Nyeri Tenggorok
-
Upload
yohanes-silih -
Category
Documents
-
view
85 -
download
2
description
Transcript of Nyeri Tenggorok
Nyeri tenggorok (Odinofagia)
Odinofagia atau nyeri tenggorok merupakan gejala yang sering dikeluhkan akibat
adanya kelainan atau peradangan di daerah nasofaring, orofaring dan hipofaring
(laringofaring). Faring adalah suatu kantong fibromuskular yang bentuknya seperti corong,
yang besar di bagian atas dan sempit di bagian bawah. Unsur-unsur faring meliputi mukosa,
palut lendir dan otot.
Mukosa
Bentuk mukosa laring bervariasi, tergantung pada letaknya. Pada nasofaring karena
fungsinya untuk bernapas maka mukosanya bersilia, sedang epitelnya torak berlapis dengan
sel goblet. Di bagian bawahnya, yaitu orofaring dan laringofaring, karena fungsinya untuk
saluran cerna, epitelnya gepeng berlapis dan tidak bersilia.
Paut Lendir
Daerah nasofaring dilalui oleh udara penapasan yang diisap melalui hidung. Di bagian
atas, nasofaring ditutupi oleh paut lendir yang terletak di atas silia dan bergerak sesuai
dengan arah gerak silia ke belakang.palut lendir berfungsi menangkap partikel kotoran yang
terbawa udara dan palut lendir mengandung lyzozyme yang penting untuk proteksi.
Otot
Otot faring tersusun dalam lapisan sirkular dan memanjang. Otot-otot sirkular terdiir
dari m.konstriktor faring superior, media dan inferior. Otot –otot ini berada dibagian luar.
Otot-otot ini berbentuk kipas dengan tiap bagian bawahnya bertemu satu sama lain. Di
sebelah depan,otot-otot ini bertemu satu sama lain pada jaringan ikat yang disebut rafe faring.
Otot-otot longitudinal adalah m.stilofaring dan m.palatofaring. letaknya ada di sebelah dalam.
Perdarahan
Faring mendapat darah dari beberapa sumber dan kadang-kadang tidak beraturan.
Yang utama berasal dari cabang a.karotis eksterna. Serta cabang dari a.maksila interna yakni
cabang palatina superior.
Persarafan
Persarafan motorik dan sensorik daerah faring berasal dari pleksus faring yang
ekstensif. Pleksus ini dibentuk oleh cabang faring dari n.vagus, n.glosofaring dan serabut
simpatis.
Berdasarkan letaknya faring dibagi atas:
1. Nasofaring
batas nasofaring dibagian atas adalah dasar tengkorak, dibagian bawah adalah
palatum mole, ke depan adalah rongga hidung sedangkan ke belakang adalah vertebra
servikal.
2. Orofaring
Orofaring disebut juga mesofaring, dengan batas atasnya adalah palatum mole, batas
bawahnya adalah tepi atas epiglois, ke depan adalah rongga mulut dan ke belakang
adalah vertebra servikal.
3. Laringofaring (Hipofarinjg)
Batas laringofaring di sebelah superior adalah tepi atas epiglotis, batas anteriornya
adalah laring, batas inferiornya adalah esofagus dan batas posteriornya adalah
vertebra servikal.
Ruang Faringal
Ada dua ruang yang berhubungan dengan faring dan mempunyai arti penting secara
klinik, yaitu ruang retrofaring dan ruang parafaring.
Fungsi Faring
Fungsi faring yang terutama adlah untul respirasi, pada waktu menelan, resonansi
suara dan artikulasi.
Faringitis
Faringitis merupakan peradangan dinding faring yang dapat disebabkan oleh virus (40-
60%). Bakteri (5-40%). Alergi, trauma, toksin dan lain-lain. Virus dan bakteri melakukan
invasi ke faring dan menyebabkan inflamasi lokal.
1. Faringitis akut
a. Faringitis viral
Rinovirus menimbulkan gejala rinitis dn beberapa hari kemudian akan menimbulkan
faringitis. Gejala dan tandanya adalah demam disertai rinorea, mual, nyeri tenggorok, sulit
menelan. Pada pemeriksaan tampak faring dan tonsil hiperemis. Virus influenza,
coxachievirus dan cytomegalovirus tidak menghasilkan eksudat. Adenovirus selain
menghasilkan gejala faringitis juga menimbulkan konjungtivitis pada anak. Epstein Barr
Virus menyebabkan faringitis beserta eksudat pada faring. Terdapat pembesaran kelenjar
limfa diseluruh tubuh terutama retroservikal dan hepatosplenomegali. Faringitis oleh HIV-1
menimbulkan keluhan nyeri tenggorok, nyeri menelan, mual dan demam. Pada pemeriksaan
tampak faring hiperemis, terdapat eksudat, limfadenopati akut pada leher dan pasien tampak
lemah.
Terapi yang diberikan adalah istirahat dan minum yang cukup. Kumur dengan air
hangat. Analgetika jika perlu. Antivirus metisoprinol diberikan dpada infeksi herpes simpleks
dengan dosis 660-100 mg/kgBB dibagi dalam 4-6 kali pemberian per hari pada orang dewasa
dan pada anak < 5 tahun diberikan 50 mg/kgBB dibagi dalam 4-6 kali pemberian per hari.
b. Faringitis bakterial
Infeksi grup A Steptokokus beta hemolitikus merupakan penyebab faringitis pada
dewasa (15%) dan anak (30%). Gejala dan tandanya adalah nyeri kepala hebat, muntah,
kadang-kadang disertai demam dengan suhu tinggi dan batuk. Pada pemeriksaan tonsil
membesar, faring dan tonsil hiperemis dan terdapat eksudat pada permukaannya. Timbul
petechiae pada palatum dan faring beberapa hari kemudian.kelenjar limfa leher anterior
membesar, kenyal dan nyeri pada penekanan.
Terapinya adalah pemberian antibiotik, kortikosteroid, analgetika dan kumur dengan
air hangat atau antiseptik. Antibiotik yang diberikan bila diduga penyebabnya adalah grup A
streptokokus beta hemolitikus. Bisa berupa penicillin G banzatin, amoksisilin atau
eritromisin.
c. Faringitis Fungal
Candida dapat tumbuh di mukosa mulut dan faring. Gejala dan tandanya adalah keluhan
nyeri tenggorok dan nyeri menelan. Pada pemeriksaan tampak plak putih di orofaring dan
mukosa faring lainnya hiperemis. Jamur ini bisa dibiakkan di agar Saboraud dextrosa. Terapi
dengan nystatin 100.000-400.000 IU 2 kali sehari. Analgetika juga bisa diberikan untuk
mengurangi nyeri.
2. Faringitis Kronik
Terdapat dua bentuk yaitu faringitis kronik hiperplastik dan faringitis kronik atrofi. Faktor
presdiposisinya adalah rinitis kronik, sinusitis, iritasi kronik oleh rokok dan alkohol, inhalasi
uap yang merangsang mukosa faring dan debu. Penyebab lainnya adalah pasien yang
bernapas lewat mulut karena hidung tersumbat.
a. Faringitis kronik hiperplastik
Pada faringitis kronik hiperplastik terjadi perubahan mukosa dinding posterior faring.
Tampak kelenjar limfa dibawah mukosa faring dan lateral band hiperplasi. Pada
pemeriksaan tampak mukosa dinding posterior tidak rata dan bergranular. Gejala
yang timbul adalah tenggorok kering dan gatal hingga akhirnya batuk berserak. Terapi
yang diberikan adalah dengan kaustik faring dengan menggunakan zat kimia argenti
atau dengan listrik.
b. Faringitis kronik atrofi
Faringitis kronika trofi sering timbul bersamaan dengan rinitis atrofi. Pada rinitis
atrofi, udara napas tidak diatur suhu dan kelembabannya sehingga menimbulkas
rangsangan dan infeksi pada faring. Gejala dan tanda yang timbul adalah tenggorokan
kering dan tebal serta berbau. Pada pemeriksaan tampak mukosa faring ditutupi oleh
lendir yang kental dan bila diangkat tampak mukosa kering. Terapi ditujukan untku
rinitis atrofi dan untuk faringitis atrofinya ditambahkan obat kumur dan menjaga
kebersihan mulut.
3. Faringitis spesifik
a. Faringitis luetika
Treponema palidum dapat menimbulkan infeksi di daerah faring seperti juga
penyakit lues di organ lain. Gambarannya tergantung stadium penyakitnya.
Stadium primer
Kelainan pada stadium primer terdapat pada lidah, palatum mole, tonsil dan dinding
posterior faring berbentuk bercak keputihan. Bila infeksi terus berlangsung maka
timbul ulkus pada daerah faring seperti ulkus pada genitalia yaitu tidak nyeri. Juga
didapatkan pembesaran kelenjar mandibula yang tidak nyeri tekan.
Stadium sekunder
Stadium ini jarang ditemukan. Terdapat eritema pada dinding faring menajlar ke arah
laring.
Stadium tertier
Pada stadium ini terdapat guma. Predileksinya pada tonsil dan palatum. Jarang pada
dinding posterior faring. Guma pada dinding posterior faring dapat meluas ke
vertebra servikal dan bila pecah menyebabkan kematian. Guma yang terbentuk pada
palatum mole, bila sembuh akan terbentuk jaringan parut yang menimbulkan
gangguan fungsi secara permanen.
Diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan serologik. Terapi penisilin dalam dosis
tinggi merupakan obat pilihan utama.
b. Faringitis tuberkulosis
Faringitis tuberkulosis merupakan proses sekunder dari TB paru. Pada infeksi
kuman tahan asam jenis bovinum dapat timbul tuberkulosis faring primer. Cara
infeksi eksogen yaitu kontak dengan sputum yang mengandung kuman atau inhalasi
melalui udara. Cara infeksi endogen yaitu penyebaran melalui darah pada TB
miliaris. Gejala tandanya adalah keadaan umum pasien buruk karena anoreksi dan
odinofagia. Nyeri hebat di tenggorok, nyeri telinga atau otalgia serta pembesaran
kelenjar limfa servikal.
Diagnosis diperlukan pemeriksaan sputim BTA, foto toraks untuk melihat TB
paru dan biopsi jaringan untuk menyingkirkan proses keganasan dan mencari BTA di
jaringan. Terapi sesuai TB paru (OAT).
Tonsilitis
Pengertian
Tonsilitis merupakan peradangan pada tonsil yang disebabkan oleh bakteri atau kuman
streptococcusi beta hemolyticus, streptococcus viridans dan streptococcus pyogenes dapat
juga disebabkan oleh virus.
Etiologi
Disebabkan oleh kuman streptococcus beta hemolyticus, streptococcus viridans dan
streptococcus pyogenes yang menjadi penyebab terbanyak dapat juga disebabkan oleh virus.
Faktor predisposis adanya rangsangan kronik (rokok, makanan), pengaruh cuaca, pengobatan
radang akut yang tidak adekuat dan higiene, mulut yang buruk.
Patofisiologi
Penyebab terserang tonsilitis akut adalah streptokokus beta hemolitikus grup A. Bakteri lain
yang juga dapat menyebabkan tonsilitis akut adalah Haemophilus influenza dan bakteri dari
golongan pneumokokus dan stafilokokus. Virus juga kadang – kadang ditemukan sebagai
penyebab tonsilitis akut.
1.Pada Tonsilitis Akut
Penularan terjadi melalui droplet dimana kuman menginfiltrasi lapisan Epitel kemudian bila
Epitel ini terkikis maka jaringan Umfold superkistal bereaksi dimana terjadi pembendungan
radang dengan infiltrasi leukosit polimorfo nuklear.
2.Pada Tonsilitif Kronik
Terjadi karena proses radang berulang maka Epitel mukosa dan jaringan limpold terkikis,
sehingga pada proses penyembuhan jaringan limpold, diganti oleh jaringan parut. Jaringan ini
akan mengerut sehingga ruang antara kelompok melebar (kriptus) yang akan di isi oleh
detritus proses ini meluas hingga menembus kapsul dan akhirnya timbul purlengtan dengan
jaringan sekitar fosa tonsilaris.
Jadi tonsil meradang dan membengkak, terdapat bercak abu – abu atau kekuningan pada
permukaannya, dan jika berkumpul maka terbentuklah membran. Bercak – bercak tersebut
sesungguhnya adalah penumpukan leukosit, sel epitel yang mati, juga kuman – kuman baik
yang hidup maupun yang sudah mati.
Manisfestasi Klinis
Keluhan pasien biasanya berupa nyeri tenggorokan, sakit menelan, dan kadang – kadang
pasien tidak mau minum atau makan lewat mulut. Penderita tampak loyo dan mengeluh sakit
pada otot dan persendian. Biasanya disertai demam tinggi dan napas yang berbau.
Komplikasi
• Otitis media akut.
• Abses parafaring.
• Abses peritonsil.
• Bronkitis,
• Nefritis akut, artritis, miokarditis.
• Dermatitis.
• Pruritis.
• Furunkulosis.
Pemeriksaan Penunjang
• Kultur dan uji resistensi bila perlu.
• Kultur dan uji resistensi kuman dari sediaan apus tonsil.
Penatalaksanaan Medis
Sebaiknya pasien tirah baring. Cairan harus diberikan dalam jumlah yang cukup, serta makan
– makanan yang berisi namun tidak terlalu padat dan merangsang tenggorokan. Analgetik
diberikan untuk menurunkan demam dan mengurangi sakit kepala. Di pasaran banyak
beredar analgetik (parasetamol) yang sudah dikombinasikan dengan kofein, yang berfungsi
untuk menyegarkan badan.
Jika penyebab tonsilitis adalah bakteri maka antibiotik harus diberikan. Obat pilihan adalah
penisilin. Kadang – kadang juga digunakan eritromisin. Idealnya, jenis antibiotik yang
diberikan sesuai dengan hasil biakan. Antibiotik diberikan antara 5 sampai 10 hari.
Jika melalui biakan diketahui bahwa sumber infeksi adalah Streptokokus beta hemolitkus
grup A, terapi antibiotik harus digenapkan 10 hari untuk mencegah kemungkinan komplikasi
nefritis dan penyakit jantung rematik. Kadang – kadang dibutuhkan suntikan benzatin
penisilin 1,2 juta unit intramuskuler jika diperkirakan pengobatan orang tidak adekuat.
• Terapi obat lokal untuk hegiene mulut dengan obat kumur atau obat isap.
• Antibiotik golongan penisilin atau sulfonamida selama 5 hari.
• Antipiretik.
• Obat kumur atau obat isap dengan desinfektan.
• Bila alergi pada penisilin dapat diberikan eritromisin atau klindamigin.
TONSILITIS KRONIS
Etiologi
Seperti tonsilitis akut
Anamnesis
- Ringan à tanpa keluhan sakit tenggorok
- Hebat à eksaserbasi akut
- Rasa ada benda asing
- bau mulut
Pemeriksaan
Gambaran klinis bervariasi tergentung bentuk infeksi
- Tonsil hipertropi: tonsil membesar, jaringan parut (+), kripte melebar & eksudat purulen
diantara kripte
- Tonsil atropi : tonsil kecil membentuk lekukan dg tepi hiperemis
- Sekret purulen tipis
- Didapatkan pembesaran kelenjar submandibula tanpa nyeri tekan
- Ukuran jaringan tonsil tidak mempunyai hubungan dg infeksi kronis / berulang
Komplikasi
seperti tonsilitis akut
Terapi
tonsilektomi
Indikasi Mutlak
1. Corpulmonal karena obstruksi jalan nafas menahun
2. Hipertropi tonsil (adenoid) dg sindroma sleep apneu
3. Hipertropi à gangguan makan dg penurunan berat badan yg cepat
4. Biopsi karena curiga keganasan
5. Post abses peritonsiler yg berulang atau abses yg meluas ke jaringan sekitar
Indikasi Relatif
1. Serangan berulang (4-5x /th) walau pemberian terapi sudah adekuat
2. Tonsilitis dg karier a.l : difteri, strep B hemolitikus
3. Hiperplasia tonsil & obstruksi fungsional Hiperplasia & obstruksi yg menetap setelah
infeksi mononukleosis
4. Riwayat demam rematik jantung yg berhubungan dg tonsilitis yg berulang
5. Tonsilitis kronis menetap à respon penatalaksanaan medis tidak berhasil
6. Hipertropi tonsil dan adenoid
7. Tonsilitis kronis yg berhubungan dg adenopatia servikal persisten
ADENOID HIPERTROPI
Keradangan berulang / iritasi pada adenoid akibat a/l : rinitis kronis, sinusitis kronis
à post nasal drip
Gejala
- Obstruksi nasi shg berakibat : Rinolalia oklusa
- adenoid face
- Nafsu makan menurun
- Sering pilek
- Sering sakit kepala
- Pendengaran berkurang
- Batuk yg sukar sembuh
- Aproseksia nasalis (sukar konsentrasi)
- Rinoskopi anterior : palatum mole penomen (-) / terbatas
Terapi
Adenoidektomi
Indikasi Adenoidektomi
- Obstruksi jalan nafas kronis Nasofaring purulen kronis walaupun dg terapi adekuat
- Otitis media serosa
- Otitis media supuratifa akut yg rekuren à penatalaksanaan medis (-)
- Otitis media supuratifa kronik
- Curiga keganasan nasofaring
Abses Peritonsiler
Abses peritonsiler dapat terjadi pada umur 10-60 tahun, namun paling sering terjadi
pada umur 20-40 tahun. Pada anak-anak jarang terjadi kecuali pada mereka yang menurun
sistem immunnya, tapi infeksi bisa menyebabkan obstruksi jalan napas yang signifikan pada
anak-anak. Infeksi ini memiliki proporsi yang sama antara laki-laki dan perempuan. Bukti
menunjukkan bahwa tonsilitis kronik atau percobaan multipel penggunaan antibiotik oral
untuk tonsilitis akut merupakan predisposisi pada orang untuk berkembangnya abses
peritonsiler. Di Amerika insiden tersebut kadang-kadang berkisar 30 kasus per 100.000 orang
per tahun, dipertimbangkan hampir 45.000 kasus setiap tahun.
Abses leher dalam terbentuk dalam ruang potensial diantara fasia leher dalam sebagai
akibat dari penjalaran infeksi dari berbagai sumber, seperti gigi, mulut, tenggorok, sinus
paranasal, telinga tengah dan leher tergantung ruang mana yang terlibat. Gejala dan tanda
klinik dapat berupa nyeri dan pembengkakan. Abses peritonsiler (Quinsy) merupakan salah
satu dari Abses leher dalam dimana selain itu abses leher dalam dapat juga abses retrofaring,
abses parafaring, abses submanidibula dan angina ludovici (Ludwig Angina).
Abses peritonsiler adalah penyakit infeksi yang paling sering terjadi pada bagian
kepala dan leher. Gabungan dari bakteri aerobic dan anaerobic di daerah peritonsilar. Tempat
yang bisa berpotensi terjadinya abses adalah adalah didaerah pillar tonsil anteroposterior,
fossa piriform inferior, dan palatum superior.
Abses peritonsil terbentuk oleh karena penyebaran organisme bakteri penginfeksi
tenggorokan kesalah satu ruangan aereolar yang longgar disekitar faring menyebabkan
pembentukan abses, dimana infeksi telah menembus kapsul tonsil tetapi tetap dalam batas
otot konstriktor faring.
Peritonsillar abscess (PTA) merupakan kumpulan/timbunan (accumulation) pus (nanah) yang
terlokalisir/terbatas (localized) pada jaringan peritonsillar yang terbentuk sebagai hasil dari
suppurative tonsillitis.
ETIOLOGI
Abses peritonsil terjadi sebagai akibat komplikasi tonsilitis akut atau infeksi yang
bersumber dari kelenjar mucus Weber di kutub atas tonsil. Biasanya kuman penyebabnya
sama dengan kuman penyebab tonsilitis. Biasanya unilateral dan lebih sering pada anak-anak
yang lebih tua dan dewasa muda.
Abses peritonsiler disebabkan oleh organisme yang bersifat aerob maupun yang
bersifat anaerob. Organisme aerob yang paling sering menyebabkan abses peritonsiler adalah
Streptococcus pyogenes (Group A Beta-hemolitik streptoccus), Staphylococcus aureus, dan
Haemophilus influenzae. Sedangkan organisme anaerob yang berperan adalahFusobacterium.
Prevotella, Porphyromonas, Fusobacterium,dan Peptostreptococcus spp. Untuk kebanyakan
abses peritonsiler diduga disebabkan karena kombinasi antara organisme aerobik dan
anaerobik.
PATOFISIOLOGI
Patofisiologi PTA belum diketahui sepenuhnya. Namun, teori yang paling banyak
diterima adalah kemajuan (progression) episode tonsillitis eksudatif pertama menjadi
peritonsillitis dan kemudian terjadi pembentukan abses yang sebenarnya (frank abscess
formation).
Daerah superior dan lateral fosa tonsilaris merupakan jaringan ikat longgar, oleh
karena itu infiltrasi supurasi ke ruang potensial peritonsil tersering menempati daerah ini,
sehingga tampak palatum mole membengkak. Abses peritonsil juga dapat terbentuk di bagian
inferior, namun jarang.
Pada stadium permulaan, (stadium infiltrat), selain pembengkakan tampak juga
permukaan yang hiperemis. Bila proses berlanjut, daerah tersebut lebih lunak dan berwarna
kekuning-kuningan. Tonsil terdorong ke tengah, depan, dan bawah, uvula bengkak dan
terdorong ke sisi kontra lateral.
Bila proses terus berlanjut, peradangan jaringan di sekitarnya akan menyebabkan
iritasi pada m.pterigoid interna, sehingga timbul trismus. Abses dapat pecah spontan,
sehingga dapat terjadi aspirasi ke paru.
Selain itu, PTA terbukti dapat timbul de novo tanpa ada riwayat tonsillitis kronis atau
berulang (recurrent) sebelumnya. PTA dapat juga merupakan suatu gambaran (presentation)
dari infeksi virus Epstein-Barr (yaitu: mononucleosis).
GEJALA KLINIS DAN DIAGNOSIS
Selain gejala dan tanda tonsilitis akut, terdapat juga odinofagia (nyeri menelan) yang
hebat, biasanya pada sisi yang sama juga dan nyeri telinga (otalgia), muntah (regurgitasi),
mulut berbau (foetor ex ore), banyak ludah (hipersalivasi), suara sengau (rinolalia), dan
kadang-kadang sukar membuka mulut (trismus), serta pembengkakan kelenjar submandibula
dengan nyeri tekan.
Bila ada nyeri di leher (neck pain) dan atau terbatasnya gerakan leher (limitation in
neck mobility), maka ini dikarenakan lymphadenopathy dan peradangan otot tengkuk
(cervical muscle inflammation).
Prosedur diagnosis dengan melakukan Aspirasi jarum (needle aspiration). Tempat
aspiration dibius / dianestesi menggunakan lidocaine dengan epinephrine dan jarum besar
(berukuran 16–18) yang biasa menempel pada syringe berukuran 10cc. Aspirasi material
yang bernanah (purulent) merupakan tanda khas, dan material dapat dikirim untuk dibiakkan.
KOMPLIKASI
Komplikasi yang mungkin terjadi ialah:
1. Abses pecah spontan, mengakibatkan perdarahan, aspirasi paru, atau
piema.
2. Penjalaran infeksi dan abses ke daerah parafaring, sehingga terjadi abses parafaring.
Kemudian dapat terjadi penjalaran ke mediastinum menimbulkan mediastinitis.
3. Bila terjadi penjalaran ke daerah intracranial, dapat mengakibatkan
thrombus sinus kavernosus, meningitis, dan abses otak.
TERAPI
Pada stadium infiltrasi, diberikan antibiotika dosis tinggi dan obat simtomatik. Juga
perlu kumur-kumur dengan air hangat dan kompres dingin pada leher. Antibiotik yang
diberikan ialah penisilin 600.000-1.200.000 unit atau ampisilin/amoksisilin 3-4 x 250-500 mg
atau sefalosporin 3-4 x 250-500 mg, metronidazol 3-4 x 250-500 mg.
Bila telah terbentuk abses, dilakukan pungsi pada daerah abses, kemudian diinsisi untuk
mengeluarkan nanah. Tempat insisi ialah di daerah yang paling menonjol dan lunak, atau
pada pertengahan garis yang menghubungkan dasar uvula dengan geraham atas terakhir.
Intraoral incision dan drainase dilakukan dengan mengiris mukosa overlying abses, biasanya
diletakkan di lipatan supratonsillar. Drainase atau aspirate yang sukses menyebabkan
perbaikan segera gejala-gejala pasien. Bila terdapat trismus, maka untuk mengatasi nyeri,
diberikan analgesia lokal di ganglion sfenopalatum.
Kemudian pasien dianjurkan untuk operasi tonsilektomi “a” chaud. Bila tonsilektomi
dilakukan 3-4 hari setelah drainase abses disebut tonsilektomi “a” tiede, dan bila tonsilektomi
4-6 minggu sesudah drainase abses disebut tonsilektomi “a” froid. Pada umumnya
tonsilektomi dilakukan sesudah infeksi tenang, yaitu 2-3 minggu sesudah drainase abses.
Tonsilektomi merupakan indikasi absolut pada orang yang menderita abses
peritonsilaris berulang atau abses yang meluas pada ruang jaringan sekitarnya. Abses
peritonsil mempunyai kecenderungan besar untuk kambuh. Sampai saat ini belum ada
kesepakatan kapan tonsilektomi dilakukan pada abses peritonsil. Sebagian penulis
menganjurkan tonsilektomi 6–8 minggu kemudian mengingat kemungkinan terjadi
perdarahan atau sepsis, sedangkan sebagian lagi menganjurkan tonsilektomi segera.
Penggunaan steroids masih kontroversial. Penelitian terbaru yang dilakukan Ozbek
mengungkapkan bahwa penambahan dosis tunggal intravenous dexamethasone pada
antibiotik parenteral telah terbukti secara signifikan mengurangi waktu opname di rumah
sakit (hours hospitalized), nyeri tenggorokan (throat pain), demam, dan trismus dibandingkan
dengan kelompok yang hanya diberi antibiotik parenteral. Abses retrofaring adalah suatu
peradangan yang disertai pembentukan pus pada daerah retrofaring. Keadaan ini merupakan
salah satu infeksi pada leher bagian dalam ( deep neck infection ). Pada umumnya sumber
infeksi pada ruang retrofaring berasal dari proses infeksi di hidung, adenoid, nasofaring dan
sinus paranasal, yang menyebar ke kelenjar limfe retrofaring. Oleh karena kelenjar ini
biasanya atrofi padaumur 4 – 5 tahun, maka sebagian besar abses retrofaring terjadi pada
anak-anak dan relatif jarang pada orang dewasa.
Abses Retrofaring
ETIOLOGI
Secara umum abses retrofaring terbagi 2 jenis yaitu :
1. Akut.
Sering terjadi pada anak-anak berumur dibawah 4 – 5 tahun. Keadaan ini terjadi akibat
infeksi pada saluran nafas atas seperti pada adenoid, nasofaring, rongga hidung, sinus
paranasal dan tonsil yang meluas ke kelenjar limfe retrofaring ( limfadenitis ) sehingga
menyebabkan supurasipada daerah tersebut.
Sedangkan pada orang dewasa terjadi akibat infeksi langsung oleh karena trauma akibat
penggunaan instrumen ( intubasi endotrakea, endoskopi, sewaktu adenoidektomi ) atau benda
asing.
2. Kronis.
Biasanya terjadi pada orang dewasa atau anak-anak yang lebih tua. Keadaan ini terjadi akibat
infeksi tuberkulosis ( TBC ) pada vertebra servikalis dimana pus secara langsung menyebar
melalui ligamentum longitudinal anterior. Selain itu abses dapat terjadi akibat infeksi TBC
pada kelenjar limfe retrofaring yang menyebar dari kelenjar limfe servikal. Pada banyak
kasus sering dijumpai adanya kuman aerob dan anaerob secara bersamaan. Beberapa
organisme yang dapat menyebabkan abses retrofaring adalah:
1. Kuman aerob : Streptococcus beta –hemolyticus group A ( paling sering ),
Streptococcus pneumoniae, Streptococcus non –hemolyticus, Staphylococcus aureus ,
Haemophilus sp
2. Kuman anaerob : Bacteroides sp, Veillonella, Peptostreptococcus, Fusobacteria
KEKERAPAN
Abses retrofaring jarang ditemukan dan lebih sering terjadi pada anak dibawah usia 5 tahun.
Hal ini terjadi karena pada usia tersebut ruang retrofaring masih berisi kelenjar limfe.
Penelitian selama 35 tahun terhadap anak-anak yang diterapi di Children’s Hospital, Los
Angeles dijumpai sebanyak 50% kasus berusia kurang dari 3 tahun dan 71% kasus berusia
kurang dari 6 tahun. Sedangkan di Sydney, Australia didapati sebanyak 55% kasus berusia
kurang dari 1 tahun dimana 10% diantaranya dijumpai pada periode neonatus.
GEJALA DAN TANDA KLINIS
Dari anamnesis biasanya didahului oleh infeksi saluran nafas atas. Gejala dan tanda klinis
yang sering dijumpai pada anak :
1. demam
2. sukar dan nyeri menelan
3. suara sengau
4. dinding posterior faring membengkak ( bulging ) dan hiperemis pada satu sisi.
5. pada palpasi teraba massa yang lunak, berfluktuasi dan nyeri tekan
6. pembesaran kelenjar limfe leher ( biasanya unilateral ).
Pada keadaan lanjut keadaan umum anak menjadi lebih buruk, dan bisa
dijumpai adanya :
7. kekakuan otot leher ( neck stiffness ) disertai nyeri pada pergerakan
8. air liur menetes ( drooling )
9. obstruksi saluran nafas seperti mengorok, stridor, dispnea
Gejala yang timbul pada orang dewasa pada umumnya tidak begitu berat bila dibandingkan
pada anak. Dari anamnesis biasanya didahului riwayat tertusuk benda asing pada dinding
posterior faring, pasca tindakan endoskopi atau adanya riwayat batuk kronis. Gejala yang
dapat dijumpai adalah :
1. demam
2. sukar dan nyeri menelan
3. rasa sakit di leher ( neck pain )
4. keterbatasan gerak leher
5. dispnea
Pada bentuk kronis, perjalanan penyakit lambat dan tidak begitu khas sampai terjadi
pembengkakan yang besar dan menyumbat hidung serta saluran nafas.
DIAGNOSIS BANDING
1. Adenoiditis
2. Abses peritonsil
3. Abses parafaring
4. Epiglottitis
5. Croup
6. Aneurisma arteri
7. Tonjolan korpus vertebra
DIAGNOSIS
1. Anamnesis
2. Pemeriksaan klinis
3. Laboratorium :
a. darah rutin : lekositosis
b. kultur spesimen ( hasil aspirasi )
4. Radiologis :
a. Foto jaringan lunak leher lateral
Dijumpai penebalan jaringan lunak retrofaring ( prevertebra ) :
- setinggi C2 : > 7 mm ( normal 1 - 7 mm ) pada anak-anak dan dewasa
- setinggi C6 : > 14 mm (anak-anak , N : 5 – 14 mm ) dan > 22 mm (dewasa, N : 9 – 22 mm )
Pembuatan foto dilakukan dengan posisi kepala hiperekstensi dan selama inspirasi. Kadang-
kadang dijumpai udara dalam jaringan lunak prevertebra dan erosi korpus vertebra yang
terlibat.
b. CT Scan
c. MRI
PENATALAKSANAAN
I . Mempertahankan jalan nafas yang adekuat :
- posisi pasien supine dengan leher ekstensi
- pemberian O2
- intubasi endotrakea dengan visualisasi langsung / intubasi fiber optik
- trakeostomi / krikotirotomi
II. Medikamentosa
1. Antibiotik ( parenteral )
Pemberian antibiotik secara parenteral sebaiknya diberikan secepatnya tanpa menunggu hasil
kultur pus. Antibiotik yang diberikan harus mencakup terhadap kuman aerob dan anaerob,
gram positif dan gram negatif. Dahulu diberikan kombinasi Penisilin G dan Metronidazole
sebagai terapi utama, tetapi sejak dijumpainya peningkatan kuman yang menghasilkan B –
laktamase kombinasi obat ini sudah banyak ditinggalkan. Pilihan utama adalah clindamycin
yang dapat diberikan tersendiri atau dikombinasikan dengan sefalosporin generasi kedua
( seperti cefuroxime ) atau beta – lactamase – resistant penicillin seperti ticarcillin /
clavulanate, piperacillin / tazobactam, ampicillin / sulbactam. Pemberian antibiotik biasanya
dilakukan selama lebih kurang 10 hari.
2. Simtomatis
3. Bila terdapat dehidrasi, diberikan cairan untuk memperbaiki keseimbangan
cairan elektrolit.
4. Pada infeksi Tuberkulosis diberikan obat tuberkulostatika.
III. Operatif :
a. Aspirasi pus ( needle aspiration )
b. Insisi dan drainase :
_ Pendekatan intra oral ( transoral ) : untuk abses yang
kecil dan terlokalisir.
Pasien diletakkan pada “posisi Trendelenburg”, dimana leher dalam keadaan hiperekstensi
dan kepala lebih rendah dari bahu. Insisi vertikal dilakukan pada daerah yang paling
berfluktuasi dan selanjutnya pus yang keluar harus segera diisap dengan alat penghisap untuk
menghindari aspirasi pus. Lalu insisi diperlebar dengan forsep atau klem arteri untuk
memudahkan evakuasi pus.
_ Pendekatan eksterna ( external approach ) baik secara anterior atau posterior : untuk abses
yang besar dan meluas ke arah hipofaring. Pendekatan anterior dilakukan dengan membuat
insisi secara horizontal mengikuti garis kulit setingkat krikoid atau pertengahan antara tulang
hioid dan klavikula. Kulit dan subkutis dielevasi untuk memperluas pandangan sampai
terlihat m.sternokleidomastoideus. Dilakukan insisi pada batas anterior
m.sternokleidomastoideus. Dengan menggunakan klem erteri bengkok,
m.sternokleidomastoideus dan selubung karotis disisihkan ke arah lateral. Setelah abses
terpapar dengan cunam tumpul abses dibuka dan pus dikeluarkan. Bila diperlukan insisi
dapat diperluas dan selanjutnya dipasang drain ( Penrose drain ). Pendekatan posterior dibuat
dengan melakukan insisi pada batas posterior m. sternokleidomastoideus. Kepala diputar ke
arah yang berlawanan dari abses. Selanjutnya fasia dibelakang m.sternokleidomastoideus
diatas abses dipisahkan. Dengan diseksi tumpul pus dikeluarkan dari belakang selubung
karotis.
KOMPLIKASI
Komplikasi abses retrofaring dapat terjadi akibat :
1. Massa itu sendiri : obstruksi jalan nafas
2. Ruptur abses : asfiksia, aspirasi pneumoni, abses paru
3. Penyebaran infeksi ke daerah sekitarnya :
a. inferior : edema laring , mediastinitis, pleuritis, empiema,
abses mediastinum
b. lateral : trombosis vena jugularis, ruptur arteri karotis, abses
parafaring
c. posterior : osteomielitis dan erosi kollumna spinalis
4. Infeksi itu sendiri : necrotizing fasciitis, sepsis dan kematian.
Abses Parafaring
Ruang parafaring megalamai infeksi dengan cara langsung yaitu akibat tusukan jarum
pada saat melakukan tonsilektomi dengan analgesia. Proses supurasi kelenjar limfa leher
bagian dalam, gigi, tonsil, faring, hidung, sinus paranasal, mastoid dan vertebra servikal dapat
merupakan sumber infeksi untuk terjadinya abses. Penjalaran infeksi dari ruang peritonsil,
retrofaring atau submandibula.
Gejala dan tanda yang timbul adalah trismus, indurasi atau pembengkakan di sekitar
angulus mandibula, demam tinggi dan pembengkakan dinding lateral faring sehingga
menonjol ke medial.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan riwayat penyakit , gejala dan tanda klinik. Bila
meragukan, dapat dilakukan pemeriksaan penunjang berupa foto polos dan CT scan.
Terapi yang bisa diberikan adalah pemberian antibiotika dosis tinggi secara parenteral
terhadap kuma aerob dan anaerob. Evakuasi abses juga harus segera dilakukan bila tidak ada
perbaikan dengan antibiotika dalam 24-48 jam. Caranya melakukan insisi dari luar.
Abses Submandibula
Ruang submandibula terdiri dari ruang sublingual dan ruang submaksila. Abses dapat
terbentuk di ruang submandibula atau komponennya sebagai kelanjutan infeksi dari daerah
kepala leher.
Infeksi dapat bersumber dari gigi, dasar mulut, faring, kelenjar liur atau kelenjar limfa
submandibula. Mungkin juga sebagian kelanjutan infeksi ruang leher dalam yang lain.
Gejala dan tandanya adalah demam dan nyeri leher serta pembengkakan dibawah
mandibula dan atau dibawah lidah, mungkin berfluktuasi. Trismus sering ditemukan.
Terapi yang diberikan adalah antibiotika dosis tinggi terhadap kuman aerob dan
anaerob secara parenteral. Evakuasi abses dapat dilakukan dalam anestesi lokal untuk abses
dangkal eksplorasi dalam narkosis bila letak abses dalam dan luas.
Angina Ludovici
Angina Ludovici ialah infeksi ruang submandibula berupa selulitis dengan tanda khas
berupa pembengkakan seluruh ruang submandibula, tidak membentuk abses, sehingga keras
pada perabaan submandibula.
Etiologi
Sumber infeksi seringkali berasal dari gigi atau dasar mulut, oleh kuman aerob dan
anaerob.
Gejala dan tanda
Terdapat nyeri tenggorok dan leher, disertai pembengkakan di daerah sumbandibula,
yang tampak hiperemis dan keras pada perabaan.
Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan riwayat sakit gigi, mengorek atau mencabut gigi,
gejala dan tanda klinik.
Terapi
Sebagai terapi diberikan antiobika dengan dosis tinggi, untuk kuman aero dan
anaerob, dan diberikan secara parenteral. Selain itu dilakukan eksplorasi yang dilakukan
untuk tujuan dekompresi (mengurangi ketegangan) dan evakuasi pus (pada angina Ludovici
jarang terdapat pus) atau jaringan nekrosis. Insisi dilakukan di garis tengah secara horizontal
setinggi os hioid (3-4 jari di bawah mandibula). Perlu dilakukan pengobatan terhadap sumber
infeksi (agigi), untuk mencegah kekambuhan. Pasien dirawat inap sampai infeksi reda.
DAFTAR PUSTAKA
Boies, A. 1997. Buku Ajar Penyakit THT. Ed 6. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC
Irish, J, et al. 2000. Otolaryngology. MCQE
Lalwani, AK. 2007. Current Diagnosis and Treatment Otolaringology Head and Neck
Surgery. New York: Departement of Otolaringology
Soepardi, EA, dkk. 2007. Buku Ajar Telinga Hidung Tenggorok Kepala& Leher. Ed 6.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.