Ketamine for Perioperative Pain Management

22
REFERAT KETAMIN UNTUK TATALAKSANA PERIOPERATIF M. Ahsanuddin Ansori H1A 009 010 PEMBIMBING dr. H. Sulasno, Sp.An. DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA BAGIAN / SMF ANESTESI DAN REAMINASI RUMAH SAKIT UMUM PROVINSI NTB

description

tugas

Transcript of Ketamine for Perioperative Pain Management

REFERATKETAMIN UNTUK TATALAKSANA PERIOPERATIF

M. Ahsanuddin AnsoriH1A 009 010

PEMBIMBINGdr. H. Sulasno, Sp.An.

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAANKLINIK MADYA BAGIAN / SMF ANESTESIDAN REAMINASI RUMAH SAKIT UMUMPROVINSI NTB2015

BAB 1PENDAHULUANKetamin adalah obat yang menghasilkan anestesi disosiasi, yang kemudian ditandai dengan disosiasi pada EEG diantara talamokortikal dan sistem limbik. Anestesi disosiasi menyerupai kondisi kataleptik dimana mata masih tetap terbuka dan ada nistagmus yang lambat. Pasien tidak dapat berkomunikasi, meskipun dia tampak sadar. Refleks-refleks masih dipertahankan seperti refleks kornea, refleks batuk dan refleks menelan, namun semua refleks ini tidak boleh dianggap sebagai suatu proteksi terhadap jalan nafas. Variasi tingkat hipertonus dan gerakan otot rangka tertentu sering kali terjadi dan tidak tergantung dari stimulasi bedah. Ketamin mempunyai efek sedatif dan analgetik yang kuat. Dosis induksi 1-2 mg/kgBB intravena, 3-5 mg/kgBB intramuskular. Pada dosis subanestesi ketamin menghasilkan efek analgetik yang memuaskan.Sebagai bagian dalam upaya dalam pengembangan terapi nyeri, penelitian terbaru berfokus pada penggunaan ketamine untuk terapi nyeri akut dan kronis. Secara khusus, peran N-methyl-D-aspartat (NMDA) reseptor eksitasi glutamat dalam transmisi nociceptive telah diketahui pada manusia. Reseptor NMDA berperan dalam pengembangan dan pemeliharaan dari apa yang dapat disebut "nyeri patologis" setelah cedera jaringan: meningkat persepsi nyeri akibat sensitisasi nyeri, sebagian dari plastisitas sinaptik. Ketamine mengikat secara nonkompetitif pada tempat berikatannya phencyclidine pada reseptor NMDA tetapi juga memodifikasinya melalui mekanisme alosterik. Pada dosis subanesthetic, khasiat analgesik ketamin berkorelasi baik dengan tindakan penghambatan pada reseptor NMDA dan terdapat penurunan aktivitas struktur otak yang merespon rangsangan nyeri. Oleh karena itu Ketamine merupakan modalitas yang menjanjikan dalam beberapa strategi perioperatif untuk mencegah nyeri patologis.

BAB IITINJAUAN PUSTAKA1. KETAMIN

Ketamin adalah obat yang menghasilkan anestesi disosiasi, yang kemudian ditandai dengan disosiasi pada EEG diantara talamokortikal dan sistem limbik. Anestesi disosiasi menyerupai kondisi kataleptik dimana mata masih tetap terbuka dan ada nistagmus yang lambat. Pasien tidak dapat berkomunikasi, meskipun dia tampak sadar. Refleks-refleks masih dipertahankan seperti refleks kornea, refleks batuk dan refleks menelan, namun semua refleks ini tidak boleh dianggap sebagai suatu proteksi terhadap jalan nafas. Variasi tingkat hipertonus dan gerakan otot rangka tertentu sering kali terjadi dan tidak tergantung dari stimulasi bedah. Ketamin mempunyai efek sedatif dan analgetik yang kuat. Dosis induksi 1-2 mg/kgBB intravena, 3-5 mg/kgBB intramuskular. Pada dosis subanestesi ketamin menghasilkan efek analgetik yang memuaskan.

1.1. STRUKTUR KIMIA

Ketamin,2-(o-chlorophenyl)-2-(methylamino) cyclohexanonehydrochloride, suatu arylcycloalkylamine yang secara struktural berhubungan dengan phencyclidine (PCP) dan cyclohexamine. Ketamin hidroklorid adalah molekul yang larut dalam air, dengan berat molekul 238 dan pKa 7,5. Walaupun larut dalam air, kelarutannya dalam lemak sepuluh kali dibanding tiopenton, sehingga dengan cepat didistribusi ke organ yang banyak vaskularisasinya, termasuk otak dan jantung, dan selanjutnya diredistribusikan organ-organ yang perfusinya lebih sedikit. Keberadaan atom karbon asimetris menghasilkan dua isomer optik dari ketamin yaitu S(+) ketamin dan R(-) ketamine. Sediaan komersil ketamin berupa bentuk rasemik yang mengandung kedua enantiomer dalam konsentrasi sama. Masing-masing enantiomer mempunyai potensi berbeda. S(+) ketamin menghasilkan analgesia yang lebih kuat, metabolisme yang lebih cepat dan pemulihannya, kurangnya sekresi saliva dan rendahnya kejadian emergence reation ataupun mimpi buruk/halusinasi dibanding R(+) ketamin.

1.2. MEKANISME AKSI

Ketamin berikatan secara non kompetitif terhadap tempat terikatnya phencyclidine pada reseptor N-methyl-D-aspartate (NMDA), suatu subtipe dari reseptor glutamat, yang berlokasi di saluran ion. Ketamin menghambat aliran ion transmembran. Reseptor NMDA adalah suatu reseptor saluran kalsium. Agonis endogen dari reseptor ini adalah neurotransmiter eksitatori seperti asam glutamat, asam aspartat, dan glisin. Pengaktifan dari reseptor mengakibatkan terbukanya saluran ion dan depolarisasi neuron. Reseptor NMDA ini terlibat dalam input sensoris pada level spinal, talamik, limbik dan kortikal. Ketamin menghambat atau menginterferensi input sensoris ke sentral yang lebih tinggi dari sistem saraf pusat, dimana terdapat respon emosional terhadap stimulus dan pada tempat untuk proses belajar dan memori. Ketamin menghambat pengaktifan dari reseptor NMDA oleh glutamat, mengurangi pelepasan glutamat di presinaps dan meningkatkan efek dari neurotransmiter inhibisi GABA.Ketamin juga berinteraksi dengan reseptor mu, delta dan kappa opioid. Efek analgesi ketamin mungkin disebabkan oleh pengaktifan reseptor ini di sentral dan spinal.Beberapa efek ketamin dapat disebabkan karena kerjanya pada sistem katekolamin, dengan meningkatkan aktivitas dopamin. Efek dopaminergik ini mungkin berhubungan dengan efek euforia, adiksi dan psikotomimetik dari ketamin. Kerja dari ketamin ini juga disebabkan oleh efek agonis pada reseptor adrenergik dan , efek antagonis pada reseptor muskarinik di sistem saraf pusat, dan efek agonis pada reseptor .

1.3. FARMAKOKINETIKKetamin dapat diberikan melalui oral, rektal, intranasal, intra-muskular ataupun intravena. Untuk operasi dan manajemen nyeri paska bedah ketamin dapat diberikan secara intratekal dan epidural. Farmakokinetik ketamin menyerupai tiopental yaitu onset yang cepat, durasi yang relatif singkat, dan kelarutan dalam lemak yang tinggi. Hal ini disebabkan karena ketamin mempunyai berat molekul yang kecil dan pKa yang mendekati pH fisiologi, sehinga dengan cepat melewati sawar darah otak dan mempunyai onset 30 detik setelah pemberian intravena. Konsentrasi plasma puncak dari ketamin terjadi dalam 1 menit setelah pemberian intravena dan bertahan selama 5-10 menit, dan 5 menit setelah injeksi intramuskular, bertahan 12-25 menit. Analgesia diperoleh pada dosis 0,2-0,75 mg/kgBB intravena.Ketamin tidak terikat secara signifikan pada plasma dan didistribusikan dengan cepat pada jaringan. Pada awalnya ketamin didistribusikan pada jaringan yang perfusinya tinggi seperti otak, dimana konsentrasi puncak mungkin 4 sampai 5 kali dari darah. Kelarutan yang tinggi dalam lemak menyebabkan cepat menembus sawar darah otak. Selanjutnya, ketamin menyebabkan peningkatan aliran darah ke otak sehingga mempermudah perjalanan obat dan kemudian menambah cepat konsentrasi obat dalam otak. Kemudian didistribusikan kembali dari otak dan jaringan yang perfusinya tinggi ke jaringan yang perfusinya rendah.Angka klirens dari ketamin relatif tinggi yaitu 1 liter/menit, mendekati aliran darah hepar yang berarti perubahan pada aliran darah hepar mempengaruhi klirens dari ketamin. Distribusi volume yang besar yaitu 3 liter/menit, menghasilkan eliminasi waktu paruh yang cepat yaitu 2-3 jam.Ketamin dimetabolisme di hepar oleh enzim mikrosomal hepatik melalui N-demetilasi dari ketamin oleh sitokrom P-450 menjadi norketamin (metabolit I), kemudian dihidroksilasi menjadi hidroksi-norketamin. Produk ini berkonjugasi ke derivat glukoronid yang larut dalam air dan diekskresi di urin. Norketamin adalah metabolit aktif dengan potensi anestesi sepertiga dari ketamin dan mempunyai efek analgesi.Interaksi ketamin dengan obat pelumpuh otot adalah efek potensiasi dari obat pelumpuh otot. Kombinasi ketamin dengan teofilin dapat menyebabkan kejang. Diazepam menghambat efek kardiostimulasi dari ketamin dan memperpanjang eliminasi waktu paruh ketamin. Propranolol, fenoksibenzamin dan antagonis simpatis lain menutupi efek depresi otot jantung ketamin. Jika dikombinasi dengan halotan, ketamin menimbulkan depresi otot jantung. Terdapat toleransi untuk efek analgesi dari ketamin yang terjadi pada pasien yang menerima dosis berulang. Dalam hal ini, toleransi dapat terjadi pada pasien yang menerima lebih dari dua kontak dalam interval yang pendek. Interaksi ketamin dengan propofol adalah aditif, bukan sinergisme.

1.4. FARMAKODINAMIK1.4.1. Susunan Saraf PusatKetamin menghasilkan stadium anestesi yang disebut anestesi disosiasi. Pada susunan saraf pusat, ketamin bekerja di sistem proyeksi talamoneokortikal. Secara selektif menekan fungsi saraf di korteks (khususnya area asosiasi) dan talamus ketika secara terus menerus merangsang bagian dari sistem limbik, termasuk hipokampus. Proses ini menyebabkan disorganisasi fungsional pada jalur non-spesifik di otak tengah dan area talamus. Ada juga pendapat bahwa ketamin menekan transmisi impuls di formasi retikular medula medial, yang berperan pada transmisi komponen emosi nosiseptif dari spinal cord ke pusat otak yang lebih tinggi. Ketamin juga dianggap menduduki reseptor opioid di otak dan spinal cord, yang menyebabkan ketamin memiliki sifat analgetik. Interaksi pada reseptor NMDA juga menyebabkan efek anestesi umum sebaik efek analgesia dari ketamin. Ketamin meningkatkan metabolisme otak, aliran darah otak dan tekanan intra kranial. Ketamin mempunyai efek eksitatori di susunan saraf pusat sehingga meningkatkan CMRO2. Dengan peningkatan aliran darah otak yang sejalan dengan peningkatan respon sistem saraf simpatis, maka tekanan intrakranial juga meningkat setelah pemberian ketamin. Hal ini dapat dikurangi dengan pemberian diazepam ataupun tiopental.Ketamin menyebabkan reaksi psikis yang tidak disukai yang terjadi pada saat bangun yang disebut emergence reaction. Manifestasi dari reaksi ini yang bervariasi tingkat keparahannya adalah berupa mimpi buruk, perasaan melayang, ataupun ilusi yang tampak dalam bentuk histeria, bingung, euphoria dan rasa takut. Hal ini biasanya terjadi dalam satu jam pertama pemulihan dan akan berkurang satu jam sampai beberapa jam kemudian.Ada pendapat yang menyatakan bahwa emergence reaction ini disebabkan depresi pada nukleus yang merelai sistem pendengaran dan penglihatan sehingga terjadi mispersepsi dan misinterpretasi. Insidensnya adalah 10-30 % pada orang dewasa pada pemberian ketamin sebagai obat tunggal anestesi. Faktor-faktor yang mempengaruhi adalah umur, dosis, jenis kelamin, status psikis, dan obat yang diberikan bersamaan dengan ketamin. Orang dewasa dan perempuan lebih sering dibandingkan anak-anak dan laki-laki. Dosis yang besar (>2mg/kgBB IV) dan kecepatan pemberian ketamin mempengaruhi kejadian ini. Kelemahan psikis dan orang-orang pemimpi juga lebih mudah mengalaminya. Banyak obat telah digunakan untuk mengurangi reaksi ini, seperti golongan benzodiazepine (midazolam, lorazepam dan diazepam).

1.4.2. Sistem PernafasanKetamin menjaga patensi dari jalan nafas dan fungsi pernafasan, meningkatkan ventilasi serta mempunyai efek minimal terhadap pusat pernafasan dimana ketamin sedikit memberikan respon terhadap CO2. Ada penurunan sementara dari volume semenit setelah bolus 2 mg/kgBB intravena. Apnoe dapat terjadi setelah pemberian dengan cepat dan dosis yang tinggi, namun hal ini jarang terjadi. Bagaimanapun pemberian yang bersamaan dengan sedatif ataupun opioid dapat menyebabkan depresi pernafasan.Efek ketamin terhadap bronkus adalah relaksasi otot polos bronkus. Ketika diberikan pada pasien dengan masalah pada jalan nafas dan bronkospasme, komplians paru dapat ditingkatkan. Ketamin seefektif halotan dalam mencegah bronkospasme. Mekanismenya adalah mungkin akibat rangsang simpatis ataupun ketamin dapat secara langsung mengantagonis efek spasme dari karbakol dan histamin. Karena efek bronkodilatasi ini, ketamin dapat digunakan untuk terapi status asmatikus yang tidak respon terhadap pengobatan konvensional.Masalah pada sistem pernafasan dapat timbul akibat efek hipersalivasi dan hipersekresi kelenjar mukus di trakea-bronkeal yang dapat menyebabkan obstruksi jalan nafas akibat laringospasme. Atropin dapat diberikan untuk mengatasi hal ini. Aspirasi dapat terjadi walaupun refleks batuk, refleks menelan, refleks gag relatif intak setelah pemberian ketamin.

1.4.3. Sistem Kardiovaskular.Ketamin menstimulasi sistem kardiovaskuler menyebabkan peningkatan tekanan darah, curah jantung, laju jantung, resistensi pembuluh darah sistemik, tekanan arteri pulmonalis, dan resistensi pembuluh darah pulmonal. Hal ini diakibatkan oleh karena peningkatan kerja dan kebutuhan oksigen otot jantung. Mekanisme ini sendiri masih dipertanyakan.Ada pendapat menyatakan bahwa efek-efek ini sebagai akibat peningkatan aktifitas sistem saraf simpatis, sehingga pelepasan norepinefrin semakin besar yang diakibatkan oleh penekanan pada refleks baroreseptor. Pengaruh ketamin pada reseptor NMDA di nukleus traktus solitaries menyebabkan penekanan refleks baroreseptor ini.Ketamin memiliki sifat inotropik negatip terhadap otot jantung. Tetapi respon simpatis yang sentral selalu menutupi efek depresi otot jantung ini. Ketamin juga bekerja pada sistem saraf perifer dengan menginhibisi uptake intraneuronal dari katekolamin dan menginhibisi uptake norepinefrin ekstraneuronal pada terminal saraf simpatis.Peningkatan tekanan darah sistolik pada orang dewasa yang mendapat dosis klinis ketamin adalah 20-40 mmHg dengan peningkatan sedikit tekanan darah diastol. Biasanya tekanan darah sistemik meningkat secara progresif dalam 3-5 menit pertama setelah injeksi intra vena ketamin dan kemudian akan menurun ke level sebelum injeksi 10-20 menit kemudian.Ketamin merupakan obat pilihan yang paling rasional untuk induksi anestesi cepat pada pasien gawat darurat terutama pasien dengan keadaan hemodinamik yang tidak stabil.

1.4.4. Hepar dan GinjalKetamin tidak merubah test laboratorium secara bermakna terhadap fungsi hepar dan ginjal.

1.4.5. EndokrinPada awal pembedahan, ketamin meningkatkan kadar gula darah, kortisol plasma dan prolaktin. Setelah itu tidak ada perbedaan dalam metabolisme dan sistem endokrin.

1.5. INTERAKSIObat pelumpuh otot nondepolarisasi dipotensiasi oleh ketamin. Kombinasi teofilin dengan ketamin dapat mempredisposisi pasien terhadap kejang. Diazepam mengurangi efek stimulasi terhadap kardiovaskular dan memperpanjang waktu paruh eliminasinya, sehingga waktu pulih sadar ketamin menjadi tertunda. Ketamin menyebabkan depresi otot jantung ketika diberikan bersamaan dengan halotan. Halotan memperlambat distribusi dan menghambat metabolisme hepatik ketamin, sehingga memperpanjang efek ketamin terhadap susunan saraf pusat. N2O mengurangi dosis ketamin dan memperpendek waktu pulih sadar ketamin. Pemberian berulang ketamin dapat menyebabkan toleransi. Efek ini dapat terjadi secara akut yang disebabkan oleh perubahan pada tempat ketamin bekerja daripada karena peningkatan dalam kecepatan metabolisme, yang tampak dari terjadinya toleransi ini setelah suntikan pertama, tanpa perubahan dalam konsentrasi plasma.

1.6. EFEK SAMPINGKetamin mempunyai efek samping berupa mual, muntah, efek psikomimetik seperti halusinasi, diplopia, mimpi buruk, ansietas, euphoria.

1.7. KONTRA INDIKASIKetamin dikontraindikasikan pada keadaan-keadaan seperti pasien dengan peningkatan tekanan intra kranial, pasien dengan operasi mata karena ketamin dapat meningkatkan tekanan intra okular, pasien dengan penyakit jantung iskemik, hipertensi, penyakit aneurisma vaskular, pasien dengan riwayat gangguan psikiatri ataupun pasien yang diduga cenderung mengalami delirium paska operasi.

1.8. KETAMIN DOSIS RENDAHKetamin dosis rendah disebut juga ketamin dosis analgesia ataupun dosis subanestesia yaitu 0,2-0,75 mg/kgBB IV. Literatur lain menyebutkan dosis analgesia dicapai pada 0,2 - 0,5 mg/kgBB IV.Pada dosis 0,25-0,5 mg/kgBB IV yang diberikan setelah midazolam 0,07-0,15 mg/kgBB IV dikatakan ketamin memberikan efek sedasi yang memuaskan, amnesia dan analgesia tanpa depresi kardiovaskular yang signifikan. Terhadap kejadian emergence reaction, Subramaniam K, menyebutkan efek samping ketamin tidak meningkat dengan dosis kecil ketamin. Pada dosis 0,15-1 mg/kgBB IV tidak meningkatkan efek psikomimetik seperti halusinasi ataupun efek sedasi yang dalam. Arora menyatakan penambahan ketamin dosis kecil 0,5 mg/kgBB terhadap induksi propofol 1,5 mg/kgBB IV dapat mengurangi kejadian desaturasi dan apnoe.Salah satu efek samping yang ditakutkan pada pemberian ketamin adalah spasme laring yaitu tertutupnya pita suara yang dapat menyebabkan sumbatan jalan nafas sebagian ataupun total. Tetapi Newton dan Fitton (2008) menyebutkan pada 92 pasien yang diberikan ketamin dosis 0,5-1 mg/kgBB IV sebagai prosedural sedasi di ruang emergensi, kejadian spasme laring ini tidak ditemukan.Pada pasien-pasien neurologi, Albanese J dkk. menyebutkan bahwa pada penelitian terhadap pasien dengan cedera kepala akibat trauma, ketamin menurunkan tekanan intra kranial dan aktivitas EEG pada pasien yang dikontrol pernafasan dengan ventilasi mekanik, yang disedasi dengan propofol 3 mg/kgBB IV, serta tidak meningkatkan MAP.Pada dosis 0,1-0,5 mg/kgBB IV, ketamin memberikan efek analgesia yang memuaskan selama operasi dan pada manajemen nyeri pasca bedah, tanpa suatu sedasi maupun perubahan pada hemodinamik dan pernafasan. Efek mual dan muntah juga jauh berkurang pada dosis ini.Penggunaan ketamin dosis rendah dengan obat anestesi lokal juga telah banyak dilakukan. Suzuki et al. (2006) memberikan ketamin 0,05 mg/kgBB/jam IV sebagai tambahan terhadap infus epidural ropivakain dan morfin kontinu, dan diperoleh hasil bahwa ketamin meningkatkan efek analgesia dari ropivakain-morfin dan mengurangi nyeri paska torakotomi.Untuk pencegahan kejadian menggigil pada anestesi umum, profilaksis ketamin dosis 0,5 mg/kgBB IV yang diberikan 20 menit sebelum operasi berakhir, telah terbukti efektif untuk mencegah menggigil paska operasi. Pada anestesi spinal, ketamin 0,5 mg/kgBB IV ataupun ketamin 0,25 mg/kgBB IV + midazolam 37,5 g/kgBB IV dapat mencegah kejadian menggigil setelah pemberian bupivakain 15 mg.

2. Ketamin sebagai tatalaksana perioperatif Sebagai bagian dalam upaya dalam pengembangan terapi nyeri, penelitian terbaru berfokus pada penggunaan ketamine untuk terapi nyeri akut dan kronis. Secara khusus, peran N-methyl-D-aspartat (NMDA) reseptor eksitasi glutamat dalam transmisi nociceptive telah diketahui pada manusia. Reseptor NMDA berperan dalam pengembangan dan pemeliharaan dari apa yang dapat disebut "nyeri patologis" setelah cedera jaringan: meningkat persepsi nyeri akibat sensitisasi nyeri, sebagian dari plastisitas sinaptik. Ketamine mengikat secara nonkompetitif pada tempat berikatannya phencyclidine pada reseptor NMDA tetapi juga memodifikasinya melalui mekanisme alosterik. Pada dosis subanesthetic, khasiat analgesik ketamin berkorelasi baik dengan tindakan penghambatan pada reseptor NMDA dan terdapat penurunan aktivitas struktur otak yang merespon rangsangan nyeri. Oleh karena itu Ketamine merupakan modalitas yang menjanjikan dalam beberapa strategi perioperatif untuk mencegah nyeri patologis. Alasan lain penelitian baru dalam ketamin adalah tersedianya S (+) Ketamin. Ketamine memiliki chiral center pada atom karbon-2 cincin sikloheksanonPembahasana kini terkait dengan penggunaan perioperatif ketamin sebagai tambahan untuk anestesi umum dan regional dan terapi nyeri pasca operasi. Fokus pembahasan berada pada administrasi obat pada konsentrasi subanesthetic;atau dikenal dengan "ketamin subanesthetic2.1. Terapi anti-nociceptive dengan Ketamine selama AnestesiIntravena Ketamine sebagai Analgesik pada General AnestesiIntravena ketamine subanesthetic, ketika ditambahkan sebagai tambahan pada general anestesi, mengurangi rasa sakit dan mengurangi penggunaan opioid pasca operasi di berbagai pengaturan, dari operasi ringan sampai operasi besar (Level II evidence). Namun, beberapa penelitian tidak menunjukkan manfaat ini (Level II evidence). Dua faktor dapat menjelaskan kegagalan tersebut. Pertama, efek menguntungkan dari ketamin dapat tertutupi ketika obat ini digunakan dalam dosis kecil (0,15 mg / kg) dengan latar belakang multimodal atau epidural analgesia. Kedua, jadwal pemberian dosis mungkin tidak adekuat. Penelitian telah membandingkan efek pemberian ketamin sebelum operasi dengan pasien yang diberikan ketamin pada akhir operasi untuk menguji sifat analgesik "preemptive". Suntikan tunggal dari obat short-acting seperti ketamin baik sebelum atau setelah insisi karena itu tidak akan memberikan analgesia yang berlangsung lama hingga periode pasca operasi. Untuk mencegah nyeri patologis, ketamine perlu diterapkan setidaknya selama operasi dan kemungkinan untuk jangka waktu pasca operasi, dalam upaya untuk mengurangi kepekaan jalur nyeri sentral dan perifer. Dengan demikian, penentuan jadwal pemberian ketamine adalah komponen penting dalam pencegahan nyeri.Dosis ketamin bila digunakan untuk tujuan ini dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk perkiraan dari rasa sakit, apakah anestesi umum atau epidural yang akan digunakan, dan apakah ketamin akan digunakan intraoperatif saja atau intraoperatif dan post operatif (tingkat II bukti). Dalam hasil uji coba jangka panjang pada bedah adenokarsinoma dengan anestesi umum atau epidural, ketamin rasemat disuntikkan 0,5 mg / kg bolus preincisional diikuti dengan infus 0,25 mg/KgBB/jam mengurangi kebutuhan morfin pasca operasi dan timbulnya nyeri sisa sampai bulan keenam pasca operasi. Namun, ini tidak terjadi ketika obat itu digunakan pada setengah dosis. Setelah gastrektomi atau operasi besar ginjal dengan anestesi umum atau epidural, ketamin meningkatkan nyeri pasca operasi setelah infus intraoperatif 500mcg/KgBB/jam.

2.2. Ketamine sebagai Analgesik tambahan pada Anestesi Regional dan AnalgesiaPenambahan ketamin untuk anestesi lokal atau analgesik lainnya dalam anestesi perifer atau neuraksial dan analgesia meningkatkan atau memperpanjang pain relief (level evidence II). Penurunan efek samping terkait obat (sedasi, pruritus, atau reaksi psikologis yang merugikan) juga telah ditemukan, terutama karena dosis obat yang diperlukan dapat dikurangi. Efek ini mungkin berhubungan dengan blokade reseptor pusat dan perifer NMDA dan/atau tindakan antinociceptive terkait obat lain yang digunakan. Sensitisasi pusat dan perifer demikian dapat dicegah. Meskipun reseptor perifer NMDA manusia telah diidentifikasi dan ketamin menunjukkan sifat anesthetic lokal, efek perifer ketamin pada dosis kecil (0,15 mg / kg) tidak menunjukkan analgesia lokal yang cukup kuat ketika digunakan pada penggunaan tunggal. Di lokasi neuraksial, ketamin menunjukkan efek analgesia bila digunakan sebagai agen tunggal pada dosis yang lebih tinggi, namun penggunaannya dibatasi oleh reaksi psikotomimetik, setidaknya pada pasien yang terjaga. Analgesia caudal ditambahkan pada anestesi umum merupakan regimen yang efektif untuk bedah anak, tetapi hal ini mungkin bisa dikaitkan dengan blokade motorik berkepanjangan dan komplikasi seperti toksisitas sistemik setelah injeksi aksidental intravaskular anestesi lokal atau depresi pernapasan setelah penggunaan opiat. Toksisitas pada penggunaan Ketamin neuroaxialReaksi toksik setelah paparan neuraksial yang terlalu lama dengan ketamin rasemat dengan pengawet (benzetonium klorida atau chlorobutanol) telah dilaporkan dalam spesies hewan. Kasus neurotoksisitas tulang belakang setelah infus ketamin rasemat intratekal terus menerus lebih dari 3 minggu telah dilaporkan. Meskipun kontroversi tentang rasio risiko-manfaat penggunaan neuraksial ketamin pada manusia, beberapa fakta dapat membantu untuk mencapai sudut pandang praktis dalam masalah ini. Pertama, sitotoksisitas kimia dari preservatif yang tidak terkait dengan ketamin telah lama dikenal. Hanya preparasi bebas-preservatif yang harus digunakan untuk penggunaan neuraksial. Kedua, risiko toksisitas tulang belakang umumnya meningkat setelah terpapar obat berkepanjangan. Namun, studi dosis-respons pada babi tidak menunjukkan neurotoksisitas setelah epidural berkepanjangan ketamin bebas-preservatif, dan pasien dengan nyeri kanker terminal tidak menunjukkan tanda-tanda toksisitas setelah penggunaan spinal bebas preservatif ketamin subanesthetic. Ketiga, aktivitas reseptor NMDA fisiologis diperlukan untuk kelangsungan hidup sel dan fungsi otak, dan data tikus menunjukkan konsekuensi berbahaya dari blokade reseptor NMDA yang mendalam. Kematian diprogram terjadi pada neuron sentral dari otak tikus yang belum dewasa dan vakuolisasi selektif dikembangkan dalam cingulate cortex dan retrosplenial tikus dewasa setelah dosis ketamin tinggi. Yang penting, pemberian bersamaan agonis reseptor asam gamma-aminobutyric mencegah efek ini. Pada saat ini, kita berpikir bahwa kurangnya data toksisitas rinci pada pasien noncancer hanya memungkinkan untuk digunakan ketamin epidural bebas pengawet lebih kecil, dosis subanesthetic dan dalam pengaturan uji klinis.2.3. Nyeri Terapi dengan Ketamine pada perawatan post anestesiaFenomena ketamin dan toleransi opiatSelain penghambatan sensitisasi di jalur nociceptive, pencegahan aktivasi sistem pronociceptive terkait-opiat dan toleransi opiat mungkin merupakan mekanisme lain pencegahan rasa sakit dengan ketamin. Perkembangan toleransi yang cepat dan hiperalgesia yang terlambat setelah penggunaan opiod yang berbeda-beda pada pasien bedah intraoperatif dan pasca operasi telah dilaporkan. Meskipun mekanisme yang memungkinkan ketamin menjadi analgesik dan opiate-sparing agent setelah terpapar opiat kurang dipahami, dua konsep yang muncul mungkin penting. Pertama, pada sinaps neuron, protein seperti postsinap density-95 (PSD-95) dan postsinap density -93 (PSD-93) menghubungkan reseptor NMDA dengan sitoskeleton dan kunci sistem sinyal, seperti neuronal nitrat oksida sintase. Kedua, dalam sensitisasi atau munculnya toleransi, aktivasi protein kinase C dan tyrosine kinase kaskade memfasilitasi asosiasi molekul sinyal kunci dengan protein PSD dan reseptor NMDA. Hal ini akan mengaktifkan protein kinase, sehingga terjadi fosforilasi reseptor NMDA dan up-regulasi. Dengan demikian, penurunan ketamin-induced dalam interaksi PSD dengan protein kinase dan sistem sinyal nyeri mungkin merupakan mekanisme umum yang mendasari pengurangan kepekaan rasa sakit dan fenomena toleransi opiat.Kombinasi Ketamine-opioid pada Patient-controlled AnalgesiaSetelah operasi, penggunaan gabungan ketamin dan analgesik opiat untuk intravena PCA telah diuji pada bangsal umum dan di unit perawatan intensif. Meskipun beberapa studi melaporkan sedikit rasa sakit dan penurunan kebutuhan analgesik dan efek samping seperti mual dan muntah pasca operasi, sedasi, atau insufisiensi pernapasan, beberapa studi tidak menemukan manfaat yang luar biasa setelah penggunaan ketamin (level II evidence). Walaupun hal ini telah dijelaskan , terdapat dua isu yang menyulitkan interpretasi data. Pertama, sebagian besar obat yang diberikan dipilih atas dasar murni empiris dengan sedikit pengetahuan tentang khasiat analgesik kombinasi ketamin-opiat. Kadang-kadang dosis didasarkan pada luas permukaan tubuh, aplikasi ketamin bolus dan infus latar belakang dibandingkan, atau dosis kurang dari yang diketahui sebagai dosis analgesik yang umum digunakan. Kedua, pasien dipelajari dengan alat penilaian lebih global seperti peringkat rasa sakit atau langsung kebutuhan analgesik setelah operasi. Efek Samping PsikomimetikKekhawatiran paling umum tentang ketamin sebagai agen analgesik terkait dengan efek mengubah pikiran nya. Ini adalah relevansi khusus ketika senyawa tersebut akan digunakan pada pasien sadar. Tenang, santai lingkungan berkontribusi pada insiden mengurangi efek samping tersebut, dan ketika ketamine diberikan saja, penggunaan profilaksis agen obat penenang seperti 3,75-7,5 mg midazolam secara umum menurunkan insiden dan keparahan efek samping. Dalam pengaturan pasca operasi PCA, sebagian besar uji coba tidak menemukan perbedaan dalam efek psikotomimetik yang merugikan (level II evidence). Efek yang timbul tergantung dosis dan kurang muncul pada dosis kecil (0,15 mg / kg). Ketika ketamine digunakan sebagai infuse kurang dari 10 mg /jam, gangguan kognitif jarang ditemukan. KesimpulanTerapi nyeri dapat ditingkatkan dengan menggunakan ketamin intraoperatif dan ketamin post operasi dalam berbagai prosedur bedah dan berbagai teknik anestesi. Secara khusus, penggunaan ketamin subanesthetic intravena saat intraoperatif dalam general anestesi memberikan pencegahan untuk nyeri pada periode pasca operasi. Keterbatasan yang paling penting dalam studi ini adalah kurangnya evaluasi hasil jangka panjang. Belum diketahui apakah penggunaan ketamin akan memberikan hasil pemulihan yang lebih baik atau meningkatkan hasil fungsional. Untuk penelitian lebih lanjut, evaluasi ketamin intravena sebagai tambahan dalam anestesi umum perlu lebih diteliti dalam hal evaluasi jangka panjang dalam penggunaan ketamin.

DAFTAR PUSTAKA

Guyton, A.C. & Hall, J.E., 2005. Textbook of Medical Physiology 11th ed., Philadelphia: Saunders.Mangku, Gde. 2010. Buku ajar ilmu anestesia dan reanimasi. Jakarta: IndeksSeeley, Stephens,Tate, 2004, Anatomy and Physiology,Sixth Edition, The McGrawHill Companies.Weiskopf, R.B, 2005. Ketamine for perioperative pain management. American sosiety of Anesthesiologist