Nyeri Tenggorok

30
Nyeri tenggorok (Odinofagia) Odinofagia atau nyeri tenggorok merupakan gejala yang sering dikeluhkan akibat adanya kelainan atau peradangan di daerah nasofaring, orofaring dan hipofaring (laringofaring). Faring adalah suatu kantong fibromuskular yang bentuknya seperti corong, yang besar di bagian atas dan sempit di bagian bawah. Unsur-unsur faring meliputi mukosa, palut lendir dan otot. Mukosa Bentuk mukosa laring bervariasi, tergantung pada letaknya. Pada nasofaring karena fungsinya untuk bernapas maka mukosanya bersilia, sedang epitelnya torak berlapis dengan sel goblet. Di bagian bawahnya, yaitu orofaring dan laringofaring, karena fungsinya untuk saluran cerna, epitelnya gepeng berlapis dan tidak bersilia. Paut Lendir Daerah nasofaring dilalui oleh udara penapasan yang diisap melalui hidung. Di bagian atas, nasofaring ditutupi

description

referat nyeri tenggorok

Transcript of Nyeri Tenggorok

Nyeri tenggorok (Odinofagia)

Odinofagia atau nyeri tenggorok merupakan gejala yang sering dikeluhkan akibat

adanya kelainan atau peradangan di daerah nasofaring, orofaring dan hipofaring

(laringofaring). Faring adalah suatu kantong fibromuskular yang bentuknya seperti corong,

yang besar di bagian atas dan sempit di bagian bawah. Unsur-unsur faring meliputi mukosa,

palut lendir dan otot.

Mukosa

Bentuk mukosa laring bervariasi, tergantung pada letaknya. Pada nasofaring karena

fungsinya untuk bernapas maka mukosanya bersilia, sedang epitelnya torak berlapis dengan

sel goblet. Di bagian bawahnya, yaitu orofaring dan laringofaring, karena fungsinya untuk

saluran cerna, epitelnya gepeng berlapis dan tidak bersilia.

Paut Lendir

Daerah nasofaring dilalui oleh udara penapasan yang diisap melalui hidung. Di bagian

atas, nasofaring ditutupi oleh paut lendir yang terletak di atas silia dan bergerak sesuai

dengan arah gerak silia ke belakang.palut lendir berfungsi menangkap partikel kotoran yang

terbawa udara dan palut lendir mengandung lyzozyme yang penting untuk proteksi.

Otot

Otot faring tersusun dalam lapisan sirkular dan memanjang. Otot-otot sirkular terdiir

dari m.konstriktor faring superior, media dan inferior. Otot –otot ini berada dibagian luar.

Otot-otot ini berbentuk kipas dengan tiap bagian bawahnya bertemu satu sama lain. Di

sebelah depan,otot-otot ini bertemu satu sama lain pada jaringan ikat yang disebut rafe faring.

Otot-otot longitudinal adalah m.stilofaring dan m.palatofaring. letaknya ada di sebelah dalam.

Perdarahan

Faring mendapat darah dari beberapa sumber dan kadang-kadang tidak beraturan.

Yang utama berasal dari cabang a.karotis eksterna. Serta cabang dari a.maksila interna yakni

cabang palatina superior.

Persarafan

Persarafan motorik dan sensorik daerah faring berasal dari pleksus faring yang

ekstensif. Pleksus ini dibentuk oleh cabang faring dari n.vagus, n.glosofaring dan serabut

simpatis.

Berdasarkan letaknya faring dibagi atas:

1. Nasofaring

batas nasofaring dibagian atas adalah dasar tengkorak, dibagian bawah adalah

palatum mole, ke depan adalah rongga hidung sedangkan ke belakang adalah vertebra

servikal.

2. Orofaring

Orofaring disebut juga mesofaring, dengan batas atasnya adalah palatum mole, batas

bawahnya adalah tepi atas epiglois, ke depan adalah rongga mulut dan ke belakang

adalah vertebra servikal.

3. Laringofaring (Hipofarinjg)

Batas laringofaring di sebelah superior adalah tepi atas epiglotis, batas anteriornya

adalah laring, batas inferiornya adalah esofagus dan batas posteriornya adalah

vertebra servikal.

Ruang Faringal

Ada dua ruang yang berhubungan dengan faring dan mempunyai arti penting secara

klinik, yaitu ruang retrofaring dan ruang parafaring.

Fungsi Faring

Fungsi faring yang terutama adlah untul respirasi, pada waktu menelan, resonansi

suara dan artikulasi.

Faringitis

Faringitis merupakan peradangan dinding faring yang dapat disebabkan oleh virus (40-

60%). Bakteri (5-40%). Alergi, trauma, toksin dan lain-lain. Virus dan bakteri melakukan

invasi ke faring dan menyebabkan inflamasi lokal.

1. Faringitis akut

a. Faringitis viral

Rinovirus menimbulkan gejala rinitis dn beberapa hari kemudian akan menimbulkan

faringitis. Gejala dan tandanya adalah demam disertai rinorea, mual, nyeri tenggorok, sulit

menelan. Pada pemeriksaan tampak faring dan tonsil hiperemis. Virus influenza,

coxachievirus dan cytomegalovirus tidak menghasilkan eksudat. Adenovirus selain

menghasilkan gejala faringitis juga menimbulkan konjungtivitis pada anak. Epstein Barr

Virus menyebabkan faringitis beserta eksudat pada faring. Terdapat pembesaran kelenjar

limfa diseluruh tubuh terutama retroservikal dan hepatosplenomegali. Faringitis oleh HIV-1

menimbulkan keluhan nyeri tenggorok, nyeri menelan, mual dan demam. Pada pemeriksaan

tampak faring hiperemis, terdapat eksudat, limfadenopati akut pada leher dan pasien tampak

lemah.

Terapi yang diberikan adalah istirahat dan minum yang cukup. Kumur dengan air

hangat. Analgetika jika perlu. Antivirus metisoprinol diberikan dpada infeksi herpes simpleks

dengan dosis 660-100 mg/kgBB dibagi dalam 4-6 kali pemberian per hari pada orang dewasa

dan pada anak < 5 tahun diberikan 50 mg/kgBB dibagi dalam 4-6 kali pemberian per hari.

b. Faringitis bakterial

Infeksi grup A Steptokokus beta hemolitikus merupakan penyebab faringitis pada

dewasa (15%) dan anak (30%). Gejala dan tandanya adalah nyeri kepala hebat, muntah,

kadang-kadang disertai demam dengan suhu tinggi dan batuk. Pada pemeriksaan tonsil

membesar, faring dan tonsil hiperemis dan terdapat eksudat pada permukaannya. Timbul

petechiae pada palatum dan faring beberapa hari kemudian.kelenjar limfa leher anterior

membesar, kenyal dan nyeri pada penekanan.

Terapinya adalah pemberian antibiotik, kortikosteroid, analgetika dan kumur dengan

air hangat atau antiseptik. Antibiotik yang diberikan bila diduga penyebabnya adalah grup A

streptokokus beta hemolitikus. Bisa berupa penicillin G banzatin, amoksisilin atau

eritromisin.

c. Faringitis Fungal

Candida dapat tumbuh di mukosa mulut dan faring. Gejala dan tandanya adalah keluhan

nyeri tenggorok dan nyeri menelan. Pada pemeriksaan tampak plak putih di orofaring dan

mukosa faring lainnya hiperemis. Jamur ini bisa dibiakkan di agar Saboraud dextrosa. Terapi

dengan nystatin 100.000-400.000 IU 2 kali sehari. Analgetika juga bisa diberikan untuk

mengurangi nyeri.

2. Faringitis Kronik

Terdapat dua bentuk yaitu faringitis kronik hiperplastik dan faringitis kronik atrofi. Faktor

presdiposisinya adalah rinitis kronik, sinusitis, iritasi kronik oleh rokok dan alkohol, inhalasi

uap yang merangsang mukosa faring dan debu. Penyebab lainnya adalah pasien yang

bernapas lewat mulut karena hidung tersumbat.

a. Faringitis kronik hiperplastik

Pada faringitis kronik hiperplastik terjadi perubahan mukosa dinding posterior faring.

Tampak kelenjar limfa dibawah mukosa faring dan lateral band hiperplasi. Pada

pemeriksaan tampak mukosa dinding posterior tidak rata dan bergranular. Gejala

yang timbul adalah tenggorok kering dan gatal hingga akhirnya batuk berserak. Terapi

yang diberikan adalah dengan kaustik faring dengan menggunakan zat kimia argenti

atau dengan listrik.

b. Faringitis kronik atrofi

Faringitis kronika trofi sering timbul bersamaan dengan rinitis atrofi. Pada rinitis

atrofi, udara napas tidak diatur suhu dan kelembabannya sehingga menimbulkas

rangsangan dan infeksi pada faring. Gejala dan tanda yang timbul adalah tenggorokan

kering dan tebal serta berbau. Pada pemeriksaan tampak mukosa faring ditutupi oleh

lendir yang kental dan bila diangkat tampak mukosa kering. Terapi ditujukan untku

rinitis atrofi dan untuk faringitis atrofinya ditambahkan obat kumur dan menjaga

kebersihan mulut.

3. Faringitis spesifik

a. Faringitis luetika

Treponema palidum dapat menimbulkan infeksi di daerah faring seperti juga

penyakit lues di organ lain. Gambarannya tergantung stadium penyakitnya.

Stadium primer

Kelainan pada stadium primer terdapat pada lidah, palatum mole, tonsil dan dinding

posterior faring berbentuk bercak keputihan. Bila infeksi terus berlangsung maka

timbul ulkus pada daerah faring seperti ulkus pada genitalia yaitu tidak nyeri. Juga

didapatkan pembesaran kelenjar mandibula yang tidak nyeri tekan.

Stadium sekunder

Stadium ini jarang ditemukan. Terdapat eritema pada dinding faring menajlar ke arah

laring.

Stadium tertier

Pada stadium ini terdapat guma. Predileksinya pada tonsil dan palatum. Jarang pada

dinding posterior faring. Guma pada dinding posterior faring dapat meluas ke

vertebra servikal dan bila pecah menyebabkan kematian. Guma yang terbentuk pada

palatum mole, bila sembuh akan terbentuk jaringan parut yang menimbulkan

gangguan fungsi secara permanen.

Diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan serologik. Terapi penisilin dalam dosis

tinggi merupakan obat pilihan utama.

b. Faringitis tuberkulosis

Faringitis tuberkulosis merupakan proses sekunder dari TB paru. Pada infeksi

kuman tahan asam jenis bovinum dapat timbul tuberkulosis faring primer. Cara

infeksi eksogen yaitu kontak dengan sputum yang mengandung kuman atau inhalasi

melalui udara. Cara infeksi endogen yaitu penyebaran melalui darah pada TB

miliaris. Gejala tandanya adalah keadaan umum pasien buruk karena anoreksi dan

odinofagia. Nyeri hebat di tenggorok, nyeri telinga atau otalgia serta pembesaran

kelenjar limfa servikal.

Diagnosis diperlukan pemeriksaan sputim BTA, foto toraks untuk melihat TB

paru dan biopsi jaringan untuk menyingkirkan proses keganasan dan mencari BTA di

jaringan. Terapi sesuai TB paru (OAT).

Tonsilitis

Pengertian

Tonsilitis merupakan peradangan pada tonsil yang disebabkan oleh bakteri atau kuman

streptococcusi beta hemolyticus, streptococcus viridans dan streptococcus pyogenes dapat

juga disebabkan oleh virus.

Etiologi

Disebabkan oleh kuman streptococcus beta hemolyticus, streptococcus viridans dan

streptococcus pyogenes yang menjadi penyebab terbanyak dapat juga disebabkan oleh virus.

Faktor predisposis adanya rangsangan kronik (rokok, makanan), pengaruh cuaca, pengobatan

radang akut yang tidak adekuat dan higiene, mulut yang buruk.

Patofisiologi

Penyebab terserang tonsilitis akut adalah streptokokus beta hemolitikus grup A. Bakteri lain

yang juga dapat menyebabkan tonsilitis akut adalah Haemophilus influenza dan bakteri dari

golongan pneumokokus dan stafilokokus. Virus juga kadang – kadang ditemukan sebagai

penyebab tonsilitis akut.

1.Pada Tonsilitis Akut

Penularan terjadi melalui droplet dimana kuman menginfiltrasi lapisan Epitel kemudian bila

Epitel ini terkikis maka jaringan Umfold superkistal bereaksi dimana terjadi pembendungan

radang dengan infiltrasi leukosit polimorfo nuklear.

2.Pada Tonsilitif Kronik

Terjadi karena proses radang berulang maka Epitel mukosa dan jaringan limpold terkikis,

sehingga pada proses penyembuhan jaringan limpold, diganti oleh jaringan parut. Jaringan ini

akan mengerut sehingga ruang antara kelompok melebar (kriptus) yang akan di isi oleh

detritus proses ini meluas hingga menembus kapsul dan akhirnya timbul purlengtan dengan

jaringan sekitar fosa tonsilaris.

Jadi tonsil meradang dan membengkak, terdapat bercak abu – abu atau kekuningan pada

permukaannya, dan jika berkumpul maka terbentuklah membran. Bercak – bercak tersebut

sesungguhnya adalah penumpukan leukosit, sel epitel yang mati, juga kuman – kuman baik

yang hidup maupun yang sudah mati.

Manisfestasi Klinis

Keluhan pasien biasanya berupa nyeri tenggorokan, sakit menelan, dan kadang – kadang

pasien tidak mau minum atau makan lewat mulut. Penderita tampak loyo dan mengeluh sakit

pada otot dan persendian. Biasanya disertai demam tinggi dan napas yang berbau.

Komplikasi

• Otitis media akut.

• Abses parafaring.

• Abses peritonsil.

• Bronkitis,

• Nefritis akut, artritis, miokarditis.

• Dermatitis.

• Pruritis.

• Furunkulosis.

Pemeriksaan Penunjang

• Kultur dan uji resistensi bila perlu.

• Kultur dan uji resistensi kuman dari sediaan apus tonsil.

Penatalaksanaan Medis

Sebaiknya pasien tirah baring. Cairan harus diberikan dalam jumlah yang cukup, serta makan

– makanan yang berisi namun tidak terlalu padat dan merangsang tenggorokan. Analgetik

diberikan untuk menurunkan demam dan mengurangi sakit kepala. Di pasaran banyak

beredar analgetik (parasetamol) yang sudah dikombinasikan dengan kofein, yang berfungsi

untuk menyegarkan badan.

Jika penyebab tonsilitis adalah bakteri maka antibiotik harus diberikan. Obat pilihan adalah

penisilin. Kadang – kadang juga digunakan eritromisin. Idealnya, jenis antibiotik yang

diberikan sesuai dengan hasil biakan. Antibiotik diberikan antara 5 sampai 10 hari.

Jika melalui biakan diketahui bahwa sumber infeksi adalah Streptokokus beta hemolitkus

grup A, terapi antibiotik harus digenapkan 10 hari untuk mencegah kemungkinan komplikasi

nefritis dan penyakit jantung rematik. Kadang – kadang dibutuhkan suntikan benzatin

penisilin 1,2 juta unit intramuskuler jika diperkirakan pengobatan orang tidak adekuat.

• Terapi obat lokal untuk hegiene mulut dengan obat kumur atau obat isap.

• Antibiotik golongan penisilin atau sulfonamida selama 5 hari.

• Antipiretik.

• Obat kumur atau obat isap dengan desinfektan.

• Bila alergi pada penisilin dapat diberikan eritromisin atau klindamigin.

TONSILITIS KRONIS

Etiologi

Seperti tonsilitis akut

Anamnesis

- Ringan à tanpa keluhan sakit tenggorok

- Hebat à eksaserbasi akut

- Rasa ada benda asing

- bau mulut

Pemeriksaan

Gambaran klinis bervariasi tergentung bentuk infeksi

- Tonsil hipertropi: tonsil membesar, jaringan parut (+), kripte melebar & eksudat purulen

diantara kripte

- Tonsil atropi : tonsil kecil membentuk lekukan dg tepi hiperemis

- Sekret purulen tipis

- Didapatkan pembesaran kelenjar submandibula tanpa nyeri tekan

- Ukuran jaringan tonsil tidak mempunyai hubungan dg infeksi kronis / berulang

Komplikasi

seperti tonsilitis akut

Terapi

tonsilektomi

Indikasi Mutlak

1. Corpulmonal karena obstruksi jalan nafas menahun

2. Hipertropi tonsil (adenoid) dg sindroma sleep apneu

3. Hipertropi à gangguan makan dg penurunan berat badan yg cepat

4. Biopsi karena curiga keganasan

5. Post abses peritonsiler yg berulang atau abses yg meluas ke jaringan sekitar

Indikasi Relatif

1. Serangan berulang (4-5x /th) walau pemberian terapi sudah adekuat

2. Tonsilitis dg karier a.l : difteri, strep B hemolitikus

3. Hiperplasia tonsil & obstruksi fungsional Hiperplasia & obstruksi yg menetap setelah

infeksi mononukleosis

4. Riwayat demam rematik jantung yg berhubungan dg tonsilitis yg berulang

5. Tonsilitis kronis menetap à respon penatalaksanaan medis tidak berhasil

6. Hipertropi tonsil dan adenoid

7. Tonsilitis kronis yg berhubungan dg adenopatia servikal persisten

ADENOID HIPERTROPI

Keradangan berulang / iritasi pada adenoid akibat a/l : rinitis kronis, sinusitis kronis

à post nasal drip

Gejala

- Obstruksi nasi shg berakibat : Rinolalia oklusa

- adenoid face

- Nafsu makan menurun

- Sering pilek

- Sering sakit kepala

- Pendengaran berkurang

- Batuk yg sukar sembuh

- Aproseksia nasalis (sukar konsentrasi)

- Rinoskopi anterior : palatum mole penomen (-) / terbatas

Terapi

Adenoidektomi

Indikasi Adenoidektomi

- Obstruksi jalan nafas kronis Nasofaring purulen kronis walaupun dg terapi adekuat

- Otitis media serosa

- Otitis media supuratifa akut yg rekuren à penatalaksanaan medis (-)

- Otitis media supuratifa kronik

- Curiga keganasan nasofaring

Abses Peritonsiler

Abses peritonsiler dapat terjadi pada umur 10-60 tahun, namun paling sering terjadi

pada umur 20-40 tahun. Pada anak-anak jarang terjadi kecuali pada mereka yang menurun

sistem immunnya, tapi infeksi bisa menyebabkan obstruksi jalan napas yang signifikan pada

anak-anak. Infeksi ini memiliki proporsi yang sama antara laki-laki dan perempuan. Bukti

menunjukkan bahwa tonsilitis kronik atau percobaan multipel penggunaan antibiotik oral

untuk tonsilitis akut merupakan predisposisi pada orang untuk berkembangnya abses

peritonsiler. Di Amerika insiden tersebut kadang-kadang berkisar 30 kasus per 100.000 orang

per tahun, dipertimbangkan hampir 45.000 kasus setiap tahun.

Abses leher dalam terbentuk dalam ruang potensial diantara fasia leher dalam sebagai

akibat dari penjalaran infeksi dari berbagai sumber, seperti gigi, mulut, tenggorok, sinus

paranasal, telinga tengah dan leher tergantung ruang mana yang terlibat. Gejala dan tanda

klinik dapat berupa nyeri dan pembengkakan. Abses peritonsiler (Quinsy) merupakan salah

satu dari Abses leher dalam dimana selain itu abses leher dalam dapat juga abses retrofaring,

abses parafaring, abses submanidibula dan angina ludovici (Ludwig Angina).

Abses peritonsiler adalah penyakit infeksi yang paling sering terjadi pada bagian

kepala dan leher. Gabungan dari bakteri aerobic dan anaerobic di daerah peritonsilar. Tempat

yang bisa berpotensi terjadinya abses adalah adalah didaerah pillar tonsil anteroposterior,

fossa piriform inferior, dan palatum superior.

Abses peritonsil terbentuk oleh karena penyebaran organisme bakteri penginfeksi

tenggorokan kesalah satu ruangan aereolar yang longgar disekitar faring menyebabkan

pembentukan abses, dimana infeksi telah menembus kapsul tonsil tetapi tetap dalam batas

otot konstriktor faring.

Peritonsillar abscess (PTA) merupakan kumpulan/timbunan (accumulation) pus (nanah) yang

terlokalisir/terbatas (localized) pada jaringan peritonsillar yang terbentuk sebagai hasil dari

suppurative tonsillitis.

ETIOLOGI

Abses peritonsil terjadi sebagai akibat komplikasi tonsilitis akut atau infeksi yang

bersumber dari kelenjar mucus Weber di kutub atas tonsil. Biasanya kuman penyebabnya

sama dengan kuman penyebab tonsilitis. Biasanya unilateral dan lebih sering pada anak-anak

yang lebih tua dan dewasa muda.

Abses peritonsiler disebabkan oleh organisme yang bersifat aerob maupun yang

bersifat anaerob. Organisme aerob yang paling sering menyebabkan abses peritonsiler adalah

Streptococcus pyogenes (Group A Beta-hemolitik streptoccus), Staphylococcus aureus, dan

Haemophilus influenzae. Sedangkan organisme anaerob yang berperan adalahFusobacterium.

Prevotella, Porphyromonas, Fusobacterium,dan Peptostreptococcus spp. Untuk kebanyakan

abses peritonsiler diduga disebabkan karena kombinasi antara organisme aerobik dan

anaerobik.

PATOFISIOLOGI

Patofisiologi PTA belum diketahui sepenuhnya. Namun, teori yang paling banyak

diterima adalah kemajuan (progression) episode tonsillitis eksudatif pertama menjadi

peritonsillitis dan kemudian terjadi pembentukan abses yang sebenarnya (frank abscess

formation).

Daerah superior dan lateral fosa tonsilaris merupakan jaringan ikat longgar, oleh

karena itu infiltrasi supurasi ke ruang potensial peritonsil tersering menempati daerah ini,

sehingga tampak palatum mole membengkak. Abses peritonsil juga dapat terbentuk di bagian

inferior, namun jarang.

Pada stadium permulaan, (stadium infiltrat), selain pembengkakan tampak juga

permukaan yang hiperemis. Bila proses berlanjut, daerah tersebut lebih lunak dan berwarna

kekuning-kuningan. Tonsil terdorong ke tengah, depan, dan bawah, uvula bengkak dan

terdorong ke sisi kontra lateral.

Bila proses terus berlanjut, peradangan jaringan di sekitarnya akan menyebabkan

iritasi pada m.pterigoid interna, sehingga timbul trismus. Abses dapat pecah spontan,

sehingga dapat terjadi aspirasi ke paru.

Selain itu, PTA terbukti dapat timbul de novo tanpa ada riwayat tonsillitis kronis atau

berulang (recurrent) sebelumnya. PTA dapat juga merupakan suatu gambaran (presentation)

dari infeksi virus Epstein-Barr (yaitu: mononucleosis).

GEJALA KLINIS DAN DIAGNOSIS

Selain gejala dan tanda tonsilitis akut, terdapat juga odinofagia (nyeri menelan) yang

hebat, biasanya pada sisi yang sama juga dan nyeri telinga (otalgia), muntah (regurgitasi),

mulut berbau (foetor ex ore), banyak ludah (hipersalivasi), suara sengau (rinolalia), dan

kadang-kadang sukar membuka mulut (trismus), serta pembengkakan kelenjar submandibula

dengan nyeri tekan.

Bila ada nyeri di leher (neck pain) dan atau terbatasnya gerakan leher (limitation in

neck mobility), maka ini dikarenakan lymphadenopathy dan peradangan otot tengkuk

(cervical muscle inflammation).

Prosedur diagnosis dengan melakukan Aspirasi jarum (needle aspiration). Tempat

aspiration dibius / dianestesi menggunakan lidocaine dengan epinephrine dan jarum besar

(berukuran 16–18) yang biasa menempel pada syringe berukuran 10cc. Aspirasi material

yang bernanah (purulent) merupakan tanda khas, dan material dapat dikirim untuk dibiakkan.

KOMPLIKASI

Komplikasi yang mungkin terjadi ialah:

1. Abses pecah spontan, mengakibatkan perdarahan, aspirasi paru, atau

piema.

2. Penjalaran infeksi dan abses ke daerah parafaring, sehingga terjadi abses parafaring.

Kemudian dapat terjadi penjalaran ke mediastinum menimbulkan mediastinitis.

3. Bila terjadi penjalaran ke daerah intracranial, dapat mengakibatkan

thrombus sinus kavernosus, meningitis, dan abses otak.

TERAPI

Pada stadium infiltrasi, diberikan antibiotika dosis tinggi dan obat simtomatik. Juga

perlu kumur-kumur dengan air hangat dan kompres dingin pada leher. Antibiotik yang

diberikan ialah penisilin 600.000-1.200.000 unit atau ampisilin/amoksisilin 3-4 x 250-500 mg

atau sefalosporin 3-4 x 250-500 mg, metronidazol 3-4 x 250-500 mg.

Bila telah terbentuk abses, dilakukan pungsi pada daerah abses, kemudian diinsisi untuk

mengeluarkan nanah. Tempat insisi ialah di daerah yang paling menonjol dan lunak, atau

pada pertengahan garis yang menghubungkan dasar uvula dengan geraham atas terakhir.

Intraoral incision dan drainase dilakukan dengan mengiris mukosa overlying abses, biasanya

diletakkan di lipatan supratonsillar. Drainase atau aspirate yang sukses menyebabkan

perbaikan segera gejala-gejala pasien. Bila terdapat trismus, maka untuk mengatasi nyeri,

diberikan analgesia lokal di ganglion sfenopalatum.

Kemudian pasien dianjurkan untuk operasi tonsilektomi “a” chaud. Bila tonsilektomi

dilakukan 3-4 hari setelah drainase abses disebut tonsilektomi “a” tiede, dan bila tonsilektomi

4-6 minggu sesudah drainase abses disebut tonsilektomi “a” froid. Pada umumnya

tonsilektomi dilakukan sesudah infeksi tenang, yaitu 2-3 minggu sesudah drainase abses.

Tonsilektomi merupakan indikasi absolut pada orang yang menderita abses

peritonsilaris berulang atau abses yang meluas pada ruang jaringan sekitarnya. Abses

peritonsil mempunyai kecenderungan besar untuk kambuh. Sampai saat ini belum ada

kesepakatan kapan tonsilektomi dilakukan pada abses peritonsil. Sebagian penulis

menganjurkan tonsilektomi 6–8 minggu kemudian mengingat kemungkinan terjadi

perdarahan atau sepsis, sedangkan sebagian lagi menganjurkan tonsilektomi segera.

Penggunaan steroids masih kontroversial. Penelitian terbaru yang dilakukan Ozbek

mengungkapkan bahwa penambahan dosis tunggal intravenous dexamethasone pada

antibiotik parenteral telah terbukti secara signifikan mengurangi waktu opname di rumah

sakit (hours hospitalized), nyeri tenggorokan (throat pain), demam, dan trismus dibandingkan

dengan kelompok yang hanya diberi antibiotik parenteral. Abses retrofaring adalah suatu

peradangan yang disertai pembentukan pus pada daerah retrofaring. Keadaan ini merupakan

salah satu infeksi pada leher bagian dalam ( deep neck infection ). Pada umumnya sumber

infeksi pada ruang retrofaring berasal dari proses infeksi di hidung, adenoid, nasofaring dan

sinus paranasal, yang menyebar ke kelenjar limfe retrofaring. Oleh karena kelenjar ini

biasanya atrofi padaumur 4 – 5 tahun, maka sebagian besar abses retrofaring terjadi pada

anak-anak dan relatif jarang pada orang dewasa.

Abses Retrofaring

ETIOLOGI

Secara umum abses retrofaring terbagi 2 jenis yaitu :

1. Akut.

Sering terjadi pada anak-anak berumur dibawah 4 – 5 tahun. Keadaan ini terjadi akibat

infeksi pada saluran nafas atas seperti pada adenoid, nasofaring, rongga hidung, sinus

paranasal dan tonsil yang meluas ke kelenjar limfe retrofaring ( limfadenitis ) sehingga

menyebabkan supurasipada daerah tersebut.

Sedangkan pada orang dewasa terjadi akibat infeksi langsung oleh karena trauma akibat

penggunaan instrumen ( intubasi endotrakea, endoskopi, sewaktu adenoidektomi ) atau benda

asing.

2. Kronis.

Biasanya terjadi pada orang dewasa atau anak-anak yang lebih tua. Keadaan ini terjadi akibat

infeksi tuberkulosis ( TBC ) pada vertebra servikalis dimana pus secara langsung menyebar

melalui ligamentum longitudinal anterior. Selain itu abses dapat terjadi akibat infeksi TBC

pada kelenjar limfe retrofaring yang menyebar dari kelenjar limfe servikal. Pada banyak

kasus sering dijumpai adanya kuman aerob dan anaerob secara bersamaan. Beberapa

organisme yang dapat menyebabkan abses retrofaring adalah:

1. Kuman aerob : Streptococcus beta –hemolyticus group A ( paling sering ),

Streptococcus pneumoniae, Streptococcus non –hemolyticus, Staphylococcus aureus ,

Haemophilus sp

2. Kuman anaerob : Bacteroides sp, Veillonella, Peptostreptococcus, Fusobacteria

KEKERAPAN

Abses retrofaring jarang ditemukan dan lebih sering terjadi pada anak dibawah usia 5 tahun.

Hal ini terjadi karena pada usia tersebut ruang retrofaring masih berisi kelenjar limfe.

Penelitian selama 35 tahun terhadap anak-anak yang diterapi di Children’s Hospital, Los

Angeles dijumpai sebanyak 50% kasus berusia kurang dari 3 tahun dan 71% kasus berusia

kurang dari 6 tahun. Sedangkan di Sydney, Australia didapati sebanyak 55% kasus berusia

kurang dari 1 tahun dimana 10% diantaranya dijumpai pada periode neonatus.

GEJALA DAN TANDA KLINIS

Dari anamnesis biasanya didahului oleh infeksi saluran nafas atas. Gejala dan tanda klinis

yang sering dijumpai pada anak :

1. demam

2. sukar dan nyeri menelan

3. suara sengau

4. dinding posterior faring membengkak ( bulging ) dan hiperemis pada satu sisi.

5. pada palpasi teraba massa yang lunak, berfluktuasi dan nyeri tekan

6. pembesaran kelenjar limfe leher ( biasanya unilateral ).

Pada keadaan lanjut keadaan umum anak menjadi lebih buruk, dan bisa

dijumpai adanya :

7. kekakuan otot leher ( neck stiffness ) disertai nyeri pada pergerakan

8. air liur menetes ( drooling )

9. obstruksi saluran nafas seperti mengorok, stridor, dispnea

Gejala yang timbul pada orang dewasa pada umumnya tidak begitu berat bila dibandingkan

pada anak. Dari anamnesis biasanya didahului riwayat tertusuk benda asing pada dinding

posterior faring, pasca tindakan endoskopi atau adanya riwayat batuk kronis. Gejala yang

dapat dijumpai adalah :

1. demam

2. sukar dan nyeri menelan

3. rasa sakit di leher ( neck pain )

4. keterbatasan gerak leher

5. dispnea

Pada bentuk kronis, perjalanan penyakit lambat dan tidak begitu khas sampai terjadi

pembengkakan yang besar dan menyumbat hidung serta saluran nafas.

DIAGNOSIS BANDING

1. Adenoiditis

2. Abses peritonsil

3. Abses parafaring

4. Epiglottitis

5. Croup

6. Aneurisma arteri

7. Tonjolan korpus vertebra

DIAGNOSIS

1. Anamnesis

2. Pemeriksaan klinis

3. Laboratorium :

a. darah rutin : lekositosis

b. kultur spesimen ( hasil aspirasi )

4. Radiologis :

a. Foto jaringan lunak leher lateral

Dijumpai penebalan jaringan lunak retrofaring ( prevertebra ) :

- setinggi C2 : > 7 mm ( normal 1 - 7 mm ) pada anak-anak dan dewasa

- setinggi C6 : > 14 mm (anak-anak , N : 5 – 14 mm ) dan > 22 mm (dewasa, N : 9 – 22 mm )

Pembuatan foto dilakukan dengan posisi kepala hiperekstensi dan selama inspirasi. Kadang-

kadang dijumpai udara dalam jaringan lunak prevertebra dan erosi korpus vertebra yang

terlibat.

b. CT Scan

c. MRI

PENATALAKSANAAN

I . Mempertahankan jalan nafas yang adekuat :

- posisi pasien supine dengan leher ekstensi

- pemberian O2

- intubasi endotrakea dengan visualisasi langsung / intubasi fiber optik

- trakeostomi / krikotirotomi

II. Medikamentosa

1. Antibiotik ( parenteral )

Pemberian antibiotik secara parenteral sebaiknya diberikan secepatnya tanpa menunggu hasil

kultur pus. Antibiotik yang diberikan harus mencakup terhadap kuman aerob dan anaerob,

gram positif dan gram negatif. Dahulu diberikan kombinasi Penisilin G dan Metronidazole

sebagai terapi utama, tetapi sejak dijumpainya peningkatan kuman yang menghasilkan B –

laktamase kombinasi obat ini sudah banyak ditinggalkan. Pilihan utama adalah clindamycin

yang dapat diberikan tersendiri atau dikombinasikan dengan sefalosporin generasi kedua

( seperti cefuroxime ) atau beta – lactamase – resistant penicillin seperti ticarcillin /

clavulanate, piperacillin / tazobactam, ampicillin / sulbactam. Pemberian antibiotik biasanya

dilakukan selama lebih kurang 10 hari.

2. Simtomatis

3. Bila terdapat dehidrasi, diberikan cairan untuk memperbaiki keseimbangan

cairan elektrolit.

4. Pada infeksi Tuberkulosis diberikan obat tuberkulostatika.

III. Operatif :

a. Aspirasi pus ( needle aspiration )

b. Insisi dan drainase :

_ Pendekatan intra oral ( transoral ) : untuk abses yang

kecil dan terlokalisir.

Pasien diletakkan pada “posisi Trendelenburg”, dimana leher dalam keadaan hiperekstensi

dan kepala lebih rendah dari bahu. Insisi vertikal dilakukan pada daerah yang paling

berfluktuasi dan selanjutnya pus yang keluar harus segera diisap dengan alat penghisap untuk

menghindari aspirasi pus. Lalu insisi diperlebar dengan forsep atau klem arteri untuk

memudahkan evakuasi pus.

_ Pendekatan eksterna ( external approach ) baik secara anterior atau posterior : untuk abses

yang besar dan meluas ke arah hipofaring. Pendekatan anterior dilakukan dengan membuat

insisi secara horizontal mengikuti garis kulit setingkat krikoid atau pertengahan antara tulang

hioid dan klavikula. Kulit dan subkutis dielevasi untuk memperluas pandangan sampai

terlihat m.sternokleidomastoideus. Dilakukan insisi pada batas anterior

m.sternokleidomastoideus. Dengan menggunakan klem erteri bengkok,

m.sternokleidomastoideus dan selubung karotis disisihkan ke arah lateral. Setelah abses

terpapar dengan cunam tumpul abses dibuka dan pus dikeluarkan. Bila diperlukan insisi

dapat diperluas dan selanjutnya dipasang drain ( Penrose drain ). Pendekatan posterior dibuat

dengan melakukan insisi pada batas posterior m. sternokleidomastoideus. Kepala diputar ke

arah yang berlawanan dari abses. Selanjutnya fasia dibelakang m.sternokleidomastoideus

diatas abses dipisahkan. Dengan diseksi tumpul pus dikeluarkan dari belakang selubung

karotis.

KOMPLIKASI

Komplikasi abses retrofaring dapat terjadi akibat :

1. Massa itu sendiri : obstruksi jalan nafas

2. Ruptur abses : asfiksia, aspirasi pneumoni, abses paru

3. Penyebaran infeksi ke daerah sekitarnya :

a. inferior : edema laring , mediastinitis, pleuritis, empiema,

abses mediastinum

b. lateral : trombosis vena jugularis, ruptur arteri karotis, abses

parafaring

c. posterior : osteomielitis dan erosi kollumna spinalis

4. Infeksi itu sendiri : necrotizing fasciitis, sepsis dan kematian.

Abses Parafaring

Ruang parafaring megalamai infeksi dengan cara langsung yaitu akibat tusukan jarum

pada saat melakukan tonsilektomi dengan analgesia. Proses supurasi kelenjar limfa leher

bagian dalam, gigi, tonsil, faring, hidung, sinus paranasal, mastoid dan vertebra servikal dapat

merupakan sumber infeksi untuk terjadinya abses. Penjalaran infeksi dari ruang peritonsil,

retrofaring atau submandibula.

Gejala dan tanda yang timbul adalah trismus, indurasi atau pembengkakan di sekitar

angulus mandibula, demam tinggi dan pembengkakan dinding lateral faring sehingga

menonjol ke medial.

Diagnosis ditegakkan berdasarkan riwayat penyakit , gejala dan tanda klinik. Bila

meragukan, dapat dilakukan pemeriksaan penunjang berupa foto polos dan CT scan.

Terapi yang bisa diberikan adalah pemberian antibiotika dosis tinggi secara parenteral

terhadap kuma aerob dan anaerob. Evakuasi abses juga harus segera dilakukan bila tidak ada

perbaikan dengan antibiotika dalam 24-48 jam. Caranya melakukan insisi dari luar.

Abses Submandibula

Ruang submandibula terdiri dari ruang sublingual dan ruang submaksila. Abses dapat

terbentuk di ruang submandibula atau komponennya sebagai kelanjutan infeksi dari daerah

kepala leher.

Infeksi dapat bersumber dari gigi, dasar mulut, faring, kelenjar liur atau kelenjar limfa

submandibula. Mungkin juga sebagian kelanjutan infeksi ruang leher dalam yang lain.

Gejala dan tandanya adalah demam dan nyeri leher serta pembengkakan dibawah

mandibula dan atau dibawah lidah, mungkin berfluktuasi. Trismus sering ditemukan.

Terapi yang diberikan adalah antibiotika dosis tinggi terhadap kuman aerob dan

anaerob secara parenteral. Evakuasi abses dapat dilakukan dalam anestesi lokal untuk abses

dangkal eksplorasi dalam narkosis bila letak abses dalam dan luas.

Angina Ludovici

Angina Ludovici ialah infeksi ruang submandibula berupa selulitis dengan tanda khas

berupa pembengkakan seluruh ruang submandibula, tidak membentuk abses, sehingga keras

pada perabaan submandibula.

Etiologi

Sumber infeksi seringkali berasal dari gigi atau dasar mulut, oleh kuman aerob dan

anaerob.

Gejala dan tanda

Terdapat nyeri tenggorok dan leher, disertai pembengkakan di daerah sumbandibula,

yang tampak hiperemis dan keras pada perabaan.

Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan riwayat sakit gigi, mengorek atau mencabut gigi,

gejala dan tanda klinik.

Terapi

Sebagai terapi diberikan antiobika dengan dosis tinggi, untuk kuman aero dan

anaerob, dan diberikan secara parenteral. Selain itu dilakukan eksplorasi yang dilakukan

untuk tujuan dekompresi (mengurangi ketegangan) dan evakuasi pus (pada angina Ludovici

jarang terdapat pus) atau jaringan nekrosis. Insisi dilakukan di garis tengah secara horizontal

setinggi os hioid (3-4 jari di bawah mandibula). Perlu dilakukan pengobatan terhadap sumber

infeksi (agigi), untuk mencegah kekambuhan. Pasien dirawat inap sampai infeksi reda.

DAFTAR PUSTAKA

Boies, A. 1997. Buku Ajar Penyakit THT. Ed 6. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC

Irish, J, et al. 2000. Otolaryngology. MCQE

Lalwani, AK. 2007. Current Diagnosis and Treatment Otolaringology Head and Neck

Surgery. New York: Departement of Otolaringology

Soepardi, EA, dkk. 2007. Buku Ajar Telinga Hidung Tenggorok Kepala& Leher. Ed 6.

Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.