Modul PKSABH
description
Transcript of Modul PKSABH
1
MODUL PELATIHAN
PROGRAM KESEJAHTERAAN SOSIAL ANAK
BERHADAPAN DENGAN HUKUM (PKSABH)
A. Deskripsi
Pelatihan ini dirancang sebagai sebuah pelatihan partisipatif yang
melibatkan peserta latih secara aktif untuk mengenal dan mengeksplor
isu anak berkonflik dengan hukum. Pelatihan akan dimulai dengan
penggalian pemahaman peserta mengenai isu, dilanjutkan dengan
pengayaan berbagai informasi mengenai upaya-upaya perlindungan
ABH, terutama berkaitan dengan pedoman operasional kesejahteraan
social anak berhadapan dengan hukum.
B. Tujuan Pembelajaran
1. Tujuan Umum
Peserta pelatihan memiliki pengetahuan dan pemahaman tentang
PKSABH sebagai bekal dalam melaksanakan tugas mereka selaku
Sakti Peksos.
2. Tujuan Khusus
a. Peserta mampu memahami dan menjelaskan tentang informasi
umum yang berkaitan dengan latar belakang, maksud dan
tujuan, sasaran, criteria penerima program, dasar hokum,
pengertian, serta kerangka kebijakan.
b. Peserta mampu memahami dan menjelaskan gambaran
program, yang meliputi komponen program, persyaratan dan
kewajiban, penerima bantuan, dan tahapan program.
2
c. Peserta mampu memahami dan menjelaskan unit pengelola
PKSABH
d. Peserta mampu memahami dan menjelaskan monitoring,
evaluasi dan pelaporan, serta indicator keberhasilan program
e. Peserta mampu memahami dan menjelaskan peran para pihak
dan sumber pendanaan
C. Pokok Bahasan
I. Informasi Umum
Latar belakang
Maksud dan tujuan,
Sasaran,
Kriteria penerima program,
Dasar hokum,
Pengertian,
Kerangka kebijakan
II. Gambaran Program
Komponen program,
Persyaratan dan kewajiban,
Penerima bantuan,
Tahapan program.
III.Unit Pengelola PKSABH
IV. Monitoring, Evaluasi, dan Pelaporan
Monitoring, evaluasi dan pelaporan,
Indicator keberhasilan program
V. Peran Para Pihak dan Sumber Pendanaan
Peran pemerintah
Peran masyarakat
3
Sumber pendanaan
D. Materi
MATERI
PANDUAN UMUM PROGRAM KESEJAHTERAAN SOSIAL ANAK YANG
BERHADAPAN DENGAN HUKUM
I. Informasi Umum
Latar Belakang
Masalah kenakalan belakangan ini semakin meresahkan masyarakat,
tidak hanya di kota-kota besar, tetapi di berbagai area, termasuk di
pedesaan. Kasus-kasus kenakalan semakin sering diberitakan media,
karena tidak hanya muncul dalam bentuk pelanggaran ringan tetapi
sudah sering muncul dalam bentuk tindak pidana kejahatan seperti
kekerasan yang menimbulkan korban jiwa baik yang dilakukan secara
sendiri maupun berkelompok/geng.
Pada tahun 2008 dari 29 Balai Pemasyarakatan Kementrian Hukum
dan Ham Indonesia dilaporkan terdapat 6.505 anak dengan kenakalan
diajukan ke pengadilan, dan 4.622 anak diantaranya (71,05%) diputus
pidana. Pada tahun 2009 kasus tindak pidana anak yang diajukan ke
pengadilan meningkat menjadi 6.704 anak, dan 4.748 diantaranya
(70.82%) diputus pidana. Angka seluruh kasus anak mungkin jauh
lebih besar karena angka di atas hanya bersumber dari 29 Bapas yang
telah memberi laporan, sementara jumlah seluruh Bapas ada 62. Jika
dihitung dengan rata-rata kasar dari laporan di atas, bahwa rata-rata
tiap Bapas pada tahun 2009 melaporkan 231 anak yang diajukan
kepengadilan dan 163 anak yang diputus pidana, maka secara kasar
diperkirakan seluruhnya ada 14.322 anak yang diajukan ke
persidangan dan 10.106 anak yang diputus pidana.
4
Sementara, kondisi faktual sistem hukum dan penegakan hukum saat
ini belum mampu memberikan jaminan terjadinya perubahan positif
perilaku, anak-anak juga kerap harus menyerap berbagai pengalaman
buruk yang menyertai proses penegakan hukumnya serta tidak dapat
mengakses berbagai hak dan kebutuhan dasar yang esensial bagi
proses tumbuh-kembangnya menuju kedewasaan. Mereka mengalami
masa-masa sulit, berkaitan dengan rasa bersalah, ketakutan terhadap
aturan dan proses hukum yang tidak mereka pahami, pengalaman
kekerasan fisik dan psikis selama mengikuti proses hukum, terisolasi,
sulit mengakses kelayakan kebutuhan dasar, stigma/label masyarakat,
terpisah dari keluarga, tekanan dari lingkungan baru, dll.
Konvensi Perlindungan Anak yang telah diratifikasi oleh Pemerintah
Indonesia, merupakan harapan baru bagi anak-anak yang berhadapan
dengan hukum. Namun kenyataan masih belum sepenuhnya mampu
menyelamatkan dan melindungi anak-anak yang mengalami
permasalahan hukum, karena para pihak belum sepenuhnya
mendukung perwujudan mekanisme peradilan yang ramah anak.
Oleh karena itu, perlu diciptakan beragam inisiatif pada berbagai
tingkatan untuk mencegah dan meminimalkan permasalahan
kenakalan, terlebih yang mengakibatkan anak berhadapan dengan
hukum, disamping upaya membangun proses hukum yang lebih ramah
anak. Proses hukum yang melibatkan anak perlu didukung dengan
penyediaan layanan yang melindungi tumbuh-kembang anak, baik
sebagai pelaku, maupun korban dan saksi, yang terpaksa berhadapan
dengan hukum. Penanganan anak pelaku tindak pidana perlu
diupayakan dengan mendahulukan diversi/diskresi, sementara
pengadilan dan pemidanaan anak merupakan upaya terakhir.
Sehubungan dengan kondisi tersebut, Pemerintah, yang mewakili
negara sebagai penanggung jawab program kesejahteraan anak, telah
menginisiasi beberapa program yang bertujuan untuk mewujudkan
5
sistem perlindungan dan rehabilitasi anak dengan kenakalan maupun
anak yang berhadapan dengan hukum yang lebih melibatkan seluruh
tatanan masyarakat dalam sebuah pendekatan peradilan restoratif.
Program-program tersebut, meliputi:
1. Sosialisasi dan diseminasi sistem peradilan restoratif yang
dilakukan di 5 (lima) propinsi, kepada sekitar 200 orang peserta
pada setiap propinsi, yang terdiri dari unsur pejabat daerah dari
lingkungan Dinas/Kantor Sosial, Kepolisian, Kejaksaan, Kehakiman,
LSM, anggotan DPRD dan tokoh masyarakat peduli anak.
2. Pengembangan kemitraan dan jaringan, dilakukan di 5 (lima)
propinsi kepada instansi-instansi terkait yang terdiri dari
Dinas/Kantor Sosial, Kepolisian, Kejaksaan, Kehakiman, LSM,
anggotan DPRD dan tokoh masyarakat peduli anak.
3. Fasilitasi dan uji coba model penanganan ABH berbasis
masyarakat yang dilakukan di 2 kelurahan dan 1 desa di Kabupaten
Klaten, Propinsi Jawa Tengah.
4. Inisiatif pembentukan komite pelaksana peradilan restoratif
dalam struktur yang dikenal dengan Komite Perlindungan dan
Rehabilitasi Anak Berhadapan Dengan Hukum. Struktur, mekanisme
dan kedudukan telah disepakati dalam beberapa pertemuan
jaringan; sementara fasilitasi pembentukkannya akan segera
dilakukan pada tahun anggaran berikutnya.
Untuk memperkuat dampak dari berbagai program perlindungan dan
rehabilitasi terhadap ABH khususnya dan anak dengan kenakalan pada
umumnya, beserta keluarga mereka, Kementrian Sosial akan
meluncurkan program unggulannya berupa Program Kesejahteraan
Sosial Anak Berhadapan Dengan Hukum yang menggunakan
pemberian insentif berupa bantuan tunai bersyarat untuk anak
maupun keluarganya.
6
Program Kesejahteraan Sosial bagi Anak yang Berhadapan dengan
Hukum (PKS-ABH) sejatinya merupakan respon sistemik terhadap
permasalahan yang dihadapi oleh anak-anak yang terpaksa
berhadapan dengan proses hukum, serta mencegah dan
meminimalkan anak dengan kenakalan yang dapat mengakibatkan
berhadapan dengan hukum. Program ini diharapkan dapat memberikan
dampak lebih positif terhadap upaya melindungi proses tumbuh-
kembang mereka menuju kematangan. Sebagai respon perlindungan
khusus terhadap anak, program ini juga memberikan perhatian dan
penguatan terhadap kemampuan keluarga dan masyarakat yang
menjadi konteks terpenting kehidupan, perlindungan, dan
pembangunan pribadi anak, sekaligus konteks terbaik untuk pemulihan
keadilan. Pedoman Operasional Pelaksanaan PKSABH ini disusun untuk
memastikan upaya mensinergikan sumberdaya keluarga, masyarakat
dan pemerintah menjadi layanan yang layak, konsisten.
Tujuan
Terpenuhinya kebutuhan dan hak dasar ABH dan anak dengan
kenakalan, menguatnya tanggung jawab orang tua, menguatnya
partisipasi masyarakat dan kemampuan organisasi pelayanan dalam
pencegahan dan penyelesaian kenakalan yang tidak dihadapkan
secara hukum maupun perkara ABH, rehabilitasi dan reintegrasi agar
ABH dapat terhindar dari dampak negatif proses peradilan formal.
Sasaran
Sasaran PKSA yang akan dicapai dalam periode RPJMN II (tahun 2010-
2014) adalah:
1. Terbentuk dan menguatnya sistem perlindungan dan rehabilitasi
anak dengan kenakalan dan anak yang berhadapan dengan hukum
(ABH) yang didukung dengan SDM yang kompeten.
7
2. Peningkatan prosentasi kasus ABH yang terselesaikan melalui
mekanisme peradilan restoratif
3. Sebanyak 20 % target sasaran anak dengan kenakalan dan ABH
pusat tahun 2010, memperoleh akses pelayanan sosial dasar setiap
tahun, (target 20% disesuaikan dengan jumlah target sasaran
berdasarkan hasil pendataan di tahun yang bersangkutan).
4. Anak-anak mantan ABH siap kembali ke keluarga,
masyarakatnya dan lingkungan sosial lainnya; serta keluarga,
masyarakat, dan lingkungan sosial lainnya siap menerima kembali
anak.
5. Anak dengan kenakalan atau anak rentan berperilaku melanggar
norma/hukum terjauhkan dari kemungkinan melakukan tindak
pidana yang dapat mengakibatkan berkonflik dengan hukum.
Kriteria Penerima Program
Sasaran PKSABH diprioritaskan kepada anak-anak yang berhadapan
dengan hukum, keluarga, serta masyarakat dimana anak tinggal. ABH
yang mendapat bantuan adalah ABH yang berasal dari keluarga
miskin. Berdasarkan pertimbangan ini sasaran penerima manfaat,
terutama ditujukan kepada :
1. Anak dengan kenakalan yang melakukan pelanggaran norma
sosial tetapi tidak dalam kategori tindak pidana sehingga tidak
berhadapan dengan hukum, atau anak rentan melakukan kenakalan
atau tindak pidana.
2. Anak berhadapan dengan hukum (6 sampai di bawah 18 tahun)
dari keluarga miskin, meliputi:
8
a. anak dengan kenakalan yang telah diindikasikan melakukan
pelanggaran hukum atau tindak pidana sehingga berhadpan
dengan proses hukum (termasuk mengalami penangkapan,
penahanan, mengikuti proses peradilan, yang berstatus diversi,
menjalani masa hukuman pidana, dan menjalani masa
reintegrasi pada orang tua/keluarga).
b. Anak yang menjadi korban tindak pidana sehingga berhadapan
dengan hukum.
c. Anak yang menjadi saksi tindak pidana sehingga berhadapan
dengan hukum.
3. Keluarga miskin dari anak dengan kenakalan baik pelaku pelanggaran norma sosial maupun pelaku tindak pidana,serta korban dan saksi tindak pidana.
4. Masyarakat yang diwakili oleh totoh-tokohnya, tempat anak dengan kenakalan tinggal.
Pengkategorian kriteria anak dengan kenakalan baik pelanggar norma sosial yang tidak berhadapan dengan hukum maupun pelaku tindak pidana yang berhadapan dengan hukum, serta korban dan saksi tindak pidana yang kemudian berhadapan dengan hukum dapat digambarkan dalam diagram sebagai berikut:
Dasar Hukum
9
Pelaksanaan Program Kesejahteraan Sosial Anak didasarkan pada:
1. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak.
2. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.
3. Undang – Undang RI Nomor : 20 Tahun 1999, tentang Pengesahan
Konvensi ILO Mengenai Usia Minimum Untuk Diperbolehkan Kerja.
4. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
(Pasal 59 dan Pasal 64).
5. Undang-undanga No 23 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah.
6. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan
Sosial.
7. Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Ratifikasi
Konvensi Hak Anak, Pasal 37, 39 dan 40
Pasal 37
Negara-negara Pihak harus menjamin bahwa :
(a).Tidak seorang anak pun dapat dijadikan sasaran penganiayaan,
atau perlakuan kejam yang lain, tidak manusiawi atau hukuman
yang menghinakan. Baik hukuman mati atau pemenjaraan
seumur hidup tanpa kemungkinan pembebasan, tidak dapat
dikenakan untuk pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh
orang-orang di bawah umur delapan belas tahun;
(b).Tidak seorang anak pun dapat dirampas kebebasannya secara
melanggar hukum atau dengan sewenang-wenang.
Penangkapan, penahanan atau pemenjaraan seorang anak
harus sesuai dengan undang-undang, dan harus digunakan
hanya sebagai upaya jalan lain terakhir dan untuk jangka waktu
terpendek yang tepat;
(c).Setiap anak yang dirampas kebebasannya harus diperlakukan
manusiawi dan menghormati martabat manusia yang melekat,
dan dalam suatu cara dan mengingat akan kebutuhan-
kebutuhan orang pada umurnya. Terutama, setiap anak yang
10
dirampas kebebasannya harus dipisahkan dari orang dewasa
kecuali penempatannya itu dianggap demi kepentingan si anak
dan harus mempunyai hak untuk mempertahankan kontak
dengan keluarga melalui surat menyurat dan kunjungan,
kecuali bila dalam keadaan-keadaan luar biasa.
(d).Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak atas akses
segera ke bantuan hukum dan bantuan lain yang tepat, dan
juga hak untuk menyangkal keabsahan perampasan
kebebasannya, di hadapan suatu pengadilan atau penguasa
lain yang berwenang, mandiri dan adil, dan atas putusan
segera mengenai tindakan apa pun semacam itu.
Pasal 39
Negara-negara Pihak harus mengambil semua langkah yang tepat
untuk meningkatkan penyembuahan fisik dan psikologis dan
integrasi kembali sosial seorang anak yang menjadi korban bentuk
penelantarana apa pun, eksploitasi atau penyalahgunaan,
penganiayaan atau bentuk perlakuan kejam yang lain apa pun,
tidak manusiawi atau hukuman yang menghinakan, atau konflik
bersenjata. Penyembuhan dan integrasi kembali tersebut harus
berlangsung dalam suatu lingkungan yang meningkatkan
kesehatan, harga diri dan martabat si anak.
Pasal 40
(1).Negara-negara Pihak mengakui hak setiap anak yang
dinyatakan sebagai tertuduh, atau diakui sebagai telah
melanggar hukum pidana, untuk diperlakukan dalam suatu cara
yang sesuai dengan peningkatan rasa penghormatan dan harga
diri anak, yang memperkuat kembali penghormatan anak
terhadap hak-hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan
dasar orang-orang lain, dan yang memperhatikan umur anak
dan keinginan untuk meningkatkan integrasi kembali anak dan
pengambilan anak pada peran konstruktif dalam masyarakat.
11
(2).Untuk tujuan ini, dan dengan memperhatikan ketentuan-
ketentuan dalam instrument-instrumen internasional yang
relevan, maka Negara-negara Pihak, terutama, harus menjamin
bahwa:
(a).Tidak seorang anak pun dapat dinyatakan, dituduh, atau
diakui telah melanggar hukum pidana, karena alasan
berbuat atau tidak berbuat yang tidak dilarang oleh hukum
nasional atau internasional pada waktu perbuatan-
perbuatan itu dilakukan;
(b).Setiap anak yang dinyatakan sebagai atau dituduh telah
melanggar hukum pidana, paling sedikit memiliki jaminan-
jaminan berikut:
i. Dianggap tidak bersalah sampai terbukti bersalah
menurut hukum;
ii. Diberi informasi denga segera dan langsung mengenai
tuduhan-tuduhan terhadapnya, dan, kalau tepat, melalui
orang tuanya atau wali hukumnya, dan mempunyai
bantuan hukum atau bantuan lain yang tepat dalam
mempersiapkan dan menyampaikan pembelaannya;
iii. Masalah itu diputuskan tanpa penundaan, oleh suatu
penguasa yang berwenang, mandiri dan adil, atau badan
pengadilan dalam suatu pemeriksaan yang adil menurut
hukum, dalam kehadiran bantuan hukum atau bantuan
lain yang tepat, dan kecuali dipertimbangkan tidak dalam
kepentingan terbaik si anak, terutama, dengan
memperhatikan umurnya atau situasinya, orang tuanya
atau wali hukumnya;
iv. Tidak dipaksa untuk memberikan kesaksian atau
mengaku salah; untuk memeriksapara saksi yang
berlawanan, dan untuk memperoleh keikutsertaan dan
pemeriksaan para saksi atas namanya menurut syarat-
syarat keadilan;
12
v. Kalau dianggap telah melanggar hukum pidana, maka
putusan ini dan setiap upaya yang dikenakan sebagai
akibatnya, ditinjau kembali oleh penguasa lebih tinggi
yang berwenang, mandiri dan adil atau oleh badan
pengadilan menurut hukum;
vi. Mendapat bantuan seorang penerjemah dengan cuma-
cuma kalau anak itu tidak dapat mengerti atau berbicara
dengan bahasa yang digunakan;
vii. Kerahasiaannya dihormati dengan sepenuhnya pada
semua tingkat persidangan.
(3).Negara-negara Pihak harus berusaha meningkatkan pembuatan
undang-undang, prosedurprosedur, para penguasa dan
lembaga-lembaga yang berlaku secara khusus pada anak-anak
yang dinyatakan sebagai, dituduh, atau diakui melanggar
hukum pidana, terutama:
(a). Pembentukan umur minimum; di mana di bawah umur itu
anak-anak dianggap tidak mempunyai kemampuan untuk
melanggar hukum pidana;
(b). Setiap waktu yang tepat dan diinginkan, langkah-langkah
untuk menangani anak-anak semacam itu tanpa
menggunakan jalan lain pada persidangan pengadilan,
dengan syarat bahwa hak-hak asasi manusia dan
perlindungan hukum dihormati sepenuhnya;
(4). Berbagai pengaturan, seperti perawatan, bimbingan dan
pengawasan, perintah, penyuluhan, percobaan, pengasuhan
anak angkat, pendidikan dan program-program pelatihan
kejuruan dan pilihan-pilihan lain untuk perawatan kelembagaan
harus tersedia untuk menjamin bahwa anak-anak ditangani
dalam suatu cara yang sesuai dengan kesejahteraan mereka
dan sepadan dengan keadaan-keadaan mereka maupun
pelanggaran itu.
8. Peraturan Menteri Sosial RI Nomor: 82/HUK/2005 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Departemen Sosial.
13
9. Keputusan Menteri Sosial RI Nomor: 59/HUK/2003 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Panti Sosial di Lingkungan Departemen
Sosial.
10. Kesepakatan Bersama
Nomor: 20/PRS-2/KEP/2005
Nomor: E.U.M 06.07-83 tahun 2005,
antara Direktur Jenderal PRS Departemen Sosial RI dengan Direktur
Jenderal PAS Departemen Hukum dan HAM RI. Tentang Pelayanan
dan Rehabilitasi Sosial Anak Didik Pemasyarakatan.
11. Kesepakatan Bersama Menteri Sosial RI, Menteri Hukum dan HAM
RI, Menteri Pendidikan Nasional RI, Menteri Kesehatan RI, Menteri
Agama RI dan Kepolisian Negara RI,
Nomor : 12/PRS-2/KPTS/2009
Nomor : M.HH.04.MH.03.02.Th.2009
Nomor : 11/XII/KB/2009
Nomor : 1220/Menkes/SKB/XII/2009
Nomor : 06/XII/2009
Nomor : B/43/XII/2009
Tentang Perlindungan dan Rehabilitasi Sosial Anak Yang
Berhadapan Dengan Hukum.
12. Kesepakatan Bersama Mahkamah Agung RI, Kejaksanaan Agung,
Kepolisian Republik Indonesia, Kementerian Hukum dan Ham RI,
Kementerian Sosial dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan,
tentang Penanganan Anak yang Berhadapan dengan Hukum
tanggal 22 Desember 2009.
13. Surat Edaran Jaksa Agung RI Nomor: SE-002/j.a/4/1989 tentang
Penuntutan terhadap Anak.
14. Surat Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Nomor:
B-532/E/11/1995 tanggal 9 November 1995 perihal Petunjuk Teknis
Tentang Penuntutan Terhadap Anak.
14
15. Surat Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Nomor:
B-741/E/Epo.1/XII/1998 tanggal 15 Desember 1998 perihal
Pelaksanaan Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak.
16. TR KAPOLRI No. 1124 tahun 2006 tentang Diversi
17. TR Kabareskrim No. 395 tahun 2008, tentang Pedoman Penyidikan
ABH
Pengertian
Beberapa istilah yang berkaitan dengan penanganan ABH:
1. Anak yang berhadapan dengan hukum (ABH) adalah
anak yang telah mencapai usia 6 (enam ) tahun tetapi belum
mencapai usia 18 (delapanbelas) tahun:
a. Yang diduga, disangka, didakwa atau dijatuhi pidana karena
melakukan tindak pidana;
b. Yang menjadi korban tindak pidana atau saksi yang melihat
dan/atau mendengar sendiri terjadinya suatu tindak pidana.
2. Anak dengan kenakalan adalah anak yang telah
mencapai usia 6 (enam) tahun tetapi belum mencapai 18 (delapan
belas) tahun yang melakukan pelanggaran norma sosial yang tidak
dilaporkan sebagai tindak pidana maupun yang melakukan tindak
pidana.
3. Anak rentan adalah anak-anak yang berasal dari
keluarga miskin yang tinggal dalam suatu masyarakat yang
teridentifikasi banyak kejadian pelanggaran hukum yang dilakukan
oleh anak-anak dan atau orang dewasa.
15
4. PKS-ABH merupakan bagian dari program
kesejahteraan sosial anak (PKSA) yang memberikan serangkaian
pelayanan khusus dalam mencegah dan atau mengatasi masalah
anak berhadapan dengan hukum. Layanan tersebut mencakup
layanan pemenuhan kebutuhan dan hak dasar anak, terutama bagi
anak-anak yang sudah berhadapan dengan hukum, baik sebagai
pelaku, korban, dan saksi, anak dengan kenakalan yang tidak
berhadapan dengan hukum, dan kelompok anak yang rentan,.
Pelayanan-pelayanan tersebut berfokus pada anak dan keluarga,
yang didukung dengan pengembangan partisipasi masyarakat dan
penguatan organisasi pemberi pelayanan.
5. Komite Perlindungan dan Rehabilitasi Sosial Anak
Berhadapan dengan Hukum (KPRSABH) adalah suatu organisasi di
tingkat provinsi dan/atau kabupaten/kota yang mewadahi tim kerja
penanganan Anak yang Berhadapan dengan Hukum.
6. Panti Sosial Marsudi Putera (PSMP) adalah pusat perlindungan dan
rehabilitasi anak yang berhadapan dengan hukum yang mempunyai
fungsi melakukan penjangkauan, pendampingan dalam keluarga
atau masyarakat, bimbingan konseling, serta memberikan
perlindungan dan rehabilitasi sosial, meliputi perlindungan terhadap
pemenuhan hak-hak anak, perlindungan secara fisik, bimbingan
mental psikologis, bimbingan sosial, bimbingan keterampilan,
resosialisasi, reintegrasi, serta bimbingan lanjutan bagi anak yang
berhadapan dengan hukum agar mampu hidup selaras dengan
lingkungan serta berperan aktif dalam kehidupan masyarakat.
7. Lembaga Swadaya Masyarakat ABH adalah organisasi sosial atau
perkumpulan sosial yang melaksanakan kegiatan penanganan ABH
yang dibentuk oleh masyarakat, baik yang berbadan hukum
maupun yang tidak berbadan hukum.
8. Pendamping adalah seseorang yang dipandang memenuhi syarat
untuk mendampingi anak yang berhadapan dengan hukum, baik
pelaku, korban, maupun saksi, pada pasca diversi sebagai upaya
16
tindak lanjut dan penguatan hasil intervensi; juga kepada kelompok-
kelompok anak rentan maupun anak dengan kenakalan yang tidak
dilaporkan sebagai pelaku tindakpidana sebagai upaya pencegahan
kenakalan dan berhadapan hukum maupun penguatan sikap dan
prilaku prososial.
9. Pekerja Sosial Profesional adalah seseorang yang memiliki
kompetensi dan profesi pekerjaan sosial, dan kepedulian dalam
pekerjaan sosial yang diperoleh melalui pendidikan, pelatihan,
dan/atau pengalaman praktek pekerjaan sosial untuk melaksanakan
tugas-tugas pelayanan dan penanganan masalah sosial.
10. Pekerja Sosial Sukarela/Relawan Sosial adalah
seseorang dan/atau kelompok masyarakat, baik yang berlatar
belakang pekerjaan sosial maupun bukan berlatar belakang
pekerjaan sosial, tetapi melaksanakan kegiatan penyelenggaraan
dibidang sosial bukan di instansi sosial pemerintah atas kehendak
sendiri dengan atau tanpa imbalan.
11. Tenaga Kesejahteraan Sosial Anak adalah seseorang
yang dididik dan dilatih secara professional untuk melaksanakan
tugas-tugas pelayanan dan penanganan anak-anak yang mengalami
masalah sosial dan/atau seseorang yang bekerja, baik di lembaga
pemerintah maupun swasta yang ruang lingkup kegiatannya di
bidang kesejahteraan sosial anak.
12. Tim Kerja PRSABHBM adalah Perkumpulan sosial
yang dibentuk oleh masyarakat di tingkat Desa/Kelurahan yang
melaksanakan upaya pencegahan dan penanganan ABH.
Kerangka Kebijakan
Konvensi Hak Anak (KHA) atau Convention on The Rights of The Child
(CRC) merupakan instrumen/hukum internasional tentang hak-hak
anak. Indonesia telah meratifikasi Konvensi Hak Anak (KHA) melalui
Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990. Negara yang telah
meratifikasi sebuah konvensi maka negara tersebut terikat secara
17
yuridis dan politis. Secara Yuridis, dengan telah meratifikasi KHA,
Indonesia memiliki kewajiban untuk mengembangkan sistem nasional
kesejahteraan dan perlindungan anak dalam bentuk kebijakan,
peraturan perundang-undangan, strategi dan program yang selaras
dengan kewajiban negara dalam konvensi tersebut. Undang-Undang
No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak merupakan salah satu
perwujudan kewajiban negara dalam melaksanakan keterikatan secara
yuridis sebagai konsekuensi dari ratifikasi hukum internasional. Dalam
proses penyusunan undang-undang tersebut, menjadikan Konvensi
Hak Anak menjadi rujukan utama, selain norma-norma hukum yang
berlaku di Indonesia.
Secara politis, negara berkewajiban secara aktif mengembangkan
sistem yang dapat menjamin terciptanya kesejahteraan dan
perlindungan anak. Oleh karena itu, konvensi mewajibkan negara
untuk menjadikan prinsip non-diskriminasi, kepentingan terbaik bagi
anak, hak untuk hidup, kelangsung hidup, dan perkembangan, serta
penghargaan terhadap pendapat anak harus masuk dalam semua
perencanaan nasional dan kebijakan di level pemerintah dan
parlemen, termasuk menjamin penyediaan anggaran yang memadai
untuk pelayanan kesejahteraan sosial anak. Hak-hak anak merupakan
bagian integral dari HAM, berkaitan dengan peranan negara, maka
tiap negara mengemban kewajiban yaitu : melindungi (to protect); (2)
memenuhi (to fulfill) dan menghormati (to respect) hak-hak anak.
Kita patut mensyukuri, bahwa isu anak telah masuk secara signifikan
dalam RPJMN 2010-2014. Dalam 5 tahun ke depan, kerangka
kebijakan nasional mengalami perubahan yang fundamental. Dalam
rangka pelakasanaan RJPMN tersebut, Kementerian Sosial juga telah
merubah paradigma dalam kebijakan pelayanan sosial anak. Intruksi
Presiden Nomor 3 Tahun 2010 tentang Pembangunan yang
Berkeadilan yang mengintruksikan pelaksanaan program keadilan
untuk semua, anatara lain program keadilan untuk anak.
18
Semula kebijakan pelayanan sosial kepada anak dilaksanakan secara
sektoral/ fragmentaris, jangkauan pelayanan terbatas, reaktif dan
berorientasi pada krisis, fokus pada pendekatan institusi/ panti sosial
dan menciptakan ketergantungan keluarga dan masyarakat, serta
belum adanya rencana strategis nasional yang dapat dijadikan acuan
bagi pemangku kepentingan dalam mewujudkan upaya-upaya
perlindungan kepada anak. Dengan paradigma baru, maka kebijakan
pelayanan Kesejahteraan Sosial Anak menggunakan pendekatan Hak
Asasi Manusia, bersifat universal, dengan pendekatan yang terpadu
dan komprehensif, yang dapat menjangkau seluruh anak yang
mengalami masalah sosial, melalui sistem dan program kesejahteraan
sosial yang melembaga dan profesional serta mengedepankan peran
dan tanggung jawab keluarga dan masyarakat, di mana PKSA menjadi
program prioritas nasional sesuai dengan Intruksi Presiden Nomor
1/2010. Sesuai dengan paradigma tersebut maka Kementerian Sosial,
khususnya Direktorat Pelayanan Sosial Anak, telah menyususn
Rencana Strategis Tahun 2010-2014, untuk mewujudkan
kesejahteraan dan perlindungan anak yang selayaknya
diimplementasikan berdasarkan prinsip dan perspektif perlindungan
anak sesuai dengan Konvensi Hak Anak, yang merupakan upaya
perlindungan yang merupakan kontinuitas dari tingkat primer,
sekunder sampai dengan tertier. Upaya perlindungan ingkat primer ini
berupa edukasi, informasi dan peningkatan kesadaran pihak-pihak
yang terkait tentang perlindungan anak, sedangkan upaya sekunder
berupa penguatan/dukungan tanggung jawab keluarga. Adapun yang
tertier adalah pemberian perlindungan, berupa dukungan intensif
terhadap keluarga dan pengasuhan anak di luar keluarganya, serta
pelayanan perlindungan anak.
Perubahan paradigma inipun berimplikasi kepada nomenklatur ‘Anak
Nakal’, sehingga Kementerian Sosial melakukan perubahan
nomenklatur Anak Nakal menjadi Anak dengan kenakalan, termasuk
19
didalamnya anak pelaku tindak pidana, anak korban dan saksi tindak
pidana yang kemudian tercakup dalam nomenklatur Anak Berhadapan
dengan Hukum (ABH). Kementerian Sosial berpendapat bahwa anak
yang melanggar hukum/anak pelaku tindak pidana itu sebenarnya
adalah korban lingkungan, korban karena kesalahan pengasuhan
orang tua, kerena kemiskinan atau korban karena kebijakan dan
peraturan yang tidak sensitif anak.
Penanganan ABH telah bergeser dari pendekatan keadilan retributive
menjadi pendekatan keadilan restorative dengan mengutamakan
pemenuhan hak-hak anak (right based approach). Berdasarkan
kebijakan tersebut maka diperlukan perhatian dan kesungguhan
semua pihak terkait dengan penanganan ABH dengan
mengedepankan kepentingan terbaik untuk anak dan tetap
terpenuhinya hak-hak anak serta melihat anak sebagai korban,
sehingga anak dapat tetap mendapatkan hak dasarnya sekalipun yang
bersangkutan sedang menjalani proses peradilan.
Sehubungan dengan ketentuan pasal 40 Konvensi Hak Anak dan
Resolusi PBB No. 40/33. Tahun 1985 tentang Peraturan Minimum
Standard Administrasi Peradilan Pidana Bagi Anak, Resolusi PBB No 45/
112 Tahun 1990, Pedoman PBB dalam rangka Pencegahan Tindak
Pidana Anak, serta Resolusi PBB No. 45 /133 Tahun 1990, Peraturan
PBB tentang Perlindungan Bagi Remaja yang Dirampas
Kemerdekaannya. Peraturan tersebut mengamanatkan, antara lain
agar Negara membuat peraturan perundang-undangan yang berlaku
khusus untuk penanganan ABH ini termasuk membuat peraturan yang
memberikan kewenangan kepada lembaga yang terkait dengan
penanganan ABH untuk menyelesaikan perkara anak ini tanpa
menggunakan peradilan formal (diversi). Upaya paksa dan
perampasan kemerdekaan dalam penanganan ABH haruslah
dihindarkan, kalaupun terpaksa dilakukan maka harus merupakan
upaya terakhir dan dilaksanakan di tempat khusus, dalam waktu yang
sangat singkat dan dipisahkan dari orang dewasa.
20
Mengacu pada ketentuan tersebut diatas, maka Kementerian Sosial
juga melakukan perubahan nomenklatur Panti Sosial Marsudi Putra
(PSMP) menjadi Pusat Perlindungan dan Rehabilitasi Sosial Anak
Berhadapan Dengan Hukum, walaupun demikian Penitipan anak di
PPRSA ini merupakan alternative terakhir / tempat sementara bagi
ABH pada saat menyiapkan anak untuk reintegrasi keluarga dan
menyiapakan alternatif pengasuhan di luar orang tua/ keluarga dan
demi kepentingan terbaik bagi anak.
Penanganan ABH perlu dilakukan secara professional, terpadu dan
terintegrasi antar pemangku kepentingan/lintas sektor dan harus
dilembagakan secara formal dengan pembentukan Komite
Perlindungan dan Rehabilitasi Anak Berhadapan dengan Hukum
dengan kesekretariatan berada di Unit Pelaksana Teknik Perlindungan
dan Rehabilitasi ABH atau lembaga pelayanan kesejahteraan sosial
anak lainnya. Untuk itu diperlukan pengembangan model perlindungan
ABH yang berbasis masyarakat yang berada di tingkat lokal.
Kementerian Sosial juga memberikan pelayanan sosial ABH ini,
meliputi pencegahan, penjangkauan dan penyelesaian masalah,
rehabilitasi dan reintegrasi baik dengan keluarga, lingkungan,
masyarakat dan sekolah.
II. Gambaran Program
Komponen Program
1. Pengembangan Sistem dan Kapasitas SDM
a. Penguatan Kebijakan dan Pengembangan Program di daerah
(e.g. Sosialisasi SKB dan RJ, Penyusunan Pedoman PKSA)
b. Penguatan kelembagaan, meliputi:
- Bimbingan Pemantapan Pengelola Perlindungan Anak
- Pengembangan kapasitas teknis pekerja sosial perlindungan
ABH
- Penumbuhkembangan KPRSABH
21
- Bantuan operasional LPKSABH dengan rasio pemanfaatan
20% untuk kesekretariatan, 80% untuk pepentingan
perlindungan dan pengembangan anak.
- Fasilitasi penyelesaian masalah,
- Pembentukan dan Penguatan Jaringan
- Rapat koordinasi antar instansi/lintas sektor
- Supervisi pelaksanaan kegiatan LPKSABH
2. Pencegahan:
a. Peningkatan aksesibilitas terhadap berbagai sumber pelayanan
kesejahteraan sosial dasar (dalam rangka pemenuhan hak
dasar) pada anak dengan kenakalan yang bukan pelaku tindak
pidana dan atau anak rentan. Contohnya, akses terhadap
pendidikan dasar/ pendidikan alternative dan vocational training
untuk anak dengan kenakalan yang bukan pelaku tindak pidana
dan atau anak rentan yang berusia 15 tahun ke atas.
b. Pendampingan psikososial anak dengan kenakalan yang bukan
pelaku tindak pidana dan atau anak rentan dalam
pengembangan perilaku prososial.
c. Pengembangan Pusat-pusat Kegiatan Remaja
d. Pendidikan hukum untuk anak
e. Penguatan tanggung jawab keluarga dengan good parenting
skills training
f. Pendidikan hukum untuk keluarga-keluarga.
3. Penyelesaian kasus:
a. Fasilitasi penyelesaian masalah hukum anak melalui pendekatan
peradilan restoratif (kegiatan berbasis masyarakat di PRSABH-BM
dan KPRSABH)
Respon laporan dan asesmen
Motivasi dan penyiapan mediasi / penyelesaian
melalui musyawarah
Pelaksanaan mediasi dan penandatanganan berita
acara kesepakatan
22
Pelaksanaan kesepakatan
Monitoring dan evaluasi
Tindak lanjut
b. Pendampinan psikososial dan bantuan bagi anak dalam proses
penyelesaian hukum formal:
Pendampingan psikososial bagi pelaku (jika
diminta), korban, maupun saksi dalam penyelesaian proses
hukum formal.
Peningkatan akses pada pendampingan hukum bagi
pelaku maupun korban.
Bantuan untuk transportasi dan akomodasi bagi
anak pelaku, korban, maupun saksi tindak pidana dalam
mengikuti proses persidangan
Bantuan sosial lainnya (misal. Perwalian dalam
persidangan)
4. Bantuan, pelayanan, rehabilitasi, dan reintegrasi anak pelaku tindak
pidana.
a. Bantuan anak pelaku tindak pidana yang berhadapan dengan
hukum (untuk pemenuhan kebutuhan/hak dasar anak: makanan,
minuman, pakaian, pendidikan, kesehatan):
Bantuan emergensi (termasuk transport dan
akomodasi) untuk ABH dalam proses penyelesaian perkara (RJ
maupun formal)
Bantuan Tunai Bersyarat untuk tetap menjamin
pemenuhan kebutuhan/hak dasar dan akses pada pelayanan
dasar anak.
b. Pelayanan akses pada pengasuhan sementara untuk anak pelaku
tindak pidana yang membutuhkan.
a) Pelayanan konseling/pengubahan perilaku dalam rangka
rehabilitasi anak pelaku tindak pidana, secara individual atau
kelompok.
23
b) Fasilitasi reintegrasi anak pelaku tindak pidana dengan keluarga
dan masyarakatnya
Social skills training untuk anak
Akses pada vocational training untuk anak di atas 15 tahun
dan keluarga
Penguatan keluarga melalui good parenting training untuk
orang tua
Asimilasi/fasilitasi komunikasi anak dg keluarga dan
masyarakat
Penyiapan masyarakat untuk menerima kembali anak yang
telah berhadapan dengan hukum.
a) Perlindungan dan pemulihan psikososial anak korban tindak pidana:
1) Bantuan anak korban tindak pidana yang berhadapan dengan
hukum (untuk pemenuhan kebutuhan/hak dasar anak: makanan,
minuman, pakaian, pendidikan, kesehatan):
Bantuan emergensi (termasuk transportasi dana akomodasi)
untuk korban dalam pertolongan pertama maupun proses
penyelesaian perkara.
Bantuan tunai bersyarat untuk mendukung pemenuhan
kebutuhan/ hak dasar dan akses pada pelayanan dasar pada
masa pemulihan.
2) Pelayanan akses terhadap pengasuhan sementara/rumah aman
untuk anak korban tindak pidana yang membutuhkan.
3) Program terapi/konseling pemulihan psikososial pada anak
korban tindak pidana, secara individual atau kelompok.
4) Penguatan dukungan sosial keluarga/orang tua terhadap anak
korban tindak pidana.
Persyaratan dan kewajiban penerima bantuan
Persyaratan dan kewajiban penerima bantuan yang dijelaskan pada
bagian ini khususnya berkaitan dengan bantuan tunai bersyarat.
Penjelasannya dirinci berdasarkan sasaran, bantuan tunai bersyarat,
24
penggunaan bantuan, serta persyaratan dan kewajiban penerima
bantuan, seperti nampak pada matrik berikut ini :
No Sasaran Bantuan Tunai Bersyarat
Penggunaan Bantuan Persyaratan dan Kewajiban
1 ABH: pemenuhan kebutuhan/hak dasar pelaku ABH dalam mendukung rehabilitasi dan reintegrasi.
Untuk transportasi dan atau akomodasi mengikuti pendidikan formal/nonformal/ keterampilan kerja/ pelatihan keterampilan sosial/terapi/konseling pengubahan perilaku.
Untuk transportasi dan akomodasi mengikuti kegiatan/ terapi/ konseling pengubagan perilaku pada masa pasca penyelesaian perkara.
Untuk membeli peralatan sekolah atau alat keterampilan kerja
Melaksanakan kesepakatan yang telah disepakati dalam mediasi (misalnya : membayar ganti rugi, membersihkan tembok, dll).
Memiliki tingkat kehadiran di sekolah/pendidikan alternatif minimal 80%.
Memiliki tingkat kehadiran mengikuti sesi terapi/konseling pengubahan perilaku minimal 80%.
Tidak melakukan pelanggaran hukum.
pemenuhan kebutuhan/hak dasar anak korban tindak pidana dalam mendukung perlindungan dan pemulihan psikososial.
Untuk transportasi dan atau akomodasi mengikuti pendidikan formal, nonformal dan keterampilan kerja, serta pelatihan keterampilan sosial.
Untuk transportasi dan akomodasi mengikuti terapi pemulihan psikososial.
Untuk membeli peralatan sekolah atau alat
Memiliki tingkat kehadiran di sekolah/pendididkan alternatif minimal 80%.
Memiliki tingkat kehadiran dalam sesi terapi/ konseling psikososial minimal 80%.
25
keterampilan kerja.
pemenuhan kebutuhan/hak dasar anak dengan kenakalan atau anak rentan dalam mendukung pencegahan kenakalan atau pelanggaran hukum.
Bantuan untuk transportasi dan atau akomodasi untuk mengikuti pendidikan formal, nonformal dan keterampilan kerja, serta pelatihan keterampilan sosial.
Bantuan perlindungan sosial bagi ABH, untuk kebutuhan dasar anak seperti kesehatan, pendidikan (Kebutuhan sekolah; transportasi, pembelian alat-alat tulis, perlengkapan sekolah)
Memiliki tingkat kehadiran di sekolah minimal 80%
Medmiliki tingkat kehadiran mengikuti pendidikan alternatif minimal 80%
Tidak melakukan pelanggaran hukum
3 Orangtua
/keluarga
mendorong keluarga melakukan pola pengasuhan dan perlindungan anak yang dapat menjauhkan anak dari hukum
Transportasi selama proses peradilan
Bantuan perlindungan sosial berupa modal usaha
Tidak melakukan tindak kekerasan terhadap anak
Tidak mempekerjakan anak.
Mendorong anak untuk hadir di sekolah minimal 80%
Mendorong anak untuk hadir dalam mengikuti pendidikan alternatif minimal 80%
Tahapan Program
Secara umum, tahapan PKSABH yang akan dilaksanakan adalah:
1. Workshop Pedoman Operasional Model Perlindungan ABH
2. Sosialisasi Surat Keputusan Bersama (SKB) Antar Menteri serta
PKSABH
26
3. Fasilitasi Pembentukan Komite Perlindungan Rehabilitasi Sosial Anak
Berhadapan dengan Hukum (KPRSABH)
a) Persiapan
Rapat Persiapan Pembentukan Komite Perlindungan dan
Rehabilitasi Sosial Anak yang Berhadapan dengan Hukum
KPRSABH Pusat
Penjajagan Persiapan Pembentukan KPRSABH di daerah
b) Pelaksanaan Kegiatan Di Lokasi
Rapat koordinasi pembentukan KPRS ABH di daerah
Pembentukan Komite Perlindungan dan Rehabilitasi Sosial
ABH di daerah
Bimbingan dan Pemantapan pengelolaan program KPRS ABH
di Daerah
c) Pengukuhan KPRS ABH
d) Supervisi Pelaksanaan Kegiatan
e) Bimbingan dan Pemantapan Pekerja Sosial
f) Pelaksanaan penyelesaian kasus
a) Fasilitasi penyelesaian
masalah hukum anak melalui pendekatan peradilan
restoratif (kegiatan berbasis masyarakat di PRSABH-BM dan
KPRSABH)
b) Pendampinan anak
dalam proses penyelesaian hukum formal:
Sosial
g) Pemberian bantuan, pelayanan, rehabilitasi, dan reintegrasi anak
pelaku tindak pidana
h) Perlindungan dan pemulihan psikososial anak korban tindak
pidana:
27
III. Unit Pengelola
Unit Pengelola PKSABH
Kriteria Lembaga Pengelola PKSABH
a) Memiliki ijin operasional dari Dinas Sosial atau instansi yang berwenang
di daerah.
b) Memiliki Surat Keputusan Penunjukkan Tim/Komite/Kelembagaan yang
ditandatangani oleh Pemerintahan setempat, dan atau akta notaris dan
NPWP
c) Memiliki struktur organisasi kelembagaan yang jelas.
d) Sanggup melaksanakan PKSABH sebagaimana mestinya dibuktikan
dengan Surat Pernyataan Kesanggupan.
e) Memiliki pengalaman dalam menangani kasus-kasus ABH, dibuktikan
dengan laporan kasus2 yang pernah ditangani oleh Lembaga yang
bersangkutan.
f) Memiliki tenaga Pekerja Sosial dan Tenaga Kesejahteraan Sosial Anak
(TKSA) sebagai pendamping yang berkompeten dibidangnya dengan
jumlah yang memadai;
g) Memiliki fasilitas pelayanan yang memadai untuk mlaksanakan PKS-
ABH.
h) Memiliki rekening bank yang masih aktif atas nama lembaga (bukan
rekening pribadi).
i) Nama dan alamat lembaga yang tercantum dalam rekening harus sama.
j) Memiliki jaringan kerja yang dapat mendukung terlenggaranya PKSABH.
k) Memperoleh rekomendasi dari instansi yang relevan sekaligus sebagai
garansi.
2). Tahapan Seleksi Lembaga Pengelola PKSABH
a) Permohonan untuk menjadi mitra Kemensos RI yang diajukan ke
Direktorat PSA Kemensos RI Cq dinas sosial setempat
b) Pengusulan Mitra/ Yayasan/ Lembaga ABH oleh dinas sosial setempat ke
Kementerian Sosial RI
28
c) Pengajuan TOR oleh Mitra/ Yayasan/ Lembaga PKS-ABH yang
bersangkutan kepada Direktorat Pelayanan Sosial Anak Kementerian
sosial RI melalui Dinas Sosial setempat
d) Rapat Persiapan Tim seleksi oleh dinas sosial Propinsi /kota setempat dg
melibatkan Kemensos RI
e) Seleksi administrasi oleh dinas sosial Propinsi /kota setempat
f) Seleksi interview oleh dinas sosial Propinsi /kota setempat dg melibatkan
Kemensos RI
g) Validasi Lembaga yg akan menjadi mitra dinas sosial Propinsi /kota
h) Rapat Tim seleksi yg melibatkan Kemensos RI
i) Penentuan Lembaga ABH yang menjadi mitra Kemensos RI
j) Pengesahan/ Pengukuhan
3) Lembaga yang potensial sebagai pengelola PKSABH
Lembaga-lembaga yang potensial menjadi penyelenggara PKS-ABH
adalah Komite Perlindungan dan Rehabilitasi Sosial Anak
Berhadapan dengan Hukum (KPRS-ABH) atau lembaga pelayanan
kesejahteraan sosial anak lainnya, seperti PSMP atau PRSABH-BM.
Berikut ini akan dijelaskan mengenai pola umum ketiga jenis
lembaga tersebut dalam penyelenggaraan program perlindungan
dan rehabilitasi ABH.
a) PRSABH-BM
(1)Tujuan
(a) Teridentifikasi dan terpetakannya permasalahan ABH di
wilayah kerja lembaga
(b) Meningkatnya pemahaman masyarakat tentang hukum
dan perundang-undangan yang berlaku demi
menjauhkan anak-anak dari permasalahan hukum.
(c) Meningkatnya kepedulian dan tanggung jawab
masyarakat akan keberadaan permasalahan ABH dan
pentingnya proses peradilan restoratif.
29
(d) Terlaksananya keadilan restoratif sesuai dengan masalah
dan potensi masyarakat yang tersedia.
(e) Terlaksananya berbagai program pencegahan ABH serta
upaya penguatan masyarakat seperti program
penyuluhan hukum, pelatihan pengasuhan anak,
pelatihan keterampilan kerja untuk anak yang berusia di
atas 15 tahun, dan pemberdayaan ekonomi keluarga.
(f) Meningkatnya akses layanan bagi perlindungan dan
pemenuhan hak anak serta rehabilitasi ABH.
(g) Terlaksananya monitoring terhadap perilaku anak dan
keluarga ABH pasca diversi
(h) Terselenggaranya pendampingan terhadap ABH agar
bisa tetap diterima keluarga dan lingkungan masyarakat.
(2) Kedudukan
PRSABH-BM berkedudukan di Kelurahan / Desa.
(a) Unsur PRSABH-BM
(b) Pekerja Sosial (Kementrian Sosial/Dinas/Instansi Sosial)
(c) Tokoh Masyarakat/PSM
(d) Tokoh Pemuda
(e) Orsos dan Ormas yang bergerak dalam bidang pelayanan
anak dan kepemudaan
(3) Struktur Kelembagaan
(a) Penanggung Jawab (Pejabat yang berwenang)
(b) Ketua
(c) Sekretaris
(d) Bendahara
(e) Seksi-seksi (sesuai kebutuhan)
(4) Kewenangan, Tugas, dan peranan
(a) Mengidentifikasi dan memepetakan permasalahan ABH di
wilayah kerja lembaga
30
(b) Meningkatkan pemahaman masyarakat tentang hukum
dan perundang-undangan yang berlaku demi menjauhkan
anak-anak dari permasalahan hukum.
(c) Meningkatkan kepedulian dan tanggung jawab
masyarakat akan keberadaan permasalahan ABH dan
pentingnya proses peradilan restoratif.
(d) Mengusahakan terlaksananya keadilan restoratif sesuai
dengan masalah dan potensi masyarakat yang tersedia
melalui kegiatan advokasi sosial.
(e) Melaksanakan berbagai program pencegahan ABH serta
upaya penguatan masyarakat, seperti program
penyuluhan hukum, pelatihan pengasuhan anak,
pelatihan keterampilan kerja untuk anak yang berusia di
atas 15 tahun, dan pemberdayaan ekonomi keluarga.
(f) Meningkatkan akses anak dan keluarga terhadap
berbagai program perlindungan dan pemenuhan hak
anak serta program rehabilitasi ABH.
(g) Melaksanakan monitoring terhadap perilaku anak dan
keluarga ABH pasca diversi.
(h) Melakukan pendampingan terhadap ABH agar bisa tetap
diterima keluarga dan lingkungan masyarakat.
(i) Membantu terwujudnya keadilan restoratif bagi ABH
dalam proses hukum.
(j) Melakukan koordinasi dengan pihak-pihak terkait bagi
terlaksananya model keadilan restorative.
PSMP
(1) Tujuan
Secara umum, PSMP dalam kaitannya dengan penanganan
anak yang berhadapan dengan hukum adalah untuk
mendukung terselenggaranya keadilan restoratif secara
efektif dan terlindungi anak-anak dari kemungkinan trauma
31
akibat situasi yang tidak ramah anak yang terjadi dalam
proses peradilan formal atau pemenjaraan.
Beberapa tujuan khusus yang ingin dicapai oleh PSMP dalam
program PKSABH adalah:
(a)Terselenggaranya kesekretariatan KPRSABH yang supportif
dan kondusif bagi program-programnya.
(b)Tersedianya rumah aman bagi ABH (korban, pelaku
maupun saksi) yang membutuhkan pengasuhan sementara
yang aman, selama menunggu penyelesaian masalah
hukum yang sedang mereka hadapi.
(c) Terselenggaranya berbagai pelayanan emergensi bagi ABH
dan keluarga yang membutuhkan, selama proses
penyelesaian masalah, dalam rangka menjamin
pemenuhan kebutuhan dasar yang berkaitan dengan hak
hidup dan mempertahankan kehidupan anak.
(d)Terselengaranya program-program rehabilitasi sosial untuk
ABH, dengan mengedepankan berbagai teknik pengubahan
perilaku, trauma konseling, latihan-latihan keterampilan
sosial, serta proggram-program intervensi psikososial
lainnya yang dibutuhkan, dalam rangka mempersiapkan
reintegrasi anak dengan keluarga dan masyarakatnya.
(e)Tersedianya informasi yang dibutuhkan demi tercapainya
keadilan restorative bagi ABH dalam proses hukum.
(f) Terbukanya akses layanan bagi perlindungan dan
pemenuhan hak anak serta program rehabilitasi ABH.
(g)Terdampinginya ABH agar bisa tetap diterima keluarga dan
lingkungan masyarakat.
(2) Kedudukan
PSMP berkedudukan di propinsi.
32
(3) Unsur Pengurus PKSABH di PSMP
(a) Satu orang koordinator PKSABH yang merangkap sebagai
Sekretaris KPRSABH
(b) Tim sekretariat yang terdiri dari tenaga administrasi dan
keuangan
(c) Seorang koordinator Pekerja Sosial (Supervisor)
(d) Satu orang Manajer Kasus
(e) Satu orang Case Worker
(f) Satu orang Group Worker
(g) Satu orang Pendamping anak dan keluarga
(h) Tim pengasuh di rumah aman
(4) Struktur Kelembagaan
(a) Penanggung Jawab (Pejabat yang berwenang)
(b) Ketua
(c) Sekretaris
(d) Bendahara
(e) Seksi-seksi
Seksi Identifikasi dan Penerimaan
Seksi Pelayanan dan Rehabilitasi
Seksi Perlindungan dan Advokasi
Seksi Rujukan dan Tindak lanjut
(5)Kewenangan, Tugas, dan peranan
(a) Menyelenggarakan tugas-tugas kesekretariatan KPRSABH
yang supportif dan kondusif bagi program-programnya.
(b) Menyediakan atau memfasilitasi akses terhadap rumah
aman bagi ABH (korban, pelaku maupun saksi) yang
membutuhkan pengasuhan sementara yang aman, selama
33
menunggu penyelesaian masalah hukum yang sedang
mereka hadapi.
(c) Menyelenggarakan berbagai pelayanan emergensi bagi
ABH dan keluarga yang membutuhkan, selama proses
penyelesaian masalah, dalam rangka menjamin
pemenuhan kebutuhan dasar yang berkaitan dengan hak
hidup dan mempertahankan kehidupan anak.
(d) Menyelenggarakan program-program rehabilitasi sosial
untuk ABH, dengan mengedepankan berbagai teknik
pengubahan perilaku, trauma konseling, serta proggram-
program intervensi psikososial lainnya yang dibutuhkan,
dalam rangka mempersiapkan reintegrasi anak dengan
keluarga dan masyarakatnya.
(e) Membantu memberikan informasi yang dibutuhkan (jika
diperlukan) demi tercapainya keadilan restorative bagi
ABH dalam proses hukum.
(f) Meningkatkan akses layanan bagi perlindungan dan
pemenuhan hak anak serta rehabilitasi ABH.
(g) Melakukan pendampingan terhadap ABH agar bisa tetap
diterima keluarga dan lingkungan masyarakat.
Komite Perlindungan dan Rehabilitasi Sosial ABH
1) Tujuan
(a) Terjalinnya seluruh kekuatan dan potensi masyarakat
dalam mewujudkan sistem keadilan restoratif bagi ABH
dalam masyarakat.
(b) Teridentifikasi dan terpetakannya permasalahan ABH
dalam masyarakat.
(c) Terbangun dan tersebarluaskannya pengetahuan serta
kepercayaan masyarakat akan KPRSABH dalam
34
menyelesaikan masalah hukum anak dalam kerangka
keadilan restoratif.
(d) Terlaksananya proses peradilan restoratif bagi ABH sesuai
dengan masalah dan potensi masyarakat yang tersedia.
(e) Tersedianya rumah aman bagi ABH (korban, pelaku
maupun saksi) yang membutuhkan pengasuhan
sementara yang aman, selama menunggu penyelesaian
masalah hukum yang sedang mereka hadapi.
(f) Terselenggaranya berbagai pelayanan emergensi bagi
ABH dan keluarga yang membutuhkan, selama proses
penyelesaian masalah, dalam rangka menjamin
pemenuhan kebutuhan dasar yang berkaitan dengan hak
hidup dan mempertahankan kehidupan anak.
(g) Terselengaranya program-program rehabilitasi sosial
untuk ABH, dengan mengedepankan berbagai teknik
pengubahan perilaku, trauma konseling, pendidikan
teman sebaya, serta proggram-program intervensi
psikososial lainnya yang dibutuhkan, dalam rangka
mempersiapkan reintegrasi anak dengan keluarga dan
masyarakatnya.
(h) Meningkatnya akses layanan bagi perlindungan dan
pemenuhan hak anak serta rehabilitasi ABH.
(i) Tersedianya informasi yang dibutuhkan demi tercapainya
keadilan restorative bagi ABH dalam proses hukum.
(j) Teridentifikasi dan berkembangnya model-model keadilan
restoratif bagi ABH.
(k) Terdukungnya suatu sistem peradilan anak (proses
hukum formal) yang ramah anak
2) Kedudukan
KPRS-ABH berkedudukan di kabupaten/kota.
35
3) Unsur KPRS-ABH
(a) Kementrian Sosial/Dinas/Instansi Sosial
(b) Instansi terkait (Bapas, Kepolisian, Diknas, Kesehatan)
(c) Organisasi Pemuda
(d) LBH/LSM
(e) Tokoh Masyarakat Relawan/PSM
(f) Tenaga profesional (pekerja sosial, psikolog
perkembangan anak, dokter, ahli hukum)
(g) Pendidik Teman Sebaya (Peer Educators) – Mantan ABH
(h) Tenaga Pendamping Anak dan Keluarga
4) Struktur Kelembagaan
(a)Penanggung Jawab (Pejabat yang berwenang)
(b)Ketua
(c) Sekretaris
(d)Bendahara
(e)Seksi-seksi (sesuai kebutuhan)
(f) Tim pelaksana teknis (Gugus Tugas)
5) Kewenangan, Tugas, dan peranan
(a)Membangun dan mengembangkan jejaring sosial untuk
menyatukan kekuatan dan potensi masyarakat dalam
mewujudkan sistem keadilan restoratif bagi ABH dalam
masyarakat.
(b)Melakukan diseminasi dan sosialisasi tentang peran dan
fungsi KPRSABH dalam menyelesaikan masalah hukum
anak dalam kerangka keadilan restoratif.
36
(c) Mengidentifikasi dan memetakan permasalahan ABH
dalam masyarakat.
(d)Menerima dan merespon laporan kasus ABH (anak yang
melakukan pelanggaran hukum, korban, atau saksi
pelanggaran hukum) secara cepat dan sigap.
(e)Menjajagi kemungkinan dan memotivasi keluarga korban
maupun pelaku untuk melaksanakan proses peradilan
restoratif di KPRSABH.
(f) Melaksanakan proses peradilan restoratif bagi ABH sesuai
dengan masalah dan potensi masyarakat yang tersedia.
(Melakukan mediasi permasalahan ABH berdasarkan
model keadilan restorative).
(g)Menyediakan atau memfasilitasi akses anak terhadap
rumah aman bagi ABH (korban, pelaku maupun saksi)
yang membutuhkan pengasuhan sementara yang aman,
selama menunggu penyelesaian masalah hukum yang
sedang mereka hadapi.
(h)Menyelenggarakan berbagai pelayanan emergensi bagi
ABH dan keluarga yang membutuhkan, selama proses
penyelesaian masalah, dalam rangka menjamin
pemenuhan kebutuhan dasar yang berkaitan dengan hak
hidup dan mempertahankan kehidupan anak.
(i) Menyelenggarakan program-program rehabilitasi sosial
untuk ABH, dengan mengedepankan berbagai teknik
pengubahan perilaku, trauma konseling, serta proggram-
program intervensi psikososial lainnya yang dibutuhkan,
dalam rangka mempersiapkan reintegrasi anak dengan
keluarga dan masyarakatnya.
(j) Meningkatkan akses layanan bagi perlindungan dan
pemenuhan hak anak serta rehabilitasi ABH.
37
(k)Merekomendasikan hasil pengkajian masalah sebagai
dasar pertimbangan pengambilan keputusan terbaik bagi
ABH kepada pihak-pihak terkait.
(l) Melakukan koordinasi dengan pihak-pihak terkait bagi
terlaksananya model keadilan restorative.
(m) Mengidentifikasi dan mengembangkan model-model
keadilan restoratif bagi ABH.
IV. Monitoring, Evaluasi, dan Pelaporan
Pemerintah dan pemerintah daerah melakukan pembinaan dan
pengawasan terhadap aktivitas penyelenggaraan PKSABH sesuai
dengan kewenangannya masing-masing. Masyarakat dapat
melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap aktivitas
penyelenggaraan PKSABH. Pemerintah dan pemerintah daerah
melakukan pemantauan dan evaluasi terhadap penyelenggaraan
PKSABH sesuai dengan kewenangannya. Monitoring dan evaluasi
dilakukan sebagai bentuk akuntabilitas dan pengendalian mutu
penyelenggaraan kesejahteraan sosial.
Bentuk kegiatan monitoring dan evaluasi dilakukan melalui studi
dokumentasi dari laporan yang ada, pengisian instrumen yang telah
disiapkan, wawancara dengan tokoh wakil pelaksana program, dan
diskusi kelompok terfokus.
Komponen yang dimonitor dan dievaluasi antara lain:
1. Komponen Administrasi:
a. Kelengkapan dokumen lembaga
b. Kapasitas SDM dan proses recruitment
c. Proses Perencanaan dan Pengambilan Keputusan
d. Pengelolaan kegiatan program
2. Komponen Keuangan:
38
a. Ketepatan penggunaan alokasi dana
b. Prosentasi disbursment
c. Ketepatan sasaran,
d. Ketepatan waktu distribusi
e. Kelengkapan dokumen keuangan (dokumen transaksi –
pembayaran, permintaan belanja dll, petty cash, dan general
ledger)
3. Komponen Program
a. Implementasi kebijakan perlindungan anak
b. Pelaksanaan program pencegahan
c. Pembentukan Komite
d. Bimbingan Pemantapan LPKSABH
e. Pemberian bantuan operasional komite:
Fasilitasi Penyelesaian perkara ABH
Program rehabilitasi dan reintegrasi ABH
f. Program Bantuan Tunai Bersyarat sebagai penguatan dampak
program rehaabilitasi
Pendamping anak dan pekerja sosial wajib melakukan monitoring dan
mendokumentasikan laporan perkembangan klien (anak dan
keluarga) pada setiap tahapan pelayanan. Tim Monev, tenaga
pendamping dan lembaga kesejahteraan sosial anak wajib membuat
laporan hasil kegiatannya kepada Direktorat Pelayanan Sosial Anak
paling sedikit 2 kali dalam setahun.
Indikator Keberhasilan Program
1. Anak rentan terjauhkan dari kemungkinan konflik dengan hukum.
Output:
a. Pada akhir program, sejumlah anak rentan memperoleh
pelayanan kesejahteraan sosial dasar.
b. Pada akhir program, sejumlah anak rentan telah mengikuti
penyuluhan hukum.
39
c. Pada akhir program, sejumlah orang tua anak rentan mendapat
pelatihan Good parenting skills.
d. Pada akhir program, sejumlah tokoh masyarakat mengikuti
penyuluhan hukum.
e. Pada akhir program, sejumlah anak rentan yang berusia lebih
dari 15 tahun dapat menyelesaikan Vocational training.
f. Pada akhir program, sejumlah anak rentan yang mampu
menjauhi konflik dengan hukum dan sejumlah keluarga yang
mampu melindungi dan mencegah anaknya dari konflik hukum
mendapatkan bantuan tunai bersyarat
2. Terbentuk dan menguatnya sistem perlindungan dan rehabilitasi
ABH yang didukung dengan SDM yang kompeten.
a. Jaringan stakeholder pelaksana dan pendukung program
perlindungan terbentuk di 11 propinsi dan 5 propinsi memulai
kegiatan operasionalnya yang difasilitasi APBN.
b. Pada akhir program, 10 kegiatan pengembangan kapasitas
teknis pekerja sosial perlindungan ABH terlaksana
c. Pada akhir program, 10 Rapat koordinasi terselenggara
d. Pada akhir program, 2 kebijakan perlindungan ABH terbentuk
dan 5 kegiatan Pengembangan Program terlaksana: (e.g.
Sosialisasi SKB dan RJ, Penyusunan Pedoman PKS ABH)
e. Pada akhir program, 5 LPKSABH melaksakan program
perlindungan dan rehabilitasi ABH sesuai pedoman yang
disepakati
f. Pada akhir program, PSBR (Panti Sosial Bina Remaja) memiliki
rencana program yang jelas dan mampu memulai
melaksanakan program youth centre.
g. Mekanisme Supervisi pelaksanaan kegiatan tersusun dan
tersosialisasikan
3. Peningkatan prosentasi kasus ABH yang terselesaikan dalam
mekanisme peradilan restoratif:
40
a. RJ (basis masyarakat, komite)
Jumlah kasus yang terlaporkan dan terasesmen oleh
LPKSABH
Prosentasi kasus yang bersedia mengikuti proses mediasi
pada mekanisme peradilan restoratif / penyelesaian melalui
musyawarah
Prosentase kasus yang dapat mencapai kesepakatan dalam
mediasi kasus
Tersedianya data perkembangan kasus
b. Proses Formal:
Peningkatan prosentase kasus yang mendapat
pendampingan psikososial
Peningkatan prosentase ABH yang mendapat pendampingan
hukum
Peningkatan prosentase ABH yang mendapat bantuan sosial
lainnya (misal. Perwalian dalam persidangan)
4. Terpenuhinya kebutuhan dasar ABH dan menurunnya
kecenderungan perilaku melanggar hukum pada anak:
a. Prosentase Bantuan Anak Berhadapan Dengan Hukum yang
mendapatkan bantuan pemenuhan kebutuhan dasar (makanan,
minuman, pakaian, pendidikan, kesehatan):
b. Jumlah anak yang mendapat bantuan emergensi untuk ABH
dalam proses penyelesaian perkara (RJ maupun formal)
c. Jumlah anak yang mendapat bantuan Tunai Bersyarat
d. Prosentase ABH yang mendapat pengasuhan yang bersifat
protektif di keluarga maupun pengasuhan sementara di rumah
aman selama proses penyelesaian perkara
e. Prosentase penurunan kecederungan perilaku pelanggaran
hukum apada ABH
5. Anak-anak mantan ABH siap kembali ke keluarga dan
masyarakatnya, dan keluarga serta masyarakat siap menerima
kembali anak.
41
a. Prosentase ABH yang dapat menyelesaikan Life skills training
b. Prosentase orang tua ABH yang dapat menyelesaikan Good
parenting training
c. Prosentase ABH berusial lebih atau sama dengan 15 tahun yang
dapat menyelesaikan Vocational training
d. Prosentase ABH yang terfasilitasi untuk mempersiapkan asimilasi
/ komunikasi dengan keluarga dan masyarakatnya
V. Peran Para Pihak dan Sumber Pendanaan
Peran Pemerintah Daerah
Khusus bagi Daerah yang terpilih menjadi lokasi pengembangan Model
PKSABH, kiranya agar berperan aktif dalam upaya pengembangan
model tersebut. Hasil pengembangan model akan menjadi masukan
bagi penyempunaan Kebijakan dan Strategi nasional dalam
Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial Anak di daerah di seluruh
Indonesia, sesuai dengan UU Nomor 11 tahun 2009 tentang
Kesejahteraan Sosial.
Peran Masyarakat
Masyarakat mempunyai kesempatan seluas-luasnya untuk berperan
dalam penyelenggaran PKSABH. Peran masyarakat dapat dilakukan
oleh perseorangan, keluarga, organisasi sosial kemasyarakatan,
lembaga swadaya masyarakat, organisasi profesi, badan usaha,
lembaga kesejahteraan sosial, dan lembaga kesejahteraan sosial asing
yang bertujuan untuk mendukung keberhasilan penyelenggaran
PKSABH.
Sumber Pendanaan
APBN, APBD, sumbangan masyarakat, dana yang disisihkan dari badan
usaha sebagai kewajiban dan tanggung jawab sosial dan lingkungan,
42
bantuan asing, dan sumber pendanaan yang sah berdasarkan
ketentuan perundang-undangan.
E. PROSES PEMBELAJARAN
E. PROSES PEMBELAJARAN
NO. PROSES PEMBELAJARAN WAKTU
(menit)
1 2 3
1. Fasilitator mengawali pertemuan dengan penjelasan tentang judul
materi, sub pokok bahasan dan tujuan pembelajaran yang ingin
dicapai.
10
2. Fasilitator memutar film tentang kasus ABH, dan ditanggapi oleh
peserta.
20
3. Fasilitator memberikan penjelasan tentang informasi umum
tentang PKSABH dan tanggapan dari peserta
20
4. Fasilitator memberikan penjelasan tentang gambaran program
PKSABH dan tanggapan dari peserta
30
7. Fasilitator mengajak peserta untuk bermain peran tentang
penyelesaian masalah ABH melalui RJ
a. Peserta dibagi dalam 3 kelompok,
b. Setiap kelompok mempersiapkan 1 kasus ABH dan merancang
skenario bagaimana menyelesaiakannya melalui RJ
c. Ketika 1 kelompok bermain peran, kelompok lain diminta untuk
memberikan tanggapan tentang proses penyelesaian kasus.
d. Fasilitator memberikan tanggapannya pada akhir kegiatan .
45
43
8. Fasilitator memberikan penjelasan tentang Unit Pengelola
PKSABH
20
9. Fasilitator memberikan penjelasan tentang monitoring, evaluasi,
pelaporan, dan indikator keberhasilan, serta peran para pihak
20
10 Fasilitator membimbing peserta untuk melakukan latihan tentang
pelaksanaan moneva
30
11 Fasilitator menjelaskan Fungsi, Tugas,dan Peran Pendamping
Sosial dalam Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial ABH
20
13 Review dan menyimpulkan hasil pembelajaran yang dicapai. 10
Jumlah 225
F. METODE PEMBELAJARAN
1. Ceramah dan tanya jawab
2. Curah pendapat
3. Diskusi kelompok
4. Role playing
G.MEDIA PEMBELAJARAN
1. OHP/LCD
2. Whiteboard
3. Flipchart
4. Spidol
5. Kertas plano
H.EVALUASI PEMBELAJARAN
1. Keseriusan peserta dalam mengikuti pembelajaran
44
2. Keseriusan peserta dalam menjawab pertanyaan
3. Keseriusan peserta dalam melaksanakan tugas-tugas