Pak Beye dan Istananya

55
PAK BEYE DAN ISTANANYA

Transcript of Pak Beye dan Istananya

Page 1: Pak Beye dan Istananya

PAK BEYE DAN ISTANANYA

Page 2: Pak Beye dan Istananya

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak CiptaLingkup Hak CiptaPasal 21. Hak cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan

atau memperbanyak Ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Ketentuan PidanaPasal 72:1. Barang siapa dengan sengaja atau tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima Miliar rupiah).

2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Page 3: Pak Beye dan Istananya

Jakarta, Juli 2010

TETRALOGI SISI LAIN SBY

PAK BEYE DAN ISTANANYA

WISNU NUGROHO

Page 4: Pak Beye dan Istananya

TETRALOGI SISI LAIN SBYPAK BEYE DAN ISTANANYA© 2010 Wisnu Nugroho

Pertama kali diterbitkan dalam bahasa Indonesiaoleh Penerbit Buku Kompas, Juli 2010PT Kompas Media NusantaraJl. Palmerah Selatan 26-28Jakarta 10270e-mail: [email protected]

KMN 30405100053Editor: Pepih NugrahaPerancang sampul: Muhammad Bayu SetiadiFoto isi dan cover belakang: kompasiana.com/wisnunugroho

Hak cipta dilindungi oleh undang-undangDilarang mengutip atau memperbanyak sebagianatau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit

xl + 256 hlm.; 14 cm x 21 cmISBN: 978-979-709-505-5

Isi di luar tanggung jawab Percetakan PT Gramedia, Jakarta

Page 5: Pak Beye dan Istananya

V

DAFTAR ISI

Kata Pengantar........................................................................ ixPendahuluan ........................................................................... xv

BAB 1 TUNGGANGAN ISTANA1. Kisah Audi Baru di Istana ............................................. 32. Rolls-Royce di Istana..................................................... 63. Rolls-Royce Siapa? ........................................................ 94. Lexus Menghilang dari Istana ...................................... 115. Kembalinya Lexus ke Istana ......................................... 136. Bentley di Istana............................................................. 177. B 1 Fox di Istana............................................................ 198. Old n New di Istana (Mercedes-Benz).......................... 249. Kijang............................................................................... 2710. Kendaraan ....................................................................... 3111. Indonesia Sejahtera........................................................ 3512. Beberapa.......................................................................... 3813. Romeo India Satu: Banjir.............................................. 4114. Armada Banjir Pak Beye ............................................... 4415. Mikrolet dan Metromini di Istana................................ 48

Page 6: Pak Beye dan Istananya

PAK BEYE DAN ISTANANYA

VI

BAB 2 ORANG PENTING1. Mencari Cesare Paciotti ................................................. 552. Misteri di Istana (Super HL-2) ...................................... 573. Misteri di Istana (Pak Marsillam) ................................. 624. Misteri di Istana (Pak Tanto)......................................... 665. Misteri di Istana (Kolonel Azis) .................................... 706. Ternyata Cuma Pak Sekjen ........................................... 747. Ananda dan Moreno pada Hari-H ............................... 788. Kakek ke Istana............................................................... 829. Kegiatan Puan-puan di Istana...................................... 8610. Melihat Pak Beye Gak Pede .......................................... 9111. Keakraban Terakhir ........................................................ 93

BAB 3 ORANG YANG TERLUPAKAN1. Air Putih Bekal menuju Istana ..................................... 992. Yang Bekerja dalam Senyap di Istana......................... 1033. Penjaga Selera Pak Beye ............................................... 1084. Kepelintir, Serahkan kepada Pak Apiaw ..................... 1125. Misteri di Istana (Mas Iswahyudi) ................................ 1166. Duka di Bawah Pohon Bungur Besar .......................... 1197. Terkulai Saat Pak Beye Pidato...................................... 123

BAB 4 ANTARA PENTING DAN GENTING1. Meredupnya Sorot Kamera ........................................... 1292. Kikuk di Tangga Istana Negara .................................... 1313. Old n New di Istana (Politik BBM)............................... 1354. BBM Telah Turun, Ibu-ibu ........................................... 1395. Obama dan Bunga Mawar di Istana Merdeka ............ 1436. Dilarang Telanjang di Istana......................................... 1457. Tentang Seruan Itu......................................................... 1508. ”Open House” di Tahun Politik..................................... 1559. Semua Tertawa di Istana ............................................... 15910. Teror di Bawah Pohon Bodhi........................................ 16111. Tradisi Penguasa Jawa di Istana Negara..................... 17012. Jangan Cium Tangan..................................................... 173

Page 7: Pak Beye dan Istananya

DAFTAR ISI

VII

BAB 5 PERNIK-PERNIK PAK BEYE1. Soto Ayam Kegemaran Pak Beye................................. 1792. Pak Beye dan Koleksi Batik Birunya ........................... 1833. HP Pak Beye dan Pak Kalla........................................... 1874. ”Lapangan Golf” Pak Beye............................................ 1915. Old n New di Istana (Tahi Lalat)................................... 1936. Ukuran Kasur Pak Beye................................................. 1967. Misteri di Istana (Malam Jumat) .................................. 2018. Anjing dan Superpuma di Istana ................................. 206

BAB 6 ISTANA PUNYA CERITA 1. Melihat Istana Merdeka dari Dalam............................. 2132. Yang Berubah (Istana) ................................................... 2183. Yang Ganjil di Istana..................................................... 2214. Mendata Kekayaan Istana............................................. 2255. Ki Hujan ......................................................................... 2306. Memangkas Beringin di Istana..................................... 2347. Menyedot ”Cubluk” Istana ............................................ 2388. Patung tanpa Busana di Istana..................................... 2429. Kasatmata di Istana........................................................ 246

Istana Semasa Pak Beye ........................................................ 250Biodata .................................................................................. 256

Page 8: Pak Beye dan Istananya

IX

KATA PENGANTAR

Buku yang siap Anda baca sampai tuntas ini, yakni Pak Beye dan Istananya, merupakan buku pertama dari

tetralogi Pak Beye karya jurnalis Harian Kompas, Wisnu Nugroho. Tiga buku lainnya yang akan diterbitkan Penerbit Buku Kompas adalah Pak Beye dan Politiknya, Pak Beye dan Keluarganya, serta Pak Beye dan Kerabatnya. Satu buku lagi mengupas khusus mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla, yakni lbhcplbhbq. Seluruh tulisan dalam tetralogi Pak Beye dan satu buku yang lebih tipis mengenai Jusuf Kalla, merupakan hasil postingan Mas Inu, demikian Wisnu Nu-groho biasa dipanggil merujuk inisialnya sebagai jurnalis, di social blog Kompasiana. Kompasiana yang beralamat di http://kompasiana.com merupakan social blog yang di-bangun dan dikembangkan megaportal Kompas.com.

Mungkin pembaca ada yang bertanya, mengapa Wisnu harus menggunakan sapaan ”Pak Beye” kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono? Mengapa bukan Pak SBY, SBY, Pak Sus, Pak Susilo, Pak Bambang, Pak Yudhoyono, Bapak Presiden, atau Pak Presiden?

Page 9: Pak Beye dan Istananya

PAK BEYE DAN ISTANANYA

X

Wisnu punya cerita menarik di balik nomenklatur ”Pak Beye” ini, sapaan yang tidak pernah populer, baik dalam keseharian Susilo Bambang Yudhoyono (selanjutnya SBY saja) sebagai Presiden RI maupun tatkala SBY sedang me-narik perhatian massa pada dua kali masa kampanye lalu. Media massa arus utama (mainstream) pun tidak pernah menulis ”Pak Beye” untuk berita seringan dan seakrab apa pun. Bahkan, harian Kompas sendiri, tempat Wisnu bekerja, tidak pernah menggunakan panggilan ”Pak Beye”!

Wisnu menjelaskan soal asal usul nama Pak Beye dalam sebuah posting-an bertanggal 30 September 2008 dengan judul Dari Mana Pak Beye Berasal?. Ia juga menjelaskan asal usul nama Pak Beye saat memberikan testimoni pada acara Kompasiana Blogshop (pelatihan menulis dan liputan jurnalisme warga) di Yogyakarta, 6 Maret 2010. Saat itu, sebagai kompasianer, Wisnu diminta berbagi pengalaman-nya ngeblog dan mem-posting tulisan-tulisannya di Kom-pasiana.

Menurut pengakuan Wisnu, panggilan Pak Beye yang khas itu berasal dari Pak Mayar. Siapa gerangan Pak Mayar yang sudah sedemikian merasuk ke dalam tulisan-tulisan Wisnu saat bercerita tentang SBY? ”Sebutan Pak Beye per-tama kali muncul dari ujaran peladang penggarap miskin di Cikeas Udik bernama Pak Mayar. Di rumah Pak Mayar yang kini sudah dijual karena terdesak kebutuhan hidup, Pak Beye mendeklarasikan koalisi kerakyatan untuk mengim-bangi koalisi kebangsaan yang dideklarasikan Megawati Soekarnoputri”, demikian Wisnu menulis.

Pada acara pelatihan menulis di Yogyakarta, di hadap-an sekitar 100 peserta, berceritalah Wisnu mengenai siapa gerangan Pak Mayar yang kini sudah almarhum itu. Boleh jadi SBY sendiri tidak akan pernah lupa siapa sosok orang tua yang kelihatan sudah ringkih ini sebab Pak Mayar merupakan ikon hidup ”kerakyatan” bagi kampanye SBY.

Page 10: Pak Beye dan Istananya

KATA PENGANTAR

XI

Pak Mayar adalah simbol rakyat sejati dan kerakyatan itu sendiri. Secara sadar, SBY atau tim kampanye SBY saat itu ”menjual” sosok Pak Mayar sebagai simbol dari rakyat In-donesia sesungguhnya.

Rupanya, pilihan Pak Mayar sebagai ikon bernapas ti-daklah keliru sebab citra SBY yang dekat dengan rakyat ter-wakili oleh sosok Pak Mayar. Bayangkan, betapa susahnya memilih ikon hidup untuk mencitrakan seseorang sebagai kebangsaan. Alangkah naifnya kalau sosok kebangsaan disimbolkan dengan sosok seorang bangsawan (biasanya berkuasa dan kaya) untuk kemudian dibenturkan dengan sosok Pak Mayar yang merupakan rakyat sesungguhnya! Pemilihan Pak Mayar sebagai sosok dan simbol kerakyatan dengan sendirinya mampu membendung ”wong cilik” yang sudah tidak lagi diusung rival SBY dalam dua kali pemilu, yakni Megawati, yang mengganti ikon ”wong cilik”-nya dengan ikon kebangsaan. Kerakyatan versus Kebangsaan. Meminjam lirik sebuah lagu, ”Malaikat juga tahu siapa yang jadi juaranya”!

Wisnu sendiri mengaku tak habis pikir dengan polah seorang rakyat bernama Pak Mayar. Kakek ini, misalnya, tiba-tiba saja terheran-heran ketika tanpa diminta rumah-nya didatangi petugas PLN untuk dialiri listrik. Saat Pak Mayar bertanya kepada petugas PLN itu bagaimana cara membayar listrik yang mengalir ke rumahnya, petugas PLN itu tidak perlu menjawabnya karena apa yang dilakukan-nya semata-mata ”alasan tugas”. Memang sangat ironis, ketika SBY bersama timnya mengampanyekan keberhasilan ekonomi yang diraihnya sebagai prestasi, tetapi rumah te-tangga terdekatnya, yaitu Pak Mayar, gelap gulita. Ajaib, petugas PLN pun datang tanpa diminta untuk memasang listrik di rumah bambu Pak Mayar. Alangkah hebatnya kalau semua petugas PLN berbaik hati seperti apa yang me-reka lakukan kepada Pak Mayar!

Page 11: Pak Beye dan Istananya

PAK BEYE DAN ISTANANYA

XII

Wisnu bercerita lagi, Pak Mayar pernah mendapat ban-tuan dana segar Rp 30 juta dari SBY atau tim pemenangan SBY saat itu. Apa yang Pak Mayar lakukan terhadap rezeki nomplok itu? Uang itu dibagi Pak Mayar menjadi tiga ba-gian. Rp 10 juta disumbangkan untuk pembangunan mas-jid, Rp 10 juta lagi disumbangkan kepada semua tetangga dekatnya, dan Rp 10 juta lagi Pak Mayar bagi rata kepada anak-cucunya. Pak Mayar sendiri? Menurut Wisnu, Pak Mayar tidak mengambil uang pemberian itu sesen pun. Mengapa Rp 20 juta bagian terbesar uang itu diserahkan untuk kegiatan sosial? Menurut Pak Mayar, sebagaimana yang diceritakan Wisnu, yang berhak menerima uang itu adalah rakyat banyak, bukan dirinya sendiri yang hanya merupakan bagian dari rakyat!

Karena ucapan Pak Mayar itulah, sosok seorang rakyat kecil yang hidup di Cikeas di dekat kediaman SBY, Wisnu menulis ”Pak Beye” untuk semua posting-an yang terkait dengan kisah, ragam lagak, dan tingkah polah SBY.

Mengapa bagian pertama tetralogi Pak Beye ini harus Pak Beye dan Istananya? Bukan Pak Beye dan Politiknya, Pak Beye dan Keluarganya atau Pak Beye dan Kerabatnya?Tentu saja ada alasannya!

Pertama, selama ini Istana Presiden, siapa pun presiden-nya dan di negara mana pun presiden itu berkuasa, selalu lekat dengan konotasi sakral, suci, dan tak tersentuh. Istana Presiden pada zaman Presiden Sukarno tetap saja disakral-kan, terlebih lagi saat Presiden Soeharto berkuasa selama 32 tahun. Kecuali zaman Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang berhasil mendobrak kesakralan istana, za-man Presiden B.J. Habibie yang tidak lama berkuasa, dan istana zaman Presiden Megawati Soekarnoputri, istana tetaplah angker dan sakral. Anda mungkin bertanya, apa-kah Istana Negara tetap saja sakral, angker, dan seperti tak

Page 12: Pak Beye dan Istananya

KATA PENGANTAR

XIII

tersentuh itu masih berlaku saat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berkuasa?

Membaca Pak Beye dan Istananya ini jawabannya bisa ”ya”, bisa juga ”tidak”. Bisa ”ya” karena petugas protokol Istana tetap memelihara kesakralan dan keangkeran Istana sebagai kantor tempat SBY bekerja. Contoh kecil saja, dalam berpakaian. Tidak diperkenankan siapa pun me-ngenakan kemeja atau celana dari bahan jeans yang biasa dikenakan para cowboy Amerika. Pakaian sudah ditentukan secara resmi, jas atau batik. Ini hanya contoh kecil. Alhasil, tidak mudah bagi siapa pun menembus Istana tanpa bisa mengikuti protokoler yang ditetapkan secara ketat.

Jawabannya juga bisa ”tidak” sebab betapa mudahnya Wisnu sebagai jurnalis mendapat dan menggali cerita sepu-tar Istana Presiden. Tidak ada kesan, Istana Presiden sebagai tempat angker, sakral, dan tak tersentuh ketika cerita demi cerita mengalir deras dari tangan Wisnu.

Kedua, sebagai jurnalis Kompas dan kompasianer atau blogger istana, Wisnu menggali cerita remeh-temeh dan tidak penting. Tetapi, cerita remeh-temeh dan tidak pen-ting ini menjadi bernas dan sangat penting ketika diangkat sebagai sebuah cerita seputar Istana Presiden, seputar Pre-siden SBY dan istananya itu. Seremeh-temeh apa pun cerita Istana Presiden, entah itu persoalan penyedotan cubluk(pembuangan kotoran) Istana sampai mobil-mobil mewah yang kerap terparkir di seputar Istana, akan menjadi cerita tersendiri yang teramat sayang jika dilewatkan begitu saja. Wisnu menceritakannya dengan gamblang tanpa berpre-tensi tudah sana tuduh sini!

Ketiga, unsur ”menarik” dan ”penting” sebagai fitrah dari jurnalisme menjadi kabur di lingkungan Istana Presi-den tatkala Wisnu menceritakan hal-hal sepele dan remeh-temeh menjadi sebuah cerita. Unsur ”penting” dan ”mena-rik” sebagai nilai sebuah berita (news value) dapat dirasakan

Page 13: Pak Beye dan Istananya

PAK BEYE DAN ISTANANYA

XIV

secara indrawi. Katakanlah, kalau SBY menjawab hasil keputusan Rapat Paripurna DPR atas hasil kerja Pansus Ka-sus Bank Century, tentu saja itu berita penting yang harus segera disiarkan agar masyarakat umum segera mengeta-huinya. Tetapi, apakah marahnya SBY kepada salah seorang kerabat dekatnya atau dibuangnya tahi lalat di wajah SBY perlu disiarkan segera kepada publik? Tentu tidak karena ini bukan berita penting, tetapi barangkali berita menarik saja karena bercerita tentang sisi lain Istana.

Uniknya, ketika Wisnu mengangkat kemarahan SBY kepada kerabat dan dibuangnya tahi lalat di wajah SBY ke dalam sebuah tulisan di Kompasiana, tetap saja khalayak Kompasiana menganggap itu berita penting, lebih penting daripada berita pengumuman kenaikan harga BBM yang dilakukan SBY. Menjadi sedikit terbukti bahwa unsur ”pen-ting” dan ”menarik” sebagai nilai sebuah berita atau tulisan menjadi kabur di tangan coretan lepas Wisnu, coretan berupa tulisan yang tidak dimaksudkan untuk dimuat di harian Kompas (karena peristiwa tidak penting), tetapi cu-kup di-posting di Kompasiana sebagai sebuah social mediabaru yang sedang bertumbuh pesat di Indonesia.

Hanya membaca Pak Beye dan Istananya belumlah sempurna tanpa berlanjut dengan membaca Pak Beye dan Politiknya, Pak Beye dan Keluarganya serta Pak Beye dan Kerabatnya. Dengan membaca tetralogi seputar kehidupan politik dan kehidupan pribadi SBY sebagai orang nomor satu di negeri ini, setidak-tidaknya hingga tahun 2014 mendatang, pembaca akan mengenal lebih dekat kehidup-an Istana Negara serta kehidupan unik orang nomor satu negeri ini berserta segenap keluarga dan kerabat dekat di dalamnya.

Selamat membaca!

Pepih Nugraha, Editor

Page 14: Pak Beye dan Istananya

XV

PENDAHULUAN

Bermula dari sebuah tulisan pendek berjudul ”Mencari Cesare Paciotti” yang di-posting di Kompasiana, 16

September 2008, sedikit demi sedikit ”rahasia terdalam” Istana Negara, tempat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) bekerja, mulai terkuak. Presiden RI boleh berganti, mulai dari Sukarno, Soeharto, B.J. Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, sampai SBY. Keenam presiden yang mendiami istana yang sama itu tetap hidup dalam legenda masing-masing dalam urusan kerahasiaan, tabu, dan kesakralan Istana. Protokoler Istana tetap memeli-hara kesakralan ini dari tahun ke tahun, dari masa ke masa, tidak peduli siapa presidennya. Wisnu Nugroho, jurnalis harian Kompas yang bertugas meliput keseharian SBY se-bagai Presiden RI, membuktikan bahwa kerahasiaan sebuah istana tetap bisa disiarkan kepada publik. Bisa dibagikan (share) dan dinikmati publik. Tidak melalui harian Kompastempat Wisnu bekerja, tetapi melalui social blog Kom-pasiana, di mana Wisnu menjadi salah satu kompasianerteraktif di dalamnya.

WISNU, ”KOMPASIANER” PENYINGKAP RAHASIA ISTANA

Page 15: Pak Beye dan Istananya

PAK BEYE DAN ISTANANYA

XVI

Istana Negara ternyata menyimpan cerita unik dan me-narik. Paling tidak, karena masyarakat umum atau warga biasa tidak pernah tahu apa yang terjadi di dalamnya. Bah-kan, mereka yang pernah menjejakkan kakinya di tangga Istana tetap tidak pernah tahu kedalaman atau kerahasiaan istana itu sendiri. Mereka sekadar tahu dari mulut ke mulut, bukan langsung dari cerita wartawan. Yang biasa mereka baca di koran, dengar di radio, atau lihat di televisi adalah peristiwa-peristiwa penting yang harus sesegera mungkin diketahui. SBY menanggapi ditembak matinya teroris, SBY menyatakan belasungkawa atas terjadinya bencana tsu-nami, dan SBY menjawab hasil kerja Pansus Bank Century adalah sebagian kecil saja berita berkualifikasi penting yang layak diketahui publik sesegera mungkin.

Sebagai wartawan, Wisnu menulis berita untuk harian Kompas, media mainstream tempat ia bekerja. Tetapi, soal mobil-mobil mewah yang wara-wiri di Istana atau soal sepatu tamu-tamu istana, sebagaimana posting-an ”Men-cari Cesare Paciotti”, bukanlah berita penting yang tidak harus segera diketahui publik. Bisa disimpan atau dicatat sebagai pengetahuan pribadi bagi yang mengalaminya dan tidak perlu dipublikasikan. Bisa disimpan sebagai bahan cerita kepada kenalan, istri, anak, atau kelak cucu sebagai khazanah pengetahuan terpendam. Tetapi, Wisnu lebih me-milih mencatat, menyiarkan, memublikasikan, atau mem-posting-kannya di blog pribadi di media indie Kompasiana!

Istana Negara ternyata juga menyimpan ironi dan para-doks yang menyesakkan dada, yang selama ini tidak pernah tersingkap. Beribu polah dan gaya pejabat serta tamu istana juga jarang mengemuka. Tamu dengan segala aksesorinya yang kasatmata. Apalagi kalau bukan dilihat dari kenda-raan yang mereka pakai atau baju dan sepatu yang mereka kenakan. Seperti posting-an ”Mencari Cesare Paciotti” yang merupakan posting-an kedua Wisnu di Kompasiana sejak

Page 16: Pak Beye dan Istananya

PENDAHULUAN

XVII

ia bergabung 15 September 2008, yang diam-diam ter-simpan ironi dan paradoks terang benderang di dalamnya. Sulit memang jika dipublikasikan lewat media mainstream,tetapi Wisnu bisa leluasa menyebarkan ironi dan paradoks Istana ini lewat posting-annya di media indie Kompasiana. Khalayak, setidak-tidaknya kompasianer, bisa mengikuti tersingkapnya rahasia demi rahasia Istana Negara lewat posting-an Wisnu.

Soal sepatu, misalnya, tentu saja ini urusan sepele. Silakan cari di koran-koran atau media massa mana pun berita mengenai sepatu yang dikenakan para pejabat yang bertandang ke Istana. Hampir mustahil ditemukan. Akan tetapi, di mata pena Wisnu yang tajam, sepatu pe-jabat menjadi pembuka postingan-postingan-nya yang mengalir deras tak terbendung, bahkan sampai saat Wisnu dialihtugaskan dari Istana ke Yogyakarta. ”Mencari Cesare Paciotti” bercerita mengenai merek sepatu yang dikenakan para pejabat negeri tercinta ini, para pejabat bawahan SBY, yang datang bertandang ke Istana untuk menghadiri aca-ra buka puasa bersama di Istana. Wisnu menulis sebuah posting-an pendek sebagai berikut:

”Lucu juga melihat teras halaman Istana sore tadi. Semua alas kaki pejabat tidak lagi dibiarkan terbaca mereknya yang ajaib-ajaib. Semua alas kaki pejabat yang datang untuk berbuka puasa bersama dibungkus kresek, dinomori tanpa nama pejabatnya, dan ditunggui petugas. Mungkin para pejabat malu memakai alas kaki yang ajaib mereknya atau malu karena ternyata alas kaki yang dipakainya palsu alias buatan Cibaduyut atau Tanggulangin yang sedang menjadi tanggul Lapindo. Sebelumnya, semua alas kaki itu dibiarkan telanjang tanpa kresek sehingga enak sekali me-ngenali mereknya. Atau mungkin para pejabat malu pakai

Page 17: Pak Beye dan Istananya

PAK BEYE DAN ISTANANYA

XVIII

alas kaki itu sementara banyak anak-anak tak beralas kaki ke sekolah.”

Posting-an yang cukup satu alinea saja, tetapi sarat dengan pesan. Ada ironi di sana, bahkan kasarnya, kemu-nafikan, dari para pejabat yang selama ini getol menggem-bar-gemborkan kampanye ”cintailah produk-produk dalam negeri”. Kenyataannya? Mereka seperti berlomba-lomba membeli sepatu asing bermerek yang harganya kadang sulit dicerna akal. Inilah sesungguhnya beritanya, ini sesung-guhnya pesannya! Pesan sepele dan remeh-temeh ini jauh lebih penting dan bermakna daripada sekadar memberita-kan ”sejumlah pejabat negara menghadiri acara buka puasa di Istana”, misalnya. Apa urusannya pejabat negara buka puasa di Istana? Anak-anak sekarang mungkin mengatakan ”nggak penting” atau ”emang gue pikirin”. Tetapi, simak posting-an pendek yang hanya satu alinea di atas.

Aslinya, posting-an itu dibumbui penyedap berupa dua foto. Foto pertama menampilkan seorang petugas perem-puan di Istana Negara yang khusus menjaga sepatu-sepatu para pejabat yang semuanya sudah terbungkus rapi dan berselimutkan kantong plastik putih. Selintas mirip jena-zah yang dibungkus kain kafan. Mengapa harus dibungkus rapat? Tidak lain agar mereknya yang mendunia itu ti-dak terbaca oleh umum. Salahkah merek sepatu diketahui umum? Untuk apa para pejabat itu mengenakan sepatu yang mahal-mahal kalau untuk disembunyikan? Bukankah mengenakan sepatu mahal dan bermerek itu untuk diper-lihatkan dan dikomunikasikan kepada umum sebagai pen-capaian prestasi diri? Justru di sinilah ironinya!

Pada foto kedua, ditampilkan rak yang terisi sepatu para pejabat. Bedanya, pada foto kedua ini sepatu-sepatu itu dibiarkan telanjang tanpa bungkus sehingga semua orang bisa melihat dan mengagumi keindahan serta kemewahan-

Page 18: Pak Beye dan Istananya

PENDAHULUAN

XIX

nya, yang tentu saja berbeda bagai langit dan bumi diban-ding sepatu produksi dalam negeri. Semua orang bisa saja melihat dan mengagumi merek-merek ajaib itu, tetapi be-lum tentu mencatatnya secara detail, seperti yang dilakukan Wisnu. Terlebih lagi, Wisnu membagikan hasil pencatatan cermatnya itu kepada kompasianer. Perbandingan dua foto sederhana, tetapi cukup mengentak dan mengejutkan!

Wisnu tidak menjelaskan, ini atas inisiatif siapa. Inisiatif para pejabat negara si empunya sepatukah, inisiatif petugas perempuan penjaga sepatu para pejabat, atau malah inisia-tif SBY sendiri. Ah, masak sih Presiden mengurusi hal-hal sepele semacam itu!? Pasti bukan Presidenlah! Wisnu tidak ambil pusing siapa yang berinisiatif ”mengafani” (karena selintas mirip kain kafan tadi) sepatu para pejabat itu, dia hanya memotret dengan kamera saku yang katanya punya kantor dan mencatat peristiwa remeh-temeh itu, memban-dingkan sebelum dan sesudah serta membagikannya kepa-da publik. Tidak ambil pusingnya Wisnu karena mungkin ia tidak ditanya detail dan bernada interogatif para editornya di kantor. Toh Wisnu merasa dia menjadi pelapor sekaligus editor bagi dirinya sendiri.

Antara Penting dan MenarikAda aksi, ada reaksi. Atau sebaliknya, ada reaksi ada

aksi. Dibungkusnya sepatu para pejabat negara itu tentu saja aksi hasil suatu reaksi. Usut punya usut, reaksi itu tim-bul tatkala Wisnu menulis news feature singkat di harian Kompas edisi 13 September 2008 berjudul ”Melongok Alas Kaki Para Pejabat”. Cerita bermula ketika SBY mengundang para pejabat menghadiri miladnya yang ke-59 di Istana Negara pada 9 September 2008. SBY lahir di Pacitan, Jawa Timur, pada 9 September 1949. Sesungguhnya, tulisan Wisnu secara tidak langsung menyentil perilaku para pe-jabat yang inkonsisten antara perkataan dan perbuatan.

Page 19: Pak Beye dan Istananya

PAK BEYE DAN ISTANANYA

XX

Perkataan: cintai dan gunakan produk dalam negeri! Per-buatan: nyatanya para pejabat negara itu lebih suka meng-gunakan produk luar negeri! Wisnu menyentil:

”Pasar bebas dan kerapnya para pejabat atau anggota keluarganya pergi ke luar negeri membuat sejumlah me-rek alas kaki luar negeri bertebaran di rak alas kaki yang disediakan.”

Hasil pengamatan Wisnu terhadap sepatu-sepatu berke-las itu ialah kebanyakan pejabat laki-laki memakai sepatu kulit merek Bally, misalnya sepatu yang kerap dipakai Men-teri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas saat itu, Paskah Suzetta. Merek sepatu lainnya adalah Cesare Paciotti (buatan Italia) yang dikenakan Ke-pala Polri saat itu, Jenderal (Pol) Sutanto. Wisnu juga me-nulis detail merek-merek sepatu yang dipakai para pejabat negara, antara lain Ferragamo, Tod’s, Andre Valentino, dan Hush Puppies. Sementara merek sepatu istri pejabat atau pejabat perempuan, antara lain, adalah Everbest, Edmon K, St. Moritz, Vincci, dan Lulu. Saking detailnya, Wisnu sem-pat-sempatnya mencatat merek sepatu anak-anak pejabat negara ini, antara lain Dr Martens, Kickers, Puma, dan Nike.

Lantas, Wisnu menutup tulisan tentang sepatu pejabat negara itu dengan kalimat:

”Ada satu keluarga pejabat yang tidak terbaca merek alas kakinya karena seluruh sepatu mereka dibungkus dengan tas plastik kresek. Pejabat ini punya tugas berhubungan dengan rakyat kecil. Dari upaya melongok merek alas kaki pejabat dan keluarganya di Istana Negara, sulit menemu-kan merek alas kaki dalam negeri.”

Page 20: Pak Beye dan Istananya

PENDAHULUAN

XXI

Apakah berita/tulisan itu penting atau menarik? Terserah penilaian sidang pembaca. Mungkin mayoritas jatuh pada pilihan ”menarik” karena toh hanya berita remeh-temeh. Ini tidak keliru sebab soal sepatu pejabat tidak berkaitan langsung dengan hajat hidup orang banyak. Berita itu ti-dak juga harus sesegera mungkin diketahui khalayak. Jadi, sah-sah saja untuk pilihan ini.

Terhadap pilihan bahwa berita itu ”penting”, ini juga tidak salah jika kaitannya dengan urusan moral, dalam hal ini moral para pejabat negara. Aspek moral di sini tidak terkait langsung dengan praktik-praktik amoral para peja-bat, katakanlah kriminal atau korupsi. Moral di sini hanya persoalan inkonsistensi antara perkataan dan perbuatan. Mungkin sekadar menyentil soal ”kepekaan” para pejabat negara, bukan melarang para pejabat negara mengguna-kan produk luar negeri dan memakai sepatu buatan negeri asing.

Simak, misalnya, dua komentar pembaca Kompasiana menanggapi posting-an ”Mencari Cesare Paciotti”:

”Membaca tulisan di atas, membuat saya tak berani ter-tawa. Karena, ’pemandangan’ anak-anak tanpa alas kaki di sekolah pedesaan sudah menjadi ’pemandangan’ umum bagi saya. Kemudian saya berpikir, harga sepasang sepatu para pejabat yang disembunyikan pakai kresek itu mung-kin bisa digunakan untuk membeli 100 pasang sepatu anak yang bersekolah di pedesaan. Daripada anak-anak bersekolah tanpa alas kaki, melewati tajamnya ilalang dan jalan tanah berdebu. Berapa banyak pasang sepatu anak yang bisa dibeli dari sepatu para pejabat yang terbungkus kresek putih itu, ya?” (Arthurio Oktavianus Arthadiputra)

Atau, komentar kompasianer lainnya berikut ini:

Page 21: Pak Beye dan Istananya

PAK BEYE DAN ISTANANYA

XXII

”Sepatu oh sepatu. Artinya pesanmu ’sampai’, Pak. Agak aneh juga melihat sedemikian reaktifnya Istana demi menutupi merek-merek sepatu itu. Bisa jadi tindakan ini merupakan bentuk ’kemaluan’ pejabat pada anak-anak sekolah di pelosok yang harus ’nyeker’ tiap hari. Atau mungkin juga ini sekadar mengantisipasi ’nada miring’ seorang laki-laki wartawan, berambut gondrong, calon bapak dua anak (maksudnya Wisnu, ed), yang iseng dan gemar mengangkat hal-hal tidak penting namun mem-buatnya menjadi cukup agak penting. Oya, yang menu-rutku menyedihkan... demi menutupi merek-merek sepatu para pejabat tadi, rakyat harus ’merelakan uangnya’ untuk belanja kresek-kresek pembungkus. Mending uangnya buat beli ’sebenar-benarnya sepatu’ bagi anak-anak yang tak pernah bersepatu… Ya kan?” (Lusi)

Semula ”Undiscover Story”Dari masa ke masa, sudah banyak wartawan harian

Kompas yang bertugas di Istana meliput keseharian presi-den dan wakil presiden. Sebut saja, antara lain, Ansel da Lopez, Taufik H. Mihardja, Rien Kuntari, J. Osdar, Suhar-tono, dan Wisnu Nugroho. Para wartawan istana ini menu-lis berita penting yang harus sesegera mungkin diketahui pembaca. Mereka juga memiliki cerita unik dan menarik terkait dengan ”rahasia” istana, termasuk di dalamnya perilaku presiden dan wakil presiden, para ibu negara, ke-luarga, kerabat dekat, bahkan orang-orang yang selintas tidak penting yang keluar masuk Istana. Hanya saja, cerita itu disampaikan secara lisan dan terbatas diceritakan di lingkungan kerja, yakni di Redaksi Harian Kompas di Jalan Palmerah Selatan, Jakarta.

Pada zaman Soeharto berkuasa, misalnya, wartawan istana biasa ditunggu-tunggu untuk ditanggap, sekadar berbagi gosip hangat dan bahkan panas mengenai kehidup-

Page 22: Pak Beye dan Istananya

PENDAHULUAN

XXIII

an pribadi anak-anak Soeharto. Si A punya pacar baru lho,artis! Si B bikin perusahaan baru lho, berkongsi dengan si Pulan. Atau, wah, salah satu cucu Presiden sekarang punya mobil balap yang di Indonesia cuma dia satu-satunya yang punya. Meski ini cerita menarik (dengan sendirinya tidak penting), jarang atau tidak pernah ditampilkan sebagai berita resmi Istana di media mainstream di harian Kompas.Begitulah, cerita Istana mengalir deras dan selintas. Dipa-parkan langsung oleh wartawan istana selaku ”saksi mata” tanpa ada yang bisa mencatatnya kendati oleh si warta-wannya sendiri.

Wisnu sedikit berbeda dengan cara wartawan istana sebelumnya dalam menyingkap ”rahasia” Istana Negara atau istana tempat presiden bekerja. Wisnu, yang saat tulisan ini dibuat ditugaskan di harian Kompas edisi Yog-yakarta sebagai subeditor, tidak semata-mata mencatat dan menceritakannya secara lisan kepada keluarga atau kerabat dekatnya. Lebih dari itu, Wisnu menyebarkan dan memublikasikan hasil pencatatannya itu melalui social me-dia Kompasiana. Mengapa Kompasiana, tidak blog pribadi atau akunnya di Facebook? Wisnu yang mulai bergabung dengan harian Kompas sejak tahun 2001 itu punya alasan. ”Interaktivitasnya yang luar biasa,” demikian alasannya kepada peserta pelatihan menulis Kompasiana Blogshop di Yogyakarta, 6 Maret 2010. Syarat adanya interaktif ada-lah adanya khalayak (visitor) yang masif. Mari kita sedikit membuat perbandingan!

Katakanlah sebuah posting-an Wisnu taruh di Face-book miliknya. Posting-an itu hanya bisa dinikmati oleh teman-teman Wisnu, tidak bisa dibaca oleh 150 juta face-booker dunia. Kalau teman facebooker Wisnu merujuk pada akunnya di situs pertemanan sejagat per akhir Maret lalu ”hanya” 1.400-an, sebanyak temannya itulah satu posting-annya kemungkinan dibaca. Bandingkan saat satu tulisan

Page 23: Pak Beye dan Istananya

PAK BEYE DAN ISTANANYA

XXIV

di-posting di Kompasiana yang memiliki sedikitnya 19.000 anggota (member registered) dan dibaca oleh lebih kurang 1,7 juta absolute unique visitor per bulan, sebagaimana terukur di Google Analytics, maka satu tulisan Wisnu di-mungkinkan dibaca oleh khalayak yang masif sebanyak itu.

Itulah sebabnya saat satu artikel di-posting-kan, bebe-rapa menit kemudian kompasianer sudah menanggapinya. Sebagai penulis, Wisnu juga meladeni setiap komentar yang masuk sehingga kompasianer pemberi komentar bisa membaca langsung tanggapan dari si penulis, dalam hal ini Wisnu sendiri. Suatu interaksi yang tidak mungkin terjadi di media cetak, bahkan elektronik sekalipun! ”Terus terang, saya menjadi ketagihan menulis hal-hal yang sepele dan remeh-temeh tentang Pak Beye dan istananya di Kom-pasiana,” kata Wisnu dalam suatu testimoni terbuka di Yogyakarta.

Boleh jadi Wisnu terkondisikan oleh tengah marak-maraknya situs pertemanan dan blog saat yang bersang-kutan ditugaskan di Istana selama kurun waktu tahun 2004 hingga 2009 sebelum ditugaskan di Yogyakarta. Sebagai wartawan yang terbiasa menulis untuk media cetak, lewat posting-an seputar ”rahasia” Istana Negara itu Wisnu me-masuki dan membiasakan diri menulis untuk media online,dalam hal ini Kompas.com dan kemudian Kompasiana. Dalam waktu yang tidak terlalu lama, Wisnu sudah men-dapat tempat tersendiri di hati para kompasianer. Sekadar melirik bagaimana populernya Wisnu di mata para pen-gagumnya, bisa dilihat di Alexa.com, di mana di situs pe-ranking itu orang yang mengetik langsung alamat Wisnu Nugroho di Kompasiana (http://kompasiana.com/wisnunu-groho) sebanyak 6,3 persen dari semua pengunjung yang masuk ke Kompasiana. Bandingkan dengan kompasianerlain, seperti Edi Taslim dan Pepih Nugraha yang ”hanya” mencapai 1,7 persen!

Page 24: Pak Beye dan Istananya

PENDAHULUAN

XXV

Demikianlah, selain interaktivitas sebagai Web 2.0, me-nulis di Kompasiana serba terukur. Tidak sekadar berapa orang yang membaca posting-an dan mengomentari se-buah tulisan seorang kompasianer seperti Wisnu, seberapa populer seorang kompasianer pun bisa terukur. Lewat situs pe-ranking Alexa.com, dengan mudah kita mengetahuinya. Kultur serba terukur ini berbeda dengan media cetak, di mana sebuah tulisan tidak bisa diukur seberapa banyak pembaca yang membaca tulisan itu. Sejujurnya, seorang wartawan sejatinya tidak bisa mengklaim diri bahwa tu-lisannya telah dibaca dan disuka banyak orang. Tentu saja itu dari hal-hal yang sifatnya terukur, bukan bicara soal in-fluence atau pengaruh sebuah pemberitaan. Hal yang biasa dilakukan lembaga survei internal ataupun eksternal paling sering mengukur seberapa besar sebuah rubrik dalam surat kabar digemari dan dibaca banyak orang, bukan tulisan seseorang!

”Ruang Pamer” Mobil MewahTidak banyak diketahui khalayak mengenai isi dan ak-

tivitas Istana Negara tempat SBY bekerja mengurus bangsa dan negara, juga Istana Merdeka tempat sesekali SBY dan keluarga tinggal, selain berita-berita penting yang di-tulis oleh para wartawan istana. Barulah setelah membaca posting-an Wisnu, hal-hal sepele, seperti keluar-masuknya kendaraan atau mobil pribadi para tamu dan pejabat negara (serta mobil keluarga pejabat negara), menjadi ”lebih pen-ting” daripada sekadar berita-berita penting lainnya yang terbaca di media-media massa arus utama, yakni media cetak, elektronik, ataupun online. Posting-an soal kenda-raan ditempatkan pada bagian pertama dari enam bagian buku Pak Beye dan Istananya ini sebagai pemikat (teaser).Tercatat, 15 posting-an bersangkut paut dengan kendaraan pejabat negara, keluarga SBY, atau kerabat dekat Presiden.

Page 25: Pak Beye dan Istananya

PAK BEYE DAN ISTANANYA

XXVI

Dari posting-an sebanyak itu, satu di antaranya, yakni ”Mikrolet dan Metromini di Istana”, tidak terkait dengan mobil milik pejabat negara, Presiden dan keluarganya, tamu istana, atau kerabat dekat Presiden. Dalam posting-an ini, misalnya, Wisnu bercerita, tiba-tiba saja mikrolet dan metromini sebagai kendaraan angkutan umum Jakarta bisa masuk Istana. Wisnu menulis:

”Mikrolet dan metromini menjadi ajaib ada di Istana kare-na ada larangan untuk angkutan umum masuk kompleks Istana. Bahkan taksi saja yang statusnya hanya setengah angkutan umum terlarang masuk Istana. Keajaiban itu makin terasa karena jumlah mikrolet dan metromini yang masuk Istana makin banyak saja.”

Usut punya usut mengapa dua jenis kendaraan umum bisa masuk Istana, ternyata ada kaitannya dengan kegiatan kampanye Pemilu 2009. Kendaraan angkutan umum digu-nakan mengangkut massa pendukung SBY, baik yang me-namakan diri majelis zikir maupun nama massa pendukung SBY lainnya. Wisnu tidak beropini, apakah hadirnya metro-mini dan mikrolet di Istana sebagai sudah mulai runtuhnya kekakuan Istana yang terbiasa dengan mobil-mobil mewah atau kepentingan politik bisa mengalahkan segala-galanya, di mana hal yang terlarang pun menjadi boleh-boleh saja. Kendaraan umum itu contohnya.

Tentu saja cerita tidak sampai di sini sebab ironi dan paradoks segera terbaca tatkala Wisnu bercerita mengenai dua mobil supermewah, Bentley dan Rolls-Royce, yang tentu berbeda nasib dengan metromini dan mikrolet. Dua posting-an mengenai mobil supermewah itu adalah ”Bent-ley di Istana” dan ”Rolls-Royce di Istana”. Tentu saja dua kendaraan supermewah itu dari seri yang terbaru.

Page 26: Pak Beye dan Istananya

PENDAHULUAN

XXVII

Sekadar pengetahuan ringkas, kedua kendaraan su-permewah itu merupakan buatan Inggris. Bentley yang didirikan pada 18 Januari 1919 oleh Walter Owen Bentley dibuat sangat terbatas meski penyebarannya bisa sampai ke seluruh dunia, tergantung dari pesanan.Tidak banyak yang mengetahui bahwa sejak 1998 pabrik kendaraan yang memproduksi sedan ini dimiliki Volkswagen, pabrik mobil asal Jerman. Adapun Rolls-Royce mulai diproduksi tahun 1906 dan sangat terbatas sesuai dengan pesanan. Di Jakarta, beberapa mobil Rolls-Royce jenis Phantom yang pertama kali diproduksi tahun 2005 terlihat wara-wiri di jalan raya.

Adakah Rolls-Royce jenis itu yang diceritakan Wisnu saat mobil supermewah tersebut masuk Istana? Wisnu tidak bercerita detail kedua sedan itu, baik dalam dua posting-an di atas maupun kelanjutan cerita dari ”Rolls-Royce Siapa”. Siapa pemiliknya, mungkin tidak penting buat Wisnu. Bahwa mobil-mobil supermewah itu kenyataannya ada di Istana, itulah yang menarik dan mengusik perhatiannya. Pada posting-an ”Bentley di Istana” Wisnu menulis:

”Karena istimewanya, sedan Bentley ini diparkir di tempat yang sangat teduh. Mungkin takut terpapar langsung sinar matahari, sedan Bentley itu diparkir di bawah tenda yang biasa dipakai Bu Ani (Ibu Negara, Red) untuk mempro-mosikan program Indonesia Pintar di seluruh Indonesia, bahkan ke daratan China. Saya tersenyum melihat tu-lisan di tenda itu, terutama melihat ada sedan Bentley di bawahnya. ’Gemar membaca, meraih cita-cita’. Apa raihan cita-cita Anda? Semoga sedan Bentley salah satunya. He-he-he-he.”

Mobil-mobil yang parkir di Istana juga menyimpan kisah tragis dan ironis, seperti yang tergambar dalam

Page 27: Pak Beye dan Istananya

PAK BEYE DAN ISTANANYA

XXVIII

posting-an ”Kijang”, yang menceritakan bagaimana Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi saat itu, Taufiequrachman Ruki, dicegat tidak bisa masuk Istana hanya karena me-ngendarai Toyota Kijang. Wisnu menggambarkan kepada pembacanya bahwa mobil setara Kijang yang dikenal se-bagai mobil ”sejuta umat” itu pun sulit masuk Istana selain mobil-mobil mewah. Tetapi, mobil Kijang juga membawa cerita lain yang tak kalah menariknya, yakni saat Menteri Perindustrian kala itu, Fahmi Idris, terpaksa harus kembali menunggangi mobil yang lebih besar dan mewah. Padahal, sebelumnya, menteri yang harus memberikan contoh ke-pada rakyat agar membiasakan diri menggunakan produk-si dalam negeri itu menggunakan Kijang (yang berbahan baku lokal) kalau bertandang ke Istana. Apa boleh buat, memberikan contoh terbaik buat rakyat itu ternyata sulit!

Bertebarannya mobil-mobil mewah di Istana membuat Istana identik dengan ”ruang pamer” (showroom). Beberapa merek mobil mewah yang terparkir di Istana dan sempat dicatat dan dipublikasikan Wisnu, antara lain, Lexus, Audi, Mercedes-Benz, dan Alphard. Pembaca bisa menjelahi cerita Wisnu dengan mobil-mobil istananya, berikut siapa pemilik atau penunggangnya.

Ananda dan Menteri PerempuanAdakah hal yang aneh tatkala para pebalap mobil

papan atas, seperti Ananda Mikola, Moreno, dan Tommy Soeharto (Hutomo Mandala Putra), bertemu SBY di suatu tempat khusus? Mungkin biasa saja. Semua warga negara Indonesia sejatinya bisa bertemu presidennya, baik di Istana maupun di tempat lain, apalagi orang sekaliber Tommy yang pernah dibesarkan di Istana. Siapa juga yang me-larang, bukan? Tetapi, dalam salah satu posting-an pada bagian kedua buku Pak Beye dan Istananya yang mengupas orang-orang penting atau nama-nama beken yang pernah

Page 28: Pak Beye dan Istananya

PENDAHULUAN

XXIX

bertandang ke Istana, Wisnu tidak menonjolkan Tommy yang pernah disebut-sebut anak kesayangan Soeharto itu. Bukan karena Tommy sudah tidak pantas lagi diberitakan, melainkan Ananda Mikola, pebalap muda putra mantan pebalap kenamaan Tinton Soeprapto, menjadi daya tarik tersendiri buat Wisnu berhubung dengan peristiwa yang menyertainya saat itu.

Pada foto yang menyertai posting-an itu, Wisnu men-ceritakan sebuah peristiwa biasa saat Ananda, Moreno, dan Tommy terlihat tersenyum renyah mengenakan batik saat berada di halaman Museum A.H. Nasution. Mereka menunggu peninjauan yang dilakukan oleh SBY dan Nyo-nya, Wapres Jusuf Kalla dan Nyonya, para menteri, para pe-tinggi militer, dan tentu saja mantan petinggi militer. Pada posting-an berjudul ”Ananda dan Moreno pada Hari-H”, Wisnu menulis begini:

”Semula foto ini tidak saya pedulikan. Saya ambil foto ini karena penasaran dengan Tommy Soeharto yang ternyata sudah terlihat tua juga setelah lama tidak terdengar kabar beritanya. Namun, setelah membaca dugaan kasus peng-aniayaan yang dilakukan Ananda Mikola kepada Agung Setiawan, saya jadi teringat foto itu. Lebih-lebih, dalam kronologi versi polisi yang muncul di sejumlah pemberita-an, dugaan penganiayaan dilakukan pada hari yang sama ketika foto itu saya ambil di sela-sela acara Pak Beye.”

Kebetulan. Memang cuma kebetulan. Tetapi, apa yang dilaporkan Wisnu soal orang-orang penting dan beken di Istana tetaplah mengandung ironi. Kasus Ananda dan Agung sudah masuk persidangan dan bahkan melibatkan seorang artis cantik, yang belakangan dikenal sebagai keka-sih Ananda. Jika benar seperti yang disangkakan penyidik dan saksi-saksi bahwa Ananda menganiaya Agung sampai

Page 29: Pak Beye dan Istananya

PAK BEYE DAN ISTANANYA

XXX

babak belur dan sebelumnya disebut-sebut menculik kor-ban, kehadiran Ananda Mikola di Istana menjadi sangat menarik. Bukan karena persoalan waktu terjadinya peris-tiwa yang disebut Wisnu sebagai ”pada hari yang sama”, melainkan lagi-lagi lebih karena persoalan ironi. Timbul dalam benak satu pemikiran, bagaimana mungkin seorang anak muda seperti Ananda tampil bersama atau berada di tengah-tengah Presiden SBY sambil senyam-senyum, padahal beberapa saat sebelumnya mungkin baru saja menghajar anak bangsa sesamanya sampai babak belur? Luar biasa!

Pada bagian kedua buku ini yang bercerita mengenai orang-orang penting, satu tulisan Wisnu yang bernada ironi juga tergambar dari ”Melihat Pak Beye Ga Pede”. Wisnu bercerita mengenai betapa SBY tidak percaya diri saat harus menyampaikan perintah keenam dari ”Sepuluh Perintah Yudhoyono” yang disampaikan selama satu jam di atas mimbar. Apa gerangan perintah keenam itu? Tidak lain sebuah perintah klise yang sudah disampaikan beru-lang-ulang sejak Orde Baru berkuasa. Perintah keenam itu berbunyi, ”Mari kita lakukan (lagi) kampanye besar-besaran untuk mengonsumsi produk dalam negeri”! Wisnu menulis:

”Seusai rapat yang berlangsung sekitar empat jam dengan hasil ’Sepuluh Perintah Yudhoyono’ itu, para menteri pergi berhamburan. Seorang menteri perempuan berjalan diiringi ajudan laki-lakinya yang berbadan tegap dan berambut cepak tentu saja. Tidak ada yang aneh semu-la, tulisnya, tetapi ketika kain penutup tas jinjing tersapu angin, ironi itu mulai menjadi nyata. Ajudan laki-laki itu menjinjing tas perempuan. Bukan sembarang tas, tetapi tas kulit berwarna putih bergagang sepuh warna emas de-ngan logo LV (Louis Vuitton) berwarna-warni memenuhi permukaan kulitnya. Tas jinjing itu ditutupi kain karena

Page 30: Pak Beye dan Istananya

PENDAHULUAN

XXXI

takut menggagalkan Perintah Keenam Pak Beye untuk mengonsumsi produk dalam negeri. Atau, jangan-jangan tas itu palsu sehingga harus ditutup-tutupi?”

Wisnu mengakhiri posting-annya dengan catatan pem-banding:

”Di Plaza Indonesia, tas jinjing putih dengan logo LV berwarna-warni dibanderol dengan harga belasan juta. Mari memerintahkan para pejabat mengampanyekan hal yang mereka tidak turuti!”

Selain bercerita tentang orang-orang penting di Istana, Wisnu juga tidak melupakan orang-orang tidak penting yang pernah masuk Istana. ”Orang tidak penting” di sini dimaksudkan kebalikan dari VIP alias very important per-son, yang belum ada padanannya dalam bahasa Inggris. Mungkin lebih tepat disebut ordinary people atau orang biasa saja. Contohnya, pada posting-an ”Terkulai Saat Pak Beye Berpidato” di bagian tiga buku ini, yang mencerita-kan pingsannya seorang anggota Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI) yang duduk paling depan saat mendengar-kan SBY berpidato.

Demi melihat purnawirawan sepuh itu pingsan, spontan SBY berhenti memberikan sambutan, disusul bergegasnya sejumlah perangkat kepresidenan datang untuk membantu. Wisnu mencatat:

”Bu Ani yang semula duduk berdiri menghampiri anggota LVRI yang terkulai itu. Semua mata kemudian tertuju ke situ. Dari podium, Pak Beye memerintahkan agar yang terkulai diistirahatkan di dalam ruangan yang memang sudah disediakan. Menurut Pak Beye, kejadian itu biasa

Page 31: Pak Beye dan Istananya

PAK BEYE DAN ISTANANYA

XXXII

terjadi. ’Kita saja yang lebih muda sering kelelahan, apa-lagi yang sepuh’.”

Dari cerita Wisnu mengenai orang-orang yang tidak penting di Istana, kita menjadi tahu bahwa SBY tidak me-lulu dikelilingi pasukan pengawal yang berpakaian militer lengkap maupun berpakaian sipil. SBY tidak melulu di-kelilingi pejabat-pejabat penting, seperti anggota kabinet, di mana anak-anak sekolah dasar pun bisa mengenalinya karena diharuskan menghafalnya. Ternyata, SBY juga bisa ditemani orang-orang tidak penting, seperti tukang urut pribadi atau petugas khusus tukang angkut gitar SBY. Pem-baca tahu bahwa SBY senang main gitar dan mencipta lagu. Gitar itu selalu dibawa oleh petugas khusus ke mana pun SBY pergi bertugas.

Ada juga Iwan yang Wisnu sebut ”bekerja dalam se-nyap” di Istana. Sebagai karyawan istana, tugas dan tang-gung jawab Iwan dan kawan-kawannya adalah membawa podium garuda dan pelantangnya, demikian Wisnu me-nyebut perangkat sound system, yang secara khusus dibuat untuk SBY, tulisnya. Wisnu juga bercerita mengenai tukang pijat pribadi SBY bernama Apiaw, sebagaimana tergambar dalam tulisan ”Kepelintir, Serahkan Saja kepada Apiaw”:

”Karena setiap Pak Beye berbicara di depan rakyat yang memberinya mandat harus menggunakan pelantang, maka podium garuda dan pelantangnya harus selalu dibawa ke mana pun Pak Beye akan berada dan berbicara di seluruh Nusantara.”

Cium Tangan WartawanAkhir tahun 2009, Wisnu harus meninggalkan Istana

yang telah dimasukinya sejak 2004 untuk bertugas di tempat baru, yakni Yogyakarta. Di tempat baru ini Wisnu

Page 32: Pak Beye dan Istananya

PENDAHULUAN

XXXIII

mendapat tugas sebagai subeditor dan wakil kepala biro untuk harian Kompas edisi daerah tersebut. Meski telah bertugas di Kota Gudeg, Wisnu mengaku tidak melupakan Istana sama sekali. Ia tetap mengikuti aktivitas Istana dan Pak Beye-nya dari jauh. Wisnu juga mengaku masih me-miliki dan menyimpan file foto-foto kegiatan Istana yang berkualifikasi remeh-temeh dan tidak mungkin dimuat di media arus utama, yang sewaktu-waktu ia munculkan juga di Kompasiana. Ibarat merekonstruksi suatu peristiwa, foto-foto itu berserakan dari adegan ke adegan. Namun, dengan ketekunannya, Wisnu bisa merangkai potongan-potongan foto itu menjadi sebuah peristiwa yang penuh cerita me-narik. Contohnya, posting-an ”Jangan Cium Tangan” yang terdapat pada bagian keempat buku ini.

Entah dari mana muasalnya, ciuman di Istana, tentu saja maksudnya mencium tangan Presiden SBY, tiba-tiba menjadi ”tren” di kalangan orang-orang tertentu. Entah apa maksud dan tujuan serangkaian aksi cium tangan itu, yang biasa dilakukan di kalangan Nahdlatul Ulama saat para santri mencium tangan para kiai atau orang tua yang lebih dihormati. Kecuali pada saat Gus Dur menjadi presi-den, zaman Bung Karno, Pak Harto, Pak Habibie, dan Mbak Mega tidak pernah terlihat dan terekam di foto siapa pun mencium tangan sang presiden. Paling tidak, salaman resmi saja sambil sedikit membungkukkan badan, tidak sampai membungkukkan badan lebih rendah lagi agar bisa men-cium tangan presiden. Hal-hal sepele ini ternyata masih Wisnu amati, seperti halnya cium tangannya Ketua Per-satuan Wartawan Indonesia (PWI) meski dari tempat yang berjarak dari Istana.

Wisnu tidak menyalahkan, apalagi menghujat, perilaku sang wartawan senior yang secara terbuka mencium tangan SBY. Wisnu cuma sedikit mempersoalkan bahwa cium ta-ngan kepada SBY itu seharusnya dilakukan oleh anggota keluarga SBY sendiri, bukan oleh orang yang tidak ada

Page 33: Pak Beye dan Istananya

PAK BEYE DAN ISTANANYA

XXXIV

hubungan keluarga. Memang, sih, apa salahnya seorang rakyat mencium tangan presidennya? Tidak ada aturan atau undang-undang yang melarangnya, bukan? Tetapi, tetap saja Wisnu, barangkali merasa sesama wartawan dengan Ketua PWI itu, merasa harus memberikan catatan pada tulisannya sebagai berikut:

”Lima tahun main ke Istana membuat saya merasa, Pak Beye bukan seorang yang bermental feodal. Karena tak bermental feodal, saya merasa Pak Beye tidak nyaman juga dicium tangannya seperti itu. Apalagi oleh orang yang bukan anggota keluarga. Kalau anggota keluarga atau orang yang sudah dianggap sebagai keluarga, saya tidak mempersoalkan cium tangannya.”

Uniknya, selain foto Ketua PWI yang sedang mencium tangan SBY yang dipotret oleh fotografer khusus Istana, Wisnu juga mem-posting-kan file-file lama yang berkaitan dengan aksi cium tangan kepada Presiden SBY, antara lain, foto Sudi Silalahi yang sedang mencium tangan SBY, juga seorang rakyat di Medan yang mengidolakan SBY. Silakan Anda, sidang pembaca, sendiri yang menerka dan mereka-reka, kira-kira apa di balik aksi cium tangan Sudi yang pe-jabat negara, sang wartawan Ketua PWI, atau seorang warga biasa di Medan kepada Presiden SBY itu? Mana aksi yang lebih genuine dan natural di antara ketiganya dan aksi yang tanpa pretensi apa-apa? Pembaca bisa menilainya sendiri!

Umumnya, Wisnu menulis artikel atau posting-annya pendek-pendek, sesuai sifat (nature) media online yang diharuskan bergaya staccato alias pendek-pendek, seperti terpenggal-penggal itu. Kecuali, barangkali, satu posting-an berjudul ”Teror di Bawah Pohon Bodhi”, yang meng-gambarkan Presiden SBY tengah memberikan keterangan pers terkait ancaman teroris yang langsung mengancam

Page 34: Pak Beye dan Istananya

PENDAHULUAN

XXXV

keselamatan diri Presiden. Inilah posting-an terpanjang Wisnu yang pernah dibuat untuk Kompasiana. Ia juga me-nyertakan foto yang memperlihatkan SBY tengah menun-juk pipinya sendiri sesuai coretan yang dibuat kelompok teroris sebagai sasaran tembak, sebagaimana ditunjukkan oleh foto-foto yang diperoleh dari badan intelijen itu. Yang membuat posting-an ini bisa disebut paling panjang adalah karena Wisnu menyertakan lengkap kata per kata (verba-tim) ucapan SBY saat menjelaskan ancaman terhadap diri-nya itu oleh kelompok teroris. Silakan pembaca menelaah dan membacanya sendiri!

Tahi Lalat SBYDari ratusan posting-an Wisnu di Kompasiana, pos-

tingan-postingan yang terkumpul pada bagian kelima dan keenam buku ini, masing-masing ”Pernik-pernik Pak Beye” dan ”Istana Punya Cerita”, adalah bagian yang teringan atau paling remeh-temeh. Bagaimana tidak remeh-temeh, persoalan menghilangnya tahi lalat di wajah SBY sampai ponsel macet yang digunakan SBY, soto yang digemarinya, batik yang dikenakannya, hingga lapangan mini golf SBY yang ada di Istana menjadi pengamatan Wisnu. Semua posting-an itu memang tidak penting untuk diberitakan kepada publik, tetapi tetap menarik untuk diikuti di media indie.

Soal tahi lalat SBY, misalnya, Wisnu hanya mencerita-kan mengenai foto hasil jepretannya yang memperlihatkan wajah SBY dengan tahi lalat di dahi kanannya. Foto itu dijepret tahun 2006. Dua tahun kemudian, Wisnu mem-posting-kan sebuah foto yang menunjukkan SBY sudah tidak bertahi lalat lagi. Begini catatan Wisnu:

”Dalam semangat merayakan Old n New, saya hendak mengemukakan adanya hal lama dan hal baru pada dua

Page 35: Pak Beye dan Istananya

PAK BEYE DAN ISTANANYA

XXXVI

foto itu. Pak Beye sejak dulu, oleh para pelukis wajah atau pembuat karikatur, dicirikan dengan tahi lalat sebesar biji jagung di dahi kanannya. Ukurannya lebih kurang sama dengan tahi lalat di dagu Ibu Megawati Soekarnoputri yang juga sudah telanjur menjadi cirinya. Berdasarkan penglihatan dan rekaman kamera saya, sejak tahun baru 2007, tahi lalat di dahi kanan Pak Beye sudah tidak ada. Sejak itu dan hingga kini, dahi kanan Pak Beye terlihat halus tanpa ganjalan butiran hitam sebesar biji jagung di sana. Tanpa tahi lalat itu, penampilan Pak Beye terlihat lebih sempurna di depan kamera.”

Juga saat Wisnu bercerita mengenai persoalan ponsel SBY yang tiba-tiba macet gara-gara banyaknya pesan sing-kat yang masuk. Mengapa tiba-tiba rakyat menjadi tahu nomor ponsel SBY? Sebabnya sederhana, tulis Wisnu, kare-na ingin mendapat keluhan, informasi, dukungan, atau pu-jian atas langkah kerjanya, SBY di depan semua wartawan yang tengah merekam dialognya dengan petani di Jawa Barat spontan memberi tahu nomor ponsel pribadinya.

”Kontan saja setelah itu, HP (ponsel, Red) Pak Beye kebanjiran pesan singkat yang jumlahnya ribuan. Pesan singkat yang dikirim pada waktu hampir bersamaan itu membuat HP Pak Beye macet tidak bisa digunakan, tulis-nya. Kejadian ini, lanjut Wisnu, membuat SBY menggelar rapat khusus di Kantor Presiden. Operator telepon tidak luput dipanggilnya. Hasil rapatnya adalah dibuatkan nomor khusus untuk pengaduan ke Pak Beye. Nomor yang kemu-dian dipilih adalah nomor yang sesuai dengan tanggal lahir Pak Beye di Pacitan, 9949.”

Pada bagian terakhir buku ini, yakni bagian yang mem-bahas ”Istana Punya Cerita”, Wisnu cukup terbuka menu-lis kepindahan SBY dan keluarganya dari Istana Merdeka ke Istana Negara yang hanya berjarak 100 meter itu pada

Page 36: Pak Beye dan Istananya

PENDAHULUAN

XXXVII

posting-an berjudul ”Kasatmata di Istana”. Kepindahan yang sangat sepele, yakni karena adanya cerita-cerita se-ram menjelang tengah malam tiba, yang sering terdengar dari ruang depan Istana Merdeka. Wisnu tidak membahas, apakah sedemikian ketakutannya SBY sehingga harus pindah tidur dari Istana Merdeka ke Istana Negara, tetapi cukup melampirkan foto hasil jepretannya berupa kasur busa yang biasa digunakan SBY tidur, yang tengah digo-tong empat pembantu istana. Kasur busa berbentuk empat persegi panjang itu diusung pada setiap sudutnya. Ia hanya menulis begini:

”Alasan tidak kembalinya Pak Beye dan keluarga ke Istana Merdeka menurut saya karena praktis saja. Anda yang pernah mengalami harus pindah rumah pasti memaha-minya. Kebayang kan repotnya? Apalagi yang pindah ini Kepala Negara. Meskipun jarak antara Istana Merdeka dan Istana Negara yang berada dalam satu kompleks hanya sekitar 100-an meter saja, tetap saja merepotkan para pe-kerja. Fotonya saya bagi untuk Anda untuk membayang-kannya.”

Eksperimen ”Social Media”Apa yang dilakukan Wisnu dengan liputan indie-nya di

Istana Negara sekilas seperti sebuah blessing atau kebetulan semata. Padahal, secara tidak langsung justru inilah praktik nyata berkolaborasinya antara media arus utama (main-stream) dan media indie (independent) yang merupakan layer ke-10 dari 11 layer jurnalisme warga (citizen journal-ism), sebagaimana diteorikan oleh Steve Outing. Bedanya, inisiatif kolaborasi itu tidak diambil oleh editor, petinggi, atau penentu kebijakan koran dengan memadukan jurnal-isme arus utama dengan jurnalisme warga, tetapi Wisnulah yang mengambil inisiatif itu dengan ”membelah dirinya”

Page 37: Pak Beye dan Istananya

PAK BEYE DAN ISTANANYA

XXXVIII

menjadi dua bagian: satu bagian sebagai jurnalis profesio-nal untuk media arus utama, satu bagian lagi jurnalis warga atau jurnalis indie untuk social media Kompasiana.

Pemimpin Umum Harian Kompas, Jakob Oetama, saat kami (editor) temui dalam sebuah kesempatan di Hotel San-tika, 27 Maret 2010, sesaat sebelum diskusi bulanan Kom-pasiana Modis dilakukan, menyebutkan, apa yang dilaku-kan Wisnu yang merekam dan mencatat hal-hal sepele di Istana Negara merupakan suatu keniscayaan. Hal-hal yang tidak terungkap di media massa arus utama, kata Jakob, justru yang sering ditunggu banyak orang. Persoalannya, tidak semua jurnalis meluangkan waktu mencatat hal-hal sepele atau ”behind the story” sebuah peristiwa, terlebih lagi membagikan apa yang dicatatnya kepada khalayak yang berbeda dengan khalayak pembaca media arus utama, seperti Kompasiana ini. Karena itu, Jakob menyambut gem-bira upaya Wisnu mencatat hal-hal sepele dari kegiatan Presiden dan Wapres di Istana, yang kemudian menjadi te-tralogi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan satu buku lagi tentang Wapres Jusuf Kalla.

Dalam khazanah jurnalistik, apa yang dilakukan Wisnu merupakan eksperimen baru di negeri ini, di mana jurna-lis juga menulis beritanya untuk blog pribadi atau social media, seperti situs pertemanan Facebook, Twitter, dan Kompasiana. Di belahan dunia lain, jurnalis yang tidak pernah bermain-main ke dunia online, setidak-tidaknya tidak memiliki blog dan tidak punya akun untuk menulis status di situs pertemanan, akan dianggap sebagai ”jurnalis masa lalu”.

Memang tidak ada yang salah dengan predikat itu, teta-pi perkembangan social media yang begitu masif memaksa jurnalis harus mampu ”membelah dirinya”, seperti halnya Wisnu. Banyak argumen untuk hal ini. Misalnya, dengan memunculkan pertanyaan: bukankah jurnalis memiliki hak

Page 38: Pak Beye dan Istananya

PENDAHULUAN

XXXIX

cuti selama bekerja dan hak cuti itu bisa digunakan untuk membuat berita-berita indie, puisi, atau cerita pendek? Bu-kankah tidak setiap tulisan bisa ditampung di media main-stream yang halamannya sangat terbatas, sedangkan naluri menulis tidak terbatas pada hal-hal resmi dan penting? Lantas, bukankah setiap orang, tidak terkecuali jurnalis, berhak mengemukakan ekspresi dan aktualisasi dirinya dari sekadar kerja resmi yang dilakukannya?

Terlepas dari diskusi soal social media yang sedang berkembang pesat di negara lain dan tengah merembes per-lahan tapi pasti ke negeri ini, apa yang dilakukan Wisnu se-bagai jurnalis profesional adalah mencatat behind the scenesebuah peristiwa. Behind the scene, background, behind the story, atau apa pun istilahnya, adalah ”cerita di balik berita” yang tidak bisa terberitakan di media arus utama karena berbagai alasan. Beberapa alasan, antara lain, kare-na adanya intervensi penguasa, adanya deal antara petinggi atau pemilik media dan penguasa, subyektivisme editor dan bahkan jurnalis itu sendiri, atau semata-semata swasensor yang terlalu keras dari pihak institusi media massa itu sen-diri karena alasan keamanan. Untuk harian Kompas, alasan yang paling tepat adalah masalah keterbatasan space (ha-laman) yang semakin sempit untuk sekadar menampilkan tulisan-tulisan sepele. Tentu masih banyak berita penting yang lebih layak dimuat dan ditunggu khalayak pembaca.

Berita yang tidak terberitakan hanya akan membuat frustrasi jurnalis. Ini tidak berlaku bagi jurnalis seperti Wisnu, yang jika satu tulisan tidak bisa dimuat di media arus utama, bukan berarti kiamat baginya. Wisnu dengan amat leluasa bisa mem-posting-kan berita atau tulisannya di Kompasiana, toh Kompasiana milik harian Kompas juga. Dengan menjadi jurnalis indie yang sekaligus melahirkan tulisan atau berita indie tanpa campur tangan dan sen-sor editor, ”wajah sesungguhnya” (baca: kemampuan asli)

Page 39: Pak Beye dan Istananya
Page 40: Pak Beye dan Istananya
Page 41: Pak Beye dan Istananya
Page 42: Pak Beye dan Istananya

3

Cogito ergo sum. Aku berpikir (meragu), maka aku ada”. Begitu Rene Descartes mengemukakan keberadaannya.

Tapi, itu ratusan tahun lalu, ketika kegilaan akan daya nalar menjadi kegandrungan setiap orang yang ingin diakui ke-beradaannya.

Untuk saat ini, seperti telah dikemukakan banyak pe-mikir dan juga pemikir yang bisa menjadi penikmat, ”aku mengonsumsi, maka aku ada”. Tak heran barang-barang konsumsi pengusung citra tertentu menjadi ekspresi kepan-jangan identitas diri. Apa yang aku konsumsi adalah ada-nya aku atau sebagian besar dari adanya aku.

Tak heran barang-barang bermerek pengusung citra-citra tertentu dan eksklusif menjadi buruan untuk kepen-tingan sebuah eksistensi atau keberadaan. Sebut saja mulai dari rumah atau apartemen, mobil, sepatu, pakaian, jam, kacamata, dompet, hingga tas jinjing yang kerap tidak ada isinya.

Di Istana Kepresidenan, Jakarta, eksistensi diri atau se-tidaknya citra diri para tamu tetapnya kerap ditunjukkan

KISAH AUDI BARU DI ISTANA

Page 43: Pak Beye dan Istananya

PAK BEYE DAN ISTANANYA

4

dengan mobil yang dipakaianya, tidak peduli siapa yang membelikannya. Karena itu, untuk acara-acara istimewa, mobil-mobil yang biasa terlihat di showroom berjajar rapi di halaman parkir Istana. Sungguh makmur negara kita se-benarnya meskipun semua itu merek dari luar negeri sana. Bandingkan, misalnya, dengan pejabat India atau, tidak jauh-jauh, pejabat negara tetangga kita, Malaysia.

Orang terkaya di Indonesia versi majalah Forbes, Abu-rizal Bakrie, menjadi salah satu pelakunya. Di setiap acara berbeda, mobil yang dipakainya juga berbeda-beda. Mung-kin mobil-mobil itu perlu dipanasi sehingga perlu juga

kompasiana.com/wisnunugroho

Sedan Audi baru di halaman parkir depan Istana Negara.

Page 44: Pak Beye dan Istananya

TUNGGANGAN ISTANA

5

sesekali dipakai untuk pergi. Mobil-mobil Ical, antara lain, adalah Camry jatah sebagai menteri, Alphard, Lexus, dan Mercedes-Benz terbaru.

Menteri lain juga tidak mau ketinggalan. Koleksi mobil itu sempat muncul bersamaan ketika Jakarta diterjang ban-jir, awal Februari 2008. Mobil-mobil jangkung ber-cc besar terkumpul di Istana yang sedang menggelar rapat lantaran dikepung banjir.

Kegemaran akan mobil ternyata juga terlihat dari put-ra bungsu Pak Beye, Edhie Baskoro Yudhoyono alias Ibas. Lulusan universitas Australia dan Singapura yang belum sempat bekerja profesional ini saat ini aktif di partai politik yang didirikan Pak Beye dan saat ini diketuai pakdenya, Hadi Utomo. Saat ini, Ibas merintis karier politik menjadi calon anggota legislatif dari Daerah Pemilihan Jatim VII, di mana Pacitan masuk dalam salah satu cakupan daerahnya.

Setidaknya, ada tiga mobil yang ditumpangi Ibas ber-ganti-gantian, tergantung dari acara yang hendak dihadiri. Mobil itu adalah Toyota Alphard, Chevrolet, dan Audi. Tentu saja, semua mobil itu model terbaru.

Saya mengonsumsi, maka saya ada.

4 Oktober 2008

Page 45: Pak Beye dan Istananya

6

ROLLS-ROYCE DI ISTANA

Masih tentang keajaiban yang kerap terjumpai tanpa sengaja di Istana Kepresidenan, Jakarta. Tepatnya sih

di parkiran Istana Kepresidenan.Istana Kepresidenan yang saya maksud adalah kom-

pleks yang terdiri dari Istana Merdeka, Istana Negara, Wisma Negara, Kantor Presiden, Gedung Bina Graha, dan Gedung Sekretariat Negara.

Seperti biasa, setelah padatnya kegiatan di Istana Ke-presidenan, Jakarta, saya kembali ke kantor. Jarak antara Kantor Presiden dan tempat kami memarkir motor memang jauh. Sekitar satu kilometer jaraknya jika saya tidak salah menduga. Semula saya mengeluh dengan jauhnya jarak ini. Seperti juga kerap saya keluhkan kenapa pusat-pusat belanja dan hotel-hotel mewah menempatkan pengendara motor sebagai yang tidak diharapkan hadirnya.

Coba, tunjukkan kepada saya, di pusat belanja dan ho-tel mewah mana yang memperlakukan pengendara motor secara setara dengan pengendara mobil, misalnya? Soal parkir saja, misalnya. Para pengendara motor pasti pernah mengeluhkan hal yang sama.

Page 46: Pak Beye dan Istananya

TUNGGANGAN ISTANA

7

Tetapi, akhirnya saya menerima. Ketidaksetaraan dan ketidakadilan justru memberikan peluang untuk muncul-nya para pejuang yang kemudian menjadikannya pahla-wan ketika menang dalam perjuangan. Kalau tetap kalah dalam perjuangan, ya, diposisikan sebagai pecundang. Penjara menjadi tempat baginya untuk bisa memandang ketidakadilan secara berbeda. He-he-he, kok jadi ngelanturke mana-mana.

Keluhan saya di Istana akhirnya juga tidak berlangsung lama. Jika cuaca bagus, berjalan kaki dari parkiran motor sampai Kantor Presiden menjadi kesempatan untuk ber-olahraga juga. Banyaknya tanaman yang subur tumbuh di kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, membuat udara di sekitarnya terasa segar saat masuk ke rongga dada.

Banyaknya keajaiban yang terjumpai membuat saya bersyukur. Selain sedan Bentley warna hitam, keajaiban lain yang saya jumpai di Istana adalah sedan Rolls-Royce warna coklat muda di Istana. Karena terperangah melihat-nya di depan mata (maklum orang desa), saya gemetaran memandanginya.

dari website Rolls-Royce

Begini kira-kira rupa Rolls-Royce yang saya jumpai di halaman parkir Istana.

Page 47: Pak Beye dan Istananya

PAK BEYE DAN ISTANANYA

8

Karena gemetaran, tangan saya tidak kuasa mengaba-dikan keajaiban yang saya jumpai itu. Sopir sedan sangat istimewa ini berikut tiga pengawalnya yang menumpang mobil mewah juga di belakangnya memandangi saya de-ngan raut muka yang saya tafsirkan sebagai raut muka tidak suka. Karena merasa tidak enak ditatap seperti itu, se-telah puas melihatnya, saya lantas pergi meninggalkannya.

Bisik-bisik dengan petugas parkir Istana Kepresidenan, sedan Rolls-Royce yang terparkir di halaman Istana adalah milik seorang pengusaha. Rokok adalah salah satu bidang usahanya.

Hebat juga, pikir saya. Dari usaha yang membuat ba-nyak potensi celaka untuk banyak pembelinya saja peng-usaha itu bisa kaya raya. Tentu saja, kaya raya di sini ukur-annya adalah sedan Rolls-Royce yang diparkir di Istana. Tidak tahu, apakah Rolls-Royce itu terkena fatwa haram atau tidak jika datang ke Istana.

Apakah Anda para pembeli dan penikmat rokok pernah menumpang Rolls-Royce seperti yang diparkir di Istana? Kalau belum juga, segeralah jera karena rokok hanya mem-buai Anda tentang fantasi nikmatnya naik Rolls-Royce.

Tetapi, kalau belum mau jera juga, tidak perlu berkecil hati. Kepala BIN (perokok-Red) tetap bersama Anda.

Rokok apa yang Anda isap? Semoga saja rokok yang bisa membuat pengusaha pemilik Rolls-Royce itu dapat membeli Rolls-Royce berikutnya untuk koleksi dan mem-buat lebih nyata fantasi Anda.

Masih juga belum jera merokok?Semua memang terserah Anda.

10 Februari 2009

Page 48: Pak Beye dan Istananya

9

ROLLS-ROYCE SIAPA?

Sejak Pak Boedi Sampoerna dimintai keterangan Pansus Bank Century dan kemudian Komisi Pemberantasan Ko-

rupsi, saya menjadi bertanya-tanya. Terlebih setelah secara terbuka Pak Boedi menyatakan tidak punya hubungan apa pun dengan pihak Istana yang sejak periode lalu dipimpin Pak Beye.

Sebelum penampilan Pak Boedi di Pansus dan KPK, saya tenang-tenang saja. Ketenangan pikiran saya didasar-kan pada dugaan, Rolls-Royce di halaman parkir kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, adalah milik salah satu pengusaha rokok ternama di Indonesia. Namun, ketika Pak Boedi membantah punya hubungan dengan Istana, saya lantas bertanya-tanya, siapa si empunya Rolls-Royce yang diparkir di halaman kompleks Istana sekitar tiga tahun lalu itu?

Memang, orang kaya di perusahaan rokok itu tidak ha-nya Pak Boedi. Ada yang lebih kaya dari Pak Boedi tentu-nya. Namun, saya tidak tahu siapa dia. Seingat saya, nomor polisi Rolls-Royce di halaman kompleks Istana Kepresiden-an itu adalah 234. Anda yang tahu siapa pemilik Rolls-

Page 49: Pak Beye dan Istananya

PAK BEYE DAN ISTANANYA

10

Royce itu dengan melacak nomor seri Rolls-Royce-nya tolong beri tahu saya. Syukur-syukur sekalian tahu juga hubungan pemilik Rolls-Royce itu dengan penghuni Istana.

Saat menyaksikan Rolls-Royce itu di halaman parkir kompleks Istana Kepresidenan, saya memang lupa mencatat tanggalnya. Bukan karena malas, melainkan karena nyaris tidak percaya mendapati Rolls-Royce di Istana. Menyesal juga jadi orang desa yang mudah gumun sehingga jadi tak berdaya untuk sekadar mencatat atau memotret Rolls-Royce yang ada di depan mata.

Menurut Anda, kira-kira itu Rolls-Royce siapa? Saya yakin, nama belakangnya adalah Sampoerna juga. Namun, nama depannya apa, ya? Anda yang pernah menjumpai Rolls-Royce ini di tempat lain mungkin bisa membantu saya.

Salam sempurna.

5 Maret 2010

dari website Rolls-Royce

Rolls-Royce dengan logo yang menjadi penanda penunganggnya.

Page 50: Pak Beye dan Istananya

11

LEXUS MENGHILANG DARI ISTANA

Siapa bilang krisis keuangan dunia tidak berimbas ke Istana. Bahkan, sebelum krisis keuangan yang meron-

tokkan harga-harga saham itu memuncak, imbas krisisnya sudah terasa. Di halaman Istana Kepresidenan, Jakarta, imbas itu menjadi nyata.

Sejak sebulan terakhir, tidak terlihat lagi sedan Lexus di halaman parkir Istana. Lexus milik orang terkaya di Indonesia karena lembar-lembar sahamnya itu, tidak lagi dijadikan moda angkutan utama. Aburizal Bakrie yang memilikinya lebih banyak memarkirnya. Sehari-hari, sedan Toyota Camry jatahnya sebagai pembantu yang setia me-nemaninya.

”Lexus masih saya pakai, tetapi kalau malam saja,” ujar pemilik nomor polisi RI 13 untuk setiap kendaraan yang digunakannya itu.

Nomor polisi RI 13 disandang Menko Kesra untuk mem-fasilitasi masuknya Sudi Silalahi yang saat ini memakai nomor polisi RI 15. Sebelumnya, sebagai Menko Kesra, Aburizal menggunakan nomor polisi RI 14.

Page 51: Pak Beye dan Istananya

PAK BEYE DAN ISTANANYA

12

Bersamaan dengan krisis yang masih terjadi, Pak Ical memang jarang terlihat di Istana. Panggilan tugas menye-lamatkan bisnis keluarga tampaknya lebih utama. Apalagi, negara yang selama empat tahun terakhir ini dicantolinya enggan membela perusahaan-perusahaannya yang melem-pem terimbas krisis keuangan dunia. Predikat sebagai orang terkaya di Indonesia yang disandangnya Desember 2007 bisa saja sirna.

Dengan kondisi seperti ini, tidak heran jika Lexus yang mulai dipakainya sejak menjadi orang terkaya di Indonesia itu menghilang dari halaman parkir Istana. Lebih nyaman, hemat, dan bersahaja memakai sedan dinas meskipun de-ngan demikian menjadi turun kelasnya.

Mari berhemat dengan uang negara kumpulan pajak rakyat se-Indonesia Raya. Bukankah negara kita memang kaya raya untuk sekadar membiayai para pejabat dan gaya hidupnya?

24 Oktober 2008

kompasiana.com/wisnunugroho

Lexus Pak Ical saat masih baru di Istana Negara.

Page 52: Pak Beye dan Istananya

13

KEMBALINYA LEXUS KE ISTANA

Ini mungkin kabar atau sinyal baik untuk Anda. Kabar baik ini terutama untuk Anda pemegang saham Bumi

atau saham grup usaha Bakrie. Bukan soal angka-angka yang naik turun tak terduga di pasar bursa. Kabar atau sinyal baik ini muncul di Istana.

Setelah sejak September 2008 tidak muncul, Lexus ber-nomor polisi RI 13 kembali masuk Istana. Penumpangnya sudah kita ketahui semua. Ya, dia adalah Aburizal Bakrie atau biasa dipanggil Pak Ical. Sedan Lexus itu mengiringi sedan baru dan jeep Mercedes-Benz baru (masih dengan setir kiri) presiden saat kunjungan kerja ke Karawang, pe-kan lalu.

Sebagai Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, bersamaan dengan predikat barunya sebagai orang terkaya akhir 2007, Pak Ical menggunakan nomor polisi RI 13. Saya tidak paham dasar alasannya. Saya hanya mener-ka, berdasarkan pemahaman umum kita tentang angka 13 yang katanya sial artinya.

Mungkin, menjadi orang terkaya di Indonesia saat men-jabat sebagai pembantu Pak Beye adalah sebuah kesialan.

Page 53: Pak Beye dan Istananya

PAK BEYE DAN ISTANANYA

14

kompasiana.com/wisnunugroho

Pak Ical suatu masa ketika ma-sih terkaya pincang kakinya.

Page 54: Pak Beye dan Istananya

TUNGGANGAN ISTANA

15

Itu perkiraan saya. Sebelumnya nomor RI 13 tidak pernah digunakan di Istana. Sebelum dinyatakan sebagai orang terkaya di Indonesia, nomor polisi kendaraan Pak Ical ada-lah RI 14.

Ah, sudahlah. Apalah artinya sebuah angka jika tidak terkait langsung dengan penghasilan kita. He-he-he.

Kembali ke Lexus. Sebagai orang terkaya, Pak Ical mungkin ingin terlihat berbeda di antara kumpulan 36 pembantu di Istana. Karena itu, selain memakai Lexus, Pak Ical kerap memakai secara bergantian Toyota Alphard dan Nissan President. Saya yakin itu semua pasti miliknya.

Sedan dinas Toyota Camry memang tetap diterima. Tetapi, amat jarang digunakan sejak awal dijatahkan. To-yota Camry itu baru terlihat ajek digunakan sejak krisis ke-uangan global merontokkan saham-saham di pasar bursa. Sebelumnya, Pak Ical adalah orang terkaya di Indonesia. Majalah Forbes yang menghitung kekayaannya.

Pak Ical sendiri saat tengah berada di Hotel Four Sea-sons Jimbaran, Bali, awal Desember 2007, hanya tertawa mendengar hitungan tersebut. Itu hanya hitungan di atas kertas, katanya.

Soal ajek dipakainya sedan dinas Toyota Camry saat krisis mendera, mungkin Pak Ical ingin menunjukkan kepri-hatinannya. Pak Ical mungkin juga ingin berbela rasa de-ngan orang-orang dalam kumpulannya yang juga merugi karena rontoknya harga-harga saham perusahaan dalam grup usahanya.

Sebagai mantan orang terkaya di Indonesia, tidak mungkin kan alasan tidak digunakannya Lexus selama lima bulan karena ingin berhemat semata.

Kita berpikir positif saja, seperti dianjurkan banyak dari pejabat-pejabat kita. Kita juga berpikir optimistis saja, se-perti dianjurkan mereka.

Page 55: Pak Beye dan Istananya

PAK BEYE DAN ISTANANYA

16

Anjuran berpikir positif dan optimis itu didengung-de-ngungkan para pejabat dan yang bermental pejabat karena, menurut mereka, tampaknya hanya ada dua kategori dalam melihat realitas. Hitam-putih. Negatif-positif. Pesimis-opti-mis.

Padahal, terhadap sebuah realitas, banyak kategori yang bisa muncul di sana. Di antara hitam dan putih saja, ada banyak sekali pilihan warna. Begitu juga seterusnya.

Bersamaan dengan kabar atau sinyal baik lewat kem-balinya Lexus Pak Ical di Istana, Anda boleh lega. Bisa jadi, Pak Ical sudah melihat tanda akan kembali membaiknya saham-saham perusahaan dalam grup usahanya.

Hayo, siapa mau membantu Pak Ical ajek menggunakan Lexusnya di Istana?

Atau, jangan-jangan Anda lebih rela Camry yang lebih kerap digunakan Pak Ical ke Istana.

Toh sekaya apa pun, statusnya hanya pembantu.Bagaimana menurut Anda?

18 Februari 2009