Newsletter Edisi 7, Oktober 2014

36
THE EQUA- TOR Edisi 7, Oktober 2014 Terbitan triwulan | GRATIS NEWSLETTER YAYASAN BIENNALE YOGYAKARTA Terbit sejak Juni 2013 ORANG DAN ORANG BANYAK ORANG DAN ORANG BANYAK EDISI KHUSUS SIMPOSIUM KHATULISTIWA

description

ORANG DAN ORANG BANYAK

Transcript of Newsletter Edisi 7, Oktober 2014

Page 1: Newsletter Edisi 7, Oktober 2014

THEEQUA-TOREdisi 7, Oktober 2014Terbitan triwulan | GRATIS

NEWSLETTERYAYASAN BIENNALE YOGYAKARTA

Terbit sejak Juni 2013

ORANG DAN ORANG BANYAKORANG DAN ORANG BANYAK

EDISI KHUSUSSIMPOSIUM KHATULISTIWA

Page 2: Newsletter Edisi 7, Oktober 2014

PENGANTAR REDAKSI

2 3

Pembaca yang budiman,

Edisi ini mungkin tiba sebulan lebih cepat. Demi menyambut Simposium Khatulistiwa I yang akan dilaksanakan pada17 dan 18 November 2014 yang akan datang, edisi ke-7 ini sengaja dihadirkan lebih awal. Di edisi sebelumnya, Newsletter The Equator membicarakan soal seni dan politik di kawasan Afrika (khususnya Nigeria) dalam konteks kajian pascakolonial. Isu yang dibahas tersebut berkepentingan memberi terang gagasan tentang praktik seni di kawasan Afrika. Pada edisi ini, kita tidak akan memulai dengan satu sudut pandang yang sama dalam membaca masalah. Redaksi The Equator memberi kebebasan pada para penulis untuk mengeksplorasi berbagai isu tentang praktik/estetika maupun sosiologi seni di Nigeria. Adapun informasi utama yang hendak kami suarakan lewat edisi ini adalah Simposium Khatulistiwa yang pertama.

Simposium Khatulistiwa dirancang sebagai ruang yang mempertemukan berbagai pihak; pemikir, akademisi, praktisi, peneliti bidang seni rupa dan kebudayaan secara umum. Forum berskala internasional ini akan menjadi ajang percakapan kritis dan pertukaran pengetahuan tentang praktik seni rupa kontemporer. Lebih dari itu, pagelaran ini juga akan mengembangkan jaringan baik perorangan maupun lembaga serta mendorong keterlibatan berbagai pihak di Indonesia ke dalam sebuah forum internasional. Karena itu, sebagai pemantik menjelang pagelaran itu, kami akan menyajikan informasi-informasi khusus tentang simposium ini di bagian awal edisi ini.

Selain menyuguhkan informasi tentang Simposium Khatulistiwa, edisi ini juga akan menyuguhkan beberapa tulisan tentang seni rupa kontemporer di Indonesia dan Afrika. Untuk itu, di edisi ini kami mengundang beberapa penulis, di antaranya Alia Swastika, Lucia Dianawuri, dan Ignatia Nilu. Alia Swatika secara kritis menggugat eksotisme praktik seni rupa di kawasan Afrika. Lewat tulisannya, Alia juga menunjukkan potensi kawula seni lain di Nigeria yang semestinya bisa dibicarakan dalam skala lebih luas. Adapun Lucia Dianawuri mengkaji praktik artistik seorang fotografer Nigeria yang dia anggap sangat jujur dalam menunjukkan kenyataan sosialnya. Berbeda dengan Alia dan Lucia, Ignatia Nilu mencoba melihat potensi praktik artistik seni kontemporer di Indonesia tetapi tetap coba ia tautkan dengan isu Nigeria. Seni dalam penjara adalah kredo yang coba disuarakan Nilu.

Sebagai tambahan, kami turut menyertakan sebuah tulisan tentang laporan singkat perjalanan tim Yayasan Biennale Yogyakarta di Nigeria. Perjalan singkat berdurasi tujuh hari itu memberi sedikit gambaran yang lebih nyata tentang kondisi sosial, politik, ekonomi, budaya, dan yang paling utama, praktik artistik seni rupa kontemporer di Nigeria.

Pada akhirnya kami berharap apa yang disuguhkan di edisi ke-7 bisa lebih bermanfaat. Kami percaya, para penulis di edisi ini telah berupaya keras untuk menyuarakan gagasan dan pembacaan kritisnya dalam merespon berbagai isu. Maka dari itu, sangat patut bagi kita untuk meresponnya secara kritis sebagai bentuk penghormatan kita pada upaya keras mereka. Semoga bermanfaat!

Salam Hangat,

Seri Relief Patung

Foto oleh Arief

The Equator merupakan newsletter berkala setiap tiga bulan diterbitkan Yayasan Biennale Yogyakarta. Newsletter ini dapat diakses secara online pada situs:www.biennalejogja.org.

Redaksi The Equator menerima kontribusi tulisan dari segala pihak sepanjang 800 - 1000 kata dengan tema terkait isu Nusantara Khatulistiwa.Tulisan dapat dikirim via e-mail ke:[email protected] kompensasi untuk tulisan yang diterbitkan.

Tentang Yayasan Biennale YogyakartaMisi Yayasan Biennale Yogyakarta (YBY)adalah:Menginisiasi dan memfasilitasi berbagai upaya mendapatkan konsep strategis perencanaan kota yang berbasis seni-budaya, penyempurnaan blue print kultural kota masa depan sebagai ruang hidup bersama yang adil dan demokratis. Berdiri pada 23 Agustus 2010.

Alamat: Taman Budaya YogyakartaJl. Sri Wedani No.1 Yogyakarta

Telp: +62 274 587712E-mail: [email protected].

Oktober 2014, 1500 exp

Penanggung jawab: Yustina YeniRedaktur Pelaksana: Arham RahmanKontributor: Enin Supriyanto, Elly Kent, Arham Rahman, Lucia Dianawuri, Ignatia Nilu, Alia SwastikaFotografi: Yustina Neni, Arham RahmanDesainer: Yohana T.

Outlet PenyebaranJakarta: Ruangrupa, Goethe Institut, Komunitas Salihara, dia.lo.gue, Kedai TjikiniBandung: Selasar Sunaryo Art Space, Galeri Soemardja, TobucilJawa Barat: Roni, Jl. RA. Natamanggala, Perum Bukit Rantau Indah C27 Kademangan Pasir Halang Kec. Mande Kab. CianjurYogyakarta: IVAA, Kedai Kebun, IFI, Cemeti Art House, Via Via Cafe, LKiS, Sangkring Art Space, Ark Gallerie, Ruang Kelas SD, Warung Lidah Ibu, FSR ISI, Jogja Contemporary, PKKH UGMSemarang: Kolektif HysteriaSurabaya: C2OKediri: RUPAKATADATA Jokosaw KoentonoJl. WR. Supratman No.34 Kediri Jawa TimurDenpasar: Kopi KulturMakasar: Rumata Artspace

Dukungan untuk Yayasan Biennale Yogyakarta dikirim ke:

Yayasan Biennale Yogyakarta BNI 46 YogyakartaNo.rek: 224 031 615

Yayasan Biennale Yogyakarta BCA YogyakartaNo.rek: 0373 0307 72

NPWP: 03.041.255.5-541.000

Atas:Tim YBY bersama Bapak Kukuh D. Djayadi, Sekretaris II untuk

urusan ekonomi KBRI Nigeria dan para pejabat National Council for Arts and Culture Nigeria di Abuja

Bawah:Ruang presentasi di Center for Contemporary Art Lagos

Page 3: Newsletter Edisi 7, Oktober 2014

PENGANTAR REDAKSI

2 3

Pembaca yang budiman,

Edisi ini mungkin tiba sebulan lebih cepat. Demi menyambut Simposium Khatulistiwa I yang akan dilaksanakan pada17 dan 18 November 2014 yang akan datang, edisi ke-7 ini sengaja dihadirkan lebih awal. Di edisi sebelumnya, Newsletter The Equator membicarakan soal seni dan politik di kawasan Afrika (khususnya Nigeria) dalam konteks kajian pascakolonial. Isu yang dibahas tersebut berkepentingan memberi terang gagasan tentang praktik seni di kawasan Afrika. Pada edisi ini, kita tidak akan memulai dengan satu sudut pandang yang sama dalam membaca masalah. Redaksi The Equator memberi kebebasan pada para penulis untuk mengeksplorasi berbagai isu tentang praktik/estetika maupun sosiologi seni di Nigeria. Adapun informasi utama yang hendak kami suarakan lewat edisi ini adalah Simposium Khatulistiwa yang pertama.

Simposium Khatulistiwa dirancang sebagai ruang yang mempertemukan berbagai pihak; pemikir, akademisi, praktisi, peneliti bidang seni rupa dan kebudayaan secara umum. Forum berskala internasional ini akan menjadi ajang percakapan kritis dan pertukaran pengetahuan tentang praktik seni rupa kontemporer. Lebih dari itu, pagelaran ini juga akan mengembangkan jaringan baik perorangan maupun lembaga serta mendorong keterlibatan berbagai pihak di Indonesia ke dalam sebuah forum internasional. Karena itu, sebagai pemantik menjelang pagelaran itu, kami akan menyajikan informasi-informasi khusus tentang simposium ini di bagian awal edisi ini.

Selain menyuguhkan informasi tentang Simposium Khatulistiwa, edisi ini juga akan menyuguhkan beberapa tulisan tentang seni rupa kontemporer di Indonesia dan Afrika. Untuk itu, di edisi ini kami mengundang beberapa penulis, di antaranya Alia Swastika, Lucia Dianawuri, dan Ignatia Nilu. Alia Swatika secara kritis menggugat eksotisme praktik seni rupa di kawasan Afrika. Lewat tulisannya, Alia juga menunjukkan potensi kawula seni lain di Nigeria yang semestinya bisa dibicarakan dalam skala lebih luas. Adapun Lucia Dianawuri mengkaji praktik artistik seorang fotografer Nigeria yang dia anggap sangat jujur dalam menunjukkan kenyataan sosialnya. Berbeda dengan Alia dan Lucia, Ignatia Nilu mencoba melihat potensi praktik artistik seni kontemporer di Indonesia tetapi tetap coba ia tautkan dengan isu Nigeria. Seni dalam penjara adalah kredo yang coba disuarakan Nilu.

Sebagai tambahan, kami turut menyertakan sebuah tulisan tentang laporan singkat perjalanan tim Yayasan Biennale Yogyakarta di Nigeria. Perjalan singkat berdurasi tujuh hari itu memberi sedikit gambaran yang lebih nyata tentang kondisi sosial, politik, ekonomi, budaya, dan yang paling utama, praktik artistik seni rupa kontemporer di Nigeria.

Pada akhirnya kami berharap apa yang disuguhkan di edisi ke-7 bisa lebih bermanfaat. Kami percaya, para penulis di edisi ini telah berupaya keras untuk menyuarakan gagasan dan pembacaan kritisnya dalam merespon berbagai isu. Maka dari itu, sangat patut bagi kita untuk meresponnya secara kritis sebagai bentuk penghormatan kita pada upaya keras mereka. Semoga bermanfaat!

Salam Hangat,

Seri Relief Patung

Foto oleh Arief

The Equator merupakan newsletter berkala setiap tiga bulan diterbitkan Yayasan Biennale Yogyakarta. Newsletter ini dapat diakses secara online pada situs:www.biennalejogja.org.

Redaksi The Equator menerima kontribusi tulisan dari segala pihak sepanjang 800 - 1000 kata dengan tema terkait isu Nusantara Khatulistiwa.Tulisan dapat dikirim via e-mail ke:[email protected] kompensasi untuk tulisan yang diterbitkan.

Tentang Yayasan Biennale YogyakartaMisi Yayasan Biennale Yogyakarta (YBY)adalah:Menginisiasi dan memfasilitasi berbagai upaya mendapatkan konsep strategis perencanaan kota yang berbasis seni-budaya, penyempurnaan blue print kultural kota masa depan sebagai ruang hidup bersama yang adil dan demokratis. Berdiri pada 23 Agustus 2010.

Alamat: Taman Budaya YogyakartaJl. Sri Wedani No.1 Yogyakarta

Telp: +62 274 587712E-mail: [email protected].

Oktober 2014, 1500 exp

Penanggung jawab: Yustina YeniRedaktur Pelaksana: Arham RahmanKontributor: Enin Supriyanto, Elly Kent, Arham Rahman, Lucia Dianawuri, Ignatia Nilu, Alia SwastikaFotografi: Yustina Neni, Arham RahmanDesainer: Yohana T.

Outlet PenyebaranJakarta: Ruangrupa, Goethe Institut, Komunitas Salihara, dia.lo.gue, Kedai TjikiniBandung: Selasar Sunaryo Art Space, Galeri Soemardja, TobucilJawa Barat: Roni, Jl. RA. Natamanggala, Perum Bukit Rantau Indah C27 Kademangan Pasir Halang Kec. Mande Kab. CianjurYogyakarta: IVAA, Kedai Kebun, IFI, Cemeti Art House, Via Via Cafe, LKiS, Sangkring Art Space, Ark Gallerie, Ruang Kelas SD, Warung Lidah Ibu, FSR ISI, Jogja Contemporary, PKKH UGMSemarang: Kolektif HysteriaSurabaya: C2OKediri: RUPAKATADATA Jokosaw KoentonoJl. WR. Supratman No.34 Kediri Jawa TimurDenpasar: Kopi KulturMakasar: Rumata Artspace

Dukungan untuk Yayasan Biennale Yogyakarta dikirim ke:

Yayasan Biennale Yogyakarta BNI 46 YogyakartaNo.rek: 224 031 615

Yayasan Biennale Yogyakarta BCA YogyakartaNo.rek: 0373 0307 72

NPWP: 03.041.255.5-541.000

Atas:Tim YBY bersama Bapak Kukuh D. Djayadi, Sekretaris II untuk

urusan ekonomi KBRI Nigeria dan para pejabat National Council for Arts and Culture Nigeria di Abuja

Bawah:Ruang presentasi di Center for Contemporary Art Lagos

Page 4: Newsletter Edisi 7, Oktober 2014

4

Biennale Jogja mencoba untuk memandang ke depan, mengembangkan perspektif baru yang sekaligus juga membuka diri untuk melakukan konfrontasi atas 'kemapanan' ataupun konvensi atas event sejenis.

Wacana seni kontemporer sangatlah dinamis, namun dikotomi sentral/pusat dan periferi/pinggiran agaknya masih sangat nyata. Ada kebutuhan untuk mencari peluang baru dalam memberikan makna lebih atas event ini. Diangankan untuk mereka suatu common platform yang sekaligus mampu memberikan provokasi atas munculnya berbagai keragaman dalam perspektif untuk menghadirkan alternatif-alternatif baru atas wacana yang hegemonik.

– Yayasan Biennale Yogyakarta (YBY)

Simposium Khatulistiwa dan Biennale Jogja merupakan dua komponen program Yayasan Biennale Yogyakarta (YBY) yang tidak bisa dikurangi nilainya atau diperbandingkan. Pada pehelatannya, Biennale Jogja seri khatulistiwa ini selalu bekerja dengan sedikit negara dan pada kesempatan berikutnya akan selalu meninggalkan mitra sebelumnya sehingga kesempatan mengembangkan pemikiran bersama menjadi berkurang, kalau bukan hilang sama sekali. Oleh karena pola kerja ini juga, Biennale Jogja akan selalu kehilangan kesempatan untuk berdialog dengan pemikiran-pemikiran jenius dari individu-individu lain di luar negara mitranya.

Simposium Khatulistiwa ingin menjadi penghubung antara sebanyak mungkin jenius lokal dari seputar khatulistiwa. Hal-hal kecil yang terjadi di sana-sini yang menjadi pemicu untuk beragam perubahan perlu dikumpulkan dan disuarakan keberadaannya untuk terus menyegarkan pikiran kita dan terus menginspirasi kita. Kecerdikan mereka menghadapi kerumitan masing-masing negara di sepanjang khatulistiwa adalah apa yang menjadi ketertarikan Simposium Khatulistiwa. Kami percaya bahwa bersama kita bisa memberi dunia alasan untuk berubah! Melalui Simposium Khatulistiwa, YBY memosisikan diri sebagai agen penghubung dan juga titik penyebaran untuk ide-ide terkini, perkembangan, dan pertumbuhan dari seluruh negara-negara di wilayah khatulistwa. Apapun yang berhubungan dengan pembuatan wacara di seputar khatulistiwa terbuka untuk dinegosiasikan.

Simposium Khatulistiwa menyandarkan semangat penyelenggaraannya pada pidato presiden RI pertama Ir. Sukarno ketika membuka Konferensi Asia-Afrika, 18 April 1955, “Apa yang dapat kita

LATAR PEMIKIRANSIMPOSIUM

KHATULISTIWAEnin Supriyanto (Kepala Proyek Simposium Khatulistiwa)

5

lakukan? Kita bisa melakukan banyak hal! Kita memahami persoalan kita hari ini, dan juga bisa menyuntikkan berbagai alasan ke urusan- tantangan-tantangannya. Upaya ini akan dapat urusan dunia. Kita bisa menggerakan segala memberi sejumlah bekal bagi kita untuk kekuatan spiritual, moral, dan politis Asia dan memasuki wilayah persoalan dan tantangan Afrika untuk kedamaian!” Apa yang yang segera akan dihadapi juga oleh BJ jika berlangsung di Indonesia pascareformasi ini sungguh-sungguh ingin menjalankan agenda seringkali kami sederhanakan sebagai “defisit politiknya di medan seni rupa kontemporer perubahan” (meminjam istilah dari Dr. ST global.Sunardi). Untuk itu, kami merasa perlu

Sejumlah catatan penting tentang KAA dapat menginspirasi diri kami sendiri, orang-orang di memberikan gambaran pada kita mengenai sekitar kami, dan juga masyarakat Indonesia pemikiran yang pernah berkembang di negara-secara umum bahwa kita bisa berubah. Kita negara Asia–Afrika saat para pemimpin dan bisa melakukan perubahan.intelektualnya mulai sungguh-sungguh

Yang menarik dari penjelasan resmi YBY tadi memikirkan posisi dan sikap mereka adalah bahwa tidak ada bagian yang secara berhadapan dengan imperium yang menata langsung menyinggung kenyataan bahwa dan menguasai hirarki hubungan negara-secara “kebetulan” sesungguhnya pilihan bangsa setelah berakhirnya kolonialisme, wilayah dan agenda politis tadi menggemakan seusai Perang Dunia II, dan menjelang persoalan-persoalan sosial-politik-kebudayaan ketegangan global Perang Dingin. Dalam yang pernah membawa Indonesia sampai konteks sejarah yang khusus inilah kita bisa pada posisi penting dalam peta pergaulan memahami mengapa Soekarno, Presiden antarbangsa, sekaligus suatu prestasi khusus Indonesia ketika itu, dalam pidato dalam perjalanan sejarah Indonesia modern. sambutannya berani dengan lantang mendaku Inisiatif dan agenda kerja YBY adalah juga bahwa KAA adalah “konferensi antarbenua gaung yang terdengar di masa lalu, dari suatu yang pertama dari bangsa-bangsa kulit peristiwa pertemuan “bangsa-bangsa di sabuk berwarna sepanjang sejarah umat manusia!” Khatulistiwa”, di pertengahan abad ke-20, [3]dengan Indonesia sebagai salah satu inisiator utama, sekaligus penyelenggara dan tuan Sementara Richard Wright (1908-1960) rumah. —penulis/jurnalis/aktivis gerakan sipil kulit

hitam AS yang kemudian pindah ke Paris dan Risalah ringkas ini justeru akan memanfaatkan jadi warga Perancis—demikian bersemangat “kebetulan” tadi. Kebetulan yang saya maksud datang ke Bandung atas inisiatif dan biaya adalah: Negara-negara yang ada dalam wilayah sendiri hanya untuk menyaksikan langsung sabuk Khatulistiwa—antara 23.27° LU dan peristiwa KAA.[4] 23.27° LS, adalah bagian terbesar dari 29 negara (baru merdeka, bekas wilayah jajahan “Dari hari ke hari kerumunan orang berdiri di kolonialis Barat) peserta Konferensi Asia-Afrika bawah terik matahari tropis, memandang, (KAA), Bandung, 1955.[1] Lebih jauh lagi, jika menyimak, bersorak; ini kali pertama dalam kita terima bahwa Gerakan Negara-negara pengalaman hidup mereka yang terhinakan Non-Blok (GNB) adalah kelanjutan dari KAA, mereka menyaksikan orang-orang hebat dari maka hampir semua negara yang sudah dan bangsa, ras dan warna kulit yang serupa akan jadi rekanan BJ adalah juga adalah dengan mereka tampil berkuasa, bangsa anggota GNB.[2]Saya beranggapan bahwa mereka sendiri mengatur ketertiban, Asia dan pelajaran dari—dan refleksi terhadap—KAA Afrika mereka yang sedang mengatur dapat memberi bekal pada kita untuk lebih nasibnya sendiri.”[5]

Page 5: Newsletter Edisi 7, Oktober 2014

4

Biennale Jogja mencoba untuk memandang ke depan, mengembangkan perspektif baru yang sekaligus juga membuka diri untuk melakukan konfrontasi atas 'kemapanan' ataupun konvensi atas event sejenis.

Wacana seni kontemporer sangatlah dinamis, namun dikotomi sentral/pusat dan periferi/pinggiran agaknya masih sangat nyata. Ada kebutuhan untuk mencari peluang baru dalam memberikan makna lebih atas event ini. Diangankan untuk mereka suatu common platform yang sekaligus mampu memberikan provokasi atas munculnya berbagai keragaman dalam perspektif untuk menghadirkan alternatif-alternatif baru atas wacana yang hegemonik.

– Yayasan Biennale Yogyakarta (YBY)

Simposium Khatulistiwa dan Biennale Jogja merupakan dua komponen program Yayasan Biennale Yogyakarta (YBY) yang tidak bisa dikurangi nilainya atau diperbandingkan. Pada pehelatannya, Biennale Jogja seri khatulistiwa ini selalu bekerja dengan sedikit negara dan pada kesempatan berikutnya akan selalu meninggalkan mitra sebelumnya sehingga kesempatan mengembangkan pemikiran bersama menjadi berkurang, kalau bukan hilang sama sekali. Oleh karena pola kerja ini juga, Biennale Jogja akan selalu kehilangan kesempatan untuk berdialog dengan pemikiran-pemikiran jenius dari individu-individu lain di luar negara mitranya.

Simposium Khatulistiwa ingin menjadi penghubung antara sebanyak mungkin jenius lokal dari seputar khatulistiwa. Hal-hal kecil yang terjadi di sana-sini yang menjadi pemicu untuk beragam perubahan perlu dikumpulkan dan disuarakan keberadaannya untuk terus menyegarkan pikiran kita dan terus menginspirasi kita. Kecerdikan mereka menghadapi kerumitan masing-masing negara di sepanjang khatulistiwa adalah apa yang menjadi ketertarikan Simposium Khatulistiwa. Kami percaya bahwa bersama kita bisa memberi dunia alasan untuk berubah! Melalui Simposium Khatulistiwa, YBY memosisikan diri sebagai agen penghubung dan juga titik penyebaran untuk ide-ide terkini, perkembangan, dan pertumbuhan dari seluruh negara-negara di wilayah khatulistwa. Apapun yang berhubungan dengan pembuatan wacara di seputar khatulistiwa terbuka untuk dinegosiasikan.

Simposium Khatulistiwa menyandarkan semangat penyelenggaraannya pada pidato presiden RI pertama Ir. Sukarno ketika membuka Konferensi Asia-Afrika, 18 April 1955, “Apa yang dapat kita

LATAR PEMIKIRANSIMPOSIUM

KHATULISTIWAEnin Supriyanto (Kepala Proyek Simposium Khatulistiwa)

5

lakukan? Kita bisa melakukan banyak hal! Kita memahami persoalan kita hari ini, dan juga bisa menyuntikkan berbagai alasan ke urusan- tantangan-tantangannya. Upaya ini akan dapat urusan dunia. Kita bisa menggerakan segala memberi sejumlah bekal bagi kita untuk kekuatan spiritual, moral, dan politis Asia dan memasuki wilayah persoalan dan tantangan Afrika untuk kedamaian!” Apa yang yang segera akan dihadapi juga oleh BJ jika berlangsung di Indonesia pascareformasi ini sungguh-sungguh ingin menjalankan agenda seringkali kami sederhanakan sebagai “defisit politiknya di medan seni rupa kontemporer perubahan” (meminjam istilah dari Dr. ST global.Sunardi). Untuk itu, kami merasa perlu

Sejumlah catatan penting tentang KAA dapat menginspirasi diri kami sendiri, orang-orang di memberikan gambaran pada kita mengenai sekitar kami, dan juga masyarakat Indonesia pemikiran yang pernah berkembang di negara-secara umum bahwa kita bisa berubah. Kita negara Asia–Afrika saat para pemimpin dan bisa melakukan perubahan.intelektualnya mulai sungguh-sungguh

Yang menarik dari penjelasan resmi YBY tadi memikirkan posisi dan sikap mereka adalah bahwa tidak ada bagian yang secara berhadapan dengan imperium yang menata langsung menyinggung kenyataan bahwa dan menguasai hirarki hubungan negara-secara “kebetulan” sesungguhnya pilihan bangsa setelah berakhirnya kolonialisme, wilayah dan agenda politis tadi menggemakan seusai Perang Dunia II, dan menjelang persoalan-persoalan sosial-politik-kebudayaan ketegangan global Perang Dingin. Dalam yang pernah membawa Indonesia sampai konteks sejarah yang khusus inilah kita bisa pada posisi penting dalam peta pergaulan memahami mengapa Soekarno, Presiden antarbangsa, sekaligus suatu prestasi khusus Indonesia ketika itu, dalam pidato dalam perjalanan sejarah Indonesia modern. sambutannya berani dengan lantang mendaku Inisiatif dan agenda kerja YBY adalah juga bahwa KAA adalah “konferensi antarbenua gaung yang terdengar di masa lalu, dari suatu yang pertama dari bangsa-bangsa kulit peristiwa pertemuan “bangsa-bangsa di sabuk berwarna sepanjang sejarah umat manusia!” Khatulistiwa”, di pertengahan abad ke-20, [3]dengan Indonesia sebagai salah satu inisiator utama, sekaligus penyelenggara dan tuan Sementara Richard Wright (1908-1960) rumah. —penulis/jurnalis/aktivis gerakan sipil kulit

hitam AS yang kemudian pindah ke Paris dan Risalah ringkas ini justeru akan memanfaatkan jadi warga Perancis—demikian bersemangat “kebetulan” tadi. Kebetulan yang saya maksud datang ke Bandung atas inisiatif dan biaya adalah: Negara-negara yang ada dalam wilayah sendiri hanya untuk menyaksikan langsung sabuk Khatulistiwa—antara 23.27° LU dan peristiwa KAA.[4] 23.27° LS, adalah bagian terbesar dari 29 negara (baru merdeka, bekas wilayah jajahan “Dari hari ke hari kerumunan orang berdiri di kolonialis Barat) peserta Konferensi Asia-Afrika bawah terik matahari tropis, memandang, (KAA), Bandung, 1955.[1] Lebih jauh lagi, jika menyimak, bersorak; ini kali pertama dalam kita terima bahwa Gerakan Negara-negara pengalaman hidup mereka yang terhinakan Non-Blok (GNB) adalah kelanjutan dari KAA, mereka menyaksikan orang-orang hebat dari maka hampir semua negara yang sudah dan bangsa, ras dan warna kulit yang serupa akan jadi rekanan BJ adalah juga adalah dengan mereka tampil berkuasa, bangsa anggota GNB.[2]Saya beranggapan bahwa mereka sendiri mengatur ketertiban, Asia dan pelajaran dari—dan refleksi terhadap—KAA Afrika mereka yang sedang mengatur dapat memberi bekal pada kita untuk lebih nasibnya sendiri.”[5]

Page 6: Newsletter Edisi 7, Oktober 2014

YBY adalah apa yang disebut Wright sebagai mempertemukan Indonesia dengan negara-negara

'upaya mengatur nasibnya sendiri' karena ia (wilayah): India (2011), Negara-negara Arab (2013),

lahir dari kebutuhan sekumpulan praktisi seni Afrika (2015), Amerika Selatan (2017), Negara-

rupa kontemporer yang membutuhkan negara di Kepulauan Pasifik dan Australia (2019) –

sejumlah kesepakatan tertentu dalam Karena kekhasan cakupan wilayah ini, acara BJ tahun

penyelenggaraan Biennale Jogja agar ada 2019 juga disebut sebagai 'Bienal Laut' (Ocean

standar, sehingga bisa terus-menerus bisa Biennale), dan kemudian Asia Tenggara (2021).

dikembangkan dan dalam realitas macam itu Seluruh rangkaian acara ini kemudian akan diakhiri

jugalah kritik dapat hadir dengan masuk akal. dengan penyelenggaran Konferensi Equator di tahun

2022.Simposium Khatulistiwa adalah sebuah forum internasional yang dirancang sebagai arena [3] Sampai sampai tenggat naskah awal ini tersusun,

pertemuan ahli, pemikir, praktisi, peneliti dari saya belum mendapatkan naskah pidato dalam

berbagai bidang ilmu. Ini adalah acara untuk Bahasa Indonesia yang diterbitkan dalam buku:

berbagi informasi dan pengetahuan, bertukar Lahirkanlah Asia Baru dan Afrika Baru! Pidato P.J.M.

pikiran dan pendapat sebagai upaya Presiden Soekarno pada pembukaan Konferensi

membangun pemahaman kritis atas berbagai Asia-Afrika, tanggal 18 April 1955, (Terdjemahan dari

praktik seni rupa kontemporer dalam bahasa Ingris oleh Intojo), Kementerian Luar Negeri

kaitannya dengan dinamika sosial, budaya, dan Republik Indonesia, Jakarta, 1955. Untuk keperluan

politik di kawasan khatulistiwa. kali ini, saya gunakan terjemahan bebas ke Bahasa

Indonesia, berdasarkan naskah Bahasa Inggris yang Dengan ini, praktik dan wacana seni justeru banyak tersebar di sejumlah situs internet.kontemporer membutuhkan sebuah ruang Nasakah Bahasa Inggris: Let a New Asia and New

yang terbuka, inklusif dan siap akan beragam Africa Be Born, http://www.bandungspirit.org

studi kritis dari berbagai disiplin yang relevan. [4] Catatan dan ulasannya tentang KAA 1955 Simposium Khatulistiwa juga akan berfungsi langsung dipublikasikan di AS dalam bentuk buku sebagai upaya untuk mengembangkan jejaring kecil setahun setelah konferensi: Richard Wright, The antara berbagai perorangan dan lembaga yang Color Curtain, A Report on Bandung Conference, bisa mengaktivasikan peran para ahli dan World Publishing Company, N.Y., 1956. Dalam esai ini praktisi seni kontemporer Indonesia ke dalam saya merujuk pada terbitan baru, buku yang sebuah forum internasional.memuat 3 naskah sekaligus, yakni: Richard

Wright,Black Power, Three Books from Exile: Black ________________ Power; The Color Curtain; and White Man, Listen!,

Harper Perennial Modern Classics, N.Y., 2008.—pp. [1] 29 negara peserta KAA, Bandung 1955: 429-629.Afghanistan, Indonesia, Pakistan, Burma/Myanmar,

Iran, Filipina, Kamboja, Irak, Iran, Arab Saudi, Ceylon [5] Richard Wright, 2008, p. 536.(Sri Lanka), Jepang, Sudan, Republik Rakyat Cina,

Yordania, Suriah, Laos, Thailand, Mesir, Lebanon,

Turki, Ethiopia, Liberia, Vietnam (Utara), Vietnam

(Selatan), Pantai Emas (Gold Coast, sekarang Ghana),

Libya, India, Nepal, Yaman.

[2] Wilayah gerak Biennale Jogja seri Khatulistiwa

dibingkai dalam batas garis balik utara (tropic

23'27'') dan garis balik selatan (tropic 23'27''). YBY

6 7

Yayasan Biennale Yogyakarta (YBY) mengundang sejumlah pakar dan aktivis lintas disiplin dari dalam dan luar negeri untuk berbagi ilmu dan pengalamannya, selama 2 hari, pada 17 dan 18 November 2014 di Gedung Lengkung Sekolah Pascasarjana UGM Yogyakarta. Program-program yang telah disiapkan adalah: Forum A merupakan forum pertemuan akademisi, Forum B merupakan ruang bagi praktisi dari berbagai disiplin berbagi pengalaman berkegiatan bersama masyarakat, dan Forum C merupakan ruang pamer dokumentasi dan arsip para praktisi

FORUM A

1. Rudolf Mrazek (Profesor tamu, Northwestern University, Chicago, USA)2. Suka Hardjana (Musisi, Staff pengajar di Pascasarjana Sekolah Tinggi Seni Indonesia –

Surakarta, ID)3. Hilmar Farid (Peneliti, Staff pengajar di Univ. Indonesia, Jakarta, ID)4. Farah Wardani (Indonesian Visual Art Archive, ID)5. Rony Gunawan (Staff pengajar, Jur. Arsitektur, Univ. Kristen Petra, Surabaya, ID)6. Sazkia Noor Anggraini (Mahasiswa Pascasarjana ISI Yogyakarta, ID)7. Inyiak Ridwan Muzir (Peneliti, alumnus IRB Univ. Sanata Dharma, Yogyakarta, ID)8. Hariyadi (Staff pengajar, Univ. Jend. Soedirman, Purwokerto, ID)9. Hendra Himawan (Peneliti, alumnus Pascasarjana ISI Yogyakarta, ID)10. Stanislaus Yangni (Penulis, Alumnus Pascasarjana ISI Yogyakarta, ID)11. Chabib Duta Hapsoro (Kurator, mahasiswa S2 Seni Rupa ITB, Bandung, ID)12. Frans Ari Prasetya (Peneliti, alumnus S2 Arsitektur ITB, Bandung, ID) FORUM B 1. Suman Gopinath (Kurator, Bangalor, IN)2. Ade Darmawan (Seniman/ kurator, Ruang Rupa, Jakarta, ID)3. Mahardika Yudha (Peneliti, pembuat film, Forum Lenteng, Jakarta, ID)4. Yeah! & Bujangan Urban (Gardu House, Jakarta, ID)5. Archana Prasad (Jaaga, Bangalor, IN)6. Arief Yudi Rahman (Jatiwangi art Factory, ID)7. Pitra Hutomo (Indonesian Visual Art Archive, Yogyakarta, ID)8. Lawrence Liang (Peaking Duck, Bangalor, IN)9. Inyiak Ridwan Muzir (Peneliti, alumnus IRB Univ. Sanata Dharma, Yogyakarta, ID)10. Kathleen Azali (C2O, Surabaya, ID)11. Ardi Yunanto (Karbon Journal, Jakarta, ID)12. Dian Herdiany (Kampung Halaman, Yogyakarta, ID)13. Frans Ari Prasetya (Peneliti, alumnus S2 Arsitektur ITB, Bandung, ID)14. Lian Gogali (Sekolah Perempuan Mosintuwu, Poso, ID)15. Sustriana Saragih (Mahasiswa Magister Profesi Klinis, Univ. Gadjah Mada, Yogyakarta, ID)16. Yulius Pratomo (Staff pengajar, FEB Univ. Kristen Satya Wacana, Salatiga, ID)17. Bintang Chairul Putra (Peneliti lepas, mahasiswa Teknik Industri ITS, Surabaya, ID).

SIMPOSIUM KHATULISTIWA I

SIAPA AKAN BICARA

Page 7: Newsletter Edisi 7, Oktober 2014

YBY adalah apa yang disebut Wright sebagai mempertemukan Indonesia dengan negara-negara

'upaya mengatur nasibnya sendiri' karena ia (wilayah): India (2011), Negara-negara Arab (2013),

lahir dari kebutuhan sekumpulan praktisi seni Afrika (2015), Amerika Selatan (2017), Negara-

rupa kontemporer yang membutuhkan negara di Kepulauan Pasifik dan Australia (2019) –

sejumlah kesepakatan tertentu dalam Karena kekhasan cakupan wilayah ini, acara BJ tahun

penyelenggaraan Biennale Jogja agar ada 2019 juga disebut sebagai 'Bienal Laut' (Ocean

standar, sehingga bisa terus-menerus bisa Biennale), dan kemudian Asia Tenggara (2021).

dikembangkan dan dalam realitas macam itu Seluruh rangkaian acara ini kemudian akan diakhiri

jugalah kritik dapat hadir dengan masuk akal. dengan penyelenggaran Konferensi Equator di tahun

2022.Simposium Khatulistiwa adalah sebuah forum internasional yang dirancang sebagai arena [3] Sampai sampai tenggat naskah awal ini tersusun,

pertemuan ahli, pemikir, praktisi, peneliti dari saya belum mendapatkan naskah pidato dalam

berbagai bidang ilmu. Ini adalah acara untuk Bahasa Indonesia yang diterbitkan dalam buku:

berbagi informasi dan pengetahuan, bertukar Lahirkanlah Asia Baru dan Afrika Baru! Pidato P.J.M.

pikiran dan pendapat sebagai upaya Presiden Soekarno pada pembukaan Konferensi

membangun pemahaman kritis atas berbagai Asia-Afrika, tanggal 18 April 1955, (Terdjemahan dari

praktik seni rupa kontemporer dalam bahasa Ingris oleh Intojo), Kementerian Luar Negeri

kaitannya dengan dinamika sosial, budaya, dan Republik Indonesia, Jakarta, 1955. Untuk keperluan

politik di kawasan khatulistiwa. kali ini, saya gunakan terjemahan bebas ke Bahasa

Indonesia, berdasarkan naskah Bahasa Inggris yang Dengan ini, praktik dan wacana seni justeru banyak tersebar di sejumlah situs internet.kontemporer membutuhkan sebuah ruang Nasakah Bahasa Inggris: Let a New Asia and New

yang terbuka, inklusif dan siap akan beragam Africa Be Born, http://www.bandungspirit.org

studi kritis dari berbagai disiplin yang relevan. [4] Catatan dan ulasannya tentang KAA 1955 Simposium Khatulistiwa juga akan berfungsi langsung dipublikasikan di AS dalam bentuk buku sebagai upaya untuk mengembangkan jejaring kecil setahun setelah konferensi: Richard Wright, The antara berbagai perorangan dan lembaga yang Color Curtain, A Report on Bandung Conference, bisa mengaktivasikan peran para ahli dan World Publishing Company, N.Y., 1956. Dalam esai ini praktisi seni kontemporer Indonesia ke dalam saya merujuk pada terbitan baru, buku yang sebuah forum internasional.memuat 3 naskah sekaligus, yakni: Richard

Wright,Black Power, Three Books from Exile: Black ________________ Power; The Color Curtain; and White Man, Listen!,

Harper Perennial Modern Classics, N.Y., 2008.—pp. [1] 29 negara peserta KAA, Bandung 1955: 429-629.Afghanistan, Indonesia, Pakistan, Burma/Myanmar,

Iran, Filipina, Kamboja, Irak, Iran, Arab Saudi, Ceylon [5] Richard Wright, 2008, p. 536.(Sri Lanka), Jepang, Sudan, Republik Rakyat Cina,

Yordania, Suriah, Laos, Thailand, Mesir, Lebanon,

Turki, Ethiopia, Liberia, Vietnam (Utara), Vietnam

(Selatan), Pantai Emas (Gold Coast, sekarang Ghana),

Libya, India, Nepal, Yaman.

[2] Wilayah gerak Biennale Jogja seri Khatulistiwa

dibingkai dalam batas garis balik utara (tropic

23'27'') dan garis balik selatan (tropic 23'27''). YBY

6 7

Yayasan Biennale Yogyakarta (YBY) mengundang sejumlah pakar dan aktivis lintas disiplin dari dalam dan luar negeri untuk berbagi ilmu dan pengalamannya, selama 2 hari, pada 17 dan 18 November 2014 di Gedung Lengkung Sekolah Pascasarjana UGM Yogyakarta. Program-program yang telah disiapkan adalah: Forum A merupakan forum pertemuan akademisi, Forum B merupakan ruang bagi praktisi dari berbagai disiplin berbagi pengalaman berkegiatan bersama masyarakat, dan Forum C merupakan ruang pamer dokumentasi dan arsip para praktisi

FORUM A

1. Rudolf Mrazek (Profesor tamu, Northwestern University, Chicago, USA)2. Suka Hardjana (Musisi, Staff pengajar di Pascasarjana Sekolah Tinggi Seni Indonesia –

Surakarta, ID)3. Hilmar Farid (Peneliti, Staff pengajar di Univ. Indonesia, Jakarta, ID)4. Farah Wardani (Indonesian Visual Art Archive, ID)5. Rony Gunawan (Staff pengajar, Jur. Arsitektur, Univ. Kristen Petra, Surabaya, ID)6. Sazkia Noor Anggraini (Mahasiswa Pascasarjana ISI Yogyakarta, ID)7. Inyiak Ridwan Muzir (Peneliti, alumnus IRB Univ. Sanata Dharma, Yogyakarta, ID)8. Hariyadi (Staff pengajar, Univ. Jend. Soedirman, Purwokerto, ID)9. Hendra Himawan (Peneliti, alumnus Pascasarjana ISI Yogyakarta, ID)10. Stanislaus Yangni (Penulis, Alumnus Pascasarjana ISI Yogyakarta, ID)11. Chabib Duta Hapsoro (Kurator, mahasiswa S2 Seni Rupa ITB, Bandung, ID)12. Frans Ari Prasetya (Peneliti, alumnus S2 Arsitektur ITB, Bandung, ID) FORUM B 1. Suman Gopinath (Kurator, Bangalor, IN)2. Ade Darmawan (Seniman/ kurator, Ruang Rupa, Jakarta, ID)3. Mahardika Yudha (Peneliti, pembuat film, Forum Lenteng, Jakarta, ID)4. Yeah! & Bujangan Urban (Gardu House, Jakarta, ID)5. Archana Prasad (Jaaga, Bangalor, IN)6. Arief Yudi Rahman (Jatiwangi art Factory, ID)7. Pitra Hutomo (Indonesian Visual Art Archive, Yogyakarta, ID)8. Lawrence Liang (Peaking Duck, Bangalor, IN)9. Inyiak Ridwan Muzir (Peneliti, alumnus IRB Univ. Sanata Dharma, Yogyakarta, ID)10. Kathleen Azali (C2O, Surabaya, ID)11. Ardi Yunanto (Karbon Journal, Jakarta, ID)12. Dian Herdiany (Kampung Halaman, Yogyakarta, ID)13. Frans Ari Prasetya (Peneliti, alumnus S2 Arsitektur ITB, Bandung, ID)14. Lian Gogali (Sekolah Perempuan Mosintuwu, Poso, ID)15. Sustriana Saragih (Mahasiswa Magister Profesi Klinis, Univ. Gadjah Mada, Yogyakarta, ID)16. Yulius Pratomo (Staff pengajar, FEB Univ. Kristen Satya Wacana, Salatiga, ID)17. Bintang Chairul Putra (Peneliti lepas, mahasiswa Teknik Industri ITS, Surabaya, ID).

SIMPOSIUM KHATULISTIWA I

SIAPA AKAN BICARA

Page 8: Newsletter Edisi 7, Oktober 2014

8 9

LOKAKARYASIMPOSIUMKHATULISTIWA 2014Elly Kent (Pemagang YBY 2104, Kandidat Doktoral di Australian National University)

Pada tanggal 29-30 Agustus 2014, Yayasan Biennale Yogyakarta (YBY) menyelenggarakan Lokakarya Khatulistiwa #1, dalam rangka program persiapan untuk Simposium Khatulistiwa 2014 (SK2014), yang akan dilaksanakan pada tanggal 17-19 November, 2014. Lokakarya Khatulistiwa #1 diikuti 17 akademisi dan peneliti yang masih di tahapan awal karirnya, yang diundang khusus atas rekomendasi akademisi mapan dari 12 Universitas dari seluruh Jawa. Akademisi-akademisi ini datang dari berbagai latar belakang, termasuk kajian ekonomi, sosial budaya, media, agama, dan seni rupa; mereka juga bergerak dalam macam macam bidang, dari aktivisme sampai pendidikan tinggi dan gerakan komunitas urban. YBY menyediakan program yang dilaksanakan dalam tiga 'putaran', dan beberapa pembicara terhormat diundang untuk membagikan pengalaman dan keahlian dengan para peserta Lokakarya. Lokakarya ini diadakan di SaRang Art Space, Kali Pakis, Bantul

Putaran #1: Cendekiawan: Ilmu, Modal, dan Kekuasaan. Dr. ST Sunardi menyampaikan kesannya terhadap peran cendekiawan di masyarakat, dan bagaimana berbagai keilmuan yang diwakili bisa memberi sumbangan kepada wacana kritis di Indonesia.

Putaran #2: Cendekiawan, Inspirasi, dan Imajinasi. Panitia lokakarya mengundang empat peserta yang diseleksi berdasarkan tulisan yang diserahkan ke panitia untuk merespon teks dari Dr. Hilmar Farid dan Herlambang Wijaya.

Putaran #3: Teori Kritis untuk Indonesia Sekarang. Dr. Martin Suryajaya membawakan makalahnya sendiri yang membahas dasar sejarah teori kritis dari Eropa dan manfaatnya dalam menghadapi soal politik, ekonomi sosial, dan budaya di Indonesia saat ini. Diantara putaran ini para peserta juga menikmati beberapa video tentang proyek seni yang berorientasi kepada kepentingan sosial di dalam dan di luar Indonesia, dan bergabung dalam kelompok kecil untuk membahas penelitiannya dan hasil dari putaran-putaran tersebut.

Page 9: Newsletter Edisi 7, Oktober 2014

8 9

LOKAKARYASIMPOSIUMKHATULISTIWA 2014Elly Kent (Pemagang YBY 2104, Kandidat Doktoral di Australian National University)

Pada tanggal 29-30 Agustus 2014, Yayasan Biennale Yogyakarta (YBY) menyelenggarakan Lokakarya Khatulistiwa #1, dalam rangka program persiapan untuk Simposium Khatulistiwa 2014 (SK2014), yang akan dilaksanakan pada tanggal 17-19 November, 2014. Lokakarya Khatulistiwa #1 diikuti 17 akademisi dan peneliti yang masih di tahapan awal karirnya, yang diundang khusus atas rekomendasi akademisi mapan dari 12 Universitas dari seluruh Jawa. Akademisi-akademisi ini datang dari berbagai latar belakang, termasuk kajian ekonomi, sosial budaya, media, agama, dan seni rupa; mereka juga bergerak dalam macam macam bidang, dari aktivisme sampai pendidikan tinggi dan gerakan komunitas urban. YBY menyediakan program yang dilaksanakan dalam tiga 'putaran', dan beberapa pembicara terhormat diundang untuk membagikan pengalaman dan keahlian dengan para peserta Lokakarya. Lokakarya ini diadakan di SaRang Art Space, Kali Pakis, Bantul

Putaran #1: Cendekiawan: Ilmu, Modal, dan Kekuasaan. Dr. ST Sunardi menyampaikan kesannya terhadap peran cendekiawan di masyarakat, dan bagaimana berbagai keilmuan yang diwakili bisa memberi sumbangan kepada wacana kritis di Indonesia.

Putaran #2: Cendekiawan, Inspirasi, dan Imajinasi. Panitia lokakarya mengundang empat peserta yang diseleksi berdasarkan tulisan yang diserahkan ke panitia untuk merespon teks dari Dr. Hilmar Farid dan Herlambang Wijaya.

Putaran #3: Teori Kritis untuk Indonesia Sekarang. Dr. Martin Suryajaya membawakan makalahnya sendiri yang membahas dasar sejarah teori kritis dari Eropa dan manfaatnya dalam menghadapi soal politik, ekonomi sosial, dan budaya di Indonesia saat ini. Diantara putaran ini para peserta juga menikmati beberapa video tentang proyek seni yang berorientasi kepada kepentingan sosial di dalam dan di luar Indonesia, dan bergabung dalam kelompok kecil untuk membahas penelitiannya dan hasil dari putaran-putaran tersebut.

Page 10: Newsletter Edisi 7, Oktober 2014

10 11

Biaya Pendaftaran:1. Pelajar dan Mahasiswa S1 (WNI): Rp 50.000,-

(dengan melampirkan Kartu Identitas Pelajar/ Mahasiswa)

2. Mahasiswa S2 dan Umum: Rp 100.000,-3. ADA KESEMPATAN IKUT TANPA BAYAR bagi 150

peserta terpilih plus mendapat bantuan transportasi. (Caranya lihat keterangan di bawah)

Cara Mendaftar menjadi Peserta Simposium Khatulistiwa 2014:1. Mengisi formulir pendaftaran peserta SK 2014. Formulir dapat

diunduh melalui www.biennalejogja.org atau www.equatorsymposium.org.

2. Membayar biaya pendaftaran melalui rekening bank : Yayasan Biennale Yogyakarta, BNI 46 Yogyakarta, No Rek. 224031615 Yayasan Biennale Yogyakarta, BCA Yogyakarta, No Rek 0373030772

3. Kirimkan formulir pendaftaran, bukti pembayaran, dan scan KTP/KTM bagi mahasiswa, ke [email protected].

4. Pendaftaran paling lambat 24 Oktober 2014.

Beasiswa Peserta Simposium Khatulistiwa 2014 (Hanya Untuk WNI):1. Gratis biaya pendaftaran bagi 150 pesertaterpilih.2. Mendapat subsidi transportasi senilai Rp 150,000,-3. Sertifikat

Cara Mendaftar Untuk Mendapatkan Beasiswa1. Mengisi formulir pendaftaran peserta SK 2014. Formulir dapat

diunduh melalui www.biennalejogja.org atau www.equatorsymposium.org.

2. Mengirimkan satu karya (baru atu lama) dengan tema terkait, bisa berupa: esai, komik, foto, lukisan, dokumentasi proyek dll dalam bentuk digital3. Kirimkan berkas anda, ke [email protected]. Batas waktu pendaftaran beasiswa paling lambat 24 Oktober 2014.

Fasilitas:1. Sertifikat 2. Makan Siang dan Coffee Break

CARA MENJADI PESERTASIMPOSIUM KHATULISTIWA

CARA MENJADI PESERTASIMPOSIUM KHATULISTIWA TEMA SIMPOSIUM KHATULISTIWA-2014

ORANG DAN ORANG BANYAK:PRAKTIK ETIKA DAN ESTETIKADALAM DEMOKRASI ABAD KE 21

TEMA SIMPOSIUM KHATULISTIWA-2014ORANG DAN ORANG BANYAK:PRAKTIK ETIKA DAN ESTETIKADALAM DEMOKRASI ABAD KE 21

Simposium Khatulistiwa 2014 berusaha mengungkap ekosistem kumpulan orang banyak (baik kelompok seniman, kelompok masyarakat berbasis hobi, sekumpulan pengusaha, dst) dalam tatanan tempat hidupnya (baik kota, desa, kampung, negara, maupun antar kesemuanya). Pertemuan, baik fisik maupun virtual, dan bagaimana pertemuan itu kemudian disebarluaskan kepada lebih banyak lagi orang menjadi langkah awal kami dalam upaya mengungkap ekosistem kumpulan-kumpulan tersebut.

Topik utama:Pemberdayaan komunitasPerkembangan urbanGlobalisasi dan politik regionalPertemuan dan situs di era InternetTegangan, krisis, dan negosiasi sosialPraktik-praktik baru dalam demokrasi terkiniMemikirkan kembali keberlangsungan

Informasi lebih lanjut silahkan hubungi:Ratna MufidaHP: +62817277679

Simposium KhatulistiwaYayasan Biennale Yogyakartad.a. Taman Budaya YogyakartaJl. Sriwedani 1, Yogyakarta, IndonesiaP: +62 274 587712E: [email protected]

Page 11: Newsletter Edisi 7, Oktober 2014

10 11

Biaya Pendaftaran:1. Pelajar dan Mahasiswa S1 (WNI): Rp 50.000,-

(dengan melampirkan Kartu Identitas Pelajar/ Mahasiswa)

2. Mahasiswa S2 dan Umum: Rp 100.000,-3. ADA KESEMPATAN IKUT TANPA BAYAR bagi 150

peserta terpilih plus mendapat bantuan transportasi. (Caranya lihat keterangan di bawah)

Cara Mendaftar menjadi Peserta Simposium Khatulistiwa 2014:1. Mengisi formulir pendaftaran peserta SK 2014. Formulir dapat

diunduh melalui www.biennalejogja.org atau www.equatorsymposium.org.

2. Membayar biaya pendaftaran melalui rekening bank : Yayasan Biennale Yogyakarta, BNI 46 Yogyakarta, No Rek. 224031615 Yayasan Biennale Yogyakarta, BCA Yogyakarta, No Rek 0373030772

3. Kirimkan formulir pendaftaran, bukti pembayaran, dan scan KTP/KTM bagi mahasiswa, ke [email protected].

4. Pendaftaran paling lambat 24 Oktober 2014.

Beasiswa Peserta Simposium Khatulistiwa 2014 (Hanya Untuk WNI):1. Gratis biaya pendaftaran bagi 150 pesertaterpilih.2. Mendapat subsidi transportasi senilai Rp 150,000,-3. Sertifikat

Cara Mendaftar Untuk Mendapatkan Beasiswa1. Mengisi formulir pendaftaran peserta SK 2014. Formulir dapat

diunduh melalui www.biennalejogja.org atau www.equatorsymposium.org.

2. Mengirimkan satu karya (baru atu lama) dengan tema terkait, bisa berupa: esai, komik, foto, lukisan, dokumentasi proyek dll dalam bentuk digital3. Kirimkan berkas anda, ke [email protected]. Batas waktu pendaftaran beasiswa paling lambat 24 Oktober 2014.

Fasilitas:1. Sertifikat 2. Makan Siang dan Coffee Break

CARA MENJADI PESERTASIMPOSIUM KHATULISTIWA

CARA MENJADI PESERTASIMPOSIUM KHATULISTIWA TEMA SIMPOSIUM KHATULISTIWA-2014

ORANG DAN ORANG BANYAK:PRAKTIK ETIKA DAN ESTETIKADALAM DEMOKRASI ABAD KE 21

TEMA SIMPOSIUM KHATULISTIWA-2014ORANG DAN ORANG BANYAK:PRAKTIK ETIKA DAN ESTETIKADALAM DEMOKRASI ABAD KE 21

Simposium Khatulistiwa 2014 berusaha mengungkap ekosistem kumpulan orang banyak (baik kelompok seniman, kelompok masyarakat berbasis hobi, sekumpulan pengusaha, dst) dalam tatanan tempat hidupnya (baik kota, desa, kampung, negara, maupun antar kesemuanya). Pertemuan, baik fisik maupun virtual, dan bagaimana pertemuan itu kemudian disebarluaskan kepada lebih banyak lagi orang menjadi langkah awal kami dalam upaya mengungkap ekosistem kumpulan-kumpulan tersebut.

Topik utama:Pemberdayaan komunitasPerkembangan urbanGlobalisasi dan politik regionalPertemuan dan situs di era InternetTegangan, krisis, dan negosiasi sosialPraktik-praktik baru dalam demokrasi terkiniMemikirkan kembali keberlangsungan

Informasi lebih lanjut silahkan hubungi:Ratna MufidaHP: +62817277679

Simposium KhatulistiwaYayasan Biennale Yogyakartad.a. Taman Budaya YogyakartaJl. Sriwedani 1, Yogyakarta, IndonesiaP: +62 274 587712E: [email protected]

Page 12: Newsletter Edisi 7, Oktober 2014

12 13

masalahnya jauh lebih baik dibanding negara lain di kawasan itu. Begitu juga dengan kekhawatiran pada kelompok Boko Haram yang bersembunyi di daerah Kano, wilayah Utara Nigeria.

Dalam imaji kita, sebagaimana sering disuguhkan film-film Holywood, setiap pergolakan di kawasan Afrika diandaikan kacau balau; AK 47, baku tembak, pembunuhan, perkosaan, dan penculikan ada di mana-mana. Karena sudah terlanjur tertanam dalam benak, Afrika selalu dibayangkan kacau, tanpa kemajuan, dan dipenuhi orang bebal. Orang yang berkulit hitam dan berambut keriting kerap diasosiasikan dengan penjahat, tidak maju, berasal dari daerah konflik atau daerah endemik penyakit-penyakit ganas. Imaji seperti itulah yang layak dibuang ke tong sampah dan mulai mempelajari secara jernih bagaimana calon mitra kerja sama kita di Biennale Jogja nanti menjalani hidupnya serta melakukan “praktik artistiknya.”

Abuja dan Lagos

Abuja adalah kota yang relatif masih baru. Pembangunan infrastruktur kota masih banyak berlangsung. Kota yang gaya arsitekturnya sangat modern dan megah ini menjadi persinggahan awal kami. Pada tahun 2008 Ibu Kota Nigeria dipindahkan dari Lagos ke Abuja. Itu karena Lagos dianggap sudah terlalu sumpek dan tidak lagi ideal sebagai tempat mengurusi pemerintahan. Begitu juga kantor perwakilan berbagai negara yang turut dipindahkan ke Abuja, termasuk Kedutaan Besar Republik Indonesia. Abuja menjadi pusat pemerintahan, sedang Lagos dipertahankan sebagai pusat bisnis.

Di Abuja, kami menemui tiga bagian otoritas pemerintahan Nigeria yang mengurusi masalah seni dan budaya. Pertama-tama kami

KESAN SEDERHANADARI SEBUAHPERJALANAN SINGKATArham Rahman (Mahasiswa Sekolah Pascasarjana Universitas Sanata Dharma)

Nigeria, negerinya Soyinka dan Achebe. Negeri yang belakangan ini, bagi beberapa media internasional, identik dengan aneka gangguan keamanan dan penyebaran virus ebola. Di Indonesia, orang kerap mengenang Nigeria sebagai negara asal kartel-kartel narkoba kelas kakap. Begitulah cerita tentang Nigeria disuguhkan. Orang sering lupa bahwa, seperti Indonesia, Nigeria juga negara berkembang yang tengah berbenah untuk bisa menjadi setara dengan negara-negara maju, bukan semak belukar seperti yang sering dibayangkan orang.

Kesan sinis dan ungkapan nyinyir sangat akrab diterima tim Yayasan Biennale Yogyakarta (YBY) beberapa saat sebelum berkunjung ke Nigeria. Tidak jarang kabar-kabar ngeri dibagikan untuk sekadar mengingatkan agar menangguhkan kunjungan. Berita dari media nasional dan internasional mengangkat tajuk yang sama setiap kali berbicara tentang Nigeria; Boko Haram dan ebola. Berita direproduksi, dikonsumsi khalayak, dan “berkembang” saat diomongkan sebagai gosip. Namun apa mau dikata, biduk sudah terlanjur mengarah ke laut lepas. Membatalkan kunjungan sama artinya dengan menunda pernikahan sesaat sebelum ijab qabul di depan calon mertua! Maka berangkatlah kami, tim YBY, dengan beragam isu di kepala.

Saat pertama kali mendarat di bandara Abuja, Ibu Kota Nigeria, isu-isu miring yang banyak beredar–seperti kekhawatiran tentang virus ebola misalnya–tidak sepenuhnya benar. Virus ebola menjadi isu yang sangat seksi, terutama oleh kalangan media yang menjadikan Nigeria sebagai salah satu kawasan terdampak. Perlu diingat, Nigeria merupakan negara yang paling maju di daerah Afrika Barat sehingga antisipasi dan penanganan

Rain Rosidi, Direktur Artistik

Biennale Jogja XIII Equator #3

bersama Victor Ehikhamenor,

seniman, desainer, penulis, Nigeria

Lagos adalah kota di tepi pantai.Foto diambil dari laguna

Page 13: Newsletter Edisi 7, Oktober 2014

12 13

masalahnya jauh lebih baik dibanding negara lain di kawasan itu. Begitu juga dengan kekhawatiran pada kelompok Boko Haram yang bersembunyi di daerah Kano, wilayah Utara Nigeria.

Dalam imaji kita, sebagaimana sering disuguhkan film-film Holywood, setiap pergolakan di kawasan Afrika diandaikan kacau balau; AK 47, baku tembak, pembunuhan, perkosaan, dan penculikan ada di mana-mana. Karena sudah terlanjur tertanam dalam benak, Afrika selalu dibayangkan kacau, tanpa kemajuan, dan dipenuhi orang bebal. Orang yang berkulit hitam dan berambut keriting kerap diasosiasikan dengan penjahat, tidak maju, berasal dari daerah konflik atau daerah endemik penyakit-penyakit ganas. Imaji seperti itulah yang layak dibuang ke tong sampah dan mulai mempelajari secara jernih bagaimana calon mitra kerja sama kita di Biennale Jogja nanti menjalani hidupnya serta melakukan “praktik artistiknya.”

Abuja dan Lagos

Abuja adalah kota yang relatif masih baru. Pembangunan infrastruktur kota masih banyak berlangsung. Kota yang gaya arsitekturnya sangat modern dan megah ini menjadi persinggahan awal kami. Pada tahun 2008 Ibu Kota Nigeria dipindahkan dari Lagos ke Abuja. Itu karena Lagos dianggap sudah terlalu sumpek dan tidak lagi ideal sebagai tempat mengurusi pemerintahan. Begitu juga kantor perwakilan berbagai negara yang turut dipindahkan ke Abuja, termasuk Kedutaan Besar Republik Indonesia. Abuja menjadi pusat pemerintahan, sedang Lagos dipertahankan sebagai pusat bisnis.

Di Abuja, kami menemui tiga bagian otoritas pemerintahan Nigeria yang mengurusi masalah seni dan budaya. Pertama-tama kami

KESAN SEDERHANADARI SEBUAHPERJALANAN SINGKATArham Rahman (Mahasiswa Sekolah Pascasarjana Universitas Sanata Dharma)

Nigeria, negerinya Soyinka dan Achebe. Negeri yang belakangan ini, bagi beberapa media internasional, identik dengan aneka gangguan keamanan dan penyebaran virus ebola. Di Indonesia, orang kerap mengenang Nigeria sebagai negara asal kartel-kartel narkoba kelas kakap. Begitulah cerita tentang Nigeria disuguhkan. Orang sering lupa bahwa, seperti Indonesia, Nigeria juga negara berkembang yang tengah berbenah untuk bisa menjadi setara dengan negara-negara maju, bukan semak belukar seperti yang sering dibayangkan orang.

Kesan sinis dan ungkapan nyinyir sangat akrab diterima tim Yayasan Biennale Yogyakarta (YBY) beberapa saat sebelum berkunjung ke Nigeria. Tidak jarang kabar-kabar ngeri dibagikan untuk sekadar mengingatkan agar menangguhkan kunjungan. Berita dari media nasional dan internasional mengangkat tajuk yang sama setiap kali berbicara tentang Nigeria; Boko Haram dan ebola. Berita direproduksi, dikonsumsi khalayak, dan “berkembang” saat diomongkan sebagai gosip. Namun apa mau dikata, biduk sudah terlanjur mengarah ke laut lepas. Membatalkan kunjungan sama artinya dengan menunda pernikahan sesaat sebelum ijab qabul di depan calon mertua! Maka berangkatlah kami, tim YBY, dengan beragam isu di kepala.

Saat pertama kali mendarat di bandara Abuja, Ibu Kota Nigeria, isu-isu miring yang banyak beredar–seperti kekhawatiran tentang virus ebola misalnya–tidak sepenuhnya benar. Virus ebola menjadi isu yang sangat seksi, terutama oleh kalangan media yang menjadikan Nigeria sebagai salah satu kawasan terdampak. Perlu diingat, Nigeria merupakan negara yang paling maju di daerah Afrika Barat sehingga antisipasi dan penanganan

Rain Rosidi, Direktur Artistik

Biennale Jogja XIII Equator #3

bersama Victor Ehikhamenor,

seniman, desainer, penulis, Nigeria

Lagos adalah kota di tepi pantai.Foto diambil dari laguna

Page 14: Newsletter Edisi 7, Oktober 2014

14 15

menegaskan identitas/tradisi masyarakat lokal. cukup menggelitik; “RRS: Landmarks of Crime-Nampak eksotis memang, toh eksotisme Fighting in a Megacity.” Buku itu sedikit menjadi jualan paling laris di mana-mana. memberi gambaran tentang Lagos di tahun-Itulah mengapa, pemerintah di negara-negara tahun yang lalu dan bagaimana masalah dunia ketiga seperti Indonesia atau Nigeria keamanan di kota–menurut klaim pemerintah mendudukkan seni, budaya, dan pariwisata di kota Lagos dalam buku itu–dapat diatasi. atas panggung yang sama; supaya bisa Pemerintah kota Lagos khususnya, membuat dikunjungi, ditonton, dan ujung-ujungnya, kebijakan penting untuk mengatasi masalah duit. kriminalitas. Kebijakan seperti itu nampaknya

menjadi cetak biru penanganan keamanan di Nigeria. Tak heran bila kemudian masalah Seperti Abuja, Lagos juga disesaki bangunan-keamanan menjadi prioritas bagi pemerintah bangunan megah. Bedanya Lagos lebih riuh. setempat untuk diselesaikan, baik di Lagos Dari pabrik-pabrik hingga pusat-pusat maupun Abuja. perbelanjaan terbesar di Nigeria ada di Lagos.

Di kota inilah orang-orang dari berbagai suku Pengamanan di Abuja nampak lebih ketat, di Nigeria berkumpul dan bekerja. Sebagai sebab kendali keamanan diambil alih tentara. pusat perekonomian dan bekas jantung Belum lama ini, Abuja diguncang teror bom pemerintahan, Lagos jauh lebih dinamis kelompok Boko Haram sehingga ada dibanding Abuja. Di Lagos pula kami menemui pemberlakuan jam malam dan pemeriksaan berbagai komunitas maupun perseorangan setiap kendaraan yang hendak memasuki yang bekerja di luar “pantauan” negara. Ada wilayah kota oleh tentara. Sedang di Lagos, tiga komunitas dengan corak berbeda yang urusan kota diserahkan kepada polisi dan kami kunjungi di Lagos, yakni; Centre for kelompok polisi bantu yang di sebut LASTMA Contemporary Art (CCA) Lagos, kantor redaksi (Lagos State Traffic Management Agency). majalah Position, dan African Art Foundation. LASTMA ditugasi untuk mengurusi masalah Sedang pihak perorangan yang kami temui lalu lintas. Dari seorang sumber kami adalah Ndidi Dike, seorang seniman senior di mengetahui bahwa orang-orang yang direkrut Nigeria dan Victor Ehikhamenor, salah seorang sebagai Lastma adalah bekas pelaku kejahatan seniman muda terpenting di Lagos.di Lagos. Merekrut mereka merupakan salah satu strategi untuk menekan tingkat kejahatan Selain mengunjungi beragam komunitas dan di kota Lagos. Namun, keberadaan LASTMA seniman, kami berkunjung dan berdiskusi bukan tanpa masalah, sebab mereka jauh lebih dengan Marc Andrew, direktur Goethe galak dibanding polisi yang sebenarnya.Institute untuk wilayah Nigeria. Darinya, kami

memperoleh beragam pembacaan tentang Masalah keamanan tentu menyita perhatian seni kontemporer di Lagos dari sudut pandang kami. Mengapa kota seperti Abuja dan Lagos orang luar yang telah lama bekerja dan rentan tindak kriminal sehingga harus membangun jaringan di Nigeria. Di hari yang mengerahkan banyak tenaga pengamanan? sama kami menyempatkan diri untuk Siapa yang hendak dilindungi? Kami tergelitik mengunjungi National Museum of Lagos dan untuk merunut pusaran masalahnya secara Nigeria National Theatre, bangunan super sederhana. Kejahatan di sebuah wilayah tentu megah yang terakhir kali digunakan untuk bukan sesuatu yang alamiah, termasuk Abuja menggelar pertunjukan lebih dari sepuluh dan Lagos. Sejauh yang kami amati, tahun lalu.kesenjangan ekonomi mungkin menjadi penyebab utama tingginya angka kejahatan. Ketimpangan Sosial-EkonomiBelum lagi biaya hidup di kedua kota itu yang terbilang sangat mahal. Masalah elektrifikasi Tahun 2012 lalu, pemerintah kota Lagos yang salah urus menyebabkan biaya produksi menerbitkan sebuah buku yang judulnya

mengunjungi National Council for Arts and Culture, lalu dilanjutkan ke Federal Capital Territory for Tourism Department, dan terakhir ke National Gallery of Arts. Kunjungan ini tentu lebih formal dan cenderung membicarakan hal-hal yang sifatnya prosedural. Seperti umumnya terjadi di Indonesia, otoritas pemerintahan Nigeria yang kami temui juga mengerangkeng urusan seni dan budaya sebatas pada masalah turisme atau sesuatu yang bisa mendatangkan pemasukan bagi negara. Bentuk kerja sama yang dibayangkan selalu diandaikan bakal mendatangkan keuntungan finansial di kedua belah pihak atau sekadar harapan agar bisa jalan-jalan dengan menggunakan uang negara. Bukan pertukaran pengetahuan atau “investasi sumber daya manusia.”

Ketiga lembaga itu juga tidak melihat potensi lain yang muncul dari inisiatif perseorangan atau komunitas seni-budaya di negaranya–hal yang sangat sering kita temui di Indonesia. Dengan begitu, produk seni yang ditunjukkan melulu berbentuk kerajinan dan kesenian sejenis yang memungkinkan untuk “diperjual-belikan” atau

Pemandangan kota Lagos di area Yaba.Foto diambil dari kantor CCA

Page 15: Newsletter Edisi 7, Oktober 2014

14 15

menegaskan identitas/tradisi masyarakat lokal. cukup menggelitik; “RRS: Landmarks of Crime-Nampak eksotis memang, toh eksotisme Fighting in a Megacity.” Buku itu sedikit menjadi jualan paling laris di mana-mana. memberi gambaran tentang Lagos di tahun-Itulah mengapa, pemerintah di negara-negara tahun yang lalu dan bagaimana masalah dunia ketiga seperti Indonesia atau Nigeria keamanan di kota–menurut klaim pemerintah mendudukkan seni, budaya, dan pariwisata di kota Lagos dalam buku itu–dapat diatasi. atas panggung yang sama; supaya bisa Pemerintah kota Lagos khususnya, membuat dikunjungi, ditonton, dan ujung-ujungnya, kebijakan penting untuk mengatasi masalah duit. kriminalitas. Kebijakan seperti itu nampaknya

menjadi cetak biru penanganan keamanan di Nigeria. Tak heran bila kemudian masalah Seperti Abuja, Lagos juga disesaki bangunan-keamanan menjadi prioritas bagi pemerintah bangunan megah. Bedanya Lagos lebih riuh. setempat untuk diselesaikan, baik di Lagos Dari pabrik-pabrik hingga pusat-pusat maupun Abuja. perbelanjaan terbesar di Nigeria ada di Lagos.

Di kota inilah orang-orang dari berbagai suku Pengamanan di Abuja nampak lebih ketat, di Nigeria berkumpul dan bekerja. Sebagai sebab kendali keamanan diambil alih tentara. pusat perekonomian dan bekas jantung Belum lama ini, Abuja diguncang teror bom pemerintahan, Lagos jauh lebih dinamis kelompok Boko Haram sehingga ada dibanding Abuja. Di Lagos pula kami menemui pemberlakuan jam malam dan pemeriksaan berbagai komunitas maupun perseorangan setiap kendaraan yang hendak memasuki yang bekerja di luar “pantauan” negara. Ada wilayah kota oleh tentara. Sedang di Lagos, tiga komunitas dengan corak berbeda yang urusan kota diserahkan kepada polisi dan kami kunjungi di Lagos, yakni; Centre for kelompok polisi bantu yang di sebut LASTMA Contemporary Art (CCA) Lagos, kantor redaksi (Lagos State Traffic Management Agency). majalah Position, dan African Art Foundation. LASTMA ditugasi untuk mengurusi masalah Sedang pihak perorangan yang kami temui lalu lintas. Dari seorang sumber kami adalah Ndidi Dike, seorang seniman senior di mengetahui bahwa orang-orang yang direkrut Nigeria dan Victor Ehikhamenor, salah seorang sebagai Lastma adalah bekas pelaku kejahatan seniman muda terpenting di Lagos.di Lagos. Merekrut mereka merupakan salah satu strategi untuk menekan tingkat kejahatan Selain mengunjungi beragam komunitas dan di kota Lagos. Namun, keberadaan LASTMA seniman, kami berkunjung dan berdiskusi bukan tanpa masalah, sebab mereka jauh lebih dengan Marc Andrew, direktur Goethe galak dibanding polisi yang sebenarnya.Institute untuk wilayah Nigeria. Darinya, kami

memperoleh beragam pembacaan tentang Masalah keamanan tentu menyita perhatian seni kontemporer di Lagos dari sudut pandang kami. Mengapa kota seperti Abuja dan Lagos orang luar yang telah lama bekerja dan rentan tindak kriminal sehingga harus membangun jaringan di Nigeria. Di hari yang mengerahkan banyak tenaga pengamanan? sama kami menyempatkan diri untuk Siapa yang hendak dilindungi? Kami tergelitik mengunjungi National Museum of Lagos dan untuk merunut pusaran masalahnya secara Nigeria National Theatre, bangunan super sederhana. Kejahatan di sebuah wilayah tentu megah yang terakhir kali digunakan untuk bukan sesuatu yang alamiah, termasuk Abuja menggelar pertunjukan lebih dari sepuluh dan Lagos. Sejauh yang kami amati, tahun lalu.kesenjangan ekonomi mungkin menjadi penyebab utama tingginya angka kejahatan. Ketimpangan Sosial-EkonomiBelum lagi biaya hidup di kedua kota itu yang terbilang sangat mahal. Masalah elektrifikasi Tahun 2012 lalu, pemerintah kota Lagos yang salah urus menyebabkan biaya produksi menerbitkan sebuah buku yang judulnya

mengunjungi National Council for Arts and Culture, lalu dilanjutkan ke Federal Capital Territory for Tourism Department, dan terakhir ke National Gallery of Arts. Kunjungan ini tentu lebih formal dan cenderung membicarakan hal-hal yang sifatnya prosedural. Seperti umumnya terjadi di Indonesia, otoritas pemerintahan Nigeria yang kami temui juga mengerangkeng urusan seni dan budaya sebatas pada masalah turisme atau sesuatu yang bisa mendatangkan pemasukan bagi negara. Bentuk kerja sama yang dibayangkan selalu diandaikan bakal mendatangkan keuntungan finansial di kedua belah pihak atau sekadar harapan agar bisa jalan-jalan dengan menggunakan uang negara. Bukan pertukaran pengetahuan atau “investasi sumber daya manusia.”

Ketiga lembaga itu juga tidak melihat potensi lain yang muncul dari inisiatif perseorangan atau komunitas seni-budaya di negaranya–hal yang sangat sering kita temui di Indonesia. Dengan begitu, produk seni yang ditunjukkan melulu berbentuk kerajinan dan kesenian sejenis yang memungkinkan untuk “diperjual-belikan” atau

Pemandangan kota Lagos di area Yaba.Foto diambil dari kantor CCA

Page 16: Newsletter Edisi 7, Oktober 2014

16

Kiri:

Perkenalan resmi tim YBY dengan National Council for Arts and

Culture, Nigeria di Abuja

Kanan:

Jude Anogwih, seniman, kurator, Lagos, sedang menerangkan

karyanya.

setiap barang menjadi sangat tinggi dan berimbas pada harga barang di pasaran. Di Nigeria, pemadaman listrik terjadi tidak kurang dari tiga kali sehari. Itulah mengapa setiap rumah, kantor, pabrik, atau tempat apapun yang membutuhkan listrik, ada generator yang berbahan bakar bensin. Sebagai negara yang sangat kaya akan minyak (dengan rerata produksi dua koma tujuh juta barel perhari atau tiga kali lipat dari produksi Indonesia) dan sumber daya lain, tentu sangat ganjil bila listrik menjadi barang langka.

Kompleksnya masalah di Nigeria memungkinkan kesenjangan ekonomi yang terlalu lebar. Orang-orang kaya Nigeria hidup di dalam kompleks-kompleks mewah yang sangat tertutup. Setiap kompleks dikelilingi tembok tinggi yang dilengkapi dengan kawat berduri di bagian atasnya. Di dalam kompleks, setiap rumah juga dikelilingi tembok tinggi. Begitu juga di hampir semua ruang publik yang sempat kami lihat, dikelilingi tembok dan penjagaan ketat. Pemandangan itu sedikit kontras dengan pemukiman warga berekonomi lemah. Mereka tinggal secara berdempetan, tanpa tembok tinggi maupun penjagaan. Setiap orang yang kami temui tidak merekomendasikan untuk masuk areal seperti itu dengan alasan keamanan. Boleh jadi aparat keamanan sekadar melindungi aset-aset orang kaya (dan atau wisatawan) dari gangguan orang yang merasa haknya tidak dipenuhi negara. Mereka lantas kita sebut sebagai “penjahat.”

Dengan gambaran situasi sosial macam itu tentu sangat sah bila kita membayangkan ada perlawanan dari kelas bawah pada kelas atas. Begitu juga perlawanan kelas menengah yang mungkin akan mengambil posisi untuk membela kalangan bawah. Namun kenyataannya, sejauh yang kami amati, tanda-tanda atau jejak perlawanan semacam parlemen jalanan tidak nampak. Lebih parahnya, dari orang-orang yang kami temui, tidak ada kelas menengah. Hanya ada kelas atas yang terlalu kaya dan kelas bawah yang terlalu miskin.

Lantas, mengapa jejak perlawanan terhadap pemerintah (dalam amatan

17

kami) tidak ada? Ada dua asumsi yang Begitu juga dengan ilusi tentang kesejahteraan mungkin kelak bisa dikembangkan atau diuji yang disuguhkan dalam film-film Nollywood. secara lebih objektif. Pertama, takut pada Kesejahteraan, dalam hal ini kejayaan dan represi aparat keamanan khususnya tentara. kekayaan, bisa dicapai manakala orang bekerja Nigeria lama dikuasai rezim militer. Mereka keras meski mulai dari bawah. Normatif dan baru lepas dari dari rezim militer pada 8 Juni nampak wajar. Namun, salah satunya lewat 1998 setelah Sani Abacha meninggal karena Nollywood-lah ilusi itu ditanamkan sehingga serangan jantung. Pihak junta militer Nigeria orang kerap menganggap dunia masih baik-memang menunjuk Jendral Abubakar sebagai baik saja dan lumrah untuk dijalani.pengganti Abacha. Tetapi, di tahun 2000, pemilu tetap dilakukan dan mendudukkan Awalnya, saya menganggap kesimpulan dalam Olusegun Obasanjo di tampuk kepemimpinan. film itu sebagai “gombal” semata atau terlalu Perubahan iklim politik rupanya tidak dilebih-lebihkan. Namun, setelah melihat dan sepenuhnya mengubah cara pandang atau berdiskusi dengan seorang warga Lagos, saya “nyali” masyarakat Nigeria saat berhadapan menganggap kesimpulan itu sangat dengan militer. memungkinkan untuk didalami dan dibuktikan

kebenarannya secara lebih objektif. Hal ini Bila dicermati, pola perubahan politik di tentu menarik untuk dicermati lebih lanjut. Nigeria hampir mirip dengan yang terjadi di Hanya saja, waktu yang terbatas tidak Indonesia. Bedanya, reformasi politik 1998 memungkinkan kami untuk mengeksplorasi diraih setelah ada perlawanan langsung dari lebih dalam lagi. Sehingga apa yang kami berbagai kelompok (mahasiswa, masyarakat, amati sangat terbatas dan kurang mendalam.dan kalangan lain), sedangkan di Nigeria lebih karena pemimpin otoriternya meninggal Praktik Seni Kontemporer di Lagosdunia, bukan karena berhadap-hadapan langsung dengan militer. Peluang itulah Serabut masalah sosial-ekonomi di Lagos dimanfaatkan masyarakat Nigeria untuk rupanya tidak menutup ruang kreatif bagi membalik keadaan. berbagai komunitas maupun individu. Lagos

adalah ladang subur bagi pengembangan Asumsi kedua, masyarakat dimabukkan di praktik seni kontemporer di Nigeria. Kesan itu tempat-tempat ibadah dan ilusi tentang kami dapat saat berkunjung ke salah satu kesejahteraan. Asumsi ini sangat spekulatif ruang seni kontemporer di Lagos yang dinamai karena berawal dari kesimpulan sebuah film Centre of Contemporary Art (CCA). Di CCA, dokumenter yang berjudul “Nollywood kami berdiskusi panjang dengan Jude Babylon.” Film ini mengangkat fenomena Anogwih, seorang seniman yang Nollywood, sebutan untuk industri film mengeksplorasi berbagai medium dalam populer di Nigeria. Dalam film itu sempat praktik artistiknya, mulai dari fotografi, video, diceritakan tentang peran pemuka agama di hingga drawing. Selain sebagai seniman, Jude rumah ibadah yang rajin memberi khutbah juga merupakan seorang kurator di CCA.tentang kerja keras sebagai pangkal kesuksesan. Orang yang telah bekerja keras CCA bukan ruang yang asing dalam peta seni tetapi belum sukses dianggap terkena guna- kontemporer internasional. Seniman-seniman guna sehingga perlu disembuhkan. yang belajar dan besar di CCA sangat sering Ketidaksuksesan dalam kasus ini ada lebih diundang dalam pameran seni rupa lima karena alasan mistis, bukan karena struktur tahunan, dOCUMENTA di Kassel, Jerman sosial yang timpang atau negara yang salah ataupun acara-acara besar lain. Bila partisipasi urus. Karena itu, orang dianjurkan untuk dalam pameran-pameran bergengsi dijadikan menjalani hidupnya dengan baik; bekerja sebagai satu-satunya tolok ukur sebaik-baiknya tanpa banyak cingcong. perkembangan seni rupa kontemporer di

Page 17: Newsletter Edisi 7, Oktober 2014

16

Kiri:

Perkenalan resmi tim YBY dengan National Council for Arts and

Culture, Nigeria di Abuja

Kanan:

Jude Anogwih, seniman, kurator, Lagos, sedang menerangkan

karyanya.

setiap barang menjadi sangat tinggi dan berimbas pada harga barang di pasaran. Di Nigeria, pemadaman listrik terjadi tidak kurang dari tiga kali sehari. Itulah mengapa setiap rumah, kantor, pabrik, atau tempat apapun yang membutuhkan listrik, ada generator yang berbahan bakar bensin. Sebagai negara yang sangat kaya akan minyak (dengan rerata produksi dua koma tujuh juta barel perhari atau tiga kali lipat dari produksi Indonesia) dan sumber daya lain, tentu sangat ganjil bila listrik menjadi barang langka.

Kompleksnya masalah di Nigeria memungkinkan kesenjangan ekonomi yang terlalu lebar. Orang-orang kaya Nigeria hidup di dalam kompleks-kompleks mewah yang sangat tertutup. Setiap kompleks dikelilingi tembok tinggi yang dilengkapi dengan kawat berduri di bagian atasnya. Di dalam kompleks, setiap rumah juga dikelilingi tembok tinggi. Begitu juga di hampir semua ruang publik yang sempat kami lihat, dikelilingi tembok dan penjagaan ketat. Pemandangan itu sedikit kontras dengan pemukiman warga berekonomi lemah. Mereka tinggal secara berdempetan, tanpa tembok tinggi maupun penjagaan. Setiap orang yang kami temui tidak merekomendasikan untuk masuk areal seperti itu dengan alasan keamanan. Boleh jadi aparat keamanan sekadar melindungi aset-aset orang kaya (dan atau wisatawan) dari gangguan orang yang merasa haknya tidak dipenuhi negara. Mereka lantas kita sebut sebagai “penjahat.”

Dengan gambaran situasi sosial macam itu tentu sangat sah bila kita membayangkan ada perlawanan dari kelas bawah pada kelas atas. Begitu juga perlawanan kelas menengah yang mungkin akan mengambil posisi untuk membela kalangan bawah. Namun kenyataannya, sejauh yang kami amati, tanda-tanda atau jejak perlawanan semacam parlemen jalanan tidak nampak. Lebih parahnya, dari orang-orang yang kami temui, tidak ada kelas menengah. Hanya ada kelas atas yang terlalu kaya dan kelas bawah yang terlalu miskin.

Lantas, mengapa jejak perlawanan terhadap pemerintah (dalam amatan

17

kami) tidak ada? Ada dua asumsi yang Begitu juga dengan ilusi tentang kesejahteraan mungkin kelak bisa dikembangkan atau diuji yang disuguhkan dalam film-film Nollywood. secara lebih objektif. Pertama, takut pada Kesejahteraan, dalam hal ini kejayaan dan represi aparat keamanan khususnya tentara. kekayaan, bisa dicapai manakala orang bekerja Nigeria lama dikuasai rezim militer. Mereka keras meski mulai dari bawah. Normatif dan baru lepas dari dari rezim militer pada 8 Juni nampak wajar. Namun, salah satunya lewat 1998 setelah Sani Abacha meninggal karena Nollywood-lah ilusi itu ditanamkan sehingga serangan jantung. Pihak junta militer Nigeria orang kerap menganggap dunia masih baik-memang menunjuk Jendral Abubakar sebagai baik saja dan lumrah untuk dijalani.pengganti Abacha. Tetapi, di tahun 2000, pemilu tetap dilakukan dan mendudukkan Awalnya, saya menganggap kesimpulan dalam Olusegun Obasanjo di tampuk kepemimpinan. film itu sebagai “gombal” semata atau terlalu Perubahan iklim politik rupanya tidak dilebih-lebihkan. Namun, setelah melihat dan sepenuhnya mengubah cara pandang atau berdiskusi dengan seorang warga Lagos, saya “nyali” masyarakat Nigeria saat berhadapan menganggap kesimpulan itu sangat dengan militer. memungkinkan untuk didalami dan dibuktikan

kebenarannya secara lebih objektif. Hal ini Bila dicermati, pola perubahan politik di tentu menarik untuk dicermati lebih lanjut. Nigeria hampir mirip dengan yang terjadi di Hanya saja, waktu yang terbatas tidak Indonesia. Bedanya, reformasi politik 1998 memungkinkan kami untuk mengeksplorasi diraih setelah ada perlawanan langsung dari lebih dalam lagi. Sehingga apa yang kami berbagai kelompok (mahasiswa, masyarakat, amati sangat terbatas dan kurang mendalam.dan kalangan lain), sedangkan di Nigeria lebih karena pemimpin otoriternya meninggal Praktik Seni Kontemporer di Lagosdunia, bukan karena berhadap-hadapan langsung dengan militer. Peluang itulah Serabut masalah sosial-ekonomi di Lagos dimanfaatkan masyarakat Nigeria untuk rupanya tidak menutup ruang kreatif bagi membalik keadaan. berbagai komunitas maupun individu. Lagos

adalah ladang subur bagi pengembangan Asumsi kedua, masyarakat dimabukkan di praktik seni kontemporer di Nigeria. Kesan itu tempat-tempat ibadah dan ilusi tentang kami dapat saat berkunjung ke salah satu kesejahteraan. Asumsi ini sangat spekulatif ruang seni kontemporer di Lagos yang dinamai karena berawal dari kesimpulan sebuah film Centre of Contemporary Art (CCA). Di CCA, dokumenter yang berjudul “Nollywood kami berdiskusi panjang dengan Jude Babylon.” Film ini mengangkat fenomena Anogwih, seorang seniman yang Nollywood, sebutan untuk industri film mengeksplorasi berbagai medium dalam populer di Nigeria. Dalam film itu sempat praktik artistiknya, mulai dari fotografi, video, diceritakan tentang peran pemuka agama di hingga drawing. Selain sebagai seniman, Jude rumah ibadah yang rajin memberi khutbah juga merupakan seorang kurator di CCA.tentang kerja keras sebagai pangkal kesuksesan. Orang yang telah bekerja keras CCA bukan ruang yang asing dalam peta seni tetapi belum sukses dianggap terkena guna- kontemporer internasional. Seniman-seniman guna sehingga perlu disembuhkan. yang belajar dan besar di CCA sangat sering Ketidaksuksesan dalam kasus ini ada lebih diundang dalam pameran seni rupa lima karena alasan mistis, bukan karena struktur tahunan, dOCUMENTA di Kassel, Jerman sosial yang timpang atau negara yang salah ataupun acara-acara besar lain. Bila partisipasi urus. Karena itu, orang dianjurkan untuk dalam pameran-pameran bergengsi dijadikan menjalani hidupnya dengan baik; bekerja sebagai satu-satunya tolok ukur sebaik-baiknya tanpa banyak cingcong. perkembangan seni rupa kontemporer di

Page 18: Newsletter Edisi 7, Oktober 2014

18 19

Fotografi adalah medium. Ia juga bisa menjadi bahasa. Sarana untuk bercerita, menyampaikan kisah atau sebuah pesan. Lewat gambar-gambar fotografis, sebuah cerita diartikulasi secara personal oleh pembacanya. Beberapa gambar bahkan diartikulasi menjadi sebuah realitas.

Nigerian Monarchs karya George Osodi ini adalah salah satu essai foto yang dibuat untuk memanfaatkan kemampuan medium fotografi itu. Karya ini muncul dari kegelisahan George akan realitas di negerinya akhir-akhir ini. Sebuah realitas yang menurutnya tidak menyenangkan. Kegelisahan George pada negerinya itu kemudian disampaikan secara menarik lewat karya yang hingga kini masih terus ia kerjakan. Sebuah karya yang dibuat agar ia bisa merekonstruksi ulang realitas negerinya.

Realitas Nigeria Masa Kini

Nigeria kini adalah sebuah negeri yang sedang bergerak dinamis. Negeri ini adalah salah satu negara terluas di Afrika Barat. Nigeria memiliki kekayaan sumber daya, baik manusia serta alam, yang amat melimpah. Ia kaya minyak dan memiliki etnis yang berwarna. Namun, kekayaan negeri ini selain menguntungkan, rupanya juga sangat merisaukan. Sumber-sumber kekayaan negeri itulah yang selama ini sering menjadi pemicu konflik.

Seperti Indonesia, Nigeria juga sempat menjadi jajahan negara Barat. Baru pada 1 Oktober 1960, Nigeria mendapat kemerdekaan dari Inggris. Lepas dari Inggris, Nigeria akhirnya memasuki

Unknown gunmen have stormed a viewing center in Nigeria's northeastern town of Potiskum, killing two people and leaving several others wounded. http://www.presstv.ir/detail/2014/04/10/357985/two-killed-in-nigeria-viewing-center-attack/

NIGERIAN MONARCHS;SEBUAH REKONSTRUKSI IDENTITASLEWAT FOTOLucia Dianawuri (Peneliti Pusaka Institut)

sebuah negara maka Nigeria telah jauh Victor sebagai seorang patriot yang rela meninggalkan Indonesia. Hingga perhelatan meninggalkan segala “kemapanannya” di USA dOCUMENTA yang terakhir kali diadakan tahun dan kembali ke Lagos atas permintaan Dele 2012 lalu, belum ada satu pun seniman Olojede–seorang jurnalis terbesar dalam Indonesia yang berpartisipasi di dalamnya. sejarah Nigeria dan sempat memenangkan Tentu penilaian yang demikian sangat parsial hadiah Pulitzer–untuk mengurusi surat kabar sebab masih banyak kategori lain yang perlu Next.dilihat.

Dalam hal eksplorasi isu, Jude juga punya Terlepas dari itu semua, ada beberapa hal yang kecenderungan Ndidi dan Victor. Hanya saja, menurut hemat saya sangat menarik di CCA karya Jude jauh lebih rumit dan sangat dan menjadi cermin praktik seni rupa konseptual. Untuk memahami karyanya, orang kontemporer di Nigeria. Selain ruang perlu mendengar paparan Jude secara eksplorasi isu yang sangat kaya, mereka juga langsung. Dia tidak peduli pada orang yang kuat dalam membedah maupun menarasikan akan melihat karyanya. Begitupun dengan sebuah karya seni. Boleh dikata, secara gagasan yang hendak ia sampaikan. Mau konseptual CCA sangat kuat. Itu nampak saat sepakat atau tidak, Jude sama sekali tidak berdiskusi secara panjang lebar dengan Jude peduli. Menurutnya, apa yang dia sampaikan dan seniman-seniman yang sempat terlibat adalah cara bacanya terhadap sebuah dalam sebuah project di CCA seperti Ndidi persoalan. Lantaran terlalu konseptual, muncul Dike dan Victor Ehikhamenor. Ndidi kesan–setidaknya bagi saya secara pribadi–jika mengeksplorasi dan menggunakan beragam karyanya terlalu ditekan gagasan. media dalam praktik artistiknya. Dalam sebuah Gampangannya, pemikirannya serumit project di CCA, Ndindi mengangkat tajuk jejak karyanya.perbudakan di negerinya. Dia menelusuri secara historis dan genealogis praktik Tulisan sederhana ini tentu belum perbudakan di masa lalu; bagaimana orang mencerminkan keseluruhan pengalaman kami Nigeria ditangkap, dikumpulkan, dipasung, selama mengunjungi Nigeria. Begitupun dikemas, hingga dikirim ke berbagai kawasan dengan apa yang kami temui dan lihat di sana, seperti Eropa dan Amerika. Untuk mendukung belum cukup untuk memberi kesimpulan project-nya, Ndidi melakukan penelitian umum perihal praktik seni kontemporernya. panjang tentang praktik perbudakan di Afrika Ini hanya menjadi pemantik awal bagi kita selama masa kolonial berlangsung. semua untuk sedikit melihat kehidupan

masyarakat dan praktik seni kontemporer Kedalaman dalam mengeksplorasi isu juga Nigeria. Setidaknya ada satu hal yang perlu ditunjukkan Victor Ehikhamenor. Victor adalah direnungkan; Nigeria bukan semak belukar! seniman serba bisa di Lagos. Selain menekuni Mereka bergerak secara progresif dan sangat drawing, painting, dan fotografi, Victor juga penting untuk dijadikan mitra kerja sama. YBY menjadi kolumnis di Washington Post, akan mengirim 2 orang untuk tinggal di Lagos kontributor beberapa media terkemuka di USA lebih lama yaitu 30 hari pada November 2014 dan Eropa baik untuk tulisan fiksi maupun yang akan datang. 2 orang yang akan non-fiksi. Dia sempat tinggal di USA sebelum berangkat itu adalah Wok The Rock, kurator akhirnya kembali dan menetap di Nigeria. Biennale Jogja XIII dan Syafiatudina, peneliti. Dalam praktik artistiknya, Victor Mereka berdua akan melakukan eksplorasi mengeksplorasi tema-tema sosial, ekonomi, lebih mendalam perihal kehidupan masyarakat dan politik. Seniman ini sangat penting dalam dan praktik seni kontemporer di Nigeria. ____peta seni kontemporer di Lagos. Okey Ndibe, seorang kolumnis The Sun, menggambarkan

Page 19: Newsletter Edisi 7, Oktober 2014

18 19

Fotografi adalah medium. Ia juga bisa menjadi bahasa. Sarana untuk bercerita, menyampaikan kisah atau sebuah pesan. Lewat gambar-gambar fotografis, sebuah cerita diartikulasi secara personal oleh pembacanya. Beberapa gambar bahkan diartikulasi menjadi sebuah realitas.

Nigerian Monarchs karya George Osodi ini adalah salah satu essai foto yang dibuat untuk memanfaatkan kemampuan medium fotografi itu. Karya ini muncul dari kegelisahan George akan realitas di negerinya akhir-akhir ini. Sebuah realitas yang menurutnya tidak menyenangkan. Kegelisahan George pada negerinya itu kemudian disampaikan secara menarik lewat karya yang hingga kini masih terus ia kerjakan. Sebuah karya yang dibuat agar ia bisa merekonstruksi ulang realitas negerinya.

Realitas Nigeria Masa Kini

Nigeria kini adalah sebuah negeri yang sedang bergerak dinamis. Negeri ini adalah salah satu negara terluas di Afrika Barat. Nigeria memiliki kekayaan sumber daya, baik manusia serta alam, yang amat melimpah. Ia kaya minyak dan memiliki etnis yang berwarna. Namun, kekayaan negeri ini selain menguntungkan, rupanya juga sangat merisaukan. Sumber-sumber kekayaan negeri itulah yang selama ini sering menjadi pemicu konflik.

Seperti Indonesia, Nigeria juga sempat menjadi jajahan negara Barat. Baru pada 1 Oktober 1960, Nigeria mendapat kemerdekaan dari Inggris. Lepas dari Inggris, Nigeria akhirnya memasuki

Unknown gunmen have stormed a viewing center in Nigeria's northeastern town of Potiskum, killing two people and leaving several others wounded. http://www.presstv.ir/detail/2014/04/10/357985/two-killed-in-nigeria-viewing-center-attack/

NIGERIAN MONARCHS;SEBUAH REKONSTRUKSI IDENTITASLEWAT FOTOLucia Dianawuri (Peneliti Pusaka Institut)

sebuah negara maka Nigeria telah jauh Victor sebagai seorang patriot yang rela meninggalkan Indonesia. Hingga perhelatan meninggalkan segala “kemapanannya” di USA dOCUMENTA yang terakhir kali diadakan tahun dan kembali ke Lagos atas permintaan Dele 2012 lalu, belum ada satu pun seniman Olojede–seorang jurnalis terbesar dalam Indonesia yang berpartisipasi di dalamnya. sejarah Nigeria dan sempat memenangkan Tentu penilaian yang demikian sangat parsial hadiah Pulitzer–untuk mengurusi surat kabar sebab masih banyak kategori lain yang perlu Next.dilihat.

Dalam hal eksplorasi isu, Jude juga punya Terlepas dari itu semua, ada beberapa hal yang kecenderungan Ndidi dan Victor. Hanya saja, menurut hemat saya sangat menarik di CCA karya Jude jauh lebih rumit dan sangat dan menjadi cermin praktik seni rupa konseptual. Untuk memahami karyanya, orang kontemporer di Nigeria. Selain ruang perlu mendengar paparan Jude secara eksplorasi isu yang sangat kaya, mereka juga langsung. Dia tidak peduli pada orang yang kuat dalam membedah maupun menarasikan akan melihat karyanya. Begitupun dengan sebuah karya seni. Boleh dikata, secara gagasan yang hendak ia sampaikan. Mau konseptual CCA sangat kuat. Itu nampak saat sepakat atau tidak, Jude sama sekali tidak berdiskusi secara panjang lebar dengan Jude peduli. Menurutnya, apa yang dia sampaikan dan seniman-seniman yang sempat terlibat adalah cara bacanya terhadap sebuah dalam sebuah project di CCA seperti Ndidi persoalan. Lantaran terlalu konseptual, muncul Dike dan Victor Ehikhamenor. Ndidi kesan–setidaknya bagi saya secara pribadi–jika mengeksplorasi dan menggunakan beragam karyanya terlalu ditekan gagasan. media dalam praktik artistiknya. Dalam sebuah Gampangannya, pemikirannya serumit project di CCA, Ndindi mengangkat tajuk jejak karyanya.perbudakan di negerinya. Dia menelusuri secara historis dan genealogis praktik Tulisan sederhana ini tentu belum perbudakan di masa lalu; bagaimana orang mencerminkan keseluruhan pengalaman kami Nigeria ditangkap, dikumpulkan, dipasung, selama mengunjungi Nigeria. Begitupun dikemas, hingga dikirim ke berbagai kawasan dengan apa yang kami temui dan lihat di sana, seperti Eropa dan Amerika. Untuk mendukung belum cukup untuk memberi kesimpulan project-nya, Ndidi melakukan penelitian umum perihal praktik seni kontemporernya. panjang tentang praktik perbudakan di Afrika Ini hanya menjadi pemantik awal bagi kita selama masa kolonial berlangsung. semua untuk sedikit melihat kehidupan

masyarakat dan praktik seni kontemporer Kedalaman dalam mengeksplorasi isu juga Nigeria. Setidaknya ada satu hal yang perlu ditunjukkan Victor Ehikhamenor. Victor adalah direnungkan; Nigeria bukan semak belukar! seniman serba bisa di Lagos. Selain menekuni Mereka bergerak secara progresif dan sangat drawing, painting, dan fotografi, Victor juga penting untuk dijadikan mitra kerja sama. YBY menjadi kolumnis di Washington Post, akan mengirim 2 orang untuk tinggal di Lagos kontributor beberapa media terkemuka di USA lebih lama yaitu 30 hari pada November 2014 dan Eropa baik untuk tulisan fiksi maupun yang akan datang. 2 orang yang akan non-fiksi. Dia sempat tinggal di USA sebelum berangkat itu adalah Wok The Rock, kurator akhirnya kembali dan menetap di Nigeria. Biennale Jogja XIII dan Syafiatudina, peneliti. Dalam praktik artistiknya, Victor Mereka berdua akan melakukan eksplorasi mengeksplorasi tema-tema sosial, ekonomi, lebih mendalam perihal kehidupan masyarakat dan politik. Seniman ini sangat penting dalam dan praktik seni kontemporer di Nigeria. ____peta seni kontemporer di Lagos. Okey Ndibe, seorang kolumnis The Sun, menggambarkan

Page 20: Newsletter Edisi 7, Oktober 2014

20 21

rezim yang berkuasa. Citra fotografis yang diproduksi dan direproduksi terus-menerus, lalu disebarkan pada ruang-ruang yang pas, adalah alat sempurna untuk menciptakan realitas ala rezim itu. Ia adalah alat propaganda yang mujarab.

Dalam sejumlah catatan, medium fotografi mulai digunakan untuk mendokumentasikan Afrika, khususnya Afrika Barat dan Tengah, pada tahun 1850 an dan 1860 an. Ketika itu studio foto mulai dibuka di kota-kota pelabuhan seperti Freetown, Monrovia atau Accra.² Ketika itu fotografer, termasuk fotografer Afrika sendiri, berlomba-lomba menampilkan Afrika yang eksotis,³ sekaligus sebagai negeri “hitam”.

Konstruksi bahwa Afrika itu “hitam”, miskin, dan “tidak beradab” adalah salah satu peninggalan kolonialisme yang masih tetap kronis pada era pascakolonial. Oleh para penjajah, Afrika dicitrakan secara fotografis sebagai sesuatu di luar diri mereka. Sesuatu dari negeri jauh yang pada beberapa bagian amat eksotis.

Pada masa kolonial, bagi khalayak pribumi, kamera adalah sesuatu yang tidak tersentuh. Sebuah medium yang asalnya dari negeri Barat yang hanya mampu diakses oleh segelintir orang saja. Pribumi menjadi tidak bersuara. Keterbatasan akses pada kamera itu pun dimanfaatkan dengan semena oleh segelintir orang yang berkepentingan membentuk realitas orang-orang yang mereka anggap sebagai jajahan. Fotografi kemudian menjadi medium untuk menciptakan citra tentang bangsa Barat yang datang ke benua itu sebagai Mesias untuk memperadabkan Afrika.

Salah satu fotografer asal Afrika yang menampilkan Afrika secara elegan dari mata Afrika sendiri adalah Seydou Keita. Ia adalah salah satu fotografer asal Afrika yang tercatat dalam sejarah fotografi kontemporer dunia. Seydou adalah fotografer asal Mali. Lewat lensanya, Keita menampilkan Afrika yang glamor dan berkelas. Ketika itu, jika warga Mali dan sekitarnya, terutama kalangan atas dan pesohor ingin membuat citra fotografis yang elegan, mereka akan datang ke Keita. Ia berjaya pada tahun 1950-an. Namun Keita baru mendunia puluhan tahun kemudian, ketika ia sudah tidak aktif lagi memotret. Sebelum itu, di Eropa, Seydou Keita hanya dikenal dengan sebutan unknown. Seorang unknown yang memotret wajah-wajah Afrika yang eksotis, yang sesuai dengan harapan masyarakat Barat tentang negeri jauh itu.

Hingga kini, tidak bisa dipungkiri, citra-citra fotografis tentang Afrika yang beredar di dunia kebanyakan adalah gambaran eksotis penuh dengan stereotipe negeri “hitam” itu. Di luar Keita, sejumlah fotografer –baik orang Afrika sendiri- yang namanya tidak tercatat, seringkali masih mencitrakan Afrika dalam satu citra fotografis seperti ini.

4

Diunduh dari http://www.b.dk/kommentarer/afrika-i-vore-hjerter

pemerintahan diktator dan baru ketika Olusegun Obasanyoda terpilih sebagai presiden, Nigeria memasuki era demokrasi. Olusegun terpilih secara demokratis dengan mengantongi 2/3 suara. Ia diusung oleh People's Democratic Party (PDP). Ini menjadi tanda berakhirnya masa kediktatoran di Nigeria.

Namun Nigeria yang sejatinya amat beragam itu, belum benar-benar bisa bersatu, karena keberagaman itu juga memunculkan banyak kepentingan. Tercatat, selama lebih kurang 30 tahun Nigeria sempat mengalami perang saudara. Salah satu nya adalah berbagai konflik yang dipicu oleh kelompok Boko Haram yang ingin mendirikan negara Islam murni. Kelompok ini sempat menjadi perhatian dunia karena belum lama ini telah menculik 200 pelajar perempuan. Selain Boko Haram, sejumlah kelompok militan yang tersebar di beberapa penjuru Nigeria sering berkonflik dengan pemerintah, dan menyebarkan teror.

Sejumlah realitas yang terjadi di Nigeria itu diabadikan oleh para pembidik gambar yang kemudian didistribusikan ke berbagai belahan dunia melalui media massa ataupun sosial media. Imaji fotografis seperti itulah yang memonopoli gambaran tentang Nigeria selama ini. Imaji yang kemudian diartikulasi menjadi realitas tentang Nigeria. Gambaran fotografis tentang Nigeria yang “hitam”¹, miskin, penuh dengan konflik dan korup.

Foto dan Realitas Nigeria

Sejak awal ditemukan, kemudian diproduksi secara massal, kamera telah menjadi benda yang amat revolusioner. Dengan kemampuannya merekam gambar serta memberhentikan momen, kamera telah mencipta revolusi pada sejarah kebudayaan umat manusia.

Apalagi ketika kamera semakin kecil dan semakin terjangkau, semua orang pun berlomba-lomba memiliki kamera. George Eastman, seorang pebisnis yang melihat peluang besar dari bisnis visual ini, adalah salah satu pioner dari keterjangkauan kamera itu. Dengan tagline, “You Press The Button We Do The Rest” kamera Brownie keluaran Kodak ciptaan Eastman itu, menjadi barang yang ketika itu layaknya camilan populer, jika belum memiliki bisa dianggap tidak mengikuti semangat zaman. Orang-orang pun menjadi penikmat fotografi dan menjadi produsen serta obyek foto itu sendiri.

Wabah itu pun menjangkiti dunia. Fotografi menjadi medium yang sangat berguna. Ia juga digunakan oleh orang-orang yang berkepentingan untuk mencapai tujuannya. Salah satunya adalah

Unknown gunmen have stormed a viewing center in Nigeria's northeastern town of Potiskum, killing two people and leaving several others wounded. http://www.presstv.ir/detail/2014/04/10/357985/two-killed-in-nigeria-viewing-center-attack/

Page 21: Newsletter Edisi 7, Oktober 2014

20 21

rezim yang berkuasa. Citra fotografis yang diproduksi dan direproduksi terus-menerus, lalu disebarkan pada ruang-ruang yang pas, adalah alat sempurna untuk menciptakan realitas ala rezim itu. Ia adalah alat propaganda yang mujarab.

Dalam sejumlah catatan, medium fotografi mulai digunakan untuk mendokumentasikan Afrika, khususnya Afrika Barat dan Tengah, pada tahun 1850 an dan 1860 an. Ketika itu studio foto mulai dibuka di kota-kota pelabuhan seperti Freetown, Monrovia atau Accra.² Ketika itu fotografer, termasuk fotografer Afrika sendiri, berlomba-lomba menampilkan Afrika yang eksotis,³ sekaligus sebagai negeri “hitam”.

Konstruksi bahwa Afrika itu “hitam”, miskin, dan “tidak beradab” adalah salah satu peninggalan kolonialisme yang masih tetap kronis pada era pascakolonial. Oleh para penjajah, Afrika dicitrakan secara fotografis sebagai sesuatu di luar diri mereka. Sesuatu dari negeri jauh yang pada beberapa bagian amat eksotis.

Pada masa kolonial, bagi khalayak pribumi, kamera adalah sesuatu yang tidak tersentuh. Sebuah medium yang asalnya dari negeri Barat yang hanya mampu diakses oleh segelintir orang saja. Pribumi menjadi tidak bersuara. Keterbatasan akses pada kamera itu pun dimanfaatkan dengan semena oleh segelintir orang yang berkepentingan membentuk realitas orang-orang yang mereka anggap sebagai jajahan. Fotografi kemudian menjadi medium untuk menciptakan citra tentang bangsa Barat yang datang ke benua itu sebagai Mesias untuk memperadabkan Afrika.

Salah satu fotografer asal Afrika yang menampilkan Afrika secara elegan dari mata Afrika sendiri adalah Seydou Keita. Ia adalah salah satu fotografer asal Afrika yang tercatat dalam sejarah fotografi kontemporer dunia. Seydou adalah fotografer asal Mali. Lewat lensanya, Keita menampilkan Afrika yang glamor dan berkelas. Ketika itu, jika warga Mali dan sekitarnya, terutama kalangan atas dan pesohor ingin membuat citra fotografis yang elegan, mereka akan datang ke Keita. Ia berjaya pada tahun 1950-an. Namun Keita baru mendunia puluhan tahun kemudian, ketika ia sudah tidak aktif lagi memotret. Sebelum itu, di Eropa, Seydou Keita hanya dikenal dengan sebutan unknown. Seorang unknown yang memotret wajah-wajah Afrika yang eksotis, yang sesuai dengan harapan masyarakat Barat tentang negeri jauh itu.

Hingga kini, tidak bisa dipungkiri, citra-citra fotografis tentang Afrika yang beredar di dunia kebanyakan adalah gambaran eksotis penuh dengan stereotipe negeri “hitam” itu. Di luar Keita, sejumlah fotografer –baik orang Afrika sendiri- yang namanya tidak tercatat, seringkali masih mencitrakan Afrika dalam satu citra fotografis seperti ini.

4

Diunduh dari http://www.b.dk/kommentarer/afrika-i-vore-hjerter

pemerintahan diktator dan baru ketika Olusegun Obasanyoda terpilih sebagai presiden, Nigeria memasuki era demokrasi. Olusegun terpilih secara demokratis dengan mengantongi 2/3 suara. Ia diusung oleh People's Democratic Party (PDP). Ini menjadi tanda berakhirnya masa kediktatoran di Nigeria.

Namun Nigeria yang sejatinya amat beragam itu, belum benar-benar bisa bersatu, karena keberagaman itu juga memunculkan banyak kepentingan. Tercatat, selama lebih kurang 30 tahun Nigeria sempat mengalami perang saudara. Salah satu nya adalah berbagai konflik yang dipicu oleh kelompok Boko Haram yang ingin mendirikan negara Islam murni. Kelompok ini sempat menjadi perhatian dunia karena belum lama ini telah menculik 200 pelajar perempuan. Selain Boko Haram, sejumlah kelompok militan yang tersebar di beberapa penjuru Nigeria sering berkonflik dengan pemerintah, dan menyebarkan teror.

Sejumlah realitas yang terjadi di Nigeria itu diabadikan oleh para pembidik gambar yang kemudian didistribusikan ke berbagai belahan dunia melalui media massa ataupun sosial media. Imaji fotografis seperti itulah yang memonopoli gambaran tentang Nigeria selama ini. Imaji yang kemudian diartikulasi menjadi realitas tentang Nigeria. Gambaran fotografis tentang Nigeria yang “hitam”¹, miskin, penuh dengan konflik dan korup.

Foto dan Realitas Nigeria

Sejak awal ditemukan, kemudian diproduksi secara massal, kamera telah menjadi benda yang amat revolusioner. Dengan kemampuannya merekam gambar serta memberhentikan momen, kamera telah mencipta revolusi pada sejarah kebudayaan umat manusia.

Apalagi ketika kamera semakin kecil dan semakin terjangkau, semua orang pun berlomba-lomba memiliki kamera. George Eastman, seorang pebisnis yang melihat peluang besar dari bisnis visual ini, adalah salah satu pioner dari keterjangkauan kamera itu. Dengan tagline, “You Press The Button We Do The Rest” kamera Brownie keluaran Kodak ciptaan Eastman itu, menjadi barang yang ketika itu layaknya camilan populer, jika belum memiliki bisa dianggap tidak mengikuti semangat zaman. Orang-orang pun menjadi penikmat fotografi dan menjadi produsen serta obyek foto itu sendiri.

Wabah itu pun menjangkiti dunia. Fotografi menjadi medium yang sangat berguna. Ia juga digunakan oleh orang-orang yang berkepentingan untuk mencapai tujuannya. Salah satunya adalah

Unknown gunmen have stormed a viewing center in Nigeria's northeastern town of Potiskum, killing two people and leaving several others wounded. http://www.presstv.ir/detail/2014/04/10/357985/two-killed-in-nigeria-viewing-center-attack/

Page 22: Newsletter Edisi 7, Oktober 2014

22 23

Bila ditelusuri ke belakang, kerajaan-kerajaan tradisional di Nigeria sudah bermunculan lebih dari 2000 tahun yang lalu, termasuk Kerajaan Kanem-Borno, kerajan Hausa dari Katsina, Kano, Zaria dan Gobir di bagian utara Nigeria, Kerajaan Yourba dari Ife, Oyo dan Ijebu di Nigeria Barat Daya dan Kerajaan Benin di sebelah Selatan, serta komunitas Ibo di bagian Timur.

Namun ada sejumlah kerajaan yang baru muncul sesudah tahun 1914, dan bahkan juga ada yang muncul baru-baru saja. Kemunculan kerajaan-kerajaan yang baru saja adalah gambaran dari begitu besarnya tarik ulur kepentingan di antara mereka. Sejumlah kerajaan yang muncul sesudah 1914 kebanyakan adalah bentukan pemerintah kolonial Inggris yang ingin menciptakan Raja-Raja boneka yang dapat mereka kontrol secara langsung.

Memang secara formal dalam pemerintahan negara, kedudukannya tidak terlalu berpengaruh dalam hal kebijakan publik. Namun secara informal para Raja ini memiliki pengaruh sangat kuat di antara rakyat pendukungnya. Hal ini terjadi karena para Raja umumnya memiliki kapital ekonomi, kapital sosial, kultural serta simbolik yang amat kuat.

Pada mulanya Nigeria adalah bagian dari kebudayaan kuno Nok. Perbatasan Nigeria dan Kamerun adalah rumah bagi orang-orang yang berbicara bahasa Bantu, sebuah bahasa yang secara umum menjadi bahasa ibu bagi banyak negara-negara Afrika di bagian selatan Gurun Sahara. Kini tercatat kurang lebih ada 500 kerajaan tradisional di Nigeria. Masing-masing kerajaan itu memiliki corak dan warna yang beragam. Masing-masing juga memiliki pemerintahan dan kepemimpinan tradisional yang khas sesuai dengan adat tradisi serta pengalaman sejarah mereka masing-masing.

Para pemimpin tradisional ini mendapat pengakuan akan kekuasaanya dari kesetian rakyat mereka, walaupun tidak ada Undang-Undang yang menjadi dasarnya. Kekuasaan kerajaan-kerajaan tradisional ini dibiayai oleh kekayaan serta properti yang diwariskan, selain itu juga berbagai kontribusi dari seluruh anggota komunitas.

Kebanyakan dari kelompok etnis ini tersebar di sepanjang Delta Niger, tempat dimana sumber daya alam Nigeria yang paling kaya tersembunyi. Perebutan kuasa atas ladang-ladang minyak yang besar itu pula yang seringkali menjadi sumber konflik antar kelompok di Nigeria. Selain juga karena sejumlah perbedaan keyakinan dan kepentingan yang sudah tidak bisa dijembatani lagi secara damai.

5

Gambar fotografis ini tampaknya sudah menjadi semacam realitas yang dimaklumi kebenarannya oleh khalayak. Ini terbukti, ketika saya sedang melakukan riset sederhana untuk tulisan ini. Saya bertanya kepada sejumlah kawan fotografer tentang apa yang ada di kepala mereka, ketika membicarakan Nigeria dan fotografi. Kebanyakan dari mereka akan menjawab, “Kayaknya fotografinya belum berkembang dan yang kelihatan ya foto-foto tentang kerusuhan, Boko Haram, atau kemiskinan.”

Namun setelah saya berselancar di dunia maya, ternyata ada sebuah essay foto karya fotografer asli Nigeria yang begitu menarik mata saya. Dalam karya itu terlihat para lelaki kulit hitam mengenakan pakaian tradisional berwarna-warni yang tampak begitu berwibawa, dan sangat elegan. Ya, karya itu adalah Nigerian Monarchs, milik George Osodi.

Rekonstruksi Identitas Nigeria Lewat Nigerian Monarchs

George Osodi adalah seorang fotografer kelahiran Nigeria yang sudah memiliki rekam jejak di dunia internasional. Ia mendokumentasikan Nigeria dari berbagai sisi. Ia tidak hanya mendokumentasikan soal-soal yang gelap dan hitam saja. Ia mendokumentasikan Nigeria yang begitu berwarna, Nigeria yang sebenar-benarnya. George adalah salah satu generasi baru fotografi di Nigeria yang memanfaatkan medium ini bukan hanya sebagai alat propaganda yang berkuasa, tetapi sebagai alat untuk merepresentasikan diri, refleksi dan merayakan diri sendiri. Nigerian Monarchs adalah salah satu contoh karya fotografis itu.

Dalam foto essai ini, George memotret para penguasa tradisional dari berbagai kerajaan di Nigeria yang banyak diantaranya telah ada semenjak konsep Nigeria sebagai sebuah negeri belum dimunculkan oleh pemerintahan kolonial Inggris pada tahun 1914.

screenshot dari http://georgeosodi.photoshelter.com/gallery/NIGERIAN-MONARCHS/G0000X9MCoZDi.bE/

Page 23: Newsletter Edisi 7, Oktober 2014

22 23

Bila ditelusuri ke belakang, kerajaan-kerajaan tradisional di Nigeria sudah bermunculan lebih dari 2000 tahun yang lalu, termasuk Kerajaan Kanem-Borno, kerajan Hausa dari Katsina, Kano, Zaria dan Gobir di bagian utara Nigeria, Kerajaan Yourba dari Ife, Oyo dan Ijebu di Nigeria Barat Daya dan Kerajaan Benin di sebelah Selatan, serta komunitas Ibo di bagian Timur.

Namun ada sejumlah kerajaan yang baru muncul sesudah tahun 1914, dan bahkan juga ada yang muncul baru-baru saja. Kemunculan kerajaan-kerajaan yang baru saja adalah gambaran dari begitu besarnya tarik ulur kepentingan di antara mereka. Sejumlah kerajaan yang muncul sesudah 1914 kebanyakan adalah bentukan pemerintah kolonial Inggris yang ingin menciptakan Raja-Raja boneka yang dapat mereka kontrol secara langsung.

Memang secara formal dalam pemerintahan negara, kedudukannya tidak terlalu berpengaruh dalam hal kebijakan publik. Namun secara informal para Raja ini memiliki pengaruh sangat kuat di antara rakyat pendukungnya. Hal ini terjadi karena para Raja umumnya memiliki kapital ekonomi, kapital sosial, kultural serta simbolik yang amat kuat.

Pada mulanya Nigeria adalah bagian dari kebudayaan kuno Nok. Perbatasan Nigeria dan Kamerun adalah rumah bagi orang-orang yang berbicara bahasa Bantu, sebuah bahasa yang secara umum menjadi bahasa ibu bagi banyak negara-negara Afrika di bagian selatan Gurun Sahara. Kini tercatat kurang lebih ada 500 kerajaan tradisional di Nigeria. Masing-masing kerajaan itu memiliki corak dan warna yang beragam. Masing-masing juga memiliki pemerintahan dan kepemimpinan tradisional yang khas sesuai dengan adat tradisi serta pengalaman sejarah mereka masing-masing.

Para pemimpin tradisional ini mendapat pengakuan akan kekuasaanya dari kesetian rakyat mereka, walaupun tidak ada Undang-Undang yang menjadi dasarnya. Kekuasaan kerajaan-kerajaan tradisional ini dibiayai oleh kekayaan serta properti yang diwariskan, selain itu juga berbagai kontribusi dari seluruh anggota komunitas.

Kebanyakan dari kelompok etnis ini tersebar di sepanjang Delta Niger, tempat dimana sumber daya alam Nigeria yang paling kaya tersembunyi. Perebutan kuasa atas ladang-ladang minyak yang besar itu pula yang seringkali menjadi sumber konflik antar kelompok di Nigeria. Selain juga karena sejumlah perbedaan keyakinan dan kepentingan yang sudah tidak bisa dijembatani lagi secara damai.

5

Gambar fotografis ini tampaknya sudah menjadi semacam realitas yang dimaklumi kebenarannya oleh khalayak. Ini terbukti, ketika saya sedang melakukan riset sederhana untuk tulisan ini. Saya bertanya kepada sejumlah kawan fotografer tentang apa yang ada di kepala mereka, ketika membicarakan Nigeria dan fotografi. Kebanyakan dari mereka akan menjawab, “Kayaknya fotografinya belum berkembang dan yang kelihatan ya foto-foto tentang kerusuhan, Boko Haram, atau kemiskinan.”

Namun setelah saya berselancar di dunia maya, ternyata ada sebuah essay foto karya fotografer asli Nigeria yang begitu menarik mata saya. Dalam karya itu terlihat para lelaki kulit hitam mengenakan pakaian tradisional berwarna-warni yang tampak begitu berwibawa, dan sangat elegan. Ya, karya itu adalah Nigerian Monarchs, milik George Osodi.

Rekonstruksi Identitas Nigeria Lewat Nigerian Monarchs

George Osodi adalah seorang fotografer kelahiran Nigeria yang sudah memiliki rekam jejak di dunia internasional. Ia mendokumentasikan Nigeria dari berbagai sisi. Ia tidak hanya mendokumentasikan soal-soal yang gelap dan hitam saja. Ia mendokumentasikan Nigeria yang begitu berwarna, Nigeria yang sebenar-benarnya. George adalah salah satu generasi baru fotografi di Nigeria yang memanfaatkan medium ini bukan hanya sebagai alat propaganda yang berkuasa, tetapi sebagai alat untuk merepresentasikan diri, refleksi dan merayakan diri sendiri. Nigerian Monarchs adalah salah satu contoh karya fotografis itu.

Dalam foto essai ini, George memotret para penguasa tradisional dari berbagai kerajaan di Nigeria yang banyak diantaranya telah ada semenjak konsep Nigeria sebagai sebuah negeri belum dimunculkan oleh pemerintahan kolonial Inggris pada tahun 1914.

screenshot dari http://georgeosodi.photoshelter.com/gallery/NIGERIAN-MONARCHS/G0000X9MCoZDi.bE/

Page 24: Newsletter Edisi 7, Oktober 2014

24 25

Lewat essai foto ini, George ingin merekonstruksi identitas Nigeria. George ingin merayakan identitas ke-Nigeriaan-nya. Lewat dokumentasi serta arsip-arsip visual ini, George berharap khalayak pembaca Nigerian Monarchs dapat semakin mengerti sejarah bangsa Nigeria. Dan selanjutnya, ia berharap, hal ini bisa menjadi cara ampuh untuk mengembangkan rasa cinta pada identitas nasional bangsa Nigeria.

Kecintaan pada identitas nasional Nigeria ini menjadi begitu krusial karena berbagai konflik yang terjadi selama ini adalah gambaran betapa bangsa Nigeria belum benar-benar mengenal, atau menurut George, sudah melupakan budaya serta sejarahnya sendiri. Jika diri sendiri belum benar-benar mengenal diri, bagaimana mungkin orang luar juga akan mengenal mereka dengan baik.

Jika kita tidak mengenal diri dengan baik dan tidak mewartakan yang baik ke luar, maka orang luar akan memiliki kuasa untuk mewartakan hal apapun yang dianggap laku dijual. Berbagai stereotipe serta hal-hal kontroversiallah yang akan diwartakan. Sudah saatnya, menurut George, orang Nigeria sendiri, bercermin pada budaya sendiri, bangga akan hal itu lalu menampilkannya pada dunia luar.

Nigerian Monarchs adalah on going project. Hingga kini George masih terus mendokumentasikan Raja-Raja kecil Nigeria yang tersebar di penjuru negeri. Perjalanan jauh serta akses ke para Raja ini yang ternyata tidak mudah, membuat projek ini menjadi proyek yang tidak sebentar. Namun, hingga kini, tanggapan amat positif telah bermunculan dari khalayak. Karya George ini telah melanglang buana dan dipamerkan di sejumlah negara Eropa. Khalayak Nigeria sendiri pun amat positif menyambut karya ini, karena akhirnya ada mata Nigeria sendiri yang mengabadikan Nigeria sebenar-sebenarnya.

screenshot dari http://georgeosodi.photoshelter.c

om/gallery/NIGERIAN-MONARCHS/G0000X9MCoZDi.bE/

Dalam rentetan foto itu, para Raja serta para pendampinya tampak berpose secara kaku di hadapan kamera George. Mereka pun mengenakan pakaian kebesaran lengkap beserta ornamen-ornamennya. Para Raja beserta pendampingnya, dipotret dilatari interior desain istana. Hal ini menggambarkan kekuasaan atas rakyat mereka. Beberapa Raja juga tampak duduk di atas kursi kebesarannya. Secara simbolik foto semacam ini jelas sebuah afirmasi atas bentuk kekuasaan. Dalam konteks ini adalah, kekuasaan para Raja ini atas rakyat Nigeria di daerah yang mereka kuasai.

Foto-foto ini memang tampak berjarak. Namun justru jarak inilah yang membuat rakyat serta pemerintahan Nigeria segan kepada para pemegang kekuasaan Monarki. Para Raja ini justru yang paling kenal dan 'dekat' dengan rakyat Nigeria, karena keterbatasan wilayah kekuasaan membuat mereka sering berhubungan secara langsung dengan rakyat. Kekuasaan para Raja ini masih bisa terus hidup, justru karena mereka dihidupi oleh loyalitas rakyat. Dalam beberapa hal, menurut George, pendapat para Raja ini akan lebih didengar dibanding pendapat Presiden atau bahkan Tuhan sekalipun.

Cara mendokumentasikan yang demikian itu adalah upaya George menampilkan Nigeria yang berwibawa dan tidak sehitam seperti yang selama ini ditampilkan. Dengan barisan foto yang berwarna-warni, serta barisan jubah yang tampak anggun dan elegan, George ingin menggambarkan bahwa orang-orang Nigeria adalah orang-orang yang bangga akan dirinya sendiri, akan identitasnya serta akan kebudayaannya.

Nigerian Monarchs adalah gambaran bahwa Nigeria memiliki kekayaan yang tidak banyak dimiliki oleh negara-negara lain di dunia. Oleh karena itu, kekayaan ini tidak seharusnya menjadi sumber konflik yang membabibuta. Bagi George, keberagaman ini adalah harta karun Nigeria yang seharusnya menjadi sumber kebanggaan seluruh bangsa. Sebuah identitas Nigeria yang kaya warna namun tetap harmonis dalam perbedaan.

screenshot dari http://georgeosodi.photoshelter.c

om/gallery/NIGERIAN-MONARCHS/G0000X9MCoZDi.bE/

Page 25: Newsletter Edisi 7, Oktober 2014

24 25

Lewat essai foto ini, George ingin merekonstruksi identitas Nigeria. George ingin merayakan identitas ke-Nigeriaan-nya. Lewat dokumentasi serta arsip-arsip visual ini, George berharap khalayak pembaca Nigerian Monarchs dapat semakin mengerti sejarah bangsa Nigeria. Dan selanjutnya, ia berharap, hal ini bisa menjadi cara ampuh untuk mengembangkan rasa cinta pada identitas nasional bangsa Nigeria.

Kecintaan pada identitas nasional Nigeria ini menjadi begitu krusial karena berbagai konflik yang terjadi selama ini adalah gambaran betapa bangsa Nigeria belum benar-benar mengenal, atau menurut George, sudah melupakan budaya serta sejarahnya sendiri. Jika diri sendiri belum benar-benar mengenal diri, bagaimana mungkin orang luar juga akan mengenal mereka dengan baik.

Jika kita tidak mengenal diri dengan baik dan tidak mewartakan yang baik ke luar, maka orang luar akan memiliki kuasa untuk mewartakan hal apapun yang dianggap laku dijual. Berbagai stereotipe serta hal-hal kontroversiallah yang akan diwartakan. Sudah saatnya, menurut George, orang Nigeria sendiri, bercermin pada budaya sendiri, bangga akan hal itu lalu menampilkannya pada dunia luar.

Nigerian Monarchs adalah on going project. Hingga kini George masih terus mendokumentasikan Raja-Raja kecil Nigeria yang tersebar di penjuru negeri. Perjalanan jauh serta akses ke para Raja ini yang ternyata tidak mudah, membuat projek ini menjadi proyek yang tidak sebentar. Namun, hingga kini, tanggapan amat positif telah bermunculan dari khalayak. Karya George ini telah melanglang buana dan dipamerkan di sejumlah negara Eropa. Khalayak Nigeria sendiri pun amat positif menyambut karya ini, karena akhirnya ada mata Nigeria sendiri yang mengabadikan Nigeria sebenar-sebenarnya.

screenshot dari http://georgeosodi.photoshelter.c

om/gallery/NIGERIAN-MONARCHS/G0000X9MCoZDi.bE/

Dalam rentetan foto itu, para Raja serta para pendampinya tampak berpose secara kaku di hadapan kamera George. Mereka pun mengenakan pakaian kebesaran lengkap beserta ornamen-ornamennya. Para Raja beserta pendampingnya, dipotret dilatari interior desain istana. Hal ini menggambarkan kekuasaan atas rakyat mereka. Beberapa Raja juga tampak duduk di atas kursi kebesarannya. Secara simbolik foto semacam ini jelas sebuah afirmasi atas bentuk kekuasaan. Dalam konteks ini adalah, kekuasaan para Raja ini atas rakyat Nigeria di daerah yang mereka kuasai.

Foto-foto ini memang tampak berjarak. Namun justru jarak inilah yang membuat rakyat serta pemerintahan Nigeria segan kepada para pemegang kekuasaan Monarki. Para Raja ini justru yang paling kenal dan 'dekat' dengan rakyat Nigeria, karena keterbatasan wilayah kekuasaan membuat mereka sering berhubungan secara langsung dengan rakyat. Kekuasaan para Raja ini masih bisa terus hidup, justru karena mereka dihidupi oleh loyalitas rakyat. Dalam beberapa hal, menurut George, pendapat para Raja ini akan lebih didengar dibanding pendapat Presiden atau bahkan Tuhan sekalipun.

Cara mendokumentasikan yang demikian itu adalah upaya George menampilkan Nigeria yang berwibawa dan tidak sehitam seperti yang selama ini ditampilkan. Dengan barisan foto yang berwarna-warni, serta barisan jubah yang tampak anggun dan elegan, George ingin menggambarkan bahwa orang-orang Nigeria adalah orang-orang yang bangga akan dirinya sendiri, akan identitasnya serta akan kebudayaannya.

Nigerian Monarchs adalah gambaran bahwa Nigeria memiliki kekayaan yang tidak banyak dimiliki oleh negara-negara lain di dunia. Oleh karena itu, kekayaan ini tidak seharusnya menjadi sumber konflik yang membabibuta. Bagi George, keberagaman ini adalah harta karun Nigeria yang seharusnya menjadi sumber kebanggaan seluruh bangsa. Sebuah identitas Nigeria yang kaya warna namun tetap harmonis dalam perbedaan.

screenshot dari http://georgeosodi.photoshelter.c

om/gallery/NIGERIAN-MONARCHS/G0000X9MCoZDi.bE/

Page 26: Newsletter Edisi 7, Oktober 2014

26 27

4

5

Yayasan Biennale Yogyakarta akan menjalin hubungan kerja atau kolaborasi dengan Nigeria pada Biennale Jogja 2015 nanti. Untuk itu, di awal tahun 2014 lalu digelar berbagai agenda evaluasi maupun diskusi demi memperoleh masukkan dari berbagai pihak. Pihak-pihak yang dimaksud terdiri dari akademisi, praktisi hingga peneliti seni rupa. Tujuannya, mengelaborasi berbagai perspektif dalam melihat dan menyikapi konteks relasi Indonesia-Nigeria. Langkah pertama yang ditempuh adalah menggelar FGD dengan menghadirkan setidaknya 20 orang. Agenda utama dalam pertemuan itu adalah mengevaluasi hasil biennale yang lalu, lalu merumuskan kriteria dan mencari kandidat direktur artistik yang nantinya akan membuat gagasan artistik untuk pelaksanaan Biennale Jogja tahun 2015 nanti.

Di hari itu, banyak yang beranggapan bahwa pilihan pada Nigeria sebagai negara mitra kurang ideal. Sebab sejauh ini, orang hanya melihat dan mengenal Nigeria secara negatif. Gembong-gembong narkoba dari luar Indonesia sedikit banyak berasal dari Nigeria. Begitu juga kesan terhadap Nigeria yang identik dengan kriminalitas dan kekacauan, turut membentuk persepsi negatif orang tentang Nigeria.

MELIHAT NIGERIADARI DALAM PENJARA

Ignatia Nilu (Menejer Artistik Prison Art Programs | PAPs)

¹ Hitam di sini adalah metafora terhadap situasi yang buruk, negatif. Berkebalikan dengan putih yang secara umum dipersepsikan orang sebagai kondisi yang baik, bersih, atau tidak tercela. Secara faktual, sejumlah gerakan separatis memang sering muncul di dalam negeri. Walaupun kaya akan sumber minyak, tingkat kemiskinan juga cukup tinggi di negara ini. Selain itu Nigeria juga terkenal menjadi salah satu tempat bersarangnya kejahatan terorganisir atau mafia, terutama dalam hal penjualan narkoba. Pembajakan juga kerap terjadi, umumnya menyerang kapal-kapal milik perusahaan penambangan minyak di Delta Niger. Sejak Januari 2007, sudah terhitung sekitar 26 pembajakan dilakukan.

² http://africaphotography.org/about

³ Ini tidak jauh berbeda dengan terma Moi Indie (Beautiful Indies) di Nusantara. Saat Nusantara masih dikolonisasi oleh Barat, foto-foto juga lukisan-lukisan yang ditampilkan adalah, citra-citra yang menampilkan eksotisme visual Nusantara. Hindia-Belanda yang cantik dan indah.

BBC The Genius of Photography, episode 6

http://www.kingdomsofnigeria.com/history.php

Referensi :

Peres, Michael R (ed), Focal Encyclopedia of Photography, 4th Edition, Oxford:Elsevier Inc., 2007.

Contemporary Arts in Northern Nigeriafile:///C:/Users/luciadianawuri/Downloads/Contemporary%20Arts%20in%20Northern%20Nigeria%20%20%20First%20Impressions%20%20Contemporary%20Photography%20in%20Nigeria.htm

Exposing Nigeria's historical photographs.file:///C:/Users/luciadianawuri/Downloads/Exposing%20Nigeria's%20historical%20photographs%20%20%20Daily%20Times%20Nigeria.htm

George Osodi : Kings of Nigeriafile:///C:/Users/luciadianawuri/Downloads/George%20Osodi%20%20Kings%20of%20Nigeria%20-%20Artscape%20-%20Al%20Jazeera%20English.htm

Mengenal Sejarah Nigeria file:///C:/Users/luciadianawuri/Downloads/Mengenal%20Sejarah%20Nigeria%20-%20ANNEAHIRA.COM.htm

Nairaland Forumfile:///C:/Users/luciadianawuri/Downloads/Nigeria%20Most%20Influential%20Monarch%20-%20Culture%20-%20Nairaland.htmNigeria's Image in Africa : Big Country Thin Skinfile:///C:/Users/luciadianawuri/Downloads/Nigeria%E2%80%99s%20image%20in%20Africa%20%20Big%20country,%20thin%20skin%20%20%20The%20Economist.htm

Nigerian Monarchs file:///C:/Users/luciadianawuri/Downloads/NIGERIAN%20MONARCHS%20-%20Images%20%20%20George%20Osodi.htm

Nigerian Artist, George Osodifile:///C:/Users/luciadianawuri/Downloads/Nigerian%20artist,%20George%20Osodi,%20talks%20about%20his%20exhibition%20in%20London.htm

Nigerian Monarchs : A Major Exhibition By Acclaimed Nigerian Photographer George Osodifile:///C:/Users/luciadianawuri/Downloads/Nigerian%20Monarchs%20%20A%20major%20exhibition%20by%20acclaimed%20Nigerian%20photographer%20George%20Osodi%20%20%20Gateway%20for%20Africa.htm

Press Release announced for George Osodi's “Nigeria Monarchs Exhibition”file:///C:/Users/luciadianawuri/Downloads/Press%20Release%20announced%20for%20George%20Osodi's%20%20Nigeria%20Monarchs%20%20Exhibition%20%20%20Z%20Photographic.htm

Photography of West Africa and beyond, 1840 to now.file:///C:/Users/luciadianawuri/Downloads/About%20us%20%20%20African%20Photography.htm

Traditional States of Nigeriafile:///C:/Users/luciadianawuri/Downloads/Nigerian%20Traditional%20States.htm

Sumber foto-foto Nigerian Monarchs http://georgeosodi.photoshelter.com/gallery/NIGERIAN-MONARCHS/G0000X9MCoZDi.bE/Sumber foto Kemiskinan Afrika http://www.b.dk/kommentarer/afrika-i-vore-hjerterSumber foto Kekerasan di Nigeria http://www.bet.com/news/global/2014/03/03/nigeria-bloodshed-continues-with-32-dead.html

Sumber foto Unknown Gunmen in Nigeria http://www.presstv.ir/detail/2014/04/10/357985/two-killed-in-nigeria-viewing-center-attack/

Film New African Photography 2013 episode George Osodi, Produksi AljazeeraFilm BBC The Genius of Photography episode 6, Produksi BBC

Program Exterior/Interior Art Nice Movement

Page 27: Newsletter Edisi 7, Oktober 2014

26 27

4

5

Yayasan Biennale Yogyakarta akan menjalin hubungan kerja atau kolaborasi dengan Nigeria pada Biennale Jogja 2015 nanti. Untuk itu, di awal tahun 2014 lalu digelar berbagai agenda evaluasi maupun diskusi demi memperoleh masukkan dari berbagai pihak. Pihak-pihak yang dimaksud terdiri dari akademisi, praktisi hingga peneliti seni rupa. Tujuannya, mengelaborasi berbagai perspektif dalam melihat dan menyikapi konteks relasi Indonesia-Nigeria. Langkah pertama yang ditempuh adalah menggelar FGD dengan menghadirkan setidaknya 20 orang. Agenda utama dalam pertemuan itu adalah mengevaluasi hasil biennale yang lalu, lalu merumuskan kriteria dan mencari kandidat direktur artistik yang nantinya akan membuat gagasan artistik untuk pelaksanaan Biennale Jogja tahun 2015 nanti.

Di hari itu, banyak yang beranggapan bahwa pilihan pada Nigeria sebagai negara mitra kurang ideal. Sebab sejauh ini, orang hanya melihat dan mengenal Nigeria secara negatif. Gembong-gembong narkoba dari luar Indonesia sedikit banyak berasal dari Nigeria. Begitu juga kesan terhadap Nigeria yang identik dengan kriminalitas dan kekacauan, turut membentuk persepsi negatif orang tentang Nigeria.

MELIHAT NIGERIADARI DALAM PENJARA

Ignatia Nilu (Menejer Artistik Prison Art Programs | PAPs)

¹ Hitam di sini adalah metafora terhadap situasi yang buruk, negatif. Berkebalikan dengan putih yang secara umum dipersepsikan orang sebagai kondisi yang baik, bersih, atau tidak tercela. Secara faktual, sejumlah gerakan separatis memang sering muncul di dalam negeri. Walaupun kaya akan sumber minyak, tingkat kemiskinan juga cukup tinggi di negara ini. Selain itu Nigeria juga terkenal menjadi salah satu tempat bersarangnya kejahatan terorganisir atau mafia, terutama dalam hal penjualan narkoba. Pembajakan juga kerap terjadi, umumnya menyerang kapal-kapal milik perusahaan penambangan minyak di Delta Niger. Sejak Januari 2007, sudah terhitung sekitar 26 pembajakan dilakukan.

² http://africaphotography.org/about

³ Ini tidak jauh berbeda dengan terma Moi Indie (Beautiful Indies) di Nusantara. Saat Nusantara masih dikolonisasi oleh Barat, foto-foto juga lukisan-lukisan yang ditampilkan adalah, citra-citra yang menampilkan eksotisme visual Nusantara. Hindia-Belanda yang cantik dan indah.

BBC The Genius of Photography, episode 6

http://www.kingdomsofnigeria.com/history.php

Referensi :

Peres, Michael R (ed), Focal Encyclopedia of Photography, 4th Edition, Oxford:Elsevier Inc., 2007.

Contemporary Arts in Northern Nigeriafile:///C:/Users/luciadianawuri/Downloads/Contemporary%20Arts%20in%20Northern%20Nigeria%20%20%20First%20Impressions%20%20Contemporary%20Photography%20in%20Nigeria.htm

Exposing Nigeria's historical photographs.file:///C:/Users/luciadianawuri/Downloads/Exposing%20Nigeria's%20historical%20photographs%20%20%20Daily%20Times%20Nigeria.htm

George Osodi : Kings of Nigeriafile:///C:/Users/luciadianawuri/Downloads/George%20Osodi%20%20Kings%20of%20Nigeria%20-%20Artscape%20-%20Al%20Jazeera%20English.htm

Mengenal Sejarah Nigeria file:///C:/Users/luciadianawuri/Downloads/Mengenal%20Sejarah%20Nigeria%20-%20ANNEAHIRA.COM.htm

Nairaland Forumfile:///C:/Users/luciadianawuri/Downloads/Nigeria%20Most%20Influential%20Monarch%20-%20Culture%20-%20Nairaland.htmNigeria's Image in Africa : Big Country Thin Skinfile:///C:/Users/luciadianawuri/Downloads/Nigeria%E2%80%99s%20image%20in%20Africa%20%20Big%20country,%20thin%20skin%20%20%20The%20Economist.htm

Nigerian Monarchs file:///C:/Users/luciadianawuri/Downloads/NIGERIAN%20MONARCHS%20-%20Images%20%20%20George%20Osodi.htm

Nigerian Artist, George Osodifile:///C:/Users/luciadianawuri/Downloads/Nigerian%20artist,%20George%20Osodi,%20talks%20about%20his%20exhibition%20in%20London.htm

Nigerian Monarchs : A Major Exhibition By Acclaimed Nigerian Photographer George Osodifile:///C:/Users/luciadianawuri/Downloads/Nigerian%20Monarchs%20%20A%20major%20exhibition%20by%20acclaimed%20Nigerian%20photographer%20George%20Osodi%20%20%20Gateway%20for%20Africa.htm

Press Release announced for George Osodi's “Nigeria Monarchs Exhibition”file:///C:/Users/luciadianawuri/Downloads/Press%20Release%20announced%20for%20George%20Osodi's%20%20Nigeria%20Monarchs%20%20Exhibition%20%20%20Z%20Photographic.htm

Photography of West Africa and beyond, 1840 to now.file:///C:/Users/luciadianawuri/Downloads/About%20us%20%20%20African%20Photography.htm

Traditional States of Nigeriafile:///C:/Users/luciadianawuri/Downloads/Nigerian%20Traditional%20States.htm

Sumber foto-foto Nigerian Monarchs http://georgeosodi.photoshelter.com/gallery/NIGERIAN-MONARCHS/G0000X9MCoZDi.bE/Sumber foto Kemiskinan Afrika http://www.b.dk/kommentarer/afrika-i-vore-hjerterSumber foto Kekerasan di Nigeria http://www.bet.com/news/global/2014/03/03/nigeria-bloodshed-continues-with-32-dead.html

Sumber foto Unknown Gunmen in Nigeria http://www.presstv.ir/detail/2014/04/10/357985/two-killed-in-nigeria-viewing-center-attack/

Film New African Photography 2013 episode George Osodi, Produksi AljazeeraFilm BBC The Genius of Photography episode 6, Produksi BBC

Program Exterior/Interior Art Nice Movement

Page 28: Newsletter Edisi 7, Oktober 2014

28

narapidana untuk menguasi keahlian tertentu. Tidak berbeda dengan itu, seni sebagai metode terapi dan edukasi juga dinilai sangat efektif untuk membenahi sisi asertif dan kognitif para narapidana.

Pendapat itu didukung oleh beberapa penelitian yang sempat saya baca. Ada dua contoh yang kiranya bisa kita ketengahkan di sini untuk melihat bentuk kesamaan yang ditemukan dengan menggunakan dua pendekatan yang berbeda. Toni Tack, seorang Belanda, yang menggelar workshop musik di dalam penjara dan penelitian Alexandra Djurichkovic yang mengkaji filsafat dan dampak program seni visual melalui pendekatan seni penjara yang ia lakukan di Australia. Mereka sampai pada kesimpulan yang sama, melihat potensi seni sebagai metode rehabilitasi. Hal yang sama juga nampak dalam karya Lee Beerstein, “America is Prison,” yang menilai bahwa seni memiliki tingkat keberhasilan siginifkan dalam perannya merehabilitasi aspek psikis para narapidana.

29

Indonesia dan Nigeria memiliki persamaan pada gembong-gembong besar, bisa dikenai sebagai negara yang sama-sama berada di hukuman mati. Namun demikian, untuk saat garis equator. Selain itu, kedua negara ini ini, berbagai kebijakan telah dirumuskan sempat dijajah oleh bangsa Eropa. Sebagai dengan membedakan beban hukuman antara sesama negara pascakolonial, berbagai potensi pengedar dan pemakai. Pemerintah melalui isu sangat memungkinkan untuk dibicarakan Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia bersama-sama. Persamaan itu turut serta juga memberi perhatian khusus dengan dipaparkan oleh Rain Rosidi, direktur artistik membangun Lapas Khusus Narkotika. Biennale Jogja dalam ajuan programnya yang Kebijakan ini diambil dengan akan dilaksanakan pada 2015 mendatang. mempertimbangkan kebutuhan terpidana Namun demikian, masih banyak hal yang yang berbeda-beda, baik itu sifatnya fisik, masih kabur tentang Nigeria, terutama psikis, hingga rehabilitasi bagi pemakai tentang praktik artistik dan produk budayanya. maupun pecandu.

Sejauh ini, kita hanya disuguhi berbagai isu Ruang-ruang seperti itu tersebar di berbagai seputar virus ebola dan stabilitas politik tempat; Grasia di Yogyakarta, Nusakambangan Nigeria yang terganggu. Kenyataan lain yang untuk lingkup nasional, Cipinang untuk ramai disuarakan media dan barangkali sangat Jakarta, dan lain sebagainya. Lembaga populer bagi kita adalah kartel dan kurir Pemasyarakatan (Lapas) Khusus Narkoba narkoba dari Nigeria. Heroin, ganja, dan umumnya memiliki situasi fisik yang memadai terpidana narkoba dari Nigeria menjadi dan dilengkapi dengan standar baku kelayakan informasi yang sangat tidak asing. Di tahun- hidup bagi para terpidana. Ruang istirahat tahun belakangan ini, jumlah narapidana yang yang layak, sanitasi yang baik, hingga ruang terjerat karena kasus narkoba asal Nigeria aktivitas harian yang lebih luas meski mobilitas terus bertambah. Informasi itu sangat para terpidana tetap dibatasi dengan aturan mendominasi dan lumrah kita temui. Tak tertentu. Beberapa dari terpidana distimulasi heran bila ketika kita menyebut Nigeria maka untuk bekerja dengan membangun beberapa citra yang pertama kali sering muncul adalah sektor kegiatan yang menopang wadah itu. Narkoba. Seolah-olah Nigeria itu sangat identik Mereka dilatih mengurusi administrasi, bekerja dengan Narkoba. di ruang studio yang disebut Bimbingan Kerja

(BIMKER), ruang olah raga, kepustakaan, Tulisan ini bermaksud melihat dari sisi lain hingga dalam mengembangkan peternakan yang kadang diabaikan. Dalam setiap evaluasi dan pertanian. Semua itu mestinya dipandang maupun diskusi kelompok terbatas, tema- secara positif. Dan di ruang seperti itulah seni tema yang sifatnya stereotipikal disarankan bisa turut masuk, selain sebagai aktivitas untuk dihindari. Justru di situ letak harian, juga sebagai alat atau metode terapi.masalahnya. Sesuatu yang kadang dipandang rendah atau “hitam” justru bisa dieksplorasi Penggunaan seni sebagai metode terapi bagi lebih jauh, melihat potensi artistiknya tanpa para terpidana narkoba dan kasus lainnya juga terjebak pada pandangan yang sifatnya telah diterapkan di berbagai negara seperti stereoripikal. Australia, USA, negara-negara di kawasan

Eropa, dan negara-negara Asia. Praktik itu Seni di dalam Penjara dilakukan dan didesain untuk memberdayakan

para narapidana sebagai bekal saat bebas Beban menjadi terpidana kasus narkoba bukan nanti. Model pemberdayaan semacam ini suatu yang mudah untuk dijalani. Umumnya, mungkin terlihat biasa. Namun dalam mereka dibebani hukuman dengan kurun praktiknya, lebih dari apa yang dibayangkan waktu yang cukup lama. Secara umum, durasi orang. Praktik yang paling nampak adalah hukuman penjara untuk kasus ini di atas tiga pembekalan kecakapan hidup, mengajak para tahun. Untuk kasus tertentu, misalnya terjadi

Program Exterior/Interior Art Nice Movement

Page 29: Newsletter Edisi 7, Oktober 2014

28

narapidana untuk menguasi keahlian tertentu. Tidak berbeda dengan itu, seni sebagai metode terapi dan edukasi juga dinilai sangat efektif untuk membenahi sisi asertif dan kognitif para narapidana.

Pendapat itu didukung oleh beberapa penelitian yang sempat saya baca. Ada dua contoh yang kiranya bisa kita ketengahkan di sini untuk melihat bentuk kesamaan yang ditemukan dengan menggunakan dua pendekatan yang berbeda. Toni Tack, seorang Belanda, yang menggelar workshop musik di dalam penjara dan penelitian Alexandra Djurichkovic yang mengkaji filsafat dan dampak program seni visual melalui pendekatan seni penjara yang ia lakukan di Australia. Mereka sampai pada kesimpulan yang sama, melihat potensi seni sebagai metode rehabilitasi. Hal yang sama juga nampak dalam karya Lee Beerstein, “America is Prison,” yang menilai bahwa seni memiliki tingkat keberhasilan siginifkan dalam perannya merehabilitasi aspek psikis para narapidana.

29

Indonesia dan Nigeria memiliki persamaan pada gembong-gembong besar, bisa dikenai sebagai negara yang sama-sama berada di hukuman mati. Namun demikian, untuk saat garis equator. Selain itu, kedua negara ini ini, berbagai kebijakan telah dirumuskan sempat dijajah oleh bangsa Eropa. Sebagai dengan membedakan beban hukuman antara sesama negara pascakolonial, berbagai potensi pengedar dan pemakai. Pemerintah melalui isu sangat memungkinkan untuk dibicarakan Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia bersama-sama. Persamaan itu turut serta juga memberi perhatian khusus dengan dipaparkan oleh Rain Rosidi, direktur artistik membangun Lapas Khusus Narkotika. Biennale Jogja dalam ajuan programnya yang Kebijakan ini diambil dengan akan dilaksanakan pada 2015 mendatang. mempertimbangkan kebutuhan terpidana Namun demikian, masih banyak hal yang yang berbeda-beda, baik itu sifatnya fisik, masih kabur tentang Nigeria, terutama psikis, hingga rehabilitasi bagi pemakai tentang praktik artistik dan produk budayanya. maupun pecandu.

Sejauh ini, kita hanya disuguhi berbagai isu Ruang-ruang seperti itu tersebar di berbagai seputar virus ebola dan stabilitas politik tempat; Grasia di Yogyakarta, Nusakambangan Nigeria yang terganggu. Kenyataan lain yang untuk lingkup nasional, Cipinang untuk ramai disuarakan media dan barangkali sangat Jakarta, dan lain sebagainya. Lembaga populer bagi kita adalah kartel dan kurir Pemasyarakatan (Lapas) Khusus Narkoba narkoba dari Nigeria. Heroin, ganja, dan umumnya memiliki situasi fisik yang memadai terpidana narkoba dari Nigeria menjadi dan dilengkapi dengan standar baku kelayakan informasi yang sangat tidak asing. Di tahun- hidup bagi para terpidana. Ruang istirahat tahun belakangan ini, jumlah narapidana yang yang layak, sanitasi yang baik, hingga ruang terjerat karena kasus narkoba asal Nigeria aktivitas harian yang lebih luas meski mobilitas terus bertambah. Informasi itu sangat para terpidana tetap dibatasi dengan aturan mendominasi dan lumrah kita temui. Tak tertentu. Beberapa dari terpidana distimulasi heran bila ketika kita menyebut Nigeria maka untuk bekerja dengan membangun beberapa citra yang pertama kali sering muncul adalah sektor kegiatan yang menopang wadah itu. Narkoba. Seolah-olah Nigeria itu sangat identik Mereka dilatih mengurusi administrasi, bekerja dengan Narkoba. di ruang studio yang disebut Bimbingan Kerja

(BIMKER), ruang olah raga, kepustakaan, Tulisan ini bermaksud melihat dari sisi lain hingga dalam mengembangkan peternakan yang kadang diabaikan. Dalam setiap evaluasi dan pertanian. Semua itu mestinya dipandang maupun diskusi kelompok terbatas, tema- secara positif. Dan di ruang seperti itulah seni tema yang sifatnya stereotipikal disarankan bisa turut masuk, selain sebagai aktivitas untuk dihindari. Justru di situ letak harian, juga sebagai alat atau metode terapi.masalahnya. Sesuatu yang kadang dipandang rendah atau “hitam” justru bisa dieksplorasi Penggunaan seni sebagai metode terapi bagi lebih jauh, melihat potensi artistiknya tanpa para terpidana narkoba dan kasus lainnya juga terjebak pada pandangan yang sifatnya telah diterapkan di berbagai negara seperti stereoripikal. Australia, USA, negara-negara di kawasan

Eropa, dan negara-negara Asia. Praktik itu Seni di dalam Penjara dilakukan dan didesain untuk memberdayakan

para narapidana sebagai bekal saat bebas Beban menjadi terpidana kasus narkoba bukan nanti. Model pemberdayaan semacam ini suatu yang mudah untuk dijalani. Umumnya, mungkin terlihat biasa. Namun dalam mereka dibebani hukuman dengan kurun praktiknya, lebih dari apa yang dibayangkan waktu yang cukup lama. Secara umum, durasi orang. Praktik yang paling nampak adalah hukuman penjara untuk kasus ini di atas tiga pembekalan kecakapan hidup, mengajak para tahun. Untuk kasus tertentu, misalnya terjadi

Program Exterior/Interior Art Nice Movement

Page 30: Newsletter Edisi 7, Oktober 2014

30 31

Pada bulan Juli 2014 lalu, dalam sebuah perjalanan di seputaran benua Eropa, saya mampir ke Frankfurt sebelum terbang kembali ke Indonesia. Frankfurt selalu menjadi kota ideal untuk saya sejenak berhenti, terutama karena saya punya beberapa teman baik di sana yang juga bekerja di dunia kesenian. Dua teman saya bekerja untuk institusi yang cukup menarik, yang satu di Museum Modern Art Frankfurt, dan satu lagi di Museum Kebudayaan Dunia. Kebetulan ketika saya bertandang ke sana, dua institusi ini sedang menggelar pameran seni yang merujuk pada Afrika dan konteks kebudayaannya yang lebih luas.

Pameran pertama yang saya kunjungi adalah The Devine Comedy: Heaven, Hell and Purgatory Revisited by Contemporary African Artists di Museum Modern Art Frankfurt. Tak kurang dari 50 seniman Afrika, baik yang hibrid maupun mereka yang lahir dan besar di Afrika, terlibat dalam salah satu pameran terbesar yang berfokus Afrika dua dekade terakhir ini. Pameran ini juga melibatkan sebuah struktur dramatika dalam teater, yang membuat alur pameran menjadi cukup hidup, karena terbagi dalam tiga babak, dengan fokus pada relasi dua tokoh dalam drama karya Dante Alighieri yang digunakan sebagai judul pameran: The Devine Comedy. Kurator pameran, Simon Njami (kurator Afro-Eropa berbasis di Paris), mengundang para seniman untuk menerjemahkan gagasan inferno melalui karya-karya mereka. Pendekatan tema yang cukup spesifik membuat pameran ini tidak terlalu memberi kesan sebagai pameran survei untuk memperkenalkan seniman Afrika

MENGGUGATEXOTISISMESANG LIYAN

Alia Swastika (Direktur Biennale Jogja XIII)

Kiri:Kemang Lawahere, karya yang

dipamerkan di Berlin Biennale 8, Dahlem Museum, 2014

Sampai di titik ini, kita tidak hanya melihat resmi. Maka lahirlah PAPs sebagai ruang resmi. potensi artistik dalam ruang penjara, Secara umum PAPs memiliki dua areal yang melainkan lebih dari itu, fungsinya bisa digiring utama, yakni program Lapas dan yayasan. menjadi lebih metodis. Kita mungkin bisa Dalam program Lapas, PAPs memiliki agenda melirik praktik serupa di Yogyakarta yang untuk menyelenggarakan workshop, diinisiasi oleh Angki Purbandono, seniman memproduksi merchandise, dan menggarap fotografi kontemporer yang melihat persoalan areal interior/eksterior art movement. Pada penjara sebagai sebuah fenomena yang dapat areal yayasan, PAPs memiliki agenda untuk disikapi secara baru melalui pendekatan seni. melaksanakan Program Pameran dua tahunan, Pembacaan dan praktik artistiknya mungkin menyelenggarakan residensi seniman dan bisa membantu dalam melihat persoalan yang mendukung program beasiswa.selama ini kurang dieksplorasi.

Kalau boleh disebut, PAPs berhasil menjadikan Prison Art Program wacana seni penjara menjadi nyata. Melalui

seni, kita dapat berdialog dengan berbagai Dua tahun silam boleh jadi menjadi tahun pihak dari banyak wilayah, termasuk wilayah yang cukup berat bagi beberapa seniman dan yang bagi sebagian orang mengerikan dan kawula seni rupa di Yogyakarta. Beberapa penuh kejahatan. Nigeria dengan semua mitos seniman terjerat kasus pidana karena yang berkembang tentangnya, terutama para Narkotika. Sebagian besar dari mereka pendatang dari negara itu yang terjerat kasus menjalani hukuman pidana di Lapas narkotika. narkoba. Ada peluang untuk menyapa mereka Beberapa dari mereka terus berkarya selama seara lebih intim, berbagi kisah dan saling proses hukuman tersebut. Kegiatan dan berefleksi diri. Ini sekaligus hendak gerakan seni di dalam penjara berlangsung menegaskan bahwa ruang penjara bisa secara parsial, sebelum akhirnya muncul dikemas sebagai ruang kreatif dan ruang sebuah inisiatif dari Angki Purbandono untuk perbincangan yang jujur, mampu menyentuh membuat sebuah program seni yang segala aspek paling faktual di masyarakat saat terstruktur. Untuk merealisasikan idenya, ini.Angki berhasil meyakinkan petugas Lapas agar mau memfasilitasi seniman-seniman yang ada Seni adalah salah satu media yang mampu di dalam penjara dengan sebuah studio kerja menjadi bahasa baru, ruang percakapan antar-dan sekretariat. Pihak Lapas setuju dengan pengalaman, termasuk ruang memori. Ini usulan itu dan tidak lama berselang sebuah adalah metode kerja yang dilakukan PAPs kantor disulap menjadi studio kerja merangkap bersama para senimannya, membangun sekretariat komunitas. Dari tempat itu bahasa visual baru melalui memori mereka di beberapa kegiatan berhasil dikerjakan. masa lalu dan masa sekarang. Sangat mungkin Beberapa orang dari WBP (Warga Binaan dari kita untuk tidak mengelak dari segala Permasyarakatan) turut membawa material kenyataan pahit tanpa melakukan penilaian artistiknya untuk diolah lagi melalui diskusi secara stereotipikal.dan eksekusi karya.

Akhir 2013, Setelah Angki Purbandono bebas, PAPs mendapatkan perhatian yang besar dari beberapa pihak. Project yang dikerjakan di dalam penjara direspon Hermanto dari Garis Art Space dan Mizuma Art Gallery. Di tahun berikutnya, sebuah pameran yang diberi tajuk “The Swimmer” di Mizuma Gallery Singapore berhasil dihelat. Dari sana, muncul komitmen untuk mewujudkan sebuah ruang kegiatan

Page 31: Newsletter Edisi 7, Oktober 2014

30 31

Pada bulan Juli 2014 lalu, dalam sebuah perjalanan di seputaran benua Eropa, saya mampir ke Frankfurt sebelum terbang kembali ke Indonesia. Frankfurt selalu menjadi kota ideal untuk saya sejenak berhenti, terutama karena saya punya beberapa teman baik di sana yang juga bekerja di dunia kesenian. Dua teman saya bekerja untuk institusi yang cukup menarik, yang satu di Museum Modern Art Frankfurt, dan satu lagi di Museum Kebudayaan Dunia. Kebetulan ketika saya bertandang ke sana, dua institusi ini sedang menggelar pameran seni yang merujuk pada Afrika dan konteks kebudayaannya yang lebih luas.

Pameran pertama yang saya kunjungi adalah The Devine Comedy: Heaven, Hell and Purgatory Revisited by Contemporary African Artists di Museum Modern Art Frankfurt. Tak kurang dari 50 seniman Afrika, baik yang hibrid maupun mereka yang lahir dan besar di Afrika, terlibat dalam salah satu pameran terbesar yang berfokus Afrika dua dekade terakhir ini. Pameran ini juga melibatkan sebuah struktur dramatika dalam teater, yang membuat alur pameran menjadi cukup hidup, karena terbagi dalam tiga babak, dengan fokus pada relasi dua tokoh dalam drama karya Dante Alighieri yang digunakan sebagai judul pameran: The Devine Comedy. Kurator pameran, Simon Njami (kurator Afro-Eropa berbasis di Paris), mengundang para seniman untuk menerjemahkan gagasan inferno melalui karya-karya mereka. Pendekatan tema yang cukup spesifik membuat pameran ini tidak terlalu memberi kesan sebagai pameran survei untuk memperkenalkan seniman Afrika

MENGGUGATEXOTISISMESANG LIYAN

Alia Swastika (Direktur Biennale Jogja XIII)

Kiri:Kemang Lawahere, karya yang

dipamerkan di Berlin Biennale 8, Dahlem Museum, 2014

Sampai di titik ini, kita tidak hanya melihat resmi. Maka lahirlah PAPs sebagai ruang resmi. potensi artistik dalam ruang penjara, Secara umum PAPs memiliki dua areal yang melainkan lebih dari itu, fungsinya bisa digiring utama, yakni program Lapas dan yayasan. menjadi lebih metodis. Kita mungkin bisa Dalam program Lapas, PAPs memiliki agenda melirik praktik serupa di Yogyakarta yang untuk menyelenggarakan workshop, diinisiasi oleh Angki Purbandono, seniman memproduksi merchandise, dan menggarap fotografi kontemporer yang melihat persoalan areal interior/eksterior art movement. Pada penjara sebagai sebuah fenomena yang dapat areal yayasan, PAPs memiliki agenda untuk disikapi secara baru melalui pendekatan seni. melaksanakan Program Pameran dua tahunan, Pembacaan dan praktik artistiknya mungkin menyelenggarakan residensi seniman dan bisa membantu dalam melihat persoalan yang mendukung program beasiswa.selama ini kurang dieksplorasi.

Kalau boleh disebut, PAPs berhasil menjadikan Prison Art Program wacana seni penjara menjadi nyata. Melalui

seni, kita dapat berdialog dengan berbagai Dua tahun silam boleh jadi menjadi tahun pihak dari banyak wilayah, termasuk wilayah yang cukup berat bagi beberapa seniman dan yang bagi sebagian orang mengerikan dan kawula seni rupa di Yogyakarta. Beberapa penuh kejahatan. Nigeria dengan semua mitos seniman terjerat kasus pidana karena yang berkembang tentangnya, terutama para Narkotika. Sebagian besar dari mereka pendatang dari negara itu yang terjerat kasus menjalani hukuman pidana di Lapas narkotika. narkoba. Ada peluang untuk menyapa mereka Beberapa dari mereka terus berkarya selama seara lebih intim, berbagi kisah dan saling proses hukuman tersebut. Kegiatan dan berefleksi diri. Ini sekaligus hendak gerakan seni di dalam penjara berlangsung menegaskan bahwa ruang penjara bisa secara parsial, sebelum akhirnya muncul dikemas sebagai ruang kreatif dan ruang sebuah inisiatif dari Angki Purbandono untuk perbincangan yang jujur, mampu menyentuh membuat sebuah program seni yang segala aspek paling faktual di masyarakat saat terstruktur. Untuk merealisasikan idenya, ini.Angki berhasil meyakinkan petugas Lapas agar mau memfasilitasi seniman-seniman yang ada Seni adalah salah satu media yang mampu di dalam penjara dengan sebuah studio kerja menjadi bahasa baru, ruang percakapan antar-dan sekretariat. Pihak Lapas setuju dengan pengalaman, termasuk ruang memori. Ini usulan itu dan tidak lama berselang sebuah adalah metode kerja yang dilakukan PAPs kantor disulap menjadi studio kerja merangkap bersama para senimannya, membangun sekretariat komunitas. Dari tempat itu bahasa visual baru melalui memori mereka di beberapa kegiatan berhasil dikerjakan. masa lalu dan masa sekarang. Sangat mungkin Beberapa orang dari WBP (Warga Binaan dari kita untuk tidak mengelak dari segala Permasyarakatan) turut membawa material kenyataan pahit tanpa melakukan penilaian artistiknya untuk diolah lagi melalui diskusi secara stereotipikal.dan eksekusi karya.

Akhir 2013, Setelah Angki Purbandono bebas, PAPs mendapatkan perhatian yang besar dari beberapa pihak. Project yang dikerjakan di dalam penjara direspon Hermanto dari Garis Art Space dan Mizuma Art Gallery. Di tahun berikutnya, sebuah pameran yang diberi tajuk “The Swimmer” di Mizuma Gallery Singapore berhasil dihelat. Dari sana, muncul komitmen untuk mewujudkan sebuah ruang kegiatan

Page 32: Newsletter Edisi 7, Oktober 2014

32 33

wilayah kajian seni kontemporer Afrika, Afrika sebagai sebuah wilayah yang eksotis. terutama ketika ia menyelenggarakan Afrika Sebagian besar peristiwa seni semacam ini 95, sebuah festival besar di London yang untuk diinisiasi dan dikuratori oleh institusi dari luar pertama kalinya membicarakan Afrika dalam Afrika sendiri, sehingga tidak sepenuhnya bisa perspektif sosial politik kontemporer. menyuarakan perspektif orang dalam. Pada

periode yang sama, kurator-kurator Afrika Pengalaman menonton dua pameran dalam terkemuka seperti Okwui Enwezor atau Olu waktu bersamaan, dan juga membaca sebuah Olguibe, lebih banyak bekerja dengan ulasan atas pameran Afrika lainnya di Eropa seniman-seniman Afrika diaspora, yang pada periode tersebut, saya merasa perlu memang tersebar di seantero Amerika dan mempertanyakan lebih jauh bagaimana Eropa, atau mereka yang telah dikenal dan modus-modus pameran bercorak atau yang mapan seperti William Kentridge atau Yonke mengusung nama Afrika ini berlangsung di Shonibar, misalnya. berbagai belahan dunia dalam kurun waktu setidaknya dua dekade lebih ini. Pertemuan Dalam ranah kuratorial, benua Afrika juga saya dengan beragam pelaku seni dari benua menunjukkan kemunculan figur-figur kurator Afrika, termasuk mereka yang telah banyak internasional yang disegani, seperti Okwui menjadi kurator internasional berkedudukan Enwezor, N Gone Fall, Olabisi Silva, dan di Eropa atau Amerika, membawa saya pada beberapa nama lain. Sebagian besar dari pembacaan-pembacaan kritis untuk merespon mereka memang mengenyam pendidikan fenomena ini. formal di Eropa atau Amerika, baik belajar

Ilmu Politik, Susastra dan bidang ilmu sosial Tahun 1989, kurator Jean Hubert Martin dari lain. Okwui Enwezor misalnya, baru satu Center Pompidou Paris, menyelenggarakan semester belajar di Universitas Nigeria, pameran penting berjudul Magiciens de le memutuskan untuk pergi ke Amerika dan Terre, yang pada akhirnya memberi perubahan belajar ilmu politik di Jersey City State College. besar pada lanskap seni kontemporer dunia, Ia banyak mempelajari sastra dan puisi terutama karena pameran ini memberi ruang sebelum akhirnya berada di lingkup pergaulan yang cukup signifikan pada seniman dari seni rupa kontemporer. Pameran awalnya yang Negara-negara Asia dan Afrika yang pada mengundang perhatian dunia adalah In/Sight: waktu itu lebih sering tampak sebagai “liyan” African Photographers, 1940 to Present, yang (others). Dalam sejarah seni kontemporer, menampilkan karya dari 30 fotografer Afrika di pameran ini menghasilkan apa yang disebut Guggenheim Museum di New York pada tahun sebagai “global turn”, juga merujuk dari 1996. Pameran ini merupakan penanda kuat peristiwa bersejarah runtuhnya tembok Berlin untuk mempresentasikan “cara lihat baru” (a pada tahun yang sama, pasca-peristiwa new way of seeing, merujuk pada John Berger) Tiannamen, dan sebagainya. Pada tahun-tahun atas Afrika. Pameran ini juga membuka pada selanjutnya, semakin banyak pameran publik riset panjang yang dilakukan oleh Okwui diselenggarakan dengan mengikutsertakan Enwezor terhadap arsip citra visual berkaitan seniman-seniman dari Negara Afrika, dan dengan Afrika dan representasinya secara beberapa di antaranya merupakan pameran umum. Setelah pameran itu, ia juga skala besar (blockbuster exhibitions) seperti merancang pameran foto terpenting dalam isu Africa Explore (1991) di New York dengan pascakolonialisme dan rasialisme, Rise and Fall Susan Vogel sebagai kurator dan pameran of the Apartheid: The Bureaucracy of Everyday Africa Remix (2004), dengan arahan artistik Life di International Center of Photography, Simon Njami, yang berawal di Dusseldorf New York. Jerman, lalu mampir ke London, Johannesburg dan Tokyo pada tahun-tahun berikutnya. Generasi kurator pasca Okwui Enwezor sendiri Meski pameran-pameran skala besar semacam kemudian banyak mengritik kecenderungan ini memberikan kontribusi atas makin kurator senior yang lebih sering tampilnya, atau meningkatnya visibilitas seni mempromosikan seniman Afrika diaspora kontemporer Afrika, akan tetapi sebagian ketimbang mencoba untuk bekerja dan besar kritikus dan sejarawan juga memahami situasi Afrika kontemporer dari mengenangnya sebagai upaya menampilkan ranah Afrika sendiri. Perkembangan seni rupa

kontemporer, tetapi mempelajari lebih dalam gagasan seniman dalam satu tema khusus. Meski demikian, saya tetap merasa tema yang ditawarkan terlalu kering dan romantis untuk membicarakan konteks Afrika kontemporer, yang tentu saja melingkupi beragam dimensi sosial politik yang berkelindan mulai dari pasca-kolonialisme, globalisasi budaya, kreolisasi, dan sebagainya. Sebagian karya yang dipamerkan terutama beririsan dengan gagasan atas agama dan mitologi, atau citra visual dari dewa dan figur-figur dalam narasi besar berbagai suku di Afrika, dengan konteks politik yang menurut saya cenderung superfisial. Meski demikian, dalam hal bentuk dan kecenderungan estetik, Simon Njami berhasil menjajarkan berbagai medium mulai dari lukisan, instalasi, fotografi, video instalasi–beberapa dalam skala yang cukup massif–dalam desain pameran yang mudah dinikmati. Pameran ini memajang karya dari beberapa nama besar tradisi seni kontemporer Afrika yang sekarang banyak menghiasi berbagai biennale, pameran museum dan bursa seni internasional seperti Ghada Amer (Mesir), Kader Attia (Prancis), Julie Mehretu (Etiopia), Wangechi Mutu (Kenya), Aida Muluneh (Etiopia) dan sebagainya.

Hari berikutnya, saya mengunjungi pameran di Museum Kebudayaan Dunia untuk bertemu teman saya, Dr. Clementine Deliss, direktur museum tersebut. Pameran yang sedang diadakan di sana, “Foreign Exchange” memang tidak secara langsung berfokus pada Afrika, tetapi ada beberapa seniman Afrika yang diundang untuk menciptakan satu karya yang merupakan hasil bacaan dan terjemahannya atas berbagai arsip dan koleksi museum yang sebagian besar merupakan artefak etnografi. Beberapa seniman meneliti foto-foto koleksi museum yang berhubungan dengan “cara memandang”; bagaimana lensa kamera yang diarahkan pada masyarakat adat di pedalaman, oleh para peneliti atau etnografer masa lalu, merupakan representasi kekerasan kolonialisme yang ampuh dengan menggunakan kamera sebagai senjata. Dr Deliss sendiri merupakan salah satu pakar penting dalam

Kiri:Kemang Lawahere, karya yang

dipamerkan di Berlin Biennale 8, Dahlem Museum, 2014

Kanan:.Performance Otobong Ngkana

(Nigeria), di Maxim Gorky Theater, Berlin, November, 2013

Page 33: Newsletter Edisi 7, Oktober 2014

32 33

wilayah kajian seni kontemporer Afrika, Afrika sebagai sebuah wilayah yang eksotis. terutama ketika ia menyelenggarakan Afrika Sebagian besar peristiwa seni semacam ini 95, sebuah festival besar di London yang untuk diinisiasi dan dikuratori oleh institusi dari luar pertama kalinya membicarakan Afrika dalam Afrika sendiri, sehingga tidak sepenuhnya bisa perspektif sosial politik kontemporer. menyuarakan perspektif orang dalam. Pada

periode yang sama, kurator-kurator Afrika Pengalaman menonton dua pameran dalam terkemuka seperti Okwui Enwezor atau Olu waktu bersamaan, dan juga membaca sebuah Olguibe, lebih banyak bekerja dengan ulasan atas pameran Afrika lainnya di Eropa seniman-seniman Afrika diaspora, yang pada periode tersebut, saya merasa perlu memang tersebar di seantero Amerika dan mempertanyakan lebih jauh bagaimana Eropa, atau mereka yang telah dikenal dan modus-modus pameran bercorak atau yang mapan seperti William Kentridge atau Yonke mengusung nama Afrika ini berlangsung di Shonibar, misalnya. berbagai belahan dunia dalam kurun waktu setidaknya dua dekade lebih ini. Pertemuan Dalam ranah kuratorial, benua Afrika juga saya dengan beragam pelaku seni dari benua menunjukkan kemunculan figur-figur kurator Afrika, termasuk mereka yang telah banyak internasional yang disegani, seperti Okwui menjadi kurator internasional berkedudukan Enwezor, N Gone Fall, Olabisi Silva, dan di Eropa atau Amerika, membawa saya pada beberapa nama lain. Sebagian besar dari pembacaan-pembacaan kritis untuk merespon mereka memang mengenyam pendidikan fenomena ini. formal di Eropa atau Amerika, baik belajar

Ilmu Politik, Susastra dan bidang ilmu sosial Tahun 1989, kurator Jean Hubert Martin dari lain. Okwui Enwezor misalnya, baru satu Center Pompidou Paris, menyelenggarakan semester belajar di Universitas Nigeria, pameran penting berjudul Magiciens de le memutuskan untuk pergi ke Amerika dan Terre, yang pada akhirnya memberi perubahan belajar ilmu politik di Jersey City State College. besar pada lanskap seni kontemporer dunia, Ia banyak mempelajari sastra dan puisi terutama karena pameran ini memberi ruang sebelum akhirnya berada di lingkup pergaulan yang cukup signifikan pada seniman dari seni rupa kontemporer. Pameran awalnya yang Negara-negara Asia dan Afrika yang pada mengundang perhatian dunia adalah In/Sight: waktu itu lebih sering tampak sebagai “liyan” African Photographers, 1940 to Present, yang (others). Dalam sejarah seni kontemporer, menampilkan karya dari 30 fotografer Afrika di pameran ini menghasilkan apa yang disebut Guggenheim Museum di New York pada tahun sebagai “global turn”, juga merujuk dari 1996. Pameran ini merupakan penanda kuat peristiwa bersejarah runtuhnya tembok Berlin untuk mempresentasikan “cara lihat baru” (a pada tahun yang sama, pasca-peristiwa new way of seeing, merujuk pada John Berger) Tiannamen, dan sebagainya. Pada tahun-tahun atas Afrika. Pameran ini juga membuka pada selanjutnya, semakin banyak pameran publik riset panjang yang dilakukan oleh Okwui diselenggarakan dengan mengikutsertakan Enwezor terhadap arsip citra visual berkaitan seniman-seniman dari Negara Afrika, dan dengan Afrika dan representasinya secara beberapa di antaranya merupakan pameran umum. Setelah pameran itu, ia juga skala besar (blockbuster exhibitions) seperti merancang pameran foto terpenting dalam isu Africa Explore (1991) di New York dengan pascakolonialisme dan rasialisme, Rise and Fall Susan Vogel sebagai kurator dan pameran of the Apartheid: The Bureaucracy of Everyday Africa Remix (2004), dengan arahan artistik Life di International Center of Photography, Simon Njami, yang berawal di Dusseldorf New York. Jerman, lalu mampir ke London, Johannesburg dan Tokyo pada tahun-tahun berikutnya. Generasi kurator pasca Okwui Enwezor sendiri Meski pameran-pameran skala besar semacam kemudian banyak mengritik kecenderungan ini memberikan kontribusi atas makin kurator senior yang lebih sering tampilnya, atau meningkatnya visibilitas seni mempromosikan seniman Afrika diaspora kontemporer Afrika, akan tetapi sebagian ketimbang mencoba untuk bekerja dan besar kritikus dan sejarawan juga memahami situasi Afrika kontemporer dari mengenangnya sebagai upaya menampilkan ranah Afrika sendiri. Perkembangan seni rupa

kontemporer, tetapi mempelajari lebih dalam gagasan seniman dalam satu tema khusus. Meski demikian, saya tetap merasa tema yang ditawarkan terlalu kering dan romantis untuk membicarakan konteks Afrika kontemporer, yang tentu saja melingkupi beragam dimensi sosial politik yang berkelindan mulai dari pasca-kolonialisme, globalisasi budaya, kreolisasi, dan sebagainya. Sebagian karya yang dipamerkan terutama beririsan dengan gagasan atas agama dan mitologi, atau citra visual dari dewa dan figur-figur dalam narasi besar berbagai suku di Afrika, dengan konteks politik yang menurut saya cenderung superfisial. Meski demikian, dalam hal bentuk dan kecenderungan estetik, Simon Njami berhasil menjajarkan berbagai medium mulai dari lukisan, instalasi, fotografi, video instalasi–beberapa dalam skala yang cukup massif–dalam desain pameran yang mudah dinikmati. Pameran ini memajang karya dari beberapa nama besar tradisi seni kontemporer Afrika yang sekarang banyak menghiasi berbagai biennale, pameran museum dan bursa seni internasional seperti Ghada Amer (Mesir), Kader Attia (Prancis), Julie Mehretu (Etiopia), Wangechi Mutu (Kenya), Aida Muluneh (Etiopia) dan sebagainya.

Hari berikutnya, saya mengunjungi pameran di Museum Kebudayaan Dunia untuk bertemu teman saya, Dr. Clementine Deliss, direktur museum tersebut. Pameran yang sedang diadakan di sana, “Foreign Exchange” memang tidak secara langsung berfokus pada Afrika, tetapi ada beberapa seniman Afrika yang diundang untuk menciptakan satu karya yang merupakan hasil bacaan dan terjemahannya atas berbagai arsip dan koleksi museum yang sebagian besar merupakan artefak etnografi. Beberapa seniman meneliti foto-foto koleksi museum yang berhubungan dengan “cara memandang”; bagaimana lensa kamera yang diarahkan pada masyarakat adat di pedalaman, oleh para peneliti atau etnografer masa lalu, merupakan representasi kekerasan kolonialisme yang ampuh dengan menggunakan kamera sebagai senjata. Dr Deliss sendiri merupakan salah satu pakar penting dalam

Kiri:Kemang Lawahere, karya yang

dipamerkan di Berlin Biennale 8, Dahlem Museum, 2014

Kanan:.Performance Otobong Ngkana

(Nigeria), di Maxim Gorky Theater, Berlin, November, 2013

Page 34: Newsletter Edisi 7, Oktober 2014

34 35

BIENNALE JOGJASelama 22 tahun, terhitung sejak 1988-2010, Perjalanan mengelilingi planet Bumi di sekitar Biennale Jogja (BJ) telah menempati posisi sangat Khatulistiwa ini dimulai dengan berjalan ke arah penting untuk mengukur kemajuan seni rupa Barat. Biennale Jogja tidak mengawali perjalanan Indonesia. Maka kini sudah tiba saatnya untuk ini ke arah Timur karena menyadari keterbatasan menjadikan BJ sebagai rangkuman dari seluruh pengetahuan tentang Pasifik dan bahkan potensi kreativitas budaya dalam bidang seni Nusantara itu sendiri. Selain itu Yayasan Biennale rupa Indonesia, Asia maupun dunia. Yogyakarta yang baru berdiri pada Agustus 2010

memiliki tenggat waktu untuk melaksanakan Biennale Jogja seri Equator : 2011 – 2021 Biennale Jogja XI pada tahun 2011.

Pada 2010 Yayasan Biennale Yogyakarta (YBY) Wilayah-wilayah atau negara-negara di sekitar merancang dan meluncurkan proyek BJ sebagai Khatulistiwa yang direncanakan akan bekerja rangkaian pameran dengan agenda jangka sama dengan BJ sampai dengan tahun 2021 panjang yang akan berlangsung sampai dengan adalah: India (Biennale Jogja XI 2011), Negara-tahun 2022 mendatang. YBY bertekad menjadikan negara Arab (Biennale Jogja XII 2013), Negara-Yogyakarta dan Indonesia secara lebih luas

negara di benua Afrika (Biennale Jogja XIII 2015), sebagai lokasi yang harus diperhitungkan dalam

Negara-negara di Amerika Latin (Biennale Jogja konstelasi seni rupa internasional. Di tengah

XIV 2017), Negara-negara di Kepulauan Pasifik dinamika medan seni rupa global yang sangat dan Australia, termasuk Indonesia sebagai dinamis — seolah-olah inklusif dan egaliter — Nusantara (Biennale Jogja XV 2019) – karena hirarki antara pusat dan pinggiran sebetulnya kekhasan cakupan wilayah ini, BJ XV dapat masih sangat nyata. Oleh karena itu pula, disebut sebagai 'Biennale Laut' (Ocean kebutuhan-kebutuhan untuk melakukan Biennale)–, Negara-negara di Asia Tenggara intervensi menjadi sangat mendesak. (Biennale Jogja XVI 2021), dan ditutup dengan KONFERENSI KHATULISTIWA pada tahun 2022.YBY mengangankan suatu sarana (platform)

bersama yang mampu menyanggah, menyela Mengapa 'Khatulistiwa'? atau sekurang-kurangnya memprovokasi

dominasi sang pusat, dan memunculkan alternatif Konsep 'Khatulistiwa' tidak saja diangankan untuk melalui keragaman praktik seni rupa kontemporer menjadi semacam bingkai yang mewadahi dari perspektif Indonesia. kesamaan, tapi juga sebagai titik berangkat untuk mengejawantahkan berbagai Dalam waktu 10 tahun ke depan, yang dimulai keragaman budaya masyarakat global dewasa ini. pada tahun 2011, YBY akan menyelenggarakan BJ 'Khatulistiwa' adalah sarana bersama untuk sebagai rangkaian pameran yang berangkat dari 'membaca kembali' dunia. satu tema besar, yaitu EQUATOR (KHATULISTIWA).

Rangkaian biennale ini akan mematok batasan Perjumpaan melalui kegiatan seni rupa dalam BJ geografis tertentu di planet bumi sebagai wilayah Khatulistiwa akan diselenggarakan dengan kerjanya, yakni kawasan yang terentang di antara semangat membangun jejaring yang 23.27 LU dan 23.27 LS. Dalam setiap berkelanjutan, sehingga dialog, kerjasama, dan penyelenggaraannya BJ akan bekerja dengan satu, kemitraan dapat melahirkan kerjasama-kerjasama atau lebih, negara, atau kawasan, sebagai baru yang lebih luas dan kontinyu, di antara para 'rekanan', dengan mengundang seniman-seniman praktisi di kawasan Khatulistiwa. Dengan dari negara-negara yang berada di wilayah ini

untuk bekerja sama, berkarya, berpameran, demikian BJ dapat memberikan kontribusi pada bertemu, dan berdialog dengan seniman- terbentuknya topografi medan seni rupa global seniman, kelompok-kelompok, organisasi- yang dirumuskan secara baru.organisasi seni dan budaya Indonesia di Yogyakarta.

Afrika pada pertengahan 1990an dan N Gone Fall saya kira menyebut poin penting sesudahnya memang cukup pesat dengan untuk digarisbawahi: bahwa melibatkan makin terbukanya wilayah ini pada arena seniman dari sebuah wilayah kebudayaan global. Pameran-pameran Afrika berlangsung bukan saja menjadi laku untuk merayakan di berbagai belahan dunia, mulai London, New keberagaman, tetapi lebih merupakan upaya York hingga Tokyo, sementara seniman mereka untuk mendiskusikan gagasan-gagasan yang terus menjadi bagian dari pergerakan dinamis signifikan dan kritis sehingga ada rintisan seni rupa kontemporer dengan keikutsertaan untuk menciptakan dunia yang lebih adil. Saya mereka pada berbagai pameran di museum sendiri melihat bahwa ada banyak seniman dan biennale/triennale internasional. yang menciptakan karya menarik dan kritis,

yang isunya tidak saja bisa dibawa untuk berbicara tentang Afrika, tetapi merefleksikan Fenomena menarik terbaru adalah lebih jauh apa yang terjadi secara universal di kemenangan pavilion nasional Angola pada berbagai belahan dunia. Karya-karya Venice Biennale 2013. Angola merebut tempat monumental Kader Attia dan William kehormatan, mendapat Golden Lion yang Kentridge adalah inspirasi yang sangat sangat bergengsi ketika mempresentasikan berharga untuk mendiskusikan gagasan Edgor Chagas dengan karyanya Luanda, eksploitasi dan kolonialisme, dan penting pula Encyclopedia City. Kemenangan Angola ini bagi kita untuk belajar bagaimana melihat mematahkan dominasi Negara-negara dunia sejarah dari perspektif yang kalah. Pada karya-pertama dalam sejarah Venice Biennale karya seniman generasi awal seperti mereka, seperti Jerman, Perancis, Swiss, Inggris, dan narasi-narasi besar pasca-perang, kisah sebagainya. Paviliun Angola perbudakan dan genosida merupakan isu yang mempresentasikan tidak saja satu digali sebagai bagian dari upaya kecenderungan estetik yang cukup radikal, memformulasikan gagasan nasionalisme dan tetapi juga membawa diskusi tentang kebangsaan. Ini juga bisa dijumpai fenomena pertumbuhan kota dan ruang publik sesungguhnya pada gerakan kebudayaan Asia di Afrika, yang dipresentasikan dalam sebuah pada periode yang sama (sekitar akhir 1950an respons yang menarik atas kelas borjuis Eropa dan 1960an), misalnya pada kasus upaya melalui pemilihan ruang pameran yang serupa besar-besaran dari Presiden Soekarno untuk vila kelas atas. menjadikan seni dan budaya sebagai senjata diplomasi, dan keinginannya untuk Menanggapi situasi eksotisisme atas seni membangun hubungan dengan Negara-negara Afrika yang terus berlanjut, N Gone Fall, salah non imperialis, termasuk di dalamnya Negara satu generasi kurator Afrika pasca 1990an, Asia-Afrika. menyebutkan: “Apakah semua pameran ini

menyebutkan kata Afrika dalam judul Generasi seniman muda seperti Otobong pamerannya untuk meyakinkan penonton Ngkana, kelompok seniman Invisible Borders, bahwa mereka sedang menonton sesuatu Kemang Wa Lehulere, Lynette Yiadom Boakye, yang betul-betul berbeda dan spesial? Hampir dan sebagainya mewakili satu generasi baru semua pameran ini mengandung konten yang yang membicarakan Afrika dengan perspektif sangat lemah, kalau tidak bisa dibilang kosong, baru dan pendekatan yang segar, yang bahkan nyaris mirip dengan pameran nasional membagi bahasa-bahasa visual atau persoalan Afrika yang diselenggarakan tahun 1960an dan yang barangkali sama dengan seniman muda berkelana keliling dunia. Seolah-olah motivasi di tempat-tempat lain. Generasi muda ini juga satu-satunya untuk membuat pameran ini terbuka pada platform seni yang baru, di mana adalah untuk merayakan budaya Afrika secara mereka bertemu dan bekerja dengan internasional. Tetapi, apakah seni itu hanya kelompok aktivis, akademisi ataupun inisiatif semata tentang perayaan? Apakah seniman-komunitas dan membawa seni menjadi bagian seniman Afrika itu cuma rombongan hiburan dari ruang baru untuk bersuara. yang tidak punya pemikiran dan hal-hal untuk

dikatakan?”

Page 35: Newsletter Edisi 7, Oktober 2014

34 35

BIENNALE JOGJASelama 22 tahun, terhitung sejak 1988-2010, Perjalanan mengelilingi planet Bumi di sekitar Biennale Jogja (BJ) telah menempati posisi sangat Khatulistiwa ini dimulai dengan berjalan ke arah penting untuk mengukur kemajuan seni rupa Barat. Biennale Jogja tidak mengawali perjalanan Indonesia. Maka kini sudah tiba saatnya untuk ini ke arah Timur karena menyadari keterbatasan menjadikan BJ sebagai rangkuman dari seluruh pengetahuan tentang Pasifik dan bahkan potensi kreativitas budaya dalam bidang seni Nusantara itu sendiri. Selain itu Yayasan Biennale rupa Indonesia, Asia maupun dunia. Yogyakarta yang baru berdiri pada Agustus 2010

memiliki tenggat waktu untuk melaksanakan Biennale Jogja seri Equator : 2011 – 2021 Biennale Jogja XI pada tahun 2011.

Pada 2010 Yayasan Biennale Yogyakarta (YBY) Wilayah-wilayah atau negara-negara di sekitar merancang dan meluncurkan proyek BJ sebagai Khatulistiwa yang direncanakan akan bekerja rangkaian pameran dengan agenda jangka sama dengan BJ sampai dengan tahun 2021 panjang yang akan berlangsung sampai dengan adalah: India (Biennale Jogja XI 2011), Negara-tahun 2022 mendatang. YBY bertekad menjadikan negara Arab (Biennale Jogja XII 2013), Negara-Yogyakarta dan Indonesia secara lebih luas

negara di benua Afrika (Biennale Jogja XIII 2015), sebagai lokasi yang harus diperhitungkan dalam

Negara-negara di Amerika Latin (Biennale Jogja konstelasi seni rupa internasional. Di tengah

XIV 2017), Negara-negara di Kepulauan Pasifik dinamika medan seni rupa global yang sangat dan Australia, termasuk Indonesia sebagai dinamis — seolah-olah inklusif dan egaliter — Nusantara (Biennale Jogja XV 2019) – karena hirarki antara pusat dan pinggiran sebetulnya kekhasan cakupan wilayah ini, BJ XV dapat masih sangat nyata. Oleh karena itu pula, disebut sebagai 'Biennale Laut' (Ocean kebutuhan-kebutuhan untuk melakukan Biennale)–, Negara-negara di Asia Tenggara intervensi menjadi sangat mendesak. (Biennale Jogja XVI 2021), dan ditutup dengan KONFERENSI KHATULISTIWA pada tahun 2022.YBY mengangankan suatu sarana (platform)

bersama yang mampu menyanggah, menyela Mengapa 'Khatulistiwa'? atau sekurang-kurangnya memprovokasi

dominasi sang pusat, dan memunculkan alternatif Konsep 'Khatulistiwa' tidak saja diangankan untuk melalui keragaman praktik seni rupa kontemporer menjadi semacam bingkai yang mewadahi dari perspektif Indonesia. kesamaan, tapi juga sebagai titik berangkat untuk mengejawantahkan berbagai Dalam waktu 10 tahun ke depan, yang dimulai keragaman budaya masyarakat global dewasa ini. pada tahun 2011, YBY akan menyelenggarakan BJ 'Khatulistiwa' adalah sarana bersama untuk sebagai rangkaian pameran yang berangkat dari 'membaca kembali' dunia. satu tema besar, yaitu EQUATOR (KHATULISTIWA).

Rangkaian biennale ini akan mematok batasan Perjumpaan melalui kegiatan seni rupa dalam BJ geografis tertentu di planet bumi sebagai wilayah Khatulistiwa akan diselenggarakan dengan kerjanya, yakni kawasan yang terentang di antara semangat membangun jejaring yang 23.27 LU dan 23.27 LS. Dalam setiap berkelanjutan, sehingga dialog, kerjasama, dan penyelenggaraannya BJ akan bekerja dengan satu, kemitraan dapat melahirkan kerjasama-kerjasama atau lebih, negara, atau kawasan, sebagai baru yang lebih luas dan kontinyu, di antara para 'rekanan', dengan mengundang seniman-seniman praktisi di kawasan Khatulistiwa. Dengan dari negara-negara yang berada di wilayah ini

untuk bekerja sama, berkarya, berpameran, demikian BJ dapat memberikan kontribusi pada bertemu, dan berdialog dengan seniman- terbentuknya topografi medan seni rupa global seniman, kelompok-kelompok, organisasi- yang dirumuskan secara baru.organisasi seni dan budaya Indonesia di Yogyakarta.

Afrika pada pertengahan 1990an dan N Gone Fall saya kira menyebut poin penting sesudahnya memang cukup pesat dengan untuk digarisbawahi: bahwa melibatkan makin terbukanya wilayah ini pada arena seniman dari sebuah wilayah kebudayaan global. Pameran-pameran Afrika berlangsung bukan saja menjadi laku untuk merayakan di berbagai belahan dunia, mulai London, New keberagaman, tetapi lebih merupakan upaya York hingga Tokyo, sementara seniman mereka untuk mendiskusikan gagasan-gagasan yang terus menjadi bagian dari pergerakan dinamis signifikan dan kritis sehingga ada rintisan seni rupa kontemporer dengan keikutsertaan untuk menciptakan dunia yang lebih adil. Saya mereka pada berbagai pameran di museum sendiri melihat bahwa ada banyak seniman dan biennale/triennale internasional. yang menciptakan karya menarik dan kritis,

yang isunya tidak saja bisa dibawa untuk berbicara tentang Afrika, tetapi merefleksikan Fenomena menarik terbaru adalah lebih jauh apa yang terjadi secara universal di kemenangan pavilion nasional Angola pada berbagai belahan dunia. Karya-karya Venice Biennale 2013. Angola merebut tempat monumental Kader Attia dan William kehormatan, mendapat Golden Lion yang Kentridge adalah inspirasi yang sangat sangat bergengsi ketika mempresentasikan berharga untuk mendiskusikan gagasan Edgor Chagas dengan karyanya Luanda, eksploitasi dan kolonialisme, dan penting pula Encyclopedia City. Kemenangan Angola ini bagi kita untuk belajar bagaimana melihat mematahkan dominasi Negara-negara dunia sejarah dari perspektif yang kalah. Pada karya-pertama dalam sejarah Venice Biennale karya seniman generasi awal seperti mereka, seperti Jerman, Perancis, Swiss, Inggris, dan narasi-narasi besar pasca-perang, kisah sebagainya. Paviliun Angola perbudakan dan genosida merupakan isu yang mempresentasikan tidak saja satu digali sebagai bagian dari upaya kecenderungan estetik yang cukup radikal, memformulasikan gagasan nasionalisme dan tetapi juga membawa diskusi tentang kebangsaan. Ini juga bisa dijumpai fenomena pertumbuhan kota dan ruang publik sesungguhnya pada gerakan kebudayaan Asia di Afrika, yang dipresentasikan dalam sebuah pada periode yang sama (sekitar akhir 1950an respons yang menarik atas kelas borjuis Eropa dan 1960an), misalnya pada kasus upaya melalui pemilihan ruang pameran yang serupa besar-besaran dari Presiden Soekarno untuk vila kelas atas. menjadikan seni dan budaya sebagai senjata diplomasi, dan keinginannya untuk Menanggapi situasi eksotisisme atas seni membangun hubungan dengan Negara-negara Afrika yang terus berlanjut, N Gone Fall, salah non imperialis, termasuk di dalamnya Negara satu generasi kurator Afrika pasca 1990an, Asia-Afrika. menyebutkan: “Apakah semua pameran ini

menyebutkan kata Afrika dalam judul Generasi seniman muda seperti Otobong pamerannya untuk meyakinkan penonton Ngkana, kelompok seniman Invisible Borders, bahwa mereka sedang menonton sesuatu Kemang Wa Lehulere, Lynette Yiadom Boakye, yang betul-betul berbeda dan spesial? Hampir dan sebagainya mewakili satu generasi baru semua pameran ini mengandung konten yang yang membicarakan Afrika dengan perspektif sangat lemah, kalau tidak bisa dibilang kosong, baru dan pendekatan yang segar, yang bahkan nyaris mirip dengan pameran nasional membagi bahasa-bahasa visual atau persoalan Afrika yang diselenggarakan tahun 1960an dan yang barangkali sama dengan seniman muda berkelana keliling dunia. Seolah-olah motivasi di tempat-tempat lain. Generasi muda ini juga satu-satunya untuk membuat pameran ini terbuka pada platform seni yang baru, di mana adalah untuk merayakan budaya Afrika secara mereka bertemu dan bekerja dengan internasional. Tetapi, apakah seni itu hanya kelompok aktivis, akademisi ataupun inisiatif semata tentang perayaan? Apakah seniman-komunitas dan membawa seni menjadi bagian seniman Afrika itu cuma rombongan hiburan dari ruang baru untuk bersuara. yang tidak punya pemikiran dan hal-hal untuk

dikatakan?”

Page 36: Newsletter Edisi 7, Oktober 2014

YOGYAKARTA

YAYASAN

PemerintahDaerah Istimewa Yogyakarta

Dinas Kebudayaan