SKRIPSI PUTRI JELITA O 111 13 312 -...
Transcript of SKRIPSI PUTRI JELITA O 111 13 312 -...
i
SKRINING RESIDU ANTIBIOTIKA PADA HATI AYAM POTONG (Broiler)
DI EMPAT PASAR TRADISIONAL KOTA MAKASSAR
SKRIPSI
PUTRI JELITA
O 111 13 312
PROGRAM STUDI KEDOKTERAN HEWAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2017
ii
PERNYATAAN KEASLIAAN
1. Yang bertanda tangan dibawah ini:
Nama : Putri Jelita
NIM : O111 13 312
Program Studi : Kedokteran Hewan
Fakultas : Kedokteran
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa :
a. Karya skripsi saya adalah asli
b. Apabila sebagian atau seluruhnya dari skripsi ini, terutama dalam bab hasil dan
pembahasan, tidak asli atau plagiasi, maka saya bersedia dibatalkan dan dikenakan
sanksi akademik yang berlaku.
2. Demikian pernyataan keaslian ini dibuat untuk dapat digunakan seperlunya.
Makassar, 14 September 2017
Putri Jelita
iii
ABSTRAK
PUTRI JELITA. Skrining residu antibiotika pada hati ayam potong(broiler) di empat pasar
tradisional Kota Makassar. Dibimbing oleh Prof. Dr. Drh. Lucia Muslimin, M.Sc dan
Prof.Dr.M. Natsir Djide, MS.,Apt.
Residu antibiotika terjadi akibat penggunaan antibiotika untuk control atau mengobati penyakit
infeksi tidak memperhatikan waktu henti obat, penggunaan antibiotika yang melebihi dosis yang
dianjurkan, penggunaan antibiotika sebagai feed additive dalam pakan hewan. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui adanya residu antibiotika pada hati ayam potong (broiler) yang
dijual di empat pasar tradisional Kota Makassar. Sampel hati ayam diperoleh dari pengambilan
sampel hati ayam di PasarPa’baeng-baeng, Pasar Daya, Pasar Terong, dan Pasar Sambung jawa.
Sampel yang digunakan sebanyak 24 sampel. Penelitian ini dilakukan dengan metode bioassay.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa semua sampel negatif mengandung residu antibiotika.
Kata Kunci: Residu Antibotila, Ayam potong (boiler), Hati, Pasar Pa’baeng-baeng,
Pasar Daya, Pasar Terong, Pasar Sambung jawa, bioassay.
iv
ABSTRACT
PUTRI JELITA. Screening of residue antibiotics in chicken liver pieces (broiler) in the four
traditional markets Makassar. Supervised by Prof. Dr. DVM.Lucia Muslims, M.Sc and Prof.
Dr. M. Natsir Djide, MS., Apt.
Antibiotic residues result from the use of antibiotics to control or treat infectious diseases do not
pay attention to the time stopping the drug, the use of antibiotics which exceed the recommended
dose, the use of antibiotics as a feed additive in animal feed. This study aimed to determine the
presence of residues of antibiotics in chicken liver pieces (broiler ) sold in the four traditional
markets Makassar. Chicken liver samples obtained from sampling at the Market Pa'baeng
chicken liver-Baeng, Power Market, Market eggplant, and Java Connect Market. The samples
used were 24 samples. This research was conducted by the bioassay method. The results of this
study indicate that all samples tested negative for antibiotic residues.
Keywords: Residue Antibotila, chicken pieces (boiler), Liver, Market Pa'baeng-Baeng,
Power Market, Market Eggplant, Java Connect Market, bioassay.
v
SKRINING RESIDU ANTIBIOTIKA PADA HATI AYAM POTONG (Broiler)
DI EMPAT PASAR TRADISIONAL KOTA MAKASSAR
PUTRI JELITA
O111 13 312
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan pada
Program Studi Kedokteran Hewan
Fakultas Kedokteran
PROGRAM STUDI KEDOKTERAN HEWAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2017
vi
vii
viii
ix
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan rahmat dan karunia-Nya serta nikmatnya. Shalawat serta salam penulis ucapkan
kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW serta kepada keluarga dan sahabat-sahabatnya.
Alhamdulillah, penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi yang berjudul “Skrining
residu antibiotika pada hati ayam potong (broiler) di empat pasar tradisional Kota Makassar”
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan di Fakultas
Kedokteran Universitas Hasanuddin.
Dalam kesempatan kali ini penulis menyampaikan rasa terimakasih kepada:
1. Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin
2. Ibu Prof. Dr. drh. Lucia Muslimin, M.Sc selaku pembimbing I yang telah meluangkan
waktunya untuk memberikan bimbingan, arahan dan nasihat yang sangat berarti
kepada penulis selama penelitian dan penyusunan skripsi.
3. Prof. Dr. M. Natsir Djide, MS.,Apt. selaku pembimbing II yang telah meluangkan
waktu, tenaga dan pikiran sangat berarti kepada penulis selama penyusunan skripsi.
4. Ucapan terimakasih juga penulis ucapkan untuk kedua orang tua tercinta Ayahanda
Mamurah, SE dan Ibunda Cerahwati, SE yang telah mendoakan, merawat, mendidik,
memberikan motivasi yang sangat luar biasa serta kasih sayang yang tiada hentinya
terhadap penulis, serta pengertian orang tua selama penulis melakukan penelitian ini.
5. Kakak saya Muh. Reza Zulfikar, Rezky Dwi Utami dan adik saya Mega Wahyuni
Rusli yang juga tempat bertukar pikiran.
6. Bapak Markus yang senantiasa memberikan bantuan dalam penelitian ini.
7. Teman-teman seperjuangan JuliyantiHara Jufri, Ridha Nurfalah abwah, Farahillah
Nur Aliah, , Nurul Fajriani, Andi Aby Huraerah, Hilman Nihaya, Try Putra serta
Arung Erza Rahman yang telah memberikan banyak bantuan, dorongan, dan
membantu dalam penyusunan skripsi ini, semoga kita semua menjadi makhluk mulia
dunia akhirat, dapat mengamalkan ilmu yang kita dapat di jalan Allah SWT.
8. Teman-teman SMA Adhinda, Armitha yang selalu meberikan semangat kepada
penulis.
9. Kakanda Iqbal dan kakanda Hap yang selalu menemani dan membantu selama proses
penelitian berlangung.
10. Shihlin girls Kikey Arsyad dan Nurhalisa yang selalu memberikan semangat kepada
penulis.
11. Kakanda Pute, Nanda dan Vera yang selalu memberikan semangat kepada penulis.
12. Teman seangkatan ‘O13REV’ yang telah menjadi teman seperjuangan dari awal
masuk menjadi mahasiswa Kedokteran Hewan, terimakasih penulis ucapkan atas
dukungan dan bantuannya.
13. Seluruh staff dosen dan tatausaha Program Studi Kedokteran Hewan Universitas
Hasanuddin yang telah banyak membantu kelancaran skripsi.
14. Dan penghargaan setinggi – tingginya kepada semua pihak yang tidak dapat penulis
sebutkan satu per satu. Terimakasih atas bantuan dan dukungannya.
x
Semoga dengan terselesaikannya penulisan skripsi ini dapat menambah pengetahuan kita
semua. Sesungguhnya kesempurnaan itu hanyalah milik Allah dan kesalahan pasti datangnya
dari penulis. Karna itu tidak menutup kemungkinan jika dalam penulisan Skripsi ini terdapat
banyak kesalahan dan kekurangan. Untuk itu, segala kritik dan saran penulis harapkan demi
kesempurnaan Skripsi ini dan akan penulis terima dengan senang hati. Harapan penulis semoga
skripsi ini dapat memberikan wawasan ilmu yang bermanfaat bagi pihak-pihak yang
memerlukannya serta darma bakti penulis tertercinta.
Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatu
Makassar, September 2017
xi
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL....................................................................................................................i
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN...................................................................................ii
ABSTRAK.....................................................................................................................................iii
ABSTRACT...................................................................................................................................iv
HALAMAN JUDUL.......................................................................................................................v
HALAMAN PENGESAHAN SKRIPSI........................................................................................vi
KATA PENGANTAR...................................................................................................................vii
DAFTAS ISI...................................................................................................................................ix
DAFTAR GAMBAR......................................................................................................................xi
DAFTAR TABEL...........................................................................................................................xi
1. PENDAHULUAN 1
1.1. Latar Belakang 1
1.2. Rumusan Masalah 2
1.3. Tujuan Penelitian 2
1.4. Manfaat Penelitian 2
1.5. Hipotesis 2
1.6. Keaslian Penelitian 2
2. TINJAUAN PUSTAKA 3
2.1 Antibiotika 3
2.2 Mekanisme Kerja 3
2.3 Ampisilin 4
2.4 Tetrasiklin 5
2.5 Penggunaan Antibiotika di Peternakan 5
2.6 Penggunaan Antibiotika dalam Pakan 6
2.7 Penggunaan Antibiotika dalam Air Minum 7
2.8 Residu Antibiotika 8
2.8.1 Reaksi Alergi 9
2.8.2 Toksisitas 9
2.8.3 Mempengaruhi Flora Usus 9
2.8.4 Respon Imun 10
2.8.5 Resistensi Terhadap Mikroorganisme 10
2.8.6 Pengaruh Terhadap Lingkungan 11
2.8.7 Ekonomi 11
2.9 Batas Toleransi Residu Antibiotika 11
3. METODOLOGI PENELITIAN 15
3.1.Waktu dan Tempat Penelitian 15
xii
3.2. Jenis Penelitian 15
3.3. Sampel Penelitian 15
3.3.1. Cara Pengambilan Sampel 15
3.3.2. Perhitungan Besar Sampel 15
3.4.Alat dan Bahan Penelitian 16
3.4.1. Alat Penelitian 16
3.4.2. Bahan Penelitian 16
3.5. Metode Penelitian 16
3.5.1. Sterilisasi Alat 16
3.5.2. Kultur Bakteri 16
3.5.2.1.Staphylococcus aureus 16
3.5.2.2.Escherichia coli 16
3.5.3. Pewarnaan Gram 17
3.5.4. Uji Antibiotika Novobiosin 17
3.5.5. Pengolahan Sampel 17
3.5.6. Pembuatan Media MHA 17
3.5.7. Pelaksanaaan Pengujian 18
3.5.8. Pengukuran Zona Hambat 18
4. HASIL DAN PEMBAHASAN 19
4.1. Staphylococcus aureus 19
4.1.1. Pembuatan Media MSA 19
4.1.2. UjiStaphylococcus aureus pada Media MSA 19
4.1.3. Uji Perwarnaan Gram 20
4.1.4. Uji Novobiosin 21
4.2. Escherichia coli 22
4.2.1. Pembuatan Media EMBA 22
4.2.2. Uji Escherichia coli pada Media EMBA 22
4.2.3. Uji Pewarnaan Gram 23
4.3. Pengolahan Sampel 23
4.4. Pembuatan Media MHA 24
4.5. Skrining Residu Antibiotika pada Hati Ayam Potong (broiler) 24
5. KESIMPULAN DAN SARAN 30
5.1. Kesimpulan 30
5.2. Saran 30
DAFTAR PUSTAKA 31
LAMPIRAN 34
RIWAYAT HIDUP 39
xiii
DAFTAR GAMBAR
1. Gambar 1. Tahap Resistensi 11
2. Gambar 2. Staphylococcus aureus pada media MSA 20
3. Gambar 3. Pengamatan Staphylococcus aureus pada Mikroskop 20
4. Gambar 4. Hasil Uji Sensitivitas Antibiotik Novobiosin 21
5. Gambar 5. Escherichia coli pada Media EMBA 22
6. Gambar 6. Hasil Pewarnaan Gram Escherichia coli 23
7. Gambar 7. Hasil skrining residu antibiotika pada Pasar A 24
8. Gambar 8. Hasil skrining residu antibiotika pada Pasar B 25
9. Gambar 9. Hasil skrining residu antibiotika pada Pasar C 26
10. Gambar 10. Hasil skrining residu antibiotika pada Pasar D 27
DAFTAR TABEL
1. Tabel 1. Anitibiotika sebagai Imbuhan Pakan Ayam Pedaging 7
2. Tabel 2. Data Residu Obat Hewan pada Produk Daging dan Hati Ayam 12
3. Tabel 3. Spesifikasi Persyaratan Mutu Batas Maksimum Residu dalam
Bahan Makanan Asal Hewan dalam Satuan (mg/kg) 13
4. Tabel 4. Waktu Henti beberapa Obat 14
5. Tabel 5. Diameter zona bening hasil skrining residu antibiotika pada Pasar A 25
6. Tabel 6. Diameter zona bening hasil skrining residu antibiotika pada Pasar B 26
7. Tabel 7. Diameter zona bening hasil skrining residu antibiotika pada Pasar C 27
8. Tabel 8. Diameter zona bening hasil skrining residu antibiotika pada Pasar D 28
xiv
1
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Daging ayam merupakan salah satu bahan pangan yang mengandung protein hewani
tinggi dengan harga yang dapat dijangkau oleh masyarakat (Focosi, 2015). Kontribusi terbesar
dalam penyediaan daging secara Nasional umumnya berasal dari ternak unggas dan sapi potong.
Produksi daging sejak tahun 2000 sampai dengan tahun 2005 rata-rata sekitar 59,96% berasal
dari ternak unggas dan 21,29% berasal dari ternak sapi potong (Kartasudjana dan Suprijatna,
2016).
Masalah keamanan pangan menjadi topik yang cukup mendapat perhatian saat ini
(Hermawati, 2017). Berbagai penelitian telah dilakukan dalam rangka peningkatan keamanan
pangan, salah satunya adalah penggunaan antibiotika untuk pengobatan penyakit dan pemacu
pertumbuhan. Kebutuhan antibiotika untuk pakan dan pengobatan tahun 2001 sebesar 502,27
ton, kemudian meningkat menjadi 5.574,16 ton pada tahun 2005. Dengan meningkatnya
penggunaan antibiotika tersebut, maka meningkat pula manfaat dan resiko yang mungkin
ditimbulkan. Resiko ini berupa residu antibiotika pada hasil-hasil ternak (daging, susu dan telur)
akibat penggunaan antibiotika yang tidak sesuai dengan dosis atau tidak memperhatikan waktu
henti obat (withdrawal time) (Distannak, 2016).
Menurut Bahri et al. (2015) hampir semua pabrik pakan menambahkan antibiotika ke
dalam pakan komersial, sehingga sebagian besar pakan komersial yang beredar di Indonesia
mengandung antibiotika. Penggunaan antibiotika yang kurang tepat ini dimungkinkan berkaitan
dengan pola pemasaran obat hewan di lapangan, dimana 30,80% peternak ayam pedaging skala
kecil yang tidak mempunyai dokter hewan untuk mengawasinya, mendapat obat langsung dari
distributor sehingga dikhawatirkan penggunaan obat-obatan tersebut tidak mengikuti aturan yang
benar, selain itu peternak kurang memahami waktu henti suatu obat sehingga mengakibatkan
munculnya residu pada produk ternak (Peter et al., 2012 ; Bahri et al., 2015).
Keberadaan residu antibiotika dalam bahan pangan asal hewan, dari aspek kesehatan
masyarakat veteriner perlu mendapat perhatian, bahaya yang dapat ditimbulkannya terhadap
kesehatan konsumen, seperti reaksi hipersensitifitas mulai dari yang ringan sampai parah,
keracunan dan yang terpenting adalah peningkatan resistensi beberapa mikroorganisme patogen
yang akan menimbulkan masalah besar dalam bidang kesehatan manusia maupun hewan
(Phillips et al., 2014). Secara ekonomi dampak yang ditimbulkan dari adanya residu dalam
pangan asal hewan, menyebabkan kerugian ekonomi berupa penolakan produk terutama bila
produk tersebut di ekspor ke negara yang konsisten dan serius dalam menerapkan sistem
keamanan pangan (Crawford dan Franco, 2014).
Berdasarkan uraian di atas mengenai besarnya dampak yang ditimbulkan oleh penggunaan
antibiotika yang tidak sesuai dengan standar, maka peneliti mencoba melakukan penelitian
mengenai skrining residu antibiotika pada hati ayam potong (broiler) di empat pasar tradisional
Kota Makassar.
2
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah apakah masih terdapat residu antibiotika
pada hati ayam potong (broiler) di empat pasar tradisional Kota Makassar.
1.3 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian yaitu untuk mengetahui adanya residu antibiotika pada hati
ayam potong (broiler) di empat pasar tradisional Kota Makassar.
1.4 Manfaat
1.4.1 Manfaat Ilmiah
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khasanah ilmu pengetahuan dan menjadi
bahan informasi serta pembanding bagi penelitian-penelitian berikutnya.
1.4.2 Manfaat Aplikasi :
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi bagi instansi terkait
dalam bidang peternakan dan kesehatan hewan khususnya pemerintah Kota Makassar
untuk menentukan regulasi dalam rangka meningkatkan pengawasan terhadap
penggunaan antibiotika pada peternakan ayam.
b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi bagi para peternak khususnya
mitra sehingga mampu menggunakan antibiotika sesuai dengan dosis yang telah
ditetapkan.
1.5 Hipotesis
Ditemukannya residu antibiotika pada hati ayam potong (broiler) di empat pasar
tradisional Kota Makassar.
1.6 Keaslian Penelitian
Penelitian mengenai skrining antibiotika pada hati ayam potong (broiler) di empat pasar
tradisional Kota Makassar, yaitu Pasar Pa’baeng-baeng, Pasar Daya, Pasar Terong, Pasar
Sambung jawa belum pernah dilakukan. Martaleni (2007) pernah melaporkan identifikasi residu
anibiotika pada karkas, organ dan kaki ayam pedaging yang diperoleh dari pasar tradisional
Kabupaten Tangerang. Persamaan penelitian Martaleni (2007) dengan penelitian ini ialah
mengidentifikasi residu antibiotika. Perbedaannya penelitian ini terkhusus di hati ayam potong
(broiler), perbedaan mikroorganisme uji dan lokasi penelitian yang berbeda.
3
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Antibiotika
Antibiotika adalah senyawa berat dengan molekul rendah yang membunuh atau
menghambat pertumbuhan bakteri. Sebagian besar antibiotika dihasilkan oleh mikroorganisme,
khususnya Streptomyces spp. dan jamur (Sanjaya, 2016). Penggunaan antibiotika untuk terapi
infeksi pada manusia dan hewan harus memenuhi sejumlah kriteria. Penggunaan obat-obatan
terutama antibiotika dalam bidang peternakan tidak dapat dihindari, karena kesehatan ternak
yang harus selalu terjaga sehingga dapat berproduksi secara optimal, namun penggunaan
antibiotik untuk mengatasi penyakit infeksi harus didasarkan pada identifikasi bakteri yang
menyebabkan infeksi, disertai hasil uji kepekaan dari bakteri yang bersangkutan, sehingga akan
diperoleh hasil yang maksimal (Murdiati, 2017).
Antibiotika dapat dikelompokkan berdasarkan struktur dari antibiotika tersebut ataupun
berdasarkan target kerjanya pada sel, yaitu broad spectrum mempunyai kemampuan membunuh
mikroorganisme dari berbagai spesies sedangkan narrow spectrum hanya mampu membunuh
mikroorganisme secara spesifik (Benzoen et al., 2010). Antibiotika harus membunuh atau
menghambat pertumbuhan bakteri dari tipe yang berbeda. Antibiotika broad spectrum berguna
karena adanya gejala (simptom) yang sama yang disebabkan oleh bakteri dari spesies yang
berbeda dan dari gejala yang muncul tidak mungkin menunggu isolasi, identifikasi organisme
penyebab sebelum terapi dimulai (Nhiem, 2015; Salyers dan Whitt, 2015).
Antibiotika broad spectrum mempunyai kekurangan, tidak hanya menyerang bakteri
pathogen tetapi juga mengurangi jumlah mikroflora usus (Focosi, 2015). Setiap antibiotika harus
mampu mencapai bagian tubuh dimana terjadinya infeksi. Beberapa antibiotika tidak diabsorpsi
oleh saluran pencernaan, sementara masuk ke aliran darah tetapi tidak melintasi barrier darah
otak dalam cairan spinal dan tidak masuk dalam sel fagosit (Phillips et al., 2014; Focosi, 2015).
Munculnya fenomena resistensi antibiotika pada bakteri patogen sangat berbahaya. Hal ini
diduga dapat mengakibatkan terjadinya perpindahan sifat resistensi antibiotika bakteri dari ayam
dan telur ke manusia dan lingkungan (Kusumaningsih, 2017). Adanya resistensi antibiotika
bakteri pada ternak dan manusia dapat mengakibatkan kegagalan pengobatan penyakit yang
disebabkan oleh bakteri (Phillips et al., 2014; Bahri et al., 2015).
2.2 Mekanisme kerja
Penggunaan antibiotika khususnya berkaitan dengan pengobatan penyakit infeksi,
antibiotika bekerja seperti pestisida dengan menekan atau memutus satu mata rantai
metabolisme, hanya saja targetnya adalah bakteri. Antibiotika berbeda dengan desinfektan
karena cara kerjanya. Desinfektan membunuh kuman dengan menciptakan lingkungan yang
tidak wajar bagi kuman untuk hidup.
Menurut Prescott dan Baggot (2017) dan Mutchler (2010), mekanisme kerja antibitotika
dibagi dalam lima kategori, yaitu:
1. Menghambat metabolisme sel, seperti sulfonamide dan trimethoprim.
2. Menghambat sintesa dinding sel, akibatnya pembentukan dinding sel tidak sempurna dan
tidak dapat menahan tekanan osmosa dari plasma, seperti fenicillin, vankomisin, dan
sefalosporin.
4
3. Menghambat sintesa membran sel, molekul lipoprotein dari membran sel dikacaukan
pembentukannya hingga bersifat permeabel akibatnya zat-zat penting dari isi sel keluar,
seperti polimiksin.
4. Menghambat sintesa protein sel dengan melekatkan diri ke ribosom akibatnya sel
terbentuknya tidak sempurna, seperti tetrasiklin, kloramfenikol, streptomosin, dan
aminoglikosida.
5. Menghambat pembentukan asam-asam inti (DNA dan RNA ) akibatnya sel tidak dapat
berkembang seperti rifampisin.
Antibiotika memiliki cara kerja sebagai bakterisidal (membunuh bakteri secara langsung)
atau bakteriostatik (menghambat pertumbuhan bakteri). Pada kondisi bakteriostasis, mekanisme
pertahanan tubuh inang seperti fagositosis dan produksi antibodi biasanya akan merusak
mikroorganisme (Jawetz, 2016).
Dinding sel bakteri terdiri atas jaringan makromolekuler yang disebut peptidoglikan.
Penisilin dan beberapa antibiotik lainnya mencegah sintesis peptidoglikan yang utuh sehingga
dinding sel akan melemah dan akibatnya sel bakteri akan mengalami lisis (Focosi, 2015).
Perbedaan dalam struktur ribosom akan mempengaruhi toksisitas selektif antibiotik yang akan
mempengaruhi sintesis protein (Adam, 2012).
2.3 Ampisilin
Antibiotika ampisilin merupakan suatu aminopenisillin semi-sintetik, antibiotik spektrum
luas yang telah ditingkatkan aktifitasnya terhadap bakteri gram negatif, anaerob maupun aerob.
Antibiotik ini peka terhadap enzim b-laktamase yang diproduksi oleh beberapa bakteri seperti
Stahylococcus aureus (Adam, 2012). Penggunannya untuk bermacam-macam infeksi saluran
nafas, saluran pencernaan, respirasi, kulit dan urogenital (Chalker et al., 2010). Ampisilin
tersedia dalam bentuk serbuk, tablet, krim dan parenteral injeksi. Dengan sediaan: kapsul 250
mg, 500 mg, tablet 125 mg, 250 mg, 500 mg vial (ampisillin sodium), 20-40 mg/kg PO q 8 jam,
10-20 mg/kg IV, IM, Sc q 6-8 jam (ampisillin sodium). Ampisilin diabsorbsi 50% lebih besar
dibanding amoxisilline. Antibiotika Ampisilin termasuk dalam semisintetik penisillin. Ampisilin
dalam bentuk asam bebas sebagai serbuk kristal putih yang larut air. Konsentrasi dalam serum
memuncak diperoleh kurang lebih 2 jam setelah pemberian. Didistribusikan ke seluruh jaringan
tubuh dan terkonsentrasi di hati dan ginjal dan diekskresikan lewat urin (Phillips et al., 2014).
Organ sasaran yaitu alat perkencingan, alat pernafasan, gastrointestinal (Focosi, 2015).
Pemberian parenteral, interval 24 jam, tetapi pada stadium infeksi sangat akut dapat diberikan 2
kali sehari. Ampisilin diberikan sebanyak 0,2 cc, untuk menangani adanya infeksi sekunder pada
gastritis. Mekanisme kerjanya sebagai antibiotik β-laktamase yang menghambat sintesa dinding
sel bakteri dengan menghambat kerja enzim transpeptidase dan disirkulasi di enterohepatik
(Nhiem, 2015).
5
2.4 Tetrasiklin
Telah banyak antibiotika yang dipergunakan untuk mengobati penyakit infeksi, baik yang
dibuat secara alami ataupun dari hasil sintesa dan banyak pula yang diproduksi dalam suatu
industri. Pengobatan dengan antibiotika pada ternak diharapkan dapat mengurangi resiko
kematian, menghambat penyebaran penyakit ke lingkungan, baik ke manusia maupun ternak
lainnya, terlebih lagi apabila ternak ada dalam kelompok dengan jumlah besar sehingga
penularan penyakit infeksi mudah terjadi (Doyle, 2015). Penggunaan antibiotika yang dapat
memberikan hasil penyembuhan yang cepat sangat diperlukan, karena ternak diharapkan cepat
kembali berproduksi secara optimal sehingga kerugian ekonomi yang besar dapat dihindari.
Tetrasiklin digunakan pada unggas biasanya untuk pengobatan Chromic Respiratory Disease
(CRD) atau ngorok, airsacculitis, hexamitiasis dan bleucomb, sinusitis dan sinivovitis dengan
dosis 200-400 mg/galon air minum, sedangkan untuk pencegahan CRD diberikan dosis 100-200
mg/galon air minum. Tetrasiklin juga digunakan sebagai pemacu pertumbuhan (antibiotic
growth promotors/AGP) (Naim, 2012).
2.5 Penggunaan Antibiotika di Peternakan
Antibiotika digunakan untuk hewan sebagaimana digunakan pada manusia yaitu untuk
mencegah dan mengobati infeksi. Manfaat pengobatan dengan antibiotika antara lain membasmi
agen penyakit (Butaye et al., 2013), menyelamatkan hewan dari kematian, mengembalikan
kondisi hewan untuk berproduksi kembali dalam waktu yang relatif singkat,
mengurangi/menghilangkan penderitaan hewan dan mencegah penyebaran mikroorganisme ke
alam sekitarnya yang dapat mengancam kesehatan hewan dan manusia (Adam, 2012).
Penemuan antibiotika membawa dampak besar bagi kesehatan manusia dan ternak.
Seiring dengan berhasilnya pengobatan dengan menggunakan antibiotika, maka produksinya
semakin meningkat (Phillips et al., 2014). Pada industri peternakan pemberian antibiotika selain
untuk pencegahan dan pengobatan penyakit juga digunakan sebagai imbuhan pakan (feed
additive) untuk memacu pertumbuhan (growth promoter), meningkatkan produksi dan
meningkatkan efisiensi penggunaan pakan (Bahri et al., 2015).
Di Eropa ada beberapa antibiotika yang diperbolehkan digunakan sebagai imbuhan pakan
seperti olaquinodik, basitrasin, flavomisin, monensin, salinomisin, tilosin, virginiamisin,
avoprasin, dan avilamisin. Sejak tahun 2009, antibiotika olaquinodik, basitrasin, tilosin, dan
virginiamisin sudah dilarang digunakan sebagai imbuhan pakan (Butaye et al., 2013).
Berdasarkan Feed Additive Compendium, ada beberapa antibiotika yang direkomendasikan
digunakan sebagai imbuhan pakan pada pakan unggas dan hewan lain, seperti penisilin,
basitrasin, streptomisin, eritromisin, tilosin, neomisin, tetrasiklin, oksitetrasiklin, klortetrasiklin,
linkomisin, spiramisin, dan virginiamisin (Andriyanto, 2010).
Pemanfaatan antibiotika sebagai imbuhan pakan ternak juga banyak digunakan di
Indonesia. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Balai Penelitian Veteriner (Balitvet) Bogor
menunjukkan bahwa 71,43% (5/7) pabrik pakan di Kabupaten Bogor, Cianjur, Tangerang,
Bekasi dan Sukabumi memberikan tambahan antibiotika golongan tetrasiklin dan sulfonamida
pada produk pakan ayam (Bahri et al., 2015). Berdasarkan pengamatan di lapangan, antibiotika
yang lazim digunakan untuk pencegahan dan pengobatan penyakit antara lain streptomisin,
6
kloramfenikol, doksisiklin, tetrasiklin, eritromisin, neomisin, tilosin, siprofloksasin,
enrofloksasin, dan golongan sulfonamida.Antibiotika ini diberikan dalam air minum pada ayam
yang menunjukkan gejala sakit atau setelah vaksinasi (Kusumaningsih, 2017).
Beberapa peneliti melaporkan bahwa dibutuhkan antibiotika dalam jumlah banyak untuk
pengobatan, pencegahan dan sebagai pemacu pertumbuhan pada ternak penghasil daging. Pada
tahun 2001 dilaporkan bahwa, di Amerika Serikat setiap tahun membutuhkan sebanyak 900 ton
antibiotika untuk pengobatan dan sebanyak 11.200 ton antibiotika untuk non pengobatan pada
hewan, dengan peningkatan daging ternak sebesar 40% (Phillips et al., 2014). Kebutuhan
antibiotika untuk pakan dan pengobatan tahun 2001 sebesar 502,27 ton, kemudian meningkat
menjadi 5.574,16 ton pada tahun 2005 hal ini diiringi dengan peningkatan jumlah ternak
khususnya ayam sebanyak 27% atau sekitar 250.000 ekor ayam (Distannak, 2016).
2.6 Penggunaan Antibiotika dalam Pakan
Amerika Serikat telah melakukan penelitian dimana pakan ayam diberikan produk
fermentasi tetrasiklin yang menghasilkan pertumbuhan sangat cepat pada tubuh ayam
dibandingkan dengan yang tidak diberikan produk fermentasi tersebut, hal ini kemudian diikuti
negara lainnya (Phillips et al., 2014 dan PIC, 2016). Berbagai penelitian mengenai penggunaan
antibiotika dalam pakan dengan dosis subterapeutika yang berpengaruh terhadap penurunan
biaya produksi daging, telur dan susu. Anthony (2017) menyebutkan penggunaan antibiotika
pada dosis subterapeutika melalui pakan atau air minum berfungsi sebagai pemacu pertumbuhan,
mempengaruhi metabolisme seperti tetrasiklin mempengaruhi ekskresi nitrogen dan air,
effisiensi nutrisi dengan menekan bakteri intestin yang bersaing dengan host menggunakan
nutrisi dan mencegah penyakit. Hewan yang diberikan antibiotika secara rutin, struktur dinding
usus lebih tipis dan lebih besar daya absorpsinya, ini yang mengakibatkan antibiotika dapat
memperbaiki dan meningkatkan produksi daging sapi, domba, unggas dan babi.
Jenis antibiotika, penggunaan dan tujuannya yang direkomendasikan oleh pemerintah
seperti tabel dibawah ini :
7
Tabel 1. Antibiotika sebagai Imbuhan Pakan Ayam Pedaging
No Jenis antibiotika /Ton Pakan Tujuan
1 Avilamisina 2,5g - 15g Perangsang pertumbuhan
2 Avoparsina 7,5g - 15g Perangsang pertumbuhan
3 Bacitrasin zink 50g Perangsang pertumbuhan
4 Enramisina 5g - 10g Perangsang pertumbuhan
5 Flavomycin (Bambermisin) 2,5g Perangsang pertumbuhan
6 Kitasamisin 5g - 15g Perangsang pertumbuhan
7 Kolistin sulfate 2g - 20g Perangsang pertumbuhan
8 Lasalosid 2g Koksidiostat
9 Maduramisina 5g Koksidioatat
10 Lincomisin HCl 2,2g - 4,4g Perangsang pertumbuhan
11 Monensin natrium 70g - 90g Koksidiostat
12 Narasina 60g - 80g Koksidiostat
13 Salinomisin (Na) 60g Koksidiostat
14 Spiramisin (embonate) 5g - 20g Perangsang pertumbuhan
15 Virginiamisin 5g - 15g Perangsang pertumbuhan
Sumber : Campbell, 2016.
2.7 Penggunaan Antibiotika dalam Air Minum
Meningkatnya permintaan akan komoditi hewan telah menyebabkan dilakukannya
intensifikasi usaha peternakan yaitu dimana hewan dipelihara dalam skala besar. Adanya
kecendrungan untuk memilih cara beternak secara intensif telah menyebabkan mudahnya
penularan dari kelompok hewan yang satu ke hewan yang lain, sehingga semakin intensif usaha
peternakan maka semakin meningkat pula pemakaian antibiotika untuk mengatasi infeksi yang
sering timbul. Pengobatan massal melalui air minum dalam peternakan unggas berskala besar
merupakan cara terapi yang paling baik, diharapkan pengobatan (terapi) yang cepat dan efektif
serta dapat diikuti dengan pemberian obat melalui pakan. Hal ini disebabkan karena pengobatan
melalui cara parenteral (intramuskuler, subkutan dan intravena) tidak mungkin dilakukan untuk
pengobatan massal dalam peternakan berskala besar (Purvis, 2013 dan PIC, 2016). Hasil
pengamatan beberapa peneliti di lapangan menunjukkan bahwa setelah dilakukan vaksinasi, akan
diikuti dengan pemberian antibiotik melalui air minum selama 3 - 4 hari. Apabila ayam-ayam
tersebut menunjukkan tanda-tanda sakit, pemberian antibiotika dilanjutkan sampai delapan hari,
bahkan terkadang sampai sembuh (Bahri et al., 2015).
Berbagai jenis antibiotika di beberapa negara, termasuk golongan tetrasiklin, neomisin,
basitrasin, dan preparat sulfa diizinkan untuk diberikan secara berkala pada peternakan ayam.
Pemberian gentamisin dan spektinomisin melalui injeksi pada ayam bibit dapat mencegah infeksi
Salmonella enteritidis dari induk ayam ke telur yang akan ditetaskan (Kusumaningsih, 2017).
Menurut Lukman (2014) khlortetrasiklin, doksisiklin dan oksitetrasiklin merupakan antibiotika
yang paling banyak digunakan untuk pengobatan dan golongan ini tidak diizinkan diberikan
melalui pakan ternak di Indonesia. Derivat penisilin (antibiotika beta-laktam) secara luas
digunakan pada sapi, babi dan unggas untuk mengobati infeksi dan ditambahkan ke dalam pakan
8
atau air minum untuk mencegah beberapa penyakit. Penisilin biasanya cepat hilang dalam darah
melalui ginjal dan keluar melalui urin (Nhiem, 2015).
2.8 Residu Antibiotika
Residu adalah senyawa asal dan atau metabolitnya yang terdapat dalam jaringan produk
hewani dan termasuk residu hasil uraian lainnya dari obat tersebut. Semua cara pemberian
antibiotika dapat menyebabkan terjadinya residu dalam pangan asal hewan seperti, daging susu
dan telur (Phillips et al., 2014). Perhatian besar telah diperlihatkan selama 40 tahun mengenai
adanya residu antibiotika pada daging ayam di Amerika Serikat. Menurut Adam (2012) residu
antibiotika terjadi akibat penggunaan antibiotika untuk kontrol atau mengobati penyakit infeksi
tidak memperhatikan waktu henti obat, penggunaan antibiotika yang melebihi dosis yang
dianjurkan, penggunaan antibiotika sebagai feed additive dalam pakan hewan.
Pada pangan asal hewan residu meliputi senyawa asal yang tidak berubah (nonaltered
parent drug), metabolit dan atau konjugat lain. Beberapa metabolit obat diketahui bersifat kurang
atau tidak toksik dibandingkan senyawa asalnya, namun beberapa diketahui lebih toksik
(Phillips, 2014 dan Bahri et al., 2015). Faktor-faktor yang mempengaruhi distribusi obat dalam
tubuh (fase farmakokinetika), yaitu perfusi darah melalui jaringan, kadar gradien, pH dan ikatan
zat dengan makromolekul, partisi ke dalam lemak, transpor aktif, barrier (sawar) dan ikatan obat
dengan protein plasma atau jaringan (Anief, 2013 dan Adam, 2012).
Secara umum fase farmakokinetik obat dipengaruhi oleh keragaman dalam satu spesies,
perbedaan spesies, interaksi antar obat, faktor-faktor biofarmasetik, keberadaan kinetika non
linear dan penyakit. Pakan yang mengandung antibiotika akan berinteraksi dengan jaringan
(organ) dalam tubuh ternak, meskipun dalam jumlah yang kecil pengaruh yang ditimbulkan tidak
secara langsung tetapi akan berefek kronis dan tetap berada dalam tubuh ternak (Adam, 2012).
Senyawa induk dan metabolitnya sebagian akan dikeluarkan dari tubuh melalui air seni dan
feses, tetapi sebagian lagi akan tetap tersimpan di dalam jaringan (organ tubuh) yang disebut
sebagai residu (Bahri et al, 2015).
Antibiotika yang paling sering dideteksi dalam daging, yaitu penisilin (termasuk
ampisilin), tetrasiklin (termasuk khlortetrasiklin dan oksitetrasiklin), sulfonamida (termasuk
sulfadimethoksin, sulfamethazin dan sulfamethoksazol), gentamisin dan streptomisin (Phillips et
al., 2014). Residu dari semua jenis obat hewan paling tinggi terdapat dihati dan ginjal
dibandingkan pada jaringan otot. Hasil analisis menunjukkan bahwa kadar residu beberapa
antibiotika berbeda pada jaringan berbeda dalam tubuh ayam. Secara farmakokinetik dapat
dijelaskan mengenai metabolisme dan distribusi jenis obat pada hewan yang berbeda, pada fase
ini juga dapat diperkirakan waktu henti obat untuk menghilangkan kadar obat pada jaringan yang
berbeda (Adam, 2012). Menurut Anthony (2017), dampak negatif keberadaan residu antibiotika,
yaitu reaksi alergi, toksisitas, mempengaruhi flora usus, respon immun, resistensi terhadap
mikroorganisme, pengaruh terhadap lingkungan dan ekonomi.
2.8.1 Reaksi Alergi
Alergi atau intoleransi adalah reaksi abnormal yang berhubungan dengan substansi alami
yang tidak membahayakan banyak individu. Reaksinya meliputi urtikaria pada membran mukosa
dan kulit, bintik ruam dan pengelupasan kulit (Anthony, 2017). Menurut Nhiem (2015) tidak ada
bukti bahwa dengan terpapar residu penisilin dalam pangan menyebabkan peka terhadap
9
penisilin, tetapi ada beberapa kasus pada manusia diketahui sensitif penisilin menderita reaksi
alergi ketika terekspos pangan yang mengandung residu penisilin. Dosis 10 IU (0,6 μg) dapat
menyebabkan reaksi alergi pada individu yang sensitif. Sedikit 0,01 IU/ml penisilin dalam susu
menyebabkan reaksi alergi pada individu yang sangat sensitif. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa residu penisilin dalam ginjal dan hati (uji HPLC) kira-kira 100 kali lebih tinggi
dibandingkan dalam otot. Reaksi alergi menurut penelitian ini merupakan faktor yang
menentukan untuk keamanan evaluasi residu. Secara keseluruhan prevalensi alergi penisilin pada
populasi yang berbeda kira-kira 3 – 10% (Anthony, 2017).
2.8.2 Toksisitas
Antibiotika dapat mempengaruhi kesehatan manusia secara langsung maupun tidak
langsung. Secara langsung antibiotika memiliki sifat toksik bagi manusia, sebagai contoh
khloramphenikol memiliki efek samping yang cukup serius, yaitu penekanan aktivitas sumsum
tulang yang berakibat gangguan pembentukan sel-sel darah merah. Kondisi ini dapat
menyebabkan aplastic anemia yang secara potensial berakibat fatal (Naim, 2012). Pada aspek
alergi dengan melimpahnya antibiotika baik dikalangan medis maupun ditoko-toko sampai kaki
lima tidak diragukan lagi menyebabkan terjadinya perubahan respon terhadap suatu substansi
tertentu. Perubahan tersebut dapat berupa peningkatan kepekaan yang disebut hipersensitivitas
(Nhiem, 2015).
2.8.3 Mempengaruhi Flora Usus
Sebagai hasil penggunaan antibiotika yang panjang, perkembangan yang tidak
menyenangkan bakteri dalam saluran pencernaan merupakan masalah pada manusia dan hewan
(Anthony, 2017). Penggunaan antibiotika tidak hanya menyebabkan resistensi pada bakteri
patogen yang sedang ditangani tetapi juga pada mikroorganisme lain yang ada dalam saluran
pencernaan. Kemungkinan lain adalah adanya gangguan terhadap flora normal yang ada pada
saluran pencernaan manusia karena adanya residu antibiotika pada makanan (Mazell dan Davies,
2010). Semakin panjang waktu bakteri terpapar dengan antibiotika maka akan semakin tinggi
kesempatan terjadinya mutasi, sehingga menimbulkan strain yang kurang sensitif terhadap
antibiotika tersebut.
2.8.4 Respon Imun
Berbagai penelitian dilaporkan bahwa antibiotika tidak hanya bekerja sebagai bakterisid
tetapi juga mengatur fungsi dari sel imun (Naim, 2012). Pengaruh antibiotika pada respon
immun terjadi secara langsung pada sel imun kompeten atau secara tidak langsung dengan
merubah struktur atau metabolit dari organisme menyebabkan terjadinya konsentrasi hambat sub
minimal terhadap bakteri (subMIC) (Anthony, 2017).
2.8.5 Resistensi Terhadap Mikroorganisme
Menurut Naim (2012) masalah resistensi bakteri terhadap antibiotika telah dapat
dipecahkan dengan penemuan antibiotika golongan baru seperti, aminoglikosida, makrolida dan
glikopeptida, juga dengan modifikasi kimiawi dari antibiotika yang sudah ada tetapi tidak ada
jaminan pengembangan antibiotika baru dapat mencegah kemampuan bakteri patogen untuk
menjadi resisten. Masalah resistensi mikroba terhadap antibiotika bukanlah masalah yang baru,
sejak tahun 1963, WHO (2017) telah mengadakan pertemuan tentang aspek kesehatan
masyarakat dari penggunaan antibiotika dalam makanan dan bahan makanan (Bahri et al, 2015).
10
Penggunaan antibiotika pada pakan hewan sebagai pemacu pertumbuhan telah
mengakibatkan pertumbuhan bakteri yang resisten terhadap antibiotika yang umum digunakan
untuk terapi. Sebelum tahun 1984 di Eropa Salmonella dublin masih peka terhadap antibiotika
khloramfenikol (Barber et al, 2013). Resistensi kolonisasi merupakan istilah yang
menggambarkan imunitas alami yang diperoleh manusia melalui keberadaan flora normal dalam
saluran pencernaan sehingga manusia akan terlindungi dari kolonisasi/infeksi oleh
mikroorganisme dari luar tubuh. Ini merupakan konsep penting bagi kesehatan manusia karena
pencegahan kolonisasi oleh mikroba patogen seperti salmonella atau oleh mikroba resisten
adalah kunci untuk meminimalkan resiko hidup dalam lingkungan yang terkontaminasi oleh
mikroorganisme patogen (Naim, 2012).
Menurut Charles et al. (2011), antibiotika tidak digunakan pada seluruh peternakan dan
resistensi antibiotika terjadi di peternakan yang tidak menggunakan antibiotika. Bahan baku
protein yang berasal dari hewan yang terkandung dalam pakan unggas berpotensi sebagai
penyimpan sumber resistensi bakteri terhadap antibiotika. Resistensi diakibatkan oleh mikroba
mensintesis enzim yaitu resistensi mikroba terhadap penisilin. Dimana mikroba tersebut
menghasilkan enzim penisilinase yang mampu memecah cincin beta-laktam penisilin menjadi
penicilloic acid yang tidak aktif. Demikian pula pada sefalosporin yang didegradasi oleh beta
laktamase (Salyers dan Whitt, 2015). Banyak bakteri mampu memproduksi beta-laktamase,
seperti bakteri gram positif dan negatif, dimana enzim ini mempunyai peranan yang besar dalam
menyebabkan resistensi bakteri gram positif terhadap penisilin dan sefalosporin (Jelena et al,
2016).
Gambar 1. Tahap resistensi (Sumber : Focosi, 2015)
Antibiotic use in animals
Development of resistant animal bacterial strain
Survival through food processing/handling
Survival through food preparation
Resistance transfer to human Colonization in human
Disease Treatment failure
Hurdles for transfer
Hurdles for transfer
2.8.6 Pengaruh Terhadap Lingkungan
Pemberian antibiotika secara oral seperti, tetrasiklin yang tingkat absorpsinya tidak
sempurna dan sebagian besar diekskresi secara utuh (Bahri et al, 2015). Pengaruh resistensi
terhadap organisme yang terdapat di lingkungan termasuk Escheria coli sebagian besar tidak
diketahui (Charles et al., 2011).
Treatment failure
STEPS FOR RESISTANCE TRANSFER
Antibiotic use in animals
Development of resistant animal bacterial
strain
Survival through food processing/handling
Survival through food preparation
Resistance transfer to human
Colonization in human
Disease
Hurdl
es for
transfe
r
Hurdl
es for
transf
er
11
2.8.7 Ekonomi
Adanya laporan mengenai residu antibiotika dalam susu menimbulkan masalah di
industri perusahaan susu. Residu antibiotika menghambat dan tidak sempurnanya produksi asam
oleh bakteri starter kultur yang digunakan untuk menghasilkan produk seperti keju. Hal ini
mengakibatkan kehilangan ekonomi karena meningkatnya biaya penjualan susu dan masalah
kesehatan bagi konsumen (Anthony, 2017). Pada tahun 2001 terjadi penolakan udang yang
berasal dari Asia karena terdapat residu khloramfenikol. Residu antibiotika ini menyebabkan
terjadinya penekanan pada sumsum tulang sehingga mengganggu pembentukan sel darah merah,
hal ini menimbulkan aplastik anemi. Adanya residu antibiotika pada produk pangan asal hewan
sudah tentu menjadi masalah Internasional, oleh karena dapat menimbulkan gangguan bagi
kesehatan konsumen yang mengkonsumsi produk hewan yang mengandung atau tercemar residu
(Naim, 2012).
2.9 Batas Toleransi Residu Antibiotik
Keamanan pangan asal ternak berkaitan erat dengan pengawasan pemakaian antibiotika
dan obat hewan yang tergolong obat keras perlu memperhatikan waktu henti sehingga
diharapkan residu tidak ditemukan lagi atau berada di bawah Batas Maksimum Residu (BMR).
Beberapa data residu antibiotika pada produk daging dan hati ayam serta batas maksimum residu
dalam bahan makanan asal hewan di Indonesia dapat dilihat pada tabel 2 dan 3.
12
Tabel 2. Data Residu Obat Hewan pada Produk Daging dan Hati Ayam
No Macam produk
ternak
Jumlah
sampel %positif Macam residu Ket.
1 Daging ayam 190 0 Antibiotika 1
190 26,3 Antibakteri,sintetik,koksid 1
60 13,2 Antibiotika 2
221 0 Antibiotika 3
2 Hati ayam 190 10,0 Antibiotika 1
190 21,05 Antibakteri,sintetik,koksid 1
40 82,5 Antibiotika 2
221 50,0 Antibiotika 3
57 78,9 Antibiotika 4
57 73,7 Antibiotika 4
57 66,7 Antibiotika 4
57 63,1 Antibiotika 4
24 58,3 Antibiotika 5
24 54,1 Antibakteri,sintetik,koksid 5
24 62,5 Antibakteri,sintetik,koksid 5
24 12,5 Antibiotika 5
24 8,3 Antibiotika 5
24 66,7 Antibakteri,sintetik,koksid 5
24 4,16 Antibakteri,sintetik,koksid 5
Keterangan : 1. BPMSOH, 2. Hartati dkk., 3. PPPF, 4. Balitvet, 2000, 5.Balitvet, 2001.
Sumber : Bahri (2015)
13
Tabel 3. Spesifikasi Persyaratan Mutu Batas Maksimum Residu dalam Bahan Makanan Asal
Hewan dalam Satuan (mg/kg)
No. Jenis Residu dan Metabolit Hati Telur Susu
1 Amoksilin 0,01 0,0,1 0,01
2 Ampisilin 0,01 0,01 0,01
3 Ampramisin 0,1 0,1 0,1
4 Atrzine 0,02 0 0
5 Avorpasin 0,2 0 0
6 Basitrasin 0,5 0 0,5
7 Benzilpenisilin 0,05 0,0015 0,01
8 Carbomisin 0 0 0
9 Carboxine 0,1 0 0
10 Clindamisin 0,01 0,01 0
11 Diklosasilin 0,3 0,03 0
12 Doksisiklin 0,1 0,05 0,05
13 Enrofloksasin 0,01 0 0,01
14 Eritromisin 0,1 0,1 0,1
15 Fradiomisin 0,25 0,15 0
16 Gentamisin 0,1 0,1 0,1
17 Hygromisin 0,3 0,3 0
18 Kitasamisin 0,2 0 0,2
19 Kloksasilin 0,01 0 0
20 Klotetrasiklin 0,1 0,01 0,05
21 Linkomisin 0,1 0,1 0,2
22 Maduramisin 0,05 0,05 0
23 Monensin 0,2 0,2 0,2
24 Neomisin 0,05 0 0,01
25 Norfloxacin 0,01 0 0
26 Novobiosin 1 0,1 1
27 Oleandomisin 0,15 0 0,15
28 Penisilin 0,1 0 0,1
29 Polimiksin B 0,1 0 0
30 Profrularin 0,02 0 0
31 Spektinomisin 0,4 0,4 4
32 Spiramisin 0,05 0,05 0,05
33 Streptomisin 0,1 0 0,1
34 Tetrasiklin 0,04 0,05 0,05
35 Tilosin 0,2 0,1 0
Sumber : Von borell, 2011.
14
Pemakaian antibiotika dan obat hewan lainnnya dalam bidang peternakan perlu
dierhatikan waktu henti obat (withdrawal time) dari antibiotika yang bersangkutan. Waktu henti
obat adalah kurun waktu dari saat pemberian obat terakhir hingga ternak boleh dipotong atau
produknya boleh dikonsumsi. Berikut ini beberapa data waktu henti obat (withdrawal time) dari
beberapa obat hewan.
Tabel 4. Waktu henti beberapa obat
Jenis Hewan Cara Pemakaian
Waktu henti
(Hari)
Ampisilin Ayam Injeksi 5
Sapi Injeksi 6
Amprolium Sapi Oral 1
Dihidrostreptomisin Babi Injeksi 30
Sapi Injeksi 30
Enthromisin Babi Injeksi 7
Sapi Injeksi 14
Furazolidon Ayam Oral 5
Babi Oral 5
Karbadoks Babi Oral 70
Khlortetrasiklin Ayam Injeksi 15
Monensin Ayam Oral 3
Nitrofurazon Ayam Oral 5
Babi Oral 5
Penisilin G Ayam Injeksi 5
Babi Injeksi 5
Oksitetrasiklin Ayam Injeksi 15
Penisilin streptomisin Babi Injeksi 30
Sapi Injeksi 30
Preparat sulforiamida Sapi Oral 7
Tetrasiklin Sapi Oral 5
Thiobendazol Sapi Oral 3
Tilosina Babi Oral 2
Streptomisin Ayam Oral 4
Sapi Oral 2
Sumber : Murdiati, 2017
15
3. METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat
Penelitian ini berlangsung dari bulan Maret sampai April 2017. Tempat pengambilan
sampel hati ayam di empat pasar tradisional kota Makassar (Pasar Pa’baeng-baeng, Pasar Daya,
Pasar Terong, dan Pasar Sambung jawa), dan penelitian dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi
Kedokteran Hewan Unhas.
3.2 Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif, cara kerja eksiremental dengan pendekatan
kualitatif. Penelitian ini dilakukan dengan metode bioassay.
3.3 Sampel Penelitian
3.3.1 Cara Pengambilan Sampel
Sampel diambil dengan metode simple random sampling.
3.3.2 Perhitungan Besar Sampel
Sampel keseluruhan yang digunakan dalam penelitian ini adalah 24 sampel hati. Dimana 24
sampel hati tersebut dibagi dalam 4 lokasi pengambilan, masing-masing lokasi pengambilan terdiri
dari 6 sampel hati. Perhitungan besar sampel dihitung dengan rumus Federer sebagai berikut
(Nathasa, 2007) :
(t-1) (n-1) ≥ 15
(4-1) (n-1) ≥ 15
3n-3 ≥ 15
3n ≥ 18
n ≥ 6
Keterangan :
t : Jumlah kelompok uji n : Besar sampel per kelompok
Besar sampel ideal menurut hitungan rumus Federer diatas adalah 6 sampel hati atau lebih.
Dengan demikian jumlah sampel hati semua kelompok uji secara keseluruhan adalah 24 sampel.
16
3.4 Alat dan Bahan Penelitian
3.4.1 Alat penelitian
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah lemari pendingin, timbangan analitik,
cawan petri (diameter 10 cm dan diameter 6 cm), autoclave, inkubator, mikroskop, pinset, jarum
ose, gelas ukur, magnetic stirrer, tabung reaksi, bunsen, pH meter digital, erlenmeyer,
aluminium foil, slide glass, mortar, mikro pipet, dan vortex shaker.
3.4.2 Bahan Penelitian
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah 24 sampel hati ayam, disk novobiosin
5ug (Oxoid), disk antibiotika ampisilin 10 ug (Oxoid), MSA (Manitol Salt Agar), EMBA (Eosin
Methylene Blue Agar), crystal violet, lugol, immersion oil, alkohol 96%, fuchin alkali / safranin,
NaCl, disk antibiotika tetrasiklin 30 ug (Oxoid), air suling steril, media MHA (Mueller Hinton
Agar), blank disk, biakan mikroba uji Staphylococcus aureus dan Escherichia coli.
3.5 Metode Penelitian
3.5.1 Sterilisasi Alat
Seluruh alat yang akan digunakan disterilisasi didalam autoclave pada suhu 121°C yang
sebelumnya dicuci bersih, selanjutnya autoclave dibuka setelah suhu turun menjadi ≤ 50°C. Alat
dikeringkan dan dibungkus lalu disimpan pada inkubator yang bersuhu 37°C.
3.5.2 Kultur Bakteri
Pembuatan stok bakteri ini dilakukan untuk memperbanyak dan meremajakan bakteri.
3.5.2.1 Staphylococcus aureus
Koleksi biakan murni bakteri Staphylococcus aureus diinokulasi dengan cara
ditumbuhkan kembali pada media MSA (Manitol Salt Agar) menggunakan ose di dalam cawan
petri. Setelah itu cawan petri dimasukkan ke dalam inkubator pada suhu 37°C selama 24 jam.
3.5.2.2 Escherichia coli
Koleksi biakan murni bakteri Escherichia coli diinokulasi dengan cara ditumbuhkan
kembali dengan media EMBA (Eosin Methylene Blue Agar) yang diusap jarum ose ke dalam
cawan petri. Setelah itu cawan petri dimasukkan ke dalam inkubator pada suhu 37°C selama 24
jam.
3.5.3 Pewarnaan Gram
• Sediakan slide glass kemudian di fiksasi di atas api bunsen
• Beri label pada bagian atas slide glass
• Pijarkan jarum ose dan diambil bakteri dari media dengan cara aseptik lalu diratakan di
atas slide glass
• Teteskan larutan zat warna crystal violet sebanyak 1 atau 2 tetes
17
• Keringkan selama 3-5 menit
• Cuci dengan air mengalir
• Keringkan slide glass dengan cara dianginkan
• Tetesi dengan lugol dan diamkan selama 2 menit
• Cuci dengan air mengalir
• Keringkan slide glass dengan cara dianginkan
• Tetesi dengan alkohol 96% dan diamkan selama 20 detik
• Teteskan larutan fuchin alkali dan diamkan selama 2 menit
• Cuci dengan air mengalir
• Keringkan slide glass dengan cara dianginkan
• Selanjutnya slide glass ditetesi immersion oil lalu diamati di bawah mikroskop bentuk
dari bakteri uji
3.5.4 Uji Antibiotik Novobiosin
Uji antibiotik novobiosin dilakukan dengan cara 1 ose suspensi bakteri Staphylococcus
aureus ditanam pada media Muller Hinton kemudian diletakkan disk novobiosin 5 µg diatas
media Muller Hinton, diinkubasi pada suhu 37oC selama 24 jam. Adanya daerah bening disekitar
disk menunjukkan hasil positif.
3.5.5 Pengolahan Sampel
Sampel hati ayam ditimbang sebanyak 10 gram, selanjutnya potong kecil-kecil lalu
dihaluskan menggunakan mortar kemudian sampel dimasukkan ke dalam tabung reaksi,
ditambahkan air suling steril sebanyak 20 ml ke dalam tabung reaksi. Erlenmeyer ditutup
menggunakan aluminium foil, selanjutnya dihomogenkan dengan menggunakan alat vortex
shaker selama 1 menit, supernatan diambil dan siap digunakan sebagai larutan uji.
3.5.6 Pembuatan Media Mueller Hinton Agar (MHA)
Pembuatan media Mueller Hinton Agar dengan menimbang 12,8 gram serbuk Mueller
Hinton Agar dalam erlenmeyer kemudian ditambahkan air suling steril 450 ml, erlemeyer
diaduk menggunakan magnetic stirer agar larutan homogen, selanjutnya pH larutan diukur
menggunakan pH meter digital, sampai pH mencapai 7,0 (netral). Tabung erlenmeyer ditutup
dengan aluminium foil dan dimasukkan kedalam autoclave. Autoclave ditutup rapat dan
dinaikkan suhunya hingga 121oC selama ±45 menit selanjutnya autoclave dimatikan, ditunggu
hingga suhu mencapai suhu kamar. Autoclave dibuka dan tabung erlemeyer dikeluarkan dari
autoclave, media Mueller Hinton Agar dituang kedalam 8 cawan petri yang masing-masing
berisi 50 ml. Media Mueller Hinton Agar dibiarkan memadat dan dingin hingga siap untuk
menumbuhkan bakteri.
3.5.7 Pelaksanaan Pengujian
Pengujian dengan cara 1 ose biakan murni bakteri Escherichia coli diinokulasikan ke
dalam 2 ml NaCl pada tabung reaksi hingga memenuhi standar kekeruhan konsentrasi 0,5 Mc
Farland yang kemudian diusap ke dalam 4 cawan petri besar yang telah berisi media Mueller
Hinton Agar (MHA). Blank disk dicelupkan ke dalam larutan uji lalu diletakkan di cawan petri.
Satu cawan petri dibagi menjadi delapan bagian, enam bagian untuk sampel uji dan dua bagian
18
untuk kontrol positif dan kontrol negatif. Biakan tersebut diinkubasikan ke dalam inkubator
dengan suhu 37 ºC selama 24 jam.
Pengujian dengan cara 1 ose biakan murni bakteri Staphylococcus aureus diinokulasikan
ke dalam 2 ml NaCl pada tabung reaksi hingga memenuhi standar kekeruhan konsentrasi 0,5
Mc Farland yang kemudian diusap ke dalam 4 cawan petri besar yang telah berisi media
Mueller Hinton Agar (MHA). Blank disk dicelupkan ke dalam larutan uji lalu diletakkan di
cawan petri. Satu cawan petri dibagi menjadi delapan bagian, enam bagian untuk sampel uji dan
dua bagian untuk kontrol positif dan kontrol negatif. Biakan tersebut diinkubasikan ke dalam
inkubator dengan suhu 37 ºC selama 24 jam.
Kontrol positif yang digunakan ialah disk antibiotik tetrasiklin sedangkan kontrol negatif
ialah blank disk yang dicelupkan kedalam pelarut sampel yaitu air suling steril, untuk cawan
petri besar yang berisi inokulasi bakteri Escherichia coli. Kontrol positif yang digunakan ialah
disk antibiotik ampisilin sedangkan kontrol negatif ialah blank disk yang dicelupkan kedalam
pelarut sampel yaitu air suling steril, untuk cawan petri besar yang berisi inokulasi bakteri
Staphylococcus aureus. Pengujian sampel dilakukan sebanyak 2 kali pengulangan. Setelah itu
hasil uji ditentukan dengan menggunakan jangka sorong/kaliper.
3.5.8 Pengukuran Zona Hambat
Daya hambat diketahui berdasarkan adanya diameter zona inhibisi (zona bening atau
daerah jernih tanpa pertumbuhan mikroorganisme) yang terbentuk. Apabila terdapat zona
inhibisi maka sampel uji dinyatakan mengandung residu antibiotika, jika tidak terdapat zona
inhibisi maka sampel uji dinyatakan tidak mengandung residu antibiotika.
19
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian ini menggunakan hati ayam potong (boiler) yang berasal dari Pasar Pa’baeng-
baeng, Pasar Daya, Pasar Terong, dan Pasar Sambung jawa. Bakteri yang digunakan ialah
Staphylococcus aureus dan Escherichia coli. Sampel selanjutnya diteliti menggunakan metode
bioassay, uji ini digunakan karena memiliki sensitivitas yang cukup tinggi, teknik pengerjaan
yang relatif sederhana, serta ekonomis jika sampel yang diuji dalam jumlah yang banyak.
4.1 Staphylococcus aureus
4.1.1 Pembuatan Media Manitol Salt Agar (MSA)
Pembuatan media Manitol Salt Agar dengan menimbang 8,3 gram serbuk Manitol Salt
Agar dalam erlenmeyer kemudian ditambahkan air suling steril 75 ml, erlemeyer diaduk
menggunakan magnetic stirer agar larutan homogen, selanjutnya pH larutan diukur
menggunakan pH meter digital, sampai pH mencapai 7,0 (netral). Tabung erlenmeyer ditutup
dengan aluminium foil dan dimasukkan kedalam autoclave. Autoclave ditutup rapat dan
dinaikkan suhunya hingga 121oC selama ±45 menit selanjutnya autoclave dimatikan, ditunggu
hingga suhu mencapai suhu kamar. Autoclave dibuka dan tabung erlemeyer dikeluarkan dari
autoclave, media Manitol Salt Agar dituang kedalam 3 cawan petri yang masing-masing berisi
25 ml. Media Manitol Salt Agar dibiarkan memadat dan dingin hingga siap untuk menumbuhkan
bakteri.
4.1.2 Uji Staphylococcus aureus pada media Mannitol Salt Agar (MSA)
Uji pada media Mannitol Salt Agar (MSA), merupakan uji yang dilakukan untuk
mengetahui kemampuan memfermentasi mannitol pada Staphylococcus aureus. Hasil positif
ditunjukkan Staphylococcus aureus pada media Mannitol Salt Agar (MSA) dengan adanya
pertumbuhan koloni berwarna putih kekuningan karena kemampuan memfermentasi mannitol,
yaitu fenol acid yang dihasilkan, menyebabkan perubahan phenol red pada agar yang berubah
dari merah menjadi berwarna kuning (Anggorodi, 2014). Media MSA mengandung konsentrasi
garam NaCl yang tinggi (7.5-10%). MSA menjadi media selektif diferenssial untuk pertumbuhan
Staphylococcus aureus. Hal ini dikarenakan Staphylococcus aureus mampu bertahan dan tumbuh
dalam media dengan konsentrasi garam yang cukup tinggi.
Gambar 2 Staphylococcus aureus pada media Mannitol Salt Agar (MSA)
20
Kandungan Natrium Chlorida (NaCl) yang tinggi pada media MSA
membuat bakteri lain tidak dapat bertahan pada kondisi demikian, sehingga jika bakteri
Staphylococcus aureus dapat menghasilkan enzim koagulase dan mampu memfermentasikan
manitol pada MSA maka dapat disimpulkan bahwa bakteri tersebut adalah Staphylococcus
aureus (Sari, 2013).
4.1.3 Uji Pewarnaan Gram
Kemudian selanjutnya dilakukan uji pewarnaan gram yang bertujuan untuk mengamati
morfologi dan mengetahui kemurnian sel bakteri. Hasil dari uji pewarnaan gram bakteri pada
media Mannitol Salt Agar (MSA) menunjukkan ciri-ciri positif bakteri Staphylococcus aureus.
Gambar 3 Pengamatan Staphylococcus aureus pada Mikroskop
Hasil dari uji pewarnaan gram bakteri pada media Mannitol Salt Agar menunjukkan
ciri-ciri positif bakteri Staphylococcus aureus. Staphylococcus aureus merupakan bakteri Gram
positif dan begerombol bulat seperti anggur yang menghasilkan warna ungu pada pewarnaan
gram. Warna ungu disebabkan karena bakteri mempertahankan warna pertama, yaitu gentian
violet dikarenakan dinding sel bakteri terdiri dari lapisan peptidoglikan yang tebal. Hal ini
menyebabkan aktivitas yang tinggi terhadap kristal violet dan ion. Oleh karena itu, terbentuknya
senyawa yang sukar larut dalam alkohol sehingga tetap memegang kuat zat utama yaitu warna
ungu atau biru kristal violet (Campbell, 2016).
4.1.4 Uji Novobiosin
Pada sampel bakteri Staphylococcus aureus dengan uji antibiotik novobiosin didapatkan
hasil berupa terbentuknya zona bening pada media Muller Hinton Agar (MHA) yang telah
diinokulasi dengan bakteri Staphylococcus aureus. Hal ini menunjukan Staphylococcus aureus
sensitif atau tidak resisten terhadap disc novobiocin 5µg.
21
(a) (b)
Gambar 4 Hasil Uji Sensitivitas Antibiotik Novobiosin
(a)Sebelum Diinkubasi (b)Setelah Diinkubasi
Dinding sel bakteri mengandung polimer kompleks peptidoglikan yang terdiri dari
polisakarida dan polipeptida dengan banyak hubungan silang. Lapisan peptidoglikan dinding sel
bakteri gram positif lebih tebal daripada bakteri gram negatif. Kerusakan pada dinding sel seperti
akibat terkena enzim lisozim atau inhibisi pada pembentukan dinding sel dapat menyebabkan sel
menjadi lisis. Salah satu agen antimikroba atau antibiotik yang bekerja dengan inhibisi sintesis
dinding sel adalah novobiosin. Novobiosin menghambat langkah awal dari sintesis peptidoglikan
sehingga mengganggu fungsi biosintetik membran sel dan juga bekerja dengan cara menghambat
sintesis DNA dan asam trikholat pada selaput sel bakteri (Jawetz et al., 2010).
4.2 Escherichia coli
4.2.1 Pembuatan Media Eosin Methylene Blue Agar (EMBA)
Pembuatan media Eosin Methylene Blue Agar dengan menimbang 28,12 gram serbuk
Eosin Methylene Blue Agar dalam erlenmeyer kemudian ditambahkan air suling steril 75 ml,
erlemeyer diaduk menggunakan magnetic stirer agar larutan homogen, selanjutnya pH larutan
diukur menggunakan pH meter digital, sampai pH mencapai 7,0 (netral). Tabung erlenmeyer
ditutup dengan aluminium foil dan dimasukkan kedalam autoclave. Autoclave ditutup rapat dan
dinaikkan suhunya hingga 121oC selama ±45 menit selanjutnya autoclave dimatikan, ditunggu
hingga suhu mencapai suhu kamar. Autoclave dibuka dan tabung erlemeyer dikeluarkan dari
autoclave, media Eosin Methylene Blue Agar dituang kedalam 3 cawan petri yang masing-
masing berisi 25 ml. Media Eosin Methylene Blue Agar dibiarkan memadat dan dingin hingga
siap untuk menumbuhkan bakteri.
4.2.2 Uji Escherichia coli pada media Eosin Methylene Blue Agar (EMBA)
Eosin Methylene Blue Agar adalah media selektif dan media diferensial. Media ini
mengandung eosin dan metilen biru yang menghambat pertumbuhan bakteri Gram positif, maka
media ini dipilih untuk bakteri Gram negatif. Eosin Methylene Blue Agar juga mengandung
22
karbohidrat laktosa, dengan adanya karbohidrat laktosa bakteri Gram negatif terdiferensiasi
berdasarkan pada kemampuan mereka untuk memfermentasi laktosa. Warna media sebelum
pemupukan bakteri berwarna merah keunguan. Perubahan warna hijau metalik pada media Eosin
Methylene Blue Agar karena Escherichia coli dapat memfermentasi laktosa yang mengakibatkan
peningkatan kadar asam dalam media. Kadar asam yang tinggi dapat mengendapkan methylen
blue dalam media Eosin Methylene Blue Agar sehingga ketika terjadi perubahan warna metalik
maka dapat disimpulkan bahwa bakteri tersebut adalah Escherichia coli (Campbell, 2016).
Gambar 5 Escherichia coli pada media Eosin Methylene Blue Agar
4.2.3 Uji Pewarnaan Gram
Kemudian selanjutnya dilakukan uji pewarnaan gram yang bertujuan untuk mengamati
morfologi dan mengetahui kemurnian sel bakteri. Hasil dari uji pewarnaan gram bakteri pada
media Eosin Methylene Blue Agar (EMBA) menunjukkan ciri-ciri positif bakteri Escherichia
coli.
Gambar 6 Pengamatan Escherichia coli pada Mikroskop
23
Hasil dari uji pewarnaan gram bakteri pada media Eosin Methylene Blue Agar
menunjukkan ciri-ciri positif bakteri Escherichia coli. Escherichia coli merupakan bakteri Gram
negatif berbentuk batang pendek dan menghasilkan warna merah muda pada pewarnaan gram.
Warna merah muda disebabkan karena bakteri tidak mempertahankan warna pertama, yaitu
gentian violet dikarenakan dinding sel bakteri terdiri dari lapisan peptidoglikan yang tipis (Sari,
2013).
4.3 Pengolahan sampel
Sampel hati ayam potong (boiler) ditimbang 10,0 gram kemudian setelah itu digerus
menggunakan mortar. Sampel yang sudah digerus selanjutnya dimasukkan ke dalam tabung
reaksi kemudian di campurkan 20 ml air suling steril, tutup tabung reaksi menggunakan
aluminium foil. Sampel dihomogenkan menggunakan fortex shaker selama 1 menit, setelah
homogen larutan akan berubah warna menjadi merah.
4.4 Pembuatan Media MHA
Pada penelitian ini digunakan media Mueller Hinton Agar (MHA). Menurut Youssef et al
(2013), media MHA dipilih karena media ini telah direkomendasikan oleh FDA dan WHO untuk
tes antibakteri terutama bakteri aerob dan bakteri fakultatif anaerob untuk makanan dan materi
klinis. Media agar ini juga telah terbukti memberikan hasil yang baik dan reprodusibel
(reproducibility). Media agar ini mengandung sulfonamida, trimethoprim, dan inhibitor
tetrasiklin yang rendah serta memberikan pertumbuhan pathogen yang baik (Revolledo et al,
2016).
4.5 Skrining Residu Antibiotika pada Hati Ayam Potong (boiler)
Sasaran utama dari penelitian ini ialah untuk mengetahui residu antibiotika pada hati
ayam potong (boiler) di empat pasar tradisional kota Makassar, hasil uji deteksi residu
antibiotika yang dianalisis menggunakan metode bioassay. Uji ini digunakan karena memiliki
sensitivitas yang cukup tinggi, teknik pengerjaan yang relatif sederhana, serta ekonomis jika
sampel yang diuji dalam jumlah yang besar.
24
(a) (b)
Gambar 7 Hasil skrining residu antibiotika pada Pasar A
(a) Escherichia coli pada media MHA (b) Staphylococcus aureus pada media MHA
Tabel 5 Diameter zona bening hasil skrining residu antibiotika pada Pasar A
Replikasi Staphylococcus aureus pada media MHA
Kontrol Sampel
Positif (disk
ampisilin)
Negatif (disk
air suling)
1 2 3 4 5 6
1 16,34 mm - - - - - - -
2 16,25 mm - - - - - - -
Rata-rata 16,295 mm - - - - - - -
Replikasi Escherichia coli pada media MHA
Kontrol Sampel
Positif (disk
tetrasiklin)
Negatif
(disk air
suling)
1 2 3 4 5 6
1 20,12 mm - - - - - - -
2 20,35 mm - - - - - - -
Rata-rata 20,235 mm - - - - - - -
25
(a) (b)
Gambar 8 Hasil skrining residu antibiotika pada Pasar B
(a) Escherichia coli pada media MHA (b) Staphylococcus aureus pada media MHA
Tabel 6 Diameter zona bening hasil skrining residu antibiotika pada Pasar B
Replikasi Staphylococcus aureus pada media MHA
Kontrol Sampel
Positif (disk
ampisilin)
Negatif
(disk air
suling)
1 2 3 4 5 6
1 16,32 mm - - - - - - -
2 16,15 mm - - - - - - -
Rata-rata 16,235 mm - - - - - - -
Replikasi Escherichia coli pada media MHA
Kontrol Sampel
Positif (disk
tetrasiklin)
Negatif (disk
air suling)
1 2 3 4 5 6
1 20,16 mm - - - - - - -
2 20,37 mm - - - - - - -
Rata-rata 20,265 mm - - - - - - -
26
(a) (b)
Gambar 9 Hasil skrining residu antibiotika pada Pasar C
(a) Staphylococcus aureus pada media MHA (b) Escherichia coli pada media MHA
Tabel 7 Diameter zona bening hasil skrining residu antibiotika pada Pasar C
Replikasi Staphylococcus aureus pada media MHA
Kontrol Sampel
Positif (disk
ampisilin)
Negatif (disk
air suling)
1 2 3 4 5 6
1 16,42 mm - - - - - - -
2 16,39 mm - - - - - - -
Rata-rata 16,405 mm - - - - - - -
Replikasi Escherichia coli pada media MHA
Kontrol Sampel
Positif (disk
tetrasiklin)
Negatif (disk
air suling)
1 2 3 4 5 6
1 20,21 mm - - - - - - -
2 20,33 mm - - - - - - -
Rata-rata 20,27 mm - - - - - - -
27
(a) (b)
Gambar 10 Hasil skrining residu antibiotika pada Pasar D
(a) Escherichia coli pada media MHA (b) Staphylococcus aureus pada media MHA
Tabel 8 Diameter zona bening hasil skrining residu antibiotika pada Pasar D
Replikasi Staphylococcus aureus pada media MHA
Kontrol Sampel
Positif (disk
ampisilin)
Negatif
(disk air
suling)
1 2 3 4 5 6
1 16,41 mm - - - - - - -
2 16,28 mm - - - - - - -
Rata-rata 16,345 mm - - - - - - -
Replikasi Escherichia coli pada media MHA
Kontrol Sampel
Positif (disk
tetrasiklin)
Negatif (disk
air suling)
1 2 3 4 5 6
1 20,12 mm - - - - - - -
2 20,35 mm - - - - - - -
Rata-rata 20,235. mm - - - - - - -
Dari tabel 5,6,7, dan 8 dapat dilihat bahwa tidak ada residu antibiotika pada hati ayam
yang diambil dari empat pasar tradisional Kota Makassar. Hal ini ditandai dengan tidak
terbentuknya zona bening atau daerah hambatan pada uji cakram. Ini menunjukkan bahwa semua
sampel tersebut tidak mengandung residu antibiotika. Hal tersebut kemungkinan disebabkan
karena ayam tidak diberi antibiotika selama masa pemeliharaannya, karena kemungkinan tidak
ada kasus penyakit yang menyerang ayam yang dipelihara peternak. Menurut Steele dan Beran
28
(2014) pemakaian antibiotika sangat diperlukan dalam peternakan ayam karena peternak merasa
yakin bahwa penyakit dapat dikendalikan secara baik dan produksi dapat ditingkatkan.
Sampel tidak mengandung antibiotika kemungkinan juga disebabkan karena waktu henti
obat (withdrawal time) telah diperhatikan dan dipatuhi oleh peternak sehingga pada saat ternak
dipotong tidak mengandung residu dalam jaringan ternak tersebut. Hal ini sesuai dengan
pendapat Sanjaya (2016) yang menyatakan bahwa antibiotika dapat ditemukan pada hasil ternak
jika hasil ternak tersebut dipanen sebelum masa waktu henti obat (withdrawal time) habis pada
hewan yang diobati atau karena antibiotika dalam pakan. Hal ini didukung oleh Anggorodi
(2014) yang menyatakan bahwa penghentian pemberian antibiotika beberapa hari sebelum
hewan disembelih akan menghilangkan tertimbunnya antibiotika dalam jaringan.
Lamanya waktu yang diperlukan sejak pemberian obat (antibiotika) dihentikan
(pemberian obat terakhir) sampai dengan kadar residu obat di dalam jaringan (produk) hewan
mencapai dibawah batas toleransi untuk dikonsumsi manusia yang dinyatakan sebagai waktu
henti obat (withdrawal time). Waktu henti satu antibiotika tidak sama dengan antibiotika yang
lainnya, tergantung juga dari jenis ternak dan cara pemberian antibiotika. Waktu henti dari suatu
obat termasuk antibiotika sangat dipengaruhi oleh proses absorbsi, distribusi dan eliminasi dari
obat yang bersangkutan. Proses tersebut dipengaruhi oleh beberapa hal antara lain umur, jenis
hewan, status kesehatan, nutrisi hewan, serta sifat kimia dan fisika dari obat seperti berat
molekul, kelarutan dalam air maupun dalam lemak serta ikatannya dengan protein tubuh.
Ayam potong (broiler )merupakan termasuk hewan berdarah panas (endotermik) yang
suhu tubuhnya diatur suatu batasan yang sesuai. Ayam dapat bereproduksi secara optimum bila
faktor-faktor internal dan eksternal berada dalam batasan-batasan yang normal sesuai dengan
kebutuhan hidupnya. Suhu lingkungan merupakan salah satu faktor eksternal yang dapat
mempengaruhi produktivitas ayam. Suhu panas pada suatu lingkungan pemeliharaan ayam telah
menjadi salah satu perhatian utama karena dapat menyebabkan kerugian ekonomi akibat
peningkatan kematian dan penurunan produktivitas. Keadaan suhu yang relatif tinggi pada suatu
lingkungan pemeliharaan menyebabkan terjadinya cekaman panas (Von Borell, 2011). Ayam
potong (broiler) memiliki respon terhadap cekaman panas yaitu menimbulkan stress hingga
menyebabkan kematian karenanya penggunaan antibiotika ditambahkan kedalam ransum pakan
ayam maupun pada air minum. Status biologis ternak yang berbeda (grower dan layer) akan
memberikan respon stress yang berbeda, hal ini terkait dengan aktifitas biologisnya dalam
memacu metabolisme untuk kepentingan pertumbuhan dan menjaga metabolisme tubuh
(Mahmoud et al., 2010).
Kebijakan pemerintah terhadap pangan asal hewan dalam bentuk pengawasan dan
pembinaan terhadap keamanan produk daging, susu dan telur terus ditingkatkan. Dalam
pelaksanan operasionalnya pemberian sertifikat nomor kontrol veteriner kepada unit usaha
pangan asal hewan, penerapan Good Farming Practise (GFP) dan Hazard Analysis Critical
Control Point (HACCP), program monitoring dan surveillance residu serta pengembangan
pengawas kesmavet. Sistem HACCP merupakan sistem jaminan yang berdasarkan pada
kesadaran dan perhatian bahwa bahaya dapat timbul pada berbagai titik atau tahapan produksi,
akan tetapi dapat dilakukan pengendalian pencegahan bahaya-bahaya tersebut. Menurut Bahri et
al. (2015) keamanan pangan berkaitan erat dengan rantai penyediaan pangan terutama proses pra
produksi. Faktor pakan, penyakit hewan dan penggunaan obat hewan memegang peran penting.
Untuk itu penerapan HACCP pada setiap mata rantai penyediaan pangan asal hewan akan dapat
menjamin produk yang dihasilkan. Tuntutan konsumen terhadap pangan asal hewan yang sehat,
aman dan terbebas dari residu antibiotika semakin meningkat. Upaya yang dilakukan untuk
29
menghilangkan residu antibiotika antara lain penggunaan alternatif pengganti antibiotika seperti
probiotik dan prebiotik, imunomodulator, asam-asam organik, minyak essential, herbal dan
enzim.
30
5. PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan di atas, kesimpulan yang dapat ditarik dalam penelitian
ini ialah hati ayam pedaging (broiler) yang diambil dari empar pasar tradisional di kota Makassar
tidak mengandung residu antibiotika.
5.2 Saran
Berdasarkan hasi peneletian yang sudah di laksanakan, maka diajukan beberapa saran. Perlu
dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai residu antibiotika yang dilakukan pada musim hujan
serta lebih intensifnya sosialisasi tentang keamanan pangan produk pascapanen bidang
peternakan kepada konsumen.
31
DAFTAR PUSTAKA
Adam R. 2012. Veterinary Pharmacology and Therapeutics. IOWA State University Press/Ames.
USA.
Andriyanto. 2010. Pengaruh penambahan bio adenosin triphospat terhadap profil kinetik dan
efektivitas enrofloksasin dalam mengatasi Coxiella burneti [tesis]. Bogor (ID): Institut
Pertanian Bogor.
Anggorodi, R. 2014. Ilmu Makanan Ternak Umum. PT. Gramedia. Jakarta.
Anief M. 2013. Farmasetika. Penerbit Gajah Mada University.Yogyakarta. Anthony T. 2017. Food Poisoning. Departement of Biochemistry Colorado Estate University.
New York.
Bahri S, Masbulan E dan Kusumaningsih A. 2015. Proses Praproduksi sebagai Faktor Penting
dalam Menghasilkan Produk Ternak yang Aman untuk Manusia. Jurnal Litbang Pertanian
24 (1).
Barber DA, Miller GY, McS Namara PE. 2013. Models of Antimicrobial Resistance and
Foodborne Illness: Examining Assumption and Practical Applications. J. Food Prot.
66(4):700-709.
Benzoen A, Haren WV, Hanekamp JC. 2010. Emergence of a Debate : AGPs and Public Health.
Heidelberg Appleal Nederland Foundation. Amsterdam. Pp:1-49, 110-153.
http://Cmr.asm.org/ [Maret, 2017].
Butaye P, Devriese A, Haesebrouck F. 2013. Antimicrobial Growth Promotors Used in Animal
Feed: Effects of Less Well Known Antibiotics on Gram- Positive Bacteria. Clinical
Microbiology Reviews. 16(2):175-188.
Chalker AF, Ingraham KA, Lunsford RD, Bryant AP, Bryant J, Wallis NG, Broskey JP, Perason
SC, Holmes DJ. 2010. The Gene, Which Determines Bacitracin Susceptibility in
Streptocccus pneumonie and Staphylococcus aureus, is also Required for Virulence.
Microbiology. 146:1547-1553.
Charles LH, David GW, John JM, Cesar M, Christine L, Charlene H. 2011. Characterization of
Antibiotic-Resistant Bacteria in Rendered Animal Products. Avian Diseases. 45:953-961.
Campbell. 2016. Biologi Edisi Kelima Jilid 2. Erlangga.hlm: 108. Jakarta (ID).
Crawford L dan Franco DA. 2014. Animal Drug and Human Health. Technomic Publishing Co.
Inc. USA.
[Distannak]Dinas Pertanian dan Peternakan. 2016. Laporan Tahunan 2006 Distannak Kabupaten
Tangerang.
Doyle ME. 2015. Veterinary Drug Residues in Processed Meats – Potential Health
Risk.University of Wisconsin-Madison.http://wisc/edu/fri/ [Desember, 2016].
Focosi D. 2015. Antimicrobial for Bacteria. http://focosi.altervista.org/ [Desember, 2016].
Hermawati D. 2017. Tesis Residu Antibiotik Dalam Ayam Pedaging Yang Diberi Dosis
Spiramisina. Program Pasca Sarjana IPB. Bogor
Jawetz, E., J.L. Melnick, and E.A. Adelberg. 2010. Review of medical microbiology. Lange
Medical Publications. Los Altos. California.
Jawetz E, Melnick JL, Adelberg EA. 2016. Mikrobiologi. Edisi XVI. EGC Penerbit Buku
Kedokteran. Jakarta.
[Indeks Obat Hewan Indonesia] IOHI.2015. Indeks Obat Hewan Indonesia. Assosiasi Obat
Hewan Indonesia dan Ditjen Bina Produksi Peternakan. Jakarta.
32
Jelena P, Baltic M, Cupic V, Stefanovic S, Dragica S. 2016. Residues of enrofloxacin and its
metabolite ciprofloxacin in broiler chicken. Acta Vet (Beograd). 56:497-506. Kartasudjana R dan Suprijatna E. 2016. Manajemen Ternak Unggas. Penebar Swadaya. Jakarta.
Kusumaningsih A. 2017. Disertasi Profil dan Gen Resistensi Antimikroba Salmonella enteritidis
Asal Ayam, Telur dan Manusia. Program Pasca Sarjana IPB. Bogor.
Lukman, DW. 2014. Periode Residu Doksisiklin pada Daging dan Jeroan Broiler serta Pengaruh
Pemanasan terhadap Kandungan Residunya. Program Pasca Sarjana IPB. Bogor.
Mahmoud, K.Z., , S. M. Gharaibeh, Hana A. Zakaria and Amer M. Qatramiz, 2010. Garlic
(Allium sativum) Supplementation: Influence on Egg Production, Quality, and Yolk
Cholesterol Level in Layer Hens. Asian-Aust. J. Anim. Sci. 23, 1503 – 1509.
Mazell D dan Davies J. 2010. Antibiotic Resistance in Microbes. Cell.Mol Life Sci.
Murdiati TB. 2017. Pemakaian antibiotik dalam usaha peternakan. Wartazoa.6:18-21. Mutchler E. 2010. Dinamika Obat. Buku Ajar Farmakologi dan Toksikologi Edisi Ke-5. Penerbit
ITB. Bandung.
Naim R. 2012. Antibiotik dan Resistensi Mikroba. Pasca Sarjana IPB. Bogor.
Nathasa, F. 2017. “Pemberian Estrogen Menghambat Proses Penuaan Ovarium Pada
Mencit”(tesis). Denpasar: Universitas Udayana.
Nhiem DV. 2015. Analysis of Tetracycline Residues in Marketed Pork in Hanoi, Vietnam.
Master of Science in Veterinary Public Health. Chiang Mai University and Freie University
Berlin.
Peter TL, Fulton RM, Roberson DK Dan Orth MW. 2012. Effect Of Antibiotics On In Vitro And
In Vivo Avian Cartilage Degradation. Avian Diseases 46:75-86.
Phillips I, Casewell M, Cox T, Groot B, Friis C, Jones R, Nightingale C, Preston R and Waddell
J. 2014. Does the Use of Antibiotics in Food Animals Pose A Risk to Human Health.
Journal Of Antimicrobial Chemotherapy. 53;28-52. http://www.oxfordjournals.org/faq
[Desember, 2016].
[PIC] Poultry Industry Council. 2016. Water Medications. Compendium Article Series.
http://poultryindustrycouncil/ [Desember, 2016].
Prescott JF, Baggot JD. 2017. Antimicrobial Therapy in Veterinary Medicine. IOWA State
University Press/Ames. USA.
Purvis A. 2013. Meat Bacteria Can Breed Deadly Superbugs In Humans. http://www.rense.com/
[Maret, 2017].
Revolledo L, Ferreira AJP, Mead GC. 2016. Prospects in Salmonella Control:Competitive
Exclusion, Probiotics, and Enhancement of Avian Intestinal Immunity. J. Appl. Poult.
Sanjaya, A.W. 2016. Bahan dan antibiotika di dalam susu. Makalah disampaikan pada Kursus
singkat pengendalian mutu dalam industry susu, tanggal 22 April sampai 3 Mei 2016 di
Faklutas Kedokteran Hewan IPB, Bogor.
Salyers AA, Whitt DD. 2015. Bacterial Pathogenesis A Molecular. Apprwoach. ASM. Press.
Wassington DC.
[SNI] Standard Nasional Indonesia. 2000. Batas Maksimum Cemaran Mikroba Dan Batas
Maksimum Residu Dalam Bahan Makanan Asal Hewan. SNI 01- 6366-2000. Dewan
Standardisasi Nasional.
Sari, R. W. 2013. Pengaruh Pemberian Gerusan Daun Sirih Hitam, Gerusan
Daun Sirih Jawa dan Oksitetrasiklin Secara Topikal Terhadap Lama dan
Waktu Kesembuhan Luka Infeksi Staphylococcus aureus pada Tikus Putih
(Skripsi). Fakultas Kedokteran Hewan. Universitas Airlangga. Surabaya.
33
Steele, J.H. dan G.W. Beran. 2014. Perspectives in the Uses of antibiotic and Sulfonamides in
Handbook Series in Zoonoses. C.R.C. Press, Inc. Boca Raton, Florida.
Von Borell, E.H. 2011. The biology of stress and its application to livestock housing and
transportation assessment. J. Anim Sci. 79, E260-E267.
WHO. 2017. Antibiotic Usage and Antimicrobial Resistance in Indonesia. Airlangga University
Press. Surabaya.
Youssef MH, Cuollo CJ, Free SM, Scott GC. 2013. The Influence of a Feed Additive Level of
Virginiamycin on The Course of an Experimentally Induced Salmonella typhimurium
Infection in Broilers. Poult. Sci. 62:30-37.
34
LAMPIRAN
PENGOLAHAN SAMPEL
Menghitung berat sampel hati ayam 10 gram
Sampel hati ayam yang sudah ditimbang
35
Sampel hati ayam digerus
Sampel hati ayam setelah digerus
Sampel hati ayam 10 gram ditambahkan air suling steril 20 ml
36
Sampel hati ayam dan air suling steril dihomogenkan menggunakan vortex shaker
PEMBUATAN MEDIA MHA
MHA ditimbang 7,8 gram
MHA dimasukkan ke dalam tabung erlemeyer
37
MHA dicampurkan air suling steril lalu setelahnya ditutup alumunium foil
MHA dituang kedalam cawan petri besar
SKRINING RESIDU ANTIBIOTIKA PADA HATI AYAM POTONG
Pengambilan koloni bakteri uji
38
Proses Swab bakteri uji ke MHA
Blank disk ditiriskan sebelum di masukkan ke dalam cawan petri besar
Setelah 24 jam pengukuran zona hambat menggunakan kaliper/jangka sorong.