Post Operative Pain Management

35
REFERAT MANAJEMEN NYERI PASCA OPERASI Pembimbing : dr. Satriyo Y Sasono, Sp. An dr. Muhammad Gusno Rekozar, Sp. An Penyusun : Nicholas Redly 030.08.179 Kepaniteraan Klinik Ilmu Anestesi Rumah Sakit Otorita Batam Periode 23 Juli – 1 September 2012 Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti Jakarta 1

Transcript of Post Operative Pain Management

Page 1: Post Operative Pain Management

REFERAT

MANAJEMEN NYERI PASCA OPERASI

Pembimbing :

dr. Satriyo Y Sasono, Sp. An

dr. Muhammad Gusno Rekozar, Sp. An

Penyusun :

Nicholas Redly

030.08.179

Kepaniteraan Klinik Ilmu Anestesi Rumah Sakit Otorita Batam

Periode 23 Juli – 1 September 2012

Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti

Jakarta

1

Page 2: Post Operative Pain Management

Daftar isi

Kata pengantar…………………………………………………………….. 3

Bab I. Pendahuluan………………………………………………………… 4

Bab II. Pembahasan

i) Defenisi Nyeri…………………………………………....….. 5

ii) Klasifikasi Nyeri....................................................................5

iii) Fisiologi Nyeri.......................................................................6

iv) Teori Pengontrolan Nyeri (Gate Control Theory)..................8

v) Respon Fisiologis Tubuh Terhadap Nyeri.............................9

vi) Penilaian Nyeri......................................................................11

Bab III Manajemen Nyeri Pasca Operasi...............................................13

Bab III Kesimpulan……………………………………………………… 22

Daftar Pustaka………………………………………………………………24

2

Page 3: Post Operative Pain Management

KATA PENGANTAR

Pertama-tama penulis mengucapkan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa

karena atas berkat, rahmat, dan anugerah-Nya, maka referat yang berjudul “Manajemen

nyeri pasca operasi” ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya.

Adapun tujuan penyusunan referat ini adalah dalam rangka memenuhi salah satu

tugas kepaniteraan klinik Ilmu Bedah RSOB Periode 23 Juli – 1 September 2012.

Pada kesempatan ini pula penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada

1. Dr. Satriyo Y Sasono, SpAn dan Dr. Gusno Rekozar, Sp.An selaku pembimbing

dalam pengkajian referat ini.

2. Para konsulen, dokter, paramedik, dan seluruh staf di SMF Anastesi, serta semua

pihak yang turut serta membantu baik dalam penyusunan referat maupun

membimbing serta menyediakan fasilitas yang diperlukan dalam penyelesaian tugas

ini, yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu.

Seperti kata pepatah tak ada gading yang tak retak, maka penulis menyadari dalam

penyusunan referat ini masih terdapat kesalahan dan kekurangan, oleh sebab itu kritik serta

saran sangat diharapkan untuk perbaikan dalam penyusunan selanjutnya. Akhir kata

semoga referat ini dapat berguna bagi semua pihak.

Batam, 25 Agustus 2012

Penulis

BAB I3

Page 4: Post Operative Pain Management

PENDAHULUAN

Nyeri menggambarkan suatu fungsi biologis. Ini menandakan adanya kerusakan

atau penyakit di dalam tubuh. Tujuan dari manajemen nyeri pascaoperasi adalah untuk

mengurangi atau menghilangkan rasa sakit dan ketidaknyamanan pasien dengan efek

samping seminimal mungkin. Pereda nyeri pascaoperasi haruslah mencerminkan

kebutuhan masing-masing pasien dan hal ini dapat dicapai dengan mempertimbangkan

berbagai macam faktor. Faktor-faktor tersebut dapat dirangkum sebagai faktor klinis,

patient-related factors,dan faktor lokal. Pada analisa akhir, ditemukan bahwa penentu

utama kecukupan dari pereda nyeri pasca operasi adalah persepsi pasien itu sendiri

terhadap rasa sakit.

Efektivitas dari pereda rasa nyeri pasca operasi adalah sangat penting untuk

menjadi pertimbangan bagi siapa saja yang sedang mengobati pasien yang menjalani

operasi. Hal ini awalnya harus dicapai karena alasan kemanusiaan, tapi kemudian

ditemukan bahwa dengan adanya manajemen nyeri pascaoperasi yang baik, maka keadaan

fisiologis pasien pun akan menjadi lebih baik. Manajemen nyeri yang baik tidak hanya

akan membantu penyembuhan pasca operasi secara lebih signifikan sehingga pasien dapat

pulang lebih cepat, tetapi juga dapat mengurangi onset terjadinya chronic pain syndrome.

BAB II

4

Page 5: Post Operative Pain Management

PEMBAHASAN

II.1. DEFINISI NYERI

Nyeri didefinisikan sebagai suatu keadaan yang mempengaruhi seseorang dan

ekstensinya diketahui bila seseorang pernah mengalaminya (Tamsuri, 2007). Menurut

International Association for Study of Pain (IASP), nyeri adalah sensori subyektif dan

emosional yang tidak menyenangkan yang didapat terkait dengan kerusakan jaringan

aktual maupun potensial, atau menggambarkan kondisi terjadinya kerusakan. Dari definisi

dan konsep nyeri di atas dapat di tarik dua kesimpulan. Jadi nyeri terjadi karena adanya

kerusakan jaringan yang nyata (pain with nociception) ataupun tanpa adanya kerusakan

jaringan yang nyata (pain without nociception).

II.2. KLASIFIKASI NYERI

Nyeri dapat digolongkan dalam berbagai cara, yaitu :

1. Menurut Jenisnya : nyeri nosiseptik, nyeri neurogenik, dan nyeri psikogenik.

2. Menurut timbulnya nyeri : nyeri akut dan nyeri kronis.

3. Menurut penyebabnya : nyeri onkologik dan nyeri non onkologik.

4. Menurut derajat nyerinya : nyeri ringan, sedang dan berat.

Menurut timbulnya nyeri

Nyeri akut

Nyeri yang terjadi segera setelah tubuh terkena cidera atau intervensi bedah dan

memiliki awitan yang cepat, dengan intensitas bervariasi dari berat sampai ringan.

Nyeri ini terkadang bisa hilang sendiri tanpa adanya intervensi medis, setelah keadaan

pulih pada area yang rusak.  Apabila nyeri akut ini muncul, biasanya tenaga kesehatan

sangat agresif untuk segera menghilangkan nyeri. Misalnya nyeri pasca bedah.

Nyeri kronik

Nyeri kronik adalah nyeri konstan atau intermiten yang menetap sepanjang suatu

periode tertentu, berlangsung lama, intensitas bervariasi, dan biasanya berlangsung

lebih dari enam bulan. Nyeri ini disebabkan oleh kanker yang tidak terkontrol, karena

pengobatan kanker tersebut atau karena gangguan progresif lain. Nyeri ini bisa

berlangsung terus sampai kematian. Pada nyeri kronik, tenaga kesehatan tidak

seagresif pada nyeri akut. Klien yang mengalami nyeri kronik akan mengalami periode

5

Page 6: Post Operative Pain Management

remisi (gejala hilang sebagian atau keseluruhan) dan eksaserbasi (keparahan

meningkat).  Nyeri ini biasanya tidak memberikan respon terhadap pengobatan yang 

diarahkan pada penyebabnya. Nyeri ini merupakan penyebab utama ketidakmampunan

fisik dan psikologis. Sifat nyeri kronik yang tidak dapat diprediksi membuat klien

menjadi frustasi dan seringkali mengarah pada depresi psikologis. Individu yang

mengalami nyeri kronik akan timbul perasaan yang tidak aman, karena ia tidak pernah

tahu apa yang akan dirasakannya dari hari ke hari. Misalnya nyeri post-herpetic, nyeri

phantom atau nyeri karena kanker.

Menurut derajat nyerinya

Berdasarkan derajat nyerinya diklasifikasikan menjadi 3 kriteria, yaitu :

1. Nyeri ringan : adalah nyeri yang hilang timbul, terutama sewaktu melakukan

aktifitas sehari-hari dan hilang pada waktu tidur.

2. Nyeri sedang : adalah nyeri yang terus menerus, aktifitas terganggu, yang hanya

hilang jika penderita tidur.

3. Nyeri berat : adalah nyeri yang berlangsung terus menerus sepanjang hari,

penderita tak dapat tidur atau sering terjaga oleh gangguan nyeri sewaktu tidur.

II.3. FISIOLOGI NYERI

Reseptor nyeri adalah organ tubuh yang berfungsi untuk menerima rangsang nyeri.

Organ tubuh yang berperan sebagai reseptor nyeri adalah ujung syaraf bebas dalam kulit

yang berespon hanya terhadap stimulus kuat yang secara potensial merusak. Reseptor nyeri

disebut juga nosireceptor, secara anatomis reseptor nyeri (nosireceptor) ada yang

bermielien dan ada juga yang tidak bermielin dari syaraf perifer. Berdasarkan letaknya,

nosireseptor dapat dikelompokkan dalam beberapa bagaian tubuh yaitu pada kulit

(Kutaneus), somatik dalam(deep somatic), dan pada daerah viseral, karena letaknya yang

berbeda-beda inilah, nyeri yang timbul juga memiliki sensasi yang berbeda. Nosireceptor

kutaneus berasal dari kulit dansub kutan, nyeri yang berasal dari daerah ini biasanya

mudah untuk dialokasi dan didefinisikan. Reseptor jaringan kulit (kutaneus) terbagi dalam

dua komponen yaitu :

a. Reseptor A delta

6

Page 7: Post Operative Pain Management

Merupakan serabut komponen cepat (kecepatan tranmisi 6-30 m/det) yangmemungkinkan

timbulnya nyeri tajam yang akan cepat hilang apabila penyebab nyeri dihilangkan.

b. Serabut C

Merupakan serabut komponen lambat (kecepatan tranmisi 0,5 m/det) yang terdapatpada

daerah yang lebih dalam, nyeri biasanya bersifat tumpul dan sulit dilokalisasi.

Struktur reseptor nyeri somatik dalam meliputi reseptor nyeri yang terdapat

padatulang, pembuluh darah, syaraf, otot, dan jaringan penyangga lainnya.Karena

strukturreseptornya komplek, nyeri yang timbul merupakan nyeri yang tumpul dan sulit

dilokalisasi.

Reseptor nyeri jenis ketiga adalah reseptor viseral, reseptor ini meliputi organ-

organviseral seperti jantung, hati, usus, ginjal dan sebagainya.Nyeri yang timbul pada

reseptor inibiasanya tidak sensitif terhadap pemotongan organ, tetapi sangat sensitif

terhadap penekanan,iskemia dan inflamasi.

Seperti halnya berbagai stimulus yang disadari lainnya, persepsi nyeri dihantarkan

oleh neuron khusus yang bertindak sebagai reseptor, pendeteksi stimulus, penguat dan

penghantar menuju sistem saraf pusat. Sensasi tersebut sering didekripsikan sebagai

protopatik (noxious) dan epikritik (non-noxious). Sensasi epiritik (sentuhan ringan,

tekanan, propriosepsi, dan perbedaan temperatur) ditandai dengan reseptor ambang rendah

yang secara umum dihantarkan oleh serabut saraf besar bermielin. Sebaliknya, sensasi

protopatik (nyeri) ditandai dengan reseptor ambang tinggi yang dihantarkan oleh serabut

saraf bermielin yang lebih kecil (A delta) serta serabut saraf tak bermielin (serabut C). 7

Page 8: Post Operative Pain Management

Stimulus ini melalui empat proses tersendiri yaitu :

1. Transduksi

Proses rangsangan yang mengganggu sehingga menimbulkan aktivitas listrik di

reseptor nyeri. Terjadi karena pelepasan mediator kimia seperti prostaglandin dari sel

rusak, bradikinin dari plasma, histamin dari sel mast, serotonin dari trombosit dan

substansi P dari ujung saraf. Stimuli ini dapat berupa stimuli fisik (tekanan), suhu

(panas) atau kimia (substansi nyeri).

2. Transmisi

Proses penerusan impuls nyeri dari tempat transduksi melalui nosiseptor saraf perifer.

Impuls ini akan disalurkan oleh serabut saraf A delta dan serabut C sebagai neuron

pertama, dari perifer ke medulla spinalis dimana impuls tersebut mengalami modulasi

sebelum diteruskan ke thalamus oleh traktus sphinotalamikus sebagai neuron kedua.

Dari thalamus selanjutnya impuls disalurkan ke daerah somato sensoris di korteks

serebri melalui neuron ketiga, dimana impuls tersebut diterjemahkan dan dirasakan

sebagai persepsi nyeri.

3. Modulasi

Melibatkan aktivitas saraf melalui jalur-jalur saraf desenden dari otak yang dapat

mempengaruhi transmisi nyeri setinggi medula spinalis. Modulasi ini juga melibatkan

faktor-faktor kimiawi yang menimbulkan atau meningkatkan aktifitas di reseptor

nyeri.

4. Persepsi

Hasil akhir dari proses interaksi yang kompleks dan unik yang dimulai dari proses

transduksi, transmisi, dan modulasi yang pada gilirannya menghasilkan suatu perasaan

yang subyektif yang dikenal sebagai persepsi nyeri.

II.4 Teori Pengontrolan Nyeri (Gate Control Theory)

Sampai saat ini dikenal berbagai teori yang mencoba menjelaskan bagaimana nyeri

dapat timbul, namun teori gerbang kendali nyeri dianggap paling relevan. Teori gate

control dari Melzack dan Wall (1965) mengusulkan bahwa impuls nyeri dapat diatur atau

dihambat oleh mekanisme pertahanan disepanjang sistem saraf pusat.Teori ini mengatakan

bahwa impuls nyeri dihantarkan saat sebuah pertahanan dibuka dan impuls dihambat saat

8

Page 9: Post Operative Pain Management

sebuah pertahanan tertutup.Upaya menutup pertahanan tersebut merupakan dasar teori

menghilangkan nyeri.

Suatu keseimbangan aktivitas dari neuron sensori dan serabut kontrol desenden dari

otak mengatur proses pertahanan. Neuron delta-A dan C melepaskan substansi C

melepaskan substansi P untuk mentranmisi impuls melalui mekanisme pertahanan.Selain

itu, terdapat mekanoreseptor, neuron beta-A yang lebih tebal, yang lebih cepat yang

melepaskan neurotransmiter penghambat. Apabila masukan yang dominan berasal dari

serabut beta-A,maka akan menutup mekanisme pertahanan. Pesan yang dihasilkan

akanmen stimulasi mekanoreseptor, apabila masukan yang dominan berasal dari serabut

delta Adan serabut C, maka akan membuka pertahanan tersebut dan klien mempersepsikan

sensasi nyeri. Bahkan jika impuls nyeri dihantarkan ke otak, terdapat pusat kortek yang

lebih tinggi di otak yang memodifikasi nyeri.Alur saraf desenden melepaskan opiat

endogen, seperti endorfin dan dinorfin, suatu pembunuh nyeri alami yang berasal dari

tubuh.Neuromedulator ini menutup mekanisme pertahanan dengan menghambat pelepasan

substansi P. Tehnik distraksi, konseling dan pemberian plasebo merupakan upaya untuk

melepaskan endorphin.

II.5. RESPON FISIOLOGIS TERHADAP NYERI

a. Stimulasi Simpatik:(nyeri ringan, moderat, dan superficial)

i. Dilatasi saluran bronkhial dan peningkatan respirasi rate

ii. Peningkatan heart rate

iii. Vasokonstriksi perifer, peningkatan BP

iv. Peningkatan nilai gula darah

v. Diaphoresis

vi. Peningkatan kekuatan otot

vii. Dilatasi pupil

viii. Penurunan motilitas GI

a. Stimulus Parasimpatik (nyeri berat dan dalam)

9

Page 10: Post Operative Pain Management

i. Muka pucat

ii. Otot mengeras

iii. Penurunan HR dan BP

iv. Nafas cepat dan irreguler

v. Nausea dan vomitus

vi. Kelelahan dan keletihan

Respon tingkah laku terhadap nyeri

a. Respon perilaku terhadap nyeri dapat mencakup:

b. Pernyataan verbal (Mengaduh, Menangis, Sesak Nafas, Mendengkur)

c. Ekspresi wajah (Meringis, Menggeletukkan gigi, Menggigit bibir)

d. Gerakan tubuh (Gelisah, Imobilisasi, Ketegangan otot, peningkatan gerakan jari

&tangan

e. Kontak dengan orang lain/interaksi sosial (Menghindari percakapan, Menghindari

kontak sosial, Penurunan rentang perhatian, Fokus pd aktivitas menghilangkan

nyeri)

Individu yang mengalami nyeri dengan awitan mendadak dapat bereaksi sangat

berbeda terhadap nyeri yang berlangsung selama beberapa menit atau menjadi kronis.Nyeri

dapat menyebabkan keletihan dan membuat individu terlalu letih untuk merintih atau

menangis.Pasien dapat tidur, bahkan dengan nyeri hebat.Pasien dapat tampak rileks dan

terlibat dalam aktivitas karena menjadi mahir dalam mengalihkan perhatian terhadap nyeri.

Meinhart & McCaffery mendiskripsikan 3 fase pengalaman nyeri:

a. Fase antisipasi (terjadi sebelum nyeri diterima)

Fase ini mungkin bukan merupakan fase yg paling penting, karena fase ini bisa mem

pengaruhi dua fase lain. Pada fase ini memungkinkan seseorang belajar tentangnyeri dan

upaya untuk menghilangkan nyeri tersebut.

b. Fase sensasi (terjadi saat nyeri terasa)

10

Page 11: Post Operative Pain Management

Fase ini terjadi ketika klien merasakan nyeri.karena nyeri itu bersifat subyektif, maka tiap

orang dalam menyikapi nyeri juga berbeda-beda. Toleransi terhadap nyeri juga akan

berbeda antara satu orang dengan orang lain. Orang yang mempunyai tingkat toleransi

tinggi terhadap nyeri tidak akan mengeluh nyeri dengan stimulus kecil,sebaliknya orang

yang toleransi terhadap nyerinya rendah akan mudah merasa nyeri dengan stimulus nyeri

kecil. Klien dengan tingkat toleransi tinggi terhadap nyeri mampu menahan nyeri tanpa

bantuan, sebaliknya orang yang toleransi terhadap nyerinya rendah sudah mencari upaya

mencegah nyeri, sebelum nyeri datang.

Keberadaan endorfin membantu menjelaskan bagaimana orang yang berbeda merasakan

tingkat nyeri dari stimulus yang sama. Kadar endorfin berbeda tiap individu, individu

dengan endorfin tinggi sedikit merasakan nyeri dan individu dengan sedikit endorfin

merasakan nyeri lebih besar.

c. Fase akibat (terjadi ketika nyeri berkurang atau berhenti)

Fase ini terjadi saat nyeri sudah berkurang atau hilang. Pada fase ini pasien masih

membutuhkan kontrol dari perawat, karena nyeri bersifat krisis, sehinggadimungkinkan

klien mengalami gejala sisa pasca nyeri.Apabila pasien mengalami episode nyeri berulang,

maka respon akibat (aftermath) dapat menjadi masalah kesehatan yang berat.

II.6. PENILAIAN NYERI

Berbagai cara dipakai untuk mengukur derajat nyeri, secara kualitatif nyeri dapat

dibagi menjadi :

1. Nyeri ringan adalah nyeri yang hilang timbul, terutama sewaktu melakukan

aktivitas sehari-hari dan hilang pada waktu tidur.

2. Nyeri sedang adalah nyeri terus menerus, aktivitas terganggu, yang hanya hilang

apabila penderita tidur.

3. Nyeri berat adalah nyeri yang berlangsung terus menerus sepanjang hari, pendeita

tidak dapat tidur atau sering terjaga oleh gangguan nyeri waktu tidur.

Pada saat ini banyak yang menentukan derajat nyeri secara semi-kuantitatif dengan

menggunakan penggaris yang diberi angka pada skala 0 yang berarti tidak nyeri sampai 10

untuk nyeri yang maksimal. Cara ini popular disebut Numerical Rating Score (NRS).

Disini secara subyektif penderita diberi penjelasan terlebih dahulu bahwa bila tidak ada

11

Page 12: Post Operative Pain Management

nyeri diberi angka 0, sedang nyeri terhebat yang tak tertahankan lagi diberi angka 10.

Kemudian penderita diminta menentukan derajat nyerinya dalam cakupan 0 sampai 10.

Untuk mempermudah biasanya disodorkan gambar skala dari 0-10 pada penderita untuk

diminta menentukan tempat derajat nyeri yang dideritanya.

Cara lain yang sudah popular terlebih dahulu adalah mempergunakan Visual

Analogue Scale. VAS adalah suatu garis lurus, yang mewakili intensitas nyeri yang terus

menerus dan pendeskripsi verbal pada setiap ujungnya.

Walaupun menilai nyeri merupakan hal yang sangat subyektif, penderitaan nyeri

pasien perlu dievaluasi secara berkala.

12

Page 13: Post Operative Pain Management

BAB III

Manajemen Nyeri pasca Operasi

Kepentingan dari kontrol nyeri pasca operatif yang efektif :

Respon stres operasi

Tindakan pembedahan selalu menimbulkan trauma jaringan dan melepaskan mediator

inflamasi dan nyeri yang poten. Substansi yang dilepaskan dari jaringan yang mengalami

cedera memicu respon hormon stres selain aktivasi sitokin, molekul adhesi, dan faktor-

faktor koagulasi. Aktivasi ‘respon stres’ tersebut menimbulkan kenaikan tingkat

metabolisme, retensi air, dan memicu reaksi ‘fight or fight’ dengan gejala-gejala otonom.

Respon-respon tersebut menimbulkan nyeri dan morbiditas pembedahan antara lain

komplikasi kardiovaskuler dan pernapasan yang dapat timbul khususnya pada pasien lanjut

usia dan pasien-pasien dengan penyakit kardio-respiratorik sebelumnya.

Kontrol nyeri pasca operasi yang buruk

Nyeri yang berhubungan dengan respon-respon tersebut diatas tidaklah nyaman bagi

pasien. Berbagai laporan telah diperlihatkan di literatur kedokteran yang menjelaskan

mengenai kontrol nyeri pasca operasi yang teramat buruk di rumah sakit. Sebuah survei

menemukan bahwa 77% orang dewasa yakin bahwa nyeri pasca operasi akan terjadi,

dengan hampir 60% menghubungkannya dengan ketakutan sebelum operasi. Pemberian

opioid ‘sesuai kebutuhan’ secara umum dan tradisional dikatakan dapat menimbulkan

nyeri yang tidak dapat diatasi pada lebih dari 50% pasien.

Morbiditas pembedahan

Morbiditas pembedahan yang berhubungan dengan kontrol nyeri pasca operasi yang buruk

juga semakin dikenali. Efek-efek buruk terhadap kardiovaskuler antara lain hipertensi,

takikardi, dan peningkatan kerja jantung dapat muncul akibat nyeri yang tidak tertangani.

Nyeri juga dapat mengakibatkan napas menjadi dangkal dan menekan batuk sehingga

meningkatkan risiko sumbatan sekresi paru dan infeksi di dada.

Pembiayaan

Selain itu, kontrol nyeri yang buruk dapat memperlambat pasien keluar dari rumah sakit,

dan mengakibatkan pasien dirawat mendadak pasca bedah sehari sehingga meningkatkan

biaya perawatan.

13

Page 14: Post Operative Pain Management

The World Health Organisation Analgesic Ladder diperkenalkan untuk

meningkatkan penanganan nyeri pada pasien dengan kanker. Namun, formula ini dapat

juga dipakai untuk menangani nyeri akut karena memiliki strategi yang logis untuk

mengatasi nyeri.

Formulasi ini menunjukkan, pada nyeri akut, yang pertama kali diberikan adalah

Obat Anti- Inflamasi non steroid, Aspirin, atau Paracetamol yang merupakan obat-obatan

yang bekerja di perifer. Apabila dengan obat obatan ini, nyeri tidak dapat teratasi, maka

diberikan obat-obatan golongan Opioid lemah seperti kodein dan dextropropoxyphene

disertai dengan obat –obat lain untuk meminimalisasi efeksamping yang timbul. Apabila

regimen ini tidak juga dapat mencapai kontrol nyeri yang efektif, maka digunakanlah obat-

obatan golongan Opioid Kuat, misalnya Morfin. Belakangan, World Federation of

Societies of Anaesthesiologists (WFSA) Analgesic Ladder telah dikembangkan untuk

mengobati nyeri akut.Pada awalnya,nyeri dapat dianggap sebagai keadaan yang berat

14

WFSA

WHO

Page 15: Post Operative Pain Management

sehingga perlu dikendalikan dengan analgesik yang kuat. Biasanya, nyeri pascaoperasi

akan berkurang seiring berjalannya waktu dan kebutuhan akan obat yang diberikan melalui

suntikan dapat dihentikan. Anak tangga kedua pada WFSA Analgesic Ladder adalah

pemulihan penggunaan rute oral untuk memberikan analgesia.Opioid kuat tidak lagi

diperlukan dan analgesia yang memadai dapat diperoleh dengan menggunakan kombinasi

dari obat-obat yang berkerja di perifer dan opioid lemah. Langkah terakhir adalah ketika

rasa sakit dapat dikontrol hanya dengan menggunakan obat-obatan yang bekerja di perifer.

Anestesi Lokal

Penggunaan teknik anestesi regional pada pembedahan memiliki efek yang positif

terhadap respirasi dan kardiovaskuler pasien terkait dengan berkurangnya perdarahan dan

nyeri yang teratasi dengan baik.Singkatnya, teknik apapun yang dapat digunakan dalam

prosedur bedah menghasilkan hasil yang nyaris sempurna untuk menghilangkan nyeri

pascaoperasi apabila efeknya diperpanjang hingga melebihi durasi pembedahan.Ada

beberapa teknik anestesi lokal sederhana yang dapat dilanjutkan ke periode pasca-operasi

untuk memberikan pain relief yang efektif. Sebagian besar dapat dilakukan dengan risiko

minimal termasuk infiltrasi anestesi lokal, blokade saraf perifer atau pleksus dan teknik

blok perifer atau sentral.Meskipun begitu, kita tidak boleh mengharapkan anelgesi lokal

saja dapat mengatasi nyeri pasca operasi, karena nyeri pascaoperasi memiliki banyak

faktor penyebab.Karena nyeri timbul dari multifaktor, maka manajemen nyeri pascaoperasi

haruslah terdiri dari kombinasi pendekatan untuk mencapai hasil terbaik.

Infiltrasi luka dengan obat anestesi lokal berdurasi panjang seperti Bupivacaine

dapat memberikan analgesia yang efektif selama beberapa jam.Apabila nyeri berlanjut,

dapat diberikan suntikan ulang atau dengan menggunakan infus. Blokade pleksus atau

saraf periferakan memberikan analgesia selektif di bagian-bagian tubuh yang terkait oleh

pleksus atau saraf tersebut. Teknik-teknik ini dapat digunakan untuk memberikan anestesi

untuk pembedahan atau khusus untuk nyeri pasca-operasi. Teknik-teknik ini dapat sangat

berguna jika suatu blok simpatik diperlukan untuk meningkatkan suplai darah pascaoperasi

atauapabila blokade pusat seperti blokade spinal atau epidural merupakan kontraindikasi.

Spinal anestesi memberikan analgesia yang sangat baik untuk operasi di tubuh bagian

bawahdan pain relief bisa berlangsung berjam-jam setelah selesai operasi jika

dikombinasikan dengan obat-obatan yang mengandung vasokonstriktor.Penggunaan teknik

15

Page 16: Post Operative Pain Management

epidural membutuhkan praktisi yang berpengalaman dan pelatihan khusus bagi staf

perawat dalampengelolaan pasca-operasi pasien. Kateter epidural dapat ditempatkan baik

di leher, toraks atau daerah lumbal tetapi blokade epidural lumbal adalah yang paling

umum digunakan.

Meskipun infus kontinu anestesi lokal dapat menghasilkan analgesia sangat efektif,

teknik inijuga menghasilkan efek samping yang tidak diinginkan seperti hipotensi, blok

sensorik danmotorik, mual dan retensi urin. Kombinasi obat bius lokal dengan opioid yang

diberikansecara sentral dapat mengurangi sebagian dari masalah ini.

Analgesik Non-Opioid

Obat-obatan analgesik non-opioid yang paling umum digunakan diseluruh

duniaadalah aspirin, paracetamol, dan OAINS, yang merupakan obat-obatan utama untuk

nyeriringan sampai sedang.

Aspirin adalah analgesik yang efektif dan tersedia secara luas di seluruh dunia.

Obat ini dikonsumsi per oral dan bekerja cepat karena segera dimetabolisme menjadi asam

salisilatyang memiliki sifat analgesik dan, mungkin, anti-inflamasi. Dalam dosis

terapeutik, asam salisilat memiliki waktu paruh hingga 4 jam. Eksresinya tergantung oleh

dosis, sehingga dosis tinggi akan mengakibatkan obat diekskresi lebih lambat. Durasi kerja

aspirin dapat berkurang apabila diberika bersama-sama dengan antasida.Aspirin memiliki

efek samping yang cukup besar pada saluran pencernaan,menyebabkan mual, gangguan

dan perdarahan gastrointestinal akibat. Karena alasan ini, penggunaan aspirin untuk pain

relief pascaoperasi harus dihindari apabila masih tersedia obat-obatan alternatif lainnya.

Aspirin juga memiliki keterkaitan epidemiologis dengan Reye’s Syndrome dan

harus dihindari untuk diberikan sebagai analgesia pada anak-anak usia di bawah 12 tahun.

Dosis berkisar dari minimal 500mg, per oral, setiap 4 jam hingga maksimum 4g, peroral

per hari.

Obat Anti Inflamasi Non Steroid (OAINS) memiliki dua efek, analgesik

danantiinflamasi. Mekanisme kerjanya didominasi oleh inhibisi sintesis prostaglandin oleh

enzimcyclo-oxygenase yang mengkatalisa konversi asam arakidonat menjadi prostaglandin

yangmerupakan mediator utama peradangan. Semua OAINS bekerja dengan cara yang

16

Page 17: Post Operative Pain Management

sama dankarenanya tidak ada gunanya memberi lebih dari satu OAINS pada satu waktu.

OAINS pada umumnya, lebih berguna bagi rasa sakit yang timbul dari permukaan kulit,

mukosa buccal,dan permukaan sendi tulang.

Kontraindikasi relatif untuk penggunaan OAINS antara lain adalah : setiap riwayat

ulkus peptikum, perdarahan gastrointestinal; operasi yang berhubungan dengan kehilangan

darah yang banyak, asma, gangguan ginjal sedang hingga berat , dehidrasi dan setiap

riwayat hipersensitif untuk OAINS atau aspirin.

Ibuprofen merupakan obat pilihan jika rute oral tersedia. Obat ini secara klinis

efektif,murah dan memiliki profil efek samping yang lebih rendah dibandingkan dengan

OAINSlainnya. Alternatif lainnya adalah diclofenak, naproxen, piroxicam, ketorolac,

indometasindan asam mefenamat. Apabila rute oral tidak tersedia obat dapat diberikan

dengan rute lain seperti supositoria, injeksi atau topikal. Aspirin dan sebagian besar

OAINS tersedia sebagai supositoria dan diserap dengan baik.

Opioid Lemah

Codeine adalah analgesik opioid lemah yang berasal dari opium alkaloid

(sepertimorfin). Codeine kurang aktif daripada morfin, memiliki efek yang dapat diprediksi

bila diberikan secara oral dan efektif terhadap rasa sakit ringan hingga sedang. Codeine

dapat dikombinasikan dengan parasetamol tetapi harus berhati-hati untuk tidak melampaui

maksimum dosis yang dianjurkan bila menggunakan kombinasi parasetamol tablet.

Dosis berkisar antara 15 mg - 60mg setiap 4 jam dengan maksimum 300mg

setiaphari.

Dextropropoxyphene secara struktural berkaitan dengan metadon tetapi memiliki

sifatanalgesik yang relatif miskin. Hal ini sering dipasarkan dalam kombinasi dengan

parasetamoldan kewaspadaan yang sama seperti Codeine harus diawasi.

Dosis berkisar dari 32.5mg (dalam kombinasi dengan parasetamol) sampai

60mgsetiap 4 jam dengan maksimum 300mg setiap hari.

17

Page 18: Post Operative Pain Management

Kombinasi opioid lemah dan obat-obatan yang bekerja di perifer sangat berguna

dalam prosedur pembedahan kecil di mana rasa sakit yang berlebihan tidak diantisipasi

sebelumnya atau untuk rawat jalan digunakan:

Parasetamol 500mg/codeine 8mg tablet, 2 tablet setiap 4 jam sampai maksimum

tablet perhari.

Apabila analgesia tidak mencukupi - Parasetamol 1g secara oral dengan Kodein 30

sampai 60mg setiap 4-6 per jam sampai maksimum 4 dosis dapat digunakan.

Opioid Kuat

Nyeri hebat yang berasal dari organ dalam dan struktur viseral membutuhkan

Opioidkuat sebagai analgesianya. Perawatan yang tepat dimulai dengan pemahaman yang

benar tentang obat, rute pemberian dan modus tindakan. Pemberian awal akan mencapai

konsentrasi obat yang efektif sehingga lebih mudah untuk mempertahankan tingkat

terapeutikobat di dalam darah.

Pemberian melalui rute oral mungkin tidak tersedia segera setelah pembedahan.

Jika fungsi gastrointestinal normal setelah operasi kecil atau besar,maka analgesia kuat

tidak diperlukan. Namun, rute oral mungkin tersedia pada pasien yang telah sembuh dari

pembedahan mayor sehingga opioid kuat seperti morfin dapat digunakan karena morfin

sangat efektif per oral. Bila pasien tidak dapat mengkonsumsi obat melalui rute oral cara

pemberian lain harus dilakukan. Secara umum, analgesia yang efektif dapat diberikan

melalui suntikan.

Faktor-faktor lain yang mempengaruhi penyerapan obat. Mungkin ada variasi yang

besar dalam darah dan tingkat penyerapan opioid setelah injeksi intramuskular. Ini

mungkin dipengaruhi oleh gangguan hepatik atau penyakit ginjal, usia yang ekstrim dan

adanya terapi obat yang lain. Kondisi apapun yang mengurangi aliran darah perifer dapat

mengganggu penyerapan obat dan dengan demikian, mengurangi suhu tubuh, hipovolemia

dan hipotensi. Semua ini akan mengakibatkan menurunnya penyerapan dari situs injeksi.

Hipotermia dan hipotiroidisme keduanya menyebabkan penurunan metabolisme yang

menyebabkanpeningkatan kepekaan terhadap obat-obatan.

18

Page 19: Post Operative Pain Management

Metode menggunakan obat opioid

Rute oral

Paling banyak digunakan karena merupakan rute yang paling dapat diterima oleh

pasien. Kekurangan dari rute oral untuk mengobati nyeri akut adalah bahwa penyerapan

opioid dapat berkurang akibat keterlambatan pengosongan lambung pascaoperasi. Mual

dan muntah dapat mencegah penyerapan obat-obatan yang diberikan secara oral dan di

samping itu,bioavailabilitas berkurang setelah metabolisme di dinding usus dan hati. Jadi

rute oral mungkin tidak cocok dalam banyak kasus.

Rute sublingual

Menawarkan beberapa keuntungan teoritis administrasi obat.Penyerapan terjadi

langsung ke sirkulasi sistemik karena tidak melewati metabolisme lintas pertama. Obat

yang telah paling sering digunakan oleh rute ini adalah buprenorfin yang cepat diserap dan

memiliki durasi kerja yang panjang (6 jam).

Rute supositoria.

Kebanyakan analgesik opioid bergantung pada metabolisme jika diberikan melalui

mulut.Rute dubur adalah alternatif yang berguna, terutama jika terdapat nyeri berat yang

disertai dengan mual dan muntah.Opioid dapat diberikan dengan efektif melalui

supositoria tetapi tidak ideal untuk terapi segera nyeri akut karena bereaksi lambat dan

kadang-kadang penyerapannya tidak menentu, meskipun secara ideal cocok untuk

pemeliharaan analgesia. Rektal dosis untuk sebagian besar opioid kuat adalah sekitar

setengah yang dibutuhkan oleh rute oral. Ketersediaan opioid untuk penggunaan rektal

sangat bervariasi di seluruh dunia.

Administrasi intramuskular mewakili teknik yang optimal bagi negara berkembang.

Seperti yang dinyatakan sebelumnya, dengan metode ini efek analgesia akan berhubungan

dengan banyak faktor. Sebuah cara sederhana untuk mengatasi masalah ini adalah dengan

melaksanakan analgesik secara reguler setiap 4 jam. Bahkan, telah dibuktikan bahwa

injeksi intramuskular opioid dapat sebagus yang dari Patient Controlled Analgesia (PCA).

Untuk mencapai tingkat ini diperlukan penilaian anlagesia reguler, pencatatan skor nyeri

dan pengembangan algoritme pemberian analgesia, tergantung dari tingkat nyeri. Selama

19

Page 20: Post Operative Pain Management

bertahun-tahun telah menjadi tindakan yang umum untuk memberikan bolus opioid baik

dalam operasi dan pemulihan pasca-operasi untuk menghasilkan analgesia langsung. Rute

ini memiliki kelemahan fluktuasi produksi konsentrasi plasma obat yang disuntikkan,

meskipun bila dilakukan dengan hati-hati injeksi intravena dapat meredakan nyeri dengan

lebih cepat dari metode lain. Namun secara umum teknik infus, baik oleh suntikan

intermiten atau dengan infus, tidak sesuai kecuali dalam pengawasan ketat dan berada

dalam unit terapi intensif karena secara inheren berbahaya jika pasien dibiarkan tanpa

pengawasan bahkan untuk periode singkat.

Patient Controlled Analgesia (PCA)

Patient Controlled Analgesia (PCA) menjadi populer ketika diketahui bahwa

kebutuhan individu untuk opioid bervariasi.Oleh karena itu disusun suatu sistem di mana

pasien dapat mengelola analgesia intravena mereka sendiri dan mentitrasi dosis titik akhir

penghilang rasasakit mereka sendiri menggunakan mikroprosesor kecil yang dikontrol

dengan sejenis pompa. Berbagai perangkat komersial sekarang tersedia untuk tujuan

ini..Dengan demikian mereka dapat menyesuaikan tingkat analgesia yang diperlukan,

menurut keparahan rasa sakit. Secara teori, tingkat plasma dari analgesik akan relatif

konstan dan efek samping yang disebabkanoleh fluktuasi tingkat plasma akan dihilangkan.

Untuk mencapai keberhasilan dan keamanan analgesia dengan PCA maka pasien

harus mengerti apa yang perlu dilakukan dan ini harus dijelaskan secara rinci sebelum

operasi. Hampir setiap obat opioid telah digunakan untuk PCA. Secara teori, obat yang

ideal harus memiliki onset yang cepat, durasi kerja sedang, dan memiliki margin

keselamatan yang luas antara efektivitas dan efek samping. Pilihan biasanya tergantung

pada ketersediaan,preferensi pribadi dan pengalaman. Sekali pilihan telah dibuat

parameter-parameter lainnya perlu ditentukan termasuk ukuran bolus dosis, jangka waktu

minimum antara dosis dan dosis maksimum yang diperbolehkan.

Morfin adalah obat yang paling populer dan akan digunakan sebagai contoh. Dosis

ideal morfin telah ditemukan yaitu 1mg. Namun, tinjauan ulang diperlukan dalam setiap

kasus untuk memastikan bahwa analgesia telah memadai. Tujuan jangka waktu minimum

antar dosis adalah untuk mencegah terjadinya overdosis.Jangka waktu minimum antar

dosisharus cukup lama untuk dosis sebelumnya memiliki efek.Dalam prakteknya, jangka

20

Page 21: Post Operative Pain Management

waktu ini berkisar antara 5 dan 10 menit cukup untuk sebagian besar opioid. Dalam

prakteknya, adalah lebih logis untuk menerima bahwa persyaratan analgesik pasien akan

sangat bervariasi dan beberapa pasien mungkin memerlukan jumlah yang sangat besar

untuk mencapai nyeri yang memadai.

Pasien yang menggunakan PCA biasanya mentitrasi analgesia mereka ke titik di

manamereka merasa nyaman dan bukannya rasa bebas nyeri. Alasan untuk hal ini adalah

tidak jelas tetapi mungkin berkaitan dengan kekhawatiran akan overdosis, kebutuhan untuk

kontak dengan anggota staf rumah sakit dan harapan setelah operasi.

21

Page 22: Post Operative Pain Management

BAB IV

KESIMPULAN

Nyeri merupakan suatu respon biologis yang menggambarkan suatu kerusakan

atau gangguan organ tubuh. Nyeri didefinisikan sebagai suatu keadaan yang

mempengaruhi seseorang dan ekstensinya diketahui bila seseorang pernah mengalaminya

(Tamsuri, 2007). Menurut International Association for Study of Pain (IASP), nyeri

adalah sensori subyektif dan emosional yang tidak menyenangkan yang didapat terkait

dengan kerusakan jaringan aktual maupun potensial, atau menggambarkan kondisi

terjadinya kerusakan. Manajemen nyeri pascaoperasi haruslah dapat dicapai dengan baik

demi alasan kemanusiaan. Manajemen nyeri yang baik tidak hanya berpengaruh terhadap

penyembuhan yang lebih baik tetapi juga pemulangan pasien dari perawatan yang lebih

cepat. Dalam menangani nyeri pascaoperasi, dapat digunakan obat-obatan seperti opioid,

OAINS, dan anestesi lokal. Obat-obatan ini dapat dikombinasi untuk mencapai hasil yang

lebih sempurna. Karena kebutuhan masing-masing individu adalah berbeda-beda, maka

penggunaan Patient Controlled Analgesia dirasakan sebagai metode yang paling efektif

dan menguntungkan dalam menangani nyeri pascaoperasi meskipun dengan tidak lupa

mempertimbangkan faktor ketersediaan dan keadaan ekonomi pasien.

22

Page 23: Post Operative Pain Management

DAFTAR PUSTAKA

1. Charlton ed. The managemnt of post operative pain. Accesed on 1st August 2012.

Available on : http://www.nda.ox.ac.uk/wfsa/html/u07/u07_004.htm

2. Latief said A., Suryadi kartini A., Daehlan M. Ruswan. 2002. Petunjuk praktis

anestesiologi. 2nd edition. Bagian anestesiologi dan terapi intensif Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia.

3. Vadebouncer Timothy R. 1989. Management of Post Operative Pain in Introduction to

Anasthesia. W.B. SAUNDERS COMPANY.

23