Monica Raharjo_Presentasi Kasus 1_Decompensatio Cordis

77
LAPORAN KASUS DECOMPENSATIO CORDIS Disusun Oleh : Monica Raharjo 030.09.157 Pembimbing : Dr. Daniel Effendi, Sp.A KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK PERIODE 02 JUNI 2014 – 09 AGUSTUS 2014 RUMAH SAKIT UMUM DAERAH BUDHI ASIH FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI JAKARTA

description

yhjjj

Transcript of Monica Raharjo_Presentasi Kasus 1_Decompensatio Cordis

Page 1: Monica Raharjo_Presentasi Kasus 1_Decompensatio Cordis

LAPORAN KASUS

DECOMPENSATIO CORDIS

Disusun Oleh :

Monica Raharjo

030.09.157

Pembimbing :

Dr. Daniel Effendi, Sp.A

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK

PERIODE 02 JUNI 2014 – 09 AGUSTUS 2014

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH BUDHI ASIH

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI

JAKARTA

2014

Page 2: Monica Raharjo_Presentasi Kasus 1_Decompensatio Cordis

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI

RS PENDIDIKAN : RSUD BUDHI ASIH

STATUS PASIEN KASUS I

Nama Mahasiswa : Monica Raharjo Pembimbing : Dr. Daniel Effendi Sp.A

NIM : 030.09.157 Tanda tangan:

IDENTITAS PASIEN

Nama : An. SDL Jenis Kelamin : Perempuan

Umur : 4 tahun 9 bulan Suku Bangsa : Betawi

Tempat / tanggal lahir : Jakarta, 15 Agustus 2009 Agama : Islam

Alamat : Jalan Langgar II RT 011/RW 05, Pendidikan : -

Kelurahan Pondok Bambu, Kecamatan Duren Sawit, Jakarta Timur

IDENTITAS ORANG TUA/ WALI

Ayah: Ibu:

Nama: Tn. AL

Umur: 39 tahun

Alamat: Jalan Langgar II, Duren Sawit

Pekerjaan: Buruh

Penghasilan: Rp. 2.000.000,00

Pendidikan: SD

Suku Bangsa: Betawi

Agama: Islam

Nama: Ny. AS

Umur: 31 tahun

Alamat: Jalan Langgar II, Duren Sawit

Pekerjaan: Kuli cuci gosok

Penghasilan: Rp. Rp. 1.000.000,00

Pendidikan: SMP

Suku Bangsa: Betawi

Agama: Islam

Hubungan dengan orang tua: Pasien merupakan anak kandung.

I. ANAMNESIS

Dilakukan secara alloanamnesis dengan Ny. AS (ibu kandung pasien)

Lokasi : Bangsal lantai V Timur, kamar 515

Tanggal / waktu : 10 Juni 2014 pukul 19.00

1

Page 3: Monica Raharjo_Presentasi Kasus 1_Decompensatio Cordis

Tanggal masuk : 10 Juni 2014 pukul 18.00

Keluhan utama : Sesak napas sejak 2 minggu sebelum masuk rumah sakit

Keluhan tambahan : Jantung berdebar, nyeri ulu hati, lemas, napsu makan

berkurang, berat badan menurun, kedua kaki terasa dingin

A. Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang berobat ke poliklinik RSUD Budhi Asih diantar oleh kedua orang tua

dengan keluhan sesak napas sejak kurang lebih dua minggu sebelum masuk rumah sakit.

Pasien terlihat bernapas lebih cepat dari biasanya. Setelah beraktivitas seperti naik tangga

atau bersepeda, kesulitan bernapas lebih jelas dimana pasien terlihat “ngos-ngosan” seperti

orang yang kecapaian. Sesak pada posisi tidur dan tidur dengan jumlah bantal yang lebih

banyak dari biasanya disangkal. Namun orang tua pasien mengaku dalam dua minggu

terakhir pasien selalu gelisah saat tidur. Sesak napas tidak disertai bunyi napas yang tidak

normal seperti “grok-grok” atau “ngik-ngik”.

Selain keluhan sesak napas, dalam dua minggu terakhir ini pasien juga jantungnya

berdebar-debar, nyeri pada ulu hati, lemas, napsu makan berkurang, berat badan menurun,

dan kedua kaki terasa dingin. Batuk, mengi, demam, bengkak pada kaki atau kelopak mata,

dan biru pada bibir atau jari-jari disangkal. Keluhan jantung berdebar-debar muncul beberapa

hari sebelum sesak napas. Orang tua pasien merasa denyut jantung anak lebih cepat dan lebih

kuat dari biasanya. Jantung berdebar-debar walaupun tidak sedang melakukan aktivitas.

Kadang orang tua pasien mengaku dapat melihat denyut jantung pada dada kiri pasien di

daerah atas tulang iga terbawah dan dapat merasakan pukulan denyut jantung pasien bila

menggendong pasien. Pasien juga sering mengeluh nyeri perut di daerah ulu hati. Keluhan

tersebut dirasakan terutama pada malam hari (pasien sering terbangun pada malam hari

karena nyeri perut pada ulu hati). Dalam dua minggu terakhir, pasien dirasa lebih lemas dari

biasanya, tidak selincah dan seceria sebelum timbul keluhan jantung berdebar, dan lebih

sering berbaring atau meminta digendong dibandingkan bermain. Sebelum sakit, pasien

setiap pagi menemani sang ibu bekerja dimana (pasien masih dapat naik tangga ke tempat

kerja sang ibu) dan setiap hari bermain sepeda yang baru dibeli 1 bulan yang lalu oleh kedua

orang tua. Napsu makan pasien berkurang, hanya mau makan beberapa suap nasi dan kecap

tanpa lauk dan tidak mau minum susu, namun minum air cukup banyak. Berat badan pasien

2

Page 4: Monica Raharjo_Presentasi Kasus 1_Decompensatio Cordis

turun sekitar 1-2 kg dari berat badan sebelum sakit yaitu 13-12 kg. Kedua kaki pasien sering

terasa dingin atau keluar keringat dingin dalam dua minggu terakhir.

Buang air kecil (BAK) tidak ada keluhan, produksi banyak, warna kuning jernih,

tidak nyeri. Pasien belum buang air besar (BAB) selama 2 hari. BAB terakhir sebanyak satu

kali 2 hari yang lalu, kotoran berbentuk namun konsistensi lunak, warna kuning-kecoklatan,

tidak ada darah maupun lendir.

Pasien sebelumnya sudah berobat ke klinik di dekat rumah diberikan obat lambung

serta dirujuk ke puskesmas. Di puskesmas hanya dilakukan pemeriksaan laboratorium

kemudian diberikan anjuran untuk berobat ke RSUD Budhi Asih. Pasien tidak mengalami

perbaikan setelah berobat ke dua tempat tersebut.

B. Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien pernah mengalami nyeri dada kurang lebih 1 tahun sebelum masuk rumah sakit

(pada usia 4 tahun). Nyeri dada dirasakan di sebelah kiri dan tidak menjalar. Saat itu pasien

merasa lebih cepat kenyang dan “eneg” setelah makan baru kemudian timbul nyeri dada.

Pasien dibawa berobat ke klinik dan dianjurkan untuk berobat ke puskesmas, kemudian dari

puskesmas pasien dirujuk ke RSUD Duren Sawit. Di RSUD Duren Sawit pasien

mendapatkan obat penambah darah (Sangobion untuk anak) serta obat untuk lambung

(Antasida sirup). Setelah minum kedua obat tersebut pasien dirasa membaik namun keluhan

nyeri dada tidak hilang. Setelah berobat jalan sebanyak tiga kali di RSUD Duren Sawit

(dimana diberikan kedua obat diatas), pasien dianjurkan untuk melakukan foto dada namun

karena prosedur administratif di RSUD dirasa sulit maka pasien berhenti berobat dan beralih

ke pengobatan alternatif berupa urut badan. Setelah beberapa kali urut badan, orang tua

pasien mengaku nyeri dada tidak pernah dikeluhkan pasien, namun pasien beberapa kali

tampak lemas dan tidak mau makan serta sering mengeluh nyeri perut di daerah ulu hati.

Keluhan tersebut dianggap orang tua pasien sebagai sakit lambung biasa karena anak

memang sulit makan.

Riwayat infeksi saluran pernapasan atas (demam, batuk-pilek, sakit tenggorokan)

beberapa minggu/ sebulan sebelum timbul nyeri dada disangkal. Riwayat asma dan penyakit

paru lainnya disangkal. Pada usia 2 tahun 6 bulan pasien pernah mengalami kecelakaan jatuh

dari motor dan terbentur pada dahi, meninggalkan jaringan parut pada alis sebelah kiri. Pada

usia 3 tahun pasien terkena campak. Pada usia 3 tahun 6 bulan pasien pernah mengalami

3

Page 5: Monica Raharjo_Presentasi Kasus 1_Decompensatio Cordis

kecelakaan sehingga mata kanan tertusuk dan “robek”, sekarang sudah sembuh sempurna dan

tidak ada keluhan pengelihatan. Beberapa minggu setelah kecelakaan pada mata, pasien

kecelakaan sehingga kuku jempol kaki kanan mengalami timbul “koreng”, sekarang sudah

sembuh namun bentuk kuku tampak bergelombang.

Berikut merupakan tabel ringkasan riwayat penyakit yang diderita oleh pasien:

Penyakit Umur Penyakit Umur Penyakit Umur

Alergi (-) Difteria (-) Penyakit jantung4 tahun 9 bulan

(sekarang)

Cacingan (-) Diare (-) Penyakit ginjal (-)

DBD (-) Kejang (-) Radang paru/ TBC (-)

Otitis (-) Morbili 3 tahun Penyakit darah 4 tahun

Parotitis (-) Operasi (-) Lain-lain: kecelakaan2.5 tahun dan 3.5

tahun

Kesimpulan riwayat penyakit yang pernah diderita : Pasien pernah mengalami nyeri dada

serta mendapatkan pengobatan untuk anemia pada usia 4 tahun. Riwayat penyakit lainnya

tidak berhubungan dengan penyakit sekarang.

C. Riwayat Kehamilan dan Kelahiran

KEHAMILAN

Morbiditas kehamilan Tidak ada

Perawatan antenatal

ANC ke bidan hanya tiga kali selama masa

kehamilan, suntikan TT dua kali pada usia

kehamilan 7 bulan dan 9 bulan

KELAHIRAN Tempat persalinan Rumah bidan

Penolong persalinan Bidan

Cara persalinan Spontan tanpa penyulit

Masa gestasi Cukup bulan

Keadaan bayi Berat lahir: 3100 gr

Panjang lahir: 50 cm

Lingkar kepala: (tidak tahu)

Langsung menangis (+) Kemerahan (+)

Pucat (-) Biru (-) Kuning (-) Kejang (-)

4

Page 6: Monica Raharjo_Presentasi Kasus 1_Decompensatio Cordis

Nilai APGAR: (tidak tahu)

Kelainan bawaan: tidak ada

Kesimpulan riwayat kehamilan/ kelahiran : Neonatus Cukup Bulan – Sesuai Masa

Kehamilan.

D. Riwayat Perkembangan

Pertumbuhan gigi I : 7 bulan, gigi pertama yang tumbuh ialah gigi depan rahang atas

Gangguan perkembangan mental : Tidak ada

Psikomotor :

Tengkurap : Umur 3 bulan (Normal: 3-4 bulan)

Duduk : Umur 6 bulan (Normal: 6-9 bulan)

Berdiri : Umur 9 bulan (Normal: 9-12 bulan)

Berjalan : Umur 11 bulan (Normal: 13 bulan)

Bicara : Umur 12 bulan (Normal: 9-12 bulan)

Kesimpulan riwayat perkembangan : Perkembangan baik/ sesuai usia.

E. Riwayat Makanan

Umur (bulan) ASI/PASI Buah / Biskuit Bubur Susu Nasi Tim

0 – 2 ASI - - -

2 – 4 ASI - - -

4 – 6 ASI - + -

6 – 8 ASI - + -

8 – 10 ASI + + -

10 -12 ASI + + +

Umur diatas 1 tahun:

Jenis Makanan Frekuensi dan Jumlah

Nasi/ Pengganti 5-3x/ hari setiap kalinya hanya 1-2 suap

Sayur 1x/ minggu

Daging 1x/ tahun

5

Page 7: Monica Raharjo_Presentasi Kasus 1_Decompensatio Cordis

Telur 1x/ hari

Ikan 3x/ minggu

Tahu 3x/ minggu

Tempe 3x/ minggu

Susu 1 kotak susu ultra setiap hari

Lain-lain Biskuit/ wafer/ roti isi 1 bungkus/ hari

Kesulitan makan : Orang tua pasien mengakui bahwa pasien sulit makan sejak kecil. Sehari-

hari pasien makan nasi putih 5-3x sehari hanya 1-2 suap dengan kecap kadang mau bila

diberikan lauk berupa telur/ ikan/ tahu/ tampe. Pasien tidak pernah mau makan sayur (sayur

selalu dipisahkan) kecuali dengan paksaan. Pasien minum 1 kotak susu ultra setiap hari dan

biasanya makan snack seperti biscuit keju/ wafer/ roti 1 bungkus dalam sehari. Pasien jarang

diberikan daging karena keluarga tidak mampu untuk membeli daging. Sejak 2 minggu

terakhir napsu makan pasien berkurang dan pasien semakin sulit makan. Pasien hanya makan

beberapa suap nasi saja, tidak makan lauk, dan tidak minum susu.

Kesimpulan riwayat makanan : Pasien mengalami kesulitan makan, asupan gizi untuk

protein dan serat kurang.

F. R iwayat Imunisasi

Vaksin Dasar ( umur ) Ulangan ( umur )

BCG 2 bulan - - - - -

DPT / PT 2 bulan 4 bulan 6 bulan - - -

Polio 0 bulan 2 bulan 4 bulan - - -

Campak - - 9 bulan - - -

Hepatitis B 0 bulan 1 bulan 6 bulan - - -

Kesimpulan riwayat imunisasi : Imunisasi dasar lengkap dan sesuai jadwal. Tidak

dilakukan imunisasi tambahan.

G. R iwayat Keluarga

Corak reproduksi :

6

Page 8: Monica Raharjo_Presentasi Kasus 1_Decompensatio Cordis

NoTahun

lahir

Jenis

kelaminHidup

Lahir

matiAbortus Mati (sebab)

Keterangan

kesehatan

1. 2003Laki-laki + - - + usia 3 jam

asfiksia

neonatorum

Meninggal

(kakak

pasien)Laki-laki + - -

2. 2004 Perempuan + - - -

Sehat

(kakak

pasien)

3. 2009 Perempuan + - - -Sakit

(pasien)

Riwayat pernikahan :

Ayah / Wali Ibu / Wali

Nama Tn. AL Ny. AS

Perkawinan ke- 1 1

Umur saat menikah 27 tahun 19 tahun

Pendidikan terakhir Tamat SD Tamat SMP

Agama Islam Islam

Suku bangsa Betawi Betawi

Keadaan kesehatan Sehat Sehat

Kosanguinitas - -

Penyakit, bila ada Alergi/ Gastritis Gastritis/ Riwayat TB paru

Riwayat penyakit keluarga : Tidak ada yang menderita gejala atau penyakit yang sama

seperti dialami oleh pasien. Riwayat penyakit kelainan jantung bawaan di keluarga disangkal.

Ayah pasien menderita alergi pada kulit serta gastritis. Ibu pasien menderita gastritis serta

memiliki riwayat TB paru sebelum pasien lahir. Ibu dari ibu pasien meninggal karena

penyakit kuning.

7

Page 9: Monica Raharjo_Presentasi Kasus 1_Decompensatio Cordis

Kesimpulan riwayat keluarga : Tidak ada anggota keluarga yang mengalami gejala dan

penyakit yang serupa dengan pasien. Pasien tidak memiliki penyakit turunan dalam keluarga

dan tidak ada yang menderita penyakit menular dalam keluarga.

H. Riwayat Lingkungan Perumahan

Pasien tinggal bersama ayah, ibu, kakak, dan kedua orang tua ayah pasien di rumah

berlantai satu yang merupakan rumah orang tua ayah pasien. Keadaan tempat tinggal

sekarang ventilasi cukup baik, pencahayaan baik, dan septic tank jaraknya dengan sumber air

(jet sanyo) lebih dari 10 meter. Daerah tempat tinggal merupakan daerah yang padat

penduduk. Tetangga sebelah rumah ada yang sudah tua dan diketahui menderita kencing

manis dan sedang menjalani pengobatan paru berupa obat yang diminum 6 bulan. Orang tua

tersebut sering kali melewati depan rumah, batuk-batuk, dan bahkan membuang dahaknya di

pinggiran jalan.

Kesimpulan riwayat lingkungan perumahan : Ditinjau dari lingkurang perumahan pasien,

pasien memiliki faktor risiko untuk terjadi infeksi TB karena lingkungan padat penduduk dan

terdapat seorang tetangga yang menderita TB paru aktif.

I. Riwayat Sosial dan Ekonomi

Ayah pasien bekerja sebagai buruh lepas dengan penghasilan yang tidak tetap berkisar

sekitar Rp.2.000.000,-/ bulan. Penghasilan tersebut dinilai kurang cukup untuk memenuhi

kebutuhan pokok sehari-hari sehingga Ibu pasien akhirnya ikut bekerja sebagai kuli cuci

gosok dengan penghasilan Rp.1.000.000,-/ bulan. Sehari-hari pasien diasuh oleh sang Ibu dan

mengikuti Ibu bekerja sebagai kuli cuci gosok. Pada malam hari pasien diasuh dan tidur

bersama sang Ayah.

Kesimpulan sosial ekonomi : Pasien berasal dari keluarga dengan taraf sosial ekonomi

menengah kebawah.

II. PEMERIKSAAN FISIK (Tanggal 10 Juni 2014 jam 19.30 WIB)

A. Status Generalis

Keadaan Umum :

8

Page 10: Monica Raharjo_Presentasi Kasus 1_Decompensatio Cordis

Kesan Sakit : Tampak sakit sedang

Kesadaran : Compos mentis

Kesan Gizi : Kurang

Keadaan lain : Anemis (+), ikterik (-), sianosis (-), dyspnoe (+), edema (-)

Data Antropometri :

Berat Badan sekarang : 11 kg

Panjang Badan : 98 cm

Status Gizi :

BB / U = 11/17 x 100 % = 64,71 % (Gizi kurang)

TB / U = 98/107 x 100 % = 91.59 % (Tinggi baik)

BB / TB = 11/15 x 100 % = 73.33 % (Gizi kurang)

Kehilangan BB sejak sakit = ± 2 kg

Berdasarkan kurva CDC 2000 gizi pasien termasuk dalam kategori gizi kurang. Dari ketiga

parameter yang digunakan diatas didapatkan gizi kurang untuk parameter BB/U dan BB/TB

didapatkan gizi kurang sedangkan untuk parameter TB/U didapatkan tinggi baik; hal ini

menandakan bahwa kekurangan gizi yang dialami pasien sekarang ialah suatu kekurangan

gizi yang akut.

Tanda Vital :

Klasifikasi Hipertensi An. SDL Berdasarkan Usia dan Tinggi Badan (1)

Tekanan darah normal < 101/ 64 mmHg

Pre-hipertensi 101/ 64 – 105/ 68 mmHg

Hipertensi tingkat I 105/ 68 – 117/ 81 mmHg

Hipertensi tingkat II > 117/ 81 mmHg

Krisis hipertensi > 117/ 81 mmHg dengan gejala dan tanda klinis

Tekanan darah : 110/90 mmHg (hipertensi tingkat II)

Nadi : 135 x/menit, kuat, isi cukup, ekual kanan dan kiri, regular

Napas : 53 x/menit, tipe abdomino-torakal

Suhu : 36,2°C (diukur dengan termometer air raksa pada aksila)

Kepala : Normocephali, ubun-ubun sudah menutup

Rambut : Rambut hitam, distribusi merata, dan tidak mudah dicabut

Wajah : Wajah simetris, tidak ada edema, terdapat sebuah jaringan parut di bagian

medial alis kiri

9

Page 11: Monica Raharjo_Presentasi Kasus 1_Decompensatio Cordis

Mata :

Visus : Tidak dilakukan Ptosis : -/-

Sklera ikterik : -/- Lagofthalmus : -/-

Konjungtiva anemis : +/+ Cekung : -/-

Exophthalmus : -/- Kornea jernih : +/+

Strabismus : -/- Lensa jernih : +/+

Nistagmus : -/- Pupil : Bulat, isokor

Refleks cahaya : Langsung +/+ , tidak langsung +/+

Telinga :

Bentuk : Normotia Tuli : -/-

Nyeri tarik aurikula : -/- Nyeri tekan tragus : -/-

Liang telinga : Sempit Membran timpani : Sulit dinilai

Serumen : -/- Refleks cahaya : Sulit dinilai

Cairan : -/-

Hidung :

Bentuk : Simetris Napas cuping hidung : -/-

Sekret : -/- Deviasi septum : -

Mukosa hiperemis : -/- Konka eutrofi : +/+

Bibir : Mukosa berwarna merah muda, kering (-), sianosis (-)

Mulut : Trismus (-), oral hygiene kurang baik, gigi sudah tumbuh, terdapat caries

pada kedua gigi incisor depan rahang atas

Lidah : Normoglossia, lidah kotor (-)

Tenggorokan : Tidak ada kelainan palatum, dinding faring posterior tidak hiperemis, ukuran

tonsil T2-T2 tidak hiperemis, kripta melebar, tidak ada detritus

Leher : Bentuk tidak tampak kelainan, tidak tampak massa/ benjolan, tidak tampak

deviasi trakea, tidak teraba pembesaran tiroid maupun kelenjar getah bening,

trakea teraba di tengah, JVP 5 + 2 cm H2O

Thoraks :

Inspeksi : Bentuk thoraks simetris pada saat statis dan dinamis, tidak ada pernapasan

yang tertinggal, tipe pernapasan abdomino-torakal, tidak terdapat retraksi, ictus cordis

terlihat pada ICS VI 1 cm lateral linea midklavikularis kiri

10

Page 12: Monica Raharjo_Presentasi Kasus 1_Decompensatio Cordis

Palpasi : Gerakan pernapasan simetris kanan dan kiri, vokal fremitus sama kuat kanan

dan kiri, teraba ictus cordis pada ICS VI 1 cm lateral linea midklavikularis kiri,

denyut kuat

Perkusi : Perkusi tidak dilakukan

Auskultasi : Suara napas vesikuler, reguler, ronki basah halus (-/-), wheezing (-/-),

bunyi jantung I-II reguler, bunyi jantung III (+) punctum maksimum pada katub

mitral, gallop (+) lebih jelas terdengar pada katub pulmonal dan katub mitral, murmur

tidak dapat terdengar karena tertutup oleh gallop

Abdomen :

Inspeksi : Perut datar, tidak dijumpai adanya efloresensi pada kulit perut, roseola

spots (-), tidak tampak benjolan, kulit keriput (-), gerakan peristaltik (-), smiling

umbilicus (-)

Auskultasi : Bising usus (+), frekuensi 6 x/ menit

Palpasi : Supel, nyeri tekan (-) pada seluruh regio abdomen, turgor kulit baik, hepar

dan lien tidak teraba membesar

Perkusi : Timpani pada seluruh regio abdomen

Genitalia : Tidak ditemukan kelainan pada genitalia eksterna

Kelenjar Getah Bening :

Preaurikuler : Tidak teraba membesar

Postaurikuler : Tidak teraba membesar

Submandibula : Tidak teraba membesar

Supraklavikula : Tidak teraba membesar

Aksila : Tidak teraba membesar

Inguinal : Tidak teraba membesar

Ekstremitas : Ekstremitas atas teraba hangat, ekstremitas bawah teraba dingin, kuku dan

jaringan dibawah kuku baik ekstremitas atas maupun bawah tampak pucat,

capillary refill time (CRT) kurang dari 2 detik

Tulang Belakang: Bentuk normal, tidak tampak deviasi

Kulit : Warna kulit sawo matang merata, pucat (+/-), tidak ikterik, tidak sianosis,

turgor kulit baik, lembab, CRT kurang dari dua detik, tidak tampak ruam

maupun bintik perdarahan

11

Page 13: Monica Raharjo_Presentasi Kasus 1_Decompensatio Cordis

B. Status Neurologis

Refleks Fisiologis Kanan Kiri

Biceps + +

Triceps + +

Patella + +

Achilles + +

Refleks Patologis Kanan Kiri

Babinski - -

Chaddock - -

Oppenheim - -

Gordon - -

Schaeffer - -

Tanda Rangsang Meningeal

Kaku kuduk -

Kanan Kiri

Kernig - -

Laseq - -

Brudzinski I - -

Brudzinski II - -

Pemeriksaan Nervus Kranialis :

N. I (Olfaktorius) : Tidak dilakukan pemeriksaan

N. II dan III (Optikus dan Okulomotorius) : Pupil bulat isokor, RCL +/+, RCTL +/+

N. IV dan VI (Troklearis dan Abducens) : Gerakan bola mata baik ke segala arah

N. V (Trigeminus) : Tidak ada gangguan sensibilitas wajah

N. VII (Facialis) : Wajah simetris, dapat menutup mata sempurna

N. VIII (Vestibulo-koklearis) : Tidak dilakukan pemeriksaan

N. IX dan X (Glossofaringeus dan Vagus) : Tidak dilakukan pemeriksaan

N. XI (Aksesorius) : Gerakan leher dan bahu tidak terganggu

N. XII (Hipoglosus) : Gerakan lidah tidak terganggu

12

Page 14: Monica Raharjo_Presentasi Kasus 1_Decompensatio Cordis

III. PEMERIKSAAN PENUNJANG

A. Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium tanggal 09 Juni 2014 (Puskesmas Pembina Kecamatan

Duren Sawit) :

Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Normal

Hematologi

Hemoglobin 8.6 g/dl (↓) 12 – 16.9 g/dl

Hematokrit 27.6 % (↓) 37 – 47 %

Leukosit 10.900/ μL (↑) 5.000 – 10.000/ μl

Trombosit 513.000/ μL (↑) 150.000 – 450.000/ μL

Tes Widal

Titer O H

S. typhosa 1/80 1/80

S. paratyphosa A - -

S. paratyphosa B - 1/160

S. paratyphosa C - -

Pemeriksaan laboratorium tanggal 10 Juni 2014 (RSUD Budhi Asih) :

Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Normal

Hematologi

Leukosit 10.8 ribu/ μL (↑) 5 - 14.5/ μL

Eritrosit 4.8 juta/ μL 3.7 - 5.7/ μL

Hemoglobin 8.8 g/dL (↓) 10.8 – 12.8 g/dL

Hematokrit 29 % (↓) 31 – 43 %

Trombosit 555 ribu/ μL (↑) 229 – 553 ribu/ μL

LED 50 mm/jam (↑) 0-10 mm/jam

MCV 62.0 fl (↓) 72 – 88 fl

MCH 18.6 pg (↓) 23 – 31 pg

MCHC 30.0 g/dL (↓) 32 – 36 g/dL

RDW 18.2 % (↑) <14

13

Page 15: Monica Raharjo_Presentasi Kasus 1_Decompensatio Cordis

Hitung jenis

Basofil

Eosinofil

Netrofil batang

Netrofil segmen

Limfosit

Monosit

2 % (↑)

2 %

0 % (↓)

42 %

50 %

4 %

0-1 %

1-5 %

3-6 %

25-60 %

25-50 %

1-6 %

Glukosa Darah Sewaktu 118 mg/dL (↑) 52-98 mg/dL

Elektro lit Serum

Natrium (Na) 143 mmol/L 135-155 mmol/L

Kalium (K) 4.3 mmol/L 3.6-5.5 mmol/L

Klorida (Cl) 113 mmol/L (↑) 98-109 mmol/L

ASTO Negatif < 200 IU/mL

CRP Kuantitatif 15 mg/L (↑) < 5 mg/L

B. Pemeriksaan Radiologi

Foto thoraks tanggal 10 Juni 2014 :

Kesan: Kardiomegali, edema pulmonal, hilus melebar dan menebal, tulang-tulang intak

14

Page 16: Monica Raharjo_Presentasi Kasus 1_Decompensatio Cordis

C. Pemeriksaan Elektrokardiografi

EKG tanggal 10 Juni 2014 :

Interpretasi EKG:

1. Rate: 300 ÷ 2 kotak besar = 150x/menit, takikardia.

2. Irama sinus normal: Gelombang P defleksi positif pada sandapan II dan aVF dan

defleksi negative pada sandapan aVR. Gelombang P selalu diikuti oleh gelombang

QRS.

3. Gelombang P: Gelombang P hilang pada sandapan aVL.

4. Interval PR: 0.08 detik (2 kotak kecil), tidak memanjang.

5. Gelombang QRS: 0.04 detik (1 kotak kecil), tidak memanjang.

6. Segmen ST: ST depresi pada sandapan V4-V6.

7. Gelombang T: Gelombang T terbalik pada sandapan II, V1-V6.

8. Tidak ditemukan tanda hipertrofi ventrikel kanan pada EKG berupa: upright T

waves pada sandapan V1, RSR’ pattern pada sandapan V1, atau pure R wave pada

sandapan V1.(2)

9. Ditemukan tanda hipertrofi ventrikel kiri pada EKG berupa intersection of R wave

in V6 with baseline of lead V5.(2)

10. Aksis jantung normal karena gelombang QRS defleksi positif pada sandapan I dan

sandapan aVF.

IV. RESUME

Anak SDL, perempuan, usia 4 tahun 9 bulan datang ke Poliklinik Anak RSUD Budhi

Asih bersama kedua orang tuanya dengan keluhan sesak napas sejak kurang lebih dua

minggu sebelum masuk rumah sakit. Napas lebih cepat dari biasanya dan pasien terlihat

“ngos-ngosan” seperti orang yang kecapaian. Sesak lebih jelas setelah beraktivitas. Sesak

15

Page 17: Monica Raharjo_Presentasi Kasus 1_Decompensatio Cordis

tidak dipengaruhi posisi berbaring. Selain keluhan sesak napas pasien juga jantungnya

berdebar-debar, nyeri pada ulu hati, lebih lemas dari biasanya, napsu makan berkurang, berat

badan menurun sebanyak 2 kg, dan kedua kaki terasa dingin. Batuk, mengi, demam, bengkak

pada kaki atau kelopak mata, dan biru pada bibir atau jari-jari disangkal. Pasien memiliki

riwayat nyeri dada dan kurang darah setahun sebelum masuk rumah sakit. Riwayat asma dan

ISPA (demam disertai batuk-pilek dan nyeri tenggorokan) disangkal. Tidak ada masalah

selama masa kehamilan maupun persalinan. Imunisasi dasar lengkap. Perkembangan baik dan

sesuai usia. Pasien sulit makan sehingga asupan serat dan protein kurang. Riwayat penyakit

kelainan jantung bawaan di keluarga disangkal. Kontak TB positif dimana lingkungan tempat

tinggal pasien padat penduduk dan tetangga pasien menderita TB paru.

Dari pemeriksaan fisik yang dilakukan didapatkan pasien keadaan umum sakit

sedang, compos mentis, dan status gizi kurang berdasarkan data antropometri dan grafik CDC

2000. Pemeriksaan tanda vital didapatkan hipertensi tingkat II, takikardia, takipnue, dan suhu

tidak febris. Kelainan yang ditemukan pada pemeriksaan fisik status generalis lainnya berupa

konjungtiva anemis, ictus cordis terlihat dan teraba pada ICS VI 1 cm lateral dari linea

midklavikularis kiri, terdengar BJ III dan gallop dengan punctum maksimum di katub mitral,

ekstremitas inferior teraba dingin, dan kuku serta jaringan dasar kuku tampak pucat.

Dari hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan anemia mikrositik hipokrom

(ditandai penurunan hemoglobin, hematokrit, MCV, MCH, serta MCHC), peningkatan

penanda inflamasi (LED dan CRP kuantitatif meningkat), hiperglikemia, dan ASTO yang

negatif. Dari foto thoraks didapatkan gambaran kardiomegali, edema pulmonal, serta hilus

yang melebar dan menebal. Dari pemeriksaan EKG yang dilakukan didapatkan irama sinus,

sinus takikardia, gambaran iskemi berupa ST depresi dan gelombang T terbalik pada anterior-

lateral, dan gambaran hipertrofi ventrikel kiri.

V. DIAGNOSIS BANDING

Decompensatio cordis et causa penyakit jantung bawaan non-sianotik

Decompensatio cordis et causa kelainan katup

Decompensatio cordis et causa infark miokard

Decompensatio cordis et causa kardiomiopati

Tuberkulosis paru

Anemia defisiensi besi

16

Page 18: Monica Raharjo_Presentasi Kasus 1_Decompensatio Cordis

Gizi kurang

VI. DIAGNOSIS KERJA

1. Decompensatio cordis et causa suspek penyakit jantung bawaan non-sianotik

2. Anemia mikrositik hipokrom et causa suspek anemia defisiensi besi

3. Gizi kurang

VII. PEMERIKSAAN ANJURAN

Pemeriksaan analisa gas darah

Pemeriksaan sediaan apus darah tepi

Pemerikaan kadar serum Fe dan TIBC

Pemeriksaan fungsi ginjal dan urinalisis lengkap

Pemeriksaan Mantoux/ uji tuberkulin

Pemeriksaan ekokardiografi

VIII. PENATALAKSANAAN

A. Non-Medikamentosa

1. Edukasi terhadap orang tua pasien mengenai kondisi penyakit anak

2. Edukasi terhadap orang tua pasien untuk memantau asupan gizi anak

3. Edukasi terhadap orang tua pasien untuk membatasi asupan garam anak

4. Tirah baring dengan posisi setengah duduk

5. Oksigen 1 liter/ menit melalui nasal kanul

6. Konsultasi bagian gizi untuk perbaikan gizi kurang

B. Medikamentosa

1. Venflon

2. Injeksi furosemid 2 x 10 mg

3. Captopril 3 x 3 mg

4. Paracetamol 100 mg prn bila S ≥ 38.0°C

IX. PROGNOSIS

Ad Vitam : Dubia ad bonam

17

Page 19: Monica Raharjo_Presentasi Kasus 1_Decompensatio Cordis

Ad Functionam : Ad malam

Ad Sanationam : Dubia ad malam

X. FOLLOW-UP

Tgl S O A P

11/6

/14

- Sesak

napas (+)

- Jantung

berdebar

(+)

- Anak

lemas (+)

- Makan

masih

sulit

- BAB (-)

selama 3

hari

- BAK (+)

tidak ada

keluhan

- Bengkak

(-)

- Biru (-)

- Demam

(-)

CM/ TSS

TD 110/80 (HT tingkat I)

N 126 x/m (takikardia)

S 37.4°C

RR 51 x/m (takipnue)

Kepala: Normosefali

Mata: CA +/+, edema (-)

Hidung: Terpasang nasal

kanul

Mulut: Sianosis (-), caries

(+) 2 gigi incisivus depan,

tonsil T2-T2 kripta lebar

Leher: KGB dan tiroid tidak

teraba, JVP 5+1.5 cm H2O

Jantung: BJ I-II reguler, BJ

III (+), ictus cordis teraba

ICS 6 1cm lateral linea

midklavikularis kiri, gallop

(+) punctum maksimum

katub mitral

Paru: SNV +/+, rh -/-, wh -/-

Abdomen: Datar, supel, BU

(+) 3x/1m, turgor baik, NT

(-), hepar dan lien tidak

teraba, perkusi timpani

Ekstremitas: Ext inferior

teraba dingin, CRT < 2”,

1. Decompensatio

cordis ec

suspek PJB

non-sianotik

2. Anemia

mikrositik

hipokrom ec

suspek

defisiensi besi

3. Gizi kurang

- O2 1L/ menit via

nasal kanul

- Venflon

- Inj. Furosemide 2 x

10 mg

- Captopril 3 x 3 mg

- PCT 100 mg prn bila

S ≥ 38.0°C

- Transfusi PRC 50 cc,

periksa Hb post-

transfusi

- Diet (hasil konsultasi

bagian gizi): bubur

saring 4 x 200 kkal,

bila toleransi selama

3 hari baik 4 x

250 kkal, minum 600

cc/ 24 jam

18

Page 20: Monica Raharjo_Presentasi Kasus 1_Decompensatio Cordis

kuku pucat, edema (-)

12/6

/14

- Sesak

napas ↓

- Jantung

berdebar

(+)

- Anak

lemas ↓

- Makan

masih

sulit

- BAB (-)

selama 4

hari

- BAK (+)

tidak ada

keluhan

- Bengkak

(-)

- Biru (-)

- Demam

(-)

CM/ TSS

TD 110/60 (HT tingkat I)

N 133 x/m (takikardia)

S 37.5°C

RR 62 x/m (takipnue)

Kepala: Normosefali

Mata: CA -/-, edema (-)

Hidung: Terpasang nasal

kanul

Mulut: Sianosis (-), caries

(+) 2 gigi incisivus depan,

tonsil T2-T2 kripta lebar

Leher: KGB dan tiroid tidak

teraba, JVP 5+2 cm H2O

Jantung: BJ I-II reguler, BJ

III (+), ictus cordis teraba

ICS 6 1cm lateral linea

midklavikularis kiri, gallop

(+) punctum maksimum

katub mitral

Paru: SNV +/+, rh -/-, wh -/-

Abdomen: Datar, supel, BU

(+) 8x/1m, turgor baik, NT

(-), hepar dan lien tidak

teraba, perkusi timpani

Ekstremitas: Ext inferior

teraba dingin, CRT < 2”,

kuku tidak pucat, edema (-)

Lab (11/6 post trf PRC):

- Leuko: 10.5 rb/ul (↑)

- Eri: 5.6 jt/ul

1. Decompensatio

cordis ec

suspek PJB

non-sianotik

2. Anemia

mikrositik

hipokrom ec

defisiensi besi

post transfusi

PRC

3. Gizi kurang

- O2 1L/menit via

nasal kanul

- Venflon

- Inj. Furosemide 2 x

10 mg

- Captopril 3 x 3 mg

- PCT 100 mg prn bila

S ≥ 38.0°C

- Digoxin 0.0625 mg 8

jam pertama, 0.0625

mg 12 jam kemudian,

2-10 mg dosis

rumatan

- Feris syrup 2 x 5 ml

19

Page 21: Monica Raharjo_Presentasi Kasus 1_Decompensatio Cordis

- Hb: 11.2 g/dl

- Ht: 36%

- Trombo: 575 rb/ul (↑)

- MCV: 575 rb/ul (↓)

- MCH: 20.0 pg (↓)

- MCHC: 30.8 g/dl (↓)

- RDW: 21.1 % (↑)

- Ur/ Cr: 27/ 0.50 mg/dl

- Urin lengkap: warna

kuning, jernih, glukosa (-),

bilirubin (-), keton (-), pH

5.5, BJ 1.025, albumin (-),

urobilinogen 0.2, nitrit (-),

darah (-), esterase leukosit

+1

- Sedimen urin: leukosit 4-

5/lpb, eritrosit 0-1/lpb,

epitel (+), silinder (-),

kristal ca oxalate (+),

bakteri (-), jamur (-)

- Fe/ TIBC: 21 (↓) / 357

mcg/dl

- Sat. transferin: 5.88% (↓)

- SADT: kesan anemia

mikrositik hipokrom

sesuai dengan anemia

defisiensi Fe,

trombositosis

13/6

/14

- Sesak

napas (-)

- Jantung

berdebar

CM/ TSS

TD 120/60 (HT tingkat II)

N 92 x/m

S 37.5°C

1. Decompensatio

cordis ec

kardiomiopati

dilatasi

- O2 stop

- Furosemide 3 x 5 mg

- Spironolakton 1 x

12.5 mg

20

Page 22: Monica Raharjo_Presentasi Kasus 1_Decompensatio Cordis

(+)

- Anak

lemas (-)

- Makan

masih

sulit

- BAB (-)

selama 5

hari

- BAK (+)

tidak ada

keluhan

- Bengkak

(-)

- Biru (-)

- Demam

(-)

RR 32 x/m

Kepala: Normosefali

Mata: CA -/-, edema (-)

Hidung: NCH (-), sekret -/-

Mulut: Sianosis (-), caries

(+) 2 gigi incisivus depan,

tonsil T2-T2 kripta lebar

Leher: KGB dan tiroid tidak

teraba, JVP 5+2 cm H2O

Jantung: BJ I-II reguler, BJ

III (+), ictus cordis teraba

ICS 6 1cm lateral linea

midklavikularis kiri, gallop

(+) punctum maksimum

katub mitral

Paru: SNV +/+, rh -/-, wh -/-

Abdomen: Datar, supel, BU

(+) 6x/1m, turgor baik, NT

(-), hepar dan lien tidak

teraba, perkusi timpani

Ekstremitas: Ext inferior

teraba hangat, CRT < 2”,

kuku tidak pucat, edema (-)

Ekokardiografi (12/06):

Atrial sinus solitus, AV-VA

konkordans, global

hipokinetik, muara vena

sistemik dan pulmonal

normal, katup semilunar

normal, tampak kontraksi

jantung kurang baik, tampak

MR ringan dengan jet di

2. Anemia

mikrositik

hipokrom ec

defisiensi besi

3. Gizi kurang

- Digoksin 2 x 50 mcg

- Feris syrup 2 x 5 ml

- Ulang ekokardiografi

2 minggu

21

Page 23: Monica Raharjo_Presentasi Kasus 1_Decompensatio Cordis

tengah, tidak tampak VSD/

ASD/ PDA, arkus aorta di

kiri tidak ada koarktasio.

Fungsi kontraksi LV

menurun, LVEF 47-49%.

Kesimpulan: kardiomiopati

dilatasi.

14/6

/14

- Sesak

napas (-)

- Jantung

berdebar

(+)

- Anak

lemas (-)

- Makan

masih

sulit

- BAB (-)

selama 6

hari,

kentut (+)

- BAK (+)

tidak ada

keluhan

- Bengkak

(-)

- Biru (-)

- Demam

(-)

CM/ TSS

TD 120/80 (HT tingkat II)

N 120 x/m (takikardia)

S 37.6°C (subfebris)

RR 56 x/m (takipnue)

Kepala: Normosefali

Mata: CA -/-, edema (-)

Hidung: NCH (-), sekret -/-

Mulut: Sianosis (-), caries

(+) 2 gigi incisivus depan,

tonsil T2-T2 kripta lebar

Leher: KGB dan tiroid tidak

teraba, JVP 5+2 cm H2O

Jantung: BJ I-II reguler, BJ

III (+), ictus cordis teraba

ICS 6 1cm lateral linea

midklavikularis kiri, gallop

(+) punctum maksimum

katub mitral

Paru: SNV +/+, rh -/-, wh -/-

Abdomen: Datar, supel, BU

(+) 8x/1m, turgor baik, NT

(-), hepar dan lien tidak

teraba, perkusi timpani

Ekstremitas: Ext inferior

1. Decompensatio

cordis ec

kardiomiopati

dilatasi dd/ TB

jantung

2. Anemia

mikrositik

hipokrom ec

defisiensi besi

3. Gizi kurang

- Furosemide 3 x 5 mg

- Spironolakton 1 x

12.5 mg

- Digoksin 2 x 50 mcg

- Feris syrup 2 x 5 ml

- Ulang ekokardiografi

2 minggu

- KDT OAT TB anak

1 x 2 tab

o INH 50 mg

oRIF 75 mg

oPZA 150 mg

- ETB 2 x 100 mg

22

Page 24: Monica Raharjo_Presentasi Kasus 1_Decompensatio Cordis

teraba dingin, CRT < 2”,

kuku tidak pucat, edema (-)

Mantoux test: Indurasi (+)

setelah 72 jam dengan

diameter 13 mm (+)

Scoring TB:

- Kontak TB = 2

- Uji tuberkulin = 2

- BB/ gizi = 1

- Demam = 0

- Batuk = 0

- Pembesaran KGB = 0

- Pembengkakan tulang/

sendi = 0

- Foto thoraks = 0

+ Skor total = 6

Ekokardiografi tanggal 12 Juni 2014 :

23

Page 25: Monica Raharjo_Presentasi Kasus 1_Decompensatio Cordis

24

Page 26: Monica Raharjo_Presentasi Kasus 1_Decompensatio Cordis

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

GAGAL JANTUNG PADA ANAK

Gagal jantung pada anak merupakan suatu kedaan patologis dengan etiologi yang

beragam dan manifestasi klinis yang beragam. Pada semua sindroma gagal jantung, baik pada

dewasa maupun pada anak, terdapat satu mekanisme patofisiologis yang sama yaitu adanya

suatu cardiac injury dapat bersifat kongenital atau didapat yang mengaktivasi jalur

kompensasi sehingga menimbulkan perjalanan penyakit yang kronik-progresif yang bila tidak

segera ditangani dapat mempercepat kematian.(3)

I. DEFINISI

Gagal jantung ialah suatu keadaan dimana cardiac output atau curah jantung tidak

cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolik tubuh.(3,4) Dengan berjalannya waktu,

penurunan curah jantung tersebut akan mengaktifkan berbagai respons kompensasi tubuh

yang tujuannya ialah untuk mengembalikan sirkulasi dan keadaan hemodinamik tubuh yang

normal sehingga perfusi ke organ dan jaringan tubuh dapat tercukupi. Dengan pengertian

definisi tersebut diatas maka gagal jantung bukanlah suatu penyakit namun suatu keadaan

sakit yang timbul akibat adanya penyakit jantung yang kronik dan progresif.(3) Gagal jantung

dapat didefinisikan sebagai sindrom klinis dimana jantung tidak mampu memompakan darah

dalam jumlah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan tubuh, memberikan venous return

yang cukup, atau kombinasi dari kedual hal tersebut.(5) Definisi lain dari gagal jantung ialah

sindrom klinis dan patofisiologis yang progresif disebabkan oleh kelainan kardiovaskular

maupun non-kardiovaskular yang mengakibatkan timbulnya gejala dan tanda berupa edema,

gangguan pernapasan, gagal tumbuh, dan intoleransi aktivitas fisik yang disertai kekacauan

sistem sirkulasi, neurohumoral, serta molekuler.(6)

II. EPIDEMIOLOGI

Insidensi dan prevalensi gagal jantung pada anak secara global tidak diketahui. Hal ini

karena belum ada klasifikasi universal untuk kasus-kasus gagal jantung. Namun, secara

umum diketahui bahwa kasus gagal jantung pada anak yang terbesar ialah akibat penyakit

jantung bawaan/ congenital malformation, dimana 15-20% anak yang menderita kelainan

struktural jantung akan berkembang menjadi suatu gagal jantung bila tidak ditangani segera.

25

Page 27: Monica Raharjo_Presentasi Kasus 1_Decompensatio Cordis

Gagal jantung pada anak juga sering diakibatkan oleh kardiomiopati. 40% pasien dengan

kardiomiopati akan berkembang menjadi suatu gagal jantung. Pasien anak dengan gagal

jantung merupakan 50% dari anak-anak yang didaftarkan untuk menjalani transplantasi

jantung.(3) Penyebab tersering gagal jantung pada anak ialah kelainan kongenital jantung/

penyakit jantung bawaan, kardiomiopati, dan demam rematik. Di Amerika Serikat, kurang

lebih 12.000 hinggal 35.000 anak dibawah usia 19 tahun menderita gagal jantung yang

disebabkan oleh penyakit jantung bawaan atau kardiomiopati.(6)

III. ETIOLOGI

Pada dewasa, gagal jantung biasanya diakibatkan oleh kontraktilitas otot jantung yang

berkurang akibat iskemia otot jantung karena penyakit jantung koroner; namun pada anak,

gagal jantung biasanya diakibatkan oleh penyakit jantung yang meningkatkan beban awal

jantung (excessive preload), yang menyebabkan gangguan irama jantung (abnormal rhythm),

atau yang menyebabkan berkurangnya kontraktilitas otot jantung (decreased contractility).(3)

Etiologi dari gagal jantung dapat dibagi menjadi penyebab yang berhubungan dengan

kelainan jantung/ cardiac dan penyebab yang tidak berhubungan dengan kelainan jantung/

non-cardiac. Penyebab yang berhubungan dengan kelainan jantung/ cardiac dapat dibagi lagi

menjadi dua kelompok yaitu yang kelainan jantungnya merupakan kelainan struktural

(biasanya sifatnya kongenital) dan yang kelainan jantungnya bukan merupakan kelainan

struktural: (3)

Etiologi gagal jantung cardiac dapat dibagi menjadi kelainan jantung bawaan dan

kelainan jantung yang didapat: (5)

26

Page 28: Monica Raharjo_Presentasi Kasus 1_Decompensatio Cordis

Secara garis besar terdapat 4 faktor yang dapat menyebabkan terjadinya gagal jantung

yaitu gangguan pada beban volume (preload), beban tekanan (afterload), gangguan fungsi

jantung, dan denyut jantung.(5)

1. Kelainan jantung dengan excessive preload:

Kelainan struktural jantung dengan left-to-right shunt dapat mengakibatkan gagal

jantung karena excessive preload dalam hal ini, darah dari ventrikel kiri mengalir ke

ventrikel kanan dan menimbulkan beban volume. Beban volume ini meningkatkan

tekanan pengisian ventrikel serta meningkatkan sirkulasi pulmonal sehingga dapat

berakibat edema paru. Resistensi pembuluh darah paru berkurang secara relatif

terhadap resistensi pembuluh darah sistemik sehingga aliran darah/ sirkulasi pulmonal

meningkat. Aliran darah balik dari sirkulasi pulmonal yang berlebih ke atrium kiri

27

Page 29: Monica Raharjo_Presentasi Kasus 1_Decompensatio Cordis

menimbulkan beban volume sehingga dapat menyebabkan kegagalan ventrikel kiri

dan akhirnya gagal jantung. Kelainan kongenital jantung dengan left-to-right shunt

seperti VSD (ventricular septal defect) serta PDA (patent ductus arteriosus).(3)

Kelainan katup, baik yang didapat maupun yang kongenital, juga dapat meningkatkan

beban volume jantung. Kelainan katup yang paling sering ialah mitral regurgitasi dan

aorta regurgitasi.(3)

Kelainan jantung yang meningkatkan beban volume ventrikel kanan jarang berakibat

gagal jantung pada usia dini, dibandingkan kelainan jantung yang meningkatkan

beban volume ventrikel kiri. Ini karena ventrikel kanan miliki komplians yang lebih

tinggi dibandingkan ventrikel kiri sehingga dapat menampung kelebihan volume

darah tanpa peningkatan signifikan dari tekanan ventrikel tersebut.(3)

2. Kelainan jantung dengan decreased preload:

Kelainan jantung yang tidak disertai oleh peningkatan beban volume jantung/ preload

juga dapat menyebabkan gagal jantung. Salah satu contohnya ialah perikarditis

konstriktif. Pada perikarditis konstriktif, terjadi penurunan beban awal jantung/

decreased preload sehingga curah jantung juga menurun. Penyebab dari perikarditis

konstriktif ialah infeksi bakteri dari pericardium (infeksi stafilokokus) serta riwayat

penyinaran thoraks pada penderita yang menjalani terapi untuk kanker, kedua hal ini

dapat menyebabkan fibrosis dari otot jantung.(3)

3. Kelainan jantung dengan excessive afterload:

Lesi obstruktif terhadap jantung kiri seperti mitral stenosis, aorta stenosis, dan

koarktasio aorta menyebabkan meningkatnya afterload jantung sehingga berakibat

gagal jantung.(3)

4. Gangguan kontraktilitas jantung:

Kardiomiopati merupakan suatu penyakit genetik atau didapat yang terjadi pada 1.13

dari 100.000 anak. Manifestasi klinis utama dari kardiomiopati ialah gagal jantung,

kadang pasien juga datang dengan keluhan disritmia. Kardiomiopati dibagi menjadi

beberapa tipe antara lain kardiomiopati dilatasi, kardiomiopati hipertrofi,

kardiomiopati konstriktif, dan kardiomiopati restriktif.(3)

Kardiomiopati dilatasi: Ditandai oleh pembesaran ventrikel dan gangguan

fungsi sistolik serta diastolik. Penyebab dari kardiomiopati dilatasi biasanya

tidak diketahui/ unknown diduga karena abnormalitas genetik dari protein otot

28

Page 30: Monica Raharjo_Presentasi Kasus 1_Decompensatio Cordis

jantung atau kanal ion, namun bisa juga disebabkan oleh infeksi (miokarditis),

cedera tindakan operasi, kemoterapi dengan antrasiklin, atau sebagai akibat

dari penyakit degeneratif.(3, 7)

Kardiomiopati restriktif: Biasanya idiopatik atau dapat disebabkan oleh

hemokromatosis atau penyakit Pompe. Tanda khas dari kardiomiopati

restriktif ialah gangguan fungsi diastolic. Dari pemeriksaan ekokardiografi

akan didapatkan Mickey Mouse appearance of the heart yaitu terdapat

pembesaran atrium tanpa disertai hipertrofi ventrikel.(3)

Kardiomiopati hipertrofi: Jarang ditemukan sebagai penyebab gagal jantung

pada anak dan berhubungan dengan stenosis subaorta yang idiopatis.(3)

5. Aritmia jantung:

Aritmia dapat menyebabkan gagal jantung bila denyut jantung terlalu cepat atau

terlalu lambat. Pada takikardia, waktu pengisian/ diastolik berkurang sehingga

akhirnya curah jantung berkurang. Hal ini terjadi beberapa jam setelah

supraventrikular takikardia yang signifikan. Pada bradikardia yang kronik dapat

terjadi pembesaran ventrikel kiri untuk mengakomodasi stroke volumes yang lebih

besar. Gagal jantung terjadi bila fungsi jantung yang terganggu tidak dapat

dikompensasi dengan peningkatan denyut jantung.(3)

IV. PATOFISIOLOGI

Jantung merupakan organ pertama yang mengalami perkembangan dan kemudian

menjadi fungsional di dalam kandungan. Sel-sel kardiogenik menyatu dan membentuk heart

tube yang kemudian akan dilapisi oleh miokardium dan mulai berdetak pada usia gestasi 3

minggu. Setelah itu jantung akan mengalami proses pembentukan sekat dan katup seiring

dengan pembentukan arteri koronaria dan sistem konduksi. Jantung terbentuk sempurna pada

usia gestasi 10 minggu. Walaupun bentuk jantung sudah menyerupai bentuk jantung dewasa,

namun secara fisiologis sangat berbeda dengan jantung dewasa. Jantung janin yang masih

dalam kandungan memiliki miosit yang kurang kontraktil dibandingkan dewasa sehingga

mekanisme utama untuk meningkatkan curah jantung ialah dengan meningkatkan denyut

nadi. Selain itu sistem sirkulasi pada janin dalam kandungan ialah yang disebut parallel

circulation dimana kedua ventrikel memompa darah secara bersamaan: ventrikel kanan

memompa darah ke duktus arteriosus, tubuh bagian bawah, dan plasenta sedangkan ventrikel

29

Page 31: Monica Raharjo_Presentasi Kasus 1_Decompensatio Cordis

kiri memompa darah ke kepala dan tubuh bagian atas. Dengan adanya parallel circulation

maka bila terjadi suatu kelainan struktural jantung masih dapat ditoleransi in utero.(6)

Patofisiologi gagal jantung berawal dari curah jantung yang tidak adekuat untuk

memenuhi perfusi jaringan dan kebutuhan metabolik jaringan. Kebutuhan jaringan yang tidak

terpenuhi akan mengakitvasi sistem renin-aldosteron-angiotensin, sistem saraf simpatis,

proses inflamasi yang diinduksi oleh sitokin, serta kaskade yang akan menyebabkan cachexia

atau hilangnya massa tubuh. Selain itu, curah jantung akan menyebabkan produksi metabolit

pada organ dan jaringan meningkat. Produksi metabolit tersebut akan menyebabkan

vasodilatasi lokal sehingga terjadi penurunan tekanan darah yang akan mengaktivasi sistem

renin-aldosteron-angiotensin. Aktivasi sistem renin-aldosteron-angiotensin akan

menyebabkan retensi cairan melalui ginjal dan meningkat resistensi vascular sistemik.

Aktivasi sistem saraf simpatis akan berakibat takikardia serta meningkatnya kontraktilitas

otot jantung/ miokard.(3)

Efek dari penurunan curah jantung yang telah dijelaskan diatas awalnya membantu

meningkatkan curah jantung serta mempertahankan tekanan darah sehingga tidak timbul

keluhan maupun gejala klinis. Namun karena penyebab gagal jantung belum teratasi, maka

peningkatan kerja otot jantung dan peningkatan konsumsi oksigen oleh otot jantung dalam

jangka waktu yang lama akhirnya justru menyebabkan terjadinya cardiac remodeling/

30

Page 32: Monica Raharjo_Presentasi Kasus 1_Decompensatio Cordis

remodeling jantung. Remodeling jantung merupakan suatu transformasi struktural jantung

dimana jantung yang normalnya berbentuk elips meningkat dalam massa dan ukuran

sehingga bentuk jantung menjadi sferis. Peningkatan massa otot jantung disebut sebagai

hipertrofi otot jantung yang maladaptif. Hal yang terjadi pada cardiac remodeling ialah

peningkatan komponen miofibriler dari sel otot jantung/ miosit (bukan pembentukan miosit

baru), peningkatan myocyte/ capillary ratio, serta aktivasi dan proliferasi sel jantung non-

miosit sehingga terbentuk jaringan parut pada otot jantung. Proses cardiac remodeling yang

terjadi merupakan suatu proses yang akhirnya berakibat jantung dengan kontraktilitas yang

buruk serta komplians yang buruk (poorly contractile and less compliant). Akibat dari

remodeling jantung ialah meningkatnya tekanan pengisian jantung sehingga dapat terjadi

edema paru ataupun edema sistemik, hipoksia akibat redistribusi darah, penumpukan asam

laktat pada jaringan akibat metabolism anaerob, serta cachexia akibat proses katabolik yang

melebihi proses anabolik.(3)

Berkurangnya curah jantung juga mengaktifkan mekanisme protektif tubuh yang

dapat menghambat progresivitas gagal jantung. Salah satunya ialah sekresi dari hormon atrial

and brain natriuretic peptide (ANP dan BNP). Sekresi ANP dan BNP terjadi pada keadaan

volume and pressure overload dimana kedua hormon tersebut menyebabkan vasodilatasi

serta meningkatkan dieresis dan dapat mencegah inflamasi kronis, fibrosis otot jantung, serta

hipertrofi otot jantung lebih lanjut.(3)

V. MANIFESTASI KLINIS

Manifestasi klini yang dapat ditemukan pada seorang penderita gagal jantung ialah

tergantung dari usia anak.(4,5) Gejala dan tanda yang khas pada gagal jantung antara lain

adalah gagal tumbuh, gangguan pernapasan, dan intoleransi terhadap aktivitas fisik yang

berlebih.(6)

Pada neonatus, manifestasi klinis tidak terlalu menonjol yaitu hanya berupa gangguan

makan dan menyusui, lebih cepat lelah, penurunan napsu makan karena sekresi hormon

anoreksik yang membatasi volume asupan makanan, dan sesak napas. Pada akhirnya akan

terjadi failure to thrive atau gagalnya tumbuh-kembang pada anak. Dari pemeriksaan fisik

yang dilakukan pada seorang neonatus dapat ditemukan retraksi yang ringan sampai berat,

takipnue atau dispnea, grunting (karena tekanan di akhir respirasi yang positif), takikardia,

irama gallop/ derap pada auskultasi jantung, dan hepatosplenomegali.(3)

31

Page 33: Monica Raharjo_Presentasi Kasus 1_Decompensatio Cordis

Pada anak yang lebih besar, gejala klinis yang dapat ditemukan berupa intoleransi

terhadap aktivitas fisik yang berat (exercise intolerance), anoreksia, cepat lelah dan

mengantuk, sesak napas, batuk-batuk, serta mengi. Dari pemeriksaan fisik dapat ditemukan

takipnue atau dispnea, takikardia, irama gallop pada auskultasi jantung, ronki atau wheezing

pada auskultasi paru, hepatosplenomegali, edema perifer, serta distensi vena jugularis.(3)

Irama derap terjadi bila bungi jantun III dan/ atau bunyi jantung IV terdengar keras

dan disertai oleh takikardia, sehingga terdengar seperti derap kuda yang berlari. Irama derap

yang terdiri dari bunyi jantung I, II, dan III disebut irama derap protodiastolik, sedangkan

irama derap yang terdiri dari bunyi jantung IV, I, dan II disebut irama derap presistolik. Bila

irama derap terdiri dari bunyi jantung I, II, III, dan IV disebut irama derap sumasi. Bunyi

jantung III merupakan bunyi jantung bernada rendah yang terdengat 0.10 sampai 0.12 detik

setelah bunyi jantung II, terdengar paling baik di apeks atau parasternal kiri bawah, dan lebih

jelas bila pasien miring ke kiri. Bunyi jantung III ini timbul akibat deselerasi darah pada akhir

pengisian cepat ventrikel pada saat fase diastole. Bunyi jantung III akan terdengar keras bila

pengisian ventrikel bertambah yaitu pada dilatasi ventrikel. Bunyi jantung IV, disebut juga

bunyi atrium, merupakan bunyi jantung bernada rendah yang timbul akibat deselerasi darah

pada saat pengisian ventrikel oleh atrium. Beda dengan bunyi jantung III, bunyi jantung IV

terdengar sesaat sebelum bunyi jantung I. Bunyi jantung IV timbul pada keadaan patologis

seperti dilatasi ventrikel, hipertrofi ventrikel, dan fibrosis miokardium.(7)

VI. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk mengevaluasi pasien dengan

klinis gagal jantung ialah pemeriksaan darah, pulse oximetry, elektrokardiografi, foto thoraks,

dan ekokardiografi.(3) Dari pemeriksaan penunjang darah seringkali ditemukan adanya

anemia.(4) Pemeriksaan elektrokardiografi dapat digunakkan untuk menentukan tipe defek dan

menilai fungsi ventrikel apakah terdapa hipertrofi atau tidak. Pemeriksaan foto thoraks dapat

menunjukkan adanya kardiomegali dan bila lebih lanjut dapat tampak kongesti vena

pulmonalis serta gambaran edema paru. Tidak adanya kardiomegali hampir menyingkirkan

diagnosis gagal jantung, namun bila ditemukan kardiomegali bukan berarti ada gagal jantung.

Beberapa anak dengan penyakit jantung bawaan left-to-right shunt yang besar dapat

menunjukkan kardiomegali tanpa gagal jantung.(4,5) Ekokardiografi dilakukan untuk

mengetahui pembesaran ruang jantung dan etiologi dari gagal jantung.(5) Dengan

32

Page 34: Monica Raharjo_Presentasi Kasus 1_Decompensatio Cordis

ekokardiografi dapat dinilai ukuran dan fungsi dari kedua ventrikel serta dapat dinilai apakah

terdapat kelainan struktural jantung atau tidak.(8)

Pemeriksaan penunjang yang masih kontroversial ialah pemeriksaan kadar brain

natriuretic peptide (BNP) dan N-termila pro-BNP. Dari pemeriksaan kadar BNP dapat

dibedakan apakah gangguan napas disebabkan oleh kelainan jantung atau kelainan respirasi.

Pada penderita gagal jantung akibat kardiomiopati, kadar BNP meningkat dan memiliki

korelasi dengan tingkat keparahan gejala. Kadar BNP > 300 pg/mL berhubungan dengan

prognosis yang lebih buruk termasuk kematian, transplantasi, serta masa rawat inap yang

lebih lama.(8)

VII. BIOMARKER GAGAL JANTUNG

Belakangan ini ditemukan biomarker gagal jantung yang dapat mengevaluasi

keparahan gagal jantung dan memprediksi perjalanan penyakit gagal jantung. Pemeriksaan

kadar hormone BNP dapat membedakan penyakit traktus respiratorius dengan takipnea yang

disebabkan oleh kelainan jantung. Hal ini ialah karena BNP dilepaskan sebagai respons

terhadap atrial stretching, sebagai marker yang sensitive dari disfungsi diastolic. CRP (C-

reactive protein) dan TNF-alpha merupakan marker yang sensitive terhadap inflamasi

sistemik dan berhubungan dengan outcome yang lebih buruk pada penderita gagal ginjal.

CRP dapat mengaktifkan interleukin B dimana interleukin B dapat mengakibatkan kerusakan

miokardium secara langsung. TNF-alfa menekan aktivitas nitric oxide pada endotel

(berfungsi dalam relaksasi endotel) sehingga berperan dalam remodeling ventrikel dan

disfungsi ventrikel.(3)

VIII. DIAGNOSIS GAGAL JANTUNG

Untuk mendiagnosis suatu gagal jantung maka perlu diperhatikan adanya tanda-tanda

yang menunjang sebagai berikut:

Takikardia (denyut jantung > 160 kali/ menit pada anak umur di bawah 12

bulan; > 120 kali/ menit pada umur 12 bulan-5 tahun)

Irama derap dengan crackles/ ronki pada basal paru

Hepatosplenomegali, peningkatan tekanan vena jugularis, dan edema perifer

(tanda kongestif)

Pada bayi: napas cepat (atau berkeringat), terutama saat diberi makanan

33

Page 35: Monica Raharjo_Presentasi Kasus 1_Decompensatio Cordis

Pada anak yang besar: edema kedua tungkai, tangan atau muka, atau pelebaran

vena leher (9)

Klasifikasi yang digunakan untuk gagal jantung ialah klasifikasi Ross, New York

University Pediatric Heart Failure Index, dan Heart Failure Staging System Rosenthal et al.

Klasifikasi NYHA yang digunakan pada gagal jantung dewasa tidak dapat digunakan untuk

pasien anak karena presentasi klinis yang berbeda.(3, 6)

Sistem Skoring Gagal Jantung pada Bayi menurut Ross (5)

0 point 1 point 2 point

Volume sekali minum > 115 cc 75-115 cc < 25 cc

Waktu persekali minum < 40 min > 40 min

Laju napas < 50/ min 50-60/ min > 60/ min

Pola nafas Normal Abnormal

Perfusi perifer Normal Menurun

S3 atau diastolic rumble Tidak ada Ada

Jarak tepi hepar dari batas

costae

< 2 cm 2-3 cm 3 cm

Jumlahkan total point:

- 0-2 point : Tanpa gagal jantung

- 3-6 point : Gagal jantung ringan

- 7-9 point : Gagal jantung sedang

- 10-12 point : Gagal jantung berat

Skor Ross bila disejajarkan dengan klasifikasi New York Heart Association adalah sebagai

berikut: (5, 6)

- Kelas I : Tidak ada pembatasan aktivitas fisik/ asimptomatik

- Kelas II : Takipnea ringan atau bayi saat minum tampak berkeringat

: Pada anak yang lebih besar tampak sesak bila beraktivitas

: Tidak ada gagal tumbuh

- Kelas III : Takipnea tampak jelas atau tampak berkeringat saat minum maupun

aktivitas

: Waktu minum menjadi lebih lama

34

Page 36: Monica Raharjo_Presentasi Kasus 1_Decompensatio Cordis

: Gagal tumbuh sebagai akibat gagal jantung

- Kelas IV : Saat istirahat tampak takipnea, retraksi, grunting, atau berkeringat

IX. TATALAKSANA GAGAL JANTUNG

Tatalaksana dari gagal jantung tergantung dari penyebab gagal jantung serta usia anak

yang menderita gagal jantung. Tujuan dari terapi penderita gagal jantung anak ialah sama

dengan dewasa, sebagai berikut:

Koreksi penyebab mendasar gagal jantung

Meminimalkan morbiditas dan mortalitas dengan menghilangkan gejala kongesti

(baik kongesti paru maupun sistemik)

Memperbaiki penampilan/ fungsi miokard

Menghilangkan faktor pencetus

Meningkatkan quality of life (5,8)

Untuk dicapainya tujuan tersebut maka dibuatlah beberapa rekomendasi oleh International

Society for Heart and Lung Transplantation (ISHLT). Namun, karena sulit untuk dilakukan

penelitian pada anak, maka dari 49 rekomendasi yang dibuat, tidak ada yang sifatnya Level A

(dasar berupa multiple randomized trial), 7 rekomendasi sifatnya Level B (dasar berupa

35

Page 37: Monica Raharjo_Presentasi Kasus 1_Decompensatio Cordis

single randomized trial atau multiple nonrandomized trial), dan sisanya sifatnya Level C

(dasar berupa konsensus).(8) Tabel berikut memuat 7 rekomendasi Level B dari ISHLT:

Salah satu tujuan utama dari pengobatan gagal jantung ialah koreksi penyebab

mendasar gagal jantung. Yang dimaksud ialah seperti tatalaksana dari anemia, hipotiroid,

koreksi dengan pembedahan suatu kelainan struktural jantung seperti VSD/ PDA/ koarktasio

aorta/ obstruksi katup jantung, serta memberikan alat pacu jantung pada pasien dengan blok

jantung atau gangguan konduksi. Bila seorang anak menderita kardiomiopati, tidak ada

pengobatan khusus, namun keperluan untuk dilakukan suatu transplantasi jantung dapat

ditunda dengan tatalaksana secara medikamentosa.(3)

Tatalaksana medikamentosa untuk gagal jantung ialah untuk meningkatkan curah

jantung/ cardiac output, memperbaiki perfusi jaringan, serta meminimalkan kerja jantung.

Yang dimaksud dengan meminimalkan kerja jantung ialah dengan cara menurunkan preload

jantung serta afterload jantung atau dengan inhibisi dari sistem saraf simpatis. Dengan

menurunkan afterload jantung dapat mengurangi tenaga yang dibutuhkan oleh jantung untuk

mengejeksi darah, sedangkan dengan menurunkan preload jantung dapat mencegah pengisian

berlebihan dari jantung yang melebihi volume darah seharusnya.(3)

1. Menurunkan afterload jantung: Untuk menurunkan afterload jantung digunakan obat-

obatan yang dapat menurunkan resistensi pembuluh darah sistemik. Obat-obat yang

dapat digunakan ialah ACE inhibitor (captopril), inhibitor fosfodiesterasi tipe 4

(milrinone), nitrat (nitroprusside), ARB (losartan). Penggunaan obat ARB dapat

menghambat terjadinya fibrosis otot jantung.

36

Page 38: Monica Raharjo_Presentasi Kasus 1_Decompensatio Cordis

2. Menekan aktivitas saraf simpatis: Dapat digunakan obat golongan beta-blocker

(propanolol) untuk menekan aktivitas saraf simpatis. Pada dewasa beta-blocker

merupakan cornerstone daripada terapi gagal jantung, namun pada anak dari

penelitian yang telah dilakukan didapatkan anak yang mendapatkan terapi beta-

blocker tidak menunjukan perbaikan yang signifikan dibandingkan anak yang

mendapat terapi placebo. Pada kelompok anak-anak obat yang sering digunakan ialah

digoksin. Digoksin merupakan agen inotropik oral yang dapat mengahambat aktivitas

sistem saraf simpatis, menurunkan denyut jantung, serta meningkatkan waktu

pengisian jantung. Selain efek inotropik, digoksin juga memiliki efek kronotropik

yaitu menurunkan konduksi jantung. Karena mengalami ekskresi melalui ginjal,

pemberian digoksin perlu dipantai secara ketat terutama pada pasien dengan gangguan

fungsi ginjal.

3. Menurunkan preload jantung: Untuk menurunkan preload jantung dapat digunakkan

diuretik. Preload jantung diturunkan untuk mencegah terjadinya edema paru. Diuretik

yang dapat digunakan antara lain loop diuretik (furosemid), thiazide, dan inhibitor

mineralokortikoid (spironolakton). Diuretik juga menghambat sistem renin-

aldosteron- angiotensin sehingga dapat mencegah remodeling maladaptif serta fibrosis

interstitial.

Pada pasien dengan gagal jantung yang tidak responsive terhadap terapi pilihan terakhir ialah

transplantasi jantung.

X. PROGNOSIS

Prognosis pada pasien gagal jantung bervariasi tergantung dari penyebab gagal

jantungnya. Bila penyebab gagal jantung bukan karena suatu kelainan jantung maka

perbaikan dari gagal jantung dapat terjadi bila tatalaksana penyakit sistemik dilaksanakan

dengan baik. Bila penyebab gagal jantung ialah suatu kelainan struktural jantung maka

koreksi dengan tindakan operasi mungkin dapat bersifat kuratif. Prognosis untuk suatu

kardiomiopati buruk dimana 13% dari pasien dengan diagnosis kardiomiopati dilatasi akan

menjalankan transplantasi jantung dalam waktu 2 tahun setelah diagnosis.(3)

BAB III

ANALISA KASUS

37

Page 39: Monica Raharjo_Presentasi Kasus 1_Decompensatio Cordis

I. ANALISA ANAMNESIS

Kasus yang akan dibahas kali ini mengenai Anak SDL, usia 4 tahun 9 bulan, jenis

kelamin perempuan yang dirawat dengan diagnosis decompensatio cordis.

A. Keluhan Utama dan Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang dengan keluhan sesak napas sejak 2 minggu sebelum masuk rumah

sakit. Sesak napas didefinisikan sebagai perasaan subjektif pernapasan yang tidak nyaman. (10)

Dispnea atau sesak napas ialah karena peningkatan kerja dari otot-otot pernapasan yang

terjadi akibat stimulasi neruroreseptor yang terdapat sepanjang traktus respiratorius atau

stimulasi kemoreseptor baik sentral maupun perifer.(11)

Pada pasien yang datang dengan keluhan sesak napas maka yang harus dilakukan

terlebih dahulu ialah melakukan penilaian terhadap ABC yaitu airway, breathing, dan

circulation apakah stabil atau tidak.(10,11) Pada pasien SDL, didapatkan tidak ada gangguan

pada ABC dan pasien relatif stabil. Hal ini terlihat dari pasien yang berobat ke poliklinik anak

bukan ke IGD.

Setelah memastikan bahwa pasien stabil selanjutnya perlu dipikirkan differential

diagnosis yang mungkin dari dispnea.

38

Page 40: Monica Raharjo_Presentasi Kasus 1_Decompensatio Cordis

Secara garis besar, etiologi atau diagnosis dari keluhan sesak napas dapat dibagi menjadi tiga

kelompok besar yaitu: gangguan respirasi, gangguan kardiovaskular, serta gangguan

neuropsikiatrik.(11) Namun, pada anak jarang didapatkan sesak napas akibat adanya suatu

gangguan neuropsikiatrik. Untuk dapat membedakan apakah keluhan sesak napas disebabkan

oleh gangguan maka perlu ditanyakan lebih lanjut mengenai keluhan sesak napas yang

dialami oleh pasien.

Pada kasus, pasien mengalami sesak napas berupa pernapasan yang lebih cepat dari

biasanya, dipengaruhi oleh aktivitas seperti naik tangga dan bersepeda, tidak dipengaruhi

oleh posisi, dan tidak disertai oleh bunyi pernapasan yang abnormal. Selain sesak napas juga

didapatkan adanya keluhan tambahan berupa jantung yang berdebar-debar, nyeri ulu hati,

lemas, napsu makan berkurang, berat badan menurun, dan kedua kaki terasa dingin. Keluhan

tambahan berupa batuk, mengi, demam, biru, dan bengkak disangkal. Dari sifat keluhan

sesak napas yang dialami oleh pasien serta keluhan tambahan yang menyertai maka dapat

disimpulkan bahwa kemungkinan besar sesak napas yang dialami oleh pasien ialah akibat

gangguan kardiovaskular. Hal ini karena terdapat tanda klasik gagal sirkulasi berupa

gangguan pernapasan, gagal tumbuh (ditandai berat badan pasien yang berkurang serta

penurunan napsu makan), serta intoleransi terhadap aktivitas fisik (sesak makin jelas setelah

beraktivitas). Selain itu juga didapatkan adanya keluhan tambahan yang mengarah kepada

suatu kelainan kardiovaskular yakni jantung yang berdebar-debar dan kedua kaki terasa

dingin yang menandakan adanya gangguan sirkulasi ke jaringan perifer. Keluhan demam

disangkal menandakan terjadinya sesak napas bukan karena suatu infeksi pada saluran napas

atau paru-paru. Selain itu juga tidak didapatkan keluhan adanya gangguan respirasi seperti

39

Page 41: Monica Raharjo_Presentasi Kasus 1_Decompensatio Cordis

batuk, dan mengi. Dari keluhan utama serta riwayat penyakit sekarang maka dapat ditarik

kesimpulan kemungkinan besar pasien mengalami suatu kegagalan sirkulasi akibat kelainan

dari fungsi jantung sebagai suatu pompa atau suatu kondisi yang disebut sebagai

decompensatio cordis.

Selanjutnya anamnesis dilakukan untuk mencari etiologi dari decompensatio cordis.

Berdasarkan studi epidemiologi penyebab tersering decompensatio cordis pada anak ialah

kelainan penyakit jantung bawaan, kardiomiopati, serta demam rematik.(6)

B. Riwayat Penyakit Dahulu

Dari riwayat penyakit dahulu dapat disingkirkan kemungkinan gangguan pernapasan

lain yang dapat menyebabkan sesak napas yaitu asma. Riwayat asma disangkal, selain itu

sesak napas sebelumnya disangkal, dan sesak napas tidak dicetuskan oleh suatu hal khusus

tertentu.

Yang bermakna dari riwayat penyakit dahulu ialah pada pasien didapatkan ada

riwayat nyeri dada satu tahun yang lalu dan pernah mendapatkan obat Sangobion saat berobat

waktu itu. Keadaan pasien dirasa membaik dengan diberikan obat tersebut. Hal ini

menandakan bahwa kemungkinan besar pasien saat itu menderita anemia defisiensi besi.

Mengingat anemia defisiensi besi merupakan suatu anemia nutrisional maka perlu dicurigai

adanya gangguan asupan makan pada pasien. Anemia dapat merupakan faktor pencetus dari

decompensatio cordis yang akut. Untuk nyeri dada yang dialami oleh pasien belum dapat

disingkirkan bahwa hal tersebut merupakan suatu gejala iskemia miokard.

Riwayat infeksi saluran pernapasan atas sebelumnya dan riwayat sakit tenggorokan

sebelumnya disangkal. Dari pernyataan ini maka kemungkinan besar etiologi decompensatio

cordis bukan demam rematik.

Pasien juga menyangkal pernah mengalami kebiruan pada sekitar mulut atau jari-jari

sehingga bila dicurigai suatu penyakit jantung bawaan maka perlu dicurigai penyakit jantung

bawaan yang asianotik.

C. Anamnesis Lainnya

Riwayat kehamilan dan kelahiran pasien didapatkan kesimpulan bahwa neonatus

cukup bulan dan sesuai dengan masa kehamilan. Maka sebetulnya pasien tidak memiliki

40

Page 42: Monica Raharjo_Presentasi Kasus 1_Decompensatio Cordis

faktor risiko untuk menderita penyakit jantung bawaan antara lain bayi yang lahir prematur.

Selain itu pasien juga tidak memiliki riwayat keluarga untuk penyakit jantung bawaan.

Dari riwayat makanan didapatkan bahwa pasien memang sudah sulit makan sejak

kecil dengan asupan gizi protein serta serat yang kurang. Asupan gizi yang kurang baik

merupakan faktor risiko untuk anemia defisiensi besi.

Riwayat perkembangan pasien baik dan pasien merupakan anak yang aktif. Beberapa

minggu sebelum pasien sakit, pasien sering sekali bermain sepeda. Peningkatan aktivitas ini

merupakan suatu faktor pencetus terjadinya decompensatio cordis akut.

Dari riwayat lingkungan, pasien diketahui memiliki kontak dengan penderita TB yaitu

sang tetangga yang sedang menjalani pengobatan paru-paru selama 6 bulan.

II. ANALISA PEMERIKSAAN FISIK

Dari pemeriksaan fisik yang dilakukan didapatkan pasien keadaan umum sakit

sedang, compos mentis, dan status gizi kurang berdasarkan data antropometri dan grafik CDC

2000. Pemeriksaan tanda vital didapatkan hipertensi tingkat II, takikardia, takipnue, dan suhu

tidak febris. Kelainan yang ditemukan pada pemeriksaan fisik status generalis lainnya berupa

konjungtiva anemis, ictus cordis terlihat dan teraba pada ICS VI 1 cm lateral dari linea

midklavikularis kiri, terdengar BJ III dan gallop dengan punctum maksimum di katub mitral,

ekstremitas inferior teraba dingin, dan kuku serta jaringan dasar kuku tampak pucat.

Hasil pengukuran dan interpretasi data antropometri pasien menunjukkan bahwa

pasien menderita gizi kurang. Gizi kurang selain disebabkan oleh asupan makanan yang

kurang pada anak juga merupakan salah satu tanda dari decompensatio cordis. Pada penderita

decompensatio cordis terjadi aktivasi kaskade yang menyebabkan cachexia atau penurunan

massa tubuh.(3)

Kesimpulan yang dapat ditarik dari hasil pemeriksaan fisik ialah bahwa terdapat tanda

dilatasi ventrikel kiri berupa ictus cordis yang bergeser kearah bawah dan lateral serta BJ III.

Selain itu terdapat tanda-tanda peningkatan aktivitas simpatis berupa hipertensi, takikardia,

serta takipnue. Terdapat juga tanda penurunan fungsi ventrikel kiri yang ditandai oleh

ekstremitas inferior yang teraba dingin. Namun, tidak terdapat tanda penurunan fungsi

ventrikel kanan berupa kongesti. Tanda-tanda kongesti yang tidak ditemukan pada pasien ini

antara lain adalah peningkatan tekanan vena jugularis, hepatomegali, serta edema perifer

(pada tungkai atau kelopak mata). Konjungtiva yang anemis dan kuku serta dasar kuku yang

41

Page 43: Monica Raharjo_Presentasi Kasus 1_Decompensatio Cordis

tampak pucat merupakan tanda anemia. Dari pemeriksaan fisik tidak ditemukan tanda-tanda

infeksi.

III. ANALISA PEMERIKSAAN PENUNJANG

A. Pemeriksaan Laboratorium

Dari hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan hasil-hasil yang menunjang suatu

anemia defisiensi besi antara lain: penurunan hemoglobin, hematokrit, MCV, MCH, serta

MCHC pada pemeriksaan hematologi rutin; gambaran SADT eritrosit yang mikrositik

hipokrom dengan anisositosis dan sel pensil; dan serum Fe yang menurun. Pada pasien TIBC

belum meningkat secara bermakna namun bila dihitung saturasi transferin didapatkan hasil

5.88% sehingga sudah dapat ditegakkan diagnosis anemia defisiensi besi.

Pemeriksaan ureum kreatinin serta urinalisa menunjukkan bahwa fungsi ginjal pasien

masih dalam batas normal.

LED, CRP kuantitatif, serta kadar glukosa yang meningkat merupakan penanda

adanya inflammasi yang kronis.

Pemeriksaan ASTO yang negatif menyingkirkan diagnosis banding decompensatio

cordis akibat demam rematik.

B. Pemeriksaan Elektrokardiografi

Dari pemeriksaan EKG yang dilakukan didapatkan irama sinus, sinus takikardia,

gambaran iskemi berupa ST depresi dan gelombang T terbalik pada anterior-lateral, dan

gambaran hipertrofi ventrikel kiri. Hasil pemeriksaan EKG menyingkirkan gangguan irama

jantung sebagai penyebab dari decompensatio cordis. Karena didapatkan gambaran EKG

hipertrofi ventrikel kiri maka perlu dilakukan pemeriksaan foto thoraks untuk konfirmasi.

C. Pemeriksaan Foto Thoraks

Dari foto thoraks didapatkan gambaran kardiomegali, edema pulmonal, serta hilus

yang melebar dan menebal. Pada anak-anak gambaran hilus yang melebar dan menebal ini

merupakan suatu gambaran foto thoraks yang sugestif TB karena mungkin disebabkan oleh

pembesaran kelenjar hilus.(12) Mengingat kontak TB yang positif serta keadaan pasien yang

gizi buruk, maka pada pasien ini dilakukan uji tuberkulin serta scoring untuk TB.

42

Page 44: Monica Raharjo_Presentasi Kasus 1_Decompensatio Cordis

D. Pemeriksaan Ekokardiografi

Hasil ekokardiografi ialah sebagai berikut ini:

1. Atrial sinus solitus, AV-VA konkordans, global hipokinetik, muara vena sistemik dan

pulmonal normal, katup semilunar normal, tampak kontraksi jantung kurang baik,

tampak MR ringan dengan jet di tengah, tidak tampak VSD/ ASD/ PDA, arkus aorta

di kiri tidak ada koarktasio.

2. Fungsi kontraksi LV menurun, LVEF 47-49%.

3. Kesimpulan: kardiomiopati dilatasi.

Dengan pemeriksaan ekokardiografi maka dapat ditegakkan diagnosis etiologis dari gagal

jantung yang diderita oleh anak. Pemeriksaan ekokardiografi menyingkirkan penyakit jantung

bawaan sebagai diagnosis etiologis. Selain itu dari pemeriksaan ekokardiografi didapatkan

adanya mitral regurgitasi ringan, kemungkinan besar akibat suatu hipertrofi ventrikel kiri.

Juga didapatkan penurunan fungsi kontraksi ventrikel kiri yang menurun dimana LVEF

didapatkan 47-49%. LVEF normal untuk anak rata-rata 66% dengan kisaran 56-78%.(13)

Kesimpulan yang ditarik dari pemeriksaan ekokardiografi ialah bahwa pasien menderita

kardiomiopati dilatasi.

IV. ANALISA DIAGNOSIS

Diagnosis terakhir yang ditegakkan pada pasien ini ialah decompensatio cordis et

causa kardiomiopati dilatasi dd/ TB jantung, anemia mikrositik hipokrom et causa defisiensi

besi, serta gizi kurang. Berikut ialah pembahasan masing-masing diagnosis.

A. Decompensatio Cordis ec Kardiomiopati Dilatasi dd/ TB Jantung

Pada pasien dapat ditegakkan diagnosis dari decompensatio cordis berdasarkan tanda

dan gejala disfungsi jantung menjalankan tugasnya memompa darah ke seluruh tubuh untuk

memenuhi kebutuhan metabolisme dan pertumbuhan anak. Tanda dan gejala tersebut telah

dijelaskan sebelumnya. Pasien menderita decompensatio cordis klasifikasi Ross-NYHA kelas

II.

Etiologi decompensatio cordis ditetapkan sebagai kardiomiopati dilatasi setelah

menyingkirkan etiologi lain yang mungkin antara lain gangguan irama jantung (disingkirkan

oleh hasil pemeriksaan EKG yang menunjukka irama sinus), demam rematik (disingkirkan

43

Page 45: Monica Raharjo_Presentasi Kasus 1_Decompensatio Cordis

oleh hasil pemeriksaan ASTO yang negatif, serta penyakit jantung bawaan, kelainan katup

jantung, dan infark miokard (disingkirkan oleh hasil ekokardiografi). Maka pada pasien ini

ditegakkan etiologi berupa kardiomiopati dilatasi.

Namun pada pasien ini, masih mungkin dipikirkan suatu TB jantung. Hal ini ialah

karena didapatkan gejala TB pada anak berupa napsu makan yang kurang dan berat badan

yang sukar naik dan selama perawatan. Selain itu terdapat kontak TB yang positif dimana

tetangga yang menderita TB paru merupakan orang dewasa yang menjadi sumber penularan.

Faktor risiko untuk penularan antara lain gizi kurang pada pasien serta lingkungan pasien

yang padat penduduk. Adanya infeksi Mycobacterium tuberculosis didukung juga oleh uji

tuberkulin cara Mantoux yang positif dimana setelah 72 jam didapatkan adanya indurasi yang

diameternya 13 mm (lebih dari 10 mm). Uji tuberkulin yang positif menandakan bahwa ada

infeksi TB namun belum tentu sakit TB. Dari pemeriksaan darah didapatkan adanya LED

yang meningkat serta CRP yang meningkat yang merupakan tanda adanya inflammasi kronis

yang dapat diakibatkan oleh infeksi Mycobacterium tuberculosis. Selain itu juga didapatkan

gambaran foto thoraks yang sugestif TB yaitu terdapat pembesaran kelenjar hilus. Dilakukan

skoring TB pada pasien dengan total nilai 6 yang berarti bahwa dapat ditegakkan diagnosis

kerja TB.

B. Anemia Mikrositik Hipokrom ec Defisiensi Besi

Diagnosis anemia mikrositik hipokrom et causa defisiensi besi ditegakkan

berdasarkan anamnesis bahwa pasien kurang asupan besi dari makanan karena memang sulit

makan serta lemah, dan pemeriksaan fisik dimana pasien ditemukan konjungtiva anemis serta

kuku dan jaringan dibawah kuku pucat. Diagnosis pasti anemia mikrositik hipokrom et

defisiensi besi dapat ditegakkan setelah didapatkan kadar Hb, Ht, MCV, MCH, dan MCHC

yang menurun pada pemeriksaan darah, kadar Fe serum yang rendah, saturasi transferin

dibawah 7%, serta gambaran SADT yang mendukung.

C. Gizi Kurang

Diagnosis gizi kurang ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan antropometri yang

dilakukan terhadap pasien dimana bila di interpretasi menggunakan grafik CDC 2000 maka

didapatkan hasil gizi kurang untuk BB/TB.

44

Page 46: Monica Raharjo_Presentasi Kasus 1_Decompensatio Cordis

V. PATOFISIOLOGI PADA PASIEN

45

Page 47: Monica Raharjo_Presentasi Kasus 1_Decompensatio Cordis

VI. ANALISA TATALAKSANA

Pasien Kepustakaan (5,12) Tujuan Tatalaksana

Tirah baring Tirah baring posisi setengah

duduk (bahu dan kepala diangkat

kurang lebih 45 derajat). Sedasi

bila perlu dengan luminal 2-3

mg/kgBB/jam tiap 8 jam selama

1-2 hari pertama atau morfin.

Mengurangi beban pada miokard

dan memperbaiki fungsi paru.

Upaya menghindari faktor

pencetus yang meningkatkan

kebutuhan metabolisme tubuh.

Oksigen 1 liter/

menit melalui

nasal kanul

Oksigen 30-50% dengan

kelembaban tinggi.

Supaya jalan napas tidak kering

dan memudahkan sekresi saluran

napas keluar.

Observasi berat

badan dan tanda

vital

Pemantauan hemodinamik yang

ketat.

Dilakukan selama decompensatio

cordis akut.

Perbaikan gizi Pembatasan cairan dan garam

70-80% dari kebutuhan.

Dilakukan pada gagal jantung berat

untuk mencegah edema.

Venflon Pembatasan cairan. Untuk mencegah edema.

Diuretik:

- Injeksi furosemid

2 x 10 mg

- Furosemide 3 x 5

mg

- Spironolakton 1

x 12.5 mg

Diuretik:

- Furosemid IV

0.5-2mg/kgBB/dosis, 2-4x per

hari

- Furosemide PO

1-2mg/kgBB/dosis, 1-3 dosis

terbagi

- Spironolakton PO

1mg/kgBB/dosis

Untuk mengurangi preload dan

volume overload.

Captopril 3 x 3 mg Captopril 0.3-0.6mg/kgBB/hari

dibagi 2-3 dosis

Captopril sifatnya mixed

vasodilator artinya obat ini

memiliki efek venodilator serta

arteriodilator sehingga dapat

mengurangi preload dan afterload.

46

Page 48: Monica Raharjo_Presentasi Kasus 1_Decompensatio Cordis

PCT 100 mg bila S

≥ 38.0°C

Demam diatasi dengan

antipiretik dan kompres dingin.

Upaya menghindari faktor

pencetus yang meningkatkan

kebutuhan metabolisme tubuh.Transfusi PRC Anemia dikoreksi dengan

transfusi darah.

Digoksin 2 x 50

mcg

Digoksin dosis pemeliharaan 8-

10 mcg/kgBB/hari dalam 2 dosis

terbagi.

Digoksin bersifat inotropik positif

dan kronotropik negatif sehingga

dapat meningkatkan curah jantung.

Feris syrup 2 x 5

ml

Preparat besi dosis 4-6 mg besi

elemental/kgBB/hari dibagi

dalam 3 dosis dan diberikan 2-3

bulan setelah kadar Hb normal.

Supplementasi besi pada anemia

defisiensi besi untuk pembentukan

Hb.

OAT:

- KDT OAT TB

anak 1 x 2 tab

(INH 50 mg, RIF

75 mg, PZA 150

mg)

- ETB 2 x 100mg

Pengobatan OAT pada TB

ekstrapulmonal digunakkan 4-5

OAT selama 2 bulan fase

intensif, dan selanjutnya

digunakkan INH dan rifampisin

hingga genap 9-12 bulan terapi.

Terapi TB jantung fase intensif

digunakkan 4 OAT dengan tujuan

eradikasi kuman Mycobacterium

tuberkulosis.

47

Page 49: Monica Raharjo_Presentasi Kasus 1_Decompensatio Cordis

DAFTAR PUSTAKA

1. Supartha M, Suarta IK, Winaya IBA. Hipertensi pada Anak. Maj Kedok Ind Mei 2009; 59(5):

221-30.

2. Evans WN, Acherman RJ, Mayman GA, Rollins RC, Kip KT. Simplified Pediatric

Electrocardiogram Interpretation. Clinical Pediatrics 2009; 20(10): 1-10.

3. Madriago E, Silberbach M. Heart Failure in Infants and Children. Pediatrics in Review

January 2010; 31(1): 4-12.

4. Bernstein D. Heart Failure. In: Kleigman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF; editors.

Nelson Textbook of Pediatrics. 18th ed. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2007.

5. Madiyono B, Rahayuningsih SE, Sukardi R. Penanganan Penyakit Jantung pada Bayi dan

Anak. In: Utama H, editor. Jakarta: Balai Penerbit FKUI: 2008. p.55-61.

6. Hsu DT, Pearson GD. Heart Failure in Children Part I: History, Etiology, and

Pathophysiology. Circ Heart Fail AHA Journals 2009; 2: 63-70.

7. Latief A, Tumbelaka AR, Matondang CS, Chair I, Bisanto J, Abdoerrachman MH, et al.

Diagnosis Fisis pada Anak. 2nd ed. In: Matondang CS, Wahidayat I, Sastroasmoro S, editors.

Jakarta: CV Sagung Seto; 2009.

8. Hsu DT, Pearson GD. Heart Failure in Children Part II: Diagnosis, Treatment, and Future

Directions. Circ Heart Fail AHA Journals 2009; 2: 490-8.

9. World Health Organization. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit:

Pedoman Bagi Rumah Sakit Rujukan Tingkat Pertama di Kabupaten/ Kota. Jakarta: WHO

Indonesia; 2008. p.120-1.

10. Raftery AT, Lim E, Ostor AJK. Differential Diagnosis. 3rd ed. Edinburh: Churchill

Livingstone Elsevier; 2010. p.109-14.

11. University of British Columbia. Approach to Pediatric Dyspnea. Available at:

http://learnpediatrics.com/body-systems/respiratory-system/approach-to-pediatric-dyspnea/.

Accessed 15 June, 2014.

12. Pusponegoro HD, Hadinegoro SRS, Firmanda D, Tridjaja B, Pudjiadi AH, Kosim MS,

Rusmil K. Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak. 1st ed. Jakarta: Badan Penerbit IDAI;

2005.

13. Park MK. Pediatric Cardiology for Practitioners. Philadelphia: Elsevier Health Sciences;

2008. p.83.

48