Modul Mata Kuliah Kritik Sastra

53
MODUL MATA KULIAH KRITIK SASTRA OLEH: KHOSILAH, S.S

description

Modul Mata Kuliah Kritik Sastra

Transcript of Modul Mata Kuliah Kritik Sastra

MODUL MATA KULIAHKRITIK SASTRA

OLEH:KHOSILAH, S.S

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH BUTONBAU-BAU

2010

DAFTAR ISI

BAB I. PENGANTAR KRITIK SASTRA

A. Pengertian Kritik SastraB. Kedudukan Kritik Sastra diantara Cabang studi Sastra lainC. Sifat dan Fungsi Kritik SastraD. Aktivitas Kritik Sastra

BAB II. KRITIK SASTRA

A. Jenis atau Model Kritik Sastra1. Kritik sastra mimetik; 2. Kritik sastra pragmatik; 3. Kritik sastra ekspresif; dan 4. Kritik sastra objektif.

B. Metode dalam Kritik Sastra1. Metode Pengudaran Teks2. Metode Struktural3. Metode Sosiosastra4. Metode Perbandingan

BAB III. PENILAIAN DAN PENULISAN KRITIK SASTRA

A. Penilaian Kritik Sastra1. Aliran Penilaian2. Penilaian berdasar Orientasi kepada Karya Sastra 3. Kriteria Penilaian Karya Sastra 4. Konsep Estetik Karya Sastra

B. Penulisan Kritik Sastra

DAFTAR PUSTAKA

Lampiran I. Periodisasi Kritik Sastra Indonesia Modern II. Ciri-ciri Kritik Sastra Pada Periode-periode Kritik Sastra Indonesia Modern III. Contoh Kritik Sastra Pada Puisi IV. Contoh Kritik Sastra Pada Cerpen

BAB I

PENGANTAR KRITIK SASTRA

A. Pengertian Kritik Sastra

Istilah kritik sastra yang melekat pada kritik sastra indonesia sudah tidak asing lagi

bagi mahasiswa sastra dan peminat sastra indonesia. Istilah tersebut dapat dijelaskan secara

singkat dan populer, tetapi dapat juga dipaparkan secara panjang lebar dan ilmiah. Mungkin juga

istilah tersebut tidak terpahami secara definitif, tetapi terpahami prinsip-prinsipnya seperti yang

diterapkan dan dikembangkan oleh orang-orang yang berkiprah di dunia pengetahuan sastra

terapan seperti para wartawan, kolumnis, peresensi buku, kritikus dan esais pada umumnya.

Kritik sastra merupakan salah satu cabang studi sastra yang penting dalam kaitannya

dengan ilmu sastra dan penciptaan sastra. Tidak seperti halnya kuantitas penciptaan sastra,

penerbitan buku kritik sastra selama ini terbatas. Keterbatasan itu, antara lain, juga dipengaruhi

oleh terbatasnya kritikus sastra Indonesia modern. Kritik sastra merupakan salah satu studi

sastra. Studi sastra meliputi tiga bidang, yakni: teori sastra, sejarah sastra dan kritik sastra

(Wellek dan Warren, 1968:27). Kritik sastra merupakan salah satu cabang studi sastra yang

langsung berhadapan dengan karya sastra secara langsung dengan menekankan pada aspek

penilaiannya terhadap karya sastra tersebut (Wellek, 1978:35).

Istilah “kritik” (sastra) berasal dari bahasa Yunani yaitu krites yang berarti ‘hakim’.

Krites sendiri berasal dari krinein yang berarti ‘menghakimi’; kriterion yang berarti ‘dasar

penghakiman dan kritikos yang berarti ‘hakim kesusastraan’. Dengan demikian kritik sastra

dapat diartikan sebagai salah satu objek studi sastra (cabang ilmu sastra) yang melakukan

analisis, penafsiran dan penilaian terhadap teks sastra sebagai karya seni. Namun, pengertian

atau definis tersebut bukanlah sastu-satunya pengertian mengenai kritik sastra, masih banyak

pendapat yang disampaikan oleh para kritikus sastra atau bahkan sastrawan yang mencoba

merumuskan mengenai pengertian kritik sastra. Berikut beberapa definisi kritik sastra yang

disampaikan oleh para ahli dan kritikus sastra:

Kritik sastra merupakan pertimbangan baik buruk karya sastra, penerangan dan

penghakiman karya sastra (H.B. Jassin (1959: 44-45).

Kritik sastra adalah suatu cabang dari ilmu sastra yang mengadakan analisis,

penafsiran serta penilaian terhadap sebuah teks (wacana) sastra. Hal ini dapat

juga disebut dengan pengkajian teks (Yudiono, 2009: 26)

Kritik sastra merupakan cabang ilmu sastra yang berurusan dengan perumusan,

klasifikasi, penerangan dan penilaian karya sastra (Abrams, 2005: 57)

Kritik sastra adalah penghakiman yang dilakukan oleh seorang ahli atau

memiliki suatu kepandaian khusus untuk membedah karya sastra, memeriksa

karya sastra mengenai kebaikan-kebaikan dan cacat-cacatnya, dan menyatakan

pendapatnya tentang hal itu (Hudson,1955)

Kritik sastra merupakan bidang studi sastra untuk ‘menghakimi’ karya sastra,

untuk memberi penilaian dan keputusan mengenai bermutu atau tidaknya

suatu karya sastra (Pradopo, 1967:9-10)

Pada dasarnya kritik sastra merupakan kegiatan mencari serta menentukan nilai

hakiki karya sastra lewat pemahaman dan penafsiran sistematik yang dinyatakan oleh kritikus

sastra dalam bentuk tertulis. Penafsiran secara sistematik berarti mencoba memberikan

interpretasi yang sesuai kaidah-kaidah, konvensi, prinsip-prinsip sastra sebagai bahan acuan

utamanya, sehingga menjadikan sebuah hadil kritikan yang dapat dipertanggungjawabkan secara

keilmuan sastra.

B. Kedudukan Kritik Sastra diantara Cabang studi Sastra lainSesuai dengan apa yang sudah diuraikan di atas bahwa kritik sastra adalah salah satu

cabang studi ilmu sastra. Kehadirannya tak akan pernah bisa dilepaskan dengan teori sastra dan

sejarah sastra. Secara sederhananya, kegiatan kritik sastra tidak luput dari kaitan erat seluk beluk

ilmu kesusastrraan yang dapat digambarkan melalui sebuah matikulasi wilayah sastra sebagai

berikut:

ILMU SASTRA

↕TEORI

SASTRA ↔ SEJARAH SASTRA ↔ KRITIK SASTRA

Teori sastra merupakan bidang studi sastra yang membicarakan mengenai:

a. Pengertian-pengertian dasar tentang sastra

b. Hakekat sastra

c. Prinsip-prinsip sastra

d. Latar belakang, jenis-jenis sastra, dan

e. Susunan dalam karya sastra dan prinsip-prinsip tentang penilaian sastra

Sejarah sastra merupakan bidang studi sastra yang membicarakan mengenai:

a. Membicarakan tentang perkembangan sastra

b. Ciri-ciri dari masing-masing tahap perkembangn karya sastra tersebut, dan

c. Situasi sosial masyarakat serta ideologi-ideologi yang berkembang di masyarakat

Kritik sastra yang dalam eksistensinya sendiri turut serta dalam membicarakan tentang:

a. Analisis

b. Interpretasi, dan

c. Penilaian terhadap karya sastra

Apabila memperhatikan hal di atas, maka akan diperoleh sebuah kesimpulan bahwa

sebuah karya sastra tidak akan mampu dipahami,dihayati, ditafsirkan dan dinilai secara

sempurna tanpa adanya intervensi dari ketiga bidang ilmu sastra tersebut. Sebuah teori sastra

tidak akan pernah sempurna jika tidak dibantu oleh sejarah sastra dan kritik sastra, misalnya

dalam kritik sastra yang menguraikan struktur karya sastra, seperti novel yang dianalisis

mengenai alur, perwatakan, latar dan sebagainya. Dengan melihat analisis ini, maka dapat

disusunlah teori tentang novel, bagaimanakah alur, perwatakan, latar serta unsur-unsur lainnya.

Begitu juga dengan sejarah sastra yang tidak dapat dipaparkan, jika teori dan kritik

sastra tidak jelas. Misalnya saja, seorang ahli sejarah sastra dalam menyusun periode-periode

sejarah sastra perlu bantuan kritik sastra. Tidak semua karya sastra dapat dimasukkan dalam

rangkaian perkembangan (sejarah) sastra, yaitu karya yang tidak menunjukkan adanya

perkembangan tidak dapat dimasukkan dalam rangkaian sejarah sastra. Hal ini hanaya dapat

diketahui bila dianalisis strukturnya. Maka, hal ini tidak lepas dari penggunaan prinsip kritik

sastra. Untuk menunjukkan ciri-ciri sastra yang dapat dipergunakan untuk menyusun periode-

periode sastra, tidak mungkin dilakukan tanpa bantuan kritik sastra, yaitu dengan analisis. Karya

sastra itu tidak dapat dianalisis, digolong-golongkan, dan dinilai tanpa dukungan prinsip-prinsip

kritik sastra.’bahkan ahli sejarah harus menjadi seorang kritikus supaya dapat menjadi seorang

kritikus supaya dapat menjadi ahli sejarah sastra’ (Wellek, 1968:44). Dan begitu juga kritik

sastra tidak akan mencapai sasaran apabila teori dan sejarah sastra tidak dijadikan tumpuan.

C. Sifat dan Fungsi Kritik Sastra

Dalam rumusan atau definisi kritik sastra dapat diketahui bahwa kritik sastra

merupakan cabang ilmu sastra sehingga dapat dengan mudah ditafsirkan bahwa kritik sastra

merupakan aktivitas keilmuan atau studi ilmiah tentang karya sastra. Sebagai studi ilmiah maka

karya sastra terikat pada kaidah ilmu pada umumnya,yakni memiliki teori, metode dan objek

studi. Teori kritik sastra adalah teori sastra terpilih yang diterapkan terhadap karya sastra sebagai

objek studi atau telaahnya, sedangkan metode kritik sastra adalah aplikasi operasional suatu teori

terpilih untuk karya sastra tertentu dengan target atau tujuan menghasilkan pemahaman,

penafsiran, penjelasan argumentatif tentang makna karya sastra yang dikritik. Dengan kata lain,

metode kritik sastra adalah sistematika operasional suatu kritik sastra untuk menghasilkan suatu

pendapat atau simpulan. Adapun isi kritik sastra adalah penerangan atau penjelasan argumentatif

tentang penikmatan, pemahaman, atau penafsiran pembaca (kritikus) terhadap karya (-karya)

sastra tertentu.

Intinya adalah bahwa kritik sastra bersifat ilmiah karena terikat pada teori, metode

dan objek tertentu dengan fungsi memberikan penilaian atas karya sastra berdasarkan teori dan

sejarah sastra. Artinya, kritik sastra memerlukan teori dan sejarah sastra, dan sebaliknya, kritik

sastra memberikan sumbangan pendapat atau bahan-bahan bagi penyusunan atau pengembangan

teori dan sejarah sastra.

Dalam mengkritik akarya sastra, seorang kritikus tidaklah bertindak semaunya. Ia

harus melalui proses penghayatan keindahan sebagaimana dalam melahirkan karya sastra.

Mengingat kritik sastra adalah sebagai kegiatan ilmiah yang mengikat kita pada asa-asa keilmuan

yang ditandai oleh adanya kerangka, teori, wawasan, konsep, metode analisis dan obyek empiris,

maka setidaknya ada beberapa manfaat kritik sastra yang perlu untuk kita ketahui, yakni sebagai

berikut

Kritik sastra berfungsi bagi perkembangan sastra

Dalam mengkritik karya sastra, seorang kritikus akan menunjukkan hal-hal yang

baru dalam karya sastra. Kritikus bisa jadi akan menunjukkan hal-hal yang baru

dalam karya sastra, hal-hal yang belum digarap oleh sastrawan. Dengan demikian,

sastrawan dapat belajar dari kritik sastra untuk lebih meningkatkn kecakapannya dan

memperluas cakrawala kreativitas, corak, dan kualitas karya sastranya. Jika para

sastrawan mampu menghasilkan karya-karya yang baru, kreatif dan berbobot, maka

perkembangan sastra negara tersebut juga akan meningkat pesat, baik secara kualitas

maupun kuantitas. Dengan kata lain, kritik yang dilakukan kritikus akan

meningktakan kualitas dan kreativitas sastrawan, dan pada akhirnya akan

meningkarkan perkembangan sastra itu sendiri.

Kritik sastra berfungsi untuk penerangan bagi penikmat sastra

Dalam melakukan kritik, seorang kritikus akab memberikan ulasan, komentar,

penafsiran kerumitan-kerumitan, kegelapa-kegelapan makna dalam karya sastra yang

dikritik. Dengna demikian, pembaca awam akan lebih mudah untuk memahami karya

sastra yang telah dikritik oleh kritikus. Pada sisi lain, ketika masyarakat sudah

terbiasa dengan apresiasi sastra, maka daya apresiasi masyarakat terhadap karya

sastra akan semakin baik. Dengan demikian masyarakat dapat memilih karya sastra

yang bermutu tinggi (karya sastra yang berisi nilai-nilai kehidupan, memperluas

moral, mempertajam pikiran, kemanusiaan, kebenaran dan lain-lain).

Kritik sastra berfungsi bagi ilmu sastra itu sendiri

Analisis yang dilakukan oleh kritikus dalam mengkritik haruslah didasarkan pada

referensi-referensi dan teori-teori yang akurat. Tidak jarangpila, perkembangan teori

sastra lebih lambat dibandingkan dengn kemajuan proses kreatif pengarang, untuk

itu, dalam melakukan kritik seorang kritikus seringkali harus meramu teori-teori

baru. Teori-teori sastra baru yang seperti inilah yang justru akan mengembangkan

ilmu sastra itu sendiri, dimana seorang pengarang akan dapat belajar melalui hasil

dari kritikan seorang karitikus sastra sehingga akan berdampak pad meningkatnya

kualitas karya sastra yang dihasilkannya.

Fungsi kritik sastra di atas akan menjadi kenyataan karena adanya tanggungjawab

antara kritikus dan sastrawan serta tanggung jawab mereka dalam memanfaatkan hasil kritik

sastra tersebut. Dengan demikian, tidak perlu diragukan lagi bahwa adanya kritik sastra yan kuat

dan jujur di medan sastra akan membawa pada meningkatnya kualitas karya sastra, karena

sastrwan akan memiliki perhitungan sebelum akhirnya dipublikasikannya karya sastra tersebut.

Oleh sebab itu, ketiadaan kritik pada medan sastra akan membawa pada munculnya karya-karya

sastra picisan.

D. Aktivitas Kritik Sastra

Secara garis besar jika menilik kembali definisi kritik sastra, maka dapatlah

dirincikan secara jelas bahwa aktivitas kritik sastra mencakup tiga hal, yaitu aktivitas

menganalisis, menafsirkan dan menilai karya sastra. Analisis, adalah menguraikan unsur-unsur

yang membangun karya sastra dan menarik hubungan anatar unsur-unsur tersebut. Menafsirkan

(interpretasi) dapat diartikan sebagai upaya memperjelas atau memperjernih maksud karya sastra

dengan cara (a) memusatkan interpretasi kepada ambiguitas, kias atau kegelapan dalam karya

sastra; dan (b) memperjelas makna karya sastra dengan jalan menjelaskan unsur-unsur dan jenis

karya sastra. Seorang kritikus yang baik tidak lantas terpukau terhadap apa yang sedang

dinikmati atau dihayatinya, tetapi dengan kemampuan rasionalnya seorang kritikus harus mampu

membuat penafsiran-penafsiran sehingga karya sastra itu datang secara utuh.

Adapun aktivitas sastra yang berikutnya adalah penilaian. Penilaian dapat diartikan

sebagai penunjukkan nilai karya sastra dengan bertitik tolak dari analisis dan penafsiran yang

dilakukan. Dalam hal ini, penilaian seorang kritikus sangat bergantung pada aliran-aliran, jenis-

jenis, dan dasar-dasar kritik sastra yang dianut atau dipakai atau dipahami oleh seorang kritikus.

BAB II

KRITIK SASTRA

A. Jenis atau Model Kritik Sastra

Untuk menganalisis, menafsirkan, dan menilai karya sastra adalah orientasi karya

sastralah yang menentukan arah atau corak kritik sastra. Orientasi atau pendekatan dalam karya

sastra ada empat, yakni: pendekatan mimetik, pendekatan pragmatik, pendekatan ekspresif dan

pendekatan objektif.

Orientasi atau pendekatan mimetik memandang karya sastra sebagai tiruan,

pembayangan, cerminan, ataupun representasi alam maupun dunia kehidupan nyata. Hal ini

dinyatakan pertama kali oleh Plato dan Aristoteles. Plato berpendapat bahwa seni hanyalah

tiruan alam yang nilainya jauh di bawah realitas sosial dan ide, sedangkan Aristoteles

menyatakan bahwa tiruan itu justru membedakannya dari segala sesuatu yang nyata dan

umumnya karena seni merupakan aktivitas manusia. Pandangan tersebut telah berkembang jauh

sehingga muncullah sosiologi sastra yang memandang karya sastra sebagai dokumen sosial atau

gambaran kehidupan masyarakat. Muncul juga psikologi sastra yang memandang karya sastra

sebagai dunia batin masyarakat sebagaimana terwujud dalam dunia batin pengarang dan tokoh-

tokoh ciptaannya.

Orientasi atau pendekatan pragmatik memandang karya sastra sebagai sarana untuk

mencapai tujuan pembaca (tujuan keindahan, jenis-jenis emosi ataupun pendidikan). Orientasi ini

cenderung menimbang nilai berdasarkan pada berhasilnya mencapai tujuan. Secara ringkasnya

orientasi ini memandang makna karya sastra ditentukan oleh publik pembaca selaku penyambut

karya sastra. Dengan demikian karya sastra dipandang sebagai karya seni yang berhasil atau

unggul apabila bermanfaat bagi masyarakat, seperti menyenangkan, menghibur atau mendidik.

Pendekatan atau orientasi ini dikembangkan dari fungsi sastra sebagaimana dirumuskan oleh

Horace, yaitu ‘menyenangkan dan berguna’ (dulce et utile).

Orientasi atau pendekatan ekspresif memandang karya sastra pernyataan, ekspresi,

luapan, ucapan, pikiran, perasaan dunia batin pengarang. Dengan demikian, apabila segala

gagasan, cita, rasa, emosi, ide, angan-angan merupakan ‘dunia dalam’ pengarang, maka karya

sastra merupakan ‘dunia luar’ yang bersesuaian dengan ‘dunia dalam’ tersebut. Dengan

pendekatan tersebut, penilaian sastra tertuju pada emosi atau keadaan jiwa pengarang sehingga

karya sastra merupakan sarana atau alat untuk memahami keadaan jiwa pengarang.

Orientasi atau pendekatan objektif memandang karya sastra sebagai duni yang

otonom, mandiri, bebas dari pengarang, pembaca, dan dunia sekelilingnya atau sosial budaya

zamannya, sehingga karya sastra dapat dianalisis berdasarkan strukturnya sendiri. Dengan kata

lain, karya sastra dipahami berdasarkan segi intrinsiknya.

Pendekatan (approach) berarti pandangan awal kritikus terhadap karya sastra, apakah

sebagai objek yang mandiri dengan pengertian terlepas dari kepentingan pengarang dan

pembaca, apakah objek yang dikaitkan dengan pengarang atau penciptanya, apakah objek yang

dikaitkan terhadap pembaca atau penikmatnya dan apakah objek yang dikaitkan dengan kondis

sosial di sekelilingnya. Pendekatan itu merupakan pijakan dasar yang menentukan sikap kritikus

dalam pemilihan teori, penerapan metode dan penilaiannya. Misalnya, apabila sebuah karya

sastra dipandang sebagai ekspresi dunia batin dan pengalaman pengarang maka kritiknya dapat

menggunakan psikologi dengan metode-metode yang berlaku di dalamnya, sedangkan

penilaiannya haruslah sesuai dengan dunia pengarang yang bersangkutan.

Apabila karya sastra dipandang sebagai cermin atau gambaran kehidupan suatu

masyarakat pada masa atau zaman tertentu, maka kritiknya dapat memanfaatkan sosiologi atau

historiografi dengan segala kerumitannya dan penilaian pun seharusnya relevan dengan

kepentingan sosial. Berdasarkan teori pendekatan seperti itulah kemudian dikenal empat jenis

atau model kritik sastra, yaitu:

(1) kritik sastra mimetik;

(2) kritik sastra pragmatik;

(3) kritik sastra ekspresif; dan

(4) kritik sastra objektif.

Apabila dirumuskan secara singkat maka (1) kritik sastra mimetik berarti kritik sastra

yang menekankan perhatian atau analisisnya pada ketepatan atau kesesuaian karya sastra dengan

objek yang dilukiskan; (2) kritik sastra pragmatik berarti kritik sastra yang menelaah manfaat

karya sastra bagi masyarakat atau penikmat sastra; (3) kritik sastra ekspresif berarti kritik sastra

yang menelaah hubungan karya sastra dengan dunia batin (pengalaman jiwa) pengarang; (4)

kritik sastra objektif berarti kritik sastra yang menelaah struktur karya sastra dneg kemungkinan

membebaskannya dari dunia pengarang, pembaca dan situasi pada masanya.

Keempat pendekatan tersebut saling melengkapi dan saling memerlukan sehingga

tidak hanya satu pendekatan yang terbaik, sedangkan dalam hal penerapannya bergantung pada

sifat karya sastra tertentu. Adapun seorang kritikus atau pembaca ahli sebaiknya memahami teori

sastra secara luas dan mendalam agar kemudian dapat memilih dan menerapkan satu diantaranya

secara tepat dalam kritik sastra.

B. Metode dalam Kritik Sastra

Sebagaimana telah dijelaskan secara ringkas bahwa pendekatan sastra dapat disebut

sebagai langkah awal seorang kritikus dalam melaksanakan kritik, menetapkan pandangannya

terhadap posisi karya sastra yang dikritik. Karya sastra adalah objek atau sasaran kritik sastra,

bukan pengarang ataupun pembacanya. Hal inilah yang membedakan kritik sastra dengan

penelitian sastra sebagai sebuah pengkajian ilmiah terhadap fenomena sastra yan gobjeknya bisa

karya sastra, pengarang, pembaca atau penerbitnya. Dalam penelitian sastra, metode yang

digunakan bisa dilakukan dengan wawancara yang bertujuan unutuk menggali secara langsung

data-data yang diinginkan ataupun dengan menggunakan metode kuesioner yang bertujuan untuk

menggali data melalui daftar pertanyaan. Kedua metode tersebut tentu tidak bisa digunakan atau

diterapkan dalam studi kritik sastra karena karya sastra sebagai objek studi kritik sastra tidak

dapat menjawab wawancara ataupun menjawab kuesioner, yang diperlukan hanyalah membaca,

menyimak dan menganalisis karya sastra yang telah dipilih untuk dikritik, namun pemilihan

karya sastra tersebut bukanlah merupakan sampel dari populasi dari karya sastra yang ada,

melainkan karya sastra tersebut adalah hasil dari ketertarikan kritikus tersebut.

Maka dari itu, pengertian metode dalam kritik sastra dapat diartikan sebagai metode

analisis yang bertumpu pada pendekatan dan kerangka teori tertentu. Pada hakikatnya, semua

metode kritik sastra adalah analisis teks karena dengan cara analisislah sebuah karya sastra pada

akhirnya dapat diketahui dan dipahami maknanya. Berikut ini beberapa metode kritik sastra,

yakni:

1. Metode Pengudaran Teks (explication de texte)

Metode ini bayak digunakan oleh para kritikus pemula (yunior), khususnya para

mahasiswa Indonesia yang belum sepenuhnya menguasai teori-teori sastra secara

komprehensif. Pada prinsipnya, dengan metode ini, seorang kritikus menghadapi karya

sastra secara langsung dengan segenap pengalaman dan pengetahuannya sehingga

memperoleh pemahaman yang orisinal terhadap karya sastra yang bersangkutan.

Metode pengudaran teks ini dapat dilaksanakan dengan prosedur atau tahap-tahap

kritik sastra yakni (1) analisis dan pandangan serta (2)sintesis dan penafsiran.

Tahap pertama merupakan kesempatan kritikus mencari dan menggali segala macam

potensi di pihak pengarang dan karyanya sehingga memperoleh gambaran konkret

atau data yang lengkap mengenai keduanya, seperti masa hidup pengarang, ideologi,

latar belakang budaya, profesi, produktivitasnya dan konsep kepengarangannya,

sedangkan mengenai karya sastranya dapat diungkap mengenai struktur, jalinan

unsurnya, gaya bahasa dan temanya. Semua itu membuka kesempatan kritikus untuk

mengembangkan kreativitas dan kecermatan analisis dalam menghadapi sebuah karya

sastra yang dipandang sebagai sebuah keutuhan yang otonom sebagaimana yang

dikehendaki oleh pengarang sehingga terbuka pula kesempatan bagi kritikus untuk

mengolah segala data tahap pertama tersebut untuk menjadi susunan gagasan

(penafsiran, tanggapan, pendapat) yang merupakan esensi tahap kedua yang

selanjutnya disampaikan kepada pembaca.

2. Metode Struktural

Metode ini bertumpu pada pendekatan objektif dan strukturalisme yang menganalisis

jalinan unsur-unsur struktur karya sastra dalam pembetukan suatu gagasan dan makna

tertentu. Di luar strukturalisme terdapat hubungan yang lebih luas, misalnya hubungan

antara engarang dengan ciptaannya, antara teks yang satu yang satu dengan teks yang

lain, antara teks dengan dunia yang alamiah atau dunia sosial budaya yang

dicerminkan maupun ditimbulkan oleh teks yang bersangkutan, sehingga tampaklah

bahwa suatu makna suatu teks ada hubungannya dengan konteksnya. Makna tersebut

baru dapat dijelaskan melalui analisis struktural suatu teks dalam hubungannya dengan

dunia sosial budaya yang merupakan konteks yang lebih luas. Metode ini

mengutamakan perhatian terhadap keutuhan atau totalitas berdasarkan hubungan

bagian-bagiannya sehingga memiliki ciri-ciri menelaah struktur di balik kenyataan

empiris dan analisisnya berdimensi sinkronis.

3. Metode Sosiosastra

Melihat dari namanya, metode ini merupakan seperangkat alat untuk memahami

hubungan antara karya sastra dengan kehidupan sosial yang melingkunginya

berdasarkan pandangan bahwa karya sastra itu diciptakan pengarang sebagai individu

yang sudah tentu berada dalam lingkungan masyarakat dan zaman tertentu, sehingga

masuk akal apabila karya sastra mengungkapkan berbagai masalah yang terjadi dalam

masyarakat sesuai dengan gagasan atau persepsi pengarang yang bersangkutan.

Pada prinsipnya sosiosastra (sosiologi sastra) merupakan sebuah pendekatan atau

metode terhadap dunia sastra yang memanfaatkan sosiologi, yakni sebuah disiplin

ilmu yang berkembang pada abad ke-19. Pada perkembangannya teori yang mengenai

keterkaitan sosiologi dengan sastra menjadi berkembang karena dalam penciptaannya

terdapat faktor kretivitas dan imajinasi pengarang. Dalam hal masuknya gagasan

politik atau ideologi ke dalam karya sastra, novel misalnya, terdapat beberapa

kemungkinan seperti: mempropagandakan gagasan lewat novel, menambahkan

gagasan dalam novel, mendiskusikan gagasan dalam novel, menyajikan gagasan

sebagai konvensi, memunsulkan gagasan sebagai tokoh, melarutkan gagasan ke dalam

keseluruhan dunia fiksi, dan menampilkannya sebagai superstruktur.

Dengan pandangan seperti itu, tampaklah bahwa gambaran kehidupan sosial dalam

sebuah karya sastra ditentukan oleh sikap pengarang yang dengan sendirinya memiliki

konsep kepengarangan sendiri-sendiri, sedangkan pembaca pun memiliki latar

belakang pengalaman, pendidikan, tradisi, apresiasi sastra yang beragam. Oleh karena

itu sulit juga ditarik garis teori yang tunggal karena pendekatan tersebut dapat

diterapkan pada dunia pengarang, dunia karya sastra dan juga dunia pembaca. Namun,

dalam kritik sastra yang pusat perhatiannya adalah karya sastra maka pendekatannya

juga harus tertuju kepada karya sastra itu sendiri, sedangkan telaah atau analisis

terhadap pengarang dan pembaca hendaknya digunakan sebagai pendukung terhadap

pemahaman karya sastra tersebut.

4. Metode Perbandingan

Metode ini sudah lama dan sering digunakan dalam ilmu filologi, yakni sebah disiplin

ilmu yan mempelajari mengenai naskah-naskah kuno denga tujuan untuk mencari

naskah yan asli atau mendekati aslinya sebagai bahan penelitian dalam pengkajian teks

unutuk mengetahui gambaran kehidupan manusia dan sosial budaya zaman-zaman

lampau. Metode perbandingan hanya merupakan salah satu metode pengkajian naskah

masih ada metode-metode lain yang harus diterapkan oleh filolog, diantaranya adalah

penetapan naskah, penetapan teks, transliterasi, rekonstruksi teks, dan penyuntingan.

Pengertian sastra perbandingan sebagai kajian sastra di luar suatu negara dan kajian

mengenai hubungannya antara sastra dengan ilmu-ilmu lain, seperti seni, filsafat,

soiologi, psikologi, sejarah, dan agama. Jadi, sastra perbandingan bertujuan untuk

memperbandingkan sastra suatu negara dengan negara lain atau sastra dengan bidang-

bidang lain sebagai keseluruhan ungkapan kehidupan. Metode perbandingan ini dapat

diterapkan terhadap beberapa karya sastra dalam kerangka sastra nasional bahkan

sastra daerah.

BAB III

PENILAIAN DAN PENULISAN KRITIK SASTRA

A. Penilaian Kritik Sastra

Penilaian sastra merupakan masalah yang melekat pada pengertian kritik sastra, artinya

kritik sastra sederhana sekalipun hendaklah sampai pada penilaian yang argumentatif

tentang baik buruknya karya sastra tertentu. Dengan kata lain,penilaian itu merupakan tujuan

seorang kritikus yang harus bekerja dengan kaidah-kaidah atau norma-norma tertentu. Dapat

dibayangkan bahwa untuk melakukan sebuah kritik adalah sangat rumit mengingat

permasalahan ini bukan hanya masalah teoritis tapi juga masalah terapan yang artinya bahwa

seorang kritikus harus memahami sejumlah teori sastra, kemudian dapat memilih dengan

tepat suatu teori yang akan diterapkan pada karya sastra yang telah dipilih untuk dikritik dan

pada akhirnya dapat menjelaskan hasil analisisnya kepada masyarakat.

Banyaknya teori sastra yang sudah berkembang sampai saat ini betapa menunjukkan

dinamika ilmu sastra dan sekaligus menimbulkan perbedaan sudut pandang yang kemudian

melahirkan sekian model penilaian dalam kritik sastra sehingga akan diperoleh model

penilaian yang tunggal. Perbedaan pandangan tersebut akan selalu menimbulkan pendapat-

pendapat yang baru dan mungkin hal inilah yang akhirnya menjadikan sebagian para

akademisi khususnya para mahasiswa yang masih dalam taraf pembelajaran mengenai sastra

secara menyeluruh menjadi gamang dan ragu, namun hal ini dapat dicegah dengan cara

memahami garis besar sejarah perkembangan teori-teori tentang sastra dan memahami satu

atau bebereapa teori secara mendalam dalam konteks keseluruhan teori-teori sastra.

Penilaian kritik sastra dapat dilakukan dengan kriteria atau ukuran-ukuran tertentu yang

dipilih oleh seorang kritikus dalam konteks yang dapat disesuaikan dengan zaman yang

berubah dan berkembang. Sebagai teori, kriteria atau ukuran itu boleh dikatakan abstrak dan

berlaku umum penerapannya ditangan kritikus bisa beragam aatu bervariasi sesuai dengan

perubahan dan perkembangan zaman. Dengan demikian tidak ada penilaian kritik sastra

yang berlaku mutlak sepanjang zaman. Yang ada hanyalah kemungkinan atau

kecenderungan berdasarkan kerangka teori tertentu.

1. Aliran Penilaian

Pada garis besarnya, aliran penilaian dalam kritik sastra ada tiga aliran, yakni

absolutisme, relativisme dan perspektivisme (Wellek dan warren, 1968:43).

Absolutisme adalah paham penilaian yang menilai karya sastra dari sudut pandangan yang

absolut atau mutlak, yaitu menilai karya sastra berdasarkan paham tertentu, ide-ide

tertentu, ideologi tertentu, politik ataupun ide-ide pragmatik. Karya sastra dipandang

bernilai (seni) bila sesuai dengan paham, tujuan pendidikan, ataupun ide politik tertentu.

Paham penilaian ini dilakukan oleh negara-negara sosialis yang mengikuti ajaran

marxisme dan kaum humemanis baru.

Relativisme adalah aliran penilaian dalam kritik sastra yang menilai karya sastra

berdasarkan paham kenisbian, yaitu nilai karya sastra itu nisbi, tergantung kepada tempat

dan waktu lahirnya karya sastra tersebut. Setiap periode sastra mempunyai konsep estetik

tersendiri, oleh karena itulah penilaian terhadap karya sastra tidak dapat berlaku umum.

Dengan paham nisbi yang demikian, maka dalam mengkritik karya sastra, seorang

kritikus tidak perlu memberikan penilaian, tetapi hanya menganalisis unsur-unsurnya dan

menerangkan hubungan diantara unsur-unsur tersebut.

Perspektivisme adalah penilaian sastra yang menilai karya sastra sepanjang sejarahnya.

Penilaian dipandang dari sudut pandang waktu lahirnya karya sastra tersebut, masa-masa

yang dilaluinya, dan waktu sekarang. Perspektivisme berarti mengenal adanya karya

sastra yang dapat diperbandingkan di segala zaman, berkembang, berubah dan penuh

dengan kemungkinan. Dengan demikian setiap periode sastra akan menilai kembali karya

sastra tersebut. Oleh karena itu, berdasarkan penilaian-penilaian disetiap periode itu,

dapat disimpulkan nilai karya sastra tersebut pada waktu sekarang.

Paham perspektivisme ini mirip dengan paham penilaian estetika resepsi yang mengakui

bahwa karya sastra itu bersifat dinamis, selalu menunjukkann wajah yang berlainan

kepada pembaca yang berlainan pula (periode lain). Hal ini disebabkan oleh adanya

horison harapan yan gberbeda kepada setiap pembaca pada setiap periode yang berbeda.

Dengan demikian secara otomatis konsep estetikanya juga berubah-ubah. Dengan melihat

penilaian pada setiap periode tersebut maka dapat diketahui nilai karya sastra yang

sesungguhnya.

2. Penilaian berdasar Orientasi kepada Karya Sastra

Orientasi atau pendekatan kepada karya sastra menentukan penilaian kepada karya sastra.

Kritik mimetik menghendaki peniruan yang setepat-tepatnya terhadap penggambaran pada

kyang ada dalam kehidupan nyata. Misalnya saja sebuah cerita yang mengambil setting

cerita sebuah kantor, maka dalam penggambarannya diharapkan dapat sesuai dengan

llayaknya kantor sesungguhnya, tidak hanya gambaran kantornya juga tapi lengkap juga

digambarkan dengan perangkat administrasinya, pegawainya, manajer dan lain

sebagainya.tetapi hal tersebut tidak harus digambarkan setiap detilnya, melainkan harus

dengan seleksi, secara sugestif sehingga mengesankan kehidupan kantor yang

sesungguhnya.

Kritik pragmatik, sesuai dengan orientasinya untuk tujuan tertentu, untuk pendidikan

misalnya, maka karya sastra yang bernilai adalah karya sastra yang dapat mencapai atau

memenuhi tujuan pendidikan, tujuan untuk kemajuan bangsa tersebut dan sebagainya.

Makin banyak tujuan yang dapat dicapai dan sesuai dengan apa yang diharapkan, maka

karya sastra tersebut makin bernilai tinggi. Penilaian pragmatik ini sesuai dengan

penilaian absolutisme.

Kritik ekspresif menilai karya sastra sesuai dengan kesejatian pikiran dan perasaan

pengarang atau sastrawannya. Karya sastra merupakan luapan emosi, ide, gagasan,

pikiran pengarangnya. Melalui karya sastranya, orang lain atau pembaca dapat

mengetahui apa yang ada dalam pikirannya, dapat mengetahui ide-idenya, apa yang

dicita-citakannya dan lain sebagainya. Jadi yang menjadi ukuran adalah pengarangnya

sendiri. Hal ini sebenarnya dekat dengan penilaian relativisme, dalam artian bahwa semua

itu relatif, sesuai dengan atau tergantung pada sastrawannya masing-masing.

Kritik objektif menilai karya sastra berdasarkan ukuran yang objektif, ukuran yang

universal yang dapat dikenakan atau diterapkan pada seluruh karya sastra. Karya sastra

harus dinilai berdasarkan unsur atau struktur intrinsikny dengan kriteria yang objektif,

yaitu berdasarkan ciri-ciri empiris yang dapat dikenal. Oleh karena itu kaya sastra harus

dinilai berdasarkan struktur estetiknya dengan kriteria estetik dan dinilai dengan kriteria

ekstra estetik pada bahan pembentuknya. Adapun pembicaraan mengenai kriteria estetik

dapat diketahui lebih lanjut pada pemaparan selanjutnya.

3. Kriteria Penilaian Karya Sastra

Terlepas dari konsep-konsep estetik setiap periode, maka akan dipaparkan penilaian yan

bersifat umum, yakni yang berhubungan dengan masalah kriteria apakah yang harus

dikenakan pada penilaian karya sastra sebagai karya seni. Hal ini sesuai dengan orientasi

objektif. Objektif juga berarti pada pengertian objektif pada tiap-tiap periode, sebab

setiap periode mempunyai norma-norma atau konvensi sastra sendiri-sendiri. Masalah

kriteria ini berhubungan dengan pertanyaan apakah yang harus dinilai itu bila orang akan

melakukan kritik sastra. Dengan diketahuinya hal-hal yang harus dinilai itulah maka akan

dapat menentukan apa yang (harus) dikenakan pada penilaian karya sastra.

Dalam menilai karya sastra harus selalu diingat kodrat (hakikat), fungsi (dulce et utile) ,

dan nilai (estetis) karya sastra yang selalu erat berhubungan (Wellek dan Warren,

1968:238). Karya sastra sebagai karya seni terdiri atas dua komponen yang sulit

dipisahkan, yakni unsur intrinsik (estetik) dan ekstrinsik unsur (ekstraestetik).

Bahan-bahan karya sastra berupa kata-kata, tingkah laku manusia, gagasan-gagasan, dan

sikap-sikap mausia. Semuanya itu termasuk bahasa, berada di luar karya sastra

(sebelumnya). Namun, dalam karya sastra yang berhasil, bahan-bahan tersebut terjalin

dalam hubungan-hubungan yang bermacam-macam oleh dinamika-dinamika tujuan

estetik. Sebuah karya sastra yang bernilai tinggi berdasarkan bahan-bahannya ini biasa

dikatakn karya besar. Karya sebi disebut besar (agung) bila dapat mengekspresikan nilai

kehidupan yang besar (Wellek dan Warren, 1968:241). Nilai-nilai kehidupan besar itu

diantaranya meliputi pikiran-pikiran yang tinggi atau cemerlang, perwatakan yang

kompleks, cerita yang hebat, dan gambaran-gambaran kehidupan yang menimbulkan

renungan (kontemplasi). Jadi, karya sastra disebut besar (agung) itu adalah didasarkan

lebih cenderung pada kriteria ekstraestetik dan tidak meninggalkan kriteria estetik,

mengingat keduanya telah melebur menjadi satu kesatuan. Atau jika dinyatakan dalam

bentuk bahasa yang mudah adalah bahwa karya sastra yang baik (besar/tinggi) adalah

didasarkan kepada bentuknya yang indah dan isinya yang agung (tinggi dan lain

sebagainya). Namun, sesungguhnya tidak ada norma keindahan yang objektif.

Keindahan itu sesungguhnya sesuai dengan pengahayatan pembaca dan pengalaman

pembaca. Akan tetapi bagaimanapun juga, indah ini menjadi kriteria, hanya saja indah itu

relatif menurut pengertian masing-masing. Menurut Bosangquet via Wellek (1968: 243-

244) mengemukakan tentang jenis keindahan. Keindahan itu ada dua macam, yakni

keindahan mudah (easy beauty) dan keindahan sukar (difficult beauty). Keindahan

mudah, dicapai dengan bahan-bahan yang mudah dikerjakan, seperti kemerduan, citra-

citra visual yang menyenangkan, dan ‘pokok’ (isi/inti) yang ‘puitis’. Keindahan sukar,

diperas dari bahan-bahan yang sebagai material adalah berlawanan: kesakitan, kejelekan,

dan didaktik. Keindahan sukar ini membuat estetik hal-hal yang tampaknya tidak estetik.

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa sebuah karya sastra yang

bernilai sastra (tinggi) adalah sebuah karya yang indah, mengandung kreativitas, yang

memuat pikiran-pikiran tinggi, dan gambaran-gambaran kehidupan yang mempesonakan.

4. Konsep Estetik Karya Sastra

Konsep-konsep estetik dalam karya sastra berbeda-beda pada tiap periodenya. Hal inilah

yang perlu diperhatikan dalam kaitannya dengan akvitas penilaian terhadap karya sastra.

Dengan kata lain bahwa tiap periode sejarah sastra mempunyai konsep kritik sastra dan

konvensi-konvensi sendiri. Hal inilah tentu yang pada akhirnya menyebabkan adanya

penilaian yang berbeda terhadap sebuah karya sastra. Bila sebuah karya sastra di tiap

periode mendapat tanggapan yang baik dari para kritikusnya dengan bermacam-macam

prinsp kritik dan konvensi yang berbeda-beda, hal ini berarti karya sastra tersebut

memang bernilai tinggi. Namun hal tersebut bisa saja berbalik. Artinya, setidak-tidaknya

sebuah karya sastra akan diketahui nilainya berdasarkan prinsip-prinsip kritik tertentu.

Mungkin sebuah karya sastra dalam sebuah periode, dengan prinsip kritik tertentu,

ditolak sebagai karya sastra yang bernilai. Akan tetapi, mungkin karya tersebut di periode

lain, dengan prinsip kritik sastra yang lain, dinilai sebagai karya sastra yang bermutu atau

bernilai tinggi. Dengan demikian, sepanjang sejarahnya karya sastra akan mendapat

penilaian yan berbeda-beda oleh priinsip kritik sastra dan konsep estetik yang berbeda-

beda pula.

Perlu juga ditekankan di sini bahwa adanya konsep-konsep estetik yan berbeda dari

periode ke periode lain di sepanjang sejarah sastra ini disebabkan oleh tanggapan

pembaca terhadap karya sastra yang selalu berubah-ubah. Hal ini disebabkan oleh adanya

apa yang disebut Jauss (1974:18) sebagai horizon harapan pembaca (horizon of

expectation) yang selalu berubah.

Sebuah karya sastra tidak selalu menunjukkan wajah yang sama kepada para pembaca,

bahkan seorang pembaca pun akan menanggapi sebuah karya sastra secara berlainan di

saat yang lain pula. Akan tetapi, berhubungan dengan konsep estetik ini yang penting

adalah horison harapan pembaca pada satu periode. Oleh karena adanya perbedaan

pengalaman, aliran, kemajuan-kemajuan pikiran, kecakapan, dan situasi dari periode ke

periode, maka cara ‘membaca’ atau memahami karya sastra ataupun konkretisasi sastra

selalu berbeda.

Horizon harapan (horizon of expectation) merupakan prinsip utama bagi apa yang disebut

sebagai estetika resepsi atau estetika tanggapan, yaitu paham keindahan yang berdasarkan

tanggapan pembaca terhadap karya sastra. Horizon harapan pembaca (lebih luas lagi

pembaca pada stu periode) tersusun dari tiga kriteria (Segers,1978:41), yakni (1) norma-

norma yang terpancar dari teks-teks yang dibaca oleh pembaca, (2) pengetahuan dan

pengalaman pembaca mengenai semua teks yang telah dibaca sebelumnya, dan (3)

pertentangan antara rekaan dan kenyataan, yaitu kemampuan pembaca untuk memahami

teks baru yang berada di antara horizon ‘sempit’ karapan-harapan sastra ini (maksudnya

pengetahuan tentang sastra) dan horison ‘luas’ atau pengetahuannya tentang kehidupan.

Berikut adalah sebuah contoh singkat mengenai penilaian karya sastra dari periode ke

periode berdasarkan konsep estetik yang berbeda atau berubah-ubah, yakni penilaian

terhadap sajak-sajak Chairil Anwar. Penilaian pertama, H.B. Jassin menilai sajak-sajak

Chairil Anwar secara ‘judisial, ekspresif, dengan kriteria estetik dan ekstra estetik,

menurutnya, sajak-sajak Chairil Anwar revolusioner bentuk dan isinya, meledak-ledak,

melambung ke ketinggian menggamang, dan menerjun ke kedalaman menghimpit

mengerikan. Chairil Anwar memberi udara baru yang segar bagi sastra Indonesia baru.

Kecuali kiasan-kiasan, kombinasi-kombinasi baru, kata-kata yang menimbulkan asosiasi-

asosiasi panca indra, juga cenderung pada pembalikan nilai-nilai. Intinya di sini, H.B.

Jassin memberikan tanggapan dan penilaian yang positif.

Penilaian kedua, Klara Akkustia yang dianggap sebagai wakil pembaca (kritikus) lekra

yang berpaham ‘seni untuk rakyat’ dan bersemboyan ‘politik adalah panglima’ menilai

sajak-sajak Chairil Anwar dalam esainya ‘Kepada Seniman Universil’ menyatakan bahwa

berdasarkan paham dan semboyannya itu, kriteria penilaiannya adalah pragmatik (dan

absolut). Secara benntuk ia sependapat dengan H.B. Jassin, tetapi corak revolusi

kesusastraan Chairil Anwar tidak mengenai isi, hanya mengenai bentuk. Ia menolak

pandangan hidup Chairil Anwar, tetapi mengakui bentuk sastra barunya. Menurutnya

lagi, hasil sastra yang tinggi nilainya adalah dia harus baik isi dan bentuknya, artinya ia

harus indah, berseni, dan membawa pandangan hidup yang maju.

Penilaian ketiga, Sutan Takdir Alisjahbana yang dapat dikatakan sebagai wakil pembaca

(kritikus) angkatan Pujangga Baru. Ia menilai bahwa sajak-sajak Chairil Anwar

membawa suasana, gaya, ritme, tempo, nafas, kepekaan, dan kelincahan yang baru

kepada sastra Indonesia. Sajak-sajak Chairil Anwar yang pesimistis dan berisi

pemberontakan itu diumpamakan sebagai rujak asam, pedas, dan asin yang bermanfaat

untuk mengeluarkan keringat, tetapi tidak dapat dijadikan sebagai sari kehidupan

manusia. Hal ini mengacu pada pandangan pragmatik yang menghendaki karya sastra

dapat berguna bagi pembangunan bangsa.

Sesungguhnya banyak sekali tanggapan pembaca terhadap sajak-sajak Chairil Anwar,

tetapi ketiga contoh di atas kiranya cukup memberikan gambaran metode penilaian

estetika resepsi. Jika disimpulkan, ketiga penilaian tersebut di atas menyetujui secara

estetik (kriteria estetik) bahwa sajak-sajak Chairil Anwar bernilai seni, tetapi dalam

kriteria ekstraestetik hasilnya berbeda-beda karena konsep estetiknya berbeda. H.B.

Jassin menilai pikiran-pikiran dalam sajak-sajak Chairil Anwar bernilai tinggi, sedangkan

Klara Akustia dan Sutan Takdir Alisjahbana yang menilainya secara pragmatik (dan

absolut) memandangnya rendah karena tidak berguna bagi hidup yang maju dan bagi

pembangunan bangsa. Jadi dengan adanya bermacam-macam prinsip penilaian itu

diharapkan karya sastra dapat ditunjukkan dan dipahami nilainya sebagai karya seni

sepanjang sejarahnya.

B. Penulisan Kritik Sastra

Penulisan kritik sastra merupakan tahap akhir seorang kritikus dalam melaksanakan

tuganya secara profesional, atau dengan kata lain, tanpa tulisan itu maka seorang kritikus belum

menyelesaikan tugasnya. Dalam usaha untuk menulis kritik sastra, seorang kritikus haruslah

menerapkan teori sastra. Teori sastra yang diterapkan tersebut bertolak pada keyakinan bahwa

semua teori adalah baik dan bermanfaat untuk membangun ilmu pengetahuan. Akan tetapi, teori

yang baik tidak dengan sendirinya mengahasilkan kritik sastra yang unggul karena

keberhasilannya bergantung juga pada kemampuan kritikus dalam mengoperasikan teori sebagai

alat kerjanya. Dengan kata lain, keberhasilan penulisan kritik sastra terikat pada beberapa

variabel yang dapat dirumuskan dengan pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut (Yudiono,

1986:40).

Apakah kritikus memiliki latar belakang teori sastra dan dapat merumuskan konsep-

konsepnya secara jelas ?

Apakah kritikus itu mempergunakan metode tertentu untuk menikmati, memahami, dan

menilai sastra sesuai dengan pendekatan sastranya ?

Apakah motivasi penulisan kritik tersebut ? apakah kritik itu ditulis untuk sebuah

seminar, tesis kesarjanaan, ataukah mungkin pesanan sebuah penerbitan ?

Apakah media penerbitannya ? apakah surat kabar, majalah umum, majalah sastra atau

buku ?

Siapakah sasarannya ? apakah para pengarang, apakah para peminat sastra pada

umumnya, apakah mahasiswa dan sarjana sastra ?

Sementara itu, Atar Semi (1989:22) menyederhanakan langkah-langkah kritikus

menjadi empat tahap, yakni sebagai berikut.

Dengan sikap serba menanya melakukan penjelajahan sambil melakukan penikmatan,

kemudian membuat tafsiran-tafsiran agar karya itu datang secara utuh dengan jalan

melihat keseluruhan karya itu serta memadunya dengan pengalaman membaca karya

yang lain.

Menempatkan diri dalam karya sastra itu. Dalam hal ini mau tidak mau, diakui atau tidak,

ia terpengaruh oleh unsur-unsur yang melahirkan karya itu serta unsur-unsur tata nilai

dimana karya itu dilahirkan.

Memberikan dasar-dasar penilaian sebagai tolok ukur untuk menyatakan pendapat baik

atau tidaknya karya tersebut, dan untuk itu dengan sendirinya kepadanya dituntut untuk

tahu syarat-syarat suatu karya yang dapat dikatakan baik.

Membuka dirinya terhadap nilai baru yang muncul dari karya yang baru dibacanya. Hal

ini tentu tergantung kepada keterbukaan dan kepekaan jiwa yang bersangkutan dan daya

mampu karya itu memberikan nilai baru.

Penulisan naskah kritik sastra dapat dibedakan menjadi dua model, yakni penulisan

naskah kritik sastra akademis dan penulisan kritik sastra populer dengan kaidah atau konvensi

masing-masing. Adapun kaidah atau konvensi penulisan naskah kritik sastra akademis seperti

tampak dalam skripsi, tesis, disertasi, makalah, seminar, atau proyek penelitian dapat bertumpu

atau merujuk pada konvensi yang berlaku dalam penulisan naskah karya ilmiah pada umumnya

walaupun pada batas-batas tertentu ada ‘warna’ khas kritik sastra yang berurusan dengan peran

kritikus sebagai pembaca atau penikmat karya sastra. Secara mudahnya adalah dapat dikatakan

bahwa berbagai kaidah tersebut seharusnya atau sebaiknya diikuti atau diipatuhi oleh kritikus

sebagai penulis yang berada pada wilayah akademis, misalnya sebagai dosen, peneliti atau

mahasiswa. Hal itulah yang kemudian disebut dengan penulisan naskah kritik sastra akademis

yang berarti aktivitas kritik sastra secara keseluruhannya dilakukan oleh para kritikus atau

akademisi dengan menggunakan kaidah-kaidah atau konvensi kritik sastra yang telah dipilih dan

diterapkan dalam proses penulisan kritik sastra terhadap sebuah karya sastra tertentu.

Meskipun demikian, kritikus akademis (dosen,, peneliti atau mahasiswa)

berkemungkinan juga untuk melakukan penulisan kritik sastra populer yang notabene kaidahnya

lebih longgar daripada penulisan naskah kritik sastra akademik, dengan pengertian model atau

gaya penulisan artikel populer lebih banyak bertumpu pada keahlian atau keterampilan kritikus.

Kalaupun harus ada ketentuan, itu hanyalah ancar-ancar jumlah halaman atau bilangan karakter,

dan hal ini biasanya berkaitan dengan media cetak (surat kabar atau majalah) yang memang

harus menyesuaikan formatnya dengan kolom atau ruang yang tersedia dalam media cetak

tersebut. Ketentuan tersebut hanya disebut ancar-ancar karena dapatlah dibayangkan jika

menggunakan ketentuan atau aturan yang sama dengan yang digunakan dalam penulisan naskah

kritik sastra akademik maka naskah kritik ilmiah yang berpuluh-puluh halaman tersebut tidak

akan diterima atau diserap oleh surat kabar atau media cetak tersebut, terlepas dari masalah

kualitas atau mutu karangan.

Sebenarnya kedua model penulisan tersebut boleh diibaratkan ‘hanya’ sebagai jalan

yang boleh dipilih oleh kritikus secara kontekstual. Artinya model tertentu dipergunakan dalam

konteks kepentingan kritikus, apakah dalam rangka melaksanakan tugas akademis,

melaksanakan proyek penelitian, memenuhi pesanan atau semata-mata mewujudkan gairahnya

sebagai kritikus. Dengan motivasi apapun, penulisan kritik sastra terikat pada prosedur atau

tahap-tahap penulisan baik itu yang kemudian disebut dengan teori, metode dan objek studi yang

kemudian dipresentasikan melalui penikmatan karya sastra, analisis atau pengudaran teks, dan

pada akhirnya dapat melakukan penulisan naskah kritik sastra seperti yang diinginkan. Dengan

kata lain, penulisan naskah kriitik sastra bermula pada kepekaan atau sensitivitas pribadi kritikus

terhadap dunia karya sastra, kemudian berlanjut dengan kejelian atau kecerdasan kritikus dalam

menangkap dan membongkar misteri karya sastra yang dihadapinya. Giliran berikutnya adalah

keterampilan dan keahlian kritikus dalam menuangkan segala pendapatnya dalam suatu karangan

ilmiah atau populer yang indah sehinggga berpotensi memikat perhatian dan merangsang gairah

pembaca untuk ikut serta menikmati karya sastra pilihan seorang kritikus.

Kritikus (yang baik) adalah kritikus yang muncul di tengan masyarakat sastra yang

subur dengan pengertian memiliki tradisi sastra dan mengembangkan pendidikan sastra. Namun,

terlepas dari kondisi masyarakat apapun jelaslah bahwa kritikus adalah pembaca yang apresiatif,

kreatif, cerdas, terampil, ahli dan berkarakter. Dengan kata lain, modal kritikus adalah (sekurang-

kurangnya) simpati dan apresiasi sastra, penguasaan teori dan metode kritik sastra, kecerdasan

analisis data, keterampilan menulis, wawasan pengetahuan yang memadai dan karakter yang

tampak pada sikap hidup dalam konteks kritik sastra yakni edukatif, konfrontatif, dan pragmatis.

Sikap hidup kritikus yang edukatif adalah apabila kritiknya senantiasa ikut serta

mendidik atau mengajak masyarakat pembaca untuk meningkatkan apresiasinya terhadap karya

sastra. Sikap hidup kritikus yang konfrontatif adalah kecenderungan kritikus untuk ‘melawan’

siapapun (pangarang, karya sastra atau pembaca) yang tidak sepaham dengan teori, gagasan atau

ideologinya. Dalam hal ini kritikus berlaku secara individual, misalnya kritikus cenderung untuk

atau lebih mengunggulkan teorinya sendiri dan menganggap rendah pandangan orang lain. Sikap

seperti ini pernah ditunjukkan oleh para kritikus Lekra yang memiliki semboyan bahwa ‘politik

adalah panglima’ sehingga pada masa itu jika ada sastrawan atau pengarang, kritikus dan karya

sastranya yang mempunyai ide yang bersebrangan dengan pandangan mereka yang realisme

sosialis haruslah dihancurkan. Sikap hidup kritikus yang pragmatis adalah kecenderungan untuk

mencari keuntungan bagi dirinya sendiri. Hal ini bisa terjadi karena hasil kritiknya cenderung

memenuhi selera pasar atau selera pemesan, misalnya demi kepentingan promosi sebuah buku

sastra. Dan tampaknya sikap pragmatis inilah yang sedang menggejala dalam dunia kritik sastra

dewasa ini.

Penulisan kritik sastra yang sederhana dapat diwujudkan dalam penulisan resensi karya

sastra, seperti sajak, cerpen, novel, dan roman atau resensi buku sastra seperti kumpulan sajak,

kumpulan cerpen, novel, dan roman dengan kemungkinan dikomersilkan ke surat kabar dan

majalah. Langkah-langkah resensi sastra secara garis besar dimulai dari apresiasi sastra atau

apresiasi buku sastra, yaitu memahmi masalah dan membayangkan perasaan yang berkembang

dalam karya sastra yang dihadapi sehingga tumbuh simpati pribadi yang mendorong

penghayatan terhadap karya sastra tersebut. Langkah berikutnya adalah mengetahui cara

pengarang membangun keutuhan karya sastra melalui sarana bahasa yang berupa kata dan

kalimat sehingga berkembang pengalaman baru di batin kritikus.

Pemahaman terhadap keutuhan karya sastra itu sebaiknya berdasarkan pengetahuan

teori struktur sastra sehingga ada keyakinan dalam menetapkan apakah karya sastra yang

dihadapi itu memebuhi syarat sebagai karya sastra yang dinilai atau justru sebaliknya. Dengan

kata lain, teori struktur sastra-sederhana sekalipun-merupakan modal yang penting. Adapun

tahap selanjutya adalah kritikus atau peresensi harus dapat menemukan relevansi karya sastra

tersebut dengan kehidupan masyarakat, tidak terbatas pada masyarakat sastra yang konotasinya

berarti pelajar, mahasiswa, guru sastra, dan pengarang, tetapi juga kalangan lain yang perlu

ditumbuhkan perhatian, minat, dan apresiasinya terhadap karya sastra.

Adapun penulisan kritik sastra yang lebih cangggih dari resensi adalah dapat dilakukan

dalam penulisan makalah untuk diskusi, seminar, ceramah, dan sejenisnya, sedangkan penulisan

kritik sastra yang tercanggih atau yang lebih ilmiah dan berbobot tinggi adalah dapat dilakukan

dalam penulisan disertasi di jalur akademis.

Pada intinya dari penulisan kritik sastra di atas adalah bahwa perbedaan kaidah tidak

otomatis mengisyaratkan perbedaan mutu atau kualitas kritik sastra karena ukuran bermutu atau

tidaknya sebuah kritik sastra tidak semata-mata didasarkan pada kaidah penulisannya, tetapi

berdasarkan teori, metode, pembahasan, dan penilaiannya.

DAFTAR PUSTAKA

Abrams, M.H. 1979. The Mirror and the Lamp. London- New York: Oxford universty Press.

Damono, Sapardi Djoko. 1983. Kesusastraan Indonesia Modern: Beberapa Catatan. Jakarta: Gramedia.

Depdikbud. 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Effendi, Usman. 1984. 200 Tanya Jawab tentang Sastra Indonesia. Jakarta: Gunung Agung.

Eneste, Pamusuk (ed). 1983. Cerpen Indonesia Mutakhir: Antologi Esai dan Kritik. Jakarta: Gramedia.

Hudson, William Henry. 1955. An Introduction to the Study of Literature. London: George G. Harrap & Co.

Jassin, H.B. 1959. Tifa Penyair dan Daerahnya. Jakarta: Gunung Agung.

Mahmud, Kusman K. 1991. Sastra Indonesia dan Daerah: Sejumlah Masalah. Bandung: Angkasa.

Pradopo, Rachmat Djoko. 1967. Beberapa Gagasan dalam Bidang Kritik Sastra Indonesia Modern. Klaten: Dwi Dharma.

------------------------. 2003. Beberapa Teri Sastra, Metode Kritik dan Penerapannya. Jogjakarta:Pustaka Pelajar

Rampan, Korrie Layun. 2000. Angkatan 2000 dalam Sastra Indonesia. Jakarta: Grasindo

-------------------------. 1985. Puisi Indonesia Hari Ini Sebuah Kritik. Jakarta: Yayasan Arus.

Rosidi, Ajip. 1982. Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia. Bandung: Binacipta.

Semi, Atar. 1989. Kritik Sastra. Bandung: Angkasa.

Sumardjo, Jakob. 1992. Lintasan Sastra Indonesia Modern 1. Bandung: Citra Aditya Bakti

Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.

Wellek dan Warren, Rene dan Austin. 1978. Concepts of Criticism. New Haven. London: Yale University Press

--------------------------. 1990. Teori Kesusastraan. Jakarta: Gramedia.

Yudiono Ks. 1986. Telaah Kritik Sastra Indonesia. Bandung: Angkasa.

---------------------------. 2009. Pengkajian Kritik Sastra. Jakarta: Kompas Gramedia.

Lampiran III

CONTOH KRITIK SASTRA PADA PUISI

Joko Pinurbo, Surealisme Ranjang, Celana dan Boneka Oleh Cecep Syamsul Hari

Antara 1999-2004, Joko Pinurbo telah menerbitkan empat kumpulan puisi yang menarik perhatian, yaitu: Celana, Di Bawah Kibaran Sarung, Sajak-sajak 2001, dan Telefon Genggam. Akan tetapi, sejauh yang dapat saya amati, hingga saat ini kumpulan puisi Celana Joko Pinurbo-lah yang meninggalkan kesan lebih kuat di dalam benak kebanyakan pembaca dibandingkan kumpulan sajaknya yang lain. Trilogi sajak Joko, “Celana 1”, “Celana 2”, dan “Celana 3” misalnya, meraih Sih Award (Anugerah Jeihan) 2001, dan kumpulan puisi Celana itu sendiri memenangkan Hadiah Sastra Lontar 2001. Celana Joko bahkan pergi berkelana jauh keluar dari habitatnya dan pengaruhnya sampai hingga ke pedalaman negeri kanguru. Seorang penyair Australia yang juga peneliti, Ian Campbell, menulis puisi tentang celana yang didasarkan pada Celana Joko Pinurbo.

Membaca kembali puisi-puisi dalam Celana Joko Pinurbo, mengingatkan kita pada manifesto yang diterbitkan André Breton yang menyatakan bahwa kesenian harus berasal dari alam bawah sadar dan oleh karena itu seniman harus mendapatkan ilham sebebas-bebasnya dari imaji-imaji impiannya dan berusaha mencapai “super-realisme” tempat antara batas-batas mimpi (dunia di dalam bawah sadar) dan kenyataan (dunia di dalam kesadaran) melebur. Seniman pun diasumsikan sebagai seseorang yang memiliki kapabilitas untuk menembus sensor dari kesadaran dan membiarkan kata-kata dan imaji-imaji itu bermain dengan bebas.

Sebagaimana kita ketahui, André Breton adalah penyair dan esais Perancis yang memelopori gerakan Surealisme. Di bawah bayang-bayang puisi Simbolis dan psikiatris, pada 1924 ia menerbitkan Manifeste du surréalisme, dari mana kata “surealisme” berasal.

Dalam konteks pemikiran Bretonian itulah dapat dikatakan bahwa imaji-imaji mimpi adalah nafas puisi-puisi Joko Pinurbo. Di tangannya imaji-imaji mimpi itu dengan lentur telah dibentuknya menjadi sistem simbolik, dan dalam kumpulan puisinya, Celana (1999), dapat ditemukan pada simbol-simbol kunci (key symbols): ranjang, celana, dan boneka.

Di tangan Joko Pinurbo, ranjang muncul sebagai sistem simbolik dari suatu bentangan perjalanan makna “aku dalam puisi”, dalam suatu kenyataan lateral dan jungkir-balik: kelahiran dan kematian, profan dan spiritualitas, bayangan diri dan bayangan Tuhan, dunia kini-di-sini dan dunia kelak-di-sana. Seluruh kenyataan itu ditarik Joko ke dalam bawah sadar, tempat ia memposisikan dirinya sebagai penafsir tunggal atas mimpi yang menjadi bahasa bawah sadar itu sendiri: Beginilah jika ada yang lancang mengusik, jagad mimpiku yang tenteram. Hanya aku

penguasa di wilayah ranjang (“Ranjang 7”).Dalam sistem simbolik Joko Pinurbo, ranjang bukan semata-mata benda mati (yang selain berfungsi sebagai tempat orang tidur juga kadang-kadang menjadi tempat orang mati) tetapi menjadi bayangan diri (psike) dari suatu referensi eskatologis asal-muasal manusia: Pada suatu petang ia datang ke taman yang terhampar hijau di atas ranjang…. Ia perempuan gila, dulu pernah memperkosa Adam dan menghabisinya di atas ranjang (“Ranjang 10”). Ranjang adalah tempat “aku dalam puisi” bukan saja melakukan refleksi atas relasi intersubjektivitas: Waktu itu tengah malam. Kau menangis. Tapi ranjang mendengarkan suaramu sebagai nyanyian (“Ranjang 1”); melainkan juga refleksi atas relasi gender: Ranjang bergoyang sepanjang malam. Mungkin sepasang nyawa, sepasang singa sedang bertempur. Atau sepasang maut sedang perang…. Padahal cuma ada sepasang celana terongok putih di bantal hitam (“Ranjang 9”); Memang ada yang masih bermukim di ranjang: merawat ketiak, mengurus lemak, dan dengan membelalak ia membentak, “Pergi. Tak ada seks di sini.” (“Ranjang 11”).

Ranjang juga adalah ibu (muasal) dari maut, waktu dan usia: Ranjang meminta kembali tubuh yang pernah dilahirkan dan diasuhnya dengan sepenuh cinta (“Ranjang 6”); Demikianlah di subuh yang hening itu kami pergi ke pelabuhan, melepas ranjang kami yang tua berangkat berlayar ke laut yang luas dan terang. Waktu dan usia seperti perjalanan sebuah doa ketika ranjang kami yang reyot dan renta bergoyang-goyang bagai tongkang, bagai keranda, terhuyung-huyung dan terbata-bata, mencari tanah pusaka yang jauh di seberang sana (“Ranjang 8”).

Di dalam sistem simbolik Joko Pinurbo, ranjang juga adalah fase dari suatu perjalanan menuju kematian: Jauh nian perjalanan di atas ranjang.... Kau mengambang, melayang, seperti bayi terlelap dalam ayunan ranjang (“Ranjang 3”). Bahkan, bukan hanya perjalanan menuju kematian melainkan juga dunia di seberang kematian: Kaulah perahu ke teluk persinggahan. Sampai di seberang tubuhmu tinggal tulang belulang dan perahumu tertatih-tatih sendirian pulang ke haribaan ranjang (“Ranjang 4). Dunia di seberang kematian itu sesuatu yang hanya dapat kita fantasikan: Ranjang kami telah dipenuhi semak-semak berduri. Orang-orang menyebutnya firdaus yang dicipta kembali oleh keturunan orang mati. Tapi kami sendiri lebih suka menyebutnya dunia fantasi (“Ranjang 2”). Dan perjalanan terakhir ke dunia fantasi kita itu barangkali adalah perjalanan dalam bayangan Tuhan atau Imago Dei sendiri: Maut sudah kosong ketika mereka hendak menculik mayatnya. Hanya ada seorang perempuan sedang membersihkan salib di sudut ranjang. “Ia sudah pergi ke kota,” katanya, “dan kalian tak akan bisa lagi menangkapnya.” (“Ranjang 12”).

Di tangan Joko Pinurbo pula boneka dan celana berubah menjadi sistem simbolik yang cerdas untuk mengungkapkan dengan cara surealistis karakter-karakter kontradiktif, situasi batas, absurditas, dan hipokritas manusia di dalam dirinya maupun di dalam relasinya dengan orang lain. Jika selama ini karakter-karakter tersebut direpresi ke bawah sadar dan tinggal dalam kegelapan serta sesekali muncul sebagai mimpi, maka Joko terjun ke dalam kegelapan itu untuk mengeluarkan kembali karakter-karakter itu ke tempat yang terang.

Pengungkapan kontradiksi, situasi batas, absurditas dan hipokritas manusia ini lewat sistem simbolik boneka diungkapkan Joko dalam sajak “Boneka 1-3” sebagai berikut: Setelah terusir dari negerinya sendiri, pelarian itu akhirnya diterima oleh sebuah keluarga boneka…. “Saya dari negeri yang pemimpin dan rakyatnya telah menyerupai boneka. Saya tidak betah lagi tinggal di

sana karena saya tetap ingin menjadi manusia.” (“Boneka 1”); Rumah itu sudah lama ditinggalkan pemiliknya. Ia minggat begitu saja tanpa meninggalkan pesan apa pun kepada boneka-boneka kesayangannya…. Pemilik rumah itu akhirnya pulang juga. Ia masuk begitu saja, namun boneka macan yang perkasa dan menyeramkan itu menyergahnya. “Maaf, Anda siapa, ya?” (“Boneka 2”); Kami pun berpotret bersama. Monyetku menyuruhku berdiri paling tengah. “Kau yang paling ganteng di antara kami,” siamang berkata. “Siapa yang paling lucu di antara kita?” monyet bercanda. “Yang di tengah,” lutung berkata. “Ia tampak kusut dan murung karena bersikeras hidup di alam nyata,” gorila berkata. Mereka semua tertawa (“Boneka 3”).

Lebih jauh, lewat sistem simbolik celana semua unsur hipokritas manusia ditelanjangi Joko habis-habisan dalam trilogi “Celana”. Untuk melukiskan hal itu salah satu dari trilogi itu, yaitu “Celana 1” dipetik utuh sebagai berikut: Ia ingin membeli celana baru buat pergi ke pesta supaya tampak lebih tampan dan meyakinkan. Ia telah mencoba seratus model celana di berbagai toko busana namun tak menemukan satu pun yang cocok untuknya. Bahkan di depan pramuniaga yang merubung dan membujuk-bujuknya ia malah mencopot celananya sendiri dan mencampakkannya. “Kalian tidak tahu ya, aku sedang mencari celana yang paling pas dan pantas buat nampang di kuburan.” Lalu ia ngacir tanpa celana dan berkelana mencari kubur ibunya hanya untuk menanyakan, “Ibu. Kausimpan di mana celana lucu yang kupakai waktu bayi dulu?”

Perjalanan pulang-pergi mimpi dan kenyataan, under-consciousness dan consciousness, tampaknya bukanlah perjalanan yang menegangkan bagi Joko Pinurbo. Ini dimungkinkan karena kemampuan cara berpikir deduktifnya untuk menjungkir-balikkan logika didampingi kemampuan artistiknya menggunakan pendekatan parodi yang memunculkan suasana dari suatu wacana estetik surealisme yang satir tetapi cerah.

Seorang penyair Inggris kontemporer, D.J. Enright, pernah mengatakan bahwa parodi sangat sulit untuk tidak ditulis tetapi menulisnya lebih sulit lagi. Itulah sebabnya kenapa hanya sedikit penyair yang menggunakan pendekatan ini dalam menulis puisi. Puisi parodi yang berhasil akan mengendap dalam benak pembacanya seraya tetap membiarkan puisi itu sebagai ruang bagi berbagai-bagai kemungkinan pemaknaan dan penafsiran. Sebaliknya, puisi parodi yang gagal, apabila nasibnya masih cukup baik, akan dianggap sebagai black-comedy, dan apabila nasibnya jauh lebih buruk, akan diingat sebagai semata-mata puisi bertendensi humor dan menutup ruang bagi pemaknaan dan penafsiran lebih jauh.

Pada sisi yang lain, wacana estetik puisi-puisi Joko Pinurbo dapat dikatakan sebagai hasil dari suatu proses amplifikasi, yaitu suatu proses mengolah dan menjelaskan imaji mimpi melalui penggunaan asosiasi yang terarah dengan merangkaikan ide-ide, penglihatan-penglihatan, dan lain-lain, menurut kemiripan, hukum kebersamaan, perlawanan, dan ketergantungan sebab-akibat. Sistem simbolik yang dibangun dari tradisi berpikir yang ketat dan wacana estetik yang didasarkan pada proses amplifikasi itu melapangkan jalan bagi pendekatan parodi yang dipilih Joko Pinurbo dalam proses kreatifnya. Humor dan kelucuan tetap dipelihara sebagai efek, dan tidak dijadikan sebagai substansi puisi-puisinya. Itulah yang menyebabkan kenapa, misalnya, makhluk boneka dan makhluk manusia, celana dan Columbus, burung dan Stephen Hawking, dapat hidup berdampingan secara harmonis dan damai dalam wilayah estetika puisi-puisinya.

***

Lampiran IV

CONTOH KRITIK SASTRA PADA CERPEN

"Cuma Rangka-rangka Besi Tua” Karya Subagio Sastrowardoyo: Cermin Kejujuran yang Tertindas

Oleh: Deri Anggraini, S.Pd.

Cuma Rangka-rangka Besi Tua merupakan salah satu cerpen milik Subagyo Sastrowardoyo yang termuat dalam kumpulan cerita pendeknya Kejantanan di Sumbing yang diterbitkan oleh Balai Pustaka pada tahun 1982. Seperti enam cerpen lainnya yang terkumpul dalam Kejantanan di Sumbing (yakni Perawan Tua, Kejantanan di Sumbing, Mengarak Jenasah, Wonosari, Kota Pendudukan, dan Cerita Sederhana Tentang Sumur), cerpen ini juga mempunyai kaitan dengan suasana revolusi 1945. Meskipun suasana revolusi diangkat sebagai latar cerita, namun tema sentralnya bukanlah revolusi dan perang kemerdekaan Indonesia tahun 1945 itu sendiri.

Dalam Cuma Rangka-rangka Besi Tua (CRBT), Subagio Sastrowardoyo berusaha menyajikan realita kehidupan yang ada di masyarakat pada masa pascakemerdekaan, tepatnya lagi pascarevolusi. Cuma Rangka-rangka Besi Tua merupakan gambaran kehidupan nyata, di mana kejujuran tidak lagi merupakan hal yang mempunyai nilai melainkan sesuatu yang sama sekali tidak dihargai dan tidak mendapat tempat di masyarakat pada waktu itu. Subagyo tidak memanipulasi kenyataan yang ada di masyarakat dengan berusaha memenangkan kebenaran, tetapi justru pihak-pihak yang selalu jujur dan berbuat benar itulah yang kalah dalam cerita ini. Dari dulu hingga sekarang,tertanam dalam jiwa kita bahwa yang benar, dialah yang menang, yang salah maka dialah yang kalah. Namun tidak demikian halnya dengan kenyataan yang ada, justru yang benar, dialah yang kalah karena yang benar kurang mempunyai kekuatan untuk mengalahkan yang jahat dan salah, seperti halnya dalam cerpen ini. Tema yang disajikan sangat kontroversial dengan nilai yang ada di masyarakat. Pembaca mampu dibuat kecewa dengan penyajian ending cerita yaitu kekalahan si tokoh protagonis. Penyajian peristiwa-peristiwa yang cukup apik dengan tema cerita yang menarik, cerpen ini layak untuk dibaca, khususnya oleh mereka yang menjunjung tinggi nilai kejujuran, karena mau tidak mau mereka harus mengakui bahwa keadaan semacam itulah yang seringkali kita dapati dalam kehidupan nyata. Subagyo mampu menggunggah emosi pembaca dengan menyajikan ending cerita yang jauh dari harapan pembaca pada umumnya, dan hal itu merupakan nilai lebih dari cerpen ini, sehingga sangat menarik untuk dibaca.

Mujono, tokoh cerita dalam cerpen ini adalah seorang bekas tahanan yang mencoba melakukan pembunuhan terhadap Suwito, yaitu orang yang telah menjebloskan dirinya ke penjara sekaligus orang yang telah menghamili istrinya selama ia dipenjara. Pada awalnya , Mujono adalah orang yang polos, jujur, sederhana dan nrima. Namun permasalahan mulai muncul ketika Mujono akhirnya mau mengikuti saran Suwito untuk menyelundupkan obatan-obatan yang ada di apotek tempat dia bekerja.itu semua dia lakukan, demi kebahagiaan istri yang dicintainya. Pada suatu

hari, Mujono kasus penyelundupan itu terbongkar. Demi melindungi sahabatnya, Mujono bungkam ketika ditanya siapa tukang tadahnya. Setelah bebas dari penjara, Mujono mendapati istrinya hamil, padahal sebelumnya setelah lima tahun pernikahan mereka, istrinya belum juga hamil. Tahulah ia, bahwa Suwitolah yang telah menghamili istrinya. Sakit hatinya membuatnya ingin membunuh Suwito. Namun ternyata ia begitu lemah, dan malam itupun ia kalah dengan Suwito. Mujono gagal membunuh orang yang telah menghancurkan kehidupannya.

Mujono adalah sosok laki-laki yang menjunjung tinggi nilai kejujuran, kesederhaan dengan tidak terlalu banyak tingkah, sampai-sampai dikatakan seperti perempuan. Hal itu dapat kita lihat pada penggalan percakapan antartokoh pada cerpen tersebut, yakni sebagai berikut:

“Kausangka kau dapat berbuat jasa dengan menyombongkan kejujuranmu itu. Kalau orang lain harus main bureng supaya dapat hidup dengan layak, kita pun harus bisa. Kita terpaksa!”

“Aku tak bisa menjalankan pekerjaan yang tak halal.”

“Kau ingin suci sendiri, dik Jono. Seperti perempuan saja kau. Tidak ada barang yang haram di dalam masyarakat yang kacau ini. Siapa yang masih terbelenggu pikirannya oleh pertimbangan yang lemah itu, dia pengecut yang tak berani hidup. Dia banci! Mereka semua melakukan korupsi, dari rendah sampai ke atas!”

Betapa sosok Mujono, mewakili kelompok minoritas dalam masyarakat waktu itu yang masih menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran. Seorang laki-laki yang harga dirinya terinjak-injak. Betapa lengkap penderitan yang dialami Mujono.

Cuma Rangka-rangka Besi Tua menunjukkan kepada kita bahwa revolusi telah menjadikan manusia haus akan hidup sehingga kemerdekaan yang telah dicapai bangsa Indonesia rupanya tidak mampu membuahkan kebahagiaan di hati rakyat. Indonesia telah merdeka namun keadaannya masih jauh dari harapan rakyat. Rakyat masih harus berjuang untuk terus mempertahankan hidup. Oleh karenanya, mereka melakukan segala cara demi mendapatkan kehidupan yang jauh lebih baik. Dengan menghalalkan segala cara ini, maka lunturlah nilai kejujuran yang merupakan nilai dasar sebuah perjuangan itu sendiri. Kemerdekaan tidak mampu membawa rakyat ke dalam kehidupan yang lebih baik. Kemerdekaan hanya mampu memberikan harapan hidup. Namun orang hidup, tidak cukup hanya dengan harapan. Orang hidup membutuhkan materi, sedangkan kemerdekaan tidak mampu memberikan semua itu. kemerdekaan seolah cuma menyajikan rangka-rangka besi tua, sehingga untuk mendapatkan kenikmatan hidup kita harus menjilatinya, tidak peduli dengan orang lain. Seperti pada percakapan berikut:

“Konyol engkau, hendak membunuh aku! Aku sesungguhnya sayang kepadamu. Engkau tetap sahabatku, dik Jono!” tangan Suwito memijat-mijat lengannya yang berdarah. “Engkau tolol, dik Jono. Engkau tidak mengerti jaman ini. Engkau tidak pernah berjoang dulu. Engkau tidak mengerti apa arti revolusi. Revolusi membuat kita haus akan hidup. Karena revolusi kita ingin meneguk kehidupan sepuas-puasnya. Tetapi kemerdekaan ini tidak memberi kita sorga dengan pohon-pohon zaitun, tetapi cuma lumpur dan rangka-rangka besi tua. Kita harus kembali menjadi binatang kalau kita hendak menikmatinya. Kita harus menjadi babi yang menyuruk ke lumpur.

Kita harus berebut dan menjilat-jilat karatnya. Dan lumpur dan tahi besi itu ternyata nikmat rasanya!

Kau konyol menyangka bisa menjadi manusia suci di dalam masyarakat semacam ini. Pikiranmu terlalu terbelenggu oleh pengertian dosa. Kau pengecut, dik Jono. Di jaman ini tidak ada dosa!...”

Keadaan pasca revolusi membuat manusia haus akan hidup. Keadaan inilah ynag kemudian mendorong mereka untuk melakukan segala cara, tanpa ingat lagi dengan nilai. Kejujuran tidak lagi diacuhkan oleh manusia, seolah-olah menjadi sesuatu yang terlupakan, sesuatu yang tertindas, sesuatu yang tidak mempunyai tempat di masyarakat. Betapa mengenaskannya kehidupan masyarakat yang demikian itu. Hal yang lebih mengenaskan yaitu kalahnya pihak yang masih menjunjung tinggi nilai kejujuran, sehingga lengkaplah sudah kerusakan moral masyarakat.

Selain mempunyai tema yang menarik dan plot yang campuran, cerpen ini menggunakan sudut pandang persona ketiga “Dia” Mahatahu. Kehidupan pascarevolusi sebagai latar waktu dan suasana. Sementara itu, Yogyakarta, khususnya daerah Kali Code sebagai latar tempat.

Kehadiran Cuma Rangka-rangka Besi Tua mampu membangkitkan emosi pembaca, di samping itu juga memperkaya pembaca dengan hal-hal yang mampu dijadikan bekal untuk terus mengarungi kehidupan yang masih berjalan hingga kini.

***