METODE REHABILITASI GANGGUAN PENGGUNAAN NAPZA

41
METODE REHABILITASI GANGGUAN PENGGUNAAN NAPZA Oleh : dr. Luh Nyoman Alit Aryani, SpKJ PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I ILMU KEDOKTERAN JIWA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA 2018

Transcript of METODE REHABILITASI GANGGUAN PENGGUNAAN NAPZA

Page 1: METODE REHABILITASI GANGGUAN PENGGUNAAN NAPZA

METODE REHABILITASI

GANGGUAN PENGGUNAAN NAPZA

Oleh :

dr. Luh Nyoman Alit Aryani, SpKJ

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I

ILMU KEDOKTERAN JIWA FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS UDAYANA

2018

Page 2: METODE REHABILITASI GANGGUAN PENGGUNAAN NAPZA

i

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat rahmat-Nya

tinjauan pustaka ini disusun untuk sebagai suatu upaya untuk terus mencari dan

menambah ilmu pengetahuan yang kiranya dapat memberi manfaat bagi penulis

sendiri maupun para pembaca lainnya.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada:

1. dr. Ni Ketut Putri Ariani, SpKJ selaku Kepala Departemen/ KSM Psikiatri FK

UNUD/RSUP Sanglah

2. Seluruh staf dosen pada Program Studi Ilmu Kedokteran JIwa FK UNUD/RSUP

Sanglah Denpasar yang juga sudah memberikan dukungan baik berupa ide,

bahan referensi dan dorongan moril dalam penulisan tinjauan pustaka ini.

Penulis menyadari bahwa tinjauan pustaka ini masih sangat jauh dari

sempurna dan masih perlu pembelajaran yang lebih mendalam. Oleh karena itu,

penulis mengharapkan banyak bimbingan, kritik dan saran dari para senior maupun

teman-teman residen lainnya. Akhir kata penulis menyadari bahwa tinjauan pustaka

ini jauh dari sempurna sehingga memerlukan bimbingan, kritik dan saran dari para

senior maupun teman-teman residen lainnya. Atas masukannya penulis

mengucapkan banyak terima kasih.

Penulis

Page 3: METODE REHABILITASI GANGGUAN PENGGUNAAN NAPZA

ii

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ....................................................................................... i

DAFTAR ISI ...................................................................................................... iii

DAFTAR SINGKATAN.................................................................................... v

BAB I. PENDAHULUAN ............................................................................. 1

1.1 Latar Belakang ........................................................................... 1

1.2 Batasan Pembahasan .................................................................. 3

1.3 Tujuan ....................................................................................... 3

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA .................................................................... 5

2.1 Gangguan Penggunaan NAPZA ................................................ 5

2.2 Definisi Rehabilitasi ................................................................... 7

2.3 Tahapan Terapi Rehabilitasi ...................................................... 9

2.4 Metode Rehabilitasi ................................................................... 11

2.4.1 Terapi Substitusi Opioid ................................................... 13

2.4.2 Therapeutic community (TC)…………………………… 16

2.4.3. Metode 12 langkah .......................................................... 25

BAB III. RINGKASAN ................................................................................... 28

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 30

Page 4: METODE REHABILITASI GANGGUAN PENGGUNAAN NAPZA

iii

DAFTAR SINGKATAN

Narkoba : Narkotika dan bahan/obat yang berbahaya

NAPZA : Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya

BNN : Badan Narkotika Nasional

IPWL : Institusi Penerima Wajib Lapor

CNS : Central Nervose System

NIDA : National Institut on Drug Abuse

TC : Therapeutic Community

BI : Brief Intervention

NA : Narcotic Anonymous

AA

: Alcoholic Anonymus

MI : Motivational Interviewing

CBT

RP

Kemenkes

:

:

:

Cognitive Behavioral Therapy

Relaps Prevention

Kementerian Kesehatan

Page 5: METODE REHABILITASI GANGGUAN PENGGUNAAN NAPZA

1

BAB I

PENDAHULUAN

I. LATAR BELAKANG

Narkoba adalah singkatan dari narkotika dan bahan/obat berbahaya. Selain

narkoba istilah lain yang diperkenalkan khususnya oleh Kementerian Kesehatan RI

adalah NAPZA yang merupakan singkatan dari Narkotika, Psikotropika dan Zat

Adiktif lainnya. Perkembangan penyalahgunaan narkoba sudah merambah ke

seluruh tanah air dan menyasar seluruh lapisan tanah air (Kemenkes, 2017).

Berdasarkan pendataan dari aplikasi Sistem Informasi Narkoba (SIN)

jumlah kasus narkotika yang berhasil diungkap selama 5 tahun terakhir dari tahun

2012-2016 per tahun sebesar 76,53%. Kenaikan paling tinggi pada tahun 2013 ke

tahun 2014 yaitu 161,22%. Yang paling banyak shabu 1867 kasus diikuti ganja 128

kasus dan ekstasi 98 kasus (Kemenkes, 2017). Delapan puluh enam persen

penyalahguna Narkoba berada pada usia produktif. Upaya penanggulangan

penyalahgunaan Narkoba bersifat komprehensif. Bagi pecandu atau penyalahguna,

Undang-Undang telah memberikan hak-hak bagi mereka untuk mendapatkan

rehabilitasi medis dan sosial.

Jumlah pecandu NAPZA yang menjalani rehabilitasi masih sangat rendah.

Berdasarkan hasil pengumpulan data yang dilakukan oleh Pusat Terapi dan

Rehabilitasi BNN, jumlah pecandu yang mengakses layanan terapi baik rawat jalan

maupun rawat inap pada tahun 2009 sebesar 0,5% sedangkan sekitar 99,5%

pecandu lainnya berada di masyarakat (keluarga, sekolah, tempat kerja, dan

Page 6: METODE REHABILITASI GANGGUAN PENGGUNAAN NAPZA

2

komunitas lainnya). Kondisi ini menjadi tantangan tersendiri bagi upaya rehabilitasi

ketergantungan NAPZA di Indonesia di tengah-tengah terbatasnya sarana/fasilitas

rehabilitasi bagi pecandu NAPZA (BNN, 2012).

Rehabilitasi adalah suatu proses pemulihan pasien gangguan penggunaan

NAPZA baik dalam jangka waktu pendek ataupun panjang yang bertujuan

mengubah perilaku mereka agar siap kembali ke masyarakat (Kemenkes, 2010).

Pada tahun 2016 BNN telah memberi layanan rehabilitasi sebesar 22.485 pecandu

dan layanan pasca rehabilitasi sebanyak 70182 mantan pecandu dan penyalahguna

markotika (Kemenkes, 2017).

Pengguna narkoba juga perlu diselamatkan agar dapat kembali menjalani

hidup dalam keadaan sehat dan produktif. Pada tanggal 11 Maret 2014 pemerintah

telah menerbitkan Peraturan Bersama tentang Penanganan Pecandu Narkotika dan

Korban Penyalahgunaan Narkotika ke dalam Lembaga Rehabilitasi yang

ditandatangani oleh Mahkamah Agung, Kementerian Hukum dan HAM, Kejaksaan

Agung, Kepolisian, Kementerian Kesehatan, Kementerian Sosial, dan Badan

Narkotika Nasional. Dengan terbitnya peraturan bersama ini maka para pecandu

narkotika dan korban penyalahgunaan Narkoba di Indonesia dapat memperoleh

layanan rehabilitasi yang diperlukan. Pemerintah bersama segenap lapisan

masyarakat telah melakukan berbagai langkah dan upaya untuk menyelamatkan

para pengguna Narkoba dan tidak lagi menempatkan para pengguna Narkoba

sebagai pelaku tindak pidana atau pelaku tindak kriminal. Upaya ini diperkuat

dengan penetapan Institusi Penerima Wajib Lapor (IPWL) pada tahun 2011 dan

pencanangan tahun 2014 sebagai Tahun Penyelamatan Pengguna Narkoba. Seluruh

Page 7: METODE REHABILITASI GANGGUAN PENGGUNAAN NAPZA

3

IPWL mampu melaksanakan rehabilitasi medis, baik terapi simtomatik maupun

konseling adiksi Napza. Sedangkan, IPWL berbasis rumah sakit mampu

memberikan rehabilitasi medis dalam bentuk rawat inap yang bersifat jangka

pendek dan yang bersifat jangka panjang.

Dalam Ketentuan Umum Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang

Narkotika, rehabilitasi dibedakan dua macam, yaitu Rehabilitasi medis dan

rehabilitasi sosial. Rehabilitasi Medis adalah suatu proses kegiatan pengobatan

secara terpadu untuk membebaskan pecandu dari ketergantungan narkotika.

Rehabilitasi Sosial adalah suatu proses kegiatan pemulihan secara terpadu baik

secara fisik, mental maupun sosial agar bekas pecandu narkotika dapat kembali

melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan masyarakat.

Ada banyak metode yang dapat dilakukan dalam rehabilitasi medis dan

rehabilitasi sosial sehingga penulis ingin mengetahui lebih lanjut apa saja metode

yang dapat dilakukan dalam rehabilitasi pasien-pasien gangguan penggunaan

NAPZA, sehingga nantinya mereka dapat berfungsi kembali dengan baik di

masyarakat.

1.2 Batasan Pembahasan

Tinjauan pustaka ini membahas tentang gangguan penggunaan NAPZA,

definisi rehabilitasi, tahapan dan metode rehabilitasi bagi pemakai narkoba.

1.3 Tujuan

1) Untuk mengetahui definisi gangguan penggunaan NAPZA

2) Untuk mengetahui definisi rehabilitasi

3) Untuk mengetahui tahapan rehabilitasi

Page 8: METODE REHABILITASI GANGGUAN PENGGUNAAN NAPZA

4

4) Untuk mengetahui metode rehabilitasi NAPZA termasuk Therapeutic

Community, Metode 12 Langkah Narcotic Anonymus dan Terapi Substitusi

Opioid

Page 9: METODE REHABILITASI GANGGUAN PENGGUNAAN NAPZA

5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Gangguan Penggunaan NAPZA

Gangguan penggunaan NAPZA merupakan masalah biopsikososiobudaya

yang kompleks sehingga perlu ditangani secara multidisipliner dan lintas sektoral

dalam suatu program yang menyeluruh (komprehensif) dan konsisten. Gangguan

penggunaan NAPZA ditandai dengan penggunaan yang intensif disertai dengan

perasaan nagih yang kuat yang seringkali sulit dikontrol dan menggiring

penggunanya berupaya semaksimal mungkin untuk memperoleh NAPZA , tidak

peduli resiko apapun yang harus dihadapinya (Departemen Kesehatan, 2008;

Kemenkes 2010) . Dalam PPDGJ III gangguan ini disebut sebagai gangguan mental

dan perilaku akibat penggunaan zat dengan tingkat keparahan berbeda-beda dari

intoksikasi tanpa komplikasi dan penggunaan yang merugikan sampai gangguan

psikotik yang jelas. (Maslim, 2001)

Zat psikoaktif khususnya NAPZA memiliki sifat-sifat khusus terhadap

jaringan otak yaitu bersifat menekan aktivitas fungsi otak (depresan) merangsang

aktivitas fungsi otak (stimulansia dan mendatangkan halusinasi (halusinogenik).

Karena otak merupakan sentra perilaku manusia, maka interaksi antara NAPZA

(yang masuk ke dalam tubuh manusia) dengan sel-sel saraf otak dapat

menyebabkan perubahan perilaku manusia. Perubahan perilaku tergantung sifat dan

jenis zat yang masuk ke dalam tubuh (Husin & Siste, 2015).

Page 10: METODE REHABILITASI GANGGUAN PENGGUNAAN NAPZA

6

Pengguna NAPZA apapun jenisnya selalu mengharapkan efek yang

menyenangkan bagi dirinya (efek positif) yaitu euforia, tenang, rileks dan

disinhibisi. Efek lainnya pada umumnya tidak disukai (efek negatif) misalnya

waham, halusinasi, berdebar-debar. Efek NAPZA terhadap pengguna dipengaruhi

oleh banyak faktor, yaitu jenisnya (CNS depresant atau CNS stimulant), dosisnya

(intoksikasi saja atau overdose) lamanya penggunaan (toleransi atau belum

toleransi), NAPZA lain yang digunakan bersamaan, situasi (sendiri atau

berkelompok) dan harapan pengguna terhadap NAPZA tersebut (ingin lepas

kendali agar lebih berani atau ingin tenang) (Kemenkes, 2010).

Masuknya NAPZA ke dalam tubuh memiliki beberapa cara yaitu disedot

melalui hidung (snorting, sneefing), dihisap melalui bibir (inhalasi, merokok),

disuntikkan dengan jarum suntikan melalui pembuluh darah vena, ditempelkan

pada kulit (terutama lengan bagian dalam) yang telah diiris-iris kecil dengan cutter,

ada juga yang melakukannya dengan mengunyah kemudian ditelan.

NAPZA memiliki neurotransmiter yang memiliki sifat khusus sehingga

penggunaan sekaligus berbagai jenis NAPZA dapat mendatangkan kekacauan di

dalam celah sinaptik. Beberapa jenis neurotransmiter itu adalah dopamin

(amfetamin, kokain, alkohol), serotonin (LSD, alkohol), endorfin ( opiat, alkohol),

GABA (benzodiazepine, alkohol), glutamat (alkohol) dan asetilkolin (nikotin,

alkohol). Beberapa jenis NAPZA yang sering digunakan saat ini di Indonesia yaitu

Amfetamin, Kanabis, Opioid, Benzodiazepin, Alkohol, Kokain dan Volatile

Substance (senyawa yang mudah menguap) (Husin & Siste, 2015).

Page 11: METODE REHABILITASI GANGGUAN PENGGUNAAN NAPZA

7

2.2 Definisi Rehabilitasi

Rehabilitasi adalah suatu proses pemulihan pasien gangguan penggunaan

NAPZA baik dalam jangka waktu pendek ataupun panjang yang bertujuan

mengubah perilaku mereka agar siap kembali ke masyarakat (Kemenkes, 2010).

Rehabilitasi NAPZA juga merupakan upaya terapi (intervensi) berbasis bukti yang

mencakup perawatan medis, psikososial atau kombinasi keduanya baik perawatan

rawat inap jangka pendek ataupun jangka panjang (Kemenkes, 2011). Definisi lain

mengatakan bahwa rehabilitasi narkoba adalah sebuah tindakan represif yang

dilakukan bagi pencandu narkoba (Psychologymania, 2012). Tujuannya adalah

untuk membantu klien mempertahankan kondisi bebas NAPZA (abstinensia) dan

memulihkan fungsi fisik, psikologis dan sosial (Kemenkes, 2011). Tindakan

rehabilitasi ditujukan kepada korban dari penyalahgunaan narkoba untuk

memulihkan atau mengembangkan kemampuan fisik, mental, dan sosial penderita

yang bersangkutan. Selain untuk memulihkan, rehabilitasi juga sebagai pengobatan

atau perawatan bagi para pecandu narkotika, agar para pecandu dapat sembuh dari

kecanduannya terhadap narkotika (Psychologymania, 2012).

Pada tahun 2014 pemerintah Indonesia telah menerbitkan Peraturan

Bersama tentang Penanganan Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan

Narkotika ke dalam Lembaga Rehabilitasi. Merujuk pada Undang-Undang no 35

tahun 2009 tentang narkotika dan Peraturan Pemerintah no 25 tahun 2011 tentang

Pelaksanaan Wajib Lapor Pecandu Narkotika, inilah dasar hukum untuk upaya dan

langkah menyelamatkan pengguna narkoba.

Rehabilitasi dibedakan menjadi 2 macam yaitu meliputi :

Page 12: METODE REHABILITASI GANGGUAN PENGGUNAAN NAPZA

8

a. Rehabilitasi medis

Rehabilitasi Medis adalah suatu proses kegiatan pengobatan secara terpadu

untuk membebaskan pecandu dari ketergantungan narkotika. Rehabilitasi Medis

pecandu narkotika dapat dilakukan di Rumah Sakit yang ditunjuk oleh Menteri

Kesehatan yaitu rumah sakit yang diselenggarakan baik oleh pemerintah, maupun

oleh masyarakat. Selain pengobatan atau perawatan melalui rehabilitasi medis,

proses penyembuhan pecandu narkotika dapat diselenggarakan oleh masyarakat

melalui pendekatan keagamaan dan tradisional.

b. Rehabilitasi Sosial

Rehabilitasi Sosial adalah suatu proses kegiatan pemulihan secara terpadu

baik secara fisik, mental maupun sosial agar bekas pecandu narkotika dapat kembali

melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan masyarakat. Yang dimaksud dengan

bekas pecandu narkotika disini adalah orang yang menggunakan atau

menyalahgunakan narkotika dan dalam keadaan ketergantungan pada narkotika baik

secara fisik maupun psikis (Psychologymania, 2012).

Tindakan rehabilitasi ini merupakan tindakan yang bersifat represif yaitu

penanggulangan yang dilakukan setelah terjadinya tindak pidana, dalam hal ini

narkotika, yang berupa pembinaan atau pengobatan terhadap para pengguna

narkotika. Dengan upaya-upaya pembinaan dan pengobatan tersebut diharapkan

nantinya korban penyalahgunaan NAPZA dapat kembali normal dan berperilaku

baik dalam kehidupan bermasyarakat (Psychologymania, 2012).

2.3 Tahapan Perubahan (Stage of Change)

Page 13: METODE REHABILITASI GANGGUAN PENGGUNAAN NAPZA

9

Dalam proses pemulihan seorang adiksi NAPZA mengalami banyak perubahan

yang dapat dinilai dari motivasinya. Model Stage of Change dimulai dari fase

prekontemplasi, kontemplasi, preparasi, aksi dan rumatan. Ciri-ciri spesifik dari

tiap-tiap fase adalah sebagai berikut :

a) Fase prekontemplasi

Pasien sama sekali belum menyadari adanya perubahan dalam dirinya akibat

menggunakan napza. Pasien tidak memiliki minat untuk berubah meskipun

keluarga atau orang-orang dekat dengannya telah mengingatkannya bahwa

telah terjadi “masalah” akibat tingkah lakunya. Kalau mereka telah masuk ke

sentra-sentra rehabilitasi umumnya karena paksaan, ditipu atau karena

pelanggaran hukum.

b) Fase Kontemplasi

Pasien telah mulai mengakui telah terjadi kesulitan akibat napza (mungkin telah

ada keluhan fisik) tetapi menolak suatu komitmen untuk berubah. Pasien

mempertimbangkan berbagai kemungkinan-kemungkinan untuk berubah,

namun ada perasaan ragu-ragu, bimbang dan ambivalensi. Pasien telah mulai

memiliki perasaan bahwa dalam dirinya telah terjadi suatu problem akibat

penggunaan napza.

c) Fase Preparasi

Tampaknya pasien telah secara sungguh-sungguh menunjukkan keinginan

berubah atau kebutuhan untuk berhenti, namun belum siap. Pasien mengaku

belum mau berubah kalau belum merasa betul-betul mantap. Pasien banyak

bertanya pada teman pecandu lain dan mulai mencari- cari info tentang upaya-

Page 14: METODE REHABILITASI GANGGUAN PENGGUNAAN NAPZA

10

upaya penyembuhan ketergantungan napza. Pasien telah memahami dan

mengakui adanya “problem dalam keluarga”, sudah dapat mengambil

keputusan untuk menetapkan mau berubah, untuk memulai upaya

penyembuhan.

d) Fase Aksi

Pasien secara aktif mengambil langkah-langkah untuk berubah tetapi belum

mencapai suatu kondisi stabil. Pasien berhasil menunjukkan beberapa

perubahan perilaku yang berkait dengan napza misalnya bersedia mengikuti

terapi dan menghadiri NA meeting. Pada tahap aksi, pasien sudah mulai melatih

dan merubah tingkah lakunya. Pasien mulai mencari aktivitas alternatif diluar

fokus problem ketergantungan napza (misalnya kursus-kursus sederhana,

jogging, latihan futsal dan lain-lain).

e) Fase Rumatan

Pasien telah mencapai sasaran misalnya abstinensia dan sekarang sedang bekerja keras

untuk mempertahankannya. Pasien mulai menghindari menggunakan napza apapun

dan berhasil mengendalikan relaps yang datang serta mampu mengatasinya. Pasien

bersedia secara aktif untuk membantu orang lain yang sependeritaan dengannya.

2.4Tahapan Terapi Rehabilitasi

Tahapan terapi rehabilitasi umumnya dapat dibagi atas beberapa fase berikut :

1) Fase Penilaian (assesment phase)

Pada tahap ini perlu dilakukan evaluasi psikiatri yang komprehensif. Termasuk

yang perlu dinilai adalah (Husin & Siste, 2015) :

Page 15: METODE REHABILITASI GANGGUAN PENGGUNAAN NAPZA

11

• Penilaian yang sistematis terhadap tingkat intoksikasi, keparahan-keparahan

putus zat, dosis zat terbesar yang digunakan terakhir, lama waktu setelah

penggunaan zat terakhir, awitan gejala, frekwensi dan lama penggunaan,

efek subyektif dari semua jenis-jenis NAPZA yang digunakan termasuk

jenis-jenis NAPZA lain selain yang menjadi pilihan utama pasien/klien.

• Riwayat medik dan psikiatri umum yang komprehensif

• Riwayat gangguan penggunaan NAPZA dan terapi sebelumnya.

• Riwayat keluarga dan sosial ekonomi

• Pemeriksaan urin untuk jenis-jenis NAPZA yang disalahgunakan

• Skrining penyakit infeksi seperti HIV, tuberculosis, hepatitis

2) Tahap rehabilitasi medis (detoksifikasi)

Detoksifikasi NAPZA merupakan proses atau tindakan medis untuk

membantu klien dalam mengatasi gejala putus NAPZA (Kemenkes, 2011). Tahap

detoksifikasi sering disebut dengan fase terapi withdrawal atau fase terapi

intoksikasi. Tahap ini pecandu diperiksa seluruh kesehatannya baik fisik dan mental

oleh dokter terlatih. Dokterlah yang memutuskan apakah pecandu perlu diberikan

obat tertentu untuk mengurangi gejala putus zat (sakau) yang ia derita. Pemberian

obat tergantung dari jenis narkoba dan berat ringanya gejala putus zat. Dalam hal

ini dokter butuh kepekaan, pengalaman, dan keahlian guna memdeteksi gejala

kecanduan narkoba tersebut (Husin & Siste, 2015). Fase ini memiliki beberapa

variasi :

a) Rawat Inap dan Rawat Jalan

Page 16: METODE REHABILITASI GANGGUAN PENGGUNAAN NAPZA

12

b) Cold Turkey, artinya seorang pecandu langsung menghentikan

penggunaan narkoba/zat adiktif, dengan mengurung pecandu dalam

masa putus obat tanpa memberikan obat-obatan.

c) Terapi simptomatis

d) Rapid Detoxification, Ultra Rapid Detoxification

e) Detoxifikasi dengan menggunakan : Kodein dan ibuprofen, Klontrex

(klonidin dan naltrexon), Bufrenorfin, Metadon.

Klien seringkali membutuhkan multimodal terapi yang beragam. Tergantung pada

filosofi program yang mendasari, ada beberapa variasi :

a) Program Terapi Substitusi, ada antagonis (naltrekson), agonis parsial

(buprenorfin) atau dengan full agonist (metadon)

b) Program terapi yang berorientasi abstinensia : Therapeutic Community,

the 12 step recovery program narcotic anonymus

Bila program terapi selanjutnya adalah terapi substitusi maka tidak perlu dilakukan

program detoxifikasi, tetapi terapi withdrawal. Namun bila program terapi

selanjutnya adalah terapi yang berorientasi abstinensia maka mutlak dilakukan

detoxifikasi.

3) Tahap rehabilitasi nonmedis (sosial)

Tahap ini pecandu ikut dalam program rehabilitasi. Di Indonesia sudah di bangun

tempat-tempat rehabilitasi, sebagai contoh di bawah BNN adalah tempat

rehabilitasi di daerah Lido (Kampus Unitra), Baddoka (Makassar), dan Samarinda.

Di tempat rehabilitasi ini, pecandu menjalani berbagai program diantaranya

Page 17: METODE REHABILITASI GANGGUAN PENGGUNAAN NAPZA

13

program therapeutic communities (TC), 12 steps (dua belas langkah, pendekatan

keagamaan, dan lain-lain.

4) Tahap bina lanjut (after care)

Merupakan layanan pascarehab. Bisa bersifat reguler (rawat jalan), dimana pecandu

dapat kembali ke sekolah atau tempat kerja namun tetap berada di bawah

pengawasan atau bersifat intensif (rumah damping) dimana pecandu melanjutkan

program TC, 12 langkah dan diberikan kegiatan sesuai dengan minat dan bakat

untuk mengisi kegiatan sehari-hari.

2.5Metode Rehabilitasi

Dalam Keputusan Menteri Kesehatan RI no 420/MENKES/SKIII/2010,

rehabilitasi pecandu narkotika dibedakan menjadi dua yaitu:

1) Rehabilitasi Jangka Pendek (Short Term)

Lama perawatan berlangsung antara 1 sampai dengan 3 bulan tergantung

dari kondisi dan kebutuhan pasien. Pendekatan yang dapat dilakukan ke arah medik

dan psikososial. Masalah medik masih menjadi fokus utama, asesmen dilakukan

secara lengkap termasuk pemeriksaan penunjang medis. Asesmen yang perlu

dilakukan pada model terapi ini antara lain :

➢ Evaluasi masalah penggunaan NAPZA (jenis, jumlah, lama pemakaian,

dampak yang ditimbulkan, keinginan untuk berhenti)

➢ Evaluasi medis : riwayat penyakit, kondisi fisik saat ini dan penyakit-

penyakit-penyakit lain yang terkait dengan penggunaan NAPZA

➢ Evaluasi psikologis melalui wawancara dan tes psikologi

Page 18: METODE REHABILITASI GANGGUAN PENGGUNAAN NAPZA

14

➢ Evaluasi sosial : riwayat keluarga, pendidikan , pekerjaan dan hubungan sosial

➢ Evaluasi tentang kegiatan agama, penggunaan waktu senggang dan kehidupan

pribadi lainnya.

Untuk melakukan asesmen memerlukan suatu hubungan terapeutik yang

terbina antara pasien dengan terapis dan hasil asesmen tersebut menjadi acuan

untuk terapi selanjutnya. Pengobatan dapat dilanjutkan dengan rawat jalan atau bila

masalah yang dihadapi pasien khususnya perilaku belum memungkinkan, dapat

dilanjutkan dengan rehabilitasi jangka panjang.

2) Rehabilitasi Jangka Panjang

Lama perawatan rehabilitasi jangka panjang adalah 6 bulan atau lebih.

Dalam hal ini modalitas terapi yang dimaksudkan adalah Therapeutic Community

(TC) yang menggunakan pendekatan perubahan perilaku. Therapeutic Community

(TC) direkomendasikan bagi pasien yang sudah mengalami masalah penggunaan

NAPZA dalam waktu lama dan berulang kali kambuh atau sulit untuk berada dalam

kondisi abstinen atau bebas dari NAPZA.

Berikut ini adalah program-program yang dapat diikuti oleh seorang pecandu

selama menjalani program rehabilitasi yaitu :

2.51 Terapi substitusi opioda

Terapi substitusi sering juga disebut dengan terapi rumatan (maintenance).

Terapi ini diigunakan untuk pasien-pasien ketergantungan heroin (opioda). Untuk

Page 19: METODE REHABILITASI GANGGUAN PENGGUNAAN NAPZA

15

pengguna opioda hard core addict (pengguna opioda yang telah bertahun-tahun

menggunakan opioda suntikan), pecandu biasanya mengalami kekambuhan kronis

sehingga perlu berulang kali menjalani terapi ketergantungan. Kebutuhan heroin

(narkotika ilegal) diganti (substitusi) dengan narkotika legal. Beberapa obat yang

sering digunakan adalah kodein, bufrenorphin, metadone, dan nalrekson. Obat-

obatan ini digunakan sebagai obat detoksifikasi, dan diberikan dalam dosis yang

sesuai dengan kebutuhan pecandu, kemudian secara bertahap dosisnya diturunkan.

(Husin & Siste, 2015).

Karakteristik obat yang ideal untuk terapi rumatan adalah :

➢ Rendah potensi untuk didiversikan

➢ Lamanya aksi cukup panjang

➢ Potensi rendah menggunakan zat lain selama terapi

➢ Toksisitas rendah untuk terjadinya overdose

➢ Fase detoksifikasi harus singkat, sederhana dan gejala-gejala rebound

withdrawal minimal

➢ Memfasilitasi abstinensia terhadap opioid ilegal lain

➢ Pasien menerimanya dengan iklas dan baik

Tidak ada satu obatpun yang memenuhi persyaratan ideal tersebut. Namun untuk

ketergantungan opioid para pakar kedokteran menemukan beberapa jenis obat yang

mendekati kriteria karakteristik tersebut seperti :

➢ Agonis : metadon

➢ Parsial agonis : buprenorphin

➢ Antagonis : naltrekson

Page 20: METODE REHABILITASI GANGGUAN PENGGUNAAN NAPZA

16

2.4.1.1 Program Terapi Rumatan Metadona

Pecandu opiat umumnya menggunakan heroin. Sebagian besar dari mereka

menggunakan heroin dengan cara suntik yang tidak aman sehingga mereka sangat

mudah mendapat infeksi seperti hepatitis dan HIV. Guna mengurangi dampak

buruk penggunaan opiat dengan cara suntik diperlukan intervensi pengurangan

dampak buruk (harm reduction). Salah satu intervensinya berupa program terapi

rumatan dengan memberikan metadon cair yang dikenal dengan nama Program

Terapi Rumatan Metadona (PTRM).

Metadona merupakan suatu agonis sintetik opioid yang kuat dan diserap

dengan baik secara oral dengan daya kerja jangka panjang. Waktu paruh metadona

pada umumnya 24 jam. Penggunaan berkesinambungan akan diakumulasi dalam

tubuh khususnya di hati. Proses akumulasi ini sebagian menjadi alasan mengapa

toleransi atas penggunaan metadona berjalan lebih lambat daripada morfin atau

heroin.

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI no 57 tahun 2013, pada tahap

inisiasi dosis awal metadona yang dianjurkan adalah 20-30 mg untuk tiga hari

pertama. Jika terdapat intoksikasi atau gejala putus obat berat maka dosis akan

dimodifikasi sesuai dengan keadaan. Metadon harus diberikan dalam bentuk cair

dan diencerkan sampai menjadi 100 cc dengan larutan sirup. Pasien harus minum

setiap hari dihadapan petugas PTRM.

Tahap selanjutnya adalah tahap stabilisasi, untuk menaikkan dosis secara

perlahan sehingga memasuki tahap rumatan. Dosis yang dianjurkan adalah

menaikkan dosis awal 5-10 mg tiap 3-5 hari. Total kenaikan dosis tiap minggu tidak

Page 21: METODE REHABILITASI GANGGUAN PENGGUNAAN NAPZA

17

boleh lebih dari 30 mg. Pada tahap rumatan, dosis rumatan rata-rata adalah 60-120

mg per hari. Dosis rumatan harus dipantau dan disesuaikan setiap hari secara teratur

dari keadaan pasien. Fase ini dapat berjalan selama bertahun-tahun sampai perilaku

stabil, baik dalam bidang pekerjaan, emosi maupun kehidupan sosial.

Metadona dapat dihentikan secara bertahap perlahan (tappering off).

Penghentian metadona dapat dilakukan pada keadaan berikut : pasien sudah dalam

keadaan stabil, minimal 6 bulan pasien dalam keadaan bebas heroin, pasien dalam

kondisi yang stabil untuk bekerja dan memiliki dukungan hidup yang memadai.

PTRM tidak hanya memberikan metadona semata-mata melainkan juga

intervensi medis dan psikososial lain yang dibutuhkan pasien (Kemenkes 2013;

Husin & Siste, 2015). Keberhasilan dalam proses terapi rumatan metadon yaitu bila

pasien mampu bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri dan keluarga serta

mampu berkontribusi bagi masyarakat di lingkungannya.

2.4.1.2 Buprenorphine-partial Agonist

Buprenorphin merupakan parsial agonis heroin yang diminum secara

sublingual dan memiliki memiliki metabolisme yang tinggi ketika diminum per

oral. Terapi ini pertama kali dikenalkan di Perancis dan di evaluasi di beberapa

negara lainnya. Hasil terapi secara garis besar dapat dibandingkan dengan terapi

rumatan metadon, tapi masing-masing terapi memiliki keuntungan dan beberapa

kelemahan. Buprenorphin dapat diminum berselang seling tidak setiap hari. Resiko

overdosis minimal namun pada individu dengan dosis heroin yang tinggi

sebelumnya akan menunjukkan beberapa gejala putus zat. Buprenorphin masih

Page 22: METODE REHABILITASI GANGGUAN PENGGUNAAN NAPZA

18

dapat menjadi pilihan terapi untuk detoksifikasi walaupun harganya lebih mahal

dibandingkan dengan metadon (Wodak, 2001)

2.4.1.3 Naltrekson- opiat antagonist maintenance treatment program

Farmakoterapi rumatan dapat dilakukan dengan menggunakan naltrekson.

Program terapinya dikenal dengan istilah Opamat-ED (Opiate Antagonist

Maintenance Therapi). Naltrekson saat ini tidak lagi tersedia di Indonesia karena

industri farmasi yang mendapat ijin edar naltrekson tidak meneruskan usahanya.

2.4.2 Therapeutic community (TC)

Therapeutic community (TC) adalah bentuk umum dari rehabilitasi jangka

panjang untuk gangguan penggunaan zat (NIDA, 2015). Metode ini mulai

digunakan pada akhir 1950 di Amerika Serikat. Tujuan utamanya adalah menolong

pecandu agar mampu kembali ke tengah masyarakat dan dapat kembali menjalani

kehidupan yang produktif.

Program TC, merupakan program yang disebut Drug Free Self Help

program. Teori yang mendasari metode TC adalah pendekatan behavioral dimana

berlaku sistem reward (penghargaan/penguatan) dan punishment (hukuman) dalam

mengubah suatu perilaku. Selain itu digunakan juga pendekatan kelompok, dimana

sebuah kelompok dijadikan suatu media untuk mengubah suatu perilaku. Program

TC mempunyai suatu aturan yang tertulis maupun tidak tertulis yang sangat

mengikat setiap residen untuk menjalankan dan siap menerima sanksi bila

melanggar aturan tersebut (pasien peserta TC lazim disebut residen). Gambaran

dari TC adalah sebagai berikut :

Page 23: METODE REHABILITASI GANGGUAN PENGGUNAAN NAPZA

19

• Program dengan struktur yang ketat

• Umumnya pasien berada dalam program 6-12 bulan

• Program pengobatan

• Program pendidikan

• Latihan ketrampilan sosial dan penerapannya

• Pasien mempunyai riwayat perilaku kriminal

• Mengembangkan sistem dukungan yang sesuai kebutuhan pasien

• Menstabilkan fungsi kehidupan pasien

• Rehabilitasi vokasional

Di dalam TC ada berbagai norma-norma dan falsafah yang dianut untuk

membentuk perilaku yang lebih baik. Norma-norma dan falsafah yang ditanamkan

dalam TC tersebut kemudian berkembang menjadi suatu budaya TC, yang

didalamnya mencakup (Winanti, 2008) :

1. The Creed (Philosophy)

Merupakan filosofi atau falsafah yang dianut dalam TC. Falsafah ini merupakan

kerangka dasar berpikir dalam program TC yang harus dipahami dan dihayati oleh

seluruh residen.

2. Cardinal Rules

Cardinal Rules merupakan peraturan utama yang harus dipahami dan

ditaati dalam program TC, yaitu :

➢ No drugs (tidak diperkenankan menggunakan narkoba)

Page 24: METODE REHABILITASI GANGGUAN PENGGUNAAN NAPZA

20

➢ No sex (tidak diperkenankan melakukan hubungan seksual dalam bentuk

apapun)

➢ No violence (tidak diperkenankan melakukan kekerasan fisik)

3. Four Structure Five Pillars

Empat kategori struktur program :

a. Behaviour management shaping (Pembentukan tingkah laku)

Perubahan perilaku yang diarahkan pada kemampuan untuk mengelola

kehidupannya sehingga terbentuk perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai,

norma-norma kehidupan masyarakat.

b. Emotional and psychological (Pengendalian emosi dan psikologi)

Perubahan perilaku yang diarahkan pada peningkatan kemampuan penyesuaian

diri secara emosional dan psikologis.

c. Intellectual and spiritual (Pengembangan pemikiran dan kerohanian)

Perubahan perilaku yang diarahkan pada peningkatan aspek pengetahuan, nilai-

nilai spiritual, moral dan etika, sehingga mampu menghadapi dan mengatasi

tugas-tugas kehidupannya maupun permasalahan yang belum terselesaikan

d. Vocational and survival (Keterampilan kerja dan sosial serta bertahan hidup)

Perubahan perilaku yang diarahkan pada peningkatan kemampuan dan

keterampilan residen yang dapat diterapkan untuk menyelesaikan tugas-tugas

sehari-hari maupun masalah dalam kehidupannya.

Lima Pillars (5 tonggak dalam program) :

a. Family milieu concept (Konsep kekeluargaan)

Page 25: METODE REHABILITASI GANGGUAN PENGGUNAAN NAPZA

21

Untuk menyamakan persamaan di kalangan komunitas supaya bersama menjadi

bagian dari sebuah keluarga.

b. Peer pressure (Tekanan rekan sebaya)

Proses dimana kelompok menekan seorang residen dengan menggunakan teknik

yang ada dalam “TC”

c. Therapeutic session (Sesi terapi)

Berbagai kerja kelompok untuk meningkatkan harga diri dan perkembangan

pribadi dalam rangka membantu proses kepulihan .

d. Religius session (Sesi agama)

Proses untuk meningkatkan nilai-nilai dan pemahaman agama.

e. Role modelling (Keteladanan)

Proses pembelajaran dimana seorang residen belajar dan mengajar mengikuti

mereka yang sudah sukses.

Tahapan program TC yang harus dijalani setiap residen (pasien peserta TC) adalah

sebagai berikut :

1) Proses Intake dan Orientasi (2-4 minggu)

Merupakan masa persiapan untuk residen untuk memasuki fase primary.

Kegiatan yang dilakukan berupa wawancara awal, pemberian Informed

consent, pemeriksaan fisik, pengisian formulir dan orientasi program (Winanti

2008; Kemenkes 2010).

2) Primary Stage (6-9 bulan)

Tahap ini ditujukan bagi perkembangan sosial dan psikologis residen.

Dalam tahap ini residen diharapkan melakukan sosialisasi, mengalami

Page 26: METODE REHABILITASI GANGGUAN PENGGUNAAN NAPZA

22

pengembangan diri, serta meningkatkan kepekaan psikologis dengan

melakukan berbagai aktivitas dan sesi terapeutik yang telah ditetapkan.

Dilaksanakan selama kurang lebih 6 sampai dengan 9 bulan. Primary terbagi

dalam beberapa tahap, yaitu : younger member, middle member, older member.

Untuk Younger Member (anggota termuda 1-3 bulan) diharapkan aktif

mengikuti program, adanya penerapan sanksi (reward and punishment), dapat

dikunjungi keluarga, mengikuti kegiatan Family Support Group dan terlibat

dalam kegiatan kelompok.

Untuk Middle Member (anggota menengah 4-6 bulan) : mulai bertanggung

jawab terhadap sebagian operasional fasilitas/rumah, menjadi buddy bagi

younger member, sudah boleh keluar fasilitas TC dengan pendamping,

mengikuti kegiatan Family Support Group dan terlibat dalam kegiatan

kelompok.

Untuk older member (anggota lama 6-9 bulan) : sudah bertangguang jawab

penuh terhadap rumah/fasilitas, pelaksanaan reward dan punishment secara

penuh, boleh meninggalkan fasilitas /rumah, mengikuti kegiatan Family

Support Group dan terlibat dalam kegiatan kelompok. Dinyatakan

graduate/lulus (Winanti 2008; Kemenkes 2010).

3) Tahapan Re-Entry (3-6 bulan)

Re-entry merupakan program lanjutan setelah Primary. Program Re-entry

memiliki tujuan untuk memfasilitasi residen agar dapat bersosialisasi dengan

kehidupan luar setelah menjalani perawatan di Primary. Tahap ini dilaksanakan

selama 3 sampai dengan 6 bulan.

Page 27: METODE REHABILITASI GANGGUAN PENGGUNAAN NAPZA

23

Fase orientasi (2 minggu)

• Pengenalan program re-entry

• Didampingi buddy

• Tidak boleh dikunjungi keluarga

• Tidak boleh meninggalkan fasilitas TC

• Sanksi berupa tugas-tugas mengurus fasilitas

• Mengikuti kegiatan kelompok

Fase A (1,5-2 bulan)

• Mengikuti kegiatan kelompok

• Dapat dikunjungi keluarga setiap waktu

• Diberi ijin menginap 1 malam setiap 2 minggu sekali

• Boleh menerima uang jajan setiap minggu secara teratur

• Boleh melakukan aktivitas di luar fasilitas TC

Fase B (2 bulan)

• Mengikuti kegiatan kelompok

• Dapat dikunjungi setiap waktu

• Diberi ijin pulang menginap 2 malam setiap 2 minggu

• Boleh meminta tambahan uang jajan

• Boleh melakukan aktivitas diluar fasilitas TC

Fase C (2 bulan)

• Mengikuti kegiatan kelompok

• Dapat dikunjungi setiap waktu

• Diberi ijin pulang

Page 28: METODE REHABILITASI GANGGUAN PENGGUNAAN NAPZA

24

• Boleh meminta tambahan uang jajan

• Boleh melakukan kegiatan diluar fasilitas TC

• Konseling final bagi residen maupun keluarga untuk persiapan pulang

Dukungan keluarga sangat diperlukan pada pelaksanaan TC, keluarga juga

diberikan psikoedukasi tentang NAPZA dan perkembangan pasien sehingga

ikut mendukung keberhasilan terapi residen. Pendampingan keluarga yang tak

pernah putus dapat membantu pecandu narkoba untuk benar-benar berhenti

menggunakan obat-obatan terlarang itu.

4). Aftercare Program

Merupakan program yang ditujukan bagi mantan residen /alumni TC, yang

dilaksanakan di luar fasilitas TC dan diikuti oleh semua angkatan dibawah

supervisi staf re-entry. Bentuk kegiatan yang dilakukan adalah sharing dalam

kelompok tanpa ditanggapi, meminta anggota untuk menanggapi suatu topik,

waktu dan tempat pelaksanaan disepakati bersama. Bentuk aftercare program

bisa berupa rumah damping salah satunya yang disediakan oleh BNN Provinsi

Bali.

5). Intervensi Psikososial

Suatu pendekatan yang mengutamakan pada masalah psikologis dan sosial

yang disandang oleh pasien dengan tujuan untuk meningkatkan kemampuan

pasien menghadapi setiap masalah. Intervensi ini dapat diberikan pada setiap

tahapan terapi baik dalam keadaan intoksikasi sampai pada saat fase rehabilitasi

yang disesuaikan dengan kondisi pasien khususnya pasien dengan kesadaran

penuh.

Page 29: METODE REHABILITASI GANGGUAN PENGGUNAAN NAPZA

25

Beberapa model intervensi psikososial yang dapat dilakukan dalam layanan

pengobatan gangguan penggunaan Napza antara lain :

a. Brief Intervention (BI)

Brief Intervention (BI) dipertimbangkan untuk berbagai kondisi

yang melibatkan waktu tenaga profesional yang terbatas untuk mencoba

merubah penggunaan NAPZA atau setidaknya mengajak klien berpikir ulang

mengenai pola penggunaan NAPZA-nya. Waktu yang dibutuhkan untuk

intervensi singkat biasanya antara 5 menit sampai 2 jam.

Brief Intervention (BI) dapat direkomendasikan pada kondisi seperti

penggunaan alkohol yang membahayakan tetapi belum ketergantungan,

ketergantungan alkohol ringan sampai sedang, ketergantungan nikotin,

ketergantungan ringan sampai dengan sedang kanabis. Brief Intervention (BI)

dapat mengambil berbagai bentuk format termasuk asesmen singkat, materi

self help (materi yang membantu pemahaman NAPZA pada pasien contohnya

leaflet, cara menyuntik yang benar pada program harm reduction), informasi

penggunaan yang aman serta pencegahan kekambuhan.

b. Konseling Dasar

Konseling adalah suatu proses pertolongan dimana seseorang

dengan tulus dan tujuan yang jelas, memberikan waktu, perhatian dan

keahliannya membantu pasien untuk mempelajari situasi mereka, mengenali

dan melakukan pemecahan masalah terhadap keterbatasan yang diberikan

lingkungan mereka.

Fungsi utama konseling :

Page 30: METODE REHABILITASI GANGGUAN PENGGUNAAN NAPZA

26

a) Menyampaikan informasi penting

b) Membantu pasien mengklarifikasi dan menempatkan masalah

c) Membantu pasien memilih dan mengambil tindakan realistik

d) Memberi dukungan psikomotor melalui ketrampilan komunikasi.

c. Motivational Interviewing (MI)

Motivasi adalah suatu keadaan kesiapan atau keinginan untuk

berubah, selalu berfluktuasi dari waktu ke waktu atau dari situasi ke situasi

yang lain. Dasar pemikiran melakukan wawancara motivasional ini adalah

bahwa untuk mencapai perubahan adalah lebih mudah bila motivasi untuk

berubah tersebut datang dari dalam dirinya sendiri daripada dipaksakan oleh

konselor atau terapis.

Motivational Interviewing sering dilakukan menyerupai Brief

Intervention dengan prinsip berorientasi pada klien. Berdasarkan prinsip ini,

MI mempunyai pendekatan sama seperti konseling pada umumnya, seperti

reflecting listening, summarizing dan paraphrasing (Recoveryresearch,

2012). Motivational Interviewing adalah sebuah wawancara yang bertujuan

untuk membantu seseorang menggali dan mengatasi ambivalensi tentang

penggunaan NAPZA melalui tahapan perubahan. Ini sangat berguna bila

dilakukan pada pasien yang berada pada tahap prekontemplasi dan

kontemplasi, tapi prinsip dan keterampilan wawancara sangat penting pada

semua tahap (Kemenkes, 2010). Saran hanya diberikan bila ada permintaan

dan atas ijin pasien. Motivational Interviewing juga kadang-kadang

dikombinasikan dengan Cognitive Behavioral Therapy.

Page 31: METODE REHABILITASI GANGGUAN PENGGUNAAN NAPZA

27

Lima prinsip Motivational Interviewing yaitu (Rockville, 1999):

- Mengekspresikan Empati melalui reflective listening

- Memaparkan ketidakcocokan (perbedaan) antara tujuan dan perilaku

klien saat ini

- Menghindari argumentasi dan konfrontasi langsung

- Menyesuaikan resistensi klien daripada menentangnya secara

langsung

- Mendukung self efficacy dan optimisme

Motivational Interviewing dilaksanakan dengan menggunakan 4

keterampilan dasar, yang sering dikenal dengan singkatan OARS : Open

ended question (pertanyaan terbuka), Affirmation (penegasan), reflective

listening (mendengarkan dengan cara merefleksikan), Summarising

(menyimpulkan). Nasihat biasanya hanya diberikan berdasarkan permintaan

dan atas ijin pasien.. (Hall, et al., 2012)

Ada empat proses dalam melakukan Motivational Interviewing

untuk mendapatkan perubahan (Levounis, et al., 2017) yaitu :

a) Engaging

Engaging mengacu pada menjalin dan membangun rapport serta

belajar mengenai pasien. Proses ini sangat diperlukan dalam MI dan

beberapa jenis intervensi yang lain untuk mewujudkan perubahan.

b) Focusing

Page 32: METODE REHABILITASI GANGGUAN PENGGUNAAN NAPZA

28

Proses dari “focusing” melibatkan pengembangan agenda khusus,

mengembangkan tujuan untuk perubahan perilaku dan mengarahkan

wawancara.

c) Evoking

Evoking merupakan suatu proses untuk mengexplorasi dan

memunculkan motivasi seseorang untuk berubah. Dokter yang

terampil mengasah dalam aspek ambilivalen klien untuk perubahan

tertentu dan menghentikan pendapat yang tidak menyebabkan

perubahan.

d) Planning

Pada beberapa waktu selama proses motivational, pasien mungkin

menunjukkan tanda kesiapannya untuk berubah misalnya

ditunjukkan dengan pertanyaan-pertanyaan tentang perubahan atau

bagaimana mereka di lingkuangan agar mereka bisa berubah. Jika

klinisi sudah mengenali tanda ini maka proses planning bisa

dimulai. Rencana perubahan mencakup empat elemen penting yaitu

menetapkan tujuan yang jelas untuk perubahan perilaku, menggali

cara-cara untuk berubah, memutuskan rencana, dan melakukan

rencana.

d. Cognitive Behavioral Therapy (CBT)

CBT adalah pendekatan yang terfokus dan jangka pendek untuk

mengarahkan klien agar dapat mengenali situasi berisiko terhadap relaps

kemudian menghindari situasi tersebut dan melakukan adaptasi perilaku

Page 33: METODE REHABILITASI GANGGUAN PENGGUNAAN NAPZA

29

yang efektif berkenaan dengan masalah dan perilaku yang berhubungan

dengan penyalahgunaan zat (BNN, 2009). Teknik CBT dipergunakan

untuk membantu klien memodifikasi pikiran, harapan dan perilaku mereka

yang terkait penggunaan NAPZA

e. Relaps Prevention (RP)

Relaps prevention adalah program kendali diri yang didesain untuk

mengedukasi seseorang yang berusaha mengubah perilakunya dan

mengatasi problem relaps. Relaps prevention merupakan suatu program

psikoedukasi yang menggabungkan prosedur latihan ketrampilan perilaku

dengan teknik intervensi kognitif. Prinsip utamanya adalah berdasarkan

social learning theory. RP bertujuan mendidik seseorang bagaimana

mencapai lifestyle yang seimbang dan mencegah pola kebiasaan yang tidak

sehat. Klien dibimbing untuk mengenali High Risk Situation atau situasi

tertentu yang dapat menjadi ancaman terhadap kendali diri pasien dan dapat

menigkatkan risiko relaps (Purnomo & Hardjanto, 2016).

2.4.3 Metode 12 langkah

Metode 12 langkah berasal dari Model perawatan adiksi Minnesota (juga

dikenal sebagai model abstinen), pertama kali dibuat di rumah sakit Minnesota pada

1950. Di Amerika Serikat, jika seseorang kedapatan mabuk atau menyalahgunakan

NAPZA, pengadilan akan memberikan hukuman untuk mengikuti program 12

langkah. Pecandu yang mengikuti program ini dimotivasi untuk

Page 34: METODE REHABILITASI GANGGUAN PENGGUNAAN NAPZA

30

mengimplementasikan ke 12 langkah ini dalam kehidupan sehari-hari. (Kelly,

2011)

Fokus dari Program 12 Langkah adalah penerapan langkah-langkah itu

dalam kehidupan sehari-hari. Dalam hal ini penggunaan istilah Falsafah menjadi

lebih relevan, karena langkah-langkah ini menjadi panduan untuk menjalani

kehidupan sebagai seorang pecandu yang ingin mempertahankan kebersihannya

dan membina perjalanan spiritualnya. Dengan pengamalan dari langkah-langkah

inilah para pecandu akan dapat meredam penyakitnya agar tidak kambuh sepanjang

hayatnya.. Setiap langkah ditargetkan untuk mengatasi setiap aspek spesifik dalam

penyakit kecanduan (Kemenkes, 2010).

Berikut adalah contoh 12 (Dua Belas) langkah seperti yang tertera dalam

program Narcotic Anonymous (NA) yaitu :

1. Kita mengakui bahwa kita tidak berdaya terhadap adiksi kita, sehingga

hidup kita menjadi tidak terkendali.

2. Kita menjadi yakin bahwa ada kekuatan yang lebih besar dari kita sendiri

yang dapat mengembalikan kita kepada kewarasan

3. Kita membuat keputusan menyerahkan kemauan dan arah kehidupan kita

kepada kasih Tuhan sebagaimana kita memahamiNya

4. Kita membuat inventaris moral diri kita sendiri secara penuh, memyeluruh

dan tanpa rasa gentar

5. Kita mengakui kepada Tuhan, kepada diri kita sendiri dan kepada seorang

manusia lainnya, setepat mungkin sifat dari kesalahan-kesalahan kita

Page 35: METODE REHABILITASI GANGGUAN PENGGUNAAN NAPZA

31

6. Kita siap sepenuhnya agar Tuhan menyingkirkan semua kecacatan karakter

kita.

7. Kita dengan rendah hati memohon padaNya untuk menyingkirkan semua

kekurangan-kekurangan kita

8. Kita membuat daftar orang-orang yang telah kita sakiti dan menyiapkan diri

untuk meminta maaf kepada merka semua

9. Kita menebus kesalahan kita secara langsung kepada orang-orang tersebut

bilamana memungkinkan kecuali bila melakukannya akan justru melukai

mereka atau orang lain

10. Kita secara terus menerus melakukan inventarisasi pribadi kita dan bilaman

kita bersalah segera mengakui kesalahan kita

11. Kita melakukan pencarian melalui doa dan meditasi untuk memperbaiki

kontak sadar kita dengan Tuhan sebagaimana kita memahamiNya, berdoa

hanya untuk mengetahui kehendaknya atas diri kita dan kekuatan untuk

melaksanakannya

12. Setelah mengalami pencerahan spiritual sebagai hasil dari langkah-langkah

ini kita mencoba menyampaikan pesan ini kepada para pecandu dan untuk

menerapkan prinsip-prinsip ini dalam segala hal yang kita lakukan.

Page 36: METODE REHABILITASI GANGGUAN PENGGUNAAN NAPZA

32

BAB III

RINGKASAN

Rehabilitasi pecandu NAPZA adalah suatu program yang ditujukan kepada

pecandu yang bersifat terpadu mencakup aspek biopsikososiokultural spiritual agar

para pecandu dapat berfungsi kembali secara fisik, medis, dan sosial serta dalam

pekerjaan sehari-hari. Rehabilitasi selain bertujuan untuk membebaskan pecandu

dari ketergantungan narkotika juga agar bekas pecandu narkotika dapat kembali

melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan masyarakat.

Rehabilitasi pecandu NAPZA dapat berupa rehabilitasi medis yang

mengutamakan perbaikan kondisi medis pecandu dan juga rehabilitasi non medis

yang mengutamakan pemulihan hubungan sosial, pekerjaan, agama, dan

memberikan hiburan bagi para pecandu agar dapat lepas dari NAPZA. Tahapan

rehabilitasi terdiri dari fase pertama untuk assesment awal, lanjut rehabilitasi medis,

rehabilitasi sosial dan aftercare.

Beberapa program rehabilitasi yang dapat dijalankan pecantu NAPZA yaitu

terapi detoksifikasi, terapi substitusi opioid, Therapeutic community dan program

terapi 12 langkah narcotic anonimus. Pada setiap metode rehabilitasi juga dapat

disertai intervensi psikososial seperti brief intervention, konseling dasar,

Motivational interviewing, CBT atau relaps prevention. Tidak ada satupun bentuk

terapi serupa yang sesuai untuk semua individu sehingga assesment awal disertai

pendekatan personal memegang peranan yang cukup penting untuk menentukan

metode rehabilitasi yang tepat untuk pasien gangguan penggunaan NAPZA. Terapi

Page 37: METODE REHABILITASI GANGGUAN PENGGUNAAN NAPZA

33

yang efektif harus mampu memenuhi banyak kebutuhan individu tersebut, tidak

semata-mata hanya untuk memutus menggunakan NAPZA.

Page 38: METODE REHABILITASI GANGGUAN PENGGUNAAN NAPZA

34

DAFTAR PUSTAKA

BNN, 2009. Panduan Pelayanan Psikologi di OSC-ORC-CBU. Jakarta: Pusat

Terapi dan Rehabilitasi BNN RI.

BNN, 2012. Bimbingan Teknis Rehabilitasi Berbasis Masyarakat. Jakarta:

Direktorat Penguatan Lembaga Rehabilitasi Komponen Masyarakat,

Deputi Bidang Rehabilitasi BNN.

Hall, K., Gibbie, T. & Lubman, D. I., 2012. Motivational interviewing techniques:

Facilitating behaviour change in the general practice setting. Australian

Family Physician, pp. 660-666.

Husin, A. B. & Siste, K., 2015. Gangguan Penggunaan Zat. In: S. D. Elvira & G.

Hadisukanto, eds. Buku Ajar Psikiatri. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia, pp. 143-171.

Kemenkes, 2010. Pedoman layanan terapi dan rehabilitasi komprehensif pada

penggunaan Napza berbasis rumah sakit. Jakarta: Direktorat Bina

Pelayanan Kesehatan Jiwa, Direktorat Jenderal Bina pElayanan Medik

Kementerian kesehatan RI.

Kelly, J. F., 2011. Addiction Recovery Management. British: Humana Pres.

Kemenkes, 2011. Standar Pelayanan Terapi dan Rehabilitasi Gangguan

Penggunaan NAPZA. Jakarta: Direktorat Bina Kesehatan Jiwa

Kementerian Kesehatan RI.

Kemenkes, 2017. Infodatin Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI.

Jakarta: Kementerian Kesehatan RI Pusat Data dan Informasi.

Page 39: METODE REHABILITASI GANGGUAN PENGGUNAAN NAPZA

35

Kesehatan, D., 2008. Pedoman Pelayanan Medik Gangguan Penggunaan Napza.

Jakarta: Direktorat Bina Pelayanan Medik.

Levounis, P., Arnaout, B. & Marienfeld, C., 2017. Motivational Interviewing for

Clinical Practise. 1st penyunt. USA: American Psychiatric Association

Publishing.

Maslim, R.,2001. Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas dari PPDGJ III.

Jakarta.

NIDA, 2015. Therapeutic community. [Online] Available at:

https://www.drugabuse.gov [Accessed 27 Maret 2018].

Psychologymania, 2012. Pengertian Rehabilitasi Narkoba. [Online]

Available at: www.psychologymania.com [Accessed 9 april 2018].

Purnomo, I. D. & Hardjanto, G., 2016. Terapi dengan pendekatan konsep kognitif

perilaku untuk mencegah relap pada pengguna Narkoba. pp. 152-172.

Recoveryresearch, 2012. Motivational Interviewing dan Motivational

Enhancement Therapies.[Online] Available at: https

://www.recoveryanswers.org [Accessed 13 April 2018].

Rockville, 1999. Motivational Interviewing as a Counseling Style Chapter 3. US:

Substance Abuse and Mental Health Services Administration.

Sekarmawar, n.d. Therapeutic Community. [Online].

Vanderplasschen, W., Colpaert, K. & Vandevelde, S., 2013. Therapeutic

Communities for Addiction : A Review of Their Effectiveness from a

Recovery-Oriented Perspective. Scientificworld.

Page 40: METODE REHABILITASI GANGGUAN PENGGUNAAN NAPZA

36

Wodak, A. (2001). Drug treatment for opioid dependence. Sydney: Australian

prescriber.

Page 41: METODE REHABILITASI GANGGUAN PENGGUNAAN NAPZA

37