Model Pembelajaran Petualangan

3
Model Pembelajaran Ekspedisi Ilmiah (Belajar Melalui Petualangan) Model ini merupakan model pembelajaran yang dimasukkan ke dalam kelompok pengelolaan informasi. Di dalam model ini seorang peserta didik di ajak berpetualang dan mengumpulkan informasi sebanyak mungkin dari tugas yang diberikan. Tugas tersebut telah dikelompokkan berdasarkan tingkat kesulitan tertentu selanjutnya siswa ditugaskan untuk memecahkan masalah-masalah yang ada dalam tugas tersebut. Sintaks: Fase 1 : Guru menyediakan

description

hanya iseng

Transcript of Model Pembelajaran Petualangan

Page 1: Model Pembelajaran Petualangan

Model Pembelajaran Ekspedisi Ilmiah

(Belajar Melalui Petualangan)

Model ini merupakan model pembelajaran yang dimasukkan ke dalam kelompok pengelolaan informasi. Di dalam model ini seorang peserta didik di ajak berpetualang dan mengumpulkan informasi sebanyak mungkin dari tugas yang diberikan. Tugas tersebut telah dikelompokkan berdasarkan tingkat kesulitan tertentu selanjutnya siswa ditugaskan untuk memecahkan masalah-masalah yang ada dalam tugas tersebut.

Sintaks:

Fase 1 : Guru menyediakan

Page 2: Model Pembelajaran Petualangan

Hans Georg Gadamer, seorang filosof besar asal Jerman yang meninggal pada tanggal 14 Maret 2002, merupakan tokoh besar hermeneutik yang berusaha mendialogkan kebenaran historis atau kebenaran kontekstual dengan kebenaran ahistoris atau kebenaran obyektif. Menurut Gadamer, dalam membaca teks, setiap orang selalu berangkat dari pra-pemahaman (pre-understanding) yang dimilikinya. Prapemahaman yang dimiliki seorang reader akan selalu memainkan peran ketika ia membaca suatu teks. Secara praktis, prapemahaman ini diwarnai oleh tradisi ruang dan waktu dimana si reader berada, dan perkiraan awal (pre-judice) yang terbentuk dalam tradisi-tradisi tersebut.

Menurut Gadamer, prapemahaman harus selalu ada ketika pembaca menafsirkan teks, agar ia mampu mendialogkan tradisi yang ada pada diri pembaca (baca: prapemahaman) dengan tradisi yang ada pada diri objektif teks itu sendiri. Pada prosesnya, reader harus selalu berusaha memperbarui prapemahamanya. Inilah yang dimaksud Gadamer dengan penggabungan atau asimilasi horison (fusion of horizons). Berdasarkan teori ini, proses penafsiran redaer terhadap suatu teks selalu dipengaruhi oleh dua horison, yakni cakrawala (pengetahuan) atau horison yang ada di dalam teks dan cakrawala (pemahaman) atau horison reader. Kedua macam horison ini selalu berdialektika dalam proses pemahaman dan penafsiran. Seorang pembaca teks akan memulai pemahaman dengan cakrawala hermeneutiknya, dari prapemahaman yang dimilikinya. Namun, dia juga memperhatikan bahwa teks yang dia baca mempunyai horisonnya sendiri yang mungkin berbeda dengan horison yang dimiliki pembaca. Dua bentuk horison ini, menurut Gadamer, harus dikomunikasikan, sehingga ketegangan di antara keduanya dapat diatasi. Oleh karena itu, ketika seseorang membaca teks yang muncul pada masa lalu, maka dia harus memperhatikan horison historis di mana teks tersebut diproduksi (baca: diungkapkan atau ditulis).

Seorang reader harus memiliki keterbukaan untuk mengakui adanya horison lain, yakni horison teks yang mungkin berbeda atau bahkan bertentangan dengan horison pembaca. Dalam hal ini, Gadamer menegaskan, “Saya harus membiarkan teks masa lalu berbicara (memberikan informasi tentang sesuatu). Hal ini tidak semata-mata berarti sebuah pengakuan terhadap ‘keberbedaan’ masa lalu, tetapi juga bahwa teks masa lalu mempunyai sesuatu yang harus dikatakan kepadaku.” Intinya, memahami sebuah teks berarti membiarkan teks yang dimaksud berbicara.

Interaksi di antara dua horison tersebut dinamakan “lingkaran hermeneutik” (hermeneutical circle). Menurut Gadamer, horison pembaca hanya berperan sebagai titik berpijak seseorang dalam memahami teks. Titik pijak pembaca ini hanya merupakan sebuah “pendapat” atau “kemungkinan” bahwa teks berbicara tentang sesuatu. Titik pijak ini tidak boleh dibiarkan memaksa pembaca agar teks harus berbicara sesuai dengan titik pijaknya. Sebaliknya, titik pijak ini justru harus bisa membantu memahami apa yang sebenarnya dimaksud oleh teks. Dalam proses ini terjadi pertemuan antara subjektivitas pembaca dan objektivitas teks, di mana makna objektif teks harus lebih diutamakan oleh pembaca atau penafsir teks.