NI PATABAI PANGNGISSENGANG KODI -...
Transcript of NI PATABAI PANGNGISSENGANG KODI -...
NI PATABAI PANGNGISSENGANG KODI
Studi Kasus Tentang Konflik Nelayan di Kecamatan Tarowang,
Kabupaten Jenepoto, Sul-Sel
SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelas sarjana pada
Departemen Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Hasanuddin
OLEH :
IRFAN
E51111255
DEPARTEMEN ANTROPOLOGI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR 2018
i
ABSTRAK
Penelitian ini dilatar belakangi oleh terjadinya persaingan antar
nelayan di Kecamatan Tarowang dimana persaingan bukan hanya pada alat
tangkap namun karena adanya penggunaan ilmu gaib merugikan. Ilmu gaib
ini digunakan untuk mengalahkan orang yang dianggap sebagai pesaingnya.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif untuk
mendeskripsikan bagaimana sistem pengetahuan masyarakat nelayan
tentang pangngissengang kodi, mengapa pangngissengang kodi digunakan
dalam persaingan penangkapan ikan, bagaimana dampak penggunaan
pangngissengang kodi dalam hubungan masyarakat nelayan dan bagaimana
mekanisme penyelesain konflik akibat ni patabai pangngissengang kodi.
Berdasarkan hasil analisis pengetahuan nelayan tentang
pangngissengang kodii sangat beragam mulai dari jenis, cara melakukan,
dan media yang digunakan. Adapun beberapa alasan nelayan menggunakan
pangngissengang kodi bukan hanya pada persoalan persaingan yang
menyebabkan terjadinya konflik, namun konflik yang terjadi ditutupi dengan
gaya hubungan yang halus namun kedua pihak sadar bahwa dirinya sedang
berselisih. konflik ini dapat terselesaikan dengan cara di biarkan saja hingga
terlupakan dan juga terdapat momen seperti momen lebaran.
Kata Kunci: persaingan, nelayan, ilmu gaib
ii
ABSTRACT
This research is based on the competition between fishermen in
Tarowang district where competition is not only in fishing gear but because of
the use of occult knowledge is detrimental. Witchcraft is used to beat people
who are considered as competitors.
This research uses qualitative research method to describe how
knowledge system of fisherman society about pangngissengang kodi, why
pangngissengang kodi used in fishing competition, how the impact of using
pangngissengang kodi in relation of fisherman society and how mechanism of
conflict settlement caused by ni patabai pangngissengang kodi.
Based on the results of knowledge analysis of fishermen about
pangngissengang kodi very diverse ranging from type, way of doing, and
media used. As for some reasons fishermen use pangngissengang kodi not
only on the issue of competition that causes the conflict, but the conflict is
covered with a subtle relationship style but both parties are aware that he is
at loggerheads. this conflict can be solved in a way let alone until forgotten
and also there are moments like moments Eid.
Keywords: competition, fisherman, witchcraft
iii
KATA PENGANTAR
Puji syukur Alhamdulillah penulis ucapkan atas berkat rahmat dan
hidayah Allah SWT penyusunan skripsi dengan judul “Ni Patabai
Pangngissengang Kodi Studi Kasus Tentang Konflik Nelayan Di
Kecamatan Tarowang, Kabupaten Jeneponto, Provensi Sulawesi
Selatan” dapat diselesaikan. Adapun Penulisan skripsi ini diajukan sebagai
salah satu syarat guna memperoleh gelar sarjana pada Departemen
Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Poltik, Universitas Hasanuddin.
Penulis menyadari bahwa masih terdapat kekurangan dalam penulisan
skripsi, oleh karena itu penulis sangat mengharapkan saran serta kritik dari
berbagai pihak yang dapat membangun,Terwujudnya skripsi ini tidak lepas
dari partisipasi dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis
ingin menyampaikan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada :
1. Kedua orangtua penulis, Sakkir dan Rosmiah, yang telah
membesarkan penulis dengan sangat tulus serta tak henti-hentinya
memberikan dukungan, doa, nasehat, dan motivasi hingga sampai
detik ini penulis tetap ingin dan bersemangat dalam menyelesaikan
studi.
2. Terimakasih kepada saudara-saudara saya Irwan Sakkir S.Ikom, Irsan
Sakkir, dan Irmawati Sakkir.
3. Prof. Dr. Dwia Aries Tina Pulubuhu, MA, selaku rektor Universitas
Hasanuddin.
4. Prof. Dr. Andi Alimuddin Unde, M.Si, selaku Dekan Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin Makassar beserta
iv
seluruh staff yang telah memberikan pelayanan birokrasi fakultas
selama saya berkuliah di Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik.
5. Prof. Dr. Supriadi Hamdat, MA selaku Ketua Departemen Antropologi
Program Studi S1 Universitas Hasanuddin yang melalui kritikan-
kritikan beliau membantu penulis menyadari kelemahan dan
kekurangan yang ada.
6. Prof. Yamin Sani, MS dan Muhammad Neil, S. Sos, M. Si, selaku
Pembimbing I dan Pembimbing II yang telah banyak memberikan
arahan serta nasehat dalam selama proses penelitian dilakukan.
7. Kepada seluruh dosen-dosen penguji atas kritik dan sarannya,
Dr. Safriadi S.IP. M.Si, Dr. Tasrifin Tahara, M.Si dan Dra. Hj.
Nurhadelia F.L, M.Si.
8. Seluruh Dosen Jurusan Antropologi yang telah memberikan ilmu
dengan tulus dan ikhlas. Terkhusus kepada Dr. Munsi Lampe, MA, Dr.
Muh Basir Said, MA, Prof. Dr. H. Hamka Naping, MA, Prof. H
Pawennari Hijjang, MA, Dr. Tasrifin Tahara, M.Si, Ahmad Ismail,
S.Sos, M.Si, dan Icha Musyawirah Hamka, S.Sos, M.Si, dan Dr. Ansar
Arifin, M.S.
9. Seluruh mahasiswa Jurusan Antropologi angkatan 2011 yang telah
mendukung dan memberikan bantuan selama saya berkuliah.
10. Seluruh adik-adik mahasiswa jurusan antropologi angkatan 2012,
2013. 2014, 2015 dan 2016
11. Seluruh Alumni Antropologi terkhusus kepada, Kak Andi ikbal, Kak
roni, Kak Ramlan, dan kak ucup yang telah memberikan kritik dan
saran selama proses penulisan dilakukan.
12. Seluruh warga pondok 73, ical, aslan, april, ciwank, Akbar dan Kak
Ikbal yang selalu membantu penulis.
13. Seluruh teman-teman di KURENAL tanpa terkecuali yang selalu
memberikan motivasi kepada penulis untuk menyelesaikan studi
v
14. Kepada Devi Juliani Akil, R.A Gemilang Rezki, Amitha, dan Auliah
Yafi yang selalu mengingatkan penulis.
Serta seluruh pihak yang ikut membantu, baik secara langsung maupun
tidak langsung. Penulis hanya bisa berdoa, semoga Allah membalas
kebaikan-kebaikan mereka dengan setimpal. Amin.
Makassar,27 Agustus 2017
IRFAN
vi
DAFTAR ISI
SAMPUL
HALAMAN PENGESAHAN
ABSTRAK…………………………………………………………………..………. i
ABSTRACT………………………………………………………………………....ii
KATA PENGANTAR………………………………………………………….…...iii
DAFTAR ISI………………………………………………………………….……..iv
DAFTAR TABEL…………………………………………………………..……….v
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang………………………………………………..………….…1 B. Fokus Penelitian…………………………………………………….……...4 C. Tujuan Penelitian………………………………………………………...…5 D. Manfaat Penelitian…………………………………………………..……...5 E. Metode Penelitian……………………………………………………..…....6 F. Sistematika Penulisan…………………………………………..………..12
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Konflik dan Persaingan…………………………………………………..13 B. Pengetahuan Lokal dan Ilmu Gaib……………….……………………..22 C. Mimpi……………………………………………………………..………...40 D. Kasus-Kasus Konflik Nelayan…………………………………………...42
BAB III GAMBARAN UMUM
A. Lokasi dan Lingkungan Alam………………….…………………………46 B. Kependudukan………………………………….………….………………49 C. Mata Pencaharian…………………………….………….………………..54 D. Aktifitas Keseharian Nelayan…………………………….………………58
BAB IV HASIL DAN PEMBAHSAN
A. Pengetahuan Nelayan Tarowang Tentang Pangngissengang Kodi...62 B. Pelaku dan Korban Pangngissengang Kodi…………………………....97 C. Dampak Sosial Pangngissengang Kodi………………………….……105 D. Mekanisme Penyelesaian Konflik……………………………………...110
vii
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan……………………………………………………………….115 B. Saran………………………………………………………………………116
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………..118
viii
DAFTAR TABEL
Tabel 1............................................................................................................11
Tebel 2............................................................................................................50
Tabel 3............................................................................................................52
Tabel 4............................................................................................................53
Tabel 5............................................................................................................55
1 | N I P A T A B A I P A N G N G I S S E N G A N G K O D I
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ketertarikan sarjana antropologi mengenai penggunaan ilmu gaib
dalam kehidupan suatu masyarakat sudah lama ada. Ilmu gaib dalam
pandangan antropologi merupakan hasil dari pengembangan pengetahuan
manusia untuk memecahkan masalah. Tidak mampunya pengetahuan
manusia mengatasi sebagian masalah yang dihadapinya mendorong
manusia mengembangkan magic atau ilmu gaib. Magic adalah semua
tindakan manusia untuk mencapai sesuatu dengan menggunakan kekuatan-
kekuatan alam dan luar lainnya. (Koentjaraningrat 1980:54). Pada
perkembangan selanjutnya, karena magis juga dipandang tidak dapat
menyelesaikan sebagian masalah yang dihadapi manusia maka mulailah
timbul kesadaran bahwa di alam ini ada mahluk kasat mata yang
menempatinya sebagian alam. Mulailah manusai mencari hubungan dengan
mahluk-mahluk halus tersebut dan timbullah religi. Religi adalah segala
sistem tingkah laku manusia untuk memproleh sesuatu dengan cara
memasrahkan diri kepada penciptanya.
Sebagai suatu kesatuan sosial, masyarakat nelayan hidup, tumbuh,
dan berkembang di wilayah pesisir atau wilayah pantai. Dalam konstruksi
2 | N I P A T A B A I P A N G N G I S S E N G A N G K O D I
sosial masyarakat di kawasan pesisir, masyarakat nelayan merupakan
bagian dari konstruksi sosial tersebut, meskipun disadari bahwa tidak semua
desa-desa di kawasan pesisir memiliki penduduk yang bermata pencaharian
sebagai nelayan. Walaupun demikian, di desa-desa pesisir yang sebagian
besar penduduknya bermata pencaharian sebagai nelayan, petambak, atau
pembudidaya perairan, kebudayaan nelayan berpengaruh besar terhadap
terbentuknya identitas kebudayaan masyarakat pesisir secara keseluruhan
(Ginkel dalam Kusnadi, 2010).
Pada dasarnya penggolongan sosial dalam masyarakat nelayan
dapat ditinjau dari tiga sudut pandang (Kusnadi, 2002) yaitu: Pertama, dari
segi penguasaan alat-alat produksi atau peralatan tangkap (perahu, jaring
dan perlengkapan yang lain), maka struktur masyarakat nelayan dapat
dikategorikanmenjadi nelayan pemilik dan nelayan buruh. Nelayan buruh
tidak memiliki alat-alat produksi, hanya menyumbangkan jasa tenaganya
dengan memperoleh hak-hak yang sangat terbatas. Kedua, ditinjau dari
tingkat skala investasi modal usahanya, struktur masyarakat nelayan terbagi
ke dalam nelayan besar dan nelayan kecil. Disebut nelayan besar, karena
jumlah modal yang diinvestasikan dalam usaha perikanan relatif banyak,
sedangkan pada nelayan kecil justru sebaliknya. Ketiga, dipandang dari
tingkat teknologi peralatan tangkap yang digunakan, masyarakat nelayan
terbagi kedalam kategori nelayan modern dan nelayan tradisional. Nelayan-
3 | N I P A T A B A I P A N G N G I S S E N G A N G K O D I
nelayan modern menggunakan teknologi penangkapan yang lebih canggih
dibandingkan dengan nelayan tradisional.
Dalam pemanfaatan sumberdaya laut, perilaku eksploitatif yang
takterkendali berimplikasi luas terhadap kelangkaan sumberdaya perikanan
dan kemiskinan nelayan. Di samping itu, kompetisi antar nelayan dalam
memperebutkan sumberdaya perikanan terus meningkat, sehingga
berpotensi menimbulkan konflik secara eksplosif di berbagai wilayah
perairan, khususnya di kawasan yang menghadapi kondisi
overfishing(tangkap lebih). Kondisi-kondisi umum yang secara tidak langsung
dapat mempengaruhi timbulnya konflik nelayan (Kusnadi, 2010).
Kompetisi terjadi dalam penggunaan teknologi alat tangkap juga
perebutan sumber daya di lokasi wilayah penangkapan (fishingground)
Pemanfaatan teknologi penangkapan sangat tergantung pada kemampuan
modal dan ketrampilan nelayan dalam menggunakannya. Tidak semua
lapisan masyarakat dapat memanfaatkan teknologi penangkapan modern.
Sementara laut sebagai sumber daya milik bersama (common property
resources) tidak memiliki batasan wilayah yang jelas (Syaiful, 2013).
Kalau manusia dalam hidupnya tak dapat mencapai keinginannya,
atau maksud dan tujuannya, karena ia sampai kepada batas kemampuan
sistem pengetahuan atau ilmu pengetahuan, maka ia sering akan mencari
usaha lain untuk mencapai kehendaknya, lari ke religi atau agama, dan
berdo’a kepada ruh-ruh, dewa-dewa, atau tuhan, untuk mendapat apa yang
4 | N I P A T A B A I P A N G N G I S S E N G A N G K O D I
diingininya itu, tetapi lebih sering ia akan lari ke ilmu gaib (Koentjaraningrat,
1974).
Pada masyarakat nelayan khususnya di Kecamatan Tarowang
Kabupaten Jeneponto, penggunaan ilmu gaib sering dilakukan. Masyarakat
lokal Tarowang menyebut ilmu gaib sebagai pangngissengang kodi yang jika
di artikan dalam Bahasa Indonesia berarti pengetahuan tidak baik.
Pangngissengang kodi ini digunakan dalam persaingan penangkapan ikan.
Berdasarkan uraian di atas, bahwa pada masyarakat nelayan di
Kecamatan Tarowang Kabupaten Jeneponto menggunakan ilmu gaib
sebagai media dalam persaingan penangkapan ikan. Hal ini yang menjadi
alasan penulis mengambil judul : “ Ni’ PatabaiPanggissengang Kodi ” Studi
Kasus Tentang Konflik Nelayan di Kecamatan Tarowang Kabupaten
Jeneponto, Sul-Sel.dalam penelitian ini penulis ingin melihat persaingan yang
berubah menjadi konflik dan mekanisme penyelesaian konflik antar nelayan.
B. Fokus Penelitian
Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah pada proposal
penelitian ini adalah:
1. Bagaimana sistem pengetahuan masyarakat nelayan tentang
pangngissengang kodi?
2. Mengapa praktek magis tersebut dipergunakan dalam persaiangan
penangkapan ikan?
5 | N I P A T A B A I P A N G N G I S S E N G A N G K O D I
3. Bagaimana dampak dari penggunaannya dalam hubungan antar nelayan
dalam masyarakat?
4. Bagaimana mekanisme penyelesaian konflik yang diakibatkan?
C. Tujuan Penelitian
Berpedoman pada rumusan masalah, penelitian ini bertujuan:
1. Mengetahui bagaimana sistem pengetahuan masyarakat nelayan
mengenai pangngissengang kodi.
2. Mengetahui mengapa pangngissengang kodi digunakan dalam
persaingan penangkapan ikan.
3. Mengetahui bagaimana dampak penggunaan pangngissengang kodi
dalam hubungan masayarakat nelayan.
4. Mengetahui mekanisme penyelesaian konflik akibat ni’patabai
pangngissengang kodi.
D. Manfaat Penelitian
Secara akademis, untuk memperluas kajian-kajian antropologi
mengenai konflik nelayan dan sumbangsi pemikiran bagi Pemerintah Daerah
yang dapat digunakan sebagai pengetahuan atau bahkan menjadi salah satu
sisi pertimbangan pembangunan dan pengembangan wilayah pesisir dan
masyarakat nelayan (sumberdaya manusia) khususnya dalam bidang
ekonomi, sosial dan buadaya di Kecamatan Tarowang Kabupaten Jeneponto,
Sulawesi Selatan.
6 | N I P A T A B A I P A N G N G I S S E N G A N G K O D I
E. Metode Penelitian
Penulis menggunakan metode penelitian kualitatif, dengan harapan
dapat mengambarkan secara jelas dan sistematis kepada pembaca
mengenai konflik yang terjadi antar nelayan di Kecamatan Tarowang
Kabupaten Jeneponto, Sul-Sel.
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah deskriptif dengan menggunakan
metode penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif dapat diartikan sebagai
penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau
lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati dari orang-orang yang
diteliti (Bogdan dan Taylor, dalam Moleong, 2011: 4). Penelitian ini bersifat
kualitatif dengan metode penulisan deskritif, yang bertujuan menjelaskan dan
mendeskripsikan; bagaimana pengetahuan nelayan tentang
pangngissengang kodi yang kemudian memicu terjadinya konflik dan
bagaimana model peyelesainnya. sehingga dibutuhkan beberapa teknik
pengumpulan data, agar penelitian yang dilakukan dapat memperoleh data
yang penulis butuhkan. Peneliti memilih menggunakan pendekatan kualtitatif
agar dapat mengurai fakta-fakta yang terjadi secara alamiah dengan
menggambarkan secara rinci semua aktifitas yang terjadi pada nelayan.
7 | N I P A T A B A I P A N G N G I S S E N G A N G K O D I
2. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Tarowang Kabupaten Jeneponto,
Sulawesi Selatan, yang merupakan salah satu wilayah pesisir dengan jumlah
nelayan yang cukup banyak. Jarak dan waktu tempuh dari Kota Makassar
menuju Kecamatan Tarowang Kabupaten Jeneponto, Sulawesi Seelatan
adalah, sekitar ±120 km dengan waktu tempuh ±3-4 jam dengan
menggunakan motor atau mobil dengan kecepatan 70-80 km/jam.
Faktor utama dari dipilihnya Kecamatan Tarowang sebagai lokasi
penelitian, disebabkan karena di lokasi ini penulis mendengar issu adanya
penggunaan ilmu gaib yang dapat merugikan seseorang. Adapun penelitian
ini mulai di lakukan pada tanggal 21 april sampai dengan 21 juli 2016.
3. Teknik Penentuan Informan
Informan dalam penelitian ini dipilih secara sengaja (purposive)
dengan criteria mereka yang pernah atau sedang menjadi korban dan pelaku.
Menemukan korban maupun pelaku sangatlah sulit karena objek penelitian
ini sangat sensitive. Sangat sulit menemukan orang yang ingin membahas
masalah pangissengang kodi dari keduanya, pelaku dan korban. Karena itu
peneliti memulainya dari salah satu keluarga peneliti sendiri yang diketahui
penah mengalami masalah yang menjadi focus penelitian. Dari informan
pertama diperoleh keterangan awal secara umum mengenai pangissengang
kodi yang menimpanya, dan dari beliau dilanjutkan ke informan kedua dan
8 | N I P A T A B A I P A N G N G I S S E N G A N G K O D I
seterusnya yang diketahui dari informan pertama. Informan dalam penelitian
ini dipilih berdasarkan krtiteria sebagai berikut; (1) laki-laki yang bekerja
sebagai nelayan dan pernah menjadi korban atau pelaku, (2) nelayan atau
masyarakat umum yang memiliki pengetahuan tentang pangngissengang
kodi dan (3) mereka yang dilibatkan dalam penggunaan dan penyembuhan
jika terkena. Berdasarkan informasi dan informan pertama, pedoman
wawancara yang sudah disiapkan sebelumnya direvisi dengan memasukkan
pertanyaan-pertanyaan yang tidak difikirkan sebelumnya.
Selama penelitian berlangsung tidak dipastikan berapa jumlah
informan yang akan ditemui, mengingat masalah ini adalah masalah yang
sensitif dan dapat membuka luka baru yang bisa mempengaruhi hubungan
yang mungkin sudah baik. Karena itu diputuskan untuk menggunakan
snowball, dimana peneliti mencari satu informan yang di ketahui sering
menggunakan pangngissengang kodi dan satu informan yang pernah atau
sedang terkena pangngissengang kodi melalui informan pertama, setelah
peneliti menemukan dua nelayan yang menjadi informan peneliti kembali
mencari informan melalui informan yang telah di sarankan oleh informan.
4. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan dua metode
utama yaitu:
9 | N I P A T A B A I P A N G N G I S S E N G A N G K O D I
1. Observasi
Pengamatan dilakukan terutama pada pemukiman penduduk dan
lokasi dimana perahu-perahu nelayan ditambatkan. Juga pada lokai-lokai
dimana nelayan dan warga sering berkumpul dan memperbaiki kapal
mereka. Pemilihan lokasi tersebut adalah untuk mencoba mereka aktifitas
pelaku ketika melakukan aksinya dan cara nelayan mengawasi perahu
mereka. Observasi mulai di lakukan pada hari ke dua peneliti berada di
lokasi penelitian pada pagi hari sekitar pukul 07:00 s/d 12:00 dan di
lanjutkan pada sekitar pukul 14:00 s/d 17:00. Tetapi karena ditemukan
data bahwa pelaku umumnya aktif pada malam hari, maka peneliti juga
melakukan observasi pada malam hari terutama pada pukul 19:00 s/d
21:00. Saat tersebut merupakan waktu dimana para nelayan mulai
melakukan aktifitas mempersiapkan keerangkatan mereka ke laut atau
memeriksa kapal sebelum tidur. Pengamatan terhadap aktifitas tersebut
akan memberikan pemahaman terhadap bentuk-bentuk perilaku nelayan
dalam memeriksa perahu dan bagian mana yang diperiksa. Juga untuk
melihat cara-cara mereka mengantisipasi agar tidak menjadi korban.
Pengamatan juga dilakukan ketika nelayan kembali dari laut yang
berlangsung pada pagi hingga siang hari dan menjalankan aktifitas rutin
seperti melepas ikan dari jaring, mencuci dan membersihkan jaring,
memperbaiki jaring yang robek dan meletakkannya kembali ke perahu.
Sedangkan di sore hari peneliti mengamati nelayan yang sedang bersiap
10 | N I P A T A B A I P A N G N G I S S E N G A N G K O D I
untuk melakukan penangkapan ikan, kemudian di lanjutkan pada malam
hari dimana aktifitas bongkar ikan di lakukan. Selain mengamati aktifitas
nelayan di labuang peneliti juga mengamati aktifitas orang-orang yang
berada di tempat tersebut untuk melihat bentuk-bentuk interaksi yang
terjadi.
2. Wawancara
Wawancara awal tidaklah terlalu sulit karena informan merupakan
keluarga peneliti. Informan mengenal peneliti dengan baik dan peneliti
mampu menggunakan dan mengerti bahasa Makassar sehingga
komunikasi menjadi lebih mudah. Tetapi untuk beberapa informan lainnya
peneliti dibantu oleh keluarga untuk membuka komunkasi. Setelah
perkenalan maka peneliti mulai mendatangi informan ketika sedang
berada di perahu atau langsung ke rumahnya. Wawancara dimulai
dengan penyampaian maksud peneliti dan apa yang akan dilakukan,
sambil mengamati perilaku informan jika menunjukkan tanda-tanda
keberatan atau penolakan. Karena itu wawancara awal dilakukan dengan
santai dan hanya membicarakan masalah umum saja dan tidak langsung
melakukan indeepth interview. Setelah melihat bahwa informan tidak
menolak atau menunjukkan penolakan maka wawancara yang lebih
serius dilakukan. Karena masalah ini sangat sensitif untuk dibicarakan
pada situasi yang terbuka, maka rata-rata wawancara informan dilakukan
11 | N I P A T A B A I P A N G N G I S S E N G A N G K O D I
sesuai perjanjian yang dbuat meliputi tempat dan waktu, namu dapat
berubah jika informan merasa tidak nyaman.
Informan pertama adalah keluarga peneliti sendiri setelah beliau
digunakan snowball sampling berdasarkan petunjuk informan pertama.
Dalam penelitian ini peneliti mewawancarai enam informan daam dua
kategri yaitu: tiga nelayan yang memiliki pengetahuan tentang pangngissengang
kodi (pelaku) dan tiga orang nelayan yang pernah terkena pangngissengang
kodi (korban), namun salah satu nelayan yang masuk dalam kriteria pelaku tidak
bersedia untuk memberikan informasi.
Tabel :1 Responden
No INISIAL INFORMAN
JENIS KELAMIN
KETERANGAN INFORMASI
1 HM Laki-Laki Korban 2 DM Laki-Laki Korban 3 RF Laki-Laki Utama / Korban 4 NY Laki-Laki Pelaku 5 MR Laki-Laki Pelaku 6 SL Laki-Laki Pelaku
Adapun kendala dalam wawancara terbatasnya pengetahuan
peneliti tentang istilah-istilah dalam Bahasa Makassar yang digunakan
oleh informan, sehingga peneliti harus mempertanyakan kembali maksud
dari jawaban informan atau dengan meminta beberapa contoh yang
dapat membantu mengerti maksud informan.
12 | N I P A T A B A I P A N G N G I S S E N G A N G K O D I
Rata-rata wawancara mendalam (indeppth interview) dilakukan
pada malam hari sekitar pukul 20:00 di rumah informan dengan nada
suara yang sangat kecil. Terdapat beberapa alasan mengapa wawancara
harus di lakukan di malam hari dan memilih rumah informan yaitu (1)
pada pagi hingga sore hari informan melakukan aktifitasnya sebagai
nelayan, dan (2) masalah yang sedang diteliti juga merupakan masalah
sensitif yang tidak boleh diketahui oleh nelayan lain.
F. Sistematika Penulisan
BAB I : Merupakan bagian awal yang berisi penjelasan tentang Latar
belakang, Fokus, Tujuan, Manfaat Penelitian, dan Metode
penelitian, serta sistematika penulisan laporan akhir.
BAB II : Bagian ini berisi review artikel yang berhubungan dengan topik
penelitian ini. Topik artikel-artikel tersebut meliputi konflik dan
persaingan, pengetahuan lokal dan ilmu gaib, mimpi dan kasus-
kasus konflik nelayan.
BAB III : Gambaran umum lokasi, beriskan tentang, lokasi dan lingkungan
alam, kependudukan, sistem mata pencaharian dan pusat
perbelanjaan.
BAB IV : Hasil dan pembahasan beriskan tentang, pengetahuan nelayan
tentang pangngissengang kodi, pangngissengang kodi dalam
persaingan, dampak pangngissengang kodi terhadap hubungan
nelayan dan mekanisme penyelesaian konflik.
BAB V : Penutup berisikan tentang kesimpulan dan saran.
13 | N I P A T A B A I P A N G N G I S S E N G A N G K O D I
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Konflik dan Persaingan
Fedyani (1986) Konflik didefinisikan sebagai pertentangan yang
bersifat langsung dan disadari anatara individu-individu atau kelompok-
kelompok untuk mencapai tujuan yang sama. Kekalahan pihak lawan
dianggap sangat penting daripada objek yang hendak di capai. Dalam
kenyataan, karena berkembangnya rasa kebencian yang makin mendalam,
pencapaian tujuan seringkali menjadi sekunder sedangkan pihak lawan yang
di hadapi jauh lebih penting.
Konflik memiliki pengertian yang berbeda-beda, demikian juga para
ahli dalam memberikan definisi konflik tidak ada yang sama, karena sudut
pandang mereka yang berbeda. Kata konflik berasal dari kata confligere,
conflictum yang berarti saling berbenturan. Arti kata ini menunjuk pada
semua bentuk benturan, tabrakan, ketidaksesuaian, ketidakserasian,
pertentangan, perkelahian, oposisi dan interaksi-interaksi yang antagonis
(Kartono, 1998).
Robbin (1984) menyatakan konflik adalah suatu proses usaha yang di
lakukan seseorang untuk mengimbangi usaha-usaha orang lain dengan cara
merintangi yang menyebabkan frustrasi dalam mencapai tujuan atau
meningkatkan keinginannya. Konflik juga dapat didefinisikan sebagai suatu
14 | N I P A T A B A I P A N G N G I S S E N G A N G K O D I
keadaan yang di dalamnya terdapat kecekcokan maksud antara nilai-nilai
atau tujuan-tujuan, berpacu menuju tujuan dengan cara yang tidak atau
kelihataanya kurang sejalan sehingga yang satu berhasil sementara yang
lainnya tidak, juga merupakan konflik.
Menurut Andriati (2012) Konflik adalah gejala yang selalu hadir dalam
masyarakat, karena perbedaan fungsi atau peran/kekuasaan dan adanya
distribusi sumberdaya yang terbatas. Lawang (dalam Waluya, 2007), juga
mengatakan bahwa konflik diartikan sebagai perjuangan untuk memperoleh
hal-hal yang langkah, seperti nilai, status, kekuasaan, dan sebagainya, yang
tujuan mereka berkonflik itu tidak hanya memperoleh keuntungan, tetapi juga
menundukkan pesaingnya. Konflik dapat diartikan sebagai benturan kekuatan
dan kepentingan antara satu kelompok dan kelompok lain dalam proses
perebutan sumber-sumber kemasyarakatan (ekonomi, politik, sosial, dan
budaya) yang relatif terbatas.
Deaux, Dane, & Wrightsman (1993), mengemukakan kompetisi adalah
aktivitas mencapai tujuan dengan cara mengalahkan orang lain atau
kelompok. Individu atau kelompok memilih untuk bekerja sama atau
berkompetisi tergantung dari struktur reward dalam suatu situasi.
Menurut Liliweri, (2005) bentuk persaingan apapun mengandung
potensi konflik. Konflik dan kompetisi memiliki akar yang sama, dimana setiap
individu atau kelompok selalu berjuang untuk mencapai yang dicita-citakan.
15 | N I P A T A B A I P A N G N G I S S E N G A N G K O D I
Perbedaan terutama terletak pada bentuk intervensi atau gangguan untuk
mencapai tujuan.
Mack (dalam Liliweri-2005), menggambarkan perbedaan antara
persaingan dan konflik sebagai berikut: sepanjang partisipan lari tanpa
mengganggu yang lain maka, disana ada kompetisi. Jika seorang pelari
menyelipkan kakinya pada kaki pesaingnya maka ia sudah mengubah aturan
permainan dalam atletik. Jadi, sifat interaksi telah berubah dari persaingan
yang beraturan menjadi arena konflik. Tindakan yang mengganggu orang lain
secara tidak beraturan awal mula terjadinya konflik.
1. Fungsi dan Makna Konflik
Konflik merupakan suatu fenomena sosial yang bersifat universal, dan
menjadi bagian yang integral serta esensial dalam kehidupan masyarakat.
Oleh karena itu, konflik tidak perlu dilihat sebagai gejala patologis yang
bersumber dari tingkah-laku abnormal, atau indikasi dari suatu kekacauan
dalam dinamika kehidupan masyarakat, karena setiap komunitas masyarakat
mempunyai kapasitas untuk menciptakan norma-norma dan mekanisme-
mekanisme tersendiri untuk menyelesaikan konflik-konflik yang muncul dalam
pergaulan sosial warga masyarakat (Nader, 1968; Coser, 1968, Roberts,
1979, More, 1978).
Dari perspektif antropologi hukum menurut Gluckman (dalam Ihromi,
2011) mengatakan bahwa fenomena konflik mempunyai makna ganda yaitu:
16 | N I P A T A B A I P A N G N G I S S E N G A N G K O D I
di satu sisi konflik mempunyai makna negatif menimbulkan perpecahan atau
disintegrasi suatu kehidupan sosial, melemahkan kohesi sosial, atau
menimbulkan kerusakan suatu sistem hubungan sosial dalam masyarakat.
Tetapi, di sisi lain konflik juga memiliki makna positif dalam memertahankan
integrasi sosial, memperkokoh keseimbangan hubungan sosial, dan memberi
kontribusi untuk mengembalikan keseimbangan hubungan sosial antar
individu atau kelompok dalam masyarakat. Yang disebutkan terakhir akan
dapat terwujud apabila pihak-pihak yang bersengketa secara bersama-sama
dapat mengelola, mengendalikan, dan menyelesaikan konflik yang dihadapi
secara dewasa, bijak dan damai, dengan atau tanpa mengundang kehadiran
pihak ke-tiga.
Dengan kata lain, dari perspektif antropologi hukum Roberts (dalam
Ihromi, 2001) mengatakan konflik tidak selalu bermakna negatif dalam
kehidupan masyarakat, karena konflik juga mempunyai makna positif yang
dapat memperkokoh integrasi dan kohesi hubungan sosial dalam
masyarakat, atau mengembalikan keseimbangan hubungan dan sendi-sendi
kehidupan sosial. Jadi, sesungguhnya konflik yang terjadi dalam masyarakat
mengandung arti yang konstruktif dan bersifat integrative, karena konflik juga
mempunyai kekuatan tersendiri untuk membentuk, mengembangkan,
menertibkan ulang suatu relasi sosial, interaksi, atau tatanan kehidupan yang
sudah ada dalam masyarakat.
17 | N I P A T A B A I P A N G N G I S S E N G A N G K O D I
Secara umum dikatakan bahwa terjadinya konflik dalam masyarakat
bersumber dari persoalan-persoalan seperti berikut;
1. Penguasaan, pemanfaatan dan distribusi sumber daya alam yang
menjadi pendukung kehidupan manusia (natural resource control and
distribution);
2. Ekspansi batas wilyah kehidupan suatu kelompk masyarakat (territorial
expantion);
3. Kegiatan ekonomi masyarakat (economic activities); dan
4. Kepadatan penduduk (density of population).
Oleh karena itu, dalam perspektif antropologi hukum, konflik yang
terjadi dalam masyarakat paling tidak dapat dikategorisasi menjadi tiga
macam yaitu:
1. Konflik kepentingan (conflict of interest);
2. Konlik nilai-nilai (conflict of values); dan
3. Konflik norma-norma (conflict of norms).
Nader dan Todd (dalam Ihromi, 2001) menyatakan bahwa pada
dasarnya konflik-konflik yang terjadi dalam masyarakat melalui tahapan-
tahapan konflik (conflict stages) seperti berikut:
1. Pada tahap pertama, konflik berawal dari munculnya keluhan-keluhan
(grievance) dari salah satu pihak terhadap pihak yang lain (invidu atau
kelompok), karena pihak yang mengeluh merasa hak-haknya dilanggar,
diperlakukan secara tidak wajar, kasar, dipersalahkan, diinjak harga
18 | N I P A T A B A I P A N G N G I S S E N G A N G K O D I
dirinya, dirusak nama baiknya, dilukai hatinya, dll. Kondisi awal seperti ini
disebut sebagai tahapan pra-konflik (pre-conflict stage) yang cenderung
mengarah kepada konfirmasi yang bersifat monadic (monadic).
2. Pada tahap ke-dua, apabila kemudian pihak yang lain menunjukkan
reaksi negatif berupa sikap yang bermusuhan atas munculnya keluhan-
keluhan dari pihak yang pertama, maka kondisi ini meningkat eskalasinya
menjadi situasi konflik (conflict stage), sehingga konfrontasi antar pihak-
pihak berlangsung secara diadik (diadic).
3. Pda tahap ketiga, apabila kemudian konflik antar pihak-pihak tersebut di
tunjukkan dan bawa ke area public (masyarakat), dan kemudian diproses
menjadi kasus perselisihan dalam institusi penyelesaian sengketa
tertentu dengan melibatkan pihak ketiga, maka situasinya telah
meningkat menjadi sengketa (dispute stage), dan sifat konfrontasi antar
pihak-pihak yang berselisih menjadi triadik (triadic)
2. Model-Model Penyelesaian Konflik
Setiap bentuk masyarakat dimanapun dan kapan pun pada dasarnya
mempunyai kemampuan untuk menciptakan norma-norma dan mekanisme-
mekanisme serta membangun institusi-institusi tertentu untuk menyelesaikan
setiap konflik yang muncul dalam masyarakat (Moore, dalam Ihromi, 2001).
Masyarakat memberi makna konflik sebagai bagian dari dinamika kehidupan
sosial, dan makna konflik yang diberikan masyarakat juga sangat bergantung
19 | N I P A T A B A I P A N G N G I S S E N G A N G K O D I
pada nilai-nilai, kepercayaan, dan norma-norma yang dianut, serta bentuk-
bentuk institusi sosial yang dibangun untuk menyelesaikan konflik (Roberts,
dalam Ihromi, 2001)
Sistem nilai, norma, politik, ekonomi, dan keyakinan sangat
mempengaruhi pilihan bentuk institusi dan model-model penyelesaian konflik
dalam masyarakat. Institusi penyelesaian konflik yang dikenal dalam
masyarakat paling tidak ada dua macam, yaitu:
1. Intitusi penyelesaian konflik yang bersifat tradisional, yaitu: bersumber
dari sistem politik dan hukum rakyat dan berlangsung secara tradisional
(folk institutions);
2. Institusi penyelesaian sengketa yang dibangun dari sistem politik dan
hukum Negara (states institutions)
Dalam kondisi masyarakat yang masih sederhana dan subsisten, di
mana relasi antar individu, hubungan kekerabatan dan kelompok masih kuat ,
maka pilihan intitusi untuk menyelesaikan konflik di arahkan kepada institusi-
institusi untuk menyelesaikan konflik yang bersifat kerakyatan (folk
institutions), karena institusi penyelesaian sengketa yang bersifat tradisional
bermakna sebagai institusi penjaga keteraturan sosial (social order) dan
dimaksudkan untuk pengembalian keseimbangan magis dalam masyarakat.
Oleh karena itu makna penyelesaian konflik melalui institusi tradisional
dengan mengacu pada hukum rakyat (folk law) lebih ditujukan untuk
20 | N I P A T A B A I P A N G N G I S S E N G A N G K O D I
mengembalikan hubungan sosial yang tergaggu dan lebih dari itu
mengembalikan keseimbangan magis dalam masyarakat (win-win solution).
Sedangkan, konflik-konflik yang terjadi dalam masyarakat yang
kompleks dan modern, di mana relasi sosial lebih bersifat individualistik,
berorientasi pada perekonomian pasar, cenderung diselesaikan melalui
institusi penyelesaian konflik yang formal mengacu pada hukum negara
dikenal sebagai pengadilan (court), yang digerakkan oleh hakim-hakim
pengadilan (judges), menerima, memeriksa, dan memutuskan suatu konflik
untuk menyatakan pihak yang satu menang dan pihak yang kalah dalam
sengketa tersebut (win-lose solutions) (Benda-Buckman, 1986).
Sedangkan, model-model penyelesaian konflik yang dikenal dalam
masyarakat sederhana maupun kompleks (modern) pada pokoknya adalah:
1. Negosiasi, melalui proses kompromi antara pihak-pihak yang berkonflik,
tanpa mengundang kehadiran pihak ke tiga untuk menyelesaikan konflik
yang terjadi diantara mereka;
2. Mediasi, melalui kesepakan antara pihak-pihak untuk melibatkan pihak ke
tiga (mediator) dalam penyelesaian onflik, walau hanya berfungsi sebagai
perantara (go-between) yang bersifat pasif, karena inisiatif untuk
mengambil keputusan sebagi wujud penyelesaian sengeketanya tetap
didasrkan kepada kesapakatan pihak-pihak yang berkonflik.
21 | N I P A T A B A I P A N G N G I S S E N G A N G K O D I
3. Arbitrasi, melalui kesepakatan untuk melibatkan pihak ke tiga yang
disebut arbitrator sebagi wasit yang memberi keputusan dan keputusan
tersebut harus di taati dan dilaksanakan oleh pihak-pihak yang berkonflik.
4. Adjudikasi, sebagai model penyelesaian sengketa melalui institusi
pengadilan dan keputusannya mengikat pihak –pihak yang berkonflik
(Roberts, 1978).
Lev (dalam Ihromi, 2001) pernah melakukan penelitian mengenai
budaya hukum penyelesaian sengketa dalam masyarakat Indonesia,
khususnya masyarakat di daerah pedesaan Jawa dan Bali. Temuan peneliti
tersebut pada pokoknya menyatakan seperti berikut:
Dalam kehidupan sosial sebagian besar masyarakat Indonesia
cenderung untuk menghindari terjadinya konflik dengan siapapun,
karena nilai-nilai pergaulan sosial yang dianut lebih bersifat personal,
komunal, mengutamakan solidaritas dan bernuansa magis. Oleh
karena itu, apabila terjadi konflik maka konflik tersebut cenderung
diselesaikan melalui prosedur kompromi, konsiliasi, mengutamakan
pendekatan personal dan kekerabatan.
Nader dan Todd (dalam Ihromi, 2001) mengemukakaan bahwa dalam
masyarakat dikenal juga model-model penyelesaian konflik seperti:
1. Tindakan kekerasan (coercion), sebagai aksi yang bersifat unilateral
dengan mengandalakan kekuatan fisik dan kekerasan seperti melakukan
22 | N I P A T A B A I P A N G N G I S S E N G A N G K O D I
tndakan hukum sendiri (self-help), atau dalam bentuk perang antar suku
(war fare);
2. Tindakan membiarkan saja (Lumping it), yang dilakukan oleh salah satu
pihak dengan tidak menaggapi keluhan, gugatan, tuntutan pihak yang
lain, atau mengabaikan konflik yang terjadi dengan pihak lain.
3. Tindakan penghindaran (apoidance), yang dilakukan salah satu pihak
dengan menghindari konflik dengan pihak lain, karena sejak awal konflik
yang bersangkutan merasa secar sosial, ekonomi, poloitik, dan
pisikologis merasa sudah tidak berdaya untuk menghadapi pihak yang
lain. Dengan demikian, tindakan menghindari konflik dipandang paling
aman dan menguntungkan tidak saja bagi diri sendiri, tetapi juga bagi
keluarga dan kerabat, dalam rangka menjaga hubungan sosial yang
bersifat jangka panjang
B. Pengetahuan lokal dan Ilmu Gaib
Kesadaran yang terus berkembang bahwa penduduk asli yang tinggal
di suatu wilayah telah mempunyai pemahaman dan pandangan tentang
sumber daya, lingkungan dan ekosisem setempat, menimbulkan pemikiran
bahwa para ahli tidak boleh semata-mata mengandalkan pada cara-cara
ilmiah-resmi dalam memahami suatu wilayah. Kesadaran ini menjadikan
diterimanya pendekatan partisipatif dalam pembangunan serta tumbuhnya
23 | N I P A T A B A I P A N G N G I S S E N G A N G K O D I
minat untuk mengkombinasikan sistem pengetahuan lokal dengan
pengetahuan ilmiah-modern (Arciplant, 2012).
Pengetahuan lokal atau dalam bahasa antropologinya lebih dikenal
dengan sebutan pengetahuan tradisional merupakan bagian integral dari
warisan budaya dari komunitas tradisional yang memilikinya. Bagi
masyarakat suku asli, budaya adalah suatu konsep yang terkait secara
integral, produk dari interaksi dan hubungan yang terus menerus antara
manusia, tanaman dan tanah leluhurnya. Pengetahuan tradisional selalu
mempunyai nilai budaya dan manfaat bagi masyarakat asli (Daulay, 2011:7).
Terdapat tiga konsep dalam pegetahuan tradisional dimana, dalam
masyarakat terdapat yang namanya, proses internalisasi, proses sosialisasi
dan enkulturasi.
1. Proses internalisasi
Proses internalisasi adalah proses panjang sejak orang individu di
lahirkan sampai ia meninggal. Individu belajar menanamkan dalam
kepribadiannya segala perasaan, hasrat, nafsu, dan emosi yang di perlukan
sepanjang hidupnya, dan akan dikembangkan dengan berbagai macam
bentuk serta akan dipengaruhi pula dengan keadaan lingkungan sekitarnya
(Kontjaraningrat, 2009)
24 | N I P A T A B A I P A N G N G I S S E N G A N G K O D I
2. Proses Sosialisasi
Proses sosialisasi berkaitan dengan proses belajar kebudayaan dalam
hubungan dengan system sosial. Dalam proses itu seorang individu dari
masa anak-anak hingga masa tuanya belajar pola tindakan dalam interaksi
dengan segala macam peranan sosial yang mungkin ada dalam kehidupan
sehari-hari (Kontjaraningrat, 2011).
3. Proses Enkulturisasi.
Enkulturisasi adalah pembudayaan. Proses enkulturisasi adalah proses
seorang individu mempelajari dan menyesuaikan alam pikiran serta sikap
dengan adat, system, norma, dan peraturan yang hidup dalam
kebudayaannya (Kontjaraningrat, 2009).
Frazer (dalam Koenjaraningrat, 2009), mengenai asal-mula ilmu gaib
dan religi itu dapat diringkas sebagai sbb: manusia memecahkan soal-soal
hidupnya dengan akal dan sistem pengetahuannya,tetapi akal dan sistem
pengetahuan itu ada batasnya. Makin terbelakang kebudayaan manusia,
makin sempit lingkaran batas akalnya. Soal-soal hidup yang tak dapat
dipecahkannya dengan magic, ilmu gaib. Menurut Frezer, magic adalah
semua tindakan manusia untuk mencapai susatu maksud melalui kekuatan-
kekutan yang ada didalam alam, serta seluruh komplex anggapan yang ada
di belakangnya. Manusia mula-mula hanya mempergunakan ilmu gaib untuk
memecahkan soal-soal hidupnya yang ada di luar batas kemampuan dan
25 | N I P A T A B A I P A N G N G I S S E N G A N G K O D I
penegtahuan akalnya. Pada waktu itu religi belum ada dalam kebudayaan
manusia. Lambat laun terbukti bahwa banyak dari tindakan magic itu tidak
ada hasilnya, maka mulailah ia mencari hubungan dengan mahluk-mahluk
halus itu. Dengan demikian timbullah religi.
Menurut Frezer, memang ada suatu perbedaan besar antara ilmu gaib
dan religi. Ilmu gaib adalah segala sistem tingkah laku dan sikap manusia
untuk mencapai suatu maksud dengan menguasai dan mempergunakan
kekuatan-kekuatan dan kaidah-kaidah gaib yang ada di dalam alam.
Sebliknya religi adalah segala sistem tingkah-laku manusia untuk mencapai
suatu maksud dengan cara menyandarkan diri kepada kemauan dan
kekuasaan mahluk-mahluk halus seperti roh-roh, dewa-dewa dsb., yang
menempati alam. Kecuali menguraikan pendiriannya tentang dasar-dasar
religi.
Menurut Koentjaraningrat (1974), Sistem pengetahuan, Ilmu
Pengetahuan, dan Ilmu Gaib Semua kebudayaan di dunia, dan di dalam
masyarakat-masyarakat yang belum pernah dipengaruhi oleh “ilmu
pengetahuan” dari Eropah Barat, mengenal sesuatu “sistem pengetahuan”.
Berbeda dengan binatang, manusia dalam hidupnya tidak banyak dipimpin
oleh nalurinya. Demikian banyak suku bangsa dimuka bumi ini tak dapat
hidup kalau mereka tidak tahu secara teliti bagaimana berbagai tumbuh-
tumbuhan itu tumbuh dari bijinya, demikian pula banyak suku bangsa dimuka
bumi tak dapat hidup kalau mereka tidak tahu dengan teliti dalam musim-
26 | N I P A T A B A I P A N G N G I S S E N G A N G K O D I
musim apakah berbagai macam ikan pindah ke hilir sungai, demikian
manusia tidak bisa membuat alat-alatnya kalau manusia tidak tahu dengan
teliti ciri-ciri dari bahan mentah yang dipakai untuk membuat alat-alat itu. Tiap
kebudayaan tentu mempunyai suatu kompleks himpunan pengetahuan
tentang alam, segala tumbuh-tumbuhan, binatang, benda-benda dan
manusia sekitarnya, yang berasal dari observasi dan pengalaman yang
diabstrasikan dengan akalnya menjadi konsep-konsep, teori-teori dan
pendirian-pendirian.
Adapun metode-metode untuk mengabstraksikan observasi-observasi
dan pengalaman-pengalaman itu berbeda dengan tiap kebudayaan, dan
karena metodelogi itulah yang menyebabkan adanya suatu sistem dalam
himpunan pengetahuan orang dalam suatu kebudayaan, maka boleh
dikatakan bahwa tiap kebudayaan itu mempunyai sistem-sistem pengetahuan
yang berbeda-beda pula. Dipandang dari sudut itu, maka sistem
pengetahuan yang telah berkembang didalam kebudayaan Yunani klasik
kira-kira abad ke-6 dan ke-5 s.M., dan kemudian dikembangkan lebih lanjut
dalam dunia Eropa Barat kira-kira sejak abad ke-15, juga hanya merupakan
salah satu sistem disambing beribu-ribu sistem lain yang ada diantara
bangsa-bangsa dimuka bumi ini. Demikian ada baiknya kita sebut sistem-
sistem pengetahuan dari berbagai kebudayaan di dunia ini tetap saja “sistem
pengetahuan” untuk membedakannya secara tajam dari “ilmu pengetahuan“
ialah sistem unik yang telah berkembang di Eropah Barat itu.
27 | N I P A T A B A I P A N G N G I S S E N G A N G K O D I
Adapun lapngan-lapangan pengetahuan yang secara universal dapat
menjadi obyek dari sistem-sistem pengetahuan dari kebudayaan-
kebuadayaan didunia adalah pengetahuan tentang ;
1) Alam sekitar manusia,
2) Alam flora dalam daerah tempat tinggal manusia,
3) Alam fauna dalam daerah tempat tinggal manusia,
4) Zat-zat, bahan-bahan mentah dan benda-benda dalam lingkungan
manusia.
5) tubuh manusia,
6) sifat-sifat dan kelakuan sesama manusia,
7) ruang dan waktu.
Pengetahuan tentang alam sekitarnya berupa misalnya pengetahuan
tentang musim-musim, tentang sifat-sifat dari gejala alam, tentang binatang-
binatang dsb. Pengetahuan mengenai soal-soal itu biasanya berasal dari
kebutuhan-kebutuhan praktis berburu, untuk bertani, untuk berlayar
menyeberangi lautan dari satu pulau kepulau lain (seperti pada suku-suku
bangsa penduduk kepulauan di Lautan Teduh). Pengetahuan tentang alam
ini seringkali mendekati lapangan lapngan religi, apabila pengetahuan ini
mengenai soal-soal asal alam, penciptaan alam, asal mula gerhana dsb.
Pengetahuan ini seringkali berupa dongeng atau dianggap suci. Dongeng-
dongeng mengenai penciptaan alam dalam ilmu-ilmu sastra sering disebut
kosmogoni, dan seluruh himpunan dongeng suci, atau mite dalam antropologi
28 | N I P A T A B A I P A N G N G I S S E N G A N G K O D I
dan juga ilmu-ilmu sastra umumnya seperti filologi, penyelidikan folklore,
sejarah kesusastraan dsb, disebut mitologi.
Pengetahuan tentang alam flora sudah tentu merupakan salah satu
pengetahuan dasar bagi kehidupan manusia dalam masyarakat kecil,
terutama kalau mata pencaharian hidupnya yang pokok adalah bercocok
tanam, tetapi juga suku-suku bangsa yang hidup daru berburu, peternakan,
atau perikanan, tidak dapat mengabaikan pengetahuan tentang alam
tumbuh-tubuhan sekelilingnya. Kecuali itu hampir semua suku bangsa yang
hidup dalam masyarakat kecil, mempunyai suatu pengetahuan tentang
rempah-rempah yang dapat dipakai untuk menyembuhkan penyait, untuk
upacara keagamaan, untuk ilmu dukun dsb, atau suatu pengetahuan tentang
tumbuh-tumbuhan untuk membuat bahan cat, untuk membuat berbagai
macam racun buat senjata dsb.
Pengetahuan tentang alam fauna merupakan pengetahuan dasar,
tidak hanya hiup bagi suku-suku bangsa yang hidup dari berburu atau
perikanan, tetapi juga bagi yang hidup dari pertanian. Daging binatang
merupakan unsur penting dalam makanan suku-suku bangsa bertani juga.
Kecuali itu, orang tani harus juga tahu banyak tentang kelakuan binatang,
untuk bisa menjaga tumbuh-tumbuhan diladang atau disawah terhadap
binatang-binatang itu.
Pengetahuan tentang ciri-ciri zat-zat, bahan-bahan mentah, benda
sekelilingnya, juga amat penting bagi manusia, karena tanpa itu manusia tak
29 | N I P A T A B A I P A N G N G I S S E N G A N G K O D I
mungkin dapat membuat serta mempergunakan alat-alat hidupanya. Sistem
teknologi dalam suatu kebudayaan sudah tentu erat bersangkut paut dengan
sistem pengetahuan tentang za-zat, bahan-bahan mentah dan benda-benda
ini.
Penegetahuan tentang tubuh manusia dalam kebudayaan-
kebudayaan yang belum amat banyak dipengaruhi ilmu kedokteran modern,
seringkali juga amat luas. Pengetahuan dan ilmu untuk menyembuhkan
penyakit dalam masyarakat lokal sering dilakuakan oleh para dukun dan
tukan pijat, dan oleh karena itu disebut ilmu dukun. Ilmu dukun memang
biasanya mempergunakan banyak sekali ilmu gaib, tetapi disamping itu para
dukun sering kali juga mempunyai pengetahuan yang luas tentang ciri-ciri
dan sifat tubuh manusia, tentang letak dan susunan urat dsb.
Manusia yang hidup pada tiap masyarakat tidak dapat mengabaikan
pengetahuan baru. Banyak suku bangsa yang belum terpengaruh ilmu
psikologi moderen, dalam hal bergaul dengan sesama harus berperan
kepada misalnya pengetahuan tentang tipe-tipe wajah (ilmu filsfat), atau
pengetahuan tentang tanda-tanda tubuh dsb. Dalam golongan ini juga dapat
dimasukan penegetahuan tentang sopan santun bergaul, tentang adat
istiadat, tentang sitem norma-norma, tentang hukum adat dsb, kemudian juga
pengetahuan tentang silsilah-silsilah, tentang sejarah dsb.
Pengetahuan dan konsepsi-konsepsi tentang ruang dan waktu juga
ada dalam kebudayaan-kebudayaan yang belum terpengaruh oleh ilmu pasti
30 | N I P A T A B A I P A N G N G I S S E N G A N G K O D I
moderen. Banyak kebudayaan lokal mengenal sistem untuk menghitung
jumlah-jumlah besar, untuk mengukur, untuk menimbang, untuk mengukur
waktu (tanggalan) dsb.
Sistem pengetahuan dalam semua kebudayaan tentu mempunyai
batas kemampuanya, yang satu lebih atau kurang luas dari yang lain, bahkan
ilmu pengetahuan yang sering demikian kita kagumi mempunyai batas-
batasanya pula, karena masih banyak juga rahasia alam yang belum dapat di
kuasainya. Kalau manusia dalam hidupnya tak dapat mencapai
keinginannya, atau maksud dan tujuanya, karena ia sampai kepada batas
kemampuan sistem pengetahuan atau ilmu pengetahuan itu tadi, maka ia
sering akan mencari usaha lain untuk mencapai kehendaknya, ia sering akan
lari ke religi atau agama, dan mendo’a kepada ruh-ruh, dewa-dewa, atau
tuhan, untuk mendapat apa yang diingininya itu, tetapii lebih sering ia akan
lari ke ilmu gaib. Di Indonesia banyak orang, bahkan yang sudah jauh
terpelajar, kalau menderita suatu penyakit yang tak dapat disembuhkan,
seteleh pergi dari satu dokter, akhirnya sering akan pergi ke para dukun.
Tidak hanya di indonesia, bahkan di Amerika, antara orang-orang yang
katanya amat rasional ialah kaum raja uang di Wall Sreet di New York, pada
waktu dolar melemah pada tahun 1929, maka banyak dari mereka yang
meninggalkan angka-angka statistik dan grafik-grafik ekonomi, untuk lari ke
dunia akhirat dengan jalan bunuh diri, tetapi juga banyak yang lari ke dukun-
dukun peramal atau ahli-ahli astrologi.
31 | N I P A T A B A I P A N G N G I S S E N G A N G K O D I
Dasar-dasar Ilmu Gaib. Ilmu gaib atau dalam bahasa asing magic,
merupakan teknik-teknik atau kompleks cara-cara yang di pergunakan oleh
manusia untuk mempengaruhi alam sekitarnya sedemikian rupa hingga
sekitarnya itu menuruti kehendakanya dan tujuanya. Karena teknik-teknik
ilmu gaib itu mengenai alam sekitarnya yang ada diluar batas akal dan sistem
pengetahuan, maka dasar-dasarnya bukan konsep-konsep, teori dan
pendirian-pendirian yang telah diabstraksikan dari pengalaman dan obsevasi
yang nyata. Dasar dari ilmu gaib itu adalah :
a. Kepercayaan kepada kekuatan sakti,
b. Hubungan sebab-menyebab menurut hubungan-hubungan asosiasi.
Mengengai kekuatan sakti, sudah ada suatu uraian yang cukup luas
dalam seksi empat diatas. Adapun asosiasi itu adalah bayangan dalam
pikiran itu, yang menimbulkan bayangan-bayangan baru sehingga terjadi
suatu rangkaian bayangan-bayangan.
Hubungan-hubungan yang menyebabkan suatu asosiasi adalah
misalnya persamaan waktu, persamaan wujud, totalitet dan bagian, dan
persamaan bunyi sebutan. Demikian kalau orang misalanya mendengarkan
kata “hujan”, segara terbayang dalam pikiranya “katak” , karena di
kampungnya terdengar bunyi katak bila hari hujan, asosiasi hujan dengan
katak disebabkan karena hubungan persamaan waktu kedua hal itu.
Demikian kalau orang melihat gambar orang, maka segera teringatlah ia
kepada orang itu sendiri, asosiasi gambar orang dan orangnya sendiri
32 | N I P A T A B A I P A N G N G I S S E N G A N G K O D I
disebabkan karena hubungan persamaan wujud. Demikian juga kalau orang
melihat sebuah sapu tangan maka terbayanglah dalam ingatanya pemiliknya;
asosiasi saputangan dan pemiliknya di sebabkan karena hubungan bagaian
dan totalitet. Demikian juga kalau orang melihat ikan balanak, maka mungkin
teringalah ia kepada sebuah rumah sakit untuk bersalin dan asosiasi antara
ikan belanak dan rumah sakit beranak disbabkan persamaan bunyi sebutan.
Perbuatan-perbuatan dan upacara-upacara ilmu gaib yang tekniknya
berdasarkan kepada kekuatan sakti adalah misalnya membasmi suatu
penyakit dengan jimat, karena kekuatan sakti yang di anggap berada dalam
jimat itulah dianggap bisa mengusir penyakit itu. Adapun perbuatan-
perbuatan ilmu gaib yang tekniknya berdasarkan anggapan bahwa hal-hal
yang bisa dirangkaian berdasarkan hubungan-hubungan asosiasi tadi bisa
juag mempunyai hubungan sebab-menyebab, adalah misalnya pemakaian
katak dalam upacara-upacara mengundang hujan, menusuk-nusuk gambar
orang dengan tujuan untuk mengguna-guna orangnya, mempergunakan sapu
tangan dalam upacara-upacara guna-guna, memberikan ikan belanak
kepada seorang pengantin baru agar pengantin itu mendapat banyak anak.
Dasar-dasar tersebut diatas merupakan teori dari ilmu gaib, tetapi
kecuali suatu teori, teknik-teknik ilmu gaib hampir selalu mempunyai juga satu
unsur penting, ialah mantra-mantra, yang biasanya menyatakan tujuan
upacara yang hendak dicapai, diikuti dengan kata-kata dan suara-suara yang
33 | N I P A T A B A I P A N G N G I S S E N G A N G K O D I
sering tak berarti, tetapi yang di anggap menguatkan mantra-mantra dan
yang dianggap berisi kesaktian atau kekuatan mengutuk.
Kecuali itu syarat-syarat yang penting agar suatu perbuatan ilmu gaib
itu bisa berhasil adalah semangat, kesungguhan, dan konsentrasi dari si
pelaku, sedangkan perlu juga bahwa suatu upacar ilmu gaib itu dilakukan
dengan sesepurnanya, menuruti aturan secara amat detail. Demikian walau
suatu perbuatan ilmu gaib berbeda dengan religi, tidak diisi dan didoring oleh
suatu jiwa yang bertekung sungguh-sungguh dan kemauan besar untuk
mencapai tujuan. Contoh: Di Malaya ada dukun-dukun yang menguna-guna
orang dengan membuat suatu boneka dari lilin yang dicampuri dengan kerat-
kerat kuku, rambut, ludah atau lain bagian tubuh dari orang yang akan di
guna-guna. Kemudian dengan penuh semangat dan prasaan agreshif, ia
menusuk-nusuk boneka tadi dengan sebuah jarum sedangkan dengan
konsentrasi dan ketekunan sampai keluar keringatnya ia mengucapkan kutuk
“ini bukanlah lilin, bukan, bukan, bukan, bukan, ini jantung dari isi si anu yang
ingin saya binasakan, binaskan, binasakan!” suatu perbuatan magic yang
dilakukan dengan persaan kosong tanpa semangat dan ketekunan dan
secara ceroboh, akan menyebabkan bahwa tujuanya tak tercapai atau
menyebabkan bahwa suatu upacara itu gaib yang lain yang dilakukan
dengan semangat yang lebih bersunguh-sunguh dan dengan kesempurnaan
dalam segala detailnya, akan meniadakan effek dari upacara. Demikian kita
bisa mengerti mengeapa para dukun dengan mudah bisa mencari alasan
34 | N I P A T A B A I P A N G N G I S S E N G A N G K O D I
kalau suatu upacara ilmu gaib itu tak berhasil, dengan mengatakan bahwa
orang yang menjalankan itu kurang sungguh-sungguh, atau bahwa dalam hal
menjalanakan itu terjadi kesalan.
Berbagai macam ilmu gaib. Seorang ahli yang paling banyak
menganalisa gejala ilmu gaib dalam beratus-ratus kebudayaan dari berbagai
zaman dan diberbagai tempat dimuka bumi ini, adalah J.Frazer. hasil dari
penelitian yang maha luas itu adalah suatu karya raksasa, yaitu kedua belas
jilid buku The Goleden Bough (1911-1913) yang amat terkenal itu. Jilid
pertama mengandung teori dan konsep- konsep serta pendirian Frazer
mengenai magic, sedangkan ke sebelas jilid yang lain mengandung bahan
keterangan yang dikumpulkannya dari banyak kebudayaan yang beraneka
warna. Dalam jilid pertama tadi ia telah menguraikan adanya berbagai
macam magic, sedangkan semuanya itu bisa berdasarkan dua tipe menurut
teknik dari upacara-upacaranya. Kedua tipe itu adalah apa yang disebut
Imitative magic dan cotagious magic.
Imitative magic meliputi semua perbuatan ilmu gaib yang meniru
keadaan sebenarnya yang hendak dicapai, orang garoh diassam (daerah
sekitar sungai brahmaputra di india, disebelah utara perbatasa dengan
bangladesh), sering berdaya upaya untuk mendatangkan hujan yang akan
menyiram ladang-ladang mereka dengan cara sebagai berikut : Seorang
dukun mengucapkan doa dan mantra, setelah ekor kambing disembelih.
Kemudian dukun itu disiram-siram dengan air oleh pembantu-pembantunya
35 | N I P A T A B A I P A N G N G I S S E N G A N G K O D I
dibawah suatu iringan genderang. Perbuatan pokok dalam upacara itu, ialah
menyiram-nyiram air, meniru hujan yang amat di inginkan itu.
Contagious magic meliputi semua perbuatan ilmu gaib yang
berdasarkan pendirian bahwa suatu hal itu bisa menyebabkan hal lain yang
ada hubungannya yang lahir (ialah berdasarkan hubungan-hubungan
asosiasi terurai diatas). Pemakaian kata untuk mendatangkan hujan,
menusuk gambar orang untuk membuat orang itu sakit.
Suatu klasifikasi lain yang amat umum dari perbuatan-perbuatan ilmu
gaib adalah klasifikasi ke dalam ilmu gaib putih dan ilmu gaib hitam. Ilmu gaib
putih atau white magic, adalah ilmu gaib yang bisa berguna bagi masyarakat
dan yang memberi keuntungan dan kebahagiab kepada orang, sedngkan
sebaliknya ilmu gaib hitam atau black magic, adalah ilmu gaib yang
mendatangkan bencana dan penyakit kepada masyarakat, dan yang
memberi kerugian dan kesengsaraan kepada orang
Suatu kalsifikasi lain lagi dipakai dalam buku Hutton Webster, Magic, A
Sociological study (1948), ialah klasifikasi kedalam ilmu gaib untuk umum dan
ilmu gaib Ilmu gaib untuk umum mengenai upacara-upacara untuk
mengundang hujan, upacara menolak bencana, upacara menolak hama,
upacara untuk mengharapkan penangkapan ikan yang menguntungkan,
upacara untuk menolak taufan di laut, upacara untuk mengikuti tahap-tahap
penyelesaian dalam pertukangan dsb., sedangkan ilmu gaib untuk individu
mengenai ilmu dukun, guna-guna, dan sebagian besar dari ilmu gaib jahat
36 | N I P A T A B A I P A N G N G I S S E N G A N G K O D I
dan ilmu sihir. Demikian klasifikasi ini dan juga klasifikasi ke dalam White dan
black magic tersebut diatas, adalah sebenarnya klasifikasi menurut fungsi
dari upacara, tetapi kalau toh kita sudah membuat klasifikai menurut fungsi,
mengapa tidak memperinci aspek fungsi itu dengan lebih tajam.
Koentjaraningrat, kalau fungsi upacara-upacara ilmu gaib itu kita
terperinci lebih khusus, maka menurut hemat saya sendiri kita bisa
membedakan adanya: Ilmu gaib produktif. Hal itu meliputi segala
perbuatan ilmu gaib yang bersangkut paut dengan aktivitet-aktivitet produksi
bercocok tanam dalam masyarakat perikanan, dengan produksi beternak
dalam masyarakat beternak, dengan berburu dalam masyarakat berburu,
kemudian juga ilmu gaib yang berhubungan dengan pertukangan, kerajinan,
dan perdagangan.
Ilmu Gaib Penolak. Hal ini mencakup segala perbuatan ilmu gaib
untuk menghindari dan menolak bencana pada hama tumbuh-tumbuhan dan
hewan, atau juga ilmu gaib untuk menyembuhkan penyakit, atau ilmu dukun.
Pada banyak suku bangsa yang baru secara setengah-setengah menerima
konsepsi ilmu kedokteran tentang penyakit, rupa-rupanya hiduplah konsepsi
universal tentang sebab dari penyakit-penyakit itu. Konsepsi-konsepsi itu
antara lain beranggapan bahwa penyakit disebabkan karena:
1. Jiwa menghilang keluar dari tubuh
2. Tubuh dimasuki ruh jahat,
3. Tubuh kena sinar “matahari jahat”
37 | N I P A T A B A I P A N G N G I S S E N G A N G K O D I
4. Tubuh kena pengaruh suatu perbuatan ilmu gaib agressif,
5. Tubuh dikotori hal-hal yang dianggap najis,
6. Tubuh kemasukan suatu benda
7. Orang melanggar suatu pantangan, larangan adat dan agama.
Ilmu gaib agrssif. Hal ini mengenai segala macam perbuatan ilmu
gaib untuk menyerang, merugikan, menyakiti, atau membunuh orang, ialah
apa yang dalam bahasa indonesia disebut ilmu sihir dan guna-guna. Dalam
golongan ini saya masukkan juga guna-guna, yang bermaksud menimbulkan
cinta dan birahi.Ilmu gaib agresif biasanya bersifat jahat dan didalam buku-
buku antropologi dalam bahasa asing sering golongan ilmu gaib ini disebut
Sorcery. Biasanya ilmu sihir dianggap sebagai kejahatan dalam masyarakat
yang bersangkutan, itulah sebabnya sebagai tiap kejahatan lain ilmu sihir
biasanya tidak dijalankan secara terbuka. Juga cara-cara dan teknik-
tekniknya biasanya diselubungi dengan suasana rahasia.
Ilmu gaib meramal.Dalam banyak kebudayaan suku bangsa didunia,
terkenal beberapa puluh macam metode untuk meramal. Metode-metodenya
yang hampir bersifat universal itu adalah metode meramal dengan
perhutungan hubungan-hubungan antara bintang (astromancy), perhitungan
yang berdasarkan letak berserakan dari tulang-tulang yang ditaburkan
(astragolomancy), perhitungan biji-biji yang ditaburkan (crithomancy),
perhitungan berdasarkan atas jatuhnya usus binatang (misalnya ayam) yang
ditaburkan (pication), perhitungan berdasarkan gerak dari api yang menjilat
38 | N I P A T A B A I P A N G N G I S S E N G A N G K O D I
(alomancy), perhitungan beraneka bentuk mega (nephelomancy),
perhitungan berdasarkan arah terbang dan suara burung (ornithomancy),
perhitungan berdasarkan pralambang-pralambang yang tampak dalam
impian (oneiromancy), dan sebenarnya masih banyak metode lain.
Dalam Wikipedia, guna-guna, santet, dan teluh, ini merupakan jenis
sihir untuk mengendalikan alam (termasuk kejadian, obyek, orang, dan
fenomena fisik) melalui mistik, paranormal, atau supranatural. Ilmu hitam
identik dengan segala sihir yang bertujuan ke arah negatif, karena ilmu ini
bersifat sihir yang mencelakakan.
Pola kehidupan yang bersifat mistis dan negatif dengan menggunakan
media magic ini di dalam masyarakat dikenal dengan sebutan "Teluh". Teluh
digunakan seseorang dalam rangka untuk mencari dan menuruti kepuasan
yang bersifat pribadi dengan dasar sirik, iri dan dengki untuk suatu tujuan
tertentu (jabatan atau kedudukan, mancari suami/istri bahkan untuk menyakiti
atau membinasakan orang). Keadaan atau fenomena seperti ini, masih
sering kita jumpai di tengah kehidupan masyarakat. Khususnya di Kabupaten
Banyuwangi.Sehingga tidak jarang ditemukan adanya korban-korban yang
teraniaya sehingga anggota badannya menjadi cacat, atau bahkan meninggal
sebagai akibat dari perbuatan tukang teluh atau dukun santet.
Sejalan dengan penggunaan alat-alat tersebut diatas, diperoleh
petunjuk terdapat tiga jenis teluh sesuai dengan permintaan pemesan dan
tujuannya. Ketiga macam teluh itu adalah:
39 | N I P A T A B A I P A N G N G I S S E N G A N G K O D I
Teluh wrejit, yakni semacam teluh yang paling ganas oleh karena
korban teluh ini akan mengalami muntah darah segar dan biasanya dalam
waktu singkat korban akan mati.
1. Teluh ganggong, yakni semacam teluh yang mengakibatkan korban akan
menderita pada salah satu bagian tubuhnya terus-menerus sampai
korban mati jika tidak diberikan penawar.
2. Teluh buncit, yakni semacam teluh yang dapat mematikan usaha
ekonomi. Dengan cara mananam botol berisi tanah berasal dari kuburan.
Biasanya ditempatkan pada sekitar pekarangan usaha atau tempat
tinggal seseorang yang akan dijadikan mangsa teluh (Darmawan, 2006).
Gambaran diatas telah banyak menjelaskan mengenai ilmu gaib dan
tujuan penggunaan ilmu gaib, seperti halnya ilmu gaib agresif yang di
gunakan untuk merugikan seseorang dan ilmu gaib agresif yang terdapat Di
Banyuwangi ada teluh yang dapat mematikan usaha ekonomi seseorang.Hal
ini juga terjadi pada masyarakat nelayan Di Kec. Tarowang Kab. Jeneponto,
ilmu gaib di gunakan dalam persaingan penangkapan ikan.Oleh karena itu
penulis tertarik untuk melakukan penelitian guna melihat dan menganalisis
permasalahan yang terjadi.
C. Mimpi
Tylor (dalam Koenjraningrat, 2009), suatu penelitian serupa itu
dilakukan sendiri dengan mengambil sebagai pokok, unsur-unsur
40 | N I P A T A B A I P A N G N G I S S E N G A N G K O D I
kebudayaan seperti sistem religi, kepercayaan, kesusastraan, adat-istiadat,
upacara dan kesenian. Penelitian itu menghasilkan karyanya yang terpenting
yaitu dua jilid Primitive Culture: Researches into the Development of
Mythology, Religion, Language, Art and Custom (1874). Dalam buku itu ia
juga mengajukan teorinya tentang asal mula religi, yang berbunyi sbb: Asal
mula religi adalah kesadaran manusia akan adanya jiwa. Kesadaran akan
faham jiwa itu disebabkan karena dua hal yaitu:
1. Perbedaan yang tampak pada manusia antara hal-hal yang hidup dan
hal-hal yang mati. Suatu organism pada satu saat bergerak-gerak, artinya
hidup, tetapi tak lama kemudian organisma itu juga tak bergerak lagi,
artinya mati. Maka manusia mulai sadar akan adanya suatu kekuatan
yang menyebabkan gerak itu, yaitu jiwa.
2. Peristiwa mimpi. Dalam mimpinya manusia melihat dirinya di tempat-
tempat lain (bukan di tempat dimana ia sedang tidur). Maka manusia
mulai membedakan antara tubuh jasmaninya yang ada ditempat tidur,
dan suatu bagian lain dari dirinya yang pergi ke tempat-tempat lain.
Bagian lain ituah disebut jiwa.
Sifat abstrak dari jiwa itu menimbulkan keyakinan pada manusia
bahwa jiwa dapat hidup langsung, lepas dari tubuh jasmaninya. Pada waktu
hidup, jiwa itu masih tersangkut kepada tubuh jasmani, dan hanya dapat
meningggalkan tubuh manusia waktu tidur atau pingsan. Karena pada saat-
saat serupa itu kekuatan hidup pergi melayang, maka tubuh berada dalam
41 | N I P A T A B A I P A N G N G I S S E N G A N G K O D I
keadaan lemah. Tetapi Tylor berpendirian bahwa walaupun sedang
melayang, hubungan jiwa dengan jasmani pada saat tidur atau pingsan tetap
ada. Hanya apabila manusia mati jiwanya melayang terlepas dan terputuslah
hubungan dengan tubuh jasmani untuk selama-lamanya. Hal itu jelas terlihat
apabila tubuh jasmani sudah hancur, berubah menjadi debu di dalam tanah,
atau hilang berganti menjadi api di dalam api upacara pembakaran mayat.
Jiwa mereka yang telah merdeka terlepas dari jasmaninya itu dapat berbuat
sekehendaknya. Alam semesta penuh dengan jiwa-jiwa merdeka itu, yang
oleh Tylor tidak disebut soul, atau jiwa, lagi tetapi disebut spirit (mahluk halus
atau roh). Dengan demikian pikiran manusia telah mentransformasikan
kesadarannya akan adanya jiwa menjadi keyakinan kepada mahluk-mahluk
halus.
D. Kasus-kasus Konflik Nelayan
Konflik yang terjadi antara nelayan tradisional di Kelurhan Pasar
Bengkulu dengan nelayan modern di Kelurahan Kandang disebabkan oleh
beberapa faktor, antara lain: Masih beroperasinya kapal-kapal trawl milik
nelayan modern walaupun penggunaan alat tangkap tersebut telah dilarang
oleh pemerintah. Keberatan nelayan tradisional akan penggunaan alat
tangkap trawl tersebut anatar lain:
1. Merusak kelestarian sumberdaya perikanan,
2. Merusak habitat dan daerah pemijahan udang,
42 | N I P A T A B A I P A N G N G I S S E N G A N G K O D I
3. Merusak jaring-jaring nelayan tradisional yang di pasang di pinggir pantai,
karena pengoperasian trawl sepanjang bibir pantai ,
4. Hasil tangkapan sampingan berupa ikan-ikan yang memiliki nilai niaga
yang rendah, lebih banyak dari hasil tangkapan utama, yaitu udang
keong.
Pelanggaran jalur penangkapan oleh nelayan-neayan modern,
khususnya kapal-kapal trawl ke wilayah perairan nelayan tradisional. Hal
tersebut berkaitan dengan perebutan sumberdaya perikanan yang memang
sangat terbatas (Wijaya, 2009).
Konflik antar kelompok nelayan dalam memperebutkan sumber daya
perikanan sempat terjadi di beberapa daerah di perairan Sulawesi
Selatan.Kasus yang mengemuka terekam ketika terjadi di perairan Sinjai,
dimana dua kelompok nelayan terlibat bentrok fisik akibat berebut daerah
penangkapan ikan.Peristiwa ini terjadi pada 2002 di Lappa, Kabupaten
Sinjai.Konflik terjadi antara nelayan lokal dengan nelayan Galesong.
Terjadilah pembakaran perahu-perahu nelayan Galesong oleh nelayan Sinjai,
karena menganggap wilayah perairan tersebut adalah milik mereka sejak
turun temurun dan melarang nelayan Galesong untuk menangkap lagi di
perairan mereka.Kasus tersebut terjadi wilayh perairam Sinjai, sehingga klaim
sumberdaya dinyatakan oleh nelayan local kabupaten Sinjai. Bentrok antara
nelayan Sinjai dengan nelayan Galesong tersebut lebih disebabkan karena
perebutan lokasi penangkapan ikan (Syaiful, 2013).
43 | N I P A T A B A I P A N G N G I S S E N G A N G K O D I
Konflik antarnelayan di perairan Sinjai sebenarnya telah berlangsung
sejak lama, namun masih bersifat laten semenjak tahun 90-an. Kejadian di
Lappa misalnya, sebagai terminal dan pusat aktifitas perdagangan para
nelayan, berawal dari kalahnya bersaing antara nelayan tradisional dan
nelayan pendatang. Pertikaian akibat kecemburuan ini berlangsung hingga
tahun 2000-an dalam taraf yang masih rendah. Namun sejak tahun 2000-an
keadaan konflik bergeser tidak hanya antara tradisional dan nelayan modern
seperti kejadian pembakaran purse seine di Lappa, tapi juga antar nelayan
tradisional (Syaiful, 2013).
Konflik pemanfaatan sumber daya perikanan laut yang melibatkan
nelayan Kecamatan Paciran terjadi berulang kali.Konflik antar nelayan
Kecamatan Paciran yang berlangsung pada periode tahun 1993 sampai
2005. Konflik yang melibatkan nelayan asal Kecamatan Paciran terjadi
berulang kali dengan obyek permasalahan yang relatif sama, yaitu
perbedaan alat tangkap dan daerah penangkapan ikan (fishing ground).
konflik pemanfaatan sumber daya perikanan laut oleh nelayan Kecamatan
Paciran merupakan konflik sumber daya alam berbasis persoalan ekonomi.
Kondisi sumber daya perikanan pelagis maupun demersal di perairan utara
Jawa Timur sebagai area penangkapan ikan oleh nelayan Kecamatan
Paciran memiliki kecenderungan mengalami gejala lebih tangkap.Sumber
konflik yaitu perbedaan teknologi penangkapan ikan dan perselisihan di area
penangkapan ikan.Perbedaan teknologi terjadi pada perikanan skala kecil,
44 | N I P A T A B A I P A N G N G I S S E N G A N G K O D I
antara nelayan jaring tradisional dan pengguna mini trawl.Perselisihan di area
penangkapan ikan, terjadi di wilayah perairan pantai Lamongan dan luar
Lamongan.Kondisi lebih tangkap pada sumber daya perikanan laut yang
terdapat di wilayah perairan utara Jawa Timur memberi pengaruh bagi
timbulnya konflik antarnelayan baik sesama nelayan Paciran maupun antara
nelayan Kecamatan Paciran dengan nelayan dari wilayah di luar Lamongan
(Satria, 2010 )
Konflik yang terjadi pada masyarakat nelayan penelitian ini
menunjukkan ada dua pola konflik yang terjadi sepanjang pesisir pantai utara
kabupaten Tuban, antara lain konflik antara kelompok nelayan alat tangkap
mini trawl dengan alat tangkap jaring rajungan. Konflik jenis ini terjadi di desa
Karangagung, Kradenan, Karangsari, Beji. Sedangkan pola konflik yang lain
yaitu konflik antara kelompok nelayan alat tangkap purse seine dengan
kelompok nelayan pemilik rumpon. Konflik ini terjadi di desa Glondonggede,
desa Bulujowo. Penelitian ini juga menunjukkan ada beberapa sebab konflik
antara lain: 1) Ketidakberdayaan nelayan akibat sistem pemasaran yang
tidak memihak nelayan, 2). Ketidakpastian dan penurunan penghasilan, 3).
Inkonsistensi dalam penegakan hukum, 4). Persamaan wilayah tangkap, 5).
Kerusakan alat tangkap dan terumbu karang dan 6). Adanya perasaan saling
curiga antar kelompok nelayan. Hasil penelitian juga menunjukkan dinamika
konflik memiliki intensitas yang tinggi dengan ditandai adanya berbagai
45 | N I P A T A B A I P A N G N G I S S E N G A N G K O D I
kekerasan mulai dari mengancam, razia, penyanderaan, pemukulan dan
penyerbuan massa ke kelompok lain (Lukman, 2004)
Gambaran hasil penelitian diatas dari berbagai perspektif disiplin ilmu
yang meneliti konflik pada masyarakat nelayan memiliki perbedaan dengan
penelitian yang penulis lakukan, perbedaan utama terletak pada penyebab
terjadinya konflik antar nelayan Di Kec. Tarowang Kab. Jeneponto, dan lokasi
penelitian.
46 | N I P A T A B A I P A N G N G I S S E N G A N G K O D I
BAB III
GAMBARAN UMUM LOKASI
A. Lokasi dan Lingkungan Alam
Kecamatan Tarowang merupakan 1 dari 11 kecamatan dalam
wilayah administratif Kabupaten Jeneponto, Sulawesi Selatan. Kecamatan ini
berbatasan dengan Kecamatan Kelara di sebelah utara, Kabupaten
Bantaeng di sebelah timur, Kecamatan Batang di sebelah barat dan Laut
Flores di sebelah selatan. Wilayah Tarowang dibagi atas 8 buah desa,
dimana 6 buah Desa berbatasan langsung dengan laut dan 2 desa berada di
sataran tinggi. Tarowang terletak disebelah selatan ibukota kabupaten
dengan jarak 15 km. Kecamatan Tarowang memiliki luas wilayah 40,68 km2,
dengan desa terluas yaitu Desa Tino (9,04 km2), dan desa dengan luas
paling kecil adalah Desa Balangloe Tarowang yaitu 2,50 km2.
Wilayah Kecamatan Tarowang memanjang dari timur ke barat
dengan variasi topografi dari landai hingga bergelombang. Kedua tipologi
daratan tersebut dapat ditemukan baik di wilayah pesisir maupun daerah
dataran tinggi dan hampir setiap desa memiliki kedua bentuk topografi
tersebut. Sementara jika dilihat dari arah selatan ke utara, wilayah Kec.
Tarowang didominasi daerah datar begelombang di sebelah selatan dan
terus meninggi membentuk rangkaian perbukitan dan pegunungan di sebelah
utara. Jadi secara umum topografi Tarowang berupa lahan bergelombang
47 | N I P A T A B A I P A N G N G I S S E N G A N G K O D I
yang sebagian besar merupakan daerah terbuka berupa padang rumput.
Bagian terendah berupa sungai yang memanjang dari utara yang merupakan
wilayah pegunungan ke arah Selatan yang merupakan daerah pesisir, dan
berupa lembah. Pada sebagian daerah aliran sungai Balang Allu tersebut
terletak Desa Balangloe Tarowang, desa yang menjadi pusat aktifitas
pemerintahan kecamatan.
Seperti juga kecamatan lain di Jeneponto, Kecamatan Tarowang
merupakan wilayah yang sedikit ditumbuhi pepohonan di bagian selatan.
Konsentrasi besar fegetasi terdapat disebelah utara yang berupa daerah
pegunungan. Konsentrasi yang sama juga terdapat di wilayah beberapa desa
yang berbatasan langsung dengan Kab. Bantaeng di sebelah tumur.
Sementara di daerah yang lebih rendah di selatan pepohonan hanya
ditemukan pada daerah-daerah pemukiman penduduk dan kebun penduduk.
Sebagian besar vegetasi didominasi oleh tanaman berupa semak dan rumput
alang-alang. Substrat berupa karst atau bebatuan kapur dan kurangnya
curah hujan tidak memungkinkan tumbuhnya banyak vegetasi besar. Bentuk
subatrat demikian menjadikan sangat sulit untuk menemukan wilayah datar
dengan jumlah komposisi tanah yang banyak kecuali di daerah pesisir
dimana sungai bermuara. Vegetasi-vegetasi besar umumnya ditanam oleh
penduduk terutama berupa pohon buah seperti mangga, rambutan dan
pohon jambu mede.
48 | N I P A T A B A I P A N G N G I S S E N G A N G K O D I
Pada daerah muara sungai, banyak terdapat tanah subur yang
merupakan hasil proses sedimentasi akibat erosi dedaerah yang lebih tinggi
pada musim hutan dan disepanjang daerah aliran sungai. Kurangnya
tumbuhan membuat air hujan dengan mudah menghanyutkan tanah tepi
sungai dan humus dipermukaan menuju sungai dan dibawa arus sungai
hingga menumnup di sekitar muara sungai. Sedimen tersebut kemudian
membentuk daratan yang berlumpur dan menjadi dasar bagi tumbuhnya
berbegai tanaman khas pesisir terutama dari jenis bakau. Tutupan vegetasi
bakau membantu sedimen tersebut tetap tinggal dan menjadi lahan yang baik
untuk menjadi pemukiman dan usaha tambak.
Proses sedimentasi terus bertambah setiap tahun dan karena
sedimen tersebut berupa lumpur maka juga dengan sangat musah diambil
oleh laut melalui proses abrasi pantai. Proses ini membuat banyak tambak
akhirnya hilang dan kembali menjadi laut, terutama yang tidak memiliki cukup
perlindungan berupa hutan mangrove. Sedimentasi juga mengakibatkan
pendangkalan pada wilayah muara sungai yang tentunya berpengaruh pada
mobilitas perahu. Penumpukan sedimen di tengah salah satu muara sungai
di Kec. Tarowang telah mengakibatkan munculnya delta yang cukup besar
dan ditumbuhi tanaman bakau membuat arah keluar dan masuk muara
menjadi sangat sempit. Perahu-perahu nelayan harus melaju lambat dan
bergantian untuk dapat keluar dan masuk. Sedikit kesalahan dapat membuat
perahu terbalik atau kandas di muara sungai.
49 | N I P A T A B A I P A N G N G I S S E N G A N G K O D I
B. Kependudukan
Seperti juga kecamatan di Kab. Jeneponto, penduduk Tarowang
menggunakan bahawa Makassar dalam percakapan sehari-hari, meskipin
sebagian besar dari mereka mampu berbahasa Indonesia. Kurangnya
penduduk dari suku lain yang masuk membuat bahasa ini menjadi Bahasa
umum. Bahasa Indonesia hanya digunakan ketika berbicara dengan orang
luar dan dalam dunia pendidikan. Tidak banyak suku bangsa lain yang tinggal
di Tarowang. Stereotype orang luar tentang daerah ini dan kurangnya
sumberdaya alam yang dapat dimanfaatkan mungkin menjadi alasan tidak
adanya pendatang lain. Secara umum masyarakat mengenal daerah ini
sebagai daerah “Texas”, istilah yang digunakan untuk menyebutkan daerah
dengan tingkat emosional penduduk tinggi dan ketidak ramahan dalam
bergaul. Dapat dikatakan 99% penduduk yang mendiami daerah ini adalah
orang Jeneponto.
Cara berbahasa atau gaya berbicara penduduk memang berintonasi
tinggi. Bagi orang yang baru masuk ke wilayah tersebut akan menanggapi
cara berbicara tersebut sama ketika melihat orang berkelahi. Meskipun hanya
dua orang yang bercakap, namun suasana tegang tampak terlihat. Tetapi
bagi masyarakat local sendiri, gaya Bahasa tersebut dapat mereka pahami
dengan baik.
Data statistik penduduk Kec. Tarowang (table 1) tahun 2015
menunjukkan tingginya jumlah penduduk berusia 0 – 19 tahun. Kelompok
50 | N I P A T A B A I P A N G N G I S S E N G A N G K O D I
usia tersebut terdiri atas balita dan anak-anak usia sekolah antara SD dan
SMU. Angka tersebut menunjukkan rendahnya jumlah penduduk yang
bersekolah di luar Kec. Tarowang, terutama untuk kaum wanita. Sementara
jumlah kaum pria mulai berkurang pada usia15 – 19 tahun.
Secara umum terlihat bahwa penduduk Kec. Tarowang berusia muda
lebih banyak dibandingkan penduduk usia produktif dan usia tua. Data
tersebut menunjukkan mobilitas keluar yang tinggi pada usia produktif dan
umumnya tidak kembali. Usia ini merupakan usia kuliah dan bekerja. Banyak
penduduk pada kategori usia ini yang melanjutkan pendidikan ke Makassar,
menjadi tentara dan sebagian lagi berpindah ke Makassar untuk mencari
pekerjaan. Perimbangan jumlah penduduk yang tinggal antara laki-laki dan
perempuan sangat kecil. Rasio jenis kelamin di Kec. Tarowang adalah 94
yang berarti setiap 100 orang penduduk perempuan terdapat sekitar 94 orang
penduduk laki-laki.
Tabel : 2 Penduduk Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin
di Kecamatan Tarowang Tahun 2015
Kelompok Umur Laki-Laki Perempuan Jumlah
0-4 1.173 1.014 2.188
5-9 1.245 1.189 2.434
10-14 1.234 1.188 2.423
15-19 981 1.046 2.028
20-24 884 1.056 1940
51 | N I P A T A B A I P A N G N G I S S E N G A N G K O D I
25-29 1.028 1.140 2.168
30-34 864 932 1.796
34-39 907 958 1.866
40-44 627 717 1.343
45-49 579 665 1.243
50-54 509 597 1.106
65-59 351 427 778
60-64 316 333 648
65-69 183 229 411
70-74 118 193 311
Jumlah 11.136 11.892 23.028
Sumber : Kantor Kecamatan Tarowang
Jika jumlah penduduk antar desa diperbandingkan, tidak ditemukan
banyak perberbeda. Baik dari jumlah populasi maupun perbandingan
penduduk pria dan wanita. Meskipun demikian jumlah penduduk terbanyak
berdiam di Desa Bonto Ujung dan Desa Tino yang terletak agak ke
pegunungan dan berbatasan langsung dengan Kab. Bantaeng. Kedua desa
tersebut merupakan pusat konsentrasi penduduk bermata-pencaharian
petani di Kab. Jeleponto. Bukan hanya menghasilkan bahan pangan, kedua
desa juga menjual berbagai jenis bibit tanaman terutama bibit buah-buahan
yang didistribusikan ke seluruh wilayah Indonesia. Dinas perkebunan dan
kehutanan pada tingkat provindi dan Kab./Kota sering kali memesan bibit
dalam jumlah banyak untk disalurkan ke daerah tertentu sebagai bantuan
52 | N I P A T A B A I P A N G N G I S S E N G A N G K O D I
pemerintah, disamping pesanan dari petani dan pengusaha perkebunan
lainnya.
Tabel : 3
Distribusi Penduduk Kecamatan Tarowang Menurut Desa
Tahun 2012-2015
Desa/Kelurahan 2012 2013 2014 2015
01 BontoRappo 2.084 2.096 2.114 2.126
02 Pao 3.072 3.098 3.118 3.118
03 Tarowang 2.512 2.533 2.549 2.549
04 AlluTarowang 2.948 2.972 2.992 2.992
05 BalangBaru 2.752 2.776 2.792 2.792
06 BalangLoeTarowang 2.232 2.251 2.265 2.265
07 BontoUjung 3.510 3.540 3.562 3.562
08 Tino 3.570 3.601 3.624 3.562
Jumlah 22.692 22.885 23.028 26.966
Sumber : Kantor Kecamatan Tarowang
Meskipun populasi penduduk lebih padat pada dua desa yang telah
disebutkan di atas, namun tingkat kepadatan penduduk justru ada pada
desa-desa di dataran rendah dan pesisir. Kecenderungan penduduk untuk
bermukim dekat dengan akses jalan raya dimana berbagai sektor
perekonomian dapat dikembangkan menjadi salah satu faktor penyebab
53 | N I P A T A B A I P A N G N G I S S E N G A N G K O D I
terjadinya kepadatan penduduk tersebut. Kepadatan penduduk di desa-desa
ini juga tampak jelas terlihat dari jarah antar rumah dan besarnya pekarangan
yang dimiliki warga. Bahkan beberapa rumah memiliki ukuran yang kecil dan
dihuni oleh dua hingga tiga keluarga. Rumah-rumah berbentuk panggung
dimanfaatkan sebagai hunian baik pada bagian atas maupun bawah rumah
dengan memberi dinding. Beberapa penduduk memanfaatkan sedikit
ruangan dibawah rumah mereka sebagai tempat berjualan makanan ringan
dan kebutuhan dapur lainnya. Sedangkan mereka yang tinggal di tepi jalan
poros dapat membuka tempat berjualan yang lebih besar karena umumnya
memiliki pekarangan yang lebih luas pada bagian depan untuk
mengantisipasi pelebaran jalan.
Tabel : 4 Kepadatan Penduduk Kecamatan Tarowang Menurut
Desa/Kelurahan Tahun 2012-2015
No Desa/Kelurahan 2012 2013 2014 2015
01 BontoRappo 410 414 416 416
02 Pao 812 820 825 825
03 Tarowang 609 615 619 619
04 AlluTarowang 796 804 809 809
05 BalangBaru 378 382 384 384
06 Balang Loe Tarowang 892 900 906 906
07 BontoUjung 680 686 690 690
08 Tino 394 398 401 401
Kec.Tarowang 394 398 401 566
Sumber : Kantor Kecamatan Torawang
54 | N I P A T A B A I P A N G N G I S S E N G A N G K O D I
C. Mata Pencaharian
Mata pencaharian penduduk di Kec. Tarowang sangat beragam mulai
dari petani, peternak, nelayan, pedagang, aparat pemerintah, karyawan
swasta dan mereka yang bergerak pada sektor jasa. Total jumlah penduduk
yang bekerja menurut data tersebut adalah 7.647 jiwa dimana lebih dari 80%
diantaranya bekerja pada sektor pertanian. Sedangkan 15.381 jiwa lainnya
belum atau tidak bekerja disebabkan karena usia sekolah atau sudah
pensiun.
Sektor pertanian umumnya digeluti masyarakat yang berdiam di
daerah pegunungan dan sedikit di daerah pesisir. Jenis tanaman yang
dibudidaya berupa tanaman padi, sayur mayur dan buah-buahan. Beberapa
penduduk terutama di Desa Tino juga mengusahakan penanaman atau
budidaya bibit tanaman, terutama dari jenis buah-buahan. Khusus daerah
Tarowang sangat sedikit ditemukan wilayah persawahan. Topografinya yang
tidak rata dan daerah aliran sungai yang lebih rendah dari lahan milik
penduduk membuat penduduk lebih memilih berkebun.
Pada daerah yang lebih tinggi penduduk banyak menanam tanaman
jangka panjang terutama coklat dan jambu mente. Selain bertani banyak
diantara penduduk yang juga beternak terutama kuda, kambing. dan sapi. Di
daerah yang lebih rendah penduduk cenderung menanam tanaman sayuran,
jagung dan umbi-umbian. Dan pada kedua daerah berbeda topografi tersebut
banyak tumbuh tanaman lontar yang banyak dimanfaatkan penduduk untuk
55 | N I P A T A B A I P A N G N G I S S E N G A N G K O D I
membuat gula merah dan dijual segar ketika masih berasa manis, serta
difermentasi menjadi minuman keras lokal yang disebut ballo’.
Tabel : 5 Penduduk Kecamatan Tarowang menurut Desa dan Sumber Mata
Pencaharian Tahun 2015
Sumber : Kecamatan Tarowang
Jenis peternakan yang banyak di Kec. Tarowang adalag yang berskala
rumah tangga. Kab. Jeneponto merupakan salah satu penghasil terna di
Prov. Selawesi Selatan, khususnya kambing, sapi dan kuda. Ketiga jenis
hewan ini sangat penting bagi penduduk Jeneponto, terutama kuda yang
tidak saja di konsumsi tetapi juga digunakan sebagai alat angkutan.
Meskipun tidak banyak lagi penggunaan kuda sebagai alat transportasi
karena banyak dan murahnya harga kendaraan bermotor terutama roda dua,
tetapi hewan ini masih sangat efektif digunakan penduduk terutama yang
Desa/Kelurahan PNS/
ABRI
TB
MKN
Nela
yan
Tamb
ak
Ter
nak
Peda
gang
Indus
tri
Angkut
an
Jasa
Bonto Rappo 9 799 - - 46 4 - 11 -
Pao 20 481 251 26 18 7 10 10 -
Tarowang 40 417 300 8 - 11 12 24 -
Allu Tarowang 8 857 - - 30 2 15 18 -
Balang Baru 10 700 50 2 7 15 - 5 -
Balang Loe
tarowang
14 657 250 6 20 1 - 50 -
Bonto Ujung 20 423 50 10 50 29 - 30 6
Tino 20 1.677 50 10 21 5 - 25 -
2015 141 6.011 951 62 192 74 37 173 6
56 | N I P A T A B A I P A N G N G I S S E N G A N G K O D I
tinggal di wilayah pegunungan dimana jalan raya belum memadai atau
bahkan tidak ada. Sebagai bahan makanan, kuda merupakan makanan khas
bagi penduduk Jeneponto karena daging kuda merupakan sumber protein
penting yang selalu terhidang pada setiap kegiatan perhelatan.
Di wilayah pesisir, selain bertani penduduk juga banyak yang memiliki
tambak yang diisi dengan udang atau bandeng. Sedangan pada daerah
pantai, beberapa warga mengusahakan budidaya rumput laut. Bahkan
karena sempitnya lahan budidaya, banyak warga Tarowang membeli atau
menyewa lahan laut di kabupaten tetangga, yaitu Bantaeng. Hingga kini
mayoritas petani rumput laut di Kab. Bantaeng berasal dari Kec. Tarowang.
Selain sebagai petambak dan petani rumput laut, sebagian besar juga
menjadi nelayan dengan berbagai jenis alat tangkap. Tetapi yang paling
dominan adalah penggunaan jarung pukat untuk menangkap ikan-ikan
bergerombol. Pemukiman nelayan di Kab. Jeneponto tidak persis berada di
tepi laut, tetapi umunya berada di sepanjang muara sungai. Kencangnya dan
besarnya ombak serta angin pada permulaan musim timur, yaitu sekitar bulan
Maret dan April dari arah Laut Flores yang berada tepat di sebelah Selatan
kabupaten ini menjadikan posisi pemukiman sangat rentan kerusakan.
Daerah pesisir Kab. Jeneponto juga dipenuhi oleh tumbuhan jenis bakau
yang menghalangi penduduk untuk membuka permukiman di wilayah
tersebut. Membangun permukiman di wilayah daerah aliran sungai dirasakan
57 | N I P A T A B A I P A N G N G I S S E N G A N G K O D I
lebih aman. Perahu dapat ditambatkan dengan baik tanpa takut hanyut atau
terbalik terkena ombak.
Nelayan taorang mulai beroperasi pada malam hari dan kembali pada
subuh atau pagi hari. Kadang kala mereka berangkat lebih cepat jika lokasi
penangkapan jauh dari pantai. Dalam sebulan nelayan hanya melaut
sebanyak 20 hari sebab pada saat bulan purnama yang berlangsung sekitar
7 hingga 10 hari, ikan sangat sulit ditangkap. Dalam setahun masa sulit
menangkap ikan berlangsung pada masa peralihan dan awal musim timur
dimana angin tepat bertiup dari arah Laut Flores. Keadaan tersebut
berlangsung selama tiga bulan. Pada saat musim barat, beberapa wilayah
termasuk Tarowang sedikit terlindung dari ombak besar.
Kesulitan yang dihadapi nelayan ketika melaut terutama pada saat
pergi dan pulang menangkap. Nelayan harus melalui muara sungai yang
pada saat musim hujan sangat sulit untuk dilayari. Besarnya ombak dari laut
dan arus sungai yang cukup kuat mendorong ke arah laut membuat nelayan
harus sangat berhati-hati mengarahkan kapal mereka pada daerah seperti
ini. Resiko terbalik sangat besar karena pertemuan arus laut dan aliran
sungai, dan beberapa daerah sangat dangkal karena sedimentasi yang
membuat perahu dapat kandas dan sulit dilepaskan. Karena itu ketika
melewati wilayah seperti ini nelayan cenderung berlayar dengan cara
berbaris dan tidak berusaha untuk saling mendahului. Sempitnya daerah
yang cukup dalam dilayari membuat perahu dapat saling berbenturan dan
58 | N I P A T A B A I P A N G N G I S S E N G A N G K O D I
pecah di daerah muara. Dasar sungai yang juga dipenuhi patahan kayu dan
tunggul pohon membahayakan baling-baling perahu.
Ikan hasil tangkapan nelayan didistribusikan oleh punggawa kepada
pedagang yang datang menjemput dengan kendaraan dan kepada beberapa
pedagang yang menjual ikan disekitar perumahan dengan berkeliling atau
menjual di tepi jalan poros. Oleh pedagang ikan hasil tangkapan nelayan
dijual di daerah Kec. Togo-togo yang memiliki pasar dan juga di bawa ke
Kab. Bantaeng yang tidak memiliki nelayan dan Bulukumba yang hanya
sedikit jumlah nelayannya. Di Jeneponto sendiri ikan-ikan didistribusikan
hingga ke daerah pedalaman dengan menggunakan sepeda motor. Sebagian
besar ikan yang dijual dalam keadaan kering untuk mengantisipasi perjalanan
jauh. Proses pengeringan ikan dilakukan oleh kaum wanita dan umumnya
distribusi secara lokal juga dilakukan oleh kaum wanita. Ini menjadikan para
wanita terlibat dalam aktifitas perikanan di Tarowang.
D. Aktivitas Keseharian Nelayan
Ada tiga alat tangkap yang umum digunakan nelayan Tarowang yatu
jaring senar (lanra tasi), jaring nilon (lanra turung) dan pancing. Ketiga alat
tangkap dimiliki oleh semua nelayan dan digunakan dengan memperhatikan
musim ikan. jaring nilon umumnya digunakan untuk muism ikan tertentu,
sedangkan jaring senar merupakan jaring yang paling sering digunakan
59 | N I P A T A B A I P A N G N G I S S E N G A N G K O D I
dalam penangkapan harian. Demikian pula halnya dengan pancing yang
hanya digunakan pada waktu-watu tertentu.
Jaring nilon dioperasikan oleh dua hingga tiga orang, namun kadang
seorang nelayan terpaksa mengoperasikannya sendiri jika tidak
mendapatkan teman untuk berangkat. Ketika musim barat berlangsung
nelayan melakukan penangkapan dalam tiga trip. Tiga trip penangkapan
yang dimaksudkan adalah tiga kali menurunkan jaring dalam sehari
semalam. Pada musim ini ikan jenis banyara yang paling banyak ditangkap
yang metupakan salah satu jenis ikan yang memiliki harga yang tinggi.
Meskipun tiga kali menurunkan jaring, nelayan data berangkat sekali saja dan
tinggal di lokasi penangkapan untuk menunggu waktu menurunkan jaring
berikutnya. Tetapi ada pula nelayan yang bolak balik dari desa ke lokasi
penangkapan, terutama jika penangkapan dilakukan tidak jauh dari desa.
Pada musim barat kadangkala penangkapan dilakukan di perairan Kab.
Bantaeng bahkan hingga ke Laut Flores.
Pada musim Timur penangkapan ikan menurun bagi nelayan
Tarowang. Mereka hanya dapat melakukan satu hingga dua trip penangapan
dalam sehari dan dilakukan dengan bolak-balik ke lokasi penangkapan. Jika
penangkapan dilakukan dua kali dalam sehari, maka nelayan berangkat pada
sore hari sekitar sekitar pukul 16:00 wita dan kembali ke rumah pada sekitar
60 | N I P A T A B A I P A N G N G I S S E N G A N G K O D I
pukul 20:00 wita. Mereka akan berangkat lagi pada waktu subuh pada pukul
04:30 wita dan akan kembali sekitar pukul 08:00 wita.
Dari paparan mengenai aktifitas nelayan tersebut dapat dilihat bahwa
sepanjang musim timur perahu-perahu nelayan akan banyak ditemukan
tertambat di sepanjang aliran sungai yang melewati pemukiman nelayan
hingga masuknya musim barat. Dan ketika musim barat, aktifitas
penangkapan yang tinggi membuat perahu nelayan sangat sulit ditemukan.
Diperkampungan terutama mereka yang tidak kembali dalam beberapa hari.
Dan jika kita memperhatikan waktu keberangkatan mereka pada musim
timur, dapat dipastikan bahwa perahu nelayan akan tertambat pada pagi hari
hingga pukul 16.00 sore hari dan antara pukul 20.00 hingga pukul 08.00 pagi.
Dari penjelasan informan yang akan dikemukakan kemudian, maka waktu-
waktu yang disebutkan ditas kemungkinan bagi pelaku pangisengang kodi
untuk melakukan aksinya terutama pangisengang kodi yang diletakkan di
mesin dan badan perahu.
Selama perahu berada di perkampungan, alat tangap tidak dibawa
pulang tetapi tetap diletakkan di atas perahu dan nelayan hanya menutupnya
dengan plastic atau bahan lain untuk melindungi dari panas matahari. Dan
selama perahu berada di kampung, pemilik perahu akan sering datang
memeriksa perahunya untuk memastikan perahu tidak hanyut akibat arus
sungai dan pasang surut air laut, atau tenggelam akibat terlupa menutup
61 | N I P A T A B A I P A N G N G I S S E N G A N G K O D I
lubang possi perahu atau penutup tersebut terlepas sendiri, atau ada orang
yang melepaskannya.
Daerah dimana perahu-perahu ditambatkan adalah tepian sungai yang
menjadi tempat umum. Anak-anak menjadikan tempat ini untuk bermaik pada
sore hari, nelayan menggunakannya untuk tempat memperbaiki peralatan
dan perahu, para ibu juga menggunakannya untuk berkumpul dan bercerita.
Banyaknya orang yang mengakses tempat ini memungkinkan bagi siapa saja
untuk secara sengaja meletakaan sesuatu yang dapat mencelakakan pemilik
perahu. Karena itu, selain kekhawatiran hilangnya perahu akibat kebocoran
seperti yang dijelaskan sebelumnya, pemilik perahu juga sering melakukan
pengamatan pada perahunya pada saat-saat ramai mespun dilakukan dari
jarak jauh atau dari atas rumah. Dan meskipun penangkapan dilakukan dua
hingga tiga orang, yang dapat mendekati perahu selama berada di kampong
hanyalah pemilik perahu. Teman atau anggota yang ikut melakukan
penangkapan baru akan mendekati perahu ketika perahu akan berangkat.
62 | N I P A T A B A I P A N G N G I S S E N G A N G K O D I
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Pengetahuan Nelayan Tarowang tentang Pangngissengang Kodi
Persaingan memperoleh hasil tangkapan merupakan hal yang biasa terjadi
pada masyarakat nelayan dimanapun. Keinginan untuk mengungguli orang
lain dalam hal kekayaan dan nama besar mendorong setiap orang akan
berusaha keras untuk mewujudkannya. Ada banyak cara yang dapat
dilakukan misalnya berusaha meningkatkan kemampuan modal dengan
menabung ataupun meminjam, memperbaharui sarana tangkap yaitu perahu
alat tangkap dan berbagai hal lainnya. Salah satu cara yang juga banyak
dipergunakan adalah cara kasar dengan melakukan pengrusakan secara
terang-terangan, melakukan sabotase dan bahkan menggunakan ilmu gaib.
Hal terakhir biasanya dilakukan pada saat seseorang iri karena tidak dapat
memenangkan persaingan. Kasus penggunaan ilmu gaib dalam persaingan
penangkapan juga ditemukan di lokasi penelitian ini yaitu di Kec. Tarowang.
Seorang informan (HM, 62 thn) menerangkan pada saya pada suatu
wawancara dengan mengatakan:
Biasa tea i ni saingi, nammake anu pakinjo. Ia kabusu
punggawaiya ammake anu pakinjo punna tea mi nisaingi.
Artinya :
(biasa karena tidak ingin disaingi, maka orang memakai ilmu
seperti itu. Semua punggawa memakai ilmu seperti itu kalau
sudah tidak mau disaingi)
63 | N I P A T A B A I P A N G N G I S S E N G A N G K O D I
Ilmu yang dimaksudkan informan adalah ilmu sihir yang biasa diistilahkan
dengan sebutan ilmu hitam yang memiliki beragam nama pada setiap
kebudayaan seerti ilmu pelet di Pulau Jawa dan doti-doti di Sulawesi Selatan.
Tetapi meskipun masyarakat nelayan Tarowang merupakan bagian dari
budaya Sulawesi Selatan mereka sangat jarang menggunakan kata doti
tetapi lebih sering menggunakan istilah pangissengang kodi yang berarti ilmu
yang tidak baik atau buruk seperti yang diungkapkan oleh RF (27 thn):
“Arenna injo punna kinne na kua tau pangngissengang kodi”
artinya : “Ilmu seperti itu disini disebut pengetahuan yang tidak
baik/buruk”
Masyarakat nelayan Tarowang memandang pangisengang kodi
merupakan ilmu yang tidak baik. Dikatakan demikian karena dari sudut
pandang agama yaitu Agama Islam yang dianut, ilmu ini dikategorikan
sebagai ilmu sihir yang dilarang untuk dipelajari. Selain itu, ilmu ini juga dapat
merusak kehidupan orang lain dan juga hubungan sosial antar nelayan.
Tetapi di sisi lain, karena ilmu ini sangat sering digunakan, maka masyarakat
pada saat yang sama juga menganggap ilmu ini penting untuk memenangkan
persaingan dalam memperoleh hasil tangkapan atau untuk membalas
perbuatan seseorang yang disangka menggunakannya, maka itu beberapa
orang punggawa berusaha memilikinya atau setidaknya mengetahui pada
siapa dia dapat meminta bantuan untuk melakukannya.
64 | N I P A T A B A I P A N G N G I S S E N G A N G K O D I
Pangissengang kodi dapat dimiliki seseorang dengan cara pewarisan
dan juga dengan cara belajar. Ilmu seperti ini biasanya diturunkan dari
keluarga baik oleh orangtua, paman atau saudara. Sedangkan sebagian
lainnya berguru kepada orang yang memilikinya seperti yang diungkapkan
DM (34 thn):
Karena persaingan, jadi biasa ada yang datang ke kampungnya orang cari orang pintar begini saya cari ilmu begini, ilmu mau di kasi mati orang ia nu doti.
Mereka yang tidak ingin memiliki, akan memilih menggunakan jasa orang lain
yang dalam istilah lokal disebut dengan orang pintar seperti yang
diungkapkan informan di atas.
Pangissengang kodi dapat dimiliki baik oleh kaum laki-laki maupun
perempuan. Keduanya memiliki potensi untuk menggunakannya ilmu ini,
tetapi dalam penelitian ini hanya kaum pria yang ditemukan
menggunakannya. Pelaku pengguna pangissengang kodi bisa dari kalangan
keluarga dekat dan keluarga jauh, selain dari orang lain yang tidak memiliki
hubungan kerabat. Meskipun demikian, masyarakat nelayan Tarowang
merasa bahwa mereka seluruhnya masih memiliki hubungan kekerabatan
meskipun ada yang sudah dikategorikan keluarga jauh.
Dari data yang dikumpulkan dalam penelitian ini, pengetahuan
masyarakat nelayan Tarowang tentang pangissengang kodi dapat dibagi
dalam tiga bagian yaitu pengetahuan tentang jenis-jenis pangissengang kodi,
65 | N I P A T A B A I P A N G N G I S S E N G A N G K O D I
pengetahuan tentang media yang dapat digunakan, dan pengetahuan
tentang waktu penggunaannya.
1. Pengetahuan tentang jenis-jenis pangissengang kodi
Masyarakat nelayan Tarowang mengkategorikan pangissengang kodi
dalam dua jenis berdasarkan sasaran dan tujuan akhirnya yaitu (1)
panggisengang kodi yang digunakan untuk menghilangkan nyawa
seseorang, dan (2) pangissengang kodi yang digunakan untuk menumbulkan
kerugian ekonomi. Penggunaannya panggisengang kodi melibatkan dua
komponen utama yaitu mantra dan media. Mantra dapat berbeda-beda,
namun media yang digunakan tampak sama.
1.1. Panggisengang kodi untuk menghilangkan nyawa seseorang
Panggisengang kodi seperti ini biasanya digunakan untuk membalas
perbuatan pelaku yang dipandang oleh korban telah berkali-kali
menggunakan ilmunya untuk merugikannya. Dalam kasus ini terjadi
pertukaran status dimana korban akan menjadi pelaku dan pelaku akan
menjadi korban, dan sekaligus menjadi akhir dari perseteruan keduanya.
Batas dari berulang kali ditentukan sendiri oleh korban berdasarkan
pertimbangan kerugian dan perasaan sakit yang dialaminya.
Tidak banyak data yang dapat dikumpulkan mengenai pangissengang
kodi jenis ini karena informasi tersebut sangat sensitif. Dan informan tidak
ingin memberi kesan bahwa mereka pernah melakukannya kepada
seseorang. Tetapi banyak cerita beredar di masyarakat tentang peristiwa
66 | N I P A T A B A I P A N G N G I S S E N G A N G K O D I
kematian seseorang dimasa lalu yang diduga dan bahkan beberapa
dipastikan karena guna-guna.
Meskipun merupakan cara terakhir, tetapi sebelum korban melakukan
pembalasan terakhir, biasanya orang yang diduga sebagai pelaku diminta
untuk mencabut pangissengang kodi yang digunakannya terhadap korban.
Misalnya apabila pelaku menyelipkan sesuatu pada perahu korban, maka ia
diminta untuk mecabutnya terlebih dahulu, disertai ancaman serius kepada
yang bersangkutan.
Pada saat korban akan melakukan pembalasan, maka ia akan
menjalankan ritual yang dilakukan pada tengah malam. Uniknya salah satu
ritual yang dilakukan adalah shalat yang juga mereka sebut dengan Shalat
Tahajjud. Perbedaan dengan Shalat Tahajjud dalam ibadah agama Islam
adalah pada niat sholat dan terdapatnya sejumlah benda yang akan
digunakan sebagai media mengirimkan guna-guna pada lawan. Ritual ini
dilakukan seorang diri tanpa ada yang melihat. Gunanya tentu saja agar tidak
ada yang mengetahui dan dapat menyebarkan berita yang menyebabkannya
akan mandapatkan masalah. Bagi mereka yang tidak dapat melakukannya
sendiri, atau merasa bahwa ilmu yang dimilikinya lemah sehingga dengan
medah dipatahkan oleh lawan dan bahkan lawan dapat membalikkannya,
akan meminta bantuan orang pintar. Jika meminta bantuan pada orang
pintar, rutual dapat dilakukan oleh pemohon dengan bantuan orang pintar,
atau dilakukan hanya oleh orang pintar saja. Tentu saja terdapat sejumlah
67 | N I P A T A B A I P A N G N G I S S E N G A N G K O D I
syarat yang diajukan oleh orang pintar tersebut yang wajib dipenuhi termasuk
pembayaran. Dan karena setiap orang memiliki ilmu yang berbeda, maka
media yang digunakan dalam ritual juga berbeda-beda.
1.2. Panggisengang kodi untuk menimbulkan kerugian ekonomi
Pangissengang kodi lebih banyak digunakan untuk merugikan orang
pada masyarakat nelayan Tarowang dengan sasaran untuk menimbulkan
kerugian ekonomi. Berbeda dengan apa yang telah diterangkan sebelumnya,
untuk membuat kerugian secara ekonomi maka sasaran yang dituju dapat
berupa orang (punggawa atau juru mudi), perahu, dan mesin.
Seperti dikemukakan pada bagian cara penangkapan ikan yang
dilakukan nelayan Tarowang, bahwa dalam proses penangkapan ikan satu
perahu dioperasikan oleh tiga orang yaitu seorang punggawa yang boleh jadi
juga merupakan pemilik kapal, dan satu atau dua orang sawi, yang salah
satunya juga berperan sebagai juru mudi selain punggawa kapal. Namun di
antara kedua atau ketiga awak perahu, punggawalah yang menjadi sasaran
dari pelaku. Jika punggawa lumpuh, baik sakit maupun terganggu secara
kejiwaan, maka aktifitas penangkapan ikan tidak akan dilakukan. Seorang
punggawa tidak akan mengizinkan perahunya digunakan orang lain
meskipun anaknya sendiri kecuali ia sudah sama sekali tidak dapat melaut
karena usia.
Sementara perahu dan mesin merupakan komponen yang menjadi satu
dan berfungsi sebagai alat transportasi menuju dan pulang dari lokasi
68 | N I P A T A B A I P A N G N G I S S E N G A N G K O D I
penangkapan. Untuk dapat memiliki keduanya dibutuhkan modal yang tidak
sedikit. Karena itu perawatan keduanya paling sering dilakukan untuk
menjaga agar dapat digunakan dalam jangka panjang. Kedua dapat menjadi
sasaran karena keduanya memiliki celah untuk dapat meletakkan sesuatu
yang merupakan media bagi bekerjanya panggissengang kodi tersebut.
Sedangkan alat tangkap berupa jaring tidak dapat dikena ilmu karena selalu
dicelupkan di air yang berarti apa yang disimpan dapat lepas dan hilang
karena arus dan ombak laut.
Sama dengan peggunaan pangissengang kodi untuk menghilangkan
nyawa seseorang, yang digunakan untuk menimbulkan kerugian ekonomi
juga terdiri atas dua yaitu mantra dan media pengantar. Masing-masing
sasaran memiliki mantra dan media tersendiri untuk dapat mencapai
hasilnya. Karena itu media yang digunakan dapat pula dibagi berdasarkan
sasaran yang dituju yaitu media untuk orang, media untuk perahu, dan media
untuk mesin.
Pada penelitian ini tidak ada informan yang memberikan informasi
mengenai apa mantra yang digunakan. Mantra merupakan rahasia bagi
pemiliknya. Terdapat kepercayaan bahwa apabila sebuah mantra sudah
banyak yang mengetahuinya, maka mantra itu sudah tidak manjur lagi. Dan
untuk mendapatkan mantra pangngissengang kodi membutuhkan waktu yang
cukup panjang agar orang yang memilikinya rela untuk memberikan atau
69 | N I P A T A B A I P A N G N G I S S E N G A N G K O D I
mengajarkannya. Sedangkan untuk media yang digunakan cukup banyak
informasi yang diperoleh.
Secara umum, media yang digunakan berasal dari benda yang berasal
dari orang yang sudah meninggal, bagian tubuh hewan, dan benda-benda
yang biasa digunakan sehari-hari seperti jarum, kain hitam, uang kertas dll.
Media yang digunakan dalam pangngissengang tersebut memiliki sasaran
dan akibatnya masing-masing. Berikut beberapa jenis pangngissengang kodi
dan media yang digunakan berdasarkan sasaran yang diinginkan:
1.2. Media dengan sasaran orang.
Ada tiga media yang sering digunakan oleh pelaku pangissengang
kodi untuk menyerang korbannya secara fisik dan mental yaitu jarum
tumpul (Jarung tippulu), Sa’ra Ati (suara hati) dan Panggarisang
(penggaris).
1.2.1 Jarung tippulu (jarum tumpul)
Media yang digunakan yaitu jarum jahit yang sengaja ditumpulkan
dan beberapa helai potongan rambut manusia yang kusut. Jarum dililit
dengan rambut kusut, kemudian di beri mantra dan disimpan pada
bagian tertantu pada perahu atau di rumah calon korban. Biasanya
media ini diselipkan di celah kayu yang sulit untuk di lihat sehingga sulit
ditemukan. Pangissengang kodi ini digunakan untuk mengganggu
pikiran korban agar selalu gelisah, tidak dapat berfikir dengan tenang
70 | N I P A T A B A I P A N G N G I S S E N G A N G K O D I
sehingga tidak dapat berkonsentrasi pada saat melakukan
penangkapan.
Salah satu hal penting bagi nelayan dalam melakukan aktifitas
menangkap ikan adalah aspek waktu dan tempat. Setiap punggawa
harus mengetahui kapan waktu musim ikan tiba dan dimana tenpat ikan-
ikan tersebut akan timbul di laut. Jika pikiran mereka terganggu maka
akan menimbulkan kesalahan menentukan waktu dan tempat atau
bahkan menmbulkan keraguan untuk berangkat. Tidak ada nelayan akan
berangkat ke laut jika mereka merasa ragu akan hasil yang akan
diperoleh. Karena itu pangissengang kodi ini akan menjadi penyebab
mereka tidak dapat memperoleh tangkapan dan berakibat ada ketidak
mampuan untuk membiayai usaha dan rumah tangga karena tidak ada
penghasilan atau penghasilan menkadi berkurang.
1.2.2 Sa’ra ati (suara hati)
Pangngissengang ini hanya berupa mantra yang dibaca dalam hati tetapi
harus dilakukan ditempat dimana pelaku dapat melihat perahu
korbannya. Mantra dibacakan sambil pelaku melihat perahu korbannya
dengan niat yang sungguh-sungguh. Mantra dapat dibacakan dilokasi
tambat perahu, ketika perahu sedang berlayar dilaut menuju lokasi
penangkapan dll. Tujuan pangngissengang ini adalah untuk mengganggu
pikiran korban pada saat melakukan penangkapan ikan di laut. Jadi
korban akan terus merasa ragu ketika sudah berada dalam perjalanan
71 | N I P A T A B A I P A N G N G I S S E N G A N G K O D I
menuju lokasi penangkapannya sehingga cenderung untuk mengubah-
ubah arah tujuannya sehingga jauh dari lokasi yang sesungguhnya.
Karena mantra harus dibacakan sambil melihat perahu korban, dan
dilakukan ditempat terbuka misalnya ketika sedang melaju menuju lokasi
penangkapan, maka pelaku harus berhati-hati agar perbuatannya tidak
dilihat orang lain terutama korbannya. Merupakan hal yang tidak wajar
pada masyarakar Tarowang jika anda melihat seseorang dalam waktu
yang cukup lama jika tidak dalam keadaan sedang berbicara-bincang
dengannya, apalagi dalam jarak yang cukup jauh. Mereka yang merasa
diamati atau orang yang melihat kejadian tersebut akan mulai
mempertanyakan apa maksud yang bersangkutan. Dan tuduhan akan
jatuh pada perbuatan negatif apalagi jika pelaku ketahuan merapalkan
mantra atau diinterpretasi oleh yang melihat sedang melakukannya.
1.2.3 Penggarisan (penggarisan)
Sasaran dari pangngissengang ini adalah orang yang mengemudiakan
perahu yang umumnya adalah punggawa dengan maksud untuk
menggariskan ruang gerak seseorang atau membatasinya. Media yang
digunakan adalah gambar tubuh manusia, undangan taziyah dan uang
kertas pecahan seribu. Gambar tubuh manusia yang digunakan harus
utuh memperlihatkan bagian-bagian tubuh dan bukan hanya sekedar
gambar siluet. Ketika menyiapkan media pelaku akan membuat garis
pada gambar manusia di beberapa bagian yaitu pada bagian kepala,
72 | N I P A T A B A I P A N G N G I S S E N G A N G K O D I
mata, tangan, perut, paha, dan kaki, kemudian diberi kata ALLAHU dalam
tulisan Arab. Kemudian uang seribu kertas di bagi dua, satu dari potong
uang tersebut kemudian dibungkus bersama beberapa undangan
ta’syiah. Setelah dibungkus media tersebut disimpan di perahu orang
korban. Seperti pada penggunaan jarum, media ini juga harus diletakkan
ditempat yang sulit ditemukan dan biasanya diselipkan di sela-sela kayu
perahu.
Berbeda dengan dua bentuk yang digunakan sebelumnya dimana pelaku
membuat korbannya menjadi ragu-ragu dan kemudian membuat
kesalahan dalam menentukan lokasi penangkapan, penggunaan ilmu
yang satu ini dimaksudkan untuk membuat korban menjadi malas untuk
keluar mencari uang atau keluar menangkap ikan. Korban akan
dihinggapi rasa malas meskipun tidak menderita sakit secara fisik.
Karena sasarannya adalah punggawa, sementara perahu tidak akan
keluar atau dialihkan ke orang lain oleh punggawa pemiliknya, maka
perahu tidak akan keluar beroperasi. Dan jika dalam beberapa waktu
perahu tidak beroperasi, maka para anggota tentunya akan memilih
pindah ke perahu lain sehingga usaha dari punggawa yang menjadi
korban akan tutup.
Dari ketiga cara yang dapat dilakukan seseorang pelaku dalam
menggunakan pangissengang kodi-nya, dapat dilihat bahwa sasaran
73 | N I P A T A B A I P A N G N G I S S E N G A N G K O D I
utamanya adalah punggawa yang juga merupakan pemilik dan berfungsi pula
sebagai juru mudi. Efek dari ilmu ini adalah menjadikan punggawa tidak
dapat berkonsentrasi dalam berfikir dan mengambil keputusan terutama
dalam menentukan lokasi penangkapan, dan membuatnya menjadi malas
untuk beraktifitas. Kedua hal tersebut tentunya dapat menurunkan
penghasilan karena yang satu tidak akan mendapatkan hasil akibat salah
mengambil keputusan, sedangkan yang lainnya korban tidak keluar melaut
sehingga tidak memperoleh penghasilan.
1.3. Media dengan sasaran perahu.
Terdapat tujuh media yang sering digunakan oleh pelaku
pangissengang kodi untuk menyerang perahu korbannya yaitu jejak kaki
korban (bate bangkenna), tanah kuburan (butta tau mate), air bekas mandi
jenazah (je’ne rio tau mate), batu nisan (batu nisan tau mate), pengikat kafan
orang mati (passikko aya’ tau mate), gigi anjing gila (gigi kongkong pongoro),
dan tulang ikan (buku juku).
1.31. Bate bangkenna (Jejak kaki korban)
Jejak kaki korban yang dimaksudkan adalah tanah yang pernah diinjak
korban dan masih memiliki bekas jejak kakinya. Menemukan bekas jejak
kaki seorang nelayan di Tarowang tidaklah sulit. Lokasi dimana kapal
nelayan ditambatkan adalah tepian sungai yang tanahnya berlumpur.
Setiap hari tanah akan dibasahi air sungai yang mengikuti pasang air
laut, dan kemudian kering kembali seiring berkurangnya debit air di
74 | N I P A T A B A I P A N G N G I S S E N G A N G K O D I
sungai akibat surut. Namun utnuk mengambil tanah jejak kaki tersebut
tidak mudah. Beberapa rumah berada tepat ditepi sungai dan tempat
tersebut ramai digunakan sebagai tempat bermain oleh anak-anak dan
bergosip bagi wanita. Para pemilik perahu juga sering datang meskipun
hanya sebentar untuk memeriksa keadaan perahu mereka. Sehingga
pelaku harus memilih waktu yang paling tepat agar aktifitasnya
mengambil tanah jejak kaki korbannya tidak diketahui orang lain. Dan
karena area penambatan perahu adalah tempat terbuka, maka setiap
orang tidak akan berlama-lama berdiri atau duduk di dekat perahu orang
lain untuk menghindari tuduhan dan kesalahpahaman.
Jika tanah bekas kaki korban sudah di dapatkan, maka pelaku segera
membungkusnya dengan kain berwarna hitam. Bungkusan tersebut
harus berukuran kecil agar tidak mudah dilihat, karena itu tanah jejak kaki
korban yang diambil juga hanya sedikit saja. Bungkusan tanah tersebut
kemudian dimasukkan kedalam kayu tammate (kayu liung) yang terlebih
dahulu sudah beri lubang. Gabungan di antara ketiganya juga harus
diusahakan sekecil mungkin agar dapat disembunyikan dengan cara
diselip.
Setelah media selesai pelaku membacakan mantra dan kemudian
mencari waktu yang tepat untuk meletakkannya di perahu korban.
Penggunaan bekas kaki sebagai media dalam pangngissengang kodi
dipercaya dapat membuat korban akan kesulitan dalam menemukan
75 | N I P A T A B A I P A N G N G I S S E N G A N G K O D I
lokasi menangkap ikan selama media tersebut tidak dilepas dari
perahunya.
1.3.2. Butta tau mate (Tanah Kuburan)
Cara membuat kerugian pada korban yang tampaknya mudah adalah
dengan menggunakan tanah kuburan. Di kampung nelayan Tarowang
untuk memperoleh tanah kuburan tidaklah sulit karena lokasi pemakaman
sangat dekat dari pelabuhan dan pemukiman warga, dan ada jalan
setapak yang biasa digunakan warga melintas jika ingin mengunjungi
kebun atau rumah kerabat yang tinggal disebelah pemakaman. Tanah
kuburan yang digunakan adalah tanah dari kuburan orang yang masih
baru meninggal. Masyarakat mempercayai bahwa roh orang yan baru
saja meninggal masih berada di sekitar rumahnya selama 40 hari
sebelum naik ke langit. Sehingga roh tersebut masih dalam keadaan
panas karena itu sangat ampuh digunakan dalam ilmu hitam.
Praktek ilmu ini adalah dengan cara pelaku mengambil segenggam tanah
kuburan yang masih baru kemudian berdiri membelakangi perahu
korbannya. Dalam keadaan tenang pelaku membaca mantra kemudian
melemparkan tanah tersebut ke arah perahu dengan tetap
membelakanginya. Apa bila tanah kuburan tersebut mengenai perahu
meskipun dalam jumlah sedikit, maka sudah dianggap setengah berhasil
karena pelaku harus memastikan apakah mantra yang dibacanya bekerja
pada pemilik perahu.
76 | N I P A T A B A I P A N G N G I S S E N G A N G K O D I
Meskipun cara ini mungkin yang paling mudah dilakukan, tetapi sekaligus
merupakan cara yang paling mudah diketahui. Pemilik perahu selalu
membersihkan perahunya ketika pulang dari laut dan sesekali datang
memeriksanya. Karena itu sangat mudah menemukan tanah di atas
perahu terutama bila masih berbentuk gumpalan. Tanah di Tarowang
memiliki tekstur menggumpal dan kering. Sangat mudah hancur ketika
terkena air tetapi mudah terlihat dalam keadaan kering. Melemparkan
tanah juga akam membuat tanah melengket pada badan perahu dan
sangat mudah melihat perbedaan antara tanah yang diletakkan dan
tanah yang dilemparkan.
Adapun maksud dari posisi membelakangi perahu ketika pelaku
mempraktekkan ilmunya adalah agar ikan yang akan ditangkap atau yang
berada disekitar perahu juga berbalik meniggalkan perahu. Dengan
demikian nelayan pemilik perahu tidak dapat memperoleh hasil.
1.3.3 Je’ne rio tau mate (air bekas mandi jenazah)
Mendapatkan air bekas mandi jenazah tentunya sangat sulit. Selain
banyak yang memperhatikan, mengambilnya juga sudah menjadi hal
yang mencurigakan. Pelaku harus dapat mengambil tanpa diketahui
orang lain terutama keluarga yang berduka meskipun hanya sedikit.
Tentunya keluarga dari jenazah akan marah jika air mandi jenazah
keluarganya digunakan sebagai media sihir.
77 | N I P A T A B A I P A N G N G I S S E N G A N G K O D I
Air yang berhasil dikumpulkan diletakkan dalam wadah berupa botol dan
kemudian disimpan hingga saat akan digunakan. Dalam prakteknya
pelaku akan mencampurkan sedikit air bekas mandi jenazah tersebut
dengan air tawar ataupun air laut. Kemudian pelaku akan berusaha
mengambil timba/gayung yang biasa digunakan pemilik perahu untuk
menguras air jika masuk ke dalam perahu. Air di dalam timba tersebut
kemudian di beri mantra oleh pelaku kemudian menyiramkannya ke
perahu korban dengan cara dihempaskan ke arah badan perahu.
1.3.3. Batu nisan tau mate (batu nisan orang mati)
Berikutnya adalah media berupa pecahan batu nisan. Seperti juga tanah
kuburan, tentunya sangat mudah menemukan batu nisan karena letaknya
yang tidak jauh dari pemukiman. Tetapi untuk dapat mengambil sedikit
pecahan dari batu nisan merupakan hal yang sulit. Pelaku harus
memecahkan batu nisan dan tentunya harus dilakukan dengan cara
memukulnya dengan benda keras dan itu berarti akan merusak nisan.
Posisi pemakaman yang sangat dekat dengan pemukiman membuat
pelaku akan sangat sulit menemukan waktu untuk dapat mengambil
pecahan nisan meskipun pada malam hari.
Praktek guna-guna dengan menggunakan pecahan batu nisan ini
dilakukan dengan cara meletakkan pecahan batu nisan yang telah diberi
mantra terlebih dahulu ditempat yang sulit untuk ditemukan pada perahu
78 | N I P A T A B A I P A N G N G I S S E N G A N G K O D I
korban. Tentunya juga terdapat kesulitan untuk dapat meletakkan media
tersebut seperti halnya media yang telah dijelaskan sebelumnya.
2. Pa’sikko aya’ tau mate (Pengikat kafan orang mati)
Sama dengan air mandi jenazah, media yang satu ini juga sangat sulit
untuk didapatkan. Mereka yang memiliki kesempatan untuk bisa
mendapatkannya hanya yang turut dalam penyelenggaraan jenazah dan
merek yang ikut memasukkan jenazah ke liang lahat. Pengikat kafan
jenazah juga banyak dijadikan jimat selain digunakan sebagai media
pangngissengang kodi. Bila digunakan untuk mencelakakan orang,
sebagian dari pengikat kain kafan ini akan diberi mantra kemudian akan
diletakkan dicelah-celah kayu perahu korban kemudian ditutup.
Warnanya yang putih membuatnya mudah disembunyikan karena semua
perahu nelayan di Tarowang dicat dengan warna putih baik bagian dalam
maupun bagian luar. Dan bila telah terselip pelaku dapat menutupnya
dengan menggunakan bubuk kapur yang diberi air sehingga tidak mudah
terlihat.
3. Gigi kongkong pongoro (gigi anjing gila) dan U’ kongkong pongoro
(bulu anjing gila)
Di daerah Tarowang banyak orang yang memelihara anjing terutama
mereka yang memiliki kebun yang difungsikan untuk mengusir babi yang
merusak tanaman. Beberapa diantara anjing tersebut ada yang hanya
diikatkan di kebun dan tidak dibawa pulang. Kadangkala ada yang
79 | N I P A T A B A I P A N G N G I S S E N G A N G K O D I
kemudian terjangkit penyakit rabies atau anjing gila yang menyebabkan
anjing tersebut mati. Gigi anjing yang mati karena terkena penyakit anjing
gila atau rabies dipercaya masyarakat memiliki potensi untuk dijadikan
media pangissengang kodi jika ditambahkan dengan mantra.
Hanya dibutuhkan satu gigi dari seekor anjing gila untuk diberi mantra
dan ditempatkan diposisi yang tidak terlihat dan sulit ditemukan pada
perahu korban. Perahu yang terkena akan sulit dikendalikan dan tidak
akan mendapatkan hasil tangkapan kemanapun perahu diarahkan.
Dengan demikian efek yang terjadi adalah perahu akan sama dengan
anjing gila yang sulit dikendalikan dan akhirnya akan mati karena
penyakit tersebut kalau tidak segera diobati.
4. Buku juku (tulang ikan)
Penggunaan tulang ikan dalam praktek pangisengang kodi
dikombinasikan dengan tanah jejak kaki korban seperti yang telah
dijelaskan sebelumnya. Sama seperti jejak kaki, tulang ikan tentunya
bukan hal yang langka bagi pelaku apalagi bila yang bersangkutan
berprofesi sebagai nelayan, bahkan masyarakat umum. Tulang ikan yang
telah disiapkan pelaku dibungkus dengan tanah yang diambil dari jejak
kaki calon korban, kemudian keduanya dibungkus lagi dengan
menggunakan kain hitam. Kain kemudian diberi mantra dan diletakkan
dalam perahu korban ditempat yang tidak mudah terlihat dan sulit
80 | N I P A T A B A I P A N G N G I S S E N G A N G K O D I
ditemukan. Perahu yang terkena tidak akan mendapatkan ikan meskipun
pemiliknya sudah berpindah tempat.
Meskipun tampak mudah meletakkan media yang telah diberi mantra
pada perahu pada sebagian orang, namun masyarakat percaya bahwa tidak
semua perahu dapat terkena pangngissengang kodi. Hanya perahu yang
memiliki pusar (pocci beseang) yang dapat terkena pangngissengang kodi,
karena menurut masyarakat setempat perahu yang memiliki pocci ibaratnya
sama dengan manusia, perahu tersebut telah diberi nyawa dengan adanya
pocci tersebut seperti yang diungkapkan oleh salah seorang informan
berikut:
itu beseang na RH anre ni pocci ki, jadi anre nakkulle nataba
pangngissengang tidak ada, k tidak na anu guna guna tidak na
kenna i k tidak ada pocci na, mingka punna nia pocci na na
kenna guna guna. injo pocci k nyawana, singkamma tonji intu
tau ammake pocci. HM (62) wawancara
artinya:
itu perahunya RH tidak di pusar(pocci), jadi tidak bisa terkena
pangngissengang karena tidak ada pusarnya, tetapi kalau ada
pusarnya terkena guna guna, itu pusar nyawanya, sama halnya
itu orang memakai pusar.
Pocci perahu umumnya terletak pada kunas bagian belakang perahu.
Pada perahu seperti yang digunakan nelayan Tarowang, maka posisi possi
akan berada dibelakang mesin, dan dibawah tempat duduk juru mudi.
Meskipun tersembunyi semua nelayan tahu mana perahu yang memiliki
pocci dan mana yang tidak memiliki. Perahu yang tidak memiliki pocci
81 | N I P A T A B A I P A N G N G I S S E N G A N G K O D I
misalnya perahu sampan. Pocci sendiri berfungsi sebagai ballas atau
penyeimbang perahu dan sebagai lubang pembuangan jika air masuk
kedalam perahu. Ketika perahu ditambatkan pocci akan ditutup agar air laut
tidak masuk. Sedangkan ketika perahu bergerak atau dijalankan maka
penutup pocci akan dibuka dan akan membuat air yang tergenang di perahu
akan keluar dengan sendirinya.
Seluruh cara tersebut diatas membutuhkan mantra agar berhasil dan
ketika mantra dibacakan oleh pelaku, nama korban yang dituju atau nama
juru mudinya disebutkan pada akhir mantra. Tentunya pelaku harus
membacakan mantranya dengan niat yang sungguh-sungguh dan juga yakin
akan berhasil. Setelah nama korban disebutkan diakhir mantra, maka
ditambahkan kata “pa’tanre ki dalle na” (hilangkan rezekinya) pada bagian
ujung mantra dan sekaligus tujuan melakukannya.
Semua pangissengang yang disebutkan diatas harus diletakkan
pelaku pada badan perahu ditempat dimana pemilik tidak dapat melihatnya
dan sulit menemukannya. Beberapa pelaku pangissengang kodi memiliki
ilmu lain untuk menutupi media yang diletakkannya sehingga sulit untuk
ditemukan meskipun korban meminta bantuan orang pintar. Tetapi untuk
meletakkan media pada celah bilah papan perahu yang merupakan cara
yang umum digunakan oleh pelaku sangatlah sulit. Perahu dibuat dari bilah-
bilah papan yang disusun dengan menggunakan pasak dengan posisi tidak
82 | N I P A T A B A I P A N G N G I S S E N G A N G K O D I
terlalu rapat meskipun tampaknya rapat. Pada bagian antara dua buah
papan diletakkan kulit kayu baru untuk memberikan celah bagi kayu dapat
mengembang dan menyusut dengan leluasa mengikuti perubahan suhu agar
terhindar dari keretakan. Tetapi pada celah yang terbuka pada bagian luar
permukaan perahu dimasukkan sesuatu untuk menyumbatnya seperti
misalnya tali nilon berukuran kecil, dempul atau damar sehingga lubang akan
tertutup rapat dan apabila terlepas akan sangat mudah dilihat.
Setidaknya pelaku membutuhkan waktu dan keahlian tertentu untuk
dapat meletakkan media yang telah diberi mantra pada perahu korban tanpa
terlihat atau tanpa menmbulkan kecurigaan.
1.4.Media dengan sasaran mesin perahu.
Mesin merupakan aspek produksi yang cukup fital pada masyarakat
nelayan. Dengan mesin nelayan dapat menjangkau wilayah-wilayah
penangkapan yang jauh, dan waktu yang dibutuhkan untuk pergi dan pulang
menjadi lebih pendek. Tetapi kehadiran mesin juga harus ditunjang oleh
kepemilikan modal untuk dapat membiayai operasinalnya seperti oli dan
bahan bakar yang harus ada setiap hari. Kerusakan mesin akan
mengakibatkan aktifitas penangkapan terganggu bahkan dapat terhenti dua
hingga tiga hari. Kerusakan mesin tidak hanya merugikan karena pemilik
tidak dapat melakukan aktifitas penangkapan, tetapi juga karena kerusakan
membutuhkan biaya untuk perbaikan.
83 | N I P A T A B A I P A N G N G I S S E N G A N G K O D I
Salah satu sasaran dari pelaku pengguna pangissengang kodi adalah mesin
perahu. Tetapi berbeda dengan kedua bagian yang telah dijelaskan di atas,
untuk dapat mempengaruhi kinerja mesin pelaku menggunakan dua media
yaitu (1) bantuan jin, dan (2) batu kerikil. Penggunaan jin untuk membantu
pelaku pangissengang kodi disebut dengan bela-bela Jin.
Bela-bela jin, merupakan salah satu metode dalam ilmu hitam dengan
menggunakan bantuan jin yang diperintah untuk merusak mesin perahu
korban. Pengrusakan mesin dilakukan melalui media bahan bakar yang
merupakan unsur penting dalam pengoperasian mesin. Tujuan utama pelaku
adalah menjadikan mesin milik korban menjadi boros dalam konsumsi bahan
bakar, yang tentunya akan menyebabkan meningkatnya ongkos produksi dan
akan mendorong korban menghentikan kegiatannya untuk memperbaiki
mesin yang berakibat tidak dapat melakukan penangkapan.
Bela-bela jin dapat dilakukan kapan dan dimana saja, selama seorang
nelayan dapat melihat ataupun mengenali korbannya. Meskipun memiliki
mesin dengan kekuatan yang sama dan merk yang sama pula, suara mesin
yang dihasilkan akan berbeda-beda, bergantung pada besar kecil kecepatan
yang paling sering digunakan pemilik, dan besar kapal dimana mesin
diletakkan. Beberapa nelayan senang menggunakan mesin dengan putaran
kecil ketika memasuki muara sungai yang menjadikan suara mesinnya
menjadi halus. Sementara yang lain mungkin senang dengan kecepatan
yang sedikit tinggi atau bahkan tinggi yang akan membuat mesin
84 | N I P A T A B A I P A N G N G I S S E N G A N G K O D I
menghasilkan suara yang cukup besar. Demikian pula pada cara memainkan
gas yang berbeda-beda pada setiap orang terutama ketika akan berangkat
atau akan berlabuh. Dan meskipun jenis perahu yang dugunakan sama,
namun berat perahu berbeda-beda bergantung pada jenis kayu yang
digunakan dan banyaknya aksesoris perahu. Perbedaan-perbedaan tersebut
membuat suara perahu menjadi khas pada setiap pemilik dan suara tersebut
juga menjadi tanda pengenal bagi keluarga dan masyarakat umum. Bagi para
pelaku pangissengang kodi yang akan menggunakan jin sebagai pembantu
dan menjadikan mesin sebagai sasaran, mereka dapat mempraktekkan
ilmunya meskipun hanya mendengar suara mesin calon korbannya.
Cara kedua, yaitu yang bertujuan untuk merusak mesin atau bahkan
menghancurkannya adalah A’Palappo Masina (meletuskan mesin). Serupa
dengan bela-bela jin, praktek untuk pangissengang ini juga dapat dilakukan
kapan saja tetapi selama pelaku dan pelihat perahu korbannya. Media yang
digunakan adalah batu kecil atau kerikil yang dilemparkan ke perahu calon
korban dan dengan bantuan kekuatan angin batu akan sampai ke
sasarannya. Cara melakukannya yaitu batu kecil di genggam menggunakan
tangan kanan dengan jari telunjuk yang menunjuk perahu sasaran/korban
sambil membaca mantra. Setelah membaca mantra, batu yang berada dalam
genggaman ditiup ke arah perahu yang akan menjadi korban. Dipercaya
bahwa wujud halus dari batu yang teleh diberi mantra tadi akan masuk ke
dalam mesin korban yang menjadi penyebab kerusakan mesin.
85 | N I P A T A B A I P A N G N G I S S E N G A N G K O D I
2. Pengetahuan tentang Waktu Penggunaan Pangngissengang Kodi
Beberapa praktik pangngissengang kodi dapat digunakan kapan saja
tetapi ada pula yang memiliki syarat waktu untuk melakukannya. Tetapi pada
prinsipnya semua praktek ini sama jika dilihat dari cara melakukannya yang
bersifat rahasia dimana ketika pelaku mempraktekkan ilmunya tidak boleh
terlihat oleh orang lain apa lagi pemilik perahu, karena ketika ada orang lian
yang pemelikik perahu melihat
iya, kalo begini kan dilihati kita, tidak adami di bawah di perahunya
tengah malam kan dia tidak tidur dia jagai kita, tidak adami orang di
bawah di kasi anu perahunya jam-jam tengah malam, yang penting tidak
adami orang na lihat. Jadi turun mi banyak lagi orang kan dia cuman
berdiri ji di perahu pegang-pegang biar banyak orang tidak di tau bilang
di kasi kenna, kan di pegang-pengangnya ji perahu padahal ada di
pasang disitu. DM (34), wawancara
artinya:
Iya, kalau beginikan (jam 8 pada saat wawancara) orang bisa melihat
kita. Pada saat malam hari pemilik akan berusaha tidak tidur untuk
mengawasi. Tapi kalau kalau sudah sunyi, disaat tidak ada lagi orang,
pelaku akan masuk ke bawah perahu pada saat tengah malam, yang
penting tidak ada lagi orang. Sedangkan di saat banyak orang sulit untuk
mengetahui kalau sudah dipasang karena pelaku berdalih hanya
memegang perahu, padahal dia sudah selesai memasangnya.
Dari segi waktu, maka pangissengan kodi dapat dibagi atas dua yaitu
pangissengang kodi yang dapat dilakukan kapan saja oleh pelaku, dan yang
hanya dapat dilakukan pada waktu malam hari. Tetapi kedua waktu tersebut
tidak menjadi syarat bagi kepastian keberhasilan, tetapi lebih pada
kemudahan melakukan praktek bagi pelaku.
86 | N I P A T A B A I P A N G N G I S S E N G A N G K O D I
2.1. Pangissengang kodi yang dapat digunakan kapan saja
Pangngissengang kodi yang dapat digunakan kapan saja yaitu
pangissengang yang dalam prakteknya hanya berupa mantra atau dapat
pula yang berupa mantra dan menggunakan media, namun media yang
digunakan tidak perlu diletakkan atau disembunyikan pada barang-
barang milik korban seperti misalnya pada perahu yang umum ditemukan
di Tarowang. Pada kasus seperti ini mantra biasanya dirapalkan pelaku
ketika berada dalam situasi keramaian seperti saat duduk santai sambil
bercengkrama dibalai- balai rumah atau pun di tempat-tempat dimana
mereka biasa duduk bersama. Ada pula yang merapalkan mantra pada
saat nelayan sedang bersama-sama memeriksa atau memperbaiki
perahu mereka yang tertambat di pinggir pantai. Sambil merapal mantra
dalam hati pelaku mengosok-gosokkan telapak kaki ke bagian perahu
korbannya.
2.2. Pangissengang kodi yang dilakukan malam hari
Praktek pangngissengang kodi yang dilakukan pada malam hari
adalah yang dalam prakteknya menggunakan media yang harus diletakkan
pada bagian perahu. Pelaku biasanya melakukan aksinya sekitar pukul
23:00 wita dan pukul 24:00 wita pada saat kondisi di pelabuhan sangat
sunyi karena penduduk sedang tidur. Salah seorang informan (MR, 45thn)
menjelaskan bahwa jam 11, jam 12 di liatki itu orang kalo tidak adami
87 | N I P A T A B A I P A N G N G I S S E N G A N G K O D I
sendiri mami ki disitu ka tidur semua mi orang, seperti itu anu itu yang
begituang’a seperti orang pencuri kalo begitu. Informan menyamakan
aktifitas pelaku pangissengan kodi dengan aksi pencuri. Karena itu pelaku
harus betul-betul mengenali kebiasaan korbannya dan orang lain di sekitar
peabuhan sebelum melakukan praktik pangngissengang kodi. Gangguan
ala seperti hujan dapat membantu kelancaran pekerjaan pelaku karena
suara hujan akan menutupi suara yang ditimbulkannya, penduduk juga
tertidur cukup pulas dan akan sangat sulit untuk melihat gerakan orang
karena tertutup oleh hujan.
3. Pengetahuan korban tentang terkena atau tidak terkena (deteksi)
Pangngissengang Kodi dan cara mengatasinya
Terkena atau tidak terkena pangissengang kodi hanya daat
disimpulkan oleh korban. Pelaku sekalipun tidak akan mengetahuinya sampai
korban membicarakannya pada orang lain atau setelah melihat tanda-tanda
keberhasilan tindakannya. Bagi korban, juga terdapat tanda-tanda yang
digunakan sebagai ukuran untuk menentukan apakah dirinya telah terkena
pangissengang kodi. Tanda-tanda tersebut diperoleh dengan mempelajari
keberhasilan kerjanya dalam beberapa waktu dan kesulitan-kesulitan yang
hadapinya secara beruntun dalam waktu yang sangat panjang.
Terdapat tiga tanda atau kejadian yang dapat digunakan korban
panggisengang kodi untuk mengetahui dan kemudian menyimpulkan apakah
88 | N I P A T A B A I P A N G N G I S S E N G A N G K O D I
dirinya telah terkena perbuatan jahat dari orang lain. Ketiga tanda tersebut
adalah (1) mimpi, (2) pengamatan terhadap keberhasilan penangkapan yang
dilakukan dan (3) pengamatan terhadap kinerja atau kemampuan perahu dan
mesin yang dimiliki. Isyarat yang diperoleh dari ketiga tanda tersebut
kemudian diamati dengan seksama sampai tiba pada kesimpulan bagian
mana dari korban yang menjadi sasaran.
3.1. Melalui mimpi.
Masyarakat di Kecamatan Tarowang sangat percaya pada mimpi,
karena menurut mereka mimpi merupakan sebuah hidayah, yang salah
satu fungsinya adalah petunjuk dari yang kuasa untuk memberikan
peringatan akan bahaya. Tetapi tidak semua mimpi dapat dijadikan
rujukan, bergantung pada pemahaman dan keyakinan setiap orang.
Beberapa nelayan mengatakan bahwa hanya mimpi yang berulang
hingga tiga kali baik secara berturut-turut dalam tiga hari yang dapat
dijadikan pertanda. Beberapa nelayan lain mengatakan hanya
mempercayai mimpi yang berulang pada tiga hari Jum’at saja yang
benar. Nelayan lain mengatakan walaupun tidak berulang namun dalam
mimpi tersebut jelas terlihat apa yang terjadi maka sudah cukup untuk
diwaspadai. Ada pula yang mengacu pada sosok yang dilihat. Apabila
sosok yang dilihat tidak berganti dalam beberapa kai bermimpi, maka
mimpi itu merupakan mimpi yang benar. Mimpi juga tidak harus terjadi
89 | N I P A T A B A I P A N G N G I S S E N G A N G K O D I
langsung pada pemilik perahu tetapi juga dapat terjadi pada anggota
keluarga seperti istri, anak, orang tua atau kerabat lainnya.
Gambaran dalam mimpi kadang-kadang dirasakan sangat jelas, dan ada
pula yang harus diinterpretasi oleh pemilik mimpi. Mimpi yang jelas
misalnya seseorang di perlihatkan wujud jelas dari pelaku dan cara-cara
orang tersebut melakukan pangngissengang kodi pada perahu miliknya.
Atau jika seseorang bermimpi bertemu seseorang dan orang tersebut
memberitahukan kalau perahunya telah diberi pangngissengang kodi.
Jika mimpi tersebut berulang seperti yang dijelaskan diatas, maka mimpi
tersebut dianggap sebagai kabar yang benar.
Salah satu kasus yang berhubungan dengan mimpi dikisahkan oleh
informan HM sebagai berikut:
Pada saat itu musim ikan banjar, malam ke-tiga perahu HM kembali
tidak mendapat hasil tangkapan dan sebelum hal itu terjadi anak HM
mimpi seseorang telah menyerang perahu mereka dengan
menggunakan tanah orang mati yang disimpan di atas perahu. Pada
saat HM mendengarkan mimpi anaknya HM sangat marah kepada
nelayan (pelaku) yang dia yakini sebagai orang yang melakukan, HM
yakin bahwa MR adalah pelaku dari penyerangan terhadap
perahunya karena MR kecewa pada saat itu MR menawarkan diri
untuk menjadi sawi dan HM menerimanya namun HM berubah pikiran
untuk menerima MR sebagai sawi karena MR tidak pernah membantu
HM pada saat perahunya sedang di perbaiki.
Penjelasan informan diatas menunjukkan bahwa mimpi tidak harus
datang kepada pemilik perahu tetapi juga dapat dialami oleh keluarga
dekatnya seperti istri, anam dan orang tua. Selanjutnya untuk dapat
menentukan siapa pelaku yang terlibat juga diperlukan data pembanding
90 | N I P A T A B A I P A N G N G I S S E N G A N G K O D I
berupa peristiwa sebelumnya yang dapat mengindikasikan siapa
pelakunya.
3.2. Melalui pengamatan hasil tangkapan.
Semua nelayan akan mengingat waktu-waktu keberhasilan dan
kegagalan penangkapan yang mereka alami pada masa lalu.
Pengalaman-pengalaman tersebut menjadi acuan bagi nelayan untuk
memperbaiki keadaan mereka dan mengantisipasi keadaan yang sama
yang mereka hadapi.
Kegagalan terus-menerus yang menimpa seorang nelayan di Tarowang
dapat ditanggapi sebagai hasil dari perbuatan jahat orang lain. Namun
seperti pada peristiwa mimpi di atas, diperlukan suatu peristiwa
sebelumnya yang dapat dijadikan acuan untuk menentukan apakah
kegagalan tersebut merupakan hasil perbuatan jahat orang lain atau hal
itu dapat diketahui pula dari keterangan orang lain yang dianggap pandai
untuk membaca situasi. Pengkapan yang dioandang sebagai kegagalan
yang disebabkan hasl perbuatan jahat adalah ketika seorang nelayan
selama tiga malam berturut-turut dan juga ada yang tiga malam jum’at
berturut-turut tidak mendapatkan hasil maksimal. Jika tiga malam
berturut-turut tidak mendapatkan hasil tangkapan yang hampir sama
dengan nelayan paling dekat dari tempat mereka memasang jaring,
mereka menganggap kondisi seperti itu tidak wajar karena melihat lokasi
mereka memasang jaring sama, namun hasil tangkapan ikan yang
91 | N I P A T A B A I P A N G N G I S S E N G A N G K O D I
mereka peroleh sangat sedikit. Peristiwa demikian cukup bai seorang
nelayan untuk menjadi dasar meyakini mereka telah terkena
pangissengang kodi.
3.3. Melalui pengamatan terhadap kondisi perahu.
Nelayan Tarowang meyakini bahwa pemilik perahu dapat
berbicara dengan perahunya dan mengetahui keadaannya dengan
perantaraan nyanyian tertentu. Dengan menyanyikannya nelayan
berbicara dengan Nabi-nya kayu yang ada pada perahu. Ketika
melakukannya, nelayan melantunkan lagu yang dimaksud diatas perahu
secara berulang sebanyak tiga kali di bagian depan, tengah dan
belakang. Apabila nyanyian putus di salah satu bagian sebanyak tiga kali
berturut-turut, maka nelayan sudah dapat memastikan perahunya telah
terkena pangngissengang kodi. Lagu tersebut diyakini dapat
membangunkan penjaga perahu, sama halnya ketika membangunkan
orang yang sedang tidur.
Cara lain yang dapat dilakukan untuk mengetahui apakah perahu terkena
pangngissengang kodi yaitu dengan mengamati melihat kondisi perahu.
Perahu yang terkena pangissengang kodi akan terlihat tidak bercahaya
dan tidak memiliki semangat. Penilaian ini tentunya sangat subjekatif dan
kemampuan mengamati kondisi perahu tidak dimiliki oleh semua nelayan.
Pengambilan keputusan yang meyakinkan mengenai terkena
pangissengang kodi atu tidak bagi seorang nelayan ditentukan oleh
92 | N I P A T A B A I P A N G N G I S S E N G A N G K O D I
ketiga tanda tersebut. Tentunya jika ketiga tanda ditemukan maka
keyakinan menjadi sangat kuat. Namun secara umum, minimal mereka
menemukan dua tanda dari ketiga tanda yang digunakan, maka hal
tersebut dirasakan sudah cukup untuk menjadi dasar. Tanda yang umum
digunakan nelayan adalah mimpi yang dikomparasi dengan pengamatan
kondisi tangkapan atau dengan kondisi tampakan perahu.
3.4 Pengetahuan tentang cara mengatasi
Setelah mereka mengetahui bahwa perahu atau mereka terkena
pangngissengang kodi, bagi mereka yang memiliki pengetahuan untuk
menangkal akan segera mengambil tindakan. Tetapi bagi mereka yang
tidak memiliki kemampuan tersebut biasanya melibatkan keluarga dengan
melakukan pembicaraan ke dalam atau menghubungi orang pintar. Tetapi
sebagian besar nelayan menggunakan jasa dari keluarga mereka sendiri.
Sulitnya melakukan pembuktian keterlibatan seseorang sebagai
pelaku praktek pangngissengang kodi membuat korban akan cenderung
untuk menyembunyikan kecurigaannya ketika mengetahui dirinya telah
menjadi korban. Dan karena bersifat sangat personal, maka kesimpulan
terkena atau tidak terkena juga hanya dirasakan hanya oleh satu orang
saja. Karena itu mereka yang merasa menjadi korban akan merahasiakan
kondisinya hingga betul-betul meyakini siapa yang telah melakukan
praktek tersebut seperti yang dituturkan salah seorang informan berikut ini:
93 | N I P A T A B A I P A N G N G I S S E N G A N G K O D I
tidak pernah, kita sendiri yang tau karna kalo di kasi taukan orang lain
pasti bilangnya owh.. iya tapi dia tidak percaya depan kita bilang
owh… iya begitukah… tapi nanti juga dia cerita bilangnya ah.. itu
begini-begini jadi lebih baik kita saja yang tau,datang di orang pintar.
Ada juga orang pintar tapi bilangnya orang dia pintar tapi tidak pintar,
kayak orang haji itu diatas bilangnya kalo orang begitu itu pencuri di
pasarkan anunya dia tidak pintar tapi dia mengaku pintar. Ada juga
orang pintar itu kayak H. DN pintar betul itu kita bilang begini, cuman
satu kali aja bilang dia tau semua, (dulu kamu begini, dulu kamu
begini) dia tau padahal dia tidak pernah datang di rumah. Itu mi saya
mengaku kalo dia orang pintar. E waktu saya datang kesitu cuman dia
yang ku datangi. Bilangnya ( kamu 3 hari 3 malam kamu mesin mu ya,
kamu rusak mesin mu padahal mesinnya orang kamu tau semua
kerja, tapi masa mesin mu yang kasi bodo-bodo kamu 3 hari kamu
kerja yang kamu kerja itu bukan rusak apa, ada yang kenna jadi kamu
tidak dapat rusaknya) itumi orang pintar itu tidak datang di rumah tapi
na tau ki, dia bilang ini rokokmu yang kasi tau saya ada penghasilan
mu habis memang. DM (34) wawancara
Artinya :
Tidak pernah, saya sendiri yang tahu karena kalau diberitahukan
kepada orang lain pasti dia bilang owh.. iya tetapi dia tidak percaya
depan saya dia mengatakan owh.. iya… begitukah tetapi nanti dia
menceritakannya dan mengatakan ah.. itu begini-begini jadi lebih baik
saya saja yang tahu, datang ke orang pintar, juga ada orang pintar
tetapi orang yang mengatakan dia pintar tetapi sebenarnya dia tidak
pintar, seperti orang Haji itu di atas mengatakan kalau orang seperti
itu pencuri karena dia memasrkan ilmunya, dia mengaku pintar tetapi
dia tidak pintar. Juga ada orang pintar itu seperti H. DN dia betul
pintar saya mengatakan begina hanya satu kali dia langsung
megetahui semua, (H. DN mengatakan dulu kamu seperti ini, dulu
kamu seperti ini) dia mengetahui semuanya padahal dia tidak pernah
datang ke rumah, itu saya mengaku kalau dia orang pintar, waktu
saya kesana hanya dia yang saya datangi dia mengatakan, kamu
sudah tiga hari tiga malam mesin kamu rusak padahal mesin orang
lain kamu bisa kerja tetapi mesin kamu yang membodohi kamu tiga
hari kamu kerja, yang kamu kerja itu bukan rusak apa, mesin kamu
ada yang kena sehingga kamu tidak menemukan kerusakannya. Itu
orang pintar tidak datang ke rumah tetapi dia tahu, dia bilang ini rokok
kamu yang memberitahukan saya kamu ada penghasilan langsug
habis.
94 | N I P A T A B A I P A N G N G I S S E N G A N G K O D I
Hanya melibatkan keluarga dan tidak melibatkan orang lain di luar
rumah dalam kasus pangngissengang kodi disebabkan karena terkena atau
tidak banyak melibatkan dugaan atas dasar perasaan, sehingga bersifat
sangat pribadi. Karena itu untuk apa bercerita kepada orang lain karena
sudah dipastikan orang lain tidak akan percaya. Karena itu korban yang tidak
dapat menangkal sendiri karena memiliki kemampuan yang kurang atau
tidak mengetahui caranya. Akan langsung mendatangi orang pintar setelah
berkonsultasi dengan keluarga terdekat. Orang pintar dalam pandangan
masyarakat nelayan Tarowang adalah orang yang dapat mengetahui
masalah tanpa banyak bertanya seperti yang dikatakan informan pada
kutipan di atas.
Secara lengkap, akan dipaparkan sebuah kasus yang menimpa HM,
salah seorang informan yang menceritakan peristiwa yang dialaminya mulai
awal terkena hingga penyelesaian akhir.
Pada saat itu musim ikan banjar, malam ke-tiga perahu HM kembali
tidak mendapat hasil tangkapan dan sebelum hal itu terjadi anak HM
mimpi seseorang telah menyerang perahu mereka dengan
menggunakan tanah orang mati yang disimpan di atas perahu. Pada
saat HM mendengarkan mimpi anaknya HM sangat marah kepada
nelayan (pelaku) yang dia yakini sebagai orang yang melakukan, HM
yakin bahwa MR adalah pelaku dari penyerangan terhadap
perahunya karena MR kecewa pada saat itu MR menawarkan diri
untuk menjadi sawi dan HM menerimanya namun HM berubah pikiran
untuk menerima MR sebagai sawi karena MR tidak pernah membantu
HM pada saat perahunya sedang di perbaiki. Pada malam itu juga HM
memutuskan untuk membawa perahunya ke kerabatnya yang berada
di Bantaeng untuk di obati. HM mambawa perahunya Ke Bantaeng
agar pelaku tidak tahu kalau sebenarnya HM telah mengetahui bahwa
yang mempengaruhi hasil tangkapanya selama beberapa hari ini
95 | N I P A T A B A I P A N G N G I S S E N G A N G K O D I
disebabkan karena terkena pangngissengang kodi yang di lakukan
oleh MR. Ke-esokan harinya istri HM bertegur sapa dengan MR
mereka saling mempertanyakan hasil tangkapan namun setelah MR
pergi tampak raut wajah istri HM sangat marah dan mengatakan io
lasso tayang mi. dua hari setelah itu perahu HM telah di obati dan
mulai melakukan penangkapan ikan namun hasilnya sama saja tetap
tidak mendapatkan hasil tangkapan yang sedikit hal ini berbeda
dengan nelayan yang lainnya dimana hasil tangkapan mereka cukup
banyak mulai dari 100 ekor sampai ada yang mendapat 1.500 ekor
ikan banjar. Namun HM selama melakukan penangkapan total ikan
yang di peroleh tidak cukup 100 ekor. Pada saat itu hari rabu di
bawah rumah HM dan keluarganya sangat marah dan kembali
menghubungi kerabatnya yang memiliki pengetahuan untuk
mengobati perahu yang terkena pangngissengang kodi. pada saat itu
saya mendengar HM dan isitrinya akan berangkat hari sabtu pukul
08:00 pagi. Selama 2 hari anak HM menyimpan ikan hasil tangakapan
jaring senar untuk di bawa ke rumah kerabat yang akan mengobati
perahunya.
Pada sabtu pagi HM, istri, anak perempuannya dan anak laki-laki
telah berangkat namun, anak laki-lakinya tetap berkomunikasi saya
mendengar pembicaraan anaknya pada saat itu anaknya
mempertanyakan siapa yang melakukan praktik pangngissengang
kodi itu dugaan HM benar bahwa yang melakukan itu adalah MR dan
TJ hal itu dikemukan oleh kerabat mereka yang mengobati
perahunya.
Minggu sore HM, istri dan anakn-anaknya telah tiba di rumah pada
saat itu HM membawa banyak barang dari tempat kerabat mereka.
pada saat itu beberapa tetangga mampir di rumah HM
mempertanyakan HM darimana namun HM menjawab dari rumahnya
… ada acara pengantin. Jawaban itu untuk membuat orang-orang
yang bertanya tidak menegtahui apa yang di alami HM dan apa yang
di lakukan HM pada saat di rumah kerabatnya. Pada saat HM kesana
tidak acara apapun disana memang beberapa bulan lalu kerabat
mereka melangsungkan pernikahan dan sunatan.
Hari senin saya ikut HM ke bantang untuk melihat proses pengobatan
perahunya. Dimana pada saat itu HM membawa dua botol air dan 2
bolot minyak kayu putih namun saya tidak mempertanyak mau di
apakan air dan minyak kayu putih itu. sesampainya di Bantaeng
tepatnya di PPI Berea HM memanggil anaknya dan menyuruhnya
mengambil air sebanyak 1 baskom dan menyuruhnya menyimpan
minyak kayu putih itu di dekat pusar perahu. Pada saat anak HM
datang membawa air 1 baskom air dalam botol tersebut di tuang
kedalam baskom yang berisi air kemudian HM mengatakan so’soroki
batu ri ulu, battang , na pajana pin tallu, artinya : gosok dari kepala,
96 | N I P A T A B A I P A N G N G I S S E N G A N G K O D I
perut sampai pantat sebanyak 3 kali. Setelah di obati HM dan
anaknya akan melakukan penangkapan ikan besok sore.
Sore dan anaknya sudah berangkat melaut dimana HM berangkat
dari bantaeng menuju perairan Jeneponto untuk melakukan
penangkapan ikan dan akan kembali pada pukul 23 : 00. Keluarga
dirumahpun menunggu kabar. Setibanya di pelabuhan HM langsung
menelpon anaknya untuk naik ke Bantaeng mengambil hasil
tangkapan ikan sebanyak 30 ekor, kondisi seperti ini tanda-tanda
yang baik karena perahu tersebut telah menghasilkan ikan. ke esokan
harinya HM kembali melakukan penangkapan dan HM tidak
seberuntung hari kemarin hasil tangkapan yang di dapat tidak
sebanding dengan hari kemarin kondisi seperti ini terus terjadi selama
beberapa minggu hingga musim ikan banjar berakhir hasil tangkapan
HM tidak dapat menutupi modal yang dia keluarkan selama
melakukan penangkapan.
Melihat kondisi yang terjadi dengan perahunya istri HM berniat untuk
menjual perahu tersebut jika ada orang yang ingin membelinya
karena menurutnya buat apa perahu itu disimpan kalau perahu itu
tidak menghasilkan. Berselang beberapa bulan setelah saya
meninggalkan lokasi penelitian perahu HM telah di jual beserta jaring
dan mesinnya.
Keterangan informan di atas menggambarkan salah satu kasus
yang memakan waktu cukup panjang untuk menyelesaikannya karena
penyembuhan harus dilakukan berkali-kali. Dan akhir dari kasus tersebut
menunjukkan bahwa tidak seluruh upaya penyembuhan berhasil untuk
mengembalikan keadaan. Dan jika tidak berhasil, maka menjual perahu
merupakan solusi terakhir yang dipilih seperti keterangan HM lebih lanjut:
la na kura i la ni boli anu nia ka mami labbusu, labbusu doe ka ni
pangngongkosiang, ni pa balli ri solara na tea ji ngerang pole. Punna
nia ero balli sareang mi, lette mae jore baji ki isse ngerang pole, baji
wassele, kamma tongji beca ka mange punna ni patabai guna guna,
manna sitangnga mate ki ri pa boyaiya, anre lurang ni guppa. HM,
Nelayan
artinya:
97 | N I P A T A B A I P A N G N G I S S E N G A N G K O D I
buat apa di diasimpan, yang ada saja nanti habis, habis uang di
jadikan ongkos (modal), di pake beli solar kemudian tidak bisa
menghasilkan. Kalau ada orang yang mau membeli diberiakan saja,
pindah di situ bagus lagi meghasilkan, bagus hasilnya, seprti halnya
becak kalau terkena guna guna, biar stengah mati mencari tidak ada
penumpang di dapat.
tea mi erang pole, jadi na balukagngi isse jadi mange jore ri tau mallia
I baji ki issede ngerang pole punna iya tidak bagus, ka nama na itu di
kasi oba’ seperti guna guna itu, kamma tong ji tau punna ni kasi guna
guna langsung tidur, meninggal mi. na jual mentong pi perahunya,
kamma anungku a’lette pi mange ri kau nampa ero erang pole, nampa
na panaiki ikang.HM (62) wawancara
Artinta:
sudah tidak bisa menghasilkan, jadi ia menjualnya lagi setelah ke
pembeli kondisinya kembali bagus lagi menghasilkan. Kalau dia tidak
bagus karena nama orang tersebut yang di kasi obat, seperti guna
guna, seperti halnya orang kalau di beri guna guna langsung tertidur,
kemudian meninggal. Seperti punyaku nanti pindah ke kamu baru
mau menghasilkan, baru ada ikan yang naik.
Meskipun orang yang menangani pangngissengang kodi adalah
kerabat mereka sendiri, namun mereka tetap memberi imbalan sebagai
bentuk pa’cera agar serangan tersebut tidak kembali kepada orang yang
menangangi masalah pangngissengang kodi. Adapun pemberian yang
diterima oleh pihak yang menangani berupa rokok atau uang.
B. Pelaku dan Korban Pangissengang Kodi
Penggunaan pangissengang kodi akan melibatkan dua pihak utama
yaitu pelaku dan korban. Pelaku mungkin saja dibantu oleh orang lain untuk
melakukannya, namun tentunya yang menjadi aktor penting adalah yang
memiliki niat untuk melakukannya.
98 | N I P A T A B A I P A N G N G I S S E N G A N G K O D I
1. Pelaku Pangissengang Kodi
Praktik pangngissengang kodi di Kec. Tarowang dapat dilakukan oleh
siapa saja, namun sebagian besar pelaku adalah punggawa atau sawi.
Hampir semua pemilik perahu (punggawa) memiliki pengetahuan tentang
pangngissengang kodi karena ketika sudah tidak bisa mengalahkan
lawannya nelayan tersebut berusaha mencari orang yang memiliki
pengetahuan. Bagi masyarakat nelayan Tarowang cukup mudah untuk
mengetahui kepemilikikan seseorang atas pengissengang kodi. Siapa saja
yang mampu menangkal pangissengang kodi yang dialamatkan kepadanya,
berarti dia memiliki pula pangissengang yang sama.
Karena melibatkan penangkapan ikan dan aktifitas kenelayanan secara
umum, maka para pelaku seluruhnya adalah laki-laki dewasa. Tidak
ditemukan keterlibatan kaum wanita seperti istri, Ibu (orang tua/mertua) atau
anak gadis punggawa maupun sawi yang pernah terlibat kasus
pangissengang kodi. Meskipun demikian mereka akan terlibat ketika proses
mengatasi masalah keluarganya.
Pemilik pangngissengang kodi dalam pandangan masyarakat memiliki
resiko tersendiri yaitu tidak akan mengalami peningkatan taraf ekonomi
meskipun mereka sering mendapat hasil tangkapan yang banyak. Uang dari
hasil penjualan ikan yang diperoleh akan cepat habis seperti penjelasan
informan berikut:
99 | N I P A T A B A I P A N G N G I S S E N G A N G K O D I
kayak Daeng RM itu sama SL orang pintar semua itu. SL liat ada
habis ada habis begitu. Tidak ada apa-apanya tidak ada dilihat mata
hancur lagi perahunya karna ilmu sendiri aja yang makan. Kayak KU
itu orang Bantaeng pintar juga lebih pintar lagi itu kayak di film itu
orang sakti kalo di lihat rumahnya biar angin kecil itu k seandainya
tidak ada rumah besar di sampingnya terbang rumahnya. Dulu orang
disini banyak yang ambil ilmunya itu bilangnya kalo dia kasi anu
perahu banyak di dapat kamu juga kenapa tidak kesitu, ahh tidak mau
saya, lebih ada saya daripada dia apa dia bilangnya orang pintar,
apanya pintar seandainya pintar dia kaya. DM (34) Wawancara,
Di Tarowang terdapat sejumlah orang yang diketahui memiliki
pangngissengang kodi yang hebat karena ilmu yang dimilikinya tidak
mudah di temukan penangkalnya. Terhadap mereka, punggawa dan sawi
lainnya menghidari membuat masalah dan berusaha untuk berteman.
Orang tidak menghindar atau mengucilkannya karena jika suatu saat
mereka menjadi korban dari perbuatan orang lain, maka mereka akan
mendapatkan bantuan yang dinilai cukup kuat untuk mengatasinya.
Selain pelaku utama, juga terdapat orang pintar (orang memiliki
pengetahuan) yang terlibat dalam kasus pangissengang kodi. Sebagian
besar orang pintar dilibatkan dalam kasus penyembuhan korban
dibandingkan membantu pelaku. Keterlibatan orang pintar dalam
membantu pelaku terutama jika pelaku sebelumnya adalah korban yang
akan melakukan pembalasan, namun tidak mampu mengimbangi ilmu
orang yang menyerangnya. Orang pintar umumnya dipilih dari keluarga
yang tinggal tidak dalam lokasi pemukiman yang sama untuk
menghindari saling berbalasan dan kekerasan fisik. Sebagian besar
100 | N I P A T A B A I P A N G N G I S S E N G A N G K O D I
orang pintar yang terlibat tinggal diluar desa bahkan berbeda kecamatan.
Pemilihan kerabat yang tempat tinggalnya di luar desa juga didasarkan
pada pertimbangan strategis. Jika orang pintar dari kalangan penduduk
desa mereka sendiri, maka pelaku akan sadar bahwa pihak korban telah
mengetahui apa yang telah dilakukannya, dan tentunya juga telah
mengetahui siapa pelakunya. Tetapi jika yang dilibatkan adalah orang
pintar dari desa lain, maka pelaku tidak akan curiga, dan akan mudah
bagi korban untuk melakukan penyebuhan.
Dari semua alasan yang dikemukakan pelaku dan korban.
Dapat dikatakan bahwa motif utama korban ada dua yaitu iri hati dan
sakit hati. Iri hati terhadap penghasilan punggawa lain akan mendorong
seseorang untuk menjatuhkannya dengan cara yang dianggap halus
yaitu memanfaatkan pangissengang kodi. HM (62) mengemukakan
dalam suatu wawancara bahwa poko iya ngaseng intu punggawaiya,
punna iya kinrapa-rapa ngalle tea mako nia mi intu nganu beseang’a.
(Artinya: pokoknya semua punggawa, kalau kita sering-sering mendapat
hasil tangakpan, akan ada yang mengganggu perahu).
Motif kedua adalah sakit hati seperti kasus HM yang dipaparkan
secara panjang lebar sebelumnya. Sakit hati dapat juga disebabkan
karena ketersinggungan yang mungkin tidak memiliki hubungan langsung
dengan aktifitas melaut, misalnya permintaan yang tidak dipenuhi. Ketika
101 | N I P A T A B A I P A N G N G I S S E N G A N G K O D I
nelayan pulang dan melakukan bongkar muat, ikan hasil tangkapan
nelayan sebagian besar diserahan kepada pedagang, dan sebagian
kecil dibawa pulang untuk lauk-pauk. Beberapa keluarga atau teman
biasanya datang meminta sedikit ikan untuk lauk pauk dan umumnya
nelayan akan langsung memberi. Dalam beberapa kasus, pangissengang
kodi juga terjadi karena tersinggung akibat permintaannya tidak dijawab
dengan baik.
Hal lain yang juga menjadi penyebab adalah sakit hati yang
disebabkan ketersinggungan dari kata-kata yang mungkin saja dilakukan
secara bercanda, tetapi ditangkap dengan cara berbeda oleh pelaku
seperti yang dijelaskan informan berikut:
manna ta’ kana tampo i punna na tegur dudu ki batena a’carita punna
ta’bala tau kamma tongji intu supir otao apa kau ta lebba ko lurang
tamae tongko langgappa lurang kau kaminjo ji, k iya tong ji a’pala nai
suro pakinjoa anre dosa ku ri kau, a kacuali a’tampo-tampo ma ato
angngura I, mingka punna ero na dalle ku ia k nakke to isse nasare
karaeng a’tala. NY 53, Nelayan
Artinya: meskipun dia tidak menyombongkan diri, tetapi dia terlalu
menyinggung ketika terdapat banyak orang, sama halnya dengan
supir mobil yang mengatakan “apa kau tidak pernah dapat
penumpang”, dimana kamu bisa dapat penumpang kau, begitu lah,
karena dia sendiri yang mencari masalah. Siapa suruh dia perlakukan
saya seperti itu, saya tidak punya masalah dengan dia, kecuali saya
sombong atau ada masalah lain, kalau mau rezeki kan saya lagi yang
di berikan oleh Tuhan.
Karena itu sangat jarang ditemukan nelayan dengan bangga
menceritakan keberhasilannya atau mengkritik cara orang lain
menangkap ikan, yang dapat menyebabkannya mendapat masalah.
102 | N I P A T A B A I P A N G N G I S S E N G A N G K O D I
2. Korban Pangissengang Kodi
Jika pelaku terdiri atas punggawa, sawi dan masyarakat umum
yang iri atau sakit hati kepada korban, maka semua korban
pangngissengang kodi adalah punggawa yang umumnya juga berperan
sebagai juru mudi. Lebih spesifik lagi, punggawa yang paling sering
mendapatkan hasil yang banyak, yang sering mengeluarkan kata-kata
kasar yang menyebabkan orang lain tersinggung, yang memiliki perilaku
yang dipandang buruk oleh masyarakat dan yang pernah menyerang
orang lain dengan pangngissengang kodi. Dapat disimpulkan bahwa
seseorang dijadikan korban atau menjadi korban karena dua sebab
utama yaitu keberhasilan ekonomi yang dialami seseorang dan perilaku
yang tidak baik.
Keberhasilan dalam melakukan penangkapan ikan tentunya
menjadi harapan dari semua nelayan. Tetapi keberhasilan sesungguhnya
adalah ketika ikan-ikan hasil tangkapan terjual dengan harga yang baik
dan sangat baik. Jadi keberhasilan penangkapan ikan saja tidak dilihat
dari jumlah ikan yang berhasil ditangkap, tetapi juga berapa jumlah uang
yang dapat diterima dari hasil penjualan.
Pada sisi lain, setiap orang senang membicarakan
keberhasilannya kepada orang lain. Secara sosial ini menjadi semacam
pertandingan untuk menentukan siapa yang memiliki posisi terbaik.
103 | N I P A T A B A I P A N G N G I S S E N G A N G K O D I
Dalam masyarakat umumnya, orang kaya memiliki posisi terpandang di
masyarakat. Tetapi bagaimana cara membicarakan kemakmuran
ekonomi pribadi kepada banyak orang juga akan menimbulkan masalah,
terutama pada masyarakat nelayan di Kec. Tarowang. Pembicaraan yang
dirasakan wajar akan menjadi bencana jika lawan bicara menanggapinya
sebagai suatu cara bagi penutur untuk menyinggung atau menyerang
pribadi orang, atau merendahkan lawan bicara. Sementara setiap orang
merasa pernah mendapatkan posisi ekonomi yang jauh berada di atas
orang lain. Hal ini tersirat dari penjelasan DM (34 thn) berikut ini:
biasa iri kalo di kalah pendapatan begitu, di kalah pendapatan begitu,
dia tidak bersyukur maunya dia selalu banyak na dapat kita tidak di
biarakan banyak di dapat, ini kan persaingan biasa dia datang di
kampungnya orang cari orang pintar begini saya cari ilmu begini, ilmu
mau di kasi mati orang ia doti. DM (34) wawancara
artinya :
biasa iri kalau pendapatannya dikalah, begitu pendapatannya
dikalah dia tidak bersyukur maunya dia selalau yang dapat banyak
(ikan), dia tidak ingin kalau kita dapat banyak (ikan) ini kan
persaingan biasa, dia datang di kampunnya orang dia mencari
orang pintar, cari ilmu begini, ilmu untuk mematikan orang, ia doti
(ilmu hitam)
Kedua sebab seseorang dapat menjadi korban tersebut
sekaligus mengindikasikan bagaimana upaya untuk mencegahnya yaitu
tidak menyombongkan diri, banyak berbagi, bersikap ramah dan
menjauhi untuk turut campur dalam urusan orang lain. Di desa nelayan
Tarowang, interaksi antar masyarakat nelayan akan terlihat sangat
104 | N I P A T A B A I P A N G N G I S S E N G A N G K O D I
kurang. Perkumpulan kecil hanya melibatkan menjadi keluarga ini saja
dan lebih banyak berlangsung dalam suasana formal di dalam rumah ata
diteras daripada di ruang terbuka. Tegur sapa sangat sedikit dan
terkesan hanya sekedarnya saja agar orang tidak tersinggung. Masing-
masing orang saling menjaga diri untuk tidak menimbulkan masalah.
Salah satu kasus unik yang ditemukan dilapangan adalah kasus
yang melibatkan dendam masa lampau. Kasus ini bermula dari proses
penagihan utang piutang yang terjadi antara peminjam dan yang
meminjamkan uang. Kasus seperti ini cukup banyak terjadi mengingat
masyarakat nelayan sangat identik dengan utang piutang, dan utang
piutang seringkali menjadi penyebab perselisihan yang membutuhkan
waktu lama dalam proses penyelesaiannya. Berdasarkan informasi yang
diperoleh, kasus penagihan utang piutang dapat berlangsung satu hingga
tiga tahun, bahkan terdapat kasus yang hingga kini belum terselesaikan.
Kasus tersebut dimulai pada tahun 2011 dan baru selesai pada tahun
2016. Penagihan terus menerus justru ditanggapi sebagai upaya
merendahkan harga diri pihak yang meminjam. Harga diri yang dimaksud
dalam proses penagihan ini terjadi karena pihak yang memberi pinjaman
melakukan penagihan dengan cara kasar, seperti meneriaki pihak yang
meminjam sehingga para tetangga mendengarnya karena kesal akibat
lamanya pengembalian. Hal tersebut membuat pihak yang meminjam
105 | N I P A T A B A I P A N G N G I S S E N G A N G K O D I
melakukan tindakan untuk membalas tetapi dengan menggunakan
pangngissengang kodi.
C. Dampak Sosial Pangngissengang Kodi
Penggunaan pangngsissengang kodi dalam persaingan menimbulkan
keretakan hubungan antar nelayan. Hubungan yang dimaksudkan adalah
hubungan antar individu dan hubungan antar keluarga dalam masyarakat
karena tindakan membela. Pada akhirnya menyebabkan masyarakat selalu
hidup dalam situasi menegangkan. Mereka yang tidak terlibat dalam kasus
antar dua orang, akan mencoba menghindari keduanya untuk tidak memberi
kesan membela atau membantu salah satunya.
Hubungan tidak harmonis tentunya dimulai ketika seseorang merasa
telah menjadi korban dan telah menemukan tersangka yang dianggap
merupakan pelaku. Pada awal proses biasanya pihak korban menutupi
kecurigaannya dengan berlaku seolah-seolah tidak terjadi apa-apa. Perilaku
seperti ini belum menimbulkan masalah. Pada fase ini korban berusaha untuk
meyakinkan diri mengenai kebenaran tuduhannya kepada seseorang sebagai
pelaku. Karena itu hubungan diantara keduanya masih terlihat baik seperti
tidak ada masalah. Namun ketika pihak korban mulai menjauh itu berarti
korban memberi isyarat kepada pelaku. Isyarat tersebut bertujuan agar pihak
yang terindikasi melakukan paraktik pangngissengang kodi tahu bahwa
106 | N I P A T A B A I P A N G N G I S S E N G A N G K O D I
dirinya telah dicurugai. Situasi demikian digambarkan informan HM dalam
penjelasan berikut:
ni urang ji’a singkamma biasa sama-sama ki begini, k tea ki ka
paengang ia tea tong kapaengang Mingka punna tan’niurang mi
a’pau ka paengang mi, na kua na bata-bata I jeka HM.
Artinya:
tetap menemani, seperti biasa kita sama-sama karena kita tidak
ingin ketahuan dia juga tidak ingin ketahuan, tetapi ketika tidak lagi
menemani cerita kita sudah ketahuan kalau kita curiga dengan dia.
Ketika pelaku telah mengetahui bahwa dirinya telah dicurigai maka pelaku
juga mulai menjauhi korbannya. Setelah keduanya meyakini bahwa mereka
telah benar dan kecurigaan sudah diastikan maka keretakan hubungan
kedua pihak mulai tampak ditandai dengan kedua pihak tidak lagi
berinteraksi sebagaimana mestinya. Retaknya hubungan diantara kedua
pihak ini juga sangat terlihat ketika salah satu dari kedua pihak mengadakan
acara. Pihak lawan tidak akan turut membantu dalam mempersiapkan acara,
tetapi mereka akan tetap membalas pemberian lawannya seperti ketika ia
membuat acara serupa tetapi dengan menitipkan kepada orang lain yang
ingin ke acara tersebut.
Jika tahap tersebut selesai, maka tahap selanjutnya akan melibatkan
banyak pihak terutama dari keluarga masing-masing. Umumnya yang terlibat
adalah keluarga inti yang kemudian tidak saling bertegur sapa dan mungkin
saja akan ikut terlibat dengan saling membalas. Selama penelitian ditemukan
107 | N I P A T A B A I P A N G N G I S S E N G A N G K O D I
sejumlah kasus konflik yang disebabkan penggunaan pengissengang kodi ini
kasus-kasus tersebut diantaranya:
1. Kasus pertama, nelayan dengan inisial MR, mengguna-gunai
seseorang karena yang bersangkutan di nilai sengaja tidak
memberikan pertolongan kepadanya ketika mengalami gangguan
mesin di laut. Pada saat itu, mesin perahu MR mengalami kerusakan
dalam perjalanan pulang dari menangkap ikan. Pada saat yang sama
ada dua perahu yang melintas di lokasi dan MR kemudian meminta
tolong namun tidak ditanggapi. Karena itu MR menyerangnya dengan
pangngngissengang kodi yang membuat mesin perahu lawan rusak.
Pada waktu yang lain MR kembali mendapati perahu nelayan tersebut
sedang diderek oleh nelayan lain dan MR meneriakinya dengan kata-
kata yang kasar yang juga dibalas dengan kata-kata kasar pula.
2. Kasus ke-dua dimana MR dicurigai sebagai pelaku pangissengang
kodi melalui mimpi dari salah seorang keluarga korban. Korban
mengingat bahwa beberapa waktu sebelumnya ia telah menolak
permintaan MR untuk menjadi sawinya dan lebih memilih orang lain.
Korban menduga MR kecewa karena tidak dijadikan sawi karena itu
MR menyerang perahu HM yang membuat penghasilannya menurun.
Selama beberapa lama hasil tangkapan HM tidak pernem meningkat
sehingga membuatnya menjadi marah dan membalas perbuatan MR
108 | N I P A T A B A I P A N G N G I S S E N G A N G K O D I
dengan bantuan kerabatnya yang tinggal diluar dari kecamatan tempat
mereka berdua tinggal.
3. Kasus ke-tiga dimana HM diserang oleh TJ karena sesuatu hal.
Merasa diserang HM kemudian balik menyerang hingga keduanya
tidak pernah rukun lagi setelahnya.
4. Kasus yang di ceritakan oleh SP seorang nelayan jaring senar yang
merasa telah terkena pangngissengang kodi yang menyebabkan
tangkapannya menurun. SP menduga pelakunya adalah tetangganya
sendiri yang telah dianggap sebagai saudara. SP mengatakan bahwa
setiap kali pelaku mengelus kepalanya ketika akan pergi menangkap
ikan, hasil tangkapannya menjadi sedikit. Karena kesal maka merasa
perlu berguru kepada orang lain untuk membalas perbuatan orang
tersebut.
Keunikan dari kasus ini adalah karena pangissengang kodi sulit
dibukatikan, maka konflik yang terjadi antar nelayan yang disebabkannya
cenderung ditutupi dengan hubungan yang halus oleh kedua belah pihak,
sehingga tidak tampak di permukaan. Tetapi kondisi sewaktu-waktu dapat
berubah ketika korban sudah sangat kesal. Kekesalan umumnya dipicu oleh
kerugian terus-menerus dan tidak ada tanda-tanda pelaku akan
menghentikan perbuatannya untuk menjadikan keadaan normal kembali. Hal
ini yang akan mendorong korban untuk membalas.
109 | N I P A T A B A I P A N G N G I S S E N G A N G K O D I
Kekesalan korban dapat peneliti tangkap selama wawancara
berlangsung. Ketika menceritakan kasusnya korban sangat emosional hingga
mengeluarkan kata-kata kasar seolah-olah pelakunya berdiri di hadapannya.
Berikut salah satu contoh bagaimana informan mengungkapkan
kekesalannya pada seseorang dalam sebuah wawancara:
telaso injo, tayang mi pa’balasa’ku bate na ningai nampa na
pakinjo ja, bannara pi battanna injo nampa na kasiaki pa’risi’na iya
tongji suloi kalenna k lebba ki saing mange ri balla, inne k tanre
mo na mae ri balla. HM (62), Observasi, 21 juni 2016.
artinya:
Telaso (kata kasar yang bertujuan untuk melampiasakan
kekesalan) itu tunggu pembalasanku saya perlakukan seperti,
kemudian dia seperti itu, nanti bengkak perutnya itu baru dia
rasakan sakitnya. Dia yang memperlihatkan dirinya karena pernah
sering kerumah tetapi sekarang tidak pernah mi ke rumah.
Bukan hanya pihak korban saja yang mengeluarkan keluhan-keluhan
dengan menggunakan kata-kata kasar, pihak pelaku juga melakukan hal
yang sama ketika diwawancarai seperti pernyataan informan berikut:
Iyo, kongkong joka, telang nganrong joka, joka tau rua ya,
sikalinna ku kua a’dakka mako mange tanre si bilangngang metere
mantang i, ku kua tegaronnu, telang nganrongnga jeka ni kio ki na
giling a’kape2, nugai tong ji kau ni tolong nakke ji te nu tolong,
sallo ma lalang anre memang pi ia. ruang batu I beseang ni tonda
kodong. MR (42), Wawancara
artinya :
(MKS: iya, anjing itu, telang nganrong)1, dua orang itu, jadi saya
katakan pergi saja. Tidak ada seratus meter dia berhenti. Saya
katakan kamu berdua (MKS: tegaronnu, telangnganrongnu)2
.
Dipanggil justru berbalik melambaikan tangan. Kamu juga pernah
110 | N I P A T A B A I P A N G N G I S S E N G A N G K O D I
di tolong, tapi kamu tidak mau menolong saya. Saya sudah lama
tiba dia belum datang, dua buah perahu saya di derek kasihan.
D. Mekanisme Penyelesaian Konflik
Konflik yang melibatkan dua pihak dengan menggunakan
pangissengang kodi dapat berlangsung sangat lama bahkan dapat berlanjut
secara turun temurun. Proses pembuktian yang sulit membuat sekalipun
pihak korban menemukan media yang digunakan dalam melakukan praktik
pangngissengang kodi. Tetapi barang bukti tersebut tidak menunjukkan apa-
apa selama korban tidak dapat membuktikan bahwa ia melihat atau saksi
yang bersedia mengatakan melihat langsung pelaku melakukan. Karena
bersifat personal maka mediasi oleh pihak ketiga yang umum dijumpai pada
kasus sengketa lainnya, tidak berlaku untuk kasus seperti ini.
mempertemukan hanya akan menyebabkan konflik fisik akan terjadi yang
mungkin akan melibatkan lebih banyak orang lagiseperti yang dijelaskan oleh
informan berikut:
anre ni pasibuntulu ki k siba’ji I, nia mi kongngi sikuranna nu cini ki,
nia mi kongngi kuciniko ri kaminjoa, nia mo siba’ji mo, anu
pakinne’a anre ja na kabateang jari si baji ki ji. Punna tau careadde
iya na kua iyo lasso kau mi into nganu beseang ku, punna ero ki ni
pasidallekang loe intu tea iya. HM, (62) Wawancara,
artinya:
mereka tidak dipertemukan, karena mereka akan berkelahi, ada
yang mengatakan kapan kamu melihat saya, ada yang
mengatakan saya lihat kamu waktu itu, jadinya ada yang berkelahi
karena perbuatan seperti ini tidak terlihat jadi kita berkelahi, tetapi
kalau orang pintar dia hanya berkata iya tunggu saja kamu itu yang
111 | N I P A T A B A I P A N G N G I S S E N G A N G K O D I
anu perahuku. Kalau mau dipertemukan banyak itu yang tidak
mau.
Karena sulitnya penyelesaian kasus ini maka kedua pihak lebih
memilih salah satu dari dua cara yaitu membiarkan kondisi tersebut
berlangsung terus atau saling berdamai atas inisiatif seduanya atau salah
seorang diantaranya.
1. Tindakan Membiarkan Saja
Jika kedua pihak memiliki proses ini sebagai mekanisme
penyelesaian, maka keduanya akan berusaha menjaga jarak dan tidak
akan saling berinteraksi. Masalah dianggap selesai tetapi tidak diikuti oleh
perbaikan pada tingkatan hubungan sosial. Saling bertegur sapa tetap
dilakukan tetapi hanya untuk menutupi konflik keduanya di mata
masyarakat.
Mekanisme ini banyak ditempuh untuk menyelesaikan konflik dan
meredakan keadaan. Namun pada sisi lain akan menjadi bom waktu bagi
kedua pihak baik secara individu mauoun skala keluarga dalam jangka
waktu panjang. Hanya dibutuhkan satu gesekan, maka masalah ini akan
berlanjut kembali bahkan dapat melebar dan menyebar. Melebar ke
permasalah lainnya yang tidak ada hubungannya dengan masalah utama
dan menyebar ke keluarga yang mendorong pemutusan hubungan yang
lebih luas. Konflik dipandang hanya melibatkan dua pihak saja, dan
112 | N I P A T A B A I P A N G N G I S S E N G A N G K O D I
keluarga keduanya, meskipun juga bereaksi namun tidak mengambil
tindakan untuk membalas. Kondisi demikian digambarkan oleh bapak HM
(62 thn) yang mengatakan biasa sallo pi nampa ero siurang a’pau, biasa ni
kaluppai mi injo anu laloa (Artinya: biasa lama baru mau temani bicara,
biasa di lupakan itu masalah yang lalu). Pernyataan tersebut menunjukkan
perbaikan hubungan masih dapat terjadi tetapi dalam jangka waktu yang
panjang- tetapi karena tidak ada kesepaktan di antara keduanya untuk
menyelesaikan masalah, maka masalah tetap saja ada.
Mereka yang menjadi korban akan berusaha mengatasi masalah
dengan pilihan membalas atau tidak. Bagi yang tidak ingin membalas dan
sebagian besar nelayan memilih untuk tidak membalasakan berusaha
untuk mengobati perahunya. Keputusan untuk tidak membalas dijelaskan
oleh informan DM (34thn) dalam wawancara berikut di bawah ini :
tidak pernah mau apa di balas, di obati saja, tidak tau kalo orang iya kalo
saya tidak, tapi kalo orang yang tau begitu dia kasi kembali. Kita sakit dia
lebih sakit begitu, yang tau kalo di obati juga perahu pasti kembali,
bagaimana tidak di obati kalo sakit yang pernah kasi begitu perahu ku
saya sakit dia lebih sakit. DM (34) wawancara
artinya:
tidak pernah buat apa di bals, di obati saja tidak tahu kalau orang lain,
kalau saya tidak, tetapi kalau orang yang tahu begitu dia kembalikan. Kita
sakit dia lebih sakit begitu juga kalau yang tau obati perahu pasti kembali,
bagaimana tidak di obati kalau sakit yang peranah melakukan sperti itu
ke perahuku, saya sakit tetapi dia (pelaku) lebih sakit
113 | N I P A T A B A I P A N G N G I S S E N G A N G K O D I
2. Berdamai
Cara kedua adalah berdamai dimana kedua pihak saling
memaafkan dan diikuti dengan pemulihan hubungan sosial yang terputus
selama konflik berlangsung. Cara ini sangat jarang terjadi dan hanya dapat
terjadi apabila ada moment yang tepat untuk melakukannya. Moment yang
paling tepat adalah dua hari raya Islam yaitu Idul Fitri dan Idul Adha.
Masa berpuasa di bulan Ramadhan merupakan saat yang sangat
tenang dimana kedua pihak masing-masing dapat melakukan introspeksi.
Kegiatan dan rasa keagamaan serta ceramah agama menyejukkan secara
terus-menerus selama sebulan dapat meluluhkan hati kedua pihak. Pada
saat demikiaan pertemuan kedua pihak dapat intensif dan terjadi di dalam
mesjid, tempat yang sangat dihormati, dijaga dan tempat yang
menyejukkan. Intensitas pertemuan tersebut dapat menjadi sebab
perdamaian diantara keduanya pada saat idul fitri. Demikian pula Idul adha
dimana puncaknya berupa kurban yang intinya adalah saling berbagi dan
silaturrahmi dengan saling mengunjungi. Kondisi demikian digambarkan
MR (43thn) dengan mengatakan biasa to lebba pi a’lappasa tau’a a’pala
pamopporo mi tau jadi si baji ki maki. Anre ja nip au I punna kitte lebba
nganu i (artinya: biasa juga kalau selesai lebaran, minta maaf mi orang jadi
baikan lagi).
114 | N I P A T A B A I P A N G N G I S S E N G A N G K O D I
3. Lama Ketegangan Konflik
Konflik yang terjadi pada nelayan di Kecamatan Tarowang ini
cenderung terjadi dalam kurung waktu yang tidak menentu. Sehingga
untuk menguraikan lama ketegangan konflik yang terjadi karena konflik
tersebut ditutupi dengan gaya hubungan yang halus oleh kedua pihak.
Namun mereka juga membiarkan hingga konflik ini dilupakan oleh kedua
belah pihak dan ketegangan ini juga selesai karena adanya momen
lebaran.
Lamanya ketegagan konflik yang terjadi pada nelayan jika dilahat
dari kasus-kasusnya konflik yang terjadi terdapat konflik yang sudah tiga
tahun lamanya namun konflik tersebut belum terselesaikan hingga akhir
tahun 2016.
115 | N I P A T A B A I P A N G N G I S S E N G A N G K O D I
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari keterangan beberapa infoman selama penelitian berlangsung dan
hasil pengamatan peneliti, terdapat beberapa hal yang dapat menjadi
kesimpulan yaitu :
1. Bahwa dalam pandangan masyarakat, tidak dibutuhkan pembuktian
meteril atau harus ada bukti dan saksi untuk mengatakan seseorang
terkena atau tidak terkena ilmu sihir/pelet. Perasaan dan keterangan
orang yang dipandang ahli sudah cukup untuk membuktikan bahwa
seseorang telah melakukan perbuatan yang merugikan atau
mencelakakan orang lain dengan menggunakan ilmu sihir, dalam hal
ini pangissengang kodi.
2. Penggunaan ilmu sihir atau ilmu hitam dalam masyarakat Tarowang
setidaknya memiliki tiga unsur yaitu ada mantra, ada media dan ada
seperangkat kegiatan ritual yang harus dilakukan. Meskpun terdapat
pangissengang kodi yang hanya berupa mantra tetapi jumlahnya
sangat sedikit.
116 | N I P A T A B A I P A N G N G I S S E N G A N G K O D I
3. Konflik akibat penggunaan pangissengang kodi di Tarowang hanya
melibatkan dua pihak saja yaitu pelaku dan korbannya. Pihak keluarga
mungkin saja terlibat tetapi lebih banyak yang memilih diam.
Kemungkinan disebabkan oleh masih kuatnya hubungan kekerabatan
dimana masyarakat menganggap mereka masih berasal dari satu
keturunan. Kondisi ini sangat menguntungkan karena kondlik terbuka
yang melubatkan banyak pihak dapat dihindari.
4. Penyelesaian pangissengang kodi sangat sulit dilakukan sama halnya
dengan cara membuktikannya. Namun masih terdapat moment yang
dapat digunakan untuk mmenyelesaikannya dan moment tersebut
adalah ritual agama. Sehingga untuk dapat mengatasi atau
menyelesaikan masalah pangissengang kodi, agama menjadi kunci.
B. Saran
Melihat bagaimana pelaku dan korban dapat menggunakan moment
Idhul fitri dan Idhul Adha sebagai media untuk memperbaiki hubungan
mereka, maka sangat disarankan bagi pemerintah daerah untuk banyak
melakukan kegiatan keagaam. Kegiatan tersebut ditujukan kepada generasi
muda dengan memberikan mereka pemahaman tentang bahaya
menggunakan ilmu sihir. Diharapkan ketika mereka menggantikan generasi
yang lebih tua, maka penggunaan ilmu tersebut sudah dapat berkurang dan-
117 | N I P A T A B A I P A N G N G I S S E N G A N G K O D I
akan hilang dengan sendirinya ketika kesadaran sudah merata.Sementara
para dai dan ustad agar memberikan materi ceramah yang menyejukkan
keadaan dan memberikan plajaran mengenai bahaya penggunaan ilmu sihir
dan pentingnya hubungan yang baik dalam masyarakat untuk mendorong
pelaku yang masih aktif dan korbannya untuk dapat saling memaafkan.
118 | N I P A T A B A I P A N G N G I S S E N G A N G K O D I
DAFTAR PUSTAKA
Andriati, 2012, Antropologi Maritim, PT Revka Petra Media, Surabaya.
AloLiliweri, Ms, 2005 Prasangka & Konflik :Komunikasa Lintas Budaya Masyarakat Multikultur LKis Yogyakarta.
Bagja Waluya, 2007, Menyelami Fenomena Sosial di Masyarakat : Sosiologi, PT. Setia Purna Inves, Bandung.
Deaux, Dane, & Wrightsman,1993,Social psychology in the '90s :Sixth
edition, Pacific Grove, California
Darmawan, 2006, Segi Hukum Praktek Teluh dalam Masyarakat Jurnal Ilmu Hukum ,Mimbar Keadilan, Surabaya.
Fedyani Akhmad. 1986, Konflik dan Itegrasi : Perbedaan Faham Dalam Agama Islam, CV Rajawali
Ihromi T.O. 2001, Antropologi Hukum, Yayasan Obor
Kusnadi, 2002, Konflik Sosial Nelayan :Kemiskinan dan Perebutan Sumberdaya Perikanan, LKiS Yogyakarta.
Koentjaraningrat, 1974, Antropologi Sosial, Dian Rakyata, Jakarta.
2009, Sejarah Teori Antropologi I, UI-Press
Kartono, K. 1980. Teori Kepribadian. Bandung: Alumni. Lukman, 2004, Konflik Sosial Nelayan Pantai Utara ,Tesis Universitas Gadjha
Mada, Yogyakarta Moleong, L.J. (2011). Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi Revisi. Bandung:
PT Remaja Rosdakarya Robbin, S.P. 1984. Essential of Organizational Behavior. New Jersey:
Prentice-Hall Inc. Satrio, Ferry Agusta, 2010,Konflik Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Laut,
Nelayan,TesisUniversitas Gadjha Mada, Yogyakarta.
Spradley, James P. 1997. Metode Etnografi. Yogyakarta : Tiara Wacana Yogya.
Syaiful, 2013, Konflik Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan Laut : Kasus Nelayan di Perairan Sinjai, Makalah Kebudayaan Dan Lingkungan
Wijaya, 2009, Manejemen Konflik Sosial Dalam Masyarakat Nelayan,
Wacana Vol.12, No. 2 UB
119 | N I P A T A B A I P A N G N G I S S E N G A N G K O D I
Referensi Lain :
Kusnadi, 2014. Budaya Masyarakat Nelayan.
http://kebudayaan.kemdikbud.go.id/wp- content/uploads/sites/37/2014/11/ (diakses pada tangggal 27 januari 2016, pukul: 19:07 wita)