Perioperative Procedure

download Perioperative Procedure

of 30

description

svfdsavd

Transcript of Perioperative Procedure

REFERATPERIOPERATIVE PROCEDURE

Pembimbing:dr. Imam Ghozali,M.Kes, Sp.An

Oleh:Kgs. Mahendra Effendy, S.Ked

KEPANITERAAN KLINIK SMF ANESTHESIARUMAH SAKIT UMUM DR. H. ABDUL MOELOEK BANDAR LAMPUNG2015

KATA PENGATAR

Pertama penulis ucapkan terima kasih kepada Allah SWT. karena atas rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan referat yang berjudul Perioperative Procedure tepat pada waktunya. Adapun salah satu tujuan pembuatan referat ini adalah sebagai salah satu syarat dalam mengikuti dan menyelesaikan Kepaniteraan Klinik SMFAnesthesia Rumah Sakit Umum Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Imam Ghozali, M.Kes, Sp.An yang telah meluangkan waktunya untuk penulis dalam menyelesaikan referat ini. Penulis menyadari banyak sekali kekurangan dalam referat ini, oleh karena itu saran dan kritik yang membangun, sangat penulis harapkan. Semoga referat ini dapat bermanfaat bukan hanya untuk penulis, tetapi juga bagi siapa pun yang membacanya.

Bandar Lampung, 16 Desember 2015

Penulis

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR iDAFTAR ISI iiBAB I PENDAHULUAN 1A. Latar Belakang 1B. Tujuan Penulisan 1BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2A. Definisi 2B. Persiapan Preoperatif 2 C. Monitoring Anestesi 11 D. Manajemen Postoperatif 19 E. Komplikasi Pasca Anestesi dan Penanganannya 21 BAB III PENUTUP 29A. Kesimpulan 29B. Saran 29DAFTAR PUSTAKA

i

BAB IPENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perioperatif adalah suatu ilmu Kedokteran yang mencakup masalah-masalah sebelum anesthesia/pembedahan, selama anesthesia/pembedahan dan sesudah anesthesia/pembedahan.Meliputi semua aspek fisiologis dan patologis yang mempengaruhi anesthesia dan pembedahan, pengaruh anesthesia dan pembedahan terhadap fisiologis tubuh dan resiko maupun komplikasi yang diakibatkanya.

Sebagai seorang dokter umum, penting untuk mengetahui dan memahami pentingnya prosedur perioperatif ini karena sering kali terlupakan. Misalnya saja karena persiapan sebelum anestesi/pembedahan yang dilakukan oleh dokter umum kurang, pembedahan pasien dapat saja dibatalkan karena dapat membahayakan pasien. Selain itu, penting juga bagi dokter umum untuk mengetahui dan memahami manajemen pasien-pasien post-operasi karena tidak jarang pasien akan mengalami nyeri yang hebat atau bahkan mengalami perdarahan yang massif sehingga memerlukan transfuse darah.

B. Tujuan PenulisanAdapun tujuan penulisan referat ini adalah sebagai berikut.1. Untuk memenuhi tugas dalam kepaniteraan klinik di SMF Anesthesia RSUD Dr. H. Abdul Moeloek.2. Untuk menambah wawasan khususnya bagi penulis tentang perioperative procedure.

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Perioperatif adalah suatu ilmu Kedokteran yang mencakup masalah-masalah sebelum anesthesia/pembedahan, selama anesthesia/pembedahan dan sesudah anesthesia/pembedahan.Meliputi semua aspek fisiologis dan patologis yang mempengaruhi anesthesia dan pembedahan, pengaruh anesthesia dan pembedahan terhadap fisiologis tubuh dan resiko maupun komplikasi yang diakibatkanya.

B. Persiapan Preoperatif

1. Standar Dasar Perawatan PreanesthesiaStandar ini harus dilakukan pada semua pasien yang mendapat perawatan anesthesia. Seoranganesthesiologistharus bertanggung jawab untuk menentukan status medis pasien dan menentukan perencanaan perawatan anesthesia. Sebelum melakukan perwatan anesthesia, anesthesiologistbertanggung jawab untuk:a. Meninjau rekam medis yang ada.b. Meng-interview dan melakukan pemeriksaan pasien untuk:1) Mendiskusikan riwayat medis, termasuk riwayat anestesi sebelumnya dan terapi medis sebelumnya.2) Menilai kondisi fisik pasien yang dapat mempengaruhi keputusan anestesi terkait risiko perioperative dan penanganannya.c. Melakukan dan meninjau uji yang telah dilakukan dan mengkonsultasikan kepada pasien hal-hal yang diperlukan untuk melakukan perawatan anesthesia.d. Memberikan medikasi preoperatif yang diperlukan.e. Memastikan informed consenttelah dilakukan dan didapatkan untuk perawatan anesthesia.f. Mendokumentasikan dalam grafik perawatan anesthesia yang dilakukan.

2. Informed ConsentInformed Consent merupakan proses komunikasi antara dokter dan pasien tentang kesepakatan tindakan medis yang akan dilakukan dokter terhadap pasien. Kemudian dilanjutkan dengan penandatanganan formulir Informed Consent secara tertulis. Hal ini didasari atas hak seorang pasien atas segala sesuatu yang terjadi pada tubuhnya serta tugas utama dokter dalam melakukan penyembuhan terhadap pasien. Tujuan pemberian informasi secara lengkap mengenai penyakit serta tindakan medis yang akan dilakukan adalah agar pasien bisa menentukan sendiri keputusannya sesuai dengan pilihannya sendiri.

3. Persiapan Mental dan Fisik Pasiena. AnamnesisAnamnesis dapat diperoleh dengan bertanya langsung pada pasien atau melalui keluarga pasien. Yang harus diperhatikan pada anamnesis:1) Identifikasi pasien, misalnya: nama,umur, alamat, pekerjaan, dll. 2) Riwayat penyakit yang pernah atau sedang diderita yang mungkin dapat menjadi penyulit dalam anesthesia, antara lain penyakit alergi, diabetes mellitus, penyakit paru kronik (asma bronchial, pneumonia, bronchitis), penyakit jantung dan hipertensi (seperti infark miokard, angina pectoris, dekompensasi kordis), penyakit susunan saraf (seperti stroke, kejang, parese, plegi, dll), penyakit hati, penyakit ginjal, penyakit ganguan perdarahan (riwayat perdarahan memanjang).3) Riwayat obat-obat yang sedang atau telah digunakan dan mungkin menimbulkan intereaksi (potensiasi, sinergis, antagonis dll) dengan obat-obat anestetik. Misalnya, obat anti hipertensi, obat-obat antidiabetik, antibiotik golongan aminoglikosida, obat penyakit jantung (seperti digitalis, diuretika), monoamino oxidase inhibitor, bronkodilator. Keputusan untuk melanjutkan medikasi selama periode sebelum anestesi tergantung dari beratnya penyakit dasarnya. Biasanya obat tetapi mengalami perubahan dosis, diubah menjadi preparat dengan masa kerja lebih singkat atau dihentikan untuk sementara waktu. Akan tetapi, secara umum dikatakan bahwa medikasi dapat dilanjutkan sampai waktu untuk dilakukan pembedahan.4) Alergi dan reaksi obat. Reaksi alergi kadang-kadang salah diartikan oleh pasien dan kurangnya dokumentasi sehingga tidak didapatkan keterangan yang memadai. Beratnya berkisar dari asimptomatik hingga reaksi anfilaktik yang mengancam kehidupan, akan tetapi seringkali alergi dilaporkan hanya karena intoleransi obat-obatan. Pada evaluasi pre operatif dicatat seluruh reaksi obat dengan penjelasan tentang kemungkinan terjadinya respon alergi yang serius, termasuk reaksi terhadap plester, sabun iodine dan lateks. Jika respon alergi terlihat, obat penyebab tidak diberikan lagi tanpa tes imunologik atau diberi terapi awal dengan antihistamin, atau kortikosteroid.5) Riwayat operasi dan anestesi yang pernah dialami diwaktu yang lalu, berapa kali dan selang waktunya. Apakah pasien mengalami komplilkasi saat itu seperti kesulitan pulih sadar, perawatan intensif pasca bedah.6) Riwayat keluarga. Riwayat anestesi yang merugikan atau membayakan pada keluarga yang lain sebaiknya juga dieveluasi. Wanita pada usia produktif sebaiknya ditanyakan tentang kemungkinan mengandung. Pada kasus yang meragukan, pemeriksaan kehamilan preoperative merupakan suatu indikasi.7) Riwayat sosial yang mungkin dapat mempengaruhi jalannya anestesi seperti perokok berat (diatas 20 batang perhari) dapat mempersulit induksi anestesi karena merangasang batuk, sekresi jalan napas yang banyak, memicu atelektasis dan pneumenia pasca bedah. Rokok sebaiknya dihentikan minimal 24 jam sebelumnya untuk menghindari adanya CO dalam darah. Pecandu alkohol umumnya resisten terhadap obat-obat anestesi khususnya golongan barbiturat. Peminum alkohol dapat menderita sirosis hepatic. Meminum obat-obat penenang atau narkotik.8) Makan minum terakhir (khusus untuk operasi emergensi). Untuk kasus elektif pasien diharuskan puasa 12 jam sebelum di lakukan anatesi dengan tujuan untuk mencegah risiko aspirasi.

Secara ringkas, yang perlu digali selama anamnesis adalah sebagai berikut.1) Riwayat anestesi dan operasi sebelumnya.2) Riwayat penyakit sistemik (diabetes melitus, hipertensi, kardiovaskuler, TB, asma).3) Pemakaian obat tertentu, seperti antidiabetik, antikoagulan, kortikosteroid, antihipertensisecara teratur. Dua obat terakhir harus diteruskan selama operasi dan anestesi, sedangkanobat yang lain harus dimodifikasi.4) Riwayat diet (kapan makan atau minum terakhir. jelaskan perlunya puasa sebelumoperasi).5) Pengunaan gigi palsu pada pasien harus ditanyakan.6) Kebiasaan-kebiasaan pasien (perokok berat, pemakai alkohol atau obat-obatan).7) Riwayat penyakit keluarga.

b. Pemeriksaan FisikPada anestesi, pemeriksaan fisik berpatokan pada B6, yaitu:1) BreathKeadaan jalan nafas, bentuk pipi dan dagu, mulut dan gigi, lidah dan tonsil. Apakah jalannafas mudah tersumbat? Apakah intubasi akan sulit? Apakah pasien ompong ataumenggunakan gigi palsu atau mempunyai rahang yang kecil yang akan mempersulitlaringoskopi? Apakah ada gangguan membuka mulut atau kekakuan leher? Apakah adapembengkakan abnormal pada leher yang mendorong saluran nafas bagian atas?Tentukan pula frekuensi nafas, tipe napas apakah cuping hidung, abdominal atau torakal,apakah terdapat nafas dengan bantuan otot pernapasan (retraksi kosta). Nilai pula keberadaanrhonki, wheezing, dan suara nafas tambahan (stridor).2) BloodTekanan nadi, pengisian nadi, tekanan darah, perfusi perifer. Nilai syok atau perdarahan.3) BrainGCS. Adakah kelumpuhan saraf atau kelainan neurologist?Adakah tanda-tanda TIK tinggi?4) BladderProduksi urin. Jika diperlukan, lakukan pemeriksaan faal ginjal.5) BowelAdakah pembesaran hepar? Bagaimanakah bising usus dan peristaltik usus? Apakah terdapat cairan bebas dalam perut atau massaabdominal?6) BoneApakah terdapat patah tulang? Periksa bentuk leher dan tubuh, adakah kelainan tulang belakang?

c. LaboratoriumPemeriksaan laboratorium rutin preoperatif sekarang diminimalisasi, pemeriksaan tersebut sudah seharusnya disesuaikan dengan keadaan masing-masing pasien.The National Institute for Clinical Excellence telah membuat pedoman dan sebagian besar rumah sakit memiliki versi pedoman ini sendiri-sendiri. Hal-hal berikut inilah yang harus dijadikan sebagai pedoman.1) Hemoglobin. Pasien yang sehat yang akan menjalani pembedahan elektif dengan perkiraan kehilangan darah < 10% dari total volume darah tidak memerlukan penilaian hemoglobin. Penilaian Hemoglobin diperlukan pada neonatus < 6 bulan, wanita > 50 tahun, pria > 65 tahun, penyakit Sickle Cell, malignansi, kelainan hematologis, kehilangan darah preoperative, trauma, malnutrisi, penyakit sistemik lainnya dan ASA 3 atau di atasnya.2) Ureum dan elektrolit. Tidak diindikasikan pada pasien sehat yang akan menjalani operasi elektif. Diindikasikan pada pasien > 65 tahun, penyakit ginjal, diabetes, hipertensi, penyakit jantung iskemik/vaskuler, penyakit liver. Pasien yang dalam pengobatan digoksin, diuretik, steroid, ACE inhibitor dan agen anti aritmia. Koreksi kelainan elektrolit yang cepat sebaliknya dapat membuat pasien yang stabil menjadi bermasalah, seperti demielinisasi pontin sentral saat koreksi hiponatremi, dan aritmia pada saat koreksi hipokalemia. Bila mungkin, operasi seharusnya ditunda dan kelainan elektrolit dikoreksi secara perlahan-lahan (kuranglebih 2-3 hari untuk hiponatremia).3) Pembekuan. Diindikasan pada pasien dengan ggguan perdarahan yang sudah diketahui atau koagulopati, pasien dengan terapi antikoagulan, tranfusi darah saat ini menggantikan > 20% volume darah total, infus koloid atau substansi plasma saat ini menggantikan > 20% volume darah total (volume darah berkisar antara 70-80 ml/kg BB), memar yang diketahui sebabnya, kehilangan darah dan atau penurunan hemoglobin yang tidak diketahui penyebabnya, hipersplenisme, gangguan liver, gagal ginjal.4) Elektrokardiogram. Diindikasikan pada pria > 40 atau wanita > 50, penyakit kardiovaskuler, penyakit ginjal, diabetes, ketidakseimbangan elektrolit, aritmia, pasien yang diterapi dengan antihipertensi, antiaritmia, dan antiangina. Perubahan pada EKG terkini (dalam waktu 3 bulan) harus dianggap signifikandan perlu pemeriksaan lebih lanjut.5) Foto rontgen thoraks. Diindikasikan pada pasien dengan penyakit dada, penyakit kardiovaskuler yang membatasi aktivitas, perokok lama dengan gejala penyakit dada, penyakit keganasan. 6) Pemeriksaan lain. Pemeriksaan lain mungkin diperlukan untuk penilaian lengkap terhadap suatu penyakit yang berbahaya, efektivitas suatu pengobatan, dan apakah pasien dalamkondisi medis optimum serta resiko-resiko lain yang ada pada pasien. Pemeriksaannya dapat meliputi test fungsi paru, analisa gas darah (penyakit paru dengan toleransi aktivitas yang terbatas), echocardiografi (penyakit jantung dengan indikasi fungsi terbatas), EKG (penyakit arteri koroner dengan angina), enzim-enzim hepar (pada alkoholisme, penyakit liver), gula darah (diabetes), fungsi endokrin (hipo/hipertiroidisme). Beberapa pemeriksaan juga diperlukan sebagai dasar untuk membandingkan preoperative dengan intra dan post operatif (misalnya analisa gas darah).

4. Perencanaan AnesthesiaSetelah pemeriksaan fisik dilakukan dan diperoleh gambaran tentang keadaan mental pasien beserta masalah-masalah yang ada, selanjutnya dibuat rencana mengenai obat dan teknik anesthesia yang akan digunakan. Penentuan jenis anestesi yang digunakan tergantung pada keadaan pasien, jenis pembedahan, dan kemampuan anesthesiologist serta keinginan pasien setelah sebelumnya diberikan penjelasan seluruh pilihan tindakan anestesi yang tersedia, keuntungan dan risikonya.Rencana anestesi diperlukan untuk menyampaikan strategi penanganan anestesi secara umum. Secara garis besar komponen dari rencana anestesi adalah: a. Ringkasan tentang anamnesis pasien, dan hasil-hasil pemeriksaan fisik sehubungan dengan penatalaksanaan anastesi, buat dalam daftar masalah, satukan bersamaan dengan beberapa daftar masalah yang digunakan oleh dokter yang merawat.b. Perencanaan teknik anestesi yang akan digunakan termasuk tehnik-tehnik khusus (seperti intubasi fiberoptik, monitoring invasif).c. Perencanaan penanganan nyeri post operasi bila perlu.d. Tindakan post operatif khusus jika terdapat indikasi (misalnya perawatan di ICU).e. Jika ada indikasi buat permintaan evaluasi medik lebih lanjut.f. Pernyataan tentang resiko-resiko yang ada, informed consent, dan pernyataan bahwa semua pertanyaan telah dijawab.g. Klasifikasi status fisik dan penilaian singkat.

5. Menentukan PrognosisBerdasarkan status fisik pasien pra anesthesia, ASA (American Society of Anesthesiologist) membuat klasifikasi yang membagi pasien ke dalam 5 kelompok atau kategori sebagai berikut.

ASAI :pasien tidak memiliki kelainan organic, fisiologik, biokimia atau gangguan psikiatri.ASA II :Gangguan sistemik ringan sampai sedang yang disebabkan oleh kondisi yang akan diterapi dengan pembedahan atau oleh proses patofisiologi lainya.ASAIII:keterbatasan melakukan aktifitas, pasien dengan penyakit sistemik berat.ASA IV :pasien dengan penyakit sistemik berat yang mengancam nyawa.ASA V :penderita yang diperkirakan tidak akan selamat dalam 24 jam, dengan atau tanpa operasi.ASA VI :penderita mati batang otak yang organ-organya dapat digunakan untuk donor.

Klasifikasi ASA juga digunakan pada pembedahan darurat dengan mencantumkan tanda darurat (E=emergency), misalnya ASA IE atau IIIE.

6. Persiapan pada Hari Operasi

a. Pembersihan dan pengosongan saluran cerna:Pengosongan lambung sebelum anesthesia penting untuk mencegah aspirasi isi lambung karena regurgitasi dan muntah. Pada pembedahan darurat pengosongan lambung dapat dilakukan lebih aktif dengan cara merangsang muntah, memasang pipa nasogastric atau memberi obat yang menyebabkan muntah. Pada pembedahan elektif, pengosongan lambung dilakukan dengan puasa.

Berdasarkan rekomendasi American Society of Anesthesiologist(ASA), puasa sebelum tindakan operasi didasarkan pada jenis bahan makanan atau minuman yang dikonsumsi pasien. Adapun rekomendasi tersebut adalah sebagai berikut.

Tabel 1. Rekomendasi Puasa American Society of Anesthesiologist2011Bahan yang DiingestiMasa Puasa Minimal

Cairan bening2 jam

ASI4 jam

Susu formula bayi6 jam

Susu selain manusia6 jam

Makanan ringan6 jam

Pada waktu intake oral tidak ada, deficit cairan dan elektrolit dapat terjadi dengan cepat karena adanya pembentukan urin yang terus berlangsung,sekresi gastrointestinal, keringat dan insensible losses dari kulit dan paru. Kebutuhan pemeliharaan normal dapat diestimasi dari tabel berikut:

Tabel 2. Estimasi Kebutuhan Cairan PemeliharaanBeratBadanKebutuhan

10 kg pertama4 ml/kg/jam

10 kg kedua2 ml/kg/jam

Masing-masing kgberikutnya1 ml/kg/jam

Pasien yang akan dioperasi setelah semalam puasa tanpa intake cairan akan menyebabkan defisit cairan sebanding dengan lamanya puasa. Defisit ini dapat diperkirakan dengan mengalikan normal maintenance dengan lamanya puasa. Untuk 70 kg, puasa 8 jam, perhitingannya (40 + 20 + 50) ml / jam x 8 jam atau 880 ml. Pada kenyataannya, defisit ini dapat kurang sebagai hasil dari konservasi ginjal. Kehilangan cairan abnormal sering dihubungkan dengan defisit preoperatif. Sering terdapat hubungan antara perdarahan preoperatif, muntah, diuresis dan diare.b. Gigi palsu, bulu mata palsu, cincin, gelang harus ditanggalkan dan bahan kosmetik seperti lipstick, cat kuku harus dibersihkan agar tidak mengganggu pemeriksaan selama anesthesia, missal sianosis atau anemis.c. Kandung kemih harus kosong, bila perlu dilakukan kateterisasi. Untuk pembersihan jalan nafas, pasien diminta batuk kuat-kuat dan mengeluarkan lendir jalan nafas.d. Penderita dimasukkan ke dalam kamar bedah dengan memakai pakaian khusus, diberikan tanda atau label, terutama untuk bayi. Periksa sekali lagi apakah pasien atau keluarga sudah memberi izin pembedahan secara tertulis (informed consent).e. Pemeriksaan fisik yang penting dapat diulang sekali lagi di kamar operasi karena mungkin terjadi perubahan bermakna yang dapat menyulitkan perjalanan anesthesia, misalnya hipertensi mendadak, dehidrasi atau serangan asma akut.f. Pemberian obat premedikasi secara intramuscular atau oral dapat diberikan -1 jam sebelum dilakukan induksi anesthesia atau beberapa menit bila diberikan secara intravena.

C. Monitoring Anestesi

Monitoring adalah segala usaha untuk memperhatikan, mengawasi dan memeriksa pasien dalam anestesi untuk mengetahui keadaan dan reaksi fisiologis pasien terhadap tindakan anestesi dan pembedahan. Tujuan utama monitoring anestesi adalah diagnosa adanya permasalahan, perkiraan kemungkinan terjadinya kegawatan, dan evaluasi hasil suatu tindakan, termasuk efektivitas dan adanya efek tambahan.

Saat ini sudah terdapat standar monitoring anestesi yang diadopsi dari ASA. Standar ini berlaku untuk semua perawatan anestesi meskipun, dalam keadaan darurat, tindakan dukungan kehidupan yang sesuai lebih diutamakan. Standar ini juga dapat dilampaui setiap saat berdasarkan penilaian dari ahli anestesi yang bertanggung jawab pada saat itu. Hal ini dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas perawatan pasien, tetapi mengamati dan mengikuti standar ini juga tidak dapat menjamin hasil dari setiap pasien.

STANDAR 1 Ahli anestesi yang memenuhi syarat harus hadir di ruangan sepanjang pelaksanaan semua prosedur anestesi umum, anestesi regional, dan perawatan anestesi yang membutuhkan pemantauan.

Tujuan:Dikarenakan dapat terjadi perubahan yang cepat dalam status pasien selama anestesi, ahli anestesi yang memenuhi syarat harus terus hadir untuk memantau pasien dan memberikan perawatan anestesi.

STANDAR 2 Selama anestesi, oksigenasi, ventilasi, sirkulasi, dan suhu pasien harus terus dievaluasi.

OksigenasiTujuan:Untuk memastikan konsentrasi oksigen yang cukup dalam udara inspirasi dan darah selama semua prosedur anestesi.

Metode: 1. Udara inspirasi: Selama setiap pemberian anestesi umum menggunakanmesin anestesi, konsentrasi oksigen dalam sistem pernapasan pasien harus diukur oleh oxygen analyzerdengan penggunaan alarm dengan batas konsentrasi oksigen yang rendah.2. Oksigenasi darah: Selama anestesi, metode kuantitatif untuk menilai oksigenasi sepertipulse oximetryharus digunakan.

VentilasiTujuan:Untuk memastikan ventilasi yang memadai terhadap pasien selama semua prosedur anestesi.

Metode: 1. Setiap pasien yang menerima anestesi umum harus memiliki kecukupan ventilasi yang terus dievaluasi. Tanda-tanda klinis kualitatif seperti pengapatan pengembangan dada, reservoir breathing bag, dan auskultasi suara nafas sangat berguna.2. Apabila tracheal tubeatau laryngeal maskdimasukkan, posisi yang benar harus diverifikasi oleh penilaian klinis dan dengan identifikasi konsentrasi karbon dioksida dalam udara ekspirasi. Analisis End-Tidal CO2yang terus-menerus, yang digunakan dari waktu intubasi, sampai ekstubasi atau memindahkan pasien ke lokasi perawatan pascaoperasi, harus terus dilakukan dengan menggunakan metode kuantitatif seperti capnography, atau capnometry.3. Bila ventilasi dikendalikan oleh ventilator mekanik, sebaiknya digunakan sebuah perangkat yang mampu mendeteksi bila ada komponen yang terputus dari sistem pernapasan. Perangkat harus memberikan sinyal yang dapat terdengar saat alarm telah melampaui ambang batas.4. Selama anestesi regional dan perawatan anestesi yang memerlukan pengawasan, kecukupan ventilasi harus dievaluasi, setidaknya, dengan pengamatan terus-menerus tanda-tanda klinis kualitatif.

SirkulasiTujuan:Untuk memastikan kecukupan fungsi peredaran darah pasien selama semua prosedur anestesi.

Metode: 1. Setiap pasien yang menerima anestesi harus memiliki elektrokardiogram terus ditampilkan dari awal anestesi sampai saat bersiap-siap meninggalkan lokasi anestesi.2. Setiap pasien yang menerima anestesi harus diukur tekanan darah arteri dan denyut jantungnya dan dievaluasi setidaknya setiap 5 menit.3. Setiap pasien yang menerima anestesi umum harus terus dievaluasi setidaknya salah satu dari hal berikut: palpasi denyut nadi, auskultasi bunyi jantung, pemantauan dari penelusuran tekanan intraarterial, pemantauan USG denyut perifer, pulse plethysmographyatau oksimetri.

Suhu TubuhTujuan:Untuk membantu dalam pemeliharaan suhu tubuh yang tepat selama semua prosedur anestesi.

Metode: Setiap pasien yang menerima anestesi harus dipantau suhu tubuhnya pada keadaan yang diperkirakan dan diantisipasi, akan tejadi perubahan suhu tubuh yang signifikan secara klinis.

D. Manajemen Postoperatif

Pasca anestesi dilakukan pemulihan dan perawatan pasca operasi dan anestesi yang biasa dilakukan di ruang pulih sadar atau recovery room, yaitu ruangan untuk observasi pasien pasca bedah atau anestesi. Ruang pulih sadar adalah batu loncatan sebelum pasien dipindahkan ke bangsal atau masih memerlukan perawatan intensif ICU. Dengan demikian pasien pasca operasi dan anestesi dapat terhindar dari komplikasi yang disebabkan karena operasi atau pengaruh anestesinya.

Pulih dari anestesi umum atau dari analgesia regional secara rutin dikelola dikamar pulih atau Unit Perawatan Pasca Anestesi, UPPA (RR, Recovery Room atau PACU, Post Anestesia Care Unit). Idealnya bangun dari anestesi secara bertahap, tanpa keluhan dan mulus. Kenyataannya sering dijjumpai hal-hal yang tidak menyenangkan akibat stres pasca bedah atau pasca anestesi yang berupa gangguan napas, gangguan kardiovaskular, gelisah, kesakitan, mual-muntah, menggigil dan kadang-kadang pendarahan.

Recovery room atau ruang pemulihan adalah sebuah ruangan di rumah sakit, dimana pasien dirawat setelah mereka telah menjalani operasi bedah dan pulih dari efek anestesi. Pasien yang baru saja di operasi atau prosedur diagnostik yang menuntut anestesi atau obat penenang dipindahkan ke ruang pemulihan, dimana keadaan vital sign pasien (nadi, tekanan darah, suhu badan dan saturasi oksigen) diawasi ketat setelah efek dari obat anestesi menghilang.

Pengawasan ketat di ruang pemulihan atau UPPA harus seperti sewaktu berada di kamar bedah sampai pasien bebas dari bahaya, karena itu peralatan monitor yang baik harus disediakan. Tensimeter, oksimeter denyut (pulse oxymeter), EKG,peralatan resusitasi jantung-paru dan obatnya harus disediakan tersendiri, terpisah dari kamar bedah.Setelah dilakukan pembedahan pasien dirawat diruang pulih sadar. Pasien yang dikelola adalah pasien pasca anestesi umum ataupun anestesi regional. Di ruang pulih sadar dimonitor jalan nafasnya apakah bebas atau tidak, ventilasinya cukup atau tidakdan sirkulasinya sudah baik atau tidak. Pasien dengan gangguan jalan nafas dan ventilasi harus ditangani secara dini. Selain obstruksi jalan nafas karena lidah yang jatuh ke belakang atau spasme laring, pasca bedah dini kemungkinan terjadi mual-muntah yang dapat berakibat aspirasi. Anestesi yang masih dalam, dan sisa pengaruh obat pelumpuh otot akan berakibat penurunan ventilasi.

Pasien yang belum sadar diberikan oksigen dengan kanul nasal atau maskersampai pasien sadar betul. Pasien yang sudah keluar dari pengaruh obat anestesi akan sadar kembali.Bila keadaan umum dan tanda-tanda vital pasien normal dan stabil, maka pasien dapat dipindahkan ke ruangan dengan pemberian instruksi pasca operasi.

Tingkat perawatan pasca anestesi pada setiap pasien tidak selalu sama, bergantung pada kondisi fisik pasien, teknik anestesi, dan jenis operasi, monitoring lebih ketat dilakukan pada pasien dengan risiko tinggi seperti: Kelainan organ Syok yang lama Dehidrasi berat Sepsis Trauma multiple Trauma kapitis Gangguan organ penting, misalnya : otak

Pada saat melakukan observasi di ruang pulih, agar lebih sistematis dan lebih mudah dapat dilakukan monitoring B6, yaitu:

Breath (nafas) : sistem respirasi

Pasien belum sadar dilakukan evaluasi :Pola nafas Tanda-tanda obstruksi Pernafasan cuping hidung Frekuensi nafas Pergerakan rongga dada : simetris/tidak Suara nafas tambahan : tidak ada pada obstruksi total Udara nafas yang keluar dari hidung Sianosis pada ekstremitas Auskultasi : wheezing, ronkiPasien sadar : tanyakan adakah keluhan pernafasan. Jika tidak ada keluhan : cukup berikan O2 Jika terdapat tanda-tanda obstruksi : terapi sesuai kondisi (aminofilin,kortikosteroid, tindakan triple manuver airway).

Blood(darah) : sistem kardiovaskuler Tekanan darah Nadi Perfusi perifer Status hidrasi (hipotermi syok) Kadar HbMenurut WHO, kadar Hb normal adalah 11,0 g/dl untuk usia 0,504,99 tahun, 11,5 g/dl untuk usia 5,011,99 tahun, 12,0 g/dl untuk usia 12,014,99 tahun, 12,0 g/dl untuk wanita yang tidak hamil 15,0 tahun, 11,0 g/dl untuk wanita hamil, dan 13,0 g/dl untuk pria 15,0 tahun.

Apabila kadar Hb di bawah normal, maka diperlukan transfusi darah. Berikut adalah rumus untuk menentukan kebutuhan darah transfusi.

Kebutuhan Transfusi = (Hb normal Hb pasien) x BB x jenis darah

Keterangan :Jenis darah = darah yang dibutuhkanPRC = 3WB = 6

Brain (otak) : sistem SSP Menilai kesadaran pasien dengan GCS (Glasgow Coma Scale) Perhatikan gejala kenaikan TIK.

Bladder(kandung kencing) : sistem urogenitalis Periksa kualitas, kuantitas, warna, kepekatan urine Untuk menilai : Apakah pasien masih dehidrasi, Apakah ada kerusakan ginjal saat operasi, acute renal failure

Bowel (usus) : sistem gastrointestinalis

Periksa : Dilatasi lambung Tanda-tanda cairan bebas Distensi abdomen Perdarahan lambung post operasi Obstruksi atau hipoperistaltik, gangguan organ lain, misal: hepar,lien, pancreas Dilatasi usus halus,

Hati-hati, pasien operasi mayor sering mengalami kembung yang mengganggu pernafasan, karena ia bernafas dengan diafragma.

Bone (tulang) : sistem musculoskeletal

Periksa : Tanda-tanda sianosis Warna kuku Perdarahan post operasi

Gangguan neurologis : gerakan ekstremitas

Kriteria yang digunakan dan umunya yang dinilai pada saat observasi di ruang pulih adalah warna kulit, kesadaran, sirkulasi, pernafasan, dan aktivitas motorik,seperti skor Aldrete (lihat tabel). Idealnya pasien baru boleh dikeluarkan bila jumlah skor total adalah 10. Namun bila skor total telah di atas 8, pasien boleh keluar ruang pemulihan.

Tabel 3. Aldrete scoreNOKRITERIASCORESCORE

1.Warna kulit

Kemerahan/ normal2

Pucat1

Cianosis0

2.Aktifitas Motorik

Gerak 4 anggota tubuh2

Gerak 2 anggota tubuh1

Tidak ada gerakan0

3.Pernafasan

Nafas dalam, batuk & tangis kuat2

Nafas dangkal dan adekuat1

Apnea atau nafas tidak adekuat0

4.Tekanan darah

20 mmhg dari pre operasi2

20 50 mmhg dari pre operasi1

+ 50 mmhg dari pre operasi0

5.Kesadaran

Sadar penuh mudah di panggil2

Bangun jika di panggil1

Tidak ada respon0

Keterangan: Pasien dapat di pindah ke bangsal, jika score minimal 8 pasien. Pasien di pindah ke ICU, jika score < 8 setelah di rawat selama 2 jam.

Namun bila pasien tersebut anak-anak kriteria pemulihan yang digunakan adalah skor Steward, yang dinilai antara lain pergerakan, pernafasan dan kesadaran. Bila skor total di atas 5, pasien boleh keluar dari ruang pemulihan.

Tabel 4. Steward scoreTANDAKRITERIASCORE

Kesadaran1. Bangun2. Respon terhadap rangsang3. Tidak ada respon

Pernafasan1. Batuk/ menangis2. Pertahankan jalan nafas3. Perlu bantuan nafas

Motorik1. Gerak bertujuan2. Gerak tanpa tujuan3. Tidak bergerak

Keterangan:Score 5 boleh keluar dari RR

Untuk pasien dengan spinal anestesi digunakan kriteria skor Bromage, yang dinilai adalah pergerakan kaki, lutut dan tungkai, apabila total skor di atas 2, pasien boleh di pindahkan ke ruang rawat.

Tabel 5. Bromage scoreNOKRITERIASCORESCORE

1.Dapat mengangkat tungkai bawah.0

2.Tidak dapat menekuk lutut tetapi dapat mengangkat kaki.1

3.Tidak dapat mengangkat tungkai bawah tetapi masih dapat menekuk lutut.2

4.Tidak dapat mengangkat kaki sama sekali.3

Ket :Pasien dapat di pindah ke bangsal, jika score kurang dari 2

E. Komplikasi Pasca Anestesi dan Penanganannya

1. Komplikasi Respirasia. Obstruksi jalan nafasPrinsip dalam mengatasi sumbatan mekanik dalam sistem anestesi adalahdengan menghilangkan penyebabnya. Diagnosis banding antara sumbatan mekanikdan bronkospasme harus dibuat sedini mungkin. Sumbatan mekanik lebih seringterjadi, dan mungkin dapat menjadi total, dimana wheezing akibat dapat terdengar tanpa atau dengan stetoskop.

Penyebab sumbatan bisa nyata sebagai contoh, keadaan ini dapat diatasi dengan meluruskan pipa yang terpuntirdibalik rongga mulut. Jika pipa ditempatkan terlalu jauh ke dalam trakea, maka pipa tersebut biasanya memasuki bronkus utama jika kadar tinggi oksigen yang dipakai,sampai terjadi tanda-tanda hipoksia, hiperkardi atau sumbatan pernafasan menjadi nyata.Komplikasi dapat dihindarkan jika ahli anestesi memeriksa kedudukan pipa setelah dipasang dengan mendengarkan melalui stetoskop di atas setiap sisi dada, sementara secara manual paru-paru dikembangkan, jika suara pernafasan tidakterdengar atau pengembangan pada satu sisi dada telah didiagnosis, maka harus secara lambat laun ditarik sampai udara terdengar memasuki kedua sisi toraks secara seimbang. Penggunaan pipa yang telah dipotong sampai sepanjang bronkus kanan dapat mengurangi bahaya.

Ahli anestesi tidak boleh melupakan bahwa, jika dihadapkan pada sumbatan mekanik yang tidak dapat dijelaskan, segera setelah intubasi, maka anjuran terbaik adalah pipa ditarik keluar dan dilakukan re-intubasi.Sumbatan mekanik pada penderita yang tidak diintubasi, apakah dapat bernafas dengan spontan atau dikembangkan, paling sering disebabkan oleh lidah yang jatuh ke belakang. Biasanya keadaan ini dapat ditolong dengan mengekstensikan kepala, mendorong dagu ke muka dan memasang pipa udara anestetik peroral atau nasal.

Sumbatan mekanik pada penderita yang di intubasi mungkin bersifat samar-samar. Paling penting disadari bahwa adanya pipa trakea tidak menjamin saluran pernafasan yang lancar. Pipa dapat menjadi terpuntir, bagian yang melengkung dapat terhalang pada dinding trakea, atau dapat terlalu menjorok jauh dan memasuki bronkus utama kanan atau manset dapat menyebul keluar menutupi bagian ujung.

b. BronkospasmeBronkospame dapat diatasi secara terapi medik, tetapi yang paling penting adalah memastikan bahwa tidak terjadi sumbatan mekanik, baik secara anatomis,akibat lidah yang terjatuh ke belakang pada penderita yang tidak diintubasi, atau akibat defek peralatan seperti yang telah dijelaskan di atas.

Efedrin intravena setiap kali dapat ditambah 5 mg, atau 30 mg intramuscular,sehingga dapat menolong, tetapi dapat menyebabkan takikardi dan meningkatkan tekanan darah. Secara bergantian, suntikan lambat 5 mg/kg aminofilin intravena.

c. HipoventilasiPada hipoventilasi, rangsang hipoksia dan hiperkarbia mempertahankan penderita tetap bernafas. Pada hipoventilasi berat, pC02 naik > 90 mmHg, sehingga menimbulkan koma, dengan pemberian O2 hipoksia berkurang (p02 naik) tetapi pCO2 tetap atau naik pada hipoventilasi ringan. Sedangkan pada hipoventilasi berat jusrtu mengakibatkan paradoksikal apnea, yaitu penderita justru jadi apnea setelah diberi oksigen. Terapi yang benar pada hipoventilasi adalah : Membebaskan jalan nafas Memberikan oksigen Menyiapkan nafas buatan Terapi sesuai penyebabnya

d. HiperventilasiHiperventilasi dengan hipokapnia akan merangsang kalium ekstraselularmengalir ke intraselular, hingga terjadi hipokalemia. Aritmia berupa bradikardia relatif dapat terjadi pada hipokalemia.

2. KomplikasiKardiovaskularHipertensi dapat disebabkan karena nyeri akibat pembedahan, iritasi pipa trakea, cairan infus berlebihan, buli-buli penuh atau aktivasi saraf simpatis karena hipoksia, hiperkapnea dan asidosis. Hipertensi akut dan berat yang berlangsung lama akan menyebabkan gagal ventrikel kiri, infark miokard, disritmia, edema paru atau pendarahan otak. Terapi hipertensi ditujukan pada faktor penyebab dan kalau perlu dapat diberikan klonidin (catapres) atau nitroprusid (niprus) 0,5 1,0 g/kg/ menit.

Hipotensi yang terjadi karena isian balik vena (venous return) menurun disebabkan pendarahan, terapi cairan kurang adekuat, diuresis, kontraksi miokardium kurang kuat atau tahanan veskuler perifer menurun. Hipotensi harus segera diatasi untuk mencegah terjadi hipoperfusi organ vital yang dapat berlanjut dengan hipoksemia dan kerusahan jaringan. Terapi hipotensi disesuaikan dengan faktorpenyebabnya. Berikan O2 100%dan infus kristaloid RL atau Asering 300-500 ml.

Distritmia yang terjadi dapat disebabkan oleh hipokalemia, asidosis-alkalosis,hipoksia, hiperkapnia atau penyakit jantung.

Hipertensi karena anestesi tidak adekuat dapat dihilangkan dengan menambah dosis anestetika. Bila persisten dapat diberi obat penghambat beta adrenergik seperti propanolol atau obat vasodilator seperti nitrogliserin yang juga bermanfaat untukmemperbaiki perfusi miokard. Reaksi hipertensi pada waktu laringoskopi dapat dicegah antara lain dengan terlabih dahulu memberi semprotan lidokain topical kedalam faring dan laring, obat seperti opiat dan lain-lain.

Hipertensi karena kesakitan yang terjadi pada akhir anestesi dapat diobatidengaan analgetika narkotik seperti pethidin 10 mg I.V atau morfin 2-3 mg I.V dengan memperhatikan pernafasan (depresi).

Aritmia jantung pada anestesia, terjadi kira-kira 15-30 %. Etiologi aritmia selama anestesia : Tindakan bedah : Bedah mata, hidung, gigi, traksimesenterium, dilatasi anus. Pengaruh metabolisme : hipertiroid, hiperkalemi Penyakit tertentu : penyakit jantung bawaan, penyakit hiperkapnia,hipokelmia, jantung koroner Pengaruh obat tertentu : atropine, halotan, adrenalin dll.

3. Komplikasi Lain-laina. MengigilPada akhir anestesi dengan tiopental, halotan atau enfluran kadang-kadang timbul mengigil di seluruh tubuh disertai bahu dan tangan bergetar. Hal ini mungkin terjadi karena hipotermia atau efek obat anestesi, Hipotermi terjadi akibat suhu ruang operasi, ruang UPPA yang dingin, cairan infus dingin, cairan irigasi dingin, bedah abdomen luas dan lama. Faktor lain yang menjadi pertimbangan ialah kemungkinan waktu anestesi aliran gas diberikan terlalu tinggi hingga pengeluaran panas tubuh melalui ventilasi meningkat.

Terapi petidin 10-20 mg i.v. pada pasien dewasa, selimut hangat, infus hangat dengan infusionwarmer,lampu penghangat untuk menghangatkan suhu tubuh.

b. Gelisah setelah anestesiGelisah pasca anestesi dapat disebabkan karena hipoksia, asidosis,hipotensi, kesakitan. Penyulit ini sering terjadi pada pemberian premedikasi dengan sedatif tanpa anelgetika, hingga pada akhir operasi penderita masih belum sadar tetapi nyeri sudah mulai terasa. Komplikasi ini sering didapatkan pada anakdan penderita usia lanjut. Setelah disingkirkan sebab-sebab tersebut di atas, pasien dapat diberikan midazolam 0,05-0,1mg/kgBB atau terapi dengan analgetika narkotika (petidin 15-25 mg I.V ).

c. Kenaikan SuhuKenaikan suhu tubuh harus kita bedakan apakah demam (fever) atau hipertermia (hiperpireksia). Demam adalah kenaikan suhu tubuh diatas 38 derajat Celcius dan masih dapat diturunkan dengan pemberian salisilat. Sedangkan hipertermia ialah kenaikan suhu tubuh diatas 40 derajat Celcius dan tidak dapat diturunkan dengan hanya memberikan salisilat.

Beberapa hal yang dapat mencetuskan kenaikan suhu tubuh ialah: Puasa terlalu lama Suhu kamar operasi terlalu panas (suhu ideal 23-24 derajat Celcius) Penutup kain operasi yang terlalu tebal Dosis premedikasi sulfas atropin terlalu besar Infeksi Kelainan herediter (kelainan ini biasanya menjurus pada komplikasi hipertermia maligna)

Hipertermia malignamerupakan krisis hipermetabolik dimana suhu tubuh naik lebih dari 2 derajat Celcius dalam waktu satu jam. Walaupun angka kajadian komplikasi ini jarang, yaitu 1: 50.000, pada penderita dewasa dan 1: 25.000 pada anak-anak, tetapi jika terjadi, angka kematiannya cukup tinggi yaitu 60%. Etiologi komplikasi ini masih diperdebatkan, tetapi telah banyak dikemukakan bahwa kelainan herediter ini karena adanya cacat pada ikatan kalsium dalam reticulum sarkoplasma otot atau jantung.

Adanya pacuan tertentu akan meyebabkan keluarnya kalsium tersebut dan masuk kedalam sitoplasma hingga menghasilkan kontraksi miofibril hebat,penumpukan asam laktat dan karbondioksida, meningkatkan kebutuhan oksigen,asidosis metabolik, dan pembentukan panas. Kebanyakan obat anestetika akan menjadi triger pada penderita yang berbakat hipertermia maligna herediter ini. Halotan dan suksinilkolin adalah obat-obat yang sering dilaporkan sebagai pencetus penyulit ini. Akan tetapi tidak berarti obat-obat lain aman terhadap komplikasi ini. Gejala klinis selain kenaikan suhu mendadak, tonus otot bertambah, takikardi, tetani, mioglobinuria, gagal ginjal dan gagal jantung.

Penanggulangan komplikasi dilakukan dengan langkah-langkah: Hentikan pemberian anestetika dan berikan O2 100% Seluruh tubuh dikompres es atau alkohol, kalau perlu lambung dibilas denganlarutan NaCl fisiologis dingin Pemeriksaan gas darah segera dilakukan Koreksi asidosis dengan natrium bikarbonat Koreksi hiperkalemia dengan glukosa dan insulin Oradekson dosis tinggi diberikan i.v. Dantrolene i.v. 1-2 mg/ kgBB dapat diulang tiap 5-10 menit dan maksimum 10 mg/kgBB. Obat ini merupakan satu-satunya obat spesifikuntuk hipertermia maligna.

d. Reaksi HipersensitifReaksi hipersensitif adalah reaksi abnormal terhadap obat karena terbentuknya mediator kimia endogen seperti histamin dan serotonin dan lainnya. Reaksi dapat saja terjadi pada tiap pemberian obat termasuk obat yang digunakan dalam anestesia. Komplikasi sering terjadi pada pemberian induksi intravena dan obat pelumpuh otot.

Gejala klinis hipersensitif : Kulit kemerahan dan timbul urtikaria Muka menjadi sembab Vasodilatasi, tetapi nadi kecil sering tak teraba, sampai henti jantung. Bronkospasme Sakit perut, mual dan muntah, kadang diare

Pengobatan: Hentikan pemberian obat anestetika Dilakukan napas buatan dan kompresi jantung luar kalau terjadi henti jantung Adrenalin 0,3-0,5 cc (1:1000) i.v. atau intratrakeal Steroid, aminofilin atau vasopresor dipertimbangkan pada keadaan tertentu Percepat cairan infus kristaloid Operasi dihentikan dulu sampai gejala-gejala hilang.

e. NyeriNyeri pasca bedah dikategorikan sebagai nyeri berat, sedang dan ringan.Untuk meredam nyeri pasca bedah pada anestesi regional untuk pasien dewasa,sering ditambahkan morfin 0.05-0.10 mg saat memasukkan anestesi lokal ke ruang subaraknoid atau morfin 2-5 mg ke ruang epidural. Tindakan ini sangat baik manfaatnya karena dapat membebaskan nyeri pasca bedah sekitar 10-16 jam. Setelah itu nyeri yang timbul bersifat sedang atau ringan dan jarang diperlukan tambahan opioid dan kalaupun perlu cukup diberikan analgetik golongan NSAID (anti inflamasi non steroid) misalnya ketorolac 10-30 mg IV atau IM.

Opioid lain seperti petidin atau fentanil jarang digunakan intradural atau epidural, karena efeknya lebih pendek sekitar 3-6 jam. Efek samping opioid intratekal atau epidural ialah gatal di daerah muka. Pada manula dapat terjadi depresi napas setelah 10-24 jam. Gatal di muka dan depresi napas dapat dihilangkan dengan nalokson. Opioid intratekal atau epidural tidak dianjurkan pada manula kecuali dengan pengawasan ketat.Kalau terjadi nyeri pasca bedah di UPPA diberikan obat golongan opioid secara bolus dan selanjutnya dengan titrasi perinfus.

f. Mual-MuntahMual-muntah pasca anestesi sering terjadi setelah anestesi umum terutama pada penggunaan opioid, bedah intra-abdomen, hipotensi dan pada analgesia regional. Obat mual-muntah yang sering digunakan pada peri anesthesia ialah : Dehydrobenzoperidol (droperidol) 0,05-0,1 mg/kgBB (amp 5 mg/ml) i.m ataui.v. Metoklopramid (primperan) 0,1 mg/kgBB i.v.,supp 20 mg Ondansetron (zofran, narfoz) 0,05-0,1 mg/kgBB i.v Cyclizine 25-50 mg.

BAB IIIPENUTUP

A. Kesimpulan1. Perioperativeprocedure atau prosedur perioperatif mencakup mencakup masalah-masalah sebelum anesthesia/pembedahan, selama anesthesia/pembedahan dan sesudah anesthesia/pembedahan.2. Prosedur preoperatif harus dilakukan dengan baik karena apabila tidak dikelola dengan baik, operasi pasien dapat saja dibatalkan.3. Manajemen post operatif juga penting karena sering kali pasien mengalami berbagai keluhan sehingga diperlukan observasi dan penanganan yang baik.

B. SaranDalam penulisan ini penulis menyadari bahwa masih terdapat banyak sekali kekurangan, oleh karena itu penulis berusaha memberikan saran terutama bagi para pembaca agar:1. Selalu memperbaharui ilmu karena ilmu dapat berubah dari waktu ke waktu karena peningkatan pemahaman atau bahkan pembaharuan yang lebih tepat.2. Selama belajar, sangat wajar apabila terdapat kesalahan. Akan tetapi sebaiknya tidak mengulangi kesalahan yang sama dan mengambil pelajaran dari kesalahan sebelumnya agar dapat diperbaiki ke depannya.

29

DAFTAR PUSTAKA

ASA. 2011. Practice Guidelines for Preoperative Fasting and the Useof Pharmacologic Agents to Reduce the Risk ofPulmonary Aspiration: Application to Healthy PatientsUndergoing Elective Procedures. Anesthesiology; 114:495-511.Latief SA, Suryadi KA., Dachlan MR. 2009. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Edisi Kedua. Jakarta: Penerbit Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI.Longnecker DE, Brown DL, Newman MF, Zapol WM. 2012.Anesthesiology. New York: Mc Graw Hill Companies.Miller, Ronald D. 2005. Millers Anesthesia, 7th edition. United States of America: Elsevier.MorganGE,. Maged SM, dan MurrayMJ. 2006. ClinicalAnesthesiology, Fourth Edition. United States of America: Appleton & Lange.