Mkalah Respirasi n Sensori

116
Pendahuluan Pemenuhan kebutuhan oksigen adalah bagian dari kebutuhan fisiologis menurut hierarki maslow. Kebutuhan oksiggen diperlukan untuk proses kehidupan. Oksigen sangat berperan Dalam proses metabolism tubuh. Kebutuhan oksigen dalam tubuh harus terpenuhi karena apabila kebutuhan oksigen dalam tubuh berkurang maka akan terjadi kerusakan pada jaringan otak dan apabila hal tersebut berlangsung lama maka akan terjadi kematian. Sistem yang berperan dalam proses pemenuhan kebutuhan adalah sistem pernafasan, persarafan, dan kardiovaskular. Masalah kebutuhan oksigen merupakan masalah utama dalam pemenuhan kebutuhan dasar manusia. Hal ini telah terbukti pada seseorang yang kekurangan oksigen akan mengalami hipoksia dan akan terjadi kematian. Proses pemenuhan kebutuhan oksigen pada manusia dapat dilakuakan dengan cara pemberian oksigen melalui saluran pernafasan, membebaskan saluran pernafasan dari sumbatan yang menghalangi masuknya oksigen, memulihkan dan memperbaiki organ pernafasan agar berfungsi secara normal. Prosedur pemenuhan kebutuhan oksigen dalam pelayanan keperawatan dapat dilakuakan dengan pemberian oksigen dengan menggunakan kanula dan masker, fisioterapi dada, dan cara penghisapan lendir.

description

sistem respirasi

Transcript of Mkalah Respirasi n Sensori

Pendahuluan

Pemenuhan kebutuhan oksigen adalah bagian dari kebutuhan fisiologis menurut

hierarki maslow. Kebutuhan oksiggen diperlukan untuk proses kehidupan. Oksigen sangat

berperan Dalam proses metabolism tubuh. Kebutuhan oksigen dalam tubuh harus terpenuhi

karena apabila kebutuhan oksigen dalam tubuh berkurang maka akan terjadi kerusakan pada

jaringan otak dan apabila hal tersebut berlangsung lama maka akan terjadi kematian. Sistem

yang berperan dalam proses pemenuhan kebutuhan adalah sistem pernafasan, persarafan, dan

kardiovaskular.

Masalah kebutuhan oksigen merupakan masalah utama dalam pemenuhan kebutuhan

dasar manusia. Hal ini telah terbukti pada seseorang yang kekurangan oksigen akan

mengalami hipoksia dan akan terjadi kematian. Proses pemenuhan kebutuhan oksigen pada

manusia dapat dilakuakan dengan cara pemberian oksigen melalui saluran pernafasan,

membebaskan saluran pernafasan dari sumbatan yang menghalangi masuknya oksigen,

memulihkan dan memperbaiki organ pernafasan agar berfungsi secara normal.

Prosedur pemenuhan kebutuhan oksigen dalam pelayanan keperawatan dapat

dilakuakan dengan pemberian oksigen dengan menggunakan kanula dan masker, fisioterapi

dada, dan cara penghisapan lendir.

KASUS 1:

Tn. P mengeluh batuk-batuk sudah satu bulan ini belum sembuh-sembuh meskipun

telah berobat & tadi pagi reak tampak agak kehijauan dan bercampur warna merah,

pada malam hari terasa agak demam & berkeringat banyak, BB sebelum sakit 58 Kg,

TB=160 cm. Hasil pemeriksaan fisik tampak lemah, TD 100/70 mmHg, N=88x/menit,

S=37,50C, suara paru: wheezing +/+, ronchhi +/+. Suara jantung : normal. Hasil X ray

menunjukkan bercak-bercak infiltrate pada ke dua paru. LED meningkat, sputum

BTA positif.

Pertanyaan yang dibuat dari kasus adalah

1. Pengkajian lanjutan dari kasus diatas adalah?

2. Faktor-faktor apa saja yang dapat menyebabkan kasus tersebut?

3. Faktor apa yang menyebabkan Tn. P belum sembuh-sembuh walaupun sudah

berobat?

4. Apa penyakit yang di derita oleh Tn. P dan bagaimana etiologi, fisiologi,

patofisiologi, dan manifestasi kliniknya?

5. Apa diagnosa keperawatan dari kasus diatas?

6. Bagaimana rencana asuhan keperawatannya?

Penyelesaian Kasus

Data fokus

Data dasar

Nama: Tn.P

Data Subjektif:

Tn. P mengeluh:

Batuk-batuk sudah satu bulan ini belum sembuh-sembuh meskipun telah berobat

Tadi pagi reak tampak agak kehijauan dan bercampur warna merah

Pada malam hari terasa agak demam & berkeringat banyak

BB sebelum sakit 58 Kg

TB =160 cm

Data Objektif:

Fisik tampak lemah

TD 100/70 mmHg

N=88x/menit

S=37,50C

Suara paru : wheezing +/+

Ronchi +/+

Suara jantung : Normal

Hasil X ray menunjukkan bercak-bercak infiltrate pada ke dua paru

LED meningkat

Sputum BTA positif.

Pengkajian lanjutan yang harus dilakukan adalah

Data dasar :

o Umur

o Berat badan saat sakit

o Pekerjaan

Pemeriksaan fisik :

Inspeksi : observasi klien meliputi warna kulit, turgor kulit,

pengeluaran keringat, dan irama nafas, cara bernafas, pola nafas, upaya

mengeluarkan batuk.

Palpasi: observasi kapilari revil

Perkusi: perkusi pada paru-paru

Auskultasi: Bunyi paru, bunyi jantung

Wawancara, tanyakan kepada klien

Apakah bapak perokok? Perokok pasif atau aktif?

Obat apa yang di berikan saat bapak berobat?

Apakah bapak meminum obat secara rutin?

Bagaimana lingkungan rumah atau pekerjaan bapak?

Apakah ada riwayat penyakit sebelumnya?

Apakan merasa nyeri saat batuk?

Apakah ada keluarga yang mengalami kasus seperti bapak?

Apakah ada keluhan lain?

Riwayat PerjalananPenyakit

a. Pola aktivitas dan istirahat

Rasa lemah cepat lelah, aktivitas demam, menggigil, berkeringat pada

malam hari.

b. Pola nutrisi

Kaji apakah klien mengalami penurunan berat badan, kaji pula Turgor

kulit

c. Respirasi

Kaji dan tanyakan klien sudah mengalami batuk produktif sudah berapa

lama dan apakah klien mengalami sakit dada. Klien batuk dengan sputum

hijau/purulent atau bercak darah, ronki +/+, wheezing +/+.

d. Rasa nyaman/nyeri

Kaji apakah Klien mengalami nyeri dada karena batuk berulang.

e. Integritas ego

Kaji apakah klien merasa stress terhadap penyakit yang di deritanya

Riwayat Penyakit Sebelumnya:

Pernah sakit batuk yang lama dan tidak sembuh-sembuh.

Pernah berobat tetapi tidak sembuh.

Pernah berobat tetapi tidak teratur.

Riwayat kontak dengan penderita Tuberkulosis Paru.

Daya tahan tubuh yang menurun.

Riwayat vaksinasi yang tidak teratur.

Riwayat Pengobatan Sebelumnya:

◊ Kapan pasien mendapatkan pengobatan sehubungan dengan sakitnya.

◊ Jenis, warna, dosis obat yang diminum.

◊ Berapa lama. pasien menjalani pengobatan sehubungan dengan

penyakitnya

◊ Kapan pasien mendapatkan pengobatan terakhir.

Riwayat Sosial Ekonomi:

Riwayat pekerjaan. Jenis pekerjaan, waktu dan tempat bekerja, jumlah

penghasilan.

Aspek psikososial. Merasa dikucilkan, tidak dapat berkomunikisi

dengan bebas, menarik diri, biasanya pada keluarga yang kurang

marnpu, masalah berhubungan dengan kondisi ekonomi, untuk sembuh

perlu waktu yang lama dan biaya yang banyak, masalah tentang masa

depan/pekerjaan pasien, tidak bersemangat dan putus harapan.

Faktor Pendukung:

Riwayat lingkungan.

Pola hidup.

Nutrisi, kebiasaan merokok, minum alkohol, pola istirahat dan tidur,

kebersihan diri.

Tingkat pengetahuan/pendidikan pasien dan keluarga tentang

penyakit,pencegahan, pengobatan dan perawatannya.

Pemeriksaan Diagnostik:

a. Kultur sputum: Mikobakterium Tuberkulosis positif pada tahap akhir penyakit.

b. Tes Tuberkulin: Mantoux test reaksi positif (area indurasi 10-15 mm terjadi 48-72

jam).

c. Foto torak: Infiltnasi lesi awal pada area paru atas ; Pada tahap dini tampak

gambaran bercak-bercak seperti awan dengan batas tidak jelas ; Pada kavitas

bayangan, berupa cincin ; Pada kalsifikasi tampak bayangan bercak-bercak padat

dengan densitas tinggi.

d. Bronchografi: untuk melihat kerusakan bronkus atau kerusakan paru karena TB

paru.

e.Darah: peningkatan leukosit dan Laju Endap Darah (LED).

f. Spirometri: penurunan fungsi paru dengan kapasitas vital menurun.

Faktor resiko TBC

1. Faktor Umur.

Beberapa faktor resiko penularan penyakit tuberkulosis yaitu umur, jenis kelamin, ras,

serta infeksi AIDS. Insiden tertinggi tuberkulosis paru biasanya mengenai usia dewasa muda.

Di Indonesia diperkirakan 75% penderita TB Paru adalah kelompok usia produktif yaitu 15-

50 tahun.

2. Faktor Jenis Kelamin.

Di benua Afrika banyak tuberkulosis terutama menyerang laki-laki. Pada tahun 1996

jumlah penderita TB Paru laki-laki hampir dua kali lipat dibandingkan jumlah penderita TB

Paru pada wanita, yaitu 42,34% pada laki-laki dan 28,9 % pada wanita. Antara tahun 1985-

1987 penderita TB paru laki-laki cenderung meningkat sebanyak 2,5%, sedangkan penderita

TB Paru pada wanita menurun 0,7%. TB paru Iebih banyak terjadi pada laki-laki

dibandingkan dengan wanita karena laki-laki sebagian besar mempunyai kebiasaan merokok

sehingga memudahkan terjangkitnya TB paru.

3. Tingkat Pendidikan

Tingkat pendidikan seseorang akan mempengaruhi terhadap pengetahuan seseorang

diantaranya mengenai rumah yang memenuhi syarat kesehatan dan pengetahuan penyakit TB

Paru, sehingga dengan pengetahuan yang cukup maka seseorang akan mencoba untuk

mempunyai perilaku hidup bersih dan sehat.

4. Pekerjaan

Jenis pekerjaan menentukan faktor risiko apa yang harus dihadapi setiap individu.

Bila pekerja bekerja di lingkungan yang berdebu paparan partikel debu di daerah terpapar

akan mempengaruhi terjadinya gangguan pada saluran pernafasan. Paparan kronis udara yang

tercemar dapat meningkatkan morbiditas, terutama terjadinya gejala penyakit saluran

pernafasan dan umumnya TB Paru.

Jenis pekerjaan seseorang juga mempengaruhi terhadap pendapatan keluarga yang

akan mempunyai dampak terhadap pola hidup sehari-hari diantara konsumsi makanan,

pemeliharaan kesehatan selain itu juga akan mempengaruhi terhadap kepemilikan rumah

(kontruksi rumah). Kepala keluarga yang mempunyai pendapatan dibawah UMR akan

mengkonsumsi makanan dengan kadar gizi yang tidak sesuai dengan kebutuhan bagi setiap

anggota keluarga sehingga mempunyai status gizi yang kurang dan akan memudahkan untuk

terkena penyakit infeksi diantaranya TB Paru. Dalam hal jenis kontruksi rumah dengan

mempunyai pendapatan yang kurang maka kontruksi rumah yang dimiliki tidak memenuhi

syarat kesehatan sehingga akan mempermudah terjadinya penularan penyakit TB Paru.

5. Kebiasaan Merokok

Merokok diketahui mempunyai hubungan dengan meningkatkan resiko untuk

mendapatkan kanker paru-paru, penyakit jantung koroner, bronchitis kronik dan kanker

kandung kemih. Kebiasaan merokok meningkatkan resiko untuk terkena TB paru sebanyak

2,2 kali. Dengan adanya kebiasaan merokok akan mempermudah untuk terjadinya infeksi TB

Paru.

6. Kepadatan hunian kamar tidur

Luas lantai bangunan rumah sehat harus cukup untuk penghuni di dalamnya, artinya

luas lantai bangunan rumah tersebut harus disesuaikan dengan jumlah penghuninya agar tidak

menyebabkan overload. Hal ini tidak sehat, sebab disamping menyebabkan kurangnya

konsumsi oksigen juga bila salah satu anggota keluarga terkena penyakit infeksi, akan mudah

menular kepada anggota keluarga yang lain.

7. Pencahayaan

Untuk memperoleh cahaya cukup pada siang hari, diperlukan luas jendela kaca

minimum 20% luas lantai. Jika peletakan jendela kurang baik atau kurang leluasa maka dapat

dipasang genteng kaca. Cahaya ini sangat penting karena dapat membunuh bakteri-bakteri

patogen di dalam rumah, misalnya basil TB, karena itu rumah yang sehat harus mempunyai

jalan masuk cahaya yang cukup. Bila sinar matahari dapat masuk dalam rumah serta sirkulasi

udara diatur maka resiko penularan antar penghuni akan sangat berkurang.

8. Ventilasi

Ventilasi mempunyai banyak fungsi. Fungsi pertama adalah untuk menjaga agar

aliran udara didalam rumah tersebut tetap segar. Kurangnya ventilasi akan menyebabkan

kurangnya oksigen di dalam rumah, disamping itu kurangnya ventilasi akan menyebabkan

kelembaban udara di dalam ruangan naik karena terjadinya proses penguapan cairan dari kulit

dan penyerapan. Kelembaban ini akan merupakan media yang baik untuk pertumbuhan

bakteri-bakteri patogen/ bakteri penyebab penyakit, misalnya kuman TB.

Fungsi kedua dari ventilasi itu adalah untuk membebaskan udara ruangan dari

bakteri-bakteri, terutama bakteri patogen, karena di situ selalu terjadi aliran udara yang terus

menerus. Bakteri yang terbawa oleh udara akan selalu mengalir. Fungsi lainnya adalah untuk

menjaga agar ruangan kamar tidur selalu tetap di dalam kelembaban (humiditiy) yang

optimum.

9. Kondisi rumah

Kondisi rumah dapat menjadi salah satu faktor resiko penularan penyakit TBC. Atap,

dinding dan lantai dapat menjadi tempat perkembang biakan kuman.Lantai dan dinding yag

sulit dibersihkan akan menyebabkan penumpukan debu, sehingga akan dijadikan sebagai

media yang baik bagi berkembangbiaknya kuman Mycrobacterium tuberculosis.

10. Kelembaban udara

Kelembaban udara dalam ruangan untuk memperoleh kenyamanan, dimana

kelembaban yang optimum berkisar 60% dengan temperatur kamar 22° - 30°C. Kuman TB

Paru akan cepat mati bila terkena sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup selama

beberapa jam di tempat yang gelap dan lembab.

11. Status Gizi

Hasil penelitian menunjukkan bahwa orang dengan status gizi kurang mempunyai

resiko 3,7 kali untuk menderita TB Paru berat dibandingkan dengan orang yang status

gizinya cukup atau lebih. Kekurangan gizi pada seseorang akan berpengaruh terhadap

kekuatan daya tahan tubuh dan respon immunologik terhadap penyakit.

12. Keadaan Sosial Ekonomi

Keadaan sosial ekonomi berkaitan erat dengan pendidikan, keadaan sanitasi

lingkungan, gizi dan akses terhadap pelayanan kesehatan. Penurunan pendapatan dapat

menyebabkan kurangnya kemampuan daya beli dalam memenuhi konsumsi makanan

sehingga akan berpengaruh terhadap status gizi. Apabila status gizi buruk maka akan

menyebabkan kekebalan tubuh yang menurun sehingga memudahkan terkena infeksi TB

Paru.

13. Perilaku

Perilaku dapat terdiri dari pengetahuan, sikap dan tindakan. Pengetahuan penderita

TB Paru yang kurang tentang cara penularan, bahaya dan cara pengobatan akan berpengaruh

terhadap sikap dan prilaku sebagai orang sakit dan akhinya berakibat menjadi sumber penular

bagi orang disekelilingnya

Etiologi

Tuberkulosis paru adalah penyakit menular yang disebabkan oleh basil

mikrobakterium tuberkulosis tipe humanus, sejenis kuman yang berbentuk batang dengan

ukuran panjang 1-4/mm dan tebal 0,3-0,6/mm. Sebagian besar kuman terdiri atas asam lemak

(lipid). Lipid inilah yang membuat kuman lebih tahan terhadap asam dan lebih tahan terhadap

gangguan kimia dan fisik.

Tuberkulosis paru merupakan penyakit infeksi penting saluran pernapasan. Basil

mikrobakterium tersebut masuk kedalam jaringan paru melalui saluran napas (droplet

infection) sampai alveoli, maka terjadilah infeksi primer (ghon) selanjutnya menyebar

kekelenjar getah bening setempat dan terbentuklah primer kompleks (ranke). keduanya

dinamakan tuberkulosis primer, yang dalam perjalanannya sebagian besar akan mengalami

penyembuhan. Tuberkulosis paru primer, peradangan terjadi sebelum tubuh mempunyai

kekebalan spesifik terhadap basil mikobakterium. Tuberkulosis yang kebanyakan didapatkan

pad usia 1-3 tahun. Sedangkan yang disebut tuberkulosis post primer (reinfection) adalah

peradangan jaringan paru oleh karena terjadi penularan ulang yang mana di dalam tubuh

terbentuk kekebalan spesifik terhadap basil tersebut.

Proses Penularan

Tuberkulosis tergolong airborne disease yakni penularan melalui droplet nuclei yang

dikeluarkan ke udara oleh individu terinfeksi dalam fase aktif. Setiapkali penderita ini batuk

dapat mengeluarkan 3000 droplet nuclei. Penularan umumnya terjadi di dalam ruangan

dimana droplet nuclei dapat tinggal di udara dalam waktu lebih lama. Dua faktor penentu

keberhasilan pemaparan Tuberkulosis pada individu baru yakni konsentrasi droplet nuclei

dalam udara dan panjang waktu individu bernapas dalam udara yang terkontaminasi tersebut

di samping daya tahan tubuh yang bersangkutan.

Di samping penularan melalui saluran pernapasan (paling sering), M. tuberculosis

juga dapat masuk ke dalam tubuh melalui saluran pencernaan dan luka terbuka pada kulit

(lebih jarang).

Fisiologi

Proses fisiologi pernafasan dimana O2 dipindahkan dari udara ke dalam jaringan-

jaringan, dan CO2 dikeluarkan keudara ekspirasi dapat dibagi menjadi tiga stadium. Stadium

pertama adalah ventilasi yaitu masuknya campuran gas-gas ke dalam dan keluar paru-paru.

karena ada selisih tekanan yang terdapat antara atmosfer dan alveolus akibat kerja mekanik

dari otot-otot. Stadium kedua, transportasi yang terdiri dan beberapa aspek yaitu :

(1) Difusi gas antara alveolus dan kapiler paru-paru (respirasi eksternal) dan antara darah

sistemik dan sel.-sel jaringan

(2) Distribusi darah dalam sirkulasi pulmonal dan penyesuaiannya dengan distribusi udara

dalam alveolus.

(3) Reaksi kimia dan fisik dari O2 dan CO2 dengan darah respimi atau respirasi interna

menipak-an stadium akhir dari respirasi, yaitu sel dimana metabolik dioksida untuk-

mendapatkan energi, dan CO2 terbentuk sebagai sampah proses metabolisme sel dan

dikeluarkan oleh paru-paru

(4) Transportasi, yaitu. tahap kcdua dari proses pemapasan mencakup proses difusi gas-gas

melintasi membran alveolus kapiler yang tipis (tebalnya kurang dari 0,5 urn). Kekuatan

mendorong untuk pemindahan ini adalah selisih tekanan parsial antara darah dan fase gas.

(5) Perfusi, yaitu pemindahan gas secara efektif antara. alveolus dan kapiler paru-paru

membutuhkan distribusi merata dari udara dalam paru-paru dan perfusi (aliran darah) dalam

kapiler dengan perkataan lain ventilasi dan perfusi. dari unit pulmonary harus sesuai pada

orang normal dengan posisi tegak dan keadaan istirahat maka ventilasi dan perfusi hampir

seimbang kecuali pada apeks paru-paru.

Patofisiologi

Port de’ entri kuman microbaterium tuberculosis adalah saluran pernafasan, saluran

pencernaan, dan luka terbuka pada kulit, kebanyakan infeksi tuberculosis terjadi melalui

udara (air borne), yaitu melalui inhalasi droppet yang mengandung kuman-kuman basil

tuberkel yang berasal dari orang yang terinfeksi.

Basil tuberkel yang mencapai permukaan alveolus biasanya diinhalasi terdiri dari satu

sampai tiga gumpalan basil yang lebih besar cenderung tertahan di saluran hidung dan cabang

besar bronkus dan tidak menyebabkan penyakit. Setelah berada dalam ruang alveolus

biasanya di bagian bawah lobus atau paru-paru, atau di bagian atas lobus bawah. Basil

tuberkel ini membangkitkan reaksi peradangan. Leukosit polimorfonuklear tampak pada

tempat tersebut dan memfagosit bacteria namun tidak membunuh organisme tersebut.

Sesudah hari-hari pertama maka leukosit diganti oleh makrofag. Alveoli yang terserang akan

mengalami konsolidasi dan timbul gejala pneumonia akut. Pneumonia seluler ini dapat

sembuh dengan sendirinya sehingga tidak ada sisa yang tertinggal, atau proses dapat juga

berjalan terus, dan bakteri terus difagosit atau berkembang biak di dalam sel. Basil juga

menyebar melalui getah bening menuju ke kelenjar bening regional. Makrofag yang

mengadakan infiltrasi mcajadi lebih panjang dan sebagian bersatu sehingga membentuk sel

tuberkel epiteloit, yang dikelilingi oleh fosit. Reaksi ini biasanya membutuhkan waktu 10

sampai 20 hari.

Manifestasi Klinik

Tuberkulosis sering dijuluki “the great imitator” yaitu suatu penyakit yang

mempunyai banyak kemiripan dengan penyakit lain yang juga memberikan gejala umum

seperti lemah dan demam. Pada sejumlah penderita gejala yang timbul tidak jelas sehingga

diabaikan bahkan kadang-kadang asimtomatik.

Gambaran klinik TB paru dapat dibagi menjadi 2 golongan, gejala respiratorik dan

gejala sistemik:

1. Gejala respiratorik, meliputi:

a. Batuk

Gejala batuk timbul paling dini dan merupakan gangguan yang paling sering

dikeluhkan. Mula-mula bersifat non produktif kemudian berdahak bahkan bercampur

darah bila sudah ada kerusakan jaringan.

b. Batuk darah

Darah yang dikeluarkan dalam dahak bervariasi, mungkin tampak berupa garis

atau bercak-bercak darak, gumpalan darah atau darah segar dalam jumlah sangat

banyak. Batuk darak terjadi karena pecahnya pembuluh darah. Berat ringannya batuk

darah tergantung dari besar kecilnya pembuluh darah yang pecah.

c. Sesak napas

Gejala ini ditemukan bila kerusakan parenkim paru sudah luas atau karena ada

hal-hal yang menyertai seperti efusi pleura, pneumothorax, anemia dan lain-lain.

d. Nyeri dada

Nyeri dada pada TB paru termasuk nyeri pleuritik yang ringan. Gejala ini

timbul apabila sistem persarafan di pleura terkena.

2. Gejala sistemik, meliputi:

a. Demam

Merupakan gejala yang sering dijumpai biasanya timbul pada sore dan malam

hari mirip demam influenza, hilang timbul dan makin lama makin panjang

serangannya sedang masa bebas serangan makin pendek.

b. Gejala sistemik lain

Gejala sistemik lain ialah keringat malam, anoreksia, penurunan berat badan

serta malaise. Timbulnya gejala biasanya gradual dalam beberapa minggu-bulan, akan

tetapi penampilan akut dengan batuk, panas, sesak napas walaupun jarang dapat juga

timbul menyerupai gejala pneumonia.

Pemeriksaan Bakteriologik (Sputum) ; Ditemukannya kuman micobakterium TBC

dari dahak penderita memastikan diagnosis tuberculosis paru.

Diagnosa keperawatan:

1. Gangguan jalan nafas b.d sekret kehijauan dan campur darah yang di manifestasikan

oleh suara paru : wheezing +/+, ronchhi +/+, hasil X ray menunjukkan bercak-bercak

infiltrate pada ke dua paru, LED meningkat, sputum BTA positif.

2. Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d fisik yang lemah dan sering batuk yang

dimanifestasikan oleh fisik tampak lemah, berat badan dibawah 10%-20% dari

standar untuk TB 160 cm.

3. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan: Sekret yang kental yang

dimanifestasikan oleh adanya sputum tampak agak kehijauan dan bercampur warna

merah, Hasil X ray menunjukkan bercak-bercak infiltrate pada ke dua paru. LED

meningkat, sputum BTA positif.

4. Resiko tinggi infeksi dan penyebaran infeksi berhubungan dengan: Daya tahan tubuh

menurun, sekret yang inenetap, Kurang pengetahuan tentang infeksi kuman yang

dimanifestasikan oleh batuk-batuk sudah satu bulan ini belum sembuh-sembuh

meskipun telah, Hasil X ray menunjukkan bercak-bercak infiltrate pada ke dua paru.

LED meningkat, sputum BTA positif.

5. Kurang pengetahuan tentang kondisi, pengobatan, pencegahan berhubungan dengan:

Tidak ada yang menerangkan, Interpretasi yang salah, Informasi yang didapat tidak

lengkap/tidak akurat, Terbatasnya pengetahuan/kognitif

Tujuan:

1. Bersihan jalan napas tidak efektif

Mempertahankan jalan napas pasien. Mengeluarkan sekret tanpa bantuan.

Menunjukkan prilaku untuk memperbaiki bersihan jalan napas. Berpartisipasi dalam

program pengobatan sesuai kondisi. Mengidentifikasi potensial komplikasi dan

melakukan tindakan tepat.

2. Gangguan pertukaran gas

Melaporkan tidak terjadi dispnea. Menunjukkan perbaikan ventilasi dan oksigenasi

jaringan adekuat dengan GDA dalam rentang normal. Bebas dari gejala distress

pernapasan.

3. Resiko tinggi infeksi dan penyebaran infeksi

Mengidentifikasi intervensi untuk mencegah/menurunkan resiko penyebaran

infeksi. Menunjukkan/melakukan perubahan pola hidup untuk meningkatkan

lingkungan yang. aman.

4. Perubahan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan

Menunjukkan berat badan meningkat mencapai tujuan dengan nilai laboratoriurn

normal dan bebas tanda malnutrisi. Melakukan perubahan pola hidup untuk

meningkatkan dan mempertahankan berat badan yang tepat.

5. Kurang pengetahuan tentang kondisi, pengobatan, pencegahan.

Tujuan: Menyatakan pemahaman proses penyakit/prognosis dan kebutuhan

pengobatan. Melakukan perubahan prilaku dan pola hidup unruk memperbaiki

kesehatan umurn dan menurunkan resiko pengaktifan ulang luberkulosis paru.

Mengidentifikasi gejala yang mernerlukan evaluasi/intervensi. Menerima perawatan

kesehatan adekuat.

Kriteria hasil:

1. Jalan nafas klien efektif

2. Klien dapat mengeluarkan secret tanpa bantuan

3. Klien menunjukkan perilaku untuk memperbaiki/mempertahankan bersihan jalan

nafas

4. Klien berpartisipasi dalam program pengobatan

5. Klien dapat mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan TBC

Intervensi Rasional

Bersihan jalan napas tidak efektif

Mandiri

1. Kaji fungsi pernapasan: bunyi

napas, kecepatan, kedalaman

dan penggunaan otot aksesori.

2. Catat kemampuan untuk

mengeluarkan mukosa/batuk

efektif, catat karakter, jumlah

sputum, adanya hemoptisis

3. Bersihkan secret dari mulut dan

1. Penurunan bunyi napas indikasi

atelektasis, ronki indikasi akumulasi

secret/ketidakmampuan

membersihkan jalan napas sehingga

otot aksesori digunakan dan kerja

pernapasan meningkat.

2. Pengeluaran sulit bila sekret sangat

tebal. Sputum berdarah di akibatkan

oleh kerusakan (kavitasi) paru atau

bronkial dan dapat memerlukan

evaluasi/intervensi lanjut

3. Mencegah obstruksi/aspirasi.

trakea, penghisapan sesuai

keperluan

4. Berikan posisi semi atau Fowler

tinggi. Bantu klien untuk batuk

dan latihan napas dalam

5. Pertahankan intake cairan

minimal 2500 ml/hari kecuali

kontraindikasi.

6. Lembabkan udara/oksigen

inspirasi.

Kolaborasi

1. Berikan obat: agen mukolitik,

bronkodilator, kortikosteroid

sesuai indikasi.

Gangguan pertukaran gas

Mandiri:

1. Kaji dispnea, takipnea, bunyi

pernapasan abnormal.

Peningkatan upaya respirasi,

keterbatasan ekspansi dada dan

kelemahan.

2. Evaluasi perubahan-tingkat

kesadaran, catat tanda-tanda

sianosis dan perubahan warna

kulit, membran mukosa, dan

Penghisapan dapat dilakukan jika

klien tidak mampu mengeluarkan

sekret

4. Posisi membantu memaksimalkan

ekspansi paru dan menurunkan

upaya pernapsan. Ventilasi

maksimal meningkatkan gerakan

sekret ke dalam jalan napas besar

untuk di keluarkan

5. Membantu mengencerkan secret

sehingga mudah dikeluarkan

6. Mencegah pengeringan membran

mukosa.

1. Menurunkan kekentalan sekret,

lingkaran ukuran lumen

trakeabronkial. Berguna jika terjadi

hipoksemia pada kavitas yang luas.

1. Tuberkulosis paru dapat

rnenyebabkan meluasnya jaringan

paru-paru yang berasal dari

bronkopneumonia yang meluas

menjadi inflamasi, nekrosis, pleural

effusion dan meluasnya fibrosis

dengan gejala-gejala respirasi

distress.

2. Akumulasi secret dapat menggangp

oksigenasi di organ vital dan

jaringan.

warna kuku.

3. Demonstrasikan/anjurkan untuk

mengeluarkan napas dengan

bibir disiutkan, terutama pada

pasien dengan fibrosis atau

kerusakan parenkim.

4. Anjurkan untuk bedrest, batasi

dan bantu aktivitas sesuai

kebutuhan.

5. Monitor GDA.

Kolaborasi:

1. Berikan oksigen sesuai indikasi.

Resiko tinggi infeksi dan

penyebaran infeksi

Mandiri:

1. Review patologi penyakit fase

aktif/tidak aktif, penyebaran

infeksi melalui bronkus pada

jaringan sekitarnya atau aliran

darah atau sistem limfe dan

resiko infeksi melalui batuk,

bersin, meludah, tertawa.,

ciuman atau menyanyi.

2. Identifikasi orang-orang yang

beresiko terkena infeksi seperti

anggota keluarga, teman, orang

dalam satu perkumpulan.

3. Meningkatnya resistensi aliran udara

untuk mencegah kolapsnya jalan

napas.

4. Mengurangi konsumsi oksigen pada

periode respirasi.

5. Menurunnya saturasi oksigen PaO2

atau meningkatnya PaC02

menunjukkan perlunya penanganan

yang lebih. adekuat atau perubahan

terapi.

1. Membantu mengoreksi hipoksemia

yang terjadi sekunder hipoventilasi

dan penurunan permukaan alveolar

paru.

1. Membantu pasien agar mau mengerti

dan menerima terapi yang diberikan

untuk mencegah komplikasi.

2. Orang-orang yang beresiko perlu

program terapi obat untuk mencegah

penyebaran infeksi.

3. Anjurkan pasien menutup mulut

dan membuang dahak di tempat

penampungan yang tertutup jika

batuk.

4. Gunakan masker setiap

melakukan tindakan.

5. Monitor temperatur.

6. Identifikasi individu yang

berisiko tinggi untuk terinfeksi

ulang Tuberkulosis paru,

seperti: alkoholisme, malnutrisi,

operasi bypass intestinal,

menggunakan obat penekan

imun/ kortikosteroid, adanya

diabetes melitus, kanker.

7. Tekankan untuk tidak

menghentikan terapi yang

dijalani.

Kolaborasi:

1. Pemberian terapi INH,

etambutol, Rifampisin.

2. Pemberian terapi Pyrazinamid

(PZA)/Aldinamide, para-amino

salisik (PAS), sikloserin,

streptomisin.

3. Monitor sputum BTA

3. Kebiasaan ini untuk mencegah

terjadinya penularan infeksi.

4. Mengurangi risiko penyebaran infeksi.

5. Febris merupakan indikasi terjadinya

infeksi.

6. Pengetahuan tentang faktor-faktor ini

membantu pasien untuk mengubah

gaya hidup dan

menghindari/mengurangi keadaan

yang lebih buruk.

7. Periode menular dapat terjadi hanya 2-

3 hari setelah permulaan kemoterapi

jika sudah terjadi kavitas, resiko,

penyebaran infeksi dapat berlanjut

sampai 3 bulan.

1. INH adalah obat pilihan bagi penyakit

Tuberkulosis primer dikombinasikan

dengan obat-obat lainnya.

Pengobatan jangka pendek INH dan

Rifampisin selama 9 bulan dan

Etambutol untuk 2 bulan pertama.

2. Obat-obat sekunder diberikan jika

obat-obat primer sudah resisten.

3. Untuk mengawasi keefektifan obat dan

Perubahan kebutuhan nutrisi

kurang dari kebutuhan

Mandiri:

1. Catat status nutrisi paasien:

turgor kulit, timbang berat

badan, integritas mukosa mulut,

kemampuan menelan, adanya

bising usus, riwayat

mual/rnuntah atau diare.

2. Kaji pola diet pasien yang

disukai/tidak disukai.

3. Monitor intake dan output

secara periodik.

4. Catat adanya anoreksia, mual,

muntah, dan tetapkan jika ada

hubungannya dengan medikasi.

Awasi frekuensi, volume,

konsistensi Buang Air Besar

(BAB).

5. Anjurkan bedrest.

6. Lakukan perawatan mulut

sebelum dan sesudah tindakan

pernapasan.

7. Anjurkan makan sedikit dan

sering dengan makanan tinggi

protein dan karbohidrat.

Kolaborasi:

1. Rujuk ke ahli gizi untuk

menentukan komposisi diet.

efeknya serta respon pasien terhadap

terapi.

1. Berguna dalam mendefinisikan

derajat masalah dan intervensi yang

tepat.

2. Membantu intervensi kebutuhan yang

spesifik, meningkatkan intake diet

pasien.

3. Mengukur keefektifan nutrisi dan

cairan.

4. Dapat menentukan jenis diet dan

mengidentifikasi pemecahan masalah

untuk meningkatkan intake nutrisi.

5. Membantu menghemat energi khusus

saat demam terjadi peningkatan

metabolik.

6. Mengurangi rasa tidak enak dari

sputum atau obat-obat yang

digunakan yang dapat merangsang

muntah.

7. Memaksimalkan intake nutrisi dan

menurunkan iritasi gaster.

1. Memberikan bantuan dalarn

Kurang pengetahuan tentang

kondisi, pengobatan, pencegahan.

Mandiri:

1. Kaji kemampuan belajar pasien

misalnya: tingkat kecemasan,

perhatian, kelelahan, tingkat

partisipasi, lingkungan belajar,

tingkat pengetahuan, media,

orang dipercaya.

2. Identifikasi tanda-tanda yang

dapat dilaporkan pada dokter

misalnya: hemoptisis, nyeri

dada, demam, kesulitan

bernafas, kehilangan

pendengaran, vertigo.

3. Tekankan pentingnya asupan

diet Tinggi Kalori Tinggi

Protein (TKTP) dan intake

cairan yang adekuat.

4. Berikan Informasi yang spesifik

dalam bentuk tulisan misalnya:

jadwal minum obat.

5. Jelaskan penatalaksanaan obat:

dosis, frekuensi, tindakan dan

perlunya terapi dalam jangka

waktu lama. Ulangi penyuluhan

tentang interaksi obat

Tuberkulosis dengan obat lain.

6. Jelaskan tentang efek samping

obat: mulut kering, konstipasi,

gangguan penglihatan, sakit

kepala, peningkatan tekanan

perencaaan diet dengan nutrisi

adekuat unruk kebutuhan metabolik

dan diet.

1. Kemampuan belajar berkaitan

dengan keadaan emosi dan kesiapan

fisik.

2. Keberhasilan tergantung pada

kemarnpuan pasien. Indikasi

perkembangan penyakit atau efek

samping obat yang membutuhkan

evaluasi secepatnya.

3. Mencukupi kebutuhan metabolik,

mengurangi kelelahan, intake cairan

membantu mengencerkan dahak.

4. Informasi tertulis dapat membantu

mengingatkan pasien.

2. Meningkatkan partisipasi pasien

mematuhi aturan terapi dan mencegah

putus obat.

3. Mencegah keraguan terhadap

pengobatan sehingga mampu

menjalani terapi

darah

7. Anjurkan pasien untuk tidak

minurn alkohol jika sedang

terapi INH.

8. Rujuk perneriksaan mata saat

mulai dan menjalani terapi

etambutol.

9. Dorong pasien dan keluarga

untuk mengungkapkan

kecemasan. Jangan menyangkal.

10. Berikan gambaran tentang

pekerjaan yang berisiko

terhadap penyakitnya misalnya:

bekerja di pengecoran logam,

pertambangan, pengecatan.

11. Anjurkan untuk berhenti

merokok.

12. Review tentang cara penularan

Tuberkulosis dan resiko

kambuh lagi.

4. Kebiasaan minurn alkohol berkaitan

dengan terjadinya hepatitis

5. Efek samping etambutol:

menurunkan visus, kurang mampu

melihat warna hijau.

6. Menurunkan kecemasan.

Penyangkalan dapat memperburuk

mekanisme koping.

7. Debu silikon beresiko keracunan

silikon yang mengganggu fungsi

paru/bronkus.

8. Merokok tidak menstimulasi

kambuhnya Tuberkulosis; tapi

gangguan pernapasan/ bronchitis.

9. Pengetahuan yang cukup dapat

mengurangi resiko penularan/

kambuh kembali. Komplikasi

Tuberkulosis: formasi abses,

empisema, pneumotorak, fibrosis,

efusi pleura, empierna, bronkiektasis,

hernoptisis, u1serasi Gastro,

Instestinal (GD, fistula bronkopleural,

Tuberkulosis laring, dan penularan

kuman.

Kasus 2

Nn. C 26 tahun mengeluh lemas, sakit menelan, demam, dan batuk -batuk kering sejak

3 hari yang lalu. Dia tidak merokok dan tak ada riwayat penyakit kencing manis, darah

tinggi atau penyakit lainnya. Hasil pemeriksaan fisik ditemukan pharing tampak merah

dan tonsil membesar, pembesaran kelenjar getah bening pada leher, suara paru

normal, TD 110/80 mmHg, nadi 88x/menit, P 20x/menit, S 38,3°C.

Data dasar :

Nama : Nn.C

Umur : 26 tahun

Data Subyektif:

Klien mengeluh:

lemas

Sakit menelan

Demam

Batuk-batuk kering sejak 3 hari yang lalu

Data Objektif:

pharing tampak merah

Tonsil membesar

Pembesaran kelenjar getah bening pada leher,

Suara paru normal

TD 110/80 mmHg

Nadi 88x/menit

P 20x/menit

S 38,3°C

Pertanyaan yang dapat di buat adalah

1. Apa saja pengkajian lanjutan yang harus dilakukan ?

2. Apa penyebab kondisi dari kasus tersebut ?

3. Apa Diagnosa dari kasus tersebut?

4. Bagaimana rencana proses keperawatannya?

Penyelesaian Kasus:

1. Pengkajian lanjutan yang harus dilakukan adalah

Wawancara

1. Apakah ada nyeri ketika batuk atau saat menelan?

2. Makanan apa saja yang sering di konsumsi?

3. Obat-obatan apa yang sebelumnya di konsumsi?

4. Apa ada keluhan lain?

5. Aktivitas apa saja yang telah dilakukan?

6. Apakah ada sesak ketika mengeluarkan nafas atau menarik nafas?

7. Sudah berapa lama tidak dapat menggerakan ekstremitas?

8. Berapa kali makan dalam sehari?

9. Bagaimana kemampuan oral hygiene Nn. C?

10. Berapa tingkat stress yang dialami Nn.C?

11. Apakah sebelumnya pernah mengalami seperti itu?

12. Berat badan dan tinggi badan Nn. C setelah mengalmi kasus tersebut?

Pemeriksaan fisik

1. Inspeksi

Turgor kulit, lidah.

Sianosis.

Apakah ada luka?

Keringat.

Mukosa mulut

2. Palpasi

Paru-paru

Capillary refil

3. Perkusi

Paru-paru

4. Auskultasi

Bunyi nafas bronkialis, bronkovesikuler, dan vesikuler

Bising usus

2. Etiologi dan patofisiologi

Etiologi faringitis akut adalah bakteri atau virus yang ditularkan secara droplet

infection atau melalui bahan makanan / minuman / alat makan. Penyakit ini dapat sebagai

permulaan penyakit lain, misalnya : morbili, Influenza, pnemonia, parotitis , varisela,

arthritis, atau radang bersamaan dengan infeksi jalan nafas bagian atas yaitu: rinitis akut,

nasofaringitis, laryngitis akut, bronchitis akut. Kronis hiperplastik terjadi perubahan mukosa

dinding posterior faring. Tampak mukosa menebal serta hipertropi kelenjar limfe dibawahnya

dan dibelakang arkus faring posterior (lateral band). Adanya mukosa dinding posterior tidak

rata yang disebut granuler.

Manifestasi klinis faringitis akut, yaitu :

Membran mukosa sangat merah dan tonsil berwarna kemerahan.

Folikel limfoid membengkak dan di penuhi dengan eksudat dan pembesaran.

Nyeri tekan nodus limfa servikal.

Demam

Malaise

Sakit tenggorok

Serak dan batuk

Sakit kepala

3. Diagnosa Keperawatan:

a. Nyeri berhubungan dengan proses inflamasi pada tenggorokan yang

diamanifestasikan oleh klien mengeluh lemas, sakit menelan, demam, batuk-

batuk kering sejak 3 hari yang lalu.

b. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d kesulitan menelan

atau nyeri menelan diamanifestasikan oleh klien mengeluh lemas, sakit

menelan, demam, batuk-batuk kering sejak 3 hari yang lalu.

4.Intervensi keperawatan

Tujuan:

Menghilangkan nyeri

Menambah pengetahuan klien

Mempertahankan kebutuhan nutrisi

Kriteria Hasil:

Nyeri hilang

Pasien mengetahui bagaimana penanganan awal faringitis akut

Kebutuhan nutrisi terpenuhi

Diagnosa a

Intervensi rasional

Mandiri

1. Kaji ulang tingkat nyeri

2. Kaji tanda-tanda vital

3. Berikan penkes sederhana tentang

penanganan nyeri.

kolaborasi

1. Kolaborasi dalam pemberian analgetik

Mendorong pasien pasien untuk bernapas

lebih dalam untuk mencegah kegagalan

pernapasan

Perubahan frekuensi jantung atau TD

menunjukkan bahwa pasien mengalami

nyeri,khususnya bila alasan lainuntuk

perubahan tanda vital telah terlihat

Menambah pengetahuan pasien tentang

tentang faringitis

Kolaborasi

Obat ini dapat digunakan untuk menekan

batuk produktif/paroksismal atau

menurunkan mukosa berlebihan,

meningkatkan kenyamanan/istirahat

umum

Diagnosa b

Intervensi Rasional

1. Kaji tingkat intake makanan klien Memenuhi kebutuhan energi dan

2. Anjurkan klien untuk makan makanan

yang tinggi kalori dan serat.

3. Anjurkan klien makan makanan

sedikit tapi sering.

4. Anjurkan klien untuk makan makanan

yang disediakan selagi hangat.

Kolaborasi

1. Konsultasikan dengan ahli gizi

tentang makanan yang sesuai

mempertahankan sirkulasi baik untuk

perfusi jaringan, memudahkan regenerasi

jaringan/proses penyembuhan

Mencegah konstipasi

Dilatasi gaster dpat terjadi bila pemberian

makanan terlalu cepat

Agar lebih menarik selera makan

Menentukan ketepatan pemberian

makanan

5. Penatalaksanaan/intervensi

Jika di duga atau ditunjukkan adanya penyebab bakterial, pengobatan dapat mencakup

pemberian Agens antimicrobial untuk streptokukus group A, penisilin merupakan obat

pilihan. Untuk pasien alergi terhadap penisilin atau yang mempunyai organisme resisten

terhadap eritromisin digunakan sefalosporin. Antibiotik di berikan selama sedikitnya 10 hari

untuk menghilangkan streptokokus group A dari orofaring.

Diet cair atau lunak diberikan selama tahap akut penyakit, tergantung pada nafsu makan

pasien dan tingkat rasa tidak nyaman yang terjadi bersama proses menelan. Kadang

tenggorok sakit sehingga cairan tidak dapat di minum dalam jumlah yang cukup dengan

mulut. Pada kondisi yang parah, cairan diberikan secara intravena. Sebaliknya, pasien

didorong untuk memperbanyak minum sedapat yang ia lakukan dengan minimal 2 sampai 3

liter sehari.

Pembahasan Anatomis:

Hidung terdiri dari hidung bagian luar atau piramid hidung dan rongga hidung. Piramid

hidung terdiri dari:

pangkal hidung (bridge)

dorsum nasi (dorsum=punggung)

puncak hidung

ala nasi (alae=sayap)

kolumela

lubang hidung (nares anterior)

Fungsi hidung adalah untuk :

1. jalan napas

2. alat pengatur kondisi udara (mengatur suhu dan kelembaban udara)

3. penyaring udara

4. sebagai indra penghidu (penciuman)

5. untuk resonansi udara

6. membantu proses bicara

7. refleks nasal

Rongga hidung kita kaya dengan pembuluh darah. Pada rongga bagian depan,

tepatnya pada sekat yang membagi rongga hidung kita menjadi dua, terdapat anyaman

pembuluh darah yang disebut pleksus Kiesselbach. Pada rongga bagian belakang juga

terdapat banyak cabang-cabang dari pembuluh darah yang cukup besar antara lain dari arteri

sphenopalatina.

Rongga hidung mendapat aliran darah dari cabang arteri maksilaris (maksila=rahang

atas) interna yaitu arteri palatina (palatina=langit-langit) mayor dan arteri sfenopalatina.

Bagian depan hidung mendapat perdarahan dari arteri fasialis (fasial=muka). Bagian depan

septum terdapat anastomosis (gabungan) dari cabang-cabang arteri sfenopalatina, arteri

etmoid anterior, arteri labialis superior dan arteri palatina mayor yang disebut sebagai pleksus

kiesselbach (little’s area).

Jika pembuluh darah tersebut luka atau rusak, darah akan mengalir keluar melalui dua

jalan, yaitu lewat depan melalui lubang hidung, dan lewat belakang masuk ke tenggorokan.

Hemoragi dari hidung, disebut sebagai epistaksis disebabkan oleh rupturnya pembuluh

kecil yang mengalami distensi dalam membrane mukosa pada area hidung. Jarang epistaksis

berasal dari jaringan yang sangat banyak mengandung pembuluh diatas turbinat.

Tempatnya yang paling umum adalah septum anterior, dimana tiga pembuluh darah besar

memasuki rongga nasal:

1. arteri aetmoidal anterior pada bagian depan langit-langit rongga hidung (pleksus

kesselbach)

2. arteri sfenopalatin pada region posterosuperior

3. percabangan maksilaris internal (pleksus vena yang terletak dibelakang dinding lateral

dibawah turbinat inferior)

Terdapat berbagai penyebab yang berkaitan dengan epistaksis, termasuk trauma, infeksi,

obat-obatan, penyakit kardiovaskuler, diskrasiasis darah, tumor darah, humiditas rendah,

benada asing dalam hidung, dan deviasiasi septum nasal. Selain itu, menghembuskan hidung

dengan sangat kuat dan memencet hiung juga berkaitan dengan epistaksis.

Ada dua tipe pendarahan pada hidung:

a. Tipe anterior (bagian depan). Merupakan tipe yang biasa terjadi.

b. Tipe posterior (bagian belakang).

Sumber perdarahan

Sumber perdarahan berasal dari bagian anterior atau posterior rongga hidung.

Epistaksis anterior

Berasal dari pleksus Kiesselbach atau arteri etmoidalis anterior. Perdarahan biasanya

ringan, mudah diatasi dan dapat berhenti sendiri. Pada saat pemeriksaan dengan lampu

kepala, periksalah pleksus Kiesselbach yang berada di septum bagian anterior yang

merupakan area terpenting pada epistaksis. la merupakan anastomosis cabang a.etmoidalis

anterior, a.sfenopaltina, a. palatina asendens dan a.labialis superior. Terutama pada anak

pleksus ini di dalam mukosa terletak lebih superfisial, mudah pecan dan menjadi penyebab

hampir semua epistaksis pada anak.

Epistaksis posterior

Umumnya berat sehingga sumber perdarahan seringkali sulit dicari. Umumnya berasal

dari a.sfenopalatina dan a.etmoidalis posterior. Sebagian besar darah mengalir ke rongga

mulut dan memerlukan pemasangan tampon posterior untuk mengatasi perdarahan. Sering

terjadi pada penderita usia lanjut dengan hipertensi.

Epistaksis atau perdarahan hidung seringkali dapat menjadi berat, berubah menjadi kasus

gawat darurat dan memerlukan tindakan segera.

1. Epistaksis ringan

Biasanya berasal dari bagian anterior hidung, umumnya mudah diatasi dan dapat berhenti

sendiri.

2. Epistaksis berat

Berasal dari bagian posterior hidung yang dapat menimbulkan syok dan anemia serta

dapat menyebabkan terjadinya iskemia serebri, insufisiensi koroner dan infark miokard yang

kalau tidak cepat ditolong dapat berakhir dengan kematian. Pemberian infus dan transfusi

darah serta pemasangan tampon atau tindakan lainnya harus cepat dilakukan. Disamping itu

epistaksis juga dapat merupakan tanda adanya pertumbuhan suatu tumor baik ganas maupun

jinak. Ini juga memerlukan penatalaksanaan yang rinci dan terarah untuk menegakkan

diagnosis dan menentukan modalitas pengobatan yang terbaik.

Komplikasi yang dapat timbul :

sinusitis

septal hematom (bekuan darah pada sekat hidung)

deformitas (kelainan bentuk) hidung

aspirasi (masuknya cairan ke saluran napas bawah)

kerusakan jaringan hidung

infeksi

Kasus 3

Tn. G datang ke klinik anda dengan keluhan hidungnya tiba-tiba mengeluarkan darah

dan tidak bisa bernenti sejak satu jam lalu. Dia tidak mempunyai riwayat penyakit lain

kronis, tidak ada demam, dan tidak ada batuk.

Data dasar:

Nama: Tn. G

Data Subyektif :

Klien mengeluh:

- hidungnya tiba-tiba mengeluarkan darah

- darah yang keluar tidak bisa berhenti sejak satu jam yang lalu

- tidak mempunyai riwayat penyakit kronis

- tidak ada demam

- tidak ada batuk

Pertanyaan yang dapat di buat adalah

1. Apa saja pengkajian lanjutan yang harus dilakukan ?

2. Apa penyebab kondisi dari kasus tersebut ?

3. Apa Diagnosa dari kasus tersebut?

4. Bagaimana rencana proses keperawatannya?

Penyelesaian Kasus:

1. Pengkajian lanjutan yang harus dilakukan adalah

Wawancara

1. Apakah ada nyeri ketika mengeluarkan darah?

2. Makanan apa saja yang sering di konsumsi?

3. Obat-obatan apa yang sebelumnya di konsumsi?

4. Apa ada keluhan lain?

5. Aktivitas apa saja yang telah dilakukan?

6. Apakah ada sesak ketika mengeluarkan nafas atau menarik nafas?

10. Berapa tingkat stress yang dialami Tn.G?

11. Apakah sebelumnya pernah mengalami seperti itu?

12. kira-kira berapa gelas darah yang sudah dikeluarkan?

13. Apakah satu sisi yang sama atau keduanya?

14. Apakah ada trauma, infeksi sinus, operas hidung atau sinus?

15. Apakah ada hipertensi?

16. apakah perdarahan ini baru perlama kali atau sebelumnya sudah pernah?

17. kapan terakhir terjadinya?

Pemeriksaan fisik

1. Inspeksi

• Turgor kulit, lubang hidung, lidah.

• Sianosis.

• Apakah ada luka?

• Keringat.

• Mukosa mulut

2. Palpasi

• Paru-paru

• Capillary refil

3. Perkusi

• Paru-paru

4. Auskultasi

• Bunyi nafas bronkialis, bronkovesikuler, dan vesikuler

• Bising usus

2. Etiologi

Beberapa penyebab epistaksis dapat digolongkan menjadi etiologi lokal dan sistemik.

Etiologi lokal

1. Trauma lokal misalnya setelah membuang ingus dengan keras, mengorek hidung, fraktur

hidung atau trauma maksilofasia lainnya.

2. Tumor, baik tumor hidung maupun sinus yang jinak dan yang ganas. Tersering adalah

tumor pembuluh darah seperti angiofibroma dengan ciri perdarahan yang hebat dan

karsinoma nasofaring dengan ciri perdarahan berulang ringan bercampur lendir atau

ingus.

3. Idiopatik yang merupakan 85% kasus epistaksis, biasanya ringan dan berulang pada anak

dan remaja.

Ketiga diatas ini merupakan penyebab lokal tersering.

Etiologi lainnya yaitu

• iritasi gas atau zat kimia yang merangsang ataupun udara panas pada mukosa hidung;

• Keadaan lingkungan yang sangat dingin

• Tinggal di daerah yang tinggi atau perubahan tekanan atmosfir yang tiba tiba

• latrogenik akibat operasi

• Pemakaian semprot hidung steroid jangka lama

• Benda asing atau rinolit dengan keluhan epistaksi ringan unilateral disertai ingus berbau

busuk.

Etiologi sistemik

1. Hipertensi dan penyakit kardiovaskuler lainnya seperti arteriosklerosis. Hipertensi yan

disertai atau anpa arteriosklerosis rnerupakan penyebab epistaksis tersering pada usia 60-

70 lahun, perdarahan biasanya hebat berulang dan mempunyai prognosis

ang kurang baik

2. Kelainan perdarahan misalnya leukemia, hemofilia, trombositopenia dll.

3. Infeksi, misalnya demam berdarah disertai trornbositopenia, morbili, demam tifoid dll.

Termasuk etiologi sistemik lain

a. Lebih jarang terjadi adalah gangguan keseimbangan hormon misalnya pada kehamilan,

menarke dan menopause

b. kelainan kongenital misalnya hereditary hemorrhagic Telangieclasis atau penyakit Rendj-

Osler-Weber

c. Peninggian tekanan vena seperti pada ernfisema, bronkitis, pertusis, pneumonia, tumor

leher dan penyakit jantung

d. pada pasien dengan pengobatan antikoagulasi.

3. Diagnosa Keperawatan

a. Risiko infeksi berhubungan dengan perdarahan yang dimanifestasikan oleh klien

mengeluh hidungnya tiba-tiba mengeluarkan darah, darah yang keluar tidak bisa

berhenti sejak satu jam yang lalu, tidak mempunyai riwayat penyakit kronis, tidak ada

demam, tidak ada batuk

b. Bersihan Jalan Nafas tidak efektif berhubungan dengan perdarahan yang

dimanifestasikan oleh klien mengeluh hidungnya tiba-tiba mengeluarkan darah, darah

yang keluar tidak bisa berhenti sejak satu jam yang lalu

3. Cemas berhubungan dengan perdarahan hidung yang dimanifestasikan oleh klien

mengeluh hidungnya tiba-tiba mengeluarkan darah, darah yang keluar tidak bisa

berhenti sejak satu jam yang lalu

4. Penatalaksanaan/intervensi

Prinsip dari penatalaksanaan epistaksis yang pertama adalah menjaga ABC

A : airway : pastikan jalan napas tidak tersumbat/bebas, posisikan duduk menunduk

B : breathing: pastikan proses bernapas dapat berlangsung, batukkan atau keluarkan

darah yang mengalir ke belakang tenggorokan

C : circulation : pastikan proses perdarahan tidak mengganggu sirkulasi darah tubuh,

pastikan pasang jalur infus intravena (infus) apabila terdapat gangguan sirkulasi

Intervensi untuk epistaksis

1. posisikan pasien dengan duduk menunduk untuk mencegah darah menumpuk di daerah

faring posterior sehingga mencegah penyumbatan jalan napas

2. hentikan perdarahan

tekan pada bagian depan hidung selama 10 menit

tekan hidung antara ibu jari dan jari telunjuk

3. jika perdarahan berhenti tetap tenang dan coba cari tahu apa faktor pencetus epistaksis

dan hindari

4. jika perdarahan berlanjut :

dapat akibat penekanan yang kurang kuat

bawa ke fasilitas yang lengkap dimana dapat diidentifikasi lokasi perdarahan

dapat diberikan vasokonstriktor (adrenalin 1:10.000, oxymetazolin-semprot hidung)

ke daerah perdarahan

apabila masih belum teratasi dapat dilakukan kauterisasi elektrik/kimia (perak nitrat)

atau pemasangan tampon hidung

Pemasangan tampon hidung anterior dilakukan dapat menggunakan kapas yang

ditetesi oleh obat-obatan vasokonstriktor (adrenalin), anastesia (lidocain atau pantocain 2%)

dan salap antibiotik/vaselin atau menggunakan kassa yang ditetesi dengan obat

vasokonstriktor dan anastesia dan salap antibiotik/vaselin.

Apabila terdapat keadaan dimana terjadi tempat perdarahan yang multipel,

perembesan darah yang luas/difus maka diperlukan pemeriksaan profil darah tepi lengkap,

protrombin time (PT), activated partial thromboplastin time (aPTT), golongan darah dan

crossmatching.

Kasus 4

Tn. H 62 tahun mengeluh sangat sesak , batuk produktif , sputum sangat

banyak, terutama terjadi pada pagi hari , sedikit aja bergerak sangat sesak. Dia tidak

mampu beraktifitas sehari-hari, tak nafsu makan, riwayat perokok barat, BB menurun

10 Kg dalam waktu sebulan. Hasil pemeriksaan fisik ditemukan TD 100/70 mmHg, N

125 x/menit, P 28 x/menit dalam dan kesulitan saat ekspirasi , suhu normal, dyspenia,

bibir pucat kebiru-biruan, cuping hidung +, pernafasan ”purse lips”, menggunakan

ototbantu pernafasan maksimal, diameter anterionposterior dada meningkat. Hasil

spirometri resteiktif dengan FEV menurun, rongten torax normal. AGD PH 7.18,

PaCO2 56 mmHg, PaO2 99 mmHg, HCO3 24 mEq/L.

Pertanyaan yang dibuat dari kasus adalah :

7. Pengkajian lanjutan dari kasus diatas adalah?

8. Faktor-faktor apa saja yang dapat menyebabkan kasus tersebut?

9. Apa penyakit yang diderita Tn. H ?

10. Apa diagnosa keperawatan dari kasus diatas?

11. Bagaimana intervensi keperawatannya?

Penyelesaian kasus:

Data focus:

Nama : Tn. H

Usia : 62 tahun

Ds : Pasien mengatakan Ia mengeluh sesak nafas

Batu produktif

Sputum sangat banyak

Sedikit bergerak sangat sesak

Tidak mampu beraktifitas sehari-hari

Tidak nafsu makan

Riwayat perokok barat

BB menurun 10 Kg dalam satu bulan

Do : TD 170

N 125 x/menit

P 28 x/menit

Suhu normal

Dyspenea

Bibir pucat kebiruan (sianosis)

Cuping hidung +

Pernafasan “purse lips”

Menggunakan otot bantu pernafasan maksimal

Diameter anterior posterior dada meningkat

Hasil spiromatri restriktif dangan FEV menurun

Rongen torak normal

AGD : PH 7,18 , PaCO2 56 mmHg, PaO2 99 mmHg , HcO3 24 mEg/L

1. Pengkajian lanjutan yang harus dilakukan adalah

Wawancara :

13. Sudah berapa lama mengalami sesak nafas ?

14. Apakah ada nyeri selain sesak nafas ?

15. Makanan yang di konsumsi sebelumnya ?

16. Obat-obatan apa yang di konsumsi sebelunya ?

17. Sputum yang dikeluarkan berwarna apa?

18. Berapa banyak sputum yang dikeluarkan?

19. Sudah berapa lama merokok?

20. Berapa banyak rokok yang dikonsumsi setiap hari?

21. Sudah berapa lama tidak dapat beraktivitas ?

22. Apakah sebelumnya pernah mengalami seperti ini ?

23. Pengobatan yang pernah dilakukan ?

Identitas klien :

1. Riwayat kesehatan yang lalu:

o Kaji riwayat pribadi atau keluarga tentang penyakit paru sebelumnya.

o Kaji riwayat reaksi alergi atau sensitifitas terhadap zat/ faktor lingkungan.

o Kaji riwayat pekerjaan pasien.

2. Aktivitas

o Ketidakmampuan melakukan aktivitas karena sulit bernapas.

o Adanya penurunan kemampuan/peningkatan kebutuhan bantuan melakukan

aktivitas sehari-hari.

3. Pernapasan

4. o Dipsnea pada saat istirahat atau respon terhadap aktivitas atau latihan.

o Napas memburuk ketika pasien berbaring terlentang ditempat tidur.

o Menggunakan obat bantu pernapasan, misalnya: meninggikan bahu, melebarkan

hidung.

o Adanya bunyi napas mengi.

5. Sirkulasi

o Adanya peningkatan tekanan darah.

o Adanya peningkatan frekuensi jantung.

o Warna kulit atau membran mukosa normal/ abu-abu/ sianosis.

6. Asupan nutrisi

o Ketidakmampuan untuk makan karena distress pernapasan.

o Penurunan berat badan.

7. Hubungan sosial

o Keterbatasan mobilitas fisik.

o Susah bicara atau bicara terbata-bata.

Pengkajian fisik :

Inspeksi

1) Postur tubuh

2) Diameter anterior posterior lebih besar dari diameter transversal

3) Keabnormalan struktur Thorax

4) Contour dada simetris

5) Kulit Thorax ; Hangat, kering, pucat atau tidak, distribusi warna merata

6) RR dan ritme selama satu menit.

Palpasi

1) Temperatur kulit

2) Premitus : fibrasi dada

3) Pengembangan dada

4) Massa

5) Edema

Auskultasi

1) Vesikuler

2) Broncho vesikuler

3) Hyper ventilasi

4) Rochi

5) Wheezing

6) Lokasi dan perubahan suara napas serta kapan saat terjadinya.

Pemeriksaan Penunjang :

1. Pemeriksaan laboratorium.

o Pemeriksaan sputum

o Pemeriksaan darah.

2. Pemeriksaan Radiologi

3. Pemeriksaan tes kulit

4. Elektrokardiografi

5. Scanning Paru

6. Spirometri

2. Faktor-faktor apa saja yang dapat menyebabkan kasus tersebut (asma

bronkhial)?

Ada beberapa hal yang merupakan faktor predisposisi dan presipitasi

timbulnya serangan asthma bronkhial.

1. Faktor predisposisi

Genetik

2. Faktof Presipitasi

Alergen

Dimana alergen dapat dibagi menjadi 3 jenis, yaitu :

1. Inhalan, yang masuk melalui saluran pernapasan.

Seperti : debu, bulu binatang, serbuk bunga, spora jamur, bakteri dan polusi.

2. Ingestan, yang masuk melalui mulut.

Seperti : makanan dan obat-obatan.

3. Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit.

seperti : perhiasan, logam dan jam tangan.

o Perubahan cuaca.

o Stress.

o Olah raga/ aktifitas jasmani yang berat.

Adapun faktor-faktor yang menyebabkan Tn. H terkena asma bronkhial yaitu karena

ia alergi kontakan yaitu kontak dengan cuaca pagi hari , sehingga setip pagi merasa sesak dan

batuk produktif ,adapun ia seorang perokok berat mengakibatkan ia merasa sesak . dari hasil

analisa gas darah Tn.H mengalami asidosis repiratorik karena keasaman darah yang

berlebihan karena penumpukan karbondioksida dalam darah sebagai akibat dari fungsi paru-

paru yang buruk atau pernafasan yang lambat.

3. Apa penyakit yang diderita Tn. H ?

Pada kasus diatas Tn. H mengalami penyakit ASMA bronkial. Pada penderita asma,

terjadi penyempitan saluran pernafasan merupakan respon terhadap rangsangan yang pada

paru-paru normal tidak akan mempengaruhi saluran pernafasan. Penyempitan ini dapat dipicu

oleh berbagai rangsangan, seperti serbuk sari, debu, bulu binatang, asap, udara dingin dan

olahraga.

Pada suatu serangan asma, otot polos dari bronki mengalami kejang dan jaringan yang

melapisi saluran udara mengalami pembengkakan karena adanya peradangan dan pelepasan

lendir ke dalam saluran udara. Hal ini akan memperkecil diameter dari saluran udara (disebut

bronkokonstriksi) dan penyempitan ini menyebabkan penderita harus berusaha sekuat tenaga

supaya dapat bernafas.

Penyempitan saluran nafas ini bisa terjadi secara bertahap, perlahan-lahan, dan

bahkan menetap walaupun dengan pengobatan, tetapi dapat pula terjadi mendadak sehingga

menimbulkan sesak nafas yang akut.

Klasifikasi

Secara etiologis, asma bronkial dibagi dalam 3 tipe :

Asma Bronkial Tipe Non Atopi (Intrinsik)

Pada golongan ini, keluhan tidak ada hubungannya dengan paparan (exposure) terhadap

allergen dan sifat-sifatnya adalah :

Serangan timbul setelah dewasa

Keluarga tidak ada yang menderita asma

Penyakit infeksi sering menimbulkan serangan

Ada hubungan dengan pekerjaan atau beban fisik

Rangsangan psikis juga berperan untuk menimbulkan serangan

Bisa juga dicetuskan oleh perubahan cuaca atau lingkungan yang non spesifik

Asma Bronkial Tipe Atopi (Ekstrinsik)

Pada golongan ini, keluhan ada hubungannya dengan paparan terhadap allergen

lingkungan yang spesifik. Kepekaan ini biasanya dapat ditimbulkan dengan uji kulit atau

provokasi bronkus. Pada tipe ini mempunyai sifat-sifat :

Timbul sejak kanak-kanak

Pada keluarga, ada yang menderita asma

Adanya eksim pada waktu bayi

Sering menderita rhinitis (peradangan pada mukosa hidung)

Bisa disebabkan house dust mite atau tepung sari bunga rumput (USA, Inggris)

Asma Bronkial Campuran (Mixed)

Pada golongan ini, keluhan diperberat baik oleh factor-faktor intrinsik maupun

eksterinsik.

Patofisiologi

Obstruksi saluran nafas pada asma merupakan kombinasi spasme otot bronkus,

penyumbatan oleh mucus, oedema mukosa bronkus, dan inflamasi dinding bronkus.

Obstruksi bertambah berat selam ekspirasi, karena secara fisiologis saluran nafas menyempit

pada fase tersebut. Hal ini mengakibatkan udara distal tempat terjadinya obstruksi terjebak

dan tidak dapat diekspirasi, sehingga pasien akan bernafas pada volume yang tinggi. Keadaan

hiperinflasi ini bertujuan agar saluran nafas tetap terbuka dan pertukaran gas berjalan lancer.

Untuk mempertahankan keadaan hiperinflasi ini, diperlukan kerja otot-otot Bantu pernafasan.

Akibat adanya penyempitan saluran nafas, tekanan partial oksigen di alveoli menurun,

dengan demikian oksigen pada peredaran darah ikut menurun dan terjadi hipoksemia.

Sebaliknya CO2 mengalami retensi pada alveoli, sehingga kadar CO2 dalam peredaran darah

meningkat (hiperkapnea) yang memberikan rangsangan pada pusat pernafasan sehingga

terjadi hiperventilasi. Hiperventilasi yang berlangsung lama akan mengakibatkan terjadi

pengeluaran CO2 yang berlebihan, sehingga Pa CO2 menurun, yang kemudian menimbulkan

alkalosis respiratorik.

Pada serangan asma yang lebih berat lagi, banyak saluran nafas dan alveolus yang

tertutup oleh mucus, sehingga tidak memungkinkan lagi terjadinya pertukaran gas. Hal ini

menyebabkan hipoksemia dan kerja otot-otot pernafasan bertambah berat serta terjadi

peningkatan produksi CO2. Peningkatan produksi CO2 yang disertai dengan penurunan

ventilasi alveolar menyebabkan retansi CO2 dan terjadi asidosis respiratorik atau gagal nafas.

Hipoksemia yang berlangsung lama juga menyebabkan asidosis metabolik dan konstriksi

pembuluh darah paru dengan akibat memperburuk hiperkapnea.

Dengan demikian, penyempitan saluran nafas pada asma akan menimbulkan hal-hal

sbb :

- Gangguan ventilasi (hipoventilasi)

- Ketidakseimbangan ventilasi perfusi

- Gangguan difusi gas di tingkat alveoli

Ketiga faktor tersebut akan mengakibatkan :

- Hipoksemia

- Hiperkapnea

- Asidosis respiratorik ( tahap lanjut)

Asidosis respiratorik dapat juga terjadi bila penyakit-penyakit dari saraf atau otot dada

menyebabkan gangguan terhadap mekanisme pernafasan. Selain itu, seseorang dapat

mengalami asidosis respiratorik akibat narkotika dan obat tidur yang kuat, yang menekan

pernafasan

4. Apa diagnosa keperawatan dari kasus diatas?

1. Tidak efektifnya bersihan jalan nafas berhubungan dengan penumpukan sputum yang

dimanifestasikan dengan klien mengatakan Ia mengeluh sesak nafas, batuk produktif,

sputum sangat banyak, sedikit bergerak sangat sesak, tidak mampu beraktifitas sehari-

hari tidak nafsu makan , riwayat perokok barat, BB menurun 10 Kg dalam satu bulan.

2. Tidak efektifnya pola nafas berhubungan dengan kesuliatan saat ekspirasi yang

dimanifestasikan dengan klien mengatakan Ia mengeluh sesak nafas, batuk produktif,

sputum sangat banyak, sedikit bergerak sangat sesak, tidak mampu beraktifitas sehari-

hari tidak nafsu makan , riwayat perokok barat, BB menurun 10 Kg dalam satu bulan.

3. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan dispenea yang

dimanifestasikan dengan klien mengatakan Ia mengeluh sesak nafas, batuk produktif,

sputum sangat banyak, sedikit bergerak sangat sesak, tidak mampu beraktifitas sehari-

hari tidak nafsu makan , riwayat perokok barat, BB menurun 10 Kg dalam satu bulan.

5. Bagaimana intervensi keperawatannya?

Intervensi keperawatan No.1

Tujuan : Jalan nafas kembali efektif.

Kriteria Hasil :

• Sesak berkurang

• Batuk berkurang

• Klien dapat mengeluarkan sputum

• TTV dalam batas normal keadaan umum baik.

Intervensi Rasional

Mandiri

Auskultasi bunyi nafas, catat adanya

bunyi nafas, misalnya : mengi,

erekeis, ronkhi.

Kaji / pantau frekuensi pernafasan

catat rasio inspirasi dan ekspirasi.

Kaji pasien untuk posisi yang aman,

misalnya : peninggian kepala tidak

Beberapa derajat spasme bronkus

terjadi dengan obstruksi jalan nafas.

Bunyi nafas redup dengan ekspirasi

mengi (empysema), tak ada fungsi

nafas (asma berat).

Takipnea biasanya ada pada beberapa

derajat dan dpat ditemukan pada

penerimaan selama strest/adanya

proses infeksi akut. Pernafasan dapat

melambat dan frekuensi ekspirasi

memanjang dibanding inspirasi.

Peninggian kepala tidak

mempermudah fungsi pernafasan

dengan menggunakan gravitasi.

duduk pada sandaran.

Observasi karakteristik batuk,

menetap, batuk pendek, basah. Bantu

tindakan untuk keefektipan

memperbaiki upaya batuk.

Berikan air hangat.

Kolaborasi

Kolaborasi obat sesuai indikasi.

Bronkodilator spiriva 1×1 (inhalasi)

batuk dapat menetap tetapi tidak

efektif, khususnya pada klien lansia,

sakit akut/kelemahan.

penggunaan cairan hangat dapat

menurunkan spasme bronkus.

Membebaskan spasme jalan nafas,

mengi dan produksi mukosa.

Intervensi keperawatan No.2

Tujuan : Pola nafas kembali efektif.

Kriteria Hasil :

• Pola nafas efektif

• Bunyi nafas normal atau bersih

• TTV dalam batas normal

• Batuk berkurang

Intervensi Rasional

Mandiri

Kaji frekuensi kedalaman pernafasan

dan ekspansi dada. Catat upaya

pernafasan termasuk penggunaan otot

bantu pernafasan / pelebaran nasal.

Auskultasi bunyi nafas dan catat

adanya bunyi nafas seperti crekels,

mengi.

Tinggikan kepala dan bantu

mengubah posisi.

Observasi pola batuk dan karakter

sekret.

Kecepatan biasanya mencapai

kedalaman pernafasan bervariasi

tergantung derajat gagal nafas.

Expansi dada terbatas yang

berhubungan dengan atelektasis

dan atau nyeri dada.

ronki dan mengi menyertai

obstruksi jalan nafas / kegagalan

pernafasan.

Duduk tinggi memungkinkan

ekspansi paru dan memudahkan

pernafasan.

Kongestialveolar mengakibatkan

batuk sering/iritasi.

Kolaborasi

oBerikan oksigen tambahan.

o Berikan humidifikasi tambahan

misalnya : nebulizer.

Memaksimalkan bernafas dan

menurunkan kerja nafas,

memberikan kelembaban pada

membran mukosa dan membantu

pengenceran sekret.

Intervensi keperawatan No.3

Tujuan : Kebutuhan nutrisi dapat terpenuhi.

Kriteria Hasil :

• Keadaan umum baik

• Nafsu makan baik

• Tekstur kulit baik

• Klien menghabiskan porsi makan yang disediakan

• Berat badan dalam batas normal.

Intervensi Rasional

Mandiri

Kaji status nutrisi klien (tekstur

kulit, rambut, konjungtiva).

Jelaskan pada klien tentang

pentingnya nutrisi bagi tubuh.

Menentukan dan membantu dalam

intervensi lanjutnya

Petikan pengetahuan klien dapat

menaikan partisi bagi klien dalam

asuhan keperawatan

Timbang berat badan dan tinggi

badan.

Anjurkan klien minum air hangat

saat makan.

Anjurkan klien makan sedikit-

sedikit tapi sering.

Kolaborasi

Consul dengan tim gizi/tim

mendukung nutrisi.

Berikan obat sesuai indikasi.

Vitamin B squrb 2×1.

Antiemetik rantis 2×1

Penurunan berat badan yang

signipikan merupakan indikator

kurangnya nutrisi

Air hangat dapat mengurangi

mual.

memenuhi kebutuhan nutrisi klien.

Menentukan kalori individu dan

kebutuhan nutrisi dalam

pembatasan.

Defisiensi vitamin dapat terjadi

bila protein dibatasi.

untuk menghilangkan mual /

muntah.

Kasus 5 (Respirasi)

Ny. S batuk produktif , warna sputum hijau, demam, menggigil, nyeri dada saat

menarik nafas sejak seminggu yang lalu dan sudah minum obat batuk konimex tetapi

tidak sembuh-sembuh. Leukosit 17.000 mEq/L, thorax foto terdapat bercak infiltrate,

kultur sputum Streptococcus. Hasil pemeriksaan fisik ronchi +/-, TD normal, Nadi

100X/menit, Pernafasan 22x/menit, cuping hidung positif.

Penyelesaian Kasus:

Data subjektif:

batuk produktif

warna sputum hijau

demam

menggigil

nyeri dada saat bernafas sejak seminggu yang lalu

sudah minum konimex tetapi tidak sembuh

Data objektif:

leukosit 17.000 mEq/L

Torak foto terdapat bercak infiltrat

Kultur sputum streptococcus

Ronchi +/-

Tekanan darah normal

Nadi 100x per menit

Pernafasan 22 kali permenit

Cuping hidung +

Pengkajian

1. Anamnesa

1) Sejak kapan batuk dan demamnya?

2) Berapa skala nyeri dada saat menarik nafas dan terletak dibadian dada

sebelah mana?

3) Kapan batuk produktifnya terjadi?

4) Apakah pernah mengalmi gejala seperti ini sebelumnya?

5) Dengan siapa Ny. S tinggal?

6) Apakah di keluarga ny.S juga ada yang mengalami gejala seperti ini?

7) Apakah Ny.S memiliki alergi terhadap obat-obat tertentu?

8) Apakah memiliki kebiasaan merokok?

9) Bagaimana kondisi atau keadaan lingkungan kerja Ny.S ?

10) Bagaimana riwayat kesehatan Ny. S sebelumnya?

2. Pemeriksaan fisik

1. Inspeksi

lnspeksi cuping hidung, toraks, adanya penggunaan otot-otot bantu pernafasan

lainnya serta diameter anterior posterior.

2. palpasi

ekskursi pernafasan adalah suatu perkiraan ekspansi toraks dan dapat

menunjukan informasi signifikan tentang gerakan toraks selama pernafasan.

3. Perkusi

Perkusi bagian toraks

4. Auskultasi

Bunyi nafas

3. Pemeriksaan Diagnostik (penunjang)

1. Analisa Gas Darah (AGD)

2. Jumlah leukosit dan bilirubin

3. Rontgen rongga dada

Pembahasan pengkajian

Adanya demam pada setiap pasien yang harus dirawat harus mewaspadakan perawat

terhadap kemungkinan pneumonia bakterialis. Pengkajian pernafasan lebih jauh

mengidentifikasi manifestasi klinik pneumonia; nyeri, takipnea; penggunaan otot-otot

aksesori pernafasan untuk bernafas; nadi cepat, bounding atau bradikardia relative; batuk; dan

sputum purulen. Keparahan, letak, dan penyebab nyeri dada harus diidentifikasi juga hal apa

yang dapat menghilangkannya. Segala perubahan dalam suhu dan nadi, jumlah, bau, dan

warna sekresi, frekuensi dan keparahan batuk, dan tingkat takipnea atau sesak nafas juga di

pantau. Konsolidasi pada paru-paru dikaji dengan mengevaluasi bunyi nafas (Pernafasan

bronchial, ronkibronkovesikuler, atau krekles), fremitus, egofoni, pektoriloquy berbisik, dan

hasil perkusi (pekak pada bagian dada yang sakit. Pasien lansia dikaji terhadap perilaku yang

tidak biasa, perubahan status mental, prostrasi, dan gagal jantung kongestif. Mungkin tampak

gelisah, delirium, terutama pada pasien dengan pecandu alkohol.

Etiologi dan patofisiologi

Batuk dapat menunjukan penyakit pulmonal yang serius. Yang juga sama pentingnya

adalah tipe batuk. Batuk yang kering, iritatif menandakan inkfeksi saluran nafas atas dengan

asal virus. Laringotrakeitis menyebabkan batuk dengan puncak bunyi tinggi dan iritatif. Lesi

trakeal menghasilkan bunyi brassy. Batuk berat atau changing dapat menandakan karsinoma

bronkogenik. Nyeri dada pleuritik yang menyertai batuk dapat menandakan adanay

keterlibatan pleural atau dinding dada (musculoskeletal). Karakter batuk dievaluasi. Apakah

batuk kering? Hacking? Brassy? Mengi? Ringan? Berat? Waktu batuk juga dicatat. Batuk

ketika malam hari dapat menunjukan awitan gagal jantung sebelah kiri atau asma bronchial.

Batuk pada pagi hari dengan pembentukan sputum merupakan indikatif bronchitis. Batuk

yang memburuk ketika pasien berbaring dapat menandakan drip pasca nasal (sinusitis). Batuk

setelah makan makanan dapat menandakan aspirasi bahan makanan masuk kedalam pohon

trakeobronkial. Batuk dengan awitan terakhir biasanya berasal dari proses infeksi akut.

Pembentukan Sputum

Pasien yang batuk cukup lama hamper selalu membentuk sputum. Batuk yang sangat

hebat menyebabkan spasme bronchial, obstruksi, dan lebih jauh mengiritasi bronki dan dapat

mengakibatkan sinkop (pingsan). Batuk hebat, berulang, atau tidak terkontrol yang tiddak

produkltif akan sangat melelahkan dan berpotensi membahayakan. Pembentukan sputum

adalah reaksi paru-paru terhadap setiap iritan yang kambuh secara konstan. Batuk tersebut

juga dapat berkaitan dengan rabas nasal.

Jumlah sputum purulen yang sangat banyak (kental dan kuning atau hijau) atau

perubahan warna sputum kemungkinan menandakan infeksi bakteri.

Tindakan pereda

Jika sputum terlalu kental untuk dapat dikeluarkan, sebaiknya mengurangi

viskositasnya dengan menigkatkan kandungan airnya melalui hidrasi yang adekuat (minum

air) dan inhalasi larutan yang mengandung aerosol, yang mungkin diberikan dengan satu

jenis nebulizer.

Nafsu makan pasien mungkin menurun karena bau sputum dan rasanya yang

tertinggal dalam mulut. Hygiene oral yang ade kuat, lingkungan yang bersih dan pemilihan

makanan dengan cermat akan merangsang nafsu makan. Setelah mulut pasien dibersihkan

dan dibilas dengan cermat, cangkir sputum dan basin emesis disingkirkan sebelum makanan

berikutnya datang. Menyajikan jus jeruk nipis pada awala waktu makan akan membuat mulut

terasa lebih enak dan membantu pasien menjadi lebih berselera saat makan.

Nyeri dada

Nyeri dada atau rasa tidak nyaman mungkin berkaitan dengan penyakit pulmonari

atau jantung. Nyeri dada yang berkaitan dengan kondisi pulmonary mungkin terasa tajam,

menusuk, dan intermitten atau mungkin pekak, sakit dan persisten. Nyeri biasanya terjadi

pada tempat dimana proses patologi terjadi, tetapi mungkin dapat beralih kesembarang

tempat, misalnya leher, punggung, atau abdomen.

Nyeri dada dialami oleh banyak pasien dengan pneumonia, embolisme pulmonal

dengan infark paru, dan pleurisy serta merupakan gejala lanjutan karsinoma bronkogenik.

Pada karsinoma, nyeri mungkin pekak dan persisten karena kanker telah menyerang dinding

dada, mediastinum, atau tulang belakang.

Penyakit paru tidak selalu menyebabkan nyeri dada karena paru-paru dan pleura

viseralis tidak mengandung saraf sensori dan tidak sensitive terhadap rangsang nyeri. Tetapi

pleura parietalis mempunyai sangat banyak saraf sensori yang terstimulasi oleh inflamasi dan

regangan membran. Nyeri pleuritik akibat iritasi pleura parietalis terasa tajam dan tampak

seperti “catch” pada inspirasi; nyeri ini sering digambarkan oleh pasien sebagai “seperti

tusukan pisau”. Pasien menjadi lebih nyaman jika mereka berbaring pada sisi yang sakit,

yaitu postur yang cenderung untuk membelat dinding dada dan mengurangi friksi antara

antara pleura yang cedera atau sakit pada posisi tersebut. Nyeri yang berkaitan dengan batuk

mungkin dapat dikurangi dengan pembebatan manual sangkar iga.

Kualitas, intensitas dan penjalaran nyeri dikaji dan faktor-faktor pencetusnya

diidentifikasi dan digali. Apakah terdapat hubungan antara nyeri dan postur pasien harus

ditentukan. Demikian pula fase-fase inspirasi dan ekspirasi serta efeknya terhadap nyeri harus

dievaluasi.

Tindakan peredaan. Medikasi analgesic sangat efektif dalam meredakan nyeri dada,

tetapi harus hati-hati agar tidak menekan pusat pernafasan atau batuk produktif. Blok

analgesic regional dilakukkan pada waktunya untuk meredakan nyeri yang sangat hebat.

Preparat anastetik local disuntikan sepanjang saraf interkostal yang mempersarafi area yang

nyeri.

Bunyi nafas tambahan

Bunyi nafas tambahan ini merupakan suara getaran (vibrasi) dari jaringan paru yang

sakit. Pada paru sehat suara tambahan ini tidak ditemukan. Bentuk suara nafas tambahan

tersebut adalah:

1. Ronki kering adalah bunyi yang terputus, terjadi oleh getaran dalam lumen saluran

nafas akibat penyempitan. Kelainan ini terdapat pada mukosa atau adanya secret yang

kental atau lengket. Terdengar lebih jelas pada ekspirasi wqalaupun pada inspirasi

sering terdengar. Dapat didengar pada semua bagian bronkus, makin kecil diameter

lumen, makin tinggi dan makin keras nadanya. Wheezing adalah ronki kering yang

tinggi nadanya dan panjang yang biasa terdengar pada serangan asma.

2. Ronki basah (rales) adalah suara yang berisik dan terputus akibat aliran udara yang

melewati cairan. Cairan ronki basah halus, sedang atau kasar tergantung besarnya

bronkus yang terkena dan umumnya terdengar pada inspirasi. Ronki basah halus

biasanya terdapat pada bronkiale, sedangkan yang lebih halus lagi berasal dari alveoli

yang sering disebut dengan krepitasi, akibat terbukanya alveoli pada akhir inspirasi.

Krepitasi terutama terjadi pada keadaan-keadaan seperti fibrosis paru, emfisema dan

pada orang lanjut usia (geriatric). Sifat ronki basah ini dapat nyaring (infiltrate) atau

tidak nyaring (pada edema paru).

Diagnosa keperawatan

1. Bersihan jalan nafas tidak efektif yang berhubungan dengan banyaknya sekresi

trakeobronkial.

2. Intoleransi aktivitas yang berhubungan dengan perubahan fungsi pernafasan.

3. Risiko terhadap kekurangan volume cairan yang berhubungan dengan demam dan

dipsnea.

4. Kurang pengetahuan tentang program pengobatan dan tindakan kesehatan preventif.

Intervensi keperawatan

1. Membersihkan jalan nafas

Membuang sekresi adalah penting karena sekresi yang tertahan akan mengganggu

pertukaran gas dan dapat memperlambat pemulihan. Udara dilembabkan untuk melepaskan

sekresi dan memperbaiki ventilasi. Masker wajah dengan kelembaban tinggi (baik

menggunakan udara yang dikompres atau dengan oksigen) memberikan udara yang hangat,

dilembabkan kedalam percabangan bronchial dan mengencerkan cairan. Pasaien didorong

untuk batuk dengan cara yang diuraikan bagi pasien pasca operatif (HAL.437-438).

2. Perbanyak masukan cairan

(2 sampai 3 liter per hari), karena hidrasi yang adekuat mengencerkan dan

membebaskan sekresi paru dan juga mengganti cairan yang diakibatkan oleh demam,

diaphoresis, dehidrasi, dan frekuensi pernafasan yang cepat.

3. Fisioterapi dada

Fisioterapi dada sangat penting dalam melepaskan dan memobilisasi sekresi. Pasien

dibaringkan dalam posisi yang tepat untuk melakukan drein terhadap paru yang sakit,

kemudian dada di vibrasi dan diperkusi. Setelah paru di drainase selama 10 samapi 20 menit

(tergantung toleransi), pasien di dorong untuk nafas dalam dan batuk. Jika pasien terlalu

lemah untuk batuk dengan efektif, mucus mungkin harus dikeluarkan dengan menggunakan

pengisap nasotrakea atau aspirasi bronkoskopi sesuai indikasi.

4. Oksigen

Oksigen diberikan sesuai dengan yang telah diresepkan. Keefektifan konsentrasi

oksigen dipantau dengan mengkaji terhadap manifestasi klinis hipoksia dan analisis gas

darah.

5. Peningkatan istirahat dan penghematan energi

Pasien yang lemah di dorong untuk istirahat dan tetap di tempat tidur untuk

menghindari terlalu banyak gerakan dan kemungkinan memperburuk gejala. Posisi yang

nyaman untuk meningkatkan istirahat dan pernafasan contohnya adalah posisi semi fowler,

yang dilakukan dan diubah dengan teratur. Sedangkan untuk pasien rawat jalan diharuskan

untuk tidak bekerja terlalu berat.

6. Penyuluhan pasien dan pertimbangan perawatan dirumah

Setelah demam menghilang, pasien secara bertahap dapat meningkatkan aktivitas.

Dorong latihan pernafasan untuk membersihkan paru-paru dan meningkatkan ekspansi penuh

paru. Pasien diinstruksikan untuk kembali berobat untuk pemeriksaan rontgen dadatindak

lanjut dan pemeriksaan lengkap. Pasien yang sangat lemah dapat membutuhkan kunjungan

rumah oleh perawat untuk memantau status, mencegah komplikasi lebih lanjut dan

memberikan penyuluhan pasien yang berkelanjutan.

Intervensi Rasional

Bersihan jalan napas tidak efektif

1. Bantu psien untuk batuk secara

produktif

2. Lakukan drainase postural,

perkusi, dan vibrasi untuk

memobilisasi sekresi.

3. Lakukan tindakan untuk

mengurangi nyeri pleuritis.

4.berikan antibiotik yang diresepkan

pada interval waktu yang tepat.

1. depresi refleksi batuk dapat mengakibatkan

retensi sekresi paru dan mengarah pada

atelektasis. Pasien lansia mengalami penurunan

refleks batuk dan perlu membutuhkan tindakan

cepat (pengisapan, bronkoskopi) untuk

membuang sekresi. Hidrasi yang adekuat

mengencerkan mukus dan berfungsi sebagai

ekspektorant yang aktif.

2. Drainase postural menggunakan gaya

gravitasi untuk mengeluarkan sekresi dari

paru-paru.

3. nyeri dan batuk terjadi akibat invasi pleuritis

oleh pneumokokus. Rasa tidak nyaman dari

nyeri pleuritis dapat mengganggu dari

mekanisme ventilasi dan bersihan jalan nafas.

4.pengobatan berdasarkan hasil pemeriksaan

kultur dan sensitivitas sputum, dan pada drainase

5. berikan oksigen sesuai keharusan

untuk dipsnea, gangguan sirkulasi,

hipoksemia, atau delirium. Pantau

gas-gas darah arteri dan saturasi

oksigen oksimetri nadi untuk

menentukan kebutuhan oksigen dan

mnegvaluasi efektivitas pemberian

oksigen.

6. pantaui respon pasien terhadap

terapi.

sekresi purulen. Pneumonia sangat rentan terhadap

kerja pennisilin.

5. gelisah, kelam pikir, dan perilaku kombatif

mungkin terjadi akibat hipoksia serebral

6. komplikasi letal dapat terjadi selama awal

periode pengobatan antimikroba. Kurva suhu

tubuh memberikan indeks respon pasien terhadap

terapi. Hipotensi yang terjadi dini pada perjalanan

p[enyakit dapat mengindikasikan hipoksia atau

bakterimia. Antipiretik di berikan dengan

kewaspadaan, karena antipiretik dapat

mengakibatkan penurunan suhu dan dengan

demikian mengganggu evalusasi kurva suhu.

Evaluasi (Hasil yang diharapkan)

1. Menunjukkan perbaikan jalan nafas seperti yang ditunjukkan dengan gas ddarrah

yang adekuat, suhu tubuh normal, bunyi nafas normal, dan batuk dengan efektif.

2. Istirahat dan menghemat energi dengan tetap berada ditempat tidur ketika

menunjukkan gejala.

3. Mempertahankan masukan cairan yang adekuat seperti yang dibuktikan dengan

meminum sejummlah cairan yang dianjurkan dan mempunyai turgor kulit yang baik.

4. Mematuhi protocol pengobatan dan strategi pencegahan.

5. Bebas dari komplikasi

5.1. Tanda-tanda vital dan gas darah arteri normal.

5.2. Batuk produktif.

5.3. Menujukkan tidak adanya gejala syok, gagal pernafasan, dan efusi pleural.

5.4. Terorientasi dan waspada terhadap lingkungan sekitar.

Pendahuluan

Manusia tergantung pada beragam stimulus sensori untuk member makna atau

persepsi dan pesan pada kejadian yang terjadi di ddalam lingkungan mereka. Indera saling

berkaitan dalam pembentukan dasar persepsi dunia kita (ebersole dan Hess, 1994). Stimulasi

datang dari banyak sumber di dalam dan di luar tubuh, khususnya melalui indera penglihatan

(visual), pendengaran (auditori), perabaan (taktil), penciuman (olfaktori), dan rasa

(gustatory). Tubuh juga mempunyai indera kinestetik yang memungkinkan seseorang

menyadari posisi dan dan pergerakan bagian tubuh tanpa melihatnya. Stereognosis adalah

indera yang memungkinkan seseorang untuk mengenali ukuran, bentuk, dan tekstur benda.

Kemampuan bicara tidak dipandang sebagai indera, tetapi hal ini sama dengan klien dapat

kehilngan kemampuan berinteraksi secara bermakna dengan manusia yang lain. Stimulus

yang bermakna memungkinkan seseorang mempelajari lingkungan juga diperlukan untuk

berfungsi secara sehat dan berkembang normal. Jika fungsi sensori berubah maka

kemampuan seseorang untuk berhubungan dan berfungsi di dalam lingkungan berubah secara

drastis.

Banyak klien mencari pelayanan kesehatan karena telah mengalami perubahan sensori

sebelumnya. Untuk yang lain perubahan sensori terjadi akibat pengobatan medis (misalnya

kehilangan pendengaran akibat penggunaan antibiotic). Lingkungan keadaan pelayanan

kesehatan (misalnya unit perawatan intensif yang bising) dapat menyebabkan perubahan

sensori. Klien yang mengalami kehilangan indera utama secara sebagian atau keseluruhan

perlu mencari cara-cara alternative untuk berfungsi secara aman di dalam lingkungan. Jika

perubahan sensori terjadi pada awal kehidupan maka klien sering kali bermasalah pada

perkembangan dan sosialisasi karena kesulitan dalam berespon pada orang lain maupun

llingkungan. Lingkungan perawatan kesehatan sering merupakan tempat yang terdapat

penglihatan, suara dan bau yang tidak terbiasa juga kontak minimal dengan keluarga maupun

teman-teman. Jika klien merasa depersonalisasi dan tidak mampu meneerima stimulus yang

bermakna maka dapat berkembang menjadi perubahan sensori yang serius. Perawat harus

memahami dan membantu memnuhi kebutuhan klien yang mengalami perubahan sensori

sama seperti juga mengenali klien yang paling berisiko berkembang masalah sensori. Perawat

membantu klien belajar berinteraksi dan bereaksi secara aman dan efektif di lingkungan

mereka.

Banyak faktor mengubah kapasitas untuk menerima atau mempersepsi sensasi yang

kemudian menyebabkna perubahan sensori. Jenis-jenis perubahan sensori umum yang terlihat

perawat adalah deficit sensori, deprivasi sensori, dan beban sensori yang berlebihan. Jika

seorang klien menderita lebih dari satu perubahan sensori maka secara serius akan

mengganggu kemampuan untuk berfungsi dan berhubungan secara efektif didalam

lingkungan. Deficit sensori merupakan suatu kerusakan dalam fungsi normal penerimaan dan

persepsi sensori. Sementara deprivasi sensori adalah keadaan dimana seseorang mengalami

suatu stimulasi yang tidak adekuat kualitas dan kuantitasnya seperti stimulus yang monoton

atau tidak bermakna. Sedangkan beban sensori yang berlebihan adalah jika seseorang

menerima banyak stimulus sensori dan tidak dapat secara persepsual tidak menghiraukan atau

secara selektif mengabaikan beberapa stimulus.

Kasus 1

Ny. Karti (65 tahun) mengeluh beberapa bulan terakhir pandangannya agak buram

seperti ada kabut yang menutupi pandangannya. Jika terkena sinar langsung Ny. Karti

merasa silau sekali tetapi pada saat membaca dia memerlukan sinar yang terang. Hasil

pemeriksaan mata ditemukan gangguan visual dan tampak lensa mata keruh tertutup

warna putih seperti susu pada bagian pinggir lensa.

Pertanyaan yang dibuat dari kasus adalah

12. Pengkajian lanjutan dari kasus diatas adalah?

13. Faktor-faktor apa saja yang dapat menyebabkan kasus tersebut?

14. Apa penyakit yang di derita oleh Ny. Karti dan bagaimana etiologi, fisiologi,

patofisiologi, dan manifestasi kliniknya

15. Apa diagnosa keperawatan dari kasus diatas?

16. Bagaimana rencana asuhan keperawatannya?

Penyelesaian Kasus

Data fokus

Data dasar

Nama: Ny. Karti

Data Subjektif:

Ny. Karti mengeluh:

Pandangannya agak buram seperti ada kabut yang menutupi pandangannya semenjak

beberapa bulan terakhir

Jika terkena sinar langsung merasa silau sekali

Pada saat membaca memerlukan sinar yang terang

Data Objektif:

Gangguan visual

Tampak lensa mata keruh tertutup warna putih

Pada bagian pinggir lensa warnanya seperti susu

Pengkajian lanjutan yang harus dilakukan adalah

Data dasar :

o Berat badan

o Tinggi badan

o Pekerjaan

Pemeriksaan fisik :

Inspeksi: observasi klien meliputi bentuk mata, ukuran mata, bulu

mata, lihat mata bagian luar, apakah ada kemerahan atau bengkak di

mata atau sekitar mata, apakah ada anatomiis bagian mata yang

berbeda dengan mata normal

Palpasi

Perkusi

Auskultasi

Wawancara, tanyakan kepada klien

Apakah yang pandangannya buram satu mata atau keduanya?

Tindakan apa yang di lakukan saat merasa pandangan matanya agak

buram?

Apakah merasa nyeri di bagian mata?

Sebelum pandangan matanya buram apakah ada sesuatu yang masuk

ke mata?

Bagaimana cara membacanya? (duduk, tiduran)

Apakah keluarga ada yang mempunyai riwayat yang sama?

Apakah sebelumnya memiliki riwayat penyakit yang berhubungan

dengan mata?

Apakah sebelumya mengalami benturan atau trauma pada bagian

mata?

Apa ada keluhan lain?

Pemeriksaan diagnostic:

1. Kartu mata snellen /mesin telebinokuler : mungkin terganggu dengan kerusakan kornea,

lensa, akueus/vitreus humor, kesalahan refraksi, penyakit sistem saraf, penglihatan ke retina.

2. Lapang Penglihatan : penuruan mngkin karena massa tumor, karotis, glukoma.

3. Pengukuran Tonografi : TIO (12 – 25 mmHg)

4. Pengukuran Gonioskopi membedakan sudut terbuka dari sudut tertutup glukoma.

5. Tes Provokatif : menentukan adanya/ tipe gllukoma

6. Oftalmoskopi : mengkaji struktur internal okuler, atrofi lempeng optik, papiledema,

perdarahan.

7. Darah lengkap, LED : menunjukkan anemi sistemik / infeksi.

8. EKG, kolesterol serum, lipid

9. Tes toleransi glukosa : kotrol DM

Katarak adalah perubahan lensa mata yang tadinya jernih dan tembus cahaya menjadi

keruh. Lensa mata yang normal adalah jernih. Bila terjadi proses katarak, lensa menjadi

buram seperti kaca susu.

Fisiologi mata:

Lensa terletak di bagian depan mata, berfungsi memfokuskan cahaya agar membentuk

bayangan yang tajam di retina.

Secara fisika optic, mata menghantarkan cahaya seperti halnya kamera foto. Cahaya

(bayangan ) akan dibiaskan dari depan oleh kornea, akous humor di bilik mata depan, setelah

melewati pupil/iris dibiaskan oleh lensa mata dan badan kaca, sampai akhirnya terfokus di

retina. Pada kamera, bayangan dibiaskan oleh lensa, dan setelah melewati diafragma yang

berperan seperti pupil, akhirnya difokuskan pada film, sehingga dibuat persamaan sebagai

berikut :

Lensa kamera = lensa mata

Diafragma = pupil

Film = retina

Katarak menyebabkan penderita tidak bisa melihat dengan jelas. Lensa mata penderita

menjadi keruh dan tidak tembus cahaya sulit mencapai retina dan akan menghasilkan

bayangan yang kabur pada retina. Keadaan ini sama dengan hasil pemotretan yang tidak

jelas, akibat lensa kamera yang keruh.

Katarak terjadi secara perlahan – lahan sehingga penglihatan penderita terganggu

secara berangsur. Katarak tidak menular dari satu mata ke mata lain, namun dapat terjadi

pada kedua mata pada saat yang bersamaan. Katarak tidak disebabkan oleh pemakaian mata

yang berlebihan, tetapi merupakan proses degeneratif yang umumnya terjadi pada usia lanjut.

Katarak tidak mengakibatkan kebutaan permanen dan dapat diatasi dengan jalan operasi.

Penyebab

Sebagian besar katarak terjadi karena suatu perubahan komposisi kimia lensa mata

yang mengakibatkan lensa mata menjadi keruh.

Meningkatnya usia

Trauma mata

Penyakit dan kondisi tertentu pada tubuh termasuk cacat bawaan sejak lahir.

Katarak dapat terjadi pada usia anak – anak maupun dewasa. Katarak yang terjadi

pada bayi atau usia anak –anak, disebut katarak kongenital yang disebabkan oleh infeksi virus

pada saat ibuhamil muda. Sebaliknya katarak yang disebabkan oleh proses ketuaan alamiah

disebut katarak senilis dan merupakan jenis katarak yang paling sering ditemukan. Proses

katarak jenis ini dapat terjadi paling cepat pada usia 40 tahun. Bila dibiarkan, maka katarak

yang disebabkan proses alamiah ini dapat menyebabkan lensa mata menjadi makin keras dan

keruh.

Trauma atau kecelakaan pada mata dapat menyebabkan katarak yang disebut katrak

traumatik. Selain itu, beberapa jenis infeksi atau penyakit tertentu, misalnya kencing manis,

juga dapat menyebabkan lensa mata keruh yang disebut katarak komplikata.

Gejala Katarak

Gejala gangguan penglihatan pada penderita katarak tergantung dari letak kekeruhan

lensa mata. Bila katarak terdapat di bagian pinggir lensa maka penderita tidak akan

merasakan adanya gangguan penglihatan. Akan tetapi bila kekeruhan terdapat pada bagian

tengah lensa, maka tajam penglihatan akan terganggu.

Gejala katarak dapat diawali dengan adanya penglihatan ganda, peka terhadap cahaya

dan kesilauan yang menyebabkan penglihatan di malam hari lebih nyaman daripada siang

hari. Katarak dapat menyebabkan perubahan tajam penglihatan sehingga penderita sering

mengganti ukuran kacamatanya.

Patofisiologi

Lensa yang normal adalah struktur posterior iris yang jernih, transparan, berebantuk

seperti kancing baju, mempunyai kekuatan refraksi yang besar. Lensa mengandung tiga

komponen anatomis. Pada zona sentral terdapat nukleus, di perifer ada korteks, dan yang

mengelilingi keduanya adalah kapsul anterior dan posterior. Dengan bertambahnya usia,

nukleus mengalami perubahan warna menjadi coklat kekuningan. Di sekitar opasitas terdapat

densitas seperti duri di anterior dan posterior nukleus. Opasitas pada kapsul posterior

merupakan bentuk katarak yagn paling bermakna nampak seperti krtistal salju pada jendela.

Perubahan fisik dan Kimia dalam lensa mengakibatkan hilangnya transparansi,

perubahan pada serabut halus multiple (zunula) yang memanjang daari badan silier ke sekitar

daerah di luar lensa Misalnya dapat menyebabkan penglihatan mengalami distorsi. Perubahan

Kimia dalam protein lensa dapat menyebabkan koagulasi. Sehingga mengabutkan pandangan

dengan menghambat jalannya cahaya ke retina. Salah satu teori menyebutkan terputusnya

protein lensa normal terjadi disertai influks air ke dalam lensa. Proses ini mematahkan

serabut lensa yang tegang dan mengganggu transmisi sinar. Teori lain mengatakan bahwa

suatu enzim mempunyai peran dalam melindungi lensa dari degenerasi. Jumlah enzim akan

menurun dengan bertambahnya usia darn tidak ada pada kebanyakan pasien yang menderita

katarak.

Katarak biasanya terjadi bilateral, namun mempunyai kecepatan yang berbeda. Dapat

disebabkan oleh kejadian trauma maupun sistematis, seperti DM, namun sebenarnya

merupakan konsekuensi dari proses penuaan yang normal. Kebanyakan katarak berkembang

secara kronik dan matang ketika orang memasuki decade ke tujuh. Katarak dapat bersifat

congenital dan harus diidentifikasi awal, karena bila tidak didiagnosa dapat menyebabkan

ambliopia dan kehilangan penglihatan permanen. Faktor yang paling sering yang berperan

dalam terjadinya katarak meliputi radiasi sinar ultraviolet B, obat-obatan, alcohol, merokok,

DM, dan asupan vitamin antioksidan yang kurang dalam jangka waktu lama.

Manifestasi klinis dan diagnosis

Katarak didiagnosis terutama dengan gejala subjektif. Biasanya, pasien melaporkan

penurunan ketajaman penglihatan dan silau dan gangguan fungsional sampai derajat tertentu

yang diakibatkan karena kehilangan penglihatan tadi. Temuan objektif biasanya meliputi

pengembunan seperti mutiara keabuan pada pupil sehingga retina tak akan tampak pada

oftalmoskop.

Ketika lensa sudah menjadi opak, cahaya akan dipendarkan dan bukannya

ditransmisikan dengan tajam menjadi bayangan terfokus pada retina. Hasilnya adalah

pandangan kabur atau redup, menyilaukan yang menjengkelkan dengan distorsi bayangan

dan susah melihat di mlam hari. Pupil yang normalnya hitam akan tampak kekuningan abu-

abu atau putih. Katarak biasanya terjadi bertahap selama bertahun-tahun dan ketika katarak

sudah sangat memburuk lensa koreksi yang lebih kuat pun tak akan mampu memperbaiki

penglihatan. Bisa melihat dekat pada pasien rabun dekat (hipermetropia), dan juga

penglihatan perlahan-lahan berkurang dan tanpa rasa sakit.

Penatalaksanaan

Bila penglihatan dapat dikoreksi dengan dilator pupil dan refraksi kuat sampai ke titik

di mana pasien melakukan aktivitas sehari-hari, maka penanganan biasanya konservatif.

Pembedahan diindikasikan bagi mereka yang memerlukan penglihatan akut untuk

bekerja ataupun keamanan. Biasanya diindikasikan bila koreksi tajam penglihatan yang

terbaik yang dapat dicapai adalah 20/50 atau lebih buruk lagi bila ketajaman pandang

mempengaruhi keamanan atau kualitas hidup, atau bila visualisasi segmen posterior sangat

perlu untuk mengevaluasi perkembangan berbagai penyakit retina atau sarf optikus, seperti

diabetes dan glaukoma.

Ada 2 macam teknik pembedahan ;

1. Ekstraksi katarak intrakapsuler

Adalah pengangkatan seluruh lensa sebagai satu kesatuan.

2. Ekstraksi katarak ekstrakapsuler

Merupakan tehnik yang lebih disukai dan mencapai sampai 98 % pembedahan katarak.

Mikroskop digunakan untuk melihat struktur mata selama pembedahan.

Pengkajian keperawatan

1. Aktifitas Istirahat

Perubahan aktifitas biasanya berhubungan dengan gangguan penglihatan.

2. Neurosensori

Gangguan penglihatan kabur/tak jelas, sinar terang menyababkan silau dengan

kehilangan bertahap penglihatan perifer, kesulitan memfokuskan kerja dengan dekat/merasa

diruang gelap. Penglihatan berawan/kabur, tampak lingkaran cahaya/pelangi di sekitar sinar,

perubahan kacamata, pengobatan tidak memperbaiki penglihatan, fotofobia ( glukoma akut ).

Tanda : Tampak kecoklatan atau putih susu pada pupil (katarak), pupil menyempit

dan merah/mata keras dan kornea berawan (glukoma darurat, peningkatan air mata.

3. Nyeri / Kenyamanan

Ketidaknyamanan ringan / mata berair. Nyeri tiba-tiba / berat menetap atau tekanan

pada atau sekitar mata, sakit kepala

Diagnosa keperawatan dan Intervensi Keperawatan:

1. Resiko terhadap cedera berhubungan dengan pandangan kabur (katarak) yang

dimanifestasikan oleh keluhan Ny. Karti yang mengatakan pandangannya agak buram

seperti ada kabut yang menutupi pandangannya, jika terkena sinar langsung merasa silau

sekali, saat membaca dia memerlukan sinar yang terang, gangguan visual, tampak lensa

mata keruh tertutup warna putih seperti susu pada bagian pinggir lensa.

Tujuan : Pencegahan cedera.

Kriteria hasil:

Mengubah lingkungan sesuai indikasi untuk meningkatkan keamanan.

Intervensi Rasional

1. Bantu pasien ketika mampu

melakukan ambulasi pascaoperasi

Menurunkan resiko jatuh atau cedera ketika

langkah sempoyongan atau tidak mempunyai

keterampilan koping untuk kerusakan

sampai stabil dan mencapai

penglihatan dan keterampilan koping

yang memadai, menggunakan teknik

bimbingan penglihatan.

2. Bantu pasien menata lingkungan.

3. Orientasikan pasien pada ruangan.

4. Bahas perlunya penggunaan perisai

metal atau kaca mata bila

diperintahkan

5. Jangan memberikan tekanan pada

mata yang terkena trauma.

6. Gunakan prosedur yang memadai

ketika memberikan obat mata.

penglihatan.

2. Memanfasilitasi kemandirian dan

menurunkan resiko cedera.

3. Meningkatkan keamanan mobilitas

dalam lingkungan.

4. Tameng l;ogam atau kaca mata

melindungi mata terhadap cedera.

5. Tekanan pada mata dapat menyebabkan

kerusakan serius lebih lanjut.

6. Cedera dapat terjadi bila wadah obat

menyentuh mata.

2. Gangguan persepsi sensori-perseptual penglihatan berhubungan dengan gangguan

penerimaan sensori/status organ indera yang dimanifestasikan dengan menurunnya

ketajaman penglihatan, keluhan Ny. Karti yang mengatakan pandangannya agak buram

seperti ada kabut yang menutupi pandangannya, jika terkena sinar langsung merasa silau

sekali, saat membaca dia memerlukan sinar yang terang, gangguan visual, tampak lensa

mata keruh tertutup warna putih seperti susu pada bagian pinggir lensa.

Tujuan :

Meningkatkan ketajaman penglihatan dalam batas situasi individu, mengenal gangguan

sensori dan berkompensasi terhadap perubahan.

Kriteria Hasil :

- Mengenal gangguan sensori dan berkompensasi terhadap perubahan.

-Mengidentifikasi/memperbaiki potensial bahaya dalam lingkungan.

Intervensi Rasional

1. Tentukan ketajaman penglihatan,

catat apakah satu atau dua mata

terlibat.

1. Kebutuhan individu dan pilihian intervensi

bervariasi sebab kehilangan penglihatan

terjadi lambat dan progresif. Bila bilateral,

tiap mata dapat berlanjut pada laju yang

berbeda, tetapi biasanya hanya satu mata di

2. Orientasikan klien tehadap

lingkungan

3. Observasi tanda-tanda disorientasi.

4. Pendekatan dari sisi yang tak

dioperasi, bicara dengan menyentuh.

5. Perhatikan tentang suram atau

penglihatan kabur dan iritasi mata,

dimana dapat terjadi bila

menggunakan tetes mata.

6. Ingatkan klien menggunakan

kacamata katarak yang tujuannya

memperbesar kurang lebih 25 persen,

pelihatan perifer hilang dan buta titik

mungkin ada.

7. Letakkan barang yang

dibutuhkan/posisi bel pemanggil

dalam jangkauan/posisi yang tidak

dioperasi.

perbaiki per prosedur

2. Memberikan peningkatan kenyamanan dan

kekeluargaan, menurunkan cemas dan

disorientasi pascaoperasi

3. Terbangun dalam lingkungan yang tak di

kenal dan mengalami keterbatasan

penglihatan dapat mengakibatkan

bingung pada orang tua. Menurunkan

resiko jatuh bila pasien bingung/tidak

kenal ukuran tempat tidur

4. Memberikan rangsang sensori tepat

terhadap isolasi dan menurunkan

bingung

5. Gangguan penglihatan/iritasi dapat

berakhir 1-2 jam setelah tetesan mata

tetapi secara bertahap menurun dengan

penggunaan.

6. Perubahan ketajaman dan kedalaman

persepsi dapat menyebabkan bingung

penglihatan/meningkatkan risiko cedera

samapi pasien belajar untuk

mengkompensasi

7. Memungkinkan pasien melihat objek

lebih mudah dan memudahkan

panggilan untuk pertolongan bila di

perlukan.

Kasus 2

Tn. Sugito mengeluh kedua mata terasa gatal, tampak merah dan sering berair

terutama jika setelah mengendarai motor. Pada saat bangun pagi kedua mata agak

sulit dibuka karena menempel dan terdapat kotoran mata yang berwarna kuning

cukup banyak. Tidak ada riwayat alergi.

Pertanyaan yang dibuat dari kasus adalah

1 Pengkajian lanjutan dari kasus diatas adalah?

2. Faktor-faktor apa saja yang dapat menyebabkan kasus tersebut?

3. Apa penyakit yang diderita Tn. Sugito?

4. Patoflow dari kasus diatas ?

5. Apa diagnosa keperawatan dari kasus diatas?

6. Bagaimana intervensi keperawatannya?

Penyelesaian Kasus:

Ds :

Klien mengeluh kedua mata tersa gatal

Tampak merah dan sering berair terutama jika setelah mengendarai motor.

Pada saat bangun pagi kedua mata agak sulit dibuka karena menempel dan terdapat

kotoran mata yang berwarna kuning cukup banyak.

Tidak ada riwayat alergi.

1. Pengkajian lanjutan :

Wawancara :

1. Sejak kapan mata tersa sakit dan gatal ?

2. Apa yang dilakukan ketika mata tersa sakit ?

3. Obat apa yang biasa digunakan ketika sakit ?

4. Apakah ada nyeri lain selain pada mata ?

5. Apakah ada pembengkakan disekitar mata?

6. Aktivitas yang dilakuak sebelum mata teriritasi ?

7. Berapa banyak air yang keluar dari mata ?

8. Sebelumnya parnah menderita sakit mata?

Pemerikasaan fisik :

Inspeksi :

Lihat bentuk mata

Apakah ada bengkak?

Apakah ada perubahan warna?

Pada pemerikasaan ini perlu diperhatikan adalah kelopak mata dan sekitarnya ada

udem, keadaan konjungtingva hiperemis dan ada secret mukopurulen, keadaan kornea

hiperemis dan ada peradangan.

1. Faktor-faktor apa saja yang dapat menyebabkan kasus tersebut?

Adapun faktor-faktor yang menyebabkan Tn. Sugito mengalami konjuntivitis yaitu

karena ia mengendarai motor sehingga matanya terkena debu dan mengakibatkan matanya

merah dan berair.

2. Apa penyakit yang diderita Tn. Sugito?

Penyakit yang diderita Tn. Sugito adalah konjintivitis yaitu terjadi iritasi pada

matanya dan ketika ia mengendarai motor matanya tampak merah. Sehingga mengakibatkan

terjadi iritasi dan pengeluaran air dari matanya.

Penyebab:

1. Infeksi oleh virus atau bakteri.

2. Rekasi alergi terhadap debu, serbuk sari, bulu binatang

3. Iritasi oleh angin, debu, asap dan polusi udara lainnya: sinar ultraviolet dari las listrik atau

sinar matahari yang dipantulkan oleh salju.

Etiologi :

Pembagian konjungtivitis berdasarkan penyebabnya :

Konjungtivitis akut bacterial, mis: konjungtivitis blenore, konjungtivitis gonore,

Konjungtivitis difteri, konjungtivitis folikuler, konjungtivitis kataral.

Konjungtivitis akut viral, mis: keratokonjungtivitis epidemik, demam

faringokonjungtiva,

keratokonjungtivitis herpetic.

Konjungtivitis akut jamur

Konjungtivitis akut alergik

Konjungtivitis kronis, mis: trakoma.

Personal hygiene dan kesehatan lingkungan yang kurang, alergi, nutrisi kurang

vitamin A, iritatif (bahan kimia, suhu, listrik, radiasi ultraviolet), juga merupakan etiologi

dari konjungtivitis.

Anatomi Konjungtiva

Konjungtiva merupakan membran mukosa tipis yang membatasi permukaan dalam

dari kelopak mata dan melipat ke belakang membungkus permukaan depan dari bola mata,

kecuali bagian jernih di tengah-tengah mata (kornea). Membran ini berisi banyak pembuluh

darah dan berubah merah saat terjadi inflamasi.

Konjungtiva terdiri dari tiga bagian:

1. .Konjungtiva palpebralis (menutupi permukaan posterior dari palpebra)

2. .Konjungtiva bulbaris (menutupi sebagian permukaan anterior bola mata)

3. Forniks (bagian transisi yang membentuk hubungan antara bagian posterior palpebra

dan bola mata).

Meskipun konjungtiva agak tebal, konjungtiva bulbar sangat tipis. Konjungtiva bulbar

juga bersifat dapat digerakkan, mudah melipat ke belakang dan ke depan. Pembuluh darah

dengan mudah dapat dilihat di bawahnya. Di dalam konjungtiva bulbar terdapat sel goblet

yang mensekresi musin, suatu komponen penting lapisan air mata pre-kornea yang

memproteksi dan memberi nutrisi bagi kornea.

Epidemiologi

Di Indonesia penyakit ini masih banyak terdapat dan paling sering dihubungkan

dengan penyakit tuberkulosis paru. Penderita lebih banyak pada anak-anak dengan gizi

kurang atau sering mendapat radang saluran napas, serta dengan kondisi lingkungan yang

tidak higiene. Pada orang dewasa juga dapat dijumpai tetapi lebih jarang.

Meskipun sering dihubungkan dengan penyakit tuberkulosis paru, tapi tidak jarang

penyakit paru tersebut tidak dijumpai pada penderita dengan konjungtivitis flikten. Penyakit

lain yang dihubungkan dengan konjungtivitis flikten adalah helmintiasis. Di Indonesia

umumnya, terutama anak-anak menderita helmintiasis, sehingga hubungannya dengan

konjungtivitis flikten menjadi tidak jelas

Patofisiologi :

Mikroorganisme (virus, bakteri, jamur), bahan alergen, iritasi menyebabkan kelopak

mata terinfeksi sehingga kelopak mata tidak dapat menutup dan membuka sempurna, karena

mata menjadi kering sehingga terjadi iritasi menyebabkan konjungtivitis. Pelebaran

pembuluh darah disebabkan karena adanya peradangan ditandai dengan konjungtiva dan

sclera yang merah, edema, rasa nyeri, dan adanya secret mukopurulent.

Akibat jangka panjang dari konjungtivitis yang dapat bersifat kronis yaitu

mikroorganisme, bahan allergen, dan iritatif menginfeksi kelenjar air mata sehingga fungsi

sekresi juga terganggu menyebabkan hipersekresi. Pada konjungtivitis ditemukan lakrimasi,

apabila pengeluaran cairan berlebihan akan meningkatkan tekanan intra okuler yang lama

kelamaan menyebabkan saluran air mata atau kanal schlemm tersumbat. Aliran air mata yang

terganggu akan menyebabkan iskemia syaraf optik dan terjadi ulkus kornea yang dapat

menyebabkan kebutaan. Kelainan lapang pandang yang disebabkan kurangnya aliran air mata

sehingga pandangan menjadi kabur dan rasa pusing

penatalaksanaan :

Konjungtivitis biasanya hilang sendiri. Tapi tergantung pada penyebabnya, terapi

dapat meliputi antibiotika sistemik atau topical, bahan antiinflamasi, irigasi mata,

pembersihan kelopak mata, atau kompres hangat.

Bila konjugtivits disebabkan oleh mikroorganisme, pasien harus diajari bagaimana

cara menghindari kontaminasi mata yang sehat atau mata orang lain. Perawat dapat

memberikan instruksipada pasien untuk tidak menggosok mata yang sakit kemudian

menyentuh mata yangs ehat, untuk mencuci tangan setelah setiap kali memegang mata yang

sakit, dan menggunakan kain lap, handuk, dan sapu tangan baru yang terpisah

3. Apa diagnosa keperawatan dari kasus diatas?

Gangguan persepsi penglihatan b.d konjuntivitis yang dimanifestasikan dengan klien

mengatakan kedua mata terasa gatal, tampak merah dan sering berair terutama jika setelah

mengendarai motor. Pada saat bangun pagi kedua mata agak sulit dibuka karena menempel

dan terdapat kotoran mata yang berwarna kuning cukup banyak.

4. Bagaimana intervensi keperawatannya?

Tujuan : Presepsi penglihatan kembali normal

Kriteria hasil : Mata kembali normal , gatal hilang, mata merah teratasi

Intervensi Rasional

Mandiri

Kaji kemampuan melihat

Menjelaskan terjadinya gangguan

prespsi penglihatan

untuk mengetahui sejauh mana

kemampuan melihat

Mengorientasikan pasien terhadap

lingkungan dan aktifitas

untuk meningkatkan pemahaman dan

mengurangi ansietas pasien

Dorong pasien untuk melakukan

aktivitas sederhana

Anjurkan pasien untuk memakai

kacamata redup

menghilangkan peradangan

Kolaborasi

Kolaborasi dalam pemberian obat

mata

Kasus 3

Tn. Sukarto mengeluh telinga kanan sering berdenging, perasaan penuh dibagian

dalam telinga. Beberapa bulan ini sering terbangun dari tidur karena merasa berputar

(vertigo) selama kira-kira 30 menit dan hilang sendiri, tetapi saat vertigo sampai mual

dan muntah. Hasil pemeriksaan Weber suara hanya terdengar pada telinga kiri,

auditorium menunjukan adanya sensorineural hearing loss.

Penyelesaian Kasus

Pengkajian

Data subjektif:

Mengeluh telinga kanan sering berdenging

Perasaan penuh dibagian dalam telinga

Terbangun dari tidur karena merasa berputar (vertigo) selama kira-kira 30 menit dan

hilang sendiri.

Data objektif:

Pemeriksaan weber, terdengar hanya pada telinga kiri

Auditorium menunjukan adanya sensorineural hearing loss.

1. Anamnesa

1.1. Sudah berapa lama telinga kanan berdenging?

1.2. Sudah berapa lama perasaan penuh dibagian dalam telinga?

1.3. Seberapa sering muncul perasaan berdenging pada telinga dan intensitas bunyinya?

1.4. Bagian dalam telinga sebelah mana yang terasa penuh?

1.5. Seberapa sering muncul perasaan penuh dibagian dalam telinga?

1.6. Apakah sudah minum obat untuk menangani vertigonya?

1.7. Apakah Tn. Sukarto memiliki alergi pada obat-obat tertentu?

2. Pemeriksaan fisik

1. Inspeksi

Inspeksi aurikulus dan jaringan sekitarnya dari adanya deformitas, lesi, dan cairan

serta ukuran, simetri dan sudut penempelan kepala. Inspeksi pula membrane timpani

dan auditorius eksterna dengan menggunakan otoskop.

3. Pemeriksaan diagnostic

Uji Weber

Uji weber memanfaatkan konduksi tulang untuk menguji adanya lateralisasi suara.

Sebuah garpu tala dipegang erat pada gagangnya dan pukulkan pada lutut atau

pergelangan tangan pemeriksa. Kemudian diletakan pada dahi atau gigi pasien. Pasien

ditanya apakah suara terdengar ditengah kepala, ditelinga kanan atau telinga kiri. Individu

dengan pendengaran normal akan mendengar suara seimbang pada kedua telinga atau

menjelaskan bahwa suara terpusat ditengah kepala. Bila ada kehilangan pendengaran

konduktif (otosklerosis, otitis media), suara akan lebih jelas terdengar pada sisi yang

sakit. Ini disebabkan karena obstruksi akan menghambat ruang suara, sehingga akan

terjadi penigkatan konduksi tulang. Bila terjadi kehilangan sensorineural, suara akan

mengalami lateralisasi ke telinga yang pendengarannya lebih baik. Uji weber berguna

untuk kasus kehilangan pendengaran unilateral.

Uji rinne

Gagang garpu tala yang bergetar di tempatkan di belakang aurikula pada tulang mastoid

(konduksi tulang) sampai pasien tak mampu lagi mendengar suara. Kemudian garpu tala

di pindahkan pada jarak 1 inci dari meatus kanalis auditorius eksternus (konduksi udara).

Pada keadaan normal pasien dapat terus mendengarkan suara, menunjukkan bahwa

konduksi udara berlangsung lebih lama daripada konduksi tulang. Pada kehilangan

pendengaran konduktif, konduksi tulang akan melebihi konduksi udara; begitu konduksi

tulang melalui tulang temporal telah menghilang, pasien sudah tak mampu lagi

mendengar garpu tala melalui mekanisme konduktif yang biasa. Sebaliknya kehilngan

pendengaran sensorineural memungkinkan suara yang dihantarkan melalui udara lebih

baik dari tulang, meskipun keduanya merupakan konduktor yang buruk dan segala suara

diterima seperti sangat jauh dan lemah.

Uji audimetri

Uji audimetri ada dua macam:

1. Audiometri nada murni, dimana stimulus suara terdiri atas nada murni atau musik.

Semakin keras nada sebelum pasien bisa mendengar berarti semakin besar kehilangan

pendengarannya.

2. Audiometri wicara, dimana kata yang diucapkan digunakan untuk menentukan

kemampuan mendengar dan membedakan suara.

Etiologi dan patofisiologi

Vertigo didefinisikan sebagai halusinasi atau ilusi gerakan, baik gerakan seseorang

maupun lingkuangan seseorang yang dirasakan. Kebanyakan orang yang menderita vertigo

menggambarkan rasa berputar atau merasa seolah-olah benda berputar mengitarinya. Vertigo

adalah gejala klasik yang dialami ketika terjadi disfungsi yang cukup cepat dan asimetris

system vestibular perifer (telinga dalam)

Penyakit meniere dianggap sebagai keadaan dimana terjadi ketidakseimbangan cairan

telinga tengah yang abnormal yang disebabkan oleh mal absorpsi dalam sakus

ensolimfatikus. Namun ada bukti menunjukan bahwa banyak orang yang menderita penyakit

meniere mengalami sumbatan pada duktus endolimfatikus. Apaun penyebabnya, selalu

terjadi hidrops endolimfatikus, yang merupakan pelebaran ruang endolimfatikus. Baik

peningkatan tekanan dalam system ataupun rupture membrane telinga dalam dapat terjadi dan

menimbulkan gejala meniere.

Diagnosa Keperawatan

1. Risiko tinggi cedera yang berhubungan dengan perubahan mobilitas karena gangguan

cara jalan dan vertigo

2. Kerusakan penilaian yang berhubungan dengan ketidakmampuan yang memerlukan

perubahan gaya hidup akibat vertigo yang tidak diperkirakan.

3. Ansietas yang berhubungan dengan ancaman, atau perubahan, status kesehatan dan

efek ketidakmampuan vertigo.

Intervensi Keperawatan

Intervensi Rasional

1. kaji vertigo yang meliputi riwayat, awitan,

gambaran serangan, durasi, frekwensi, dan

adanya gejala telinga yang terkait

( kehilangan pendengaran, tinnitus dan rasa

penuh ditelinga.

2. kaji luasnya ketidakmampuan dalam

hubungan dengan aktivitas hidup sehari-

hari.

3. ajarkan atau tekankan terapi

vestibuler/keseimbangan sesuai ketentuan.

4. berikan atau ajari cara pemberian

obatantivertigo dan atau obat penenang

vestibuler, beri petunjuk pada apsien

mengenai efek sampingnya.

5. libatkan keluarga dan orang terdekat

dalam proses rehabilitasi.

6. dorong pasien untuk menjaga rasa control

dengan membuat keputusan dan

memberikan tanggung jawab yang lebih

untuk perawatan.

7. berikan upaya keamanan dan hindari

aktivitas yang menyebabkan stres

8. ajarkan pasien cara penyegaan ketika

mengalami perasaan penuh ditelinga

1. riwayat memberikan dasar untuk

intervensi selanjutnya.

2. lusnya ketidakmampuan menunjukan

risiko jatuh.

3. latihan mempercepat kompensasi

labirintin, yang dapat mengurangi vertigo

dan gangguan cara berjalan.

4. menghilangkan gejala akut vertigo.

5. merasa percaya kepada orang terdekat

penting bagi kepatuhan pasien terhadap

program pengobatan.

6. memperkuat hasil psikologis dan sosial

yang positif.

7. situasi penuh stres dapat memperberat

gejala kondisi ini.

8. untuk mengurangi selisih perbedaan

antara telinga bagian dalam dan lingkungan

luar.

Penatalaksanaan (intervensi) meliputi menasihati untuk mengubah gaya hidup dan

kebiasaan atau penatalaksanaan pembedahan. Namun penyakit meniere bukan merupakan

masalah yang membahayakan jiwa, maka pasien dapat memilih untuk tidak melakukan

tindakan apapun sampai tahap tertentu selama penatalaksanaan. Tak ada penyembuhan untuk

penyakit meniere, penatalaksanaan dirancang untuk menghilangkan vertigo atau

menghentikan perkembangan atau menstabilkan penyakit. Pendekatan penatalaksanaan

meliputi rehabilitasi dan strategi diet selain penangana medis dan pembedahan. Banyak

pasien dapat mengontrol gejala dengan mematuhi diet rendah garam (2000mg/hari). Jumlah

natrium merupakan ssalah satu faktor yang mengatur keseimbangan cairan dalam tubuh.

Retensi cairan dan natrium dapat memutuskan kesimbangan halus antara endolimfe dan

perilimfe di dalam telinga dalam. Kafein dan nikotin merupakan stimulant vasoaktif, dan

menghindari kedua zat tersebut dapat mengurangi gejala. Banyak pasien diminta untuk

menghindari alcohol karena dapat memicu serangan. Ada kepercayaan bahwa serangan

vertigo dipicu oleh reaksi alergi terhadap ragi dalam alkohol dan bukan karena alkoholnya

sendiri.

Tindakan pengobatan untuk vertigo terdiri atas antihistamin, seperti meklizin

(antivert), yang menekan system vestibular. Tranzquilizer seperti diazepam (valium) dapat di

gunakan pada lasus akut untuk membantu mengontrol vertigo, namun karena sifat adiktifnya

tidak digunakan sebagai pengobatan jangka panjang. Antiemetic seperti supositoria

prometazin (phenergan) tidak hanya mengurangi mual dan muntah tetapi juga vertigo karrena

efek antihistaminnya. Diuretika seperti dyazide atau hidroklortiazid kadang dapat membantu

mengurangi gejala penyakit meniere dengan menurunkan tekanan dalam system endolimfe.

Pasien harus diingatkan untuk makan makanan yang mengandung kalium seperti pisang,

tomat dan jeruk ketika menggunakan diuretic yang menyebabkan kehilangan kalium.

Vasodilator, seperti asam nikotinat, papaverin hidroklorida (pavabid), dan metantelin

bromide (Bhantine), tak terbukti secara ilmiah mengurangi gejala penyakit meniere.

Penatalaksanaan bedah

Meskipun kebanyakan pasien berhasil ditangani dengan terapi konservatif, namun ada

juga yang tetap menderita serangan vertigo yang melumpuhkan. Bila serangan ini

mengganggu kualitas hidup, pasien direncanakan untuk menjalani terapi bedah untuk

perbaikan. Namun, kehilangan pendengaran, tinnitus, dan rasa penuh dalam telinga tetap

berlanjut karena penatalaksanaan bedah pada penyakit meniere ditujukan untuk

menghilangkan serangan vertigo.

Dekompresi sakus endolimfatikus atau pintasan secara teoritis akan menyeimbangkan

tekanan dalam ruangan endolimfe. Pirau atau drain dipasang didalam sakus endolimfatikus

melalui insisi postaurikuler. Telah dilaporkan adanya keberhasilan sebesar 75%

menghilangkan serangan vertigo (Meyerhoff & Rice, 1992). Prosedur ini disukai oleh banyak

ahli otolaringologi sebagai pendekatan bedah garis pertama terhadap vertigo pada penyakit

Meniere, karena relative sederhana dan aman serta dapat dilakukan pada pasien rawat jalan.

Obat ototoksik, seperti streptomisin atau gentamisin, dapat diberikan kepada pasien

dengan injeksi sistemik atau infus ke telinga tengah dan dalam. Angka keberhasilan

menghilangkan vertigo cukup tinggi, sekitar 85%, namun risiko kehilangan vertigo juga

cukup tinggi. Prosedur perfusi telinga dalam biasanya memerlukan rawat inap semalam di

rumah sakit, dan banyak pasien yang mengalami periode ketidakseimbangan yang

berlangsung selama beberapa minggu.

Prosedur labirintektomi dengan pendekatan transkanal dan tran-mastoid juga berhasil

sekitar 85% dalam menghilangkan vertigo, namun fungsi auditorius telinga dalam juga

hancur. Morbiditas tambahan sehubungan di kaitkan dengan prosedur ini, dan beberapa ahli

otology merasa bahwa bila pasien terancam risiko ini (misalnya, nervus fasialis, kebocoran

cairan serebrospinal, kehilangan pendengaran total), prosedur yang potensial lebih berhasil

seperti pemotongan nervus vestibularis (pemotongan nervus kranialis VIII) harus yang

dilakukan.

Pemotongan nervus vestibularis memberikan memberikan jaminan tertinggi (sekitar

98%) dalam menhilangkan serangan vertigo. Dapat dilakukan translabirin (melalui

mekanisme pendengaran) atau dengan cara yang dapat mempertahanakan pendengaran

(suboksipital atau fosa kranialis medial), bergantung pada derajat hilangnya pendengaran.

Kebanyakan pasien dengan penyakit meniere yang sangat menderita akibat serangan vertigo,

biasanya sudah tidak mempunyai pendengaran sama sekali atau sedikit sekali. Pemotongan

saraf sebenarnya mencegah otak menerima masukan dari kanalis semisirkularis. Prosedur ini

memerlukan rawat inap beberapa hari di rumah sakit. Asuhan keperawatan untuk pasien

dengan vertigo disajikan dalam rencana asuhan keperawatan.

Evaluasi

Pemeriksaan fisik biasanya normal kecuali pada evaluasi nervus cranial VII. Garpu

tala (uji Webber) akan menunjukan lateralisasi ke sisi berlawanan dengan sisi yang

mengalami kehilangan pendengaran (sisi yang terkena penyakit meniere). Diagnose penyakit

meniere biasanya didasarkan pada riwayat bersama dengan hasil prosedur diagnostic

audiovestibuler. Uji laboratorium dan radiologis tambahan dapat dilakukan untuk

menyingkirkan penyebab lain gejala seperti sifilis, penyakit autoimun, stroke, atau neuroma

akustik. Audiogram biasanya menunjukan kehilngan pendengaran sensorineural pada telinga

yang sakit. Dapat muncul dalam bentuk pola “puncak tombak”, yang Nampak seperti bukit

attau gunung, atau terlihat sebagai kehilngan pendengaran sensorineural pada frekwensi

rendah. Ketika penyakit bertambah berat, kehilngan pendengaran menjadi lebih berat.

Kadang audiogram dehidrasi dilakukan dimana pasien diminta meminum zat penyebab

dehidrasi seperti gliserol atau urea, yang secara teoriti dap[at menurunkan jumlah hidrpos

endolimfe. Uji ini sangat berguna dalam mendokumentasikan sifat fluktuatif kehilngan

pendengaran. Elektrokokleografi menunjukan abnormalitas pada 60% pasien yang menderita

penyakit meniere; elektronistamogram bisa normal atau menunjukan penurunan respon

vestibuler. Namun tak ada uji diagnostic absolute untuk penyakit meniere.

Daftar Pustaka

Tarwoto dan Wartonah. 2006. Kebutuhan Dasar Manusia dan Proses

Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika

Potter dan Perry. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan : Konsep, Proses,

dan Praktik vol.2. Jakarta : EGC

Smeltzer, Suzanne C. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddart

vol 1. Jakarta : EGC

Doenges, Marilynn. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan Edisi 3. Jakarta: EGC

Price, Sylvia Anderson. 2005. Patofisiologi: konsep Klinis Proses-Proses Penyakit

edisi 6 vol.1. Jakarta: EGC

Smeltzer, Suzanne C. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddart

vol 2. Jakarta : EGC

Abdurrahman, Nurhay dkk. 2005. Penuntun Anamnesis dan Pemeriksaan fisis.

Jakarta: Pusat Penerbitan Departement Ilmu Penyakit Dalam FKUI

http://medicastore.com

http://jarumsuntik.com

http://id.wikipedia.org

http://ns-nining.blogspot.com

http://ilmupedia.com

http://hayato31.blogspot.com