Microsoft Word - 03_Metodologi

download Microsoft Word - 03_Metodologi

of 32

Transcript of Microsoft Word - 03_Metodologi

BAB III METODOLOGI3.1. 3.1.1. KERANGKA PENDEKATAN Penilaian Kekritisan Mangrove

Suatu lahan mangrove dapat dikategorikan sebagai lahan kritis, apabila lahan tersebut sudah tidak dapat berfungsi lagi, baik sebagai fungsi produksi, fungsi perlindungan maupun fungsi pelestarian alam. Berdasarkan hasil-hasil kajian sebelumnya, kerusakan ekosistem mangrove umumnya disebabkan oleh faktor biofisik lingkungan dan faktor sosial ekonomi masyarakat setempat. Untuk mengetahui faktor biofisik lingkungan yang berpengaruh terhadap terjadinya kerusakan hutan mangrove perlu dilakukan pengumpulan data primer dan sekunder. Data primer dapat diperoleh dari survei langsung di lapangan dan/atau dari data GIS (Geographic Information System) dan teknologi inderaja (penginderaan jauh, seperti citra satelit). Sedangkan data sekunder dapat diperoleh dari penelusuran terhadap data/dokumen penunjang yang berasal dari hasil kajian atau penelitian sebelumnya. Selain inventarisasi dan identifikasi terhadap faktor biofisik lingkungan perlu dilakukan pula identifikasi dan analisis terhadap faktor sosial ekonomi masyarakat tersebut. Hal ini dapat dilakukan dengan melakukan survei dengan metode deskriptif kualitatif. Parameter-parameter yang perlu diamati dalam survei tersebut, meliputi data luas wilayah, tipe penutupan dan penggunaan lahan dan komposisi mata pencaharian masyarakat yang terkait dengan pemanfaatan hutan mangrove. Untuk memperdalam kajian perlu dilakukan pula penelusuran terhadap data-data sekunder dan hasil-hasil penelitian sebelumnya yang relevan. Parameter-parameter yang perlu diamati dalam survei, meliputi data luas wilayah, tipe penutupan dan penggunaan lahan dan komposisi mata pencaharian masyarakat yang terkait dengan pemanfaatan hutan mangrove. Untuk memperdalam kajian perlu dilakukan pula penelusuran terhadap data-data sekunder dan hasil-hasil penelitian sebelumnya yang relevan. Secara umum, metode penentuan tingkat kekritisan lahan mangrove digambarkan pada Gambar III-1. Berdasarkan cara pengumpulan data yang tertuang dalam TOR, teknik penentuan tingkat kekritisan lahan mangrove di Provinsi Jawa Tengah dilakukan dengan cara penilaian dengan menggunakan teknologi GIS (Geographic Information System) dan inderaja (citra satelit) dan secrara terrestris

Ditebitkan Oleh:

DEPARTEMEN KEHUTANANDIREKTORAT JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL BALAI PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI PEMALI-JRATUN PROVINSI JAWA TENGAH

Hal. III - 1

Laporan AkhirINVENTARISASI DAN IDENTIFIKASI MANGROVE WILAYAH BALAI PENGELOLAAN DAS PEMALI JRATUN PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN ANGGARAN 2006

Mulai

Penetapan Kriteria Penilaian

Pengumpulan Data Sekunder, DokumenDokumen, Peta Dasar dan Peta Pendukung dari Kawasan Mangrove

Data GIS & Inderaja (Citra Satelit)

Peta Lokasi Kerusakan Hutan MangrovePerancangan Pengambilan Sampel Survei Lapangan : Pengamatan Kondisi Umum Pengambilan Sampel Pengukuran Parameter Biofisik Lingkungan Survei Sosial Ekonomi Masyarakat

Analisis dan Evaluasi Awal Menggunakan Kriteria Penilaian (Tabel Skoring)Analisis dan Evaluasi Lanjutan

Revisi Peta Lokasi Kerusakan menjadi Draft Peta Akhir

Penyajian Peta Kekritisan Kawasan

Tabulasi Draft Laporan

Evaluasi dan Pelaporan

Selesai

Gambar III-1.

Diterbitkan Oleh:

DEPARTEMEN KEHUTANANDIREKTORAT JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL BALAI PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI PEMALI-JRATUN PROVINSI JAWA TENGAH

Hal. III - 2

Laporan AkhirINVENTARISASI DAN IDENTIFIKASI MANGROVE WILAYAH BALAI PENGELOLAAN DAS PEMALI JRATUN PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN ANGGARAN 2006

Diagram alir tahapan penentuan tingkat kekritisan lahan mangrove Berdasarkan cara pengumpulan data, penentuan tingkat kekritisan lahan mangrove dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu: 1) 2) 3) Penilaian dengan menggunakan teknologi GIS (Geographic Information System) dan inderaja (citra satelit) Penilaian secara langsung di lapangan (terestris) Kriteria-kriteria penentuan tingkat kekritisan lahan mangrove berdasarkan faktor sosial ekonomi

Cara penilaian pertama dapat dilakukan, apabila tersedia data GIS dan inderaja (citra satelit) dari kawasan mangrove yang akan diinventarisasi. Cara ini cukup efektif diterapkan, apabila kawasan mangrove yang akan diinventarisasi tersebut cukup luas. Sedangkan cara terestris dilakukan untuk areal yang tidak terlalu luas dan apabila tidak tersedia data citra satelit. Selain itu, cara kedua ini dapat diterapkan untuk melakukan pengecekan lapangan dari hasil interpretasi dan analisis citra satelit (pada cara pertama). Secara skematis, hubungan ketiga cara penilaian tersebut dapat dijelaskan seperti terlihat pada Gambar III-2.Kawasan hutan mangrove

Apakah data inderaja (citra satelit) tersedia?

Penentuan tingkat kekritisan mangrove dengan teknologi inderaja

Perancangan pengambilan sampel

Pengecekan lapangan

Peta tingkat kekritisan lahan mangrove

Diterbitkan Oleh:

DEPARTEMEN KEHUTANANDIREKTORAT JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL BALAI PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI PEMALI-JRATUN PROVINSI JAWA TENGAH

Hal. III - 3

Laporan AkhirINVENTARISASI DAN IDENTIFIKASI MANGROVE WILAYAH BALAI PENGELOLAAN DAS PEMALI JRATUN PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN ANGGARAN 2006

Gambar III-2. Cara penilaian tingkat kekritisan lahan mangrove

3.1.2.

Kriteria Penentuan Kekritisan Lahan Mangrove

Kriteria-kriteria yang dapat digunakan untuk penentuan tingkat kekritisan lahan mangrove untuk masing-masing teknik penilaian adalah sebagai berikut: 1) Kriteria-kriteria penentuan tingkat kekritisan lahan mangrove dengan teknologi GIS dan inderaja: a) Tipe penggunaan lahan yang dapat diklasifikasikan menjadi tiga kategori, yaitu: 1) hutan (kawasan berhutan), 2) tambak tumpang sari dan perkebunan dan 3) areal non vegetasi hutan (pemukiman, industri, tambak non tumpang sari, sawah dan tanah kosong) b) Kerapatan tajuk, dimana berdasarkan nilai NDVI (Normalized Difference Vegetation Index) dapat diklasifikasikan menjadi kerapatan tajuk lebat, kerapatan tajuk sedang dan kerapatan tajuk jarang c) Ketahanan tanah terhadap abrasi yang dapat diperoleh dari peta land system dan data GIS lainnya. Dalam hal ini, jenis-jenis tanah dapat dikategorikan menjadi tiga kategori, yaitu jenis tanah tidak peka erosi (tekstur lempung), jenis tanah peka erosi (tekstur campuran) dan jenis tanah sangat peka erosi (tekstur pasir). 2) Kriteria-kriteria penentuan tingkat kekritisan lahan mangrove dengan cara survei langsung di lapangan (terestris): a) Tipe penutupan dan penggunaan lahan yang dapat diklasifikasikan menjadi lima kategori, yaitu 1) hutan mangrove murni, 2) hutan mangrove bercampur tegakan hutan lain, 3) hutan mangrove bercampur dengan tambak tumpang sari atau areal tambak tumpang sari murni, 4) hutan mangrove bercampur dengan penggunaan lahan non vegetasi (pemukiman, tambak non tumpangsari dan sebagainya) dan 5) areal tidak bervegetasi b) Jumlah pohon per hektar c) Jumlah permudaan per hektar d) Lebar jalur hijau mangrove e) Tingkat abrasi

Diterbitkan Oleh:

DEPARTEMEN KEHUTANANDIREKTORAT JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL BALAI PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI PEMALI-JRATUN PROVINSI JAWA TENGAH

Hal. III - 4

Laporan AkhirINVENTARISASI DAN IDENTIFIKASI MANGROVE WILAYAH BALAI PENGELOLAAN DAS PEMALI JRATUN PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN ANGGARAN 2006

3) Kriteria-kriteria penentuan tingkat kekritisan lahan mangrove berdasarkan faktor sosial ekonomi, yaitu mata pencaharian utama, lokasi lahan usaha, pemanfaatan kayu bakar dan persepsi terhadap hutan mangrove

3.1.3.1)

Informasi Ekosistem Mangrove

Untuk menyajikan data ekosistem mangrove dilakukan survei di lapangan yang mencakup: Aspek biofisik, yaitu komposisi dan potensi tegakan mangrove, kondisi jalur hijau (green belt), kondisi fisiografi, periodisitas penggenangan, salinitas dan sedimentasi, sifat fisik tanah (tekstur) dan informasi kondisi fisik lainnnya (tingkat abrasi pantai, keadaan hidrologi, iklim dan geologi) Aspek sosial ekonomi, yaitu demografi, mata pencaharian dan pendapatan, tenaga kerja dan kelembagaan masyarakat

2)

3.2.

JENIS PERALATAN YANG DIGUNAKAN

Peralatan kerja merupakan salah satu penentu keberhasilan penyelesaian pekerjaan. Keberhasilan penyelesaian pekerjaan ini diantaranya dinilai dari ketepatan waktu penyelesaian dan terpenuhinya kualifikasi hasil yang diharapkan. Berdasarkan kelompoknya, peralatan kerja yang digunakan untuk mendukung penyelesaian pekerjaan ini adalah sebagai berikut.

3.2.1.

Perangkat Lunak

Perangkat lunak atau software merupakan suatu teknologi yang dapat digunakan untuk memudahkan pengerjaan suatu pekerjaan yang berkaitan dengan teknologi komputer. Kegiatan inventarisasi dan identifikasi mangrove ini merupakan salah satu yang membutuhkan alat bantu perangkat lunak. Berdasarkan kompleksitas dan volume pekerjaan, maka perangkat lunak yang digunakan seperti tabel berikut. Tabel III-1. Perangkat lunak yang dibutuhkan dalam rangka inventarisasi dan identifikasi mangrove di wilayah BPDAS Pemali Jratun, Provinsi Jawa TengahNo. Jenis Perangkat Lunak Spesifikasi Teknis Penggunaan Jumlah (unit) Lama Penggunaan

Diterbitkan Oleh:

DEPARTEMEN KEHUTANANDIREKTORAT JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL BALAI PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI PEMALI-JRATUN PROVINSI JAWA TENGAH

Hal. III - 5

Laporan AkhirINVENTARISASI DAN IDENTIFIKASI MANGROVE WILAYAH BALAI PENGELOLAAN DAS PEMALI JRATUN PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN ANGGARAN 2006

No.

Jenis Perangkat Lunak

Spesifikasi Teknis

Penggunaan

Jumlah (unit)

Lama Penggunaan

Software Digitasi Program AutoCad digunakan untuk digitasi data spasial visual menjadi data digital dengan menggunakan meja digitasi Program ArcInfo digunakan untuk mengolah data vektor. Pengolahan data vektor termasuk juga digunakan untuk digitasi, seperti halnya AutoCad dengan menggunakan meja digitasi.

1

AutoCad

Versi 14

3 unit

30 hari

2

ArcInfo

Versi 3.5

3 unit

30 hari

Software GIS Dalam pekerjaan GIS, ArcInfo digunakan untuk membangun database peta. Proses yang dapat dilakukan 1 ArcInfo Versi 3.5 adalah clean, build, overlay, calculation, table operation, dissolve, eliminate dan lainlain Program ArcView digunakan untuk manajemen database dan analisis spasial, 2 ArcView Versi 3.2 penafsiran citra secara manual dan layout peta serta pencetakannya Software Pengolah Citra (Image Processing) Program pengolah data citra digunakan untuk pekerjaan mozaik, koreksi geometri, 1 PCI Versi 6.3 pemotongan (subset) dan color composite

Sda

Sda

4 unit

30 hari

3 unit

30 hari

3.2.2.

Perangkat Keras

Perangkat keras yang dimaksud di sini adalah perangkat keras yang merupakan unit komputer dan pendukung bidang pemetaan, survei dan pelaporan. Komputer ini digunakanDiterbitkan Oleh:

DEPARTEMEN KEHUTANANDIREKTORAT JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL BALAI PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI PEMALI-JRATUN PROVINSI JAWA TENGAH

Hal. III - 6

Laporan AkhirINVENTARISASI DAN IDENTIFIKASI MANGROVE WILAYAH BALAI PENGELOLAAN DAS PEMALI JRATUN PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN ANGGARAN 2006

untuk mendukung pekerjaan seluruh tenaga pelaksana saat di studio/kantor. Perangkat keras beserta perangkat lunak digunakan untuk mendukung pekerjaan pembuatan peta, pengolahan GIS, data citra, maupun pembuatan laporan dan pencetakan. Penggunaan komputer dirinci sebagai berikut: Tabel III-2. Perangkat keras yang digunakan dalam rangka inventarisasi dan identifikasi mangrove di wilayah BPDAS Pemali Jratun, Provinsi Jawa TengahJenis Spesifikasi Perangkat Teknis Keras Komputer Pengolah Data Citra 1 Personal Pentium IV, 2,6 Komputer GHz, VGA 128 MB, HD 80 GB, RAM 512 MB, CD/DVD-ROM, USB 2 dan Monitor 17 Peralatan Pengolah Data GIS 1 Personal Pentium IV, 2,6 Komputer GHz, VGA 512 MB, HD 80 GB, RAM 512 MB, CD/DVD-ROM, USB 2 dan Monitor 17 2 Meja Digitasi Ukuran A0, Mouse digitizer dan Standing No. Komputer Pengolah Data Tekstual 1 Personal Pentium IV, 1,7 Komputer GHz, VGA 128 MB, HD 40 GB, RAM 128 MB, CD/DVD-ROM, USB 2 dan Monitor 15 Perangkat Pencetakan 1 Plotter Ukuran A0, RAM 256 MB dan Roll/sheet paper Penggunaan Jumlah (unit) 4 unit Lama Penggunaan 55 hari

Digunakan untuk mengolah data-data berkapasitas besar, seperti data penginderaan jauh atau data digital citra

Digunakan untuk mengolah data-data peta GIS yang meliputi overlay, kalkulasi, map komposisi, layout peta dan pencetakan Digunakan untuk konversi data visual menjadi data digital

4 unit

55 hari

3 unit

15 hari

Digunakan untuk mengolah data-data yang bersifat tekstual dan database dalam penyusunan laporan dan administrasi

22 unit

55 hari

Digunakan untuk mencetak peta-peta hasil pengolahan data

1 unit

15 hari

Diterbitkan Oleh:

DEPARTEMEN KEHUTANANDIREKTORAT JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL BALAI PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI PEMALI-JRATUN PROVINSI JAWA TENGAH

Hal. III - 7

Laporan AkhirINVENTARISASI DAN IDENTIFIKASI MANGROVE WILAYAH BALAI PENGELOLAAN DAS PEMALI JRATUN PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN ANGGARAN 2006

No.

Jenis Perangkat Keras

Spesifikasi Teknis color

Penggunaan secara GIS dan penggandaannya Digunakan untuk mencetak hasil-hasil penyusunan laporan dan foto-foto lapangan Digunakan untuk pengambilan objek lapangan yang dapat digunakan untuk mendukung dalam penyusunan laporan Digunakan untuk menunjang kegiatan survei dalam pengambilan koordinat lapangan Digunakan untuk menghimpun data multimedia Digunakan untuk menghimpun data hasil wawancara Digunakan untuk pengukuran di lapangan

Jumlah (unit)

Lama Penggunaan

2

Printer

Ukuran A4, RAM 1 MB dan Sheet paper color

2 unit

55 hari

Peralatan Survei 1 Kamera Survey

Kamera digital, 3 Mpix, Memory 1 MB dan Zoom optical 20x Memory 1 MB dan Tracking color Optical Zoom 10X dan Memory 5 Mpix Recorder dan Cassete recorder

8 unit

15 hari

2

GPS

8 unit

15 hari

3 4 5

HandyCamp Tape Recorder Salinometer, Rollmeter, Haga, Chrisenmeter dll

8 unit 8 unit 8 unit

15 hari 15 hari 15 hari

3.3. 3.3.1.

PENGUMPULAN DATA Jenis Data

Data yang dikumpulkan dalam kegiatan inventarisasi dan identifikasi mangrove di wilayah BPDAS Pemali Jratun Provinsi Jawa Tengah meliputi data primer dan data sekunder: 1) Citra Satelit Landsat 7 ETM+ dalam format digital. Adapun spesifikasi teknis dari data tersebut adalah sebagai berikut:

Diterbitkan Oleh:

DEPARTEMEN KEHUTANANDIREKTORAT JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL BALAI PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI PEMALI-JRATUN PROVINSI JAWA TENGAH

Hal. III - 8

Laporan AkhirINVENTARISASI DAN IDENTIFIKASI MANGROVE WILAYAH BALAI PENGELOLAAN DAS PEMALI JRATUN PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN ANGGARAN 2006

a) b) c)

Kualitas Citra Landsat 7 ETM+ yang diadakan memiliki penutupan awan kurang dari 20% Liputan data dari dua tahun terakhir, yaitu tahun 2005 sampai dengan tahun 2006 Full band, terdiri dari saluran (1, 2, 3, 4, 5, 6L, 6H, 7 dan 8) dan full scene dengan format Geo TIFF dengan level produk adalah 1G (terkoreksi geometric dan radiometric) Liputan Path/Row: 121/65, 120/65, 119/65 dan 120/64

d) 2) 3) 4) 5) 6)

Peta RBI/Topografi skala 1 : 50.000 digital, standar pemetaan dari Bakosurtanal dan format data Arcinfo (Coverage) atau Arcview (Shp) Peta-peta Tematik Kehutanan (Peta Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan), Peta Land Sytem, Peta Tanah, Peta Curah Hujan, Peta Iklim, Peta Hidrologi dan Peta DAS Data hasil survei potensi tegakan mangrove Informasi ekosistem mangrove Data sosial ekonomi kelembagaan, terutama yang berkaitan dengan pemanfaatan mangrove

Pengelolaan mangrove dan ekosistemnya melibatkan berbagai instansi pemerintah terkait di wilayah BPDAS Pemali Jratun, yaitu LSM, kelompok masyarakat dan berbagai pihak yang berkepentingan (wakil pemangku kepentingan). Permasalahan yang ada ialah koordinasi pengelolaan ekosistem mangrove yang belum efektif, kewenangan sektoral pengelolaan mangrove yang masih belum sinergis, instansi kunci dan aturan main (standar dan kriteria) pengelolaan ekosistem mangrove yang belum disepakati serta kelembagaan dalam pengelolaan ekosistem mangrove (pusat dan daerah) belum berfungsi optimal. Berkaitan dengan kebijakan pengelolaan mangrove, data yang di kumpulkan meliputi: 1) 2) 3) 4) Instansi-instansi yang terlibat dalam pengelolaan mangrove di sasaran lokasi LSM yang berperan dalam pengelolaan ekosistem mangrove Kelompok masyarakat (kelompok tani, kelompok nelayan, tokoh masyarakat dan kelembagaan lokal) Pembagian peran dan kewenangan para pihak yang berkaitan dengan pengelolaan mangrove

Diterbitkan Oleh:

DEPARTEMEN KEHUTANANDIREKTORAT JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL BALAI PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI PEMALI-JRATUN PROVINSI JAWA TENGAH

Hal. III - 9

Laporan AkhirINVENTARISASI DAN IDENTIFIKASI MANGROVE WILAYAH BALAI PENGELOLAAN DAS PEMALI JRATUN PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN ANGGARAN 2006

3.3.2.

Teknik Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan dalam rangka inventarisasi dan identifikasi mangrove di wilayah BPDAS Pemali Jratun Provinsi Jawa Tengah, sebagaimana disajikan pada Tabel III-3. Tabel III-3. Jenis data yang dikumpulkan dalam rangka inventarisasi dan identifikasi mangrove di wilayah BPDAS Pemali Jratun Provinsi Jawa TengahNo. 1 Jenis Data Citra Satelit Landsat Lapan Sumber Keterangan Citra Satelit Landsat 7 ETM+ dalam format digital liputan 2 tahun terahir Skala 1 : 25.000 dalam format digital

2 3

Peta Dasar dan Peta Rupa Bumi Indonesia (RBI) Peta Tematik: Peta Tanah, Geologi, Curah Hujan/Iklim, Hidrologi, Land Use, DAS, Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan serta Peta RTRWP Data Vegetasi/Potensi Mangrove

Bakosurtanal Departemen Kehutanan, BPDAS Pemali Jratun dan Pemda Provinsi Jawa Tengah Pemeriksaan lapangan dengan Intensitas Sampling 0,3% Hasil survei lapangan, Kantor Statistik Pemda Provinsi Jawa Tengah dan Biro Pusat Statistik

4

Data primer dan sekunder

5

Data Sosial Ekonomi/Kelembagaan

Kependudkan, mata pencaharian dan kelembagaan

3.3.3.

Teknik Pengambilan Sampel Vegetasi

Pengambilan contoh untuk analisis vegetasi dengan Intensitas Sampling (IS) 0,3% dan satuan contoh yang dipakai berupa jalur berpetak. Jalur dibuat dengan lebar 10 m dengan arah tegak lurus garis pantai ke arah daratan. Untuk hutan mangrove yang tebal, arah jalur dapat tegak lurus garis sungai. Jika keduanya digunakan, maka perlu diusahakan agar jalur tegak lurus pantai tidak sampai berpotongan dengan jalur tegak lurus sungai. Jarak antar jalur dibuat sedemikian rupa, sehingga mencapai IS yang ditargetkan. Pada setiap jalur dibuat petak coba dengan berbagai ukuran sesuai dengan penggunaannya.

Diterbitkan Oleh:

DEPARTEMEN KEHUTANANDIREKTORAT JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL BALAI PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI PEMALI-JRATUN PROVINSI JAWA TENGAH

Hal. III - 10

Laporan AkhirINVENTARISASI DAN IDENTIFIKASI MANGROVE WILAYAH BALAI PENGELOLAAN DAS PEMALI JRATUN PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN ANGGARAN 2006

Petak coba dibuat pada arah yang berselang-seling sepanjang jalur dengan jarak antar pusat petak coba sebesar 200 m. Panjang jalur dibuat sampai batas ujung akhir hutan mangrove. Ukuran petak contoh untuk setiap tingkatan tumbuhan ditetapkan sebagai berikut: 1) 2) Semai/seedling (mulai kecambah sampai tinggi 1,5 m) dengan ukuran plot contoh 2 m x2m Sapihan/sapling (permudaan dengan tinggi pohon 1,5 m atau lebih sampai dengan pohon yang mempunyai keliling tidak lebih dari 30 cm) dengan ukuran plot contoh 5 m x5m Pohon adalah pohon dengan keliling lebih dari 30 cm dengan ukuran plot contoh 10 m x 10 m

3)

Ketiga petak tersebut dibuat terpusat sepanjang jalur dengan jarak setiap petak 200 m.50 m C2 B2 150 m A1 B1 C1 200 m a3 A2 D2 a1 50 m a2 D1 20 m

Gambar III-3. Skema letak petak coba dalam jalur Keterangan: A-1 B-1 C-1 : : : Petak coba untuk semai (2 m x 2 m) pada satuan contoh sekunder kesatu Petak coba untuk sapihan (5 m x 5 m) pada satuan contoh sekunder kesatu Petak coba untuk pohon (10 m x 10 m) pada satuan contoh sekunder kesatu

Diterbitkan Oleh:

DEPARTEMEN KEHUTANANDIREKTORAT JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL BALAI PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI PEMALI-JRATUN PROVINSI JAWA TENGAH

Hal. III - 11

Laporan AkhirINVENTARISASI DAN IDENTIFIKASI MANGROVE WILAYAH BALAI PENGELOLAAN DAS PEMALI JRATUN PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN ANGGARAN 2006

A2, B2, C2 a1, a2, a3

: :

Sda, tetapi untuk satuan contoh sekunder kedua dan seterusnya Garis sumbu jalur

Penentuan banyaknya jalur dihitung dengan cara sebagai berikut: N = 1000 L = 1000 L 1 1 Dimana : L (km) = Panjang base line (panjang garis batas antara mangrove dengan laut) 1 (m) = Lebar jalur Banyaknya jalur contoh (n) diperoleh dari: n = f N, dimana f adalah IS Jarak antar jalur (I = intense) ditetapkan dari: I= 1 f

3.3.4.

Teknik Pengambilan Sampel Sosial Ekonomi

Data primer dari aspek sosial ekonomi dan kelembagaan diperoleh dengan wawancara/blanko kuisioner dengan pengambilan sampel yang mewakili dengan IS 3%, antara lain memuat data diri responden, mata pencaharian, pendidikan, penghasilan, pemanfaatan hutan bakau, persepsi terhadap mangrove dan informasi lain yang mendukung. Studi ini juga menggunakan pendekatan kualitatif dilakukan dengan wawancara mendalam (menggunakan panduan kuesioner), diskusi kelompok terfokus (focus group discussion) dan oral history untuk memberikan kondisi wilayah dan masyarakat. Pengumpulan data primer terhadap informan kunci dilakukan dengan teknik snow ball (bola salju). Teknik pengumpulan data juga dilakukan dengan pengamatan berpartisipasi. Untuk melengkapi data, tim studi juga mengumpulkan data sekunder yang bersumber dari instansiinstansi terkait.

3.4.3.4.1.

PENGOLAHAN DAN ANALISIS DATA Pengolahan Parameter Kekritisan Lahan

3.4.1.1. Pengolahan dan Analisis Data Citra Satelit

Diterbitkan Oleh:

DEPARTEMEN KEHUTANANDIREKTORAT JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL BALAI PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI PEMALI-JRATUN PROVINSI JAWA TENGAH

Hal. III - 12

Laporan AkhirINVENTARISASI DAN IDENTIFIKASI MANGROVE WILAYAH BALAI PENGELOLAAN DAS PEMALI JRATUN PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN ANGGARAN 2006

Tahap pertama dilakukan penilaian dengan menggunakan teknologi GIS (Geographic Information System) dan inderaja (citra satelit) dari kawasan mangrove yang akan diinventarisasi, kemudilan dilakukan tahap pengecekan lapangan (tahap kedua) terhadap hasil interpretasi dan analisis citra satelit (tahap pertama). Secara skematis, tahap kegiatan penilaian tersebut dijelaskan pada Gambar III-4. Skema kegiatan pada tahap penilaian dengan teknologi inderaja digambarkan pada Gambar III-4. Dalam tahap ini dilakukan kegiatan pengadaan data citra Satelit Landsat 7 ETM+ dan pembuatan peta-peta hasil pengolahan citra serta hasil data sekunder, yaitu Peta Penutupan Lahan/Penggunaan Lahan dan Jenis Mangrovenya, Peta Kerapatan Mangrove dan Peta Zonasi/Formasi Jenis Mangrove. Secara rinci lingkup kegiatan ini dijabarkan sebagai berikut:SPESIFIKASI CITRA

DATA LANDSAT RBIINTERPRETASI NDVI

DATA SEKUNDERJenis mangrove, sifat tanah, periode pasang surut, salinitas, koordinat titik sampel, kelas penutupan lahan dan kelas kerapatan

GIS & MAPPING

PETA PENUTUPAN LAHAN & JENIS MANGROVE

PETA KERAPATAN MANGROVE

PETA ZONASI

Gambar III-4. Analisis data penginderaan jauh Citra Satelit Landsat 7 ETM+ adalah salah satu data produk penginderaan jauh hasil perekaman yang dilakukan oleh wahana satelit Landsat 7. Satelit ini menggunakan sensor perekam data Enhanced Thematic Mapper. Cara kerja perekaman data adalah dengan sistem scanning (penyapuan). Dari sistem scanner yang digunakan dihasilkan data yang terdiri dari 6 (enam) saluran multispektral dengan resolusi spasial 30 meter, 2 (dua) saluran thermal dengan resolusi spasial 60 meter dan 1 (satu) saluran pankromatik dengan resolusi spasial 15 meter. Sistem scanner-nya memiliki lebar sapuannya adalah 80 x 80 km yang memiliki sistem proyeksi UTM (Universal Thematic Mapper). Data Citra Satelit Landsat 7 ETM+ ini merupakan liputan waktu terbaru (maksimal 2 tahun terakhir) dengan persentase tutupan awan maksimal < 20% (sesuai dengan yang disyaratkan dalam Kerangka Acuan Kerja/KAK).

Diterbitkan Oleh:

DEPARTEMEN KEHUTANANDIREKTORAT JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL BALAI PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI PEMALI-JRATUN PROVINSI JAWA TENGAH

Hal. III - 13

Laporan AkhirINVENTARISASI DAN IDENTIFIKASI MANGROVE WILAYAH BALAI PENGELOLAAN DAS PEMALI JRATUN PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN ANGGARAN 2006

3.4.1.2. Penafsiran Citra SatelitPembuatan Peta Penutupan Lahan menggunakan Citra Satelit Landsat 7 ETM+. Peta Penutupan Lahan ini merupakan hasil interpretasi penutupan lahan pada citra skala 1 : 50.000. Dalam pelaksanaannya, citra yang akan diinterpretasi terlebih dahulu dilakukan beberapa proses pengolahan citra, yaitu: 1) Penyesuaian proyeksi dan koordinat citra Penyesuaian proyeksi dan koordinat citra perlu dilakukan. Penyesuaian ini dilakukan untuk menyesuaikan sistem proyeksi dan koordinat yang digunakan sebagai dasar pemetaan di lingkup Departemen Kehutanan (Badan Planologi/Baplan) dan Bakosurtanal. Perbedaan geometri citra dapat disebabkan oleh perbedaan dalam penentuan besaran sampel Ground Control Position (GCP) pada saat melakukan proses koreksi geometri ataupun mozaik pada scene yang memiliiki perbedaan zona dan Lintang Utara Lintang Selatan. Saat ini peta dasar wilayah Indonesia telah dibuat oleh Badan Planologi Kehutanan, Departemen Kehutanan. Dasar yang digunakan oleh Baplan adalah hasil pemetaan dari Citra Satelit Landsat 7 ETM+. Namun demikian, akibat proses yang kita lakukan kadang tidak matching dengan yang telah dibuat oleh Baplan. 2) Penggabungan layer (saluran) atau pembentukan Citra Color Compossite Pada umumnya data digital citra landsat dalam format GeoTiff terdiri dari 10 (sepuluh) file yang berisi 9 (sembilan) file band/saluran dan 1 (satu) file keterangan (readme) dengan kondisi satu band satu file dan jika ditampilkan citra akan tampak dengan warna hitam putih. Kondisi ini sangat menyulitkan untuk proses interpretasi secara manual. Cara untuk mengatasinya pada citra multibands-multispectral ini adalah dengan penggabungan beberapa saluran/band. Penggabungan ini dapat menghasilkan citra warna semu (false color) dan atau citra warna asli (true color), tergantung pada perpaduan saluran dalam format color RGB (Red-Green-Blue). Proses penggabungan saluran/band citra ini dapat dilakukan dengan menggunakan program pengolah citra (image processing).

Diterbitkan Oleh:

DEPARTEMEN KEHUTANANDIREKTORAT JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL BALAI PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI PEMALI-JRATUN PROVINSI JAWA TENGAH

Hal. III - 14

Laporan AkhirINVENTARISASI DAN IDENTIFIKASI MANGROVE WILAYAH BALAI PENGELOLAAN DAS PEMALI JRATUN PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN ANGGARAN 2006

3)

Penajaman spektral citra Penajaman spektral citra adalah penajaman kontras warna citra agar lebih jelas perbedaan spektral objek satu dengan lainnya. Penajaman spektral ini dilakukan dengan cara perentangan histogram spektral citra. Perentangan dapat dilakukan pada setiap saluran atau dapat pula dilakukan pada citra compossite (penggabungan layer citra). Selain dengan cara perentangan, ketajaman citra dalam pembedaan spectral objek satu dengan lainnya dapat pula dilakukan dengan pemilihan saluran yang sesuai, misalnya saluran merah (band 3) dan infra merah (band 4 atau 5) sangat baik untuk pantulan spektral objek vegetasi.

Penafsiran citra dilakukan untuk mendapatkan kelas penutupan lahan sesuai dengan pembagian kelas dan kodefikasi penutupan lahan yang dikeluarkan oleh Badan Planologi Kehutanan (23 kelas). Penafsiran citra dilakukan dengan metode manual, yaitu dengan cara interpretasi berdasarkan kenampakan warna objek. Selain kenampakan warna, pengenalan objek dapat dilakukan dengan pendekatan letak, bentuk, ukuran, pola penyebaran, tekstur, struktur, site (letak terhadap lingkungan) dan asosiasi (faktor lain yang berhubungan). Unsur-unsur di atas dalam kegiatan penafsiran citra sering disebut sebagai kunci interpretasi. Penggunaan kunci interpretasi tergantung pada kerumitan pengenalan objek, semakin rumit akan membutuhkan semakin banyak kunci pengenalannya, sehingga hasil yang didapat akan mendekati kebenaran di lapangan. Kunci interpretasi dapat dikenali pada setiap kenampakan citra dengan menggunakan metode digitation on screen akan lebih memudahkan pengenalan kunci interpretasinya, sehingga akan mendapatkan klasifikasi yang sesuai dengan kebenaran di lapangan. Hal yang perlu diperhatikan dalam proses interpretasi citra dengan cara digitation on screen adalah penggunaan zooming monitor harus selalu konstan pada skala yang dikehendaki. Perbesaran atau pengecilan skala pada monitor hanya dilakukan untuk melihat kenampakan menyeluruh atau detil objek, namun saat delineasi skala harus konstan. 1) Jenis penggunaan lahan Interpretasi penutupan lahan menggunakan metode digitiz on screen. Metode tersebut digunakan karena objek yang ditafsir berkorelasi kuat dengan objek air, sehingga pantulan air sangat mempengaruhi pantulan objek mangrove. Pada kondisi demikian, penafsiran secara visual akan lebih menguntungkan karena unsur subjektivitas penafsir akan dibantu dengan pemahaman kunci penafsiran. Objek yang

Diterbitkan Oleh:

DEPARTEMEN KEHUTANANDIREKTORAT JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL BALAI PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI PEMALI-JRATUN PROVINSI JAWA TENGAH

Hal. III - 15

Laporan AkhirINVENTARISASI DAN IDENTIFIKASI MANGROVE WILAYAH BALAI PENGELOLAAN DAS PEMALI JRATUN PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN ANGGARAN 2006

akan diinterpretasi dalam pekerjaan ini adalah penggunaan lahan dan tingkat kerapatan tajuk. a) Klasifikasi objek akan mengikuti kaidah klasifikasi menurut Baplan Dephut yang terbaru. Dasar penafsiran dan delineasinya adalah pengenalan objek berdasarkan kunci penafsiran, seperti warna, tone, letak/site, asosiasi, bentuk dan pola. Delineasi dilakukan dengan cara digitiz on screen. Kodefikasi jenis penggunaan lahan akan mengikuti kaidah kodefikasi yang telah dibuat oleh Baplan Dephut. Kodefikasi dimaksudkan untuk memudahkan dalam proses analisis secara digital dengan GIS. Sedangkan kelompok yang dikategorikan dalam pekerjaan ini yang belum ada aturan yang baku oleh konsultan dibuat sendiri sesuai kebutuhan untuk tujuan mempermudah, memperjelas dan mendapatkan hasil yang akurat dengan mengacu pada aturan pengkodean oleh Baplan Dephut.

b)

2)

Kerapatan tajuk mangrove Kerapatan mangrove dapat didekati dengan pengenalan manual atau dengan cara digital. Pengenalan manual dapat menghasilkan kerapatan secara kualitatif atau kuantitatif dengan tingkat ketelitian yang rendah. Kerapatan mangrove dapat diketahui dengan cara digital. Dasar pengenalan kerapatan tajuk dengan cara digital adalah nilai pantulan spektral hijau daun. Berdasarkan tinggi rendahnya intensitas pantulan hijau daun dapat dikelaskan sebagai indikasi tingkat kerapatan tajuk mangrove. Klasifikasi kerapatan tajuk ini dilakukan dengan menggunakan program pengolah data citra (image processing), dimana di dalamnya tersedia modul untuk menghitung nilai intensitas pantulan spektral hijau daun. Sesuai dengan karakteristiknya, saluran merah dan infra merah sangat sesuai dengan kepekaan terhadap pantulan hijau dari kandungan klorofil daun. Oleh sebab itu, kedua saluran tersebut digunakan untuk mengidentifikasi pantulan hijau daun dengan menggunakan formula NDVI (Normalized Defference Vegetation Index). Prinsip kerja analisis NDVI adalah dengan mengukur tingkat intensitas kehijauan. Intensitas kehijauan pada citra landsat berkorelasi dengan tingkat kerapatan tajuk vegetasi dan untuk deteksi tingkat kehijauan pada citra landsat yang berkorelasi dengan kandungan klorofil daun, maka saluran yang baik digunakan adalah saluran

Diterbitkan Oleh:

DEPARTEMEN KEHUTANANDIREKTORAT JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL BALAI PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI PEMALI-JRATUN PROVINSI JAWA TENGAH

Hal. III - 16

Laporan AkhirINVENTARISASI DAN IDENTIFIKASI MANGROVE WILAYAH BALAI PENGELOLAAN DAS PEMALI JRATUN PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN ANGGARAN 2006

infra merah dan merah. Oleh sebab itu, dalam formula NDVI digunakan kedua saluran tersebut. Adapun formula yang digunakan pada NDVI adalah sebagai berikut:

Saluran 4 Saluran 3 NDVI = Saluran 3 + Saluran 4

Ket: Saluran 3 : Merah Saluran 4 : Infra merah NDVI : Normalized Defference Vegetation Index

Klasifikasi kerapatan tajuk mangrove ditentukan berdasarkan rentang nilai NDVI hasil perhitungan. Jumlah klasifikasi kerapatan mengacu pada buku Pedoman Inventarisasi dan Identifikasi Mangrove yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial Departemen Kehutanan. Pembagian klasifikasinya adalah sebagai berikut: a) b) c) 3) Kerapatan tajuk lebat (0,43 NDVI 1,00) Kerapatan tajuk sedang (0,33 NDVI 0,42) Kerapatan tajuk jarang (-1,00 NDVI 0,32)

Analisis ketahanan tanah terhadap erosi Analisis ketahanan tanah terhadap erosi dilakukan dengan pengambilan sampel tanah di lapangan berdasarkan pendekatan jenis dan persebaran tanah. Informasi jenis dan persebaran tanah diperoleh dari peta tanah wilayah kajian pada skala 1 : 250.000. Karakteristik/sifat tanah yang digunakan untuk analisis ketahanan tanah terhadap erosi adalah sifat fisik tanah berupa tekstur tanah. Tekstur tanah secara kualitatif dapat diukur secara langsung di lapangan dengan cara memilin contoh tanah, namun secara kuantitatif tekstur tanah dianalisis di laboratorium dengan mengetahui perbandingan persentase kandungan pasir, debu dan lempung.

3.4.2. Sistem Penilaian Tingkat Kekritisan Lahan Mangrove 3.4.2.1. Penilaian Kekritisan Lahan melalui GIS dan InderajaSesuai kriteria-kriteria yang telah disebutkan pada bab sebelumnya, penilaian tingkat kekritisan lahan mangrove dengan bantuan teknologi GIS dan inderaja dapat dilakukan dengan sistem penilaian sebagai berikut:

Diterbitkan Oleh:

DEPARTEMEN KEHUTANANDIREKTORAT JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL BALAI PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI PEMALI-JRATUN PROVINSI JAWA TENGAH

Hal. III - 17

Laporan AkhirINVENTARISASI DAN IDENTIFIKASI MANGROVE WILAYAH BALAI PENGELOLAAN DAS PEMALI JRATUN PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN ANGGARAN 2006

1)

Jenis penggunaan lahan, diklasifikasikan ke dalam tiga kategori dengan bobot nilai 45 dan cara skoring sebagai berikut: a) b) c) Skor 3 Skor 2 Skor 1 kosong : Hutan (kawasan hutan) : Tambak tumpang sari dan/atau perkebunan : Pemukiman, industri, tambak non tumpang sari, sawah dan tanah

2)

Kerapatan tajuk Kerapatan tajuk merupakan parameter penting yang dapat diketahui dari data citra satelit untuk penentuan tingkat kekritisan hutan mangrove. Pada hal ini, kerapatan tajuk memiliki bobot nilai 35 dengan cara skoring sebagai berikut: a) b) c) Skor 3 : Kerapatan tajuk lebat (70100% atau 0,43 NDVI 1,00) Skor 2 : Kerapatan tajuk sedang (5069% atau 0,33 NDVI 0,42) Skor 1 : Kerapatan tajuk jarang (< 50% atau -1,0 NDVI 0,32)

3)

Ketahanan tanah terhadap abrasi Ketahanan tanah terhadap abrasi yang dapat diidentifikasi dari Peta Land System yang dibagi dalam tiga kategori dengan bobot nilai 20 dengan cara skoring sebagai berikut: a) b) c) Skor 3 : Jenis tanah tidak peka erosi (tekstur lempung) Skor 2 : Jenis tanah peka erosi (tekstur campuran) Skor 1 : Jenis tanah sangat peka erosi (tekstur pasir)

Secara ringkas, kriteria, bobot dan skor penilaian tersebut dapat disajikan seperti pada Tabel III-4. Tabel III-4. Kriteria, bobot dan skor penilaian untuk penentuan tingkat kekritisan lahan mangrove dengan bantuan teknologi GIS dan inderajaNo. 1 Kriteria Jenis penggunaan lahan (Jpl) Kerapatan tajuk (Kt) Bobot 45 Skor Penilaian a. 3 : Hutan (kawasan berhutan) b. 2 : Tambak tumpang sari dan perkebunan c. 1 : Pemukiman, industri, tambak non tumpang sari, sawah dan tanah kosong a. 3 : Kerapatan tajuk lebat (70100% atau 0,43 NDVI 1,00)

2

35

Diterbitkan Oleh:

DEPARTEMEN KEHUTANANDIREKTORAT JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL BALAI PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI PEMALI-JRATUN PROVINSI JAWA TENGAH

Hal. III - 18

Laporan AkhirINVENTARISASI DAN IDENTIFIKASI MANGROVE WILAYAH BALAI PENGELOLAAN DAS PEMALI JRATUN PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN ANGGARAN 2006

No.

Kriteria

Bobot

Skor Penilaian b. 2 : Kerapatan tajuk sedang (5069% atau 0,33 NDVI 0,42) c. 1 : Kerapatan tajuk jarang (< 50% atau -1,0 NDVI 0,32) a. 3 : Jenis tanah tidak peka erosi (tekstur lempung) b. 2 : Jenis tanah peka erosi (tekstur campuran) c. 1 : Jenis tanah sangat peka erosi (tekstur pasir)

3

Ketahanan tanah terhadap abrasi (Kta)

20

Catatan: Skor 1 = jelek

Berdasarkan Tabel III-4 di atas, Total Nilai Skoring (TNS1) dihitung dengan rumus sebagai berikut: TNS1 = (Jpl x 45) + (Kt x 35) + (Kta x 20) Dari TNS1, selanjutnya dapat ditentukan tingkat kekritisan lahan mangrove sebagai berikut: 1) 2) 3) Nilai 100166 Nilai 167233 Nilai 234300 : Rusak berat : Rusak : Tidak rusak

3.4.2.2.

Sistem Penilaian dengan Cara Terestris (Survei Lapangan)

Penilaian tingkat kekritisan lahan mangrove berdasarkan cara terestris (survei lapangan) dapat dilakukan dengan sistem penilaian sebagai berikut: Tipe penutupan dan penggunaan lahan, diklasifikasikan ke dalam lima kategori dengan bobot nilai 30 dengan cara skoring sebagai berikut: a) b) c) d) e) Skor 5 Skor 4 : Hutan mangrove murni : Hutan mangrove bercampur hutan tegakan lain

Skor 3 : Hutan mangrove bercampur dengan tambak tumpang sari atau areal tambak tumpang sari murni Skor 2 : Hutan mangrove bercampur dengan penggunaan non vegetasi (pemukiman, tambak non tumpang sari dan sebagainya) Skor 1 : Areal tidak bervegetasi

Diterbitkan Oleh:

DEPARTEMEN KEHUTANANDIREKTORAT JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL BALAI PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI PEMALI-JRATUN PROVINSI JAWA TENGAH

Hal. III - 19

Laporan AkhirINVENTARISASI DAN IDENTIFIKASI MANGROVE WILAYAH BALAI PENGELOLAAN DAS PEMALI JRATUN PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN ANGGARAN 2006

Jumlah pohon per hektar, diklasifikasikan ke dalam lima kategori dengan bobot nilai 25 dengan cara skoring sebagai berikut: a) b) c) d) e) Skor Skor Skor Skor Skor 5 4 3 2 1 : : : : : N N N N N = = = = < 1.500 pohon/ha, merata (F = 75%) 1.500 pohon/ha, tidak merata (F < 75%) 1.0001500 pohon/ha, merata (F = 75%) 1.0001500 pohon/ha, tidak merata (F < 75%) 1.000 pohon/ha

Jumlah permudaan per hektar, (Np) diklasifikasikan ke dalam lima kategori dengan bobot nilai 20 dengan cara skoring sebagai berikut: a) b) c) d) e) Skor 5 : Np = Np = Skor 4 : Np = Np = Skor 3 : Np = Np = Skor 2 : Np = Np = Skor 1 : Np < Np < 5.000 semai/ha (F = 40%) 2.500 pancang/ha (F = 60%) 4.000-5000 semai/ha (F = 40%) 2.0002.500 pancang/ha (F = 60%) 3.000-4000 semai/ha (F = 40%) 1.500-2000 pancang/ha (F = 60%) 2.000-3000 semai/ha (F = 40%) 1.0001.500 pancang/ha (F = 60%) 2.000 semai/ha (F = 40%) 1.000 pancang/ha (F = 60%)

2)

Lebar jalur hijau mangrove Sesuai dengan Keputusan Presiden Nomor 32 tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung, kawasan pantai berhutan bakau/mangrove harus memiliki lebar jalur hijau mangrove sebesar 130 kali nilai rata-rata perbedaan air pasang tertinggi dan terendah tahunan diukur dari garis air surut terendah ke arah darat (PPS) yang dikategorikan masih dapat berfungsi cukup baik. Bobot nilai yang diberikan pada kriteria lebar jalur hijau mangrove adalah 15 dengan cara skoring sebagai berikut: a) b) c) d) e) Skor Skor Skor Skor Skor 5 4 3 2 1 : : : : : 100% 80% - 100% (130 x PPS) 60% - 80% (130 x PPS) 40% - 60% (130 x PPS) < 40% (130 x PPS)

Diterbitkan Oleh:

DEPARTEMEN KEHUTANANDIREKTORAT JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL BALAI PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI PEMALI-JRATUN PROVINSI JAWA TENGAH

Hal. III - 20

Laporan AkhirINVENTARISASI DAN IDENTIFIKASI MANGROVE WILAYAH BALAI PENGELOLAAN DAS PEMALI JRATUN PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN ANGGARAN 2006

3)

Tingkat abrasi Berhubung informasi mengenai abrasi ini masih kurang dukungan data hasil penelitian, maka secara professional judgement, laju abrasi di bawah 3 m/tahun dapat dikategorikan sebagai tingkat abrasi yang masih dapat ditolerir. Bobot nilai yang diberikan pada kriteria ini adalah 10 dengan cara skoring sebagai berikut: a) b) c) d) e) Skor Skor Skor Skor Skor 5 4 3 2 1 : : : : : 01 m/tahun 12 m/tahun 23 m/tahun 35 m/tahun > 5 m/tahun

Secara ringkas, kriteria, bobot dan skoring penilaian di atas dapat disajikan seperti tertera pada Tabel III-5. Tabel III-5. Kriteria, bobot dan skor penilaian untuk menentukan tingkat kekritisan lahan mangrove dengan cara terestris (survei lapangan)No. 1 Kriteria Tipe penutupan dan penggunaan lahan (Tppl) Bobot 30 Skor Penilaian a. 5 : Hutan mangrove murni b. 4 : Hutan mangrove bercampur tegakan hutan lain c. 3 : Hutan mangrove bercampur dengan tambak tumpang sari atau areal tambak tumpang sari murni d. 2 : Hutan mangrove bercampur dengan penggunaan lahan non vegetasi (pemukiman, tambak non tumpang sari dan sebagainya) e. 1 : Areal tidak bervegetasi a. 5 : N = 1.500 pohon/ha, merata (F = 75%) b. 4 : N = 1.500 pohon/ha, tidak merata (F < 75%) c. 3 : N = 1.0001.500 pohon/ha, merata (F = 75%) d. 2 : N = 1.0001.500 pohon/ha, tidak merata (F < 75%) e. 1 : N < 1.000 pohon/ha a. 5 : N = 5.000 semai/ha (F = 40%) N = 2.500 pancang/ha (F = 60%) b. 4 : N = 4.0005000 semai/ha (F = 40%) N = 2.0002.500 pancang/ha (F = 60%) c. 3 : N = 3.0004.000 semai/ha (F = 40%) N = 1.5002.000 pancang/ha (F = 60%) d. 2 : N = 2.0003.000 semai/ha (F = 40%) N = 1.0001.500 pancang/ha (F = 60%)

2

Jumlah pohon/ha (N)

25

3

Permudaan/ha (Np)

20

Diterbitkan Oleh:

DEPARTEMEN KEHUTANANDIREKTORAT JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL BALAI PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI PEMALI-JRATUN PROVINSI JAWA TENGAH

Hal. III - 21

Laporan AkhirINVENTARISASI DAN IDENTIFIKASI MANGROVE WILAYAH BALAI PENGELOLAAN DAS PEMALI JRATUN PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN ANGGARAN 2006

No.

Kriteria

Bobot

Skor Penilaian e. 1 : N < 2.000 semai/ha (F = 40%) N < 1.000 pancang/ha (F = 60%) a. 5 : 100% b. 4 : 80%-100% (130 x PPS) c. 3 : 60%-80% (130 x PPS) d. 2 : 40%-60% (130 x PPS) e. 1 : < 40% (130 x PPS) a. 5 : 01 m/tahun b. 4 : 12 m/tahun c. 3 : 23 m/tahun d. 2 : 35 m/tahun e. 1 : > 5 m/tahun

4

Lebar jalur hijau mangrove (L)

15

5

Tingkat abrasi (A)

10

Catatan: Skor 1 = jelek

Adapun Total Nilai Skoring (TNS2) dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut: TNS2 = (Tppl x 30) + (N x 25) + (Np x 20) + (L x 15) + (A x 10) Berdasarkan TNS2 tersebut, tingkat kekritisan lahan mangrove dapat diklasifikasikan sebagai berikut: 1) 2) 3) Nilai 100200 Nilai 201300 Nilai > 300 : Rusak berat : Rusak : Tidak rusak

3.4.2.3. Sistem Penilaian dan Anlisis Data dengan Cara Sosial EkonomiKerusakan mangrove selain disebabkan faktor fisik juga disebabkan oleh tindakan masyarakat sekitar kawasan mangrove karena kondisi sosial ekonominya dan untuk mengetahui pengaruh sosial ekonomi masyarakat sekitar kawasan mangrove terhadap kerusakan mangrove dilakukan penilaian dengan teknik skoring sebagai berikut: Tabel III-6. Kriteria, bobot dan skor faktor sosial ekonomi penyebab kerusakan mangroveNo. 1 Peubah Mata pencaharian utama (mp) Bobot 40 Skor 1. Nelayan dan lain-lain 2. Petani 3. Petambak

Diterbitkan Oleh:

DEPARTEMEN KEHUTANANDIREKTORAT JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL BALAI PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI PEMALI-JRATUN PROVINSI JAWA TENGAH

Hal. III - 22

Laporan AkhirINVENTARISASI DAN IDENTIFIKASI MANGROVE WILAYAH BALAI PENGELOLAAN DAS PEMALI JRATUN PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN ANGGARAN 2006

2

Lokasi lahan usaha (llu)

30

1. Berjarak > 1 km (tidak memiliki) 2. Berjarak 0,51 km dari hutan mangrove 3. Berjarak 0,5 km dari hutan mangrove 1.Tidak memanfaatkan kayu bakar 2. Untuk kebutuhan sendiri 3. Untuk dijual 1. Untuk menjaga kondisi lingkungan 2. Untuk menjaga kelangsungan hewan perairan 3. Untuk dimanfaatkan kayunya

3

Pemanfaatan kayu bakar (pkb)

20

4

Persepsi terhadap hutan mangrove (phm)

10

Total Nilai Skoring (TNS3) untuk komponen sosial ekonomi sebagai faktor penyebab kerusakan hutan mangrove secara sederhana disusun ke dalam model matematis sebagai berikut: TNS3 = (mp x 40) + (llu x 30) + (pkb x 20) + (phm x 10) Klasifikasi tingkat faktor penyebab kerusakan mangrove oleh masyarakat, yaitu: 1) 2) 3) Nilai 100160 Nilai 161200 Nilai 201300 : Faktor sosial ekonomi kurang berpengaruh terhadap kerusakan : Faktor sosial ekonomi berpengaruh terhadap kerusakan : Faktor sosial ekonomi sangat berpengaruh terhadap kerusakan

Data primer dan data sekunder yang telah dikumpulkan dari hasil penelitian kualitatif dianalisa dengan menggunakan metode data kualitatif, yang dimulai sejak hari pertama peneliti melakukan penelitian. Analisis data terdiri dari tiga alur kegiatan yang terjadi secara bersamaan, yaitu reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan/verifikasi

3.4.4.

Pengolahan dan Analisis Data Vegetasi

Pengolahan data adalah tahapan pekerjaan menyusun dan merangkaikan berbagai jenis data yang satuan dan fungsinya belum diatur menjadi satuan susunan data yang sistematik dan terinci menurut fungsi, klasifikasi maupun peruntukan penggunaannya.

3.4.3.1. Pengolahan dan Analisis KomposisiDari hasil pengukuran dihitung besaran-besaran sebagai berikut:

Diterbitkan Oleh:

DEPARTEMEN KEHUTANANDIREKTORAT JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL BALAI PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI PEMALI-JRATUN PROVINSI JAWA TENGAH

Hal. III - 23

Laporan AkhirINVENTARISASI DAN IDENTIFIKASI MANGROVE WILAYAH BALAI PENGELOLAAN DAS PEMALI JRATUN PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN ANGGARAN 2006

= Jumlah dari individu Luas plot Kerapatan relatif (KR) = Kerapatan dari suatu jenis x 100% Kerapatan seluruh jenis Frekuensi (F) = Jumlah petak ditemukan suatu jenis Jumlah seluruh petak Frekuensi relatif (FR) = Frekuensi dari suatu jenis x 100% Frekuensi seluruh jenis = LBD suatu jenis Luas petak contoh Dominasi relatif (DR) = Dominasi dari suatu jenis x 100% Dominasi seluruh jenis Indeks Nilai Penting (INP)= KR + FR + DR Dominasi (D)

Kerapatan (K)

3.4.3.2. Penyusunan Tabel Volume LokalTabel volume lokal dibuat untuk keperluan pendugaan volume dari setiap pohon dewasa. Penyusunan tabel volume lokal dibuat hanya jika tabel volume lokal dari areal yang bersangkutan belum dibuat atau tabel volume lokal areal yang bersangkutan diperkirakan yang mewakili belum ada. Tabel volume lokal ini disusun dari data pohon model dengan tahapan analisis sebagai berikut: 1) Penentuan volume pohon model Dari sampling pohon dan sampling potongan batang serta cabang pohon seperti telah terekam di dalam blanko-blanko di atas dapat dihitung volume batang bebas cabang (Vbc) dan volume pohon (V). Volume sebatang pohon adalah penjumlahan volume potongan seksi batang yang bersangkutan. Volume potongan seksi batang diperoleh dengan menerapkan persamaan Smalian seperti berikut ini: V (i) = (1/2) x {BA (p) + BA (u)} x l Dimana: V (i) : BA (p) : BA (u) : l : Volume potongan seksi batang ke-i Bidang dasar pangkal seksi batang kei Bidang dasar ujung seksi batang kei Panjang seksi batang ke-i

Diterbitkan Oleh:

DEPARTEMEN KEHUTANANDIREKTORAT JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL BALAI PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI PEMALI-JRATUN PROVINSI JAWA TENGAH

Hal. III - 24

Laporan AkhirINVENTARISASI DAN IDENTIFIKASI MANGROVE WILAYAH BALAI PENGELOLAAN DAS PEMALI JRATUN PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN ANGGARAN 2006

Dari proses ini akan terbentuk data volume, yaitu volume bebas cabang (Vbc) dan volume total (V) untuk setiap kelompok jenis. Data volume ini kemudian dihadapkan dengan data diameter, baik diameter setinggi dada (dbh) dan diameter di atas banir (dab) serta tinggi, baik tinggi batang bebas cabang (Hbc) dan tinggi total (H) yang merupakan bahan utama perumusan persamaan penaksir volume pohon. Perumusan persamaan penaksir pohon dapat disajikan dalam dua bentuk, sebagai berikut: a) V Vbc = BA x H x f = BA x Hbc x f (bc)

Dimana: V Vbc BA H Hbc f f (bc) b) : Volume : Volume bebas cabang : Bidang dasar setinggi dada : Tinggi pohon : Tinggi batang bebas cabang : Bilangan bentuk : Bilangan bentuk bebas cabang

V = f {dbh/dab, H/Hbc}

Persamaan pertama dikenal juga dengan persamaan volume berdasarkan bilangan bentuk, sedangkan persamaan kedua diselesaikan dengan analisis kuadrat terkecil (analisis regresi). Model regresi biasanya menunjukkan bentuk eksponensial pada unsur diameternya. Kecermatan persamaan penaksir dengan regresi ini ditunjukkan oleh besarnya varians error dan koefisien determinasinya. 2) Menguji hubungan antara tinggi (T) dengan keliling (K) Pengujian hubungan antara tinggi (T) dengan keliling (K) pohon model dilakukan melalui pesamaan regresi T = f (K). Keterandalan model volume udara dilakukan dengan memeriksa nilai analisis ragam regresi seperti tabel di bawah ini. Nilai koefisien determinasi (R5) dan bentuk sebaran sisa (error) yang dihasilkan oleh model yang digunakan. 3) Hubungan volume (V) dengan keliling (K)Diterbitkan Oleh:

DEPARTEMEN KEHUTANANDIREKTORAT JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL BALAI PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI PEMALI-JRATUN PROVINSI JAWA TENGAH

Hal. III - 25

Laporan AkhirINVENTARISASI DAN IDENTIFIKASI MANGROVE WILAYAH BALAI PENGELOLAAN DAS PEMALI JRATUN PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN ANGGARAN 2006

Tabel Volume Udara (Stand Volume Table) dibutuhkan untuk pendugaan volume pohon (m3) menggunakan data hasil pengukuran pohon model terpilih. Tabel volume ini dibuat berdasarkan hasil pengukuran tinggi dan keliling pohon dengan harapan cukup dengan hanya melakukan pengukuran keliling pohon dapat menduga volume pohon di lapangan. Anggapan yang mendasari pembuatan tabel volume lokal ini adalah keragaman potensi tegakan dapat diterangkan oleh keragaman peubah-peubah tinggi atau diameter pohon. Model pendugaan volume pohon diperoleh sebagai fungsi dari peubah-peubah K dan T yang secara fungsional dirumuskan: V = f (K, T) Dimana: V = Volume tegakan yang diperoleh melalui hasil pengukuran di lapangan (m3/ha) K = Keliling pohon hasil pengukuran di lapangan (cm) T = Tinggi tegakan hasil pengukuran di lapangan (m) Model matematis V = f (K, T) biasanya dapat ditentukan dengan pendekatan analisis regresi. Keterandalan model volume udara dilakukan dengan memeriksa nilai analisis ragam regresi seperti tabel di bawah ini. Nilai koefisien determinasi (R5) dan bentuk sebaran sisa (error) yang dihasilkan oleh model yang digunakan. Tabel III-7. Analisis ragam model regresi bergandaSumber Keragaman Regresi Sisa Total Derajat Bebas p np n1 Jumlah Kuadrat JKR JKS JKT Kuadrat Tengah F hitung Peluang p (F