Studi Kasus BOT (Built Operate Transfer)
-
Upload
i-kadek-bagus-widana-putra -
Category
Documents
-
view
1.828 -
download
39
description
Transcript of Studi Kasus BOT (Built Operate Transfer)
PENERAPAN KERJASAMA PEMERINTAH-SWASTA
DENGAN SKEMA BOT ( BUILT OPERATE TRANSFER )
PADA PROYEK PENYEDIAAN AIR BERSIH
Disusun Oleh :
Bunga Triana (16309816)
I kadek Bagus Widana .P (16309835)
Neneng Winarsih (16309850)
Ratih Dwi Prasetiyaningsih (16309860)
Yogi Oktopianto (16309875)
Yurista Vipriyanti (16309876)
JURUSAN TEKNIK SIPIL
FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN
UNIVERSITAS GUNADARMA
2013
ii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL .................................................................................. i
DAFTAR ISI ............................................................................................. ii
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG ....................................................... 1
1.2 RUMUSAN MASALAH ................................................... 2
1.3 TUJUAN PENULISAN ..................................................... 2
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 KERJASAMA PEMERINTAH SWASTA (KPS) ............. 3
2.2 BUILT OPERATE TRANSFER (BOT) .............................. 9
2.3 MEKANISME KERJASAMA BOT ................................... 13
2.4 HAK DAN KEWAJIBAN KERJASAMA BOT .................. 19
2.5 KONSESI KERJASAMA BOT .......................................... 20
2.6 KELEBIHAN DAN KEKURANGAN
KERJASAMA BOT ............................................................ 23
2.7 RESIKO KERJASAMA BOT ............................................. 25
2.8 STRUKTUR BOT AIR MINUM ........................................ 27
iii
BAB 3 PEMBAHASAN
3.1 CONTOH PENERAPAN KERJASAMA PEMERINTAH
DAN SWASTA DALAM PENYEDIAAN AIR BERSIH
DI KABUPATEN SEMARANG
(TELAH DILAKSANAKAN) ........................................... 30
3.2 ANALISIS RISIKO KERJASAMA PEMERINTAH DAN
SWASTA DALAM PENYEDIAAN AIR BERSIH
DI KABUPATEN MAROS DALAM MASA
PRE-STUDI KELAYAKAN............................................... 43
BAB 4 PENUTUP
4.1 KESIMPULAN .................................................................. 63
4.2 SARAN ............................................................................. 64
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ iv
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Infrastruktur merupakan prasarana publik paling primer dalam mendukung kegiatan
ekonomi suatu negara, dan ketersediaan infrastruktur sangat menentukan tingkat efisiensi dan
efektivitas kegiatan ekonomi. Infrastruktur memberikan sumbangan yang sangat berarti
dalam mempercepat pertumbuhan ekonomi dan pengurangan kemiskinan. Infrastruktur yang
memadai dan berkualitas akan meningkatkan produktivitas, memperkuat ketahanan ekonomi
dan dalam prosesnya membangun kualitas hidup yang lebih baik (Soedjito, 2005).
Secara ideal, seluruh infrastruktur ekonomi seharusnya dibangun oleh negara, rakyat
tidak dibebankan biaya pemakaian. Tetapi hal ini menjadi dilematis ketika kebutuhan
pembangunan infrastruktur untuk percepatan pembangunan ekonomi dihadapkan pada
keterbatasan dana yang dimiliki oleh Pemerintah. Walaupun pemerintah telah berupaya
dalam mencari solusi seperti memberlakukan subsidi dari pengguna yang mampu, namun hal
ini tetap saja pelayanan yang ada masih minim dan banyak bagian masyarakat yang tidak
terlayani.
Kemitraan Pemerintah-Swasta (Public-Private Partnership) merupakan salah satu
cara untuk mengkolaborasikan peran-peran tersebut. Kemitraan Pemerintah Swasta
merupakan kerjasama pemerintah dan swasta, dimana sector swasta menyediakan modal
investasi penting dalam penanganan penyediaan prasarana skala besar (Soesilo, 2000).
Sektor swasta telah terbukti banyak membantu pemerintah terutama dalam
penyediaan infrastruktur di negara-negara yang sedang berkembang. Sisi lain dari aspek
peran serta sektor swasta dalam penyediaan infrastruktur adalah prinsip kepentingan swasta
dalam menjalankan usaha, dimana modal besar yang diinvestasikan tentu harus ada jaminan
kepastian pengembalian dengan keuntungan yang memadai (Hindersah, 2003:12). Prinsip
profit oriented ini seringkali berbenturan dengan kepentingan pemerintah yang lebih bersifat
social kemasyarakatan. Kemitraan pemerintah-swasta dalam penyediaan infrastruktur
diharapkan dapat terciptanya tingkat kualitas kehidupan masyarakat yang lebih baik.
Salah satu permasalahan infrastruktur yang sangat penting saat ini adalah penyediaan
sarana dan prasarana air bersih untuk air minum yang merupakan kebutuhan dasar bagi
kelangsungan hidup manusia. PDAM sebagai satu-satunya badan usaha milik Pemerintah
2
dalam menyediakan kebutuhan air bersih bagi masyarakat, masih dalam kondisi
memprihatinkan akibat pengeluaran biaya operasi yang tinggi, beban pinjaman hutang,
inefisiensi manajemen dan beban-beban keuangan lain. Dalam penulisan ini akan dibahas
mngenai kemitraan Pemerintah-Swasta (Public-Private Partnership) dalam penyediaan
pelayanan air bersih antara PDAM Kabupaten Semarang dan PT. Sarana Tirta Ungaran serta
kerjasama Pemerintah dan Swasta untuk penyedian air bersih di Kabupaten Maros dengan
model kemitraan menganut skema BOT (Built, Operate, Transfer).
1.2 RUMUSAN MASALAH
Rumusan masalah dalam penulisan ini adalah :
1. Bagaimana penerapan kerjasama pemerintah dan swasta dalam penyediaan air
bersih di kabupaten semarang.
2. Bagaimana penerapan kerjasama pemerintah dan swasta dalam penyediaan air
bersih di kabupaten maros.
1.3 TUJUAN PENULISAN
Tujuan yang hendak dicapai dari penulisan ini adalah:
1. Menganalisis penerapan kerjasama pemerintah dan swasta dalam penyediaan air
bersih di kabupaten semarang.
2. Menganalisis penerapan kerjasama pemerintah dan swasta dalam penyediaan air
bersih di kabupaten maros.
3
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 KERJASAMA PEMERINTAH SWASTA (KPS)
Indonesia merupakan negara yang sedang berkembang. Sebagai negara
berkembang, kepadatan penduduk terus bertambah dan menuntut penambahan
sarana dan prasarana untuk kepentingan umum (infrastruktur). Untuk melakukan
pengadaan infrastruktur itu dibutuhkan dana yang sangat besar, yang akan terasa
berat apabila hanya dibebankan pada APBN. Melihat keterbatasan pemerintah
melalui APBN maupun APBD dalam penyediaan dana untuk pembangunan
infrastruktur ini, maka dituntut adanya model-model baru pembiayaan proyek
pembangunan.
Dalam pengadaan infrastruktur di daerah, tak jarang sebagai alternatif
pendanaan, pemerintah melibatkan pihak swasta (nasional-asing) dalam proyek-
proyeknya. Pastisipasi swasta ini dapat diarahkan pada proyek yang
membutuhkan dana besar, seperti pembangunan jalan tol, migas, bendungan,
pembangunan mall, perluasan bandara, maupun pembangkit listrik. Namun, dapat
juga diarahkan pada proyek infrastruktur yang tidak membutuhkan dana yang
terlalu besar, seperti renovasi pasar, terminal, pangkalan truk, rest area, resort, dll.
Yang terpenting proyek tersebut dapat memberikan income atau pendapatan
ekonomi bagi kontraktor (revenue yang cepat).
Kerjasama Pemerintah Swasta merupakan Penyediaan Infrastruktur yang
dilakukan melalui Perjanjian Kerjasama atau pemberian Izin Pengusahaan antara
Menteri/Kepala Lembaga/ Kepala Daerah dengan Badan Usaha, yang meliputi
pekerjaan konstruksi untuk membangun atau meningkatkan kemampuan
infrastruktur dan/atau kegiatan pengelolaan infrastruktur dan/atau pemeliharaan
infrastruktur dalam rangka meningkatkan kemanfaatan infrastruktur. KPS juga
dikenal sebagai Public-Private Partnership (PPP).
4
Sedangkan menurut E.R. Yescombe mendefinisikan Public-Private
Partnership adalah bentuk kerjasama antara pemerintah sebagai pihak publik dan
swasta sebagai pihak private dengan elemen kunci sebagai berikut :
1. Kontrak jangka panjang yang terjadi antara pemerintah dan swasta.
2. Untuk desain, konstruksi, pembiayaan, dan operasional dilaksanakan oleh
pihak swasta.
3. Pembayaran selama jangka waktu kontrak KPS kepada pihak swasta
dilaksanakan oleh pemerintah maupun pengguna secara langsung sebagai
kompensasi terhadap penggunaan fasilitas infrastruktur.
4. Adanya alih kepemilikan dari pihak swasta kepada pemerintah di akhir
kontrak KPS.
Program Kerjasama Pemerintah Swasta ini mencakup rentang infrastruktur
yang luas, diantaranya:
1. Bandar udara
2. Pelabuhan laut dan sungai
3. Jalan dan Jembatan
4. Jalan dan Kereta Api
5. Penyediaan air bersih dan sistem Irigasi
6. Penyediaan Air Minum
7. Penampungan Air Limbah
8. Pembuangan Sampah
9. Teknologi Informasi dan Komunikasi
10. Ketenagalistrikan
11. Minyak dan Gas
5
2.1.1 Bentuk-Bentuk kerjasama Pemerintah dengan swasta
Bentuk-Bentuk kerjasama Pemerintah dengan swasta diantaranya :
1. Kontrak Pelayanan, Operasi dan Perawatan (Operation, Maintenance
and Service Contract).
Pemerintah memberikan wewenang kepada swasta dalam kegiatan
operasional, perawatan dan kontrak pelayanan pada infrastruktur yang
disediakan oleh pemerintah. Pihak swasta harus membuat suatu pelayanan
dengan harga yang telah disetujui dan harus sesuai dengan standar
performance yang telah ditentukan oleh pemerintah. Contoh dari kontrak
pelayanan ini dalam sektor air bersih dimana dari mengoperasikan WTP
(water treatment plant), pendistribusian air, pembacaan meteran air,
penarikan dan pengumpulan tagihan, serta operasional dan perawatan pipa.
Sedangkan contoh dalam sampah adalah pengumpulan sampah, produksi dan
distribusi kontainer sampah, pelayanan pembersihan di jalan, perawatan
kendaraan (truk-truk), dan pelaksanaan landfill atau pelaksanaan transfer
antar pos-pos pengumpul sampah.
2. Kerjasama BOT
Kontrak Bangun, Operasikan dan Transfer (Build, Operate and Transfer)
digunakan untuk melibatkan investasi swasta pada pembangunan konstruksi
infrastruktur baru. Di bawah prinsip BOT, pendanaan pihak swasta akan
digunakan untuk membangun dan mengoperasikan fasilitas atau sistem
infrastruktur berdasarkan standar-standar performance yang disusun oleh
pemerintah. Masa periode yang diberikan memiliki waktu yang cukup
panjang untuk perusahaan swasta untuk mendapatkan kembali biaya yang
telah dikeluarkan guna membangun konstruksi beserta keuntungan yang akan
didapat yaitu sekitar 10 sampai 30 tahun. Dalam hal ini pemerintah tetap
menguasai kepemilikan fasilitas infrastruktur dan pemerintah memiliki dua
peran sebagai pengguna dan regulator pelayanan infrastruktur tersebut. BOT
merupakan cara yang baik untuk pembangunan infrastruktur baru dengan
6
keterbatasan dana pemerintah. Pemerintah menggunakan sistem BOT ini
untuk fasilitas-fasilitas infrastruktur yang lebih spesifik seperti penampungan
supply air yang besar, air minum, WTP, tempat pengumpulan sampah baik
sementara maupun akhir pembuangan, serta tempat pengolahan sampah.
Struktur Pembiayaan di dalam BOT, pihak swasta berperan untuk
menyediakan modal untuk membangun fasilitas baru. Pemerintah akan
menyetujui untuk mengeluarkan tingkat produksi yang minimum untuk
memastikan bahwa operator swasta dapat menutupi biayanya selama
pengoperasian.
3. Konsesi
Dalam Konsesi, Pemerintah memberikan tanggung jawab dan pengelolaan
penuh kepada kontraktor (konsesioner) swasta untuk menyediakan
pelayanan-pelayanan infrastruktur dalam sesuatu area tertentu, termasuk
dalam hal pengoperasian, perawatan, pengumpulan dan manajemennya.
Konsesioner bertanggung jawab atas sebagian besar investasi yang digunakan
untuk membangun, meningkatkan kapasitas, atau memperluas sistem
jaringan, dimana konsesioner mendapatkan pendanaan atas investasi yang
dikeluarkan berasal dari tarif yang dibayar oleh konsumen. Sedangkan peran
pemerintah bertanggung jawab untuk memberikan standar performance dan
menjamin kepada konsesioner. Intinya, peran pemerintah telah bergeser dari
yang dulunya penyedia pelayanan (provider) menjadi pemberi aturan
(regulator) atas harga yang dikenakan dan jumlah yang harus disediakan.
Aset-aset infrastruktur yang tetap dipercayakan kepada konsesioner untuk
waktu kontrak tertentu, tetapi setelah kontrak habis maka aset infrastruktur
akan menjadi milik pemerintah. Periode konsesi diberikan biasanya lebih dari
25 tahun. Lamanya tergantung pada perjanjian kontrak dan waktu yang
dibutuhkan oleh konsesioner swasta untuk menutup biaya yang telah
dikeluarkan.
Pada sektor persampahan, pemerintah memberikan suatu konsesi untuk
membangun suatu tempat daur ulang serta pengoperasiannya atau
7
membangun suatu fasilitas yang dapat mengubah sampaf menjadi sesuatu
energi. Pada sektor air bersih, konsesi memiliki peran penuh dalam pelayanan
air pada suatu area tertentu. Cara konsesi telah banyak digunakan baik tingkat
kota maupun tingkat nasional.
Pihak swasta bertanggung jawab atas semua modal dan biaya operasi
termasuk pembangunan infrastruktur, energi, material, dan perbaikan-
perbaikan selama berlakunya kontrak. Pihak swasta dapat berwenang untuk
mengambil langsung tarif dari pengguna. Tarif yang berlaku telah ditetapkan
sebelumnya pada penjanjian kontrak konsesi, dimana adapun tarif ini ada
kemungkinan untuk berubah pada waktu-waktu tertentu. Pada beberapa
kasus, pemerintah dapat membantu pendanaan untuk menutup pengeluaran
konsesioner dan hal ini merupakan salah satu bentuk jaminan pemerintah
namun hal ini sebaiknya dihindarkan.
4. Prinsip Joint Venture
Kerja sama Joint venture merupakan kerja sama pemerintah dan swasta
dimana tanggung jawab dan kepemilikan ditanggung bersama dalam hal
penyediaan pelayanan infrastruktur. Dalam kerja sama ini masing-masing
pihak mempunyai posisi yang seimbang dalam perusahaan. Kerja sama ini
bertujuan untuk memadukan keuggulan sektor swasta seperti modal,
teknologi, kemampuan manejemen, dengan keunggulan pemerintah yakni
kewenangan dan kepercayaan masyarakat. Perlu diperhatikan pemegang
saham mayoritas dan minoritas karena hal ini berkaitan dengan kekuasaan
menjalankan perusahaan dan menentukan kebijaksanaan perusahaan karena
prinsip kerja sama ini satu saham satu suara. Di bawah joint venture,
pemerintah dan swasta dapat membentuk perusahaan baru atau menggunakan
perusahaan penyedia infrastruktur yang ada (misal perusahaan pemerintah
menjual sebagian modal kepada swasta). Adapun perusahaan yang ada
memiliki fungsi yang independen terhadap pemerintah. Joint venture dapat
digunakan secara kombinasi dari beberapa tipe kerja sama pemerintah dan
swasta yang lain. Misal, pemerintah membuka modal secara bersama,
8
khususnya dalam hal pelayanan, BOT, atau konsesi untuk penyediaan
infrastruktur. Kerja sama Joint venture merupakan suatu alternatif yang dapat
dikatakan "benar-benar" bentuk public-private partnership yaitu antara
pemerintah, swasta, lembaga bukan pemerintah, dan lembaga lainnya yang
dapat menyumbangkan sumber daya mereka yang bisa saling "share" dalam
menyelesaikan masalah infrastruktur lokal. Di bawah joint venture
pemerintah selain memiliki peran sebagai pemberi aturan, juga berperan
sebagai shareholder yang aktif dalam menjalankan suatu perusahaan bersama.
Dibawah joint venture, pemerintah dan swasta harus bekerja sama dari
tahap awal, pembentukan lembaga, sampai pada pembangunan proyek.
Model kerja sama joint venture ini, pihak pemerintah dan swasta harus
berkontribusi dalam pembiayaan dari sejak awal, mulai dari pembiayaan studi
kelayakan proyek sampai mempersiapkan investasi pada perusahaan baru
ketika telah terbentuk. Modal bersama PPP ini memerlukan kesepakatan
sebelumnya untuk menanggung resiko dan membagi keuntungan secara
bersama-sama. Dengan kata lain, masing-masing harus memiliki kontribusi
melalui proyek pembangunan dan implementasinya. Secara optimal,
perusahaan seharusnya membiayai secara independen. Tapi bagaimanapun
tidak menutup kemungkinan pemerintah memberikan subsidi pada
perusahaan atau pada penggunaanya namun hal ini dilakukan jika sangat
mendesak dan diusahakan agar dihindari.
5. Prinsip Community-Based Provision
CBP dapat terdiri dari perorangan, keluarga, atau perusahaan kecil. CBP
memiliki peran utama dalam mengorganisasikan penduduk miskin ke dalam
kegiatan bersama dan kepentingan mereka akan direpresentasikan dan
dinegosiasikan dengan Non Goverment Organization (NGO) dan pemerintah.
NGO berperan untuk menyediakan proses manajemen, menengahi negosisasi
antara CBP dan lembaga yang lebih besar lainnya dalam hal bentuk jaringan
kerjasama, pemberian informasi ataupun kebijasanaan.
9
Pada sektor air bersih, CBP ini membeli air dalam jumlah besar dan
menjualnya kepada komunitas mereka dalam bentuk ember. Community
based provision memiliki karakteristik khusus yaitu memerlukan biaya
rendah dan biaya tersebut dapat dikatakan sebagai modalnya yang telah
disediakan oleh penyedia setempat beserta material mereka. Pengorganisasian
dan biaya material biasanya disediakan oleh NGO-NGO, sumbangan-
sumbangan, asisten pengurus pembangunan, pemerintah atau oleh komunitas
tersebut.
2.2 BUILT OPERATE TRANSFER (BOT)
Salah satu cara pembiayaan proyek dapat dilakukan dengan mengajak
pihak swasta untuk berpartisipasi dalam pengadaan proyek pemerintah dengan
sistem BOT (Build Operate and Transfer). Pembiayaan proyek dengan BOT
mencakup dari studi kelayakan, pengadaan barang, pembiayaan, sampai dengan
pengoperasian. Di sini pelaksana proyek mendapat hak konsesi untuk jangka
waktu tertentu guna mengambil manfaat ekonominya dan pada akhirnya
mengembalikan semua aset tersebut pada pemerintah pada saat berakhirnya masa
konsesi.
Kerjasama jenis BOT ini telah lama diadopsi oleh negara-negara maju,
misalnya pada proyek Anglo-French Channel Tunnel. Belakangan, negara-negara
berkembang juga mulai banyak mengadopsi model ini, misalnya proyek jembatan
dan bandara di Hong Kong, energi dan jalur kereta api di Cina, jalan raya dan
bandara di Malaysia, telekomunikasi di Thailand, energi di Filipina, proyek energi
thermal di Pakistan, dan sebagainya.
Pada dasarnya BOT adalah suatu bentuk pembiayaan proyek
pembangunan dimana pelaksana proyek harus menyediakan sendiri pendanaan
untuk proyek tersebut serta menanggung pengadaan material, peralatan, jasa lain
yang dibutuhkan untuk kelengkapan proyek. Sebagai gantinya pelaksana proyek
diberikan hak untuk mengoperasikan dan mengambil manfaat ekonominya
sebagai ganti atas semua biaya yang dikeluarkan untuk selama waktu tertentu.
10
Dalam konteks pengadaan proyek infrastruktur, maka BOT tidak lain
adalah sebuah kontrak atau perjanjian antara pemilik proyek (pemerintah) dengan
pihak lain sebagai operator atau pelaksana proyek. Dalam hal ini, pemilik proyek
memberikan hak pada operator atau pelaksana untuk membangun sebuah sarana
dan prasarana (umum) serta mengoperasikannya selama jangka waktu tertentu dan
mengambil seluruh atau sebagian keuntungan dan pada akhir masa kontrak harus
mengembalikan proyek tersebut pada pemilik proyek. Apabila semuanya berjalan
sesuai dengan rencana, maka pada akhir masa kontrak atau pada saat proyek
tersebut harus dikembalikan pada pemerintah, maka pemilik proyek dapat
mengembalikan semua biaya yang telah dikeluarkan ditambah dengan sejumlah
keuntungan yang diharapkan dari proyek tersebut.
Kontrak BOT adalah kontrak antara instansi pemerintah dan badan
usaha/swasta (special purpose company) dalam membangun infrastruktur publik
yang bertujuan untuk meningkatkan pertumbuhan infrastruktur tanpa pengeluaran
dana dari pemerintah, dimana pihak swasta (badan usaha) bertanggung jawab atas
desain akhir, pembiayaan, konstruksi, operasi dan pemeliharaan (O&M) sebuah
proyek investasi bidang infrastruktur selama beberapa tahun; biasanya dengan
transfer aset pada akhir masa kontrak. Pihak swasta mendapatkan revenue dari
pengoperasian fasilitas infrastruktur tersebut selama periode konsesi berlangsung.
Umumnya, masa kontrak berlaku antara 10 sampai 30 tahun.
2.2.1 Ciri-ciri Kerjasama BOT
Beberapa ciri proyek BOT, diantaranya :
1. Pembangunan (Build)
Pemilik proyek sebagai pemberi hak pengelolaan memberikan kuasanya
kepada pemegang hak (pelaksana proyek) untuk membangun sebuah proyek
dengan dananya sendiri (dalam beberapa hal dimungkinkan didanai bersama /
participate interest). Desain dan spesifikasi bangunan merupakan usulan
pemegang hak pengelolaan yang harus mendapat persetujuan dari pemilik
proyek.
11
2. Pengoperasian (Operate)
Merupakan masa atau tenggang waktu yang diberikan pemilik proyek kepada
pemegang hak untuk selama jangka waktu tertentu mengoperasikan dan
mengelola proyek tersebut untuk diambil manfaat ekonominya. Bersamaan
dengan itu pemegang hak berkewajiban melakukan pemeliharaan terhadap
proyek tersebut. Pada masa ini, pemilik proyek dapat juga menikmati hasil
sesuai dengan perjanjian jika ada.
3. Penyerahan Kembali (Transfer)
Pemegang hak pengelolaan menyerahkan hak pengelolaan dan fisik proyek
kepada pemilik proyek setelah masa konsesi selesai tanpa syarat (biasanya).
Pembebanan biaya penyerahan umumnya telah ditentukan dalam perjanjian
mengenai siapa yang menanggungnya.
Berdasarkan pengertian yang dimaksud di atas, maka unsur-unsur
perjanjian sistem bangun guna serah (Build, Operate, and Transfer / BOT)
atau BOT Agreement, adalah :
a. Investor (penyandang dana)
b. Tanah
c. Bangunan komersial
d. Jangka waktu operasional
e. Penyerahan (transfer)
2.2.2 Regulasi Kerjasama BOT
Pengadaan infrastruktur di Indonesia dengan menggunakan perjanjian
BOT diatur oleh :
1. Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2005 tentang Kerjasama Pemerintah
Dengan Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur.
2. Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas
Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2005 tentang Kerjasama Pemerintah
Dengan Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur.
12
3. Keputusan Presiden RI Nomor 39 Tahun 1991 tentang Keputusan Presiden
Tentang Koordinasi Pengelolaan Pinjaman Komersial Luar Negeri.
4. Keputusan Presiden RI Nomor 7 Tahun 1998 tentang Kerjasama
Pemerintah Dan Badan Usaha Swasta Dalam Pembangunan Dan Atau
Pengelolaan Infrastruktur.
5. Keputusan Menteri Keuangan No. 234/KMK-04/1995.\
6. SK Menteri Dalam Negeri Otonomi Daerah Nomor 11 tahun 2001 tentang
Pedoman Pengelolaan Barang Daerah.
7. Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2005 tentang Peraturan
Pelaksanaan UU Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung.
8. Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor 248/KMK.04/1995 tentang
Perlakuan Pajak Penghasilan Terhadap Pihak-Pihak Yang Melakukan
Kerjasama Dalam Bentuk Perjanjian Bangun Guna Serah (“Build Operate
and Transfer”).
9. Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 32 Tahun 2005.
10. Serta peraturan lain yang mendukung.
2.2.3 Pembiayaan Kerjasama BOT
Pembiayaan BOT dapat bersumber pada 2 hal :
1. Pembiayaan yang berasal dari pinjaman (debt finance)
Umumnya berasal dari pinjaman pasar komersial, berasal dari perbankan.
Pinjaman dapat berjangka pendek, menengah, atau jangka panjang.
Pendanaan ini tergantung pada suku bunga mengambang (floating intrest)
dan jangka waktunya lebih pendek daripada jangka waktu konsesi proyek
yang didanai.
2. Pembiayaan yang berasal dari penyertaan (equity investment)
Equity investment diperoleh dari dana yang dimiliki oleh kontraktor
sendiri atau berasal dari investor individual. Namun, pendanaan BOT
dapat didanai oleh pemerintah dan kontraktor yang ditanggung secara
13
bersama dalam prosentase tertentu yang sering dikenal dengan public-
private partnership.
3. Cara lain
Pendanaan proyek BOT dapat diperoleh dari lembaga keuangan,
investment funds, insurance companies, pension funds, sarana capital
market funding, atau International financial institution (misalnya World
Bank).
2.3 MEKANISME KERJASAMA BOT
Berdasarkan unsur yang terkandung dalam perjanjian BOT atau BOT
Agreement, maka pada dasarnya ada pemisahan yang tegas antara Pemilik (yang
menguasai tanah) dengan Investor (penyandang dana). Obyek dalam perjanjian
BOT kurang lebih yaitu :
1. Bidang usaha yang memerlukan suatu bangunan (dengan atau tanpa
teknologi tertentu) yang merupakan komponen utama dalam usaha
tersebut disebut sebagai bangunan komersial.
2. Bangunan komersial tersebut dapat dioperasikan dalam jangka waktu
relatif lama, untuk tujuan :
a. Pembangunan prasarana umum, seperti jalan tol, pembangkit listrik,
sistem telekomunikasi, pelabuhan peti kemas dan sebagainya.
b. Pembangunan properti, seperti pusat perbelanjaan, hotel, apartemen
dan sebagainya.
c. Pembangunan prasarana produksi, seperti pembangunan pabrik untuk
menghasilkan produk tertentu
2.3.1 Pertimbangan dalam Kerjasama BOT
Dalam suatu kerjasama tentunya diperlukan beberapa pertimbangan, untuk
pertimbangan dalam kerjasama BOT, dapat dijelaskan sebagai berikut :
14
1. Perjanjian BOT ini terjadi dalam hal, jika :
a. Ada pemilik tanah atau pihak yang menguasai tanah, ingin
membangun suatu bangunan komersial di atas tanahnya tetapi tidak
mempunyai biaya, dan ada investor yang bersedia membiayai
pembangunan tersebut.
b. Ada investor yang ingin membangun suatu bangunan komersial tetapi
tidak mempunyai tanah yang tepat untuk berdirinya bangunan
komersial tersebut, dan ada pemilik tanah yang bersedia menyerahkan
tanahnya untuk tempat berdirinya bangunan komersial tersebut.
c. Investor membangun suatu bangunan komersial di atas tanah milik
pihak lain, dan setelah pembangunan selesai investor berhak
mengoperasionalkannya untuk jangka waktu tertentu. Selama jangka
waktu operasional, pihak pemilik tanah berhak atas fee tertentu.
d. Setelah jangka waktu operasional berakhir, investor wajib
mengembalikan tanah kepada pemiliknya beserta bangunan komersial
di atasnya.
2. Pertimbangan-pertimbangan pokok bagi pembangunan proyek
infrastruktur dengan pola BOT yang didasarkan atas kepentingan
Pemerintah Daerah, yaitu :
a. Tidak membebani neraca pembayaran pemerintah (offbalance-sheet
financing).
b. Mengurangi jumlah pinjaman Pemerintah maupun sektor publik
lainnya.
c. Merupakan tambahan sumber pembiayaan bagi proyek-proyek yang
diprioritaskan (additional finance sources for priority projects).
d. Tambahan fasilitas baru.
e. Mengalihkan resiko bagi konstruksi, pembiayaan dan pengoperasian
kepada sektor swasta.
f. Mengoptimalkan kemungkinan pemanfaatan perusahaan maupun
teknologi asing.
15
g. Mendorong proses alih teknologi, khususnya bagi kepentingan
negara-negara berkembang.
h. Diperolehnya fasilitas yang lengkap dan operasional setelah masa
akhir konsesi.
Sebelum menentukan serta untuk keberhasilan pembangunan dan
pengoperasian suatu fasilitas/proyek infrastruktur yang menggunakan pola BOT,
maka secara konseptual perlu dipertimbangakan faktor-faktor :
1. Tipe fasilitas.
2. Manfaat sosialnya.
3. Dukungan Pemerintah (Prinsipal) yang dapat diberikan kepada Promotor.
4. Kualifikasi dan pengalaman dari Promotor itu sendiri.
5. Lokasi proyek/fasilitas tersebut.
6. Besar ekuitas yang akan dipakai.
7. Jaminan kelangsungan suplai bahan mentah.
8. Jaminan pembelian atas produk dan atau jasa yang dihasilkan dari
pengoperasian fasilitas-fasiltas tersebut.
9. Jangka waktu konsesi.
10. Komponen dari masing-masing paket yang terkait dengan konstruksi, operasi,
pemeliharaan, pembiayaan dan penggerak perolehan penerimaan.
2.3.2 Tata Cara Pelaksanaan BOT
Tata cara pelaksanaan dalam kerjasama BOT diantaranya :
1. Pertimbangan
BOT dilakukan untuk menyediakan bangunan dan fasilitasnya dalam
rangka penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi kementerian/lembaga,
yang dana pembangunannya tidak tersedia dalam Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara (APBN).
2. Barang Milik Negara yang dapat Dijadikan Objek BOT
Barang Milik Negara yang dapat dijadikan objek BOT adalah Barang
Milik Negara yang berupa tanah, baik tanah yang ada pada Pengelola
16
Barang maupun tanah yang status penggunaannya ada pada Pengguna
Barang.
3. Subjek Pelaksanaan BOT
a. Pihak yang dapat melaksanakan BOT Barang Milik Negara adalah
Pengelola Barang.
b. Pihak-pihak yang dapat menjadi mitra BOT adalah:
Badan Usaha Milik Negara
Badan Usaha Milik Daerah
Badan Hukum lainnya.
4. Ketentuan dalam Pelaksanaan BOT
a. Selama masa pengoperasian BOT, Pengguna Barang harus dapat
menggunakan langsung objek BOT, beserta sarana dan prasarananya
untuk penyelenggaraan tugas pokok dan fungsinya berdasarkan
penetapan dari Pengelola Barang, paling sedikit 10% (sepuluh persen)
dari luas objek dan sarana prasarana BOT dimaksud.
b. Jangka waktu pengoperasian BOT oleh mitra BOT paling lama 30 (tiga
puluh) tahun terhitung sejak perjanjian ditandatangani.
c. Kewajiban mitra BOT selama jangka waktu pengoperasian:
Membayar kontribusi ke rekening kas umum Negara.
Tidak menjaminkan, menggadaikan dan/atau memindahtangankan
objek BOT.
Memelihara objek BOT agar tetap dalam kondisi baik.
d. Pemilihan mitra BOT dilaksanakan melalui tender dengan
mengikutsertakan sekurang-kurangnya 5 (lima) peserta/peminat.
e. Penghitungan nilai tanah dalam rangka penentuan nilai limit terendah
besaran kontribusi dilakukan oleh penilai yang ditetapkan oleh
Pengelola Barang.
f. Nilai limit terendah besaran kontribusi atas pelaksanaan BOT Barang
Milik Negara ditetapkan oleh Pengelola Barang berdasarkan hasil
perhitungan penilai.
17
g. Pembayaran kontribusi dari mitra BOT, kecuali untuk pembayaran
pertama yang harus dilakukan pada saat ditandatanganinya perjanjian
BOT, harus dilakukan paling lambat tanggal 31 Januari setiap tahun
sampai dengan berakhirnya perjanjian BOT dimaksud, dengan
penyetoran ke rekening kas umum negara.
h. Keterlambatan pembayaran kontribusi dari tanggal tersebut pada butir 7
akan dikenakan denda paling sedikit sebesar 1 ‰ (satu per seribu) per
hari.
i. Dalam hal mitra tidak melakukan pembayaran kontribusi sebanyak tiga
kali dalam jangka waktu pengoperasian BOT, Pengelola Barang dapat
secara sepihak mengakhiri perjanjian.
j. Seluruh biaya yang timbul pada tahap persiapan dan pelaksanaan
kerjasama pemanfaatan, antara lain meliputi biaya perizinan, konsultan
pengawas, biaya konsultan hukum, dan biaya pemeliharaan objek BOT,
dan biaya audit oleh aparat pengawas fungsional menjadi beban mitra
kerjasama pemanfaatan.
k. Setelah masa pengoperasian BOT berakhir, objek pelaksanaan BOT
harus diaudit oleh aparat pengawas fungsional sebelum diserahkan
kepada Pengelola Barang dan/atau Pengguna Barang.
l. Setelah masa pemanfaatan berakhir, bangunan dan fasilitas hasil BOT
ditetapkan status penggunaannya oleh Pengelola Barang.
m. Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dalam rangka BOT harus atas nama
Pemerintah Republik Indonesia.
5. Tata Cara Pelaksanaan BOT
a. BOT atas tanah yang berada pada Pengelola Barang
1. Pengelola Barang menetapkan tanah yang akan dijadikan objek
BOT berdasarkan hasil penelitian kelayakan tersebut.
2. Pengelola Barang membentuk tim yang beranggotakan unsur
Pengelola Barang, Pengguna Barang, serta dapat mengikutsertakan
unsur instansi/lembaga teknis yang kompeten.
18
3. Tim bertugas untuk melakukan pengkajian tanah yang akan
dijadikan objek BOT serta menyiapkan hal-hal yang bersifat
teknis, tetapi tidak terbatas untuk menyiapkan rincian kebutuhan
bangunan dan fasilitas yang akan ditenderkan, penelitian indikasi
biaya yang diperlukan untuk penyediaan bangunan dan
fasilitasnya, dan melakukan tender calon mitra BOT.
4. Pengelola Barang menugaskan penilai untuk melakukan
perhitungan nilai limit terendah besaran kontribusi BOT atas
Barang Milik Negara yang akan menjadi objek BOT.
5. Penilai menyampaikan laporan penilaian kepada Pengelola Barang
melalui Tim.
6. Tim menyampaikan laporan kepada Pengelola Barang terkait
dengan hasil pengkajian atas tanah, dengan disertai perhitungan
nilai limit terendah besaran kontribusi BOT dari penilai.
7. Berdasarkan laporan tim dimaksud, Pengelola Barang menerbitkan
surat penetapan nilai tanah yang akan dilakukan BOT dan nilai
limit terendah kontribusi atas pelaksanaan BOT, dan rencana
kebutuhan bangunan dan fasilitasnya.
8. Berdasarkan surat penetapan tersebut, tim melakukan tender
pemilihan mitra BOT.
9. Hasil pelaksanaan tender disampaikan kepada Pengelola Barang
untuk ditetapkan dengan menerbitkan surat keputusan pelaksanaan
BOT dimaksud, yang antara lain memuat objek BOT, nilai
kontribusi, mitra BOT, dan jangka waktu BOT.
10. Pelaksanaan BOT dituangkan dalam perjanjian BOT antara
Pengelola Barang dengan mitra BOT.
11. Mitra BOT menyetorkan ke rekening kas umum negara uang
kontribusi tetap setiap tahun paling lambat tanggal 31 Januari
kecuali untuk tahun pertama selambat-lambatnya pada saat
perjanjian BOT ditandatangani.
19
12. Pengelola Barang melakukan monitoring, evaluasi, dan
penatausahaan pelaksanaan BOT dimaksud.
13. Penyerahan kembali objek BOT beserta fasilitasnya kepada
Pengelola Barang dilaksanakan setelah masa pengopersian BOT
yang diperjanjikan berakhir dan dituangkan dalam suatu berita
acara serah terima barang.
b. BOT atas tanah yang status penggunaannya ada pada Pengguna
Barang
1. Pengguna Barang menyerahkan tanah yang akan dijadikan objek
BOT kepada Pengelola Barang dengan disertai usulan BOT dan
dokumen pendukung berupa lokasi/alamat, status dan bukti
kepemilikan, luas, harga perolehan/NJOP, dan rencana
pembangunan gedung yang diinginkan.
2. Berdasarkan usulan dari Pengguna Barang, selanjutnya mekanisme
BOT dilaksanakan mengacu pada ketentuan pada poin 4a.
2.4 HAK DAN KEWAJIBAN KERJASAMA BOT
Para pihak yang terlibat dalam pembangunan dengan pola BOT ini adalah:
1. Prinsipal / Grantor / Pemilik Proyek adalah pihak yang secara keseluruhan
bertanggungjawab atas pemberian konsesi dan merupakan pemilik akhir
dari proyek/fasilitas tersebut setelah habisnya jangka waktu. Dalam hal ini
Pemerintahlah yang bertindak sebagai Prinsipal atau yang ditunjuk oleh
Pemerintah.
Kewajiban
Sebagai pemegang hak pengelolaan, memberikan kuasa kepada pelaksana
proyek.
Hak
a. Menikmati hasil sesuai perjanjian jika ada.
b. Menerima fasilitas infrastruktur setelah masa perjanjian berakhir.
2. Promotor / Pelaksana Proyek adalah suatu badan hukum/organisasi yang
diberi konsesi untuk membangun, memiliki, mengoperasikan dan
20
mengalihkan fasilitas tertentu. Organisasi promotor ini biasanya didukung
oleh pihak-pihak lain, seperti : Contractor, Investor, Operator, Supplier,
Lender, dan User. Pihak yang disebutkan ini masing-masing dapat menjadi
satu dengan promotor ataupun terpisah.
Kewajiban:
a. Membangun dan mengoperasikan sebuah sarana dan prasarana umum
sesuai dengan standar kerja yang diterapkan pemilik proyek
b. Menyediakan sendiri pendanaan untuk proyek tersebut serta
menanggung pengadaan material, peralatan, jasa lain yang dibutuhkan
untuk kelengkapan proyek
c. Mengembalikan proyek pada pemilik proyek pada akhir masa kontrak
d. Membayar fee kepada pemilik proyek apabila diperjanjikan
e. Membayar kontribusi ke rekening kas umum negara;
f. Tidak menjaminkan, menggadaikan dan/atau memindahtangankan
objek BOT;
g. Memelihara objek BOT agar tetap dalam kondisi baik.
Hak :
a. Mengoperasikan dan mengambil manfaat ekonominya sebagai ganti
atas semua biaya yang dikeluarkan untuk selama waktu tertentu.
b. Mengambil seluruh atau sebagian keuntungan.
2.5 KONSESI KERJASAMA BOT
Perbedaan utama BOT dengan pembiayaan proyek lain adalah pada
masalah konsesi, yaitu konsesi antara pemilik proyek dengan pelaksana proyek.
Kontrak ini didukung dengan peraturan yang dikeluarkan pemerintah setempat,
biasanya berupa SK Bupati, Walikota, persetujuan DPRD setempat. Kontrak
konsesi ini memberikan hak pada kontraktor untuk membangun dan
mengoperasikan proyek serta mengambil keuntungan dalam jangka waktu tertentu
dan pada akhir masa konsesi yang disepakati proyek tersebut dikembalikan
21
kepada pemerintah. Secara umum sebuah kontrak konsesi berisi hal-hal antara lain
:
1. Pernyataan yang jelas mengenai hak konsesi yang eksklusif
Biasanya kontrak BOT dekat sekali dengan monopoli serta tidak jarang
keuntungan proyek BOT dapat diraih dengan diberikannya monopoli,
walaupun tidak semua proyek BOT terlibat monopoli, misalnya proyek
pembangkit tenaga listrik, persediaan air, dll. Apabila nilai ekonomi proyek
tersebut tergantung pada segi-segi tersebut diatas, maka pemilik proyek harus
memberikan hak eksklusif di dalam kontrak konsesinya.
2. Lingkup proyek
Dalam kontrak konsesi, seharusnya secara hati-hati dijelaskan tentang apa saja
yang dibutuhkan oleh pelaksana konsesi, apa yang boleh/tidak boleh
dilakukan oleh operator dan tenggang waktu konsesi yang diberikan. Berapa
lama waktu yang dibutuhkan operator untuk mengembalikan semua investasi
serta biaya yang telah dikeluarkan, bagaimana prospek penyediaan dana serta
siapa calon pengguna. Dalam beberapa hal dapat dibuat model penyebutan
lingkup proyek secara umum kemudian diikuti dengan deskripsi lingkup
proyek secara detail
3. Komitmen dukungan pemerintah
Kebanyakan BOT diadakan antara pemerintah dengan swasta dan memerlukan
berbagai macam bantuan dari pemerintah. Bantuan yang diberikan harus
secara jelas disebutkan, apa bentuknya. Beberapa bantuan yang dapat
dilakukan pemerintah setempat dapat berupa :
a. Bantuan yang berkaitan dengan persoalan tanah
Persoalan tanah menjadi kendala awal pelaksanaan proyek BOT, biasanya
berkaitan dengan masalah pembebasan tanah. Persoalan ini tentunya akan
sulit bila diselesaikan sendiri dengan kontraktor, maka dengan bantuan
pemerintah persoalan pembebasan tanah dapat dilakukan dengan lebih
bijaksana
b. Persetujuan lembaga legislatif
c. Penyertaan modal (equity participation)
22
Pernyataan modal akan sangat membantu menyeimbangkan rasio modal
dan hutang yang dimiliki kontraktor pelaksana
d. Subsidi pemerintah, dapat memberikan pelayanan dengan standar harga
yang rendah
e. Perlindungan dari persaingan usaha
Adanya jaminan dari pemerintah dalam tenggang waktu tertentu tidak
akan melakukan proyek yang sama berpotensial terjadinya persaingan
yang dapat menurunkan perolehan ekonomi kontraktor
f. Diversifikasi keuntungan
Dukungan pemerintah dapat juga berupa diperbolehkannya kontraktor
untuk melakukan diversifikasi potensi yang dapat mendatangkan
keuntungan. Misalnya dalam pembangunan gedung swalayan, maka
kontraktor diberikan hak untuk mengelola perolehan dari sektor parkir
dengan kontrak khusus pada pemerintah setempat.
4. Biaya – biaya, aspek keuangan, pajak, asuransi, pertukaran mata uang asing
serta repatriasi (bila melibatkan kontraktor asing)
Dibutuhkan adanya jaminan untuk menutup asuransi untuk bangunan yang
akan dibangun
5. Persoalan nasionalisasi jika ada (bila melibatkan kontraktor asing)
6. Pengalihan pada operator lain
Dalam kondisi khusus, pemilik proyek dapat menunjuk pengganti operator
lain atau mengambilalih operasi jika operator tidak dapat melaksananakan
kewajjibannya. Untuk itu harus ditegaskan dalam kontrak konsesi
7. Hak atas property
8. Hukum dan penyelesaian masalah
Penyelesaian masalah dilakukan dengan dispute settlement. Pada umumnya,
dispute settlement dapat dilakukan melalui pengadilan atau dapat melalui
penunjukan pribadi/lembaga yang diperbolehkan melakukan arbitrasi konflik
di bidang pembangunan infrasturktur. Selain itu, pihak-pihak yang
bersengketa dapat menyelesaikan perkara di kedua jalur tersebut, yaitu dengan
bermusyawarah untuk mencapai persetujuan.
23
2.6 KELEBIHAN DAN KEKURANGAN KERJASAMA BOT
KELEBIHAN :
1. Pemilik Proyek
a. kontrol pemilik proyek terhadap kinerja operasional, standar pelayanan
dan perawatannya
b. kemampuan untuk mengakhiri kontrak jika standar kinerja tidak
terpenuhi, walaupun fasilitas dapat terus digunakan
c. pemilik proyek dapat memberikan lapangan kerja baru bagi
masyarakat
d. penghematan terhadap desain, konstruksi dan arsitekturnya
e. pemilik proyek dapat membangun infrastruktur dengan biaya
perolehan dana dan tingkat bunga yang relatif rendah atau tidak
mengeluarkan dana untuk pembangunan sebuah proyek
f. pemilik proyek dapat mengurangi beban penggunaan dana
APBN/APBD atau pinjaman luar negeri
g. proyek BOT secara finansial menguntungkan, karena tidak perlu
mengeluarkan biaya untuk melakukan studi kelayakan ataupun biaya
operasional
h. pemilik proyek daerah juga tidak menanggung resiko kemungkinan
terjadinya perubahan kurs
2. Pelaksana Proyek
a. pembangunan infrastruktur dengan metode BOT merupakan pola yang
menarik karena memiliki hak penguasaan yang tinggi terhadap
infrastruktur yang dibangunnya
b. dengan proyek BOT, pelaksana proyek dapat membuka peluang dan
diberi kesempatan untuk memasuki bidang usaha yang semula hanya
ditangani pemerintah atau BUMN/BUMD
c. pelaksana proyek dapat melakukan ekspansi usaha yang mempunyai
prospek menguntungkan serta dapat memanfaatkan lahan strategis
yang dimiliki pemilik proyek
24
d. merupakan inovasi dalam pembiayaan proyek yang umumnya berbeda
dengan proyek biasa, meningkatkan profesionalisme dan
meningkatkan daya saing perbankan dalam negeri
3. Publik
a. publik akan mendapatkan sarana dan prasarana untuk umum yang
dibutuhkan oleh masyarakat
b. publik mendapat manfaat dari keahlian partner swastanya
c. publik mendapatkan manfaat dari penghematan operasi dari partner
swasta
d. publik dapat mempertahankan kepemilikan aset
e. kepemilikian publik dan kontrak diluar operasi tidak dapat dikenai
pajak
f. publik mempertahankan otoritas terhadap kualitas layanan dan
pembayarannya
g. bagi pihak swasta termasuk lawyer, perbankan, engineer dan yang lain,
dapat berperan mengambil bagian dalam penanganan dan
pengoperasian proyek yang sangat potensial mendatangkan
keuntungan
KELEMAHAN :
1. Pemilik Proyek
a. jika pelaksana proyek bangkrut, maka pemilik proyek yang harus
melanjutkan operasi proyek dan memberikan subsidi
b. bagi pemilik proyek, proyek BOT tidak jarang berarti melepaskan
monopoli dan menyerahkannya pada pihak swasta
c. hilangnya salah satu sumber pendapatan yang potensial mendatangkan
keuntungan, melepaskan hak pengelolaan aset strategis dan
memberikannya pada swasta untuk jangka waktu tertentu
d. dalam beberapa hal, pemilik proyek masih diikutsertakan dalam
masalah yang rumit, seperti pembebasan tanah, pemindahan lokasi dll
25
2. Pelaksana Proyek
a. kemungkinan pemindahan entitas sektor swasta atau penyelesaian
kontrak ketika terjadi kebangkrutan partner swasta
b. bagi pelaksana proyek terdapat kemungkinan menanggung semua
resiko karena pemerintah sebagai pemilik proyek tidak mau berbagi
resiko atas proyek BOT, sampai dengan kontrol atas proyek itu
diserahkan kembali kepada pemilik proyek
c. lebih rawan terjadi korupsi,ada anggapan bahwa tidak mungkin
mendapatkan proyek pemerintah tanpa mengeluarkan dana untuk
menyuap ofisialnya
d. perusahaan swasta sebagai suatu entitas bisnis pada umumnya
memiliki keterbatasan dalam penyediaan dana untuk pembangunan
infrastruktur, menyebabkan pola BOT menjadi kurang diminati
investor
e. selama kurun waktu pengoperasian infrastruktur oleh pihak investor,
mungkin saja terjadi perubahan kebijakan pemerintah yang dapat
menimbulkan kerugian bagi investor
f. kemungkinan kesulitan pendanaan oleh investor karena perbankan
mengganggapnya tidak bankable untuk dibiayai
2.7 RESIKO KERJASAMA BOT
Karena proyek BOT membutuhkan dana yang besar, maka proyek BOT
juga rentan terhadap resiko. Resiko yang umumnya ada pada proyek BOT antatra
lain :
1. Resiko Konstruksi (Construction And Operation Risk)
Yaitu kemungkinan konstruksi proyek tersebut tidak dapat dipenuhi pada
waktu yang telah ditentukan. Konsekuensi atas penyelesasian keterlambatan
proyek konstruksi, seharusnya diperjanjikan dalam kontrak. Untuk itu dapat
dipertimbangkan pengenaaan penalti atau ganti kerugian untuk suatu
26
keterlambatan atau meminta jaminan pelaksanaan pada tingkatan yang
berbeda
2. Resiko Biaya yang ternyata melebihi estimasi semula
Apabila terjadi hal ini, maka dapat diperjanjikan dalam kontrak adanya harga
yang pasti atau dapat pula diusahakan agar resiko tersebut ditanggung
bersama-sama antara para pihak. Dapat juga melakukan penyediaan standby
credit atau akses pada penyertaan modal tambahan
3. Resiko Politik (Political Risk)
Yaitu berkaitan dengan stabilitas negara, misalnya huru hara, unjuk rasa,
perang dsb. Secara teori, resiko ini dapat berupa project discruption caused by
adverse acts of government yaitu tindakan atau perbuatan yang berasal dari
pemerintah atau agent of the government yang dapat mengganggu jalannya
proyek BOT. Political risk sendiri dapat terdiri dari 3 bagian yaitu :
a. Traditional Political Risk, yang berupa pengambilalihan perusahaan
dengan atau tanpa ganti rugi yang dikenal dengan tindakan nasionalisasi
atau aturan perpajakan baru yang merugikan prospek perolehan
keuntungan ekonomi proyek BOT tersebut
b. Regulator Risk, dapat berupa perubahan peraturan yang merugikan proyek
BOT, pengetatan standar baru, pembukaan sektor baru yang
mendatangkan banyak kompetisi
c. Quasi-Commercial Risk, dapat berupa pemutusan hubungan kontrak oleh
pemerintah atau terdapatnya perubahan dalam planning pemerintah
4. Resiko Musibah (Project Dicruption Caused By Events Outside Control Of
The Parties)
Yaitu bencana alam yang dapat mengganggu jalannya proyek misalnya
gempa, banjir, badai , dll. Dalam hal ini asuransi merupakan alternatif terbaik
untuk mengatasi resiko tidak terduga ini, walaupun pemerintah membantu
memberikan jaminan terhadap gangguan-gangguan tersebut
5. Resiko tidak diperolehnya bahan baku yang sangat dibutuhkan untuk proyek.
Gangguan supply bahan baku aakn sangat mengganggu jalannya sebuah
proyek, oleh karena itu sebelumnya perlu dibuat kontrak dengan suplier untuk
27
meminimalisasi resiko tsb. Jaminan dari pemerintah atas suplier bahan baku
akan sangat membantu proses pengerjaan proyek tersebut
6. Resiko Pasar (Commercial Risk) yang berkaitan dengan produk yang akan
dijual atau jasa yang akan dilakukan ternyata dapat menutup semua
pengeluaran yang telah dilakukan.
Apabila barang atau jasa yang dihasilkan proyek BOT tidak dapat dijual pada
harga yang diprediksi maka kemungkinan kelangsungan hidup dari proyek
tersebut akan terancam, untuk itu rencana yang matang dan studi kelayakan
yang teliti dan ceramat barangkali akan dapat meminimalisasi resiko ini
7. Resiko Pertukaran Mata Uang Asing (Exchange Rate)
Ada kalanya proyek BOT membutuhkan dana pinjaman dalam bentuk valuta
asing sedangkan keuntungan yang diperoleh dalam bentuk mata uang lokal.
Pada saat jatuh tempo tidak jarang kontraktor harus mengembalikan dalam
bentuk valuta asing, pada saat pengembalian dana pinjaman, tidak jarang
terjadi perubahan nilai tukar yang sangat tinggi.
2.8 STRUKTUR BOT AIR MINUM
Struktur kerjasama pemerintah dan badan usaha (KPS) di sektor air minum
mengacu kepada Undang-undang No. 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air,
Peraturan Pemerintah No. 16 tahun 2005, serta Regulasi KPS. Struktur KPS dapat
melibatkan PDAM sebagai perusahaan utilitas pemerintah daerah, untuk menjadi
PJPK (dengan persetujuan dari Badan Pengawas sebagaimana pasal 37 dari PP
16/2005).
Jika proyek mencakup wilayah diluar wilayah pelayanan PDAM, maka
akan melibatkan Kepala Daerah untuk memasuki perjanjian KPS dengan BU
(sesuai pasal 64 dari PP 16/2005). Sejalan dengan regulasi dan implementasi
proyek saat ini, ada dua jenis struktur KPS yang merupakan turunan dari struktur
KPS generik di atas, yaitu: struktur Konsesi Penuh (struktur berbasis
penggunaan), dan struktur konsesi sebagian (BOT) (struktur berbasis
ketersediaan).
28
Gambar Struktur Konsesi Penuh Air Minum
Struktur Konsesi Penuh untuk sektor air minum meliputi (hampir)
seluruh lingkup yang mungkin untuk diserahkan ke pihak swasta, yaitu
Transmisi, Produksi, Operasi dan Pemeliharaan, Distribusi dan Penagihan ke
Pelanggan. Biasanya opsi ini digunakan untuk proyek baru yang
membutuhkan investasi yang signifikan bagi PDAM (sebagai pengelola sektor
air minum eksisting). Risiko pasar dan risiko kenaikan tarif merupakan jenis
risiko yang paling sering dikuatirkan oleh pihak swasta dalam struktur ini.
Penanggung jawab proyek kerjasama (PJPK) memegang peranan
penting dalam kesuksesan implementasi proyek. Pihak swasta biasanya hanya
bertanggung jawab terhadap masing-masing dari Transmisi, Produksi, Operasi
dan Pemeliharaan, Distribusi atau setiap kombinasi dari masing-masing, tetapi
tidak menanggung tugas penagihan biaya ke pelanggan. Dalam konteks
Perjanjian Jual Beli Air (Water Purchase Agreement/WPA), air hasil dari
proses yang dilakukan oleh BU kemudian dijual ke PDAM sebagai PJPK
(umumnya pembeli tunggal) yang nantinya akan didistribusikan dan dijual ke
pelanggan retail/pengguna akhir oleh PDAM.
29
Gambar Struktur BOT Air Minum
Dengan demikian, untuk kesuksesan transaksi proyek dengan struktur
ini, pihak swasta (terutama lender) perlu diyakinkan bahwa PDAM memiliki
kelayakan kredit yang baik untuk melakukan pembayaran periodik sebagai
off-taker selama masa kontrak.
30
BAB 3
PEMBAHASAN
3.1 CONTOH PENERAPAN KERJASAMA PEMERINTAH DAN SWASTA
DALAM PENYEDIAAN AIR BERSIH DI KABUPATEN SEMARANG
(TELAH DILAKSANAKAN)
3.1.1 Gambaran Umum Wilayah Semarang
Kabupaten Semarang merupakan salah satu Kabupaten dari 29 kabupaten dan 6
kota yang ada di Provinsi Jawa Tengah. Terletak pada posisi 1100 14' 54,74" - 1100 39'
3" Bujur Timur dan 70 3’ 57” – 70 30’0” Lintang Selatan. Luas keseluruhan wilayah
Kabupaten Semarang adalah 95.020,674 Ha atau sekitar 2,92% dari luas Provinsi Jawa
Tengah. Kabupaten ini berbatasan dengan Kota Semarang di utara, Kabupaten Demak
dan Kabupaten Grobogan di timur, Kabupaten Boyolali di timur dan selatan, serta
Kabupaten Magelang, Kabupaten Temanggung, dan Kabupaten Kendal di barat.
Gambar 3.1 Peta Kabupaten Semarang
31
Objek yang akan dijadikan pembahasan yaitu industri-industri yang menjadi
target area cakupan layanan dan sasaran pemasaran air bersih. Industri tersebut meliputi
industri-industri di sepanjang jaringan distribusi pipa air bersih antara Kecamatan
Bawen, Kecamatan Bergas, Kecamatan Pringapus dan Kecamatan Ungaran. Dilihat dari
wilayah pengembangan Kabupaten Semarang lokasi Kecamatan Bergas, Kecamatan
Pringapus dan Kecamatan Ungaran termasuk dalam Wilayah Pembangunan I (WP I)
dan Kecamatan Bawen termasuk Wilayah Pengembangan II (WP II). Wilayah
Pengambangan I Daerah Ungaran dan sekitarnya terdiri atas dua Sub Wilayah
Pembangunan (SWP), yaitu :
1. SWP I salah satunya meliputi wilayah Kecamatan Ungaran. Wilayah ini akan
berkembang menjadi kawasan perkotaan, sehingga penanganannya diarahkan
pada pengelolaan perkotaan dengan memperhatikan kawasan lindung di
sekitarnya. Arahan kegiatan SWP ini adalah sebagai pusat pelayanan, pusat
permukiman, kegiatan rekreasi, perdagangan, industri, pada sekitar jalur arteri
primer, serta pertanian pada kawasan pinggiran. Pusat pelayanan kawasan ini
adalah Ungaran dan Babadan.
2. SWP II meliputi wilayah Kecamatan Bergas dan Pringpus. Arahan kegiatan
SWP ini adalah kegiatan industri, pusat permukiman dan pertanian. Pengelolaan
kawasan diarahkan pada usaha keterpaduan antar fungsi terutama industri
permukiman dan pertanian dalam kawasan perkotaan. Kota pusat pelayanan
SWP ini adalah Bergas dab Pringpus.
Sedangkan Kecamatan Bawen termasuk SWP I dan WP II Daerah Ambarawa
dan sekitarnya. SWP I dalam WP II ini meliputi wilayah Kecamatan Bawen, Ambarawa
dan Banyubiru. Kegiatan utama yang akan dikembangkan meliputi kegiatan
perdagangan (Ambarawa), pusat permukiman (Ambarawa dan Bawen), industri
(Bawen), pariwisata ( Bandungan, Jimbaran, Ambarawa, dan Banyubiru), pertanian dan
agribisnis. Kota pusat pelayanan adalah Ambarawa, Bawen, Banyubiru, Bandungan,
dan Jimbaran. Penanganan kawasan perkotaan diarahkan pada Ambarawa, Bawen, dan
Bandungan.
Wilayah Bawen, Bergas dan sebagian Ungaran termasuk kedalam zona wilayah
industri. Penetapan zona wilayah industri di Semarang sebagian besar diarahkan ke
32
wilayah bagian Timur Jalan Semarang-Solo. Hal ini disebabkan karena adanya batasan
pengembangan di wilayah sebelah Barat Jalan Semarang-Solo. Adapun batasan-batasan
tersebut, yaitu :
1. Daya dukung fisik alam
Wilayah Semarang berada pada deretan gunung berapi Pulau Jawa. Dampak
positif yaitu wilayahnya masuk dalam katagori subur dan memiliki
pemandangan alam yang cukup baik untuk potensi pariwisata, sedangkan
dampak negatif yaitu terdapatnya kawasan-kawasan yang masuk dalam zona
kerentanan tanah dan tingkat kestabilan tanah yang berbeda-beda akibat dari
jenis tanah yang berbeda pula. Untuk itu pengembangan kegiatan industri harus
mempertimbangkan daya dukung fisik ala mini agar tidak menimbulkan masalah
setelah operasional kegiatan industri tersebut.
2. Pencemaran
Jalur Semarang-Bawen merupakan daerah aliran sungai Garang dan Klampok.
Wilayah sebelah utara yaitu Ungaran merupakan daerah resapan air dan hulu
dari sungai Garang yang oleh wilayah Semarang dimanfaatkan sebagai sumber
air bersih Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM). Sedangkan daerah Bawen
merupakan daerah resapan bagi sub dan sungai Klampok.
3. Konflik fungsi
Kegiatan industri merupakan aktivitas yang mampu berperan sebagai magnet
perkembangan bagi suatu wilayah. Pembanguna industri di sebelah barat jalan
Semarang-Solo jika direalisasikan hanya akan merangsang perkembangan
wilayah tersebut menjadi tinggi yang dapat berpotensi menimbulkan konflik
fungs kawasan. Adapun konflik fungsi tersebut utamanya masalah
perkembangan kawasan budidaya dengan usaha mempertahankan kawasan
lindung.
4. Skenario pengembangan wilayah
Lambatnya perkembangan wilayah di sebelah timur adalah tidak adanya jaringan
jalan dan pusat-pusat kegiatan yang mampu mendorong pertumbuhan wilayah.
Untuk itu wilayah di sebelah timur perkembangannya perlu dirangsang dengan
meletakkan kegiatan-kegiatan yang mampu berfungsi sebagai magnet bagi
33
kegiatan lainnya. Berkaitan dengan hal tersebut, kegiatan industri merupakan
kegiatan yang mampu menarik bagi kegiatan-kegiatan lainnya.
3.1.2 Pelayanan Air Bersih Oleh Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM)
Kabupaten Semarang
Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kabupaten semarang adalah Badan
Usaha Milik Daerah (BUMD), dengan tujuan sebagai salah satu sumber pendapatan asli
daerah dan sebagai sarana pengembangan usaha dalam rangka meningkatkan
kesejahteraan masyarakat melalui program penyediaan air bersih yang merata, tersebar
di wilayah Kabupaten semarang, baik perkotaan maupun pedesaan.
Sekitar 30% jumlah penduduk yang baru terlayani oleh Perusahaan Daerah Air
Minum (PDAM) Kabupaten semarang melalui sambungan rumah (SR) dan hydrant
umum (HU). Jenis sambungan terbanyak adalah rumah tangga dan yang paling sedikit
adalah industri besar. Sisa penduduk yang tidak terlayani adalah sebesar 70%
memanfaatkan air bersih dari sumber-sumber pribadi yang dimiliki, baik melalui sumur
dangkal, air permukaan, atau sumber yang lain. sedangkan untuk kebutuhan non
domestik (industri) mendapatkan air bersih dari sumur-sumur dalam yang dibuat oleh
masing-masing industri yang bersangkutan dengan kedalaman bervariasi antara 100-150
meter. Kapasitas produksi terpasang sebelum adanya kerjasama dengan pihak swasta
adalah sebesar 335 liter/detik. Mengingat cakupan penanganan dan pelayanan air bersih
yang terpencar-pencar dan cukup berjauhan antara satu wilayah pelayanan dengan
wilayah pelayanan lainnya, maka Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kabupaten
semarang dalam operasionalnya dibagi menjadi tiga cabang yaitu Cabang Ungaran,
Ambarawa, dan Salatiga. Selain itu pemenuhan air bersih juga dipenuhi masyarakat
sendiri baik melalui sumur dangkal, sumur dalam, mata air dan sebagainya.
Produksi air bersih PDAM Kabupaten semarang mencapai 525.398,40 per
bulan (pada periode juli 1999), dengan kapasitas terpasang sebesar 391,50 liter/ detik
dan kapasitas sebesar 242,10 liter/detik. Pengelolaan air bersih dilakukan dengan sistem
aliran dan pompa. Sumber-sumber air bersih untuk PDAM Kabupaten semarang
meliputi :
1. Cabang ungaran memiliki 11 sumber air bersih, namun tiga diantaranya tidak
digunakan untuk pemakain PDAM. Produksi terbesar ialah pada mata air gogik
34
(48.211,2 air bulan) disusul sumber air siwarak, lempuyangan Bawah,
kalidoh kecil dan ngablak.
2. Cabang ambrawa memiliki 12 sumber air bersih, namun dua diantaranya tidak
digunakan untuk pemakain PDAM. Produksi terbesar ialah pada sumur dalam
tegal rejo ( 37.944 air/bulan) disusul sumber di jeporo, kali bening i, legowo,
dan domplang.
3. Cabang salatiga memiliki 10 sumber air, dan 1 sumber tidak digunakan oleh
PDAM. Produksi air terbesar adalah air kewayuhan (32.140,8 air/bulan),
disusul oleh sumber di kalimantan tuk songo, senjoyo, tuk dandang, ngrawang.
Pelanggan terbesar adalah pada cabang ungaran ( 8.884 pelanggan) disusul
kemudian pada cabang salatiga dan cabang ambarawa. Wilayah kabupaten semarang
memiliki banyak sumber mata air pada daerah daerah dengan produktifitas air tanah
tinggi maupun sedang. Selama ini, mata air ini dimanfaatkan penduduk untuk
kebutuhan sehari hari ( mandi, mencuci dan air minum) pengairan sawah, perikanan.
Selain digunakan pula oleh PDAM sebagai penyedian air bersih.
Secara keseluruhan, mata air di wilayah ini mencapai kapasitas 7.331,2
liter/detik. Penyebaran mata air di setiap wilayah kabupaten semarang yang memiliki
tiga kantor cabang, yaitu kantor cabang Ungaran, Amabarawa dan Salatiga dapat dilihat
pada Tabel 3.1.
Tabel 3.1 Air Diproduksi dan Didistribusi di Kabupaten Semarang
Kapasitas
No Kantor cabang
PDAM
Terpasang
(lt/dt)
Terpakai
(lt/dt)
Produksi
Air/bulan (m3)
1 PDAM Cabang Ungaran 221,00 164,90 429580,74
2 PDAM Cabang
Amabarawa 100,50 73,76 178.578,23
3 PDAM Cabang Salatiga 125,00 93,22 198.590,40
Jumlah 446,5 331,88 806.749,37 Sumber: PDAM Kabupaten Semarang, 2006
Produksi air bersih PDAM Kabupaten Semarang mencapai 806.749 per
bulan (pada periode juli 2006), dengan kapasitas terpasang sebesar 446,5 liter/detik dan
kapasitas terpakai sebesar 331,88 liter/detik. Jadi tidak seluruh kapasitas air bersih
PDAM terpakai, hanya 74%.
35
3.1.3 Tarif Air Minum di Kabupaten Semarang
Tarif air minum di Kabupaten Semarang saat ini ditetapkan berdasarkan
Peraturan Bupati Semarang Nomor 29 Tahun 2005 tentang Tarif Air Minum PDAM
Kabupaten Semarang pada tanggal 29 Desember 2005, dengan struktur tarif minum
sebagai berikut:
Tabel 3.2 Struktur Tarif Air Minum PDAM Kabupaten Semarang
Kelompok Pelanggan Tarif Air Minum setiap meter kubik (Rp.)
0 – 10 > 10 - 20 > 20 – 30 > 30
Kelompok I
1. Sosial Umum 330 330 330 390
2. Sosial Khusus 390 390 390 470
Kelompok II
1. Rumah Sederhana 590 1000 1030 1230
2. Rumah Semi Menengah 650 1110 1140 1370
3. Rumah Menengah 780 1330 1370 1640
4. Rumah Mewah 1040 1770 1820 2190
5. Instansi Pemerintah 780 1330 1370 1640
Kelompok III
1. Niaga Kecil 890 910 1190 1420
2. Niaga Menengah 1440 1480 1930 2310
3. Niaga Besar 1880 1940 2520 3020
Kelompok IV
1. Industri Kecil 1940 2520 2910 3950
2. Industri Menengah 2170 2810 3250 4410
3. Industri Besar 2280 2960 3420 4650
Kelompok V
Kelompok Pelanggan Khusus Berdasarkan Kesepakatan
Sumber : Peraturan Bupati Semarang No. 29/2005
3.1.4 Kemitraan PDAM Kabupaten Semarang dan PT. Sarana TIrta Ungaran
Dalam penilaian kemitraan yang saling menguntungkan, terdapat perbedaan
antara pemerintah dan sektor swasta. Bagi pemerintah keuntungan lebih mengarah
kepada benefit (manfaat), yang melihat keuntungan bukan semata-mata dari segi
keuangan (finansial) atau adanya profit (laba usaha). Akan tetapi lebih dari itu, misal
termanfaatkannya aset PDAM eks P3KT, cakupan layanan PDAM meningkat serta
sebagai salah satu upaya meminimalkan terjadinya dampak lingkungan akibat
pengambilan air bawah tanah, hal ini dapat dipandang sebagai suatu keuntungan.
36
Sementara itu bagi swasta, keuntungan berarti usaha tersebut haruslah mendatangkan
profit, yaitu laba usaha, disamping benefit, yaitu mendapatkan pengalaman yang dapat
dipergunakan untuk menjalin kemitraan dengan pemerintah daerah yang lain.
Saat ini PDAM Kabupaten Semarang semakin dituntut untuk meningkatkan
pelayanan baik dari segi kuantitas maupun kualitas seiring dengan pertumbuhan
penduduk. Permasalahan macetnya Proyek Program Pengembangan Prasarana Kota
Terpadu (P3KT) ikut menambah persoalan PDAM dengan tanggungan pengembalian
pinjaman yang cukup berat. Aset-aset yang sudah terlanjur dibeli pada proyek P3KT
berupa alat-alat mekanik dan pipa-pipa distribusi juga sudah terlalu lama disimpan dan
mengalami penyusutan.
Dalam rangka peningkatan pelayanan serta penyelamatan aset eks P3KT tersebut
di atas, maka pada tanggal 29 April 2003, PDAM menandatangani kerjasama dengan
PT. Sarana Tirta Ungaran ( PT. STU) dalam rangka pengembangan pelayanan
penyediaan air bersih di Kabupaten Semarang. Kemitraan dalam penyediaan air bersih
ini juga menggunakan skema Built, operate and transfer (BOT). Masa konsesi 27 tahun
sejak operasional Oktober 2004. Nilai investasi yang dibutuhkan sebesar Rp. 33,638
milyar. Aset PDAM eks P3KT berupa alat-alat mekanik dan pipa-pipa distribusi yang
bernilai Rp. 8,12 milyar juga dijadikan sebagai penyertaan modal. PDAM akan
menerima royalti sebesar 4% flat dari penjualan air PT. STU kepada industri dan
deviden sebesar 14% atas penyertaan modal.
Sumber air yang diambil adalah air permukaan Sungai Tuntang, yang setelah
diolah di Instalasi Pengolah Air (IPA) kemudian ditransmisikan melalui pipa bawah
tanah ke reservoir yang ada di Desa Wujil kecamatan Bergas sejauh 12,673 km. Air
bersih hasil olahan ditampung dalam clear well, untuk kemudian ditransmisikan ke bak
penampung Bawen. Karena elevasi bak penampung Bawen lebih tinggi dari IPA
Tuntang, maka digunakan pompa booster. Dari bak penampung Bawen, air dialirkan
secara gravitasi ke bak penampung Harjosari yang berjarak 2 km dan bak penampung
air bersih di Wujil.
37
Gambar 3.2 Sungai Tuntang sebagai Sumber Air Baku
Gambar 3.3 Instalasi Pengolah Air PT. STU
Gambar 3.4 Bak Penampung Air Bersih di Wujil
38
Debit pengambilan air tahap pertama sebesar 100 liter/detik dan tahap kedua
sebesar 150 liter/detik untuk industri, sehingga total penyediaan adalah 250 liter/detik.
Kapasitas produksi 250 liter/detik ini disesuaikan dengan Ijin Pengambilan Air
berdasarkan Keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor 610/107/2003 tanggal 5
Desember 2003.
Hingga saat ini, pengambilan air masih 100 liter/detik, dimana 50 liter /detik
dijual kepada PDAM Kabupaten Semarang untuk memenuhi kebutuhan domestik di
Kecamatan Ungaran dan Kecamatan Bergas, sedang siasanya 50 liter/detik dikelola PT.
STU untuk mencukupi kebutuhan non domestik (industri) di sekitar Kecamatan Bawen,
Kecamatan Bergas, Kecamatan Pringapus dan Kecamatan Ungaran.
Harga jual air kepada PDAM saat ini yaitu sebesar Rp. 500/m3, sedangkan tarif
air untuk industri dibagi 2 (dua), yaitu untuk pemakaian kurang dari 30 liter/detik tarif
air sebesar Rp. 3.060/m3 dan untuk pemakaian di atas 30 liter/detik sebesar Rp.
2.790/m3. Sementara itu untuk menghasilkan air bersih tiap m
3 biaya produksi yang
harus dikeluarkan antara Rp. 1.200 – 1.300. Dengan beban pinjaman yang harus
dibayarkan tiap bulannya, menurut PT. STU, total pendapatan dari penjualan air bersih
dengan tarif tersebut masih belum menutup seluruh biaya pengeluaran.
Permasalahan lainnya adalah minat industri untuk berlangganan air bersih ini
nampaknya masih kecil. Hal tersebut menurut perkiraan sementara karena industri
masih mempunyai sumber air alternatif dan sudah terlanjur menginvestasikan modal
yang cukup besar untuk pembuatan sumur dalam guna memenuhi kebutuhan air
bersihnya. Dengan demikian debit pengambilan air sebesar 250 liter/detik sesuai ijin
yang diberikan belum dapat dilaksanakan sepenuhnya. Pelanggan industri yang
memanfaatkan air bersih saat ini baru mencapai 12 perusahaan atau 25,5% dari total
industri yang ada di area cakupan layanan yang mencapai total 47 perusahaan.
Persoalan utama yang timbul dalam pelaksanaan kemitraan pemerintah – swasta
tersebut, mempunyai potensi kerugian bagi PT. STU selaku pengelola air bersih dan
pada akhirnya mengancam keberlanjutan dari kerjasama.
39
3.1.5 Analisis Kerjasama PDAM Kabupaten Semarang dan PT. Sarana Tirta
Ungaran
Tindak lanjut pembangunan prasarana air bersih di kabupaten Semarang telah
dimulai sejak terjadinya kegagalan Program Pembangunan Prasarana Kota Terpadu
(P3KT) yang menyisakan beban berat bagi PDAM Kabupaten Semarang. Upaya untuk
mencari investor yang mau dan mampu melanjutkan program P3KT juga telah
dilakukan secara terbuka.
Kemitraan antara PDAM Kabupaten Semarang dan PT. SARANA TIRTA
UNGARAN sebagai bentuk usaha bersama dilaksanakan dengan tujuan untuk
meningkatkan kualitas, kuantitas dan efisiensi penyediaan air bersih bagi kesejahteraan
masyarakat. Selanjutnya kemitraan tersebut dituangkan dalam perjanjian kerjasama
dihadapan notaris pada tanggal 29 April 2003. Kerjasama ini menggunakan pola Built
Operate Transfer (BOT) dengan masa konsensi 27 Tahun. Dalam perjanjian kerjasama
ini memuat kesepakatan-kesepakatan yang mengikat kedua belah pihak dan juga
persetujuan yang mewajibkan masing-masing pihak memberikan sesuatu, berbuat
sesuatu atau tidak berbuat sesuatu dalam rangka melaksanakan kerjasama secara rinci
dan mendetail sebagai wujud pelaksanaan keputusan bersama. Salah satu isi perjanjian
yang penting adalah tentang hak dan kewajiban kedua belah pihak yang dapat dilihat
pada gambar berikut :
40
Gambar 3.5 Pengelompokan Hak dan Kewajiban Masing-Masing Pihak dalam
Kemitraan
Dalam gambar terlihat adanya indikasi ketidakseimbangan dalam hak dan
kewajiban masing-masing pihak terutama dalam hal alokasi risiko. Kewajiban PT.
SARANA TIRTA UNGARAN untuk menjamin kelancaran pelaksanaan kerjasama
hanya diimbangi kewajiban PDAM yang membantu sebatas kelancaran perijinan yang
berkaitan dengan pelaksanaan kerjasama. Padahal sebagai investor swasta PT.
SARANA TIRTA UNGARAN tentunya berharap Pemerintah sebagai pembuat
peraturan perundang-undangan juga turut menciptakan iklim usaha yang kondusif bagi
pelaksanaan pengembangan air bersih tersebut, sehingga ada jaminan modal yang
ditanamkan dapat diperoleh kembali beserta keuntungan yang wajar.
Tidak tercantumnya suatu kesepakatan untuk membentuk Badan Usaha Bersama
antara PDAM dan PT. SARANA TIRTA UNGARAN dalam jangka waktu tertentu
turut mempersulit pengembangan penyediaan layanan air bersih ini. PT. SARANA
TIRTA UNGARAN dituntut harus mampu menjalankan usaha ini dan menanggung
risiko sendirian, padahal PDAM akan selalu menerima royalti meskipun usaha ini
mengalami kerugian, sementara bila ada keuntungan PDAM juga mendapat pembagian
deviden atas aset PDAM yang dipakai sebagai modal usaha. Semakin besar keuntungan
yang didapat dari usaha ini semakin besar pula deviden yang akan diterima PDAM.
41
Kemitraan antara PDAM Kabupaten Semarang dan PT. SARANA TIRTA
UNGARAN dalam penyediaan air bersih memiliki benefit yang dalam hal ini
lingkungan dan Pemerintah lebih banyak diuntungkan, sedangkan bagi swasta PT.
SARANA TIRTA UNGARAN masih berlum menguntungkan karena pendapatan yang
diperoleh dari penjualan air belum mampu menutup total biaya.
Dalam kemitraan Pemerintah-Swasta yang menyediakan pelayanan air bersih ini,
sesuai dengan perjanjian PT. Sarana Tirta Ungaran selaku pihak swasta yang
menanggung semua biaya pelaksanaannya. Biaya yang ditanggung meliputi biaya
modal awal/investasi yaitu jumlah semua pengeluaran yang dibutuhkan mulai dari pra-
studi sampai proyek selesai dibangun dan biaya tahunan (annual cost).
Pelaksanaan pembangunan dalam penyediaan air bersih dibagi menjadi dua
tahap. Pada tahap I dengan debit pengambilan air sampai 100 liter/detik, sedangkan
tahap II yang dilaksanakan pada tahun ketujuh setelah beroperasi dengan sebit mencapai
250 liter/detik sesuai dengan ijin pengambilan air. Biaya pembangunan sampai tahap II
diperkirakan akan membutuhkan dana sebesar RP. 33.638.000.000. Modal/investasi
awal pada tahap I sebesar RP. 19.422.000.000. aset PDAM yang digunakan mencapai
Rp. 8.120.000.000. dengan demikian investasi yang ditanggung PT. SARANA TIRTA
UNGARAN pada tahap I sebesar Rp. 11.302.000.000 dan tahap II diperkirakan
memerlukan biaya Rp. 14.216.000.000.
Biaya tahunan merupakan beban biaya yang masih harus ditanggung oleh
investor selama operasionalnya sesuai masa konsensi yang telah disepakati. Biaya
tahunan terdiri dari :
1. Pengembalian pinjaman berikut bunga pinjaman.
2. Biaya depresiasi (Penyusutan).
3. Biaya operasi dan pemeliharaan.
4. Biaya pengeluaran lain yaitu pembayaran pajak dan pembayaran royalti serta
deviden kepada PDAM.
Sedangkan pendapatan yang masuk adalah dari penjualan air yaitu kepada
PDAM dengan besar tarif sesuai kesepakatan dan kepada industri dengan tarif yang
besarnya ditentukan sendiri oleh PT. SARANA TIRTA UNGARAN. Perhitungan
pemulihan biaya berarti pendapatan yang harus diterima minimal sama dengan total
biaya pengeluaran atau dengan kata lain laba setelah pajak penghasilan mendekati nol.
42
Secara garis besar dapat diberikan beberapa point penting dalam menganalisis
kerjasama Pemerintah-Swasta pada penyediaan air bersih di Kabupaten Semarang,
yaitu :
1. Pelayanan air bersih melalui Kemitraan Pemerintah-Swasta dengan model BOT
menjadi salah satu alternatif solusi penyediaan air bersih untuk kalangan yang
belum tertangani oleh Pemerintah. Sektor swasta dengan modal dan sumber daya
yang dimiliki akan dapat menutup keterbatasan Pemerintah, tanpa mengambil
alih tanggung jawab Pemerintah.
2. PDAM Kabupaten Semarang selaku penyedia layanan air bersih bagi
kepentingan domestik mendapat keuntungan baik benefit maupun profit dari
pelaksanaan kemitraan pemerintah-swasta, diantaranya dalam jangka pendek :
aset PDAM bekas P3KT dapat termanfaatkan, bertambahnya pasokan air yang
pada gilirannya menaikan cakupan area layanan air bersih bagi masyarakat
Kabupaten Semarang serta pendapatan dari pembagian royalti dan deviden.
Sedangkan dalam jangka panjang setelah masa konsensi selesai seluruh aset
penyediaan air bersih ini akan beralih menjadi milik PDAM sepenuhnya,
sehingga menambah aset PDAM. Hal ini membuktikan bahwa konsep kemitraan
dengan model BOT memang menguntungkan. Namun demikian agar usaha
kepengusahaan air ini setelah diserahkan kepada Pemerintah dapat berjalan
seperti halnya saat dikelola oleh swasta, maka diperlukan semangat dan perilaku
kewirausahaan di kalangan birokrasi. Apabila Pemerintah merasa belum
sanggup mengoperasikan usaha secara efektif dan efisien maka sebaiknya
dilanjutkan dengan “contract operations”, dimana Pemerintah tetp
mengendalikan badan usahanya dan meminta suatu kontraktor untuk
memberikan jasa manajemen atau jasa-jasa lainnya semalam periode tertentu.
3. Hasil analisis isi perjanjian kerjasama mengindikasikan adanya
ketidakseimbangan hak dan kewajiban antara PDAM Kabupaten Semarang dan
PT. Sarana Tirta Ungaran, terutama dalam alokasi risiko. Sebagai pihak swasta
PT. SARANA TIRTA UNGARAN kurang mendapat haknya untuk
mendapatkan jaminan Pemerintah dalam pengembalian modal yang ditanamkan
beserta keuntungan yang wajar dalam kemitraan ini, sehingga kemitraan ini
dinilai kurang menguntungkan salah satu pihak yaitu PT. SARANA TIRTA
43
UNGARAN dan lebih menguntungkan pihak PDAM. Mengingat investasi
dalam infrastruktur publik umumnya berlangsung dalam kurun waktu yang lama
dengan biaya yang besar, sehingga konsekuensinya mempunyai risiko investasi
yang cukup tinggi dengan variabel yang cukup kompleks. Di lain pihak
pelayanan yang dilakukan perusahaan swasta ini menyangkut hajat hidup orang
banyak yaitu masyarakat pengguna air. Untuk itu diperlukan pengaturan guna
menjamin agar kepentingan pihak-pihak yang bekerja sama dan kepentingan
konsumen terlindungi dari hal-hal yang merugikan salah satu pihak dan
menguntungkan pihak lain.
4. Untuk menjamin kepentingan pihak-pihak yang terlibat dalam Kemitraan dan
kepentingan masyarakat terlindungi dari hal-hal yang merugikan satu pihak dan
menguntungkan pihak lain maka diperlukan Badan Pengatur Independen, berupa
organisasi otonom yang mampu menjaga jarak dengan badan usaha yang diatur,
konsumen dan kepentingan pribadi serta otoritas publik.
5. Dalam hal pelayanan penyediaan air bersih, PT. SARANA TIRTA UNGARAN
sudah dapat memenuhi keinginan pelanggan terutama kalangan industri. Hal ini
dikarenakan kualitas air dan kontinuitas air yang disediakan oleh PT. SARANA
TIRTA UNGARAN sudah cukup baik. Dengan demikian pendapat yang
menyatakan bahwa swasta mampu memberikan pelayanan yang lebih baik dan
efisien dibandingkan dengan Pemerintah memang terbukti dan benar.
3.2 ANALISIS RISIKO KERJASAMA PEMERINTAH DAN SWASTA
DALAM PENYEDIAAN AIR BERSIH DI KABUPATEN MAROS
DALAM MASA PRE-STUDI KELAYAKAN
Berdasarkan pelaksanaan kerjasama yang telah dilakukan oleh PDAM
Kabupaten Semarang dengan PT. Sarana Tirta Ungaran menunjukkan adanya ketidak-
seimbangan antara pembagian alokasi risiko yang mengakibatkan salah satu pihak
dirugikan. Selain itu, investasi dalam infrastruktur publik umumnya berlangsung dalam
kurun waktu yang lama dengan biaya yang besar, sehingga konsekuensinya mempunyai
risiko investasi yang cukup tinggi dengan variabel yang cukup kompleks. Adanya
risiko-risiko yang mungkin terjadi, maka perlu dilakukan sebuah analisis tentang risiko
44
pada proyek penyediaan air besih di Kabupaten Maros, sehingga masing-masing pihak
akan saling merasa diuntungkan.
3.2.1 Gambaran Wilayah Studi (Kabupaten Maros)
Luas wilayah Kabupaten Maros kurang lebih 1.612 m2, terbagi menjadi 14
wilayah kecamatan dan 103 desa/kelurahan, terletak pada koordinat 40o 45’ – 50
o 07’
Lintang Selatan dan 109o 205’ – 129
o 12’ Bujur Timur. Kabupaten Maros di sebelah
utara berbatasab dengan Kabupaten Pangkep, di sebelah selatan berbatasan dengan Kota
Makassar dan Kabupaten Gowa, di sebelah timur dengan Kabupaten Bone, dan sebelah
barat dengan Selat Makassar.
Adapun keseluruhan jumlah penduduk dam kepadatan penduduk Kabupaten
Maros dapat di lihat pada Tabel 3.3 dan 3.4 sebagai berikut :
Tabel 3.3 Jumlah Penduduk Menurut Kabupaten dan Jenis Kelamin pada Tahun
2010
No Kecamatan Jumlah Penduduk
Pria Wanita Jumlah Sex Ratio
1 Mandai 17.545 17.428 34.973 99
2 Moncongloe 8.480 8.492 16.972 100
3 Maros Baru 11.617 12.223 23.840 105
4 Marusu 12.378 12.810 25.188 103
5 Turikale 19.737 21.301 41.038 108
6 Lau 11.865 12.343 24.208 104
7 Bontoa 12.920 13.630 26.550 105
8 Bantimurang 13.265 14.552 27.817 110
9 Simbang 10.539 11.462 22.001 109
10 Tanralili 12.961 12.140 25.101 94
11 Tompobulu 6.727 6.944 13.671 103
12 Camba 6.049 6.474 12.523 107
13 Cenrana 6.540 7.124 13.664 109
14 Mallawa 5.138 5.554 10.692 108
Total 155.761 162.477 318.238 104 Sumber : www.maroskab.go.id
45
Tabel 3.4 Kepadatan Penduduk Menurut Kabupaten dan Jenis Kelamin pada
Tahun 2010
No Kecamatan Luas Wilayah
(km2)
Jumlah Penduduk Kepadatan
Penduduk Pria/ Wanita
1 Mandai 49,11 34.973 712
2 Moncongloe 46,87 16.972 362
3 Maros Baru 53,76 23.840 443
4 Marusu 73,83 25.188 341
5 Turikale 29,93 41.038 1.371
6 Lau 53,73 24.208 451
7 Bontoa 93,52 26.550 284
8 Bantimurang 173,70 27.817 160
9 Simbang 105,31 22.001 209
10 Tanralili 89,45 25.101 281
11 Tompobulu 287,66 13.671 48
12 Camba 145,36 12.523 86
13 Cenrana 180,97 13.664 76
14 Mallawa 235,92 10.692 45
Total 1.619,12 318.238 197 Sumber : www.maroskab.go.id
3.2.1.1 Prasarana Pengairan Kabupaten Maros
Jaringan irigasi merupakan salah satu prasarana yang dibutuhkan dalam upaya
peningkatan kualitas dan kuantitas produksi pertanian. Dalam kaitan tersebut jaringan
irigasi sangat membantu dalam mengatur tata air dan kebutuhan bagi petani untuk
pengairan areal persawahan. Hal tersebut dimaksudkan untuk meningkatkan taraf hidup
dan perekonomian penduduk. Sebagai salah satu daerah produksi pertanian khususnya
tanaman pangan, maka keberadaan prasarana irigasi sangat berpengaruh terhadap
produksi yang dihasilkan. Luas jaringan irigasi yang telah dibangun mencapai 20,22 Ha.
Areal persawahan tersebut tersebar pada beberapa kecamatan di Kabupaten Maros,
seperti Kecamatan Bantimurung, Kecamatan Tanralili, Kecamatan Camba, Kecamatan
Cenrana, Kecamatan Mallawa, Kecamatan Tompolubudan, dan Kecamatan Simbang.
3.2.1.2 Sarana Air Bersih Kabupaten Maros
Perkembangan jumlah pelanggan air bersih yang pelayanannya dilakukan sektor
PDAM dengan pelanggan tertinggi pada kegiatan rumah tangga sebesar 8.441 Unit
46
dengan jumlah air yang disalurkan 1.957.829. Jumlah pelanggan air bersih dari PDAM
di Kabupaten Maros tahun 2005-2008 dapat dilihat pada tabel 3.5, yaitu :
Tabel 3.5 Jumlah Pelanggan Air Bersih Bersumber dari PDAM di Kabupaten
Maros Tahun 2005-2008
Jenis Konsemen 2005 2006 2007 2008
1 2 3 4 5
Sosial 139 149 158 169
Umum 49 50 50 50
Khusus 90 99 108 119
Non Niaga 6.038 6.291 6.840 7.734
Rumah Tangga 5.961 6.210 6.751 7.636
Instansi Pemerintah 77 81 89 98
Niaga 402 421 449 505
Kecil 400 419 447 503
Besar 2 2 2 2
Industri 16 20 25 28
Kecil 9 9 12 14
Besar 7 11 13 14
Khusus 3 4 5 5
Pelabuhan 3 4 5 5
Lainnya - - - -
Jumlah 6.598 6.886 7.477 8.441 Sumber : Kantor PDAM Kabupaten Maros, 2008
Sumber air bersih yang dimanfaatkan guna memenuhi kebutuhan air bersih di
Kabupaten Maros adalah berasal dari WTP Bantimurung dan Bendungan Carangki.
WTP Bantimurung memiliki kapasitas debit air 500 liter/detik, namun yang dapat
diusahakan baru mencapai 70 liter/detik. Sedangkan Bendungan Carangki hanya
dimanfaatkan 50 liter/detik, meskipun kapasitas WTP Carangki tersebut dapat mencapai
lebih dari 1000 liter/detik. Potensi air bersih pada Bendungan Carangki sudah tidak
dapat dikembangkan lagi karena sebagian besar potensinya diperuntukkan memenuhi
kebutuhan wilayah Kota Makassar dengan kapasitas terpasang 1.000 liter/detik. Oleh
karena itu, PDAM Kabupaten Maros hanya dapat mengembangkan kapasitas WTP
Bantimurung, mengingat pertumbuhan penggunaan air bersih yang semakin meningkat.
Kawasan Bandar Udara Hasanuddin membutuhkan suplai air sebanyak 80 liter/detik,
sehingga dalam pembangunannya PDAM Kabupaten Maros terus melakukan
peningkatan kapasitas. Kendala yang dihadapi pada pemanfaatan air bersih di
47
Kabupaten Maros sebagai air bersih adalah investasi yang tinggi, sementara potensi
sumber air di wilayah ini cukup banyak yang belum dimanfaatkan, sebagaimana sumber
air Pottontongan yang juga berlokasi di Kecamatan Bantimurung.
3.2.2 Kerjasama Pemerintah dan Swasta Untuk Air Bersih
3.2.2.1 Persediaan Air Kabupaten Maros
a. Sistem Penyediaan Air
Kapasitas produksi pengolahan air (WTP) PDAM Maros sebanyak 130
liter/detik yang dibangun di WTP Bantimurung 80 liter/detik dan WTP Pattontongan 50
liter/detik. Keduanya dibuat dengan sistem konstruksi baja dan dalam kondisi dan
fungsi yang baik. Masing-masing WTP dilengkapi pompa dan reservoir.
Infrastruktur yang yang dibangun untuk mengangkut air menuju Water
Treatment Plant (WTP) dan daerah pelayanan adalah pWTP yang bertekanan. PWTP
saluran antara WTP Bantimurung dan WTP Pattontongan dihubungkan satu sama lain
sehingga dapat meningkatkan aliran utama pada jam sibuk. WTP Bantimurung
didukung dengan dual intake, pertama dari Sungai Bantimurung sampai Bendungan
Bassi dan yang kedua dari bagian atas air terjun Bantimurung.
PDAM Kabupaten Maros melayani 30 desa pada 9 kabupaten dengan level
cakupan pelayanan bervariasi antara 0,71%-63,68%. Daerah yang belum dilayani
PDAM menggunakan air tanah, sumur dangkal dan air permukaan dari sungai dan
saluran drainase. Walaupun demikian, kualitas air kebanyakan masih belum standar
dijadikan air minum.
Cakupan pelayan PDAM Kabupaten Maros masih relatif rendah sebesar ± 21,72%
dari total populasi Kabupaten dan 27,07% (23,46% SR dan HU, 3,61% untuk layanan
khusus) untuk daerah layanan.
b. Pelanggan
Jumlah pelanggan PDAM Kabupaten Maros sampai akhir November 2009
sebanyak 9.307 sambungan yang terdiri 50 (0,54%) general social, 61 (0,66%) special
social A, 64 (0,69%) special social B, 6.915 (74,30%) rumah tangga A, 1.468 (15,77%)
rumah tangga B, 3 (0,03%) rumag tangga C, 98 (1,05%) instansi pemerintah, 597
48
(6,41%) usaha kecil, 2 (0,02%) niaga, 33 (0,35%) industri kecil, 11 (0,12%) industri
besar, dan 5 (0,05%) special service.
Penetapan tarif atau harga dalam pelayanan PDAM Kabupaten Maros,
ditentukan oleh Keputusan Bupati No.352/KPTS/690/VII/2009. Pelanggan PDAM
Kabupaten Maros dikatogerikan dalam 4 kelompok seperti pada tabel 3.6, antara lain :
Tabel 3.6 Tarif Structure PDAM Kabupaten Maros Tahun 2009 – 2011 (Rp/m3)
No Customer Group
Tarif
Classification 2009
Tarif
Classification 2010
Tarif
Classification2011
0-10 m3
>10 m3
0-10 m3
>10 m3
0-10 m3
>10 m3
1 Group I
a. Sosial Umum Rp2.000 Rp2.000 Rp2.200 Rp2.200 Rp2.400 Rp2.400
b. Sosial Khusus A Rp2.100 Rp2.200 Rp2.300 Rp2.400 Rp2.500 Rp2.600
c. Sosial Khusus B Rp2.100 Rp2.300 Rp2.300 Rp2.500 Rp2.500 Rp2.700
2 Group II
a. Rumah Tangga A Rp2.300 Rp2.550 Rp2.500 Rp2.750 Rp2.700 Rp2.950
b. Rumah Tangga B Rp2.300 Rp2.800 Rp2.500 Rp3.000 Rp2.700 Rp3.200
c. Instansi Pemerintah
Rp2.700 Rp3.400 Rp2.900 Rp3.600 Rp3.100 Rp3.800
3 Group III
a. Rumah Tangga C Rp2.800 Rp3.650 Rp3.000 Rp3.900 Rp3.200 Rp4.150
b. Niaga Kecil Rp2.900 Rp3.800 Rp3.100 Rp4.050 Rp3.300 Rp4.300
c. Industri Kecil Rp3.000 Rp3.900 Rp3.200 Rp4.200 Rp3.400 Rp4.450
a. Niaga Besar A Rp3.900 Rp5.100 Rp4.200 Rp5.500 Rp4.450 Rp5.800
b. Niaga Besar B Rp5.100 Rp6.650 Rp5.500 Rp7.150 Rp5.800 Rp7.550
c. Industri Besar Rp6.650 Rp8.650 Rp7.150 Rp9.300 Rp7.550 Rp9.850
4 Group IV
a. Pelabuhan Laut/
Sungai/Udara
Rp6.700 Rp9.100 Rp7.300 Rp9.700 Rp9.700 Rp10.30
0 Sumber : PDAM Kabupaten Maros Tahun 2009
Jumlah air yang terjual dari Januari 2009-September 2009 sebesar 1.534.775 m3
atau perbulannya sebanyak 170.528,33 m3. Ada penyesuaian tarif dan susunan
kelompok pengguna pada bulan Oktober 2009-November 2009 yang mana tingkat
konsumsi air bertambah 343.026 m3 atau perbulannya menjadi 171.513 m
3. Tingkat
pemakaian air pada November 2009 dapat dilihat pada tabel 3.7, sebagai berikut :
Tabel 3.7 Water Consumption Level November 2009
Description Customer
(Unit)
Water
Bill (Lbr)
Usage
(m3)
Average
Price Per
m3 (Rp)
Average
Consumptoi
n Per m3
Sosial Umum 50 27 690 2.220 25,65
Sosial Khusus A 61 60 1.679 2.418 27,98
Sosial Khusus B 64 65 2.673 2.363 41,12
Rumah Tangga A 6.915 6.186 98.692 2.791 15,95
49
Rumah Tangga B 1.468 1.467 27.279 2.847 18,60
Instansi Pemerintah 98 97 7.721 3.395 79,60
Rumah Tangga C 3 3 293 3.650 97,67
Niaga Kecil 597 593 17.770 3.788 29,97
Industri Kecil 33 33 3.240 3.817 98,18
Niaga Besar 2 2 231 4.996 115,50
Industri Besar 11 10 885 8.619 88,50
Khusus 5 5 8.475 9.806 1.695,00
Total November 2009
9.307 8.548 169.628 4.165 19,84
Sumber : PDAM Kabupaten Maros Tahun 2009
3.2.2.2 Kebutuhan Air Kabupaten Maros
a. Produksi Kebutuhan Air
Tingkat pertumbuhan penduduk sebesar 1,3 %. Berdasarkan populasi Kabupaten
Maris setiap tahun mulai 2002 sampai tahun 2008. Perkiraan kebutuhan air tahun 2009-
2030 dapat dilihat pada Gambar 3.6.
Gambar 3.6 Kebutuhan Air Kabupaten Maros
b. Rencana Daerah Pelayanan
Beberapa criteria mendasar untuk memperluas cakupan wilayah pelayanan,
seperti :
1) Rencana umum tata ruang Kabupaten Maros
2) Tingkat kesulitan air bersih, biasanya ditemukan di daerah pesisir
3) Layanan daerah yang ada namun belum diberikan oleh PDAM
50
4) Waiting list, umumnya layanan domestic dari PDAM
Menurut data PDAM Kabupaten MAros, waiting list PDAM sebanyak 17.224
unit sambungan ditambah dengan rencana taman industri, Bandara Hasanuddin,
Perumahan AURI dan fasilitas infrastruktur ait bersih lainnya yang menjadi prioritas.
Karena itu, unit produksi dan saluran pWTP sudah sangat mendesak untuk dibangun.
3.2.2.3 Sistem Baru dan Skema Public Private Partnership (PPP) yang Diusulkan
Sistem baru yang diusulkan terdiri dari tiga sistem yaitu, dari sungai
Bantimurung dan Sungai Maros. Sistem baru yang pertama dari Sungai Bantimurung
yang akan memproduksi jumlah air 250 liter/detik untuk memenuhi kebutuhan
permintaan lima tahun pertama, mulai tahun 2011-2015. Sedangkan sistem selanjutnya
yang lebih canggih dari Sungai Maros untuk tahun berikutnya, masing-masing 250
liter/detik dan mulai tahun 2016-2030. Dalam hal ini, sistem baru yang pertama sebagai
program penting untuk melakukan kelayakannya, sedangkan sistem yang lebih maju
sebagai laporan dengan intake baru yang diusulkan dari Bendungan Lekopancing.
Program penting, merupakan sistem intake baru yang terletak hanya Bendungan
Batu Bassi sekitar ± 200 m dari intake yang telah ada. Lokasi intake berada di luar
tikungan sungai dan di sisi kanan Sungai Bantimurung. Intake tersebut merupakan
rencana dengan diameter 6 m pada dataran yang banjir dengan dibatasi oleh jalan dan
tepi sungai. Sistem produksi air (dari intake ditransmisikan ke WTP) merupakan garis
besar rencana yang dapat ditunjukkan pada Gambar 3.7 sebagai berikut :
51
Gambar 3.7 Outline Plan New System
3.2.3 Risiko Penyediaan Air Bersih di Kabupaten Maros
Risiko yang terjadi dalam penyediaan air bersih di kabupaten Maros dijabarkan
dalam Tabel 3.8, yaitu :
Tabel 3.8 Risiko-Risiko Penyediaan Air Bersih di Kabupaten Maros
No
Jenis Risiko
Penyediaan Air
Kabupaten Maros
Keterangan Alokasi Risiko
Ditanggung oleh
A Risiko Project Performance (Operational and Settlement Risk Project)
Risiko Jumlah Air Bersih
Ketersediaan air yang akan diolah dari aliran sungai untuk menjamin terpenuhinya
kuantitas air bersih yang dibutuhkan
Pemerintah dan pemerintah daerah
Maros
Risiko Kualitas Air Bersih
Pasokan air bersih tidak mencapai tingkat kualitas yang diperlukan atau terkontaminasi
sehingga biaya pengolahan yang diperlukan
lebih tinggi atau proses produksi harus
dihentikan dalam jangka waktu tertentu
Pemerintah dan pemegang kontrak
kerjabersama
Risiko Pengalihan
Aset
Pada saat penhajuan konytak kerjasama baik
kepada pemerintah akibat penghentian dini
atau saat kemitraan yang berakhir
Pemerintah
Risiko Penghentian Risiko kerjasam dihentikan sebelum akhir, Pemerintah dan
52
Awal Kerjasama dikarenakan pelanggaran oleh beberapa
sektor, dimana tidak diselesaikan. Misal
terjadi bencana alam
Pemegang
kontrak kerjasama
Risiko Pertanggungjawaban
pada Masyarakat
Risiko dimana masyarakat akan menderita kehilangan atau kerusakan yang timbul dari
pengoperasaian kemitraan atau kerjasama
Pemegang kontrak
kerjabersama
Risiko Peningakatan
Biaya Investasi
Risiko terhadap anggaran dimana jumlah
biaya investasi yang telah disepakati untuk pengembangan Sistem Penyediaan Air
Minum (SPAM) tidak cukup. Sehingga biaya
terlalu tinggi dibandingkan tinggal pelayanan
Pemegang
kontrak kerjabersama
Risiko Kesalahan
Rancangan
Kesalahan dalam menentukan atau desain
rencana, spesifikasi dan/atau konstruksi
Pemegang
kontrak
kerjabersama
Risiko Teknologi Teknologi yang diadopsi oleh proyek gagal untuk beroperasi seperti yang diharapkan
Pemegang kontrak
kerjabersama
Risiko Kegagalan
Mitra Kerja
Jika kontraktor, kreditur, pembeli utama
gagal memenuhi syarat dalam kontrak
Pemegang
kontrak kerjabersama
Risiko
Keterlambatan Proyek
Pemegang kontrak bersama tidak dapat
menyelesaikan tepat waktu, seperti masalah pendanaan, ketersediaan dan status tanah
Pemegang
kontrak kerjabersama
Risiko Kualitas
Pengendalian dan
Kewajiban Kerja yang Harus
Dipenuhi
Terkait dengan pemenuhan standar kualitas
kinerja dan jasa yang telah disepakati
Pemegang
kontrak
kerjabersama
Risiko Lingkungan Terkait dengan pemenuhan standar
lingkungan yang berlaku dan kebutuhan akan pelporan, seperti timbunan lumpur ke sumber
air bersih (sungai)
-
B Finansial Risk Project
Risiko Pendapatan Pemegang kontrak kerjasama tidak seperti
diharapkan disebabkan target di bawah dari
target pendapatan
Pemegang
kontrak
kerjabersama
Risiko Tarif Air Bersih
Tarif air yang disetujui tidak sesuai dengan awal operasional yang disepakati oleh
pembeli dengan air jumlah besar
Pemegang kontrak
kerjabersama
Risiko Nilai Tukar Akibat adanya perubahan kurs mata uang rupiah yang dapat mengakibatkan kerugian
akibat fluktuasi niali tukar
Pemegang kontrak
kerjabersama
Risiko Suku Bunga Meningkatnya biaya utang terhadap biaya
yang dianggarkan
Pembeli air curah
(dalam jumah besar)
Risiko Pembiayaan Keseluruhan risiko kecuali risiko nilai tukar
yang ada saat mendapatkan dana murah dari dalam dan luar negeri, berkaitan dengan
ketersediaan dana kerjasama melalui
penggunaan modal sendiri atau pinjaman
Pemegang
kontrak kerjabersama
Risiko Inflasi Biaya operasional dan biaya investasi akan Pelanggan dan
53
naik lebih cepat dari yang diharapkan dan
akan meningkatkan lebih cepat dibandingkan
dengan kenaikan terkait pendapatan
Pemegang
kontrak
kerjabersama
Risiko Kenaikan Pajak Air Bersih
Ada kenaikan pajak air bersih yang harus dibayar untuk mendapatkan air bersih
Pemegang kontrak
kerjabersama
C Risk Licensing and Government
Risiko Lisensi dan
Ketersediaan Status
Tanah
Proyek tidak mendapatkan ijin yang sesuai,
persetujuan ketersediaan lahan yang terkait
dengan konstruksi, lokasi dan operasional
Pemerintah
Risiko Politik Risiko dimana pemerintah pusat memiliki kewenangan untuk mengubah hukum dan
pengendalian terhadap ekonomi,
melaksanakan hak-haknya sehingga proyek menyebabkan ketidaksetabilan politik yang
merugikan
Pemerintah
Risiko Hukum Terjadinya perubahan tak terduga dalam
peraturan hukum, sehingga menyebabkan akibat buruk bagi operasional proyek
Pemerintah pusat,
pemerintag daerah Kabupaten Maros,
pembeli air curah
Risiko Peraturan Akibat perubahan peraturan yang tidak
diinginkan dari kerangka peraturan berlaku yang terkait dengan operasi proyek
Pemerintah pusat,
pemerintag daerah Kabupaten Maros,
pelanggan
D Force Majeure Risk
Force Majeure Risk
of Natural Disasters
Risiko Force Majeure yang mencegah
pembangunan dan opersai kerjasama, yaitu
bencana alam seperti banjir, gempa bumi dan kebakaran
Pemegang
kontrak
kerjabersama dan pemerintah daerah
Force Majeure Risk
Due to Politic
Risiko Force Majeure yang dapat
menghambat pembangunan dan operasi
kerjasama, misalnya perang, huru-hara, kerusakan atau pemogokan
Pemerintah pusat
dan pemerintah
daerah Kabupaten Maros
3.2.4 Kajian Ketersediaan (Kuantitas) dan Kualitas Air bersih di Kabupaten
Maros
3.2.4.1 Ketersediaan Air Bersih di Kabupaten Maros
Terdapat 4 (empat) alternatif sumber air bersih di Kabupatern Maros, yaitu debit
mata air Jamala, sungai Bantimurung di bendung batu bassi, sungai Maros dari
upstream dan downstream bendung lekopancing di pucak dan Dulang.
54
Gambar 3.8 Sumber Air Bersih di Kabupaten Maros
Analisis kualitatif untuk seluruh sistem yang menggunakan air bersih untuk
setiap lokasi di atas dapat ditunjukkan pada tabel di bawah ini.
Tabel 3.9 Alternatif Pemilihan Sistem Berdasarkan Sumber Air Tahun
Perencanaan 2010-2030
No. Uraian Parameter
Bobot Penilaian Sistem Untuk
Setiap Periode Perencanaan Pengembangan
Alt. I Alt. II Alt. III Alt. IV
Mata Air Bendung Dulang
Bonto
Jamala Batu Bassi Sungu
1 Air Bersih / Raw Water 14 13 15 15
- Debit aliran minimum 1 1 3 3
- Fluktuasi 3 3 3 3
- Kontunuitas aliran 3 3 3 3
- Kualitas air 3 3 3 3
- Persaingan pemakai air 4 3 3 3
2 Intake 5 5 5 1
3 PWTP Transmisi 12 14 10 10
- Bahan pWTP transmisi 5 5 5 5
- Kedatara topografi jalur 3 3 3 3
- Panjang pWTP transmisi 3 5 1 1
- Sistem pengaliran 1 1 1 1
55
4 Unit Pengolahan/WTP 1 1 1 1
5 Reservoir 5 5 5 5
6 PWTP Distribusi 12 12 10 10
- Bahan pWTP distribusi 5 5 5 5
- Kedataran Topografi jalur 3 3 3 3
- Panjang pWTP dist. Utama 3 3 1 1
- Sistem pengaliran 1 1 1 1
7 Biaya investasi/Investment cost 5 5 1 1
8 Biaya operasional /Ops. Cost 5 5 1 1
9 Tingkat kemudahan pemeliharaan 5 5 1 1
TOTAL PER SUMBER 64 65 49 45
Keterangan : 1 (Worst), 2 (Poor), 3 (Fair), 4 (Good), dan 5 (Fine)
Sumber: Analisis Konsultan Water Supply Maros
Rekomendasi untuk menggunakan air bersih didasarkan pada ketersediaan air di
setiap lokasi debit mata air Jamala dan sungai Bantimurung di bendung batu bassi, yang
hanya diekstraksi sebanyak 250 l/d, sementara sungai maros di dulang diperkirakan
maksimum 250 l/d dengan kemungkinan berhasil 40% baik di dulang maupun upstream
bendung lekopancing (total 80% berhasil dengan dual intake dari dulang dan upstream
bendung lekopancing).
Dari evaluasi tabel di atas, debit mata air Jamala dan sungai Bantimurung
memiliki nilai kurang lebih sama. Debit air bersih Bantimurung di bendung batu bassi
memiliki nilai sedikit lebih tinggi karena debit mata air jamala merupakan bagian dari
sistem bendung batu bassi. Namun, debit mata air Jamala dapat dipisahkan dan
diekstrasi dengan menggunakan WTP tersendiri. Bendung batu bassi adalah lokasi
terbaik untuk ekstraksi air bersih dan lebih handal dalam ketersediaan air bersih.
3.2.4.2 Kualitas Air Bersih di Kabupaten Maros
Ke empat sumber air pada Kabupaten Maros memiliki beberapa parameter fisik
dan kimia yang di ambang batas. Salah satunya adalah turbidity (kekeruhan) air.
Turbidity (Kekeruhan) adalah ukuran yang menggunakan efek cahaya sebagai dasar
untuk mengukur keadaan air bersih dengan skala NTU (nephelo metrix turbidity unit),
kekeruhan ini disebabkan oleh adanya benda tercampur atau benda koloid di dalam air
yang membuat perbedaan nyata dari segi estetika maupun dari segi kualitas air itu
sendiri. Tingginya nilai kekeruhan juga dapat mempersulit usaha penyaringan dan
mengurangi efektivitas desinfeksi pada proses penjernihan air. Sehingga diperlukan unit
56
produksi pengolahan air bersih yang lebih lengkap. Unit pengolahan yang dibutuhkan
adalah sebagai berikut.
a. Unit Coagulation
b. Flocculation Unit
c. Unit Sedimentation
d. Filtration Unit
e. Stabilization Unit/Affixing Lime
f. Disinfection Units
Data kualitas air bersih ke empat sumber yang melebihi standar kualitas dapat
ditunjukkan pada tabel di bawah ini.
Tabel 3.10 Raw Water Quality
No. Parameter Unit Standard Sample
Bantimurung River (upstream bendung batu bassi)
1 Turbidity NTU 5 42.90
Jamala Water Spring
1 Turbidity NTU 5 44.73
Maros river at Dulang (downstream bendung Lekopancing)
1 Turbidity NTU 5 23.10
Maros river at Bonto Sungu (upstream bendung Lekopancing)
1 Turbidity NTU 5 29.00
Sumber : Analisis Konsultan
3.2.5 Kajian Kuantitas Air Terhadap Kualitas Air
Ditinjau dari Segi kualitas (mutu) air secara langsung atau tidak langsung sesuai
dengan dasar pertimbangan penetapan kualitas air minum, usaha pengelolaan terhadap
air yang digunakan sebagai air minum berpedoman pada standar kualitas air, terutama
dalam penilaian terhadap produk air minum yang dihasilkannya maupun dalam
merencanakan sistem dan proses yang akan dilakukan terhadap sumber daya air.
Berdasarkan data sebelumnya juga telah diketahui bahwa tingkat kekeruhan dari sungai
Maros di Dulang, sungai Maros di Bonto Sungu, mata air Jamala dan air terjun
Bantimurung berada diatas nilai ambang atau bersih mutu yang ditetapkan pemerintah.
Sehingga masih perlu dilakukan pengolahan lanjut.
57
3.2.6 Kajian Kualitas Air Terhadap Tarif Air
Diketahui kualitas dari ke 4 (empat) alternative sumber air bersih masih belum
mencapai optimal dikarenakan tingkat kekeruhannya masih tinggi. Maka kualitas air
bersih harus memenuhi persyaratan kesehatan yang di tandai dengan rasa, bau dan
warna yang sesuai dengan ketentuan. Dalam kajian pra studi kelayakan proyek air
bersih di Kabupaten Maros, penetapan tarif dilakukan dengan bantuan oleh pemerintah
dan tanpa bantuan pemerintah yaitu masing-masing sebesar Rp 2.400 dan Rp 2.700.
Kenaikan tarif juga dapat dilakukan apabila ada peningkatan kuantitas sumber air bersih,
kualitas yang terjamin dan kontinuitas air minum yang terjamin dengan ditandai air
berjalan selama 24 jam setiap hari.
Apabila ekspektasi masyarakat seandainya sudah tercapai sebesar 90%, maka itu
sudah baik yang artinya masyarakat sebagai pelanggan air minum sudah merasa puas
dan dapat menerimanya. Kemungkinan kenaikan tarif air minum bisa dipersiapkan,
namun harus diperhatikan bahwa pelanggan air minum itu merupakan salah satu
stakeholder yang harus ikut berpartisipasi dalam pembuatan kebijakan sesuai dengan
hak konsumen.
3.2.7 Kebijakan Penentuan Tarif Air
Tarif air minum merupakan biaya jasa pelayanan air minum yang wajib dibayar
pelanggan untuk setiap pemakaian air minum yang diberikan oleh penyelenggara.
Besarnya tarif air minum ditetapkan dengan keputusan Kepala Daerah atas usul Direksi
setelah disetujui oleh Dewan Pengawas dengan dikonsultasikan ke Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (DPRD). Perhitungan danpenetapan tarif air minum didasarkan pada
prinsip-prinsip : keterjangkauan dan keadilan, mutu pelayanan, pemulihan biaya secara
penuh (full cost recovery), efisiensi pemakaian air, transparansi, akuntabilitas dan
perlindungan air baku.
Komponen biaya dalam perhitungan tarif meliputi biaya operasi dan
pemeliharaan, biaya depresiasi atau amortisasi, biaya bunga pinjaman, biaya-biaya lain,
dan keuntungan yang wajar. Untuk melaksanakan tarif, penyelenggara wajib
menerapkan struktur tarif termasuk tarif progresif, dalam rangka penerapan subsidi
silang antar kelompok pelanggan.
58
Penyesuaian tarif dapat dilakukan dengan formula Indeksasi dengan mengacu
pada besaran nilai Indeks yang berlaku yang diterbitkan oleh pemerintah. Pedoman
teknis dan tata cara pengaturan tarif ditetapkan oleh Menteri yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan dalam negeri. Ketentuan yang berlaku saat itu adalah Nomor 23
tahun 2006 tentang pedoman teknis dan tata cara pengaturan tarif air minum pada
Perusahaan Daerah Air Minum. Menurut Permendagri ini, pendapatan PDAM harus
memenuhi prinsip pemulihan biaya yang secara penuh dicapai dari hasil perhitungan
Tarif rata-rata minimal harus sama dengan biaya dasar.
Ada tiga pengelompokan biaya, yaitu :
a. Tarif rendah, yakni tarif bersubsidi yang nilainya lebih kecil dari biaya dasar
b. Tarif dasar yakni nilai tarif sama dengan biaya dasar,
c. Tarif penuh yakni tarif yang nilainya lebih besar dari biaya dasar.
Dampak tarif yang tidak full cost recovery bagi PDAM, mengalami kesulitan
dalam mengalokasikan investasi pengembangan pelayanan, serta biaya pemeliharaan
dan kualitas pelayanan cenderung menurun.
3.2.8 Analisis Risiko dengan Skema BOT (Build-Operation and Transfer) dalam
Penyediaan Air Bersih di Kabupaten Maros
Nilai proyek yang tertera dalam buku Public Private Partnership (PPP)
Bappenas Tahun 2010-2014, untuk pembangunan air bersih di Kabupaten Maros senilai
Rp. 115 Miliar. Kerjasama yang dilakukan adalah antara PDAM Kabupaten Maros
dengan PT. SEMEN BUSOWO, dimana tahap awal direncanakan untuk memenuhi
kebutuhan permintaan lima tahun pertama, mulai tahun 2011-2015. Kemudian
dilanjutkan tahap selanjutnya dengan sistem yang lebih canggih dari Sungai Maros
untuk tahun berikutnya, masing-masing 250 liter/detik dan mulai tahun 2016-2030.
Adapun skema alternatif yang diberikan yaitu :
1. BOT production and Main Distribution
2. BOT Production
3. ROT Production
Skema BOT untuk produksi penyediaan air dipilih sebgai skema PPP final
dalam penyediaan air bersih di Kabupaten Maros. Intake baru dan WTP akan dibangun
oleh swasta, selanjutnya swasta akan menjual air minum dalam jumlah banyak setelah
59
WTP dan PDAM akan menjamin membeli air untuk mendistribusikan di daerah
pelayanan PDAM. Dalam kesimpulan dan rekomendasi pra Sarana Tirta Ungarandi
kelayakan proyek air bersih di Kabupaten Maros dipilih alternatif skema BOT yang
ketiga yaitu ROT (Rehabilition, Operation and Transfer). ROT merupakan pilihan
terbaik dikarenakan WTP yang ada dan baru dapat dikelola secara bersama dalam satu
manajemen.
Adapun proyeksi finansialnya, terdiri dari hibah (tanpa adanya bantuan
pemerintah) dan adanya hibah (dengan bantuan pemerintah), sebagai berikut :
1. Tanpa Hibah (Tanpa Bantuan Pemerintah)
a. Sistem Pembayaran dan Pembelian “Take AND Pay”
b. Sistem Pembayaran dan Pembelian “Take OR Pay”
2. Dengan Hibah ( Ada Bantuan Pemerintah)
a. Sistem Pembayaran dan Pembelian “Take AND Pay”
b. Sistem Pembayaran dan Pembelian “Take OR Pay”
Dari alternatif ROT disetujui sistem pembayaran dengan adanya bantuan
pemerintah dimana tarif air sebesar Rp. 2.400/m3 dengan Return On Equity (ROE)
mencapai 25-27%. Kemudian sistem Take OR Pay untuk mengirimkan air dalam
jumlah banyak dalam skema BOT lebih diterima karena ROE dan NPV yng didapatkan
lebih tinggi daripada sistem perjanjian Take AND Pay.
Adanya Kerjasama Pemerintah dan Swasta dalam pembangunan suatu
infrastruktur seperti penyediaan Air Bersih di Kabupaten Maros, tentu ada risiko yang
dapat terjadi. Terdapat beberapa kajian alokasi risiko yang terdapat pada buku panduan
pengembangan air minum Direktorat Jendral Cipta Karya Depatemen Pekerjaan Umum
dan studi kelayakan untuk Kerjasama Pemerintah Swasta dalam Penyediaan Air Bersih
Kabupaten Maros, meliputi :
1. Risiko Kinerja
2. Risiko Finansial
3. Risiko Politik
4. Risiko Force Majeure
Namun pada studi ini diambil dua risiko terpenting dalam skema BOT yang
dikerjasamakan, risiko tersebut adalah sebagai berikut.
60
Tabel 3.11 The Most Important Risks in BOT Scheme
No. Risk On Allocate to
1. Raw Water Quantity BBWS Pompengan – Jeneberang
2. Bulk Water Tariff PDAM and Private
Sumber : Widardo. 2011
Risiko penting dalam skema BOT Penyediaan Air Bersih di Kabupaten Maros
dapat dijabarkan sebgai berikut :
1. Risiko Kuantitas Air Bersih (Quantity Raw Water)
Dalam kajian pra studi kelayakan untuk ketersediaan air tahunan dari sungai
Maros di Tompobulu dan Sungai Bantimurung dapat dikatakan relatif masih
sangat berlimpah yang ditandai dengan kejadian banjir rutin tahunan yang terjadi
di wilayah bagian barat. Namun keadaan distribusi air dimana sangat berlimpah
di musim hujan dan kering di musim kemarau, serta pertambahan penduduk dan
pembangunan mengakibatkan kejadian defisit air di beberapa bagian wilayah
kabupaten Maros. Secara teoritis kejadian defisit air dapat diatasi apabila air
yang berlimpah di musim penghujan dapat disimpan untuk dimanfaatkan pada
musim defisit air di musim kemarau.
2. Risiko Tarif Air Curah (Bulk Water Tariff)
Kenaikan tarif air yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Maros
harus meninjau kualitas air bersih. Kualitas air bersih yaitu tingkat kekeruhan
pada sungai Bantimurung dan Bendung Batu Bassi melebihi ambang batas
standar yang ditentukan. Secara teoritis tarif air berbanding lurus dengan kualitas
air bersih karena bila kualitas air tidak tercapai maka kuantitas air bersih sebagai
air minum dan lainnya yang didistribusikan untuk pelanggan juga mengalami
penurunan, sehingga proyek penyediaan air bersih akan mengalami kerugian.
Alokasi risiko ini ditanggung oleh pemegang kontrak kerjasama yaitu antara
sektor Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kabupaten Maros dan Sektor Swasta.
3.2.8.1 Analisis Risiko Kuantitas Air Bersih Terhadap Pendapatan
Kuantitas air bersih yang direncanakan pada awal operasi sebanyak 250
liter/detik, selanjutnya pada tahap kedua dan ketiga masing-masing sebanyak 250
liter/detik, sehingga pada tahun 2030 jumlah air bersih yang diproduksi mencapai 750
61
liter/detik ditambah dengan produksi air bersih saat ini yang bersumber dari sungai
Bantimurung dan sungai Maros sebanyak 130 liter/detik. Total air bersih nantinya
mencapai 880 liter/detik. Skenario kondisi terburuk dan terbaik untuk perhitungan
jumlah hasil produksi air bersih, kualitas air bersih serta besar tarif air bersih di
Kabupaten Maros dengan alternatif ROT dilakukan oleh Widardoe (2011). Analisis
dilakukan berdasarkan bantuan dari pemerintah dan tanpa bantuan dari pemerintah,
sesuai dengan perkiraan waktu terpenuhinya kuantitas air bersih. Diperoleh hasil
perhitungan pendapatan tiap kuantitas air bersih pada skenario terburuk, normal dan
terbaik.
Berdasarkan kajian perhitungan kuantitas air bersih dengan beberapa skenario,
maka skenario terburuk dengan kuantitas air bersih yaitu 150 liter/detik dengan bantuan
pemerintah atau tanpa bantuan pemerintah memiliki pendapatan yang lebih rendah
daripada kuantitas air bersih yang diharapkan yaitu 250 liter/detik. Pada alternatif ROT
skema BOT, untuk sistem Take OR Pay lebih diterima karena NPV dan IRR lebih
tinggi dari sistem Take And Pay. Sedangkan sistem Take AND Pay nilai NPV nya
negatif artinya usulan proyek ditolak. Risiko terpenuhinya kuantitas air ditanggung oleh
pemerintah atau pemerintah daerah sebagai regulatornya, apabila dalam konsekuensinya
air bersih tidak dapat diproses dalam jumlah yang sesuai dengan kebutuhan pelanggan
atau proses produksi terhenti dimana menyebabkan distribusi air dalam jumlah besar
oleh sektor swasta tidak mencapai target dalam kontrak, maka kondisi ini dinyatakan
force majeure.
Upaya dalam mengurangi dampak risiko ini dapat dilakukan oleh pemerintah
dengan serius mengontrol aliran sungai dan sedimentasi, meningkatkan penggunaan
lahan dan menerapkan sanksi hukum tegas bagi yang merusak pengatur aliran sungai.
3.2.8.2 Analisis Risiko Tarif Air (Bulk Water Tariff)
Berdasarkan hasil perhitungan melalui skenario terburuk dan terbaik yang
dilakukan oleh Widardoe (2011), diperoleh untuk skenario terburuk NPV negatif yang
artinya proyek dengan penetapan tarif Rp. 2000 (with grant) dan Rp. 2.300 (without
grant) tidak layak diinvestasikan. Sedangkan untuk skenario terbaik, dengan tarif
sebesar Rp. 2.800 hingga Rp. 3.100 memiliki nilai NPV cukup tinggi yang artinya
62
proyek ini layak namun harus dilakukan pengkajian mendalam karena penetapan tarif
air harus disesuaikan dengan peraturan dari pemerintah.
Risiko penentuan tarif air ditanggung sepenuhnya oleh pemegang kontrak
kerjasama, yaitu pemerintah dan swasta. Upaya dalam mengurangi dampak risiko ini
harus memiliki ketentuan dalam kontrak yang mengatur konsekuensi atau kompensasi
jika kenaikan tarif telah disepakati di masa depan atau tanpa sadar karena kepentingan
politik.
3.2.8.3 Mitigasi Risiko berdasarkan Analisis dengan Skema BOT dalam
Penyediaan Air Bersih di Kabupaten Maros
Berdasarkan analisis risiko yang telah dijelaskan dapat ditunjukkan untuk
keberhasilan Kerjasama Pemerintah dan Swasta dengan skema BOT dapat tercapai
apabila peran serta stakeholder berjalan dengan baik. Sehingga peninjauan atau
penelitian kembali mengenai kuantitas air bersih dan penentuan tarif air bersih perlu
dilakukan. Perlu adanya peningkatan kualitas sumber air bersih oleh penyedia jasa
layanan dikarenakan ke-empat sumber air bersih di Kabupaten Maros tingkat
kekeruhannya diatas ambang baku mutu yang ditetapkan oleh pemerintah.
Upaya pencegahan terhadap risiko yang ada misalnya :
1. Menampung kelebihan air pada saat surplus air kemudian memanfaatkan air
yang tertampung pada saat defisit air.
2. Memperbaiki kondisi catchment area untuk menahan laju aliran permukaan pada
saat turun hujan, sehingga dapat menginfiltrasikan ke dalam lapisan tanah bawah.
Beberapa cara yang dapat dilakukan yaitu menghutankan kembali hutan-hutan
yang telah rusak, reboisasi hutan atau penanaman pohon-pohon yang dapat
menahan dan meresapkan aliran permukaan.
3. Membangun embung atau waduk atau bendungan dengan long-storage yang
memadai.
4. Untuk mengatasi risiko kerugian finansial harus dilakukan perhitungan dan
proyeksi biaya yang akan dijadikan acuan dalam penetapan tarif dan
mempertimbangkan aspek-aspek efisiensi biaya. Jika kuantitas air bersih
melebihi perkiraan awal maka tarif dapat diturunkan agar terjangkau daya beli
masyarakat sebagai pelanggan yang berpenghasilan sama dengan upah minimum.
63
BAB 4
PENUTUP
4.1 KESIMPULAN
Dari pembahasan dan analisis pada bab-bab sebelumnya maka dapat di ambil
kesimpulan sebagai berikut:
1. Pelayanan air bersih melalui Kemitraan Pemerintah-Swasta dengan model BOT menjadi
salah satu alternatif solusi penyediaan air bersih untuk kalangan yang belum tertangani
oleh Pemerintah. Sektor swasta dengan modal dan sumber daya yang dimiliki akan dapat
menutup keterbatasan Pemerintah. Hasil analisis isi perjanjian kerjasama
mengindikasikan adanya ketidakseimbangan hak dan kewajiban antara PDAM Kabupaten
Semarang dan PT. Sarana Tirta Ungaran, terutama dalam alokasi risiko. Sebagai pihak
swasta PT. SARANA TIRTA UNGARAN kurang mendapat haknya untuk mendapatkan
jaminan Pemerintah dalam pengembalian modal yang ditanamkan beserta keuntungan
yang wajar dalam kemitraan ini, sehingga kemitraan ini dinilai kurang menguntungkan
salah satu pihak yaitu PT. SARANA TIRTA UNGARAN dan lebih menguntungkan
pihak PDAM.
2. Adanya Kerjasama Pemerintah dan Swasta dalam pembangunan suatu infrastruktur
seperti penyediaan Air Bersih di Kabupaten Maros, tentu ada risiko yang dapat terjadi.
Risiko penting dalam skema BOT Penyediaan Air Bersih di Kabupaten Maros yaitu
Risiko kuantitas air bersih (Quantity Raw Water) dan Risiko tarif air curah (Bulk Water
Tariff). Risiko penentuan tarif air ditanggung sepenuhnya oleh pemegang kontrak
kerjasama, yaitu pemerintah dan swasta. Berdasarkan analisis risiko yang telah
dijelaskan dapat ditunjukkan untuk keberhasilan Kerjasama Pemerintah dan Swasta
dengan skema BOT dapat tercapai apabila peran serta stakeholder berjalan dengan baik.
Sehingga peninjauan atau penelitian kembali mengenai kuantitas air bersih dan penentuan
tarif air bersih perlu dilakukan. Perlu adanya peningkatan kualitas sumber air bersih oleh
penyedia jasa layanan dikarenakan ke-empat sumber air bersih di Kabupaten Maros
tingkat kekeruhannya diatas ambang baku mutu yang ditetapkan oleh pemerintah.
64
4.2 SARAN
Peran Pemerintah/PDAM dalam rangka menjaga agar kemitraan berjalan dengan baik,
saling menguntungkan dan dapat berkelanjutan belum begitu terlihat, maka pembentukan
Badan Usaha Bersama antara Pemerintah-Swasta perlu ditingkatkan, sehingga kedua belah
pihak dapat lebih berperan secara aktif dan berimbang sesuai dengan proporsi tanggung
jawabnya masing-masing.
iv
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 29 April 2013. Gambaran Umum Kondisi Daerah Semarang.
http://www.docstoc.com/docs/135905790/semarang-bnr
Kabupaten Semarang. 28 April 2013. Geografi dan Topografi.
http://www.semarangkab.go.id/utama/selayang-pandang/kondisi-umum/geografi-
topografi.html
Kota, Penjelajah. 28 April 2013. Peta Kabupaten Semarang. http://peta-
kota.blogspot.com/2012/03/peta-kabupaten-semarang.html
Noviansyah, Deni. 2013. Bentuk-bentuk Kerjasama Pemerintah.
http://dhenov.blogspot.com/2007/10/bentuk-bentuk-kerja-sama-pemerintah.html
Sari, Laila ;dkk. 2013. Build, Operate, and Transfer.
http://kumpulancoretanila.blogspot.com/2010/05/build-operate-and-transfer-bot-by-
laila.html
Santoso, Budi. 2008. Aspek Hukum Pembiayaan Proyek Infrastruktur Dengan Metode BOT
(Build Operate Transfer). Yogyakarta : Genta Press.
Sudibyo, Sidiq. 2006. Pelayanan Air Bersih Melalui Kemitraan Pemerintah-Swasta, Studi
Kasus : PDAM Kabupaten Semarang dan PT. Sarana Tirta Ungaran. Tesis.
Universitas Diponegoro : Semarang.
PT. Penjamin Infrastruktur Indonesia (Persero). 2012. Kerjasama Pemerintah Swata di
Indonesia Acuan Alokasi Risiko.
Wikipedia. 28 April 2013. Kabupaten Semarang.
http://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Semarang
Widardoe, Ricka. 2011. Analisis Risiko Kerjasama Pemerintah dan Swasta dalam
Penyediaan Air Bersih di Maros. Tesis. Universitas Indonesia : Jakarta.