METODE REHABILITASI GANGGUAN PENGGUNAAN NAPZA
Transcript of METODE REHABILITASI GANGGUAN PENGGUNAAN NAPZA
METODE REHABILITASI
GANGGUAN PENGGUNAAN NAPZA
Oleh :
dr. Luh Nyoman Alit Aryani, SpKJ
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I
ILMU KEDOKTERAN JIWA FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS UDAYANA
2018
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat rahmat-Nya
tinjauan pustaka ini disusun untuk sebagai suatu upaya untuk terus mencari dan
menambah ilmu pengetahuan yang kiranya dapat memberi manfaat bagi penulis
sendiri maupun para pembaca lainnya.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada:
1. dr. Ni Ketut Putri Ariani, SpKJ selaku Kepala Departemen/ KSM Psikiatri FK
UNUD/RSUP Sanglah
2. Seluruh staf dosen pada Program Studi Ilmu Kedokteran JIwa FK UNUD/RSUP
Sanglah Denpasar yang juga sudah memberikan dukungan baik berupa ide,
bahan referensi dan dorongan moril dalam penulisan tinjauan pustaka ini.
Penulis menyadari bahwa tinjauan pustaka ini masih sangat jauh dari
sempurna dan masih perlu pembelajaran yang lebih mendalam. Oleh karena itu,
penulis mengharapkan banyak bimbingan, kritik dan saran dari para senior maupun
teman-teman residen lainnya. Akhir kata penulis menyadari bahwa tinjauan pustaka
ini jauh dari sempurna sehingga memerlukan bimbingan, kritik dan saran dari para
senior maupun teman-teman residen lainnya. Atas masukannya penulis
mengucapkan banyak terima kasih.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ....................................................................................... i
DAFTAR ISI ...................................................................................................... iii
DAFTAR SINGKATAN.................................................................................... v
BAB I. PENDAHULUAN ............................................................................. 1
1.1 Latar Belakang ........................................................................... 1
1.2 Batasan Pembahasan .................................................................. 3
1.3 Tujuan ....................................................................................... 3
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA .................................................................... 5
2.1 Gangguan Penggunaan NAPZA ................................................ 5
2.2 Definisi Rehabilitasi ................................................................... 7
2.3 Tahapan Terapi Rehabilitasi ...................................................... 9
2.4 Metode Rehabilitasi ................................................................... 11
2.4.1 Terapi Substitusi Opioid ................................................... 13
2.4.2 Therapeutic community (TC)…………………………… 16
2.4.3. Metode 12 langkah .......................................................... 25
BAB III. RINGKASAN ................................................................................... 28
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 30
iii
DAFTAR SINGKATAN
Narkoba : Narkotika dan bahan/obat yang berbahaya
NAPZA : Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya
BNN : Badan Narkotika Nasional
IPWL : Institusi Penerima Wajib Lapor
CNS : Central Nervose System
NIDA : National Institut on Drug Abuse
TC : Therapeutic Community
BI : Brief Intervention
NA : Narcotic Anonymous
AA
: Alcoholic Anonymus
MI : Motivational Interviewing
CBT
RP
Kemenkes
:
:
:
Cognitive Behavioral Therapy
Relaps Prevention
Kementerian Kesehatan
1
BAB I
PENDAHULUAN
I. LATAR BELAKANG
Narkoba adalah singkatan dari narkotika dan bahan/obat berbahaya. Selain
narkoba istilah lain yang diperkenalkan khususnya oleh Kementerian Kesehatan RI
adalah NAPZA yang merupakan singkatan dari Narkotika, Psikotropika dan Zat
Adiktif lainnya. Perkembangan penyalahgunaan narkoba sudah merambah ke
seluruh tanah air dan menyasar seluruh lapisan tanah air (Kemenkes, 2017).
Berdasarkan pendataan dari aplikasi Sistem Informasi Narkoba (SIN)
jumlah kasus narkotika yang berhasil diungkap selama 5 tahun terakhir dari tahun
2012-2016 per tahun sebesar 76,53%. Kenaikan paling tinggi pada tahun 2013 ke
tahun 2014 yaitu 161,22%. Yang paling banyak shabu 1867 kasus diikuti ganja 128
kasus dan ekstasi 98 kasus (Kemenkes, 2017). Delapan puluh enam persen
penyalahguna Narkoba berada pada usia produktif. Upaya penanggulangan
penyalahgunaan Narkoba bersifat komprehensif. Bagi pecandu atau penyalahguna,
Undang-Undang telah memberikan hak-hak bagi mereka untuk mendapatkan
rehabilitasi medis dan sosial.
Jumlah pecandu NAPZA yang menjalani rehabilitasi masih sangat rendah.
Berdasarkan hasil pengumpulan data yang dilakukan oleh Pusat Terapi dan
Rehabilitasi BNN, jumlah pecandu yang mengakses layanan terapi baik rawat jalan
maupun rawat inap pada tahun 2009 sebesar 0,5% sedangkan sekitar 99,5%
pecandu lainnya berada di masyarakat (keluarga, sekolah, tempat kerja, dan
2
komunitas lainnya). Kondisi ini menjadi tantangan tersendiri bagi upaya rehabilitasi
ketergantungan NAPZA di Indonesia di tengah-tengah terbatasnya sarana/fasilitas
rehabilitasi bagi pecandu NAPZA (BNN, 2012).
Rehabilitasi adalah suatu proses pemulihan pasien gangguan penggunaan
NAPZA baik dalam jangka waktu pendek ataupun panjang yang bertujuan
mengubah perilaku mereka agar siap kembali ke masyarakat (Kemenkes, 2010).
Pada tahun 2016 BNN telah memberi layanan rehabilitasi sebesar 22.485 pecandu
dan layanan pasca rehabilitasi sebanyak 70182 mantan pecandu dan penyalahguna
markotika (Kemenkes, 2017).
Pengguna narkoba juga perlu diselamatkan agar dapat kembali menjalani
hidup dalam keadaan sehat dan produktif. Pada tanggal 11 Maret 2014 pemerintah
telah menerbitkan Peraturan Bersama tentang Penanganan Pecandu Narkotika dan
Korban Penyalahgunaan Narkotika ke dalam Lembaga Rehabilitasi yang
ditandatangani oleh Mahkamah Agung, Kementerian Hukum dan HAM, Kejaksaan
Agung, Kepolisian, Kementerian Kesehatan, Kementerian Sosial, dan Badan
Narkotika Nasional. Dengan terbitnya peraturan bersama ini maka para pecandu
narkotika dan korban penyalahgunaan Narkoba di Indonesia dapat memperoleh
layanan rehabilitasi yang diperlukan. Pemerintah bersama segenap lapisan
masyarakat telah melakukan berbagai langkah dan upaya untuk menyelamatkan
para pengguna Narkoba dan tidak lagi menempatkan para pengguna Narkoba
sebagai pelaku tindak pidana atau pelaku tindak kriminal. Upaya ini diperkuat
dengan penetapan Institusi Penerima Wajib Lapor (IPWL) pada tahun 2011 dan
pencanangan tahun 2014 sebagai Tahun Penyelamatan Pengguna Narkoba. Seluruh
3
IPWL mampu melaksanakan rehabilitasi medis, baik terapi simtomatik maupun
konseling adiksi Napza. Sedangkan, IPWL berbasis rumah sakit mampu
memberikan rehabilitasi medis dalam bentuk rawat inap yang bersifat jangka
pendek dan yang bersifat jangka panjang.
Dalam Ketentuan Umum Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika, rehabilitasi dibedakan dua macam, yaitu Rehabilitasi medis dan
rehabilitasi sosial. Rehabilitasi Medis adalah suatu proses kegiatan pengobatan
secara terpadu untuk membebaskan pecandu dari ketergantungan narkotika.
Rehabilitasi Sosial adalah suatu proses kegiatan pemulihan secara terpadu baik
secara fisik, mental maupun sosial agar bekas pecandu narkotika dapat kembali
melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan masyarakat.
Ada banyak metode yang dapat dilakukan dalam rehabilitasi medis dan
rehabilitasi sosial sehingga penulis ingin mengetahui lebih lanjut apa saja metode
yang dapat dilakukan dalam rehabilitasi pasien-pasien gangguan penggunaan
NAPZA, sehingga nantinya mereka dapat berfungsi kembali dengan baik di
masyarakat.
1.2 Batasan Pembahasan
Tinjauan pustaka ini membahas tentang gangguan penggunaan NAPZA,
definisi rehabilitasi, tahapan dan metode rehabilitasi bagi pemakai narkoba.
1.3 Tujuan
1) Untuk mengetahui definisi gangguan penggunaan NAPZA
2) Untuk mengetahui definisi rehabilitasi
3) Untuk mengetahui tahapan rehabilitasi
4
4) Untuk mengetahui metode rehabilitasi NAPZA termasuk Therapeutic
Community, Metode 12 Langkah Narcotic Anonymus dan Terapi Substitusi
Opioid
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Gangguan Penggunaan NAPZA
Gangguan penggunaan NAPZA merupakan masalah biopsikososiobudaya
yang kompleks sehingga perlu ditangani secara multidisipliner dan lintas sektoral
dalam suatu program yang menyeluruh (komprehensif) dan konsisten. Gangguan
penggunaan NAPZA ditandai dengan penggunaan yang intensif disertai dengan
perasaan nagih yang kuat yang seringkali sulit dikontrol dan menggiring
penggunanya berupaya semaksimal mungkin untuk memperoleh NAPZA , tidak
peduli resiko apapun yang harus dihadapinya (Departemen Kesehatan, 2008;
Kemenkes 2010) . Dalam PPDGJ III gangguan ini disebut sebagai gangguan mental
dan perilaku akibat penggunaan zat dengan tingkat keparahan berbeda-beda dari
intoksikasi tanpa komplikasi dan penggunaan yang merugikan sampai gangguan
psikotik yang jelas. (Maslim, 2001)
Zat psikoaktif khususnya NAPZA memiliki sifat-sifat khusus terhadap
jaringan otak yaitu bersifat menekan aktivitas fungsi otak (depresan) merangsang
aktivitas fungsi otak (stimulansia dan mendatangkan halusinasi (halusinogenik).
Karena otak merupakan sentra perilaku manusia, maka interaksi antara NAPZA
(yang masuk ke dalam tubuh manusia) dengan sel-sel saraf otak dapat
menyebabkan perubahan perilaku manusia. Perubahan perilaku tergantung sifat dan
jenis zat yang masuk ke dalam tubuh (Husin & Siste, 2015).
6
Pengguna NAPZA apapun jenisnya selalu mengharapkan efek yang
menyenangkan bagi dirinya (efek positif) yaitu euforia, tenang, rileks dan
disinhibisi. Efek lainnya pada umumnya tidak disukai (efek negatif) misalnya
waham, halusinasi, berdebar-debar. Efek NAPZA terhadap pengguna dipengaruhi
oleh banyak faktor, yaitu jenisnya (CNS depresant atau CNS stimulant), dosisnya
(intoksikasi saja atau overdose) lamanya penggunaan (toleransi atau belum
toleransi), NAPZA lain yang digunakan bersamaan, situasi (sendiri atau
berkelompok) dan harapan pengguna terhadap NAPZA tersebut (ingin lepas
kendali agar lebih berani atau ingin tenang) (Kemenkes, 2010).
Masuknya NAPZA ke dalam tubuh memiliki beberapa cara yaitu disedot
melalui hidung (snorting, sneefing), dihisap melalui bibir (inhalasi, merokok),
disuntikkan dengan jarum suntikan melalui pembuluh darah vena, ditempelkan
pada kulit (terutama lengan bagian dalam) yang telah diiris-iris kecil dengan cutter,
ada juga yang melakukannya dengan mengunyah kemudian ditelan.
NAPZA memiliki neurotransmiter yang memiliki sifat khusus sehingga
penggunaan sekaligus berbagai jenis NAPZA dapat mendatangkan kekacauan di
dalam celah sinaptik. Beberapa jenis neurotransmiter itu adalah dopamin
(amfetamin, kokain, alkohol), serotonin (LSD, alkohol), endorfin ( opiat, alkohol),
GABA (benzodiazepine, alkohol), glutamat (alkohol) dan asetilkolin (nikotin,
alkohol). Beberapa jenis NAPZA yang sering digunakan saat ini di Indonesia yaitu
Amfetamin, Kanabis, Opioid, Benzodiazepin, Alkohol, Kokain dan Volatile
Substance (senyawa yang mudah menguap) (Husin & Siste, 2015).
7
2.2 Definisi Rehabilitasi
Rehabilitasi adalah suatu proses pemulihan pasien gangguan penggunaan
NAPZA baik dalam jangka waktu pendek ataupun panjang yang bertujuan
mengubah perilaku mereka agar siap kembali ke masyarakat (Kemenkes, 2010).
Rehabilitasi NAPZA juga merupakan upaya terapi (intervensi) berbasis bukti yang
mencakup perawatan medis, psikososial atau kombinasi keduanya baik perawatan
rawat inap jangka pendek ataupun jangka panjang (Kemenkes, 2011). Definisi lain
mengatakan bahwa rehabilitasi narkoba adalah sebuah tindakan represif yang
dilakukan bagi pencandu narkoba (Psychologymania, 2012). Tujuannya adalah
untuk membantu klien mempertahankan kondisi bebas NAPZA (abstinensia) dan
memulihkan fungsi fisik, psikologis dan sosial (Kemenkes, 2011). Tindakan
rehabilitasi ditujukan kepada korban dari penyalahgunaan narkoba untuk
memulihkan atau mengembangkan kemampuan fisik, mental, dan sosial penderita
yang bersangkutan. Selain untuk memulihkan, rehabilitasi juga sebagai pengobatan
atau perawatan bagi para pecandu narkotika, agar para pecandu dapat sembuh dari
kecanduannya terhadap narkotika (Psychologymania, 2012).
Pada tahun 2014 pemerintah Indonesia telah menerbitkan Peraturan
Bersama tentang Penanganan Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan
Narkotika ke dalam Lembaga Rehabilitasi. Merujuk pada Undang-Undang no 35
tahun 2009 tentang narkotika dan Peraturan Pemerintah no 25 tahun 2011 tentang
Pelaksanaan Wajib Lapor Pecandu Narkotika, inilah dasar hukum untuk upaya dan
langkah menyelamatkan pengguna narkoba.
Rehabilitasi dibedakan menjadi 2 macam yaitu meliputi :
8
a. Rehabilitasi medis
Rehabilitasi Medis adalah suatu proses kegiatan pengobatan secara terpadu
untuk membebaskan pecandu dari ketergantungan narkotika. Rehabilitasi Medis
pecandu narkotika dapat dilakukan di Rumah Sakit yang ditunjuk oleh Menteri
Kesehatan yaitu rumah sakit yang diselenggarakan baik oleh pemerintah, maupun
oleh masyarakat. Selain pengobatan atau perawatan melalui rehabilitasi medis,
proses penyembuhan pecandu narkotika dapat diselenggarakan oleh masyarakat
melalui pendekatan keagamaan dan tradisional.
b. Rehabilitasi Sosial
Rehabilitasi Sosial adalah suatu proses kegiatan pemulihan secara terpadu
baik secara fisik, mental maupun sosial agar bekas pecandu narkotika dapat kembali
melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan masyarakat. Yang dimaksud dengan
bekas pecandu narkotika disini adalah orang yang menggunakan atau
menyalahgunakan narkotika dan dalam keadaan ketergantungan pada narkotika baik
secara fisik maupun psikis (Psychologymania, 2012).
Tindakan rehabilitasi ini merupakan tindakan yang bersifat represif yaitu
penanggulangan yang dilakukan setelah terjadinya tindak pidana, dalam hal ini
narkotika, yang berupa pembinaan atau pengobatan terhadap para pengguna
narkotika. Dengan upaya-upaya pembinaan dan pengobatan tersebut diharapkan
nantinya korban penyalahgunaan NAPZA dapat kembali normal dan berperilaku
baik dalam kehidupan bermasyarakat (Psychologymania, 2012).
2.3 Tahapan Perubahan (Stage of Change)
9
Dalam proses pemulihan seorang adiksi NAPZA mengalami banyak perubahan
yang dapat dinilai dari motivasinya. Model Stage of Change dimulai dari fase
prekontemplasi, kontemplasi, preparasi, aksi dan rumatan. Ciri-ciri spesifik dari
tiap-tiap fase adalah sebagai berikut :
a) Fase prekontemplasi
Pasien sama sekali belum menyadari adanya perubahan dalam dirinya akibat
menggunakan napza. Pasien tidak memiliki minat untuk berubah meskipun
keluarga atau orang-orang dekat dengannya telah mengingatkannya bahwa
telah terjadi “masalah” akibat tingkah lakunya. Kalau mereka telah masuk ke
sentra-sentra rehabilitasi umumnya karena paksaan, ditipu atau karena
pelanggaran hukum.
b) Fase Kontemplasi
Pasien telah mulai mengakui telah terjadi kesulitan akibat napza (mungkin telah
ada keluhan fisik) tetapi menolak suatu komitmen untuk berubah. Pasien
mempertimbangkan berbagai kemungkinan-kemungkinan untuk berubah,
namun ada perasaan ragu-ragu, bimbang dan ambivalensi. Pasien telah mulai
memiliki perasaan bahwa dalam dirinya telah terjadi suatu problem akibat
penggunaan napza.
c) Fase Preparasi
Tampaknya pasien telah secara sungguh-sungguh menunjukkan keinginan
berubah atau kebutuhan untuk berhenti, namun belum siap. Pasien mengaku
belum mau berubah kalau belum merasa betul-betul mantap. Pasien banyak
bertanya pada teman pecandu lain dan mulai mencari- cari info tentang upaya-
10
upaya penyembuhan ketergantungan napza. Pasien telah memahami dan
mengakui adanya “problem dalam keluarga”, sudah dapat mengambil
keputusan untuk menetapkan mau berubah, untuk memulai upaya
penyembuhan.
d) Fase Aksi
Pasien secara aktif mengambil langkah-langkah untuk berubah tetapi belum
mencapai suatu kondisi stabil. Pasien berhasil menunjukkan beberapa
perubahan perilaku yang berkait dengan napza misalnya bersedia mengikuti
terapi dan menghadiri NA meeting. Pada tahap aksi, pasien sudah mulai melatih
dan merubah tingkah lakunya. Pasien mulai mencari aktivitas alternatif diluar
fokus problem ketergantungan napza (misalnya kursus-kursus sederhana,
jogging, latihan futsal dan lain-lain).
e) Fase Rumatan
Pasien telah mencapai sasaran misalnya abstinensia dan sekarang sedang bekerja keras
untuk mempertahankannya. Pasien mulai menghindari menggunakan napza apapun
dan berhasil mengendalikan relaps yang datang serta mampu mengatasinya. Pasien
bersedia secara aktif untuk membantu orang lain yang sependeritaan dengannya.
2.4Tahapan Terapi Rehabilitasi
Tahapan terapi rehabilitasi umumnya dapat dibagi atas beberapa fase berikut :
1) Fase Penilaian (assesment phase)
Pada tahap ini perlu dilakukan evaluasi psikiatri yang komprehensif. Termasuk
yang perlu dinilai adalah (Husin & Siste, 2015) :
11
• Penilaian yang sistematis terhadap tingkat intoksikasi, keparahan-keparahan
putus zat, dosis zat terbesar yang digunakan terakhir, lama waktu setelah
penggunaan zat terakhir, awitan gejala, frekwensi dan lama penggunaan,
efek subyektif dari semua jenis-jenis NAPZA yang digunakan termasuk
jenis-jenis NAPZA lain selain yang menjadi pilihan utama pasien/klien.
• Riwayat medik dan psikiatri umum yang komprehensif
• Riwayat gangguan penggunaan NAPZA dan terapi sebelumnya.
• Riwayat keluarga dan sosial ekonomi
• Pemeriksaan urin untuk jenis-jenis NAPZA yang disalahgunakan
• Skrining penyakit infeksi seperti HIV, tuberculosis, hepatitis
2) Tahap rehabilitasi medis (detoksifikasi)
Detoksifikasi NAPZA merupakan proses atau tindakan medis untuk
membantu klien dalam mengatasi gejala putus NAPZA (Kemenkes, 2011). Tahap
detoksifikasi sering disebut dengan fase terapi withdrawal atau fase terapi
intoksikasi. Tahap ini pecandu diperiksa seluruh kesehatannya baik fisik dan mental
oleh dokter terlatih. Dokterlah yang memutuskan apakah pecandu perlu diberikan
obat tertentu untuk mengurangi gejala putus zat (sakau) yang ia derita. Pemberian
obat tergantung dari jenis narkoba dan berat ringanya gejala putus zat. Dalam hal
ini dokter butuh kepekaan, pengalaman, dan keahlian guna memdeteksi gejala
kecanduan narkoba tersebut (Husin & Siste, 2015). Fase ini memiliki beberapa
variasi :
a) Rawat Inap dan Rawat Jalan
12
b) Cold Turkey, artinya seorang pecandu langsung menghentikan
penggunaan narkoba/zat adiktif, dengan mengurung pecandu dalam
masa putus obat tanpa memberikan obat-obatan.
c) Terapi simptomatis
d) Rapid Detoxification, Ultra Rapid Detoxification
e) Detoxifikasi dengan menggunakan : Kodein dan ibuprofen, Klontrex
(klonidin dan naltrexon), Bufrenorfin, Metadon.
Klien seringkali membutuhkan multimodal terapi yang beragam. Tergantung pada
filosofi program yang mendasari, ada beberapa variasi :
a) Program Terapi Substitusi, ada antagonis (naltrekson), agonis parsial
(buprenorfin) atau dengan full agonist (metadon)
b) Program terapi yang berorientasi abstinensia : Therapeutic Community,
the 12 step recovery program narcotic anonymus
Bila program terapi selanjutnya adalah terapi substitusi maka tidak perlu dilakukan
program detoxifikasi, tetapi terapi withdrawal. Namun bila program terapi
selanjutnya adalah terapi yang berorientasi abstinensia maka mutlak dilakukan
detoxifikasi.
3) Tahap rehabilitasi nonmedis (sosial)
Tahap ini pecandu ikut dalam program rehabilitasi. Di Indonesia sudah di bangun
tempat-tempat rehabilitasi, sebagai contoh di bawah BNN adalah tempat
rehabilitasi di daerah Lido (Kampus Unitra), Baddoka (Makassar), dan Samarinda.
Di tempat rehabilitasi ini, pecandu menjalani berbagai program diantaranya
13
program therapeutic communities (TC), 12 steps (dua belas langkah, pendekatan
keagamaan, dan lain-lain.
4) Tahap bina lanjut (after care)
Merupakan layanan pascarehab. Bisa bersifat reguler (rawat jalan), dimana pecandu
dapat kembali ke sekolah atau tempat kerja namun tetap berada di bawah
pengawasan atau bersifat intensif (rumah damping) dimana pecandu melanjutkan
program TC, 12 langkah dan diberikan kegiatan sesuai dengan minat dan bakat
untuk mengisi kegiatan sehari-hari.
2.5Metode Rehabilitasi
Dalam Keputusan Menteri Kesehatan RI no 420/MENKES/SKIII/2010,
rehabilitasi pecandu narkotika dibedakan menjadi dua yaitu:
1) Rehabilitasi Jangka Pendek (Short Term)
Lama perawatan berlangsung antara 1 sampai dengan 3 bulan tergantung
dari kondisi dan kebutuhan pasien. Pendekatan yang dapat dilakukan ke arah medik
dan psikososial. Masalah medik masih menjadi fokus utama, asesmen dilakukan
secara lengkap termasuk pemeriksaan penunjang medis. Asesmen yang perlu
dilakukan pada model terapi ini antara lain :
➢ Evaluasi masalah penggunaan NAPZA (jenis, jumlah, lama pemakaian,
dampak yang ditimbulkan, keinginan untuk berhenti)
➢ Evaluasi medis : riwayat penyakit, kondisi fisik saat ini dan penyakit-
penyakit-penyakit lain yang terkait dengan penggunaan NAPZA
➢ Evaluasi psikologis melalui wawancara dan tes psikologi
14
➢ Evaluasi sosial : riwayat keluarga, pendidikan , pekerjaan dan hubungan sosial
➢ Evaluasi tentang kegiatan agama, penggunaan waktu senggang dan kehidupan
pribadi lainnya.
Untuk melakukan asesmen memerlukan suatu hubungan terapeutik yang
terbina antara pasien dengan terapis dan hasil asesmen tersebut menjadi acuan
untuk terapi selanjutnya. Pengobatan dapat dilanjutkan dengan rawat jalan atau bila
masalah yang dihadapi pasien khususnya perilaku belum memungkinkan, dapat
dilanjutkan dengan rehabilitasi jangka panjang.
2) Rehabilitasi Jangka Panjang
Lama perawatan rehabilitasi jangka panjang adalah 6 bulan atau lebih.
Dalam hal ini modalitas terapi yang dimaksudkan adalah Therapeutic Community
(TC) yang menggunakan pendekatan perubahan perilaku. Therapeutic Community
(TC) direkomendasikan bagi pasien yang sudah mengalami masalah penggunaan
NAPZA dalam waktu lama dan berulang kali kambuh atau sulit untuk berada dalam
kondisi abstinen atau bebas dari NAPZA.
Berikut ini adalah program-program yang dapat diikuti oleh seorang pecandu
selama menjalani program rehabilitasi yaitu :
2.51 Terapi substitusi opioda
Terapi substitusi sering juga disebut dengan terapi rumatan (maintenance).
Terapi ini diigunakan untuk pasien-pasien ketergantungan heroin (opioda). Untuk
15
pengguna opioda hard core addict (pengguna opioda yang telah bertahun-tahun
menggunakan opioda suntikan), pecandu biasanya mengalami kekambuhan kronis
sehingga perlu berulang kali menjalani terapi ketergantungan. Kebutuhan heroin
(narkotika ilegal) diganti (substitusi) dengan narkotika legal. Beberapa obat yang
sering digunakan adalah kodein, bufrenorphin, metadone, dan nalrekson. Obat-
obatan ini digunakan sebagai obat detoksifikasi, dan diberikan dalam dosis yang
sesuai dengan kebutuhan pecandu, kemudian secara bertahap dosisnya diturunkan.
(Husin & Siste, 2015).
Karakteristik obat yang ideal untuk terapi rumatan adalah :
➢ Rendah potensi untuk didiversikan
➢ Lamanya aksi cukup panjang
➢ Potensi rendah menggunakan zat lain selama terapi
➢ Toksisitas rendah untuk terjadinya overdose
➢ Fase detoksifikasi harus singkat, sederhana dan gejala-gejala rebound
withdrawal minimal
➢ Memfasilitasi abstinensia terhadap opioid ilegal lain
➢ Pasien menerimanya dengan iklas dan baik
Tidak ada satu obatpun yang memenuhi persyaratan ideal tersebut. Namun untuk
ketergantungan opioid para pakar kedokteran menemukan beberapa jenis obat yang
mendekati kriteria karakteristik tersebut seperti :
➢ Agonis : metadon
➢ Parsial agonis : buprenorphin
➢ Antagonis : naltrekson
16
2.4.1.1 Program Terapi Rumatan Metadona
Pecandu opiat umumnya menggunakan heroin. Sebagian besar dari mereka
menggunakan heroin dengan cara suntik yang tidak aman sehingga mereka sangat
mudah mendapat infeksi seperti hepatitis dan HIV. Guna mengurangi dampak
buruk penggunaan opiat dengan cara suntik diperlukan intervensi pengurangan
dampak buruk (harm reduction). Salah satu intervensinya berupa program terapi
rumatan dengan memberikan metadon cair yang dikenal dengan nama Program
Terapi Rumatan Metadona (PTRM).
Metadona merupakan suatu agonis sintetik opioid yang kuat dan diserap
dengan baik secara oral dengan daya kerja jangka panjang. Waktu paruh metadona
pada umumnya 24 jam. Penggunaan berkesinambungan akan diakumulasi dalam
tubuh khususnya di hati. Proses akumulasi ini sebagian menjadi alasan mengapa
toleransi atas penggunaan metadona berjalan lebih lambat daripada morfin atau
heroin.
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI no 57 tahun 2013, pada tahap
inisiasi dosis awal metadona yang dianjurkan adalah 20-30 mg untuk tiga hari
pertama. Jika terdapat intoksikasi atau gejala putus obat berat maka dosis akan
dimodifikasi sesuai dengan keadaan. Metadon harus diberikan dalam bentuk cair
dan diencerkan sampai menjadi 100 cc dengan larutan sirup. Pasien harus minum
setiap hari dihadapan petugas PTRM.
Tahap selanjutnya adalah tahap stabilisasi, untuk menaikkan dosis secara
perlahan sehingga memasuki tahap rumatan. Dosis yang dianjurkan adalah
menaikkan dosis awal 5-10 mg tiap 3-5 hari. Total kenaikan dosis tiap minggu tidak
17
boleh lebih dari 30 mg. Pada tahap rumatan, dosis rumatan rata-rata adalah 60-120
mg per hari. Dosis rumatan harus dipantau dan disesuaikan setiap hari secara teratur
dari keadaan pasien. Fase ini dapat berjalan selama bertahun-tahun sampai perilaku
stabil, baik dalam bidang pekerjaan, emosi maupun kehidupan sosial.
Metadona dapat dihentikan secara bertahap perlahan (tappering off).
Penghentian metadona dapat dilakukan pada keadaan berikut : pasien sudah dalam
keadaan stabil, minimal 6 bulan pasien dalam keadaan bebas heroin, pasien dalam
kondisi yang stabil untuk bekerja dan memiliki dukungan hidup yang memadai.
PTRM tidak hanya memberikan metadona semata-mata melainkan juga
intervensi medis dan psikososial lain yang dibutuhkan pasien (Kemenkes 2013;
Husin & Siste, 2015). Keberhasilan dalam proses terapi rumatan metadon yaitu bila
pasien mampu bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri dan keluarga serta
mampu berkontribusi bagi masyarakat di lingkungannya.
2.4.1.2 Buprenorphine-partial Agonist
Buprenorphin merupakan parsial agonis heroin yang diminum secara
sublingual dan memiliki memiliki metabolisme yang tinggi ketika diminum per
oral. Terapi ini pertama kali dikenalkan di Perancis dan di evaluasi di beberapa
negara lainnya. Hasil terapi secara garis besar dapat dibandingkan dengan terapi
rumatan metadon, tapi masing-masing terapi memiliki keuntungan dan beberapa
kelemahan. Buprenorphin dapat diminum berselang seling tidak setiap hari. Resiko
overdosis minimal namun pada individu dengan dosis heroin yang tinggi
sebelumnya akan menunjukkan beberapa gejala putus zat. Buprenorphin masih
18
dapat menjadi pilihan terapi untuk detoksifikasi walaupun harganya lebih mahal
dibandingkan dengan metadon (Wodak, 2001)
2.4.1.3 Naltrekson- opiat antagonist maintenance treatment program
Farmakoterapi rumatan dapat dilakukan dengan menggunakan naltrekson.
Program terapinya dikenal dengan istilah Opamat-ED (Opiate Antagonist
Maintenance Therapi). Naltrekson saat ini tidak lagi tersedia di Indonesia karena
industri farmasi yang mendapat ijin edar naltrekson tidak meneruskan usahanya.
2.4.2 Therapeutic community (TC)
Therapeutic community (TC) adalah bentuk umum dari rehabilitasi jangka
panjang untuk gangguan penggunaan zat (NIDA, 2015). Metode ini mulai
digunakan pada akhir 1950 di Amerika Serikat. Tujuan utamanya adalah menolong
pecandu agar mampu kembali ke tengah masyarakat dan dapat kembali menjalani
kehidupan yang produktif.
Program TC, merupakan program yang disebut Drug Free Self Help
program. Teori yang mendasari metode TC adalah pendekatan behavioral dimana
berlaku sistem reward (penghargaan/penguatan) dan punishment (hukuman) dalam
mengubah suatu perilaku. Selain itu digunakan juga pendekatan kelompok, dimana
sebuah kelompok dijadikan suatu media untuk mengubah suatu perilaku. Program
TC mempunyai suatu aturan yang tertulis maupun tidak tertulis yang sangat
mengikat setiap residen untuk menjalankan dan siap menerima sanksi bila
melanggar aturan tersebut (pasien peserta TC lazim disebut residen). Gambaran
dari TC adalah sebagai berikut :
19
• Program dengan struktur yang ketat
• Umumnya pasien berada dalam program 6-12 bulan
• Program pengobatan
• Program pendidikan
• Latihan ketrampilan sosial dan penerapannya
• Pasien mempunyai riwayat perilaku kriminal
• Mengembangkan sistem dukungan yang sesuai kebutuhan pasien
• Menstabilkan fungsi kehidupan pasien
• Rehabilitasi vokasional
Di dalam TC ada berbagai norma-norma dan falsafah yang dianut untuk
membentuk perilaku yang lebih baik. Norma-norma dan falsafah yang ditanamkan
dalam TC tersebut kemudian berkembang menjadi suatu budaya TC, yang
didalamnya mencakup (Winanti, 2008) :
1. The Creed (Philosophy)
Merupakan filosofi atau falsafah yang dianut dalam TC. Falsafah ini merupakan
kerangka dasar berpikir dalam program TC yang harus dipahami dan dihayati oleh
seluruh residen.
2. Cardinal Rules
Cardinal Rules merupakan peraturan utama yang harus dipahami dan
ditaati dalam program TC, yaitu :
➢ No drugs (tidak diperkenankan menggunakan narkoba)
20
➢ No sex (tidak diperkenankan melakukan hubungan seksual dalam bentuk
apapun)
➢ No violence (tidak diperkenankan melakukan kekerasan fisik)
3. Four Structure Five Pillars
Empat kategori struktur program :
a. Behaviour management shaping (Pembentukan tingkah laku)
Perubahan perilaku yang diarahkan pada kemampuan untuk mengelola
kehidupannya sehingga terbentuk perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai,
norma-norma kehidupan masyarakat.
b. Emotional and psychological (Pengendalian emosi dan psikologi)
Perubahan perilaku yang diarahkan pada peningkatan kemampuan penyesuaian
diri secara emosional dan psikologis.
c. Intellectual and spiritual (Pengembangan pemikiran dan kerohanian)
Perubahan perilaku yang diarahkan pada peningkatan aspek pengetahuan, nilai-
nilai spiritual, moral dan etika, sehingga mampu menghadapi dan mengatasi
tugas-tugas kehidupannya maupun permasalahan yang belum terselesaikan
d. Vocational and survival (Keterampilan kerja dan sosial serta bertahan hidup)
Perubahan perilaku yang diarahkan pada peningkatan kemampuan dan
keterampilan residen yang dapat diterapkan untuk menyelesaikan tugas-tugas
sehari-hari maupun masalah dalam kehidupannya.
Lima Pillars (5 tonggak dalam program) :
a. Family milieu concept (Konsep kekeluargaan)
21
Untuk menyamakan persamaan di kalangan komunitas supaya bersama menjadi
bagian dari sebuah keluarga.
b. Peer pressure (Tekanan rekan sebaya)
Proses dimana kelompok menekan seorang residen dengan menggunakan teknik
yang ada dalam “TC”
c. Therapeutic session (Sesi terapi)
Berbagai kerja kelompok untuk meningkatkan harga diri dan perkembangan
pribadi dalam rangka membantu proses kepulihan .
d. Religius session (Sesi agama)
Proses untuk meningkatkan nilai-nilai dan pemahaman agama.
e. Role modelling (Keteladanan)
Proses pembelajaran dimana seorang residen belajar dan mengajar mengikuti
mereka yang sudah sukses.
Tahapan program TC yang harus dijalani setiap residen (pasien peserta TC) adalah
sebagai berikut :
1) Proses Intake dan Orientasi (2-4 minggu)
Merupakan masa persiapan untuk residen untuk memasuki fase primary.
Kegiatan yang dilakukan berupa wawancara awal, pemberian Informed
consent, pemeriksaan fisik, pengisian formulir dan orientasi program (Winanti
2008; Kemenkes 2010).
2) Primary Stage (6-9 bulan)
Tahap ini ditujukan bagi perkembangan sosial dan psikologis residen.
Dalam tahap ini residen diharapkan melakukan sosialisasi, mengalami
22
pengembangan diri, serta meningkatkan kepekaan psikologis dengan
melakukan berbagai aktivitas dan sesi terapeutik yang telah ditetapkan.
Dilaksanakan selama kurang lebih 6 sampai dengan 9 bulan. Primary terbagi
dalam beberapa tahap, yaitu : younger member, middle member, older member.
Untuk Younger Member (anggota termuda 1-3 bulan) diharapkan aktif
mengikuti program, adanya penerapan sanksi (reward and punishment), dapat
dikunjungi keluarga, mengikuti kegiatan Family Support Group dan terlibat
dalam kegiatan kelompok.
Untuk Middle Member (anggota menengah 4-6 bulan) : mulai bertanggung
jawab terhadap sebagian operasional fasilitas/rumah, menjadi buddy bagi
younger member, sudah boleh keluar fasilitas TC dengan pendamping,
mengikuti kegiatan Family Support Group dan terlibat dalam kegiatan
kelompok.
Untuk older member (anggota lama 6-9 bulan) : sudah bertangguang jawab
penuh terhadap rumah/fasilitas, pelaksanaan reward dan punishment secara
penuh, boleh meninggalkan fasilitas /rumah, mengikuti kegiatan Family
Support Group dan terlibat dalam kegiatan kelompok. Dinyatakan
graduate/lulus (Winanti 2008; Kemenkes 2010).
3) Tahapan Re-Entry (3-6 bulan)
Re-entry merupakan program lanjutan setelah Primary. Program Re-entry
memiliki tujuan untuk memfasilitasi residen agar dapat bersosialisasi dengan
kehidupan luar setelah menjalani perawatan di Primary. Tahap ini dilaksanakan
selama 3 sampai dengan 6 bulan.
23
Fase orientasi (2 minggu)
• Pengenalan program re-entry
• Didampingi buddy
• Tidak boleh dikunjungi keluarga
• Tidak boleh meninggalkan fasilitas TC
• Sanksi berupa tugas-tugas mengurus fasilitas
• Mengikuti kegiatan kelompok
Fase A (1,5-2 bulan)
• Mengikuti kegiatan kelompok
• Dapat dikunjungi keluarga setiap waktu
• Diberi ijin menginap 1 malam setiap 2 minggu sekali
• Boleh menerima uang jajan setiap minggu secara teratur
• Boleh melakukan aktivitas di luar fasilitas TC
Fase B (2 bulan)
• Mengikuti kegiatan kelompok
• Dapat dikunjungi setiap waktu
• Diberi ijin pulang menginap 2 malam setiap 2 minggu
• Boleh meminta tambahan uang jajan
• Boleh melakukan aktivitas diluar fasilitas TC
Fase C (2 bulan)
• Mengikuti kegiatan kelompok
• Dapat dikunjungi setiap waktu
• Diberi ijin pulang
24
• Boleh meminta tambahan uang jajan
• Boleh melakukan kegiatan diluar fasilitas TC
• Konseling final bagi residen maupun keluarga untuk persiapan pulang
Dukungan keluarga sangat diperlukan pada pelaksanaan TC, keluarga juga
diberikan psikoedukasi tentang NAPZA dan perkembangan pasien sehingga
ikut mendukung keberhasilan terapi residen. Pendampingan keluarga yang tak
pernah putus dapat membantu pecandu narkoba untuk benar-benar berhenti
menggunakan obat-obatan terlarang itu.
4). Aftercare Program
Merupakan program yang ditujukan bagi mantan residen /alumni TC, yang
dilaksanakan di luar fasilitas TC dan diikuti oleh semua angkatan dibawah
supervisi staf re-entry. Bentuk kegiatan yang dilakukan adalah sharing dalam
kelompok tanpa ditanggapi, meminta anggota untuk menanggapi suatu topik,
waktu dan tempat pelaksanaan disepakati bersama. Bentuk aftercare program
bisa berupa rumah damping salah satunya yang disediakan oleh BNN Provinsi
Bali.
5). Intervensi Psikososial
Suatu pendekatan yang mengutamakan pada masalah psikologis dan sosial
yang disandang oleh pasien dengan tujuan untuk meningkatkan kemampuan
pasien menghadapi setiap masalah. Intervensi ini dapat diberikan pada setiap
tahapan terapi baik dalam keadaan intoksikasi sampai pada saat fase rehabilitasi
yang disesuaikan dengan kondisi pasien khususnya pasien dengan kesadaran
penuh.
25
Beberapa model intervensi psikososial yang dapat dilakukan dalam layanan
pengobatan gangguan penggunaan Napza antara lain :
a. Brief Intervention (BI)
Brief Intervention (BI) dipertimbangkan untuk berbagai kondisi
yang melibatkan waktu tenaga profesional yang terbatas untuk mencoba
merubah penggunaan NAPZA atau setidaknya mengajak klien berpikir ulang
mengenai pola penggunaan NAPZA-nya. Waktu yang dibutuhkan untuk
intervensi singkat biasanya antara 5 menit sampai 2 jam.
Brief Intervention (BI) dapat direkomendasikan pada kondisi seperti
penggunaan alkohol yang membahayakan tetapi belum ketergantungan,
ketergantungan alkohol ringan sampai sedang, ketergantungan nikotin,
ketergantungan ringan sampai dengan sedang kanabis. Brief Intervention (BI)
dapat mengambil berbagai bentuk format termasuk asesmen singkat, materi
self help (materi yang membantu pemahaman NAPZA pada pasien contohnya
leaflet, cara menyuntik yang benar pada program harm reduction), informasi
penggunaan yang aman serta pencegahan kekambuhan.
b. Konseling Dasar
Konseling adalah suatu proses pertolongan dimana seseorang
dengan tulus dan tujuan yang jelas, memberikan waktu, perhatian dan
keahliannya membantu pasien untuk mempelajari situasi mereka, mengenali
dan melakukan pemecahan masalah terhadap keterbatasan yang diberikan
lingkungan mereka.
Fungsi utama konseling :
26
a) Menyampaikan informasi penting
b) Membantu pasien mengklarifikasi dan menempatkan masalah
c) Membantu pasien memilih dan mengambil tindakan realistik
d) Memberi dukungan psikomotor melalui ketrampilan komunikasi.
c. Motivational Interviewing (MI)
Motivasi adalah suatu keadaan kesiapan atau keinginan untuk
berubah, selalu berfluktuasi dari waktu ke waktu atau dari situasi ke situasi
yang lain. Dasar pemikiran melakukan wawancara motivasional ini adalah
bahwa untuk mencapai perubahan adalah lebih mudah bila motivasi untuk
berubah tersebut datang dari dalam dirinya sendiri daripada dipaksakan oleh
konselor atau terapis.
Motivational Interviewing sering dilakukan menyerupai Brief
Intervention dengan prinsip berorientasi pada klien. Berdasarkan prinsip ini,
MI mempunyai pendekatan sama seperti konseling pada umumnya, seperti
reflecting listening, summarizing dan paraphrasing (Recoveryresearch,
2012). Motivational Interviewing adalah sebuah wawancara yang bertujuan
untuk membantu seseorang menggali dan mengatasi ambivalensi tentang
penggunaan NAPZA melalui tahapan perubahan. Ini sangat berguna bila
dilakukan pada pasien yang berada pada tahap prekontemplasi dan
kontemplasi, tapi prinsip dan keterampilan wawancara sangat penting pada
semua tahap (Kemenkes, 2010). Saran hanya diberikan bila ada permintaan
dan atas ijin pasien. Motivational Interviewing juga kadang-kadang
dikombinasikan dengan Cognitive Behavioral Therapy.
27
Lima prinsip Motivational Interviewing yaitu (Rockville, 1999):
- Mengekspresikan Empati melalui reflective listening
- Memaparkan ketidakcocokan (perbedaan) antara tujuan dan perilaku
klien saat ini
- Menghindari argumentasi dan konfrontasi langsung
- Menyesuaikan resistensi klien daripada menentangnya secara
langsung
- Mendukung self efficacy dan optimisme
Motivational Interviewing dilaksanakan dengan menggunakan 4
keterampilan dasar, yang sering dikenal dengan singkatan OARS : Open
ended question (pertanyaan terbuka), Affirmation (penegasan), reflective
listening (mendengarkan dengan cara merefleksikan), Summarising
(menyimpulkan). Nasihat biasanya hanya diberikan berdasarkan permintaan
dan atas ijin pasien.. (Hall, et al., 2012)
Ada empat proses dalam melakukan Motivational Interviewing
untuk mendapatkan perubahan (Levounis, et al., 2017) yaitu :
a) Engaging
Engaging mengacu pada menjalin dan membangun rapport serta
belajar mengenai pasien. Proses ini sangat diperlukan dalam MI dan
beberapa jenis intervensi yang lain untuk mewujudkan perubahan.
b) Focusing
28
Proses dari “focusing” melibatkan pengembangan agenda khusus,
mengembangkan tujuan untuk perubahan perilaku dan mengarahkan
wawancara.
c) Evoking
Evoking merupakan suatu proses untuk mengexplorasi dan
memunculkan motivasi seseorang untuk berubah. Dokter yang
terampil mengasah dalam aspek ambilivalen klien untuk perubahan
tertentu dan menghentikan pendapat yang tidak menyebabkan
perubahan.
d) Planning
Pada beberapa waktu selama proses motivational, pasien mungkin
menunjukkan tanda kesiapannya untuk berubah misalnya
ditunjukkan dengan pertanyaan-pertanyaan tentang perubahan atau
bagaimana mereka di lingkuangan agar mereka bisa berubah. Jika
klinisi sudah mengenali tanda ini maka proses planning bisa
dimulai. Rencana perubahan mencakup empat elemen penting yaitu
menetapkan tujuan yang jelas untuk perubahan perilaku, menggali
cara-cara untuk berubah, memutuskan rencana, dan melakukan
rencana.
d. Cognitive Behavioral Therapy (CBT)
CBT adalah pendekatan yang terfokus dan jangka pendek untuk
mengarahkan klien agar dapat mengenali situasi berisiko terhadap relaps
kemudian menghindari situasi tersebut dan melakukan adaptasi perilaku
29
yang efektif berkenaan dengan masalah dan perilaku yang berhubungan
dengan penyalahgunaan zat (BNN, 2009). Teknik CBT dipergunakan
untuk membantu klien memodifikasi pikiran, harapan dan perilaku mereka
yang terkait penggunaan NAPZA
e. Relaps Prevention (RP)
Relaps prevention adalah program kendali diri yang didesain untuk
mengedukasi seseorang yang berusaha mengubah perilakunya dan
mengatasi problem relaps. Relaps prevention merupakan suatu program
psikoedukasi yang menggabungkan prosedur latihan ketrampilan perilaku
dengan teknik intervensi kognitif. Prinsip utamanya adalah berdasarkan
social learning theory. RP bertujuan mendidik seseorang bagaimana
mencapai lifestyle yang seimbang dan mencegah pola kebiasaan yang tidak
sehat. Klien dibimbing untuk mengenali High Risk Situation atau situasi
tertentu yang dapat menjadi ancaman terhadap kendali diri pasien dan dapat
menigkatkan risiko relaps (Purnomo & Hardjanto, 2016).
2.4.3 Metode 12 langkah
Metode 12 langkah berasal dari Model perawatan adiksi Minnesota (juga
dikenal sebagai model abstinen), pertama kali dibuat di rumah sakit Minnesota pada
1950. Di Amerika Serikat, jika seseorang kedapatan mabuk atau menyalahgunakan
NAPZA, pengadilan akan memberikan hukuman untuk mengikuti program 12
langkah. Pecandu yang mengikuti program ini dimotivasi untuk
30
mengimplementasikan ke 12 langkah ini dalam kehidupan sehari-hari. (Kelly,
2011)
Fokus dari Program 12 Langkah adalah penerapan langkah-langkah itu
dalam kehidupan sehari-hari. Dalam hal ini penggunaan istilah Falsafah menjadi
lebih relevan, karena langkah-langkah ini menjadi panduan untuk menjalani
kehidupan sebagai seorang pecandu yang ingin mempertahankan kebersihannya
dan membina perjalanan spiritualnya. Dengan pengamalan dari langkah-langkah
inilah para pecandu akan dapat meredam penyakitnya agar tidak kambuh sepanjang
hayatnya.. Setiap langkah ditargetkan untuk mengatasi setiap aspek spesifik dalam
penyakit kecanduan (Kemenkes, 2010).
Berikut adalah contoh 12 (Dua Belas) langkah seperti yang tertera dalam
program Narcotic Anonymous (NA) yaitu :
1. Kita mengakui bahwa kita tidak berdaya terhadap adiksi kita, sehingga
hidup kita menjadi tidak terkendali.
2. Kita menjadi yakin bahwa ada kekuatan yang lebih besar dari kita sendiri
yang dapat mengembalikan kita kepada kewarasan
3. Kita membuat keputusan menyerahkan kemauan dan arah kehidupan kita
kepada kasih Tuhan sebagaimana kita memahamiNya
4. Kita membuat inventaris moral diri kita sendiri secara penuh, memyeluruh
dan tanpa rasa gentar
5. Kita mengakui kepada Tuhan, kepada diri kita sendiri dan kepada seorang
manusia lainnya, setepat mungkin sifat dari kesalahan-kesalahan kita
31
6. Kita siap sepenuhnya agar Tuhan menyingkirkan semua kecacatan karakter
kita.
7. Kita dengan rendah hati memohon padaNya untuk menyingkirkan semua
kekurangan-kekurangan kita
8. Kita membuat daftar orang-orang yang telah kita sakiti dan menyiapkan diri
untuk meminta maaf kepada merka semua
9. Kita menebus kesalahan kita secara langsung kepada orang-orang tersebut
bilamana memungkinkan kecuali bila melakukannya akan justru melukai
mereka atau orang lain
10. Kita secara terus menerus melakukan inventarisasi pribadi kita dan bilaman
kita bersalah segera mengakui kesalahan kita
11. Kita melakukan pencarian melalui doa dan meditasi untuk memperbaiki
kontak sadar kita dengan Tuhan sebagaimana kita memahamiNya, berdoa
hanya untuk mengetahui kehendaknya atas diri kita dan kekuatan untuk
melaksanakannya
12. Setelah mengalami pencerahan spiritual sebagai hasil dari langkah-langkah
ini kita mencoba menyampaikan pesan ini kepada para pecandu dan untuk
menerapkan prinsip-prinsip ini dalam segala hal yang kita lakukan.
32
BAB III
RINGKASAN
Rehabilitasi pecandu NAPZA adalah suatu program yang ditujukan kepada
pecandu yang bersifat terpadu mencakup aspek biopsikososiokultural spiritual agar
para pecandu dapat berfungsi kembali secara fisik, medis, dan sosial serta dalam
pekerjaan sehari-hari. Rehabilitasi selain bertujuan untuk membebaskan pecandu
dari ketergantungan narkotika juga agar bekas pecandu narkotika dapat kembali
melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan masyarakat.
Rehabilitasi pecandu NAPZA dapat berupa rehabilitasi medis yang
mengutamakan perbaikan kondisi medis pecandu dan juga rehabilitasi non medis
yang mengutamakan pemulihan hubungan sosial, pekerjaan, agama, dan
memberikan hiburan bagi para pecandu agar dapat lepas dari NAPZA. Tahapan
rehabilitasi terdiri dari fase pertama untuk assesment awal, lanjut rehabilitasi medis,
rehabilitasi sosial dan aftercare.
Beberapa program rehabilitasi yang dapat dijalankan pecantu NAPZA yaitu
terapi detoksifikasi, terapi substitusi opioid, Therapeutic community dan program
terapi 12 langkah narcotic anonimus. Pada setiap metode rehabilitasi juga dapat
disertai intervensi psikososial seperti brief intervention, konseling dasar,
Motivational interviewing, CBT atau relaps prevention. Tidak ada satupun bentuk
terapi serupa yang sesuai untuk semua individu sehingga assesment awal disertai
pendekatan personal memegang peranan yang cukup penting untuk menentukan
metode rehabilitasi yang tepat untuk pasien gangguan penggunaan NAPZA. Terapi
33
yang efektif harus mampu memenuhi banyak kebutuhan individu tersebut, tidak
semata-mata hanya untuk memutus menggunakan NAPZA.
34
DAFTAR PUSTAKA
BNN, 2009. Panduan Pelayanan Psikologi di OSC-ORC-CBU. Jakarta: Pusat
Terapi dan Rehabilitasi BNN RI.
BNN, 2012. Bimbingan Teknis Rehabilitasi Berbasis Masyarakat. Jakarta:
Direktorat Penguatan Lembaga Rehabilitasi Komponen Masyarakat,
Deputi Bidang Rehabilitasi BNN.
Hall, K., Gibbie, T. & Lubman, D. I., 2012. Motivational interviewing techniques:
Facilitating behaviour change in the general practice setting. Australian
Family Physician, pp. 660-666.
Husin, A. B. & Siste, K., 2015. Gangguan Penggunaan Zat. In: S. D. Elvira & G.
Hadisukanto, eds. Buku Ajar Psikiatri. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, pp. 143-171.
Kemenkes, 2010. Pedoman layanan terapi dan rehabilitasi komprehensif pada
penggunaan Napza berbasis rumah sakit. Jakarta: Direktorat Bina
Pelayanan Kesehatan Jiwa, Direktorat Jenderal Bina pElayanan Medik
Kementerian kesehatan RI.
Kelly, J. F., 2011. Addiction Recovery Management. British: Humana Pres.
Kemenkes, 2011. Standar Pelayanan Terapi dan Rehabilitasi Gangguan
Penggunaan NAPZA. Jakarta: Direktorat Bina Kesehatan Jiwa
Kementerian Kesehatan RI.
Kemenkes, 2017. Infodatin Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI.
Jakarta: Kementerian Kesehatan RI Pusat Data dan Informasi.
35
Kesehatan, D., 2008. Pedoman Pelayanan Medik Gangguan Penggunaan Napza.
Jakarta: Direktorat Bina Pelayanan Medik.
Levounis, P., Arnaout, B. & Marienfeld, C., 2017. Motivational Interviewing for
Clinical Practise. 1st penyunt. USA: American Psychiatric Association
Publishing.
Maslim, R.,2001. Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas dari PPDGJ III.
Jakarta.
NIDA, 2015. Therapeutic community. [Online] Available at:
https://www.drugabuse.gov [Accessed 27 Maret 2018].
Psychologymania, 2012. Pengertian Rehabilitasi Narkoba. [Online]
Available at: www.psychologymania.com [Accessed 9 april 2018].
Purnomo, I. D. & Hardjanto, G., 2016. Terapi dengan pendekatan konsep kognitif
perilaku untuk mencegah relap pada pengguna Narkoba. pp. 152-172.
Recoveryresearch, 2012. Motivational Interviewing dan Motivational
Enhancement Therapies.[Online] Available at: https
://www.recoveryanswers.org [Accessed 13 April 2018].
Rockville, 1999. Motivational Interviewing as a Counseling Style Chapter 3. US:
Substance Abuse and Mental Health Services Administration.
Sekarmawar, n.d. Therapeutic Community. [Online].
Vanderplasschen, W., Colpaert, K. & Vandevelde, S., 2013. Therapeutic
Communities for Addiction : A Review of Their Effectiveness from a
Recovery-Oriented Perspective. Scientificworld.
36
Wodak, A. (2001). Drug treatment for opioid dependence. Sydney: Australian
prescriber.
37