Pain Management Ivan

38
BAB I PENDAHULUAN Nyeri menggambarkan suatu fungsi biologis. Ini menandakan adanya kerusakan atau penyakit di dalam tubuh. Tujuan dari manajemen nyeri adalah untuk mengurangi atau menghilangkan rasa sakit dan ketidaknyamanan pasien dengan efek samping seminimal mungkin. Pereda nyeri haruslah mencerminkan kebutuhan masing-masing pasien dan hal ini dapat dicapai dengan mempertimbangkan berbagai macam faktor. Faktor-faktor tersebut dapat dirangkum sebagai faktor klinis, patient- related factors, dan faktor lokal. 1 Efektivitas dari pereda rasa nyeri sangat penting untuk menjadi pertimbangan. Manajemen nyeri yang baik tidak hanya akan membantu penyembuhan secara lebih signifikan, tetapi juga dapat mengurangi onset terjadinya chronic pain syndrome. 1 Umumnya dokter atau perawat lebih memprioritaskan terapi dan perawatan terhadap penyakit atau kondisi yang mengakibatkan nyeri, karena pemikiran bahwa nyeri akan hilang dengan sembuhnya penyakit primer. Bahwa nyeri dapat menyebabkan berbagai masalah barulah akhir – akhir ini makin disadari. Nyeri yang tidak mendapat terapi adekuat dapat memperlambat proses penyembuhan penderita bahkan

Transcript of Pain Management Ivan

Page 1: Pain Management Ivan

BAB I

PENDAHULUAN

Nyeri menggambarkan suatu fungsi biologis. Ini menandakan adanya

kerusakan atau penyakit di dalam tubuh. Tujuan dari manajemen nyeri adalah

untuk mengurangi atau menghilangkan rasa sakit dan ketidaknyamanan pasien

dengan efek samping seminimal mungkin. Pereda nyeri haruslah mencerminkan

kebutuhan masing-masing pasien dan hal ini dapat dicapai dengan

mempertimbangkan berbagai macam faktor. Faktor-faktor tersebut dapat

dirangkum sebagai faktor klinis, patient-related factors, dan faktor lokal.1

Efektivitas dari pereda rasa nyeri sangat penting untuk menjadi

pertimbangan. Manajemen nyeri yang baik tidak hanya akan membantu

penyembuhan secara lebih signifikan, tetapi juga dapat mengurangi onset

terjadinya chronic pain syndrome.1

Umumnya dokter atau perawat lebih memprioritaskan terapi dan

perawatan terhadap penyakit atau kondisi yang mengakibatkan nyeri, karena

pemikiran bahwa nyeri akan hilang dengan sembuhnya penyakit primer. Bahwa

nyeri dapat menyebabkan berbagai masalah barulah akhir – akhir ini makin

disadari.

Nyeri yang tidak mendapat terapi adekuat dapat memperlambat proses

penyembuhan penderita bahkan mempengaruhi mortalitas karena berbagai

gangguan fungsi fisiologis. Dengan demikian, selain bertujuan menghilangkan

penderitaan, mengatasi nyeri merupakan salah satu upaya menunjang proses

penyembuhan

Referat ini bertujuan untuk membahas mengenai metode-metode yang

dapat dipakai untuk manajemen nyeri. Akan didiskusikan bagaimana caranya

menggunakan obat-obat yang bekerja di perifer ( misalnya, Obat Anti Inflamasi

Non Steroid), obat-obat yang bekerja sentral (misalnya, Opioid), dan obat-obat

anestesi lokal untuk mencapai tujuan ini. Selain itu, akan dibahas pula bagaimana

cara menangani pasien usia tua dan anak-anak.

Page 2: Pain Management Ivan

BAB II

NYERI

Nyeri didefinisikan sebagai suatu keadaan yang mempengaruhi seseorang

dan ekstensinya diketahui bila seseorang pernah mengalaminya. Menurut

International Association for Study of Pain (IASP), nyeri adalah sensori subyektif

dan emosional yang tidak menyenangkan yang didapat terkait dengan kerusakan

jaringan aktual maupun potensial, atau menggambarkan kondisi terjadinya

kerusakan.2

Anatomi dan Fisiologi Nyeri2,3

Reseptor nyeri adalah organ tubuh yang berfungsi untuk menerima

rangsang nyeri. Organ tubuh yang berperan sebagai reseptor nyeri adalah ujung

syaraf bebas dalam kulit yang berespon hanya terhadap stimulus kuat yang secara

potensial merusak. Reseptor nyeri disebut juga nosireceptor, secara anatomis

reseptor nyeri (nosireceptor) ada yang bermielien dan ada juga yang tidak

bermielin dari syaraf perifer. Berdasarkan letaknya, nosireseptor dapat

dikelompokkan dalam beberapa bagaian tubuh yaitu pada kulit (Kutaneus),

somatik dalam (deep somatic), dan pada daerah viseral, karena letaknya yang

berbeda-beda inilah, nyeri yang timbul juga memiliki sensasi yang berbeda.

Nosireceptor kutaneus berasal dari kulit dan sub kutan, nyeri yang berasal dari

daerah ini biasanya mudah untuk dialokasi dan didefinisikan. Reseptor jaringan

kulit (kutaneus) terbagi dalam dua komponen yaitu :

a. Reseptor A delta

Merupakan serabut komponen cepat (kecepatan tranmisi 6-30 m/det) yang

memungkinkan timbulnya nyeri tajam yang akan cepat hilang apabila

penyebab nyeri dihilangkan.

b. Serabut C

Merupakan serabut komponen lambat (kecepatan tranmisi 0,5 m/det) yang

terdapat pada daerah yang lebih dalam, nyeri biasanya bersifat tumpul dan

sulit dilokalisasi

2

Page 3: Pain Management Ivan

Struktur reseptor nyeri somatik dalam meliputi reseptor nyeri yang

terdapat pada tulang, pembuluh darah, syaraf, otot, dan jaringan penyangga

lainnya. Karena struktur reseptornya komplek, nyeri yang timbul merupakan nyeri

yang tumpul dan sulit dilokalisasi.

Reseptor nyeri jenis ketiga adalah reseptor viseral, reseptor ini meliputi

organ-organ viseral seperti jantung, hati, usus, ginjal dan sebagainya. Nyeri yang

timbul pada reseptor ini biasanya tidak sensitif terhadap pemotongan organ, tetapi

sangat sensitif terhadap penekanan, iskemia dan inflamasi

Fisiologi Nyeri

Reseptor untuk stimulus nyeri disebut nosiseptor. Nosiseptor adalah ujung saraf

tidak bermielin (delta A) dan bermielin (saraf C). Nosiseptor terangsang oleh

stimulus dengan intensitas yang potensial dan menimbulkan kerusakan jaringan,

stimulus ini disebut sebagai stimulus noksius. Selanjutnya stimulus ini

ditransmisikan ke SSP, menimbulkan emosi dan perasaan yang tidak

menyenangkan, sehingga timbul nyeri dan reaksi menghindar.

Bila stimulus timbul akibat adanya kerusakan jaringan, mekanisme tersebut diatas

akan terjadi melewati 4 tahapan, yaitu:

3

Page 4: Pain Management Ivan

1. Transduksi

Kerusakan jaringan karena trauma atau pembedahan menyebabkan

dikeluarkannya berbagai senyawa biokimiawi antara lain ion H, K,

Prostaglandin dari sel yang rusak, bradikinin dari plasma, histamine dari sel

mast, serotonin dari trombosit dan susbstansi P dari ujung saraf. Senyawa

biokimiawi ini berfungsi sebagai mediator yang menyebabkan perubahan

potensial nosiseptor sehingga terjadi arus elektrobiokimiawi sepanjang akson.

Perubahan menjadi arus elektrobiokimia atau impuls merupakan proses

transduksi.

Kemudian terjadi perubahan patofisiologi karena mediator – mediator ini

mempengaruhi juga nosiseptor di luar daerah trauma sehingga lingkaran nyeri

meluas. Selanjutnya terjadi proses sensitisasi perifer yaitu menurunnya nilai

ambang rangsang nosiseptor karena pengaruh mediator – mediator tersebut

diatas dan penurunan ph jaringan. Akibatnya nyeri dapat timbul karena

rangsangan yang sebelumnya tidak menimbulkan nyeri, misalnya rabaan.

Sensitisasi perifer ini mengakibatkan pula terjadinya sensitisasi sentral yaitu

hipereksitabilitas neuron pada korda spinalis, terpengaruhnya neuron simpatis

dan perubahan intraseluler yang menyebabkan nyeri dirasakan lebih lama

2. Transmisi

Transmisi adalah proses penerusan impuls nyeri dari nosiseptor saraf perifer,

melewati kornu dorasalis korda spinalis menuju korteks serebri. Transmisi

sepanjang akson berlangsung karena proses polarisasi – depolarisasi,

sedangkan dari neuron presinaps ke pasca sinaps melalui neurotransmitter.

3. Modulasi

Modulasi adalah proses pengendalian internal oleh system saraf, dapat

meningkatkan atau mengurangi penerusan impuls nyeri.

Hambatan terjadi melalui system analgesia endogen yang melibatkan

bermacam neurotransmitter antara lain golongan endorphin yang dikeluarkan

oleh sel otak dan neuron di korda spinalis. Impuls ini bermula dari area

4

Page 5: Pain Management Ivan

periaquaduktus grey (PAG) dan menghambat transmisi impuls pre maupun

pasca sinaps di tingkat korda spinalis.

4. Persepsi

Persepsi adalah hasil rekonstruksi susunan saraf pusat tentang impuls nyeri

yang diterima. Rekonstruksi merupakan hasil interaksi system saraf sensoris,

informasi kognitif (korteks serebri), dan pengalaman emosional

(hippocampus dan amygdale). Persepsi menentukan berat ringannya nyeri

yang dirasakan. Sebagai contoh, terdapat penderita yang tenang menghadapi

pembedahan karena menerimapembedahan sebagai upaya penyembuhan.

MOtivasi positif ini memicu pelepasan endorphin dan rangkaian reaksi yang

mengaktifkan system analgesia endogen, hasil akhir adalah rasa nyerinya

berkurang

Respon tingkah laku terhadap nyeri2,3

a. Respon perilaku terhadap nyeri dapat mencakup:

b. Pernyataan verbal (Mengaduh, Menangis, Sesak Nafas, Mendengkur)

c. Ekspresi wajah (Meringis, Menggeletukkan gigi, Menggigit bibir)

d. Gerakan tubuh (Gelisah, Imobilisasi, Ketegangan otot, peningkatan

gerakan jari & tangan

e. Kontak dengan orang lain/interaksi sosial (Menghindari percakapan,

Menghindari kontak sosial, Penurunan rentang perhatian, Fokus pd

aktivitas menghilangkan nyeri)

Individu yang mengalami nyeri dengan awitan mendadak dapat bereaksi

sangat berbeda terhadap nyeri yang berlangsung selama beberapa menit atau

menjadi kronis. Nyeri dapat menyebabkan keletihan dan membuat individu terlalu

letih untuk merintih atau menangis. Pasien dapat tidur, bahkan dengan nyeri

hebat. Pasien dapat tampak rileks dan terlibat dalam aktivitas karena menjadi

mahir dalam mengalihkan perhatian terhadap nyeri.

Meinhart & McCaffery mendiskripsikan 3 fase pengalaman nyeri:

a. Fase antisipasi (terjadi sebelum nyeri diterima

5

Page 6: Pain Management Ivan

Fase ini mungkin bukan merupakan fase yg paling penting, karena fase ini

bisa mempengaruhi dua fase lain. Pada fase ini memungkinkan seseorang

belajar tentang nyeri dan upaya untuk menghilangkan nyeri tersebut. Peran

perawat dalam fase ini sangat penting, terutama dalam memberikan

informasi pada klien.

b. Fase sensasi (terjadi saat nyeri terasa)

Fase ini terjadi ketika klien merasakan nyeri. karena nyeri itu bersifat

subyektif, maka tiap orang dalam menyikapi nyeri juga berbeda-beda.

Toleraransi terhadap nyeri juga akan berbeda antara satu orang dengan

orang lain. orang yang mempunyai tingkat toleransi tinggi terhadap nyeri

tidak akan mengeluh nyeri dengan stimulus kecil, sebaliknya orang yang

toleransi terhadap nyerinya rendah akan mudah merasa nyeri dengan

stimulus nyeri kecil. Klien dengan tingkat toleransi tinggi terhadap nyeri

mampu menahan nyeri tanpa bantuan, sebaliknya orang yang toleransi

terhadap nyerinya rendah sudah mencari upaya mencegah nyeri, sebelum

nyeri datang.

Keberadaan enkefalin dan endorfin membantu menjelaskan bagaimana

orang yang berbeda merasakan tingkat nyeri dari stimulus yang sama. Kadar

endorfin berbeda tiap individu, individu dengan endorfin tinggi sedikit merasakan

nyeri dan individu dengan sedikit endorfin merasakan nyeri lebih besar.

Klien bisa mengungkapkan nyerinya dengan berbagai jalan, mulai dari

ekspresi wajah, vokalisasi dan gerakan tubuh. Ekspresi yang ditunjukan klien

itulah yang digunakan perawat untuk mengenali pola perilaku yang menunjukkan

nyeri. Perawat harus melakukan pengkajian secara teliti apabila klien sedikit

mengekspresikan nyerinya, karena belum tentu orang yang tidak mengekspresikan

nyeri itu tidak mengalami nyeri. Kasus-kasus seperti itu tentunya membutuhkan

bantuan perawat untuk membantu klien mengkomunikasikan nyeri secara efektif.

6

Page 7: Pain Management Ivan

c. Fase akibat (terjadi ketika nyeri berkurang atau berhenti)

Fase ini terjadi saat nyeri sudah berkurang atau hilang. Pada fase ini klien

masih membutuhkan kontrol dari perawat, karena nyeri bersifat krisis,

sehingga dimungkinkan klien mengalami gejala sisa pasca nyeri. Apabila

klien mengalami episode nyeri berulang, maka respon akibat (aftermath)

dapat menjadi masalah kesehatan yang berat. Perawat berperan dalam

membantu memperoleh kontrol diri untuk meminimalkan rasa takut akan

kemungkinan nyeri berulang.

Penilaian Intensitas Nyeri3,4,5

Intensitas nyeri adalah gambaran tentang seberapa parah nyeri dirasakan

oleh individu, pengukuran intensitas nyeri sangat subjektif dan individual dan

kemungkinan nyeri dalam intensitas yang sama dirasakan sangat berbeda oleh dua

orang yang berbeda oleh dua orang yang berbeda. Pengukuran nyeri dengan

pendekatan objektif yang paling mungkin adalah menggunakan respon fisiologik

tubuh terhadap nyeri itu sendiri. Namun, pengukuran dengan tehnik ini juga tidak

dapat memberikan gambaran pasti tentang nyeri itu sendiri.

Menurut Smeltzer, S.C bare B.G (2002) adalah sebagai berikut :

7

Page 8: Pain Management Ivan

1. Skala intensitas nyeri deskritif

2. Skala identitas nyeri numerik

3. Skala analog visual

4. Skala nyeri menurut Bourbanis

Keterangan :

0 :Tidak nyeri

8

Page 9: Pain Management Ivan

1-3 : Nyeri ringan : secara obyektif klien dapat berkomunikasi dengan

baik.

4-6 : Nyeri sedang : Secara obyektif klien mendesis, menyeringai, dapat

menunjukkan lokasi nyeri, dapat mendeskripsikannya, dapat mengikuti perintah

dengan baik.

7-9 : Nyeri berat : secara obyektif klien terkadang tidak dapat mengikuti

perintah tapi masih respon terhadap tindakan, dapat menunjukkan lokasi nyeri,

tidak dapat mendeskripsikannya, tidak dapat diatasi dengan alih posisi nafas

panjang dan distraksi

10 : Nyeri sangat berat : Pasien sudah tidak mampu lagi berkomunikasi,

memukul.

Karakteristik paling subyektif pada nyeri adalah tingkat keparahan atau

intensitas nyeri tersebut. Klien seringkali diminta untuk mendeskripsikan nyeri

sebagai yang ringan, sedang atau parah. Namun, makna istilah-istilah ini berbeda

bagi perawat dan klien. Dari waktu ke waktu informasi jenis ini juga sulit untuk

dipastikan.

Skala deskritif merupakan alat pengukuran tingkat keparahan nyeri yang

lebih obyektif. Skala pendeskripsi verbal (Verbal Descriptor Scale, VDS)

merupakan sebuah garis yang terdiri dari tiga sampai lima kata pendeskripsi yang

tersusun dengan jarak yang sama di sepanjang garis. Pendeskripsi ini diranking

dari “tidak terasa nyeri” sampai “nyeri yang tidak tertahankan”. Perawat

menunjukkan klien skala tersebut dan meminta klien untuk memilih intensitas

nyeri trbaru yang ia rasakan. Perawat juga menanyakan seberapa jauh nyeri terasa

paling menyakitkan dan seberapa jauh nyeri terasa paling tidak menyakitkan. Alat

VDS ini memungkinkan klien memilih sebuah kategori untuk mendeskripsikan

nyeri. Skala penilaian numerik (Numerical rating scales, NRS) lebih digunakan

sebagai pengganti alat pendeskripsi kata. Dalam hal ini, klien menilai nyeri

dengan menggunakan skala 0-10. Skala paling efektif digunakan saat mengkaji

intensitas nyeri sebelum dan setelah intervensi terapeutik. Apabila digunakan

skala untuk menilai nyeri, maka direkomendasikan patokan 10 cm (AHCPR,

1992). Skala analog visual (Visual analog scale, VAS) tidak melebel subdivisi.

9

Page 10: Pain Management Ivan

VAS adalah suatu garis lurus, yang mewakili intensitas nyeri yang terus menerus

dan pendeskripsi verbal pada setiap ujungnya. Skala ini memberi klien kebebasan

penuh untuk mengidentifikasi keparahan nyeri. VAS dapat merupakan

pengukuran keparahan nyeri yang lebih sensitif karena klien dapat

mengidentifikasi setiap titik pada rangkaian dari pada dipaksa memilih satu kata

atau satu angka.

10

Page 11: Pain Management Ivan

BAB III

MANAJEMEN NYERI

The World Health Organisation Analgesic Ladder diperkenalkan untuk

meningkatkan penanganan nyeri pada pasien dengan kanker. Namun, formula ini

dapat juga dipakai untuk menangani nyeri akut karena memiliki strategi yang

logis untuk mengatasi nyeri.

Formulasi ini menunjukkan, pada nyeri akut, yang pertama kali diberikan

adalah Obat Anti- Inflamasi non steroid, Aspirin, atau Paracetamol yang

merupakan obat-obatan yang bekerja di perifer. Apabila dengan obat-obatan ini,

nyeri tidak dapat teratasi, maka diberikan obat-obatan golongan Opioid lemah

seperti kodein dan dextropropoxyphene disertai dengan obat –obat lain untuk

meminimalisasi efek samping yang timbul. Apabila regimen ini tidak juga dapat

mencapai kontrol nyeri yang efektif, maka digunakanlah obat-obatan golongan

Opioid Kuat, misalnya Morfin.

Belakangan, World Federation of Societies of Anaesthesiologists (WFSA)

Analgesic Ladder telah dikembangkan untuk mengobati nyeri akut. Pada awalnya,

nyeri dapat dianggap sebagai keadaan yang berat sehingga perlu dikendalikan

dengan analgesik yang kuat. Biasanya, nyeri pascaoperasi akan berkurang seiring

berjalannya waktu dan kebutuhan akan obat yang diberikan melalui suntikan

dapat dihentikan. Anak tangga kedua pada WFSA Analgesic Ladder adalah

pemulihan penggunaan rute oral untuk memberikan analgesia. Opioid kuat tidak

lagi diperlukan dan analgesia yang memadai dapat diperoleh dengan

menggunakan kombinasi dari obat-obat yang berkerja di perifer dan opioid lemah.

Langkah terakhir adalah ketika rasa sakit dapat dikontrol hanya dengan

menggunakan obat-obatan yang bekerja di perifer.4,5,6

Anestesi Lokal 3,5,7,8

Penggunaan teknik anestesi regional pada pembedahan memiliki efek yang positif

terhadap respirasi dan kardiovaskuler pasien terkait dengan berkurangnya

perdarahan dan nyeri yang teratasi dengan baik. Singkatnya, teknik apapun yang

dapat digunakan dalam prosedur bedah menghasilkan hasil yang nyaris sempurna

11

Page 12: Pain Management Ivan

untuk menghilangkan nyeri pascaoperasi apabila efeknya diperpanjang hingga

melebihi durasi pembedahan. Ada beberapa teknik anestesi lokal sederhana yang

dapat dilanjutkan ke periode pasca-operasi untuk memberikan pain relief yang

efektif. Sebagian besar dapat dilakukan dengan risiko minimal termasuk infiltrasi

anestesi lokal, blokade saraf perifer atau pleksus dan teknik blok perifer atau

sentral.

Meskipun begitu, kita tidak boleh mengharapkan anelgesi lokal saja dapat

mengatasi nyeri pasca operasi, karena nyeri pascaoperasi memiliki banyak faktor

penyebab. Karena nyeri timbul dari multifaktor, maka manajemen nyeri

pascaoperasi haruslah terdiri dari kombinasi pendekatan untuk mencapai hasil

terbaik.

Infiltrasi luka dengan obat anestesi lokal berdurasi panjang seperti

Bupivacaine dapat memberikan analgesia yang efektif selama beberapa jam.

Apabila nyeri berlanjut, dapat diberikan suntikan ulang atau dengan menggunakan

infus. Blokade pleksus atau saraf perifer akan memberikan analgesia selektif di

bagian-bagian tubuh yang terkait oleh pleksus atau saraf tersebut. Teknik-teknik

ini dapat digunakan untuk memberikan anestesi untuk pembedahan atau khusus

untuk nyeri pasca-operasi.Teknik-teknik ini dapat sangat berguna jika suatu blok

simpatik diperlukan untuk meningkatkan suplai darah pascaoperasi atau apabila

blokade pusat seperti blokade spinal atau epidural merupakan kontraindikasi.

Spinal anestesi memberikan analgesia yang sangat baik untuk operasi di

tubuh bagian bawah dan pain relief bisa berlangsung berjam-jam setelah selesai

operasi jika dikombinasikan dengan obat-obatan yang mengandung

vasokonstriktor. Penggunaan teknik epidural membutuhkan praktisi yang

berpengalaman dan pelatihan khusus bagi staf perawat dalam pengelolaan pasca-

operasi pasien.

Kateter epidural dapat ditempatkan baik di leher, toraks atau daerah

lumbal tetapi blokade epidural lumbal adalah yang paling umum digunakan.

Meskipun infus kontinu anestesi lokal dapat menghasilkan analgesia sangat

efektif, teknik ini juga menghasilkan efek samping yang tidak diinginkan seperti

hipotensi, blok sensorik dan motorik, mual dan retensi urin. Kombinasi obat bius

12

Page 13: Pain Management Ivan

lokal dengan opioid yang diberikan secara sentral dapat mengurangi sebagian dari

masalah ini.

Analgetik

Beberapa jenis analgetik (obat pereda nyeri) bisa membantu mengurangi

nyeri. Obat ini digolongkan ke dalam 3 kelompok:

1. Analgetik opioid (narkotik)

2. Analgetik non-opioid

3. Analgetik ajuvan

4. Anastesi Lokal dan Topikal

Analgetik opioid merupakan pereda nyeri yang paling kuat dan sangat

efektif untuk mengatasi nyeri yang hebat.

Analgetik opioid

Secara kimia analgetik opioid berhubungan dengan morfin. Morfin

merupakan bahan alami yang disarikan dari opium, walaupun ada yang berasal

dari tumbuhan lain dan sebagian lainnya dibuat di laboratorium. Analgetik opioid

sangat efektif dalam mengurangi rasa nyeri namun mempunyai beberapa efek

samping. Semakin lama pemakai obat ini akan membutuhkan dosis yang lebih

tinggi. Selain itu sebelum pemakaian jangka panjang dihentikan, dosisnya harus

dikurangi secara bertahap, untuk mengurangi gejala-gejala putus obat.

Berbagai kelebihan dan kekurang dari analgetik opiod :

Morfin, merupakan prototipe dari obat ini, yang tersedia dalam bentuk

suntikan, per-oral (ditelan) dan per-oral lepas lambat. Sediaan lepas lambat

memungkinkan penderita terbebas dari rasa nyeri selama 8-12 jam dan banyak

digunakan untuk mengobati nyeri menahun.

Tramadol merupakan analgetik sintetik yang merupakan agonis reseptor

opioid. Ia juga menghasilkan analgesia dengan menghambat noradrenalin dan

13

Page 14: Pain Management Ivan

reuptake serotonin dan meningkatkan pelepasan 5 ht untuk memodifikasi

transmisi nosiseptik melalui aktivasi inhibitor yang menuju ke bawah jaras CNS.

Analgetik opioid seringkali menyebabkan sembelit, terutama pada usia

lanjut. Pencahar (biasanya pencahar perangsang, contohnya senna atau

fenolftalein) bisa membatu mencegah atau mengatasi sembelit. Opioid dosis

tinggi sering menyebabkan ngantuk. Untuk mengatasinya bisa diberikan obat-obat

perangsang (misalnya metilfenidat).

Analgetik opioid bisa memperberat mual yang dirasakan oleh penderita.

Untuk mengatasinya diberikan obat anti muntah, baik dalam bentuk per-oral,

supositoria maupun suntikan (misalnya metoklopramid, hikroksizin dan

proklorperazin). Opioid dosis tinggi bisa menyebabkan reaksi yang serius, seperti

melambatnya laju pernafasan dan bahkan koma. Efek ini bisa dilawan oleh

nalokson, suatu penawar yang diberikan secara intravena.

Analgetik opioid

Obat Masa efektif Keterangan

Morfin Suntikan

intravena/intramuskuler:2-3 jam

per-oral:3-4 jam

sediaan lepas lambat:8-12jam

Mula kerjanya cepat

sediaan per-oral sangat efektif

untuk mengatasi nyeri karena

kanker

Kodein Per-oral:3-4 jam Kurang kuat dibandingkan

dengan morfin

kadang diberikan bersamaan

dengan aspirin atau

asetaminofen

Meperidin Suntikan Bisa menyebabkan epilepsi,

14

Page 15: Pain Management Ivan

intravena/intramuskuler:sekitar 3

jam

per-oral:tidak terlalu efektif

tremor dan kejang otot

Metadon Per-oral:4-6 jam, kadang lebih

lama

Juga digunakan untuk

mengobati gejala putus obat

karena heroin

Proksifen Per-oral:3-4 jam Biasanya diberikan

bersamaan dengan aspirin

atau asetaminofen, untuk

mengatasi nyeri ringan

Levorfanol Suntikan intravena atau

intramuskuler:4 jam

per-oral:sekitar 4 jam

Sediaan per-oral sangat

ampuh

bisa digunakan sebagai

pengganti morfin

Hidromorfo

n

Suntikan

intravena/intramuskuler:2-4 jam

per-oral:2-4 jam

suppositoria per-rektum:4 jam

Mula kerjanya cepat

bisa digunakan sebagai

pengganti morfin

efektif untuk mengatasi nyeri

karena kanker

Oksimorfon Suntikan

intravena/intramuskuler:3-4 jam

suppositoria per-rektum:4 jam

Mula kerjanya cepat

Oksikodon Per-oral:3-4 jam Biasanya diberikan bersama

aspirin atau asetaminofen

15

Page 16: Pain Management Ivan

Pentazosin Per-oral:sampai 4 jam Bisa menghambat kerja

analgetik opioid lainnya

kekuatannya hampir sama

dengan kodein

bisa menyebabkan linglung &

kecemasan, terutama pada

usia lanjut

Analgetik Non-Opioid

Semua analgetik non-opiod (kecuali asetaminofen) merupakan obat anti

peradangan non-steroid (NSAID, nonsteroidal anti-inflammatory drug). Obat-obat

ini bekerja melalui 2 cara:

1. Mempengaruhi sistem prostaglandin, yaitu suatu sistem yang

bertanggungjawab terhadap timbulnya rasa nyeri.

2. Mengurangi peradangan, pembengkakan dan iritasi yang seringkali

terjadi di sekitar luka dan memperburuk rasa nyeri. Aspirin

merupakan prototipe dari NSAID, yang telah digunakan selama

lebih dari 100 tahun. Pertama kali disarikan dari kulit kayu pohon

willow. Tersedia dalam bentuk per-oral (ditelan) dengan masa

efektif selama 4-6 jam. Efek sampingnya adalah iritasi lambung,

yang bisa menyebabkan terjadinya ulkus peptikum. Karena

mempengaruhi kemampuan darah untuk membeku, maka aspirin

juga menyebabkan kecenderungan terjadinya perdarahan di seluruh

tubuh. Pada dosis yang sangat tinggi, aspirin bisa menyebabkan

gangguan pernafasan. Salah satu pertanda dari overdosis aspirin

adalah teling berdenging (tinitus).

16

Page 17: Pain Management Ivan

Kerja prostaglandin pada mekanisme nyeri

Kerja Analgetik non - opioid

Mula kerja dan masa efektif dari berbagai NSAID berbeda-beda, dan

respon setiap orang terhadap NSAID juga berbeda-beda. Semua NSAID bisa

mengiritasi lambung dan menyebabkan ulkus peptikum, tetapi tidak seberat

17

Page 18: Pain Management Ivan

aspirin. Mengkonsumsi NSAID bersamaan dengan makanan dan antasid bisa

membantu mencegah iritasi lambung. Obat misoprostol bisa membantu mencegah

iritasi lambung dan ulkus peptikum; tetapi obat ini bisa menyebabkan diare.

Asetaminofen berbeda dari aspirin dan NSAID. Obat ini bekerja pada

sistem prostaglandin tetapi dengan mekanisme yang berbeda. Asetaminofen tidak

mempengaruhi kemampuan pembekuan darah dan tidak menyebabkan ulkus

peptikum maupun perdarahan. Tersedia dalam bentuk per-oral atau supositoria,

dengan masa efektif selama 4-6 jam. Dosis yang sangat tinggi bisa menyebabkan

efek samping yang sangat serius, seperti kerusakan hati.

Analgetik ajuvan

Analgetik ajuvan adalah obat-obatn yang biasanya diberikan bukan

karena nyeri, tetapi pada keadaan tertentu bisa meredakan nyeri. Contohnya,

beberapa anti-depresi juga merupakan analgetik non-spesifik dan digunakan untuk

mengobati berbagai jenis nyeri menahun, termasuk nyeri punggung bagian bawah,

sakit kepala dan nyeri neuropatik. Obat-obat anti kejang (misalnya karbamazepin)

18

Page 19: Pain Management Ivan

dan obat bius lokal per-oral (misalnya meksiletin) digunakan untuk mengobai

nyeri neuropatik.

Metode menggunakan obat opioid 1,5,6

Rute oral adalah yang paling banyak digunakan karena merupakan rute

yang paling dapat diterima oleh pasien. Kekurangan dari rute oral untuk

mengobati nyeri akut adalah bahwa penyerapan opioid dapat berkurang akibat

keterlambatan pengosongan lambung pascaoperasi. Mual dan muntah dapat

mencegah penyerapan obat-obatan yang diberikan secara oral dan di samping

itu,bioavailabilitas berkurang setelah metabolisme di dinding usus dan hati. Jadi

rute oral mungkin tidak cocok dalam banyak kasus.

Rute sublingual menawarkan beberapa keuntungan teoritis administrasi

obat. Penyerapan terjadi langsung ke sirkulasi sistemik karena tidak melewati

metabolisme lintas pertama. Obat yang telah paling sering digunakan oleh rute ini

adalah buprenorfin yang cepat diserap dan memiliki durasi kerja yang panjang (6

jam).

Rute supositoria. Kebanyakan analgesik opioid bergantung pada

metabolisme jika diberikan melalui mulut. Rute dubur adalah alternatif yang

berguna, terutama jika terdapat nyeri berat yang disertai dengan mual dan muntah.

Opioid dapat diberikan dengan efektif melalui supositoria tetapi tidak ideal untuk

terapi segera nyeri akut karena bereaksi lambat dan kadang-kadang

penyerapannya tidak menentu, meskipun secara ideal cocok untuk pemeliharaan

analgesia. Rektal dosis untuk sebagian besar opioid kuat adalah sekitar setengah

yang dibutuhkan oleh rute oral. Ketersediaan opioid untuk penggunaan rektal

sangat bervariasi di seluruh dunia.

Administrasi intramuskular mewakili teknik yang optimal bagi negara

berkembang. Seperti yang dinyatakan sebelumnya, dengan metode ini efek

analgesia akan berhubungan dengan banyak faktor. Sebuah cara sederhana untuk

mengatasi masalah ini adalah dengan melaksanakan analgesik secara reguler

setiap 4 jam. Bahkan, telah dibuktikan bahwa injeksi intramuskular opioid dapat

sebagus yang dari Patient Controlled Analgesia (PCA). Untuk mencapai tingkat

19

Page 20: Pain Management Ivan

ini diperlukan penilaian anlagesia reguler, pencatatan skor nyeri dan

pengembangan algoritme pemberian analgesia, tergantung dari tingkat nyeri.

Intravena. Selama bertahun-tahun telah menjadi tindakan yang umum

untuk memberikan bolus opioid baik dalam durante operasi dan pemulihan pasca-

operasi untuk menghasilkan analgesia langsung. Rute ini memiliki kelemahan

fluktuasi produksi konsentrasi plasma obat yang disuntikkan, meskipun bila

dilakukan dengan hati-hati injeksi intravena dapat meredakan nyeri dengan lebih

cepat dari metode lain. Namun secara umum teknik infus, baik oleh suntikan

intermiten atau dengan infus, tidak sesuai kecuali dalam pengawasan ketat dan

berada dalam unit terapi intensif karena secara inheren berbahaya jika pasien

dibiarkan tanpa pengawasan bahkan untuk periode singkat.

Patient Controlled Analgesia (PCA)1,4,5,8

Patient Controlled Analgesia (PCA) menjadi populer ketika diketahui bahwa

kebutuhan individu untuk opioid bervariasi. Oleh karena itu disusun suatu sistem

di mana pasien dapat mengelola analgesia intravena mereka sendiri dan mentitrasi

dosis titik akhir penghilang rasa sakit mereka sendiri menggunakan mikroprosesor

kecil yang dikontrol dengan sejenis pompa. Berbagai perangkat komersial

sekarang tersedia untuk tujuan ini.. Dengan demikian mereka dapat menyesuaikan

tingkat analgesia yang diperlukan, menurut keparahan rasa sakit. Secara teori,

tingkat plasma dari analgesik akan relatif konstan dan efek samping yang

disebabkan oleh fluktuasi tingkat plasma akan dihilangkan.

Untuk mencapai keberhasilan dan keamanan analgesia dengan PCA maka

pasien harus mengerti apa yang perlu dilakukan dan ini harus dijelaskan secara

rinci sebelum operasi. Hampir setiap obat opioid telah digunakan untuk PCA.

Secara teori, obat yang ideal harus memiliki onset yang cepat, durasi kerja sedang,

dan memiliki margin keselamatan yang luas antara efektivitas dan efek samping.

Pilihan biasanya tergantung pada ketersediaan, preferensi pribadi dan

pengalaman. Sekali pilihan telah dibuat parameter-parameter lainnya perlu

ditentukan termasuk ukuran bolus dosis, jangka waktu minimum antara dosis

(kunci-habis) dan dosis maksimum yang diperbolehkan.

20

Page 21: Pain Management Ivan

Morfin adalah obat yang paling populer dan akan digunakan sebagai

contoh. Dosis ideal morfin telah ditemukan yaitu 1mg. Namun, tinjauan ulang

diperlukan dalam setiap kasus untuk memastikan bahwa analgesia telah memadai.

Tujuan jangka waktu minimum antar dosis adalah untuk mencegah terjadinya

overdosis. Jangka waktu minimum antar dosis harus cukup lama untuk dosis

sebelumnya memiliki efek. Dalam prakteknya, jangka waktu ini berkisar antara 5

dan 10 menit cukup untuk sebagian besar opioid. Dalam prakteknya, adalah lebih

logis untuk menerima bahwa persyaratan analgesik pasien akan sangat bervariasi

dan beberapa pasien mungkin memerlukan jumlah yang sangat besar untuk

mencapai nyeri yang memadai.

Pasien yang menggunakan PCA biasanya mentitrasi analgesia mereka ke

titik di mana mereka merasa nyaman dan bukannya rasa bebas nyeri. Alasan

untuk hal ini adalah tidak jelas tetapi mungkin berkaitan dengan kekhawatiran

akan overdosis, kebutuhan untuk kontak dengan anggota staf rumah sakit dan

harapan setelah operasi.

Non farmakologis 8

Distraksi

Beberapa teknik distraksi, antara lain :

1. Nafas lambat, berirama

21

Page 22: Pain Management Ivan

2. Massage and Slow, Rhythmic Breathing

3. Rhytmic Singing and Tapping

4. Active Listenin

5. Guide Imagery

Relaksasi

Teknik relaksasi terutama efektif untuk nyeri kronik dan memberikan

beberapa keuntungan, antara lain :

1. Relaksasi akan menurunkan ansietas yang berhubungan dengan nyeri

atau stres

2. Menurunkan nyeri otot

3. Menolong individu untuk melupakan nyeri

4. Meningkatkan periode istirahat dan tidur

5. Meningkatkan keefektifan terapi nyeri lain

6. Menurunkan perasaan tak berdaya dan depresi yang timbul akibat

nyeri

Stewart (1976: 959), menganjurkan beberapa teknik relaksasi berikut :

1. Klien menarik nafas dalam dan menahannya di dalam paru

2. Secara perlahan-lahan keluarkan udara dan rasakan tubuh menjadi

kendor dan rasakan betapa nyaman hal tersebut

3. Klien bernafas dengan irama normal dalam beberapa waktu

4. Klien mengambil nafas dalam kembali dan keluarkan secara perlahan-

lahan, pada saat ini biarkan telapak kaki relaks. Perawat minta kepada

klien untuk mengkonsentrasikan fikiran pada kakinya yang terasa

ringan dan hangat.

5. Ulangi langkah 4 dan konsentrasikan fikiran pada lengan, perut,

punggung dan kelompok otot-otot lain

6. Setelah klien merasa relaks, klien dianjurkan bernafas secara perlahan.

Bila nyeri menjadi hebat klien dapat bernafas secara dangkal dan

cepat.

7.

Stimulasi Kulit (Cutaneus)

22

Page 23: Pain Management Ivan

Beberapa teknik untuk stimulasi kulit antara lain :

a. Kompres dingin

b. Analgesics ointments

c. Counteriritan, seperti plester hangat.

d. Contralateral Stimulation, yaitu massage kulit pada area yang

berlawanan dengan area yang nyeri.

Hipnotis

Membantu mengubah persepsi nyeri melalui pengaruh sugesti positif.

Biofeedback

Terapi perilaku yang dilakukan dengan memberikan individu informasi

tentang respon nyeri fisiologis dan cara untuk melatih kontrol volunter terhadap

respon tersebut. Terapi ini efektif untuk mengatasi ketegangan otot dan migren,

dengan cara memasang elektroda pada pelipis.

Guided imagery

Meminta klien berimajinasi membayangkan hal-hal yang menyenangkan,

tindakan ini memerlukan suasana dan ruangan yang tenang serta konsentrasi dari

klien. Apabila klien mengalami kegelisahan, tindakan harus dihentikan. Tindakan

ini dilakukan pada saat klien merasa nyaman dan tidak sedang nyeri akut.

BAB IV

KESIMPULAN

23

Page 24: Pain Management Ivan

Nyeri merupakan suatu respon biologis yang menggambarkan suatu

kerusakan atau gangguan organ tubuh. Nyeri didefinisikan sebagai suatu keadaan

yang mempengaruhi seseorang dan ekstensinya diketahui bila seseorang pernah

mengalaminya (Tamsuri, 2007). Menurut International Association for Study of

Pain (IASP), nyeri adalah sensori subyektif dan emosional yang tidak

menyenangkan yang didapat terkait dengan kerusakan jaringan aktual maupun

potensial, atau menggambarkan kondisi terjadinya kerusakan. Manajemen nyeri

pascaoperasi haruslah dapat dicapai dengan baik demi alasan kemanusiaan.

Manajemen nyeri yang baik tidak hanya berpengaruh terhadap penyembuhan yang

lebih baik tetapi juga pemulangan pasien dari perawatan yang lebih cepat. Dalam

menangani nyeri, dapat digunakan obat-obatan seperti opioid, OAINS, dan

anestesi lokal. Obat-obatan ini dapat dikombinasi untuk mencapai hasil yang lebih

sempurna. Karena kebutuhan masing-masing individu adalah berbeda-beda, maka

penggunaan Patient Controlled Analgesia dirasakan sebagai metode yang paling

efektif dan menguntungkan dalam menangani nyeri pascaoperasi meskipun

dengan tidak lupa mempertimbangkan faktor ketersediaan dan keadaan ekonomi

pasien.

DAFTAR PUSTAKA

24

Page 25: Pain Management Ivan

1. Charlton ED. Posooperative Pain Management. World Federation

of Societies of

Anaesthesiologistshttp://www.nda.ox.ac.uk/wfsa/html/u07/u07_00

9.htm

2. Gwirtz K. Single-dose intrathecal opioids in the management of

acute postoperative pain. In: Sinatra RS, Hord AH, Ginsberg B,

Preble LM, eds. Acute Pain: Mechanisms & Management. St

Louis, Mo: Mosby-Year Book; 1992:253-68

3. Chelly JE, Gebhard R, Coupe K, et al. Local anesthetic delivered

via a femoral catheter by patient-controlled analgesia pump for

pain relief after an anterior cruciate ligament outpatient procedure.

Am J Anesthesiol. 2001;28:192-4.

4. Mahajan R, Nathanson M. Anaesthesia. London ; Elsevier

Churchill Livingstone. 2006

5. Cousin, MJ. Prevention of Postoperative Pain. Proceeding of the

VI World Congress on Pain. Elsevier, Amsterdam 2001; 41-53.

6. Fillingim RB, Edwards RR, Powell T. The relationship of sex and

clinical pain to experimental pain responses. Pain 1999; 83:419–

425.

7. Kehlet, H. Neurohumoral Response to Surgery and Pain in the

Man. Proceedings of the VI World Congress on Pain, Elsevier,

Amsterdam, 2001; 35-51.

8. Loeser, JD et al. Desirable characteristics for pain treatment

facilities. International Association for the Study of Pain 2000, 1-4.

25