Meningoensefalitis
-
Upload
nanik-herlina-hefni-puteri -
Category
Documents
-
view
1.384 -
download
16
Transcript of Meningoensefalitis
Laboratorium Penyakit Syaraf Laporan Kasus
Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman
MENINGOENSEFALITIS
Disusun oleh:
Fransiska A. Sihotang
04.45415.00205.09
Pembimbing:
dr. Yetty Hutahaean, Sp.S
Dibawakan Dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik
Pada Laboratorium Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
FK Universitas Mulawarman/RSUD A Wahab Sjahranie
Samarinda
2011
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ensefalitis merupakan radang parenkim otak yang dapat menimbulkan disfungsi
neuropsikologis difus dan/atau fokal. Ensefalitis pada umumnya melibatkan parenkim
otak, tetapi meningen atau selaput otak juga sering terlibat sehingga dikenal istilah
meningoensefalitis (Lazoff et al, 2011).
Dipandang dari sudut epidemiologis dan patofisiologis ensefalitis berbeda dari
meningitis meskipun pada pemeriksaan klinis keduanya sering terjadi secara bersamaan
dengan tanda dan gejala inflamasi meningeal seperti fotofobia, nyeri kepala, atau leher
yang kaku. Ensefalitis juga berbeda dengan serebritis. Serebritis merupakan salah satu
tahap sebelum terjadi pembentukan abses dan merupakan lesi yang sangat merusak
jaringan otak, sedangkan ensefalitis akut paling sering disebabkan infeksi virus dengan
kerusakan parenkim bervariasi dari ringan sampai berat. Meskipun infeksi bakteri,
jamur, dan autoimun dapat menyebabkan ensefalitis, sebagian besar kasus ensefalitis
disebabkan oleh virus. Insiden ensefalitis adalah 1 kasus per 200.000 populasi di
Amerika Serikat, dengan virus herpes simpleks (HSV) menjadi penyebab paling sering
(Lazoff et al, 2011).
Diagnosis cepat dan terapi segera merupakan tindakan yang dapat menyelamatkan
nyawa. Dengan demikian penting untuk dokter umum sebagai penyedia pelayanan
kesehatan primer untuk dapat mendiagnosis meningoensefalitis serta memberikan
penanganan awal pada kasus-kasus yang membutuhkan rujukan.
B. Tujuan
Mampu menegakkan diagnosis serta melakukan penatalaksanaan pada kasus
meningoensefalitis.
2
BAB II
LAPORAN KASUS
A. Identitas Pasien
Nama : Tn. AH
Umur : 30 tahun
Alamat : Banjarmasin
Pekerjaan : Polisi Kehutanan
Suku : Banjar
Agama : Islam
Pendidikan terakhir : D3
Status pernikahan : Menikah
Masuk rumah sakit tanggal 14 November 2011 pukul 14.00
B. Anamnesis
Anamnesis yang dilakukan berupa aloanamnesis terhadap istri pasien pada tanggal
14 November 2011.
Keluhan utama: Penurunan kesadaran.
Riwayat penyakit sekarang:
Keluhan dialami pasien sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit dan tidak
mendadak. Pasien awalnya mengalami demam yang tidak terlalu tinggi disertai
mual, nyeri ulu hati, nyeri kepala, dan merasa silau terhadap cahaya sejak sekitar 5
hari sebelum masuk rumah sakit. Pasien kemudian dibawa ke rumah sakit swasta
dan dikatakan menderita tifoid. Setelah dirawat selama 1 hari pasien mulai bicara
melantur dan berperilaku lebih agresif dari biasanya (mengamuk). Pasien kemudian
dirujuk ke RSKD Atma Husada Mahakam. Setelah 2 hari perawatan pasien mulai
tampak lemah dan mengantuk serta tidak mau makan dan jarang bicara. Setelah 4
hari dirawat pasien kemudian dirujuk ke RSU AWS. Istri pasien juga mengamati
bahwa anggota gerak sebelah kanan pasien tampak lebih lemah dan tidak
digerakkan. Pasien tidak pernah mengalami kejang.
3
Pasien tidak memiliki keluhan batuk lama, infeksi pada daerah wajah seperti
pada telinga, hidung, dan tenggorokan, riwayat gigitan binatang, maupun riwayat
trauma pada kepala.
Riwayat penyakit dahulu:
Tidak ada riwayat kencing manis, penyakit hati, maupun penyakit ginjal.
Pasien menderita cacar sekitar 3 minggu sebelum masuk rumah sakit,
mengkonsumsi obat, dan sekarang sudah sembuh.
Riwayat okupasi:
Pasien bekerja sebagai polisi hutan di Banjarmasin. Saat ini pasien berada di
Samarinda karena mengikuti pelatihan yang dilakukan di kantor Samarinda.
Keterangan tambahan:
Pasien merupakan rujukan dari RSKD Atma Husada Mahakam dengan diagnosis
delirium suspek gangguan mental organik (meningitis) dan telah mendapatkan
terapi RL 20 tpm, Paracetamol 4 x 500 mg, dan Ciprofloxacin 4 x 500 mg.
C. Pemeriksaan Fisik
Status Generalis
1. Keadaan umum:
Kesadaran : E1M5V1
Keadaan sakit : sakit berat
Tanda vital:
Tekanan darah : 100/60 mmHg
Frekuensi nadi : 96 x/menit, reguler, isi cukup
Pernafasan : 22 x/menit
Suhu : 37,40C per aksiler
2. Kulit
Kulit kering dan hangat. Tampak makula-makula hiperpigmentasi di seluruh
tubuh terutama pada daerah wajah.
3. Kepala dan leher
4
Konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-), pembesaran kelenjar getah bening (-).
4. Thoraks
a. Paru:
▪ Inspeksi : bentuk dan pergerakan dada simetris, retraksi (-)
▪ Palpasi : tidak ada pelebaran ICS
▪ Perkusi : sonor di semua lapangan paru
▪ Auskultasi : vesikuler, tidak ada wheezing dan ronkhi
b. Jantung:
▪ Auskultasi : S1, S2 reguler, tidak ada suara tambahan
5. Abdomen
▪ Inspeksi : datar
▪ Palpasi : soefl
▪ Perkusi : timpani di seluruh lapangan abdomen
▪ Auskultasi : bising usus (+) kesan menurun
6. Ekstremitas
▪ Akral hangat
▪ Edema : superior (- | -), inferior (- | -)
Status Neurologis
GCS E1M5V1
Kepala : pupil isokhor 3 mm, refleks cahaya + | + normal.
Tanda rangsang meningeal:
o Kaku kuduk (+)
o Kernig sign + | +
o Brudzinski I sign - | -
o Brudzinski II sign - | -
Nervus kranialis sulit dievaluasi
Sistem motorik: pada pemeriksaan lateralisasi terdapat lateralisasi ke kanan,
kekuatan otot sulit dievaluasi
Refleks fisiologis
o Refleks biceps + | + normal
o Refleks triceps + | + normal
5
o Refleks patella + | + normal
o Refleks achilles + | + normal
Refleks patologis
o Refleks Hoffman - | -
o Refleks Trommer - | -
o Refleks Babinski - | -
o Refleks Chaddock - | -
o Refleks Oppenheim - | -
o Klonus - | -
D. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium
Hari ke-0 Hari ke-4Hb 11,3Ht 35,5Leukosit 11.200Trombosit 443.000Na 120K 4,3Cl 84GDS 115Ureum 55,9 46,2Creatinin 1,2 1,4
CT scan: terlihat gambaran ventrikulomegali ringan dan gambaran girus serebri
yang menghilang.
E. Diagnosis Kerja
Diagnosis neurologis
Diagnosis klinis : penurunan kesadaran
Diagnosis topik : parenkim otak dan meningen
Diagnosis etiologik : meningoensefalitis
Diagnosis sekunder: hiponatremia
6
F. Penatalaksanaan
Tirah baring
IVFD NaCl 0,9% 30 tpm
Ceftriaxone injeksi 2 x 1 gram (iv)
Kalmethasone injeksi 3 x 5 mg (iv)
Ranitidine injeksi 3 x 50 mg (iv)
Citicholine injeksi 2 x 250 mg (iv)
Parasetamol 3 x 500 mg (po) prn febris
Diet proten 6 x 100 cc per oral
G. Prognosis
At vitam : bonam
At functionam : dubia ad bonam
H. Follow up
▪ Hari ke-0 pasien sempat mengalami demam hingga 38,3ºC.
▪ Hari ke-1 kesadaran mulai membaik dengan GCS E3M5V3, tanda vital stabil,
kekuatan otot tidak dapat dievaluasi, pasien tidak mengalami demam. Pasien
sulit makan makanan padat sehingga diberikan diet cair proten 6 x 100 cc per
oral.
▪ Hari ke-2 GCS E3M5V3, tanda vital stabil, kekuatan otot belum dapat
dievaluasi, pasien tidak mengalami demam. Pasien dapat duduk dengan
dibantu dan diawasi. Pasien dapat makan diet cair dengan baik.
▪ Hari ke-3 GCS E3M5V3, tanda vital stabil, kekuatan otot belum dapat
dievaluasi, pasien tidak mengalami demam.
▪ Hari ke-4 GCS E3M5V6, tampak sudut bibir kanan tertinggal ketika berbicara,
tanda vital stabil, demam tidak ada. Keluarga pasien minta pindah rumah sakit
ke Banjarmasin atas alasan sosial.
7
BAB III
PEMBAHASAN
Pada laporan ini diajukan kasus pasien laki-laki usia 30 tahun yang datang ke IGD
RS AWS dengan keluhan penurunan kesadaran. Keluhan ini terjadi secara perlahan atau
tidak mendadak sejak 2 hari sebelumnya. Pasien tidak memiliki riwayat trauma kepala,
hipertensi, diabetes mellitus, penyakit hati, maupun penyakit ginjal. Dari informasi
tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa penurunan kesadaran dapat disebabkan oleh
proses intrakranial tetapi bukan yang bersifat neurovaskuler dan proses ekstrakranial
(metabolik) dapat dieksklusi tetapi harus dikonfirmasi dahulu dengan pemeriksaan fisik
maupun laboratorium. Sebelum mengalami penurunan kesadaran pasien mengalami
perubahan perilaku menjadi agresif dan perubahan status mental (bicara inkoheren).
Pasien juga mengalami gejala-gejala lain seperti demam yang tidak terlalu tinggi, mual,
nyeri ulu hati, nyeri kepala, dan merasa silau terhadap cahaya. Gejala-gejala tersebut
memberikan dugaan kuat diagnosis ke arah proses intrakranial.
Pada pemeriksaan fisik umum kesadaran menurun dengan GCS E1M5V1, tekanan
darah 100/60 mmHg dan tanda vital lain dalam batas normal, kulit kering dan hangat,
tidak ditemukan ikterik pada sklera, serta thoraks dan abdomen dalam batas normal.
Pada pemeriksaan neurologis ditemukan tanda rangsang meningeal berupa kaku kuduk
dan Kernig sign serta pada sistem motorik terdapat lateralisasi ke kanan. Refleks
fisiologis dalam batas normal dan tidak ditemukan adanya refleks patologis. Hasil
pemeriksaan fisik mengkonfirmasi diagnosis banding yang telah disusun dari hasil
anamnesis yaitu penurunan kesadaran yang disebabkan oleh proses intrakranial berupa
inflamasi pada pada meningen (ditemukan tanda rangsang meningeal) dan parenkim
otak (penurunan kesadaran, defisit neurologis berupa lateralisasi ke kanan).
Ensefalitis, yang merupakan proses inflamasi pada parenkim otak, dapat
menimbulkan disfungsi neuropsikologis difus dan/atau fokal. Meski terutama
melibatkan parenkim otak, meningen atau selaput otak juga sering terlibat sehingga
dikenal istilah meningoensefalitis. Bakteri, jamur, dan proses autoimun dapat
menyebabkan ensefalitis, tetapi pada kebanyakan kasus etiologinya adalah virus.
Insiden ensefalitis di Amerika Serikat adalah 1 kasus per 200.000 penduduk dengan
virus herpes simpleks (HSV) menjadi penyebab tersering dari ensefalitis. Pendekatan
8
diagnosis etiologis terutama dilakukan untuk dapat membedakan secara klinis
ensefalitis biasa yang disebabkan oleh virus yang tergolong ke dalam arbovirus dengan
dua macam ensefalitis virus yang dapat diberikan terapi seperti ensefalitis herpes
simpleks, yang bersifat sporadik dan letal pada neonatus dan populasi umum, dan
ensefalitis varicella-zoster yang insidennya lebih sedikit dan terutama letal pada pasien
immunocompromised (Lazoff et al, 2001).
Identifikasi cepat dan terapi segera merupakan tindakan yang dapat
menyelamatkan nyawa. Beberapa pihak menyarankan memulai penanganan pada
instalasi gawat darurat dengan pemberian antiviral asiklovir yang relatif aman pada
pasien dengan gejala sistem saraf pusat (terutama ensefalopati dan defisit neurologis
fokal) yang tidak dapat dijelaskan (Lazoff et al, 2001).
Etiologi ensefalitis pada umumnya infeksius tetapi dapat juga noninfeksius
(misalnya pada proses demyelinisasi pada acute disseminated encephalitis). Agen
etiologi virus yang dapat menyebabkan ensefalitis antara lain virus herpes simpleks tipe
1 dan 2, varicella-zoster, Epstein-Barr, campak, rubella, rabies, dan beberapa kelompok
arbovirus (antara lain virus penyebab St Louis encephalitis, California virus
encephalitis, eastern equine encephalitis, dan western equine encephalitis). Penyebab
lainnya yaitu parasit (toksoplasma) dan jamur (Lazoff et al, 2001).
Pada pasien ini dari anamnesis agen etiologi yang paling mungkin adalah virus
varicella-zoster karena pasien memiliki riwayat ruam yang didiagnosis cacar (varicella)
3 minggu sebelum masuk rumah sakit. Meskipun demikian, ensefalitis varicella-zoster
relatif lebih jarang ditemukan dibandingkan ensefalitis herpes simpleks dan biasanya
ditemukan pada penderita dengan sistem imun yang lemah akibat reaktivasi dari virus
yang dorman.
Gejala prodromal umum dari ensefalitis virus berlangsung selama beberapa hari
dan berupa demam, nyeri kepala, mual dan muntah, letargi, dan mialgia. Gejala
prodromal spesifik pada ensefalitis yang disebabkan oleh virus varicella-zoster, Epstein-
Barr, cytomegalovirus, campak, dan parotitis termasuk timbulnya ruam, limfadenopati,
hepatospenomegali, dan pembesaran kelenjar parotis. Gejala klasik ensefalitis adalah
berupa ensefalopati dengan gejala neurologis difus atau fokal termasuk:
perubahan perilaku dan kepribadian, dengan penurunan derajat kesadaran;
kaku kuduk, fotofobia, dan letargi;
9
kejang general atau fokal;
kebingungan atau amnesia;
paralisis flasid.
Gejala lain termasuk nyeri kepala dan gejala-gejala rangsang meningeal.
Pada pemeriksaan fisik dicari tanda-tanda yang mendukung infeksi virus. Tanda-
tanda ensefalitis dapat bersifat difus maupun fokal, termasuk:
perubahan status mental dan/atau kepribadian (paling seirng)
tanda-tanda fokal seperti hemiparesis, kejang fokal, dan disfungsi autonom
gangguan motorik
ataksia
gangguan nervus kranialis
disfagia
tanda rangsang meningeal (biasanya lebih tidak khas apabila dibandingkan dengan
meningitis)
disfungsi sensorimotor unilateral.
Pemeriksaan penunjang dapat dilakukan untuk membantu mengkonfirmasi
temuan klinis dan menegakkan diagnosis. Pemeriksaan hitung darah lengkap dengan
hitung jenis biasanya menunjukkan hasil dalam batas normal. Elektrolit serum biasanya
dalam batas normal kecuali terdapat komplikasi berupa syndrome of inappropriate
secretion of antidiuretic hormone (SIADH). Pemeriksaan elektrolit urin harus dilakukan
apabila terdapat dugaan terhadap SIADH. Skrining toksikologi serum dan urin dapat
dilakukan apabila terdapat indikasi. Beberapa pemeriksaan dapat dilakukan untuk
mengidentifikasi virus etiologi. Kultur terhadap lesi, cairan serebrospinal (jarang
positif) dan darah dilakukan pada dugaan infeksi virus herpes simpleks. Complement
fixation antibodies dilakukan untuk mengidentifikasi arbovirus. Antibodi heterofil dan
cold agglutinin testing dilakukan untuk virus Epstein-Barr. Tes serologis dapat
digunakan untuk kasus yang diduga toksoplasmosis. Analisis cairan serebrospinal
menunjukkan tekanan yang relatif normal atau sedikit meningkat, hitung leukosit
biasanya < 500, hampir 100% mononuklear, dapat ditemukan eritrosit nontraumatik
pada 80% pasien dengan ensefalitis herpes simpleks, pemeriksaan mikrobiologi tidak
ditemukan adanya organisme, glukosa normal dan protein sedikit meningkat.
10
CT scan dengan atau tanpa kontras dilakukan sebelum pungsi lumbal untuk
mencari tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial, hidrosefalus obstruktif, atau efek
massa. CT scan juga membantu dalam diagnosis diferensial. Magnetic Resonance
Imaging (MRI) lebih baik dibandingkan CT scan kepala untuk menunjukkan kelainan
pada perjalanan awal penyakit.
Pada pasien ini pemeriksaan penunjang laboratorium menunjukkan leukositosis
yang tidak terlalu tinggi (11.300/mm3), kadar elektrolit natrium dan klorida yang rendah
(120 dan 84 mmol/L), dan kadar ureum yang sedikit naik (55,9 mg/dl). Pada CT scan
tanpa kontras terlihat gambaran ventrikulomegali ringan dan gambaran girus serebri
yang menghilang. Jumlah leukosit yang tidak terlalu tinggi konsisten dengan infeksi
virus (non-bakterial). Ventrikulomegali dapat disebabkan oleh gangguan absorpsi cairan
serebrospinal akibat proses radang pada araknnoid dan gambaran girus serebri yang
menghilang diakibatkan oleh proses inflamasi pada parenkim otak yang menyebabkan
edema. Kadar natrium yang rendah (120 mmol/L) penting karena hiponatremia dapat
menyebabkan edema serebri dan memperberat gejala yang timbul sehingga penting
untuk segera dikoreksi. Kadar ureum yang sedikit naik pada kasus ini kurang spesifik,
dapat disebabkan oleh demam maupun dehidrasi.
Komplikasi yang dapat terjadi pada ensefalitis adalah kejang, syndrome of
inappropriate secretion of antidiuretic hormone (SIADH), peningkatan tekanan
intrakranial, dan koma. Pada pasien ini tidak ditemukan tanda-tanda telah terjadinya
komplikasi tersebut.
Penanganan kasus ensefalitis secara umum bersifat suportif dengan pengecualian
ensefalitis akibat herpes simpleks dan varicella-zoster. Tujuan penanganan pasien akut
adalah pemberian dosis pertama asiklovir, dengan atau tanpa antibiotik atau steroid,
secepat mungkin dalam 30 menit sejak pasien datang. Sampel untuk pemeriksaan
laboratorium dan kultur darah hendaknya diambil sebelum terapi dimulai. Bahkan pada
kasus ensefalitis tanpa komplikasi, kebanyakan ahli merekomendasikan pemeriksaan
neuroimaging (MRI, atau CT scan apabila MRI tidak tersedia), sebelum melakukan
pungsi lumbal.
Pada pasien dengan hidrosefalus dan peningkatan tekanan intrakranial tindakan
umum termasuk penanganan demam dan nyeri, pengendalian aktivitas fisik dan batuk,
dan pencegahan kejang serta hipotensi sistemik. Pada pasien yang stabil, elevasi kepala
11
dan pengawasan terhadap status neurologis biasanya cukup. Apabila dibutuhkan
tindakan yang lebih agresif, penggunaan awal diuretik (misalnya, furosemid 20 mg iv,
manitol 1 g/kg iv) dapat membantu dengan memastikan volume intravaskular tetap
normal. Deksametason 10 mg iv setiap 6 jam membantu mengatasi edema.
Hiperventilasi (PaCO2 30 mm Hg) dapat menyebabkan penurunan aliran darah serebral
(CBF), tetapi digunakan untuk mengontrol peningkatan tekanan intrakranial pada
keadaan emergensi. Cari dan atasi komplikasi sistemik (misalnya, hipotensi atau syok,
hipoksemia, hiponatremia, dan eksaserbasi penyakit kronis).
Pengobatan empiris emergensi untuk meningoensefalitis herpes simpleks dan
varicella-zoster terdiri dari asiklovir 10 mg/kg iv setiap 8 jam (diinfuskan selama 1 jam)
selama 14-21 hari. Berikan asiklovir 10-15 mg/kg iv setiap 8 jam untuk neonatus dan
asiklovir 10 mg/kg iv setiap 8 jam untuk anak-anak.
Di dalam guideline tentang manajemen ensefalitis yang dikeluarkan oleh
Infectious Diseases Society of America pemberian antimikroba selain asiklovir dapat
dilakukan dengan dasar epidemiologik yang spesifik atau pertimbangan klinis, termasuk
terapi antibiotik yang sesuai untuk dugaan awal meningitis bakterial apabila memiliki
indikasi secara klinis.
Pada pasien ini pengobatan pengobatan yang diberikan berupa cairan rumatan
NaCl 0,9% 30 tpm sekaligus untuk mengoreksi hiponatremia dan hipokloremia,
antibiotik Ceftriaxone injeksi 2 x 1 gram (iv) sebagai terapi antimikroba empiris,
Kalmethasone injeksi 3 x 5 mg (iv) untuk mengurangi edema otak, Citicholine injeksi 2
x 250 mg (iv) sebagai neuroprotektan, dan Ranitidine injeksi 3 x 50 mg (iv) untuk
mengatasi efek samping kortikosteroid terhadap lambung dan mencegah stress ulcer.
Pasien tidak diberikan terapi antiviral asiklovir sedangkan berdasarkan analisis pada
kasus ini terdapat kemungkinan agen etiologinya adalah virus varicella zoster.
Prognosis tergantung dari virulensi virus dan variabel-variabel terkait dengan
status kesehatan pasien, seperti usia yang ekstrim, status imunitas, dan gangguan
neurologis yang sudah ada sebelumnya. Hasil yang buruk dapat diantisipasi pada bayi
berusia kurang dari 1 tahun dan orang dewasa yang lebih dari 55 tahun.
Ensefalitis herpes simpleks yang tidak diterapi memiliki mortalitas 50-75%, dan
hampir 100% dari korban mengalami sekuele motorik jangka panjang dan cacat mental.
Mortalitas rata-rata ensefalitis herpes simpleks yang diterapi adalah 20%. Sekitar 40%
12
pasien mengalami kesulitan belajar, gangguan memori, kelainan neuropsikiatri, epilepsi,
defisit pengendalian motorik halus, dan disartria. Ensefalitis varicella-zoster memiliki
angka mortalitas 15% pada pasien imunokompeten dan hampir 100% pada pasien
imunosupresi. Angka kematian untuk ensefalitis Epstein-Barr adalah 8%. Ensefalitis
rabies dan acute disseminated encephalitis hampir 100% fatal.
Selama perawatan di rumah sakit pasien menunjukkan kemajuan klinis yang baik
dengan perbaikan tingkat kesadaran meskipun belum sepenuhnya normal. Meskipun
demikian terdapat defisit neurologis berupa hemiparesis dekstra dan parese N VII
dekstra yang bersifat sentral. Pasien meminta pindah rumah sakit sebelum masa
perawatan selesai setelah dirawat selama 4 hari atas alasan sosial. Berdasarkan penilaian
klinis, prognosis pada pasien ini at vitam: bonam dan at functionam: dubia ad bonam.
13
BAB IV
KESIMPULAN
Telah dilaporkan kasus seorang pasien laki-laki usia 30 tahun yang datang dengan
keluhan penurunan kesadaran. Dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang ditegakkan diagnosis meningoensefalitis. Terapi yang diberikan
mencakup pemberian antibiotik dan pengobatan suportif lainnya. Pada pasien ini dapat
diberikan terapi antiviral asiklovir karena menurut analisis organisme etiologik yang
mungkin adalah virus varicella-zooster. Pasien menunjukkan kemajuan klinis yang baik
selama perawatan di rumah sakit dan pasien pindah rumah sakit sebelum masa
perawatan selesai. Hal yang kemungkinan menjadi masalah pada pasien ini adalah
defisit neurologis berupa hemiparesis dekstra yang kemungkinan memerlukan
penanganan rehabilitasi medik. Prognosis pada pasien ini at vitam bonam dan at
functionam dubia ad bonam.
Secara umum penegakan diagnosis telah sesuai dengan literatur sedangkan terapi
dapat ditambahkan pemberian antiviral asiklovir.
14
DAFTAR PUSTAKA
Lazoff M, Hemphill RR, Pritz T. 2001. Encephalitis. (Online). http://emedicine.medscape.com/article/791896-overview, diakses 15 November 2011.
Tunkel AR et al. 2008. The Management of Encephalitis: Clinical Practice Guidelines by the Infectious Diseases Society of America. Clinical Infectious Diseases 47:303–27.
15