Menyatakan Strategi Ketenagakerjaan Nasional untuk · PDF file222 Menyatakan Strategi...

95

Transcript of Menyatakan Strategi Ketenagakerjaan Nasional untuk · PDF file222 Menyatakan Strategi...

11111

NASKAH UNTUK DISKUSI

Menyatakan StrategiKetenagakerjaanNasional untukIndonesia

Apa yang Kita Ketahuidan Apa yang Sebaiknyakita Lakukan?

Iyanatul Islam dan Anis Chowdhury

Naskah Laporan

Agustus 2008

Makalah untuk seminar Dialog Kebijakan: suatu strategi untukmenciptakan ketenagakerjaan yang layak dan produktif di Indonesia(Jakarta, 21-22 Agustus 2008)

22222

Menyatakan Strategi Ketenagakerjaan Nasional untuk Indonesia

Tanggung jawab atas pendapat yang dikemukakan dalammakalah ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab para

penulis, dan tidak mengandung suatu dukungan dari KantorPerburuhan Internasional atas pendapat yang terdapat

didalamnya.

33333

Ucapan Terima Kasih

Rancangan ini, diminta oleh Departemen Kebijakan Ketenagakerjaan ILO, Jenewa, disiapkan oleh IyanatulIslam dan Anis Chowdhury. Tulisan ini diangkat dari makalah pengantar teknis (yang direproduksi di sinisebagai lampiran teknis dan statistik) dan catatan lapangan yang dikumpulkan oleh Anis Chowdhury dengankontribusi tambahan dari Iyanatul Islam. Makalah pengantar teknis dan catatan lapangan tersebut adalahhasil kunjungan ke Jakarta yang dilakukan oleh Chowdhury di bulan November 2007. Penulis juga berterimakasih kepada Dr Shafiq Dhanani yang telah membuka akses ke estimasi beragam indikator ketenagakerjaanyang baru. Estimasi-estimasi tersebut disiapkan dalam rangka peluncuran buku terbaru tentang pasar kerjaIndonesia (dijadwalkan untuk diterbitkan oleh Routledge di awal tahun 2009). Penulis laporan ini adalahjuga pengarang bersama dari Dr. Dhanani.

Untuk menyiapkan laporan ini, kami telah berkonsultasi dengan sejumlah besar pembuat kebijakansenior yang utama di berbagai departemen dan departemen pemerintah yang bertanggung jawab atasberagam program dan kebijakan yang terkait dengan penciptaan lapangan pekerjaan dan pengembanganpasar kerja. Kami juga telah berkonsultasi dengan sejumlah pemangku kepentingan yang penting, sepertipara pejabat senior asosiasi pengusaha (Apindo), serikat-serikat pekerja, International Labor Organizationdan Bank Dunia. Catatan hasil konsultasi ini terlampir dalam laporan ini.

Berikut adalah daftar lengkap menurut urutan pertemuan-pertemuan kami: Kee Beom Kim (ILO), TauvikMuhamad (ILO),Dr. Prasetyo Wijoyo (Wakil Menteri Bidang SDM, Kemiskinan dan UKM, Bappenas), Dr.Bambang Widanto (Staf Ahli Menteri Bidang SDM dan Kemiskinan, Bappenas), Dr. Komara Djaja (SekretarisMenteri Koordinator Bidang Ekonomi), Pawan Patil (Bank Dunia), Steisianasari Mileiva (Bank Dunia), Djoko(Kepala Bidang Perencanaan dan Kerjasama Internasional, Sekretaris Jenderal, Departemen BidangPembangunan dan Infrastruktur Daerah), Tati Hendarti (Sekretaris Direktur Jenderal Bidang Pelatihan danPengembangan, Produktivitas, Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi), Besar Setyoko (Direktur JenderalBidang Pelatihan dan Pengembangan Produktivitas, Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi), SofjanWanandi (Presiden, Asosiasi Pengusaha Indonesia/Apindo), Djimanto (Sekretaris Jenderal, Apindo), SusantoJoseph (Wakil Sekretaris Jenderal, Apindo), Rekson Silaban (Presiden, KSBSI – Konfederasi Serikat BuruhSejahtera Indonesia), Thamrin Mosii (Presiden, KSPI-Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia), Yanuar Rizky,(Presiden OPSI, Serikat Buruh), Timboel Siregar (Sekretaris OPSI), Dr. Sri Moertiningsih (Lembaga Demografi,UI), Omas (Lembaga Demografi, UI), Beta (Lembaga Demografi, UI), Heidy Passai (Lembaga Demografi, UI),Dr. Choirul Djamhari (Wakil Menteri Bidang Pengembangan dan Restrukturisasi Usaha), Prijambodo (AsistenDeputi Bidang Peningkatan Jasa Pembangunan Usaha, Departemen Koperasi dan UKM), Dr. Sudrajat Rasyid(Wakil Menteri Bidang Kewirausahaan Kaum Muda dan Industri Olah Raga, Kementerian Negara BidangOlah Raga dan Pemuda beserta tim-nya), Dr. Tirta Hidayat (Wakil Bidang Ekonomi, Sekretariat Kantor WakilPresiden), Rahayubudi (Direktur, Biro Personil & Organisasi, Departemen Perdagangan) Dr. Agus Wahyudi

44444

Menyatakan Strategi Ketenagakerjaan Nasional untuk Indonesia

(Direktur, Pusat Sumber daya, Lingkungan Hidup, Energi, Litbang, Departemen Perdagangan), Euis Saedah(Deputi Direktur Kerjasama Internasional, Departemen Perdagangan), Bolormaa Amgaabazar (Bank Dunia,Program Pengembangan Kecamatan Decentralization Support Facility), Dr. Andin Hadiyanto (Direktur PusatPenelitian dan Pengembangan Iklim Usaha, Departemen Perdagangan), Kasan Muhri (Deputi Direktur,Penelitian dan Pengembangan Perdagangan, Departemen Perdagangan).

Rancangan laporan teknis ini telah dipresentasikan dalam sesi debriefing di kantor ILO Jakarta, yangdihadiri oleh individu-individu tersebut di atas atau para wakilnya.

Selama analisis teknis, kami dibantu oleh Dr. Hermanto Siregar, Profesor Bidang Ekonomi dari InstitutPertanian Bogor (IPB) dan Dr. Iman Sugeman, Dosen Senior Bidang Ekonomi dari Institut Pertanian Bogor(IPB). Saudara Zulfan Tadjeoddin, Ph.D. mahasiswa, University of Western Sydney, Australia, adalah asistenpeneliti untuk proyek ini.

Harap hubungi: [email protected] atau [email protected] sebelum mengutip.

55555

Daftar IsiDaftar IsiDaftar IsiDaftar IsiDaftar Isi

Ucapan Terima Kasih 3

1. Pengantar 7

2. Tujuan dan sasaran 11

3. Perdebatan dan Diagnosa 23

4. Kebijakan dan Program 29

5. Kesimpulan: rangkuman penemuan utama dan rekomendasi 43

Lampiran Teknis dan Statistik 51

66666

Menyatakan Strategi Ketenagakerjaan Nasional untuk Indonesia

77777

Selama era paska krisis perekonomian Indonesia tumbuh dengan tingkatan cukup baik,1 namun adakekhawatiran yang luas akan “pertumbuhan pengangguran”. Menjawab kekhawatiran tersebut, PemerintahIndonesia telah berkomitmen untuk memotong tingkat pengangguran nasional yang 10 persen menjadiseparuhnya sampai tahun 2009. Target ini dikaitkan dengan tujuan yang lebih luas dari upaya pengurangankemiskinan secara berkelanjutan. Satu studi mengatakan bahwa hal ini akan menghasilkan 50 juta pekerjaandalam kurun waktu lima tahun mendatang.2

Hampir tidak diragukan lagi bahwa jumlah pencari kerja yang diproyeksikan berjumlah besar adalahtantangan ketenagakerjaan bagi Indonesia dalam beberapa tahun mendatang.3 Menjawab tantangan inimembutuhkan spesifikasi yang mendalam akan tujuan dan sasaran, pemahaman akan perdebatan yang adatentang kondisi pasar kerja Indonesia dan penggunaan kerangka kerja diagnostik yang komprehensif, yangmemungkinkan seseorang untuk mengevaluasi bukti-bukti yang ada, demi menyusun seperangkat kebijakandan program yang layak. Pada dasarnya, satu kebutuhannya adalah pendekatan berbasis bukti dalampembuatan kebijakan yang dapat menghindari improvisasi kebijakan “sambil jalan” dan pengumumankebijakan secara cepat sebagai respon atas tekanan politik jangka pendek.4 Laporan ini berupaya untukmenggambarkan f itur pendekatan tersebut ketika diterapkan pada pasar kerja Indonesia danmengadvokasikan penyebarannya dalam mesin pemerintah.

Upaya sistematis apapun untuk mengembangkan pendekatan berbasis bukti untuk kebutuhanpembuatan kebijakan perlu dimulai dengan pernyataan tujuan dan sasaran secara jelas. Tujuan apakah yangharus menjadi fokus pemerintah? Apakah ini semata aspirasi mulia atau pernyataan pragmatis yang bisadimonitor dengan sasaran yang sudah siap tersedia?

Penyelesaian isu ini tidaklah sesederhana kelihatannya. Apakah kita harus fokus pada tingkatpengangguran “terbuka” yang agregat atau pada sekaligus antara pengangguran dan pengangguranterselubung? Atau haruskah kita fokus pada pengangguran kaum muda? Panduan global terkini tentangpembangunan – seperti dituangkan dalam Tujuan Pembangunan Milenium PBB – difokuskan pada

1.1.1.1.1. PengantarPengantarPengantarPengantarPengantar

1 Ekonomi tumbuh sekitar 5,5 persen per tahun sejak tahun 2000.2 G. Sugiyarto (2005) ‘Creating better and more jobs in Indonesia: a blue print for policy action’, ERD Policy Brief No.43, Manila: Asian

Development Bank3 Tingkat pertumbuhan angkatan kerja adalah 1,8 persen per tahun.4 Pendekatan ini mengangkat literatur “pembuatan kebijakan berbasis bukti” (EPB – evidence-based policy making) yang berasal dari

Inggris di akhir tahun 1990an. Lihat W. Solesbury (2001) ‘Evidence Based Policy: Whence it came and Where it’s Going’, ESRC Centrefor Evidence Based Policy, Queen Mary College London, October. Untuk kritiknya lihat G.Marston and R. Watts (2003) ‘Tamperingwith the Evidence: A Critical Appraisal of Evidence-Based Policy-Making’, The Drawing Board: An Australian Review of Public Affairs,3(3): 143-163. Sumber-sumber literatur EPB dapat ditemukan di www.evidencenetwork.org. Meskipun sulit untuk tidak berargumenbahwa seseorang tidak bisa mendasarkan nasihat dan keputusan kebijakan pada bukti terbaik yang ada, kita harus sadar akankekayaan dan kompleksnya jenis-jenis informasi yang bisa dikumpulkan dan bahwa bukti yang tersedia kerap diperdebatkan olehpara pakar. Jadi, batas dari literatur EPB harus diakui dan karenanya disarankan agar ada penggunaan bukti yang adil dalammengarahkan pengembangan dan implementasi kebijakan.

88888

Menyatakan Strategi Ketenagakerjaan Nasional untuk Indonesia

implementasi “strategi untuk pekerjaan yang pantas dan produktif bagi kaum muda” karena hal ini akanmengurangi “kemiskinan antar generasi” dan mengurangi kecenderungan dari kaum muda yang belumpernah mempunyai pekerjaan dan menganggur untuk menjadi sumber “perilaku anti sosial, kekerasan ataukejahatan”. 5 Dalam kasus Indonesia, yang adalah penandatangan Tujuan Pembangunan Milenium (MDG),tingkat pengangguran kaum muda merupakan keprihatinan besar dan alasan utama adanya perhatian yangbesar pada penciptaan lapangan pekerjaan. Seperti akan terlihat dalam diskusi berikut, para pembuat kebijakantelah, seperti terungkap dalam tujuan mereka, berkomitmen mengurangi tingkat pengangguran agregatdalam kerangka waktu tertentu, namun kedalaman statistik dan analisis tujuan dan sasarannya masihdiragukan. Penyelesaian keraguan dan ketidakpastian ini sangat penting dalam strategi penciptaan lapangankerja yang kredibel.

Terkait erat dengan tujuan penciptaan lapangan kerja adalah konstruksi analitis dari elastisitas pekerjaan,yakni, tingkat penciptaan pekerjaan bagi tingkat pertumbuhan PDB tertentu. Memang menggoda untukmenyarankan agar para pembuat kebijakan berkonsentrasi pada elastisitas pekerjaan karena hal ini mewakiliindikator yang bermanfaat dari pertumbuhan ekonomi yang ramah pekerjaan. Seperti akan dibahasselanjutnya dalam makalah ini, yang lebih pantas adalah mengumumkan tujuan yang terfokus padapertumbuhan berbasis produktivitas yang bisa menciptakan lapangan kerja serta meningkatkan upah riil.Namun demikian, selanjutnya akan diutarakan pula, elastisitas pekerjaan - yakni bila informasi yangdisampaikan digunakan dengan bijaksana – dapat menjadi indikator pasar kerja yang bermanfaat danmemainkan peranan integral dalam menentukan proyeksi pekerjaan.

Sebagai akibat dari kerangka kerja yang terikat pada tujuan kembar penciptaan pekerjaan danpertumbuhan upah riil, makalah ini juga mempertanyakan pandangan tentang bahwa “pekerjaan apapun”adalah lebih baik ketimbang “tidak ada pekerjaan”.

Ada kesadaran yang tumbuh bahwa ‘pengangguran adalah salah satu aspek saja dari pasar kerja yangkurang berfungsi.’ Ada kebutuhan untuk melangkah menuju ‘definisi yang lebih luas dari pekerjaan yanglayak dan produktif’. Hal ini berarti mempertimbangkan multidimensi dari pasar kerja yang berfungsi buruk,yang ditandai dengan ‘jam kerja panjang dengan pengaturan kerja yang tidak berkelanjutan dan tidak aman…produktivitas yang rendah, pendapatan yang rendah, proteksi tenaga kerja dan hak yang berkurang.’Pemahaman dimensi-dimensi kinerja pasar kerja ini vital untuk memahami ‘kemajuan yang dicapai menujutiadanya pengangguran bagi semua’. 6 Dari perspektif Indonesia, ide ‘tiadanya pengangguran bagi semua’yang mengangkat agenda pekerjaan yang layak dan produktif perlu dinyatakan dengan penegasan yangbaru demi melindungi dari kerangka kerja yang salah yang menyatakan bahwa ‘pekerjaan apapun’ adalahlebih baik daripada ‘tidak ada pekerjaan’. Pekerjaan yang layak akhirnya merupakan alat yang baik untukmengurangi kemiskinan secara berkelanjutan.

Begitu tujuan dan sasaran sudah ditentukan dengan tepat, tahap berikutnya adalah mengembangkankerangka diagnosis untuk memahami inti hasil dari pasar kerja. Hipotesa yang berlaku nampaknya bahwaIndonesia saat ini adalah korban dari peraturan ketenagakerjaan yang kaku dan terlalu murah hati. Hal inidianggap paling bertanggung jawab membuat biaya tenaga kerja sangat mahal dan karenanya menjadialasan utama mengapa pasar kerja Indonesia saat ini terpuruk. Hipotesa yang disebut ‘cost push’ (tekananbiaya) terlihat telah memegang status orthodoks. Meskipun beberapa bukti yang dapat diterima telah munculmendukung hipotesa ini, bukti macam ini perlu diuji dulu secara empiris. Kita harus hati-hati dengan hipotesaapapun yang berimplikasi monokausalitas. Meskipun faktor tekanan biaya tentu relevan, bagaimanakah

5 UN (2007) The Millennium Development Goals Report, New York, hal.31. Catatlah bahwa pekerjaan yang layak untuk keseluruhanwarga kini (tahun 2008) telah menjadi target baru di bawah Tujuan Pembangunan Milenium.

6 UN (op.cit)

99999

pentingnya faktor tersebut dibandingkan dengan variabel lain seperti pertumbuhan permintaan agregatdan komposisinya?

Pendekatan bukti untuk pembuatan kebijakan tidak semata berakhir dengan evaluasi bukti yang ada.Ada lanjutannya yakni penggunaan pengetahuan yang ada untuk memformulasikan kebijakan dan programyang dapat memfasilitasi para pembuat kebijakan untuk mencapai rangkaian tujuan dan sasaran yang merekatentukan. Di sini, isu pentingnya adalah untuk memahami perpaduan yang tepat antara kebijakan makroekonomi dan kebijakan sektoral. Apakah kerangka kerja kebijakan makro ekonomi ramah terhadap tenagakerja dan membantu tujuan kebijakan yang lain, yang paling penting diantaranya adalah stabilitas harga?Apakah kebijakan sektoral yang berkaitan dengan sektor formal kondusif untuk penciptaan lapangan kerja?Berapa kompatibel kebijakan-kebijakan sektoral tersebut dengan kebijakan makro ekonomi? Dalam kasusIndonesia, ada isu-isu luar biasa berkaitan dengan ketegangan antara stabilitas harga dan penciptaan lapangankerja dan besarnya ‘informalisasi’ ekonomi dengan dampak negatifnya bagi upaya pencapaian pekerjaanyang layak dan produktif bagi semua.

Akhirnya, pendekatan bukti untuk pembuatan kebijakan juga perlu ditinjau dan diperbaharui secaraberkala. Idenya adalah untuk belajar dari pengalaman dan menggunakan pengalaman tersebut untuk terusmelakukan proses pemantauan dan evaluasi demi mendorong akuntabilitas publik dari kebijakan dan program.Apakah program tertentu, seperti program pekerjaan publik, atau ‘program pasar kerja aktif’, berfungsimencapai tujuan-tujuan ini? Apa saja alternatif yang mungkin terlaksana? Dari perspektif Indonesia, konseppenerapan tinjauan dan pembaharuan secara berkala pada proses pembuatan kebijakan dapat mengarahpada perbaikan efektivitas kebijakan demi mengatasi tantangan tenaga kerja di negara ini.

Selanjutnya makalah ini disusun sebagai berikut. Bagian 2 secara kritis meninjau tujuan dan sasaranyang ditetapkan oleh Pemerintah Indonesia yang berkaitan dengan pasar kerja Indonesia. Bagian 3 meninjauparadigma dominan yakni faktor ‘tekanan biaya’ yang digerakkan oleh peraturan ketenagakerjaan yangkaku dan murah hati, yang mengarah pada keterpurukan hasil pasar kerja di Indonesia, serta mengusulkankerangka kerja diagnostik alternatif untuk membingkai analisa pasar kerja. Bagian 4 dari makalah mengangkatperdebatan dan diagnosis pasar kerja Indonesia untuk meninjau kebijakan dan program, menyoroti wilayahyang sudah mengalami kemajuan dan wilayah yang masih perlu diperbaiki. Bagian 5 dari makalah menyajikanringkasan hasil utama penemuan dan rekomendasi dan menyimpulkan dengan pernyataan tentang perananpemantauan dan evaluasi sebagai alat untuk mengembangkan etos akuntabilitas publik bagi kebijakan danprogram.

1010101010

Menyatakan Strategi Ketenagakerjaan Nasional untuk Indonesia

1111111111

Pidato penting yang disampaikan oleh Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) padabulan Februari 2005 adalah visinya akan strategi ‘triple track’ (tiga jalur) untuk Indonesia berkaitan dengan:

Peningkatan pertumbuhan melalui ekspor dan investasiPeningkatan pekerjaan dengan merangsang sektor riilMengurangi kemiskinan dengan meningkatkan pembangunan pertanian dan pedesaan.

Menjelaskan strategi triple track sebagai ‘pro-pertumbuhan, pro-pekerjaan, pro-kemiskinan’, PresidenSBY mengatakan:

“Selama (lima) tahun ke depan, pemerintahan saya bertujuan mencapai pertumbuhan ekonomi rata-rata 6.6 persen per tahun tetapi, lebih penting lagi, kami ingin agar pertumbuhan dapat membantu mengurangikemiskinan dari 16.6 persen menjadi 8.2 persen dan kami ingin agar pertumbuhan dapat mengurangipengangguran (menjadi separuhnya) dari 9.5 persen menjadi 5.1 persen hingga tahun 2009.”7

Pernyataan tujuan yang eksplisit ini merupakan refleksi yang jelas dari Rencana Pembangunan JangkaMenengah Pemerintah Indonesia (RJPM 2005-2009) yang ‘terfokus pada pencapaian tingkat pertumbuhanrata-rata 6.0 persen per tahun, penciptaan lapangan kerja, ketahanan lingkungan dan pencapaian TujuanPembangunan Milenium (MDG).’8 Memang, kini ada sejumlah besar dokumen yang berkaitan dengan payungtujuan dan sasaran dengan implikasi langsung maupun tidak langsung bagi pasar kerja Indonesia. Dokumen-dokumen ini mencakup (selain strategi pembangunan jangka menengah yang sudah disebut):

Makalah-makalah Strategi Pengurangan KemiskinanTujuan-tujuan Pembangunan Milenium IndonesiaKebijakan dan Program Pemerintah Daerah, Provinsi dan Kabupaten/Kota.

Pengangguran, Target penciptaan lapangan kerja dan elastisitas pekerjaan

Keberadaan tujuan dan sasaran eksplisit berkaitan dengan tenaga kerja tidak berarti bahwa merekasudah dipilih dengan hati-hati karena kecukupan empiris dan analitis dalam mewakili tujuan inti daripenciptaan pekerjaan yang layak dan produktif bagi semua orang Indonesia yang bisa dan mau bekerja,serta neksus antara pekerjaan yang layak dan pengentasan kemiskinan. Ada praduga bahwa telah terjadipeningkatan tajam pengangguran dalam beberapa tahun belakangan ini, dengan beberapa bukti

2.2.2.2.2. Tujuan dan Sasaran

7 S.B. Yudhoyono (2005) ‘Indonesia: The Challenge of Change’, The Singapore Lecture, Institute for Southesast Asian Studies, 16Februari. Pada saat pidato disampaikan, usia kepresidenan SBY adalah tiga bulan.

8 M.A. Hasoloan (2006) ‘The Indonesian Labour Market’, Country Report disajikan dalam OECD Form tentang OECD Jobs Strategy.

1212121212

Menyatakan Strategi Ketenagakerjaan Nasional untuk Indonesia

pengurangan sejak tahun 2006. Misalnya, data yang dikumpulkan oleh Biro Pusat Statistik (BPS) menunjukkanbahwa tingkat pengangguran terbuka agregat meningkat dari 9.9 persen di tahun 2004 menjadi 11.2 persendi tahun 2005 sebelum membaik menjadi 9.8 persen di bulan Februari 2007. Ini adalah data statistik yangdiandalkan pemerintah untuk menetapkan dan memonitor tujuan dan sasarannya.

Sayangnya, perubahan secara definisi telah membuat tingkat pengangguran agregat menjadi tidakbisa dibandingkan dengan patokan-patokan sebelum 2001. Kita bisa mendeteksi lompatan pengangguranyang signifikan antara tahun 2000 dan 2001. Pada 9-10 persen, tingkat pengangguran yang kini dipublikasikanadalah yang tertinggi di wilayah Asia dan di dunia, dan wajar menjadi sumber keprihatinan pemerintah.Namun, tingkat pengangguran agregat berkurang menjadi 6 persen – yang akan membawa Indonesia lebihdekat pada norma regional dan global – ketika perubahan definisional ini dihapuskan untuk memunculkandata yang konsisten sepanjang waktu. Di sisi lain, kecenderungan-nya tidak terlalu terpengaruhi. Baik seripengangguran ’lama’ (yang didasarkan pada definisi konsisten) maupun ’baru’ (yang didasarkan padaperubahan definisi) mencatat peningkatan pengangguran antara tahun 2001 dan 2005, meskipun tingkatpertambahannya jelas bervariasi. Kita dapat berargumen bahwa pemerintah tidak akan mengalamikebingungan analisa jika tetap berpegang pada satu seri data. Namun, ada kekhawatiran yang tersisa. Seripengangguran yang ’baru’, tidak seperti pendahulunya, kini mencakup juga orang-orang yang biasanyatidak dianggap bagian dari stok penganggur. Jadi yang terjadi adalah pembesaran skala pengangguran dankarenanya juga skala respon pertumbuhan dan intervensi yang terkait, bahwa pemerintah perlu menanganimasalah pengangguran.

Kelihatannya, pada suatu titik, pemerintah Indonesia akan perlu mengambil keputusan strategis tentangcara menentukan tujuan dan sasaran terkait dengan pengangguran. Apakah perlu tetap bertahan denganindeks yang mengikutkan orang-orang yang seharusnya tidak dimasukkan sebagai bagian penganggur,atau haruskah perhatian diarahkan pada seri alternatif? Melakukan hal ini dapat mengundang reaksi tidakmenyenangkan di mana kritik dapat berkata bahwa pemerintah hanya berupaya untuk meminimalisir masalahpengangguran. Di sisi lain, karena ketertarikan akan transparansi, akuntabilitas publik yang lebih besar danperdebatan publik yang lebih bijak, dapat dikatakan bahwa pemerintah harus berupaya menghasilkan seridata pengangguran yang konsisten dan digunakan sebagai basis bagi tujuan dan sasaran pasar kerja.

Indeks relatif, seperti tingkat pengangguran agregat, tidak memberikan indikasi apapun tentang besaranabsolut dari pengangguran maupun tingkat penciptaan lapangan kerja secara ex-ante dan ex-post. Di tahun2006, misalnya, total jumlah penganggur 10,9 juta. Statistik ini, juga data pertumbuhan angkatan kerja,memungkinkan kita untuk menghitung tingkat penciptaan lapangan kerja secara keseluruhan demimenurunkan stok penganggur saat ini sekaligus juga menyerap para pekerja baru. Jadi, dalam menentukantujuan dan sasaran, Pemerintah Indonesia harus menetapkan sasaran penciptaan lapangan kerja dalamkerangka waktu tertentu dan bukannya memfokuskan diri pada tingkat pengangguran agregat saja. Fokuspenciptaan lapangan kerja formal adalah lebih relevan, khususnya jika ada sektor informal dan pertanianyang besar dan punya karakter setengah pengangguran serta pengangguran terselubung.

Dalam menggambarkan tingkat penciptaan lapangan kerja, elastisitas tenaga kerja memainkan suatuperanan penting karena mereka adalah basis bagi proyeksi pekerjaan. Di sinilah penggunaan teknik statistikyang tepat menjadi penting. Perkiraan ad-hoc berguna untuk tujuan ilustratif tetapi tidak memadai untukkebutuhan pembuatan kebijakan. Perkiraan terkini menggunakan teknik statistik yang terkait menunjukkanbahwa dengan skenario ‘bisnis seperti biasa’ dengan tingkat pertumbuhan yang ada yakni 5 hingga 6 persen,pemerintah akan gagal memenuhi target penciptaan lapangan kerja sampai tahun 2009. Misalnya, denganpertumbuhan ekonomi 5-6 persen, total stok penganggur akan mencapai 8,2 persen, yang berarti tingkatpengangguran total 7,3 persen, yang berarti masih lebih dari target yang diumumkan sebesar 5,1 persen.

1313131313

Lebih jauh lagi, sektor manufaktur tidak akan memainkan peranan memimpin proses penciptaan lapangankerja. Selama periode waktu yang relevan (2006 hingga 2009), sektor manufaktur diharapkan menambahlebih dari 200.000 pekerja. Penciptaan lapangan kerja yang signifikan diharapkan terjadi di sektor pertanian,perdagangan dan konstruksi – semuanya bukanlah sektor-sektor berproduktivitas tinggi.

Perlu ditekankan bahwa, karena sifat perkiraan statistik yang tidak persis dan dengan margin erroryang tidak terhindarkan, para pembuat kebijakan harus menciptakan ‘confidence interval’ (interval kepercayaan)untuk target-target penciptaan lapangan kerja yang diumumkan kepada publik. Ini berarti penetapan batasbawah dan batas atas bagi target tersebut. Jika kecenderungan aktual dan proyeksi menunjukkan bahwabahkan batas bawah pun tidak terpenuhi, maka akan muncul kebutuhan untuk melakukan analisis tambahandan untuk mengambil tindakan perbaikan.

Ada juga, tambahan lagi, isu tentang apakah para pembuat kebijakan harus menggunakan elastisitastenaga kerja sebagai tujuan kebijakan ex-ante. Hal ini lebih problematik karena di luar batas tertentu, elastisitastenaga kerja yang tinggi berarti produktivitas yang rendah. Beberapa praktisi kemudian menyarankan,berdasarkan pengalaman historis dari negara-negara Asia Timur dengan pertumbuhan ekonomi tinggi yangsukses mengelola fase surplus tenaga kerja, bahwa elastisitas tenaga kerja dalam jarak 0.5 hingga 0.7 mewakilibatas yang baik.9 Meskipun ini saran yang bermanfaat, jelaslah bahwa usulan ini didasarkan pada norma-norma historis dan bukannya berdasarkan prinsip-prinsip awal. Karena elastisitas tenaga kerja sebenarnyaadalah ukuran tidak langsung dari produktivitas, adalah masuk akal untuk memfokuskan diri padapertumbuhan produktivitas sebagai sasaran kebijakan yang luas. Baik dari perspektif analitis maupun normatif,sebaiknya tujuannya adalah pertumbuhan bermotorkan produktivitas yang berarti kombinasi yangmenguntungkan dari peningkatan pekerjaan dan upah riil.

Jadi, peranan apakah yang tertinggal untuk elastisitas pekerjaan dalam pemantauan pasar kerja? Sumberterkait dan energi intelektual sebaiknya diperluas untuk menjamin bahwa seseorang dapat memperolehelastisitas tenaga kerja yang kredibel secara statistik pada tingkat dis-agregat yang memadai untukmemunculkan proyeksi pekerjaan yang bisa diandalkan dan untuk mendapatkan tingkat pertumbuhan yangdibutuhkan untuk memenuhi sasaran penciptaan lapangan kerja yang sudah diumumkan. Jika ini dipraktikkansecara berkala, hasilnya adalah kontribusi penting untuk melacak tujuan dan sasaran yang terkait denganpasar kerja Indonesia.

Setengah pengangguran dan pekerjaan sektor informal

Tingkat pengangguran ‘terbuka’ yang agregat demikian juga dengan sasaran penciptaan lapangankerja agregat merupakan indikator yang tidak bisa diandalkan untuk penciptaan pekerjaan yang pantas danproduktif. Lebih banyak perhatian harus diberikan pada isu setengah pengangguran. Survei tenaga kerjatahunan memungkinkan seseorang untuk memperkirakan insiden diinginkan maupun tidak diinginkan darisetengah pengangguran. Setengah pengangguran yang diinginkan didefinisikan sebagai mereka yang maumenerima kerja kurang dari 35 jam seminggu, sementara yang tidak diinginkan adalah mereka yang bekerjakurang dari 35 jam seminggu meskipun mereka sebenarnya siap untuk bekerja dengan waktu lebih panjangjika diberikan kesempatan. Ada suatu kecenderungan dalam diskursus publik untuk menggabungkan keduajenis setengah pengangguran ini sehingga hasilnya 30,5 persen angkatan kerja di tahun 2006. Sebagaibagian dari penentuan tujuan dan sasaran bagi pasar kerja, konvensi untuk hanya melaporkan tingkat setengahpengangguran secara keseluruhan harus dihindari. Fokusnya seharusnya pada insiden setengah pengangguran

9 A.R.Khan (2007) ‘Asian Experience in Growth, Employment and Poverty: An Overview with Special Reference to Recent Case Studies’,Colombo, UNDP Regional Centre.

1414141414

Menyatakan Strategi Ketenagakerjaan Nasional untuk Indonesia

yang tidak diinginkan. Jenis inilah yang menopang penghasilan yang kecil dan produktivitas yang rendah,sementara underemployment yang diinginkan bisa diartikan sebagai kegiatan yang melengkapi penghasilanutama.

Statistik yang ada menunjukkan bahwa indeks setengah pengangguran yang tidak diinginkan meningkatsecara moderat dari 13,1 persen di tahun 2004 menjadi 14,4 persen di tahun 2006, bahkan ketika agregatpengangguran terbuka menurun selama kurun waktu tersebut. Divergensi antara kedua indikator memperkuatkebutuhan untuk memasukkan insiden setengah pengangguran yang tidak diinginkan – dalam hal besaranrelativ dan absolut – dalam pengumuman pemerintah tentang tujuan dan sasaran bagi tenaga kerja.

Fitur lain yang mengejutkan dari pasar kerja Indonesia adalah jumlah yang lebih besar dari kegiatansektor informal – fitur yang kecil kemungkinannya akan muncul dalam tingkat pengangguran agregat. Alasanstandarnya adalah bahwa tanpa skema tunjangan pengangguran yang komprehensif dan berfungsi baik,hanya sedikit orang mampu untuk terus menganggur secara terbuka dalam jangka waktu yang lama dankarenanya mereka mencari hidup dengan bekerja di sektor berproduktivitas rendah yakni sektor informal,bekerja tidak penuh waktu untuk penghasilan yang rendah. Selama krisis finansial 1997 dan setelahnya,banyak pekerja yang kehilangan pekerjaan mencari hidup di sektor informal. Bahkan setelah pertumbuhanekonomi pulih, hanya ada sedikit bukti bahwa desakan besar informalisasi ekonomi sedang dalam trenmenurun. Bahkan sebenarnya di antara tahun 2002 dan 2006, sektor pekerjaan informal tumbuh 4,5 persensementara sektor pekerjaan formal tumbuh 2,2 persen. 10 Di tahun 2006, insiden pekerjaan sektor informaladalah 63 persen, hanya sedikit lebih rendah daripada batas (kira-kira 65 persen) yang terjadi di saat krisisfinansial.

Perkembangan antara 2006 dan 2007 menunjukkan gambaran yang lebih menjanjikan, di mana pekerjaansektor formal tumbuh lebih cepat daripada pekerjaan sektor informal. Masih perlu dilihat apakah ini adalahkecenderungan jangka panjang atau hanya tahap siklikal jangka pendek.

Singkatnya, kurangnya kemajuan jangka panjang dalam pengurangan setengah pengangguran yangtidak diinginkan serta besarnya sektor informal berarti bahwa, meskipun ada kemajuan dalam pengurangankeseluruhan tingkat pengangguran, pemerintah belum bisa berbuat banyak dalam upayanya menyediakanpekerjaan yang layak dan produktif bagi warga negaranya. Kekosongan fundamental ini harus memotivasipara pembuat kebijakan untuk melihat lagi tujuan dan sasarannya dan meninjau lagi strategi tenaga kerjamereka.

Pengangguran kaum muda dan dimensi gender dari pengalamanpasar kerja

Laporan global MDG telah mengusulkan, sebagai salah satu sasarannya, penyediaan pekerjaan yanglayak dan produktif bagi orang dewasa muda di negara-negara berkembang (didefinisikan sebagai merekayang berusia antara 15-24 tahun). Selain itu, pencapaian kesetaraan gender dan pendidikan dalam pasarkerja adalah juga elemen penting dalam agenda pembangunan global.

Indonesia telah mengadopsi MDG dalam kebijakan pembangunan nasional, namun dalam tinjauanditemukan bahwa Indonesia akan gagal memenuhi target penyediaan pekerjaan yang layak dan produktifbagi warga dewasa mudanya sampai tahun 2015, apalagi sampai tahun 2009. Seperti dicatat di tahun 2006,

10 ILO, dalam mencatat kemajuan dalam pengurangan defisit pekerjaan yang layak di tingkat negara, kini menggunakan konsep‘vulnerable employment’ (kerentanan tenaga kerja) sebagai pengganti untuk mengukur “informalisasi” ekonomi. Kerentanan tenagakerja didefinisikan sebagai jumlah penghasilan sendiri dari pekerja dan anggota keluarganya sebagai proporsi dari angkatan kerja.Indikator ini kini merupakan bagian dari MDG 1. Lihat World/IMF (2008) ‘Monitoring the MDGs’, Washington DC.

1515151515

ada sekitar 7 juta penganggur kaum muda. Tingkat pengangguran kaum muda mencapai 30,6 persen,mewakili lebih dari 60 persen total stok penganggur. Jumlah ini kurang diinginkan saat dilihat dari perspektifnorma regional. Pembangunan antara 2006 dan 2007 memberi janji bahwa tingkat pengangguran kaummuda telah menurun cukup banyak (hingga sekitar 25 persen secara nasional).

Isu pengangguran kaum muda tidak bisa dilihat terpisah dari kondisi laku tidaknya lulusan muda darisistem pendidikan dan pelatihan di pasaran tenaga kerja. Sejumlah besar penganggur (63 persen di tahun2006) punya pendidikan menengah.

Apakah tingginya tingkat pengangguran kaum terdidik merupakan keprihatinan besar bagi kebijakan?Secara politis, tentu ini adalah isu sensitif, tetapi buktinya tidak ada disfungsi yang besar bagi tenaga kerjaterdidik – setidaknya ketika dilihat dari perspektif indikator ‘ketidaktepatan keterampilan’ dan durasi pencarianpekerjaan. Jadi, misalnya, proporsi pekerja terdidik dengan pendidikan tinggi yang bekerja di kegiatan-kegiatan berketerampilan rendah sangatlah rendah (jauh di bawah satu persen). Juga kelihatan bahwa premiupah yang terkait dengan pendidikan tinggi tetap bertahan dalam tahun-tahun belakangan ini.11 Jadi, tidakada bukti meyakinkan bahwa kembalinya (swasta) pada pendidikan telah berkurang secara signifikan.

Cara lain untuk menguji isu pengangguran terdidik adalah dengan fokus pada proses pencarian kerja.Durasi dan strategi mencari kerja berbeda tergantung pada perolehan pendidikan. Yang keluar denganpendidikan menengah dan lulusan pendidikan tinggi menghabiskan 10-11 bulan mencari pekerjaan, inidibandingkan dengan masing-masing delapan, tujuh dan enam bulan untuk lulusan SMP dan SD dan kuranglagi bagi yang tidak lulus SD. Jumlah yang sama untuk median durasi pencari kerja adalah tiga bulan lebihsingkat untuk semua kategori. Periode pencarian kerja (sedikit di bawah 10 bulan) tetap relatif stabil untuksemua kategori penganggur terdidik selama periode (1992-2007). Median durasi pencarian kerja juga stabiltetapi dengan tingkatan relatif lebih rendah yakni 5,4 bulan, yang berarti bahwa 50 persen pencari kerjamendapatkan pekerjaan hanya beberapa waktu setelah lima bulan. Durasinya lebih rendah di pedesaandaripada di daerah perkotaan dalam hal rata-rata dan median pencarian kerja. Jadi, meskipun ada peningkatanjumlah pendidikan dasar, menengah dan tinggi, durasi pencarian kerja untuk para pencari kerja yang lebihterdidik tetap relatif stabil. Lebih jauh lagi, rasio mereka mendapatkan kerja telah meningkat, dan usia sertatingkat pengangguran terbuka khusus untuk pendidikan tertentu tetap stabil. Jadi, jumlah yang besar darimereka yang lebih terdidik di antara penganggur terbuka bisa mengindikasikan pencapaian pendidikantinggi bagi umumnya generasi yang lebih muda.

Analisis data pencarian kerja dan bukti stabilitas dalam indikator kinerja tenaga kerja sebaiknya tidakmembuat kita puas akan pasar bagi tenaga kerja terdidik. Melainkan, ini mengindikasikan bahwa isu kebijakanyang utama mungkin terletak pada pencepatan transisi kaum muda dari sistem pendidikan dan pelatihan kedunia kerja. Isu ini nanti dibahas lagi di bagian lain makalah ini.

Disparitas gender dalam pasar kerja Indonesia dapat dilihat dari fakta bahwa di tahun 2006 pengangguranperempuan adalah sekitar 34 persen dibandingkan 28 persen untuk rekannya yang laki-laki. Pembangunanantara tahun 2006 dan 2007 menunjukkan gambaran yang lebih menjanjikan. Kesenjangan pengangguranlaki-laki dan perempuan nampak sedikit menurun, mencerminkan pertumbuhan pekerjaan yang kuatmendukung para pekerja perempuan.

Ketika membandingkan tingkat pengangguran berdasarkan gender, penting untuk memperhitungkanfakta bahwa tingkat partisipasi laki-laki dan perempuan dalam angkatan kerja cukup bervariasi. Sekitar separuhjumlah keseluruhan perempuan masuk ke dalam angkatan kerja dibandingkan 80 persen untuk laki-laki. Iniakibat dari besarnya proporsi perempuan di luar angkatan kerja yang terlibat kegiatan mengurus rumah

11 Estimasi ini dengan baik hati telah disediakan oleh Dr Shafiq Dhanani.

1616161616

Menyatakan Strategi Ketenagakerjaan Nasional untuk Indonesia

tangga dan mengurus anak. Satu cara memperhitungkan perbedaan spesifik gender dalam tingkat partisipasiangkatan kerja adalah dengan memfokuskan diri pada tingkat pengangguran laki-laki-perempuan sepertitercermin dalam persentase usia populasi yang bekerja. Ketika hal ini dilakukan, tingkat pengangguran laki-laki ternyata lebih tinggi daripada tingkat pengangguran perempuan.12

Tujuan dari ilustrasi tersebut adalah tidak untuk mengecilkan keberadaan disparitas gender dalampasar kerja Indonesia, melainkan untuk menekankan kenyataan bahwa partisipasi angkatan kerja yang berbedaantara laki-laki dan perempuan dapat menyimpangkan ukuran standar disparitas gender dalam hal tingkatpengangguran yang diamati. Tantangan kebijakan yang terkait adalah untuk meningkatkan tingkat partisipasiangkatan kerja perempuan tanpa mengganggu peranan penting yang dimainkan perempuan dalam kegiatanrumah tangga dan membesarkan anak. Hal ini kemudian berarti bahwa isu disparitas gender dalam pasarkerja perlu mengatasi isu yang jauh lebih kompleks dalam hal peranan gender dalam kegiatan rumah tangga.

Ada satu catatan di mana pasar kerja mengalami penurunan disparitas gender. Bukti yang adamenunjukkan bahwa disparitas gender dalam arti kesenjangan upah antara laki-laki dan perempuan telahberkurang dengan tetap. Penghasilan perempuan sebagai proporsi penghasilan laki-laki telah meningkatdari 50 menjadi 75 persen antara tahun 1982 dan 2007. Data didasarkan pada tingkat partisipasi laki-laki danperempuan dalam sistem pendidikan juga menunjukkan bahwa disparitas ini telah menurun dari waktu kewaktu.

Karena bukti tersebut di atas, tujuan dan sasaran apakah yang sebaiknya dipakai pemerintah Indonesiauntuk menangani isu pengangguran kaum muda maupun disparitas gender dalam pasar kerja? LapanganKerja bagi Kaum Muda Indonesia (IYEN – Indonesian Youth Employment Network) yang baru terbentuk telahmenghasilkan ‘rencana aksi tenaga kerja muda’ untuk tahun 2004-2007 yang memungkinkan seseoranguntuk merefleksikan poin ini. IYEN merekomendasikan ‘empat pilar’ bagi pengembangan strategi tenagakerja muda: (1) menyiapkan kaum muda untuk bekerja; (2) menciptakan pekerjaan berkualitas bagi kaummuda laki-laki dan perempuan; (3) menumbuhkan kewirausahaan; (4) menjamin kesempatan yang setarabagi laki-laki dan perempuan. Dalam kerangka kerja keempat pilar, IYEN menyarankan agar sasaran tenagakerja ditetapkan untuk usia demografis ini dan dimasukkan dalam keseluruhan kerangka kebijakan. Hal initermasuk: (1) pengurangan jumlah kaum muda yang ‘belum tergarap’ (entah mereka yang masih dalampendidikan atau sudah dalam angkatan kerja); (2) pengurangan jumlah kaum muda yang ‘belum sepenuhnyadigunakan’ (mereka yang menganggur atau setengah pengangguran); (3) peningkatan jumlah laki-laki danperempuan di sector formal.13

Makalah ini mendorong tujuan tersebut, karena penekanan pada dimensi ‘pengarusutamaan’ genderdalam pasar kerja dan bukannya memperlakukan hal ini secara ’terpisah’. Perbedaan antara kaum mudayang ‘belum tergarap’ dan ‘belum sepenuhnya digunakan’ adalah inovatif. Hal ini mungkin bermanfaat untukmelengkapi arah umum yang dicatat di sini dengan target kuantitatif yang terikat waktu dalam cara pemerintahbertindak menyikapi tingkat pengangguran agregat, namun penekanannya seharusnya ada pada tingkateksplisit penciptaan lapangan kerja.

12 Di tahun 1998-2000, misalnya, tingkat pengangguran laki-laki sebagai proporsi populasi usia kerja adalah 4,7 persen dibandingkan3,7 persen untuk perempuan.

13 IYEN [2004] ‘Youth Action Plan : 2004-2007’, Jakarta

1717171717

Migrasi dan pekerjaan di luar negeri

Seorang menteri senior dalam Pemerintah Indonesia baru-baru ini mencatat bahwa, sebagai bagiandari strategi negara dalam hal tenaga kerja, akan ada perluasan ‘…kesempatan bagi pekerja migran Indonesiauntuk bekerja di luar negeri’. Pada 2006, sekitar 680,000 orang Indonesia terdaftar bekerja di luar negeridengan ramalan penambahan jumlah menjadi 800,000 sampai akhir tahun 2007.14 Angka ini mungkin kelihatanremeh karena besarnya jumlah angkatan kerja – tetapi jumlah yang terdaftar tidak mesti mencakup besaransesungguhnya dari jumlah orang Indonesia yang bekerja di luar negeri, khususnya karena besarnya insidenmigrasi tanpa dokumentasi dan ilegal ke negara-negara tetangga di Asia. Dengan perkiraan 2,3 juta migrandi luar negeri, Indonesia menjadi negara pengirim penting, khususnya di antara negara-negara ASEAN/AsiaTimur. Jelas bahwa pemerintah bermaksud menggunakan migrasi ke luar negeri sebagai kendaraan untukmemperkuat penciptaan pekerjaan domestik. Para migran dapat pula memainkan peranan penting dalammengurangi kemiskinan di tingkat rumah tangga melalui remitansi yang dapat meningkatkan standar hiduppara tanggungan mereka.

Beberapa praktisi telah berkata bahwa isu migrasi ke luar negeri sebagai cara melengkapi penciptaanlapangan kerja domestik harus menjadi bagian penting dari agenda pembangunan global. Beberapa estimasimenunjukkan bahwa meskipun terbatas, rezim liberalisasi tenaga kerja yang diatur dengan baik di seluruhdunia dapat menumbuhkan keuntungan yang akan lebih besar dibandingkan liberalisasi perdagangan secarapenuh.15 Jelas pula bahwa wilayah Asia Timur saat ini terdiri dari campuran negara-negara dengan surplustenaga kerja dan negara-negara yang kekurangan tenaga kerja. Kesempatan untuk muncul dari campuranini, melalui migrasi regional yang lebih baik, belumlah mendapatkan prioritas dibandingkan isu perdagangandan arus investasi. Karena berkembangnya kesempatan global dan regional ini, masuk akal bagi para pembuatkebijakan di Indonesia untuk mempertimbangkan migrasi ke luar negeri sebagai salah satu cara meningkatkanpenciptaan lapangan kerja domestik. Mereka harus mengikutkan isu migrasi pekerja regional dan proteksipekerja migran dalam negosiasi perjanjian perdagangan bebas, seperti AFTA.16

Seperti dalam kasus dimensi lain dari penciptaan pekerjaan, tujuan kebijakan yang terkait denganmigrasi ke luar negeri dapat dengan mudah dibatasi pada sasaran kuantitatif, misalnya meningkatkankeseluruhan jumlah orang yang mencari pekerjaan ke luar negeri, tetapi ada isu signifikan soal kualitas yanglebih perlu. Khususnya bahwa kaum perempuan muda Indonesia rentan terhadap eksploitasi. Industri migrasijuga perlu diatur dengan peraturan yang standar. Remitansi yang cepat, fleksibel dan aman perlu diterapkan.Isu-isu ini tidak bisa selalu siap diterjemahkan dalam sasaran-sasaran kuantitatif yang sederhana, tetapimereka perlu dipertimbangkan sebagai bagian dari latihan penetapan tujuan. Dengan kata lain, tujuan harusdibuat untuk menyediakan pekerjaan yang layak dan produktif bagi orang Indonesia di lokasi-lokasi di luarnegeri.

Daya saing harga dan pasar kerja

Perdebatan paska krisis tentang pasar kerja Indonesia telah didominasi oleh diskusi-diskusi tentangkondisi di mana harga tenaga kerja mempengaruhi keputusan pengusaha untuk merekrut dan bagaimana

14 A. Haswidi [2007] ‘Economics Minister pledges all out to reduce unemployment’, Jakarta Post, Maret.15 L.Pritchett [2006] Let Their People Come: Breaking the Gridlock on Labour Mobility, Washington, Centre for Global Development16 Lihat A. Chowdhury [2007] Indonesia’s Hesitance with AFTA and AFTA plus: A Political Economy Explanation”, Paper presented at

“FTA, Regional Integration, and Development” Conference, Pusan National University, Busan, Korea, December 18-19, 2007; T.Hidayat and D. Widarti [2005], “Social Implications of ASEAN Free Trade Agreement (AFTA) on Labour and Employment: The Case ofIndonesia”, ILO/ASEAN Joint Study.

1818181818

Menyatakan Strategi Ketenagakerjaan Nasional untuk Indonesia

hal ini mempengaruhi daya saing harga dari ekonomi Indonesia. Ada praduga umum bahwa biaya tenagakerja telah menjadi terlalu tinggi, pertumbuhan upah telah melebihi pertumbuhan produktivitas dan akibatnyaekspor produk padat karya telah menderita. Fokusnya pada peraturan ketenagakerjaan yang memberatkandan kasus-kasus militansi serikat pekerja. Kekhawatiran-kekhawatiran ini tercermin dalam RencanaPembangunan Jangka Menengah yang menyuarakan kebutuhan untuk ’menciptakan pasar kerja fleksibeldengan cara memperbaiki peraturan ketenagakerjaan’. Pada saat yang sama, Rencana tersebut menyorotiperlunya ’menggunakan tenaga kerja secara optimal dan manusiawi (sic), dan ’menyediakan proteksi tenagakerja yang mengarah pada kesejahteraan’.

Tantangannya adalah untuk menemukan keseimbangan yang tepat antara kekhawatiran tentang dayasaing harga dan kesejahteraan pekerja. Di sini perdebatan publik yang bijak meminta pemerintah untukmemainkan peranan memimpin dalam mengembangkan panduan yang akan membantu para pembuatkebijakan untuk menemukan keseimbangan yang tepat dan meminimalkan potensi trade-off antaraperlindungan hak-hak pekerja dan keharusan penciptaan pekerjaan. Tujuan yang tepat adalah untukmemastikan bahwa upah riil tumbuh sejalan dengan produktivitas. Hal ini adil dan juga efisien.

Kemiskinan dan pasar kerja17

Seperti telah disebut, pemerintah Indonesia telah punya sasaran yang diumumkan untuk mengurangikemiskinan menjadi separuhnya bersamaan dengan sasaran untuk mengurangi pengangguran agregat sampaitahun 2009. Apakah ini pendekatan yang valid, mengingat pemahaman yang kini ada tentang neksus antarakemiskinan dan pasar kerja?

Kita dapat menggunakan metode tidak langsung untuk mendapatkan suatu saran hubungan antarapengangguran dan kemiskinan di tingkat nasional. Prosedur ini tergantung pada dua pola yang sudahterbangun baik, satu diangkat dari SAKERNAS, yang lain dari SUSENAS. Yang pertama biasanya menunjukkanbahwa ada hubungan terbalik antara tingkat pengangguran yang diamati dan pencapaian pendidikan pekerja(pengangguran tinggi/pendidikan rendah); estimasi yang diangkat dari SUSENAS mengindikasikan bahwaada juga hubungan terbalik antara insiden kemiskinan dan pencapaian pendidikan kepala keluarga (insidenkemiskinan tinggi/pendidikan rendah). Mengaitkan keduanya menghasilkan kemungkinan hubungan terbalikantara pengangguran dan kemiskinan di Indonesia, yakni bahwa tingkat pengangguran yang tinggi dapatdiasosiasikan dengan tingkat kemiskinan yang rendah. Mereka dengan pendidikan dasar atau lebih rendahdari itu punya tingkat pengangguran di bawah 5 persen (seperti tercatat tahun 1999), namun insidenkemiskinan untuk kelompok ini bervariasi dari 29 persen hingga 48 persen. Pada sisi lain, mereka denganpendidikan menengah atau lebih punya tingkat pengangguran yang berkisar antara 13 persen dan 16 persen,namun tingkat kemiskinan bervariasi antara 2 persen dan 13 persen.

Jadi, perdebatan bahwa pengangguran punya relevansi terbatas untuk memahami kemiskinan diIndonesia kelihatannya lahir dari data yang ada.18 Secara umum, kaum miskin tidak mampu untuk tetapmenganggur dalam waktu lama dan harus mencari pekerjaan apapun untuk tetap hidup. Akan bermanfaat,sebagai bagian dari strategi penelitian mendatang, untuk lebih mendalami lagi hubungan antara kemiskinandan pengangguran. Pengamatan yang lebih hati-hati akan data SUSENAS dan SAKERNAS yang belum terbittentang isu-isu tersebut sungguh layak jelajah.

17 Diskusi dalam bagian ini diangkat dari I.Islam [2002] “Poverty, employment and wages: an Indonesian perspective”, laporan yangdisiapkan untuk Recovery and Reconstruction Department, Geneva, ILO.

18 Pernyataan ini konsisten dengan semangat ‘agenda pekerjaan layak’ dari ILO karena penekanannya ada pada penciptaan pekerjaanyang produktif dan bertahan sebagai cara mengurangi kemiskinan dan bukannya untuk mengurangi tingkat pengangguran agregat.

1919191919

Cara lain untuk mengekplorasi hubungan antara pengangguran dan kemiskinan adalah untuk melacakpergerakan keduanya di tingkat agregat. Kecenderungan terkini menunjukkan bahwa kemiskinan danpengangguran telah berkembang ke arah berbeda – setidaknya ketika seseorang membandingkan seri yangresmi. Kemiskinan – berdasarkan rasio jumlah kepala di tingkat nasional (national head count ratio) –sesungguhnya telah meningkat antara tahun 2005 dan 2006 (dari 16,0 persen menjadi 17, 8 persen), sementarapengangguran menurun dari puncaknya 11,2 persen di tahun 2005 menjadi 10,3 persen di tahun 2006. Padasaat yang sama, meskipun tingkat pengangguran resmi meningkat tajam antara 2001 and 2005, kemiskinanagregat berdasarkan garis kemiskinan nasional menurun sepanjang periode itu.19 Secara umum datapergerakan bersama antara tingkat kemiskinan dan tingkat pengangguran antara 1996 dan 2006 menunjukkanbahwa keduanya bergerak ke arah yang berbeda.

Karena kesangsian yang diajukan tentang hubungan antara kemiskinan dan pengangguran, bagaimanasebaiknya seseorang menganalisa neksus kemiskinan-tenaga kerja agar menghasilkan pengetahuan yangrelevan? Seseorang harus mengadopsi pendekatan dis-agregat untuk menganalisa pekerjaan dan karakteristikketerampilan rumah tangga yang miskin. Ilustrasinya ditawarkan berikut ini.

Sejumlah besar kaum miskin Indonesia dapat ditemukan di sektor pertanian. Misalnya, di tahun 1999,insiden kemiskinan dalam pertanian mencapai kira-kira 40 persen dibandingkan dengan tingkat kemiskinanyang hanya 5 persen untuk kepala rumah tangga yang mengidentifikasikan keuangan sebagai sektor pekerjaanmereka yang utama. Lebih jauh lagi, 58 persen dari kemiskinan secara nasional dapat dikatakan berasal darisektor pertanian. Jadi, strategi pengurangan kemiskinan apapun di Indonesia akan perlu mengenali luasnyakeberadaan rumah tangga miskin di bidang kegiatan pertanian.

Data juga menunjukkan bahwa tidak ada bukti bahwa rumah tangga miskin entah secara substantiflebih muda atau lebih tua dari rumah tangga yang tidak miskin. Juga tidak ada bukti yang jelas tentang‘feminisasi’ kemiskinan dalam arti bahwa cuma 16 persen dari rumah tangga yang dikepalai perempuandiklasifikasi sebagai miskin.

Dalam hal status pekerjaan, nampak bahwa wirausaha informal adalah karakter utama kemiskinan. Jadi,56 persen kepala rumah tangga yang berwirausaha masuk dalam kategori kelompok miskin dibandingkan30 persen kepala keluarga yang dikelompokkan sebagai pegawai.

Dalam hal jam kerja per minggu, ada perbedaan antara rumah tangga yang miskin dan yang tidakmiskin. Jadi rumah tangga yang miskin di tahun 1999 bekerja rata-rata 33 jam per minggu dibandingkanrumah tangga yang tidak miskin yang bekerja rata-rata 36 jam per minggu.

Ada perbedaan nyata antara rumah tangga yang miskin dan tidak miskin dalam bidang pendidikan.Mean tahun sekolah bagi rumah tangga yang miskin adalah 6,0 tahun di tahun 1999 dibandingkan 7,4 tahunbagi rumah tangga yang tidak miskin.

Untuk menajamkan tujuan dan sasaran yang menekankan pada neksus kemiskinan-pasar kerja, beberapapoin perlu disebut. Pertama, pergerakan dalam tingkat pengangguran tidak nampak berkorelasi baik denganperubahan dalam tingkat kemiskinan. Hal ini memperkuat pandangan bahwa kaum miskin tidak mampubertahan menganggur untuk waktu yang lama karena ketiadaan skema tunjangan pengangguran. Di sisilain, hubungan antara upah dan kemiskinan lebih kuat. Ada cukup banyak bukti bahwa konsumsi upah riil ditahun-tahun belakangan, khususnya antara 2005 dan 2006, telah mengalami stagnasi atau penurunan disemua sektor dan dalam sektor informal. Kecenderungan jangka panjang juga menunjukkan pergerakanbersama yang dekat antara kemiskinan dan upah riil.

19 Peningkatan yang tajam tetapi temporer untuk kemiskinan tahun 2005-2006 disebabkan utamanya oleh peningkatan tajam dalamtingkat inflasi yang digerakkan oleh pengurangan subsidi bahan bakar.

2020202020

Menyatakan Strategi Ketenagakerjaan Nasional untuk Indonesia

Relatif lebih sedikit perhatian diberikan kepada insiden ‘orang miskin yang bekerja’, yakni mereka yangberpartisipasi dalam pasar kerja tetapi memiliki penghasilan yang tidak memadai. Satu studi perbandinganmenyarankan bahwa dalam masa sebelum krisis, jumlah orang miskin yang bekerja ada kira-kira 16 persendari angkatan kerja yang bekerja.20

Estimasi terkini menunjukkan bahwa insiden ‘orang miskin bekerja’ bervariasi signifikan, tergantungpada garis kemiskinan yang digunakan. Berdasarkan garis kemiskinan internasional 1 US$ per hari sepertiditerapkan pada data 2006, ada sekitar 8 persen dari angkatan kerja, tetapi angkanya melonjak ke 52 persendari angkatan kerja ketika angka 2 dolar per hari dipakai.21 Estimasi ini perlu diperbarui secara berkala.Upaya-upaya perlu diambil untuk mengembangkan konsep ’upah hidup’ (living wage) sebagai alat melacakkelompok-kelompok dalam angkatan kerja yang berada di bawah ‘upah hidup’. Lebih penting lagi, karakteristikpekerjaan dari ’orang miskin bekerja’ perlu lebih dipelajari lagi secara intensif.

Pemerintah, dalam menerapkan MDG, juga menganut pandangan bahwa kemiskinan adalah konsepmultidimensional yang terkait dengan kurangnya daya beli, kurangnya standar pembangunan sumber dayamanusia serta kurangnya suara dan partisipasi kaum miskin dalam kehidupan sipil dan politik. Kecuali untukpemberdayaan politik kaum miskin, MDG global didominasi oleh tujuan dan sasaran yang ingin memperbaikikelemahan dalam hal pembangunan sumber daya manusia, khususnya kesehatan, nutrisi dan pendidikan.Kurangnya daya beli, atau kemiskinan penghasilan, hanyalah salah satu indikator yang diusulkan dalamMDG.

Indonesia akan mencapai pengurangan kemiskinan penghasilan serta banyak indikator pembangunanlain yang diusulkan hingga tahun 2015. Jadi wajar bila dalam pengumuman dan sosialisasi tujuan terkaitdengan neksus antara kemiskinan dan pasar kerja, pemerintah sebaiknya menjauh dari fokus yang terlalusempit pada kemiskinan penghasilan. Penciptaan pekerjaan berbasis luas dan pertumbuhan upah riil memangbisa mengurangi kemiskinan dengan meningkatkan daya beli, tetapi belum tentu menjamin bahwa semuawarga negara akan lebih terdidik, lebih sehat dan tidak kekurangan gizi. Keharusan pembangunan sumberdaya manusia ini juga terletak pada inti penjaminan bahwa warga negara memiliki kemampuan untuk punyapekerjaan yang layak dan produktif.

Fokus yang sempit pada tinjauan kemiskinan penghasilan mengabaikan isu penting tentang kerentanan,yakni risiko episode kemiskinan sementara yang mungkin dialami manusia. Fitur yang menggelisahkan dalamkemiskinan di Indonesia adalah bahwa banyak individu dan rumah tangga yang terletak di garis kemiskinan,yang berarti bahwa satu saja ‘shock’ tidak terduga akan mendorong banyak orang untuk jatuh ke bawahgaris kemiskinan. Perkiraan terkini menunjukkan bahwa insiden kerentanannya adalah 29 persen – angkayang hampir dua kali tingkat kemiskinan saat ini. Isu kerentanan juga terkait dengan risiko pasar kerja,terkait dengan masalah pengangguran dan setengah pengangguran. Jadi, insiden kerentanan bagi ‘orangmiskin yang bekerja’ adalah sekitar 44 persen dari angkatan kerja.22 Jadi, dengan memfokuskan diri padakemiskinan penghasilan, pemerintah tidak memberi cukup perhatian pada kerentanan. Kerentanan bersifatluas dan perlu dikenali dengan cara memasukkannya dalam tujuan dan sasaran pemerintah dalam hal pasarkerja.

20 N.Majid [2001] ‘The Size of the Working Poor Population in Developing Countries’, ILO, Geneva, Employment Paper No.1621 ILO [2008] ‘Labour and Social Trends in Indonesia: Decent work pathways towards job-rich development’, Jakarta, Bangkok and

Geneva22 Ini didapatkan dengan menghitung selisih antara insiden orang miskin yang bekerja dengan estimasi satu US$ per hari dan insiden

orang miskin yang bekerja dengan estimasi dua US$ per hari. Estimasi ini, dikutip dalam teks, tersedia dalam ILO [2008] [op.cit: 10].

2121212121

Tujuan dan sasaran: agregat nasional vs. keberagaman regional

Indonesia, tentu saja, adalah negara yang luas dan beragam. Setelah beberapa dekade pemerintahanyang tersentralisasi, negara ini telah menerapkan program komprehensif untuk desentralisasi regional.Kebijakan pasar kerja dan pengentasan kemiskinan, seperti misalnya upah minimum dan ProgramPemberdayaan Nasional, kini dilaksanakan di tingkat regional/lokal. Jadi, fokus pada agregat nasional –seperti pengurangan yang belum diumumkan tentang pengangguran dan kemiskinan – hanyalah awal dariupaya menetapkan tujuan dan sasaran kebijakan. Tingkat pengangguran nasional, misalnya, menyembunyikanvariasi yang besar, yang berkisar antara 18,9 persen (di Banten) hingga 3,6 persen (di Nusa Tenggara Timur).Laporan Pembangunan Sumber daya Nasional terdahulu telah menunjukkan bahwa Indonesia secarakeseluruhan akan mencapai banyak MDG hingga 2015, tetapi sejumlah wilayah/provinsi akan tertinggaljauh.

Bagaimana caranya mencerminkan keberagaman yang begitu besar dari negara ini dalam tujuan dansasaran kebijakan nasional? Satu pendekatan, yang diangkat dari karya yang diadvokasikan oleh LaporanPembangunan Manusia Nasional 2000/2001 adalah untuk mengembangkan ‘perpaduan pembangunanmanusia’ yang berupaya menanamkan visi bahwa semua orang Indonesia, di manapun lokasinya, harusberhak atas standar pembangunan manusia minimum yang nantinya diarahkan pada MDG. Tujuannya adalahuntuk memastikan bahwa semua daerah mampu, dengan kerangka ikatan waktu, untuk mencapai standarpembangunan manusia yang sejalan dengan MDG. Ide ini nantinya dapat diterjemahkan dalam kerangkapasar kerja. Jadi tujuannya sebaiknya untuk menyebarluaskan tujuan dan sasaran yang terkait denganpenciptaan pekerjaan yang produktif yang secara eksplisit mengikutkan keberagaman wilayah negara. Halini berarti mengembangkan profil regional dari sejumlah indikator pasar kerja beserta pergerakannyasepanjang waktu yang dapat memandu para pembuat kebijakan dalam mengidentifikasi siapa yang memimpindan tertinggal dalam penciptaan pekerjaan. Kelemahan kinerja pasar kerja dan tindakan perbaikan untukmerespon kelemahan tersebut kemudian dapat dinilai berdasarkan tolak ukur yang ditentukan secara nasional.

2222222222

Menyatakan Strategi Ketenagakerjaan Nasional untuk Indonesia

2323232323

Pendekatan yang digerakkan oleh bukti untuk membuat bijakan berarti penganutan kerangka diagnosticyang akan memungkinkan seseorang untuk memahami mengapa pasar kerja Indonesia telah berfungsidalam waktu yang baru lalu, bagaimana ia berfungsi sekarang, dan bagaimana perkembangannya di masamendatang. Resolusi memuaskan dari pertanyaan-pertanyaan ini akan memberikan dasar analitis dan empiristentang pembuat kebijakan mana yang dapat melabuhkan tujuan dan sasarannya dan mengukur pencapaianmereka dalam kerangka waktu yang sudah ditentukan.

Mendiagnosa hasil pasar kerja Indonesia: hipotesa tekananharga

Dalam mempelajari pasar kerja Indonesia, kita dapat mengurai narasi analisis tertentu yang kelihatannyaberpengaruh. Hal ini, seperti telah dikatakan, adalah yang dikenal sebagai hipotesa ‘tekanan harga’. Premisdasarnya adalah bahwa Indonesia dilambangkan dengan peraturan ketenagakerjaan yang memberatkan,yang secara agresif mengejar upah minimum dan ketentuan lain seperti pesangon, yang meningkatkanupah riil hingga ke tingkat sangat tinggi, menghambat pertumbuhan pekerjaan di sektor formal danberdampak negatif pada iklim investasi. Perkembangan ini umumnya dilihat berasal dari Undang-UndangKetenagakerjaan 2003 yang adalah produk lingkungan demokratis yang semakin liberal secara politik yangmuncul setelah krisis finansial 1997. Hal ini mendorong harapan masyarakat akan peningkatan hak. Tidakseperti dulu, ketika rezim politik masih sangat tersentralisasi, pihak yang berwenang dalam pemerintahtidak bisa lagi semata-mata menekan serikat buruh dan kegiatan sipil. Sistem hubungan industrial sekarangnampak mencerminkan ‘koreksi berlebihan’ untuk represi masa lampau dalam hal hak-hak pekerja. Jadi, halini tercermin dalam penerapan yang begitu bersemangat akan kebijakan upah minimum, pesangon yangmurah hati, pengaturan penggunaan kontrak pekerjaan temporer dan outsourcing produksi. Hal inimenciptakan lingkungan usaha biaya tinggi yang menjadi rem bagi investasi swasta yang sangat dibutuhkan,baik dari dalam maupun luar negeri. Investasi yang tidak memadai akhirnya menjadi rem bagi penciptaanpekerjaan di sektor formal.

Berikut beberapa contoh yang umum tentang sudut pandang ini. Satu studi menyimpulkan: ‘beberapaperkembangan terkini dan yang belum muncul dalam kebijakan pasar kerja Indonesia mengancampeningkatan biaya perekrutan pekerja baru dan akhirnya memperlambat penciptaan pekerjaan modern.’23

Satu studi lain juga sepakat: ‘Telah terjadi perkembangan memburuk dalam kinerja pasar kerja Indonesiasejak krisis finansial Asia utamanya karena penurunan investasi dan pasar kerja yang lebih diatur’. 24 Satu lagi

3.3.3.3.3. Perdebatan dan Diagnosis

23 Carl Aaron, et al [2004] ‘Strategic Approaches to Job Creation and Employment in Indonesia’, Laporan untuk USAID, Jakarta24 G. Sugiyarto [op. cit]

2424242424

Menyatakan Strategi Ketenagakerjaan Nasional untuk Indonesia

pengamat mengecam Indonesia karena undang-undang ‘yang mengatur praktik rekrutmen dan pemecatan(telah) menciptakan pasar kerja yang disfungsional’ dan solusinya sungguh adalah dengan ‘menghapuskanpasar kerja yang kaku’.25

Cap intelektual tentang hipotesa ‘tekanan harga’ tercermin dalam Rencana Pembangunan JangkaMenengah, yang salah satu tujuannya adalah restorasi peraturan pasar kerja menjadi lebih fleksibel. Ditahun 2006, pemerintah berupaya mereformasi Undang-undang Ketenagakerjaan 2003, namunpenyelesaiannya belum ada. Makalah ini menawarkan tinjauan bukti yang ada seputar harapan yang dapatmembantu dialog sosial yang hidup antara pemerintah, asosiasi pengusaha dan perwakilan pekerja melaluicara-cara terbaik di masa mendatang untuk merancang dan mempertahankan kerangka peraturan yangramah-pengusaha dan sekaligus melindungi dan menghormati hak-hak pekerja.

Mereka yang mendukung kesahihan hipotesa ‘tekanan harga’ dalam konteks Indonesia biasanyamemberi perhatian pada evolusi terkini seputar upah minimum dan skema pesangon. Kewenangan untukmenetapkan upah minimum kini juga diletakkan di tingkat daerah, meskipun implementasinya diharapkanuntuk terjadi sesuai panduan di tingkat nasional. Jelas bahwa upah minimum sudah naik tajam, khususnyasetelah krisis finansial 1997. Upah minimum provinsi meningkat dari 61 persen dari rata-rata upah menjadi69,4 persen dari rata-rata upah. Data yang ada menunjukkan bahwa selama tahun 2005-2006, upah minimumtumbuh lebih cepat di daerah dengan tingkat pengangguran di atas rata-rata dibandingkan daerah-daerahyang tingkat penganggurannya di bawah rata-rata.26

Dalam hal pesangon, kini Indonesia punya yang tertinggi di wilayah ini. Survey ’Doing Business’ dariBank Dunia meranking Indonesia cukup buruk dalam hal ’indeks kekakuan ketenagakerjaan’. Posisinya nomor154 dari 178 negara. Ketika penemuan ini digabungkan dengan peningkatan pengangguran antara tahun2003 dan 2005 serta penurunan sirkuler dari porsi ekspor produk padat karya, kita tergoda untukmenyimpulkan bahwa hipotesa ’tekanan harga’ sungguhlah sahih. Diagnosis macam itu kemudian akanmendorong seseorang untuk mendukung upaya pemerintah untuk meninjau dan mengubah ketentuan-ketentuan yang memberatkan yang tercantum dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan 2003.

Hasil pasar kerja dan hipotesa tekanan harga: bukti berlawanandan kerangka kerja alternatif

Namun, bukti yang ada tidaklah sejelas yang kelihatan. Sejumlah kisaran bukti berlawanan dapatdikumpulkan. Berikut beberapa di antaranya.

Survei ‘Doing Business’ dari Bank Dunia mendata peraturan pasar kerja sebagai salah satu saja darisepuluh faktor yang memengaruhi keseluruhan indeks ‘kemudahan melakukan usaha’ di mana Indonesiaada di ranking 123 dari 178 negara.27 Survei global lain yang dibuat oleh World Economic Forum (lihatdibawah) menunjukkan bahwa peraturan-peraturan ketenagakerjaan mewakili hanya satu dari 14 faktoryang memengaruhi iklim usaha. Implikasi yang jelas adalah bahwa reformasi peraturan ketenagakerjaantanpa terlebih dahulu mengatasi hambatan-hambatan lain hanya akan berpengaruh kecil pada perbaikaniklim usaha.

25 S. H. Hanke [2007] ‘Abolish rigid labour markets’, CATO Institute, July. Hanke sempat dalam waktu singkat bertugas sebagai penasihatmantan Presiden Suharto selama puncakmasa krisis di Indonesia.

26 Juga menarik untuk dicatat bahwa upah minimum provinsial meningkat rata-rata 9,1 persen di tahun 2006 di tujuh kabupaten/kotadi mana pemilu langsung gubernur diselenggarakan di tahun 2005. Angka untuk propinsi-propinsi lain adalah 8,0 persen. Jadi, parapembuat kebijakan perlu mewaspadai apakah penyesuaian upah minimum telah menjadi alat untuk membeli suara.

2525252525

Dalam hal survey daya saing global yang terkenal yang diselenggarakan oleh World Economic Forum(WEF) untuk 2007-2008, Indonesia berada di urutan ke 54 dari 131 negara – suatu perbaikan substansialdibandingkan dengan periode pertengahan tahun 2000an.Dalam indeks agregat tersebut, Indonesia punya skor 30 dari 131 negara dalam hal ukuran ‘efisiensipekerja’. Lebih penting lagi, Indonesia menerima urutan antara 31 dan 35 (dari 131) dalam hal praktikrekrutmen/pemecatan dan fleksibilitas upah. Dengan kata lain, ranking WEF akan pasar kerja Indonesiaadalah jauh lebih baik daripada ranking Bank Dunia.28

Satu lagi survei global lain yang dihasilkan oleh Fraser Institute dapat dipakai untuk melacak apakahperaturan perundangan telah memburuk dalam kurun tahun belakangan. Kecenderungan yang munculadalah bahwa keseluruhan indeks peraturan pasar kerja sebenarnya telah membaik antara tahun 2000dan 2005, bersamaan dengan perbaikan keseluruhan dalam ‘Kebebasan Ekonomi’ selama periode yangsama.29 Seperti juga kasus survei ‘Doing Business’ dan survei WEF, peraturan ketenagakerjaan mewakilihanya satu komponen saja dari banyak hal lain yang memengaruhi keseluruhan indeks “KebebasanEkonomi’ yang diklaim oleh penulisnya sebagai memengaruhi pertumbuhan dan standar hidup. Jadiakibatnya, bahkan bila perubahan dalam peraturan ketenagakerjaan membuat Indonesia berubahmenjadi negara yang paling ‘ramah bisnis’ di dunia, perubahannya hanya akan marginal saja dalamindeks ‘Kebebasan Ekonomi’ jika komponen-komponen lainnya tidak berubah.Survei perusahaan menunjukkan bahwa masalah pekerja bukanlah kekhawatiran utama yang ditunjukkanpara investor. Masalah itu menempati posisi tengah dalam daftar 12 faktor yang secara negatifmemengaruhi persepsi iklim usaha. Lebih lanjut, survei 2007 tentang iklim investasi oleh UniversitasIndonesia menunjukkan bahwa hanya sedikit saja perusahaan yang mengalami beragam masalah yangberkaitan dengan pekerja di tahun 2006.30

Biaya pekerja non-upah (sebagai persen biaya operasi perusahaan) sangatlah sejalan dengan norma-norma regional, sementara total biaya pekerja sebagai proporsi biaya operasi perusahaan di sektormanufaktur yang formal tetaplah stabil di angka tujuh persen di tahun-tahun belakangan ini.Baik upah produk riil maupun upah konsumsi riil entah stagnan atau menurun untuk beragam sektorekonomi antara tahun 2004 dan 2006, meskipun upah minimum meningkat. Bahkan, upah minimumrata-rata yang riil di sektor manufaktur menunjukkan peningkatan yang lebih rendah lagi dibandingkandengan pertumbuhan upah minimum nominal.Unit biaya pekerja – ukuran daya saing yang banyak digunakan – telah turun sejak tahun 2001 dan kiniberada di titik terendah sejak 1993. Hal ini menunjukkan kombinasi produktivitas tenaga kerja, di sektormanufaktur dan sektor lain, serta biaya pekerja yang kira-kira konstan – semuanya merupakanperkembangan yang bertentangan dengan klaim yang dibuat oleh para pendukung hipotesa ‘tekananbiaya’.Sejumlah studi ekonometri telah dilakukan untuk mengidentifikasi konsekuensi-konsekuensi dari upahminimum pada tersedianya pekerjaan. Sejumlah studi ini menunjukkan adanya konsekuensi tenagakerja yang negatif, namun perlu ada kehati-hatian dalam mengartikan hal ini. Pertama, sejumlah studimenunjukkan bahwa pekerjaan sektor formal dan sektor ekspor umumnya tidak terpengaruh olehpertimbangan seputar upah minimum. Kedua, studi-studi tersebut sangat bergantung pada ‘elastisitas

27 Tersedia di www.gcr.weforum.org28 Bahan utama kebebasan ekonomi, seperti dikonseptualisasikan oleh Fraser Institute adalah: pilihan personal, pertukaran pasar

secara sukarela, kebebasan untuk masuk dan bersaing dalam pasar, perlindungan individu dan properti dari agresi pihak lain. Indeksini terdiri dari lima sub-indeks: ukuran pemerintah; uang ‘sound’; struktur legal dan keamanan hak properti; perdagangan bebas;peraturan-peraturan ketenagakerjaan, kredit dan bisnis. Indeks-indeks ini punya nilai maksimum 10, sebagai skor terbaik. AlmarhumNobel Laureate Milton Friedman, sesepuh neo-liberal, diasosiasikan dengan kerja perdana dari Institut ini.

29 Survei WEF juga menunjukkan bahwa faktor-faktor lain yang terkait dengan infrastruktur, birokrasi dan ketidakstabilan politikmenggantikan peraturan ketenagakerjaan sebagai faktor-faktor yang paling problematik bagi penyelenggaraan usaha di Indonesia.

2626262626

Menyatakan Strategi Ketenagakerjaan Nasional untuk Indonesia

sebagian’, yakni, apa yang akan terjadi pada pengangguran bila ada peningkatan upah minimum tetapitidak ada perubahan lain yang terjadi. Sudah diketahui bahwa ketersediaan pekerjaan berespon positifpada pertumbuhan PDB – yang, tentu saja, merupakan alasan standar untuk memfokuskan diri padaelastisitas pekerjaan. Jadi, pertumbuhan PDB yang pesat – dan kondisi umum yang baik – dapatmeringankan konsekuensi negatif dari peningkatan upah minimum.31 Namun demikian, elastisitas‘sebagian’ dalam hal upah minimum (atau turunannya) di tingkat nasional biasanya cukup kecil, berkisardari 0,1 hingga 0,03, dan beberapa diantaranya didasarkan pada fungsi-fungsi pekerja yang hampirtidak lolos tes statistik signifikansi yang standar. Estimasinya dengan demikian tidaklah besar dalam halbesaran dan tidak cukup kuat untuk dijadikan basis yang solid bagi resep kebijakan.Bukti lintas negara menunjukkan bahwa upah minimum dan tunjangan wajib tidaklah mengganggupertumbuhan (dan pekerjaan). Yang penting adalah ukuran relatif dari pekerja yang terorganisir dalamekonomi tersebut.32 Penemuan ini punya relevansi tertentu di Indonesia, mengingat bahwa densitasserikat pekerja hanya sekitar 10 persen dari angkatan kerja.

Bila hipotesa ‘tekanan biaya’ tidak berdasar pada pondasi empiris yang kuat, hipotesa alternatif apakahyang dapat diajukan? Hasil tersedianya pekerjaan merupakan produk dari faktor-faktor tarikan-permintaandan tekanan-biaya. Menekankan pada tekanan biaya saja dengan mengabaikan tarikan permintaanmenimbulkan risiko pengambilan kerangka kerja diagnostik yang berimplikasi monokausalitas, yakni hanyabiaya pekerja yang menentukan keputusan rekrutmen. Hal ini jelas tidak benar. Resep kebijakan yang munculdari kerangka diagnostik macam itu akan salah.

Untuk menguji pengaruh dari faktor tarikan permintaan dan tekanan biaya dalam memengaruhi hasilketersediaan pekerjaan, makalah ini diangkat dari persamaan (equation) pekerjaan yang diestimasi secaraekonometris di mana pekerjaan adalah fungsi dari pertumbuhan PDB (mewakili faktor tarikan permintaan)dan upah produk riil (mewakili faktor tekanan biaya) ditambah satu istilah yang mewakili ‘path dependence’(yakni, pekerjaan sekarang juga dipengaruhi oleh pekerjaan terdahulu). Persamaan ini diperkirakan secaraterpisah untuk periode sebelum krisis (1993-1997) dan sesudah krisis (2000-2006) untuk lintas delapansektor ekonomi yang utama. Hasilnya menunjukkan bahwa meskipun dalam masa sebelum krisis hubunganantara upah dan pekerjaan secara statistik signifikan di lima sektor yang ada, dalam masa sesudah krisishanya dua sektor saja (pertambangan dan manufaktur) di mana neksus upah riil dan pekerjaan menjadisignifikan secara statistik. Sebaliknya, hubungan antara pekerjaan dan PDB adalah signifikan secara statistikdi hampir semua sektor di masa paska krisis. Dengan kata lain, faktor tarikan permintaan (melalui saluranpertumbuhan) nampak lebih signifikan dibandingkan biaya pekerja dalam memengaruhi hasil pekerjaan.

Interpretasi ini konsisten dengan stylized facts. Pertumbuhan pekerjaan lebih cepat di tahun 2006-2007di saat pertumbuhan PDB telah relatif lebih cepat dibandingkan tahun-tahun sebelumnya sejak krisis.Kemungkinannya interpretasi hasil pasar kerja telah dibelokkan oleh data pekerjaan untuk periode 2001-2005, yang mengindikasikan peningkatan tajam dalam pengangguran agregat. Hal ini, seperti telah dikatakan,sebagian adalah artefak statistik. Pengangguran, berdasarkan seri yang konsisten, menunjukkan baik tingkatyang lebih rendah dan peningkatan yang lebih rendah selama periode yang sama.

Mengambil perspektif jangka yang lebih panjang, perubahan struktural dalam ekonomi Indonesiabelumlah kondusif bagi penciptaan pekerjaan yang berbasis luas. Bagian ekspor dari produk padat karyatelah terus menurun sejak 1993. Waktu dari penurunan tersebut menunjukkan bahwa upah minimum dan

31 Lihat lampiran teknis dan statistik dari laporan ini untuk detil lebih lanjut.32 A.Forteza and M.Rama [2001] ‘Labour Market “Rigidity” and the Success of Economic Reforms Across More Than One Hundred

Countries, World Bank Policy Research Working Paper No.2521, 10 Februari.

2727272727

tunjangan wajib bukanlah faktor-faktor yang utama. Kondisi eksternal – khususnya ketidakmampuan Indonesiauntuk bersaing dengan eksportir-eksportir produk padat karya lain, seperti China, mungkin telah ikutmemainkan peran. Dalam segmen ekonomi yang tidak diperdagangkan, penurunan porsi PDB dari sektor-sektor penyerap tenaga kerja belum dilengkapi dengan penciptaan pekerjaan yang kuat di sektor lain. Investasi– komponen penting dari permintaan agregat – umumnya telah dikalahkan selama periode paska krisis.

Apa implikasi kebijakan yang muncul dari temuan-temuan ini? Hal ini dijabarkan dalam bagian berikut.Poin utama yang perlu disoroti pada tahap ini adalah bahwa para pembuat kebijakan harus menjauhkan diridari risiko yang terpendam dalam monokausalitas atau bahkan selektivitas (yakni, bahwa peraturan pasarkerja adalah penghambat yang utama, atau satu-satunya, bagi penciptaan pekerjaan yang berbasis luas)karena baik logika maupun bukti tidak dapat mempertahankan posisi tersebut. Hal ini tidak berarti bahwaperaturan pasar kerja yang sekarang tidak boleh ditinjau ulang, tetapi kita butuh pendekatan yang lebihpunya nuansa. Jawaban terbaiknya terletak pada penganutan kerangka kerja diagnostik berbasis luas yangberupaya untuk memahami cara operasi pasar kerja Indonesia dengan cara membangun premis bahwa baikfaktor tarikan permintaan maupun tekanan biaya memengaruhi hasil pasar kerja.

2828282828

Menyatakan Strategi Ketenagakerjaan Nasional untuk Indonesia

2929292929

Sejauh ini, diskusi kita telah berupaya menyoroti tujuan dan sasaran dari pasar kerja Indonesia dantelah berusaha mengidentifikasi penentu-penentu hasil pasar kerja. Bagian ini sekarang melakukan tinjauankebijakan dan program dan mengaitkannya dengan tujuan dan sasaran serta kerangka diagnostik yangdiajukan oleh pasar kerja. Untuk memperjelas, tujuan besarnya adalah penyediaan pekerjaan yang layak danproduktif bagi semua orang Indonesia yang mau dan bisa bekerja dan kondisi di mana agenda kerja yanglayak dapat memungkinkan para pembuat kebijakan untuk mencapai pengurangan kemiskinan yangberkelanjutan. Kebijakan dan program apakah yang mendukung tujuan fundamental ini? Sudahkah digariskanberdasarkan kerangka kerja diagnostik yang terspesifikasi dengan baik? Seberapa efektif? Apa yang perluberubah? Isu-isu ini memandu keseluruhan sisa diskusi.

Dalam mendiskusikan kebijakan dan program, perbedaan yang luas perlu dibuat antara kebijakan makroekonomi, sektoral dan pasar kerja. Kebijakan makro ekonomi dan sektoral memengaruhi pola-pola pekerjaandan tren melalui saluran pertumbuhan, sementara kebijakan pasar kerja terkait dengan campuran antaraintervensi ’pro-aktif’ dan ’reaktif’ yang berupaya untuk mengubah hasil-hasil yang ditentukan pasar danberupaya untuk memengaruhi perubahan dalam tuntutan pekerja dan suplai pekerja demi merespon padakeharusan-keharusan transformasi industrial. Penekanan dalam bagian ini adalah dalam hal kebijakan pasarkerja tetapi dengan pengamatan yang luas juga.

Dalam membingkai kebijakan dan program yang tergantung pada pasar kerja, seseorang perlumembedakan antara paradigma non-intervensionis (NP) dan paradigma aktivis (AP). Dalam versi ketat NP,penekanannya ada pada perbaikan iklim usaha demi meningkatkan investasi yang akhirnya akanmenggerakkan pertumbuhan dan mengarah pada penciptaan pekerjaan berbasis luas. Pasar kerja yangkaku dilihat sebagai penghambat utama bagi perbaikan iklim usaha. Jadi, kebijakan pekerjaan yang baikadalah yang diarahkan pada upaya peningkatan fleksibilitas pasar kerja. Peranan kebijakan makro ekonomiadalah untuk mempertahankan stabilitas harga melalui kebijakan-kebijakan moneter dan fiskal, sementarakebijakan-kebijakan sektoral harus berupaya memperbaiki lingkungan peraturan (misalnya melalui reformasikebijakan perdagangan, pengurangan hambatan untuk masuk ke berbagai industri) yang mendorong investasibaru.

AP mengenali pentingnya pertumbuhan dalam penciptaan pekerjaan, namun berargumen bahwa halitu membutuhkan lebih dari sekadar penekanan pada perbaikan iklim usaha yang menekankan padafleksibilitas pasar kerja dan dengan meningkatkan kualitas lingkungan perundang-undangan. Tujuan yang

4.4.4.4.4. Kebijakan dan Program33

33 Bagian ini diangkat dari World Bank [2007], UNESCAP [2007], MENKO-EKONOMI [2007], ILO [2007] dan I. Islam dan A. Chowdhury[2007]. Lihat World Bank [2007] ‘Indonesia: Economic and Social Update’, November, Jakarta; UNESCAP [2007] ‘Indonesia: PublicPrivate Partnership for Infrastructure Development’, High Level Expert Group Meeting, 1-3 Oktober, Republik Korea; MENKO-EKONOMI[2007] ‘Indonesia: Macroeconomic Update and Progress on Structural Reform’, Jakarta, 25 September; I. Islam dan A. Chowdhury[2007] ‘Growth, Employment and Poverty Reduction: The Case of Indonesia’, July, Geneva, ILO; ILO [2007] ‘Social Security in Indonesia:Advancing the Development Agenda’, Oktober, Jakarta dan Geneva

3030303030

Menyatakan Strategi Ketenagakerjaan Nasional untuk Indonesia

besar dari penyediaan pekerjaan yang layak dan produktif bagi semua membutuhkan pengenalan denganjaminan bahwa kerangka kerja kebijakan makro ekonomi mendukung tujuan ganda dari stabilitas harga danpekerjaan penuh. Investasi adalah jelas faktor utama untuk mempertahankan pertumbuhan, tetapi demikianpula halnya dengan inisiatif untuk memperbaiki faktor produktivitas melalui, misalnya, perbaikan keterampilanangkatan kerja dan investasi dalam infrastruktur. Lebih lanjut, para pekerja dan keluarganya perlu dibantuuntuk bisa bertahan menghadapi risiko pasar kerja.

Kerangka kerja kebijakan yang ada membawa ciri intelektual NP, tetapi kita juga dapat mendeteksiunsur AP, khususnya dalam domain pasar kerja, jaminan sosial dan kebijakan pengurangan kemiskinan dandalam komitmen yang diperbarui untuk investasi di bidang infrastruktur. Tujuannya untuk menjamin bahwapendekatan yang konsisten dan koheren sudah dikembangkan.

Keseluruhan kerangka kerja kebijakan: Inpres 6/2007

Banyak departemen yang berbeda sudah memiliki program dan kebijakan tertentu untuk menciptakanpekerjaan, namun kerangka kerja yang terpadu dan terkoordinasi masihlah kurang di Indonesia. Mengenalikekurangan ini, pemerintah telah berupaya mengharmonisasikan beberapa elemen kerangka kebijakannyayang berbeda. Hal ini tercermin dalam pengumuman paket kebijakan ekonomi terpadu (Inpres No.6/2007)yang ingin mengonsolidasikan inisiatif-inisiatif kebijakan yang sebelumnya diumumkan secara terpisah. Kiniada empat bidang yang luas: (1) peningkatan iklim investasi; (2) reformasi sektor keuangan; (3) akselerasipembangunan infrastruktur; (4) pemberdayaan usaha mikro, kecil dan menengah atau UKM. (1) –(3) diharapkanmendorong keseluruhan pertumbuhan, sementara (4) lebih dekat dengan penciptaan pekerjaan dan kebijakanpengurangan kemiskinan.

Pemerintah telah memfokuskan diri pada tingkat pelaksanaan/pemenuhan. Targetnya akan selesai 180aksi kebijakan sampai tahun 2007. Pemerintah mengklaim bahwa sampai Agustus 2007, 80 persen dari aksikebijakan yang diusulkan akan selesai, dengan kebanyakan kemajuan untuk meningkatkan iklim investasi(lebih dari 90 persen) dan perkembangan yang terkecil dalam pemberdayaan UKM (sekitar 65 persen).

Istilah perbaikan iklim investasi melalui tindakan kebijakan tertentu nampak dipengaruhi oleh survei“Doing Business” dari Bank Dunia. Kita ingat bahwa Indonesia ketinggalan jauh dalam hal norma regionaldan global menurut keseluruhan ’indeks kemudahan berbisnis’ dari Bank Dunia. Jadi, ragam upaya dilakukanuntuk memperbaiki pembukaan bisnis dan prosedur lisensi serta peningkatan efisiensi pengurusan pajak.Hal ini dilengkapi dengan upaya untuk: menerapkan prinsip perlakuan setara bagi semua investor,darimanapun asal negaranya, meningkatkan keamanan hak-hak atas tanah dan perkebunan, merasionalisasiperaturan perundangan daerah dan menyediakan insentif fiskal.

Tindakan kebijakan berkaitan dengan sektor finansial bertujuan untuk mengkonsolidasikan stabilitasfinansial, memperbaiki intermediasi keuangan dan peraturan yang bijak. Kesemua upaya ini merupakanpeninggalan respon terhadap krisis finansial yang diartikan secara luas sebagai setidaknya bagian dari hasilkelemahan sistemik dalam sektor finansial. Harapannya adalah bahwa tindakan kebijakan saat ini akanmemperkuat ketahanan ekonomi Indonesia untuk krisis finansial masa mendatang.

Krisis finansial 1997 juga menandai perubahan pengeluaran pemerintah dalam sektor infrastruktur dansosial. Sebelum krisis, pengeluaran infrastruktur publik adalah sekitar 5-6 persen dari PDB dan sejak saat ituturun menjadi 3-4 persen dari PDB. Hal ini menghambat tingkat akses ke air bersih, energi, dan jasa sanitasisampai ke titik di mana Indonesia gagal memenuhi target MDG untuk akses jasa sanitasi dasar. Juga disadaribahwa kegagalan mempertahankan investasi untuk infrastruktur publik juga memengaruhi pertumbuhan

3131313131

secara negatif, sehingga kapasitas pemerintah untuk memenuhi penciptaan pekerjaan dan mencapai sasaranpengurangan kemiskinan juga terganggu.

Pentingnya investasi infrastruktur dalam kerangka kerja kebijakan pemerintah telah tercermin dalampertemuan tingkat tinggi infrastruktur 2005 yang membuat komitmen untuk investasi jalan, suplai air, energi,telekomunikasi dan infrastruktur dasar lain. Target saat ini adalah untuk menghabiskan 80,1 miliar US$ untukpengeluaran infrastruktur baru jangka menengah, menggunakan kerangka kerja kemitraan sektor publik-swasta, dengan harapan bahwa sektor swasta akan memainkan peranan keuangan yang besar.

Pemberdayaan usaha mikro dan UKM umumnya telah mengambil bentuk pengaruh terhadap prosesalokasi kredit di sektor ini, melalui jaminan kredit dan tingkat pinjaman yang efektif biaya. Beberapa unitsektor swasta telah direkapitalisasi sehingga mereka bisa masuk dalam program bail-out yang memengaruhilebih dari 100,000 perusahaan mikro dan UKM. Harapannya adalah bahwa meskipun program bail-out hanyasukses sebagian, unit-unit yang terevitalisasi bisa menjadi sumber yang bermanfaat untuk menciptakanlapangan kerja. Secara keseluruhan, targetnya adalah perluasan UKM – melalui kredit baru dan bentuk-bentuk dukungan finansial lain – dari 3,28 juta unit yang mempekerjakan lebih dari 8 juta pekerja hingga 3,9juta unit yang memperkerjakan lebih dari 10 juta pekerja hingga tahun 2009.

Selain itu, beragam inisiatif dalam kebijakan industri dan perdagangan juga diharapkan dapat melengkapipertumbuhan UKM. Termasuk diantaranya inisiatif kebijakan untuk mendorong kaitan antara perusahaan-perusahaan besar dan kecil serta pengembangan industri prioritas yang padat karya melalui mesinpemerintahan regional yang bekerja bersama dengan bantuan pemerintah pusat.

Singkatnya, pemerintah Indonesia telah melakukan upaya yang patut dipuji untuk mengharmonisasikanberagam inisiatif kebijakan dibawah paket yang kini terpadu. Perlu dikatakan bahwa sejauh ini penekanannyaada pada penetapan sasaran dan penyelesaian tindakan-tindakan kebijakan ini. Hanya sedikit upaya dilakukanuntuk menawarkan kerangka kerja evaluasi yang komprehensif bagi kebijakan-kebijakan ini. Sebagaiditekankan dalam Agenda Tenaga Kerja Global ILO (GEP), yang dibutuhkan adalah kejelasan strategi tenagakerja nasional yang diumumkan yang memetakan mekanisme-mekanisme yang mungkin untuk mencapaitujuan ganda penciptaan pekerjaan yang layak dan mengurangi kemiskinan. Efektivitas kebijakan kemudianperlu dinilai berdasarkan berhasil tidaknya pencapaian tujuan-tujuan tersebut. Beberapa kasus negara kinijuga tersedia dalam jangkauan GEP – mulai dari China hingga Ghana – yang bisa dipelajari oleh para pembuatkebijakan di Indonesia dengan wawasan untuk mengambil ide-ide ‘praktik terbaik’ sampai persyaratan-persyaratan yang khusus. 34 Prinsip-prinsip yang berjalan, yang terbaik adalah yang berkaitan dengan ‘integrasi’(yakni kebijakan-kebijakan terpadu dengan tujuan-tujuan mendasar untuk penciptaan pekerjaan yang layakdan pengurangan kemiskinan) serta ‘inclusion/pengikutsertaan’ (yakni kebijakan yang dibangun atas dasardialog berkelanjutan dengan para pemangku kepentingan dalam masyarakat). Seperti telah dicatat olehmakalah ini, bahwa penekanan pemerintah Indonesia untuk mengurangi tingkat pengangguran terbukapada tingkat agregat kelihatannya keliru karena memiliki relevansi terbatas pada penciptaan pekerjaan yanglayak maupun pengurangan kemiskinan yang berkelanjutan. Tambahan lagi, perlu diambil tindakan yanglebih besar untuk mengambil pendekatan konsultatif di mana semua pemangku kepentingan yang penting– pemerintah, pengusaha dan asosiasi pekerja – berpartisipasi dalam menyusun strategi tenaga kerja nasional.Tidaklah jelas bagaimana paket terpadu pemerintah yang sekarang mencerminkan periode sebelumnyayang berdasarkan consensus dengan mitra-mitra sosialnya.

34 Lihat ILO [2007] ‘Implementation of the Global Employment Agenda: Update’, March, ILO Governing Body, Committee on Employmentand Social Policy, 298th session

3232323232

Menyatakan Strategi Ketenagakerjaan Nasional untuk Indonesia

Perpaduan kebijakan makro ekonomi

Selama krisis finansial 1997, kebijakan makro ekonomi telah ditandai dengan penargetan inflasi melaluipenyesuaian tingkat suku bunga secara berkala dalam bidang kebijakan moneter serta konsolidasi fiskaluntuk menangani beban hutang yang diakibatkan oleh krisis dalam kebijakan fiskal. Meskipun penekananpenargetan inflasi telah dipertahankan, tahun-tahun belakangan kita lihat pergerakan yang lebih besar untukmenggunakan kebijakan fiskal demi mendukung defisit anggaran yang rendah terkait dengan peningkatanpengeluaran bebas untuk mendanai komitmen untuk pembangunan infrastruktur dan sektor sosial.Keuntungan yang besar dari peningkatan tajam harga minyak telah memungkinkan pemerintah untukmenambah pengeluaran bebasnya, sementara perbaikan yang besar dalam hal ukuran hutang publik telahmemungkinkan pemerintah untuk mengendurkan perhatiannya dalam hal konsolidasi fiskal. Selain itu, adapula restrukturisasi keuangan publik. Ini terkait dengan pengurangan subsidi bahan bakar yangmemungkinkan pemerintah untuk menambah sumber-sumber fiskalnya untuk pengeluaran kebijakanpengurangan kemiskinan.

Kekhawatiran utamanya adalah apakah posisi fiskal yang ada kini terlalu konservatif dibandingkandengan target ganda pemerintah untuk memotong separuh pengangguran agregat serta insiden kemiskinan.Di sisi lain, karena inersia kelembagaan, bahkan alokasi anggaran saat ini belum sepenuhnya dipergunakanoleh pemerintah-pemerintah daerah. Namun demikian, apakah kesalahan posisi fiskal membutuhkan kehatian-hatian masih perlu dinilai berdasarkan kebutuhan-kebutuhan finansial akan tujuan serta sasaran yang kunci,termasuk diantaranya pencapaian MDG. Di sinilah di mana kerangka kerja pemantauan dan evaluasi yangtepat diperlukan. Lebih jauh lagi, ketahanan fiskal jangka panjang yang diarahkan pada pendanaan penciptaanlapangan kerja dan pengurangan pengangguran mengharuskan Indonesia yang sekarang memiliki rasiopajak dengan PDB yang rendah – yang saat ini ada di tingkat 12 persen – untuk meningkatkannya.

Kelihatannya kewenangan moneter masih sibuk dengan penargetan inflasi. Ini menimbulkan keteganganantara tujuan stabilitas harga dan pekerjaan dengan pengentasan kemiskinan. Contoh yang baik adalahbahwa peningkatan tajam dalam tingkat inflasi di tahun 2005 telah melompat tajam lebih dari 15 persen. Inidikombinasikan dengan penurunan sementara dalam PDB per kwartal di tahun 2004. Konsekuensinya adalahpeningkatan tajam kemiskinan antara tahun 2005 dan 2006. Tekanan-tekanan inflasi kelihatan di luar sifattekanan harga, dengan inflasi harga makanan dan energi memainkan peranan penting. Lebih-lebih lagi,peningkatan harga makanan dan energi telah disebabkan oleh faktor-faktor struktural dan merupakan bagiandari fenomena global.35 Namun, pihak moneter yang berwenang merespon selama ini dengan pengetatantingkat suku bunga, karena Bank Indonesia diharuskan untuk menargetkan inflasi 5-7 persen dalam jangkamenengah. Penyesuaian tingkat suku bunga tidak bisa sungguh merespon masalah peningkatan hargamakanan. Kelompok-kelompok yang rentan dalam masyarakat – entah para operator bisnis kecil ataumasyarakat biasa – dengan demikian mengalami tekanan besar yang dobel dari harga kredit yang tinggidan harga makanan yang tinggi.

Tujuan penargetan inflasi seperti yang sekarang dipraktikkan mungkin perlu ditinjau ulang. Tidak jelasbagaimana penargetan inflasi ditentukan. Norma historisnya bagi Indonesia adalah tingkat inflasi sekitar 10persen yang terjadi selama masa-masa pertumbuhan tinggi selama ini.

Dua isu lain juga memerlukan perhatian. Pertama, tantangan kebijakan di negara-negara berkembangadalah ketidakstabilan makro ekonomi yang dapat menekan pertumbuhan dan pengurangan kemiskinan.

35 Pakar Australia mengatakan bahwa akan ada kekurangan makanan secara global yang sebagian besar akan disebabkan olehpermintaan internasional akan biji-bijian untuk membuat bio-fuel. Lihat P.Syvret [2007] ‘Fuel Quest may Create Food Crisis’, Courier-Mail, 28 November.

3333333333

Penargetan inflasi adalah fenomena yang relatif baru di Indonesia. Masih perlu dilihat apaka pendekatanbaru ini akan sungguh mendorong stabilitas makro ekonomi yang lebih stabil. Kedua, campuran kebijakanmakro ekonomi belum mampu menghambat apresiasi nilai tukar – ditandai dengan surplus current dancapital account dalam balance of payment – yang telah mengikis daya saing Indonesia dalam hal eksporpadat karya.

Kebijakan pasar kerja: strategi ‘reaktif’ dan ‘proaktif’

Perlu dibedakan di sini antara kebijakan ‘reaktif’ dan ‘proaktif’ yang bertalian dengan pasar kerja.Kebijakan ‘reaktif’ bertujuan untuk menekan hasil-hasil yang ditentukan oleh pasar, yang dianggap parapembuat kebijakan sebagai tidak diinginkan. Jadi, misalnya, kebijakan upah minimum umumnya bisa dilakukanatas dasar bahwa upah yang ditentukan oleh pasar terlalu rendah dan tidak dapat mempertahankan kehidupanrata-rata pekerja dan keluarganya. Ukuran-ukuran tertentu – seperti penyediaan pekerjaan jangka pendekmelalui program berbasus tujuan – mungkin bisa dilakukan untuk menghadapi risiko pasar kerja. Yang laindapat fokus pada kelompok-kelompok tertentu, seperti perlindungan kondisi kerja bagi pekerja migrant.Kebijakan ‘proaktif’ bertujuan untuk memengaruhi perubahan dalam permintaan dan suplai pekerja demimerespon kebutuhan transformasi industrial. Contoh-contoh yang biasa mencakup perbaikan sistempendidikan dan pelatihan yang menghasilkan angkatan kerja yang terampil dan bisa beradaptasi.

Kebijakan ‘reaktif’ dan ‘proaktif’ keduanya dibutuhkan. Yang satu tidak bisa menggantikan yang lain.Tambahan lagi, kebijakan pasar kerja dapat melengkapi, tetapi tidak dapat menggantikan kebijakan makroekonomi dan sektoral yang tepat. Sisa diskusi kemudian meninjau kebijakan upah minimum, ukuran-ukuranjaminan sosial, termasuk inisiatif penciptaan pekerjaan jangka pendek dan kebijakan ’proaktif’ untukmenumbuhkan angkatan kerja yang lebih produktif.

Kebijakan upah minimum, tunjangan wajib dan hubunganindustrial

Makalah ini telah mengakui bahwa upah minimum telah meningkat tajam dalam tahun-tahun terakhir,tetapi ini tidak berarti bahwa hal ini adalah faktor utama di belakang lemahnya pasar kerja di Indonesia.Namun demikian perlu ada penilaian yang hati-hati tentang penyesuaian biaya hidup yang digunakan untukmendukung kenaikan upah minimum dengan cara memberi perhatian lebih pada kondisi makroeknomi,khususnya dalam hal dampaknya pada penciptaan pekerjaan. Upah minimum dapat diartikan sebagai tolakukur untuk tujuan tawar menawar dan bukannya sebagai instrumen wajib. Satu cara untuk melakukannyaadalah dengan memperkenalkan konsep ‘upah hidup’ yang melacak insiden ‘orang miskin bekerja’. ‘Upahhidup’ macam ini kemudian menentukan tolak ukur untuk negosiasi tingkat upah di level perusahaan.36

Makalah ini juga mencatat bahwa tunjangan-tunjangan wajib, khususnya kewajiban pembayaranpesangon yang terlalu murah hati, telah menjadi sumber keprihatinan yang besar bagi banyak pengamat.Satu cara untuk merespon keprihatinan ini adalah dengan mempertimbangkan kemungkinan pengusulanskema Asuransi Tunjangan Pengangguran. Pengujian aktuarial awal menunjukkan bahwa 4% kontribusi upahdapat menyediakan tunjangan pengangguran 70% upah selama 25 minggu per tahun. Dampaknya bagi

36 Suatu prototype ‘upah hidup’ sudah ada di Indonesia. Tujuannya adalah untuk keluar dari pendekatan formula yang mengaitkanistilan ‘upah hidup’ pada penyesuaian upah minimum wajib menuju kerangka kerja yang lebih fleksibel dan berorientasi tolak ukur.

3434343434

Menyatakan Strategi Ketenagakerjaan Nasional untuk Indonesia

pengusaha dapat diminimalisir bila kontribusinya dibagi dengan pekerja dan bila tunjangan pesangondikurangi karena hal ini akan digantikan secara substansial oleh tunjangan pengangguran.37

Upah minimum dan tunjangan wajib memang bagian yang penting, tetapi hanya satu bagian, darikeseluruhan sistem hubungan industrial. Kelazimannya adalah bahwa hubungan industrial saat ini (dankarenanya Standar Ketenagakerjaan Pokok (Core Labor Standard) yang dianut pemerintah Indonesia sejak1999) cenderung untuk menaikkan biaya pekerja diatas produktivitas dan karenanya mengurangi daya saing,tidaklah didasarkan atas bukti. Berkaitan dengan Standar Ketenagakerjaan Pokok, studi baru-baru inimenyimpulkan bahwa tidak ada bukti yang solid untuk mendukung yang disebut ‘kelaziman’ bahwa investorluar negeri lebih menyukai negara-negara dengan standar pekerja yang lebih rendah, karena semua buktisignifikansi statistik mengarah ke arah yang berlawanan. 38 Penemuan ini diperkuat dengan studi lain yangmenyimpulkan bahwa bukti internasional yang mendukung deregulasi dan pasar fleksibel akan memberikanhasil-hasil penyediaan pekerjaan yang lebih baik dari pasar kerja yang lebih terlembaga sebenarnya rapuh.39

Penganutan Standar Ketenagakerjaan Pokok sebaiknya dilihat sebagai bagian yang integral dari tanggungjawab sosial perusahaan. Memperlakukan pekerja dengan baik dan menghormati hak-haknya menunjukkantindakan terpuji dari komunitas pengusaha karena mereka meningkatkan solidaritas sosial dan membantuharmoni industri. Lebih-lebih lagi, jika hubungan industrial yang baik membantu menghilangkan diskriminasidi tempat kerja, hal ini dapat menciptakan peluang-peluang baru bagi kelompok-kelompok yangtermarjinalisasi – termasuk perempuan dan masyarakat adat – sehingga terjadi peningkatan keseluruhanpartisipasi pasar kerja. Dengan demikian seseorang dapat berkata bahwa para pembuat kebijakan di Indonesiasebaiknya menekankan pada pentingnya peningkatan sistem hubungan industrial yang ramah pertumbuhantanpa secara serampangan mengangkat ageda fleksibilitas pasar kerja.

Perlindungan sosial

Istilah perlindungan sosial meliputi bantuan sosial (umumnya disponsori pemerintah, tidak memerlukankontribusi dan dirancang untuk memenuhi kebutuhan dasar dan bukannya kebutuhan tertentu) dan asuransisosial (di mana pekerja dan pengusaha membuat kontribusi asuransi bagi kejadian hidup tertentu). Sistemperlindungan sosial juga terkait dengan istilah jaring pengaman sosial (social safety nets). Jaring pengamansosial ini terkait dengan kebijakan jangka pendek, dibatasi waktu, yang dirancang untuk menghadapipenyesuaian struktural dan ekonomi seperti misalnya transisi dari ekonomi terpimpin ke ekonomi pasar dandampak buruk dari krisis ekonomi seperti yang terjadi di Asia Timur tahun 1997. Tujuan ganda dariperlindungan sosial adalah untuk melindungi dari kemiskinan dan mengurangi kerentanan.

Agenda perlindungan social di Indonesia: laporan kemajuan

Agenda kebijakan saat ini adalah untuk menyediakan perlindungan sosial bagi semua orang di akhirmasa transisi 10-15 tahun. Agenda ini juga berupaya menyediakan kontribusi jaminan sosial bagi semuapekerja termasuk yang bekerja di sektor-sektor formal, perkotaan dan informal pedesaan. Perkembangan

37 Misalnya estimasi besaran yang serupa untuk Indonesia dan negara-negara Asia lain, lihat Eddy Lee [1998] The Asian crisis: thechallenge of social policy, Geneva, ILO and W. Vroman (1999) ‘Unemployment and unemployment protection in three groups ofcountries, Social Protection Discussion Paper 9911, May, Washington DC, World Bank

38 David Kucera, [2002] ‘Core labour standards and foreign direct investment’, International Labour Review, 141, (1-2), hal 31-70.39 Dean Baker, et al [2002] ‘Labour market institutions and unemployment: a critical assessment of the cross-country evidence’, CEPA

working paper no.2002-17, New York, New School University

3535353535

penting dalam hal ini adalah Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional yang dianut bulan Oktober2004. Meskipun ada pencapaian ini, rencana implementasi yang rinci masih belum ada. Di sisi lain, bantuansosial yang menargetkan kaum miskin telah mendapatkan perhatian cukup besar dalam tahun-tahun terakhirini. Skema-skema bantuan sosial ini, yang termasuk pula Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM),asuransi kesehatan dan skema transfer tunai secara kondisional, sempat ditinjau. Skema jaminan pekerjaannasional yang bereputasi baik juga sempat didiskusikan.

PNPM adalah program replikasi nasional dari program pengembangan komunitas/desa yang diluncurkanbulan Agustus 2006 dan diterapkan melalui mekanisme pemerintahan daerah. Pemerintah telahmengalokasikan sekitar 4,5 miliar dollar untuk program ini dan tetap berkomitmen untuk melanjutkanoperasinya, karena evaluasi positif bahwa hal ini telah membantu mengurangi pengangguran dan kemiskinan.Secara khusus, jutaan orang Indonesia telah punya akses 60 hari kerja. Namun, evaluasi yang sama jugamencatat keterbatasannya: hal ini hanya menangani kerentanan manakala keluarga dengan pekerja tidakterampil dan semi terampil membutuhkan pekerjaan. Program ini tidak bisa menggantikan pekerjaan penuh-waktu dan pekerjaan produktif yang sebenarnya penting untuk mengurangi kemiskinan jangka panjang.40

Perkembangan terkini adalah komitmen oleh pemerintah Indonesia untuk merancang dan menerapkan‘National Employment Guarantee Program (NEGP)’. Program ini diangkat dari pengalaman keberhasilanmodel Maharashtra India untuk mengaitkan kontur dasar NEGP. Studi desain NEGP dipimpin oleh seorangpakar India dan disponsori oleh ILO.41 Tujuannya adalah untuk menjadikan sasaran 15 juta rumah tanggamiskin dan hampir miskin dengan pengeluaran tahunan Rp 31,9 triliun (atau 3.2 miliar dollar atau 2,3 dolarper orang per hari). NEGP punya beberapa tujuan:

Penyediaan pekerjaan bagi kaum miskin, khususnya di daerah pedesaan dan terpencil selama maksimumtiga bulan per tahunFormasi aset komunal yang produktifPenciptaan kesempatan bagi pengembangan sumber daya manusia untuk pekerja yang berpartisipasidan rumah tangganya.

NEGP, ketika diterapkan, diharapkan untuk dipimpin oleh Dewan Nasional yang diketuai oleh Bappenas.Badan lain dari pemerintah pusat dan daerah diharapkan untuk terlibat dekat, dengan penerapan programdi tingkat distrik. Skema ini diharapkan untuk didanai oleh pajak umum dan tertentu. Meskipun pemerintahpusat akan paling bertanggung jawab atas pendanaan NEGP, level pemerintahan yang lain dan sektor swastajuga diharapkan untuk terlibat dalam pendanaannya.

Jelas bahwa ada tumpang tindih yang cukup besar antara PNPM dan NEGP. Perbedaan utamanyakelihatannya ada pada target yang lebih ambisius (90 hari, dan bukannya 60 hari, untuk bekerja) danpengudusan prinsip hak-hak wajib dalam akses pekerjaan jangka pendek. Kelihatannya karena nama ‘merek’PNPM yang sudah lebih mantap dan komitmen politik yang bertahan di belakangnya, NGEP bisa jadi akanmenjadi bagian dari PNPM.

Ada juga perkembangan yang menjanjikan dalam cakupan asuransi kesehatan bagi orang miskin. Parapemegang kartu kesehatan berhak atas perawatan gratis di pusat-pusat kesehatan publik dan rumah sakit.Pada tahun 2007, 76,4 juta orang mewakili sekitar 35 persen dari penduduk Indonesia yang memiliki aksesperawatan kesehatan gratis di fasilitas publik, suatu tingkat akses yang melebihi target cakupan untuk 60juta orang.

40 Gustav F. Papanek [2007], “Employment and the PNPM Program”, Jakarta: The World Bank41 Sarthi Acharya [2004] ‘A National Employment Guarantee Program for Indonesia’, ILO and BAPPENAS, Jakarta

3636363636

Menyatakan Strategi Ketenagakerjaan Nasional untuk Indonesia

Pemerintah Indonesia juga telah memperkenalkan program transfer tunai bersyarat dengan memodifikasiprogram yang sudah ada. Program ini menargetkan rumah tangga dengan anak-anak berusia hingga 15tahun. Rumah tangga tersebut akan menerima tunai (untuk periode maksimum enam tahun) tanpa syaratasalkan orang-orang muda di rumah tangga tersebut sehat dan bersekolah.

Semua program yang ditinjau sejauh ini berada dalam rubrik bantuan sosial yang menargetkan kaummiskin. Kesemuanya merupakan inisiatif yang patut dipuji dan nampak memiliki cakupan yang ekstensif.Yang dibutuhkan adalah evaluasi yang dirancang dengan baik, sesuai dengan yang dilaksanakan untukPNPM, yang bisa digunakan untuk menaksir keefektifannya dan untuk memperbaiki desain program danpelaksanaannya. Program bantuan pro-orang miskin, namun, tidak bisa bertindak sebagai pengganti programasuransi sosial komprehensif yang formal, demikian pula program ini tidak bisa menjadi penggantiketersediaan pekerjaan penuh waktu yang produktif bagi semua orang Indonesia.

Kebijakan pasar kerja pro-aktif: menciptakan angkatan kerjayang bisa beradaptasi dan terampil

Pengangguran kaum muda merupakan kekhawatiran utama pemerintah Indonesia dan pengentasanmasalah ini adalah salah satu sasaran MDG. Seperti dicatat, Indonesia kelihatannya tidak bisa mencapaitarget ini hingga 2015. Pemerintah telah merespon pada tantangan pengangguran kaum muda ini melaluiinisiatif yang difokuskan pada peningkatan kewirausahaan kaum muda. Inisiatif-inisiatif ini bermanfaat, tetapisalah satu cara untuk menghadapi fenomena ganda kaum muda ‘yang belum digarap’ dan ‘belum dipakaisepenuhnya’ adalah untuk menerapkan kebijakan pasar kerja ‘proaktif’ melalui intervensi dalam sistempendidikan dan pelatihan dan dengan menyiapkan kaum muda untuk transisi menuju dunia kerja. Hal inidapat meningkatkan kemungkinan kaum muda untuk bekerja dan karenanya meletakkan dasar bagi angkatankerja yang bisa beradaptasi dan terampil.

Tujuan penyediaan pekerjaan yang layak dan produktif bagi kaum muda perlu untuk sejalan denganneksus kemiskinan-pendidikan. Bukti yang ada menunjukkan bahwa 87 persen orang miskin di Indonesiapunya pendidikan dasar atau kurang dari itu. Dengan semata-mata meningkatkan pendidikan kepala keluargamenjadi SMP dapat diasosiasikan dengan penurunan tingkat kemiskinan dari 30 persen menjadi 17 persen.42

Statistik yang ada juga menunjukkan bahwa 62 persen dari orang miskin berumur dibawah 30 tahun.43

Korelasi yang kuat antara pendidikan dan kemiskinan dan antara usia dan kemiskinan berarti tertentubagi kebijakan. Pertama, bahwa semua orang Indonesia perlu memiliki pendidikan setidaknya SMP – targetyang sudah diterima oleh pemerintah Indonesia. Target ini juga sesuai dengan komunitas internasional yangmengakui kebutuhan akan “pendidikan bagi semua”44. Hal ini akhirnya menyoroti tantangan kebijakan yangutama: bagaimana memastikan partisipasi yang luas bagi kaum miskin dalam sistem pendidikan dan pelatihan.

Korelasi yang kuat antara usia dan kemiskinan menunjukkan kebutuhan akan pendekatan siklus hidupuntuk pengurangan kemiskinan: menargetkan pada keluarga miskin dengan sejumlah besar anak dan kaummuda dalam masa transisinya dari sekolah menuju kerja. Jaminan akses akan pendidikan yang berkualitas

42 Buktinya ditinjau dalam Islam, I [2002] “Poverty, employment and wages: an Indonesian perspective”, laporan dipersiapkan untukDepartemen Pemulihan dan Pembangunan Kembali, Jenewa.

43 Nexus usia-kemiskinan didasarkan pada tabulasi khusus Survei Sosial Ekonomi Nasional 2002 (SUSENAS) yang dengan baiknyadisediakan kepada kantor ILO Jakarta oleh Badan Pusat Statistik (BPS)

44 Mingat dan Winters [2002) menarik perhatian pada kebutuhan akan ‘pendidikan bagi semua’ sampai tahun 2015 – ini adalah tujuanyang ditetapkan oleh 180 negara dalam Forum Pendidikan Dunia di Dakar, Senegal tahun 2000. Tujuan tersebut adalah kelanjutanagenda yang ditetapkan tahun 1990 dalam World Conference on ‘Education For All’ yang diselenggarakan di Thailand. Lihat Mingat,A and Winter, C [2002] “Education for all by 2015”, Finance and Development, 39 (1).

3737373737

dan keterampilan yang relevan adalah penting untuk mematahkan pola kemiskinan antar generasi danuntuk mengurangi kerentanan serta kesementaraan kemiskinan yang banyak dialami banyak perempuandan laki-laki muda dalam proses transisi dari sekolah menuju kerja.

Pendidikan dasar

Keseluruhan investasi dalam pendidikan sebagai proporsi PDB di Indonesia tetaplah salah satu yangterendah di Asia dan di negara-negara dengan tingkat pendapatan nasional yang serupa.45 Sama pentingnyaadalah bahwa Indonesia tidak hanya menginvestasikan sedikit saja untuk pendidikan, yang dilakukannyapun tidak cukup dipergunakan. Jadi, meskipun peningkatan investasi dalam pendidikan harus menjadi tujuanutama bagi negara yang ingin naik ke tingkat pembangunan yang lebih tinggi, hal ini tidak dapat memberihasil nyata tanpa pertama-tama memperbaiki pengelolaan, efektivitas dan kualitas sistem pendidikanterdesentralisasinya yang terkini. Lebih-lebih lagi, untuk mencapai tujuan (sembilan tahun sekolah) pendidikandasar universal sampai tahun 2010, diperlukan upaya untuk memperbaiki akses bagi kaum miskin untukmendapatkan pendidikan menengah.

Membuat pendidikan dasar terjangkau bagi kaum miskin

Jelas bahwa tidak memadainya jumlah sekolah-sekolah menengah yang didanai oleh negara adalahhambatan penting. Namun bagi keluarga-keluarga miskin, alasan lain bagi rendahnya tingkat pendaftaransekolah di jenjang kelas menengah adalah biaya pendidikan. Secara teoretis, pendidikan hingga SMP adalahgratis, Namun bukti menunjukkan bahwa orangtua kerap harus mengeluarkan beragam jenis kontribusiuang untuk sekolah – suatu praktik yang berat khususnya bagi yang miskin.46 Misalnya, survei transisi sekolah-ke-kerja menunjukkan bahwa ada lebih dari 40 persen pencari kerja muda dan hampir 60 persen dari orangmuda yang wirausaha setelah selesai sekolah karena alasan-alasan finansial.47 Hal ini entah karena keluargamereka tidak lagi bisa membiayai pendidikannya atau karena mereka diminta untuk membantu menambahpenghasilan bagi keluarganya.

Penghapusan biaya tersembunyi bagi semua dan menurunkan tambahan biaya bagi yang miskin, sepertimisalnya untuk seragam dan buku, sangatlah penting. Beasiswa tersasar juga dapat memainkan perananpenting. Evaluasi Program Beasiswa dan Hibah, satu komponen dari Jaring Pengaman Sosial Indonesia,menunjukkan bahwa hal ini meringankan dampak krisis pada sistem sekolah dan menjaga tingkat pendaftaransekolah.48 Komitmen pemerintah untuk menyediakan bantuan bagi anak-anak usia sekolah serta sekolah-sekolah yang termiskin adalah penting. Perubahan program juga perlu dipertimbangkan. Misalnya,programnya bisa menargetkan tidak hanya mereka yang sudah berpendidikan, tetapi juga dapat menyediakaninsentif keuangan bagi keluarga-keluarga miskin dengan anak-anak putus sekolah, sehingga mereka bisamenjangkau pendaftaran sekolah bagi anak-anaknya.

45 OECD [2002] Education at Glance: OECD Indicators, 2002, Paris: OECD. Data terkini yang dikumpulkan oleh UNESCO menunjukkanbahwa pengeluaran publik sebagai proporsi PDB di Indonesia adalah 1 persen dibandingkan tingkat yang berkisar antara 2,2 persenhingga 8,5 persen di Asia Timur dan Pasifik. Lihat UNESCO [2007] Education for All: Global Monitoring Report, Paris, hal.15

46 Lihat World Bank [2003] “Indonesia: Maintaining Stability, Deepening Reforms”, World Bank Brief for the Consultative Group onIndonesia. SMERU [2001] mencatat kesulitan-kesulitan yang dihadapi orang miskin dalam mendapatkan akses pendikan menengah.Lihat SMERU Newsletter, no.03, May-June. Laporan media juga menyoroti hambatan-hambatan yang cukup sulit yang dihadapikeluarga pada umumnya untuk menyekolahkan anak-anaknya ke jenjang sekolah menengah. Tingkat putus sekolah bagi daerahtertentu di jenjang sekolah menengah adalah hampir 50 persen! Lihat Jakarta Post, 25 Maret 2002. Tren yang lebih baru disorotidalam Jejaring Lapangan Kerja bagi Kaum Muda Indonesia [op.cit].

47 Sziraczki, G and Reerink A [2003] “School-to-Work Transition in Indonesia”, unpublished report, ILO, Oktober48 Hartono, D and Ehrmann, D [2001] The Indonesian Economic Crisis and its Impact on Educational Enrolment and Quality, Trends in

Southeast Asia, No. 7, Institute of Southeast Asian Studies, Singapore, Mei

3838383838

Menyatakan Strategi Ketenagakerjaan Nasional untuk Indonesia

Membuat desentralisasi berfungsi dalam penyediaan pendidikandasar

Desentralisasi mengoper tanggung jawab sistem pendidikan dan pelatikan ke tingkat kabupaten/kota.Ini menawarkan peluang penyediaan jasa yang lebih baik yang disesuaikan dengan kebutuhan setempat,dan untuk meningkatkan partisipasi serta akuntabilitas. Pada saat yang sama, ada banyak tantangan yangtersisa, misalnya keterpisahan yang jelas antara peran pemerintah pusat dan daerah, penetapan jasa minimumdi tingkat nasional, standar kualifikasi dan keterampilan yang diakui. Standar-standar macam ini dapatmembantu secara bertahap untuk mengurangi kesenjangan antara daerah-daerah miskin dan seluruh negeri.Penentuan bagaimana dan di tingkat mana standar minimum ini membutuhkan kolaborasi dekat antarapihak berwenang di pusat dan daerah.

Untuk meningkatkan manajemen sistem pendidikan terdesentralisasi, dibutuhkan peningkatan kapasitasbaik di tingkat kabupaten/kota maupun tingkat pusat/provinsial. Di tingkat provinsi, harus ada perubahanperan dari penyedia langsung menjadi pengatur, pemantau dan fasilitator kualitas, penyedia jasa dukunganpada pihak berwenang yang terkait di tingkat lokal.49 Komite serta dewan-dewan sekolah yang baru terbentuk,yang kini melibatkan tidak hanya para guru dan orang tua tetapi juga pemangku kepentingan lain di komunitaslokal, dapat memainkan peranan penting dalam manajemen akuntabilitas sekolah dan untuk menghasilkankinerja yang lebih baik.

Meningkatkan kualitas pendidikan

Isu penting lain adalah kualitas pendidikan. Bukti menunjukan bahwa pengalaman belajar di Indonesiapada jenjang dasar dan menengah terbilang payah dibandingkan di negara-negara lain di Asia. Hal inikarena infrastruktur, materi pendidikan dan kualitas guru yang buruk.50 Tingkat pengulangan pelajar disekolah dasar hingga kelas 5 (standar dasar untuk mencapai melek huruf) adalah jauh lebih tinggi di Indonesiadibandingkan di negara-negara Asia Timur lain kecuali Kamboja dan Laos. Titik terangnya adalah bahwaanak perempuan punya tingkat ‘bertahan’ (tidak putus sekolah) yang lebih tinggi hingga kelas limadibandingkan anak laki-laki.51 Ada pula masalah penting tentang tidak memadainya kompensasi guru danstaf lain, serta pelatihan dan manajemen guru, termasuk distribusi yang tidak merata antara jenis-jenis sekolahyang berbeda (suatu faktor yang umumnya karena dis-insentif finansial dan profesional). Hasil murninyasecara umum adalah buruknya pengajaran dan karenanya buruknya hasil pengajaran.

Faktor yang penting yang menentukan kualitas pendidikan adalah status dan profesionalisme paraguru yang mengajarkannya. Di Indonesia, tingkat pelatihan sebelum mengajar telah meningkat dalam tahun-tahun belakangan ini, namun kurang dari 50 persen guru-guru jenjang dasar dan menengah yang memenuhipersyaratan minimum. Kualifikasi para guru sekolah swasta tidaklah lebih baik. Penyediaan pelatihan sambilmengajar tidak membantu, dan kini malah akan didesentralisasi dengan hasil yang belum jelas.52 Kesemuanyamenyebabkan pondasi yang goyah bagi kualitas pengajaran.53

49 World Bank [2003] “Indonesia, World Bank, Country Assistance Strategy, FY04-07”, Indonesia Country Unit, October50 World Bank [2003] "EFA in Indonesia: Hard Lessons About Quality", Jakarta: World Bank.51 UNESCO [2003] EFA Global Monitoring Report, 2003/04.52 H. Haribowo, H and M. Ali [2003] "Teacher status and professionalism (Indonesia)", makalah disajikan dalam Seminar tentang status

dan profesionalisme guru, Chiang Mai, Thailand, Agustus.53 Lebih jauh tentang status, kualitas, upah dan kondisi kerja guru, lihat B. Ratteree [2003] “PRSP and education in Indonesia”, Technical

Briefing Note, ILO.

3939393939

Struktur gaji bagi para guru di Indonesia didasarkan pada skala upah pemerintah yang seragam, yangbelum tentu mempertimbangkan kompetensi serta persyaratan khusus yang diperlukan dalam pekerjaantersebut. Lebih-lebih lagi, gaji guru adalah termasuk yang terendah di ASEAN, sehingga sulit untuk menarikdan mempertahankan individu-individu yang terbaik untuk mengajar.54 Jadi diperlukan pertimbangan-pertimbangan untuk meningkatkan gaji guru, dipadukan dengan perbaikan yang substansial untuk statusguru, kompetensi profesional serta materi pengajaran: ini semua adalah tahap-tahap penting menuju tujuanpendidikan yang berkualitas.

Pelatihan teknis dan kejuruan

Penentuan prioritas bagi kebijakan pelatihan teknis dan kejuruan untuk mengurangi kemiskinan diIndonesia perlu mempertimbangkan tingkat keburukan sistem pelatihan di negeri ini dan fakta bahwapendidikan kejuruan serta sistem pelatihan yang efektif membutuhkan lebih banyak sumber dayadibandingkan pendidikan dasar. Secara tradisional, tanggung jawab pemerintah untuk pelatihan adalahtersebar di beberapa departemen. Juga, terdapat kurangnya koordinasi antara penyedia publik dan swasta,serta keterbatasan partisipasi industri dalam kebijakan dan perencanaan; ketiadaan standar dan pengakuannasional, ketergantungan yang berlebihan pada pendanaan dari donor; dan terlalu besarnya fokus padapekerjaan di sektor formal dan pengabaian ekonomi informal. Tambahan lagi, meskipun ada upaya untukmembuat sistem pelatihan lebih responsif, hal ini tetap digerakkan oleh suplai dan terhambat oleh kurangnyapendanaan dan informasi akan pasar kerja. Tidak ada rangkaian studi pelacakan yang dilakukan, sedikitsekali informasi yang tersedia tentang apa yang terjadi pada para lulusan beragam program, bagaimanamereka terserap ke pasar kerja, dan bagaimana pendidikan mereka sesuai dengan kebutuhan bisnis.

Pemerintah Indonesia kini telah memulai proses reformasi sistem pelatihan teknis dan kejuruan. Hal inimelibatkan pembangunan Kerangka Sertifikasi Profesional Nasional, diikuti dengan pengembangan standarkualifikasi keterampilan utama, suatu sistem akreditasi dan pengakuan keterampilan serta pengaturanpendanaan yang baru. Ini adalah tugas besar, yang membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk penerapannya– meskipun ada tanda-tanda kemajuan. Badan sertifikasi independen, yang dibentuk tahun 2005,mencerminkan etos kemitraan publik-swasta dengan 10 anggota dari pemerintah dan 15 dari sektor swasta.

Peningkatan kemitraan antara pendidikan dan bisnis

Pengalaman akan dunia kerja adalah bagian penting untuk persiapan kaum muda memasuki angkatankerja, tidak hanya untuk membentuk karir pendidikan mereka sejak awal tetapi juga untuk memfasilitasitransisi dari sistem pendidikan ke lingkungan tempat kerja di mana dibutuhkan keterampilan baru sertaperilaku yang berbeda. Namun, hanya 38 persen kaum muda yang tercakup dalam survei transisi sekolah-ke-kerja yang ikut dalam program pengalaman kerja sebagai bagian dari pendidikan atau pelatihan mereka.Hasil survei juga mengangkat kekhawatiran serius tentang efektivitas pengalaman kerja sesrta programmagang yang ada. Lebih-lebih lagi, terpisah dari penawaran pengalaman kerja dan program magang,perusahaan-perusahaan yang disurvei jarang punya kerjasama lain dengan sektor pendidikan. Akibatnya,ada ketidakcocokan antara apa yang disediakan pendidikan kejuruan pada kaum muda dan apa yangdiperlukan bisnis dalam hal pengetahuan, keterampilan dan perilaku. Lulusan sekolah yang tidak siap adalahbiaya bagi pengusaha dan hambatan bagi peningkatan produktivitas atau untuk meningkatkan teknologimodern atau produksi.55

54 [2002] Education at Glance: OECD Indicators 2002, Paris: OECD.55 G. Sziraczki and A. Reerink [2003] “School-to-Work Transition in Indonesia”, unpublished report, ILO, Oktober.

4040404040

Menyatakan Strategi Ketenagakerjaan Nasional untuk Indonesia

Dengan kerjasama dekat dengan sekolah, bisnis dapat memastikan bahwa anggota-anggota merekadi masa mendatang dalam angkatan kerja sudahlah siap. Program pengalaman kerja yang efektif membantupelajar untuk melihat hubungan antara belajar dan bekerja, untuk memahami bagaimana pengetahuan danketerampilan tertentu diterapkan dalam konteks dunia nyata, dan untuk mengembangkan perilaku barudan meraih kepercayaan diri. Di luar magang, ada banyak bentuk-bentuk lain untuk menunjukkan padapelajar tentang pekerjaan di dunia nyata seperti program jumpa karir dan magang kerja. Para pengusahadapat pula mendukung pekerjaan guru di beragam bidang, seperti standar teknologi dan industri, sertaupaya pengembangan kurikulum. Organisasi pengusaha memainkan peranan penting sebagai penghubungantara pendidikan dan bisnis.

Program macam itu dapat dibuat sesuai garis industri atau sebagai bagian dari inisiatif pembangunanekonomi lokal. Mereka juga harus menjadi bagian dari upaya yang sedang berjalan untuk mengembangkanpendidikan kejuruan dan pusat-pusat pelatihan yang hebat di tingkat provinsi dan regional – modelkelembagaan yang dapat menawarkan contoh-contoh baik dan pelajaran berharga bagi reformasi sistempelatihan nasional. Semua inisiatif ini perlu memberikan perhatian khusus pada isu kesetaraan gender untukmendorong partisipasi anak-anak perempuan dalam pelatihan untuk menghapuskan segregasi gender dalampendidikan kejuruan yang cenderung untuk menyalurkan anak-anak perempuan ke industri-industri berupahmurah yang didominasi perempuan.

Peningkatan pelatihan bagi perusahaan-perusahaan kecil danpelaksana sektor informal

Adalah sulit untuk menilai bagaimana pendidikan kejuruan memenuhi kebutuhan perusahaan kecildan pelaksana sektor informal karena kurangnya informasi dan data. Hal yang sama berlaku juga padasejumlah besar program khusus yang ada yang menawarkan pelatihan keterampilan dasar dan kewirausahaankepada beragam kelompok target yang berbeda demi memulai kewirausahaan dan membuka bisnis kecil.Yang diperlukan adalah studi pelacak program kejurudan dan pelatihan dan survei terfokus pada ekonomiinformal untuk mengidentifikasi kisah sukses berbiaya murah yang dapat direplikasi dalam skala lebih luas.Hanya studi-studi macam itu dapat menyediakan informasi tentang keterampilan-keterampilan yangdibutuhkan terkait dengan produk, teknologi dan pasar; sumber-sumber akuisisi keterampilan bagi wiraswastaekonomi informal; dan efektivitas program-program kejuruan dan pelatihan termasuk inisiatif berbasiskomunitas.56 Identifikasi kisah sukses dan diseminasi informasi dapat menumbuhkan pembelajaran, membantumereplikasi contoh-contoh yang baik dan meningkatkan inovasi di seluruh negeri.

Mempersiapkan kaum muda untuk memasuki pasar kerja

Menurut survei data terkini, kurang dari 30 persen orang muda yang masih bersekolah, pencari kerjadan orang muda yang berwirausaha menerima saran/konseling tentang peluang kerja/karir.57 Jadi, banyakkaum muda yang punya harapan yang bertentangan dan tidak realistis dan mereka tidak tahu bagaimanacaranya mendapatkan pekerjaan.

56 Untuk detil lebih lanjut, lihat J. W. House [2003] “Decent work deficit in the informal economy in Indonesia”, unpublished report, ILO,Oktober.

57 G. Sziraczki, G and A. Reerink [2003] “School-to-Work Transition in Indonesia”, unpublished report, ILO, Oktober.

4141414141

Persiapan yang lebih baik bagi para lulusan yang masuk ke pasar kerja dapat memfasilitasi prosespencocokan pekerjaan dan mengurangi masa pengangguran. Ini berarti kebutuhan akan informasi pasarkerja dan panduan karir yang sensitif gender untuk kaum muda di sekolah melalui pendidikan dan pelatihandan untuk para pencari kerja muda melalui media. Lebih jauh lagi, orang muda memerlukan bantuan untukbelajar tentang teknik mencari kerja. Karena keterbelakangan layanan pekerjaan, panduan karir, teknik mencarikerja dan informasi pasar kerja dapat disediakan dengan terbaik melalui sistem pendidikan bagi merekayang lulus sekolah. Hal ini nantinya membutunkan penguatan layanan panduan karir di sekolah, yang tersediadi kebanyakan lembaga jenjang pendidikan menengah dan tinggi. Lebih-lebih lagi, tingkat migrasi yangtinggi pada anak-anak putus sekolah dan lulusan dari daerah pedesaan yang miskin menuju pusat-pusatperkotaan dan lokasi di luar negeri melahirkan tambahan tantangan bagi layanan macam itu. Penumbuhankesadaran akan jaringan dukungan yang tersedia bagi para migran harus diberikan sejak awal dalam sikluspendidikan supaya menjangkau mereka yang paling mungkin untuk pindah (yakni yang kurang terdidik).Hal ini khususnya penting dalam hal migram perempuan muda yang kerap menghadapi risiko perdagangan.Para pengusaha perlu didorong untuk menggunakan praktik rekrutmen yang lebih transparan, dan bukannyasangat tergantung pada saluran-saluran rekrutmen yang informal. Secara umum, informasi pasar kerja yanglebih baik dan transparan membantu kaum muda yang miskin dan rentan untuk mencari kerja.

4242424242

Menyatakan Strategi Ketenagakerjaan Nasional untuk Indonesia

4343434343

Bagian ini menyediakan rangkuman penemuan utama dan rekomendasi. Diskusinya didasarkan padatema-tema berikut yang membentuk kerangka dari makalah ini: (1) penetapan tujuan dan target; (2)penganutan kerangka kerja diagnostik berbasis luas yang memungkinkan seseorang untuk memahami tingkattenaga kerja Indonesia dan evolusinya di masa mendatang; (3) evaluasi kebijakan dan program dari pemerintahIndonesia yang dikaitkan pada proses penciptaan pekerjaan serta kesejahteraan untuk keluarga bekerja. JikaPemerintah Indonesia menerima sebagian atau semua dari rekomendasi ini, implementasinya akanmembutuhkan kerangka kerja kelembagaan yang berarti koordinasi ketat antar departemen dengan mandatyang luas (khususnya Bappenas), departemen dengan tanggung jawab yang khusus sektor (khususnyaDepnakertrans) dan komitmen politik bipartisan dari para pemangku kepentingan utama. Kerangka kerjaimplementasi yang koheren perlu didasarkan pada pemahaman yang jelas akan prinsip-prinsip analitis yangluas.

Penentuan tujuan dan sasaran

Strategi ketenagakerjaan nasional apapun perlu untuk dimulai dengan tujuan dan sasaran yang dibuatdengan hati-hati, yang kredibel secara analitis dan empiris. Inilah komponen utama dari pendekatan berbasisbukti untuk pembuatan kebijakan yang berupaya untuk keluar dari improvisasi kebijakan dan keterburu-buruan. Pemerintah Indonesia kini telah mengumumkan dua tujuan utama yang terikat waktu dan menarikkarena kesederhanaannya. Pemerintah berkomitmen untuk memotong pengangguran nasional dan tingkatkemiskinan hingga separuhnya sampai tahun 2009. Sayangnya, dengan skenario ‘bisnis seperti biasa’, dengantingkat pertumbuhan berkisar 5-6 persen, target ini tidak akan tercapai. Inilah premis untuk meninjau ulangtujuan dan sasaran kebijakan.

Tujuan dasar haruslah berupa penyediaan pekerjaan yang layak dan produktif bagi semua orangIndonesia yang mau dan mampu untuk bekerja, dan perilaku di mana agenda kerja yang layak dapat mengarahpada pengurangan kemiskinan yang berkelanjutan. Tujuan, sasaran dan indikator perlu dikembangkan dalamvisi besar ini. Pengamatan kuat berikut dapat disebutkan.

Pemerintah harus meninjau tingkat pengangguran yang terpublikasi sambil mencakup kalangan yangsecara artifisial menambah total stok pengangguran. Kasus bagus bisa diangkat untuk menunjukkantingkat pengangguran dengan menggunakan seri yang konsisten. Latihan ini menguntungkan karenameningkatkan integritas statistik yang resmi dan dapat membuka perdebatan kebijakan yang lebihbijak.Pemerintah harus beralih dari fokus pada tingkat pengangguran dan memperjelas sasaran penciptaanlapangan kerja sektor informal terlebih dahulu – di tingkat nasional, sektoral dan regional – yang dapatmengurangi stok penganggur dan menyerap mereka yang baru masuk ke angkatan kerja.

5.5.5.5.5. Kesimpulan: rangkumanpenemuan utama danrekomendasi

4444444444

Menyatakan Strategi Ketenagakerjaan Nasional untuk Indonesia

Sumber daya yang tepat harus disediakan untuk memperhalus elastisitas pekerjaan yang diangkat darikerangka statistik yang koheren yang dapat menumbuhkan proyeksi pekerjaan yang kredibel. Namun,elastisitas pekerjaan, bukanlah sasaran kebijakan yang penting sejak awal. Karena ini adalah ukurantidak langsung dari produktivitas, tujuannya haruslah pencapaian pertumbuhan yang digerakkan olehproduktivitas yang dapat mengarah pada kombinasi yang bagus dari peningkatan pekerjaan dan upahriil.Tujuan utama dari penyediaan pekerjaan yang layak dan produktif tidaklah bisa memuaskan bila diukurdengan tingkat pengangguran agregat atau tingkat penciptaan lapangan kerja. Kita perlu fokus padasetengah pengangguran yang tidak diinginkan dan ukuran sektor informal. Inti tantangan pekerjaan diIndonesia terletak pada setengah pengangguran yang tidak diinginkan dan ukuran sektor informalyang besar.Sebagai penandatangan global MDG, pemerintah Indonesia sudah tepat bila memfokuskan diri padaisu kaum muda dan dimensi gender dari pengangguran. Mekipun sudah ada perbaikan di tahun 2006-2007, pengangguran kaum muda masih tinggi dibandingkan norma-norma regional, namun sudahada perbaikan yang dibuat berkaitan dengan kesenjangan gender dalam hasil-hasil pasar kerja. Tantanganutamanya adalah untuk memperbaiki tingkat partisipasi angkatan kerja perempuan, namun kita perlumenangani isu yang kompleks dari peranan gender dalam rumah tangga dan kegiatan mengurusanak.Indonesia tidak bisa memenuhi sasaran MDG bagi penyediaan pekerjaan bagi kaum muda hinggatahun 2015. Pemerintah harus memberi perhatian pada saran IYEN yang meminta agar tujuan dansasaran terkait dengan kaum muda dan gender dimasukkan dalam kerangka kerja kebijakan nasionaldengan menggunakan empat prinsip-prinsip panduan: mempersiapkan kaum muda untuk dunia kerja;menyiapkan pekerjaan yang berkualitas bagi kaum muda; mendorong kewirausahaan, menyediakankesempatan yang setara bagi laki-laki dan perempuan. Keuntungan IYEN adalah bahwa iameng’arusutamakan’ dimensi gender dalam pasar kerja dan bukannya memperlakukan mereka sebagaiisu ‘terpisah’.Pemerintah Indonesia telah menekankan pada penggunaan migrasi ke luar negeri sebagai carameningkatkan penciptaan lapangan kerja domestik. Ini adalah fokus yang tepat mengingat prospekkeuntungan yang bisa mengalir dari rezim aliran tenaga kerja liberal yang diatur dengan baik di tingkatglobal dan regional. Target-target kuantitatif bagi orang Indonesia yang ingin ditempatkan di luarnegeri seharusnya dilengkapi dengan perhatian pada penentuan tolak ukur untuk memperbaiki kualitas‘industri migrasi’ yang dapat membawa keuntungan yang berkelanjutan bagi para pekerja migran.Keprihatinan yang besar tentang memburuknya daya saing harga di Indonesia telah mengarah padausulan untuk mengubah peraturan ketenagakerjaan yang ada dengan maksud untuk mengurangi biayapekerja. Bukti menunjukkan bahwa daya saing belum tentu memburuk. Tujuan dasarnya adalah untukmemastikan bahwa upah riil tumbuh sejalan dengan pertumbuhan produktivitas.Pemerintah Indonesia berupaya mengenali neksus kemiskinan-pasar kerja dengan menjajarkan jadwalpengurangan pengangguran dengan jadwal pengurangan kemiskinan. Sayangnya, kaitan antarakemiskinan-pasar kerja lemah, di mana peningkatan kemiskinan terkini justru muncul sejalan denganpengurangan pengangguran. Hal ini bisa dimengerti, karena orang miskin tidak mampu bertahansebagai penganggur dalam jangka panjang tanpa skema tunjangan pengangguran yang komprehensif.Kaitan antara kemiskinan dan upah menjadi lebih signifikan dengan stagnasi dan penurunan upahminimum di semua sektor di tahun 2005-2006 sehubungan dengan peningkatan kemiskinan padaperiode yang sama. Jadi, pemotongan upah sebagai instrumen penciptaan pekerjaan bisa kontraproduktifdengan sudut pandang penurunan kemiskinan.

4545454545

Pemerintah Indonesia harus beralih dari fokus yang sempit pada kemiskinan upah, seperti yang sudahterjadi dalam kasus MDG, dan juga fokus pada insiden kerentanan yang sebenarnya jauh di atas tingkatkemiskinan saat ini. Ada cara melacak insiden ‘orang miskin bekerja’ dalam angkatan kerja menggunakankonsep ‘upah hidup’.Tujuan kebijakan yang diarahkan kepada agregat-agregat nasional harus diperkuat denganmencerminkan keberagaman daerah di negara ini. Indonesia kini secara administratif adalah masyarakatyang terdesentralisasi, dengan pasar kerja yang utama dan kebijakan pengentasan kemiskinan yangberoperasi di tingkat regional/lokal. ‘Perpaduan perkembangan sumber daya manusia’ yang berupayamenjamin bahwa semua daerah mampu mencapai standar pembangunan sumber daya manusiaminimum sesuai MDG adalah satu cara untuk mencerminkan keberagaman daerah dalam tujuan-tujuankebijakan nasional. Pada saat yang sama, perlu dilakukan upaya-upaya untuk melacak dimensi-dimensidaerah dari kinerja pasar kerja daerah demi mengidenfikasi daerah-daerah yang maju dan terbelakang.

Menuju kerangka kerja diagnostik yang berbasis luas bagi pasarkerja Indonesia

Makalah ini meninjau pondasi empiris dari hipotesa ‘tekanan harga’ yang telah berpengaruh dalammembentuk perdebatan kebijakan tentang pasar kerja selama masa paska krisis di Indonesia. Impetusintelektual dari hipotesa ‘tekanan harga’ mungkin memotivasi diikutkannya agenda fleksibilitas pasar kerjadalam kerangka kerja kebijakan pemerintah jangka menengah dan mengarah pada upaya yang terhambatuntuk meninjau Undang-undang Ketenagakerjaan tahun 2003.

Pada tingkatan yang superfisial, ada bukti yang muncul mendukung pandangan bahwa upah minimumdan tunjangan wajib telah menyebabkan peningkatan biaya pekerja yang tidak bisa dipertahankan dankarenanya berdampak negatif pada penciptaan pekerjaan. Pertumbuhan dalam upah minimum nominaldalam tahun-tahun terakhir, pesangon yang murah hati – yang adalah tertinggi di Asia – dan ranking yangburuk dalam hal ‘indeks kekakuan tenaga kerja’ semuanya menuju pada rezim pengaturan pasar modalyang jelas-jelas tidak ramah pembangunan, investasi dan penciptaan pekerjaan. Namun, bila bukti ini ditinjaudengan lebih hati-hati, ada alasan kuat untuk melakukan pendekatan yang lebih bernuansa.

Makalah ini menyoroti fitur-fitur berikut dari bukti-bukti yang ada.Mereka yang menggunakan survei ‘Doing Business’ dari Bank Dunia untuk menegur para pembuatkebijakan Indonesia bahwa mereka telah membangun idaman bagi pasar kerja yang terlalu kaku, haruslahlebih bijaksana. Yang ditunjukkan oleh survei adalah bahwa peraturan-peraturan pasar kerja hanyalahsatu dari sepuluh faktor yang memengaruhi iklim usaha, yang artinya bahwa deregulasi pasar kerjahanya akan berdampak kecil pada perbaikan iklim usaha kecuali bila faktor-faktor lain yang sembilanjuga ditangani.Interpretasi ini konsisten dengan survei-survei lain di tingkat perusahaan yang menunjukkan bahwakekhawatiran pasar kerja tidaklah ada di daftar teratas komunitas perusahaan sebagai penghambatinvestasi baru.Survei lintas negara lain, seperti yang dilakukan oleh World Economic Forum dan the Fraser Institute,menunjukkan bahwa Indonesia diranking di atas rata-rata ekonomi lain dan telah menunjukkan perbaikanyang substansial di tahun-tahun belakangan ini.Upah minimum riil di sektor manufaktur menunjukkan peningkatan yang lebih rendah dibandingkandengan pertumbuhan upah minimum nominal.

4646464646

Menyatakan Strategi Ketenagakerjaan Nasional untuk Indonesia

Studi-studi ekonometrik dari neksus upah minimum-pekerjaan termasuk beberapa studi yangmenunjukkan konsekuensi-konsekuensi negatif dari pekerjaan, tetapi kesimpulannya perlu dilihat denganhati-hati. Dampak murni dari upah minimum pada pekerjaan mungkin lebih sedikit ketika kitamempertimbangkan variabel-variabel lain, khususnya pertumbuhan PDB.Upah produk riil telah entah mandek atau menurun dalam tahun-tahun belakangan dalam beragamsektor ekonomi, sementara unit upah pekerja menunjukkan penurunan sejak 2001 dan kini berada dititik terendah sejak 1993.Baik biaya upah maupun non-upah sebagai bagian dari biaya operasi perusahaan tidaklah berlebihandari norma-norma regional, dan tidak pula meningkat secara menyolok.Estimasi ekonometrik dari penentu-penentu pekerjaan menggunakan kerangka tarikan permintaandan tekanan biaya menunjukkan bahwa dalam periode pasca krisis, faktor-faktor sisi permintaan, sepertidiukur dengan pertumbuhan PDB secara sektoral, adalah signifikan secara statistik di sebagian besarsektor ekonomi dibandingkan dengan faktor-faktor tekanan biaya, sebagaimana diukur dengan upahproduk riil.Estimasi-estimasi ekonometrik ini juga menunjukkan bahwa untuk menciptakan penambahan 1,8 persendalam pekerjaan manufaktur akan berarti pemotongan secara substansial dalam upah riil rata-rata(sampai sekitar 10 persen) – resep yang cenderung tidak populer dalam suatu ekonomi dengankemiskinan dan kerentanan yang besar.Keprihatinan tentang peraturan pasar kerja mungkin dipengaruhi oleh pembacaan yang superfisialdari tren pekerjaan terkini. Benar bahwa pengangguran agregat meningkat antara 2001 dan 2005,tetapi angka ini telah menurun sejak disejajarkan dengan akselerasi pertumbuhan PDB, khususnya diantara tahun 2006 dan 2007. Lebih jauh lagi, bukti akan peningkatan yang tinggi dalam pengangguranbahkan antara 2001 dan 2005 perlu dilihat dengan fakta bahwa ada seri alternatif yang menunjukkantingkat pengangguran yang lebih rendah dan peningkatan yang jauh lebih kecil.Perspektif jangka yang lebih panjang dalam tren pekerjaan akan menunjukkan bahwa ada perubahan-perubahan struktural. Bagian PDB dari sektor-sektor penyerap pekerja – seperti pertanian – telah menuruntanpa kompensasi yang signifikan dalam pertumbuhan pekerjaan di manapun. Pada saat yang sama,bagian dari ekspor padat karya dalam ekonomi Indonesia telah menurun sejak 1993. Waktu daripertumbuhan-pertumbuhan ini menunjukkan bahwa sulit untuk mengaitkan ini semua pada perubahan-perubahan besar dalam upah minimum dan tunjangan wajib.

Kehati-hatian pada titik ini perlu diperjelas. Dalam mengevaluasi sifat bukti pada implikasi-implikasipenciptaan pekerjaan dari peraturan ketenagakerjaan, maksudnya adalah untuk tidak mengabaikan ataumeniadakan kekhawatiran yang meluas dalam komunitas bisnis dan akan upah minimum serta skemapembayaran pesangon yang tinggi. Akhirnya, dialog yang kuat dan berkelanjutan antara pemerintah, asosiasipengusaha dan perwakilan-perwakilan pekerja akan diperlukan untuk merancang dan mengembangkankerangka kerja pengaturan yang akan ramah bisnis sekaligus mampu melindungi dan menghormati hak-hak pekerja. Tujuan makalah ini akan tercapai jika ia membantu proses dialog sosial ini.

Kebijakan dan program pemerintah Indonesia dan implikasi-implikasinya bagi penciptaan pekerjaan

Makalah ini meninjau sejumlah luas kebijakan dan program yang memengaruhi kondisi pasar kerja diIndonesia. Kerangka kerja kebijakan yang ada sekarang mengandung catatan intelektual dari ‘paradigmanon-intervensionis’, tetapi juga ada elemen-elemen ‘paradigma aktivis’. Keduanya setuju pada premis bahwa

4747474747

pertumbuhan berbasis luas sangat dibutuhkan bagi penciptaan pekerjaan dan penurunan kemiskinan secaraberkelanjutan, walaupun ada pula perbedaan yang penting. Versi terbatas dari paradigma ‘non-intervensionis’menekankan pada pentignya peningkatan iklim usaha melalui reformasi peraturan dan peningkatan fleksibilitaspasar kerja dalam mendorong pertumbuhan yang digerakkan oleh investasi. ‘Paradigma aktivis’ melihatkebutuhan akan investasi publik dalam infrastruktur dan kaitan antara kebijakan pasar kerja yang ‘reaktif’dan ‘proaktif’ dalam mengarahkan pertumbuhan yang digerakkan oleh produktivitas yang dapat menciptakanpekerjaan utuh bagi semua rakyat Indonesia.

Tinjauan kebijakan dan program menghasilkan penemuan berikut.Pemerintah telah berupaya mengharmonisasikan berbagai elemen inisiatif kebijakan yang berdiri sendiridengan meluncurkan paket kebijakan terpadu (Inpres 6/2007) yang memiliki empat komponen: (1)memperbaiki iklim usaha; (2) memperdalam reformasi sektor finansial; (3) komitmen untuk investasibaru dalam infrastruktur publik; (4) pemberdayaan usaha kecil sebagai sumber penciptaan pekerjaandan pengurangan kemiskinan.Laporan kemajuan yang disiapkan oleh pemerintah mengklaim bahwa hingga Agustus 2007 telah adapencapaian luar biasa (sekitar 80 persen) dalam hal aksi kebijakan, dengan kemajuan terkecil dalaminisiatif UKM dan usaha mikro.Upaya-upaya untuk memperbaiki iklim usaha sedang dijalankan melalui rasionalisasi administrasi pajak,penyederhanaan pembukaan usaha dan prosedur perizinannya, dan undang-undang investasi yangmenganut pendekatan non-diskriminatif soal negara asal investor, menyediakan jaminan hak atas namatanah dan perkebunan, memfokuskan pada rasionalisasi peraturan perundangan yang tumpang tindih,dan menyediakan insentif fiskal.Komitmen untuk investasi baru dalam infrastruktur muncul mengikuti Pertemuan Tingkat TinggiInfrastruktur 2005. Kebutuhan pembiayaan bagi investasi tersebut ditetapkan 8,1 milyar dollar untukjangka menengah menggunakan kerangka kemitraan publik-swasta. Harapannya adalah bahwa investasiyang diusulkan, bila terealisasi, akan mengarah pada penciptaan 27.000 hingga 28.000 pekerjaan per 1triliun rupiah pengeluaran.Upaya-upaya untuk mendukung sektor usaha mikro dan kecil dipandu oleh target untuk meningkatkanjumlah unit di sektor ini dari 3,28 juta (seperti tercatat di tahun 2005) menjadi 3,95 juta hingga 2009.Perangkat utama untuk mendukung sektor ini adalah melalui alokasi kredit.Pemerintah, dalam menyampaikan paket terpadu dan laporan kemajuan telah menunjukkan kapasitasyang patut dipuji untuk mengejar inisiatif baru. Namun, fokusnya nampak pada tingkat pelaksanaan.Perlu perhatian lebih pada evaluasi yang mendalam akan efektivitas kebijakan dan program terkaitdengan tujuan ganda penciptaan pekerjaan yang layak dan pengurangan kemiskinan yang berkelanjutan.Di sini pemerintah Indonesia dapat mengambil kasus-kasus negara yang disoroti dalam AgendaKetenagakerjaan Kerja Global ILO untuk mengekplorasi bentuk praktik terbaik yang bisa diambil untukmemenuhi kebutuhan nasional.Campuran kebijakan makro ekonomi ditandai dengan penargetan inflasi dalam kebijakan moneter danperluasan yang berhati-hati dalam pengeluaran bebas (discretionary) sesudah bertahun-tahun melakukankonsolidasi fiskal. Penurunan dalam ukuran relatif utang publik, rasionalisasi subsidi bahan bakar dankeuntungan berlimpah dari kenaikan harga minyak terkini telah menambah sumber daya fiskalpemerintah.Isu utamanya adalah apakah pemerintah telah mencapai keseimbangan yang tepat antara kestabilanharga dan tujuan serta sasaran yang berkaitan dengan penciptaan pekerjaan dan penurunan kemiskinan.Pencapaian stabilitas harga nampak mendapatkan prioritas melalui pendekatan penargetan inflasi, namuntidak jelas seberapa efektifnya pendekatan ini untuk menangani tekanan inflasi yang sangat berakar

4848484848

Menyatakan Strategi Ketenagakerjaan Nasional untuk Indonesia

pada peningkatan harga makanan dan energi yang sifatnya struktural dan eksternal. Lebih jauh lagi,penargetan inflasi mungkin tidak akan efektif untuk menangani ketidakstabilan makroeknomi yangmemainkan peranan penting dalam memengaruhi insiden kerentanan. Penargetan inflasi juga tidakefektif dalam menekan apresiasi nilai tukar riil yang telah mengganggu daya saing Indonesia dalamekspor padat karya.Kelihatannya ada alasan untuk pendekatan yang lebih pragmatis dalam kebijakan moneter. Perlu dicatatbahwa, selama fase pertumbuhan yang tinggi, Indonesia punya tingkat inflasi jangka panjang sekitar10 persen, yang berarti bahwa target inflasi saat ini yang 5-7 persen tidaklah didasarkan pada pengalamansejarah.Ada pula isu tentang apakah kebijakan fiskal tetap terlalu konservatif, meskipun bukti dasarnya adalahbahwa karena kinerja kelembagaan, pemerintah daerah tidak bisa menggunakan sepenuhnya alokasikeuangan yang ada.Ada alasan untuk upaya yang lebih besar dalam mengaitkan kebijakan fiskal untuk mendanai kebutuhanyang berakar pada tujuan-tujuan dan sasaran pemerintah, termasuk untuk pencapaian MDG. Hal iniakan lebih menyelaraskan kebijakan fiskal dengan penciptaan pekerjaan dan tujuan-tujuan pengurangankemiskinan. Ketahanan fiskal jangka panjang yang diarahkan pada tujuan-tujuan ini juga berarti perlunyaupaya untuk meningkatkan rasio pajak-PDB, yang pada tingkat 12 persen adalah kecil.Ada kisaran yang luas akan kebijakan pasar kerja yang ‘reaktif’ dan ‘proaktif’ yang dapat dikembangkanuntuk mengatasi tantangan-tantangan ketenagakerjaan di Indonesia. Kebijakan ‘reaktif’ berupaya untukmengakhiri hasil-hasil yang ditentukan pasar yang tidak dikehendaki (misalnya upah yang rendah dankerentanan), sementara kebijakan ‘proaktif’ berupaya menciptakan angkatan kerja yang bisa beradaptasidan terampil.Kebijakan ‘reaktif’ yang penting yang penting untuk konteks Indonesia adalah yang terkait denganrezim upah minimum dan tunjangan wajib dan perlindungan sosial.Upah minimum dan pesangon murah hati sekarang telah menyebabkan kekhawatiran yang besar bagipara pengamat pasar kerja Indonesia. Mekipun pengamatan yang lebih hati-hati dari bukti inimembebaskan masalah ini dari hasil pasar kerja yang buruk, ada alasan untuk mengambil pendekatanyang lebih pragmatis akan upah minimum dan tunjangan wajib.Ide upah minimum yang digerakkan oleh pemerintah daerah dapat digantikan dengan penggunaan‘upah hidup’ sebagai panduan untuk melacak insiden ‘orang miskin bekerja’. Kemudian dalammenegosiasikan tingkat upah di perusahaan, pekerja dan pengusaha dapat mengunakan ‘upah hidup’sebagai tolak ukur.Tingkat pesangon yang sekarang memang murah hati dibandingkan standar regional, namun tunjanganwajib tersebut merupakan instrumen yang tegas untuk memperkuat kapasitas pekerja dalam menghadapirisiko pasar kerja. Ada alasan untuk memperkecil ini semua dengan cara menerapkan skema tunjanganpengangguran yang dirancang dengan baik.Upah minimum dan tunjangan wajib hanyalah bagian dari sistem hubungan industrial secara keseluruhan.Tujuan seharusnya adalah konsolidasi sistem hubungan industrial yang ramah pertumbuhan yangberupaya menumbuhkan kerjasama antara pekerja dan pengusaha sambil menghormati hak-hak pekerja.Basis untuk sistem macam ini sudah ada, karena Indonesia sudah meratifikasi standar utama bagipekerja.Lolosnya Undang-Undang Jaminan Sosial Nasional (SJSN) di tahun 2004 merupakan tonggak kemajuandan menentukan kerangka kerja besar bagi sistem jaminan sosial yang formal di Indonesia, namunkomitmen bagi implementasinya kelihatan masih kurang.Dalam kerangka bantuan sosial bagi kaum miskinlah seseorang dapat mendeteksi keberhasilan-keberhasilan dengan jelas. Contohnya Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM), asuransi

4949494949

kesehatan bagi orang miskin dan skema transfer tunai bersyarat. PNPM telah mendapatkan evaluasipositif dalam hal kontribusinya dalam mengurangi kerentanan melalui penciptaan pekerjaan jangkapendek. Meskipun cakupan dari inisiatif-inisiatif lain juga mengagumkan, evaluasi yang mendalamdiperlukan sebelum keputusan akan efektivitas kebijakan ini dibuat.Ada pula Skema Jaminan Tenaga Kerja Nasional (NEGP), namun ada tumpang tindih yang cukup besarantara inisiatif ini dengan PNPM. Karena nama ‘merek’ PNPM sudah ada, lebih masuk akal untukmemasukkan NEGP ke dalam kerangka kerja PNPM.Walaupun intervensi dalam bantuan sosial bisa dipuji, perlu dicatat bahwa bantuan tersebut dimaksudkanuntuk menangani tantangan pasar kerja tertentu dan tidak untuk menciptakan pekerjaan yang produktifdan jangka panjang.Kita perlu untuk melengkapi kebijakan ‘reaktif’ dengan kebijakan yang ‘proaktif’ dengan tujuanmenciptakan angkatan kerja yang bisa beradaptasi dan terampil. Kebijakan-kebijakan ini, berkaitandengan intervensi dalam sistem pendidikan dan pelatihan dan persiapan orang dewasa muda dalamtransisinya menuju dunia kerja, adalah beberapa cara terbaik yang bisa diambil untuk menanganifenomena orang muda yang ‘tidak tergarap’ dan ‘belum sepenuhnya terpakai’. Kebijakan-kebijakan inidapat juga memperkuat upaya-upaya saat ini untuk menumbuhkan wirausahawan muda danmempekerjakan diri sendiri.Analisa neksus pendidikan-kemiskinan menunjukkan bahwa kita memerlukan pendekatan siklus hidupuntuk kemiskinan dan untuk mendorong tujuan bahwa pendidikan menengah haruslah terjangkaubuat semua orang Indonesia. Statistik yang ada menunjukkan bahwa setidaknya 40 persen orang mudapencari kerja dan hampir 60 persen orang muda yang mempekerjakan dirinya sendiri keluar dari sekolahkarena alasan-alasan keuangan.Ada pula isu kualitas pendidikan yang tesedia. Hasil belajar di tingkat dasar dan menengah di Indonesiarelatif tidak memadai dibandingkan norma-norma regional. Investasi di infrastruktur, peningkatan materibelajar dan perbaikan kualitas guru akan membantu memperbaiki keseluruhan kualitas pendidikandasar.Sektor pendidikan dan pelatihan kejuruan juga harus diperbaharui supaya para lulusan memiliki kualitasyang menjawab kebutuhan pasar kerja. Tahap yang penting dalam proses ini telah diambil melaluipenciptaan badan sertifikasi independen yang diambil dari orang-orang di sektor swasta dan publik.Bukti menunjukkan bahwa kurang dari 40 persen orang mengikuti program pengalaman kerja. Karenaitu, lembaga-lembaga pendidikan harus bekerja dekat dengan bisnis untuk meningkatkan programpengalaman kerja yang efektif, dalam konseling karir dan juga dalam pengembangan kurikulum.Sistem pendidikan dan pelatihan juga perlu menjawab persyaratan khusus dari para operator perusahaankecil dan sektor informal.Bukti menunjukkan bahwa kurang dari 30 persen orang muda, baik dalam sistem pendidikan maupundalam angkatan kerja menerima bentuk konseling apapun tentang peluang kerja. Jadi, inisiatif perludiambil untuk persiapan yang lebih baik bagi para lulusan untuk masuk ke pasar kerja.

Sebagai komentar penutup, kita dapat menyoroti poin bahwa pendekatan yang digerakkan oleh buktiuntuk pembuatan kebijakan harus ditinjau dan diperbaharui secara berkala. Idenya adalah untuk belajar daripengalaman dan menggunakannya untuk melakukan proses pemantauan dan evaluasi yang berkelanjutandemi menjaga akuntabilitas publik akan kebijakan dan program. Informasi ini tepat waktu. Audit berkalaakan pasar kerja akan bermanfaat. Hal ini akan membangun acuan standar-seperti ‘Key Indicators of theLabour Market’ (KILM) dari ILO – yang dilengkapi dengan detil-detil sektoral dan regional yang tepat. Auditmacam itu harus dilakukan dalam kerangka kerja forum publik untuk memfasilitasi umpan balik dari pemangku

5050505050

Menyatakan Strategi Ketenagakerjaan Nasional untuk Indonesia

kepentingan. Harus ada keterbukaan penuh tentang keseluruhan kebijakan dan program pasar kerja yangsedang diimplementasikan pemerintah sebagai bagian dari audit yang mendorong musyawarah denganmasyarakat dan membangun etos akuntabilitas publik. Internet sebaiknya dimanfaatkan untuk memfasilitasi‘e-networking’ di antara para pemangku kepentingan yang relevan dengan kebijakan pasar kerja. Meskipunpemerintah Indoneisa layak dipuji untuk keterbukaannya tentang tingkat implementasi dalam kerangkakerja Inpres 6/2007, masih banyak yang harus dilakukan untuk memperbaiki kerangka untuk mengevaluasikeefektivan kebijakan dan program dalam hal cakupan, kecukupan sumber daya dan kemampuannya untukmencapai tujuan dan sasaran yang diumumkan.

5151515151

Tujuan lampiran ini adalah untuk menyediakan informasi yang komprehensif tentang berbagai dimensimasalah pengangguran di Indonesia dan untuk mengekplorasi penyebab tersedianya pekerjaan denganpandangan untuk menaksir elastisitas pekerjaan sektoral. Estimasi elastisitas sektoral digunakan untukmensimulasikan beragam skenario untuk pekerjaan yang diproyeksikan dan untuk menentukan tingkatpertumbuhan sektoral yang diperlukan untuk tingkat pengangguran 5,1% sampai tahun 2009. Lampirandimulai dengan catatan singkat tentang pasar kerja Indonesia. Lampiran diakhiri dengan audit kebijakansecara singkat dari kebijakan pemerintah saat ini soal pertumbuhan dan penciptaan pekerjaan.

Fitur-fitur yang kuat dari Angkatan Kerja dan Pekerjaan diIndonesia

Angkatan Kerja

Gambar 1 memberikan cuplikan angkatan kerja Indonesia. Gambar itu menunjukkan bahwa di bulanFebruari 2007, ada sedikit lebih dari 162 juta orang usia kerja (15 tahun keatas). Dari jumlah tersebut, sedikitdi atas 108 juta orang berada dalam angkatan kerja, diantaranya 97,5 juta bekerja dan 10,5 juta tidak punyapekerjaan.

Lampiran TLampiran TLampiran TLampiran TLampiran Teknis daneknis daneknis daneknis daneknis danStatistikStatistikStatistikStatistikStatistik

Gambar 1: Kondisi Angkatan Kerja, 2007 (Februari)

Rumah Tangga 31.133.071

(19,2%)

Bersekolah 14.320.491

(8,8%)

Lain-lain 8.767.428

(5,4%)

Bekerja 97.583.141

(60,1%)

Menganggur 10.547.917

(6,5%)

Tidak dalam Angkatan Kerja

54.220.990 (33,4%)

Angkatan Kerja 108.131.,058

(66,6%)

Populasi 15+ 162.352.048

(100%)

Catatan: persentase total populasi 15+Menganggur = Mencari pekerjaan + Membangun usaha baru + Putus asa tidak mendapat pekerjaan + Punya harapan mendapat

pekerjaan di masa mendatangSumber: Sakernas, 2007, Februari

5252525252

Menyatakan Strategi Ketenagakerjaan Nasional untuk Indonesia

Tabel 1 berusaha menangkap profil yang berganti dari angkatan kerja Indonesia. Angkatan kerja telahtumbuh dengan tingkatan yang sedikit cepat (antara 2,2% dan 3,5%) dibandingkan populasi usia bekerja. Iniberarti, ada tekanan yang konstan untuk menciptakan pekerjaan baru. Tingkat pertumbuhan angkatan kerjaperempuan meningkat selama 1997-98, yang berarti bahwa perempuan berada dalam tekanan yang lebihbesar untuk mencari pekerjaan demi menambah pendapatan keluarga selama krisis ekonomi. Meskipunpopulasi usia kerja kira-kira terbagi rata antara laki-laki dan perempuan, bagian laki-laki dalam angkatankerja adalah sekitar 1,7 kali lebih besar dibandingkan perempuan.

Tabel 1: Mengubah Profil Angkatan Kerja

Catatan: * Angkatan kerja mencakup yang bekerja dan penganggur terbukaPeningkatan angkatan kerja perkotaan dipengaruhi oleh perubahan definisi dalam daerah-daerah perkotaan.Sumber: Sakernas

% Perubahan Per Tahun Bagian (%)

1990-97 1997-98 1998-02 2002-04 2004-06 1990 1998 2002 2006

Populasi Usia Kerja 2,5 2,6 1,8 1,7 2,2 100 100 100 100Laki-laki 2,5 2,9 2,1 1,8 2,5 49,1 49,2 49,7 49,8Perempuan 2,5 2,3 1,6 1,7 2,0 50,9 50,8 50,5 50,2 Perkotaan 6,2 5,1 5,0 0,7 1,8 30,9 40,5 45,3 44,3Pedesaan 0,6 0,9 -0,3 2,6 2,6 69,1 59,5 54,7 55,7 Usia 15-24 1,6 3,3 -0,5 1,1 3,7 30 28,3 25,8 25,5Usia 25-49 3 2,3 3,2 1,5 1,2 49,6 50,9 53,5 53,3Usia 50+ 2,8 2,4 1,7 3,2 3,0 20,4 20,7 20,7 21,2 Pendidikan dasar 0,3 -0,3 0,2 -1,9 0,6 73,6 61,3 57,7 53,7atau kurangMenengah bawah 5,8 6,9 5,5 8,8 1,2 13,8 17,9 20,4 23,2Menengah atas 8,6 7,8 2,8 4,6 6,2 11,2 17,5 18,1 19,1Tinggi 13,2 10,1 6,4 5,3 11,5 1,5 3,2 3,8 4,1 Angkatan Kerja* 2,5 3,5 2,2 3,2 2,3 100 100 100 100Laki-laki 2,6 2,7 2,9 4,1 2,8 61,2 61,2 63,5 63,4Perempuan 2,3 4,8 1,0 1,5 1,6 38,8 38,8 36,5 36,6 Perkotaan 7,5 4,7 6,5 1,3 3,2 25,5 36,0 41,8 41,1Pedesaan 0,4 2,9 -0,3 4,5 1,7 74,5 64,0 58,2 58,9 Usia 15-24 1,5 2,5 1,2 2,6 4,9 23,1 21,3 20,5 20,9Usia 25-49 2,9 3,2 2,8 2,1 1,6 57,6 58,9 60,2 59,1Usia 50+ 2,6 5,5 1,4 7,2 1,7 19,3 19,8 19,3 19,9 Pendidikan dasar 0 2 0,2 -4,8 -1,6 76,4 63,2 58,6 52,0atau kurangMenengah bawah 7,1 7,1 8,2 21,6 -0,8 10,1 14,2 17,4 19,8Menengah atas 9,4 5,1 3,4 8,5 11,2 11,5 18,4 19,2 21,9Tinggi 13,7 7,4 6,3 11,7 20,3 2,0 4,2 4,9 6,2

5353535353

Indonesia mengalami pertumbuhan fenomenal dari angkatan kerja di perkotaan. Angkatan kerjaperkotaan tumbuh lebih cepat dibandingkan angkatan kerja pedesaan. Bagian angkatan kerja perkotaanmeningkat dari 25,5% di tahun 1990 menjadi 41% di tahun 2006 dan angkatan kerja pedesaan menurun dari74,5% sampai 59% selama periode yang sama. Namun, ada kenaikan pertumbuhan angkatan kerja pedesaanselama krisis. Hal ini sejalan dengan pengamatan bahwa banyak pekerja perkotaan yang memilih untukmenolak kegiatan pedesaan atau pertanian ketika kehilangan pekerjaan.

Indonesia nampak mengalami transisi demografis. Ada peningkatan yang besar dalam jumlah populasiusia kerja utama (25-49) yang bagiannya meningkat dari 49,6% di tahun 1990 menjadi 53,3% di tahun 2006.Sementara itu bagian dari populasi pekerja tua (50+) tetap stabil di kisaran 21%, bagian orang muda (usia15-24) menurun dari 30% menjadi 25,5% selama 1990-2006. Hal ini telah tercermin dalam perubahan-perubahan bagian dalam angkatan kerja dari kelompok usia tertentu.

Pencapaian pendidikan angkatan kerja Indonesia juga telah meningkat. Bagian angkatan kerja denganpendidkan dasar atau kurang menurun dari 76,4% di tahun 1990 menjadi 52% di tahun 2006. Penurunan inisesuai dengan peningkatan bagian pasar kerja dengan pendidikan menengah dari 21,6% di tahun 1990menjadi 41,7% di tahun 2006. Bagian dari pendidikan tenaga kerja juga meningkat dari 2% menjadi 6,2%selama periode yang sama.

Partisipasi angkatan kerja bagi laki-laki tetap kurang lebih stabil di kisaran 83-84% sejak krisis; namuntingkat partisipasi perempuan menurun dari 51,2% di tahun 1998 menjadi 48,1% di tahun 2006 (Tabel 2).Telah ada peningkatan partisipasi perkotaan dari 59,6% di tahun 1998 menjadi 62,3% di 2006. Selama periodeyang sama tingkat partisipasi pedesaan telah menurun dari 71,9% menjadi 69,2%.

Tabel 2: Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (%), menurut gender dan wilayah

1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006

Total 66,9 67,2 67,7 68,6 67,8 67,9 65,6 66,8 66,2

Laki-laki 83,2 83,6 84,2 85,8 85,6 85,7 86,0 84,9 84,2Perempuan 51,2 51,2 51,6 51,8 50,1 50,2 49,2 48,4 48,1

Perkotaan 59,6 61,2 61,6 63,0 62,6 62,6 62,6 62,4 62,3Pedesaan 71,9 71,6 72,6 73,1 72,0 72,1 71,5 70,2 69,2

Pekerjaan

Tabel 3 menunjukkan perubahan profil pekerjaan di Indonesia. Ditunjukkan pertumbuhan yang pesatdari pekerjaan formal selama 1990-1997. Namun, telah terjadi penurunan tajam dalam pertumbuhan pekerjaanformal selama periode paska krisis. Tingkat pertumbuhan pekerjaan formal menurun dari 5,8% selama masapra-krisis (1990-1997) menjadi 2,2% selama 2002-2006. Jadi bagian pekerjaan formal naik sangat tipis menjadi37% setelah meningkat tajam dari 29% di tahun 1990 menjadi 35% di tahun 2002. Yang menarik, penurunandalam pertumbuhan pekerjaan di sektor formal tidaklah dibarengi dengan peningkatan pertumbuhanpekerjaan informal. Tingkat pertumbuhannya tetap kurang lebih stabil di 0,4% setelah meningkat menjadi7% selama krisis. Jadi pertumbuhan yang melambat untuk pekerjaan formal dan informal berkontribusipada perlambatan keseluruhan pertumbuhan pekerjaan.

5454545454

Menyatakan Strategi Ketenagakerjaan Nasional untuk Indonesia

Tabel 3: Perubahan Profil Pekerjaan

* Termasuk pekerja lepas pertanian setelah 2000; ** Termasuk pekerja lepas non-pertanian setelah 2000Sumber: Sakernas

% Perubahan Per Tahun Bagian (%)

1990-1997 1997-1998 1998-2002 2002-2006 1990 1993 1998 2002 2006

Formal 5,8 -4,5 1,6 2,2 29,2 31,8 34,6 35,3 36,9Pengusaha 14 4 16,2 0,6 0,8 0,9 1,7 3,0 3,0Pekerja * 5,5 -4,9 0,7 2,4 28,4 30,9 32,9 32,3 33,9

Informal 0,4 6,9 0,8 0,4 70,8 68,2 65,4 64,7 63,1Bekerja sendiri** 4,3 3,3 0,8 3,5 20,2 20,8 23,4 23,1 25,3Bekerja sendiri 0,1 9,5 2,8 -2,4 24,4 22,7 22,5 24,0 20,9dibantu keluargaTidak dibayar -2,8 8,3 -1,6 0,1 26,3 24,7 19,5 17,6 16,9

Sektor: -0,7 7,3 1,3 -0,2 66,4 62,5 57,1 58,2 55,5DiperdagangkanAgri. Kehutanan& Kelautan -2,3 13,3 0,5 -0,3 55,5 50,6 45,0 44,3 42,0Pertambangan 7,8 -23,9 -1,7 11,5 0,7 0,8 0,8 0,7 1,0Manufaktur 5,6 -9,6 4,6 -0,5 10,1 11,1 11,3 13,2 12,5

Sektor: 6,2 -3,4 -0,3 2,8 33,6 48,6 54,3 41,8 44,5Tidak Diperdagangkan

Konstruksi 10,7 -16,4 4,2 2,5 2,7 3,5 4,0 4,7 4,9Perdagangan 6,4 -1,2 1 2,0 14,7 15,8 19,2 19,4 20,1Transportasi &Komunikasi 8,6 0,6 2,8 5,3 3,1 3,7 4,7 5,1 5,9

Fasilitas & jasa lain 4,9 -2,1 -3,4 3,0 13,1 25,5 26,3 12,6 13,5

Perkotaan 7,2 3,2 5,2 0,9 24,6 28,2 34,6 40,5 40,2Pedesaan 0,2 2,3 -1,2 1,2 75,4 71,8 65,4 59,5 59,8

Usia 15-24 0,2 0,6 -2,3 0,9 21,8 20,3 18,7 16,3 16,2Usia 25-49 2,7 2,4 2,2 0,8 58,4 57,5 60,5 62,9 62,3Usia 50 + 2,6 5,3 0,7 1,9 19,8 22,3 20,9 20,8 21,5

Pendidikan dasar -0,2 1,7 -0,7 -1,7 77,7 74,5 65,5 60,9 54,5atau kurangMenengah bawah 6,8 5,4 5,9 4,9 9,9 10,9 13,9 16,7 19,2Menengah atas 9,1 3,2 2,6 4,8 10,5 12,2 16,6 17,6 20,1Tinggi 13,3 6,7 5,9 8,7 1,9 2,4 4,0 4,8 6,2

Laki-laki 2,4 1,7 2,1 1,4 61,3 61,5 61,5 63,9 64,9Perempuan 1,9 4,2 -0,5 0,3 38,7 38,5 38,5 36,1 35,1

Total Pekerjaan (juta) 73,4 79,2 87,7 91,6 95,5

5555555555

Pertanian tetaplah pemberi kerja utama, meskipun bagiannya menurun dari 66,4% di tahun 1990 menjadi55,5% di 2006. Pekerjaan di sektor pertambangan dan manufaktur tumbuh cukup pesat selama 1990-1997,sementara pekerjaan pertanian menyusut. Krisis menyebabkan pekerjaan manufaktur menurun 9,6%, namunpertumbuhannya membaik lagi menjadi 4,6% selama 1998-2002. Namun, sejak itu pertumbuhan pekerjaanmanufaktur terhambat. Yang menarik, pekerjaan sektor yang tidak diperdagangkan tumbuh dengan tingkatlebih tinggi (6,2% per tahun) selama periode pra-krisis, sementara pekerjaan di sektor yang diperdagangkanmenurun. Bagian dari sektor yang tidak diperdagangkan dalam pekerjaan total meningkat menjadi 54,3% ditahun 1998 dan kemudian menurun menjadi 44,5% di 2006.

Sejalan dengan perubahan demografis, bagian pekerjaan untuk orang muda (usia 15-24) dan utama(25-49 tahun) meningkat sejak 1990. Ada juga lebih banyak orang terdidik diantara mereka yang bekerjasekarang dibandingkan tahun 1990. Konsisten dengan tingkat partisipasi laki-laki yang lebih tinggi, bagianpekerjaan untuk laki-laki hampir dua kali lipat perempuan. Jadi terjadi kesenjangan gender dalam pekerjaan,yang juga nampak dalam Tabel 4.

Situasi pekerjaan sangat membaik dalam waktu 12 bulan terakhir (Februari 2006 – Februari 2007) bersamadengan penguatan pertumbuhan ekonomi.58 Pekerjaan selama periode ini meningkat 2,5% sehingga terbentuk2,4 juta pekerjaan baru. Berita bagus yang lain adalah bahwa pekerjaan baru terkonsentrasi di sektor formal;pekerjaan sektor formal tumbuh hingga 4,8%. Namun, pertumbuhan pekerjaan baru terjadi di sektor yangtidak diperdagangkan. Pekerjaan di sektor yang tidak diperdagangkan tumbuh 3,5% dibandingkanpertumbuhan 1,6% di pekerjaan sektor yang diperdagangkan. Hal ini bisa mengakibatkan kekurangan pekerjaterampil di sektor yang diperdagangkan dan menyebabkan apresiasi riil yang mengganggu sektor yangdiperdagangkan.

Konsisten dengan pertumbuhan pekerjaan formal, bagian pekerja upahan baik untuk laki-laki maupunperempuan antara meningkat antara 1990 and 2006 (Tabel 4). Sekarang ada lebih banyak laki-laki yangbekerja sendiri dalam usaha dengan punya pegawai. Bagian dari perempuan yang terlibat dalam usahadengan pegawai tidak meningkat banyak. Ada penurunan yang signifikan dalam pekerja yang punya usahasendiri maupun yang membantu usaha keluarga, dan ini sejalan dengan penurunan bagian di pekerjaansektor informal.

Sumber: Sakernas

58 Lihat World Bank (2007), Indonesia: Economic and Social Update, November, 2007.

5656565656

Menyatakan Strategi Ketenagakerjaan Nasional untuk Indonesia

Tabel 5 menunjukkan bahwa ada lebih banyak pekerja perempuan di sektor jasa, sementara bagianpekerja laki-laki di industri lebih tinggi daripada perempuan. Perbedaan gender tidaklah signifikan di sektorpertanian.

Tabel 4: Status Pekerjaan, berdasarkan gender, 1990-99 (%)

1990 1995 1996 1997 1998 1999 2002 2006

Laki-lakiPekerja berupah, atau pegawai 31,9 39,1 38,4 39,4 36,1 36,2 29,4 35,2Pekerja yang bekerja sendiri 1,1 2,1 1,8 2,2 2,3 3,4 4,1 4,0dengan pegawaiPunya usaha sendiri 53,6 50,1 52,1 50,3 52,7 51,9 59,4 53,2Membantu usaha keluarga 13,5 8,7 7,7 8 8.8 8,5 7,0 7,7

PerempuanPekerja berupah, atau pegawai 22,8 29,2 27,4 29 27,7 28,1 37,3 31,5Pekerja yang bekerja sendiri 0,3 0,7 0,8 0,8 0,8 2 1,1 1,1dengan pegawaiPunya usaha sendiri 30,2 36,8 38,5 34,5 34,9 35,8 25,4 33,2Membantu usaha keluarga 46,6 33,3 33,4 35,7 36,6 34,2 36,2 34,1

Laki-laki + PerempuanPekerja berupah, atau pegawai 28,4 35,6 34,2 35,5 32,9 33,1 32,3 33,9Pekerja yang bekerja sendiri 0,8 1,6 1,4 1,7 1,7 2,9 3,0 3,0dengan pegawaiPunya usaha sendiri 44,5 45,4 46,9 44,3 45,9 45,7 47,2 46,2Membantu usaha keluarga 26,3 17,4 17,5 18,5 19,5 18,3 17,6 16,9

Sumber: Sakernas

Tabel 5: Pekerjaan menurut Sektor, berdasarkan gender, 1990-2006 (%)

Sumber: Publikasi Tahunan Sakernas, BPS

1990 1995 1996 1997 1998 1999 2002 2006

Laki-laki- Pertanian 54,8 44 42,7 40,1 44,3 43,3 43,7 42,5- Industri 14,8 19,6 19,7 20,8 17,8 19,3 20,4 20,3- Jasa 30,4 36,4 37,6 39,1 38 37,5 35,8 37,1

Perempuan- Pertanian 56 44 44,8 41,8 46 43,1 45,4 41,1- Industri 12,3 15,6 15,8 16,2 13,9 15,5 15,8 15,3- Jasa 31,8 40,3 39,4 42 40 41,4 38,8 43,5

Laki-laki + Perempuan- Pertanian 55,2 44 43,5 40,7 45 43,2 44,3 42,0- Industri 13,8 18,2 18,2 19,1 16,3 17,8 18,8 18,6- Jasa 30,9 37,8 38,3 40,2 38,8 38,9 36,9 39,4

5757575757

Box 1: Mengapa ada pertumbuhan ‘penganggur’ saat ini?

Jawabannya terletak pada:

Sumber pertumbuhan dan

Sifat perubahan struktural

Apakah sumber-sumber pertumbuhan Indonesia saat ini

Akumulasi modal lambat – iklim investasi tidak terlalu kondusif

Pertumbuhan pekerjaan rendah atau stagnan

Jadi, pertumbuhan harus dating dari TFP

Sumber-sumber pertumbuhan: peningkatan kontribusi TFP

Periode

1971-751976-801981-851986-901991-951996-0020011971-2001

PertumbuhanPDB (%)

7,987,625,226,857,540,713,325,83

KontribusiPekerja (%)

1,72,12,72,80,81,82,12,0

KontribusiModal (%)

2,82,93,72,32,7-3,3-3,01,7

KontribusiTFP (%)

3,52,6-1,21,84,12,24,22,2

Penurunan bagian PDB sektor-sektor penyerap pekerja – agrikultur, perdagangan, hotel & restoran – danbagian yang stagnan dan sektor manufakturing menyebabkan pertumbuhan pekerjaan yang stagnan.

Penurunan bagian ekspor padat karya juga bertanggungjawab atas pertumbuhan pekerjaan yang stagnan.Catatan: Angka menunjukkan bagian ekspor dari ekspor manufakturing padat karya disediakan oleh Dr. Andin Hadiyanto,

Direktur Litbang Iklim Usaha,Kementerian Perdagangan

1216202428

32364044

1993

1994

1995

1996

1997

1998

1999

2000

2001

2002

2003

2004

2005

2006

Per

cent

Agriculture Manufacturing Trade, Hotel & Restaurant Others

Export share of unskilled labour intensive manufacturing

05

1015202530354045

1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006

(%

)

Memahami masalah pengangguranSeperti bisa dilihat dari Tabel 6, tingkat pengangguran stabil di kisaran 2,5-2,8% selama 1986 – 1993.

Perubahan definisi menyebabkan perubahan dalam tingkat pengangguran di tahun 1994, ketika periodeyang menjadi acuan untuk pencari kerja aktif diubah dari satu minggu menjadi berapapun jumlah minggusehingga ada lebih banyak penganggur yang tercatat (Lihat Kotak 2 dan Lampiran 1). Tingkat pengangguran1995 tidaklah sebanding dengan tahun-tahun lain yang didasarkan atas survei lain, Supas.

5858585858

Menyatakan Strategi Ketenagakerjaan Nasional untuk Indonesia

Pengangguran mulai meningkat sebelum krisis; tingkanya naik dari 4,4% di tahun 1994 menjadi 4,9%di 1996. Manning (2000) melaporkan bahwa durasi pengangguran adalah lama – hampir separuh dari seluruhpencari kerja muda pertama kali dan sepertiga dari mereka yang pernah bekerja telah menganggur selama12 bulan atau lebih selama awal 1990an.

Tabel 6: Tingkat Pengangguran, 1986-2007

Sumber: Sakernas; Supas untuk 1995

1986

1987

1988

1989

1990

1991

1992

1993

2.7

2.6

2.8

2.8

2.5

2.6

2.7

2.8

1994

1995

1996

1997

1998

1999

2000

4.4

7.2

4.9

4.7

5.5

6.4

6.1

2001

2002

2003

2004

2005

2006

2007

8.1

9.1

9.5

9.9

11.2

10.3

9.8

Seperti disebut di atas, tingkat pengangguran tidak meningkat signifikan selama krisis; peningkatannyahanya menjadi 6,4% di tahun 1999 dan kemudian menurun menjadi 6,1% di 2000. Tanpa sistem jaminansosial universal, pekerja tidak sanggup tetap menganggur. Jadi, mayhoritas dari mereka yang kehilanganpekerjaan di sektor formal lari ke sektor informal. Namun, tingkat pengangguran tetap meningkat selamaperiode paska krisis. Peningkatan tajam dalam tingkat pengangguran sejak 2001 adalah karena perubahandefinisi. Sekarang para penganggur mencakup mereka yang tidak bekerja, tetapi (a) aktif mencari pekerjaam,(b) TIDAK aktif mencari pekerjaan, (c) punya pekerjaan yang mulainya nanti, atau (d) mempersiapkan usaha.Penyesuaian untuk perubahan definisi oleh Aaron et al (2004) menghasilkan tingkat pengangguran 5,1% ditahun 2001 dan 5.8% di 2002.59 Menggunakan faktor penyesuaian yang sama, tingkat pengangguran ditahun 2007 adalah sekitar 6,0% seperti waktu tahun 2000.

Gambar 2: Tingkat Pengangguran – Definisi Lama vs. Baru

0

2

4

6

8

10

12

1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007

Tingka

t Penga

nggura

ng (%

Angkat

an Ker

ja)

Definisi Lama Definisi Baru

Hal lain yang penting dicatat adalah bahwa perubahan-perubahan dalam tingkat pengangguran agregattidak berkorelasi positif dengan insiden kemiskinan. Hal ini jelas dari Gambar 3.

59 Juga lihat Manning (2004).

5959595959

Apakah ini berarti bahwa masalah pengangguran adalah semata teka-teki aritmatika dan umumnyatidak relevan?60 Haruskan para pembuat kebijakan mengkhawatirkan pengangguran? Ada beberapa kehati-hatian yang dibutuhkan di sini.

Pertama, jumlah absolute penting. Misalnya, tingkat yang disesuaikan yakni 6,0% akan tetap berartihampir satu juta lebih yang menganggur di tahun 2007 dibandingkan dengan angka tahun 2000. Secarapolitis, hal ini mungkin tidak bisa diterima, apalagi dalam demokrasi di mana mereka yang mengangguradalah juga pemilih.

Kedua, dan isu yang lebih menantang adalah karakter yang berubah dari para penganggur (lihat Tabel7). Ini mencakup:

Struktur usia – lebih banyak orang muda menganggur (lebih dari 61% dari total penganggur)Profil pendidikan – penganggur lebih terdidik (sekitar dua pertiga dari seluruh penganggur memilikipendidikan menengah)Konsentrasi lokasi/daerah – lebih banyak konsentrasi penganggur di daerah perkotaan; variasi daerahlebih luas (11 provinsi, kebanyakan yang kaya sumber daya dan terindustrialisasi telah memiliki tingkatpengangguran di atas tingkat nasional)

Gambar 3

Tingkat kemiskinan vs tingkat pengangguran

0

5

10

15

20

25

1996 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006

[%]

Tingkat kemiskinan [%]

Tingkat pengangguran

60 Manning (2000) mengamati, “pengangguran meningkat, namun perlahan, dan terutama karena definisi baru.” Seseorang mendapatkankesan bahwa masalah pengangguran semata tidaklah begitu serius.

6060606060

Menyatakan Strategi Ketenagakerjaan Nasional untuk Indonesia

Tabel 7: Profil Pengangguran (% angkatan kerja), 1990-2006

1990 1997 1998 2000 2002 2003 2004 2005 2006

Pengangguran Terbuka 2,5 4,7 5,5 6,1 9,1 9,7 9,9 11,2 10,3

Berdasar Gender

Laki-laki 2,5 4,1 5,0 5,7 7,5 7,6 8,1 9,29 8,5

Perempuan 2,7 5,6 6,1 6,7 11,8 13,0 12,9 14,7 13,4

Berdasar Lokasi

Perkotaan 6,0 8,0 9,3 9,2 11,0 12,0 12,7 14,2 12,9

Pedesaan 1,4 2,8 3,3 4,1 6,1 7,0 7,9 9,14 8,4

Berdasar usia

15-24 8,0 15,5 17,1 19,9 27,9 28,1 29,6 33,4 30,6

25-49 1,2 2,2 2,9 3,1 4,5 4,6 4,7 5,7 5,5

50 + 0,2 0,3 0,5 0,4 3,1 5,8 5,1 4,3 3,2

Berdasar pendidikan

Dasar atau kurang 0,9 1,8 2,0 2,5 5,5 6,3 5,8 6,6 6,1

Menengah bawah 4,1 6,0 7,5 8,9 12,3 11,7 12,7 14,1 12,9

Menengah atas 11,3 13,0 14,6 13,7 16,8 16,9 17,6 19,9 17,8

Tinggi 8,0 10,4 11,0 10,4 10,6 9,7 10,7 11,9 10,2

Sumber: Sakernas

Perubahan di atas akan sifat penganggur dapat mengganggu secara sosial. Variasi daerah dalam halpengangguran bisa menyebabkan peningkatan migrasi antardaerah. Hal ini bisa menjadi isu politis jikadaerah-daerah dengan tingkat pengangguran rendah berusaha menciptakan hambatan bagi mobilitas pekerja,menyebabkan meningkatnya ketegangan antardaerah.

Ketiga, tingkat pengangguran yang stabil meskipun pertumbuhan ekonomi lambat adalah karena parapekerja berpindah ke sektor informal. Pekerjaan-pekerjaan ini berkualitas rendah – upah rendah, tidak adajaminan tunjangan, kurang aman, dan sebagainya serta dengan produktivitas rendah. Pertumbuhan ataukelangsungan sektor informal di tengah-tengah pertumbuhan ekonomi berarti bahwa pertumbuhan tidaklahpro-miskin. Akibatnya kesenjangan meningkat. Alhasil, pengurangan kemiskinan melambat. Peningkatandalam kesenjangan juga bisa mengganggu stabilitas sosial.

Oleh sebab itu, masalah pengangguran harus diuji dari perspektif jaminan sosial dan kestabilan politik.Dengan demikian, fokusnya harus terletak pada penciptaan pekerjaan dengan menggunakan kerangka kerjaakan pekerjaan yang layak. Pendekatan mekanis yang menekankan pada pengurangan sasaran dalam tingkatpengangguran terbuka agregat akan tidak tepat.

6161616161

Box 2: Menginterpretasikan Data Angkatan Kerja dan Pekerjaan Indonesia –Beberapa Komplikasi karena Perubahan dalam Definisi

Analisa data angkatan kerja Indonesia diperumit karena beberapa kekosongan dalam seri yang utama dan

karena terminologi yang tidak biasa.

Di Indonesia istilah ‘pengangguran terbuka’ kerap digunakan dibandingkan ‘pengangguran’ seperti dulunya

didefinisikan. Hal ini mengarah pada istilah seperti ‘total pengangguran’ atau ‘pengangguran global’ yang

digunakan untuk menggambarkan jumlah pengangguran dan setengah pengangguran.

Konsep pengangguran terbuka (diperkenalkan di tahun 2001) mencakup pekerja yang mau bekerja, tetapi

sudah menyerah untuk aktif mencari pekerjaan baru. Penggunaan ukuran ini menambah baik jumlah angkatan

kerja maupun jumlah penganggur: tingkat pengangguran meningkat sekitar setengahnya, relatif dibandingkan

dengan definisi yang lama.

Ada kekosongan dalam tingkat pengangguran di tahun 1994 karena ada perubahan definsi lain dalam survei.

Populasi usia kerja sekarang didefinisikan menjadi 15 tahun ke atas. Sebelumnya 10 tahun ke atas.

Ada pula perubahan penting dalam definisi beberapa komponen pekerjaan di tahun 2001. BPS memperkenalkan

dua sub-kategori baru dari pekerjaan ’informal’ yakni pekerja ’pertanian lepas’ dan ’non-pertanian lepas’.

Pengantar ini berarti mendefinisikan ulang sejumlah seri, yang utamanya memengaruhi perbedaan antara

pekerja ‘formal’ dan ‘informal’ (Para pekerja ‘pertanian lepas’ dulunya diklasifikasikan sebagai ‘orang upahan’,

yang adalah bagian dari pekerjaan ‘formal’).

Mengabaikan pendefinisian ulang ini akan mengakibatkan salah pengertian, yakni bahwa pekerjaan formal

menurun drastis di tahun 2001, dan pekerjaan informal meroket. Dalam kenyataannya, setelah menyesuaikan

kekosongan data, pekerjaan sektor formal dan informal hanya naik sedikit (lihat Tabel 2.5, Aaron et al, 2004).

Komplikasi kecil lainnya adalah bahwa tidak ada laporan Sakernas untuk 1995. Di tahun itu, survei tahunan

digantikan oleh Supas. Tingkat pengangguran yang didasarkan pada Supas sangatlah lebih tinggi, dan harus

diperlakukan sebagai pengecualian (outlier).

6262626262

Menyatakan Strategi Ketenagakerjaan Nasional untuk Indonesia

Pengangguran Kaum Muda

Kira-kira 7 juta orang muda (usia 15-24 tahun) sedang menganggur di Indonesia. Ini berarti 61% daritotal penganggur. Di ASEAN, hanya Malaysia yang memiliki proporsi penganggur setinggi itu di kalanganorang muda (Tabel 8). Baik pengangguran total maupun pengangguran kaum muda terus meningkat; namun,tingkat kenaikan untuk penganggur muda sedikit lebih rendah dibandingkan totalnya, sehingga adapenurunan sedikit dalam rasio pengangguran kaum muda (Gambar 4).

Tabel 8 menunjukkan gambaran komparatif dari pengangguran kaum muda di negara-negara ASEANtertentu. Indonesia mengalami peningkatan signifikan dalam tingkat partisipasi angkatan kerja muda dari53% di 1996 menjadi 66.6% di 2005. Jadi, kelihatannya Indonesia telah memasuki fase “hadiah demografis”dengan sejumlah besar kaum muda dalam angkatan kerja. Indonesia kini memiliki tingkat partisipasi angkatankerja muda yang tertinggi di ASEAN. Pada saat yang sama Indonesia juga punya tingkat penganggurankaum muda yang terburuk (30,6% dari angkatan kerja muda). Namun, peningkatan terkini (Februari 06-Februari 07) dalam tingkat pekerjaan telah membantu menurunkan tingkat pengangguran kaum muda dari30,6% menjadi 25,4%. Lebih jauh lagi, data pencarian pekerjaan menunjukkan tingkat stabilitas yang luasbiasa dalam pasar kerja – lihat Tabel 9.

Gambar 4: Pengangguran Kaum Muda

-

2,000,000

4,000,000

6,000,000

8,000,000

10,000,000

12,000,000

1996 1998 2000 2002 2004 2006

jiwa

-

10

20

30

40

50

60

70

80

90

100

%

Total Kaum muda % Kaum muda (of total U)

Tabel 8: Indikator Pengangguran Kaum Muda di Beberapa Negara ASEAN

Kamboja (2004)

Indonesia (2006)

Malaysia (2004)

Filipina (2006)

Singapura (2005)

Thailand (2005)

TingkatPengangguranKaum Muda (%dari angkatankerja muda)

1,5

30,6

11,7

16,9

5,2

4,8

Rasio tingkatpengangguran

kaum mudadengan kaum

dewasa

2,5

6

8,4

3,6

1,3

6,3

Bagianpengangguranmuda dengan

total penganggur(%)

61

61,8

68,2

49,5

15,5

52,4

1996

71

52,9

49

51,3

50,3

60,2

Tingkat PartisipasiAngkatan Kerja muda

(%)

1996

71

52,9

49

51,3

50,3

60,2

Sumber: ILO, KILM 4th edition; Data National Statistical Office dan UNESCAP 2007

6363636363

Pengangguran terdidik dan ketidaksesuaian keterampilan

Seperti dapat dilihat dalam Gambar 5, pengangguran adalah tertinggi di antara orang-orang denganpendidikan menengah (khususnya menengah atas), diikuti oleh orang-orang dengan pendidikan tinggi(diploma dan gelar universitas). Pengangguran tidaklah terlalu akut di antara mereka yang tidak terampil(pendidikan dasar atau kurang). Namun, sekitar 30% dari penganggur tidak memiliki lebih dari pendidikandasar (Tabel 9). Jadi, kita bisa menyimpulkan bahwa kurangnya pendidikan adalah penyebab utamapengangguran mereka. Namun situasinya jauh lebih rumit. Hampir sepertiga (63%) penganggur memilikipendidikan menengah (bawah dan atas). Tingkat pengangguran yang tinggi di antara lulusan SMA dandominasi mereka dalam kelompok penganggur, bisa berarti tidak relevannya sistem pendidikan SMA untukpasar kerja. Yakni bahwa para pelajar SMA tidak dibekali dengan kompetensi yang dibutuhkan untuk pekerjaan,menyebabkan entah pengangguran di antara para lulusan atau ketidaksesuaian keterampilan. Situasi angkatankerja dengan pendidikan tinggi tidaklah terlalu buruk; sekitar 10% dari mereka dengan pendidikan tinggiadalah penganggur dan mereka membentuk 6,2% dari total penganggur.

Diperlukan kehati-hatian untuk tidak lompat pada kesimpulan yang mengejutkan tentang skalapengangguran pekerja terdidik. Berdasarkan data pencarian pekerjaan, yang dapat disimpulkan adalah bahwatidak ada bukti bahwa durasi pencarian pekerjaan telah meningkat untuk pekerja terdidik secara signifikan.Pekerja terdidik rata-rata membutuhkan sekitar 9 sampai 10 bulan untuk mencari pekerjaan. Jadi, banyakdari pengangguran pekerja terdidik yang diamati bersifat transisi. Isu kebijakan yang relevan adalah untukmemperbaiki transisi pekerja-pekerja macam itu dari sistem pendidikan dan pelatihan menuju dunia kerja.

Tabel 9Rata-rata dan median waktu durasi pencarian kerja, 1992 - 2007 (bulan)

Median Rata-rata

1992 1996 2001 2007 1992 1996 2001 2007

Perkotaan 5,8 5,9 5,4 5,9 9,3 9,4 8,8 9,5Pedesaan 4,3 4,9 4,1 4,6 7,7 7,7 6,8 7,7Total 5,2 5,5 4,9 5,4 8,7 8,7 8,0 8,8

Sumber: Survei Tahunan Angkatan Kerja Nasional Sakernas, beragam tahun (tabulasi penulis). Kami berterimakasih kepada Dr ShafiqDhanani yang menyediakan estimasi ini. Kesemuanya menjadi bagian dari buku yang akan terbit tentang pasar kerja Indonesia(akan diterbitkan oleh Routledge di awal 2009) di mana para penulis studi ini menulis bersama Dr Dhanani.

6464646464

Menyatakan Strategi Ketenagakerjaan Nasional untuk Indonesia

Gambar 5: Pengangguran Terdidik

0

5

10

15

20

25

2002 2003 2004 2005 2006

Peng

angg

uran

Dasar atau kurang Menengah bawah Menengah atas Tinggi

Tabel 10: Pengangguran menurut pendidikan sebagai % dari total pengangguran

2002 2003 2004 2005 2006

Dasar atau kurang 35,3 35,8 32,0 30,8 30,8Menengah bawah 23,5 24,7 26,2 26,5 25,0Menengah atas 35,5 34,9 36,0 36,8 38,0Tinggi 5,7 4,5 5,7 5,9 6,2Total pengangguran 100 100 100 100 100

Total sekunder 59,0 59,7 62,3 63,3 63,0

Tabel 11 memberikan indikator lain dari ketidaksesuaian keterampilan. Hampir 157 ribu orangberpendidikan tinggi bekerja sebagai pekerja lepas dan tidak dibayar di tahun 2006. Pada tahun yang samahampir 400 ribu orang berpendidikan tinggi bekerja sebagai pekerja produksi atau operator transportasidan buruh. Di sisi lain, insiden relatif dari ‘ketidaksesuaian keterampilan’ (diekspresikan sebagai proporsi daritotal pekerjaan) kecil. Jumlahnya kurang dari 1 persen.

Tabel 11: Ketidaksesuaian Keterampilan

Pekerja berpendidikan tinggi bekerja sebagai pekerja lepas dan pekerja tidak dibayar 2001 2002 2004 2006Jumlah pekerja 153.189 54.873 70.656 156.807% dari total pekerjaan 0,17 0,06 0,08 0,16 Pekerja berpendidikan tinggi bekerja sebagai pekerja produksi, operator peralatan transportasi dan buruh 1997 2001 2002 2004 2006Jumlah pekerja 266.825 364.188 372.655 448.121 382.556% dari total pekerjaan 0,31 0,40 0,41 0,48 0,40

6565656565

Konsentrasi regional

Tingkat pengangguran di 11 provinsi adalah lebih tinggi dibandingkan rata-rata nasional (Tabel 12).Total jumlah pengangguran di 11 provinsi ini merupakan 52% dari total pengangguran di Indonesia, sementarabagiannya adalah 39% dari total angkatan kerja dan 42% dari total populasi. Mereka adalah diantara provinsi-provinsi terkaya sumber daya dan beberapa diantaranya adalah pusat-pusat industri, dan karenanya cenderungmenarik para pencari kerja dari provinsi-provinsi lain. Mungkin inilah alasan mengapa bagian dari totalpengangguran lebih tinggi daripada bagian mereka di total populasi maupun total angkatan kerja.

Tabel 12: Tingkat Pengangguran Provinsi 2006

Provinsi Jumlah penganggur Tingkat pengangguran (% angkatan kerja)

Banten 754.617 18,9Sulawesi Utara 141.866 14,6Jawa Barat 2.561.525 14,6Maluku 71.854 13,7Kalimantan Timur 177.997 13,4Sulawesi Selatan 400.688 12,8Kepulauan Riau 71.914 12,2Sumatra Barat 243.525 11,9Sumatra Utara 632.049 11,5Jakarta 490.761 11,4Aceh 189.169 10,4Sulawesi Tengah 119.058 10,3Riau 202.387 10,2Irian Jaya Barat 31.770 10,2Sulawesi Tenggara 89.441 9,7Sumatra Selatan 310.851 9,3Lampung 307.689 9,1Bangka Belitung 42.210 9,0Nusatenggara Barat 186.259 8,9Kalimantan Selatan 144.765 8,9Kalimantan Barat 182.198 8,5Jawa Timur 1.575.299 8,2Jawa Tengah 1.356.909 8,0Gorontalo 30.039 7,6Maluku Utara 28.837 6,9Kalimantan Tengah 67.631 6,7Jambi 78.264 6,6Sulawesi Barat 27.820 6,4Yogyakarta 117.948 6,3Bengkulu 48.993 6,0Bali 120.188 6,0Papua 52.735 5,8Nusatenggara Timur 74.744 3,6

Indonesia 10.932.000 10,3

Notes: Aceh, Kepulauan Riau dan Kalimantan Timur kaya akan migas. Mereka adalah dintara 5 provinsi terkaya di Indonesia. KepulauanRiau adalah provinsi yang paling terindustrialisasi di Indonesia. Sumatera Utara adalah daerah nomor dua paling terindustrialisasi diSumatera. Jakarta adalah ibu kota, dengan tingkat per kapita riil PDB nomor dua tertinggi di Indonesia. Banten dan Jawa Baratberlokasi di samping Jakarta; mereka adalah pusat pembangunan industrial, dan adalah diantara 3 provinsi paling terindustrialisasidi Indonesia. Sulawesi Utara adalah provinsi terkaya di Sulawesi (dalam hal perkapita riil PDB). Sulawesi Selatan adalah pusatpertumbuhan di bagian Timur Indonesia dan adalah provinsi yang terindustrialisasi di Sulawesi.

6666666666

Menyatakan Strategi Ketenagakerjaan Nasional untuk Indonesia

Setengah pengangguran

Malah pengangguran di Indonesia menjadi lebih jelas ketika kondisi setengah pengangguran(didefinisikan sebagai bekerja kurang dari 35 jam seminggu) diperhitungkan juga. Hampir sepertiga orangyang bekerja adalah setengah pengangguran (Tabel 13). Namun, tidak semua dari mereka mengalami itutanpa diinginkan. Sekitar 14% dari semua yang bekerja adalah setengah pengangguran karena kurangnyapekerjaan penuh-waktu; mereka mau bekerja dengan jam lebih lama jika ada kesempatan.

Underemployment lebih akut di antara pekerja perempuan dan orang tua (usia 50 ke atas) diikutidengan pekerja kurang terdidik (pendidikan dasar atau lebih rendah). Lebih dari 21% pekerja berpendidikantinggi bekerja kurang dari 35 jam seminggu.

Tabel 13: Underemployment (bekerja kurang dari 35 jam per minggu)

2001 2002 2004 2006 2001 2002 2004 2006 Total 30,711,028 28,868,582 27,947,258 29,100,749 33.8 31.5 29.8 30.5 Laki-laki 14,332,960 14,442,403 13,962,718 15,189,810 25.1 24.7 23.0 24.5Perempuan 16,378,068 14,426,179 13,984,540 13,910,939 48.6 43.6 42.2 41.6 15-24 5,387,193 4,950,186 4,639,602 5,207,859 34.9 33.2 31.0 33.725-49 17,253,780 16,086,766 15,401,055 14,840,898 30.1 27.8 26.1 25.050+ 8,070,055 7,831,630 7,906,601 9,051,992 44.6 41.6 40.0 44.1 Pendidikan dasar 22,697,133 21,148,850 19,472,943 19,895,047 40.8 37.9 36.8 38.3atau kurangMenengah bawah 4,119,344 4,001,985 4,602,342 4,807,960 27.3 26.1 24.8 26.2Menengah atas 2,878,347 2,775,378 2,775,950 3,131,736 18.2 17.3 16.1 16.3Tinggi 1,016,204 942,369 1,096,023 1,266,006 23.3 21.5 22.4 21.4

Tidak diinginkan 12,002,836 13,418,061 13,774,867 13.1 14.3 14.4Diinginkan 16,865,746 14,529,197 15,325,882 18.4 15.5 16.1

% Setengahpengangguran (dari

total pekerjaan)Jumlah setengah

pengangguran

% Setengah pengangguran(dari total pekerjaan)

6767676767

Dimensi gender dari pengangguran dan pengalaman pasar kerja

Kelihatannya bahwa perempuan dalam angkatan kerja tidaklah mendapatkan yang sebaik rekan-rekanlaki-lakinya sejak krisis. Tingkat pengangguran laki-laki dan perempuan secara kasar hamper sama (sekitar2,5%) di tahun 1990. Setelah krisis, di 2002, tingkat pengangguran perempuan lebih dari 4 poin persen lebihtinggi dibandingkan tingkat pengangguran laki-laki, dan kesenjangannya meningkat hingga 5 poin persendi 2006. Namun, kesenjangan laki-laki dan perempuan dalam pengangguran menurun sedikit denganpertumbuhan pekerjaan yang menguat (selama Februari 06-Februari 07) yakni menguntungkan pekerjaperempuan. Tingkat pengangguran perempuan berada di 11,8% dibandingkan dengan tingkat pengangguranlaki-laki yang 8,5%.

Ada pula divergensi yang tumbuh antara pengangguran laki-laki dan perempuan sejak krisis. Misalnya,di tahun 1990, tingkat pengangguran kaum muda perempuan 8,2% dibandingkan 7,8% untuk laki-laki muda.Di 2006, tingkat pengangguran perempuan muda berada di 34,7% dibandingkan 27,8% untuk laki-laki muda.

Dalam menginterpretasikan tingkat pengangguran laki-laki-perempuan, seseorang dapat mencatatbahwa tingkat partisipasi angkatan kerja yang spesifik gender bervariasi cukup besar. Ketika tingkatpengangguran menurut gender diekspresikan oleh populasi usia kerja, tingkat pengangguran laki-laki ternyatalebih tinggi dibandingkan tingkat pengangguran perempuan.61

Kita pun harus mencatat bahwa, berdasarkan status pekerjaan, dan bukannya tingkat pengangguran,telah terjadi sedikit perbaikan dalam posisi relatif pekerja perempuan dalam pasar kerja Indonesia. Kitadapat mengacu kembali pada Tabel 4 di mana ditunjukkan bahwa bagian pekerja perempuan dalam pekerjaansektor formal (seperti diukur oleh mereka yang bekerja dengan upah/gaji) meningkat dari 23 persen menjadi31 persen antara 1990 dan 2006. Hal ini mengarah pada penutupan yang cukup substansial dalam kesenjanganstatus pekerjaan antara laki-laki dan perempuan.

Ada pula bukti bahwa disparitas upah antara laki-laki dan perempuan telah berkurang banyak antara1982 dan 2006. Pendapatan perempuan meningkat dari 50 persen pendapatan laki-laki di tahun 1982 menjadi75 persen di tahun 2006 – lihat gambar 8.

Gambar 6: Tingkat Pengangguran Terbuka (%) menurut Gender, 1990-2006

-

2

4

6

8

10

12

14

16

1990 1997 1998 2000 2002 2003 2004 2005 2006

Laki-laki + Perempuan Laki-laki Perempuan

6868686868

Menyatakan Strategi Ketenagakerjaan Nasional untuk Indonesia

Gambar 7: Tingkat Pengangguran Kaum Muda (%) menurut Gender (usia 15-24)

-

5

10

15

20

25

30

35

40

45

1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2002 2003 2004 2005 2006

Laki-laki + Perempuan Laki-laki Perempuan

Gambar 862

Perempuan/Laki-laki

% Gaji Perempuan/Laki-laki

62 Gambar dengan baik hatinya disediakan oleh Dr Shafiq Dhanani.

Elastisitas Pekerjaan

Konsep elastisitas pekerjaan – persen perubahan dalam pekerjaan yang didapatkan dari tiap 1%peningkatan dalam keluaran riil – telah menjadi sangat popular di kalangan pembuat kebijakan ketika bicarasoal pengangguran. Secara umum disepakati bahwa elastisitas pekerjaan di Indonesia telah menurun sejakkrisis, dan banyak pengamat mengaitkan lambatnya pertumbuhan pekerjaan pada menurunnya elastisitaspekerjaan.

Sejumlah peneliti telah berupaya untuk mengestimasi elastisitas pekerjaan untuk perekonomianIndonesia. Tabel 13 menyajikan beberapa estimasi terdahulu oleh Paauw (1991) dan Gijsberts (1992). Estimasi-

6969696969

estimasi ini diperoleh dengan menggunakan dua titik akhir yang umumnya disebut pendekatan ‘deskriptif’dan dikenal sebagai elastisitas ’arc’. Seperti dapat dilihat, ada variasi yang luas dalam estimasi-estimasi tersebuttergantung dari pilihan titik akhirnya dan metode (geometrik vs. simpel) yang digunakan untuk perubahanpersentase rata-rata. Jadi proyeksi pekerjaan yang diperoleh dari estimasi-estimasi ini dapat menyesatkan.63

Tabel 14: Elastisitas pekerjaan-keluaran: Pendekatan Dua poin atau Deksriptif

Sektor

AgrikulturPertambangan & PenggalianManufakturingListrik, gas & airKonstruksiPerdaganganTransportJasa keuanganJasa lain

Semua sektor

1971-80Paauw/Gijsberts

0.292.570.430.510.670.630.400.960.70

0.38

1980-85Paauw

1.00-0.470.550.071.461.840.64-0.410.40

1.06

1980-85Gijsberts

1.25-1.720.330.301.471.810.64-0.280.40

0.82

1985-90Gijsberts

0.334.890.711.080.790.330.912.300.60

0.46

Jadi, Lim (1997) menyarankan pendekatan regresi untuk mengestimasi elastisitas pekerjaan. Beliaumenspesifikasikan fungsi pekerjaan sebagai berikut:

Log E(t) = log a + b log Q(t) + c log E(t-1) … (1)

Log E(t) = log a + b log Q(t) + c log E(t-1) + dT … (2)

Di mana E(t) adalah pekerjaan di periode t, Q(t) adalah keluaran di periode t, E(t-1) adalah pekerjaan diperiode sebelumnya dan T adalah tren waktu.

Pekerjaan periode sebelumnya dimasukkan dalam persamaan ini atas dasar bahwa keputusan pekerjaanditentukan oleh tingkat pekerjaan yang sudah ada. Yakni, apakah para pekerja baru akan direkrut di periodeberikutnya tergantung pada berapa banyak pekerja yang dipunyai perusahaan pada periode ini. Tren waktudiperkenalkan sebagai proksi untuk perubahan teknologi.

Menggunakan formulasi di atas, Lim mendapatkan estimasi elastisitas pekerjaan di tingkat 3 digit untuksektor manufaktur untuk periode 1975-89. Estimasi agregat untuk sektor manufaktur secara keseluruhanadalah 0,37 dalam kasus persamaan (1) dan 0,2 dalam kasus persamaan (2). Estimasi yang menggunakanpersamaan (1) tidaklah signifikan secara statistik, namun estimasi yang diperoleh dari persamaan (2) signifikandi tingkat 5%.

Menarik untuk dicatat bahwa penggunaan tren waktu untuk menangkap kemajuan teknologi membuatelastisitas menjadi signifikan. Jadi, kelihatannya kemajuan teknologi tidaklah menghemat pekerja. Namun,elastisitas yang diestimasi justru rendah untuk periode di mana pekerjaan manufaktur tumbuh cukup pesat.64

Islam dan Nazara (2000) menggunakan pendekatan deksriptif dan regresif. Estimasi mereka disajikandi Tabel 15. Sekali lagi, ada kesenjangan yang besar diantara kedua pendekatan tersebut. Pendekatan regresisecara umum menghasilkan estimasi yang lebih besar; sektor pertanian ditemukan sebagai pekerjaan yangpaling elastik diikuti oleh sektor jasa dan perdagangan. Namun, elastisitas pekerjaan yang sangat tinggi

63 Lihat Lim (1997) serta Islam dan Nazara (2000) untuk diskusi tentang keterbatasan metode deskriptif untuk mengestimasi elastisitaspekerjaan.

64 Estimasi deskriptif atau dua poin dari Lim menunjukkan bahwa elastisitas pekerjaan dalam sektor manufakturing meningkat dari0,27 untuk 1975-84 menjadi 0.46 untuk 1985-89.

7070707070

Menyatakan Strategi Ketenagakerjaan Nasional untuk Indonesia

tidak memberikan ruang yang cukup untuk pertumbuhan produktivitas. Elastisitas pekerjaan yang lebih darisatu dalam sektor pertanian berarti bahwa produktivitas pekerja menurun.

Tabel 15: Elastisitas Pekerjaan Sektoral oleh Islam & Nazara (2000)

Sektor (Periode 1977-1996)

AgrikulturIndustriPerdaganganJasaLain-lain

Semua sektor

Pendekatandeskriptif

0.190.510.480.410.58

0.49

Regresi OLSlog L = a + b log Y

1.050.600.920.980.46

0.66

Islam dan Nazara juga menggunakan faktor sisi permintaan. Yakni bahwa pekerjaan sektoral adalahfungsi dari keluaran sektoral sekaligus juga total keluaran. Secara sempit, elastisitas pekerjaan sektoral hanyaboleh mempertimbangkan pertumbuhan keluaran sektoral. Teknik I-O adalah alat yang lebih baik untukmenguji dampak perubahan dalam permintaan akhir dalam keluaran dan pekerjaan sektoral.

Box 3: I-O Pengganda pekerjaan

Pekerjaan Primer dan non-Primer yang dimunculkan oleh Ekspor Manufaktur, 1985-95

1985

353,824 (20.7)

28,612 (1.7)

854,007 (50.0)

152,954 (9.0)

317,337 (18.6)

1,706,734 (100.0)

Sektor primer

Pemrosesan Makanan

Industri ringan

Industri berat & kimiawi

Jasa, dll.

Total

1990

1,219,394 (25.2)

240,345 (5.0)

2,332,953 (48.2)

336,350 (7.0)

706,818 (14.6)

4,835,860 (100.0)

1995

1,253,591 (21.6)

192,647 (3.3)

2,503,295 (43.2)

471,139 (8.1)

1,372,236 (23.7)

5,792,908 (100.0)

Sumber: James and Fujita (2000)Catatan: Kalkulasi didasarkan pada tabel I-O untuk 1985, 1990 dan 1995. Angka dalam kurung adalah persentase.

Sumber Pertumbuhan Pekerjaan (2000 – 2002)

Sumber: Aaron et al (2004)Catatan: Kalkulasi didasarkan pada table 2000 dan 2002 I-O. Angka dalam kurung adalah persentase.

Konsumsirumahtangga

378.841(21,0)

Sumberpertumbuhanlapangankerja (%)

Konsumsipemerintah

351.067(19,4)

Investasi

757.800(41,9)

PerubahanSaham

7.335(0,4)

Eksporbarang

280.463(15,5)

Eksporjasa

31.404(1,7)

perubahankerja

keseluruhan

1.806.910(100,0)

7171717171

Suryadarma, Suryahadi dan Sumarto (2007) mengestimasi pertumbuhan pekerjaan sebagai fungsipertumbuhan keluaran sektoral tertimbang oleh bagian keluaran sektoral dalam PDB dan tingkat partisipasi.Mereka juga membedakan antara keluaran dan pekerjaan sektoral di perkotaan dan pedesaan. Estimasimereka dari analisa regresi disajikan dalam Tabel 16.

Yang menarik adalah bahwa pertumbuhan industri perkotaan menyebabkan penurunan pertumbuhanpekerjaan di pedesaan, sejalan dengan hipotesa Lewis. Namun sulit untuk menginterpretasikan mengapapertumbuhan industrial perkotaan tidak punya dampak pada pekerjaan total kecuali bahwa pekerjaanperkotaan meningkat hingga 0,45% karena satu persen peningkatan dalam keluaran industrial perkotaan.Juga, pertumbuhan pedesaan tidak punya dampak pada pekerjaan perkotaan. Tambahan lagi, penggunaantingkat partisipasi angkatan kerja dalam fungsi pekerjaan patut dipertanyakan. Dalam surplus ekonomi tenagakerja (pengangguran), pekerjaan tidaklah ditentukan oleh suplai (tingkat partisipasi) melainkan olehpermintaan. Di sisi lain, tingkat partisipasi dapat dipengaruhi oleh pertumbuhan pekerjaan. Yakni, pertumbuhanpekerjaan yang lebih tinggi bisa mendorong banyak orang untuk masuk bergabung dengan angkatan kerja.Demikian pula pertumbuhan pekerjaan yang lambat akan mencegah banyak orang untuk melakukan hal itu.Tambahan lagi, tingkat partisipasi tenaga kerja dan perubahan dalam bagian populasi dalam provinsi,digunakan sebagai variabel kontrol, tidak punya banyak variasi dari tahun ke tahun untuk bisa membedakankeseluruhan ketepatan model.

Tabel 16: Pekerjaan dan Pertumbuhan Keluaran, Suryadarma-Suryahadi –Sumarto (2007)

Totalpertumbuhan

pekerjaan

0.330.01

0.19**

0.64**0.29**

0.15

PerkotaanPertumbuhan PDB AgriPertumbuhan PDB IndustrialPertumbuhan PDB Jasa

PedesaanPertumbuhan PDB AgriPertumbuhan PDB IndustrialPertumbuhan PDB Jasa

PertumbuhanPekerjaanPerkotaan

2.10**0.45**0.58**

0.290.160.35

PertumbuhanpekerjaanPedesaan

-0.20-0.11**

0.07

0.48*0.36**0.19*

7272727272

Menyatakan Strategi Ketenagakerjaan Nasional untuk Indonesia

Estimasi Baru untuk Elastisitas Pekerjaan

Karena keterbatasan estimasi yang tersedia seperti dinyatakan di atas, studi ini berupaya untukmengestimasi elastisitas pekerjaan sektoral dari model teoretis yang lebih kuat dan dengan menggunakanmetode ekonometrik yang lebih baik, yakni pendekatan regresi data panel.

ModelDalam membangun fungsi pekerjaan, diasumsikan bahwa perusahaan memimalisasi biaya tergantung

dari tingkat keluaran yang ada. Jadi, fungsi ini mengikutkan dua karakteristik utama dari permintaan pekerja,yakni, diambil dari permintaan (untuk tingkat keluaran yang ada) dan pemaksimalan keuntungan (ataupeminimalisasian biaya) oleh pengusaha yang merekrut pekerja dengan menimbang upah yang harusdibayarkan dibandingkan dengan harga yang diterimanya untuk produknya (yakni upah riil).65 Tambahanlagi, keputusan pekerjaan, khususnya di sektor modern, adalah keputusan marginal, yang berubah daritingkat saat ini.66 Jadi, model ini menggambarkan bahwa pekerjaan adalah fungsi dari keluaran, upah riil danpekerjaan terdahulu. Pekerjaan terdahulu (lagged employment) dimasukkan untuk menangkap “histeresis”atau sifat ketergantungan pada masa lampau dari pasar kerja.67

lnEit = ß0 + ß1lnYit + ß2lnRWit + ß3lnEit-1 + eit (1)

di mana

E : jumlah pekerjaan (sektoral)

Eit-1 : pekerjaan dulu (lag employment)

Y : Keluaran (PDB regional provinsi sektoral– RGDP)

RW : Upah produk riil (upah nominal sektoral digembosi/dideflasi oleh deflator PDB riil sektoral)

Huruf i dan t mengacu pada provinsi dan tahun.

Elastisitas pekerjaan dalam hal keluaran ditandai oleh ß1. Jadi, pekerjaan (E) akan meningkat sebesar ß1

% jika keluaran (Y) meningkat hingga 1 %.

Model diestimasi untuk keseluruhan delapan sektor dalam ekonomi, yakni:pertanian, perikanan, kehutananpertambangan, penggalian, listrik, gas, dan airmanufakturkonstruksiperdagangan, hotel dan restorantransportasi dan komunikasikeuanganjasa

65 Baik minimalisasi biaya dan maksimalisasi keuntungan menghasilkan hasil yang sama dalam hal upah riil, yakni bahwa tingkatoptimal pekerjaan ditentukan dari dimana produk marginal dari pekerja setara dengan upah riil, menghasilkan kemiringan permintaanyang menurun untuk kurva pekerja.

66 Sektor formal dikarakterisasi oleh pekerjaan jangka panjang dan perusahaan tidak mengambil pekerja baru di awal tiap periodeproduksi.

67 Jadi, fungsi pekerjaan yang diajukan di sini adalah lebih kuat secara teoretis dibandingkan estimasi-estimasi lain yang ada untukelastisitas pekerjaan di Indonesia.

7373737373

DataData pekerjaan dan upah diambil dari publikasi tahunan Sakernas (Survei Angkatan Kerja Nasional),

sementara data PDB riil provinsi diambil dari terbitan rekening regional di BPS. Upah riil sektoral diperolehdengan cara menggemboskan upah nominal sektoral dengan deflator keluaran sektoral.

Unit observasinya adalah provinsi-tahun untuk tiap sektor ekonomi. Dua periode waktu dipakai, sebelumdan sesudah krisis 1998. Untuk periode pra krisis, kami punya data untuk 1993-1997, kecuali 1995 karenaSakernas tidak dilaksanakan tahun itu, dan untuk periode paska krisis, kami menggunakan periode 2000-2006. Sifat data kami adalah panel (kombinasi dari lintas bagian dan time series) karena kami punyapengamatan menurut provinsi dan tahun.

Metode EstimasiDalam mengestimasi data panel, ada dua teknik varian yang umum digunakan: dampak radom (random

effects/RE) dan dampak pasti (fixed effects/FE). Tes Hausman dipakai untuk melakukan tes statistik formaluntuk memilih metode estimasi yang paling sesuai.

Dibandingkan dengan studi-studi terdahulu tentang elastisitas keluaran pekerjaan, studi ini melakukanperbaikan berikut ini:

Menggunakan divisi sektoral yang lebih mendetil, yakni delapan sektor. Studi-studi terdahulu (Islamdan Nazara, 2000 serta Suryadarma, Suryahadi dan Sumarto, 2007, misalnya) hanya menggunakantiga sektor.Menggunakan upah riil produk sektoral. Yakni upah nominal dideflasi oleh deflator keluaran sektoraldan bukannya oleh CPI untuk merefleksikan keputusan rasio biaya-tunjangan dari keputusan pekerjaan.Jadi, ini memberikan kita ‘elastisitas upah’ dari pekerjaan, juga dengan elastisitas keluaran. Ini adalahstudi pertama yang berusaha untuk mengestimasi elastisitas upah sektoral di Indonesia.Menguji dua periode yang berbeda, pra dan paska 1998, untuk melihat perubahan dalam elastisitaskeluaran dari pekerjaan sebelum dan sesudah krisis.

HasilKeluaran sektoral ternyata merupakan penentu yang penting dari keluaran sektoral (Tabel 17). Pentingnya

upah riil dan pekerjaan yang terdahulu (lagged employment) bervariasi antar sektor dan antar kedua periode.Secara umum pekerjaan yang terdahulu (lagged employment) adalah penting dalam sektor-sektor sepertimanufaktur, di mana hubungan pekerjaan lebih bersifat jangka panjang dibandingkan di sektor-sektor sepertipertanian, di mana pekerjaan umumnya musiman.

Elastisitas keluaran pekerjaan menurun di semua sektor selama periode paska krisis. Penurunannyacukup dramatis di beberapa sektor. Sektor jasa, keuangan dan perdagangan yang tumbuh dengan lebihcepat di tahun-tahun belakangan ini, memiliki elastisitas keluaran pekerjaan yang sangat rendah dibandingkannilainya sebelum krisis. Hal ini menjelaskan pertumbuhan pekerjaan selama periode paska krisis. Namun,penurunan dalam elastisitas keluaran pekerjaan tidaklah semata-mata berita buruk asal disebabkan olehpeningkatan dalam produktivitas pekerja (lihat box 5).

7474747474

Menyatakan Strategi Ketenagakerjaan Nasional untuk Indonesia

Tabel 17: Penentu Pekerjaan Berdasarkan Sektor (Variabel Dependen: LnEmployment)

Panel A – Paska krisis (2000-2006)

LnY

(2)

0.680.23

0.120.630.81

0.48

0.670.17

Sektor

(1)

1. Pertanian2. Tambang, Listrik, Gas,Air3. Manufaktur4. Konstruksi5. Perdangangan, Hotel,Restoran6. Transportasi-komunikasi7. Keuangan8. Jasa

****

*********

***

*****

LnRW

(3)

-0.14-0.32

-0.18-0.100.20

-0.16

0.09-0.09

**

*

LnE(lag)

(4)

-0.040.54

0.870.13

-0.003

-0.07

0.100.79

***

***

***

R2 keseluruhan(R2 dalam)

(5)

0.75 (0.03)0.63

0.940.71 (0.14)0.87 (0.18)

0.79 (0.11)

0.73 (0.17)0.95

Obs

(6)

156156

156156156

156

156156

MetodeEstimasi

(7)

FERE

REFEFE

FE

FERE

Panel B – Sebelum krisis (1993, 1994, 1996, 1997)

LnY

(2)

1.37-0.15

0.861.602.99

1.98

0.590.89

Sektor

(1)

1. Pertanian2. Tambang, Listrik, Gas,Air3. Manufaktur4. Konstruksi5. Perdangangan, Hotel,Restoran6. Transportasi-komunikasi7. Keuangan8. Jasa

*

*********

***

***

LnRW

(3)

-0.82-0.22

0.260.10

-0.43

-0.09

-0.410.34

***

*

*

***

LnE(lag)

(4)

-0.06-0.33

-0.25-0.29-0.16

-0.40

-0.42-0.13

*

****

**

***

R2 keseluruhan(R2 dalam)

(5)

0.77 (0.18)0.65 (0.08)

0.59 (0.21)0.49 (0.46)0.85 (0.61)

0.51 (0.37)

0.26 (0.18)0.89 (0.52)

Obs

(6)

7878

787878

78

7878

MetodeEstimasi

(7)

FEFE

FEFEFE

FE

FEFE

Catatan: ***, ** dan * masing-masing mengindikasikan tingkat signifikansi 1%, 5% dan 10%; masing-masing regresi punya nilai konstan.FE adalah dampak tetap dan RE adalah dampak random. Untuk estimasi dampak tetap, R square yang valid adalah R2 di dalam danuntuk estimasi dampak random R2 overall yang dipakai.

Bahkan, ada peningkatan yang substansial dalam produktivitas pekerja di sektor manufaktur sejaktahun 2000. Adalah wajar untuk mengamati peningkatan produktivitas pekerja setelah suatu resesi besarkarena perusahaan yang efisien bertahan dan mereka mengetatkan pekerja selama masa pemulihan.Produktivitas pekerja di sektor pertanian juga telah meningkat sejak 2003, mungkin karena sejumlah pekerjayang pindah ke sektor itu selama krisis kini pindah ke kegiatan lain. Hal ini bisa juga karena sejumlah orang-orang yang lebih terdidik memutuskan untuk tinggal dan terlibat dalam pertanian yang lebih modern.

7575757575

Juga menarik untuk dicatat bahwa upah riil ternyata signifikan hanya untuk dua sektor – pertambangandan manufaktur. Hal ini berarti penurunan upah riil tidak akan menciptakan pekerjaan baru apapun dikebanyakan sektor, apalagi di sektor padat karya seperti pertanian, jasa dan perdagangan. Di sisi lain, karenatidak ada pertambahan murni dalam pekerjaan, penurunan upah riil akan menurunkan pendapatan pekerja.Hal ini dengan demikian tidak hanya akan menciptakan lebih banyak ‘orang miskin bekerja’, tetapi jugamenekan pertumbuhan permintaan agregat dan karenanya memperlambat pertumbuhan ekonomi. Jadi,bahkan dalam hal sektor manufaktur, di mana penurunan pekerjaan - elastisitas upah riil lebih besar daripadapeningkatan pekerjaan – elastisitas keluaran, upah riil harus turun secara substansial demi menciptakansejumlah besar pekerjaan baru jika pertumbuhan pekerjaan dibatasi karena pertumbuhan yang tertekan.Misalnya, untuk meningkatkan pekerjaan sektor manufaktur sebesar, misalnya 1,8% (lebih dari 200,000pekerjaan baru di tahun 2008 untuk menyerap semua pendatang baru), upah riil harus turun sekitar 10%.Hal ini akan berdampak sangat merugikan bagi tingkat kemiskinan ketika hampir separuh penduduk rentankemiskinan (hidup hanya di atau sedikit di atas garis kemiskinan).68

Gambar 9: Produktivitas Pekerja di Manufaktur

0.0

2.0

4.0

6.0

8.0

10.0

12.0

1987

1988

1989

1990

1991

1992

1993

1994

1995

1996

1997

1998

1999

2000

2001

2002

2003

2004

2005

2006

Mn R

p/pe

kerja

(p

ada 1

993 h

arga t

etap)

Sumber: Dihitung dari data BPS

Gambar 10: Produktivitas Pekerja di Pertanian

0.0

0.5

1.0

1.5

2.0

2.5

1987

1988

1989

1990

1991

1992

1993

1994

1995

1996

1997

1998

1999

2000

2001

2002

2003

2004

2005

2006

Mn Rp

/pek

erja

(pada

1993

haga

tetap

)

Sumber: Dihitung dari data BPS

68 Suatu studi tentang Kenya yang mengasumsikan elastisitas pekerjaan-upah yang lebih tinggi yakni -0,6, menemukan bahwa untukmenciptakan 190.000 pekerjaan sektor formal tambahan, rata-rata upah riil harus turun hingga 42%. Hasil upah rata-rata akanmenjadi 15% di bawah garis kemiskinan. Lihat, Robert Pollin et al [2007] “Wage Cutting in Kenya Will Expand Poverty, Not DecentJobs” International Poverty Centre, One Pager # 46. Tersedia online di: http://www.undp-povertycentre.org/pub/IPCOnePager46.pdf.Laporan lengkap tersedia online di http://www.undp-povertycentre.org/publications/reports/Kenya.pdf

7676767676

Menyatakan Strategi Ketenagakerjaan Nasional untuk Indonesia

Upah riilBertentangan dengan klaim sejumlah pengamat bahwa telah terjadi peningkatan tajam biaya tenaga

kerja selama masa demokrasi, data tidak menunjukkan peningkatan yang dramatis apapun dalam upah riilsejak krisis. Ada peningkatan upah riil produk antara 2000 dan 2003, dan hal ini bisa jadi hanya faktorpengejar saat ekonomi mulai pulih dari krisis seperti ditunjukkan dalam studi terkini oleh Islam dan Chowdhury(2006). Namun sejak saat itu upah riil produk di kebanyakan sektor entah mandek atau menurun (Gambar11). Upah riil yang disesuaikan dengan CPI jatuh secara signifikan sejak 2004 mengikuti dicabutnya subsidibahan bakar (Gambar 12). Hal ini paling mungkin merugikan standar hidup keluarga bekerja.

Gambar 12: Upah Riil Konsumsi Sektoral (dideflasi berdasarkan CPI nasional)

Gambar 11: Upah Riil Produk Sektoral (dideflasi berdasarkan deflator PDB sektoral)

-

100,000

200,000

300,000

400,000

500,000

600,000

700,000

800,000

2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006

Rp

1-Pertanian 3- Manufaktur 5- Konstruksi

6-Perdagangan,Hotel, Restoran

7- Transportasi-Komunikasi

9- Jasa All sector

-

100,000

200,000

300,000

400,000

500,000

600,000

700,000

2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006

Rp

1-Pertanian 3- Manufaktur 5- Konstruksi

6-Perdagangan,Hotel, Restoran

7- Transportasi-Komunikasi

9- Jasa Semua sektor

7777777777

Suatu perbandingan tren dalam produktivitas pekerja dan upah riil produk mengungkapkan bahwatelah terjadi penurunan dalam unit upah pekerja sejak 2003. Jadi sulit untuk mempertahankan argumenbahwa peningkatan biaya pekerja telah menekan pertumbuhan pekerjaan.

Gambar 13: Unit Biaya Pekerja di Sektor Manufaktur dan Pertanian (1993 =100)

50

60

70

80

90

100

110

1993 1994 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006

Uni

t ind

eks

kerja

(199

3=10

0)

Pertanian Manufaktur

Survei berbasis perusahaan dan implikasinya

Satu cara menguji klaim bahwa rezim kepatuhan standar tenaga kerja telah meningkat tajam di Indonesiadalam beberapa tahun belakangan ini adalah dengan memfokuskan diri pada persepsi komunitas bisnis.Bagaimana mereka melihat dampak peraturan ketenagakerjaan pada iklim usaha di Indonesia? Berapapentingkah itu dibandingkan faktor-faktor lain yang memengaruhi iklim usaha? Apakah membaik ataumemburuk bersama dengan waktu dan relatif dibandingkan dengan negara lain? Kini ada sejumlah survei –tiga diantaranya bersifat global – yang memungkinkan seseorang untuk mengekplorasi isu-isu ini denganlebih mendalam.69

Pertimbangkanlah survey ‘Doing Business’ dari Bank Dunia. Survei ini mendaftar sejumlah peraturanpasar kerja sebagai salah satu saja dari sepuluh faktor yang memengaruhi keseluruhan indeks ‘kemudahanmelakukan bisnis’ di mana Indonesia ada di ranking 123 dari 178 ekonomi. Implikasi jelasnya adalah bahwareformasi peraturan ketenagakerjaan tanpa menangani hambatan-hambatan lain hanya akan menghasilkandampak yang marjinal dalam memperbaiki iklim usaha. Lebih penting lagi, seperti ditunjukkan Tabel 14, nilaidari indeks ‘kekakuan’ yang terkait dengan berbagai komponen untuk mempekerjakan pekerja adalah hampirkonstan antara 2003 dan 2007. Jika proksi untuk variabel penjelas utama, dalam hal ini kekakuan peraturanpasar kerja, tetap tidak berubah dan bertindak pada dasarnya seperti parameter tetap, maka hal ini tidakbisa dipakai untuk menjelaskan perubahan dalam pengangguran maupun dalam struktur pekerjaan.

69 Mengejutkan bahwa mereka yang mengingatkan akan perubahan dalam peraturan ketenagakerjaan tidaklah membuat upayaserius apapun untuk menjelaskan bagaimana perubahan tersebut dapat mempengaruhi persepsi iklim usaha secara merugikan.

7878787878

Menyatakan Strategi Ketenagakerjaan Nasional untuk Indonesia

Tabel 14 Indeks berkaitan dengan perekrutan pekerja di Indonesia, 2003-2007

2003 2004 2005 2006 2007

Indeks kesulitan merekrut 72 61 72 72 72

Kekakuan jam kerja 0 0 0 0 0

Indeks kesulitan memecat 60 60 60 60 60

Indeks kekakuan pekerjaan 44 44 40 44 44

Biaya memecat [% gaji] 10 10 10 10 10

Sumber: ‘Doing Business Survey’, Bank Dunia, tersedia di www.doingbusiness.org

Walaupun indeks yang jelas dalam hal ‘Doing Business Survey’ dari Bank Dunia tetap konstan, gambaranyang lebih optimistik muncul dari survei global lain. Dalam hal survei daya saing global yang ternamaseperti yang dilaksanakan oleh World Economic Forum untuk 2007-2008, Indonesia berada di ranking ke 50dari 131 negara – suatu perbaikan 19 tingkat dari tahun-tahun sebelumnya. Dalam indeks agregat tersebut,Indonesia berada di ranking 30 dari 131 negara dalam hal ukuran ‘efisiensi pekerja’, sekali lagi menunjukkanperbaikan yang berarti dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Gambar 14 menggambarkan kemajuanIndonesia antara 2000 dan 2007 dalam hal ‘indeks daya saing global’ dari World Economic Forum’s ‘globalcompetitiveness index’, di mana ranking Indonesia sesungguhnya diekspresikan sebagai fraksi dari keseluruhanjumlah observasi. Fraksi yang menurun ditunjukkan sebagai perbaikan dalam ranking relatif Indonesia dalamhal daya saing.70 Kenyataan bahwa kemajuan yang tetap ini terjadi meskipun ada Undang-undangKetenagakerjaan 2003 adalah cukup mengejutkan, yakni karena tuduhan standar bahwa pasar kerja yanglebih diatur berarti bahwa lingkungan usahanya kurang kompetitif.

Namun survey global lain yang diproduksi oleh Fraser Institute dapat dipakai untuk melacak apakahperaturan ketenagakerjaan telah memburuk dalam tahun-tahun belakangan ini. Tren yang muncul adalah dimana keseluruhan indeks peraturan ketenagakerjaan sebenarnya telah membaik antara 2000 dan 2005,

Gambar 14

0

0.1

0.2

0.3

0.4

0.5

0.6

0.7

0.8

0.9

2000 2001 2002 2003 2004 2005

Sumber: Dihitung dari World Economic Forum, Global Competitiveness Index, berbagai tahun

70 Tentu saja, ranking relatif seperti diukur di sini dapat menunjukkan perbaikan meskipun tidak ada peruahan dalam ranking absolut.Misalnya, jika suatu negara memiliki ranking 75 dari 100, posisi relatifnya akan membaik hanya karena peningkatan jumlah observasi,misalnya, 75 dari 120 negara, jika observasi tambahan diranking di bawah negara. Dalam kasus Indonesia, seseorang mengamatiperbaikan dalam ranking absolut maupun relatif.

7979797979

bersamaan dengan keseluruhan perbaikan dalam ‘Kebebasan Ekonomi’ di periode yang sama.71 Sepertidalam kasus “Survei Doing Business” dan survei WEF, peraturan tenagakerja mewakili hanya satu komponendari banyak komponen yang memengaruhi keseluruhan indeks ‘Kebebasan Ekonomi’ seperti diklaim olehpara pengarangnya untuk memengaruhi pertumbuhan dan standard hidup. Jadi karenanya, bahkan bila adaperubahan radikal dalam peraturan ketenagakerjaan yang membuat Indonesia menjadi negara paling ‘ramahusaha’ di dunia, dampaknya ke indeks ‘Kebebasan Ekonomi’ hanya kecil saja bila komponen-komponen laintetap tidak diubah.

71 Bahan-bahan utama kebebasan ekonomi, seperti dikonseptualisasi oleh Fraser Institute adalah: pilihan personal, pertukaran pasarsecara sukarela, kebebasan untuk masuk dan bersaing dalam pasar, perlindungan manusia dan properti dari agresi pihak lain.Indeks ini terdiri dari 5 sub-indeks: ukuran pemerintah; uang yang ‘sound’; struktur hokum dan jaminan hak property; perdaganganbebas, peraturan tenaga kerja, kredit dan usaha. Indeks-indeks ini memiliki nilai maksimum 10, mewakili nilai terbaik. AlmarhumNobel Laureate Milton Friedman, sesepuh neoliberal, diasosiasikan dengan karya besar institut ini.

Gambar 15

Indonesia: Indeks Peraturan Pasar Kerja,2000-2005

Indonesia: Indeks Peraturan Pasar Kerja, 2000-2005

Sumber: Diambil dari data yang dilaporkan di Fraser Institute, www.freetheworld.com.Catatan: Indeks ini dibuat berdasarkan data yang terkait dengan upah minimum, hambatan dalam keputusan merekrut

dan memecat, biaya wajib untuk memecat, insiden negosiasi bersama (collective bargaining) yang tersentralisasidan adanya kejadian tenaga kerja yang dipaksa. Indeks ini adalah satu dari lima sub-indeks yang membentuk indekskeseluruhan ‘kebebasan ekonomi’ dan diukur dari 10 (=nilai terbaik).

Gambar 16: Tingkat Kebebasan Ekonomi Indonesia

8080808080

Menyatakan Strategi Ketenagakerjaan Nasional untuk Indonesia

Seseorang kini dapat melihat pada survei spesifik tentang Indonesia untuk mendapatkan informasiyang berkaitan dengan perubahan dalam iklim usaha. Survei-survei persepsi investor oleh ADB maupunUniversitas Indonesia menunjukkan bahwa masalah ketenagakerjaan tidaklah merupakan kekhawatiran teratasdari para investor. Masalah tersebut biasanya menempati posisi tengah dalam daftar 12 faktor yang dilihatsebagai pengaruh utama dari iklim investasi. Survei 2007 tentang iklim investasi oleh Universitas Indonesiamengungkapkan bahwa hanya sejumlah kecil perusahaan (20 persen dan kurang) mengalami masalah-masalah terkait dengan pekerja dan proporsi ini menurun antara tahun 2006 dan 2007. Lebih jauh lagi,survei yang sama menunjukkan bahwa biaya penangangan masalah pekerja tersebut meningkat sedikit dari3,5 persen menjadi 4,5 persen dari biaya produksi total antara 2005 dan 2006, namun menurun hingga 2007– lihat gambar 7.2.

Gambar 17

Persentase Responden yang mengalami Masalah Kerja

0

5

10

15

20

25

menuntutgaji lebih

besar

%

pertengahan 2005 akhir 2005 pertengahan 2006 akhir 2007

unjuk rasapekerja

masalahjaminan sosial

konflikdengan

serikat pekerja

mogokkerja

Biaya Penanggulangan Masalah Kerja (% Biaya KeseluruhanProduksi)

00.5

11.5

22.5

33.5

44.5

5

pertengahan 2005 akhir 2005 pertengahan 2006 akhir 2007

%

Sumber: LPEM-University of Indonesia, Survey on Investment Climate Monitoring, 2007

Upah Minimum dan pekerjaan

Di Indonesia, daerah-daerah diberi wewenang untuk menentukan sendiri upah minimumnya dalamketentuan panduan nasional. Ternyata, selama tahun 2005-2006 upah minimum meningkat lebih pesat (rata-rata 9.2%) di provinsi dengan konsentrasi pengangguran yang tinggi (tingkat pengangguran di atas rata-rata nasional). Di provinsi dengan tingkat pengangguran yang leibh rendah, rata-rata pertumbuhan upah riiladalah 7,8%. Hal ini bisa dilihat sebagai pendukung klaim bahwa upah minimum dan biaya-biaya tenagakerja lain, seperti pesangon dan kondisi, adalah membahayakan pertumbuhan pekerjaan.

Namun, hubungan antara upah minimum dan pekerjaan lebih kompleks. Untuk memulai, tidak adahubungan yang jelas antara upah minimum rata-rata dan upah rata-rata di sektor manufaktur, misalnya, dimana masalah seperti ini paling penting. Hubungannya tidaklah terlalu kuat ketika upah riil produkdipertimbangkan juga.

8181818181

Seseorang dapat berkata bahwa menggunakan bukti agregat tidaklah memadai untuk memecahkankritik akan validitas bahwa peraturan ketenagakerjaan saat ini akhirnya merugikan kepentingan pekerja biasa.Evaluasi statistik yang kuat dibutuhkan di sini. Satu cara melaksanakan evaluasi macam itu adalah denganmempertimbangkan beberapa studi ekonometrik yang telah dilakukan untuk mengidentifikasi konsekuensi-konsekuensi pekerjaan dari upah minimum.

Tabel 18 merangkum penemuan ini. Meskipun mereka umumnya menunjukkan konsekuensi-konsekuensipekerjaan yang negatif, ditemukan juga bahwa trade off antara upah minimum dengan pekerjaan tidaklahada dalam hal perusahaan besar, pekerja terampil dan sektor ekspor. Satu studi juga mencantumkan peringatanpenting bahwa dampak murni dari upah minimum pada pekerjaan tergantung pada kondisi makro ekonomi.Ekonomi yang tumbuh pesat dapat menyerap peningkatan biaya pekerja yang muncul akibat upah minimumdan faktor-faktor kelembagaan lain. Namun demikian, elastisitas ‘sebagian’ dalam hal upah minimum (ataupenggantinya) di tingkat nasional biasanya cukup kecil, berkisar antara 0,1 sampai 0,03, dan beberapa diantara mereka didasarkan pada fungsi-fungsi pekerjaan yang hampir tidak lolos uji signifikansi statistikkonvensional. Estimasinya, dengan demikian, entah tidak besar dalam hal besaran atau tidak cukup kuatuntuk dijadikan basis yang solid untuk resep kebijakan.

Gambar 18

0100,000200,000300,000400,000500,000600,000700,000800,000900,000

2001 2,002 2003 2,004 2005 2,006

Rata-rata Upah Minimum Rata-rata Upah Manufaktur

-

100,000

200,000

300,000

400,000

500,000

600,000

2001 2,002 2003 2,004 2005 2,006

Rata-rata Upah Minimum Rata-rata Upah Manufaktur

8282828282

Menyatakan Strategi Ketenagakerjaan Nasional untuk Indonesia

Pengarang/Studi

Islam dan Nazara [2000] ‘Minimum Wages and theWelfare of Workers’, ILO Occasional Paper No.3, Jakarta

Alatas dan Cameron (2003) The Impact of MinimumWages on Employment in a Low-Income Country: AnEvaluation using the Difference-in-DifferenceApproach’, World Bank Policy Research Working PaperNo 2985, March, Washington DC: World Bank

SMERU (2003) ‘Wage and Employment Effects ofMinimum Wage Policy in the Indonesian Urban LabourMarket’, SMERU Research Report

Widianto[2003] ‘Making the most of minimum wagepolicy’, BAPPENAS, Jakarta

Rama (1996) ‘The consequences of doubling theminimum wage: the case of Indonesia’, World BankPolicy Research Paper no.164Rama [2001] as cited inSugiyarto and Enriga

A.Harrison dan J. Scorse [2005] ‘Improving theConditions of Workers? Minimum wage legislation andanti-sweatshop activism’, October, UC Berkely/NBERand Monterey Institute of International Studies

G.Sugiyarto dan B. Enriga [2007]’Does Minimum WageReduce Employment and Training’, ADB and Universityof Philippines, Los Banos

Penemuan utama

Penemuan statistik tentang hubungan antara upahminimum dan pekerjaan adalah ambivalen dandipengaruhi oleh kondisi makro ekonomi. Elastisitaspekerjaan dalam hal pertumbuhan output biasanyajauh lebih tinggi dibandingkan elastisitas pekerjaandalam hal upah.

Tidak ada dampak yang signifikan secara statistik dariupah minimum pada pekerjaan di perusahaan besardi sektor formal, namun potensi penciptaan pekerjaandi perusahaan yang lebih kecil akan terluka karenakenaikan upah minimum

Peningkatan dua kali lipat upah minimum mengurangipekerjaan secara keseluruhan hingga sekitar 10 persen,namun hal ini tidak valid untuk pekerja kerah putih.Efek pekerjaan yang negatif adalah lebih tinggi untukpekerja yang rentan (muda, perempuan, tidak terampil/kurang terdidik)

Upah minimum mengurangi keseluruhanpertumbuhan pekerjaan. Peningkatan 15% upahminimum mengarah pada hilangnya 298.000 pekerjaan

Peningkatan dua kali lipat upah minimum mengurangipekerjaan sekitar 10 persen. Hasil terbaru menunjukkandampak yang lebih kecil (paling bagus 5%). Sekali lagi,efeknya tidak ada untuk kasus perusahaan besar.

Analisa tingkat perusahaan menunjukkan bahwaperaturan perundangan soal upah minimum dan antieksploitasi‘‘antisweatshop’ mengarah padapeningkatan upah riil yang tajam di tahun 1990-1996namun dibarengi dengan peningkatan yang besardalam upah dan pekerjaan di sektor TFA, yangdigerakkan oleh perusahaan asing berorientasi ekspor.Keseluruhan pekerjaan menurun; menurut estimasibahwa peningkatan dua kali lipat upah minimummengarah pada penurunan pekerjaan 12-18 %

Data di tingkat perusahaan untuk 2003-4 menunjukkanbahwa pekerjaan di sektor manufaktur menurunhingga 2,5 persen jika upah minimum dinaikkan duakali lipat. Pelatihan yang disediakan untuk pekerja jugamenurun jika upah minimum meningkat dua kali lipat.Hasil yang dilaporkan hanya valid untuk pekerja tidakterampil, dan tidak untuk pekerja terampil.

Tabel 18: Upah minimum dan pekerjaan: ringkasan penemuan

Proyeksi Pekerjaan

Tujuan utama dari proyeksi pekerjaan adalah untuk mengetahui dampak pekerjaan dari kinerjapertumbuhan. Dalam hal ini, ada dua pilihan: (i) apa dampak pekerjaan jika kinerja pertumbuhan saat inibisa dipertahankan di tahun-tahun mendatang, dan (ii) berapa tingkat pertumbuhan yang dibutuhkan(keseluruhan dan menurut sektor) untuk mencapai penurunan tertentu dalam pengangguran di titik waktutertentu (atau untuk mencapai sasaran pekerjaan/pengangguran di suatu waktu tertentu). Proyeksi dapatdilakukan dengan dua tahapan.

8383838383

Tahap 1: Mengestimasi keluaran elastisitas pekerjaan

Tugas ini dilakukan dengan berbagai regresi. Untuk maksud proyeksi, kami menggunakan elastisitaskeluaran dari pekerjaan untuk tiap sektor ekonomi di periode paska krisis, 2000-2006 (Tabel 16, Panel A,kolom 2).

Tahap 2: Simulasi

Menggunakan elastisitas pekerjaan yang diangkat dari Tahap 1, kami melakukan simulasi. Untuk sampaipada dampak pekerjaan secara keseluruhan dari tingkat pertumbuhan ekonomi keseluruhan, kami mengikutiproses berikut:

a) Menghitung dampak pekerjaan dari pertumbuhan keluaran dalam tiap sektor ekonomi (menggunakanskenario pertumbuhan yang berbeda), dan dengan menjumlahkan semua sektor, kami mendapatkankeseluruhan dampak pekerjaan.

θ j adalah elastisitas output dari pekerjaan di sektor j, % ÄE j adalah persentase kenaikan dalampekerjaan di sektor j, % ÄY j adalah persentase kenaikan dalam output di sektor j, dan t menandaiwaktu (tahun).

Dan pada saat yang sama,b) Kami menghitung total jumlah angkatan kerja menggunakan tingkat pertumbuhan angkatan kerja

paska krisis (2000-2006), dengan formula berikut ini:

LF adalah jumlah angkatan kerja, i adalah tingkat pertumbuhan tahunan LF.

Berdasarkan data Sakernas yan g sesungguhnya untuk periode 2000-2006, kami menemukan bahwanilai i adalah 0,018, yang berarti bahwa tingkat pertumbuhan angkatan kerja tahunan adalah 1,8%. Maka,jumlah angkatan kerja untuk tahun berikut dapat dihitung.

Kemudian, jumlah pengangguran adalah selisih antara jumlah angkatan kerja (nilai yang terproyeksidiambil dari (b)) dan total pekerjaan (nilai proyeksi berdasarkan (a)). Dengan membagi jumlah penganggurandengan jumlah angkatan kerja, kami mendapatkan proyeksi tingkat pengangguran.

Hasil proyeksi 1: Apa yang akan menjadi dampak pekerjaan jika kinerja pertumbuhan saat ini dapatdipertahankan hingga 2009? Berdasarkan pada Tabel 17, menurut skenario ini, tingkat pengangguran diIndonesia diproyeksikan berada pada 7,3% hingga 2009.

j

jj Y

EΔΔ

=%%

q

tjj

tj YE Δ=Δ .%% q

).(%1 nnnn tj

tj

tj

tj EEEE Δ+=+

(1)

(2)

(3)

Total Pekerjaan dalam ekonomi =

∑=

=n

j

tj

tall EE

1

ttt iLFLF )1(1 +=+

8484848484

Menyatakan Strategi Ketenagakerjaan Nasional untuk Indonesia

Hasil proyeksi 2: Jika Indonesia ingin mencapai tingkat pengangguran 5,1% yang diinginkan di 2009,berapa tingkat pertumbuhan yang diperlukan untuk keseluruhan ekonomi dan bagaimana tingkatpertumbuhan keseluruhan yang dibutuhkan tersebut diterjemahkan dalam tingkat pertumbuhan sektoral?

Berdasarkan Tabel 20, untuk mencapai target tingkat pengangguran 5,1% di 2009, keseluruhan ekonomiperlu tumbuh 7,2% per tahun dan tingkat pertumbuhan yang dibutuhkan untuk tiap sektor ekonomi tersajidalam kolom 4.

Tabel 19: Proyeksi Pengangguran Menggunakan Tingkat Pertumbuhan Saat Ini

Elastisitas Pertumbuhan Aktual (Mn)Sektor Ketenagakerjaan Aktual PDB 04-06 E '06 E '07 E '08 E '09

1.Pertanian 0.68 2.8 40.1 40.9 41.7 42.5 2.Pertambangan 0.23 2.9 1.2 1.2 1.2 1.2 3.Manufaktur 0.12 4.6 11.9 12.0 12.0 12.1 4.Konstruksi 0.63 8.2 4.7 4.9 5.2 5.5 5.Perdagangan 0.81 7.3 19.2 20.3 21.5 22.8 6.Transportasi 0.48 13.3 5.7 6.0 6.4 6.8 7.Keuangan 0.67 6.2 1.3 1.4 1.5 1.5 8.Jasa lainnya 0.17 5.6 11.4 11.5 11.6 11.7 Semua sektor 5.6

106.4 108.3 110.3 112.2 95.5 98.2 101.1 104.1 10.9 10.1 9.2 8.2 10.3 9.3 8.3 7.3

Proyeksi (Mn)

Angkatan kerja 1)

Ketenagakerjaan- totalPengangguran - totalPengangguran - %

1) Proyeksi untuk angkatan kerja didasarkan pada tingkat pertumbuhan angkatan kerja tahunan pada 1,8% selama 2000-06.

Tabel 20: Tingkat Pertumbuhan yang Dibutuhkan untukMencapai Tingkat Pengangguran 5,1% di 2009

Elastisitas Pertumbuhan Required Aktual (Mn)Sektor Ketenagakerjaan Aktual PDB 20-06 GDP growth E '06 E '07 E '08 E '09

1. Pertanian 0.68 2.8 3.6 40.1 41.1 42.1 43.2 2. Pertambangan 0.23 2.9 3.7 1.2 1.2 1.2 1.2 3. Manufaktur 0.12 4.6 5.9 11.9 12.0 12.1 12.1 4. Konstruksi 0.63 8.2 10.5 4.7 5.0 5.3 5.7 5. Perdagangan 0.81 7.3 9.3 19.2 20.7 22.2 23.9 6.Transportasi 0.48 13.3 17.0 5.7 6.1 6.6 7.2 7. Keuangan 0.67 6.2 7.9 1.3 1.4 1.5 1.6 8. Jasa lainnya 0.17 5.6 7.2 11.4 11.5 11.6 11.8 Semua sektor 5.6 7.2

Ketenagakerjaan- total 106.4 99.0 102.7 106.6 Pengangguran - total 95.5 9.3 7.6 5.7 Pengangguran - % 10.9 8.6 6.9 5.1 Angkatan kerja 1) 10.3 108.3 110.3 112.2

Proyeksi (Mn)

1) Proyeksi angkatan kerja didasarkan pada tingkat pertumbuhan rata-rata angkatan kerja sebesar 1,8% selama 2000-06.

8585858585

Box 5: Pertumbuhan Pekerjaan & Produktivitas: Apakah elastisitas pekerjaan adalah jawabnya?

Antara L0 dan L*, pekerjaan meningkat sejalan dengan peningkatan dalam elastisitas pekerjaan dan

bersamaan dengan peningkatan dalam AP meskipun dengan tingkat yang lebih lambat. Namun

setelah L*, elastisitas pekerjaan ada dalam kelebihan persatuan, namun AP menurun sejalan dengan

peningkatan pekerjaan. Jadi L* menentukan batas ekspansi pekerjaan melalui peningkatan elastisitas

pekerjaan.

Ekspansi pekerjaan di luar E* harus datang dari pertumbuhan yang digerakkan oleh TFP, atau upgrading

teknologi. Hal ini kedengaran paradoks karena teknologi biasanya dianggap menggantikan pekerja.

Upgrading teknologi atau pertumbuhan yang digerakkan oleh TFP memindahkan fungsi produksi ke

atas. Jadi, baik MP dan AP akan naik, memindahkan batas ekspansi pekerjaan (L*) ke kanan seperti

ditunjukkan dengan garis putus-putus dalam gambar di atas.

Yang menarik, pada tiap tingkatan pekerjaan, elastisitas pekerjaan paska kemajuan teknologi adalah

lebih rendah daripada kemajuan sebelum teknologi. Yakni, pekerjaan dapat ditingkatkan bahkan

ketika elastisitas pekerjaan menurun jika ada pertumbuhan TFP.

Namun apakah pertumbuhan TFP akan cukup tinggi untuk menyerap peningkatan angkatan kerja

dan juga mereka yang kehilangan pekerjaan karena kurang keterampilan untuk melakukan kegiatan

yang baru?

Jawabannya akan cenderung tidak, karena catatan litbang yang ada dan kualiatas pendidikan di

Indonesia yang buruk.

I III

e<1

e>1

L* e=1

MP AP L0

Elastisitas pekerjaan, e = (%ΔE / %ΔY) = (ΔE / ΔY) ( v / Ê) = (1/MP) (AP) = AP/MP

II KisaranProduksiyangMungkin

8686868686

Menyatakan Strategi Ketenagakerjaan Nasional untuk Indonesia

Audit Kebijakan

Latihan simulasi mengindikasikan bahwa untuk mencapai target pengangguran, ekonomi perlu tumbuhlebih dari 7%, tingkat yang dialami selama era sebelum krisis. Karena keterbatasan pertumbuhan yangdigerakkan oleh faktor melalui akumulasi dan kapabilitas teknologi Indonesia yang terbatas, kelihatannyatidak mungkin bahwa pertumbuhan akan melebihi tingkat sekarang yang 5-6%. Tingkat pertumbuhan yangdiramalkan oleh Bank Dunia adalah 6,3% untuk 2007 dan 6,4% untuk 2008. Jadi, pemerintah perlu mengambilpendekatan aktivis yang lebih dan bukannya hanya tergantung pada pertumbuhan untuk penciptaanpekerjaan.

Bagian ini menawarkan catatan singkat dari beragam inisiatif kebijakan yang diambil oleh pemerintahIndonesia.

Kebijakan Makro ekonomi

Diskusi ini menawarkan catatan singkat akan kebijakan moneter dan fiskal serta implikasinya bagipenciptaan pekerjaan. Gambar 19 memberikan perspektif sejarah dari hubungan antara inflasi danpertumbuhan ekonomi di Indonesia. Seperti dapat dilihat, inflasi dan pertumbuhan ekonomi salingberhubungan secara negatif hanya ketika tingkat inflasi luar biasa tinggi seperti selama krisis ekonomi 1997-98. Ekonomi tumbuh rata-rata 7% bahkan ketika tingkat inflasi sekitar 10% per tahun.

Gambar 19: Inflasi dan Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia (1980-2006)

-20

-10

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

1980

1981

1982

1983

1984

1985

1986

1987

1988

1989

1990

1991

1992

1993

1994

1995

1996

1997

1998

1999

2000

2001

2002

2003

2004

2005

2006

%

INF Pertumbuhan Riil PDB

Seseorang dapat membuat dua pengamatan tentang tingkat suku bunga BI sekarang berdasarkankebijakan penargetan inflasi. Pertama, di kebanyakan tahun BI gagal untuk target inflasinya. Yakni, instrumentsuku bunganya tidak cocok untuk jenis inflasi yang dimiliki Indonesia.72 Kedua, dalam upaya mencapaitargetnya dengan instrumen yang tidak efektif, BI harus mempertahankan rezim suku bunga tinggi. Sukubunga tinggi tidak hanya memengaruhi biaya modal secara langsung, tetapi juga mendorong bank-bankkomersil untuk menanamkan dananya dalam obligasi BI yang aman (SBI) dan bukannya meminjamkannyakepada bisnis. Menariknya tingkat SBI bertanggung jawab atas rendahnya rasio pinjaman-deposit (LDR),yang 50% di tahun 2004. Meskipun sejak saat itu LDR meningkat, angkanya masih rendah yakni 63,6%.73

72 Dalam update November 2007 (hal 11), Bank Dunia mencatat, “Seperti banyak…negara-negara lain, harga komoditas yang lebihtinggi telah mendorong naik harga makanan dan inflasi konsumer.” Jadi, kelihatannya inflasi di Indonesia memiliki elemen doronganbiaya yang kuat.

8787878787

Jadi, suku bunga berdasarkan kebijakan penargetan inflasi kelihatan lebih merugikan iklim investasidaripada inflasi itu sendiri, khususnya untuk UKM yang padat karya yang umumnya sangat tergantung padapembiayaan dari bank baik untuk modal lancar maupun ekspansinya. Kebijakan suku bunga tinggi jugamendorong masuknya modal dan dengan begitu mendorong nilai tukar naik yang merugikan sektor ekspor.Jadi, bisa dikatakan bahwa target inflasi yang lebih santai konsisten dengan pengalaman sejarah Indonesiadiperlukan untuk menyerap tumbuhnya angkatan kerja.

Lebih jauh lagi, kebijakan suku bunga yang tinggi untuk memberantas inflasi jenis pendorong biaya(utamanya karena harga makanan yang meninggi) secara tidak proporsional memengaruhi kaum miskindalam populasi. Pertama, kebanyakan orang miskin adalah penghutang murni dan karenanya pembayaranbunga yang lebih tinggi atas hutang-hutangnya mendorong mereka untuk mengurangi pengeluaran ataskebutuhan penting yang lain seperti kesehatan dan pendidikan. Kedua, sektor UKM di mana kebanyakanorang miskin yang tidak terampil bekerja, merespon pada harga yang lebih tinggi dari pinjaman dengancara menurunkan jumlah pekerjaan atau dengan mengurangi biaya upah. Dalam kasus manapun, pekerjatidak terampil yang miskin berada di posisi yang memburuk.

Kebijakan fiskal juga selama ini konservatif. Segera setelah krisis, hutang pemerintah meningkat dramatiskarena rekapitalisasi bank, dan hal ini membatasi kemampuan pemerintah untuk mendanai infrastruktur.Jadi, Indonesia mengalami kerusakan yang pesat dari infrastrukturnya yang kini diidentifikasi sebagai salahsatu faktor teratas yang memengaruhi iklim investasi. Dalam tahun-tahun belakangan, situasi fiskal telahmembaik sejalan dengan penurunan beban hutang pemerintah dari yang tertinggi hampir mendekati 80%di tahun 2000 menjadi sekitar 35% PDB di 2006. Hal ini memungkinkan pemerintah untuk melonggarkankebijakan fiskalnya sedikit; namun defisit anggaran waktu itu kurang dari satu persen PDB (0,5% di 2005 dan0,9% PDB di 2006). Defisit diproyeksikan untuk meningkat menjadi 1,5% PDB di tahun 2007. Peningkatanyang diproyeksikan dalam defisit anggaran adalah karena keputusan pemerintah untuk menambah proyekinfrastruktur besar yang tidak hanya akan menciptakan lapangan kerja, tetapi juga diharapkan memperbaikiiklim investasi.

Seseorang dapat mengatakan bahwa karena uduk masalah dan perlunya penciptaan lapangan kerjamelalui investasi infrastruktur publik, kedudukan fiskal tidaklah terlalu konservatif. Namun, karena faktor-faktor kelembagaan, seperti tidak sinkronnya proses anggaran dan siklus pengeluaran antara pemerintahpusat dan daerah, bahkan defisit anggaran yang kecil pun tetap tidak terwujud. Kita dapat juga menunjukbahwa dalam usaha menyeimbangkan anggaran, pemerintah terlalu terfokus pada pemotongan anggaran.Padahal seharusnya pemerintah lebih terfokus pada peningkatan pendapatan melalui cara-cara pengumpulanpajak yang inovatif. Pajak-PDB Indonesia tergolong cukup rendah dibandingkan negara-negara ASEAN.

Keseluruhan dampak dari kedudukan kebijakan makro ekonomi yang terlalu berhati-hati adalahterhambatnya pertumbuhan komponen pengeluaran agregat. Hal ini tercermin dalam surplus di currentaccount dari balance of payments yang mencapai 9,9 milyar dollar AS di tahun 2006.74 Tambahan lagi padasurplus current account adalah surplus capital account yang dipancing oleh kebijakan suku bunga tinggi.Jadi, cadangan devisa negara meningkat hingga 50% sejak pertengahan 2005 mencapai 52,9 milyar dollarAS di akhir September 2007.75 Surplus dalam keseluruhan balance of payments menyebabkan apresiasi riilrupiah yang cukup besar yang mengikis daya saing Indonesia dalam ekspor padat karya (Gambar 20).

73 World Bank, ibid, hal 17.74 Ini juga dikarenakan tingginya harga ekspor komoditas.75 Akumulasi cadangan terjadi meskipun terjadi pembayaran lebih awal sebesar 7 milyar dollar AS kepada IMF di tahun 2006.

8888888888

Menyatakan Strategi Ketenagakerjaan Nasional untuk Indonesia

Kesimpulannya, kedudukan kebijakan makro ekonomi selama ini sangat tidak kondusif untuk sektor riilekonomi. Kami percaya bahwa kebijakan makro ekonomi seharusnya tidak semata ditujukan pada stabilitasvariabel-variabel nominal seperti inflasi, defisit anggaran dan nilai tukar nominal. Kebijakan-kebijakan makroekonomi juga harus ditujukan pada sasaran-sasaran nyata, seperti pekerjaan dan pengurangan kemiskinan.Hal ini karena, seperti telah ditunjukkan oleh pengalaman, stabilitas nominal variabel-variabel makro mungkindiperlukan tetapi tidaklah cukup untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi.

Kelihatannya pemerintah telah menyadari hal ini dan telah mengambil sejumlah program di tahun-tahun terkini untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi. Hal ini termasuk reformasi kebijakan dankelembagaan, kredit tersubsidi untuk UKM serta diversifikasi pertanian (khususnya perkebunan), perluasannasional Program Pembangunan Kecamatan dan program-program spesifik untuk penciptaan pekerjaanuntuk kaum muda. Dalam sisa diskusi ini, kami akan menyoroti fitur-fitur yang menonjol dari sejumlahprogram ini.

Memperbaiki Iklim Investasi

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian sedang bekerja memperbaiki iklim investasi menyusulinstruksi Presiden No. 6 tahun 2007 tentang percepatan pembangunan sektor riil dan pemberdayaanperusahaan mikro dan UKM.

Instruksi presiden mencakup 4 kategori kebijakan:Perbaikan iklim investasi (50 tindakan/hasil),Reformasi sektor finansial (40 tindakan/hasil),Percepatan pembangunan infrastruktur (44 tindakan/hasil) sertaPemberdayaan perusahaan berskala mikro, kecil dan menengah (34 tindakan/hasil)

UU investasi yang baru tahun 2007 memungkinkan:Kepemilikan nama atas tanah yang lebih panjang – berkisar dari 70 tahun hingga 95 tahun (sebelumnyaantara 25-35 tahun)

Gambar 20: Nilai Tukar Efektif (Index 2005 = 100)

Sumber: Bank Dunia, Indonesia: Economic and Social Update, November, 2007, Gambar 8

8989898989

Hak penanaman di tanah milik pemerintah yang bisa dipergunakan sebagai jaminan kreditKesetaraan yang lebih besar antara investasi dari luar dan dalam negeriPembaharuan daftar investasi yang negatifPengurangan birokrasi yang berbelit (red tape)Pembaharuan peraturan daerah yang tumpang tindih, khususnya yang berkaitan dengan perdaganganInsentif-insentif fiskal – pengecualian pajak untuk mesin-mesin yang diimpor; pengurangan pajak dalamperusahaan

Investasi infrastruktur publikAnggaran infrastruktur nasional: Rp. 29 trilyun di tahun 2006; Rp 36 trilyun di 2007.Peningkatan dua kali lipat anggaran infrastruktur 2008.Konsentrasi pada jalan, bendungan, dan sebagainya. serta infrastruktur kesehatan dan pendidikan(gedung-gedung sekolah dan pusat kesehatan) yang padat karya.Elastisitas pekerjaan yang diestimasikan dalam sektor konstruksi: penciptaan pekerjaan langsung sebesar27.000 – 28.000 pekerjaan terampil & semi-terampil per Rp. 1 trilyun pengeluaran.Wakil Presiden bertanggung jawab atas pembangunan ekonomi dan kantornya kini telah mengambil17 proyek-proyek pembangunan strategis seperti jalan tol trans Jawa, jalan tol trans Sumatera – semuanyatidak padat karya. Namun ada juga proyek-proyek padat karya melibatkan pembangunan pertanian,khususnya perkebunan.

Kebijakan Industri dan PerdaganganDepartemen Perdagangan telah mengadopsi program 10 + 10 + 3 untuk promosi

10 yang pertama: Ikan segar, kopi, minyak sawit, cokelat, karet & produk karet, tekstil & garmen, alaskaki, elektronik, komponen otomotif dan furnitur. Ini didasarkan pada nilai ekspor mereka saat ini.10 yang kedua (potensial): kerajinan tangan, ikan & produk ikan, obat-obatan jamu, kulit & produkkulit, makanan yang sudah diproses, perhiasan, minyak esensial, rempah-rempah, alat kantor non-kertas, peralatan dan perangkat medis.3 yang terakhir (kreatif): IT, produk desain & budaya.

Pada 4 November 2007, sebagai bagian dari Zona Ekonomi Khusus, pemerintah mengumumkanpembangunan tiga “Zona Ekonomi Bebas” di tiga pulau - Batam, Bintan dan Karimun.

Pemerintah memiliki kebijakan industrial aktif yang dirancang dengan konsultasi bersama pemerintahdaerah dan Kamar Dagang (KADIN).

Pemerintah daerah mengidenfikasi industri-industri yang potensial berdasarkan sumber daya alamdaerah mereka. Pemerintah pusat menyediakan bantuan. Kesemuanya sebagian besar adalah UKMdan padat karya.Dari 332 industri, yang masuk ke daftar pendek pemerintah 32 dan dari jumlah itu dipilih satu klasterterdiri dari 10 sebagai industri prioritas. Industri prioritas adalah: agro industri, industri telematik, industritransport, industri materi dasar, industri barang-barang modal, industri komponen, industri barangkonsumer, sumber daya alam yang dapat diperbarui, sumber daya alam yang tidak dapat diperbaruiIndustri-industri prioritas ini akan menikmati sejumlah proteksi dan tetap berada di luar beragam wilayahperdagangan bebas (FTA).Kebijakan industrial menekankan kaitan dan sinergi antara perusahaan besar dan UKM.Ada pula fokus pada litbangSektor industrial diharapkan tumbuh hingga 8,56% per tahun selama 2005-2009.Peranan industri non migas diharapkan meningkat menjadi 26% dari PDB.

9090909090

Menyatakan Strategi Ketenagakerjaan Nasional untuk Indonesia

Pertumbuhan industri yang diharapkan selama 2010-2025 adalah 10% per tahun, menghasilkanpeningkatan bagian PDBnya menjadi 35%.Diharapkan untuk menyerap 2.635.690 pekerja atau 13,6% dari angkatan kerja, yang lebih tinggi daripadapekerjaan yang diproyeksikan sebesar 2,4 juta dalam Rencana Ketenagakerjaan Nasional 2004-2009.

Pembangunan UKMDi tahun 2005 UKM berjumlah 3,28 juta unit; menyerap 8,4 juta pekerja; barang ekspor bernilai 8,5

milyar dollar AS, dengan tingkat pertumbuhan sekitar 7,5%. Targetnya adalah untuk memiliki 3,95 juta unitsampai 2009 dengan pekerjaan 10,3 juta.

Presiden meluncurkan pada 5 November 2007, program UKM dan perusahaan mikro denganmerekapitalisasi ASKRINDO dan SPU.70% dari pinjaman mereka untuk UKM dan perusahaan mikro dijamin oleh pemerintah.Premi yang dijamin dimasukkan dalam anggaran pemerintah.Tingkat pinjaman maksimum adalah 16% yang berarti lebih tinggi sedikit dari tingkat untuk korporasi(sekitar 13%), namun masih lebih sedikit dibandingkan tingkat keuangan mikro di daerah (25-30%).Sekarang ada kredit macet sekitar Rp 17 trilyun melibatkan 1,40,000 usaha UKM dan mikro – hasillangsung dari krisis. ASKRINDO & SPU akan menebus mereka. Jika 50 % dari perusahaan-perusahaanini hidup lagi karena program tebusan itu dan jika tiap perusahaan mempekerjakan empat orang makaakan ada 280.000 (=70.000 x 4) pekerjaan baru. Maka akan ada lebih banyak pekerjaan baru melaluiefek penggandaan yang biasa..

Program penciptaan pekerjaan yang spesifikProgram Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM)

PNPM adalah perluasan nasional dari program pembangunan komunitas/desa, dikenal sebagai ProgramPembangunan Kecamatan - Kecamatan Development Program (KDP). PNPM diperkenalkan pada bulanAgustus 2006 dengan pemerintah mengalokasikan Rp. 42 trilyun (sekitar 4,5 milyar dollar AS). Tujuannyaadalah untuk mengurangi kemiskinan hingga 8,2% dan pengangguran hingga 5,1% sampai 2009. Pengujianindependent dari program ini oleh Gustav Papanek (2007) menyimpulkan bahwa meskipun PNPM penting,kontribusinya untuk memecahkan masalah-masalah pengangguran dan kemiskinan terbatas karena:

Program ini menyediakan pekerjaan dan penghasilan pelengkap, bukan pekerjaan reguler penuh waktu.Paling bagus program ini akan menyediakan 60 hari kerja.Program ini menyediakan sedikit saja pekerjaan untuk pekerja professional, teknis, atau kelas menengah.Hampir semua pekerjaannya adalah untuk pekerja tidak terampil atau rendah keterampilan.Program ini tidak dapat membantu keluarga yang tidak punya siapapun di dalam angkatan kerja.

Program pekerjaan untuk Kaum Muda - “Prospek Mandiri”Departemen Koperasi dan UKM bertanggung jawab atas program penciptaan wirausaha, “ProspekMandiri”.Program ini dimaksudkan untuk lulusan universitas muda yang sudah menganggur setidaknya satutahunMerekrut mereka melalui proses seleksi ujian tertulis dan wawancara untuk mengetahui perilaku merekaterhadap usaha dan pekerjaan wirausaha.Para lulusan yang terekrut akan dikelompokkan menjadi 20 berdasarkan ketertarikan mereka dalamusaha dan wilayah (dari asal mereka dan di mana mereka tinggal)Membantu mereka mengembangkan rencana usaha berdasarkan pengetahuan mereka akan pasar

9191919191

setempat – pemerintah daerah juga ambil bagian dalam mengidentifikasi peluang usaha.Memberikan benih dana sebesar Rp 200 juta – pinjaman lunak.

Namun masalahnya adalah:Tingkah laku oportunis – tidak setia 100%; masih mencari pekerjaan lain atau lihat-lihat.Berharap untuk akhirnya direkrut sebagai pegawai negeriMengharapkan gaji berkala

Kewiraswastaan Pemuda dan Industri Olah RagaKementerian Negara Pemuda Olah Raga bertanggung jawab atas program ini.Bekerjasama dengan Departemen Koperasi dan UKM yang bertanggung jawab atas “Prospek Mandiri”Mendukung orang muda menganggur untuk mendirikan usaha di daerahnya – desa dan kampung –berdasarkan sumber daya lokal yang tersedia.Memfasilitasi akses pada danaMembantu memasarkan produkMembantu menghubungkan dengan kongsi pembeli besar – domestik dan internasional.Sejauh ini telah berhasil mencapai pengakuan dari badan-badan olahraga internasional seperti FIFAuntuk menyuplai barang-barang sepak bola dan olahraga.Mengoperasikan Pusat-pusat Kewiraswastaan Pemuda dan Pusat-pusat Industri Olahraga di Desa12 desa telah memiliki pusat-pusat industri olahraga yang mendukung usaha-usaha mikro lokal untukbarang-barang olahraga yang padat karya. Misalnya 2.500 orang terlibat dalam pembuatan bola sepakdengan menggunakan tangan untuk FIFA.Memfokuskan diri pada desa-desa dengan pengangguran yang tinggi untuk mendirikan kompleksindustri olahraga. Targetnya adalah 1 juta pekerjaan untuk kaum muda sampai 2009.

Rencana Aksi Pekerjaan Kaum MudaBappenas bertanggung jawabTerhubung dengan MDG

Program pasar kerja

Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi memiliki program 3 in 1 - (a) Pelatihan, (b) Sertifikasi dan(c) Penempatan.

Revitalisasi pusat-pusat pelatihan kejuruanJasa informasi dan fasilitasi penempatan pekerjaan dalam pusat-pusat pelatihan – sejauh ini 2 Kios JasaPekerjaan (3 in 1) – satu di Cepas dan satu di BandungAda 152 pusat-pusat pelatihan (BLK) di bawah pemerintah daerah dan 11 di bawah pemerintah pusat.o 85% dari pusat-pusat pelatihan kejuruan di daerah sudah kuno –o Kurang fasilitas dan anggarano Struktur dan peralatan rusak;o Tidak dikelola dengan tepato Tidak didasarkan atas kompetensiTidak ada perintah dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah; hanya kerjasama teknis untukrevitalisasi – pemerintah pusat (Depnakertrans) sudah memiliki 3000 instruktur terlatih untuk mendukungrekan-rekan di daerah.

9292929292

Menyatakan Strategi Ketenagakerjaan Nasional untuk Indonesia

Subsidi pelatihan sebesar Rp. 30 milyar untuk penyedia pelatihan swasta asalkan mereka memilikipusat pelatihan dan jasa penempatan – domestik/internasionalBadan sertifikasi independen sejak 2005 yang terdiri dari 10 anggota dari pemerintah dan 15 anggotadari sektor swasta.12 kategori klasifikasi kompetensi.Jumlah data tentang hasil pasar kerja yang dilatih.Tidak ada program tertentu untuk para pekerja yang diPHK.Tetapi Departemen Pendidikan memilki program untuk pekerja yang dikurangi jam kerjanya, yangdisebut Re-tooling. Program ini diselenggarakan bersama dengan Universitas Indonesia

KesimpulanSeperti bisa dilihat pemerintah telah mengadopsi program-program yang dimaksudkan untuk

mengurangi pengangguran dan khususnya pengangguran kaum muda. Program-program ini diselenggarakanoleh lebih dari satu departemen. Hal ini menciptakan masalah koordinasi dan kadang-kadang perseteruanantardepartemen. Hasilnya, dapat terjadi duplikasi. Meskipun beberapa program, seperti yang dijalankanoleh Departemen Kewiraswastaan Pemuda dan Industri Olahraga, kelihatan cukup berhasil, tidak adapenaksiran independen tentang efektivitas dan pelacakan hasil-hasil pasar kerja dari beragam programtersebut.

9393939393

Referensi (seperti terkait dengan appendix ini saja):

Aaron, C., Kenward, L, et al (2004), Strategic Approaches to Job Creation and Employment in Indonesia, Reportfor the USAID, Jakarta

Aswicahyono, H. and I. Maider (2003), ‘Real Sector in Indonesia: Crisis-Related and longer Term issues’, TheIndonesian Quarterly, Vol. 31(2): 180-96.

Bappenas (2003), Labor Policy Review, National Development Planning Agency, Jakarta.

Bird, K. and C. Manning (2002), ‘The Impact of Minimum Wages on Employment and Earnings in the InformalSector,’ Paper Presented at the 8th East Asian Economic Association, Kuala Lumpur, November 4-5.

Bird, K. and C. Manning (2003), ‘Economic Reform, Labor Markets and Poverty: The Indonesian Experience’,in Trade Policy, Growth and Poverty in Asian Developing Countries, edited by Routledge Press, London.

Islam, I. and S. Nazara (2000), ‘Estimating Employment Elasticity for the Indonesian Economy”, InternationalLabour Organization, Jakarta.

Manning, C. (1998), Indonesian Labour in Transition: An East Asian Success Story? Trade and DevelopmentSeries, Cambridge University Press, Cambridge.

Manning, C. (2000), ‘Labour Market Adjustments to Indonesia Economic Crisis: Contexts, Trends, andImplications,’ Bulletin of Indonesian Economic Studies, Vol. 36(1): 105-36

Manning, C. (2003), ‘Labor Policy and Employment Creation: An Emerging Crisis,’Technical Report prepared by Bappenas under USAID Contract #497-C-00-98-00045-00.

SMERU (2001), ‘The Impact of Minimum Wages in the Formal Urban Sector’, Jakarta.

Suryahadi, A, Chen, P., and R. Tyers (2001), ‘Openness, Technological Change and Labor Demand in Pre-CrisisIndonesia’, Asian Economic Journal, Vol. 15(3): 239-274.

Suryahadi, A., W. Widyanti, D. Perwira and S. Sumarto, (2003), ‘Minimum Wage Policy and its Impact onEmployment in the Urban Formal Sector’, Bulletin of Indonesian Economic Studies, 39(1): 29-50.

Suhaimi, U and Y. Jammal (2001), ‘Measuring Open Unemployment in Sakernas,’ Report #35 and StatisticalPaper #7 in Statistical Assistance to the Government of Indonesia under USAID Contract No. PCE-I-00-99-00009-00.

9494949494

Menyatakan Strategi Ketenagakerjaan Nasional untuk Indonesia

Appendix 1: Perubahan Konsep Pengangguran di Indonesia

Tahun Definisi Pengangguran Notasi

1986-1993 Secara aktif mencari pekerjaan dalam minggusebelum survei – hanya satu minggu U1

1994-2000 Secara aktif mencari pekerjaan, terlepas darikapan itu terjadi – bisa lebih dari satu minggu U2

2001 - (a) secara aktif mencari pekerjaan,(b) TIDAK secara aktif mencari pekerjaan,(c) punya pekerjaan yang akan dimulai nanti,(d) menyiapkan usaha U3

Definisi Populasi Usia Kerja

Pra- 1998 Orang10 + LF1

1998- Orang 15 + LF2

Secara aritmatika,

U3 > U2 > U1

LF1 > LF 2

Tingkat pengangguran (u) = U/ LF

1986-1993: u1 = U1/LF1

1994-2000: u2 = U2/ LF1

Karena U2 > U1, u2 > u1

2001-sekarang: u3 = U3/LF2

Karena U3 > U2 & LF2 < LF1, u3 adalah jauh lebih besar daripada u2