New Historisisme Greenblatt; Identifikasi Dan Relevansi Dalam Praktik Kritik Sastra
Transcript of New Historisisme Greenblatt; Identifikasi Dan Relevansi Dalam Praktik Kritik Sastra
1
NEW HISTORISISME GREENBLATT:
IDENTIFIKASI DAN RELEVANSI DALAM PRAKTIK KRITIK SASTRA
Oleh Moh Fathoni
Pasca 2000an kesusastraan kita mengalami overproduksi terutama setelah adanya dorongan
semangat keterbukaan publik daripada masa-masa sebelumnya. Fenomena tersebut lebih-lebih
tampak dalam produksi karya sastra sejarah. Dalam acara Borobudur Writers dan Cultural
Festival, 29-31 Oktober 2012, sedikitnya melibatkan 30 pengarang dengan lebih dari 45 novel
yang mengangkat tokoh dan peristiwa sejarah. Kecenderungan overproduksi teks sastra sejarah
tersebut pada satu sisi berpotensi negatif terhadap adanya kekacauan, di sisi lain berefek positif
terhadap perkembangan dan keragaman dalam kesusastraan kita. Kekacauan tersebut diantaranya
karena adanya pergeseran paradigma dalam melihat teks sastra baik secara ontologis dan
epistemologis maupun implikasinya pada metodologi pengkajian teks sastra sejarah. Adanya
pergeseran tersebut disebabkan adanya perbedaan konvensi lama dan baru dalam melihat teks
sastra sejarah. Asumsi-asumsi yang muncul pada pergeseran ini yakni mempertanyakan
objektivitas sejarah dan fungsi sastra.
Dalam kajian interdisipliner yang mencoba mendiskusikan antardisiplin keilmuan
diperlukan untuk menyikapi pergeseran tersebut, sebagai perhatiannya terhadap perkembangan,
keragaman, dan persoalan tersebut. Dalam hal ini teori dan kritik sastra bukan tidak mungkin
diperlukan rumusan metode dan paradigma baru. Tawaran pendekatan interdisipliner dalam
sastra jelas diperlukan dalam kondisi yang demikian. Tulisan ini akan dikhususkan pada
identifikasi new historisisme dan relevansinya dalam kesusastraan Indonesia yang mengalami
pergeseran paradigma dalam melihat teks sastra sejarah. Untuk kepentingan identifikasi tersebut
tulisan membatasi ruang lingkup kajian, yakni hanya sekitar pada persoalan terhadap novel
sejarah yang representatif dengan fenomena di atas.
I. IDENTIFIKASI PARADIGMA SASTRA DAN SEJARAH
Setidaknya belakangan ini terdapat beberapa persoalan yang mengarah pada paradigma
sastra dan kaitannya dengan sejarah. Persoalan tersebut terlihat dari beberapa perdebatan yang
mengarah pada gugatan terhadap teks sastra (novel) sejarah. Gugatan tersebut diantaranya dapat
dilihat dari beberapa kasus berikut.
Aguk Irawan NM dalam “Novelisasi Sejarah, antara Sastra dan Pelecehan Sejarah” (NU
Online, 25/11/1012) menyatakan bahwa novel Wali Songo karya Damar Shasangka belum bisa
dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Beberapa tokoh dalam novel tersebut meneurut Aguk,
misalnya seperti tokoh Sunan Giri menitahkan pembakaran lontar-lontar agama Budha, dan
tokoh Nyo Lay Wa, seorang muslim China, ditahbiskan menjadi raja Majapahit, tidak sesuai
dengan kenyataan sejarah. Pernyataan tersebut Aguk bersandarkan pada pandangan M.H.
Abrams dalam The Mirror and the Lamp untuk kemudian mengatakan bahwa perlu adanya etika
2
dalam karya sastra sejarah. Dengan kata lain, Aguk ingin menekankan fungsi kritik sastra pada
persoalan subjektivitas pengarang teks sastra dan historiografi yang objektif.
Pada kasus yang lain, perdebatan Akmal Nasery Basral dengan Priyanto Oemar di
Republika mengenai sosok Ahmad Dahlan dan kehidupannya di dalam karya sastra menarik pula
untuk dicermati. Ahmad Dahlan adalah sosok sejarah. Sedangkan novel yang mengangkat
kehidupannya yakni diantaranya Jejak Sang Pencerah yang ditulis oleh Didik L Hariri dan novel
Tonggak Sang Pencerah oleh Yazid R Passandre.
Basral dalam “Perlunya Keluwesan Menakar Novel Sejarah” (Republika, 26/9/2010)
menanggapi tulisan Oemar “Keluwesan Sang Pencerah” (Republika, 5/9/2010). Menurut Basral,
tulisan Oemar mengarah pada akurasi atau verifikasi peristiwa-peristiwa (fakta) historis dalam
karya sastra. Padahal menurutnya, novel Sang Pencerah adalah teks sastra yang tidak bisa
disejajarkan dengan teks non-sastra. Oleh karena itu, menurut Basral pembandingan yang
dilakukan Oemar tersebut tidak tepat. Di sini, Basral menyandarkan pendapatnya pada
subjektivitas pada teks sastra, sebaliknya Oemar pada objektivitas sejarah. Selain itu, keberatan
Basral juga didasarkan pada pandangan bahwa ukuran keindahan estetika dan secara fungsional
antara karya sastra (novel) dengan non-sastra (buku sejarah) berbeda. Artinya, meskipun
keduanya berasal dari bahan yang sama (masa lampau atau sejarah), tetapi keduanya tidak sama
dan tidak dapat disamakan dalam penilaian atau pembandingan. Dengan demikian, keduanya
mengacu pada pembedaan antara teks sastra yang subjektif dan non-sastra (sejarah) yang
objektif. Sastra dan sejarah adalah dua disiplin yang terpisah dan tidak dapat dipertemukan.
Dalam konvensi sastra tradisional, novel sejarah dipahami sebagai teks sastra yang di
dalamnya memuat peristiwa dan kehidupan tokoh sejarah. Sedangkan sejarah, dalam pandangan
ini, dimaksudkan sebagai masa lampau yang ditulis oleh sejarawan yang memiliki kemampuan
tertentu dalam menulis sejarah. Dengan demikian, kebenaran mengenai masa lampau dapat
ditemukan dan bersifat objektif dan pasti di dalam sejarah. Sementara teks sastra yang ditulis
bukan dengan standar ilmiah hanya menjumput sejarah untuk dijadikan sebagai background dari
narasinya.
Namun, pandangan yang terakhir ini belakangan terlihat diragukan dan secara luas
kebenaran sejarah tampak dipertanyakan: benarkah kenyataan masa lampau dapat diketahui
secara lengkap, dan benarkah masa lampau yang ditulis dalam sejarah yang sampai pada masa
kini benar-benar bersih dari subjektivitas penulisnya dan kepentingan tertentu. Pertanyaan-
pertanyaan semacam ini mengemuka kembali terutama setelah berakhirnya dominasi otoritas
orde baru. Lebih-lebih tampak ketika dipersoalkannya kebenaran peristiwa sejarah Gerakan 30
September (G 30 S). Kaitannya dalam sastra mengenai hal ini, diantaranya, tulisan Adi
Wicaksono dan disertasi Y. Yapi Taum (UGM, 2012) cukup memberikan gambaran mengenai
perbedaan perspektif ideologis karya sastra pada masa tersebut, bahwa sejarah yang ditulis tidak
dapat dilepaskan dari pengaruh kekuasaan. Dengan demikian, objektivitas sejarah diragukan
kebenarannya.
Tidak hanya itu, objektivitas sejarah pada peristiwa dan tokoh sejarah lainnya bersifat
‘mungkin’ dalam sastra. Dalam teks sastra sejarah Wali Songo, Ahmad Dahlan atau tokoh
sejarah lainnya memiliki kemungkinan berbeda dengan penulisan sejarah (historiografi). Dan
kemungkinan tersebut sangat besar terjadi, terutama di dalam karya sastra. Hal yang demikian ini
mengemuka dalam acara Borobudur Writers dan Cultural Festival 2012 yang juga mengangkat
3
persoalan tokoh dan peristiwa sejarah dalam sastra, terutama polemik yang melibatkan Langit
Kresna Hariadi dan Aan Merdeka Permana. Hariadi pernah menulis novel yang kontroversial
mengenai Majapahit, begitu pula Permana yang mengangkat sosok Gajah Mada dalam novel
Perang Bubat.
Dalam tulisan “Novel Sejarah Sunda Mencari Jejak yang Tidak Pasti” yang disampaikan
pada acara itu, Permana menegaskan bahwa fiksi sejarah berhadapan dengan kondisi politik dan
ekonomi ketika akan diterbitkan. Menurutnya, novel Senja Jatuh di Pajajaran sulit terbit karena
ditolak oleh penerbit-penerbit masa Orde Baru, sebab cerita di dalamnya cenderung sensitif
dengan kekuasaan. Demikian pula novel Perang Bubat yang dianggap berbeda dengan
pengetahuan sejarah mengenai penggambaran tokoh Gajah Mada.
Selain persoalan politik, Permana juga menyatakan bahwa kepentingan penerbit memiliki
peran penting. Penerbit yang mempunyai kepentingan ekonomi (kapital) tentu tidak akan
menerima naskah (novel) yang tidak mengandung unsur nasional atau yang diketahui khalayak,
popular dan tidak bersifat lokal yang hanya diketahui oleh masyarakat daerah tertentu. Hal ini
menurut Permana menyulitkan terbitnya novel-novel sejarah lokal. Maka, bukan tidak mungkin
karya sastra yang diterbitkan tidak berorientasi lokal yang tentu saja posisinya tidak berbeda
dengan nasional.
Apa yang menjadi persoalan Permana ini kemudian dilakukan Hariadi yang sebelumnya
menulis novel tentang Majapahit. Hariadi menerbitkan sendiri beberapa novelnya. Demikian
pula dengan novelis lainnya memilih menerbitkan karyanya sendiri, seperti Armaya yang
menulis novel Tirtaganda tentang sejarah Blambangan.
Novel Hariadi Menak Jinggo misalnya, mengangkat persoalan silang sengkarutnya transisi
Majapahit masa Hayam Wuruk yang melingkupi kehidupan sosok Bhre Wirabumi, dari
keturunan Blambangan. Beberapa sosok dari keturunan Majapahit tidak ingin kursi kekuasaan
Majapahit dilanjutkan oleh selain keturunannya langsung. Dalam kondisi perebutan kekuasaan
itulah keturunan Blambangan dicitrakan negatif. Barangkali melalui novel ini Hariadi ingin
mewacanakan kembali sosok masa lampau dari keturunan Blambangan yang dicitrakan negatif
sampai kini, dan bahwa citra demikian tidak dapat dilepaskan dari persoalan politik yang
melingkupi pada masanya. Hal ini pula yang tampak dalam novel Permana Perang Bubat yang
mengangkat sosok Gajah Mada dan orang-orang Blambangan dalam novel Armaya Tirtaganda.
Pencitraan demikian mengacu pada rekonstruksi dan representasi masa lampau (sejarah)
yang dituliskan di dalam teks sastra. Melalui novel Tirtaganda, Armaya mencoba
merekonstruksi peristiwa dan tokoh Blambangan pada masa lampau. Novel ini diterbitkan
kembali ketika ramaii perdebatan mengenai penetapan hari jadi Banyuwangi antara pemerintah,
budayawan, sejarawan. Kasus terakhir ini mengandaikan bahwa sastra mencoba memasuki peran
dalam persoalan yang berkaitan dengan masa lampau pada masa kekinian. Demikian pula
dengan Hariadi dengan Menak Jinggo yang merekonstruksi cintra Bhre Wirabumi baik dalam
pandangan Majapahit maupun Blambangan, yang sampai pada hari ini masih dicitrakan negatif.
Permana melalui Perang Bubat mencoba merekonstruksi representasi Gajah Mada khususnya
pada peristiwa Bubat yang sampai pada hari ini berpengaruh pada hubungan Sunda dengan Jawa.
Dengan demikian, teks sastra baik yang ditulis oleh Permana, Armaya maupun Hariadi di
atas menunjukkan bahwa, 1) perbedaan jarak waktu antara peristiwa masa lampau dengan
4
penulisan novel yakni pada masa kini; 2) adanya pewacanaan kembali masa lampau pada masa
kini. Maka, terdapat perbedaan cara pandang antara masa lampau dan masa kini, khususnya yang
dilakukan oleh pengarang. Sebagaimana dijelas di atas, bahwa dalam diskursus historiografi dan
sastra persoalan kebenaran sejarah atau objektivitas dipertanyakan kembali baik posisi, fungsi,
maupun legitimasinya, yang dengan demikian dalam analisis dan interpretasi sastra masa lampau
dipandang sebagai jalinan diskursus yang saling berkaitan satu sama lain. Dalam hal inilah new
historisisme Greenblatt mendapat relevansinya.
II. NEW HISTORISISME STEPHEN GREENBLATT
Selama tahun 1940-1960an, new kritisisme mendominasi pendekatan analisis sastra. Pada
masa itu buku Theory of Literature (1942) Rene Wellek dan Austin Warren seperti menjadi kitab
suci yang hanya memfokuskan pada orientasi teks itu sendiri daripada memperhatikan relasi
dengan pembaca, pengarang, dan persoalan historisitasnya. Pada tahun 1970an dan awal 1980an
muncul pendekatan alternatif pada interpretasi tekstual yang melawan dominasi pendekatan
sebelumnya. Dalam tradisi lama baik new kritisisme atau formalisme mengasumsikan bahwa
teks bersifat ahistoris dan terisolir dari relasi dengan yang lain termasuk konteks historisnya.
Asumsi demikian mengikuti pandangan dari tradisi old historisisme.
New historisisme diperkenalkan oleh Stephen Greenblatt (1943-) pada tahun 1982 bertolak
belakang dan menentang pandangan old historisisme. New historisisme tegas menyatakan bahwa
semua sejarah adalah subjektif. Sejarah yang dituliskan mengandung bias personal. Sejarah
yang dituliskan tidak terhindarkan dari pengaruh dan interpretasi pandangan pengarang,
pengetahuan, masyarakat atau konteks historisnya. Maka, sejarah tidak pernah mampu
menyediakan kebenaran atau memberikan gambaran yang akurat dan objektif secara menyeluruh
mengenai peristiwa atau pandangan dunia suatu masyarakat pada masa lampau. Dengan
mengingkari pandangan otonomi old historisisme, new historisisme menyatakan bahwa sejarah
merupakan suatu diskursus; cara pandang dan berpikir mengenai dunia. Cara pandang demikian
mengasumsikan bahwa sejarah, sastra, ekonomi, politik, agama, dan lainnya, merupakan suatu
diskursus, dimana antara satu diskursus dengan diskursus lainnya saling berkaitan.
Dengan demikian sejarah sebanding sebagaimana halnya dengan sosiologi, politik, budaya,
seni, sains dan disiplin lainnya sebagai diskursus dalam interprestasi suatu teks. Hal ini oleh new
historisisme dipandang seperti halnya dengan praktik analisis teks sastra yang mengangkat inter-
relasi antara aktivitas manusia. Sebagai suatu diskursus yang memiliki jalinan dengan
kekuasaan (power), baik sejarah, sastra, politik, maupun budaya, satu diantaranya tidak dapat
tidak dilibatkan. Hal inilah yang kemudian muncul anggapan bahwa praktik analisis, pembacaan
dan penulisan suatu teks merupakan tindakan politis.
Demikian pula dengan budaya, sebagai diskursus yang pada umumnya dipahami berkenaan
dengan kepercayaan, kebiasaan, moral, seni, dan hukum yang dianut oleh masyarakat. Karena
istilah ini banyak (atau bisa diartikan apa saja), menurut Greenblatt budaya tidak mempunyai arti
apa-apa. Budaya hanya secara samar menunjuk pada ragam dari 'kemampuan dan kebiasaan'
(capabilities and habits) yang diadopsi oleh manusia. Lebih lanjut Greenblatt meredefinisi
konsep budaya dalam suatu konstruksi "fashion", yang secara ironis dan satire menunjukkan
bahwa dalam perilaku dan praktiknya dikondisikan, dibentuk, dimana masyarakat menyesuaikan
5
(fashion) diri dengan ukuran atau standar nilai yang mengandung ketidakleluasaan dan mobilitas
(constraint and mobility) (1995: 478).
Dalam hubungannya dengan individu dan masyarakatnya sebagai bagian darinya dan
budaya yang melingkupinya, bagi Greenblatt keduanya saling berjejalin. Bahkan seluruh
aktivitas manusia saling pengaruh-mempengaruhi (interconected) secara kompleks (Bressler,
2002: 185). Subjektivitas (individual atau self), menurut Greenblatt (1988: 88) dikonstruksi oleh
kode kultural, oleh konstruksi sosial dan oleh bahasa sebagaimana yang diciptakan oleh
diskursus yang beragam sehingga posisi atau keadaan subjek tidak otonom dan terisolasi.
Dengan demikian jika subjek dikonstruksi oleh bahasa, maka pengalaman subjek pun dapat
dipahami oleh bahasa. Oleh sebab itu, tidak ada objektivitas. Dan yang ada di dalam teks
hanyalah representasi dari dunia yang subjektif. Representasilah yang membuat sesuatu menjadi
ada atau terjadi, yakni dengan melalui pembentukan kesadaran subjek. Dan oleh karena itu
sebagai suatu tindakan dalam sejarah, representasi yang beragam jenisnya itu mesti dibaca di
dalam suatu relasi yang saling pengaruh-mempengaruhi dengan yang lain, dengan diskursus
yang beragam jenisnya itu. Maka, antara sastra dengan sejarah, budaya, politik, sosial dan
lainnya atau dengan fenomena dan peristiwa sejarah, politik, budaya, sosial, dan seterusnya
saling berhubungan kelindan satu sama lain.
Lebih lanjut menurut Greenblatt, teks dalam suatu diskursus merupakan sebagai produk dan
komponen fungsional dari formasi sosial dan politis. Teks sastra sebagai produk material dari
kondisi historis tertentu, sebagai suatu teks yang dituliskan, baik sastra ataupun sejarah
merupakan hasil dari interpretasi pengarang atau penulisnya yang tidak dapat dilepaskan dari
kondisi yang melingkupinya. Maka, suatu teks baik sastra maupun teks sejarah menjadi suatu
agen dalam pengkonstruksian suatu pengertian atas realitas budaya, atau dengan kata lain
sebagai suatu kendaraan yang membonceng potensi bagi kekuasaan dan sekaligus perlawanan
terhadapnya. Dengan demikian, objek kajian Greenblatt adalah bukan teks atau konteksnya,
bukan sastra atau sejarahnya, tetapi lebih pada sastra ‘dalam’ sejarah (Brannigan, 1998: 3-6).
Demikian pula pembacaan (baik yang dilakukan oleh pengarang maupun pembaca)
mengenai masa lampau diinformasikan oleh keadaan historis yang memuat nilai dan politik
(kekuasaan). Pembacaan yang menekankan kesadaran-diri (atau keberadaan subjek) dalam
pencarian makna masa lampau akan menghadapi kesulitan, kecuali dengan melalui kaca mata
dan konstruksi kultural masa kini (Bressler, 2002: 88-89). Dengan demikian, budaya memiliki
batasan-batasan sekaligus budaya sebagai suatu keseluruhan yang kompleks (Greenblatt, 1995:
480). Maka, tugas penting kritik sastra adalah merekonstruksi batasan-batasan itu yang
didasarkan pada kehidupan, yang dinyatakan melalui suatu teks (Greenblatt, 1995: 478).
Pembacaan suatu teks merupakan praktik kritis dalam menunjukkan adanya relasi-relasi
kekuasaan agar tampak (visible), bahkan relasi tersebut sampai pada diri subjek (Brannigan,
1998: 7), sebagaimana yang ditunjukkan Greenbatt dalam konsep self-fashioning.
Meskipun budaya memuat batasan-batasan, tetapi hal itu cukup lentur untuk menyesuaikan
diri. Terbukti budaya memiliki kemampuan bertahan dan melakukan improvisasi sehingga
mampu bertahan dari suatu masa ke masa. Greenblatt dalam melihat persoalan ini berangkat dari
diskursus dan relasi kekuasaan Foucault, kemudian mengikuti pandangan Clifford Geertz yang
menganggap bahwa budaya sebagai suatu teks.
6
Dalam relasi diskursus (Foucault) dan sebagai artefak kultural (Geertz), teks tidak dapat
dievaluasi dengan mengisolasi dari konteks kulturalnya. Maka, dalam praktik pembacaan suatu
teks mesti mengetahui kondisi masyarakat yang menjadi perhatian pengarang, waktu historis
yang ditunjukkan di dalam karya, dan elemen kultural lainnya yang diperlihatkan di dalam teks
sebelum mengarah pada interpretasi (Bressler, 2002: 185). Dengan kata lain, praktik analisis
tekstual yang diakronik sekaligus sinkronik ini mempertanyakan tindakan bagaimana mencapai
makna dari suatu aktivitas, dan dari suatu teks, peristiwa sosial, tradisi yang dianut, atau suatu
tindakan politis dalam suatu episteme yang terus-menerus berproses pada suatu masa—
Greenblatt menyebutnya dengan ‘culture in action’. Melalui episteme Foucauldian, Greenblatt
mengidentifikasi bentuk-bentuk kekuasaan dan relasinya pada suatu masa tertentu. Greenblatt
mengacu pada The Order of Things yang memahami episteme pada sifat dasar atau karakter
‘pengetahuan’ suatu periode historis, bukan pada peristiwa historisnya semata. Sedangkan
pengetahuan yang dimaksud adalah suatu pengertian yang beroperasi sebagaimana kekuasaan
yang dapat mendefinisikan dan mengorganisir masyarakat tertentu yang beragam pada suatu
waktu tertentu.
Dalam kajiannya baik secara teoretis dan praktik, Greenblatt lebih fokus pada persoalan
sejarah dan sastra. Perluasan disipliner yang meliputi kajian tekstualitas, bahasa, dan representasi
pada dasarnya berbasis pada analisis historis. Hal ini merupakan efek dari kritisisme sastra
terhadap sejarah, yakni dengan membaca sejarah sebagai sebuah teks (Brannigan, 1998: 9),
sebagaimana ia mengacu pada diskursus Foucultdian dan tekstualisme Geertz. Hal ini merupakan
desakan atas relasi kekuasaan dengan memperhatikan sebuah kompleksitas dan sekaligus
spesifikasi atau kekhususan sejarah (locality).
Relasi kedua disiplin Greenblatt ini oleh Montrose disebut dengan ‘tekstualitas sejarah dan
historisitas teks’ (Brannigan, 1998: 84). Maka, tekstualitas sejarah mengasumsikan adanya
perbedaan historis, sedangkan historisitas teks mengacu pada pembacaan suatu teks. Sementara
kemudian Greenblatt sendiri menyebutnya dengan ‘puitika kultural’. Puitika kultural pertama
kali dipublikasikan pada tahun 1988 dalam Shakespearean Negotiation, dimana dalam bab
pertamanya memuat deklarasi "puitika kultural" (Greenblatt, 1988: 5). Penggunaan 'puitika
kultural' dalam buku Shakespearean Negotiation ini sebagai kumpulan studi dari praktik-praktik
kultural yang dilakukannya dalam relasi diantara praktik-praktik lainnya.
Gagasan ‘puitika kultural’ dipertahankan dalam buku The Historicism (Veeser, ed., 1989)
dimana dalam buku kumpulan tulisan ini Greenblatt menulis "Toward a Poetics of Culture".
Kemudian Greenblatt menulis "Renaissance Cultural Poetics" yang dikumpulkan dalam buku
Learning to Curse (1990). Meskipun demikian, sebenarnya Greenblatt telah menggunakan istilah
‘puitika kultural’ di dalam buku Renaissance Self-Fashioning, dimana dia mengklaim bahwa
tujuan yang tepat dari praktik kritis itu adalah 'a poetics of culture' (1980: 5). Selain itu,
Greenblatt juga sebenarnya menggunakan istilah ‘puitika kultural’ pada tulisan dimana dia
mendeklarasikan istilah new historisisme, yakni di dalam pengantar Jurnal Genre yang
berhubungan dengan bentuk-bentuk kekuasaan. Di situ Greenblatt menganggap bahwa studi atas
genre merupakan suatu eksplorasi dari puitika budaya (Brannigan, 1998: 84).
Namun, secara akademik Greenblatt memulai istilah puitika kultural pada tahun 1987, yakni
dalam tulisan pengantar di dalam tulisan "The New Historicism: Studies in Cultural Poetics".
Lebih lanjut, dalam tulisan "Invisible Bullets" (1981) sebagai bentuk revisi dari Shakespearean
Negotiations dan tulisan "Murdering Peasants" dalam jurnal Representasion edisi tahun 1983.
7
Penggunaan puitika kultural oleh Greenblatt bukan sekedar label. Jika new historisisme
lebih penolakan terhadap new kritisisme pada pandangan mengenai teks sastra otonom dan
terisolasi dari konteks historisnya dan tradisi old historisisme, puitika kultural lebih spesifik pada
sebagai praktik kritis yang "menolak asumsi-asumsi yang membedakan antara foreground sastra
dan background politis antara produksi artistik dengan produksi sosial jenis lainnya" (Greenblatt,
1982: 6). Hal ini oleh Montrose dianggap sebagai keberhasilan Greenblatt dalam arus gerakan
new historisisme yang cenderung ekletik dan empiris terhadap asumsi dan objektivitas teori.
Hasilnya, mungkin, adalah 'pengerasan' (hardening) new historisisme ke dalam puitika kultural
(Brannigan, 1998: 86). Sedangkan oleh Greenblatt sendiri mengakui bahwa puitika kultural
cenderung lebih mengarah pada analisis tekstual (Bressler, 2002: 182). Dengan demikian,
menurut Brannigan (1998: 84-85) dapat dikatakan bahwa puitika kultural adalah bagian dalam
lingkup new historisisme.
Puitika kultural meyakini bahwa makna berkembang atau disusun dari interaksi diskursus
sosial yang berjejalin dan beragam, dan tidak ada hierarki diskursus. Semua diskursus diperlukan
dan mesti diperiksa dalam proses analisis tekstual. Kemudian, dalam proses interpretasi juga
mesti memasukkan pertanyaan-pertanyaan mengenai asumsi metodologis untuk membedakan
makna di setiap diskursus dan setiap praktisi, tidak ada satu diskursus atau metode atau kritik
yang dapat mengungkap suatu kebenaran dengan pengisolasian dari diskursus lainnya (Bressler,
2002: 189). Tidak ada hierarki dan diperlukannya relasi dengan diskursus lain, maka dalam
praktiknya puitika kultural sebagaimana new historisisme tidak membatasi perbedaan antara
sastra, sejarah, budaya, politik, sains, dan disiplin lainnya. Dengan kata lain, tidak ada lagi batas-
batas yang jelas yang diperlukan dalam praktik analisis.
Teks dalam pandangan puitika kultural, seperti dijelaskan di atas kaitannya dengan bahasa
dan diskursus merupakan produk kultural, dimana makna teks berada pada sistem budaya yang
jalin-menjalin antara diskursus satu dengan diskursus yang lain. Untuk itu diperlukan strategi
penguraian, yakni dengan memperhatikan tiga hal: 1) kehidupan pengarang; 2) norma dan nilai
sosial yang ditemukan di dalam teks; dan 3) refleksi atau intensi dari situasi historis di dalam
teks sebagai petunjuk dalam praktik analisis. Sejak pengarang menulis, sebenarnya teks, tindakan
dan keyakinannya merefleksikan perhatian pengarang (sebagai individu) dan masyarakat
(dimana pengarang berada), dan itu merupakan elemen-elemen yang dikandung oleh teks itu
sendiri. Sedangkan standar nilai dan perilaku sebagaimana yang direfleksikan dalam aturan-
aturan kepantasan (dalam pergaulan) masyarakat juga mesti diinvestigasi, sebab hal tersbut
merupakan kode perilaku yang secara terus-menerus berperan membentuk dan dibentuk oleh
teks. Begitu pula dengan teks juga mesti dilihat sebagai karya estetis yang mengacu pada kode-
kode sosial perilaku tersebut (Bressler, 2002: 189).
Dengan demikian, dalam memahami signifikasi teks dan merealisasikan struktur sosial yang
kompleks, ketiga area perhatian tersebut mesti diinvestigasi. Jika salah satu area diabaikan, maka
akan berisiko kembali pada old historisisme dan pemahaman terhadap teks bukan sebagai suatu
produksi sosial. Dengan menerapkan prinsip dan metode puitika kultural akan menunjukkan
bahwa tidak hanya satu suara tapi beberapa suara lain yang terdengar dalam interpretasi teks dan
budaya, suara kita sendiri, suara orang lain, suara dari masa lampau, masa kini, dan suara-suara
yang mungkin pada masa mendatang (Bressler, 2002: 189-190).
Puitika kultural dipandang sebagai pengkajian secara lebih spesifik dari praktik-praktik
kultural dan pengkajian tekstual ke dalam relasi-relasi yang cukup luas (Greenblatt, 1988: 5).
8
Praktik kultural yang dikaji lebih menekankan yang partikular dan lokal, daripada yang general
dan universal. Dengan demikian, pengkajian puitika kultural: 1) mengidentifikasi praktik-praktik
kultural dengan ‘lebih dekat’, 2) memeriksa bagaimana praktik kultural secara spesifik terbentuk,
3) salah satu dari poin 1) dan 2) itu mengimplikasikan bahwa formasi dari praktik kultural
merupakan suatu upaya (praktik) bersama dan bukan karya seorang individu, dan 4) berusaha
mencari relasi antara praktik kultural satu dengan praktik lainnya (Brannigan, 1998: 87). Prinsip-
prinsip kerja puitika kultural ini jelas terlihat sesuai dengan yang dipraktikkan Greenblatt dalam
Marvelous Possessions (1991) yang merupakan hasil kuliahnya yang disampaikan pada 1988.
Dalam buku Marvelous Possessions (1991) Greenblatt menunjukkan praktik kultural
kekuasaan simbolik dalam dunia baru (New World) yang muncul pada narasi penjelajahan orang-
orang Eropa pada periode awal modern. Greenblatt berpendapat bahwa narasi penjelajahan
(narrative travel) yang dibentuk secara kolektif merupakan representasi publik dan representasi
itu perlu pembentukan secara kolektif. Kemudian Greenblatt menghubungkan praktik kultural,
historis, dan diskursus, dari suatu teks naratif yang memuat adanya narasi penjelajahan sebagai
representasi orang-orang Eropa (secara historis) dan adanya pembentukan praktik kultural dari
berbagai ragam bentuk representasi (secara tekstual) dimana diskursus kolonial beroperasi, suatu
relasi kekuasaan yang mengandung subversi dan demistifikasi New World. Secara tidak
langsung, buku ini juga menjadi contoh praktik kritis—yang dipengaruhi oleh marxisme, seluruh
bentuk kultural dan ideologi tidak hanya menempel pada praktik-praktik material dan
institusional, tetapi juga representasi dalam kondisi ekonomi-empiris menjadi penting sebagai
suatu perlawanan atau perjuangan kelas sebagaimana yang dianut oleh marxisme—bahwa
‘mereka tidak dapat merepresentasikan dirinya, mereka mesti direpresentasikan’, juga diikuti
pula oleh Gramsci, Althusser, Williams dan Lukacs: subjek (proletar) tidak memiliki kehendak
bebas dalam memilih, subjektivitas individual telah dikonstruksi melalui aparatus ideologis
(Althusser), dan bahwa kekuasaan beroperasi di dalam masyarakat menurut logika hegemonik
yang merasuk ke dalam kode dan konvensi sosial dan kultural masyarakat (Williams).
Sejak memperkenalkan kajian new historisisme (1980) atau puitika kultural (1988),
Greenblatt memperkaya kajiannya dengan konsep subjektivitas (self-fashioning), ‘mobilitas
kultural’, ‘anekdot’, ‘resonansi dan wonder’, ‘energi sosial’, dan lainnya. Dengan konsep-konsep
tersebut puitika kultural berusaha menemukan jalan keluar dari keraguan atau aporia mengenai
sifat-dasar realitas dan interpretasi teks. Hal ini yang membedakannya dengan teori
poststrukturalis lainnya, khususnya dekonstruksi. New historisisme tidak meniadakan bahwa
beberapa faktor keterpengaruhan dan penulisan, produksi, dan publikasi teks, new historisisme
berusaha melampaui keraguan itu daripada menyatakan bahwa teks memiliki banyak
kemungkinan makna (Bressler, 2002: 183).
Konsep self-fashioning (pembentukan-diri atau lebih tepatnya penyesuaian-diri)
diperkenalkan Greenblatt pada buku Renasissance Self-Fashioning. Greenblatt merujuk pada
konsep artefak kultural Geertz, bahwa manusia membutuhkan simbol-simbol kultural untuk
menciptakan dirinya. Dalam praktik analisisnya, New historisisme memeriksa ‘bagaimana suatu
periode atau budaya tertentu menciptakan (fashions) dirinya, dan menghasilkan dirinya sendiri.
Dengan demikian, fokus perhatian new historisisme adalah bukan pada ‘apakah pembentukan-
diri (self-fashioning) itu salah atau benar’, tetapi pada ‘bagaimana dan mengapa seseorang atau
masyarakat membentuk (fashions) diri mereka sendiri’. Oleh karena itu, dalam praktik
interpretasi new historisisme juga menggunakan analisis thick description Geertz, dengan asumsi
9
demistifikasi otonomi teks sastra, dan menempatkan sastra dalam sirkulasi dengan teks-teks
lainnya (Brannigan, 1998: 33-34, 80). Dalam praktik ini new historisisme berfungsi pada
penguraian narasi-narasi yang tersembunyi, terabaikan, yang kecil dan tidak diperhatikan atau
termajinalkan, kemudian memahami dan mengungkap bagaimana dan mengapa narasi tersebut
demikian pada masa kini.
Dalam konsep ini Greenblatt tampak juga dipengaruhi oleh padangan sistem self-regulating
(pengaturan-diri) Foucauldian, terutama pada representasi yang berhubungan dengan dominasi
dan kondisi diskursif yang mempengaruhi dan menentukan pembentukan-diri. Dalam
Renaissance Self-Fashioning, Greenblatt menunjukkan bahwa “pada abad ke-16 tampak
meningkatnya kesadaran-diri mengenai pembentukan (fashioning) identitas manusia sebagai
sesuatu yang dapat dimanipulasi" (1980: 2). Jadi, bukan individu-individu tetapi bagaimana
budaya Renaissans menciptakan representasi untuk membentuk gagasan kesadaran-diri-manusia
pada masa Renaissans. Menurut Greenblatt, gagasan tersebut merupakan suatu proses
pembentukan-diri (self-fashioning), dimana subjektivitas setiap individu dikonstruksi secara
ideologis dan linguistik di dalam kesadaran puncak dari posisi diri (self) di dalam struktur-
struktur kekuasaan.
Dengan demikian, representasi, identitas, dan kesadaran diri merupakan suatu fiksi yang
diformulasikan dan diadaptasi melalui suatu narasi di dalam jaringan diskursus, “…narasi dan
identitas sosial dibentuk di dalam budaya” (Greenblatt, 1980: 6). Bagi Greenblatt, pembentukan-
diri (self-fashioning) adalah efek dari ragam mekanisme kontrol, sistem pemaknaan kultural yang
menciptakan individu tertentu diatur dan dikendalikan (1980: 4). Sedangkan dalam hal praktik
interpretasi, Greenblatt menitik-beratkan pada fungsi sastra: 1) sebagai suatu manifestasi dari
tindakan konkret seorang pengarang, 2) sebagai ekspresi dari kode-kode dimana perilaku
dibentuk, dan 3) sebagai refleksi atas kode-kode perilaku yang berlaku. Ketiga fungsi ini mesti
digunakan seluruhnya. Jika interpretasi hanya nomor 1, maka akan mengarah pada analisis
biografis yang cenderung psikologis atau analisis historis pengarang. Dan jika hanya pada nomor
2, maka akan mudah terjebak ke dalam pandangan bahwa sastra semata hanya sebagai produk
struktur sosial, konsekuensinya akan terkungkung pada ideologi superstruktur. Demikian pula,
jika sastra hanya dipandang sebagai refleksi kode perilaku, maka akan menghilangkan subjek
atau subjek dianggap pasif yang hanya sebagai anggota masyarakat (1980: 5). Selain itu, dalam
buku ini Greenblatt juga memperkenalkan istilah ‘improvisasi kekuasaan’ (1980: 227) untuk
menyebut diskursus yang mendominasi pada masa Renaissans yang menurutnya sebagai suatu
mode dan instrumen kekuasaan.
Perihal kekuasaan pada tulisan “Invisible Bullets” Greenblatt menyebutkan, bahwa pada
setiap masa memiliki mode kekuasaan, dan kekuasaan tersebut menunjukkan adanya potensi
subversi. Bahkan menurutnya, subversi dibutuhkan oleh kekuasaan untuk menunjukkan bahwa
kekuasaan tampak berkuasa. Pada tulisan ini Greenblatt mengidentifikasi bentuk-bentuk
kekuasaan dengan episteme pada masa tertentu melalui teks sastra (Brannigan, 1998: 8). Maka,
new historisisme menggunakan teks sastra sebagai akses atau jalan untuk memasuki representasi
yang mendominasi pada masa lampau. Greenblatt berpendapat, dalam merespon seni dari masa
lampau, kita secara tidak terelakkan apakah kita mengharap atau tidak perubahan nilai dan
berkaitan dengan kekuasaan, seni diproduksi dalam relasi perjuangan sosial dan kehidupan yang
politis. Gerakan emansipatif new historisisme ini berimplikasi pada analisisnya yakni dengan
menggunakan beragam teks baik yang minor atau remeh temeh maupun yang sumber resmi atau
10
mainstream, sumber sejarah resmi atau sumber lisan, undang-undang dan sumber informasi
lainnya, dokumen hukum, undang-undang, jurnal, cerita perjalanan, dan lainnya, dan dengan
tidak membedakan teks sastra canon atau tidak. Maka, dalam hal ini new historisisme berhasil
membuka kesempatan baru dalam pemikiran mengenai sastra dalam relasinya dengan sejarah
dan politik, yang dengan demikian tidak hanya membuka interpretasi dan pembacaan antara
sastra dan karakteristiknya pada suatu periode tertentu, tetapi juga membuka kajian
interdisipliner sastra.
Pada tahun 1988 Greenblatt mempublikasikan Shakespearean Negotiation, di dalam ia lebih
memilih menggunakan istilah ‘energi sosial’ daripada ‘kekuasaan’ (power) yang Foucauldian.
Menurutnya, kekuasaan berimplikasi pada kesatuan struktural dan stabil, tetapi dalam praktiknya
lebih mengarah pada keberagaman dan keacakan bentuk operasi dan produksi kekuasaan.
Sebagaimana dijelaskan, praktik-praktik kultural kesenian dalam pandangan Greenblatt
merupakan bagian dari jaringan relasi dan fungsi sosial, dan kemudian mesti memperlakukannya
dalam relasi praktik-praktik sosial dan kultural yang lebih luas, yang dalam implikasinya tidak
stabil, sehingga energi sosial dalam mode dominasi ditinjau kembali melalui spesifikasi sosial
dan posisi kultural yang spesifik.
Konsep anekdot digunakan Greenblatt dalam tulisan “The Touch of the Real” (2005) yang
mempersoalkan representasi atau penggambaran diri (konstruksi imaji) pada masa lampau yang
dilakukan pada masa kini. Konsep ini diadopsi Greenblatt (2005: 31-34) atas penafsirannya
mengenai narasi pencurian domba dan tekstualitas antropolog (atau sejarawan) dalam
menceritakan suatu budaya tertentu, yang ditulis oleh Geertz di dalam Interpretation of Culture
(1973). Dalam analisis yang dikembangkannya, bahwa tekstualitas atas narasi kultural tersebut
merupakan suatu ‘acted document’, dengan mengasumsikan adanya suatu perilaku simbolik
(symbolic behavior) dalam narasi tersebut. Sehingga Greenblatt menyimpulkan bahwa diskursus
antropologis dan tekstualitas narasi seperti halnya dengan fiksi, yang berakar pada penciptaan,
penceritaan, penggambaran, penyusunan, dan penulisan (2005: 35).
Greenblatt kemudian mengarahkan analisisnya pada teks sastra dan sejarah—seperti
misalnya analisisnya terhadap buku Mimesis-nya Auerbach, karya-karya Balzac, untuk
menunjukkan anekdot tersebut, untuk menjelaskan signifikansi perbedaan antara representasi
suatu narasi pada masa lampau yang ditulis atau dibaca pada masa kini, sebagai sesuatu yang
fragmented dan paradoks, antara realitas dan representasi, antara suatu karya (teks) yang
dituliskan dan dunia yang sebenarnya. Tulisan Greenblatt ini kemudian dipublikasikan kembali
dalam Practicing New Historicism (2000) pada bagian pertama, sedangkan pada bagian kedua
Gallagher melalui tulisan “Counterhistory and the Anecdote” menambahkan pandangannya
mengenai konsep anekdot. Gallagher mencoba menjelaskan komitmen pada partikularitas dan
anekdot dalam konteks historiografi. Menurut Gallagher (2000: 49-50), anekdot merupakan efek
atau respon dari bentuk totalisasi dan generalisasi sejarah atau narasi historis. Baik Greenblatt
maupun Callagher dalam hal ini lebih memperhatikan new historisisme pada lima aspek, yakni
pada: 1) penggunaan anekdot, 2) penggunaan representasi, 3) tertarik dengan sejarah dari
rangkaian atau gugusan, 4) memperhatikan pada hal-hal kecil yang diabaikan, dan 5) analisis
ideologis secara skeptis.
Konsep anekdot narasi historis Greenblatt dalam tulisan “Touch of the Real” tersebut
sebenarnya berkaitan dengan konsep demistifikasi New World atau representasi orang-orang
Eropa dalam buku Marvelous Possessions (1991), dan terpaut dengan tulisan “Resonance and
11
Wonder” (1990). Dalam tulisan “Resonance and Wonder” Greenblatt memeriksa keadaan
historis (masa lampau) suatu teks diproduksi dan dikonsumsi dengan relasinya pada keadaan
kekinian. Relasi kekinian tersebut, menurut Greenblatt, tidak terhindarkan. Dan, hal itu
merupakan suatu intervensi terhadap masa lampau. Istilah ‘resonansi’ digunakan Greenblatt
untuk menyebut keterpautan (pembacaan) dan intervensi (dalam penafsiran dan penulisan)
tersebut. Sedangkan ‘wonder’ atau daya tarik terhadap adanya kekuatan (resonansi) yang
merupakan gema dari produk atau budaya Barat. Greenblatt memberikan contoh pada keindahan
karya-karya Shakespeare dengan relasi dialogis pada masa lampau dan masa kini.
Belakangan pada tahun 2010 Greenblatt melanjutkan konsep narasi historis atau travel
writing dengan konsep barunya: mobilitas kultural, melalui suatu manifesto dalam buku The
Cultural Mobillity: A Manifesto (2010: 250-253). Manifesto pertama, bahwa mobilitas mesti
dipahami dalam pengertian literal. Pemahaman ini melanjutkan gagasan mengenai tekstualitas
dan pandangan metaforis terhadap objek analisisnya: suatu fenomena kultural dipahami sebagai
suatu teks. Kedua, bahwa mobilitas mengungkap sesuatu yang tersembunyi, baik itu suatu
gagasan, kepentingan ideologis, pencitraan atau penggambaran dari suatu teks dengan mengkaji
bentuk-bentuk mekanisme kulturalnya. Ketiga, mobilitas mengidentifikasi dan menganalisis
zona yang saling berhubungan (‘contact zones’), yakni suatu tempat dimana barang-barang
dipertukarkan, suatu pertukaran produk kultural yang beroperasi diantara agen individu,
kelompok, institusi, atau masyarakat yang saling interkoneksi satu sama lain dalam suatu
perbedaan budaya.
Manifesto keempat Greenblatt dalam buku tersebut adalah, bahwa mobilitas terjadi di dalam
ketegangan antara agen individual dengan pembatasan struktural. Determinasi struktur dan
kontrol sosial memungkinkan (memaksa) individu melakukan suatu tindakan dan membuat
strategi. Ketegangan antara keduanya itulah yang menjadi kajian Greenblatt. Kelima, mobilitas
mengkaji sensasi yang mendasar. Tidak mungkin mengkaji mobilitas tanpa juga memahami hal-
hal yang statis atau hal-hal yang dapat membatasi mobilitas. Mobilitas seringkali dianggap
sebagai suatu ancaman oleh tradisi, kepercayaan, ritual-ritual dan otoritas tertentu yang sudah
mapan (established) pada suatu budaya tertentu—budaya yang oleh Greenblatt dipahami bersifat
lokal (tidak global atau universal), partikular pada ruang dan waktu yang spesifik. Ancaman dan
upaya menghadapinya menjadi kajian mobilitas kultural. Dengan demikian, mobilitas tetap
mengkaji kondisi dimana dominasi dan resistensi dalam merespon kemapanan budaya atau
terjadinya suatu perubahan dan perbedaan budaya.
Konsep-konsep Greenblatt tersebut saling berkaitan satu sama lain dalam suatu bingkai new
historisisme, yang sering disebut dengan puitika kultural. Secara garis besar Veeser (1989: xi)
merumuskan asumsi-asumsi new historisisme: 1) bahwa setiap tindakan ekspresif lekat di dalam
suatu jaringan praktik-praktik (budaya yang bersifat) material; 2) bahwa setiap tindakan
pengungkapan, kritik, dan perlawanan mesti akan menggunakan perangkat-perangkat dari yang
ditentangnya, dan oleh sebab itu akan terjebak pada praktik sama; 3) bahwa relasi teks sastra dan
non-sastra tidak dapat dipisahkan (dalam pembacaan kritis); 4) bahwa tidak ada diskursus baik
fiksi atau faktual yang memberikan akses pada kebenaran mutlak yang tidak berubah-ubah
ataupun mengekspresikan hakikat kemanusiaan di dunia; dan 5) akhirnya, bahwa suatu metode
kritis dan bahasa cukup memadai untuk mendeskripsikan kebudayaan ekonomi kapitalisme.
Kesimpulan Veeser di atas terlalu umum, yang memang hanya berupa asumsi paradigmatik
mengenai relasi fungsional antara teks sastra dan non-sastra. Hal ini jika dibandingkan dengan
12
kesimpulan Payne dalam The Greenblatt Reader (2005: 3), bahwa new historisisme merupakan
suatu kumpulan praktik dari pada suatu metode atau teori akademisi, dan lebih lanjut Payne
mencoba merumuskannya: 1) new historisisme memandang bahwa budaya merupakan suatu
sistem semiotik, sebagai suatu jaringan tanda; 2) new historisisme menentang hegemoni disiplin
ilmu pengetahuan, dan mengarahkannya pada studi interdisipliner yakni dalam upaya penemuan
dan pembangkitan suatu pengetahuan baru; 3) new historisisme selalu menyadari bahwa sejarah
merupakan gabungan dari apa yang terjadi (suatu rangkaian peristiwa) pada masa lampau dengan
dari suatu laporan atau cerita mengenai peristiwa tersebut, dengan kata lain bahwa kebenaran
historis muncul (dapat dicapai dengan) dari suatu refleksi kritis atas suatu cerita yang dikatakan;
4) sejarah pada awalnya suatu ragam dari diskursus, yang tidak menyangkal bahwa peristiwa
yang nyata memang ada dan pernah terjadi; 5) kekhasan cara yang dilakukan new historisisme
ialah dimulai dengan peristiwa yang ‘menarik’ atau anekdot, yang efeknya dapat membangkitkan
skeptisisme tentang narasi besar historis atau mengutamakan deskripsi suatu periode sejarah
tertentu (semisal masa Renaissans); 6) new historisisme dengan dapat dipastikan mencurigai
keutuhan, ketunggalan penggambaran budaya atau periode sejarah, memandang bahwa adanya
pandangan dunia yang tidak terbilang pada suatu periode tertentu (misalnya mitos besar dan
tunggal diciptakan untuk melayani suatu kepentingan tertentu pada masa tertentu); 7) memahami
sejarah dengan satu perspektif adalah tidak mungkin, sebab semua sejarah tergantung pada
waktu masa kini atau kekinian, waktu dimana seseorang terkonstruksi; 8) new historisisme
secara implisit mengkritik formalisme (atau new kritisisme) yang memperlakukan objek sastra
sebagai suatu benda mati yang ahistoris. New historisisme memprioritaskan pemeriksaan
kembali relasi antara sastra dan sejarah; 9) new historisisme menentang bahwa teks sastra
sebagai objek yang otonom, yang terlepas dari pengarangnya dan pembacanya, maka masa
lampau sebagai suatu objek tidak dapat dilepaskan dari rekonstruksi tekstualnya; 10) dalam studi
sastra sejarah bukan hanya sebagai background sastra atau seni, tetapi sastra dan sejarah saling
interkoneksi, yang pengaruh-mempengaruhi dan saling menutupi. Maka, sastra dan sejarah
dalam pandangan new historisisme mesti dilihat sebagai disiplin yang dianalisis secara
bersamaan atau bolak-balik (Geertz dalam thick description menyebutnya dengan pembacaan
pararel) yang menempatkan seluruh teks dalam suatu pengkajian untuk mengungkap suatu
keberagaman pandangan dan kebenaran dalam masa lampau.
Dengan demikian, dari uraian di atas, dapat ditambahkan bahwa new historisisme atau
puitika kultural merupakan pendekatan untuk analisis sastra yang dipahami sebagai praktik
interpretasi yang masih dalam proses yang secara terus-menerus mendefinisikan dan menyusun
tujuannya, filosofinya, dan praktiknya. Sebab, teks adalah suatu lahan perebutan atau medan
pertempuran (battleground) dari persaingan gagasan diantara pengarang, masyarakat, kebiasaan,
institusi, dan praktik sosial yang semua itu bernegosiasi dengan pengarang dan pembaca dan
pengaruh dari episteme (Bressler, 2002: 187). Sejak pembaca atau kritikus dipengaruhi oleh
budaya dimana mereka hidup, baik pembaca ataupun kritikus tidak dapat terasing (atau lepas
dari) pengaruh publik dan budayanya sendiri. Dengan demikian, setiap pembaca atau kritikus
akan mencapai sebuah interpretasi yang unik dari sebuah teks dan pembacaan akan semakin
beragam, interpretasi akan terus-menerus dilakukan dan tidak pernah berhenti pada satu
kebenaran yang mutlak. Hal ini seiring dengan semangat postmodernisme dan gejala
overproduksi dalam kesusastraan kita, dimana banyaknya teks sastra diproduksi mestinya sejalan
dengan praktik analisis dan interpretasi terhadapnya. []
13
DAFTAR PUSTAKA
Basral, Akmal Nasery. “Perlunya Keluwesan Menakar Novel Sejarah.” Republika, 26/9/2010.
Brannigan, John. 1998. New Historicism and Cultural Materialism. London: Macmillan Press
Ltd.
Bressler, Charles E. 2002. Literary Criticism: An Introduction to Theory and Practice. 3rd
ed.
New Jersey: Houghton College.
Gallagher, Catherine. 2000. “Counterhistory and the Anecdote” dalam Practicing New
Historicism, London & Chicago: The University of Chicago Press.
Greenblatt, Stephen. 1980. Renaissance Self-Fashioning: From More to Shakespeare. Chicago &
London: The University of Chicago Press.
_________. 1981. “Invisible Bullets: Renaissance Authority and its Subversion”. Glyph 8. p. 40-
61.
_________. 1982. “Introduction: The Form of Power”. Genre 7. p. 3-6.
_________. 1988. Shakespearean Negotiations: The Circulation of Social Energy in
Renaissance England. Berkeley & Los Angeles: University of California Press.
_________. 1990, “Resonance dan Wonder” dalam A Literary Theory Today (Peter Collier &
Helga Geyer-Ryan, ed.) Cambridge: Polity.
_________. 1995. "Culture" dalam Critical Terms for Literature Study. (Frank Lentricchia &
Thomas McLaughlin, ed.) Chicago: University of Chicago Press, 225-32. Rpt. in
Contexts for Criticism (Donald Keesey, ed.). 3rd
edition. Mountain View, CA: Mayfield,
1998. p. 477-92.
_________& Gallager, Catherine, 2000, Practicing New Historicism, London & Chicago: The
University of Chicago Press.
_________. 2005. “The Touch of the Real” dalam The Greenblatt Reader (Michael Payne, ed.).
p.30-50.
_________. 2010. “A Mobility Studies Manifesto” dalam The Cultural Mobillity: A
Manifesto.(Greenblatt, et al.) New York: Cambridge University Press. p.250-253.
Irawan NM, Aguk. “Novelisasi Sejarah, antara Sastra dan Pelecehan Sejarah” NU Online.
25/11/1012.
Oemar, Priyanto. “Keluwesan Sang Pencerah.” Republika. 5/9/2010
Payne, Michael. 2005. “Introduction: Greenblatt and New Historicism” dalam The Greenblatt
Reader (Michael Payne, ed.). p.1-7.
Permana, Aan Merdeka. 2013. “Novel Sejarah Sunda Mencari Jejak yang Tidak Pasti” dalam
Memori dan Imajinasi Nusantara. Magelang: Samana Foundation. p.212-229.
Veeser, H. Aram. 1989. “Introduction” dalam The New Historicism (H. Aram Veeser, ed.). New
York & London: Routledge. p.ix-xvi.