New Historisisme Greenblatt; Identifikasi Dan Relevansi Dalam Praktik Kritik Sastra

13
1 NEW HISTORISISME GREENBLATT: IDENTIFIKASI DAN RELEVANSI DALAM PRAKTIK KRITIK SASTRA Oleh Moh Fathoni Pasca 2000an kesusastraan kita mengalami overproduksi terutama setelah adanya dorongan semangat keterbukaan publik daripada masa-masa sebelumnya. Fenomena tersebut lebih-lebih tampak dalam produksi karya sastra sejarah. Dalam acara Borobudur Writers dan Cultural Festival, 29-31 Oktober 2012, sedikitnya melibatkan 30 pengarang dengan lebih dari 45 novel yang mengangkat tokoh dan peristiwa sejarah. Kecenderungan overproduksi teks sastra sejarah tersebut pada satu sisi berpotensi negatif terhadap adanya kekacauan, di sisi lain berefek positif terhadap perkembangan dan keragaman dalam kesusastraan kita. Kekacauan tersebut diantaranya karena adanya pergeseran paradigma dalam melihat teks sastra baik secara ontologis dan epistemologis maupun implikasinya pada metodologi pengkajian teks sastra sejarah. Adanya pergeseran tersebut disebabkan adanya perbedaan konvensi lama dan baru dalam melihat teks sastra sejarah. Asumsi-asumsi yang muncul pada pergeseran ini yakni mempertanyakan objektivitas sejarah dan fungsi sastra. Dalam kajian interdisipliner yang mencoba mendiskusikan antardisiplin keilmuan diperlukan untuk menyikapi pergeseran tersebut, sebagai perhatiannya terhadap perkembangan, keragaman, dan persoalan tersebut. Dalam hal ini teori dan kritik sastra bukan tidak mungkin diperlukan rumusan metode dan paradigma baru. Tawaran pendekatan interdisipliner dalam sastra jelas diperlukan dalam kondisi yang demikian. Tulisan ini akan dikhususkan pada identifikasi new historisisme dan relevansinya dalam kesusastraan Indonesia yang mengalami pergeseran paradigma dalam melihat teks sastra sejarah. Untuk kepentingan identifikasi tersebut tulisan membatasi ruang lingkup kajian, yakni hanya sekitar pada persoalan terhadap novel sejarah yang representatif dengan fenomena di atas. I. IDENTIFIKASI PARADIGMA SASTRA DAN SEJARAH Setidaknya belakangan ini terdapat beberapa persoalan yang mengarah pada paradigma sastra dan kaitannya dengan sejarah. Persoalan tersebut terlihat dari beberapa perdebatan yang mengarah pada gugatan terhadap teks sastra (novel) sejarah. Gugatan tersebut diantaranya dapat dilihat dari beberapa kasus berikut. Aguk Irawan NM dalam “Novelisasi Sejarah, antara Sastra dan Pelecehan Sejarah” (NU Online, 25/11/1012) menyatakan bahwa novel Wali Songo karya Damar Shasangka belum bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Beberapa tokoh dalam novel tersebut meneurut Aguk, misalnya seperti tokoh Sunan Giri menitahkan pembakaran lontar-lontar agama Budha, dan tokoh Nyo Lay Wa, seorang muslim China, ditahbiskan menjadi raja Majapahit, tidak sesuai dengan kenyataan sejarah. Pernyataan tersebut Aguk bersandarkan pada pandangan M.H. Abrams dalam The Mirror and the Lamp untuk kemudian mengatakan bahwa perlu adanya etika

Transcript of New Historisisme Greenblatt; Identifikasi Dan Relevansi Dalam Praktik Kritik Sastra

Page 1: New Historisisme Greenblatt; Identifikasi Dan Relevansi Dalam Praktik Kritik Sastra

1

NEW HISTORISISME GREENBLATT:

IDENTIFIKASI DAN RELEVANSI DALAM PRAKTIK KRITIK SASTRA

Oleh Moh Fathoni

Pasca 2000an kesusastraan kita mengalami overproduksi terutama setelah adanya dorongan

semangat keterbukaan publik daripada masa-masa sebelumnya. Fenomena tersebut lebih-lebih

tampak dalam produksi karya sastra sejarah. Dalam acara Borobudur Writers dan Cultural

Festival, 29-31 Oktober 2012, sedikitnya melibatkan 30 pengarang dengan lebih dari 45 novel

yang mengangkat tokoh dan peristiwa sejarah. Kecenderungan overproduksi teks sastra sejarah

tersebut pada satu sisi berpotensi negatif terhadap adanya kekacauan, di sisi lain berefek positif

terhadap perkembangan dan keragaman dalam kesusastraan kita. Kekacauan tersebut diantaranya

karena adanya pergeseran paradigma dalam melihat teks sastra baik secara ontologis dan

epistemologis maupun implikasinya pada metodologi pengkajian teks sastra sejarah. Adanya

pergeseran tersebut disebabkan adanya perbedaan konvensi lama dan baru dalam melihat teks

sastra sejarah. Asumsi-asumsi yang muncul pada pergeseran ini yakni mempertanyakan

objektivitas sejarah dan fungsi sastra.

Dalam kajian interdisipliner yang mencoba mendiskusikan antardisiplin keilmuan

diperlukan untuk menyikapi pergeseran tersebut, sebagai perhatiannya terhadap perkembangan,

keragaman, dan persoalan tersebut. Dalam hal ini teori dan kritik sastra bukan tidak mungkin

diperlukan rumusan metode dan paradigma baru. Tawaran pendekatan interdisipliner dalam

sastra jelas diperlukan dalam kondisi yang demikian. Tulisan ini akan dikhususkan pada

identifikasi new historisisme dan relevansinya dalam kesusastraan Indonesia yang mengalami

pergeseran paradigma dalam melihat teks sastra sejarah. Untuk kepentingan identifikasi tersebut

tulisan membatasi ruang lingkup kajian, yakni hanya sekitar pada persoalan terhadap novel

sejarah yang representatif dengan fenomena di atas.

I. IDENTIFIKASI PARADIGMA SASTRA DAN SEJARAH

Setidaknya belakangan ini terdapat beberapa persoalan yang mengarah pada paradigma

sastra dan kaitannya dengan sejarah. Persoalan tersebut terlihat dari beberapa perdebatan yang

mengarah pada gugatan terhadap teks sastra (novel) sejarah. Gugatan tersebut diantaranya dapat

dilihat dari beberapa kasus berikut.

Aguk Irawan NM dalam “Novelisasi Sejarah, antara Sastra dan Pelecehan Sejarah” (NU

Online, 25/11/1012) menyatakan bahwa novel Wali Songo karya Damar Shasangka belum bisa

dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Beberapa tokoh dalam novel tersebut meneurut Aguk,

misalnya seperti tokoh Sunan Giri menitahkan pembakaran lontar-lontar agama Budha, dan

tokoh Nyo Lay Wa, seorang muslim China, ditahbiskan menjadi raja Majapahit, tidak sesuai

dengan kenyataan sejarah. Pernyataan tersebut Aguk bersandarkan pada pandangan M.H.

Abrams dalam The Mirror and the Lamp untuk kemudian mengatakan bahwa perlu adanya etika

Page 2: New Historisisme Greenblatt; Identifikasi Dan Relevansi Dalam Praktik Kritik Sastra

2

dalam karya sastra sejarah. Dengan kata lain, Aguk ingin menekankan fungsi kritik sastra pada

persoalan subjektivitas pengarang teks sastra dan historiografi yang objektif.

Pada kasus yang lain, perdebatan Akmal Nasery Basral dengan Priyanto Oemar di

Republika mengenai sosok Ahmad Dahlan dan kehidupannya di dalam karya sastra menarik pula

untuk dicermati. Ahmad Dahlan adalah sosok sejarah. Sedangkan novel yang mengangkat

kehidupannya yakni diantaranya Jejak Sang Pencerah yang ditulis oleh Didik L Hariri dan novel

Tonggak Sang Pencerah oleh Yazid R Passandre.

Basral dalam “Perlunya Keluwesan Menakar Novel Sejarah” (Republika, 26/9/2010)

menanggapi tulisan Oemar “Keluwesan Sang Pencerah” (Republika, 5/9/2010). Menurut Basral,

tulisan Oemar mengarah pada akurasi atau verifikasi peristiwa-peristiwa (fakta) historis dalam

karya sastra. Padahal menurutnya, novel Sang Pencerah adalah teks sastra yang tidak bisa

disejajarkan dengan teks non-sastra. Oleh karena itu, menurut Basral pembandingan yang

dilakukan Oemar tersebut tidak tepat. Di sini, Basral menyandarkan pendapatnya pada

subjektivitas pada teks sastra, sebaliknya Oemar pada objektivitas sejarah. Selain itu, keberatan

Basral juga didasarkan pada pandangan bahwa ukuran keindahan estetika dan secara fungsional

antara karya sastra (novel) dengan non-sastra (buku sejarah) berbeda. Artinya, meskipun

keduanya berasal dari bahan yang sama (masa lampau atau sejarah), tetapi keduanya tidak sama

dan tidak dapat disamakan dalam penilaian atau pembandingan. Dengan demikian, keduanya

mengacu pada pembedaan antara teks sastra yang subjektif dan non-sastra (sejarah) yang

objektif. Sastra dan sejarah adalah dua disiplin yang terpisah dan tidak dapat dipertemukan.

Dalam konvensi sastra tradisional, novel sejarah dipahami sebagai teks sastra yang di

dalamnya memuat peristiwa dan kehidupan tokoh sejarah. Sedangkan sejarah, dalam pandangan

ini, dimaksudkan sebagai masa lampau yang ditulis oleh sejarawan yang memiliki kemampuan

tertentu dalam menulis sejarah. Dengan demikian, kebenaran mengenai masa lampau dapat

ditemukan dan bersifat objektif dan pasti di dalam sejarah. Sementara teks sastra yang ditulis

bukan dengan standar ilmiah hanya menjumput sejarah untuk dijadikan sebagai background dari

narasinya.

Namun, pandangan yang terakhir ini belakangan terlihat diragukan dan secara luas

kebenaran sejarah tampak dipertanyakan: benarkah kenyataan masa lampau dapat diketahui

secara lengkap, dan benarkah masa lampau yang ditulis dalam sejarah yang sampai pada masa

kini benar-benar bersih dari subjektivitas penulisnya dan kepentingan tertentu. Pertanyaan-

pertanyaan semacam ini mengemuka kembali terutama setelah berakhirnya dominasi otoritas

orde baru. Lebih-lebih tampak ketika dipersoalkannya kebenaran peristiwa sejarah Gerakan 30

September (G 30 S). Kaitannya dalam sastra mengenai hal ini, diantaranya, tulisan Adi

Wicaksono dan disertasi Y. Yapi Taum (UGM, 2012) cukup memberikan gambaran mengenai

perbedaan perspektif ideologis karya sastra pada masa tersebut, bahwa sejarah yang ditulis tidak

dapat dilepaskan dari pengaruh kekuasaan. Dengan demikian, objektivitas sejarah diragukan

kebenarannya.

Tidak hanya itu, objektivitas sejarah pada peristiwa dan tokoh sejarah lainnya bersifat

‘mungkin’ dalam sastra. Dalam teks sastra sejarah Wali Songo, Ahmad Dahlan atau tokoh

sejarah lainnya memiliki kemungkinan berbeda dengan penulisan sejarah (historiografi). Dan

kemungkinan tersebut sangat besar terjadi, terutama di dalam karya sastra. Hal yang demikian ini

mengemuka dalam acara Borobudur Writers dan Cultural Festival 2012 yang juga mengangkat

Page 3: New Historisisme Greenblatt; Identifikasi Dan Relevansi Dalam Praktik Kritik Sastra

3

persoalan tokoh dan peristiwa sejarah dalam sastra, terutama polemik yang melibatkan Langit

Kresna Hariadi dan Aan Merdeka Permana. Hariadi pernah menulis novel yang kontroversial

mengenai Majapahit, begitu pula Permana yang mengangkat sosok Gajah Mada dalam novel

Perang Bubat.

Dalam tulisan “Novel Sejarah Sunda Mencari Jejak yang Tidak Pasti” yang disampaikan

pada acara itu, Permana menegaskan bahwa fiksi sejarah berhadapan dengan kondisi politik dan

ekonomi ketika akan diterbitkan. Menurutnya, novel Senja Jatuh di Pajajaran sulit terbit karena

ditolak oleh penerbit-penerbit masa Orde Baru, sebab cerita di dalamnya cenderung sensitif

dengan kekuasaan. Demikian pula novel Perang Bubat yang dianggap berbeda dengan

pengetahuan sejarah mengenai penggambaran tokoh Gajah Mada.

Selain persoalan politik, Permana juga menyatakan bahwa kepentingan penerbit memiliki

peran penting. Penerbit yang mempunyai kepentingan ekonomi (kapital) tentu tidak akan

menerima naskah (novel) yang tidak mengandung unsur nasional atau yang diketahui khalayak,

popular dan tidak bersifat lokal yang hanya diketahui oleh masyarakat daerah tertentu. Hal ini

menurut Permana menyulitkan terbitnya novel-novel sejarah lokal. Maka, bukan tidak mungkin

karya sastra yang diterbitkan tidak berorientasi lokal yang tentu saja posisinya tidak berbeda

dengan nasional.

Apa yang menjadi persoalan Permana ini kemudian dilakukan Hariadi yang sebelumnya

menulis novel tentang Majapahit. Hariadi menerbitkan sendiri beberapa novelnya. Demikian

pula dengan novelis lainnya memilih menerbitkan karyanya sendiri, seperti Armaya yang

menulis novel Tirtaganda tentang sejarah Blambangan.

Novel Hariadi Menak Jinggo misalnya, mengangkat persoalan silang sengkarutnya transisi

Majapahit masa Hayam Wuruk yang melingkupi kehidupan sosok Bhre Wirabumi, dari

keturunan Blambangan. Beberapa sosok dari keturunan Majapahit tidak ingin kursi kekuasaan

Majapahit dilanjutkan oleh selain keturunannya langsung. Dalam kondisi perebutan kekuasaan

itulah keturunan Blambangan dicitrakan negatif. Barangkali melalui novel ini Hariadi ingin

mewacanakan kembali sosok masa lampau dari keturunan Blambangan yang dicitrakan negatif

sampai kini, dan bahwa citra demikian tidak dapat dilepaskan dari persoalan politik yang

melingkupi pada masanya. Hal ini pula yang tampak dalam novel Permana Perang Bubat yang

mengangkat sosok Gajah Mada dan orang-orang Blambangan dalam novel Armaya Tirtaganda.

Pencitraan demikian mengacu pada rekonstruksi dan representasi masa lampau (sejarah)

yang dituliskan di dalam teks sastra. Melalui novel Tirtaganda, Armaya mencoba

merekonstruksi peristiwa dan tokoh Blambangan pada masa lampau. Novel ini diterbitkan

kembali ketika ramaii perdebatan mengenai penetapan hari jadi Banyuwangi antara pemerintah,

budayawan, sejarawan. Kasus terakhir ini mengandaikan bahwa sastra mencoba memasuki peran

dalam persoalan yang berkaitan dengan masa lampau pada masa kekinian. Demikian pula

dengan Hariadi dengan Menak Jinggo yang merekonstruksi cintra Bhre Wirabumi baik dalam

pandangan Majapahit maupun Blambangan, yang sampai pada hari ini masih dicitrakan negatif.

Permana melalui Perang Bubat mencoba merekonstruksi representasi Gajah Mada khususnya

pada peristiwa Bubat yang sampai pada hari ini berpengaruh pada hubungan Sunda dengan Jawa.

Dengan demikian, teks sastra baik yang ditulis oleh Permana, Armaya maupun Hariadi di

atas menunjukkan bahwa, 1) perbedaan jarak waktu antara peristiwa masa lampau dengan

Page 4: New Historisisme Greenblatt; Identifikasi Dan Relevansi Dalam Praktik Kritik Sastra

4

penulisan novel yakni pada masa kini; 2) adanya pewacanaan kembali masa lampau pada masa

kini. Maka, terdapat perbedaan cara pandang antara masa lampau dan masa kini, khususnya yang

dilakukan oleh pengarang. Sebagaimana dijelas di atas, bahwa dalam diskursus historiografi dan

sastra persoalan kebenaran sejarah atau objektivitas dipertanyakan kembali baik posisi, fungsi,

maupun legitimasinya, yang dengan demikian dalam analisis dan interpretasi sastra masa lampau

dipandang sebagai jalinan diskursus yang saling berkaitan satu sama lain. Dalam hal inilah new

historisisme Greenblatt mendapat relevansinya.

II. NEW HISTORISISME STEPHEN GREENBLATT

Selama tahun 1940-1960an, new kritisisme mendominasi pendekatan analisis sastra. Pada

masa itu buku Theory of Literature (1942) Rene Wellek dan Austin Warren seperti menjadi kitab

suci yang hanya memfokuskan pada orientasi teks itu sendiri daripada memperhatikan relasi

dengan pembaca, pengarang, dan persoalan historisitasnya. Pada tahun 1970an dan awal 1980an

muncul pendekatan alternatif pada interpretasi tekstual yang melawan dominasi pendekatan

sebelumnya. Dalam tradisi lama baik new kritisisme atau formalisme mengasumsikan bahwa

teks bersifat ahistoris dan terisolir dari relasi dengan yang lain termasuk konteks historisnya.

Asumsi demikian mengikuti pandangan dari tradisi old historisisme.

New historisisme diperkenalkan oleh Stephen Greenblatt (1943-) pada tahun 1982 bertolak

belakang dan menentang pandangan old historisisme. New historisisme tegas menyatakan bahwa

semua sejarah adalah subjektif. Sejarah yang dituliskan mengandung bias personal. Sejarah

yang dituliskan tidak terhindarkan dari pengaruh dan interpretasi pandangan pengarang,

pengetahuan, masyarakat atau konteks historisnya. Maka, sejarah tidak pernah mampu

menyediakan kebenaran atau memberikan gambaran yang akurat dan objektif secara menyeluruh

mengenai peristiwa atau pandangan dunia suatu masyarakat pada masa lampau. Dengan

mengingkari pandangan otonomi old historisisme, new historisisme menyatakan bahwa sejarah

merupakan suatu diskursus; cara pandang dan berpikir mengenai dunia. Cara pandang demikian

mengasumsikan bahwa sejarah, sastra, ekonomi, politik, agama, dan lainnya, merupakan suatu

diskursus, dimana antara satu diskursus dengan diskursus lainnya saling berkaitan.

Dengan demikian sejarah sebanding sebagaimana halnya dengan sosiologi, politik, budaya,

seni, sains dan disiplin lainnya sebagai diskursus dalam interprestasi suatu teks. Hal ini oleh new

historisisme dipandang seperti halnya dengan praktik analisis teks sastra yang mengangkat inter-

relasi antara aktivitas manusia. Sebagai suatu diskursus yang memiliki jalinan dengan

kekuasaan (power), baik sejarah, sastra, politik, maupun budaya, satu diantaranya tidak dapat

tidak dilibatkan. Hal inilah yang kemudian muncul anggapan bahwa praktik analisis, pembacaan

dan penulisan suatu teks merupakan tindakan politis.

Demikian pula dengan budaya, sebagai diskursus yang pada umumnya dipahami berkenaan

dengan kepercayaan, kebiasaan, moral, seni, dan hukum yang dianut oleh masyarakat. Karena

istilah ini banyak (atau bisa diartikan apa saja), menurut Greenblatt budaya tidak mempunyai arti

apa-apa. Budaya hanya secara samar menunjuk pada ragam dari 'kemampuan dan kebiasaan'

(capabilities and habits) yang diadopsi oleh manusia. Lebih lanjut Greenblatt meredefinisi

konsep budaya dalam suatu konstruksi "fashion", yang secara ironis dan satire menunjukkan

bahwa dalam perilaku dan praktiknya dikondisikan, dibentuk, dimana masyarakat menyesuaikan

Page 5: New Historisisme Greenblatt; Identifikasi Dan Relevansi Dalam Praktik Kritik Sastra

5

(fashion) diri dengan ukuran atau standar nilai yang mengandung ketidakleluasaan dan mobilitas

(constraint and mobility) (1995: 478).

Dalam hubungannya dengan individu dan masyarakatnya sebagai bagian darinya dan

budaya yang melingkupinya, bagi Greenblatt keduanya saling berjejalin. Bahkan seluruh

aktivitas manusia saling pengaruh-mempengaruhi (interconected) secara kompleks (Bressler,

2002: 185). Subjektivitas (individual atau self), menurut Greenblatt (1988: 88) dikonstruksi oleh

kode kultural, oleh konstruksi sosial dan oleh bahasa sebagaimana yang diciptakan oleh

diskursus yang beragam sehingga posisi atau keadaan subjek tidak otonom dan terisolasi.

Dengan demikian jika subjek dikonstruksi oleh bahasa, maka pengalaman subjek pun dapat

dipahami oleh bahasa. Oleh sebab itu, tidak ada objektivitas. Dan yang ada di dalam teks

hanyalah representasi dari dunia yang subjektif. Representasilah yang membuat sesuatu menjadi

ada atau terjadi, yakni dengan melalui pembentukan kesadaran subjek. Dan oleh karena itu

sebagai suatu tindakan dalam sejarah, representasi yang beragam jenisnya itu mesti dibaca di

dalam suatu relasi yang saling pengaruh-mempengaruhi dengan yang lain, dengan diskursus

yang beragam jenisnya itu. Maka, antara sastra dengan sejarah, budaya, politik, sosial dan

lainnya atau dengan fenomena dan peristiwa sejarah, politik, budaya, sosial, dan seterusnya

saling berhubungan kelindan satu sama lain.

Lebih lanjut menurut Greenblatt, teks dalam suatu diskursus merupakan sebagai produk dan

komponen fungsional dari formasi sosial dan politis. Teks sastra sebagai produk material dari

kondisi historis tertentu, sebagai suatu teks yang dituliskan, baik sastra ataupun sejarah

merupakan hasil dari interpretasi pengarang atau penulisnya yang tidak dapat dilepaskan dari

kondisi yang melingkupinya. Maka, suatu teks baik sastra maupun teks sejarah menjadi suatu

agen dalam pengkonstruksian suatu pengertian atas realitas budaya, atau dengan kata lain

sebagai suatu kendaraan yang membonceng potensi bagi kekuasaan dan sekaligus perlawanan

terhadapnya. Dengan demikian, objek kajian Greenblatt adalah bukan teks atau konteksnya,

bukan sastra atau sejarahnya, tetapi lebih pada sastra ‘dalam’ sejarah (Brannigan, 1998: 3-6).

Demikian pula pembacaan (baik yang dilakukan oleh pengarang maupun pembaca)

mengenai masa lampau diinformasikan oleh keadaan historis yang memuat nilai dan politik

(kekuasaan). Pembacaan yang menekankan kesadaran-diri (atau keberadaan subjek) dalam

pencarian makna masa lampau akan menghadapi kesulitan, kecuali dengan melalui kaca mata

dan konstruksi kultural masa kini (Bressler, 2002: 88-89). Dengan demikian, budaya memiliki

batasan-batasan sekaligus budaya sebagai suatu keseluruhan yang kompleks (Greenblatt, 1995:

480). Maka, tugas penting kritik sastra adalah merekonstruksi batasan-batasan itu yang

didasarkan pada kehidupan, yang dinyatakan melalui suatu teks (Greenblatt, 1995: 478).

Pembacaan suatu teks merupakan praktik kritis dalam menunjukkan adanya relasi-relasi

kekuasaan agar tampak (visible), bahkan relasi tersebut sampai pada diri subjek (Brannigan,

1998: 7), sebagaimana yang ditunjukkan Greenbatt dalam konsep self-fashioning.

Meskipun budaya memuat batasan-batasan, tetapi hal itu cukup lentur untuk menyesuaikan

diri. Terbukti budaya memiliki kemampuan bertahan dan melakukan improvisasi sehingga

mampu bertahan dari suatu masa ke masa. Greenblatt dalam melihat persoalan ini berangkat dari

diskursus dan relasi kekuasaan Foucault, kemudian mengikuti pandangan Clifford Geertz yang

menganggap bahwa budaya sebagai suatu teks.

Page 6: New Historisisme Greenblatt; Identifikasi Dan Relevansi Dalam Praktik Kritik Sastra

6

Dalam relasi diskursus (Foucault) dan sebagai artefak kultural (Geertz), teks tidak dapat

dievaluasi dengan mengisolasi dari konteks kulturalnya. Maka, dalam praktik pembacaan suatu

teks mesti mengetahui kondisi masyarakat yang menjadi perhatian pengarang, waktu historis

yang ditunjukkan di dalam karya, dan elemen kultural lainnya yang diperlihatkan di dalam teks

sebelum mengarah pada interpretasi (Bressler, 2002: 185). Dengan kata lain, praktik analisis

tekstual yang diakronik sekaligus sinkronik ini mempertanyakan tindakan bagaimana mencapai

makna dari suatu aktivitas, dan dari suatu teks, peristiwa sosial, tradisi yang dianut, atau suatu

tindakan politis dalam suatu episteme yang terus-menerus berproses pada suatu masa—

Greenblatt menyebutnya dengan ‘culture in action’. Melalui episteme Foucauldian, Greenblatt

mengidentifikasi bentuk-bentuk kekuasaan dan relasinya pada suatu masa tertentu. Greenblatt

mengacu pada The Order of Things yang memahami episteme pada sifat dasar atau karakter

‘pengetahuan’ suatu periode historis, bukan pada peristiwa historisnya semata. Sedangkan

pengetahuan yang dimaksud adalah suatu pengertian yang beroperasi sebagaimana kekuasaan

yang dapat mendefinisikan dan mengorganisir masyarakat tertentu yang beragam pada suatu

waktu tertentu.

Dalam kajiannya baik secara teoretis dan praktik, Greenblatt lebih fokus pada persoalan

sejarah dan sastra. Perluasan disipliner yang meliputi kajian tekstualitas, bahasa, dan representasi

pada dasarnya berbasis pada analisis historis. Hal ini merupakan efek dari kritisisme sastra

terhadap sejarah, yakni dengan membaca sejarah sebagai sebuah teks (Brannigan, 1998: 9),

sebagaimana ia mengacu pada diskursus Foucultdian dan tekstualisme Geertz. Hal ini merupakan

desakan atas relasi kekuasaan dengan memperhatikan sebuah kompleksitas dan sekaligus

spesifikasi atau kekhususan sejarah (locality).

Relasi kedua disiplin Greenblatt ini oleh Montrose disebut dengan ‘tekstualitas sejarah dan

historisitas teks’ (Brannigan, 1998: 84). Maka, tekstualitas sejarah mengasumsikan adanya

perbedaan historis, sedangkan historisitas teks mengacu pada pembacaan suatu teks. Sementara

kemudian Greenblatt sendiri menyebutnya dengan ‘puitika kultural’. Puitika kultural pertama

kali dipublikasikan pada tahun 1988 dalam Shakespearean Negotiation, dimana dalam bab

pertamanya memuat deklarasi "puitika kultural" (Greenblatt, 1988: 5). Penggunaan 'puitika

kultural' dalam buku Shakespearean Negotiation ini sebagai kumpulan studi dari praktik-praktik

kultural yang dilakukannya dalam relasi diantara praktik-praktik lainnya.

Gagasan ‘puitika kultural’ dipertahankan dalam buku The Historicism (Veeser, ed., 1989)

dimana dalam buku kumpulan tulisan ini Greenblatt menulis "Toward a Poetics of Culture".

Kemudian Greenblatt menulis "Renaissance Cultural Poetics" yang dikumpulkan dalam buku

Learning to Curse (1990). Meskipun demikian, sebenarnya Greenblatt telah menggunakan istilah

‘puitika kultural’ di dalam buku Renaissance Self-Fashioning, dimana dia mengklaim bahwa

tujuan yang tepat dari praktik kritis itu adalah 'a poetics of culture' (1980: 5). Selain itu,

Greenblatt juga sebenarnya menggunakan istilah ‘puitika kultural’ pada tulisan dimana dia

mendeklarasikan istilah new historisisme, yakni di dalam pengantar Jurnal Genre yang

berhubungan dengan bentuk-bentuk kekuasaan. Di situ Greenblatt menganggap bahwa studi atas

genre merupakan suatu eksplorasi dari puitika budaya (Brannigan, 1998: 84).

Namun, secara akademik Greenblatt memulai istilah puitika kultural pada tahun 1987, yakni

dalam tulisan pengantar di dalam tulisan "The New Historicism: Studies in Cultural Poetics".

Lebih lanjut, dalam tulisan "Invisible Bullets" (1981) sebagai bentuk revisi dari Shakespearean

Negotiations dan tulisan "Murdering Peasants" dalam jurnal Representasion edisi tahun 1983.

Page 7: New Historisisme Greenblatt; Identifikasi Dan Relevansi Dalam Praktik Kritik Sastra

7

Penggunaan puitika kultural oleh Greenblatt bukan sekedar label. Jika new historisisme

lebih penolakan terhadap new kritisisme pada pandangan mengenai teks sastra otonom dan

terisolasi dari konteks historisnya dan tradisi old historisisme, puitika kultural lebih spesifik pada

sebagai praktik kritis yang "menolak asumsi-asumsi yang membedakan antara foreground sastra

dan background politis antara produksi artistik dengan produksi sosial jenis lainnya" (Greenblatt,

1982: 6). Hal ini oleh Montrose dianggap sebagai keberhasilan Greenblatt dalam arus gerakan

new historisisme yang cenderung ekletik dan empiris terhadap asumsi dan objektivitas teori.

Hasilnya, mungkin, adalah 'pengerasan' (hardening) new historisisme ke dalam puitika kultural

(Brannigan, 1998: 86). Sedangkan oleh Greenblatt sendiri mengakui bahwa puitika kultural

cenderung lebih mengarah pada analisis tekstual (Bressler, 2002: 182). Dengan demikian,

menurut Brannigan (1998: 84-85) dapat dikatakan bahwa puitika kultural adalah bagian dalam

lingkup new historisisme.

Puitika kultural meyakini bahwa makna berkembang atau disusun dari interaksi diskursus

sosial yang berjejalin dan beragam, dan tidak ada hierarki diskursus. Semua diskursus diperlukan

dan mesti diperiksa dalam proses analisis tekstual. Kemudian, dalam proses interpretasi juga

mesti memasukkan pertanyaan-pertanyaan mengenai asumsi metodologis untuk membedakan

makna di setiap diskursus dan setiap praktisi, tidak ada satu diskursus atau metode atau kritik

yang dapat mengungkap suatu kebenaran dengan pengisolasian dari diskursus lainnya (Bressler,

2002: 189). Tidak ada hierarki dan diperlukannya relasi dengan diskursus lain, maka dalam

praktiknya puitika kultural sebagaimana new historisisme tidak membatasi perbedaan antara

sastra, sejarah, budaya, politik, sains, dan disiplin lainnya. Dengan kata lain, tidak ada lagi batas-

batas yang jelas yang diperlukan dalam praktik analisis.

Teks dalam pandangan puitika kultural, seperti dijelaskan di atas kaitannya dengan bahasa

dan diskursus merupakan produk kultural, dimana makna teks berada pada sistem budaya yang

jalin-menjalin antara diskursus satu dengan diskursus yang lain. Untuk itu diperlukan strategi

penguraian, yakni dengan memperhatikan tiga hal: 1) kehidupan pengarang; 2) norma dan nilai

sosial yang ditemukan di dalam teks; dan 3) refleksi atau intensi dari situasi historis di dalam

teks sebagai petunjuk dalam praktik analisis. Sejak pengarang menulis, sebenarnya teks, tindakan

dan keyakinannya merefleksikan perhatian pengarang (sebagai individu) dan masyarakat

(dimana pengarang berada), dan itu merupakan elemen-elemen yang dikandung oleh teks itu

sendiri. Sedangkan standar nilai dan perilaku sebagaimana yang direfleksikan dalam aturan-

aturan kepantasan (dalam pergaulan) masyarakat juga mesti diinvestigasi, sebab hal tersbut

merupakan kode perilaku yang secara terus-menerus berperan membentuk dan dibentuk oleh

teks. Begitu pula dengan teks juga mesti dilihat sebagai karya estetis yang mengacu pada kode-

kode sosial perilaku tersebut (Bressler, 2002: 189).

Dengan demikian, dalam memahami signifikasi teks dan merealisasikan struktur sosial yang

kompleks, ketiga area perhatian tersebut mesti diinvestigasi. Jika salah satu area diabaikan, maka

akan berisiko kembali pada old historisisme dan pemahaman terhadap teks bukan sebagai suatu

produksi sosial. Dengan menerapkan prinsip dan metode puitika kultural akan menunjukkan

bahwa tidak hanya satu suara tapi beberapa suara lain yang terdengar dalam interpretasi teks dan

budaya, suara kita sendiri, suara orang lain, suara dari masa lampau, masa kini, dan suara-suara

yang mungkin pada masa mendatang (Bressler, 2002: 189-190).

Puitika kultural dipandang sebagai pengkajian secara lebih spesifik dari praktik-praktik

kultural dan pengkajian tekstual ke dalam relasi-relasi yang cukup luas (Greenblatt, 1988: 5).

Page 8: New Historisisme Greenblatt; Identifikasi Dan Relevansi Dalam Praktik Kritik Sastra

8

Praktik kultural yang dikaji lebih menekankan yang partikular dan lokal, daripada yang general

dan universal. Dengan demikian, pengkajian puitika kultural: 1) mengidentifikasi praktik-praktik

kultural dengan ‘lebih dekat’, 2) memeriksa bagaimana praktik kultural secara spesifik terbentuk,

3) salah satu dari poin 1) dan 2) itu mengimplikasikan bahwa formasi dari praktik kultural

merupakan suatu upaya (praktik) bersama dan bukan karya seorang individu, dan 4) berusaha

mencari relasi antara praktik kultural satu dengan praktik lainnya (Brannigan, 1998: 87). Prinsip-

prinsip kerja puitika kultural ini jelas terlihat sesuai dengan yang dipraktikkan Greenblatt dalam

Marvelous Possessions (1991) yang merupakan hasil kuliahnya yang disampaikan pada 1988.

Dalam buku Marvelous Possessions (1991) Greenblatt menunjukkan praktik kultural

kekuasaan simbolik dalam dunia baru (New World) yang muncul pada narasi penjelajahan orang-

orang Eropa pada periode awal modern. Greenblatt berpendapat bahwa narasi penjelajahan

(narrative travel) yang dibentuk secara kolektif merupakan representasi publik dan representasi

itu perlu pembentukan secara kolektif. Kemudian Greenblatt menghubungkan praktik kultural,

historis, dan diskursus, dari suatu teks naratif yang memuat adanya narasi penjelajahan sebagai

representasi orang-orang Eropa (secara historis) dan adanya pembentukan praktik kultural dari

berbagai ragam bentuk representasi (secara tekstual) dimana diskursus kolonial beroperasi, suatu

relasi kekuasaan yang mengandung subversi dan demistifikasi New World. Secara tidak

langsung, buku ini juga menjadi contoh praktik kritis—yang dipengaruhi oleh marxisme, seluruh

bentuk kultural dan ideologi tidak hanya menempel pada praktik-praktik material dan

institusional, tetapi juga representasi dalam kondisi ekonomi-empiris menjadi penting sebagai

suatu perlawanan atau perjuangan kelas sebagaimana yang dianut oleh marxisme—bahwa

‘mereka tidak dapat merepresentasikan dirinya, mereka mesti direpresentasikan’, juga diikuti

pula oleh Gramsci, Althusser, Williams dan Lukacs: subjek (proletar) tidak memiliki kehendak

bebas dalam memilih, subjektivitas individual telah dikonstruksi melalui aparatus ideologis

(Althusser), dan bahwa kekuasaan beroperasi di dalam masyarakat menurut logika hegemonik

yang merasuk ke dalam kode dan konvensi sosial dan kultural masyarakat (Williams).

Sejak memperkenalkan kajian new historisisme (1980) atau puitika kultural (1988),

Greenblatt memperkaya kajiannya dengan konsep subjektivitas (self-fashioning), ‘mobilitas

kultural’, ‘anekdot’, ‘resonansi dan wonder’, ‘energi sosial’, dan lainnya. Dengan konsep-konsep

tersebut puitika kultural berusaha menemukan jalan keluar dari keraguan atau aporia mengenai

sifat-dasar realitas dan interpretasi teks. Hal ini yang membedakannya dengan teori

poststrukturalis lainnya, khususnya dekonstruksi. New historisisme tidak meniadakan bahwa

beberapa faktor keterpengaruhan dan penulisan, produksi, dan publikasi teks, new historisisme

berusaha melampaui keraguan itu daripada menyatakan bahwa teks memiliki banyak

kemungkinan makna (Bressler, 2002: 183).

Konsep self-fashioning (pembentukan-diri atau lebih tepatnya penyesuaian-diri)

diperkenalkan Greenblatt pada buku Renasissance Self-Fashioning. Greenblatt merujuk pada

konsep artefak kultural Geertz, bahwa manusia membutuhkan simbol-simbol kultural untuk

menciptakan dirinya. Dalam praktik analisisnya, New historisisme memeriksa ‘bagaimana suatu

periode atau budaya tertentu menciptakan (fashions) dirinya, dan menghasilkan dirinya sendiri.

Dengan demikian, fokus perhatian new historisisme adalah bukan pada ‘apakah pembentukan-

diri (self-fashioning) itu salah atau benar’, tetapi pada ‘bagaimana dan mengapa seseorang atau

masyarakat membentuk (fashions) diri mereka sendiri’. Oleh karena itu, dalam praktik

interpretasi new historisisme juga menggunakan analisis thick description Geertz, dengan asumsi

Page 9: New Historisisme Greenblatt; Identifikasi Dan Relevansi Dalam Praktik Kritik Sastra

9

demistifikasi otonomi teks sastra, dan menempatkan sastra dalam sirkulasi dengan teks-teks

lainnya (Brannigan, 1998: 33-34, 80). Dalam praktik ini new historisisme berfungsi pada

penguraian narasi-narasi yang tersembunyi, terabaikan, yang kecil dan tidak diperhatikan atau

termajinalkan, kemudian memahami dan mengungkap bagaimana dan mengapa narasi tersebut

demikian pada masa kini.

Dalam konsep ini Greenblatt tampak juga dipengaruhi oleh padangan sistem self-regulating

(pengaturan-diri) Foucauldian, terutama pada representasi yang berhubungan dengan dominasi

dan kondisi diskursif yang mempengaruhi dan menentukan pembentukan-diri. Dalam

Renaissance Self-Fashioning, Greenblatt menunjukkan bahwa “pada abad ke-16 tampak

meningkatnya kesadaran-diri mengenai pembentukan (fashioning) identitas manusia sebagai

sesuatu yang dapat dimanipulasi" (1980: 2). Jadi, bukan individu-individu tetapi bagaimana

budaya Renaissans menciptakan representasi untuk membentuk gagasan kesadaran-diri-manusia

pada masa Renaissans. Menurut Greenblatt, gagasan tersebut merupakan suatu proses

pembentukan-diri (self-fashioning), dimana subjektivitas setiap individu dikonstruksi secara

ideologis dan linguistik di dalam kesadaran puncak dari posisi diri (self) di dalam struktur-

struktur kekuasaan.

Dengan demikian, representasi, identitas, dan kesadaran diri merupakan suatu fiksi yang

diformulasikan dan diadaptasi melalui suatu narasi di dalam jaringan diskursus, “…narasi dan

identitas sosial dibentuk di dalam budaya” (Greenblatt, 1980: 6). Bagi Greenblatt, pembentukan-

diri (self-fashioning) adalah efek dari ragam mekanisme kontrol, sistem pemaknaan kultural yang

menciptakan individu tertentu diatur dan dikendalikan (1980: 4). Sedangkan dalam hal praktik

interpretasi, Greenblatt menitik-beratkan pada fungsi sastra: 1) sebagai suatu manifestasi dari

tindakan konkret seorang pengarang, 2) sebagai ekspresi dari kode-kode dimana perilaku

dibentuk, dan 3) sebagai refleksi atas kode-kode perilaku yang berlaku. Ketiga fungsi ini mesti

digunakan seluruhnya. Jika interpretasi hanya nomor 1, maka akan mengarah pada analisis

biografis yang cenderung psikologis atau analisis historis pengarang. Dan jika hanya pada nomor

2, maka akan mudah terjebak ke dalam pandangan bahwa sastra semata hanya sebagai produk

struktur sosial, konsekuensinya akan terkungkung pada ideologi superstruktur. Demikian pula,

jika sastra hanya dipandang sebagai refleksi kode perilaku, maka akan menghilangkan subjek

atau subjek dianggap pasif yang hanya sebagai anggota masyarakat (1980: 5). Selain itu, dalam

buku ini Greenblatt juga memperkenalkan istilah ‘improvisasi kekuasaan’ (1980: 227) untuk

menyebut diskursus yang mendominasi pada masa Renaissans yang menurutnya sebagai suatu

mode dan instrumen kekuasaan.

Perihal kekuasaan pada tulisan “Invisible Bullets” Greenblatt menyebutkan, bahwa pada

setiap masa memiliki mode kekuasaan, dan kekuasaan tersebut menunjukkan adanya potensi

subversi. Bahkan menurutnya, subversi dibutuhkan oleh kekuasaan untuk menunjukkan bahwa

kekuasaan tampak berkuasa. Pada tulisan ini Greenblatt mengidentifikasi bentuk-bentuk

kekuasaan dengan episteme pada masa tertentu melalui teks sastra (Brannigan, 1998: 8). Maka,

new historisisme menggunakan teks sastra sebagai akses atau jalan untuk memasuki representasi

yang mendominasi pada masa lampau. Greenblatt berpendapat, dalam merespon seni dari masa

lampau, kita secara tidak terelakkan apakah kita mengharap atau tidak perubahan nilai dan

berkaitan dengan kekuasaan, seni diproduksi dalam relasi perjuangan sosial dan kehidupan yang

politis. Gerakan emansipatif new historisisme ini berimplikasi pada analisisnya yakni dengan

menggunakan beragam teks baik yang minor atau remeh temeh maupun yang sumber resmi atau

Page 10: New Historisisme Greenblatt; Identifikasi Dan Relevansi Dalam Praktik Kritik Sastra

10

mainstream, sumber sejarah resmi atau sumber lisan, undang-undang dan sumber informasi

lainnya, dokumen hukum, undang-undang, jurnal, cerita perjalanan, dan lainnya, dan dengan

tidak membedakan teks sastra canon atau tidak. Maka, dalam hal ini new historisisme berhasil

membuka kesempatan baru dalam pemikiran mengenai sastra dalam relasinya dengan sejarah

dan politik, yang dengan demikian tidak hanya membuka interpretasi dan pembacaan antara

sastra dan karakteristiknya pada suatu periode tertentu, tetapi juga membuka kajian

interdisipliner sastra.

Pada tahun 1988 Greenblatt mempublikasikan Shakespearean Negotiation, di dalam ia lebih

memilih menggunakan istilah ‘energi sosial’ daripada ‘kekuasaan’ (power) yang Foucauldian.

Menurutnya, kekuasaan berimplikasi pada kesatuan struktural dan stabil, tetapi dalam praktiknya

lebih mengarah pada keberagaman dan keacakan bentuk operasi dan produksi kekuasaan.

Sebagaimana dijelaskan, praktik-praktik kultural kesenian dalam pandangan Greenblatt

merupakan bagian dari jaringan relasi dan fungsi sosial, dan kemudian mesti memperlakukannya

dalam relasi praktik-praktik sosial dan kultural yang lebih luas, yang dalam implikasinya tidak

stabil, sehingga energi sosial dalam mode dominasi ditinjau kembali melalui spesifikasi sosial

dan posisi kultural yang spesifik.

Konsep anekdot digunakan Greenblatt dalam tulisan “The Touch of the Real” (2005) yang

mempersoalkan representasi atau penggambaran diri (konstruksi imaji) pada masa lampau yang

dilakukan pada masa kini. Konsep ini diadopsi Greenblatt (2005: 31-34) atas penafsirannya

mengenai narasi pencurian domba dan tekstualitas antropolog (atau sejarawan) dalam

menceritakan suatu budaya tertentu, yang ditulis oleh Geertz di dalam Interpretation of Culture

(1973). Dalam analisis yang dikembangkannya, bahwa tekstualitas atas narasi kultural tersebut

merupakan suatu ‘acted document’, dengan mengasumsikan adanya suatu perilaku simbolik

(symbolic behavior) dalam narasi tersebut. Sehingga Greenblatt menyimpulkan bahwa diskursus

antropologis dan tekstualitas narasi seperti halnya dengan fiksi, yang berakar pada penciptaan,

penceritaan, penggambaran, penyusunan, dan penulisan (2005: 35).

Greenblatt kemudian mengarahkan analisisnya pada teks sastra dan sejarah—seperti

misalnya analisisnya terhadap buku Mimesis-nya Auerbach, karya-karya Balzac, untuk

menunjukkan anekdot tersebut, untuk menjelaskan signifikansi perbedaan antara representasi

suatu narasi pada masa lampau yang ditulis atau dibaca pada masa kini, sebagai sesuatu yang

fragmented dan paradoks, antara realitas dan representasi, antara suatu karya (teks) yang

dituliskan dan dunia yang sebenarnya. Tulisan Greenblatt ini kemudian dipublikasikan kembali

dalam Practicing New Historicism (2000) pada bagian pertama, sedangkan pada bagian kedua

Gallagher melalui tulisan “Counterhistory and the Anecdote” menambahkan pandangannya

mengenai konsep anekdot. Gallagher mencoba menjelaskan komitmen pada partikularitas dan

anekdot dalam konteks historiografi. Menurut Gallagher (2000: 49-50), anekdot merupakan efek

atau respon dari bentuk totalisasi dan generalisasi sejarah atau narasi historis. Baik Greenblatt

maupun Callagher dalam hal ini lebih memperhatikan new historisisme pada lima aspek, yakni

pada: 1) penggunaan anekdot, 2) penggunaan representasi, 3) tertarik dengan sejarah dari

rangkaian atau gugusan, 4) memperhatikan pada hal-hal kecil yang diabaikan, dan 5) analisis

ideologis secara skeptis.

Konsep anekdot narasi historis Greenblatt dalam tulisan “Touch of the Real” tersebut

sebenarnya berkaitan dengan konsep demistifikasi New World atau representasi orang-orang

Eropa dalam buku Marvelous Possessions (1991), dan terpaut dengan tulisan “Resonance and

Page 11: New Historisisme Greenblatt; Identifikasi Dan Relevansi Dalam Praktik Kritik Sastra

11

Wonder” (1990). Dalam tulisan “Resonance and Wonder” Greenblatt memeriksa keadaan

historis (masa lampau) suatu teks diproduksi dan dikonsumsi dengan relasinya pada keadaan

kekinian. Relasi kekinian tersebut, menurut Greenblatt, tidak terhindarkan. Dan, hal itu

merupakan suatu intervensi terhadap masa lampau. Istilah ‘resonansi’ digunakan Greenblatt

untuk menyebut keterpautan (pembacaan) dan intervensi (dalam penafsiran dan penulisan)

tersebut. Sedangkan ‘wonder’ atau daya tarik terhadap adanya kekuatan (resonansi) yang

merupakan gema dari produk atau budaya Barat. Greenblatt memberikan contoh pada keindahan

karya-karya Shakespeare dengan relasi dialogis pada masa lampau dan masa kini.

Belakangan pada tahun 2010 Greenblatt melanjutkan konsep narasi historis atau travel

writing dengan konsep barunya: mobilitas kultural, melalui suatu manifesto dalam buku The

Cultural Mobillity: A Manifesto (2010: 250-253). Manifesto pertama, bahwa mobilitas mesti

dipahami dalam pengertian literal. Pemahaman ini melanjutkan gagasan mengenai tekstualitas

dan pandangan metaforis terhadap objek analisisnya: suatu fenomena kultural dipahami sebagai

suatu teks. Kedua, bahwa mobilitas mengungkap sesuatu yang tersembunyi, baik itu suatu

gagasan, kepentingan ideologis, pencitraan atau penggambaran dari suatu teks dengan mengkaji

bentuk-bentuk mekanisme kulturalnya. Ketiga, mobilitas mengidentifikasi dan menganalisis

zona yang saling berhubungan (‘contact zones’), yakni suatu tempat dimana barang-barang

dipertukarkan, suatu pertukaran produk kultural yang beroperasi diantara agen individu,

kelompok, institusi, atau masyarakat yang saling interkoneksi satu sama lain dalam suatu

perbedaan budaya.

Manifesto keempat Greenblatt dalam buku tersebut adalah, bahwa mobilitas terjadi di dalam

ketegangan antara agen individual dengan pembatasan struktural. Determinasi struktur dan

kontrol sosial memungkinkan (memaksa) individu melakukan suatu tindakan dan membuat

strategi. Ketegangan antara keduanya itulah yang menjadi kajian Greenblatt. Kelima, mobilitas

mengkaji sensasi yang mendasar. Tidak mungkin mengkaji mobilitas tanpa juga memahami hal-

hal yang statis atau hal-hal yang dapat membatasi mobilitas. Mobilitas seringkali dianggap

sebagai suatu ancaman oleh tradisi, kepercayaan, ritual-ritual dan otoritas tertentu yang sudah

mapan (established) pada suatu budaya tertentu—budaya yang oleh Greenblatt dipahami bersifat

lokal (tidak global atau universal), partikular pada ruang dan waktu yang spesifik. Ancaman dan

upaya menghadapinya menjadi kajian mobilitas kultural. Dengan demikian, mobilitas tetap

mengkaji kondisi dimana dominasi dan resistensi dalam merespon kemapanan budaya atau

terjadinya suatu perubahan dan perbedaan budaya.

Konsep-konsep Greenblatt tersebut saling berkaitan satu sama lain dalam suatu bingkai new

historisisme, yang sering disebut dengan puitika kultural. Secara garis besar Veeser (1989: xi)

merumuskan asumsi-asumsi new historisisme: 1) bahwa setiap tindakan ekspresif lekat di dalam

suatu jaringan praktik-praktik (budaya yang bersifat) material; 2) bahwa setiap tindakan

pengungkapan, kritik, dan perlawanan mesti akan menggunakan perangkat-perangkat dari yang

ditentangnya, dan oleh sebab itu akan terjebak pada praktik sama; 3) bahwa relasi teks sastra dan

non-sastra tidak dapat dipisahkan (dalam pembacaan kritis); 4) bahwa tidak ada diskursus baik

fiksi atau faktual yang memberikan akses pada kebenaran mutlak yang tidak berubah-ubah

ataupun mengekspresikan hakikat kemanusiaan di dunia; dan 5) akhirnya, bahwa suatu metode

kritis dan bahasa cukup memadai untuk mendeskripsikan kebudayaan ekonomi kapitalisme.

Kesimpulan Veeser di atas terlalu umum, yang memang hanya berupa asumsi paradigmatik

mengenai relasi fungsional antara teks sastra dan non-sastra. Hal ini jika dibandingkan dengan

Page 12: New Historisisme Greenblatt; Identifikasi Dan Relevansi Dalam Praktik Kritik Sastra

12

kesimpulan Payne dalam The Greenblatt Reader (2005: 3), bahwa new historisisme merupakan

suatu kumpulan praktik dari pada suatu metode atau teori akademisi, dan lebih lanjut Payne

mencoba merumuskannya: 1) new historisisme memandang bahwa budaya merupakan suatu

sistem semiotik, sebagai suatu jaringan tanda; 2) new historisisme menentang hegemoni disiplin

ilmu pengetahuan, dan mengarahkannya pada studi interdisipliner yakni dalam upaya penemuan

dan pembangkitan suatu pengetahuan baru; 3) new historisisme selalu menyadari bahwa sejarah

merupakan gabungan dari apa yang terjadi (suatu rangkaian peristiwa) pada masa lampau dengan

dari suatu laporan atau cerita mengenai peristiwa tersebut, dengan kata lain bahwa kebenaran

historis muncul (dapat dicapai dengan) dari suatu refleksi kritis atas suatu cerita yang dikatakan;

4) sejarah pada awalnya suatu ragam dari diskursus, yang tidak menyangkal bahwa peristiwa

yang nyata memang ada dan pernah terjadi; 5) kekhasan cara yang dilakukan new historisisme

ialah dimulai dengan peristiwa yang ‘menarik’ atau anekdot, yang efeknya dapat membangkitkan

skeptisisme tentang narasi besar historis atau mengutamakan deskripsi suatu periode sejarah

tertentu (semisal masa Renaissans); 6) new historisisme dengan dapat dipastikan mencurigai

keutuhan, ketunggalan penggambaran budaya atau periode sejarah, memandang bahwa adanya

pandangan dunia yang tidak terbilang pada suatu periode tertentu (misalnya mitos besar dan

tunggal diciptakan untuk melayani suatu kepentingan tertentu pada masa tertentu); 7) memahami

sejarah dengan satu perspektif adalah tidak mungkin, sebab semua sejarah tergantung pada

waktu masa kini atau kekinian, waktu dimana seseorang terkonstruksi; 8) new historisisme

secara implisit mengkritik formalisme (atau new kritisisme) yang memperlakukan objek sastra

sebagai suatu benda mati yang ahistoris. New historisisme memprioritaskan pemeriksaan

kembali relasi antara sastra dan sejarah; 9) new historisisme menentang bahwa teks sastra

sebagai objek yang otonom, yang terlepas dari pengarangnya dan pembacanya, maka masa

lampau sebagai suatu objek tidak dapat dilepaskan dari rekonstruksi tekstualnya; 10) dalam studi

sastra sejarah bukan hanya sebagai background sastra atau seni, tetapi sastra dan sejarah saling

interkoneksi, yang pengaruh-mempengaruhi dan saling menutupi. Maka, sastra dan sejarah

dalam pandangan new historisisme mesti dilihat sebagai disiplin yang dianalisis secara

bersamaan atau bolak-balik (Geertz dalam thick description menyebutnya dengan pembacaan

pararel) yang menempatkan seluruh teks dalam suatu pengkajian untuk mengungkap suatu

keberagaman pandangan dan kebenaran dalam masa lampau.

Dengan demikian, dari uraian di atas, dapat ditambahkan bahwa new historisisme atau

puitika kultural merupakan pendekatan untuk analisis sastra yang dipahami sebagai praktik

interpretasi yang masih dalam proses yang secara terus-menerus mendefinisikan dan menyusun

tujuannya, filosofinya, dan praktiknya. Sebab, teks adalah suatu lahan perebutan atau medan

pertempuran (battleground) dari persaingan gagasan diantara pengarang, masyarakat, kebiasaan,

institusi, dan praktik sosial yang semua itu bernegosiasi dengan pengarang dan pembaca dan

pengaruh dari episteme (Bressler, 2002: 187). Sejak pembaca atau kritikus dipengaruhi oleh

budaya dimana mereka hidup, baik pembaca ataupun kritikus tidak dapat terasing (atau lepas

dari) pengaruh publik dan budayanya sendiri. Dengan demikian, setiap pembaca atau kritikus

akan mencapai sebuah interpretasi yang unik dari sebuah teks dan pembacaan akan semakin

beragam, interpretasi akan terus-menerus dilakukan dan tidak pernah berhenti pada satu

kebenaran yang mutlak. Hal ini seiring dengan semangat postmodernisme dan gejala

overproduksi dalam kesusastraan kita, dimana banyaknya teks sastra diproduksi mestinya sejalan

dengan praktik analisis dan interpretasi terhadapnya. []

Page 13: New Historisisme Greenblatt; Identifikasi Dan Relevansi Dalam Praktik Kritik Sastra

13

DAFTAR PUSTAKA

Basral, Akmal Nasery. “Perlunya Keluwesan Menakar Novel Sejarah.” Republika, 26/9/2010.

Brannigan, John. 1998. New Historicism and Cultural Materialism. London: Macmillan Press

Ltd.

Bressler, Charles E. 2002. Literary Criticism: An Introduction to Theory and Practice. 3rd

ed.

New Jersey: Houghton College.

Gallagher, Catherine. 2000. “Counterhistory and the Anecdote” dalam Practicing New

Historicism, London & Chicago: The University of Chicago Press.

Greenblatt, Stephen. 1980. Renaissance Self-Fashioning: From More to Shakespeare. Chicago &

London: The University of Chicago Press.

_________. 1981. “Invisible Bullets: Renaissance Authority and its Subversion”. Glyph 8. p. 40-

61.

_________. 1982. “Introduction: The Form of Power”. Genre 7. p. 3-6.

_________. 1988. Shakespearean Negotiations: The Circulation of Social Energy in

Renaissance England. Berkeley & Los Angeles: University of California Press.

_________. 1990, “Resonance dan Wonder” dalam A Literary Theory Today (Peter Collier &

Helga Geyer-Ryan, ed.) Cambridge: Polity.

_________. 1995. "Culture" dalam Critical Terms for Literature Study. (Frank Lentricchia &

Thomas McLaughlin, ed.) Chicago: University of Chicago Press, 225-32. Rpt. in

Contexts for Criticism (Donald Keesey, ed.). 3rd

edition. Mountain View, CA: Mayfield,

1998. p. 477-92.

_________& Gallager, Catherine, 2000, Practicing New Historicism, London & Chicago: The

University of Chicago Press.

_________. 2005. “The Touch of the Real” dalam The Greenblatt Reader (Michael Payne, ed.).

p.30-50.

_________. 2010. “A Mobility Studies Manifesto” dalam The Cultural Mobillity: A

Manifesto.(Greenblatt, et al.) New York: Cambridge University Press. p.250-253.

Irawan NM, Aguk. “Novelisasi Sejarah, antara Sastra dan Pelecehan Sejarah” NU Online.

25/11/1012.

Oemar, Priyanto. “Keluwesan Sang Pencerah.” Republika. 5/9/2010

Payne, Michael. 2005. “Introduction: Greenblatt and New Historicism” dalam The Greenblatt

Reader (Michael Payne, ed.). p.1-7.

Permana, Aan Merdeka. 2013. “Novel Sejarah Sunda Mencari Jejak yang Tidak Pasti” dalam

Memori dan Imajinasi Nusantara. Magelang: Samana Foundation. p.212-229.

Veeser, H. Aram. 1989. “Introduction” dalam The New Historicism (H. Aram Veeser, ed.). New

York & London: Routledge. p.ix-xvi.