Meningoensefalitis

22
Laboratorium Penyakit Syaraf Laporan Kasus Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman MENINGOENSEFALITIS Disusun oleh: Fransiska A. Sihotang 04.45415.00205.09 Pembimbing: dr. Yetty Hutahaean, Sp.S 1

Transcript of Meningoensefalitis

Page 1: Meningoensefalitis

Laboratorium Penyakit Syaraf Laporan Kasus

Fakultas Kedokteran

Universitas Mulawarman

MENINGOENSEFALITIS

Disusun oleh:

Fransiska A. Sihotang

04.45415.00205.09

Pembimbing:

dr. Yetty Hutahaean, Sp.S

Dibawakan Dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik

Pada Laboratorium Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin

FK Universitas Mulawarman/RSUD A Wahab Sjahranie

Samarinda

2011

1

Page 2: Meningoensefalitis

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Ensefalitis merupakan radang parenkim otak yang dapat menimbulkan disfungsi

neuropsikologis difus dan/atau fokal. Ensefalitis pada umumnya melibatkan parenkim

otak, tetapi meningen atau selaput otak juga sering terlibat sehingga dikenal istilah

meningoensefalitis (Lazoff et al, 2011).

Dipandang dari sudut epidemiologis dan patofisiologis ensefalitis berbeda dari

meningitis meskipun pada pemeriksaan klinis keduanya sering terjadi secara bersamaan

dengan tanda dan gejala inflamasi meningeal seperti fotofobia, nyeri kepala, atau leher

yang kaku. Ensefalitis juga berbeda dengan serebritis. Serebritis merupakan salah satu

tahap sebelum terjadi pembentukan abses dan merupakan lesi yang sangat merusak

jaringan otak, sedangkan ensefalitis akut paling sering disebabkan infeksi virus dengan

kerusakan parenkim bervariasi dari ringan sampai berat. Meskipun infeksi bakteri,

jamur, dan autoimun dapat menyebabkan ensefalitis, sebagian besar kasus ensefalitis

disebabkan oleh virus. Insiden ensefalitis adalah 1 kasus per 200.000 populasi di

Amerika Serikat, dengan virus herpes simpleks (HSV) menjadi penyebab paling sering

(Lazoff et al, 2011).

Diagnosis cepat dan terapi segera merupakan tindakan yang dapat menyelamatkan

nyawa. Dengan demikian penting untuk dokter umum sebagai penyedia pelayanan

kesehatan primer untuk dapat mendiagnosis meningoensefalitis serta memberikan

penanganan awal pada kasus-kasus yang membutuhkan rujukan.

B. Tujuan

Mampu menegakkan diagnosis serta melakukan penatalaksanaan pada kasus

meningoensefalitis.

2

Page 3: Meningoensefalitis

BAB II

LAPORAN KASUS

A. Identitas Pasien

Nama : Tn. AH

Umur : 30 tahun

Alamat : Banjarmasin

Pekerjaan : Polisi Kehutanan

Suku : Banjar

Agama : Islam

Pendidikan terakhir : D3

Status pernikahan : Menikah

Masuk rumah sakit tanggal 14 November 2011 pukul 14.00

B. Anamnesis

Anamnesis yang dilakukan berupa aloanamnesis terhadap istri pasien pada tanggal

14 November 2011.

Keluhan utama: Penurunan kesadaran.

Riwayat penyakit sekarang:

Keluhan dialami pasien sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit dan tidak

mendadak. Pasien awalnya mengalami demam yang tidak terlalu tinggi disertai

mual, nyeri ulu hati, nyeri kepala, dan merasa silau terhadap cahaya sejak sekitar 5

hari sebelum masuk rumah sakit. Pasien kemudian dibawa ke rumah sakit swasta

dan dikatakan menderita tifoid. Setelah dirawat selama 1 hari pasien mulai bicara

melantur dan berperilaku lebih agresif dari biasanya (mengamuk). Pasien kemudian

dirujuk ke RSKD Atma Husada Mahakam. Setelah 2 hari perawatan pasien mulai

tampak lemah dan mengantuk serta tidak mau makan dan jarang bicara. Setelah 4

hari dirawat pasien kemudian dirujuk ke RSU AWS. Istri pasien juga mengamati

bahwa anggota gerak sebelah kanan pasien tampak lebih lemah dan tidak

digerakkan. Pasien tidak pernah mengalami kejang.

3

Page 4: Meningoensefalitis

Pasien tidak memiliki keluhan batuk lama, infeksi pada daerah wajah seperti

pada telinga, hidung, dan tenggorokan, riwayat gigitan binatang, maupun riwayat

trauma pada kepala.

Riwayat penyakit dahulu:

Tidak ada riwayat kencing manis, penyakit hati, maupun penyakit ginjal.

Pasien menderita cacar sekitar 3 minggu sebelum masuk rumah sakit,

mengkonsumsi obat, dan sekarang sudah sembuh.

Riwayat okupasi:

Pasien bekerja sebagai polisi hutan di Banjarmasin. Saat ini pasien berada di

Samarinda karena mengikuti pelatihan yang dilakukan di kantor Samarinda.

Keterangan tambahan:

Pasien merupakan rujukan dari RSKD Atma Husada Mahakam dengan diagnosis

delirium suspek gangguan mental organik (meningitis) dan telah mendapatkan

terapi RL 20 tpm, Paracetamol 4 x 500 mg, dan Ciprofloxacin 4 x 500 mg.

C. Pemeriksaan Fisik

Status Generalis

1. Keadaan umum:

Kesadaran : E1M5V1

Keadaan sakit : sakit berat

Tanda vital:

Tekanan darah : 100/60 mmHg

Frekuensi nadi : 96 x/menit, reguler, isi cukup

Pernafasan : 22 x/menit

Suhu : 37,40C per aksiler

2. Kulit

Kulit kering dan hangat. Tampak makula-makula hiperpigmentasi di seluruh

tubuh terutama pada daerah wajah.

3. Kepala dan leher

4

Page 5: Meningoensefalitis

Konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-), pembesaran kelenjar getah bening (-).

4. Thoraks

a. Paru:

▪ Inspeksi : bentuk dan pergerakan dada simetris, retraksi (-)

▪ Palpasi : tidak ada pelebaran ICS

▪ Perkusi : sonor di semua lapangan paru

▪ Auskultasi : vesikuler, tidak ada wheezing dan ronkhi

b. Jantung:

▪ Auskultasi : S1, S2 reguler, tidak ada suara tambahan

5. Abdomen

▪ Inspeksi : datar

▪ Palpasi : soefl

▪ Perkusi : timpani di seluruh lapangan abdomen

▪ Auskultasi : bising usus (+) kesan menurun

6. Ekstremitas

▪ Akral hangat

▪ Edema : superior (- | -), inferior (- | -)

Status Neurologis

GCS E1M5V1

Kepala : pupil isokhor 3 mm, refleks cahaya + | + normal.

Tanda rangsang meningeal:

o Kaku kuduk (+)

o Kernig sign + | +

o Brudzinski I sign - | -

o Brudzinski II sign - | -

Nervus kranialis sulit dievaluasi

Sistem motorik: pada pemeriksaan lateralisasi terdapat lateralisasi ke kanan,

kekuatan otot sulit dievaluasi

Refleks fisiologis

o Refleks biceps + | + normal

o Refleks triceps + | + normal

5

Page 6: Meningoensefalitis

o Refleks patella + | + normal

o Refleks achilles + | + normal

Refleks patologis

o Refleks Hoffman - | -

o Refleks Trommer - | -

o Refleks Babinski - | -

o Refleks Chaddock - | -

o Refleks Oppenheim - | -

o Klonus - | -

D. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium

Hari ke-0 Hari ke-4Hb 11,3Ht 35,5Leukosit 11.200Trombosit 443.000Na 120K 4,3Cl 84GDS 115Ureum 55,9 46,2Creatinin 1,2 1,4

CT scan: terlihat gambaran ventrikulomegali ringan dan gambaran girus serebri

yang menghilang.

E. Diagnosis Kerja

Diagnosis neurologis

Diagnosis klinis : penurunan kesadaran

Diagnosis topik : parenkim otak dan meningen

Diagnosis etiologik : meningoensefalitis

Diagnosis sekunder: hiponatremia

6

Page 7: Meningoensefalitis

F. Penatalaksanaan

Tirah baring

IVFD NaCl 0,9% 30 tpm

Ceftriaxone injeksi 2 x 1 gram (iv)

Kalmethasone injeksi 3 x 5 mg (iv)

Ranitidine injeksi 3 x 50 mg (iv)

Citicholine injeksi 2 x 250 mg (iv)

Parasetamol 3 x 500 mg (po) prn febris

Diet proten 6 x 100 cc per oral

G. Prognosis

At vitam : bonam

At functionam : dubia ad bonam

H. Follow up

▪ Hari ke-0 pasien sempat mengalami demam hingga 38,3ºC.

▪ Hari ke-1 kesadaran mulai membaik dengan GCS E3M5V3, tanda vital stabil,

kekuatan otot tidak dapat dievaluasi, pasien tidak mengalami demam. Pasien

sulit makan makanan padat sehingga diberikan diet cair proten 6 x 100 cc per

oral.

▪ Hari ke-2 GCS E3M5V3, tanda vital stabil, kekuatan otot belum dapat

dievaluasi, pasien tidak mengalami demam. Pasien dapat duduk dengan

dibantu dan diawasi. Pasien dapat makan diet cair dengan baik.

▪ Hari ke-3 GCS E3M5V3, tanda vital stabil, kekuatan otot belum dapat

dievaluasi, pasien tidak mengalami demam.

▪ Hari ke-4 GCS E3M5V6, tampak sudut bibir kanan tertinggal ketika berbicara,

tanda vital stabil, demam tidak ada. Keluarga pasien minta pindah rumah sakit

ke Banjarmasin atas alasan sosial.

7

Page 8: Meningoensefalitis

BAB III

PEMBAHASAN

Pada laporan ini diajukan kasus pasien laki-laki usia 30 tahun yang datang ke IGD

RS AWS dengan keluhan penurunan kesadaran. Keluhan ini terjadi secara perlahan atau

tidak mendadak sejak 2 hari sebelumnya. Pasien tidak memiliki riwayat trauma kepala,

hipertensi, diabetes mellitus, penyakit hati, maupun penyakit ginjal. Dari informasi

tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa penurunan kesadaran dapat disebabkan oleh

proses intrakranial tetapi bukan yang bersifat neurovaskuler dan proses ekstrakranial

(metabolik) dapat dieksklusi tetapi harus dikonfirmasi dahulu dengan pemeriksaan fisik

maupun laboratorium. Sebelum mengalami penurunan kesadaran pasien mengalami

perubahan perilaku menjadi agresif dan perubahan status mental (bicara inkoheren).

Pasien juga mengalami gejala-gejala lain seperti demam yang tidak terlalu tinggi, mual,

nyeri ulu hati, nyeri kepala, dan merasa silau terhadap cahaya. Gejala-gejala tersebut

memberikan dugaan kuat diagnosis ke arah proses intrakranial.

Pada pemeriksaan fisik umum kesadaran menurun dengan GCS E1M5V1, tekanan

darah 100/60 mmHg dan tanda vital lain dalam batas normal, kulit kering dan hangat,

tidak ditemukan ikterik pada sklera, serta thoraks dan abdomen dalam batas normal.

Pada pemeriksaan neurologis ditemukan tanda rangsang meningeal berupa kaku kuduk

dan Kernig sign serta pada sistem motorik terdapat lateralisasi ke kanan. Refleks

fisiologis dalam batas normal dan tidak ditemukan adanya refleks patologis. Hasil

pemeriksaan fisik mengkonfirmasi diagnosis banding yang telah disusun dari hasil

anamnesis yaitu penurunan kesadaran yang disebabkan oleh proses intrakranial berupa

inflamasi pada pada meningen (ditemukan tanda rangsang meningeal) dan parenkim

otak (penurunan kesadaran, defisit neurologis berupa lateralisasi ke kanan).

Ensefalitis, yang merupakan proses inflamasi pada parenkim otak, dapat

menimbulkan disfungsi neuropsikologis difus dan/atau fokal. Meski terutama

melibatkan parenkim otak, meningen atau selaput otak juga sering terlibat sehingga

dikenal istilah meningoensefalitis. Bakteri, jamur, dan proses autoimun dapat

menyebabkan ensefalitis, tetapi pada kebanyakan kasus etiologinya adalah virus.

Insiden ensefalitis di Amerika Serikat adalah 1 kasus per 200.000 penduduk dengan

virus herpes simpleks (HSV) menjadi penyebab tersering dari ensefalitis. Pendekatan

8

Page 9: Meningoensefalitis

diagnosis etiologis terutama dilakukan untuk dapat membedakan secara klinis

ensefalitis biasa yang disebabkan oleh virus yang tergolong ke dalam arbovirus dengan

dua macam ensefalitis virus yang dapat diberikan terapi seperti ensefalitis herpes

simpleks, yang bersifat sporadik dan letal pada neonatus dan populasi umum, dan

ensefalitis varicella-zoster yang insidennya lebih sedikit dan terutama letal pada pasien

immunocompromised (Lazoff et al, 2001).

Identifikasi cepat dan terapi segera merupakan tindakan yang dapat

menyelamatkan nyawa. Beberapa pihak menyarankan memulai penanganan pada

instalasi gawat darurat dengan pemberian antiviral asiklovir yang relatif aman pada

pasien dengan gejala sistem saraf pusat (terutama ensefalopati dan defisit neurologis

fokal) yang tidak dapat dijelaskan (Lazoff et al, 2001).

Etiologi ensefalitis pada umumnya infeksius tetapi dapat juga noninfeksius

(misalnya pada proses demyelinisasi pada acute disseminated encephalitis). Agen

etiologi virus yang dapat menyebabkan ensefalitis antara lain virus herpes simpleks tipe

1 dan 2, varicella-zoster, Epstein-Barr, campak, rubella, rabies, dan beberapa kelompok

arbovirus (antara lain virus penyebab St Louis encephalitis, California virus

encephalitis, eastern equine encephalitis, dan western equine encephalitis). Penyebab

lainnya yaitu parasit (toksoplasma) dan jamur (Lazoff et al, 2001).

Pada pasien ini dari anamnesis agen etiologi yang paling mungkin adalah virus

varicella-zoster karena pasien memiliki riwayat ruam yang didiagnosis cacar (varicella)

3 minggu sebelum masuk rumah sakit. Meskipun demikian, ensefalitis varicella-zoster

relatif lebih jarang ditemukan dibandingkan ensefalitis herpes simpleks dan biasanya

ditemukan pada penderita dengan sistem imun yang lemah akibat reaktivasi dari virus

yang dorman.

Gejala prodromal umum dari ensefalitis virus berlangsung selama beberapa hari

dan berupa demam, nyeri kepala, mual dan muntah, letargi, dan mialgia. Gejala

prodromal spesifik pada ensefalitis yang disebabkan oleh virus varicella-zoster, Epstein-

Barr, cytomegalovirus, campak, dan parotitis termasuk timbulnya ruam, limfadenopati,

hepatospenomegali, dan pembesaran kelenjar parotis. Gejala klasik ensefalitis adalah

berupa ensefalopati dengan gejala neurologis difus atau fokal termasuk:

perubahan perilaku dan kepribadian, dengan penurunan derajat kesadaran;

kaku kuduk, fotofobia, dan letargi;

9

Page 10: Meningoensefalitis

kejang general atau fokal;

kebingungan atau amnesia;

paralisis flasid.

Gejala lain termasuk nyeri kepala dan gejala-gejala rangsang meningeal.

Pada pemeriksaan fisik dicari tanda-tanda yang mendukung infeksi virus. Tanda-

tanda ensefalitis dapat bersifat difus maupun fokal, termasuk:

perubahan status mental dan/atau kepribadian (paling seirng)

tanda-tanda fokal seperti hemiparesis, kejang fokal, dan disfungsi autonom

gangguan motorik

ataksia

gangguan nervus kranialis

disfagia

tanda rangsang meningeal (biasanya lebih tidak khas apabila dibandingkan dengan

meningitis)

disfungsi sensorimotor unilateral.

Pemeriksaan penunjang dapat dilakukan untuk membantu mengkonfirmasi

temuan klinis dan menegakkan diagnosis. Pemeriksaan hitung darah lengkap dengan

hitung jenis biasanya menunjukkan hasil dalam batas normal. Elektrolit serum biasanya

dalam batas normal kecuali terdapat komplikasi berupa syndrome of inappropriate

secretion of antidiuretic hormone (SIADH). Pemeriksaan elektrolit urin harus dilakukan

apabila terdapat dugaan terhadap SIADH. Skrining toksikologi serum dan urin dapat

dilakukan apabila terdapat indikasi. Beberapa pemeriksaan dapat dilakukan untuk

mengidentifikasi virus etiologi. Kultur terhadap lesi, cairan serebrospinal (jarang

positif) dan darah dilakukan pada dugaan infeksi virus herpes simpleks. Complement

fixation antibodies dilakukan untuk mengidentifikasi arbovirus. Antibodi heterofil dan

cold agglutinin testing dilakukan untuk virus Epstein-Barr. Tes serologis dapat

digunakan untuk kasus yang diduga toksoplasmosis. Analisis cairan serebrospinal

menunjukkan tekanan yang relatif normal atau sedikit meningkat, hitung leukosit

biasanya < 500, hampir 100% mononuklear, dapat ditemukan eritrosit nontraumatik

pada 80% pasien dengan ensefalitis herpes simpleks, pemeriksaan mikrobiologi tidak

ditemukan adanya organisme, glukosa normal dan protein sedikit meningkat.

10

Page 11: Meningoensefalitis

CT scan dengan atau tanpa kontras dilakukan sebelum pungsi lumbal untuk

mencari tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial, hidrosefalus obstruktif, atau efek

massa. CT scan juga membantu dalam diagnosis diferensial. Magnetic Resonance

Imaging (MRI) lebih baik dibandingkan CT scan kepala untuk menunjukkan kelainan

pada perjalanan awal penyakit.

Pada pasien ini pemeriksaan penunjang laboratorium menunjukkan leukositosis

yang tidak terlalu tinggi (11.300/mm3), kadar elektrolit natrium dan klorida yang rendah

(120 dan 84 mmol/L), dan kadar ureum yang sedikit naik (55,9 mg/dl). Pada CT scan

tanpa kontras terlihat gambaran ventrikulomegali ringan dan gambaran girus serebri

yang menghilang. Jumlah leukosit yang tidak terlalu tinggi konsisten dengan infeksi

virus (non-bakterial). Ventrikulomegali dapat disebabkan oleh gangguan absorpsi cairan

serebrospinal akibat proses radang pada araknnoid dan gambaran girus serebri yang

menghilang diakibatkan oleh proses inflamasi pada parenkim otak yang menyebabkan

edema. Kadar natrium yang rendah (120 mmol/L) penting karena hiponatremia dapat

menyebabkan edema serebri dan memperberat gejala yang timbul sehingga penting

untuk segera dikoreksi. Kadar ureum yang sedikit naik pada kasus ini kurang spesifik,

dapat disebabkan oleh demam maupun dehidrasi.

Komplikasi yang dapat terjadi pada ensefalitis adalah kejang, syndrome of

inappropriate secretion of antidiuretic hormone (SIADH), peningkatan tekanan

intrakranial, dan koma. Pada pasien ini tidak ditemukan tanda-tanda telah terjadinya

komplikasi tersebut.

Penanganan kasus ensefalitis secara umum bersifat suportif dengan pengecualian

ensefalitis akibat herpes simpleks dan varicella-zoster. Tujuan penanganan pasien akut

adalah pemberian dosis pertama asiklovir, dengan atau tanpa antibiotik atau steroid,

secepat mungkin dalam 30 menit sejak pasien datang. Sampel untuk pemeriksaan

laboratorium dan kultur darah hendaknya diambil sebelum terapi dimulai. Bahkan pada

kasus ensefalitis tanpa komplikasi, kebanyakan ahli merekomendasikan pemeriksaan

neuroimaging (MRI, atau CT scan apabila MRI tidak tersedia), sebelum melakukan

pungsi lumbal.

Pada pasien dengan hidrosefalus dan peningkatan tekanan intrakranial tindakan

umum termasuk penanganan demam dan nyeri, pengendalian aktivitas fisik dan batuk,

dan pencegahan kejang serta hipotensi sistemik. Pada pasien yang stabil, elevasi kepala

11

Page 12: Meningoensefalitis

dan pengawasan terhadap status neurologis biasanya cukup. Apabila dibutuhkan

tindakan yang lebih agresif, penggunaan awal diuretik (misalnya, furosemid 20 mg iv,

manitol 1 g/kg iv) dapat membantu dengan memastikan volume intravaskular tetap

normal. Deksametason 10 mg iv setiap 6 jam membantu mengatasi edema.

Hiperventilasi (PaCO2 30 mm Hg) dapat menyebabkan penurunan aliran darah serebral

(CBF), tetapi digunakan untuk mengontrol peningkatan tekanan intrakranial pada

keadaan emergensi. Cari dan atasi komplikasi sistemik (misalnya, hipotensi atau syok,

hipoksemia, hiponatremia, dan eksaserbasi penyakit kronis).

Pengobatan empiris emergensi untuk meningoensefalitis herpes simpleks dan

varicella-zoster terdiri dari asiklovir 10 mg/kg iv setiap 8 jam (diinfuskan selama 1 jam)

selama 14-21 hari. Berikan asiklovir 10-15 mg/kg iv setiap 8 jam untuk neonatus dan

asiklovir 10 mg/kg iv setiap 8 jam untuk anak-anak.

Di dalam guideline tentang manajemen ensefalitis yang dikeluarkan oleh

Infectious Diseases Society of America pemberian antimikroba selain asiklovir dapat

dilakukan dengan dasar epidemiologik yang spesifik atau pertimbangan klinis, termasuk

terapi antibiotik yang sesuai untuk dugaan awal meningitis bakterial apabila memiliki

indikasi secara klinis.

Pada pasien ini pengobatan pengobatan yang diberikan berupa cairan rumatan

NaCl 0,9% 30 tpm sekaligus untuk mengoreksi hiponatremia dan hipokloremia,

antibiotik Ceftriaxone injeksi 2 x 1 gram (iv) sebagai terapi antimikroba empiris,

Kalmethasone injeksi 3 x 5 mg (iv) untuk mengurangi edema otak, Citicholine injeksi 2

x 250 mg (iv) sebagai neuroprotektan, dan Ranitidine injeksi 3 x 50 mg (iv) untuk

mengatasi efek samping kortikosteroid terhadap lambung dan mencegah stress ulcer.

Pasien tidak diberikan terapi antiviral asiklovir sedangkan berdasarkan analisis pada

kasus ini terdapat kemungkinan agen etiologinya adalah virus varicella zoster.

Prognosis tergantung dari virulensi virus dan variabel-variabel terkait dengan

status kesehatan pasien, seperti usia yang ekstrim, status imunitas, dan gangguan

neurologis yang sudah ada sebelumnya. Hasil yang buruk dapat diantisipasi pada bayi

berusia kurang dari 1 tahun dan orang dewasa yang lebih dari 55 tahun.

Ensefalitis herpes simpleks yang tidak diterapi memiliki mortalitas 50-75%, dan

hampir 100% dari korban mengalami sekuele motorik jangka panjang dan cacat mental.

Mortalitas rata-rata ensefalitis herpes simpleks yang diterapi adalah 20%. Sekitar 40%

12

Page 13: Meningoensefalitis

pasien mengalami kesulitan belajar, gangguan memori, kelainan neuropsikiatri, epilepsi,

defisit pengendalian motorik halus, dan disartria. Ensefalitis varicella-zoster memiliki

angka mortalitas 15% pada pasien imunokompeten dan hampir 100% pada pasien

imunosupresi. Angka kematian untuk ensefalitis Epstein-Barr adalah 8%. Ensefalitis

rabies dan acute disseminated encephalitis hampir 100% fatal.

Selama perawatan di rumah sakit pasien menunjukkan kemajuan klinis yang baik

dengan perbaikan tingkat kesadaran meskipun belum sepenuhnya normal. Meskipun

demikian terdapat defisit neurologis berupa hemiparesis dekstra dan parese N VII

dekstra yang bersifat sentral. Pasien meminta pindah rumah sakit sebelum masa

perawatan selesai setelah dirawat selama 4 hari atas alasan sosial. Berdasarkan penilaian

klinis, prognosis pada pasien ini at vitam: bonam dan at functionam: dubia ad bonam.

13

Page 14: Meningoensefalitis

BAB IV

KESIMPULAN

Telah dilaporkan kasus seorang pasien laki-laki usia 30 tahun yang datang dengan

keluhan penurunan kesadaran. Dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan

pemeriksaan penunjang ditegakkan diagnosis meningoensefalitis. Terapi yang diberikan

mencakup pemberian antibiotik dan pengobatan suportif lainnya. Pada pasien ini dapat

diberikan terapi antiviral asiklovir karena menurut analisis organisme etiologik yang

mungkin adalah virus varicella-zooster. Pasien menunjukkan kemajuan klinis yang baik

selama perawatan di rumah sakit dan pasien pindah rumah sakit sebelum masa

perawatan selesai. Hal yang kemungkinan menjadi masalah pada pasien ini adalah

defisit neurologis berupa hemiparesis dekstra yang kemungkinan memerlukan

penanganan rehabilitasi medik. Prognosis pada pasien ini at vitam bonam dan at

functionam dubia ad bonam.

Secara umum penegakan diagnosis telah sesuai dengan literatur sedangkan terapi

dapat ditambahkan pemberian antiviral asiklovir.

14

Page 15: Meningoensefalitis

DAFTAR PUSTAKA

Lazoff M, Hemphill RR, Pritz T. 2001. Encephalitis. (Online). http://emedicine.medscape.com/article/791896-overview, diakses 15 November 2011.

Tunkel AR et al. 2008. The Management of Encephalitis: Clinical Practice Guidelines by the Infectious Diseases Society of America. Clinical Infectious Diseases 47:303–27.

15