NILAI SOSIAL DALAM NOVEL BUKAN PASAR...

76
NILAI SOSIAL DALAM NOVEL BUKAN PASAR MALAM KARYA PRAMOEDYA ANANTA TOER; IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBELAJARAN SASTRA Skripsi Mega Fiyani NIM 107013000047 JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1432 H/2011 M

Transcript of NILAI SOSIAL DALAM NOVEL BUKAN PASAR...

Page 1: NILAI SOSIAL DALAM NOVEL BUKAN PASAR MALAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/454/1/102754... · i nilai sosial dalam novel bukan pasar malam karya pramoedya ananta

i

NILAI SOSIAL DALAM NOVEL BUKAN PASAR MALAM

KARYA PRAMOEDYA ANANTA TOER;

IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBELAJARAN SASTRA

Skripsi

Mega Fiyani

NIM 107013000047

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1432 H/2011 M

Page 2: NILAI SOSIAL DALAM NOVEL BUKAN PASAR MALAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/454/1/102754... · i nilai sosial dalam novel bukan pasar malam karya pramoedya ananta

ii

ABSTRAK

MEGA FIYANI, 107013000047, “Nilai Sosial dalam Novel Bukan Pasar Malam

Karya Pramoedya Ananta Toer; Implikasinya terhadap Pembelajaran Sastra”.

Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan

Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dosen

Pembimbing: Drs. Jamal D. Rahman, M. Hum. November, 2011.

Bukan Pasar Malam adalah sebuah novel yang sarat dengan nilai-nilai

sosial. Buku ini menceritakan pengalaman seorang anak revolusioner yang pulang

kampung untuk menjenguk ayahnya yang sedang sakit. Diceritakan dengan sudut

pandang orang pertama, yang hanya disebut dengan Aku. Dimulai dengan

persiapan perjalanan ke Blora. Aku harus mencari uang untuk perjalanan itu, dan

ketika naik sepeda mengelilingi Jakarta, ia memikirkan tentang kemiskinan,

kekayaan, kemerdekaan, dan demokrasi yang meragu-ragukan pada awal 1950 di

Jakarta. Rumusan masalah penelitian ini tentang gambaran sosial masyarakat

Indonesia, nilai sosial dalam novel Bukan Pasar Malam dengan tinjauan sosiologi

sastra, dan implikasi nilai sosial dalam novel tersebut dalam pembelajaran sastra

di sekolah. Untuk menggali nilai-nilai tersebut, penelitian ini menggunakan

metode deskriptif analisis, yaitu metode dengan cara mendeskripsikan fakta-fakta,

kemudian disusul dengan analisis. Berdasarkan hasil analisis buku ini diketahui

bahwa buku tersebut memuat nilai-nilai sosial melalui interaksi sosial di dalam

keluarga dan masyarakat. Nilai-nilai tersebut antara lain: nilai kasih sayang, nilai

kasih sayang, nilai pengayoman, nilai religiositas, nilai kepedulian, nilai

kesetaraan, nilai kebersamaan, nilai keikhlasan.

Kata kunci: nilai sosial, implikasi.

Page 3: NILAI SOSIAL DALAM NOVEL BUKAN PASAR MALAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/454/1/102754... · i nilai sosial dalam novel bukan pasar malam karya pramoedya ananta

iii

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji hanya bagi Allah Swt semata, yang telah

memberikan rahmat dan karunia-Nya, serta kesehatan rohani dan jasmani. Atas

izin dan kasih-Nya penulis diberikan kemudahan sehingga dapat menyelesaikan

skripsi yang berjudul “Nilai Sosial dalam Novel Bukan Pasar Malam Karya

Pramoedya Ananta Toer; Implikasinya Terhadap Pembelajaran Sastra”. Shalawat

dan salam semoga tercurahkan kepada utusan Allah Swt, yaitu Nabi Muhammad

Saw yang menghindarkan kita dari jalan kegelapan.

Skripsi ini penulis susun untuk memenuhi salah satu syarat menempuh ujian

Sarjana Pendidikan pada Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia,

Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan. Penulis berharap skripsi ini dapat

bermanfaat bagi kepentingan pembacanya.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis tidak luput dari berbagai hambatan dan

rintangan. Tanpa bantuan dan peran serta berbagai pihak, karya ini tidak mungkin

terwujud. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima

kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:

1. Ibu Nurlena Rifa’i, MA. Ph. D., selaku Dekan FITK UIN Jakarta yang

telah mempermudah dan melancarkan penyelesaian skripsi ini;

2. Ibu Dra. Mahmudah Fitriyah, ZA, M. Pd., selaku Ketua Jurusan

Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Sosok dosen yang telah

memberikan ilmu dan bimbingan yang sangat berharga bagi penulis

selama ini;

3. Bapak Drs. Jamal D. Rahman, M. Hum., selaku dosen pembimbing yang

sangat berpengaruh dalam penyelesaian skripsi ini, juga telah

mengenalkan dan membangkitkan kecintaan penulis pada dunia bahasa

dan sastra. Terima kasih untuk arahan, bimbingan, dan kesabaran Bapak

selama ini.

4. Ibu Dra. Elvi Susanti, M. Pd., selaku dosen PBSI yang telah memberikan

ilmu kebahasaan dan motivasi kepada penulis dalam menyelesaikan

skripsi ini;

Page 4: NILAI SOSIAL DALAM NOVEL BUKAN PASAR MALAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/454/1/102754... · i nilai sosial dalam novel bukan pasar malam karya pramoedya ananta

iv

5. Ibu Rosida Erowati, S.S. M. Hum., selaku dosen PBSI yang telah

memberikan pengetahuan kesusastraan dan motivasi kepada penulis dalam

menyelesaikan skripsi ini;

6. Bapak dan Ibu Dosen di lingkungan Program Studi Pendidikan Bahasa dan

Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta, yang selama ini telah membekali penulis berbagai

ilmu pengetahuan;

7. Keluarga ku tercinta terutama kepada Papa dan Mama, yang selalu

memberikan dukungan moril dan materil kepada penulis untuk terus maju,

dan selalu memberikan kasih sayangnya hingga detik ini;

8. Kak Risfana Faisal, guru teater sekaligus kakak dan teman yang telah

banyak memberikan buku bacaan sastra dan memotivasi penulis untuk

menyelesaikan skripsi ini;

9. Keluarga besar Pojok Seni Tarbiyah (POSTAR), terima kasih atas

semangat yang telah kalian berikan sehingga penulis dapat menyelesaikan

skripsi ini;

10. Seluruh mahasiswa/mahasiswi PBSI angkatan 2007, teman-temanku

seperjuangan, terima kasih atas dukungannya;

11. dan untuk berbagai pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu.

Semoga semua bantuan, dukungan, dan partisipasi yang diberikan kepada

penulis senantiasa mendapat pahala yang berlipat ganda dari Allah Swt. Serta

diberikan balasan setimpal dari Allah Swt. Amin.

Akhirnya penulis pun berharap, semoga skripsi ini bermanfaat bagi kemajuan

pendidikan dan pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia.

Jakarta, September 2011

Penulis

Page 5: NILAI SOSIAL DALAM NOVEL BUKAN PASAR MALAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/454/1/102754... · i nilai sosial dalam novel bukan pasar malam karya pramoedya ananta

v

DAFTAR ISI

ABSTRAK

KATA PENGANTAR………………………….................................................. i-ii

DAFTAR ISI......................................................................................................... iii-iv

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah…………………………......................................1-4

B. Rumusan Masalah…………………………................................................4

C. Tujuan Penelitian………………………….................................................4-5

D. Metodologi Penelitian…………………………..........................................5-6

E. Manfaat Penelitian…………………………...............................................6

F. Kajian Pustaka………………………….....................................................6-8

G. Sistematika Penulisan.......................................…………………………...8

BAB II KAJIAN TEORETIS

A. Hakikat Sosiologi Sastra…………………………….................................9

1. Pengertian Sosiologi Sastra………………………………………......9-13

B. Hakikat Novel……………………………................................................13

1. Pengertian Novel……………………………......................................13

C. Hakikat Nilai Sosial…………………………….......................................13-14

1. Nilai dan Sosial……………………………........................................14

2. Pengertian Nilai Sosial…………………………….............................15-16

3. Ciri Nilai Sosial……………………………........................................16-17

4. Macam-macam Nilai Sosial ……………………………....................17-18

5. Hakikat Pembelajaran Sastra……………………………...................18-20

BAB III PROFIL PRAMOEDYA ANANTA TOER

A. Penulis Novel Bukan Pasar Malam………………………………………20

1. Biografi Pramoedya Ananta Toer...........…………………………….20-25

B. Pemikiran Pramoedya Ananta

Toer...………………………………….…………………………………25-27

Page 6: NILAI SOSIAL DALAM NOVEL BUKAN PASAR MALAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/454/1/102754... · i nilai sosial dalam novel bukan pasar malam karya pramoedya ananta

vi

C. Psikologi Pramoedya Ananta Toer………………………………………27

D. Tinjauan terhadap Novel Bukan Pasar Malam…………………………...28-29

Page 7: NILAI SOSIAL DALAM NOVEL BUKAN PASAR MALAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/454/1/102754... · i nilai sosial dalam novel bukan pasar malam karya pramoedya ananta

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sastra menggambarkan kehidupan pada saat sastra itu ditulis. Sastra

mengandung nilai-nilai sosial, falsafati, dan religi. Sebuah karya sastra memiliki

nilai yang luar biasa dalam penceritaannya jika pengarang dalam proses

pembuatan karyanya mampu melibatkan semua aspek kehidupan di dalamnya.

Sebuah karya sastra bernilai tinggi dan terasa ketika membaca isinya yang mampu

melibatkan batin pembaca dengan nuansa imajinatif yang pengarang berikan.

Pada hakikatnya seorang sastrawan adalah bagian dari masyarakat. Sastra

adalah lembaga sosial yang mempergunakan bahasa sebagai mediumnya. Bahasa

adalah salah satu ciptaan sosial. Oleh sebab itu, sastrawan tidak dapat lepas dari

status sosial tertentu. Karya sastra merupakan cerminan hubungan sosial individu

dengan individu lain, atau antara individu dengan masyarakat. Sastra diciptakan

untuk dinikmati, dipahami, dan dimanfaatkan oleh masyarakat.

Ketika membaca sebuah karya sastra, mungkin kita akan merasakan

kenikmatan seperti kita sedang melakukan permainan, atau bahkan kita akan

merasakan ketenangan, atau karena begitu dalamnya kita dalam membaca sebuah

karya sastra, kita akan lebih mudah dalam menjalani pekerjaan sehari-hari. Sastra

bisa mengandung gagasan yang mungkin dimanfaatkan untuk menumbuhkan sifat

sosial tertentu, atau bahkan untuk mencetuskan peristiwa sosial tertentu.

Horace mengemukakan fungsi karya sastra sebagai dulce et utile, yaitu

sebagai penghibur sekaligus berguna.1 Pengertian ini menunjukkan fungsi karya

sastra yang bukan sekedar menghibur, namun mengajarkan sesuatu yang berguna.

Pendapat lain diungkapkan tentang fungsi karya sastra (fiksi) merupakan sebuah

cerita, dan karenanya terkandung juga di dalamnya tujuan memberikan hiburan

kepada pembaca di samping adanya tujuan estetik. Membaca sebuah karya fiksi

1 Achadiati Ikram, dkk., Sejarah Kebudayaan Indonesia Bahasa, Sastra dan Aksara,

(Jakarta: Rajawali Pers, 2009), hlm. 33

Page 8: NILAI SOSIAL DALAM NOVEL BUKAN PASAR MALAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/454/1/102754... · i nilai sosial dalam novel bukan pasar malam karya pramoedya ananta

2

berarti menikmati cerita, menghibur diri untuk memperoleh kepuasan batin. Daya

tarik cerita inilah yang pertama-tama akan memotivasi orang untuk membacanya.

Hal itu dikarenakan karena pada dasarnya setiap orang senang cerita, apalagi yang

sensasional, baik yang diperoleh dengan cara melihat maupun mendengarkan.

Melalui cerita itulah pembaca secara tak langsung dapat belajar, merasakan, dan

menghayati berbagai permasalahan kehidupan yang sengaja ditawarkan

pengarang. Hal itu disebabkan cerita fiksi tersebut akan mendorong pembaca

untuk ikut merenungkan masalah hidup dan kehidupan. Oleh karena itu, cerita,

fiksi, atau kesastraan pada umumnya sering dianggap dapat membuat manusia

lebih arif, atau dapat dikatakan sebagai ”memanusiakan manusia.”2

Sastra adalah jenis kesenian yang merupakan hasil kristalisasi nilai-nilai yang

disepakati untuk terus-menerus dibongkar dan dikembangkan dalam suatu

masyarakat. Karena sastra adalah seni bahasa, di dalamnya terbayang dengan

lebih tegas nilai-nilai yang mengatur kehidupan kita dan selalu ditinjau kembali.

Dengan menggunakan bahasa sebagai alat seorang sastrawan berusaha untuk tidak

sekedar merekam kehidupan di sekitarnya, tetapi memberikan tanggapan evaluatif

terhadapnya.3

Fungsi novel ini adalah bagaimana nilai sastra yang terkandung berkaitan

dengan nilai sosial, bagaimana kisah ini memuat nilai sastra yang sangat berkaitan

dengan nilai sosial yang ada pada masa itu. Nilai sosial dimana sosok Ayah masih

menghormati pemerintahan masa itu dengan penuh kesabaran. Ia merupakan guru

yang sangat berbakti. Akan tetapi, dipenjarakan di tiga tempat dalam waktu dua

minggu. Kemudian tokoh Aku adalah mantan tentara muda yang dipenjarakan

oleh Belanda karena idealismenya. Dikisahkan dalam novel ini adalah masa

pascakemerdekaan yang masih banyak terdapat rakyat yang mengalami

kemiskinan sedangkan para jenderal atau pembesar-pembesar hanya sibuk

2 Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi. (Yogyakarta: Gajah Mada University

Press.2000), hlm. 4 3 Sapardi Djoko Damono, “Sastra di Sekolah” dalam Susastra volume 3/No.5/2007,

(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007), hlm. 4

Page 9: NILAI SOSIAL DALAM NOVEL BUKAN PASAR MALAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/454/1/102754... · i nilai sosial dalam novel bukan pasar malam karya pramoedya ananta

3

mengurus dan memperkaya diri sendiri. hak itu pun yang masih terjadi sampai

saat reformasi ini.

Beberapa pengarang telah mengangkat kehidupan masyarakat menjadi tema

utama dalam karyanya. Kesenjangan sosial, seperti masalah kemiskinan, masih

kuatnya nilai feodalisme, bobroknya nilai dan norma, menjadi masalah yang

menarik untuk dibahas. Pramoedya Ananta Toer adalah sastrawan yang sering kali

melatarbelakangi ceritanya dengan sejarah maupun pengalaman hidupnya.

Tulisan-tulisan awalnya banyak mengambil latar belakang masa sebelum Perang

Dunia Kedua, terutama kehidupan di sekitar Blora tempat ia tinggal di masa kecil,

serta masa-masa seputar revolusi kemerdekaan.

Bukan Pasar Malam diterbitkan pertama kali oleh Balai Pustaka pada tahun

1951. Di dalam novel ini, Pramoedya menggambarkan kesedihan, penderitaan dan

kesulitan rakyat Indonesia pascakemerdekaan. Seluruh cerita dikisahkan menjadi

citraan sosial pada masa itu. Oleh karena itu, hampir setiap bagian dinarasikan

mengungkapkan nilai-nilai sosial dalam kehidupan bermasyarakat. Nilai interaksi

sosial dalam keluarga, hingga interaksi dengan kehidupan di masa lalu serta

lingkungan yang serba sulit dideskripsikan dengan sangat detail oleh Pramoedya.

Sehubungan dengan hal di atas, peneliti tertarik mengkaji nilai sosial dalam

novel Bukan Pasar Malam karya Pramoedya Ananta Toer. Dari isi cerita novel

tersebut akan dicari nilai sosial yang terkandung di dalamnya. Novel dinilai

memiliki banyak nilai sosial, nantinya bisa dijadikan sebagai materi pembelajaran

Bahasa dan Sastra Indonesia di sekolah.

Page 10: NILAI SOSIAL DALAM NOVEL BUKAN PASAR MALAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/454/1/102754... · i nilai sosial dalam novel bukan pasar malam karya pramoedya ananta

4

Berdasarkan uraian di atas, dapat dijelaskan secara rinci dasar penelitian ini

sebagai berikut:

1) Dari segi penceritaan, novel Bukan Pasar Malam karya Pramoedya

Ananta Toer sangat menarik untuk dikaji menggunakan tinjauan sosiologi

sastra.

2) Novel Bukan Pasar Malam menggambarkan kehidupan masyarakat

Indonesia pascakemerdekaan. Seluruh cerita dikisahkan menjadi citraan

sosial pada masa itu. Oleh karena itu, hampir setiap bagian dinarasikan

untuk mengungkapkan nilai-nilai sosial dalam kehidupan bermasyarakat.

3) Novel Bukan Pasar Malam relevan dengan dunia pendidikan sehingga

dapat diimplikasikan ke dalam pembelajaran sastra di sekolah.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas permasalahan dalam penelitian ini

dapat dirumuskan sebagai berikut:

1) Bagaimana gambaran sosial masyarakat Indonesia dalam novel Bukan

Pasar Malam karya Pramoedya Ananta Toer dengan tinjauan sosiologi

sastra?

2) Bagaimana nilai sosial dalam novel Bukan Pasar Malam karya Pramoedya

Ananta Toer dengan menggunakan tinjuan sosiologi sastra?

3) Bagaimana implikasi nilai sosial dalam novel Bukan Pasar Malam karya

Pramoedya Ananta Toer dalam pembelajaran sastra?

C. Tujuan Penelitian

Dengan adanya penelitian ini, diharapkan:

1) Untuk mendeskripsikan gambaran sosial masyarakat Indonesia dalam

novel Bukan Pasar Malam karya Pramoedya Ananta Toer dengan tinjauan

sosiologi sastra.

2) Untuk mendeskripsikan nilai sosial yang terdapat dalam novel Bukan

Pasar Malam karya Pramoedya Ananta Toer dengan menggunakan

tinjauan sosiologi sastra.

Page 11: NILAI SOSIAL DALAM NOVEL BUKAN PASAR MALAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/454/1/102754... · i nilai sosial dalam novel bukan pasar malam karya pramoedya ananta

5

3) Untuk mendeskripsikan implikasi nilai sosial dalam novel Bukan Pasar

Malam karya Pramoedya Ananta Toer dalam pembelajaran sastra.

D. Metodologi Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Metode kualitatif memberikan

perhatian terhadap data alamiah, data hubungannya dengan konteks keberadaanya.

Hal tersebut yang menjadikan metode kualitatif dianggap sebagai multimetode

sebab penelitian pada gilirannya melibatkan sejumlah besar gejala sosial yang

relevan. Dalam penelitian karya sastra, misalnya, akan dilibatkan pengarang,

lingkungan sosial dimana pengarang berada, termasuk unsur-unsur kebudayaan

pada umumnya. Objek penelitian metode kualitatif merupakan makna-makna

yang terkandung di balik tindakan, yang mendorong timbulnya gejala sosial.

Penelitian mempertahankan hakikat nilai-nilai. Sumber data dalam ilmu sastra

adalah karya, naskah, data penelitiannya sebagai data formal adalah kata, kalimat,

dan wacana. 4

Penelitian dengan metode kualitatif ini bertujuan untuk mengetahui nilai-nilai

sosial yang terdapat dalam novel ini. Metode penelitian sastra yang digunakan

secara khusus adalah metode sosiologi sastra. Metode sosiologi sastra didasarkan

atas prinsip bahwa karya sastra merupakan refleksi atau cerminan masyarakat

pada zaman karya sastra itu ditulis. Langkah-langkah dalam penelitian ini

mengikuti metode kerja sosiologi sastra yakni, dengan cara menelaah konteks

sosial karya sastra dengan dunia kenyataanya atau zamannya.

Adapun langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian adalah:

1) Menentukan teks yang dipakai sebagai objek penelitian, yaitu teks novel

Bukan Pasar Malam karya Pramoedya Ananta Toer,

2) Menentukan fokus penelitian, yakni menelaah konteks sosial karya sastra

pada teks, fungsi novel berkaitan dengan nilai sosial yang terkandung

dalam novel Bukan Pasar Malam karya Pramoedya Ananta Toer, dan

implikasinya terhadap pembelajaran sastra di sekolah

4 Nyoman Kutha Ratna, S. U., Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra dari

Struktualisme hingga Postruktualisme, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 46-47

Page 12: NILAI SOSIAL DALAM NOVEL BUKAN PASAR MALAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/454/1/102754... · i nilai sosial dalam novel bukan pasar malam karya pramoedya ananta

6

3) Menganalisis objek penelitian, dan

4) Menyusun dan membuat laporan penelitian.

E. Manfaat Penelitian

1) Manfaat Teoretis

Penelitian ini diharapkan mampu menambah wawasan dan memperkaya

khazanah ilmu pengetahuan mengenai studi Sastra Indonesia khususnya

dalam pembelajaran sastra di sekolah. Penelitian ini juga diharapkan

mampu memberi sumbangan dalam teori sosiologi sastra dalam

mengungkap novel Bukan Pasar Malam karya Pramoedya Ananta Toer.

2) Manfaat Praktis

Secara praktis dengan penelitian ini diharapkan dapat membantu pembaca

untuk lebih memahami isi cerita dalam novel Bukan Pasar Malam karya

Pramoedya Ananta Toer terutama menguraikan cara pandang pengarang

yang direpresantasikan dalam karyanya, dengan pemanfaatan lintas

disiplin ilmu yaitu sosiologi dan sastra.

F. Kajian Pustaka

Kajian tentang novel ini berjudul ”Ayah-Anak: Kajian Eksistensial dan

Fenomenologis Atas Novel Bukan Pasar Malam karya Pramoedya Ananta Toer”

yang disusun oleh mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Surabaya, yaitu:

Waty Chai, Tonny, dan Hari K. Lasmana. Penelitian tentang relasi ayah-anak

yang menggunakan pendekatan Merleau Ponty dan eksistensial Satre yang

dianggap mampu menawarkan makna ayah dalam inventarisasi tambahan tentang

makna ayah.

Prof. Dr. A. Teeuw seorang peneliti sastra Indonesia dari Belanda, menulis

sebuah disertasi tentang karya-karya Pramoedya dengan judul ”Citra Manusia

Indonesia dalam Karya Pramoedya Ananta Toer‖ yang kemudian dibukukan dan

diterbitkan oleh penerbit Pustaka Jaya pada tahun 1997 membahas novel Bukan

Pasar Malam dari sudut pandang (point of view), hubungan kekeluargaan, dan

latar belakang. Hal tersebut ditulisnya dengan judul Tiga Keluarga Yang

Page 13: NILAI SOSIAL DALAM NOVEL BUKAN PASAR MALAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/454/1/102754... · i nilai sosial dalam novel bukan pasar malam karya pramoedya ananta

7

Bermirpan Blora Ditengok Kembali. A. Teeuw menjelaskan bahwa sudut pandang

dalam cerita Bukan Pasar Malam merupakan cerita persona pertama, yang di

dalamnya pencerita sekaligus protagonis. Dilihat dari hubungan kekeluargaan dari

beberapa cerita yang disebutkannya seperti Blora, Dia Jang Menyerah, dan Bukan

Pasar Malam tidak menyajikan ’riwayat sejati’ keluarga Pramoedya. Tetapi bagi

tiga cerita ini Pramoedya memerlukan latar sebuah keluarga yang mempunyai

kredibilitas. Dan mungkin tidak kebetulan dalam cerita keluarganya yang

nampaknya paling dekat dengan kenyataan keluarga Pramoedya, adalah Bukan

Pasar Malam.

Kajian pustaka lainnya yang terkait dengan penelitian ini adalah ”Nilai Sosial

dalam Novel Azab dan Sengsara karya Merari Siregar” ditulis oleh mahasiswa

Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Univ. Muhammadiyah Makkassar.

Dalam novel Azab dan Sengara, penggambaran hubungan manusia dalam

kehidupan bermasyarakat sangat jelas. Hubungan sosial tersebut meliputi sikap

tolong-menolong, saling menghargai dan menghormati sesama manusia,

peraturan-peraturan adat dalam pernikahan, dan sebagainya.

Sikap tolong-menolong ditampakkan oleh tokoh Aminuddin ketika menolong

Mariamin yang terjatuh di sungai. Saat itu, keduanya sedang meniti jembatan

untuk menyeberangi sungai, namun naas bagi Mariamin karena terjerumus masuk

sungai yang arusnya deras. Dengan sigap, Aminuddin melompat hendak

menolong Mariamin. Sikap yang digambarkan oleh Aminuddin ini merupakan

sikap yang mencerminkan hubungan sosial yang baik dalam kehidupan

bermasyarakat.

Sikap suka menolong juga ditampakkan oleh tokoh Aminuddin di sekolah.

Dia sering membantu teman-temannya mengerjakan tugas-tugas yang dianggap

susah. Walaupun Aminuddin pernah dimarahi oleh gurunya karena membantu

temannya mengerjakan tugas, namun akhirnya gurunya menyadari bahwa sikap

yang dilakukan oleh Aminuddin semata-mata untuk membantu sesama.

Masyarakat yang ada di sekitar tempat tinggal Aminuddin pun memiliki sikap

suka menolong. Hal ini terlihat saat seorang ibu melahirkan anaknya ketika

ditinggal pergi oleh suaminya. Dalam keadaan yang serba kekurangan itulah,

Page 14: NILAI SOSIAL DALAM NOVEL BUKAN PASAR MALAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/454/1/102754... · i nilai sosial dalam novel bukan pasar malam karya pramoedya ananta

8

masyarakat membantu sang ibu, baik dari segi materi maupun mengurus rumah

tangga karena sang ibu tidak dapat lagi berbuat apa-apa.

Nilai-nilai sosial juga tergambar jelas dalam hubungan pernikahan.

Masyarakat Batak yang menjadi latar tempat novel Azab dan Sengsara karya

Merari Siregar ini sangat menjunjung tinggi adat yang sudah dilestarikan dari

nenek moyang. Hal yang sangat kental dalam adat pernikahan adalah persukuan

(marga). Masyarakat Batak tidak akan menikah dengan marga yang sama karena

masih dianggap sebagai saudara. Dalam hal pernikahan, mereka akan mencari

jodoh pada marga lain.

G. Sistematika Penulisan

Untuk mendapatkan gambaran yang jelas dan terarah, maka penulis membagi

pembahasan ke dalam lima bab yang dibagi ke dalam sub-sub sebagai berikut:

Bab I berisi Pendahuluan, yang membahas latar belakang masalah, rumusan

masalah, tujuan penelitian, kajian pustaka, manfaat penelitian, dan

sistematika penulisan.

Bab II berisi Kajian teoretis, yang membahas hakikat sosiologi sastra, hakikat

novel, hakikat nilai sosial, dan hakikat pembelajaran sastra.

Bab III berisi Profil Pramoedya Ananta Toer, yang membahas penulis novel

Bukan Pasar Malam, karya-karya dan penghargaan Pramoedya Ananta

Toer.

Bab IV berisi Analisis nilai sosial novel Bukan Pasar Malam karya Pramoedya

Ananta Toer, yang membahas tinjauan terhadap novel Bukan Pasar Malam,

Sinopsis Bukan Pasar Malam, gambaran sosial masyarakat Indonesia dalam

novel Bukan Pasar Malam, temuan penelitian dan analisis nilai sosial dalam

novel Bukan Pasar Malam, implikasi dalam pembelajaran sastra di sekolah.

Bab V berisi Penutup, yang membahas simpulan dan saran.

Page 15: NILAI SOSIAL DALAM NOVEL BUKAN PASAR MALAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/454/1/102754... · i nilai sosial dalam novel bukan pasar malam karya pramoedya ananta

9

BAB II

KAJIAN TEORETIS

A. Hakikat Sosiologi Sastra

1. Pengertian Sosiologi Sastra

Secara singkat dapat dijelaskan bahwa sosiologi adalah telaah yang objektif

dan ilmiah tentang manusia dalam masyarakat; telaah lembaga dan proses sosial.

Sosiologi mencoba mencari tahu bagaimana masyarakat dimungkinkan,

bagaimana ia berlangsung, dan bagaimana ia tetap ada. Dengan mempelajari

lembaga-lembaga sosial dan segala masalah perekonomian, keagamaan, politik,

dan lain-lain yang kesemuanya itu merupakan struktur sosial. Kita mendapatkan

gambaran tentang cara-cara manusia menyesuaikan diri dengan lingkungannya,

tentang mekanisme sosialisasi, proses pembudayaan yang menempatkan anggota

masyarakat di tempatnya masing-masing.5

Sosiologi merupakan pengetahuan atau ilmu tentang sifat, perilaku, dan

perkembangan masyarakat; ilmu tentang struktur sosial, proses sosial dan

perubahannya.6 Sastra merupakan pengalaman batin penciptanya mengenai

kehidupan masyarakat dalam suatu kurun waktu tertentu. Di dalam karya sastra

dilukiskan keadaan dan kehidupan sosial suatu masyarakat, peristiwa-peristiwa,

ide dan gagasan, serta nilai-nilai yang diamanatkan.7

Dalam bukunya yang berjudul The Sociology of Literature, Swingewood

(1972) dalam Faruk (1994) mendefinisikan sosiologi sebagai studi ilmiah dan

objektif mengenai manusia dalam masyarakat, studi mengenai lembaga-lembaga

dan proses-proses sosial. Sosiologi berusaha menjawab pertanyaan mengenai

bagaimana masyarakat dimungkinkan, bagaimana cara kerjanya dan mengapa

5 Sapardi Djoko Damono, Sosiologi Sastra Sebuah Pengantar Ringkas. (Jakarta: Pusat

Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayan.1979), hlm. 7 6 Dandi Sugono (editor). Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Keempat. hlm. 1332

7 Drs. Widjojoko, M. Ed, dan Drs. Endang Hidayat, M. Pd. Teori dan Sejarah Sastra

Indonesia Edisi I, (Bandung: UPI Press, 2006), hlm. 2

Page 16: NILAI SOSIAL DALAM NOVEL BUKAN PASAR MALAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/454/1/102754... · i nilai sosial dalam novel bukan pasar malam karya pramoedya ananta

10

masyarakat itu bertahan hidup. Hal ini menyebabkan adanya satu pendapat bahwa

sosiologi adalah ilmu yang rumit.8

Sosiologi sastra atau sosiokritik dianggap sebagai disiplin yang baru. Sebagai

disiplin yang baru. Sebagai disiplin yang berdiri sendiri, sosiologi sastra dianggap

baru lahir abad ke- 18, ditandai dengan tulisan Madame de Stael (Albrecht, dkk.,

eds., 1970: ix; Laurenson dan Swingewood, 1972: 25-27) yang berjudul De la

literature cin sideree dans ses rapports avec les institutions sociales (1800).

Meskipun demikian, buku teks pertama baru terbit tahun 1970, berjudul The

Sociology of Art and Literature: a Reader, yang dihimpun oleh Milton C.

Albrecht, dkk.9

Sosiologi sastra berkembang dengan pesat sejak penelitian-penelitian dengan

memanfaatkan teori strukturalisme dianggap mengalami kemunduran. Analisis

strukturalisme dianggap mengabaikan relevansi masyarakat yang justru

merupakan asal-usulnya. Dipicu oleh kesadaran bahwa karya sastra harus

difungsikan sama dengan aspek-aspek kebudayaan yang lain, maka satu-satunya

cara adalah mengembalikan karya sastra ke tengah-tengah masyarakat,

memahaminya sebagai bagian yang tak terpisahkan dengan sistem komunikasi

secara keseluruhan.10

Karya sastra menerima pengaruh dari masyarakat dan sekaligus mampu

memberi pengaruh terhadap masyarakat. Burhan mengutip pendapat Wellek dan

Warren dalam Teori Pengkajian Fiksi membahas hubungan antara sastra dan

masyarakat. Sastra lahir sebagai proses kreativitas manusia yang bersumber dari

kehidupan masyarakat (manusia) tempat ia itu dilahirkan. Sastra merupakan

sebuah ciptaan, sebuah kreasi, bukan semata-mata sebuah imitasi (peniruan).

Sastra merupakan suatu luapan emosi yang spontan dari hal yang dilihat dan

8 Faruk, Pengantar Sosiologi Sastra, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1994), hlm. 1

9 Prof. Dr. Nyoman Kutha Ratna, S. U., Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra dari

Struktualisme hingga Postruktualisme, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 331 10

Prof. Dr. Nyoman Kutha Ratna, S. U., Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra dari

Struktualisme hingga Postruktualisme, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 332

Page 17: NILAI SOSIAL DALAM NOVEL BUKAN PASAR MALAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/454/1/102754... · i nilai sosial dalam novel bukan pasar malam karya pramoedya ananta

11

dirasakan oleh sastrawan dalam lingkungan kehidupan yang kemudian

dituangkannya dalam karya sastra.11

”Sastra harus dipandang dalam hubungan yang tak terpisahkan dengan

kehidupan masyarakat, latar belakang unsur sejarah dan sosial yang

memengaruhi pengarang [...] dan harus mengabaikan sudut pandang yang

subjektif dan arbitrer yang menganggap setiap buku sebagai suatu karya

yang independen dan berdiri sendiri” 12

Karya sastra itu lahir melalui imajinasi pengarang dengan gambaran atau

realitas sosial yang ada dalam masyarakat. Pengarang merupakan anggota

masyarakat sehingga dia ikut merasakan dan mengalami akibat dari kejadian-

kejadian yang timbul di dalam masyarakat. Oleh karena itu, ide-ide yang

diekspresikan dalam karyanya tidak dapat dipisahkan dari situasi kehidupan

masyarakat. Dengan kata lain, hal-hal yang dilihat, dialami, dan dirasakan oleh

pengarang dalam lingkungannya termasuk lingkungan sosialnya. Dirumuskan

sedemikian rupa untuk menghasilkan sebuah karya sastra.

Karya sastra diciptakan oleh sastrawan untuk dinikmati, dipahami, dan

dimanfaatkan oleh masyarakat. Sastrawan itu sendiri adalah anggota masyarakat.

Ia terikat status sosial tertentu. Sastra adalah lembaga sosial yang menggunakan

bahasa sebagai mediumnya, dan bahasa merupakan ciptaan sosial. Sastra

menampilkan gambaran kehidupan, dan kehidupan itu sendiri adalah suatu

kenyataan sosial. Dalam pengertian ini, kehidupan mencakup hubungan

antarmasyarakat, antara masyarakat dengan orang-seorang, antarmanusia, dan

peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam batin seseorang, yang sering menjadi bahan

sastra, adalah pantulan hubungan seseorang dengan orang lain atau dengan

masyarakat.

Pernyataan di atas menunjukkan bahwa sastra tidak jatuh begitu saja dari

langit, bahwa hubungan yang ada antara sastrawan, sastra, dan masyarakat

bukanlah sesuatu yang dicari-cari. Jadi tak apa, jika kita membicarakan masalah

11

Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi. (Yogyakarta: Gajah Mada University

Press.2000), hlm. 6-7 12

Robert Escarpit, Sosiologi Sastra. (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.2005), hlm. 8

Page 18: NILAI SOSIAL DALAM NOVEL BUKAN PASAR MALAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/454/1/102754... · i nilai sosial dalam novel bukan pasar malam karya pramoedya ananta

12

timbal-balik antara ketiga unsur tersebut. Karena sejatinya karya sastra yang telah

dijelaskan sebelumnya, diciptakan untuk dinikmati, dipahami, dan dimanfaatkan

oleh masyarakat. Boleh dikatakan sastra muncul berdampingan dengan lembaga

sosial tertentu. Dalam masyarakat primitif, misalnya, kita sulit memisahkan sastra

dari upacara keagamaan, ilmu gaib, pekerjaan sehari-hari, dan permainan. Dalam

membaca novel atau sajak, kita masih bisa mendapatkan kenikmatan seperti yang

didapatkan dari permainan. Kita pun mungkin bisa merasa lega sehabis mengikuti

upacara keagamaan. Dan apabila kita mampu memahami pesan yang terselubung

di dalam karya sastra, batin kita lebih tetap dalam menghadapi pekerjaan sehari-

hari. Lebih jauh lagi, sastra bisa mengandung gagasan yang mungkin

dimanfaatkan untuk menumbuhkan sikap sosial tertentu, atau bahkan untuk

mencetuskan peristiwa sosial tertentu.13

Menurut Ian Watt dalam eseinya yang berjudul ‖Literature and Society‖

tentang hubungan timbal-balik antara sastrawan, sastra dan masyarakat, secara

keseluruhan adalah sebagai berikut: pertama, konteks sosial pengarang. Ini

hubungannya dengan posisi sosial sastrawan dalam masyarakat dan kaintannya

dengan masyarakat pembaca. Kedua, sastra sebagai cermin masyarakat.

Maksudnya sampai sejauh mana sastra dapat dianggap sebagai mencerminkan

masyarakat. Dan ketiga, fungsi sosial sastra, yaitu sastra harus mengajarkan

sesuatu dengan cara menghibur.14

Dengan demikian, dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sosiologi

sastra adalah salah satu pendekatan untuk mengurai karya sastra yang mengupas

masalah hubungan antara pengarang dengan masyarakat, berupa hasil karya sastra

dengan masyarakat.

13

Sapardi Djoko Damono, Sosiologi Sastra Sebuah Pengantar Ringkas. (Jakarta: Pusat

Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayan.1979), hlm. 1-2 14

Sapardi Djoko Damono, Sosiologi Sastra Sebuah Pengantar Ringkas. (Jakarta: Pusat

Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayan.1979), hlm. 3-4

Page 19: NILAI SOSIAL DALAM NOVEL BUKAN PASAR MALAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/454/1/102754... · i nilai sosial dalam novel bukan pasar malam karya pramoedya ananta

13

B. Hakikat Novel

1. Pengertian Novel

Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata ’novel’ berarti karangan prosa

yang panjang yang mengandung rangkaian cerita kehidupan seseorang dengan

orang-orang di sekelilingnya dengan menonjolkan watak dan sifat setiap pelaku.

Sebutan novel dalam bahasa Inggris yang masuk ke Indonesia berasal dari bahasa

Itali novella (yang dalam bahasa Jerman: novelle). Secara harfiah novella berarti

’sebuah barang baru kecil’, dan kemudian diartikan sebagai cerita pendek dalam

bentuk prosa’ (Abrams, 1981: 119)

Dalam novel tercakup pengertian roman; sebab roman hanyalah istilah novel

untuk zaman sebelum perang dunia kedua di Indonesia. Digunakannya roman

waktu itu adalah wajar karena sastrawan Indonesia waktu itu pada umumnya

berorientasi Belanda, yang lazim menamakan bentuk ini dengan roman. Istilah ini

juga dipakai di Perancis dan Rusia, serta sebagian negara-negara Eropa. Istilah

novel dikenal di Indonesia setelah kemerdekaan, yakni setelah sastrawan

Indonesia banyak beralih kepada bacaan-bacaan yang berbahasa Inggris. Di

Inggris dan Amerika istilah yang dikenal adalah novel, tidak dikenal atau tidak

menggunakan istilah roman, betapapun menyangkut karya-karya besar. Karya

Tolstoi, Perang dan Damai, diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, juga disebut

novel walaupun di Rusia dinamai roman.15

Unsur-unsur yang membangun sebuah novel secara garis besar dibedakan

menjadi dua bagian, yaitu: (1) Struktur luar (ekstrinsik) dan (2) Struktur dalam

(intrinsik). Struktur luar (ekstrinsik) adalah segala macam unsur yang berada di

luar suatu karya sastra yang ikut mempengaruhi kehadiran karya sastra tersebut,

misalnya: faktor sosial-ekonomi, faktor kebudayaan, faktor sosio-politik,

keagamaan, dan tata nilai yang dianut masyarakat. Sedangkan struktur dalam

(intrinsik) adalah unsur-unsur yang membentuk karya sastra tersebut, seperti:

tema, tokoh, alur, latar, pusat pengisahan, dan gaya bahasa.16

15

Atar Semi, Anatomi Sastra, (Padang: Angkasa Raya, 1988), hlm. 32 16

Atar Semi, Anatomi Sastra, (Padang: Angkasa Raya, 1988), hlm. 35

Page 20: NILAI SOSIAL DALAM NOVEL BUKAN PASAR MALAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/454/1/102754... · i nilai sosial dalam novel bukan pasar malam karya pramoedya ananta

14

C. Hakikat Nilai Sosial

Setiap masyarakat sebagai sebuah kehidupan bersama tentulah memiliki

berbagai aturan atau kesepakatan yang luhur untuk mengatur berlangsungnya

kehidupan bersama. Kehidupan bersama tentu juga memiliki sesuatu yang

dijunjung tinggi, dihormati, serta ditaati oleh seluruh anggota masyarakatnya. Di

sisi lain, ada juga sesuatu yang dilarang untuk dilakukan dan harus dijauhi oleh

anggota masyarakat. Sesuatu tersebut secara umum disebut sebagai nilai sosial.

Nilai sosial adalah nilai yang dianut oleh suatu masyarakat, mengenai apa

yang dianggap baik dan apa yang dianggap buruk oleh masyarakat. Sebagai

contoh, orang menolong memiliki nilai baik, sedangkan mencuri bernilai buruk.

Untuk menentukan sesuatu itu dikatakan baik atau buruk, pantas atau tidak pantas

harus melalui proses menimbang. Hal ini tentu sangat dipengaruhi oleh

kebudayaan yang dianut masyarakat. Oleh karena itu terdapat perbedaan tata nilai

antara masyarakat yang satu dan masyarakat yang lain. Contoh, masyarakat yang

tinggal di perkotaan lebih menyukai persaingan karena dalam persaingan akan

muncul pembaharuan-pembaharuan. Sementara masyarakat tradisional lebih

cenderung menghindari persaingan karena dalam persaingan akan mengganggu

keharmonisan dan tradisi yang turun-temurun.

1. Nilai dan Sosial

Nilai menurut Horton dan Hunt (1987) adalah gagasan mengenai apakah suatu

pengalaman itu berarti atau tidak berarti. Nilai pada hakikatnya mengarahkan

perilaku dan pertimbangan seseorang, tetapi ia tidak menghakimi apakah sebuah

perilaku tertentu itu salah atau benar.17

Kata ’nilai’ di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga

mempunyai arti sifat-sifat (hal-hal) yang penting atau berguna bagi kemanusiaan.

Kata ’nilai’ diartikan sebagai harga, kadar, mutu atau kualitas untuk mempunyai

nilai. Maka sesuatu harus memiliki sifat-sifat yang penting dan bermutu atau

berguna dalam kehidupan manusia. Sedangkan kata ’sosial’ memiliki arti

berkenaan dengan masyarakat. Jadi, nilai sosial merupakan hal-hal bersifat

17

J. Dwi Narwoko, dan Bagong Suyanto, Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan Edisi

Kedua, (Jakarta: Media Group, 2004), hlm. 55

Page 21: NILAI SOSIAL DALAM NOVEL BUKAN PASAR MALAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/454/1/102754... · i nilai sosial dalam novel bukan pasar malam karya pramoedya ananta

15

penting dan berguna bagi kemanusiaan yang berkaitan dengan kehidupan

masyarakat.

2. Pengertian Nilai Sosial

Berikut ini definisi nilai sosial menurut pendapat para ahli:

a. Alvin L. Bertrand

Nilai adalah suatu kesadaran yang disertai emosi yang relatif lama

hilangnya terhadap suatu objek, gagasan, atau orang.

b. Robin Williams

Nilai sosial adalah hal yang menyangkut kesejahteraan bersama melalui

konsensus yang efektif di antara mereka, sehingga nilai-nilai sosial

dijunjung tinggi oleh banyak orang.

c. Kimball Young

Nilai sosial adalah asumsi-asumsi yang abstrak dan sering tidak disadari

tentang apa yang benar dan apa yang penting dalam masyarakat.

d. Clyde Kluckhohn

Dalam bukunya ' Culture and Behavior ', Kluckhohn menyatakan bahwa

yang dimaksud dengan nilai bukanlah keinginan, tetapi apa yang

diinginkan. Artinya nilai bukan hanya diharapkan, tetapi diusahakan

sebagai suatu yang pantas dan benar bagi diri sendiri dan orang lain.

e. Woods

Nilai sosial adalah petunjuk-petunjuk umum yang telah berlangsung lama,

yang mengarahkan tingkah laku dan kepuasan dalam kehidupan sehari-

hari.

Page 22: NILAI SOSIAL DALAM NOVEL BUKAN PASAR MALAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/454/1/102754... · i nilai sosial dalam novel bukan pasar malam karya pramoedya ananta

16

f. Koentjaraningrat

Suatu sistem nilai budaya biasanya berfungsi sebagai pedoman tertinggi

bagi kelakuan manusia.

g. Green

Kesadaran yang secara relatif berlangsung disertai emosi terhadap objek.

Drs. Suparto mengemukakan bahwa nilai-nilai sosial memiliki fungsi umum

dalam masyarakat. Di antaranya nilai-nilai dapat menyumbangkan seperangkat

alat untuk mengarahkan masyarakat dalam berpikir dan bertingkah laku. Selain

itu, nilai sosial juga berfungsi sebagai penentu terakhir bagi manusia dalam

memenuhi peranan-peranan sosial. Nilai sosial dapat memotivasi seseorang untuk

mewujudkan harapan sesuai dengan peranannya. Contohnya ketika

menghadapi konflik, biasanya keputusan akan diambil berdasarkan pertimbangan

nilai sosial yang lebih tinggi. Nilai sosial juga berfungsi sebagai alat solidaritas di

kalangan anggota kelompok masyarakat. Dengan nilai tertentu anggota kelompok

akan merasa sebagai satu kesatuan. Nilai sosial juga berfungsi sebagai alat

pengawas (kontrol) perilaku manusia dengan daya tekan dan daya mengikat

tertentu agar orang berprilaku sesuai dengan nilai yang dianutnya.18

3. Ciri Nilai Sosial

Beberapa ciri nilai sosial di antaranya adalah sebagai berikut:

a. Nilai sosial merupakan konstruksi masyarakat sebagai hasil interaksi

antaranggota masyarakat

b. Nilai sosial disebarkan di antara anggota masyarakat (bukan bawaan lahir)

c. Nilai sosial terbentuk melalui sosialisasi (proses belajar yang berlangsung

sejak dari masa kanak-kanak dalam keluarga)

d. Nilai sosial merupakan bagian dari usaha pemenuhan kebutuhan dan

kepuasan sosial manusia

e. Nilai sosial dapat memengaruhi pengembangan diri sosial dalam

masyarakat, baik positif maupun negatif

18

Anonim, ”Nilai Sosial” di dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Nilai_sosial (diunduh pada

Jumat, 1 April 2011 pkl 21:24 WIB)

Page 23: NILAI SOSIAL DALAM NOVEL BUKAN PASAR MALAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/454/1/102754... · i nilai sosial dalam novel bukan pasar malam karya pramoedya ananta

17

f. Nilai sosial memiliki pengaruh yang berbeda pada antaranggota

masyarakat

g. Nilai sosial bervariasi antara kebudayaan yang satu dengan kebudayaan

yang lain

h. Nilai sosial cenderung berkaitan satu sama lain dan membentuk pola-pola

dan sistem nilai dalam suatu masyarakat.19

4. Macam-macam Nilai Sosial

Ada beberapa macam nilai sosial dalam masyarakat yang berfungsi sebagai

sarana pengendalian dalam kehidupan bersama. Seseorang dianggap patuh atau

menyimpang dari tatanan sosial, nilai tersebut sebagai tolok ukurnya. Nilai-nilai

tersebut sebagai nilai yang bersifat umum berlaku pada hampir semua masyarakat.

Adapun nilai-nilai yang dimaksud, antara lain sebagai berikut:

1. Etika

Etika menjadi tolok ukur untuk menganggap tingkah laku atau perbuatan

seseorang dianggap baik atau menyimpang. Etika adalah suatu nilai tentang

baik atau buruk yang terkait dengan perilaku seseorang dalam kehidupan

bersama. Misalnya, dalam berbicara, sopan atau tidakkah seseorang dalam

bertutur kata. Jika seseorang berbicara dengan menggunakan bahasa Jawa

mereka akan menggunakan kromo madyo atau kromo inggil kepada orang

yang lebih dihormati, misalnya: ‖Punopo bapak sampun dhahar?‖ (Apakah

Bapak sudah makan?)

2. Moral

Nilai sosial yang terkait dengan moral adalah nilai-nilai yang berhubungan

dengan jiwa, hati, dan perasaan seseorang dalam melakukan tindakan. Nilai

moral menjadi tolok ukur untuk menganggap perilaku seseorang, bertentangan

dengan hati nurani atau tidak. Misalnya, mencuri, tidak jujur, dan ingkar janji

merupakan tindakan-tindakan yang berkaitan dengan moral. Tindakan

pemerkosaan, melakukan kebohongan, dan memfitnah adalah tindakan yang

tidak bermoral.

19

Drs. Andreas Soeroso, M. S., Sosiologi 1(Jakarta: Yudhistira, 2006), hlm. 36

Page 24: NILAI SOSIAL DALAM NOVEL BUKAN PASAR MALAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/454/1/102754... · i nilai sosial dalam novel bukan pasar malam karya pramoedya ananta

18

3. Agama

Nilai sosial terkait dengan nilai agama adalah tindakan-tindakan sosial yang

terkait dengan tuntunan ajaran agama yang ada. Apakah seseorang

menjalankan kewajiban agama secara benar dan baik ataukah ia tidak

menjalankan kewajiban keagamaannya secara baik.

4. Hukum

Nilai hukum sangat terkait dengan perundang-undangan yang berlaku. Hukum

biasanya memiliki kepastian tentang nilai-nilai yang diatur di dalamnya dan

sanksi yang diberikan terhadap pelanggarnya. Nilai hukum terkait dengan hak

asasi manusia atau terkait dengan pelanggaran nilai-nilai kemanusiaan akan

masuk dalam hukum pidana. Pelanggarnya secara otomatis dilaporkan oleh

pihak kepolisian untuk diadili.20

D. Hakikat Pembelajaran Sastra

Secara umum tujuan pembelajaran matapelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia

bidang sastra dalam kurikulum 2004, yaitu: (1) agar peserta didik mampu

menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk mengembangkan kepribadian,

memperluas wawasan kehidupan, serta meningkatkan pengetahuan dan

kemampuan berbahasa; (2) peserta didik menghargai dan membanggakan sastra

Indonesia sebagai khazanah budaya dan intelektual manusia Indonesia.

Tujuan itu dijabarkan ke dalam kompetensi: mendengarkan, berbicara,

membaca, dan menulis sastra. Kemampuan mendengarkan sastra meliputi

kemampuan mendengarkan, memahami, mengapresiasi ragam karya sastra (puisi,

prosa, drama) baik karya asli maupun saduran/terjemahan sesuai dengan tingkat

kemampuan peserta didik. Kemampuan berbicara sastra meliputi kemampuan

membahas dan mendiskusikan ragam karya sastra sesuai dengan isi dan konteks

lingkungan dan budaya. Kemampuan membaca sastra meliputi kemampuan

membaca dan memahami berbagai jenis dan ragam karya sastra, serta mampu

melakukan apresiasi secara tepat. Kemampuan menulis sastra meliputi

20

Drs. Andreas Soeroso, M. S., Sosiologi 1(Jakarta: Yudhistira, 2006), hlm. 36-37

Page 25: NILAI SOSIAL DALAM NOVEL BUKAN PASAR MALAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/454/1/102754... · i nilai sosial dalam novel bukan pasar malam karya pramoedya ananta

19

kemampuan mengekspresikan karya sastra yang diminati (puisi, prosa, drama)

dalam bentuk sastra tulis yang kreatif, serta dapat menulis kritik dan esai sastra

berdasarkan ragam sastra yang sudah dibaca.

Sesuai dengan amanat Kurikulum 2004, pembelajaran sastra hendaknya

digunakan peserta didik sebagai salah satu kecakapan hidup dan belajar sepanjang

hayat yang dibakukan dan harus dicapai oleh peserta didik melalui pengalaman

belajar. Dalam Kurikulum 2004 kecakapan hidup ini disebut sebagai Standar

Kompetensi Lintas Kurikulum. Kecakapan hidup dapat dikelompokkan menjadi

lima jenis. Kelima jenis kecakapan itu adalah:

1. kecakapan mengenal diri (self awareness) atau kecakapan personal;

2. kecakapan berpikir rasional (thinking skill);

3. kecakapan sosial (social skill);

4. kecakapan akademik (academic skill);

5. kecakapan vokasional (vocasional skill).21

Sastra lahir oleh dorongan manusia untuk mengungkapkan diri tentang

masalah manusia, kemanusiaan, dan semesta. Sastra adalah pengungkapan

masalah hidup, filsafat, dan ilmu jiwa. Sastrawan dapat dikatakan sebagai ahli

ilmu jiwa dan filsafat yang mengungkapkan masalah hidup, kejiwaan, dan filsafat,

bukan dengan cara teknik akademis melisankan melalui tulisan sastra.22

Perbedaan sastrawan dengan orang lain terletak pada kepekaan sastrawan yang

dapat menembus kebenaran hakiki manusia yang tidak dapat diketahui orang lain.

Sastra selain sebuah karya seni yang memiliki budi, imajinasi, dan emosi, juga

sebagai karya kreatif yang dimanfaatkan sebagai konsumsi intelektual dan

emosional. Sastra yang telah dilahirkan oleh sastrawan diharapkan dapat memberi

kepuasan estetik dan intelektual bagi pembaca.

Mengacu pada pengertian sastra di atas, sudah sewajarnya bila tujuan

pembelajaran sastra juga untuk menanamkan nilai-nilai kemanusiaan kepada

siswa. Sastra dapat mempengaruhi daya emosi, imajinasi, kreativitas, dan

intelektual siswa sehingga berkembang secara maksimal.

21

Dr. Wahyudi Siswanto. Pengantar Teori Sastra (Jakarta: 2008), hlm. 171-173 22

Dr. Wahyudi Siswanto. Pengantar Teori Sastra (Jakarta: 2008), hlm. 67

Page 26: NILAI SOSIAL DALAM NOVEL BUKAN PASAR MALAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/454/1/102754... · i nilai sosial dalam novel bukan pasar malam karya pramoedya ananta

20

Karya sastra sangat bermanfaat bagi pembaca apabila ia bersedia

mengapresiasikannya. Apresiasi mengandung arti memahami, menikmati, dan

menghargai atau menilai. Obyek apresiasi lain, mengalami sendiri atau dari

membaca buku. Salah satu buku yang juga memuat pengetahuan adalah novel.

Karya sastra yang berbentuk novel, memuat kisah-kisah tentang kehidupan

yang disampaikan dengan menggunakan bahasa secara halus yang bersifat

imajinatif oleh pengarang. Oleh karena itu, pembaca pun mesti menggunakan

pikiran kritis dan kepekaan perasaannya untuk karya sastra. Pemahaman sensitif

lebih mengacu pada aspek afektif kemampuan seseorang daripada aspek kognitif.

Menurut Oemarjati mengapresiasikan sastra berarti menanggapi sastra dengan

kemampuan afektif yang di satu pihak peka terhadap nilai-nilai yang dikandung

karya yang bersangkutan baik yang tersurat maupun tersirat dalam kerangka

tematik yang mendasarinya. Di lain pihak kepekaan tanggapan tersebut berupaya

memahami pola tata nilai yang diperolehnya dari bacaan di dalam proporsi yang

sesuai dengan konteks persoalan. Dengan demikian pembelajaran sastra di

sekolah dilakukan dengan metode yang tepat mengacu pada kemampuan afektif

siswa, sehingga menjadi apresiatif.23

23

Boen, S. Oemarjati, ―Pembinaan Apresiasi Sastra Dalam Proses Belajar Mengajar,‖,

dalam Bulir-Bulir Sastra dan Bahasa: Pembahasan Pengajaran, ed., Bambang Kaswanti Purwa

(Yogyakarta: Kanisius, 1991), hlm. 58

Page 27: NILAI SOSIAL DALAM NOVEL BUKAN PASAR MALAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/454/1/102754... · i nilai sosial dalam novel bukan pasar malam karya pramoedya ananta

21

BAB III

PROFIL PRAMOEDYA ANANTA TOER

A. Penulis Novel Bukan Pasar Malam

1. Biografi Pramoedya Ananta Toer

Pramoedya Ananta Toer yang oleh semua adiknya dipanggil Mas Moek,

adalah nama kepengarangan yang kini menjadi standar bagi dia. Perjalanan dari

nama Pramoedyo ke nama Pramoedya Ananta Toer, tidak sangsi lagi, merupakan

sejarah panjang pergulatan pemikiran dan perenungan. Tidak heran, Mas Moek

merasa perlu menuliskannya dalam satu uraian panjang berjudul

―Memoar−Hikajat Sebuah Nama‖ di tahun 1962.

Paling tidak ada sembilan nama yang pernah digunakannya, sebelum akhirnya

ia mantap menggunakan nama Pramoedya Ananta Toer. Itu dapat dilacak dari

berbagai tulisan yang dimuat dalam májala dan suratkabar pada zamannya, yaitu:

a. Pramoedya Tr., dalam ―115 Boeah Wasiat Madjapahit‖, penerjemah

(Sadar, No. 5 Th. II, 10 Januari 1947)

b. Ananta Toer, dalam Lode Zielens: ―Bunda untuk apa kami dilahirkan‖,

penerjemah (Sadar, No. 5 Th. II, 13 Juni1947)

c. M. Pramoedya Toer, dalam ―Hoeroef‖ (Sadar, No. 5 Th. II, 10 Januari

1947)

d. Pr. Toer, dalam ―Kalau Mang Karta di Djakarta‖ (Sadar, Mei 1947),

“ORI di Djakarta” (J. 23-5-1947, Sadar 1947)

e. Pr. A. Toer, dalam ‖Dajachajal, ketekunan, keperwiraan dan ilmu‖ (J. 11-

XI-1952, Pemuda, No. 1 Th. IV, Januari 1954)

f. Pramoedya Toer, dalam ‖Bingkisan: Untuk adikku R.‖ (Sadar, No.6 Th.

II, 13 Juni 1947)

g. Pram Ananta Toer, dalam ‖Keluarga Mbah Rono Djangkung‖ (sumber

tak jelas)

h. Pramudya Ananta Tur, dalam ‖Lemari Buku‖ (Mimbar Indonesia, [1951],

”Keadaan sosial para pengarang Indonesia” (Star Weekly, No. 576, 12

Januari 1957), ”Sepku” (Mingguan Politik Pelopor, 27 Januari 1952)

Page 28: NILAI SOSIAL DALAM NOVEL BUKAN PASAR MALAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/454/1/102754... · i nilai sosial dalam novel bukan pasar malam karya pramoedya ananta

22

i. Pramudya Ananta Toer, dalam ”Kalil siopas kantor”, ”Yang tinggal dan

yang pergi (Gelanggang, April 1955), dan akhirnya

j. Pramoedya Ananta Toer, dalam ”Anak Tumpahdarah” (sumber tak

jelas).24

Pramoedya Ananta Toer lahir di tengah-tengah keluarga guru yang gandrung

akan kemerdekaan. Mamuk adalah nama kecil dari Pramoedya Ananta Toer,

ayahnya bernama Imam Mastoer, ia dilahirkan pada hari Jumat, tanggal 6

Februari 1962. Nama Pramoedya sendiri memiliki makna “yang paling pertama

dalam peperangan”, makna dari nama tersebut sesuai dengan suasana waktu itu

pada zaman penjajahan. Ibunya pernah menerangkan bahwa para yang berarti

’yang terutama’ atau ’paling pertama’, sedangkan moedya berarti ’peperangan’,

jelas yang paling pertama dalam peperangan.25

Ayahnya bernama Mastoer adalah seorang guru. Selain itu ayahnya juga

seorang tokoh Politik (PNI) cabang Blora yang juga mampu menulis. Hal ini

banyak berpengaruh terhadap Pram. Apalagi ia pernah bersekolah di sekolah yang

berpaham kebangsaan. Paham kebangsaannya itu tumbuh dan berkembang saat

Belanda ingin memulihkan kekuasaannya di Indonesia. Pram bergabung dengan

kaum nasionalis, dengan bekerja di radio dan menerbitkan majalah berbahasa

Indonesia. Pada saat itulah ia mulai menulis cerita. Tulisannya yang pertama

adalah cerita pendek berjudul Kemana di majalah Pancaraya tahun 1947.

Selanjutnya namanya mencuat melalui novel Kranji-Bekasi Jatuh pada tahun

1947. Pram mengaku menulis sejak duduk di kelas 4 sekolah dasar (SD), satu di

antaranya pernah dikirimkan ke penerbit Tan Koen Swie, Kediri, tetapi ditolak.

Anak sulung ini pernah menempuh pendidikan di Radio Volkschool Surabaya

(1940), Taman Dewasa/Taman Siswa (1942-1943), Sekolah stenografi (1944-

1945), dan Sekolah Tinggi Islam Jakarta (1945). Pernah menjadi juru tik di

Kantor Berita Jepang Domei (1942-1945), Letnan dua dalam Resimen 6 Divisi

24

Koesalah Soebagyo Toer, Pramoedya Ananta Toer dari Dekat Sekali, (Jakarta:

Kepustakaan Populer Gramedia, 2006), hlm. viii 25

Koesalah Soebagyo Toer, “Pengantar Koesalah Soebagyo Toer” di dalam Menggelinding

I. Editor: Astuti Ananta Toer, (Jakarta: Lentera Dipantara, 2004), hlm xxi

Page 29: NILAI SOSIAL DALAM NOVEL BUKAN PASAR MALAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/454/1/102754... · i nilai sosial dalam novel bukan pasar malam karya pramoedya ananta

23

Siliwangi (1946), Redaktur Balai Pustaka (1950-1951), Pimpinan ”Literary &

Features Agency Duta” (1951-1954), Redaktur bagian penerbitan ”The Voice of

Free Indonesia” (1954), anggota Pimpinan Pusat Lekra (1958), Ketua Delegasi

Indonesia dalam Konferensi Pengarang Asia-Afrika di Tasjkent, Uni Soviet

(1958), Anggota Dewan Komite Perdamaian Indonesia (1959), redaktur ”Lentera”

(1962-1965). Dosen Fakultas Sastra Universitas Res Republika, Jakarta (sekarang

Universitas Trisakti), dan dosen Akademi Jurnalistik Dr. Abdul Rivai, Jakarta.

Pada saat di Penjara Bukit Duri, tahanan dilarang untuk menulis, Pram

mencari cara untuk tetap bisa menulis, yaitu memakai arang yang diruncingkan. Ia

menulis sambil jongkok di atas kaleng margarin, dengan alas sepotong papan,

bermeja ambin beton yang biasa digunakannya untuk tempat tidur. Ia pun tetap

menulis di kala malam, sambil tengkurap di ambin tempat tidurnya dengan

penerangan pelita. 26

Di Pulau Buru pun ia mendapat pelarangan yang sama.

Namun, ia tetap mengatur untuk menulis. Tubuh Pram memang terpenjara.

Namun tidak menghalangi pikirannya yang terus bergolak. Bahkan di Pulau Buru

lah empat buku novel Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan

Rumah Kaca yang merupakan karya terbesar Pram Tetralogi Pulau Buru. (The

Quartet Buru). Proses penciptaan buku tersebut itu pun sangat luar biasa. Pram

khawatir tidak mungkin bisa keluar dari Buru hidup-hidup dan menyelesaikan

empat bukunya itu. Lalu ia memutuskan untuk mengarang empat novel tersebut di

dalam kepalanya, dan menceritakannya secara lisan kepada rekan-rekannya

sesama tahanan politik di Pulau Buru.

Pada tahun 1960an ia ditahan kembali oleh pemerintahan Orde Baru rezim

Soeharto karena pandangan pro-komunis Tiongkoknya. Bukunya dilarang dari

peredaran, dan ia ditahan tanpa pengadilan di Nusakambangan (Juli 1969-16

Agustus 1969), dan akhirnya di Pulau Buru selama sepuluh tahun (Agustus 1969-

12 November 1979). Penjara, penderitaan, penyiksaan, penghinaan tidak

membuat Pramoedya Ananta Toer “mati”. Kreativitasnya bergolak dan semuanya

itu dibalasnya dengan karya-karya besar yang mampu menembus dunia. Dari

26

Pramoedya Ananta Toer. Nyanyi Sunyi Seorang Bisu II: Catatan Dari Pulau Buru,

Jakarta: Lentera. hlm. 70

Page 30: NILAI SOSIAL DALAM NOVEL BUKAN PASAR MALAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/454/1/102754... · i nilai sosial dalam novel bukan pasar malam karya pramoedya ananta

24

penjara inilah karya-karyanya dikenal sampai ke luar negeri. Pramoedya Ananta

Toer memang ditakdirkan untuk menulis. Bahkan di penjara di mana ada larangan

untuk menulis, Pram menggunakan segala cara untuk bisa menulis.

Kehidupan pengarang yang satu ini tak lepas dari kontroversi. Ketika

Pramoedya mendapatkan penghargaan Ramon Magsaysay Award tahun 1995

diberitakan sebanyak 26 tokoh sastra Indonesia menulis surat protes ke Yayasan

Ramon Magsaysay. Mereka merasa penghargaan tersebut tidak pantas diberikan

kepada Pramoedya, karena Pram pernah dituding sebagai jubir Lekra yang paling

galak, menghantam, menggasak, membantai, dan mengganyang di masa

Demokrasi Terpimpin.

Tetapi beberapa hari kemudian, Taufik Ismail sebagai pemrakarsanya meralat

pemberitaan tersebut. Katanya bukan menuntut pencabutan, namun mengingatkan

siapa Pramoedya itu. Katanya banyak orang tidak mengetahui reputasi gelap Pram

dulu. Maka dari itu pemberian Ramon Magsaysay dikatakan sebagi suatu

kecerobohan. Di lain pihak, Mochtar Lubis mengancam mengembalikan hadiah

Magsaysay yang dianugerahkan kepadanya di tahun 1958, jika Pram tetap akan

dianugerahkan hadiah yang sama. Begitu pula dengan HB. Jassin.27

Pengarang yang bersahabat dengan penjara ini merupakan penulis yang

produktif. Terbukti ia telah menulis lebih dari 40 karya seperti: novel, cerita

pendek, drama, sejarah, kritik sastra dan lebih dari 400 essai dalam surat kabar.

Pram seorang humanis, sebagaimana ia sangat mengagumi Multatuli. Ia seorang

nasionalis, sangat cinta kepada kemanusiaan dan kepada bangsanya. Oleh karena

itu, karya-karyanya selalu membela kemanusiaan, tentang penderitaan anak-anak

bangsa karena penjajahan. Dari kecintaannya kepada kemanusiaan inilah lahir

sejumlah karya Perburuan, Keluarga Gerilya, Di Tepi Kali Bekasi hingga

Tetralogi Bumi Manusia. Ada sekitar 200 buku yang pernah diterjemahkan ke

berbagai bahasa dunia.

Pada 27 April 2006, Pram sempat tak sadarkan diri. Pihak keluarga akhirnya

memutuskan membawa ia ke RS. St. Carolus. Ia didiagnosis menderita radang

27

Astuti Ananta Toer (editor), dalam buku Seribu Wajah Pram dalam Kata dan Sketsa,

Jakarta: Lentera Dipantara. 2009. hlm.4-5

Page 31: NILAI SOSIAL DALAM NOVEL BUKAN PASAR MALAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/454/1/102754... · i nilai sosial dalam novel bukan pasar malam karya pramoedya ananta

25

paru-paru, penyakit yang selama ini tidak pernah menjangkitinya, ditambah

komplikasi ginjal, jantung, dan diabetes. Pram hanya bertahan tiga hari di rumah

sakit. Setelah sadar, ia kembali meminta pulang. Meski permintaan itu tidak

direstui dokter, Pram bersikeras ingin pulang. Sabtu, 29 April sekitar pukul 19.00

WIB begitu sampai di rumahnya. Kondisinya menjadi jauh lebih baik. Meski

masih kritis, Pram sudah bisa memiringkan badannya dan menggerak-gerakkan

tangannya.

Kondisinya sempat memburuk lagi pada pukul 20.00 WIB. Pram masih dapat

tersenyum dan mengepalkan tangan ketika sastrawan Eka Budianta

menjenguknya. Ia juga tertawa saat dibisiki para penggemar yang menjenguknya.

Kondisi Pram memang sempat membaik, lalu kritis lagi. Pram kemudian sempat

mencopot selang infus dan menyatakan bahwa dirinya sudah sembuh. Ia lantas

meminta disuapi havermut dan meminta rokok. Tapi, tentu saja permintaan tidak

diluluskan keluarga. Mereka hanya menempelkan batang rokok di mulut Pram

tanpa menyulutnya. Kondisi tersebut bertahan hingga pukul 22.00 WIB.

Kabar meninggalnya Pram sempat tersiar sejak pukul 03.00 WIB. Para

tentangga sudah menerima kabar duka tersebut. Namun, pukul 05.00 WIB mereka

mendengar bahwa Pram masih hidup. Terakhir, ketika ajal menjemput, ia sempat

mengerang ”Akhiri saja saya. Bakar saya sekarang.” katanya. Akhirnya pada

tanggal 30 April 2006 pukul 08.55 WIB, Pramoedya wafat dalam usia 81 tahun.

Jenazahnya dimandikan pukul 12.30 WIB, lalu dishalatkan. Setelah itu dibawa

keluar rumah untuk dimasukkan ke ambulans yang membawa Pram ke TPU Karet

Bivak. Terdengar lagu Internationale dan Darah Juang dinyanyikan di antara

pelayat.

B. Pemikiran Pramoedya Ananta Toer

Pram tidak memberatkan simpatinya pada suatu –isme, kecuali pada

humanitas. Misalnya dalam ”Dia yang Menyerah” hidup sekali Pram melukiskan

jiwa revolusioner pemuda merah, komplit dengan istilah-istilah feodal, borjuis,

kapitalis, imperalis dan sebagainya. Sangat realistis sekali lukisan-lukisannya

tentang kekejaman yang mendirikan bulu roma dari kedua belah pihak.

Page 32: NILAI SOSIAL DALAM NOVEL BUKAN PASAR MALAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/454/1/102754... · i nilai sosial dalam novel bukan pasar malam karya pramoedya ananta

26

Pram mengaku bahwa Idrus adalah sastrawan yang pertama dikaguminya.28

Ia

bahkan menganggap Idrus adalah ”guru besarnya”. Menurutnya, Idrus adalah

seorang stylist yang belum tertandingi. Tulisan Idrus, katanya, ”tidak ada satu

kata yang lebih, dan tidak ada satu kata yang kurang. Ia juga mengagumi

Steinbeck, pengarang Amerika. Ia belajar cara menulis plastis, agar tulisan itu

memunculkan gambaran seperti film dibenak pembaca. Pram belajar dari William

Saroyan cara membuat tulisan agar menimbulkan perasaan haru, dengan

menggunakan elemen-elemen yang paling sederhana dalam pertemuan antar

manusia. Ia juga belajar dari Maxim Gorki. Menurutnya, Gorki kalau menulis

bagai memegang tiang rumah, kemudian mengguncangkannya sehingga semua

berubah dan bergerak. Pengarang yang dikagumi Pram yang banyak memberinya

inspirasi tentang kemanusiaan adalah Multatuli. Multatuli mendirikan

kemanusiaan dengan mengorbankan segala-galanya. Bahkan Pram sering

mengutip ucapan Multatuli, ”It is the duty of human beings to become human”.

(kewajiban manusia adalah menjadi manusia).29

Intinya Pram banyak

menyuguhkan gugatan terhadap kemiskinan, kebodohan, perbudakan dan

pelacuran karena kemiskinan dalam karyanya.

Dua perempuan, dua pahlawan. Ibu dan neneknya dari sosok dua perempuan

inilah Pram banyak mendapat inspirasi dalam setiap tulisan-tulisannya. Karena

pengaruh perempuan dalam kesehariannya itulah yang menarik Pram untuk

menampilkan sosok perempuan di titik pusat karya-karyanya, sebagai barisan

Srikandi yang bertarung dengan kekuatan sejarah.

Berbeda dengan hal di atas, novel Bukan Pasar Malam yang dibuat oleh Pram

lebih memperhatikan tokoh ayah. Dilukiskan tokoh ayah seorang guru dan

nasionalis jatuh sakit lantaran kekecewaannya terhadap pemerintahan yang ada

pada saat itu.

28

Hasanuddin WS, Prof. Dr., M. Hum. (Pemimpin Redaksi) Ensiklopedi Sastra Indonesia,

Bandung: Titian Ilmu. 2004. hlm. 740-744 29

Max Lane. Esei “Man of Letters and Revolution Pramoedya Ananta Toer, Novelist, 1925-

2006” Editor: Astuti Ananta Toer dalam buku 1000 Wajah Pram dalam Kata dan Sketsa.,

(Jakarta: Lentera Dipantara, 2009), hlm.74

Page 33: NILAI SOSIAL DALAM NOVEL BUKAN PASAR MALAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/454/1/102754... · i nilai sosial dalam novel bukan pasar malam karya pramoedya ananta

27

Cerita dalam novel ini berlangsung di Jakarta dan Blora. Pram sendiri

mengaku dalam buku Saya Ingin Lihat Semua Ini Berakhir yang ditulis Kees

Snoek, menyebutkan Bukan Pasar Malam sebagai novel otobiografisnya.

“Sebenarnya itu hanya tentang apa yang saya alami sendiri di masa muda dan di

masa perjuangan kemerdekaan”.30

Ia menulis novel ini pada tahun 1950an, di saat

Pram berusia 25 tahun.

C. Psikologi Pramoedya Ananta Toer

Pada masa perang kemerdekaan Indonesia, ia mengikuti kelompok militer di

Jawa dan seringkali ditempatkan di Jakarta pada akhir perang kemerdekaan. Ia

menulis cerpen dan buku sepanjang karir militernya dan dipenjara oleh Belanda di

Jakarta pada tahun 1948 dan 1949. Pada tahun 1950an ia tinggal di Belanda

sebagai bagian dari program pertukaran budaya, dan ketika kembali ke Indonesia

ia menjadi anggota Lekra, salah satu organisasi sayap kiri di Indonesia. Gaya

penulisannya berubah selama masa itu, sebagaimana yang ditunjukkan dalam

karyanya yang berjudul Korupsi.

Buku Korupsi yang terbit pada 1954 mengakibatkan hubungannya dengan

pemerintahan Soekarno tidak baik. Karyanya Korupsi merupakan friksi kritik

pada pamong praja yang jatuh di atas perangkap korupsi. Hal ini menciptakan

friksi antara dia dan pemerintahan Soekarno. Di masa itu pula ia mempelajari

masalah penyiksaan terhadap Tionghoa di Indonesia, dan pada saat yang sama

Pram berhubungan erat dengan para penulis di China. Ia kemudian menerbitkan

rangkaian surat-menyurat dengan penulis Tionghoa yang membicarakan sejarah

Tionghoa di Indonesia dalam buku Hoakiau di Indonesia. Karena buku tersebut,

ia dipenjara oleh Orde Lama selama satu tahun. Kemudian dibebaskan karena

desakan internasional.

30

den Boef, August Hans dan Kees Snoek. Saya Ingin Lihat Semua Ini Berakhir: Esei dan

Wawancara dengan Pramoedya Ananta Toer, (Jakarta: Komunitas Bambu. 2008). hlm: 29

Page 34: NILAI SOSIAL DALAM NOVEL BUKAN PASAR MALAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/454/1/102754... · i nilai sosial dalam novel bukan pasar malam karya pramoedya ananta

28

D. Tinjauan terhadap Novel Bukan Pasar Malam

Novel merupakan salah satu di antara bentuk sastra yang paling peka terhadap

cerminan masyarakat. Novel mempresentasikan suatu gambaran yang jauh lebih

nyata mengenai kehidupan sosial. Ruang lingkup novel sangat memungkinkan

untuk melukiskan situasi lewat kejadian atau peristiwa yang dijalin oleh

pengarang atau melalui tokoh-tokohnya. Kenyataan dunia seakan-akan terekam

dalam novel, berarti ia seperti kenyataan hidup yang sebenarnya. Dunia novel

adalah pengalaman pengarang yang sudah melewati perenungan kreasi dan

imajinasi sehingga dunia novel itu tidak harus terikat oleh dunia sebenarnya.

Pada tahun 1951 Balai Pustaka menerbitkan novel Bukan Pasar Malam, dari

tahun tersebut dapat dipastikan bahwa Pramoedya menulis novel ini sebelum

tahun 1951, atau tepatnya menurut A. Teeuw pada saat sesudah Pramoedya

melakukan perjalanan ke Blora dalam bulan Mei 195031

. Itu artinya, bahwa novel

ini ditulis setelah lima tahun Indonesia merdeka. Tentunya saja, kondisi atau

situasi sosial dan ekonomi masyarakat waktu itu sedikit banyaknya akan

mempengaruhi dan tergambar dalam karya itu. Novel ini terinspirasi dari

kehidupan Pram yang memang lahir di Blora dan hubungan batinnya dengan sang

ayah.

Novel ini menceritakan pengalaman seorang anak yang pulang kampung

untuk menjenguk ayahnya yang sedang sakit dan diceritakan dengan sudut

pandang orang pertama, yang hanya disebut dengan Aku,. Dimulai dengan

persiapan perjalanan ke Blora. Aku harus mencari uang untuk perjalanan itu, dan

ketika naik sepeda mengelilingi Jakarta, ia memikirkan tentang kemiskinan,

kekayaan, kemerdekaan, dan demokrasi yang meragu-ragukan pada awal 1950 di

Jakarta.

Bab pertama merupakan ancang-ancang pada tema utama, yaitu kematian sang

ayah, ayah yang juga merupakan korban ketaksamarataan di antara manusia yang

dihasilkan oleh revolusi, dengan kata lain revolusi sosial yang gagal. Penghayatan

Aku dalam Bukan Pasar Malam perjalanan itu sangat lama, sama sekali tidak

31

A. Teeuw, Citra Manusia Indonesia dalam Karya Sastra Pramoedya Ananta Toer.

(Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya. 1997). hlm. 112-113

Page 35: NILAI SOSIAL DALAM NOVEL BUKAN PASAR MALAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/454/1/102754... · i nilai sosial dalam novel bukan pasar malam karya pramoedya ananta

29

menggairahkan, sebaliknya suram-muram, terutama sebab keterasingan dengan

isteri yang baru dikawininya sudah mulai tampak emosi yang dialaminya ketika

kereta api berjalan lewat daerah Jawa Barat tempat si Aku ikut berperang tidak

dapat dibagikannya dengan isterinya, demikian pula ketika mereka mendekati

daerah Blora isterinya tidak dapat ikut merasakan emosi kenang-kenangan masa

mudanya. Lain daripada itu rasa berdosanya terhadap ayahnya menjadi ganjalan

emosional. Ketika mereka tiba di Blora tidak ada yang menjemputnya, dan dalam

perjalanan naik dokar ke rumah tak seorang pun keluarga atau kenalan kelihatan.

Mulai bab keempat, cerita makin berpusat pada penyakit sang ayah, masa

lampaunya, dan hubungannya dengan si Aku, walaupun sekaligus yang

belakangan ini (dan bersama dengan dia pembaca) mendengar banyak cerita dari

anggota keluarga lain tentang segala apa yang terjadi selama tahun-tahun

belakangan. Namun cerita ini kurang hebat emosinya, antara lain karena jarak

waktu antara yang diceritakan dengan penceritaannya. Yang dominan ialah

penghayatan oleh pencerita tentang kematian sang ayah yang tak dapat tidak akan

datang bahwa maut ’bukan pasar malam’. Bukan keramaian yang dialami

bersama-sama, melainkan pengalaman yang ngeri, yang mendatangi setiap

manusia dalam keadaan mutlak.32

Dan di dunia ini, manusia bukan berduyun-duyun lahir di dunia dan

berduyun-duyun pula kembali pulang... seperti dunia dalam pasar malam...

Seorang-seorang datang. Seorang-seorang mereka pergi. Dan yang belum

pergi dengan cemas-cemas menunggu saat nyawanya terbang entah kemana...

(Toer, 2007: 5)

Menurut Romo Mangunwijaya, inilah novel Pram yang paling menonjol dan

paling disukainya. Sebabnya sederhana karena belum tersentuh oleh tangan-

tangan politik penulisnya. Novel ini pun sangat manis dan liris karena ia

mengangkat hal ihwal sehari-hari dan jauh dari tema besar bergebyar-gebyar. Ini

adalah novel biografis penulisnya di hari-hari jelang ayahnya wafat di Blora. Ia

mampu menyajikan dialog-dialog yang menyentuh. Juga tentang renungan soal

hakikat hidup dan kematian manusia yang bukan seperti pasar malam.

32

A. Teeuw, Citra Manusia Indonesia dalam Karya Sastra Pramoedya Ananta Toer.

(Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya. 1997), hlm: 118-119

Page 36: NILAI SOSIAL DALAM NOVEL BUKAN PASAR MALAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/454/1/102754... · i nilai sosial dalam novel bukan pasar malam karya pramoedya ananta

30

BAB IV

ANALISIS NILAI SOSIAL NOVEL BUKAN PASAR MALAM

KARYA PRAMOEDYA ANANTA TOER

A. Gambaran Sosial Masyarakat Indonesia dalam novel Bukan Pasar Malam

Potret masyarakat yang secara khusus ingin digambarkan oleh Bukan Pasar

Malam yaitu kelas-kelas yang tercipta dalam masyarakat. Kesenjangan sosial

begitu terlihat sebagai akibat adanya kelas di masyarakat. Berbagai alasan timbul

melatarbelakangi hal tersebut mulai dari ekonomi, hingga sistem pemerintahan.

―Kadang-kadang kereta kami berpacu dengan mobil, dan kami

memperhatikan tamasya itu dengan hati gemas. Debu yang ditiupkan oleh

mobil debu yang bercampur dengan berbagai macam tahi kuda, tahi manusia,

reaknya, ludahnya mengepul menghinggapi kulit kami. Kadang-kadang kami

dapati anak-anak kecil bersorak-sorak sambil mengulurkan topinya

mengemis. Dan keadaan ini berlaku sejak jalan kereta api dibuka dan kereta

api meluncur sejak di atas relnya. Bila orang melempar-lemparkan sisa-sisa

makanan, mereka berebutan. Tapi ini tidak penting betul kuceritakan.‖

(Toer, 2007 :20).

Barangkali kesenjangan sosial yang tergambar di atas dilatarbelakangi

perbedaan dalam masalah ekonomi si kaya dan si miskin. Gambaran paradoks

tercermin ketika kaum kaya dapat menikmati segala fasilitas, kaum miskin hanya

bisa mendapatkan sisanya. Ini jelas merupakan sebuah ironi bagi sebuah bangsa

yang menyebut salah satu dasar negaranya adalah keadilan sosial bagi seluruh

warga negaranya. Tokoh Aku sudah geram dengan keberadaan semua ini.

Kesenjangan antara si kaya dan si miskin, juga bedanya rakyat dengan pejabat.

Pejabat yang dimaksud adalah seorang presiden dan kroni-kroninya. Dalam

alur kisahnya tokoh Aku menyamakan presiden dengan seorang raja yang bisa

mendapatkan segala kemudahan dan semua yang diinginkannya.

―Antara gelap dan lembayung sinar sekarat di barat yang merah, sepedaku

meluncuri jalan kecil depan istana. Istana itu mandi dalam cahaya lampu

listrik. Entah beberapa pluh ratus watt. Aku tak tahu. Hanya perhitungan

dalam sangkaanku mengatakan: listrik di istana itu paling sedikit lima

kilowatt. Dan sekiranya ada dirasa kekurangan listrik, orang tinggal

mengangkat tilpun dan istana mendapat tambahan.‖ (Toer, 2007 :9).

Page 37: NILAI SOSIAL DALAM NOVEL BUKAN PASAR MALAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/454/1/102754... · i nilai sosial dalam novel bukan pasar malam karya pramoedya ananta

31

Untuk cuplikan di atas, latar belakang pemerintahan dalam hal ini kekuasaan,

termasuk di dalamnya ekonomi menjadi penyebab terjadinya kesenjangan sosial.

Secara tegas tokoh Aku merasakan adanya kesewenangan seorang presiden dalam

mendapatkan listrik yang seharusnya menjadi milik semua rakyat.

―Ya, Mas,‖ kata adikku dengan suara yang tidak bertujuan. Kemudian ia

meneruskan ceritanya, Kemudian ayah terlampau banyak bekerja untuk

Republik. Dan waktu kita merdeka, ayah jatuh sakit. Tiga bulan dirawat di

rumah sakit. Tapi ayah masih juga banyak bekerja. Akhirnya terasa juga

olehnya bahwa kesehatannya tak mengizinkan, dan sebuah demi sebuah

jabatannya dalam pergerakan politik dan sosial dilepaskan. Tapi

kesehatannya yang dulu tak kembali. Ayah jatuh sakit lagi hingga kini. Dokter

bilang sakit paru-paru. Dan waktu kutanyakan ke sana-sini, barangkali ayah

bisa ditempatkan di sebuah sanatorium- ya, Mas, pertanyaan itu tinggal jadi

dengung belaka. Tak ada setangkup pun mulut yang berani menjawab. Kalau

ada orang menjawab, jawabannya hanya begini; ongkos di sanatorium mahal

sekarang. Dan kalau tidak begitu jawabannya ialah, sanatorium? Sanatorium

sudah penuh oleh pedagang. Kalau engkau jadi pegawai, kalau bukan

pegawai tinggi, jangan sekali-kali berani mengharapkan mendapat tempat di

sanatorium.‖ (Toer, 2007: 64)

Setahun kemudian melayang surat dari Blora. Pamannya memberi kabar buruk

padanya. Isi surat itu menyatakan ayahnya sedang sakit TBC, dirawat di rumah

sakit. Dalam pikiran Aku hanyalah bagaimana caranya mengumpulkan uang untuk

membayar rumah sakit. Hal ini sangat berbeda dengan cerita para pejabat,

Jenderal pada saat itu. Mereka dapat hidup enak, malah mereka sibuk

mengumpulkan harta benda untuk kepentingan pribadi mereka. Di kala mereka

sakit, mereka mendapat pelayanan kesehatan yang sangat baik dari rumah sakit

tanpa harus memikirkan biaya rumah sakit maupun lain-lain yang begitu

mencekik rakyat kecil.

Jika ayah jadi wakil rakyat, atau jadi koordinator, ayah akan jadi pegawai

tinggi. Dan kalau ayah jadi pegawai tinggi barangkali bisa mendapat tempat di

sanatorium. Tapi dalam kenyataannya, ayah hanya seorang guru yang sangat tidak

diperhatikan kesejahteraannya.

Antara gelap dan lembayung sinar sekarat di barat yang merah, sepedaku

meluncuri jalan kecil depan istana. Istana itu mandi dalam cahaya lampu

listrik. Entah beberapa ratus watt. Aku tak tahu. Hanya perhitungan dalam

persangkaanku mengatakan: listrik di istana itu paling sedikit lima kilowatt.

Page 38: NILAI SOSIAL DALAM NOVEL BUKAN PASAR MALAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/454/1/102754... · i nilai sosial dalam novel bukan pasar malam karya pramoedya ananta

32

Dan sekiranya ada dirasa kekurangan listrik, orang tinggal mengangkat

tilpun dan istana mendapat tambahan.

Presiden memang orang praktis tidak seperti mereka yang memperjuangkan

hidupnya di pinggir jalan berhari-harian. Kalau engkau bukan presiden, dan

juga bukan menteri, dan engkau ingin dapat tambahan listrik tigapuluh atau

limapuluh watt, engkau harus berani menyogok dua atau tigaratus rupiah. Ini

sungguh tidak praktis. Dan kalau isi istana itu mau berangkat ke A atau ke B,

semua sudah sedia pesawat udaranya, mobilnya, rokoknya dan uangnya. Dan

untuk di Blora ini, aku harus pergi mengelilingi Jakarta dulu dan

mendapatkan hutang. Sungguh tidak praktis kehidupan seperti itu.

Dan kalau engkau jadi presiden, dan ibumu sakit atau ambillah bapakmu atau

ambillah salah seorang dari keluargamu yang terdekat, besok atau lusa sudah

bisa datang menengok. Dan sekiranya engkau pegawai kecil yang bergaji

cukup hanya untuk bernafas saja, minta perlop untuk pergi pun susah.

Karena, sep-sep kecil itu merasa benar kalau dia bisa memberi larangan

sesuatu pada pegawainya. (Toer, 2007: 9-10)

Sungguh malang nasib rakyat kecil pada masa itu, bahkan sampai saat ini pun

hal itu tetap terjadi. Jika kita tak punya uang, barang yang sangat kita inginkan

pasti hanya bisa dilihat tapi tak bisa dibeli. Berhutang pun merupakan suatu cara

yang harus dipilih untuk menyambung hidup.

―Pagi-pagi itu kereta pertama telah meluncur di atas relnya dari stasiun

Gambir. Gundukan tanah merah yang tinggi, yang selalu kulihat di zaman

Jepang dulu bila aku bepergian ke Blora juga, kini tinggal seperempatnya.

Diendapkan oleh hujan. Dicangkuli. Diseret oleh air hujan. Tiba-tiba saja

terasa ngeri olehku melihat gundukan tanah merah di stasiun Jatinegara itu.

Bukankah hidup manusia ini tiap hari dicangkul, diendapkan, dan diseret juga

seperti gundukan tanah merah itu?‖ (Toer, 2007: 12)

Kutipan di atas memang benar adanya. Kehidupan rakyat kecil selalu

dirampas kebahagiaannya oleh pemimpin yang tidak bertanggung jawab. Tokoh

ayahpun begitu, waktu bersama keluarganya dirampas oleh para komunis, dengan

memenjarakannya di berbagai tempat. Bagaimana perasaan anak mereka jikalau

sosok ayah yang seharusnya menjadi panutan tetapi direbut dari kebahagiaan

keluarga.

Kemudian, keadaaan kota Blora sangatlah memprihatinkan bahkan air di kota

itu tebal oleh lumpur. Pembagian air ledeng di kota ini tak boleh diharapkan.

Barangkali air mandi inilah yang membuat penduduk kota kecil ini berbeda

dengan penduduk kota besar yang mempunyai pembagian ledeng dengan teratur,

Page 39: NILAI SOSIAL DALAM NOVEL BUKAN PASAR MALAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/454/1/102754... · i nilai sosial dalam novel bukan pasar malam karya pramoedya ananta

33

bening dan baik. Di sini, orang-orang berjalan dengan kulitnya yang berkerak-

kerak. Dengan begitu, masyarakat secara sendirinya telah membuat kelas sosial di

dalamnya. Seperti yang membedakan si miskin dan si kaya. Kelas sosial pun

terjadi dengan warga desa dengan warga kota baik dari segi ekonomi, fasilitas,

kemampuan, citra, pendidikan, dll yang tercermin dalam cuplikan dibawah ini:

Air di kota kami yang kecil itu tebal oleh lumpur. Pembagian air ledeng disini

tak boleh diharapkan. Barangkali air mandi yang tebal inilah yang membuat

penduduk kota kecil ini berbeda dengan penduduk kota besar yang

mempunyai pembagian air ledeng dengan teratur, bening, dan baik. Di sini,

orang berjalan-jalan dengan kulitnya yang berkerak-kerak.

(Toer, 2007 :42).

Di samping itu, orang Blora pada zaman itu sangat mempercayai hal-hal

mistik. Mereka menghubung-hubungkan suatu kejadian dengan keadaan rumah

mereka masing-masing.

―Ya, Gus, rumahmu itu aku juga yang mendirikan dulu. Waktu itu engkau

baru bisa tengkurap. Duapuluh lima tahun yang lalu! Dan selama itu,

rumahmu itu belum pernah diperbaiki. Pikir saja. Duapuluh lima tahun! Itu

tidak sebentar dibandingkan dengan jeleknya tanah di sini. Cobalah lihat

rumah-rumah tembok yang didirikan sesudah rumahmu, semua itu sudah

roboh, bongkar, dan sobek-sobek. Rumahmu itu sangat kuat. Sekarang

suaranya jadi ketua-tuaan, ―Kalau bisa, Gus, kalau bisa, harap rumahmu itu

engkau perbaiki. Engkau sudah terlalu lama meninggalkan tempat ini. Dan

engkau sudah terlampau lama tak bergaul dengan orang-orang sini. Karena

itu, barangkali ada baiknya kuulangi kata orang tua dulu: Apabila rumah itu

rusak, yang menempatinya pun akan rusak.…

―Kuharap ayahmu lekas sembuh oleh kedatanganmu itu. Dan lagi, dan lagi,

orang tua-tua bilang, engkau masih ingat bukan? Masih ingat apa yang

kukatakan tadi? Apabila rumahnya rusak ….‖ (Toer, 2007: 44)

Kemudian, pamannya Agus mengajak Agus pergi menemui guru dukun, untuk

menyembuhkan sang ayah. Karena mereka telah kehabisan akal dan kesabaran.

―Ini bukan usada, ini hanya syarat saja. Tuan boleh merendamnya di air

minum ayah Tuan. Tapi aku sendiri tak bisa berkata apa-apa.

Kami bertiga menunduk seperti takut berpandang-pandangan satu sama lain.

Kemudian aku lihat paman mengambil dupa itu dan dimasukan ke dalam

sakunya. Percakapan hanya dengan lambat saja bisa hidup kembali.

Kemudian terdengar guru dukun itu bercerita.‖ (Toer, 2007: 51)

Page 40: NILAI SOSIAL DALAM NOVEL BUKAN PASAR MALAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/454/1/102754... · i nilai sosial dalam novel bukan pasar malam karya pramoedya ananta

34

Hal yang dianggap mereka mistik dan sangat dipercayai oleh mereka tak

menghasilkan apa-apa. Syarat-syarat yang telah dianjurkan oleh guru dukun itu

tak mempan untuk menyembuhkan penyakit ayah. Memilih dukun sebagai

alternatif penyembuhan Ayah, merupakan bentuk ketidakmampuan manusia untuk

mengatasi masalah yang dihadapinya.

Kepedulian masyarakat terhadap pendidikan sangatlah kurang. Anak-anak

mereka punya cita-cita yang tinggi akan tetapi tidak ada yang mempedulikan

nasib guru di masa yang akan datang. Siapa yang akan mengajar cucu mereka jika

tak ada yang mengajar mereka.

Karena itu waktu aku bertanya pada murid-murid yang akan meninggalkan

bangku sekolah. Siapakah yang akan meneruskan ke sekolah guru? Di antara

murid-murid yang limapuluh orang itu Cuma tiga orang yang mengacungkan

jarinya. Selain itu, semua mau meneruskan ke sekolah menengah. Alangkah

sedihku waktu itu. Dan berkata aku pada mereka. Kalu di antara limapuluh

orang Cuma tiga orang yang ingin jadi guru, siapakah yang akan mengajar

anak-anakmu nanti? Kalau sekiranya engkau kelak jadi jenderal, adakah

akan senang hatimu kalau anakmu diajar oleh anak tukang sate? Tak ada

yang menjawab di antara mereka. Kemudian ku nasihati mereka yang ingin

jadi guru. Kalau engkau tidak yakin betul, lepaskanlah cita-citamu untuk

menjadi guru itu, kataku. Seorang guru adalah kurban-kurban untuk selama-

lamanya. Dan kewajibannya terlampau berat, membuka sumber kebajikan

yang tersembunyi dalam tubuh anak-anak bangsa. Dan mereka yang tiga

orang itu bilang dengan sungguh-sungguh, kami bercita-cita jadi guru walau

bagaimanapun juga sukarnya. Dan aku angguk-anggukkan kepalaku kepada

tiga orang itu. (Toer, 2007: 54-55)

Kesejahteraan guru setelah merdeka sangat tidak diperhatikan oleh

pemerintah. Nampak sekali bahwa kemauan dan keinginan ayah tambah berubah-

ubah. Pagi itu seorang juru rawat yang semalam kena dinas jaga malam datang ke

rumah kami dan menyerahkan selembar kwitansi, minta voorschot gaji untuk

bulan Maret. Bulan itu adalah bulan Mei. Kwitansi itu dari ayah. Aku tak

mengerti mengapa voorschot untuk bulan Maret yang dimintanya. Dan di kala hal

ini kutanyakan pada paman, ia mengatakan: Sejak kita merdeka, guru belum lagi

dibayar. Hampir setengah tahun ini.

Ironi sekali nasib guru pada pascakemerdekaan, begitu pun adanya sekarang.

Kebanyakan masyarakat kita menjadikan profesi guru sebagai ’alternatif’.

Buktinya banyak di sekolah yang menjadi guru bukan dari bidang keterampilan

Page 41: NILAI SOSIAL DALAM NOVEL BUKAN PASAR MALAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/454/1/102754... · i nilai sosial dalam novel bukan pasar malam karya pramoedya ananta

35

yang sebernarnya. Seorang guru dituntut mendidik dan mencerdaskan penerus

bangsa ini. Namun, kesejahteraannya jauh memprihatinkan. Meskipun guru

mendapat julukkan ”Pahlawan Tanpa Tanda Jasa”. Tak dipungkiri, guru juga

seperti manusia lainnya.

Kecewa setelah merdeka pastilah dirasakan oleh setiap guru di tanah air kita.

Rasa-rasanya mereka tak sanggup lagi melihat dunia sekelilingnya yang jadi

bobrok itu, bobrok dengan segala akibat. Orang-orang yang dulu jadi jenderal di

daerah gerilya, mereka yang tadinya menduduki kedudukan-kedudukan penting

sebelum Belanda menyerbu, jadi pemimpin pula di daerah gerilya dan jadi bapak

rakyat sungguh-sungguh. Dan tokoh ayah yang ada dalam novel ini membela

kepentingan mereka itu. Tapi kala kemerdekaan tercapai, mereka itu sama

berebutan gedung dan kursi. Dan barang siapa tak memperoleh yang

diinginkannya, mereka pergi, karena mereka tak perlu mengharapkan gaji lagi.

Dan mereka tak sanggup melihat keadaan seperti itu. Segala kekecewaan mereka

disimpan saja di dalam hati. Tapi akibat yang sangat besar tak diduganya akan

menimpa dirinya.

Akhirnya pada hari kamis, menjelang magrib, Ayah telah meninggal dunia.

Sosok yang sangat dikagumi oleh banyak orang kini telah tiada. TBC kilat, hanya

dalam waktu dua setengah bulan sakit, dan ayah harus pergi.

Ya, mengapa hidup ini begitu cepat? Orang Tionghoa itu mnyambung...

Hidup ini bukan pasar malam. Mengapa kita harus mati seorang diri? Lahir

seorang diri pula? Dan mengapa kita ini harus hidup di satu dunia yang

banyak manusianya? Dan kalau kita sudah bisa mencintai seorang manusia,

dan orang itu pun mencintai kita. Seperti tokoh ayah dalam novel ini.

Mengapa kemudian kita harus bercerai berai dalam maut. Seorang. Seorang.

Seorang. Dan seorang lagi lahir. Seorang lagi. Seorang lagi. Mengapa orang

ini tak ramai-ramai lahir dan ramai-ramai mati? (Toer, 2007: 94-95)

Manusia selama hidupnya telah menjadi anggota dari masyarakat, dan

tentunya telah memiliki beragam pengalaman dalam hubungan sosial serta

bermasyarakat. Oleh karena itu penelitian terhadap manusia akan terus muncul

tiada habisnya. Karena manusia ketika sudah berada di dalam bermasyarakat akan

memunculkan beragam permasalahan yang terus-menerus. Beragam hal yang

timbul dari kehidupan sosial masyarakat banyak menjadi sorotan, salah satunya

Page 42: NILAI SOSIAL DALAM NOVEL BUKAN PASAR MALAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/454/1/102754... · i nilai sosial dalam novel bukan pasar malam karya pramoedya ananta

36

menjadi sorotan untuk diangkat dalam karya sastra. Oleh karena, itu tidak salah

apabila muncul pernyataan bahwa karya sastra adalah cerminan kehidupan sosial.

Bukan Pasar Malam menggambarkan kehidupan sosial masyarakat Indonesia

ketika masa penjajahan dimana orang pribumi yang seharusnya bertindak sebagai

tuan rumah justru sebaliknya diperlakukan tidak sebagaimana mestinya. Hal

tersebut menyebabkan munculnya konflik sosial yang berkepanjangan bukan

hanya antara penjajah dan orang pribumi. Namun pada individu-individu itu

sendiri. Yang lebih ditekankan dalam novel ini adalah masa setelah kemerdekaan,

dimana keadaan ekonomi, politik dan sosial belum stabil. Hal tersebut berakibat

pada kehidupan masyarakatnya.

B. Temuan Penelitian dan Analisis Nilai Sosial dalam Novel Bukan Pasar

Malam

Balai Pustaka menerbitkan novel Bukan Pasar Malam di tahun 1951, dengan

ketebalan 104 halaman, dan bisa dibaca dalam waktu singkat seperti membaca

sebuah cerita pendek. Nilai-nilai sosial dalam novel Bukan Pasar Malam karya

Pramoedya Ananta Toer tersebut, nampak dari pandangan hidup dan

penggambaran kesepakatan masyarakat dalam percakapan maupun narasi novel

yang penulis buat di dalam tabel. Setelah dilakukan penelitian, peneliti ternyata

mendapatkan dua kategori yang terdapat di dalam interaksi, yaitu:

1. Nilai interaksi sosial dalam keluarga: nilai kasih sayang, nilai

pengayoman, nilai religiositas.

2. Nilai interaksi sosial dalam bermasyarakat: nilai kepedulian, nilai

kesetaraan, nilai kebersamaan, nilai keikhlasan.

Untuk lebih memudahkan pembaca, peneliti membuat tabel untuk lebih

mudah memahami kedua kategori nilai sosial novel Bukan Pasar Malam karya

Pramoedya Ananta Toer, maka peneliti menguraikan dalam tabel sebagai berikut:

1. Nilai interaksi sosial dalam keluarga

Kisah utamanya mengenai pertemuan Aku dengan ayahnya yang sakit keras.

Betapa tersentuhnya batin anak dengan seseorang ayah yang begitu lemah terkulai

Page 43: NILAI SOSIAL DALAM NOVEL BUKAN PASAR MALAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/454/1/102754... · i nilai sosial dalam novel bukan pasar malam karya pramoedya ananta

37

dan sakit-sakitan padahal dahulunya ia adalah lelaki yang pantang menyerah,

berjiwa besar dan mempunyai fisik kuat. Seperti tergambar pada cuplikan berikut:

No. Nilai Sosial Teks novel Bukan Pasar Malam

1. Nilai kasih sayang Segera kupegang tangan ayah. Dan kulihat

kini badan ayah yang dahulu tegap itu kini

telah menyerupai sebilah papan. Aku lihat

ayah membuka matanya. Hati-hati dan

menyengsarakan diangkatnya tangannya yang

hanya tinggal tulang dan kulit. Diusap-

usapnya rambutku. Terdengar suara yang

dalam, gelap, kosong, dan tidak bertenaga:

―Kapan engkau datang?‖

―Jam duabelas siang tadi, Bapak.‖

―Alangkah cepat. Engkau naik pesawat

udara?‖

―Keretaapi, Bapak.‖

Ayah tak bicara lagi. Matanya pudar

ditutupnya kembali. Aku berdiri dan

melepaskan pegangangku pada tangannya.

(Toer, 2007 :31)

Berdasarkan cuplikan di atas, gambaran sosial anak dan ayah yang

dipertemukan dalam keadaan penuh duka dan kesakitan usai bertahun-tahun

lamanya terpisah begitu jelas tergambar nilai kasih sayang di dalam keluarga,

”Aku lihat ayah membuka matanya. Hati-hati dan menyengsarakan diangkatnya

tangannya yang hanya tinggal tulang dan kulit. Diusap-usapnya rambutku.

Terdengar suara yang dalam, gelap, kosong, dan tidak bertenaga..‖ (Toer, 2007:

31) tampak oleh tokoh Ayah yang telah menanti lama untuk bertemu dengan

anaknya. Meskipun dengan keadaan lemah terkulai, dengan sisa-sisa kekuatan

yang ada tokoh Ayah berusaha membuka matanya dan mengusap kepala anak

yang dicintainya. Begitulah adanya rasa kasih sayang orang tua akan tercurah

sepanjang masa.

Page 44: NILAI SOSIAL DALAM NOVEL BUKAN PASAR MALAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/454/1/102754... · i nilai sosial dalam novel bukan pasar malam karya pramoedya ananta

38

No. Kategori Dialog novel Bukan Pasar Malam

2. Nilai kasih sayang Sore ini aku menengok ke rumahsakit dengan

isteriku dan kedua adikku. Isteriku

menyuapkan sup sumsum ke mulut ayah. Dan

di kala itu terasa oleh hatiku betapa

gampangnya manusia dengan manusia

didekatkan oleh kemanusiaan. Aku terharu.

Sungguh, aku terharu oleh perbuatan kecil

yang tak berharga itu. Sebentar-sebentar

tenggorokan ayah meneguk sup itu. Dan tiap

tegukan dibarengi bunyi detakan. Ya, seperti

bukan bunyi tenggorokan itu berbunyi begitu.

Duabelas suap! Alangkah gembiraku.

Biasanya tak sebanyak itu ayah makan.

Datang saja suara pengharapan ini,

―Barangkali Bapak mulai jadi baik

Sekarang.‖ (Toer, 2007:56)

Nilai sosial dalam interaksi keluarga pun tak hanya ditunjukkan melalui kisah

ayah dengan anaknya. Interaksi yang terjadi antara tokoh Ayah dengan tokoh

isteri. “..Isteriku menyuapkan sup sumsum ke mulut ayah. Dan di kala itu terasa

oleh hatiku betapa gampangnya manusia dengan manusia didekatkan oleh

kemanusiaan…‖. (Toer, 2007: 56) Ia menyuapi mertuanya yang sedang sakit

keras. Sikap seperti itu selayaknya dilakukan seorang anak kepada orangtua,

merawatnya dengan tulus. Walaupun sang isteri seorang anggota baru dalam

keluarga tersebut, namun dengan tulus ia merawat ayah mertuanya, selayaknya

orang tua kandung.

Page 45: NILAI SOSIAL DALAM NOVEL BUKAN PASAR MALAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/454/1/102754... · i nilai sosial dalam novel bukan pasar malam karya pramoedya ananta

39

No. Kategori Teks novel Bukan Pasar Malam

3. Nilai pengayoman ―Mula-mula kami jual apa yang bisa kami

jual. Kami berdagang. Orang-orang suka beli

pada kami. Lama kelamaan mereka mulai

mengebon. Karena uang susah didapat. Dan

kemudian--kemudian mereka tak mau

membayar hutangnya. Ya, Mas, Seakan-akan

senanglah hati mereka bila semua runtuh.‖

Ia diam lagi dan aku lihat matanya berkaca-

kaca. Tidak sampai di situ saja. Airmata mulai

menitik-nitik. Sedu-sedan. Akhirnya menangis.

―O, mereka Seakan-akan tak tahu, bahwa

ayah sedang memperjuangkan Republik.‖

―Biarlah, Adikku, biarlah. Yang sudah lalu

kini tinggal jadi sejarah. Jangan engkau

sedihkan semuanya itu. Engkau masih punya

kakak. Dan aku akan berbuat sekuat tenagaku

untuk kebaikan kalian semua.‖

Dihapusnya airmatanya cepat-cepat.

(Toer, 2007: 61)

Nilai pengayoman tampak pada tokoh Aku memperlakukan adik-adiknya.

Selayaknya anak sulung, anak yang paling dituakan di keluarganya. Aku

menasehati adiknya tentang sikap masyarakat dahulu kepada keluarganya.

Keluarga yang ditindas saat ayahnya ditangkap dan dipenjarakan. Seperti di dalam

cuplikan berikut:―Biarlah, Adikku, biarlah. Yang sudah lalu kini tinggal jadi

sejarah. Jangan engkau sedihkan semuanya itu. Engkau masih punya kakak. Dan

aku akan berbuat sekuat tenagaku untuk kebaikan kalian semua.‖Dihapusnya

airmatanya cepat-cepat. (Toer, 2007: 61). Hal tersebut menggambarkan peran

seorang kakak sulung yang mengayomi dan menjaga adik-adiknya di saat keadaan

keluarga sesulit apapun.

Page 46: NILAI SOSIAL DALAM NOVEL BUKAN PASAR MALAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/454/1/102754... · i nilai sosial dalam novel bukan pasar malam karya pramoedya ananta

40

No. Kategori Teks novel Bukan Pasar Malam

4. Nilai religiositas Cepat-cepat aku lari ke dalam kamar ayah

yang sudad diterangi lampu minyak tanah.

Sebagian adikku sudah ada di situ. Segera aku

melompat di samping ayah. Aku lihat

mulutnya telah terbuka. Tangannya terkulai di

sampingnya. Dan isteriku pun turuta lari dan

berdiri di dekatku. Katanya:

‖Sebut: Ayah!‖

Karena aku tak pernah mengalami peristiwa

seperti itu, aku menurut. Kudekatkan mulutku

pada kupingnya, berseru:

‖Bapak!‖

‖Lagi,‖ susul isteriku.

‖Bapak!‖ seruku lagi.

Kemudian diam sebentar. Tiba-tiba teringat

olehku: ayah orang Islam. Dan kembali

kudekatkan mulutku pada kupingnya, berseru:

‖Allahu Akbar. Allahu Akbar. Allahu Akbar.‖

(Toer, 2007: 90)

Nilai religiositas dalam keluarga yang tampak saat ayah menghadapi ajalnya,

tokoh Aku memberikan contoh yang baik untuk adik-adiknya dan istrinya. Ia

membimbing mengucapkan lafaz Allah di saat sang ayah menghadapi sakaratul

maut. ”Tiba-tiba teringat olehku: ayah orang Islam. Dan kembali kudekatkan

mulutku pada kupingnya, berseru:‖Allahu Akbar. Allahu Akbar. Allahu Akbar.‖

(Toer, 2007: 90)”. Tanda bakti seorang anak kepada ayahnya. Begitulah

kewajiban sesama muslim, apalagi yang mengalaminya adalah orang tua kita

sendiri. Begitulah selayaknya seorang anak berbakti kepada orang tua yang telah

membesarkan kita.

Page 47: NILAI SOSIAL DALAM NOVEL BUKAN PASAR MALAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/454/1/102754... · i nilai sosial dalam novel bukan pasar malam karya pramoedya ananta

41

2. Nilai interaksi sosial dalam bermasyarakat

No. Kategori Teks novel Bukan Pasar Malam

1. Nilai kepedulian

―Ya, Gus, rumahmu itu aku juga yang

mendirikannya dulu. Waktu itu engkau baru

bisa tengkurap. Duapuluh lima tahun yang

lalu! Dan selama itu, rumahmu itu belum

pernah diperbaiki. Pikir saja. Duapuluh lima

tahun! Itu tidak sebentar dibandingkan dengan

jeleknya tanah di sini. Coba lihatlah rumah-

rumah tembok yang didirikan sesudah

rumahmu semua itu sudah roboh, bongkar,

dan sobek-sobek. Rumahmu itu masih kuat.‖

Sekarang suaranya jadi ketua-tuaan, Kalau

bisa, Gus, kalau bisa harap rumahmu itu

engkau perbaiki. Karena itu, barangkali ada

baiknya kuulangi kata orang tua-tua dulu:

Apabila rumah itu rusak, yang menempatinya

pun rusak.‖... ‖Engkau anak sulung, Gus, aku

harap—sekalipun aku bukan familimu—

peliharalah rumahmu itu.‖

(Toer, 2007: 43-44)

Suasana kehidupan bertetangga yang rukun dan saling tolong-menolong dalam

Bukan Pasar Malam beberapa kali terekam di lingkungan rumah Blora, seperti:

‖Sekarang suaranya jadi ketua-tuaan, Kalau bisa, Gus, kalau bisa harap

rumahmu itu engkau perbaiki. Karena itu, barangkali ada baiknya kuulangi kata

orang tua-tua dulu: Apabila rumah itu rusak, yang menempatinya pun rusak.‖...

‖Engkau anak sulung, Gus, aku harap—sekalipun aku bukan familimu—

peliharalah rumahmu itu.‖ (Toer, 2007: 43-44). Dari cuplikan tersebut, tergambar

nilai sosial dalam masyarakat berupa nilai kepedulian masyarakat sekitar dengan

Page 48: NILAI SOSIAL DALAM NOVEL BUKAN PASAR MALAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/454/1/102754... · i nilai sosial dalam novel bukan pasar malam karya pramoedya ananta

42

keluarga Aku. Hal yang langka ditemukan pada zaman sekarang ini, terutama di

kota besar seperti Jakarta.

No. Kategori Teks novel Bukan Pasar Malam

2. Nilai kesetaraan ―Ya Mas, tiap hari datang surat kemari, baik

dari tentara maupun dari mereka yang

menyebut dirinya orang non. Engkau tahu

surat apa, Mas? Sokongan! Minta sokongan.

Dan tiap hari begitu saja yang terjadi. Dan

semua surat itu tak dibiarkan hampa saja oleh

ayah. Tidak. Semua mesti behasil. Kadang-

kadang aku tak menerima belanja secepeng

pun juga sekalipun untuk makan ayah

sendiri—dan untuk satu bulan penuh, dan

semua ini mengingatkanku pada seorang

budiman Tionghoa. Di waktu ayah masih di

daerah gerilya dan juga di masa pendudukan

merah, orang Tionghoa itu banyak membantu

kami. Dan aku tak mengerti mengapa dia sudi

menolong keluarga kami dari bahaya

kelaparan.‖

‖Ya, Adikku, kemanusiaan kadang-kadang

menghubungkan seorang dari kutub utara dan

seorang dari kutub selatan. Dan dalam hal ini,

kemanusiaan itu telah menghubungkan

seorang dari kerajaan langit kita.‖

(Toer, 2007: 63-64)

Tokoh ayah selalu menjalankan tugasnya dengan rasa penuh tanggung jawab

dan selalu berempati kepada lingkungan sekitarnya. Misalnya, saat ia diangkat

Page 49: NILAI SOSIAL DALAM NOVEL BUKAN PASAR MALAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/454/1/102754... · i nilai sosial dalam novel bukan pasar malam karya pramoedya ananta

43

menjadi pengawas sekolah oleh Belanda. Saat itu ayah banyak menerima surat

dari orang yang mengaku non, yang isinya mencari sokongan kepadanya. Surat-

surat tersebut tak dibiarkan saja, melainkan diperjuangkannya sampai berhasil.

Oleh karena budi baiknya tersebut, keluarganya mendapatkan bantuan untuk

kebutuhan sehari-hari saat dirinya ditahan di masa pendudukan merah. Bantuan

tersebut diberikan oleh seorang Tionghoa ”...Di waktu ayah masih di daerah

gerilya dan juga di masa pendudukan merah, orang Tionghoa itu banyak

membantu kami. Dan aku tak mengerti mengapa dia sudi menolong keluarga

kami dari bahaya kelaparan.‖(Toer, 2007: 63). Melalui seorang Tionghoa

tersebut juga siswa dapat belajar, bahwa untuk tolong-menolong itu tidak pandang

kedudukan, ras, agama, seseorang di dalam masyarakat.

No. Kategori Teks novel Bukan Pasar Malam

3. Nilai kebersamaan Aku lihat ayah menarik nafas. Dan aku lihat ia

mencari tenaga dalam nafas yang diisapnya

itu. Bibirnya yang kering itu tersenyum.

Kemudian matanya yang berlingkar biru itu

terbuka sedikit—sedikit saja. Kemudian

bersambung dengan suara orang menyerah:

‖Tak.. ada.. apa-apa.. yang kupikirkan...

anakku!: Lemah sekali.

Aku menangis. Ayah menutup matamya

kembali.

Lama tak terdengar suara apa-apa—suaraku

dan suara ayah. Kemudian—dengan tiada

terduga-duga—terdengar suara lemah, dalam,

dan melayang:

‖Sum-mur... itu... perbaik-i tem-tembok...nya.‖

‖Ya, Bapak.‖ aku menjawab.

Lama tak terdengar apa-apa. Kemudian

terdengar sambungannya:

Page 50: NILAI SOSIAL DALAM NOVEL BUKAN PASAR MALAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/454/1/102754... · i nilai sosial dalam novel bukan pasar malam karya pramoedya ananta

44

―Or-ra-ng itu membu-tuh-kan a-ir.‖ Tertahan

agak lama suara itu, meneruskan, ―dalam

hi..dup-nya.‖ (Toer, 2007: 46)

Di dalam keadaan sakit keras sekali pun, sang ayah masih saja memikirkan

nasib masyarakat tempat ia tinggal. Ayah menyuruh memperbaiki tembok sumur,

karena sumur menjadi salah satu kebutuhan utama masyarakat Blora. ‖Sum-mur...

itu... perbaik-i tem-tembok...nya.. ―Or-ra-ng itu membu-tuh-kan a-ir.‖ Tertahan

agak lama suara itu, meneruskan, dalam hi..dup-nya.‖ (Toer, 2007: 46) Melalui

tokoh ayah, kita dapat belajar makna nilai kebersamaan terhadap sesama

meskipun dalam keadaan sulit sekalipun.

Tokoh Ayah sebagai guru yang penuh bakti, memiliki pendirian yang tegas,

dan bertanggungjawab akan tugas yang diberikan kepadanya. Buktinya bahwa

dahulu ayah pernah ditawarkan sebagai perwakilan daerah, tapi ia menolaknya.

Ayah menganggap bahwa perwakilan daerah tak ubahnya sebagai ”badut besar”

yang bermain di atas panggung sandiwara. Selain itu, ayah juga pernah ditawari

menjadi koordinator pengajaran untuk mengatur pengajaran seluruh daerah Pati.

Tapi, ayah menolak juga. Ia merasa tak pantas di tempat seperti itu, tempatnya

adalah di kelas mendidik murid-murid. Meskipun ia dulu pernah menjadi

pengawas sekolah, dan kembali menjadi seorang guru. Ia tetap pada pendiriannya

‖kita guru-guru di tanahair kita ini jangan sampai kurang seorang pun juga.‖

(Toer, 2007: 65).

No. Kategori Teks novel Bukan Pasar Malam

4. Nilai keikhlasan ‖Dunia ini memang aneh, Adikku,‖ kataku

lagi, ‖kalau suatu keluarga itu bisa timbul

mengatasi keluarga-keluarga yang lain,

orang-orang dengki. Ada saja mereka punya

bahan untuk memaki dan menghina-hinakan di

belakang layar. Tapi ada sebuah keluarga

Page 51: NILAI SOSIAL DALAM NOVEL BUKAN PASAR MALAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/454/1/102754... · i nilai sosial dalam novel bukan pasar malam karya pramoedya ananta

45

yang runtuh, ramai, ramai-ramai orang

menyoraki dan turut meruntuhkannya. Aku

tahu, Adikku, inilah adat di kota kecil. Karena,

Adikku, penduduk kota kecil ini tak

mempunyai perhatian apa-apa selain dirinya

sendiri, keluarga, dan lingkungannya. Lain

dengan di kota besar. Banyak yang masuk ke

dalam perhatian mereka. Karena itu, Adikku,

lebih baik engkau jangan turut campur dalam

kepentingan-kepentingan mereka. Engkau

mengerti, bukan?‖ (Toer, 2007: 61)

Kehidupan bermasyarakat tak lepas dari rasa dengki terhadap sesamanya.

Apalagi jika orang itu dapat berbuat baik dan membantu sekitarnya. Ada saja

orang yang mencari kelemahan dari orang yang berbuat baik tersebut, dan mereka

senang jika orang yang berbuat baik itu gagal. Intinya setiap perbuatan orang lain

lakukan pasti salah di mata mereka. Dengan begitu, melalui tokoh Aku

menanamkan nilai keikhlasan dalam menghadapi masalah di masyarakat. Bahwa

kejahatan jangan dibalas dengan kejahatan. Tetapi tokoh Aku berusaha

mengajarkan kepada adik-adiknya tentang rasa ikhlas dengan introspeksi diri.

Bagaimana pun perlakuan masyarakat terhadap keluarga mereka, Aku

mengajarkan agar tidak menaruh dendam apa pun kepada mereka. Meskipun

keluarga mereka selalu disakiti. Aku menasehati kepada adiknya untuk

memperbaiki keadaan keluarga mereka yang lalu dengan lebih baik ke depannya

nanti. ‖Kita bangunkan keluarga baru Adikku—dengan tenaga kita sendiri, untuk

kita sendiri. biarlah kita jadi pulau terpencil di tengah-tengah samudera. Bila kita

jatuh, Adikku, kita jatuh dengan tidak berteriak. Bila pulau kita terendam

samudera, kita akan terendam sendirian dan tak ada orang yang melihat. Aku

sendiri, Adikku, aku sendiri sudah bosan pada semua ini. Aku sudah bosan pada

kesopanan yang sia-sia ini. O, aku tak mengerti, aku tak tahu apa-apa lagi.‖

(Toer, 2007: 62).

Page 52: NILAI SOSIAL DALAM NOVEL BUKAN PASAR MALAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/454/1/102754... · i nilai sosial dalam novel bukan pasar malam karya pramoedya ananta

46

C. Implikasi dalam Pembelajaran Sastra di Sekolah

Berdasarkan tujuan pembelajaran matapelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia

bidang sastra dalam Kurikulum 2004, yaitu: (1) agar peserta didik mampu

menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk mengembangkan kepribadian,

memperluas wawasan kehidupan, serta meningkatkan pengetahuan dan

kemampuan berbahasa; (2) peserta didik menghargai dan membanggakan sastra

Indonesia sebagai khazanah budaya dan intelektual manusia Indonesia.

Sesuai dengan amanat Kurikulum 2004, pembelajaran sastra hendaknya

digunakan peserta didik sebagai salah satu kecakapan hidup dan belajar sepanjang

hayat yang dibakukan dan harus dicapai oleh peserta didik melalui pengalaman

belajar. Kecakapan hidup dapat dikelompokkan menjadi lima jenis, yaitu:

kecakapan mengenal diri (self awareness) atau kecakapan personal; kecakapan

berpikir rasional (thinking skill); kecakapan sosial (social skill); kecakapan

akademik (academic skill); kecakapan vokasional (vocasional skill).

Novel Bukan Pasar Malam menggambarkan kesedihan, penderitaan dan

kesulitan rakyat Indonesia pascakemerdekaan. Seluruh cerita dikisahkan menjadi

citraan sosial pada masa itu. Oleh karena itu, hampir setiap yang bagian

dinarasikan mengungkapkan nilai-nilai sosial dalam kehidupan dalam keluarga

dan bermasyarakat. Hal tersebut dapat diimplikasikan pada pembelajaran Bahasa

dan Sastra Indonesia di tingkat SMA kelas XI (sebelas), dalam aspek

mendengarkan. Dengan Standar Kompetensi memahami bacaan, dan Kompetensi

Dasar menemukan nilai-nilai dalam cerita yang dibacakan atau yang didengarkan

melalui rekaman bacaan, misalnya siswa mampu menemukan nilai sosial, nilai

moral, nilai budaya dalam suatu cerita.

Seperti yang telah dijelaskan oleh penulis sebelumnya tentang gambaran sosial

dan nilai-nilai sosial yang terkandung di dalam novel ini, diharapkan guru dalam

pembelajaran apresiasi sastra di sekolah dapat memberikan gambaran kehidupan

masyarakat dan dapat menambah pengetahuan juga wawasan siswa serta

memberikan nilai-nilai untuk kehidupan siswa di masyarakat.

Nilai sosial yang ditemukan melalui interaksi keluarga yang dapat diambil

untuk pembelajaran siswa melalui tokoh Aku sebagai kakak tertua, begitu

Page 53: NILAI SOSIAL DALAM NOVEL BUKAN PASAR MALAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/454/1/102754... · i nilai sosial dalam novel bukan pasar malam karya pramoedya ananta

47

mengayomi dan menjaga adik-adiknya disaat keluarga sesulit apapun. Selain itu,

Aku juga memberikan contoh yang baik untuk adik-adiknya dan istrinya. Ia

membimbing mengucapkan lafaz Allah di saat sang ayah menghadapi sakaratul

maut. Begitulah selayaknya seorang anak berbakti kepada orang tua yang telah

membesarkan kita. Tokoh Aku juga mengajarkan kepada adiknya agar tidak

menaruh dendam kepada orang-orang yang membenci keluarganya.

Nilai sosial yang ditemukan melalui interaksi masyarakat yang dapat dijadikan

pelajaran siswa maupun guru yaitu gotong-royong, seperti yang dilakukan tokoh

Ayah sebagai guru yang penuh bakti, memiliki pendirian yang tegas, dan

bertanggungjawab akan tugas yang diberikan kepadanya. Buktinya bahwa dahulu

ayah pernah ditawarkan sebagai perwakilan daerah, tapi ia menolaknya. Ayah

menganggap bahwa perwakilan daerah tak ubahnya sebagai ”badut besar” yang

bermain di atas panggung sandiwara. Selain itu, ayah juga pernah ditawari

menjadi koordinator pengajaran untuk mengatur pengajaran seluruh daerah Pati.

Tapi, ayah menolak juga. Ia merasa tak pantas di tempat seperti itu, tempatnya

adalah di kelas mendidik murid-murid. Meskipun ia dulu pernah menjadi

pengawas sekolah, dan kembali menjadi seorang guru. Ia tetap pada pendiriannya

‖kita guru-guru di tanahair kita ini jangan sampai kurang seorang pun juga.‖

(Toer, 2007: 65).

Sekalipun keadaan fisiknya yang tak lagi kuat dan sehat seperti sebelumnya,

keadaan anggota keluarganya miskin, rumah tuanya sudah tak kuat lagi menahan

arus waktu. Ayah selalu menjalankan tugasnya dengan rasa penuh tanggung jawab

dan selalu berempati kepada lingkungan sekitarnya. Misalnya, saat ia diangkat

menjadi pengawas sekolah oleh Belanda. Saat itu ayah banyak menerima surat

dari orang yang mengaku non, yang isinya mencari sokongan kepadanya. Surat-

surat tersebut tak dibiarkan saja, melainkan diperjuangkannya sampai berhasil.

Oleh karena budi baiknya tersebut, keluarganya mendapatkan bantuan untuk

kebutuhan sehari-hari saat dirinya ditahan di masa pendudukan merah. Bantuan

tersebut diberikan oleh seorang Tionghoa (Toer, 2007: 63). Melalui seorang

Tionghoa tersebut juga siswa dapat belajar, bahwa untuk tolong-menolong itu

tidak pandang kedudukan, ras, agama, seseorang di dalam masyarakat.

Page 54: NILAI SOSIAL DALAM NOVEL BUKAN PASAR MALAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/454/1/102754... · i nilai sosial dalam novel bukan pasar malam karya pramoedya ananta

48

Diharapkan nilai-nilai sosial yang terkandung di dalam novel ini dapat

diimplikasikan dalam pembelajaran sastra di sekolah. Setelah siswa membaca dan

memahami novel ini, siswa dapat menerapkan nilai-nilai sosial yang ada di

kehidupan sehari-hari mereka. Dalam proses pembelajaran sastra dapat novel ini

dapat dimanfaatkan sebagai alat untuk meningkatkan kepekaan siswa terhadap

nilai-nilai kearifan dalam menghadapi kehidupan yang kompleks dan

multidimensi. Realitas sosial, lingkungan hidup, kedamaian dan perpecahan,

kejujuran dan kecurangan, keshalihan dan kezhaliman juga cinta dan kebencian,

dan kemanusiaan, semuanya ada dalam novel ini. Dengan kata lain, dalam

pembelajaran sastra novel ini berperan penting dalam pembangunan karakter

bangsa. Selain itu setelah membaca dan memahami novel ini, siswa diharapkan

dapat mengembangkan daya nalarnya terhadap diri sendiri dan lingkungannya.

Page 55: NILAI SOSIAL DALAM NOVEL BUKAN PASAR MALAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/454/1/102754... · i nilai sosial dalam novel bukan pasar malam karya pramoedya ananta

49

BAB V

PENUTUP

A. Simpulan

1. Bukan Pasar Malam merupakan sebuah novel yang mengandung nasehat,

anjuran dan pendidikan yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat di

Indonesia sebelum dan sesudah kemerdekaan. Di dalam novel ini, Pramoedya

menggambarkan kesedihan, penderitaan dan kesulitan rakyat Indonesia

pascakemerdekaan. Seluruh cerita dikisahkan menjadi citraan sosial pada

masa itu. Oleh karena itu, hampir setiap bagian dinarasikan mengungkapkan

nilai-nilai sosial dalam kehidupan bermasyarakat. Nilai interaksi sosial dalam

keluarga, hingga interaksi dengan kehidupan bermasyarakat di masa lalu, serta

lingkungan yang serba sulit dideskripsikan dengan sangat detail oleh

Pramoedya.

Sebuah novel yang diterbitkan oleh Balai Pustaka di tahun 1951, dapat

dipastikan bahwa Pramoedya menulisnya sebelum tahun novel ini diterbitkan,

atau tepatnya pada saat, sesudah Pramoedya melakukan perjalanan ke Blora

dalam bulan Mei 1950. Itu artinya, bahwa novel ini ditulis setelah lima tahun

Indonesia merdeka. Tentunya saja, kondisi atau situasi sosial dan ekonomi

masyarakat waktu itu sedikit banyaknya akan mempengaruhi dan tergambar

dalam karya itu. Novel ini terinspirasi dari kehidupan Pram yang memang

lahir di Blora dan hubungan batinnya dengan sang ayah.

2. Berdasarkan temuan dan hasil analisis terhadap novel ini, diketahui bahwa

novel Bukan Pasar Malam memuat nilai-nilai sosial melalui interaksi sosial di

dalam keluarga dan bermasyarakat. Nilai-nilai tersebut antara lain: nilai kasih

sayang, nilai kasih sayang, nilai pengayoman, nilai religiositas, nilai

kepedulian, nilai kesetaraan, nilai kebersamaan, nilai keikhlasan.

Page 56: NILAI SOSIAL DALAM NOVEL BUKAN PASAR MALAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/454/1/102754... · i nilai sosial dalam novel bukan pasar malam karya pramoedya ananta

50

3. Nilai-nilai sosial dalam kehidupan dalam keluarga dan bermasyarakat yang

ada di dalam novel tersebut dapat diimplikasikan pada pembelajaran Bahasa

dan Sastra Indonesia di tingkat SMA kelas XI (sebelas), dalam aspek

mendengarkan. Dengan Standar Kompetensi memahami bacaan, dan

Kompetensi Dasar menemukan nilai-nilai dalam cerita yang dibacakan atau

yang didengarkan melalui rekaman bacaan, misalnya siswa mampu

menemukan nilai sosial, nilai moral, nilai budaya dalam suatu cerita.

B. Saran

Berdasarkan hasil analisis, simpulan dan implikasi yang telah diuraikan, ada

beberapa saran yang diajukan penulis yaitu:

1. Novel Bukan Pasar Malam karya Pramoedya Ananta Toer dapat dijadikan

sebagai sumber pembelajaran apresiasi sastra di sekolah.

2. Bagi guru hendaknya dalam pembelajaran apresiasi sastra dapat

memberikan gambaran kehidupan masyarakat, agar siswa bertambah

pengetahuan dan wawasannya tentang nilai-nilai sosial untuk kehidupan di

masyarakat.

3. Diharapkan nilai-nilai sosial yang terkandung di dalam novel ini dapat

diimplikasikan dalam pembelajaran sastra di sekolah. Setelah siswa

membaca dan memahami novel ini, siswa dapat menerapkan nilai-nilai

sosial yang ada di kehidupan sehari-hari mereka.

Page 57: NILAI SOSIAL DALAM NOVEL BUKAN PASAR MALAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/454/1/102754... · i nilai sosial dalam novel bukan pasar malam karya pramoedya ananta

51

Lampiran - 1

Sinopsis Bukan Pasar Malam

Novel ini terjadi dalam suatu putaran perjalanan seorang anak revolusi yang

pulang kampung karena Ayahnya sakit. Cerita ini berawal ketika tokoh Aku

menerima surat dari pamannya yang mengabarkan bahwa ayahnya jatuh sakit. Ini

terlihat dalam kutipan dibawah ini.

Kalau bisa, pulanglah engkau ke Blora untuk dua atau empat hari. Ayahmu

sakit. Tadinya malaria dan batuk. Kemudian ditambah dengan ambeien.

Akhirnya ketahuan beliau kena Tbc. Ayahmu ada di rumahsakit sekarang, dan

telah empat kali memuntahkan darah. (Toer, 2007: 2)

Mendengar kabar itu, tokoh Aku terkejut dan segera meminta bantuan

pinjaman uang ke sana kemari untuk ongkos pulang ke Blora. Sepanjang

perjalanan ke Blora, ia terkenang akan banyak kenangan pada setiap tempat yang

ia lewati. Pada saat kereta meluncur dari stasiun Gambir, tokoh Aku melihat

gundukan tanah merah yang tinggi, yang selalu dilihatnya saat zaman Jepang, kini

tanah itu tinggal seperempatnya, karena diendapkan oleh air hujan, dicangkuli,

dan diseret oleh air hujan. Ia ngeri membayangkan bahwa kehidupan manusia itu

seperti itu, setiap hari dicangkul, diendapkan, dan diseret juga seperti gundukan

tanah tersebut. Pada saat di Lemah Abang tokoh Aku juga terkenang akan

kenangan lama, ini tergambar dalam kutipan berikut.

Sekilas melela kenangan lama. Dulu-empat tahun yang lalu! Dengan tiada

tersangka-sangka Belanda menghujani pertahanan kita dari tiga penjuru

dengan delapan atau sepuluh pucuk howitser. Jumlah itu bisa dihitung dari

bekas serdadu artileri KNIL sebelum perang. Rakyat jadi panik. Mereka

melarikan diri ke sawah. Aku masih ingat waktu itu, aku berteriak dengan

bercorong kedua tanganku: ‖Jangan lari! Rebahkan badan! Tapi mereka itu

terlampau banyak, terlampau bingung, terlampau ketakutan-dan suaraku tak

terdengar oleh mereka. Dan di kala aku bertiarap di bawah pohon besar itu

kulihat sebuah-dua buah, tiga, empat, lima-peluru meriam jatuh meledak di

sekitar bondongan manusia yang melarikan diri. Darah. Kurban. Bangkai.

Dan ingatanku melalui darah, kurban, bangkai, ke surat, ke paman, dan

kepada Ayah. (Toer, 2007: 15)

Kenangan-kenangan terus melayang dalam pikiran tokoh Aku, dia juga

membayangkan kuburan, tempat peristirahatan terakhir manusia. Tapi, kadang-

Page 58: NILAI SOSIAL DALAM NOVEL BUKAN PASAR MALAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/454/1/102754... · i nilai sosial dalam novel bukan pasar malam karya pramoedya ananta

52

kadang manusia tidak mendapat tempat terakhir, dan tokoh Aku membayangkan

bagaimana jika ayahnya yang tidak mendapatkan tempat tinggal terakhir.

Kereta terus melaju di atas relnya, ketika melewati sebuah dusun tiba-tiba

pikiran tokoh Aku mati. Dusun itu dulunya berada dalam kekuasaan garong.

Dulunya tokoh Aku sering berpatroli ke dusun itu. Di dusun itu pula ia berkenalan

dengan dengan wanita cantik. Karena dusun itu kepunyaan tuan tanah, datang saja

pikiran dalam otaknya,

Dia mesti anak blaster. Tapi aku tak peduli. Dan bapaknya berjanji padaku:

kalau bapak mengawini anakku, bapak tak perlu kerja. Sawah cukup luas.

Dan bapak boleh mengambil separuh dari sawahku. (Toer, 2007: 18)

Tokoh Aku menjadi mabok kepayang mendengar tawaran itu. Karena pada

saat itu kemiskinan selalu melayang-layang di kepalanya. Namun, ketika tokoh

Aku kembali lagi ke dusun itu, wanita cantik itu telah dinikahi garong, dan tokoh

Aku kembali dengan penyesalan dan juga kegembiraan karena tak jadi

menggadaikan diri.

Tokoh Aku dan istrinya terus melanjutkan perjalanan, hingga mereka sampai

ke Blora. Sebelum meninggalkan Jakarta mereka sempat mengirimkan telegram

mengabarkan bahwa mereka akan ke Blora. Tokoh Aku melihat-lihat ke sekitar

stasiun, barangkali ada saudaranya yang menjemput, namun ia tak

menemukannya. Ia dan istrinya melanjutkan perjalanan dari stasiun ke rumah

menggunakan dokar. Kemudian mereka pun sampai lah di rumah dan disambut

bahagia oleh adik-adiknya.

Aku dan keluarganya mengobrol banyak tentang Jakarta, Semarang, dan

tentang mobil. Mereka mengobrol banyak sampai akhirnya Aku menanyakan

tentang bagaimana dengan kesehatan ayahnya. Semuanya terdiam, kemudian adik

Aku yang keempat menjawab perlahan dan hati-hati. Dia mengatakan bahwa

kiriman pil dan selimut untuk ayah telah diterima. Juga weselnya sudah diterima.

Dan sudah dipergunakan untuk membeli susu dan telur. Kemeja untuk ayah juga

telah diambil dari pos. Selimut, kemeja dan pil sudah dibawa ke rumah sakit. Tapi

ayah bilang bawa saja semua itu pulang ke rumah. Telur dan madu, ayah

mengatakan dia sudah bosan.

Page 59: NILAI SOSIAL DALAM NOVEL BUKAN PASAR MALAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/454/1/102754... · i nilai sosial dalam novel bukan pasar malam karya pramoedya ananta

53

Kemudian, pembicaraan beralih. Aku menanyakan keberadaan adiknya yang

ketiga, yang waktu itu dikatakan sakit. Adiknya itu terkena sakit, ketika ia

terkurung oleh pasukan merah di daerah rawa, di daerah malaria, dan pada saat

perang obat-obatan sangat kurang. Dan yang lebih menyedihkan, anak dari

adiknya yang ketiga itu telah meninggal dunia. Pada sore harinya Aku, istrinya

dan adiknya pergi ke rumah sakit. Sampai di rumah sakit, mereka memasuki

kamar nomor tiga belas, yaitu kamar tempat di mana ayahnya dirawat. Betapa

bahagia hati ayahnya ketika anaknya yang ditunggu-tunggu datang menjenguk.

Aku juga bahagia karena melihat istrinya mau menyembah pada orang tuanya.

Setiap hari Aku datang mengunjungi ayahnya di rumah sakit, kondisinya sangat

menyedihkan. Tubuhnya yang dulu berisi, dan kini tak ubah seperti sebilah papan.

Ketika ditanyai apa yang diinginkan, beliau hanya menjawab aku tak ingin apa-

apa.

Pada waktu tokoh Aku berjalan-jalan mengelilingi kampungnya, ia bertemu

dengan tetangganya yaitu seorang tukang potong kambing. Tukang kambing itu

berkata padanya, bahwa rumahnya yang sudah dua puluh lima tahun itu sudah

rusak dan perlu diperbaiki. Pada sore hari Aku pergi ke rumah sakit untuk

menjenguk ayahnya, dalam perjalanan dia bertemu kembali dengan tukang

kambing itu, dan kemudian Aku langsung mengatakan bahwa dia akan

memperbaiki rumah itu, tukang kambing itu pun tersenyum mendengarnya.

Sesampainya di rumah sakit Aku langsung mengatakan maksudnya untuk

memperbaiki rumah pada ayahnya, dan ayahnya pun sangat bergembira. Dan

berkata bahwa sumur juga perlu diperbaiki. Di kampung Aku, orang yang

membuat sumur adalah orang yang berwakaf, jika orang membangun sumur

namun hanya dipakai untuk keperluan pribadi saja, maka orang itu akan dicap

sebagai orang yang pelit.

Malam harinya, Aku dan paman berangkat mencari dukun. Dukun yang

mereka temui adalah seorang guru sekolah rakyat di luar kota. Menurut adat

daerahnya jika akan membicarakan hal-hal yang penting dimulai dengan obrolan

yang bukan-bukan. Begitu juga yang dilakukan oleh Aku dan pamannya. Dan

pada akhirnya sampailah pembicaraan pada tujuan yang paling utama. Paman

Page 60: NILAI SOSIAL DALAM NOVEL BUKAN PASAR MALAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/454/1/102754... · i nilai sosial dalam novel bukan pasar malam karya pramoedya ananta

54

mengatakan maksud kedatangannya, yaitu ingin meminta bantuan menyembuhkan

kakaknya yang sedang sakit. Kemudian dukun itu pergi sebentar ke dalam rumah.

Tak lama kemudian dukun itu keluar lagi setelah melakukan meditasi. Kemudian

mulai terdengar suaranya, ia mengatakan bahwa ia tidak bisa banyak membantu,

namun ia memberikan syarat saja. Ia mengeluarkan sebungkus dupa dari dalam

sakunya.

Kemudian dukun itu kembali bercerita bahwa sebetulnya ia banyak berhutang

budi pada ayah tokoh Aku. Dukun itu berhutang budi, karena ayah tokoh Aku lah

yang menempatkannya di daerah itu. Dukun itu juga mengatakan bahwa ayah

tokoh Aku adalah seorang pimpinan pemerintahan gerilya.

Suatu sore Aku dan istrinya kembali ke rumah sakit untuk menjenguk ayahnya

kembali. Karena persediaan uang sudah menipis, Aku dan istrinya berencana

untuk pulang dulu ke Jakarta. Di rumah sakit istrinya menyuapi ayahnya bubur

sumsum, hal ini menggambarkan bahwa dengan sangat mudahnya manusia

dengan manusia didekatkan oleh kemanusiaan.

Setelah itu Aku mengatakan maksud untuk pulang kepada bapaknya, dia

mengatakan bagaimana jika mereka pulang dulu ke Jakarta. Bapaknya

mengatakan seminggu lagi. Aku pun menuruti perintah ayahnya. Aku berfirasat

bahwa tak lama lagi bapaknya akan meninggalkannya. Dalam seminggu itu

banyak yang terjadi dengan kesehatan ayahnya, banyak sekali permintaannya.

Mulai dari ikan lele, dan es. Walaupun itu dilarang oleh dokter, namun tetapi

diberikan pada ayahnya.

Pada malamnya, Aku dan adiknya duduk berhadapan di depan lampu minyak.

Aku bertanya pada adiknya tentang bagaimana keadaannya pada waktu

pendudukan merah. Adiknya masih melanjutkan cerita, kemudian ayahnya

ditangkap oleh Belanda pada saat sedang tidur di langgar. Ketika ayahnya bangun

ia sudah terkurung oleh pasukan Belanda dan ditodong pula. Kemudian ayahnya

diangkat oleh Belanda menjadi pengawas sekolah. Ketika itu ayahnya jarang

sekali ada di rumah. Ia selalu keluar untuk berjudi, meski kepergiannya di masa

pendudukan bukan hanya untuk berjudi saja. Namun ayahnya berjuang terus

untuk hidupnya Republik. Setiap hari datang surat ke rumahnya, yaitu surat minta

Page 61: NILAI SOSIAL DALAM NOVEL BUKAN PASAR MALAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/454/1/102754... · i nilai sosial dalam novel bukan pasar malam karya pramoedya ananta

55

sokongan. Ayahnya kemudian terlalu banyak bekerja untuk Republik. Dan waktu

merdeka ayahnya jatuh sakit hingga sekarang.

Pada saat itu, adiknya bertanya-tanya ke sana-sini, apakah ayahnya bisa

ditempatkan di Sanatorium, namun pertanyaan itu hanya menjadi dengung belaka.

Ada yang menjawab,

Sanatorium mahal sekarang, sanatorium sudah penuh pedagang. Kalau

engkau pegawai, kalau engkau bukan pegawai tinggi, jangan sekali-kali

berani mengharapkan mendapat tempat di sanatorium. (Toer, 2007: 64)

Ayahnya juga pernah ditawari menjadi anggota perwakilan daerah, namun

ayahnya menolak. Ayahnya mengatakan begini,

‖Perwakilan rakyat? Perwakilan rakyat hanya panggung sandiwara. Dan aku

tidak suka menjadi badut-sekalipun badut besar.‖ (Toer, 2007: 65)

Adiknya masih melanjutkan cerita, pada saat Aku ditawan, kakek dan neneknya

meninggal. Dan pada saat itu mereka di daerah gerilya.

Dalam seminggu itu, tak terjadi apa-apa dengan ayahnya. Ayahnya hanya

meminta es dan es. Dan pada suatu hari, seseorang datang mengantarkan kwitansi

yang di belakangnya tertulis pesan dari ayahnya. Ayahnya meminta supaya ia

dibawa saja pulang ke rumah. Dan setelah minta izin dari dokter, maka ayahnya

dibawa pulang ke rumah.

Suatu sore Aku dan istrinya berjalan-jalan. Dalam perjalanan itu banyak sekali

yang mereka bicarakan. Karena uang sudah hampir habis, istrinya menyarankan

supaya mereka pulang dulu ke Jakarta. Banyak sekali yang berkecamuk dalam

pikiran Aku. Uang! Ayah! Jakarta! Rumah rusak! Tokoh Aku pun mengatakan

kepada istrinya bahwa ia tak akan pulang sebelum semuanya beres.

Dupa yang diberikan oleh dukun itu, ternyata tak berpengaruh apa-apa

terhadap kesehatan ayahnya. Dan pada dini hari, adik Aku yang keempat berlari-

lari dan mengatakan bahwa ayahnya berbicara tentang jagung. Ayahnya minta

untuk memegangi tangannya dengan erat, kemudian menunjuk ke arah timur dan

mengatakan bahwa ada sembilan puluh sembilan butir jagung di timur. Namun

seisi rumah tak mengerti maksud bapak itu apa? Kemudian bapaknya berkata,

‖Cukup, Anakku, sekian dulu. Pergilah engkau semua. Tinggalkan aku

sendirian. ” (Toer, 2007: 89)

Page 62: NILAI SOSIAL DALAM NOVEL BUKAN PASAR MALAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/454/1/102754... · i nilai sosial dalam novel bukan pasar malam karya pramoedya ananta

56

Kemudian semuanya pergi meninggalkan beliau sendirian. Dan menjelang magrib

adik Aku yang keempat berlari-lari menghampiri dan mengatakan bahwa ayah

sudah tak ada.

Malam itu ayah Aku sudah tak ada lagi dan dibaringkan di bale dalam

kerumunan orang banyak. Di antara banyak pelawat seorang pelawat Tionghoa

menyeletuk demikian:

Ya, mengapa kita ini harus mati seorang diri? Lahir seorang diri pula?

Mengapa mengapa kita ini harus hidup di satu dunia yang banyak

manusianya? Mengapa kalau kita sudah bisa mencintai seorang manusia, dan

orang itu pun mencintai kita. (Toer, 2007: 95)

Page 63: NILAI SOSIAL DALAM NOVEL BUKAN PASAR MALAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/454/1/102754... · i nilai sosial dalam novel bukan pasar malam karya pramoedya ananta

57

Lampiran - 2

Karya-karya dan Penghargaan Pramoedya Ananta Toer

Karya pertamanya yang diterjemahkan adalah Cerita dari Blora dalam bahasa

Rusia tahun 1956 dan judul itu pula yang terbanyak diterjemahkan ke dalam

bahasa asing, yaitu diterjemahkan ke dalam 18 bahasa, selanjutnya judul yang

terbanyak diterjemahkan adalah Bumi Manusia yang diterbitkan di Australia,

Amerika, Kanada, dan Inggris. Gadis Pantai adalah karyanya yang paling sering

dicetak ulang. Sampai tahun 1995, judul novel ini sudah dicetak 14 kali di

Belanda. Judul-judul lain yang banyak dicetak ulang adalah Tetralogi Bumi

Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca.

1. Karya Fiksi

No. Tahun Terbit Judul Karya

1. 1946 Sepuluh Kepala Nica, hilang di tangan penerbit

Balingka, Pasar Baru, Jakarta (1947).

2. 1947 Kranji-Bekasi Djatoeh. Djakarta: The Voice of Free

Indonesia, 90 pp. (diterbitkan kembali sebagai bagian

akhir Di Tepi Kali Bekasi, mulai Bab 9, lihat 1951).

3. 1950 Perburuan (sebuah tjeritera chajali).

Keluarga Gerilya, Kisah keluarga manusia dalam

tiga hari dan tiga malam. Djakarta: Jajasan

Pembangunan, 238 pp. (cetakan kedua terbit tahun

1955; edisi terbaru diterbitkan Hasta Mitra tahun

1996; dua bab pernah terbit terpisah, dengan teks

yang agak berlainan: Bab 2, ”Fajar Merah” dalam

Gema Suasana 3.1, 1950; Bab 5, ”Mencari Anak

Hilang” dalam Daya 2.2, 1950).

a. Dia Jang Menyerah. Djakarta: Pustaka Rakjat,

44 pp. (cetakan kembali dari Pudjangga Baru

Nomor Khusus, II.II/12: 23-55; lihat di bawah,

Page 64: NILAI SOSIAL DALAM NOVEL BUKAN PASAR MALAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/454/1/102754... · i nilai sosial dalam novel bukan pasar malam karya pramoedya ananta

58

1953, Tjerita dari Blora).

b. Subuh, Tjerita-Tjerita Pendek Revolusi,

Djakarta: Jajasan Pembangunan, 67 pp. (cetakan

ketiga terbit tahun 1961; cetakan keempat tahun

1963, Bukittinggi-Djakarta: Nusantara). Berisi

kumpulan tiga cerpen: ”Blora”, halaman 5-26;

”Jalan Kurantil No. 28”, halaman 27-40;

”Dendam”, halaman 41-66.

c. Percikan Revolusi, dengan Kata Pengantar H. B.

Jassin. Djakarta: Gapura, 195 halaman. (pada

halaman ii tercantum: Tjetakan pertama Djuni

1950; cetakan kedua tahun 1957, Djakarta: Balai

Pustaka). Berisi 10 kumpulan cerpen.

4. 1951 Bukan Pasar Malam. Djakarta: Balai Pustaka, 109

halaman, (juga diterbitkan dalam majalah

Indonesia, halaman 23-55; cetakan kedua terbit tahun

1959; cetakan ketiga terbit tahun 1964, Djakarta:

Jajasan Kebudajaan Sadar).

Di Tepi Kali I. Djakarta: Usaha Penerbitan Gapura

N. V., Djanuari 1947, Tjetakan pertama Februari

1951; cetakan kedua terbit tahun 1957, Djakarta:

Dinas Penerbitan Balai Pustaka, 339 halaman;

cetakan pertama berakhir pada halaman 257edisi

kedua; dalam edisi kedua bagian Krandji-Bekasi

Djatoeh ditambahkan; cetakan ketiga terbit tahun

1965; edisi terbaru diterbitkan Hasta Mitra tahun

1996), sisa naskah yang dirampas Marinir Belanda

pada Juli 1947.

Mereka Jang Dilumpuhkan, dua bagian. Djakarta:

Balai Pustaka, 286 + 296 halaman.

Dia Jang Menyerah, kemudian dimasukkan dalam

Page 65: NILAI SOSIAL DALAM NOVEL BUKAN PASAR MALAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/454/1/102754... · i nilai sosial dalam novel bukan pasar malam karya pramoedya ananta

59

kumpulan Tjerita Dari Blora; pemenang hadiah

untuk karya sastra terbaik 1952 oleh Badan

Musyawarah Kebudayaan Nasional (BMKN).

5. 1952 Tjerita Dari Blora. Djakarta: Balai Pustaka, 368

halaman. (Kata Pengantar oleh H. B. Jassin; cetakan

kedua terbit tahun 1963, Djakarta: Balai Pustaka;

cetakan ketiga terbit tahun 1989, Kuala Lumpur;

edisi terbaru diterbitkan Hasta Mitra tahun 1994.

6. 1953 Gulat di Djakarta. Djakarta: Mimbar Penjiaran

DUTA, 86 halaman.

Kapal gersang, Zenith 3.9: 550-556.

Tentang emansipasi buaya, Zenith 3.12 722-730.

7. 1954 Korupsi, ditjetak oleh: G. A. De Weille & Zn-Weesp

untuk Chatulistiwa, 102 halaman. (terbit di Jakarta

dalam Indonesia 5.4: 165-245; juga dipasarkan

sebagai buku; diterbitkan kembali sebagai buku,

bukittinggi-Djakarta: Nusantara, 154 halaman;

cetakan kedua terbit tahun 1961; cetakan ketiga terbit

tahun 1964.

Kalil, Siopas Kantor, Kisah 2.3: 85-90.

8. 1955 Midah Si Manis Bergigi Emas. Bukittinggi-Djakarta:

Nusantara,111 halaman.

9. 1956 Sunyisenyap di Siang Hidup, Indonesia 8.6 (Juni:

255-268).

10. 1957 Tjerita dari Djakarta, sekumpulan karikatur keadaan

dan manusianja. Djakarta: Grafica, 197 halaman.

Berisi 12 kumpulan cerpen.

Tjerita Tjalon Arang.

11 1958 Sekali Peristiwa di Banten Selatan. Djakarta:

Djawatan Pergerakan Tenaga, Kementerian

Page 66: NILAI SOSIAL DALAM NOVEL BUKAN PASAR MALAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/454/1/102754... · i nilai sosial dalam novel bukan pasar malam karya pramoedya ananta

60

Pekerdjaan Umum dan Tenaga, 1959. (cetakan kedua

terbit tahun 1963, Bukittinggi-Djakarta: Nusantara,

114 halaman; digarap sebagai lakon drama oleh

Dhalia dengan judul Orang-Orang Baru dari Banten.

Djakarta: bagian penerbitan Lekra, 1959).

Yang Pesta dan Yang Tewas, Zaman Baru 21/22.

12. 1962 Gadis Pantai (dalam bentuk cerita bersambung;

bagian pertama trilogi tentang keluarga penulis;

diterbitkan kembali tahun 1987, Jakarta: Hasta mitra,

viii + 189 halaman; juga diterbitkan di Malaysia; jilid

II dan III jadi korban vandalisme 1965.

13. 1965 Panggil Aku Kartini Saja I & II; bagian III & IV,

menjadi korban vandalisme 1965.

Kumpulan Karja Kartini (yang pernah dimuat di

berbagai berkala), jadi korban vandalisme 1965.

Wanita Sebelum Kartini, jadi korban vandalisme

Orde Baru.

Paman Martil, dalam Jang tak terpadamkan

(kumpulan cerpen, menyambut ulang tahun ke-45

PKI, Jakarta: Jajasan Pembaharuan, halaman 5-27).

14. 1975 A heap of ashes (kumpulan cerpen dalam bahasa

Inggris, terbit di St. Lucia, Queensland).

15. 1978 Bericht uit Kebayoran (kumpulan cerpen dalam

bahasa Belanda, terbit di Den Haag, Belanda).

Verloren (kumpulan cerpen dalam bahasa Belanda,

terbit di Den Haag).

16. 1980 Bumi Manusia, sebuah roman bagian pertama

tetralogi Buru

Anak Semua Bangsa, sebuah roman bagian kedua

tetralogi Buru

Page 67: NILAI SOSIAL DALAM NOVEL BUKAN PASAR MALAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/454/1/102754... · i nilai sosial dalam novel bukan pasar malam karya pramoedya ananta

61

17. 1985 Jejak Langkah, bagian ketiga tetralogi Buru

Sang Pemula

18. 1988 Rumah Kaca, sebuah roman sejarah, bagian

keempat tetralogi Buru.

19. 1995 Arus Balik, sebuah roman sejarah.

20. 1999 Arok Dedes.

21. 2000 Mangir, Larasati

22 2004 Menggelinding I.

23. 2005 Jalan Raya Pos, Jalan Daendels.

2. Karya Terjemahan dan Non-fiksi

No. Tahun Terbit Judul Karya

1. 1950 John Steinbeck, Tikus dan Manusia. Terjemahan

Pramoedya. Djakarta: Pembangunan (terjemahan (Of

Mice and Men).

Leo Tolstoy, Kembali pada Tjinta dan Kasihmu,

terjemahan dari Belanda Huwelijksgeluk.

2. 1953 Prof. Dr. Wertheim tentang Kesusastraan Indonesia

Modern. Kegagalan Kesusastraan Modern Indonesia,

SIASAT Gelanggang Cahier Seni dan Sastra, 15

November.

Offensif Kesastraan, H. B. Jassin sudah lama mati

sebelum gantung diri, Pudjangga Baru 14.8: 234-

239.

3. 1954 Leo Tolstoi, Perjalanan Ziarah yang Aneh.

4. 1955 Mari Mengarang, tak jelas nasibnyadi tangan sebuah

penerbit besar di Jalam Kramat, Jakarta.

5. 1956 Ibunda, kerja utama Maxim Gorki, Kisah Seorang

Page 68: NILAI SOSIAL DALAM NOVEL BUKAN PASAR MALAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/454/1/102754... · i nilai sosial dalam novel bukan pasar malam karya pramoedya ananta

62

Prajurit Sovyet karya Mikhail Sholokov Ke Arah

Sastra yang Revolusioner.

6. 1957 Balai Pustaka Harum Namanya di Dunia

Internasional-dahulu. Kini hampir-hampir tak

bernyawa lagi, dimuat dalam Star Weekly, 9

Februari.

Balai Pustaka di Alam Kemerdekaan, dimuat dalam

Star Weekly, 16 Februari.

7. 1959 Pramoedya Ananta Toer (catatan otobiografi, ditulis

atas permintaan A. Teeuw, dengan bibliografi

singkat.

Asmara dari Rusia karya Alexander Kuprin.

Manusia Sejati karya Boris Polewoi.

8. 1960 Hoa Kiau di Indonesia

9. 1962 Panggil aku Kartini Saja, Yang Harus Dibabat dan

Harus Dibangun, Memoar-Hikajat Sebuah Nama

(pandangan dan refleksi tentang nama Pramoedya)

10. 1963 Bagaimana Kisah Dikibarkannya Humanisme

Universa (karangan), Laporan Tentang Pengajaran

Sastra (karangan), Sebuah Memoar: Penjara

Cipinang (fragmen), Sastra Asimilatif: Sastra Pra-

Indonesia (karangan), Realisme Sosialis dan Sastra

Indonesia (sebuah peninjauan sosial), Surat Penutup

Tahun 1963, untuk H. B. Jassin, Basa Indonesia

Sebagai Basa Revolusi Indonesia (karangan).

11. 1964 Sejarah Bahasa Indonesia: Satu Pertjobaan

(menjadi korban vandalisme 1965)

12. 1965 Sekali Lagi Tentang Pengajaran Sastra, Tahun 1965

Tahun Pembabatan Total

13. 1981 Karya Tulis Larangan dan Penghancuran,

Page 69: NILAI SOSIAL DALAM NOVEL BUKAN PASAR MALAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/454/1/102754... · i nilai sosial dalam novel bukan pasar malam karya pramoedya ananta

63

Gesprekken met Pramoedya Ananta Toer oleh Phil

Kalpana dan Ellis Elburg, Sikap dan Peranan Kaum

Intelektual di Dunia Ketiga, Khususnya Indonesia.

14. 1982 Tempo Doeloe: Antologi Sastra Pra-Indonesia.

15. 1983 Catatan otobiografis singkat, dengan biblografi dan

daftar sejumlah tanggapan atas karya Pramoedya

Ananta Toer, bertanggal 9 Juli 1983.

16. 1984 Perburuan dan Keluarga Gerilja, dalam Proses

kreatif: Mengapa dan Bagaimana Saya Mengarang,

jilid II, ed Pamusuk Eneste.

17. 1985 Sang Pemula dan Karya-karya Non-Fiksi

(Jurnalistik) – Fiksi (cerpen/novel) R .M. Tirto Adhi

Soerjo. Surat kepada Keith Foulcher (stensilan,

tanggapan atas surat terbuka Achdiat K. Mihardja

kepada temannya di Australia).

18. 1986 Katalog Publikasi oleh dan tentang Pramoedya

Ananta Toer 1947-1986, Multatuli een herinnering

(Multatuli kenang-kenangan), Onze Wereld.

19. 1987 Hikayat Siti Mariah

20 1988 Surat Jawaban kepada Yth. Redaksi Suara

Pembaharuan dan H, Rosihan Anwar

21. 1991 Lied van een stomme, brieven van Buru. Terjemahan

dari Nyanyi Tunggal Seorang Bisu: Catatan-Catatan

Pribadi Pramoedya Ananta Toer dari Tahanan

Pulau Buru.

22. 1992 Maaf atas Nama Pengalaman ditulis untuk

kumpulan karangan dalam bahasa Belanda Het

wereldbeeld,

Pengalaman dengan Belanda, Negeri dan Orangnya.

Wawancara Pramoedya Ananta Toer kepada Kees

Page 70: NILAI SOSIAL DALAM NOVEL BUKAN PASAR MALAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/454/1/102754... · i nilai sosial dalam novel bukan pasar malam karya pramoedya ananta

64

Snoek .

Biodata (stensilan; terdiri atas dua bagian: Biodata

dan Studies and Reviews.

De Kinderdief in een Rode Auto (ditulis khusus untuk

surat kabar Belanda).

23. 1994 Saya Sudah Tutup Buku dengan Kekuasaan Ini,

Wawancara Hayam-wuruk.

24. 1995 Memoar Oei Tjoe Tat (editor atas karya Oei Tjoe

Tat), Nyanyi Sunyi Seorang Bisu (catatan-catatan dari

Pulau Buru), Sastra, Sensor dan Negara: Seberapa

Jauhkan Bahaya novel? (teks Indonesia, ceramah

yang diucapkan atas nama Pramoedya Ananta Toer

pada desempatan penyerahan Hadiah Magsaysay.

25. 1996 Jalan Raya Pos, De Groote Postweg, een film van

Bernie Ijdis met Pramoedya Ananta Toer (film

dokumenter dengan esai tentang sejarah Jalan Raya

Pos yang ditulis dan dibacakan oleh Pramoedya

beserta petikan-petikan riwayat hidupnya.

26. 1999 Kronik Revolusi Indonesia I-II

27. 2001 Kronik Revolusi Indonesia III, Perawan Remaja

dalam Cengkeraman Militer.

28. 2003 Kronik Revolusi Indonesia IV

3. Penghargaan dan Kehormatan

Tahun Penghargaan

1951 Hadiah Pertama Balai Pustaka untuk Perburuan.

1953 Hadiah Badan Musyawarah dan Kebudayaan Nasional (BMKN)

untuk Tjerita dari Blora.

1957 Hadiah Sastra Nasional BMKN untuk Tjerita dari Djakarta.

1964 Hadiah Yamin Foundation untuk Orang-orang Banten Selatan

(ditolak oleh penulis).

Page 71: NILAI SOSIAL DALAM NOVEL BUKAN PASAR MALAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/454/1/102754... · i nilai sosial dalam novel bukan pasar malam karya pramoedya ananta

65

1978 Adopted Member of the Nederlands Center of PEN International

(sewaktu masih di Pulau Buru), Honorary Member of the Japan

Center of PEN International (sewaktu masih di Pulau Buru)

1982 Honorary Life Member of the International PEN Australia Center,

Australia. Honorary Member of the PEN Center Swedia.

1987 Honorary Member of the PEN American Center, Amerika Serikat.

1988 Freedom-to-Write Award dari PEN American Center, Amerika

Serikat.

1989 Anggota Deutschsweizeriches PEN, Zentrum, Switzerland. Anugerah

The Fund for Free Expression, New York, Amerika Serikat.

1992 International PEN English Center Award, Great Britain.

1995 Wertheim Award ―for his meritorious services to the struggle for

emancipation of Indonesian people (dari The Wertheim Foundation,

Leiden, Belanda).

Ramon Magsaysay Award, ―for Journalism, Literature, and Creative

Arts, in recognition of his illuminating with brilliant stories the

historical awakening, and modern experience of the Indonesian

people‖. (dari Ramon Magsaysay Award Foundation, Manila,

Filipina).

1996 UNESCO Madanjeet Singh Prize, ―in recognition of his outstanding

contribution to the promotion of tolerance and non-violence‖ (dari

UNESCO, Paris, Perancis).

1999 Doctor of humane Letters, ―in recognition of his remarkable

imagination and distinguished literary contributions, his example to

all who oppose tyranny, and his highly principled struggle for

intellectual freedom‖ (dari University of Michigan, Madison,

Amerika Serikat).

Chanceller’s Distinguished Honor Award. ―for his outstanding

literary archievements and for his contributions to etnic tolerance

and global understanding‖ (dari University California, Berkeley,

Page 72: NILAI SOSIAL DALAM NOVEL BUKAN PASAR MALAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/454/1/102754... · i nilai sosial dalam novel bukan pasar malam karya pramoedya ananta

66

Amerika Serikat. International PEN Award Association of Writers

Zentrum Deutschland.

2000 New York Foundation for Arts Award, New York, Amerika Serikat.

Fukuoka Cultural Grand Prize, Jepang.

2004 The Norwegian Authors Union, Centenario Pablo Neruda Republica

de Chile.

4. Studi Mengenai Pramoedya Ananta Toer

Pramoedya Ananta Toer telah menulis berbagai karya sastra, seperti: novel,

cerpen, essei, dan sebagainya. Meskipun karya sastranya banyak ditentang oleh

pemerintah pada zamannya. Kini, kita telah dapat dengan bebas menikmati hasil

karya sastrawan yang dituding sebagai penganut paham komunis ini. Pecinta

sastra telah banyak juga mengulas hasil karya Pramoedya dalam bentuk artikel,

studi akademis, maupun buku. Berikut beberapa studi akademis dan buku tentang

karya Pramoedya:

1963 Rangkuti, Bahrum. Pramoedya Ananta Toer dan Karya Seninya.

1967 Jassin, H.B. Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esei

II (khususnya pada bab ―Pramoedya Ananta Toer Pengarang

Keluarga Gerilya‖).

1981 Scherer, Savitri Prastiti. From Culture to Politics: The Writings of

Pramoedya Ananta Toer, 1950-1965 (disertasi; Canberra)

1997 Teeuw, A. Citra Manusia Indonesia dalam Karya Pramoedya

Ananta Toer.

1999 Kurniawan, Eka. Pramoedya Ananta Toer dan Sastra Realisme

Sosialis.

2000 Mrazek, Rudolf. Pramoedya Ananta Toer dan Kenangan Baru.

Sebenarnya masih banyak tulisan tentang karya Pramoedya selain yang

penulis sebutkan di atas. Pembaca dapat melihat berbagai artikel tentang

Pramoedya dan karyanya dalam buku Seribu Wajah Pram dalam Kata dan Sketsa.

Page 73: NILAI SOSIAL DALAM NOVEL BUKAN PASAR MALAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/454/1/102754... · i nilai sosial dalam novel bukan pasar malam karya pramoedya ananta

67

BIOGRAFI PENULIS

MEGA FIYANI lahir di Tangerang, 1989.

Menuntaskan pendidikan Sekolah Dasar (SD) di

Sekolah Islam Al-hasanah. Kemudian, ia menuntut ilmu

di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Yadika 3 Karang

Tengah. Setelah itu, ia melanjutkan ke jenjang Sekolah

Menengah Akhir di SMA Negeri 3 Tangerang. Ia

meneruskan sekolahnya di Perguruan Tinggi Islam

Negeri, yaitu Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, masuk pada

tahun angkatan 2007. Ia mengambil program studi Pendidikan Bahasa dan Sastra

Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan.

Mahasiswa yang gemar dengan kebudayaan dan kesenian tradisional Indonesia ini

pernah menjabat sebagai Ketua Koordinator Seni Karawitan POSTAR (Pojok

Seni Tarbiyah) selama 3 tahun. Saat ini ia aktif sebagai Tutor Bahasa Inggris-

Indonesia untuk Sekolah Dasar di daerah Bintaro. Selain itu, ia juga bekerja

menjadi front liner di South Java Entertaiment.

Dalam hidupnya berprinsip Ora et Labora bahwa bekerja tanpa berdoa bagaikan

tubuh tanpa jiwa, karena sebagaimana makanan untuk tubuh, berdoa adalah

makanan bagi jiwa. Dengan berdoa dan bekerja yang selalu berjalan beriringan

serta saling meresapi, harmoni antara tubuh, pikiran, dan jiwa akan terwujud.

Page 74: NILAI SOSIAL DALAM NOVEL BUKAN PASAR MALAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/454/1/102754... · i nilai sosial dalam novel bukan pasar malam karya pramoedya ananta

68

DAFTAR PUSTAKA

Damono, Sapardi Djoko. Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas, Jakarta:

Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan. 1979

_____________________. Jejak Realisme dalam Sastra Indonesia, Jakarta: Pusat

Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. 2004

den Boef, August Hans dan Kees Snoek. Saya Ingin Lihat Semua Ini Berakhir:

Esei dan Wawancara dengan Pramoedya Ananta Toer, Jakarta: Komunitas

Bambu. 2008

Escarpit, Robert. Sosiologi Sastra. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 2005

Faruk. Pengantar Sosiologi Sastra, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 1994

Hasanuddin WS, Prof. Dr., M. Hum (Editor). Ensiklopedi Sastra Indonesia,

Bandung: Titian Ilmu. 2004

Ikram, Achadiati, dkk., Sejarah Kebudayaan Indonesia Bahasa, Sastra dan

Aksara, Jakarta: Rajawali Pers. 2009

Lane, Max. Esei Man of Letters and Revolution Pramoedya Ananta Toer,

Novelist, 1925-2006 Toer, Astuti Ananta (editor) dalam buku Seribu

Wajah Pram dalam Kata dan Sketsa, Jakarta: Lentera Dipantara. 2009

Narwoko, Dwi J., dan Bagong Sujanto. Teks Pengantar dan Terapan Edisi Kedua,

Jakarta:Media Group. 2004

Page 75: NILAI SOSIAL DALAM NOVEL BUKAN PASAR MALAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/454/1/102754... · i nilai sosial dalam novel bukan pasar malam karya pramoedya ananta

69

Nurgiyantoro, B. Teori Pengkajian Fiksi, Yogyakarta: Gadjah Mada Universitas

Press. 2000

Purwo, Bambang Kaswanti. Bulir-Bulir Sastra dan Bahasa Pembaharuan

Pengajaran, Yogyakarta: Kanisius. 1991

Ratna, Nyoman Kutha. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra dari

Struktualisme hingga Poststruktualisme: Perspektif Wacana Naratif,

Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2004

Semi, Atar. Anatomi Sastra, Padang: Angkasa Raya. 1988

Sugono, Dandi (Pimpinan Redaksi). Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi

Keempat, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Soeroso, M. S, Andreas. Sosiologi I, Jakarta: Yudhistira. 2006

Siswanto, Wahyudi. Pengantar Teori Sastra, Jakarta: PT. Grasindo: 2008

Teeuw, A. Citra Manusia Indonesia dalam Karya Sastra Pramoedya Ananta

Toer, Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya. 1997

Toer, Koesalah Soebagyo. Pramoedya Ananta Toer dari Dekat Sekali, Jakarta:

PT. Gramedia. 2006

Toer, Pramoedya Ananta. Bukan Pasar Malam, Jakarta: Lentera Dipantara. 2003

____________________. Menggelinding I, Jakarta: Lentera Dipantara. 2004

____________________. Nyanyi Sunyi Seorang Bisu II: Catatan Dari Pulau

Buru, Jakarta: Lentera.

Page 76: NILAI SOSIAL DALAM NOVEL BUKAN PASAR MALAMrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/454/1/102754... · i nilai sosial dalam novel bukan pasar malam karya pramoedya ananta

70

Widjojoko dan Endang Hidayat. Teori dan Sejarah Sastra Indonesia Edisi I,

Bandung: UPI Press. 2006

Yoesof, M. dkk. Susastra 5, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 2007

Anonim. “Nilai Sosial” dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Nilai_sosial (diunduh

pada tanggal 1 April pukul 21:24 WIB