NILAI SOSIAL DALAM NOVEL BUKAN PASAR...
Transcript of NILAI SOSIAL DALAM NOVEL BUKAN PASAR...
i
NILAI SOSIAL DALAM NOVEL BUKAN PASAR MALAM
KARYA PRAMOEDYA ANANTA TOER;
IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBELAJARAN SASTRA
Skripsi
Mega Fiyani
NIM 107013000047
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1432 H/2011 M
ii
ABSTRAK
MEGA FIYANI, 107013000047, “Nilai Sosial dalam Novel Bukan Pasar Malam
Karya Pramoedya Ananta Toer; Implikasinya terhadap Pembelajaran Sastra”.
Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dosen
Pembimbing: Drs. Jamal D. Rahman, M. Hum. November, 2011.
Bukan Pasar Malam adalah sebuah novel yang sarat dengan nilai-nilai
sosial. Buku ini menceritakan pengalaman seorang anak revolusioner yang pulang
kampung untuk menjenguk ayahnya yang sedang sakit. Diceritakan dengan sudut
pandang orang pertama, yang hanya disebut dengan Aku. Dimulai dengan
persiapan perjalanan ke Blora. Aku harus mencari uang untuk perjalanan itu, dan
ketika naik sepeda mengelilingi Jakarta, ia memikirkan tentang kemiskinan,
kekayaan, kemerdekaan, dan demokrasi yang meragu-ragukan pada awal 1950 di
Jakarta. Rumusan masalah penelitian ini tentang gambaran sosial masyarakat
Indonesia, nilai sosial dalam novel Bukan Pasar Malam dengan tinjauan sosiologi
sastra, dan implikasi nilai sosial dalam novel tersebut dalam pembelajaran sastra
di sekolah. Untuk menggali nilai-nilai tersebut, penelitian ini menggunakan
metode deskriptif analisis, yaitu metode dengan cara mendeskripsikan fakta-fakta,
kemudian disusul dengan analisis. Berdasarkan hasil analisis buku ini diketahui
bahwa buku tersebut memuat nilai-nilai sosial melalui interaksi sosial di dalam
keluarga dan masyarakat. Nilai-nilai tersebut antara lain: nilai kasih sayang, nilai
kasih sayang, nilai pengayoman, nilai religiositas, nilai kepedulian, nilai
kesetaraan, nilai kebersamaan, nilai keikhlasan.
Kata kunci: nilai sosial, implikasi.
iii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji hanya bagi Allah Swt semata, yang telah
memberikan rahmat dan karunia-Nya, serta kesehatan rohani dan jasmani. Atas
izin dan kasih-Nya penulis diberikan kemudahan sehingga dapat menyelesaikan
skripsi yang berjudul “Nilai Sosial dalam Novel Bukan Pasar Malam Karya
Pramoedya Ananta Toer; Implikasinya Terhadap Pembelajaran Sastra”. Shalawat
dan salam semoga tercurahkan kepada utusan Allah Swt, yaitu Nabi Muhammad
Saw yang menghindarkan kita dari jalan kegelapan.
Skripsi ini penulis susun untuk memenuhi salah satu syarat menempuh ujian
Sarjana Pendidikan pada Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia,
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan. Penulis berharap skripsi ini dapat
bermanfaat bagi kepentingan pembacanya.
Dalam penulisan skripsi ini, penulis tidak luput dari berbagai hambatan dan
rintangan. Tanpa bantuan dan peran serta berbagai pihak, karya ini tidak mungkin
terwujud. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima
kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:
1. Ibu Nurlena Rifa’i, MA. Ph. D., selaku Dekan FITK UIN Jakarta yang
telah mempermudah dan melancarkan penyelesaian skripsi ini;
2. Ibu Dra. Mahmudah Fitriyah, ZA, M. Pd., selaku Ketua Jurusan
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Sosok dosen yang telah
memberikan ilmu dan bimbingan yang sangat berharga bagi penulis
selama ini;
3. Bapak Drs. Jamal D. Rahman, M. Hum., selaku dosen pembimbing yang
sangat berpengaruh dalam penyelesaian skripsi ini, juga telah
mengenalkan dan membangkitkan kecintaan penulis pada dunia bahasa
dan sastra. Terima kasih untuk arahan, bimbingan, dan kesabaran Bapak
selama ini.
4. Ibu Dra. Elvi Susanti, M. Pd., selaku dosen PBSI yang telah memberikan
ilmu kebahasaan dan motivasi kepada penulis dalam menyelesaikan
skripsi ini;
iv
5. Ibu Rosida Erowati, S.S. M. Hum., selaku dosen PBSI yang telah
memberikan pengetahuan kesusastraan dan motivasi kepada penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini;
6. Bapak dan Ibu Dosen di lingkungan Program Studi Pendidikan Bahasa dan
Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, yang selama ini telah membekali penulis berbagai
ilmu pengetahuan;
7. Keluarga ku tercinta terutama kepada Papa dan Mama, yang selalu
memberikan dukungan moril dan materil kepada penulis untuk terus maju,
dan selalu memberikan kasih sayangnya hingga detik ini;
8. Kak Risfana Faisal, guru teater sekaligus kakak dan teman yang telah
banyak memberikan buku bacaan sastra dan memotivasi penulis untuk
menyelesaikan skripsi ini;
9. Keluarga besar Pojok Seni Tarbiyah (POSTAR), terima kasih atas
semangat yang telah kalian berikan sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini;
10. Seluruh mahasiswa/mahasiswi PBSI angkatan 2007, teman-temanku
seperjuangan, terima kasih atas dukungannya;
11. dan untuk berbagai pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu.
Semoga semua bantuan, dukungan, dan partisipasi yang diberikan kepada
penulis senantiasa mendapat pahala yang berlipat ganda dari Allah Swt. Serta
diberikan balasan setimpal dari Allah Swt. Amin.
Akhirnya penulis pun berharap, semoga skripsi ini bermanfaat bagi kemajuan
pendidikan dan pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia.
Jakarta, September 2011
Penulis
v
DAFTAR ISI
ABSTRAK
KATA PENGANTAR………………………….................................................. i-ii
DAFTAR ISI......................................................................................................... iii-iv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah…………………………......................................1-4
B. Rumusan Masalah…………………………................................................4
C. Tujuan Penelitian………………………….................................................4-5
D. Metodologi Penelitian…………………………..........................................5-6
E. Manfaat Penelitian…………………………...............................................6
F. Kajian Pustaka………………………….....................................................6-8
G. Sistematika Penulisan.......................................…………………………...8
BAB II KAJIAN TEORETIS
A. Hakikat Sosiologi Sastra…………………………….................................9
1. Pengertian Sosiologi Sastra………………………………………......9-13
B. Hakikat Novel……………………………................................................13
1. Pengertian Novel……………………………......................................13
C. Hakikat Nilai Sosial…………………………….......................................13-14
1. Nilai dan Sosial……………………………........................................14
2. Pengertian Nilai Sosial…………………………….............................15-16
3. Ciri Nilai Sosial……………………………........................................16-17
4. Macam-macam Nilai Sosial ……………………………....................17-18
5. Hakikat Pembelajaran Sastra……………………………...................18-20
BAB III PROFIL PRAMOEDYA ANANTA TOER
A. Penulis Novel Bukan Pasar Malam………………………………………20
1. Biografi Pramoedya Ananta Toer...........…………………………….20-25
B. Pemikiran Pramoedya Ananta
Toer...………………………………….…………………………………25-27
vi
C. Psikologi Pramoedya Ananta Toer………………………………………27
D. Tinjauan terhadap Novel Bukan Pasar Malam…………………………...28-29
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sastra menggambarkan kehidupan pada saat sastra itu ditulis. Sastra
mengandung nilai-nilai sosial, falsafati, dan religi. Sebuah karya sastra memiliki
nilai yang luar biasa dalam penceritaannya jika pengarang dalam proses
pembuatan karyanya mampu melibatkan semua aspek kehidupan di dalamnya.
Sebuah karya sastra bernilai tinggi dan terasa ketika membaca isinya yang mampu
melibatkan batin pembaca dengan nuansa imajinatif yang pengarang berikan.
Pada hakikatnya seorang sastrawan adalah bagian dari masyarakat. Sastra
adalah lembaga sosial yang mempergunakan bahasa sebagai mediumnya. Bahasa
adalah salah satu ciptaan sosial. Oleh sebab itu, sastrawan tidak dapat lepas dari
status sosial tertentu. Karya sastra merupakan cerminan hubungan sosial individu
dengan individu lain, atau antara individu dengan masyarakat. Sastra diciptakan
untuk dinikmati, dipahami, dan dimanfaatkan oleh masyarakat.
Ketika membaca sebuah karya sastra, mungkin kita akan merasakan
kenikmatan seperti kita sedang melakukan permainan, atau bahkan kita akan
merasakan ketenangan, atau karena begitu dalamnya kita dalam membaca sebuah
karya sastra, kita akan lebih mudah dalam menjalani pekerjaan sehari-hari. Sastra
bisa mengandung gagasan yang mungkin dimanfaatkan untuk menumbuhkan sifat
sosial tertentu, atau bahkan untuk mencetuskan peristiwa sosial tertentu.
Horace mengemukakan fungsi karya sastra sebagai dulce et utile, yaitu
sebagai penghibur sekaligus berguna.1 Pengertian ini menunjukkan fungsi karya
sastra yang bukan sekedar menghibur, namun mengajarkan sesuatu yang berguna.
Pendapat lain diungkapkan tentang fungsi karya sastra (fiksi) merupakan sebuah
cerita, dan karenanya terkandung juga di dalamnya tujuan memberikan hiburan
kepada pembaca di samping adanya tujuan estetik. Membaca sebuah karya fiksi
1 Achadiati Ikram, dkk., Sejarah Kebudayaan Indonesia Bahasa, Sastra dan Aksara,
(Jakarta: Rajawali Pers, 2009), hlm. 33
2
berarti menikmati cerita, menghibur diri untuk memperoleh kepuasan batin. Daya
tarik cerita inilah yang pertama-tama akan memotivasi orang untuk membacanya.
Hal itu dikarenakan karena pada dasarnya setiap orang senang cerita, apalagi yang
sensasional, baik yang diperoleh dengan cara melihat maupun mendengarkan.
Melalui cerita itulah pembaca secara tak langsung dapat belajar, merasakan, dan
menghayati berbagai permasalahan kehidupan yang sengaja ditawarkan
pengarang. Hal itu disebabkan cerita fiksi tersebut akan mendorong pembaca
untuk ikut merenungkan masalah hidup dan kehidupan. Oleh karena itu, cerita,
fiksi, atau kesastraan pada umumnya sering dianggap dapat membuat manusia
lebih arif, atau dapat dikatakan sebagai ”memanusiakan manusia.”2
Sastra adalah jenis kesenian yang merupakan hasil kristalisasi nilai-nilai yang
disepakati untuk terus-menerus dibongkar dan dikembangkan dalam suatu
masyarakat. Karena sastra adalah seni bahasa, di dalamnya terbayang dengan
lebih tegas nilai-nilai yang mengatur kehidupan kita dan selalu ditinjau kembali.
Dengan menggunakan bahasa sebagai alat seorang sastrawan berusaha untuk tidak
sekedar merekam kehidupan di sekitarnya, tetapi memberikan tanggapan evaluatif
terhadapnya.3
Fungsi novel ini adalah bagaimana nilai sastra yang terkandung berkaitan
dengan nilai sosial, bagaimana kisah ini memuat nilai sastra yang sangat berkaitan
dengan nilai sosial yang ada pada masa itu. Nilai sosial dimana sosok Ayah masih
menghormati pemerintahan masa itu dengan penuh kesabaran. Ia merupakan guru
yang sangat berbakti. Akan tetapi, dipenjarakan di tiga tempat dalam waktu dua
minggu. Kemudian tokoh Aku adalah mantan tentara muda yang dipenjarakan
oleh Belanda karena idealismenya. Dikisahkan dalam novel ini adalah masa
pascakemerdekaan yang masih banyak terdapat rakyat yang mengalami
kemiskinan sedangkan para jenderal atau pembesar-pembesar hanya sibuk
2 Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi. (Yogyakarta: Gajah Mada University
Press.2000), hlm. 4 3 Sapardi Djoko Damono, “Sastra di Sekolah” dalam Susastra volume 3/No.5/2007,
(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007), hlm. 4
3
mengurus dan memperkaya diri sendiri. hak itu pun yang masih terjadi sampai
saat reformasi ini.
Beberapa pengarang telah mengangkat kehidupan masyarakat menjadi tema
utama dalam karyanya. Kesenjangan sosial, seperti masalah kemiskinan, masih
kuatnya nilai feodalisme, bobroknya nilai dan norma, menjadi masalah yang
menarik untuk dibahas. Pramoedya Ananta Toer adalah sastrawan yang sering kali
melatarbelakangi ceritanya dengan sejarah maupun pengalaman hidupnya.
Tulisan-tulisan awalnya banyak mengambil latar belakang masa sebelum Perang
Dunia Kedua, terutama kehidupan di sekitar Blora tempat ia tinggal di masa kecil,
serta masa-masa seputar revolusi kemerdekaan.
Bukan Pasar Malam diterbitkan pertama kali oleh Balai Pustaka pada tahun
1951. Di dalam novel ini, Pramoedya menggambarkan kesedihan, penderitaan dan
kesulitan rakyat Indonesia pascakemerdekaan. Seluruh cerita dikisahkan menjadi
citraan sosial pada masa itu. Oleh karena itu, hampir setiap bagian dinarasikan
mengungkapkan nilai-nilai sosial dalam kehidupan bermasyarakat. Nilai interaksi
sosial dalam keluarga, hingga interaksi dengan kehidupan di masa lalu serta
lingkungan yang serba sulit dideskripsikan dengan sangat detail oleh Pramoedya.
Sehubungan dengan hal di atas, peneliti tertarik mengkaji nilai sosial dalam
novel Bukan Pasar Malam karya Pramoedya Ananta Toer. Dari isi cerita novel
tersebut akan dicari nilai sosial yang terkandung di dalamnya. Novel dinilai
memiliki banyak nilai sosial, nantinya bisa dijadikan sebagai materi pembelajaran
Bahasa dan Sastra Indonesia di sekolah.
4
Berdasarkan uraian di atas, dapat dijelaskan secara rinci dasar penelitian ini
sebagai berikut:
1) Dari segi penceritaan, novel Bukan Pasar Malam karya Pramoedya
Ananta Toer sangat menarik untuk dikaji menggunakan tinjauan sosiologi
sastra.
2) Novel Bukan Pasar Malam menggambarkan kehidupan masyarakat
Indonesia pascakemerdekaan. Seluruh cerita dikisahkan menjadi citraan
sosial pada masa itu. Oleh karena itu, hampir setiap bagian dinarasikan
untuk mengungkapkan nilai-nilai sosial dalam kehidupan bermasyarakat.
3) Novel Bukan Pasar Malam relevan dengan dunia pendidikan sehingga
dapat diimplikasikan ke dalam pembelajaran sastra di sekolah.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas permasalahan dalam penelitian ini
dapat dirumuskan sebagai berikut:
1) Bagaimana gambaran sosial masyarakat Indonesia dalam novel Bukan
Pasar Malam karya Pramoedya Ananta Toer dengan tinjauan sosiologi
sastra?
2) Bagaimana nilai sosial dalam novel Bukan Pasar Malam karya Pramoedya
Ananta Toer dengan menggunakan tinjuan sosiologi sastra?
3) Bagaimana implikasi nilai sosial dalam novel Bukan Pasar Malam karya
Pramoedya Ananta Toer dalam pembelajaran sastra?
C. Tujuan Penelitian
Dengan adanya penelitian ini, diharapkan:
1) Untuk mendeskripsikan gambaran sosial masyarakat Indonesia dalam
novel Bukan Pasar Malam karya Pramoedya Ananta Toer dengan tinjauan
sosiologi sastra.
2) Untuk mendeskripsikan nilai sosial yang terdapat dalam novel Bukan
Pasar Malam karya Pramoedya Ananta Toer dengan menggunakan
tinjauan sosiologi sastra.
5
3) Untuk mendeskripsikan implikasi nilai sosial dalam novel Bukan Pasar
Malam karya Pramoedya Ananta Toer dalam pembelajaran sastra.
D. Metodologi Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Metode kualitatif memberikan
perhatian terhadap data alamiah, data hubungannya dengan konteks keberadaanya.
Hal tersebut yang menjadikan metode kualitatif dianggap sebagai multimetode
sebab penelitian pada gilirannya melibatkan sejumlah besar gejala sosial yang
relevan. Dalam penelitian karya sastra, misalnya, akan dilibatkan pengarang,
lingkungan sosial dimana pengarang berada, termasuk unsur-unsur kebudayaan
pada umumnya. Objek penelitian metode kualitatif merupakan makna-makna
yang terkandung di balik tindakan, yang mendorong timbulnya gejala sosial.
Penelitian mempertahankan hakikat nilai-nilai. Sumber data dalam ilmu sastra
adalah karya, naskah, data penelitiannya sebagai data formal adalah kata, kalimat,
dan wacana. 4
Penelitian dengan metode kualitatif ini bertujuan untuk mengetahui nilai-nilai
sosial yang terdapat dalam novel ini. Metode penelitian sastra yang digunakan
secara khusus adalah metode sosiologi sastra. Metode sosiologi sastra didasarkan
atas prinsip bahwa karya sastra merupakan refleksi atau cerminan masyarakat
pada zaman karya sastra itu ditulis. Langkah-langkah dalam penelitian ini
mengikuti metode kerja sosiologi sastra yakni, dengan cara menelaah konteks
sosial karya sastra dengan dunia kenyataanya atau zamannya.
Adapun langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian adalah:
1) Menentukan teks yang dipakai sebagai objek penelitian, yaitu teks novel
Bukan Pasar Malam karya Pramoedya Ananta Toer,
2) Menentukan fokus penelitian, yakni menelaah konteks sosial karya sastra
pada teks, fungsi novel berkaitan dengan nilai sosial yang terkandung
dalam novel Bukan Pasar Malam karya Pramoedya Ananta Toer, dan
implikasinya terhadap pembelajaran sastra di sekolah
4 Nyoman Kutha Ratna, S. U., Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra dari
Struktualisme hingga Postruktualisme, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 46-47
6
3) Menganalisis objek penelitian, dan
4) Menyusun dan membuat laporan penelitian.
E. Manfaat Penelitian
1) Manfaat Teoretis
Penelitian ini diharapkan mampu menambah wawasan dan memperkaya
khazanah ilmu pengetahuan mengenai studi Sastra Indonesia khususnya
dalam pembelajaran sastra di sekolah. Penelitian ini juga diharapkan
mampu memberi sumbangan dalam teori sosiologi sastra dalam
mengungkap novel Bukan Pasar Malam karya Pramoedya Ananta Toer.
2) Manfaat Praktis
Secara praktis dengan penelitian ini diharapkan dapat membantu pembaca
untuk lebih memahami isi cerita dalam novel Bukan Pasar Malam karya
Pramoedya Ananta Toer terutama menguraikan cara pandang pengarang
yang direpresantasikan dalam karyanya, dengan pemanfaatan lintas
disiplin ilmu yaitu sosiologi dan sastra.
F. Kajian Pustaka
Kajian tentang novel ini berjudul ”Ayah-Anak: Kajian Eksistensial dan
Fenomenologis Atas Novel Bukan Pasar Malam karya Pramoedya Ananta Toer”
yang disusun oleh mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Surabaya, yaitu:
Waty Chai, Tonny, dan Hari K. Lasmana. Penelitian tentang relasi ayah-anak
yang menggunakan pendekatan Merleau Ponty dan eksistensial Satre yang
dianggap mampu menawarkan makna ayah dalam inventarisasi tambahan tentang
makna ayah.
Prof. Dr. A. Teeuw seorang peneliti sastra Indonesia dari Belanda, menulis
sebuah disertasi tentang karya-karya Pramoedya dengan judul ”Citra Manusia
Indonesia dalam Karya Pramoedya Ananta Toer‖ yang kemudian dibukukan dan
diterbitkan oleh penerbit Pustaka Jaya pada tahun 1997 membahas novel Bukan
Pasar Malam dari sudut pandang (point of view), hubungan kekeluargaan, dan
latar belakang. Hal tersebut ditulisnya dengan judul Tiga Keluarga Yang
7
Bermirpan Blora Ditengok Kembali. A. Teeuw menjelaskan bahwa sudut pandang
dalam cerita Bukan Pasar Malam merupakan cerita persona pertama, yang di
dalamnya pencerita sekaligus protagonis. Dilihat dari hubungan kekeluargaan dari
beberapa cerita yang disebutkannya seperti Blora, Dia Jang Menyerah, dan Bukan
Pasar Malam tidak menyajikan ’riwayat sejati’ keluarga Pramoedya. Tetapi bagi
tiga cerita ini Pramoedya memerlukan latar sebuah keluarga yang mempunyai
kredibilitas. Dan mungkin tidak kebetulan dalam cerita keluarganya yang
nampaknya paling dekat dengan kenyataan keluarga Pramoedya, adalah Bukan
Pasar Malam.
Kajian pustaka lainnya yang terkait dengan penelitian ini adalah ”Nilai Sosial
dalam Novel Azab dan Sengsara karya Merari Siregar” ditulis oleh mahasiswa
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Univ. Muhammadiyah Makkassar.
Dalam novel Azab dan Sengara, penggambaran hubungan manusia dalam
kehidupan bermasyarakat sangat jelas. Hubungan sosial tersebut meliputi sikap
tolong-menolong, saling menghargai dan menghormati sesama manusia,
peraturan-peraturan adat dalam pernikahan, dan sebagainya.
Sikap tolong-menolong ditampakkan oleh tokoh Aminuddin ketika menolong
Mariamin yang terjatuh di sungai. Saat itu, keduanya sedang meniti jembatan
untuk menyeberangi sungai, namun naas bagi Mariamin karena terjerumus masuk
sungai yang arusnya deras. Dengan sigap, Aminuddin melompat hendak
menolong Mariamin. Sikap yang digambarkan oleh Aminuddin ini merupakan
sikap yang mencerminkan hubungan sosial yang baik dalam kehidupan
bermasyarakat.
Sikap suka menolong juga ditampakkan oleh tokoh Aminuddin di sekolah.
Dia sering membantu teman-temannya mengerjakan tugas-tugas yang dianggap
susah. Walaupun Aminuddin pernah dimarahi oleh gurunya karena membantu
temannya mengerjakan tugas, namun akhirnya gurunya menyadari bahwa sikap
yang dilakukan oleh Aminuddin semata-mata untuk membantu sesama.
Masyarakat yang ada di sekitar tempat tinggal Aminuddin pun memiliki sikap
suka menolong. Hal ini terlihat saat seorang ibu melahirkan anaknya ketika
ditinggal pergi oleh suaminya. Dalam keadaan yang serba kekurangan itulah,
8
masyarakat membantu sang ibu, baik dari segi materi maupun mengurus rumah
tangga karena sang ibu tidak dapat lagi berbuat apa-apa.
Nilai-nilai sosial juga tergambar jelas dalam hubungan pernikahan.
Masyarakat Batak yang menjadi latar tempat novel Azab dan Sengsara karya
Merari Siregar ini sangat menjunjung tinggi adat yang sudah dilestarikan dari
nenek moyang. Hal yang sangat kental dalam adat pernikahan adalah persukuan
(marga). Masyarakat Batak tidak akan menikah dengan marga yang sama karena
masih dianggap sebagai saudara. Dalam hal pernikahan, mereka akan mencari
jodoh pada marga lain.
G. Sistematika Penulisan
Untuk mendapatkan gambaran yang jelas dan terarah, maka penulis membagi
pembahasan ke dalam lima bab yang dibagi ke dalam sub-sub sebagai berikut:
Bab I berisi Pendahuluan, yang membahas latar belakang masalah, rumusan
masalah, tujuan penelitian, kajian pustaka, manfaat penelitian, dan
sistematika penulisan.
Bab II berisi Kajian teoretis, yang membahas hakikat sosiologi sastra, hakikat
novel, hakikat nilai sosial, dan hakikat pembelajaran sastra.
Bab III berisi Profil Pramoedya Ananta Toer, yang membahas penulis novel
Bukan Pasar Malam, karya-karya dan penghargaan Pramoedya Ananta
Toer.
Bab IV berisi Analisis nilai sosial novel Bukan Pasar Malam karya Pramoedya
Ananta Toer, yang membahas tinjauan terhadap novel Bukan Pasar Malam,
Sinopsis Bukan Pasar Malam, gambaran sosial masyarakat Indonesia dalam
novel Bukan Pasar Malam, temuan penelitian dan analisis nilai sosial dalam
novel Bukan Pasar Malam, implikasi dalam pembelajaran sastra di sekolah.
Bab V berisi Penutup, yang membahas simpulan dan saran.
9
BAB II
KAJIAN TEORETIS
A. Hakikat Sosiologi Sastra
1. Pengertian Sosiologi Sastra
Secara singkat dapat dijelaskan bahwa sosiologi adalah telaah yang objektif
dan ilmiah tentang manusia dalam masyarakat; telaah lembaga dan proses sosial.
Sosiologi mencoba mencari tahu bagaimana masyarakat dimungkinkan,
bagaimana ia berlangsung, dan bagaimana ia tetap ada. Dengan mempelajari
lembaga-lembaga sosial dan segala masalah perekonomian, keagamaan, politik,
dan lain-lain yang kesemuanya itu merupakan struktur sosial. Kita mendapatkan
gambaran tentang cara-cara manusia menyesuaikan diri dengan lingkungannya,
tentang mekanisme sosialisasi, proses pembudayaan yang menempatkan anggota
masyarakat di tempatnya masing-masing.5
Sosiologi merupakan pengetahuan atau ilmu tentang sifat, perilaku, dan
perkembangan masyarakat; ilmu tentang struktur sosial, proses sosial dan
perubahannya.6 Sastra merupakan pengalaman batin penciptanya mengenai
kehidupan masyarakat dalam suatu kurun waktu tertentu. Di dalam karya sastra
dilukiskan keadaan dan kehidupan sosial suatu masyarakat, peristiwa-peristiwa,
ide dan gagasan, serta nilai-nilai yang diamanatkan.7
Dalam bukunya yang berjudul The Sociology of Literature, Swingewood
(1972) dalam Faruk (1994) mendefinisikan sosiologi sebagai studi ilmiah dan
objektif mengenai manusia dalam masyarakat, studi mengenai lembaga-lembaga
dan proses-proses sosial. Sosiologi berusaha menjawab pertanyaan mengenai
bagaimana masyarakat dimungkinkan, bagaimana cara kerjanya dan mengapa
5 Sapardi Djoko Damono, Sosiologi Sastra Sebuah Pengantar Ringkas. (Jakarta: Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayan.1979), hlm. 7 6 Dandi Sugono (editor). Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Keempat. hlm. 1332
7 Drs. Widjojoko, M. Ed, dan Drs. Endang Hidayat, M. Pd. Teori dan Sejarah Sastra
Indonesia Edisi I, (Bandung: UPI Press, 2006), hlm. 2
10
masyarakat itu bertahan hidup. Hal ini menyebabkan adanya satu pendapat bahwa
sosiologi adalah ilmu yang rumit.8
Sosiologi sastra atau sosiokritik dianggap sebagai disiplin yang baru. Sebagai
disiplin yang baru. Sebagai disiplin yang berdiri sendiri, sosiologi sastra dianggap
baru lahir abad ke- 18, ditandai dengan tulisan Madame de Stael (Albrecht, dkk.,
eds., 1970: ix; Laurenson dan Swingewood, 1972: 25-27) yang berjudul De la
literature cin sideree dans ses rapports avec les institutions sociales (1800).
Meskipun demikian, buku teks pertama baru terbit tahun 1970, berjudul The
Sociology of Art and Literature: a Reader, yang dihimpun oleh Milton C.
Albrecht, dkk.9
Sosiologi sastra berkembang dengan pesat sejak penelitian-penelitian dengan
memanfaatkan teori strukturalisme dianggap mengalami kemunduran. Analisis
strukturalisme dianggap mengabaikan relevansi masyarakat yang justru
merupakan asal-usulnya. Dipicu oleh kesadaran bahwa karya sastra harus
difungsikan sama dengan aspek-aspek kebudayaan yang lain, maka satu-satunya
cara adalah mengembalikan karya sastra ke tengah-tengah masyarakat,
memahaminya sebagai bagian yang tak terpisahkan dengan sistem komunikasi
secara keseluruhan.10
Karya sastra menerima pengaruh dari masyarakat dan sekaligus mampu
memberi pengaruh terhadap masyarakat. Burhan mengutip pendapat Wellek dan
Warren dalam Teori Pengkajian Fiksi membahas hubungan antara sastra dan
masyarakat. Sastra lahir sebagai proses kreativitas manusia yang bersumber dari
kehidupan masyarakat (manusia) tempat ia itu dilahirkan. Sastra merupakan
sebuah ciptaan, sebuah kreasi, bukan semata-mata sebuah imitasi (peniruan).
Sastra merupakan suatu luapan emosi yang spontan dari hal yang dilihat dan
8 Faruk, Pengantar Sosiologi Sastra, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1994), hlm. 1
9 Prof. Dr. Nyoman Kutha Ratna, S. U., Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra dari
Struktualisme hingga Postruktualisme, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 331 10
Prof. Dr. Nyoman Kutha Ratna, S. U., Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra dari
Struktualisme hingga Postruktualisme, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 332
11
dirasakan oleh sastrawan dalam lingkungan kehidupan yang kemudian
dituangkannya dalam karya sastra.11
”Sastra harus dipandang dalam hubungan yang tak terpisahkan dengan
kehidupan masyarakat, latar belakang unsur sejarah dan sosial yang
memengaruhi pengarang [...] dan harus mengabaikan sudut pandang yang
subjektif dan arbitrer yang menganggap setiap buku sebagai suatu karya
yang independen dan berdiri sendiri” 12
Karya sastra itu lahir melalui imajinasi pengarang dengan gambaran atau
realitas sosial yang ada dalam masyarakat. Pengarang merupakan anggota
masyarakat sehingga dia ikut merasakan dan mengalami akibat dari kejadian-
kejadian yang timbul di dalam masyarakat. Oleh karena itu, ide-ide yang
diekspresikan dalam karyanya tidak dapat dipisahkan dari situasi kehidupan
masyarakat. Dengan kata lain, hal-hal yang dilihat, dialami, dan dirasakan oleh
pengarang dalam lingkungannya termasuk lingkungan sosialnya. Dirumuskan
sedemikian rupa untuk menghasilkan sebuah karya sastra.
Karya sastra diciptakan oleh sastrawan untuk dinikmati, dipahami, dan
dimanfaatkan oleh masyarakat. Sastrawan itu sendiri adalah anggota masyarakat.
Ia terikat status sosial tertentu. Sastra adalah lembaga sosial yang menggunakan
bahasa sebagai mediumnya, dan bahasa merupakan ciptaan sosial. Sastra
menampilkan gambaran kehidupan, dan kehidupan itu sendiri adalah suatu
kenyataan sosial. Dalam pengertian ini, kehidupan mencakup hubungan
antarmasyarakat, antara masyarakat dengan orang-seorang, antarmanusia, dan
peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam batin seseorang, yang sering menjadi bahan
sastra, adalah pantulan hubungan seseorang dengan orang lain atau dengan
masyarakat.
Pernyataan di atas menunjukkan bahwa sastra tidak jatuh begitu saja dari
langit, bahwa hubungan yang ada antara sastrawan, sastra, dan masyarakat
bukanlah sesuatu yang dicari-cari. Jadi tak apa, jika kita membicarakan masalah
11
Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi. (Yogyakarta: Gajah Mada University
Press.2000), hlm. 6-7 12
Robert Escarpit, Sosiologi Sastra. (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.2005), hlm. 8
12
timbal-balik antara ketiga unsur tersebut. Karena sejatinya karya sastra yang telah
dijelaskan sebelumnya, diciptakan untuk dinikmati, dipahami, dan dimanfaatkan
oleh masyarakat. Boleh dikatakan sastra muncul berdampingan dengan lembaga
sosial tertentu. Dalam masyarakat primitif, misalnya, kita sulit memisahkan sastra
dari upacara keagamaan, ilmu gaib, pekerjaan sehari-hari, dan permainan. Dalam
membaca novel atau sajak, kita masih bisa mendapatkan kenikmatan seperti yang
didapatkan dari permainan. Kita pun mungkin bisa merasa lega sehabis mengikuti
upacara keagamaan. Dan apabila kita mampu memahami pesan yang terselubung
di dalam karya sastra, batin kita lebih tetap dalam menghadapi pekerjaan sehari-
hari. Lebih jauh lagi, sastra bisa mengandung gagasan yang mungkin
dimanfaatkan untuk menumbuhkan sikap sosial tertentu, atau bahkan untuk
mencetuskan peristiwa sosial tertentu.13
Menurut Ian Watt dalam eseinya yang berjudul ‖Literature and Society‖
tentang hubungan timbal-balik antara sastrawan, sastra dan masyarakat, secara
keseluruhan adalah sebagai berikut: pertama, konteks sosial pengarang. Ini
hubungannya dengan posisi sosial sastrawan dalam masyarakat dan kaintannya
dengan masyarakat pembaca. Kedua, sastra sebagai cermin masyarakat.
Maksudnya sampai sejauh mana sastra dapat dianggap sebagai mencerminkan
masyarakat. Dan ketiga, fungsi sosial sastra, yaitu sastra harus mengajarkan
sesuatu dengan cara menghibur.14
Dengan demikian, dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sosiologi
sastra adalah salah satu pendekatan untuk mengurai karya sastra yang mengupas
masalah hubungan antara pengarang dengan masyarakat, berupa hasil karya sastra
dengan masyarakat.
13
Sapardi Djoko Damono, Sosiologi Sastra Sebuah Pengantar Ringkas. (Jakarta: Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayan.1979), hlm. 1-2 14
Sapardi Djoko Damono, Sosiologi Sastra Sebuah Pengantar Ringkas. (Jakarta: Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayan.1979), hlm. 3-4
13
B. Hakikat Novel
1. Pengertian Novel
Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata ’novel’ berarti karangan prosa
yang panjang yang mengandung rangkaian cerita kehidupan seseorang dengan
orang-orang di sekelilingnya dengan menonjolkan watak dan sifat setiap pelaku.
Sebutan novel dalam bahasa Inggris yang masuk ke Indonesia berasal dari bahasa
Itali novella (yang dalam bahasa Jerman: novelle). Secara harfiah novella berarti
’sebuah barang baru kecil’, dan kemudian diartikan sebagai cerita pendek dalam
bentuk prosa’ (Abrams, 1981: 119)
Dalam novel tercakup pengertian roman; sebab roman hanyalah istilah novel
untuk zaman sebelum perang dunia kedua di Indonesia. Digunakannya roman
waktu itu adalah wajar karena sastrawan Indonesia waktu itu pada umumnya
berorientasi Belanda, yang lazim menamakan bentuk ini dengan roman. Istilah ini
juga dipakai di Perancis dan Rusia, serta sebagian negara-negara Eropa. Istilah
novel dikenal di Indonesia setelah kemerdekaan, yakni setelah sastrawan
Indonesia banyak beralih kepada bacaan-bacaan yang berbahasa Inggris. Di
Inggris dan Amerika istilah yang dikenal adalah novel, tidak dikenal atau tidak
menggunakan istilah roman, betapapun menyangkut karya-karya besar. Karya
Tolstoi, Perang dan Damai, diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, juga disebut
novel walaupun di Rusia dinamai roman.15
Unsur-unsur yang membangun sebuah novel secara garis besar dibedakan
menjadi dua bagian, yaitu: (1) Struktur luar (ekstrinsik) dan (2) Struktur dalam
(intrinsik). Struktur luar (ekstrinsik) adalah segala macam unsur yang berada di
luar suatu karya sastra yang ikut mempengaruhi kehadiran karya sastra tersebut,
misalnya: faktor sosial-ekonomi, faktor kebudayaan, faktor sosio-politik,
keagamaan, dan tata nilai yang dianut masyarakat. Sedangkan struktur dalam
(intrinsik) adalah unsur-unsur yang membentuk karya sastra tersebut, seperti:
tema, tokoh, alur, latar, pusat pengisahan, dan gaya bahasa.16
15
Atar Semi, Anatomi Sastra, (Padang: Angkasa Raya, 1988), hlm. 32 16
Atar Semi, Anatomi Sastra, (Padang: Angkasa Raya, 1988), hlm. 35
14
C. Hakikat Nilai Sosial
Setiap masyarakat sebagai sebuah kehidupan bersama tentulah memiliki
berbagai aturan atau kesepakatan yang luhur untuk mengatur berlangsungnya
kehidupan bersama. Kehidupan bersama tentu juga memiliki sesuatu yang
dijunjung tinggi, dihormati, serta ditaati oleh seluruh anggota masyarakatnya. Di
sisi lain, ada juga sesuatu yang dilarang untuk dilakukan dan harus dijauhi oleh
anggota masyarakat. Sesuatu tersebut secara umum disebut sebagai nilai sosial.
Nilai sosial adalah nilai yang dianut oleh suatu masyarakat, mengenai apa
yang dianggap baik dan apa yang dianggap buruk oleh masyarakat. Sebagai
contoh, orang menolong memiliki nilai baik, sedangkan mencuri bernilai buruk.
Untuk menentukan sesuatu itu dikatakan baik atau buruk, pantas atau tidak pantas
harus melalui proses menimbang. Hal ini tentu sangat dipengaruhi oleh
kebudayaan yang dianut masyarakat. Oleh karena itu terdapat perbedaan tata nilai
antara masyarakat yang satu dan masyarakat yang lain. Contoh, masyarakat yang
tinggal di perkotaan lebih menyukai persaingan karena dalam persaingan akan
muncul pembaharuan-pembaharuan. Sementara masyarakat tradisional lebih
cenderung menghindari persaingan karena dalam persaingan akan mengganggu
keharmonisan dan tradisi yang turun-temurun.
1. Nilai dan Sosial
Nilai menurut Horton dan Hunt (1987) adalah gagasan mengenai apakah suatu
pengalaman itu berarti atau tidak berarti. Nilai pada hakikatnya mengarahkan
perilaku dan pertimbangan seseorang, tetapi ia tidak menghakimi apakah sebuah
perilaku tertentu itu salah atau benar.17
Kata ’nilai’ di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga
mempunyai arti sifat-sifat (hal-hal) yang penting atau berguna bagi kemanusiaan.
Kata ’nilai’ diartikan sebagai harga, kadar, mutu atau kualitas untuk mempunyai
nilai. Maka sesuatu harus memiliki sifat-sifat yang penting dan bermutu atau
berguna dalam kehidupan manusia. Sedangkan kata ’sosial’ memiliki arti
berkenaan dengan masyarakat. Jadi, nilai sosial merupakan hal-hal bersifat
17
J. Dwi Narwoko, dan Bagong Suyanto, Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan Edisi
Kedua, (Jakarta: Media Group, 2004), hlm. 55
15
penting dan berguna bagi kemanusiaan yang berkaitan dengan kehidupan
masyarakat.
2. Pengertian Nilai Sosial
Berikut ini definisi nilai sosial menurut pendapat para ahli:
a. Alvin L. Bertrand
Nilai adalah suatu kesadaran yang disertai emosi yang relatif lama
hilangnya terhadap suatu objek, gagasan, atau orang.
b. Robin Williams
Nilai sosial adalah hal yang menyangkut kesejahteraan bersama melalui
konsensus yang efektif di antara mereka, sehingga nilai-nilai sosial
dijunjung tinggi oleh banyak orang.
c. Kimball Young
Nilai sosial adalah asumsi-asumsi yang abstrak dan sering tidak disadari
tentang apa yang benar dan apa yang penting dalam masyarakat.
d. Clyde Kluckhohn
Dalam bukunya ' Culture and Behavior ', Kluckhohn menyatakan bahwa
yang dimaksud dengan nilai bukanlah keinginan, tetapi apa yang
diinginkan. Artinya nilai bukan hanya diharapkan, tetapi diusahakan
sebagai suatu yang pantas dan benar bagi diri sendiri dan orang lain.
e. Woods
Nilai sosial adalah petunjuk-petunjuk umum yang telah berlangsung lama,
yang mengarahkan tingkah laku dan kepuasan dalam kehidupan sehari-
hari.
16
f. Koentjaraningrat
Suatu sistem nilai budaya biasanya berfungsi sebagai pedoman tertinggi
bagi kelakuan manusia.
g. Green
Kesadaran yang secara relatif berlangsung disertai emosi terhadap objek.
Drs. Suparto mengemukakan bahwa nilai-nilai sosial memiliki fungsi umum
dalam masyarakat. Di antaranya nilai-nilai dapat menyumbangkan seperangkat
alat untuk mengarahkan masyarakat dalam berpikir dan bertingkah laku. Selain
itu, nilai sosial juga berfungsi sebagai penentu terakhir bagi manusia dalam
memenuhi peranan-peranan sosial. Nilai sosial dapat memotivasi seseorang untuk
mewujudkan harapan sesuai dengan peranannya. Contohnya ketika
menghadapi konflik, biasanya keputusan akan diambil berdasarkan pertimbangan
nilai sosial yang lebih tinggi. Nilai sosial juga berfungsi sebagai alat solidaritas di
kalangan anggota kelompok masyarakat. Dengan nilai tertentu anggota kelompok
akan merasa sebagai satu kesatuan. Nilai sosial juga berfungsi sebagai alat
pengawas (kontrol) perilaku manusia dengan daya tekan dan daya mengikat
tertentu agar orang berprilaku sesuai dengan nilai yang dianutnya.18
3. Ciri Nilai Sosial
Beberapa ciri nilai sosial di antaranya adalah sebagai berikut:
a. Nilai sosial merupakan konstruksi masyarakat sebagai hasil interaksi
antaranggota masyarakat
b. Nilai sosial disebarkan di antara anggota masyarakat (bukan bawaan lahir)
c. Nilai sosial terbentuk melalui sosialisasi (proses belajar yang berlangsung
sejak dari masa kanak-kanak dalam keluarga)
d. Nilai sosial merupakan bagian dari usaha pemenuhan kebutuhan dan
kepuasan sosial manusia
e. Nilai sosial dapat memengaruhi pengembangan diri sosial dalam
masyarakat, baik positif maupun negatif
18
Anonim, ”Nilai Sosial” di dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Nilai_sosial (diunduh pada
Jumat, 1 April 2011 pkl 21:24 WIB)
17
f. Nilai sosial memiliki pengaruh yang berbeda pada antaranggota
masyarakat
g. Nilai sosial bervariasi antara kebudayaan yang satu dengan kebudayaan
yang lain
h. Nilai sosial cenderung berkaitan satu sama lain dan membentuk pola-pola
dan sistem nilai dalam suatu masyarakat.19
4. Macam-macam Nilai Sosial
Ada beberapa macam nilai sosial dalam masyarakat yang berfungsi sebagai
sarana pengendalian dalam kehidupan bersama. Seseorang dianggap patuh atau
menyimpang dari tatanan sosial, nilai tersebut sebagai tolok ukurnya. Nilai-nilai
tersebut sebagai nilai yang bersifat umum berlaku pada hampir semua masyarakat.
Adapun nilai-nilai yang dimaksud, antara lain sebagai berikut:
1. Etika
Etika menjadi tolok ukur untuk menganggap tingkah laku atau perbuatan
seseorang dianggap baik atau menyimpang. Etika adalah suatu nilai tentang
baik atau buruk yang terkait dengan perilaku seseorang dalam kehidupan
bersama. Misalnya, dalam berbicara, sopan atau tidakkah seseorang dalam
bertutur kata. Jika seseorang berbicara dengan menggunakan bahasa Jawa
mereka akan menggunakan kromo madyo atau kromo inggil kepada orang
yang lebih dihormati, misalnya: ‖Punopo bapak sampun dhahar?‖ (Apakah
Bapak sudah makan?)
2. Moral
Nilai sosial yang terkait dengan moral adalah nilai-nilai yang berhubungan
dengan jiwa, hati, dan perasaan seseorang dalam melakukan tindakan. Nilai
moral menjadi tolok ukur untuk menganggap perilaku seseorang, bertentangan
dengan hati nurani atau tidak. Misalnya, mencuri, tidak jujur, dan ingkar janji
merupakan tindakan-tindakan yang berkaitan dengan moral. Tindakan
pemerkosaan, melakukan kebohongan, dan memfitnah adalah tindakan yang
tidak bermoral.
19
Drs. Andreas Soeroso, M. S., Sosiologi 1(Jakarta: Yudhistira, 2006), hlm. 36
18
3. Agama
Nilai sosial terkait dengan nilai agama adalah tindakan-tindakan sosial yang
terkait dengan tuntunan ajaran agama yang ada. Apakah seseorang
menjalankan kewajiban agama secara benar dan baik ataukah ia tidak
menjalankan kewajiban keagamaannya secara baik.
4. Hukum
Nilai hukum sangat terkait dengan perundang-undangan yang berlaku. Hukum
biasanya memiliki kepastian tentang nilai-nilai yang diatur di dalamnya dan
sanksi yang diberikan terhadap pelanggarnya. Nilai hukum terkait dengan hak
asasi manusia atau terkait dengan pelanggaran nilai-nilai kemanusiaan akan
masuk dalam hukum pidana. Pelanggarnya secara otomatis dilaporkan oleh
pihak kepolisian untuk diadili.20
D. Hakikat Pembelajaran Sastra
Secara umum tujuan pembelajaran matapelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia
bidang sastra dalam kurikulum 2004, yaitu: (1) agar peserta didik mampu
menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk mengembangkan kepribadian,
memperluas wawasan kehidupan, serta meningkatkan pengetahuan dan
kemampuan berbahasa; (2) peserta didik menghargai dan membanggakan sastra
Indonesia sebagai khazanah budaya dan intelektual manusia Indonesia.
Tujuan itu dijabarkan ke dalam kompetensi: mendengarkan, berbicara,
membaca, dan menulis sastra. Kemampuan mendengarkan sastra meliputi
kemampuan mendengarkan, memahami, mengapresiasi ragam karya sastra (puisi,
prosa, drama) baik karya asli maupun saduran/terjemahan sesuai dengan tingkat
kemampuan peserta didik. Kemampuan berbicara sastra meliputi kemampuan
membahas dan mendiskusikan ragam karya sastra sesuai dengan isi dan konteks
lingkungan dan budaya. Kemampuan membaca sastra meliputi kemampuan
membaca dan memahami berbagai jenis dan ragam karya sastra, serta mampu
melakukan apresiasi secara tepat. Kemampuan menulis sastra meliputi
20
Drs. Andreas Soeroso, M. S., Sosiologi 1(Jakarta: Yudhistira, 2006), hlm. 36-37
19
kemampuan mengekspresikan karya sastra yang diminati (puisi, prosa, drama)
dalam bentuk sastra tulis yang kreatif, serta dapat menulis kritik dan esai sastra
berdasarkan ragam sastra yang sudah dibaca.
Sesuai dengan amanat Kurikulum 2004, pembelajaran sastra hendaknya
digunakan peserta didik sebagai salah satu kecakapan hidup dan belajar sepanjang
hayat yang dibakukan dan harus dicapai oleh peserta didik melalui pengalaman
belajar. Dalam Kurikulum 2004 kecakapan hidup ini disebut sebagai Standar
Kompetensi Lintas Kurikulum. Kecakapan hidup dapat dikelompokkan menjadi
lima jenis. Kelima jenis kecakapan itu adalah:
1. kecakapan mengenal diri (self awareness) atau kecakapan personal;
2. kecakapan berpikir rasional (thinking skill);
3. kecakapan sosial (social skill);
4. kecakapan akademik (academic skill);
5. kecakapan vokasional (vocasional skill).21
Sastra lahir oleh dorongan manusia untuk mengungkapkan diri tentang
masalah manusia, kemanusiaan, dan semesta. Sastra adalah pengungkapan
masalah hidup, filsafat, dan ilmu jiwa. Sastrawan dapat dikatakan sebagai ahli
ilmu jiwa dan filsafat yang mengungkapkan masalah hidup, kejiwaan, dan filsafat,
bukan dengan cara teknik akademis melisankan melalui tulisan sastra.22
Perbedaan sastrawan dengan orang lain terletak pada kepekaan sastrawan yang
dapat menembus kebenaran hakiki manusia yang tidak dapat diketahui orang lain.
Sastra selain sebuah karya seni yang memiliki budi, imajinasi, dan emosi, juga
sebagai karya kreatif yang dimanfaatkan sebagai konsumsi intelektual dan
emosional. Sastra yang telah dilahirkan oleh sastrawan diharapkan dapat memberi
kepuasan estetik dan intelektual bagi pembaca.
Mengacu pada pengertian sastra di atas, sudah sewajarnya bila tujuan
pembelajaran sastra juga untuk menanamkan nilai-nilai kemanusiaan kepada
siswa. Sastra dapat mempengaruhi daya emosi, imajinasi, kreativitas, dan
intelektual siswa sehingga berkembang secara maksimal.
21
Dr. Wahyudi Siswanto. Pengantar Teori Sastra (Jakarta: 2008), hlm. 171-173 22
Dr. Wahyudi Siswanto. Pengantar Teori Sastra (Jakarta: 2008), hlm. 67
20
Karya sastra sangat bermanfaat bagi pembaca apabila ia bersedia
mengapresiasikannya. Apresiasi mengandung arti memahami, menikmati, dan
menghargai atau menilai. Obyek apresiasi lain, mengalami sendiri atau dari
membaca buku. Salah satu buku yang juga memuat pengetahuan adalah novel.
Karya sastra yang berbentuk novel, memuat kisah-kisah tentang kehidupan
yang disampaikan dengan menggunakan bahasa secara halus yang bersifat
imajinatif oleh pengarang. Oleh karena itu, pembaca pun mesti menggunakan
pikiran kritis dan kepekaan perasaannya untuk karya sastra. Pemahaman sensitif
lebih mengacu pada aspek afektif kemampuan seseorang daripada aspek kognitif.
Menurut Oemarjati mengapresiasikan sastra berarti menanggapi sastra dengan
kemampuan afektif yang di satu pihak peka terhadap nilai-nilai yang dikandung
karya yang bersangkutan baik yang tersurat maupun tersirat dalam kerangka
tematik yang mendasarinya. Di lain pihak kepekaan tanggapan tersebut berupaya
memahami pola tata nilai yang diperolehnya dari bacaan di dalam proporsi yang
sesuai dengan konteks persoalan. Dengan demikian pembelajaran sastra di
sekolah dilakukan dengan metode yang tepat mengacu pada kemampuan afektif
siswa, sehingga menjadi apresiatif.23
23
Boen, S. Oemarjati, ―Pembinaan Apresiasi Sastra Dalam Proses Belajar Mengajar,‖,
dalam Bulir-Bulir Sastra dan Bahasa: Pembahasan Pengajaran, ed., Bambang Kaswanti Purwa
(Yogyakarta: Kanisius, 1991), hlm. 58
21
BAB III
PROFIL PRAMOEDYA ANANTA TOER
A. Penulis Novel Bukan Pasar Malam
1. Biografi Pramoedya Ananta Toer
Pramoedya Ananta Toer yang oleh semua adiknya dipanggil Mas Moek,
adalah nama kepengarangan yang kini menjadi standar bagi dia. Perjalanan dari
nama Pramoedyo ke nama Pramoedya Ananta Toer, tidak sangsi lagi, merupakan
sejarah panjang pergulatan pemikiran dan perenungan. Tidak heran, Mas Moek
merasa perlu menuliskannya dalam satu uraian panjang berjudul
―Memoar−Hikajat Sebuah Nama‖ di tahun 1962.
Paling tidak ada sembilan nama yang pernah digunakannya, sebelum akhirnya
ia mantap menggunakan nama Pramoedya Ananta Toer. Itu dapat dilacak dari
berbagai tulisan yang dimuat dalam májala dan suratkabar pada zamannya, yaitu:
a. Pramoedya Tr., dalam ―115 Boeah Wasiat Madjapahit‖, penerjemah
(Sadar, No. 5 Th. II, 10 Januari 1947)
b. Ananta Toer, dalam Lode Zielens: ―Bunda untuk apa kami dilahirkan‖,
penerjemah (Sadar, No. 5 Th. II, 13 Juni1947)
c. M. Pramoedya Toer, dalam ―Hoeroef‖ (Sadar, No. 5 Th. II, 10 Januari
1947)
d. Pr. Toer, dalam ―Kalau Mang Karta di Djakarta‖ (Sadar, Mei 1947),
“ORI di Djakarta” (J. 23-5-1947, Sadar 1947)
e. Pr. A. Toer, dalam ‖Dajachajal, ketekunan, keperwiraan dan ilmu‖ (J. 11-
XI-1952, Pemuda, No. 1 Th. IV, Januari 1954)
f. Pramoedya Toer, dalam ‖Bingkisan: Untuk adikku R.‖ (Sadar, No.6 Th.
II, 13 Juni 1947)
g. Pram Ananta Toer, dalam ‖Keluarga Mbah Rono Djangkung‖ (sumber
tak jelas)
h. Pramudya Ananta Tur, dalam ‖Lemari Buku‖ (Mimbar Indonesia, [1951],
”Keadaan sosial para pengarang Indonesia” (Star Weekly, No. 576, 12
Januari 1957), ”Sepku” (Mingguan Politik Pelopor, 27 Januari 1952)
22
i. Pramudya Ananta Toer, dalam ”Kalil siopas kantor”, ”Yang tinggal dan
yang pergi (Gelanggang, April 1955), dan akhirnya
j. Pramoedya Ananta Toer, dalam ”Anak Tumpahdarah” (sumber tak
jelas).24
Pramoedya Ananta Toer lahir di tengah-tengah keluarga guru yang gandrung
akan kemerdekaan. Mamuk adalah nama kecil dari Pramoedya Ananta Toer,
ayahnya bernama Imam Mastoer, ia dilahirkan pada hari Jumat, tanggal 6
Februari 1962. Nama Pramoedya sendiri memiliki makna “yang paling pertama
dalam peperangan”, makna dari nama tersebut sesuai dengan suasana waktu itu
pada zaman penjajahan. Ibunya pernah menerangkan bahwa para yang berarti
’yang terutama’ atau ’paling pertama’, sedangkan moedya berarti ’peperangan’,
jelas yang paling pertama dalam peperangan.25
Ayahnya bernama Mastoer adalah seorang guru. Selain itu ayahnya juga
seorang tokoh Politik (PNI) cabang Blora yang juga mampu menulis. Hal ini
banyak berpengaruh terhadap Pram. Apalagi ia pernah bersekolah di sekolah yang
berpaham kebangsaan. Paham kebangsaannya itu tumbuh dan berkembang saat
Belanda ingin memulihkan kekuasaannya di Indonesia. Pram bergabung dengan
kaum nasionalis, dengan bekerja di radio dan menerbitkan majalah berbahasa
Indonesia. Pada saat itulah ia mulai menulis cerita. Tulisannya yang pertama
adalah cerita pendek berjudul Kemana di majalah Pancaraya tahun 1947.
Selanjutnya namanya mencuat melalui novel Kranji-Bekasi Jatuh pada tahun
1947. Pram mengaku menulis sejak duduk di kelas 4 sekolah dasar (SD), satu di
antaranya pernah dikirimkan ke penerbit Tan Koen Swie, Kediri, tetapi ditolak.
Anak sulung ini pernah menempuh pendidikan di Radio Volkschool Surabaya
(1940), Taman Dewasa/Taman Siswa (1942-1943), Sekolah stenografi (1944-
1945), dan Sekolah Tinggi Islam Jakarta (1945). Pernah menjadi juru tik di
Kantor Berita Jepang Domei (1942-1945), Letnan dua dalam Resimen 6 Divisi
24
Koesalah Soebagyo Toer, Pramoedya Ananta Toer dari Dekat Sekali, (Jakarta:
Kepustakaan Populer Gramedia, 2006), hlm. viii 25
Koesalah Soebagyo Toer, “Pengantar Koesalah Soebagyo Toer” di dalam Menggelinding
I. Editor: Astuti Ananta Toer, (Jakarta: Lentera Dipantara, 2004), hlm xxi
23
Siliwangi (1946), Redaktur Balai Pustaka (1950-1951), Pimpinan ”Literary &
Features Agency Duta” (1951-1954), Redaktur bagian penerbitan ”The Voice of
Free Indonesia” (1954), anggota Pimpinan Pusat Lekra (1958), Ketua Delegasi
Indonesia dalam Konferensi Pengarang Asia-Afrika di Tasjkent, Uni Soviet
(1958), Anggota Dewan Komite Perdamaian Indonesia (1959), redaktur ”Lentera”
(1962-1965). Dosen Fakultas Sastra Universitas Res Republika, Jakarta (sekarang
Universitas Trisakti), dan dosen Akademi Jurnalistik Dr. Abdul Rivai, Jakarta.
Pada saat di Penjara Bukit Duri, tahanan dilarang untuk menulis, Pram
mencari cara untuk tetap bisa menulis, yaitu memakai arang yang diruncingkan. Ia
menulis sambil jongkok di atas kaleng margarin, dengan alas sepotong papan,
bermeja ambin beton yang biasa digunakannya untuk tempat tidur. Ia pun tetap
menulis di kala malam, sambil tengkurap di ambin tempat tidurnya dengan
penerangan pelita. 26
Di Pulau Buru pun ia mendapat pelarangan yang sama.
Namun, ia tetap mengatur untuk menulis. Tubuh Pram memang terpenjara.
Namun tidak menghalangi pikirannya yang terus bergolak. Bahkan di Pulau Buru
lah empat buku novel Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan
Rumah Kaca yang merupakan karya terbesar Pram Tetralogi Pulau Buru. (The
Quartet Buru). Proses penciptaan buku tersebut itu pun sangat luar biasa. Pram
khawatir tidak mungkin bisa keluar dari Buru hidup-hidup dan menyelesaikan
empat bukunya itu. Lalu ia memutuskan untuk mengarang empat novel tersebut di
dalam kepalanya, dan menceritakannya secara lisan kepada rekan-rekannya
sesama tahanan politik di Pulau Buru.
Pada tahun 1960an ia ditahan kembali oleh pemerintahan Orde Baru rezim
Soeharto karena pandangan pro-komunis Tiongkoknya. Bukunya dilarang dari
peredaran, dan ia ditahan tanpa pengadilan di Nusakambangan (Juli 1969-16
Agustus 1969), dan akhirnya di Pulau Buru selama sepuluh tahun (Agustus 1969-
12 November 1979). Penjara, penderitaan, penyiksaan, penghinaan tidak
membuat Pramoedya Ananta Toer “mati”. Kreativitasnya bergolak dan semuanya
itu dibalasnya dengan karya-karya besar yang mampu menembus dunia. Dari
26
Pramoedya Ananta Toer. Nyanyi Sunyi Seorang Bisu II: Catatan Dari Pulau Buru,
Jakarta: Lentera. hlm. 70
24
penjara inilah karya-karyanya dikenal sampai ke luar negeri. Pramoedya Ananta
Toer memang ditakdirkan untuk menulis. Bahkan di penjara di mana ada larangan
untuk menulis, Pram menggunakan segala cara untuk bisa menulis.
Kehidupan pengarang yang satu ini tak lepas dari kontroversi. Ketika
Pramoedya mendapatkan penghargaan Ramon Magsaysay Award tahun 1995
diberitakan sebanyak 26 tokoh sastra Indonesia menulis surat protes ke Yayasan
Ramon Magsaysay. Mereka merasa penghargaan tersebut tidak pantas diberikan
kepada Pramoedya, karena Pram pernah dituding sebagai jubir Lekra yang paling
galak, menghantam, menggasak, membantai, dan mengganyang di masa
Demokrasi Terpimpin.
Tetapi beberapa hari kemudian, Taufik Ismail sebagai pemrakarsanya meralat
pemberitaan tersebut. Katanya bukan menuntut pencabutan, namun mengingatkan
siapa Pramoedya itu. Katanya banyak orang tidak mengetahui reputasi gelap Pram
dulu. Maka dari itu pemberian Ramon Magsaysay dikatakan sebagi suatu
kecerobohan. Di lain pihak, Mochtar Lubis mengancam mengembalikan hadiah
Magsaysay yang dianugerahkan kepadanya di tahun 1958, jika Pram tetap akan
dianugerahkan hadiah yang sama. Begitu pula dengan HB. Jassin.27
Pengarang yang bersahabat dengan penjara ini merupakan penulis yang
produktif. Terbukti ia telah menulis lebih dari 40 karya seperti: novel, cerita
pendek, drama, sejarah, kritik sastra dan lebih dari 400 essai dalam surat kabar.
Pram seorang humanis, sebagaimana ia sangat mengagumi Multatuli. Ia seorang
nasionalis, sangat cinta kepada kemanusiaan dan kepada bangsanya. Oleh karena
itu, karya-karyanya selalu membela kemanusiaan, tentang penderitaan anak-anak
bangsa karena penjajahan. Dari kecintaannya kepada kemanusiaan inilah lahir
sejumlah karya Perburuan, Keluarga Gerilya, Di Tepi Kali Bekasi hingga
Tetralogi Bumi Manusia. Ada sekitar 200 buku yang pernah diterjemahkan ke
berbagai bahasa dunia.
Pada 27 April 2006, Pram sempat tak sadarkan diri. Pihak keluarga akhirnya
memutuskan membawa ia ke RS. St. Carolus. Ia didiagnosis menderita radang
27
Astuti Ananta Toer (editor), dalam buku Seribu Wajah Pram dalam Kata dan Sketsa,
Jakarta: Lentera Dipantara. 2009. hlm.4-5
25
paru-paru, penyakit yang selama ini tidak pernah menjangkitinya, ditambah
komplikasi ginjal, jantung, dan diabetes. Pram hanya bertahan tiga hari di rumah
sakit. Setelah sadar, ia kembali meminta pulang. Meski permintaan itu tidak
direstui dokter, Pram bersikeras ingin pulang. Sabtu, 29 April sekitar pukul 19.00
WIB begitu sampai di rumahnya. Kondisinya menjadi jauh lebih baik. Meski
masih kritis, Pram sudah bisa memiringkan badannya dan menggerak-gerakkan
tangannya.
Kondisinya sempat memburuk lagi pada pukul 20.00 WIB. Pram masih dapat
tersenyum dan mengepalkan tangan ketika sastrawan Eka Budianta
menjenguknya. Ia juga tertawa saat dibisiki para penggemar yang menjenguknya.
Kondisi Pram memang sempat membaik, lalu kritis lagi. Pram kemudian sempat
mencopot selang infus dan menyatakan bahwa dirinya sudah sembuh. Ia lantas
meminta disuapi havermut dan meminta rokok. Tapi, tentu saja permintaan tidak
diluluskan keluarga. Mereka hanya menempelkan batang rokok di mulut Pram
tanpa menyulutnya. Kondisi tersebut bertahan hingga pukul 22.00 WIB.
Kabar meninggalnya Pram sempat tersiar sejak pukul 03.00 WIB. Para
tentangga sudah menerima kabar duka tersebut. Namun, pukul 05.00 WIB mereka
mendengar bahwa Pram masih hidup. Terakhir, ketika ajal menjemput, ia sempat
mengerang ”Akhiri saja saya. Bakar saya sekarang.” katanya. Akhirnya pada
tanggal 30 April 2006 pukul 08.55 WIB, Pramoedya wafat dalam usia 81 tahun.
Jenazahnya dimandikan pukul 12.30 WIB, lalu dishalatkan. Setelah itu dibawa
keluar rumah untuk dimasukkan ke ambulans yang membawa Pram ke TPU Karet
Bivak. Terdengar lagu Internationale dan Darah Juang dinyanyikan di antara
pelayat.
B. Pemikiran Pramoedya Ananta Toer
Pram tidak memberatkan simpatinya pada suatu –isme, kecuali pada
humanitas. Misalnya dalam ”Dia yang Menyerah” hidup sekali Pram melukiskan
jiwa revolusioner pemuda merah, komplit dengan istilah-istilah feodal, borjuis,
kapitalis, imperalis dan sebagainya. Sangat realistis sekali lukisan-lukisannya
tentang kekejaman yang mendirikan bulu roma dari kedua belah pihak.
26
Pram mengaku bahwa Idrus adalah sastrawan yang pertama dikaguminya.28
Ia
bahkan menganggap Idrus adalah ”guru besarnya”. Menurutnya, Idrus adalah
seorang stylist yang belum tertandingi. Tulisan Idrus, katanya, ”tidak ada satu
kata yang lebih, dan tidak ada satu kata yang kurang. Ia juga mengagumi
Steinbeck, pengarang Amerika. Ia belajar cara menulis plastis, agar tulisan itu
memunculkan gambaran seperti film dibenak pembaca. Pram belajar dari William
Saroyan cara membuat tulisan agar menimbulkan perasaan haru, dengan
menggunakan elemen-elemen yang paling sederhana dalam pertemuan antar
manusia. Ia juga belajar dari Maxim Gorki. Menurutnya, Gorki kalau menulis
bagai memegang tiang rumah, kemudian mengguncangkannya sehingga semua
berubah dan bergerak. Pengarang yang dikagumi Pram yang banyak memberinya
inspirasi tentang kemanusiaan adalah Multatuli. Multatuli mendirikan
kemanusiaan dengan mengorbankan segala-galanya. Bahkan Pram sering
mengutip ucapan Multatuli, ”It is the duty of human beings to become human”.
(kewajiban manusia adalah menjadi manusia).29
Intinya Pram banyak
menyuguhkan gugatan terhadap kemiskinan, kebodohan, perbudakan dan
pelacuran karena kemiskinan dalam karyanya.
Dua perempuan, dua pahlawan. Ibu dan neneknya dari sosok dua perempuan
inilah Pram banyak mendapat inspirasi dalam setiap tulisan-tulisannya. Karena
pengaruh perempuan dalam kesehariannya itulah yang menarik Pram untuk
menampilkan sosok perempuan di titik pusat karya-karyanya, sebagai barisan
Srikandi yang bertarung dengan kekuatan sejarah.
Berbeda dengan hal di atas, novel Bukan Pasar Malam yang dibuat oleh Pram
lebih memperhatikan tokoh ayah. Dilukiskan tokoh ayah seorang guru dan
nasionalis jatuh sakit lantaran kekecewaannya terhadap pemerintahan yang ada
pada saat itu.
28
Hasanuddin WS, Prof. Dr., M. Hum. (Pemimpin Redaksi) Ensiklopedi Sastra Indonesia,
Bandung: Titian Ilmu. 2004. hlm. 740-744 29
Max Lane. Esei “Man of Letters and Revolution Pramoedya Ananta Toer, Novelist, 1925-
2006” Editor: Astuti Ananta Toer dalam buku 1000 Wajah Pram dalam Kata dan Sketsa.,
(Jakarta: Lentera Dipantara, 2009), hlm.74
27
Cerita dalam novel ini berlangsung di Jakarta dan Blora. Pram sendiri
mengaku dalam buku Saya Ingin Lihat Semua Ini Berakhir yang ditulis Kees
Snoek, menyebutkan Bukan Pasar Malam sebagai novel otobiografisnya.
“Sebenarnya itu hanya tentang apa yang saya alami sendiri di masa muda dan di
masa perjuangan kemerdekaan”.30
Ia menulis novel ini pada tahun 1950an, di saat
Pram berusia 25 tahun.
C. Psikologi Pramoedya Ananta Toer
Pada masa perang kemerdekaan Indonesia, ia mengikuti kelompok militer di
Jawa dan seringkali ditempatkan di Jakarta pada akhir perang kemerdekaan. Ia
menulis cerpen dan buku sepanjang karir militernya dan dipenjara oleh Belanda di
Jakarta pada tahun 1948 dan 1949. Pada tahun 1950an ia tinggal di Belanda
sebagai bagian dari program pertukaran budaya, dan ketika kembali ke Indonesia
ia menjadi anggota Lekra, salah satu organisasi sayap kiri di Indonesia. Gaya
penulisannya berubah selama masa itu, sebagaimana yang ditunjukkan dalam
karyanya yang berjudul Korupsi.
Buku Korupsi yang terbit pada 1954 mengakibatkan hubungannya dengan
pemerintahan Soekarno tidak baik. Karyanya Korupsi merupakan friksi kritik
pada pamong praja yang jatuh di atas perangkap korupsi. Hal ini menciptakan
friksi antara dia dan pemerintahan Soekarno. Di masa itu pula ia mempelajari
masalah penyiksaan terhadap Tionghoa di Indonesia, dan pada saat yang sama
Pram berhubungan erat dengan para penulis di China. Ia kemudian menerbitkan
rangkaian surat-menyurat dengan penulis Tionghoa yang membicarakan sejarah
Tionghoa di Indonesia dalam buku Hoakiau di Indonesia. Karena buku tersebut,
ia dipenjara oleh Orde Lama selama satu tahun. Kemudian dibebaskan karena
desakan internasional.
30
den Boef, August Hans dan Kees Snoek. Saya Ingin Lihat Semua Ini Berakhir: Esei dan
Wawancara dengan Pramoedya Ananta Toer, (Jakarta: Komunitas Bambu. 2008). hlm: 29
28
D. Tinjauan terhadap Novel Bukan Pasar Malam
Novel merupakan salah satu di antara bentuk sastra yang paling peka terhadap
cerminan masyarakat. Novel mempresentasikan suatu gambaran yang jauh lebih
nyata mengenai kehidupan sosial. Ruang lingkup novel sangat memungkinkan
untuk melukiskan situasi lewat kejadian atau peristiwa yang dijalin oleh
pengarang atau melalui tokoh-tokohnya. Kenyataan dunia seakan-akan terekam
dalam novel, berarti ia seperti kenyataan hidup yang sebenarnya. Dunia novel
adalah pengalaman pengarang yang sudah melewati perenungan kreasi dan
imajinasi sehingga dunia novel itu tidak harus terikat oleh dunia sebenarnya.
Pada tahun 1951 Balai Pustaka menerbitkan novel Bukan Pasar Malam, dari
tahun tersebut dapat dipastikan bahwa Pramoedya menulis novel ini sebelum
tahun 1951, atau tepatnya menurut A. Teeuw pada saat sesudah Pramoedya
melakukan perjalanan ke Blora dalam bulan Mei 195031
. Itu artinya, bahwa novel
ini ditulis setelah lima tahun Indonesia merdeka. Tentunya saja, kondisi atau
situasi sosial dan ekonomi masyarakat waktu itu sedikit banyaknya akan
mempengaruhi dan tergambar dalam karya itu. Novel ini terinspirasi dari
kehidupan Pram yang memang lahir di Blora dan hubungan batinnya dengan sang
ayah.
Novel ini menceritakan pengalaman seorang anak yang pulang kampung
untuk menjenguk ayahnya yang sedang sakit dan diceritakan dengan sudut
pandang orang pertama, yang hanya disebut dengan Aku,. Dimulai dengan
persiapan perjalanan ke Blora. Aku harus mencari uang untuk perjalanan itu, dan
ketika naik sepeda mengelilingi Jakarta, ia memikirkan tentang kemiskinan,
kekayaan, kemerdekaan, dan demokrasi yang meragu-ragukan pada awal 1950 di
Jakarta.
Bab pertama merupakan ancang-ancang pada tema utama, yaitu kematian sang
ayah, ayah yang juga merupakan korban ketaksamarataan di antara manusia yang
dihasilkan oleh revolusi, dengan kata lain revolusi sosial yang gagal. Penghayatan
Aku dalam Bukan Pasar Malam perjalanan itu sangat lama, sama sekali tidak
31
A. Teeuw, Citra Manusia Indonesia dalam Karya Sastra Pramoedya Ananta Toer.
(Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya. 1997). hlm. 112-113
29
menggairahkan, sebaliknya suram-muram, terutama sebab keterasingan dengan
isteri yang baru dikawininya sudah mulai tampak emosi yang dialaminya ketika
kereta api berjalan lewat daerah Jawa Barat tempat si Aku ikut berperang tidak
dapat dibagikannya dengan isterinya, demikian pula ketika mereka mendekati
daerah Blora isterinya tidak dapat ikut merasakan emosi kenang-kenangan masa
mudanya. Lain daripada itu rasa berdosanya terhadap ayahnya menjadi ganjalan
emosional. Ketika mereka tiba di Blora tidak ada yang menjemputnya, dan dalam
perjalanan naik dokar ke rumah tak seorang pun keluarga atau kenalan kelihatan.
Mulai bab keempat, cerita makin berpusat pada penyakit sang ayah, masa
lampaunya, dan hubungannya dengan si Aku, walaupun sekaligus yang
belakangan ini (dan bersama dengan dia pembaca) mendengar banyak cerita dari
anggota keluarga lain tentang segala apa yang terjadi selama tahun-tahun
belakangan. Namun cerita ini kurang hebat emosinya, antara lain karena jarak
waktu antara yang diceritakan dengan penceritaannya. Yang dominan ialah
penghayatan oleh pencerita tentang kematian sang ayah yang tak dapat tidak akan
datang bahwa maut ’bukan pasar malam’. Bukan keramaian yang dialami
bersama-sama, melainkan pengalaman yang ngeri, yang mendatangi setiap
manusia dalam keadaan mutlak.32
Dan di dunia ini, manusia bukan berduyun-duyun lahir di dunia dan
berduyun-duyun pula kembali pulang... seperti dunia dalam pasar malam...
Seorang-seorang datang. Seorang-seorang mereka pergi. Dan yang belum
pergi dengan cemas-cemas menunggu saat nyawanya terbang entah kemana...
(Toer, 2007: 5)
Menurut Romo Mangunwijaya, inilah novel Pram yang paling menonjol dan
paling disukainya. Sebabnya sederhana karena belum tersentuh oleh tangan-
tangan politik penulisnya. Novel ini pun sangat manis dan liris karena ia
mengangkat hal ihwal sehari-hari dan jauh dari tema besar bergebyar-gebyar. Ini
adalah novel biografis penulisnya di hari-hari jelang ayahnya wafat di Blora. Ia
mampu menyajikan dialog-dialog yang menyentuh. Juga tentang renungan soal
hakikat hidup dan kematian manusia yang bukan seperti pasar malam.
32
A. Teeuw, Citra Manusia Indonesia dalam Karya Sastra Pramoedya Ananta Toer.
(Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya. 1997), hlm: 118-119
30
BAB IV
ANALISIS NILAI SOSIAL NOVEL BUKAN PASAR MALAM
KARYA PRAMOEDYA ANANTA TOER
A. Gambaran Sosial Masyarakat Indonesia dalam novel Bukan Pasar Malam
Potret masyarakat yang secara khusus ingin digambarkan oleh Bukan Pasar
Malam yaitu kelas-kelas yang tercipta dalam masyarakat. Kesenjangan sosial
begitu terlihat sebagai akibat adanya kelas di masyarakat. Berbagai alasan timbul
melatarbelakangi hal tersebut mulai dari ekonomi, hingga sistem pemerintahan.
―Kadang-kadang kereta kami berpacu dengan mobil, dan kami
memperhatikan tamasya itu dengan hati gemas. Debu yang ditiupkan oleh
mobil debu yang bercampur dengan berbagai macam tahi kuda, tahi manusia,
reaknya, ludahnya mengepul menghinggapi kulit kami. Kadang-kadang kami
dapati anak-anak kecil bersorak-sorak sambil mengulurkan topinya
mengemis. Dan keadaan ini berlaku sejak jalan kereta api dibuka dan kereta
api meluncur sejak di atas relnya. Bila orang melempar-lemparkan sisa-sisa
makanan, mereka berebutan. Tapi ini tidak penting betul kuceritakan.‖
(Toer, 2007 :20).
Barangkali kesenjangan sosial yang tergambar di atas dilatarbelakangi
perbedaan dalam masalah ekonomi si kaya dan si miskin. Gambaran paradoks
tercermin ketika kaum kaya dapat menikmati segala fasilitas, kaum miskin hanya
bisa mendapatkan sisanya. Ini jelas merupakan sebuah ironi bagi sebuah bangsa
yang menyebut salah satu dasar negaranya adalah keadilan sosial bagi seluruh
warga negaranya. Tokoh Aku sudah geram dengan keberadaan semua ini.
Kesenjangan antara si kaya dan si miskin, juga bedanya rakyat dengan pejabat.
Pejabat yang dimaksud adalah seorang presiden dan kroni-kroninya. Dalam
alur kisahnya tokoh Aku menyamakan presiden dengan seorang raja yang bisa
mendapatkan segala kemudahan dan semua yang diinginkannya.
―Antara gelap dan lembayung sinar sekarat di barat yang merah, sepedaku
meluncuri jalan kecil depan istana. Istana itu mandi dalam cahaya lampu
listrik. Entah beberapa pluh ratus watt. Aku tak tahu. Hanya perhitungan
dalam sangkaanku mengatakan: listrik di istana itu paling sedikit lima
kilowatt. Dan sekiranya ada dirasa kekurangan listrik, orang tinggal
mengangkat tilpun dan istana mendapat tambahan.‖ (Toer, 2007 :9).
31
Untuk cuplikan di atas, latar belakang pemerintahan dalam hal ini kekuasaan,
termasuk di dalamnya ekonomi menjadi penyebab terjadinya kesenjangan sosial.
Secara tegas tokoh Aku merasakan adanya kesewenangan seorang presiden dalam
mendapatkan listrik yang seharusnya menjadi milik semua rakyat.
―Ya, Mas,‖ kata adikku dengan suara yang tidak bertujuan. Kemudian ia
meneruskan ceritanya, Kemudian ayah terlampau banyak bekerja untuk
Republik. Dan waktu kita merdeka, ayah jatuh sakit. Tiga bulan dirawat di
rumah sakit. Tapi ayah masih juga banyak bekerja. Akhirnya terasa juga
olehnya bahwa kesehatannya tak mengizinkan, dan sebuah demi sebuah
jabatannya dalam pergerakan politik dan sosial dilepaskan. Tapi
kesehatannya yang dulu tak kembali. Ayah jatuh sakit lagi hingga kini. Dokter
bilang sakit paru-paru. Dan waktu kutanyakan ke sana-sini, barangkali ayah
bisa ditempatkan di sebuah sanatorium- ya, Mas, pertanyaan itu tinggal jadi
dengung belaka. Tak ada setangkup pun mulut yang berani menjawab. Kalau
ada orang menjawab, jawabannya hanya begini; ongkos di sanatorium mahal
sekarang. Dan kalau tidak begitu jawabannya ialah, sanatorium? Sanatorium
sudah penuh oleh pedagang. Kalau engkau jadi pegawai, kalau bukan
pegawai tinggi, jangan sekali-kali berani mengharapkan mendapat tempat di
sanatorium.‖ (Toer, 2007: 64)
Setahun kemudian melayang surat dari Blora. Pamannya memberi kabar buruk
padanya. Isi surat itu menyatakan ayahnya sedang sakit TBC, dirawat di rumah
sakit. Dalam pikiran Aku hanyalah bagaimana caranya mengumpulkan uang untuk
membayar rumah sakit. Hal ini sangat berbeda dengan cerita para pejabat,
Jenderal pada saat itu. Mereka dapat hidup enak, malah mereka sibuk
mengumpulkan harta benda untuk kepentingan pribadi mereka. Di kala mereka
sakit, mereka mendapat pelayanan kesehatan yang sangat baik dari rumah sakit
tanpa harus memikirkan biaya rumah sakit maupun lain-lain yang begitu
mencekik rakyat kecil.
Jika ayah jadi wakil rakyat, atau jadi koordinator, ayah akan jadi pegawai
tinggi. Dan kalau ayah jadi pegawai tinggi barangkali bisa mendapat tempat di
sanatorium. Tapi dalam kenyataannya, ayah hanya seorang guru yang sangat tidak
diperhatikan kesejahteraannya.
Antara gelap dan lembayung sinar sekarat di barat yang merah, sepedaku
meluncuri jalan kecil depan istana. Istana itu mandi dalam cahaya lampu
listrik. Entah beberapa ratus watt. Aku tak tahu. Hanya perhitungan dalam
persangkaanku mengatakan: listrik di istana itu paling sedikit lima kilowatt.
32
Dan sekiranya ada dirasa kekurangan listrik, orang tinggal mengangkat
tilpun dan istana mendapat tambahan.
Presiden memang orang praktis tidak seperti mereka yang memperjuangkan
hidupnya di pinggir jalan berhari-harian. Kalau engkau bukan presiden, dan
juga bukan menteri, dan engkau ingin dapat tambahan listrik tigapuluh atau
limapuluh watt, engkau harus berani menyogok dua atau tigaratus rupiah. Ini
sungguh tidak praktis. Dan kalau isi istana itu mau berangkat ke A atau ke B,
semua sudah sedia pesawat udaranya, mobilnya, rokoknya dan uangnya. Dan
untuk di Blora ini, aku harus pergi mengelilingi Jakarta dulu dan
mendapatkan hutang. Sungguh tidak praktis kehidupan seperti itu.
Dan kalau engkau jadi presiden, dan ibumu sakit atau ambillah bapakmu atau
ambillah salah seorang dari keluargamu yang terdekat, besok atau lusa sudah
bisa datang menengok. Dan sekiranya engkau pegawai kecil yang bergaji
cukup hanya untuk bernafas saja, minta perlop untuk pergi pun susah.
Karena, sep-sep kecil itu merasa benar kalau dia bisa memberi larangan
sesuatu pada pegawainya. (Toer, 2007: 9-10)
Sungguh malang nasib rakyat kecil pada masa itu, bahkan sampai saat ini pun
hal itu tetap terjadi. Jika kita tak punya uang, barang yang sangat kita inginkan
pasti hanya bisa dilihat tapi tak bisa dibeli. Berhutang pun merupakan suatu cara
yang harus dipilih untuk menyambung hidup.
―Pagi-pagi itu kereta pertama telah meluncur di atas relnya dari stasiun
Gambir. Gundukan tanah merah yang tinggi, yang selalu kulihat di zaman
Jepang dulu bila aku bepergian ke Blora juga, kini tinggal seperempatnya.
Diendapkan oleh hujan. Dicangkuli. Diseret oleh air hujan. Tiba-tiba saja
terasa ngeri olehku melihat gundukan tanah merah di stasiun Jatinegara itu.
Bukankah hidup manusia ini tiap hari dicangkul, diendapkan, dan diseret juga
seperti gundukan tanah merah itu?‖ (Toer, 2007: 12)
Kutipan di atas memang benar adanya. Kehidupan rakyat kecil selalu
dirampas kebahagiaannya oleh pemimpin yang tidak bertanggung jawab. Tokoh
ayahpun begitu, waktu bersama keluarganya dirampas oleh para komunis, dengan
memenjarakannya di berbagai tempat. Bagaimana perasaan anak mereka jikalau
sosok ayah yang seharusnya menjadi panutan tetapi direbut dari kebahagiaan
keluarga.
Kemudian, keadaaan kota Blora sangatlah memprihatinkan bahkan air di kota
itu tebal oleh lumpur. Pembagian air ledeng di kota ini tak boleh diharapkan.
Barangkali air mandi inilah yang membuat penduduk kota kecil ini berbeda
dengan penduduk kota besar yang mempunyai pembagian ledeng dengan teratur,
33
bening dan baik. Di sini, orang-orang berjalan dengan kulitnya yang berkerak-
kerak. Dengan begitu, masyarakat secara sendirinya telah membuat kelas sosial di
dalamnya. Seperti yang membedakan si miskin dan si kaya. Kelas sosial pun
terjadi dengan warga desa dengan warga kota baik dari segi ekonomi, fasilitas,
kemampuan, citra, pendidikan, dll yang tercermin dalam cuplikan dibawah ini:
Air di kota kami yang kecil itu tebal oleh lumpur. Pembagian air ledeng disini
tak boleh diharapkan. Barangkali air mandi yang tebal inilah yang membuat
penduduk kota kecil ini berbeda dengan penduduk kota besar yang
mempunyai pembagian air ledeng dengan teratur, bening, dan baik. Di sini,
orang berjalan-jalan dengan kulitnya yang berkerak-kerak.
(Toer, 2007 :42).
Di samping itu, orang Blora pada zaman itu sangat mempercayai hal-hal
mistik. Mereka menghubung-hubungkan suatu kejadian dengan keadaan rumah
mereka masing-masing.
―Ya, Gus, rumahmu itu aku juga yang mendirikan dulu. Waktu itu engkau
baru bisa tengkurap. Duapuluh lima tahun yang lalu! Dan selama itu,
rumahmu itu belum pernah diperbaiki. Pikir saja. Duapuluh lima tahun! Itu
tidak sebentar dibandingkan dengan jeleknya tanah di sini. Cobalah lihat
rumah-rumah tembok yang didirikan sesudah rumahmu, semua itu sudah
roboh, bongkar, dan sobek-sobek. Rumahmu itu sangat kuat. Sekarang
suaranya jadi ketua-tuaan, ―Kalau bisa, Gus, kalau bisa, harap rumahmu itu
engkau perbaiki. Engkau sudah terlalu lama meninggalkan tempat ini. Dan
engkau sudah terlampau lama tak bergaul dengan orang-orang sini. Karena
itu, barangkali ada baiknya kuulangi kata orang tua dulu: Apabila rumah itu
rusak, yang menempatinya pun akan rusak.…
―Kuharap ayahmu lekas sembuh oleh kedatanganmu itu. Dan lagi, dan lagi,
orang tua-tua bilang, engkau masih ingat bukan? Masih ingat apa yang
kukatakan tadi? Apabila rumahnya rusak ….‖ (Toer, 2007: 44)
Kemudian, pamannya Agus mengajak Agus pergi menemui guru dukun, untuk
menyembuhkan sang ayah. Karena mereka telah kehabisan akal dan kesabaran.
―Ini bukan usada, ini hanya syarat saja. Tuan boleh merendamnya di air
minum ayah Tuan. Tapi aku sendiri tak bisa berkata apa-apa.
Kami bertiga menunduk seperti takut berpandang-pandangan satu sama lain.
Kemudian aku lihat paman mengambil dupa itu dan dimasukan ke dalam
sakunya. Percakapan hanya dengan lambat saja bisa hidup kembali.
Kemudian terdengar guru dukun itu bercerita.‖ (Toer, 2007: 51)
34
Hal yang dianggap mereka mistik dan sangat dipercayai oleh mereka tak
menghasilkan apa-apa. Syarat-syarat yang telah dianjurkan oleh guru dukun itu
tak mempan untuk menyembuhkan penyakit ayah. Memilih dukun sebagai
alternatif penyembuhan Ayah, merupakan bentuk ketidakmampuan manusia untuk
mengatasi masalah yang dihadapinya.
Kepedulian masyarakat terhadap pendidikan sangatlah kurang. Anak-anak
mereka punya cita-cita yang tinggi akan tetapi tidak ada yang mempedulikan
nasib guru di masa yang akan datang. Siapa yang akan mengajar cucu mereka jika
tak ada yang mengajar mereka.
Karena itu waktu aku bertanya pada murid-murid yang akan meninggalkan
bangku sekolah. Siapakah yang akan meneruskan ke sekolah guru? Di antara
murid-murid yang limapuluh orang itu Cuma tiga orang yang mengacungkan
jarinya. Selain itu, semua mau meneruskan ke sekolah menengah. Alangkah
sedihku waktu itu. Dan berkata aku pada mereka. Kalu di antara limapuluh
orang Cuma tiga orang yang ingin jadi guru, siapakah yang akan mengajar
anak-anakmu nanti? Kalau sekiranya engkau kelak jadi jenderal, adakah
akan senang hatimu kalau anakmu diajar oleh anak tukang sate? Tak ada
yang menjawab di antara mereka. Kemudian ku nasihati mereka yang ingin
jadi guru. Kalau engkau tidak yakin betul, lepaskanlah cita-citamu untuk
menjadi guru itu, kataku. Seorang guru adalah kurban-kurban untuk selama-
lamanya. Dan kewajibannya terlampau berat, membuka sumber kebajikan
yang tersembunyi dalam tubuh anak-anak bangsa. Dan mereka yang tiga
orang itu bilang dengan sungguh-sungguh, kami bercita-cita jadi guru walau
bagaimanapun juga sukarnya. Dan aku angguk-anggukkan kepalaku kepada
tiga orang itu. (Toer, 2007: 54-55)
Kesejahteraan guru setelah merdeka sangat tidak diperhatikan oleh
pemerintah. Nampak sekali bahwa kemauan dan keinginan ayah tambah berubah-
ubah. Pagi itu seorang juru rawat yang semalam kena dinas jaga malam datang ke
rumah kami dan menyerahkan selembar kwitansi, minta voorschot gaji untuk
bulan Maret. Bulan itu adalah bulan Mei. Kwitansi itu dari ayah. Aku tak
mengerti mengapa voorschot untuk bulan Maret yang dimintanya. Dan di kala hal
ini kutanyakan pada paman, ia mengatakan: Sejak kita merdeka, guru belum lagi
dibayar. Hampir setengah tahun ini.
Ironi sekali nasib guru pada pascakemerdekaan, begitu pun adanya sekarang.
Kebanyakan masyarakat kita menjadikan profesi guru sebagai ’alternatif’.
Buktinya banyak di sekolah yang menjadi guru bukan dari bidang keterampilan
35
yang sebernarnya. Seorang guru dituntut mendidik dan mencerdaskan penerus
bangsa ini. Namun, kesejahteraannya jauh memprihatinkan. Meskipun guru
mendapat julukkan ”Pahlawan Tanpa Tanda Jasa”. Tak dipungkiri, guru juga
seperti manusia lainnya.
Kecewa setelah merdeka pastilah dirasakan oleh setiap guru di tanah air kita.
Rasa-rasanya mereka tak sanggup lagi melihat dunia sekelilingnya yang jadi
bobrok itu, bobrok dengan segala akibat. Orang-orang yang dulu jadi jenderal di
daerah gerilya, mereka yang tadinya menduduki kedudukan-kedudukan penting
sebelum Belanda menyerbu, jadi pemimpin pula di daerah gerilya dan jadi bapak
rakyat sungguh-sungguh. Dan tokoh ayah yang ada dalam novel ini membela
kepentingan mereka itu. Tapi kala kemerdekaan tercapai, mereka itu sama
berebutan gedung dan kursi. Dan barang siapa tak memperoleh yang
diinginkannya, mereka pergi, karena mereka tak perlu mengharapkan gaji lagi.
Dan mereka tak sanggup melihat keadaan seperti itu. Segala kekecewaan mereka
disimpan saja di dalam hati. Tapi akibat yang sangat besar tak diduganya akan
menimpa dirinya.
Akhirnya pada hari kamis, menjelang magrib, Ayah telah meninggal dunia.
Sosok yang sangat dikagumi oleh banyak orang kini telah tiada. TBC kilat, hanya
dalam waktu dua setengah bulan sakit, dan ayah harus pergi.
Ya, mengapa hidup ini begitu cepat? Orang Tionghoa itu mnyambung...
Hidup ini bukan pasar malam. Mengapa kita harus mati seorang diri? Lahir
seorang diri pula? Dan mengapa kita ini harus hidup di satu dunia yang
banyak manusianya? Dan kalau kita sudah bisa mencintai seorang manusia,
dan orang itu pun mencintai kita. Seperti tokoh ayah dalam novel ini.
Mengapa kemudian kita harus bercerai berai dalam maut. Seorang. Seorang.
Seorang. Dan seorang lagi lahir. Seorang lagi. Seorang lagi. Mengapa orang
ini tak ramai-ramai lahir dan ramai-ramai mati? (Toer, 2007: 94-95)
Manusia selama hidupnya telah menjadi anggota dari masyarakat, dan
tentunya telah memiliki beragam pengalaman dalam hubungan sosial serta
bermasyarakat. Oleh karena itu penelitian terhadap manusia akan terus muncul
tiada habisnya. Karena manusia ketika sudah berada di dalam bermasyarakat akan
memunculkan beragam permasalahan yang terus-menerus. Beragam hal yang
timbul dari kehidupan sosial masyarakat banyak menjadi sorotan, salah satunya
36
menjadi sorotan untuk diangkat dalam karya sastra. Oleh karena, itu tidak salah
apabila muncul pernyataan bahwa karya sastra adalah cerminan kehidupan sosial.
Bukan Pasar Malam menggambarkan kehidupan sosial masyarakat Indonesia
ketika masa penjajahan dimana orang pribumi yang seharusnya bertindak sebagai
tuan rumah justru sebaliknya diperlakukan tidak sebagaimana mestinya. Hal
tersebut menyebabkan munculnya konflik sosial yang berkepanjangan bukan
hanya antara penjajah dan orang pribumi. Namun pada individu-individu itu
sendiri. Yang lebih ditekankan dalam novel ini adalah masa setelah kemerdekaan,
dimana keadaan ekonomi, politik dan sosial belum stabil. Hal tersebut berakibat
pada kehidupan masyarakatnya.
B. Temuan Penelitian dan Analisis Nilai Sosial dalam Novel Bukan Pasar
Malam
Balai Pustaka menerbitkan novel Bukan Pasar Malam di tahun 1951, dengan
ketebalan 104 halaman, dan bisa dibaca dalam waktu singkat seperti membaca
sebuah cerita pendek. Nilai-nilai sosial dalam novel Bukan Pasar Malam karya
Pramoedya Ananta Toer tersebut, nampak dari pandangan hidup dan
penggambaran kesepakatan masyarakat dalam percakapan maupun narasi novel
yang penulis buat di dalam tabel. Setelah dilakukan penelitian, peneliti ternyata
mendapatkan dua kategori yang terdapat di dalam interaksi, yaitu:
1. Nilai interaksi sosial dalam keluarga: nilai kasih sayang, nilai
pengayoman, nilai religiositas.
2. Nilai interaksi sosial dalam bermasyarakat: nilai kepedulian, nilai
kesetaraan, nilai kebersamaan, nilai keikhlasan.
Untuk lebih memudahkan pembaca, peneliti membuat tabel untuk lebih
mudah memahami kedua kategori nilai sosial novel Bukan Pasar Malam karya
Pramoedya Ananta Toer, maka peneliti menguraikan dalam tabel sebagai berikut:
1. Nilai interaksi sosial dalam keluarga
Kisah utamanya mengenai pertemuan Aku dengan ayahnya yang sakit keras.
Betapa tersentuhnya batin anak dengan seseorang ayah yang begitu lemah terkulai
37
dan sakit-sakitan padahal dahulunya ia adalah lelaki yang pantang menyerah,
berjiwa besar dan mempunyai fisik kuat. Seperti tergambar pada cuplikan berikut:
No. Nilai Sosial Teks novel Bukan Pasar Malam
1. Nilai kasih sayang Segera kupegang tangan ayah. Dan kulihat
kini badan ayah yang dahulu tegap itu kini
telah menyerupai sebilah papan. Aku lihat
ayah membuka matanya. Hati-hati dan
menyengsarakan diangkatnya tangannya yang
hanya tinggal tulang dan kulit. Diusap-
usapnya rambutku. Terdengar suara yang
dalam, gelap, kosong, dan tidak bertenaga:
―Kapan engkau datang?‖
―Jam duabelas siang tadi, Bapak.‖
―Alangkah cepat. Engkau naik pesawat
udara?‖
―Keretaapi, Bapak.‖
Ayah tak bicara lagi. Matanya pudar
ditutupnya kembali. Aku berdiri dan
melepaskan pegangangku pada tangannya.
(Toer, 2007 :31)
Berdasarkan cuplikan di atas, gambaran sosial anak dan ayah yang
dipertemukan dalam keadaan penuh duka dan kesakitan usai bertahun-tahun
lamanya terpisah begitu jelas tergambar nilai kasih sayang di dalam keluarga,
”Aku lihat ayah membuka matanya. Hati-hati dan menyengsarakan diangkatnya
tangannya yang hanya tinggal tulang dan kulit. Diusap-usapnya rambutku.
Terdengar suara yang dalam, gelap, kosong, dan tidak bertenaga..‖ (Toer, 2007:
31) tampak oleh tokoh Ayah yang telah menanti lama untuk bertemu dengan
anaknya. Meskipun dengan keadaan lemah terkulai, dengan sisa-sisa kekuatan
yang ada tokoh Ayah berusaha membuka matanya dan mengusap kepala anak
yang dicintainya. Begitulah adanya rasa kasih sayang orang tua akan tercurah
sepanjang masa.
38
No. Kategori Dialog novel Bukan Pasar Malam
2. Nilai kasih sayang Sore ini aku menengok ke rumahsakit dengan
isteriku dan kedua adikku. Isteriku
menyuapkan sup sumsum ke mulut ayah. Dan
di kala itu terasa oleh hatiku betapa
gampangnya manusia dengan manusia
didekatkan oleh kemanusiaan. Aku terharu.
Sungguh, aku terharu oleh perbuatan kecil
yang tak berharga itu. Sebentar-sebentar
tenggorokan ayah meneguk sup itu. Dan tiap
tegukan dibarengi bunyi detakan. Ya, seperti
bukan bunyi tenggorokan itu berbunyi begitu.
Duabelas suap! Alangkah gembiraku.
Biasanya tak sebanyak itu ayah makan.
Datang saja suara pengharapan ini,
―Barangkali Bapak mulai jadi baik
Sekarang.‖ (Toer, 2007:56)
Nilai sosial dalam interaksi keluarga pun tak hanya ditunjukkan melalui kisah
ayah dengan anaknya. Interaksi yang terjadi antara tokoh Ayah dengan tokoh
isteri. “..Isteriku menyuapkan sup sumsum ke mulut ayah. Dan di kala itu terasa
oleh hatiku betapa gampangnya manusia dengan manusia didekatkan oleh
kemanusiaan…‖. (Toer, 2007: 56) Ia menyuapi mertuanya yang sedang sakit
keras. Sikap seperti itu selayaknya dilakukan seorang anak kepada orangtua,
merawatnya dengan tulus. Walaupun sang isteri seorang anggota baru dalam
keluarga tersebut, namun dengan tulus ia merawat ayah mertuanya, selayaknya
orang tua kandung.
39
No. Kategori Teks novel Bukan Pasar Malam
3. Nilai pengayoman ―Mula-mula kami jual apa yang bisa kami
jual. Kami berdagang. Orang-orang suka beli
pada kami. Lama kelamaan mereka mulai
mengebon. Karena uang susah didapat. Dan
kemudian--kemudian mereka tak mau
membayar hutangnya. Ya, Mas, Seakan-akan
senanglah hati mereka bila semua runtuh.‖
Ia diam lagi dan aku lihat matanya berkaca-
kaca. Tidak sampai di situ saja. Airmata mulai
menitik-nitik. Sedu-sedan. Akhirnya menangis.
―O, mereka Seakan-akan tak tahu, bahwa
ayah sedang memperjuangkan Republik.‖
―Biarlah, Adikku, biarlah. Yang sudah lalu
kini tinggal jadi sejarah. Jangan engkau
sedihkan semuanya itu. Engkau masih punya
kakak. Dan aku akan berbuat sekuat tenagaku
untuk kebaikan kalian semua.‖
Dihapusnya airmatanya cepat-cepat.
(Toer, 2007: 61)
Nilai pengayoman tampak pada tokoh Aku memperlakukan adik-adiknya.
Selayaknya anak sulung, anak yang paling dituakan di keluarganya. Aku
menasehati adiknya tentang sikap masyarakat dahulu kepada keluarganya.
Keluarga yang ditindas saat ayahnya ditangkap dan dipenjarakan. Seperti di dalam
cuplikan berikut:―Biarlah, Adikku, biarlah. Yang sudah lalu kini tinggal jadi
sejarah. Jangan engkau sedihkan semuanya itu. Engkau masih punya kakak. Dan
aku akan berbuat sekuat tenagaku untuk kebaikan kalian semua.‖Dihapusnya
airmatanya cepat-cepat. (Toer, 2007: 61). Hal tersebut menggambarkan peran
seorang kakak sulung yang mengayomi dan menjaga adik-adiknya di saat keadaan
keluarga sesulit apapun.
40
No. Kategori Teks novel Bukan Pasar Malam
4. Nilai religiositas Cepat-cepat aku lari ke dalam kamar ayah
yang sudad diterangi lampu minyak tanah.
Sebagian adikku sudah ada di situ. Segera aku
melompat di samping ayah. Aku lihat
mulutnya telah terbuka. Tangannya terkulai di
sampingnya. Dan isteriku pun turuta lari dan
berdiri di dekatku. Katanya:
‖Sebut: Ayah!‖
Karena aku tak pernah mengalami peristiwa
seperti itu, aku menurut. Kudekatkan mulutku
pada kupingnya, berseru:
‖Bapak!‖
‖Lagi,‖ susul isteriku.
‖Bapak!‖ seruku lagi.
Kemudian diam sebentar. Tiba-tiba teringat
olehku: ayah orang Islam. Dan kembali
kudekatkan mulutku pada kupingnya, berseru:
‖Allahu Akbar. Allahu Akbar. Allahu Akbar.‖
(Toer, 2007: 90)
Nilai religiositas dalam keluarga yang tampak saat ayah menghadapi ajalnya,
tokoh Aku memberikan contoh yang baik untuk adik-adiknya dan istrinya. Ia
membimbing mengucapkan lafaz Allah di saat sang ayah menghadapi sakaratul
maut. ”Tiba-tiba teringat olehku: ayah orang Islam. Dan kembali kudekatkan
mulutku pada kupingnya, berseru:‖Allahu Akbar. Allahu Akbar. Allahu Akbar.‖
(Toer, 2007: 90)”. Tanda bakti seorang anak kepada ayahnya. Begitulah
kewajiban sesama muslim, apalagi yang mengalaminya adalah orang tua kita
sendiri. Begitulah selayaknya seorang anak berbakti kepada orang tua yang telah
membesarkan kita.
41
2. Nilai interaksi sosial dalam bermasyarakat
No. Kategori Teks novel Bukan Pasar Malam
1. Nilai kepedulian
―Ya, Gus, rumahmu itu aku juga yang
mendirikannya dulu. Waktu itu engkau baru
bisa tengkurap. Duapuluh lima tahun yang
lalu! Dan selama itu, rumahmu itu belum
pernah diperbaiki. Pikir saja. Duapuluh lima
tahun! Itu tidak sebentar dibandingkan dengan
jeleknya tanah di sini. Coba lihatlah rumah-
rumah tembok yang didirikan sesudah
rumahmu semua itu sudah roboh, bongkar,
dan sobek-sobek. Rumahmu itu masih kuat.‖
Sekarang suaranya jadi ketua-tuaan, Kalau
bisa, Gus, kalau bisa harap rumahmu itu
engkau perbaiki. Karena itu, barangkali ada
baiknya kuulangi kata orang tua-tua dulu:
Apabila rumah itu rusak, yang menempatinya
pun rusak.‖... ‖Engkau anak sulung, Gus, aku
harap—sekalipun aku bukan familimu—
peliharalah rumahmu itu.‖
(Toer, 2007: 43-44)
Suasana kehidupan bertetangga yang rukun dan saling tolong-menolong dalam
Bukan Pasar Malam beberapa kali terekam di lingkungan rumah Blora, seperti:
‖Sekarang suaranya jadi ketua-tuaan, Kalau bisa, Gus, kalau bisa harap
rumahmu itu engkau perbaiki. Karena itu, barangkali ada baiknya kuulangi kata
orang tua-tua dulu: Apabila rumah itu rusak, yang menempatinya pun rusak.‖...
‖Engkau anak sulung, Gus, aku harap—sekalipun aku bukan familimu—
peliharalah rumahmu itu.‖ (Toer, 2007: 43-44). Dari cuplikan tersebut, tergambar
nilai sosial dalam masyarakat berupa nilai kepedulian masyarakat sekitar dengan
42
keluarga Aku. Hal yang langka ditemukan pada zaman sekarang ini, terutama di
kota besar seperti Jakarta.
No. Kategori Teks novel Bukan Pasar Malam
2. Nilai kesetaraan ―Ya Mas, tiap hari datang surat kemari, baik
dari tentara maupun dari mereka yang
menyebut dirinya orang non. Engkau tahu
surat apa, Mas? Sokongan! Minta sokongan.
Dan tiap hari begitu saja yang terjadi. Dan
semua surat itu tak dibiarkan hampa saja oleh
ayah. Tidak. Semua mesti behasil. Kadang-
kadang aku tak menerima belanja secepeng
pun juga sekalipun untuk makan ayah
sendiri—dan untuk satu bulan penuh, dan
semua ini mengingatkanku pada seorang
budiman Tionghoa. Di waktu ayah masih di
daerah gerilya dan juga di masa pendudukan
merah, orang Tionghoa itu banyak membantu
kami. Dan aku tak mengerti mengapa dia sudi
menolong keluarga kami dari bahaya
kelaparan.‖
‖Ya, Adikku, kemanusiaan kadang-kadang
menghubungkan seorang dari kutub utara dan
seorang dari kutub selatan. Dan dalam hal ini,
kemanusiaan itu telah menghubungkan
seorang dari kerajaan langit kita.‖
(Toer, 2007: 63-64)
Tokoh ayah selalu menjalankan tugasnya dengan rasa penuh tanggung jawab
dan selalu berempati kepada lingkungan sekitarnya. Misalnya, saat ia diangkat
43
menjadi pengawas sekolah oleh Belanda. Saat itu ayah banyak menerima surat
dari orang yang mengaku non, yang isinya mencari sokongan kepadanya. Surat-
surat tersebut tak dibiarkan saja, melainkan diperjuangkannya sampai berhasil.
Oleh karena budi baiknya tersebut, keluarganya mendapatkan bantuan untuk
kebutuhan sehari-hari saat dirinya ditahan di masa pendudukan merah. Bantuan
tersebut diberikan oleh seorang Tionghoa ”...Di waktu ayah masih di daerah
gerilya dan juga di masa pendudukan merah, orang Tionghoa itu banyak
membantu kami. Dan aku tak mengerti mengapa dia sudi menolong keluarga
kami dari bahaya kelaparan.‖(Toer, 2007: 63). Melalui seorang Tionghoa
tersebut juga siswa dapat belajar, bahwa untuk tolong-menolong itu tidak pandang
kedudukan, ras, agama, seseorang di dalam masyarakat.
No. Kategori Teks novel Bukan Pasar Malam
3. Nilai kebersamaan Aku lihat ayah menarik nafas. Dan aku lihat ia
mencari tenaga dalam nafas yang diisapnya
itu. Bibirnya yang kering itu tersenyum.
Kemudian matanya yang berlingkar biru itu
terbuka sedikit—sedikit saja. Kemudian
bersambung dengan suara orang menyerah:
‖Tak.. ada.. apa-apa.. yang kupikirkan...
anakku!: Lemah sekali.
Aku menangis. Ayah menutup matamya
kembali.
Lama tak terdengar suara apa-apa—suaraku
dan suara ayah. Kemudian—dengan tiada
terduga-duga—terdengar suara lemah, dalam,
dan melayang:
‖Sum-mur... itu... perbaik-i tem-tembok...nya.‖
‖Ya, Bapak.‖ aku menjawab.
Lama tak terdengar apa-apa. Kemudian
terdengar sambungannya:
44
―Or-ra-ng itu membu-tuh-kan a-ir.‖ Tertahan
agak lama suara itu, meneruskan, ―dalam
hi..dup-nya.‖ (Toer, 2007: 46)
Di dalam keadaan sakit keras sekali pun, sang ayah masih saja memikirkan
nasib masyarakat tempat ia tinggal. Ayah menyuruh memperbaiki tembok sumur,
karena sumur menjadi salah satu kebutuhan utama masyarakat Blora. ‖Sum-mur...
itu... perbaik-i tem-tembok...nya.. ―Or-ra-ng itu membu-tuh-kan a-ir.‖ Tertahan
agak lama suara itu, meneruskan, dalam hi..dup-nya.‖ (Toer, 2007: 46) Melalui
tokoh ayah, kita dapat belajar makna nilai kebersamaan terhadap sesama
meskipun dalam keadaan sulit sekalipun.
Tokoh Ayah sebagai guru yang penuh bakti, memiliki pendirian yang tegas,
dan bertanggungjawab akan tugas yang diberikan kepadanya. Buktinya bahwa
dahulu ayah pernah ditawarkan sebagai perwakilan daerah, tapi ia menolaknya.
Ayah menganggap bahwa perwakilan daerah tak ubahnya sebagai ”badut besar”
yang bermain di atas panggung sandiwara. Selain itu, ayah juga pernah ditawari
menjadi koordinator pengajaran untuk mengatur pengajaran seluruh daerah Pati.
Tapi, ayah menolak juga. Ia merasa tak pantas di tempat seperti itu, tempatnya
adalah di kelas mendidik murid-murid. Meskipun ia dulu pernah menjadi
pengawas sekolah, dan kembali menjadi seorang guru. Ia tetap pada pendiriannya
‖kita guru-guru di tanahair kita ini jangan sampai kurang seorang pun juga.‖
(Toer, 2007: 65).
No. Kategori Teks novel Bukan Pasar Malam
4. Nilai keikhlasan ‖Dunia ini memang aneh, Adikku,‖ kataku
lagi, ‖kalau suatu keluarga itu bisa timbul
mengatasi keluarga-keluarga yang lain,
orang-orang dengki. Ada saja mereka punya
bahan untuk memaki dan menghina-hinakan di
belakang layar. Tapi ada sebuah keluarga
45
yang runtuh, ramai, ramai-ramai orang
menyoraki dan turut meruntuhkannya. Aku
tahu, Adikku, inilah adat di kota kecil. Karena,
Adikku, penduduk kota kecil ini tak
mempunyai perhatian apa-apa selain dirinya
sendiri, keluarga, dan lingkungannya. Lain
dengan di kota besar. Banyak yang masuk ke
dalam perhatian mereka. Karena itu, Adikku,
lebih baik engkau jangan turut campur dalam
kepentingan-kepentingan mereka. Engkau
mengerti, bukan?‖ (Toer, 2007: 61)
Kehidupan bermasyarakat tak lepas dari rasa dengki terhadap sesamanya.
Apalagi jika orang itu dapat berbuat baik dan membantu sekitarnya. Ada saja
orang yang mencari kelemahan dari orang yang berbuat baik tersebut, dan mereka
senang jika orang yang berbuat baik itu gagal. Intinya setiap perbuatan orang lain
lakukan pasti salah di mata mereka. Dengan begitu, melalui tokoh Aku
menanamkan nilai keikhlasan dalam menghadapi masalah di masyarakat. Bahwa
kejahatan jangan dibalas dengan kejahatan. Tetapi tokoh Aku berusaha
mengajarkan kepada adik-adiknya tentang rasa ikhlas dengan introspeksi diri.
Bagaimana pun perlakuan masyarakat terhadap keluarga mereka, Aku
mengajarkan agar tidak menaruh dendam apa pun kepada mereka. Meskipun
keluarga mereka selalu disakiti. Aku menasehati kepada adiknya untuk
memperbaiki keadaan keluarga mereka yang lalu dengan lebih baik ke depannya
nanti. ‖Kita bangunkan keluarga baru Adikku—dengan tenaga kita sendiri, untuk
kita sendiri. biarlah kita jadi pulau terpencil di tengah-tengah samudera. Bila kita
jatuh, Adikku, kita jatuh dengan tidak berteriak. Bila pulau kita terendam
samudera, kita akan terendam sendirian dan tak ada orang yang melihat. Aku
sendiri, Adikku, aku sendiri sudah bosan pada semua ini. Aku sudah bosan pada
kesopanan yang sia-sia ini. O, aku tak mengerti, aku tak tahu apa-apa lagi.‖
(Toer, 2007: 62).
46
C. Implikasi dalam Pembelajaran Sastra di Sekolah
Berdasarkan tujuan pembelajaran matapelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia
bidang sastra dalam Kurikulum 2004, yaitu: (1) agar peserta didik mampu
menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk mengembangkan kepribadian,
memperluas wawasan kehidupan, serta meningkatkan pengetahuan dan
kemampuan berbahasa; (2) peserta didik menghargai dan membanggakan sastra
Indonesia sebagai khazanah budaya dan intelektual manusia Indonesia.
Sesuai dengan amanat Kurikulum 2004, pembelajaran sastra hendaknya
digunakan peserta didik sebagai salah satu kecakapan hidup dan belajar sepanjang
hayat yang dibakukan dan harus dicapai oleh peserta didik melalui pengalaman
belajar. Kecakapan hidup dapat dikelompokkan menjadi lima jenis, yaitu:
kecakapan mengenal diri (self awareness) atau kecakapan personal; kecakapan
berpikir rasional (thinking skill); kecakapan sosial (social skill); kecakapan
akademik (academic skill); kecakapan vokasional (vocasional skill).
Novel Bukan Pasar Malam menggambarkan kesedihan, penderitaan dan
kesulitan rakyat Indonesia pascakemerdekaan. Seluruh cerita dikisahkan menjadi
citraan sosial pada masa itu. Oleh karena itu, hampir setiap yang bagian
dinarasikan mengungkapkan nilai-nilai sosial dalam kehidupan dalam keluarga
dan bermasyarakat. Hal tersebut dapat diimplikasikan pada pembelajaran Bahasa
dan Sastra Indonesia di tingkat SMA kelas XI (sebelas), dalam aspek
mendengarkan. Dengan Standar Kompetensi memahami bacaan, dan Kompetensi
Dasar menemukan nilai-nilai dalam cerita yang dibacakan atau yang didengarkan
melalui rekaman bacaan, misalnya siswa mampu menemukan nilai sosial, nilai
moral, nilai budaya dalam suatu cerita.
Seperti yang telah dijelaskan oleh penulis sebelumnya tentang gambaran sosial
dan nilai-nilai sosial yang terkandung di dalam novel ini, diharapkan guru dalam
pembelajaran apresiasi sastra di sekolah dapat memberikan gambaran kehidupan
masyarakat dan dapat menambah pengetahuan juga wawasan siswa serta
memberikan nilai-nilai untuk kehidupan siswa di masyarakat.
Nilai sosial yang ditemukan melalui interaksi keluarga yang dapat diambil
untuk pembelajaran siswa melalui tokoh Aku sebagai kakak tertua, begitu
47
mengayomi dan menjaga adik-adiknya disaat keluarga sesulit apapun. Selain itu,
Aku juga memberikan contoh yang baik untuk adik-adiknya dan istrinya. Ia
membimbing mengucapkan lafaz Allah di saat sang ayah menghadapi sakaratul
maut. Begitulah selayaknya seorang anak berbakti kepada orang tua yang telah
membesarkan kita. Tokoh Aku juga mengajarkan kepada adiknya agar tidak
menaruh dendam kepada orang-orang yang membenci keluarganya.
Nilai sosial yang ditemukan melalui interaksi masyarakat yang dapat dijadikan
pelajaran siswa maupun guru yaitu gotong-royong, seperti yang dilakukan tokoh
Ayah sebagai guru yang penuh bakti, memiliki pendirian yang tegas, dan
bertanggungjawab akan tugas yang diberikan kepadanya. Buktinya bahwa dahulu
ayah pernah ditawarkan sebagai perwakilan daerah, tapi ia menolaknya. Ayah
menganggap bahwa perwakilan daerah tak ubahnya sebagai ”badut besar” yang
bermain di atas panggung sandiwara. Selain itu, ayah juga pernah ditawari
menjadi koordinator pengajaran untuk mengatur pengajaran seluruh daerah Pati.
Tapi, ayah menolak juga. Ia merasa tak pantas di tempat seperti itu, tempatnya
adalah di kelas mendidik murid-murid. Meskipun ia dulu pernah menjadi
pengawas sekolah, dan kembali menjadi seorang guru. Ia tetap pada pendiriannya
‖kita guru-guru di tanahair kita ini jangan sampai kurang seorang pun juga.‖
(Toer, 2007: 65).
Sekalipun keadaan fisiknya yang tak lagi kuat dan sehat seperti sebelumnya,
keadaan anggota keluarganya miskin, rumah tuanya sudah tak kuat lagi menahan
arus waktu. Ayah selalu menjalankan tugasnya dengan rasa penuh tanggung jawab
dan selalu berempati kepada lingkungan sekitarnya. Misalnya, saat ia diangkat
menjadi pengawas sekolah oleh Belanda. Saat itu ayah banyak menerima surat
dari orang yang mengaku non, yang isinya mencari sokongan kepadanya. Surat-
surat tersebut tak dibiarkan saja, melainkan diperjuangkannya sampai berhasil.
Oleh karena budi baiknya tersebut, keluarganya mendapatkan bantuan untuk
kebutuhan sehari-hari saat dirinya ditahan di masa pendudukan merah. Bantuan
tersebut diberikan oleh seorang Tionghoa (Toer, 2007: 63). Melalui seorang
Tionghoa tersebut juga siswa dapat belajar, bahwa untuk tolong-menolong itu
tidak pandang kedudukan, ras, agama, seseorang di dalam masyarakat.
48
Diharapkan nilai-nilai sosial yang terkandung di dalam novel ini dapat
diimplikasikan dalam pembelajaran sastra di sekolah. Setelah siswa membaca dan
memahami novel ini, siswa dapat menerapkan nilai-nilai sosial yang ada di
kehidupan sehari-hari mereka. Dalam proses pembelajaran sastra dapat novel ini
dapat dimanfaatkan sebagai alat untuk meningkatkan kepekaan siswa terhadap
nilai-nilai kearifan dalam menghadapi kehidupan yang kompleks dan
multidimensi. Realitas sosial, lingkungan hidup, kedamaian dan perpecahan,
kejujuran dan kecurangan, keshalihan dan kezhaliman juga cinta dan kebencian,
dan kemanusiaan, semuanya ada dalam novel ini. Dengan kata lain, dalam
pembelajaran sastra novel ini berperan penting dalam pembangunan karakter
bangsa. Selain itu setelah membaca dan memahami novel ini, siswa diharapkan
dapat mengembangkan daya nalarnya terhadap diri sendiri dan lingkungannya.
49
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
1. Bukan Pasar Malam merupakan sebuah novel yang mengandung nasehat,
anjuran dan pendidikan yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat di
Indonesia sebelum dan sesudah kemerdekaan. Di dalam novel ini, Pramoedya
menggambarkan kesedihan, penderitaan dan kesulitan rakyat Indonesia
pascakemerdekaan. Seluruh cerita dikisahkan menjadi citraan sosial pada
masa itu. Oleh karena itu, hampir setiap bagian dinarasikan mengungkapkan
nilai-nilai sosial dalam kehidupan bermasyarakat. Nilai interaksi sosial dalam
keluarga, hingga interaksi dengan kehidupan bermasyarakat di masa lalu, serta
lingkungan yang serba sulit dideskripsikan dengan sangat detail oleh
Pramoedya.
Sebuah novel yang diterbitkan oleh Balai Pustaka di tahun 1951, dapat
dipastikan bahwa Pramoedya menulisnya sebelum tahun novel ini diterbitkan,
atau tepatnya pada saat, sesudah Pramoedya melakukan perjalanan ke Blora
dalam bulan Mei 1950. Itu artinya, bahwa novel ini ditulis setelah lima tahun
Indonesia merdeka. Tentunya saja, kondisi atau situasi sosial dan ekonomi
masyarakat waktu itu sedikit banyaknya akan mempengaruhi dan tergambar
dalam karya itu. Novel ini terinspirasi dari kehidupan Pram yang memang
lahir di Blora dan hubungan batinnya dengan sang ayah.
2. Berdasarkan temuan dan hasil analisis terhadap novel ini, diketahui bahwa
novel Bukan Pasar Malam memuat nilai-nilai sosial melalui interaksi sosial di
dalam keluarga dan bermasyarakat. Nilai-nilai tersebut antara lain: nilai kasih
sayang, nilai kasih sayang, nilai pengayoman, nilai religiositas, nilai
kepedulian, nilai kesetaraan, nilai kebersamaan, nilai keikhlasan.
50
3. Nilai-nilai sosial dalam kehidupan dalam keluarga dan bermasyarakat yang
ada di dalam novel tersebut dapat diimplikasikan pada pembelajaran Bahasa
dan Sastra Indonesia di tingkat SMA kelas XI (sebelas), dalam aspek
mendengarkan. Dengan Standar Kompetensi memahami bacaan, dan
Kompetensi Dasar menemukan nilai-nilai dalam cerita yang dibacakan atau
yang didengarkan melalui rekaman bacaan, misalnya siswa mampu
menemukan nilai sosial, nilai moral, nilai budaya dalam suatu cerita.
B. Saran
Berdasarkan hasil analisis, simpulan dan implikasi yang telah diuraikan, ada
beberapa saran yang diajukan penulis yaitu:
1. Novel Bukan Pasar Malam karya Pramoedya Ananta Toer dapat dijadikan
sebagai sumber pembelajaran apresiasi sastra di sekolah.
2. Bagi guru hendaknya dalam pembelajaran apresiasi sastra dapat
memberikan gambaran kehidupan masyarakat, agar siswa bertambah
pengetahuan dan wawasannya tentang nilai-nilai sosial untuk kehidupan di
masyarakat.
3. Diharapkan nilai-nilai sosial yang terkandung di dalam novel ini dapat
diimplikasikan dalam pembelajaran sastra di sekolah. Setelah siswa
membaca dan memahami novel ini, siswa dapat menerapkan nilai-nilai
sosial yang ada di kehidupan sehari-hari mereka.
51
Lampiran - 1
Sinopsis Bukan Pasar Malam
Novel ini terjadi dalam suatu putaran perjalanan seorang anak revolusi yang
pulang kampung karena Ayahnya sakit. Cerita ini berawal ketika tokoh Aku
menerima surat dari pamannya yang mengabarkan bahwa ayahnya jatuh sakit. Ini
terlihat dalam kutipan dibawah ini.
Kalau bisa, pulanglah engkau ke Blora untuk dua atau empat hari. Ayahmu
sakit. Tadinya malaria dan batuk. Kemudian ditambah dengan ambeien.
Akhirnya ketahuan beliau kena Tbc. Ayahmu ada di rumahsakit sekarang, dan
telah empat kali memuntahkan darah. (Toer, 2007: 2)
Mendengar kabar itu, tokoh Aku terkejut dan segera meminta bantuan
pinjaman uang ke sana kemari untuk ongkos pulang ke Blora. Sepanjang
perjalanan ke Blora, ia terkenang akan banyak kenangan pada setiap tempat yang
ia lewati. Pada saat kereta meluncur dari stasiun Gambir, tokoh Aku melihat
gundukan tanah merah yang tinggi, yang selalu dilihatnya saat zaman Jepang, kini
tanah itu tinggal seperempatnya, karena diendapkan oleh air hujan, dicangkuli,
dan diseret oleh air hujan. Ia ngeri membayangkan bahwa kehidupan manusia itu
seperti itu, setiap hari dicangkul, diendapkan, dan diseret juga seperti gundukan
tanah tersebut. Pada saat di Lemah Abang tokoh Aku juga terkenang akan
kenangan lama, ini tergambar dalam kutipan berikut.
Sekilas melela kenangan lama. Dulu-empat tahun yang lalu! Dengan tiada
tersangka-sangka Belanda menghujani pertahanan kita dari tiga penjuru
dengan delapan atau sepuluh pucuk howitser. Jumlah itu bisa dihitung dari
bekas serdadu artileri KNIL sebelum perang. Rakyat jadi panik. Mereka
melarikan diri ke sawah. Aku masih ingat waktu itu, aku berteriak dengan
bercorong kedua tanganku: ‖Jangan lari! Rebahkan badan! Tapi mereka itu
terlampau banyak, terlampau bingung, terlampau ketakutan-dan suaraku tak
terdengar oleh mereka. Dan di kala aku bertiarap di bawah pohon besar itu
kulihat sebuah-dua buah, tiga, empat, lima-peluru meriam jatuh meledak di
sekitar bondongan manusia yang melarikan diri. Darah. Kurban. Bangkai.
Dan ingatanku melalui darah, kurban, bangkai, ke surat, ke paman, dan
kepada Ayah. (Toer, 2007: 15)
Kenangan-kenangan terus melayang dalam pikiran tokoh Aku, dia juga
membayangkan kuburan, tempat peristirahatan terakhir manusia. Tapi, kadang-
52
kadang manusia tidak mendapat tempat terakhir, dan tokoh Aku membayangkan
bagaimana jika ayahnya yang tidak mendapatkan tempat tinggal terakhir.
Kereta terus melaju di atas relnya, ketika melewati sebuah dusun tiba-tiba
pikiran tokoh Aku mati. Dusun itu dulunya berada dalam kekuasaan garong.
Dulunya tokoh Aku sering berpatroli ke dusun itu. Di dusun itu pula ia berkenalan
dengan dengan wanita cantik. Karena dusun itu kepunyaan tuan tanah, datang saja
pikiran dalam otaknya,
Dia mesti anak blaster. Tapi aku tak peduli. Dan bapaknya berjanji padaku:
kalau bapak mengawini anakku, bapak tak perlu kerja. Sawah cukup luas.
Dan bapak boleh mengambil separuh dari sawahku. (Toer, 2007: 18)
Tokoh Aku menjadi mabok kepayang mendengar tawaran itu. Karena pada
saat itu kemiskinan selalu melayang-layang di kepalanya. Namun, ketika tokoh
Aku kembali lagi ke dusun itu, wanita cantik itu telah dinikahi garong, dan tokoh
Aku kembali dengan penyesalan dan juga kegembiraan karena tak jadi
menggadaikan diri.
Tokoh Aku dan istrinya terus melanjutkan perjalanan, hingga mereka sampai
ke Blora. Sebelum meninggalkan Jakarta mereka sempat mengirimkan telegram
mengabarkan bahwa mereka akan ke Blora. Tokoh Aku melihat-lihat ke sekitar
stasiun, barangkali ada saudaranya yang menjemput, namun ia tak
menemukannya. Ia dan istrinya melanjutkan perjalanan dari stasiun ke rumah
menggunakan dokar. Kemudian mereka pun sampai lah di rumah dan disambut
bahagia oleh adik-adiknya.
Aku dan keluarganya mengobrol banyak tentang Jakarta, Semarang, dan
tentang mobil. Mereka mengobrol banyak sampai akhirnya Aku menanyakan
tentang bagaimana dengan kesehatan ayahnya. Semuanya terdiam, kemudian adik
Aku yang keempat menjawab perlahan dan hati-hati. Dia mengatakan bahwa
kiriman pil dan selimut untuk ayah telah diterima. Juga weselnya sudah diterima.
Dan sudah dipergunakan untuk membeli susu dan telur. Kemeja untuk ayah juga
telah diambil dari pos. Selimut, kemeja dan pil sudah dibawa ke rumah sakit. Tapi
ayah bilang bawa saja semua itu pulang ke rumah. Telur dan madu, ayah
mengatakan dia sudah bosan.
53
Kemudian, pembicaraan beralih. Aku menanyakan keberadaan adiknya yang
ketiga, yang waktu itu dikatakan sakit. Adiknya itu terkena sakit, ketika ia
terkurung oleh pasukan merah di daerah rawa, di daerah malaria, dan pada saat
perang obat-obatan sangat kurang. Dan yang lebih menyedihkan, anak dari
adiknya yang ketiga itu telah meninggal dunia. Pada sore harinya Aku, istrinya
dan adiknya pergi ke rumah sakit. Sampai di rumah sakit, mereka memasuki
kamar nomor tiga belas, yaitu kamar tempat di mana ayahnya dirawat. Betapa
bahagia hati ayahnya ketika anaknya yang ditunggu-tunggu datang menjenguk.
Aku juga bahagia karena melihat istrinya mau menyembah pada orang tuanya.
Setiap hari Aku datang mengunjungi ayahnya di rumah sakit, kondisinya sangat
menyedihkan. Tubuhnya yang dulu berisi, dan kini tak ubah seperti sebilah papan.
Ketika ditanyai apa yang diinginkan, beliau hanya menjawab aku tak ingin apa-
apa.
Pada waktu tokoh Aku berjalan-jalan mengelilingi kampungnya, ia bertemu
dengan tetangganya yaitu seorang tukang potong kambing. Tukang kambing itu
berkata padanya, bahwa rumahnya yang sudah dua puluh lima tahun itu sudah
rusak dan perlu diperbaiki. Pada sore hari Aku pergi ke rumah sakit untuk
menjenguk ayahnya, dalam perjalanan dia bertemu kembali dengan tukang
kambing itu, dan kemudian Aku langsung mengatakan bahwa dia akan
memperbaiki rumah itu, tukang kambing itu pun tersenyum mendengarnya.
Sesampainya di rumah sakit Aku langsung mengatakan maksudnya untuk
memperbaiki rumah pada ayahnya, dan ayahnya pun sangat bergembira. Dan
berkata bahwa sumur juga perlu diperbaiki. Di kampung Aku, orang yang
membuat sumur adalah orang yang berwakaf, jika orang membangun sumur
namun hanya dipakai untuk keperluan pribadi saja, maka orang itu akan dicap
sebagai orang yang pelit.
Malam harinya, Aku dan paman berangkat mencari dukun. Dukun yang
mereka temui adalah seorang guru sekolah rakyat di luar kota. Menurut adat
daerahnya jika akan membicarakan hal-hal yang penting dimulai dengan obrolan
yang bukan-bukan. Begitu juga yang dilakukan oleh Aku dan pamannya. Dan
pada akhirnya sampailah pembicaraan pada tujuan yang paling utama. Paman
54
mengatakan maksud kedatangannya, yaitu ingin meminta bantuan menyembuhkan
kakaknya yang sedang sakit. Kemudian dukun itu pergi sebentar ke dalam rumah.
Tak lama kemudian dukun itu keluar lagi setelah melakukan meditasi. Kemudian
mulai terdengar suaranya, ia mengatakan bahwa ia tidak bisa banyak membantu,
namun ia memberikan syarat saja. Ia mengeluarkan sebungkus dupa dari dalam
sakunya.
Kemudian dukun itu kembali bercerita bahwa sebetulnya ia banyak berhutang
budi pada ayah tokoh Aku. Dukun itu berhutang budi, karena ayah tokoh Aku lah
yang menempatkannya di daerah itu. Dukun itu juga mengatakan bahwa ayah
tokoh Aku adalah seorang pimpinan pemerintahan gerilya.
Suatu sore Aku dan istrinya kembali ke rumah sakit untuk menjenguk ayahnya
kembali. Karena persediaan uang sudah menipis, Aku dan istrinya berencana
untuk pulang dulu ke Jakarta. Di rumah sakit istrinya menyuapi ayahnya bubur
sumsum, hal ini menggambarkan bahwa dengan sangat mudahnya manusia
dengan manusia didekatkan oleh kemanusiaan.
Setelah itu Aku mengatakan maksud untuk pulang kepada bapaknya, dia
mengatakan bagaimana jika mereka pulang dulu ke Jakarta. Bapaknya
mengatakan seminggu lagi. Aku pun menuruti perintah ayahnya. Aku berfirasat
bahwa tak lama lagi bapaknya akan meninggalkannya. Dalam seminggu itu
banyak yang terjadi dengan kesehatan ayahnya, banyak sekali permintaannya.
Mulai dari ikan lele, dan es. Walaupun itu dilarang oleh dokter, namun tetapi
diberikan pada ayahnya.
Pada malamnya, Aku dan adiknya duduk berhadapan di depan lampu minyak.
Aku bertanya pada adiknya tentang bagaimana keadaannya pada waktu
pendudukan merah. Adiknya masih melanjutkan cerita, kemudian ayahnya
ditangkap oleh Belanda pada saat sedang tidur di langgar. Ketika ayahnya bangun
ia sudah terkurung oleh pasukan Belanda dan ditodong pula. Kemudian ayahnya
diangkat oleh Belanda menjadi pengawas sekolah. Ketika itu ayahnya jarang
sekali ada di rumah. Ia selalu keluar untuk berjudi, meski kepergiannya di masa
pendudukan bukan hanya untuk berjudi saja. Namun ayahnya berjuang terus
untuk hidupnya Republik. Setiap hari datang surat ke rumahnya, yaitu surat minta
55
sokongan. Ayahnya kemudian terlalu banyak bekerja untuk Republik. Dan waktu
merdeka ayahnya jatuh sakit hingga sekarang.
Pada saat itu, adiknya bertanya-tanya ke sana-sini, apakah ayahnya bisa
ditempatkan di Sanatorium, namun pertanyaan itu hanya menjadi dengung belaka.
Ada yang menjawab,
Sanatorium mahal sekarang, sanatorium sudah penuh pedagang. Kalau
engkau pegawai, kalau engkau bukan pegawai tinggi, jangan sekali-kali
berani mengharapkan mendapat tempat di sanatorium. (Toer, 2007: 64)
Ayahnya juga pernah ditawari menjadi anggota perwakilan daerah, namun
ayahnya menolak. Ayahnya mengatakan begini,
‖Perwakilan rakyat? Perwakilan rakyat hanya panggung sandiwara. Dan aku
tidak suka menjadi badut-sekalipun badut besar.‖ (Toer, 2007: 65)
Adiknya masih melanjutkan cerita, pada saat Aku ditawan, kakek dan neneknya
meninggal. Dan pada saat itu mereka di daerah gerilya.
Dalam seminggu itu, tak terjadi apa-apa dengan ayahnya. Ayahnya hanya
meminta es dan es. Dan pada suatu hari, seseorang datang mengantarkan kwitansi
yang di belakangnya tertulis pesan dari ayahnya. Ayahnya meminta supaya ia
dibawa saja pulang ke rumah. Dan setelah minta izin dari dokter, maka ayahnya
dibawa pulang ke rumah.
Suatu sore Aku dan istrinya berjalan-jalan. Dalam perjalanan itu banyak sekali
yang mereka bicarakan. Karena uang sudah hampir habis, istrinya menyarankan
supaya mereka pulang dulu ke Jakarta. Banyak sekali yang berkecamuk dalam
pikiran Aku. Uang! Ayah! Jakarta! Rumah rusak! Tokoh Aku pun mengatakan
kepada istrinya bahwa ia tak akan pulang sebelum semuanya beres.
Dupa yang diberikan oleh dukun itu, ternyata tak berpengaruh apa-apa
terhadap kesehatan ayahnya. Dan pada dini hari, adik Aku yang keempat berlari-
lari dan mengatakan bahwa ayahnya berbicara tentang jagung. Ayahnya minta
untuk memegangi tangannya dengan erat, kemudian menunjuk ke arah timur dan
mengatakan bahwa ada sembilan puluh sembilan butir jagung di timur. Namun
seisi rumah tak mengerti maksud bapak itu apa? Kemudian bapaknya berkata,
‖Cukup, Anakku, sekian dulu. Pergilah engkau semua. Tinggalkan aku
sendirian. ” (Toer, 2007: 89)
56
Kemudian semuanya pergi meninggalkan beliau sendirian. Dan menjelang magrib
adik Aku yang keempat berlari-lari menghampiri dan mengatakan bahwa ayah
sudah tak ada.
Malam itu ayah Aku sudah tak ada lagi dan dibaringkan di bale dalam
kerumunan orang banyak. Di antara banyak pelawat seorang pelawat Tionghoa
menyeletuk demikian:
Ya, mengapa kita ini harus mati seorang diri? Lahir seorang diri pula?
Mengapa mengapa kita ini harus hidup di satu dunia yang banyak
manusianya? Mengapa kalau kita sudah bisa mencintai seorang manusia, dan
orang itu pun mencintai kita. (Toer, 2007: 95)
57
Lampiran - 2
Karya-karya dan Penghargaan Pramoedya Ananta Toer
Karya pertamanya yang diterjemahkan adalah Cerita dari Blora dalam bahasa
Rusia tahun 1956 dan judul itu pula yang terbanyak diterjemahkan ke dalam
bahasa asing, yaitu diterjemahkan ke dalam 18 bahasa, selanjutnya judul yang
terbanyak diterjemahkan adalah Bumi Manusia yang diterbitkan di Australia,
Amerika, Kanada, dan Inggris. Gadis Pantai adalah karyanya yang paling sering
dicetak ulang. Sampai tahun 1995, judul novel ini sudah dicetak 14 kali di
Belanda. Judul-judul lain yang banyak dicetak ulang adalah Tetralogi Bumi
Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca.
1. Karya Fiksi
No. Tahun Terbit Judul Karya
1. 1946 Sepuluh Kepala Nica, hilang di tangan penerbit
Balingka, Pasar Baru, Jakarta (1947).
2. 1947 Kranji-Bekasi Djatoeh. Djakarta: The Voice of Free
Indonesia, 90 pp. (diterbitkan kembali sebagai bagian
akhir Di Tepi Kali Bekasi, mulai Bab 9, lihat 1951).
3. 1950 Perburuan (sebuah tjeritera chajali).
Keluarga Gerilya, Kisah keluarga manusia dalam
tiga hari dan tiga malam. Djakarta: Jajasan
Pembangunan, 238 pp. (cetakan kedua terbit tahun
1955; edisi terbaru diterbitkan Hasta Mitra tahun
1996; dua bab pernah terbit terpisah, dengan teks
yang agak berlainan: Bab 2, ”Fajar Merah” dalam
Gema Suasana 3.1, 1950; Bab 5, ”Mencari Anak
Hilang” dalam Daya 2.2, 1950).
a. Dia Jang Menyerah. Djakarta: Pustaka Rakjat,
44 pp. (cetakan kembali dari Pudjangga Baru
Nomor Khusus, II.II/12: 23-55; lihat di bawah,
58
1953, Tjerita dari Blora).
b. Subuh, Tjerita-Tjerita Pendek Revolusi,
Djakarta: Jajasan Pembangunan, 67 pp. (cetakan
ketiga terbit tahun 1961; cetakan keempat tahun
1963, Bukittinggi-Djakarta: Nusantara). Berisi
kumpulan tiga cerpen: ”Blora”, halaman 5-26;
”Jalan Kurantil No. 28”, halaman 27-40;
”Dendam”, halaman 41-66.
c. Percikan Revolusi, dengan Kata Pengantar H. B.
Jassin. Djakarta: Gapura, 195 halaman. (pada
halaman ii tercantum: Tjetakan pertama Djuni
1950; cetakan kedua tahun 1957, Djakarta: Balai
Pustaka). Berisi 10 kumpulan cerpen.
4. 1951 Bukan Pasar Malam. Djakarta: Balai Pustaka, 109
halaman, (juga diterbitkan dalam majalah
Indonesia, halaman 23-55; cetakan kedua terbit tahun
1959; cetakan ketiga terbit tahun 1964, Djakarta:
Jajasan Kebudajaan Sadar).
Di Tepi Kali I. Djakarta: Usaha Penerbitan Gapura
N. V., Djanuari 1947, Tjetakan pertama Februari
1951; cetakan kedua terbit tahun 1957, Djakarta:
Dinas Penerbitan Balai Pustaka, 339 halaman;
cetakan pertama berakhir pada halaman 257edisi
kedua; dalam edisi kedua bagian Krandji-Bekasi
Djatoeh ditambahkan; cetakan ketiga terbit tahun
1965; edisi terbaru diterbitkan Hasta Mitra tahun
1996), sisa naskah yang dirampas Marinir Belanda
pada Juli 1947.
Mereka Jang Dilumpuhkan, dua bagian. Djakarta:
Balai Pustaka, 286 + 296 halaman.
Dia Jang Menyerah, kemudian dimasukkan dalam
59
kumpulan Tjerita Dari Blora; pemenang hadiah
untuk karya sastra terbaik 1952 oleh Badan
Musyawarah Kebudayaan Nasional (BMKN).
5. 1952 Tjerita Dari Blora. Djakarta: Balai Pustaka, 368
halaman. (Kata Pengantar oleh H. B. Jassin; cetakan
kedua terbit tahun 1963, Djakarta: Balai Pustaka;
cetakan ketiga terbit tahun 1989, Kuala Lumpur;
edisi terbaru diterbitkan Hasta Mitra tahun 1994.
6. 1953 Gulat di Djakarta. Djakarta: Mimbar Penjiaran
DUTA, 86 halaman.
Kapal gersang, Zenith 3.9: 550-556.
Tentang emansipasi buaya, Zenith 3.12 722-730.
7. 1954 Korupsi, ditjetak oleh: G. A. De Weille & Zn-Weesp
untuk Chatulistiwa, 102 halaman. (terbit di Jakarta
dalam Indonesia 5.4: 165-245; juga dipasarkan
sebagai buku; diterbitkan kembali sebagai buku,
bukittinggi-Djakarta: Nusantara, 154 halaman;
cetakan kedua terbit tahun 1961; cetakan ketiga terbit
tahun 1964.
Kalil, Siopas Kantor, Kisah 2.3: 85-90.
8. 1955 Midah Si Manis Bergigi Emas. Bukittinggi-Djakarta:
Nusantara,111 halaman.
9. 1956 Sunyisenyap di Siang Hidup, Indonesia 8.6 (Juni:
255-268).
10. 1957 Tjerita dari Djakarta, sekumpulan karikatur keadaan
dan manusianja. Djakarta: Grafica, 197 halaman.
Berisi 12 kumpulan cerpen.
Tjerita Tjalon Arang.
11 1958 Sekali Peristiwa di Banten Selatan. Djakarta:
Djawatan Pergerakan Tenaga, Kementerian
60
Pekerdjaan Umum dan Tenaga, 1959. (cetakan kedua
terbit tahun 1963, Bukittinggi-Djakarta: Nusantara,
114 halaman; digarap sebagai lakon drama oleh
Dhalia dengan judul Orang-Orang Baru dari Banten.
Djakarta: bagian penerbitan Lekra, 1959).
Yang Pesta dan Yang Tewas, Zaman Baru 21/22.
12. 1962 Gadis Pantai (dalam bentuk cerita bersambung;
bagian pertama trilogi tentang keluarga penulis;
diterbitkan kembali tahun 1987, Jakarta: Hasta mitra,
viii + 189 halaman; juga diterbitkan di Malaysia; jilid
II dan III jadi korban vandalisme 1965.
13. 1965 Panggil Aku Kartini Saja I & II; bagian III & IV,
menjadi korban vandalisme 1965.
Kumpulan Karja Kartini (yang pernah dimuat di
berbagai berkala), jadi korban vandalisme 1965.
Wanita Sebelum Kartini, jadi korban vandalisme
Orde Baru.
Paman Martil, dalam Jang tak terpadamkan
(kumpulan cerpen, menyambut ulang tahun ke-45
PKI, Jakarta: Jajasan Pembaharuan, halaman 5-27).
14. 1975 A heap of ashes (kumpulan cerpen dalam bahasa
Inggris, terbit di St. Lucia, Queensland).
15. 1978 Bericht uit Kebayoran (kumpulan cerpen dalam
bahasa Belanda, terbit di Den Haag, Belanda).
Verloren (kumpulan cerpen dalam bahasa Belanda,
terbit di Den Haag).
16. 1980 Bumi Manusia, sebuah roman bagian pertama
tetralogi Buru
Anak Semua Bangsa, sebuah roman bagian kedua
tetralogi Buru
61
17. 1985 Jejak Langkah, bagian ketiga tetralogi Buru
Sang Pemula
18. 1988 Rumah Kaca, sebuah roman sejarah, bagian
keempat tetralogi Buru.
19. 1995 Arus Balik, sebuah roman sejarah.
20. 1999 Arok Dedes.
21. 2000 Mangir, Larasati
22 2004 Menggelinding I.
23. 2005 Jalan Raya Pos, Jalan Daendels.
2. Karya Terjemahan dan Non-fiksi
No. Tahun Terbit Judul Karya
1. 1950 John Steinbeck, Tikus dan Manusia. Terjemahan
Pramoedya. Djakarta: Pembangunan (terjemahan (Of
Mice and Men).
Leo Tolstoy, Kembali pada Tjinta dan Kasihmu,
terjemahan dari Belanda Huwelijksgeluk.
2. 1953 Prof. Dr. Wertheim tentang Kesusastraan Indonesia
Modern. Kegagalan Kesusastraan Modern Indonesia,
SIASAT Gelanggang Cahier Seni dan Sastra, 15
November.
Offensif Kesastraan, H. B. Jassin sudah lama mati
sebelum gantung diri, Pudjangga Baru 14.8: 234-
239.
3. 1954 Leo Tolstoi, Perjalanan Ziarah yang Aneh.
4. 1955 Mari Mengarang, tak jelas nasibnyadi tangan sebuah
penerbit besar di Jalam Kramat, Jakarta.
5. 1956 Ibunda, kerja utama Maxim Gorki, Kisah Seorang
62
Prajurit Sovyet karya Mikhail Sholokov Ke Arah
Sastra yang Revolusioner.
6. 1957 Balai Pustaka Harum Namanya di Dunia
Internasional-dahulu. Kini hampir-hampir tak
bernyawa lagi, dimuat dalam Star Weekly, 9
Februari.
Balai Pustaka di Alam Kemerdekaan, dimuat dalam
Star Weekly, 16 Februari.
7. 1959 Pramoedya Ananta Toer (catatan otobiografi, ditulis
atas permintaan A. Teeuw, dengan bibliografi
singkat.
Asmara dari Rusia karya Alexander Kuprin.
Manusia Sejati karya Boris Polewoi.
8. 1960 Hoa Kiau di Indonesia
9. 1962 Panggil aku Kartini Saja, Yang Harus Dibabat dan
Harus Dibangun, Memoar-Hikajat Sebuah Nama
(pandangan dan refleksi tentang nama Pramoedya)
10. 1963 Bagaimana Kisah Dikibarkannya Humanisme
Universa (karangan), Laporan Tentang Pengajaran
Sastra (karangan), Sebuah Memoar: Penjara
Cipinang (fragmen), Sastra Asimilatif: Sastra Pra-
Indonesia (karangan), Realisme Sosialis dan Sastra
Indonesia (sebuah peninjauan sosial), Surat Penutup
Tahun 1963, untuk H. B. Jassin, Basa Indonesia
Sebagai Basa Revolusi Indonesia (karangan).
11. 1964 Sejarah Bahasa Indonesia: Satu Pertjobaan
(menjadi korban vandalisme 1965)
12. 1965 Sekali Lagi Tentang Pengajaran Sastra, Tahun 1965
Tahun Pembabatan Total
13. 1981 Karya Tulis Larangan dan Penghancuran,
63
Gesprekken met Pramoedya Ananta Toer oleh Phil
Kalpana dan Ellis Elburg, Sikap dan Peranan Kaum
Intelektual di Dunia Ketiga, Khususnya Indonesia.
14. 1982 Tempo Doeloe: Antologi Sastra Pra-Indonesia.
15. 1983 Catatan otobiografis singkat, dengan biblografi dan
daftar sejumlah tanggapan atas karya Pramoedya
Ananta Toer, bertanggal 9 Juli 1983.
16. 1984 Perburuan dan Keluarga Gerilja, dalam Proses
kreatif: Mengapa dan Bagaimana Saya Mengarang,
jilid II, ed Pamusuk Eneste.
17. 1985 Sang Pemula dan Karya-karya Non-Fiksi
(Jurnalistik) – Fiksi (cerpen/novel) R .M. Tirto Adhi
Soerjo. Surat kepada Keith Foulcher (stensilan,
tanggapan atas surat terbuka Achdiat K. Mihardja
kepada temannya di Australia).
18. 1986 Katalog Publikasi oleh dan tentang Pramoedya
Ananta Toer 1947-1986, Multatuli een herinnering
(Multatuli kenang-kenangan), Onze Wereld.
19. 1987 Hikayat Siti Mariah
20 1988 Surat Jawaban kepada Yth. Redaksi Suara
Pembaharuan dan H, Rosihan Anwar
21. 1991 Lied van een stomme, brieven van Buru. Terjemahan
dari Nyanyi Tunggal Seorang Bisu: Catatan-Catatan
Pribadi Pramoedya Ananta Toer dari Tahanan
Pulau Buru.
22. 1992 Maaf atas Nama Pengalaman ditulis untuk
kumpulan karangan dalam bahasa Belanda Het
wereldbeeld,
Pengalaman dengan Belanda, Negeri dan Orangnya.
Wawancara Pramoedya Ananta Toer kepada Kees
64
Snoek .
Biodata (stensilan; terdiri atas dua bagian: Biodata
dan Studies and Reviews.
De Kinderdief in een Rode Auto (ditulis khusus untuk
surat kabar Belanda).
23. 1994 Saya Sudah Tutup Buku dengan Kekuasaan Ini,
Wawancara Hayam-wuruk.
24. 1995 Memoar Oei Tjoe Tat (editor atas karya Oei Tjoe
Tat), Nyanyi Sunyi Seorang Bisu (catatan-catatan dari
Pulau Buru), Sastra, Sensor dan Negara: Seberapa
Jauhkan Bahaya novel? (teks Indonesia, ceramah
yang diucapkan atas nama Pramoedya Ananta Toer
pada desempatan penyerahan Hadiah Magsaysay.
25. 1996 Jalan Raya Pos, De Groote Postweg, een film van
Bernie Ijdis met Pramoedya Ananta Toer (film
dokumenter dengan esai tentang sejarah Jalan Raya
Pos yang ditulis dan dibacakan oleh Pramoedya
beserta petikan-petikan riwayat hidupnya.
26. 1999 Kronik Revolusi Indonesia I-II
27. 2001 Kronik Revolusi Indonesia III, Perawan Remaja
dalam Cengkeraman Militer.
28. 2003 Kronik Revolusi Indonesia IV
3. Penghargaan dan Kehormatan
Tahun Penghargaan
1951 Hadiah Pertama Balai Pustaka untuk Perburuan.
1953 Hadiah Badan Musyawarah dan Kebudayaan Nasional (BMKN)
untuk Tjerita dari Blora.
1957 Hadiah Sastra Nasional BMKN untuk Tjerita dari Djakarta.
1964 Hadiah Yamin Foundation untuk Orang-orang Banten Selatan
(ditolak oleh penulis).
65
1978 Adopted Member of the Nederlands Center of PEN International
(sewaktu masih di Pulau Buru), Honorary Member of the Japan
Center of PEN International (sewaktu masih di Pulau Buru)
1982 Honorary Life Member of the International PEN Australia Center,
Australia. Honorary Member of the PEN Center Swedia.
1987 Honorary Member of the PEN American Center, Amerika Serikat.
1988 Freedom-to-Write Award dari PEN American Center, Amerika
Serikat.
1989 Anggota Deutschsweizeriches PEN, Zentrum, Switzerland. Anugerah
The Fund for Free Expression, New York, Amerika Serikat.
1992 International PEN English Center Award, Great Britain.
1995 Wertheim Award ―for his meritorious services to the struggle for
emancipation of Indonesian people (dari The Wertheim Foundation,
Leiden, Belanda).
Ramon Magsaysay Award, ―for Journalism, Literature, and Creative
Arts, in recognition of his illuminating with brilliant stories the
historical awakening, and modern experience of the Indonesian
people‖. (dari Ramon Magsaysay Award Foundation, Manila,
Filipina).
1996 UNESCO Madanjeet Singh Prize, ―in recognition of his outstanding
contribution to the promotion of tolerance and non-violence‖ (dari
UNESCO, Paris, Perancis).
1999 Doctor of humane Letters, ―in recognition of his remarkable
imagination and distinguished literary contributions, his example to
all who oppose tyranny, and his highly principled struggle for
intellectual freedom‖ (dari University of Michigan, Madison,
Amerika Serikat).
Chanceller’s Distinguished Honor Award. ―for his outstanding
literary archievements and for his contributions to etnic tolerance
and global understanding‖ (dari University California, Berkeley,
66
Amerika Serikat. International PEN Award Association of Writers
Zentrum Deutschland.
2000 New York Foundation for Arts Award, New York, Amerika Serikat.
Fukuoka Cultural Grand Prize, Jepang.
2004 The Norwegian Authors Union, Centenario Pablo Neruda Republica
de Chile.
4. Studi Mengenai Pramoedya Ananta Toer
Pramoedya Ananta Toer telah menulis berbagai karya sastra, seperti: novel,
cerpen, essei, dan sebagainya. Meskipun karya sastranya banyak ditentang oleh
pemerintah pada zamannya. Kini, kita telah dapat dengan bebas menikmati hasil
karya sastrawan yang dituding sebagai penganut paham komunis ini. Pecinta
sastra telah banyak juga mengulas hasil karya Pramoedya dalam bentuk artikel,
studi akademis, maupun buku. Berikut beberapa studi akademis dan buku tentang
karya Pramoedya:
1963 Rangkuti, Bahrum. Pramoedya Ananta Toer dan Karya Seninya.
1967 Jassin, H.B. Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esei
II (khususnya pada bab ―Pramoedya Ananta Toer Pengarang
Keluarga Gerilya‖).
1981 Scherer, Savitri Prastiti. From Culture to Politics: The Writings of
Pramoedya Ananta Toer, 1950-1965 (disertasi; Canberra)
1997 Teeuw, A. Citra Manusia Indonesia dalam Karya Pramoedya
Ananta Toer.
1999 Kurniawan, Eka. Pramoedya Ananta Toer dan Sastra Realisme
Sosialis.
2000 Mrazek, Rudolf. Pramoedya Ananta Toer dan Kenangan Baru.
Sebenarnya masih banyak tulisan tentang karya Pramoedya selain yang
penulis sebutkan di atas. Pembaca dapat melihat berbagai artikel tentang
Pramoedya dan karyanya dalam buku Seribu Wajah Pram dalam Kata dan Sketsa.
67
BIOGRAFI PENULIS
MEGA FIYANI lahir di Tangerang, 1989.
Menuntaskan pendidikan Sekolah Dasar (SD) di
Sekolah Islam Al-hasanah. Kemudian, ia menuntut ilmu
di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Yadika 3 Karang
Tengah. Setelah itu, ia melanjutkan ke jenjang Sekolah
Menengah Akhir di SMA Negeri 3 Tangerang. Ia
meneruskan sekolahnya di Perguruan Tinggi Islam
Negeri, yaitu Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, masuk pada
tahun angkatan 2007. Ia mengambil program studi Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan.
Mahasiswa yang gemar dengan kebudayaan dan kesenian tradisional Indonesia ini
pernah menjabat sebagai Ketua Koordinator Seni Karawitan POSTAR (Pojok
Seni Tarbiyah) selama 3 tahun. Saat ini ia aktif sebagai Tutor Bahasa Inggris-
Indonesia untuk Sekolah Dasar di daerah Bintaro. Selain itu, ia juga bekerja
menjadi front liner di South Java Entertaiment.
Dalam hidupnya berprinsip Ora et Labora bahwa bekerja tanpa berdoa bagaikan
tubuh tanpa jiwa, karena sebagaimana makanan untuk tubuh, berdoa adalah
makanan bagi jiwa. Dengan berdoa dan bekerja yang selalu berjalan beriringan
serta saling meresapi, harmoni antara tubuh, pikiran, dan jiwa akan terwujud.
68
DAFTAR PUSTAKA
Damono, Sapardi Djoko. Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas, Jakarta:
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan. 1979
_____________________. Jejak Realisme dalam Sastra Indonesia, Jakarta: Pusat
Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. 2004
den Boef, August Hans dan Kees Snoek. Saya Ingin Lihat Semua Ini Berakhir:
Esei dan Wawancara dengan Pramoedya Ananta Toer, Jakarta: Komunitas
Bambu. 2008
Escarpit, Robert. Sosiologi Sastra. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 2005
Faruk. Pengantar Sosiologi Sastra, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 1994
Hasanuddin WS, Prof. Dr., M. Hum (Editor). Ensiklopedi Sastra Indonesia,
Bandung: Titian Ilmu. 2004
Ikram, Achadiati, dkk., Sejarah Kebudayaan Indonesia Bahasa, Sastra dan
Aksara, Jakarta: Rajawali Pers. 2009
Lane, Max. Esei Man of Letters and Revolution Pramoedya Ananta Toer,
Novelist, 1925-2006 Toer, Astuti Ananta (editor) dalam buku Seribu
Wajah Pram dalam Kata dan Sketsa, Jakarta: Lentera Dipantara. 2009
Narwoko, Dwi J., dan Bagong Sujanto. Teks Pengantar dan Terapan Edisi Kedua,
Jakarta:Media Group. 2004
69
Nurgiyantoro, B. Teori Pengkajian Fiksi, Yogyakarta: Gadjah Mada Universitas
Press. 2000
Purwo, Bambang Kaswanti. Bulir-Bulir Sastra dan Bahasa Pembaharuan
Pengajaran, Yogyakarta: Kanisius. 1991
Ratna, Nyoman Kutha. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra dari
Struktualisme hingga Poststruktualisme: Perspektif Wacana Naratif,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2004
Semi, Atar. Anatomi Sastra, Padang: Angkasa Raya. 1988
Sugono, Dandi (Pimpinan Redaksi). Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi
Keempat, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Soeroso, M. S, Andreas. Sosiologi I, Jakarta: Yudhistira. 2006
Siswanto, Wahyudi. Pengantar Teori Sastra, Jakarta: PT. Grasindo: 2008
Teeuw, A. Citra Manusia Indonesia dalam Karya Sastra Pramoedya Ananta
Toer, Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya. 1997
Toer, Koesalah Soebagyo. Pramoedya Ananta Toer dari Dekat Sekali, Jakarta:
PT. Gramedia. 2006
Toer, Pramoedya Ananta. Bukan Pasar Malam, Jakarta: Lentera Dipantara. 2003
____________________. Menggelinding I, Jakarta: Lentera Dipantara. 2004
____________________. Nyanyi Sunyi Seorang Bisu II: Catatan Dari Pulau
Buru, Jakarta: Lentera.
70
Widjojoko dan Endang Hidayat. Teori dan Sejarah Sastra Indonesia Edisi I,
Bandung: UPI Press. 2006
Yoesof, M. dkk. Susastra 5, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 2007
Anonim. “Nilai Sosial” dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Nilai_sosial (diunduh
pada tanggal 1 April pukul 21:24 WIB