RAGAM JENIS KUTU PADA AYAM BUKAN RAS DI PASAR … · Ragam Jenis Kutu pada Ayam Bukan Ras di Pasar...

28
RAGAM JENIS KUTU PADA AYAM BUKAN RAS DI PASAR TRADISIONAL KOTA BOGOR ANJANI RETNO SETIAWATI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014

Transcript of RAGAM JENIS KUTU PADA AYAM BUKAN RAS DI PASAR … · Ragam Jenis Kutu pada Ayam Bukan Ras di Pasar...

RAGAM JENIS KUTU PADA AYAM BUKAN RAS

DI PASAR TRADISIONAL KOTA BOGOR

ANJANI RETNO SETIAWATI

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Ragam Jenis Kutu pada

Ayam Bukan Ras di Pasar Tradisional Kota Bogor adalah benar karya saya

dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun

kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip

dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah

disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir

skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.

Bogor, Oktober 2014

Anjani Retno Setiawati

NIM B04080162

ABSTRAK

ANJANI RETNO SETIAWATI. 2014. Ragam Jenis Kutu pada Ayam Bukan Ras di Pasar Tradisional Kota Bogor. Dibimbing oleh UPIK KESUMAWATI HADI dan SUPRIYONO.

Ayam bukan ras memiliki nilai ekonomis yang tinggi karena dapat dimanfaatkan sebagai unggas petelur dan pedaging. Kutu merupakan satu di antara ektoparasit yang dapat menyerang ayam bukan ras. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui keragaman jenis kutu dan sebarannya pada ayam sehingga dapat dilakukan pengendalian dengan tepat. Kutu diperoleh dari 42 ekor ayam buras di beberapa pasar dalam wilayah Bogor, yaitu Pasar Gunung Batu, Pasar Anyar, Pasar Bogor, dan Pasar Warung Jambu. Kutu yang dikoleksi berasal dari beberapa regio pada tubuh ayam, yaitu kepala–leher, punggung, dada–kaki, sayap, dan ekor. Sampel kutu dimasukkan ke dalam wadah yang telah berisi alkohol 70% dan diidentifikasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa prevalensi infestasi kutu pada ayam bukan ras di pasar tradisional sebesar 50%. Jenis kutu yang ditemukan adalah Menopon gallinae (77.14%), Lipeurus caponis (20.57%), dan Goniodes dissimilis (2.29%). Temuan ini didominasi oleh Menopon gallinae dengan sebaran terbanyak di regio dada–kaki (97.39%).

Kata kunci: ayam bukan ras, Goniodes dissimilis, kutu, Lipeurus caponis,

Menopon gallinae.

ABSTRACT ANJANI RETNO SETIAWATI. 2014. Diversity of Lice Species in Domestic Chickens at Traditional Market in Bogor City. Supervised by UPIK KESUMAWATI HADI and SUPRIYONO.

Domestic chickens has high economic value because it can be used as a

chicken layer and broiler. Lice was one of the ectoparasites that can attack domestic chickens. This study was conducted to determine the diversity and distribution of lice on domestic chickens so that it can be controlled properly. Lices were obtained from 42 domestic chickens at several markets in the area of Bogor, such as Gunung Batu market, Anyar market, Bogor market and Warung Jambu market. Lices were collected from several regions of chicken’s body, such as head to neck, back, breast to feet, wings, and tail. Lice samples were put into the container which has already contained 70% alcohol and identified. The results showed that the prevalence of lice infestation at traditional market was 50%. Lice species discovered were Menopon gallinae (77.14%), Lipeurus caponis (20.57%), and Goniodes dissimilis (2.29%). This study was dominated by Menopon gallinae with the largest distribution in the breast to feet region (97.39%).

Keywords: domestic chickens, Goniodes dissimilis, lice, Lipeurus caponis,

Menopon gallinae.

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Kedokteran Hewan

Fakultas Kedokteran Hewan

RAGAM JENIS KUTU PADA AYAM BUKAN RAS

DI PASAR TRADISIONAL KOTA BOGOR

ANJANI RETNO SETIAWATI

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2014

Judul Skripsi: Ragam Jenis Kutu pada A yam Bukan Ras di Pasar Tradisional

Nama

NIM

Kota Bogor : Anjani Retno Seiawati

: B04080162

Disetujui oleh

'------- -s � c ProfDr Drh Upik Kesumawati Hadi, MS

Pembimbing I

Tanggal Lulus:

fro 2 nrT � ... .

et

PRAKATA

Puji dan syukur Penulis panjatkan ke-hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas

limpahan rahmat dan kehendak-Nya sehingga karya tulis ini berhasil diselesaikan.

Judul karya tulis yang dipilih untuk penelitian sejak April 2013 adalah “Ragam

Jenis Kutu pada Ayam Bukan Ras di Pasar Tradisional Kota Bogor“.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Prof Dr Drh Upik Kesumawati

Hadi, MS dan Bapak Drh Supriyono, MSi selaku Pembimbing yang telah banyak

memberi saran dan bimbingan selama penyelesaian skripsi serta bapak Dr Drh

Muhammad Agil, MSc selaku Dosen Pembimbing Akademik yang selalu

membimbing dan mengarahkan dalam pembelajaran akademik. Ungkapan terima

kasih juga disampaikan kepada sahabat-sahabat tercinta, terutama Dewi Kurniati,

Dyah Ayuning, Febryana Permata, Dara Melisa, Desi Jayanti, Fathia Ramdhani,

Minho Choi, teman-teman Mobster, Avenzoar FKH 45, dan Geochelone FKH 46

atas segala doa, cinta kasih, dan dukungan selama pembuatan skripsi ini. Penulis

mempersembahkan skripsi ini kepada keluarga tercinta, Ayah (Sugiyarto), Ibu

(Annita Tenau), adik (Bobby Rahmanto dan Erik Bayu), dan keluarga besar di

Merauke.

Penulis menyadari bahwa dalam karya tulis ini masih terdapat kesalahan

baik dalam penulisan nama, gelar, maupun penyajian kalimat yang kurang

berkenan. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang

membangun dari pembaca. Demikian prakata dari penulis, semoga dapat

menambah wawasan dan pengetahuan pembaca. Semoga karya ilmiah ini

bermanfaat.

Bogor, Oktober 2014

Anjani Retno Setiawati

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vii

DAFTAR GAMBAR vii

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 1

Manfaat Penelitian 2

TINJAUAN PUSTAKA 2

Ayam Bukan Ras 2

Ektoparasit pada Ayam 4

Klasifikasi Kutu 4

Morfologi Kutu 5

Perilaku dan Siklus Hidup 5

METODE 6

Tempat dan Waktu 6

Metode Penelitian 6

Koleksi Kutu pada Ayam Buras 6

Pembuatan Preparat Kaca 7

Identifikasi 7

Analisis Data 7

HASIL DAN PEMBAHASAN 7

Prevalensi Kutu pada Ayam Buras di Pasar Tradisional 7

Jenis dan Sebaran Kutu pada Tubuh Ayam Buras 9

SIMPULAN DAN SARAN 14

Simpulan 14

Saran 15

DAFTAR PUSTAKA 15

RIWAYAT HIDUP 18

DAFTAR TABEL

1 Rata-rata jumlah kutu pada ayam buras di beberapa pasar tradisional

Kota Bogor 8

2 Jumlah dan jenis kutu yang ditemukan tiap regio dari ayam buras

terinfentasi 13

DAFTAR GAMBAR

1 Ayam kampung (Gallus gallus domesticus) 3

2 Kondisi ayam di dalam kandang pada pasar tradisional 8 3 Menopon gallinae 9

4 Lipeurus caponis 11 5 Goniodes dissimilis 12

6 Persentase (%) sebaran jenis kutu pada regio tubuh ayam buras 13

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Ayam buras atau ayam bukan ras adalah ayam kampung yang telah

mengalami proses seleksi dan pemeliharaan dengan teknik budi daya. Unggas ini

memiliki nilai ekonomis yang tinggi karena dimanfaatkan sebagai unggas petelur

dan pedaging. Masyarakat pada umumnya memelihara ayam kampung sebagai

usaha sampingan karena pemeliharaannya yang mudah. Unggas ini memiliki daya

adaptasi yang tinggi sehingga mampu menyesuaikan diri dengan berbagai situasi,

lingkungan, dan iklim.

Secara umum, pemeliharaan ayam buras dilakukan dengan sistem ekstensif

(tradisional), yaitu ayam diumbar atau dilepas bebas berkeliaran. Infestasi

ektoparasit, khususnya kutu dapat mengakibatkan kerugian ekonomi bagi peternak.

Menurut Hadi dan Soviana (2010) jenis kutu yang umum ditemukan pada ayam di

Indonesia antara lain Cuclutogaster heterographus, Goniocotes gallinae,

Goniodes dissimilis, Goniodes gigas, Lipeurus caponis, Menacanthus stramineus,

dan Menopon gallinae.

Kutu ditemukan pada kulit dan bulu sehingga dapat menyebabkan

kerusakan bulu, iritasi kulit, gelisah, penurunan nafsu makan, dan kehilangan

bobot badan (Mullen dan Durden 2002; Wall dan Shearer 2001). Beberapa jenis

kutu dapat menyebabkan anemia, lesio kulit multifokal yang parah atau dapat

menyebabkan kematian pada unggas (Njunga 2003). Menurut Mccrea et al.

(2005) infestasi kutu sering diikuti oleh buruknya kesehatan unggas yang

disebabkan oleh penyebab lain, seperti bakteri, fungi, dan virus. Kondisi ini

sangat berbahaya bagi unggas muda karena infestasi kutu dalam jumlah besar

dapat menyebabkan kematian. Infestasi kutu dalam jumlah besar tidak hanya

dapat mengakibatkan kerugian ekonomi bagi peternak skala kecil, tetapi juga

peternak dalam skala besar. Kerugian ini diakibatkan oleh penurunan

produktivitas ayam, seperti penurunan bobot badan dan produksi telur.

Lesio pada kulit ayam akibat bekas gigitan kutu dapat menjadi tempat

berkembangnya infeksi sekunder yang disebabkan oleh bakteri, fungi, dan virus.

Hal ini dapat menyebabkan tingginya tingkat kematian ayam ketika infestasi kutu

yang sangat besar terjadi pada peternakan. Peternak tidak hanya harus

mengendalikan kutu dengan tindakan sanitasi pada kandang dan ayam, tetapi juga

perlu memelihara kesehatan ayam dengan pemberian obat dan vitamin. Biaya

yang cukup besar pun harus dikeluarkan oleh peternak untuk mengendalikan

kasus ini. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui keragaman

jenis kutu dan sebarannya pada tubuh ayam sehingga peternak dapat melakukan

pengendalian dengan tepat.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan mengetahui keragaman kutu serta sebarannya pada

tubuh ayam buras.

2

Manfaat Penelitian

Diperoleh informasi mengenai keragaman genus dan spesies kutu, serta

sebarannya pada ayam buras.

TINJAUAN PUSTAKA

Ayam Bukan Ras

Ayam bukan ras adalah ayam lokal yang menjadi sumber plasma nutfah

bagi rakyat Indonesia. Sastrodihardjo dan Resnawati (1999) menyatakan bahwa

diperkirakan ada sepuluh jenis ayam yang tergolong sebagai ayam buras.

Sebanyak sembilan jenis dari ayam tersebut mempunyai ciri morfologi dan

berkembang pada kawasan habitat asli, sedangkan satu di antaranya tidak

mempunyai ciri morfologi khusus dan jenis ini yang dikenal sebagai ayam

kampung.

Ayam kampung merupakan hewan vertebrata yang termasuk dalam kelas

Aves dengan ordo Galliformes dan spesies Gallus domesticus. Menurut Iskandar

et al. (1993) ayam kampung mempunyai ciri-ciri campuran dari jenis ayam Kedu,

ayam Pelung atau ayam Nunukan. Ayam kampung yang dipelihara saat ini berasal

dari domestikasi ayam hutan.

Proses domestikasi ayam hutan mengacu pada dua teori, yaitu teori

monophyletic dan teori polyphyletic. Teori monophyletic adalah teori yang digagas

oleh Charles Darwin. Menurutnya ayam peliharaan berasal dari satu jenis ayam

hutan yang saat ini masih ada, yaitu Gallus gallus. Teori polyphyletic menyatakan

ayam peliharaan berasal dari beberapa jenis ayam hutan yang saat ini masih ada di

berbagai belahan dunia, yaitu Gallus gallus,Gallus sonneratti, Gallus laffayetti,

dan Gallus varius (Suprijatna et al. 2005).

Klasifikasi ayam kampung dalam Price (2002), sebagai berikut :

Filum : Chordata

Sub filum : Vertebrata

Ordo : Galliformes

Famili : Phasianide

Subfamili : Phasianae

Genus : Gallus

Spesies : Gallus gallus

3

Gambar 1 Ayam Kampung (Gallus gallus domesticus)

Ayam kampung (G. g. domesticus) memiliki tubuh yang kecil agak

ramping. Ayam kampung memiliki rata-rata bobot badan adalah 1.148 g pada

jantan dan 1.132 g pada betina (Alfahriani 2003). Hal ini disebabkan oleh sistem

pemeliharaan yang tidak seragam oleh peternak. Menurut hasil penelitian

Mulyono dan Pangestu (1996) pemeliharaan ayam kampung secara intensif dapat

menghasilkan bobot badan sebesar 1.815 ± 353 g pada jantan dan sebesar 1.382 ±

290 g pada betina. Perbedaan bobot badan pada ayam kampung dapat dipengaruhi

oleh faktor genetik, kualitas pakan, dan lingkungan sekitar (Kurnia 2011).

Ayam kampung memiliki warna bulu yang bervariasi dari warna putih,

hitam, coklat, kuning, atau kombinasi warna-warna tersebut. Ayam kampung

memiliki kaki yang panjang dan kuat. Kedua kaki ayam kampung

(G. g. domesticus) mempunyai dua segmen dan sebuah tulang kering ramping

yang hanya terdiri atas tendon serta tumit yang bercakar empat (Cahyono 2000).

Bagian kepala ayam dapat ditemukan paruh, jengger, cuping, dan pial.

Paruh berasal dari tulang wajah yang mengalami perpanjangan. Paruh bawah pada

ayam terbentuk dari lima tulang. Jengger berwarna merah karena terdapat banyak

pembuluh darah pada bagian epidermis kulit ayam, sedangkan warna pial

bervariasi bergantung pada masing-masing bangsa ayam. Pial merupakan cuping

telinga berdaging tebal yang terletak di bawah bagian telinga (Suprijatna et al.

2005). Jengger dan pial sangat istimewa pada ayam dan beberapa jenis burung

lainnya. Jengger dan pial dapat dijadikan indikator karakteristik kelamin sekunder

karena sangat sensitif terhadap hormon seksual (Storer et al. 1968).

Ayam memiliki mata yang berukuran besar, terletak di lateral dengan

kelopak mata yang besar dan di dalamnya terdapat kelopak ketiga yang

transparan, yaitu membrana nictitan. Tubuh ayam berbeda dari vertebrata lainnya

karena ditutupi oleh bulu. Bulu merupakan bagian epidermal yang fleksibel

dengan ruang hampa udara yang sangat banyak. Keberadaan ruang hampa udara

ini menjadi pelengkap dalam menghasilkan bulu kontur yang halus dan

melindungi tubuh (Storer et al.1968).

Semua unggas, termasuk ayam, adalah hewan berdarah panas yang

mempunyai suhu antara 40.5–42.2 °C pada siang hari dan lebih rendah pada

4

malam hari. Menurut Suprijatna et al. (2005) rata-rata suhu tubuh ayam dewasa

sekitar 40.5–41.6 °C dan day old chick (DOC) memiliki temperatur sekitar

38.8 °C. Induk ayam yang sedang mengeram memiliki temperatur lebih rendah

daripada induk yang tidak mengeram karena tingkat metabolisme yang rendah.

Ayam mengalami proses pertumbuhan bulu dan rontok secara alami. Proses

rontok bulu ini dinamakan molting. Proses ini berlangsung secara periodik sekitar

setahun sekali dan diikuti proses pertumbuhan bulu. Bulu baru akan tumbuh pada

tempat bulu yang rontok karena pengaruh hormonal.

Ektoparasit pada Ayam

Ektoparasit merupakan parasit yang berada di luar tubuh hewan.

Kebanyakan ektoparasit pada unggas hidup pada kulit atau bulu. Infestasi

ektoparasit pada unggas menjadi masalah di peternakan ayam karena dapat

mempengaruhi karkas, penampilan, dan konformasi tubuh ayam. Hal ini berkaitan

dengan permasalahan higiene dan sanitasi dalam pemeliharaannya. Unggas yang

sering menjadi inang antara lain ayam kampung, kalkun, bebek, angsa, dan

merpati (Lancaster et al. 1986).

Kutu adalah ektoparasit yang menyerang unggas. Kutu merupakan

ektoparasit obligat karena seluruh hidupnya berada pada dan bergantung di tubuh

inangnya. Secara morfologi, kutu sudah beradaptasi dengan cara hidupnya,

misalnya dengan tidak memiliki sayap, sebagian besar tidak bermata, dan bentuk

tubuh yang pipih dorsoventral. Adapula bagian mulut disesuaikan untuk menusuk-

isap atau untuk mengunyah dan memiliki enam tungkai atau kaki yang kokoh

dengan kuku berukuran besar pada ujung tarsus. Kuku tersebut bersama dengan

tonjolan tibia berfungsi untuk merayap dan memegangi bulu atau rambut

inangnya. Kutu mengalami metamorfosis sederhana (paurometabola) dengan

hanya tiga instar nimfa (Hadi dan Soviana 2010).

Klasifikasi Kutu

Kutu adalah serangga tidak bersayap yang dapat diklasifikasikan dalam satu

ordo, yaitu Phthiraptera (Clay 1970). Phthiraptera berasal dari bahasa Yunani

yang terdiri atas dua kata ‘Phthir’ artinya kutu dan ‘Aptera’ artinya tidak

bersayap. Ordo ini termasuk dalam filum Arthropoda, kelas insekta, dan memiliki

dua subordo, yaitu Anoplura (kutu pengisap) dan Mallophaga (kutu penggigit).

Phthiraptera memiliki tiga superfamili yang terdiri atas Ischnocera, Amblycera,

dan Rhynchopthirina. Kutu Ischnocera dan Amblycera terdapat pada unggas dan

mamalia, sedangkan Rhyncopthirina dapat ditemukan pada gajah dan babi hutan.

Jenis kutu Ischnocera yang ditemukan pada unggas antara lain Cuclotogaster

(Lipeurus heterograpus), L. caponis, Goniodes gigas, G. dissimilis, Goniocotes

gallinae, Chlopister meleagridis (Goniodes meleagridis), dan Columbicola

columbae. Jenis kutu Amblycera yang terdapat pada unggas adalah M. gallinae,

Menopon paestomum, Menachantus stramineus, dan Trinoton anserium (Mullen

dan Durden 2002).

5

Morfologi Kutu

Kutu merupakan ektoparasit yang umum ditemukan pada tubuh unggas.

Kutu yang temasuk dalam subordo Mallophaga (mallos = bulu, phagein =

memakan) berukuran kecil, yaitu 2–6 mm. Kepala kutu ini lebih luas daripada

toraks dan memiliki karakteristik tipe mulut pengigit, mandibulanya di ventral

kepala, serta memiliki 3–5 segmen antena yang pendek dan berbentuk filiform.

Kutu ini memiliki toraks sempit, tidak bersayap, bagian tubuh dorsoventral rata,

dan kaki yang pendek dengan satu atau dua kuku yang memiliki ‘pinch’ (alat

penjepit) sederhana atau lebih kompleks (Lancaster dan Meisch 1986).

Mallophaga terdiri atas dua superfamili, yaitu Amblycera dan Ischnocera.

Superfamili Amblycera dapat dibedakan dengan Ischnocera dari ukuran kepala,

bentuk, dan banyaknya ruas antena serta ada tidaknya palpus maksila. Amblycera

dilengkapi dengan palpus maksila, antena yang tidak jelas terlihat dan terdiri atas

empat ruas, sedangkan Ischnocera memiliki antena berbentuk filiform dan terlihat

nyata di sisi kepala dengan tiga sampai empat ruas dan tidak dilengkapi palpus

maksila.

Perilaku dan Siklus Hidup

Mallophaga atau kutu penggigit merupakan parasit yang dapat ditemukan

pada unggas atau mamalia, tetapi tidak menyerang manusia dan umumnya

berhubungan dengan unggas (Marshall 1981). Beberapa kutu penggigit bersifat

haematophagus. Kutu tidak merusak kulit inang untuk mendapatkan darah, tetapi

hal ini dapat terjadi jika darah telah berada di permukaan kulit inang, misalnya

saat ada luka terbuka. Kutu ditemukan pada kerokan kulit inangnya, eksudat, atau

bulu (Gordon 1977).

Infestasi kutu penggigit pada unggas dapat menyebabkan iritasi, penurunan

bobot badan, dan anemia. Chelopistes meleagridis dan Oxylipeurus polytrapezius

adalah kutu yang sering ditemukan pada kalkun, sedangkan Cuclutogaster

heterographus, Goniocotes gallinae, G. dissimilis, Goniodes gigas, L. caponis,

Menacanthus stramineus, dan M. gallinae adalah parasit pada ayam lokal yang

terdapat di seluruh dunia (Cohen et al. 1991). Kutu memiliki derajat kekhasan

inang (host specifity) yang sangat tinggi dan mempunyai habitat tertentu pada

tubuh inang. Hal ini menyebabkan kutu hanya bisa hidup pada inang yang

memiliki karakteristik tertentu (Hinkle 1996).

Mallophaga mengalami metamorfosis sederhana, yaitu telur, nimfa I, II, III,

dan menjadi kutu dewasa. Kutu betina dewasa rata-rata memproduksi 50–300

telur. Telur kutu berwarna keputihan, berbentuk lonjong, dan diletakkan pada

kumpulan bulu kemudian menetas dalam waktu 4–7 hari. Telur mengalami proses

pematangan embrio pada suhu 37 oC selama 3–5 hari, sedangkan pada suhu yang

lebih rendah memerlukan waktu hingga 9–14 hari. Menurut Lancaster dan Meisch

(1986), pada infestasi yang parah telur biasanya akan diletakkan di daerah dada.

Siklus hidup kutu dari telur hingga menjadi dewasa memerlukan waktu 7–21 hari

(Corwin dan Nahm 1997).

Jenis kutu yang sering ditemukan pada unggas adalah M. gallinae dari

genus Menopon yang berasal dari kelompok Amblycera. Kutu ini memiliki

kemampuan berlari dengan cepat sehingga mudah menyebar di semua bagian

tubuh (Corwin dan Nahm 1997). Kutu ini meletakkan telur di bagian dasar bulu

6

dan akan menetas dalam waktu 2–3 minggu. Kutu dewasa dapat hidup selama 9

bulan dan jenis ini tidak menyerang ayam muda karena ayam muda memiliki bulu

yang relatif sedikit.

Kutu dari kelompok Ischnocera memiliki perbedaan morfologi sesuai daerah

tubuh unggas yang ditempati. Bentuk tubuh kutu yang bulat dan lebar, sering

terdapat pada bulu-bulu yang lebih pendek, yaitu kepala dan leher. Pada bagian

punggung dan sayap ayam dapat ditemukan kutu berbentuk pipih yang dapat

menyelinap ke bagian sisi samping tubuh (Wana 2001).

Perpindahan kutu dapat terjadi secara horizontal, yaitu kontak antara ayam

dengan ayam. Kutu dapat hidup dan berkembang biak dalam waktu lama atau

seluruh hidupnya di tubuh ayam. Beberapa spesies kutu dapat berada pada lokasi

yang spesifik pada tubuh inang, atau ada juga spesies lain yang dapat ditemukan

hampir di seluruh tubuh inang, seperti Menacanthus stramineus (Pickworth dan

Morishita 2005). Penyebaran kutu pada tubuh ayam dibagi menjadi tiga, yaitu

kepala, toraks, dan abdomen (Kettle 1985). Hal ini menyebabkan inang dapat

terinfestasi lebih dari satu jenis kutu. Kerusakan akibat infestasi kutu bergantung

pada jumlah kutu, keadaan nutrisi, dan penyakit yang diderita inang (Bains 1979).

METODE

Tempat dan Waktu

Penelitian dilakukan pada bulan April sampai dengan bulan Juni 2013.

Penelitian dilakukan dalam dua tahap yaitu koleksi kutu dan identifikasi. Koleksi

kutu dilakukan di Pasar Gunung Batu, Pasar Anyar, Pasar Bogor, dan Pasar

Warung Jambu. Tahap identifikasi dilakukan di Laboratorium Entomologi

Kesehatan Bagian Parasitologi dan Entomologi Kesehatan, Departemen Ilmu

Kesehatan Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran

Hewan, Institut Pertanian Bogor.

Metode Penelitian

Koleksi Kutu pada Ayam Buras

Pengambilan sampel dilakukan di Pasar Gunung Batu, Anyar, Bogor dan

Warung Jambu. Koleksi kutu dilakukan pada regio kepala–leher, punggung,

dada–kaki, sayap, dan ekor. Waktu koleksi kutu yang dibutuhkan tiap regio adalah

2–3 menit untuk setiap ekor ayam (Hadi dan Rusli 2006).

Pengambilan spesimen kutu dilakukan menggunakan kuas yang telah

dicelupkan ke dalam alkohol 70%. Kuas beralkohol ini digunakan untuk membuat

kutu tidak bergerak (pingsan) sehingga memudahkan dalam proses pengambilan

kutu. Kutu yang diperoleh kemudian dimasukkan ke dalam wadah yang telah

berisi alkohol 70%.

7

Pembuatan Preparat Kaca

Kutu hasil koleksi dimasukkan ke dalam KOH 10% dalam tabung reaksi

dan dipanaskan dengan suhu kurang lebih 60 °C. Tahap selanjutnya dilakukan

pencucian dengan air selama 3–4 kali pembilasan. Bagian abdomen yang masih

menggembung ditusuk dengan jarum halus dan ditekan secara perlahan dengan

ujung jarum yang dibengkokkan untuk membersihkan isi abdomen yang masih

tersisa.

Tahap dehidratasi dengan alkohol bertingkat dimulai dari 70%, 80%, 90%,

96% dan masing-masing dilakukan selama 10 menit. Tahap penjernihan dilakukan

dengan cara merendam spesimen ke dalam minyak cengkeh selama 15–30 menit.

Spesimen dicuci dengan xylol secara berulang untuk menghilangkan kabut.

Spesimen kutu yang telah siap untuk diletakkan pada gelas objek, diatur

letaknya lalu ditetesi canada balsam, dan ditutup dengan gelas penutup yang telah

diolesi xylol. Spesimen tersebut kemudian disimpan ke dalam autoclave selama

2-3 hari sampai kering. Preparat kaca yang telah kering kemudian diberi lapisan

kuteks di sekitar gelas penutup, sedangkan pada gelas objek diberi label.

Identifikasi

Kutu hasil koleksi kemudian diidentifikasi menggunakan kunci identifikasi

morfologi Soulsby (1982).

Analisis Data

Data yang diperoleh berupa data deskriptif. Data tersebut dianalisis dalam

bentuk persentase dengan cara mengelompokkan kutu yang dikoleksi berdasarkan

genus dan jenis kelamin inang. Prevalensi infestasi kutu dihitung dengan rumus:

Jumlah Ayam terinfestasi

Persentase % =

Jumlah Sampel Ayam

HASIL DAN PEMBAHASAN

Prevalensi Kutu pada Ayam Buras di Pasar Tradisional

Kutu dikoleksi dari beberapa pasar yang ada di Kota Bogor antara lain Pasar

Gunung Batu, Anyar, Bogor, dan Warung Jambu. Koleksi kutu dilakukan pada

waktu siang hari karena keberadaan kutu dapat terlihat dengan mudah pada tubuh

ayam. Jumlah sampel ayam yang digunakan adalah sebanyak 42 ekor dengan

jumlah ayam terinfestasi kutu sebanyak 21 ekor ayam. Jumlah kutu yang

diperoleh adalah sebanyak 350 ekor dari keempat pasar. Data tersebut disajikan

oleh Tabel 1 di bawah ini.

8

Tabel 1 Rata-rata jumlah kutu pada ayam buras di beberapa pasar tradisional Kota Bogor

Pasar Sampel Ayam

Ayam terinfestasi

Jumlah kutu yang

ditemukan

Rata-rata jumlah

kutu/ayam Prevalensi (%)

Gunung Batu 12 5 55 11 41.67

Anyar 8 4 72 18 50

Bogor 12 6 146 24.33 50

Warung Jambu

10 6 77 12.83 60

Total 42 21 350 16.67 50

Prevalensi terjadinya infestasi kutu pada ayam di semua pasar sebesar 50%

(Tabel 1). Hal ini menunjukkan bahwa peluang ayam terinfestasi kutu adalah 50%

dari seluruh jumlah sampel ayam. Keberadaan kutu dapat dipengaruhi oleh cara

pemeliharaan ayam yang dilakukan penjual di pasar. Ayam yang berada di pasar

berasal dari peternakan rakyat di daerah sekitar Bogor, seperti Ciampea, Ciawi,

Tajur, dan Bandung. Ayam yang dibeli penjual dari peternak biasanya berumur

antara 2–4 bulan. Ayam tersebut diletakkan dalam kandang bersama ayam lain

atau kandang kosong. Hal ini bergantung pada ukuran tubuh ayam dan juga

ukuran kandang yang dapat menampung ayam. Ayam-ayam yang dijual di pasar

dipelihara oleh penjual selama seminggu bahkan sebulan karena ayam-ayam

tersebut tidak dapat terjual habis dalam sehari (Gambar 2).

Gambar 2 Kondisi ayam buras di dalam kandang pada pasar tradisional

A. Pasar Gunung Batu C. Pasar Bogor

B. Pasar Anyar D. Pasar Warung Jambu

9

Kondisi ayam di keempat pasar hampir sama, yaitu kebanyakan ayam

diletakkan di dalam kandang. Berbeda dari ketiga pasar lainnya, sebagian ayam

yang ada di Pasar Gunung Batu diletakkan di atas kandang. Ruang gerak bagi

ayam pun lebih kecil sebab kaki ayam diikat pada tepi kandang. Aktivitas

berjualan di dalam Pasar Gunung Batu terjadi di dalam ruangan tanpa terpapar

sinar matahari.

Minimnya ukuran kandang yang digunakan untuk menampung ayam di

pasar dapat menjadi penyebab berkembangnya infestasi kutu pada ayam. Hal ini

didukung oleh perilaku penjual yang menggabungkan ayam baru dan ayam lama

dalam satu kandang. Perilaku penjual tersebut dapat memicu terjadinya

perpindahan kutu antar-ayam. Perpindahan kutu antar-ayam dapat terjadi melalui

kontak langsung sehingga dengan menggabungkan ayam dalam satu kandang

memperbesar peluang perpindahan kutu.

Jenis dan Sebaran Kutu pada Tubuh Ayam Buras

Hasil identifikasi kutu menunjukkan bahwa kutu yang ditemukan pada

tubuh ayam berasal dari subordo Mallophaga (biting lice) yang terdiri atas

superfamili Amblycera dan Ischnocera. Kutu Amblycera yang ditemukan berasal

dari genus Menopon, yaitu M.gallinae (Gambar 3). Kutu Ischnocera yang

ditemukan berasal dari genus Lipeurus dan Goniodes, yaitu L. caponis (Gambar

4) dan G. dissimilis (Gambar 5). Ketiga jenis kutu ini merupakan jenis kutu

penggigit yang tidak mengisap darah, melainkan memakan sisik kulit kering, bulu,

dan koreng pada kulit. Kutu tersebut dapat mengisap darah apabila terdapat luka

terbuka pada tubuh ayam akibat gesekan pada kandang atau patukan.

Gambar 3 M. gallinae tampak dorsal (perbesaran objektif 4x)

Keterangan: A. Mandibula E. Tarsal claw

B. Antena F. Tibia

C. Palpus maksila G. Abdomen

D. Palpus labial H. Seta

10

M. gallinae (Gambar 3) berukuran kecil, mempunyai panjang 1.5–2.5 mm,

dan berwarna kuning pucat. Kutu ini mempunyai kepala berbentuk segitiga yang

melebar dan diperluas di belakang mata. Palpus maksila berukuran kecil dan

terdiri atas empat segmen, sedangkan palpus labial biasanya hanya satu segmen

dan memiliki lima seta distal. Kutu ini mempunyai sepasang antena yang terletak

dalam lekukan/fossa di regio kepala kutu. Antena tersebut terdiri atas empat atau

lima segmen. Antena yang terdiri atas empat segmen memiliki dua sensila yang

berdekatan dengan segmen terminal, sedangkan jika ada lima segmen maka hanya

memiliki satu sensilum pada segmen keempat dan kelima.

Segmen toraks kutu ini tidak menyatu dan terpisah dari tergum satu.

Mesonotum tidak memiliki tonjolan seta. Abdomen M. gallinae memiliki delapan

sampai sepuluh segmen yang ditutupi oleh rambut seta. Setiap segmen abdomen

di bagian dorsal hanya terdapat sebaris rambut seta. Rambut seta berfungsi

sebagai pelindung mekanik bagi kutu (Borror et al. 1992). Kaki kedua dan ketiga

memiliki dua tarsal claws. Kutu betina dewasa meletakkan telur secara

berkelompok di dasar tangkai bulu pada regio dada–kaki. Telur tersebut menetas

menjadi nimfa yang akan melalui tiga tahap hingga menjadi dewasa (Wall dan

Shearer 2001). M. gallinae mempunyai tipe mulut penggigit dan tidak menusuk

kulit inang, tetapi dapat memakan darah pada ayam muda dan menggigit hingga

ke dalam tangkai bulu

M. gallinae sering ditemukan dalam jumlah banyak pada ayam dewasa

daripada ayam muda. Hal ini disebabkan pertumbuhan bulu pada ayam muda

belum sempurna seperti pada ayam dewasa. Infestasi kutu ini pada ayam muda

dalam jumlah besar dapat berakibat fatal. Ayam yang terinfestasi parah oleh kutu

ini dapat mengalami anemia hiperkromik dan penurunan bobot badan hingga

kematian. M. gallinae juga dapat menginfestasi kalkun dan bebek, khususnya jika

dipelihara berdekatan dengan ayam (Taylor et al. 2013).

11

Gambar 4 L.caponis tampak dorsal (perbesaran objektif 4x)

Keterangan: A. Hyalin margin G. Coxa III

B. Mandibula H.Femur III

C. Nodus mata I. Abdomen

D. Antena seksual dimorfik J. Tibia III

E. Protoraks K.Tarsal claw F. Pterotoraks L. Seta

L.caponis (Gambar 4) mempunyai bentuk tubuh yang panjang dan ramping

dengan ukuran panjang 2.2 mm dan lebar 0.3 mm serta berwarna abu–abu. Kutu

ini mempunyai kepala yang panjang dan bulat di bagian depan. Antena L. caponis

terlihat jelas dan berbentuk filiform yang terdiri atas lima segmen. Umumnya

antena pada kutu berfungsi sebagai organ sensoris, namun antena pada L. caponis

juga berfungsi sebagai pembeda jenis kelamin kutu atau disebut antena seksual

dimorfik. Antena pada kutu jantan tampak mengalami perpanjangan scape,

sedangkan perpanjangan scape tidak terjadi pada kutu betina.

Toraks terlihat dengan jelas yang terdiri atas protoraks dan pterotoraks.

Abdomen dari L. caponis terdiri atas delapan segmen dan terdapat rambut seta.

Kutu ini memiliki kaki yang panjang dan kecil dengan karakteristik kaki belakang

dua kali lebih panjang daripada kaki depan. Kutu betina menempelkan telur pada

bulu dan menetas dalam waktu 4–7 hari. Nimfa kutu ini akan melewati tiga tahap

selama 20–40 hari. L. caponis dewasa relatif tidak aktif dan dapat bertahap hidup

sampai 35 hari (Wall dan Shearer 1997). L. caponis memakan partikel bulu dan

kadang-kadang memakan runtuhan kulit. Infestasi kutu ini dalam jumlah banyak

dapat menyebabkan kegelisahan dan iritasi kulit pada ayam. Ayam muda rentan

terhadap infestasi yang berat, khususnya ketika mengalami penyakit atau

malnutrisi.

12

Gambar 5 G. dissimilis tampak dorsal (perbesaran objektif 4x)

Keterangan:

A. Hyalin margin D. Pterotoraks G. Abdomen

B. Antena seksual dimorfik E. Femur II H. Tarsal claw

C. Protoraks F. Tibia II I. Seta

Goniodes sp. memiliki ciri-ciri kepala yang bulat melebar di bagian anterior

dan membentuk garis melintang yang luas (Wall dan Shearer 1997). G. dissimilis

(Gambar 5) berukuran besar dengan panjang 3 mm dan berwarna kecokelatan.

Kutu ini memiliki bentuk kepala yang cekung di bagian posterior dan membentuk

sudut tepi di bagian posterior. Antenanya terdiri atas lima segmen dan termasuk

antena seksual dimorfik. Antena kutu jantan membesar di scape dan terdapat

penonjolan pada segmen ketiga antena. Toraks terdiri atas protoraks dan

pterotoraks. Kaki pertama G. dissimilis terletak di protoraks terlihat pendek dan

gemuk. Kaki kedua dan ketiga terletak di daerah pterotoraks dengan ukuran lebih

panjang dari kaki pertama. Bentuk kaki pada kutu ini memiliki kesamaan, yaitu

pembesaran di bagian coxae. Kutu betina meletakkan 14 butir telur yang akan

menetas dalam waktu 1 minggu. Setelah dewasa G. dissimilis jantan hanya dapat

bertahan hidup selama 19 hari, sedangkan G. dissimilis betina bertahan hidup

selama 4 hari(Wall dan Shearer 1997).

Goniodes sp. dapat ditemukan pada ayam dan burung. G. dissimilis

ditemukan dalam jumlah yang sangat berlimpah di habitat beriklim sedang

(Wall dan Shearer 1997). Kutu ini dapat ditemukan di kulit dan seluruh tubuh

ayam. G. dissimilis sering ditemukan dalam jumlah kecil pada inang. Kutu ini

dalam jumlah kecil hanya akan memberikan efek yang kecil pada inang. Secara

umum, pada ayam muda dapat mengakibatkan kesakitan yang sangat parah

sehingga akan mengalami penurunan bobot badan, kelemahan, dan kematian.

Ketiga jenis kutu tersebut diperoleh dari regio tubuh ayam yang terbagi atas

kepala–leher, punggung, dada–kaki, sayap, dan ekor (Tabel 2). Berdasarkan regio

tubuh ayam tersebut, kutu terbanyak diperoleh pada regio dada–kaki sebanyak

115 kutu. Kutu ditemukan dalam jumlah kecil pada regio ekor sebanyak 36 kutu.

13

Jenis kutu yang mendominasi regio tubuh ayam adalah M. gallinae sebanyak 112

kutu pada regio dada-kaki. Data tersebut disajikan oleh Tabel 2 berikut ini.

Tabel 2 Jumlah dan jenis kutu yang ditemukan tiap regio dari ayam buras terinfestasi

Regio Jumlah

Kutu

Jenis Kutu Total

(%) M.gallinae L. Caponis G. dissimilis

Jumlah % Jumlah % Jumlah %

Kepala–Leher 76 71 93.42 4 5.26 1 1.32 22

Punggung 70 62 88.57 3 4.29 5 7.14 20

Dada–Kaki 115 112 97.39 2 1.74 1 0.87 33

Sayap 53 9 16.98 44 83.02 0 0 15

Ekor 36 16 44.44 19 52.78 1 2.78 10

Total Kutu 350 270 77.14 72 20.57 8 2.29

Rata-rata

kutu/ayam 2.57

0.69

0.08

Gambar 6 Persentase (%) sebaran jenis kutu pada regio tubuh ayam buras

M.gallinae (Gambar 3) merupakan jenis kutu yang paling banyak ditemukan

daripada jenis kutu lain. Kutu ini ditemukan dengan persentase sebesar 77.14%

(Tabel 2) di permukaan tubuh ayam. M. gallinae (shaft louse) sering ditemukan

pada tangkai bulu di permukaan tubuh ayam, terutama pada regio dada. Kutu ini

ditemukan dalam jumlah banyak di regio kepala, punggung, dan dada–kaki,

sedangkan dalam jumlah kecil ditemukan di regio sayap dan ekor. Hal ini

disebabkan oleh kemampuan kutu yang bergerak sangat cepat sehingga dapat

menyebar di seluruh bagian tubuh inang (Corwin dan Nahm 1997). M. gallinae

ditemukan dalam jumlah banyak pada regio dada–kaki dengan presentase sebesar

97.39% (Gambar 6). Hasil ini sesuai dengan penelitian Ardhani (2013) dan

Setiawan (2013) yang juga menemukan M. gallinae di regio dada dalam jumlah

besar. Hal ini disebabkan struktur bulu di regio ini yang berlapis-lapis, halus, dan

tebal sehingga memudahkan kutu untuk berlindung dari ancaman luar, seperti

patukan. M.gallinae akan menyebar ke kulit ketika infestasi kutu meningkat pada

14

bulu di regio dada sampai kaki. Kutu ini jarang berada di kulit, seperti

Menacanthus stramineus (chicken body louse), namun tersebar merata di regio

dada–kaki serta punggung (Price dan Graham 1997).

L. caponis (Gambar 4) ditemukan pada tubuh ayam dengan persentase

sebesar 20.57% (Tabel 2). Kutu ini merupakan jenis kutu yang paling sering

ditemukan selain M. gallinae pada tubuh ayam (Sychra 2008). L. caponis (wing

louse) sering ditemukan pada bulu di regio sayap. Penelitian ini menunjukkan

bahwa kutu ini dapat ditemukan di seluruh permukaan tubuh ayam. L. caponis

ditemukan dalam jumlah banyak di regio sayap dan ekor. Kutu ini ditemukan

dengan persentase sebesar 83.02% pada regio sayap (Gambar 6). L. caponis yang

ditemukan di regio ini tampak berwarna gelap, berukuran besar, dan cenderung

menempel pada tangkai bulu sayap. Kutu ini juga sering ditemukan di bawah bulu

sayap yang besar.

G. dissimilis (Gambar 5) merupakan kutu yang sering ditemukan dalam

jumlah kecil pada tubuh ayam (Aldemir 2004). Kutu ini ditemukan dengan

persentase sebesar 2.29% (Tabel 2) dari tubuh ayam. G. dissimilis dapat terlihat di

seluruh permukaan tubuh walaupun, jumlahnya sangat kecil. Kutu ini paling

banyak ditemukan pada regio punggung sebesar 7.14% (Gambar 6) dan dalam

jumlah kecil di regio lain. Hal ini diduga berkaitan dengan kondisi iklim di

Indonesia yang tidak sesuai dengan habitat hidup kutu. Kutu ini ditemukan

berlimpah pada negara beriklim sedang, seperti Eropa.

Perbedaan jumlah kutu yang ditemukan pada regio tubuh ayam berkaitan

dengan pertumbuhan bulu pada ayam. Beberapa jenis kutu tidak dapat ditemukan

pada ayam yang belum mengalami pertumbuhan bulu sempurna. Pertumbuhan

bulu pada ayam dimulai sejak umur satu minggu dan sempurna pada umur empat

bulan, sedangkan penelitian ini menggunakan ayam berumur 2–9 bulan. Bulu

ayam yang terinfestasi kutu memiliki penampilan seperti moth-eaten (dimakan

ngengat) (Durden dan Musserg 1994).

Upaya pengendalian yang tepat perlu dilakukan untuk menanggulangi

kerugian akibat infestasi kutu. Upaya tersebut dapat dilakukan melalui perbaikan

sistem manajeman peternakan berupa tindakan sanitasi kandang dan pemberian

insektisida. Insektisida digunakan untuk mengendalikan ektoparasit dengan cara

mengganggu siklus hidupnya. Jenis insektisida yang umum digunakan untuk

mengurangi jumlah kutu pada ayam adalah sipermetrin. Sipermetrin mampu

mengendalikan kutu pada tubuh ayam dengan konsentrasi rendah. Penggunaan

insektisida pada ayam dapat dilakukan dengan metode spraying, dipping, dan

dustbathing. Metode yang paling efisien digunakan adalah spraying

(penyemprotan) karena peternak dapat langsung mengaplikasikannya pada bagian

tubuh ayam yang terdapat kutu.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Prevalensi kutu yang ditemukan di beberapa pasar Kota Bogor adalah 50%.

Jenis kutu yang ditemukan sebanyak tiga jenis, yaitu Menopon gallinae (77.14%),

15

Lipeurus caponis (20.57%), dan Goniodes dissimilis (2.29%). Ketiga jenis kutu

tersebut ditemukan pada regio kepala–leher (22%), punggung (20%), dada–kaki

(33%), sayap (15%), dan ekor (10%). Jenis kutu yang mendominasi adalah

M. gallinae pada regio dada–kaki (97.39%).

Saran

Masalah infestasi kutu pada ayam buras perlu mendapat perhatian meskipun

kerugian yang ditimbulkan belum dirasakan banyak orang.

DAFTAR PUSTAKA

Aldemir OS, 2004. Kars Iÿlinde Tavuklarda Bulunan Ektoparazitler.Türkiye

Parazitol Derg. 28 : 154–157 (in Turkish).

Alfahriani. 2003. Tanggap kebal terhadap virus Newcastle Disease dalam

hubungannya dengan bobot badan pada ayam Kampung tanpa vaksin di

desa Karacak, Kecamatan Leuwiliang, Bogor [skripsi]. Bogor (ID): Institut

Pertanian Bogor.

Ardhani WN. 2013. Efektivitas aplikasi insektisida Sipermetrin terhadap kutu

ayam petelur [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Bains BS. 1979. A Manual Poultry Disease. New York (US): Roche.

Borror DJ, Triplehorn CA, Jhonson NF. 1992. Pengenalan Pelajaran Serangga.

Yogyakarta (ID): Gajah Mada Univ Pres.

Cahyono B. 2000. Ayam Buras Pedaging. Jakarta(ID): Trubus Agriwidya.

Clay T. 1970. The Ambycera (Phthiraptera: Insecta). Bull Br Mus Nat Hist

Entomol. 25: 73–98.

Cohens, Greenwood MT, Fowler JA. 1991. The louse Trinoton anserinum

(Amblycera : Phthiraptera), an intermediate host of Sarconema eurycerca

(Filarioidea :Nematoda), a heartworm of swans. Med Vet Entomol. 5: 101–

110.

Corwin RM, Nahm J. 1997. Veterinary parasitology. University of Missouri

Extension [Internet]. [diunduh 2013 Juni 18]. Tersedia pada : http://www.

parasitology.org

Durden LA, Musserg GG. 1994. The mammalian hosts of the sucking lice

(Anoplura) of the world: a host parasite list. Bull Soc Vector Ecol. 19:130-

168.

Gordon RF. 1977. Poultry Diseases. London (GB): Bailliere & Tindall.

Hadi UK, Rusli VL. 2006. Infestasi caplak anjing Rhipicepphalus sanguineus

(Parasitiformis : Ixodidae) di daerah kota Bogor. J Med Vet Indones. 10(2):

55–60.

Hadi UK, Soviana S. 2010. Ektoparasit : Pengendalian, Identifikasi, dan

Pengendaliannya. Bogor (ID): IPB Pr. 11–16.

Hinkle N. 1996. Insects and pests on poultry. Extension Service Series [Internet].

[diunduh 2013 Agustus 20]. Tersedia pada: http://www.unl.edu

16

Iskandar S, Juarini E, Zainudin D, Resnawaty H, Wibowo B, Sumanto. 1993.

Teknologi Tepat Guna Ayam Buras. Bogor (ID): Balai Penelitian Ternak

Ciawi.

Kettle DS. 1985. Medical and Veterinary Entomology. New York (US): J Wiley.

Kurnia Y. 2011. Morfometrik ayam Sentul, Kampung, dan Kedu pada fase

pertumbuhan dari umur 1–12 minggu [skripsi]. Bogor (ID): Institut

Pertanian Bogor.

Lancaster JL. Jr, MV Meich. 1986. Arthropods in Livestock and Poultry

Production. New York (US): Halsted Pr.

Marshall AG. 1981. The Ecology of Ectoparasitic Insects. London (GB):

Academic Pr.

Mccrea B, Jeffrey JS, Ernst RA, Gerry AC. 2005. Common lice and mites of

poultry : Identification and treatment. ANR [Internet]. [diunduh 2013 Juni

18]; 8162: California (US). Tersedia pada: http://anrcatalog.ucdavis.edu

Mullen GR, Durden LA. 2002. Medical and Veterinary Entomology. London

(GB): Academic Pr. 557.

Mulyono RH, Pangestu RB. 1996. Analsis statistik ukuran–ukuran tubuh dan

analisis karakteristik genetik eksternal pada ayam Kampung, Pelung, dan

Kedu. Seminar Hasil–hasil Penelitian Institut Pertanian Bogor. 17–21.

Njunga GR. 2003. Ecto– and haemoparasites of chickens in Malawi with

emphasis on the effects of the chicken louse, Menacanthus cornutus [tesis].

Copenhagen (DK): Royal Veterinary and Agriculture University.

Pickworth LC, Morishita TY. 2005. Common external ectoparasite in poultry :

lice and mite. Extension Factsheet [Internet]. [diunduh 2013 Juni

18].Tersedia pada:http://ohioline.osu.edu

Price EO. 2002. Animal Domestication and Behavior. London (GB): CAB

International.

Price MA, Graham OH. 1997. Chewing and Sucking Lice as Parsites of Mammals

and Birds. Agri Res Serv. 18-25, 36-47.

Sastrodihardjo, Resnawati H. 1999. Inseminasi Buatan pada Ayam Buras. Jakarta

(ID): Penebar Swadaya.

Setiawan YY. 2013. Efektivitas Sipermetrin terhadap kutu Menopon gallinae

dengan metode penyemprotan pada ayam petelur [skripsi]. Bogor (ID):

Institut Pertanian Bogor.

Soulsby EJL. 1982. Helminths, Arthropods and Protozoa of Domestic Animals.

Ed7. London (GB): Bailliere & Tindall.

Storer TI, Usinger RL, Nybakken JW.1968. Elements of Zoology. Ed3. New

York (US): McGraw–Hill.

Suprijatna E, Atmomarsono U, Kartasudjana R. 2005. Ilmu Dasar Ternak Unggas.

Jakarta (ID): Penebar Swadaya.

Sychra O, Harmat P, Literák I. 2008. Chewing lice (Phthiraptera) on chicken

(Gallus gallus) from backyard flocks in the eastern part of the Czech

Republic. Vet Parasitol. 152: 344–348.

Taylor MA, Coop RL, Wall RL. 2013. Veterinary Parasitology. Ed3. London

(GB): Blackwell Science.

Wall R, Shearer D. 1997. Veterinary Entomology : Arthropoda Ectoparasites of

Veterinary Importance. London (GB): Chapman & Hall. 296, 301.

17

Wall R, Shearer D. 2001. Veterinary ectoparasites: biology. In: Pathology and

Control. Ed2.London (GB): Blackwell Science. 304.

Wana PW. 2001. Sebaran kutu (Menoponidae : Menopon dan Philopteridae:

Goniodes) pada beberapa bagian tubuh ayam Kampung [skripsi]. Bogor (ID):

Institut Pertanian Bogor.

18

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di kota Merauke pada tanggal 3 September 1990 dan

menjadi anak pertama dari pasangan Sugiyarto dan Annita Tenau. Saat ini penulis

bertempat tinggal di Babakan Lio Wisma Mobster, Dramaga Bogor. Pendidikan

formal Penulis dimulai dari sekolah dasar, yaitu SD Negeri 1 Meraukedan lulus

pada tahun 2002. Pendidikan dilanjutkan ke SMP Negeri 1 Merauke dan lulus

pada tahun 2005 lalu menyelesaikan pendidikan SMA di SMANegeri 1 Merauke

pada tahun 2008. Penulis melanjutkan pendidikan ke IPB pada tahun yang sama

melalui jalur Beasiswa Utusan Daerah (BUD) dan diterima pada Fakultas

Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.

Selama mengikuti pendidikan di Institut Pertanian Bogor penulis aktif di

Himpunan profesi Ruminansia, Badan Eksekutif Mahasiswa periode 2009–2010,

IMAKAHI cabang FKH IPB, STERIL, Playground Teater IPB, dan ENJUKU

Teater serta aktif sebagai Petugas Pemeriksa Hewan Kurban tahun 2009, 2010,

2011, 2012. dan 2013.