yayasan Bimantara.

Fadjar,A. Malik. (1999). Reorientasi Pendidikan Islam, Jakarta:

Yayasan Pendidikan Islam Fajar Dunia.

_______. (2010). Telaah tentang Model Perguruan Tinggi Ilsam,

dalam Laode M.Kamaluddin (ed), On Islamic Civilization. Cet.I.

Jakarta: Unissula dan Republikata.

Farrukh,Umar.(1989). ‟Abqariyat al-„Arab fi al „Ilmi wa al-Falsafah.

Beirut :al Maktabah al-„Ashriyah.

Fathudin,Usep. (2000).Perlukah Islamisasi Ilmu?. dalam Moeflich

Hasbullah, Gagasan dan perdebatan Islamisasi Ilmu

Pengetahuan. Cet. I. Jakarta: Cidesindo, LSAF, Iris.

Gaudah,Muhammad Gharib. (2007). 147 Ilmuwan Terkemuka dalam

Sejarah Islam, terj. Muhyiddin Mas Rida (ed). Cet.I .Jakarta: Al-

Kautsar.

Hakim,Taufiqul. (2004). Kamus At-Taqwa: Arab, Jawa, Indonesia:

Kamus santri. Bangsar:Amsilati.

Halim ibn Taimiyah, Taqiy al-Din Ahmad ibn „Abd al-. (t.t.).

Majmu‟Fatwa Syaikh al-Islam Ahmad ibn Taimiyah.Beirut: Dar

Fikr.

Halim,Sudarnoto Abdul. “Renaisains Universitas Islam Negri”,

Jurnal Alumni UIN Bijak: Tanggung Jawab Kaum Terpelajar,

edisi I, Juli 2012.

Hanafi,Ahmad. (1996). Pengantar Filsafat Islam. Cet.III. Jakarta:

Bulan Bintang.

Hanafi, Ahmad. (1986). Theology Islam, (Ilmu Kalam). Cet.VI,.

Jakarta: Bulan Bintang.

Handrianto,Budi. (2010). Islamisasi Sains: Sebuah Upaya

Mengiislamkan Sains Barat Modern. Cet.I. Jakarta: Al-Kautsar.

Page 237: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

217

Hart,Michael. (1982). Seratus Tokoh yang Paling Berpengaruh

dalam Sejarah, Terj. Mahbub Djunaidi. Jakarta: PT. Dunia

Pustaka Jaya.

Hasan,Masuduh. (1992). History of Islam: Clasical Priod 571-1258

C.E. Cet.I. Delhi: Adam Publisher.

Hamka, Tafsir al-Azhar. (1988). Jilid XXX. Cet. I. Jakarta: Pustaka

Panjimas.

Hamka, (1978). Sejarah Umat Islam.Jakarta: Bumi Bintang.

Hamur,Ahmad Ibrahim. (1997). al-Daulat Abbasiyah al-Ashr al-

Abbas al-Awwal,Ashr al-Quwwah, wa al-nufudz wa al-amal.

Mesir: Dar al-Thaba‟ah aal-Muhammadiyah.

Hitti,Philip K. (1974). History of the Arab. London: Macmillan Press

Ltd.

_______. t.t. Dunia Arab Sejarah Ringkas. Cet.VII. Bandung: Sumur

Bandung.

Heriyanto,Husain. (2011). Menggali Nalar Saintifik Peradaba Islam.

Cet.I. Jakarta: Mizan.

Hoesen,Oemar Amin. (1975.). Kultur Islam. Jakarta: Bulan Bintang.

http://www-groups.dcs.st nd.ac.uk/~history/Mathematicians/Galileo.

html. 2013.

Ikhrom. (2001). Dikhotomi Sistem Pendidikan Islam; Upaya

Mengkap Sebab- sebab dan Penyelesaiannya, dalam buku

Pradigma Pendidikan Islam (ed.) Ismail SM., et.al.

Yogyakarta: Pustaka Pelehar.

Izzuddin,Didin. (2001). Mihnah dan Politisasi Teologi: Studi Sejarah

dan Politik. Tesis program Magister UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta.

Jalaluddin. (2013). Filsafat Ilmu Pengetahuan: Filsafat, Ilmu

Pengetahuan, dan Peradaban, Cet.II . Jakarta: RajaGrafindo

Persada.

J. Robson, Al-Bukhari. (1960). Muhammad bin Islamil, dalam

Encyclopedia of Islam, I, Leiden.

Jalaludin, Abdulah Idi, (1997), Filsafat Penddikan: Manusia,

Filsafat dan Pendidikan, Cet.II. Jakarta: Gaya Media Pratama.

Kamal,Zainul. “Krisis Pemikiran dan Epistemologi Islam”.Makalah

disampaikan pada Seminar Nasional Prog. Magister Fak.

Ushuluddin, UIN Jakarta, Jakarta, 1 November 2013.

Kartanegara,Mulyadi. (2003). Menyibak Tirai Kejahilan: Pengantar

Epistemologi Islam. Bandung: Mizan.

Page 238: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

218

_______. (2005). Integrasi Ilmu Sebuah Rekonstruksi Holistik.Cet. I.

Jakarta: UIN Jakarta Pres.

_______. (2003), Integrasi Ilmu dalam Persepektif Islam. Cet.I.

Jakata: UIN Jakarta Press.

Khaldun,Ibn. (2001). Mukaddimah Ibnu Khaldun, Beirut: Dar al-

Kitab Al-„Arabi.

Khalifah,Haji. Kasyf al-Dhunun „an Asami al-Kutub wa al-

Mutun.Beirut: Dar al-„Uluum al-Hadits, t.t.

Khalikan,Ibn. Wafiyat Al-A‟yan wa Anba Al-Zaman.Juz 1. Kairo:

Darl Fikr

Kartodirjo,Sartono. (1993). Pendekatan Ilmu Sosial dalam

Metodologi Sejarah.Jakarta: Gramedia.

Kuntowijiyo, (1994) .Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Tiara

Wacana.

_______. (2004). Islam Sebagai Ilmu, Epistemologi, Metodologi dan

Etika, Jakarta: Teraju.

_______. (1991). Paradigma Islam: Interaksi untuk Aksi. Bandung:

Mizan,

Langgulung,Hasan. (1979). Falsafah at-Tarbiyah al-Islamiyah. Cet.I,

Jakarta: Bulan Bintang.

Lapidus, Ira.M. (2000.) Sejarah Sosial Ummat Islam. Cet.II. Jakarta:

PT. RajaGrafindo Persada.

Latifudin, (2008) “Paradigma Pendidikan Multikultural dalam

Pendidikan Islam,” Tesis pada Pascasarjana UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta.tidak dipublikasikan

Lewis,Bernard, et.al (eds). The Encyclopedia of Islam.Vol. 5. Leiden:

E.J.Brill,tt, New Edition.

Mochtar, Affandi. dkk., (2008). Paradigma Baru Pendidikan Islam.

Jakarta: PIC UIN Jakarta.

M.Fa‟al,Fahsin. (2008). Sejarah Kekuasaan Islam. Cet.I. Jakarta:

CV.Artha Rivera.

Makdisi,George. (1981).The Rise of Colleges. Edinburgh: Edinburgh

University press.

Madjid,Nurcholish. (2000).Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah

Telaah Kritis Tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan

Kemodernan. Jakarta: Paramadina.

_______. (1997).Asbabun Nuzul: Sejarah Turunnya Ayat-Ayat Al-

Qur‟an. Surabaya: Pustaka Anda.

Page 239: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

219

_______. (ed).(1984). Nurcholis Majid (ed), Khazanah Intelektual

Islam, Jakarta: Bulan Bintang.

Mahmudunnasir. (1991). Islam: Konsepsinya dan Sejarahnya. Cet. I,

Bandung: Remaja Rosdakarya.

Majah,Sunan Ibn, (1995). dari kitab “Al-Muqaddimah bab fadhl al

„ulama‟ wa al-hatsts„ala talab al-„ilmi, no.224 (Abu „Abdullah

Muhammad ibn Yazid al-Qazwini, Sunan Ibnu Majah.,Jilid I.

Beirut: Dar al-Fikr.

Mandzur,Ibnu. (t.t ). Lisan al „Arab.Cairo: Daarul Ma‟arif.

Marwan,Fuad. (1999). Perjalanan Spiritual Empat Imam Mazhab.

Jakarta: Kalam Mulia.

Masood,Esan. (2009). Ilmuan-Ilmuan Muslim Pelopor di Bidang

Sains Modern: Dari Musa al-Khawarizmi di Bidang

Matematika, Sampai Ibnu Sina di Bidang Ilmu Kedokteran

Kisah-Kisah yang perlu Diingat Kembali, Peterj.: Fani Yamani,

Jakarta: PT.Gramedia Pustaka Utama.

Mas‟ud,Abdurrahman. (2004). Intelektual Pesantren, Perhelatan

Agama dan Tradisi, Cet.I. Yogyakarta: LKiS.

Mastuhu. (1999). Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam, Jakarta:

Logos Wacana Ilmu.

Masruri, Hadi M. dan Rossidy Imron. (2007). Filsafat Sains dalam

Al-Qur‟an: Melacak Kerangka Dasar Integrasi Ilmu dan

Agama. Cet.I. Malang: UIN Malang Press.

Maksum.(1999). Madrasah Sejarah dan Perkembangannya. Ciputat,

Logos Wacana Dunia.

Moleong, Lexy J. (1995).Metodologi Penelitian Kualitatif.Bandung:

PT. Remaja Rosda Karya.

Mochtar,Affandi, dkk. (ed). (2008).Paradigma Baru Pendidikan

Islam: Rekam Implemntasi IAIN Indonesia Social Equity Project

(IISEP) 2002-2007. Cet.I. Jakarta: IAIN Indonesia Social Equity

Project.

Moh.Sofwan. (2004). Pendidikan Berparadigma Profetik,

Yogyakarta: IRCiSoD.

Mulia,T.G.S. dan K.A.H. Hidding. Ensiklopedia Indonesia. Jilid F-

M, Artikel: Ilmu Pengetahuan.

Muliawan,Jasa Ungguh. (2005).Pendidikan Islam Integratif: Upaya

Mengintegrasikan Kembali dikotomi Ilmu dan Pendidikan Islam.

Cet. I. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Page 240: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

220

Mujieb,M. Abdul dkk. (2009). Ensiklopedia Tasawuf Imam Al-

Ghazali: Mudah memahami dan Menjalankan Kehidupan

Spiritual.Cet.I. Jakarta: PT. Mizan Publika.

Muthahhari,Ayyatullah Murtadha.(2011). Dasar-Dasar Epistemologi

Pendidikan Islam.terj. Tarbiyatul Islam. Cet.I. Jakarta: Sadra

Internasional Institute.

_______. (2010). Pengantar Epistemologi Islam. Cet.I. Jakarta:

Shadra Perss.

Nakosteen,Mehdi.(1968).Kontribusi Islam and Civilization in

Islam.Cambridge: Harvard University Press.

_______. (1964). History of Islamic Origins of Wstern Education,

A.D.800-1350 with an Intruduction to Medieval Muslim

Education, Colorado: University of Colorado Press.

_______. (1995). “Kontribusi Islam atas Dunia Intelektual Barat,

Deskripsi Analisis Abad Keemasan Islam”.Cet.I. Surabaya:

Rislah Gusti.

Nasr, Sayyeed Hossein. (1986).Science And Civilization in Islam.

Cambridge: Harvard University press.

_______. (1993). A Young Muslim‟s Guide the Modern World.

Petaling Jaya: Mekar Publisher.

_______. (1996). Religion and the Order of Nature. Oxford: Oxford

University Press.

_______. (1976). Islamic Science: An Illustrated Study. London: t.t.p.

Nasution, Harun. (1985). Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah

Analisa Perbandingan. Jakarta: UI Press.

_______. (1978). Falsafah dan Mistisisme dalam Islam. Jakarta:

Bulan Bintang.

_______. (1995). Islam Rasional:Gagasan dan Pemikiran Prof.

DR.Harun Nasution, editor: Syaiful Muzani. Bandung: Mizan..

_______. (1985). Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya. Jilid I.

Jakarta: UI Press.

_______. (1992). Ensiklopedi Islam Indonesia.Cet.I. Jakarta:

Djambatan.

_______. (1985). Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya. Jilid II.

Jakarta: UI Press.

Nata,Abuddin. (2001).Ilmu Kalam, Filsafat dan Tasawuf.Cet. V.

Jakarta: Raja Grafindo Persada.

_______. (2010). Ilmu Pendidikan Islam.Jakarta: UIN Jakarta Press.

_______. (2011). Studi Islam Komperhensif. Jakarta: Kencana, Cet.I.

Page 241: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

221

_______. (2010). Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan (Tafsir al-Ayat al-

Tarbawi). Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cet. IV.

_______. dkk. (2003). Integritas Ilmu Agama dan Ilmu Umum.

Jakarta: UIN Jakata Press.

_______. (2011). Studi Islam Komperhensif.Cet.I. Jakarta: Kencana.

_______.(2001) Pemikiran para Tokoh Pendidikan Islam: Seri

Kajian Filsafat Pendidikan Islam,Jakarta: Raja Grafindo

Persada.

_______. (2012). Sejarah Sosial Intelektual Islam dan Institusi

Pendidikannya. Cet. I. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.

_______. (2011). Metodologi Studi Islam. Cet.18. Jakarta: PT. Raja

Grafindo.

_______. (2010). Sejarah Pendidikan Islam pada Priode Klasik dan

Pertengahan. Cet. II. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

_______.(2000). Akhlak Tasawuf. Cet.III. Jakarta: RajaGrafindo

_______. (2005), Tokoh-tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam di

Indonesia.Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.

Nizar,Samsul. (2008). Sejarah Pendidikan Islam: Menelusuri Jejak

Sejarah Pendidikan Era Rasulullah Sampai Indonesia Jakarta:

Kencana.

P.,Akhmad Jenggis. (2011). Kebangkitan Islam. Cet.I. Yogyakarta:

NFP Publishing.

Poerwadarminta,W.J.S. (1991).Kamus Umum Bahasa Indonesia.

Jakarta: Balai Pustaka.

Poeradisastra, S.I.( 2008). Sumbangan Islam kepada Ilmu dan

Peradaban Modern. Cet.III. Jakarta: Komunitas Bambu.

SJ,Fadil. (2008). Pasang Surut Peradaban Islam dalam Lintasan

Sejarah. Cet.I. Malang: UIN Malang.

Sadra,Mulla. (1996). His Teaching, dalam Syyed Hossein Nasr dan

Oliver Leaman (ed), History of Islam Philoshophy, London:

Routledge.

Saefudin,Didin. (2002). Zaman Keemasan Islam: Rekonstruksi

Sejarah Imperium Dinasti Abbasiyah. Cet.I,Jakarta: PT.

Grasindo,

Salim, Peter dan Yenny Salim. (2002). Kamus Bahsa Indonesia

Kontemporer. Cet .II.Jakarta: Modern English Press.

Sardar,Ziauddin. (1986). Rekayasa Masa Depan Peradaban Muslim,

Terj. Rahma Astuti. Bandung: Mizan.

Page 242: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

222

Sofwan, Moh. (2004). Pendidikan Berparadigma Profetik.

Yogyakarta: IRCiSoD.

Syarif,MM (ed). 1992). History Of Muslim Philoshophy, edisi

Indonesia, Para Filosof Muslim. Bandung: Mizan.

Rahman,Fazlur. (2000). Islam dan Modernitas: Tantangan

Transformasi Intelektual, Penterj.: Ahsin Muhammad, Bandung:

Pustaka.

Rachman, Budhy Munawar (ed), (1994). Kontektualisasi Doktrin

Islam Dalam Sejarah.Jakarta: Paramadina.

Rahim,Husni. (2005). Madrasah dalam Politik Pendidikan di

Indonesia.Cet. I.Jakarta: Logos.

Razak,Nasruddin. (1997). Dienul Islam.Cet.II. Bandung: al-Ma‟arif.

Rohan,Abujamin.( 2009). Ensiklopedi Lintas Agama. Cet.I. Jakarta:

Emerald.

Rosnani, Hasyim. (1996).Educational Dualism inMalaysia:

Implication Fof Theory and Practice. Kuala Lumpur: Oxford

University Press.

Rosyid, Ahmad Dimyati. (2004). Reaktualisasi Pemikiran Ibnu

Taimiyah: Kunci Sukses Pendidikan Masa Kini. Surabaya:

Roddas Media.

Sadar,Ziauddin. (1984). Argument for Islamic Science in Quest for

New Science. Aligarh: Center For Studies On Science.

Saefudin, Didin. (2002).Zaman Keemasan Islam : Rekonstruksi

Sejarah Imperium Dinasti Abbasiyah. Cet.I.Jakarta: PT.

Gramedia Widiasarana Indonesia.

Shihab, M.Quraish. (1997). Wawasan Al-Qur‟an: Tafsir Maudhu‟i

atas Pelbagai Persoalan Umat. Cet.V.Bandung: Mizan.

_______. (2003). Membumikan Al-Qur‟an: Fungsi dan Peran

Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat. Bandung: Mizan.

_______. (2002).Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian

Al-Qur‟an. vol.1dan 14. Jakarta: Lentera Hati.

Santoso,Slamet Iman. (1977).Sejarah Perkembangan Ilmu

Pengetahuan.Jakarta: Sastra Budaya.

Sarton,Goerge.(1927). Introduction to the History of Science. Vol.1.

Baltimore: Wilkins and Wilkins.

Soebahar,Abd. Halim.(2009).Matriks Pendidikan Islam.Yogyakarta:

Pustaka Marwa.

Sopyan,Yayan. (2010). Tarikh Tasyri‟: Sejarah Pembentukan Hukum

Islam. Depok: Gramata Publishing.

Page 243: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

223

Shaber Ahmed, dkk.. (1997). Islam dan Ilmu pengetahuan. penterj,:

Zetira Nadia Rahma. Bangil: Islamic Cultural Workshop.

Supyarogo,Imam. (2005). “Membangun Integrasi Ilmu dan Agama:

Pengalaman UIN Malang”. dalam Zainal Abidin Bagir (ed),.

Integrasi ilmu dan Agama: Interprtasi dan Akal. Bandung:

Mizan.

Suriasumantri,Jujun S. (1990). Filsafat Ilmu Sebuah

Pengantar.Jakarta: Sinar Harapan.

Suwito dan Fauzan (Edit.).(2003). Sejarah Pemikiran Para Tokoh

Pendidikan, Cet. VI.Bandung: Angkasa.

_______. (2005). Sejarah Sosial Pendidikan Islam.Cet. I. Jakarta:

Kencana.

Susanto,Musyrifah.(2007). Sejarah Islam Klasik: Perkembangan

Ilmu Pengetahuan Islam. Cet.III. Jakarta: Prenada Media

Group.

Stanton,Michael Charles.Pendidikan Tinggi dalam Islam.Jakarta:

Logos,1994.

Syalabi,Ahmad. (1982).Al-Tarbiyah al-Islamiyah, Kairo: Maktabah

al-Nahdhah al-Mishriyah

________.( 1954).Histori of Muslim Education. Beirut: Dar al-

Kashshaf.

________. (1954).Taraikhul al-Tarbiyah al-Islamiyah, Mesir: Darul

al-Kasysyaf lil al-Nasyiri wa al-Thiba‟ah wa Tauzi.

_______. (1973). Sejarah Pendidikan Islam, Terj. Muhtar Yahya.

Jakarta: Bulan Bintang.

_______. (2002). At-Tarbiyatul wa Azmatu at-Tanmiyah al-

Basyariyyah. Riyadh: Maktabul Tarbiyatul al-Arabiy lil Daulah

lil Khalij.

Tafsir,Ahmad. (1994). Ilmu Pendidikan dalam Persepektif Islam.

Bandung: Remaja Rosdakarya.

Tambaruka,Rustam E.(1999).Pengantar Ilmu Sejarah. Cet. I.

Yogyakarta: Rineka Cipta.

T.J., De Boer, (1970). The History of Philosophy in Islam. London:

t.t.p.

Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. (2001). Kamus Besar Bahasa

Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka.

Page 244: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

224

Titus,Harold H. (1985). Living Issues in Philosophy. terj. Rasyidi.

Jakarta: Bulan Bintang.

The Encyclopedia of Islam. (1979). “ilm”. New Edition, Vol.III.

London: Luzac & CO.

Umiarso dan Haris Fathoni Makmur. (2010).Pendidikan Islam dan

Krisis Moralisme Masyarakat Modern:Membangun Pendidikan

Islam Monotomik-Holistik. Yogyakarta: IRCiSoD.

Uhbiyati, Nur. (1988).Ilmu Pendidikan Islam (IPI). Cet. II.Bandung:

CV. Pustaka Setia.

Wan,Daud dan Mohd Nor Wan. (1989).The Concept of Knowledge in

Islam: Its Implications for Education in A Deveploping Country.

London:mMansell Publishing.

Watt, W. Montogomery. (1990), The Majesty That was Islam, terj.

Hartono Hadikumuro. Yogyakarta: Tiara Wacana.

________. (1997). Islam dan Peradaban Dunia: Pengaruh Islam dan

Eropa Abad Pertengahan. Jakarta: Gramedia.

Wojowasito,S. dan W.J.S. Poerwadarminta. (1980). Kamus Lengkap

Inggeris–Indonesia, Indonesia–Inggeris.Cet. Ke-15. Bandung:

Hasta.

Yahya, Harun. (2004). Menyingkap Rahasia ALam Semesta,.

Bandung: Dzikra.

Yatim,Badri. (1994). Sejarah Peradaba Islam Dirasah Islamiyah

II.Cet. II. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Yunus,Mahmaud. ( 1992). Sejarah Pendidikan Islam. Cet.VII.

Jakarta: Hidakarya Agung.

_______.(1955). Ilmu Musthalah al-Hadits. Padang: Padang Panjang

_______.(1997). Historiografi Islam. Jakarta: Logos.

Zaid,Abu.(2003). Al Imam al-Syafi‟i wa Ta‟sis al-Idiologiyah al-

Wasathiyah. Kairo: Dar al-Fikr al-Islamy.

Zaini,Syahminan. (1989). Intergritas Ilmu dan Aplikasinya Menurut

Al-Qur‟an, Jakarta: Kalam Mulia.

Saefudin, Didin. (2002). Zaman Keemasan Islam : Rekonstruksi

Sejarah Imperium Dinasti Abbasiyah. Cet. I. Jakarta: PT.

Gramedia Widiasarana Indonesia.

Zahra,Imam Mumammad Abu. (1996.). Aliran Politik dan „Aqidah

dalam Islam.Cet. I. Jakarta: Logos.

Zainuddin, M. (2008),.Paradigma Pengembangan Pendidikan Islam:

Menyiapkan Generasi Ulul Albab,. Cet.I. Malang: UIN-

Malang Press.

Page 245: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

225

Zuhri,Mustafa. (1995). Kunci Memahami Ilmu Tasawuf. Surabaya:

PT. Bina Ilmu.

Zuhairini, dkk, (2006).Sejarah Pendidikan Islam.Jakarta: Bumi

Aksara.

Sumber dari Jurnal, Artikel.

Abu Hasan,Muhadi,dkk. “Pengislaman Sains dan Pengaruhnya dalam

Peradaban

Adebayo,RI. “The influence of The World Converences on Muslim

Education on Islamic Education in Nigeria, Artikel. Diakses dari

http://www.unilorin.edu.ng/

Ahmad, (2005).Pendidikan Islam dan Perubahan Sosial: Upaya

Mengoptimalkan Kurikulum Berbasis Kompetensi Pendidikan

Agama Islam, Kordinat, Jurnal Komunikasi Antara Perguruan

Tinggi Agama Islam dan Swasta, Vol.VI, No.1.

Anwar,Ali. (2006). “Peranan Madrasah Nizamiyah dalam Proses

Transmisi Ilmu Keagamaan”, NIZAMIYA, Jurnal Pendidikan

Islam, Vol.9.No.1.

Aripin,Samsul. (2014) “Strategi Pendidkan Islam dalam Upaya

Menjawab Tantangan Global, TARBIYA, of in Journal

Education Muslim Society, Vol.1,No.2.

Arief,Armai. (2006). Melacak Akar Timbulnya Dikhotomi dalam

Pendidikan B Islam, dalam ”Jauhar” Jurnal Pemikiran Islam

Kontekstual, Volume 3, Nomor 2, Jakarta: Pascasarjana

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Az. Fanani. (2006). Profesi Guru dalam Lintasan S ejarah Islam

(Refleksi Adanya UU Guru dan Dosen), NIZAMIYA, Jurnal

Pendidikan Islam, Vol.9, No.1.

Bagheri, Khosrow dan Zohreh Khosrovi, (2006). “TheIslamic

Concept of Education Reconsidered.” The American Journal

of Islamic Social Sciences.23:4.

Fadaie,Gholamreza. “Philoshopher‟s Worldview and Classification of

Knowledge.”Artikel diakses 13 Juni 2013.

Habiebie,B.J. (2006). “Beberapa catatan Mengenai Ilmu

Pengetahuan, Teknologi, Budaya, dan Peradaban”, Makalah

disampaikan pada Rapat Senat Terbuka Luar Biasa dalam

Rangka Penganugrahan Doktor Honoris Causa dalam

Page 246: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

226

Teknologi dan Peradaban di Universitas Hasanuddin,

Makasar pada tanggal 9 September .

Halim,Sudarnoto Abdul. (2012). “Renaisains Universitas Islam

Negri”, Jurnal Alumni UIN Bijak: Tanggung Jawab Kaum

Terpelajar, edisi I.

Hasanudin. (2008). “Dominasi Peradaban Barat dalam Pendidikan

Islam.” : Jurnal Lentera Pendidikan. Vol.11,No.2.

Heck, Paul L. “The Hierarky of Knowledge in Islamic Civilization.”

Arabic T 49 2002.

Jejen,Musfah. (2006).“Pendidikan dalam Persepektif Imam Syafi‟i,

Mimbar, Jurnal Agama dan Budaya, Vo.23,No.3.

Jurnal. (2006). Pemikiran Islam kontekstual „Jauhar‟ volume 3

nomor 2 bulan Desember, terbitan program Pascasarjana UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta.

Lisa‟diyah, (2006). “Drop Out Siswa Madrasah: Kecendrungan

Penyebab dan Solusi”,Edukasi, Jurnal Penelitian Pendidikan

Agama dan Keagamaan,Vol.4, No.4.

Mulyadi. (2010). “Kotribusi Filsafat Ilmu dalam studi Ilmu agama

Islam: Telah Pendekatan Fenomenologi”, Ulumuna, Jurnal

Studi Keislaman,Vol.IXV,No.1.

Rahman,Fazlur. (1988). “Islamization of Knowledge: A Response.”

AJISS 5-1.

Rofiq,Ahmad Choirul.(2010). “Signifikansi Teori-teori Popper,

Khun, Lakatos terhadap Pengembanagn Ilmu-Ilmu Keislaman”,

Ulumuna, Jurnal Studi Keislaman,Vol.IXV,No.1.

Rifa‟I,Nurlena. dkk., (2014). Integrasi keilmuan dalam

Pengambangan Kurikulum di UIN se-Indonesia, TARBIYA, of

in Journal Education Muslim Society, Vol.1,No.1.

Rosyada,Dede.(2008).“Pendidikan Mulikultural Melalaui Pendidikan

Agama Sebuah Gagasan Konsepsional”, TA‟DIB, Jurnal Ilmu

Pendidikan,Vo.11,No.1.

Sukari.(2006). “Pendidikan Islam Sebagai Subsistem Pendidikan

Universal”, At-Tarbawi, Jurnal, Kajian Kependidikan Islam,

Vol.4, No.1.

Setiawan,Abdul Aziz dan Anton Hindardjo.(2005). “Menggali

Khazanah Ekonomi islam: Kontribusi Genuine Ekonomi islam

Fase Awal, Kordinat, Jurnal Komunikasi Antara Perguruan

Tinggi Agama Islam dan Swasta, Vol.VI, No.1.

Page 247: PARADIGMA PENGEMBANGAN ILMU - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/29108/3/AHMAD... · pengembangan integrated yang berbasis pada tauhid yang

227

Yusuf,Akhyat . Pengertian Epistemologi, Logika, Metodologi, diktat

mata kuliah Filsafat Ilmu Pascasarjana UI.

Tamsir,Sukari. (2006). “Pendidikan Islam Sebagai Subsistem

Pendidikan Universal”, At-Tarbawi, Jurnal, Kajian

Kependidikan Islam, vol.4, No.1.

Wan Bakar,Wan Bakar. “The First World Conference on Moslem

Education 1977.”Pttx diakses dari

http://www.academia.edu/‟Islamia.Vol.III.

Zarkasy, Hamid Fahmy. (2005). “Worldview sebagai Epistemologi

Islam.”Jurnal Islamia.Vol.II.No.5.