Model KPS dalam pembangunan infrastruktur jalan tol di Indonesia dengan skema pembiayaan BOT penting...
-
Upload
maruf-setiawan-shw -
Category
Documents
-
view
390 -
download
9
description
Transcript of Model KPS dalam pembangunan infrastruktur jalan tol di Indonesia dengan skema pembiayaan BOT penting...
Model KPS dalam pembangunan infrastruktur jalan tol di Indonesia dengan skema pembiayaan BOT penting dipahami oleh Pemerintah juga khususnya para Lawyers dan Notaris, karena tiga hal:(1). KPS sangat dibutuhkan dalam pembangunan infrastruktur di Indonesia dengan keterbatasan dana Pemerintah, dimana pembangunan infrastruktur tersebut membutuhkan peran aktif swasta dengan dana investasi yang tidak sedikit serta keandalan dan profesionalisme swasta.(2). Penerapan KPS khususnya kontrak BOT di Indonesia membutuhkan penataan regulasi hukum yang baik, dan juga membutuhkan lingkungan hukum, sosial politik serta ekonomi yang mendukung penerapan tersebut, sehingga regulasi hukum menjadi hal yang sangat penting dalam pelaksanaan kontrak BOT bagi swasta untuk berperan aktif.(3). Progres pembangunan infrastruktur jalan tol sejak diselesaikannya penyempurnaan peraturan perundang-undangan terkait pembangunan jalan tol pada kurun waktu 2004-2009, dengan target 1.600 Km tidak tercapai.Dalam industri jalan tol di Indonesia secara umum dapat diidentifikasi beberapa masalah sebagai berikut:(1). Biaya pengadaan tanah menjadi beban investor, waktu pengadaan tanah dan biaya pengadaan tanah menjadi tidak pasti.(2). Waktu konsesi berkurang akibat dari lamanya proses pengadaan tanah sehingga menurunkan tingkat kelayakan finansial.(3). Berbagai masalah dalam pelaksanaan pengadaan tanah antara lain faktor : Panitia Pengadaan Tanah, sengketa tanah, aturan-aturan yang multi tafsir dari Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) yang mendasari pengadaan tanah secara musyawarah.(4). Kemampuan badan usaha jalan tol dalam menyediakan modal (ekuitas).(5). Secara teoritis penerapan konsep BOT yang merupakan konsep dari luar hukum Indonesia belum begitu baik diterapkan.Berdasarkan teori transplantasi hukum yang dikemukakan oleh Alan Watson (seorang ahli perbandingan hukum), disebutkan bahwa: aturan-aturan hukum ditransplantasikan secara sederhana, karena hal tersebut merupakan ide-ide yang baik. Berdasarkan teori kekuasaan (power theory) yang merupakan bagian dari teori transplantasi hukum yang dikembangkan oleh Alan Watson, dalam pengalaman pengaruh hukum Jerman atas Jepang dan Yunani, ternyata bahwa penerimaan sistem hukum adalah bukan masalah kualitas namun adalah masalah kekuasaan (power). Berdasarkan teori tersebut, didapat beberapa temuan-temuan sebagai berikut
1. KPS model kontrak BOT merupakan model kontrak yang berkembang di Inggris, Perancis dan Amerika Serikat yang tidak mengenal asas pemisahan horisontal (horizontal scheiding) antara tanah dan bangunan fisik infrastruktur, melainkan asas perlekatan (accessie) antara tanah dan
bangunan fisik infrastruktur. Sedangkan PPJT melakukan pemisahan horizontal dimana tanah secara hukum dimiliki oleh Pemerintah sedangkan fisik bangunan jalan tol, dibangun dan dioperasikan oleh investor. 2. Secara teoritis, di dalam PPJT, sebenarnya terdapat 4 perbuatan hukum yang dapat dipisahkan satu sama lain, yaitu: (1) perbuatan hukum pemberian hak konsesi yang masuk lingkup hukum publik, (2) perbuatan hukum kerjasama pengadaan tanah yang masuk lingkup hukum perdata, (3) perbuatan hukum penggunaan tanah yang masuk lingkup hukum publik, dan (4) perbuatan hukum kerjasama pembangunan, pengoperasian, pemeliharaan dan pengalihan yang masuk dalam lingkup hukum perdata.3. Dalam konteks hukum kebendaan perdata, benda terdiri dari tiap-tiap barang dan tiap-tiap hak. Maka, barang dalam konteks infrastruktur jalan tol adalah bangunan fisik jalan tol itu sendiri, sedangkan hak-hak dalam konteks infrastruktur jalan tol adalah hak atas pendapatan tol dan Hak Pakai (HP) di atas Hak Pengelolaan (HPL) - (UUPA tidak menggunakan hukum kebendaan buku II KUHPerdata, namun hanya digunakan sebagai alat analisa dalam konteks infrastruktur). Bangunan jalan tol tersebut merupakan benda yang tidak dapat dijadikan hak milik pribadi tetapi umum (public goods) dimana penguasaan dan penggunaannya tidak dapat dilakukan sebebas-bebasnya (dialihkan, dibebankan, disewa dan sebagainya). Dengan demikian bangunan jalan tol adalah milik umum (Negara). Sedangkan hak atas pendapatan tol dan HP di atas HPL dapat dijadikan hak milik pribadi (private goods) dimana penguasaan dan penggunaannya dapat dilakukan sebebas-bebasnya (dialihkan, dibebankan, disewa dan sebagainya) dengan pembatasan undang-undang dan peraturan umum, tidak mengganggu hak orang lain, dan dapat dicabut haknya dengan pembayaran ganti rugi. 4. Pengadaan tanah untuk KPS model kontrak BOT dilakukan dengan regulasi pengadaan tanah untuk kepentingan umum yang tidak sinkron dengan konsep KPS model kontrak BOT yang dikelola swasta selama masa konsesi. Secara teoritis konsep KPS model kontrak BOT atas infrastruktur yang dikelola swasta selama masa konsesi adalah private goods. Oleh karena infrastruktur jalan tol berdasarkan Pasal 33 ayat 2 UUD 1945 menyebutkan bahwa cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai Negara, maka infrastruktur jalan tol masuk dalam kategori public goods. Maka harus dibuat suatu struktur hukum dimana infrastruktur jalan tol yang dikelola swasta berdasarkan KPS model kontrak BOT adalah private goods namun tidak bertentangan dengan Pasal 33 ayat 2 UUD 1945.
Struktur hukum yang perlu dicoba usulkan adalah memberikan Hak Pakai (HP) kepada investor di atas Hak Pengelolaan (HPL) dari Kementerian Pekerjaan Umum RI sebagai instansi Pemerintah yang mengelola HPL. Struktur hukum ini akan memposisikan status infrastruktur jalan tol sebagai private goods namun berdimensi publik. Status tersebut tidak bertentangan dengan Pasal 33 ayat 2 UUD 1945 karena Pemerintah masih memiliki perannya dalam melakukan pengawasan dan pengaturan dalam HPL.Berdasarkan hal ini perlu adanya peran para lawyers dan notaris yang sangat menguasai masalah-masalah hukum kontrak dan hukum pertanahan, yaitu untuk memberikan masukan-masukan dalam hal:1. Pemerintah dapat melakukan penerapan hukum (legal transplant) yang berkembang di Inggris, Perancis dan Amerika Serikat dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. Untuk itu dibutuhkan suatu keahlian regulasi yang baik, dimana politik hukum dapat mengacu pada teori hukum, refleksi teoritis intelektual dan filosofis dari substansi masalahnya. Jadi perlu dikaji lebih dalam lagi untuk membentuk UU BOT di Indonesia.2. Pemerintah dapat mengakomodir 4 perbuatan hukum yang ada dalam PPJT. Keempat perbuatan hukum dalam PPJT tersebut harus dibuatkan perangkat hukumnya dengan instrumen-instrumen hukum yang terpisah yang masing-masing memberikan keseimbangan ekonomis (economic equilibrium) dalam bentuk suatu paket perjanjian (seperti dalam bentuk perjanjian utama dan perjanjian pendukung).3. Pemerintah dapat mempertegas status HPL dengan membentuk undang-undang tentang HPL (UU HPL) sebagai hak atas tanah sebagaimana Pasal 16 ayat 1 UUPA sehingga akan memperkuat struktur hukum HP diatas HPL sebagai private goods namun berdimensi publik.4. Pemerintah dapat mengkaji ulang kebijakan pengadaan tanah untuk kepentingan umum dimana dalam praktik pelaksanaan pembangunan infrastruktur untuk kepentingan publik tidak lagi dibangun dan dikelola oleh Pemerintah saja melainkan juga dikerjasamakan dengan investor swasta. Dengan demikian kebijakan Pemerintah dalam pengadaan tanah untuk pembangunan infrastruktur harus direkonstruksi, khususnya tentang pemahaman definisi untuk kepentingan umum dalam pelaksanaan KPS model kontrak BOT.
BUILD, OPERATE AND TRANSFER (BOT) by Laila, sari, desi dan diah.. ^_^Indonesia merupakan negara yang sedang berkembang. Sebagai negara
berkembang, kepadatan penduduk terus bertambah dan menuntut penambahan
sarana dan prasarana untuk kepentingan umum (infrastruktur). Untuk
melakukan pengadaan infrastruktur itu dibutuhkan dana yang sangat besar,
yang akan terasa berat apabila hanya dibebankan pada APBN. Melihat
keterbatasan pemerintah melalui APBN maupun APBD dalam penyediaan dana
untuk pembangunan infrastruktur ini, maka dituntut adanya model-model baru
pembiayaan proyek pembangunan.
Dalam pengadaan infrastruktur di daerah, tak jarang sebagai alternatif
pendanaan, pemerintah melibatkan pihak swasta (nasional-asing) dalam proyek-
proyeknya.
Pastisipasi swasta ini dapat diarahkan pada proyek yang membutuhkan dana
besar, seperti pembangunan jalan tol, migas, bendungan, pembangunan mall,
perluasan bandara, maupun pembangkit listrik. Namun, dapat juga diarahkan
pada proyek infrastruktur yang tidak membutuhkan dana yang terlalu besar,
seperti renovasi pasar, terminal, pangkalan truk, rest area, resort, dll. Yang
terpenting proyek tersebut dapat memberikan income atau pendapatan ekonomi
bagi kontraktor (revenue yang cepat).
Salah satu cara pembiayaan proyek dapat dilakukan dengan mengajak pihak
swasta untuk berpartisipasi dalam pengadaan proyek pemerintah dengan sistem
BOT (Build Operate and Transfer). Ada pula cara Ruislag , tetapi model BOT
banyak memberikan kelebihan bagi pihak-pihak yang terkait (pemerintah atau
kontraktor).
Pembiayaan proyek dengan BOT mencakup dari studi kelayakan, pengadaan
barang, pembiayaan, sampai dengan pengoperasian. Di sini pelaksana proyek
mendapat hak konsesi untuk jangka waktu tertentu guna mengambil manfaat
ekonominya dan pada akhirnya mengembalikan semua aset tersebut pada
pemerintah pada saat berakhirnya masa konsesi.
Dalam prosesnya, pelaksanaan proyek akan menemui berbagai permasalahan.
Oleh sebab itu perlu dirancang secara baik agar proyek BOT dapat berjalan baik
serta memberikan keuntungan kepada pihak yang terkait.
BOT yang baik bukan BOT yang semua risiko ditanggung salah satu pihak, tetapi
BOT yang dapat berbagi risiko secara seimbang di antara pihak-pihak yang
terlibat. (Budi Santoso, 2008 : 6)
Kerjasama jenis BOT ini telah lama diadopsi oleh negara-negara maju, misalnya
pada proyek Anglo-French Channel Tunnel. Belakangan, negara-negara
berkembang juga mulai banyak mengadopsi model ini, misalnya proyek
jembatan dan bandara di Hong Kong, energi dan jalur kereta api di Cina, jalan
raya dan bandara di Malaysia, telekomunikasi di Thailand, energi di Filipina,
proyek energi thermal di Pakistan, dan sebagainya.
PENGERTIAN BOT (BUILD OPERATE TRANSFER)
BOT, disebut juga sistem bangun guna serah, merupakan suatu konsep dimana
proyek dibangun dengan biaya sepenuhnya dari perusahaan swasta maupun
beberapa perusahaan swasta atau kerjasama dengan BUMN dan setelah
dibangun dioperasikan oleh kontraktor, kemudian setelah tahapan
pengoperasian selesai dilakukanlah pengalihan proyek pada pemerintah selaku
pemilik proyek sesuai dengan perjanjian BOT.
Pada dasarnya BOT adalah suatu bentuk pembiayaan proyek pembangunan
dimana pelaksana proyek harus menyediakan sendiri pendanaan untuk proyek
tersebut serta menanggung pengadaan material, peralatan, jasa lain yang
dibutuhkan untuk kelengkapan proyek. Sebagai gantinya pelaksana proyek
diberikan hak untuk mengoperasikan dan mengambil manfaat ekonominya
sebagai ganti atas semua biaya yang dikeluarkan untuk selama waktu tertentu.
Dalam konteks pengadaan proyek infrastruktur, maka BOT tidak lain adalah
sebuah kontrak atau perjanjian antara pemilik proyek (pemerintah) dengan pihak
lain sebagai operator atau pelaksana proyek. Dalam hal ini, pemilik proyek
memberikan hak pada operator atau pelaksana untuk membangun sebuah
sarana dan prasarana (umum) serta mengoperasikannya selama jangka waktu
tertentu dan mengambil seluruh atau sebagian keuntungan dan pada akhir masa
kontrak harus mengembalikan proyek tersebut pada pemilik proyek. Apabila
semuanya berjalan sesuai dengan rencana, maka pada akhir masa kontrak atau
pada saat proyek tersebut harus dikembalikan pada pemerintah, maka pemilik
proyek dapat mengembalikan semua biaya yang telah dikeluarkan ditambah
dengan sejumlah keuntungan yang diharapkan dari proyek tersebut.
Kontrak BOT adalah kontrak antara instansi pemerintah dan badan usaha/swasta
(special purpose company) dalam membangun infrastruktur publik yang
bertujuan untuk meningkatkan pertumbuhan infrastruktur tanpa pengeluaran
dana dari pemerintah, dimana pihak swasta (badan usaha) bertanggung jawab
atas desain akhir, pembiayaan, konstruksi, operasi dan pemeliharaan (O&M)
sebuah proyek investasi bidang infrastruktur selama beberapa tahun; biasanya
dengan transfer aset pada akhir masa kontrak. Pihak swasta mendapatkan
revenue dari pengoperasian fasilitas infrastruktur tersebut selama periode
konsesi berlangsung. Umumnya, masa kontrak berlaku antara 10 sampai 30
tahun.
Build Operate Transfer contract didesain untuk membawa investasi sektor
swasta membangun infrastruktur baru. Pada BOT, sektor swasta akan
membangun, membiayai, dan mengoperasikan infrastruktur baru dan sistem
baru yang sesuai standar pemerintah. Periode operasinya cukup lama agar
sektor swasta dapat menerima kembali biaya-biaya konstruksi dan mendapatkan
keuntungan. Jangka waktu operasi tersebut adalah 10-30 tahun. Setelah periode
operasi selesai, seluruh infrastruktur diserahkan kepada pemerintah. (Bastian,
2001)
Dengan demikian paling tidak ada 3 ciri proyek BOT, yaitu :
1. Pembangunan (Build)
Pemilik proyek sebagai pemberi hak pengelolaan memberikan kuasanya kepada
pemegang hak (pelaksana proyek) untuk membangun sebuah proyek dengan
dananya sendiri (dalam beberapa hal dimungkinkan didanai bersama /
participate interest). Desain dan spesifikasi bangunan merupakan usulan
pemegang hak pengelolaan yang harus mendapat persetujuan dari pemilik
proyek.
2. Pengoperasian (Operate)
Merupakan masa atau tenggang waktu yang diberikan pemilik proyek kepada
pemegang hak untuk selama jangka waktu tertentu mengoperasikan dan
mengelola proyek tersebut untuk diambil manfaat ekonominya. Bersamaan
dengan itu pemegang hak berkewajiban melakukan pemeliharaan terhadap
proyek tersebut. Pada masa ini, pemilik proyek dapat juga menikmati hasil
sesuai dengan perjanjian jika ada.
3. Penyerahan Kembali (Transfer)
Pemegang hak pengelolaan menyerahkan hak pengelolaan dan fisik proyek
kepada pemilik proyek setelah masa konsesi selesai tanpa syarat (biasanya).
Pembebanan biaya penyerahan umumnya telah ditentukan dalam perjanjian
mengenai siapa yang menanggungnya.
Berdasarkan pengertian yang dimaksud di atas, maka unsur-unsur perjanjian
sistem bangun guna serah (Build, Operate, and Transfer / BOT) atau BOT
Agreement, adalah :
a. Investor (penyandang dana)
b. Tanah
c. Bangunan komersial
d. Jangka waktu operasional
e. Penyerahan (transfer)
PENGATURAN BOT
Pengadaan infrastruktur di Indonesia dengan menggunakan perjanjian BOT
diatur oleh :
- Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2005 tentang Kerjasama Pemerintah
Dengan Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur.
- Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Peraturan
Presiden Nomor 67 Tahun 2005 tentang Kerjasama Pemerintah Dengan Badan
Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur.
- UU Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960.
- UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
- Keputusan Presiden RI Nomor 39 Tahun 1991 tentang Keputusan Presiden
Tentang Koordinasi Pengelolaan Pinjaman Komersial Luar Negeri.
- Keputusan Presiden RI Nomor 7 Tahun 1998 tentang Kerjasama Pemerintah
Dan Badan Usaha Swasta Dalam Pembangunan Dan Atau Pengelolaan
Infrastruktur
- Keputusan Menteri Keuangan No. 234/KMK-04/1995.
- SK Menteri Dalam Negeri Otonomi Daerah Nomor 11 tahun 2001 tentang
Pedoman Pengelolaan Barang Daerah.
- Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2005 tentang Peraturan Pelaksanaan
UU Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung.
- Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor 248/KMK.04/1995 tentang
Perlakuan Pajak Penghasilan Terhadap Pihak-Pihak Yang Melakukan Kerjasama
Dalam Bentuk Perjanjian Bangun Guna Serah (“Build Operate and Transfer”).
- Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 32 Tahun 2005.
- Serta peraturan lain yang mendukung.
MEKANISME PERJANJIAN BOT
Berdasarkan unsur yang terkandung dalam perjanjian BOT atau BOT Agreement,
maka pada dasarnya ada pemisahan yang tegas antara Pemilik (yang menguasai
tanah) dengan Investor (penyandang dana). Obyek dalam perjanjian BOT kurang
lebih yaitu :
1. Bidang usaha yang memerlukan suatu bangunan (dengan atau tanpa
teknologi tertentu) yang merupakan komponen utama dalam usaha tersebut
disebut sebagai bangunan komersial.
2. Bangunan komersial tersebut dapat dioperasikan dalam jangka waktu relatif
lama, untuk tujuan :
- Pembangunan prasarana umum, seperti jalan tol, pembangkit listrik, sistem
telekomunikasi, pelabuhan peti kemas dan sebagainya.
- Pembangunan properti, seperti pusat perbelanjaan, hotel, apartemen dan
sebagainya.
- Pembangunan prasarana produksi, seperti pembangunan pabrik untuk
menghasilkan produk tertentu.
Perjanjian BOT ini terjadi dalam hal, jika :
1. Ada pemilik tanah atau pihak yang menguasai tanah, ingin membangun suatu
bangunan komersial di atas tanahnya tetapi tidak mempunyai biaya, dan ada
investor yang bersedia membiayai pembangunan tersebut.
2. Ada investor yang ingin membangun suatu bangunan komersial tetapi tidak
mempunyai tanah yang tepat untuk berdirinya bangunan komersial tersebut,
dan ada pemilik tanah yang bersedia menyerahkan tanahnya untuk tempat
berdirinya bangunan komersial tersebut.
3. Investor membangun suatu bangunan komersial di atas tanah milik pihak lain,
dan setelah pembangunan selesai investor berhak mengoperasionalkannya
untuk jangka waktu tertentu. Selama jangka waktu operasional, pihak pemilik
tanah berhak atas fee tertentu.
4. Setelah jangka waktu operasional berakhir, investor wajib mengembalikan
tanah kepada pemiliknya beserta bangunan komersial di atasnya.
Pertimbangan-pertimbangan pokok bagi pembangunan proyek infrastruktur
dengan pola BOT yang didasarkan atas kepentingan Pemerintah Daerah, yaitu :
1. Tidak membebani neraca pembayaran pemerintah (offbalance-sheet
financing).
2. Mengurangi jumlah pinjaman Pemerintah maupun sektor publik lainnya.
3. Merupakan tambahan sumber pembiayaan bagi proyek-proyek yang
diprioritaskan (additional finance sources for priority projects).
4. Tambahan fasilitas baru.
5. Mengalihkan resiko bagi konstruksi, pembiayaan dan pengoperasian kepada
sektor swasta.
6. Mengoptimalkan kemungkinan pemanfaatan perusahaan maupun teknologi
asing.
7. Mendorong proses alih teknologi, khususnya bagi kepentingan negara-negara
berkembang.
8. Diperolehnya fasilitas yang lengkap dan operasional setelah masa akhir
konsesi.
Sebelum menentukan serta untuk keberhasilan pembangunan dan
pengoperasian suatu fasilitas/proyek infrastruktur yang menggunakan pola BOT,
maka secara konseptual perlu dipertimbangakan faktor-faktor :
1. Tipe fasilitas.
2. Manfaat sosialnya.
3. Dukungan Pemerintah (Prinsipal) yang dapat diberikan kepada Promotor.
4. Kualifikasi dan pengalaman dari Promotor itu sendiri.
5. Lokasi proyek/fasilitas tersebut.
6. Besar ekuitas yang akan dipakai.
7. Jaminan kelangsungan suplai bahan mentah.
8. Jaminan pembelian atas produk dan atau jasa yang dihasilkan dari
pengoperasian fasilitas-fasiltas tersebut.
9. Jangka waktu konsesi.
10. Komponen dari masing-masing paket yang terkait dengan konstruksi,
operasi, pemeliharaan, pembiayaan dan penggerak perolehan penerimaan.
Tata Cara Pelaksanaan BOT
I. Pertimbangan
BOT dilakukan untuk menyediakan bangunan dan fasilitasnya dalam rangka
penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi kementerian/lembaga, yang dana
pembangunannya tidak tersedia dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN).
II. Barang Milik Negara yang dapat Dijadikan Objek BOT
Barang Milik Negara yang dapat dijadikan objek BOT adalah Barang Milik Negara
yang berupa tanah, baik tanah yang ada pada Pengelola Barang maupun tanah
yang status penggunaannya ada pada Pengguna Barang.
III. Subjek Pelaksanaan BOT
1. Pihak yang dapat melaksanakan BOT Barang Milik Negara adalah Pengelola
Barang.
2. Pihak-pihak yang dapat menjadi mitra BOT adalah:
a. Badan Usaha Milik Negara;
b. Badan Usaha Milik Daerah;
c. Badan Hukum lainnya.
IV. Ketentuan dalam Pelaksanaan BOT
1. Selama masa pengoperasian BOT, Pengguna Barang harus dapat
menggunakan langsung objek BOT, beserta sarana dan prasarananya untuk
penyelenggaraan tugas pokok dan fungsinya berdasarkan penetapan dari
Pengelola Barang, paling sedikit 10% (sepuluh persen) dari luas objek dan
sarana prasarana BOT dimaksud.
2. Jangka waktu pengoperasian BOT oleh mitra BOT paling lama 30 (tiga puluh)
tahun terhitung sejak perjanjian ditandatangani.
3. Kewajiban mitra BOT selama jangka waktu pengoperasian:
a. membayar kontribusi ke rekening kas umum negara;
b. tidak menjaminkan, menggadaikan dan/atau memindahtangankan objek BOT;
c. memelihara objek BOT agar tetap dalam kondisi baik.
4. Pemilihan mitra BOT dilaksanakan melalui tender dengan mengikutsertakan
sekurang-kurangnya 5 (lima) peserta/peminat.
5. Penghitungan nilai tanah dalam rangka penentuan nilai limit terendah besaran
kontribusi dilakukan oleh penilai yang ditetapkan oleh Pengelola Barang.
6. Nilai limit terendah besaran kontribusi atas pelaksanaan BOT Barang Milik
Negara ditetapkan oleh Pengelola Barang berdasarkan hasil perhitungan penilai.
7. Pembayaran kontribusi dari mitra BOT, kecuali untuk pembayaran pertama
yang harus dilakukan pada saat ditandatanganinya perjanjian BOT, harus
dilakukan paling lambat tanggal 31 Januari setiap tahun sampai dengan
berakhirnya perjanjian BOT dimaksud, dengan penyetoran ke rekening kas
umum negara.
8. Keterlambatan pembayaran kontribusi dari tanggal tersebut pada butir 7 akan
dikenakan denda paling sedikit sebesar 1 ‰ (satu per seribu) per hari.
9. Dalam hal mitra tidak melakukan pembayaran kontribusi sebanyak tiga kali
dalam jangka waktu pengoperasian BOT, Pengelola Barang dapat secara sepihak
mengakhiri perjanjian.
10. Seluruh biaya yang timbul pada tahap persiapan dan pelaksanaan kerjasama
pemanfaatan, antara lain meliputi biaya perizinan, konsultan pengawas, biaya
konsultan hukum, dan biaya pemeliharaan objek BOT, dan biaya audit oleh
aparat pengawas fungsional menjadi beban mitra kerjasama pemanfaatan.
11. Setelah masa pengoperasian BOT berakhir, objek pelaksanaan BOT harus
diaudit oleh aparat pengawas fungsional sebelum diserahkan kepada Pengelola
Barang dan/atau Pengguna Barang.
12. Setelah masa pemanfaatan berakhir, bangunan dan fasilitas hasil BOT
ditetapkan status penggunaannya oleh Pengelola Barang.
13. Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dalam rangka BOT harus atas nama
Pemerintah Republik Indonesia.
V. Tata Cara Pelaksanaan BOT
1. BOT atas tanah yang berada pada Pengelola Barang
a. Pengelola Barang menetapkan tanah yang akan dijadikan objek BOT
berdasarkan hasil penelitian kelayakan tersebut.
b. Pengelola Barang membentuk tim yang beranggotakan unsur Pengelola
Barang, Pengguna Barang, serta dapat mengikutsertakan unsur instansi/lembaga
teknis yang kompeten.
c. Tim bertugas untuk melakukan pengkajian tanah yang akan dijadikan objek
BOT serta menyiapkan hal-hal yang bersifat teknis, termasuk tetapi tidak
terbatas untuk menyiapkan rincian kebutuhan bangunan dan fasilitas yang akan
ditenderkan, penelitian indikasi biaya yang diperlukan untuk penyediaan
bangunan dan fasilitasnya, dan melakukan tender calon mitra BOT.
d. Pengelola Barang menugaskan penilai untuk melakukan perhitungan nilai limit
terendah besaran kontribusi BOT atas Barang Milik Negara yang akan menjadi
objek BOT.
e. Penilai menyampaikan laporan penilaian kepada Pengelola Barang melalui
Tim.
f. Tim menyampaikan laporan kepada Pengelola Barang terkait dengan hasil
pengkajian atas tanah, dengan disertai perhitungan nilai limit terendah besaran
kontribusi BOT dari penilai.
g. Berdasarkan laporan tim dimaksud, Pengelola Barang menerbitkan surat
penetapan nilai tanah yang akan dilakukan BOT dan nilai limit terendah
kontribusi atas pelaksanaan BOT, dan rencana kebutuhan bangunan dan
fasilitasnya.
h. Berdasarkan surat penetapan tersebut, tim melakukan tender pemilihan mitra
BOT.
i. Hasil pelaksanaan tender disampaikan kepada Pengelola Barang untuk
ditetapkan dengan menerbitkan surat keputusan pelaksanaan BOT dimaksud,
yang antara lain memuat objek BOT, nilai kontribusi, mitra BOT, dan jangka
waktu BOT.
j. Pelaksanaan BOT dituangkan dalam perjanjian BOT antara Pengelola Barang
dengan mitra BOT.
k. Mitra BOT menyetorkan ke rekening kas umum negara uang kontribusi tetap
setiap tahun paling lambat tanggal 31 Januari kecuali untuk tahun pertama
selambat-lambatnya pada saat perjanjian BOT ditandatangani.
l. Pengelola Barang melakukan monitoring, evaluasi, dan penatausahaan
pelaksanaan BOT dimaksud.
m. Penyerahan kembali objek BOT beserta fasilitasnya kepada Pengelola Barang
dilaksanakan setelah masa pengopersian BOT yang diperjanjikan berakhir dan
dituangkan dalam suatu berita acara serah terima barang.
2. BOT atas tanah yang status penggunaannya ada pada Pengguna Barang
a. Pengguna Barang menyerahkan tanah yang akan dijadikan objek BOT kepada
Pengelola Barang dengan disertai usulan BOT dan dokumen pendukung berupa
lokasi/alamat, status dan bukti kepemilikan, luas, harga perolehan/NJOP, dan
rencana pembangunan gedung yang diinginkan.
b. Berdasarkan usulan dari Pengguna Barang, selanjutnya mekanisme BOT
dilaksanakan mengacu pada ketentuan pada angka Romawi IV.1.
HAK DAN KEWAJIBAN PARA PIHAK BOT
Para pihak yang terlibat dalam pembangunan dengan pola BOT ini adalah:
1. Prinsipal / Grantor / Pemilik Proyek adalah pihak yang secara keseluruhan
bertanggungjawab atas pemberian konsesi dan merupakan pemilik akhir dari
proyek/fasilitas tersebut setelah habisnya jangka waktu. Dalam hal ini
Pemerintahlah yang bertindak sebagai Prinsipal atau yang ditunjuk oleh
Pemerintah.
2. Promotor / Pelaksana Proyek adalah suatu badan hukum/organisasi yang
diberi konsesi untuk membangun, memiliki, mengoperasikan dan mengalihkan
fasilitas tertentu. Organisasi promotor ini biasanya didukung oleh pihak-pihak
lain, seperti : Contractor, Investor, Operator, Supplier, Lender, dan User. Pihak
yang disebutkan ini masing-masing dapat menjadi satu dengan promotor
ataupun terpisah.
Prinsipal / Grantor / Pemilik proyek
Kewajiban
Sebagai pemegang hak pengelolaan, memberikan kuasa kepada pelaksana
proyek.
Hak
Menikmati hasil sesuai perjanjian jika ada.
Menerima fasilitas infrastruktur setelah masa perjanjian berakhir.
Promotor / Pelaksana proyek
Kewajiban
Membangun dan mengoperasikan sebuah sarana dan prasarana umum sesuai
dengan standar kerja yang diterapkan pemilik proyek
Menyediakan sendiri pendanaan untuk proyek tersebut serta menanggung
pengadaan material, peralatan, jasa lain yang dibutuhkan untuk kelengkapan
proyek
Mengembalikan proyek pada pemilik proyek pada akhir masa kontrak
Membayar fee kepada pemilik proyek apabila diperjanjikan
Membayar kontribusi ke rekening kas umum negara;
Tidak menjaminkan, menggadaikan dan/atau memindahtangankan objek BOT;
Memelihara objek BOT agar tetap dalam kondisi baik.
Hak
Mengoperasikan dan mengambil manfaat ekonominya sebagai ganti atas
semua biaya yang dikeluarkan untuk selama waktu tertentu.
Mengambil seluruh atau sebagian keuntungan.
Kelemahan Dan Kelebihan BOT
Kelebihan :
1. Pemilik proyek
• Kontrol pemilik proyek terhadap kinerja operasional, standar pelayanan, dan
perawatannya.
• Kemampuan untuk mengakhiri kontrak jika standar kinerja tidak terpenuhi,
walaupun fasilitas dapat terus digunakan.
• Pemilik proyekdapat memberikan lapangan kerja baru bagi masyarakat.
• Penghematan terhadap desain, konstruksi, dan arsitekturnya.
• Pemilik proyek dapat membangun infrastruktur dengan biaya perolehan dana
dan tingkat bunga yang relatif rendah atau tidak mengeluarkan dana untuk
pembangunan sebuah proyek.
• Pemilik proyek dapat mengurangi beban penggunaaan dana APBN/APBD atau
pinjaman luar negeri.
• Proyek BOT secara financial menguntungkan, karena tidak perlu mengeluarkan
biaya untuk melakukan studi kelayakan, biaya operasional.
• Pemilik proyek daerah juga tidak menanggung risiko kemungkinan terjadinya
perubahan kurs.
2. Pelaksana proyek
• Pembangunan infrastruktur dengan metode BOT merupakan pola yang
menarik, karena memiliki hak penguasaan yang tinggi terhadap infrastruktur
yang dibangunnya.
• Dengan proyek BOT, pelaksan proyek dapat membuka peluang dan diberi
kesempatan untuk memasuki bidang usaha yang semula hanya ditangani
pemerintah atau BUMN/BUMD.
• Pelaksana proyek dapat melakukan ekspansi usaha yang mempunyai prospek
menguntungkan serta dapat memanfaatkan lahan strategis yang dimiliki pemilik
proyek.
• Merupakan inovasi dalam pembiayaan proyek yang umumnya berbeda dengan
proyek biasa, meningkatkan profesionalisme dan meningkatkan daya saing
perbankan dalam negeri.
3. Publik
• Publik akan mendapatkan sarana dan prasarana utnuk umum yang dibutuhkan
oleh masyrakat.
• Publik mendapat manfaat dari keahlian partner swastanya.
• Publik mendapatkan manfaat dari penghematan operasi dari partner swasta.
• Publik dapat mempertahankan kepemilikan aset.
• Kepemilikan publik dan kontrak diluar operasi tidak dapat dikenai pajak.
• Publik mempertahankan otoritas terhadap kualitas layanan dan
pembayarannya.
• Bagi pihak swasta, termasuk lawyer, perbankan, enginer, dan yang lain, dapat
berperan mengambil bagian dalam penanganan dan pengoperasian proyek yang
sangat potensial mendatangkan keuntungan.
Kelemahan :
1. Pemilik proyek
• Jika pelaksana proyek bangkrut, maka pemilik proyek yang harus melanjutkan
operasi proyek dan memberikan subsidi.
• Bagi pemilik proyek, proyek BOT tidak jarang berarti melepaskan monopoli dan
menyerahkannya pada pihak swasta.
• Hilangnya salah satu sumber pendapatan yang potensial mendatangkan
keuntungan, melepaskan hak pengelolaan aset strategis dan memberikannya
pada swasta untuk jangka waktu tertentu.
• Dalam beberapa hal, pemilik proyek masih diikutsertakan dalam masalah yang
rumit, seperti pembebasan tanah, pemindahan lokasi, dsb.
2. Pelaksana Proyek
• Kemungkinan pemindahan entitas sektor swasta atau penyelesaian kontrak
ketika terjadi kebangkrutan partner swasta.
• Bagi pelaksana proyek terdapat kemungkinan menanggung semua risiko
karena pemerintah sebagai pemilik proyek tidak mau berbagi risiko atas proyek
BOT, sampai dengan control atas proyek itu diserahkan kembali kepada pemilik
proyek.
• Lebih rawan terjadi korupsi, ada anggapan bahwa tidak mungkin mendapatkan
proyek pemerintah tanpa mengeluarkan dana untuk menyuap ofisialnya.
• Perusahaan swasta sebagai suatu entitas bisnis pada umumnya memiliki
keterbatasan dalam penyediaan dana untuk pembangunan infrastruktur,
menyebabkan pola BOT menjadi kurang diminati investor.
• Selama kurun waktu pengoperasian infrastruktur oleh pihak investor, mungkin
saja terjadi perubahan kebijakan pemerintah yang dapat menimbulkan kerugian
bagi pihak investor.
• Kemungkinan kesulitan pendanaan oleh investor karena perbankan
mengganggapnya tidak bankable untuk dibiayai.
RISIKO PROYEK BOT
Karena proyek BOT membutuhkan dana yang besar, maka proyek BOT juga
rentan terhadap risiko. Risiko yang umumnya ada pada proyek BOT antara lain :
1. Risiko konstruksi (construction and operation risk), yaitu kemungkinan
konstruksi proyek tersebut tidak dapat dipenuhi pada waktu yang telah
ditentukan. Konsekuensi atas penyelesaian keterlambatan proyek konstruksi,
seharusnya diperjanjikan dalam kontrak. Untuk itu dapat dipertimbangkan
pengenaan penalty atau ganti kerugian untuk suatu keterlambatan atau
meminta jaminan pelaksanaan (performance bond) pada tingkatan yang
berbeda.
2. Risiko biaya yang ternyata melebihi estimasi semula.
Apabila terjadi hal ini, maka dapat diperjanjikan dalam kontrak adanya harga
yang pasti atau dapat pula diusahakan agar risiko tersebut ditanggung bersama-
sama antara para pihak. Dapat juga melakukan penyediaan stanby credit atau
akses pada penyertaan modal tambahan.
3. Risiko politik (political risk), yaitu berkaitan dengan stabilitas negara, misalnya
huru hara, unjuk rasa, perang, dsb.
Secara teori, political risk dapat berupa project discruption caused by adverse
acts of government, yaitu tindakan atau perbuatan yang berasal dari pemerintah
atau agent of the government yang dapat mengganggu jalannya proyek BOT.
Political risk sendiri dapat terdiri dari tiga bagian, yaitu :
- Traditional political risk yang berupa pengambilalihan perusahaan dengan atau
tanpa ganti rugi yang dikenal dengan tindakan nasionalisasi (nationalization of
the project company’s assets) atau aturan perpajakan baru yang merugikan
prospek perolehan keuntungan ekonomi proyek BOT tersebut.
- Regulatory risk dapat berupa perubahan peraturan yang merugikan proyek
BOT, pengetatan standar baru, pembukaan sektor baru yang mendatangkan
banyak kompetisi.
- Quasi-commercial risk dapat berupa pemutusan hubungan kontrak oleh
pemerintah atau terdapatnya perubahan dalam planning pemerintah dsb.
4. Risiko musibah (project discruption caused by events outside of the control of
the parties), yaitu bencana alam yang dapat mengganggu jalannya proyek,
misalnya gempa, banjir, badai, dll.
Dalam hal ini asuransi merupakan alternatif terbaik untuk mengatasi risiko tidak
terduga ini, walaupun pemerintah membantu memberikan jaminan terhadap
gangguan-gangguan tersebut.
5. Risiko tidak diperolehnya bahan baku yang sangat dibutuhkan untuk proyek.
Gangguan supply bahan baku akan sangat mengganggu jalannya sebuah
proyek, oleh karena itu sebelumnya perlu dibuat kontrak dengan supplier untuk
meminimalisasi risiko tersebut. Jaminan dari pemerintah atas supplier bahan
baku barangkali akan sangat membantu apabila dapat dilakukan.
6. Risiko pasar (commercial risk), yang berkaitan dengan produk yang akan
dijual atau jasa yang akan dilakukan ternyata dapat menutup semua
pengeluaran yang telah dilakukan.
Apabila barang atau jasa yang dihasilkan proyek BOT tidak dapat dijual pada
harga yang diprediksikan maka kemungkinan kelangsungan hidup dari proyek
tersebut akan terancam, untuk itu rencana yang matang dan studi kelayakan
yang teliti dan cermat barangkali akan dapat meminimalisasi risiko ini.
7. Risiko pertukaran mata uang asing/exchange rate.
Ada kalanya proyek BOT membutuhkan dana pinjaman dalam bentuk valuta
asing sedangkan keuntungan yang diperoleh dalam bentuk mata uang lokal.
Pada saat jatuh tempo tidak jarang kontraktor harus mengembalikan dalam
bentuk valuta asing. Pada saat pengembalian dana pinjaman, tidak jarang terjadi
perubahan nilai tukar yang sangat tinggi.
JENIS-JENIS KONTRAK DALAM BOT
Jenis-jenis Kontrak yang terkait dalam kegiatan pembangunan dan
pengoperasian proyek/fasilitas infrastruktur dengan pola BOT, meliputi antara
lain :
1. Kontrak Konsesi (Concession Agreement)
Kontrak antara Prinsipal dan Promotor. Kontrak ini menjadi dasar dari kontrak-
kontrak lainnya.
2. Kontrak Konstruksi (Construction Contract)
Kontrak yang dibentuk antara Promotor dan kontraktor. Dalam sejumlah proyek
kedua pihak dapat menjadi satu pihak.
3. Kontrak Suplai (Supply Contract)
Kontrak antara Supplier dan Promotor tentang suplai bahan-bahan mentah untuk
proyek bersangkutan.
4. Shareholder Agreement
Kontrak yang dibentuk antara Promotor dan Investor. Investor disini dapat
diartikan sebagai penyandang dana yang ikut membiayai proyek. Dapat berasal
dari Lembaga keuangan ataupun individu.
5. Kontrak Operasional (Operation Contract)
Kontrak antara Promotor dan Operator tentang pengoperasian atau
pemeliharaan fasilitas yang telah dibangun.
6. Kontrak Pinjaman (Loan Agreement)
Kontrak yang dibentuk antara Lender dan Promotor seputar sumber pembiayaan.
Lender dapat berupa bank-bank investasi, dana pensiun, lembaga penyedia
kredit ekspor yang menyediakan dana bagi pembiayaan fasilitas tertentu.
7. Offtake Contract
Kontrak ini dibentuk antara User dan Promotor. Pola BOT ini sangat kompleks
sehingga membutuhkan pengetahuan yang cukup bagi aparat daerah untuk
melaksanakannya. Pelaksanaan yang salah akan membawa kerugian baik bagi
pemerintah daerah sendiri maupun bagi masyarakat, termasuk juga investor.
Pembekalan pengetahuan tentang pola BOO/BOT ini hendaknya secara
berkesinambungan diberikan kepada aparat pemerintah di daerah. Berbagai
disiplin ilmu harus saling melengkapi dalam proyek ini. Untuk bidang hukum,
pakar konstruksi haruslah dilibatkan dalam memberikan pembekalan baik dari
segi dasar hukum, teknis dan prosedur yang diatur oleh peraturan perundangan
serta bentuk kontrak yang sesuai bagi keperluan proyek bersangkutan.
KONTRAK KONSESI PADA PROYEK BOT
Perbedaan utama BOT dengan pembiayaan proyek lain adalah pada masalah
konsesi, yaitu konsesi antara pemilik proyek dengan pelaksana proyek. Kontrak
ini didukung dengan peraturan yang dikeluarkan pemerintah setempat, biasanya
berupa SK Bupati, Walikota, persetujuan DPRD setempat.
Kontrak konsesi ini memberikan hak pada kontraktor untuk membangun dan
mengoperasikan proyek serta mengambil keuntungan dalam jangka waktu
tertentu, dan pada akhir masa konsesi yang disepakati proyek tersebut
dikembalikan kepada pemerintah.
Secara umum sebuah kontrak konsesi berisi hal-hal antara lain :
1. Pernyataan yang jelas mengenai hak konsesi yang eksklusif
Biasanya kontrak BOT dekat sekali dengan monopoli serta tidak jarang
keuntungan proyek BOT dapat diraih dengan diberikannya monopoli, walaupun
tidak semua proyek BOT terlibat monopoli (misal proyek pembangkit tenaga
listrik, persediaan air, dll”). Apabila nilai ekonomi proyek tersebut tergantung
pada segi-segi tersebut diatas, maka pemilik proyek harus memberikan hak
eksklusif di dalam kontrak konsesinya.
2. Lingkup proyek
Dalam kontrak konsesi, seharusnya secara hati-hati dijelaskan tentang apa saja
yang dibutuhkan oleh pelaksana konsesi, apa yang boleh/tidak boleh dilakukan
oleh operator, dan tenggang waktu konsesi diberikan. Berapa lama waktu yang
dibutuhkan operator untuk mengembalikan semua investasi serta biaya yang
telah dikeluarkan, bagaimana prospek penyediaan dana , siapa calon pengguna.
Dalam beberapa hal dapat dibuat model penyebutan lingkup proyek secara
umum kemudian diikuti dengan deskripsi lingkup proyek secara detail.
3. Komitment dukungan pemerintah
Kebanyakan BOT diadakan antara pemerintah dengan swasta dan memerlukan
berbagai macam bantuan dari pemerintah. Bantuan yang diberikan harus secara
jelas disebutkan, apa bentuknya. Beberapa bantuan yang dapat dilakukan
pemerintah setempat dapat berupa :
a) Bantuan yang berkaitan dengan persoalan tanah
Persoalan tanah menjadi kendala awal pelaksanaan proyek BOT, biasanya
berkaitan dengan masalah pembebasan tanah. Persoalan ini tentunya akan sulit
bila diselesaikan sendiri oleh kontraktor, maka dengan bantuan pemerintah
persoalan pembebasan tanah dapat dilakukan dengan lebih bijaksana.
b) Persetujuan lembaga legislatif
c) Penyertaan modal / equity participation
Penyertaan modal akan sangat membantu menyeimbangkan rasio modal dan
hutang yang dimiliki kontraktor pelaksana.
d) Subsidi
Pemerintah dapat memberikan subsidi supaya kontraktor dapat tetap
mempertahankan untuk memberikan pelayanan dengan standar harga yang
rendah.
e) Perlindungan dari persaingan usaha
Adanya jaminan dari pemerintah dalam tenggang waktu tertentu tidak akan
melakukan proyek yang sama yang potensial terjadinya persaingan yang dapat
menurunkan perolehan ekonomi kontraktor.
f) Diversifikasi keuntungan
Dukungan pemerintah dapat juga berupa diperbolehkannya kontraktor untuk
melakukan diversifikasi potensi yang dapat mendatangkan keuntungan.
Misalnya dalam pembangunan gedung swalayan, maka kontraktor diberikan hak
untuk mengelola perolehan dari sektor parkir dengan kontrak khusus pada
pemerintah setempat.
4. Biaya-biaya, Aspek keuangan, Pajak, Asuransi, Pertukaran mata uang asing
serta Repatriasi (bila melibatkan kontraktor asing)
Dibutuhkan adanya jaminan untuk menutup asuransi untuk bangunan yang akan
dibangun.
5. Persoalan nasionalisasi jika ada (bila melibatkan kontraktor asing)
6. Pengalihan pada operator lain
Dalam kondisi khusus pemilik proyek dapat menunjuk pengganti operator lain
tau mengambil alih operasi jika operator tidak dapat melaksanakan
kewajibannya. Untuk itu harus ditegaskan dalam kontrak konsesi.
7. Hak atas property
8. Hukum dan Penyelesaian Masalah
Penyelesaian masalah dilakukan dengan Dispute Settlement. Pada umumnya,
Dispute Settlement dapat dilakukan melalui pengadilan (dalam negeri/luar
negeri), atau dapat melalui penunjukan pribadi/lembaga yang diperbolehkan
melakukan arbitrase konflik di bidang pembangunan infrastruktur. Selain itu,
pihak-pihak yang bersengketa dapat menyelesaikan perkara di luar kedua jalur
tersebut, yaitu dengan bermusyawarah untuk mencapai persetujuan.
PEMBIAYAAN PROYEK BOT
Pembiayaan BOT dapat bersumber pada 2 hal :
• Pembiayaan yang berasal dari pinjaman (debt finance)
Umumnya berasal dari pinjaman pasar komersial, berasal dari perbankan.
Pinjaman dapat berjangka pendek, menengah, atau jangka panjang. Pendanaan
ini tergantung pada suku bunga mengambang (floating intrest) dan jangka
waktunya lebih pendek daripada jangka waktu konsesi proyek yang didanai.
Pendanaan model ini tidak melibatkan ikut sertanya pertanggungjawaban
pemberi pinjaman dalam risiko proyek, sehingga dikenal dengan sebutan
“unsubordinated” atau “senior” loans.
• Pembiayaan yang berasal dari penyertaan (equity investment)
Equity investment diperoleh dari dana yang dimiliki oleh kontraktor sendiri atau
berasal dari investor individual. Namun, pendanaan BOT dapat didanai oleh
pemerintah dan kontraktor yang ditanggung secara bersama dalam prosentase
tertentu yang sering dikenal dengan public-private partnership.
• Cara lain
Pendanaan proyek BOT dapat diperoleh dari lembaga keuangan, investment
funds, insurance companies, pension funds, sarana capital market funding, atau
International financial institution (misalnya World Bank).