Pangeran P.P.A. Nasution, S.Sos., M.A. Antropologi FISIP Univ. … AJAR TEORI... · 2016. 10....

76
Pangeran P.P.A. Nasution, S.Sos., M.A. Antropologi – FISIP – Univ. Malikussaleh

Transcript of Pangeran P.P.A. Nasution, S.Sos., M.A. Antropologi FISIP Univ. … AJAR TEORI... · 2016. 10....

Page 1: Pangeran P.P.A. Nasution, S.Sos., M.A. Antropologi FISIP Univ. … AJAR TEORI... · 2016. 10. 6. · Antropologi lahir, bermula dari ketertarikan orang-orang Eropa yang melihat ciri-ciri

Pangeran P.P.A. Nasution, S.Sos., M.A.

Antropologi – FISIP – Univ. Malikussaleh

Page 2: Pangeran P.P.A. Nasution, S.Sos., M.A. Antropologi FISIP Univ. … AJAR TEORI... · 2016. 10. 6. · Antropologi lahir, bermula dari ketertarikan orang-orang Eropa yang melihat ciri-ciri

Sebagai sebuah konsep, paradigma merupakan sebuah konsep strategis, yang memiliki kedudukan penting, yang berarti pula dia perlu diberi makna. Dia perlu diberi batasan-batasan tertentu, dan batasan ini kemudian perlu diberi penjelasan lebih lanjut.

Ketika kita menggunakan sebuah konsep -yaitu istilah atau kata dengan makna tertentu- maka pertama-tama yang harus kita ketahui adalah maknanya. Makna ini harus dapat dipaparkan sedemikian rupa sehingga orang lain akan tahu apa yang kita maksud dengan konsep tersebut. Pemaparan makna secara ringkas dan jelas inilah yang biasa disebut “definisi” atau batasan. Jadi, untuk konsep-konsep penting yang kita gunakan dalam kehidupan sehari-hari ataupun dalam aktivitas ilmiah kita harus dapat memberikan definisinya dan penjelasannya.

Page 3: Pangeran P.P.A. Nasution, S.Sos., M.A. Antropologi FISIP Univ. … AJAR TEORI... · 2016. 10. 6. · Antropologi lahir, bermula dari ketertarikan orang-orang Eropa yang melihat ciri-ciri

Paradigma dapat didefinisikan sebagai seperangkat konsep yang berhubungan satu sama lain secara logis membentuk sebuah kerangka pemikiran yang berfungsi untuk memahami, menafsirkan dan menjelaskan kenyataan dan/atau masalah yang dihadapi. Berikut adalah penjelasan frasa-frasa dalam definisi ini.

“Seperangkat konsep yang berhubungan satu sama lain secara logis membentuk suatu kerangka pemikiran.....“

Page 4: Pangeran P.P.A. Nasution, S.Sos., M.A. Antropologi FISIP Univ. … AJAR TEORI... · 2016. 10. 6. · Antropologi lahir, bermula dari ketertarikan orang-orang Eropa yang melihat ciri-ciri

Kata “seperangkat“ menunjukkan bahwa paradigma memiliki sejumlah unsur-unsur, tidak hanya satu unsur. Unsur-unsur ini adalah konsep-konsep. Konsepadalah istilah atau kata yang diberi makna tertentu. Oleh karena itu, sebuahparadigma juga merupakan kumpulan makna-makna, kumpulan pengertian-pengertian.

Kumpulan konsep-konsep ini merupakan sebuah kesatuan, karena konsep-konsepini berhubungan secara logis, yakni secara paradigmatik, sintagmatik, metonimikdan metaforik, sehingga dapat dikatakan sebagai “seperangkat konsep“, sepertihalnya peralatan pada orkestra gamelan atau unsur-unsur pada pakaian, yang membentuk seperangkat gamelan dan seperangkat pakaian.

Page 5: Pangeran P.P.A. Nasution, S.Sos., M.A. Antropologi FISIP Univ. … AJAR TEORI... · 2016. 10. 6. · Antropologi lahir, bermula dari ketertarikan orang-orang Eropa yang melihat ciri-ciri

Tulisan tersebut sarat prasangka subyektif terhadap bangsa-bangsa lain pada masa itu. Misalnya, Bangsa Yunani disebutnya sebagai bangsa “barbar” yakni bangsa setengah liar dan berbicara gagap. Selanjutnya, bangsa Mesir, Libia dan Persia disebutnya belum beradab.

Penulisan Etnografi juga berkembang di Tiongkok dan di India meski ditulis tidak sistematis dan metodik. Kedua bangsa di benua Asia tersebut menulis keadaan bangsa-bangsa diluar bangsa mereka.

Page 6: Pangeran P.P.A. Nasution, S.Sos., M.A. Antropologi FISIP Univ. … AJAR TEORI... · 2016. 10. 6. · Antropologi lahir, bermula dari ketertarikan orang-orang Eropa yang melihat ciri-ciri

Di Tiongkok, penulisan etnografi berkembang pada masa Dinasti Han, seperti adanya catatan mengenai Bangsa Han Nu di Tiongkok Sebelah Barat yang hidup berpindah-pindah (nomaden).

Salah satu karya etnografi yang monumental adalah perjalanan Ibnu Batutah ke berbagai wilayah di dunia, terutama di daerah Asia Tengah.

Page 7: Pangeran P.P.A. Nasution, S.Sos., M.A. Antropologi FISIP Univ. … AJAR TEORI... · 2016. 10. 6. · Antropologi lahir, bermula dari ketertarikan orang-orang Eropa yang melihat ciri-ciri

Ibnu Batutah berkebangsaan Arab, lahir pada tahun 1304 di Tanger dan meninggal tahun 1377.

Perjalanan petualangannya berhasil melukiskan tentang wilayah Konstantinopel yang di duduki Bangsa Turki, sehingga bangsa-bangsa Eropa tidak bisa berdagang lagi dengan Dunia Timur melalui jalan tradisional, yaitu melalui Euphrat, Trigis dan Teluk Persia.

Page 8: Pangeran P.P.A. Nasution, S.Sos., M.A. Antropologi FISIP Univ. … AJAR TEORI... · 2016. 10. 6. · Antropologi lahir, bermula dari ketertarikan orang-orang Eropa yang melihat ciri-ciri

Antropologi lahir, bermula dari ketertarikan orang-orang Eropa yang melihat ciri-ciri fisik, adat istiadat, budaya yang berbeda dari apa yang mereka kenal di Eropa.

Pada sekitar Abad XV-XVI, bangsa-bangsa Eropa berlomba-lomba menjelajahi dunia: mulai dari Afrika, Amerika, Asia hingga Australia.

Dari penjelajahan tersebut, orang-orang Eropa menjumpai suku-suku yang asing dimata mereka dan menuliskannya pada buku catatan perjalanan.

Page 9: Pangeran P.P.A. Nasution, S.Sos., M.A. Antropologi FISIP Univ. … AJAR TEORI... · 2016. 10. 6. · Antropologi lahir, bermula dari ketertarikan orang-orang Eropa yang melihat ciri-ciri

Catatan itu berisi ciri-ciri fisik, kebudayaan, susunan masyarakat, dan bahasa dari suku yang dijumpainya.

Catatan perjalanan tersebut kemudian dikenal sebagai Etnografi atau deskripsi tentang suku-suku bangsa.

Menurut Koentjaraningrat (1991), setiap antropolog dan ahli sejarah memiliki alasan sendiri-sendiri untuk menentukan kapan antropologi dimulai.

Page 10: Pangeran P.P.A. Nasution, S.Sos., M.A. Antropologi FISIP Univ. … AJAR TEORI... · 2016. 10. 6. · Antropologi lahir, bermula dari ketertarikan orang-orang Eropa yang melihat ciri-ciri

Dari sudut pandang "sejarah gagasan", tulisan-tulisan silsus, dan peziarah Yunani, sejarawan Arab kuno, peziarah Eropa kuno, maupun masa renaisance, dan silsus, ahli hukum, ilmuwan berbagai bidang dari Eropa, semuanya bisa dianggap pendorong bagi dibangunnya tradisi antropologi.

Antropologi mulai dikenal banyak orang sebagai sebuah ilmu setelah diselenggarakannya International Symposium on Anthropology pada tahun 1951

Page 11: Pangeran P.P.A. Nasution, S.Sos., M.A. Antropologi FISIP Univ. … AJAR TEORI... · 2016. 10. 6. · Antropologi lahir, bermula dari ketertarikan orang-orang Eropa yang melihat ciri-ciri

Simposium dihadiri oleh lebih dari 60 tokoh antropologi dari negara-negara di kawasan Ero-Amerika dan Uni Soviet.

Simposium ini menghasilkan buku antropologi berjudul “Anthropology Today” yang ditulis oleh A.R. Kroeber (1953), “An Appraisal of Anthropology Today” yang ditulis oleh S. Tax, dkk. (1954), “Yearbook of Anthropology” yang dikarang oleh W.L. Thomas Jr. (1955), dan “Current Anthropology” yang diredaksi oleh W.L. Thomas Jr. (1956).

Page 12: Pangeran P.P.A. Nasution, S.Sos., M.A. Antropologi FISIP Univ. … AJAR TEORI... · 2016. 10. 6. · Antropologi lahir, bermula dari ketertarikan orang-orang Eropa yang melihat ciri-ciri

Ada pendapat bahwa Ilmu Antropologi sebagai cabang ilmu sosial yang relatif muda yang baru berkembang sejak Abad XX.

Namun dilihat dari segi obyek ilmu yakni Manusia, maka sebenarnya Antropologi sudah dikenal sejak lama ketika manusia itu ada.

Antropologi menitikberatkan studinya pada kelompok-kelompok manusia sehingga digolongkan ke dalam ilmu sosial.

Page 13: Pangeran P.P.A. Nasution, S.Sos., M.A. Antropologi FISIP Univ. … AJAR TEORI... · 2016. 10. 6. · Antropologi lahir, bermula dari ketertarikan orang-orang Eropa yang melihat ciri-ciri

Antropologi memandang manusia sebagai sesuatu yang kompleks dari segi fisik, emosi, sosial, dan kebudayaannya.

Antropologi sering pula disebut sebagai ilmu tentang manusia dan kebudayaannya.

Page 14: Pangeran P.P.A. Nasution, S.Sos., M.A. Antropologi FISIP Univ. … AJAR TEORI... · 2016. 10. 6. · Antropologi lahir, bermula dari ketertarikan orang-orang Eropa yang melihat ciri-ciri

Secara etimologi kata Antropologi berasal dari kata Yunani “Antropo” yang berarti manusia dan “logy” atau “logos”berarti ilmu yang mempelajari tentang manusia.

Menurut Ralfh L Beals dan Harry Hoijen (1954: 2), Antropologi adalah ilmu yang mempelajari manusia dan semua apa yang dikerjakannya.

Allan H Smith & John L Fischer mengatakan bahwa banyak ilmu sosial mempelajari manusia, ilmu antropologi berusaha untuk melihat manusia dengan segala kompleksitasnya, atau manusia dengan segala aspeknya.

Page 15: Pangeran P.P.A. Nasution, S.Sos., M.A. Antropologi FISIP Univ. … AJAR TEORI... · 2016. 10. 6. · Antropologi lahir, bermula dari ketertarikan orang-orang Eropa yang melihat ciri-ciri

A.J.F Kobben guru besar Antropologi universitas Amsterdam, membedakan antara dua golongan ahli Antropologi yaitu Comparativest dan non Comparativest.

Kobben menyatakan kedua golongan ahli Antropologi itu penting demi kemajuan Antropologi, keduanya saling menunjang.

Antropologi bertujuan mencapai pengertian mengenai tingkah laku mahluk manusia pada umumnya melalui beragam kebudayaan suku bangsa diseluruh dunia.

Page 16: Pangeran P.P.A. Nasution, S.Sos., M.A. Antropologi FISIP Univ. … AJAR TEORI... · 2016. 10. 6. · Antropologi lahir, bermula dari ketertarikan orang-orang Eropa yang melihat ciri-ciri

Antropolog India, Gopala Sarana (1975), Ilmu Antropologi sedikitnya ada empat macam penelitian komparatif :

(1) Penelitian untuk menyusun sejarah kebudayaan manusia secara inferensial;

(2) Penelitian untuk menggambarkan suatu proses perubahan kebudayaan;

(3) Penelitian untuk taxonomi kebudayaan;

(4) Penelitian untuk menguji korelasi antar unsur, pranata, gejala kebudayaan guna membuat generalisasi.

Page 17: Pangeran P.P.A. Nasution, S.Sos., M.A. Antropologi FISIP Univ. … AJAR TEORI... · 2016. 10. 6. · Antropologi lahir, bermula dari ketertarikan orang-orang Eropa yang melihat ciri-ciri

William A Haviland, Antropologi adalah studi tentang umat manusia, berusaha menyusun generalisasi yang bermanfaat tentang manusia dan perilakunya serta untuk memperoleh pengertian yang lengkap tentang keanekaragaman manusia.

David Hunter, mendefenisikan bahwa Antropologi adalah ilmu yang lahir dari keingintahuan yang tidak terbatas tentang umat manusia.

Page 18: Pangeran P.P.A. Nasution, S.Sos., M.A. Antropologi FISIP Univ. … AJAR TEORI... · 2016. 10. 6. · Antropologi lahir, bermula dari ketertarikan orang-orang Eropa yang melihat ciri-ciri

Pakar Antropologi Indonesia, Koentjaraningrat memberikan batasan tentang Antropologi sebagai ilmu yang mempelajari umat manusia pada umumnya dengan mempelajari aneka warna, bentuk fisik masyarakat serta kebudayaan yang dihasilkan.

Page 19: Pangeran P.P.A. Nasution, S.Sos., M.A. Antropologi FISIP Univ. … AJAR TEORI... · 2016. 10. 6. · Antropologi lahir, bermula dari ketertarikan orang-orang Eropa yang melihat ciri-ciri

Dari beragam defenisi para pakar Antropologi diatas, maka bisa ditarik batasan secara umum bahwa Antropologi adalah salah satu cabang ilmu pengetahuan sosial yang mempelajari tentang budaya masyarakat pada suatu etnis tertentu.

Bisa juga didefinisikan bahwa Antropologi adalah kajian tentang manusia dan masyarakat, baik yang masih hidup maupun yang sudah mati, yang berkembang maupun yang sudah punah.

Page 20: Pangeran P.P.A. Nasution, S.Sos., M.A. Antropologi FISIP Univ. … AJAR TEORI... · 2016. 10. 6. · Antropologi lahir, bermula dari ketertarikan orang-orang Eropa yang melihat ciri-ciri

Perhatian Antropologi pada bekas-bekas kebudayaan manusia zaman purba yang dijadikan dasar untuk mempelajari manusia jaman sekarang ini.

Seabad yang lalu Antropologi hanya tertarik mempelajari kelompok-kelompok kecil masyarakat, suku-suku, kebudayaan, kampung-kampung serta minoritas, namun sekarang Antropologi telah lebih maju dengan mempelajari manusia dari berbagai segi atau sudut. Banyaknya kekhususan/cabang Antropologi tertentu.

Page 21: Pangeran P.P.A. Nasution, S.Sos., M.A. Antropologi FISIP Univ. … AJAR TEORI... · 2016. 10. 6. · Antropologi lahir, bermula dari ketertarikan orang-orang Eropa yang melihat ciri-ciri

Seabad lalu Antropologi hanya tertarik mempelajari kelompok-kelompok kecil masyarakat, suku, kebudayaan, kampung-kampung serta minoritas.

Namun sekarang Antropologi telah lebih maju dengan mempelajari manusia dari berbagai segi atau sudut, baik yang telah maju maupun primitif.

Page 22: Pangeran P.P.A. Nasution, S.Sos., M.A. Antropologi FISIP Univ. … AJAR TEORI... · 2016. 10. 6. · Antropologi lahir, bermula dari ketertarikan orang-orang Eropa yang melihat ciri-ciri

Perkembangannya Antropologi dapat dibagi ke dalam 5 fase:

Fase pertama bercirikan adanya bahan-bahan deskripsi suku bangsa yang ditulis oleh para musafir, penjelajah dan pemerintah jajahan.

Fase kedua sampai fase keempat merupakan kelanjutannya di mana antropologi semakin berkembang baik mencangkup teori maupun metode kajiannya.

Fase kelima merupakan tahap terbaru yang menunjukkan perkembangan antropologi setelah tahun 1970-an.

Page 23: Pangeran P.P.A. Nasution, S.Sos., M.A. Antropologi FISIP Univ. … AJAR TEORI... · 2016. 10. 6. · Antropologi lahir, bermula dari ketertarikan orang-orang Eropa yang melihat ciri-ciri

Pendapat sarjana lain membaginya atas empat fase:

Fase pertama; pada awal tahun 1800-an negara-negara Eropa Barat melakukkan kolonialisasi atas negara–negara Afrika, Asia dan Amerika. Menurut pandangan orang Eropa bangsa-bangsa yang dijajah masih primitif, buas dan sering dikatakan bangsa-bangsa yang masih asli, yang belum mengalami perubahan dan kemajuan.

Page 24: Pangeran P.P.A. Nasution, S.Sos., M.A. Antropologi FISIP Univ. … AJAR TEORI... · 2016. 10. 6. · Antropologi lahir, bermula dari ketertarikan orang-orang Eropa yang melihat ciri-ciri

Fase kedua: pada fase ini pertengahan abad 19 banyak ditemukan tulisan mengenai aneka warna kebudayaan dan tingkat evolusinya. Deskripsi mengenai suku bangsa di luar Eropa merupakan kebudayaan yang masih tradisional dan merupakan sisa kebudayaan kuno.

Page 25: Pangeran P.P.A. Nasution, S.Sos., M.A. Antropologi FISIP Univ. … AJAR TEORI... · 2016. 10. 6. · Antropologi lahir, bermula dari ketertarikan orang-orang Eropa yang melihat ciri-ciri

Fase ketiga: pada awal abad ke 20 ilmu Antropologi mengalami kemajuan, ilmu Antropologi dipergunakan oleh bangsa Eropa untuk mempelajari adat-istiadat dan keabiasaan bangsa yang terjajah. Dengan mengetahui data tentang kebiasaan itu dapat dipergunakanlah untuk mempertahankan kolonialismenya di negara yang dijajah tersebut.

Page 26: Pangeran P.P.A. Nasution, S.Sos., M.A. Antropologi FISIP Univ. … AJAR TEORI... · 2016. 10. 6. · Antropologi lahir, bermula dari ketertarikan orang-orang Eropa yang melihat ciri-ciri

Fase keempat: sesudah tahun 1930-an ilmu Antropologi mengalami perkembangan luar biasa, dipengaruhi oleh metode ilmiah dalam melakukan penelitian. Masyarakat terjajah mengalami perkembangan, maka Antropologi seakan mengalami kehilangan objek penelitian. Antropologi mengembangkan metode ilmiah terutama Perguruan Tinggi di Eropa dan Amerika, dan seluruh dunia.

Page 27: Pangeran P.P.A. Nasution, S.Sos., M.A. Antropologi FISIP Univ. … AJAR TEORI... · 2016. 10. 6. · Antropologi lahir, bermula dari ketertarikan orang-orang Eropa yang melihat ciri-ciri

Mata Kuliah : Teori Antropologi 1 Bobot : 3 SKS Dosen Pengampu : Pangeran P.P.A. Nasution, S.Sos., M.A.

1

PARADIGMA:

Orientasi Epistemologi dan Representasi Teoritikal dalam Antropologi1

Sebuah perspektif dalam ilmu sosial-budaya biasanya dapat dibedakan satu sama lain

atas dasar asumsi-asumsi atau anggapan-anggapan dasarnya tentang obyek yang diteliti,

masalah-masalah yang ingin dijawab atau diselesaikan, konsep-konsep, metode-metode

serta teori-teori yang dihasilkannya. Pendapat yang dilontarkan oleh Cuff dan Payne (1980:3)

ini merupakan pendapat yang dapat membawa kita kepada pemahaman tentang paradigma

dalam ilmu sosial-budaya. Dalam pendapat ini tersirat pandangan bahwa sebuah perspektif

atau pendekatan -Cuff dan Payne tidak menyebutnya sebagai “paradigma“- memiliki sejumlah

unsur, di antaranya adalah: asumsi dasar (basic assumption -Cuff dan Payne menyebutnya

bedrock assumption-, konsep, metode, pertanyaan dan jawaban-jawaban yang diberikan.

Jika “perspektif“ adalah juga “paradigma“, maka unsur-unsur tersebut dapat dikatakan

sebagai unsur-unsur paradigma. Meskipun demikian, menurut saya, pandangan Cuff dan

Payne tentang unsur-unsur perspektif tersebut masih belum lengkap. Masih ada elemen lain

yang juga selalu ada dalam sebuah paradigma ilmu sosial-budaya, namun belum tercakup di

dalamnya, misalnya model. Selain itu, unsur metode juga masih perlu dirinci lagi. Cuff dan

Payne juga masih belum menjelaskan bagaimana kira-kira urut-urutan unsur-unsur tersebut

dalam sebuah paradigma atau kerangka berfikir tertentu, sehingga posisi masing-masing

unsur terhadap yang lain tidak kita ketahui. Lebih dari itu, Cuff dan Payne juga tidak selalu

menjelaskan makna dari konsep-konsep yang digunakannya secara rinci, sehingga kita tidak

selalu dapat mengetahui dengan baik apa yang dimaksudkannya (Ahimsa-Putra, 2008).

Unsur-unsur (komponen-komponen) Paradigma

Mengikuti jalan pikiran yang telah dibuka oleh Kuhn serta Cuff dan Payne, sebuah

paradigma, kerangka teori atau pendekatan dalam ilmu sosial-budaya menurut hemat saya

terdiri dari sejumlah unsur pokok, yakni: (1) asumsi-asumsi dasar; (2) nilai-nilai; (3) masalah-

masalah yang diteliti (4) model; (5) konsep-konsep; (6) metode penelitian; (7) metode analisis;

(8) hasil analisis atau teori dan (9) representasi (etnografi) (Ahimsa-Putra, 2007). Berikut ini

adalah uraian mengenai komponen-komponen paradigma ini, yang menurut saya perlu

diberikan, mengingat jarangnya pembicaraan tentang paradigma yang membahas komponen-

komponen tersebut serta menjelaskannya dengan rinci.

a. Asumsi-asumsi/Anggapan-anggapan Dasar (Basic Assumptions) - (1)

1 Materi perkuliahan (Teori Antropologi 1) ini merujuk pada Ahimsa-Putra (2007): Paradigma, Epistemologi, dan Metode Ilmu Sosial-Budaya (Sebuah Pemetaan). CRCS-UGM, Yogyakarta.

Page 28: Pangeran P.P.A. Nasution, S.Sos., M.A. Antropologi FISIP Univ. … AJAR TEORI... · 2016. 10. 6. · Antropologi lahir, bermula dari ketertarikan orang-orang Eropa yang melihat ciri-ciri

Mata Kuliah : Teori Antropologi 1 Bobot : 3 SKS Dosen Pengampu : Pangeran P.P.A. Nasution, S.Sos., M.A.

2

Asumsi atau anggapan dasar adalah pandangan-pandangan mengenai suatu hal (bisa

benda, ilmu pengetahuan, tujuan sebuah disiplin, dan sebagainya) yang tidak dipertanyakan

lagi kebenarannya atau sudah diterima kebenarannya. Pandangan ini merupakan titik-tolak

atau dasar bagi upaya memahami dan menjawab suatu persoalan, karena pandangan-

pandangan tersebut dianggap benar atau diyakini kebenarannya. Anggapan-anggapan ini

bisa lahir dari (a) perenungan-perenungan filosofis dan reflektif, bisa dari (b) penelitian-

penelitian empiris yang canggih, bisa pula dari (c) pengamatan yang seksama.

Jika asumsi ini berasal dari pandangan filosofis dan reflektif, pandangan ini biasanya lantas

mirip dengan 'ideologi' si ilmuwan, dan ini tentu saja bersifat subyektif. Oleh karena itu, muncul

kini pendapat yang mengatakan bahwa tidak ada "obyektivitas" dalam ilmu sosial-budaya,

sebab apa yang selama ini dianggap sebagai "obyektivitas" ternyata juga didasarkan pada

asumsi-asumsi filosofis tertentu, yang tidak berbeda dengan 'ideologi'. Asumsi-asumsi dasar

biasanya terlihat dengan jelas dalam rumusan-rumusan tentang hakekat sesuatu atau definisi

mengenai sesuatu, dan ini biasanya merupakan jawaban atas pertanyaan "Apa itu...?".

Misalnya saja, "Apa itu kebudayaan?"; "Apa itu masyarakat?"; "Apa itu karya sastra?", dan

sebagainya. Dalam dunia ilmu pengetahuan definisi mengenai sesuatu inilah yang akan

sangat menentukan langkah-langkah kegiatan ilmiah selanjutnya.

Dari paparan di atas terlihat bahwa asumsi-asumsi dasar merupakan fondasi dari sebuah

disiplin atau bidang keilmuan, atau dasar dari sebuah kerangka pemikiran, dan seperti halnya

fondasi sebuah gedung yang tidak terlihat, demikian pula halnya dengan asumsi dasar. Suatu

kerangka teori dalam ilmu sosial-budaya biasanya mempunyai banyak asumsi dasar. Akan

tetapi, tidak semua asumsi dasar ini selalu dikemukakan secara eksplisit. Bahkan kadang-

kadang malah tidak dipaparkan sama sekali, karena semua orang dianggap telah

mengetahuinya.

Mengapa digunakan istilah ‘asumsi’, bukan ‘dalil’ atau ‘hukum’, jika memang

kebenarannya sudah tidak dipertanyakan lagi? Karena tindakan ‘tidak lagi mempertanyakan

kebenaran’ ini tidak berlaku untuk semua orang. Orang lain malah bisa sangat tidak setuju

atau sangat mempertanyakan ‘kebenaran yang tidak dipertanyakan’ itu tadi. Jadi, kebenaran

di situ dianggap bersifat relatif. Oleh karena itulah lebih tepat jika kebenaran yang relatif itu

disebut sebagai ‘asumsi’, anggapan saja, bukan dalil atau hukum.

b. Etos / Nilai-nilai (Ethos / Values) - (2)

Page 29: Pangeran P.P.A. Nasution, S.Sos., M.A. Antropologi FISIP Univ. … AJAR TEORI... · 2016. 10. 6. · Antropologi lahir, bermula dari ketertarikan orang-orang Eropa yang melihat ciri-ciri

Mata Kuliah : Teori Antropologi 1 Bobot : 3 SKS Dosen Pengampu : Pangeran P.P.A. Nasution, S.Sos., M.A.

3

Setiap kegiatan ilmiah juga selalu didasarkan pada sejumlah kriteria atau patokan yang

digunakan untuk menentukan apakah sesuatu itu baik atau buruk, benar atau salah,

bermanfaat atau tidak. Patokan-patokan inilah yang biasa disebut nilai atau etos. Dinyatakan

atau tidak nilai-nilai selalu ada di balik setiap kegiatan ilmiah, karena di situ selalu ada

persoalan benar atau salah, bermanfaat atau tidak. Dengan patokan inilah seorang ilmuwan

akan menilai hasil penelitian ilmuwan yang lain, kinerja mereka atau produktivitas mereka.

Dalam sebuah paradigma, nilai-nilai ini paling tidak mengenai: (a) ilmu pengetahuan (b)

ilmu sosial-budaya; (c) penelitian ilmiah; (d) analisis ilmiah; (e) hasil penelitian. Nilai-nilai ini

selalu ada dalam setiap cabang ilmu, tetapi rumusan, penekanan dan keeksplisitannya

berbeda-beda. Ada cabang ilmu pengetahuan yang nilainya lebih menekankan pada manfaat

ilmu, tetapi lebih bersifat implisit, sedang pada disiplin lain nilai ini dibuat sangat eksplisit. Nilai-

nilai mana yang ditekankan oleh suatu komunitas atau organisasi ilmuwan bisa berbeda-beda.

Hal ini sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai budaya masyarakat tempat para ilmuwan tersebut

menjalankan aktivitas keilmuan mereka.

Meskipun nilai-nilai ini pada umumnya menyatakan tentang hal-hal yang baik, yang

seharusnya, tetapi sebenarnya nilai-nilai juga berkenaan dengan yang tidak baik, yang buruk.

Oleh karena itu, bisa pula nilai yang dibuat eksplisit bukanlah yang baik, tetapi yang buruk.

Hal ini dilakukan mungkin dengan tujuan agar para ilmuwan dapat lebih terjaga dari

melakukan hal-hal yang buruk. Nilai yang baik berkenaan dengan ilmu pengetahuan misalnya

adalah nilai yang mengatakan, “ilmu pengetahuan yang baik adalah yang bermanfaat bagi

kehidupan manusia”; atau “ilmu pengetahuan yang baik adalah yang teori-teorinya bisa

bersifat universal”; atau “ilmu pengetahuan yang baik adalah yang diperoleh dengan

menggunakan metode dan prosedur tertentu yang dapat mencegah masuknya unsur

subyektivitas peneliti”, dan sebagainya. Nilai-nilai yang buruk misalnya adalah, “ilmu

pengetahuan yang buruk adalah yang tidak memberikan manfaat kepada umat manusia”;

atau “ilmu pengetahuan yang buruk adalah yang membuat manusia semakin jauh dari Sang

Pencipta”.

c. Model-model (Models) - (3)

Model adalah perumpamaan, analogi, atau kiasan tentang gejala yang dipelajari.

Seringkali model juga terlihat seperti asumsi dasar. Meskipun demikian, model bukanlah

asumsi dasar. Sebagai perumpamaan dari suatu kenyataan, sebuah model bersifat

menyederhanakan (Inkeles, 1964). Artinya, tidak semua aspek, sifat, atau unsur dari realita

dapat tampil dalam sebuah model. Model dapat dibedakan menjadi dua yakni: (1) model

utama (primary model) dan model pembantu (secondary model). Model yang dimaksudkan di

sini adalah primary model (Ahimsa-Putra, 2007).

Page 30: Pangeran P.P.A. Nasution, S.Sos., M.A. Antropologi FISIP Univ. … AJAR TEORI... · 2016. 10. 6. · Antropologi lahir, bermula dari ketertarikan orang-orang Eropa yang melihat ciri-ciri

Mata Kuliah : Teori Antropologi 1 Bobot : 3 SKS Dosen Pengampu : Pangeran P.P.A. Nasution, S.Sos., M.A.

4

Model utama merupakan model yang lebih dekat dengan asumsi dasar. Model ini

merupakan/menjadi pembimbing seorang peneliti dalam mempelajari suatu gejala. Model ini

bisa berupa kata-kata (uraian) maupun gambar, namun umumnya berupa uraian. Berbeda

halnya dengan model pembantu yang selain umumnya berupa gambar, model ini juga biasa

digunakan untuk memudahkan seorang ilmuwan menjelaskan hasil analisisnya atau teorinya.

Model ini bisa berupa diagram, skema, bagan atau sebuah gambar, yang akan membuat

orang lebih mudah mengerti apa yang dijelaskan oleh seseorang. Jadi kalau model utama

harus sudah ada sebelum seorang peneliti melakukan penelitiannya, model pembantu

biasanya muncul dalam hasil analisis atau setelah penelitian dan analisis dilakukan (Ahimsa-

Putra, 2007).

Sebagai perumpamaan dari suatu gejala atau realita tertentu, sebuah model bersifat

menyederhanakan gejala itu sendiri. Artinya, tidak semua aspek, sifat atau unsur dari gejala

tersebut ditampilkan dalam model. Seorang peneliti yang mengawali penelitiannya dengan

mengatakan bahwa kebudayaan itu seperti organisme atau mahluk hidup, pada dasarnya

telah menggunakan model organisme dalam penelitiannya. Apakah kebudayaan itu

organisme? Tentu saja bukan. Akan tetapi orang boleh saja mengumpamakannya seperti

organisme, karena memang ada kenyataan-kenyataan yang dapat mendukung pemodelan

seperti itu.

Jadi, sebuah model muncul karena adanya persamaan-persamaan tertentu antara

fenomena satu dengan fenomena yang lain. Perbedaan pada penekanan atas persamaan-

persamaan inilah yang kemudian membuat ilmuwan yang satu menggunakan model yang

berbeda dengan ilmuwan yang lain. Persamaan-persamaan ini pula yang kemudian

membimbing seorang ilmuwan ke arah model tertentu, yang berarti ke arah penjelasan

tertentu tentang gejala yang dipelajari. Pada saat yang sama, sebuah model berarti juga

membelokkan si ilmuwan dari penjelasan yang lain. Oleh karena itu, sebuah model bisa

dikatakan membimbing, tetapi bisa pula ‘menyesatkan’. Oleh karena itu pula tidak ada model

yang salah atau paling benar. Semua model benar belaka. Yang membedakannya adalah

produktivitasnya (Inkeles, 1964). Artinya, implikasi-impli-kasi teoritis dan metodologis apa

yang bakal lahir dari penggunaan model tertentu dalam mempelajari suatu gejala. Sebuah

model yang banyak menghasilkan implikasi teoritis dan metodologis merupakan sebuah

model yang produktif. Meskipun demikian, seorang ilmuwan bisa saja memilih sebuah model

yang tidak begitu produktif, karena dianggap dapat memberikan pemahaman baru atas gejala

yang dipelajari. Biasanya produktivitas sebuah model tidak dapat ditentukan dari awal, karena

dalam perkembangan selanjutnya ilmuwan-ilmuwan lain mungkin saja akan dapat

Page 31: Pangeran P.P.A. Nasution, S.Sos., M.A. Antropologi FISIP Univ. … AJAR TEORI... · 2016. 10. 6. · Antropologi lahir, bermula dari ketertarikan orang-orang Eropa yang melihat ciri-ciri

Mata Kuliah : Teori Antropologi 1 Bobot : 3 SKS Dosen Pengampu : Pangeran P.P.A. Nasution, S.Sos., M.A.

5

merumuskan pertanyaan-pertanyaan baru yang tak terduga berdasarkan atas model tersebut

(Ahimsa-Putra, 2007).

d. Masalah Yang Diteliti / Yang Ingin Dijawab - (4)

Ini berupa pertanyaan-pertanyaan yang ingin dijawab atau hipotesa yang ingin diuji

kebenarannya. Setiap paradigma memiliki masalah-masalahnya sendiri, yang sangat erat

kaitannya dengan asumsi-asumsi dasar dan nilai-nilai. Oleh karena itu, rumusan masalah dan

hipotesa harus dipikirkan dengan seksama dalam setiap penelitian, karena di baliknya

terdapat sejumlah asumsi dan di dalamnya terdapat konsep-konsep terpenting. Oleh Kuhn

unsur ini disebut exemplar. Suatu penelitian selalu berawal dari suatu kebutuhan, keperluan,

yaitu keperluan untuk: (a) memperoleh jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tertentu, atau

keinginan, (b) membuktikan kebenaran empiris duga-an-dugaan atau pernyataan-pernyataan

tertentu (Ahimsa-Putra, 2007).

Penelitian untuk memenuhi kebutuhan pertama selalu berawal dari sejumlah pertanyaan

(questions) mengenai gejala-gejala tertentu yang dianggap menarik, aneh, asing,

menggelisahkan, menakutkan, merugikan, dan seterusnya, sedang penelitian kedua selalu

berawal dari sejumlah pernyataan yang masih perlu dan ingin dibuktikan kebenarannya

(hypothesis) atau hipotesa. Oleh karena itu dalam setiap penelitian harus ada pertanyaan-

pertanyaan yang ingin dijawab, dan/atau hipotesa-hipotesa yang ingin dibuktikan. Penelitian

yang berawal dari beberapa pertanyaan tidak perlu lagi menggunakan hipotesa, demikian

pula penelitian yang berawal dari sejumlah hipotesa, tidak perlu lagi menggunakan

pertanyaan-pertanyaan. Meskipun demikian, kalau suatu penelitian dimaksudkan untuk

menjawab pertanyaan sekaligus menjawab hipotesa, hal itu juga tidak dilarang (Ahimsa-

Putra, 2007).

e. Konsep-konsep Pokok (Main Concepts, Key Words) - (5)

Dalam ilmu sosial-budaya, konsep dimaknai berbeda-beda. Di sini, secara sederhana

konsep didefinisikan sebagai istilah-istilah atau kata-kata yang diberi makna tertentu sehingga

membuatnya dapat digunakan untuk menganalisis, memahami, menafsirkan dan

menjelaskan peristiwa atau gejala sosial-budaya yang dipelajari (Ahimsa-Putra, 2007)

Apa contoh dari konsep ini? Banyak sekali dalam ilmu sosial-budaya. Misalnya:

masyarakat, kebudayaan, pendidikan, sekolah, konflik, sukubangsa, kepribadian, kerjasama,

dan sebagainya. Kamus antropologi, kamus sosiologi, dan sejenisnya, merupakan kumpulan

penjelasan konsep-konsep yang dipandang penting dalam kajian antropologi dan sosiologi.

Banyak istilah-istilah di situ merupakan istilah yang kita gunakan dalam kehidupan sehari-hari.

Meskipun demikian belum tentu kita mengetahui makna istilah-istilah tersebut dengan baik,

Page 32: Pangeran P.P.A. Nasution, S.Sos., M.A. Antropologi FISIP Univ. … AJAR TEORI... · 2016. 10. 6. · Antropologi lahir, bermula dari ketertarikan orang-orang Eropa yang melihat ciri-ciri

Mata Kuliah : Teori Antropologi 1 Bobot : 3 SKS Dosen Pengampu : Pangeran P.P.A. Nasution, S.Sos., M.A.

6

bahkan tidak sedikit yang salah dalam menggunakannya, terutama jika istilah tersebut berasal

dari bahasa asing.

Ketika sebuah istilah diberi makna tertentu oleh seorang ilmuwan yang kebetulan

membutuhkan istilah tersebut untuk menjelaskan sebuah gejala, pada saat itulah istilah

tersebut -berdasarkan definisi di atas- menjadi ‘konsep’. Sebagai contoh adalah kata

‘kebudayaan’. Pada mulanya istilah kebudayaan adalah istilah sehari-hari, yang kemudian

diberi definisi oleh orang-orang tertentu, di antaranya adalah Ki Hadjar Dewantoro. Kemudian

beberapa orang lain memberikan definisi baru, di antaranya adalah Koentjaraningrat.

Semenjak itu, kata ‘kebudayaan’ menjadi sebuah konsep yang penting dalam dunia ilmu

pengetahuan, terutama ilmu sosial-budaya, khususnya lagi dalam antropologi (Ahimsa-Putra,

2007).

Sebuah konsep dalam ilmu sosial-budaya bisa diberi definisi atau batasan berbagai

macam. Dalam hal ini perlu diingat bahwa tidak ada definisi yang paling benar, karena setiap

konsep dapat diberi definisi dari sudut pandang tertentu, dengan cara tertentu. Yang perlu

diperhatikan adalah apakah definisi sebuah konsep memungkinkan peneliti mempelajari,

memahami dan menjelaskan gejala yang diteliti dengan baik. Oleh karena itu, sebelum

merumuskan sebuah definisi seyogyanya peneliti melakukan kajian pustaka yang cukup

komprehensif agar dapat memperoleh berbagai definisi yang telah dibuat oleh para ilmuwan

lain berkenaan dengan konsep-konsep yang akan digunakan dalam penelitiannya (Ahimsa-

Putra, 2007).

f. Metode-metode Penelitian (Methods of Research) - (6)

Metode adalah cara, sedang penelitian adalah kegiatan mengumpulkan data. Jadi metode

penelitian adalah cara-cara yang digunakan untuk mengumpulkan data, sedang “metodologi

penelitian” adalah ilmu tentang cara-cara mengumpulkan data, termasuk di dalamnya jenis-

jenis data. Ada berbagai cara untuk mengumpulkan data dalam suatu penelitian, dan cara

mana yang akan digunakan tergantung pada jenis data yang diperlukan. Cara dan kegiatan

untuk mengumpulkan data kualitatif tidak akan bisa sama dengan kegiatan mengumpulkan

data kuantitatif. Atas dasar jenis data yang diperlukan inilah muncul kemudian berbagai

metode pengumpulan data (Ahimsa-Putra, 2007).

Berkenaan dengan metode penelitian ini umumnya kita mengenal pembedaan antara

‘metode penelitian kuantitatif’ dan ‘metode penelitian kualitatif’. Meskipun demikian banyak

sekali mahasiswa dan sarjana ilmu sosial-budaya yang mempunyai pengertian kurang

lengkap tentang ‘metode penelitian’ ini, sehingga ketika mereka ditanya “di mana letak

kualitatifnya dan kuantitatifnya sebuah metode?”, mereka tidak dapat menjawab. Selain itu,

banyak juga ilmuwan sosial-budaya yang hanya mengetahui satu jenis metode saja, yaitu

Page 33: Pangeran P.P.A. Nasution, S.Sos., M.A. Antropologi FISIP Univ. … AJAR TEORI... · 2016. 10. 6. · Antropologi lahir, bermula dari ketertarikan orang-orang Eropa yang melihat ciri-ciri

Mata Kuliah : Teori Antropologi 1 Bobot : 3 SKS Dosen Pengampu : Pangeran P.P.A. Nasution, S.Sos., M.A.

7

yang kuantitatif, sehingga semua masalah selalu diteliti dengan menggunakan metode yang

sama, padahal sebenarnya tidak demikian. Lebih jelek lagi, karena tidak mengetahui jenis

metode penelitian yang lain, metode penelitian itulah (yang kuantitatif) yang kemudian

dianggap sebagai satu-satunya metode penelitian yang ilmiah (Ahimsa-Putra, 2007).

Dalam pembicaraan di sini ‘penelitian’ harus diartikan sebagai ‘pengumpulan data’. Oleh

karena itu, metode penelitian kualitatif dan kuantitatif tidak lain adalah metode atau cara guna

memperoleh dan mengumpulkan data kualitatif dan data kuantitatif. Jadi yang bersifat

‘kuantitatif’ atau ‘kualitatif’ bukanlah metodenya, tetapi datanya. Selanjutnya, sifat data ini juga

sangat menentukan cara kita untuk mendapatkannya. Untuk itu kita perlu tahu ciri-ciri penting

yang ada pada masing-masing data.

Dilihat dari sudut pandang ini, maka sebenarnya tidak ada pemisahan dan tidak perlu ada

pemisahan yang sangat tegas dan kaku antara “penelitian kualitatif” dan ‘penelitian

kuantitatif”, sebagaimana sering dikatakan oleh sebagian ilmuwan sosial-budaya yang kurang

memahami tentang metode-metode penelitian. Yang penting dalam suatu penelitian adalah

bagaimana dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dikemukakan dengan memuaskan,

dengan meyakinkan, dan ini sangat tergantung pada data yang dikemukakan. Data yang

dibutuhkan dalam suatu penelitian bisa berupa data kualitatif, data kuantitatif, atau kedua-

duanya, dan sebuah penelitian bisa saja memerlukan dan memanfaatkan dua jenis data ini

untuk menjawab masalah-masalahnya. Data kuantitatif dikumpulkan dengan cara yang

berbeda dengan data kualitatif. Oleh karena ciri dan sifatnya yang berbeda ini, maka analisis

terhadap data ini juga berbeda (Ahimsa-Putra, 2007).

Data kuantitatif adalah kumpulan simbol -bisa berupa pernyataan, huruf atau angka- yang

menunjukkan suatu jumlah (quantity) atau besaran dari suatu gejala; seperti misalnya jumlah

penduduk, jumlah laki dan perempuan, jumlah anak sekolah, jumlah rumah, jumlah tempat

ibadah, luas sebuah kelurahan, jumlah padi yang dipanen, dalamnya sebuah sumur, dan

sebagainya. Data kuantitatif dapat diperoleh dari kantor statistik atau kantor pemerintah

(kabupaten, kecamatan, kelurahan, dst.) atau dari penghitungan butir-butir tertentu yang ada

dalam kuesioner (daftar pertanyaan) yang diedarkan dalam suatu penelitian, atau dari

pernyataan informan (Ahimsa-Putra, 2007).

Data kualitatif tidak berupa angka tetapi berupa pernyataan-pernyataan mengenai isi,

sifat, ciri, keadaan, dari sesuatu atau gejala, atau pernyataan mengenai hubungan-hubungan

antara sesuatu dengan sesuatu yang lain. Sesuatu ini bisa berupa benda-benda fisik, pola-

pola perilaku, atau gagasan-gagasan, nilai-nilai, norma-norma, bisa pula peristiwa-peristiwa

yang terjadi dalam suatu masyarakat (Ahimsa-Putra, 2007)

Page 34: Pangeran P.P.A. Nasution, S.Sos., M.A. Antropologi FISIP Univ. … AJAR TEORI... · 2016. 10. 6. · Antropologi lahir, bermula dari ketertarikan orang-orang Eropa yang melihat ciri-ciri

Mata Kuliah : Teori Antropologi 1 Bobot : 3 SKS Dosen Pengampu : Pangeran P.P.A. Nasution, S.Sos., M.A.

8

Dari berbagai penelitian sosial-budaya yang telah dilakukan, saya menemukan bahwa data

kualitatif ini biasanya mengenai antara lain: (1) nilai-nilai, norma-norma, aturan-aturan; (2)

kategori-kategori sosial dan budaya; (3) ceritera (4) percakapan; (5) pola-pola perilaku dan

interaksi sosial; (6) organisasi sosial; (7) lingkungan fisik (Ahimsa-Putra, 2007).

Skema 1. Data Kuantitatif dan Kualitatif |- luas (wilayah, kampung, sawah, dsb.) | |--- Kuantitatif -------- |- jumlah (penduduk, bangunan, koperasi, dsb.) | | | |- berat (hasil panen, badan, dsb.) | Data --- | | |- nilai, pandangan hidup, norma, aturan | |- kategori sosial-budaya | |- ceritera |--- Kualitatif --------- |- percakapan |- pola perilaku dan interaksi sosial |- organisasi sosial |- lingkungan fisik Sumber: Ahimsa-Putra, 2007 Dalam masing-masing metode penelitian ini terdapat sejumlah metode penelitian lagi,

yang penggunaannya biasanya didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan praktis, yakni

ketersediaan waktu, biaya dan tenaga. Dalam metode pengumpulan data kuantitatif -yang

selanjutnya kita sebut metode penelitian kuantitatif-, terdapat misalnya: (a) metode kajian

pustaka; (b) metode survei dan (c) metode angket. Dalam metode penelitian kualitatif terdapat

(a) metode kajian pustaka; (b) metode pengamatan; (c) metode pengamatan berpartisipasi

(participant observation); (d) metode wawancara sambil lalu; (e) metode wawancara

mendalam, dan (f) metode mendengarkan (Ahimsa-Putra, 2007).

g. Metode-metode Analisis (Methods of Analysis) - ( 7 )

Metode analisis data pada dasarnya adalah cara-cara untuk memilah-milah,

mengelompokkan data -kualitatif maupun kuantitatif- agar kemudian dapat ditetapkan relasi-

relasi tertentu antara kategori data yang satu dengan data yang lain. Sebagaimana halnya

metode penelitian, metode analisis kualitatif dan metode analisis kuantitatif harus diartikan

sebagai metode menganalisis data kualitatif dan metode menganalisis data kuantitatif.

Mengelompokkan data kuantitatif memerlukan siasat atau cara yang berbeda dengan

mengelompokkan data kualitatif, karena sifat dan ciri data tersebut memang berbeda

(Ahimsa-Putra, 2007).

Metode analisis data kualitatif pada dasarnya sangat memerlukan kemampuan untuk

menemukan persamaan-persamaan dan perbedaan di antara data kualitatif, dan ini hanya

Page 35: Pangeran P.P.A. Nasution, S.Sos., M.A. Antropologi FISIP Univ. … AJAR TEORI... · 2016. 10. 6. · Antropologi lahir, bermula dari ketertarikan orang-orang Eropa yang melihat ciri-ciri

Mata Kuliah : Teori Antropologi 1 Bobot : 3 SKS Dosen Pengampu : Pangeran P.P.A. Nasution, S.Sos., M.A.

9

dapat dilakukan apabila konsep-konsep teoritis yang digunakan didefinisikan dengan baik.

Persamaan dan perbedaan ini tidak begitu mudah ditemukan, namun bilamana pada saat

pengumpulannya data ini sudah dikelompokkan terlebih dahulu, hal itu akan mempermudah

analisis lebih lanjut.

Berkenaan dengan metode analisis ini yang paling perlu diperhatikan adalah tujuan akhir

dari suatu kerja analisis. Dengan memperhatikan secara seksama pertanyaan penelitian yang

kita kemukakan, sebenarnya kita sudah dapat menentukan sejak awal metode analisis seperti

apa yang akan kita lakukan atau kita perlukan. Meskipun ada berbagai macam jenis metode

analisis, namun secara umum kita dapat mengatakan bahwa tujuan akhir analisis adalah

menetapkan hubungan-hubungan antara suatu variabel/gejala/unsur tertentu dengan

variabel/gejala/unsur yang lain, dan menetapkan jenis hubungan yang ada di situ. Setiap

paradigma selalu mempunyai metode analisis tertentu, karena metode analisis inilah yang

kemudian akan menentukan corak hasil analisis atau teorinya, sehingga teori yang muncul

dalam sebuah paradigma tidak akan sama dengan teori yang muncul dalam paradigma yang

lain (Ahimsa-Putra, 2007).

h. Hasil Analisis / Teori (Results of Analysis / Theory) - (8)

Apabila kita dapat melakukan analisis atas data yang tersedia dengan baik dan tepat, maka

tentu akan ada hasil dari analisis tersebut, yang dapat dikatakan sebagai “kesimpulan” kita.

Hasil analisis ini harus menyatakan relasi-relasi antarvariabel, antarunsur atau antargejala

yang kita teliti. Jika hasil analisis kita tidak berhasil mencapai ini, maka hal itu bisa berarti tiga

hal. Pertama, data yang kita analisis mengandung beberapa kesalahan mendasar. Kedua,

analisis kita salah arah. Ketiga, analisis kita masih kurang mendalam, dan ini mungkin juga

disebabkan oleh kurangnya data yang kita miliki (Ahimsa-Putra, 2007).

Setelah kita menganalisis berbagai data yang telah kita peroleh dengan menggunakan

metode-metode tertentu, kita akan memperoleh suatu kesimpulan tertentu, suatu pendapat

tertentu berkenaan dengan gejala yang dipelajari. Pendapat ini bisa berupa pernyataan-

pernyataan yang menunjukkan relasi antara suatu variabel dengan variabel yang lain, atau

pernyataan yang menunjukkan “hakekat” (the nature) atau ciri dan keadaan dari gejala yang

kita teliti. Hasil analisis yang berupa pernyataan-pernyataan tentang hakekat gejala yang

diteliti atau hubungan antarvariabel atau antargejala yang diteliti inilah yang kemudian biasa

disebut sebagai teori. Dengan kata lain, teori adalah pernyataan mengenai hakekat sesuatu

(gejala yang diteliti) atau mengenai hubungan antarvariabel atau antargejala yang diteliti, yang

sudah terbukti kebenarannya (Ahimsa-Putra, 2007)

Kalau cakupan (scope) penelitian kita luas, data yang kita analisis berasal dari banyak

masyarakat dan kebudayaan, dan teori yang kita kemukakan dapat memberikan penjelasan

Page 36: Pangeran P.P.A. Nasution, S.Sos., M.A. Antropologi FISIP Univ. … AJAR TEORI... · 2016. 10. 6. · Antropologi lahir, bermula dari ketertarikan orang-orang Eropa yang melihat ciri-ciri

Mata Kuliah : Teori Antropologi 1 Bobot : 3 SKS Dosen Pengampu : Pangeran P.P.A. Nasution, S.Sos., M.A.

10

yang berlaku umum, “universal”, melampaui batas-batas ruang dan waktu, maka biasanya dia

akan disebut sebagai teori besar (grand theory). Kalau teori tersebut hanya kita tujukan untuk

menjelaskan gejala-gejala tertentu yang agak umum, namun tidak cukup universal, maka dia

lebih tepat disebut sebagai teori menengah (middle-range theory) (Merton,19 ). Bilamana

teori yang kita sodorkan hanya berlaku untuk gejala-gejala yang kita teliti saja, yang terjadi

hanya dalam masyarakat dan kebudayaan yang kita teliti, maka dia lebih tepat disebut teori

kecil (small theory). Di sini pernyataan tentang hubungan antarvariabel tersebut lebih kecil

atau lebih terbatas cakupannya (Ahimsa-Putra, 2007).

i. Representasi (Etnografi) - (9)

Representasi atau penyajian adalah karya ilmiah yang memaparkan kerangka pemikiran,

analisis dan hasil analisis yang telah dilakukan, yang kemudian menghasilkan kesimpulan

atau teori tertentu. Representasi ini bisa berupa skripsi (pada S-1), tesis (pada S-2), disertasi

(pada S-3), laporan penelitian, makalah, artikel ilmiah (dalam jurnal ilmiah), atau sebuah buku.

Dalam antropologi, representasi ini biasa disebut etnografi. Dalam sejarah disebut

historiografi. Dalam arkeologi ada yang menyebutnya sebagai paleoetnografi (Ahimsa-Putra,

2007).

Representasi atau etnografi merupakan tulisan yang dihasilkan oleh seorang peneliti

setelah dia melakukan penelitian atas satu atau beberapa masalah dengan menggunakan

paradigma tertentu. Oleh karena itu sebuah paradigma belum akan terlihat sebagai sebuah

paradigma sebelum ada etnografinya. Sebuah paradigma yang tidak memiliki etnografi

dengan corak tertentu belum dapat dikatakan sebagai paradigma yang utuh.

Page 37: Pangeran P.P.A. Nasution, S.Sos., M.A. Antropologi FISIP Univ. … AJAR TEORI... · 2016. 10. 6. · Antropologi lahir, bermula dari ketertarikan orang-orang Eropa yang melihat ciri-ciri

Teori-Teori Tentang Budaya*

Roger M. Keesing1

Pendahuluan

"Budaya Yanomamo", "budaya Jepang", "evolusi budaya", "alam versus budaya": kita para ahli antropologi masih terus meng-gunakan kata budaya tersebut, dan kita masih mengira bahwa kata budaya tersebut punya suatu arti. Namun, dengan memperhatikan cara kerabat primate kita, seperti Chimpan-zee, Gorilla, dan Orang Utan mempelajari tradisi-tradisi setempat, menggunakan pera-latan, dan menggunakan simbol-simbol de-ngan cekatan, kita tidak dapat lagi berkata dengan seenaknya bahwa "budaya" adalah warisan tingkah laku simbolik yang mem-buat makhluk manusia menjadi "manusia". Jadi dengan memperhatikan gerak perubah-an dan keanekaragaman individualitas, kita tidak dapat lagi dengan mudah berkata bah-wa "satu budaya" adalah satu warisan yang dimiliki bersama oleh sekelompok manusia dalam suatu masyarakat tertentu.

Selanjutnya, kita makin menyadari bah-wa pandangan yang holistik terhadap budaya seperti yang disimpulkan oleh Kroeber dan Kluckhohn dalam tahun 1950-an adalah men-cakup terlampau banyak hal,. dan juga ku -rang tajam, untuk digunakan bagi menelaah pengalaman manusia yang begitu rumit dan

* Judul asli: "Theories of Culture," Annual Re-view of Anthropology (1974). Diterjemahankan oleh Amri Marzali.

1 Saya berhutang budi pada the Center of Advan-ced Study, The Behavioral Sciences, Stanford, Califor-nia yang telah memberi kemudahan sehingga tulisan ini terselesaikan. Saya juga berterimakasih pada Bridget O'Laughlin, Mervyn Meggitt, Triloki Nath Pandey dan Gregory Bateson atas saran-saran yang bermanfaat.

untuk menafsirkan pola-pola kerumitan peng-alaman manusia tersebut.

Tantangan masa kini adalah menemukan cara untuk mempertajam konsep "budaya", sedemikian rupa, sehingga konsep itu mem-punyai cakupan [terdiri atas bagian-bagian] yang lebih sedikit tetapi mengungkapkan hal yang lebih banyak. Seperti dikatakan oleh Geertz (30, him. 4), "pemotongan kon-sep budaya . . . [ke dalam] satu konsep yang tajam, mengkhusus, dan secara teoritis lebih kuat adalah satu tema besar dalam perteorian antropologi modern".2 Dalam pan-dangan ini, secara tersirat tcrlihat satu asum-si yang dimiliki oleh hampir keseluruhan dari kita. Saya pikir konsep budaya (cul-ture) tidak punya satu arti yang benar, dike-ramatkan dan tak pernah habis kita coba te-mukan. Tetapi, seperti halnya simbol-sim-bol lain, konsep ini mempunyai makna saat kita memakainya; dan sebagaimana konsep-konsep analitik lainnya, pemakai konsep ini harus membentuk—mencoba sedikitnya se-tuju pada—pengelompokan gejala alam, (di mana) konsep ini dapat diberi label secara sangat s trategis.

2 Dalam pandangan ini, secara tersirat terlihat satu asumsi yang dimiliki oleh hampir keseluruhan dari kita. Saya pikir konsep budaya (culture) tidak punya satu arti yang benar, dikeramatkan dan tidak pernah habis kita coba temukan. Tetapi, seperti halnya simbol-simbol lain, konsep ini mempunyai makna saat kita memakai-nya; dan sebagaimana konsep-konsep analitik lainnya, pemakai konsep ini harus membentuk — mencoba sedi-kitnya setuju pada — pengelompokan gejala alam di mana konsep ini dapat diberi label secara sangat strate-gis.

ANTROPOLOGI NO. 52

Page 38: Pangeran P.P.A. Nasution, S.Sos., M.A. Antropologi FISIP Univ. … AJAR TEORI... · 2016. 10. 6. · Antropologi lahir, bermula dari ketertarikan orang-orang Eropa yang melihat ciri-ciri

Dan seperti diramalkan, ahli-ahli antro-pologi modern belum tentu sepaham dalam menentukan cara yang terbaik untuk mem-persempit dan mempertajam konsep pokok yang mereka warisi dari para pendahulu mereka itu.

Dalam uraian berikut ini, saya akan membuat sebuah ringkasan mengenai pemi-kiran-pemikiran masa kini tentang budaya. Pemikiran-pemikiran ini dapat dibagi ke da-lam empat bidang yang utama. Setelah mem-bicarakan dengan singkat perkembangan ma-sing-masing bidang,3 saya akan mencoba menyoroti isu-isu terminologi, filosofi, dan substantif yang memisahkan ahli-ahli teori besar. Dalam prosesnya nanti saya akan membicarakan implikasi dari pemikiran-kem-bali (rethinking) ini terhadap sejumlah per-tanyaan yang klasik dalam ilmu antropolo -gi, misalnya: bagaimana caranya budaya ber-kembang dan kekuatan apa yang memben-tuk mereka? Bagaimana caranya budaya di-pelajari? Bagaimana caranya sistem simbol yang dimiliki bersama merasuk ke dalam dunia pikiran individu? Seberapa jauhkah budaya-budaya tersebut berbeda-beda dan unik? Apakah pola-pola universal yang men-dasari keanekaragaman budaya? Bagaimana caranya deskripsi kultural dimungkinkan?

Budaya Sebagai Sistem Adaptif

Satu perkembangan penting dalam teori kul-tural berasal dari aliran yang meninjau ke-budayaan dari sudut pandangan evolusio-nari. Satu jembatan antara kajian-kajian ten-tang evolusi makhluk hominid (seperti Aus-

3 Saya tidak akan membuat daftar panjang pub-likasi dimana konsep budaya (culture) atau teori budaya (theory of culture) diterapkan dan dikembangkan. Kar-ena tulisan mengenai konsep dan teori budaya mencapai jumlah yang luar biasa, maka membicarakannya seka-rang bukan hanya sia-sia, namun juga tidak akan men-jelaskan: suatu fokus dari topik utama dan sorotan pen-ting jelas dibutuhkan dalam pengkajian ulang teori, dan bukan pengakumulasian substansi.

tralopithecus dan Pithecanthropus) dan ka-jian-kajian tentang kehidupan sosial makhluk manusia telah membawa kita kepada pan-dangan yang lebih jelas bahwa pola bentuk biologis tubuh manusia adalah "open ended", dan mengakui bahwa cara penyempurnaan dan penyesuaiannya melalui proses pembe-lajaran kultural (cultural learning) memung-kinkan manusia untuk membentuk dan me-ngembangkan kehidupan dalam lingkungan ekologi tertentu. Penerapan satu model evo-lusionari seleksi-alam atas dasar biologis ter-hadap bangunan kultural telah membuat ahli-ahli antropologi bertanya dengan kearifan yang makin tinggi tentang cara bagaimana komuniti manusia mengembangkan pola-pola kultural tertentu.

Sejumlah besar penerbitan, populer dan teknis, telah membahas tentang pentingnya dan tentang saling keterkaitan antara kom-ponen biologis dan komponen kultural dalam tingkah laku manusia. Agresi, teritorialitas, peranan-peranan jenis kelamin, ekspresi wa-jah, seksualitas, dan ranah-ranah lain di ma-na kultural dan biologis saling terkait telah dibicangkan orang tanpa putus-putusnya dan seringkali tanpa perasaan (mindlessly). Dari semua perbincangan ini kita dapat menarik dua kesimpulan singkat.

Pertama, setiap pemikiran bahwa apa-bila kita menguliti lapisan konvensi kultural maka pada akhirnya kita akan menemukan Primal man dan keadaan manusia yang bugil di dasarnya, merupakan pemikiran yang steril dan berbahaya. Kita memerlukan satu model interaksional yang kompleks, bukan satu pe-lapisan yang sederhana seperti itu (19, 25).

Kedua, baik determinisme ekologis mau-pun determinisme kultural yang ekstrem se-karang dapat didukung oleh kepercayaan dan ideologi, tetapi tidak oleh ilmu pengetahuan yang arif bijaksana. Yang perlu untuk ditelu-suri adalah cara-cara bagaimana garis acuan biologis ditransformasikan dan dikembangkan ke dalam pola-pola kultural; dan ini memer-

ANTROPOLOGI NO. 52

Page 39: Pangeran P.P.A. Nasution, S.Sos., M.A. Antropologi FISIP Univ. … AJAR TEORI... · 2016. 10. 6. · Antropologi lahir, bermula dari ketertarikan orang-orang Eropa yang melihat ciri-ciri

lukan rencana penelitian yang imajinasi dan hati-hati dan penyelidikan yang telaten, bu-kan polemik-polemik dan sensasionalisme.

Bagaimana khasnya budaya-budaya ma-nusia, meskipun terdapat diskontinuitas da-lam evolusi makhluk hominid, telah dibin-cangkan dengan panjang lebar oleh Hollo -way (45), Alland (2, 5), Montagu (59), dan lain-lain. Satu isu yang penting di sini ada-lah bagaimana dan pada tingkat mana bahasa vocal berkembang dan hal-hal apakah yang mendahuluinya (44). Kalau kita berpegang pada bukti bahwa satu bahasa vocal telah berkembang dalam kehidupan sosial manusia kurang lebih 100.000 tahun yang lalu, maka satu "periode antara" yang panjang muncul, yaitu satu periode ketika manusia-manusia pertama hidup dalam kelompok-kelompok pengembara, membuat alat-alat, berburu, dan mungkin hidup dalam ikatan keluarga ber-pasangan. Satu periode 2 juta tahun atau le-bih kehidupan manusia kuno tanpa satu pera-turan yang sempurna untuk komunikasi sim-bolik. Pemahaman kita tentang apa yang membuat makhluk manusia jadi "manusia" dan bagaimana budaya berevolusi tidak ayal lagi akan terbuka dan berubah secara me-ngagumkan dalam beberapa tahun yang akan datang.

Dari sudut pandang teori kultural, per-kembangan penting telah muncul dari pen-dekatan evolusionari/ekologis terhadap buda-ya sebagai sistem adaptif. Pusat-pusat besar perkembangan pemikiran-kembali evolusio-nari/ekologis adalah Michigan dan Colum-bia. Dasar yang diletakkan oleh Leslie White telah dipermak dengan kreatif oleh pakar-pakar seperti Sahlins, Rappaport, Vayda, Harris, Carneiro; dan oleh pakar-pakar arkeo-logi yang theory minded seperti suami-istri Binford, Flannery, Longacre, Sanders, Price, dan Meggers. Pendekatan-kembali (re-ap-proachment) arkeologi teoritis dengan an-tropologi ekologis muncul sebagai salah satu perkembangan penting dalam dasawarsa yang

lalu. Ini tidak berarli bahwa terdapat kon-

sensus dalam memandang bagaimana se-baiknya konsep budaya didefinisikan atau bagaimana dan mengapa budaya berkem-bang dan berubah. Perdebatan antara Ser-vice (75) dan Harris (42) baru-baru ini, kri-tikan orang-orang Marxist terhadap mate-rialisme budaya dari Harris, perbedaan-per-bedaan antara ekologi-kultural dari Steward dan ekologi-manusia yang dianjurkan Vayda dan Rappaport (8.1), perang sekte dan "ar-keologi baru", semuanya membuktikan ada-nya keanekaragaman dan percanggahan di antara mereka. Meskipun terdapat keaneka-ragaman sekte tersebut, namun sebagian be-sar sarjana yang bekerja mengikuti tradisi ini (untuk singkatnya mereka saya sebut "cultural adaptionist")* sepakat dalam be-berapa asumsi pokok. Asumsi-asumsi terse-but adalah sebagai berikut:

(a) Budaya adalah sistem (dari pola-pola tingkah laku yang diturunkan secara sosial) yang bekerja menghubungkan komunitas ma-nusia dengan lingkungan ekologi mereka. Dalam "cara-hidup-komuniti" ini termasuklah teknologi dan bentuk organisasi ekonomi, pola-pola menetap, bentuk pengelompokan sosial dan organisasi politik, kepercayaan dan praktek keagamaan, dan seterusnya. Bila budaya dipandang secara luas sebagai sis -tem tingkah laku yang khas dari suatu pen-duduk, satu penyambung dan penyelaras kon-disi-kondisi badaniah manusia, maka perbe-daan pandangan mengenai budaya sebagai pola -pola dari (pattern -of) atau pola-pola untuk (pattern -for) adalah soal kedua.

Budaya adalah semua cara yang bentuk-bentuknya tidak langsung berada di bawah

*Suatu konsep di mana, walau tidak dapat dise-tujui. kehilangan nafas pertempuran-pertempuran kuno, senjata berkarat. dan peninggalan penting yang terkubur dimana tokoh evolusi budaya memasukkannya dalam pemikiran.

ANTROPOLOG1 NO. 52

Page 40: Pangeran P.P.A. Nasution, S.Sos., M.A. Antropologi FISIP Univ. … AJAR TEORI... · 2016. 10. 6. · Antropologi lahir, bermula dari ketertarikan orang-orang Eropa yang melihat ciri-ciri

kontrol genetik . . . yang bekerja untuk menyesuaikan individu-individu dan kelom-pok ke dalam komuniti ekologi mereka (Binford 11. him. 323).

Konsep budaya turun jadi pola tingkah laku yang terikat kepada kelompok-kelom-pok tertentu, yaitu menjadi "adat istiadat" (customs) atau "cara kehidupan" (way of life) manusia (Harris 41, him. 16).

(b) Perubahan kultural pada dasarnya adalah suatu proses adaptasi dan maksudnya sama dengan seleksi alam.

Manusia adalah hewan, dan scperti semua hewan-hewan lain, harus menjalankan satu hubungan adaptif dengan lingkungannya da-lam rangka untuk tetap dapat hidup. Mes -kipun manusia dapat melakukan adaptasi ini secara prinsipil melalui alat budaya, na-mun prosesnya dipandu oleh aturan-aturan seleksi alam seperti yang mengatur adaptasi bioiogis (Meggers 56, him. 4).

Dilihat sebagai sistem adaptif, budaya berubah ke arah keseimbangan ekosistem. Namun kalau keseimbangan itu diganggu oleh perubahan lingkungan, kependudukan, teknologi atau perubahan sistemik yang lain, maka perubahan yang terjadi sebagai penye-suaian lebih lanjut akan muncul melalui sis -tem kebudayaan. Karena itu, mekanisme um-pan-balik dalam sistem kebudayaan mungkin bekerja secara negatif (ke arah self correc-tion dan keseimbangan) atau secara positif (ke arah ketidakseimbangan dan perubahan arah).

(c) Teknologi, ekonomi secukup hidup (subsistence economy), dan elemen organi- sasi sosial yang terikat langsung dengan produksi adalah bidang pokok budaya yang paling bersifat adaptif. Dalam bidang inilah perubahan adaptif biasanya mulai dan dari sini mereka biasanya berkembang. Namun demikian, konsepsi yang berbeda mengenai cara kerja proses ini telah memisahkan "cul tural materialism" Harris dari orang-orang

Marxist dialektika sosial yang lebih otentik atau dari "cultural evolutionism" Service, dan mernbedakan orang-orang ekologi-kul-tural yang mengikuti tradisi Steward dari ahli-ahli ekologi-manusia seperti Vayda dan Rappaport. Namun demikian, semua (kecua-li mungkin pandangan Rappaport yang pa-ling mutakhir) memandang ekonomi dan ko-relasi sosialnya sebagai faktor yang utama, dan sistem ideasional seperti agama, upacara dan pandangan hidup sebagai faktor yang kedua atau epiphenomenal.5

Tuduhan-tuduhan Service tentang mo-nistic reductionism [bahwa realitas terdiri hanya dari satu hal elemen: mind atau mat-ter] tidak mempunyai tempat disini (lihat 42, 75). Strategi analitik Harris menyatakan satu harapan, bukan satu asumsi:

Teknologi yang sama yang diterapkan ter-hadap lingkungan yang sama dalam pro-duksi dan distribusi, dan . . . semua ini ke-mudian menghasilkan bentuk-bentuk penge-lompokan sosial yang sama, yang membe-narkan (justify) dan mengkoordinasikan ke-giatan-kegiatan mereka dengan cara-cara sis -tem nilai dan kepercayaan yang sama (41, him. 4)

Dalam merencanakan "prioritas untuk mengkaji kondisi-kondisi materi kehidupan sosiokultural", Harris (seperti para penyo-kong lain dari pandangan yang bersangkutan) tidak mengajukan satu "prime mover" yang sederhana, tapi mengajukan satu kompleks "prime mover" (misalnya, Harris sendiri ber-bicara tentang "demo-techno-econo-environ-mental condition"). Harris dan para cultural adaptionist lain memberi tempat bagi kasus-kasus di mana satu ideologi (baik yang tumbuh dengan sendirinya dari dalam mau-pun yang diimpor) merubah tatanan sosial dan ekonomi. Pengeritik Harris dari aliran

5 Doktrin yang mengatakan bahwa kesadaran-pikiran merupakan hasil proses fisik, dan kesadaran-pikiran tidak mempengaruhi hal-hal yang fisikal.

ANTROPOLOGI NO. 52

Page 41: Pangeran P.P.A. Nasution, S.Sos., M.A. Antropologi FISIP Univ. … AJAR TEORI... · 2016. 10. 6. · Antropologi lahir, bermula dari ketertarikan orang-orang Eropa yang melihat ciri-ciri

Marxist juga mcnekankan pentingnya kon-flik dan kontradiksi dalam tatanan sosial, ti-dak sekedar adaptasi, dalam menghasilkan dan mengarahkan proses perubahan sosial dan kultural.

(d) Komponen-komponen ideasional dari sis -tem kultural6 bisa punya konsekuensi adap-tif—dalam mengontrol penduduk, membantu mata pencaharian hidup, menjaga ekosis -tem, dan Iain-Iain; dan semua ini, meskipun seringkali subtil, harus ditelusuri kemana pun arahnya:

. . . Perlu mempertimbangkan keseluruhan budaya ketika menganalisa adaptasi. Secara dangkal mungkin dapat diterima bahwa per-hatian dapat dibatasi pada aspek-aspek yang secara langsung berhubungan dengan ling-kungan . . . (Tetapi) apakah analisis dimu -lai dari praktek-praktek keagamaan, organi-sasi sosial, atau sektor lain dari satu kom-pleks budaya, . . . (ini) akan . . . menam-pilkan hubungan-hubungan fungsional de-ngan kategori-kategori tingkah laku yang lain yang bersifat adaptif (Meggers 56, him. 43).

Pendalaman yang paling meyakinkan terhadap pandangan ini pada masa akhir-akhir ini adalah analisis yang mengagumkan dari Rappaport terhadap lingkaran upacara pada Orang Tsembaga Maring sebagai kom-ponen dalam satu sistem adaptif (65); dan lebih baru lagi adalah pandangannya bahwa sistem upacara dan kerangka kultural kesu-cian memainkan peranan penting sebagai faktor-antara dalam adaptasi budaya (66-68).

Teori-Teori Ideasional Mengenai Budaya

Berlawanan dengan ahli teori adaptasi ten-tang budaya, yang beranekaragam adalah sejumlah ahli teori yang melihat budaya se-

6 Misalnya: pengetahuan, makna, nilai, keperca- yaan.

bagai sistem ideasional. Di sini saya akan membedakan tiga cara yang agak khas dalam mendekati budaya sebagai sistem gagasan (ide).

Budaya Sebagai Sistem Kognitif

Satu tema besar yang lain pada 15 tahun terakhir ini adalah kemunculan satu antropo-logi kognitif yang eksplisit (juga disebut "etnogrqfi baru", "ethnoscience", "ethno-graphic semantics"). Dalam prakteknya "et-nografi baru" ini pada dasarnya adalah satu pengkajian terhadap sistem klasifikasi pen-duduk setempat (folk classification). Di luar metode "pengumpulan kupu-kupu" ini, juga telah muncul satu pandangan baru dan pen-ting terhadap budaya, yaitu budaya sebagai cognition (pengetahuan).

Budaya dipandang sebagai sistem pe-ngetahuan. Menurut Ward Goodenough:

Kebudayaan suatu masyarakat terdiri atas segala sesuatu yang harus diketahui atau dipercayai seseorang agar dia dapat berperi-laku dalam cara yang dapat diterima oleh anggota-anggota masyarakat tersebut. Bu-daya bukanlah suatu penomena material: dia tidak berdiri atas benda-benda, manusia, tingkah laku atau emosi-emosi. Budaya lebih merupakan organisasi dari hal-hal tersebut. Budaya adalah bentuk hal-hal yang ada da-lam pikiran (mind) manusia, model-model yang dipunyai manusia untuk menerima, menghubungkan, dan kemudian menafsirkan penomena material di atas (32, him. 167).

Kebudayaan terdiri atas pedoman-pedoman untuk menentukan apa . . . untuk menen-tukan apa yang dapat menjadi . . . untuk menentukan apa yang dirasakan seseorang tentang hal itu . . . untuk menentukan ba-gaimana berbuat terhadap hal itu, dan . . . untuk menentukan bagaimana caranya meng-hadapi hal itu (33, him. 522).

Goodenough mempertentangkan pan-dangan ideasionalnya tentang kebudayaan de-ngan pandangan yang digunakan oleh orang-

ANTROPOLOGI NO. 52

Page 42: Pangeran P.P.A. Nasution, S.Sos., M.A. Antropologi FISIP Univ. … AJAR TEORI... · 2016. 10. 6. · Antropologi lahir, bermula dari ketertarikan orang-orang Eropa yang melihat ciri-ciri

orang adaptionist yang telah didiskusikan dalam bagian terdahulu, yang melihat kebu-dayaan sebagai "pola kehidupan dalam satu komuniti, yaitu: kegiatan yang terjadi beru-lang kali secara ajeg dan susunan materi dan sosial" (33, him. 521; 34-37). Maka kcsimpulannya, Goodenough memandang bu-daya secara epistemologi berada dalam alam yang sama dengan bahasa (langue dari Sas-sure atau competence dari Chomsky), seba-gai aturan-aturan ideasional yang berada di luar bidang yang dapat diamati dan diraba. Dengan konsep yang seperti ini, bahasa adalah satu subsistem dari budaya, dan peneliti antropologi kognitif berharap atau menduga bahwa metode-metode dan model-model linguistik (seperti: yaitu analisa kom-ponential, emic lawan etic, kerangka elicit-ing, dan lain-lain) juga memadai untuk digu-nakan terhadap bidang budaya yang lain. (Lihat argumen Keesing (48) bahwa orang antropologi kognitif telah membuat lompatan ini terlampau mudah dan telah meminjam dari metode linguistik taksonomik yang pada masa sekarang telah ketinggalan zaman). Na-mun demikian, dalam beberapa tahun tera -khir ini perhatian orang-orang antropologi kognitif ini telah mulai beralih dari keunik-an sistem-sistem kultural kepada satu usaha pencarian pola -pola universal (48).

Analisis budaya sebagai sistem kognitif tidak berkembang terlampau jauh di luar usaha pemetaan terhadap daerah-daerah se-mantik yang terikat secara terbatas dan ketat. Usaha-usaha penting untuk merumuskan pe-ngetahuan kultural yang diperlukan untuk peningkatan penampilan atau mengoperasi-kannya dalam situasi-situasi sosial tertentu telah dilakukan oleh Frake (18), Metzger dan Williams (57), Wallace (83), Spradley (77), Agar (1) dan Iain-Iain. Namun demiki-an, adalah mengesankan untuk dilihat kem-bali bahwa optimisme penyebaran antropo-logi kognitif pada mula -mula dulu ternyata pada akhirnya hanya menghasilkan bebera -

pa kepingan karangan deskripsi kultural saja. Lebih jauh, antropologi kognitif bahkan hanya menghasilkan beberapa sketsa tentatif tentang struktur dan organisasi budaya sebagai sistem kognitif secara menyeluruh (lihat misalnya: 50, him. 123; 34, him. 258-59; 37; 38). Pemikiran tentang "grammar kultural" telah terbukti tidak produktif dan tidak memadai dalam menghadapi kekayaan dan kerumitan pengetahuan dan pengalaman manusia. Bahkan lebih menyedihkan lagi, ahli "etnografi-baru" tersebut malahan belum menyusun satu cetak biru tentang bagaimana caranya satu sistem kognitif yang menyelu -ruh dapat diorganisasikan. Karena itu gam-baran-gambaran rinci yang disajikan dalam etnografi mereka tidak dapat disusun ke da-lam satu kerangka yang lebih luas. Pan-dangan yang kurang luas seperti ini, saya kira, telah menutupi kenyataan tentang beta-pa luasnya bidang-bidang budaya yang ti-dak terjangkau oleh penelitian dangkal etno-grafi-formal (antropologi kognitif). Saya telah menyatakan (48; 49) bahwa linguistik trans-formasional baru memberikan beberapa pan-dangan yang berguna tentang bagaimana ca-ranya pengetahuan-kultural yang ada di bela-kang struktur permukaan diorganisasikan. Di bawah ini nanti saya akan memperlihatkan bahwa pengembangan penelitian yang terus-menerus terhadap pengetahuan-kultural ini dapat menghasilkan penglihatan yang lebih dalam.

Budaya Sebagai Sistem Struktural

Di daratan Eropa, Levi-Strauss terus mem-perdalam pandangannya tentang dunia simbo-lik manusia dan proses pikiran yang meng-hasilkan dunia simbolik ini. Pada dasawarsa terakhir, pendekatan strukturalis ini telah memberi dampak yang kuat terhadap ba-nyak sarjana yang belajar dalam tradisi Ang-lo- Amerika.

Tulisan-tulisan Levi-Strauss tentang bu-

ANTROPOLOGI NO. 52

Page 43: Pangeran P.P.A. Nasution, S.Sos., M.A. Antropologi FISIP Univ. … AJAR TEORI... · 2016. 10. 6. · Antropologi lahir, bermula dari ketertarikan orang-orang Eropa yang melihat ciri-ciri

daya dan pikiran (mind) tidak hanya makin menjalar pengaruhnya; bagaikan buku-buku suci, tulisan-tulisan tersebut telah melahirkan buku-buku tafsiran yang terus makin besar jumlahnya.7 Saya tidak akan menambahkan satu tafsiran lagi terhadap aliran ini. Di sini hanya akan diungkapkan beberapa butir un-tuk menempatkan posisi pandangan Levi-Strauss dalam hubungannya dengan hal-hal yang mendahului dan yang mengikutinya.

Levi-Strauss memandang budaya seba-gai sistem simbolik yang dimiliki bersama, dan merupakan ciptaan pikiran (creation of mind) secara kumulatif. Dia berusaha mene-mukan dalam penstrukturan bidang kultural (dalam mitologi, kesenian, kekerabatan, dan bahasa) prinsip-prinsip dari pikiran (mind) yang menghasilkan budaya itu. Kondisi ma -terial dari mata pencaharian hidup dan eko-nomi memberi kendala (bukan menentukan) bentuk dunia yang kita hidupi ini. Khususnya dalam mitologi, kondisi material tersebut membiarkan pemikiran tentang dunia ber-kuasa secara bebas. Dunia fisik tempat ma -nusia hidup memberikan bahan mentah yang diperdalam lebih jauh oleh proses pemikiran yang universal ke dalam pola-pola yang jauh berbeda secara substansif tetapi sama secara formal.

Pikiran (mind) memaksakan tatanan yang terpola secara kultural (satu tatanan serba-dua yang kontras, satu tatanan hubung-an dan transformasi) pada suatu dunia yang terus-menerus berubah. Jarak antara ranah kultural (di mana manusia memaksakan tata-nan arbitrarinya) dan ranah alam, adalah satu pusat utama serba-dua yang simbolik. "Alam lawan budaya" adalah satu konsep yang paling mendasar dalam cara melihat

kontras dalam hampir semua waktu dan tem-pat. Khususnya dalam buku Mythologiques, Levi-Strauss lebih memperhatikan "Budaya" daripada "sebuah budaya"." Dia melihat struktur mitologi Indian Amerika sebagai sesuatu yang tumpang-tindih. Struktur ini saling menghubungkan pola-pola organisasi kognitif individu-individu Orang Baroro, atau Orang Winnebago atau Orang Mandan. Bah-kan lebih jauh struktur ini melintasi garis sempadan bahasa dan adat yang memisahkan masyarakat yang berbeda tersebut. Karena itulah struktur pemikiran tersebut lebih di-pandang sebagai "Budaya", yaitu bersifat universal, daripada "sebuah budaya" yang bersifat lokal.

Budaya Sebagai Sistem Simbolik

Jalan lain dalam membahas kebudayaan ada-lah dengan cara memandang kebudayaan-kebudayaan sebagai sistem makna dan sim-bol yang dimiliki bersama (13). Pendekatan ini masih berhubungan, meskipun berbeda, dari pendekatan kognitif Amerika dan struk-turalis Eropa daratan yang telah dibicarakan diatas. Di daratan Eropa jalan ini telah di-rambah oleh Louis Dumont.11 Di AS pelo -por yang paling menonjol adalah dua ahli antropologi pewaris tradisi Parsons: Clifford Geertz dan David Schneider.

Pandangan yang kuat dari Geertz ter-hadap budaya, yang ditunjang satu aliran kemanusiaan yang luas, makin lama makin menjadi sistematis. Seperti Levi-Strauss, Geertz berada pada puncak pemikirannya ketika dia menciptakan grand theory dalam menafsirkan bahan-bahan etnografi yang khu-sus. Namu n berbeda dari Levi-Strauss, dia menemukan kekhususan tersebut dalam keka-

7 Kritik -kritik mengenai hal ini cenderung terasa berat dan luas. tidak jelas, dan secara intelektual (terasa) vulgar dalam menyanggah keindahan corak teks-teks yang ingin dijelaskan; dan penafsiran pemikiran Levi-Strauss serta orang-orang yang membenarkan pemikiran Levi Strauss—dengan sedikit pengecualian (lihat Boon 12)—telah terbawa dalam tradisi ini.

8 Budaya adalah struktur pikiran yang berlaku universal, sedang sebuah budaya berarti sebuah masya-rakat tertentu.

' Ide-ide penting Dumont; karena keterbatasan tempat, tidak akan dibahas di sini.

10 ANTROPOLOGI NO. 52

Page 44: Pangeran P.P.A. Nasution, S.Sos., M.A. Antropologi FISIP Univ. … AJAR TEORI... · 2016. 10. 6. · Antropologi lahir, bermula dari ketertarikan orang-orang Eropa yang melihat ciri-ciri

yaan kehidupan manusia yang sesungguhnya: dalam satu persabungan ayam, dalam satu upacara kematian, dalam satu peristiwa pen-curian biri-biri. Bahan analisisnya bukanlah mitologi atau adat istiadat yang tcrlepas dari konteks dan akar masyarakatnya. Bahan ter-sebut terikat dengan manusia-manusia dida-lam tingkah laku simbolik mereka .

Geertz melihat pandangan kognitif Goodenough dan para ahli '"etnografi baru" sebagai pandangan reduksionis dan formalis -t i k yang kabur. Bagi Geertz, makna tidak terletak di "dalam kepala orang". Simbol dan makna dimiliki bersama oleh anggota masyarakat, terletak di antara mereka, bukan di dalam diri mereka. Simbol dan makna bersifat umum (public), bukan pribadi (pri-vate).1" Sistem kultural adalah ideasional. Sama seperti ideasionalnya kwartet Beetho-ven. Sistem itu berada di luar atau di antara manifestasinya dalam pikiran individu atau penampilan konkrit. Pola-pola kultural, kata-nya, tidak reified atau metafisikal. Seperti batu dan mimpi, "mereka adalah benda da-lam dunia nyata".

Geertz mengangggap pandangannya tentang budaya adalah semiotik. Mempelajari budaya berarti mempelajari aturan-aturan makna yang dimiliki bersama. Dengan me-minjam satu arti "text" yang lebih luas dari Ricoeur, Geertz pada masa akhir-akhir ini menganggap satu kebudayaan sebagai "satu kumpulan teks" (29 him. 26; cf. 13). Kare-na itu antropologi merupakan satu usaha in-terpretation (penafsiran) bukan usaha deci-pherment (menguraikan dengan cara meme-cah-mecah) (di sini Geertz mempertentang-kan pendekatannya terhadap Levi-Strauss) (lihat Geertz 28 dan 29, him. 36; In. 38)."

"' Dalam hal ini, Geertz mengikuti pemikiran Husserl, Wittgeinstein. dan Ryle.

" Perhatikan pertentangan pokok lebih lanjut an-tara Levi-Strauss dan Geertz, terutama yang dicetus-kan oleh yang terdahulu: sanggahan Levi-Strauss [se-perti yang diperdebatkan dalam L'homme Nu (54)]

Dan penafsiran harus dikembangkan men-jadi deskripsi mendalam (thick description) yang harus diikatkan secara mendalam ke dalam kekayaan konteks kehidupan sosial.

Geertz tidak punya optimisme ethno-science bahwa aturan kultural dapat difor-malkan seperti sebuah tatabahasa, juga tidak punya ketangkasan dalam menguraikan isi sandi seperti cara Levi-Strauss. Penafsiran teks kultural adalah pekerjaan yang memer-lukan waktu dan sulit. Bagaimana satu kebu-dayaan (sebagai satu kumpulan teks) dapat dirangkum bersama, belum pernah dikerja-kan dengan jelas. Mungkin Geertz akan setu-ju bahwa kita masih pada tingkat awal dalam usaha menemukan hal tersebut.

Ketika dia melangkah menggeneralisa-sikan agama, ideologi, dan pikiran sehat se-bagai sistem kultural, dan tentang konsep-konsep Orang Bali tentang waktu dan manu-sia (24, 26, 27, 30, 31), suatu gambar ten-tang hubungan antara ranah-ranah kultural mulai muncul. Pandangannya tentang pemo -laan budaya muncul secara lebih hidup da-lam satu analogi yang dibuat oleh Wittgen-stein antara bahasa kita dan sebuah kota: "satu jaringan gang-gang dan lapangan-la-pangan" yang merupakan lapisan endapan waktu, dikelilingi oleh satu susunan pemi -sah gang dan lapangan yang rapi terhadap bagian-bagian modern yang terencana adalah sama seperti bahasa formal matematika dan sains.

Kata Geertz, budaya adalah seperti kota tua. Kota yang biasanya dikaji oleh orang-orang antropologi. Tidak seperti kota mo -dern, kota in i hanya punya sedikit (itupun kalau ada) kota-kota satelit yang terencana dan itu kata Geertz, membuat usaha orang antropologi untuk menemukan sektor-sektor yang sama dengan kota satelit filsafat, hu-kum dan ilmu pengetahuan yang terencana

atas penganut Fenomenologi Subjektif, dimana Geertz mengikuti pemikiran Schultz serta Kerangka Acuan Ak-tor Parsonian (Pursonian Actor Frame of Reference).

ANTROPOLOGI NO. 52 11

Page 45: Pangeran P.P.A. Nasution, S.Sos., M.A. Antropologi FISIP Univ. … AJAR TEORI... · 2016. 10. 6. · Antropologi lahir, bermula dari ketertarikan orang-orang Eropa yang melihat ciri-ciri

dengan rapi di kota ideasional tersebut men-jadi sedikit semu. Analogi ini nampak hidup. Geertz telah membuat sebuah usaha yang palut dicatat dalam menjelajahi beberapa sek-tor kota-kota tua dan kacau, mcmp erkenal-kan jiwa yang subtil dari jalan -jalan dan peta kasar mereka, dan menggeneralisasikan sektor-sektor yang sama pada kota-kota yang berlainan. Rencana yang menyeluruh dari kota-kota budaya ini belum dapat dilihat la -gi. Di tempat lain Geertz mengingatkan me-ngenai bahaya dari penganalisa yang mem-buat peta satu budaya dengan cara tertentu sedemikian rupa melebih-lebihkan dan mera-pi-rapikan integrasi dan konsistensi inter-nal nya—di mana nyatanya hanya integrasi kecil dan seringkali yang ada hanyalah keti-dakadaan hubungan dan kontradiksi inter-nal. Dia menciptakan perumpamaan menarik lain:

". . . Masalah analisis budaya adalah ma-salah menentukan saling ketergantungan se-kaligus saling keterkaitan, masalah menen-tukan jurang sekaligus jembatan. Citra yang tepat, kalau seseorang harus punya citra, mengenai organisasi kultural, adalah bukan merupakan jaringan laba-laba maupun ong-gokan pasir. Organisasi kultural lebih me-nyerupai gurita yang tangan-tangannya se-bagian besar terintegrasi secara terpisah, sya-raf-syarafnya kurang begitu baik berhubung-an satu dengan lain dan dengan pusat kon-trol di otaknya. Namun demikian gurita ter-sebut mampu berputar dan melindungi diri-nya, meskipun untuk sekejap, sebagai satu gairah hidup . . ."' (27, him. 66-67)."

Satu arah yang masih berkaitan, meski sedikit berbeda, telah diambil oleh David Schneider. Seperti Geertz, Schneider mulai dengan satu kerangka kerja aliran Parsons, tetapi dia juga telah mengembangkannya da-lam satu cara tersendiri (lebih banyak men-dekati pandangan Dumont).

Pandangan Schneider tentang budaya sangat jelas dinyatakan dalam kata pendahu-

luan pada bukunya American Kinship: A Cultural Account. Budaya menurut Schnei-der adalah satu sistem simbol dan makna. Budaya merangkum kategori-kategori atau "unit-unit", dan "aturan-aturan" tentang hu-bungan sosial dan perilaku. Kedudukan epis -temologi unit-unit kultural atau "things" ti-dak tergantung pada sifatnya yang dapat di-observasi. Baik hantu maupun orang mati adalah kategori kultural. Aturan dan kale -gori tidak harus disimpulkan secara langsung dari perilaku. Mereka berada, sedemikian rupa, pada satu bidang yang terpisah. "De-finisi unit dan aturan tidak berdasarkan atas, dibatasi oleh, ditarik dari, dibangun sesuai dengan, atau dikembangkan dalam, bentuk observasi tingkah laku dalam arti langsung dan sederhana (71, him. 6).

Dan sebagaimana diperjelas oleh analisis kekerabatan Schneider, dia percaya bahwa analisis tentang budaya sebagai sistem sim-bol dapat menguntungkan kalau dilakukan secara bebas di luar "bentuk-bentuk peristi-wa yang aktual" yang dapat diamati oleh seseorang sebagai kejadian dan tingkah laku. Katanya ada pertanyaan-pertanyaan penting yang harus diajukan tentang hubungan bi-dang simbol kultural dan bidang kejadian yang dapat diamati sehingga seseorang dapat "menemukan bagaimana bangunan-bangunan kultural muncul, hukum-hukum yang menga-tur perubahan mereka, dan dalam cara -cara apa saja mereka dihubungkan secara siste-matis dengan bentuk-bentuk peristiwa kehi-dupan yang aktual" (71, him. 7). Tetapi da-lam tulisannya akhir-akhir ini dia lelah me -milih untuk meninggalkan tugas itu kepada orang lain.

Lebih baru lagi, Schneider (72) telah mengembangkan dan memperjelas konsepsi budayanya. Dia membedakan satu level atur-an atau norma "bagaimana melakukan ini" yang mengajarkan seseorang perilaku ten-tang bagaimana caranya berlayar dalam du-nia sosialnya. Namun dalam analisis kultu -

12 ANTROPOLOGl NO. 52

Page 46: Pangeran P.P.A. Nasution, S.Sos., M.A. Antropologi FISIP Univ. … AJAR TEORI... · 2016. 10. 6. · Antropologi lahir, bermula dari ketertarikan orang-orang Eropa yang melihat ciri-ciri

ral dia ingin mengambil satu langkah yang lebih jauh, memisahkan "sistem simbol dan makna yang melekat dalam sistem normatif, tetapi . . . satu aspek yang khas darinya (yang) . . . dapat dengan mudah diabstrak-sikan darinya".

"Yang saya maksudkan dengan simbol dan makna adalah premis -premis dasar yang di-simpan oleh satu budaya untuk hidup; ter-diri atas apakah unit-unitnya; bagaimana unit-unit itu didefinisikan dan dibedakan dari yang lain; bagaimana unit -unit itu mem-bentuk satu tatanan atau klasifikasi yang terintegrasi; bagaimana dunia disusun seca-ra teratur; dalam bagian-bagian apa dia ter-diri dan di atas premis -premis apa dia dite-rima berada, kategori dan klasifikasi berba-gai bidang dunia laki-laki dan bagaimana mereka menghubungkan satu dengan yang lain, dan dunia yang dilihat sebagai tem-patnya hidup" (71, him. 38).

Karena kontras yang dibuat Schneider antara tingkat "normatif dan tingkat "kul-tural" secara konseptual adalah penting, baik juga untuk mengutip penjelasannya agak lebih panjang:

"Kalau sistem normatif . . . adalah sesuatu yang berpusat pada Ego dan khususnya se-suai dengan model-model analisis interaksi atau perbuatan-keputusan, maka kebudaya-an adalah sesuatu yang berpusat pada sis -tem . . . Budaya menempatkan posisi manusia berhadapan dengan dunia ketim-bang posisi seorang manusia dalam caranya bergaul dengan dunia sebagaimana yang di-bcrikannya . . . Budaya berhubungan de-ngan panggung, setting panggung, dan cast-ing pemain; sistem normatif terletak pada pengarahan panggung terhadap para pelaku dan bagaimana pelaku harus memainkan bagian-bagiannya di atas panggung yang te-lah diatur sedemikian ,rupa" (72, him. 38; lihat juga 73)

Schneider selanjutnya mempertentang-kan pendekatannya dalam analisis kultural dengan pendekatan Geertz. Dia melihat

Geertz lebih terikat kepada asumsi-asumsi Weberian (sebagai yang dilakukan Parsons). Satu ranah dari sistem sosial (kekerabatan, atau agama, atau ekonomi, atau politik) diko-rek ke luar, dan ranah kultural yang berhu-bungan dengan itu dianalisis. Satu analisis kultural yang murni dapat melacak dengan baik interaksi simbol, premis, dan prinsip susunan di mana saja mereka muncul. Dan satu peta sistem kultural sebagai satu pe-ringkat yang terpisah, katanya, akan terlihat sangat berbeda daripada satu interpretasi ten-tang korelasi kultural dari institusi sosial.

Pada akhirnya dia mengusulkan satu analisis kultural yang murni yang "tidak tercemar oleh kajian tentang sistem sosial-nya". Dan hanyalah setelah tugas awal yang logis ini (untuk pelacakan hubungan antar bidang-bidang kultural, sosial, dan psikolo-gi), dapat dikerjakan maka kehidupan sosial dari suatu masyarakat atau tindakan-tindakan individu dapat dimengerti.

Budaya dan Sistem Sosiokultural

Dalam rangka mencari kejelasan isu-isu yang memisahkan ahli-ahli teori budaya yang ter-kenal, tampaknya kita tidak boleh mengha-rap bahwa gabungan yang terdiri dari berba-gai unsur-unsur terpilih akan dapat ditemu -kan, lalu semua mereka sepakat dengan hal tersebut. Setiap pernyataan tentang budaya yang dapat disetujui oleh Marvis Harris dan David Schneider mungkin tidak akan berisi apa-apa. Dan sikap eclectic akan membawa kita kembali kepada konsep-konsep budaya yang luas dan penuh dengan berbagai aspek seperti masa lampau.12

Namun demikian, satu pemilihan kon-septual akan berguna, bukan untuk menda-maikan perbedaan, tetapi untuk mengenali sumber dan keadaan mereka. Beberapa kon-

12 Seperti yang disimpulkan Kroeber dan Kluck-hohn tahun 1950-an.

ANTROPOLOG1 NO. 52 13

Page 47: Pangeran P.P.A. Nasution, S.Sos., M.A. Antropologi FISIP Univ. … AJAR TEORI... · 2016. 10. 6. · Antropologi lahir, bermula dari ketertarikan orang-orang Eropa yang melihat ciri-ciri

sep adalah bersifat filosofis dan beberapa yang lain merupakan hal yang mendasar; beberapa konsep dapat diselesaikan dengan bukti empiris, beberapa yang Iain tidak. Ma-sing-masing pendekatan atau posisi teori yang telah saya lukiskan dimuka mempu-nyai kekuatan dan kelemahan sendiri-sendiri. Dengan menggarisbawahi kekuatan dan membukakan kelemahan yang tersembunyi dibalik retorika yang berbunga-bunga, bebe-rapa cara penggabungan kekuatan dengan kekuatan dan menjaga sisi-sisi yang terbu-ka, maka beberapa jalan bagi penyelidikan masa depan mungkin muncul dan berguna.

Kontras pertama dalam pemilihan kon-septualisasi paralel budaya ini dibuat oleh Goodenough. Saya akan menyebut "pola-pola-dari-kehidupan-komunitas" sebagai sis tem sosiokultural (sociocultural system). "Sistem sosiokultural" mewakili realisasi so-sial atau aturan-aturan tentang "pola-untuk-hidup" yang ideasional dalam lingkungan tertentu. Satu pola pemukiman adalah satu elemen dari satu "sistem sosiokultural", bukan satu elemen dari "sistem kultural" (prinsip -prinsip konseptual yang sama mungkin bisa menghasilkan desa mengelompok padat atau dangau yang terkelompok, tergantung kepada sumber air, tanah daratan, tanah yang dapat ditanami, kependudukan, dan suku-su-ku tetangga yang bersifat damai atau pem-buru kepala orang).

Satu cara teknologi mata pencarian hi-dup adalah juga merupakan bagian dari satu "sistem sosiokultural", tetapi tidak secara tegas dikatakan sebagai bagian dari satu "sistem kultural" (masyarakat dengan penge-tahuan dan susunan strategi untuk hidup yang sama, mungkin terutama adalah horti-kulturalis, dalam satu lingkungan dan teru-tama nelayan dalam lingkungan yang lain, mungkin pembuat kapak batu dalam satu lingkungan atau pembuat kerang di ling-kungan yang lain, mungkin menanam taro pada satu sisi pegunungan atau yam pada

sisi lain dari pegunungan tersebut). Apa yang dibicarakan oleh para ahli

adaptasi kultural adalah dalam satu penger-tian "sistem-sosiokultural-dalam-lingkungan". Sistem inilah yang adaptif atau maladaptif, dan tergantung dalam beberapa hal pada se-leksi alam. Pola-pola ideasional untuk hidup, pola-pola makna dan sistem pengetahuan dan kepercayaan yang dimiliki bersama oleh subsistem sangat penting dari "cara-hidup-dalam-lingkungan". Yang terakhir ini adalah sistem yang kompleks dalam pengertian cy-bernetic, dalam sirkuit -sirkuit yang kom-pleks menghubungkan subsistem-subsistem ekologi, demografi, ideasional, dan Iain-lain.11 Bagaimana lingkaran-lingkaran ini sa-ling berhubungan, bagaimana informasi ke-luar melalui lingkaran-lingkaran tersebut, dan bagaimana proses homeostasis dan perubah-an yang terarah bekerja, adalah pertanyaan-pertanyaan empiris bagi penelitian, bukan polemik ideologis dan pasal-pasal kesetiaan.

[Harap dicatat bahwa konseptualisasi tentang budaya sebagai suatu sistem ideasional tidak berart i sama dengan perbedaan antara ranah ekonomi (secukup hidup, teknologi, organisasi sosial dari unit-unit produksi) de-ngan ranah ideasional (agama, ideologi, hu-kum, kesenian, dll), seperti yang dibuat oleh Harris dan beberapa ahli adaptasi kultural yang lain. Pengetahuan dan strategi menge-nai lingkungan dan cara-cara memperoleh kehidupan dari mereka (misalnya tentang membuat piranti, tentang pembentukan kelompok-kelompok kerja) adalah sekaligus merupakan bagian dari ranah ideasional yang saya sebut "budaya" maupun bagian dari pola-pola kepercayaan kosmologis atau upa-cara keagamaan].14

" Subsistem ini, atau elemen dari subsistem ini, bisa jadi dari bidang ontologi yang berbeda, dalam per-spektif Sibernetika (Cybernetic), adalah tidak relevan.

14 Perhatikan. bagaimanapun juga, pemilahan yang saya buat terlihat secara khusus dalam analisis-analisis aliran Marxis.

14 ANTROPOLOGI NO. 52

Page 48: Pangeran P.P.A. Nasution, S.Sos., M.A. Antropologi FISIP Univ. … AJAR TEORI... · 2016. 10. 6. · Antropologi lahir, bermula dari ketertarikan orang-orang Eropa yang melihat ciri-ciri

Ini mengelompokkan Goodenough, Le-vi-Slrauss, Geertz, dan Schneider kedalam satu kubu. Ini membuat sebagian besar ar-keologi baru dan ahli antropologi ekologi/ evolusionari dapat menerimanya sebagai se-buah kemungkinan strategi konseptual. Seku-rang-kurangnya mereka akan setuju bahwa "pusat perhatian mereka adalah sistem sosio-kultural"15 dan bagaimana sistem ini berkem-bang dan berubah. Seseorang dapat meneliti bagaimana sistem ideasional bekerja dalam proses adaptasi dan perubahan ini, keduanya dalam pengertian struktur internal (bagaima-na perubahan dalam gagasan tentang strategi hidup berhubungan dengan perubahan dalam gagasan tentang kekerabatan atau perubahan dalam gagasan tentang upacara keagamaan?) dan dalam hubungan dengan subsis tem yang lain (bagaimana gagasan tentang pemilihan tempat menetap setelah nikah berhubungan dengan pertumbuhan penduduk atau pertumbuhan produksi pertanian).

Budaya Sebagai Sistem Ideasional: Para-doks dan Masalah

Ahli-ahli teori tentang budaya sebagai sis -tem ideasional harus dipilah-pilah lagi. Ahli-ahli teori antropologi modern ini memiliki bersama satu premis penting yang membe-dakan mereka dari pendahulu mereka. Se-perti dikatakan oleh Singer (76), dua tradisi yang sejajar, yaitu antropologi kultural Ame-rika dan antropologi sosial Inggris, masing-masing mengeluarkan sejenis imperialisme intelektual. Bagi antropologi kultural Ame-rika, pola-pola sosial adalah salah satu aspek dari budaya. Sebaliknya bagi antropologi sosial Inggris, khususnya Radcliffe-Brown, pola-pola kultural dipandang terkristal dalam

" Banyak ahli. seperti halnya Binford (suami-istri), memakai konsep 'sistem sosial-budaya' (socio-culturul system) sedikit banyak saling dipertukarkan de-ngan konsep 'sistem budaya' (cultural system).

struktur sosial, dalam bentuk "cara berting-kah laku dan berpikir yang melembaga dan baku, yang bentuk normalnya diakui secara sosial dalam aturan yang nyata dan tidak nyata, menjadi panduan anggota-anggota dari suatu masyarakat" (76, him. 532). Bahaya dari mendangkalkan "the social" ke dalam "the cultural", atau "the cultura”' ke dalam "the social", telah diungkapkan oleh Geertz:

Apakah budaya dipandang sebagai sesuatu yang berasal dari bentuk organisasi sosial . . . atau bentuk organisasi sosial dipandang sebagai wujud dari pola-pola kultural. Dalam kasus yang manapun . . . elemen dinamis dalam perubahan sosial yang muncul dari kegagalan pola kultural untuk conruent se-cara sempurna dengan bentuk organisasi so-sial pada umumnya adalah merupakan kele-mahan p erumusan.

Geertz, Goodenough, Levi-Strauss, Schneider, dan Iain -lain sepakat bahwa bi-dang sosial dan bidang kultural berdiri sen-diri, meskipun saling berkaitan, yang satu bukan merupakan refleksi dari yang lain, masing-masing harus dilihat dalam posisi dan haknya sendiri. Satu pemecahan kon-septual seperti ini adalah penting bagi peng-halusan teori dan penajaman konsep "bu-daya" dalam 20 tahun terakhir ini.

Pusat dari percanggahan konseptual an-tara sarjana-sarjana di atas adalah pada ma-salah: apa yang harus dilakukan terhadap paradoks dasar dari kehidupan manusia. Ke-tika individu terlibat dalam hubungan sosial (meskipun cuma 2 individu), memiliki mak-na secara bersama, pengertian yang sama tentang tindakan masing-masing, maka mak-na dan pengertian milik bersama ini lebih besar dari penjumlahan "bagian-bagian" yang dimiliki setiap individu. Makna sosial ini tembus melampaui pengalaman individu yang pribadi. Pemikir-pemikir sosial telah bergu-lat dengan paradoks ini selama berdasawar-sa, bahkan berabad-abad. Namun conscience collectives masih tetap saja membingungkan

ANTROPOLOGI NO. 52 15

Page 49: Pangeran P.P.A. Nasution, S.Sos., M.A. Antropologi FISIP Univ. … AJAR TEORI... · 2016. 10. 6. · Antropologi lahir, bermula dari ketertarikan orang-orang Eropa yang melihat ciri-ciri

analisis sosial. Jalan kcluar Goodenough adalah meng-

gambarkan "budaya" sebagai satu sistemasi ideal dari dunia kognitif individu. Satu sis -lemasi yang memungkinkan seorang peneliti luar untuk membuat tanggapan kultural yang tepat sebagaimana yang diperlihatkan oleh penduduk native. Dia mampu menentukan melalui cara -cara grammar kultural tentang "apakah . . . apa yang dapat . . . bagaimana seseorang melihat itu . . . apa yang harus dilakukan dengan itu . . . dan bagaimana caranya melakukan itu'". Jadi apa yang di-miliki bersama itu adalah sudut-pandang in-dividu aktor sosial (yang bersifat ideasional). Jadi model kognitif Goodenough adalah satu gabungan dari pengetahuan kultural para in-dividu dalam lingkungan sosial yang berbe-da. Namun Goodenough, seperti ahli lingu-istik, memberi tempat bagi variasi subkul-tural dan perbedaan individual (33, 34, 37). Meski demikian tidak berarti bahwa Good-enough adalah sedangkal seorang redusio -nist kognitif, seperti yang dituduhkan Geertz. Kata Goodenough:

Orang belajar sebagai individu. Karena itu, jika budaya diperoleh dengan cara belajar, maka tempat utamanya tentu dalam diri sang individu daripada dalam kelompok so-sial . . . . Teori kultural (karena itu) hanya menjelaskan dalam hal apa kita dapat ber-bicara tentang budaya sebagai sesuatu yang dimiliki bersama atau sebagai hak milik kelompok . . . dan bagaimana proses la-hirnya kepemilikan bersama itu . . . . Kita harus . . . mencoba untuk menjelaskan bagaimana bangunan tersebut berkaitan de-ngan . . . proses sosial dan psikologis yang menjadi ciri-ciri manusia dalam kelompok (37, him. 20).

Goodenough membedakan dengan hati-hati 7 arti ideasional dari "budaya" yang menghubungkan dunia kognitif seorang indi-vidu dengan gagasan dan perilaku kolektif dari masyarakat, secara sistematik.

Levi-Strauss melihat budaya sebagai se-suatu yang lembus melampaui aktor indi-vidu, bahkan dalam hal-hal tertentu melam-paui batas suku bangsa. Tetapi "collective representation" menggambarkan dan meng-ungkapkan struktur dan proses pikiran indi-vidu, dan merupakan ciptaan kumulatif dari pikiran individu tersebut.

Geertz mengambil makna (meaning) mi-lik bersama sebagai dasar. Namun, mengikuti Wittgenstein, Husserl, dan Ryle, makna ter-sebut tidaklah misterius. Dia nyata, ada da-lam kehidupan sehari-hari. Geertz mungkin akan setuju bahwa budaya "terletak pada waktu dan tempat melalui persebaran tem-poral dan spasial dari individu yang memili-kinya" (6, h. 86). Namun, budaya terletak di antara pikiran-pikiran individu-individu ini, bukan "di dalamnya".

Tampaknya Schneider ingin bergerak selangkah lebih maju ke arah posisi "metho-dological essentialist" (63, h. 28-29), bahwa sebuah budaya dalam hal tertentu berada "dalam pada posisinya sendiri, bebas dari wujud-wujudnya yang kurang sempurna dalam pemikiran dan tindakan aktor pendu-kungnya" (6, h. 86). Dalam membedakan sistem normatif dari sistem simbol dan mak-na, Schneider secara eksplisit mengabstraksi-kannya di atas dan di luar perspektif indivi-dual. Level dari simbol ini, bebas dari ikat-annya dengan dunia tindakan sosial dan kon-teks situasional. Simbol dan makna ini ada dalam dunia kognitif dari ahli teori kultural.

Hal ini melahirkan aspek lain dalam paradoks utama sekitar simbol yang dimiliki bersama dan transendental ini. Setiap aktor memandang cara hidup masyarakatnya seba-gai sesuatu yang eksternal, berada di luar dirinya. Kita punya pandangan tentang apa yang kita pahami sebagai permainan yang dimainkan oleh anggota masyarakat kita. Da-lam melihat "sistem", seseorang mempunyai beberapa kebebasan untuk mencoba menak-lukkannya, menggabungnya, mengubahnya,

16 ANTROPOLOGI NO. 52

Page 50: Pangeran P.P.A. Nasution, S.Sos., M.A. Antropologi FISIP Univ. … AJAR TEORI... · 2016. 10. 6. · Antropologi lahir, bermula dari ketertarikan orang-orang Eropa yang melihat ciri-ciri

dll. (53). Lebih jauh, daerah kehidupan di mana

masing-masing kita bergerak adalah satu du-nia yang bukan terdiri atas peranan dan ins-titusi dan aturan-aturan abstrak, tetapi terdi-ri atas individu dan tempat-tempat yang mu -dah dikenali. Kita menjalani kehidupan kita pada umumnya dalam ruangan fenomenolo-gis yang kekhususannya akan membimbing tindakan kita. Kita mengikat peranan dan aturan kultural (berdasarkan atas hal yang umum dan abstrak, bukan hal yang indivi-dual dan konkret) dalam arena sosial pada umumnya adalah pada pinggiran ruangan yang kita kenal. Begitulah yang kita lakukan ketika berhubungan dengan orang asing dan pejabat pemerintah, atau berhubungan de-ngan pelayan toko atau polisi. Dalam hal ini, pengetahuan yang memungkinkan indi-vidu bertindak dalam cara yang "pantas seca-ra kultural" hanyalah satu bagian saja dari apa yang memungkinkan mereka untuk hidup dalam kelompok sosial.

Lebih jauh, terdapat perbedaan penting (meskipun kabur) antara sistem ideasional kolektif dan dinamika kejiwaan individu. Berbagai ahli teori "budaya dan kepribadian" telah mencoba menjawab masalah ini selama bertahun-tahun.

Semua ini berarti bahwa setiap usaha untuk mengecilkan sistem kultural menjadi sistem kognitif individu adalah penuh de-ngan bahaya.

Dengan cara seperti itu, subyektifisme yang ekstrim dikawinkan dengan formalisme eks -trim, dengan harapan akan menghasilkan satu ledakan perdebatan tentang apakah ana-lisis khusus . . . mencerminkan apa yang "sesungguhnya" dipikirkan oleh penduduk asli atau cuma simulasi yang cerdik . . . Kesalahan ahli kognitif bahwa budaya ter-diri atas "fenomena mental yang dapat . . . dibahas dengan metode formal seperti dalam matematika dan logika" adalah sama meru-saknya seperti kesalahan kaum behavioris

dan idealis yang mengoreksi mereka. Bu-daya . . . tidak lagi dapat dikatakan sebagai . . . satu fenomena psikologis, satu ciri dari pikiran seseorang. kepribadian, struktur kognitif . . . (Geertz 30, h.11-13).'"

Namun pandangan lain tentang dilema konseptual—melihat "budaya" sebagai hal bebas dari pikiran individu—juga mempu-nyai bahaya. Pertama, struktur dari sistem kultural diciptakan, dibentuk, dan ditentukan oleh pikiran dan otak individu. Bentuk budaya tergantung pada apa yang dipikirkan, di-bayangkan, dan dipelajari oleh individu ma-nusia, dan juga pada apa yang dibentuk dan dipelihara oleh perilaku kolektif dalam pola kehidupan yang langgeng dalam ekosistem. Budaya harus merupakan sesuatu yang dipi-kirkan, yang dipelajari, dan yang dijalani dalam kehidupan sosial.

Tanpa mengaitkan model budaya kita dengan pengetahuan yang mendalam ten-tang struktur dan proses pikiran, maka pem-bahasan kultural kita bisa turun menjadi la -tihan bahasa semata. Schneider kecewa bah-wa Geertz—dalam membentuk pembahasan kulturalnya sekitar lembaga keagamaan, per-tanian, atau ekonomi—merusak fenomena budaya sebagai sistem ideasional. Namun, apakah Schneider (setelah bergerak ke ting-katan yang lebih abstrak mengenai simbol dan makna, yang melampaui pikiran indi-vidu) bukannya mempunyai kebebasan semu untuk menggambar polanya sendiri, ketika dia berpikir bahwa dia sedang menelusuri pikiran orang lain?

Schneider telah mendidik sejumlah ma-hasiswa untuk mencari keanekaragaman bi-

"' Dapat dilihat, pandangan Geertz dalam mengkaji pandangan penganut 'kognitif reduksionis' (cognitive reductionist) yang ditujukan pada Goodenough sendiri, walaupun Goodenough menaruh budaya dalam pikiran dan perasaan manusia, Geertz secara nyata memperbaiki pandangan tersebut dalam diskusinya mengenai budaya sebagai terdiri dari sesuatu yang dimiliki bersama dan bersifat umum (public): dan sintesis Geertz terbaru mengembangkan pandangan yang sangat dekat dengan apa yang akan saya paparkan.

ANTROPOLOGI NO. 52 17

Page 51: Pangeran P.P.A. Nasution, S.Sos., M.A. Antropologi FISIP Univ. … AJAR TEORI... · 2016. 10. 6. · Antropologi lahir, bermula dari ketertarikan orang-orang Eropa yang melihat ciri-ciri

dang kultural dalam simbol kekerabatan. Dan tidak mengherankan, mereka menemukan-nya. Mcneliti salu tingkatan transendental dari simbol kultural dimana pun mereka muncul, kita mungkin juga akan menemukan keanekaragaman dalam bidang-bidang yang lain. Namun banyak di antara kita yang percaya bahwa keanekaragaman ini sebagian besar adalah unsur semu dalam pencarian simbol-simbol kultural yang tidak dipenga-ruhi bidang-bidang yang lain. Namun ba-nyak di antara kita yang percaya bahwa ke-anekaragaman ini sebagian besar adalah un-sur semu dalam pencarian simbol-simbol kultural yang tidak dipengaruhi oleh cara manusia berpikir, belajar, dan berkomuni-kasi, dan oleh setting sosial di mana mereka memainkan peranannya. Apakah sistem ke-kerabatan adalah ranah simbolik yang bera-nekaragam, atau permutasi dari sistem dasar yang sama (dengan demikian Orang asli Australia dapat masuk ke dalam masyarakat New Guinea, atau ke dalam masyarakat Ba-dui (Beduoin) yang tinggal di padang pasir), dan kemudian langsung dapat memahami pembicaraan tentang kekerabatan mereka, waktulah yang akan menyelesaikan masalah ini.

Ini menimbulkan masalah yang bersifat universal. Apakah dalam budaya non-lingu-istik ada pola universal yang sama seperti yang muncul dalam bahasa? Dalam linguis -tik, kemunculan satu tatabahasa yang uni-versal di belakang keanekaragaman kalimat-kalimat telah menjadi satu tema pembicaraan yang penting dalam dasawarsa terakhir ini. Khususnya dalam semantik generasi kini, struktur yang paling mendalam dari kalimat dilihat sebagai proposisi dalam satu "logika natural" universal yang mengandung makna, satu logika yang sangat sama dengan yang dirumuskan oleh Boole dalam bukunya Laws of Thought (1854), di mana dia beru -saha menemukan undang-undang yang men-dasar dari kerja pikiran yang menghasilkan

reasoning . . . dan mengumpulkan keda-laman sifat dan bentuk pikiran manusia". Levi-Strauss tentu telah berusaha mencari proses universal dari pemikiran dalam bidang budaya. Beliau juga mu ngkin telah menggu-nakan kata-kata yang sama seperti Boole dalam menggambarkan usahanya ini, meski-pun model linguistik yang dipinjamnya pada umumnya adalah formal isme status dari fo-nologi strukturalis.

Yang penting adalah bahwa ini tam-paknya merupakan satu masa yang penting dalam mencari universalitas kultural, meski-pun bukan untuk menyetujuinya, karena ba-hasa dapat menjadi satu subsistem dari logi-ka dan transduksi (48,49). Dan apa univer-salitas di sini adalah universalitas dari proses, dari logika, dan struktur, dari prinsip orga-nisasi, bukan substansinya (48,49). Kemurni-an dari pencarian penunjuk umum dalam bahasa substansi dari budaya telah dibica-rakan dalam Geertz (25).

Sampai seberapa jauh universalitas dari bahasa akan mencerminkan aturan, logika, dan struktur-dalam, adalah terbuka bagi per-debatan yang serius. Chomsky sudah menga-jukan spesifikasi mendalam yang terinci. Piaget dll. telah menjawabnya, bahwa baik kompetensi linguistik maupun kemahiran li-nguistik dari kemampuan-kemampuan li-nguistik yang lain mungkin didasarkan atas prinsip -prinsip dan strategi kognitif umum. Dan Piaget mengatakan bahwa sistem kog-nitif yang sangat bertingkat dan kompleks dibangun atas dasar yang terprogram, melalui keterbukaan yang progresif, atau "teori-teo-ri" yang makin kompleks tentang dunia (62). Jika kemudian muncul struktur kultural yang universal, maka belum jelas berapa banyak program genetika dan berapa banyak pemur-nian kognitif berperan mendasarinya.

Masalah-masalah di atas menggarisba-wahi pentingnya usaha untuk tidak memi-sahkan satu konsepsi tentang budaya dari pengetahuan kita tentang pikiran. Geertz

18 ANTROPOLOGI NO. 52

Page 52: Pangeran P.P.A. Nasution, S.Sos., M.A. Antropologi FISIP Univ. … AJAR TEORI... · 2016. 10. 6. · Antropologi lahir, bermula dari ketertarikan orang-orang Eropa yang melihat ciri-ciri

yang sadar untuk membawa pengaruh feno-menologi, filsafat linguistik, dan simbolik kc dalam antropologi, tentunya harus awas sadar bahwa revolusi dalam ilmu pasti alam-lah yang mendorong kemajuan filsafat mo -dern, bukan sebaiiknya.

Satu kemajuan yang pesat dalam pema-haman kita mengenai organisasi inteligensi pada masa kini mulai mu ncul.17 Dalam ma -salah internasional—bukan antardisiplin teta-pi super disiplin—menggabungkan satu teori formal tentang inteligensi dan komunikasi dengan biologi teoretis dan ilmu-ilmu empi-ris tentang kognisi, tentang otak manusia, dan tentang pikiran, merupakan tantangan penting. Ini adalah sistem alamiah yang pa-ling kompleks.

otak manusia menggabungkan kenyataan bahwa dia diperoleh melalui pengalaman dan bentuk pembelajaran yang lain ke dalam satu model tentang dunia. Fakta-fakta baru dinterpretasikan melalui model-model itu . . . memahami . . . model dunia tersebut, organisasi naturalnya, ke -tergantungan mereka pada lingkungan dan budaya, adalah penelitian yang pelik dan mendasar bagi semua disiplin keilmuan (14, h. 437).

Lebih dari satu dasawarsa yang lalu, Geertz telah mencatat kemajuan awal pada bidang-bidang di atas, dan bagaimana po-tensi pokoknya (23). Pada tahun 1965, Geertz menulis bahwa "budaya yang terbaik adalah dilihat bukan sebagai kompleks dari pola tingkah laku yang konkret (yaitu adat-istiadat, kebiasaan, tradisi) . . . tetapi seba-

17 Kata inteligensia dalam kalimat tersebut tidak secara sederhana mengacu pada (pengertian) 'otak' (bruin), baik secara harfiah maupun pengertian kono-tatif, tetapi representasi sistem formal dari sistem yang memperlihatkan ciri-ciri 'biologi' atau 'mental" dari pengaturan diri, arah tujuan. dan ciri-ciri pengolahan informasi dari sistem-sistem kehidupan. 'Biologi for-mal' dalam pengertian ini . . . bisa . . . menjadi . . . suatu teori dari semua organisme, secara alamiah atau buatan (51, h. 49).

gai satu perangkat mekanisme kontrol (yaitu rencana, resep, aturan, instruksi, [atau apa yang disebut sebagai "program" oleh ahli komputer) untuk mengendalikan perilaku" (25, h. 57). Tetapi dia, saya pikir, belum menjelajahi dengan sepenuhnya implikasi da-ri pandangan ini. Kita akan kurang puas bila kita berhasil melampaui gelombang ke -ras berikutnya dalam kebijaksanaan mem-pelajari Husserl, Ryle, dan Wittgenstein.18

Akhirnya, mempelajari simbol kultural sebagai sesuatu yang dimiliki bersama dan bersifat public (sebagai sesuatu yang berada dalam interaksi sosial) melahirkan beberapa bahaya. Bahaya bukan hanya pada penafsiran kultural yang menciptakan pola simbolik yang konsisten dan terintegrasi (ingat analogi yang dibuat Geertz tentang gurita), tetapi juga pada keanekaragaman dan perubahan kultural yang tersembunyi. Sejumlah ke -anekaragaman dalam versi individu tentang budaya public mungkin bukan hanya seke -dar suatu ketidaksempurnaan sosial, tetapi mungkin merupakan satu keperluan adaptif. Ini adalah satu sumber penting yang dapat ditarik dan dipilih dalam proses perubahan kultural. Premis kultural yang paling abs-trak tentang apakah budaya itu dan bagai-mana budaya berkaitan satu sama lain, dan berkaitan tentang kehidupan manusia, mung-kin bersifat agak seragam dan lambat beru-bah. Tetapi rencana-rencana dan pola -pola khusus bagi tindakan manusia adalah ber-beda; dan tidak seperti kwartet Beethoven, mereka berubah.

Tetapi kita masih berada antara berba-gai pilihan dari suatu dilema konseptual. Di satu pihak adalah reduksionisme kognitif

'" Sebagaimana ditunjukkan oleh Bateson (10), ada masalah-masalah serius mengenai pengkategori-sasian logika menyangkut pembentukan konsep budaya yang harus diseleksi. Model 'Sibernetika' (cybernetic) yang telah menghasilkan penambahan pengertian ten-tang struktur formal sistem heterarcical, mungkin pen-ting dalam hal ini.

ANTROPOLOGI NO. 52 19

Page 53: Pangeran P.P.A. Nasution, S.Sos., M.A. Antropologi FISIP Univ. … AJAR TEORI... · 2016. 10. 6. · Antropologi lahir, bermula dari ketertarikan orang-orang Eropa yang melihat ciri-ciri

yang kehilangan simbol yang dimiliki ber-sama, dan tumpang-tindih antara dunia psi-kologi dari individu dan kode dari makna dengan konvensi kultural. Di pihak lain ada-lah satu dunia simbol kultural yang memiliki otonomi dan keseragaman semu, bebas dari pengaruh-pengaruh pikiran dan otak yang digunakan untuk menciptakan, mempelajari. dan menyadari budaya.

Ke Arah Penyelesaian Konseptual

Mungkin perbedaan konseptual antara "kom-petensi" dan "pcrforman" yang digeluti oleh orang linguistik dapat memberikan satu jalan keluar dari dilema ini. "Kompetensi linguis -tik" adalah satu model tentang pengetahuan bahasa sendiri yang diperoleh oleh seorang native speaker dalam bercakap dan mende-ngar (proses dari performan linguistik). Da -lam teori linguistik Chomsky pcrtengahan tahun 1960-an, konsen utama adalah pada kompetensi dari seorang pembicara-pende-ngar yang tahu bahasanya sendiri dengan sempurna. Tetapi peningkatan kecanggihan pada kubu transformasional, dan tekanan dari Labov dkk. dalam aliran "variationist", men-dorong para ahli teori memperhatikan keane-karagaman masalah. Bagaimana dan pada tingkat mana kompetensi linguistik dari in-dividu bervariasi, telah menjadi isu perde-batan hangat yang akan dikaji dengan lebih hati-hati pada masa yang akan datang. Apa-kah kita menciptakan satu kompetensi yang seragam, atau perbedaan dalam kompetensi subkelompok (dia lek) atau individu (idiolek) adalah pertanyaan tentang strategi belajar yang diterapkan terhadap masalah masa kini. Kompetensi tetap berbeda dari performan.'1'

" Kesulitan utama dalam menentukan batas an-tara kemampuan (competence) berbahasa penduduk se-tempat dan pengetahuan budaya dalam menghadapi kebutuhan untuk mengkaji kondisi-kondisi penting (pre-supposition). Perembesan batas tidak perlu mempenga-

Secara analitis, tampaknya mungkin membedakan suatu kompetensi kultural yang tidak mencakup keseluruhan dunia psikolo -gis dari setiap individu. Dan ini memberi kita kesempatan untuk menghindari kedua butir dilema konseptual di atas.

Budaya, dipandang sebagai satu sistem kompetensi yang dimiliki bersama, yang ber-variasi antara individu pada hal-hal yang khusus, adalah bukan semua hal yang dike-tahui, dipikirkan, dan dipandang individu tentang dunianya. Budaya adalah teori se-orang individu tentang apa yang diketahui, dipercayai, dan diartikan oleh masyarakat-nya, teori individu tersebut tentang kode yang dipatuhi, tentang permainan yang di-mainkan, di dalam masyarakat di mana dia lahir (lihat juga 37). Teori inilah yang di -acu oleh seorang native actor dalam menaf-sirkan hal yang dia kurang akrab (atau hal yang membingungkan), dalam berinteraksi dengan orang asing (atau supernatural), dan dalam setting lain yang terletak di pinggir kehidupan yang digeluti sehari-hari. Dengan teori ini dia menciptakan panggung tempat permainan kehidupan dijalankan. Kita dapat mengatakan persepsi aktor individu tersebut terhadap budayanya sebagai hal yang ber-sifat eksternal. Jadi, kita bisa mengatakan bahwa dapatnya individu secara sadar meng-gunakan, memanipulasi, melanggar, dan mencoba untuk mengubah apa yang dipa-hami oleh masyarakat adalah the rules of the game. Tetapi harap dicatat bahwa "teo-ri" aktor tentang budayanya ini, seperti teori dia tentang bahasanya, mungkin sebagian besar berada di bawah sadar. Aktor mema -tuhi aturan yang tidak disadarinya ada, dan menerima satu dunia yang ada "jauh di luar sana" yang telah mereka ciptakan sendiri dengan menggunakan pola-pola pikiran yang sudah terbentuk secara kultural.

ruhi ahli antropologi yang memulai pada bagian yang membingungkan, yang juga sedapat mungkin dihindari oleh para ahli bahasa.

20 ANTROPOLOGI NO. 52

Page 54: Pangeran P.P.A. Nasution, S.Sos., M.A. Antropologi FISIP Univ. … AJAR TEORI... · 2016. 10. 6. · Antropologi lahir, bermula dari ketertarikan orang-orang Eropa yang melihat ciri-ciri

Kita dapat mengerti bahwa tidak setiap individu memiliki teori tentang kode kultu-ral yang persis sama, bahwa tidak setiap in -dividu tahu semua sektor dari budayanya. Jadi satu dcskripsi kultural sclalu merupakan bangunan yang abstrak. Tergantung kepada tujuan kajian, kita, seperti ahli linguistik, dapat menyusun distribusi dari variasi kom-petensi antara subkelompok, antara peranan, dan antara individu. Dan seperti ahli lingu-istik, kita dapat mengkaji proses perubahan baik dalam kode konseptual maupun dalam pola -pola perilaku sosial (37).

Pengkonsepsian budaya sebagai satu pe-rangkat komp etensi yang menyebar secara tidak merata dalam satu masyarakat (namun sebagian terdapat dalam pikiran individu), memungkinkan kita untuk mengarahkan se-jumlah pengetahuan tentang struktur pikiran dan otak, dan organisasi formal dari inteli-gensi. Meskipun tidak seorang pun dari na-tive actor yang tahu keseluruhan budayanya (dan masing-masing aktor mempunyai vari-an dari kode budayanya), budaya dalam pandangan seperti ini disusun tidak seseder-hana seperti sejumlah simbol yang disusun oleh seorang analis, tetapi sebagai satu sys-tem of knowledge, yang dibentuk dan dipe-ngaruhi oleh cara otak manusia memperoleh, mengorganisasikan, dan memproses in for-masi dan menciptakan "model internal dari rcalitas" (16, 38, 39). Konsep budaya se-perli ini membebaskan kita dari bahaya yang mungkin muncul dari reduksionisme kog-nitif dan idealisme ngambang.

Sampai pada litik ini saya telah meng-anjurkan agar kita berpaling kepada ahli linguistik dalam menggunakan panduan kon-septual. Namun, bagaimanapun, ahli linguis -tik (setelah memisahkan kompetensi dari per-forman) pada umumnya telah memilih un-tuk hanya mengkaji kompetensi. Hal ini t i -dak hanya menempatkan linguistik modern pada satu menara gading yang dikelilingi oleh satu dunia di mana bahasa telah men-

jadi alat penekan dan kekuatan pemecahan. Ini telah memisahkan kemajuan dalam ilmu linguistik dari kemajuan dalam ilmu psiko-logi, antropologi, dan biologi. Dan sebagai yang telah dikatakan Labov dkk., ini telah mempersempit data base dari penelitian li-nguistik.2"

Saya percaya bahwa jika ahli antropo-logi mengkonsepsikan "budaya" sebagai hal yang dapat dipadankan dengan "kompetensi" linguistik secara epistemologi dan logika, mereka seharusnya berbuat begitu hanya da-lam konsern yang lebih luas terhadap "per-forman" sosiokultural. Satu konsepsi idea-tional mengenai budaya "kurang membantu kita jika kita mengeluarkan sistem abstrak yang kita ciptakan dari dunia fenomenal, dan menguji ' i n i ' untuk mengetahui bagai-mana ' i n i ' digabungkan. Tetapi "budaya" dapat membantu kita jika kita menggunakan-nya dalam menyelesaikan benang kusut saling hubungan yang ruwet dalam dunia itu" (48, h. 326).

Karena itu saya setuju dengan Schnei-der bahwa budaya sebagai sistem ideasional seharusnya ditelusuri dan dipetakan dalam ungkapan-ungkapan mereka sendiri, tidak da-lam ungkapan-ungkapan dari bidang sosial. Namun saya tidak setuju dengan kesimpul-an Schneider bahwa kajian tentang budaya dapat dicari secara lebih menguntungkan jika tidak "tercemar" oleh kajian tentang setting sosial dan ekologi tempat manusia berin -teraksi. Alasan-alasan saya adalah demikian.

(I) Pertanyaan-pertanyaan yang menjadi perhatian utama ahli antropologi tidak se-luruhnya pertanyaan-pertanyaan tentang bu-daya sebagai sistem ideasional. Kita ingin memahami bagaimana kelompok-kelompok manusia mengorganisasikan dan melestari-

-'" Atau secara lebih akurat, dalam kemampuan pemakai bahasa penduduk setempat dalam mengkomu-nikasikan pranata mereka tentang kalimat (sentence) yang diajukan oleh ahli bahasa.

ANTROPOLOGI NO. 52 21

Page 55: Pangeran P.P.A. Nasution, S.Sos., M.A. Antropologi FISIP Univ. … AJAR TEORI... · 2016. 10. 6. · Antropologi lahir, bermula dari ketertarikan orang-orang Eropa yang melihat ciri-ciri

kan kehidupan sosial mereka. Bagaimana biologi dan pengalaman hidup berinteraksi ketika individu-individu menjadi anggota yang berfungsi dalam suatu masyarakat, dan bagaimana sifat dari pengalaman itu mem-bentuk kepribadian. Berapa persamaan—dan berapa perbedaan—cara berpikir dan cara berpersepsi manusia dalam waktu dan tem-pat yang berlainan. Bagaimana cara kehidup-an berubah, dan apa yang menentukan pem-bentukannya dalam setting tertentu.

Kita tidak dapat memahami kehidupan masyarakat lain hanya dengan cara memeta-kan budaya mereka, meskipun kita tidak dapat memahami bahkan mencatat peristi-wa-peristiwa dalam dunia mereka tanpa me -mahami "model internal dari realitas" mereka (lihat 15, 37). Saya sudah pernah mengilus-trasikan hal ini dengan contoh Trobriand (47, h. 404:50, h. 441). Satu model kompe-tensi dari budaya Trobriand mengatakan ke-pada kita tentang kelas benda-benda, orang, dan peristiwa apa yang ada, dan dalam je -nis dunia seperti apa mereka hidup. Model kompetensi ini akan memberikan aturan ten-lang bagaimana cara berkebun, cara mene-lusuri kekerabatan, cara melakukan pertu-karan, dan cara bermukim. Tetapi model ini tidak bercerita apa-apa tentang pola pemu -kiman, kelompok kekerabatan, produksi per-tanian, atau aliran pertukaran, berapa jum-lahnya orang Trobriand, dan di mana mereka tinggal.

(2) Kemisteriusan dari simbol yang di-miliki bersama, dan kemisteriusan dari per-temuan pikiran-pikiran individu, bukanlah satu kemis teriusan yang terjadi pada tataran kultural yang abstrak dan tinggi, sebagai yang dianggap oleh Geertz, ahli fenomeno-logi, dan ahli etnometodologi. Ini adalah ke -misteriusan yang terjadi pada setting sosial. Dia menjadi satu dengan interaksi sosial yang umum. Pikiran bukan satu "tempat" metaforikal. . . . Papan catur, pelataran dan

lapangan sepakbola adalah beberapa di an-tara tempat-tempat tersebut (70, dikutip da-lam 23). Makna dimiliki bersama oleh orang-orang yang justru mengkonsepsikan budaya berbeda satu dengan yang lain (48). Tetapi ini adalah suatu kemisteriusan yang dicapai bukan dalam kekosongan hipotetis (satu bi-dang simbolik), tetapi dalam penerapan ber-sama hal yang umum terdapat hal yang khusus, yang pribadi terhadap yang sosial.

(3) Untuk memahami perubahan dan keanekaragaman, kita hams melihat budaya sebagai elemen-elemen dalam sistem si-bernetik yang kompleks, dari manusia-dalam-lingkungan. Satu model ideasional tentang budaya, dalam isolasi, mencegah pengertian kita untuk berubah dan beradaptasi. Sebagai bagian dari skema konseptual yang kom-pleks, bagaimanapun, model budaya yang seperti ini memperkaya pemahaman kita ten-tang perubahan dan membantu kita dalam memperbaiki model ekologis/adaptionist yang terlalu sedehana.

Budaya harus melahirkan pola-pola ke -hidupan yang langgeng dalam ekosistem. Tetapi ini tidak berarti bahwa seleksi natu-ral memangkas dan membentuk sistem idea-sional dengan cara yang sederhana dan lang-sung. Pola kehidupan sosial dalam satu ko-munitas bukanlah satu perwujudan sederha-na dari program kultural yang dimiliki ber-sama. Seperti dikatakan Homans, "masalah utama dalam ilmu-ilmu sosial adalah seperti dikatakan Hobbes: Bagaimana perilaku individu-individu menciptakan ciri-ciri ke-lompok?" (46, h. 106). Perilaku individu di-pandu, disalurkan, dan dikendalakan oleh prinsip-prinsip dan aturan-aturan kultural ten-tang permainan hidup dan tentang bagaimana permainan hidup ini dimainkan. Tetapi, di-pihak Iain, perilaku individu-individu ini pu-lalah yang menciptakan kehidupan sosial ketika mereka membuat pilihan, mencari strategi, memaksimumkan nilai, membentuk

22 ANTROPOLOG1 NO. 52

Page 56: Pangeran P.P.A. Nasution, S.Sos., M.A. Antropologi FISIP Univ. … AJAR TEORI... · 2016. 10. 6. · Antropologi lahir, bermula dari ketertarikan orang-orang Eropa yang melihat ciri-ciri

koalisi, dst. (5, 7-9, 46).:l Aturan-aturan permainan sendiri diciptakan dan diubah oleh pola permainan yang diaturnya, dalam suatu dialektika yang tiada henti.

Hal yang dibentuk secara langsung oleh tekanan selektif adalah bagaimana manusia hidup, bukan bagaimana mereka mengkon-sepsikan permainan kehidupan. Selanjutnya, otak (yang memungkinkan manusia untuk menanggulangi masalah kelangsungan hidup dalam berbagai lingkungan) menawarkan har-ganya sendiri: upacara, mitos, kosmologi, dan sihir mungkin merupakan adaptasi ter-hadap tekanan psikis manusia (kekuatiran, frustasi, ketakutan, dan ketidaktahuan) seka-ligus merupakan adaptasi terhadap tekanan dari lingkungan luar.

(4) Untuk mengkaji budaya sebagai sistem ideasional tanpa pemetaan lingkaran sibernetik yang kompleks 22 (yang menghu- bungkan budaya dengan sistem sosial, de - ngan ekosistem, dan dengan psikologi dan biologi dari individu) akan membuat anali- sis kultural menjadi suatu usaha pencarian misteri. Satu usaha yang terisolasi dari disiplin -disiplin ilmu sekelilingnya, pada tingkat ketika dorongan besar pengetahuan ilmiah dilontarkan.

(5) Dalam gerak kemajuan ini, satu ironi yang lebih besar mungkin muncul. Budaya sebagai sistem pengetahuan mungkin hanya sebagian yang dapat dideskripsikan dalam bahasa formal yang kita kuasai. Meski ter dapat kemajuan yang mengesankan dalam

model sibernetik cara sistem saraf pusat memproses dan mengorganisasikan informa- si, namun juga terdapat jurang yang luas antara model dan apa yang dicapai otak se- cara efisien dan cepat. Beberapa kemajuan

21 Pembedaan oleh C.F. Freilich antara 'layak' (proper) dan 'cerdas' (smart) dalam pengkonseptuali- sasikan yang sedikit berbeda dari bidang budaya dan sosial.

22 Dalam hal ini, dirintis oleh Rappaport (66-68).

ANTROPOLOGI NO. 52

sedang diusahakan untuk menutupi jurang ini dan mengatasi misteri otak23 (lihat misal-nya 4, h. 64).

Tetapi, ketika para pakar mulai menu-lis etnografi seperti robot dan menjelajahi struktur "memori" secara matematis dan bio-logis —model internal dan realitas—berbagai bagian dari pikiran menolak perwujudan for-mal. Adalah menarik untuk memperhatikan bahwa bukanlah fungsi logika dan pikiran, tetapi fungsi "otomatis" yang berada di ba-wah sadarlah yang menolak pekerjaan peng-analisisan.24

Hal ini menandakan bahwa mungkin terdapat hambatan-hambatan yang mendasar pada usaha kita untuk membukakan, dalam cara formal, apa yang "diketahui" manusia tentang hal yang memungkinkan mereka ber-buat seperti apa yang telah mereka lakukan. Anjuran George Miller mengungkapkan dile-ma ini demikian:

Seandainya kita dapat mengetahui aturan-aturan yang belum diformulasikan [se-

" Model 'Sibernetika' (Cybernetic) membantu menjelaskan hubungan dari 'bahasa pikiran' (mind lan-guage) ke 'bahasa otak' (brain language), tetapi se-bagaimana Mackay (55, p. 465) membantah, bahkan jika seluruh operasi dalam pikiran dapat secara mendasar dihubungkan dengan proses dalam otak, masih ada satu kebutuhan penting bagi 'bahasa pikiran' (mind language). Pandangan 'Reduksionis Neurosikologi' (Neuropsxco-logy Reductionism) seperti bentuk 'reduksionalisme' (re-duclionalism) lainnya, telah mengalahkannya.

24"Kemajuan yang baik telah dibuat dalam seni .. .'programing'". Sebagai contoh robot yang hanya mem-butuhkan beberapa menit untuk membuktikan lebih dari 200 teori Whitehead dan Russell: 'Principia Mathe-matica'. Sebagian dari pembuktian tersebut, lebih baik dari yang pernah dilakukan sebelumnya. Tetapi, kemam-puan robot mempunyai batas tertentu. Sebagai contoh, tidak ada satu robot pun yang dapat membaca berbagai alamat yang ditulis tangan, bahkan alat penyortir yang biasa digunakan di Kantor Pos . . . suatu fungsi . . . yang sederhana dan jauh dari sifat-sifat intelektual, lebih sulit untuk dibuat otomatis dan pada fungsi-fungsi lain yang kita anggap mencirikan intelektual . . . untuk fungsi-fung-si yang secara tidak sadar telah menjadi bagian (dari kita), tidak ada proses otomatisasi yang memuaskan, yang telah diciptakan (74 p. 46; cf 17,85).

23

Page 57: Pangeran P.P.A. Nasution, S.Sos., M.A. Antropologi FISIP Univ. … AJAR TEORI... · 2016. 10. 6. · Antropologi lahir, bermula dari ketertarikan orang-orang Eropa yang melihat ciri-ciri

perti pengetahuan implisit kita tentang aturan gramatikal], dapatkah kita menge-tahui aturan-aturan yang mengatur cara kerja pikiran manusia, yang tidak dapat dibuat secara eksplisit oleh pikiran manu-sia, meskipun level inteligensi dan per-lengkapan simboliknya tidak dapat mem-buat eksplisit? (59, h.!92).2S

Ini bukanlah dimaksudkan untuk me-nyimpangkan penelitian tentang inteligensi. Ini hanya sekedar mengingatkan bahwa mes-kipun kekuatan otak adalah terpusat, namun kemungkinan untuk menganalisis satu sis -tem kultural (dalam pengertian yang sem-purna) menemukan dan menggambarkan strukturnya masih tetap jauh. Mungkin akan tetap itu selamanya. Untuk mengabstraksikan satu level "simbol kultural" menurut cara yang diusulkan Schneider, tampak hanya merupakan jalan keluar semu dari dilema ini. Kenyataan bahwa pikiran ahli antropo-logi dapat menemukan "level" kultural terse-but membuktikan adanya kekuatan besar yang membuat manusia jadi "manusia". Te-tapi ini hanya menolong sedikit bagi penje -lasan tentang bagaimana manusia berpikir, bertindak, dan memandang.

Geertz sudah mengingatkan bahwa gra-mmar kultural sepcrti yang dirumuskan ahli-ahli "etnografi baru" adalah begitu tidak mungkin untuk mencapai manusia tentang dunia mereka. Inilah yang mendorong Geertz untuk memutuskan bahwa usaha ahli antro-pologi untuk dicapai karena sangat rumitnya apa yang diketahui grammar kultural ini pa-ling banter adalah pada tingkat "deskripsi yang mendalam". Ketimbang melakukan "de-coding" atau eksplanasi, Geertz lebih memi-lih untuk melakukan interpretasi. Saya tidak setuju dengan Geertz kalau itu diartikan se-bagai penyerahan tugas kepada ahli siber-

;' Pandangan Van Foorster yang tidak tampak menunjukkan pemikiran yang sama: 'Hukum alam dibuat manusia, Hukum biologi harus dibuat dengan sendirinya' (82 p. 5).

netik untuk menemukan bidang-bidang yang akan menghasilkan pemahaman itu. Mereka kurang dapat melakukannya tanpa bantuan ahli antropologi. Tetapi saya setuju dengan Geertz bahwa bila usaha-usaha tersebut dapat dikembangkan, kita harus tetap berakar pada prinsip usaha menginterprestasikan perilaku dan pikiran manusia nyata dalam setting so-sial yang nyata.

(6) Argumen penting terakhir dalam rangka mengaitkan konsepsi ideal tentang budaya dengan dunia sosial dan ekologis yang konkret adalah bahwa "budaya" seha-rusnya punya potensi untuk menghapuskan dirinya.26 Seperti konsep ahli linguistik ten-tang "kompetensi", dalam jangka panjang budaya mungkin dapat berubah menjadi tangga-penopang (steger) yang harus dibong-kar ketika struktur yang lebih solid dan langgeng telah dapat dibangun. Pernyataan ini menekankan sifat "kesementaraan" dari budaya.

Sampai seberapa jauh tindakan manusia dibimbing oleh kode umum itu (atau budaya, atau satu teori tentang dunia dan tentang permainan kehidupan sosial yang dapat di-uraikan melalui kekhususan pengalaman hi-dup pribadi masing-masing individu dalam dunia kehidupan sosial yang umum)? Kajian John Haviland tentang gosip pada masyara-kat Zinacantan, dari sudut pandang kognitif, memberi contoh nyata tentang pertanyaan di atas.

Kita umumnya menganggap kem-pentensi kultural seseorang terdiri atas kode-kode . . . . Skema konseptual mem-punyai eksistensi bebas sebelum adanya konfigurasi khusus binatang, setiap per-angkat kerabat yang nyata . . . . Tetapi, dalam gosip, peristiwa-peristiwa tidak ter-duga membentuk prinsip umum, karena semuanya ada di sana. Dalam gosip, dunia

26 Lihat Bateson (10) pada konsep prinsip-prinsip dormitive dalam ilmu sosial.

24 ANTROPOLOGI NO. 52

Page 58: Pangeran P.P.A. Nasution, S.Sos., M.A. Antropologi FISIP Univ. … AJAR TEORI... · 2016. 10. 6. · Antropologi lahir, bermula dari ketertarikan orang-orang Eropa yang melihat ciri-ciri

lebih dari sekedar skema dan kode-kodc ideal. . . Banyak dari kompetensi kultu-ral sang aktor terletak pada pengetahuan yang luas mengenai hal-hal yang mungkin terjadi, hal-hal kecil yang tidak saling berkaitan.

Pengamatan terhadap orang-orang yang bertingkah laku menurut aturan kul-tural mereka, melalui gosip, juga mem-perlihatkan kepada kita tentang ketololan kepercayaan kita bahwa budaya memberi perangkat aturan ideal yang digunakan kepada sejumlah orang, tempat, benda, dan peristiwa. Kemungkinan-kemungkinan kejadian dalam kehidupan membangun aturan-aturan baru, bahkan merubahnya aturan itu sepanjang waktu . . . . Dalam gosip, pemahaman seseorang tentang kode kultural tergantung pada setting tertentu, pada susunan pengalaman dan pengeta-huan masa lalu, yang relevan dengan pe-nerapan undang-undang dan standar ter-tentu terhadap fakta yang dihadapi (43, h.279-80).27

Apakah aktor manusia mengkonsepsikan "sistem" dengan cara yang sistimatik, dan menggunakan model umum ini untuk me-mandu tindakan dan pemahaman mereka da-lam suatu sosial yang konkret? Jika tidak, satu susunan umum model kompetensi kul-tural dalam jangka panjang akan kurang membantu kita untuk memahami performan dalam setting kehidupan nyata yang konkret. Ini masih merupakan tanda tanya.

Haviland sampai pada kesimpulan yang sama dengan Greetz, bahwa pada masa kini, hal yang terbaik bagi kita adalah berharap untuk menemukan pemahaman dan interpre-tasi, bukan prediksi dan eksplanasi. Selan-jutnya mungkin kita dapat memperoleh pe-ngetahuan yang paling penting tentang ba-gaimana manusia memahami, memandang,

" Dikutip atas izin dari disertasi Dr. Haviland (43) yang telah diperbaiki secara ekstensif untuk kepentingan penerbitan (sebagai buku).

dan bertindak dengan cara meneliti dunia tenomenologi yang paling dekat dan lang-sung, yaitu kehidupan sehari-hari yang nyata.

Kesimpulan

Saya kira kita perlu bekerja dari berbagai arah. Menginterpretasikan adu ayam di Bali dan gosip di Zinacantan memberi penjelas-an tentang kondisi manusia dari satu pers-pektif yang penting meskipun (atau, karena) apa yang memungkinkan kejadian itu ter-jadi, bagi ahli antropologi dan masyarakat setempat, tidak dapat dicatat dengan rapi. Pengkajian tentang upacara dan adaptasi eko-logi di New Guinea memberi penjelasan tentang sisi lain dari kondisi manusia. Kita mungkin akan kehilangan keterkaitan antara kedua sisi kehidupan manusia di atas jika kita tidak punya pandangan yang luas ten-tang sistem kompleksitas alam. Pada waktu yang sama, usaha-usaha untuk menetapkan budaya sebagai sistem ideasional dalam. kait-annya dengan pemahaman tentang pikiran dan otak, seharusnya memungkinkan peneli-tian yang lebih jelas terhadap organisasi pengalaman dan sifat kedalaman dari variasi dunia pemikiran manusia.

Menerima budaya sebagai satu subsis -tem ideasional didalam satu sistem yang luar biasa kompleksnya (biologis, sosial, dan simbolik), dan menurunkan model abstrak kita pada kekhususan-kekhususan yang kon-krit dari kehidupan sosial manusia, seha-rusnya memberi kemungkinan bagi dialek-tika untuk menghasilkan pengertian yang le-bih dalam. Apakah konsep tentang budaya akan direvisi secara cepat, diinterpretasikan secara radikal, atau hilang dengan cepat, dalam jangka panjang tidak begitu menjadi persoalan, selama konsep ini telah mendo-rong kita untuk menyelidiki pertanyaan-per-tanyaan strategis dan untuk melihat hubung-an-hubungan yang akan hilang.

ANTROPOLOGI NO. 52 25

Page 59: Pangeran P.P.A. Nasution, S.Sos., M.A. Antropologi FISIP Univ. … AJAR TEORI... · 2016. 10. 6. · Antropologi lahir, bermula dari ketertarikan orang-orang Eropa yang melihat ciri-ciri

Daftar Pustaka

1. Agar, M. 1973 Urban Heroin Addicts. New York: Seminar Press.

2. Alland, A. 1972 The Human Imperative. New York: Columbia University Press. 1972 Evolution and Human Behaviour. New York: Doubleday, 2nd. ed.

3. Arbib, M. 1973 The Metaphorical Brain. New York: Wiley.

4. Bailey, F. 1969 Stratagems and Spoils: A Social Anthropology of Politics. New York: Schocken.

5. Barnes, J.A. 1971 Three Styles in the Study of Kinship. London: Tavistock.

6. Barth, F 1966 Models of Social Organization. Royal Anthropological Institute. Occasional Pa-

pers 23.

7. Barth, F. 1966 Anthropological Models and Social Reality. Proc. Royal Society No. 165:

20-35.

8. Barth, F. 1967 On the Study of Social Change. American Anthropologist, No. 69: 661-69.

9. Bateson, G. 1972 Steps to an Ecology of Mind. Philadelphia: Intext.

10. Binford, L. 1968 Post-Pleistocene Adaptations. Dalam New Perspective in Archaelogy. ed. L.R.

Binford dan S.R. Binford. 313^2. Chicago: Aldine

11. Boon, J.A. 1972 From Symbolism to Structuralism: Levi-Strauss in Literary Tradition. Oxford:

Blackwell: New York: Harper and Row.

12. Boon, J.A. 1972 Further Operations of 'Culture' in Anthropology: A Synthesis of and for Debate.

Social Science Quarterly.

13. Bremermann, H.J. 1970 Principles of Natural and Artificial Intellegence. Dalam Principles and Prac

tice of Bionics, ed. H.E. Von Gierke, W.D. Keidel, H.L. Oestreicher. 425-46. Slough. England: Technivision.

26 ANTROPOLOG1 NO. 52

Page 60: Pangeran P.P.A. Nasution, S.Sos., M.A. Antropologi FISIP Univ. … AJAR TEORI... · 2016. 10. 6. · Antropologi lahir, bermula dari ketertarikan orang-orang Eropa yang melihat ciri-ciri

14. Chomsky, N. 1959 Review of Verbal Behavior by B.F. Skinner. Language 35: 26-59.

15. Craik, K.J.W. 1943 The Nature of Explanation. Cambridge: Cambridge University Press.

16. Dreyfus, H.L. 1972 What Computers Can't Do: A Critique of Artificial Reason. New York: Harper

and Row.

17. Frake, CO. 1964 A Structural Description of Subanun 'Religious Behavior'. Dalam Explorations

in Cultural Anthropology, ed. W.H. Goodenough. 111-29. New York: McGraw-Hill.

18. Freeman, J.D. 1970 Human Nature and Culture. Dalam Man and the New Biology ed. R.G. Slatyer

et. al. 50-75. Canberra: Australia National University Press.

19. Freilich, M. 1972 Manufacturing Culture: Man the Scientist. See Ret". 21, 267-323.

20. Freilich, M. 1972 The meaning of Culture: A Reader in Cultural Anthropology. Lexington, Mass:

Xerox Corp.

21. Geertz, C. 1957 Ritual and Social Change: A Javanese Example. American Anthropologist. 59: 991-

1012.

22. Geertz, C. 1962 The Growth of Culture and Evolution of Mind. Dalam Theories of the Mind,

ed. J. Scher, 713^0. Glencoe, III: Free Press.

23. Geertz, C. 1964 Ideology as a Cultural System. Dalam Ideology and Discontent, ed. D. Apter,

47-56. Glencoe III: Free Press.

24. Geertz, C. 1965 The Impact of the Concept of Culture on the Concept of Man. Dalam New

Views on the Nature of Man, ed. J.R. Platt, 93-118. Univ. Chicago Press.

25. Geertz, C. 1966 Religion as a Cultural System. Dalam Anthropological Approaches to the Study

of Religion, ed. M. Banton, 1-46. London: Tavistock.

26. Geertz, C. 1966 Person, Time, and Conduct in Bali: An Essay in Cultural Analysis. Yale South-

east Asia Program, Cult. Rep. Ser. No. 14.

ANTROPOLOG1 NO. 52 27

Page 61: Pangeran P.P.A. Nasution, S.Sos., M.A. Antropologi FISIP Univ. … AJAR TEORI... · 2016. 10. 6. · Antropologi lahir, bermula dari ketertarikan orang-orang Eropa yang melihat ciri-ciri

27 . G e e r t z , C . 1 9 6 7 T h e C e r e b r a l S a v a g e : O n t h e W o r l d o f C l a u d e L e v i - S l r a u s s . E n c o u n t e r 2 8 :

25- 32 .

28 . G e e r t z , C . 1972 D e e p P l a y : N o t e s o n t h e B a l i n e s e C o c k F i g h t . D a e d a l u s 1 0 1 : 1 - 3 7 .

29 . G e e r t z , C . 1973 T h e I n t e r p r e t a t i o n o f C u l t u r e . N e w Y o r k : B a s i c B o o k s .

30 . G e e r t z , C . C o m m o n S e n s e a s C u l t u r a l S y s t e m . A k a n d i t e r b i t k a n d a l a m A n t i o c h R e v i e w .

31 . G o o d e n o u g h , W . H . 1 9 5 7 C u l t u r a l A n t h r o p o l o g y a n d L i n g u i s t i c . D a l a m R e p o r t o f t h e S e v e n t h A n n u a l

R o u n d T a b l e M e e t i n g o n L i n g u i s t i c s a n d L a n g u a g e S t u d y , e d . P . G a r v i n . W a -s h i n g t o n D . C . : G e o r g e t o w n U n i v . M o n o g r . S e r . L a n g , a n d L i n g .

32 . G o o d e n o u g h , W . H . 1 9 6 1 C o m m e n t o n C u l t u r a l E v o l u t i o n . D a e d a l u s 9 0 : 5 2 1 - 2 8 .

33 . G o o d e n o u g h , W . H . 1963 C o o p e r a t i o n i n C h a n g e s . N e w Y o r k : R u s s e l l S a g e F o u n d .

34 . G o o d e n o u g h , W . H . e d , . 1964 I n t r o d u c t i o n t o E x p l o r a t i o n s i n C u l t u r a l A n t h r o p o l o g y , 1- 2 4 . N e w Y o r k : M c

G r a w - Hi l l .

35 . G o o d e n o u g h , W . H . 1970 D e s c r i p t i o n a n d C o m p a r i s o n i n C u l t u r a l A n t h r o p o l o g y . C h i c a g o : A l d i n e .

36 . G o o d e n o ug h , W . H . 1971 C u l t u r e , L a n g u a g e , a n d S o c i e t y . M c C a l e b M o d u l e i n A n t h r o p o l o g y . R e a d i n g ,

M a s s : A d d i s o n - W e s l e y .

37 . G r e g o r y , R . L . 1969 O n H o w L i t t l e I n f o r m a t i o n C o n t r o l s s o M u c h B e h a v i o r . D a l a m T o w a r d a T h e -

o r i t i c a l B i o l o g y , V o l . 1 , e d . C . H . W a d d i n g t o n . C h i c a g o : A l d i n e .

38 . G r e g o r y , R . L . 1970 I n f o r m a t i o n P r o c e s s i n g i n B i o l o g i c a l a n d A r t i f i c i a l B r a i n s . D a l a m P r i n c i p l e s a n d

P r a c t i c e o f B i o n i c s , c d . H . E . V o n G i e r k e , W . D . K e i d c l , H . L . O e s t r c i c h e r , 7 3 - 8 0 . S l o u g h , E n g l a n d : T e c h n i v i s i o n .

39 . H a r r i s , M . 1 9 6 4 T h e N a t u r e o f C u l t u r a l T h i n g s . N e w Y o r k : R a n d o m H o u s e .

40 . H a r r i s , M . 1 9 6 8 T h e R i s e o f C u l t u r a l T h e o r y . N e w Y o r k : C r o w e l l .

28 ANTROPOLOG1 NO. 52

Page 62: Pangeran P.P.A. Nasution, S.Sos., M.A. Antropologi FISIP Univ. … AJAR TEORI... · 2016. 10. 6. · Antropologi lahir, bermula dari ketertarikan orang-orang Eropa yang melihat ciri-ciri

41. Harris, M. 1969 Monistic Determinism: Anti Service. Southwestern Journal Anthropology, 25.2:

198-206.

42. Haviland, J.B. 1972 Gossip, Gossips, and Gossiping in Zinacantan. PhD. thesis. Harvard Univ.

Cambridge, 281 pp.

43. Hewes, G.W. 1973 Primate Communication and the Gestural Origin of Language. Current Anthro

pology, 14: 5-24.

44. Holloway, R.J Jr. 1969 Culture: a Human Domain. Current Anthopology 10: 395^407.

45. Homans, G.C. 1967 The Nature of Social Science. New York: Harcourt, Brace & Jovanovitch.

46. Keesing, R.M. 1970 Toward a model of role analysis. A Handbook of Method in Cultural Anthopo

logy. ed. R. Naroll, R. Cohen, 423-53. Garden City, New York: Natural History Press.

47. Keesing, R.M. 1972 Paradigms Lost: The New Ethnography and the New Linguistics. Southwestern

Journal Anthropology. 28: 299-332.

48. Keesing, R.M. 1974 Transformational Lingusitics and Structural Anthropology. Cultural Hermeneu-

tics. Dalam penerbitan.

49. Keesing, R.M., Keesing, F.M. 1971 New Perspectives in Cultural Anthropology. New York: Holt, Rinehart &

Winston.

50. Laing, R. 1972 Artificial Organisms and Autonomous Cell Rules. Journal ofCynbernetics 2, 1.

51. Lakofff, G. 1971 Presupposition and Relative Well-Formedness. Dalam Semantics: An Interdis-

ciplinary Reader, ed. L. Jakobovits, D.Steinberg, 329^00. Cambridge Univ. Press.

52. LeVine, R.A. 1973 Culture, Behaviour, and Personality. Chicago: Aldine.

53. Levi-Strauss, C. 1971 Mythologiques, IV: L'homme Nu. Paris: Plon.

ANTROPOLOGI NO. 52 29

Page 63: Pangeran P.P.A. Nasution, S.Sos., M.A. Antropologi FISIP Univ. … AJAR TEORI... · 2016. 10. 6. · Antropologi lahir, bermula dari ketertarikan orang-orang Eropa yang melihat ciri-ciri

54 . M a c K a y , D . M . 1970 D i g i t s a n d A n a l o g u e s . S e e R e t ' . 3 9 , 4 5 9 - 6 6 .

55. M e g g e r s , B . J . 1971 A m a z o n i a : M a n a n d N a t u r e i n a C o u n t e r f e i t P a r a d i s e . C h i c a g o : A l d i n e .

56. M e t z g e r , D . , W i l l i a m s , G . 1 9 6 3 A F o r m a l E t h n o g r a p h i c A n a l y s i s o f T e n e j a p a L a d i n o W e d d i n g s . A m e r i c a n

Anthropologist. 65: 1072- 1101.

57. Miller, G.A. 1970 Four Philosophical Problems of Psycholinguistics. Phil.Sci. June: 183-99.

58. Montagu, M.F.A., Ed. Culture: Man's Adaptive Dimension. London: Oxford Univ. Press.

59. Newell, A. 1970 Remarks on the Relationship between Artificial Intelligence and Cognitive Psy-

chology. Dalam Theoretical Approaches to Non-Numerical Problem Solving, ed. R. Banerji, D. Mesarovic. Berlin: Springer-Verlag.

60. Norman, D.A., Ed. 1970 Models of Human Memory. New York: Academic.

61. Piaget, J. 1970 Piagefs Theory. In Carmichael's Manual of Child Psychology, ed. P.H. Mussen,

I: 803-32. New York: Wiley. 3rd ed.

62. Popper, K.A. 1961 The Poverty of Historicism. London: Routledge and Kegan Paul.

63. Pribram, K.H., Broadbent, D.E., Eds. 1970 Biology of Memory. New York: Academic.

64. Rappaport, R. 1967 Pigs for the Ancestors: Ritual in the Ecology of a New Guinea People. New

Haven: Yale Univ. Press.

65. Rappaport, R. 1971 Ritual, Sanctity and Cybernetics. American Anthropologist, 73: 59-76.

66. Rappaport, R. 1971 The Sacred in Human Evolution. Annual Review Ecological System. 2: 22-44.

67. Rappaport, R. 1971 Nature, Culture, and Ecological Anthropology. Dalam Man, Culture and So-

ciety, ed. H. Shapiro, 237-67.

68. Rosch, E. 1974 Universals and Cultural Spesifics in Human Categorization. Dalam Cross-

30 ANTROPOLOGI NO. 52

Page 64: Pangeran P.P.A. Nasution, S.Sos., M.A. Antropologi FISIP Univ. … AJAR TEORI... · 2016. 10. 6. · Antropologi lahir, bermula dari ketertarikan orang-orang Eropa yang melihat ciri-ciri

Cultural Perspectives on Learning, cd. R. Brcslin, W. Lonner, S. Bochner. New York: Sage.

69. Rylc, G. 1949 The Concept of Mind. New York: Barnes and Noble.

70. Schneider, D. 1968 American Kinship: A Cultural Account. Englewood Cliffs, New York: Prentice-

Hall.

71. Schneider, D. 1972 What is Kinship All About? Dalam Kinship Studies in the Morgan Memorial

Year. ed. P. Reinig, 32-63. Washington, D.C: Anthropol. Soc. Washington.

72. Schneider, D. Smith, R. 1973 Class Difference and Sex Roles in American Kinship. Engelwood Cliffs. N. J.:

Prentice-Hall.

73. Schuh, J.F. 1969 What a Robot Can and Cannot Do. Dalam Survey of Cybernetics: A Tribute

to Norbert Weiner, ed. J. Rose, 29^6. New York: Gordon and Breach.

74. Service, E.R. 1968 The Prime Mover of Cultural Evolution. Southwestern Journal of Anthropology

24, 4: 396- 409.

75. Singer, M. 1968 Culture International Encyclopedia Social Sciences 3: 527—43.

76. Spradley, J.P. 1970 You Owe Yourself a Drunk: An Ethnography of Urban Nomads. Boston: Little,

Brown.

77. Spradley, J.P. 1972 Foundations of Cultural Knowledge. Dalam Culture and Cognition: Rules,

Maps, and Plans, ed. J.P. Spradley, 3-40. San Francisco: Chandler. 400 pp.

78. Tulving, E. Donaldson. 1972 Organization of Memory. New York: Academic.

79. Tyler, S.A. 1969 Introduction. Dalam Cognitive Anthropology, cd. S.A. Tyler, 1-23. New York:

Holt, Rinehart, and Winston.

80. Vayda, A.P., Rappaport, R.A. 1968 Ecology, Cultural and Noncultural. Dalam Introduction to Cultural Anthropol-

ogy, ed. J.A. Clifton, 477-97. Boston: Houghton Mifflin.

ANTROPOLOGI NO. 52 31

Page 65: Pangeran P.P.A. Nasution, S.Sos., M.A. Antropologi FISIP Univ. … AJAR TEORI... · 2016. 10. 6. · Antropologi lahir, bermula dari ketertarikan orang-orang Eropa yang melihat ciri-ciri

81. Von Foerstcr, H. 1972 Rcsponsibililics of Competence. Journal Cybernetics 2, 2: 1-6.

82. Wallace, A.F.C. 1965 "Driving lo Work". Dalam Context and Meaning in Cultural Anthropology, ed.

M.E. Spiro. Glcncoc, 111.: Free Press.

83. Wallace, A.F.C. 1970 Culture and Personality. New York: Random House. 2nd ed.

84. Walter, W.G. 1969 "Neurocybernetics: Communication and Control in the Living Brain". Dalam

Survey of Cybernetics, ed. J. Rose. London: Gordon and Breach.

32 ANTROPOLOG1 NO. 52

Page 66: Pangeran P.P.A. Nasution, S.Sos., M.A. Antropologi FISIP Univ. … AJAR TEORI... · 2016. 10. 6. · Antropologi lahir, bermula dari ketertarikan orang-orang Eropa yang melihat ciri-ciri

127Marzali, Struktural-Fungsionalisme

Struktural-Fungsionalisme1

Amri Marzali

(Universitas Indonesia)

Abstract

This article deals with the concepts of function and social structure, developed by twoleading figures in British Social Anthropology, Radcliffe -Brown and Malinowski, before theSecond World War. In this article, the author distinguishes Malinowski’s concept of functionfrom Radcliffe -Brown’s, delineates Radcliffe-Brown’s concept of social-structure and Evans-Pritchard’s review of this concept. This article particularly intends to help the Indonesiastudents to study anthropological theory in their own language.

Key words: organicanalogy; social structure; institution; ideographic method.

PendahuluanSelama beberapa dasawarsa yang lalu, teori

struktural-fungsionalisme telah merajai kajianantropologi dan sosiologi di Dunia Barat,sehingga Kingsley Davis berani mengatakanbahwa struktural-fungsionalisme adalah samadan sebangun dengan antropologi dansosiologi (Davis 1959). Di Inggris, teori inimencapai puncak pencapaiannya dalamdasawarsa 1930 dan 1950, dalam masa manastruktural-fungsionalisme dikatakan sebagaiidentik dengan British Social Anthropology.Pelopornya yang terkenal di sana adalahRadcliffe-Brown (R-B) dan Malinowski. DariInggris, pendekatan ini dibawa oleh pelopor-nya, R-B, menyeberang ke Amerika dandiperkenalkan ke Jurusan Sosiologi danAntropologi di Chicago University. Dua di

antara pengikutnya yang terkenal di universi-tas itu pada masa itu adalah Fred Eggan danRobert Redfield. Teori ini di Amerika mencapaipuncak kejayaannya pada tahun 1950-an,ketika Talcott Parsons mengembangkannyadalam bentuk yang lebih canggih dan kompleksdi Department of Social Relations, HarvardUniversity. Namun demikian, sejak akhir 1960an,teori ini mulai mendapat banyak kritikan yangkeras dan tajam, dan dari situ muncul teori-teorisosiologi baru yang dianggap lebih canggih.Di Inggris, berdasarkan atas kritik terhadap teoriini, para ahli antropologi telah mengembangkanteori action, sedangkan di Amerika telahberkembang antara lain teori fenomenologi danteori simbolik.

SejarahStruktural-fungsionalisme lahir sebagai

reaksi terhadap teori evolusionari. Jika tujuandari kajian-kajian evolusionari adalah untukmembangun tingkat-tingkat perkembangan

1 Tulisan ini merupakan penerbitan ulang artikel yangsama dari Jurnal ANTROPOLOGI INDONESIA vol.XXI, no. 52, 1997, hlm. 33–43.

Page 67: Pangeran P.P.A. Nasution, S.Sos., M.A. Antropologi FISIP Univ. … AJAR TEORI... · 2016. 10. 6. · Antropologi lahir, bermula dari ketertarikan orang-orang Eropa yang melihat ciri-ciri

128 ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 30, No. 2, 2006

budaya manusia, maka tujuan dari kajian-kajianstruktural-fungsionalisme adalah untukmembangun suatu sistem sosial, atau struktursosial, melalui pengajian terhadap polahubungan yang berfungsi antara individu-individu, antara kelompok-kelompok, atauantara institusi-institusi sosial di dalam suatumasyarakat, pada suatu kurun masa tertentu.Jadi pendekatan evolusionari lebih bersifathistoris dan diakronis, sedangkan pendekatanstruktural-fungsional lebih bersifat statis dansinkronis. Struktural-fungsional adalahpenggabungan dari dua pendekatan, yangbermula dari pendekatan fungsional Durkheim,kemudian digabungkan dengan pendekatanstruktural R-B. Karena itu untuk memahamipendekatan struktural-fungsional, orang harusmelihat dulu sejarah perkembangan pendekatanfungsional.

Pendekatan FungsionalMeskipun eksplanasi secara fungsional

dalam kajian-kajian sosial telah terlihat dalamkarya-karya Spencer dan Comte, namunDurkheimlah yang telah meletakkan dasarnyasecara tegas dan jelas. Peranan Durkheim inidiakui secara eskplisit oleh R-B. Durkheimsecara jelas mengatakan bahwa fenomenasosial seharusnya diekpslain melalui duapendekatan pokok yang berbeda, yaitupendekatan historis dan pendekatan fung-sional. Analisa fungsional berusaha menjawabpertanyaan mengapa suatu item-item socialtertentu mempunyai konsekuensi tertentuterhadap operasi keseluruhan sistem sosial.Sementara itu analisa historis berusahamenjawab mengapa item sosial tersebut, bukanitem-item sosial yang lain, secara histories yangmempunyai fungsi tersebut.

Para peneliti sosial, kata Durkheim, harusdapat mengkombinasikan penelitian untukmencari asal-usul dan sebab (pendekatanhistoris), di satu pihak, dan penentuan

fungsifungsi dari suatu fenomena sosial(pendekatan fungsional), di pihak lain. Kitaharus menentukan apakah ada satu hubunganantara kenyataan sosial yang diteliti dengankebutuhan umum organisme sosial. Kalau ada,maka hubungan tersebut terdiri dari hal-hal apasaja, dan bagaimana prosesnya sehinggahubungan berfungsi tersebut terjadi. Pen-dekatan fungsional dalam antropologi sosialdipelopori oleh dua orang sarjana Inggris yanghidup sezaman, yaitu R-B dan Malinowski.Meskipun kedua mereka ini sama-samadipengaruhi oleh Durkheim, namun penafsirandan pengembangan mereka atas konsep fungsiadalah berbeda satu sama lain. R-B menolaksetiap penggunaan konsep fungsi yang tidakdikaitkan dengan struktur sosial, karena itulahpendekatan dasarnya adalah kombinasi darikedua konsep tersebut: fungsi dan struktursosial, yang kemudian dikenal dengan namastruktural-fungsionalisme. R-B dengan tegasmembedakan konsep fungsionalnya darikonsep fungsional Malinowski. Bagi R-B fungsiadalah “kontribusi yang dimainkan oleh sebuahitem sosial, atau sebuah institusi sosial,terhadap kemantapan suatu struktur sosial”.Sementara itu Malinowski melihat “fungsi”sama seperti “guna”, yang dikaitkan dengankebutuhan psikologis dan biologis manusia.Fungsi dari sebuah item sosial, atau sebuahinstitusi sosial, menurut Malinowski, adalah“kegunaan dari institusi tersebut dalammemenuhi kebutuhan psiko-biologis individu-individu anggota sebuah masyarakat”. Dibawah ini akan kita bahas perbedaanpandangan kedua ahli antropologi Inggris inisecara lebih rinci.

Teori Radcliffe-BrownKata R-B, peneliti sosial tidak pernah

melihat “hubungan sosial”, “norma”,“masyarakat”, dan “budaya”. Yang nyataterlihat dalam mata peneliti sosial adalah

Page 68: Pangeran P.P.A. Nasution, S.Sos., M.A. Antropologi FISIP Univ. … AJAR TEORI... · 2016. 10. 6. · Antropologi lahir, bermula dari ketertarikan orang-orang Eropa yang melihat ciri-ciri

129Marzali, Struktural-Fungsionalisme

perilaku manusia. Melalui proses pengelompok-an, pengklasifikasian, penggolongan, dangeneralisasi (abstraksi), kenyataan-kenyataanmengenai perilaku manusia tersebut terbentukmenjadi konsep. Jadi “hubungan sosial”,“masyarakat”, “norma”, dan “budaya” adalahkonsep-konsep yang lahir dari abstraksiterhadap kenyataan perilaku manusia.

Persoalan muncul ketika peneliti sosialmencoba menghubungkan jurang antarakenyataan dan konsep. Apakah yang di-perlukan? Kata R-B, yang diperlukan adalahmodel. Dalam konsep “struktural-fungsi-onalisme” model yang dapat digunakan adalahmodel organisme tubuh manusia. Dalam modelini, R-B mengumpamakan sebuah masyarakatsebagai sebuah organisme lubuh manusia, dankehidupan sosial adalah seperti kehidupanorganisme tubuh tersebut.

Satu organisme tubuh terdiri dari sekum-pulan sel dan cairan yang tersusun dalam suatujaringan hubungan, sedemikian rupa, sehinggamembentuk sebuah keseluruhan kehidupanyang terintegrasi. Susunan hubungan antaraunit-unit dalam organisme tersebut, atau sistemhubungan yang mengikat keseluruhan unit,disebut struktur dari organisme tersebut. Se-panjang hidupnya organisme tubuh ini men-jaga kesinambungan strukturnya. Meskipunselama perjalanan hidup organisme ini terjadipergantian sel, bagian, dan cairan tertentu,namun susunan hubungan antar unit tetapsama. Jadi struktur dari organisme tubuhtersebut relatif tidak berubah.

Proses pembinaan kesinambungan strukturini disebut proses kehidupan, yaitu kegiatandan interaksi antara unit -unit dalam organisme,sedemikian rupa, sehingga unit-unit tersebuttetap bersatu. Adanya proses kehidupanmenjadi tanda dari berfungsinya strukturorganisme tersebut. Jadi fungsi dari sebuahunit sel adalah peranan yang dimainkan, ataukontribusi yang diberikan, oleh unit sel tersebut

bagi kehidupan organisme secara keseluruhan.Fungsi perut, misalnya, adalah untuk mengolahmakanan menjadi zat-zat kimia tertentu yangkemudian dialirkan oleh darah ke seluruh tubuhsehingga menjamin kehidupan tubuh tersebut.

Sekarang mari kita terapkan model or-ganisme tubuh ini terhadap masyarakat. Ambilcontoh sebuah masyarakat dusun di Jawa.Dalam sebuah masyarakat dusun kita mengenaladanya struktur sosial. Unitnya adalahindividu-individu warga dusun tersebut.Mereka berhubungan satu sama lain dalam satupola hubungan yang diatur oleh norma-normahubungan sosial, sedemikian rupa, sehinggamasyarakat dusun tersebut membentuk sebuahkeseluruhan yang terintegrasi. Susunanhubungan sosial yang sudah mapan antarawarga dusun itu disebut struktur sosialmasyarakat dusun tersebut.

Kesinambungan struktur masyarakat dusuntidak rusak oleh adanya warga yang meninggal,lahir, atau pindah. Karena kesinambungantersebut dijaga oleh proses kehidupan sosialatau kegiatan dan interaksi antarwarga dusun.Jadi kehidupan sosial adalah struktur sosialyang berfungsi atau bekerja. Fungsi dari setiapkegiatan warga desa yang berulang-ulangadalah peranan yang dimainkannya dalamkehidupan masyarakat dusun secara ke-seluruhan, atau kontribusi yang diberikannyauntuk pembinaan kesinambungan strukturmasyarakat dusun tersebut. Di sinilah kitamelihat bahwa konsep “fungsi” tidak dapatdipisahkan dari konsep “struktur”.

Konsep Struktur SosialBila kita berbicara mengenai struktur berarti

kita mengacu kepada semacam susunanhubungan antara komponen-komponen.Musik, kalimat, gedung adalah sama sepertitubuh manusia, yaitu memiliki komponen-komponen yang saling berhubungan, jadimereka memiliki struktur.

Page 69: Pangeran P.P.A. Nasution, S.Sos., M.A. Antropologi FISIP Univ. … AJAR TEORI... · 2016. 10. 6. · Antropologi lahir, bermula dari ketertarikan orang-orang Eropa yang melihat ciri-ciri

130 ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 30, No. 2, 2006

Masyarakat sebagai sebuah struktur sosialterdiri atas jaringan hubungan sosial yangkompleks antara anggota-anggotanya. Satuhubungan sosial antara dua orang anggotatertentu pada suatu waktu tertentu, di tempattertentu, tidak dipandang sebagai satuhubungan yang berdiri sendiri, tetapi merupakanbagian dari satu jaringan hubungan sosial yanglebih luas, yang melibatkan keseluruhan anggotamasyarakat tersebut. Hubungan kedua orang diatas harus dilihat sebagai bagian dari satustruktur sosial. Inilah prinsip dan objek kajianilmu sosial, menurut R-B.

Individu-individu yang menjadi komponendari sebuah struktur sosial bukanlah dilihat darisudut biologis, yaitu yang terdiri dari sel-seldan cairan, tetapi sebagai person yangmenduduki posisi, atau status, di dalam struktursosial tersebut. Orang sebagai organismebiologis, yang terdiri dari sel-sel dan cairan,tidak menjadi perhatian utama ilmu sosial. Yangdiperhatikan ilmu sosial adalah orang sebagaistatus sosial; orang berhubungan dengan or-ang lain dalam kapasitasnya sebagai sebuahstatus sosial, misalnya sebagai ayah, ibu,buruh, majikan, penjual, pembeli, dan seterusnya.

Perbedaan di dalam status sosial menentu-kan bentuk hubungan sosial, dan karena itu

mempengaruhi struktur sosial. Di dalammasyarakat tradisional, status para anggotanyaterutama dibedakan menurut jenis kelamin (sta-tus sosial pria berbeda dari status sosialwanita), tingkatan umur (orang tua berbeda darianak muda), dan hubungan kekerabatan (ibu,ayah, anak, saudara adalah berbeda dari “or-ang lain”). Karena itu perilaku seorang priaketika berhubungan dengan pria lain adalahberbeda dengan ketika dia berhubungandengan seorang wanita, perilaku seorang tuaterhadap seorang tua yang lain adalah berbedadari perilakunya terhadap seorang muda, danseterusnya.

Dengan memahami konsep “fungsi”,“struktur”, dan “proses sosial”, kita akansampai kepada tiga perangkat masalah sosial,kata R-B. Masalah tersebut adalah yangberhubungan dengan: “morfologi sosial”,“fisiologi sosial”, dan “perkembangan struktursosial”.

Dalam masalah yang berhubungan denganmorfologi sosial (bentuk-bentuk struktursosial) peneliti sosial menghadapi kenyataantentang variasi dan aneka warna struktur sosial.Ada struktur sosial masyarakat Minangkabau,yang berbeda dari struktur sosial masyarakatJawa, berbeda dari struktur sosial masyarakat

Organisme Biologi Organisasi Sosial

UnitStrukturKegiatanFungsi

Sel-selHubungan antarselPerilaku sel-sel yang nyata terlihatPeranan kegiatan-kegiatan dalammembina/menjaga struktur ataukesesuaian antara efek dari kegiatandan kebutuhan dari struktur organismebiologis

Individu-individu manusiaHubungan antarmanusiaPerilaku manusia yang nyata terlihatPeranan kegiatan-kegiatan dalammembina/menjaga struktur ataukesesuaian antara efek dari kegiatandan kebutuhan dari struktur organismebiologis.

Diagram 1Fungsi dan Struktur

Page 70: Pangeran P.P.A. Nasution, S.Sos., M.A. Antropologi FISIP Univ. … AJAR TEORI... · 2016. 10. 6. · Antropologi lahir, bermula dari ketertarikan orang-orang Eropa yang melihat ciri-ciri

131Marzali, Struktural-Fungsionalisme

Dayak, seterusnya berbeda lagi dari struktursosial masyarakat Bugis, dan seterusnya. Tugasseorang peneliti sosial adalah membanding-bandingkan berbagai struktur sosial tersebut,sedemikian rupa, sehingga dia dapat membuatklasifikasi tipe-tipe struktur sosial. Tipe-tipe iniakan menjadi pedoman bagi para peneliti untukmenilai sebuah struktur sosial.

Di dalam masalah yang berhubungandengan fisiologi sosial, tugas seorang penelitiadalah mendeskripsikan fungsi struktur sosial:bagaimana sistem sebuah struktur sosialbekerja , mekanisme apa yang menjaga jaringanhubungan sosial tetap hidup, dan bagaimanamekanisme itu bekerja. Dalam masalah fisiologisosial ini peneliti tidak hanya memperhatikanstruktur sosial, tetapi juga setiap institusi sosial(seperti agama, ekonomi, politik, pemerintahan),dan kemudian mengkaji hubungan institusi-institusi ini dengan struktur sosial.

Terakhir, dalam masalah yang berhubungandengan perkembangan struktur sosial, penelitimengkaji sejarah asal-mula terbentuknyasebuah struktur sosial.

Prinsip pendekatan ilmiah R-BR-B memandang antropologi sosial sebagai

cabang dari ilmu IPA (Ilmu Pasti-Alam/ Sci-ence). Ilmu Antropologi sosial mendekati objekpenelitiannya, yaitu masyarakat, denganmetode ilmiah yang sama seperti yangdigunakan oleh ilmu fisika dan ilmu alam. Beliaumenyebut antropologi sosial sebagai compara-

tive sociology, karena antropologi sosial adalah“the comparative theoretical study of forms ofsocial life amongst primitive peoples”.

Sama seperti ilmu pengetahuan alam, logikadan metode ilmiah antropologi sosial adalahbersifat nomothetic, yang tujuan akhirnyaadalah mencari generalisasi dan hukum(ketentuan umum). Berlawanan denganpendekatan ilmiah ilmu pengetahuan alamadalah pendekatan sejarah atau biografi, yangbersifat idiographic, yang kerjanya adalahmenelurkan pernyataan-pernyataan tentangfakta atau hal-hal yang khusus. Atau,mengambil istilah yang lebih populer,pendekatan nomothetic lebih menekankaneksplanasi kausal-fungsional, sedangkanpendekatan idiografik lebih menekankandeskripsi.

Teori MalinowskiApabila R-B lebih tertarik meninjau individu

sebagai person yang menduduki statustertentu di dalam sebuah struktur sosial, makaMalinowski lebih memperhatikan individusebagai sebuah realitas psiko-biologis di dalamsebuah masyarakat (kebudayaan). Malinowskilebih menekankan aspek manusia sebagaimakhluk psiko-biologis yang mempunyaiseperangkat kebutuhan psikologis dan biologisyang perlu dipenuhi. Selanjutnya, berbeda dariR-B yang tertarik dan menganggap pentingstruktur sosial, Malinowski lebih tertarikkepada “budaya” atau culture.

Nomothetic Idiographic

Synchronic

Diachronic

Sociology SocialAnthropology Social HistoryHistorical Sociology

Ethnography

History

Diagram 2Metode Nomothetic dan Idiographic

Page 71: Pangeran P.P.A. Nasution, S.Sos., M.A. Antropologi FISIP Univ. … AJAR TEORI... · 2016. 10. 6. · Antropologi lahir, bermula dari ketertarikan orang-orang Eropa yang melihat ciri-ciri

132 ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 30, No. 2, 2006

Bagi Malinowski, dalam rangka memenuhikebutuhan psiko-biologis individu dan menjagakesinambungan hidup kelompok sosial,beberapa kondisi minimum harus dipenuhi olehindividu-individu anggota kelompok sosialtersebut. Kondisi minimum tersebut terdiri dari7 kebutuhan pokok, yaitu nutrition, reproduc-tion, bodily conforts, safety, relaxation, move-ment, dan growth. Semua kegiatan yangdilakukan oleh individu adalah dalam rangkamemenuhi ketujuh kebutuhan pokok di atas.

Di bawah ini dikutipkan bagaimana fungsibudaya dalam memenuhi 7 kebutuhan pokokmanusia yang dikutip dari Malinowski, “TheGroup and the Individual in Functional Analy-sis”, dalam American Journal of Sociology 44(1939).

Namun demikian, kegiatan untuk memenuhikebutuhan pokok tersebut tidaklah langsungdilakukan begitu saja sebagaimana halnyadengan binatang, tetapi telah “dimodified”oleh pengaruh-pengaruh sosial. Dalam rangkauntuk memenuhi kebutuhan nutri t ion(makanan) misalnya, manusia tidak begitu sajamemukan apa yang dilihatnya, dengan carasemaunya. Manusia akan memilih di antarabenda-benda yang dapat dimakan; ada yangditolak dan ada yang diterima, ada yang lebihdisukai dan ada yang kurang disukai, ada yangdianjurkan dan ada yang dilarang, danseterusnya. Begitu juga, manusia tidak hanyamemakan apa yang disediakan alam, tetapisebagian diproduksi. Sebagian dari makananitu dimasak sedangkan yang lain dimakanmentah, dan seterusnya. Manusia tidaklangsung makan begitu mereka lapar; tetapi adawaktu tertentu yang ditetapkan untuk itu. Jadisingkatnya, manusia dilatih untuk makanmakanan tertentu, pada waktu tertentu, dengancara tertentu, dan seterusnya.

Jadi tingkah laku manusia dalam memenuhikebutuhan akan makanan tersebut telahterbentuk oleh cara-cara yang lazim sesuai

dengan adat kelompok mereka, sesuai denganagama mereka, sesuai dengan kelas sosialmereka, dan seterusnya. Kelompok, golongan,dan kelas sosial telah membentuk pilihan seleraindividu, tabu makanan, nilai simbolik dan nilaigizi makanan, dan gaya dan cara makan. Polakegiatan yang telah terbentuk seperti itudisebut “kegiatan kultural”, yaitu kegiatan yangtelah “di-modified”, telah “di-molded”, olehadat kebiasaan yang hidup dalam lingkunganmasyarakatnya.

Jadi “budaya” (culture), pada tingkatpertama, adalah alat atau “instrumen”; alatyang muncul dalam rangka memenuhikebutuhan psiko-biologis manusia. Itulahfungsi dari budaya. Itulah terutama acuan darikonsep “fungsi” dalam pengertian Malinowski.

Budaya sebagai alat adalah bersifat condi-tioning, yaitu memberikan batasan-batasanterhadap kegiatan manusia. Budaya, melaluilatihan, ajaran, nilai, dan seterusnya, “me-modified” kegiatan manusia.

Budaya, dengan demikian, telah menghasil-kan manusia-manusia dengan pola tingkah lakuyang khas. Karena itu pola tingkah laku yangkhas ini tidak akan dapat dipahami kalaupeninjauan hanya dilakukan dari sudutfisiologis. Pola tingkah laku manusia harusdikaji melalui pembahasan terhadap penentu-penentu kebudayaan: bagaimana prosespembentukan pola tingkah laku tersebut,proses pembatasannya, dan proses pencetak-annya. Jadi, tingkah laku kebudayaan (culturalbehavior) adalah pelaksanaan, penyesuaian,dan penerapan aturan organisasi sosial, nilai,adat, ide, kepercayaan, dan seterusnya.

Dalam bentuk yang lebih kongkrit, budaya,kata Malinowski, adalah mencakup “. . . inher-ited artifacts, goods, technical processes, ideas,habits and values”. Organisasi sosial jugatermasuk ke dalam budaya, karena dia tidakdapat dipahami tanpa memandangnya sebagaiproduk dari tingkah laku kebudayaan.

Page 72: Pangeran P.P.A. Nasution, S.Sos., M.A. Antropologi FISIP Univ. … AJAR TEORI... · 2016. 10. 6. · Antropologi lahir, bermula dari ketertarikan orang-orang Eropa yang melihat ciri-ciri

133Marzali, Struktural-Fungsionalisme

aBasic Needs(individual)

bDirect

ResponsesResponses(Organized,

i.e. collective)

cInstrumental

needs

dResponses toInstrumental

needs

eSymbolic and

integrativeneeds

fSystems of

Thought andFaith

Nutrition(metabolism)

Commissariat Renewal ofculturalapparatus

Economics Transmissionof experienceby means ofprecise,consistentprinciples

Knowledge

Reproduction Marriage andfamily

Bodilyconforts

Domicile anddress

Charters ofbehavior andtheirsanctions

Social control

Safety Protectionand defense

Means ofintellectual,emotional,and pragmaticcontrol ofdestiny andchance

Magic religion

Relaxation Systems ofplay andresponse

Renewal ofpersonnel

Education

Movement Set activitiesand systemsof communi-cation

Growth Training andapprenticeship

Organizationof force andcompulsion

Politicalorganization

Communalrhythm ofrecreation.exercise andrest

Artsportsgamesceremonial

Diagram 3Synoptic Survey of Biological and Derived Needs and Their Satisfaction in Culture

Page 73: Pangeran P.P.A. Nasution, S.Sos., M.A. Antropologi FISIP Univ. … AJAR TEORI... · 2016. 10. 6. · Antropologi lahir, bermula dari ketertarikan orang-orang Eropa yang melihat ciri-ciri

134 ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 30, No. 2, 2006

Meskipun secara formal definisi budayadari Malinowski tidak jauh berbeda dari definisiTylor, yang berbunyi “that complex wholewhich includes knowledge, belief, art, law, mor-als, customs and all other capabilities and hab-its acquired by man as a member of society”,namun dalam penerapannya Malinowski adalahlebih maju yang lebih sistematik.

Pertama, Malinowski mengacukan konsepbudaya terhadap mikrokosmos masyarakattribe (masyarakat sederhana, small scale, iso-lated, illiterate, “primitif”, dan seterusnya),yaitu suatu masyarakat yang unsur-unsurnya(komponen-komponennya) berfungsi sebagaisebuah keseluruhan yang terintegrasi (the func-tioning whole). Konsepsi yang melihat budayadari sebuah masyarakat tribe sebagai sebuahkeseluruhan yang terintegrasi adalah sebuahpemikiran baru dalam ilmu antropologi 1920-an. Dalam hal ini pandangan Malinowskibertemu dengan pandangan R-B. Daripandangan yang seperti inilah kemudian kitamengenal istilah seperti, misalnya, “budayaMinangkabau”, “budaya Jawa”, “budayaJepang”, dan seterusnya. Tylor, sebelumnya(1877), melihat budaya sebagai satu konsepdengan acuan pengertian yang bersifat univer-sal. Budaya, menurut Tylor, adalah setiap “ca-pability” dan “habit” manusia yang diperolehmelalui proses sosialisasi dalam masyarakat.Budaya menurut pengertian Tylor ini disebut“Budaya/Culture” (dengan huruf besar),sedangkan budaya menurut pengertian R-Bdan Malinowski disebut “budaya/culture”(dengan huruf kecil).

Kedua, Malinowski menekankan betapapentingnya mengkaji fungsi, atau guna, dariunsur-unsur suatu budaya terhadap budayamasyarakat tersebut secara keseluruhan. Jadidi sini Malinowski juga mengacukan konsepfungsi terhadap suatu sistem, bukan hanyaterhadap pemenuhan atas kebutuhanpsikobiologis manusia. Unsur-unsur penting

dari budaya sebuah masyarakat adalah,misalnya sistem politik, sistem ekonomi, sistemkepercayaan, dan sistem kekerabatan. Dalamhal ini, Malinowski menekankan betapapentingnya meneliti fungsi dari suatu sistemlersebut di atas bagi keutuhan kerja masyarakat/budaya secara keseluruhan. Fakta-faktaantropologis, kata Malinowski, hams dieksplainmenurut fungsinya, yaitu peranan yangdimainkan oleh fakta tersebut dalam menjagasistem masyarakat/kebudayaan satu keseluruh-an yang terintegrasi.

Ketiga, sebagaimana ahli-ahli psikologi dansosiologi zaman itu, Malinowski juga tertarikpada persoalan perbedaan antara warisansosiologis dan biologis, dan Malinowskiberanggapan bahwa budaya adalah warisansosiologis, bukan warisan biologis. Dengandemikian, Malinowski menolak konsepsideterminisme ras, yang mengatakan bahwaperilaku manusia ditentukan oleh turunanbiologisnya. Sebaliknya, dia berpendapatbahwa perilaku manusia diturunkan secarasosial antar generasi; lingkungan sosiallahyang membentuk perilaku manusia. Warisansosial ini merupakan kekuatan-kekuatan yangmempengaruhi dan membentuk personalitisetiap individu yang lahir ke dalam masyarakattersebut. Kekuatan-kekuatan tersebut antaralain adalah kepercayaan atau agama, adat-adattradisional, struktur sosial, dan seterusnya.Warisan kebudayaan adalah konsep kuncidalam antropologi kebudayaan, kataMalinowski.

Dalam buku Sex and Repression in SavageSociety (1927), Malinowski mempertentangkandasar instinctive kebinatangan dalamperkawinan dan memproduksi keturunan(warisan biologis) dengan bentuk-bentukikatan sosial, aturan-aturan hukum perkawinan,dan kepercayaan dan upacara yang menge-lilingi proses perkawinan tersebut (warisansosial). Dalam memenuhi dorongan dan emosi

Page 74: Pangeran P.P.A. Nasution, S.Sos., M.A. Antropologi FISIP Univ. … AJAR TEORI... · 2016. 10. 6. · Antropologi lahir, bermula dari ketertarikan orang-orang Eropa yang melihat ciri-ciri

135Marzali, Struktural-Fungsionalisme

seksual untuk memproduksi keturunan, tingkahlaku manusia diatur oleh seperangkat normatentang perkawinan. dan keluarga. Norma-norma tersebut adalah warisan sosial. Warisansosial ini tidak hanya menetapkan hambatan-hambatan dan peluang-peluang, memberianjuran tentang hal yang ideal dan hal yangtidak elok, meletakkan nilai-nilai, tetapi jugamempengaruhi sikap fisiologis lelaki terhadapwanita melalui sistem hukum, etika, prinsipagama, konsep kehormatan, kesucian, dandosa. Warisan sosial ini dipaksakan olehmasyarakat kepada setiap anggotanya.

Melalui pengkajian terhadap instingseksual manusia, para ahli tidak akan mampumenjelaskan mengapa terdapat berbagai adat,undang-undang dan ide-ide mengenai per-kawinan dan keluarga. Semua itu baru bisadijelaskan bila diacukan kepada warisan sosial.Warisan sosial yang seperti inilah yangdimaksudkan oleh Malinowski sebagai budaya.Demikian, kita melihat bagaimana pemenuhanakan kebutuhan-kebutuhan hidup yangmendasar dari manusia oleh institusinstitusitradisional telah menjadi tema yang konstandalam tulisan-tulisan Malinowski.

Apabila budaya, atau warisan sosial, dilihatsebagai alat untuk memenuhi kebutuhan psiko-biologis individu dalam satu bentuk hubunganyang fungsional (guna), maka di sini berartibudaya dipandang sebagai hal imperatives,hal-hal yang maha penting dalam hidupmanusia. Budaya menurut kata-kata Malinowskiadalah: “conditions which must be fulfilled ifthe community is to survive”. Malinowskimembedakan dua macam imperatif, yaitu instru-mental imperatives yang terdiri dari hal-halsemacam ekonomi, hukum, dan pendidikan,dan integrative imperatives yang terdiri darihal-hal seperti ilmu gaib, agama, pengetahuan,dan kesenian.

InstitusiKonsepsi Malinowski tentang kebutuhan

psiko-biologis manusia dalam kenyataannyabanyak yang saling tumpang-tindih, karena itusulit untuk dioperasionalkan ke dalam penelitianyang nyata. Dalam hal ini Malinowski memangtidak menyumbang banyak bagi pembentukanteori dalam ilmu sosial. Namun demikian adasebuah konsep lain yang lahir dari pe-mikirannya tentang kebutuhan psikobilogismanusia di atas, yang dipandang sebagai suatusumbangan yang lebih berharga dan lebihtahan lama dari pemikiran Malinowski, yaitukonsep “institusi”.

Konsep institusi sangat terkait dengan tipemetode penelitian lapangan Malinowski yangterkenal itu. Malinowski adalah seorang pelopormetode penelitian lapangan (etnografi) dalamilmu sosial. Beliau bukan hanya meletakkandasar-dasar bagi tipe penelitian tersebut, tetapijuga seorang yang paling piawai dalammelakukan penelitian seperti itu.

Institusi, menurut Malinowski, terdiri atassekelompok manusia yang terikat kepada satulingkungan alam tertentu, yang memproduksidan menggunakan jenis peralatan materitertentu, mempunyai pengetahuan tertentudalam menggunakan dan menggarap ling-kungan dengan peralatan di atas, mempunyaibahasa yang khas yang membolehkan merekamenjalin kerjasama, mempunyai aturan hukumyang mengatur perilaku mereka, dan memilikisecara bersama kepercayaan dan nilai-nilaitertentu. Atau secara singkat sebuah institusiterdiri atas: personnel, material culture, knowl-edge, rules, beliefs, and charter. Namundemikian, kita harus awas untuk tidak rancu.Secara umum, institusi kadang-kadang jugadigunakan untuk mengacu kepada segalabentuk kegiatan sosial yang teroganisasi,seperti institusi politik, institusi ekonomi,institusi kekerabatan, dan seterusnya.

Page 75: Pangeran P.P.A. Nasution, S.Sos., M.A. Antropologi FISIP Univ. … AJAR TEORI... · 2016. 10. 6. · Antropologi lahir, bermula dari ketertarikan orang-orang Eropa yang melihat ciri-ciri

136 ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 30, No. 2, 2006

Apakah hubungan antara aspek-aspekfungsional dari budaya dan bentuk-bentukkegiatan yang terorganisasi yang disebutinstitusi itu? Hubungannya terletak padakenyataan bahwa aspek fungsional inimenentukan kegiatan yang dikerjakan olehkelompok-kelompok tertentu. Satu pasangsuami-istri, misalnya, dalam rangka memenuhikebutuhan untuk melanjutkan keturunan dandorongan seksual, telah melakukan kegiatan-kegiatan yang terorganisasi dalam reproduksi,mengasuh, melatih, dan memberi makan anak.Dalam melakukan kegiatan yang terorganisasiini mereka tentu saja tidak dapat tinggal terpisahjauh satu sama lain, dan karena itu merekamembentuk sebuah rumah tangga. Karenasebuah rumah tangga membutuhkan kediaman,makanan, dan peralatan maka kedua suami istriyang membentuk keluarga tersebut ber-kembang bukan hanya menjadi satu kelompokproduksi keturunan, tetapi juga merupakankelompok ekonomi, dan kelompok pendidikan.

Jadi institusi universal seperti contoh diatas, yaitu institusi keluarga, tidak hanyamerupakan satu kelompok yang diikat oleh satutempat kediaman, kerjasama dan memilikibersama seperangkat peralatan materi, dan satusumber kehidupan seperti ladang, tetapi jugadiikat oleh satu “charter” yang mengaturhubungan antara anggota keluarga tersebut.Pembahasan terhadap aspek fungsi dari budayadan pembahasan terhadap institusi harusdilakukan secara simultan kalau kita inginmemahami suatu budaya secara lengkap, kataMalinowski. Kajian terhadap fungsi dariekonomi, pendidikan, dan kontrol sosialmenentukan tipe dan peringkat kegiatan dalamsatu budaya.

Dari sudut individu, kajian yang seperti inidapat mengungkapkan seluruh motivasi,kepentingan, dan nilai sang individu. Dari segikelompok, kajian yang seperti ini dapatmemberikan pendalaman terhadap keseluruhan

proses cara bagaimana individu-individuterbentuk atau dipengaruhi oleh budaya. Dalaminstitusi, individu hams mengetahui aturantingkah-laku (charter) mereka belajarmenggunakan peralatan yang berguna bagidirinya, mengembangkan sikap sosial, danmengembangkan rasa pribadi.

Pandangan Evans-PritchardPerkembangan lebih lanjut atas konsep

struktur sosial dibuat oleh E.E. Evans-Pritchard(E-P), yaitu orang yang menggantikan R-Bsebagai profesor antropologi sosial di OxfordUniversity. Meskipun E-P masih berada dalamlingkaran antropologi sosial Inggris, namun diamempunyai dua pandangan penting yang agakberbeda dari pendahulunya R-B, sehubungandengan metode eksplanasi dalam antropologisosial dan konsep struktur sosial.

Pertama, bagi E-P struktur sosial bukanlahjaringan hubungan yang terdiri atas person,tetapi terdiri atas kelompok sosial yangmempunyai sifat lebih tahan lama (constant)dan tersendiri (discrete). Bagi E-P salah satuciri-ciri penting dari struktur sosial adalahkelanggengan hidupnya (endurance).

Bagi R-B, sebuah keluarga dapat dipandangsebagai sebuah struktur sosial, karena dalamkeluarga terdapat beberapa status (ayah, ibu,anak) yang membentuk jaringan hubungansosial yang terpola. Namun kenyataan ini tidakdapat diterima oleh E-P, karena kesatuankeluarga akan segera hilang begitu anggota-anggotanya meninggal. Sedangkan, sebuahstruktur sosial harus hidup langgeng meskipunanggota-anggotanya hilang, baik karenapindah atau meninggal.

Kelompok yang terkecil yang mempunyaistruktur sosial bagi E-P adalah l ineage(kelompok keturunan), atau dusun (kelompokterritorial). Komponen dari sebuah lineageadalah segmen-segmen dari lineage tersebut,yaitu klen dan sub-klen. Meskipun individu-

Page 76: Pangeran P.P.A. Nasution, S.Sos., M.A. Antropologi FISIP Univ. … AJAR TEORI... · 2016. 10. 6. · Antropologi lahir, bermula dari ketertarikan orang-orang Eropa yang melihat ciri-ciri

137Marzali, Struktural-Fungsionalisme

individu atau keluarga-keluarga yang menjadianggota sebuah klen hilang, klen sebagai sebuahkelompok sosial tetap langgeng dalam sebuahlineage tersebut. Sementara itu komponen darisebuah dusun dapat berupa RT, atau golongankeluarga. Meskipun keluarga atau individuanggota sebuah RT hilang karena pindah ataumeninggal, namun RT, atau golongan, tetaplanggeng dalam dusun tersebut.

KesimpulanSecara umum dapat dikatakan bahwa

sebuah struktur sosial adalah sebuah “the

whole” kebulatan/keseluruhan) yang terdiriatas “the parts” (komponen-komponen), dankomponen-komponen ini terjaring dalam “suatuhubungan yang terpola dan tahan lama”.Perdebatan mengenai teori atau pendekatanstruktural biasanya selalu berkaitan denganketiga aspek ini. Pertama, manakah batas “thewhole” dari sebuah struktur? Kedua, apakahyang menjadi “komponen” dari sebuahstruktur? Terakhir, seberapa jauh jaringanhubungan di dalam struktur itu terpola dantahan lama, dan bagaimana polanya?

ReferensiDavis, K.

1959 “The Myth of Functional Analysis”, American Sociological ReviewXXIV(December):752–772.

Durkheim, E.1938 Rules of Sociological Method. Chicago: University of Chicago Press.

Evans-Pritchard, E.E.1940 The Nuer. Oxford: Clarendon Press.

Evans-Pritchard, E.E. dan M. Fortes (peny.)1940 African Political Systems. London: Oxford University Press.

Firth, R. (peny.)1957 Man and Culture: An Evaluation of the Work of Bronislaw Malinowski. London:

Routledge and Kegan Paul.

Kuper, A.1977 The Social Anthropology of Radcliffe -Brown. London: Routledge and Kegan Paul.1983 Anthropology and Anthropologist. London: Routledge and Kegan Paul.

Malinowski, B.1922 Argonauts of the Western Pacific. London: George Routledge & Sons.1939 “The Group and the Individual in Functional Analysis”, American Journal of Sociol-

ogy 44(6):938-964.

Radcliffe -Brown, A.R.1952 Structure and Function in Primitive Society. London: Routledge and Kegan Paul.