periodesasi pemajuan HAM, contoh perlindungan dan pemanjuan HAM di Indoneia, pengaturan HAM pasal 28
Mengkritisi Ruu Hukum Pidana Melalui Perspektif Ham
-
Upload
nofry-hardi -
Category
Documents
-
view
219 -
download
0
Transcript of Mengkritisi Ruu Hukum Pidana Melalui Perspektif Ham
-
8/13/2019 Mengkritisi Ruu Hukum Pidana Melalui Perspektif Ham
1/18
MENGKRITISI RUU HUKUM PIDANA MELALUI PERSPEKTIF HAM
Page 1
TUGAS AKHIR
PEMBARUAN HUKUM PIDANA
DENGAN DOSEN PEMBIMBING
PROF.DR.ISMANSYAH, SH, MH
OLEH
AMRI SATA
1220113060
FAKULTAS HUKUM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
2013
-
8/13/2019 Mengkritisi Ruu Hukum Pidana Melalui Perspektif Ham
2/18
MENGKRITISI RUU HUKUM PIDANA MELALUI PERSPEKTIF HAM
Page 2
Memulai tulisan ini, saya ingin mengutip pendapat Jan Remmelink, ahli hukum pidana tentang
KUHPidana Belanda ( Straftrecht) sebagai berikut :
Tidak dapat dipungkiri bahwa KUHPidana Belanda secara struktur dan
perumusan merupakan karya besar dan sampai dengan sekarang setelah 100 tahun
lewat belum ketinggalan zaman. Bahkan, KUHPidana tersebut masih
diberlakukan di Suriname, Kepulauan Antillen dan Aruba, serta Indonesia, tanpa
memunculkan persoalan besar, setidak-tidaknya demikian menurut Penulis.
(Jan Remmelink 2003, hal. 39 - 40).
Pendapat Remmelink menggarisbawahi dua hal yaitu, KUHPidana Belanda quastruktur
dan perumusannya merupakan karya besar yang walaupun telah berusia 100 tahun belum
ketinggalan zaman. Para penggunanya termasuk Indonesia tidak menghadapi kesulitan besar.
Kalangan masyarakat hukum Indonesia, dan khususnya para ahli hukum pidana boleh tidak
sependapat dengan Jan Remmelink. Pihak yang tidak setuju biasanya akan berkata bahwa
KUHPidana yang diberlakukan di Indonesia itu merupakan warisan hukum pemerintah kolonial
Belanda, karena itu tidak sesuai dengan kebutuhan hukum masyarakat bangsa merdeka.
Mereka berkata pula, bahwa perkembangan masyarakat, ekonomi dan teknologi yang
melahirkan bentuk-bentuk kejahatan baru yang melahirkan kebutuhan hukum baru, yaitu
perlindungan yang lebih memadai bagi individu, masyarakat dan negara menuntut pembaharuan
KUHPidana Nasional. Argumentasi ini sah-sah saja. Namun, satu hal yang tidak dapat mereka
dan kita bantah adalah fakta sejarah bahwa KUHPidana Nasional peninggalan Belanda itu telah
menjadi sarana legitimasi hukum bagi pemberantasan kejahatan sepanjang usia Republik
Indonesia yang mencapai 60 (enam puluh) tahun. Ia menjadi sarana hukum yang memberikan
sumbangan pada upaya menjaga stabilitas keamanan dan ketertiban pada masa Orde Baru.
Bahkan, pada era ini beberapa bagian KUHPidana Nasional itu digunakan oleh penguasa untuk
melindungi kepentingan politik dan kekuasaannya dan bersamaan dengan itu ia menjadi
legitimasi hukum untuk mengadili, menghukum dan memenjarakan tokoh-tokoh gerakan pro-
demokrasi. Serentak dengan itu, ia menjadi salah satu sarana hukum yang ampuh untuk
mengembangkan suasana dan rasa ketakutan di kalangan masyarakat, khususnya lawan-lawan
politik pemerintah otoriter Orde Baru.
-
8/13/2019 Mengkritisi Ruu Hukum Pidana Melalui Perspektif Ham
3/18
MENGKRITISI RUU HUKUM PIDANA MELALUI PERSPEKTIF HAM
Page 3
Oleh karena itu, sangat bisa dimengerti bila masyarakat Indonesia dewasa ini, khususnya
mereka yang peduli terhadap berlangsungnya demokrasi dan perlindungan HAM bersikap
cermat, cerdas dan waspada terhadap RUU KUHPidana itu. Masyarakat, kalaupun tidak
seluruhnya, sebagian besar tidak ingin melihat lagi bagian-bagian dari KUHPidana kita itu
membuka peluang bagi avenue kembalinya otoritarianisme dan kesewenangan, yang pada
ketikanya membunuh demokrasi dan mengeliminasi HAM.
Menurut Mardjono Reksodiputro, konsep ke-1 RUU KUHPidana yang diajukan pada
tahun 1993 telah juga memperhatikan perlindungan terhadap hak asasi warga masyarakat,
dengan didukung oleh 3 (tiga) prinsip yaitu sebagai berikut :
a. Hukum pidana (juga) dipergunakan untuk menegaskan atau menegakkan kembali nilai-nilai sosial dasar (fundamental social values) perilaku hidup bermasyarakat (dalam
negara kesatuan Republik Indonesia, yang dijiwai oleh falsafah dan ideologi negara
Pancasila);
b. Hukum pidana (sedapat mungkin) hanya dipergunakan dalam keadaan dimana cara lainmelakukan pengendalian sosial (social control) tidak (belum) dapat diharapkan
kefektifannya; dan
c. Hukum pidana (yang telah mempergunakan kedua pembatasan, a dan b di atas), harusditerapkan dengan cara seminimal mungkin mengganggu hak dan kebebasan individu,
tanpa mengurangi perlunya juga perlindungan terhadap kepentingan kolektifitas dalam
masyarakat demokratik yang modern.
Pertama, hukum pidana dalam fungsinya untuk menegaskan atau menegakkan kembali nilai-
nilai sosial dasar yang mengacu pada ideologi negara Pencasila. Prinsip ini terbuka bagi multi-
tafsir tentang apa dan mana yang dimaksudkan nilai-nilai sosial dasar yang sesuai dengan
Pancasila. Di masa Orde Baru yang lalu, penafsiran dari kelompok-kelompok sosial dominan-lah
yang berlaku. Ini pada gilirannya membawa akibat hancurnya kehidupan bernegara hukum, dan
bersamaan dengan itu langgengnya sistem pemerintahan otoriter yang syarat dengan KKN.
Kalau demikian halnya, apa pegangan kita untuk mencegah penafsiran yang sewenang-wenang
terhadap makna nilai-nilai sosial dasar itu. Saya belum menemukan suatu produk hukum yang
memuat suatu kesepakatan tentang nilai-nilai sosial dasar itu, terkecuali yang dimuat dalam TAP
MPR No. VI Tahun 2001 dan TAP MPR No. VII Tahun 2001 tentang Etika Kehidupan
-
8/13/2019 Mengkritisi Ruu Hukum Pidana Melalui Perspektif Ham
4/18
MENGKRITISI RUU HUKUM PIDANA MELALUI PERSPEKTIF HAM
Page 4
Berbangsa dan Visi Indonesia Masa depan. TAP MPR No. VII Tahun 2001 tentang Visi
Indonesia Masa Depan mencerminkan pula nilai-nilai sosial dasar itu. Oleh karena itu, dalam
kesempatan ini saya akan mengutipnya sebagai berikut :
1. Religiusa. Terwujudnya masyarakat yang beriman, bertakwa, berakhlak mulia sehingga ajaran
agama, khususnya yang bersifat universal dan nilai-nilai luhur budaya, terutama
kejujuran, dihayati dan diamalkan dalam perilaku keseharian;
b. Terwujudnya toleransi antar dan antara umat beragama;c. Terwujudnya penghormatan terhadap martabat kemanusiaan.
2. Manusiawia. Terwujudnya masyarakat yang menghargai nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan
beradab;
b. Terwujudnya hubungan harmonis antar manusia Indonesia tanpa membedakan latarbelakang budaya, suku, ras agama dan lain-lain;
c. Berkembangnya dinamika kehidupan bermasyarakat ke arah peningkatan harkat danmartabat manusia;
d. Terwujudnya keseimbangan antara hak dan kewajiban dalam perilaku kehidupanbermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
3. Bersatua. Meningkatnya semangat persatuan dan kerukunan bangsa;b. Meningkatnya toleransi, kepedulian, dan tanggung jawab sosial;c. Berkembangnya budaya dan perilaku sportif serta menghargai dan menerima
perbedaan dalam kemajemukan;
d. Berkembangnya semangat anti kekerasan;e. Berkembangnya dialog secara wajar dan saling menghormati antar kelompok dalam
masyarakat.4. Demokratis
a. Terwujudnya keseimbangan kekuasaan antara lembaga penyelenggara negara danhubungan kekuasaan antara pemerintahan nasional dan daerah;
-
8/13/2019 Mengkritisi Ruu Hukum Pidana Melalui Perspektif Ham
5/18
MENGKRITISI RUU HUKUM PIDANA MELALUI PERSPEKTIF HAM
Page 5
b. Menguatnya partisipasi politik sebagai perwujudan kedaulatan rakyat melaluipemilihan umum yang jujur, adil, langsung, umum, bebas, dan rahasia, efektifitas
peran dan fungsi partai politik dan kontrol sosial masyarakat yang semakin meluas;
c. Berkembangnya organisasi sosial, organisasi kemasyarakatan dan organisasi politikyang bersifat terbuka;
d. Terwujudnya mekanisme kontrol di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara;e. Berkembangnya budaya demokrasi : transparansi, akuntabilitas, jujur, sportif,
menghargai perbedaan;
f. Berkembangnya sistem kepemimpinan yang egaliter dan rasional.5. Adil
a. Tegaknya hukum yang berkeadilan tanpa diskriminasi;b. Terwujudnya institusi dan aparat hukum yang bersih dan profesional;c. Terwujudnya penegakan hak asasi manusia;d. Terwujudnya keadilan gender;e. Terwujudnya budaya penghargaan dan kepatuhan terhadap hukum;f. Terwujudnya keadilan dalam distribusi pendapatan, sumber daya ekonomi dan
penguasaan aset ekonomi, serta hilangnya praktik monopoli;
g. Tersedianya peluang yang lebih besar bagi kelompok ekonomi kecil, pendudukmiskin dan tertinggal.
6. Sejahteraa. Meluasnya kesempatan kerja dan meningkatnya penduduk sehingga bangsa Indonesia
menjadi sejahtera dan mandiri;
b. Meningkatnya angka partisipasi murni usia sekolah;c. Terpenuhinya sistem pelayanan umum, bagi seluruh lapisan masyarakat, termasuk
pelayanan kepada penyandang cacat dan usia lanjut, seperti pelayanan transportasi,
komunikasi, penyediaan energi dan air bersih;
d. Tercapainya hak atas hidup sehat bagi seluruh lapisan masyarakat melalui sistemkesehatan yang dapat menjamin terlindunginya masyarakat dari berbagai resiko yang
dapat mempengaruhi kesehatan dan tersedianya pelayanan kesehatan yang bermutu,
terjangkau dan merata;
-
8/13/2019 Mengkritisi Ruu Hukum Pidana Melalui Perspektif Ham
6/18
MENGKRITISI RUU HUKUM PIDANA MELALUI PERSPEKTIF HAM
Page 6
e. Meningkatnya indeks pengembangan manusia (human development index) yangmenggambarkan keadaan ekonomi, pendidikan dan kesehatan secara terpadu;
f. Terwujudnya pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam yang adil, merata,ramah lingkungan dan berkelanjutan;
g. Terwujudnya keamanan dan rasa aman dalam masyarakat.Saya hanya mengutip 6 dari 9 butir Visi Indonesia Masa Depan yang tertuang dalam TAP
MPR No. VII Tahun 2001. Enam butir visi itu mendeskripsikan secara rinci pandangan
Indonesia masa depan. Deskripsi pandangan itu merefleksikan nilai-nilai sosial dasar yang
disepakati wakil-wakil rakyat di MPR. Seandainya benar demikian, sudah semestinya RUU
KUHPidana berpedoman pada nilai-nilai tersebut. Yang berarti, RUU KUHPidana dalam
konsepsi dan perumusannya tidak boleh membuka peluang bagi penafsiran yang akan
menegasikan nilai-nilai sosial dasar yang direfleksikan dalam Visi Indonesia Masa Depan
tersebut. Nanti dalam uraian di belakang, akan saya tunjukkan konsep dan rumusan dari bagian
RUU itu yang mengandung potensi melawan nilai-nilai sosial dasar itu.
Kedua, hukum pidana sedapat mungkin hanya dipergunakan dalam keadaan cara melakukan
pengendalian sosial tidak (belum) dapat diharapkan keefektifannya. Ini berarti hukum pidana
sebagai Ultimum Remedium. Pandangan ini adalah pandangan yang umum dianut di banyak
negeri, termasuk negeri Belanda. Dalam salah satu pidatonya, Menteri Modderman menyatakan
sebagai berikut :
Ancaman pidana harus tetap merupakan suatu ultimum remedium. Memang,
terhadap setiap ancaman pidana ada keberatannya. Setiap orang yang berpikiran
sehat akan dapat mengerti hal itu tanpa penjelasan lebih lanjut. Ini tidak berarti
bahwa ancaman pidana akan ditiadakan, tetapi selalu harus mempertimbangkan
untung dan rugi ancaman pidana itu, dan harus menjaga jangan sampai terjadi
obat yang diberikan lebih jahat daripada penyakit.
(J.M. van Bemmelen l984, hlm 14)
Namun, JM van Bemmelen mengingatkan bahwa hukum pidana sebagai ultimum
remedium itu hendaknya diperhatikan, karena hukum acara pidana juga memberikan wewenang
yang luas kepada Polisi dan Kejaksaan. Itu berarti, apakah hukum pidana sebagai ultimum
-
8/13/2019 Mengkritisi Ruu Hukum Pidana Melalui Perspektif Ham
7/18
MENGKRITISI RUU HUKUM PIDANA MELALUI PERSPEKTIF HAM
Page 7
remediumpada akhirnya akan ditentukan oleh keputusan pihak penyidik Polisi dan Jaksa selaku
Penuntut dan Hakim. Tanpa adanya rambu-rambu yang jelas dan kontrol masyarakat, prinsip
ultimum remedium itu dapat disalahgunakan. Karena itu, menurut van Bemmelen Dalil
remedium harus dipandang tidak semata-mata sebagai sarana untuk perbaikan pelanggaran
hukum yang dilakukan atau sebagai pengganti kerugian, akan tetapi sebagai sarana menenangkan
kerusuhan yang timbul dalam masyarakat, karena jika pelanggaran hukum dibiarkan saja akan
terjadi tindakan sewenang-wenang (van Bemmelen l984 : 15). Guna mencegah terjadinya
penyimpangan dalam menerapkan konsep hukum pidana sebagai ultimum remedium diperlukan
aturan Acara Pidana yang jelas dan secara ketat mengatur kewenangan Polisi, Jaksa dan Hakim.
Selain itu diperlukan pula kontrol dari Parlemen dan masyarakat.
Ketiga, hukum pidana harus diterapkan dengan cara seminimal mungkin mengganggu hak dan
kebebasan individu, tanpa mengurangi perlunya juga perlindungan terhadap kepentingan
kolektifitas dalam masyarakat demokratik yang moderen (Mardjono Reksodiputro 2005 : 3).
Pernyataan ini menegaskan bahwa penerapan hukum pidana itu harus mengedepankan
keseimbangan antara kepentingan kolektif yang diwakili negara dengan kepentingan individu.
Dalam kenyataannya, kita melihat ada kepentingan kelompok, kepentingan umum dan
kepentingan negara. Siapa yang diberi tugas untuk menyeimbangkan penerapan hukum pidana di
antara kepentingan-kepentingan yang bertabrakan. Van Bemmelen menunjuk pada pembuat
undang-undang dan Hakim. Ia mengatakan, makin berhasil pembuat undang-undang dan
Hakim dalam hal ini dengan sarana pidana bersyarat dan tindakan yang masuk akal, maka
fungsi sebagai penegak hukum dari hukum pidana semakin sesuai dengan dengan fungsi hukum
perdata dan hukum administrasi (van Bemmelen l984 : 14 - 15). Proses pengambilan keputusan
apakah hukum pidana akan diterapkan dalam kasus-kasus konkrit berdasarkan doktrin
keseimbangan itu hanya dapat berjalan dengan benar bila ada sistem pemerintahan yang
demokratis dan imparsialitas kekuasaan yudisial.
Pada waktu konsep ke-1 RUU KUHPidana disusun, belum terjadi perkembangan hukum
Hak Asasi Manusia Indonesia yang memuat secara rinci konsep HAM. Norma hukum HAM itu
termuat dalam dokumen-dokumen, yaitu :
1. Amandemen UUD l945, khususnya Amandemen ke-II;2. UU No. 39 Tahun l999 tentang HAM;
-
8/13/2019 Mengkritisi Ruu Hukum Pidana Melalui Perspektif Ham
8/18
MENGKRITISI RUU HUKUM PIDANA MELALUI PERSPEKTIF HAM
Page 8
3. UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM;4. UU tentang Ratifikasi Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik dan Kovenan
Internasional Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya;
5. Dan UU lainnya yang berkaitan dengan HAM.Perkembangan hukum HAM Indonesia itu semestinya dipertimbangkan dan menjadi acuan
ketika menyusun konsep RUU KUHPidana tersebut. Setidak-tidaknya, dihindarkan rumusan
delik pidana yang melanggar hak-hak dasar tersebut, serta seberapa jauh delik-delik khusus
kejahatan terhadap HAM dapat dirumuskan. Konsep final RUU KUHPidana yang disiapkan
oleh pemerintah, dalam beberapa pasalnya perlu dicermati secara kritis karena kandungan
normanya bertentangan dengan hukum HAM Indonesia, yaitu UUD l945, UU tentang HAM, dan
Kovenan-kovenan Internasional HAM yang telah diratifikasi oleh Indonesia. Pasal-pasal tersebut
adalah sebagai berikut :
Pasal 209
(1)Setiap orang yang secara melawan hukum di muka umum dengan lisan,tulisan, dan/atau melalui media apapun, menyebarkan atau mengembangkan
ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme dengan maksud mengubah atau
mengganti Pancasila sebagai dasar negara, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 10 (sepuluh) tahun.
(2)Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan jikaperbuatan itu dilakukan untuk kegiatan ilmiah.
Perumus Pasal 209 itu menyelipkan kata- kata, yaitu melawan hukum dan dengan maksud
mengubah atau mengganti Pancasila dst. Lalu dalam Rancangan Penjelasan Pasal 209
diterangkan pengertian ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme sebagai berikut :
Yang dimaksud dengan Komunisme/Marxisme-Leninisme adalah paham atau
ajaran Karl Mark yang terkait pada dasar-dasar dan taktik perjuangan yangdiajarkan oleh Lenin, Stalin, Mao Tse Tung, dan lain-lain, mengandung benih-
benih dan unsur-unsur yang bertentangan dengan falsafah Pancasila.
Dimasukkannya kata-kata atau kalimat melawan hukum dan dengan maksud
mengubah atau mengganti Pancasila itu, saya duga barangkali dimaksudkan oleh para
-
8/13/2019 Mengkritisi Ruu Hukum Pidana Melalui Perspektif Ham
9/18
MENGKRITISI RUU HUKUM PIDANA MELALUI PERSPEKTIF HAM
Page 9
penyusunnya untuk mencegah penafsiran yang berlebihan atau penyalahgunaan yang dapat
melanggar HAM, khususnya hak atas kebebasan berekspresi. Karena, untuk dapat dipidana dua
syarat harus dipenuhi, yaitu melawan hukum dan maksud untuk mengubah atau mengganti
Pancasila sebagai ideologi negara. Itu berarti menyebarluaskan ajaran Komunisme/Marxisme-
Leninisme itu melalui media apapun boleh asalkan tidak secara melawan hukum dan tidak
berkehendak untuk mengubah atau mengganti Pancasila sebagai ideologi negara. Atau, bisa pula
dimaksudkan oleh penyusun pasal tersebut, bahwa perbuatan menyebarluaskan ajaran
Komunisme/Marxisme-Leninisme itu sendiri sudah merupakan tindakan melawan hukum ?
Kalau demikian halnya, jelas yang hendak dilarang itu ajaran atau faham Komunisme/Marxisme-
Leninisme itu dan lebih-lebih lagi penyebarluasannya.
Dalam literatur hukum pidana kita mengenal berbagai pendapat tentang ajaran melawan
hukum. Satu pendapat menyatakan melawan hukum dipandang telah terjadi bila tindakan itu
telah memenuhi syarat-syarat delik. Inilah yang acap disebut sebagai melawan hukum formal.
Pendapat lain menyatakan melawan hukum berarti melanggar aturan pidana yang sah, yaitu
tindakan yang bertentangan dengan materi yang terkandung dalam hukum pidana inilah yang
dimaksud melawan hukum pidana materiil. Dalam tulisan ini, saya tidak bermaksud
menguraikan aspek teoritik dari ajaran melawan hukum itu. Tapi yang ingin saya tunjukkan
adalah ketidakjelasan maksud penyusun Pasal 209 itu dengan memasukkan kata melawan
hukum dan dengan maksud mengubah atau menggantidst. Apa yang dimaksud dengan
mengubah atau mengganti. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga keluaran Departemen
Pendidikan Nasional mengartikan kata mengubah yaitu :
1. Menjadikan lain dari semula2. Menukar bentuk (warna, rupa, dsb)3. Mengatur kembali
Kamus itu tidak menjelaskan bentuk tindakan mengubah, misalnya apakah melalui tindakan
mengecat atau memotong dan lain sebagainya. Kata mengganti menurut kamus itu berarti :
1. Menukar2. Memberi ganti3. Mewakili
-
8/13/2019 Mengkritisi Ruu Hukum Pidana Melalui Perspektif Ham
10/18
MENGKRITISI RUU HUKUM PIDANA MELALUI PERSPEKTIF HAM
Page 10
Bentuk perbuatan mengganti atau mengubah adalah sesuatu yang kasat mata ketika
merujuk pada benda-benda fisik. Tapi perubahan atau penggantian ideologi adalah sesuatu
proses yang ada dalam pikiran dan hati seseorang atau kelompok orang yang dapat dinilai dari
pandangan dan perilakunya. Penilaian inipun bersifat subyektif. Perubahan atau penggantian
pandangan sosial atau ideologi seseorang atau kelompok orang adalah sesuatu yang tak
terelakkan dalam dinamika kehidupan masyarakat yang terus berkembang dan berubah. Ini
adalah sesuatu yang wajar dan alamiah yang mustahil dilarang oleh hukum pidana dan hukum
lainnya. Kalau kita mencermati nilai-nilai sosial yang terefleksi dalam TAP MPR No. VII Tahun
2001 tentang Visi Indonesia Masa Depan, disana kita akan menemukan perubahan nilai-nilai
sosial yang dianut bangsa Indonesia yang bisa diartikan pula perubahan pandangan sosial atau
ideologi itu. Misalnya, visi tentang Adil yang menyatakan :
Terwujudnya keadilan dalam distribusi pendapatan, sumber daya ekonomi dan
penguasaan asset, serta hilangnya praktik monopoli.
Visi ini merefleksikan nilai sosial yang digali dari berbagai sumber, antara lain nilai
keadilan sosial yang dikembangkan oleh Karl Marx. Jika benar demikian, dengan merujuk pada
rumusan Pasal 209 RUU KUHPidana, para penyusun TAP MPR No. VII Tahun 2001 dapat
dituduh telah menyebarkan dan mengembangkan ajaran Marxisme. Para penyusun Pasal 209 itu
tidak menjelaskan bagian-bagian mana dari ajaran Marxisme-Leninisme yang bertentangan
dengan Pancasila. Seluruh uraian di atas menunjukkan, walaupun para penyusun telah
memasukkan kalimat melawan hukum dan dengan maksud mengubah atau menggantidst
sebagai cara untuk mencegah penggunaan pasal secara abusive, namun Pasal 209 tetap menjadi
pasal karet yang membuka diri bagi penyalahgunaannya. Pasal 209 jelas bertentangan dengan
hukum HAM Indonesia, yaitu :
Pasal 28 E ayat (2) , Pasal 28 F dan Pasal 28 I UUD l945;
Pasal 4 dan Pasal 14 UU No. 39 Tahun l999 tentang HAM; UU tentang Ratifikasi Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik dan Kovenan
Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya.
Baik Pasal 28 E ayat (2) dan Pasal 28 F UUD l945 dan UU tentang HAM maupun Pasal
19 Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (KIHSP) menegaskan suatu prinsip-
prinsip sebagai berikut :
-
8/13/2019 Mengkritisi Ruu Hukum Pidana Melalui Perspektif Ham
11/18
MENGKRITISI RUU HUKUM PIDANA MELALUI PERSPEKTIF HAM
Page 11
a. Semua orang harus memiliki hak untuk mempertahankan pendapatnya tanpa paksaan.b. Semua orang harus memiliki hak atas kebebasan berekspresi. Hak ini harus meliputi
kebebasan mencari, menerima, dan menyebarluaskan segala jenis informasi dan ide,
tanpa melihat batasan, baik secara lisan, tulisan atau tercetak, dalam bentuk seni,
ataupun melalui media lain sesuai pilihannya.
Bahwa kebebasan berekspresi dapat ditundukkan kepada peraturan publik yang bisa saja
membawa akibat sebuah pembatasan.Namun, peraturan publik (public policy) tidak boleh
menghilangkan prinsip tersebut. Pasal 209 RUU KUHPidana itu bukan saja menghilangkan
prinsip-prinsip perlindungan HAM tersebut di atas, tetapi yang lebih memprihatinkan dan
menakutkan sifat multi-tafsir pasal tersebut.
Pasal 210
(1) Setiap orang yang secara melawan hukum dimuka umum dengan lisan,
tulisan, dan/ atau melalui media apapun, menyebarkan atau mengembangkan
ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme yang berakibat timbulnya kerusuhan
dalam masyarakat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh)
tahun.
Penjelasan Pasal 210 menyatakan, Lihat Penjelasan Pasal 207. Namun, ternyata
Penjelasan Pasal 207 hanya menyatakan Cukup jelas. Seperti halnya Pasal 209, Pasal 210
mengandung sejumlah ketidakjelasan yang mengundang multi-tafsir yang dapat mengakibatkan
timbulnya ketidakpastian, yang berarti mengundang penyalahgunaannya oleh penguasa. Apa
sesungguhnya yang dimaksudkan dengan melawan hukum ? Apakah berarti penyebaran dan
pengembangan Komunisme/Marxisme-Leninisme di muka umum melalui media apapun boleh
asal tidak secara melawan hukum atau penyebaran ajaran itu di muka umum sudah merupakan
pelanggaran hukum ? Lalu apa hubungan logis atau kausa antara penyebaran ajaran itu dengan
timbulnya kerusuhan ? Apakah maksud penyusun Pasal 210 hendak menyatakan bahwa
penyebaran ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme itu dapat menimbulkan kerusuhan ? Atau
penyusun pasal itu bermaksud menyatakan bahwa meskipun pihak penyebar ajaran itu
melakukannya secara damai, namun bila mengundang reaksi pihak lain yang menolaknya, dan
kemudian pihak lain yang menolak melakukan kerusuhan, fakta ini sudah cukup untuk menjadi
syarat dijatuhkannya pidana 10 (sepuluh) tahun kepada pihak yang menyebarluaskan ajaran itu.
-
8/13/2019 Mengkritisi Ruu Hukum Pidana Melalui Perspektif Ham
12/18
MENGKRITISI RUU HUKUM PIDANA MELALUI PERSPEKTIF HAM
Page 12
Esensinya, asal terjadi kerusuhan pada saat atau setelah penyebaran ajaran itu, tanggung jawab
pidana ada pada pihak yang menyebarkan. Apakah demikian maksud penyusun pasal itu ?
Seandainya benar demikian maksud penyusun Pasal 210 itu, maka jelas bertentangan dengan
asas fairness, keadilan dan obyektifitas dalam perumusan norma hukum. Kerusuhan sebagai
suatu perbuatan yang acap menimbulkan kerugian fisik, nyawa dan benda jelas merupakan
perbuatan pidana yang dapat dituntut pertanggungjawaban pidana bagi pihak-pihak yang
membuatnya. Namun, mengkaitkan penyebaran suatu ajaran dengan timbulnya kerusuhan harus
dijelaskan oleh penyusun pasal tersebut. Karena penyebaran suatu ajaran apakah itu Komunisme
atau kapitalisme atau isme-isme yang lain secara universal diakui sebagai perbuatan yang sah
dan dijamin oleh UU HAM Internasional. Yang dilarang oleh hukum HAM Internasional
maupun hukum HAM nasional adalah anjuran untuk menggunakan kekerasan secara melawan
hukum untuk mencapai suatu tujuan. Jadi persuasi, dorongan, anjuran, hasutan untuk melakukan
kekerasan itu yang baik akan dilaksanakan atau sudah dilaksanakan sekarang ini dapat dikenakan
pertanggungjawaban pidana. Jadi, kekerasannya yang melawan hukum itu bukan soal
penyebarluasan suatu ajarannya. Pasal 210 jelas bertentangan dengan Hukum HAM nasional dan
Internasional.
Pasal 211
Dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) setiap orang yang :
a. mendirikan organisasi yang diketahui atau patut diduga keras menganutajaran Komunisme/ Marxisme-Leninisme;
b. mengadakan hubungan dengan atau memberikan bantuan kepada organisasi,baik di dalam maupun di luar negeri, yang diketahuinya berasaskan ajaran
Komunisme/Marxisme-Leninisme atau dengan maksud mengubah dasar
Negara; atau
c.
mengadakan hubungan dengan atau memberikan bantuan kepada organisasi,baik di dalam maupun di luar negeri, yang diketahuinya berasaskan ajaran
Komunisme/Marxisme-Leninisme atau dengan maksud menggulingkan
pemerintah yang sah.
Menggulingkan pemerintah yang sah jelas merupakan kejahatan yang pengaturannya
sudah diatur dalam pasal-pasal 215, 216, dan 217. Karena itu, tidak tepat dicampur-adukkan
-
8/13/2019 Mengkritisi Ruu Hukum Pidana Melalui Perspektif Ham
13/18
MENGKRITISI RUU HUKUM PIDANA MELALUI PERSPEKTIF HAM
Page 13
dengan ajaran tertentu. Pencampuradukan yang demikian itu justru akan menimbulkan
kekacauan, ketidakjelasan dan ketidakpastian. Memang rumusan Pasal 211 mengandung
sejumlah ketidakjelasan, misalnya butir (a) yang diketahui atau patut diduga keras menganut
ajaran menganut ajarandst. Apa itu yang dimaksud dengan diduga keras ? Apa itu ajaran
Komunisme/ Marxisme-Leninisme ? Rumusan Pasal 211 membuka jalan bagi sebuah dasar
untuk menuntut setiap orang yang mendirikan organisasi yang diduga penguasa menganut ajaran
yang ditafsirkan oleh penguasa itu menganut ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme. Disinilah
sifat karet pasal tersebut yang membuka avenuebagi kesewenang-wenangan oleh kekuasaan.
Pasal 211 secara keseluruhannya bertentangan dengan hukum HAM Indonesia dan Internasional,
yaitu:
Pasal 28 C ayat (2) dan Pasal 28 E ayat (3) UUD l945;
Pasal 24 ayat (1) dan (2) UU tentang HAM; UU Ratifikasi KIHSP dan KIHESB; UU Ratifiikasi Konvensi ILO No. 98.Pasal 262
Setiap orang yang di muka umum menghina Presiden atau Wakil Presiden,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling
banyak Kategori IV.
Penjelasannya
Yang dimaksud dengan menghina adalah perbuatan apapun yang menyerang
nama baik atau martabat Presiden atau Wakil Presiden di muka umum. Termasuk
penghinaan adalah menista dengan surat, memfitnah, dan menghina dengan
tujuan memfitnah. Penghinaan terhadap orang biasanya merupakan tindak pidana
aduan, akan tetapi penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden dapat
dituntut dengan tidak perlu ada pengaduan. Pasal ini tidak dimaksudkan untuk
meniadakan atau mengurangi kebebasan mengajukan kritik ataupun pendapat
yang berbeda dengan yang dianut Presiden atau Wakil Presiden.
-
8/13/2019 Mengkritisi Ruu Hukum Pidana Melalui Perspektif Ham
14/18
MENGKRITISI RUU HUKUM PIDANA MELALUI PERSPEKTIF HAM
Page 14
Sebagaimana dapat pada rumusan tersebut di atas, Pasal 262 RUU KUHPidana tidak
mendefinisikan secara rinci apa itu yang dimaksud dengan menghina. Penjelasan pasal tersebut
memperluasnya dengan menyatakan perbuatan apapun yang menyerang nama baik atau
martabat Presiden atau Wakil Presiden. Perluasan ini mengundang kekhawatiran, yaitu
terbukanya peluang untuk penyalahgunaannya oleh penguasa. Seorang Presiden dan Wakil
Presiden adalah pimpinan pemerintahan, yang berarti merupakanfigure publicyang mengemban
tugas melayani kepentingan publik. Untuk itulah pimpinan pemerintah diberikan sejumlah hak
dan kewenangan. Penggunaan hak dan wewenang sebagai penguasa itulah yang dalam
demokrasi akan selalu memperoleh sorotan dari publik sebagai wujud dari kontrol publik
terhadap pemerintah. Kontrol yang dilakukan oleh masyarakat terhadap Presiden dan Wakil
Presiden selaku pimpinan pemerintah mempunyai dinamikanya sendiri. Sehingga bisa saja dalam
proses menjalankan fungsi kontrolnya itu digunakan kata atau kalimat-kalimat keras dengan
tujuan untuk menekan atau memperoleh perhatian dari pimpinan pemerintah. Ini sesuatu yang
lumrah dalam demokrasi. Namun, bisa saja kata atau kalimat yang keras, tajam dan acap
menyinggung perasaan dipersepsi sebagai sebuah penghinaan oleh yang bersangkutan. Bila
pimpinan pemerintah merasa dihina atau difitnah, ini adalah reaksi dari sikap subyektif dari yang
bersangkutan. Hukum dimanapun memberi hak kepada yang bersangkutan untuk menuntut pihak
yang didakwa melakukan penghinaan. Selanjutnya, kita serahkan kepada hakim untuk
menilainya. Jadi, seharusnya merupakan delik aduan. Oleh karena itu, Penjelasan Pasal 262 yang
menyatakan penghinaan dapat dituntut tanpa perlu pengaduan tidak tepat dan malahan membuka
peluang penyalahgunaannya oleh penguasa yang berakibat terlanggarnya hak atas kebebasan
berekspresi.
Pasal 284
Setiap orang yang di muka umum melakukan penghinaan terhadap pemerintah
yang sah yang berakibat terjadinya keonaran dalam masyarakat, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Kategori IV.
Pasal 285
(1) Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan
atau gambar sehingga terlihat oleh umum, atau memperdengarkan rekaman
-
8/13/2019 Mengkritisi Ruu Hukum Pidana Melalui Perspektif Ham
15/18
MENGKRITISI RUU HUKUM PIDANA MELALUI PERSPEKTIF HAM
Page 15
sehingga terdengar oleh umum, yang berisi penghinaan terhadap pemerintah yang
sah dengan maksud agar isi penghinaan diketahui umum yang berakibat
terjadinya keonaran dalam masyarakat, dipidana dengan pidana pidana penjara
paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Kategori IV.
Penjelasan Pasal 284
Pasal ini bertujuan untuk mencegah timbulnya perbuatan yang dapat memecah
belah persatuan dan kesatuan bangsa.
Pasal 400
Setiap orang yang di muka umum dengan lisan atau tulisan menghina kekuasaan
umum atau lembaga negara yang berakibat terjadinya keonaran dalam
masyarakat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda
paling banyak Kategori III.
Penjelasan Pasal 400
Ketentuan dalam Pasal ini dimaksudkan agar kekuasaan umum atau lembaga
negara dihormati, boleh karena itu perbuatan menghina terhadap kekuasaan
umum atau lembaga tersebut dipidana berdasarkan ketentuan dalam Pasal ini.
Sebagaimana dapat dibaca pada kutipan pasal-pasal tersebut di atas, selalu kita jumpai
kata-kata atau kalimat menghina yang berakibat terjadinya keonarandst. Saya menduga
para penyusun ini merumuskan pasal tersebut dengan maksud pada satu sisi ingin melindungi
kehormatan dan martabat pemerintah, kekuasaan umum atau lembaga negara. Pada sisi yang
lain, para penyusun pasal-pasal itu juga tidak ingin kalimat menghina itu ditafsirkan terlalu
luas sehingga membunuh kebebasan berekspresi. Karena itulah dimasukkan kata berakibat
terjadinya keonaran untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan. Jadi, untuk dapat dipidana
tindakan menghina itu harus mengakibatkan timbulnya keonaran. Namun, cara pencegahan
yang demikian belum tentu tepat dan bisa melindungi hak atas kebebasan berekspresi yang
diperlukan untuk memperkuat civil society, khususnya membangun tradisi kontrol sosial yang
kuat yang diperlukan bagi bekerjanya sistem pemerintahan yang demokratis. Menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia, onar berarti : 1) huru-hara, gempar; 2) keributan, kegaduhan.
-
8/13/2019 Mengkritisi Ruu Hukum Pidana Melalui Perspektif Ham
16/18
MENGKRITISI RUU HUKUM PIDANA MELALUI PERSPEKTIF HAM
Page 16
Kegaduhan, keributan atau huru-hara itu gambaran faktanya berbeda-beda dari satu kasus
ke kasus yang lain. Sebuah informasi yang benar tentang perilaku seorang pejabat pemerintah
atau lembaga negara yang diungkapkan oleh seorang wartawan, bisa saja dipersepsikan oleh si
Pejabat sebagai penghinaan. Dan bila terungkapnya fakta itu timbul keributan maka adalah tidak
adil bila pihak yang mengungkapkan berita kritis itu dipidana 3 (tiga) tahun. Tanggung jawab
pidana bagi timbulnya kegaduhan itu semestinya ada di pundak pejabat pemerintah itu yang telah
menutupi kebenaran atau tidak jujur. Rumusan pasal ini mengandung potensi untuk
disalahgunakan dengan mengurangi atau melanggar hak atas kebebasan berekspresi, hak atas
kebebasan informasi yang justru diperlukan untuk membangun tata hubungan yang lebih simetris
antara civil societydengan pemerintah dan negara dalam sebuah bangunan negara hukum yang
demokratis.
RUU KUHPidana dalam BAB IX memuat secara khusus Tindak Pidana terhadap Hak
Asasi Manusia yang terdiri atas :
1. Genosida;2. Tindak Pidana Kemanusiaan;3. Tindak Pidana Perang dan Konflik Bersenjata;4. Pertanggungjawaban Korporasi dalam Tindak Pidana HAM;5. Penyiksaan.Ini tentu masih belum memadai, karena masih banyak bentuk pelanggaran HAM lainnya
seperti diskriminasi atas dasar ras, gender, agama, keyakinan politik dan lain sebagainya yang
memerlukan perlindungan hukum, akan tetapi belum tentu tepat digunakan pendekatan hukum
pidana. BAB XX RUU KUHPidana tentang Tindak Pidana terhadap Kemerdekaan
sesungguhnya merupakan tindak pidana terhadap HAM. Dengan demikian, lebih tepat
diintegrasikan ke dalam Bab IX.
Pada sisi yang lain, RUU KUHPidana masih mempertahankan kebijakan pidana matisebagai pidana pokok yang bersifat khusus dan selalu diancamkan secara alternatif menunjukkan
pula, bahwa hak hidup yang dijamin oleh UUD l945, UU HAM dan UU Ratifikasi KISP dan
KIHESB belum sepenuhnya dipertimbangkan secara sungguh-sungguh oleh para penyusun RUU
tersebut. Para penyusun RUU KUHPidana nampaknya telah berusaha untuk memenuhi standar
penyusunan KUHPidana modern yang meletakkan prinsip keseimbangan antara perlindungan
-
8/13/2019 Mengkritisi Ruu Hukum Pidana Melalui Perspektif Ham
17/18
MENGKRITISI RUU HUKUM PIDANA MELALUI PERSPEKTIF HAM
Page 17
hak-hak individu, masyarakat dengan kepentingan negara. Namun, pada sisi lain RUU
KUHPidana ini masih menyisakan sejumlah persoalan fundamental, yaitu berkenaan dengan
materi muatan pasal-pasal 209, 210, 211, 262, 284, 285, 400 yang rumusannya membuka
peluang luas bagi penyalahgunaannya oleh penguasa yang bisa berakibat terlanggarnya hak-hak
dasar yaitu, hak atas keyakinan politik, hak atas kebebasan berpikir, hak atas kebebasan
berekspresi, hak atas kebebasan berkumpul, dan hak atas kebebasan informasi, hak hidup yang
semuanya diakui dan dijamin oleh Hukum HAM Indonesia. Khusus pasal-pasal 209, 210, dan
211 quamateri jelas bertentangan dengan UUD l945, UU No. 39 Tahun 1999, dan UU tentang
Ratifikasi KIHSP dan KIHESB. Karena eksistensinya jelas membuka peluang bagi kesewenang-
wenangan kekuasaan yang membawa akibat terampasnya hak-hak asasi manusia, yaitu hak-hak
atas kebebasan berekspresi, berorganisasi, dan informasi yang semuanya sangat vital bagi
berlangsungnya sistem pemerintahan demokratis dalam sistem Negara Hukum Indonesia (NHI).
Oleh karena itu, para penyusun RUU sangat perlu mempertimbangkan untuk merevisi atau
meniadakan keberadaan pasal-pasal tersebut.
-
8/13/2019 Mengkritisi Ruu Hukum Pidana Melalui Perspektif Ham
18/18
MENGKRITISI RUU HUKUM PIDANA MELALUI PERSPEKTIF HAM
Page 18
DAFTAR PUSTAKA
Jan Remmelink, HUKUM PIDANA : Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dari KitabUndang-Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003.
J.M. van Bemmelen, HUKUM PIDANA 1 : Hukum Pidana Material Bagian Umum,Binacipta, l984.
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Depdiknas, Balai Pustaka, 2002. Mardjono Reksodiputro, 2005. RUU KUHPidana, Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Departemen Hukum
Dan HAM, 2008.
UUD l945 UU No. 39 Tahun l99 tentang Hak Asasi Manusia