Pajak Penghasilan (PPh)

6
Bagi kita yang mempelajari UU dan ketentuan di bidang Pajak Penghasilan (PPh) tentu sudah tidak asing lagi dengan istilah yang dijadikan header atau judul untuk artikel ini. Bagi Anda yang baru belajar pajak, perlu diinformasikan bahwa yang dimaksud dengan Non Deductible Expenses dalam konteks PPh adalah biaya-biaya atau pengeluaran-pengeluaran yang tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto saat penghitungan PPh. Baik PPh orang pribadi maupun PPh badan (perusahaan/company). Seperti diketahui, bahwa untuk menghitung PPh terutang untuk WP Badan (perusahaan/company), harus terlebih dahulu dicari jumlah penghasilan neto yang menjadi Dasar Pengenaan Pajak (DPP) PPh. Penghasilan neto adalah hasil dari pengurangan penghasilan bruto dengan biaya-biaya usaha atau biaya operasional yang dikeluarkan oleh WP badan yang bersangkutan. Dalam konteks PPh, biaya atau pengeluaran yang dilakukan WP tersebut dibedakan antara pengeluaran yang boleh dibiayakan (yang sering disebut dengan istilah Deductible Expenses) dan pengeluaran yang tidak boleh dibiayakan (Non Deductible Expenses). Banyak Wajib Pajak (WP) yang tidak tahu persis di mana ketentuan mengenai Non Deductible Expense (NDE) ini diatur. Umumnya WP hanya tahu satu pasal, yaitu Pasal 9 yang ada di UU PPh. Padahal selain Pasal 9 UU PPh ada beberapa peraturan lainnya yang menyinggung soal NDE ini. Dan mulai dari artikel pertama ini, akan diulas biaya-biaya yang oleh ketentuan dan peraturan perpajakan ditetapkan sebagai biaya yang NDE.

description

pajak

Transcript of Pajak Penghasilan (PPh)

Bagi kita yang mempelajari UU dan ketentuan di bidang Pajak Penghasilan (PPh) tentu sudah tidak asing lagi dengan istilah yang dijadikan header atau judul untuk artikel ini. Bagi Anda yang baru belajar pajak, perlu diinformasikan bahwa yang dimaksud dengan Non Deductible Expenses dalam konteks PPh adalah biaya-biaya atau pengeluaran-pengeluaran yang tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto saat penghitungan PPh. Baik PPh orang pribadi maupun PPh badan (perusahaan/company).Seperti diketahui, bahwa untuk menghitung PPh terutang untuk WP Badan (perusahaan/company), harus terlebih dahulu dicari jumlah penghasilan neto yang menjadi Dasar Pengenaan Pajak (DPP) PPh. Penghasilan neto adalah hasil dari pengurangan penghasilan bruto dengan biaya-biaya usaha atau biaya operasional yang dikeluarkan oleh WP badan yang bersangkutan.Dalam konteks PPh, biaya atau pengeluaran yang dilakukan WP tersebut dibedakan antara pengeluaran yang boleh dibiayakan (yang sering disebut dengan istilah Deductible Expenses) dan pengeluaran yang tidak boleh dibiayakan (Non Deductible Expenses).Banyak Wajib Pajak (WP) yang tidak tahu persis di mana ketentuan mengenai Non Deductible Expense (NDE) ini diatur. Umumnya WP hanya tahu satu pasal, yaitu Pasal 9 yang ada di UU PPh. Padahal selain Pasal 9 UU PPh ada beberapa peraturan lainnya yang menyinggung soal NDE ini. Dan mulai dari artikel pertama ini, akan diulas biaya-biaya yang oleh ketentuan dan peraturan perpajakan ditetapkan sebagai biaya yang NDE.Pasal 9 ayat (1) huruf a UU PPhpembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apapun seperti dividen, termasuk dividen yang dibayarkan oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi;Pernyataan dalam Pasal 9 UU PPh ini sebenarnya selaras dengan ketentuan dalam akuntansi umum. Secara umum, dalam ilmu akuntansi, dividen bukanlah biaya operasional atau biaya usaha. Dividen merupakan pembagian laba usaha kepada para pemegang saham. Dan itu berarti dividen merupakan bagian dari penghasilan itu sendiri.Dalam dunia akuntansi umum, dividen merupakan akun Neraca (Balance Sheet). Dividen biasanya diletakkan di sisi kredit (atau biasa disebut Passiva) dan dilaporkan sebagai pengurang akun Laba Ditahan (Retained Earnings).Di beberapa company, akun Dividen juga dimunculkan di Laporan Laba Rugi (Income Statement) tetapi bukan pada kelompok akun biaya usaha atau biaya di luar usaha. Akun Dividen, dalam Laporan Laba Rugi selalu berada di bawah dan ditempatkan pada bagian Laba Setelah Pajak (Earnings After Tax) serta dilaporkan sebagai pengurang Laba Ditahan.Dari penjelasan dan ketentuan umum di akuntansi tersebut wajar jika kemudian UU PPh menetapkan bahwa Dividen bukan sebagai pengurang penghasilan bruto. Artinya saat WP melakukan penghitungan PPh yang terutang, Dividen yang dibayarkan kepada pemegang sahamnya tidak boleh dibebankan sebagai biaya.Pasal 9 ayat (1) huruf b UU PPhbiaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi pemegang saham, sekutu, atau anggota;Pengeluaran yang diperuntukkan bagi kepentingan pribadi pemegang saham umumnya terjadi dalam perusahaan keluarga atau perusahaan yang belum go public (belum Tbk). Misalnya perusahaan menanggung biaya listrik, telepon, dan keperluan rumah tangga lainnya dari si pemegang saham. Atau perusahaan misalnya menanggung biaya renovasi atau pembangunan rumah milik pemegang saham.Ketentuan ini sebetulnya memiliki korelasi dengan Pasal 9 ayat (1) huruf a, yang dijelaskan di atas. Ketentuan ini dibuat dengan maksud untuk mencegah upaya WP mentransformasikan dividen ke dalam bentuk biaya yang diperuntukkan bagi keperluan pribadi pemegang saham.Dalam praktek pemeriksaan pajak, tidak jarang biaya untuk kepentingan pribadi pemegang saham ini selalu dianggap sebagai dividen terselubung. Itu berarti selain bersifat NDE, biaya tersebut juga mengakibatkan munculnya kewajiban perusahaan untuk memotong PPh Pasal 23 atau PPh Final Pasal 4 ayat (2) atas dividen (terselubung).Terkait dengan istilah sekutu atau anggota, ketentuan ini berlaku bagi WP badan yang sahamnya tidak berbentuk saham. Misalnya saja bentuk usaha CV, Firma, atau Persekutuan. Bentuk usaha yang modalnya tidak berbentuk saham ini, biasanya tidak menggunakan istilah dividen melainkan istilah-istilah seperti pembagian laba, bagi hasil atau istilah lainnya. Meski efek pemotongan PPh-nya (withholding tax) berbeda dengan dividen, tetapi istilah pembagian laba atau bagi hasil ini dianggap sama seperti dividen yaitu bukan sebagai pengurang penghasilan bruto alias bersifat NDE.Pasal 9 ayat (1) huruf c UU PPhpembentukan atau pemupukan dana cadangan, kecuali:...;Dalam soal pengakuan biaya (expenditure/expense recognition), UU PPh menganut prinsip realisasi yang berarti bahwa biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto adalah biaya-biaya yang sudah benar-benar terjadi. Itu sebabnya, dalam konteks PPh, pembentukan atau pemupukan dana cadangan biaya, seperti cadangan penghapusan piutang atau cadangan biaya lainnya, tidak diperbolehkan dikurangkan dari penghasilan bruto.Akan tetapi, seperti yang dinyatakan langsung dalam pasal ini, ada beberapa jenis usaha yang diperkenankan untuk membentuk dana cadangan membebankannya sebagai pengurang penghasilan bruto WP, yaitu:1. Cadangan piutang tak tertagih untuk usaha bank dan badan lain yang menyalurkan kredit, sewa guna usaha dengan hak opsi (financial/capital lease), perusahaan pembiayaan konsumen dan perusahaan anjak piutang (factoring);2. Cadangan untuk usaha asuransi termasuk cadangan bantuan sosial yang dibentuk oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial;3. Cadangan penjaminan untuk Lembaga Penjaminan Simpanan;4. Cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan;5. Cadangan biaya penanaman kembali untuk usaha kehutanan; dan6. Cadangan biaya penutupan dan pemeliharaan tempat pembuangan limbah industri untuk usaha pengolahan limbah industri.Juklak lebih lanjut mengenai tata cara dan besarnya dana cadangan tersebut, diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 81/PMK.03/2009 stdd PMK Nomor 219/PMK.011/2012.Pasal 9 ayat (1) huruf d UU PPhpremi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi beasiswa, yang dibayar oleh Wajib Pajak orang pribadi, kecuali jika dibayar oleh pemberi kerja dan premi asuransi tersebut dihitung sebagai penghasilan bagi Wajib Pajak yang bersangkutan;Untuk mempermudah penjelasan pasal ini, kita misalkan saja Bambang seorang pengusaha yang memiliki beberapa orang pegawai atau karyawan. Setiap bulan Bambang membayar premi asuransi jiwa, asuransi kecelakaan dan asuransi kesehatan baik untuk dirinya sendiri maupun untuk seluruh pegawainya.Dalam contoh tersebut, premi asuransi yang dibayar Bambang untuk dan atas namanya sendiri tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto Bambang. Dalam hal ini, ada yang berpendapat bahwa tidak diperbolehkannya premi asuransi tersebut untuk dibebankan sebagai biaya karena biaya hidup untuk WP orang pribadi sudah ditetapkan hanya sebesar PTKP. Apalagi nantinya pada saat menerima pembayaran dari perusahaan asuransi, Bambang tidak akan dikenakan PPh lagi karena sesuai dengan Pasal 4 ayat (3) huruf e UU PPh pembayaran dari perusahaan asuransi sehubungan dengan kelima jenis asuransi tersebut bukan objek PPh atau tidak dikenakan PPh.Sedangkan premi asuransi yang dibayar Bambang (atau dibayar oleh company) untuk dan atas nama pegawainya boleh dibebankan sebagai biaya atau dikurangkan dari penghasilan usaha Bambang saat penghitungan PPh orang pribadi.