Monica Raharjo_Presentasi Kasus 1_Decompensatio Cordis
-
Upload
andreas-ronald -
Category
Documents
-
view
48 -
download
2
description
Transcript of Monica Raharjo_Presentasi Kasus 1_Decompensatio Cordis
LAPORAN KASUS
DECOMPENSATIO CORDIS
Disusun Oleh :
Monica Raharjo
030.09.157
Pembimbing :
Dr. Daniel Effendi, Sp.A
KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK
PERIODE 02 JUNI 2014 – 09 AGUSTUS 2014
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH BUDHI ASIH
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
JAKARTA
2014
BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
RS PENDIDIKAN : RSUD BUDHI ASIH
STATUS PASIEN KASUS I
Nama Mahasiswa : Monica Raharjo Pembimbing : Dr. Daniel Effendi Sp.A
NIM : 030.09.157 Tanda tangan:
IDENTITAS PASIEN
Nama : An. SDL Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 4 tahun 9 bulan Suku Bangsa : Betawi
Tempat / tanggal lahir : Jakarta, 15 Agustus 2009 Agama : Islam
Alamat : Jalan Langgar II RT 011/RW 05, Pendidikan : -
Kelurahan Pondok Bambu, Kecamatan Duren Sawit, Jakarta Timur
IDENTITAS ORANG TUA/ WALI
Ayah: Ibu:
Nama: Tn. AL
Umur: 39 tahun
Alamat: Jalan Langgar II, Duren Sawit
Pekerjaan: Buruh
Penghasilan: Rp. 2.000.000,00
Pendidikan: SD
Suku Bangsa: Betawi
Agama: Islam
Nama: Ny. AS
Umur: 31 tahun
Alamat: Jalan Langgar II, Duren Sawit
Pekerjaan: Kuli cuci gosok
Penghasilan: Rp. Rp. 1.000.000,00
Pendidikan: SMP
Suku Bangsa: Betawi
Agama: Islam
Hubungan dengan orang tua: Pasien merupakan anak kandung.
I. ANAMNESIS
Dilakukan secara alloanamnesis dengan Ny. AS (ibu kandung pasien)
Lokasi : Bangsal lantai V Timur, kamar 515
Tanggal / waktu : 10 Juni 2014 pukul 19.00
1
Tanggal masuk : 10 Juni 2014 pukul 18.00
Keluhan utama : Sesak napas sejak 2 minggu sebelum masuk rumah sakit
Keluhan tambahan : Jantung berdebar, nyeri ulu hati, lemas, napsu makan
berkurang, berat badan menurun, kedua kaki terasa dingin
A. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang berobat ke poliklinik RSUD Budhi Asih diantar oleh kedua orang tua
dengan keluhan sesak napas sejak kurang lebih dua minggu sebelum masuk rumah sakit.
Pasien terlihat bernapas lebih cepat dari biasanya. Setelah beraktivitas seperti naik tangga
atau bersepeda, kesulitan bernapas lebih jelas dimana pasien terlihat “ngos-ngosan” seperti
orang yang kecapaian. Sesak pada posisi tidur dan tidur dengan jumlah bantal yang lebih
banyak dari biasanya disangkal. Namun orang tua pasien mengaku dalam dua minggu
terakhir pasien selalu gelisah saat tidur. Sesak napas tidak disertai bunyi napas yang tidak
normal seperti “grok-grok” atau “ngik-ngik”.
Selain keluhan sesak napas, dalam dua minggu terakhir ini pasien juga jantungnya
berdebar-debar, nyeri pada ulu hati, lemas, napsu makan berkurang, berat badan menurun,
dan kedua kaki terasa dingin. Batuk, mengi, demam, bengkak pada kaki atau kelopak mata,
dan biru pada bibir atau jari-jari disangkal. Keluhan jantung berdebar-debar muncul beberapa
hari sebelum sesak napas. Orang tua pasien merasa denyut jantung anak lebih cepat dan lebih
kuat dari biasanya. Jantung berdebar-debar walaupun tidak sedang melakukan aktivitas.
Kadang orang tua pasien mengaku dapat melihat denyut jantung pada dada kiri pasien di
daerah atas tulang iga terbawah dan dapat merasakan pukulan denyut jantung pasien bila
menggendong pasien. Pasien juga sering mengeluh nyeri perut di daerah ulu hati. Keluhan
tersebut dirasakan terutama pada malam hari (pasien sering terbangun pada malam hari
karena nyeri perut pada ulu hati). Dalam dua minggu terakhir, pasien dirasa lebih lemas dari
biasanya, tidak selincah dan seceria sebelum timbul keluhan jantung berdebar, dan lebih
sering berbaring atau meminta digendong dibandingkan bermain. Sebelum sakit, pasien
setiap pagi menemani sang ibu bekerja dimana (pasien masih dapat naik tangga ke tempat
kerja sang ibu) dan setiap hari bermain sepeda yang baru dibeli 1 bulan yang lalu oleh kedua
orang tua. Napsu makan pasien berkurang, hanya mau makan beberapa suap nasi dan kecap
tanpa lauk dan tidak mau minum susu, namun minum air cukup banyak. Berat badan pasien
2
turun sekitar 1-2 kg dari berat badan sebelum sakit yaitu 13-12 kg. Kedua kaki pasien sering
terasa dingin atau keluar keringat dingin dalam dua minggu terakhir.
Buang air kecil (BAK) tidak ada keluhan, produksi banyak, warna kuning jernih,
tidak nyeri. Pasien belum buang air besar (BAB) selama 2 hari. BAB terakhir sebanyak satu
kali 2 hari yang lalu, kotoran berbentuk namun konsistensi lunak, warna kuning-kecoklatan,
tidak ada darah maupun lendir.
Pasien sebelumnya sudah berobat ke klinik di dekat rumah diberikan obat lambung
serta dirujuk ke puskesmas. Di puskesmas hanya dilakukan pemeriksaan laboratorium
kemudian diberikan anjuran untuk berobat ke RSUD Budhi Asih. Pasien tidak mengalami
perbaikan setelah berobat ke dua tempat tersebut.
B. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien pernah mengalami nyeri dada kurang lebih 1 tahun sebelum masuk rumah sakit
(pada usia 4 tahun). Nyeri dada dirasakan di sebelah kiri dan tidak menjalar. Saat itu pasien
merasa lebih cepat kenyang dan “eneg” setelah makan baru kemudian timbul nyeri dada.
Pasien dibawa berobat ke klinik dan dianjurkan untuk berobat ke puskesmas, kemudian dari
puskesmas pasien dirujuk ke RSUD Duren Sawit. Di RSUD Duren Sawit pasien
mendapatkan obat penambah darah (Sangobion untuk anak) serta obat untuk lambung
(Antasida sirup). Setelah minum kedua obat tersebut pasien dirasa membaik namun keluhan
nyeri dada tidak hilang. Setelah berobat jalan sebanyak tiga kali di RSUD Duren Sawit
(dimana diberikan kedua obat diatas), pasien dianjurkan untuk melakukan foto dada namun
karena prosedur administratif di RSUD dirasa sulit maka pasien berhenti berobat dan beralih
ke pengobatan alternatif berupa urut badan. Setelah beberapa kali urut badan, orang tua
pasien mengaku nyeri dada tidak pernah dikeluhkan pasien, namun pasien beberapa kali
tampak lemas dan tidak mau makan serta sering mengeluh nyeri perut di daerah ulu hati.
Keluhan tersebut dianggap orang tua pasien sebagai sakit lambung biasa karena anak
memang sulit makan.
Riwayat infeksi saluran pernapasan atas (demam, batuk-pilek, sakit tenggorokan)
beberapa minggu/ sebulan sebelum timbul nyeri dada disangkal. Riwayat asma dan penyakit
paru lainnya disangkal. Pada usia 2 tahun 6 bulan pasien pernah mengalami kecelakaan jatuh
dari motor dan terbentur pada dahi, meninggalkan jaringan parut pada alis sebelah kiri. Pada
usia 3 tahun pasien terkena campak. Pada usia 3 tahun 6 bulan pasien pernah mengalami
3
kecelakaan sehingga mata kanan tertusuk dan “robek”, sekarang sudah sembuh sempurna dan
tidak ada keluhan pengelihatan. Beberapa minggu setelah kecelakaan pada mata, pasien
kecelakaan sehingga kuku jempol kaki kanan mengalami timbul “koreng”, sekarang sudah
sembuh namun bentuk kuku tampak bergelombang.
Berikut merupakan tabel ringkasan riwayat penyakit yang diderita oleh pasien:
Penyakit Umur Penyakit Umur Penyakit Umur
Alergi (-) Difteria (-) Penyakit jantung4 tahun 9 bulan
(sekarang)
Cacingan (-) Diare (-) Penyakit ginjal (-)
DBD (-) Kejang (-) Radang paru/ TBC (-)
Otitis (-) Morbili 3 tahun Penyakit darah 4 tahun
Parotitis (-) Operasi (-) Lain-lain: kecelakaan2.5 tahun dan 3.5
tahun
Kesimpulan riwayat penyakit yang pernah diderita : Pasien pernah mengalami nyeri dada
serta mendapatkan pengobatan untuk anemia pada usia 4 tahun. Riwayat penyakit lainnya
tidak berhubungan dengan penyakit sekarang.
C. Riwayat Kehamilan dan Kelahiran
KEHAMILAN
Morbiditas kehamilan Tidak ada
Perawatan antenatal
ANC ke bidan hanya tiga kali selama masa
kehamilan, suntikan TT dua kali pada usia
kehamilan 7 bulan dan 9 bulan
KELAHIRAN Tempat persalinan Rumah bidan
Penolong persalinan Bidan
Cara persalinan Spontan tanpa penyulit
Masa gestasi Cukup bulan
Keadaan bayi Berat lahir: 3100 gr
Panjang lahir: 50 cm
Lingkar kepala: (tidak tahu)
Langsung menangis (+) Kemerahan (+)
Pucat (-) Biru (-) Kuning (-) Kejang (-)
4
Nilai APGAR: (tidak tahu)
Kelainan bawaan: tidak ada
Kesimpulan riwayat kehamilan/ kelahiran : Neonatus Cukup Bulan – Sesuai Masa
Kehamilan.
D. Riwayat Perkembangan
Pertumbuhan gigi I : 7 bulan, gigi pertama yang tumbuh ialah gigi depan rahang atas
Gangguan perkembangan mental : Tidak ada
Psikomotor :
Tengkurap : Umur 3 bulan (Normal: 3-4 bulan)
Duduk : Umur 6 bulan (Normal: 6-9 bulan)
Berdiri : Umur 9 bulan (Normal: 9-12 bulan)
Berjalan : Umur 11 bulan (Normal: 13 bulan)
Bicara : Umur 12 bulan (Normal: 9-12 bulan)
Kesimpulan riwayat perkembangan : Perkembangan baik/ sesuai usia.
E. Riwayat Makanan
Umur (bulan) ASI/PASI Buah / Biskuit Bubur Susu Nasi Tim
0 – 2 ASI - - -
2 – 4 ASI - - -
4 – 6 ASI - + -
6 – 8 ASI - + -
8 – 10 ASI + + -
10 -12 ASI + + +
Umur diatas 1 tahun:
Jenis Makanan Frekuensi dan Jumlah
Nasi/ Pengganti 5-3x/ hari setiap kalinya hanya 1-2 suap
Sayur 1x/ minggu
Daging 1x/ tahun
5
Telur 1x/ hari
Ikan 3x/ minggu
Tahu 3x/ minggu
Tempe 3x/ minggu
Susu 1 kotak susu ultra setiap hari
Lain-lain Biskuit/ wafer/ roti isi 1 bungkus/ hari
Kesulitan makan : Orang tua pasien mengakui bahwa pasien sulit makan sejak kecil. Sehari-
hari pasien makan nasi putih 5-3x sehari hanya 1-2 suap dengan kecap kadang mau bila
diberikan lauk berupa telur/ ikan/ tahu/ tampe. Pasien tidak pernah mau makan sayur (sayur
selalu dipisahkan) kecuali dengan paksaan. Pasien minum 1 kotak susu ultra setiap hari dan
biasanya makan snack seperti biscuit keju/ wafer/ roti 1 bungkus dalam sehari. Pasien jarang
diberikan daging karena keluarga tidak mampu untuk membeli daging. Sejak 2 minggu
terakhir napsu makan pasien berkurang dan pasien semakin sulit makan. Pasien hanya makan
beberapa suap nasi saja, tidak makan lauk, dan tidak minum susu.
Kesimpulan riwayat makanan : Pasien mengalami kesulitan makan, asupan gizi untuk
protein dan serat kurang.
F. R iwayat Imunisasi
Vaksin Dasar ( umur ) Ulangan ( umur )
BCG 2 bulan - - - - -
DPT / PT 2 bulan 4 bulan 6 bulan - - -
Polio 0 bulan 2 bulan 4 bulan - - -
Campak - - 9 bulan - - -
Hepatitis B 0 bulan 1 bulan 6 bulan - - -
Kesimpulan riwayat imunisasi : Imunisasi dasar lengkap dan sesuai jadwal. Tidak
dilakukan imunisasi tambahan.
G. R iwayat Keluarga
Corak reproduksi :
6
NoTahun
lahir
Jenis
kelaminHidup
Lahir
matiAbortus Mati (sebab)
Keterangan
kesehatan
1. 2003Laki-laki + - - + usia 3 jam
asfiksia
neonatorum
Meninggal
(kakak
pasien)Laki-laki + - -
2. 2004 Perempuan + - - -
Sehat
(kakak
pasien)
3. 2009 Perempuan + - - -Sakit
(pasien)
Riwayat pernikahan :
Ayah / Wali Ibu / Wali
Nama Tn. AL Ny. AS
Perkawinan ke- 1 1
Umur saat menikah 27 tahun 19 tahun
Pendidikan terakhir Tamat SD Tamat SMP
Agama Islam Islam
Suku bangsa Betawi Betawi
Keadaan kesehatan Sehat Sehat
Kosanguinitas - -
Penyakit, bila ada Alergi/ Gastritis Gastritis/ Riwayat TB paru
Riwayat penyakit keluarga : Tidak ada yang menderita gejala atau penyakit yang sama
seperti dialami oleh pasien. Riwayat penyakit kelainan jantung bawaan di keluarga disangkal.
Ayah pasien menderita alergi pada kulit serta gastritis. Ibu pasien menderita gastritis serta
memiliki riwayat TB paru sebelum pasien lahir. Ibu dari ibu pasien meninggal karena
penyakit kuning.
7
Kesimpulan riwayat keluarga : Tidak ada anggota keluarga yang mengalami gejala dan
penyakit yang serupa dengan pasien. Pasien tidak memiliki penyakit turunan dalam keluarga
dan tidak ada yang menderita penyakit menular dalam keluarga.
H. Riwayat Lingkungan Perumahan
Pasien tinggal bersama ayah, ibu, kakak, dan kedua orang tua ayah pasien di rumah
berlantai satu yang merupakan rumah orang tua ayah pasien. Keadaan tempat tinggal
sekarang ventilasi cukup baik, pencahayaan baik, dan septic tank jaraknya dengan sumber air
(jet sanyo) lebih dari 10 meter. Daerah tempat tinggal merupakan daerah yang padat
penduduk. Tetangga sebelah rumah ada yang sudah tua dan diketahui menderita kencing
manis dan sedang menjalani pengobatan paru berupa obat yang diminum 6 bulan. Orang tua
tersebut sering kali melewati depan rumah, batuk-batuk, dan bahkan membuang dahaknya di
pinggiran jalan.
Kesimpulan riwayat lingkungan perumahan : Ditinjau dari lingkurang perumahan pasien,
pasien memiliki faktor risiko untuk terjadi infeksi TB karena lingkungan padat penduduk dan
terdapat seorang tetangga yang menderita TB paru aktif.
I. Riwayat Sosial dan Ekonomi
Ayah pasien bekerja sebagai buruh lepas dengan penghasilan yang tidak tetap berkisar
sekitar Rp.2.000.000,-/ bulan. Penghasilan tersebut dinilai kurang cukup untuk memenuhi
kebutuhan pokok sehari-hari sehingga Ibu pasien akhirnya ikut bekerja sebagai kuli cuci
gosok dengan penghasilan Rp.1.000.000,-/ bulan. Sehari-hari pasien diasuh oleh sang Ibu dan
mengikuti Ibu bekerja sebagai kuli cuci gosok. Pada malam hari pasien diasuh dan tidur
bersama sang Ayah.
Kesimpulan sosial ekonomi : Pasien berasal dari keluarga dengan taraf sosial ekonomi
menengah kebawah.
II. PEMERIKSAAN FISIK (Tanggal 10 Juni 2014 jam 19.30 WIB)
A. Status Generalis
Keadaan Umum :
8
Kesan Sakit : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
Kesan Gizi : Kurang
Keadaan lain : Anemis (+), ikterik (-), sianosis (-), dyspnoe (+), edema (-)
Data Antropometri :
Berat Badan sekarang : 11 kg
Panjang Badan : 98 cm
Status Gizi :
BB / U = 11/17 x 100 % = 64,71 % (Gizi kurang)
TB / U = 98/107 x 100 % = 91.59 % (Tinggi baik)
BB / TB = 11/15 x 100 % = 73.33 % (Gizi kurang)
Kehilangan BB sejak sakit = ± 2 kg
Berdasarkan kurva CDC 2000 gizi pasien termasuk dalam kategori gizi kurang. Dari ketiga
parameter yang digunakan diatas didapatkan gizi kurang untuk parameter BB/U dan BB/TB
didapatkan gizi kurang sedangkan untuk parameter TB/U didapatkan tinggi baik; hal ini
menandakan bahwa kekurangan gizi yang dialami pasien sekarang ialah suatu kekurangan
gizi yang akut.
Tanda Vital :
Klasifikasi Hipertensi An. SDL Berdasarkan Usia dan Tinggi Badan (1)
Tekanan darah normal < 101/ 64 mmHg
Pre-hipertensi 101/ 64 – 105/ 68 mmHg
Hipertensi tingkat I 105/ 68 – 117/ 81 mmHg
Hipertensi tingkat II > 117/ 81 mmHg
Krisis hipertensi > 117/ 81 mmHg dengan gejala dan tanda klinis
Tekanan darah : 110/90 mmHg (hipertensi tingkat II)
Nadi : 135 x/menit, kuat, isi cukup, ekual kanan dan kiri, regular
Napas : 53 x/menit, tipe abdomino-torakal
Suhu : 36,2°C (diukur dengan termometer air raksa pada aksila)
Kepala : Normocephali, ubun-ubun sudah menutup
Rambut : Rambut hitam, distribusi merata, dan tidak mudah dicabut
Wajah : Wajah simetris, tidak ada edema, terdapat sebuah jaringan parut di bagian
medial alis kiri
9
Mata :
Visus : Tidak dilakukan Ptosis : -/-
Sklera ikterik : -/- Lagofthalmus : -/-
Konjungtiva anemis : +/+ Cekung : -/-
Exophthalmus : -/- Kornea jernih : +/+
Strabismus : -/- Lensa jernih : +/+
Nistagmus : -/- Pupil : Bulat, isokor
Refleks cahaya : Langsung +/+ , tidak langsung +/+
Telinga :
Bentuk : Normotia Tuli : -/-
Nyeri tarik aurikula : -/- Nyeri tekan tragus : -/-
Liang telinga : Sempit Membran timpani : Sulit dinilai
Serumen : -/- Refleks cahaya : Sulit dinilai
Cairan : -/-
Hidung :
Bentuk : Simetris Napas cuping hidung : -/-
Sekret : -/- Deviasi septum : -
Mukosa hiperemis : -/- Konka eutrofi : +/+
Bibir : Mukosa berwarna merah muda, kering (-), sianosis (-)
Mulut : Trismus (-), oral hygiene kurang baik, gigi sudah tumbuh, terdapat caries
pada kedua gigi incisor depan rahang atas
Lidah : Normoglossia, lidah kotor (-)
Tenggorokan : Tidak ada kelainan palatum, dinding faring posterior tidak hiperemis, ukuran
tonsil T2-T2 tidak hiperemis, kripta melebar, tidak ada detritus
Leher : Bentuk tidak tampak kelainan, tidak tampak massa/ benjolan, tidak tampak
deviasi trakea, tidak teraba pembesaran tiroid maupun kelenjar getah bening,
trakea teraba di tengah, JVP 5 + 2 cm H2O
Thoraks :
Inspeksi : Bentuk thoraks simetris pada saat statis dan dinamis, tidak ada pernapasan
yang tertinggal, tipe pernapasan abdomino-torakal, tidak terdapat retraksi, ictus cordis
terlihat pada ICS VI 1 cm lateral linea midklavikularis kiri
10
Palpasi : Gerakan pernapasan simetris kanan dan kiri, vokal fremitus sama kuat kanan
dan kiri, teraba ictus cordis pada ICS VI 1 cm lateral linea midklavikularis kiri,
denyut kuat
Perkusi : Perkusi tidak dilakukan
Auskultasi : Suara napas vesikuler, reguler, ronki basah halus (-/-), wheezing (-/-),
bunyi jantung I-II reguler, bunyi jantung III (+) punctum maksimum pada katub
mitral, gallop (+) lebih jelas terdengar pada katub pulmonal dan katub mitral, murmur
tidak dapat terdengar karena tertutup oleh gallop
Abdomen :
Inspeksi : Perut datar, tidak dijumpai adanya efloresensi pada kulit perut, roseola
spots (-), tidak tampak benjolan, kulit keriput (-), gerakan peristaltik (-), smiling
umbilicus (-)
Auskultasi : Bising usus (+), frekuensi 6 x/ menit
Palpasi : Supel, nyeri tekan (-) pada seluruh regio abdomen, turgor kulit baik, hepar
dan lien tidak teraba membesar
Perkusi : Timpani pada seluruh regio abdomen
Genitalia : Tidak ditemukan kelainan pada genitalia eksterna
Kelenjar Getah Bening :
Preaurikuler : Tidak teraba membesar
Postaurikuler : Tidak teraba membesar
Submandibula : Tidak teraba membesar
Supraklavikula : Tidak teraba membesar
Aksila : Tidak teraba membesar
Inguinal : Tidak teraba membesar
Ekstremitas : Ekstremitas atas teraba hangat, ekstremitas bawah teraba dingin, kuku dan
jaringan dibawah kuku baik ekstremitas atas maupun bawah tampak pucat,
capillary refill time (CRT) kurang dari 2 detik
Tulang Belakang: Bentuk normal, tidak tampak deviasi
Kulit : Warna kulit sawo matang merata, pucat (+/-), tidak ikterik, tidak sianosis,
turgor kulit baik, lembab, CRT kurang dari dua detik, tidak tampak ruam
maupun bintik perdarahan
11
B. Status Neurologis
Refleks Fisiologis Kanan Kiri
Biceps + +
Triceps + +
Patella + +
Achilles + +
Refleks Patologis Kanan Kiri
Babinski - -
Chaddock - -
Oppenheim - -
Gordon - -
Schaeffer - -
Tanda Rangsang Meningeal
Kaku kuduk -
Kanan Kiri
Kernig - -
Laseq - -
Brudzinski I - -
Brudzinski II - -
Pemeriksaan Nervus Kranialis :
N. I (Olfaktorius) : Tidak dilakukan pemeriksaan
N. II dan III (Optikus dan Okulomotorius) : Pupil bulat isokor, RCL +/+, RCTL +/+
N. IV dan VI (Troklearis dan Abducens) : Gerakan bola mata baik ke segala arah
N. V (Trigeminus) : Tidak ada gangguan sensibilitas wajah
N. VII (Facialis) : Wajah simetris, dapat menutup mata sempurna
N. VIII (Vestibulo-koklearis) : Tidak dilakukan pemeriksaan
N. IX dan X (Glossofaringeus dan Vagus) : Tidak dilakukan pemeriksaan
N. XI (Aksesorius) : Gerakan leher dan bahu tidak terganggu
N. XII (Hipoglosus) : Gerakan lidah tidak terganggu
12
III. PEMERIKSAAN PENUNJANG
A. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium tanggal 09 Juni 2014 (Puskesmas Pembina Kecamatan
Duren Sawit) :
Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Normal
Hematologi
Hemoglobin 8.6 g/dl (↓) 12 – 16.9 g/dl
Hematokrit 27.6 % (↓) 37 – 47 %
Leukosit 10.900/ μL (↑) 5.000 – 10.000/ μl
Trombosit 513.000/ μL (↑) 150.000 – 450.000/ μL
Tes Widal
Titer O H
S. typhosa 1/80 1/80
S. paratyphosa A - -
S. paratyphosa B - 1/160
S. paratyphosa C - -
Pemeriksaan laboratorium tanggal 10 Juni 2014 (RSUD Budhi Asih) :
Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Normal
Hematologi
Leukosit 10.8 ribu/ μL (↑) 5 - 14.5/ μL
Eritrosit 4.8 juta/ μL 3.7 - 5.7/ μL
Hemoglobin 8.8 g/dL (↓) 10.8 – 12.8 g/dL
Hematokrit 29 % (↓) 31 – 43 %
Trombosit 555 ribu/ μL (↑) 229 – 553 ribu/ μL
LED 50 mm/jam (↑) 0-10 mm/jam
MCV 62.0 fl (↓) 72 – 88 fl
MCH 18.6 pg (↓) 23 – 31 pg
MCHC 30.0 g/dL (↓) 32 – 36 g/dL
RDW 18.2 % (↑) <14
13
Hitung jenis
Basofil
Eosinofil
Netrofil batang
Netrofil segmen
Limfosit
Monosit
2 % (↑)
2 %
0 % (↓)
42 %
50 %
4 %
0-1 %
1-5 %
3-6 %
25-60 %
25-50 %
1-6 %
Glukosa Darah Sewaktu 118 mg/dL (↑) 52-98 mg/dL
Elektro lit Serum
Natrium (Na) 143 mmol/L 135-155 mmol/L
Kalium (K) 4.3 mmol/L 3.6-5.5 mmol/L
Klorida (Cl) 113 mmol/L (↑) 98-109 mmol/L
ASTO Negatif < 200 IU/mL
CRP Kuantitatif 15 mg/L (↑) < 5 mg/L
B. Pemeriksaan Radiologi
Foto thoraks tanggal 10 Juni 2014 :
Kesan: Kardiomegali, edema pulmonal, hilus melebar dan menebal, tulang-tulang intak
14
C. Pemeriksaan Elektrokardiografi
EKG tanggal 10 Juni 2014 :
Interpretasi EKG:
1. Rate: 300 ÷ 2 kotak besar = 150x/menit, takikardia.
2. Irama sinus normal: Gelombang P defleksi positif pada sandapan II dan aVF dan
defleksi negative pada sandapan aVR. Gelombang P selalu diikuti oleh gelombang
QRS.
3. Gelombang P: Gelombang P hilang pada sandapan aVL.
4. Interval PR: 0.08 detik (2 kotak kecil), tidak memanjang.
5. Gelombang QRS: 0.04 detik (1 kotak kecil), tidak memanjang.
6. Segmen ST: ST depresi pada sandapan V4-V6.
7. Gelombang T: Gelombang T terbalik pada sandapan II, V1-V6.
8. Tidak ditemukan tanda hipertrofi ventrikel kanan pada EKG berupa: upright T
waves pada sandapan V1, RSR’ pattern pada sandapan V1, atau pure R wave pada
sandapan V1.(2)
9. Ditemukan tanda hipertrofi ventrikel kiri pada EKG berupa intersection of R wave
in V6 with baseline of lead V5.(2)
10. Aksis jantung normal karena gelombang QRS defleksi positif pada sandapan I dan
sandapan aVF.
IV. RESUME
Anak SDL, perempuan, usia 4 tahun 9 bulan datang ke Poliklinik Anak RSUD Budhi
Asih bersama kedua orang tuanya dengan keluhan sesak napas sejak kurang lebih dua
minggu sebelum masuk rumah sakit. Napas lebih cepat dari biasanya dan pasien terlihat
“ngos-ngosan” seperti orang yang kecapaian. Sesak lebih jelas setelah beraktivitas. Sesak
15
tidak dipengaruhi posisi berbaring. Selain keluhan sesak napas pasien juga jantungnya
berdebar-debar, nyeri pada ulu hati, lebih lemas dari biasanya, napsu makan berkurang, berat
badan menurun sebanyak 2 kg, dan kedua kaki terasa dingin. Batuk, mengi, demam, bengkak
pada kaki atau kelopak mata, dan biru pada bibir atau jari-jari disangkal. Pasien memiliki
riwayat nyeri dada dan kurang darah setahun sebelum masuk rumah sakit. Riwayat asma dan
ISPA (demam disertai batuk-pilek dan nyeri tenggorokan) disangkal. Tidak ada masalah
selama masa kehamilan maupun persalinan. Imunisasi dasar lengkap. Perkembangan baik dan
sesuai usia. Pasien sulit makan sehingga asupan serat dan protein kurang. Riwayat penyakit
kelainan jantung bawaan di keluarga disangkal. Kontak TB positif dimana lingkungan tempat
tinggal pasien padat penduduk dan tetangga pasien menderita TB paru.
Dari pemeriksaan fisik yang dilakukan didapatkan pasien keadaan umum sakit
sedang, compos mentis, dan status gizi kurang berdasarkan data antropometri dan grafik CDC
2000. Pemeriksaan tanda vital didapatkan hipertensi tingkat II, takikardia, takipnue, dan suhu
tidak febris. Kelainan yang ditemukan pada pemeriksaan fisik status generalis lainnya berupa
konjungtiva anemis, ictus cordis terlihat dan teraba pada ICS VI 1 cm lateral dari linea
midklavikularis kiri, terdengar BJ III dan gallop dengan punctum maksimum di katub mitral,
ekstremitas inferior teraba dingin, dan kuku serta jaringan dasar kuku tampak pucat.
Dari hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan anemia mikrositik hipokrom
(ditandai penurunan hemoglobin, hematokrit, MCV, MCH, serta MCHC), peningkatan
penanda inflamasi (LED dan CRP kuantitatif meningkat), hiperglikemia, dan ASTO yang
negatif. Dari foto thoraks didapatkan gambaran kardiomegali, edema pulmonal, serta hilus
yang melebar dan menebal. Dari pemeriksaan EKG yang dilakukan didapatkan irama sinus,
sinus takikardia, gambaran iskemi berupa ST depresi dan gelombang T terbalik pada anterior-
lateral, dan gambaran hipertrofi ventrikel kiri.
V. DIAGNOSIS BANDING
Decompensatio cordis et causa penyakit jantung bawaan non-sianotik
Decompensatio cordis et causa kelainan katup
Decompensatio cordis et causa infark miokard
Decompensatio cordis et causa kardiomiopati
Tuberkulosis paru
Anemia defisiensi besi
16
Gizi kurang
VI. DIAGNOSIS KERJA
1. Decompensatio cordis et causa suspek penyakit jantung bawaan non-sianotik
2. Anemia mikrositik hipokrom et causa suspek anemia defisiensi besi
3. Gizi kurang
VII. PEMERIKSAAN ANJURAN
Pemeriksaan analisa gas darah
Pemeriksaan sediaan apus darah tepi
Pemerikaan kadar serum Fe dan TIBC
Pemeriksaan fungsi ginjal dan urinalisis lengkap
Pemeriksaan Mantoux/ uji tuberkulin
Pemeriksaan ekokardiografi
VIII. PENATALAKSANAAN
A. Non-Medikamentosa
1. Edukasi terhadap orang tua pasien mengenai kondisi penyakit anak
2. Edukasi terhadap orang tua pasien untuk memantau asupan gizi anak
3. Edukasi terhadap orang tua pasien untuk membatasi asupan garam anak
4. Tirah baring dengan posisi setengah duduk
5. Oksigen 1 liter/ menit melalui nasal kanul
6. Konsultasi bagian gizi untuk perbaikan gizi kurang
B. Medikamentosa
1. Venflon
2. Injeksi furosemid 2 x 10 mg
3. Captopril 3 x 3 mg
4. Paracetamol 100 mg prn bila S ≥ 38.0°C
IX. PROGNOSIS
Ad Vitam : Dubia ad bonam
17
Ad Functionam : Ad malam
Ad Sanationam : Dubia ad malam
X. FOLLOW-UP
Tgl S O A P
11/6
/14
- Sesak
napas (+)
- Jantung
berdebar
(+)
- Anak
lemas (+)
- Makan
masih
sulit
- BAB (-)
selama 3
hari
- BAK (+)
tidak ada
keluhan
- Bengkak
(-)
- Biru (-)
- Demam
(-)
CM/ TSS
TD 110/80 (HT tingkat I)
N 126 x/m (takikardia)
S 37.4°C
RR 51 x/m (takipnue)
Kepala: Normosefali
Mata: CA +/+, edema (-)
Hidung: Terpasang nasal
kanul
Mulut: Sianosis (-), caries
(+) 2 gigi incisivus depan,
tonsil T2-T2 kripta lebar
Leher: KGB dan tiroid tidak
teraba, JVP 5+1.5 cm H2O
Jantung: BJ I-II reguler, BJ
III (+), ictus cordis teraba
ICS 6 1cm lateral linea
midklavikularis kiri, gallop
(+) punctum maksimum
katub mitral
Paru: SNV +/+, rh -/-, wh -/-
Abdomen: Datar, supel, BU
(+) 3x/1m, turgor baik, NT
(-), hepar dan lien tidak
teraba, perkusi timpani
Ekstremitas: Ext inferior
teraba dingin, CRT < 2”,
1. Decompensatio
cordis ec
suspek PJB
non-sianotik
2. Anemia
mikrositik
hipokrom ec
suspek
defisiensi besi
3. Gizi kurang
- O2 1L/ menit via
nasal kanul
- Venflon
- Inj. Furosemide 2 x
10 mg
- Captopril 3 x 3 mg
- PCT 100 mg prn bila
S ≥ 38.0°C
- Transfusi PRC 50 cc,
periksa Hb post-
transfusi
- Diet (hasil konsultasi
bagian gizi): bubur
saring 4 x 200 kkal,
bila toleransi selama
3 hari baik 4 x
250 kkal, minum 600
cc/ 24 jam
18
kuku pucat, edema (-)
12/6
/14
- Sesak
napas ↓
- Jantung
berdebar
(+)
- Anak
lemas ↓
- Makan
masih
sulit
- BAB (-)
selama 4
hari
- BAK (+)
tidak ada
keluhan
- Bengkak
(-)
- Biru (-)
- Demam
(-)
CM/ TSS
TD 110/60 (HT tingkat I)
N 133 x/m (takikardia)
S 37.5°C
RR 62 x/m (takipnue)
Kepala: Normosefali
Mata: CA -/-, edema (-)
Hidung: Terpasang nasal
kanul
Mulut: Sianosis (-), caries
(+) 2 gigi incisivus depan,
tonsil T2-T2 kripta lebar
Leher: KGB dan tiroid tidak
teraba, JVP 5+2 cm H2O
Jantung: BJ I-II reguler, BJ
III (+), ictus cordis teraba
ICS 6 1cm lateral linea
midklavikularis kiri, gallop
(+) punctum maksimum
katub mitral
Paru: SNV +/+, rh -/-, wh -/-
Abdomen: Datar, supel, BU
(+) 8x/1m, turgor baik, NT
(-), hepar dan lien tidak
teraba, perkusi timpani
Ekstremitas: Ext inferior
teraba dingin, CRT < 2”,
kuku tidak pucat, edema (-)
Lab (11/6 post trf PRC):
- Leuko: 10.5 rb/ul (↑)
- Eri: 5.6 jt/ul
1. Decompensatio
cordis ec
suspek PJB
non-sianotik
2. Anemia
mikrositik
hipokrom ec
defisiensi besi
post transfusi
PRC
3. Gizi kurang
- O2 1L/menit via
nasal kanul
- Venflon
- Inj. Furosemide 2 x
10 mg
- Captopril 3 x 3 mg
- PCT 100 mg prn bila
S ≥ 38.0°C
- Digoxin 0.0625 mg 8
jam pertama, 0.0625
mg 12 jam kemudian,
2-10 mg dosis
rumatan
- Feris syrup 2 x 5 ml
19
- Hb: 11.2 g/dl
- Ht: 36%
- Trombo: 575 rb/ul (↑)
- MCV: 575 rb/ul (↓)
- MCH: 20.0 pg (↓)
- MCHC: 30.8 g/dl (↓)
- RDW: 21.1 % (↑)
- Ur/ Cr: 27/ 0.50 mg/dl
- Urin lengkap: warna
kuning, jernih, glukosa (-),
bilirubin (-), keton (-), pH
5.5, BJ 1.025, albumin (-),
urobilinogen 0.2, nitrit (-),
darah (-), esterase leukosit
+1
- Sedimen urin: leukosit 4-
5/lpb, eritrosit 0-1/lpb,
epitel (+), silinder (-),
kristal ca oxalate (+),
bakteri (-), jamur (-)
- Fe/ TIBC: 21 (↓) / 357
mcg/dl
- Sat. transferin: 5.88% (↓)
- SADT: kesan anemia
mikrositik hipokrom
sesuai dengan anemia
defisiensi Fe,
trombositosis
13/6
/14
- Sesak
napas (-)
- Jantung
berdebar
CM/ TSS
TD 120/60 (HT tingkat II)
N 92 x/m
S 37.5°C
1. Decompensatio
cordis ec
kardiomiopati
dilatasi
- O2 stop
- Furosemide 3 x 5 mg
- Spironolakton 1 x
12.5 mg
20
(+)
- Anak
lemas (-)
- Makan
masih
sulit
- BAB (-)
selama 5
hari
- BAK (+)
tidak ada
keluhan
- Bengkak
(-)
- Biru (-)
- Demam
(-)
RR 32 x/m
Kepala: Normosefali
Mata: CA -/-, edema (-)
Hidung: NCH (-), sekret -/-
Mulut: Sianosis (-), caries
(+) 2 gigi incisivus depan,
tonsil T2-T2 kripta lebar
Leher: KGB dan tiroid tidak
teraba, JVP 5+2 cm H2O
Jantung: BJ I-II reguler, BJ
III (+), ictus cordis teraba
ICS 6 1cm lateral linea
midklavikularis kiri, gallop
(+) punctum maksimum
katub mitral
Paru: SNV +/+, rh -/-, wh -/-
Abdomen: Datar, supel, BU
(+) 6x/1m, turgor baik, NT
(-), hepar dan lien tidak
teraba, perkusi timpani
Ekstremitas: Ext inferior
teraba hangat, CRT < 2”,
kuku tidak pucat, edema (-)
Ekokardiografi (12/06):
Atrial sinus solitus, AV-VA
konkordans, global
hipokinetik, muara vena
sistemik dan pulmonal
normal, katup semilunar
normal, tampak kontraksi
jantung kurang baik, tampak
MR ringan dengan jet di
2. Anemia
mikrositik
hipokrom ec
defisiensi besi
3. Gizi kurang
- Digoksin 2 x 50 mcg
- Feris syrup 2 x 5 ml
- Ulang ekokardiografi
2 minggu
21
tengah, tidak tampak VSD/
ASD/ PDA, arkus aorta di
kiri tidak ada koarktasio.
Fungsi kontraksi LV
menurun, LVEF 47-49%.
Kesimpulan: kardiomiopati
dilatasi.
14/6
/14
- Sesak
napas (-)
- Jantung
berdebar
(+)
- Anak
lemas (-)
- Makan
masih
sulit
- BAB (-)
selama 6
hari,
kentut (+)
- BAK (+)
tidak ada
keluhan
- Bengkak
(-)
- Biru (-)
- Demam
(-)
CM/ TSS
TD 120/80 (HT tingkat II)
N 120 x/m (takikardia)
S 37.6°C (subfebris)
RR 56 x/m (takipnue)
Kepala: Normosefali
Mata: CA -/-, edema (-)
Hidung: NCH (-), sekret -/-
Mulut: Sianosis (-), caries
(+) 2 gigi incisivus depan,
tonsil T2-T2 kripta lebar
Leher: KGB dan tiroid tidak
teraba, JVP 5+2 cm H2O
Jantung: BJ I-II reguler, BJ
III (+), ictus cordis teraba
ICS 6 1cm lateral linea
midklavikularis kiri, gallop
(+) punctum maksimum
katub mitral
Paru: SNV +/+, rh -/-, wh -/-
Abdomen: Datar, supel, BU
(+) 8x/1m, turgor baik, NT
(-), hepar dan lien tidak
teraba, perkusi timpani
Ekstremitas: Ext inferior
1. Decompensatio
cordis ec
kardiomiopati
dilatasi dd/ TB
jantung
2. Anemia
mikrositik
hipokrom ec
defisiensi besi
3. Gizi kurang
- Furosemide 3 x 5 mg
- Spironolakton 1 x
12.5 mg
- Digoksin 2 x 50 mcg
- Feris syrup 2 x 5 ml
- Ulang ekokardiografi
2 minggu
- KDT OAT TB anak
1 x 2 tab
o INH 50 mg
oRIF 75 mg
oPZA 150 mg
- ETB 2 x 100 mg
22
teraba dingin, CRT < 2”,
kuku tidak pucat, edema (-)
Mantoux test: Indurasi (+)
setelah 72 jam dengan
diameter 13 mm (+)
Scoring TB:
- Kontak TB = 2
- Uji tuberkulin = 2
- BB/ gizi = 1
- Demam = 0
- Batuk = 0
- Pembesaran KGB = 0
- Pembengkakan tulang/
sendi = 0
- Foto thoraks = 0
+ Skor total = 6
Ekokardiografi tanggal 12 Juni 2014 :
23
24
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
GAGAL JANTUNG PADA ANAK
Gagal jantung pada anak merupakan suatu kedaan patologis dengan etiologi yang
beragam dan manifestasi klinis yang beragam. Pada semua sindroma gagal jantung, baik pada
dewasa maupun pada anak, terdapat satu mekanisme patofisiologis yang sama yaitu adanya
suatu cardiac injury dapat bersifat kongenital atau didapat yang mengaktivasi jalur
kompensasi sehingga menimbulkan perjalanan penyakit yang kronik-progresif yang bila tidak
segera ditangani dapat mempercepat kematian.(3)
I. DEFINISI
Gagal jantung ialah suatu keadaan dimana cardiac output atau curah jantung tidak
cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolik tubuh.(3,4) Dengan berjalannya waktu,
penurunan curah jantung tersebut akan mengaktifkan berbagai respons kompensasi tubuh
yang tujuannya ialah untuk mengembalikan sirkulasi dan keadaan hemodinamik tubuh yang
normal sehingga perfusi ke organ dan jaringan tubuh dapat tercukupi. Dengan pengertian
definisi tersebut diatas maka gagal jantung bukanlah suatu penyakit namun suatu keadaan
sakit yang timbul akibat adanya penyakit jantung yang kronik dan progresif.(3) Gagal jantung
dapat didefinisikan sebagai sindrom klinis dimana jantung tidak mampu memompakan darah
dalam jumlah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan tubuh, memberikan venous return
yang cukup, atau kombinasi dari kedual hal tersebut.(5) Definisi lain dari gagal jantung ialah
sindrom klinis dan patofisiologis yang progresif disebabkan oleh kelainan kardiovaskular
maupun non-kardiovaskular yang mengakibatkan timbulnya gejala dan tanda berupa edema,
gangguan pernapasan, gagal tumbuh, dan intoleransi aktivitas fisik yang disertai kekacauan
sistem sirkulasi, neurohumoral, serta molekuler.(6)
II. EPIDEMIOLOGI
Insidensi dan prevalensi gagal jantung pada anak secara global tidak diketahui. Hal ini
karena belum ada klasifikasi universal untuk kasus-kasus gagal jantung. Namun, secara
umum diketahui bahwa kasus gagal jantung pada anak yang terbesar ialah akibat penyakit
jantung bawaan/ congenital malformation, dimana 15-20% anak yang menderita kelainan
struktural jantung akan berkembang menjadi suatu gagal jantung bila tidak ditangani segera.
25
Gagal jantung pada anak juga sering diakibatkan oleh kardiomiopati. 40% pasien dengan
kardiomiopati akan berkembang menjadi suatu gagal jantung. Pasien anak dengan gagal
jantung merupakan 50% dari anak-anak yang didaftarkan untuk menjalani transplantasi
jantung.(3) Penyebab tersering gagal jantung pada anak ialah kelainan kongenital jantung/
penyakit jantung bawaan, kardiomiopati, dan demam rematik. Di Amerika Serikat, kurang
lebih 12.000 hinggal 35.000 anak dibawah usia 19 tahun menderita gagal jantung yang
disebabkan oleh penyakit jantung bawaan atau kardiomiopati.(6)
III. ETIOLOGI
Pada dewasa, gagal jantung biasanya diakibatkan oleh kontraktilitas otot jantung yang
berkurang akibat iskemia otot jantung karena penyakit jantung koroner; namun pada anak,
gagal jantung biasanya diakibatkan oleh penyakit jantung yang meningkatkan beban awal
jantung (excessive preload), yang menyebabkan gangguan irama jantung (abnormal rhythm),
atau yang menyebabkan berkurangnya kontraktilitas otot jantung (decreased contractility).(3)
Etiologi dari gagal jantung dapat dibagi menjadi penyebab yang berhubungan dengan
kelainan jantung/ cardiac dan penyebab yang tidak berhubungan dengan kelainan jantung/
non-cardiac. Penyebab yang berhubungan dengan kelainan jantung/ cardiac dapat dibagi lagi
menjadi dua kelompok yaitu yang kelainan jantungnya merupakan kelainan struktural
(biasanya sifatnya kongenital) dan yang kelainan jantungnya bukan merupakan kelainan
struktural: (3)
Etiologi gagal jantung cardiac dapat dibagi menjadi kelainan jantung bawaan dan
kelainan jantung yang didapat: (5)
26
Secara garis besar terdapat 4 faktor yang dapat menyebabkan terjadinya gagal jantung
yaitu gangguan pada beban volume (preload), beban tekanan (afterload), gangguan fungsi
jantung, dan denyut jantung.(5)
1. Kelainan jantung dengan excessive preload:
Kelainan struktural jantung dengan left-to-right shunt dapat mengakibatkan gagal
jantung karena excessive preload dalam hal ini, darah dari ventrikel kiri mengalir ke
ventrikel kanan dan menimbulkan beban volume. Beban volume ini meningkatkan
tekanan pengisian ventrikel serta meningkatkan sirkulasi pulmonal sehingga dapat
berakibat edema paru. Resistensi pembuluh darah paru berkurang secara relatif
terhadap resistensi pembuluh darah sistemik sehingga aliran darah/ sirkulasi pulmonal
meningkat. Aliran darah balik dari sirkulasi pulmonal yang berlebih ke atrium kiri
27
menimbulkan beban volume sehingga dapat menyebabkan kegagalan ventrikel kiri
dan akhirnya gagal jantung. Kelainan kongenital jantung dengan left-to-right shunt
seperti VSD (ventricular septal defect) serta PDA (patent ductus arteriosus).(3)
Kelainan katup, baik yang didapat maupun yang kongenital, juga dapat meningkatkan
beban volume jantung. Kelainan katup yang paling sering ialah mitral regurgitasi dan
aorta regurgitasi.(3)
Kelainan jantung yang meningkatkan beban volume ventrikel kanan jarang berakibat
gagal jantung pada usia dini, dibandingkan kelainan jantung yang meningkatkan
beban volume ventrikel kiri. Ini karena ventrikel kanan miliki komplians yang lebih
tinggi dibandingkan ventrikel kiri sehingga dapat menampung kelebihan volume
darah tanpa peningkatan signifikan dari tekanan ventrikel tersebut.(3)
2. Kelainan jantung dengan decreased preload:
Kelainan jantung yang tidak disertai oleh peningkatan beban volume jantung/ preload
juga dapat menyebabkan gagal jantung. Salah satu contohnya ialah perikarditis
konstriktif. Pada perikarditis konstriktif, terjadi penurunan beban awal jantung/
decreased preload sehingga curah jantung juga menurun. Penyebab dari perikarditis
konstriktif ialah infeksi bakteri dari pericardium (infeksi stafilokokus) serta riwayat
penyinaran thoraks pada penderita yang menjalani terapi untuk kanker, kedua hal ini
dapat menyebabkan fibrosis dari otot jantung.(3)
3. Kelainan jantung dengan excessive afterload:
Lesi obstruktif terhadap jantung kiri seperti mitral stenosis, aorta stenosis, dan
koarktasio aorta menyebabkan meningkatnya afterload jantung sehingga berakibat
gagal jantung.(3)
4. Gangguan kontraktilitas jantung:
Kardiomiopati merupakan suatu penyakit genetik atau didapat yang terjadi pada 1.13
dari 100.000 anak. Manifestasi klinis utama dari kardiomiopati ialah gagal jantung,
kadang pasien juga datang dengan keluhan disritmia. Kardiomiopati dibagi menjadi
beberapa tipe antara lain kardiomiopati dilatasi, kardiomiopati hipertrofi,
kardiomiopati konstriktif, dan kardiomiopati restriktif.(3)
Kardiomiopati dilatasi: Ditandai oleh pembesaran ventrikel dan gangguan
fungsi sistolik serta diastolik. Penyebab dari kardiomiopati dilatasi biasanya
tidak diketahui/ unknown diduga karena abnormalitas genetik dari protein otot
28
jantung atau kanal ion, namun bisa juga disebabkan oleh infeksi (miokarditis),
cedera tindakan operasi, kemoterapi dengan antrasiklin, atau sebagai akibat
dari penyakit degeneratif.(3, 7)
Kardiomiopati restriktif: Biasanya idiopatik atau dapat disebabkan oleh
hemokromatosis atau penyakit Pompe. Tanda khas dari kardiomiopati
restriktif ialah gangguan fungsi diastolic. Dari pemeriksaan ekokardiografi
akan didapatkan Mickey Mouse appearance of the heart yaitu terdapat
pembesaran atrium tanpa disertai hipertrofi ventrikel.(3)
Kardiomiopati hipertrofi: Jarang ditemukan sebagai penyebab gagal jantung
pada anak dan berhubungan dengan stenosis subaorta yang idiopatis.(3)
5. Aritmia jantung:
Aritmia dapat menyebabkan gagal jantung bila denyut jantung terlalu cepat atau
terlalu lambat. Pada takikardia, waktu pengisian/ diastolik berkurang sehingga
akhirnya curah jantung berkurang. Hal ini terjadi beberapa jam setelah
supraventrikular takikardia yang signifikan. Pada bradikardia yang kronik dapat
terjadi pembesaran ventrikel kiri untuk mengakomodasi stroke volumes yang lebih
besar. Gagal jantung terjadi bila fungsi jantung yang terganggu tidak dapat
dikompensasi dengan peningkatan denyut jantung.(3)
IV. PATOFISIOLOGI
Jantung merupakan organ pertama yang mengalami perkembangan dan kemudian
menjadi fungsional di dalam kandungan. Sel-sel kardiogenik menyatu dan membentuk heart
tube yang kemudian akan dilapisi oleh miokardium dan mulai berdetak pada usia gestasi 3
minggu. Setelah itu jantung akan mengalami proses pembentukan sekat dan katup seiring
dengan pembentukan arteri koronaria dan sistem konduksi. Jantung terbentuk sempurna pada
usia gestasi 10 minggu. Walaupun bentuk jantung sudah menyerupai bentuk jantung dewasa,
namun secara fisiologis sangat berbeda dengan jantung dewasa. Jantung janin yang masih
dalam kandungan memiliki miosit yang kurang kontraktil dibandingkan dewasa sehingga
mekanisme utama untuk meningkatkan curah jantung ialah dengan meningkatkan denyut
nadi. Selain itu sistem sirkulasi pada janin dalam kandungan ialah yang disebut parallel
circulation dimana kedua ventrikel memompa darah secara bersamaan: ventrikel kanan
memompa darah ke duktus arteriosus, tubuh bagian bawah, dan plasenta sedangkan ventrikel
29
kiri memompa darah ke kepala dan tubuh bagian atas. Dengan adanya parallel circulation
maka bila terjadi suatu kelainan struktural jantung masih dapat ditoleransi in utero.(6)
Patofisiologi gagal jantung berawal dari curah jantung yang tidak adekuat untuk
memenuhi perfusi jaringan dan kebutuhan metabolik jaringan. Kebutuhan jaringan yang tidak
terpenuhi akan mengakitvasi sistem renin-aldosteron-angiotensin, sistem saraf simpatis,
proses inflamasi yang diinduksi oleh sitokin, serta kaskade yang akan menyebabkan cachexia
atau hilangnya massa tubuh. Selain itu, curah jantung akan menyebabkan produksi metabolit
pada organ dan jaringan meningkat. Produksi metabolit tersebut akan menyebabkan
vasodilatasi lokal sehingga terjadi penurunan tekanan darah yang akan mengaktivasi sistem
renin-aldosteron-angiotensin. Aktivasi sistem renin-aldosteron-angiotensin akan
menyebabkan retensi cairan melalui ginjal dan meningkat resistensi vascular sistemik.
Aktivasi sistem saraf simpatis akan berakibat takikardia serta meningkatnya kontraktilitas
otot jantung/ miokard.(3)
Efek dari penurunan curah jantung yang telah dijelaskan diatas awalnya membantu
meningkatkan curah jantung serta mempertahankan tekanan darah sehingga tidak timbul
keluhan maupun gejala klinis. Namun karena penyebab gagal jantung belum teratasi, maka
peningkatan kerja otot jantung dan peningkatan konsumsi oksigen oleh otot jantung dalam
jangka waktu yang lama akhirnya justru menyebabkan terjadinya cardiac remodeling/
30
remodeling jantung. Remodeling jantung merupakan suatu transformasi struktural jantung
dimana jantung yang normalnya berbentuk elips meningkat dalam massa dan ukuran
sehingga bentuk jantung menjadi sferis. Peningkatan massa otot jantung disebut sebagai
hipertrofi otot jantung yang maladaptif. Hal yang terjadi pada cardiac remodeling ialah
peningkatan komponen miofibriler dari sel otot jantung/ miosit (bukan pembentukan miosit
baru), peningkatan myocyte/ capillary ratio, serta aktivasi dan proliferasi sel jantung non-
miosit sehingga terbentuk jaringan parut pada otot jantung. Proses cardiac remodeling yang
terjadi merupakan suatu proses yang akhirnya berakibat jantung dengan kontraktilitas yang
buruk serta komplians yang buruk (poorly contractile and less compliant). Akibat dari
remodeling jantung ialah meningkatnya tekanan pengisian jantung sehingga dapat terjadi
edema paru ataupun edema sistemik, hipoksia akibat redistribusi darah, penumpukan asam
laktat pada jaringan akibat metabolism anaerob, serta cachexia akibat proses katabolik yang
melebihi proses anabolik.(3)
Berkurangnya curah jantung juga mengaktifkan mekanisme protektif tubuh yang
dapat menghambat progresivitas gagal jantung. Salah satunya ialah sekresi dari hormon atrial
and brain natriuretic peptide (ANP dan BNP). Sekresi ANP dan BNP terjadi pada keadaan
volume and pressure overload dimana kedua hormon tersebut menyebabkan vasodilatasi
serta meningkatkan dieresis dan dapat mencegah inflamasi kronis, fibrosis otot jantung, serta
hipertrofi otot jantung lebih lanjut.(3)
V. MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klini yang dapat ditemukan pada seorang penderita gagal jantung ialah
tergantung dari usia anak.(4,5) Gejala dan tanda yang khas pada gagal jantung antara lain
adalah gagal tumbuh, gangguan pernapasan, dan intoleransi terhadap aktivitas fisik yang
berlebih.(6)
Pada neonatus, manifestasi klinis tidak terlalu menonjol yaitu hanya berupa gangguan
makan dan menyusui, lebih cepat lelah, penurunan napsu makan karena sekresi hormon
anoreksik yang membatasi volume asupan makanan, dan sesak napas. Pada akhirnya akan
terjadi failure to thrive atau gagalnya tumbuh-kembang pada anak. Dari pemeriksaan fisik
yang dilakukan pada seorang neonatus dapat ditemukan retraksi yang ringan sampai berat,
takipnue atau dispnea, grunting (karena tekanan di akhir respirasi yang positif), takikardia,
irama gallop/ derap pada auskultasi jantung, dan hepatosplenomegali.(3)
31
Pada anak yang lebih besar, gejala klinis yang dapat ditemukan berupa intoleransi
terhadap aktivitas fisik yang berat (exercise intolerance), anoreksia, cepat lelah dan
mengantuk, sesak napas, batuk-batuk, serta mengi. Dari pemeriksaan fisik dapat ditemukan
takipnue atau dispnea, takikardia, irama gallop pada auskultasi jantung, ronki atau wheezing
pada auskultasi paru, hepatosplenomegali, edema perifer, serta distensi vena jugularis.(3)
Irama derap terjadi bila bungi jantun III dan/ atau bunyi jantung IV terdengar keras
dan disertai oleh takikardia, sehingga terdengar seperti derap kuda yang berlari. Irama derap
yang terdiri dari bunyi jantung I, II, dan III disebut irama derap protodiastolik, sedangkan
irama derap yang terdiri dari bunyi jantung IV, I, dan II disebut irama derap presistolik. Bila
irama derap terdiri dari bunyi jantung I, II, III, dan IV disebut irama derap sumasi. Bunyi
jantung III merupakan bunyi jantung bernada rendah yang terdengat 0.10 sampai 0.12 detik
setelah bunyi jantung II, terdengar paling baik di apeks atau parasternal kiri bawah, dan lebih
jelas bila pasien miring ke kiri. Bunyi jantung III ini timbul akibat deselerasi darah pada akhir
pengisian cepat ventrikel pada saat fase diastole. Bunyi jantung III akan terdengar keras bila
pengisian ventrikel bertambah yaitu pada dilatasi ventrikel. Bunyi jantung IV, disebut juga
bunyi atrium, merupakan bunyi jantung bernada rendah yang timbul akibat deselerasi darah
pada saat pengisian ventrikel oleh atrium. Beda dengan bunyi jantung III, bunyi jantung IV
terdengar sesaat sebelum bunyi jantung I. Bunyi jantung IV timbul pada keadaan patologis
seperti dilatasi ventrikel, hipertrofi ventrikel, dan fibrosis miokardium.(7)
VI. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk mengevaluasi pasien dengan
klinis gagal jantung ialah pemeriksaan darah, pulse oximetry, elektrokardiografi, foto thoraks,
dan ekokardiografi.(3) Dari pemeriksaan penunjang darah seringkali ditemukan adanya
anemia.(4) Pemeriksaan elektrokardiografi dapat digunakkan untuk menentukan tipe defek dan
menilai fungsi ventrikel apakah terdapa hipertrofi atau tidak. Pemeriksaan foto thoraks dapat
menunjukkan adanya kardiomegali dan bila lebih lanjut dapat tampak kongesti vena
pulmonalis serta gambaran edema paru. Tidak adanya kardiomegali hampir menyingkirkan
diagnosis gagal jantung, namun bila ditemukan kardiomegali bukan berarti ada gagal jantung.
Beberapa anak dengan penyakit jantung bawaan left-to-right shunt yang besar dapat
menunjukkan kardiomegali tanpa gagal jantung.(4,5) Ekokardiografi dilakukan untuk
mengetahui pembesaran ruang jantung dan etiologi dari gagal jantung.(5) Dengan
32
ekokardiografi dapat dinilai ukuran dan fungsi dari kedua ventrikel serta dapat dinilai apakah
terdapat kelainan struktural jantung atau tidak.(8)
Pemeriksaan penunjang yang masih kontroversial ialah pemeriksaan kadar brain
natriuretic peptide (BNP) dan N-termila pro-BNP. Dari pemeriksaan kadar BNP dapat
dibedakan apakah gangguan napas disebabkan oleh kelainan jantung atau kelainan respirasi.
Pada penderita gagal jantung akibat kardiomiopati, kadar BNP meningkat dan memiliki
korelasi dengan tingkat keparahan gejala. Kadar BNP > 300 pg/mL berhubungan dengan
prognosis yang lebih buruk termasuk kematian, transplantasi, serta masa rawat inap yang
lebih lama.(8)
VII. BIOMARKER GAGAL JANTUNG
Belakangan ini ditemukan biomarker gagal jantung yang dapat mengevaluasi
keparahan gagal jantung dan memprediksi perjalanan penyakit gagal jantung. Pemeriksaan
kadar hormone BNP dapat membedakan penyakit traktus respiratorius dengan takipnea yang
disebabkan oleh kelainan jantung. Hal ini ialah karena BNP dilepaskan sebagai respons
terhadap atrial stretching, sebagai marker yang sensitive dari disfungsi diastolic. CRP (C-
reactive protein) dan TNF-alpha merupakan marker yang sensitive terhadap inflamasi
sistemik dan berhubungan dengan outcome yang lebih buruk pada penderita gagal ginjal.
CRP dapat mengaktifkan interleukin B dimana interleukin B dapat mengakibatkan kerusakan
miokardium secara langsung. TNF-alfa menekan aktivitas nitric oxide pada endotel
(berfungsi dalam relaksasi endotel) sehingga berperan dalam remodeling ventrikel dan
disfungsi ventrikel.(3)
VIII. DIAGNOSIS GAGAL JANTUNG
Untuk mendiagnosis suatu gagal jantung maka perlu diperhatikan adanya tanda-tanda
yang menunjang sebagai berikut:
Takikardia (denyut jantung > 160 kali/ menit pada anak umur di bawah 12
bulan; > 120 kali/ menit pada umur 12 bulan-5 tahun)
Irama derap dengan crackles/ ronki pada basal paru
Hepatosplenomegali, peningkatan tekanan vena jugularis, dan edema perifer
(tanda kongestif)
Pada bayi: napas cepat (atau berkeringat), terutama saat diberi makanan
33
Pada anak yang besar: edema kedua tungkai, tangan atau muka, atau pelebaran
vena leher (9)
Klasifikasi yang digunakan untuk gagal jantung ialah klasifikasi Ross, New York
University Pediatric Heart Failure Index, dan Heart Failure Staging System Rosenthal et al.
Klasifikasi NYHA yang digunakan pada gagal jantung dewasa tidak dapat digunakan untuk
pasien anak karena presentasi klinis yang berbeda.(3, 6)
Sistem Skoring Gagal Jantung pada Bayi menurut Ross (5)
0 point 1 point 2 point
Volume sekali minum > 115 cc 75-115 cc < 25 cc
Waktu persekali minum < 40 min > 40 min
Laju napas < 50/ min 50-60/ min > 60/ min
Pola nafas Normal Abnormal
Perfusi perifer Normal Menurun
S3 atau diastolic rumble Tidak ada Ada
Jarak tepi hepar dari batas
costae
< 2 cm 2-3 cm 3 cm
Jumlahkan total point:
- 0-2 point : Tanpa gagal jantung
- 3-6 point : Gagal jantung ringan
- 7-9 point : Gagal jantung sedang
- 10-12 point : Gagal jantung berat
Skor Ross bila disejajarkan dengan klasifikasi New York Heart Association adalah sebagai
berikut: (5, 6)
- Kelas I : Tidak ada pembatasan aktivitas fisik/ asimptomatik
- Kelas II : Takipnea ringan atau bayi saat minum tampak berkeringat
: Pada anak yang lebih besar tampak sesak bila beraktivitas
: Tidak ada gagal tumbuh
- Kelas III : Takipnea tampak jelas atau tampak berkeringat saat minum maupun
aktivitas
: Waktu minum menjadi lebih lama
34
: Gagal tumbuh sebagai akibat gagal jantung
- Kelas IV : Saat istirahat tampak takipnea, retraksi, grunting, atau berkeringat
IX. TATALAKSANA GAGAL JANTUNG
Tatalaksana dari gagal jantung tergantung dari penyebab gagal jantung serta usia anak
yang menderita gagal jantung. Tujuan dari terapi penderita gagal jantung anak ialah sama
dengan dewasa, sebagai berikut:
Koreksi penyebab mendasar gagal jantung
Meminimalkan morbiditas dan mortalitas dengan menghilangkan gejala kongesti
(baik kongesti paru maupun sistemik)
Memperbaiki penampilan/ fungsi miokard
Menghilangkan faktor pencetus
Meningkatkan quality of life (5,8)
Untuk dicapainya tujuan tersebut maka dibuatlah beberapa rekomendasi oleh International
Society for Heart and Lung Transplantation (ISHLT). Namun, karena sulit untuk dilakukan
penelitian pada anak, maka dari 49 rekomendasi yang dibuat, tidak ada yang sifatnya Level A
(dasar berupa multiple randomized trial), 7 rekomendasi sifatnya Level B (dasar berupa
35
single randomized trial atau multiple nonrandomized trial), dan sisanya sifatnya Level C
(dasar berupa konsensus).(8) Tabel berikut memuat 7 rekomendasi Level B dari ISHLT:
Salah satu tujuan utama dari pengobatan gagal jantung ialah koreksi penyebab
mendasar gagal jantung. Yang dimaksud ialah seperti tatalaksana dari anemia, hipotiroid,
koreksi dengan pembedahan suatu kelainan struktural jantung seperti VSD/ PDA/ koarktasio
aorta/ obstruksi katup jantung, serta memberikan alat pacu jantung pada pasien dengan blok
jantung atau gangguan konduksi. Bila seorang anak menderita kardiomiopati, tidak ada
pengobatan khusus, namun keperluan untuk dilakukan suatu transplantasi jantung dapat
ditunda dengan tatalaksana secara medikamentosa.(3)
Tatalaksana medikamentosa untuk gagal jantung ialah untuk meningkatkan curah
jantung/ cardiac output, memperbaiki perfusi jaringan, serta meminimalkan kerja jantung.
Yang dimaksud dengan meminimalkan kerja jantung ialah dengan cara menurunkan preload
jantung serta afterload jantung atau dengan inhibisi dari sistem saraf simpatis. Dengan
menurunkan afterload jantung dapat mengurangi tenaga yang dibutuhkan oleh jantung untuk
mengejeksi darah, sedangkan dengan menurunkan preload jantung dapat mencegah pengisian
berlebihan dari jantung yang melebihi volume darah seharusnya.(3)
1. Menurunkan afterload jantung: Untuk menurunkan afterload jantung digunakan obat-
obatan yang dapat menurunkan resistensi pembuluh darah sistemik. Obat-obat yang
dapat digunakan ialah ACE inhibitor (captopril), inhibitor fosfodiesterasi tipe 4
(milrinone), nitrat (nitroprusside), ARB (losartan). Penggunaan obat ARB dapat
menghambat terjadinya fibrosis otot jantung.
36
2. Menekan aktivitas saraf simpatis: Dapat digunakan obat golongan beta-blocker
(propanolol) untuk menekan aktivitas saraf simpatis. Pada dewasa beta-blocker
merupakan cornerstone daripada terapi gagal jantung, namun pada anak dari
penelitian yang telah dilakukan didapatkan anak yang mendapatkan terapi beta-
blocker tidak menunjukan perbaikan yang signifikan dibandingkan anak yang
mendapat terapi placebo. Pada kelompok anak-anak obat yang sering digunakan ialah
digoksin. Digoksin merupakan agen inotropik oral yang dapat mengahambat aktivitas
sistem saraf simpatis, menurunkan denyut jantung, serta meningkatkan waktu
pengisian jantung. Selain efek inotropik, digoksin juga memiliki efek kronotropik
yaitu menurunkan konduksi jantung. Karena mengalami ekskresi melalui ginjal,
pemberian digoksin perlu dipantai secara ketat terutama pada pasien dengan gangguan
fungsi ginjal.
3. Menurunkan preload jantung: Untuk menurunkan preload jantung dapat digunakkan
diuretik. Preload jantung diturunkan untuk mencegah terjadinya edema paru. Diuretik
yang dapat digunakan antara lain loop diuretik (furosemid), thiazide, dan inhibitor
mineralokortikoid (spironolakton). Diuretik juga menghambat sistem renin-
aldosteron- angiotensin sehingga dapat mencegah remodeling maladaptif serta fibrosis
interstitial.
Pada pasien dengan gagal jantung yang tidak responsive terhadap terapi pilihan terakhir ialah
transplantasi jantung.
X. PROGNOSIS
Prognosis pada pasien gagal jantung bervariasi tergantung dari penyebab gagal
jantungnya. Bila penyebab gagal jantung bukan karena suatu kelainan jantung maka
perbaikan dari gagal jantung dapat terjadi bila tatalaksana penyakit sistemik dilaksanakan
dengan baik. Bila penyebab gagal jantung ialah suatu kelainan struktural jantung maka
koreksi dengan tindakan operasi mungkin dapat bersifat kuratif. Prognosis untuk suatu
kardiomiopati buruk dimana 13% dari pasien dengan diagnosis kardiomiopati dilatasi akan
menjalankan transplantasi jantung dalam waktu 2 tahun setelah diagnosis.(3)
BAB III
ANALISA KASUS
37
I. ANALISA ANAMNESIS
Kasus yang akan dibahas kali ini mengenai Anak SDL, usia 4 tahun 9 bulan, jenis
kelamin perempuan yang dirawat dengan diagnosis decompensatio cordis.
A. Keluhan Utama dan Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dengan keluhan sesak napas sejak 2 minggu sebelum masuk rumah
sakit. Sesak napas didefinisikan sebagai perasaan subjektif pernapasan yang tidak nyaman. (10)
Dispnea atau sesak napas ialah karena peningkatan kerja dari otot-otot pernapasan yang
terjadi akibat stimulasi neruroreseptor yang terdapat sepanjang traktus respiratorius atau
stimulasi kemoreseptor baik sentral maupun perifer.(11)
Pada pasien yang datang dengan keluhan sesak napas maka yang harus dilakukan
terlebih dahulu ialah melakukan penilaian terhadap ABC yaitu airway, breathing, dan
circulation apakah stabil atau tidak.(10,11) Pada pasien SDL, didapatkan tidak ada gangguan
pada ABC dan pasien relatif stabil. Hal ini terlihat dari pasien yang berobat ke poliklinik anak
bukan ke IGD.
Setelah memastikan bahwa pasien stabil selanjutnya perlu dipikirkan differential
diagnosis yang mungkin dari dispnea.
38
Secara garis besar, etiologi atau diagnosis dari keluhan sesak napas dapat dibagi menjadi tiga
kelompok besar yaitu: gangguan respirasi, gangguan kardiovaskular, serta gangguan
neuropsikiatrik.(11) Namun, pada anak jarang didapatkan sesak napas akibat adanya suatu
gangguan neuropsikiatrik. Untuk dapat membedakan apakah keluhan sesak napas disebabkan
oleh gangguan maka perlu ditanyakan lebih lanjut mengenai keluhan sesak napas yang
dialami oleh pasien.
Pada kasus, pasien mengalami sesak napas berupa pernapasan yang lebih cepat dari
biasanya, dipengaruhi oleh aktivitas seperti naik tangga dan bersepeda, tidak dipengaruhi
oleh posisi, dan tidak disertai oleh bunyi pernapasan yang abnormal. Selain sesak napas juga
didapatkan adanya keluhan tambahan berupa jantung yang berdebar-debar, nyeri ulu hati,
lemas, napsu makan berkurang, berat badan menurun, dan kedua kaki terasa dingin. Keluhan
tambahan berupa batuk, mengi, demam, biru, dan bengkak disangkal. Dari sifat keluhan
sesak napas yang dialami oleh pasien serta keluhan tambahan yang menyertai maka dapat
disimpulkan bahwa kemungkinan besar sesak napas yang dialami oleh pasien ialah akibat
gangguan kardiovaskular. Hal ini karena terdapat tanda klasik gagal sirkulasi berupa
gangguan pernapasan, gagal tumbuh (ditandai berat badan pasien yang berkurang serta
penurunan napsu makan), serta intoleransi terhadap aktivitas fisik (sesak makin jelas setelah
beraktivitas). Selain itu juga didapatkan adanya keluhan tambahan yang mengarah kepada
suatu kelainan kardiovaskular yakni jantung yang berdebar-debar dan kedua kaki terasa
dingin yang menandakan adanya gangguan sirkulasi ke jaringan perifer. Keluhan demam
disangkal menandakan terjadinya sesak napas bukan karena suatu infeksi pada saluran napas
atau paru-paru. Selain itu juga tidak didapatkan keluhan adanya gangguan respirasi seperti
39
batuk, dan mengi. Dari keluhan utama serta riwayat penyakit sekarang maka dapat ditarik
kesimpulan kemungkinan besar pasien mengalami suatu kegagalan sirkulasi akibat kelainan
dari fungsi jantung sebagai suatu pompa atau suatu kondisi yang disebut sebagai
decompensatio cordis.
Selanjutnya anamnesis dilakukan untuk mencari etiologi dari decompensatio cordis.
Berdasarkan studi epidemiologi penyebab tersering decompensatio cordis pada anak ialah
kelainan penyakit jantung bawaan, kardiomiopati, serta demam rematik.(6)
B. Riwayat Penyakit Dahulu
Dari riwayat penyakit dahulu dapat disingkirkan kemungkinan gangguan pernapasan
lain yang dapat menyebabkan sesak napas yaitu asma. Riwayat asma disangkal, selain itu
sesak napas sebelumnya disangkal, dan sesak napas tidak dicetuskan oleh suatu hal khusus
tertentu.
Yang bermakna dari riwayat penyakit dahulu ialah pada pasien didapatkan ada
riwayat nyeri dada satu tahun yang lalu dan pernah mendapatkan obat Sangobion saat berobat
waktu itu. Keadaan pasien dirasa membaik dengan diberikan obat tersebut. Hal ini
menandakan bahwa kemungkinan besar pasien saat itu menderita anemia defisiensi besi.
Mengingat anemia defisiensi besi merupakan suatu anemia nutrisional maka perlu dicurigai
adanya gangguan asupan makan pada pasien. Anemia dapat merupakan faktor pencetus dari
decompensatio cordis yang akut. Untuk nyeri dada yang dialami oleh pasien belum dapat
disingkirkan bahwa hal tersebut merupakan suatu gejala iskemia miokard.
Riwayat infeksi saluran pernapasan atas sebelumnya dan riwayat sakit tenggorokan
sebelumnya disangkal. Dari pernyataan ini maka kemungkinan besar etiologi decompensatio
cordis bukan demam rematik.
Pasien juga menyangkal pernah mengalami kebiruan pada sekitar mulut atau jari-jari
sehingga bila dicurigai suatu penyakit jantung bawaan maka perlu dicurigai penyakit jantung
bawaan yang asianotik.
C. Anamnesis Lainnya
Riwayat kehamilan dan kelahiran pasien didapatkan kesimpulan bahwa neonatus
cukup bulan dan sesuai dengan masa kehamilan. Maka sebetulnya pasien tidak memiliki
40
faktor risiko untuk menderita penyakit jantung bawaan antara lain bayi yang lahir prematur.
Selain itu pasien juga tidak memiliki riwayat keluarga untuk penyakit jantung bawaan.
Dari riwayat makanan didapatkan bahwa pasien memang sudah sulit makan sejak
kecil dengan asupan gizi protein serta serat yang kurang. Asupan gizi yang kurang baik
merupakan faktor risiko untuk anemia defisiensi besi.
Riwayat perkembangan pasien baik dan pasien merupakan anak yang aktif. Beberapa
minggu sebelum pasien sakit, pasien sering sekali bermain sepeda. Peningkatan aktivitas ini
merupakan suatu faktor pencetus terjadinya decompensatio cordis akut.
Dari riwayat lingkungan, pasien diketahui memiliki kontak dengan penderita TB yaitu
sang tetangga yang sedang menjalani pengobatan paru-paru selama 6 bulan.
II. ANALISA PEMERIKSAAN FISIK
Dari pemeriksaan fisik yang dilakukan didapatkan pasien keadaan umum sakit
sedang, compos mentis, dan status gizi kurang berdasarkan data antropometri dan grafik CDC
2000. Pemeriksaan tanda vital didapatkan hipertensi tingkat II, takikardia, takipnue, dan suhu
tidak febris. Kelainan yang ditemukan pada pemeriksaan fisik status generalis lainnya berupa
konjungtiva anemis, ictus cordis terlihat dan teraba pada ICS VI 1 cm lateral dari linea
midklavikularis kiri, terdengar BJ III dan gallop dengan punctum maksimum di katub mitral,
ekstremitas inferior teraba dingin, dan kuku serta jaringan dasar kuku tampak pucat.
Hasil pengukuran dan interpretasi data antropometri pasien menunjukkan bahwa
pasien menderita gizi kurang. Gizi kurang selain disebabkan oleh asupan makanan yang
kurang pada anak juga merupakan salah satu tanda dari decompensatio cordis. Pada penderita
decompensatio cordis terjadi aktivasi kaskade yang menyebabkan cachexia atau penurunan
massa tubuh.(3)
Kesimpulan yang dapat ditarik dari hasil pemeriksaan fisik ialah bahwa terdapat tanda
dilatasi ventrikel kiri berupa ictus cordis yang bergeser kearah bawah dan lateral serta BJ III.
Selain itu terdapat tanda-tanda peningkatan aktivitas simpatis berupa hipertensi, takikardia,
serta takipnue. Terdapat juga tanda penurunan fungsi ventrikel kiri yang ditandai oleh
ekstremitas inferior yang teraba dingin. Namun, tidak terdapat tanda penurunan fungsi
ventrikel kanan berupa kongesti. Tanda-tanda kongesti yang tidak ditemukan pada pasien ini
antara lain adalah peningkatan tekanan vena jugularis, hepatomegali, serta edema perifer
(pada tungkai atau kelopak mata). Konjungtiva yang anemis dan kuku serta dasar kuku yang
41
tampak pucat merupakan tanda anemia. Dari pemeriksaan fisik tidak ditemukan tanda-tanda
infeksi.
III. ANALISA PEMERIKSAAN PENUNJANG
A. Pemeriksaan Laboratorium
Dari hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan hasil-hasil yang menunjang suatu
anemia defisiensi besi antara lain: penurunan hemoglobin, hematokrit, MCV, MCH, serta
MCHC pada pemeriksaan hematologi rutin; gambaran SADT eritrosit yang mikrositik
hipokrom dengan anisositosis dan sel pensil; dan serum Fe yang menurun. Pada pasien TIBC
belum meningkat secara bermakna namun bila dihitung saturasi transferin didapatkan hasil
5.88% sehingga sudah dapat ditegakkan diagnosis anemia defisiensi besi.
Pemeriksaan ureum kreatinin serta urinalisa menunjukkan bahwa fungsi ginjal pasien
masih dalam batas normal.
LED, CRP kuantitatif, serta kadar glukosa yang meningkat merupakan penanda
adanya inflammasi yang kronis.
Pemeriksaan ASTO yang negatif menyingkirkan diagnosis banding decompensatio
cordis akibat demam rematik.
B. Pemeriksaan Elektrokardiografi
Dari pemeriksaan EKG yang dilakukan didapatkan irama sinus, sinus takikardia,
gambaran iskemi berupa ST depresi dan gelombang T terbalik pada anterior-lateral, dan
gambaran hipertrofi ventrikel kiri. Hasil pemeriksaan EKG menyingkirkan gangguan irama
jantung sebagai penyebab dari decompensatio cordis. Karena didapatkan gambaran EKG
hipertrofi ventrikel kiri maka perlu dilakukan pemeriksaan foto thoraks untuk konfirmasi.
C. Pemeriksaan Foto Thoraks
Dari foto thoraks didapatkan gambaran kardiomegali, edema pulmonal, serta hilus
yang melebar dan menebal. Pada anak-anak gambaran hilus yang melebar dan menebal ini
merupakan suatu gambaran foto thoraks yang sugestif TB karena mungkin disebabkan oleh
pembesaran kelenjar hilus.(12) Mengingat kontak TB yang positif serta keadaan pasien yang
gizi buruk, maka pada pasien ini dilakukan uji tuberkulin serta scoring untuk TB.
42
D. Pemeriksaan Ekokardiografi
Hasil ekokardiografi ialah sebagai berikut ini:
1. Atrial sinus solitus, AV-VA konkordans, global hipokinetik, muara vena sistemik dan
pulmonal normal, katup semilunar normal, tampak kontraksi jantung kurang baik,
tampak MR ringan dengan jet di tengah, tidak tampak VSD/ ASD/ PDA, arkus aorta
di kiri tidak ada koarktasio.
2. Fungsi kontraksi LV menurun, LVEF 47-49%.
3. Kesimpulan: kardiomiopati dilatasi.
Dengan pemeriksaan ekokardiografi maka dapat ditegakkan diagnosis etiologis dari gagal
jantung yang diderita oleh anak. Pemeriksaan ekokardiografi menyingkirkan penyakit jantung
bawaan sebagai diagnosis etiologis. Selain itu dari pemeriksaan ekokardiografi didapatkan
adanya mitral regurgitasi ringan, kemungkinan besar akibat suatu hipertrofi ventrikel kiri.
Juga didapatkan penurunan fungsi kontraksi ventrikel kiri yang menurun dimana LVEF
didapatkan 47-49%. LVEF normal untuk anak rata-rata 66% dengan kisaran 56-78%.(13)
Kesimpulan yang ditarik dari pemeriksaan ekokardiografi ialah bahwa pasien menderita
kardiomiopati dilatasi.
IV. ANALISA DIAGNOSIS
Diagnosis terakhir yang ditegakkan pada pasien ini ialah decompensatio cordis et
causa kardiomiopati dilatasi dd/ TB jantung, anemia mikrositik hipokrom et causa defisiensi
besi, serta gizi kurang. Berikut ialah pembahasan masing-masing diagnosis.
A. Decompensatio Cordis ec Kardiomiopati Dilatasi dd/ TB Jantung
Pada pasien dapat ditegakkan diagnosis dari decompensatio cordis berdasarkan tanda
dan gejala disfungsi jantung menjalankan tugasnya memompa darah ke seluruh tubuh untuk
memenuhi kebutuhan metabolisme dan pertumbuhan anak. Tanda dan gejala tersebut telah
dijelaskan sebelumnya. Pasien menderita decompensatio cordis klasifikasi Ross-NYHA kelas
II.
Etiologi decompensatio cordis ditetapkan sebagai kardiomiopati dilatasi setelah
menyingkirkan etiologi lain yang mungkin antara lain gangguan irama jantung (disingkirkan
oleh hasil pemeriksaan EKG yang menunjukka irama sinus), demam rematik (disingkirkan
43
oleh hasil pemeriksaan ASTO yang negatif, serta penyakit jantung bawaan, kelainan katup
jantung, dan infark miokard (disingkirkan oleh hasil ekokardiografi). Maka pada pasien ini
ditegakkan etiologi berupa kardiomiopati dilatasi.
Namun pada pasien ini, masih mungkin dipikirkan suatu TB jantung. Hal ini ialah
karena didapatkan gejala TB pada anak berupa napsu makan yang kurang dan berat badan
yang sukar naik dan selama perawatan. Selain itu terdapat kontak TB yang positif dimana
tetangga yang menderita TB paru merupakan orang dewasa yang menjadi sumber penularan.
Faktor risiko untuk penularan antara lain gizi kurang pada pasien serta lingkungan pasien
yang padat penduduk. Adanya infeksi Mycobacterium tuberculosis didukung juga oleh uji
tuberkulin cara Mantoux yang positif dimana setelah 72 jam didapatkan adanya indurasi yang
diameternya 13 mm (lebih dari 10 mm). Uji tuberkulin yang positif menandakan bahwa ada
infeksi TB namun belum tentu sakit TB. Dari pemeriksaan darah didapatkan adanya LED
yang meningkat serta CRP yang meningkat yang merupakan tanda adanya inflammasi kronis
yang dapat diakibatkan oleh infeksi Mycobacterium tuberculosis. Selain itu juga didapatkan
gambaran foto thoraks yang sugestif TB yaitu terdapat pembesaran kelenjar hilus. Dilakukan
skoring TB pada pasien dengan total nilai 6 yang berarti bahwa dapat ditegakkan diagnosis
kerja TB.
B. Anemia Mikrositik Hipokrom ec Defisiensi Besi
Diagnosis anemia mikrositik hipokrom et causa defisiensi besi ditegakkan
berdasarkan anamnesis bahwa pasien kurang asupan besi dari makanan karena memang sulit
makan serta lemah, dan pemeriksaan fisik dimana pasien ditemukan konjungtiva anemis serta
kuku dan jaringan dibawah kuku pucat. Diagnosis pasti anemia mikrositik hipokrom et
defisiensi besi dapat ditegakkan setelah didapatkan kadar Hb, Ht, MCV, MCH, dan MCHC
yang menurun pada pemeriksaan darah, kadar Fe serum yang rendah, saturasi transferin
dibawah 7%, serta gambaran SADT yang mendukung.
C. Gizi Kurang
Diagnosis gizi kurang ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan antropometri yang
dilakukan terhadap pasien dimana bila di interpretasi menggunakan grafik CDC 2000 maka
didapatkan hasil gizi kurang untuk BB/TB.
44
V. PATOFISIOLOGI PADA PASIEN
45
VI. ANALISA TATALAKSANA
Pasien Kepustakaan (5,12) Tujuan Tatalaksana
Tirah baring Tirah baring posisi setengah
duduk (bahu dan kepala diangkat
kurang lebih 45 derajat). Sedasi
bila perlu dengan luminal 2-3
mg/kgBB/jam tiap 8 jam selama
1-2 hari pertama atau morfin.
Mengurangi beban pada miokard
dan memperbaiki fungsi paru.
Upaya menghindari faktor
pencetus yang meningkatkan
kebutuhan metabolisme tubuh.
Oksigen 1 liter/
menit melalui
nasal kanul
Oksigen 30-50% dengan
kelembaban tinggi.
Supaya jalan napas tidak kering
dan memudahkan sekresi saluran
napas keluar.
Observasi berat
badan dan tanda
vital
Pemantauan hemodinamik yang
ketat.
Dilakukan selama decompensatio
cordis akut.
Perbaikan gizi Pembatasan cairan dan garam
70-80% dari kebutuhan.
Dilakukan pada gagal jantung berat
untuk mencegah edema.
Venflon Pembatasan cairan. Untuk mencegah edema.
Diuretik:
- Injeksi furosemid
2 x 10 mg
- Furosemide 3 x 5
mg
- Spironolakton 1
x 12.5 mg
Diuretik:
- Furosemid IV
0.5-2mg/kgBB/dosis, 2-4x per
hari
- Furosemide PO
1-2mg/kgBB/dosis, 1-3 dosis
terbagi
- Spironolakton PO
1mg/kgBB/dosis
Untuk mengurangi preload dan
volume overload.
Captopril 3 x 3 mg Captopril 0.3-0.6mg/kgBB/hari
dibagi 2-3 dosis
Captopril sifatnya mixed
vasodilator artinya obat ini
memiliki efek venodilator serta
arteriodilator sehingga dapat
mengurangi preload dan afterload.
46
PCT 100 mg bila S
≥ 38.0°C
Demam diatasi dengan
antipiretik dan kompres dingin.
Upaya menghindari faktor
pencetus yang meningkatkan
kebutuhan metabolisme tubuh.Transfusi PRC Anemia dikoreksi dengan
transfusi darah.
Digoksin 2 x 50
mcg
Digoksin dosis pemeliharaan 8-
10 mcg/kgBB/hari dalam 2 dosis
terbagi.
Digoksin bersifat inotropik positif
dan kronotropik negatif sehingga
dapat meningkatkan curah jantung.
Feris syrup 2 x 5
ml
Preparat besi dosis 4-6 mg besi
elemental/kgBB/hari dibagi
dalam 3 dosis dan diberikan 2-3
bulan setelah kadar Hb normal.
Supplementasi besi pada anemia
defisiensi besi untuk pembentukan
Hb.
OAT:
- KDT OAT TB
anak 1 x 2 tab
(INH 50 mg, RIF
75 mg, PZA 150
mg)
- ETB 2 x 100mg
Pengobatan OAT pada TB
ekstrapulmonal digunakkan 4-5
OAT selama 2 bulan fase
intensif, dan selanjutnya
digunakkan INH dan rifampisin
hingga genap 9-12 bulan terapi.
Terapi TB jantung fase intensif
digunakkan 4 OAT dengan tujuan
eradikasi kuman Mycobacterium
tuberkulosis.
47
DAFTAR PUSTAKA
1. Supartha M, Suarta IK, Winaya IBA. Hipertensi pada Anak. Maj Kedok Ind Mei 2009; 59(5):
221-30.
2. Evans WN, Acherman RJ, Mayman GA, Rollins RC, Kip KT. Simplified Pediatric
Electrocardiogram Interpretation. Clinical Pediatrics 2009; 20(10): 1-10.
3. Madriago E, Silberbach M. Heart Failure in Infants and Children. Pediatrics in Review
January 2010; 31(1): 4-12.
4. Bernstein D. Heart Failure. In: Kleigman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF; editors.
Nelson Textbook of Pediatrics. 18th ed. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2007.
5. Madiyono B, Rahayuningsih SE, Sukardi R. Penanganan Penyakit Jantung pada Bayi dan
Anak. In: Utama H, editor. Jakarta: Balai Penerbit FKUI: 2008. p.55-61.
6. Hsu DT, Pearson GD. Heart Failure in Children Part I: History, Etiology, and
Pathophysiology. Circ Heart Fail AHA Journals 2009; 2: 63-70.
7. Latief A, Tumbelaka AR, Matondang CS, Chair I, Bisanto J, Abdoerrachman MH, et al.
Diagnosis Fisis pada Anak. 2nd ed. In: Matondang CS, Wahidayat I, Sastroasmoro S, editors.
Jakarta: CV Sagung Seto; 2009.
8. Hsu DT, Pearson GD. Heart Failure in Children Part II: Diagnosis, Treatment, and Future
Directions. Circ Heart Fail AHA Journals 2009; 2: 490-8.
9. World Health Organization. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit:
Pedoman Bagi Rumah Sakit Rujukan Tingkat Pertama di Kabupaten/ Kota. Jakarta: WHO
Indonesia; 2008. p.120-1.
10. Raftery AT, Lim E, Ostor AJK. Differential Diagnosis. 3rd ed. Edinburh: Churchill
Livingstone Elsevier; 2010. p.109-14.
11. University of British Columbia. Approach to Pediatric Dyspnea. Available at:
http://learnpediatrics.com/body-systems/respiratory-system/approach-to-pediatric-dyspnea/.
Accessed 15 June, 2014.
12. Pusponegoro HD, Hadinegoro SRS, Firmanda D, Tridjaja B, Pudjiadi AH, Kosim MS,
Rusmil K. Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak. 1st ed. Jakarta: Badan Penerbit IDAI;
2005.
13. Park MK. Pediatric Cardiology for Practitioners. Philadelphia: Elsevier Health Sciences;
2008. p.83.
48