Pancasila dlm khidupan kampus
-
Upload
dita-wahyu -
Category
Education
-
view
595 -
download
3
Transcript of Pancasila dlm khidupan kampus
MAKALAH
PANCASILA DALAM KEHIDUPAN KAMPUS
Disusun oleh:
Nama : Dita Wahyu Ningtyas T.
NIM : H 0413011
Kelas : PKP-1 A
PENYULUHAN DAN KOMUNIKASI PERTANIAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2013
PANCASILA DALAM KEHIDUPAN KAMPUS
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pancasila merupakan dasar Negara Indonesia yang dirumuskan oleh para
pendiri bangsa. Hal ini tertuang dalam alinea keempat Undang – Undang Dasar
tahun 1945. Nilai- nilai dari Pancasila berasal dari akar budaya bangsa Indonesia
yang luhur. Sebagai suatu dasar Negara maka Pancasila senantiasa dijadikan
landasan dalam pengaturan kehidupan bernegara, yang berarti bahwa segala
macam peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang diambil oleh para
penyelenggara Negara tidak boleh bertentangan dengan Pancasila.
Hal ini menegaskan bahwa Pancasila merupakan suatu acuan yang dijadikan
dasar dalam bertindak oleh segenap bangsa Indonesia. Sebagai warga negara
Indonesia, maka kita diwajibkan untuk mengaktualisasi berbagai nilai –nilai yang
terkandung dalam Pancasila dalam berbagai bidang kehidupan.
Maka, setelah banyak aspek memperbincangkan Pancasila sebagai dasar
Negara. Sekarang Pancasilapun dijadikan bahan perbincangan sebagai perilaku
yang digunakan didalam kampus. Dimana didalam kampus tersebut akan terdidik
dengan kepemimpinan Pancasila. Baik dalam perilaku bergaul juga dalam proses
belajar mengajar didalamnya. Serta molekul-molekul yang menjadi bagiannya.
Walaupun pada kenyataannya aktualisasi pancasila dalam lingkungan
kampus tidak selalu sesuai seperti yang kita harapkan. Salah satu contohnya yakni
perbuatan mencontek yang banyak dilakukaan oleh mahasiswa. Namun kita tetap
harus mengaktualisasi nilai- nilai Pancasila sebaik mungkin yang dapat kita
lakukan.
Makalah ini dibuat agar kita senantiasa mencintai, menghayati, dan
mengaktualisasi nilai – nilai Pancasila dalam kehidupan kita sehari-hari, terutama
di lingkungan kampus. Sehingga kelak saat kita terjun ke masyarakat kita akan
menjadi manusia Pancasila, yakni manusia yang selalu berpedoman teguh pada
Pancasila.
II. PEMBAHASAN
A. Pancasila Sebagai Dasar Negara
Sebelum kita beranjak mengenali pancasila dalam lingkungan kampus.
Maka terpikir sangatlah perlu bagi kita semua untuk mengetahui posisi,
fungsi atau peran pancasila sebagai dasar negara, sebelum kita akan
melanjutkan pemahaman terhadap pancasila dan aktualisasinya dalam
kampus. Karena dengan mengetahui lebih jauh dan lebih dalam pancasila
sebagai dasar Negara kita nanti akan lebih paham untuk mengaktualisasikan
dalam kehidupan kita sehari-hari, termasuk dalam kampus.
Pengertian Pancasila sebagai dasar negara diperoleh dari alinea
keempat Pembukaan UUD 1945 dan sebagaimana tertuang dalam
Memorandum DPR-GR 9 Juni 1966 yang menandaskan Pancasila sebagai
pandangan hidup bangsa yang telah dimurnikan dan dipadatkan oleh PPKI
atas nama rakyat Indonesia menjadi dasar negara Republik Indonesia.
Memorandum DPR-GR itu disahkan pula oleh MPRS dengan Ketetapan
No.XX/MPRS/1966 jo. Ketetapan MPR No.V/MPR/1973 dan Ketetapan MPR
No.IX/MPR/1978 yang menegaskan kedudukan Pancasila sebagai sumber dari
segala sumber hukum atau sumber dari tertib hukum di Indonesia.
Inilah sifat dasar Pancasila yang pertama dan utama, yakni sebagai
dasar negara (philosophische grondslaag) Republik Indonesia. Pancasila yang
terkandung dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945 tersebut ditetapkan
sebagai dasar negara pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh PPKI yang dapat
dianggap sebagai penjelmaan kehendak seluruh rakyat Indonesia yang
merdeka.
Dengan syarat utama sebuah bangsa menurut Ernest Renan: kehendak
untuk bersatu (le desir d’etre ensemble) dan memahami Pancasila dari
sejarahnya dapat diketahui bahwa Pancasila merupakan sebuah kompromi dan
konsensus nasional karena memuat nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh
semua golongan dan lapisan masyarakat Indonesia.
Maka pancasila merupakan intelligent choice karena mengatasi
keanekaragaman dalam masyarakat Indonesia dengan tetap toleran terhadap
adanya perbedaan. Penetapan Pancasila sebagai dasar negara tak hendak
menghapuskan perbedaan (indifferentism), tetapi merangkum semuanya
dalam satu semboyan empiris khas Indonesia yang dinyatakan dalam seloka
“Bhinneka Tunggal Ika”.
Mengenai hal itu pantaslah diingat pendapat Prof.Dr. Supomo: “Jika
kita hendak mendirikan Negara Indonesia yang sesuai dengan keistimewaan
sifat dan corak masyarakat Indonesia, maka Negara kita harus berdasar atas
aliran pikiran Negara (Staatside) integralistik … Negara tidak mempersatukan
diri dengan golongan yang terbesar dalam masyarakat, juga tidak
mempersatukan diri dengan golongan yang paling kuat, melainkan mengatasi
segala golongan dan segala perorangan, mempersatukan diri dengan segala
lapisan rakyatnya …”
Penetapan Pancasila sebagai dasar negara itu memberikan pengertian
bahwa negara Indonesia adalah Negara Pancasila. Hal itu mengandung arti
bahwa negara harus tunduk kepadanya, membela dan melaksanakannya dalam
seluruh perundang-undangan. Mengenai hal itu, Kirdi Dipoyudo (1979:30)
menjelaskan: “Negara Pancasila adalah suatu negara yang didirikan,
dipertahankan dan dikembangkan dengan tujuan untuk melindungi dan
mengembangkan martabat dan hak-hak azasi semua warga bangsa Indonesia
(kemanusiaan yang adil dan beradab), agar masing-masing dapat hidup layak
sebagai manusia, mengembangkan dirinya dan mewujudkan kesejahteraannya
lahir batin selengkap mungkin, memajukan kesejahteraan umum, yaitu
kesejahteraan lahir batin seluruh rakyat, dan mencerdaskan kehidupan bangsa
(keadilan sosial).”
Pandangan tersebut melukiskan Pancasila secara integral (utuh dan
menyeluruh) sehingga merupakan penopang yang kokoh terhadap negara yang
didirikan di atasnya, dipertahankan dan dikembangkan dengan tujuan untuk
melindungi dan mengembangkan martabat dan hak-hak azasi semua warga
bangsa Indonesia. Perlindungan dan pengembangan martabat kemanusiaan itu
merupakan kewajiban negara, yakni dengan memandang manusia qua talis,
manusia adalah manusia sesuai dengan principium identatis-nya.
Pancasila seperti yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 dan
ditegaskan keseragaman sistematikanya melalui Instruksi Presiden No.12
Tahun 1968 itu tersusun secara hirarkis-piramidal. Setiap sila (dasar/ azas)
memiliki hubungan yang saling mengikat dan menjiwai satu sama lain
sedemikian rupa hingga tidak dapat dipisah-pisahkan. Melanggar satu sila dan
mencari pembenarannya pada sila lainnya adalah tindakan sia-sia. Oleh karena
itu, Pancasila pun harus dipandang sebagai satu kesatuan yang bulat dan utuh,
yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Usaha memisahkan sila-sila dalam
kesatuan yang utuh dan bulat dari Pancasila akan menyebabkan
B. Pancasila kehilangan esensinya sebagai dasar negara.
Sebagai alasan mengapa Pancasila harus dipandang sebagai satu
kesatuan yang bulat dan utuh ialah karena setiap sila dalam Pancasila tidak
dapat diantitesiskan satu sama lain. Secara tepat dalam Seminar Pancasila
tahun 1959, Prof. Notonagoro melukiskan sifat hirarkis-piramidal Pancasila
dengan menempatkan sila “Ketuhanan Yang Mahaesa” sebagai basis bentuk
piramid Pancasila. Dengan demikian keempat sila yang lain haruslah dijiwai
oleh sila “Ketuhanan Yang Mahaesa”. Secara tegas, Dr. Hamka mengatakan:
“Tiap-tiap orang beragama atau percaya pada Tuhan Yang Maha Esa,
Pancasila bukanlah sesuatu yang perlu dibicarakan lagi, karena sila yang 4
dari Pancasila sebenarnya hanyalah akibat saja dari sila pertama yaitu
Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Dengan demikian dapatlah disimpulkan bahwa Pancasila sebagai dasar
negara sesungguhnya berisi:
Ketuhanan yang mahaesa, yang ber-Kemanusiaan yang adil dan
beradab, yang ber-Persatuan Indonesia, yang ber-Kerakyatan yang dipimpin
oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta ber-
Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Kemanusiaan yang adil dan beradab, yang ber-Ketuhanan yang
mahaesa, yang ber-Persatuan Indonesia, yang ber-Kerakyatan yang dipimpin
oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan ber-
Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Persatuan Indonesia, yang ber-Ketuhanan yang mahaesa, yang ber-
Kemanusiaan yang adil dan beradab, ber-Kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan, dan ber-Keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/ perwakilan, yang ber-Ketuha nan yang mahaesa, yang ber-
Kemanusiaan yang adil dan beradab, yang ber-Persatuan Indonesia, dan ber-
Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, yang ber-Ketuhanan
yang mahaesa, yang ber-Kemanusiaan yang adil dan beradab, yang ber-
Persatuan Indonesia, dan ber-Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan.
C. Aktualisasi Pancasila
Aktualisasi berasal dari kata aktual yang berarti betul-betul ada, terjadi
dan sesungguhnya, hakikatnya. Dimana Pancasila memang sudah jelas berdiri
dalam bangsa Indonesia sebagai dasar negaranya.
Aktualisasi Pancasila adalah bagaimana nilai-nilai Pancasila benar-
benar dapat tercermin dalam sikap dan perilaku seluruh warga negara mulai
dari aparatur Negara sampai kepada rakyat biasa.
Nilai-nilai Pancasila yang bersumber pada hakikat Pancasila adalah
bersifat universal, tetap dan tak berubah. Nilai-nilai tersebut dapat dijabarkan
dalam setiap aspek dalam penyelenggaraan Negara dan dalam wujud norma-
norma, baik norma hukum, kenegaraan, maupun norma-norma moral yang
harus dilaksanakan dan diamalkan oleh setiap warga Negara Indonesia.
Aktualisasi Pancasila dapat dibedakan atas dua macam yaitu :
1. Aktualisasi Objektif
Aktualisasi Pancasila secara objektif yaitu melaksanakan pancasila
dalam berbagai bidang kehidupan kenegaraan yang meliputi kelembagaan
Negara antara lain: legislatif, eksekutif, maupun yudikatif. Selain itu juga
meliputi bidang-bidang aktualisasi lainnya. Seperti politik, ekonomi,
hukum terutama dalam penjabaran kedalam undang-undang, garis-garis
besar haluan Negara, hankam, pendidikan maupun bidang kenegaraan
lainnya.
2. Aktualisasi Subjektif
Aktualisasi Pancasila secara subyektif adalah aktualisasi pancasila
pada setiap individu terutama dalam aspek moral dalam kaitannya dengan
hidup Negara dan masyarakat. Aktualisasi yang subjektif tersebut tidak
terkecuali baik warga Negara biasa, aparat pentelenggara Negara,
penguasa Negara, terutama kalangan elit politik dalam kegiatan politik,
maka dia perlu mawas diri agar memiliki moral ketuhanan dan
kemanusiaan sebagaimana terkandung dalam pancasila.
Aktualisasi nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara memerlukan kondisi dan iklim yang
memungkinkan segenap lapisan masyarakat yang dapat mencerminkan
nilai-nilai Pancasila itu dan dapat terlihat dalam perilaku. Perpaduan ciri
tersebut di dalam kehidupan kampus melahirkan gaya hidup tersendiri
yang merupakan variasi dari corak kehidupan yang menjadikan kampus
sebagai pedoman dan harapan masyarakat.
D. Tri Dharma Perguruan Tinggi
Pendidikan tinggi sebagai institusi dalam masyarakat bukanlah menara
gading yang jauh dari kepentingan masyarakat melainkan senantiasa
mengemban dan mengabdi kepada masyarakat. Perguruan tinggi
diselenggarakan dengan tujuan untuk :
1. Menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki
kemampuan akademik dan/atau professional yang dapat menerapkan,
mengembangkan dan/atau memperkaya khasanah ilmu pengetahuan,
teknologi dan/atau kesenian.
2. Mengembangkan dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi
dan/atau kesenian serta mengupayakan penggunaannya untuk
meningkatkan taraf kehidupan masyarakat dan memperkaya kebudayaan
nasional.
Dalam rangka mencapai tujuan tersebut, perguruan tinggi
menyelenggarakan kegiatan yang disebut dengan Tri Dharma Perguruan
Tinggi, yang terdiri dari :
1. Pendidikan
Merupakan kegiatan dalam upaya menghasilkan manusia terdidik yang
memiliki kemampuan akademik dan/atau profesional yang dapat
menerapkan, mengembangkan dan/atau menciptakan IPTEK dan seni.
2. Penelitian
Kegiatan dalam upaya menghasilkan pengetahuan empirik, teori,
konsep, model, atau informasi baru guna memperkaya IPTEK dan
seni.
3. Pengabdian Kepada Masyarakat
Kegiatan yang memanfaatkan IPTEK dalam upaya memberi
sumbangan demi kemajuan masyarakat.
E. Penumbuhan Moral Etika Pancasila
Akhir-akhir ini di berbagai tempat timbul kerusuhan massa yang
cenderung brutal dikarenakan adanya kesenjangan sosial antara
pemerintah pusat maupun daerah. Hal ini menimbulkan gejolak berupa
gerakan pengacau keamanan bahkan tuntutan untuk melepaskan diri
misalnya Aceh dan Irian Barat. Apabila tidak segera diatasi maka akan
menyebabkan disintregrasi bangsa. Disini pula dikarenakan hubungan
social lainnya, kebebasan berkumpul sangat dibatasi, kesadaran
pemeliharaan lingkungan yang kurang, kurangnya kerjasama antar agama,
kurangnya penyadaran social, serta sentiment yang selalu ditutup-tutupi
dengan isi SARA. Yang justru menyebabkan meledaknya kerusuhan di
beberapa tempat.
Padahal para pendiri bangsa telah mencontohkan pada kita
bagaimana cara mencipatakan situasi demokrasi melalui BPUPKI – PPKI
dengan melakukan perdebatan dan pemufakatan disaat-saat
mempersiapkan kemerdekaan. Bahkan saat proklamasi hingga pengesahan
UUD 1945 mereka tetap bersatu hingga Negara Republik Indonesia dapat
diwujudkan.
Persoalan demokrasi bukan hanya masalah yang menyangkut
pengaturan kekuasaan Negara, melainkan juga terkait cara hidup antar
kelompok masyarakat yang sangat pluralis dimana persoalan-persoalan
sosial dapat dipecahkan secara bersama. Maka muncullah pemikiran
kearah desentralisasi pemerintahan yang kurang lebih sejalan dengan
perkembangan masyarakat modern dan demokratis. Namun terjadinya
kerusuhan dibeberapa tempat, kekejaman bahkan pembunuhan antar
masyarakat etnis bertentangan dengan jiwa dan semangat Pancasila. Sebab
bagi bangsa Indonesia keanekaragaman etnis, agama, adat istiadat, wilayah
yang begitu luas yang konsekuensi logisnya, pluralisme, visi dan aspirasi
yang beraneka ragam harus diterima dan dihormati. Yang menjadi
perhatian kita adalah mengatasi pluralisme dai kerawanan menjadi asset
nasional. Cara mengatasinya yakni dengan “Etika Pluralisme”, yakni etika
yang mengajarkan sopan santun dalam sikap dan mau menerima beda
pendapat dalam musyawarah dan mufakat sebagai penjelmaan demokrasi
Pancasila. Dengan demikian persatuan dan kesatuan bangsa dapat
diciptakan dan menghindari disintregrasi bangsa. Sarana yang sangat
strategis yakni dengan pendidikan Pancasila. Untuk itulah maka
revitalisasi nilai-nilai Pancasila serta moral etika Pancasila harus terus-
menerus dikembangkan.
F. Tradisi Kebebasan Akademik, Kebebasan Mimbar Akademik,
Otonomi Akademik dan Peran Mahasiswa di Masyarakat
1. Tradisi Kebebasan Akademik
Sejak universitas pertama kali berdiri di Bologna (Italia), paham
kebebasan yang selama itu dipegang oleh gereja mulai digulirkan pada
Universitas. Semua pimpinan agama memegang kekuasaan, mengambil
keputusan tentang kebenaran-kebebasan bagi masyarakat melalui mimbar
(excathedra). Pada masa itu kebenaran dan keadilan masih dikendalikan
oleh kesejajaran (juxtaposition) antara simpulan yang ditarik dari tafsir
agama dan yang merupakan hasil proses penalaran oleh para pemikir
(ilmuwan dan filosof) semakin diperlukan adanya batasan yang jelas.
Tidak jarang simpulan tersebut menghasilkan pertentangan pandangan
(contra position ).
Dari apa yang telah dicapai oleh para pemikir (ilmuwan dan
filosof) pada abad pertengahan dapat diamati suatu gejala empirik tentang
kebebasan untuk mencapai kebenaran :
a. Bahwa masyarakat ilmiah perlu dikembangkan dalam lingkungan
perguruan tinggi.
b. Sikap avveroisme (kelompok ilmiah nasionalis yang berusaha
melepaskan diri dari gereja ) semakin jelas dikalangan perguruan
tinggi, mereka semakin otonom dalam mencapai kebenaran.
c. Otonomi perguruan tinggi berhubungan dengan perkembangan ilmu
pengetahuan. Kondisi itu bersifat conditio sinequanon bagi kemajuan
peradaban imu. Dalam hal ini segala pengertian tentang kebebasan
kampus dan kebebasan akademis adalah pengertian yang setara bagi
kemajuan.
Kebebasan akademik dalam hal ini lebih berciri aktivitas wahana
pengembangan ilmu pengetahuan yang dapat diikuti oleh sivitas
akademika (dosen dan mahasiswa). Dalam hal ini sivitas akademika akan
menempuh jalur norma akademik, yang mencangkup serangkaian langkah
metodologis: penemuan masalah, tujuan, manfaat, cara mencapai
kebenaran, analisis, dan simpulan.
2. Kebebasan Mimbar Akademik
Dalam perkembangan dan penyelenggaraan otonomi kampus bagi
perkembangan ilmu pengetahuan muncul istilah kebebasan mimbar
akademik, yaitu proses pengembangan ilmu lewat kegiatan perkuliahan
(mimbar akademik). Kebebasan mimbar akademik lebih ditekankan pada
pengembangan kognitif (pemahaman), apresiasi (afektif), dan
keterampilan (psikomotorik)yang dilakukan dalam laboratorium dan
perpustakaan. Media untuk pengembangan mimbar akdemik lebih
ditekankan pada diskusi, seminar, dan simposium. Dalam kegiatan ini
dosen dan mahasiswa akan berada dalam suatu pola interese, yaitu berada
pada satu tatanan bahasa yang bersifat setara (VIS a VIS) namun dosen
tetap pada posisi pemegang mimbar (ex cathedra). Posisi pemegang
mimbar utama adalah guru besar (professor). Ia memiliki otoritas sebagai
pengembang ilmu karena telah bergelar doctor.
Suria Sumantri (1986 : 27) menyebut mahasiswa sebagai setengah
ilmuwan, yaitu mahasiswa belum memiliki kewibawaan penuh pemegang
otoritas dalam kegiatan ilmu. Fungsi mahasiswa menjadi cukup srtategis
dalam kegiatan keilmuan yang mengarah pada perkembangan peradaban
manusia dan teknologi. Pertama, pada proses pengembangan ilmu
mahasiswa, mahasiswa merupakan pelaku muda (colega minor)yang
sedang belajar dan mengalami bimbingan dari dosen (colega mayor).
Mahasiswa akan mengalami pendewasaan diri sebagai ilmuwan. Kedua,
pada proses pengembangan ilmu, mahasiswa merupakan pelaku muda
yang pada umumnya sedang mengalami bimbingan dari para dosen.
Dalam hal ini mahasiswa sering kali memerlukan media tukar pendapat,
dialog kritis untuk saling memberi masukan.
3. Otonomi Keilmuan
Ilmu yang berkembang tidak hanya kerangaka pemikiran logis,
melainkan telah teruji, sehingga dengan ilmu orang akan bias menjelaskan
gejala alam kemudian meramalkannya. Ilmu mempunyai obyek kajian
(ontologis), dan memiliki kemampuan untuk mencapai kebenaran
(epistemologi) serta kemampuan terkait dengan masyarakatnya
(aksiologis). Ilmu yang dapat berkembang pad prinsipnya karena kaidah
moral, pertimbangan etis, dan norma kerja profesinya.
Ilmu pengetahuan memang dapat memperoleh otonomi dalam
melakukan kegiatannya untuk mempelajari alam semesta, tetapi masalah
moral akan timbul manakala berkaitan dengan ilmu pengetahuan itu. Ilmu
pengetahuan memiliki 2 sisi kajian yaitu sisi kajian internal dan eksternal.
Sisi kajian internal digunakan manakala ilmu hanya menggunakan metode
spesifik yang dimilikiuntuk dipraktekkan ilmuwan secara otonomi (Salim,
1994: 15). Sedang pada sisi kajian eksternal , ilmu akan berkaitan dengan
bidang IPOLEKSOSBUDROHANKAM (ideology, politik, ekonomi,
social, budaya, rohani, pertahanan, dan keamanan.
Ilmu pengetahuan hanya memiliki otonomi dalam sisi kajian
internal (terbatas pada penerapan metodologinya untuk mencapai
kebenaran ilmiah). Ilmu pengetahuan selalu dituntut bagaimana dapat
memiliki kegunaan di masyarakatnya. Misalnya keberadaan ilmu
kedokteran harus mampu mengatasi masalah kesehatan masyarakat secara
luas, seperti menciptakan obat untuk mengatasi HIV,dll. Ilmu sosial
(politik,sosial,ekonomi, budaya, dll) harus mampu menciptakan dinamika
dan intregitas bagi masyarakatnya. Dapat dikatakan bahwa ilmu sosial
tidak mungkin berkembang terlepas dari masyarakatnya, karena ilmu
sosial adalah bagian dari gejala perilaku masyarakat.
4. Peran Mahasiswa di Masyarakat
Keterlibatan mahasiswa dalam kegiatan masyarakat dapat
dilakukan sejauh kegiatan itu memiliki relevansi langsung dengan
kematangan ilmu pengetahuan yang diminati. Keterlibatan mahasiswa
terhadap masalah sosial sebatas mahasiswa memiliki komitmen yang kuat
terhadap pengembangan tugas akademis. Sebagai contoh keterlibatan
mahasiswa dalam masalah politik, harus bersifat peningkat visi
akademisnya, pengembangan wawasan, pengayaan substansi dan
kedewasaannya.Peran mahasiswa di masyarakat:
1. Mahasiswa sebagai pribadi yang sedang belajar berproses “untuk
menjadi” (ilmuwan) sehingga masih membutuhkan bimbingan dan
pembinaan akdemik yang intensif dari para dosen.
2. Mahasiswa dapat berperan sebagai perantara pembaharuan (agent of
modernization) terutama membantu masyarakat miskin yang masih
tertinggal guna meningkatkan pendapatannya.
3. Mahasiswa perlu belajar untuk dapat mengkomunikasikan hasil-hasil
penelitian, laporan hasil kajian ilmiah, dan hasil diskusi ilmu
pengetahuan kepada masyarakat dalam tataran bahasa indonesia yang
sederhana sehingga dapat diterima semua pihak.
4. Tidak semua orang dalam masyarakat dapat meraih peluang masuk
kuliah di bangku perguruan tinggi. Peluang masuk perguruan tinggi
hanyalah bagi lulusan SMA yang memiliki motivasi dan dukungan
dana yang cukup. Pengadaan dana yang cukup besar itu membutuhkan
bantuan masyarakat yang secara langsung digunakan untuk pengadaan
prasarana dan sarana belajar.
G. Memposisikan Kebebasan Akademik dan Kebebasan Mimbar Akademik
Secara Proporsional
Kesenjangan antara teori keagamaan dan penalaran ilmiah makin
membesar karena para filsuf yang tergabung dalam kelompok penganut
averroisme terus bertahan pada pendiriannya untuk menggarap masalah-
masalah filsafat dan ilmu bebas dari ikatannya dengan keagamaan.
Averroisme terus berkembang dan memunculkan berbagai aliran filsafat serta
cabang ilmu secara mandiri. Pesatnya pertumbuhan sebagai cabang ilmu
makin menampilkan ilmu sebagai suatu manifestasi yang otonom dan hal ini
menimbulkan tuntutan agar bagi pusat-pusat keilmuan- universitas diakui juga
otonomi universitas sebagai lembaga yang menyelenggarakan kegiatan ilmiah.
Maka muncullah istilah otonomi universitas, yaitu otonomi kelembagaannya
sebagai pengelola akademik ; dalam suasana itu universitas merupakan tempat
persemaian intelektual dan cultural dalam arti luas, bukan sekedar perakit
sarjana.
Otonomi ilmu selanjutnya juga dianggap sebagai condition sine qua
non bagi terwujudnya perkembangan dan kemajuan ilmu khususnya serta
peradaban pada umumnya sering juga diakui sebagai otonomi universitas
sebagai lembaga yang menyelenggarakan pengajaran dan penelitian berbagai
disiplin ilmu sesuai kaidah-kaidah akademik.
Sejalan dengan hasrat diakuinya otonomi ilmu maka kalangan
ilmuwan khususnya kalangan akademis mengharapkan diakui dan berlakunya
kebebasan akademik serta kebebasan mimbar akademik. Yang pertama,
berkenaan dengan kebebasan para akademis untuk melakukan studi,
penelitian, pembahasan serta pengajaran ilmu kepada dan antara sivitas
akademika. Yang kedua, berkenaan dengan hak serta tanggung jawab seorang
yang memiliki prasyarat dan atribut untuk diakui wewenang dan wibawa
keilmuannya guna mengutaran fikiran dan pendapatnya ex catedra academica.
Hak menggunakan cathedra (mimbar ) tidak dimiliki setiap sivitas akademika,
melainkan oleh para akademisi yang memenuhi segala persyaratan untuk
bertindak selaku tenaga pengajar atau peneliti yang mandiri.