OPeb B ar rpu t epustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2010/06/pikiranrakyat...18 19 20 -,2.1 22 23...

2
'~Pikiran Rakyat o Senin o Selasa o Rabu Kamis o Jumat o Sabtu 0 Minggu 2 G) 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 18 19 20 -,2.1 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 OPeb o Mar OApr OMei eJun OJul OAqs OSep OOkt ONov ODes B r ar rpu t e S UDAH menjadi kredo usang jika masyarakat kita memang terbiasa dan dibesarkan dengan budaya lisan. Di tengah gagapnya masyarakat terhadap dunia literasi, bagaimana dunia perpustakaan menemui titik terangnya sebagai pelita dalam gelap bagi keber- langsungan masyarakat informasi di Indonesia de- wasa ini? Penulis-ctzm-penvair Goenawan Mohamad per- nah menganalogikan bahwa dunia buku di In- donesia bak hewan tokek. Analoginya bersumber dari pergerakan budaya praliterer menuju budaya pascaliterer di mana dominasi benda-benda visual macam televisi, handphone, dan internet telah mengepung masyarakat Indonesia sehingga kehi- langan lingkungan budaya membaca buku. Maka, buku pun ibarat tokek, makhluk yang terancam punah. Padahal, kalau menilik fakta yang ada, masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang sudah terbilang melek huruf. Laporan Unesco 1993 mencatat bahwa sekitar 84 persen masyarakat Indonesia sudah melek hu- ruf dan angka tersebut jauh di atas rata-rata ne- gara berkembang yang cuma berkisar 69 persen. Laporan tersebut menunjukkan bahwa nilai kuan- titatif tersebut belum menunjukkan kualias yang mumpuni. Banyak orang yang bisa membaca, tetapi belum memahami apa yang dibacanya. Se- lain itu, masih kurangnya akses dalam mernper- oleh informasi bagi semua kalangan masyarakat secara luas. Perpustakaan sebagai salah satu akses rna- syarakat dalam memperoleh informasi dan refe- rensi, memang menjadi pelita utama bagi masyarakat umum. Namun, kajian budaya pen- didikan menurut pakar komunikasi, Idy Subandi Ibrahim, dalam buku Budaya Populer Sebagai Ko- munikasi (2007) mencatat bahwa penyebab perpus- takaan kurang "bergaung" di masyarakat karena letak lokasi yang tidak strategis, minimnya koleksi, juga ditambah dengan pelayanan dan fasilitas yang kurang memberikan kenyamanan bagi para peng- guna. Menurut dia, standardisasi perpustakaan, baik di tingkat daerah maupun institusi formal macam sekolah pun berada di titik mencemaskan. Seperti, dari 200.000 SO hanya sekitar satu persen yang punya perpustakaan standar. Untuk tingkat yang lebih tinggi seperti perguruan tinggi, hanya sekitar 60 persen yang memenuhi standar dari sekitar em- pat ribuan perguruan tinggi yang tersebar di In- donesia. Bahkan, yang paling parah adalah pola pikir praktis dan pragmatisme akut yang mendera dunia mahasiswa sekarang ini. Sebagai indikator, secara kasat, mahasiswa baru berkunjung ke per- pustakaan bila ada kaitannya dengan tugas kuliah ataupun mengerjakan skripsi. Minat baca di per- pustakaan masih belum menjadi kebutuhan dasar dalam memperoleh informasi atau pendidikan. "Mahasiswa hanya berkunjung ke Perpustakaan Batu Api ini ketika mereka mendapat tugas dari dosen. Makanya, ada salah satu koleksi buku yang tiap tahun pasti dipinjam karena dosennya selalu menyuruh meresensi buku itu tiap angkatan," ujar Anton Solihin, pemilik Perpustakaan Batu Api di kawasan pendidikan Jatinangor. "Buku belum men- jadi kebutuhan dasar mahasiswa untuk memper- oleh informasi secara lebih luas. Gaya hidup mere- ka belum terbentuk seperti itu," ujarnya ironis. Dalam rangka merayakan Hari Buku Nasional yang jatuh pada 17 Mei, perpustakaan telah men- jadi sorotan utama dalam meningkatkan kualitas literasi di masyarakat Indonesia. Menurut Ketua Pengurus Daerah Gerakan Pemasyararakatan Mi- nat Baca Jawa Barat Periode 2010-2014 Oom Nurrohmah, tugas pemberdayaan literasi di masyarakat bukan semata mutlak tugas pernerin- tah semata. Keberadaan perpustakaan di ruang publik pun perlu disikapi bahwa keberadaan siner- gi antara kebutuhan membaca dan ruang publik untuk membaca di perpustakaan sebagai satu hal yang signifikan dalam mengembangkan gaya hidup membaca buku. "Konsep perpustakaan yang baik ketika ia me- ngenai tepat sasaran. Untuk itu, perpustakaan ke- liling ditempatkan di ruang publik. Karena perpus- takaan yang baik tak sekadar member informasi, tapi juga bisa menjadi wadah masyarakat agar pro- duktif dan menyangga ekonomi dan pendidikan," kata Oom Nurrohmah. Kliping Humas Unpad 2010

Transcript of OPeb B ar rpu t epustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2010/06/pikiranrakyat...18 19 20 -,2.1 22 23...

Page 1: OPeb B ar rpu t epustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2010/06/pikiranrakyat...18 19 20 -,2.1 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 ... pustakaan bila ada kaitannya dengan tugas kuliah ...

'~Pikiran Rakyato Senin o Selasa o Rabu • Kamis o Jumat o Sabtu 0 Minggu

2 G) 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 1518 19 20 -,2.1 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31

OPeb oMar OApr OMei eJun OJul OAqs OSep OOkt ONov ODes

B r arrpu te

S UDAH menjadi kredo usang jikamasyarakat kita memang terbiasa dandibesarkan dengan budaya lisan. Di tengah

gagapnya masyarakat terhadap dunia literasi,bagaimana dunia perpustakaan menemui titikterangnya sebagai pelita dalam gelap bagi keber-langsungan masyarakat informasi di Indonesia de-wasa ini?

Penulis-ctzm-penvair Goenawan Mohamad per-nah menganalogikan bahwa dunia buku di In-donesia bak hewan tokek. Analoginya bersumberdari pergerakan budaya praliterer menuju budayapascaliterer di mana dominasi benda-benda visualmacam televisi, handphone, dan internet telahmengepung masyarakat Indonesia sehingga kehi-langan lingkungan budaya membaca buku. Maka,buku pun ibarat tokek, makhluk yang terancampunah. Padahal, kalau menilik fakta yang ada,masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yangsudah terbilang melek huruf.

Laporan Unesco 1993 mencatat bahwa sekitar84 persen masyarakat Indonesia sudah melek hu-ruf dan angka tersebut jauh di atas rata-rata ne-gara berkembang yang cuma berkisar 69 persen.Laporan tersebut menunjukkan bahwa nilai kuan-titatif tersebut belum menunjukkan kualias yangmumpuni. Banyak orang yang bisa membaca,tetapi belum memahami apa yang dibacanya. Se-lain itu, masih kurangnya akses dalam mernper-oleh informasi bagi semua kalangan masyarakatsecara luas.

Perpustakaan sebagai salah satu akses rna-syarakat dalam memperoleh informasi dan refe-rensi, memang menjadi pelita utama bagimasyarakat umum. Namun, kajian budaya pen-didikan menurut pakar komunikasi, Idy SubandiIbrahim, dalam buku Budaya Populer Sebagai Ko-munikasi (2007) mencatat bahwa penyebab perpus-takaan kurang "bergaung" di masyarakat karenaletak lokasi yang tidak strategis, minimnya koleksi,juga ditambah dengan pelayanan dan fasilitas yangkurang memberikan kenyamanan bagi para peng-guna.

Menurut dia, standardisasi perpustakaan, baik ditingkat daerah maupun institusi formal macam

sekolah pun berada di titik mencemaskan. Seperti,dari 200.000 SO hanya sekitar satu persen yangpunya perpustakaan standar. Untuk tingkat yanglebih tinggi seperti perguruan tinggi, hanya sekitar60 persen yang memenuhi standar dari sekitar em-pat ribuan perguruan tinggi yang tersebar di In-donesia. Bahkan, yang paling parah adalah polapikir praktis dan pragmatisme akut yang menderadunia mahasiswa sekarang ini. Sebagai indikator,secara kasat, mahasiswa baru berkunjung ke per-pustakaan bila ada kaitannya dengan tugas kuliahataupun mengerjakan skripsi. Minat baca di per-pustakaan masih belum menjadi kebutuhan dasardalam memperoleh informasi atau pendidikan.

"Mahasiswa hanya berkunjung ke PerpustakaanBatu Api ini ketika mereka mendapat tugas daridosen. Makanya, ada salah satu koleksi buku yangtiap tahun pasti dipinjam karena dosennya selalumenyuruh meresensi buku itu tiap angkatan," ujarAnton Solihin, pemilik Perpustakaan Batu Api dikawasan pendidikan Jatinangor. "Buku belum men-jadi kebutuhan dasar mahasiswa untuk memper-oleh informasi secara lebih luas. Gaya hidup mere-ka belum terbentuk seperti itu," ujarnya ironis.

Dalam rangka merayakan Hari Buku Nasionalyang jatuh pada 17 Mei, perpustakaan telah men-jadi sorotan utama dalam meningkatkan kualitasliterasi di masyarakat Indonesia. Menurut KetuaPengurus Daerah Gerakan Pemasyararakatan Mi-nat Baca Jawa Barat Periode 2010-2014 OomNurrohmah, tugas pemberdayaan literasi dimasyarakat bukan semata mutlak tugas pernerin-tah semata. Keberadaan perpustakaan di ruangpublik pun perlu disikapi bahwa keberadaan siner-gi antara kebutuhan membaca dan ruang publikuntuk membaca di perpustakaan sebagai satu halyang signifikan dalam mengembangkan gayahidup membaca buku.

"Konsep perpustakaan yang baik ketika ia me-ngenai tepat sasaran. Untuk itu, perpustakaan ke-liling ditempatkan di ruang publik. Karena perpus-takaan yang baik tak sekadar member informasi,tapi juga bisa menjadi wadah masyarakat agar pro-duktif dan menyangga ekonomi dan pendidikan,"kata Oom Nurrohmah.

Kliping Humas Unpad 2010

Page 2: OPeb B ar rpu t epustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2010/06/pikiranrakyat...18 19 20 -,2.1 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 ... pustakaan bila ada kaitannya dengan tugas kuliah ...

Plaza PalagunaSalah satu isu santer yang kencang berembus di

Bandung mengenai isu dunia pustaka, yaitu ren-cana Pemerintah Provinsi Jawa Barat yang akanmenetapkan gedung perbelanjaan Plaza PalagunaNusantara yang bertempat tepat di depan Alun-Alun Bandung, menjadi ruang terbuka hijau(RTH) yang dilengkapi dengan perpustakaanbertaraf intemasional.Usulan itu dilatarbelakangi karena ter-

bengkalainya gedung mal selama rujuh tahun ter-akhir ini. Manfaat paling penting kehadiran per-pustakaan yang berlokasi di tempat strategismacam alun-alun menjadi oase minimnya keha-diran perpustakaan umum yang memudahkan ak-ses untuk publik. Selama ini, perpustakaan yangbertebaran di Bandong hanya sebatas akses milikuniversitas yang spesifik sesuai dengan bidangkeilmuan di kampus terse butKehadiran isu ini pun diapresiasi oleh

masyarakat Kota Bandung. Salah satunya denganakun grup Facebook "Satu jura Dukungan Palagu-na jadi RTH dan Perpustakaan". Kehadiran per-pustakaan di ruang publik strategis di alun-alunmemang selain diharapkan meningkatkan budayaliterasi, juga di sisi lain menjadi katalis pen-ingkatan ruang publik karena dikelilingi pelbagaisektor, misalnya kawasan perdagangan, perkan-toran, dan Masjid Raya. Salah satu pain pen- .tingnya ketika rencana terealisasi, yaitu denganmembentuk satu kawasan rekreasi pustaka, per-pustakaan yang dilengkapi dengan pelbagai modeledutainment."Mubazir kalau Gedung Palaguna terbengkalai

begitu saja. Konsep lebih tepat kalau dibuatsemacam wisata edukasi atau membuat perpus-takaan dengan semacam rekreasi pustaka yangmenggabungkan dengan nilai-nilai gaya hidup se-hingga perpustakaan tidak terlihat kaku dan'menyeramkan' di mata masyarakat," ujar OomNurrohrnah, "Penyelenggaraannya juga mestitidak kaku, dipadukan dengan kafe, mungkin,"ucapnya menjelaskan.RekreasiMenurut Oom, sangat menarik mencermati

pengembangan perpustakaan bila dilengkapi de-ngan gaya hid up. Dunia literasi pun diharapkanbisa lebih berkembang karena semakin dekat de-ngan masyarakat. "Pada intinya, perpustakaanhams dibuat menjadi lebih dekat denganmasyarakat. Apalagi, masyarakat Indonesia sangatsenang dengan konotasi 'rekreasi', apalagi kalaudipadukan dengan kata edukasi," tutur Oom.Hal senada sesuai dengan perkembangan per-

pustakaan-perpustakaan alternatif yang tersebar diBandung. [ika menyebut nama, Rumah Bukuyang berada di daerah Hegarmanah dan Perpus-takaan Batu Api di Jatinangor, mencobamendekatkan perpustakaan menjadi semacamrekreasi pustaka yang keri.tal dengan nilai-nilaigaya hidup. Tak hanya membaca buku, tetapidikombinasikan dengan musik atau pemutaranfilm, misalnya."Anak-anak zaman sekarang memang kental

dengan nilai gaya hidupnya. Untuk itu, perpus-takaan jangan dibuat seram," tutur Budi Warsito,pengelola perpustakaan Rumah Buku.Menurut dia, perpustakaan terutama perpus-

takaan formal seperti perpustakaan umum dankampus kental dengan stereotip angker dan mern-bosankan. Kehadiran perpustakaan Rumah Bukuhadir untuk membongkar stereotip angker danseram itu dengan menyajikan nuansa yang m-mahan, nyaman, dan dilengkapi dengan perpus-takaan musik dan film serta ruangan bioskopmini.Perpustakaan pun jika bisa menjadi ~ahana

rekreasi edukasi, ia boleh mengklaim tidak berna-sib seperti tokek. la boleh bersinergi membentuksuatu gaya hidup baru."Agar budaya literasi dan perpustakaan tidak

hilang, diperlukan suatu gerakan mengakar diseluruh elemen masyarakat, dalam artian semuakompanen mesti bergerak. Perlu satu pemahamandan persepsi kalau perlu membaca bisa jadi gayahidup. Mahasiswa atau remaja harus merasa kerendan bangga setelah membaca buku yang edukatifdan berkunjung ke perpustakaan," ucap OomNurrohmah, berharap. (Idhar Resmadi, maha-siswa Unpad)***