Naskah Ujian Patologi Forensik 1

8
NASKAH UJIAN PATOLOGI FORENSIK KASUS GANTUNG Disusun oleh: Stevent Richardo 11.2008.052 BAGIAN ILMU KEDOKTERAN FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA

description

ns

Transcript of Naskah Ujian Patologi Forensik 1

Page 1: Naskah Ujian Patologi Forensik 1

NASKAH UJIAN PATOLOGI FORENSIK

KASUS GANTUNG

Disusun oleh:

Stevent Richardo

11.2008.052

BAGIAN ILMU KEDOKTERAN FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA

JAKARTA

2010

Page 2: Naskah Ujian Patologi Forensik 1

RIWAYAT

Jenazah laki-laki berumur 24 tahun ini ditemukan dalam keadaan tergatung dengan

menggunakan tali tambang yang terbuat dari plastik disebuah rumah yang beralamatkan Rw.

Gabus RT 011/011 Kapuk, Cengkareng, Jakarta pada 30 Desember 2009 jam 12.00 WIB.

Penyidik menduga kematian orang tersebut adalah bunuh diri dengan cara gantung diri.

Jenazah ini selanjutnya dibawa ke RSCM dengan lampiran surat permintaan visum et

repertum mayat dari kepolisisan sektor Cengkareng tertanggal 30 Desember 2009,No. Pol.:

8641/XII/2009/S.Ckr

IDENTITAS KORBAN

Nama : Budi Utomo

Umur : 24 tahun

Jenis kelamin : Laki-laki

Kewarganegaraan : Indonesia

Pekerjaan : Buruh

Alamat : Rw. Gabus RT 011/011 Kapuk, Cengkareng, Jakarta Barat

PEMBAHASAN

Page 3: Naskah Ujian Patologi Forensik 1

Sesuai dengan pasal 133 KUHAP maka salah satu kewajiban dokter

adalah membantu peradilan jika diminta. Salah satu bentuk bantuan dokter

dalam proses peradilan adalah memberikan keterangan dalam bentuk

tertulis yaitu berupa surat visum atau dalam bentuk lisan dimana dokter

bertindak sebagai saksi ahli. Visum dibuat oleh dokter terhadap korban atas

permintaan dari penyidik.

Korban pada kasus ini adalah seorang laki-laki, berumur 24 tahun yang

ditemukan di Rawa Gabus RT 011/011 Kapuk, Cengkareng, Jakarta Barat, kematian korban

diduga bunuh diri. Surat permintaan visum et repertum pada kasus ini

diterbitkan oleh Kepolisian Sektor Cengkareng dengan nomor surat

8641/XII/2009/S.Ckr, didalam surat tersebut didapati adanya kepala

surat/kop surat instansi penyidik, nomor surat, tanggal surat, identitas yang

diperiksa, waktu ditemukan korban, tanda tangan, nama lengkap dan NRP

petugas yang menandatangani disertai stempel jabatan, penyidik yang

menandatangani surat permintaan visum adalah A.N KAPOLSEK METRO

CENGKARENG sehingga sesuai dengan ketentuan dalam KUHAP pasal 6 ayat

(1) jo PP 27 tahun 1983 minimal adalah pembantu letnan dua dengan

penyidik pembantu berpangkat serendah-rendahnya sersan dua dan bila di

suatu sektor kepolisian tidak ada yang berpangkat seperti tersebut maka

kepala kepolisian sektor yang berpangkat bintara di bawah pembantu letnan

dua dapat membuat surat permintaan visum karena dikategorikan sebagai

penyidik karena jabatannya.

Dalam surat permintaan visum tersebut juga disebutkan permohonan

dilakukan pemeriksaan bedah mayat. Surat permintaan visum ini sudah

sesuai dengan ketentuan dalam KUHAP pasal 133 ayat 2 yang menyatakan :

Permintaan keterangan ahli sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1)

dilakukan secara tertulis, yang dalam surat ini disebutkan dengan tegas

Page 4: Naskah Ujian Patologi Forensik 1

untuk pemeriksaan luka, pemeriksaan mayat atau pemeriksaan bedah

mayat.

Pada mayat ditemukan label identifikasi yang diikat pada ibu jari kaki

kanan tetapi prosedur pengiriman mayat ini ke RSCM juga tidak sesuai

dengan prosedur dimana label identifikasi tidak disegel. Ketentuan ini

tercantum dalam KUHAP pasal 133 ayat 3 yaitu : Mayat yang dikirim kepada

ahli kedokteran kehakiman atau dokter pada rumah sakit harus diperlakukan

secara baik dengan penuh penghormatan terhadap mayat tersebut dan

diberi label yang memuat identitas mayat, dilak dengan diberi cap jabatan

yang dilekatkan pada ibu jari kaki atau bagian lain badan mayat.”

Sesuai dengan ketentuan dalam KUHAP pasal 134 ayat 1 dan 2 dimana

penyidik berkewajiban mencari keluarga korban dan menjelaskan mengapa

pemeriksaan bedah mayat harus dilakukan terhadap mayat korban sehingga

pihak keluarga tidak keberatan atas tindakan tersebut, prosedur tersebut

sudah diterapkan sehingga pelaksanaan bedah jenazah dapat segera

dilakukan setelah mayat tiba di RSCM.

Kondisi mayat saat dilakukan pemeriksaan adalah kaku mayat sudah

terjadi pada seluruh tubuh dan sukar dilawan, sedangkan lebam mayat

terdapat pada kaki, tungkai bawah, paha dan buah zakar.

Kaku mayat (rigor mortis) terjadi karena setelah kematian serabut

aktin dan myosin sudah tidak lentur yang disebabkan oleh tidak adanya lagi

ATP yang merupakan hasil perubahan ADP karena adanya Energi. Energi ini,

setelah kematian berasal dari pemecahan cadangan glikogen otot. Bila

cadangan glikogen habis, maka energy tidak terbentuk lagi, aktin dan

myosin menggumpal dan otot menjadi kaku. Kaku mayat dibuktikan dengan

memeriksa peresndian. Kaku mayat mulai tampak kira-kira 2 jam setelah

Page 5: Naskah Ujian Patologi Forensik 1

mati klinis, dimulai dari bagian terluar tubuh (otot-otot kecil) ke arah dalam

(sentripetal). Teori lama menyebutkan bahwa kaku mayat menjalar

kraniokaudal. Setelah mati klinis 12 jam kaku mayat menjadi lengkap,

dipertahankan selama 12 jam dan kemudian menghilang dalam urutan yang

sama.

Lebam mayat (livor mortis) terjadi karena setelah kematian maka

eritrosit akan menempati tempat terbawah akibat gaya tarik bumi

(gravitasi), mengisi vena dan venula, membentuk bercak warna merah ungu

(livide) pada bagian tubuh terbawah, kecuali pada bagian tubuh yang

tertekan alas keras. Lebam mayat biasanya mulai tampak pada 20-30 menit

pasca mati, makin lama intensitasnya bertambah dan menjadi lengkap dan

menetap setelah 8-12 jam. Sebelum waktu ini, lebam mayat masih hilang

pada penekanan dan dapat berpindah jika posisi mayat diubah. Tetapi,

walaupun setelah 24 jam, darah masih tetap cukup cair sehingga sejumlah

darah masih dapat mengalir dan membentuk lebam mayat ditempat

terendah yang baru. Menetapnya lebam mayat disebabkan oleh

bertimbunnya sel-sel darah dalam jumlah cukup banyak sehingga sulit

berpindah lagi.

Pada pemeriksaan luar ditemukan jejas yang melingkari leher, berjalan

dari kanan bawah ke kiri atas yang membentuk sudut 30o dengan bidang

datar akibat kekerasan tumpul

Pada pembedahan mayat ditemukan resapan darah pada jaringan ikat bawah kulit daerah

leher sesuai dengan letak jerat, pada kulit bagian dalam terdapat resapan darah, ditemukan pula

tanda-tanda perbendungan pada organ dalam.

Berdasarkan hasil pemeriksaan dapat disimpulkan bahwa kematian

korban ini akibat kekerasan tumpul pada daerah leher yang menekan

saluran nafas sehingga menyebabkan mati lemas.

Hasil pemeriksaan terhadap jenazah dibuat dalam bentuk visum et

repertum. Visum et Repertum (VeR) merupakan keterangan yang dibuat oleh

Page 6: Naskah Ujian Patologi Forensik 1

dokter atas permintaan penyidik yang berwenang mengenai hasil

pemeriksaan medik terhadap manusia, baik hidup atau mati, ataupun bagian

atau diduga bagian tubuh manusia, berdasarkan keilmuannya dan dibawah

sumpah untuk kepentingan peradilan. Manfaat pembuatan visum et

repertum adalah sebagai salah satu alat bukti yang sah sesuai dengan pasal

184 KUHAP ayat (1) yaitu “Alat bukti yang adalah: a. Keterangan saksi; b.

keterangan ahli; c.surat; d.petunjuk; e.keterangan terdakwa”. Alat bukti

berupa surat ini sepadan dengan yang dimaksud dengan visum et repertum

dalam Statsblad 350 tahun 1937. Dengan demikian visum et repertum

memiliki kekuatan hukum dan dapat digunakan dalam pengadilan.

Dalam hal diperlukannya keterangan dari dokter berupa visum et

repertum, maka seorang dokter dapat membuka rahasia kedokteran yang

dimilikinya. Kewajiban menyimpan rahasia kedokteran sebagaimana yang

tercantum dalam PP No.10 tahun 1966 dapat tidak berlaku apabila ada

peraturan lain yang sederajat atau lebih tinggi (KUHP) untuk membuka

rahasia tersebut. Dalam hal ini KUHP yang terkait adalah pasal 50 KUHP,

yaitu “Barangsiapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan

undang-undang tidak dipidana”.

DAFTAR PUSTAKA

1. Bagian Kedokteran Forensik Universitas Indonesia. Peraturan

Perundang-undangan Bidang Kedokteran. Edisi pertama, cetakan kedua.

Bagian Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,

Jakarta, 1994.

2. Budiyanto A, Widiatmaka W, Sudiono S, Winardi T, Mun’im A, Sidhi, et

al. Ilmu Kedokteran Forensik. Edisi pertama, cetakan kedua. Bagian

Kedokteran Forensik FKUI Jakarta. 1997.

Page 7: Naskah Ujian Patologi Forensik 1

3. Staf Pengajar Bagian Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia. Teknik Autopsi Forensik, edisi pertama, cetakan

ke4. Bagian Kedokteran Forensik FKUI Jakarta. 2000.